status tuhan dalam filsafat teoretis immanuel kant

advertisement
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
69
STATUS TUHAN DALAM FILSAFAT TEORETIS
IMMANUEL KANT
MARTINUS ARIYA SETA∗
Abstrak: Di dalam filsafat teoretis Kant, status Tuhan bukan lagi transenden tetapi transendental. Perubahan status Tuhan menjadi transendental
memiliki dampak ganda. Di satu sisi, Kant memberikan pendasaran
rasionalitas konsep Tuhan. Akan tetapi di sisi lain, Kant menghindari
penegasan terhadap eksistensi Tuhan. Menurut Kant, konsep Tuhan
adalah sebuah ide regulatif. Ide regulatif tidak memiliki referensi di luar
pikiran manusia. Kant hanya menegaskan urgensi logis konsep Tuhan
bagi kesatuan pengetahuan. Akan tetapi, urgensi logis tidak cukup memadai sebagai argumen pembuktian eksistensi Tuhan. Kant memisahkan antara keternalaran dan ada. Pemisahan ini terlihat jelas di dalam
kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Menurut penulis, profil
filsafat transendental menjadi transparan di dalam kritik Kant terhadap
pembuktian ontologis. Pengadopsian secara parsial paham dasar rasionalisme dan empirisme melatarbelakangi filsafat transendental dan memicu pemisahan antara keternalaran dan ada yang tampak jelas di dalam
kritik Kant terhadap pembuktian ontologis.
Kata-kata kunci: Konsep, transendental, keternalaran, ada, ide regulatif,
pembuktian ontologis
Abstract: In Kant’s theoretical philosophy, the status of God is not
transcendent anymore, but transcendental. The transcendental status of
God has a double impact. On the one hand, the concept of God is
conceivable. But on the other hand, Kant avoids the affirmation of the
existence of God. The conceivability of God is not an argument for God’s
existence because the concept of God is a regulative idea. A regulative
idea has no reference outside the mind. Kant only affirms the logical
necessity of the concept of God. However, the logical necessity is not an
* Martinus Ariya Seta, Program Studi Pendidikan Agama Katolik (PAK), Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Jl. Ahmad Jazuli 2,
Yogyakarta 55002. E-mail: [email protected].
69
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
70
adequate argument for the existence of God. Kant separates between
conceivability and being. The separation is obvious in his critique toward
the ontological argument. In my opinion, the profile of the transcendental
philosophy is transparent in Kant’s critique toward the ontological
argument. The partial adoption of empirical and rational principles
works behind the transcendental philosophy and leads to the separation
between conceivability and being, which is visible in the Kant’s critique
toward the ontological argument.
Keywords: Concept, transcendental, conceivability, being, regulative
idea, ontological argument.
PENDAHULUAN
Filsafat transendental yang dicetuskan oleh Immanuel Kant merupakan salah satu acuan pokok dari para kritikus agama modern maupun
kontemporer. Teori proyeksi Feuerbach sebenarnya merupakan kelanjutan dari pendekatan filsafat transendental Kant di dalam mendekati
persoalan Ketuhanan.1 Dalam teori proyeksi Feuerbach, sosok Tuhan
tidak lagi dilihat sebagai obyek yang berada di luar pikiran manusia
tetapi sosok yang dikonstruksikan oleh pikiran manusia dan status sosok
tersebut tidak lagi bersifat ilahi tetapi manusiawi. Proses pengalihan
status Tuhan dari obyek yang berada di luar pikiran manusia menjadi
sosok yang dikonstruksikan di dalam pikiran manusia sudah dirintis
oleh Immanuel Kant di dalam karyanya Kritik der reinen Vernunft (KrV).
Teori proyeksi Feuerbach hanya meradikalisasi proses pengalihan
tersebut.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi proses pengalihan
status Tuhan di dalam KrV. Penulis akan menunjukkan titik-titik krusial
dari pendekatan filsafat Ketuhanan Kant. Titik-titik krusial yang akan
ditelaah adalah kritik pembuktian ontologis, konsep ada (Sein) dan
keternalaran (Denken). Penulis melihat bahwa profil filsafat transenden1
Feuerbach lebih dikenal sebagai seorang Hegelian kiri dan bukan seorang Kantian.
Meskipun demikian, pengaruh pemikiran Kant di dalam pemikiran Feuerbach dapat
ditelusuri di dalam teori proyeksi.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
71
tal Kant menjadi transparan di dalam kritik Kant terhadap pembuktian
ontologis yang diulas dengan panjang lebar di dalam KrV. Untuk dapat
memahami kritik Kant terhadap pembuktian ontologis, konsteks sejarah
perkembangan filsafat di dalam era Kant harus diperhatikan. Pemikiran
Kant muncul di tengah ketegangan antara rasionalisme dan empirisme.
Filsafat transendental Kant berada di bawah tarik ulur kedua aliran
tersebut. Oleh karena itu, profil filsafat Kant di dalam KrV dan khususnya filsafat Ketuhanan harus dilihat sebagai kontinuitas dan diskontinuitas terhadap kedua aliran filsafat tersebut.
Secara sistematis, filsafat Kant dikategorikan ke dalam filsafat teoretis
dan filsafat praktis. Kant juga menguraikan persoalan Ketuhanan di dalam
filsafat praktis. KrV memuat pemikiran Kant akan persoalan Ketuhanan
baik dalam ranah filsafat teoretis maupun filsafat praktis. Pada tulisan
ini penulis hanya membatasi pembahasan pada filsafat teoretis di dalam
KrV.
FILSAFAT TRANSENDENTAL SEBAGAI UPAYA HARMONISASI
EMPIRISME DAN RASIONALISME
Filsafat transendental yang ditawarkan oleh Kant dilatarbelakangi
oleh pertikaian antara aliran empirisme dan rasionalisme. Pertikaian
antara kedua aliran ini terfokus pada tema metafisika. Kant melabeli
para pemikir aliran empirisme sebagai kaum “skeptis” sedangkan para
pemikir aliran rasionalisme sebagai kaum “dogmatis.”2 Empirisme menolak keberadaan metafisika sedangkan rasionalisme membela keberadaan
metafisika. Pertikaian antara empirisme dan rasionalisme adalah persoalan primat sifat a posteriori dari pengalaman inderawi atau sebaliknya
primat sifat a priori dari akal budi (Verstand): “Yang membedakan antara
rasionalisme dan empirisme adalah penekanan yang berbeda berkaitan
dengan hubungan satu sama lain antara dua sumber pengetahuan,” 3
2
Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft A X. Untuk selanjutnya, Kritik der reinen
Vernunft akan disingkat KrV di dalam catatan kaki.
3
Gottfried Gabriel, Grundprobleme Erkenntnistheorie: Vom Descartes zu Wittgenstein
(Paderborn: Schöningh, 2008), S. 29.
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
72
yaitu antara pengalaman inderawi dengan akal budi. Pangkal pertikaian
dari kedua aliran tersebut adalah persoalan primat. Oleh karena itu,
perlu digarisbawahi bahwa rasionalisme tidak menolak sama sekali
peran pengalaman inderawi dan empirisme juga tidak menolak sama
sekali peranan akal budi.
Kant mencoba mencari jalan keluar dari pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Jalan keluar yang ditempuh oleh Kant adalah harmonisasi paham dasar empirisme maupun rasionalisme. Kant tidak menolak peran penting pengalaman inderawi sebagai salah satu elemen
pembentuk pengetahuan. Akan tetapi, Kant juga menekankan keberadaan unsur pengetahuan “yang terlepas dari pengalalaman dan juga
dari pencerapan inderawi” 4 dan unsur ini bersifat a priori. Dari sisi
empirisme, Kant mengamini bahwa status pengetahuan membutuhkan
penegasan intuisi (Anschauung) dari pengalaman inderawi dan dari sisi
rasionalisme, Kant mengamini bahwa pengetahuan juga dipengaruhi
oleh faktor a priori. Faktor a priori inilah yang menjadikan sebuah pengetahuan dapat bersifat universal dan memiliki derajat keharusan.5 Harmonisasi yang dilakukan olah Kant berujung pada pengakuan akan
“legitimasi dengan pembatasan”6 dari paham empirisme dan rasionalisme. Harmonisasi semacam ini merupakan pembatasan keberlakuan
(Gültigkeit) dari paham dasar empirisme maupan rasionalisme. Dengan
kata lain, harmonisasi yang dilakukan Kant adalah pengadopsian secara
parsial kedua paham tersebut.
Bagaimana Kant mengharmonisasi paham empirisme dan rasionalisme? Sifat a posteriori dari pengalaman inderawi maupun sifat a
priori dari akal budi bersifat konstitutif terhadap pengetahuan dan Kant
menekankan bahwa peran akal budi bersifat transendental. Yang dimaksud dengan sifat transendental adalah pengetahuan, yang hanya
4
KrV B 2.
5
Lih. Johannes Hirschberger, Geschichte der Philosophie II: Neuzeit und Gegenwart
(Freiburg: Herder, 1952), S. 256.
6
Otfried Höffe, Kants Kritik der reinen Vernunft: Die Grundlegung der modernen
Philosophie, (München: C.H. Beck, 2011), S. 83.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
73
terarah bukan pada obyek tetapi pada modus pengetahuan yaitu pengetahuan “yang hanya terarah bukan kepada obyek tetapi kepada modus
pengungkapan obyek, sejauh pengetahuan ini secara a priori dimungkinkan.”7 Sifat transendental tidak berkaitan dengan obyek yang diketahui
tetapi prasyarat a priori yang memungkinkan sebuah pengetahuan. Sifat
transendental ini tidak melekat pada obyek tetapi pada subyek. 8 Istilah
subyek dalam pemikiran Kant tidak ada kaitannya dengan kesewenangwenangan ego. Dengan menggunakan istilah subyek, Kant ingin menunjukkan keterlibatan akal budi yang bersifat a priori dalam membentuk
sebuah pengetahuan. Nuansa formal terlihat sangat kental di dalam
filsafat transendental. Yang menjadi perhatian Kant adalah aspek quaestio
iuris, bukan aspek quaestio facti. Kant lebih mempersoalkan peran subyek
dalam menciptakan pengetahuan dan bukan obyek pada dirinya sendiri
(das Ding an sich). Kant berusaha menggali peran unsur a priori yang
melekat di dalam subyek dalam proses terjadinya sebuah penge-tahuan.
Bukan hanya subyek tetapi juga pengalaman inderawi juga bersifat
konstitutif terhadap pengetahuan. Menurut Kant, pengetahuan terjadi
ketika kategori-kategori dari akal budi yang bersifat a priori memperoleh
padanannya di dalam pengalaman inderawi yang bersifat a posteriori.9
Pengalaman inderawi menjadi semacam tempat bereksperimen bagi akal
budi yang bersifat a priori. Secara sistematis dapat dirumuskan bahwa
pengetahuan harus memenuhi unsur formal dan unsur material. Akal
budi dengan kategori-kategori yang bersifat a priori merupakan unsur
formal dan pengalaman inderawi yang bersifat a posteriori merupakan
unsur material.10
Lebih jauh, Kant menjelaskan relasi antara subyek dan obyek
pengetahuan dengan sebuah hypothesis. Kant mengajukan hipotesis
epistemologis bahwa akal budi tidak lagi mengarahkan diri kepada obyek
7
KrV B 25.
8
Lih. Otfried Höffe, Kants Kritik der reinen Vernunft, S. 58.
9
KrV B XIII.
10 Lih. Karl Jasper, Die großen Philosophen (München-Zürich: Piper, 2012), S. 424.
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
74
(Gegenstand) tetapi obyek mengarahkan diri kepada akal budi; Kant membandingkan hypothesis ini dengan revolusi Kopernikus.11 Baik Kant maupun Kopernikus mengajukan pembalikan cara berpikir. Akan tetapi jika
dicermati, pembandingan hypothesis Kant dengan revolusi Kopernikus
tidak sepenuhnya tepat karena hypothesis Kant menjadikan manusia
berada di centrum sedangkan revolusi Kopernikus berimplikasi pada
penggusuran manusia dari tempatnya di centrum.12
Apa implikasi dari hipotesis epistemologis yang digulirkan oleh Kant?
Obyek harus mengarahkan diri kepada kategori-kategori a priori di dalam
subyek. Pengetahuan akan sebuah obyek tidak dapat dilepaskan dari
unsur a priori di dalam subyek. 13 Bukan pengalaman inderawi yang
mendikte akal budi yang dilekati dengan kategori-kategori yang bersifat
a priori tetapi akal budi menyodorkan sebuah rancangan yang akhirnya
harus diuji di dalam pengalaman inderawi. Dalam bahasa modern, teori
pengetahuan Kant adalah konstruktivisme. Pengetahuan tidak lagi
dipandang sebagai pencerminan kenyataan di dalam pikiran seperti
yang dipahami dalam tradisi skolastik. Di dalam paham konstruktivisme,
kenyataan bukan merupakan sesuatu yang terlepas dari pikiran manusia,
melainkan ikut diciptakan oleh pikiran manusia. Kant melakukan
sebuah pembalikan terhadap peran subyek.14 Dalam tradisi metafisika
Aristoteles, subyek bersifat reseptif terhadap obyek sedangkan dalam
filsafat transendental subyek justru bersifat sangat aktif terhadap obyek.
11 Lih. KrV B XVI.
12 Kant membandingkan hipotesisnya dengan revolusi Kopernikus untuk mengungkapkan sebuah pembalikan paradigma. Jika dicermati dengan lebih cermat,
pembalikan paradigma yang dilakukan oleh Kant tidak dapat disamakan dengan
pembalikan paradigma revolusi Kopernikus: “Kopernikus menolak penempatan manusia
secara geografis pada posisi centrum, karena bumi bukanlah titik pusat dari kosmos... Sebaliknya
Kant justru menggeser manusia pada posisi centrum.” Otfried Höffe, Kants Kritik der
reinen Vernunft, S. 49.
13 Lih. Gerd Irrlitz, Kant Handbuch: Leben und Werke (Stuttgart: J. B. Metzler, 2010), S.
188.
14 Lih. Horst Seidl, Sein und Bewusstsein: Erörterungen zur Erkenntnislehre und Metaphysik
in einer Gegenüberstellung von Aristoteles und Kant (Hildesheim-Zürich-New York:
Olms, 2001), S. 22.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
75
THEOLOGIA TRANSCENDETALIS
Apa jadinya jika apa yang secara a priori telah dirancang oleh akal
budi tidak memiliki padanan di dalam pengalaman inderawi? Inilah
yang menjadi persoalan metafisika khusus (metaphysica specialis). Dalam
tradisi rasionalisme, persoalan metafisika dikategorikan ke dalam metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika khusus dibagi ke dalam
tiga bidang, yaitu psychologia rationalis, cosmologia rationalis dan theologia
transcendentalis. Kant masih mempertahankan sistematisasi metafisika
khusus tersebut. 15 Psychologia rationalis berbicara tentang tema roh.
Cosmologia rationalis berbicara tentang tema dunia dan theologia transcendentalis tentang Tuhan. Tulisan ini hanya menyinggung tema theologia
transcendentalis karena penulis ingin membatasi uraian pada persoalan
Ketuhanan.
Istilah theologia dalam konteks metafisika khusus sebagaimana yang
dipahami oleh Kant tidak berkaitan sama sekali dengan tema pewahyuan
ilahi. Kant merumuskan theologia transcendentalis sebagai “ide kesatuan
mutlak”16 sekaligus “prasyarat tertinggi dari kemungkinan akan semua
yang dapat dipikirkan.”17 Fungsi theologia transcendentalis sebagai “kesatuan” dan “prasyarat” perlu mendapat sebuah penegasan baik sebagai
bagian dari metafisika khusus.
Di dalam kata pengantar edisi pertama KrV, Kant menyinggung
persoalan dialektika di dalam metafisika khusus. Di manakah letak persoalan dialektika di dalam metafisika khusus? Di dalam kata pengantar
KrV edisi pertama, Kant sudah menyinggung akan dialektika di dalam
metafisika khusus. Pikiran manusia “dibebani dengan pertanyaanpertanyaan, yang tidak terbantahkan karena memang disodorkan sendiri
oleh sifat hakiki dari nalar, tetapi nalar tidak dapat memberi jawaban
karena pertanyaan-pertanyaan tersebut melampaui kemampuan nalar
manusia.”18 Pikiran manusia akhirnya harus berhadapan dengan per15 Lih. KrV B 391-392.
16 KrV B 391.
17 KrV B 391.
18 KrV A VII.
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
76
tanyaan-pertanyaan yang tidak lain adalah tiga tema metafisika khusus
tanpa dapat menemukan jawaban. Secara khusus dalam theologia transcendentalis, pikiran manusia akan dihadapkan pada pertanyaan akan
Tuhan. Tema-tema metafisika khusus bukanlah sebuah tema yang
memiliki kaitan langsung dengan pengalaman inderawi. Sebagai sebuah
ide, tema-tema metafisika khusus bersifat transendental. Tuhan sebagai
tema theologia transcendentalis bukan lagi sebuah ide transendent tetapi
ide transendental.
Kant secara khusus membedakan cara kerja pikiran manusia menjadi dua organ yaitu akal budi (Verstand) dan budi atau intellek (Vernunft).19
Akal budi berfungsi mengatur pengalaman inderawi untuk dijadikan
pengetahuan. Intelek bekerja untuk menciptakan sebuah kesatuan sistematis dari pengetahuan dan intelek tidak menghasilkan sebuah ide yang
merujuk pada obyek yang berada di luar pikiran manusia. Pembedaan
antara intelek dan akal budi bukanlah pembedaan fisiologis tetapi lebih
bersifat spekulatif filosofis. Ide transendental adalah “focus imaginarius”20
(baca: titik imajiner) yang diperlukan untuk menciptakan sebuah kesatuan akal budi. Ide transendental merupakan ide dalam ranah budi
dan oleh karenanya tidak memiliki referensi di dalam pengalaman inderawi. Ketiadaan referensi di dalam pengalaman inderawi, menjadikan tema
roh, dunia dan Tuhan bukan lagi sebagai sebuah obyek pengetahuan.
Persoalan dasar filsafat pengetahuan Kant adalah penyatuan
dikotomi antara subyek dan non subyek.21 Unsur non subyek yang diserap oleh subyek melalui pengalaman inderawi merupakan sebuah
stempel yang menegaskan eksistensi dari apa yang secara a priori melekat
pada subyek. Dalam bahasa Kant “sebuah konsep yang tidak dibarengi
dengan intuisi adalah kosong dan intuisi tanpa dilengkapi dengan kon19 Penerjemahan istilah Vernunft dan Verstand mengacu pada terjemahan dari Simon
P.L. Tjahjadi. Lih. Simon P.L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes
sampai Whitehead (Kanisius: Yogyakarta, 2007), hlm. 48.
20 KrV B 672.
21 Lih. Herbert Huber, “Kants Idealismus und dessen grundsätzliche Überwindung
durch Hegel,” Theologie und Philosophie 59 (1984), S. 39.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
77
sep adalah buta.”22 Konsep melekat pada subyek dan intuisi merupakan
data yang diserap dari unsur non subyek. Sebuah konsep yang tidak didukung dengan pengalaman inderawi yang diserap dari non subyek,
tidak memiliki landasan kuat untuk dinyatakan eksistensinya.
Tuhan sebagai yang mutlak (Absolut) adalah ide transendental yang
berfungsi untuk menciptakan kesatuan. Tuhan di dalam konteks theologia transendentalis sebagai sebuah pemikiran bukanlah sebuah menegaskan sebuah eksistensi. Yang mutlak hanyalah konsep “heuristik.”23 Konsep heuristik tidak menunjuk kepada eksistensi di luar subyek tetapi
menunjukkan fungsinya di dalam rangka menciptakan sebuah kesatuan
di dalam pengetahuan. Sifat heuristik sebuah konsep tidak memiliki
intensionalitas dengan sesuatu di luar pikiran manusia.
Padanan kata dari konsep heuristik adalah ide regulatif. Yang mutlak
sebagai ide transendental hanyalah sekedar ide regulatif bagi sebuah
pengetahuan. Ide regulatif dipahami dalam perbedaannya dengan ide
konstitutif Kant mengatakan bahwa “ide-ide transendental sama sekali
bukan ide yang digunakan secara konstitutif.” 24 Sebaliknya, ide-ide
transendental merupakan ide yang digunakan secara regulatif sebagai
“sebuah keharusan yang tidak terelakkan,”25 meskipun tidak memiliki
intensionalitas di luar pikiran manusia. Intelek tidak bertugas untuk
menata pengalaman inderawi tetapi menata akal budi demi terbentuknya sebuah kesatuan sistematis. Ide regulatif berfungsi untuk menciptakan kesatuan sistematis pengetahuan ini. Kesatuan sistematis dari ide
regulatif “hanya sekedar proyeksi.”26 Karena hanya sekedar proyeksi,
ide regulatif “harus dilihat sebagai sebuah persoalan”27 tanpa adanya
sebuah jawaban dan penegasan eksistensi. Ini merupakan sebuah penegasan dari dialektika ide Tuhan di dalam metafisika khusus.
22 KrV B 75.
23 Franz Schupp, Geschichte der Philosophie im Überblick, Bd.3: Neuzeit (Hamburg: Felix
Meiner, 2003), S. 349.
24 KrV B 672.
25 KrV B 672.
26 KrV B 675.
27 KrV B 675
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
78
Pembedaan antara ide regulatif dan ide konstitutif merupakan salah
satu kunci di dalam memahami filsafat Ketuhanan di dalam KrV. Kant
memisahkan antara “menalar” (Denken) dengan “mengetahui”
(Erkennen). 28 Dapat dikatakan bahwa Kant membedakan antara memikirkan dengan mengenal. Tuhan sebagai yang mutlak hanya dapat
dipikirkan atau dinalar tetapi tidak dapat dikenali atau diketahui. Yang
mutlak adalah ide transendental dan ini bukanlah obyek dari pengetahuan; yang mutlak hanya merupakan sebuah ide regulatif dan bukan ide
konstitutif; sebagai ide regulatif, yang mutlak bukanlah sebuah obyek
yang berada di luar pikiran manusia. Ide regulatif merupakan ide budi
sedangkan ide konstitutif merupakan ide akal budi. Ide budi (Vernunft)
tidak menunjukkan sama sekali referensi terhadap suatu obyek di luar
pikiran manusia. Ide budi tidak memiliki sifat “ostensif,”29 sedangkan
ide konstitutif berada di dalam ranah akal budi (Verstand) dan memiliki
sifat ostensif.
Pemisahan antara menalar dengan mengenal memiliki korelasi
dengan pembedaan antara ide regulatif dengan ide konstitutif. Ide regulatif merupakan sebuah ide yang hanya dapat dinalar atau dipikirkan
tetapi tidak dikenal atau tidak diketahui. Istilah mengenal atau mengetahui berkaitan langsung dengan persoalan eksistensi. Dalam skema
pemikiran Kant, sesuatu dapat dikenali atau diketahui jikalau sesuatu
itu memiliki eksistensi. Ide regulatif tidak memiliki intensionalitas terhadap eksistensi obyek di luar pikiran manusia. Sebaliknya, ide konstitutif
merupakan sebuah ide yang dilandasi pada pengenalan akan eksistensi.
Tuhan di dalam theologia transendentalis dipahami sebagai “Ideal.”30
Kant menggunakan istilah Ideal untuk menunjukkan semacam sebuah
28 Lih. Friedrich Kaulbach, Immanuel Kant (Berlin-New York: de Gruyter, 1982), S. 114.
29 Istilah ostensif merupakan kata serapan dari bahasa Latin. Kata ostendere dalam
bahasa Latin berarti menunjukkan atau mengacu. Secara harafiah ostensif berarti
bersifat menunjukkan. Franz Schupp menggunakan istilah ostensif sebagai antonim
dari istilah heuristik. Sifat ostensif dari sebuah ide, konsep atau proposisi menunjukkan
intensionalitas terhadap obyek di luar pikiran manusia. Sedangkan sifat heuristik
menunjukkan aspek penyelidikan akan sebuah kesatuan dan bukan aspek intensionalitas. Franz Schupp, Geschichte der Philosophie im Überblick, S. 349.
30 KrV B 596.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
79
hirarki di dalam budi (Vernunft). Secara umum, tema-tema di dalam
metafisika khusus berstatus sebagai ide. Kant secara khusus melabeli
ide Tuhan dengan istilah Ideal di dalam theologia transcendentalis untuk
membedakan dengan ide dalam ranah psychologia rationalis dan cosmologia rationalis. Ideal memiliki derajat abstraksi yang lebih tinggi dari
ide.31 Status Ideal hanya melekat pada Tuhan sedangkan roh dan dunia
hanya berstatus ide. Kant mendefinisikan Ideal sebagai ide yang “tidak
hanya semata-mata konkret tetapa ada di dalam sosok individu”32 yang
merupakan prototipe (Urbild) dan segala sesuatu merupakan turunan
atau citra dari prototipe (Nachbild). Sebagai prototipe, Ideal dilekati
dengan kesempurnaan dan sebuah kesempurnaan berakar dalam sosok
yang bersifat personal. Dengan menggunakan istilah Ideal, Kant
berusaha mengkaitkan dengan tradisi monotheistik Kristiani yang menempatkan Tuhan sebagai sosok personal.33 Kesempurnaan bukan hanya
sekadar prinsip tetapi terwujud dalam sosok personal yang menjadi
prototipe dari segala yang ada. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
ide merupakan prinsip sedangkan Ideal memiliki perwujudan yang bersifat personal. Kesempurnaan bukan hanya sekedar prinsip tetapi memiliki kongruensi di dalam sosok individu. Akar dari kesempurnaan
bukanlah prinsip tetapi individu atau sosok personal. Perlu digarisbawahi
bahwa Ideal bersifat transendental sehingga kongruensi antara ide
dengan Ideal tidak berimplikasi pada sebuah pernyataan eksistensi.
Kongruensi ini hanya bersifat “simbolis”34 di dalam pikiran manusia
tanpa ada intensionalitas dengan obyek di luar pikiran manusia. Kongruensi di dalam budi (Vernunft) tidak dapat dijadikan sebuah penegasan
eksistensi.
Kant mengkaitkan konsep Ideal dengan konsep Tuhan sebagai
“keseluruhan realitas”35 (omnitudo realitatis). Konsep omnitudo realitatis
31 Lih. KrV B 596.
32 KrV B 596.
33 Lih. Giovanni Sala, Kant und die Frage nach Gott (Berlin-New York: de Gruyter 1990),
S. 233.
34 Gerd Irrlitz, Kant Handbuch: Leben und Werk (Stuttgart: J.B, Metzler, 2010), S. 255.
35 KrV B 603.
80
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
merupakan warisan dari rasionalisme yang digunakan untuk menjelaskan ketentuan (Bestimmung) dari segala sesuatu dengan melandaskan
diri pada relasi yang bersifat negasi antara yang mutlak dengan yang
nisbi.36 Secara filosofis, genesis dari yang nisbi tidak dapat dilepaskan
dari yang mutlak. Yang nisbi merupakan negasi dari keseluruhan realitas
(omnitudo realitatis) yang termuat di dalam yang mutlak sebagai prototipe.
Pengaruh pemikiran Spinoza akan prinsip negasi yang melandasi ketentuan dari segala sesuatu.37 Ideal menjadi semacam substansi (substratum) yang memuat seluruh realitas. Segala kemungkinan predikat
termuat di dalam substansi ini. Predikat yang melekati segala sesuatu
yang tidak lain adalah turunan (derivatif) yang bersifat pembatasan
(Einschränkung) dari omnitudo realitatis yang melekat pada yang mutlak.
Yang nisbi tidak lain adalah negasi dari yang mutlak. Perlu digarisbawahi
bahwa negasi ini bersifat parsial. Ketentuan yang melakat pada yang
nisbi mewarisi sebagian dari ketentuan yang mutlak.
Pemahaman akan Tuhan sebagai Ideal Transendental tidak berimplikasi pada sebuah penegasan eksistensi. Kant tidak menolak pemikiran tentang Tuhan di dalam ranah teoretis. Bahkan, Kant memberikan sebuah landasan keternalaran (Denken). Kant tidak meragukan
keternalaran Tuhan. Akan tetapi keternalaran tidaklah cukup untuk
menegaskan eksistensi. Inilah yang menjadi salah satu pemikiran pokok
filsafat Ketuhanan dari Immanuel Kant. Dari uraian di atas tadi, terlihat
jelas pemisahan antara Ada (Sein) dan keternalaran (Denken) membebani
cara berpikir Kant. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan bukanlah konsekuensi logis dari filsafat Ketuhanan Immanuel Kant. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan ada, akan tetapi Kant membiarkan persoalan
eksistensi Tuhan mengambang.38 Mengapa persoalan eksistensi Tuhan
36 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft: Ontologischer Gottesbeweis und
rationalistische Philosophie (München: C.H. Beck, 2009), SS. 148-149.
37 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft, S. 148.
38 Lih. Friedo Ricken. “Von der Unentbehrlichkeit der transzendentalen Theologie:
Zum Ideal der reinen Vernunft“ in Kants Grundlegung einer kritischen Metaphysik: Eine
Einführung in die Kritik der reinen Vernunft, ed. Norbert Fischer (Hamburg: Felix
Meiner), S. 317.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
81
menjadi mengambang? Eksistensi Tuhan “tidak dapat dibuktikan, tetapi
juga tidak dapat difalsifikasi.” 39 Bagaimana Kant mengambangkan
persoalan eksistensi Tuhan dapat ditelusuri lebih dalam lagi di dalam
penolakan Kant terhadap pembuktian ontologis.
KRITIK KANT TERHADAP PEMBUKTIAN ONTOLOGIS
Pembuktian ontologis merupakan sebuah usaha untuk menunjukkan eksistensi Tuhan secara a priori. Pencetus pembuktian ontologis
adalah Anselmus dari Canterbury. Pelabelan ontologis pada model
pembuktian secara a priori tidak berasal dari Anselm, melainkan berasal
dari Immanuel Kant.40 Kritik Kant terhadap pembuktian ontolologis sebenarnya tidak ditujukan kepada Anselmus tetapi kepada Descartes.41
Sebelum menyoroti kritik Kant terhadap pembuktian ontologis versi
Descartes, penulis akan menjelaskan pembuktian ontologis versi
Anselmus sebagai prototipe dari pembuktian ontologis versi Descartes.
Rumusan awal dari pembuktian ontologis adalah “aliquid quo nihil
maius cogitari non possit.”42 Inilah adalah konsep Tuhan yang menjadi
landasan dari pembuktian ontologis. Di dalam bahasa Indonesia, rumusan ini dapat diterjemahkan “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak
dapat dipikirkan.”43 Tuhan adalah batas maximum dari pikiran manusia.
Argumen Anselmus didasarkan pada asumsi bahwa realitas (esse in re)
jauh lebih besar dari pikiran (esse in intelectu).44 Jikalau Tuhan adalah
yang terbesar tetapi hanya sebagai esse in intelectu, maka konsep yang
ditawarkan oleh Anselmus adalah sebuah kontradiksi. Oleh karena itu,
39 KrV B 669.
40 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft, S. 132.
41 KrV B 630.
42 Anselm von Canterbury, Proslogion, Latein-Deutsch Ausgabe, ed. Franciscus Salesius
Smitt (Stuttgart-Bad Cannstatt: Frommann 1962,), S. 84.
43 Terjemahan ini mengacu pada terjemahan dari Simon P. L. Tjahjadi. Simon P. L.
Tjahjadi, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead, hlm. 25.
44 “Et certe id quo maius nihil cogitari nequit, non potest esse soli in intellectu. Si enim vel in
solo intellectu est potest cogitari esse et in re; quod maius est.” Penekanan dari penulis.
Anselm von Canterbury, Proslogion, S. 84.
82
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
Tuhan adalah yang terbesar tidak hanya sebagai esse in intelectu, tetapi
juga esse in re. Dengan kata lain, konsep Tuhan sebagai yang terbesar
tidak mungkin jika tidak dibarengi dengan eksistensi sebagai sebuah
keharusan mutlak. Eksistensi merupakan sebuah keharusan mutlak (Notwendigkeit der Sache) dan ini tidak sekadar keharusan logis (Notwendigkeit
des Denkens) karena eksistensi merupakan bagian tidak terpisahkan dari
hakekat Tuhan.45 Dalam tradisi rasionalisme, sebuah konsep bukanlah
hasil rekaan (Vorstelung) pikiran manusia. Sebuah konsep selalu dilatarbelakangi sebuah penemuan (Vorfindung) akan substansi. Setiap konsep
memiliki intensionalitas terhadap sesuatu di luar pikiran. Ada adalah
horizon dari pikiran manusia. Dengan kata lain, manusia hanya dapar
berpikir tentang apa yang ada. Inilah dalil dasar dari rasionalisme. Oleh
karena itu, pembuktian model a priori yang ditawarkan oleh Anselmus
mudah diterima di kalangan rasionalisme.
Descartes merumuskan kembali pembuktian ontologis Anselm
dengan menelaah Tuhan sebagai “yang paling sempurna”46 (ens summe
perfectisimum) di hadapan manusia sebagai mahkluk yang tidak sempurna. Kesempurnaan merupakan sebuah asumsi yang mendahului
ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan bukanlah negasi total dari
kesempurnaan. Descartes menegaskan bahwa persinggungan dengan
sosok yang sempurna merupakan ide bawaan dan ini merupakan pengetahuan yang terang benderang. 47
Bagaimana Descartes membuktikan eksistensi Tuhan dengan menggunakan konsep ens summe perfectissimum? Descartes menekankan
bahwa eksistensi merupakan bagian tidak terpisahkan dari hakekat
Tuhan.48 Eksistensi sebagai ketentuan dari Tuhan merupakan sebuah
keharusan yang besifat mutlak. Jika konsep Tuhan sebagai ens summe
45 Lih. Josef Seifert, Erkenntnis des Vollkommenen: Wege der Vernunft zu Gott (Bonn: Lepanto,
2010), S. 184.
46 Johannes Hirschberger, Geschichte der Philosohie II: Neuzeit und Gegenwart, S. 95.
47 Lih. Wilhelm Weischedel, Der Gott der Philosophen: Grundlegung einer Philosophischen
Theologie im Zeitalter des Nihilismus (Berlin: Lambert Schneider, 2013), S.170.
48 Lih. Klaus Müller, Gottes Dasein Denken (Regensburg: Friedrich Pustet, 2001), S. 70.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
83
perfectissimum tidak dibarengi dengan eksistensi maka akan terjadi
sebuah kontradiksi. Eksistensi merupakan bagian tidak terpisahkan dari
sebuah kesempurnaan. Eksistensi bersifat analisis49 di dalam konsep ens
summe perfectissimum.
Kritik terhadap pembuktian ontologis biasanya lebih diarahkan
kepada kritik terhadap metode penyimpulan eksistensi secara analisis.
Gaunillo, seorang rahib yang hidup sezaman dengan Anselmus telah
mengungkapkan penolakannya terhadap model penyimpulan secara
analisis dari pembuktian ontologis.50 Thomas Aquinas juga mengkritik
metode pembuktian ontologis Anselmus. Thomas tidak menolak kesatuan analisis antara eksistensi dan hakikat Tuhan. Akan tetapi Thomas
hanya menolak kemungkinan persinggungan secara intuitif terhadap
hakekat Tuhan dengan menggunakan akal budi.51 Dalam pandangan
Thomas, akal budi tidak dapat mengenali secara intuitif hakikat Tuhan
tetapi hanya dapat mengenali Tuhan dari akibat yang ditimbulkan-Nya.
Oleh karena itu, pembuktian eksistensi Tuhan dalam pandangan Thomas
bukanlah pembuktian langsung (unmittelbar), tetapi pembuktian tidak
langsung (mittelbar) karena manusia hanya dapat bersinggungan langsung dengan akibat yang ditimbulkan oleh Tuhan dan bukan sumber
penyebabnya.
Dalam pandangan Kant, persoalan mendasar pada pembuktian
ontologis Descartes adalah penyimpulan eksistensi secara analisis dari
konsep Tuhan.52 Kant menolak penyimpulan eksistensi secara analisis
49 Istilah analisis dimaksudkan untuk menjelaskan keterkataitan antara subyek dan
predikat yang bersifat tautologis atau pengulangan karena secara a priori predikat
sudah terkandung di dalam subyek. Di dalam sebuah penyimpulan yang analisis
tidak ada hal baru yang didapatkan karena hasil kesimpulan sudah secara tersirat
termuat di dalam proposisi awal. Lih. KrV B 9-10.
50 Gaunillo menyindir Anselmus dengan mengungkapkan sebuah kesimpulan akan
keharusan keberadaan secara nyata sebuah pulau yang sempurna di suatu tempat
hanya berdasarkan atas keberadaannya secara konseptual di dalam pikiran. Lih.
Josef Seifert, Erkenntnis des Vollkommenen: Wege der Vernunft zu Gott, SS. 191-192.
51 Lih. Josef Seifert, Gott als Gottesbeweis: Eine phänomenologische Neubegründung des
ontologischen Arguments, (Heidelberg: Universitätverlag Winter, 2000), SS. 327-329.
52 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft, S. 153.
84
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
meskipun tidak menolak keternalaran atau kelogisan dari konsep Tuhan.
Sebenarnya, Kant menolak paham dasar rasionalisme yang menyatakan
bahwa status keternalaran sebagai ada (Sein). Pembuktian ontologis dibangun atas dasar ini. Bagi Kant, keternalaran hanya merupakan sebuah keharusan logis dan tidak serta merta merupakan sebuah keharusan mutlak. Dari keharusan logis tidak serta merta dapat disimpulkan
sebuah eksistensi. Pemisahan antara Sein dan Denken terlihat jelas di
sini, dan inilah perbedaan mendasar filsafat Kant dengan rasionalisme.
Kant menolak penyimpulan eksistensi secara konseptual analisis dan
Kant mengajukan tesis bahwa “Sein jelas-jelas bukanlah predikat real.”53
Untuk memahami tesis Kant ini, terlebih dahulu harus diperjelas arti
dari kata real dalam pemahaman Kant. Menurut Martin Heidegger, istilah real yang digunakan oleh Kant tidak ekuivalen dengan istilah nyata
(wirklich) atau aktual, tetapi lebih berarti substansialitas (Sachhaltigkeit)
yang terkandung di dalam sebuah subyek.54 Dalam bahasa Skolastik,
istilah real ekuivalen dengan keapaan (quiditas). Pemahaman Kant lebih
dekat dekat pemahaman skolastik. Predikat real adalah predikat yang
konstitutif bagi keaapaan sebuah subyek dan karenanya subyek tersebut
berbeda dengan subyek yang lain.55 Predikat real adalah ketentuan yang
konstitutif terhadap keapaan dari sebuah subyek. Dengan kata lain, predikat real adalah ketentuan yang intrinsik semacam property atau atribut
dari keapaan sebuah subyek. Eksistensi tidak dapat diperlakukan sebagai
sebuah atribut yang melekat di dalam sebuah subyek dan oleh karenanya
eksistensi tidak dapat disimpulkan secara konseptual analisis. Penolakan
terhadap penyimpulan eksistensi secara konseptual analisis merupakan
kritik terhadap premis dasar dari pembuktian ontologis.56 Kesahihan
53 KrV B 626. Penekanan yang ditulis italic berasal dari penulis.
54 Martin Heidegger, Kants These über das Sein (Frankfurt am Main: Vittorio
Klostermann, 1963), S. 10.
55 Lih. Marco Giovanelli, Reality and Negation– Kant‘s Principle of Anticipation of Perception:
An Investigation of its Impact on the Post-Kantiane Debate (Dordrecht-Heidelberg-LondonNew York: Springer 2010), p. 22.
56 Lih. Dieter Henrich, Der ontologische Gottesbeweis (Tübingen: J.C.B. Mohr, 1960), S.
142.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
85
penyimpulan eksistensi analisis hanya dimungkinkan jika eksistensi
sudah secara a priori tercakup dalam hakekat Tuhan. Eksistensi sebagai
sebuah kententuan bukanlah aspek formal tetapi aspek material dari
sebuah pengetahuan. Karena bukan aspek formal, eksistensi tidak dapat
dibuktikan secara konseptual. Konsep yang dihasilkan oleh nalar
merupakan bagian dari ranah formal. Keternalaran tidak dapat dijadikan sebuah landasan untuk menegasan eksistensi karena keternalaran
berada di dalam ranah formal dan bukan ranah material. Keternalaran
konsep ens realissimum dan ens necessarium tidak dapat dijadikan pembuktian eksistensi.
Eksistensi bukanlah persoalan isi (intention) yang terkandung di
dalam sebuah konsep.57 Eksistensi tidak menambah sedikitpun terhadap
isi sebuah konsep. Kant menggunakan perbandingan antara uang seratus
taler58 yang ada secara nyata dan yang ada sebagai sebuah possibilitas
(baca: dalam pikiran): “Dengan demikian, kenyataan sama sekali tidak
melebihi dari apa yang hanya sekedar sebuah posibilitas. Kenyatan uang
seratus taler sedikitpun tidak melebihi possibilitas uang seratus taler.”59
Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap asumsi dasar pembuktian
ontologis. Keharusan eksistensi Tuhan disimpulkan karena kenyatan (esse
in re) adalah lebih besar dari apa yang dipikirkan (esse in intellectu). Bagi
Kant, eksistensi tidak menambah sedikitpun terhadap isi sebuah konsep.
Dengan kata lain esse in re bernilai sama dengan esse in intellectu.
Bagaimana Kant merumuskan kesahihan penyimpulan eksistensi?
Eksistensi tidak dapat disimpulkan secara analisis a priori, tetapi disimpulkan secara sintesis60: “Obyek sebagai sebuah kenyataan sama sekali
tidak termuat secara analisis di dalam sebuah konsep, tetapi melengkapi
57 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft, S. 157.
58 Taler adalah uang logam yang terbuah dari perak. Uang logam ini digunakan sebagai
alat pembayaran di Jerman dari abad 15 sampai abad 19.
59 KrV B 627.
60 Penyimpulan sintesis merupakan penyimpulan yang menambahkan hal baru. Di
dalam relasi antara subyek dan presikat, sifat sintesis muncul seandainya predikat
tidak termuat secara a priori di dalam sebuah subyek. Relasi sintesis tidak bersifat
tautologis dan biasanya bersifat a posteriori. Lih. KrV B 9- 11.
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
86
secara sintesis, tanpa harus mengatakan bahwa seratus taler yang dipikirkan tidak sedikitpun bertambah ketika menjadi Sein di luar konsep.”61 Eksistensi adalah sebuah ketentuan yang tidak termuat secara
konseptual analisis di dalam sebuah subyek, tetapi berasal dari luar
subyek dan eksistensi tidak menambah sedikitpun isi atau substansialitas
subyek. Eksistensi bukanlah ketentuan intrinsik di dalam subyek.
Selain menuntut penyimpulan secara sintesis, Kant juga mengajukan ketentuan penyimpulan secara a posteriori:
Aku berpikir akan sosok yang merupakan realitas tertinggi (tanpa cela),
tetaplah selalu muncul pertanyaan, apakah sosok tersebut ada atau
tidak. Karena meskipun di dalam konsep termuat segala posibilitas isi
yang melekati subyek tanpa cela sedikitpun, tetaplah ada yang kurang...
yaitu bahwa pengetahua akan obyek juga harus dimungkinkan secara
a posteriori.62
Eksistensi adalah penyimpulan yang harus dapat ditegaskan secara
a posteriori. Tampaknya penyimpulan secara sintesis a posteriori menyiratkan nuansa empiris. Menganggap Kant terjatuh ke dalam empirisme adalah sebuah pandangan yang tidak tepat. Perlu diingat bahwa
Kant mengadopsi secara parsial baik paham dasar empirisme maupun
rasionalisme di dalam filsafat transendental. Kriteria sintesis a posteriori
hanya merupakan salah satu prasyarat dari pernyataan eksistensi. Sayang
sekali, Kant tidak memberikan penjelasan yang memadai pada bagian
ini. Dengan memasukkan kriteria sintesis a posteriori sebagai salah satu
kriteria sebuah pernyataan eksistensi, Kant hanya ingin menegaskan
penolakannya kepada model penyimpulan analisis a priori.63 Kant hanya
menyinggung secara singkat bahwa eksistensi juga harus dapat ditegaskan secara a posteriori dari pengalaman inderawi.
Ketiadaan intuisi yang bersifat inderawi berimplikasi pada ketidakmungkinan penyimpulan secara sintesis a posteriori. Eksistensi bukanlah
61 KrV B 627.
62 KrV B 628.
63 Lih. Wolfgang Röd, Der Gott der reinen Vernunft, S. 154.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
87
predikat yang dapat disimpulkan secara analisis dari konsep Tuhan.
Dengan demikian, konsep hanya sekedar rekaan (Vorstellung) yang
diciptakan oleh pikiran dan aktualitas dari konsep bukanlah sebuah
keharusan mutlak. Putusan akan eksistensi akhirnya harus memenuhi
aspek material yang disediakan oleh pengalaman inderawi. Karena
ketiadaan aspek material, Kant tidak memberi penegasan terhadap eksistensi Tuhan. Kant mengambangkan putusan akan eksistensi Tuhan.
PENUTUP
Filsafat transendental menjadikan hubungan antara keternalaran
dan ada menjadi renggang. Bahkan pemahaman akan ada mengalami
penyempitan jika harus memasukkan unsur material yang disediakan
oleh pengalaman inderawi. Di dalam Kritik Kant terhadap pembuktian
ontologis terlihat jelas dikotomi antara ada dan keternalaran. Inilah yang
menjadi dasar dari penulis untuk mengatakan bahwa profile filsafat
transendental menjadi transparan di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Filsafat transendental mengadopsi secara parsial baik
paham dasar rasionalisme maupun empirime. Dikotomi antara ada dan
keternalaran dipicu oleh pengadopsian secara parsial paham dasar rasionalisme dan empirisme. Dikotomi antara ada dan keternalaran sebenarnya juga membebani filsafat Ketuhanan Kant di dalam ranah praktis.
Dikotomi ini juga akhirnya berujung pada pengambangan putusan
eksistensi di dalam filsafat praktis. Di dalam tulisan ini penulis hanya
membatasi pembahasan pada filsafat teoretis.
Bagi Kant, ketersediaan pengalaman inderawi merupakan unsur
material dalam sebuah pengetahuan. Tanpa adanya unsur material, hasil
dari tindakan berpikir bukanlah sebuah pengetahuan tetapi hanya sebuah ide regulatif yang tidak mengharuskan sebuah kepastian eksistensi.
Dalam filsafat teoritis, Kant memperlakukan Tuhan bukan sebagai obyek
yang berada di luar pikiran manusia, tetapi hanya sebagai sebuah ide
regulatif yang secara fungsional dibutuhkan oleh nalar untuk menciptakan sebuah kesatuan total dari pengetahuan. Oleh karena itu, konsep
Tuhan hanya sekedar konsep heuristik. Dengan kata lain, sebagai sebuah
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
88
konsep Tuhan tidak memiliki intensionalitas di luar pikiran manusia.
Model pemikiran Kant berbeda dengan alam pemikiran Yunani. Dalam
alam pemikiran Yunani, pikiran (noein) tidak sekadar hanya merekareka (vorstellen), tetapi secara intuitif terarah kepada obyek (Gegenstand)
yang berada di luar subyek. Memang ada faktor intuisi seperti halya
pemikiran Kant di dalam sebuah pengetahuan. Akan tetapi, intuisi di
dalam pemikiran Yunani tidak bersifat inderawi. Berpikir bukanlah
hanya sekedar proses mental yang tertutup di dalam diri subyek dan
bagi filsuf Yunani tindakan berpikir bersifat intentional.64 Oleh karena
itu, konsep bukanlah semata-mata produk pikiran tetapi secara a priori
memiliki intensionalitas. Model pendekatan secara dikotomis yang
ditawarkan oleh Kant menghilangkan sifat intensionalitas dari konsep.
Dalam ranah teoretis, status Tuhan adalah transendental dan bukan
transenden. Implikasi dari perubahan status ini adalah bahwa Tuhan
tidak lagi merupakan sebuah substansi yang berada di luar pikiran
manusia. Tuhan hanya sekadar ide regulatif yang dikontstruksikan atau
diproyeksikan oleh akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan akan
kesatuan sebuah pengetahuan. Konsep Tuhan dimunculkan oleh nalar
untuk memenuhi kebutuhan mutlak akan kesatuan pengetahuan. Di
satu sisi, pendasaran rasionalitas akan konsep Tuhan adalah hal yang
patut diterima dengan tangan terbuka. Akan tetapi, pengaburan penegasan akan eksistensi Tuhan, meninggalkan sebuah persoalan terutama
bagi teologi.
DAFTAR RUJUKAN
von Canterbury, Anselm. Proslogion (edisi Latin-Jerman). Ed. Franciscus
Salesius Smitt. Stutgart-Bad Cannstatt: Frommann, 1962.
Gabriel, Gottfried. Grundprobleme der Erkenntnistheorie: Vom Descartes
zu Wittgenstein Paderborn: Schöningh, 2008.
64 Lih. Wolfgang Schadewaldt, Die Anfang der Philosophie bei den Griechen: Die
Vorsokratischer und ihre Vorausetzungen (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1978), S. 320.
DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016: 69-90
89
Giovanelli, Marco. Reality and Negation – Kant‘s Principle of Anticipation
of Perception: An Investigation of its Impact on the Post-Kantian Debate.
Dordrecht-Heidelberg-London-NewYork: Springer, 2010.
Heidegger, Martin. Kants These über das Sein. Frankfurt am Main: Vittorio
Klostermann, 1963.
Heinrich, Dieter. Der ontologische Gottesbeweis. Tübingen: J.C.B. Mohr,
1960.
Hirschberger, Johannes. Geschichte der Philosohie II: Neuzeit und
Gegenwart. Freiburg: Herder, 1952.
Höffe, Otfried. Kants Kritik der reinen Vernunft: Die Grundlegung der
modernen Philosophie, München: C.H. Beck, 2011.
Huber, Herbert. “Kants Idealismus und dessen grundsätzliche
Überwindung durch Hegel,” Theologie und Philosophie 59 (1984):
39-65.
Irrlitz, Gerd. Kant Handbuch: Leben und Werke. Stuttgart: J.B. Metzler,
2010.
Jasper, Karl. Die großen Philosophen. München & Zürich: Piper, 2012.
Kant, Immanuel. Werke in zehn Bänden: Kritik der reinen Vernunft (Band
III & IV). Ed. Wilhelm Weischedel. Darmstadt: Wissenschaftliche
Buchgesellschaft, 1983.
Kaulbach, Friedrich. Immanuel Kant. Berlin-New York: de Gruyter, 1982.
Müller, Klaus. Gottes Dasein Denken. Regensburg: Friedrich Pustet, 2001.
Ricken, Friedo. “Von der Unentbehrlichkeit der transzendentalen
Theologie: Zum Ideal der reinen Vernunft.” In Kants Grundlegung
einer kritischen Metaphysik: Eine Einführung in die Kritik der reinen
Vernunft. Ed. Norbert Fischer. Hamburg: Felix Meiner, 2010.
Röd, Wolfgang. Der Gott der reinen Vernunft: Ontologischer Gottesbeweis
und rationalistische Philosophie. München: C.H. Beck, 2009.
Sala, Giovanni B. “Die Gottesfrage in den Schriften Kants.” Zeitschrift
der katholische Theologie 123 (2001): 143-171.
__________.Kant und die Frage nach Gott. Berlin-New York: de Gruyter,
1990.
Schadewaldt, Wolfgang. Der Anfang der Philosophie bei den Griechen: Die
Vorsokratischer und ihre Vorausetzungen. Frankfurt am Main:
Suhrkamp, 1978.
90
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant (Martinus Ariya Seta)
Schupp, Franz. Geschichte der Philosophie im Überblick, Bd.3: Neuzeit.
Hamburg: Felix Meiner, 2003.
Seidl, Horst. Sein und Bewusstsein: Erörterungen zur Erkenntnislehre und
Metaphysik in einer Gegenüberstellung von Aristoteles und Kant.
Hildesheim-Zürich-New York: 2001.
Seifert, Josef. Erkenntnis des Vollkommenen: Wege der Vernunft zu Gott.
Bonn: Lepanto, 2010.
__________. Gott als Gottesbeweis: Eine phänomenologische Neubegründung
des ontologischen Arguments. Heidelberg: Universitätverlag Winter,
2000.
Tjahjadi, Simon P.L. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai
Whitehead. Kanisius: Yogyakarta, 2007.
Weischedel, Wilhelm. Der Gott der Philosophen: Grundlegung einer
Philosophischen Theologie im Zeitalter des Nihilismus. Berlin: Lambert
Schneider, 2013.
Download