i PROSIDING SEMINAR NASIONAL “PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH ABAD 21” Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang Editor : Aris Aryanto Rochimansyah Herlina Setyowati Penyunting : Aris Aryanto Rochimansyah Herlina Setyowati ISBN: 978-602-8580-71-7 Diterbitkan Oleh : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo Alamat : jalan K.H.A. Dahlan No 3 dan 6 Telp/Fax (0275) 321494 Purworejo 54111 Website: Digilib.umpwr.ac.id ii KATA PENGANTAR Wilayah budaya nusantara yang sarat dengan citra budaya timur yang halus, beranekaragam, tinggi, dan adi luhung akhir-akhir ini kembali dipertanyakan. Deret panjang rekaman berbagai konflik sosial, krisis ekonomi, dan dekadensi moral yang teramalkan berujung pada kekacauan, kehancuran, pemusnahan, dan pengasingan manusia oleh dirinya sendiri berdampak pada keraguan dan bahkan rasa tidak percaya lagi pada kekuatan budayanya sendiri. Hal ini disebabkan tidak adanya ―pengawalan budaya‖ yang bersifat akulturasi selektif terhadap budaya asing yang masuk. Bisa dibayangkan, tanpa adanya dukungan dari masyarakat budaya menjadi lemah tanpa sandaran. Terkuburnya sebuah kebudayaan sama artinya dengan runtuhnya peradaban dan nilai. Sang Maestro seniman Jawa, Nartosabdo melalui syair ‗Aja Dipleroki‖ telah memberikan wejangan bahwa ―…Jangan kau tinggalkan kepribadian asli budaya dan tradisimu (yang baik & relevan), jangan sampai kita lalai dengan ombak zaman – inilah budaya kita…‖. Seminar Nasional dengan tema ― Pembelajaran Bahasa Daerah Abad 21‖ adalah event yang menjadi petanda semakin kuatnya kesadaran bersama akan pentingnya budaya nusantara terutama dalam hal ini adalah bahasa daerah sebagai fokus pembahasan. Selain itu, memberikan ruang diskusi kepada guru, dosen, mahasiswa, pemerhati pendidikan, pemerhati budaya, dan masyarakat umum yang konsen terhadap perkembangan bahasa daerah dan dapat menggali kearifan lokal unggulan sebagai sumber dan pilar pemerkokoh jati diri bangsa Indonesia. Disadari bersama bahwa masa lalu adalah sebuah dimensi. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk memperbaiki masa depan yang lebih baik. Kembali kepada akar budaya bangsa tanpa menafikan tema-tema, pemikiran, selera, identitas, karya, dan cita rasa modern. Seminar nasional ini menampilkan tiga pembicara utama, yaitu : Prof. Dr. Sudiro Satoto, M.Hum ( Guru Besar Emiritus pada Program Pascasarjana UNS Surakarta dan Dosen Tetap pada Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten), Prof. Dr. H. Suwarna, M.Pd. (Guru Besar Prodi Pendidikan bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni UNY Yogyakarta), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, yaitu Drs. Sutopo, M.Pd. Seminar Nasional ini diharapkan mampu menjadi awal yang baik dan memberi dasar yang kuat akan lahirnya pemikiran-pemikiran kritis terkait dengan bentuk, arah, dan pembelajaran bahasa daerah masa depan. Tentu saja tidak semua masalah mampu dihadirkan, apalagi diselesaikan pada tahap mula ini. Oleh karena itu, event ini bersifat berkelanjutan dengan tetap iii menjunjung tinggi cita-cita, semangat, dan tujuan kegiatan. Berdasar pemikiran ―kebesaran suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai budayanya‖. Purworejo, 12 Mei 2015 Panitia Pelaksana iv DAFTAR ISI Kata Pengantar Pembelajaran ―Budi pekerti‖ dalam Kerangka Pendidikan Karakter berbasis Kearifan Lokal Soediro satoto ̴ 1 Nilai-Nilai Moral yang Terkandung dalam Cerita Ramayana Joko Sukoyo ̴ 18 Penilaian Autentik Kompetensi Berbahasa Aktif Produktif (Berbicara dan Menulis) Astiana Ajeng Rahadini ̴ 24 Penggunaan Aplikasi Android ―Aplikasi Wayang Kulit V2‖ sebagai Sarana Pembelajaran Wayang Kulit dalam Kurikulum 2013 Krisna Pebryawan, S.S., M.Pd. ̴ 37 Tema dan Pragmatika Budi Pekerti Jawa dalam Novel-Novel Jawa Modern Periode 1950-2000an Djoko Sulaksono ̴ 49 Perbedaan Tataran Leksikal dan Peta Dialektometri Bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum ̴ 61 Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Masyarakat Jawa yang Berbentuk Mitos Favorita Kurwidaria, S.S.,M.Hum ̴ 71 Makna Simbolik Tari bedhaya ketawang Keraton Kasunanan Surakarta Sebagai Nilai Pendidikan Karakter Bagi Masyarakat Jawa Sawitri, S.Sn., M.Hum. ̴ 81 Flash Cards Berbahasa Jawa sebagai Strategi Pengayaan Kosakata Pada Anak Kenfitria Diah Wijayanti ̴ 94 Syi‘ir Tanpa Waton : Potret Pemertahanan bahasa Jawa sebagai Refleksi Pendidikan Moral Harsono S.S., M.Hum. ̴ 103 Filsafat Analitik dan Konstruktivistik dalam Pembelajaran Bahasa Jawa Rahmat, S.S., M.A. ̴ 116 Quantum Learning dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama dan Krama Inggil Tri Widiatmi ̴ 128 Keindahan Bahasa Berupa Tembung Garba pada Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagara IV Herlina Setyowati, M.Pd. ̴ 141 v Pengajaran Puisi Jawa di Sekolah dalam Meredam Kenakalan Remaja Nurnaningsih, S.S., M.Hum. ̴ 156 Pengembangan Model pembelajaran Berbicara Bahasa Jawa melalui Strategi Pemrosesan Informasi Sosial Yuli Widiyono, M, Pd. ̴ 164 Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional (Suatu Implementasi dalam Pembelajaran Bahasa) Sri Endang Kusmarayati ̴ 183 vi PEMBELAJARAN “BUDI PEKERTI” DALAM KERANGKA PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL Soediro Satoto Universitas Sebelas Maret Surakarta I. Pendahuluan I.1 Keluarga adalah Sekolah Pertama dan Utama dalam Pendidikan Di satu sisi, hakikat setiap manusia, di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial (homo socious), berperan saling menularkan ilmu pengetahuan, antara yang satu dengan lainnya. Di sisi lain, manusia juga sebagai pemimpin atau pendidik (homo ducere). Maka pada dasarnya, minat untuk belajar bagi setiap manusia, proses pendidikan, sudah tertanam sejak manusia lahir di dunia. Sepasang suami istri (bagi manusia), dan bahkan sepasang jantan dan betina (bagi binatang) secara naluriah akan mendidik kepribadian anak-anak mereka sesuai dengan apa yang dianggapnya baik (termasuk penggunaan Bahasa dan Budaya Ibu/Daerah/Lokal) maka harus diteladani dan dilakukan; atau sebaliknya, apa yang dianggapnya tidak baik (termasuk penggunaan Bahasa dan Budaya Ibu/Daerah/Lokal), maka harus dihindari dan dilarang untuk melakukannya. Itulah sebabnya, sejak dulu hingga sekarang, yang paling besar peranannya dalam pendidikan adalah pendidikan orang tua di dalam keluarga inti, khususnya Ayah dan Ibu. Tri Pusat Pendidikan, pertama, pendidikan di dalam keluarga, kedua, di sekolah, dan ketiga, di lingkungan masyarakat. Berbagai penyimpangan moral dan karakter manusia, khususnya generasi muda, yang terjadi di dalam masyarakat, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya, diakibatkan oleh putusnya rantai komunikasi dalam sistem kekeluargaan ini. Akibatnya, tiadanya contoh keteladanan, baik dari Ayah maupun Ibu, baik sebagai teladan (khusnya dalam menggunakan Bahasa Ibu dan budaya daerah/lokal) atau pun sebagai pemimpin. Keluarga adalah tempat sekolah pertama dan utama untuk membentuk manusia bermoral dan berkarakter. Waktu yang digunakan untuk proses pendidikan, di dalam keluarga sebanyak 70 %, sedangkan proses pendidikan di sekolah 30 %. Ironinya, proses 1 pendidikan di dalam keluarga sebanyak 70 % tersebut kurang dimanfaatkan secara baik, apa lagi optimal. Keluarga, umumnya, lebih menyerahkan dan mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada lembaga sekolah. Ini tentu merupakan pandangan yang keliru. Maka, jika sistem dan pengelolaan pendidikan di sekolah mengalami hambatan atau mutu luarannya kurang atau bahkan tidak sesuai dengan harapan, lalu siapa yang harus dipersalahkan, atau siapa pula yang paling bertanggung jawab? Kenyataan demikian, faktor-faktor penyebabnya antara lain, di satu sisi pihak keluarga kurang berpengalaman dalam sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan serta proses pembelajaran, maka kurang atau tidak percaya diri. Di sisi lain, pemerintah lebih nyaman merekrut keluaran hasil pendidikan formal dari sekolah daripada keluaran hasil pendidikan nonformal atau informal dari keluarga. I.2 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Nasional Pendidikan Nasional kita telah menempatkan ‗Pendidikan Karakter‘ dalam keseluruhan kebijakan pendidikan nasional. Itu bisa dilihat, dibaca, dan coba dipahami maknanya, baik apa yang tersurat maupun tersirat dalam Sejarah Kurikulum Nasional di Indonesia. Sayangnya, pembentukan karakter anak-anak bangsa ini seringkali dipahami secara sempit, parsial, dan malahan direduksi begitu saja dengan menciptakan mata pelajaran baru atau khusus, misalnya mata pelajaran ―Pendidikan Budi Pekerti‖ (tahun 1960-an). Pada masa Orde Baru, ‗Pendidikan Karakter‘ diwujudkan secara eksplisit ke dalam Program Pendidikan Sistematis dalam Kegiatan Resmi penataran ―Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila‖ (P4). Di Era Orde Baru pula, lahir mata pelajaran ―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP) – PMP mencoba mendiseminasikan (disseminate, dissemination = penjabaran, penebaran, penaburan) atau menanamkan ke dalam diri anak didik sebagai warga negara dan bangsa yang baik. Pancasila dan UUD 45 menjadi dasar berdirinya NKRI. Maka wajarlah jika setiap warga negara dan bangsa di NKRI wajib memahami dasar-dasar penting buat kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara lewat ―Pendidikan Kewarganegaraan‖ melalui mata pelajaran ―PMP‖. Ketika Era Orde Baru berakhir, mata pelajaran ―PMP‖ diganti dengan mengubah nama (meskipun isinya hampir sama) menjadi mata pelajaran ―Pendidikan Kewarganegaraan‖. ―Pendidikan Moral 2 Pancasila‖ (PMP), dalam ‗proses pengajarannya‘(bukan ‗pembelajarannya‘) dipandang terlalu ekstrim sehingga terkesan menjadi ‗indoktrinasi‘, juga terkesan ‗sangat moralis‘. Dalam proses perkembangan dan pengembangannya, setelah ‗pendidikan karakter‘ diwujudkan ke dalam satu jenis mata pelajaran seperti, ―Pendidikan Budi Pekerti‖, ―Pendidikan Kewarganegaraan‖ dan atau ―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP),“Civic”, ―Agama‖, ―Etika‖ atau ―Sopan-Santun‖, maka, kemudian, lahirlah pendidikan karakter yang terdiri dari pengelompokan mata pelajaran–mata pelajaran tertentu, misalnya: ―(Perbandingan) Agama‖; ―Kewarganegaraan (Berbangsa dan Bernegara)‖; ―Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa‖ (PSPB); ―Pendidikan Jasmani dan Kesehatan‖ (Penjaskes), ―Pendidikan Seni dan Budaya‖; serta ―Bahasa‖ dan ―Sastra‖. Namun, apa pun pemahamannya, ‗pendidikan karakter‘ tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah Kurikulum Pendidikan Nasional kita. Selanjutnya, kemudian, Sekolah tidak perlu lagi: (1) menentukan mata pelajaran khusus tentang ‗pendidikan karakter‘, seperti ―Pendidikan Budi Pekerti‖ dan ―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP); (2) membuat mata pelajaran baru dari hasil pengelompokan mata pelajaran-mata pelajaran yang mengandung nilai-nilai karakter, seperti ―Penjaskes‖ dan ―PSPB‖. Karena tema tentang ‗pendidikan karakter‘, sesungguhnya, telah terdapat, baik tersurat maupun tersirat, di dalam materi setiap mata pelajaran. Materi pendidikan karakter perlu dimasukkan ke dalam semua (setidaknya di berbagai) materi pembelajaran yang ada di sekolah dasar, menengah dan atas, atau sebagai mata kuliah di perguruan tinggi, yang pelaksanaannya dilakukan secara terintegrasi. Pendidikan karakter sebagai proses pembentukan karakter bangsa yang sejati diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki moralitas tinggi, cerdas, dinamis, dan mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada. Maka setiap guru haruslah mampu memahami dan menjabarkannya, kemudian mengimplementasikan ke dalam praktik ‗proses pembelajaran‘ (proses belajarmengajar) yang berbasis pada ‗pendidikan karakter‘. Dalam proses pengembangan dan perkembangannya, ‗pendidikan karakter‘ di Indonesia, belum berhasil mencapai tujuan seperti apa yang diharapkan. Yang terjadi justru terkesan adanya krisis pendidikan dan krisis moral. Itu terjadi bermula justru pada Era Reformasi. Itulah pula, agaknya, mengapa 3 ―Hari Pendidikan Nasional‖ tanggal 02 Mei 2015, tahun ini, kembali mengambil tema ―Pembentukan Generasi yang Berkarakter‖ – ―Pendidikan Karakter buat Generasi Penerus‖ – tema yang sudah berulang kali digaungkan oleh Kemendikbud RI, setidaknya, sejak peringatan ―Hardiknas‖ tahun 2011 – terkesan, telah terjadi „generating lost‟ (‗generasi yang hilang‘). 1.3 Pendidikan Karakter Berbasis Seni dan Budaya (Kearifan Lokal) Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai budaya secara nyata kepada peserta didik yang meliputi: komponen pengetahuan (cognitive), kesadaran, kemauan (affective), dan tindakan untuk melaksanakan (psychomotoric) nilai-nilai tersebut secara sadar tanpa paksaan dari orang lain, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, teman sejawat, lingkungan sekitar, maupun anggota masyarakat agar menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang mampu bersaing di pasar global (di era globalisasi dan modernisasi). ‗Pendidikan karakter berbasis seni dan budaya‘ (budaya lokal, kearifan lokal, local genius) dimaksudkan agar peserta didik mampu menggali nilai-nilai seni dan budaya (terutama budaya lokal) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakatnya secara utuh (unifiedhole), tidak terkoyak-koyak. Tujuannya, para peserta didik memiliki pemahaman tentang: (1) keberadaan seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat secara utuh; (2) bagaimana memahami seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat secara nyata; dan (3) bagaimana menghormati nilai-nilai seni dan budaya yang tumbuh di masyarakat. Ketiga hal tersebut perlu dipahami oleh para peserta didik sejak dini agar tumbuh rasa kebangsaan yang dijiwai oleh keragaman seni dan budaya. Memahami karakter, seni, dan budaya dari masing-masing etnis (lokal) menjadi penting arti dan maknanya, serta perlu dilakukan oleh setiap peserta didik, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah, atas, dan perguruan tinggi. Tujuannya, agar setiap diri peserta didik tumbuh sikap dan rasa saling menghormati, saling menghargai, saling mencintai, dan saling bisa menerima perbedaan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat. Kesemuanya akan bisa terlaksana dengan baik manakala sejak dini peserta didik sudah 4 diperkenalkan pada: keaneragaman seni, budaya (termasuk bahasa), dan karakter yang dianut oleh masyarakat, dan sistem sosial yang ada di lingkungan masyarakat. Perbedaan penafsiran dan pandangan yang dimiliki oleh masyarakat dari berbagai komunitas yang berbeda, dapat dipersatukan oleh kegiatan seni dan budaya. Artinya, dalam konteks seni dan budaya masyarakat tidak dipisahkan oleh ruang dan waktu. Bahkan, melalui jalur seni dan budaya, manusia akan saling berinteraksi simbolisme dan berkomunikasi dua arah, atau bahkan multi arah, mengenai: identitas, karakter, pencitraan, tradisi, sistem keyakinan, kepercayaan, dan keagamaan, dan jangan lupa Sistem Bahasa, maupun sistem sosialnya – Masyarakat Indonesia yang majemuk, multi etnik, multi bahasa, multi religiusitas, dan multi kultural (budaya) hanya bisa disatukan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri melalui pemahaman, penghayatan, dan pengenalan bentuk-bentuk seni dan budaya yang dimiliki oleh setiap etnik yang bersangkutan. Proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan oleh setiap anggota masyarakat, merupakan titik temu dari berbagai perbedaan yang dimilikinya; sehingga tumbuh kemauan untuk saling memahami, saling menghargai, saling menghormati, dan saling menerima perbedaan; yang pada gilirannya, adanya upaya untuk saling menjaga dan melestarikan nilainilai seni dan budaya, yang diwujudkan ke dalam bentuk penanaman nilai-nilai seni dan budaya di tengah kehidupan masyarakat yang heterogen. Kehidupan masyarakat heterogen memiliki potensi konflik sangat besar. Anggota masyarakat heterogen perlu diberikan pemahaman lebih dini bahwa ‗perbedaan‘ dan karenanya, keanekaragaman seni dan budaya, yang dimiliki itu adalah sebuah keniscayaan. Tetapi, justru merupakan modal untuk membangun masyarakat madani dengan menjunjung tinggi nilai-nilai seni dan budaya bangsa. Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter yang berbasis seni dan budaya (termasuk budaya lokal) yang dimaksud di atas adalah: 1) penanaman nilai kejujuran pada peserta didik sejak dini, 2) penanaman rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diemban oleh setiap peserta didik, 3) penanaman nilai solidaritas kepada sesama sebagai makhluk sosial kepada peserta didik, 4) pengenalan nilai-nilai seni dan budaya masyarakat lainnya sejak dini kepada peserta didik, dan 5 5) penanaman rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. Pengenalan pendidikan karakter berbasis seni dan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat dilakukan, misalnya, melalui: (1) pementasan berbagai jenis tari-tarian daerah, (2) pementasan dan atau menyanyikan berbagai musik atau lagu-lagu daerah, (3) pementasan teater-teater daerah, (4) menonton serial-serial sinetron yang bersumber dari sastra-sastra lisan atau ceriteraceritera daerah, (5) mengenal berbagai jenis pakaian daerah. Tujuannya, agar para peserta didik mengetahui dan memahami secara utuh tentang keanekaragaman seni dan budaya yang ada, bisa dan mau menerima serta menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan masyarakatnya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, hendaknya melibatkan semua komponen (pelibat) penyelenggara pendidikan yang ada, seperti: kepala sekolah, tenaga pendidik (edukatif), peserta (subjek) didik, tenaga (pegawai/petugas) administrasi, tenaga (pegawai/pertugas) teknik, masyarakat, dan pemerintah agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan karakter dan seni budaya masyarakat di sekitar sekolah yang bersangkutan. Selain komponen-komponen yang merupakan unsur-unsur organik di atas, yang juga perlu diperhatikan adalah faktor-faktor penunjang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan karakter seperti: prasarana dan sarana pembelajaran, kurikulum, silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), proses (pelaksanaan) pembelajaran, evaluasi hasil pembelajaran, kualitas hubungan pendidik dengan peserta didik, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan kegiatan ko-kurikuler, pendanaan (pembiayaan), dan etos kerja bagi seluruh warga sekolah. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan satu kesatuan sistem yang utuh, tidak boleh dipisahkan antara komponen yang satu dengan lainnya. Tujuannya, jika terjadi kekurangan atau hambatan dalam proses pelaksanaannya, masing-masing komponen bisa saling menunjang dan saling melengkapi. Penyelenggaraan pendidikan karakter berbasis seni 6 dan budaya akan bisa terwujud manakala komponen-komponen pembelajaran memiliki implementasi langsung dengan kebutuhan peserta didik. Pemerintah RI, melalui instansi-instansi terkait, telah melakukan berbagai upaya untuk: pemenuhan prasarana dan sarana pembelajaran, penyempurnaan kurikulum, dan perbaikan sistem penilaian secara menyeluruh terhadap pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Upaya-upaya yang dimaksud tersebut di atas, misalnya, munculnya: UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Upaya penyempurnaan UU dan Peraturan-peraturan di bidang pendidikan dimaksudkan agar mutu dan lulusan dari lembaga pendidikan dapat dijamin oleh pemerintah melalui standar yang telah ditetapkan. Standar Nasional Pendidikan dijadikan acuan dalam pengembangan penyelenggaraan pendidikan pada setiap satuan dan jenjang pendidikan. Maka seluruh penyelenggara dan pengelola pendidikan hendaknya berpedoman pada 8 standar pendidikan, yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian. Penetapan standar pendidikan nasional sebagaimana diatur pada Bab II, Pasal 4, PP 19 Tahun 2005, adalah untuk menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk jenjang Pendidikan Tinggi, standar pendidikan, bahkan, dapat dikembangkan lebih dari 8 standar, sesuai dengan visi dan misi pendidikan tinggi yang bersangkutan, serta sesuai dengan bidang keilmuan yang dikembangkannya. Tujuannya, agar peserta didik memiliki rasa nasionalisme yang berbasis lokalisme, serta memiliki ikatan emosional yang tinggi dengan kearifan lokalnya, untuk memperkaya nilai budaya sesuai dengan kepribadian dan 7 budaya bangsa, sebagai konsekuensi terjadinya proses globalisasi, glokalisasi, dan glonalisasi – proses global-lokal; lokal-global. Sejalan dengan upaya pemerintah tentang pendidikan karakter, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang sebagian, telah dikemukakan di atas, Kementerian Agama telah mengembangkan „grand design‟ tentang pendidikan karakter pada setiap jalur, dan jenjang pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat agar memiliki visi dan misi yang sama, yaitu ‗mencerdaskan bangsa‘.„Grand design‟ tersebut diharapkan bisa jadi rujukan atau model dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di setiap satuan dan jenjang pendidikan. Model tersebut, diharapkan dapat diukur secara nyata sesuai dengan karakter dan perilaku budaya yang dimiliki setiap peserta didik sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakatnya (kearifan lokal). Pengembangan model „grand design‟ pendidikan karakter hendaknya memperhatikan beban psikologis (individu) dan sosio-kultural peserta didik berdasarkan karakter yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang dapat dikembangkan melalui: (1) Olah Hati, (2) Olah Pikir, (3) Olah Raga, dan (4) Olah Rasa. Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan secara nyata dan dapat diimplementasikan pada setiap aktifitas peserta didik. Salah satu kuncinya ialah, pengembangan butir-butir pendidikan karakter hendaknya disesuaikan dengan karakter masyarakat lokal. Itulah sebabnya mengapa baik pendidik maupun anak didik harus tahu dan memahami potensi yang dimiliki oleh daerahnya secara utuh. II. Delapan Kekuatan Karakter dan Empat Strategi Kunci bagi Pengembangan Karakter II.1 Pendidikan Karakter yang Diperluas Pendidikan karakter yang diperluas untuk meningkatkan hasil kerja terbaik dan perilaku etis terbaik membutuhkan konsepsi karakter yang lebih luas. Berdasarkan penelitian terhadap SMA (sebagai lembaga penyelenggara dan pengelola pendidikan tingkat atas di sekolah), konsepsi pokok pertama ―Model Sekolah Pintar dan Baik‖ adalah konsepsinya 8 tentang karakter manusia yang memiliki dua bagian utama: yaitu ‗karakter performa‘ („performance character‟) dan ‗karakter moral‘ („moral character‟) yang saling berhubungan antara yang satu dengan lainnya. ‗Karakter performa‘ digambarkan sebagai ‗orientasi penguasaan‘. Ini terdiri dari sifat-sifat (mencakup tetapi tidak terbatas pada): ketekunan, keuletan, etika kerja yang kuat, sikap positif, kecerdikan, dan disiplin diri, setiap lingkup kegiatan seperti: kegiatan akademik, kegiatan ekstra kurikuler, tempat kerja, dan sepanjang hidup. Sedangkan ‗karakter moral‘ adalah ‗orientasi hubungan‘. Ini terdiri dari sifat-sifat (mencakup tetapi tidak terbatas pada): integritas, keadilan, kepedulian, menghormati, dan kerjasama yang diperlukan bagi hubungan interpersonal yang berhasil dan perilaku etis. Dukungan akan pentingnya ‗karakter performa‘ dan ‗karakter moral‘ berasal dari empat sumber, yaitu: (1) penelitian tentang kehidupan karakter; (2) penelitian tentang pengembangan bakat; (3) penelitian tentang akademik ‖menyeimbangkan pendidikan tentang prestasi akademik; dan (4) suara guru dan siswa. Pendek kata, baik ‗karakter performa‘ maupun ‗karakter moral‘ diperlukan untuk dan dikembangkan dari setiap bidang tugas akademik. Karakter tidak lagi ‗sisi lain buku raport‘ (yaitu: ‗aspek etis‘ atau ‗sisi emosi-sosial‘). Karakter adalah ‗buku raport yang utuh‘ dalam arti karakter adalah fondasi untuk, dan hasil penting dari, pendidikan karakter – tidak diganti atau dilemahkan. Sebaliknya, dalam paradigma baru, karakter dikemas dari setiap komponen kurikulum, baik formal maupun informal. Sekolah tidak perlu lagi berbicara tentang ―menyeimbangkan pendidikan akademik (knowledge oriented) dan pendidikan karakter (affective oriented) seolah-olah ada ketegangan antarkeduanya. Dalam paradigma ―Sekolah Cerdas dan Baik‖, pengajaran akademik dan pengembangan karakter, secara metaforis, adalah bagaikan dua sisi mata uang, jika lancung (palsu) salah satu sisinya, maka lancunglah sisi yang lain, dan bahkan lancunglah secara keseluruhan. Sebaliknya, jika dilakukan secara sinergi dan efektif, maka keduanya akan terjadi secara simultan dengan cara saling mendukung dan menunjang. 9 II.2 Delapan Kekuatan Karakter Berikut ini adalah tabel atau daftar Delapan Kekuatan Karakter (diambil dari sumber yang sama: Handbook Pendidikan Moral dan Karakter, Larry P. Nucci, 2014:551—552). 1. Pelajar seumur hidup dan pemikir yang kritis Berusaha memperoleh pengetahuan yang mencirikan orang berpendidikan Mendekati pembelajaran sebagai proses seumur hidup Menunjukkan keterampilan analisis kritis Mengambil secara serius perspektif orang lain Mencari pendapat ahli dan bukti-bukti yang handal Membangun hubungan dan mengintegrasikan pengetahuan Menghasilkan solusi alternatif Menunjukkan kesediaan untuk mengakui kesalahan dan mengubah pemikiran. 2. Pelaku yang rajin dan mampu Berusaha mencapai keunggulan; memberikan upaya terbaik Menunjukkan inisiatif dan disiplin diri Mengetahui standar kualitas dan menciptakan produk berkualitas tinggi; bangga dalam pekerjaan Menetapkan tujuan pribadi dan menghargai kemajuan Tabah dalam menghadapi kesulitan. 3. Pribadi dengan keahlian sosial dan emosi Memiliki kepercayaan diri yang sehat dan sikap positif Menunjukkan kesopanan dalam situasi sosial Mengembangkan hubungan interpersonal yang positif yang mencakup kepekaan terhadap perasaan orang lain dan kemampuan ―memberi kepedulian‖ Berkomunikasi secara efektif Bekerja dengan baik dengan orang lain Menyelesaikan konflik secara adil 10 Menunjukkan kecerdasan emosi, termasuk pengetahuan diri dan kemampuan untuk mengelola emosi. 4. Pemikir yang beretika Memiliki ketajaman moral, termasuk penilaian yang baik, penalaran moral, kebijaksanaan etis Memiliki kesadaran nurani yang terbangun dengan baik, termasuk rasa kewajiban untuk melakukan hal yang benar Memiliki identitas moral yang kuat yang didefinisikan oleh komitmen moral seseorang Memiliki kompetensi moral, atau pengetahuan moral, yang diperlukan untuk menerjemahkan ketajaman, nurani, dan identitas menjadi perilaku yang efektif. 5. Agen moral yang menghormati dan bertanggung jawab dengan komitmen pada tindakan moral yang konsisten Menghormati hak-hak dan martabat semua orang Memahami bahwa menghormati, termasuk hak nurani, untuk tidak setuju dengan cara menghormati keyakinan atau perilaku orang lain Memiliki rasa kemampuan diri yang kuat dan tanggung jawab pribadi untuk melakukan apa yang benar Bertanggung jawab atas kesalahan Menerima tanggung jawab untuk menetapkan contoh yang baik dan menjadi pengaruh positif Mengembangkan dan melatih kepastian kepemimpinan moral. 6. Pribadi dengan disiplin diri yang mengejar gaya hidup yang sehat Menunjukkan kontrol diri di berbagai situasi Mengejar kesehatan fisik, emosi, dan mental Membuat pilihan pribadi yang bertanggung jawab, yang berkontribusi bagi pengembangan-diri terus-menerus, gaya hidup sehat, dan masa depan yang positif. 11 7. Anggota komunitas yang berguna dan warga negara yang demokratis Berguna untuk keluarga, kelas, sekolah, dan komunitas Menunjukkan nilai-nilai sipil dan keterampilan yang diperlukan untuk partisipasi dalam proses demokrasi Menghargai warisan demokrasi dan nilai-nilai demokrasi bangsa yang merancang kehidupan Menunjukkan kesadaran kesalingtergantungan dan rasa tanggung jawab pada kemanusiaan. 8. Pribadi spiritual yang merancang kehidupan yang bertujuan mulia Mempertimbangkan pertanyaan eksistensial (―Apa makna hidup?‖; ―Apa kebahagiaan?‖; dan ―Apa tujuan hidup saya?‖) Mencari kehidupan yang bertujuan mulia Merumuskan tujuan hidup dan cara-cara untuk mengejarnya Memupuk apresiasi nilai-nilai transenden seperti kebenaran, keindahan, dan kebaikan Mengejar kebahagiaan sejati Memiliki kehidupan batin yang kaya Mengejar hubungan yang mendalam, bermakna – misalnya, dengan orang lain, alam, atau kekuatan yang lebih tinggi. II.3 Empat Strategi Kunci bagi Perkembangan Karakter ―Bagaimana, baik ‗karakter performa‘ maupun ‗karakter moral‘, dan ―Delapan Kekuatan Karakter‖ dikembangkan?‖ Jawaban atas pertanyaan penting di atas, dilaporkan oleh ―Model Sekolah Pintar dan Baik‖. Tetapi dalam tulisan ini tidak dikemukakan dan dibahas secara detail serta menyeluruh (baca“Handbook Pendidikan Moral dan Karakter”, Larry P. Nucci, 2014:, Larry P. Nucci, 2014:553 561; dan juga553 561; dan juga baca“Character Matters”, dan “Educating for Character”, Thomas Lickona, 2013 a dan 2013 b). Sebagian besar laporan 227 halaman ―SMA Pintar & Baik‖ ditujukan untuk menggambarkan hampir 100 praktik yang menjanjikan, diambil dari hasil penelitian yang bergengsi. Telah ditemukan ‗strategi master‘ sederhana yang dapat diterapkan pada satu dari 12 ―Delapan Kekuatan Karakter‖ dan pada berbagai bidang sekolah dan kelas, dan aspek-aspek sekolah lainnya. ‗Strategi Master‘ tersebut, disebutnya, sebagai ―4 KUNCI Pengembangan Karakter Performa dan Karakter Moral‖ (disingkat 4 KUNCI), yaitu: 1. Komunitas Pembelajaran Etika (ELC) – mengembangkan komunitas (kelas, kelompok penasihat, tim, seluruh sekolah) yang mendukung dan menantang dan yang anggotanya mengejar realisasi potensi mereka sendiri akan keunggulan dan etika dan berusaha untuk menghasilkan yang terbaik bagi orang lain. 2. Belajar Sendiri (Self-Study) – melihat siswa dalam menilai kekuatan mereka dan aspekaspek pertumbuhan karakter performa dan karakter moral, menetapkan tujuan untuk kemajuan, dan memantau kemajuannya. 3. Belajar pada yang Lain (Other-Study) karakter moral siswa– belajar dari teladan karakter performa dan karakter moral dengan menganalisis dan meniru jalan mereka mencapai sukses. 4. Pembuktian/Presentasi Publik –menggunakan pembuktian dan presentasi publik sebagai pembelajaran pengalaman dan penilaian otentik karakter performa dan karakter moral siswa. (Sumber diambil dari, Soediro Satoto, 2015 dalam “Pendidikan Keagamaan dan Karakter Berbasis Budaya”) III. Penutup Secara geografis, Sejarah Nasional dan Ensiklopedi Budaya Nusantara menunjukkan bahwa Wilayah Budaya Nusantara amatlah luas, bahkan lebih luas daripada wilayah budaya Indonesia di zaman kemerdekaan, apalagi sekarang. Penyamaan istilah atau nama ‗Indonesia‘ dengan ‗Nusantara‘, barangkali, secara politik bisa merugikan, tetapi secara kultural (budaya) justru bisa menguntungkan. Wilayah Nusantara di zaman keemasan kerajaan Majapahit lebih luas daripada paroh akhir zamannya Patih Gadjah Mada. Itulah sebabnya, Patih Gadjah Mada pernah ‗bersumpah palapa‘, berjanji akan mempersatukan kembali wilayah Majapahit yang pernah beberapa wilayahnya terlepas, dan bersatu kembali ke dalam wilayah Majapahit seperti pada zaman keemasannya. 13 Wilayah Nusantara pada akhir zaman kerajaan Majapahit lebih luas daripada era zaman menjelang kemerdekaan Indonesia. Wilayah Nusantara pada awal zaman kemerdekaan Indonesia lebih luas daripada wilayah Nusantara di era zaman sekarang. Jika Nusantara dalam perspektif ‗budaya Nusantara‘ yang multi etnik, multi kultur, multi religiusitas, dan multi bahasa tidak dijaga, diwaspadai, dicermati, dipelihara, „diuri-uri‟, dipilah dan dipilih ‗kearifan lokalnya‘ untuk kemudian ‗didewasakan‘, mandiri dan bisa menjadi filter atas ‗rembesan budaya asing yang berdampak negatif, dst. dst. dst, ..... maka wilayah kultural dan budaya yang pernah jaya pada zaman Nusantara akan semakin tergerus, bahkan oleh tetangganya sendiri pun. Dalam kerangka event sekarang ini, Bahasa Jawa, bahasa daerah, bahasa lokal, yang pernah punya kekayaan kearifan lokal, adi luhung di ‗antero jagad Nusantara‘, bahkan di dunia luar, perlu dijaga kembali kejayaan dan kelestariannya. Karya sastra bahasa Jawa seperti:“Serat Centhini” (merupakan Ensiklopedi Budaya Jawa terbesar dan terlengkap), “Serat Wujil”, “Serat Sasono Sunu”, “Serat Brata Sunu”, “Serat Wedha Tama”, “Serat Wulang Reh”, “Serat Pustaka Raja Purwa”, “Serat Ramayana”, “Serat Mahabharata”, “Babad Tanah Jawi”, “Babad Pakepung”, “Babad Giyanti”, dan masih banyak lagi, dan masih diingat sampai sekarang karena kearifan lokal yang dikandungnya, dan nasihat-nasihat serta keteladanannya. Untuk menunjangnya, sistem pendidikan dan model serta strategi pembelajaran Bahasa Jawa perlu disempurnakan, sesuai dengan tujuannya. Daftar Pustaka–Rujukan Achmat, Sri Wintala. 2014. Ensiklopedia Kearifan Jawa (Menggali Mutiara Kearifan Jawa Berdasar Karya Agung Para Pujangga). Yogyakarta: Penerbit Araska. Agung, Iskandar (etal). 2011. Pendidikan Membangun Karakter Bangsa (Peran Sekolah dan Daerah dalam Membangun Karakter Bangsa pada Peserta Didik). Jakarta: Penerbit Bestari Buana Murni. Amri, Sofan & Khoiru Ahmadi. 2010. PROSES PEMBELAJARAN Kreatif dan Inovatif dalam Kelas (Metode, Landasan Teoretis-Praktis dan Penerapannya). Jakarta: Penerbit PT. Prestasi Pustakaraya. Amri, Sofan (etal). 2011. IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER dalam Pembelajaran (Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran). Jakarta: Penerbit PT. Prestasi Pustakaraya. 14 Aqib, Zainal & Sujak. 2011. Panduan & Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Penerbit Yrama Widya. Aqib, Zailal. 2011. Pendidikan Karakter (Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa). Bandung: Penerbit Yrama Widya. Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Nasional (Rekonstruksi dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. KERANGKA ACUAN PENDIDIKAN KARAKTER TAHUN ANGGARAN 2010. Jakarta: Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Dwiyanto, Djoko & Ign. Gatut Saksono.2012. PENDIDIKAN KARAKTER Berbasis PANCASILA (Negara Pancasila: Agama atau Sekuler; Sosialis atau Kapitalis). Yogyakarta: Ampera Utama. Endraswara, Suwardi. 2010. ETIKA HIDUP ORANG JAWA (Pedoman Beretika dalam Menjalani Kehidupan Sehari-hari). Jakarta: Penerbit NARASI. Fitri, Agus Zaenul. 2012. PENDIDIKAN KARAKTER – berbasis – Nilai & Etika di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA. Hamersma. 2014. PERSOALAN KETUHANAN dalam Wacana Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT KANISIUS. Hartati, A. Umi & B. Tri Widada. 2012. Aneka Permainan Seru Pendidikan Karakter (Penuntun agar bisa menjadi pribadi yang bisa diterima dan menerima orang lain apa adanya). Yogyakarta: Pustaka Diantara. Heraty, Toeti. 1984. AKU DALAM BUDAYA. Disertasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya Hermino, Agustinus. 2014. Manajemen Kurikulum Berbasis Karakter (Konsep, Pendekatan, dan Aplikasi). Bandung: Penerbit ALFABETA. Hidayatullah, M. Furqon.2007. MENGANTAR CALON PENDIDIK BERKARAKTER DI MASA DEPAN. Surakarta: Penerbit Sebelas Maret University Press. ................... . 2010. PENDIDIKAN KARAKTER: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka. 15 Isna A., Nuria. 2012. Karakter Anak sejak Janin. Yogyakarta: Penerbit DIVA Press. James, William. 2013. The Varieties of Religious Experience (Pengalaman-Pengalaman Religius). Yogyakarta: IRCiSoD. Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan Karakter (Kajian Teori dan Praktik di Sekolah). Bandung: Penerbit PT REMAJA ROSDAKARYA. Khan, D. Yahya. 2010. PENDIDIKAN KARAKTER Berbasis Potensi Diri (Mendongkrak Kualitas Pendidikan). Yogyakarta: PELANGI PUBLISHING. Koentjaraningrat. 1984. KEBUDAYAAN JAWA. Jakarta: PN BALAI PUSTAKA. Koesoema A Matter, Doni. 2012. PENDIDIKAN KARAKTER (Utuh dan Menyeluruh). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Lickona, Thomas. 2013a (cetakan kedua). Character (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara. ............................. . 2013 b (crtakan ketiga). Educating for Character (Mendidik untuk Membentuk Karakter): Bagaimana Sekolah Dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara. Lubis, Ahyar Yusuf. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo Persada. Maryaeni. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara. Mustakim, Bagus. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER (Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat). Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru. Noor, Rohinah M. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER -- Berbasis -- SASTRA (Solusi Pendidikan Moral yang Efektif). Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA. Nucci, Larry P. & Darcia Narvaez. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan Karakter. Diterjemahkaan dari judul aslinya, Handbook of Moral and Character Education, oleh penerjemah: Imam Baehaqie dan Derta Sri Widowatie. Bandung: Penerbit Nusa Media. Olthof, W.L. 2010. Babad Tanah Jawi (Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647). Yogyakarta: Penerbit NARASI. Panjaitan, Ade Putra (etal). 2014. KORELASI KEBUDAYAAN & PENDIDIKAN (Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 16 Pemerintah Republik Indonesia. 2010. KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA TAHUN 2010 – 2025. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Prabowo, Dhanu Priyo (etal). 2012. Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Purwadi dkk. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit BINA MEDIA. Purwadi & Siti Maziyah. 2006. HOROSKOP JAWA. Yogyakarta: Penerbit MEDIA ABADI. Raka, Gede (etal). 2011. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH (dari gagasan ke tindakan). Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo KOMPAS GRAMEDIA. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies(Representasi Fiksi dan Fakta). Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA PELAJAR. Ratna, Nyoman Kutha. 2014.PERANAN KARYA SASTRA, SENI, DAN BUDAYA – dalam – PENDIDIKAN KARAKTER. Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA PELAJAR. Rohman, Muhammad. 2012. KURIKULUM BERKARAKTER (Refleksi dan Proposal Solusi terhadap KBK dan KTSP). Jakarta: Penerbit Prestasi Pustakaraya. Sahlan, Asmaun & Angga Teguh Prastyo. 2012. DESAIN PEMBELAJARAN Berbasis PENDIDIKAN KARAKTER. Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA. Santosa, Puji. 2014. Kritik Sastra Tempatan (Lokal). Yogyakarta: Elmatera. Tunggal, Hadi Setia. 2006. Undang-Undang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Beserta Peraturan Pelaksanaannya). Jakarta: HARVARINDO. 17 NILAI-NILAI MORAL YANG TERKANDUNG DALAM CERITA RAMAYANA Joko Sukoyo Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang Abstrak Wayang merupakan warisan budaya klasik yang mengakar turun temurun. wayang Indonesia telah diakui oleh United Nations Education Social and Culture Organization (UNESCO) sebagai Karya Agung Budaya Dunia atau Masterpiece of the Oral Intangible Heritage of Humanity. Dalam sebuah pergelaran wayang, kita tidak hanya memperoleh tontonan, namun juga mendapatkan tuntunan. Dengan keindahannya, wayang menjadi tontonan sedangkan cerita dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai tuntunan. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam berbagai cerita wayang selalu mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan, mengajarkan nilai kebenaran, keadilan dan keutamaan hidup. Salah satu epos cerita wayang yang terkenal adalah cerita Ramayana. Cerita Ramayana dengan berbagai lakon sampai sekarang masih sering digelar dan dikembangkan untuk memberikan ajaran moral. Terlebih lagi masa sekarang ini moral bangsa Indonesia dapat dikatakan mengalami kemerosotan. Nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita Ramayana diantaranya adalah: 1) Dewi Sinta merupakan simbol kesetiaan seorang istri, 2) Anoman merupakan simbol seseorang yang setia pada tugasnya, 3) Kumbakarna simbol kesetiaan membela negara, 4) Wibisana simbol kesetiaan pada kebenaran, 5) Dewi Trijata merupakan simbol kesetiaan pada istri musuh yang dizalimi. Kata Kunci: wayang, nilai,moral. Pendahuluan Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisi multidimensi yang diakibatkan oleh krisis moral. Krisis multidimensi ini terjadi karena moralitas bangsa Indonesia sebagian besar telah rusak. Hal ini terlihat dari aktivitas pelanggaran hukum yang semakin merajalela. Krisis moral diduga berasal dari semakin jauhnya bangsa Indonesia terhadap budaya bangsa. Mereka lebih cenderung meniru budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Salah satunya wujud budaya bangsa yang adiluhung adalah wayang. Wayang sudah menjadi kekayaan dunia dan tercatat sebagai warisan budaya dunia. Hal ini bukan hanya karena 18 seni wayang memiliki nilai filosofi yang tinggi, tetapi lantaran wayang mempunyai nilai-nilai yang sangat multidimensional. Salah satunya adalah nilai moral. Cikal bakal wayang berasal dari masa budaya animisme dalam sejarah masa lalu. Wayang berasal dari tradisi penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membuat boneka yang diterangi oleh blencong sehingga menimbulkan efek bayang-bayang kalau wayang tadi digerakkan. Dalang menjadi mediasi antara dunia manusia dan dunia arwah. Dalang punya kekuatan supranatural untuk menghadirkan roh leluhur melalui boneka tadi. Budaya Hindu masuk menyebabkan terjadinya akulturasi. Tradisi penghormatan terhadap arwah leluhur menggunakan sarana boneka dan diiringi dengan puji-pujian akhirnya diganti dengan syair Ramayana dan Mahabharata. Kedua cerita wayang inilah yang menjadi induk cerita-cerita wayang di Indonesia (Poespaningrat, 2005) Cerita Mahabarata berasal dari Kitab Mahabarata mahakarya Empu Wyasa sebagai salah satu cerita pokok pewayangan di Indonesia. Kitab ini terdiri dari 18 jilid atau parwa. Tema Mahabarata memaparkan pertentangan tragis antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Karya Mahabarata ini mengalami perubahan konsep filsafat dan diadaptasi disesuaikan dengan filsafat dan budaya asli bangsa. Gubahan pertama Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuna dilakukan pada zaman Prabu Darmawangsa di Jawa Timur, sekitar tahun 991-1016. Sedangkan cerita Ramayana berasal dari kitab Ramayana mahakarya Empu Walmiki. Kata Ramayana berasal dari kata rama dan ayana yang berarti kisah pengembaraan Ramawijaya. Kitab Ramayana di gubah dalam bentuk kakawin Ramayana. Menurut Prof. Dr. Purbacaraka, penggubahan Kitab Ramayana ke dalam bentuk Kakawin dilakukan pada zaman Mataram Pertama, yakni pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung, sebelum abad ke-9 (Poespaningrat, 2005) Cerita Ramayana dengan berbagai lakon sampai sekarang masih sering digelar dan dikembangkan untuk memberikan ajaran moral. Terlebih lagi masa sekarang ini moral bangsa Indonesia dapat dikatakan mengalami kemerosotan. Manusia sebagai makhluk batas antara kedua kekuatan yang berlawanan (konstruktif dan destruktif), sering menghadapi dualisme untuk memilih pilihan yang paling benar. Agar manusia dapat memilihnya, maka memerlukan pegangan yang dianggap dapat membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar. Pegangan hidup selain tedapat dalam kitab-kitab suci, terdapat juga dalam karya-karya sastra. Salah satunya adalah dalam cerita wayang Ramayana ini, yang di dalamnya terdapat ajaran19 ajaran moral yang pantas diteladani. Hal ini sesuai dengan pepatah yang mengajarkan bahwa wayang sebagai tontonan dan tuntunan. Pembahasan Nilai moral yang dibahas dalam makalah ini, adalah nilai-nilai yang terkandung dalam cerita wayang Ramayana. Ramayana dari bahasa Sansekerta, Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini. Menurut Versi India, Kitab Ramayana dibagi menjadi tujuh jilid atau kanda yaitu 1) Balakanda, 2) Ayodya Kanda, 3) Aranya Kanda, 4) Sundara Kanda, 5) Kiskenda Kanda, 6) Yudha Kanda, 7) Uttara Kanda. Isi dan jalan cerita Kitab Ramayana dan Kakawin Ramayana terdapat perbedaan, terutama pada akhir ceritanya. Pada kitab Ramayana bab terakhir, uttara kanda, diceritakan bahwa Rama terpengaruh oleh rakyat dan lingkungannya, sangsi terhadap kesucian Sinta. Dalam keadaan mengandung, istrinya diusir dari istana. Sebaliknya pada kakawin Ramayana, Rama dan Sinta akhirnya menjalani hidup bahagia. Rama menitis pada Kresna dan Sinta pada Sembadra. Nilai-nilai moral dalam cerita Ramayana dapat dilihat dari jalan cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh pokok dalam cerita Ramayana adalah: 1) Prabu Ramawijaya, 2) Dewi Sinta, 3) Wibisana, 4) Trijatha, 5) Lesmana, 6) Anoman, 7) Sugriwa, 8) Anila, 9) Dasamuka (Rahawana), 10) Indrajid, 11) Kumbakarna, 12) Sarpakenaka, 13) Prahasta. Tokoh-tokoh di atas adalah tokoh sentral dalam cerita Ramayana. Selain tokoh di atas juga masih ada tokoh-tokoh tambahan yang membuat jalan cerita semakin menarik. Poespaningrat (2005: 51-63) menyatakan ada beberapa nilai moral dari tokoh dalam cerita Ramayana yang dapat kita teladani. Nilai-nilai moral tersebut diantaranya sebagai berikut. 1. Dewi Sinta merupakan simbol kesetiaan seorang istri. Dewi Sinta adalah anak angkat Prabu Janaka dari Mantili. Walaupun seorang anak raja, ia tetap setia mendampingi suaminya menderita di hutan Dandaka selama 13 tahun. Sebelum Rama menjalani masa pembuangan, Sinta dibujuk oleh orang tuanya agar tetap tinggal di istana tidak perlu mengikuti ke hutan. Tetapi Sinta tetap mengikuti 20 suaminya menjalani masa pembuangan ke hutan. Istana yang indah rela dia tinggalkan demi kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Ketika Sinta diculik oleh Rahwana, Sinta selalu dibujuk agar bersedia menjadi istri Rahwana. Dia diiming-imingi harta benda serta kekuasaan, Sinta ditawari istana yang indah dan segala kenikmatan duniawi tetapi Sinta tidak pernah sekalipun berkhianat kepada suaminya. Dia tetap menjaga cinta dan kesetiaannya kepada Raden Rama. Bahkan dalam cerita pewayangan disampaikan bahwa selama disekap di Taman Argosoka, badannya kurus kering sampai tulangnya kelihatan. Semua ini dilakukan untuk menjaga kesetiaan dengan Rama. 2. Anoman merupakan simbol seseorang yang setia pada tugasnya Tokoh Anoman sangat besar kesetiaannya kepada tugas suci yang diberikan Rama kepadanya. Tugas-tugas yang diberikan oleh Rama, dikerjakan dengan total, selalu sendika dhawuh dan melaksanakan sesuai dengan kehendak atasannya. Tugas pertama adalah dia ditunjuk sebagai duta ke Alengka untuk mengetahui kekuatan musuh. Dia melaksanakan tugasnnya dengan baik. Dia merelakan dirinya ditangkap musuh untuk mengetahui seberapa besar kekuatan lawan. Ketika mejalankan tugasnya untuk mengetahui kekuatan musuh, dia bertemu dengan Sinta. Dia tidak kuasa membayangkan penderitaan Sinta dan berniat untuk membawanya ke luar Alengka. Anoman adalah tokoh yang sakti. Walaupun sanggup menghadapi wadyabala Alengka, namun dia teringat akan perintah Rama. Rama hanya menugasi untuk melakukan tiga hal yaitu: menyelidiki keberadaan Sinta di Alengka, menyelidiki kekuatan musuh, dan mencari jalan bagaimana dapat membebaskan Sinta. 3. Kumbakarna simbol kesetiaan membela negara Kumbakarna adalah adik Dasamuka. Dia lahir berwujud secuil telinga (karna) yang menjadi raksasa yang sangat besar dan rakus sekali. Dia mempunyai Aji Gendongmenga sehingga dapat makan dan minum luar biasa banyaknya dan Aji Cirakalasupta sehingga dapat tidur seribu tahun. Saat kerajaan Alengka diserbu oleh Pasukan Rama dan sekutunya, Rahwana sangat kewalahan menghadapi Pasukan Rama, lantas Rahwana memerintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna yang sedang tidur selama enam bulan. Dasamuka meminta Kumbakarna untuk melawan wadyabala Rama, tetapi tidak 21 menyanggupinya. Dia mengatakan kepada Dasamuka bahwa dia bersedia maju perang bukan karena membela kakaknya yang telah bertindak angkara dengan menculik Dewi Sinta, tetapi ingin membela negaranya. Kumbakarna menjalankannya dengan tekad suci. Ia tidak ingin membela kebatilan kakaknya, melainkan ingin membela negaranya. Disamping itu, dia ingin memperjuangkan para leluhurnya yang telah berjuang membangun Alengka. Kumbakarna sering dilambangkan sebagai perwira pembela tanah tumpah darahnya. Kumbakarna berperang bukan untuk membela kakaknya tetapi dia terpanggil oleh kewajiban membela negara serta kaumnya. 4. Wibisana sebagai simbol kesetiaan pada kebenaran. Wibisana adalah adik Dasamuka, yang berwatak ksatria. Ketika mengetahui kakaknya menculik Sinta, Wibisana sudah memperingatkan kepada kakaknya bahwa menculik istri orang itu bukan watak kesatria. Peringatan dari adiknya tersebut tidak ditanggapi oleh Dasamuka bahkan dia marah dan mengusir Wibisana dari Alengka. Wibisana tidak membela kakaknya, justru membela Rama ketika terjadi peperangan. Pembelotan ini secara tekstual dapat dianggap sebagai tindakan kurang terpuji, namun secara kontekstual dapat dipertanggungjawabkan karena kebenaran dan keadilan tidak mengenal batas negara. Wibisana telah lebih mencintai kebenaran ketimbang kakak kandungnya. Rama sangat senang ketika Wibisana hendak bergabung dengannya. Keberadaan Wibisana telah melicinkan jalan bagi Rama dan wadyabalanya untuk mencapai kemenangan. Berkat pengetahuannya, wadyabala Alengka dapat dikalahkan. 5. Dewi Trijata merupakan simbol kesetiaan pada istri musuh yang dizalimi. Dewi Trijata adalah anak pasangan Gunawan Wibisana dan Dewi Triwati. Ia ditugaskan untuk melayani Sinta selama dalam penyekapan di Alengka. Ia diharapkan dapat membujuk Sinta untuk dipersunting Dasamuka. Namun dia lebih setia kepada Sinta. Bahkan dengan berbagai akal selalu menghalangi keinginan pamannya tersebut untuk menjamah Sinta. Suatu hari Dasamuka hendak memperkosa Sinta, Namun Dewi Trijatha berhasil mencegahnya. Dasamuka marah dan menyumpahi Dewi Trijatha tidak akan laku kawin dan kelak akan bersuamikan dengan seekor kera tua, yang jelek rupanya. Ia menerima sumpahan itu dengan tenang, demi kesetiaan pada istri musuh yang sedang dizalimi oleh 22 pamannya. Seperti ayahnya, Dewi Trijatha lebih setia kepada musuh yang membela kebenaran daripada pamannya sendiri yang penuh kebathilan. Sumpah dari Dasamuka itu ternyata menjadi kenyataan. Dewi Trijatha dikawini oleh kera tua bernama Kapi Jembawan. Penutup Demikianlah, dengan menikmati wayang, orang akan memperoleh nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya, di samping nilai-nilai moral atau budi pekerti dan nilai estetika yang tinggi. Wajarlah jika seni dan budaya wayang kulit dari Indonesia ini dinobatkan sebagai karya adi luhung lisan warisan kemanusiaan yang tak dapat dinilai ketinggiannya. Dalam ikut membangun peradaban modern seperti sekarang ini, kiranya nilai-nilai yang terkandung dalam wayang masih relevan untuk dikembangkan. Daftar Pustaka Direktorat Pembinaan Kesenian Depdikbud. 1979. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta. Hardjowirogo. 1982 Sejarah Wayang Purwa Cet ke-1. Jakarta: Balai Pustaka. Harghana, Bondan. 1998. Reroncen Balungan Lampahan Ringgit Purwa. Sukoharjo: CV Cendrawasih Padmosoekotjo, S. 1985. Silsilah Wayang Purwa Mawa carita Surabaya: PT Mitra Jaya Murti. Poespaningrat, Pranoedjo. 2005. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT. Kedaulatan Rakyat Sunardi. 1979. Ramayana. Jakarta: PT Balai Pustaka Suwardi Endraswara. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya Wibisana, Singgih. 1997. Tokoh Sinta dalam Kajian Budaya Jawa. Jakarta: Pepadi 23 PENILAIAN AUTENTIK KOMPETENSI BERBAHASA AKTIF PRODUKTIF (BERBICARA DAN MENULIS) Oleh: Astiana Ajeng Rahadini Universitas Sebelas Maret Abstrak Perkembangan abad 21 menuntut setiap manusia memiliki kemampuan kinerja yang nyata. Melihat hal tersebut, dunia pendidikan pada abad 21 sebagai sarana pencetak generasi muda melakukan beberapa penyesuaian dan perubahan, baik dalam hal kurikulum, materi, metode pembelajaran maupun penilaian hasil pembelajaran. Penilaian pembelajaran ditekankan pada penilaian berbasis kinerja agar siswa tidak hanya menguasai teoretis (kognitif) tetapi mampu melakukan kinerja seperti dalam dunia nyata. Penilaian Autentik dapat berwujud tes maupun non-tes. Pada keterampilan berbahasa, penilaian autentik ditekankan pada keterampilan produksi bahasa, yaitu keterampilan berbicara dan menulis. Tujuan penerapan penilaian autentik adalah untuk memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik bagaimana mereka harus bersikap ketika terjun langsung di dunia kerja. Kata Kunci: Pembelajaran Abad 21, Penilaian Autentik, Keterampilan Berbicara dan Menulis A. Pendahuluan Perkembangan abad 21 begitu pesat. Persaingan di dunia kerja pun semakin ketat. Setiap lembaga mensyaratkan pegawai yang berkualitas untuk dapat bekerja di instansinya. Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya memiliki kecakapan atau kemampuan yang ―layak jual‖ agar mampu bersaing dengan para pencari kerja lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sadar akan adanya tuntutan kualitas individu yang dibutuhkan di lapangan kerja, pemerintah berusaha untuk membentuk masyarakatnya menjadi manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan baik secara teori maupun praktik, salah satunya melalui jalur pendidikan. Pendidikan di Indonesia sekarang ini, telah dirancang sedemikian rupa agar mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kurikulum 2013 adalah suatu cara untuk mengarahkan pendidikan menghasilkan output yang tidak hanya mampu menguasai pengetahuan secara teoretis (kognitif) 24 tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan tersebut ke dalam tindakan nyata yang mencerminkan aktivitas di dunia kerja sesungguhnya. KTSP dan kurikulum 2013 menekankan capaian kompetensi pembelajaran yang berupa kinerja, kinerja melakukan, doing something sesuai dengan karakteristik mata pelajaran. Jadi, ketika lulus peserta didik benar-benar mampu melakukan sesuatu yang bermakna dengan dilandasi pengetahuan yang telah dikuasainya. Untuk mencapai tujuan yang diamanahkan dalam kurikulum tersebut, pembelajaran yang dilaksanakan juga harus mampu mengarahkan peserta didik menjadi aktif, kreatif, efektif, mampu menerapkan pengetahuannya, namun tetap menyenangkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk kurikulum dunia pendidikan abad 21 adalah pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual menjembatani bahan ajar di kelas dengan berbagai kebutuhan nyata yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dituntut untuk menguasai kompetensi dan pengetahuan yang dibelajarkan sekaligus mampu menerapkannya dalam bentuk kinerja yang bermakna. Untuk mengukur hasil capaian kompetensi peserta didik melalui pembelajaran kontekstual dibutuhkan pula model penilaian yang sesuai. Model penilaian yang sesuai untuk mengukur capaian kompetensi kinerja peserta didik yaitu penilaian autentik. B. Penilaian Autentik dalam Pembelajaran Bahasa 1. Hakikat Penilaian Autentik Penilaian autentik adalah suatu teknik penilaian yang diutamakan atau disarankan untuk model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual sendiri merupakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan capaian kompetensi kinerja peserta didik seperti yang diamanahkan dalam KTSP dan K-13. Jadi, ada ke-linear-an antara kurikulum, pembelajaran kontekstual, dan penilaian autentik. Para ahli telah mengemukakan definisi mengenai penilaian autentik, antara lain: a. Mueller (2011) menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan a form of assessment in which students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills ‗Sebuah bentuk penialaian dimana siswa diminta untuk menampilkan kinerja seperti di dunia nyata yang menunjukkan penerapan yang bermakna dari esensi pengetahuan dan keterampilan‘. b. Stiggins melalui Mueller (2011) juga berpendapat bahwa penilaian autentik merupakan performance assessments call upon the examinee to demonstrate specific skills and 25 competencies, that is, to apply the skills and knowledge they have mastered‗penilaian unjuk kerja yang meminta pembelajar menampilkan kecakapan dan kompetensi khusus yang merupakan penerapan dari kecakapan dan pengetahuan yang telah mereka kuasai‘. c. Wiggins dalam Mueller (2011) juga menyatakan hal yang senada: "...Engaging and worthy problems or questions of importance, in which students must use knowledge to fashion performances effectively and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the kinds of problems faced by adult citizens and consumers or professionals in the field."‗...Masalah-masalah yang bermakna dan aktual atau pertanyaan penting dimana siswa harus menggunakan pengetahuannya untuk memperbagus kinerjanya dengan efektif dan kreatif. Tugas-tugas yang ada hendaknya juga menyerupai atau menggambarkan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi oleh masyarakat atau pemakai atau para profesional di lapangan.‘ Dari beberapa definisi tentang penilaian autentik oleh beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa poin-poin penting dalam penilaian autentik yaitu adanya kinerja dan bermakna. Adanya kinerja berarti penilaian autentik bukan hanya berfungsi untuk menagih tagihan pengetahuan tentang sistem dimana siswa hanya diminta untuk merespon pilihan jawaban yang telah disediakan (seperti dalam penilaian tradisional) tetapi siswa haruslah benarbenar melakukan kinerja berbahasa yang konkret (aktif reseptif dan aktif produktif). Bermakna berarti tugas-tugas atau soal-soal yang digunakan dalam penilaian harus bersifat kontekstual dan merupakan kinerja berbahasa yang ditemukan dan dibutuhkan dalam dunia nyata atau dunia kerja. Penilaian autentik memang berbeda dengan penilaian tradisional. Selama ini, dalam penilaian tradisional yang biasanya berbentuk objektif-pilihan ganda siswa hanya diminta merespon jawaban yang telah disiapkan. Hal tersebut tentu belum mencerminkan kinerja berbahasa peserta didik yang sebenarnya bahkan terkadang banyak siswa yang menjawab secara untung-untungan. Di dalam penilaian autentik, siswa tidak boleh hanya sekedar merespon pilihan jawaban tetapi harus benar-benar menunjukkan kinerja atau performa berbahasa, siswa harus melakukan suatu aktivitas berbahasa (doing something) yang merupakan penerapan dari pengetahuan kebahasaan yang telah dikuasainya secara teoretis. Perbedaan antara penilaian autentik dan penilaian tradisional juga dikemukakan oleh Mueller (2011) seperti dalam tabel berikut ini. 26 Penilaian Tradisional Penilaian Autentik Selecting a respon Performing a task Contrived Real-life Recall/Recognition Construction/Application Teacher-structured Student-structured Indirect evidence Direct Evidence Pada penilaian tradisional, siswa diberi beberapa pilihan jawaban (a, b, c, atau d; B/S, memasangkan jawaban) dan kemudian mereka diminta untuk memilih jawaban yang benar. Pada penilaian autentik, siswa diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman mereka melalui kinerja yang lengkap dan bermakna. Perbedaan yang kedua, tes tradisonal itu cenderung artifisial, sedangkan penilaian autentik tugasnya mencerminkan apa yang ada di dunia nyata. Perbedaan ketiga, pada penilaian tradisional siswa hanya memanggil kembali atau merekognisi pengetahuan yang telah diterimanya, sedangkan pada penilaian autentik siswa dituntut untuk dapat menerapkan ilmunya melalui tindakan nyata. Perbedaan keempat, pada penilaian tradisional, soal dan jawaban disusun oleh guru, siswa tinggal memilih jawaban yang tersedia, sedangkan pada penilaian autentik jawaban disusun sendiri oleh siswa. Perbedaan yang terakhir, pada penilaian tradisional guru hanya memperoleh bukti tidak langsung tentang kemampuan siswa, karena terkadang banyak siswa yang bermodal untung-untungan, sedangkan pada penilaian autentik guru memperoleh bukti langsung sehingga dapat mengetahui dengan benar sejauh mana kemampuan siswa. Sebenarnya kedua model penilaian ini sama baiknya tergantung waktu dan tujuan penggunaan. Callison melalui Nurgiyantoro (2011: 29) menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan penilaian proses, dan tampaknya hampir mustahil dipakai untuk ujian nasional atau ulangan umum di akhir semester yang waktunya amat terbatas (Nurgiyantoro, 2011: 30). Penilaian tradisional tampaknya lebih tepat untuk ujian akhir karena praktis, tidak membutuhkan waktu lama, dapat dilakukan secara massal, dan bentuk tes objektif itu lebih mudah dipertanggungjawabkan dari segi validitas dan reliabilitas. Untuk mengantisipasi sisi kelebihan dan kelemahan masing-masing model penilaian, untuk ujian akhir menggunakan tes tradisional objektif-pilihan ganda yang bernuansa autentik. Jadi, siswa tidak hanya sekedar merespon pilihan jawaban yang disediakan. 27 2. Pengembangan Penilaian Autentik Menurut Mueller (2011) ada empat langkah dalam pengembangan penilaian autentik, yaitu: a. Identify the Standards (Penentuan Standar) Mueller (2011) menyatakan bahwa standards, like goals, are statements of what students should know and be able to do. ‗Standar seperti halnya tujuan adalah pernyataanpernyataan tentang apa yang harus diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa‘. Biasanya kalimat yang menyatakan standar diawali dengan ―Siswa dapat....‖. penentuan standar bertolak dari pertanyaan “What do you really want your students to know and be able to dorelated to your dicipline?” ‗Pengetahuan dan kecakapan apa yang sebenarnya diinginkan untuk dikuasai oleh murid-murid kita ketika mereka mempelajari ilmu kita?‘. Menurut Nurgiyantoro (2011: 31) penentuan standar di dunia pendidikan di Indonesia tidak lain adalah penentuan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang menjadi acuan bersama kegiatan pembelajaran dan penilaian. b. Select an Authenthic Task (Penentuan Tugas Autentik) Menurut Mueller (2011) langkah kedua ini meupakan implikasi dari pernyataan: You want to find a way students can demonstrate that they are fully capable of meeting the standard. ‗Anda ingin menemukan suatu cara agar siswa dapat menunjukkan sejauh mana mereka telah mampu mencapai standar-standar yang telah ditentukan.‘ Jadi, pada tahapan ini seorang guru atau penilai memilih tugas yang akan diberikan kepada siswa dimana siswa diminta untuk menampilkan (unjuk kerja) atau menghasilkan sesuatu yang menunjukkan bahwa mereka telah mampu mencapai standar yang telah ditentukan atau belum. Pemberian tugas ini dapat dapat dilakukan selama pembelajaran atau di akhir pembelajaran. Menurut Nurgiyantoro (2011: 31) dalam memilih tugas autentik yang akan diberikan harus merujuk pada kompetensi mana yang akan diukur (sesuai dengan standar) dan tugas-tugas tersebut harus mencerminkan keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata (relevan). c. Identify the Criteria for the Task (Pembuatan Kriteria untuk Tugas Autentik) Langkah ketiga ini bertolak dari pernyataan "What does good performance on this task look like?"‗Unjuk kerja atau kinerja yang bagus itu yang seperti apa?‘. Untuk menjawab pertanyaan ini seorang guru atau penilai perlu menentukan kriteria unjuk kerja atau kinerja yang bagus. Kriteria berisi hal-hal esensial yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan konkret mewakili kompetensi yang diukur capaiannya 28 (Nurgiyantoro, 2011: 33). Kriteria ini akan digunakan untuk menilai sebaik apa siswa melakukan tugas mereka dan sejauh mana mereka mampu mencapai standar yang ditentukan. Jumlah kriteria yang dibuat bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti kriteria harus mencakup cakupan hal-hal yang esensial dalam sebuah standar karena hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaran (Nurgiyantoro, 2011: 32). d. Create the Rubric (Pembuatan Rubrik) Menurut Mueller melalui Nurgiyantoro (2011: 33), rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penyekoran yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu. Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok, yaitu kriteria dan tingkat capaian kriteria. Kriteria adalah hal-hal pokok yang akan dinilai dalam sebuah tugas, sedangkan tingkat capaian kriteria berisi skor atau angka-angka yang diperoleh oleh siswa sesuai kualitas kinerjanya yang diukur berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Seorang guru yang telah menyelesaikan empat tahap pengembangan penilaian autentik berarti telah menentukan standar pembelajaran, menentukan tugas autentik apa yang akan diberikan, menentukan kriteria dari tugas tersebut, dan telah selesai membuat rubrik penilaian. 3. Jenis-jenis Penilaian Autentik Penentuan jenis tugas penilaian autentik yang akan digunakan disesuaikan dengan kompetensi yang akan diukur, kondisi kelas, dan kemampuan penilai untuk melakukannya. Tugas-tugas untuk penilaian autentik telah didesain sedemikian rupa untuk menilai kemampuan para siswa menerapkan pengetahuan yang telah diberikan dan cakap untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Beberapa jenis penilaian autentik dijelaskan dalam uraian berikut ini. a. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menguji kemampuan peserta didik dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan, menguji apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan, sebagaimana ditemukan dalam situasi nyata dan konteks tertentu (Nurgiyantoro, 2011: 34). Penilaian kinerja dalam pembelajaran bahasa berkaitan dengan kinerja aktif produktif lewat berbicara dan menulis. Kinerja berbicara misalnya berpidato, berdiskusi, berdialog, berwawancara (mewawancarai dan diwawancarai), dan sebagainya. Kinerja menulis misalnya 29 membuat karangan, artikel, resensi, menulis berita, surat laporan, analisis teks kreatif, dan lainlain. b. Wawancara Lisan Di dalam aktivitas ini terjadi tanya jawab antara pihak yang diwawancarai dan pewawancara, bisa antara guru dan murid atau murid dengan murid dan guru sebagai pengamat. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menilai kompetensi peserta didik membahasakan secara lisan informasi yang ditanyakan pewawancara dengan benar. Unsur yang dinilai tidak hanya ketepatan struktur dan kosakata, tetapi juga ketepatan atau kejelasan informasi yang disampaikan. c. Pertanyaan Terbuka Penilaian dilakukan dengan memberikan pertanyaan (stimulus) atau tugas yang harus dijawab atau dilakukan oleh peserta didik secara tertulis atau lisan. Pertanyaan harus memaksa peserta didik untuk mengkreasikan jawaban yang sekaligus mencerminkan penguasaannya terhadap pengetahuan tertentu. Kemampuan peserta didik memilih atau mengkreasikan pesan dan bahasa secara akurat dan tepat mencerminkan kualitas berpikir tingkat tinggi (Nurgiyantoro, 2011: 36). d. Menceritakan Kembali Teks atau Cerita Pemberian tugas menceritakan kembali biasanya dilakukan untuk mengukur pemahaman wacana yang didengar atau dibaca secara lisan atau tertulis. Jadi, dalam penilaian ini terjadi integrasi beberapa kemampuan berbahasa. Aspek yang dinilai yaitu ketepatan unsur kebahasaan, ketapatan, dan keakuratan isi atau informasi yang terkandung dalam suatu wacana. e. Portofolio Portofolio merupakan kumpulan karya peserta didik yang dikumpulkan secara sengaja, terencana, dan sistemik yang kemudian dianalisis secara cermat untuk menunjukkan perkembangan kemajuan mereka setiap waktu (Nurgiyantoro, 2011: 37). f. Proyek Proyek merupakan bentuk penugasan untuk menghasilkan karya tertentu yang dilakukan secara berkelompok terkait dengan materi yang diajarkan. Hasil kerja dapat berupa mini-research atau penelitian kecil-kecilan, laporan tertulis, rekaman video, dan lain-lain. 30 C. Penilaian Autentik untuk Mengukur Kompetensi Berbahasa Aktif Produktif. Bachman dan Palmer melalui Brown (2004: 28) mendefinisikan penilaian autentik sebagai the degree of correspondence of the characteristics of a given languange test task to the features of target language task ‗tingkat kesesuaian karakteristik pada tes bahasa dengan ciri khas yang terdapat pada bahasa sasaran.‘ Intinya, ketika seorang guru membuat tugas autentik bahasa, tugas ini benar-benar dibuat seperti halnya yang ditemukan di dunia nyata. Penilaian autentik dapat dilakukan dalam bentuk tes dan non tes. Penilaian autentik dalam bentuk tes maksudnya soal objektif-pilihan ganda namun bernuansakan autentik. Jadi, siswa tidak sepenuhnya ―hanya‖ memilih jawaban yang tersedia. Penilaian autentik bentuk tes ini dapat digunakan untuk ujian akhir karena lebih praktis daripada penilaian autentik yang berbentuk non tes. Penilaian autentik bentuk non tes sebenarnya lebih akurat dan konkret, tetapi karena membutuhkan waktu yang lama penilaian autentik non tes lebih cocok untuk penilaian proses daripada ujian akhir. Keterampilan berbahasa memuat empat jenis keterampilan. Keterampilan berbahasa dibagi menjadi keterampilan reseptif atau menerima dan keterampilan produktif atau menghasilkan. Keterampilan berbahasa reseptif meliputi keterampilan menyimak dan membaca. Keterampilan menyimak untuk bahasa lisan dan keterampilan membaca untuk bahasa tulis. Sementara itu, untuk keterampilan produktif meliputi keterampilan berbicara dan menulis. Keterampilan berbicara untuk produksi bahasa lisan dan keterampilan menulis untuk produksi bahasa tulis. Pada makalah ini lebih difokuskan pada keterampilan aktif produktif, baik bahasa lisan maupun tulis. Pengukuran kompetensi berbicara dan menulis juga dapat dilakukan dengan penilaian autentik bentuk non-tes maupun bentuk tes. Untuk tes autentik kompetensi menyimak dan membaca, soal harus didesain bahwa tanpa bekal pemahaman isi teks yang didengar atau dibaca, peserta didik tidak bisa melakukan tugas yang diberikan. Tes autentik untuk kompetensi berbicara dan menulis, pilihan jawaban harus mencerminkan tindakan berbicara dan menulis yang akan dilakukan siswa ketika berada dalam konteks yang terdapat dalam soal. Penilaian autentik bentuk non-tes untuk mengukur kompetensi berbicara dan menulis dapat dilakukan dengan pemberian tugas-tugas yang memungkinkan peserta didik menunjukkan kinerja berbahasa dalam menyampaikan informasi secara lisan dan tulisan. Tugas-tugas autentik untuk mengukur kompetensi berbicara tersebut antara lain: menceritakan kembali suatu cerita 31 atau peristiwa secara lisan, bercerita berdasarkan rangsang tertentu, memberikan tanggapan atas sesuatu secara lisan, berdiskusi, berseminar, berpidato, wawancara (diwawancarai atau mewawancarai), dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 402-421). Tugas-tugas autentik untuk mengukur kompetensi menulis antara lain: menulis berdasarkan rangsang tertentu (gambar, suara, visual dan suara, buku), menulis laporan, menulis surat, menulis berdasarkan tema tertentu, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 428-445). Pemilihan tugas autentik harus disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum. Bahan materi yang digunakan juga harus dalam jangkauan kognitif peserta didik. Contoh-contoh penilaian autentik dalam bentuk tes dan non-tes diuraikan dalam penjelasan berikut ini. 1. Contoh Penilaian Autentik Non-tes untuk Mengukur Kompetensi Berbicara a. Soal Bahasa Jawa: Identitas Mata Pelajaran Mata Pelajaran : Bahasa Jawa Kelas/Semester : XI/ 2 (Dua) Alokasi Waktu : 2 JP Standar Kompetensi 1. Mampu praktik pranatacara dan sesorah (pidato) berbahasa Jawa. Kompetensi Dasar 6.1. Praktik sesorah dalam berbagai kegiatan di sekolah. Indikator 1. Siswa mampu membuat teks sesorah sesuai tema yang telah ditentukan. 2. Siswa mampu melaksanakan praktik sesorah dengan pilihan kata, wiraga, wicara, wirama, dan wirasa yang tepat. Soal: Cobi samenika kadamelna sesorah kanthi tema ―Pigunanipun Nyinau Basa Jawi ing Sekolahan‖. Wondene cengkoronganipun kados ing ngandhap menika: Cengkoronganing Isi Sesorah Pambuka Pangertosan wulangan basa Jawi Isining sesorah Menapa kemawon ingkang dipunsinau ing basa Jawi? Pigunanipun nyinau basa Jawi 32 Panutup Dudutan (simpulan) bab menapa perlunipun nyinau basa Jawi. Sasampunipun sesorah dipundamel, kagladhena wonten sangajenging kelas ngginakaken basa Jawi krama! Penyekoran: 1. Pembuatan Kriteria a. Materi = berkaitan dengan kualitas isi pidato dan penguasaan materi pidato. b. Ketepatan diksi = berkaitan dengan ketepatan pemilihan kata. c. Ketepatan kalimat = struktur kalimat tepat dan adakepaduan antar kalimat. d. Wirama = berkaitan dengan jelas tidaknya pengucapan, ketepatan penekanan, dan kecepatan berbicara. e. Wiraga = berkaitan dengan sikap ketika berbicara (wajar, tenang, tidakkaku, dangerakan-gerakan yang menunjangpembicaraan). f. Wirasa = berkaitan dengan pesan dan nilai rasa yang disampaikan dapat sampai ke audience. Tingkat kefasihan secara umum ditentukan sebagai berikut: 1= kurang sekali, 2 = kurang, ada sedikit unsur benar, 3 = sedang, jumlah unsur benar dan salah kurang lebih seimbang, 4 = baik, ketepatan tinggi dan sedikit kesalahan, 5 = baik sekali, tepat sekali, tanpa atau hampir tanpa kesalahan. Nilai dihitung dengan rumus = jumlah skor:skor maksimal x 100. 2. Pembuatan Rubrik Penilaian Rubrik penilaian kinerja berpidato / sesorah: No. Aspek yang dinilai Tingkat Kefasihan 1 1. Materi 2. Ketepatan diksi 3. Ketepatan kalimat 4. Wirama 5. Wiraga 6. Wirasa 2 3 4 5 33 Jumlah skor Nilai 3. Contoh penilaian autentik dalam bentuk tes untuk mengukur kompetensi berbicara berbahasa Jawa 1. Rina ngampil buku basa Jawa marang gurune. Nalika mbalekake buku kang diucapake Rina yaiku... a. Ibu, punika kula badhe mangsulaken bukunipun Ibu. Matur nuwun. b. Ibu, punika kula badhe ngonduraken bukunipun Ibu. Matur nuwun.*) c. Ibu, niki kula badhe mbalekaken bukunipun Ibu. Matur nuwun. d. Ibu, niki kula badhe ngaturaken bukunipun Ibu. Matur nuwun. 2. Bu Susi : ―Hallo‖ Maya : ―Sugeng enjang. Punapa leres punika Bu Susi?‖ Bu Susi : ―.....‖ Bacute pacelathon lewat telepon mau kang trep yaiku... a. Iya bener, iki aku dhewe. Iki sapa? b. Nggih leres niki Bu Susi. Niki sinten? c. Iya bener iki Bu Susi. d. Inggih leres kula piyambak, saking sinten punika? *) Dari dua contoh soal di atas, meskipun soal dibuat dalam bentuk tes, namun untuk dapat menjawab pertanyaan, peserta didik tetap dituntut untuk melakukan kinerja. Meskipun ―kinerja‖ dilakukan hanya dalam benak dan tidak dipraktikan secara langsung, namun soal tersebut adalah pengejawantahan dari bentuk kinerja atau performance yang nyata. 4. Contoh penilaian autentik non-tes untuk mengukur kompetensi menulis berbahasa Jawa: Identitas Mata Pelajaran Mata Pelajaran : Bahasa Jawa Kelas/Semester : X/ 1 (Satu) Alokasi Waktu: 2 JP Standar Kompetensi 4. Mengungkapkan gagasan dan pendapat berbagai wacana non-sastra dalam kerangka budaya Jawa Kompetensi Dasar 4.1 Menulis surat resmi berbahasa Jawa 34 Indikator 1. Siswa mampu menggunakan bahasa Jawa yang tepat dalam bentuk karya tulis non sastra (surat resmi). 2. Siswa mampu menulis surat resmi dalam bahasa Jawa sesuai konteks yang ditentukan. Soal: Kadamelna serat resmi mawi basa Jawi ingkang wosipun serat ulem rapat OSIS kangge ngrembag acara MOS. Penyekoran Rubrik untuk Penilaian Penulisan Surat Resmi Berbahasa Jawa: No. Aspek yang Dinilai Tingkat Capaian Kinerja 1 5. 1. Ketepatan format surat 2. Ketepatan isi surat 3. Ketepatan diksi 4. Ketepatan struktur kalimat 5. Ketepatan tata tulis 2 3 4 5 Contoh Penilaian Autentik dalam Bentuk Tes untuk Mengukur Kompetensi Menulis berbahasa Jawa a. 1. Miturut tradhisi Jawi, pasang tarub sarta tuwuhan menika mawi dhasar petangan wekdal, dinten, sarta tanggal ingkangsampun kapetang kanthi premati. 2. Upacara tarub inggih menika upacara pasang tetuwuhan sarta janur kuning minangka rerenggan papaning pawiwahan. 3. Pasang tarub menika limrahipun sareng kaliyan upacara siraman. 4. Janur kuning sarta tetuwuhan kapacak ing korining pawiwahan. Urutaning ukara kang bener supaya kadhapuk dadi paragraf kang apik yaiku... a. 2 - 1 - 4 - 3 b. 2 - 4 - 1 - 3 c. 2 - 3 - 1 - 4 d. 2 - 1 - 3 - 4 b. Pengetan dinten ageng yen kaserat mawa aksara Jawa yaiku... 35 a. b. c. d. D. Penutup Penilaian autentik adalah suatu model penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur capaian kompetensi dan kinerja siswa sesuai yang difokuskan dalam KTSP dan kurikulum 2013. Pemahaman tentang penilaian autentik dapat membantu seorang guru melakukan evaluasi pembelajaran yang telah dilakukan. Dari hasil penilaian autentik guru dapat memperoleh umpan balik atau feed back yang akurat sehingga dapat dijadikan landasan untuk merevisi dan mengembangkan proses pembelajaran selanjutnya. Siklus ini dapat berlangsung terus menerus sehingga pada akhirnya akan menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan mampu bersaing di dunia nyata. ―Guru yang hebat akan menciptakan murid yang hebat‖ Daftar Pustaka Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment: Principles and Classroom Practices. New York: Pearson Education, Inc. Mueller, Jon. 2011. Authenthic Assessment Toolbox. North Central College, Naperville, http://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/index.htm, diunduh tanggal 27 Maret 2012. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE. ____________________. 2011. Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: UGM Press. 36 PENGGUNAAN APLIKASI ANDROID “APLIKASI WAYANG KULIT V2” SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN WAYANG KULIT DALAM KURIKULUM 2013 Krisna Pebryawan, S.S., M.Pd. Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Kepopuleran smartphone dengan sistem operasi berbasis android di lingkungan remaja harus bisa disiasati oleh guru. Guru hendaknya kreatif dan adaptif dengan perubahan jaman. Termasuk merespon perkembangan teknologi komunikasi. Android bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran materi wayang kulit. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penulisan makalah ini adalah penggunaan Aplikasi Wayang Kulit v2 sebagai sarana pembelajaran wayang kulit pada kurikulum 2013. Diharapkan aplikasi tersebut dapat membantu para guru dalam mengajarkan materi wayang kulit, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan dan memahami nilai-nilai budi pekerti yang terdapat dalam wayang kulit. Kata kunci: android, wayang kulit. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Ilmu pengetahuan berkembang pesat dalam satu dekade terakhir yang ditandai dengan munculnya berbagai produk-produk teknologi. Tujuannya kurang lebih sama untuk memudahkan kehidupan manusia. Salah satu produk dalam bidang teknologi yang fenomenal adalah smartphone. Kehadirannya telah benar-benar membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat. Dalam benda sekecil itu orang dapat melakukan banyak hal seperti sms, telpon, chatting, menggunakan google, youtube, skype, dan bermain game. Bahkan orang tidak perlu lagi membawa kamus tebal yang terkesan berat dan ribet, karena digantikan dengan kamus elektronik. Masyarakat tak perlu lagi membawa peta jika ingin bepergian, cukup dengan google map atau aplikasi here kita bisa sampai di tempat tujuan. Fenomena smartphone dengan cepat menjalar di lingkungan anak muda. Mereka yang menamakan diri generasi kekinian. Generasi yang cepat dan penuh gairah. Informasi 37 pun mengalir sangat deras dalam hitungan detik. Tak perlu lagi televisi, radio, ataupun surat kabar. Semua dalam genggaman bernama smartphone. Dampak yang ditimbulkannya pun bermacam-macam. Baik negatif maupun positif. Memang tidak dapat dipungkiri, kemudahan yang didapat juga berbanding lurus dengan resiko yang harus ditanggung. Pada kenyataannya banyak pengguna yang kurang bijaksana dalam memanfaatkannya. Perubahan pola berpikir dan selera anak muda sudah menjadi hal yang lumrah. Jaman dahulu sebelum makan kita berdoa, sekarang sebelum makan kita foto dulu hidangannya. Dahulu ketika orang berkumpul, dimanfaatkan untuk bercengkrama, bercanda, dan bertukar pikiran. Sekarang orang berkumpul, sibuk dengan smartphone masing-masing. Hal ini memunculkan kesan bahwa smartphone mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Dibalik kehebatan smartphone yang sangat diandalkan oleh banyak orang, tanpa disadari smartphone membawa dampak negatif, sifat apatis dan individual. Mereka lebih asik dengan dunianya sendiri dan tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar. Oleh karenanya melalui lembaga pendidikan, guru diharapkan mampu memberikan kontribusinya secara maksimal. Menjadi filter masuknya berbagai informasi dan memberikan pemahaman tentang penggunaan smartphone yang bijak dan bertanggungjawab. Guru adalah sebuah profesi yang dihormati. Sampai sekarang masyarakat percaya bahwa guru adalah pilar bangsa. Orang tua susah payah bekerja supaya mampu membiayai sekolah anaknya. Anak juga dikursuskan di berbagai tempat. Orang tua menganggap bahwa masa depan anaknya berada di tangan para guru. Guru dalam konsep Jawa merupakan Jarwodhosok: guru-digugu lan ditiru. Maka jelas sudah, bahwa guru menjadi sosok yang diteladani baik perkataan dan perbuatannya. Guru hebat adalah guru yang adaptif terhadap perubahan, mengetahui selera pasar dan mampu memenuhi kebutuhan siswanya. Hal ini juga menjadi tantangan bagi guru bahasa Jawa. Peran bahasa dan sastra Jawa dalam pembentukan karakter (budi pekerti) harus disadari betul oleh para guru bahasa Jawa. Mempelajari bahasa Jawa yang terkesan kuno, bukan berati harus mengajarkan materinya juga dengan cara kuno. Akan sangat susah ketika guru mengajarkan hanacaraka dengan cara konvensional. Menulis di papan tulis, lalu siswa disuruh menghafal. Diberi tugas, kemudian maju satu-satu menuliskannya. Guru bahasa Jawa dituntut untuk mengikuti perkembangan jaman. Mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Dengan begitu guru memiliki kepekaan terhadap 38 selera siswa. Baju yang dipakai guru 10 tahun lalu, tak akan digunakan oleh generasi sekarang, karena dianggap ketinggalan jaman. Perbedaan selera antar generasi pasti terjadi, sama halnya dengan bahasa. Seperti kata Lestari (2015: 42) hidup ini cair. Semesta bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Senada dengan dengan hal itu, Kasali (2014: 11) mengungkapkan bahwa perubahan belum tentu menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa perubahan tak akan pernah ada pembaruan. Apa yang diungkapkan Rhenald Kasali memang benar. Sempat terjadi kekacauan akibat kurikulum 2013, siswa dianggap belum siap. Guru kalangkabut, banyak pihak memprotes. Pro dan kontra mewarnai berjalannya kurikulum 2013. Terlepas dari polemik tersebut, pada kenyataannya sekarang kurikulum 2013 dan KTSP berjalan berdampingan. Inilah contoh perubahan! Wayang kulit adalah salah satu materi dalam pembelajaran bahasa Jawa, baik di kurikulum 2013 maupun KTSP. Tidak dapat dipungkiri bahwa cerita wayang mengandung nilai-nilai budi pekerti yang dibutuhkan oleh generasi sekarang. Terlebih dengan cepatnya informasi di era globalisasi sekarang ini, implementasi nilai-nilai budi pekerti diharapkan dapat berjalan sesuai harapan. Masalah justru muncul pada diri banyak siswa yang menganggap pembelajaran wayang kulit tidak perlu. Hal ini tentu disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kurang tepatnya strategi pengajaran guru di dalam kelas. Selama ini konsep wayang di benak para siswa adalah dunia dongeng, dewa dewa, bahasanya yang tinggi susah dijangkau oleh siswa. Siswa jadi malas, kurang tertarik dan dampaknya pembelajaran berjalan kurang lancar. Untuk itulah kreatifitas guru diperlukan. Guru sewajarnya memiliki strategi mengajar yang tepat, unik dan inovatif. Yang artinya selalu berkembang mengikuti jaman. Termasuk dalam pemanfaatan teknologi. Android adalah salah satu jenis smartphone yang banyak digemari saat ini. Selain harganya terjangkau juga mempunyai banyak fungsi yang sesuai dengan kebutuhan anak muda saat ini. Diharapkan kehadiran android dapat dipakai sebagai media pembelajaran. 2. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah 39 Android sebagai sebuah kemajuan teknologi yang akrab di lingkungan siswa keberadaannya belum dimaksimalkan oleh para guru. Padahal android bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran di ruang kelas. Berdasarkan identifikasi tersebut maka dapat dirumuskan permasalahannya: bagaimanakah pembelajaran materi wayang kulit melalui aplikasi Wayang Kulit V2 yang terdapat pada android? B. Studi Kepustakaan Apa itu android? Android adalah suatu sistem operasi yang berjalan pada smartphone. Menurut Aingindra (2013) di laman resminya mengatakan bahwa android merupakan sebuah sistem operasi berbasis Linux untuk telepon seluler seperti telepon pintar dan komputer tablet. Android menyediakan platform terbuka bagi para pengembang untuk menciptakan aplikasi mereka sendiri untuk digunakan oleh bermacam peranti bergerak. Android pada awalnya dikembangkan oleh Android, Inc, yang didukung Google finansial dan kemudian dibeli pada tahun 2005. Android ini diresmikan pada tahun 2007 seiring dengan berdirinya Open Handset Alliance-konsorsium hadware, sofware, dan perusahaan telekomunikasi yang ditujukan untuk memajukan standar perangkat seluler. Perkembangan android dari awal hingga sekarang ini sudah mencapai 10 versi. Versi android dikembangkan dengan nama kode yang dinamai berdasarkan makanan pencuci mulut dan penganan manis. Masing-masing versi dirilis sesuai urutan alfabet, yakni Cupcake (1.5), Donut (1.6), Eclair (2.0-2.1), Froyo (2..2-2.2.3), Gingerbread (2.3-2.3.7), Honeycomb (3.0-3.2.6), Ice Cream Sandwich (4.0-4.0.4), Jelly Bean (4.1-4.3), Kitkat (4.4.2-4.4.4), dan Lolipop (5.0+). Sekarang ini android menjadi smartphone paling diminati masyarakat. Dibandingkan dengan paltfrom lain, android memiliki beberapa keunggulan. Menurut Aingindra (2013) beberapa keunggulan android dibanding dengan platfrom lain yaitu: a. User Friendly Kalimat ini sangat melekat pada sistem operasi windows milik microsoft, ibaratnya kita dengan mudah mengoprasikan komputer hanya dengan belajar beberapa hari bahkan beberapa jam saja, dan ini juga melekat pada android yang berjalan pada smartphone. b. Notifications 40 Kita bisa dengan mudah mendapatkan notifikasi dari smartphone android dengan mengatur beberapa akun email, sms, voice dial, update dan lain sebagainya. c. Tampilan Dari segi tampilan, android tidak kalah bagusnya dari iOs miliknya Apple, karena memang dari awal android hampir mengusung teknologi iOs, hanya saja ini versi murahnya. d. Open Source Operating system ini memang dibuat open source oleh penciptanya, karena memang berbasis kernel Linux. Oleh karenanya banyak sekali custom rom untuk masing-masing perangkat android. e. Aplikasi Untuk aplikasi kita akan disajikan jutaan pilihan aplikasi yang menarik dan yang gratis hingga berbayar, dan anda bisa mendownloadnya di Google Play. Oleh karenanya penggunaan android sebagai alternatif media pembelajaran dirasa tepat. Dengan sistem operasi yang terbuka memungkinkan banyak pihak untuk membuat aplikasi sesuai dengan kebutuhan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk membuat aplikasi yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa, mulai dari nulis aksara Jawa, kalender hijriyah dan Jawa, Kawruh Basa Jawa, wayang kulit, hitung pasaran, lagu Jawa, kamus Indonesia-Jawa, hingga resep masakan khas Jawa. Sudah sepantasnya kita memberikan apresiasi bagi pihak-pihak yang turut mengembangkan aplikasi berbahasa Jawa. Sebagai wujud apresiasi tersebut adalah memanfaatkannya dalam dunia pendidikan. Sarana untuk mengenalkan dan mempelajari kebudayaan Jawa seperti wayang kulit. Mulyasa (2014: 71) berpendapat bahwa pendayagunaan sumber belajar memiliki arti yang sangat penting, selain melengkapi, memelihara, dan memperkaya khasanah belajar, sumber belajar juga dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar, yang sangat menguntungkan baik bagi guru maupun bagi para peserta didik. Dengan didayagunakannya sumber belajar secara maksimal, dimungkinkan orang yang belajar menggali berbagai jenis ilmu pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya, sehingga pengetahuannya senantiasa aktual, serta mampu mengikuti akselerasi teknologi dan seni yang senantiasa berubah. 41 Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa android dapat dijadikan media pembelajaran dan sumber belajar bagi guru dan siswa. Menurut Guritno (1988: 7) wayang sebagai hasil prestasi puncak masa lalu para leluhur yang bertempat tinggal di pulau Jawa dengan demikian dapat dianggap sebagai warisan budaya Indonesia yang patut dijadikan milik bersama karena isi kandungannya, baik berupa etika maupun estetikanya, tahan uji selama berabad-abad, dan tidak henti-hentinya memukau perhatian orang-orang di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu wayang dimasukkan dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah. Sumardianta (2013: 48) mengatakan bahwa karakter merupakan ciri khas yang melekat pada kepribadian seseorang dan tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara merespon stimulus-pengaruh dari luar. Semakin kuat karakter seseorang, semakin rendah tingkat responnya terhadap stimulus. Semakin lemah karakter seseorang, semakin tinggi responnya terhadap stimulus. Karakter berarti: apa yang tetap orang lakukan walau tidak ada yang sudi memperhitungkan; apa yang membuat orang tetap tegar ketika orang lain tidak ada yang menghargai; apa yang membuat orang tetap bahagia saat orang lain tidak mendukung; dan apa yang tetap orang percayai saat seseorang melakukan kesalahan. Senada dengan hal itu Mulyasa (2014: 65) menegaskan pengembangan kurikulum difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, kompetensi, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Lebih dari itu yang terakhir namun paling penting adalah peran guru. Guru adalah tokoh sentral yang membuat semuanya terjadi. Keterampilan guru dalam menerapkan strategi pembelajaran sangat dinanti. Kemampuan guru untuk menyatukan wayang kulit dan nilainilai budi pekertinya dengan teknologi yang dimiliki android diharapkan dapat berjalan lancar. Seperti dikemukakan oleh Mulyasa (2007: 69) bahwa keterampilan mengajar merupakan kompetensi profesional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. C. Pembahasan Meski mempelajari budaya Jawa yang terkesan kuno, bukan berarti juga harus menggunakan pendekatan konvensional. Diperlukan pula pendekatan yang modern, sesuai 42 dengan selera siswa. seperti dikatakan oleh Kasali bahwa perubahan itu pasti terjadi. Pembelajaran yang bagus juga harus cerdas dalam merespon perubahan. Adaptif terhadap perkembangan teknologi. Kita tidak bisa memaksakan para siswa untuk mendengarkan guru berceramah seharian sedangkan siswa duduk diam mendengarkan dengan tangan di atas meja. Mereka adalah generasi yang bergerak. Bukan lagi mangkuk kosong yang bisa diisi apapun juga. Saya kira ini bisa menjadi bahan perenungan guru, bahwa tidak boleh menutup mata pada teknologi. Kemajuan teknologi harus digandeng. Disosialisasikan kepada siswa. Seperti pemahaman yang penulis dapat dari Kasali bahwa sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidup dalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan atau kebahagian. Siswa menyukai hal-hal yang berbau kekinian. Sesuatu yang segar, baru, dan muthakir. Hal itu mereka peroleh dari teknologi dan android adalah contohnya. Berangkat dari selera siswa tersebut, maka pembelajaran wayang kulit dinilai belum maksimal. Ada beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran wayang kulit kurang maksimal, yaitu: 1. Terbatasnya media pembelajaran berupa wayang kulit. Tidak semua guru mempunyai wayang dan mau membeli wayang kulit untuk kemudian di bawa ke dalam ruang kelas. 2. Kompetensi guru yang kurang memadai. Beberapa guru bahasa Jawa kurang mengetahui selukbeluk cerita wayang. Hal ini tentu akibat dari sistem pendidikan yang dahulu mereka terima sewaktu menjadi siswa. dampaknya, mereka tularkan pada siswanya. 3. Materi wayang kulit masih absurd dimata anak-anak. Anak kurang tertarik dengan materi yang dibawakan. Hal ini dikarenakan bahasa dalam pewayangan yang terbilang sukar, karena merupakan perpaduan bahasa sastra yang multi tafsir dengan bahasa Jawa krama. 4. Minimnya referensi tentang wayang, terutama buku-buku yang membahas tentang cerita wayang dan tokohnya. Para guru boleh bernafas lega, setidaknya dengan adanya android maka pembelajaran di dalam kelas menjadi lebih berwarna. Sekarang di dalam operasi sistem tersebut terdapat banyak aplikasi tentang budaya Jawa. Salah satu contohnya adalah aplikasi wayang kulit v2. Aplikasi wayang kulit v2 merupakan aplikasi android yang bisa di download gratis lewat playstore. Aplikasi tersebut adalah buah karya Angga Prasetyo (Mahasiswa semester 5) Program Studi Manajemen Informatika Politeknik Negeri Jember. 43 Aplikasi wayang kulit dibuat untuk memperpendek akses masyarakat umum untuk mempelajari dan mengenal kesenian wayang kulit melalui media smartphone dengan sistem operasi ANDROID. Dengan penggunaan android sebagai media pembelajaran, maka terjadi keterbukaan antara guru dan siswanya. Siswa tidak lagi mengeluarkan smartphone secara sembunyi sembunyi. Seperti pada ilustrasi berikut ini: Siswa mengeluarkannya dengan sembunyi-sembunyi Sebaliknya, mereka dengan sukarela mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Guru pun tidak akan memarahi, karena dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Siswa bahagia, guru gembira. Transfer ilmu pengetahuan berjalan optimal. Perhatikan ilustrasi di bawah ini. Siswa mengeluarkannya dengan senang hati. Aplikasi wayang kulit v2 secara umum berisi tentang gambar-gambar wayang, info wayang berupa macam-macam gending, nama ratu dan negaranya, termasuk dasanama tokoh pewayangan, serta alat musik gamelan seperti bonang, demung, kenong, peking, slenthem, dan saron yang bisa dibunyikan. Penggunaan aplikasi wayang kulit v2 ini cukup sederhana. Halaman pertama ketika membuka aplikasi terdapat tiga menu utama, yaitu masuk, petunjuk, dan tentang. Seperti terlihat pada gambar 1. 44 Gambar no 1 Pertama kali yang kita lakukan adalah memasukkan akun. Akun itu bisa kita dapat dengan memasukan nama kita. Untuk seterusnya kita tidak perlu memasukan akun lagi. Penggunaan aplikasi ini juga cukup mudah. Apabila menemukan kesulitan, kita dapat membuka halaman petunjuk. Halaman petunjuk bisa menjadi panduan bagi pemula. Dapat dilihat pada gambar 2. 45 Gambar no 2 Halaman selanjutnya setelah meng-klik kolom ―masuk‖ adalah halaman utama. Pada halaman utama terdapat sepuluh menu, yaitu: (1) bonang; (2) Demung; (3) Kenong; (4) Peking; (5) Saron; (6) Slenthem; (7) Main Wayang; (8) Gambar Wayang; (9) Info Wayang; (10) Quis. Untuk menu nomer 1 sampai dengan 7, adalah simulasi menabuh gamelan. Sedangkan pada menu nomer 7 kita bisa menggunakannya untuk memainkan wayang. Posisi wayang bisa diubah-ubah, tangannya juga bisa digerakkan. Lalu pada menu nomer 8 berisi tentang gambar-gambar tokoh dunia pewayangan. Menu nomer 9 berisi tentang perangkat gamelan, gendhing, nama Ratu dan negaranya, senjata andalan, dewa-dewa, dasanama, dan panakawan. Dapat dilihat pada gambar 3 berikut: 46 Gambar 3 Menu terakhir berupa kuis. Berisi 10 soal sederhana yang berkaitan dengan wayang kulit dan pagelarannya untuk dijawab oleh user. Setelah mencoba beberapa kali aplikasi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa aplikasi wayang v2 memang masih membutuhkan penambahan. Terdapat beberapa kekurangan seperti suara gamelan yang ada hanya pelog, sedangkan untuk slendro belum tersedia. Namun dibalik kekurangan itu, aplikasi ini cukup membantu para siswa untuk mengenal dan mempelajari wayang kulit. Disamping aplikasi tersebut, guru juga bisa menggunakan aplikasi sejenis lainnya yang bisa didownload secara gratis di playstore. Beberapa contoh aplikasi tersebut telah disebutkan pada awal pembahasan. Bagaimanapun juga, sesempurna apapun media yang digunakan, tetap tidak ada yang bisa menggantikan peran seorang guru. Oleh karena itu aplikasi tersebut digunakan sebagai media, bukan pengganti guru. Diharapkan dengan adanya aplikasi tersebut dapat membantu guru dalam memberikan pengajaran. Sebaliknya kekurangan-kekurangan dalam aplikasi tersebut dapat dilengkapi oleh guru. D. Simpulan dan Saran Aplikasi wayang kulit pada android terbukti mampu menjembatani guru dengan murid. Image guru yang terkesan kuno dan gagap teknologi bisa terpatahkan. Disamping itu siswa akan 47 sangat terhibur dengan adanya teknologi dalam pembelajaran, apalagi yang digunakan adalah android. Benda yang sudah akrab dengan dirinya. Hal ini tentu sangat menyenangkan bagi siswa. Diharapkan ada kerjasama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, pakar teknologi, dan pakar bahasa dan sastra Jawa untuk menciptakan aplikasi sejenis yang dapat digunakan dalam pembelajaran di dalam kelas. Daftar Pustaka Aingindra. 2013. Dalam artikelnya berjudul ―Android adalah sistem operasi‖. Diambil laman www.aingindra.com. dari Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia, dan Pancasila. Jakarta: UI- Press. Kasali, Rhenald. 2013. Change. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ____________.2014. Lets Change: Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan. Jakarta: Kompas Media Nusantara. PT Lestari, Dewi. 2015. Filosofi Kopi. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Mulyasa, E. 2014. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. _________. 2007. Menjadi Guru Profesional: menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Prasetyo, Angga. 2015. Aplikasi Wayang Kulit dengan Sistem Operasi Android. di download secara gratis melalui Playstore. Sumardianta, J. 2013. Guru Gokil Murid Unyu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Wikipedia. 2015. Versi android dari awal sampai http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_versi_Android. akhir, yang diambil dari 48 TEMA DAN PRAGMATIKA BUDI PEKERTI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL JAWA MODERN PERIODE 1950-2000-AN Djoko Sulaksono Pendidikan Bahasa Jawa, JPBS, FKIP UNS [email protected] Abstrak Tema sebagai bagian dari struktur mempunyai peran yang sangat penting, karena dapat dikatakan sebagai ide pokok suatu karya sastra. Sebagai salah satu wujud karya sastra, novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang dapat dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Budi pekerti Jawa dalam novel dapat disampaikan dengan berbagai hal, salah satunya adalah dengan pragmatika budi pekerti Jawa. Kata kunci: tema, pragmatika, budi pekerti, novel Jawa. A. Pengertian Novel Wardani (2009: 16) menyatakan bahwa novel adalah fiksi yang mengungkapkan cerita tentang kehidupan tokoh dan nilai-nilainya. Novel berisi cerita mengenai tokoh hero yang mengalami problematik dalam dunia yang terdegradasi. Tokoh hero merupakan tokoh yang paling sering muncul atau dapat dikatakan sebagai tokoh utama yang jalan hidupnya paling sering diceritakan atau dibicarakan. Adapun panjang novel biasanya terdiri lebih dari 50.000 kata atau lebih sehingga waktu pembacaannya tidak satu kali dapat selesai. Sementara itu, Prabowo, Widati dan Rahayu (2012: 368) menyatakan novel adalah jenis prosa yang mengandung tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang. Dalam suatu novel terkandung nilai kehidupan yang diolah dengan teknik narasi/kisahan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sekarang istilah roman sama dengan penyebutan istilah novel. Waktu pembacaan novel lebih lama daripada cerita pendek. Hal ini karena novel lebih panjang daripada novel, hal tersebut dipertegas oleh Kenney (1966: 105 ) sebagai berikut ―Where the short story compresses, the novel expands. For the intensity of the short story, the novel subtitutes complexity…Time and the 49 novel. The novel is decidedly not meant to be read at a single sitting. Because of its length, the novel is particularly suited, as the short story is not, to deal with the effect an character of the passage of time. Novel atau novella (Latin), dalam sejarah sastra Barat merupakan bentuk singkat dan padat cerita zaman pertengahan. Sebagai istilah, di Indonesia digunakan mulai Angkatan Pujangga Baru (1930-an), menggantikan istilah roman yang digunakan pada angkatan balai pustaka (1920-an). novel yang lebih pendek disebut novella (novelet). Novel merupakan satusatunya karya sastra, dalam hubungan ini jenis fiksi yang paling digemari masyarakat (Ratna, 2014: 720). B. Jenis-jenis Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Goldmann dalam Faruk (2010: 31) menggolongkan novel menjadi tiga macam, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. 1. Novel idealisme abstrak, yaitu novel yang menampilkan tokohnya yang masih ingin di dunia. Persepsi tentang tokoh yang sempit tentang dunia, subjektivitasnya menjadikan idealisme bersifat abstrak. 2. Novel psikologis, yaitu novel yang menampilkan tokoh yang idealisme tentang dunia lebih luas dan dalam. 3. Novel pendidikan, yaitu novel ini menampilkan tokoh yang memiliki interioritas dan kesadaran tinggi sehingga tokohnya terkadang mengalami kegagalan. Berbeda dengan Faruk, Nurgiyantoro (2009: 16) membedakan novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. 1. Novel serius Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Secara singkat, unsur kebaruan diutamakan. Tentang bagaimana suatu bahan diolah dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarikmenarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat 50 stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya (Nurgiyantoro, 2009: 20). Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2009: 21) menjelaskan bahwa novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan. Dengan sedikit pembaca pun tidak apa asal mereka memang berminat dan syukurlah jika berkualitas. Jumlah novel dan pembaca serius, walau tidak banyak akan punya gaung dan bertahan dari waktu ke waktu. 2. Novel Populer Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra popular menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan dengan tujuan pembaca akan mengenali kembali pengalamannya. Oleh karena itu, sastra popular yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam, 1981: 88). Selanjutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menjaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (Nurgiyantoro, 2009: 18). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima jenis novel, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis, novel pendidikan, novel serius dan novel populer. Masing-masing jenis novel tersebut mempunyai karakter atau ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan jenis yang lainnya. C. Novel Berbahasa Jawa Pada umumnya, novel Jawa yang sudah dicetak dan diedarkan sebelumnya diterbitkan terlebih dahulu melalui majalah atau kalawarti (majalah berbahasa Jawa) dalam bentuk cerita bersambung. Hal ini sesuai dengan pendapat Damono (2001: 375) bahwa ―secara 51 keseluruhan, jika berbicara mengenai novel Jawa, sebenarnya berbicara tentang cerita bersambung yang dimuat di majalah dan koran. Dalam hal ini ini Balai Pustaka merupakan perkecualian. Dalam perkembangan sastra Jawa baru, media masa cetak merupakan sarana utama penyebarluasannya. Novelis-novelis Jawa umumnya dikenal luas di masyarakat bukan karena bukunya, tetapi lebih karena cerita-ceritanya yang dimuat secara bersambung di majalah-majalah. Salah satu majalah yang sangat besar jasanya dalam menyebarluaskan novel Jawa adalah Panjebar Semangat, sebuah mingguan berita yang pertama kali terbit tahun 1933. Sejak saat itu sampai sekarang, bersama-sama dengan majalah lain seperti Djaja Baja, mingguan tersebut boleh dikatakan secara teratur menyiarkan cerita bersambung. Panjang setiap cerita rata-rata adalah 6 kali muat; jika diterbitkan dalam bentuk buku mencapai sekitar 60 halaman‖. D. Pengertian Budi Pekerti Sudiyatmana (2005: 32) menyatakan tembung budi saka basa Sansekerta ”budh” sing tegese: nglilir, tangi, gumregah, sadhar ing babagan kajiwan. Sabanjure tembung pekerti sing nguweni teges: tumindak, tumandang, makarya, makarti ing babagan karagan. Pekerti ana sambung rakete karo tindak-tanduk jiwa lan raga, lair lan batin. Budi pekerti bisa dipilah nanging ora bisa dipisah. Gegandhengan karo bab iku, ana tetembungan sing sinebut mono dualistik. Bab loro sing bisa dipilah nanging ora bisa dipisah. Ana ing kawruh metapisika sinebut the law of two, paugeran loro sing tansah ana. lair pasangane batin, ala pasangane becik, salah bener, padhang-peteng, luhur-asor lan sapiturute. Sementara itu, Suwandi (2012) menegaskan terdapat sejumlah kata yang dalam pemakaiannya sering dipertukarkan, yakni kata budi pekerti, moral, karakter, dan akhlak. Berdasarkan uraian-uraian tentang definisi kata-kata tersebut sebenarnya kata-kata budi pekerti, moral, karakter, dan akhlak secara umum memiliki arti yang sama. Pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian pendidikan akhlak atau watak (karakter). Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral. Tujuan budi pekerti adalah membentuk pribadi anak agar menjadi insan yang baik serta warga masyarakat dan warga negara yang baik (baik untuk dirinya, masyarakat, dan bangsa) didasarkan pada nilainilai sosial tertentu yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Sejalan dengan itu, pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia pada hakikatnya adalah pendidikan nilai yang bersumber pada falsafah dan budaya bangsa Indonesia 52 E. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ―makna‖ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007: 36). Sementara itu, Kenney (1966: 91) menyatakan bahwa ―Theme is meaning, but it is not 'hidden' and it is not illustrated. theme is the meaning the story releases; it may be meaning the story discovers. by theme we mean the necessary implications of the whole story, not a separable part of a story. Lebih lanjut, Sudjiman (1988: 23) menegaskan bahwa tema adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita Quinn (1992: 135) menyatakan The Javanese novel is ideologically diverse. There seem to be three main sub-groups of novel, each appearing to constitute an ideological focal point. The three categories are the „priyayi‟ novel, the „panglipur wuyung‟ novel, and the ;modernist‟ novel. The priyayi novel is essentially elitist and conservative in its ideological orientation, the panglipur wuyung novel is populist and conservative, while the modernist novel is bourgeois and relatively progressive. Secara umum, novel-novel yang terbit pada tahun 1950-2000-an termasuk kategori novel panglipur wuyung. Adapun tema-tema yang terdapat dalam novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an adalah perjuangan, percintaan, kasih tak sampai, emansipasi wanita, masalah sosial dan detektif. 1. Perjuangan. Perjuangan yang dimaksud disini bukan hanya perjuangan dalam bentuk peperangan melawan penjajah akan tetapi juga perjuangan hidup, misalnya mencari pekerjaan yang lebih baik, mengubah nasib untuk bertahan hidup dan lain sebagainya. Perjuangan dalam bentuk peperangan misalnya Serat Gerilya Solo (1957), Tjipta Hening (1960), Lara-Lapane Kaum Republik (1966) dan Nyai Ageng Serang (1982). Sedangkan dengan tema perjuangan hidup misalnya Kenja Ketula-tula (1964) dan Candyakala Kapuranta (2002). 2. Percintaan Novel-novel Jawa modern yang bertemakan masalah percintaan misalnya Ilang Tanpa Lacak (1966), Mekar ing Mangsa Panen (1966), Anteping Tekad (1975), Kembang 53 Kanthil (1965), Nalika Langite Obah (1997), Lintang (1997), Tunggak-Tunggak Jati (1997), dan Pisungsung Kang Wingit (2002). 3. Emansipasi wanita Novel-novel Jawa modern yang bertemakan emansipasi wanita jumlahnya sangat sedikit. Adapun novel-novel tersebut antara lain Sintru Oh Sintru (1993 ) dan Astirin Mbalela (1995). Sintru adalah seorang wanita yang menginginkan kedudukan seperti halnya laki-laki. Ia menghendaki emansipasi, akan tetapi cara dan pola pikirnya terlalu berlebihan. Ia menginginkan bekerja dan suaminya yang mengurus rumah tangga, bahkan berani memukul suaminya. Pada akhirnya, sintru menyadari kesalahan-kesalahannya. 4. Masalah sosial Novel bertemakan masalah sosial sangat banyak, terutama yang berhubungan dengan masalah keluarga. Novel-novel tersebut misalnya Duraka (1966), Kesaput ing Pedhut (1966), Tumetesing Luh (1964), Kumpule Balung Pisah (1966), Tanpa Daksa (1977), Ombak Sandyakakaning (1991), Kerajut Benang Ireng (1993), Kubur Ngemut Wewadi (1993), dan Kinanthi (2001). 5. Detektif Novel dengan tema detektif jumlahnya paling sedikit, sebagai contoh adalah novel berjudul Garuda Putih (1974) karya Suparto Brata. Novel ini menggambarkan perjuangan Detektif Handoko memecahkan misteri pembunuhan Abisuna yang terjadi di hotel Arumdalu. Berkat kecerdikannya, akhirnya kasus ini terungkap. Pembunuh Abisuna adalah Maridi. F. Pragmatika Budi Pekerti Jawa Sastra dan budaya jawa merupakan dua hal yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan budi pekerti sehingga dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilainilai tersebut ada yang disampaikan secara tersurat dan tersirat. Hal tersebut seperti ungkapan yang berbunyi ―wong jawa nggone semu‖ yang artinya dalam menyampaikan sesuatu, kadangkala orang jawa tidak mengatakannya secara langsung akan tetapi dengan ―sinamun ing samudana‖. Apa yang diperintahkan kadangkala merupakan suatu larangan, misal terus meneka wit sing dhuwur. Hal ini jika yang mendengar orang yang tidak tahu tentang 54 karakteristik orang Jawa tentu dianggap suatu perintah supaya memanjat lebih tinggi, akan tetapi bagi orang yang memahaminya tentu akan segera berhenti memanjat atau turun. Suwandi (2012) yang menyatakan karakter bangsa yang perlu dibentuk dan secara terus-menerus dibangun ada sepuluh yaitu (1) ketuhanan, (2) kejujuran, (3) kepemimpinan, (4) kedisiplinan, (5) etos kerja, (6) kepercayaan diri, (7) kemandirian, (8) kesantunan, (9) tanggung jawab, dan (10) toleransi. Berikut akan disampaikan beberapa analisis tentang konsep-konsep pragmatika dan nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam bahasa, sastra serta budaya Jawa dan dalam novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an. No Budi pekerti Pragmatika Budi Pragmatika Budi Pekerti Pekerti dalam Bahasa, dalam Novel-novel Jawa Sastra dan Budaya Modern periode 1950-2000Jawa an 1 Pangeran, Gusti Alloh, nrima ing pandum, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, gusti kang akarya jagad, Cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan, manekung-manengku puja, Gusti ora sare, manunggaling kawulagusti, sangkan paraning dumadi, ngelmu kasampurnan, agama ageming aji, ndilalah kersaning Alloh, manungsa saderma nglakoni, aja mblenjani janji, nrima ing pandhum, percaya garising pepesthen/takdir Ketuhanan 1. Gusti Allah: (SOS: 22, 23, 47, 94, 140, 159), (KK: 14, 19, 33, 41, 89, 178), (AT: 21, 64, 153), (SGS: 38, 41, 49), (K: 34, 49, 51, 61, 67, 89, 147, 153), (KBP: 32, 35, 94, 140, 159), (SOS: 22, 53), (CK: 28, 29, 41, 43, 69, 79, 101, 109, 138, 150, 153, 155, 160, 171) 2. Gusti ora sare: (MIMP: 52-53 ) 3. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti: (MIMP: 53) 4. Nrima ing pandum/pasrah: (KBI: 23), (AM: 146 ), (MIMP: 26), (AT: 169, 210), (K: 54, 62, 90), (SOS 90), (CK: 113) 5. Gusti kang akarya jagad/murbeng dumadi: (L: 10, 39, 80), (MTT: 55 40), (PKW: 186), (SOS: 30), (KNW: 133), (KBI: 111), (AT: 171) 6. Manekung manengku puja „berdoa‘: (TL: 14), (MTT: 40), (ITL:6, 36), (NLO: 7, 36), (AT: 67, 103), (NAS: 23, 87), (CK: 113, 161) 7. Nrima ing pandum/bersyukur: (KIP: 6), (PKW: 64-65), (TL: 4), (NLO: 67), (AT: 8), (SGS: 50), (CK: 135) 8. Aja cidra ing janji : (TD: 10, 28) 9. Nrima marang pepesthen kang bakal tumeka: (KBI: 23, 81), 10. Percaya garising pepesthen/takdir: (SOS: 76) 2 Kejujuran Becik ketitik ala ketara, 1. Jujur iku mustikaning sing sapa salah bakal laku: (KTT: 28), (D: 24 ), seleh, jujur iku (MTT: 40), (LLKR: 28), mustikaning laku, sing (MIMP: 8), (TD: 37, 34), jujur bakal makmur, aja (KBI: 61, 84 ), (L: 8), kegiweng kincanging (PKW: 52), (SOS: 90), alis, gebyaring ringgit (GP: 8), (KNW: 16-17, 27, lan wentis kuning 46), (TL: 6), (AT: 93, 143), (NAS: 45), (K: 26) 2. Aja kegiweng kincanging alis, gebyaring ringgit lan wentis kuning: (SGS 12), (TTJ: 17, 96) 3 Kepemimpinan Bapa minangka pangarsning kulawarga, Berbudi bawaleksana, sabda pandhita ratu tan 1. Bapa minangka pangarsaning kulawarga: (KIP: 6), () 56 4 5 6 Kedisiplinan Etos kerja Kepercayaan diri kena wola-wali, rumangsa handarbeni, melu hangrungkebi, mulad sasira hangrasa wani, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, aja dumeh menang tumindake banjur sawenangwenang, aja dumeh sugih banjur lali marang wong ringkih, aja dumeh kuwasa tumindake daksura lan daksia marang sapadha-padha, aja dumeh pinter tumindake banjur keblinger, adigangadigung-adiguna. 2. Ing ngarsa sung tuladha (ITL: 20), (SGS: 31) Aja kesusu grusa-grusu, sapa temen bakal tinemu, sapa tekun mesthi tekan, alon-alon waton kelakon, gremat-gremet waton slamet, kebat kliwat gancang pincang, giyakgiyak waton kecandhak. 1. Aja kesusu grusa-grusu, alon-alon waton kelakon (KIP: 5), (GP: 47, 92), (NAS: 50, 52, 103), (TTJ: 37) Sepi ing pamrih rame ing gawe, nengenana akal tinimbang okol, ana pangan-dipangan, ana pegaweyan enggal ditandangi, dikena iwake aja nganti buthek banyune, guna-kayapurun, suku jaja ateken janggut 1. Sepi ing pamrih rame ing gawe: (AM: 121), (TH: 26), (KKT: 30 ), (D: 1617), (ITL: 16), (MIMP: 12), (L: 66), (GP: 54, 55), (KK: 130) Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani. 1. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani (TH: 29, 32), (TD: 29), (KBI: 52, 63, 123), (GP: 26, 27), (KNW: 5, 71), 3. Adigang, adigung, adiguna (GP: 98, 110), (KK: 73), (AT: 20), (AT: 91, 173, 190), (K: 191, 192), (TTJ: 35, 46) 4. Rumangsa handarbeni, melu hangrungkebi, mulad sasira hangrasa wani (KK: 58), (AT: 215), (SGS: 7, 10), (NAS: 11, 24) 2. Sapa temen bakal tinemu (SOS: 50) 2. Nengenana akal tinimbang okol: (TH: 30 ) 3. Suku jaja ateken janggut: (TD: 19) 57 (NLO: 64, 87) 7 Kemandirian Ala, becik, begja lan cilaka saka priyanggadudu saka wong liya, mandireng pribadi. 1. Ala, becik, begja lan cilaka saka priyanggadudu saka wong liya: (TH: 12), (TL: 16), (KIP: 19), (LLKR: ), (MIMP: 8), (AM: 128 ), (KBI: 84) 2. Mandireng pribadi: (AT: 53), (SOS: 50) 8 Kesantunan Amit-amit karo mbah buyut mengko mundhak kuwalat, ewuh-pakewuh, ewuh aya ing pambudi, desa mawa cara Negara mawa tata, empan papan, ngertia unggahungguh, manembah 1. Ngertia unggah-ungguh: (TH: 14, 16, 17, 20, 21, 22, 26, 29 dst), (KTT: 5, 11, 15, dst ), (TL: 5, 6, 7, dst), (KBI: 14, 9, 16, dst ), (SOS: 50), (KBP: 9), (CK: 21) 2. Manembah: (NAS: 57) (AT: 98), 3. Desa mawa cara negara mawa tata: (KK: 86) 9 Tanggung jawab Anak polah bapa kepradhah, bawa leksana, Among, amot, amemangkat; Amengku, amangku, amengkoni, sapa nandur bakal ngundhuh. 1. Sapa nandur bakal ngundhuh: (L: 65), (KNW: 14, 16, 17), (K: 33), (CK: 72) 2. Anak polah bapa kepradhah (KNW: 132) 3. Tanggung jawab (KBI: 62), (NLO: 46), (AT: 70, 187), (NAS: 60), (K: 19) 10 Toleransi Ngono ya ngono ning ya aja ngono, yen dijiwit lara mbok ya aja njiwit, aja rumangsa bisa ning bisaa rumangsa, janma tan kena ingira, aja melik darbeking liyan, tepaselira, lembah manah, mbok sing tepa-tepa, rukun agawe santosacrah agawe bubrah, 1. Ngono ya ngono ning ya aja ngono: (TH: 26), (KIP: 29), (MTT: 18 ), (ITL: 2 ), (LLKR: ), (AM: 119), (KNW: 32), (TL: 20), (SOS: 55, 76), (CK: 72, 79, 104, 129) 2. Janma tan kena ingira: (PKW: 237), (KK: 136, 58 amemangun karyenak tyasing sasama, aja melik darbeking liyan 164) 3. Aja melik darbeking liyan: (AT: 155), (NAS: 15), (CK: 36) G. Kesimpulan Novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an sebagai salah satu wujud karya sastra telah mengalami proses perkembangan yang sangat panjang. Apabila dikaji secara mendalam, novel-novel tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang dapat dijadikan sebagai tatanan dan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa Novelnovel Jawa modern periode 1950-2000-an, dapat dijadikan sebagai salah satu sumber atau rujukan mengenai budi pekerti Jawa di samping sumber-sumber yang lain, misalnya cerita wayang ataupun serat-serat karya para pujangga. Seperti halnya dalam karya sastra yang lain, penyampaian budi pekerti jawa juga disampaikan secara tersurat maupun tersirat. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 2001. Novel/Roman (dalam Edi Sedyawati, dkk). Jakarta: Pusat Bahasa, Balai Pustaka. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kenney, William . 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prabowo, Dhanu Priyo, Widati, Sri dan Rahayu Prapti. 2012. Eksiklopedi Sastra Jawa.Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi DIY. Quinn, George. 1992. The Novel in Javanese. Leiden: KITLV Press Ratna, Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.(Terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad) 59 Sutadi, Yatmana, Sudi. 2001. Blencong 45. Semarang: Aneka Ilmu. Suwandi, Sarwiji. 2012. ―Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pilar Penting Dalam Pencerdasan dan Pembangunan Karakter Bangsa‖ Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 24 Mei. Wardani, Nugraheni Eko. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS Press. 60 PERBEDAAN TATARAN LEKSIKAL DAN PETA DIALEKTOMETRI BAHASA JAWA DI KECAMATAN WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum PBSD FKIP Unwidha Klaten Abstrak Perbedaan tataran leksikal dan peta dialektometri bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo terbagi atas 4 DP bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dengan menggunakan data 200 kosakata yang diambil dari penelitian lapangan. Dua ratus kosakata tiap DP menunjukkan perbedaan leksikal dan fonetis. Dari dua ratus kosakata ditemukan 66 leksikon beda leksikal. Kemudian, dari peta dialektometri langkah pertama dapat ditemukan perbandingan antar-DP yakni,antara DP1 dan DP2, DP 1 dan DP 3, DP 2 dan DP 3, DP 2 dan DP 4, DP 3 dan DP 4. Kemudian dijabarkan dalam table beda leksikal yang didapati perhitungan perbedaan tataran leksikal yakni, antara DP 1 dan DP 2 adalah 53%, DP 1 dan DP 3 adalah 59%, DP 2 dan DP 3 adalah 53%, DP 2 dan DP 4 adalah 59%, DP 3 dan DP 4 adalah 62%. Kata Kunci: beda leksikal, peta dialektometri A. Latar Belakang Bahasa Jawa memiliki jumlah penutur yang paling banyak dibandingkan jumlah penutur bahasa di daerah atau pulau lainnya di Indonesia, yakni sekitar 75.500.500 orang. Hal ini tentunya patut menjadi kebanggaan bagi penduduk Jawa khususnya, dan secara umum masyarakat Indonesia di mata dunia. Bahasa Jawa tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Jawa, tetapi juga digunakan oleh masyarakat di luar Jawa. Bahkan Poedjasoedarma (1979:1) menyatakan bahwa bahasa Jawa juga digunakan di luar Indonesia, yaitu di negara Suriname dan New Calidonia. Salah satu daerah di Jawa yang penduduknya tetap aktif menggunakan dan melestarikan bahasa Jawa adalah Kabupaten Wonosobo. Kabupaten Wonosobo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan, 61 Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara. Menurut survei awal, secara geografis ditemukan bahwa bahasa Jawa di daerah kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wosonobo menampilkan fenomena yang unik, karena kecamatan Wadaslintang terletak di bagian selatan Wonosobo berbatasan dengan kota Kebumen dan kota Purworejo. Kemudian struktur geografis di Wadaslintang berbukit-bukit, tingkat mobilitas penduduknya sangat rendah karena akses tranportasi dan komunikasi yang sulit, maka indikasinya adalah bahasa di wilayah selatan Wonosobo ini terdapat gradasi dialek bahasa. Hal ditunjukkan melalui penggunaan leksikon-leksikon yang cenderung berbeda antara desa yang satu dengan desa yang lainnya, meskipun masih berada dalam satu kecamatan, yaitu Kecamatan Wadaslintang. Fakta dan keadaan inilah yang menjadi alasan utama dilakukan penelitian lapangan dialektologi di Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Wadaslintang. Selanjutnya, kondisi geografis ini tentunya melahirkan beberapa keunikan dalam berbahasa. Keunikan ini ditunjukkan dari segi linguistisnya, misalnya dari segi fonologis dialek di beberapa desa di Wadaslintang ditemukan kata oyod ‗akar‘ yang dilafalkan [oyzod], ngguyu ‘tertawa‘ yang dilafalkan [guyzu], uyah ‗garam‘ yang dilafalkan [uyzah]. Kemudian, salah satu variasi fonologis dalam dialeknya adalah leksikon (1)sikil [sikIl] ‗kaki‘ di Desa Sumberrejo dan Desa Panerusan, dan (2) sikil [skl] ‗kaki‘ di Desa Besuki Dukuh Sikapat dan Dukuh Karangnangka. Sedangkan variasi leksikal terdapat salah satunya dalam kata (1) ora [ora] ‗tidak‘ di Desa Panerusan dan Desa Sumberrejo, (2) ogang [oga] ‗tidak‘ di Desa Besuki Dukuh Karangnangka. Penelitian dialektologi di Kabupaten Wonosobo bertujuan untuk mengetahui isolekisolek (merupakan suatu dialek atau bukan) yang terdapat di Kabupaten tersebut. Terkait dengan kepentingan itu, ditentukan empat daerah pengamatan (DP), yaitu (1) Dukuh Sikapat, Desa Besuki, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (2) Dukuh Karangnangka, Desa Besuki, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (3) Desa Panerusan, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (4) Desa Sumberrejo, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Bahasa Jawa di Kabupaten Wonosobo memiliki kedudukan penting sebagai bahasa daerah, jika dikaitkan dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia. Menurut kedudukannnya, 62 BJ (singkatan dari Bahasa Jawa) di Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Menurut Laksono (2009: 12) BJ dilihat dari kedudukannya, memiliki fungsi sebagai berikut. 1. Bahasa tradisional yang merupakan lambang kebanggaan daerah 2. Sebagai identitas daerah asal 3. Sebagai salah satu kebudayaan peninggalan nenek moyang 4. Kontak sosial antarmasyarakat daerah agar lebih komunikatif 5. Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah B. Deskripsi Lokasi Kabupaten Wonosobo, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara. Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1825 sebagai kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh. Ngampah, yang membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Seconegoro. Sebagian besar wilayah Kabupaten Wonosobo adalah daerah pegunungan. Bagian timur (perbatasan dengan Kabupaten Temanggung) terdapat dua gunung berapi: Gunung Sindoro (3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Daerah utara merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Di sebelah selatan, terdapat Waduk Wadaslintang. Ibukota Kabupaten Wonosobo berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten, yang merupakan daerah hulu Kali Serayu. Wonosobo dilintasi jalan provinsi yang menghubungkan Semarang-Purwokerto. 63 1. Curuk Winong 2. Pemandian dan kolam renang Mangli Peta pembagian wilayah di KabupatenWonosobo. Kabupaten Wonosobo terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di KecamatanWonosobo. Wonosobo berasal dari bahasa Jawa: Wanasaba, yang secara harafiah berarti: "tempat berkumpul di hutan". Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa Sansekerta: vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua buku dari Mahabharata: "Sabhaparwa"dan"Wanaparwa". Beberapa tempat pariwisata yang ada di Kabupaten Wonosobo sebagai berikut. 3. Kawasan Wisata Dieng 4. WadukWadaslintang 5. Agrowisata Tambi 6. Air Terjun Sikarim 7. Telaga Menjer 8. Pemandian Wisata Kalianget 64 9. Wisata Religi C. Perbedaan Tataran Leksikal dan Peta Dialektometri bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo Dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki sistem lingual yang tersendiri, dipakai oleh sekelompok penutur di tempat tertentu, tetapi di antara kelompok penutur itu dengan kelompok lainnya (yang masih terikat dalam satu bahasa) masih terdapat ―pemahaman timbal balik‖ satu dengan yang lain (dengan catatan: sepanjang daerah itu berada dalam mata rantai yang sama dan relatif berdekatan). Sedangkan isolek adalah isoglos pada peta bahasa yang digambarkan melingkari satu kata tertentu (isogloss yaitu garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa). Dari pengertian tersebut dapat kita jelaskan bahwa penghitungan dialektometri (Mengenai Kedudukan Isolek di Kecamatan Wadaslintang Wonosobo) sebagai berikut: Ketentuan itu sebagai berikut. (a) DP yang diperbandingkan hanya DP yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi. (b) Setiap DP yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya. (c) Garis-garis pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Sebaiknya dipilih satu kemungkinan saja yang letaknya lebih dekat daripada yang lain (Mahsun, 1995:119). Berdasarkan pada data lapangan, didapatkan peta dasar segitiga dialektometri sebagai berikut. 65 DP2 DP4 DP3 DP1 Peta Dialektometri TABEL PERBANDINGAN DP 1:2 NO NO DATA 1 8 2 1:3 GLOS 2:3 2:4 3:4 1:2 1:3 2:3 2:4 3:4 Belok - - 13 Punggung - - - 3 16 isi perut - - 4 24 Kepala - - - - 5 32 Lidah - - 6 33 Tertawa - 7 35 Muntah - - - 8 37 Makan - - 9 39 Memasak - - 10 42 Menghisap - - 11 44 Mendengar - - 12 45 Mata - - - - 66 13 46 Melihat - - - 14 48 Tidur - - - 15 49 Berbaring - - - - 16 51 Duduk - - - - 17 53 Orang - - 18 56 Anak - - 19 60 Bapak - 20 64 Berkata - 21 65 Tali - 22 66 Mengikat - - - - 23 67 Menjahit - - - 24 68 Jarum - 25 69 Berburu - - - 26 71 Menikam 27 72 Memukul 28 75 Mati - 29 77 Menggaruk - - 30 78 Memotong - - 31 80 Membelah - - - 32 88 Memeras - - - - 33 90 Mengali - 34 94 Melemparkan - 35 95 Jatuh - - 36 100 Sayap - - - 37 103 Daging - - 38 104 Lemak - - - 39 110 laba-laba - - - 40 112 Busuk - - - 67 41 115 Akar 42 125 Garam 43 126 Danau - 44 127 Hutan - - 45 132 Kabut - - - 46 134 Guntur - - - 47 135 Kilat - - - - 48 137 Bertiup 49 138 Panas - - 50 144 Membakar - 51 154 Pendek - - - - 52 158 Sempit - - 53 165 Jahat - - - 54 167 Malam - - - 55 172 Naik - - - 56 178 Itu - 57 181 di mana - - - 58 182 Saya - - 59 184 (d)ia - - 60 185 kita; kami - - 61 186 kamu sekalian 62 187 Mereka 63 190 Lain - - - 64 192 Dan - - - - 65 193 Kalau - 66 194 Bagaimana - - 35 39 35 39 41 Catatan: Tanda = ada perbedaan; tanda - = tidak ada perbedaan. 68 1:2 𝟑𝟓 𝐱 𝟔𝟔 𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟑% 1:3 𝟑𝟗 𝐱 𝟔𝟔 𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟗% 2:3 𝟑𝟓 𝐱 𝟔𝟔 𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟑% 2:4 𝟑𝟗 𝐱 𝟔𝟔 𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟗% 3:4 𝟒𝟏 𝐱 𝟔𝟔 𝟏𝟎𝟎% = 𝟔𝟐% Perbedaan dalam tataran leksikal: 81% ke atas : perbedaan bahasa 51%—80% : perbedaan dialek 31%—50% : perbedaan subdialek 21%—30% : perbedaan wicara di bawah 20% : tidak ada perbedaan DP2 DP4 DP3 DP1 PERBANDINGAN DP 1:2 1:3 2:3 2:4 3:4 Terdapat Perbedaan Dialek antara semua Perbandingan DP 69 D. Simpulan Berdasarkan rumusan masalah yang dijabarkan dalam analisis penelitian ini, dapat dikemukakan simpulan yang berkaitan dengan pemetaan bahasa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah sebagai berikut. 1. Perbedaan leksikal 4 DP bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo ditunjukkan pada data 200 kosa kata yang diambil dari penelitian lapangan. Dua ratus kosa kata tiap DP menunjukkan perbedaan leksikal dan fonetis. Dari dua ratus kosa kata ditemukan 66 leksikon beda leksikal. 2. Dari peta dialektometri langkah pertama dapat ditemukan perbandingan antar-DP yakni, antara DP 1 dan DP 2, DP 1 dan DP 3, DP 2 dan DP 3, DP 2 dan DP 4, DP 3 dan DP 4. Kemudian dijabarkan dalam table beda leksikal yang didapati perhitungan perbedaan tataran leksikal yakni, antara DP 1 dan DP 2 adalah 53%, DP 1 dan DP 3 adalah 59%, DP 2 dan DP 3 adalah 53%, DP 2 dan DP 4 adalah 59%, DP 3 dan DP 4 adalah 62%. Dari besaran prosentase tersebut dapat ditentukan bahwa antar DP tersebut menunjukkan perbedaan dialek bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo. Daftar Pustaka Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pembinaan dan Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Laksono, Kisyani. 2009. Dialektologi Sunda Banten http://tantrapuan.wordpress.com/2009/05/13/dialektologi-sunda-banten/ Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis; Sebuah Pengantar. Jogjakarta, UGM Press. Poedjasoedarma, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 70 REVITALISASI NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT JAWA YANG BERBENTUK MITOS Favorita Kurwidaria, S.S.,M.Hum Pendidikan Bahasa Jawa FKIP UNS Surakarta Abstrak Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang merupakan bagian dari folklore Jawa. Di era globalisasi, masyarakat Jawa khususnya para generasi muda sudah mulai berangsur tidak mengenali lagi bentuk kebudayaan ini, padahal jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya mitos mengandung nilai kearifan lokal yang dapat menjawab tantangan globalisasi. Nilai kearifan lokal yang tercakup dalam mitos antara lain: (1) Nilai kearifan yang berkaitan dengan upaya pelestarian ekosistemdan lingkungan, (2) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan, dan(3) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pembinaan moral dan etika. Oleh karena itu revitalisasi nilai kearifan merupakan suatu yang urgen, dalam rangka memotensikan, mendayagunakan sekaligus melestarikan bentuk tradisi lisan masyarakat Jawa. Kata kunci: Kearifan lokal, mitos, budaya Jawa 1. Pendahuluan Kebudayaan Jawa merupakan kekayaan masyarakat Jawa yang tumbuh dan berkembang seiring dengan eksistensi masyarakat Jawa itu sendiri, Di dalam kebudayaan Jawa tidak terlepas dari adanya tradisi/adat yang sampai saat ini masih tumbuh berkesinambungan dengan masyarakat Jawa. Salah satu bentuknya adalah tradisi lisan. Tradisi lisan menurut B.H. Hoed (2008:184) yaitu berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum, adat, dan pengobatan. Hal-hal yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat disebut sebagai tradisi lisan jika tradisi tersebut dikatakan (oleh penutur) dan didengarkan (oleh mitra tutur). Seiring perkembangan globalisasi, masyarakat Jawa mulai berangsur tidak mengenal/mengetahui bentuk-bentuk kebudayaannya, termasuk tradisi lisan. Pengaruh 71 globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Globalisasi di satusisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan. Tak terkecuali pada aspek-aspek kebudayaan (Madjid, 2009:1). Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan budaya dari generasi sebelumnya. Hal tersebut tentu memerlukan langkah antisipasif untuk dapat ditindaklanjuti guna tetap menjaga keberlangsungan nilai budaya Jawa. Salah satu bentuk tradisi lisan adalah mitos. Mitos dapat berupa cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, menceritakan dewa-dewa, roh atau makhluk halus, tempat terjadinya di dunia lain dan terjadi pada masa lampau. Disamping itu mitos juga ada yang hanya berupa suatu penuturan. Mitos diyakini oleh bangsa atau masyarakat tertentu yang pada intinya menghadirkan kekuatan-kekuatan supranatural (Lukens dalam Danandjaya, 2002:172). Mitos sering dikaitkan dengan cerita tentang berbagai peristiwa dan kekuatan, asal-usul tempat, tingkah laku manusia, atau sesuatu yang lain. Mitos ada pula yang menyertai keberadaan cerita rakyat. Mitos yang hadir mengiringi cerita rakyat memiliki fungsi untuk memperkuat eksistensi cerita rakyat tersebut. Walaupun mitos yang hadir belum tentu berbentuk cerita rakyat. Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2002:173) lebih lanjut menyatakan mitos muncul pada tiap masyarakat atau kultur berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan untuk menjawab berbagai persoalan yang tidak diketahuinya. Para orang tua Jawa zaman dahulu jika ingin menyampaikan amanat/pesan terhadap anaknya tidak secara langsung akan tetapi melalui dongeng, cerita atau ungkapan yang berisi larangan/anjuran seperti halnya mitos maupun gugon tuhon. Bentuk mitos maupun gugon tuhon tersebut bukanlah sekedar takhayul atau hal yang irrasional semata−walaupun memang kecenderungannya mengarah ke hal-hal yang di luar nalar dan logika−namun apabila ditelaah banyak hal-hal dalam mitos yang sesungguhnya mengandung nilai kearifan dan rasionalitas yang dapat dicermati dari gejala-gejala ilmiah, maupun pada aspek moral kehidupan. Mitos sesungguhnya dapat dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan untuk mencapai harmonisasi dan nilai sosial yang ideal. Upaya pemaknaan secara kultural dapat menuntun pemahaman seseorang untuk dapat menerima atau memahami secara holistik, khususnya bagi generasi muda. Anak muda yang cenderung bersifat kritis dan dinamis, perlu dibekali tentang 72 pengetahuan kearifan lokal agar tetap terarah dan terkontrol. Rasa bangga akan nilai budaya dan kearifan lokal seharusnya mulai dipupuk sejak dini untuk menghindari krisis identitas dan jati diri mereka. Sebagai contoh dalam penanaman tradisi lisan yang berbentuk mitos. Orang tua selain dapat menuturkan isi mitos kepada anaknya, juga perlu mengimbangi dengan menyampaikan muatan kearifan yang terkandung dalam mitos tersebut, nilai-nilai religi, patriotisme, termasuk mengapa seseorang tidak boleh melakukan perilaku demikian, larangan dan anjuran tertentu dan sebagainya. Orang tua dapat mengambil segi/nilai positif, sedangkan pengetahuan yang belum diketahui dapat dikonstruk sendiri sebagai suatu media/alat pengendali dan pengatur pranata sosial di dalam komunitas kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian diharapkan para generasi muda dapat memahami bahwa budaya yang mereka miliki tidak hanya sekedar dokumentasi masa lampau yang senantiasa ada dalam ingatan para sesepuh/orang tua saja, akan tetapi juga memiliki kegunaan dalam kehidupan. Orang tua perlu memberikan pemahaman kepada sang anak secara lebih terbuka dan arif, sehingga mereka tidak menolak begitu saja bentuk kebudayaan tersebut dan dapat menerimanya secara logis. Di dalam makalah ini akan diuraikan nilai-nilai kearifan lokal (local wosdom)dalam tradisi lisan yang berbentuk mitos. Hal ini mengingat bahwa mitos banyak mengandung fungsi dan kegunaan dalam kehidupan. Di dalam makalah ini hanya dibatasi pada nilai kearifan lokal pada mitos yang mengiringi keberadaan cerita rakyat dan mitos yang berbentuk suatu larangan/perintah. 2. Landasan Teori Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:840) revitalisasi berarti proses, cara, perbuatan memvitalkan (menjadikan vital). Vital itu sendiri bermakna ‗penting‘. Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Berdasarkan batasan tersebut revitalisasi nilai kearifan lokal pada mitos berarti menghidupkan kembali nilai kearifan lokal yang terkandung dalam mitos. Ahimsa-Putra (tt:5) mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas–baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki 73 kekuatan seperti hukum maupun tidak. Menurut Ridwan (2010:2) kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tetentu. Pendapat lain mengartikan kearifan lokal berasal dari kata ―kearifan‖ atau ―arif‖ dan ―lokal‖. Kearifan berarti ‗bijaksana‘, ‗cerdik pandai‘, ‗berilmu‘. Bijaksana berarti cakap atau pandai dalam mengatasi kesulitan, dalam arti dapat mengatasi kesulitan dengan baik dan benar (Hartono, 2011:284). Dengan demikian nilai kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai perangkat pengetahuan yang berdayaguna untuk menyelesaikan persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar. Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai kearifan. Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang (Peursen, 2007:37). Mitos dapat dibagi menjadi empat jenis: a) mitos yang berupa gugon tuhon, yaitu larangan-larangan tertentu yang jika dilanggar orang tersebut akan menerima dampak (akibat) yang tidak baik, (b) mitos yang berupa bayangan asosiatif, yaitu mitos yang berhubungan dengan dunia mimpi, (c) mitos yang berupa sirikan (larangan) yang harus dihindari, (d) mitos yang berupa dongeng, legenda dan cerita. Hal ini diyakini karena memiliki legitimasi yang kuat dalam pikiran orang (Endraswara, 2006: 194-195). Berdasarkan jenis mitos tersebut, di dalam makalah sampel mitos yang diuraikan hanya mitos yang termasuk dalam gugon tuhon, sirikan (larangan), dan mitos yang mengiringi keberadaan cerita rakyat. 3. Pembahasan 3.1. Nilai kearifan dalam Mitos yang Berkaitan dengan Pelesterian Ekosistem Alam dan Lingkungan Jauh sebelum pergerakan peduli lingkungan digalakkan, ternyata keberadaan tradisi lisan telah terlebih dahulu berperan dalam menjaga pelestarian alam. Nilai kearifan terhadap pelesterian ekosistem dan lingkungan ini tampak dalam: 1. Mitos yang berkaitan dengan keberadaan suatu tempat Kebudayaan masyarakat Jawa masih banyak dipengaruhi oleh paham animisme dan dinamisme, yaitu mempercayai adanya roh-roh halus dan kekuatan supranatural pada suatu 74 benda atau tempat tertentu. Hal ini merekonstruksi pemikiran masyarakat Jawa yang bermuara pada suatu tindakan berupa perintah, anjuran maupun larangan tertentu yang harus dipatuhi masyarakat kolektifnya. Seperti halnya disendang (mata air) Senjaya, di KecamatanTengaran, Kabupaten Semarang. Masyarakat di daerah sekitar mengaitkan keberadaan sendang tersebut dengan tokoh Arya Sanjaya yang dikeramatkan sebagai cikal bakal pembuat sendang, Di daerah sekitar sendang terdapat pohon beringin yang sudah berumur ratusan tahun. Mitos yang sampai sekarang dipercayai oleh warga setempat adalah larangan untuk menebang pohon. Apabila ditebang dipercayai akan mendatangkan bahaya bagi si penebang maupun penduduk desa. Mitos tersebut sesungguhnya memiliki nilai kearifan, yaitu menciptakan cara berperilaku yang sejalan dengan prinsip konservasi pelestarian ekosistem alam. Dengan tidak menebang pohon beringin di sekitar sendang, maka ketersediaan dan kemurnian air sendang akan tetap terjaga. Secara ilmiah akar tunjang dari pohon beringin mampu menyerap air tanah dalam, menuju ke atas sehingga dapat memunculkan sumber mata air yang dangkal. Selain itu pohon dapat menyimpan cadangan air ketika terjadi musim kemarau, sehingga air di sendang akan tetap terjaga ketersediaannya. 2. Mitos yang berkaitan dengan ritual adat Ritual adat merupakan salah satu perwujudan sistem kepercayaan dan kebudayaan masyarakat Jawa. Eksistensi ritual adat tidak dapat dipisahkan dari adanya mitos tertentu. Ritualritual yang dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan orientasi masyarakat terhadap alam. Hal ini misalnya tercermin dalam ritual bersih desa. Para warga bergotong royong membersihkan lingkungan desa dengan kesadaran masing-masing. Umumnya masyarakat kolektif patuh pada sanksi yang sifatnya mengikat dan diyakini, baik yang bersifat mistis maupun konvensional. Hal ini cenderung membuat warga patuh dan secara tidak langsung mengajarkan masyarakat akan pentingnya menjaga harmonisasi lingkungan alam. Demikian juga dengan ritual bersih sendhang yang ada di sendang Kunti daerah Cabean Kunti, Kabupaten Boyolali. Setiap malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) masyarakat di daerah sekitar sendang mengadakan ritual bersama untuk membersihkan sendang, agar dijauhkan dari segala bahaya, kesulitan maupun halangan. Ritual ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Kunti yang dianggap sebagai tokoh suci oleh masyarakat setempat. Terkait dengan adanya ritual bersih sendang terdapat dalam ungkapan sesepuh desa berikut: 75 (1) ―Saben malem Anggara Kasih iku becike nganakake shodaqah kang awujud reresik sendhang, kanggo nundhung bebaya”. ―Setiap malam Selasa kliwon sebaiknya mengadakan sedekah dengan membersihkan sendang untuk mengusir bahaya‖. Hal ini sesungguhnya memiliki nilai kearifan agar masyarakat senantiasa menjaga kebersihan air di sendang, sehingga kemurnian air dalam sendang tetap terjaga. 3.2. Nilai Kearifan Dalam Mitos Yang Berkaitan Dengan Pendidikan Kesehatan Mitos yang berupa suatu larangan tertentu, jika ditinjau secara rasionalitas ada yang memiliki nilai pendidikan dari segi kesehatan. Para orang tua jaman dahulu dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada anaknya tidak secara langsung akan tetapi melalui tuturan lisan yang lebih dipercayai dan diyakini, walau terkadang si penerima tidak dapat langsung menyimpulkan secara logis/rasional, seperti dalam ungkapan: (2) Aja turu wayah sore, mundhak diganggu Batharakala ―Jangan tidur waktu sore, bisa jadi diganggu Batharakala‖ Mitos mengenai larangan tidur di waktu sore ini sering dikaitkan dengan kisah Batarakala. Batarakala merupakan sosok raksasa mistik dalam kisah pewayangan yang memiliki sifat buruk. Batharakala dipercaya akan muncul mengganggu seseorang yang lengah di waktu candikala (senja/sore) hari, sehingga orang yang lengah pada waktu sore hari (karena tidur) akan menjadi lupa, linglung atau bisa jadi sakit. Di balik mitos tersebut sesungguhnya memiliki nilai kearifan jika dilihat dari sisi kesehatan. Menurut peneliti Dr. Alyssa Cairns saat mempresentasikan hasil penelitian pada Associated Professional Sleep Societies di Minneapolis USA menyatakan berdasarkan penelitian dari 738 anak usia dua tahun ke atas, anak-anak khususnya yang tidur sore terbukti sukar tidur malam dan gagal memainkan puzzle dan keterampilan organisasi. Sementara itu Zoom-Indonesia menyebutkan dari hasil penelitian yang melibatkan lebih dari 20.000 orang menunjukkan hasil bahwa tidur sore meningkatkan resiko diabetes sebesar 36%. Tidur sore dapat mengganggu bioritme manusia normal, yang memicu perubahan negatif pada hormon, sehingga berefek pada naiknya kadar gula dalam darah (http://artikeltentangkesehatanindonesia.blogspot.com/2014/05). 76 Mitos lain yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yaitu dianjurkan untuk menaruh irisan bawang merah disekitar ruangan agar tidak diganggu oleh kekuatan jahat. Hal ini terkait dengan adanya kepercayaan bahwa bawang merah dapat menangkal keberadaan makhluk halus/kekuatan jahat yang mengganggu manusia. Demikian juga jika bayi sering rewel/menangis biasanya akan diberi dlingo bengle juga bawang merah, dan setelah itu biasanya akan kembali tenang atau tertidur pulas. Terkait dengan kepercayaan tentang bawang merah ini terdapat pernyataan berikut: (3) “Supaya ora diganggu bangsa lelembut, ngirisa brambang, banjur didelehake ana jero omah lan ora kena dinggo olah-olah sawise digunakake” ―Supaya tidak digganggu mekhluk halus, irislah bawang merah, letakkan di dalam ruangan/rumah, dan sesudahnya tidak boleh digunakan untuk memasak‖ Dibalik kepercayaan tentang bawang merah tersebut, jika dikaji secara klinis, bawang merah ternyata memiliki kandungan zat-zat yang dapat menyerap racun/toksin pada udara, seperti yang diungkapkan oleh pakar herbal dr. Vivi K. Tjahjadi, M.Si (dalam artikel kesehatan Indonesia, 2011:2) yaitu bawang merah mengandung senyawa seperti minyak atsiri, sikloaliin, serta flavonglikosida yang berfungsi sebagai antiradang, antioksidan, dan antibakteri. Irisan bawang merah mampu menyerap racun sehingga dapat meminimalisir penyebaran virus/bakteri pada udara sekitar ruangan. Adapun pantangan untuk dikonsumsi/diolah menjadi bumbu masakan setelah digunakan, karena racun/toksin tersebut akan mengendap pada irisan bawang, sehingga menimbulkan racun yang berbahaya jika dikonsumsi. Adapun mitos lain yang memiliki nilai rasionalitas jika dikaitkan dari sisi kesehatan, yaitu: (4) “Yen metu/lelungan aja wayah surup, mundhak digondhol wewe” ―Kalau keluar/bepergian jangan saat menjelang malam, bisa jadi diculik wewe”. Wayah surup (waktu maghrib) bagi orang Jawa dipercayai merupakan waktu keluarnya para makhluk halus, seperti Wewe. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa Wewe, merupakan jenis makhluk halus yang berwujud wanita, berpayudara panjang, dan bergentayangan di waktu maghrib. Wewe senang membawa anak yang keluar pada waktu maghrib, sehingga mitos ini sering dipakai para orang tua untuk menasehati anaknya agar tidak keluar saat maghrib. Di balik mitos tersebut sebenarnya memiliki nilai kearifan jika ditinjau dari sisi kesehatan. Waktu maghrib merupakan pergantian antara siang dan malam. Pada waktu itu sinar matahari sudah tidak terang, dimungkinkan menjadikan pandangan menjadi tidak sempurna, sehingga jika 77 keluar pada waktu itu dikhawatirkan akan menemui halangan, misalnya tersesat, terpeleset, atau menabrak sesuatu. Mitos lainnya terkait dengan waktu yaitu: 3.3. Nilai Kearifan Pada Mitos Yang Berkaitan Dengan Pembinaan Moral/Etika Di dalam sebuah mitos terdapat sesuatu yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya dan mengandung kepercayaan mistis serta pantangan tertentu untuk tidak dilanggar. Bagi yang melanggar dipercaya akan mendapat suatu keburukan/halangan. Seperti pada mitos yang berupa gugon tuhon berikut: (5) “Ora oleh idu lan nguyuh saknggon-nggon, mundhak kesambet sing mbahureksa papan panggonan.” “Tidak boleh meludah dan kencing sembarangan, bisa jadi kesurupan arwah yang menunggu‖ (6) “Ora oleh omongan kang ala, misuh, utawa ngrusak apa-apa kang ana ing papan kang dikeramatake, bakal nemu cilaka” ―Tidak boleh berbicara yang tidak baik, mengumpat atau merusak segala sesuatu yang ada di tempat yang dianggap keramat, bisa jadi celaka‖ Masyarakat Jawa percaya adanya roh/makhluk halus yang menunggu suatu tempat tertentu. Namun seringkali anak muda bersifat acuh tak acuh seperti kencing, meludah atau melakukan hal yang tidak baik di sembarang tempat. Dengan adanya mitos tersebut sesungguhnya memberikan pendidikan moral/etika agarseseorang dapat menjaga sikap, etika, sopan santun tidak hanya di daerah yang dianggap keramat akan tetapi dimanapun dia berada. Terkait dengan pendidikan moral dan etika juga terdapat mitos mengenai Dewi Sri, yang merupakan cikal bakal padi. Bagi masyarakat Jawa Dewi Sri merupakan Dewi kesuburan yang telah menurunkan padi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Jawa percaya bahwa membuang/menyia-nyiakan makanan terlebih makanan pokok merupakan suatu pantangan dimana rejeki orang itu dipercayaiakan menjadi sempit karena terkena kutukan Dewi Sri, seperti ungkapan para sesepuh berikut: (7) “Aja nyisakake/buwang sega, mundhak sega iku nangis nuli didongakake Dewi Sri, supayaora gelem teka maneh, saengga sithik rejekine” ―Jangan menyisakan/membuang nasi, membuat nasinya menangis, danakan didoakan Dewi Sri agar nasi itu tidak mau bertemu lagi, sehingga sedikit rejekinya‖ 78 Dibalik mitos tersebut, sesungguhnya terkandung nilai kearifan yang berkaitan dengan pendidikan moral/etika, yaitu agar seseorang lebih menghargai makanan yang mereka konsumsi, mengambil dengan takaran yang sesuai, dan tidak membuang-buang makanan sebagai sesuatu kemubaziran. Dengan mengkonsumsi makanan yang proporsional, secara tidak langsung turut andil dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, sebagai pola prilaku budaya yang baik. Dari berbagai mitos-mitos baik yang berisi cerita maupun tuturan yang berupa larangan (gugon tuhon) dapat mencerminkan pemikiran dan kearifan masyarakat Jawa. Bagaimana orang tua Jawa pada zaman dahulu telah dapat merekonstruksi penaksiran pengetahuan dan pengalaman mereka secara empiric. Meskipun dengan keterbatasan teknologi, namun pada kenyataannya mitos tersebut memiliki keterkaitan secara rasional. Meskipun tidak mengesampingkan kepercayaan yang diyakini, yang memang merupakan bagian dari eksistensi kebudayaan Jawa itu sendiri. 3. Penutup Mitos sebagai bagian dari kebudayaan Jawa sarat dengan nilai kearifan lokal. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian yang telah penulis paparkan dapat disimpulkan bahwa mitos sesungguhnya banyak mengandung kegunaan, dapat ditelaah dari sisi rasionalitas, serta memiliki fungsi dan kegunaan. Adapun nilai kearifan dalam mitos yang telah dipaparkan oleh penulis antara lain; (1) Nilai kearifan yang berkaitan dengan upaya pelestarian ekosistem lingkungan, (2) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan, dan (3) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pembinaan moral dan etika. Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, Hedi Shri, tt. Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM B.H. Hoed. 2008. ―Komunikasi Lisan sebagai Dasar Tradisi Lisan” Dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Pudentia, MPPS (ed). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan Danandjaya, James. 2002. Folklore Indonesia: Ilmu gossip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Endraswara, Suwardi. 2002.Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala 79 ___________. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan.Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada Press Hartono. 2011. ―Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Jawa”. Dalam Kajian Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya. M.Rohmadi (ed). Surakarta: Pelangi Press Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Madjid. A. 2009. Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Balolo dalam Masyarakat Kesultanan Ternate. Tesis. Bali: Universitas Udayana Nurgiyantoro. Burhan, 2002. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Peursen. 2007. Strategi Kebudayaan. Jakarta; Kanisius Http://artikeltentangkesehatanindonesia.blogspot.com/2014/05 80 MAKNA SIMBOLIK TARI BEDHAYA KETAWANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA SEBAGAI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MASYARAKAT JAWA Sawitri, S.Sn., M.Hum. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo [email protected] Abtrak Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai lambang atau simbol sebagai media perantara bagi masyarakat pendukung yang memiliki tujuan tertentu dalam keberlanjutan tari Bedhaya. Tari Bedhaya Ketawanng adalah tari yang dianggap sakral dan mengandung mitos tentang percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari. Tujuan penelitian ini berusaha mengungkap makna simbolik yang ada pada tari Bedhaya Ketawang yang mengandung nilai – nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Jawa. Nilai – nilai pendidikan karakter, (1) Ketuhanan: Manusia diciptakan harus bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan percaya dan patuh dengan perintahnya dan menjauhi segala larangannya, dan harus selalu ingat dari mana dan dari siapa kita ada dan diadakan(Sangkan Paraning Dumadi), contohnya: berdoa diberikan nikmat dalam kehidupan sehingga menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan akerat, kehidupan Makrokosmos (jagad gedhe) dan Mikrokosmos (jagad cilik), dengan rasa syukur diberikan berbagai nikmat, kehidupan, rejeki, anak, suami, istri, keluarga, sahabat, pekerjaan. (2) Kekerabatan/kebersamaan dalam tari bedhaya ketawang, nilai pendidikan karakter sosial pada kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa disini dengan seniman, pencipta, penari, pengrawit harus saling meerapkan sikap kejujuran, kekompakan, kebersamaan, saling menghormati, berbagi, bertanggung jawab, patuh kepada orang yang lebih tua/ patuh kepada Raja. Kata kunci: makna simbolik, tari Bedhaya Ketawang, kearifan, nilai pendidikan A. Pendahuluan Perkembangan dunia pendidikan sangatlah pesat selaras dengan perkembangan pemikiran manusia untuk selalu berkreatifitas, berinovasi dan berkarya, terbukti dengan hasil teknologi yang canggih, mudah mengakses berita dengan cepat misalkan munculnya hp, komputer, tablet dll. Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan sosial dan moral masyarakat yang berdampak pada perilaku masyarakat Indonesia dan secara khusus masyarakat jawa. 81 Sistem pendidikan nasional sangat lengkap dalam membentuk karakter anak didik menjadi pribadi yang utuh yang dilandasi aklak dan budi pekerti yang luhur. Pada kenyataan di lapangan tujuan yang baik tampa dukungan semua pihak, dari masyarakat pendukung, pemerintah dan pembuat kebijakan tidak akan berhasil maksimal. Permasalahan perilaku yang hubungannya dengan budi pekerti, pendidikan yang berkarakter sampai saat masih menjadi sebuah masalah yang belum tuntas dalam pemecahannya(Kasihadi dkk,2013). Melestarikan nilai-nilai luhur yang digali dalam budaya dapat memberikan pembelajaran bagi siswa didik dan masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan moral dan ajaran orang jawa supaya pendidikan budi pekerti selalu tertanam dalam sanubari masyarakat jawa dan tidak luntur ditelan perkembangan jaman yang kena pengaruh global. Pendidikan karakter sudah seharusnya ditanamkan sejak anak usia dini dan terus di jaga sampai dewasa, karena perkembangan budaya yang telah memasuki modernitas budaya sudah tidak terkendali.Masa depan bangsa yang berhubungan dengan perilaku yang selaras dengan moral, budi pekerti yang baik adalah tanggung jawab yang dipikul oleh seluruh masyarakat Indonesia dan jawa khususnya.Budaya jawa adalah tiang dari budaya nasional dengan menanamkan budaya santun, ramah tamah, kritis, kreatif, sabar, jujur, pemberani,beriman dan takwa dengan baik untuk dapat membangun karakter bangsa.Dengan rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa akan berdampak kemunduran peradapan bangsa. Dalam pasal 3 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional telah dirumuskan : ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkrmbangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, kreatif, dsn menjadi warga negara yang bemokrasi serta bertanggung jawab‖. Nilai dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sifat-sifat atau hal-hal yang berguna bagi kehidupan. Dalam masyarakat jawa dapat dilihat pada perilaku yang baik dan buruk serta pembentukan kepribadian seseorang menuju ke yang lebih baik dengan menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya(Purwadarminto:1988).Nilai pendidikan karakter dalam 82 kesenian dan disini tari bedhaya ketawang dapat berupa ajaran, falsafah hidup untuk sabar, jujur, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati, menyayangi, menghormati kepada sesama manusia, dan setia kepada pemimpin disini kepada raja yang memiliki kuasa.Kesetiaan antara abdi dhalem ke raja, bawahan ke atasan, rakyat dengan jelata dengan rajanya.Saboe (dalam Sutrisno:1985). Kebudayaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan keduanya saling terkait dan berhubungan sangat erat. Di dalam hasil budaya tersembunyi simbol-simbol dan makna yang dapat diungkap dijadikan sebagai ajaran, pandangan hidup, yang berisi falsafah-falsafah hidup masyarakat jawa.Bentuk kebudayaan itu sendiri dapat berupa bangunan keraton, candi, pusaka-pusaka keraton, tembang Jawa, batik, gamelan, gendhing, sastra, wayang dan tari.Wujud dari tari sendiri memiliki jenis sangat banyak, tari tradisional klasik, tari tradisional, tari kerakyatan, tari moders, dari jenisnya masih terbagi lagi menjadi tari tunggal, berpasangan, kelompok.Termasuk tari tunggal jenis tari putri gambyong, retno pamudya, tari putra tunggal gambiranom, eka prawira, prawira guna, berpasangan putri tari Srikandi Mustakaweni, AdanenggarKelaswara, keprajuritan Bandabaya, Bandayuda,sedangkan pasangan purtra dan putri enggar-enggar, driasmara,tari kelompok masuk pada srimpi dan bedhaya.Jenis yang tarian moders yaitu yapong, soyong, cipat-cipit, rarangigel.(Wahyudianto, 2008). Tari memiliki sejarah panjang dengan diciptakan dan berfungsi dengan kebutuhan dari seniman yaitu berfungsi ritual seperti bedhaya dan srimpi untuk pertunjukan dramatari ramayana, tari kontemporer hanya untuk kebutuhan hiburan sedangkan ritual sudah pada tahapan penyatuan doa, Manunggaling Kawula Gusti, keseimbangan kehidupan Makrokosmos(Jagad gedhe) dan Mikrokosmos (Jagad cilik).Yang ingin dikaji dan menarik adalah tari bedhayaketawang yang termasuk tari ritual magis, sakral dan religius dengan demikian secara tersembunyi memiliki makna yang dalam serta baik bagi tuntunan, ajaran untuk masyarakat jawa. Makna dapat dikaji dari proses penciptaan bahwa tari bedhaya merupakan tari yang diciptakan raja Mataram yaitu Panembahan Senapati Pada abab ke -17 antara tahun 1648-1654, dan tari bedhaya ditarikan oleh sembilan penari putri dengan paras cantik, dari jumlah penari sudah memiliki simbol-simbol bahwa sembilan dapat diartikan dari ilmu perbintangan jawa, dengan nama: Lintang luku, Lintang kukusan, Gemak tarung, Panjer rina, Panjer sore.Terdapat juga dalam lagu jawa ― Iring-iring lintang lanjar, Gubug penceng 83 anjlog, Wus manengah Prahune sang raden, Jaka Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sakti, Nitih Kuda Dhawuk‖(K.G.P.H.Hadiwidjojo). Penamaan dari penari bedhaya ketawang sendiri makna dari organ tubuh manusia dari wajah sampai lubang pengeluaran, Batak, Gulu, Dhadha, Endhel ajed, Endhel Weton, Apit ngarep, Apit buri, Apit Meneng, Buncit.Disini dapat dimaknai penguasaan sifat serakah manusia bahwa manusia harus dapat mengendalikan hawa sanga(sembilan lubang pengeluaran), yang diseimbangkan dengan kehidupan manusia bahwa hal yang kotor, berbau harus kita bersihakan seperti menjaga perilaku untuk selalu hidup pada jalan kebaikan.(Nora Kustantina, 1993). Tari bedhaya ketawang di keraton Kasunanan Surakarta difungsikan secara ritual untuk upacara Jumenengan raja, penyambutan tamu raja secara pertunjukan hanya keluarga raja, abdi dhalem yang diperbolehkan untuk melihat dan formasi waktu menari bahwa raja duduk pada Singgasana menghapad ke penari, dan penari didepan dan abdi dhalem pada samping-samping penari dengan posisi duduk kepala menunduk kebawah, penari bedhaya tidak diperbolehkan menengadah disini terlihat bahwa Tari Bedhaya adalah tari untuk legitimasi bahwa raja punya kuasa penuh dari keraton dan segala isinya sampai pada penari. Apa yang ada dikeraton harus tunduk titah raja, hal ini penunjukan kekuasaan penuh di tangan raja, sampai syarat untuk penari ditentukan keadaan suci dikarenakan tari ritual magis bedhaya ketawang mengandung mitos adanya hubungan percintaan antara raja-raja Mataram dan Penguasa laut selatan.(Soedarsono,1991). Mengungkap makna simbolik dalam tari bedhaya untuk mendapatkan nilai pendidikan karakter yang terdapat dari jumlah penari, gerak, pola lantai, gendhing dan tata rias serta tata busana yang kesemuanya memiliki simbol-simbol dan simbol tidak hanya pada tari ritual saja melainkan pada upacara-upacara adat misalkan pernikahan, bersih kali, tedhak siten, wiwit, tujuh bulanan/ mitoni, sunatan, bahkan upacara nyadran, kematian.Simbol menurut Herusatoto kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang, Bentuk simbol dikelompokkan menjadi tiga macam: (1) tibdakan simbolis dalam religi,(2) tindakan simbolis dalam tradisi,(3) tindakan simbolis dalam kesenian. Dari tindakan simbolis yang ketiga yang dipergunakan untuk mendeskripsikan makna simbolik tari bedhaya ketawang.(Herusatoto:2005). Makna 84 simbolik yang terdapat pada tari dapat terlihat dari gerak, pola lantai, jumlah penari bedhaya yang berjumlah sembilan, bahkan sejarah terciptanya dll. B. Pembahasan Makna Simbolik tari bedhaya ketawang Keraton Kasunanan Surakarta memiliki suatu lambang atau simbol yang digunakan sebagai media dan perantara bagi masyarakat pendukung yang memiliki tujuan tertentu dalam keberlanjutan dari tari bedhaya, antara lain penari, abdi dhalem, pengrawit, sinden bahkan masyarakat luas. 1. Makna Sejarah Tari Bedhaya Ketawang Keraton Kasunanan Surakarta Tari bedhaya sangat disakralkan di keraton Surakarta merupakan reaktualisasi hubungan mistis keturunan Panembahan Senapati sebagai raja Mataram Baru yang pertama dengan penguasa atau raja putri Laut selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kenacana Sari. Mitos yang tertuang di dalam BabadTanah Jawi (1980) menggambarkan bahwa Kanjeng Ratu Kencana Sari dan bala tentaranya bersedia membantu penguasa dari keraton untuk menjaga kemerdekaan dan ketentraman keraton.Dalam keadaan apapun, apabila ada permasalahan akan selalu dibantu, karena ada mitos keduanya saling jatuh cinta, dan menjalin hubungan dengan penguasa Mataram selanjutnya.Dari sejarah terlihat dalam Syair lagu Sinom ada nyanyian yang mengisaratkan percintaanBratadiningrat (1991). Kisah Cinta Antara Kau dan Aku sebagai berikut: “Dahat denira haminta, Sinipeket pangkat kanthi, Jtoning alam panglimunan, Ing pasaban saben sepi, Sumanggem anganggemi, Ing karsa kang wus tinanu, Pamrihe mung haminta, Supangate teka-teki, Nora ketang teken janggut suku jaja, 85 Terjemahan: (Sungguh-sungguh saya memohon, dengan penuh harap, Di dunia yang tidak tampak oleh mata (alam gaib), Dalam tamda saat-saat sepi, Sanggub menepati, Dengan kehendak yang sudah pasti, Maksudnya hanya memohon, Berkahnya bertapa, Meskipun bertongkat janggut, berkaki dada. Dalam paparan Syair sinom terlihat jelas bahwa rasa cinta Kanjeng Ratu Kencana Sari sangat dalam dengan memohon pada penguasa Mataram untuk dapat dijadikan isteri, dan memberikan semua bantuan dan tenaga apabila panembahan senapati meminta, tetapi kalau untuk memperistri Panembahan Senapati lebih mementingkan kehidupannya untuk mencapai sangkan paraning dumadi(asal mula terjadinya). Walaupun demikian Panembahan Senapati menjanjikan siapa keturunannya yang bertahta di Pulau Jawa akan mengikat janji dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari pada peresmian menjadi raja, sebaliknya Kanjeng Ratu Kencana Sari diminta datang untuk mengajarkan Tari Bedhaya Ketawang seperti yang ditarikan Sang Ratu di Keratonnya, tepatnya di dalam tilam sari (tempat tidur) yang berada di bawah laut dalam Pantai Parangtritis. Berkaitan dengan isi Serat Wedhapradangga disebutkan: Kacariyos, kala ing tahun Jawi 1585 sinengkalan ―Pathetira Ngarengga Tataning Kedhaton. Ing satunggaling dinten, ing wanci tengah dalu, Ingkang SinuhunKanjeng Sultan Agung lenggah piyambaan, manungku puja sarwi ngenengaken cipta, ing jagat katon sindhen premanem, amung kapireng swaraning angkup ingkang kasiliring samirana midit, pindha ukeling kemanak Gangsa Lokananta, miditing samirana lamat-lamat kapyarsa wonten swara gaib ingkang mawa lagu endah kapyarsa wonten swara gaib ingkang mawa lagu endah adiluhung, sinartan prabawa luhur, ingkng sinuwun ngantos anjegrig. Lelagon wau sampun-sampun kapyarsa wela-wela wonten ing awang-awang.tanshah cinathet ing driya sang nata, ngantos paham dhateng lelagon wau. Ingkang sinuwun anget duk jaman kadewatan, lelangen lenggot bawa, widadari kasapta ingkang ambadhaya, tinabuhan ing Gangsa Lokananta sarwi binarung ing kidung, ngantos byar ingkang sinuwun boten sare, ing wanci enjing lajeng animbali para empuning karawitan : (1) Kangjeng Panembahan Purubaya, (2) Kayai 86 Panjangmas dhalang ngiras empuning gendhing, (3) Pangeran Panji Mudhabagus ingkang dhedhukuh Karanggayam (karan pangeran Karanggayam II),inggih punika putranipun Kyai Panjang mas wau, (4) R.T. Alap-alap sami empu karawitan ing Mataram.Ingkang sinuwun mangandikaaken kawontenan kalawau dalu, ngantos talesih”. (Tersebutlah, ketika tahun 1565 Jawa dengan candrasengkala Pathetira Ngarengga Tataning Keraton. Pada suatu hari di tengah malam,Sinuwun Sultan Agung duduk sendirian mengheningkan cipta, malam itu sunyi sepi, jagad tampak hening, hanya terdengar suara angkup yang tertiup angin, bagaikan suara kemanak dari Gamelan Lokananta, bersama dengan terpaan angin lamat-lamat terdengar suara gaib yang berlagu indah adi luhung, disertai perbawa luhur, sinuwun sampai merinding bulukuduknya. Lagu itu terdengar jelas angkasa, selalu tercatat di hati sang Raja sampai betul-betul paham pada lagu itu.Sultan Agung teringat ketika jaman para dewa, hiburan lenggot- bawa / tarian dan nyanyian, bidadari tujuh yang menari bedhaya , dengan iringan Gamelan Lokananta serta dibarengi nyanyinyanyian puji-pujian, sampai pagi hari / semalam suntuk sang raja memanggil para ahli karawitan :(1) Kangjeng Panembahan Purubaya, (2) Kiai Panjangmas, dalang sekaligus ahli gendhing, (3) Pangeran Panji Mudhabagus yang bertempat tinggal di Dukuh Karangngayam (disebut Pangeran Karangngayam II) yaitu putra Kyai Panjangmas, (4) R.T. Alap-alap, semuanya ahli karawitan di Mataram. Sinuwun Sultan Agung membicarakan malam itu dengan panjang lebar untuk membuat iringan gendhing bedhaya. Hasil yang diperoleh bahwa iringan gamelanbedhaya yang halus, sakral, khidmat tidak menggunakan intrumen gamelan keprak dikarenakan keprak suaranya kasar, ramai tidak sesuai dengan gamelan untuk gendhing tari bedhayaketawang, hanya rebab, gender, suling, gambang untuk menambah keselarasan suasana, tari bedhaya ketawang dapat dikatakan iringannya bukan termasuk gendhing melainkan tembang gerong. 87 2. Makna Simbolik Sembilan Orang Penari Bedhaya Ketawang Sembilan orang penari memiliki makna simbolik dengan pandangan filsafat jawa adalah kepercayaan perbintangan yang dipercaya masyarakat yaitu: ―Lintang luku, Lintang kukusan, Gemak tarung, Panjer rina, Panjer sore, dan dalam rasi bintang di masukkan dalam lagu jawa di bawah ini: ―Irim-irim lintang ngirim, gubug penceng, anjog, wus manengah prahune sang raden, jaka belek maluku ing kali, lintang bima sakti, nitih kuda dhawuk, (tembang mijil). Sembilan penari adalah dari jumlah bilangan terbesar menurut pandangan orang jawa, hal ini berhubungan dengan kehidupan yang harus seimbang yaitu antara kekuatan dunia Makrokosmos (jagad gedhe), dan Mikrokosmos (jagad cilik).Disini keseimbangan antara alam semesta dan manusianya yang ditandai dengan sembilan arah mata angin, tengah (poros), utara, selatan, timur, barat, barat laut, tenggara, dan barat daya. Sembilan penari memiliki simbol bahwa dimaksudkan ―Nawagraha‖ Lintang sanga;(1)Surya, (2)Soma, (3)Anggala, (4)Buddha, (5)Wrespati, (6)Sukra, (7)Saniscara, (8)Rahu, (9)Ketu. Sembilan penari juga memiliki simbol sembilan arah mata angin yang disebut yaitu Nawa-dhara dalam kitabWedhapariksama dapat disebut Syiwanatha raja. Syiwa dilambangkan lingga dan para penari dilambangkan sebagai yoni, keberadaan tari tersebut adalah aktivitas gerak Syiwa menciptakan dengan kata lain Syiwa menciptakan dunia ― The Master of the Dance‖. Sembilan penari memiliki simbol sembilan lubang pengeluaran dari manusia yang diartikan pengendalian diri untuk menata sikap kesabaran yang sesuai dengan orang jawa yaitu harus bisa menahan hawa nafsu jahat, dengki, srei, bathil, menakil. Sembilan pengeluaran : (1) Mata, (2) Hidung, (3)Telinga kanan, (4)Telinga kiri, (5) Mulut, (6) Puser, (7)Kulit, (8)Alat kelamin,(9) Lubang dubur. Sembilan penari adalah Dewa Syiwa yang tertinggi dan ruang berikutnya Durga dan di bawahnya dewa-dewa penjaga arah mata angin yang digambarkan pada sisi luar, dibawahnya murid Syiwa yaitu Tandu. 88 3. Proses latihan karena tari ritual harus ditentukan tidak bisa setiaphari latihan Penentuan hari ditentukan Selasa kliwon, yang memiliki makna simbolis hari Anggara Kasih adalah wuku Dhukuttuwin Mandhasiya winastan Anggara Kasih ageng, Dinten menika dipun agem kangge njamasi pusaka keraton kalih nyaosi caos dhahar Wuku Dhukut, IngWulan Surapusaka dipun warangi, wonten keraton dipun wastani dipunjamasi. 4. Gerak tari dalam bedhaya kethawang adanya pakem tari bahwa tari terdiri: a. Maju beksan Penari masuk yang diawali dengan lumaksana,sembahan dan ada aturan masuk Dalem Ageng harus mengitari Sinuwun dengan arah menganan. b. Beksan Penari ada perangan ada penari yang berdiri dan ada yang jengkeng, peperangan dalam masyarakat jawa adalah perangnya hawa nafsu yang jahat karena didunia adanya dua hal, baik dan buruk, cantik-jelek, pintar-bodoh, kaya-miskin, bencisayang, lawan-kawan , hitam-putih dll c. Mundur beksan Penari kembali masuk dengan lumaksono dan mengitari raja. 5. Tata Busana Memakai dodot banguntulak, lapisan bawah memakai cindekembang, berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan buntal. Seperti pengantin jawa. Pernikahan memiliki simbol kesuburan karena bertemunya laki-laki dan perempuan, bertemuanya sel telur dan sperma. 6. Tatarias Tari Bedhaya Ketawang Riasan temanten putri, sanggulnya bokormengkurep, lengkap dengan perhiasanperhiasan, yang terdiri centhung, kalung, gelang , cincin, garudha mungkur, sisir jeram, cundhuk menthul, dan kembang tiba dhaha di bagian kanan. Pada rias ada gajah, pengapit, panitis, dan godheg, yang bermakna: Bahwa gajah melambangkan Tuhan Yang Maha Kuasa karena disimbolkan bentuknya paling besar, Pengapit terletak di kanan dan 89 kiri gajah, berbentuk kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Panitis melambangkan bahwa laki-laki yang bertugas menurunkan benih/wiji dadi. Godheg berjumlah dua bersatunya kedua pengantin, godhek melambangkan cita-cita yang luhur untuk dapat hidup bersama mengarungi bahtera rumah tangga dan berharap mendapatkan keturunan yang baik. Bentuk rambut bokormengkurep dan ditutup bunga melati sebagai rajut yang berbentuk kawungan, bunga melati perlambang kesucian ini bahwa penari bedhaya ketawang menari dalam keadaan suci dan bersih. Bunga melati dan kawungnya adalah simbol bersatunya kawula gusti.Cindhe yang diikkat agar penari dapat mengendalikan diri bersikap sabar.Perhiasan sebagai perlambang bahwa seorang wanita dapat berhias dan berdandan cantik dengan demikian dapat menyenangkan hati suaminya, Cundhuk menthul berjumlah ganjil kepercayaan orang jawa hitungan yang baik harus ganjil maka ada sebutan semua dihitung atau dibincili/ dihitung, misalkan 3,5,7,11,13.17 dsb. 7. Bentuk gamelan Menggunakan laras pelog, tanpa keprak menandakan taribedhayaketawang termasuk tari sakral, klasik dan ritus. Dengan tidak adanya keprak iringan lebih hidmat, tenang dan iringan dari bedhaya tidak berwujud gendhing tetapi tembang gerong. 8. Nama Penari Bedhaya Ketawang juga ada simbol sakral: 1.Batak, 2.Endhel Weton, 3. Endhel Ajeg, 4. Apit Ngarep,5.Apitmburi, 6.Apit meneng, 7. Gulu, 8.Dhadha, 9.Buncit. Simbol nama penari merupakan bentuk anggota tubuh manusia dari kepala sampai alat pengeluaran yang secara letak harus urut. 9. Pola lantai tari Bedhaya Ketawang Ada beberapa yang memiliki simbol yang jelas sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Jawa: Bentuk pola lantai jejer wayang: - Memberikan lambang bahwa orang hidup membutuhkan orang lain untuk mencapai yang diinginkan, sifat gotong royong 90 Bentuk pola lantai formasi tiga-tiga - Memberikan lambang semua yang bersifat ganjil lebih baik dari perhitungan bagi masyarakat Jawa Bentuk pola lantai gubuk penceng - Memberikan lambang bahwa semua tertuju kepusat yaitu manunggalingkawula lan gusti harus selalu ingat bahwa manusia dilahirkan dari siapa dan diharuskan hidup yang bagaimana sangakan paraning dumadi. Bentuk pola lantai berputar - Penari mengitari raja dan singgasana bahwa ajaran orang jawa yang berada dipusat itu yang diagungkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan Raja dianggab memiliki kekuatan yang menyamai kekuatan para dewa.Sebagai manusia harus patuh dan tunduk kepada junjungannya. C. Wujud Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Tari Bedhaya Ketawang 1. Wujud nilai pendidikan karakter a. Ketuhanan: Manusia diciptakan harus bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan percaya dan patuh dengan perintahnya dan menjauhi segala larangannya, dan harus selalu ingat dari mana dan dari siapa kita ada dan diadakan(Sangkan Paraning Dumadi) - Berdoa diberikan nikmat dalam kehidupan sehingga menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan akerat, kehidupan Makrokosmos (jagad gedhe) dan Mikrokosmos (jagad cilik). - Rasa syukur diberikan berbagai nikmat, kehidupan, rejeki, anak, suami, istri, keluarga, sahabat,pekerjaan. 2. Kekerabatan/kebersamaan dalam tari bedhaya ketawang a. Sosial: kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa disini dengan seniman, pencipta, penari, pengrawit dll. - Kejujuran - Kekompakan - Kebersamaan - Saling menghormati 91 - Berbagi - Bertanggung jawab - Patuh kepada orang yang lebih tua/ patuh kepada raja D. Penutup Tari bedhaya ketawang di keraton kasunanan Surakarta sebagai tari yang sakral, magis, religius yang diperuntukkan untuk upacara adat jawa jumenengan raja dan penyambutan tamu-tamu penting raja yang ditarikan setahun sekali dengan jumlah penari sembilan, dengan gendhingsejenis tembang gerong, dengan laras pelog disertai tata rias pengantin putri seperti rias pengantin putri jawa dengan busana dhodhot, samparan, bunga tiba dhadha,disertai perhiasan, centhung, garudha mungkur, sisir jeram.Adapun pendidikan karakter pada tari bedhaya ketawang adanya nilai luhur ketuhanan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sangkan Paraning Dumadi) dan Keseimbangan hidup dunia dan akherat antara kehidupan Makrokosmos (jagad gedhe), dan Mikrokosmos (jagad cilik).Nilai pendidikan karakter secara sosial bahwa manusia diharapkan memiliki bertanggung jawab, kejujuran, berbagi, kekompakan, kebersamaan, saling menghormati,patuh kepada yang lebih tua. Nilai pendidikan karakter harus tetap dijaga walaupun dan pada kondisi apapun, pengaruh budaya global yang menggerus budaya lokal harus tetap kita jaga bahkan kita punya tanggung jawab untuk melestarikan, menjadikan pribadi yang berbudaya, bermartabat, berdedikasi tinggi, tidak malu dengan budaya jawa karena budaya jawa adalah pilar dari budaya nasional. Daftar Pustaka A. H. Baker. 1987. Manusia dan Simbol dalan Sekitar Manusia. Anderson Benedict. 1985. Mythology and Tolerance of the Javanesse. New York: Southeast Asia Program Cornell University Press. Bastomi, Suwaji, 1992. Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Pres _____________ .2000. Laku Budaya Jawa. Semarang: UNNES 92 Herusatoto, Budiono.2005.Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Windia Humardani, S. D. 1983. Kumpulan Kertas Tentang Kesenian. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Koenjaraningrat. 19744. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka _____________ 1985. Ritus Peralihan diIndonesia.Jakarta: Balai Pustaka _____________2002. KebudayaanMentalitas dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama K.G.P.H. Hadiwijoyo.1971. Bedhaya Ketawang. Jakarta: Balai Pustaka Prabowo W. 1991. Sosok Tari Tradisi Keraton. Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah. Purwadi,dkk.2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media Kustantina Dewi.1993. Tari Bedhaya Ketawang Reaktualisasi Hubungan Mistis Panemmbahan senapati Dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari dan hubungannya.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Sedyawati, Edi. 1981. Permasalahan Sejarah Tari pada Masa Jawa Kuno. Jakarta: Sinar Harapan. Sudibyo, S. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Budaya. Tiwikromo, Argo Y.2006. Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Yogyakarta: Nidia Pustaka Warsodiningrat. 1943. Wedhapradangga. Naskah tulisan dengan huruf Jawa. Widagdo Sungging, Nilai Pendidikan dalamUpacara Tradisi Haul Semangkin di Desa Mayong Kabupaten Jepara. Univet Bantara Sukoharjo. Smart media. 93 FLASH CARDS BERBAHASA JAWA SEBAGAI STRATEGI PENGAYAAN KOSAKATA PADA ANAK Kenfitria Diah Wijayanti Pendidikan Bahasa Jawa FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Pemerolehan bahasa pada anak sesuai pada tahapan usia. Semakin dini pengenalan bahasa dilakukan, maka anak akan semakin kuat mengingat bahasa ibu yang didapatkannya. Penggunaan flash cards berbahasa Jawa mempermudah anak mempelajari bahasa tersebut. Selain memperbanyak kosakata, flash cards juga mengenalkan anak pada huruf, warna, dan bentuk benda yang pada saat itu ditampilkan. Pengenalan kosakata berbahasa Jawa pada anak akan membentuk karakter anak menjadi lebih santun, karena dalam bahasa Jawa mengenal adanya ragam krama dan ngoko yang harus diterapkan dengan melihat mitra tuturnya. Makalah ini menyoroti penggunaan flash cards berbahasa Jawa dalam rangka memperkaya kosakata bahasa Jawa pada anak. Kata kunci: pemerolehan bahasa, media flash cards, pendidikan karakter. A. Pendahuluan Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan budaya yang kental. Budaya diterapkan pada semua aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang tidak bisa terlepas dari budaya adalah bahasa. Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Perannya sebagai media dalam berkomunikasi menjadikan bahasa selalu berkembang mengikuti perubahan jaman, namun peminat atau pengguna bahasa Jawa berbanding terbalik. Generasi muda semakin enggan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya. Kebanyakan keluarga muda lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam berkomunikasi kepada anaknya. Bahasa Jawa dianggap kurang modern, selain itu struktur bahasa Jawa yang mengenal ragam ngoko dan krama menambah keengganan untuk menggunakannya. Ragam ngoko maupun krama dianggap sulit, karena dalam penggunaannya harus memperhatikan lawan tuturnya. Kosa kata bahasa Jawa sangat banyak jumlahnya, apalagi menggunakan patokan ragam krama dan ragam ngoko. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Jawa mulai meninggalkan bahasa Jawa karena jumlah kosa kata yang banyak dan rumit dalam menggunakannya. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan, maka bahasa Jawa akan mengalami kepunahan. Melalui pengayaan kosakata berbahasa Jawa pada generasi muda akan menyelamatkan keberlangsungan bahasa Jawa 94 B. Kondisi Bahasa Jawa Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Dalam bahasa Jawa mengenal adanya unggah-ungguh yang menuntut penuturnya mampu mengkategorikan diksi atau pilihan kata yang akan disampaikan pada mitra tuturnya. Sasangka (2007) dalam bukunya yang berjudul Unggah-Ungguh Bahasa Jawa mengemukakan bahwa tingkat tutur atau undha-usuk lazim pula disebut unggah-ungguh yang hingga kini masih digunakan masyarakat penuturnya. Sasangka (2007: 128) mengatakan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa hanya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk ngoko dan bentuk krama. Berikut ini adalah bentuk ragam bahasa Jawa menurut dua versi. a. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979) (dalam Sasangka, 2007: 17) Tingkat Tutur Ngoko Krama Ngoko Lugu Mudha Krama Basa Antya Kramantara Antya Basa Wredhakrama Madya Madya Krama Madyantara Madya Ngoko Bagan 1. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979) b. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono dkk.(1993) (dalam Sasangka, 2007:18). 95 Tingkat Tutur Ngoko Ngoko Krama Ngoko Alus (Ngoko Lugu) Krama Krama Alus (Krama Lugu) Bagan 2. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono dkk.(1993) Kebanggaan berbahasa atau language pride yang dimiliki masyarakat Jawa dinilai memudar seiring perkembangan zaman. Banyak keluarga muda yang lebih bangga memperkenalkan bahasa asing pada sang anak dibanding memperkenalkan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam keluarga tersebut. Seorang penutur dapat dikategorikan sebagai penutur setia bahasa Jawa apabila dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar sesuai kaidah yang telah ditetapkan. Kondisi bahasa Jawa pada generasi muda dapat dikatakan jauh dari kata aman. Banyak anak muda tidak lagi mengenal bahasa Jawa krama, karena dalam kesehariannya hanya diperkenalkan bahasa Jawa ngoko itupun terjadi fenomena sikap bahasa negatif karena tidak disampaikan dengan baik dan benar. Berikut contoh penggunaan bahasa Jawa pada kalangan anak muda. Contoh: Ayo padha mlebu kelas, kae lho dosene wis teka. Aku durung siram, mengko wae budhal kampuse. Bapakku durung mulih nyambut gawe. Kula ajros menawi boten mlebet. Ampun ngoten, kula percados kaliyan sampeyan. Kata-kata yang ditebalkan di atas sering kali terdengar pada saat mahasiswa atau kaum muda berkomunikasi. Penempatan diksi ragam krama dan ngoko tidak pada tempatnya, menjadi dominasi kesalahan berbahasa Jawa pada kaum muda. Selain itu, terdapat kata ajros dan percados yang dianggap penutur sebagai bahasa Jawa ragam krama. Padahal kata tersebut tidak 96 ada maknanya. Fenomena ini terjadi karena kurangnya kosa kata yang dimiliki oleh kaum muda. Apabila dirunut ke belakang maka keluargalah yang turut andil atas fenomena ini. Oleh karena itu, pengayaan kosakata berbahasa Jawa sangatlah perlu dilakukan agar keberlangsungan bahasa Jawa tidak mendekati kepunahan. C. Pemerolehan Bahasa Akuisisi atau pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Chaer, 2009: 167). Sejalan dengan pendapat tersebut, Darjdowidjojo (2010, 225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yg dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Oleh karena itu, keluarga seharusnya memberikan pondasi kuat karena merupakan tempat pertama pemerolehan bahasa berlangsung. Lingkungan pertama anak bertumbuh adalah keluarga, maka bahasa yang ada pada keluarga itulah yang memperkuat bahasa ibu. Bahasa pertama yang dikenal oleh anak akan tersimpan rapi dalam ingatannya, bahkan hingga anak tersebut telah dewasa dan mengenal banyak bahasa. Pola pengasuhan anak yang tepat akan mempengaruhi kehidupan anak tersebut di masa mendatang. Pemberian asah, asih, dan asuh yang sesuai dapat membentuk karakter si anak. Asah adalah stimulasi, asih berupa kasih sayang, dan asuh adalah kecukupan kebutuhan baik itu materiil maupun non materiil termasuk pendidikan (Hasan, 2011). Anak sepertihalnya sebuah kertas kosong yang siap ditulisi dengan berbagai macam warna tinta. Pembelajaran bahasa pada anak usia dini akan lebih mudah, karena otak yang dimilikinya sedang mengalami perkembangan pesat atau sering disebut dengan masa golden age. Pada usia keemasan inilah sebaiknya diberikan stimulus yang maksimal. Manusia memiliki kemampuan untuk memproduksi ujaran. Kemampuan tersebut dilengkapi alat wicara yang menyempurkan pengujaran bahasa tersebut. Menurut Chomsky yang dikutip dalam Chaer (2009) terdapat beberapa hipotesis mengenai pemerolehan bahasa kanakkanak. Hipotesis tersebut antara lain adalah hipotesis nurani, hipotesis tabularasa, dan hipotesis kesemestaan kognitif. Berikut penjelasan dari hipotesis-hipotesis tersebut. 1) Hipotesis Nurani 97 Dalam hipotesis nurani disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi suatu alat yang memungkindan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Selain itu Chomsky (dalam Chaer, 2009: 168-169) juga menemukan beberapa hal yakni: a. Setiap anak normal akan memperoleh bahasa ibunya. b. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan. c. Kalimat yang didengar seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit. d. Bahasa hanya bisa diajarkan pada manusia. e. Proses pemerolehan bahasa sesuai dengan jadwal yang terkait dengan pematangan jiwanya. f. Seorang anak hanya membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk menguasai struktur bahasa yang rumit, kompleks, dan universal. Mengenai hipotesis nurani, Chomsky dan Miller (dalam Chaer, 2009) menemukan adanya alat yang dapat membuat kanak-kanak bisa berbahasa. Alat tersebut dinamakan language acquisition device (LAD). Cara kerja dari LAD yakni apabila ada suatu bahasa (missal: bahasa Jawa) diberikan kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan/input, maka LAD tersebut akan membentuk salah satu tata bahasa formal sebagai keluaran atau output. 2) Hipotesis Tabularasa Tabularasa atau kertas kosong adalah seperti kondisi otak manusia yang baru dilahirkan belum memiliki pengetahuan apapun. Hipotesis ini semula diperkenalkan oleh John Locke yang kemudian dikembangkan oleh John Watson (dalam Chaer, 2009). Berikut adalah hasil pengamatan yang tampak pada perilaku berbahasa manusia. a. Semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. b. Hipotesis ini merumuskan cara pembelajaran S-R (stimulus-respons). c. Tahapan awal si anak akan berceloteh „babling period‟ karena proses peniruan dengan melafalkan semua bunyi yang kemudian menggabungan bunyi-bunyi tersebut, sehingga memenuhi kualifikasi secara sintaksis dan semantik. d. Bahasa merupakan sekumpulan tabiat atau perilaku (teori behaviorisme). 98 Hasil pengamatan tersebut terjadi pada manusia dengan bekal wicara yang sempurna. Bekal wicara tersebut berupa otak dan alat wicara di mana suara manusia yang menjadi bahasa diproduksi. Skinner (dalam Chaer, 2009) mengemukakan bahwa berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Berikut ini adalah klasifikasi kategori respons bahasa tersebut. a. Mand: command dan demand untuk meminta sesuatu. b. Tacs: menamai sesuatu akibat adanya stimulus. c. Echoics: perilaku berbahasa (peniruan) yang disebabkan adanya respons pihak lain. d. Textual: perilaku berbahasa yang muncul akibat adanya stimulus tertulis. e. Intraverbal operant: operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau dialami penutur. Analisis hasil pengamatan yang dilakukan oleh Skiner tersebut menyoroti bagaimana anak tersebut mendapatkan bahasa, memproses dalam otaknya, hingga memproduksi bahasa. 3) Hipotesis Kesemestaan Kognitif Berdasarkan teori kognitif manusia meimiliki tahapan dalam berujar sesuai dengan usia dan kematangan diri. Berikut tahapan pemerolehan bahasa pada anak: a. Usia 0 - 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya (struktur akal mental-kekekalan benda), b. Usia 2 – 7 tahun anak mengalami representasi kecerdasan membentuk representasi simbolik yang meliputi permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dll, c. Bahasa anak semakin berkembang dengan mendapat nilai sosial. Struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk kognitif umum yang telah dibentuk pada usia 2 tahun (Chaer, 2009). Dalam kenyataannya setiap anak tidak memiliki tahapan yang sama, karena kemampuan bahasa yang dimilikinya tidak sama. Kemampuan bahasa anak terbentuk juga dari faktor lingkungan yang kondusif. Oleh karena itu, lingkungan keluarga merupakan pemegang peranan pokok dalam pemerolehan bahasa pada anak. 99 D. Flash Cards Berbahasa Jawa Flash cards atau sering disebut kartu baca adalah kartu yang berisi informasi baik berupa gambar, kata, huruf dan lain sebagainya. Penggunaan flash cards bertujuan untuk merangsang memory recall yang bila teratur dilakukan akan meningkatkan perkembangan short term maupun long term memori (Wijayanti dan Dyah, 2014). Flash cards berbahasa Jawa dapat membantu memperkaya kosakata anak mengenai bahasa Jawa. Permainan flash cards dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut, antara lain: a) menyediakan waktu selama satu jam setiap durasinya b) menyiapkan flash cards dengan gambar (gambar diusahakan bervariasi) dan tulisan (berbahasa Jawa krama) c) menampilkan flash cards di depan anak dengan cepat dan diulang terus menerus d) mengujikan kepada anak dengan benda riil yang ada di sekitarnya Pada awalnya anak akan melihat gambar dengan sungguh-sungguh menggunakan daya visualisasinya. Setelah beberapa tahapan tersebut dilaksanakan, anak akan terpacu untuk berbicara dan mulai bisa berpikir. Untuk mengoptimalkan kemampuan verbalnya, tentu saja siswa tersebut harus diajak berkomunikasi dengan materi-materi yang telah diajarkan. Masa kanak-kanak adalah dunia bermain bagi mereka. Memberikan stimulasi menggunakan flash cards pada anak dapat dilakukan dengan permainan, sehingga anak akan tertarik melakukannya. Pemberian rewards dan punishment yang tepat bisa membangkitkan antusias anak melakukan permainan. Over stimulation pada anak akan menimbulkan dampak negatif. Anak akan merasa bosan dan terpaksa. Melihat mood anak akan sangat membantu pembelajaran dan proses pemerolehan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, pembelajaran tidak bisa dipaksakan untuk mencapai sasaran. Keberhasilan penggunaan flash cards dapat diujikan menggunakan benda riil yang ada di sekitar kita. Post test dapat dilakukan dengan menayakan nama benda yang kemudian memberikan pujian pada saat jawaban benar. Flash cards dapat didesain hanya gambar saja atau gambar dan huruf. Penyajian flash cards gambar huruf akan memberikan manfaat ganda untuk mengajarkan kosakata dan mengajarkan membaca pada anak. Gambar yang ditampilkan dalam flash cards tidak boleh ambigu, yang nantinya akan menimbulkan kebingungan pada anak. Gambar yang terfokus pada 100 suatu objek akan mempermudah anak dalam mengingat. Berikut contoh flash cards berbahasa Jawa. Gambar 1. Flashcards Bahasa Jawa Flash cards di atas menampilkan gambar dan huruf, yang membahas anggota tubuh manusia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ragam krama. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada anak nama-nama anggota tubuh dengan bahasa Jawa krama. Penggunaan flash cards akan lebih efektif apabila dilakukan secara teratur dan menyenangkan. E. Simpulan Pemerolehan bahasa berlangsung dalam lingkungan keluarga inti. Keluarga berperan penuh untuk menentukan bagaimana pendidikan kepada anak diberikan. Pengayaan kosakata bahasa Jawa pada anak, akan membentuk karakter, sehingga anak mengenal adanya unggahungguh. Hal ini sejalan dengan pendidikan karakter anak yang membentuk kepribadian sesuai karakter budaya Jawa. Penggunaan flash cards membantu anak menghafal kosakata bahasa Jawa lebih mudah. Selain itu, anak juga akan belajar mengenal huruf yang akan membantunya pada saat belajar membaca nantinya. Penumbuhan rasa kecintaan dan kebanggaan berbahasa Jawa 101 seharusnya ditanamkan sejak dini, karena pengenalan bahasa ibu menggunakan flash cards pada young leaner sangat bermanfaat bagi kelangsungan bahasa Jawa itu sendiri. Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hasan, Maimunah. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Diva Press. Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2007. Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua. Wijayanti, Kenfitria Diah. 2013. Pengenalan Bahasa Jawa Sejak Usia Dini Pada Anak Untuk Membentuk Karakter Bangsa. Artikel Ilmiah. Universitas Sebelas Maret. Wijayanti, Kenfitria Diah & Padmaningsih, Dyah. 2014. Flashcards sebagai Media Pembelajaran Kreatif Pengenalan Bahasa Jawa Krama Pada Anak Berkebutuhan Khusus yang Berkategori Tuna Grahita di Kabupaten Karanganyar. Artikel Penelitian. Universitas Sebelas Maret. 102 SYI’IR TANPA WATON : POTRET PEMERTAHANAN BAHASA JAWA SEBAGAI REFLEKSI PENDIDIKAN MORAL Harsono S.S., M.Hum Pendidikan Bahasa Jawa Univet Sukoharjo Abstrak Syi‟ir Tanpa Waton merupakan tembang musikal Islami yang berisi refleksi diri, tuntunan hidup untuk berlaku ideal sebagai makhuk Tuhan yang bertakwa. Tembang musikal Islami ini hidup dan berkembang di masyarakat Jawa hingga sekarang. Syi‟ir Tanpa Waton yang sarat dengan tuntunan Islam ini sering dilantunkan ketika pengajian di kampung maupun di lingkungan pondok pesantren. Tembang musikal Islami ini berkembang dimasyarakat menjadi bentuk konsep baru yang berisi gambaran nilai-nilai ideal sebagai manusia yang bertakwa serta mengandung pula kritikan bagi orang muslim yang disampaikan secara santun dan elegan. Tempo, dinamika nada, penekanan pelafalan, dan pilihan kata dalam bahasa Jawa menjadikan Syi‘ir ini menjadi konsep seni tembang islami yang harmonis, nglangut, dan religius. Dinamika kenaikan intonasi terjadi pada larik kedua dalam satu baitnya dan meninggi klimaks di akhir larik kedua pada dua frasa terakhir. Teks pada tembang musikal Islami Syi‟ir Tanpa Waton terdiri 16 bait. Bait 1 dan 2 menggunakan bahasa Arab, untuk selanjutnya bait 3 sampai dengan bait 15 menggunakan bahasa Jawa, serta ditutup bait terakhir menggunakan bahasa Arab. Dalam hal ini, penulis mengamati penggunaan bahasa Jawa pada tembang musikal Islami tersebut menjadi solusi pembelajaran, peningkatan keimanan bagi umat muslim, serta pendidikan moral yang dirasa ampuh di era jaman sekarang khususnya bagi yang mengetahui bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam santun tehadap budaya tradisi daerah, salah satunya media bahasa Jawa digunakan dalam pengkaryaan Sastra Musikal yang berisi tuntunan dan refleksi diri. Kata kunci : Syi’ir Tanpa Waton, pemertahanan bahasa jawa, pendidikan moral. I.Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Syi‟ir Tanpa Waton merupakan tembang musikal Islami yang berisi refleksi diri, tuntunan hidup untuk berlaku ideal sebagai makhuk Tuhan yang bertakwa. Tembang musikal Islami ini hidup dan berkembang di masyarakat Jawa hingga sekarang. Syi‟ir Tanpa Waton yang 103 sarat dengan tuntunan Islam ini sering dilantunkan ketika pengajian di kampung maupun di lingkungan pondok pesantren. Tembang musikal Islami ini berkembang dimasyarakat menjadi bentuk konsep baru yang berisi gambaran nilai-nilai ideal sebagai manusia yang bertakwa serta mengandung pula kritikan yang disampaikan secara santun dan elegan. Pada syair teks Syi‟ir Tanpa Waton menggunakan bahasa arab pada bait awalnya, dilanjutkan menggunakan bahasa Jawa pada bait-bait selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan konsep tembang musikal Islami ini menjadi sebuah produk local genius yang berisi akulturasi 2 budaya, Islam dan budaya local (Jawa). Syi‟ir Tanpa Waton berbentuk tembang yang dilantunkan dengan alunan nada dan memiliki konvensi sastra didalamnya. Hal ini ditemukan dalam akhiran baris pada tiap baitnya, sebagian besar memiliki keteraturan persamaan bunyi suku katanya. Pada umumnya karya-karya sastra Jawa kurang begitu dikenal atau diketahui masyarakat, hal itu disebabkan karya sastra lama menggunakan bahasa daerah (Jawa) yang sulit dipahami oleh sebagian masyarakat. Berbeda dengan teks Syi‟ir Tanpa Waton, penggunaan bahasa Jawa yang mudah dimengerti menjadi salah satu alasan tembang musikal islami ini familiar diberbagai kalangan masyarakat muslim Jawa. Meskipun demikian, penyampaian kesederhanaan dalam bahasa pada teks Syi‟ir Tanpa Waton mengandung interpretasi makna yang dalam sehingga dalam pemaknaannya tidak bisa hanya dengan pemahaman saja karena juga berisi simbol-simbol. Berger berpendapat (2005:23) sebuah simbol adalah segala sesuatu yang mempunyai signifikasi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki makna yang dalam. Sedangkan Saussure (dalam Chaer 2003:287) menjelaskan makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Pada awalnya, sebagian kalangan percaya bahwa yang mengarang sekaligus yang melantunkan Syi‟ir Tanpa Waton adalah KH. Abdur Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Hal ini disebabkan karena banyak ditemukan rekaman-rekaman dalam bentuk audio yang beredar di dunia maya (youtube : salah satu portal web untuk melihat tayangan audio visual) memiliki kemiripan suara Gus Dur, serta ditambah kandungan dalam syair tersebut, memiliki esensi gambaran tentang apa yang diperjuangkan beliau semasa hidupnya, sehingga memberikan keyakinan beberapa kalangan masyarakat jika Syi‟ir Tanpa Waton memang ditulis oleh Gus Dur. Pada sebuah situs di media online (2011) putri tertua Gus Dur, Alissa Qothrunnada menyatakan belum pernah mendengar syair tesebut langsung dari Gus Dur. 104 Kemudian ditanyakan kepada orang-orang terdekat Gus Dur semasa hidupnya tidak ada yang menyatakan pernah mendengar syair tersebut langsung dari Gus Dur sebelumnya. Damar Kasaenan (2011) melakukan penelurusan yang dipublikasikan di situs blog pribadinya menyatakan bahwa penulis Syi‟ir Tanpa Waton adalah KH. Mohammad Nizam AsShofa, Lc alias Gus Nizam. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Ahlus Shafa wal Wafa Sioketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Syi‟ir Tanpa Waton adalah ciptaannya pada tahun 2004. Dalam versi pertama syair ini lebih panjang dua bait, kemudian versi kedua tahun 2007 dua bait tersebut dihapus dan versi kedua itulah yang beredar luas. Hal tersebut juga dibenarkan oleh para jema‟ah pondok pesantren Ahlus Shafa wal Wafa yang telah mengikuti pengajian Gus Nizam. II. Pemertahanan Bahasa Jawa Sebagai Refleksi Pendidikan Moral Wellek dan Warren (1995:27) memberikan pengertian bahwa karya sastra dapat memberikan kebermanfaatan berupa keseriusan yang bersifat diktaksis. Keseriusan ditaksis merupakan keseriusan yang memiliki nilai pendidikan. Karya sastra tidak hanya berisi imajinasi dari fikiran pengarang, melainkan dalam imajinasinya tersebut memiliki sesuatu yang penting dan hendaknya diketahui oleh penikmat sastra. Pesan sesuatu yang penting tersebut berupa nilainilai pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh penikmatnya. Syi‟ir Tanpa Waton sebagai tembang musikal Islami berisi pesan penting yang hendaknya juga dapat dimanfaatkan oleh penikmatnya. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu‟ur yang berarti perasaan. Kata syu‟ur berkembang menjadi syi‟ru yang berarti puisi dalam pengertian umum. Dalam kesusastraan Melayu, Syair mendasar pada pengertian puisi secara umum. Perkembangan telah menjadikan syair ini menjadi model baru dengan mengalami mengalami perubahan dan modifikasi sehingga dapat dirancang sesuai dengan keinginan jaman. Fang dalam bukunya (2011:562-563) menjelaskan bahwa syair merupakan salah satu jenis puisi lama yang terdiri atas empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang sekurang-kurangny terdiri atas sembilan sampai dua belas suku kata. Syair tidak mempunyai unsur-unsur sindiran atau sampiran di dalamnya. Aturan sanjak akhirnya adalah aa-aa dan sanjak dalam (internal rhyme) hampir-hampir tidak ada. Menurut isinya, Fang (2011:566) menggolongkan syair menjadi lima, yaitu : a. Syair Panji 105 Syair Panji misalnya Syair Panji Semirang yang merupakan saduran dari Hikayat Panji Semirang. Dalam syair jenis ini plot disajikan dengan lebih sederhana dan biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. b. Syair romantis Merupakan syair yang menceritakan kisah percintaan yang biasanya ada pada cerita pelipur lara, hikayat maupun cerita rakyat. c. Syair kiasan Berisi tentang percintaan selain manusia, seperti ikan, burung, bunga maupun buahbuahan. Percintaan tersebut adalah sebuah kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Contoh syair kiasan adalah Syair Burung Punguk yang menceritakan tentang percintaan yang gagal akibat perbedaan pangkat (2011:587). d. Syair sejarah Merupakan syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan Belanda (2011:592). e. Syair agama Syair agama merupakan syair yang memuat tentang nasihat-nasihat maupun tuntunan dalam kehidupan beragama. Contohnya adalah Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Kiamat, Bahr An-Nisa, Syair Takbir Mimpi, Syair Raksi dan lain sebagainya (2011:603604). Berdasarkan klasifikasi penggolongan syair oleh Fang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Syi‟ir Tanpa Waton merupakan jenis Syair Agama. Hal ini dilihat dari substansi isi teksnya, yang berisi refleksi tuntunan hidup ideal muslim yang bertakwa. Teks pada tembang musikal islami Syi‟ir Tanpa Waton terdiri 16 bait. Bait 1 dan 2 menggunakan bahasa Arab, untuk selanjutnya bait 3 sampai dengan bait 15 menggunakan bahasa Jawa, serta ditutup bait terakhir menggunakan bahasa Arab. Dalam hal ini, penulis mengamati penggunaan bahasa Jawa pada tembang musikal Islami tersebut menjadi solusi pembelajaran, peningkatan keimanan bagi umat muslim, serta pendidikan moral yang dirasa ampuh di era jaman sekarang khususnya bagi yang mengetahui bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa 106 agama Islam santun terhadap budaya tradisi daerah, salah satunya media bahasa Jawa digunakan dalam pengkaryaan Sastra Musikal yang berisi tuntunan dan refleksi diri. Syi‘ir ini menjadi cepat populer dikalangan masyarakat muslim Jawa karena didorong oleh faktor primordial masyarakatnya yang sangat familiar dengan syi‘ir-syi‘ir. Pada jaman dahulu ajaran-ajaran disampaikan melalui pesan yang tersandikan dalam tembang-tembang. Dalam Syi‟ir Tanpa Waton, pedoman hidup yang ideal sebagai muslim yang bertakwa digambarkan dengan bahasa Jawa yang sederhana dan mudah dimengerti. Misalnya dalam bait-bait berikut : Astagfirullah robbal baroya… Astagfirulloh minal khootooya… Robbi zidni `ilmannaafii‟a… Wawaffikni `amalan sholiha… Terjemahan. Aku memohon ampun ya Allah Maha Penerima Taubat Aku memohon ampun ya Allah dari segala dosa Tambahkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat Berikanlah aku amalan yang baik (STW- pada bait ke - 1) Yaa rosulallah salammun‟alaik… Yaa rofi‟asaaniwaddaaroji… `atfatayaji rotall `aalami… Yauhailaljuu diwaalkaromi… Terjemahan. Wahai utusan Allah, semoga keselamatan tetap padamu Wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga Wahai ahli dermawan dan pemurah hati (STW- pada bait ke - 2) Ngawiti ingsun nglaras syi‟iran Kelawan muji maring Pengeran Kang paring rohmat lan kanikmatan Rina wengine tanpa petungan Terjemahan. Saya mengawali melantunkan syair Dengan memuji kepada Tuhan Yang memberi rahmat dan kenikmatan Siang dan malam tanpa perhitungan (STW- pada bait ke - 3) 107 Pada bait pertama dan kedua Syi‟ir Tanpa Waton ini menggunakan bahasa Arab, dilanjutkan pada bait ke-3 menggunakan bahasa Jawa. Dilihat dari perspektif bahasanya, bait ke3 tersebut menggunakan bahasa Jawa yang mudah dimengerti. Tidak menggunakan kosakata bahasa Jawa yang sulit dimaknai, karena pada dasarnya penciptaan syi‘ir ini sebagai bentuk refleksi diri dan perenungan-perenungan agar dapat dengan mudah tersampaikan pesannya. Pencipta syi‘ir ini seolah sengaja menggunakan kode bahasa yang mudah untuk dimaknai. Kode Bahasa menurut Teeuw (1983) merupakan analisis unsur-unsur yang berupa tata bahasa dan kosakata, urutan kata dan struktur kalimat. Secara garis besar kode bahasa menjelaskan maknamakna kebahasaan. Menarik mencermati kode bahasa penggunaan kata Ingsun pada bait ke 3 yang berarti ‗saya‘. Kata Ingsun merupakan kategori deiksis dalam teori pragmatik. Kata-kata seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan katakata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis (Yule, 2006:13) Deiksis adalah kategori kata yang memiliki referen atau acuan selalu berubah. Ingsun merupakan kategori deiksis persona tunggal. Deiksis persona merupakan deiksis yang menunjukkan diri penutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama (Djajasudarma, 2009:52). Kata Ingsun dalam Syi‟ir Tanpa Waton bait ke-3 diatas seolah memberikan penegasan, bahwa siapapun yang melagukan tembang ini adalah ingsun ―saya‖ dengan reference acuannya adalah dirinya sendiri (yang mengucapkan). Kata itu telah berpindah referen atau acuan, bukan ingsun „saya”- nya pencipta Syi‘ir tersebut. Hal ini memberikan penegasan pula bahwa pencipta syi‘ir ini memberikan ruang untuk penutur tembang ini sejenak merefleksikan dirinya sendiri, untuk senantiasa selalu berdoa mengagungkan Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan kenikmatan tanpa berbatas waktu, baik siang ataupun malam. Pada bait ke-3 tersebut merupakan gambaran sebuah konsep tuntunan moral yang elegan. Tanpa bermaksud menggurui, menyerahkan bentuk refleksi diri pada diri kita sendiri. Pada tiga bait selanjutnya menggambarkan cermin kedzaliman dan kelalaian umat manusia. Penggambaran tersebut memberikan implikasi tentang peringatan supaya kita menghindari hal-hal yang demikian, agar tidak sengsara di masa depan, misalnya dalam baitbait berikut : 108 Dhuh, bala kanca priya lan wanita Aja mung ngaji syare‟at blaka Gur pinter ndongeng nulis lan maca Tembe mburine bakal sangsara Terjemahan. Wahai, para teman pria dan wanita Jangan hanya belajar syariatnya saja Hanya akan pandai berbicara, menulis dan membaca Dikemudian hari akan sengsara (STW-pada bait 4) Akeh kang apal Qur‟an Haditse Seneng ngafirke marang liyane Kafire dhewe dak digatekake Yen isih kotor ati akale Terjemahan. Banyak yang hafal Al Qur‟an dan Hadisnya Senang mengkafirkan orang lain Kafirnya sendiri tidak dihiraukan Jika masih kotor hati dan pikirannya (STW-pada bait 5) Gampamg kabujuk nafsu angkara Ing pepahese gebyare ndonya Iri lan meri sugihe tangga Mula atine peteng lan nistha Terjemahan. Mudah terbujuk nafsu angkara Dalam gemerlap indahnya dunia Iri dan dengki dengan kekayaan tetangga Sehingga hatinya gelap dan nista (STW-pada bait 6) Pada bait 4, 5, 6 diatas berisi penekanan hal-hal yang seharusnya dihindari bagi orang yang bertakwa. Pendidikan moral untuk kita senantiasa berpegang teguh pada norma agama. Berpijak pada pendapat Teeuw (1983), bahwa untuk mendekati sebuah karya sastra membutuhkan kemampuan untuk memahami kode yang rumit. Memang benar adanya, kita mampu untuk menerima pesan dari sebuah tekstual sastra, bilamana kita mengerti kode-kode yang disampaikan didalamnya. Dalam hal ini Teeuw membagi kategorial menjadi 3 : Kode bahasa, kode sastra, kode budaya. Apabila pada bait 1, 2 dan 3 didepan dapat didekati melalui kode bahasanya, pada bait 4,5,6 diatas dapat didekati melalui kode sastranya. Menurut Teeuw (1983) Kode sastra merupakan kode yang berkenaan dengan unsur-unsur sastra. Dengan kata lain kode sastra memaparkan estetika sastra. Lain halnya dengan kode bahasa yang dapat dipahami secara langsung, untuk menganalisis kode sastra pembaca harus berimajinasi, 109 membayangkan apa yang dibayangkan oleh pengarangnya. Mencermati bait 4 pada pilihan kata larik pertama, muncul kata dhuh sebagai bentuk dinamika penggambaran kekecewaan terhadap sesuatu yang mungkin terjadi apabila kita terlena hanya mempelajari syariatnya saja. Dengan pemahaman yang lebih mendalam merupakan himbauan apabila ingin belajar ilmu agama, sebaiknya jangan hanya mempelajari syariatnya saja yang hanya menjadikan pandai berbicara, menulis dan membaca, kemudian akan mendapat sengsara. Dalam hal ini pencipta Syi‟ir Tanpa Waton ingin menggambarkan betapa tidak bermanfaat, betapa kecewa, betapa tiada guna, disampaikan melalui diksi pada kata dhuh. Tentu saja bukan tanpa alasan pengarang dengan memilih kata tersebut. Lebih pada ingin memberikan dinamika bahasa sastra yang menarik, lugas, sederhana dan apa adanya melalui kata dhuh sebagai wujud kekecewaan. Selain wujud teksnya yang menarik, Syi‟ir Tanpa Waton ketika didengarkan melalui audio, akan tampak wujud sastra musikalitas tembang yang menarik pula. Dinamika naik turunnya nada, stressing penekanan serta tempo pada tiap frasa atau kata yang dianggap penting akan tampak sekali. Selain tempo dan dinamika, yang perlu diperhatikan dalah penekanan. Penekanan diberikan kepada frasa-frasa tertentu didalam teks Syi‟ir Tanpa Waton (Nikken, 2013 :61) Tempo, dinamika nada, penekanan pelafalan, dan pilihan kata dalam bahasa Jawa menjadikan Syi‘ir ini menjadi konsep seni tembang Islami yang harmonis, nglangut, dan religius. Dinamika kenaikan terjadi pada larik kedua dalam satu baitnya dan meninggi klimaks di akhir larik kedua pada dua frasa terakhir. Bait ke- 5, pada frasa seneng ngafirke ‗suka mengkafirkan‘ dan frasa marang liyane ‗kepada orang lain‘ pengarang ingin menyampaikan pesan yang lebih. Pesan tersebut merupakan bentuk konsep pentingnya berintrospeksi diri untuk jangan suka menghakimi orang lain, padahal belum tentu kita menjadi pribadi yang bersih. Hal tersebut memberikan perenungan sekaligus sindiran bagi kita yang terkadang lebih disibukkan untuk mengurusi dan mencela orang lain, padahal belum tentu kita sendiri bersih dari noda. Pada larik ini juga memberi pelajaran moralitas yang tinggi bagi kita. Setidaknya meskipun kita telah diberikan ilmu atau pemahaman yang baik, jangan sampai ilmu dan pemahaman yang baik tersebut ditafsirkan keliru, sehingga berakhir pada kesombongan yang seolah kita menafsirkan diri paling benar diatas segalanya. Tergambar pada larik pertama dan kedua akeh kang apal Qur‟an haditse ‗banyak yang hafal Al Qur‟an dan Hadisnya‘, seneng ngafirke marang liyane „senang mengkafirkan orang lain‘. Tentunya mawas diri, introspeksi diri, dan pengendalian hawa 110 nafsu (tampak pada bait 6) menjadi pesan yang ingin disampaikan pencipta Syi‘ir. Bahwa untuk menjadi pribadi yang baik, setidaknya kita dapat menselaraskan hidup dengan mengendalikan hawa nafsu dan introspeksi diri. Satu hal yang menarik adalah, bahwa pesan itu ditempatkan pada larik kedua, dimana pada larik kedua pada teks Syi‟ir Tanpa Waton merupakan larik yang memiliki dinamika penekanan nada dan pelafalan yang meninggi. Hal ini memberikan arti bahwa kata-kata itu, menjadi kata yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Gambaran ideal keselarasan hidup tercermin pada bait selanjutnya dibawah ini : Ayo sedulur ja nglalekake Wajibe ngaji sak pranatane Nggo ngandelake iman tauhide Baguse sangu mulya matine Terjemahan. Ayo saudara jangan melupakan Wajibnya memahami sesuatu beserta aturannya Untuk mempertebal iman tauhidnya Bagusnya bekal mulya matinya (STW-pada bait 7) Kang aran sholeh bagus atine Karana mapan sari ngelmune Laku thariqot lan ma‟rifate Uga haqiqat manjing rasane Terjemahan. Yang disebut sholeh adalah yang bagus hatinya Karena sudah lengkap dan memahami ilmunya Tarikat dan makrifatnya berjalan Hakikat juga tumbuh dalam perasaannya (SWT-pada bait 8) Bait 7 dan 8 merupakan kontradiksi dari bait 4 - 6. Pada bait 4- 6 lebih menggambarkan perilaku dzalim dan gambaran perilaku yang tidak baik, akan tetapi pada bait 7 dan 8 diatas lebih pada contoh gambaran perilaku hidup ideal muslim dalam meningkatkan ketakwaan. Bait 7 penekanan lebih pada bagaimana untuk mempertebal keimanan adalah dengan mempelajari sesuatu secara utuh dalam hal ini Qur‘an yang merupakan pedoman hidup yang hakiki. Sedangkan bait 8 lebih pada cerminan perilaku yang ideal adalah ketika kita bisa menyatukan dan mempelajari sesuatu secara utuh, ditunjang dengan indahnya hati (jiwa), hal inilah yang akan membawa pada damainya jiwa dalam menjalani hidup. 111 Syi‟ir Tanpa Waton pada bait selanjutnya merupakan antitesa dari bait-bait sebelumnya, setelah bait-bait sebelumnya gambaran perilaku tidak baik (bait 4-6) dan gambaran perilaku baik (7 dan 8), untuk selanjutnya dibawalah kita pada bait yang mengandung keimanan hakiki: Al Qur‟an qadim wahyu minulya Tanpa tinulis bisa diwaca Iku wejangan guru waskitha Den tancepake ing njero dhadha Terjemahan. Al Qur‟an qadim wahyu yang mulia Tanpa ditulis dapat dibaca Itu nasehat dari guru yang mumpuni Supaya ditanamkan di dalam dada (STW –pada bait 9) Kumantil ati lan pikiran Mrasuk ing badan kabeh jeroan Mu‟jizat rasul dadi pedhoman Minangka dalan manjinge iman Terjemahan : menempel di hati dan pikiran merasuk dalam badan dan seluruh hati mukjizat Rosul (Al-Qur‘an) menjadi pedoman sebagai jalan masuknya iman (STW-pada bait 10) Kelawan Allah kang Maha Suci Kudu rangkulan rina lan wengi Ditirakati diriyadlohi Dzikir lan suluk aja nganti lali Terjemahan. Kepada Allah yang Maha Suci Harus mendekatkan diri siang dan malam Diusahakan dengan sungguh dan ikhlas Dzikir dan suluk jangan pernah lupa (STW-pada bait 11) Pada bait 9-11 diatas merupakan gambaran esensi Islam yang hakiki. Al quran menjadi wahyu mulia, mukjizat nabi Muhammad SAW menjadi pedoman, senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh dengan shalat 5 waktu, senantiasa selalu berdzikir. Hal ini menjadi pelajaran perenungan untuk menuju pada hubungan manusia dengan Alloh SWT. Dalam konsep budaya Jawa dikenal dengan manunggaling kawula Gusti. Selanjutnya pada bait 12 -15 Syi‟ir Tanpa Waton, berisi pedoman hidup untuk lebih meningkatkan jiwa yang bersabar, mengendalikan hawa nafsu. 112 Uripe ayem rumangsa aman Dununge rasa tandha yen iman Sabar narima najan pas-pasan Kabeh tinakdhir saking Pangeran Terjemahan. Hidupnya tentram merasa aman Mantabnya rasa pertanda beriman Sabar menerima meskipun pas-pasan Semua takdir dari Tuhan (STW-pada bait 12) Kelawan kanca dulur lan tangga Kang padha rukun aja daksiya Iku sunnahe Rasul kang mulya Nabi Muhammad panutan kita Terjemahan. Kepada teman, saudara dan tetangga Rukunlah dan jangan saling bertengkar Itu sunnanya Rasul yang mulia Nabi Muhammad panutan kita (STW-pada bait 13) Ayo nglakoni sakabehane Allah kang bakal ngangkat drajate Senajan ashor tata dhorihe Ananging mulya makom drajate Terjemahan. marilah menjalani semuanya Allah yang akan mengangkat derajatnya Meskipun rendah tampilan dhohirnya Namun mulia maqam derajatnya (STW-pada bait 14) Lamun palastra ing pungkasane Ora kesasar roh lan sukmane Den gadhang Allah suwarga manggone Utuh mayite uga ulese Terjemahan. Meskipun akhirnya meninggal Ruh dan sukmanya tidak tersesat Dirindukan Allah ditempatkan di surga Utuh jenazahnya juga kafannya (STW- pada bait 15) Yarosulalloh salammun‘alaik Yaarofi‘asaaniwaddaaroj `atfatayaji rotall `aalami Yauhailaljuu diwaalkaromi (STW-pada bait 16) 113 Jika dilihat bait 12-15 merupakan cerminan hidup ideal ketika kita dapat membawa diri dalam lingkungan sosial. Pada bait 12, merupakan refleksi diri untuk lebih meningkatkan kesabaran. Sabar dalam menerima takdir Alloh SWT. Bait 13 lebih pada bagaimana peran kita untuk dapat membawa diri dalam lingkungan sosial. Keselarasan dan harmonisasi hidup dapat tercapai tatkala manusia dapat melakoni perannya sebagai makhluk sosial. Saling menghormati, mengayomi dan mengasihi satu sama lain. Bait 14 merupakan konsekwensi dari tindakan kita pada bait 12 dan 13, dengan dapat melaksanakannya, Alloh SWT senantiasa akan mengangkat derajatnya. III. Simpulan Untuk memahami sebuah teks musikal, kiranya perlu diperhatikan pemahaman atas kode bahasa dan kode sastra. Karena melalui kode-kode tersebut memberikan jalan mudah untuk dapat memahami makna dalam teks musikal. Syi‟ir Tanpa Waton, muncul dan berkembang menjadi wujud konsep tembang musikalitas Islami yang berisi pedoman moral, pendidikan karakter, serta tutunan yang kaya makna. Syi‟ir Tanpa Waton hadir sebagai bentuk karya seni Islami yang tumbuh dan berkembang membaur dengan lokalitas kedaerahan, yang ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dalam media penyampaian gagasan-gagasan. Melalui bahasa Jawa, pencipta tembang Syi‟ir Tanpa Waton ingin mengungkapkan pesan dan gagasan dengan cara yang sederhana. Setidaknya dengan menggunakan teks bahasa Jawa, Syi‟ir Tanpa Waton telah menempatkan diri menjadi konsep pembelajaran moral, tuntunan perilaku hidup ideal, serta refleksi diri umat islam dengan berbasis kearifan lokal melalui bahasa Jawa. Daftar Pustaka Berger, Asa Arthur. 2005. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Jakarta: Refika Aditama. Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia 114 Kasaenan, Damar. 2011. Misteri Pengarang Syiir Tanpa Waton. online. Aveilable at http://aliksfx.blogspot.com/2011/10/misteri-pengarang-syieir-tanpo-waton.html [diakses:14 Mei 2015] Nikken Derek Saputri. 2013.Skripsi : Syi‟ir Tanpa Waton (Kajian Semiotik). Semarang : Fakultas Bahasa dan Seni. UNES. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. DiIndonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Yule, George 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press. 115 FILSAFAT ANALITIK DAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Rahmat, S.S., M.A. Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Pembelajaran bahasa Jawa di abad 21 tentunya diselaraskan dengan perkembangan metode dan media pembelajaran yang semakin modern dan inovatif. Hadirnya teknologi canggih dalam arti semakin mempermudah pembelajaran hendaknya digunakan sebagai media yang tepat untuk menyampaikan materi pembelajaran. Sementara itu, metode pembelajaran dikaitkan dengan cara mengajar guru atau dalam arti pengelolaan kelas agar siswa dapat mencerna dan memahami materi sampai tuntas. Sehubungan dengan pembelajaran bahasa Jawa di abad 21, hendaknya tidak terfokus saja terhadap metode dan media pembelajaran, namun juga sangat penting untuk menengok kembali filsafat pendidikan yang telah dirumuskan oleh pemerintah sebagai dasar penyusunan kurikulum. Hal ini penting agar pembelajaran bahasa Jawa dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan dapat dengan mudah dikuasai oleh siswa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa Jawa di abad 21 harus tetap mempertimbangkan filsafat pendidikan didukung oleh metode dan media pembelajaran yang tepat. Kata Kunci : Pembeajaran bahasa Jawa, Filsafat Pendidikan. A. Pengantar Filsafat adalah proses berpikir tentang suatu realitas. Realitas adalah sesuatu yang disimbolkan lewat bahasa.Bahasa tidak sekedar urutan bunyi yang dapat dipahami secara empiris, tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non-empiris.Dengan demikian bahasa sebagai sarana vital dalam berfilsafat, yaitu sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang direpresentasikan melalui simbol bunyi (A. Chaedar Alwasilah, 2010:14). A. Chaedar Alwasilah dalam buku berjudul Filsafat Bahasa dan Pendidikan (2010:14— 15) menyebutkan dua kategori besar filsafat bahasa.Pertama, perhatian terhadap bahasa dalam menjelaskan berbagai objek filsafat.Artinya, objek material filsafat bahasa adalah bahasa itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang falsafi terhadap bahasa itu.Kebenaran dan keadilan, agaknya tidak mungkin dapat dijelaskan tanpa bantuan analisis bahasa atau analisis 116 penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.Kedua, perhatian terhadap bahasa sebagai objek material dari kajian filsafat seperti filsafat hukum, filasafat seni, filsafat agama, dan sejenisnya. Filsafat pendidikan merupakan pemikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan, sesuatu yang dikatakan kompleks dan penting. Dalam filsafat pendidikan terkandung sejumlah nilai meliputi hakikat manusia, cara memperoleh pengetahuan, standar moral yang harus dipegang, cara mengorganisasi masyarakat, sampai dengan apa yang diajarkan. Filsafat pendidikan bahasa merupakan sinergi antara filsafat pendidikan dan filsafat bahasa yang mendasari alam pikiran manusia ihwal pendidikan bahasa atau suatu kegiatan pendidikan bahasa.Hal itu sangat penting dan bermanfaat demi pemahaman kebijakan dan praktik pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) di Indonesia.Dalam hal yang lebih sederhana setiap kebijakan instruksional guru dalam kelas dapat ditelusuri ke hulu pemikirannya (A. Chaedar Alwasilah, 2010:15—16). Pendidikan yang dalam prosesnya selalu memperhatikan pandangan-pandangan filsafat pendidikan, maka akan tercipta suasana dan kondisi pembelajaran yang mantap. Seperti halnya pembelajaran di Indonesia ini yang apabila kita lihat dari kurikulum pendidikan, maka akan terlihat banyak sekali mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Jumlah mata pelajaran yang banyak tersebut menutut banyak konsekuensi dalam penyelenggaraannya termasuk dalam hal ini sudut pandang filsafat yang menyertainya yang harus dipahami oleh pendidik. Untuk melihat hubungan antara filsafat pendidikan dengan pembelajaran, maka contoh dalam tulisan ini akan melihat filsafat pendidikan dengan pembelajaran bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu pelajaran muatan lokal yang wajib diselenggarakan di tiga propinsi, yaitu DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pembelajaran bahasa Jawa diajarkan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.Adapun materi yang diajarkan meliputi tiga kategori besar, yaitu bahasa, sastra, dan budaya. Berkaitan dengan materi bahasa dalam pembelajaran bahasa Jawa terdapat beberapa keunikan, yaitu tuturan bahasa yang yang mengandung makna tertentu dan itu dikenal dengan namaparibasan, běbasan, sanepa, cangkriman dan saloka. Pola-pola tersebut masuk dalam kurikulum bahasa Jawa tidak hanya untuk tingkatan sekolah menengah atas namun juga ditemukan dalam kurikulum bahasa Jawa tingkat sekolah dasar.Oleh sebab itu, guru dituntut untuk membelajarkan ungkapan-ungkapan kebahasaan itu sesuai dengan kurikulum. Adapun pembicaraan lebih lanjut dalam tulisan ini akan lebih melihat 117 filsafat pendidikan dalam pembelajaran bahasa Jawa terutama dalam materi paribasan, běbasan, cangkriman, sanepa,dan saloka untuk tingkat sekolah dasar. B. Filsafat Analitik dan Konstruktivistik Sebelum lebih lanjut membicarakan masalah pembelajaran bahasa Jawa, maka akan disajikan terlebih dahulu pandangan dari filsafat analitik-konstruktivisme. Pandangan-pandangan filsafat analitik-konstruktivisme penting untuk diketahui kaitannya dengan pembelajaran bahasa Jawa.Berikut ini pandangan filsafat yang dimaksud. 1. Filsafat analitik Filsafat analitik mulai dikenal secara serentak saat filsafat yang berkembang di Inggris pada waktu itu berorientasi pada penyelidikan bahasa dan dalam perkembangan selanjutnya mempengaruhi corak filsafat abad ke-20 terutama di kawasan negeri-negeri Anglo-Saxon (Asep Ahmad Hidayat, 2009:46—47).Kaelan via A. Chaedar Alwasilah (2010:23—30) menyebut filasafat analitik sebagai metode yang khas untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.Pada umumnya para ahli membagi filsafat analitika ke dalam tiga aliran, yaitu anatomisme logis, positivisme logis atau empirisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Anatomisme logis merujuk pada semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide sederhana atau atomis (atomic ideas) yang harus dianalisis.Lebih lanjut, hakikat realitas dunia seyogyanya dianalisis melalui analisis logis.Analisis logis berdasarkan pada kebenaran yang sifatnya universal dan bersumber pada rasio.Ilmu pengetahuan terdiri atas pernyataanpernyataan yang merujuk pada realitas dunia.Realitas dunia itu sendiri terungkapkan lewat bahasa sehingga antara bahasa dan realitas dunia terdapat kesesuaian bentuk. Positivisme logis atau empirisme logis bertujuan demi penjelasan bahasa ilmiah dan menolak metafisika.Aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan, bukan pada pertanyaan benar atau salah. 2. Filsafat Konstruktivistik Filsafat konstruktivistik memandang belajar untuk membangun pengetahuan. Seseorang melakukan kegiatan belajar tidak lain adalah untuk membangun pengetahuan melalui interaksi dan interpretasi terhadap lingkungannya (Mundilarto, tt). Dalam konteks belajar, 118 konstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, melainkan siswa mengkonstruksi pengetahuan di benaknya (Epon Ningrum, 2009:1—2). Munculnya konstruktivisme sangat mungkin sekali disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap parktik tradisional terutama pembelajaran yang dianggap kaku. Suyono dan Hariyanto (2011:18) menyebutkan bahwa dipertengahan abad ke-20 (sebelum tahun 1950-an) mengajar masih dimaknai sebagai sebuah proses pemberian bimbingan dan memajukan kemampuan pembelajar yang semuanya masih berpusat pada guru. Namun, dalam perkembangannya pendidikan sudah bergeser untuk berpusat kepada siswa, meskipun peran guru dalam proses pengajaran masih amat besar. Lebih lanjut, Aunurrahman (2010:15—16) berpandangan bahwa konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapanharapan baru yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegaiatan belajarnya sendiri. Pandanganpandangan di atas menyiratkan bahwa ada keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. C. Asri Budiningsih (2008:58) menyatakan bahwa proses belajar menurut pandangan konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tidak dilakukan sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk bisa dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Von Galserfeld dalam C. Asri Budiningsih (2008:57) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, serta kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan. a. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Ketika konstruktivisme masuk dalam pembelajaran, maka akan bersinggungan dan membawa konsekuensi dengan berbagai aspek pengajaran, mulai dari kurikulum sampai dengan pembelajar itu sendiri. Berikut ini dampak konstruktivistik dalam pembelajaran yang diungkapkan oleh Suyono dan Hariyanto (2011:109—122). 1) Kurikulum, di mana pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang seuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak. Konstruktivisme 119 menuntut konsekuensi penekanan terhadap keterampilan pemecahan masalah ‗handon problem solving‘ dan penyesuaian dengan pengetahuan awal siswa. 2) Guru, sebagai pendidik harus menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak atau interaksi anak dengan lingkungan sekelilingnya. Di bawah konstruktivisme pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antar fakta-fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pendidik harus menyusun strategi pembelajaran dengan memperhatikan respon atau tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berujung terbuka ‗open ended questions‘ dan mendorong terjadinya dialog yang ekstensif antar siswa. Dalam hal ini, sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator, mediator dan mitra belajar yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan peserta didik. 3) Anak didik, diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. 4) Evaluasi, tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas, namun justru memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. b. Prinsip-prinsip Konstruktivisme Keempat aspek yang mempunyai konsekuensi terhadap implementasi konstruktivisme di atas (kurikulum, guru, anak didik, dan evaluasi) hendaknya dijadikan acuan dalam pembelajaran yang menggunakan dasar filsafat konstruktivisme. Namun demikian apabila kita mengembalikan pandangan kita terhadap konstruktivisme, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa maka perlu kita pahami pandangan Aunurrahman (2010:17—25) yang menyatakan proses konstruksi menuntut kemampuan dasar dari siswa, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, dan kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan. Selain itu, terdapat enam prinsip dasar dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, penekanan proses belajar terletak pada siswa, mengajar adalah membantu siswa belajar, penekanan dalam proses belajar 120 lebih kepada proses bukan hasil akhir, kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan guru adalah fasilitator. Adapun esensi dari konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi yang lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses konstruksi, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian (Syaifur Sagala, 2012:88—91). C. Pembelajaran Bahasa Jawa Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi penutur atau masyarakat Jawa.Dalam cakupan wilayah, bahasa ini digunakan di tiga provinsi, yaitu DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan di beberapa tempat lain di Indonesia yang memiliki kelompok-kelompok kecil masyarakat Jawa.Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh sebagian masyarakat di Suriname. 1. Bahasa Jawa Apabila kita membicarakan bahasa Jawa, maka kadang kita juga membicarakan adat budaya bahkan sejarah yang menyertainya.Dikatakan oleh Nanik Herawati (2012:127) bahwa dalam bahasa Jawa terdapat unggah-ungguh yang meliputi tataran sikap, tata krama, tingkah laku dan penerapan berbahasa Jawa yang baik dan benar. Pengertian di atas salah satunya berarti, bahasa Jawa merupakan bahasa komunikasi yang biasanya disertai dengan tindakan, misalnya apabila kita mengucapkan kata nggih ‗ya/iya‘ maka secara reflek-otomatis akan diikuti oleh gerakan kepala sedikit menunduk. Selain bahasa yang digunakan untuk komunikasi secara langsung, dalam bahasa Jawa juga terdapat bahasa yang diwujudkan dalam ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna khusus, misalnya paribasan ‗peribahasa‘, sanepa ‗perumpamaan‘, cangkriman ‗tebak-tebakan‘, dan wěwalěr ‗larangan‘. 2. Bahasa Jawa di Sekolah Kaitannya dengan pembelajaran, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang dimasukkan dalam kurikulum sebagai muatan lokal.Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah daerah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang telah membuat kebijakan tentang pembelajaran bahasa Jawa untuk tingkat satuan pendidikan mulai dari SD, SMP, dan SMA. 121 Berdasarkan pengamatan terhadap kurikulum dan sejumlah buku teks mata pelajaran Bahasa Jawa mulai dari SD sampai SMA dan juga atas dasar kenyataan di dalam masyarakat, maka seringkali ungkapan-ungkapan bahasa yang mempunyai makna khusus seperti paribasan, sanepa,cangkriman dan wěwalěr dimasukkan dalam teks pembelajaran atau disampaikan secara langsung oleh guru. Berikut ini bukti kurikulum yang diambilkan contoh dari tingkat sekolah dasar yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilanjutkan dengan sedikit penjelasan tentang empat ungkapan-ungkapan yang dimaksud dalam bahasa Jawa. Tabel 1. Kurikulum Bahasa Jawa SD Kelas III Semester Gasal Keterampilan Menyimak . Standar Kompetensi Dasar Kompetensi 1. Memahami wacana lisan sastra 1.1 Memahami wacana dialog yang dan nonsastra dalam kerangka memuat cangkrimanyang budaya Jawa. dibacakan atau melalui berbagai media. Tabel 2. Kurikulum Bahasa Jawa SD Kelas IV Semester Gasal Keterampilan Menyimak . Standar Kompetensi Dasar Kompetensi 1. Memahami wacana lisan sastra 1.1 Memahami wacana lisan yang dan nonsastra dalam kerangka memuat paribasan dan budaya Jawa. tembung entar yang dibacakan atau melalui berbagai media. 122 Tabel 3. Pengertian Parikan, Sanepa, dan Wěwalěr No. 1. Jenis Paribasan, dalam Contoh bahasa Běcik kětitik ala kětara (Nirmala, Indonesia kata ini artinya sama tt:119), peribahasa ini berarti ‗baik dengan ‗peribahasa‘. dan buruk akan terlihat pada akhirnya‘. (běcik = baik, kětitik = tertandai, ala = buruk, kětara = terlihat) 2. Sanepa, dalam bahasa Indonesia Asu kata ini berarti ‗perumpamaan‘. rěbutan balung (Nirmala, tt:118), perumpamaan ini berarti ‗berebut suatu barang atau hal yang sepele/remeh‘. (asu = anjing, rěbutan = berebut, balung = tulang) 3. Cangkriman, dalam bahasa Pitik walik saba kěbon(Nirmala, Indonesia kata ini berarti ‗tebak- tt:145), jawaban tebak-tebakan ini tebakan‘ 4. Wěwalěr, adalah buah nanas. dalam bahasa Aja mangan neng ngarěp lawang Indonesia dekat artinya dengan yang ‗larangan‘ bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‗jangan makan di depan pintu‘ dalam bahasa Indonesia. (aja = jangan, mangan = makan, neng = di, ngarěp = depan, lawang = pintu) Keempat jenis ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam bahasa Jawa di atas sebenarnya juga (sudah) diajarkan di lingkungan keluarga Jawa. Biasanya dalam keluarga Jawa ungkapanungkapan tersebut, terlebih untuk wěwalěr disampaikan dengan cara yang berbeda dan kadang 123 anak tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, karena orang tua atau sěsěpuh „yang dituakan‘ hanya memberi jawaban bahwa itu ―pokoke, ora ilok, saru‖ tanpa memberikan jawaban atau konfirmasi yang logis. Cangkrimansendiri biasanya digunakan dalam suasana santai.Oleh sebab itu, seyogyanya sekolah dalam hal ini guru bahasa Jawa harus mampu menjawab tantangan ini dengan metode, media, dan membantu menemukan jawaban-jawaban yang logis sesuai dengan pandangan atas filsafat fenomenologi dan analitik di depan. 3. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran bahasa ada beberapa macam, hal itu disesuaikan dengan kebutuhan dan materi yang akan disampaikan guru kepada peserta didik. Berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa, dalam hal ini peserta didik belajar tentang ungkapan-ungkapan seperti paribasan, sanepa,cangkriman dan wěwalěr, maka metode alternatif yang dapat diterapkan ialah metode contextual learning. Elaine B Johnson dalan Rusman (2010:187) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Selain itu, kontekstual adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.Sehubungan dengan itu, Basuki (2012:55) juga mengungkapkan bahwa contextual learning adalah metode pembelajaran yang dikenalkan oleh John Dewey serta diteruskan oleh Katz pada abad ke-20.Agar pembelajaran menjadi lebih efektif, dalam model ini guru harus menghubungkan materi pembelajaran dengan konteks atau situasi nyata. Kontekstual memiliki arti berhubungan dengan konteks, keadaan dan kejadian.Secara umum, kontekstual memiliki arti berkenaan dengan, relevan, ada hubungan atau kaitan, membawa maksud, makna, dan kepentingan.Dalam pendekatan kontekstual terdapat dua penekanan, yaitu kemampuan menghubungkan materi pembelajaran dengan dunia nyata, serta kemampuan aplikatif dalam kehidupan siswa (Epon Ningrum, 2009:3).Senada dengan itu, Nurhadi dalam Rusman (2010:189) berpandangan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. 124 Dari pengertian di atas, maka metode pembelajaran kontekstual yang dapat dilakukan guru ialah mengajak peserta didik untuk menghubungkan paribasan, sanepa,cangkriman dan wěwalěr dengan kehidupan nyata serta disertai dengan alasan-alasan logis yang masuk akal. Misalnya, mengapa tidak boleh makan di depan pintu? Guru bisa meminta siswa untuk berpikir akan hal itu, apa yang akan terjadi dengan hal itu, dan dampaknya jika melakukan itu, atau secara sederhana guru memberi sedikit pandangan mungkin karena makan di depan pintu itu akan mengganggu orang yang akan lewat. Mengapa aja lunga wayah surup?Ajaklah siswa berpikir apa yang terjadi saat pergantian waktu dari siang, sore menjadi malam, ada kegiatan apa di saat itu, mengapa orang-orang pilih masuk rumah dan tidak pergi. Dengan mengkonstruksi secara analitis maka siswa diharapkan mendapatkan pemahaman yang logis dan terarah. 4. Media Pembelajaran Kata ―media‖ berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata ―medium‖ yang secara harfiah berarti ‗perantara atau pengantar‘.Media diartikan sebagai ‗wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan‘.Apabila media adalah sumber belajar, maka secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2010:120). Alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Jawa dengan materi ungkapan-ungkapan seperti paribasan, sanepa, dan wěwalěr misalnya guru membuat pamflet atau gambar yang sesuai dengan konteks, selain itu guru dapat menayangkan gambar atau film pendek yang sesuai dengan ungkapan-ungkapan itu. Pembelajaran dengan media visual tersebut dirasakan lebih informatif dan membuat peserta didik langsung dapat melihat daripada membayang-bayangkan.Dina Indriana (2011:156) menyebut pembelajaran dengan media visual sebagai pembelajaran yang efektif dan efisien. D. Kesimpulan Seiring berjalannya waktu muncullah model-model pendidikan baru di Indonesia yang lebih inovatif, kreatif dan efektif.Salah satu faktor ialah semakin terbukanya pengetahuan, informasi dan teknologi. Apabila kita cermati berdasarkan sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, pembelajaran pada era tahun 1990an dan sebelumnya pola pembelajaran di sekolah 125 masih berpusat pada guru, siswa dididik untuk menghafal meskipun sebenarnya pemerintah telah mengembangkan model pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun, dalam kenyataannya praktik pendidikan pada masa itu masih terpusat pada guru. Model yang demikian itu, sesungguhnya hanya akan menghasilkan generasi ―penghafal‖ yang kurang berfikir secara kreatif. Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, pada masa sekarang ini banyak cara yang dapat ditempuh agar pembelajaran bahasa dapat terlaksana dan hasilnya menunjukkan perubahan lebih baik. Untuk beberapa hal pembelajaran bahasa diharapkan lebih komunikatif, namun untuk beberapa hal sesuai dengan materi, pembelajaran bahasa juga dapat ditempuh dengan cara mengajak siswa merekonstruksi dan berpikir analitis. Belajar bahasa Jawa sesungguhnya dapat dikemas secara menarik dan menyenangkan untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Selama ini dalam pembelajaran bahasa Jawa, guru senantiasa mengajak siswa untuk menghapal suatu materi misalnya ungkapan-ungkapan lisan, daftar nama anak hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Dengan dasar filsafat analitik menuntun pembelajar pada hal-hal yang logis, sementara itu konstruktivisme merupakan konstruksi akan sebuah pengetahuan. Apabila pembelajaran bahasa Jawa untuk beberapa hal sudah menerapkan konsep analitik dan konstruktivistik maka tidak ada lagi alasan untuk menyebut bahasa Jawa sebagai pelajaran yang sulit. Daftar Pustaka A. Chaedar Alwasilah. (2010). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Asep Ahmad Hidayat. (2009). Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Aunurrahman.(2010). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Basuki.(2012). ―Pembelajaran Sastra Berkonteks Pendidikan Moral dan Budaya (Sebuah Pendekatan Kontekstual)‖.Prosiding Seminar Nasional Pembelajaran Drama Jawa di Sekolah. Halaman 50—58. Yogyakarta: Kepel Press. C.Asri Budiningsih. (2008). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dina Indriana. (2011). Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif. Yogyakarta: DIVA Press. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. (2010). Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Jawa untuk SD/MI. Yogyakarta. 126 Epon Ningrum. (2009). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) diambil pada 7 Desember 2012, dari file.upi.edu. Nanik Herawati. 2012. ―Pengajaran Bahasa Jawa di Sekolah‖. Prosiding Seminar Nasional Pembelajaran Drama Jawa di Sekolah. Halaman 123—130. Yogyakarta: Kepel Press. Nirmala.(Tt).Pinter Basa Jawa. Surabaya: Giri Utama. Mundilarto. (tt). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sains diambil pada 7 Desember 2012, dari staff.uny.ac.id. Poerwadarminta, W.J.S, C.S. Hardjasoemantri & J. C.H.R. Poedjasoedira.(1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgevers Maatschappij NV. Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press. Suyono & Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Syaifur Sagala. (2012). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Syamsul Bahri Djamarah & Aswan Zain.(2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. 127 QUANTUM LEARNING DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JAWA RAGAM KRAMA DAN KRAMA INGGIL Tri Widiatmi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo [email protected] ABSTRAK Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa. Dalam proses pembelajaran siswa harus mampu mengembangkan kemampuan berbicara untuk mengomunikasikan ide dan gagasannya. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik maka komunikasi akan berjalan lancar. Pembelajaran Bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil merupakan kompetensi keterampilan berbicara yang wajib dimiliki siswa. Aspek kemahiran berbahasa Jawa yang diharapkan sampai para tataran dimilikinya kompetensi berbicara untuk berkomunikasi dengan menggunakan ragam krama dan krama inggil dengan lancar. Dengan pendekatan yang inovatif Quantum Learning, proses pembelajaran lebih bervariasi, aktif dan menyenangkan. Siswa akan lebih mudah memaknai materi yang diberikan guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Kata kunci: Keterampilan berbicara, krama, krama inggil, pendekatan Quantum Lerning. A. Pendahuluan Bahasa memegang peranan penting dalam membentuk hubungan yang baik antar sesama manusia. Bahasa adalah alat komunikasi dalam kehidupan manusia Hal ini tidak dipungkiri oleh siapa pun yang hidup di dunia ini. Bahasa itu ada karena para pengguna bahasa sudah menyetujui adanya simbol yang sudah disepakati dan aturan-aturan yang sudah diikuti oleh masyarakat. Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah Menengah Atas nilai ketuntasan pembelajaran dipusatkan pada empat keterampilan berbahasa. Empat aspek itu meliputi aspek: (1) menyimak/mendengarkan, (2) berbicara, (3) 128 membaca, dan (4) menulis. Seperti dikemukakan Henry Guntur Tarigan bahwa keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yakni (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Setiap keterampilan itu, berhubungan erat sekali dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara yang beraneka-ragam (2008:1). Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa. Dalam proses pembelajaran siswa harus mampu mengembangkan kemampuan berbicara untuk mengomunikasikan ide dan gagasannya. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik maka komunikasi akan berjalan lancar. Dengan keterampilan berbicara yang dikuasainya tersebut akan menjadikan bekal yang bermanfaat bagi kehidupan pada masa yang akan datang. Pembelajaran Bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil merupakan kompetensi keterampilan berbicara yang wajib dimiliki siswa. Aspek kemahiran berbahasa Jawa yang diharapkan sampai para tataran dimilikinya kompetensi berbicara untuk berkomunikasi dengan menggunakan ragam krama dan krama inggil dengan lancar. Oleh karena itu, keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil, memerlukan proses pembelajaran yang menyenangkan dan menarik agar mudah dipahami peserta didik. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa betapa pentingnya keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa. Keterampilan berbicara menggunakan bahasa ragam krama dan krama inggil merupakan keterampilan produktif yang dapat menggambarkan tingkat pemahaman siswa dalam sebuah pembelajaran. Siswa dapat mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pesan, pikiran, gagasan, dan perasaan dengan bahasa sendiri. Keterampilan berbicara dalam pembelajarannya, dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain dengan diskusi, pidato, bermain peran, wawancara, bercerita. Pada umumnya rendahnya kemampuan berbicara siswa banyak dipengaruhi pembelajaran yang masih konvensional. Proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah masih dominan dilaksanakan oleh guru. Sehingga dengan metode tersebut, pemberian informasi secara intens dan pemberian penguasaan materi sebanyak-banyaknya bagi siswa akan membawa kepada keberhasilan pembelajaran. Siswa dalam proses belajar pasif, karena hanya mendengarkan guru. Ditinjau dari permasalahan di depan, diperlukan suatu pendekatan yang lebih inovatif yakni pendekatan Quantum Learning. Di dalam quantum learning dapat dimaknai sebagai belajar dengan memperhatikan beragam cara atau belajar dengan cara yang bervariasi. Dengan 129 pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa agar lebih responsif dan bergairah dalam proses pembelajaran. Quantum learning berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas serta menciptakan interaksi yang efektif untuk pembelajaran (Andayani, 2009: 94-95). Dengan pendekatan quantum learning, proses pembelajaran lebih bervariasi, aktif dan menyenangkan. Siswa akan lebih mudah memaknai materi yang diberikan guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Proses pembelajaran lebih efektif sehingga dapat mempengaruhi kesuksesan siswa dalam belajar dan tujuan pembelajaran akan dicapai. Keterampilan berbicara merupakan aspek kemampuan berbahasa yang harus dimiliki siswa. Keterampilan berbahasa Jawa ragam krama dan krama inggil adalah kompetensi yang harus dimiliki setiap siswa. Dengan keterampilan berbicara tersebut diharapkan ide, gagasan, dan dalam mengemukakan pendapat dapat dilakukan oleh siswa Secara khusus tujuan dari penelitian dengan pendekatan quantum learning ini adalah mengetahui apakah terjadi peningkatan keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil pada siswa kelas X AK1 SMK Tamansiswa Sukoharjo, dengan menerapkan pendekatan quantum learning. 1. Keterampilan berbicara Keterampilan diartikan sebagai pengetahuan, kemampuan, dan nilai-nilai dasar yang direfkeksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdiknas:2007). Keterampilan adalah suatu kemampuan untuk mengeluarkan bakat dalam diri seseorang yang dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Keterampilan juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Salah satu aspek berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah berbicara, sebab keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya (Tarigan, 1986:86). Keterampilan berbicara menurut Supriyadi (2005:178) bahwa apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antar individu. Sedangkan, keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaa-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan. 130 Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya melalui suatu urutan yang teratur: mula-mula pada masa kecil belajar menyimak bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu belajar membaca dan menulis. Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Keterampilan ini tidak diperoleh secara otomatis, melainkan harus belajar dan berlatih (Syafi‘ie, 1993:33). Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak (Tarigan: 2008:3). Berbicara berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yan diperoleh oleh anak, melalui kegiatan menyimak dan membaca. Dalam proses pembelajaran tujuan berbicara adalah untuk mengembangkan kemampuan berbicara siswa. Dalam hal ini kemampuan mengkomunikasikan ide, gagasan, atau pendapat yang ingin diungkapkan. Dalam proses pembelajaran bahasa, keterampilan berbicara siswa diutamakan untuk mengungkapkan pendapat dan perasaan. 2. Pendekatan Quantum Learning Qantum learning sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi "cahaya". Semua kehidupan adalah energi . Tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar tujuannya adalah meraih sebanyak mungkin cahaya, interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya (Bobbi De Porter dan Henacki, 2013:16). Pendekatan quantum learning mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar (Suyatno, 2004:31). Pendekatan quantum learning adalah pengubahan bermacam-macam, interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar dengan menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah denmagn secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, dan keterlibatan aktif siswa dan guru. Asas yang digunakan adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Nyoman S. Degeng (2005:4) menjelaskan bahwa quantum learning ini sebagai "orkestra pembelajaran yang penuh dengan suasana bebas, santai, menakjubkan, menyenangkan, dan menggairahkan‖. Penciptaan suasana seperti itu, dapat: (1) dibangun motivasi; (2) ditumbuhkan 131 simpati dan saling pengertian; (3) dibangun sikap takjub kepada pembelajaran; dibangun perasaan saling memiliki; dan (5) dapat memberikan keteladanan. Pembelajaran dengan menggunakan quantum learning, guru harus membawa pikiran siswa ke dalam pikiran guru dan sebaliknya pemikiran guru menjadi pemikiran siswa. Dengan demikian. ada kedekatan secara psikologis antara guru dengan siswa. Guru juga harus mengenali gaya belajar siswa, apakah gaya belajarnya visual (mementingkan segala sesuatu yang dilihat), apakah auditif (mementingkan pendengaran), apakah kinestetik (memerlukan gerakan). Hal-hal yang perlu dilatih dalam quantum learning ini menurut Bobbi de Potter dan Mike Hernacki (2005:24) adalah (1) cara siswa memusatkan perhatian (konsentrasi), (2) cara mencatat yang benar, (3) cara belajar menyiapkan ujian, (4) cara membaca cepat, dan (5) cara menumbuhkan ingatan jangka panjang (long time memory). Dalam pelaksanaannya quantum learning memiliki petunjuk yang bersifat spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang bahan ajar, menyampaikan isi pembelajaran, dan memudahkan proses belajar (De Porter,2005:4-5). Dalam hal tersebut diuraikan cara-cara efektif pelaksanaaan quantum learning sebagai berikut: (1) partisipasi dengan cara mengubah kelas dari kelas yang biasa menjadi kelas yang menarik;(2) memotivasi dan menumbuhkan minat dengan menerangkan kerangka rancangan yang dikenal dengan singkatan TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan); (3) membangun rasa kebersamaan: (4) menumbuhkan dan mempertahankan daya ingat; dan (5) merangsang daya dengar anak didik. Semua itu pada hakikatnya akan menempatkan guru dan murid pada jalur cepat menuju kesuksesan belajar. Pelaksanaan quantum learning dalam kegiatan pembelajaran diarahkan pada (1) suasana belajar yang menyenangkan (peralatan, perabotan, bantuan visual/alat peraga yang digunakan selama pembelajaran ataupun yang tergantung di dinding kelas, tampilan guru yang sedap dipandang, dan (2) menekankan sugasti (pemberian komentar positif) dan pembelajaran yang dipercepat, maksudnya siswa cepat dapat belajar dalam memperoleh kemampuan tertentu. Quantum learning memiliki lima prinsip, (1) segalanya berbicara, bermaksud segala yang terjadi dalam lingkungan kelas semuanya menunjang pengiriman pesan pembelajaran. (2) segalanya bertujuan, bermaksud sebagai semua yang terjadi dalam proses pembelajaran itu mempunyai tujuan. (3) pengalaman sebelum pemberian nama bermakna bahwa proses belajar paling baik terjadi ketika murid telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama 132 untuk apa yang mereka pelajari. (4) akui setiap usaha, bermakna usaha untuk belajar mengandung resiko. Dengan demikian setiap usaha pantas mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka bahwasannya mereka telah mengmbil keputusan untuk mengambil sebuah langkah. (5) jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan, mengandung maksud bahwa perayaan dapat menjadi sebuah perangsang motivasi bagi setiap murid. Perayaan juga dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan da pula meningkatkan persepsi murid yang benar terhadap pembelajaran yang diikutinya, serta perkembangan emosi yang positif bagi murid dalam belajar. Dalam pelaksanaannya quantum learning memiliki petunjuk yang bersifat spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang bahan ajar, menyampaikan isi pembelajaran, dan memudahkan proses belajar (DePorter, 2003:4-5). Cara-cara efektif pelaksanaan quantum learning meliputi: (1) partisipasi dengan cara mengubah keadaan kelas dari yang biasa menjadi kelas yang menarik; (2) memotivasi dan menumbuhkan minat dengan menerangkan kerangka rancangan yang dikenal dengan singkatan TANDUR (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, rayakan); (3) membangun rasakebersamaan; (4) menumbuhkan dan mempertahankan daya ingat; dan (5) merangsang daya dengan anak didik. Semua itu pada hakikatnya akan mendapatkan guru dan siswa pada jalur cepat menuju kesuksesan belajar (Andayani, 2009:96). Asas utama quantum learning bersandar pada konsep Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita kedunia mereka. Ini asas utama atau alasan dasar di dalam melaksanakan quantum learning. Segala hal yang dilakukan dalam penerapan quantum learning selalu menciptakan sebuah interaksi dengan murid, yang didalamnya termasuk penciptaan rancangan bahan ajar, serta prosedur penerapan metode pembelajarannya (DePorter, 2003:6). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data penelitian yang diperoleh adalah data observasi berupa pengamatan pengelolaan belajar dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran dan data tes formatif siswa pada setiap siklus. Data lembar observasi yaitu data pengamatan pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan quantum learning dalam meningkatkan prestasi. Data tes formatif untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran inovatif. 133 Dengan pendekatan quantum learning, proses pembelajaran lebih bervariasi, aktif dan menyenangkan. Langkah-langkah penelitian yang ditempuh meliputi: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Proses pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan dalam enam siklus. A. Analisis Data Penelitian Persiklus 1. Siklus I a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung terlaksananya proses pembelajaran. Peneliti bersama guru merencanakan pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen penilaian, yakni berupa tes dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa selama pembelajaran berlangsung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada di kelas X AK1 dengan jumlah siswa 31 anak. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai pengamat, sedangkan yang bertindak sebagai pengajar adalah guru mata pelajaran bahasa Jawa SMK Tamansiswa Sukoharjo. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada siklus I, proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan pendekatan quantum learning berjalan sesuai rencana. Meskipun peran guru dalam mengaktifkan siswa masih kurang, sehingga guru masih sangat mendominasi dalam kegiatan belajar tersebut. Sehingga pembelajaran tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tabel 1. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus I 134 No Rincian Pencapaian Hasil Nilai 1 Siswa mendapat nilai < 70 22 2 Siswa mendapat nilai > 70 9 3 Rerata kelas 64,1 4 Ketuntasan klasikal 29% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 22 siswa memperoleh nilai di bawah nilai ketuntasan minimal dan sembilan siswa memperoleh nilai dia atas ketuntasan minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 29%. Dari perolehan nilai tersebut dapat terlihat bahwa hal tersebut menunjukkan proses pembelajaran pada siklus I belum berhasil. Dengan demikian perlu dilanjutkan siklus berikutnya. 2. Siklus II a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung terlaksananya proses pembelajaran. Peneliti bersama guru merencanakan pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen penilaian II, yakni berupa tes dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa selama pembelajaran berlangsung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah direvisi pada siklus I, sehingga kekurangan pada siklus I dapat diperbaiki pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. 135 Tabel 2. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus II No Rincian Pencapaian Hasil Nilai 1 Siswa mendapat nilai < 70 8 2 Siswa mendapat nilai > 70 23 3 Rerata kelas 4 Ketuntasan klasikal 71,8 74,2% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 8 siswa memperoleh nilai di bawah nilai ketuntasan minimal dan 23 siswa memperoleh nilai di atas ketuntasan minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 74,2%. Dari perolehan nilai tersebut dapat terlihat bahwa proses pembelajaran pada siklus II ada peningkatan dibandingkan pada siklus I. Dari hasil evaluasi pada siklus II menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum maksimal dan masih perlu adanya perbaikan, sehingga perlu dilanjutkan siklus berikutnya. 2. Siklus III a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung terlaksananya proses pembelajaran. Peneliti bersama guru merencanakan pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen penilaian III, yakni berupa tes dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa selama pembelajaran berlangsung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah direvisi pada siklus II, sehingga kekurangan pada siklus II dapat diperbaiki 136 dan tidak terjadi perulangan kesalahan pada siklus III. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Tabel 2. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus III No Rincian Pencapaian Hasil Nilai 1 Siswa mendapat nilai < 70 4 2 Siswa mendapat nilai > 70 27 3 Rerata kelas 4 Ketuntasan klasikal 74,9 87,1% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 4 siswa memperoleh nilai di bawah nilai ketuntasan minimal dan 27 siswa memperoleh nilai di atas ketuntasan minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 87,1%. Dari perolehan nilai tersebut dapat terlihat bahwa proses pembelajaran pada siklus III sudah menunjukkan peningkatan yang sangat menggembirakan. Aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak dalam proses pembelajaran. Untuk selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan yang telah dicapai dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar mencapai hasil yang maksimal. B. Pembahasan Ketuntasan hasil belajar siswa melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan quantum learning dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara dengan penerapan pendekatan quantum learning guna penngkatan keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil kelas X AK 1 SMK Tamansiswa Sukoharjo dapat dikatakan berhasil dan cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya motivasi siswa dalam aktivitas proses pembelajaran. Pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru meningkat, ini bisa 137 dilihat dari peningkatan nilai pada siklus I, II, dan III yaitu masing-masing 29 %, 74,2 %, dan 87,1 %. D. Penutup Berdasarkan penelitian di lapangan, bahwa guru masih menggunakan pendekatan pembelajaran yang belum inovatif. Pembelajaran konvensional masih dilakukan para pendidikan karena dianggap model pembelajaran yang sudah mapan. Dalam proses pembelajaran konvensional ada anggapan, mengutamakan pemberian informasi kepada peserta didik secara intens akan berdampak pada keberhasilan siswa. Guru ceramah menyampaikan materi pelajaran, dan siswa secara pasif menerima informasi dari guru. Penelitian dilaksanakan di SMK Tamansiswa Sukoharjo kelas X AK 1, khususnya pada pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil. Penelitian tindakan ini dilakukan tiga siklus, dan pada setiap siklus meliputi empat tahapan yakni, perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan interprestasi, serta analisis dan refleksi. Simpulan penelitian tindakan ini adalah terdapat peningkatan keterampilan berbicara, khususnya pada pemakaian bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil. Peningkatan tersebut terjadi setelah pendekatan quntum learning dipahami oleh guru dan dilaksanakan pada proses pembelajaran kompetensi berbicara. Nilai KKM dalam pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai dan banyak siswa yang mendapat nilai melebihi nilai KKM. Hal dapat dilihat dari peningkatan nilai siswa pada setiap siklus. Pada siklus tiga ketuntasan klasikal mencapai 87,1%, peningkatan yang menggembirakan. Kualitas proses dan hasil pembelajaran meningkat setelah diterapkan pendekatan quantum learning. Pendekatan quantum learning ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam melaksanakan proses kegiatan pembelajaran di kelas secara klasikal. Dengan metode TANDUR (Tanamkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) tujuan pembelajaran tercapai. Dengan demikian bagi guru khususnya bahasa Jawa, pendekatan quantum learning ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif yang menyenangkan dalam pencapaian keterampilan berbicara dan kompetensi-kompetensi Keberhasilan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil ini karena menggunakan model yang inovatif yakni dengan pendekatan quantum learning. Beberapa saran dapat disampaikan: (1) Pendekatan quantum 138 learning ini bisa dimanfaatkan guru dalam pembelajaran tidak hanya pada keterampilan berbicara saja, tetapi juga bisa dilaksanakan pada keterampilan menyimak, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. (2) Kepala Sekolah perlu memotivasi guru agar lebih memperluas wawasan mengenai beragam pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan inovatif. Dengan adanya kesempatan mengembangkan profesionalisme guru dan implementasi berbagai pendekatan pembelajaran tersebut maka diharapkan akan mendorong kemampuan siswa pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Daftar Pustaka Andayani. 2009. Pembelajaran Inovatif Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: FKIP UNS Surakarta. Edi Subroto. 1987. Sikap Bahasa Generasi Muda Jawa terhadap Bahasa Jawa di Jawa Tengah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. -------------- (Editor). 2007. Penggunaan Bahasa Jawa Ragam Krama Generasi Muda Jawa di Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Harjana Harjawiyana dan Supriya Th. 2001. Marsudi Unggah-Ungguh Basa Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Keraf Gorys. 1985. Tata Bahasa Indonesia. Malang: Penerbit YA3. Kongres Bahasa Jawa IV. 2006. Keputusan Kongres Bahasa Jawa IV. Semarang: Panitia Kongres Bahasa Jawa IV. Maryono Dwiraharjo. 1997. Fungsi Krama bagi Masyarakat Tutur Jawa, Studi Kasus di Kotamadya Surakarta. Surakarta: Pustaka Cakra. Padmosusastro Ki. 1899. Serat Paramasastra. Soerakarta: NV Albert Rusche & Co. Poerwodarminto WJS. 1953. Sarining Paramasatra Djawa. Djakarta: Noorhoff-Kolf NV. Sarwiji Suwandi, 2009. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Buku Ajar. Surakarta: FKIP UNS. Sasangka Sry Satriya Tjatur Wisnu. 1995. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon Pembentuknya. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo. 139 Soepomo Poedjosoedarmo dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sudaryanto (Editor). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa I Bekerjasama dengan Universitas Duta Wacana. Sutopo H.B. 2006. Metode Penelitian Kualtatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press 140 KEINDAHAN BAHASA BERUPA TEMBUNG GARBA PADA SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA MANGKUNAGARA IV Herlina Setyowati [email protected] Abstrak Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat ialah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Serat ini terdiri dari lima pupuh meliputi Pangkur, Sinom, Pocung, Gambuh, dan Kinanthi. Tembang macapat dibatasi atau dibingkai oleh aturanaturan/ketentuan-ketentuan yang berlaku berupa guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru wilangan dapat mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta penggabungan dua kata atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat pengurangan suku kata agar guru wilangan dapat dipenuhi. Penggabungan dua kata atau lebih untuk mengurangi jumlah suku kata ini disebut nggarba tembung sehingga akan menimbulkan keindahan bentuk bahasa pada tembang. Kata kunci: serat wedhatama, tembung garba. Pendahuluan Karya sastra Jawa paling berkembang dan paling banyak karya sastranya dibandingkan karya sastra lain di nusantara ini. Bentuk karya sastra Jawa ada yang berupa gancaran atau prosa ada pula yang berbentuk puisi. Puisi Jawa ialah puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa atau wacana puisi yang menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana pengujaran (Karsono, 2001). Puisi merupakan suatu karya yang terbentuk atas susunan kata penuh makna, dimana kata mengalami pemadatan bentuk dan perluasan arti. Pemadatan bentuk dalam puisi dilakukan dengan mengganti kata yang sebenarnya menjadi kata kias atau dengan menciptakan kata baru yang dianggap mewakili kata. Hal ini dalam puisi dibenarkan karena mengingat puisi merupakan penciptaan kembali atas kenyataan yang ada, dengan cara yang estetik. Puisi juga merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif yang disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya (Herman J. Waluyo, 1991). Dengan susunan struktur-struktur tersebut akan membentuk rangkaian kata indah yang 141 bermakna, sehingga puisi merupakan karya yang sangat estetis. Rangkaian karya indah ini selain memiliki efek atau mengandung sesuatu yang ingin diungkapkan melalui pesan estetiknya. Menurut Wiyatmi (2006) unsur-unsur pembangun puisi yang perlu dicermati oleh para pembaca dan calon pengkaji puisi sebagai berikut. 1. Bunyi Dalam puisi, bunyi memiliki peranan agar puisi itu merdu jika dibaca dan didengarkan. Mengingat pentingnya unsur bunyi dalam puisi, bahkan seorang penyair melakukan pemilihan dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain ialah a) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca atau pendengarnya; b) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu memperjelas ekspresi; c) ikut membangun suasana puisi; dan d) mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu. 2. Diksi Diksi ialah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih kata- kata yang tepat sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. 3. Bahasa kias Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu. Bahasa kiasan memiliki beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora, simile, metonimia, sinedoksi, dan alegori. 4. Citraan Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata. Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu a) citraan penglihatan (visual imagery); b) citraan pendengaran (auditory imagery); c) citraan rabaan (thermal imagery); d) citraan pencecapan (tactile imagery); e) citraan penciuman (olfactory imagery), dan f) citraan gerak (kinesthetic imagery). 5. Sarana retorika Sarana retorika (rhetorical devices) merupakan muslihat intelektual, yang dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu hiperbola, ironi, ambiguitas, paradoks, litotes, dan elipsis. 6. Bentuk visual 142 Bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris. Bentuk visual pada umumnya mensugesti (berhubungan) dengan makna puisi. 7. Makna puisi Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti mengandung makna, baik yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung, implisit atau simbolis. Makna tersebut pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta asmara, cinta sufistik, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun tokoh-tokoh tertentu. Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat dipahami setelah seorang pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan yang dipakai dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi yang lain yang mendukung makna. Hutomo via Dhanu Priyo Prabowo (2002) membedakan puisi Jawa dalam dua kelompok, yaitu puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern. Puisi Jawa tradisional berupa tembang, parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak. Puisi Jawa modern berupa puisi bebas, yaitu puisi yang tidak terikat oleh norma-norma ketat yang dijumpai dalam puisi Jawa tradisional. Puisi Jawa tradisional masih terikat dengan guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Salah satu jenis puisi jawa tradisional adalah tembang macapat. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Pada aturan guru lagu dan guru wilangan dalam macapat sangat berpengaruh pada aspek kebahasaan macapat. Guru lagu dapat mengakibatkan perubahan bunyi pada suatu kata dan pembalikan urutan kata sehingga ‗menyalahi‘ ketentuan tata bahasa. Guru wilangan dapat mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta penggabungan dua kata atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat pengurangan suku kata agar guru wilangan dapat dipenuhi. Kedua aturan tersebut juga dapat berpengaruh pada pilihan leksikal yang sinonim. Dengan demikian, guru lagu dan guru wilangan dalam macapat dapat terpenuhi dan susunan bahasanya nampak indah. Dalam kenyataannya tiap-tiap jenis tembang macapat memilki guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra-nya sendiri-sendiri yang tidak sama antara yang satu dengan yang lain. Tembang macapat terdiri dari sebelas macam, nama-nama tembang tersebut meliputi Mijil, Sinom, 143 Kinanthi, Asmaradana, Dhandhanggula, Maskumambang, Durma, Pangkur, Pocung, Gambuh, dan Megatruh. Dalam makalah ini hanya akan diuraikan jenis-jenis tembang dalam Serat Wedhatama. Berikut ini aturan guru wilangan dan guru lagu dalam tembang macapat. No. Tembang Guru Wilangan dan Guru Lagu 1. Mijil 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u 2. Sinom 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a 3. Kinanthi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i 4. Asmarandana 8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, 8a 5. Dhandhanggula 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a 6. Maskumambang 12i, 6a, 8i, 8a 7. Durma 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i 8. Pangkur 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i 9. Pocung 12u, 6a, 8i, 12a 10. Gambuh 7u, 10u, 12i, 8u, 8o 11. Megatruh 12u, 8i, 8u, 8i, 8o Sumber: Imam Sutardjo (2011) Puisi Jawa tradisional pada umumnya dinyatakan dalam bentuk bahasa yang indah agar menimbulkan kenikmatan bagi yang mendengarkan. Subalidinata (1994) menyatakan bahwa karya sastra yang indah adalah karangan kang rinacik mawa basa endah, sarta isi kang narik kawigaten lan nyenengake. Karangan yang dirangkai dengan bahasa yang indah, serta berisi suatu hal yang memikat dan menyenangkan. Adapun unsur-unsur yang membentuk keindahan karya sastra meliputi struktur luar yang membangun karya sastra tersebut. Untuk mengejar keindahan kata, penyair menggunakan kata-kata tertentu yang tidak biasa digunakan secara leksikal maupun gramatikal. Salah satunya dengan meng-garba tembung. Tembung garba menurut Padmosoekotjo (1956) ialah “tembung rerangken, tembung sesambungan, tembung kang kedaden saka gandhenge tembung loro utawa luwih”. Lebih lanjut Padmosoekotjo menjelaskan bahwa tembung garba atau tembung sandi biasanya terdapat dalam kesusastraan berwujud tembang. Bahasa dalam tembang merupakan bahasa yang dipatok atau dibatasi. Dengan demikian, basa pinathok dapat berarti karangan yang dibatasi atau dibingkai oleh aturan-aturan/ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan ruang dan waktu. Misalnya, 144 pada aturan guru lagu dan guru wilangan dalam macapat sangat berpengaruh pada aspek kebahasaan macapat. Guru lagu dapat mengakibatkan perubahan bunyi pada suatu kata dan pembalikan urutan kata sehingga ‗menyalahi‘ ketentuan tata bahasa. Guru wilangan dapat mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta penggabungan dua kata atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat pengurangan suku kata agar guru wilangan dapat dipenuhi. Kedua aturan tersebut juga dapat berpengaruh pada pilihan leksikal yang sinonim. Pembahasan Serat Wedhatama ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Kata wedha artinya ngelmu, kawruh (ilmu pengetahuan) dan kata tama artinya becik, linuwih (utama atau baik) (Bausastra Jawa, 2001). Jadi wedhatama artinya ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Serat Wedhatama terdiri dari 100 bait tembang yang terdiri dari lima pupuh meliputi pangkur, sinom, pocung, gambuh, dan kinanthi (Anjar Any, 1986). Berikut ini akan penulis ulangi lagi patokan guru wilangan dan guru lagu pupuh pangkur, sinom, pocung, gambuh, dan kinanthi. No. Tembang Guru Wilangan dan Guru Lagu 1. Pangkur 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i 2. Sinom 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a 3. Pocung 12u, 6a, 8i, 12a 4. Gambuh 7u, 10u, 12i, 8u, 8o 5. Kinanthi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i Dengan adanya patokan dalam tembang ini maka tidak heran bila penyair kemudian mengolah bahasa dengan sedemikan rupa supaya dapat memenuhi konvensi yang ada. Salah satunya dengan mengabungkan dua kata atau lebih menjadi satu kata yang dikenal dengan nggarba tembung. Wujud tembung garba pada Serat Wedhatama sangat banyak. Berikut sajian datanya. No. Data Tembung Garba Pupuh Terjemahan 1. priyangga = priya angga Pangkur sendiri 2. waspadeng = waspada ing Pangkur waspada pada 3. sangsayarda = sangsaya arda Pangkur semakin menjadi 145 4. sukeng = suka ing Pangkur senang 5. jiwangganira = jiwa angga nira Pangkur jiwa ragamu, pribadimu 6. aneng = ana ing Pangkur ada di 7. sapantuk = sapa antuk Pangkur siapa yang dapat 8. karyenak = karya enak Sinom membuat senang 9. pranaweng = pranawa ing Sinom terang benderang pada, jelas 10. prapteng = prapta ing Sinom sampai di 11. nayakengrat = nayaka ing rat Sinom pimpinan di dunia 12. suwiteng = suwita ing Sinom mengabdi pada 13. tumekeng = tumeka ing Sinom sampai di 14. durgameng = durgama ing Pocung jahat di 15. prablebdeng = pralebda ing Pocung pandai, ahli di 16. kadyeku = kadya iku Gambuh seperti itu 17. saniskareng = saniskara ing Gambuh semuanya 18. sutengong = suta ingong Gambuh anakku 18. legaweng = legawa ing Gambuh ikhlas di 19. nuksmeng = nuksma ing Gambuh menyadari 20. sembadeng = sembada ing Kinanthi pantas di Sebelum pembahasan dilanjutkan, penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang akan selalu muncul pada pembahasan). Guru gatra adalah aturan jumlah larik dalam setiap bait. Guru wilangan adalah aturan jumlah suku kata dalam setiap larik. Guru lagu adalah aturan bunyi vokal dalam setiap akhir larik. Pupuh adalah kumpulan tembang satu jenis. Satu pupuh bisa terdiri dari beberapa bait tembang. Tembung garba dapat ditemukan dalam pupuh pangkur berikut ini. “nggugu karsane priyangga” ………………………………… ‗hanya mengikuti kehendak diri sendiri‘ ………………………………………… 146 Kutipan di atas terdapat pada pupuh pangkur bait 3 baris 1. Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8a. Kata ‗priya angga‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗priyangga‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗priya angga‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh pangkur bait 3 baris 5 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ……………………………………………… “nanging janma ingkang wus waspadeng semu” ………………………………………………. ………………………………………… ‗namun orang yang tahu gelagat (pandai)‘ …………………………………………. Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 5 adalah 12u. Kata ‗waspada ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗waspadeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗waspada ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Pada pupuh pangkur bait 4 baris 2 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ………………………………… “sangsayarda denira cacariwis” ………………………………… ……………………………………….. ‗bualan-bualannya semakin menjadi-jadi‘ …………………………………………. Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 11i. Kata ‗sangsaya arda‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sangsayarda‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 11 karena jika tetap ditulis ‗sangsaya arda‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 12. Pada pupuh pangkur bait 5 baris 4 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. …………………………. 147 “sukeng tyas yen denina” …………………………. ………………………… ‗gembira apabila dihina‘ ………………………… Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 4 adalah 7a. Kata ‗suka ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sukeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 7 karena jika tetap ditulis ‗suka ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 8. Pada pupuh pangkur bait 8 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. “socaning jiwangganira” ………………………… ‗sifat-sifat pribadimu‘ …………………….. Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8a. Kata ‗jiwa angga nira‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗jiwangganira‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗jiwa angga nira‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh pangkur bait 9 baris 5 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ……………………………………….. “amung aneng sajabaning daging kulup” ………………………………………… ………………………………….. ‗hanya ada di luar daging saja nak‘ …………………………………… 148 Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 5 adalah 12u. Kata ‗ana ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗aneng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗ana ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Selanjutnya, pada pupuh sinom bait 1 baris 9 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ………………………………………... “amamangun karyenak tyasing sesama” …………………………………. ‗selalu menyenangkan orang lain‘ Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 9 adalah 12a. Kata ‗karya enak‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗karyenak‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗karya enak‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Pada pupuh sinom bait 3 baris 4 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. …………………………….. “mrih pana pranaweng kapti” …………………………….. ……………………… ‗agar jelas yang dituju‘ ……………………… Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 4 adalah 8i. Kata ‗pranawa ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗pranaweng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗pranawa ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh sinom bait 6 baris 8 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ……………………………… “nugrahane prapteng mangkin” ………………………………. 149 …………………………… ‗pahalanya hingga sekarang‘ …………………………… Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 8 adalah 8i. Kata ‗prapta ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗prapteng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗prapta ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh sinom bait 8 baris 6 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ………………………… “nayakengrat Gusti rasul” …………………………. …………………………. ‗utusan Tuhan yaitu Rasul‘ …………………………. Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 6 adalah 8u. Kata ‗nayaka ing rat‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗nayakengrat‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗nayaka ing rat‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh sinom bait 11 baris 3 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ……………………. “apata suwiteng Nata” ……………………. ………………….. ‗apa mengabdi raja‘ …………………. Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 3 adalah 8a. Kata ‗suwita ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗suwiteng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 150 8 karena jika tetap ditulis ‗suwita ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh sinom bait 14 baris 8 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. …………………………….. “kongsi tumekeng samangkin” ……………………………… ………………………………………. ‗di zaman dahulu kala hingga masa kini‘ ………………………………………… Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 8 adalah 8i. Kata ‗tumeka ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗tumekeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗tumeka ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Selanjutnya, pada pupuh pocung bait 4 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. “taman limut durgameng tyas kang weh limput” …………………………………………………. ‗di dalam keadaan sepi hati jahat yang menguasai‘ …………………………………………………… Pada metrum pocung, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 12u. Kata ‗durgama ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗durgameng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗durgama ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Pada pupuh pocung bait 9 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. “uger lugu den ta mrih pralebdeng kalbu” ………………………………………….. ‗asal benar-benar dalam usahanya meningkatkan pikiran (pandai)‘ …………………………………………………………………… 151 Pada metrum pocung, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 12u. Kata ‗pralebda ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗pralebdeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗pralebda ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Selanjutnya, pada pupuh gambuh bait 14 baris 1 dan 2 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. “yen wus kambah kadyeku sarat sareh saniskareng laku” …………………………… ‗bila sudah mengalami seperti itu syaratnya sabar segala dalam tindakan‘ ……………………………………… Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 7u, sedangkan gatra 2 adalah 10u. Kata ‗kadya iku‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗kadyeku‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 7 karena jika tetap ditulis ‗kadya iku‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 8. Selanjutnya, Kata ‗saniskara ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗saniskareng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 10 karena jika tetap ditulis ‗saniskara ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 11. Pada pupuh gambuh bait 26 baris 3 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. ………………………………… “sarta sabar tawekal legaweng ati” ………………………………….. …………………………………. ‗sabar serta tawakal ikhlas di hati‘ …………………………………. Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 3 adalah 12i. Kata ‗legawa ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗legaweng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗legawa ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Pada pupuh gambuh bait 30 baris 2 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. 152 ……………………………………… “yen wis bisa nuksmeng pasang semu” ………………………………………. ………………………………………………. ‗apabila sudah dapat menghayati gambaran itu‘ ………………………………………………… Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 10u. Kata ‗nuksma ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗nuksmeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 10 karena jika tetap ditulis ‗nuksma ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 11. Selanjutnya, pada pupuh kinanthi bait 5 baris 2 dan 5 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. …………………………. “wawasen wuwus sireki ………………………………….. marma den sembadeng sedya” …………………………………. ……………………….. ‗perhatikan kata-katamu …………………………………….. oleh karena itu bertanggungjawablah‘ ……………………………………… Pada metrum kinanthi, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 8i dan pada gatra 5 adalah 8a. Pada gatra 2 kata ‗sira iki‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sireki‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗sireki‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Selanjutnya, pada gatra 5 kata ‗sembada ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sembadeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗sembada 153 ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh kinanthi bait 9 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut. “lumrah bae yen kadyeku” …………………………. ‗yang demikian itu biasa‘ ………………………… Pada metrum kinanthi, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8u. Kata ‗kadya iku‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗kadyeku‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗kadya iku‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa puisi tradisional dibingkai oleh guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Konvensi guru wilangan pada setiap gatra harus dipatuhi. Untuk itu, kadang ditemukan kata-kata yang digandeng untuk mengurangi jumlah suku kata. Proses menggandeng dua atau lebih kata untuk mengurangi jumlah suku kata disebut nggarba tembung. Contoh tembung garba pada serat Wedhatama di antaranya: priyangga (priya+angga), waspadeng (waspada+ing), sangsayarda (sangsaya+arda), dan sukeng (suka+ing). Dari hasil penelitian di atas mencerminkan kekayaan bahasa Jawa. Selanjutnya, bahasa Jawa ini harus kita jaga dan kita lestarikan supaya kelak anak cucu kita tetap mengenal kekayaan bahasa Jawa, salah satunya tembung garba. Daftar Pustaka Any, Anjar. 1986. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu. Herman J. Waluyo. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Padmosoekotjo, S. 1956. A Ngengrengan Kasusutraan Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Prabowo, Dhanu Priyo, dkk. 2002. Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. Subalidinata, R. S. 1994. Kawruh Kasustraan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. 154 Saputra, H Karsono. 2001. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sutardjo, Imam. 2011.Tembang Jawa. Surakarta: UNS Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Wiyatmi. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka. 155 PENGAJARAN PUISI JAWA DI SEKOLAH DALAM MEREDAM KENAKALAN REMAJA Nurnaningsih, S.S., M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, FKIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo [email protected] Abstrak Pemerintah selalu berusaha mencari penyelesaian adanya masalah kenakalan remaja. Dalam kenyataannya puisi Jawa yang begitu banyak ditemukan tentang nilai-nilai pendidikan yang bisa mendidik karakter dan budi pekerti luhur bagi kaum remaja sebagai penerus bangsa. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi Jawa bisa untuk meredam kenakalan remaja dan bisa memunculkan jiwa estetis untuk disalurkan ke arah apresiasi sastra ataupun seni. Adapun puisi Jawa yang dapat mengurangi sifat-sifat kenakalan remaja adalah puisi yang bertemakan ke-Tuhanan, moral, kesusilaan, puisi yang mengandung optimisme, semangat patriotisme, cinta tanah air, kejujuran, rendah hati, penghormatan kepada orang tua, kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Kata kunci: pengajaran, puisi Jawa, kenakalan remaja A. Pendahuluan Pada masa sekarang pemerintah direpotkan adanya masalah kenakalan remaja. Dalam kenyataannya pengajaran sastra khususnya puisi Jawa kurang begitu diminati oleh kaum remaja. Banyak dijumpai bahwa kaum remaja lebih suka membaca cerita rekaan yang berupa roman, novel, cerbung, dan cerpen. Kaum remaja yang membaca puisi memang lebih sedikit ditemui. Para remaja apabila ditanya,―Kenapa lebih suka membaca roman, novel, cerbung, ataupun roman?‖ Mereka merasa lebih mudah memahami isi ceritanya dibandingkan dengan puisi. Bagi kaum remaja baik itu di tingkat Sekolah Lanjut maupun di Perguruan Tinggi, membaca dan menulis puisi itu kurang menarik dan sangat sulit untuk dilakukan. Mereka dalam menulis di buku harian pun juga lebih suka yang berupa prosa daripada puisi. Sungguh sangat disayangkan apabila kaum remaja merasa tidak penting mempelajari puisi, apalagi puisi Jawa yang begitu banyak ditemukan tentang nilai-nilai pendidikan yang bisa mendidik karakter dan budi pekerti luhur bagi kaum remaja sebagai penerus bangsa. Nilai-nilai pendidikan yang 156 terkandung dalam puisi Jawa bisa untuk meredam kenakalan remaja dan bisa memunculkan jiwa estetis untuk disalurkan ke arah apresiasi sastra ataupun seni. Adapun contoh sebagai berikut. Kang sêkar pangkur winarna / lêlabuhan kang kanggo wong ngaurip / ala lan bêcik puniku / prayoga kawruhana / adat waton puniku dipun kadulu / miwah ta ing tatakrama / dèn-kaèsthi siyang ratri // (Sêrat Wulang Reh, Pupuh IV Pangkur, pada 1). ‘Tembang Pangkur diceritakan, kewajiban yang harus dipegang setiap manusia yang hidup, masalah buruk dan baik itu, sebaiknya diketahui, kebiasaan yang baik harus bisa dilihat, dan juga masalah tatakrama/bahasa, selalu dipikirkan baik siang maupun malam‘. Dalam Tembang Pangkur karangan Pakubuwana IV di atas terkandung amanat yang sangat baik, yaitu setiap manusia sebaiknya selalu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sungguh suatu ajaran Jawa yang adiluhung. Puisi untuk bisa dipelajari dan dipahami memang sangat sulit. Oleh karena itu, kaum remaja dalam mempelajari puisi diperlukan bimbingan dari guru untuk mengajarinya. Baik itu dalam dunia pendidikan maupun nonpendidikan. Di dunia pendidikan sekolah lanjut seorang guru bahasa dan sastra dalam mengajarkan puisi harus mengetahui dan menguasai teori mengenai puisi cara pengajarannya. Dalam makalah ini akan disajikan cara pengajaran puisi yang benar dengan harapan kecintaan dan penghayatan siswa pada puisi Jawa yang banyak mengandung ajaran budi pekerti dapat meredam kenakalan-kenakalan remaja. B. Pembahasan Bahasa dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakai yang belum mendapatkan wadah tempat pernyataan. Untuk mengungkapkan pernyataan jiwa atau kekayaan jiwa, dengan wadah pernyataan berupa bahasa (Sudaryanto, 1989: 19). Puisi adalah penghayatan kehidupan manusia yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dan pengalamannya. Puisi merupakan bentuk kesusastraan yang paling tua. Tradisi berpuisi adalah tradisi kuno dalam masyarakat. Bênêr luput ala bêcik lawan bêgja / cilaka mapan saking / ing badan priyangga / dudu saking wong liya / mulane dèn-ngati-ati / sakèh drigama / singgahan dèn-eling // (Sêrat Wulang Reh, Pakubuwana IV) ‘Benar salah baik buruk dan keberuntungan, kesialan terletak pada, di badan sendiri, bukan dari orang lain, oleh karena itu harus berhati-hati, semua godaan, jauhilah dan selalu ingatlah‘. 157 Dalam masyarakat desa di Jawa terdapat tradisi melantunkan tembang-tembang yang biasa didengar pada saat menghadiri acara hajatan dalam rangka pernikahan, kelahiran, dan sunatan. Alunan tembang Macapat tidak begitu dinikmati oleh banyak orang di masa sekarang ini, dan yang sebenarnya adalah isi puisi yang sangat bagus perlu untuk dipahami. Puisi tradisional Jawa seperti mantra, pantun/ parikan, wangsalan, tembang Macapat banyak dijumpai dengan tidak diketahui waktu dan siapa pengarangnya. Puisi Jawa dari jaman ke jaman tidak hanya ditandai oleh perbedaan struktur fisiknya saja, tetapi juga ditandai perbedaan struktur batin atau struktur makna. I.A.Richard dalam Situmorang (1974) mengatakan bahwa seorang kritikus sastra membedakan dua hal penting yang membangun puisi, yaitu hakekat puisi dan metode puisi. Hakekat puisi terdiri dari sense (tema, arti), feeling (rasa), tone (nada), dan intention (tujuan, amanat). Sedangkan metode puisi meliputi diction, imagery, the concrete word, figurative language, dan rhythm and rime (Hal. 12). Hakekat puisi dan metode puisi tersebut tidak bisa dipisahkan karena keduanya merupakan kesatuan dalam penciptaan sebuah puisi yang berhasil. Setiap mata pelajaran di sekolah mempunyai fungsi yang penting untuk bisa ditanamkan kepada peserta didik. Fungsi maupun tujuan yang penting untuk bisa ditanamkan kepada peserta didik bisa dilaksanakan dengan baik apabila seorang guru menggunakan metode pengajaran yang tepat. Hal yang perlu dilakukan seorang guru dalam pengajaran puisi Jawa sebagai berikut. Pertama, menanamkan rasa cinta sastra kepada siswa. Kedua, pengajaran puisi tidak hanya mendasarkan pada aspek-aspek latihan teori dan praktik, tetapi juga pembentukan watak dan sikap lewat isi puisi-puisi yang dibaca atau diciptakannya, di samping unsur kesenangan dan kenikmatan artistik. Seorang guru harus bisa membangkitkan kegemaran membaca puisi pada anak didik. Guru bisa memberikan dorongan siswa untuk dididik menjadi deklamator. Guru bisa memilih siswa yang berbakat ataupun yang tidak untuk menyusun sajak ataupun hanya sekedar membaca puisi di depan kelas. Guru harus bisa membangkitkan penghargaan kepada para siswa bahwa sastra adalah sarana dalam meneruskan kebudayaan kepada generasi mendatang. Keberhasilan seorang guru dalam mendidik siswa dalam pengajaran puisi bisa diukur apabila anak didik memperoleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain dan kehidupan di sekitarnya. Dampak akhir, siswa menjadi lebih bersikap terbuka, rendah hati, peka 158 perasaan, dan memiliki pikiran kritis terhadap tingkah lakunya sendiri, serta mampu ikut menyelesaikan masalah-masalah kehidupan di sekitarnya. Keberhasilan seorang guru dalam mendidik siswa dalam pengajaran puisi juga bisa diukur jika anak didik memperoleh kesenangan dari membaca dan mempelajari puisi hingga tumbuh keinginan membaca dan mempelajari puisi pada waktu senggangnya. Mengajarkan puisi kepada siswa berarti mengungkapkan suatu dunia kehidupan dengan medium bahasa, dengan syarat-syarat atau norma-norma estetis puisi (Situmorang, 1074: 26). Kesusasteraan hanya bagian kecil dari pengajaran bahasa. Bahasa puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa puisi memiliki nilai estetis tersendiri yaitu mengutamakan keindahan (estetika). Suatu puisi yang bisa membahagiakan pembacanya, membuat pembaca tertawa, bersedih, ataupun menangis, itulah makna keindahannya. Indah yang bisa membuat pembaca tertawa, bersedih, yang sebenarnya tidak bisa hanya diukur dari penggunaan bahasanya. Tembang Macapat, parikan, wangsalan, syi‟ir/singir, geguritan dan sebagainya menjadi tugas pendidik dan pengajar untuk memperkembangkan dan mendorong siswa untuk selalu mencintai khazanah puisi Jawa. Pendidikan estetis dalam berkreasi sastra juga sama pentingnya dengan pendidikan intelek atau pendidikan akal. Berdasarkan uraian di atas, salah satu alat yang penting untuk memupuk dan mengembangkan apresiasi puisi Jawa kepada siswa adalah dengan jalan pengajaran puisi yang lebih intensif. Di bawah ini disajikan geguritan (puisi Jawa Modern) bertemakan religius. Dêlêngên Langit Kae Sawangên langit kae, Sawangên ing rina lan wêngi Apa bedane, Apa ya padha... Ing rina donya katon padhang Ing ratri donya katon pêtêng Apa suwe pêtêng, apa suwe padhang... Ora... ora Coba elinga Apa suwe sênêngmu Apa suwe susahmu.. Eling... tansaha eling... Urip mono mung mampir ngombe... Tansaha mlaku ing dalan padhang... Ilangana kang ndadèkake pêtênge lakumu Laku tumuju dalan padhang.. Kanggo sangu tumêkaning patimu... 159 (Nurnaningsih, Sukoharjo) Oleh karena itu, pengajaran puisi di sekolah-sekolah menjadi sangat penting terutama saat ini pemerintah disibukkan dengan permasalahan kenakalan-kenakalan remaja. Dengan deklamasi, membaca geguritan, nembang Jawa siswa dididik untuk memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang penuh unsur-unsur moral, budi pekerti luhur yang mampu mengalihkan pikiran-pikiran siswa ke hal yang negatif. Walau demikian, kegiatan-kegiatan dalam membaca puisi kurang digemari oleh siswa baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Berbagai alasan yang diungkapkan siswa mengapa mereka tidak tertarik pada puisi Jawa. Adapun alasan yang bisa diterima akal sehat adalah siswa sukar menangkap maksud yang ada di balik keindahan-keindahan penggunaan bahasa. Menikmati puisi memang lebih sukar jika dibandingkan dengan membaca novel, roman, cerkak, cerbung dan sebagainya. Menikmati puisi memerlukan keterbukaan hati, ketekunan, konsentrasi pikiran sebab isi puisi merupakan lambang yang berupa kata-kata dalam jalinan estetis dan sangat dipadatkan untuk membangkitkan emosi si pembaca. Bocah kababar pindha dlancang pêthak mêmplak Tan gampang, ngabang bironi murih manjila lan mapan Panggarape aja nganti srampangan… (R. Bambang Nursinggih, S.Sn). Guru harus bisa menampilkan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengarang berusaha memanfaatkan dan mengeskploitasi semua kekayaan bahasa yang dipergunakan untuk menuangkan idenya. Guru harus bisa menjadi pembimbing siswa dalam mempelajari puisi. Dengan demikian jelas bahwa puisi memerlukan pembimbing dari guru. Membaca puisi lebih dari membaca prosa, memerlukan penghayatan dan kepekaan dalam menafsirkan makna yang ada. Dalam karya sastra, semua aspek bentuk ekspresi kejiwaan itu disalurkan melalui bahasa yang lebih ruwet, membahasakan ekspresi penyair yang ditujukan pada pembaca misalnya mengejek, meyakinkan, menyindir, mengkritik, menghibur dan sebagainya. Seorang sastrawan, memerlukan kalimat yang sanggup menggugah perasaan yang paling halus dari manusia dan kemanusiaan, dan mampu membahasakan ekpresi kejiwaannya (Abdul Razak, 1990: 2-3). 160 Di bawah ini disajikan contoh singir (puisi Jawa Modern) sebagai berikut. Sun miwiti anarik akaling bocah bokmanawa lawas-lawas bisa pêcah bisa mikir bisa ngrasa bisa nggênah ngarêp-arêp kabeh iku min fadhi‟llah Yèn manungsa wus dha ngawekani marang kwasaning Robbul Izatti tartamtu tan padha gêlêm kari ngudi mring kasampurnaning dhiri (Singir / Syi‟ir) Guru tanpa metode dan teknik yang tepat dalam pengajaran puisi, kemungkinan besar target yang akan dicapai tidak akan terpenuhi. Guru harus mengetahui amanat apa yang tersurat dan tersirat dalam puisi. Guru harus mampu memberi contoh membawakan puisi di depan kelas dengan penuh penghayatan, dan mengerti makna kata-kata sukar yang tertulis dalam puisi. Jika ada kata-kata yang sukar, guru menjelaskan terlebih dahulu. Pembacaan puisi dengan irama yang baik akan menghidupkan puisi. Pembacaan puisi yang baik atau merdu mampu menimbulkan rangsangan estetis terhadap apresiasi siswa pada puisi, sehingga hakekat dan metode puisi bisa ditemukan. Guru dalam menentukan puisi yang baik untuk diajarkan di sekolah memerlukan pengetahuan mengenai tujuan pendidikan/kurikulum itu sendiri, dan pengetahuan luas mengenai materi sastra khususnya puisi Jawa. Di bawah ini disajikan parikan yang cocok untuk anak-anak remaja. Parikan. aja padha dolanan kêthu yèn nyopot angèl carane aja padha dolanan krêtu kadhung nyokot ra ènèng tambane Mlinjone kok abang-abang Nandur ringin rambati kara Contone gak kurang-kurang Yèn wong main dadi sangsara Guru menentukan puisi disesuaikan dengan sifat-sifat kejiwaan anak didik. Larik-larik puisi harus sesuai dengan keadaan jiwa. Guru harus menghindari puisi-puisi yang belum pantas 161 dibaca oleh siswa. Masa remaja adalah masa yang peka, oleh karena itu guru harus berhati-hati dalam menentukan contoh puisi. C. Kesimpulan Pengajaran puisi Jawa di sekolah membutuhkan metode dan teknik yang tepat ketika seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya. Adapun sebagai kesimpulan, puisi yang dapat mengurangi sifat-sifat kenakalan remaja adalah puisi yang bertemakan ke-Tuhanan, moral, kesusilaan, puisi yang mengandung optimisme, semangat patriotisme, cinta tanah air, kejujuran, rendah hati, menghormati orang tua, kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Secara fisik puisi yang merdu, penuh persajakan/purwakanthi yang indah dengan tema-tema yang menarik akan lebih melekat pada jiwa siswa. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengajaran puisi Jawa yang tepat kepada siswa mampu membantu program pemerintah dalam menangani kenakalankenakalan remaja. Pengajaran puisi Jawa dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup, mengenal baik dan buruk, benar dan salah cara hidupnya sendiri serta bangsanya. Jadi benar, bila dikatakan bahwa puisi merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk usaha kita memanusiakan diri dan lingkungan kita, dapat memperkaya wawasan kita tentang kehidupan, menggugah kecintaan kepada hidup, merangsang kreativitas dan semangat untuk menyempurnakan diri, dan menumbuhkan kepercayaan diri dan memupuk rasa identitas sebagai bangsa. Dengan demikian diharapkan lewat pembelajaran puisi Jawa secara benar, maka sifat kenakalan remaja misalnya minum minuman keras, sering tawuran dan sebagainya dapat dihindari. D. Daftar Pustaka Abdul Razak. 1990. Kalimat Efektif Struktur, Gaya dan Variasi. Jakarta: PT. Gramedia. B.P. Situmorang. 1974. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Ende-Flores NTT: Nusa Indah. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolter Uitgevers Maatchappij N.V. Groningen. Rahmat Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. R. Bambang Nursinggih. 2010. Arak-arakan Geguritan. Garising Pepesthen. Yogyakarta: Arindo Nusa Media. 162 Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. 163 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBICARA BAHASA JAWA MELALUI STRATEGI PEMROSESAN INFORMASI SOSIAL Yuli Widiyono, M, Pd. Universitas Muhammadiyah Purworejo [email protected] ABSTRAK Pembelajaran merupakan (proses) memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau keterampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi. Pembelajaran juga merupakan usaha yang disadari untuk mengusai kaidah-kaidah tentang informasi dengan menggunakan sistem simpanan, memori, organisasi kognitif, yang mencakup keaktifan yang relatif tetap untuk mengubah perilaku. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran bisa tercapai apabila dalam kegiatan pembelajaran siswa aktif dan termotivasi. Pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan bisa memotivasi siswa dalam memperoleh pengetahuan atau kemajuan dalam proses belajar yaitu pembelajaran pemrosesan informasi sosial. Joyce, et. al (2004:26) menyatakan model memproses informasi (information-processing models) merupakan model pengajaran yang menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang dunia (sense of world) dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan maalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data. Model sosial merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan pada tabiat sosial, mempelajari tingkah laku sosial, bagaimana interaksi sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Model pengajaran sosial didesain untuk mempersiapkan siswa dalam mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis demokrasi sosial yang produktif (Joyce. B; Weil, B; Caulhoun, E. 2004:204) Kata Kunci: Pembelajaran, Pemrosesan Informasi, Sosial, Berbicara A. Pendahuluan Secara filosofis bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat mendasar karena bahwa bahasa Jawa memiliki beragam tingkatan seperti unda usuk, tingkat tutur atau unggah-ungguh. Kedudukan bahasa Jawa dengan keragaman bahasa memiliki kelebihan yaitu bentuk unggah-unggah bahasa yang menisyaratkan makna bahwa bahasa itu terdapat tingkatan-tingakatan dengan fungsi yang berbeda beda. Para komunikan yang terlibat 164 komunikasi dengan bahasa Jawa harus mempertimbangkan, memilih serta memilah bahasa yang tepat untuk berkomunikasi. Pemilihan bahasa dalam unggah-unggah tersebut secara tidak langsung akan membentuk kepribadian, kesantunan dan etika. Bahasa Jawa yang dilindungi dan diatur yang tertuang dalam Undang-Undang, kebijakan pemerintah mulai, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dalam hal ini SK Gubernur, bukti bahwa bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat kuat. Namun, melihat kondisi yang ada, banyak fakta yang menunjukkan bahwa bahasa Jawa sekarang ini memiliki kedudukan dan fungsi yang kurang menjajikan. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahasa mulai terbukti dengan penurunan kualitas penggunaan bahasa Jawa, yaitu banyak generasi muda Jawa yang mulai tidak menguasai unggah-unggah bahasa Jawa secara baik. Keberadaan bahasa Jawa sekarang ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Banyak masyarakat atau pemerhati bahasa Jawa yang khawatir terkait keberadaan bahasa Jawa hal ini tampak pada masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sasangka (2009:1) Penurunan kualitas tersebut disebabkan banyak pengaruh, salah satunya pengaruh globalisasi dan teknologi. Dengan perubahan zaman yang seacar cepat dan perkembangan teknologi memudahkan informasi sangat mudah diterima, tanpa menilai atau menyaring semua informasi yang masuk. Dampaknya yaitu adanya perubahan dalam struktur masyarakat Jawa yang tadinya mengenal tepa slira, rasa handarbeni, sipat egois ‗njaluk menange dhewe‘, ora bisa srawung marang sapadhane, lan ninggal tata luhur Jawa, andhap asor anoraga, tuna sathak bathi sanak, lan ngwongake/ ngajeni marang liyan. Adapun yang lebih mengkhawatirkan tidak peduli dengan norma-norma yang ada masyarakat, norma sosial dan norma hukum negara. Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir, terutama yang berada di lapis pertama (ring satu) yaitu lapisan masyarakat yang pada waktu itu pernah langsung berhubungan dengan penguasa (kerajaan), baik penguasa di Yogyakarta maupun yang berada di Surakarta, mulai khawatir terhadap keberadaan unggah-ungguh basa. Kekhawatiran itu disebabkan adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda Jawa sekarang ini mulai tidak menguasai unggah-ungguh bahasa secara baik. Akibatnya, muncul kesalahankesalahan pemakaian bahasa Jawa dalam proses komunikasi. Kemampuan berkomunikasi dipengaruhi oleh penguasaan keterampilan berbicara. 165 Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat peting perananya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Penguasaan keterampilan berbicara oleh peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai dengan konteks dan situsi pada saat sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi muda yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas runtut, dan mudah dipahami. Mengetahui konteks bahasa Jawa yang demikian, diperlukan suatu solusi atau pemecahan terhadap permasalahan yang ada. Alternatif pemecahan permasalahan di atas yaitu mengembangkan model pembelajaran menggunakan strategi informasi-sosial. Model pembelajaran berbicara bahasa Jawa berbasis informasi sosial yang menekankan pada tabiat manusia sebagai makhluk sosial, mempelajari perilaku sosial, dan bagaimana interaksi sosial. Model pengajaran Pemrosesan informasi menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah manusia dalam membentuk makna. Joyce, et al (2004:26) menyatakan pengajaran model pemrosesan informasi berguna untuk mengamati diri sendiri dan masyarakat, serta dapat diterapkan untuk mencapai tujuantujuan pribadi dan sosial dalam pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran dengan memadukan dua model, yaitu pemrosesan informasi dan sosial dimungkinkan bahwa dalam pembelajaran mampu mempersiapkan warga negara yang akan mengembangkan tingkah laku demokratis, baik tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan berbasis demokrasi sosial yang produktif serta mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Jawa secara benar dan tepat. Berdasar uraian permasalahan di atas, maka rumusan masalah akan di bahas pada makalah ini yaitu mendeskripsikan tentang model pembelajaran berbicara bahasa Jawa melalui strategi pemrosesan informasi sosial. Teori-teori yang digunakan untuk mendukung pembahasan ini yaitu menguraikan tentang pembelajaran bahasa, model pembelajaran, model memproses informasi yang difokuskan pada strategi pembelajaran induktif, dan model pengajaran sosial dengan strategi role playing. 166 B. Pembelajaran Bahasa 1. Hakikat Bahasa Pengertian tentang bahasa sangat beragam, bergantung pada teori apa yang dipakai. Teori yang menyampaikan tentang definisi bahasa sangat beragam dan berbeda antara satu dengan yang lain. Menurut teori stuktural bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda yang arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistemik dan sistematik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuanketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa merupakan suatu sistem atau subsitem-subsistem. Bahasa kaitannya dengan ciri tanda merupakan paduan antara dua unsur signified dan signifier (Suparno, 1993:1). Brown (2007:6) menyatakan bahwa bahwa bahasa bersifat sistemik, bahasa bersifat arbitrer, bahasa merupakan simbol vokal dan visual, bahasa merefensikan makna, bahasa digunakan untuk alat komunikasi, bahasa sebagai komunitas penutur, bahasa penting untuk manusia dan tidak mungkin terbatas pada manusia saja, bahasa digunakan oleh semua orang dalam proses pembelajaran yang mempunyai karakteristik yang sama. Saussure (dalam Abdul Chaer, 2007: 31) memaparkan tentang defini bahasa memiliki makna yang banyak, tergantung dari kaidah pemakaiannya. Bahasa menunjuk pada bahasa tertentu adalah langue. Bahasa menunjuk pada bahasa umunya (langage), bahasa berarti kebijakan dalam bertindak, bahasa berarti ujaran (parole). Bahasa menurut Bloch dan Tragner (dalam Asep Ahmad Hidayat, 2009:22) mendefinisikan bahwa bahasa sebagai ―sistem symbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh sekelompok sosial sebagai alat komunikasi (Language is a system of arbitray vocal symbol by means of wich a sosial group cooperates). Halliday (dalam Brown, 2007) menambahkan bahwa fungsi bahasa dalam arti yang paling sederhana, dapat dipandang sebagai padanan kata ‗penggunaan‘. Fungsi bahasa dapat diartikan cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu. Fungsi bahasa meliputi fungsi Instrumentalis, fungsi regulatoris, fungsi representasional, fungsi interaksional, fungsi personal, fungsi heuristik, fungsi imajnatif. Dari paparan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang disampaikan menggunakan sistem tanda tertentu dengan kesepakatan bersama yang berfungsi sebagai alak komunikasi. 167 Melalui komunikasi bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan gagsan, ide, pendapat kepada orang lain dengan mematuhi kaidah-kaidah atau aturan aturan yang berlaku. Selain fungsi komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai penunjuk jatidiri atau identitas kelompok. Bahasa merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu komunitas suatu bangsa. 2. Pembelajaran Bahasa Brown (2007:7) menyatakan “learning is a acquiring or getting of knowledge of a subject or a skill by study experience, or instruction‖ bahwa pembelajaran (proses) memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau keterampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi. Pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. selanjutnya, Brown (2007:8) menjelaskan tentang karakteristik pembelajaran: a. Pembelajaran adalah ―mendapatkan atau memperoleh‖ b. Pem belajaran adalah retensi informasi atau keterampilan. c. Retensi menggunakan sistem simpanan, memori, organisasi kognitif. d. Pembelajaran mencakup keaktifan, berfokus pada kesadaran dan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa di dalam maupun di luar organisme. e. Pembelajaran relatif permanen, tetapi pembelajar dapat lupa. f. Pembelajaran mencakup beberapa jenis praktis, mungkin penguatan secara praktis. g. Pembelajaran adalah merubah perilaku. Pembelajaran bahasa bisa tercapai setidaknya memegang kaidah-kaidah dalam pembelajaran bahasa. Suwarsih Madya (dalam Suwarna, 2002:28) menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam pembelajaran bahasa. kedelapan prinsip tersebut, yaitu: a. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diperlakukan sebagai individu dengan kebutuhan dan minatnya sendiri-sendiri. b. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan aktif menggunakan bahasa target untuk berkomunikasi dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. c. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka banyak diaktifkan dengan belajar bahasa target yang digunakan dalam proses komunikasi, baik lisan maupun tertulis, sesuai kemampuan, kebutuhan, dan minat mereka. 168 d. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka dihadapkan pada aspek struktur verbal bahas target dan mengkaji makna budaya yang terkandung dalam bahasa target. e. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka ditunjukan pada aspek social budaya penutur asli bahasa target dan pengalaman langsung dalam budaya bahasa target. f. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka menyadari peranan dan sifat dasar bahasa dan budayanya. g. Pembelajar akan belajar secara optimal diberi balikan yang efektif tentang kemajuan belajarnya secara kelanjutan. h. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan untuk mengelola belajarnya sendiri. Delapan prinsip pembelajaran bahasa tersebut dapat diimplikasikan dalam pembelajaran dikelas. Masing-masing prinsip tersebut bisa dilaksanakan oleh guru atau pengajar dalam proses pembelajar yang didukung berbagai faktor. Faktor tersebut meliputi faktor eksteren dan interen pembelajar. Faktor ekstern meliputi seluruh pendukung kegiatan pembelajaran misalnya faktor guru, kegiatan suasana pembelajar, lingkungan sosial budaya. Faktor interen meliputi motivasi pembelajar, kemampuan atau kompetensi pembelajar, keaktifan dan lain-lain. C. Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa 1. Hakikat Berbicara Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang harus dikuasi oleh siswa dalam belajar bahasa, yaitu mendengar (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya dilalui dengan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari. Berbicara sudah tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yang diperoleh oleh sang anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Tarigan (2008: 15) memberikan pengertian sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. 169 Brooks dalam Tarigan (2008: 16-17) mengemukakan bahwa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara sebagai berikut. 1) Membutuhkan paling sedikit dua orang 2) Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama 3) Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum 4) Merupakan suatu pertukaran antara partisipasi 5) Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera 6) Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini 7) Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara atau bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus) 8) Secara tidak pandang bulu mengahadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. Menurut Brown (1983:140) memaparkan bahwa kegiatan berbicara adalah alat untuk menyampaikan pendapat, perasaan, ide, dan sebagainya dengan aktivitas artikulasi dan bunyi yang memberikan konstruksi kreatif dalam linguistik. Sementara itu, Slamet (2008:32) menambahkan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang umum dalam masyarakat. Berbicara merupakan aktivitas komunikasi yang mengharapkan hubungan antara penutur selaku pembicara dan penanggap tutur sebagai pendengar. Maidar (1998:11) berpendapat tujuan dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan sesuatu yang ingin dikomunikasikan pemakai bahasa harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengarnya, dan mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perseorangan. Tarigan (2008:11-16) mengemukakan bahwa pada dasarnya pembicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu (a) memberitahukan, melaporkan, (to inform), (b) menjamu, menghibur (to entertain), dan (c) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade). Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah sanga pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek 170 komunikasinya terhadap (para) pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsipprinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Dari beberapa paparan tentang berbicara dapat penulis simpulkan bahwa berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak dengan didahului dengan kegiatan menyimak, yang berfungsi untuk menyampaikan gagasan, pendapat, ide, dan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan. 2. Jenis-jenis Keterampilan Berbicara Jenis-jenis pembelajaran dalam keterampilan berbicara menurut Brown (2004) dibagi ke dalam taksonomi yang muncul pada produksi lisan seperti halnya pada keterampilan menyimak. Taksonomi ini bertingkat dari imitative hingga ekstensif. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Imitative adalah kemampuan seseorang untuk meniru kembali sebuah kata atau frase atau bisa jadi sebuah kalimat. 2) Intensif. Jenis keterampilan berbicara kedua yang sering ada dalam konteks penilaian dalam tingkat ini adalah produksi rentang pendek dari bahasa lisan yang dibuat unguk menunjukkan kokmpetensi dalam hubungan gramatikal, frase, leksikal, atau fonologikal. Contoh tugas-tugas penilaian intensif antara lain, memberikan respon langsung, membaca nyaring, penyelesaian kalimat dan dialog, gambar isyarat yang terbatas, termasuk urutasn sederhana dan terjemahan samapai pada level kalimat 3) Responsive. Tugas penilaian responsive antara lain interaksi dan tes pemahaman tetapi dalam level yang terbatas seperti percakapan pendek, pemberian salam dan pembicaraan singkat, permintaan sederhana dan pendapat. Penilaian responsive hampir selalu merupakan percakapan singkat dengan kemungkinan hanya satu/dua pertanyaan atau jawaban follow up. 4) Interaktif. Tingkat ini berbeda dengan tingkat responsif. Berbicara secara interaktif merupakan interaksi yang panjang dan komplek, serta sering diikuti dengan pertukaran ganda atau partisipan ganda. Interaksi dapat terjadi dalam bentuk bahasa transaksional yang bertujuan menukar informasi yang spesifik atau 171 bahasa interpersonal yang bertujuan membina hubungan sosial. Dalam bahasa interpersonal, produksi lisan secara pragmatik digunakan dalam register sederhana dan bahasa percakapan, elipsi, slang, humor dan kaidah sosiolinguistik lainnya. 5) Ekstensif (monolog). Dalam tingkat ini, tugas-tugas produksi lisan diberikan dalam bentuk laporan lisan, rangkuman, atau pidato pendek. Di sini register formal dan hati-hati. Kegiatan monolog ini dapat direncanakan. 3. Tingkat Tutur dalam Berbicara Berbahasa Jawa Pengenalan tingkat tutur atau ragam bahasa Jawa untuk peserta didik di Sekolah Menengah Atas menuntut kurikulum bahasa Jawa telah disederhanakan menjadi dua ragam, yiatu ragam bahasa Jawa ngoko dan ragam krama. Menurut Sry Satria Catur Wisnu Sasangka (2009: 102-119) ragam bahasa Jawa ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya dari pada lawan bicaranya. Ragam ngoko ini terbagi menjadi dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus. Ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral, tanpa terselip leksikon krama, krama inggil atau krama andhap. baik untuk persona pertama, persona kedua, maupun ketiga. Afiks yang sering digunakan di dalam ragam ini adalah afiks di-, -e, dan –ake. Sedikit berbeda dengan bentuk ngoko lugu, ragam ngoko alus adalah unggah-ungguh yang didalamnya bukan hanya terdiri atas kosakata ngoko dan netral saja, melainkan juga terselip leksikon krama, krama inggil atau krama andhap. yang muncul dengan tujuan untuk menghormati mitra wicara. Selanjutnya diuraikan bahwa ragam krama yaitu bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi inti dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon lainnya. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semua berbentuk krama. Ragam krama dibedakan menjadi dua jenis yaitu krama lugu dan krama inggil. Secara semantik, ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukan kadar kehalusan. Suatu ragam kosakata terdiri atas kosakata krama, madya, netral dan masih menggunakan kosakata ngoko, sedangkan kosakata krama inggil yang muncul 172 hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara, afiks yang sering digunakan dalam krama lugu adalah di-, -e, dan –ake. Krama alus krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang kosakata intinya terdiri atas leksikon krama inggil dan krama andhap, Leksikon krama inggil selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Afiks yang cenderung lebih sering digunakan dalam krama alus adalah afiks dipun-, -ipun, dan – aken. 4. Komponen Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara seorang menyangkut dua unsur pokok yaitu kompetensi dan performansi. Kompetensi berkaitan dengan pengetahuan tentang ilmu bahasa seseorang. Performansi merupakan penerapan ilmu bahasa tersebut secara aplikatif. Sehingga dalam melakukan penilaian paling tidak menyangkut kedua unsur tersebut. Harris dalam Henry Guntur Tarigan (2008: 3) mengungkapkan beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam tes kemampuan kemampuan berbicara meliputi komponen fonologi, struktur, kosakata, dan kecepatan atau kelancaran. Maidar (1998:87) berpendapat bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang dinilai berdasarkan kedua faktor penunjang keaktifan berbicara adalah: (1) faktor kebahasaan yang mencakup pengucapan konsonan, penempatan tekanan, penggunan nada/irama, pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi kata, tata bentukan, struktur kalimat, dan ragam kalimat; (2) faktor non kebahasaan mencakup keberanian dan semangat, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan mata, gerak-gerik dan mimik, keterbukaan, penalaran, penguasaan topik. Menurut Brooks (dalam Tarigan, 2008:28) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan lima faktor, yaitu: ketepatan dalam pengucapan bunyi-bunyi tersendiri (vocal, konsonan), apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta tekanan suku kata memberikan kepuasan, ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang dipergunakan, apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat, sejauh manakah kewajaran atau kelancaran yang tercermin seorang pembicara. 173 D. Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi 1. Hakikat Model Pemrosesan Informasi Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang di gunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelasatau pembelajaran dalam tutorial.model pembelajaran mengacu padapendekatan pembelajaran yang akan di gunakan. Termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, dan pengelolaan kelas (Arendes.1977: 7). Hal ini sesuai dengan pendapat Joice (2009:7) bahwa ―Teach model guides us as we design instruction to help student achive varions objective” maksud dari kutipan tersebut adalah bahwa setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Joyce dan Weil (2009:7) menyatakan bahwa: “Models of teaching are really models of lerning. As we help student acquire information, ideal, skills, value, ways of thinking and means of expressingthemselvs, we are also teaching them how to lern‖. Hal in berarti bahwa model mengajar merupakan model belajar dengan model ersebut guru dapat membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide,keterampilan cara, berpikir dan meng expresikan ide diri sendiri. Selain itu, mereka juga mengajarkan bagimana mereka belajar. Joyce, et. al (2004:26) menyatakan model memproses informasi (informationprocessing models) merupakan model pengajaran yang menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang dunia (sense of world) dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan maalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data tersebut. Salah satu model Informasi yaitu belajar berpikir secara induktif. Model ini merupakan penyesuaian dari kajian Hilda (1966) yang telah mengkaji bagaimana siswa dalam mencari dan mengolah informasi, membuat dan menguji hipotesis yang menghubungkan antar data. Salah satu cara kerja dalam model ini adalah analisis fonetik dan struktural. Dalam pembelajaran bahasa, kompetensi komunikatif sangat memperhatikan hal tersebut. Kajian terhadap masyarakat, negara, dan sejarah mensyaratkan adanya pengkajian konsep. Berikut 174 disajikan tentang model belajar berpikir secara induktif yang dalam model pengajaran masuk dalam model pemrosesan information. 2. Model Berpikir Induktif (Membentuk Konsep-Konsep dengan Mengumpulkan dan Mengolah Informasi) a. Struktur (Syntax) Pengajaran Model induktif memiliki struktur pemutaran yang berkembang setiap waktu, penelitian induktif hampir tidak pernah singkat. Esensi proses induktif adalah pengumpulan dan penyaringan informasi tanpa henti; pembangunan gagasan; khususnya kategori–kategori, yang menyediakan kontrol konseptual atau daerah-daerah informasi; penciptaan hipotesis untuk dieksplorasi dalam upaya memahami hubungan–hubungan yang lebih baik atau menyediakan solusi untuk berabagai masalah; dan perubahan pengetahuan menjadi keterampilan yang memiliki aplikasi praktis. Tahap–tahap model induktif tersebut meliputi (1) mengidentifikasi dan menghitung data yang relevan dengan topik atau masalah, (2) mengelompokkan objek–objek ini menjadi kategori–kategori ya3g anggotanya memiliki sifat umum, (3) menafsirkan data dan mengembangkan label untuk kategori–kategori tadi sehingga data tersebut bias dimanipulasi secara simbolis, dan (4) mengubah kategori–kategori menjadi keterampilan atau hipotesis–hipotesis. (1) Tahap Pengumpulan Dan Penyajian Data Penerapan model induktif melibatkan pengolahan dan pengumpulan data secara terpisah. Pengolahan dilakukan untuk memperoleh atau mencari gagasan–gagasan. Dalam hal ini, pengumpulan data muncul lebih dulu, tetapi data baru bisa ditambah dan dibuang saat penelitian berlangsung. Dalam pembelajaran secara siswa bekerja secara induktif, kita sering kali menyajikan seperangkat data yang tidak terorganisir pada siswa. Proses pembelajaran dapat dilakukan untuk melatih siswa mengumpulkan seperangkat data. Seperangkat data dikembangkan dari ranah substantif yang ditujukan untuk tujuan–tujuan akademik. Ranah–ranah / bidang–bidang merupakan batasan yang cukup beragam dan bersifat arbitrer bagi suatu studi bidang–bidang tersebut merupakan daerah /teretorial yang dicoba untuk dieksplorasi. 175 (2) Tahap Pengujian Dan Pengumpulan Data Data perlu diuji dengan teliti dan perlu diberi label sehingga dapat diidentifikasinya saat memindahkan data-data tersebut. Objek–objek dalam data itu juga perlu dikaji sangat hati–hati sehingga bisa dirasakan dan dilihat dengan lebih jelas. Tahap ini harus dilakukan dengan hati–hati, atau jika tidak, penelitian akan menjadi dangkal dan tidak berbobot. Pada tahap ini butuh kecermatan dan ketelitian serta kesan tergesa gesa harus dihindari, sehingga hasilnya lebih optimal. (3) Tahap Klasifikasi Pertama Untuk menjadi benar–benar produktif, klasifikasi data dilakukan beberapa kali. Pada tahap pertama kecenderungan untuk mengklasifikasi karakteristik-karakteristik kotor. Klasifikasi data harus dilakukan melalui perbedaan-perbedaan dalam hal materi yang dibawakan, mood dan perangkat yang digunakan. Terkadang, setelah latihan pertama dalam klasifikasi, ingin menambah data yang lebih banyak lagi dalam data kita atau sesuat yang tidak kita perhatikan ketika kita mengkaji dan menghitung data. Dalam kasus–kasus seperti ini, kita berputar kembali, mengumpulkan atau menguji data lagi, dan seterusnya. (4) Tahap Klasifikasi Lanjutan Pada klasifikasi lanjutan, memperhalus atau meruntuhkan kategori– kategori, dan bereksperimentasi dengan dua atau tiga skema; kategori– kategori muncul dan dibagi. Secara bertahap, harus mengontrol data. Terkadang kita bergantian melakukan klasifikasi dan pencarian data kembali. (5) Tahap Membangun Hipotesis dan Meningkatkan Keterampilan Pada tahap ini kalsifikasi dilakukan untuk mengetahui karakter, sehingga bisa membangun hipotesis-hipotesis untuk mengubah menjadi keteramilan yang berguna. Membangun keterampilan dari kategori–kategori menuntut untuk belajar tentang apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kategori tersebut. b. Pemikiran–Pemikiran tentang Perancangan Lingkungan Pembelajaran 176 Strategi dan model yang bisa bisa digunakan dengan mudah untuk merancang pembelajaran yaitu: 1). Sistem Sosial Guru sebagai inisiator harus menyusun tahap–tahap pengajaran dan penentu rangkaian aktivitas pembelajaran. 2) Peran/tugas guru Guru memberikan tanggapan dan respons disetiap tahap pengajaran, melakukan tugas-tugas kognitif dalam setiap strategi pembelajaran, guru harus yakin bahwa tugas–tugas kognitif tersebut muncul dengan intruksi yang optimal dan juga saat yang tepat. Mengatur tugas-tugas mengharuskan guru untuk mengkaji seperangkat secara utuh sebelum melakukan kategorisasi, lalu dilanjutkan dengan mencari hubungan–hubungan. Guru menyesuaikan tugas– tugas dengan tingkat aktivitas kognifitas siswa, menetukan kesiapan siswa. 3) Sistem Pendukung Model ini dapat diterapkan dalam berbagai kurikulum yang di dalamnya ada banyak data yang harus diolah. Kemudian tugas guru adalah membantu memproses data yang lebih kompleks, dan pada waktu bersamaan, membantu meningkatkan kapasitas umum sistem–sistem pendukung seperti diatas saat memproses data. 4) Dampak-dampak Instruksional dan Pengiring Model berpikir induktif dirancang untuk melatih siswa dalam membentuk konsep, dan sekaligus, mengajarkan konsep–konsep. Model ini juga membentuk perhatian siswa untuk fokus pada logika, bahasa dan arti kata–kata, dan sifat pengetahuan. E. Model Pembelajaran Sosial 1. Hakikat Model Pengajaran Sosial Model pembelajaran merupakan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dalam proses proses pembelajaran kegiatan penyapaian informasi, gagasan, skill, nilai, cara berpikir merupakan bagian penting untuk meningkatkan kapabilitas siswa siswa 177 dalam belajar. Cara penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri sendiri. Keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan guru tidak sekadar hanya kharismatik dan persuasif, tetapi bisa melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang sarat beruatan kognitif dan sosial, serta mengajarkan tugas-tugas tersebut secara produktif (Joyce. et al.. 2004:7) Model pengajaran sosial muncul karena tabiat dasar manusia sebagai mahkluk sosial dan cara-cara belajarnya. Model sosial merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan pada tabiat sosial, mempelajari tingkah laku sosial, bagaimana interaksi sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Model pengajaran sosial didesain untuk mempersiapkan siswa dalam mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis demokrasi sosial yang produktif (Joyce. B; Weil, B; Caulhoun, E. 2004:204) Kerja sama dalam proses pembelajaran pada dasarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan, semangat, supel dan mencegah adanya konflik sosial yang dekonstruktif. Kerja sama tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial, namun juga mendorong aspek intelektual. Penyelesaian tugas yang dikerjakan dengan mengandalkan interaksi sosial bisa disiati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil pembelajaran, meningkatnya perkembangan tingkah laku yang produktif, skill akademik. 2. Pembelajaran Role Playing Joyce, (2004:233) menyatakan role playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi masalah yang sebenarnya dan adanya keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang muncul dari keterlibatan tersebut. Proses role playing berperan untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill, pemecahan masalah, dan tingkah laku, (4) mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda. Proses pembelajaran role playing secara implisit menganjurkan sebuah pengalaman yang berbasis pembelajaran keadaan yang terjadi ‘disini dan saat ini‘. Model pembelajaran role playing. Model pembelajaran role playing melibatkan 178 proses psikologi secara tersembunyi yang melibatkan perilaku pribadi, nilai, dan sistem kepercayaan siswa bisa dilakukan secara spontan dengan analisis yang dilakukannya. a. Langkah-langkah Role Playing Shaftels (dalam Joyce, 2004: 235) menguraikan tentang langkah-langkah dalam role playing: 1). Memanaskan suasana kelompok; 2). Memilih partisipan; 3). Mengatur setting kejadian 4). Menyiapkan peneliti (observers) 5). Pemeranan 6). Diskusi dan evaluasi 7). Memerankan kembali 8). Berdiskusi dan mengevaluasi 9). Saling berbagi dan mengembangkan kemampuan. b. Penerapan Model Role Playing Model role playing adalah model yang serbaguna dan dapat diterapkan dalam beberapa sasaran pembelajaran yang terbilang penting. Melalui role playing, siswa dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali dan memperhitungkan perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mereka bisa memiliki perilaku baru dalam menghadapi situasi sulit yang tengah dihadapi, dan mereka bisa meningkatkan skill memecahkan masalah. Role playing merupakan program pendidikan sosial yang sistematis, karena menyediakan banyak materi untuk didiskusikan dan dianalisis. Selain itu, model pembeljaran role playing bisa memunculkan permasalahan untuk diteliti siswa dan membantu siswa memecahkan masalah. Joyce (2004:244) menyatakan ciri khas masalah sosial yang dapat digunakan dengan model ini, yakni: (1). Konflik interpersonal. Fungsi role playing pada tahap ini adalah memunculkan konflik antara beberapa orang sehingga siswa bisa menemukan teknik untuk mengatasi konflik tersebut. 179 (2).Relasi antar kelompok. Masalah ini melibatkan konflik yang mungkin saja tidak muncul dalam permukaan. Ciri role playing pada tahap ini dapat digunakan untuk membuka stereotype dan prasangka atau untuk mendorong penerimaan terhadap hal-hal yang ganjil. (3). Dilema Individu. Dilema individu muncul ketika seseorang terperangkap dalam dua nilai yang bertentangan atau antara kepentingannya dan kepentingan orang lain. Model role Playing ini membuat siswa bisa mengakses dilema dan membantu mereka untuk mengerti mengapa hal tersebut terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. (4). Masalah Historis atau Kontemporer. Hal ini mencakup situasi yang bermasalah, saat ini atau masa lalu, dimana pembuat kebjakan, hakim, dan pemimpin politik, atau negarawan harus menghadapi suatu masalah atau sesorang dan kemudian membuat keputusan. Ciri khas masalah sosial, secara alamiah siswa akan fokus pada aspek dalam situasi yang mereka merasa penting.Siswa akan berkonsentrasi pada persaan yang terungkapkan, perilaku dan nilai masing-masing pemain peranyang dapat dilihat melaluikata-kata atau tindakannya, solusi permasalahan, atau konsekuensi perilaku mereka. 180 Bagan 1: Desain pengembangan Model Pembelajaran Berbicara melalui startegi pemrosesan informasi Sosial Analisis Kebutuhan Eksplorasi Kemampuan, minat berbicara bahasa Jawa siswa rendah -Probematika ket. berbicara -Ket berbicara dengan tingkat tutur bahasa Jawa -kekhawatiran masyarakat Struktur model Sistem Sosial Berpikir Induktif Role Playing (Pemrosesan Informasi) (Sosial) Peran/tugas Guru Sistem Pendukung Struktur pengajaran sistem sosial Sistem Pendukung peran/tugas guru Pemrosesan Informasi Sosial Informasi, pembentukan konsep Tersruktur dan kooperatif aktivitas kognitif dan eksplorasi materi dan praktik penan Capaian siswa dalam keterampilan berbicara dan pengiringnya (nurturan). 0 Daftar Pustaka Arends, R. 1997. Classroom Instructional Management. New York: The Mc Graw-Hill Company. Bachman, L. 1990. Fundamental consideration in language testing. Oxford: Oxford University Press Brown, Douglas H .2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices. New York: Pearson Eduation. .2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Eduation. Chaedar Alwasilah. 2007. Filsafat bahasa dan pendidikan. Bandung: Rosda. Halliday & Hasan R. 1985. Language, context, and text: aspect of language in a social-semiotic perspective. Victoria: Deakin University. Joyce,et.al. (2004) Models of Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc Maidar G Mukti. 1998. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Airlangga. Says, Eee Kyu. 2011. Tata bahasa fungsional (Functional Gramar) dalam https://equshay.wordpress.com/2011/01/29/apa-itu-tata-bahasa-fungsional-functionalgrammar/. Di Unduh pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2014. Slamet. 2008. Keterampilan Berbahasa. Surakarta: UNS Press. Sri Satria Wisnu Catur Sasangka. 2009. Unggah-ungguh basa jawa. Jakarta: Yayasan Paralingua Suparman, Tatang. 2008. Thema- Rhema dalam Bahasa Indonesia:Suatu Tinjauan Tata Bahasa Fungsional. Makalah diseminarkan di fakultas sastra universitas Padjadjaran Bandung: Bandung. Suparno. 1993. Dasar-dasar linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta: Adicita. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara Sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Thomas, L. and Wareing, S. 1999. ―Language, Society and Power” (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tomlinson, Brian. 1998. Material Development In Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Verhaar. 2008. Asas-asas linguistik umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG BAHASA DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL (Suatu Implementasi dalam Pembelajaran Bahasa) Sri Endang Kusmarayati PBI-FKIP-UMK Abstrak Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memerlukan bahasa untuk berkomunikasi yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat lainnya. Karena pentingnya fungsi dan kedudukan bahasa dalam masyarakat, perlu ditetapkan suatu kebijakan nasional tentang bahasa yang digunakan oleh setiap anggota masyarakat dalam suatu bangsa. Kebijakan nasional umumnya berisi tentang ketentuan-ketentuan yang digunakan sebagai dasar dalam menetapkan fungsi dan kedudukan bahasa. Proses pembelajaran bahasa yang berlangsung dalam masyarakat tidak dapat lepas dari kebijakan pendidikan nasional yang ada dalam masyarakat tersebut, sehingga perlu juga ditetapkan suatu kebijakan pendidikan yang mengatur tentang bagaimana meningkatkan dan memaksimalkan mutu pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Makalah ini membahas tema-tema tentang Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional, serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di Indonesia. A. Pendahuluan Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan manusia untuk berinteraksi satu sama lain dalam bersosialisasi di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memerlukan bahasa yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat lainnya, sebagai anggota suku atau suatu bangsa. Karena pentingnya fungsi dan kedudukan bahasa dalam masyarakat, perlu ditetapkan suatu kebijakan nasional tentang bahasa yang digunakan oleh setiap anggota masyarakat dalam suatu bangsa. Di Indonesia dikenal adanya Politik Bahasa nasional, yaitu kebijakan nasional yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang digunakan sebagai dasar dalam menetapkan fungsi dan kedudukan bahasa di Indonesia. Berkaitan dengan bahasa, manusia dalam kehidupannya juga terlibat dengan proses pembelajaran. Bagaimana proses pembelajaran bahasa yang berlangsung dalam masyarakat tidak dapat lepas dari kebijakan pendidikan nasional yang ada dalam masyarakat tersebut, sehingga perlu juga ditetapkan suatu kebijakan pendidikan yang mengatur tentang bagaimana meningkatkan dan memaksimalkan mutu pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi lulusan, pembiayaan pendidikan dan penilaian pendidikan. Pembelajaran bahasa dewasa ini belum mencapai tujuan yang diharapkan. Kemampuan komunikatif yang diharapkan belum tercapai dengan semestinya. Pembelajaran bahasa semestinya tidak sekedar mengajarkan tatabahasa dan kosakata, melainkan lebih memperhatikan bahasa sebagai alat komunikasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Halliday (1994) tentang fungsi bahasa, yaitu fungsi instrumetal, regulatori, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan fungsi imajinatif. Dalam makalah ini dibahas tema-tema mengenai Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional, serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di Indonesia. Dengan membahas tema-tema tersebut diharapkan pembelajaran bahasa di Indonesia lebih dapat memperhatikan kebijakan nasional tentang bahasa maupun kebijakan pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia sebagai landasan dalam menyusun kurikulum pengajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa Asing, serta pelaksanaannya di kelas. B. Kebijakan Nasional tentang Bahasa Manusia adalah mahluk sosial dan bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sosialnya. Wright (2004:2) mengemukakan penjelasan tentang bahasa sebagai berikut: ...language is the means by which we conduct our social lives and is foremost among the factors that allow us to construct humman communities. The importance of language for human beings as social animals is that it opens up the future to planning. It permits the past to become share experience from which learning can take place and it allows cooperation in joint ventures, with all the advantages of scale that implies. As such, language plays a major role in constitution of groups, and normative behavior and prespective behavior are essential to the process. Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat (Abidin, 2006:17) dan kebijakan merupakan bentuk intervensi sosial, kemudian setelah isi dasar kebijakan diputuskan, selanjutnya perumus kebijakan perlu memastikan apakah keputusan kebijakan bisa dilaksanakan serta dapat mengatasi masalah yang ingin diatasi. Kebijakan dirancang sebagai tawaran jawaban terhadap permasalahan yang terjadi untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk intervensi sosial dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati bahwa kebijakan bukan sekadar sebagai sistem tempat aspirasi yang ditentukan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan tetapi sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintahan. Kebijakan bahasa adalah pilihan, seperti yang dijelaskan oleh Spolsky (2009:1): Language policy is all about choices. If you are bilingual or plurilingual, you have to choose which language to use. Even if you speak only one language, you have choices of dialect and style. So the result of management, refecting conscious and explisit efforts by language managers to control the choicesme of these choices. Cooper (1989:30-31) menamai kebijakan bahasa dengan istilah ‗language planning‟ dan merangkum beberapa defini, diantaranya: menurut Das Gupta (1973): language planning refers to a set of delibarate activities systematically designed to organize and develop the language resources of the community in an ordered schedule of time. Menurut Prator cited by Markee (1986): Language policy-making involves decisions concerning the teaching and use of language, and their careful formulation by those empowered to do so, for the guidance of others. Kemudian Ferguson (2006: 12) mengungkapkan bahwa kebijakan bahasa merupakan cara yang efektif untuk menunjang dinamika sosial dan bertujuan untuk menjaga keberlangsungan komunikasi warga negara tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang menggangu stabilitas negara. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia dimulai sejak adanya Sumpah Pemuda yang mencetuskan aspirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan bahwa: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe, Tanah Air Indonesia Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, Bangsa Indonesia Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia Pernyataan yang ketiga itulah yang melandasi pemerintah Indonesia dalam menyusun Kebijakan Nasional tentang Bahasa. Dengan semboyan Bineka Tunggal Ika, masyarakat Indonesia yang tinggal di berbagai pulau di seluruh Indonesia memiliki banyak sekali bahasa daerah, oleh sebab itu diperlukan bahasa pemersatu, sehingga ditetapkanlan kebijakasan nasional tentang bahasa yang mengatur fungsi bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta antara bahasa Indonesia dan bahasa asing yang digunakan di Indonesia. Dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 Bab XV, pasal 36, telah ditetapkan bahwa Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Ketentuan ini menjelaskan bahwa bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa perhubungan, tetapi ditetapkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Selanjutnya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan sebagai: 1) Pelaksanaan administrasi pemerintahan, 2) Pendidikan dan Pengajaran baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swata, 3) Pengembangan nasioanal, 4) Pengembangan Kesusastraan nasional, 5) Peningkatan mutu media massa, dan 5) Penulisan buku-buku pelajaran dan buku-buku ilmu pengetahuan baik asli maupun terjemahan. Bahasa daerah tetap dipertahankan dan dilestarikan sebagai bahasa perhubungan setempat, dan bahasa daerah dapat juga diajarkan di sekolah untuk mendukung pendokumentasian, dan digunakan untuk pengembangan bahasa nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga perlu diperkaya dan disempurnakan dengan keberadaan bahasa asing yang digunakan di Indonesia untuk memperkaya intilah-istilah agar masyarakat Indonesia dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan juga teknologi. Hal ini tentu saja memerlukan penetapan kebijakan nasional tentang fungsi dan kedudukan bahasa daerah maupun bahasa asing dalam kepentingan nasional. Kebijakan nasional tentang bahasa tertuang pula dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan Undang-undang tentang Bahasa termuat pada bab III tentang Bahasa Negara dalam pasal 25 sampai pasal 45. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dinyatakan juga sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Di samping itu bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Lebih lanjut Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bahasa asing dapat juga digunakan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Undang-undang tersebut menjelaskan pula bahwa bahasa asing dan bahasa daerah masih memiliki kedudukan dan fungsi yang diharapkan tidak menggangu kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara Indonesia. Di antaranya dalam publikasi ilmiah dengan kajian khusus masih diperbolehkan menggunakan bahasa daerah mapun bahasa asing, demikian juga untuk nama-nama geografi di Indonesia, nama gedung, jalan, apartemen, perkantoran yang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat dan/atau keaga-maan, penggunaan rambu-rambu umum, fasilitas umum, spanduk, alat informasi untuk pelayanan umum, serta penyampaian informasi melalui media massa. C. Kebijakan Pendidikan Nasional Kondisi Pendidikan di Indonesia menunjukkan menunjukkan adanya kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup besar antar kelompok masyarakat, fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia secara merata, terutama di daerah pedesaan, sehingga sulit untuk memperoleh akses layanan pendidikan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah perlu membuat Kebijakan Pendidikan Nasional untuk mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman, kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Tirtaraharja (2005) bahwa pendidikan dimaksudkan membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Lebih lanjut Darmaningtyas (2012:4) menjelaskan tentang tugas pendidikan: Perdidikan bertugas untuk mengubah peradaban masyarakat melalui perwujudan suasana belajar, proses pembelajaran, dan proses pendidikan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar secara terus menerus agar beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, dapat mencapai pengusaan ilmu pengetahuan, teknologi, penanaman etika dan kepribadian yang tangguh, dan kaya ekspressi estetikanya dalam merespon perubahan dan perkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berdaulat. UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam definisi tersebut, terdapat tiga pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) usaha sadar dan terencana; 2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan 3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, sebagai salah satu Kebijakan Pendidikan Nasional mengatur tentang sistem Pendidikan Nasional di Indonesia juga berisi tentang standar komponen dan pengelolaan pendidikan formal yang berlaku secara nasional yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Stantar nasional pendidikan yang berlaku meliputi komponen-komponen: 1) Standar Kompetensi Lulusan, 2) Standar Isi, 3) Standar Proses, 4) Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Stantar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan Pendidikan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional tersebut dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, serta menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat. D. Implikasi Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional dalam Pembelajaran Bahasa di Inodesia Kebijakan pendidikan nasional merupakan kebijakan publik dalam pendidikan yang menyangkut kepentingan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Dengan demikian Kebijakan Pendidikan Nasional perlu menjadi pijakan dalam menetapkan segala hal yang berhubungan dengan pembelajaran. Demikian juga ketika kita mererapkan pengajaran di bidang bahasa, Kebijaksan Nasional tentang bahasapun perlu dijadikan pijakan, khususnya dalam mencapai tujuan pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Kebijakan Nasional tentang Bahasa menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bahasa asing dapat juga digunakan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Bahasa daerah tetap dipertahankan dan dilestarikan sebagai bahasa perhubungan setempat, dan bahasa daerah dapat juga diajarkan di sekolah untuk mendukung pendokumentasian, dan digunakan untuk pengembangan bahasa nasional. Selain itu Kebijakan Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berpijak pada kedua kebijakan tersebut, dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia pengajar atau guru diwajibkan untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan diterapkan secara baik dan benar, karena telah ditetapkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Namun demikian bahasa asing dapat juga digunakan untuk kepentingan mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik dan memfasilitasi mereka yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Demikian pula ketika melaksanakan pembelajaran bahasa di kelas, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, penggunaan bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia yang baku tetap wajib digunakan. Belajar bagi pelajar merupakan proses untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Kemampuan pelajar untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar juga merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan bagi si pembelajar, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Dengan perubahan tersebut, diharapkan dapat membantu mereka dalam memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam hal ini belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk kepentingan masyarakat bangsa dan negara. Tugas utama seorang pengajar atau guru adalah memudahkan pembelajaran bagi para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan saja harus dapat menyediakan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, tetapi juga dapat menciptakan pengajaran yang berhasil dan berkesan. Di samping itu, seorang pengajar atau guru harus mampu mewujudkan suasana pembelajaran yang dapat merangsang minat pembelajar untuk belajar serta senantiasa memikirkan keadaan dan keperluan mereka. Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Aminuddin (1994:37) menjelaskan tentang prinsip-prinsip belajar bahasa bahwa pembelajar akan belajar bahasa dengan baik bila a) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, b) diberi kesempatan berpartisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, c) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, d) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, e) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, f) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan g) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri. Dalam proses belajar-mengajar, guru sering berhadapan dengan pelajar-pelajar yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini memerlukan kemampuan guru dalam menentukan strategi pengajaran dan pembelajaran. Hal ini berarti, guru harus dapat menentukan pendekatan, memilih metode, serta menetapkan teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan perkembangan dan kemampuan pelajar. Strategi yang dipilih itu, selain berpotensi dapat merangsang pelajar secara aktif, juga harus mampu menarik perhatian pelajar serta dapat menghasilkan pembelajaran yang bermakna. Dalam merancang bahan ajar yang berkesan dan bermakna untuk para pelajar, guru haruslah memikirkan terlebih dahulu metode dan teknik yang akan digunakan. Pemilihan strategi secara tepat akan mampu menjamin kelancaran serta keberhasilan penyampaian materi atau bahan ajar. Penggunaan metode dan teknik mengajar yang bervariasi membuat pengajaran itu lebih menarik dan memberikan ruang bagi pembelajar terlibat secara aktif sepanjang proses belajar-mengajar tanpa merasa jenuh. Dalam pembelajaran, terdapat beberapa metode dan teknik yang dapat digunakan oleh guru. Selanjutnya, dari segi penggunaan teknik mengajar, guru dapat menggunakan teknik menerangkan, teknik mengkaji, teknik menyelesaikan masalah, teknik bercerita, dan teknik berdiskusi. Penggunaan contoh-contoh yang bermakna akan membantu pembelajar dalam memahami materi pengajaran. Ide yang abstrak dan konsep-konsep yang baru dan susah, lebih mudah dipahami apabila guru menggunakan contoh dengan ilutrasi yang mudah dan konkret. Misalnya, dalam bentuk lisan, yakni dengan mengemukakan analogi, bercerita, mengemukakan metafora, dan sebagainya. Contoh bisa juga ditunjukkan dalam bentuk visual. Selain itu konteks alam, sosial-budaya, politik Indonesia dapat dijadikan sebagai tema dalam pembelajaran bahasa, baik dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun dalam pembelajaran bahasa asing sebagai asupan bahan dan/atau konteks situasi. Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, kita perlu pula memperhatikan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 yang berisi tentang standar komponen dan pengelolaan pendidikan formal yang berlaku secara nasional yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa stantar nasional pendidikan yang berlaku meliputi komponenkomponen: 1) Standar Kompetensi Lulusan, 2) Standar Isi, 3) Standar Proses, 4) Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Stantar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan Pendidikan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan. Jika setiap unsur pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing berpijak pada kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, diharapkan tujuan pendidikan nasional dapat tercapai, yaitu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, serta menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. E. Kesimpulan Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan nasional tentang bahasa diawali dari peristiwa sumpah pemuda, dan selanjutnya diatur dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 Bab XV, pasal 36, yang metetapkan bahwa Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Selanjutnya diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kebijakan Nasional Pendidikan terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yang mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Undang-uandang tersebut mengatur tentang sistem Pendidikan Nasional di Indonesia yang berisi tentang standar komponen dan pengelolaan pendidikan formal yang berlaku secara nasional yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Seandainya setiap unsur pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing berpijak pada kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, diharapkan tujuan pendidikan nasional dapat tercapai, yaitu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, serta menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Daftar Pustaka Abidin, said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas. Aminuddin. 1994. Pembelajaran Terpadu sebagai Bentuk Penerapan Kurikulum 1994. Malang : FPBS Malang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Pebudayaan. Cooper, Robert, L. 1989. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University Press. Darmaningtyas dan Edi Subkhan. 2012. Manipulasi Kebijakan Pendidikan .Jakarta: Resist Book. Ferguson, G. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: Edinburgh University Press. http://www.unpad,ac.id/UU20-2003-Sisdiknas. pdf. Spolsky, Bernard. 2009. Language Management. New York: Cambridge University Press. Tirtaraharja, Umar dan S.L.La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Wright, Sue. (2004). Language Policy and Language Planning: from Nationalism to Globalisation. New York: Palgrave Mac