prosiding seminar 12 mei 2015 ” pembelajaran bahasa daerah

advertisement
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
“PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH ABAD 21”
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
Editor :
Aris Aryanto
Rochimansyah
Herlina Setyowati
Penyunting :
Aris Aryanto
Rochimansyah
Herlina Setyowati
ISBN: 978-602-8580-71-7
Diterbitkan Oleh :
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Alamat : jalan K.H.A. Dahlan No 3 dan 6 Telp/Fax (0275) 321494 Purworejo 54111
Website: Digilib.umpwr.ac.id
ii
KATA PENGANTAR
Wilayah budaya nusantara yang sarat dengan citra budaya timur yang halus, beranekaragam,
tinggi, dan adi luhung akhir-akhir ini kembali dipertanyakan. Deret panjang rekaman berbagai
konflik sosial, krisis ekonomi, dan dekadensi moral yang teramalkan berujung pada kekacauan,
kehancuran, pemusnahan, dan pengasingan manusia oleh dirinya sendiri berdampak pada
keraguan dan bahkan rasa tidak percaya lagi pada kekuatan budayanya sendiri. Hal ini
disebabkan tidak adanya ―pengawalan budaya‖ yang bersifat akulturasi selektif terhadap budaya
asing yang masuk. Bisa dibayangkan, tanpa adanya dukungan dari masyarakat budaya menjadi
lemah tanpa sandaran. Terkuburnya sebuah kebudayaan sama artinya dengan runtuhnya
peradaban dan nilai. Sang Maestro seniman Jawa, Nartosabdo melalui syair ‗Aja Dipleroki‖ telah
memberikan wejangan bahwa ―…Jangan kau tinggalkan kepribadian asli budaya dan tradisimu
(yang baik & relevan), jangan sampai kita lalai dengan ombak zaman – inilah budaya kita…‖.
Seminar Nasional dengan tema ― Pembelajaran Bahasa Daerah Abad 21‖ adalah event yang
menjadi petanda semakin kuatnya kesadaran bersama akan pentingnya budaya nusantara
terutama dalam hal ini adalah bahasa daerah sebagai fokus pembahasan. Selain itu, memberikan
ruang diskusi kepada guru, dosen, mahasiswa, pemerhati pendidikan, pemerhati budaya, dan
masyarakat umum yang konsen terhadap perkembangan bahasa daerah dan dapat menggali
kearifan lokal unggulan sebagai sumber dan pilar pemerkokoh jati diri bangsa Indonesia.
Disadari bersama bahwa masa lalu adalah sebuah dimensi. Oleh karena itu, terbuka
kemungkinan untuk memperbaiki masa depan yang lebih baik. Kembali kepada akar budaya
bangsa tanpa menafikan tema-tema, pemikiran, selera, identitas, karya, dan cita rasa modern.
Seminar nasional ini menampilkan tiga pembicara utama, yaitu : Prof. Dr. Sudiro Satoto,
M.Hum ( Guru Besar Emiritus pada Program Pascasarjana UNS Surakarta dan Dosen Tetap pada
Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten), Prof. Dr. H. Suwarna, M.Pd. (Guru
Besar Prodi Pendidikan bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni UNY Yogyakarta), Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, yaitu Drs. Sutopo, M.Pd.
Seminar Nasional ini diharapkan mampu menjadi awal yang baik dan memberi dasar yang
kuat akan lahirnya pemikiran-pemikiran kritis terkait dengan bentuk, arah, dan pembelajaran
bahasa daerah masa depan. Tentu saja tidak semua masalah mampu dihadirkan, apalagi
diselesaikan pada tahap mula ini. Oleh karena itu, event ini bersifat berkelanjutan dengan tetap
iii
menjunjung tinggi cita-cita, semangat, dan tujuan kegiatan. Berdasar pemikiran ―kebesaran suatu
bangsa ditentukan oleh nilai-nilai budayanya‖.
Purworejo, 12 Mei 2015
Panitia Pelaksana
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Pembelajaran ―Budi pekerti‖ dalam Kerangka Pendidikan Karakter berbasis Kearifan Lokal
Soediro satoto ̴ 1
Nilai-Nilai Moral yang Terkandung dalam Cerita Ramayana
Joko Sukoyo ̴ 18
Penilaian Autentik Kompetensi Berbahasa Aktif Produktif (Berbicara dan Menulis)
Astiana Ajeng Rahadini ̴ 24
Penggunaan Aplikasi Android ―Aplikasi Wayang Kulit V2‖ sebagai Sarana Pembelajaran
Wayang Kulit dalam Kurikulum 2013
Krisna Pebryawan, S.S., M.Pd. ̴ 37
Tema dan Pragmatika Budi Pekerti Jawa dalam Novel-Novel Jawa Modern Periode 1950-2000an
Djoko Sulaksono ̴ 49
Perbedaan Tataran Leksikal dan Peta Dialektometri Bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang
Kabupaten Wonosobo
Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum ̴ 61
Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Masyarakat Jawa yang Berbentuk Mitos
Favorita Kurwidaria, S.S.,M.Hum ̴ 71
Makna Simbolik Tari bedhaya ketawang Keraton Kasunanan Surakarta Sebagai Nilai Pendidikan
Karakter Bagi Masyarakat Jawa
Sawitri, S.Sn., M.Hum. ̴ 81
Flash Cards Berbahasa Jawa sebagai Strategi Pengayaan Kosakata Pada Anak
Kenfitria Diah Wijayanti ̴ 94
Syi‘ir Tanpa Waton : Potret Pemertahanan bahasa Jawa sebagai Refleksi Pendidikan Moral
Harsono S.S., M.Hum. ̴ 103
Filsafat Analitik dan Konstruktivistik dalam Pembelajaran Bahasa Jawa
Rahmat, S.S., M.A. ̴ 116
Quantum Learning dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama dan
Krama Inggil
Tri Widiatmi ̴ 128
Keindahan Bahasa Berupa Tembung Garba pada Serat Wedhatama Karya KGPAA
Mangkunagara IV
Herlina Setyowati, M.Pd. ̴ 141
v
Pengajaran Puisi Jawa di Sekolah dalam Meredam Kenakalan Remaja
Nurnaningsih, S.S., M.Hum. ̴ 156
Pengembangan Model pembelajaran Berbicara Bahasa Jawa melalui Strategi Pemrosesan
Informasi Sosial
Yuli Widiyono, M, Pd. ̴ 164
Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional (Suatu Implementasi
dalam Pembelajaran Bahasa)
Sri Endang Kusmarayati ̴ 183
vi
PEMBELAJARAN “BUDI PEKERTI”
DALAM KERANGKA PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Soediro Satoto
Universitas Sebelas Maret Surakarta
I. Pendahuluan
I.1 Keluarga adalah Sekolah Pertama dan Utama dalam Pendidikan
Di satu sisi, hakikat setiap manusia, di samping sebagai makhluk individu juga
sebagai makhluk sosial (homo socious), berperan saling menularkan ilmu pengetahuan,
antara yang satu dengan lainnya. Di sisi lain, manusia juga sebagai pemimpin atau pendidik
(homo ducere). Maka pada dasarnya, minat untuk belajar bagi setiap manusia, proses
pendidikan, sudah tertanam sejak manusia lahir di dunia. Sepasang suami istri (bagi
manusia), dan bahkan sepasang jantan dan betina (bagi binatang) secara naluriah akan
mendidik kepribadian anak-anak mereka sesuai dengan apa yang dianggapnya baik
(termasuk penggunaan Bahasa dan Budaya Ibu/Daerah/Lokal) maka harus diteladani dan
dilakukan; atau sebaliknya, apa yang dianggapnya tidak baik (termasuk penggunaan
Bahasa dan Budaya Ibu/Daerah/Lokal), maka harus dihindari dan dilarang untuk
melakukannya. Itulah sebabnya, sejak dulu hingga sekarang, yang paling besar peranannya
dalam pendidikan adalah pendidikan orang tua di dalam keluarga inti, khususnya Ayah dan
Ibu. Tri Pusat Pendidikan, pertama, pendidikan di dalam keluarga, kedua, di sekolah, dan
ketiga, di lingkungan masyarakat. Berbagai penyimpangan moral dan karakter manusia,
khususnya generasi muda, yang terjadi di dalam masyarakat, sebagian besar, atau bahkan
seluruhnya, diakibatkan oleh putusnya rantai komunikasi dalam sistem kekeluargaan ini.
Akibatnya, tiadanya contoh keteladanan, baik dari Ayah maupun Ibu, baik sebagai teladan
(khusnya dalam menggunakan Bahasa Ibu dan budaya daerah/lokal) atau pun sebagai
pemimpin. Keluarga adalah tempat sekolah pertama dan utama untuk membentuk manusia
bermoral dan berkarakter. Waktu yang digunakan untuk proses pendidikan, di dalam
keluarga sebanyak 70 %, sedangkan proses pendidikan di sekolah 30 %. Ironinya, proses
1
pendidikan di dalam keluarga sebanyak 70 % tersebut kurang dimanfaatkan secara baik,
apa lagi optimal. Keluarga, umumnya, lebih menyerahkan dan mempercayakan pendidikan
anak-anaknya kepada lembaga sekolah. Ini tentu merupakan pandangan yang keliru. Maka,
jika sistem dan pengelolaan pendidikan di sekolah mengalami hambatan atau mutu
luarannya kurang atau bahkan tidak sesuai dengan harapan, lalu siapa yang harus
dipersalahkan, atau siapa pula yang paling bertanggung jawab? Kenyataan demikian,
faktor-faktor penyebabnya antara lain, di satu sisi pihak keluarga kurang berpengalaman
dalam sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan serta proses pembelajaran,
maka kurang atau tidak percaya diri. Di sisi lain, pemerintah lebih nyaman merekrut
keluaran hasil pendidikan formal dari sekolah daripada keluaran hasil pendidikan
nonformal atau informal dari keluarga.
I.2 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Nasional
Pendidikan Nasional kita telah menempatkan ‗Pendidikan Karakter‘ dalam
keseluruhan kebijakan pendidikan nasional. Itu bisa dilihat, dibaca, dan coba dipahami
maknanya, baik apa yang tersurat maupun tersirat dalam Sejarah Kurikulum Nasional di
Indonesia. Sayangnya, pembentukan karakter anak-anak bangsa ini seringkali dipahami
secara sempit, parsial, dan malahan direduksi begitu saja dengan menciptakan mata
pelajaran baru atau khusus, misalnya mata pelajaran ―Pendidikan Budi Pekerti‖ (tahun
1960-an). Pada masa Orde Baru, ‗Pendidikan Karakter‘ diwujudkan secara eksplisit ke
dalam Program Pendidikan Sistematis dalam Kegiatan Resmi penataran ―Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila‖ (P4). Di Era Orde Baru pula, lahir mata pelajaran
―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP) – PMP mencoba mendiseminasikan (disseminate,
dissemination = penjabaran, penebaran, penaburan) atau menanamkan ke dalam diri anak
didik sebagai warga negara dan bangsa yang baik. Pancasila dan UUD 45 menjadi dasar
berdirinya NKRI. Maka wajarlah jika setiap warga negara dan bangsa di NKRI wajib
memahami dasar-dasar penting buat kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara lewat
―Pendidikan Kewarganegaraan‖ melalui mata pelajaran ―PMP‖. Ketika Era Orde Baru
berakhir, mata pelajaran ―PMP‖ diganti dengan mengubah nama (meskipun isinya hampir
sama) menjadi mata pelajaran ―Pendidikan Kewarganegaraan‖. ―Pendidikan Moral
2
Pancasila‖ (PMP), dalam ‗proses pengajarannya‘(bukan ‗pembelajarannya‘) dipandang
terlalu ekstrim sehingga terkesan menjadi ‗indoktrinasi‘, juga terkesan ‗sangat moralis‘.
Dalam proses perkembangan dan pengembangannya, setelah ‗pendidikan
karakter‘ diwujudkan ke dalam satu jenis mata pelajaran seperti, ―Pendidikan Budi
Pekerti‖, ―Pendidikan Kewarganegaraan‖ dan atau ―Pendidikan Moral Pancasila‖
(PMP),“Civic”, ―Agama‖, ―Etika‖ atau ―Sopan-Santun‖, maka, kemudian, lahirlah
pendidikan karakter yang terdiri dari pengelompokan mata pelajaran–mata pelajaran
tertentu, misalnya: ―(Perbandingan) Agama‖; ―Kewarganegaraan (Berbangsa dan
Bernegara)‖; ―Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa‖ (PSPB); ―Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan‖ (Penjaskes), ―Pendidikan Seni dan Budaya‖; serta ―Bahasa‖ dan ―Sastra‖.
Namun, apa pun pemahamannya, ‗pendidikan karakter‘ tetap menjadi bagian tak
terpisahkan dalam sejarah Kurikulum Pendidikan Nasional kita.
Selanjutnya, kemudian, Sekolah tidak perlu lagi:
(1) menentukan mata pelajaran khusus tentang ‗pendidikan karakter‘, seperti ―Pendidikan
Budi Pekerti‖ dan ―Pendidikan Moral Pancasila‖ (PMP);
(2) membuat mata pelajaran baru dari hasil pengelompokan mata pelajaran-mata
pelajaran yang mengandung nilai-nilai karakter, seperti ―Penjaskes‖ dan ―PSPB‖.
Karena tema tentang ‗pendidikan karakter‘, sesungguhnya, telah terdapat, baik
tersurat maupun tersirat, di dalam materi setiap mata pelajaran. Materi pendidikan karakter
perlu dimasukkan ke dalam semua (setidaknya di berbagai) materi pembelajaran yang ada
di sekolah dasar, menengah dan atas, atau sebagai mata kuliah di perguruan tinggi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara terintegrasi. Pendidikan karakter sebagai proses
pembentukan karakter bangsa yang sejati diharapkan dapat menghasilkan peserta didik
yang memiliki moralitas tinggi, cerdas, dinamis, dan mampu menghadapi berbagai
tantangan yang ada. Maka setiap guru haruslah mampu memahami dan menjabarkannya,
kemudian mengimplementasikan ke dalam praktik ‗proses pembelajaran‘ (proses belajarmengajar) yang berbasis pada ‗pendidikan karakter‘. Dalam proses pengembangan dan
perkembangannya, ‗pendidikan karakter‘ di Indonesia, belum berhasil mencapai tujuan
seperti apa yang diharapkan. Yang terjadi justru terkesan adanya krisis pendidikan dan
krisis moral. Itu terjadi bermula justru pada Era Reformasi. Itulah pula, agaknya, mengapa
3
―Hari Pendidikan Nasional‖ tanggal 02 Mei 2015, tahun ini, kembali mengambil tema
―Pembentukan Generasi yang Berkarakter‖ – ―Pendidikan Karakter buat Generasi Penerus‖
– tema yang sudah berulang kali digaungkan oleh Kemendikbud RI, setidaknya, sejak
peringatan ―Hardiknas‖ tahun 2011 – terkesan, telah terjadi „generating lost‟ (‗generasi
yang hilang‘).
1.3 Pendidikan Karakter Berbasis Seni dan Budaya (Kearifan Lokal)
Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai budaya secara nyata
kepada peserta didik yang meliputi: komponen pengetahuan (cognitive), kesadaran, kemauan
(affective), dan tindakan untuk melaksanakan (psychomotoric) nilai-nilai tersebut secara
sadar tanpa paksaan dari orang lain, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri
sendiri, teman sejawat, lingkungan sekitar, maupun anggota masyarakat agar menjadi
manusia mandiri, yakni manusia yang mampu bersaing di pasar global (di era globalisasi dan
modernisasi).
‗Pendidikan karakter berbasis seni dan budaya‘ (budaya lokal, kearifan lokal, local
genius) dimaksudkan agar peserta didik mampu menggali nilai-nilai seni dan budaya
(terutama budaya lokal) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakatnya secara
utuh (unifiedhole), tidak terkoyak-koyak. Tujuannya, para peserta didik memiliki
pemahaman tentang:
(1) keberadaan seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat secara utuh;
(2) bagaimana memahami seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat secara nyata; dan
(3) bagaimana menghormati nilai-nilai seni dan budaya yang tumbuh di masyarakat. Ketiga
hal tersebut perlu dipahami oleh para peserta didik sejak dini agar tumbuh rasa
kebangsaan yang dijiwai oleh keragaman seni dan budaya.
Memahami karakter, seni, dan budaya dari masing-masing etnis (lokal) menjadi
penting arti dan maknanya, serta perlu dilakukan oleh setiap peserta didik, baik pada tingkat
pendidikan dasar, menengah, atas, dan perguruan tinggi. Tujuannya, agar setiap diri peserta
didik tumbuh sikap dan rasa saling menghormati, saling menghargai, saling mencintai, dan
saling bisa menerima perbedaan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat.
Kesemuanya akan bisa terlaksana dengan baik manakala sejak dini peserta didik sudah
4
diperkenalkan pada: keaneragaman seni, budaya (termasuk bahasa), dan karakter yang dianut
oleh masyarakat, dan sistem sosial yang ada di lingkungan masyarakat.
Perbedaan penafsiran dan pandangan yang dimiliki oleh masyarakat dari berbagai
komunitas yang berbeda, dapat dipersatukan oleh kegiatan seni dan budaya. Artinya, dalam
konteks seni dan budaya masyarakat tidak dipisahkan oleh ruang dan waktu. Bahkan, melalui
jalur seni dan budaya, manusia akan saling berinteraksi simbolisme dan berkomunikasi dua
arah, atau bahkan multi arah, mengenai: identitas, karakter, pencitraan, tradisi, sistem
keyakinan, kepercayaan, dan keagamaan, dan jangan lupa Sistem Bahasa, maupun sistem
sosialnya – Masyarakat Indonesia yang majemuk, multi etnik, multi bahasa, multi
religiusitas, dan multi kultural (budaya) hanya bisa disatukan oleh masyarakat Indonesia itu
sendiri melalui pemahaman, penghayatan, dan pengenalan bentuk-bentuk seni dan budaya
yang dimiliki oleh setiap etnik yang bersangkutan.
Proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan oleh setiap anggota masyarakat,
merupakan titik temu dari berbagai perbedaan yang dimilikinya; sehingga tumbuh kemauan
untuk saling memahami, saling menghargai, saling menghormati, dan saling menerima
perbedaan; yang pada gilirannya, adanya upaya untuk saling menjaga dan melestarikan nilainilai seni dan budaya, yang diwujudkan ke dalam bentuk penanaman nilai-nilai seni dan
budaya di tengah kehidupan masyarakat yang heterogen. Kehidupan masyarakat heterogen
memiliki potensi konflik sangat besar. Anggota masyarakat heterogen perlu diberikan
pemahaman lebih dini bahwa ‗perbedaan‘ dan karenanya, keanekaragaman seni dan budaya,
yang dimiliki itu adalah sebuah keniscayaan. Tetapi, justru merupakan modal untuk
membangun masyarakat madani dengan menjunjung tinggi nilai-nilai seni dan budaya
bangsa.
Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter yang berbasis seni
dan budaya (termasuk budaya lokal) yang dimaksud di atas adalah:
1) penanaman nilai kejujuran pada peserta didik sejak dini,
2) penanaman rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diemban oleh setiap peserta
didik,
3) penanaman nilai solidaritas kepada sesama sebagai makhluk sosial kepada peserta didik,
4) pengenalan nilai-nilai seni dan budaya masyarakat lainnya sejak dini kepada peserta
didik, dan
5
5) penanaman rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Pengenalan pendidikan karakter berbasis seni dan budaya yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat dapat dilakukan, misalnya, melalui:
(1) pementasan berbagai jenis tari-tarian daerah,
(2) pementasan dan atau menyanyikan berbagai musik atau lagu-lagu daerah,
(3) pementasan teater-teater daerah,
(4) menonton serial-serial sinetron yang bersumber dari sastra-sastra lisan atau ceriteraceritera daerah,
(5) mengenal berbagai jenis pakaian daerah. Tujuannya, agar para peserta didik
mengetahui dan memahami secara utuh tentang keanekaragaman seni dan budaya yang
ada, bisa dan mau menerima serta menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di
lingkungan masyarakatnya.
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, hendaknya melibatkan semua komponen
(pelibat) penyelenggara pendidikan yang ada, seperti: kepala sekolah, tenaga pendidik
(edukatif),
peserta
(subjek)
didik,
tenaga
(pegawai/petugas)
administrasi,
tenaga
(pegawai/pertugas) teknik, masyarakat, dan pemerintah agar pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan karakter dan seni budaya masyarakat di sekitar sekolah yang
bersangkutan.
Selain komponen-komponen yang merupakan unsur-unsur organik di atas, yang juga
perlu diperhatikan adalah faktor-faktor penunjang penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan karakter seperti: prasarana dan sarana pembelajaran, kurikulum, silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), proses (pelaksanaan) pembelajaran, evaluasi hasil
pembelajaran, kualitas hubungan pendidik dengan peserta didik, pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan kegiatan ko-kurikuler, pendanaan (pembiayaan), dan etos
kerja bagi seluruh warga sekolah.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan satu kesatuan sistem yang utuh,
tidak boleh dipisahkan antara komponen yang satu dengan lainnya. Tujuannya, jika terjadi
kekurangan atau hambatan dalam proses pelaksanaannya, masing-masing komponen bisa
saling menunjang dan saling melengkapi. Penyelenggaraan pendidikan karakter berbasis seni
6
dan budaya akan bisa terwujud manakala komponen-komponen pembelajaran memiliki
implementasi langsung dengan kebutuhan peserta didik.
Pemerintah RI, melalui instansi-instansi terkait, telah melakukan berbagai upaya
untuk: pemenuhan prasarana dan sarana pembelajaran, penyempurnaan kurikulum, dan
perbaikan sistem penilaian secara menyeluruh terhadap pelaksanaan sistem pendidikan
nasional. Upaya-upaya yang dimaksud tersebut di atas, misalnya, munculnya: UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen; dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Upaya penyempurnaan UU dan Peraturan-peraturan di bidang pendidikan
dimaksudkan agar mutu dan lulusan dari lembaga pendidikan dapat dijamin oleh pemerintah
melalui standar yang telah ditetapkan. Standar Nasional Pendidikan dijadikan acuan dalam
pengembangan penyelenggaraan pendidikan pada setiap satuan dan jenjang pendidikan.
Maka seluruh penyelenggara dan pengelola pendidikan hendaknya berpedoman pada 8
standar pendidikan, yaitu:
(1) standar isi,
(2) standar proses,
(3) standar kompetensi lulusan,
(4) standar pendidik dan tenaga kependidikan,
(5) standar sarana dan prasarana,
(6) standar pengelolaan,
(7) standar pembiayaan, dan
(8) standar penilaian.
Penetapan standar pendidikan nasional sebagaimana diatur pada Bab II, Pasal 4, PP
19 Tahun 2005, adalah untuk menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk
jenjang Pendidikan Tinggi, standar pendidikan, bahkan, dapat dikembangkan lebih dari 8
standar, sesuai dengan visi dan misi pendidikan tinggi yang bersangkutan, serta sesuai
dengan bidang keilmuan yang dikembangkannya. Tujuannya, agar peserta didik memiliki
rasa nasionalisme yang berbasis lokalisme, serta memiliki ikatan emosional yang tinggi
dengan kearifan lokalnya, untuk memperkaya nilai budaya sesuai dengan kepribadian dan
7
budaya bangsa, sebagai konsekuensi terjadinya proses globalisasi, glokalisasi, dan glonalisasi
– proses global-lokal; lokal-global.
Sejalan dengan upaya pemerintah tentang pendidikan karakter, versi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, yang sebagian, telah dikemukakan di atas, Kementerian Agama
telah mengembangkan „grand design‟ tentang pendidikan karakter pada setiap jalur, dan
jenjang pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat agar
memiliki visi dan misi yang sama, yaitu ‗mencerdaskan bangsa‘.„Grand design‟ tersebut
diharapkan bisa jadi rujukan atau model dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di
setiap satuan dan jenjang pendidikan. Model tersebut, diharapkan dapat diukur secara nyata
sesuai dengan karakter dan perilaku budaya yang dimiliki setiap peserta didik sesuai dengan
kondisi lingkungan masyarakatnya (kearifan lokal).
Pengembangan model „grand design‟ pendidikan karakter hendaknya memperhatikan
beban psikologis (individu) dan sosio-kultural peserta didik berdasarkan karakter yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang dapat dikembangkan melalui:
(1) Olah Hati,
(2) Olah Pikir,
(3) Olah Raga, dan
(4) Olah Rasa.
Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan secara nyata
dan dapat diimplementasikan pada setiap aktifitas peserta didik. Salah satu kuncinya ialah,
pengembangan butir-butir pendidikan karakter hendaknya disesuaikan dengan karakter
masyarakat lokal. Itulah sebabnya mengapa baik pendidik maupun anak didik harus tahu dan
memahami potensi yang dimiliki oleh daerahnya secara utuh.
II. Delapan Kekuatan Karakter dan Empat Strategi Kunci bagi Pengembangan
Karakter
II.1 Pendidikan Karakter yang Diperluas
Pendidikan karakter yang diperluas untuk meningkatkan hasil kerja terbaik dan
perilaku etis terbaik membutuhkan konsepsi karakter yang lebih luas. Berdasarkan penelitian
terhadap SMA (sebagai lembaga penyelenggara dan pengelola pendidikan tingkat atas di
sekolah), konsepsi pokok pertama ―Model Sekolah Pintar dan Baik‖ adalah konsepsinya
8
tentang karakter manusia yang memiliki dua bagian utama: yaitu ‗karakter performa‘
(„performance character‟) dan ‗karakter moral‘ („moral character‟) yang saling berhubungan
antara yang satu dengan lainnya. ‗Karakter performa‘ digambarkan sebagai ‗orientasi
penguasaan‘. Ini terdiri dari sifat-sifat (mencakup tetapi tidak terbatas pada): ketekunan,
keuletan, etika kerja yang kuat, sikap positif, kecerdikan, dan disiplin diri, setiap lingkup
kegiatan seperti: kegiatan akademik, kegiatan ekstra kurikuler, tempat kerja, dan sepanjang
hidup. Sedangkan ‗karakter moral‘ adalah ‗orientasi hubungan‘. Ini terdiri dari sifat-sifat
(mencakup tetapi tidak terbatas pada): integritas, keadilan, kepedulian, menghormati, dan
kerjasama yang diperlukan bagi hubungan interpersonal yang berhasil dan perilaku etis.
Dukungan akan pentingnya ‗karakter performa‘ dan ‗karakter moral‘ berasal dari empat
sumber, yaitu:
(1) penelitian tentang kehidupan karakter;
(2) penelitian tentang pengembangan bakat;
(3) penelitian tentang akademik ‖menyeimbangkan pendidikan tentang prestasi akademik;
dan
(4) suara guru dan siswa.
Pendek kata, baik ‗karakter performa‘ maupun ‗karakter moral‘ diperlukan untuk dan
dikembangkan dari setiap bidang tugas akademik. Karakter tidak lagi ‗sisi lain buku raport‘
(yaitu: ‗aspek etis‘ atau ‗sisi emosi-sosial‘). Karakter adalah ‗buku raport yang utuh‘ dalam
arti karakter adalah fondasi untuk, dan hasil penting dari, pendidikan karakter – tidak diganti
atau dilemahkan. Sebaliknya, dalam paradigma baru, karakter dikemas dari setiap komponen
kurikulum, baik formal maupun informal. Sekolah tidak perlu lagi berbicara tentang
―menyeimbangkan pendidikan akademik (knowledge oriented) dan pendidikan karakter
(affective oriented) seolah-olah ada ketegangan antarkeduanya. Dalam paradigma ―Sekolah
Cerdas dan Baik‖, pengajaran akademik dan pengembangan karakter, secara metaforis,
adalah bagaikan dua sisi mata uang, jika lancung (palsu) salah satu sisinya, maka lancunglah
sisi yang lain, dan bahkan lancunglah secara keseluruhan. Sebaliknya, jika dilakukan secara
sinergi dan efektif, maka keduanya akan terjadi secara simultan dengan cara saling
mendukung dan menunjang.
9
II.2 Delapan Kekuatan Karakter
Berikut ini adalah tabel atau daftar Delapan Kekuatan Karakter (diambil dari sumber
yang sama: Handbook Pendidikan Moral dan Karakter, Larry P. Nucci, 2014:551—552).
1. Pelajar seumur hidup dan pemikir yang kritis

Berusaha memperoleh pengetahuan yang mencirikan orang berpendidikan

Mendekati pembelajaran sebagai proses seumur hidup

Menunjukkan keterampilan analisis kritis

Mengambil secara serius perspektif orang lain

Mencari pendapat ahli dan bukti-bukti yang handal

Membangun hubungan dan mengintegrasikan pengetahuan

Menghasilkan solusi alternatif

Menunjukkan kesediaan untuk mengakui kesalahan dan mengubah pemikiran.
2. Pelaku yang rajin dan mampu

Berusaha mencapai keunggulan; memberikan upaya terbaik

Menunjukkan inisiatif dan disiplin diri

Mengetahui standar kualitas dan menciptakan produk berkualitas tinggi; bangga
dalam pekerjaan

Menetapkan tujuan pribadi dan menghargai kemajuan

Tabah dalam menghadapi kesulitan.
3. Pribadi dengan keahlian sosial dan emosi

Memiliki kepercayaan diri yang sehat dan sikap positif

Menunjukkan kesopanan dalam situasi sosial

Mengembangkan hubungan interpersonal yang positif yang mencakup kepekaan
terhadap perasaan orang lain dan kemampuan ―memberi kepedulian‖

Berkomunikasi secara efektif

Bekerja dengan baik dengan orang lain

Menyelesaikan konflik secara adil
10

Menunjukkan kecerdasan emosi, termasuk pengetahuan diri dan kemampuan untuk
mengelola emosi.
4. Pemikir yang beretika

Memiliki ketajaman moral, termasuk penilaian yang baik, penalaran moral,
kebijaksanaan etis

Memiliki kesadaran nurani yang terbangun dengan baik, termasuk rasa kewajiban
untuk melakukan hal yang benar

Memiliki identitas moral yang kuat yang didefinisikan oleh komitmen moral
seseorang

Memiliki kompetensi moral, atau pengetahuan moral, yang diperlukan untuk
menerjemahkan ketajaman, nurani, dan identitas menjadi perilaku yang efektif.
5. Agen moral yang menghormati dan bertanggung jawab dengan komitmen pada tindakan
moral yang konsisten

Menghormati hak-hak dan martabat semua orang

Memahami bahwa menghormati, termasuk hak nurani, untuk tidak setuju dengan cara
menghormati keyakinan atau perilaku orang lain

Memiliki rasa kemampuan diri yang kuat dan tanggung jawab pribadi untuk
melakukan apa yang benar

Bertanggung jawab atas kesalahan

Menerima tanggung jawab untuk menetapkan contoh yang baik dan menjadi
pengaruh positif

Mengembangkan dan melatih kepastian kepemimpinan moral.
6. Pribadi dengan disiplin diri yang mengejar gaya hidup yang sehat

Menunjukkan kontrol diri di berbagai situasi

Mengejar kesehatan fisik, emosi, dan mental

Membuat pilihan pribadi yang bertanggung jawab, yang berkontribusi bagi
pengembangan-diri terus-menerus, gaya hidup sehat, dan masa depan yang positif.
11
7. Anggota komunitas yang berguna dan warga negara yang demokratis

Berguna untuk keluarga, kelas, sekolah, dan komunitas

Menunjukkan nilai-nilai sipil dan keterampilan yang diperlukan untuk partisipasi
dalam proses demokrasi

Menghargai warisan demokrasi dan nilai-nilai demokrasi bangsa yang merancang
kehidupan

Menunjukkan kesadaran kesalingtergantungan dan rasa tanggung jawab pada
kemanusiaan.
8. Pribadi spiritual yang merancang kehidupan yang bertujuan mulia

Mempertimbangkan
pertanyaan
eksistensial
(―Apa
makna
hidup?‖;
―Apa
kebahagiaan?‖; dan ―Apa tujuan hidup saya?‖)

Mencari kehidupan yang bertujuan mulia

Merumuskan tujuan hidup dan cara-cara untuk mengejarnya

Memupuk apresiasi nilai-nilai transenden seperti kebenaran, keindahan, dan kebaikan

Mengejar kebahagiaan sejati

Memiliki kehidupan batin yang kaya

Mengejar hubungan yang mendalam, bermakna – misalnya, dengan orang lain, alam,
atau kekuatan yang lebih tinggi.
II.3 Empat Strategi Kunci bagi Perkembangan Karakter
―Bagaimana, baik ‗karakter performa‘ maupun ‗karakter moral‘, dan ―Delapan
Kekuatan Karakter‖ dikembangkan?‖ Jawaban atas pertanyaan penting di atas, dilaporkan
oleh ―Model Sekolah Pintar dan Baik‖. Tetapi dalam tulisan ini tidak dikemukakan dan
dibahas secara detail serta menyeluruh (baca“Handbook Pendidikan Moral dan Karakter”,
Larry P. Nucci, 2014:, Larry P. Nucci, 2014:553 561; dan juga553 561; dan juga
baca“Character Matters”, dan “Educating for Character”, Thomas Lickona, 2013 a dan
2013 b).
Sebagian besar laporan 227 halaman ―SMA Pintar & Baik‖ ditujukan untuk
menggambarkan hampir 100 praktik yang menjanjikan, diambil dari hasil penelitian yang
bergengsi. Telah ditemukan ‗strategi master‘ sederhana yang dapat diterapkan pada satu dari
12
―Delapan Kekuatan Karakter‖ dan pada berbagai bidang sekolah dan kelas, dan aspek-aspek
sekolah lainnya. ‗Strategi Master‘ tersebut, disebutnya, sebagai ―4 KUNCI Pengembangan
Karakter Performa dan Karakter Moral‖ (disingkat 4 KUNCI), yaitu:
1. Komunitas Pembelajaran Etika (ELC) – mengembangkan komunitas (kelas, kelompok
penasihat, tim, seluruh sekolah) yang mendukung dan menantang dan yang anggotanya
mengejar realisasi potensi mereka sendiri akan keunggulan dan etika dan berusaha untuk
menghasilkan yang terbaik bagi orang lain.
2. Belajar Sendiri (Self-Study) – melihat siswa dalam menilai kekuatan mereka dan aspekaspek pertumbuhan karakter performa dan karakter moral, menetapkan tujuan untuk
kemajuan, dan memantau kemajuannya.
3. Belajar pada yang Lain (Other-Study) karakter moral siswa– belajar dari teladan karakter
performa dan karakter moral dengan menganalisis dan meniru jalan mereka mencapai
sukses.
4. Pembuktian/Presentasi Publik –menggunakan pembuktian dan presentasi publik sebagai
pembelajaran pengalaman dan penilaian otentik karakter performa dan karakter moral
siswa.
(Sumber diambil dari, Soediro Satoto, 2015 dalam “Pendidikan Keagamaan dan
Karakter Berbasis Budaya”)
III. Penutup
Secara geografis, Sejarah Nasional dan Ensiklopedi Budaya Nusantara menunjukkan
bahwa Wilayah Budaya Nusantara amatlah luas, bahkan lebih luas daripada wilayah budaya
Indonesia di zaman kemerdekaan, apalagi sekarang. Penyamaan istilah atau nama ‗Indonesia‘
dengan ‗Nusantara‘, barangkali, secara politik bisa merugikan, tetapi secara kultural (budaya)
justru bisa menguntungkan.
Wilayah Nusantara di zaman keemasan kerajaan Majapahit lebih luas daripada paroh
akhir zamannya Patih Gadjah Mada. Itulah sebabnya, Patih Gadjah Mada pernah ‗bersumpah
palapa‘, berjanji akan mempersatukan kembali wilayah Majapahit yang pernah beberapa
wilayahnya terlepas, dan bersatu kembali ke dalam wilayah Majapahit seperti pada zaman
keemasannya.
13
Wilayah Nusantara pada akhir zaman kerajaan Majapahit lebih luas daripada era
zaman menjelang kemerdekaan Indonesia. Wilayah Nusantara pada awal zaman
kemerdekaan Indonesia lebih luas daripada wilayah Nusantara di era zaman sekarang. Jika
Nusantara dalam perspektif ‗budaya Nusantara‘ yang multi etnik, multi kultur, multi
religiusitas, dan multi bahasa tidak dijaga, diwaspadai, dicermati, dipelihara, „diuri-uri‟,
dipilah dan dipilih ‗kearifan lokalnya‘ untuk kemudian ‗didewasakan‘, mandiri dan bisa
menjadi filter atas ‗rembesan budaya asing yang berdampak negatif, dst. dst. dst, ..... maka
wilayah kultural dan budaya yang pernah jaya pada zaman Nusantara akan semakin tergerus,
bahkan oleh tetangganya sendiri pun.
Dalam kerangka event sekarang ini, Bahasa Jawa, bahasa daerah, bahasa lokal, yang
pernah punya kekayaan kearifan lokal, adi luhung di ‗antero jagad Nusantara‘, bahkan di
dunia luar, perlu dijaga kembali kejayaan dan kelestariannya. Karya sastra bahasa Jawa
seperti:“Serat Centhini” (merupakan Ensiklopedi Budaya Jawa terbesar dan terlengkap),
“Serat Wujil”, “Serat Sasono Sunu”, “Serat Brata Sunu”, “Serat Wedha Tama”, “Serat
Wulang Reh”, “Serat Pustaka Raja Purwa”, “Serat Ramayana”, “Serat Mahabharata”,
“Babad Tanah Jawi”, “Babad Pakepung”, “Babad Giyanti”, dan masih banyak lagi, dan
masih diingat sampai sekarang karena kearifan lokal yang dikandungnya, dan nasihat-nasihat
serta keteladanannya. Untuk menunjangnya, sistem pendidikan dan model serta strategi
pembelajaran Bahasa Jawa perlu disempurnakan, sesuai dengan tujuannya.
Daftar Pustaka–Rujukan
Achmat, Sri Wintala. 2014. Ensiklopedia Kearifan Jawa (Menggali Mutiara Kearifan Jawa
Berdasar Karya Agung Para Pujangga). Yogyakarta: Penerbit Araska.
Agung, Iskandar (etal). 2011. Pendidikan Membangun Karakter Bangsa (Peran Sekolah dan
Daerah dalam Membangun Karakter Bangsa pada Peserta Didik). Jakarta: Penerbit
Bestari Buana Murni.
Amri, Sofan & Khoiru Ahmadi. 2010. PROSES PEMBELAJARAN Kreatif dan Inovatif dalam
Kelas (Metode, Landasan Teoretis-Praktis dan Penerapannya). Jakarta: Penerbit PT.
Prestasi Pustakaraya.
Amri, Sofan (etal). 2011. IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER dalam Pembelajaran
(Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran).
Jakarta: Penerbit PT. Prestasi Pustakaraya.
14
Aqib, Zainal & Sujak. 2011. Panduan & Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Penerbit
Yrama Widya.
Aqib, Zailal. 2011. Pendidikan Karakter (Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa). Bandung:
Penerbit Yrama Widya.
Azra,
Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan
Demokratisasi). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nasional
(Rekonstruksi
dan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
2010. KERANGKA ACUAN PENDIDIKAN KARAKTER TAHUN ANGGARAN 2010.
Jakarta: Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan Nasional.
Dwiyanto, Djoko & Ign. Gatut Saksono.2012. PENDIDIKAN KARAKTER Berbasis PANCASILA
(Negara Pancasila: Agama atau Sekuler; Sosialis atau Kapitalis). Yogyakarta: Ampera
Utama.
Endraswara, Suwardi. 2010. ETIKA HIDUP ORANG JAWA (Pedoman Beretika dalam
Menjalani Kehidupan Sehari-hari). Jakarta: Penerbit NARASI.
Fitri, Agus Zaenul. 2012. PENDIDIKAN KARAKTER – berbasis – Nilai & Etika di Sekolah.
Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA.
Hamersma. 2014. PERSOALAN KETUHANAN dalam Wacana Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT
KANISIUS.
Hartati, A. Umi & B. Tri Widada. 2012. Aneka Permainan Seru Pendidikan Karakter (Penuntun
agar bisa menjadi pribadi yang bisa diterima dan menerima orang lain apa adanya).
Yogyakarta: Pustaka Diantara.
Heraty, Toeti. 1984. AKU DALAM BUDAYA. Disertasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya
Hermino, Agustinus. 2014. Manajemen Kurikulum Berbasis Karakter (Konsep, Pendekatan, dan
Aplikasi). Bandung: Penerbit ALFABETA.
Hidayatullah, M. Furqon.2007. MENGANTAR CALON PENDIDIK BERKARAKTER DI MASA
DEPAN. Surakarta: Penerbit Sebelas Maret University Press.
................... . 2010. PENDIDIKAN KARAKTER: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta:
Yuma Pustaka.
15
Isna A., Nuria. 2012. Karakter Anak sejak Janin. Yogyakarta: Penerbit DIVA Press.
James, William. 2013. The Varieties of Religious Experience (Pengalaman-Pengalaman
Religius). Yogyakarta: IRCiSoD.
Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan Karakter (Kajian Teori dan Praktik di Sekolah). Bandung:
Penerbit PT REMAJA ROSDAKARYA.
Khan, D. Yahya. 2010. PENDIDIKAN KARAKTER Berbasis Potensi Diri (Mendongkrak
Kualitas Pendidikan). Yogyakarta: PELANGI PUBLISHING.
Koentjaraningrat. 1984. KEBUDAYAAN JAWA. Jakarta: PN BALAI PUSTAKA.
Koesoema A Matter, Doni. 2012. PENDIDIKAN KARAKTER (Utuh dan Menyeluruh).
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lickona, Thomas. 2013a (cetakan kedua). Character (Persoalan Karakter): Bagaimana
Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan
Penting Lainnya. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
............................. . 2013 b (crtakan ketiga). Educating for Character (Mendidik untuk
Membentuk Karakter): Bagaimana Sekolah Dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan
Bertanggung Jawab. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Lubis, Ahyar Yusuf. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya
Kontemporer. Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo Persada.
Maryaeni. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Mustakim, Bagus. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER (Membangun Delapan Karakter Emas
Menuju Indonesia Bermartabat). Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.
Noor, Rohinah M. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER -- Berbasis -- SASTRA (Solusi Pendidikan
Moral yang Efektif). Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA.
Nucci, Larry P. & Darcia Narvaez. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan Karakter.
Diterjemahkaan dari judul aslinya, Handbook of Moral and Character Education, oleh
penerjemah: Imam Baehaqie dan Derta Sri Widowatie. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Olthof, W.L. 2010. Babad Tanah Jawi (Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647).
Yogyakarta: Penerbit NARASI.
Panjaitan, Ade Putra (etal). 2014. KORELASI KEBUDAYAAN & PENDIDIKAN (Membangun
Pendidikan Berbasis Budaya Lokal). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
16
Pemerintah Republik Indonesia. 2010. KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN KARAKTER
BANGSA TAHUN 2010 – 2025. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Prabowo, Dhanu Priyo (etal). 2012. Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Purwadi dkk. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit BINA MEDIA.
Purwadi & Siti Maziyah. 2006. HOROSKOP JAWA. Yogyakarta: Penerbit MEDIA ABADI.
Raka, Gede (etal). 2011. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH (dari gagasan ke tindakan).
Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo KOMPAS GRAMEDIA.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies(Representasi Fiksi dan Fakta).
Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA PELAJAR.
Ratna, Nyoman Kutha. 2014.PERANAN KARYA SASTRA, SENI, DAN BUDAYA – dalam –
PENDIDIKAN KARAKTER. Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA PELAJAR.
Rohman, Muhammad. 2012. KURIKULUM BERKARAKTER (Refleksi dan Proposal Solusi
terhadap KBK dan KTSP). Jakarta: Penerbit Prestasi Pustakaraya.
Sahlan, Asmaun & Angga Teguh Prastyo. 2012. DESAIN PEMBELAJARAN Berbasis
PENDIDIKAN KARAKTER. Yogyakarta: Penerbit AR-RUZZ MEDIA.
Santosa, Puji. 2014. Kritik Sastra Tempatan (Lokal). Yogyakarta: Elmatera.
Tunggal, Hadi Setia. 2006. Undang-Undang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Beserta
Peraturan Pelaksanaannya). Jakarta: HARVARINDO.
17
NILAI-NILAI MORAL YANG TERKANDUNG DALAM CERITA RAMAYANA
Joko Sukoyo
Bahasa dan Sastra Jawa
Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Wayang merupakan warisan budaya klasik yang mengakar turun temurun. wayang Indonesia
telah diakui oleh United Nations Education Social and Culture Organization (UNESCO) sebagai
Karya Agung Budaya Dunia atau Masterpiece of the Oral Intangible Heritage of Humanity.
Dalam sebuah pergelaran wayang, kita tidak hanya memperoleh tontonan, namun juga
mendapatkan tuntunan. Dengan keindahannya, wayang menjadi tontonan sedangkan cerita dan
nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai tuntunan. Nilai-nilai
moral yang terkandung dalam berbagai cerita wayang selalu mengajak masyarakat untuk berbuat
baik dan menghindari kejahatan, mengajarkan nilai kebenaran, keadilan dan keutamaan hidup.
Salah satu epos cerita wayang yang terkenal adalah cerita Ramayana. Cerita Ramayana dengan
berbagai lakon sampai sekarang masih sering digelar dan dikembangkan untuk memberikan
ajaran moral. Terlebih lagi masa sekarang ini moral bangsa Indonesia dapat dikatakan
mengalami kemerosotan. Nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita Ramayana diantaranya
adalah: 1) Dewi Sinta merupakan simbol kesetiaan seorang istri, 2) Anoman merupakan simbol
seseorang yang setia pada tugasnya, 3) Kumbakarna simbol kesetiaan membela negara, 4)
Wibisana simbol kesetiaan pada kebenaran, 5) Dewi Trijata merupakan simbol kesetiaan pada
istri musuh yang dizalimi.
Kata Kunci: wayang, nilai,moral.
Pendahuluan
Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisi multidimensi yang diakibatkan oleh
krisis moral. Krisis multidimensi ini terjadi karena moralitas bangsa Indonesia sebagian besar
telah rusak. Hal ini terlihat dari aktivitas pelanggaran hukum yang semakin merajalela. Krisis
moral diduga berasal dari semakin jauhnya bangsa Indonesia terhadap budaya bangsa. Mereka
lebih cenderung meniru budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Salah satunya wujud budaya bangsa yang adiluhung adalah wayang. Wayang sudah
menjadi kekayaan dunia dan tercatat sebagai warisan budaya dunia. Hal ini bukan hanya karena
18
seni wayang memiliki nilai filosofi yang tinggi, tetapi lantaran wayang mempunyai nilai-nilai
yang sangat multidimensional. Salah satunya adalah nilai moral.
Cikal bakal wayang berasal dari masa budaya animisme dalam sejarah masa lalu.
Wayang berasal dari tradisi penghormatan terhadap arwah leluhur dengan membuat boneka yang
diterangi oleh blencong sehingga menimbulkan efek bayang-bayang kalau wayang tadi
digerakkan. Dalang menjadi mediasi antara dunia manusia dan dunia arwah. Dalang punya
kekuatan supranatural untuk menghadirkan roh leluhur melalui boneka tadi. Budaya Hindu
masuk menyebabkan terjadinya akulturasi. Tradisi penghormatan terhadap arwah leluhur
menggunakan sarana boneka dan diiringi dengan puji-pujian akhirnya diganti dengan syair
Ramayana dan Mahabharata. Kedua cerita wayang inilah yang menjadi induk cerita-cerita
wayang di Indonesia (Poespaningrat, 2005)
Cerita Mahabarata berasal dari Kitab Mahabarata mahakarya Empu Wyasa sebagai salah
satu cerita pokok pewayangan di Indonesia. Kitab ini terdiri dari 18 jilid atau parwa. Tema
Mahabarata memaparkan pertentangan tragis antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Karya
Mahabarata ini mengalami perubahan konsep filsafat dan diadaptasi disesuaikan dengan filsafat
dan budaya asli bangsa. Gubahan pertama Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuna dilakukan
pada zaman Prabu Darmawangsa di Jawa Timur, sekitar tahun 991-1016.
Sedangkan cerita Ramayana berasal dari kitab Ramayana mahakarya Empu Walmiki.
Kata Ramayana berasal dari kata rama dan ayana yang berarti kisah pengembaraan Ramawijaya.
Kitab Ramayana di gubah dalam bentuk kakawin Ramayana. Menurut Prof. Dr. Purbacaraka,
penggubahan Kitab Ramayana ke dalam bentuk Kakawin dilakukan pada zaman Mataram
Pertama, yakni pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung, sebelum abad ke-9
(Poespaningrat, 2005)
Cerita Ramayana dengan berbagai lakon sampai sekarang masih sering digelar dan
dikembangkan untuk memberikan ajaran moral. Terlebih lagi masa sekarang ini moral bangsa
Indonesia dapat dikatakan mengalami kemerosotan. Manusia sebagai makhluk batas antara
kedua kekuatan yang berlawanan (konstruktif dan destruktif), sering menghadapi dualisme untuk
memilih pilihan yang paling benar. Agar manusia dapat memilihnya, maka memerlukan
pegangan yang dianggap dapat membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar.
Pegangan hidup selain tedapat dalam kitab-kitab suci, terdapat juga dalam karya-karya sastra.
Salah satunya adalah dalam cerita wayang Ramayana ini, yang di dalamnya terdapat ajaran19
ajaran moral yang pantas diteladani. Hal ini sesuai dengan pepatah yang mengajarkan bahwa
wayang sebagai tontonan dan tuntunan.
Pembahasan
Nilai moral yang dibahas dalam makalah ini, adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
cerita wayang Ramayana. Ramayana dari bahasa Sansekerta, Rāmâyaṇa yang berasal dari kata
Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang
digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra
Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang
tidak semua berdasarkan kakawin ini. Menurut Versi India, Kitab Ramayana dibagi menjadi
tujuh jilid atau kanda yaitu 1) Balakanda, 2) Ayodya Kanda, 3) Aranya Kanda, 4) Sundara
Kanda, 5) Kiskenda Kanda, 6) Yudha Kanda, 7) Uttara Kanda.
Isi dan jalan cerita Kitab Ramayana dan Kakawin Ramayana terdapat perbedaan,
terutama pada akhir ceritanya. Pada kitab Ramayana bab terakhir, uttara kanda, diceritakan
bahwa Rama terpengaruh oleh rakyat dan lingkungannya, sangsi terhadap kesucian Sinta. Dalam
keadaan mengandung, istrinya diusir dari istana. Sebaliknya pada kakawin Ramayana, Rama dan
Sinta akhirnya menjalani hidup bahagia. Rama menitis pada Kresna dan Sinta pada Sembadra.
Nilai-nilai moral dalam cerita Ramayana dapat dilihat dari jalan cerita dan karakter
tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh pokok dalam cerita Ramayana adalah: 1) Prabu Ramawijaya, 2)
Dewi Sinta, 3) Wibisana, 4) Trijatha, 5) Lesmana, 6) Anoman, 7) Sugriwa, 8) Anila, 9)
Dasamuka (Rahawana), 10) Indrajid, 11) Kumbakarna, 12) Sarpakenaka, 13) Prahasta.
Tokoh-tokoh di atas adalah tokoh sentral dalam cerita Ramayana. Selain tokoh di atas
juga masih ada tokoh-tokoh tambahan yang membuat jalan cerita semakin menarik.
Poespaningrat (2005: 51-63) menyatakan ada beberapa nilai moral dari tokoh dalam cerita
Ramayana yang dapat kita teladani. Nilai-nilai moral tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Dewi Sinta merupakan simbol kesetiaan seorang istri.
Dewi Sinta adalah anak angkat Prabu Janaka dari Mantili. Walaupun seorang
anak raja, ia tetap setia mendampingi suaminya menderita di hutan Dandaka selama 13
tahun. Sebelum Rama menjalani masa pembuangan, Sinta dibujuk oleh orang tuanya agar
tetap tinggal di istana tidak perlu mengikuti ke hutan. Tetapi Sinta tetap mengikuti
20
suaminya menjalani masa pembuangan ke hutan. Istana yang indah rela dia tinggalkan
demi kesetiaan seorang istri kepada suaminya.
Ketika Sinta diculik oleh Rahwana, Sinta selalu dibujuk agar bersedia menjadi
istri Rahwana. Dia diiming-imingi harta benda serta kekuasaan, Sinta ditawari istana
yang indah dan segala kenikmatan duniawi tetapi Sinta tidak pernah sekalipun berkhianat
kepada suaminya. Dia tetap menjaga cinta dan kesetiaannya kepada Raden Rama.
Bahkan dalam cerita pewayangan disampaikan bahwa selama disekap di Taman
Argosoka, badannya kurus kering sampai tulangnya kelihatan. Semua ini dilakukan untuk
menjaga kesetiaan dengan Rama.
2. Anoman merupakan simbol seseorang yang setia pada tugasnya
Tokoh Anoman sangat besar kesetiaannya kepada tugas suci yang diberikan Rama
kepadanya. Tugas-tugas yang diberikan oleh Rama, dikerjakan dengan total, selalu
sendika dhawuh dan melaksanakan sesuai dengan kehendak atasannya. Tugas pertama
adalah dia ditunjuk sebagai duta ke Alengka untuk mengetahui kekuatan musuh. Dia
melaksanakan tugasnnya dengan baik. Dia merelakan dirinya ditangkap musuh untuk
mengetahui seberapa besar kekuatan lawan.
Ketika mejalankan tugasnya untuk mengetahui kekuatan musuh, dia bertemu
dengan Sinta. Dia tidak kuasa membayangkan penderitaan Sinta dan berniat untuk
membawanya ke luar Alengka. Anoman adalah tokoh yang sakti. Walaupun sanggup
menghadapi wadyabala Alengka, namun dia teringat akan perintah Rama. Rama hanya
menugasi untuk melakukan tiga hal yaitu: menyelidiki keberadaan Sinta di Alengka,
menyelidiki kekuatan musuh, dan mencari jalan bagaimana dapat membebaskan Sinta.
3. Kumbakarna simbol kesetiaan membela negara
Kumbakarna adalah adik Dasamuka. Dia lahir berwujud secuil telinga (karna)
yang menjadi raksasa yang sangat besar dan rakus sekali. Dia mempunyai Aji
Gendongmenga sehingga dapat makan dan minum luar biasa banyaknya dan Aji
Cirakalasupta sehingga dapat tidur seribu tahun.
Saat kerajaan Alengka diserbu oleh Pasukan Rama dan sekutunya, Rahwana
sangat kewalahan menghadapi Pasukan Rama, lantas Rahwana memerintahkan
pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna yang sedang tidur selama enam bulan.
Dasamuka meminta Kumbakarna untuk melawan wadyabala Rama, tetapi tidak
21
menyanggupinya. Dia mengatakan kepada Dasamuka bahwa dia bersedia maju perang
bukan karena membela kakaknya yang telah bertindak angkara dengan menculik Dewi
Sinta, tetapi ingin membela negaranya. Kumbakarna menjalankannya dengan tekad suci.
Ia tidak ingin membela kebatilan kakaknya, melainkan ingin membela negaranya.
Disamping itu, dia ingin memperjuangkan para leluhurnya yang telah berjuang
membangun Alengka. Kumbakarna sering dilambangkan sebagai perwira pembela tanah
tumpah darahnya. Kumbakarna berperang bukan untuk membela kakaknya tetapi dia
terpanggil oleh kewajiban membela negara serta kaumnya.
4. Wibisana sebagai simbol kesetiaan pada kebenaran.
Wibisana adalah adik Dasamuka, yang berwatak ksatria. Ketika mengetahui
kakaknya menculik Sinta, Wibisana sudah memperingatkan kepada kakaknya bahwa
menculik istri orang itu bukan watak kesatria. Peringatan dari adiknya tersebut tidak
ditanggapi oleh Dasamuka bahkan dia marah dan mengusir Wibisana dari Alengka.
Wibisana tidak membela kakaknya, justru membela Rama ketika terjadi
peperangan. Pembelotan ini secara tekstual dapat dianggap sebagai tindakan kurang
terpuji, namun secara kontekstual dapat dipertanggungjawabkan karena kebenaran dan
keadilan tidak mengenal batas negara. Wibisana telah lebih mencintai kebenaran
ketimbang kakak kandungnya.
Rama sangat senang ketika Wibisana hendak bergabung dengannya. Keberadaan
Wibisana telah melicinkan jalan bagi Rama dan wadyabalanya untuk mencapai
kemenangan. Berkat pengetahuannya, wadyabala Alengka dapat dikalahkan.
5. Dewi Trijata merupakan simbol kesetiaan pada istri musuh yang dizalimi.
Dewi Trijata adalah anak pasangan Gunawan Wibisana dan Dewi Triwati. Ia
ditugaskan untuk melayani Sinta selama dalam penyekapan di Alengka. Ia diharapkan
dapat membujuk Sinta untuk dipersunting Dasamuka. Namun dia lebih setia kepada
Sinta. Bahkan dengan berbagai akal selalu menghalangi keinginan pamannya tersebut
untuk menjamah Sinta.
Suatu hari Dasamuka hendak memperkosa Sinta, Namun Dewi Trijatha berhasil
mencegahnya. Dasamuka marah dan menyumpahi Dewi Trijatha tidak akan laku kawin
dan kelak akan bersuamikan dengan seekor kera tua, yang jelek rupanya. Ia menerima
sumpahan itu dengan tenang, demi kesetiaan pada istri musuh yang sedang dizalimi oleh
22
pamannya. Seperti ayahnya, Dewi Trijatha lebih setia kepada musuh yang membela
kebenaran daripada pamannya sendiri yang penuh kebathilan. Sumpah dari Dasamuka itu
ternyata menjadi kenyataan. Dewi Trijatha dikawini oleh kera tua bernama Kapi
Jembawan.
Penutup
Demikianlah, dengan menikmati wayang, orang akan memperoleh nilai-nilai filosofi
yang terkandung di dalamnya, di samping nilai-nilai moral atau budi pekerti dan nilai estetika
yang tinggi. Wajarlah jika seni dan budaya wayang kulit dari Indonesia ini dinobatkan sebagai
karya adi luhung lisan warisan kemanusiaan yang tak dapat dinilai ketinggiannya. Dalam ikut
membangun peradaban modern seperti sekarang ini, kiranya nilai-nilai yang terkandung dalam
wayang masih relevan untuk dikembangkan.
Daftar Pustaka
Direktorat Pembinaan Kesenian Depdikbud. 1979. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta.
Hardjowirogo. 1982 Sejarah Wayang Purwa Cet ke-1. Jakarta: Balai Pustaka.
Harghana, Bondan. 1998. Reroncen Balungan Lampahan Ringgit Purwa. Sukoharjo: CV
Cendrawasih
Padmosoekotjo, S. 1985. Silsilah Wayang Purwa Mawa carita Surabaya: PT Mitra Jaya Murti.
Poespaningrat, Pranoedjo. 2005. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT.
Kedaulatan Rakyat
Sunardi. 1979. Ramayana. Jakarta: PT Balai Pustaka
Suwardi Endraswara. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha
Widya
Wibisana, Singgih. 1997. Tokoh Sinta dalam Kajian Budaya Jawa. Jakarta: Pepadi
23
PENILAIAN AUTENTIK KOMPETENSI BERBAHASA AKTIF PRODUKTIF
(BERBICARA DAN MENULIS)
Oleh: Astiana Ajeng Rahadini
Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Perkembangan abad 21 menuntut setiap manusia memiliki kemampuan kinerja yang nyata.
Melihat hal tersebut, dunia pendidikan pada abad 21 sebagai sarana pencetak generasi muda
melakukan beberapa penyesuaian dan perubahan, baik dalam hal kurikulum, materi, metode
pembelajaran maupun penilaian hasil pembelajaran. Penilaian pembelajaran ditekankan pada
penilaian berbasis kinerja agar siswa tidak hanya menguasai teoretis (kognitif) tetapi mampu
melakukan kinerja seperti dalam dunia nyata. Penilaian Autentik dapat berwujud tes maupun
non-tes. Pada keterampilan berbahasa, penilaian autentik ditekankan pada keterampilan produksi
bahasa, yaitu keterampilan berbicara dan menulis. Tujuan penerapan penilaian autentik adalah
untuk memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik bagaimana mereka harus bersikap
ketika terjun langsung di dunia kerja.
Kata Kunci: Pembelajaran Abad 21, Penilaian Autentik, Keterampilan Berbicara dan
Menulis
A. Pendahuluan
Perkembangan abad 21 begitu pesat. Persaingan di dunia kerja pun semakin ketat. Setiap
lembaga mensyaratkan pegawai yang berkualitas untuk dapat bekerja di instansinya. Oleh karena
itu, setiap manusia hendaknya memiliki kecakapan atau kemampuan yang ―layak jual‖ agar
mampu bersaing dengan para pencari kerja lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan. Sadar akan adanya tuntutan kualitas individu yang dibutuhkan di lapangan kerja,
pemerintah berusaha untuk membentuk masyarakatnya menjadi manusia yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan baik secara teori maupun praktik, salah satunya melalui jalur
pendidikan.
Pendidikan di Indonesia sekarang ini, telah dirancang sedemikian rupa agar mampu
menghasilkan output pendidikan yang berkualitas. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan kurikulum 2013 adalah suatu cara untuk mengarahkan pendidikan
menghasilkan output yang tidak hanya mampu menguasai pengetahuan secara teoretis (kognitif)
24
tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan tersebut ke dalam tindakan nyata yang
mencerminkan aktivitas di dunia kerja sesungguhnya. KTSP dan kurikulum 2013 menekankan
capaian kompetensi pembelajaran yang berupa kinerja, kinerja melakukan, doing something
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran. Jadi, ketika lulus peserta didik benar-benar mampu
melakukan sesuatu yang bermakna dengan dilandasi pengetahuan yang telah dikuasainya. Untuk
mencapai tujuan yang diamanahkan dalam kurikulum tersebut, pembelajaran yang dilaksanakan
juga harus mampu mengarahkan peserta didik menjadi aktif, kreatif, efektif, mampu menerapkan
pengetahuannya, namun tetap menyenangkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai
untuk kurikulum dunia pendidikan abad 21 adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual menjembatani bahan ajar di kelas dengan berbagai kebutuhan
nyata yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dituntut untuk menguasai
kompetensi dan pengetahuan yang dibelajarkan sekaligus mampu menerapkannya dalam bentuk
kinerja yang bermakna. Untuk mengukur hasil capaian kompetensi peserta didik melalui
pembelajaran kontekstual dibutuhkan pula model penilaian yang sesuai. Model penilaian yang
sesuai untuk mengukur capaian kompetensi kinerja peserta didik yaitu penilaian autentik.
B. Penilaian Autentik dalam Pembelajaran Bahasa
1.
Hakikat Penilaian Autentik
Penilaian autentik adalah suatu teknik penilaian yang diutamakan atau disarankan untuk
model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual sendiri merupakan suatu strategi
pembelajaran yang menekankan capaian kompetensi kinerja peserta didik seperti yang
diamanahkan dalam KTSP dan K-13. Jadi, ada ke-linear-an antara kurikulum, pembelajaran
kontekstual, dan penilaian autentik.
Para ahli telah mengemukakan definisi mengenai penilaian autentik, antara lain:
a. Mueller (2011) menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan a form of assessment in
which students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful
application of essential knowledge and skills ‗Sebuah bentuk penialaian dimana siswa
diminta untuk menampilkan kinerja seperti di dunia nyata yang menunjukkan penerapan
yang bermakna dari esensi pengetahuan dan keterampilan‘.
b. Stiggins melalui Mueller (2011) juga berpendapat bahwa penilaian autentik merupakan
performance assessments call upon the examinee to demonstrate specific skills and
25
competencies, that is, to apply the skills and knowledge they have mastered‗penilaian unjuk
kerja yang meminta pembelajar menampilkan kecakapan dan kompetensi khusus yang
merupakan penerapan dari kecakapan dan pengetahuan yang telah mereka kuasai‘.
c. Wiggins dalam Mueller (2011) juga menyatakan hal yang senada: "...Engaging and worthy
problems or questions of importance, in which students must use knowledge to fashion
performances effectively and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the
kinds of problems faced by adult citizens and consumers or professionals in the
field."‗...Masalah-masalah yang bermakna dan aktual atau pertanyaan penting dimana siswa
harus menggunakan pengetahuannya untuk memperbagus kinerjanya dengan efektif dan
kreatif. Tugas-tugas yang ada hendaknya juga menyerupai atau menggambarkan berbagai
permasalahan nyata yang dihadapi oleh masyarakat atau pemakai atau para profesional di
lapangan.‘
Dari beberapa definisi tentang penilaian autentik oleh beberapa ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa poin-poin penting dalam penilaian autentik yaitu adanya kinerja dan
bermakna. Adanya kinerja berarti penilaian autentik bukan hanya berfungsi untuk menagih
tagihan pengetahuan tentang sistem dimana siswa hanya diminta untuk merespon pilihan
jawaban yang telah disediakan (seperti dalam penilaian tradisional) tetapi siswa haruslah benarbenar melakukan kinerja berbahasa yang konkret (aktif reseptif dan aktif produktif). Bermakna
berarti tugas-tugas atau soal-soal yang digunakan dalam penilaian harus bersifat kontekstual dan
merupakan kinerja berbahasa yang ditemukan dan dibutuhkan dalam dunia nyata atau dunia
kerja.
Penilaian autentik memang berbeda dengan penilaian tradisional. Selama ini, dalam
penilaian tradisional yang biasanya berbentuk objektif-pilihan ganda siswa hanya diminta
merespon jawaban yang telah disiapkan. Hal tersebut tentu belum mencerminkan kinerja
berbahasa peserta didik yang sebenarnya bahkan terkadang banyak siswa yang menjawab secara
untung-untungan. Di dalam penilaian autentik, siswa tidak boleh hanya sekedar merespon pilihan
jawaban tetapi harus benar-benar menunjukkan kinerja atau performa berbahasa, siswa harus
melakukan suatu aktivitas berbahasa (doing something) yang merupakan penerapan dari
pengetahuan kebahasaan yang telah dikuasainya secara teoretis. Perbedaan antara penilaian
autentik dan penilaian tradisional juga dikemukakan oleh Mueller (2011) seperti dalam tabel
berikut ini.
26
Penilaian Tradisional
Penilaian Autentik
Selecting a respon
Performing a task
Contrived
Real-life
Recall/Recognition
Construction/Application
Teacher-structured
Student-structured
Indirect evidence
Direct Evidence
Pada penilaian tradisional, siswa diberi beberapa pilihan jawaban (a, b, c, atau d; B/S,
memasangkan jawaban) dan kemudian mereka diminta untuk memilih jawaban yang benar. Pada
penilaian autentik, siswa diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman mereka melalui kinerja
yang lengkap dan bermakna. Perbedaan yang kedua, tes tradisonal itu cenderung artifisial,
sedangkan penilaian autentik tugasnya mencerminkan apa yang ada di dunia nyata. Perbedaan
ketiga, pada penilaian tradisional siswa hanya memanggil kembali atau merekognisi pengetahuan
yang telah diterimanya, sedangkan pada penilaian autentik siswa dituntut untuk dapat
menerapkan ilmunya melalui tindakan nyata. Perbedaan keempat, pada penilaian tradisional, soal
dan jawaban disusun oleh guru, siswa tinggal memilih jawaban yang tersedia, sedangkan pada
penilaian autentik jawaban disusun sendiri oleh siswa. Perbedaan yang terakhir, pada penilaian
tradisional guru hanya memperoleh bukti tidak langsung tentang kemampuan siswa, karena
terkadang banyak siswa yang bermodal untung-untungan, sedangkan pada penilaian autentik
guru memperoleh bukti langsung sehingga dapat mengetahui dengan benar sejauh mana
kemampuan siswa.
Sebenarnya kedua model penilaian ini sama baiknya tergantung waktu dan tujuan
penggunaan. Callison melalui Nurgiyantoro (2011: 29) menyatakan bahwa penilaian autentik
merupakan penilaian proses, dan tampaknya hampir mustahil dipakai untuk ujian nasional atau
ulangan umum di akhir semester yang waktunya amat terbatas (Nurgiyantoro, 2011: 30).
Penilaian tradisional tampaknya lebih tepat untuk ujian akhir karena praktis, tidak membutuhkan
waktu lama, dapat dilakukan secara massal, dan bentuk tes objektif itu lebih mudah
dipertanggungjawabkan dari segi validitas dan reliabilitas. Untuk mengantisipasi sisi kelebihan
dan kelemahan masing-masing model penilaian, untuk ujian akhir menggunakan tes tradisional
objektif-pilihan ganda yang bernuansa autentik. Jadi, siswa tidak hanya sekedar merespon
pilihan jawaban yang disediakan.
27
2.
Pengembangan Penilaian Autentik
Menurut Mueller (2011) ada empat langkah dalam pengembangan penilaian autentik, yaitu:
a.
Identify the Standards (Penentuan Standar)
Mueller (2011) menyatakan bahwa standards, like goals, are statements of what
students should know and be able to do. ‗Standar seperti halnya tujuan adalah pernyataanpernyataan tentang apa yang harus diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa‘. Biasanya
kalimat yang menyatakan standar diawali dengan ―Siswa dapat....‖. penentuan standar
bertolak dari pertanyaan “What do you really want your students to know and be able to
dorelated to your dicipline?” ‗Pengetahuan dan kecakapan apa yang sebenarnya diinginkan
untuk dikuasai oleh murid-murid kita ketika mereka mempelajari ilmu kita?‘. Menurut
Nurgiyantoro (2011: 31) penentuan standar di dunia pendidikan di Indonesia tidak lain
adalah penentuan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang menjadi acuan
bersama kegiatan pembelajaran dan penilaian.
b. Select an Authenthic Task (Penentuan Tugas Autentik)
Menurut Mueller (2011) langkah kedua ini meupakan implikasi dari pernyataan: You
want to find a way students can demonstrate that they are fully capable of meeting the
standard. ‗Anda ingin menemukan suatu cara agar siswa dapat menunjukkan sejauh mana
mereka telah mampu mencapai standar-standar yang telah ditentukan.‘ Jadi, pada tahapan ini
seorang guru atau penilai memilih tugas yang akan diberikan kepada siswa dimana siswa
diminta untuk menampilkan (unjuk kerja) atau menghasilkan sesuatu yang menunjukkan
bahwa mereka telah mampu mencapai standar yang telah ditentukan atau belum. Pemberian
tugas ini dapat dapat dilakukan selama pembelajaran atau di akhir pembelajaran. Menurut
Nurgiyantoro (2011: 31) dalam memilih tugas autentik yang akan diberikan harus merujuk
pada kompetensi mana yang akan diukur (sesuai dengan standar) dan tugas-tugas tersebut
harus mencerminkan keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata (relevan).
c.
Identify the Criteria for the Task (Pembuatan Kriteria untuk Tugas Autentik)
Langkah ketiga ini bertolak dari pernyataan "What does good performance on this task
look like?"‗Unjuk kerja atau kinerja yang bagus itu yang seperti apa?‘. Untuk menjawab
pertanyaan ini seorang guru atau penilai perlu menentukan kriteria unjuk kerja atau kinerja
yang bagus. Kriteria berisi hal-hal esensial yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya
yang secara esensial dan konkret mewakili kompetensi yang diukur capaiannya
28
(Nurgiyantoro, 2011: 33). Kriteria ini akan digunakan untuk menilai sebaik apa siswa
melakukan tugas mereka dan sejauh mana mereka mampu mencapai standar yang
ditentukan. Jumlah kriteria yang dibuat bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang
pasti kriteria harus mencakup cakupan hal-hal yang esensial dalam sebuah standar karena
hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaran (Nurgiyantoro,
2011: 32).
d. Create the Rubric (Pembuatan Rubrik)
Menurut Mueller melalui Nurgiyantoro (2011: 33), rubrik dapat dipahami sebagai
sebuah skala penyekoran yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap
kriteria terhadap tugas-tugas tertentu. Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok, yaitu
kriteria dan tingkat capaian kriteria. Kriteria adalah hal-hal pokok yang akan dinilai dalam
sebuah tugas, sedangkan tingkat capaian kriteria berisi skor atau angka-angka yang
diperoleh oleh siswa sesuai kualitas kinerjanya yang diukur berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan.
Seorang guru yang telah menyelesaikan empat tahap pengembangan penilaian autentik
berarti telah menentukan standar pembelajaran, menentukan tugas autentik apa yang akan
diberikan, menentukan kriteria dari tugas tersebut, dan telah selesai membuat rubrik
penilaian.
3.
Jenis-jenis Penilaian Autentik
Penentuan jenis tugas penilaian autentik yang akan digunakan disesuaikan dengan
kompetensi yang akan diukur, kondisi kelas, dan kemampuan penilai untuk melakukannya.
Tugas-tugas untuk penilaian autentik telah didesain sedemikian rupa untuk menilai kemampuan
para siswa menerapkan pengetahuan yang telah diberikan dan cakap untuk menghadapi
tantangan di dunia nyata. Beberapa jenis penilaian autentik dijelaskan dalam uraian berikut ini.
a.
Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menguji kemampuan peserta didik dalam
mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan, menguji apa yang mereka ketahui dan dapat
dilakukan, sebagaimana ditemukan dalam situasi nyata dan konteks tertentu (Nurgiyantoro,
2011: 34). Penilaian kinerja dalam pembelajaran bahasa berkaitan dengan kinerja aktif produktif
lewat berbicara dan menulis. Kinerja berbicara misalnya berpidato, berdiskusi, berdialog,
berwawancara (mewawancarai dan diwawancarai), dan sebagainya. Kinerja menulis misalnya
29
membuat karangan, artikel, resensi, menulis berita, surat laporan, analisis teks kreatif, dan lainlain.
b. Wawancara Lisan
Di dalam aktivitas ini terjadi tanya jawab antara pihak yang diwawancarai dan
pewawancara, bisa antara guru dan murid atau murid dengan murid dan guru sebagai pengamat.
Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menilai kompetensi peserta didik membahasakan secara
lisan informasi yang ditanyakan pewawancara dengan benar. Unsur yang dinilai tidak hanya
ketepatan struktur dan kosakata, tetapi juga ketepatan atau kejelasan informasi yang
disampaikan.
c.
Pertanyaan Terbuka
Penilaian dilakukan dengan memberikan pertanyaan (stimulus) atau tugas yang harus
dijawab atau dilakukan oleh peserta didik secara tertulis atau lisan. Pertanyaan harus memaksa
peserta didik untuk mengkreasikan jawaban yang sekaligus mencerminkan penguasaannya
terhadap pengetahuan tertentu. Kemampuan peserta didik memilih atau mengkreasikan pesan
dan bahasa secara akurat dan tepat mencerminkan kualitas berpikir tingkat tinggi (Nurgiyantoro,
2011: 36).
d. Menceritakan Kembali Teks atau Cerita
Pemberian tugas menceritakan kembali biasanya dilakukan untuk mengukur
pemahaman wacana yang didengar atau dibaca secara lisan atau tertulis. Jadi, dalam penilaian ini
terjadi integrasi beberapa kemampuan berbahasa. Aspek yang dinilai yaitu ketepatan unsur
kebahasaan, ketapatan, dan keakuratan isi atau informasi yang terkandung dalam suatu wacana.
e.
Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan karya peserta didik yang dikumpulkan secara sengaja,
terencana, dan sistemik yang kemudian dianalisis secara cermat untuk menunjukkan
perkembangan kemajuan mereka setiap waktu (Nurgiyantoro, 2011: 37).
f.
Proyek
Proyek merupakan bentuk penugasan untuk menghasilkan karya tertentu yang
dilakukan secara berkelompok terkait dengan materi yang diajarkan. Hasil kerja dapat berupa
mini-research atau penelitian kecil-kecilan, laporan tertulis, rekaman video, dan lain-lain.
30
C. Penilaian Autentik untuk Mengukur Kompetensi Berbahasa Aktif Produktif.
Bachman dan Palmer melalui Brown (2004: 28) mendefinisikan penilaian autentik
sebagai the degree of correspondence of the characteristics of a given languange test task to the
features of target language task ‗tingkat kesesuaian karakteristik pada tes bahasa dengan ciri
khas yang terdapat pada bahasa sasaran.‘ Intinya, ketika seorang guru membuat tugas autentik
bahasa, tugas ini benar-benar dibuat seperti halnya yang ditemukan di dunia nyata. Penilaian
autentik dapat dilakukan dalam bentuk tes dan non tes.
Penilaian autentik dalam bentuk tes maksudnya soal objektif-pilihan ganda namun
bernuansakan autentik. Jadi, siswa tidak sepenuhnya ―hanya‖ memilih jawaban yang tersedia.
Penilaian autentik bentuk tes ini dapat digunakan untuk ujian akhir karena lebih praktis daripada
penilaian autentik yang berbentuk non tes. Penilaian autentik bentuk non tes sebenarnya lebih
akurat dan konkret, tetapi karena membutuhkan waktu yang lama penilaian autentik non tes lebih
cocok untuk penilaian proses daripada ujian akhir.
Keterampilan berbahasa memuat empat jenis keterampilan. Keterampilan berbahasa
dibagi menjadi keterampilan reseptif atau menerima dan keterampilan produktif atau
menghasilkan. Keterampilan berbahasa reseptif meliputi keterampilan menyimak dan membaca.
Keterampilan menyimak untuk bahasa lisan dan keterampilan membaca untuk bahasa tulis.
Sementara itu, untuk keterampilan produktif meliputi keterampilan berbicara dan menulis.
Keterampilan berbicara untuk produksi bahasa lisan dan keterampilan menulis untuk produksi
bahasa tulis. Pada makalah ini lebih difokuskan pada keterampilan aktif produktif, baik bahasa
lisan maupun tulis.
Pengukuran kompetensi berbicara dan menulis juga dapat dilakukan dengan penilaian
autentik bentuk non-tes maupun bentuk tes. Untuk tes autentik kompetensi menyimak dan
membaca, soal harus didesain bahwa tanpa bekal pemahaman isi teks yang didengar atau dibaca,
peserta didik tidak bisa melakukan tugas yang diberikan. Tes autentik untuk kompetensi
berbicara dan menulis, pilihan jawaban harus mencerminkan tindakan berbicara dan menulis
yang akan dilakukan siswa ketika berada dalam konteks yang terdapat dalam soal.
Penilaian autentik bentuk non-tes untuk mengukur kompetensi berbicara dan menulis
dapat dilakukan dengan pemberian tugas-tugas yang memungkinkan peserta didik menunjukkan
kinerja berbahasa dalam menyampaikan informasi secara lisan dan tulisan. Tugas-tugas autentik
untuk mengukur kompetensi berbicara tersebut antara lain: menceritakan kembali suatu cerita
31
atau peristiwa secara lisan, bercerita berdasarkan rangsang tertentu, memberikan tanggapan atas
sesuatu secara lisan, berdiskusi, berseminar, berpidato, wawancara (diwawancarai atau
mewawancarai), dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 402-421). Tugas-tugas autentik untuk
mengukur kompetensi menulis antara lain: menulis berdasarkan rangsang tertentu (gambar,
suara, visual dan suara, buku), menulis laporan, menulis surat, menulis berdasarkan tema
tertentu, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 428-445). Pemilihan tugas autentik harus disesuaikan
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum. Bahan materi yang digunakan
juga harus dalam jangkauan kognitif peserta didik.
Contoh-contoh penilaian autentik dalam bentuk tes dan non-tes diuraikan dalam
penjelasan berikut ini.
1.
Contoh Penilaian Autentik Non-tes untuk Mengukur Kompetensi Berbicara
a.
Soal Bahasa Jawa:
 Identitas Mata Pelajaran
Mata Pelajaran : Bahasa Jawa
Kelas/Semester : XI/ 2 (Dua)
Alokasi Waktu : 2 JP
 Standar Kompetensi
1. Mampu praktik pranatacara dan sesorah (pidato) berbahasa Jawa.
 Kompetensi Dasar
6.1. Praktik sesorah dalam berbagai kegiatan di sekolah.
 Indikator
1. Siswa mampu membuat teks sesorah sesuai tema yang telah ditentukan.
2.
Siswa mampu melaksanakan praktik sesorah dengan pilihan kata, wiraga, wicara,
wirama, dan wirasa yang tepat.
 Soal:
Cobi samenika kadamelna sesorah kanthi tema ―Pigunanipun Nyinau Basa Jawi ing
Sekolahan‖. Wondene cengkoronganipun kados ing ngandhap menika:
Cengkoronganing
Isi
Sesorah
Pambuka
Pangertosan wulangan basa Jawi
Isining sesorah
Menapa kemawon ingkang dipunsinau ing basa Jawi?
Pigunanipun nyinau basa Jawi
32
Panutup
Dudutan (simpulan) bab menapa perlunipun nyinau basa Jawi.
Sasampunipun sesorah dipundamel, kagladhena wonten sangajenging kelas ngginakaken
basa Jawi krama!

Penyekoran:
1.
Pembuatan Kriteria
a.
Materi
= berkaitan dengan kualitas isi pidato dan penguasaan
materi pidato.
b.
Ketepatan diksi
= berkaitan dengan ketepatan pemilihan kata.
c.
Ketepatan kalimat
= struktur kalimat tepat dan adakepaduan antar kalimat.
d.
Wirama
= berkaitan dengan jelas tidaknya pengucapan,
ketepatan penekanan, dan kecepatan berbicara.
e.
Wiraga
= berkaitan dengan sikap ketika berbicara (wajar,
tenang, tidakkaku, dangerakan-gerakan yang
menunjangpembicaraan).
f.
Wirasa
= berkaitan dengan pesan dan nilai rasa yang
disampaikan dapat sampai ke audience.
Tingkat kefasihan secara umum ditentukan sebagai berikut: 1= kurang sekali, 2 = kurang,
ada sedikit unsur benar, 3 = sedang, jumlah unsur benar dan salah kurang lebih seimbang, 4 =
baik, ketepatan tinggi dan sedikit kesalahan, 5 = baik sekali, tepat sekali, tanpa atau hampir tanpa
kesalahan. Nilai dihitung dengan rumus = jumlah skor:skor maksimal x 100.
2.
Pembuatan Rubrik Penilaian
Rubrik penilaian kinerja berpidato / sesorah:
No. Aspek yang dinilai
Tingkat Kefasihan
1
1.
Materi
2.
Ketepatan diksi
3.
Ketepatan kalimat
4.
Wirama
5.
Wiraga
6.
Wirasa
2
3
4
5
33
Jumlah skor
Nilai
3.
Contoh penilaian autentik dalam bentuk tes untuk mengukur kompetensi berbicara
berbahasa Jawa
1.
Rina ngampil buku basa Jawa marang gurune. Nalika mbalekake buku kang diucapake
Rina yaiku...
a. Ibu, punika kula badhe mangsulaken bukunipun Ibu. Matur nuwun.
b. Ibu, punika kula badhe ngonduraken bukunipun Ibu. Matur nuwun.*)
c. Ibu, niki kula badhe mbalekaken bukunipun Ibu. Matur nuwun.
d. Ibu, niki kula badhe ngaturaken bukunipun Ibu. Matur nuwun.
2.
Bu Susi
: ―Hallo‖
Maya
: ―Sugeng enjang. Punapa leres punika Bu Susi?‖
Bu Susi
: ―.....‖
Bacute pacelathon lewat telepon mau kang trep yaiku...
a. Iya bener, iki aku dhewe. Iki sapa?
b. Nggih leres niki Bu Susi. Niki sinten?
c. Iya bener iki Bu Susi.
d. Inggih leres kula piyambak, saking sinten punika? *)
Dari dua contoh soal di atas, meskipun soal dibuat dalam bentuk tes, namun untuk
dapat menjawab pertanyaan, peserta didik tetap dituntut untuk melakukan kinerja. Meskipun
―kinerja‖ dilakukan hanya dalam benak dan tidak dipraktikan secara langsung, namun soal
tersebut adalah pengejawantahan dari bentuk kinerja atau performance yang nyata.
4.
Contoh penilaian autentik non-tes untuk mengukur kompetensi menulis
berbahasa Jawa:
 Identitas Mata Pelajaran
Mata Pelajaran : Bahasa Jawa
Kelas/Semester
: X/ 1 (Satu)
Alokasi Waktu: 2 JP
 Standar Kompetensi
4. Mengungkapkan gagasan dan pendapat berbagai wacana non-sastra dalam kerangka
budaya Jawa
 Kompetensi Dasar
4.1 Menulis surat resmi berbahasa Jawa
34
 Indikator
1. Siswa mampu menggunakan bahasa Jawa yang tepat dalam bentuk karya tulis non
sastra (surat resmi).
2. Siswa mampu menulis surat resmi dalam bahasa Jawa sesuai konteks yang ditentukan.
 Soal:
Kadamelna serat resmi mawi basa Jawi ingkang wosipun serat ulem rapat OSIS kangge
ngrembag acara MOS.
 Penyekoran
Rubrik untuk Penilaian Penulisan Surat Resmi Berbahasa Jawa:
No.
Aspek yang Dinilai
Tingkat Capaian Kinerja
1
5.
1.
Ketepatan format surat
2.
Ketepatan isi surat
3.
Ketepatan diksi
4.
Ketepatan struktur kalimat
5.
Ketepatan tata tulis
2
3
4
5
Contoh Penilaian Autentik dalam Bentuk Tes untuk Mengukur Kompetensi Menulis
berbahasa Jawa
a.
1. Miturut tradhisi Jawi, pasang tarub sarta tuwuhan menika mawi dhasar petangan
wekdal, dinten, sarta tanggal ingkangsampun kapetang kanthi premati.
2. Upacara tarub inggih menika upacara pasang tetuwuhan sarta janur kuning minangka
rerenggan papaning pawiwahan.
3. Pasang tarub menika limrahipun sareng kaliyan upacara siraman.
4. Janur kuning sarta tetuwuhan kapacak ing korining pawiwahan.
Urutaning ukara kang bener supaya kadhapuk dadi paragraf kang apik yaiku...
a. 2 - 1 - 4 - 3
b. 2 - 4 - 1 - 3
c. 2 - 3 - 1 - 4
d. 2 - 1 - 3 - 4
b. Pengetan dinten ageng yen kaserat mawa aksara Jawa yaiku...
35
a.
b.
c.
d.
D. Penutup
Penilaian autentik adalah suatu model penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur
capaian kompetensi dan kinerja siswa sesuai yang difokuskan dalam KTSP dan kurikulum 2013.
Pemahaman tentang penilaian autentik dapat membantu seorang guru melakukan evaluasi
pembelajaran yang telah dilakukan. Dari hasil penilaian autentik guru dapat memperoleh umpan
balik atau feed back yang akurat sehingga dapat dijadikan landasan untuk merevisi dan
mengembangkan proses pembelajaran selanjutnya. Siklus ini dapat berlangsung terus menerus
sehingga pada akhirnya akan menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan mampu
bersaing di dunia nyata.
―Guru yang hebat akan menciptakan murid yang hebat‖
Daftar Pustaka
Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment: Principles and Classroom Practices. New
York: Pearson Education, Inc.
Mueller, Jon. 2011. Authenthic Assessment Toolbox. North Central College, Naperville,
http://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/index.htm, diunduh tanggal 27 Maret 2012.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi.
Yogyakarta: BPFE.
____________________. 2011. Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta:
UGM Press.
36
PENGGUNAAN APLIKASI ANDROID “APLIKASI WAYANG KULIT V2” SEBAGAI
SARANA PEMBELAJARAN WAYANG KULIT DALAM KURIKULUM 2013
Krisna Pebryawan, S.S., M.Pd.
Universitas Widya Dharma Klaten
Abstrak
Kepopuleran smartphone dengan sistem operasi berbasis android di lingkungan remaja harus
bisa disiasati oleh guru. Guru hendaknya kreatif dan adaptif dengan perubahan jaman. Termasuk
merespon perkembangan teknologi komunikasi. Android bisa dimanfaatkan sebagai media
pembelajaran materi wayang kulit. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penulisan
makalah ini adalah penggunaan Aplikasi Wayang Kulit v2 sebagai sarana pembelajaran wayang
kulit pada kurikulum 2013. Diharapkan aplikasi tersebut dapat membantu para guru dalam
mengajarkan materi wayang kulit, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan dan
memahami nilai-nilai budi pekerti yang terdapat dalam wayang kulit.
Kata kunci: android, wayang kulit.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan berkembang pesat dalam satu dekade terakhir yang ditandai dengan
munculnya berbagai produk-produk teknologi. Tujuannya kurang lebih sama untuk
memudahkan kehidupan manusia. Salah satu produk dalam bidang teknologi yang fenomenal
adalah smartphone. Kehadirannya telah benar-benar membawa perubahan yang signifikan
bagi kehidupan masyarakat. Dalam benda sekecil itu orang dapat melakukan banyak hal
seperti sms, telpon, chatting, menggunakan google, youtube, skype, dan bermain game.
Bahkan orang tidak perlu lagi membawa kamus tebal yang terkesan berat dan ribet, karena
digantikan dengan kamus elektronik. Masyarakat tak perlu lagi membawa peta jika ingin
bepergian, cukup dengan google map atau aplikasi here kita bisa sampai di tempat tujuan.
Fenomena smartphone dengan cepat menjalar di lingkungan anak muda. Mereka
yang menamakan diri generasi kekinian. Generasi yang cepat dan penuh gairah. Informasi
37
pun mengalir sangat deras dalam hitungan detik. Tak perlu lagi televisi, radio, ataupun surat
kabar. Semua dalam genggaman bernama smartphone. Dampak yang ditimbulkannya pun
bermacam-macam. Baik negatif maupun positif. Memang tidak dapat dipungkiri, kemudahan
yang didapat juga berbanding lurus dengan resiko yang harus ditanggung. Pada kenyataannya
banyak pengguna yang kurang bijaksana dalam memanfaatkannya.
Perubahan pola berpikir dan selera anak muda sudah menjadi hal yang lumrah. Jaman
dahulu sebelum makan kita berdoa, sekarang sebelum makan kita foto dulu hidangannya.
Dahulu ketika orang berkumpul, dimanfaatkan untuk bercengkrama, bercanda, dan bertukar
pikiran. Sekarang orang berkumpul, sibuk dengan smartphone masing-masing. Hal ini
memunculkan kesan bahwa smartphone mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.
Dibalik kehebatan smartphone yang sangat diandalkan oleh banyak orang, tanpa
disadari smartphone membawa dampak negatif, sifat apatis dan individual. Mereka lebih asik
dengan dunianya sendiri dan tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar. Oleh karenanya
melalui lembaga pendidikan, guru diharapkan mampu memberikan kontribusinya secara
maksimal. Menjadi filter masuknya berbagai informasi dan memberikan pemahaman tentang
penggunaan smartphone yang bijak dan bertanggungjawab.
Guru adalah sebuah profesi yang dihormati. Sampai sekarang masyarakat percaya
bahwa guru adalah pilar bangsa. Orang tua susah payah bekerja supaya mampu membiayai
sekolah anaknya. Anak juga dikursuskan di berbagai tempat. Orang tua menganggap bahwa
masa depan anaknya berada di tangan para guru. Guru dalam konsep Jawa merupakan
Jarwodhosok: guru-digugu lan ditiru. Maka jelas sudah, bahwa guru menjadi sosok yang
diteladani baik perkataan dan perbuatannya.
Guru hebat adalah guru yang adaptif terhadap perubahan, mengetahui selera pasar
dan mampu memenuhi kebutuhan siswanya. Hal ini juga menjadi tantangan bagi guru
bahasa Jawa. Peran bahasa dan sastra Jawa dalam pembentukan karakter (budi pekerti) harus
disadari betul oleh para guru bahasa Jawa. Mempelajari bahasa Jawa yang terkesan kuno,
bukan berati harus mengajarkan materinya juga dengan cara kuno. Akan sangat susah ketika
guru mengajarkan hanacaraka dengan cara konvensional. Menulis di papan tulis, lalu siswa
disuruh menghafal. Diberi tugas, kemudian maju satu-satu menuliskannya.
Guru bahasa Jawa dituntut untuk mengikuti perkembangan jaman. Mampu
beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Dengan begitu guru memiliki kepekaan terhadap
38
selera siswa. Baju yang dipakai guru 10 tahun lalu, tak akan digunakan oleh generasi
sekarang, karena dianggap ketinggalan jaman. Perbedaan selera antar generasi pasti terjadi,
sama halnya dengan bahasa. Seperti kata Lestari (2015: 42) hidup ini cair. Semesta bergerak.
Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan
mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang
jujur tetapi penuh rahasia.
Senada dengan dengan hal itu, Kasali (2014: 11) mengungkapkan bahwa perubahan
belum tentu menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa perubahan tak akan pernah ada
pembaruan. Apa yang diungkapkan Rhenald Kasali memang benar. Sempat terjadi
kekacauan akibat kurikulum 2013, siswa dianggap belum siap. Guru kalangkabut, banyak
pihak memprotes. Pro dan kontra mewarnai berjalannya kurikulum 2013. Terlepas dari
polemik tersebut, pada kenyataannya sekarang kurikulum 2013 dan KTSP berjalan
berdampingan. Inilah contoh perubahan!
Wayang kulit adalah salah satu materi dalam pembelajaran bahasa Jawa, baik di
kurikulum 2013 maupun KTSP. Tidak dapat dipungkiri bahwa cerita wayang mengandung
nilai-nilai budi pekerti yang dibutuhkan oleh generasi sekarang. Terlebih dengan cepatnya
informasi di era globalisasi sekarang ini, implementasi nilai-nilai budi pekerti diharapkan
dapat berjalan sesuai harapan.
Masalah justru muncul pada diri banyak siswa yang menganggap pembelajaran
wayang kulit tidak perlu. Hal ini tentu disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kurang
tepatnya strategi pengajaran guru di dalam kelas. Selama ini konsep wayang di benak para
siswa adalah dunia dongeng, dewa dewa, bahasanya yang tinggi susah dijangkau oleh siswa.
Siswa jadi malas, kurang tertarik dan dampaknya pembelajaran berjalan kurang lancar.
Untuk itulah kreatifitas guru diperlukan. Guru sewajarnya memiliki strategi mengajar
yang tepat, unik dan inovatif. Yang artinya selalu berkembang mengikuti jaman. Termasuk
dalam pemanfaatan teknologi. Android adalah salah satu jenis smartphone yang banyak
digemari saat ini. Selain harganya terjangkau juga mempunyai banyak fungsi yang sesuai
dengan kebutuhan anak muda saat ini. Diharapkan kehadiran android dapat dipakai sebagai
media pembelajaran.
2. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah
39
Android sebagai sebuah kemajuan teknologi yang akrab di lingkungan siswa
keberadaannya belum dimaksimalkan oleh para guru. Padahal android bisa dimanfaatkan
sebagai media pembelajaran di ruang kelas. Berdasarkan identifikasi tersebut maka dapat
dirumuskan permasalahannya: bagaimanakah pembelajaran materi wayang kulit melalui
aplikasi Wayang Kulit V2 yang terdapat pada android?
B. Studi Kepustakaan
Apa itu android? Android adalah suatu sistem operasi yang berjalan pada smartphone.
Menurut Aingindra (2013) di laman resminya mengatakan bahwa android merupakan sebuah
sistem operasi berbasis Linux untuk telepon seluler seperti telepon pintar dan komputer
tablet. Android menyediakan platform terbuka bagi para pengembang untuk menciptakan
aplikasi mereka sendiri untuk digunakan oleh bermacam peranti bergerak.
Android pada awalnya dikembangkan oleh Android, Inc, yang didukung Google
finansial dan kemudian dibeli pada tahun 2005. Android ini diresmikan pada tahun 2007
seiring dengan berdirinya Open Handset Alliance-konsorsium hadware, sofware, dan
perusahaan telekomunikasi yang ditujukan untuk memajukan standar perangkat seluler.
Perkembangan android dari awal hingga sekarang ini sudah mencapai 10 versi.
Versi android dikembangkan dengan nama kode yang dinamai berdasarkan makanan pencuci
mulut dan penganan manis. Masing-masing versi dirilis sesuai urutan alfabet, yakni Cupcake
(1.5), Donut (1.6), Eclair (2.0-2.1), Froyo (2..2-2.2.3), Gingerbread (2.3-2.3.7), Honeycomb
(3.0-3.2.6), Ice Cream Sandwich (4.0-4.0.4), Jelly Bean (4.1-4.3), Kitkat (4.4.2-4.4.4), dan
Lolipop (5.0+).
Sekarang ini android menjadi smartphone paling diminati masyarakat.
Dibandingkan dengan paltfrom lain, android memiliki beberapa keunggulan. Menurut
Aingindra (2013) beberapa keunggulan android dibanding dengan platfrom lain yaitu:
a. User Friendly
Kalimat ini sangat melekat pada sistem operasi windows milik microsoft, ibaratnya kita
dengan mudah mengoprasikan komputer hanya dengan belajar beberapa hari bahkan
beberapa jam saja, dan ini juga melekat pada android yang berjalan pada smartphone.
b. Notifications
40
Kita bisa dengan mudah mendapatkan notifikasi dari smartphone android dengan
mengatur beberapa akun email, sms, voice dial, update dan lain sebagainya.
c. Tampilan
Dari segi tampilan, android tidak kalah bagusnya dari iOs miliknya Apple, karena
memang dari awal android hampir mengusung teknologi iOs, hanya saja ini versi
murahnya.
d. Open Source
Operating system ini memang dibuat open source oleh penciptanya, karena memang
berbasis kernel Linux. Oleh karenanya banyak sekali custom rom untuk masing-masing
perangkat android.
e. Aplikasi
Untuk aplikasi kita akan disajikan jutaan pilihan aplikasi yang menarik dan yang gratis
hingga berbayar, dan anda bisa mendownloadnya di Google Play.
Oleh karenanya penggunaan android sebagai alternatif media pembelajaran dirasa
tepat. Dengan sistem operasi yang terbuka memungkinkan banyak pihak untuk membuat
aplikasi sesuai dengan kebutuhan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk
membuat aplikasi yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa, mulai dari nulis aksara Jawa,
kalender hijriyah dan Jawa, Kawruh Basa Jawa, wayang kulit, hitung pasaran, lagu Jawa,
kamus Indonesia-Jawa, hingga resep masakan khas Jawa.
Sudah sepantasnya kita memberikan apresiasi bagi pihak-pihak yang turut
mengembangkan aplikasi berbahasa Jawa. Sebagai wujud apresiasi tersebut adalah
memanfaatkannya dalam dunia pendidikan. Sarana untuk mengenalkan dan mempelajari
kebudayaan Jawa seperti wayang kulit.
Mulyasa (2014: 71) berpendapat bahwa pendayagunaan sumber belajar memiliki arti
yang sangat penting, selain melengkapi, memelihara, dan memperkaya khasanah belajar,
sumber belajar juga dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar, yang sangat
menguntungkan baik bagi guru maupun bagi para peserta didik. Dengan didayagunakannya
sumber belajar secara maksimal, dimungkinkan orang yang belajar menggali berbagai jenis
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya, sehingga pengetahuannya senantiasa
aktual, serta mampu mengikuti akselerasi teknologi dan seni yang senantiasa berubah.
41
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa android dapat dijadikan media
pembelajaran dan sumber belajar bagi guru dan siswa.
Menurut Guritno (1988: 7) wayang sebagai hasil prestasi puncak masa lalu para
leluhur yang bertempat tinggal di pulau Jawa dengan demikian dapat dianggap sebagai
warisan budaya Indonesia yang patut dijadikan milik bersama karena isi kandungannya, baik
berupa etika maupun estetikanya, tahan uji selama berabad-abad, dan tidak henti-hentinya
memukau perhatian orang-orang di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu wayang
dimasukkan dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah.
Sumardianta (2013: 48) mengatakan bahwa karakter merupakan ciri khas yang
melekat pada kepribadian seseorang dan tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara merespon
stimulus-pengaruh dari luar. Semakin kuat karakter seseorang, semakin rendah tingkat
responnya terhadap stimulus. Semakin lemah karakter seseorang, semakin tinggi responnya
terhadap stimulus. Karakter berarti: apa yang tetap orang lakukan walau tidak ada yang sudi
memperhitungkan; apa yang membuat orang tetap tegar ketika orang lain tidak ada yang
menghargai; apa yang membuat orang tetap bahagia saat orang lain tidak mendukung; dan
apa yang tetap orang percayai saat seseorang melakukan kesalahan.
Senada dengan hal itu Mulyasa (2014: 65) menegaskan pengembangan kurikulum
difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan
pengetahuan, kompetensi, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai
wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual.
Lebih dari itu yang terakhir namun paling penting adalah peran guru. Guru adalah
tokoh sentral yang membuat semuanya terjadi. Keterampilan guru dalam menerapkan strategi
pembelajaran sangat dinanti. Kemampuan guru untuk menyatukan wayang kulit dan nilainilai budi pekertinya dengan teknologi yang dimiliki android diharapkan dapat berjalan
lancar. Seperti dikemukakan oleh Mulyasa (2007: 69) bahwa keterampilan mengajar
merupakan kompetensi profesional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai
kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh.
C. Pembahasan
Meski mempelajari budaya Jawa yang terkesan kuno, bukan berarti juga harus
menggunakan pendekatan konvensional. Diperlukan pula pendekatan yang modern, sesuai
42
dengan selera siswa. seperti dikatakan oleh Kasali bahwa perubahan itu pasti terjadi.
Pembelajaran yang bagus juga harus cerdas dalam merespon perubahan. Adaptif terhadap
perkembangan teknologi. Kita tidak bisa memaksakan para siswa untuk mendengarkan guru
berceramah seharian sedangkan siswa duduk diam mendengarkan dengan tangan di atas
meja.
Mereka adalah generasi yang bergerak. Bukan lagi mangkuk kosong yang bisa diisi
apapun juga. Saya kira ini bisa menjadi bahan perenungan guru, bahwa tidak boleh menutup
mata pada teknologi. Kemajuan teknologi harus digandeng. Disosialisasikan kepada siswa.
Seperti pemahaman yang penulis dapat dari Kasali bahwa sekolah adalah entitas sosial yang
mendidik masyarakat agar hidup dalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai
kesejahteraan atau kebahagian.
Siswa menyukai hal-hal yang berbau kekinian. Sesuatu yang segar, baru, dan
muthakir. Hal itu mereka peroleh dari teknologi dan android adalah contohnya. Berangkat
dari selera siswa tersebut, maka pembelajaran wayang kulit dinilai belum maksimal. Ada
beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran wayang kulit kurang maksimal, yaitu:
1. Terbatasnya media pembelajaran berupa wayang kulit. Tidak semua guru mempunyai
wayang dan mau membeli wayang kulit untuk kemudian di bawa ke dalam ruang kelas.
2. Kompetensi guru yang kurang memadai. Beberapa guru bahasa Jawa kurang mengetahui
selukbeluk cerita wayang. Hal ini tentu akibat dari sistem pendidikan yang dahulu
mereka terima sewaktu menjadi siswa. dampaknya, mereka tularkan pada siswanya.
3. Materi wayang kulit masih absurd dimata anak-anak. Anak kurang tertarik dengan materi
yang dibawakan. Hal ini dikarenakan bahasa dalam pewayangan yang terbilang sukar,
karena merupakan perpaduan bahasa sastra yang multi tafsir dengan bahasa Jawa krama.
4. Minimnya referensi tentang wayang, terutama buku-buku yang membahas tentang cerita
wayang dan tokohnya.
Para guru boleh bernafas lega, setidaknya dengan adanya android maka
pembelajaran di dalam kelas menjadi lebih berwarna. Sekarang di dalam operasi sistem
tersebut terdapat banyak aplikasi tentang budaya Jawa. Salah satu contohnya adalah aplikasi
wayang kulit v2. Aplikasi wayang kulit v2 merupakan aplikasi android yang bisa di
download gratis lewat playstore. Aplikasi tersebut adalah buah karya Angga Prasetyo
(Mahasiswa semester 5) Program Studi Manajemen Informatika Politeknik Negeri Jember.
43
Aplikasi wayang kulit dibuat untuk memperpendek akses masyarakat umum untuk
mempelajari dan mengenal kesenian wayang kulit melalui media smartphone dengan sistem
operasi ANDROID.
Dengan penggunaan android sebagai media pembelajaran, maka terjadi keterbukaan
antara guru dan siswanya. Siswa tidak lagi mengeluarkan smartphone secara sembunyi
sembunyi. Seperti pada ilustrasi berikut ini:
Siswa mengeluarkannya dengan
sembunyi-sembunyi
Sebaliknya, mereka dengan sukarela mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Guru
pun tidak akan memarahi, karena dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Siswa bahagia,
guru gembira. Transfer ilmu pengetahuan berjalan optimal. Perhatikan ilustrasi di bawah ini.
Siswa mengeluarkannya dengan
senang hati.
Aplikasi wayang kulit v2 secara umum berisi tentang gambar-gambar wayang, info
wayang berupa macam-macam gending, nama ratu dan negaranya, termasuk dasanama tokoh
pewayangan, serta alat musik gamelan seperti bonang, demung, kenong, peking, slenthem,
dan saron yang bisa dibunyikan. Penggunaan aplikasi wayang kulit v2 ini cukup sederhana.
Halaman pertama ketika membuka aplikasi terdapat tiga menu utama, yaitu masuk, petunjuk,
dan tentang. Seperti terlihat pada gambar 1.
44
Gambar no 1
Pertama kali yang kita lakukan adalah memasukkan akun. Akun itu bisa kita dapat
dengan memasukan nama kita. Untuk seterusnya kita tidak perlu memasukan akun lagi.
Penggunaan aplikasi ini juga cukup mudah. Apabila menemukan kesulitan, kita dapat
membuka halaman petunjuk. Halaman petunjuk bisa menjadi panduan bagi pemula. Dapat
dilihat pada gambar 2.
45
Gambar no 2
Halaman selanjutnya setelah meng-klik kolom ―masuk‖ adalah halaman utama. Pada halaman
utama terdapat sepuluh menu, yaitu: (1) bonang; (2) Demung; (3) Kenong; (4) Peking; (5) Saron; (6)
Slenthem; (7) Main Wayang; (8) Gambar Wayang; (9) Info Wayang; (10) Quis. Untuk menu nomer 1
sampai dengan 7, adalah simulasi menabuh gamelan. Sedangkan pada menu nomer 7 kita bisa
menggunakannya untuk memainkan wayang. Posisi wayang bisa diubah-ubah, tangannya juga bisa
digerakkan. Lalu pada menu nomer 8 berisi tentang gambar-gambar tokoh dunia pewayangan. Menu
nomer 9 berisi tentang perangkat gamelan, gendhing, nama Ratu dan negaranya, senjata andalan,
dewa-dewa, dasanama, dan panakawan. Dapat dilihat pada gambar 3 berikut:
46
Gambar 3
Menu terakhir berupa kuis. Berisi 10 soal sederhana yang berkaitan dengan wayang
kulit dan pagelarannya untuk dijawab oleh user. Setelah mencoba beberapa kali aplikasi
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa aplikasi wayang v2 memang masih membutuhkan
penambahan. Terdapat beberapa kekurangan seperti suara gamelan yang ada hanya pelog,
sedangkan untuk slendro belum tersedia. Namun dibalik kekurangan itu, aplikasi ini cukup
membantu para siswa untuk mengenal dan mempelajari wayang kulit.
Disamping aplikasi tersebut, guru juga bisa menggunakan aplikasi sejenis lainnya
yang bisa didownload secara gratis di playstore. Beberapa contoh aplikasi tersebut telah
disebutkan pada awal pembahasan. Bagaimanapun juga, sesempurna apapun media yang
digunakan, tetap tidak ada yang bisa menggantikan peran seorang guru. Oleh karena itu
aplikasi tersebut digunakan sebagai media, bukan pengganti guru. Diharapkan dengan adanya
aplikasi tersebut dapat membantu guru dalam memberikan pengajaran. Sebaliknya
kekurangan-kekurangan dalam aplikasi tersebut dapat dilengkapi oleh guru.
D. Simpulan dan Saran
Aplikasi wayang kulit pada android terbukti mampu menjembatani guru dengan murid.
Image guru yang terkesan kuno dan gagap teknologi bisa terpatahkan. Disamping itu siswa akan
47
sangat terhibur dengan adanya teknologi dalam pembelajaran, apalagi yang digunakan adalah
android. Benda yang sudah akrab dengan dirinya. Hal ini tentu sangat menyenangkan bagi siswa.
Diharapkan ada kerjasama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, pakar teknologi, dan
pakar bahasa dan sastra Jawa untuk menciptakan aplikasi sejenis yang dapat digunakan dalam
pembelajaran di dalam kelas.
Daftar Pustaka
Aingindra. 2013. Dalam artikelnya berjudul ―Android adalah sistem operasi‖. Diambil
laman www.aingindra.com.
dari
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia, dan Pancasila. Jakarta: UI-
Press.
Kasali, Rhenald. 2013. Change. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
____________.2014. Lets Change: Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
PT
Lestari, Dewi. 2015. Filosofi Kopi. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Mulyasa, E. 2014. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
_________. 2007. Menjadi Guru Profesional: menciptakan pembelajaran kreatif dan
menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Prasetyo, Angga. 2015. Aplikasi Wayang Kulit dengan Sistem Operasi Android. di
download secara gratis melalui Playstore.
Sumardianta, J. 2013. Guru Gokil Murid Unyu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Wikipedia. 2015. Versi android dari awal sampai
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_versi_Android.
akhir,
yang
diambil
dari
48
TEMA DAN PRAGMATIKA BUDI PEKERTI JAWA
DALAM NOVEL-NOVEL JAWA MODERN PERIODE 1950-2000-AN
Djoko Sulaksono
Pendidikan Bahasa Jawa, JPBS, FKIP UNS
[email protected]
Abstrak
Tema sebagai bagian dari struktur mempunyai peran yang sangat
penting, karena dapat dikatakan sebagai ide pokok suatu karya sastra.
Sebagai salah satu wujud karya sastra, novel-novel Jawa modern periode
1950-2000-an mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang
dapat dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Budi pekerti Jawa
dalam novel dapat disampaikan dengan berbagai hal, salah satunya
adalah dengan pragmatika budi pekerti Jawa.
Kata kunci: tema, pragmatika, budi pekerti, novel Jawa.
A. Pengertian Novel
Wardani (2009: 16) menyatakan bahwa novel adalah fiksi yang mengungkapkan cerita
tentang kehidupan tokoh dan nilai-nilainya. Novel berisi cerita mengenai tokoh hero yang
mengalami problematik dalam dunia yang terdegradasi. Tokoh hero merupakan tokoh yang
paling sering muncul atau dapat dikatakan sebagai tokoh utama yang jalan hidupnya paling
sering diceritakan atau dibicarakan. Adapun panjang novel biasanya terdiri lebih dari 50.000
kata atau lebih sehingga waktu pembacaannya tidak satu kali dapat selesai. Sementara itu,
Prabowo, Widati dan Rahayu
(2012: 368) menyatakan novel adalah jenis prosa yang
mengandung tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut
pandang pengarang. Dalam suatu novel terkandung nilai kehidupan yang diolah dengan
teknik narasi/kisahan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sekarang istilah roman sama
dengan penyebutan istilah novel.
Waktu pembacaan novel lebih lama daripada cerita pendek. Hal ini karena novel lebih
panjang daripada novel, hal tersebut dipertegas oleh Kenney (1966: 105 ) sebagai berikut
―Where the short story compresses, the novel expands. For the
intensity of the short story, the novel subtitutes complexity…Time and the
49
novel. The novel is decidedly not meant to be read at a single sitting.
Because of its length, the novel is particularly suited, as the short story is
not, to deal with the effect an character of the passage of time.
Novel atau novella (Latin), dalam sejarah sastra Barat merupakan bentuk singkat dan
padat cerita zaman pertengahan. Sebagai istilah, di Indonesia digunakan mulai Angkatan
Pujangga Baru (1930-an), menggantikan istilah roman yang digunakan pada angkatan balai
pustaka (1920-an). novel yang lebih pendek disebut novella (novelet). Novel merupakan satusatunya karya sastra, dalam hubungan ini jenis fiksi yang paling digemari masyarakat (Ratna,
2014: 720).
B. Jenis-jenis Novel
Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema
dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Goldmann dalam Faruk
(2010: 31) menggolongkan novel menjadi tiga macam, yaitu novel idealisme abstrak, novel
psikologi, dan novel pendidikan.
1. Novel idealisme abstrak, yaitu novel yang menampilkan tokohnya yang masih ingin di
dunia. Persepsi tentang tokoh yang sempit tentang dunia, subjektivitasnya menjadikan
idealisme bersifat abstrak.
2. Novel psikologis, yaitu novel yang menampilkan tokoh yang idealisme tentang dunia
lebih luas dan dalam.
3. Novel pendidikan, yaitu novel ini menampilkan tokoh yang memiliki interioritas dan
kesadaran tinggi sehingga tokohnya terkadang mengalami kegagalan.
Berbeda dengan Faruk, Nurgiyantoro (2009: 16) membedakan novel menjadi dua,
yaitu novel serius dan novel popular.
1. Novel serius
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara
pengucapan yang baru pula. Secara singkat, unsur kebaruan diutamakan. Tentang
bagaimana suatu bahan diolah dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks
kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarikmenarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi
mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat
50
stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya (Nurgiyantoro,
2009: 20).
Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2009: 21) menjelaskan bahwa novel serius tidak
bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak
banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan. Dengan sedikit pembaca pun tidak apa asal mereka
memang berminat dan syukurlah jika berkualitas. Jumlah novel dan pembaca serius, walau
tidak banyak akan punya gaung dan bertahan dari waktu ke waktu.
2. Novel Populer
Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan
kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra popular menyajikan kembali
rekaman-rekaman
kehidupan
dengan
tujuan
pembaca
akan
mengenali
kembali
pengalamannya. Oleh karena itu, sastra popular yang baik banyak mengundang pembaca
untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam, 1981: 88).
Selanjutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah
yang aktual dan selalu menjaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel
populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha
meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel boleh jadi akan
ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat
artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang
untuk membacanya sekali lagi. Ia biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan
munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (Nurgiyantoro,
2009: 18).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima
jenis novel, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis, novel pendidikan, novel serius
dan novel populer. Masing-masing jenis novel tersebut mempunyai karakter atau ciri-ciri
tersendiri yang membedakan dengan jenis yang lainnya.
C. Novel Berbahasa Jawa
Pada umumnya, novel Jawa yang sudah dicetak dan diedarkan sebelumnya diterbitkan
terlebih dahulu melalui majalah atau kalawarti (majalah berbahasa Jawa) dalam bentuk cerita
bersambung. Hal ini sesuai dengan pendapat Damono (2001: 375) bahwa ―secara
51
keseluruhan, jika berbicara mengenai novel Jawa, sebenarnya berbicara tentang cerita
bersambung yang dimuat di majalah dan koran. Dalam hal ini ini Balai Pustaka merupakan
perkecualian. Dalam perkembangan sastra Jawa baru, media masa cetak merupakan sarana
utama penyebarluasannya. Novelis-novelis Jawa umumnya dikenal luas di masyarakat bukan
karena bukunya, tetapi lebih karena cerita-ceritanya yang dimuat secara bersambung di
majalah-majalah. Salah satu majalah yang sangat besar jasanya dalam menyebarluaskan novel
Jawa adalah Panjebar Semangat, sebuah mingguan berita yang pertama kali terbit tahun
1933. Sejak saat itu sampai sekarang, bersama-sama dengan majalah lain seperti Djaja Baja,
mingguan tersebut boleh dikatakan secara teratur menyiarkan cerita bersambung. Panjang
setiap cerita rata-rata adalah 6 kali muat; jika diterbitkan dalam bentuk buku mencapai sekitar
60 halaman‖.
D. Pengertian Budi Pekerti
Sudiyatmana (2005: 32) menyatakan tembung budi saka basa Sansekerta ”budh” sing
tegese: nglilir, tangi, gumregah, sadhar ing babagan kajiwan. Sabanjure tembung pekerti
sing nguweni teges: tumindak, tumandang, makarya, makarti ing babagan karagan. Pekerti
ana sambung rakete karo tindak-tanduk jiwa lan raga, lair lan batin. Budi pekerti bisa
dipilah nanging ora bisa dipisah. Gegandhengan karo bab iku, ana tetembungan sing sinebut
mono dualistik. Bab loro sing bisa dipilah nanging ora bisa dipisah. Ana ing kawruh
metapisika sinebut the law of two, paugeran loro sing tansah ana. lair pasangane batin, ala
pasangane becik, salah bener, padhang-peteng, luhur-asor lan sapiturute.
Sementara itu, Suwandi (2012) menegaskan terdapat sejumlah kata yang dalam
pemakaiannya sering dipertukarkan, yakni kata budi pekerti, moral, karakter, dan akhlak.
Berdasarkan uraian-uraian tentang definisi kata-kata tersebut sebenarnya kata-kata budi
pekerti, moral, karakter, dan akhlak secara umum memiliki arti yang sama. Pendidikan budi
pekerti mengacu pada pengertian pendidikan akhlak atau watak (karakter). Pendidikan budi
pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral. Tujuan budi pekerti
adalah membentuk pribadi anak agar menjadi insan yang baik serta warga masyarakat dan
warga negara yang baik (baik untuk dirinya, masyarakat, dan bangsa) didasarkan pada nilainilai sosial tertentu yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Sejalan dengan
itu, pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia pada hakikatnya adalah
pendidikan nilai yang bersumber pada falsafah dan budaya bangsa Indonesia
52
E. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ―makna‖ dalam pengalaman
manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007: 36).
Sementara itu, Kenney (1966: 91) menyatakan bahwa ―Theme is meaning, but it is not
'hidden' and it is not illustrated. theme is the meaning the story releases; it may be meaning
the story discovers. by theme we mean the necessary implications of the whole story, not a
separable part of a story. Lebih lanjut, Sudjiman (1988: 23) menegaskan bahwa tema adalah
penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang
ditampilkan sebagai tokoh cerita
Quinn (1992: 135) menyatakan The Javanese novel is ideologically diverse. There
seem to be three main sub-groups of novel, each appearing to constitute an ideological focal
point. The three categories are the „priyayi‟ novel, the „panglipur wuyung‟ novel, and the
;modernist‟ novel. The priyayi novel is essentially elitist and conservative in its ideological
orientation, the panglipur wuyung novel is populist and conservative, while the modernist
novel is bourgeois and relatively progressive.
Secara umum, novel-novel yang terbit pada tahun 1950-2000-an termasuk kategori
novel panglipur wuyung. Adapun tema-tema yang terdapat dalam novel-novel Jawa modern
periode 1950-2000-an adalah perjuangan, percintaan, kasih tak sampai, emansipasi wanita,
masalah sosial dan detektif.
1. Perjuangan.
Perjuangan yang dimaksud disini bukan hanya perjuangan dalam bentuk
peperangan melawan penjajah akan tetapi juga perjuangan hidup, misalnya mencari
pekerjaan yang lebih baik, mengubah nasib untuk bertahan hidup dan lain sebagainya.
Perjuangan dalam bentuk peperangan misalnya Serat Gerilya Solo (1957), Tjipta Hening
(1960), Lara-Lapane Kaum Republik (1966) dan Nyai Ageng Serang (1982). Sedangkan
dengan tema perjuangan hidup misalnya Kenja Ketula-tula (1964) dan Candyakala
Kapuranta (2002).
2. Percintaan
Novel-novel Jawa modern yang bertemakan masalah percintaan misalnya Ilang
Tanpa Lacak (1966), Mekar ing Mangsa Panen (1966), Anteping Tekad (1975), Kembang
53
Kanthil (1965), Nalika Langite Obah (1997), Lintang (1997), Tunggak-Tunggak Jati
(1997), dan Pisungsung Kang Wingit (2002).
3. Emansipasi wanita
Novel-novel Jawa modern yang bertemakan emansipasi wanita jumlahnya sangat
sedikit. Adapun novel-novel tersebut antara lain Sintru Oh Sintru (1993 ) dan Astirin
Mbalela (1995). Sintru adalah seorang wanita yang menginginkan kedudukan seperti
halnya laki-laki. Ia menghendaki emansipasi, akan tetapi cara dan pola pikirnya terlalu
berlebihan. Ia menginginkan bekerja dan suaminya yang mengurus rumah tangga, bahkan
berani memukul suaminya. Pada akhirnya, sintru menyadari kesalahan-kesalahannya.
4. Masalah sosial
Novel bertemakan masalah sosial sangat banyak, terutama yang berhubungan
dengan masalah keluarga. Novel-novel tersebut misalnya Duraka (1966), Kesaput ing
Pedhut (1966), Tumetesing Luh (1964), Kumpule Balung Pisah (1966), Tanpa Daksa
(1977), Ombak Sandyakakaning (1991), Kerajut Benang Ireng (1993), Kubur Ngemut
Wewadi (1993), dan Kinanthi (2001).
5. Detektif
Novel dengan tema detektif jumlahnya paling sedikit, sebagai contoh adalah novel
berjudul Garuda Putih (1974) karya Suparto Brata. Novel ini menggambarkan perjuangan
Detektif Handoko memecahkan misteri pembunuhan Abisuna yang terjadi di hotel
Arumdalu. Berkat kecerdikannya, akhirnya kasus ini terungkap. Pembunuh Abisuna
adalah Maridi.
F. Pragmatika Budi Pekerti Jawa
Sastra dan budaya jawa merupakan dua hal yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan
budi pekerti sehingga dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilainilai tersebut ada yang disampaikan secara tersurat dan tersirat. Hal tersebut seperti ungkapan
yang berbunyi ―wong jawa nggone semu‖ yang artinya dalam menyampaikan sesuatu,
kadangkala orang jawa tidak mengatakannya secara langsung akan tetapi dengan ―sinamun
ing samudana‖. Apa yang diperintahkan kadangkala merupakan suatu larangan, misal terus
meneka wit sing dhuwur. Hal ini jika yang mendengar orang yang tidak tahu tentang
54
karakteristik orang Jawa tentu dianggap suatu perintah supaya memanjat lebih tinggi, akan
tetapi bagi orang yang memahaminya tentu akan segera berhenti memanjat atau turun.
Suwandi (2012) yang menyatakan karakter bangsa yang perlu dibentuk dan secara
terus-menerus dibangun ada sepuluh yaitu (1) ketuhanan, (2) kejujuran, (3) kepemimpinan,
(4) kedisiplinan, (5) etos kerja, (6) kepercayaan diri, (7) kemandirian, (8) kesantunan, (9)
tanggung jawab, dan (10) toleransi. Berikut akan disampaikan beberapa analisis tentang
konsep-konsep pragmatika dan nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam bahasa,
sastra serta budaya Jawa dan dalam novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an.
No Budi pekerti
Pragmatika
Budi Pragmatika Budi Pekerti
Pekerti dalam Bahasa, dalam Novel-novel Jawa
Sastra dan Budaya Modern periode 1950-2000Jawa
an
1
Pangeran, Gusti Alloh,
nrima ing pandum, sura
dira jayaningrat lebur
dening pangastuti, gusti
kang
akarya
jagad,
Cedhak tanpa senggolan,
adoh tanpa wangenan,
manekung-manengku
puja, Gusti ora sare,
manunggaling kawulagusti, sangkan paraning
dumadi,
ngelmu
kasampurnan,
agama
ageming aji, ndilalah
kersaning
Alloh,
manungsa
saderma
nglakoni, aja mblenjani
janji,
nrima
ing
pandhum,
percaya
garising pepesthen/takdir
Ketuhanan
1. Gusti Allah: (SOS: 22, 23,
47, 94, 140, 159), (KK:
14, 19, 33, 41, 89, 178),
(AT: 21, 64, 153), (SGS:
38, 41, 49), (K: 34, 49,
51, 61, 67, 89, 147, 153),
(KBP: 32, 35, 94, 140,
159), (SOS: 22, 53), (CK:
28, 29, 41, 43, 69, 79,
101, 109, 138, 150, 153,
155, 160, 171)
2. Gusti ora sare: (MIMP:
52-53 )
3. Sura dira jayaningrat
lebur dening pangastuti:
(MIMP: 53)
4. Nrima
ing
pandum/pasrah:
(KBI:
23), (AM: 146 ), (MIMP:
26), (AT: 169, 210), (K:
54, 62, 90), (SOS 90),
(CK: 113)
5. Gusti
kang
akarya
jagad/murbeng dumadi:
(L: 10, 39, 80), (MTT:
55
40), (PKW: 186), (SOS:
30), (KNW: 133), (KBI:
111), (AT: 171)
6. Manekung manengku puja
„berdoa‘:
(TL:
14),
(MTT: 40), (ITL:6, 36),
(NLO: 7, 36), (AT: 67,
103), (NAS: 23, 87), (CK:
113, 161)
7. Nrima
ing
pandum/bersyukur: (KIP:
6), (PKW: 64-65), (TL:
4), (NLO: 67), (AT: 8),
(SGS: 50), (CK: 135)
8. Aja cidra ing janji : (TD:
10, 28)
9. Nrima marang pepesthen
kang bakal tumeka: (KBI:
23, 81),
10. Percaya
garising
pepesthen/takdir: (SOS:
76)
2
Kejujuran
Becik ketitik ala ketara, 1. Jujur iku mustikaning
sing sapa salah bakal
laku: (KTT: 28), (D: 24 ),
seleh,
jujur
iku
(MTT: 40), (LLKR: 28),
mustikaning laku, sing
(MIMP: 8), (TD: 37, 34),
jujur bakal makmur, aja
(KBI: 61, 84 ), (L: 8),
kegiweng
kincanging
(PKW: 52), (SOS: 90),
alis, gebyaring ringgit
(GP: 8), (KNW: 16-17, 27,
lan wentis kuning
46), (TL: 6), (AT: 93,
143), (NAS: 45), (K: 26)
2. Aja kegiweng kincanging
alis, gebyaring ringgit lan
wentis kuning: (SGS 12),
(TTJ: 17, 96)
3
Kepemimpinan Bapa
minangka
pangarsning kulawarga,
Berbudi
bawaleksana,
sabda pandhita ratu tan
1. Bapa
minangka
pangarsaning kulawarga:
(KIP: 6), ()
56
4
5
6
Kedisiplinan
Etos kerja
Kepercayaan
diri
kena
wola-wali,
rumangsa handarbeni,
melu
hangrungkebi,
mulad sasira hangrasa
wani, ing ngarsa sung
tuladha,
ing
madya
mangun karsa, tut wuri
handayani, aja dumeh
menang
tumindake
banjur
sawenangwenang, aja dumeh sugih
banjur lali marang wong
ringkih,
aja
dumeh
kuwasa
tumindake
daksura
lan
daksia
marang sapadha-padha,
aja
dumeh
pinter
tumindake
banjur
keblinger,
adigangadigung-adiguna.
2. Ing ngarsa sung tuladha
(ITL: 20), (SGS: 31)
Aja kesusu grusa-grusu,
sapa temen bakal tinemu,
sapa tekun mesthi tekan,
alon-alon waton kelakon,
gremat-gremet
waton
slamet, kebat kliwat
gancang pincang, giyakgiyak waton kecandhak.
1. Aja kesusu grusa-grusu,
alon-alon waton kelakon
(KIP: 5), (GP: 47, 92),
(NAS: 50, 52, 103), (TTJ:
37)
Sepi ing pamrih rame ing
gawe, nengenana akal
tinimbang okol, ana
pangan-dipangan, ana
pegaweyan
enggal
ditandangi, dikena iwake
aja
nganti
buthek
banyune,
guna-kayapurun, suku jaja ateken
janggut
1. Sepi ing pamrih rame ing
gawe: (AM: 121), (TH:
26), (KKT: 30 ), (D: 1617), (ITL: 16), (MIMP:
12), (L: 66), (GP: 54, 55),
(KK: 130)
Yen wani aja wedi-wedi,
yen wedi aja wani-wani.
1. Yen wani aja wedi-wedi,
yen wedi aja wani-wani
(TH: 29, 32), (TD: 29),
(KBI: 52, 63, 123), (GP:
26, 27), (KNW: 5, 71),
3. Adigang,
adigung,
adiguna (GP: 98, 110),
(KK: 73), (AT: 20), (AT:
91, 173, 190), (K: 191,
192), (TTJ: 35, 46)
4. Rumangsa
handarbeni,
melu hangrungkebi, mulad
sasira hangrasa wani
(KK: 58), (AT: 215),
(SGS: 7, 10), (NAS: 11,
24)
2. Sapa temen bakal tinemu
(SOS: 50)
2. Nengenana akal tinimbang
okol: (TH: 30 )
3. Suku jaja ateken janggut:
(TD: 19)
57
(NLO: 64, 87)
7
Kemandirian
Ala, becik, begja lan
cilaka saka priyanggadudu saka wong liya,
mandireng pribadi.
1. Ala, becik, begja lan
cilaka saka priyanggadudu saka wong liya: (TH:
12), (TL: 16), (KIP: 19),
(LLKR: ), (MIMP: 8),
(AM: 128 ), (KBI: 84)
2. Mandireng pribadi: (AT:
53), (SOS: 50)
8
Kesantunan
Amit-amit karo mbah
buyut mengko mundhak
kuwalat, ewuh-pakewuh,
ewuh aya ing pambudi,
desa mawa cara Negara
mawa
tata,
empan
papan, ngertia unggahungguh, manembah
1. Ngertia unggah-ungguh:
(TH: 14, 16, 17, 20, 21,
22, 26, 29 dst), (KTT: 5,
11, 15, dst ), (TL: 5, 6, 7,
dst), (KBI: 14, 9, 16, dst ),
(SOS: 50), (KBP: 9), (CK:
21)
2. Manembah:
(NAS: 57)
(AT:
98),
3. Desa mawa cara negara
mawa tata: (KK: 86)
9
Tanggung
jawab
Anak
polah
bapa
kepradhah,
bawa
leksana, Among, amot,
amemangkat; Amengku,
amangku,
amengkoni,
sapa
nandur
bakal
ngundhuh.
1. Sapa
nandur
bakal
ngundhuh: (L: 65), (KNW:
14, 16, 17), (K: 33), (CK:
72)
2. Anak
polah
bapa
kepradhah (KNW: 132)
3. Tanggung jawab (KBI:
62), (NLO: 46), (AT: 70,
187), (NAS: 60), (K: 19)
10
Toleransi
Ngono ya ngono ning ya
aja ngono, yen dijiwit
lara mbok ya aja njiwit,
aja rumangsa bisa ning
bisaa rumangsa, janma
tan kena ingira, aja melik
darbeking liyan, tepaselira, lembah manah,
mbok sing tepa-tepa,
rukun agawe santosacrah agawe bubrah,
1. Ngono ya ngono ning ya
aja ngono: (TH: 26), (KIP:
29), (MTT: 18 ), (ITL: 2 ),
(LLKR: ), (AM: 119),
(KNW: 32), (TL: 20),
(SOS: 55, 76), (CK: 72,
79, 104, 129)
2. Janma tan kena ingira:
(PKW: 237), (KK: 136,
58
amemangun
karyenak
tyasing sasama, aja
melik darbeking liyan
164)
3. Aja melik darbeking liyan:
(AT: 155), (NAS: 15),
(CK: 36)
G. Kesimpulan
Novel-novel Jawa modern periode 1950-2000-an sebagai salah satu wujud karya sastra
telah mengalami proses perkembangan yang sangat panjang. Apabila dikaji secara mendalam,
novel-novel tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang dapat dijadikan
sebagai tatanan dan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa Novelnovel Jawa modern periode 1950-2000-an, dapat dijadikan sebagai salah satu sumber atau
rujukan mengenai budi pekerti Jawa di samping sumber-sumber yang lain, misalnya cerita
wayang ataupun serat-serat karya para pujangga. Seperti halnya dalam karya sastra yang lain,
penyampaian budi pekerti jawa juga disampaikan secara tersurat maupun tersirat.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2001. Novel/Roman (dalam Edi Sedyawati, dkk). Jakarta: Pusat
Bahasa, Balai Pustaka.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kenney, William . 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Prabowo, Dhanu Priyo, Widati, Sri dan Rahayu Prapti. 2012. Eksiklopedi Sastra
Jawa.Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi DIY.
Quinn, George. 1992. The Novel in Javanese. Leiden: KITLV Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni dan Budaya dalam Pendidikan
Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.(Terjemahan Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad)
59
Sutadi, Yatmana, Sudi. 2001. Blencong 45. Semarang: Aneka Ilmu.
Suwandi, Sarwiji. 2012. ―Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pilar Penting Dalam Pencerdasan dan
Pembangunan Karakter Bangsa‖ Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 24 Mei.
Wardani, Nugraheni Eko. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS Press.
60
PERBEDAAN TATARAN LEKSIKAL DAN PETA DIALEKTOMETRI BAHASA JAWA
DI KECAMATAN WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO
Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum
PBSD FKIP Unwidha Klaten
Abstrak
Perbedaan tataran leksikal dan peta dialektometri bahasa Jawa di Kecamatan
Wadaslintang Kabupaten Wonosobo terbagi atas 4 DP bahasa Jawa di
Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dengan menggunakan data 200
kosakata yang diambil dari penelitian lapangan. Dua ratus kosakata tiap DP
menunjukkan perbedaan leksikal dan fonetis. Dari dua ratus kosakata
ditemukan 66 leksikon beda leksikal. Kemudian, dari peta dialektometri
langkah pertama dapat ditemukan perbandingan antar-DP yakni,antara DP1 dan
DP2, DP 1 dan DP 3, DP 2 dan DP 3, DP 2 dan DP 4, DP 3 dan DP 4.
Kemudian dijabarkan dalam table beda leksikal yang didapati perhitungan
perbedaan tataran leksikal yakni, antara DP 1 dan DP 2 adalah 53%, DP 1 dan
DP 3 adalah 59%, DP 2 dan DP 3 adalah 53%, DP 2 dan DP 4 adalah 59%, DP
3 dan DP 4 adalah 62%.
Kata Kunci: beda leksikal, peta dialektometri
A. Latar Belakang
Bahasa Jawa memiliki jumlah penutur yang paling banyak dibandingkan jumlah penutur
bahasa di daerah atau pulau lainnya di Indonesia, yakni sekitar 75.500.500 orang. Hal ini
tentunya patut menjadi kebanggaan bagi penduduk Jawa khususnya, dan secara umum
masyarakat Indonesia di mata dunia. Bahasa Jawa tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang
tinggal di Jawa, tetapi juga digunakan oleh masyarakat di luar Jawa. Bahkan Poedjasoedarma
(1979:1) menyatakan bahwa bahasa Jawa juga digunakan di luar Indonesia, yaitu di negara
Suriname dan New Calidonia.
Salah satu daerah di Jawa yang penduduknya tetap aktif menggunakan dan melestarikan
bahasa Jawa adalah Kabupaten Wonosobo. Kabupaten Wonosobo adalah sebuah kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan,
61
Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan
Kabupaten Kendal di utara.
Menurut survei awal, secara geografis ditemukan bahwa bahasa Jawa di daerah
kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wosonobo menampilkan fenomena yang unik, karena
kecamatan Wadaslintang terletak di bagian selatan Wonosobo berbatasan dengan kota Kebumen
dan kota Purworejo. Kemudian struktur geografis di Wadaslintang berbukit-bukit, tingkat
mobilitas penduduknya sangat rendah karena akses tranportasi dan komunikasi yang sulit, maka
indikasinya adalah bahasa di wilayah selatan Wonosobo ini terdapat gradasi dialek bahasa. Hal
ditunjukkan melalui penggunaan leksikon-leksikon yang cenderung berbeda antara desa yang
satu dengan desa yang lainnya, meskipun masih berada dalam satu kecamatan, yaitu Kecamatan
Wadaslintang.
Fakta dan keadaan inilah yang menjadi alasan utama dilakukan penelitian lapangan
dialektologi di Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Wadaslintang. Selanjutnya, kondisi geografis
ini tentunya melahirkan beberapa keunikan dalam berbahasa. Keunikan ini ditunjukkan dari segi
linguistisnya, misalnya dari segi fonologis dialek di beberapa desa di Wadaslintang ditemukan
kata oyod ‗akar‘ yang dilafalkan [oyzod], ngguyu ‘tertawa‘ yang dilafalkan [guyzu], uyah
‗garam‘ yang dilafalkan [uyzah].
Kemudian, salah satu variasi fonologis dalam dialeknya adalah leksikon (1)sikil [sikIl]
‗kaki‘ di Desa Sumberrejo dan Desa Panerusan, dan (2) sikil [skl] ‗kaki‘ di Desa Besuki
Dukuh Sikapat dan Dukuh Karangnangka. Sedangkan variasi leksikal terdapat salah satunya
dalam kata (1) ora [ora] ‗tidak‘ di Desa Panerusan dan Desa Sumberrejo, (2) ogang [oga]
‗tidak‘ di Desa Besuki Dukuh Karangnangka.
Penelitian dialektologi di Kabupaten Wonosobo bertujuan untuk mengetahui isolekisolek (merupakan suatu dialek atau bukan) yang terdapat di Kabupaten tersebut. Terkait dengan
kepentingan itu, ditentukan empat daerah pengamatan (DP), yaitu (1) Dukuh Sikapat, Desa
Besuki, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (2) Dukuh Karangnangka, Desa
Besuki, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (3) Desa Panerusan, Kecamatan
Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo; (4) Desa Sumberrejo, Kecamatan Wadaslintang,
Kabupaten Wonosobo.
Bahasa Jawa di Kabupaten Wonosobo memiliki kedudukan penting sebagai bahasa
daerah, jika dikaitkan dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia. Menurut kedudukannnya,
62
BJ (singkatan dari Bahasa Jawa) di Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu unsur
kebudayaan nasional yang harus dilestarikan.
Menurut Laksono (2009: 12) BJ dilihat dari kedudukannya, memiliki fungsi sebagai
berikut.
1. Bahasa tradisional yang merupakan lambang kebanggaan daerah
2. Sebagai identitas daerah asal
3. Sebagai salah satu kebudayaan peninggalan nenek moyang
4. Kontak sosial antarmasyarakat daerah agar lebih komunikatif
5. Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
B. Deskripsi Lokasi
Kabupaten Wonosobo, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya
adalah Wonosobo. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten
Magelang di timur, Kabupaten Purworejo di selatan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten
Banjarnegara di barat, serta Kabupaten Batang dan Kabupaten Kendal di utara.
Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1825 sebagai kabupaten di bawah Kesultanan
Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh. Ngampah, yang
membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden
Tumenggung (K.R.T.) Seconegoro.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Wonosobo adalah daerah pegunungan. Bagian timur
(perbatasan dengan Kabupaten Temanggung) terdapat dua gunung berapi: Gunung Sindoro
(3.136 meter) dan Gunung Sumbing (3.371 meter). Daerah utara merupakan bagian dari Dataran
Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prahu (2.565 meter). Di sebelah selatan, terdapat
Waduk Wadaslintang.
Ibukota Kabupaten Wonosobo berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten, yang
merupakan daerah hulu Kali Serayu. Wonosobo dilintasi jalan provinsi yang menghubungkan
Semarang-Purwokerto.
63
1. Curuk Winong
2. Pemandian dan kolam renang Mangli
Peta pembagian wilayah di KabupatenWonosobo.
Kabupaten Wonosobo terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan
kelurahan. Pusat pemerintahan berada di KecamatanWonosobo.
Wonosobo berasal dari bahasa Jawa: Wanasaba, yang secara harafiah berarti: "tempat
berkumpul di hutan". Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa Sansekerta: vanasabhā
yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua buku dari Mahabharata:
"Sabhaparwa"dan"Wanaparwa".
Beberapa tempat pariwisata yang ada di Kabupaten Wonosobo sebagai berikut.
3. Kawasan Wisata Dieng
4. WadukWadaslintang
5. Agrowisata Tambi
6. Air Terjun Sikarim
7. Telaga Menjer
8. Pemandian Wisata Kalianget
64
9. Wisata Religi
C. Perbedaan Tataran Leksikal dan Peta Dialektometri bahasa Jawa di Kecamatan
Wadaslintang Kabupaten Wonosobo
Dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki sistem lingual yang tersendiri, dipakai
oleh sekelompok penutur di tempat tertentu, tetapi di antara kelompok penutur itu dengan
kelompok lainnya (yang masih terikat dalam satu bahasa) masih terdapat ―pemahaman timbal
balik‖ satu dengan yang lain (dengan catatan: sepanjang daerah itu berada dalam mata rantai
yang sama dan relatif berdekatan). Sedangkan isolek adalah isoglos pada peta bahasa yang
digambarkan melingkari satu kata tertentu (isogloss yaitu garis pada peta bahasa atau peta dialek
yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa).
Dari pengertian tersebut dapat kita jelaskan bahwa penghitungan dialektometri
(Mengenai Kedudukan Isolek di Kecamatan Wadaslintang Wonosobo) sebagai berikut:
Ketentuan itu sebagai berikut.
(a) DP yang diperbandingkan hanya DP yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin
melakukan komunikasi.
(b) Setiap DP yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis
sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya.
(c) Garis-garis pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Sebaiknya dipilih
satu kemungkinan saja yang letaknya lebih dekat daripada yang lain (Mahsun, 1995:119).
Berdasarkan pada data lapangan, didapatkan peta dasar segitiga dialektometri sebagai
berikut.
65
DP2
DP4
DP3
DP1
Peta Dialektometri
TABEL PERBANDINGAN DP
1:2
NO
NO DATA
1
8
2
1:3
GLOS
2:3
2:4
3:4
1:2
1:3
2:3
2:4
3:4
Belok
-



-
13
Punggung
-

-
-

3
16
isi perut
-



-
4
24
Kepala

-
-
-
-
5
32
Lidah

-

-

6
33
Tertawa
-




7
35
Muntah


-
-
-
8
37
Makan
-


-

9
39
Memasak


-
-

10
42
Menghisap

-


-
11
44
Mendengar

-

-

12
45
Mata
-
-
-
-

66
13
46
Melihat

-
-

-
14
48
Tidur
-
-


-
15
49
Berbaring
-
-
-

-
16
51
Duduk
-
-
-

-
17
53
Orang
-



-
18
56
Anak

-

-

19
60
Bapak


-


20
64
Berkata




-
21
65
Tali
-




22
66
Mengikat

-
-
-
-
23
67
Menjahit


-
-
-
24
68
Jarum



-

25
69
Berburu


-
-
-
26
71
Menikam





27
72
Memukul





28
75
Mati


-


29
77
Menggaruk

-

-

30
78
Memotong



-
-
31
80
Membelah


-
-
-
32
88
Memeras

-
-
-
-
33
90
Mengali

-



34
94
Melemparkan
-




35
95
Jatuh

-


-
36
100
Sayap


-
-
-
37
103
Daging
-


-

38
104
Lemak
-
-
-


39
110
laba-laba
-
-
-


40
112
Busuk
-
-
-


67
41
115
Akar





42
125
Garam





43
126
Danau


-


44
127
Hutan
-


-

45
132
Kabut
-
-
-


46
134
Guntur
-
-
-


47
135
Kilat
-

-
-
-
48
137
Bertiup





49
138
Panas
-


-

50
144
Membakar


-


51
154
Pendek
-
-
-

-
52
158
Sempit
-
-



53
165
Jahat
-
-
-


54
167
Malam


-
-
-
55
172
Naik
-
-
-


56
178
Itu
-




57
181
di mana
-

-

-
58
182
Saya
-


-

59
184
(d)ia

-

-

60
185
kita; kami
-


-

61
186
kamu sekalian





62
187
Mereka





63
190
Lain
-
-
-


64
192
Dan

-
-
-
-
65
193
Kalau




-
66
194
Bagaimana
-


-

35
39
35
39
41
Catatan: Tanda  = ada perbedaan; tanda - = tidak ada perbedaan.
68
1:2
𝟑𝟓
𝐱
𝟔𝟔
𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟑%
1:3 
𝟑𝟗
𝐱
𝟔𝟔
𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟗%
2:3 
𝟑𝟓
𝐱
𝟔𝟔
𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟑%
2:4 
𝟑𝟗
𝐱
𝟔𝟔
𝟏𝟎𝟎% = 𝟓𝟗%
3:4 
𝟒𝟏
𝐱
𝟔𝟔
𝟏𝟎𝟎% = 𝟔𝟐%
Perbedaan dalam tataran leksikal:
81% ke atas
: perbedaan bahasa
51%—80%
: perbedaan dialek
31%—50%
: perbedaan subdialek
21%—30%
: perbedaan wicara
di bawah 20%
: tidak ada perbedaan
DP2
DP4
DP3
DP1
PERBANDINGAN DP
1:2
1:3
2:3
2:4
3:4
Terdapat Perbedaan Dialek antara semua Perbandingan DP
69
D. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang dijabarkan dalam analisis penelitian ini, dapat
dikemukakan simpulan yang berkaitan dengan pemetaan bahasa di Kecamatan Wadaslintang
Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah sebagai berikut.
1. Perbedaan leksikal 4 DP bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo
ditunjukkan pada data 200 kosa kata yang diambil dari penelitian lapangan. Dua ratus kosa
kata tiap DP menunjukkan perbedaan leksikal dan fonetis. Dari dua ratus kosa kata
ditemukan 66 leksikon beda leksikal.
2. Dari peta dialektometri langkah pertama dapat ditemukan perbandingan antar-DP yakni,
antara DP 1 dan DP 2, DP 1 dan DP 3, DP 2 dan DP 3, DP 2 dan DP 4, DP 3 dan DP 4.
Kemudian dijabarkan dalam table beda leksikal yang didapati perhitungan perbedaan tataran
leksikal yakni, antara DP 1 dan DP 2 adalah 53%, DP 1 dan DP 3 adalah 59%, DP 2 dan DP
3 adalah 53%, DP 2 dan DP 4 adalah 59%, DP 3 dan DP 4 adalah 62%. Dari besaran
prosentase tersebut dapat ditentukan bahwa antar DP tersebut menunjukkan perbedaan dialek
bahasa Jawa di Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo.
Daftar Pustaka
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembinaan dan
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Laksono, Kisyani. 2009. Dialektologi Sunda Banten
http://tantrapuan.wordpress.com/2009/05/13/dialektologi-sunda-banten/
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis; Sebuah Pengantar. Jogjakarta, UGM Press.
Poedjasoedarma, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
70
REVITALISASI NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN
MASYARAKAT JAWA YANG BERBENTUK MITOS
Favorita Kurwidaria, S.S.,M.Hum
Pendidikan Bahasa Jawa
FKIP UNS Surakarta
Abstrak
Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang merupakan bagian dari folklore Jawa. Di
era globalisasi, masyarakat Jawa khususnya para generasi muda sudah mulai berangsur tidak
mengenali lagi bentuk kebudayaan ini, padahal jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya mitos
mengandung nilai kearifan lokal yang dapat menjawab tantangan globalisasi. Nilai kearifan
lokal yang tercakup dalam mitos antara lain: (1) Nilai kearifan yang berkaitan dengan upaya
pelestarian ekosistemdan lingkungan, (2) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pendidikan
kesehatan, dan(3) Nilai kearifan yang berkaitan dengan pembinaan moral dan etika. Oleh
karena itu revitalisasi nilai kearifan merupakan suatu yang urgen, dalam rangka memotensikan,
mendayagunakan sekaligus melestarikan bentuk tradisi lisan masyarakat Jawa.
Kata kunci: Kearifan lokal, mitos, budaya Jawa
1. Pendahuluan
Kebudayaan Jawa merupakan kekayaan masyarakat Jawa yang tumbuh dan berkembang
seiring dengan eksistensi masyarakat Jawa itu sendiri, Di dalam kebudayaan Jawa tidak terlepas
dari adanya tradisi/adat yang sampai saat ini masih tumbuh berkesinambungan dengan
masyarakat Jawa. Salah satu bentuknya adalah tradisi lisan. Tradisi lisan menurut B.H. Hoed
(2008:184) yaitu berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun
disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi
juga dilengkapi dengan sejarah, hukum, adat, dan pengobatan. Hal-hal yang terkandung dalam
suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu masyarakat yang
merupakan warisan nenek moyang. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat disebut sebagai tradisi
lisan jika tradisi tersebut dikatakan (oleh penutur) dan didengarkan (oleh mitra tutur).
Seiring
perkembangan
globalisasi,
masyarakat
Jawa
mulai
berangsur
tidak
mengenal/mengetahui bentuk-bentuk kebudayaannya, termasuk tradisi lisan. Pengaruh
71
globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan. Globalisasi di satusisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak
kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan. Tak terkecuali pada
aspek-aspek kebudayaan (Madjid, 2009:1). Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai
budaya lokal tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan,
seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan budaya dari
generasi sebelumnya. Hal tersebut tentu memerlukan langkah antisipasif untuk dapat
ditindaklanjuti guna tetap menjaga keberlangsungan nilai budaya Jawa.
Salah satu bentuk tradisi lisan adalah mitos. Mitos dapat berupa cerita prosa rakyat yang
dianggap benar-benar terjadi, menceritakan dewa-dewa, roh atau makhluk halus, tempat
terjadinya di dunia lain dan terjadi pada masa lampau. Disamping itu mitos juga ada yang hanya
berupa suatu penuturan. Mitos diyakini oleh bangsa atau masyarakat tertentu yang pada intinya
menghadirkan kekuatan-kekuatan supranatural (Lukens dalam Danandjaya, 2002:172). Mitos
sering dikaitkan dengan cerita tentang berbagai peristiwa dan kekuatan, asal-usul tempat, tingkah
laku manusia, atau sesuatu yang lain. Mitos ada pula yang menyertai keberadaan cerita rakyat.
Mitos yang hadir mengiringi cerita rakyat memiliki fungsi untuk memperkuat eksistensi cerita
rakyat tersebut. Walaupun mitos yang hadir belum tentu berbentuk cerita rakyat. Saxby (dalam
Nurgiyantoro, 2002:173) lebih lanjut menyatakan mitos muncul pada tiap masyarakat atau kultur
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan untuk menjawab berbagai persoalan
yang tidak diketahuinya.
Para orang tua Jawa zaman dahulu jika ingin menyampaikan amanat/pesan terhadap
anaknya tidak secara langsung akan tetapi melalui dongeng, cerita atau ungkapan yang berisi
larangan/anjuran seperti halnya mitos maupun gugon tuhon. Bentuk mitos maupun gugon tuhon
tersebut bukanlah sekedar takhayul atau hal yang irrasional semata−walaupun memang
kecenderungannya mengarah ke hal-hal yang di luar nalar dan logika−namun apabila ditelaah
banyak hal-hal dalam mitos yang sesungguhnya mengandung nilai kearifan dan rasionalitas yang
dapat dicermati dari gejala-gejala ilmiah, maupun pada aspek moral kehidupan.
Mitos sesungguhnya dapat dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan untuk mencapai
harmonisasi dan nilai sosial yang ideal. Upaya pemaknaan secara kultural dapat menuntun
pemahaman seseorang untuk dapat menerima atau memahami secara holistik, khususnya bagi
generasi muda. Anak muda yang cenderung bersifat kritis dan dinamis, perlu dibekali tentang
72
pengetahuan kearifan lokal agar tetap terarah dan terkontrol. Rasa bangga akan nilai budaya dan
kearifan lokal seharusnya mulai dipupuk sejak dini untuk menghindari krisis identitas dan jati
diri mereka.
Sebagai contoh dalam penanaman tradisi lisan yang berbentuk mitos. Orang tua selain
dapat menuturkan isi mitos kepada anaknya, juga perlu mengimbangi dengan menyampaikan
muatan kearifan yang terkandung dalam mitos tersebut, nilai-nilai religi, patriotisme, termasuk
mengapa seseorang tidak boleh melakukan perilaku demikian, larangan dan anjuran tertentu dan
sebagainya. Orang tua dapat mengambil segi/nilai positif, sedangkan pengetahuan yang belum
diketahui dapat dikonstruk sendiri sebagai suatu media/alat pengendali dan pengatur pranata
sosial di dalam komunitas kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian diharapkan para generasi muda dapat memahami bahwa budaya yang
mereka miliki tidak hanya sekedar dokumentasi masa lampau yang senantiasa ada dalam ingatan
para sesepuh/orang tua saja, akan tetapi juga memiliki kegunaan dalam kehidupan. Orang tua
perlu memberikan pemahaman kepada sang anak secara lebih terbuka dan arif, sehingga mereka
tidak menolak begitu saja bentuk kebudayaan tersebut dan dapat menerimanya secara logis.
Di dalam makalah ini akan diuraikan nilai-nilai kearifan lokal (local wosdom)dalam tradisi
lisan yang berbentuk mitos. Hal ini mengingat bahwa mitos banyak mengandung fungsi dan
kegunaan dalam kehidupan. Di dalam makalah ini hanya dibatasi pada nilai kearifan lokal pada
mitos yang mengiringi keberadaan cerita rakyat dan mitos yang berbentuk suatu
larangan/perintah.
2. Landasan Teori
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:840) revitalisasi berarti proses, cara,
perbuatan memvitalkan (menjadikan vital). Vital itu sendiri bermakna ‗penting‘. Revitalisasi
berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang
terberdaya. Berdasarkan batasan tersebut revitalisasi nilai kearifan lokal pada mitos berarti
menghidupkan kembali nilai kearifan lokal yang terkandung dalam mitos.
Ahimsa-Putra (tt:5) mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan dan
praktek-praktek pada suatu komunitas–baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya
maupun dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk
menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki
73
kekuatan seperti hukum maupun tidak. Menurut Ridwan (2010:2) kearifan lokal atau sering
disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tetentu.
Pendapat lain mengartikan kearifan lokal berasal dari kata ―kearifan‖ atau ―arif‖ dan
―lokal‖. Kearifan berarti ‗bijaksana‘, ‗cerdik pandai‘, ‗berilmu‘. Bijaksana berarti cakap atau
pandai dalam mengatasi kesulitan, dalam arti dapat mengatasi kesulitan dengan baik dan benar
(Hartono, 2011:284). Dengan demikian nilai kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai perangkat
pengetahuan yang berdayaguna untuk menyelesaikan persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi
dengan cara yang baik dan benar.
Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai kearifan.
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok
orang (Peursen, 2007:37). Mitos dapat dibagi menjadi empat jenis: a) mitos yang berupa gugon
tuhon, yaitu larangan-larangan tertentu yang jika dilanggar orang tersebut akan menerima
dampak (akibat) yang tidak baik, (b) mitos yang berupa bayangan asosiatif, yaitu mitos yang
berhubungan dengan dunia mimpi, (c) mitos yang berupa sirikan (larangan) yang harus
dihindari, (d) mitos yang berupa dongeng, legenda dan cerita. Hal ini diyakini karena memiliki
legitimasi yang kuat dalam pikiran orang (Endraswara, 2006: 194-195).
Berdasarkan jenis mitos tersebut, di dalam makalah sampel mitos yang diuraikan hanya
mitos yang termasuk dalam gugon tuhon, sirikan (larangan), dan mitos yang mengiringi
keberadaan cerita rakyat.
3. Pembahasan
3.1. Nilai kearifan dalam Mitos yang Berkaitan dengan Pelesterian Ekosistem Alam dan
Lingkungan
Jauh sebelum pergerakan peduli lingkungan digalakkan, ternyata keberadaan tradisi lisan
telah terlebih dahulu berperan dalam menjaga pelestarian alam. Nilai kearifan terhadap
pelesterian ekosistem dan lingkungan ini tampak dalam:
1. Mitos yang berkaitan dengan keberadaan suatu tempat
Kebudayaan masyarakat Jawa masih banyak dipengaruhi oleh paham animisme dan
dinamisme, yaitu mempercayai adanya roh-roh halus dan kekuatan supranatural pada suatu
74
benda atau tempat tertentu. Hal ini merekonstruksi pemikiran masyarakat Jawa yang bermuara
pada suatu tindakan berupa perintah, anjuran maupun larangan tertentu yang harus dipatuhi
masyarakat kolektifnya. Seperti halnya disendang (mata air) Senjaya, di KecamatanTengaran,
Kabupaten Semarang. Masyarakat di daerah sekitar mengaitkan keberadaan sendang tersebut
dengan tokoh Arya Sanjaya yang dikeramatkan sebagai cikal bakal pembuat sendang, Di daerah
sekitar sendang terdapat pohon beringin yang sudah berumur ratusan tahun. Mitos yang sampai
sekarang dipercayai oleh warga setempat adalah larangan untuk menebang pohon. Apabila
ditebang dipercayai akan mendatangkan bahaya bagi si penebang maupun penduduk desa.
Mitos tersebut sesungguhnya memiliki nilai kearifan, yaitu menciptakan cara berperilaku
yang sejalan dengan prinsip konservasi pelestarian ekosistem alam. Dengan tidak menebang
pohon beringin di sekitar sendang, maka ketersediaan dan kemurnian air sendang akan tetap
terjaga. Secara ilmiah akar tunjang dari pohon beringin mampu menyerap air tanah dalam,
menuju ke atas sehingga dapat memunculkan sumber mata air yang dangkal. Selain itu pohon
dapat menyimpan cadangan air ketika terjadi musim kemarau, sehingga air di sendang akan tetap
terjaga ketersediaannya.
2. Mitos yang berkaitan dengan ritual adat
Ritual adat merupakan salah satu perwujudan sistem kepercayaan dan kebudayaan
masyarakat Jawa. Eksistensi ritual adat tidak dapat dipisahkan dari adanya mitos tertentu. Ritualritual yang dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan orientasi masyarakat terhadap alam. Hal
ini misalnya tercermin dalam ritual bersih desa. Para warga bergotong royong membersihkan
lingkungan desa dengan kesadaran masing-masing. Umumnya masyarakat kolektif patuh pada
sanksi yang sifatnya mengikat dan diyakini, baik yang bersifat mistis maupun konvensional. Hal
ini cenderung membuat warga patuh dan secara tidak langsung mengajarkan masyarakat akan
pentingnya menjaga harmonisasi lingkungan alam.
Demikian juga dengan ritual bersih sendhang yang ada di sendang Kunti daerah Cabean
Kunti, Kabupaten Boyolali. Setiap malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) masyarakat di daerah
sekitar sendang mengadakan ritual bersama untuk membersihkan sendang, agar dijauhkan dari
segala bahaya, kesulitan maupun halangan. Ritual ini juga sebagai bentuk penghormatan
terhadap Dewi Kunti yang dianggap sebagai tokoh suci oleh masyarakat setempat. Terkait
dengan adanya ritual bersih sendang terdapat dalam ungkapan sesepuh desa berikut:
75
(1) ―Saben malem Anggara Kasih iku becike nganakake shodaqah kang awujud reresik
sendhang, kanggo nundhung bebaya”.
―Setiap malam Selasa kliwon sebaiknya mengadakan sedekah dengan membersihkan
sendang untuk mengusir bahaya‖.
Hal ini sesungguhnya memiliki nilai kearifan agar masyarakat senantiasa menjaga
kebersihan air di sendang, sehingga kemurnian air dalam sendang tetap terjaga.
3.2. Nilai Kearifan Dalam Mitos Yang Berkaitan Dengan Pendidikan Kesehatan
Mitos yang berupa suatu larangan tertentu, jika ditinjau secara rasionalitas ada yang
memiliki nilai pendidikan dari segi kesehatan. Para orang tua jaman dahulu dalam memberikan
pendidikan kesehatan kepada anaknya tidak secara langsung akan tetapi melalui tuturan lisan
yang lebih dipercayai dan diyakini, walau terkadang si penerima tidak dapat langsung
menyimpulkan secara logis/rasional, seperti dalam ungkapan:
(2) Aja turu wayah sore, mundhak diganggu Batharakala
―Jangan tidur waktu sore, bisa jadi diganggu Batharakala‖
Mitos mengenai larangan tidur di waktu sore ini sering dikaitkan dengan kisah Batarakala.
Batarakala merupakan sosok raksasa mistik dalam kisah pewayangan yang memiliki sifat buruk.
Batharakala dipercaya akan muncul mengganggu seseorang yang lengah di waktu candikala
(senja/sore) hari, sehingga orang yang lengah pada waktu sore hari (karena tidur) akan menjadi
lupa, linglung atau bisa jadi sakit.
Di balik mitos tersebut sesungguhnya memiliki nilai kearifan jika dilihat dari sisi
kesehatan. Menurut peneliti Dr. Alyssa Cairns saat mempresentasikan hasil penelitian pada
Associated Professional Sleep Societies di Minneapolis USA menyatakan berdasarkan penelitian
dari 738 anak usia dua tahun ke atas, anak-anak khususnya yang tidur sore terbukti sukar tidur
malam dan gagal memainkan puzzle dan keterampilan organisasi. Sementara itu Zoom-Indonesia
menyebutkan dari hasil penelitian yang melibatkan lebih dari 20.000 orang menunjukkan hasil
bahwa tidur sore meningkatkan resiko diabetes sebesar 36%. Tidur sore dapat mengganggu
bioritme manusia normal, yang memicu perubahan negatif pada hormon, sehingga berefek pada
naiknya kadar gula dalam darah (http://artikeltentangkesehatanindonesia.blogspot.com/2014/05).
76
Mitos lain yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yaitu dianjurkan untuk menaruh irisan
bawang merah disekitar ruangan agar tidak diganggu oleh kekuatan jahat. Hal ini terkait dengan
adanya kepercayaan bahwa bawang merah dapat menangkal keberadaan makhluk halus/kekuatan
jahat yang mengganggu manusia. Demikian juga jika bayi sering rewel/menangis biasanya akan
diberi dlingo bengle juga bawang merah, dan setelah itu biasanya akan kembali tenang atau
tertidur pulas. Terkait dengan kepercayaan tentang bawang merah ini terdapat pernyataan
berikut:
(3) “Supaya ora diganggu bangsa lelembut, ngirisa brambang, banjur didelehake ana jero
omah lan ora kena dinggo olah-olah sawise digunakake”
―Supaya tidak digganggu mekhluk halus, irislah bawang merah, letakkan di dalam
ruangan/rumah, dan sesudahnya tidak boleh digunakan untuk memasak‖
Dibalik kepercayaan tentang bawang merah tersebut, jika dikaji secara klinis, bawang
merah ternyata memiliki kandungan zat-zat yang dapat menyerap racun/toksin pada udara,
seperti yang diungkapkan oleh pakar herbal dr. Vivi K. Tjahjadi, M.Si (dalam artikel kesehatan
Indonesia, 2011:2) yaitu bawang merah mengandung senyawa seperti minyak atsiri, sikloaliin,
serta flavonglikosida yang berfungsi sebagai antiradang, antioksidan, dan antibakteri. Irisan
bawang merah mampu menyerap racun sehingga dapat meminimalisir penyebaran virus/bakteri
pada udara sekitar ruangan. Adapun pantangan untuk dikonsumsi/diolah menjadi bumbu
masakan setelah digunakan, karena racun/toksin tersebut akan mengendap pada irisan bawang,
sehingga menimbulkan racun yang berbahaya jika dikonsumsi.
Adapun mitos lain yang memiliki nilai rasionalitas jika dikaitkan dari sisi kesehatan, yaitu:
(4) “Yen metu/lelungan aja wayah surup, mundhak digondhol wewe”
―Kalau keluar/bepergian jangan saat menjelang malam, bisa jadi diculik wewe”.
Wayah surup (waktu maghrib) bagi orang Jawa dipercayai merupakan waktu keluarnya
para makhluk halus, seperti Wewe. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa Wewe, merupakan
jenis makhluk halus yang berwujud wanita, berpayudara panjang, dan bergentayangan di waktu
maghrib. Wewe senang membawa anak yang keluar pada waktu maghrib, sehingga mitos ini
sering dipakai para orang tua untuk menasehati anaknya agar tidak keluar saat maghrib.
Di balik mitos tersebut sebenarnya memiliki nilai kearifan jika ditinjau dari sisi kesehatan.
Waktu maghrib merupakan pergantian antara siang dan malam. Pada waktu itu sinar matahari
sudah tidak terang, dimungkinkan menjadikan pandangan menjadi tidak sempurna, sehingga jika
77
keluar pada waktu itu dikhawatirkan akan menemui halangan, misalnya tersesat, terpeleset, atau
menabrak sesuatu. Mitos lainnya terkait dengan waktu yaitu:
3.3. Nilai Kearifan Pada Mitos Yang Berkaitan Dengan Pembinaan Moral/Etika
Di dalam sebuah mitos terdapat sesuatu yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya dan
mengandung kepercayaan mistis serta pantangan tertentu untuk tidak dilanggar. Bagi yang
melanggar dipercaya akan mendapat suatu keburukan/halangan. Seperti pada mitos yang berupa
gugon tuhon berikut:
(5) “Ora oleh idu lan nguyuh saknggon-nggon, mundhak kesambet sing mbahureksa papan
panggonan.”
“Tidak boleh meludah dan kencing sembarangan, bisa jadi kesurupan arwah yang
menunggu‖
(6) “Ora oleh omongan kang ala, misuh, utawa ngrusak apa-apa kang ana ing papan kang
dikeramatake, bakal nemu cilaka”
―Tidak boleh berbicara yang tidak baik, mengumpat atau merusak segala sesuatu yang
ada di tempat yang dianggap keramat, bisa jadi celaka‖
Masyarakat Jawa percaya adanya roh/makhluk halus yang menunggu suatu tempat tertentu.
Namun seringkali anak muda bersifat acuh tak acuh seperti kencing, meludah atau melakukan
hal yang tidak baik di sembarang tempat. Dengan adanya mitos tersebut sesungguhnya
memberikan pendidikan moral/etika agarseseorang dapat menjaga sikap, etika, sopan santun
tidak hanya di daerah yang dianggap keramat akan tetapi dimanapun dia berada.
Terkait dengan pendidikan moral dan etika juga terdapat mitos mengenai Dewi Sri, yang
merupakan cikal bakal padi. Bagi masyarakat Jawa Dewi Sri merupakan Dewi kesuburan yang
telah menurunkan padi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Jawa percaya bahwa
membuang/menyia-nyiakan makanan terlebih makanan pokok merupakan suatu pantangan
dimana rejeki orang itu dipercayaiakan menjadi sempit karena terkena kutukan Dewi Sri, seperti
ungkapan para sesepuh berikut:
(7) “Aja nyisakake/buwang sega, mundhak sega iku nangis nuli didongakake Dewi Sri,
supayaora gelem teka maneh, saengga sithik rejekine”
―Jangan menyisakan/membuang nasi, membuat nasinya menangis, danakan didoakan
Dewi Sri agar nasi itu tidak mau bertemu lagi, sehingga sedikit rejekinya‖
78
Dibalik mitos tersebut, sesungguhnya terkandung nilai kearifan yang berkaitan dengan
pendidikan moral/etika, yaitu agar seseorang lebih menghargai makanan yang mereka konsumsi,
mengambil dengan takaran yang sesuai, dan tidak membuang-buang makanan sebagai sesuatu
kemubaziran. Dengan mengkonsumsi makanan yang proporsional, secara tidak langsung turut
andil dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, sebagai pola prilaku budaya yang baik.
Dari berbagai mitos-mitos baik yang berisi cerita maupun tuturan yang berupa larangan
(gugon tuhon) dapat mencerminkan pemikiran dan kearifan masyarakat Jawa. Bagaimana orang
tua Jawa pada zaman dahulu telah dapat merekonstruksi penaksiran pengetahuan dan
pengalaman mereka secara empiric. Meskipun dengan keterbatasan teknologi, namun pada
kenyataannya
mitos
tersebut
memiliki
keterkaitan
secara
rasional.
Meskipun
tidak
mengesampingkan kepercayaan yang diyakini, yang memang merupakan bagian dari eksistensi
kebudayaan Jawa itu sendiri.
3. Penutup
Mitos sebagai bagian dari kebudayaan Jawa sarat dengan nilai kearifan lokal. Berdasarkan
hasil pengamatan dan pengkajian yang telah penulis paparkan dapat disimpulkan bahwa mitos
sesungguhnya banyak mengandung kegunaan, dapat ditelaah dari sisi rasionalitas, serta memiliki
fungsi dan kegunaan. Adapun nilai kearifan dalam mitos yang telah dipaparkan oleh penulis
antara lain; (1) Nilai kearifan yang berkaitan dengan upaya pelestarian ekosistem lingkungan, (2)
Nilai kearifan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan, dan (3) Nilai kearifan yang
berkaitan dengan pembinaan moral dan etika.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Hedi Shri, tt. Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya UGM
B.H. Hoed. 2008. ―Komunikasi Lisan sebagai Dasar Tradisi Lisan” Dalam Metodologi Kajian
Tradisi Lisan. Pudentia, MPPS (ed). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
Danandjaya, James. 2002. Folklore Indonesia: Ilmu gossip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2002.Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala
79
___________. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan.Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada
Press
Hartono. 2011. ―Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Jawa”. Dalam Kajian Bahasa,
Sastra dan Pembelajarannya. M.Rohmadi (ed). Surakarta: Pelangi Press
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Madjid. A. 2009. Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Balolo dalam Masyarakat Kesultanan
Ternate. Tesis. Bali: Universitas Udayana
Nurgiyantoro. Burhan, 2002. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Peursen. 2007. Strategi Kebudayaan. Jakarta; Kanisius
Http://artikeltentangkesehatanindonesia.blogspot.com/2014/05
80
MAKNA SIMBOLIK TARI BEDHAYA KETAWANG KERATON KASUNANAN
SURAKARTA SEBAGAI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MASYARAKAT
JAWA
Sawitri, S.Sn., M.Hum.
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
[email protected]
Abtrak
Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai lambang atau simbol
sebagai media perantara bagi masyarakat pendukung yang memiliki tujuan tertentu dalam
keberlanjutan tari Bedhaya. Tari Bedhaya Ketawanng adalah tari yang dianggap sakral dan
mengandung mitos tentang percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana
Sari. Tujuan penelitian ini berusaha mengungkap makna simbolik yang ada pada tari Bedhaya
Ketawang yang mengandung nilai – nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat Jawa. Nilai – nilai pendidikan karakter, (1) Ketuhanan: Manusia diciptakan harus
bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan percaya dan patuh dengan perintahnya dan
menjauhi segala larangannya, dan harus selalu ingat dari mana dan dari siapa kita ada dan
diadakan(Sangkan Paraning Dumadi), contohnya: berdoa diberikan nikmat dalam kehidupan
sehingga menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan akerat, kehidupan Makrokosmos
(jagad gedhe) dan Mikrokosmos (jagad cilik), dengan rasa syukur diberikan berbagai nikmat,
kehidupan, rejeki, anak, suami, istri, keluarga, sahabat, pekerjaan.
(2) Kekerabatan/kebersamaan dalam tari bedhaya ketawang, nilai pendidikan karakter sosial pada
kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa disini dengan seniman, pencipta, penari,
pengrawit harus saling meerapkan sikap kejujuran, kekompakan, kebersamaan, saling
menghormati, berbagi, bertanggung jawab, patuh kepada orang yang lebih tua/ patuh kepada
Raja.
Kata kunci: makna simbolik, tari Bedhaya Ketawang, kearifan, nilai pendidikan
A. Pendahuluan
Perkembangan dunia pendidikan sangatlah pesat selaras dengan perkembangan
pemikiran manusia untuk selalu berkreatifitas, berinovasi dan berkarya, terbukti dengan hasil
teknologi yang canggih, mudah mengakses berita dengan cepat misalkan munculnya hp,
komputer, tablet dll. Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa. Bangsa
Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan sosial dan moral masyarakat yang
berdampak pada perilaku masyarakat Indonesia dan secara khusus masyarakat jawa.
81
Sistem pendidikan nasional sangat lengkap dalam membentuk karakter anak didik
menjadi pribadi yang utuh yang dilandasi aklak dan budi pekerti yang luhur. Pada kenyataan
di lapangan tujuan yang baik tampa dukungan semua pihak, dari masyarakat pendukung,
pemerintah dan pembuat kebijakan tidak akan berhasil maksimal. Permasalahan perilaku
yang hubungannya dengan budi pekerti, pendidikan yang berkarakter sampai saat masih
menjadi sebuah masalah yang belum tuntas dalam pemecahannya(Kasihadi dkk,2013).
Melestarikan nilai-nilai luhur yang digali dalam budaya dapat memberikan
pembelajaran bagi siswa didik dan masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan moral dan
ajaran orang jawa supaya pendidikan budi pekerti selalu tertanam dalam sanubari masyarakat
jawa dan tidak luntur ditelan perkembangan jaman yang kena pengaruh global.
Pendidikan karakter sudah seharusnya ditanamkan sejak anak usia dini dan terus di
jaga sampai dewasa, karena perkembangan budaya yang telah memasuki modernitas budaya
sudah tidak terkendali.Masa depan bangsa yang berhubungan dengan perilaku yang selaras
dengan moral, budi pekerti yang baik adalah tanggung jawab yang dipikul oleh seluruh
masyarakat Indonesia dan jawa khususnya.Budaya jawa adalah tiang dari budaya nasional
dengan menanamkan budaya santun, ramah tamah, kritis, kreatif, sabar, jujur,
pemberani,beriman dan takwa dengan baik untuk dapat membangun karakter bangsa.Dengan
rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa akan berdampak kemunduran
peradapan bangsa. Dalam pasal 3 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan nasional telah dirumuskan :
―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkrmbangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu,
cakap, mandiri, kreatif, dsn menjadi warga negara yang bemokrasi serta bertanggung
jawab‖.
Nilai dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sifat-sifat atau hal-hal yang berguna
bagi kehidupan. Dalam masyarakat jawa dapat dilihat pada perilaku yang baik dan buruk
serta pembentukan kepribadian seseorang menuju ke yang lebih baik dengan menyesuaikan
kehidupan dengan lingkungannya(Purwadarminto:1988).Nilai pendidikan karakter dalam
82
kesenian dan disini tari bedhaya ketawang dapat berupa ajaran, falsafah hidup untuk sabar,
jujur, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati, menyayangi, menghormati
kepada sesama manusia, dan setia kepada pemimpin disini kepada raja yang memiliki
kuasa.Kesetiaan antara abdi dhalem ke raja, bawahan ke atasan, rakyat dengan jelata dengan
rajanya.Saboe (dalam Sutrisno:1985).
Kebudayaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan keduanya saling terkait dan
berhubungan sangat erat. Di dalam hasil budaya tersembunyi simbol-simbol dan makna yang
dapat diungkap dijadikan sebagai ajaran, pandangan hidup, yang berisi falsafah-falsafah
hidup masyarakat jawa.Bentuk kebudayaan itu sendiri dapat berupa bangunan keraton,
candi, pusaka-pusaka keraton, tembang Jawa, batik, gamelan, gendhing, sastra, wayang dan
tari.Wujud dari tari sendiri memiliki jenis sangat banyak, tari tradisional klasik, tari
tradisional, tari kerakyatan, tari moders, dari jenisnya masih terbagi lagi menjadi tari tunggal,
berpasangan, kelompok.Termasuk tari tunggal jenis tari putri gambyong, retno pamudya, tari
putra tunggal gambiranom, eka prawira, prawira guna, berpasangan putri tari Srikandi
Mustakaweni, AdanenggarKelaswara, keprajuritan Bandabaya, Bandayuda,sedangkan
pasangan purtra dan putri enggar-enggar, driasmara,tari kelompok masuk pada srimpi dan
bedhaya.Jenis
yang
tarian
moders
yaitu
yapong,
soyong,
cipat-cipit,
rarangigel.(Wahyudianto, 2008).
Tari memiliki sejarah panjang dengan diciptakan dan berfungsi dengan kebutuhan dari
seniman yaitu berfungsi ritual seperti bedhaya dan srimpi untuk pertunjukan dramatari
ramayana, tari kontemporer hanya untuk kebutuhan hiburan sedangkan ritual sudah pada
tahapan
penyatuan
doa,
Manunggaling
Kawula
Gusti,
keseimbangan
kehidupan
Makrokosmos(Jagad gedhe) dan Mikrokosmos (Jagad cilik).Yang ingin dikaji dan menarik
adalah tari bedhayaketawang yang termasuk tari ritual magis, sakral dan religius dengan
demikian secara tersembunyi memiliki makna yang dalam serta baik bagi tuntunan, ajaran
untuk masyarakat jawa. Makna dapat dikaji dari proses penciptaan bahwa tari bedhaya
merupakan tari yang diciptakan raja Mataram yaitu Panembahan Senapati Pada abab ke -17
antara tahun 1648-1654, dan tari bedhaya ditarikan oleh sembilan penari putri dengan paras
cantik, dari jumlah penari sudah memiliki simbol-simbol bahwa sembilan dapat diartikan dari
ilmu perbintangan jawa, dengan nama: Lintang luku, Lintang kukusan, Gemak tarung, Panjer
rina, Panjer sore.Terdapat juga dalam lagu jawa ― Iring-iring lintang lanjar, Gubug penceng
83
anjlog, Wus manengah Prahune sang raden, Jaka Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sakti,
Nitih Kuda Dhawuk‖(K.G.P.H.Hadiwidjojo).
Penamaan dari penari bedhaya ketawang sendiri makna dari organ tubuh manusia dari
wajah sampai lubang pengeluaran, Batak, Gulu, Dhadha, Endhel ajed, Endhel Weton, Apit
ngarep, Apit buri, Apit Meneng, Buncit.Disini dapat dimaknai penguasaan sifat serakah
manusia bahwa manusia harus dapat mengendalikan hawa sanga(sembilan lubang
pengeluaran), yang diseimbangkan dengan kehidupan manusia bahwa hal yang kotor, berbau
harus kita bersihakan seperti menjaga perilaku untuk selalu hidup pada jalan kebaikan.(Nora
Kustantina, 1993).
Tari bedhaya ketawang di keraton Kasunanan Surakarta difungsikan secara ritual
untuk upacara Jumenengan raja, penyambutan tamu raja secara pertunjukan hanya keluarga
raja, abdi dhalem yang diperbolehkan untuk melihat dan formasi waktu menari bahwa raja
duduk pada Singgasana menghapad ke penari, dan penari didepan dan abdi dhalem pada
samping-samping penari dengan posisi duduk kepala menunduk kebawah, penari bedhaya
tidak diperbolehkan menengadah disini terlihat bahwa Tari Bedhaya adalah tari untuk
legitimasi bahwa raja punya kuasa penuh dari keraton dan segala isinya sampai pada penari.
Apa yang ada dikeraton harus tunduk titah raja, hal ini penunjukan kekuasaan penuh di
tangan raja, sampai syarat untuk penari ditentukan keadaan suci dikarenakan tari ritual magis
bedhaya ketawang mengandung mitos adanya hubungan percintaan antara raja-raja Mataram
dan Penguasa laut selatan.(Soedarsono,1991).
Mengungkap makna simbolik dalam tari bedhaya untuk mendapatkan nilai pendidikan
karakter yang terdapat dari jumlah penari, gerak, pola lantai, gendhing dan tata rias serta tata
busana yang kesemuanya memiliki simbol-simbol dan simbol tidak hanya pada tari ritual saja
melainkan pada upacara-upacara adat misalkan pernikahan, bersih kali, tedhak siten, wiwit,
tujuh bulanan/ mitoni, sunatan, bahkan upacara nyadran, kematian.Simbol menurut
Herusatoto kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos yang berarti tanda atau ciri
yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang, Bentuk simbol dikelompokkan menjadi
tiga macam: (1) tibdakan simbolis dalam religi,(2) tindakan simbolis dalam tradisi,(3)
tindakan simbolis dalam kesenian. Dari tindakan simbolis yang ketiga yang dipergunakan
untuk mendeskripsikan makna simbolik tari bedhaya ketawang.(Herusatoto:2005). Makna
84
simbolik yang terdapat pada tari dapat terlihat dari gerak, pola lantai, jumlah penari bedhaya
yang berjumlah sembilan, bahkan sejarah terciptanya dll.
B. Pembahasan
Makna Simbolik tari bedhaya ketawang Keraton Kasunanan Surakarta memiliki suatu
lambang atau simbol yang digunakan sebagai media dan perantara bagi masyarakat
pendukung yang memiliki tujuan tertentu dalam keberlanjutan dari tari bedhaya, antara lain
penari, abdi dhalem, pengrawit, sinden bahkan masyarakat luas.
1. Makna Sejarah Tari Bedhaya Ketawang Keraton Kasunanan Surakarta
Tari bedhaya sangat disakralkan di keraton Surakarta merupakan reaktualisasi
hubungan mistis keturunan Panembahan Senapati sebagai raja Mataram Baru yang
pertama dengan penguasa atau raja putri Laut selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kenacana Sari.
Mitos yang tertuang di dalam BabadTanah Jawi (1980) menggambarkan bahwa Kanjeng
Ratu Kencana Sari dan bala tentaranya bersedia membantu penguasa dari keraton untuk
menjaga kemerdekaan dan ketentraman keraton.Dalam keadaan apapun, apabila ada
permasalahan akan selalu dibantu, karena ada mitos keduanya saling jatuh cinta, dan
menjalin hubungan dengan penguasa Mataram selanjutnya.Dari sejarah terlihat dalam
Syair lagu Sinom ada nyanyian yang mengisaratkan percintaanBratadiningrat (1991).
Kisah Cinta Antara Kau dan Aku sebagai berikut:
“Dahat denira haminta,
Sinipeket pangkat kanthi,
Jtoning alam panglimunan,
Ing pasaban saben sepi,
Sumanggem anganggemi,
Ing karsa kang wus tinanu,
Pamrihe mung haminta,
Supangate teka-teki,
Nora ketang teken janggut suku jaja,
85
Terjemahan:
(Sungguh-sungguh saya memohon, dengan penuh harap, Di dunia yang tidak
tampak oleh mata (alam gaib), Dalam tamda saat-saat sepi, Sanggub menepati, Dengan
kehendak yang sudah pasti, Maksudnya hanya memohon, Berkahnya bertapa,
Meskipun bertongkat janggut, berkaki dada.
Dalam paparan Syair sinom terlihat jelas bahwa rasa cinta Kanjeng Ratu Kencana
Sari sangat dalam dengan memohon pada penguasa Mataram untuk dapat dijadikan isteri,
dan memberikan semua bantuan dan tenaga apabila panembahan senapati meminta, tetapi
kalau untuk memperistri Panembahan Senapati lebih mementingkan kehidupannya untuk
mencapai sangkan paraning dumadi(asal mula terjadinya). Walaupun demikian
Panembahan Senapati menjanjikan siapa keturunannya yang bertahta di Pulau Jawa akan
mengikat janji dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari pada peresmian menjadi raja,
sebaliknya Kanjeng Ratu Kencana Sari diminta datang untuk mengajarkan Tari Bedhaya
Ketawang seperti yang ditarikan Sang Ratu di Keratonnya, tepatnya di dalam tilam sari
(tempat tidur) yang berada di bawah laut dalam Pantai Parangtritis.
Berkaitan dengan isi Serat Wedhapradangga disebutkan:
Kacariyos, kala ing tahun Jawi 1585 sinengkalan ―Pathetira Ngarengga Tataning
Kedhaton.
Ing
satunggaling
dinten,
ing
wanci
tengah
dalu,
Ingkang
SinuhunKanjeng Sultan Agung lenggah piyambaan, manungku puja sarwi
ngenengaken cipta, ing jagat katon sindhen premanem, amung kapireng
swaraning angkup ingkang kasiliring samirana midit, pindha ukeling kemanak
Gangsa Lokananta, miditing samirana lamat-lamat kapyarsa wonten swara gaib
ingkang mawa lagu endah kapyarsa wonten swara gaib ingkang mawa lagu endah
adiluhung, sinartan prabawa luhur, ingkng sinuwun ngantos anjegrig. Lelagon
wau sampun-sampun kapyarsa wela-wela wonten ing awang-awang.tanshah
cinathet ing driya sang nata, ngantos paham dhateng lelagon wau. Ingkang
sinuwun anget duk jaman kadewatan, lelangen lenggot bawa, widadari kasapta
ingkang ambadhaya, tinabuhan ing Gangsa Lokananta sarwi binarung ing kidung,
ngantos byar ingkang sinuwun boten sare, ing wanci enjing lajeng animbali para
empuning karawitan : (1) Kangjeng Panembahan Purubaya, (2) Kayai
86
Panjangmas dhalang ngiras empuning gendhing, (3) Pangeran Panji Mudhabagus
ingkang dhedhukuh Karanggayam (karan pangeran Karanggayam II),inggih
punika putranipun Kyai Panjang mas wau, (4) R.T. Alap-alap sami empu
karawitan ing Mataram.Ingkang sinuwun mangandikaaken kawontenan kalawau
dalu, ngantos talesih”.
(Tersebutlah, ketika tahun 1565 Jawa dengan candrasengkala Pathetira
Ngarengga Tataning Keraton. Pada suatu hari di tengah malam,Sinuwun Sultan
Agung duduk sendirian mengheningkan cipta, malam itu sunyi sepi, jagad tampak
hening, hanya terdengar suara angkup yang tertiup angin, bagaikan suara kemanak
dari Gamelan Lokananta, bersama dengan terpaan angin lamat-lamat terdengar
suara gaib yang berlagu indah adi luhung, disertai perbawa luhur, sinuwun sampai
merinding bulukuduknya. Lagu itu terdengar jelas angkasa, selalu tercatat di hati
sang Raja sampai betul-betul paham pada lagu itu.Sultan Agung teringat ketika
jaman para dewa, hiburan lenggot- bawa / tarian dan nyanyian, bidadari tujuh yang
menari bedhaya , dengan iringan Gamelan Lokananta serta dibarengi nyanyinyanyian puji-pujian, sampai pagi hari / semalam suntuk sang raja memanggil para
ahli karawitan :(1) Kangjeng Panembahan Purubaya, (2) Kiai Panjangmas,
dalang sekaligus ahli gendhing, (3) Pangeran Panji Mudhabagus yang bertempat
tinggal di Dukuh Karangngayam (disebut Pangeran Karangngayam II) yaitu putra
Kyai Panjangmas, (4) R.T. Alap-alap, semuanya ahli karawitan di Mataram.
Sinuwun Sultan Agung membicarakan malam itu dengan panjang lebar untuk
membuat iringan gendhing bedhaya. Hasil yang diperoleh bahwa iringan
gamelanbedhaya yang halus, sakral, khidmat tidak menggunakan intrumen
gamelan keprak dikarenakan keprak suaranya kasar, ramai tidak sesuai dengan
gamelan untuk gendhing tari bedhayaketawang, hanya rebab, gender, suling,
gambang untuk menambah keselarasan suasana, tari bedhaya ketawang dapat
dikatakan iringannya bukan termasuk gendhing melainkan tembang gerong.
87
2. Makna Simbolik Sembilan Orang Penari Bedhaya Ketawang
Sembilan orang penari memiliki makna simbolik dengan pandangan filsafat jawa
adalah kepercayaan perbintangan yang dipercaya masyarakat yaitu:
―Lintang luku, Lintang kukusan, Gemak tarung, Panjer rina, Panjer sore, dan
dalam rasi bintang di masukkan dalam lagu jawa di bawah ini:
―Irim-irim lintang ngirim, gubug penceng, anjog, wus manengah prahune sang
raden, jaka belek maluku ing kali, lintang bima sakti, nitih kuda dhawuk,
(tembang mijil).
Sembilan penari adalah dari jumlah bilangan terbesar menurut pandangan orang
jawa, hal ini berhubungan dengan kehidupan yang harus seimbang yaitu antara kekuatan
dunia Makrokosmos (jagad gedhe), dan Mikrokosmos (jagad cilik).Disini keseimbangan
antara alam semesta dan manusianya yang ditandai dengan sembilan arah mata angin,
tengah (poros), utara, selatan, timur, barat, barat laut, tenggara, dan barat daya.
Sembilan penari memiliki simbol bahwa dimaksudkan ―Nawagraha‖ Lintang
sanga;(1)Surya, (2)Soma, (3)Anggala, (4)Buddha, (5)Wrespati, (6)Sukra, (7)Saniscara,
(8)Rahu, (9)Ketu.
Sembilan penari juga memiliki simbol sembilan arah mata angin yang disebut
yaitu Nawa-dhara dalam kitabWedhapariksama dapat disebut Syiwanatha raja. Syiwa
dilambangkan lingga dan para penari dilambangkan sebagai yoni, keberadaan tari
tersebut adalah aktivitas gerak Syiwa menciptakan dengan kata lain Syiwa menciptakan
dunia ― The Master of the Dance‖.
Sembilan penari memiliki simbol sembilan lubang pengeluaran dari manusia yang
diartikan pengendalian diri untuk menata sikap kesabaran yang sesuai dengan orang jawa
yaitu harus bisa menahan hawa nafsu jahat, dengki, srei, bathil, menakil.
Sembilan pengeluaran : (1) Mata, (2) Hidung, (3)Telinga kanan, (4)Telinga kiri,
(5) Mulut, (6) Puser, (7)Kulit, (8)Alat kelamin,(9) Lubang dubur.
Sembilan penari adalah Dewa Syiwa yang tertinggi dan ruang berikutnya Durga
dan di bawahnya dewa-dewa penjaga arah mata angin yang digambarkan pada sisi luar,
dibawahnya murid Syiwa yaitu Tandu.
88
3. Proses latihan karena tari ritual harus ditentukan tidak bisa setiaphari latihan
Penentuan hari ditentukan Selasa kliwon, yang memiliki makna simbolis hari
Anggara Kasih adalah wuku Dhukuttuwin Mandhasiya winastan Anggara Kasih ageng,
Dinten menika dipun agem kangge njamasi pusaka keraton kalih nyaosi caos dhahar
Wuku Dhukut, IngWulan Surapusaka dipun warangi, wonten keraton dipun wastani
dipunjamasi.
4. Gerak tari dalam bedhaya kethawang adanya pakem tari bahwa tari terdiri:
a. Maju beksan
Penari masuk yang diawali dengan lumaksana,sembahan dan ada aturan masuk
Dalem Ageng harus mengitari Sinuwun dengan arah menganan.
b. Beksan
Penari ada perangan ada penari yang berdiri dan ada yang jengkeng, peperangan
dalam masyarakat jawa adalah perangnya hawa nafsu yang jahat karena didunia
adanya dua hal, baik dan buruk, cantik-jelek, pintar-bodoh, kaya-miskin, bencisayang, lawan-kawan , hitam-putih dll
c. Mundur beksan
Penari kembali masuk dengan lumaksono dan mengitari raja.
5. Tata Busana
Memakai dodot banguntulak, lapisan bawah memakai cindekembang, berwarna
ungu, lengkap dengan pending bermata dan buntal. Seperti pengantin jawa. Pernikahan
memiliki simbol kesuburan karena bertemunya laki-laki dan perempuan, bertemuanya sel
telur dan sperma.
6. Tatarias Tari Bedhaya Ketawang
Riasan temanten putri, sanggulnya bokormengkurep, lengkap dengan perhiasanperhiasan, yang terdiri centhung, kalung, gelang , cincin, garudha mungkur, sisir jeram,
cundhuk menthul, dan kembang tiba dhaha di bagian kanan. Pada rias ada gajah,
pengapit, panitis, dan godheg, yang bermakna: Bahwa gajah melambangkan Tuhan Yang
Maha Kuasa karena disimbolkan bentuknya paling besar, Pengapit terletak di kanan dan
89
kiri gajah, berbentuk kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita.
Panitis melambangkan bahwa laki-laki yang bertugas menurunkan benih/wiji dadi.
Godheg berjumlah dua bersatunya kedua pengantin, godhek melambangkan cita-cita yang
luhur untuk dapat hidup bersama mengarungi bahtera rumah tangga dan berharap
mendapatkan keturunan yang baik. Bentuk rambut bokormengkurep dan ditutup bunga
melati sebagai rajut yang berbentuk kawungan, bunga melati perlambang kesucian ini
bahwa penari bedhaya ketawang menari dalam keadaan suci dan bersih. Bunga melati
dan kawungnya adalah simbol bersatunya kawula gusti.Cindhe yang diikkat agar penari
dapat mengendalikan diri bersikap sabar.Perhiasan sebagai perlambang bahwa seorang
wanita dapat berhias dan berdandan cantik dengan demikian dapat menyenangkan hati
suaminya, Cundhuk menthul berjumlah ganjil kepercayaan orang jawa hitungan yang
baik harus ganjil maka ada sebutan semua dihitung atau dibincili/ dihitung, misalkan
3,5,7,11,13.17 dsb.
7. Bentuk gamelan
Menggunakan laras pelog, tanpa keprak menandakan taribedhayaketawang
termasuk tari sakral, klasik dan ritus. Dengan tidak adanya keprak iringan lebih hidmat,
tenang dan iringan dari bedhaya tidak berwujud gendhing tetapi tembang gerong.
8. Nama Penari Bedhaya Ketawang juga ada simbol sakral:
1.Batak, 2.Endhel Weton, 3. Endhel Ajeg, 4. Apit Ngarep,5.Apitmburi, 6.Apit
meneng, 7. Gulu, 8.Dhadha, 9.Buncit.
Simbol nama penari merupakan bentuk anggota tubuh manusia dari kepala sampai
alat pengeluaran yang secara letak harus urut.
9. Pola lantai tari Bedhaya Ketawang
Ada beberapa yang memiliki simbol yang jelas sesuai dengan falsafah hidup
masyarakat Jawa:
Bentuk pola lantai jejer wayang:
-
Memberikan lambang bahwa orang hidup membutuhkan orang lain untuk mencapai
yang diinginkan, sifat gotong royong
90
Bentuk pola lantai formasi tiga-tiga
-
Memberikan lambang semua yang bersifat ganjil lebih baik dari perhitungan bagi
masyarakat Jawa
Bentuk pola lantai gubuk penceng
-
Memberikan lambang bahwa semua tertuju kepusat yaitu manunggalingkawula lan
gusti harus selalu ingat bahwa manusia dilahirkan dari siapa dan diharuskan hidup
yang bagaimana sangakan paraning dumadi.
Bentuk pola lantai berputar
-
Penari mengitari raja dan singgasana bahwa ajaran orang jawa yang berada dipusat itu
yang diagungkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan Raja dianggab memiliki kekuatan
yang menyamai kekuatan para dewa.Sebagai manusia harus patuh dan tunduk kepada
junjungannya.
C. Wujud Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Tari Bedhaya Ketawang
1. Wujud nilai pendidikan karakter
a. Ketuhanan: Manusia diciptakan harus bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan percaya dan patuh dengan perintahnya dan menjauhi segala larangannya, dan
harus selalu ingat dari mana dan dari siapa kita ada dan diadakan(Sangkan Paraning
Dumadi)
-
Berdoa diberikan nikmat dalam kehidupan sehingga menyeimbangkan antara
kehidupan di dunia dan akerat, kehidupan Makrokosmos (jagad gedhe) dan
Mikrokosmos (jagad cilik).
-
Rasa syukur diberikan berbagai nikmat, kehidupan, rejeki, anak, suami, istri,
keluarga, sahabat,pekerjaan.
2. Kekerabatan/kebersamaan dalam tari bedhaya ketawang
a. Sosial: kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa disini dengan seniman,
pencipta, penari, pengrawit dll.
-
Kejujuran
-
Kekompakan
-
Kebersamaan
-
Saling menghormati
91
-
Berbagi
-
Bertanggung jawab
-
Patuh kepada orang yang lebih tua/ patuh kepada raja
D. Penutup
Tari bedhaya ketawang di keraton kasunanan Surakarta sebagai tari yang sakral,
magis, religius yang diperuntukkan untuk upacara adat jawa jumenengan raja dan
penyambutan tamu-tamu penting raja yang ditarikan setahun sekali dengan jumlah penari
sembilan, dengan gendhingsejenis tembang gerong, dengan laras pelog disertai tata rias
pengantin putri seperti rias pengantin putri jawa dengan busana dhodhot, samparan, bunga
tiba dhadha,disertai perhiasan, centhung, garudha mungkur, sisir jeram.Adapun pendidikan
karakter pada tari bedhaya ketawang adanya nilai luhur ketuhanan berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Sangkan Paraning Dumadi) dan Keseimbangan hidup dunia dan akherat
antara kehidupan Makrokosmos (jagad gedhe), dan Mikrokosmos (jagad cilik).Nilai
pendidikan karakter secara sosial bahwa manusia diharapkan memiliki bertanggung jawab,
kejujuran, berbagi, kekompakan, kebersamaan, saling menghormati,patuh kepada yang lebih
tua.
Nilai pendidikan karakter harus tetap dijaga walaupun dan pada kondisi apapun,
pengaruh budaya global yang menggerus budaya lokal harus tetap kita jaga bahkan kita
punya tanggung jawab untuk melestarikan, menjadikan pribadi yang berbudaya, bermartabat,
berdedikasi tinggi, tidak malu dengan budaya jawa karena budaya jawa adalah pilar dari
budaya nasional.
Daftar Pustaka
A. H. Baker. 1987. Manusia dan Simbol dalan Sekitar Manusia.
Anderson Benedict. 1985. Mythology and Tolerance of the Javanesse. New York: Southeast
Asia Program Cornell University Press.
Bastomi, Suwaji, 1992. Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Pres
_____________ .2000. Laku Budaya Jawa. Semarang: UNNES
92
Herusatoto, Budiono.2005.Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha
Windia
Humardani, S. D. 1983. Kumpulan Kertas Tentang Kesenian. Surakarta: Akademi Seni
Karawitan Indonesia.
Koenjaraningrat. 19744. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka
_____________ 1985. Ritus Peralihan diIndonesia.Jakarta: Balai Pustaka
_____________2002. KebudayaanMentalitas dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
K.G.P.H. Hadiwijoyo.1971. Bedhaya Ketawang. Jakarta: Balai Pustaka
Prabowo W. 1991. Sosok Tari Tradisi Keraton. Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah.
Purwadi,dkk.2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media
Kustantina Dewi.1993. Tari Bedhaya Ketawang Reaktualisasi Hubungan Mistis Panemmbahan
senapati Dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari dan hubungannya.Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada
Sedyawati, Edi. 1981. Permasalahan Sejarah Tari pada Masa Jawa Kuno. Jakarta: Sinar
Harapan.
Sudibyo, S. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Budaya.
Tiwikromo, Argo Y.2006. Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Yogyakarta: Nidia Pustaka
Warsodiningrat. 1943. Wedhapradangga. Naskah tulisan dengan huruf Jawa.
Widagdo Sungging, Nilai Pendidikan dalamUpacara Tradisi Haul Semangkin di Desa Mayong
Kabupaten Jepara. Univet Bantara Sukoharjo. Smart media.
93
FLASH CARDS BERBAHASA JAWA SEBAGAI STRATEGI
PENGAYAAN KOSAKATA PADA ANAK
Kenfitria Diah Wijayanti
Pendidikan Bahasa Jawa FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Pemerolehan bahasa pada anak sesuai pada tahapan usia. Semakin dini pengenalan bahasa dilakukan,
maka anak akan semakin kuat mengingat bahasa ibu yang didapatkannya. Penggunaan flash cards
berbahasa Jawa mempermudah anak mempelajari bahasa tersebut. Selain memperbanyak kosakata, flash
cards juga mengenalkan anak pada huruf, warna, dan bentuk benda yang pada saat itu ditampilkan.
Pengenalan kosakata berbahasa Jawa pada anak akan membentuk karakter anak menjadi lebih santun,
karena dalam bahasa Jawa mengenal adanya ragam krama dan ngoko yang harus diterapkan dengan
melihat mitra tuturnya. Makalah ini menyoroti penggunaan flash cards berbahasa Jawa dalam rangka
memperkaya kosakata bahasa Jawa pada anak.
Kata kunci: pemerolehan bahasa, media flash cards, pendidikan karakter.
A. Pendahuluan
Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan budaya yang kental. Budaya diterapkan pada
semua aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang tidak bisa terlepas dari budaya adalah
bahasa. Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Perannya sebagai media dalam
berkomunikasi menjadikan bahasa selalu berkembang mengikuti perubahan jaman, namun
peminat atau pengguna bahasa Jawa berbanding terbalik. Generasi muda semakin enggan
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya.
Kebanyakan keluarga muda lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa
asing dalam berkomunikasi kepada anaknya. Bahasa Jawa dianggap kurang modern, selain itu
struktur bahasa Jawa yang mengenal ragam ngoko dan krama menambah keengganan untuk
menggunakannya. Ragam ngoko maupun krama dianggap sulit, karena dalam penggunaannya
harus memperhatikan lawan tuturnya. Kosa kata bahasa Jawa sangat banyak jumlahnya, apalagi
menggunakan patokan ragam krama dan ragam ngoko. Hal inilah yang menjadikan masyarakat
Jawa mulai meninggalkan bahasa Jawa karena jumlah kosa kata yang banyak dan rumit dalam
menggunakannya. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan, maka bahasa Jawa akan mengalami
kepunahan. Melalui pengayaan kosakata berbahasa Jawa pada generasi muda akan
menyelamatkan keberlangsungan bahasa Jawa
94
B. Kondisi Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Dalam bahasa Jawa mengenal
adanya unggah-ungguh yang menuntut penuturnya mampu mengkategorikan diksi atau pilihan
kata yang akan disampaikan pada mitra tuturnya. Sasangka (2007) dalam bukunya yang berjudul
Unggah-Ungguh Bahasa Jawa mengemukakan bahwa tingkat tutur atau undha-usuk lazim pula
disebut unggah-ungguh yang hingga kini masih digunakan masyarakat penuturnya. Sasangka
(2007: 128) mengatakan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa hanya terdiri atas dua bentuk yaitu
bentuk ngoko dan bentuk krama.
Berikut ini adalah bentuk ragam bahasa Jawa menurut dua versi.
a. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979) (dalam Sasangka, 2007:
17)
Tingkat Tutur
Ngoko
Krama
Ngoko Lugu
Mudha Krama
Basa Antya
Kramantara
Antya Basa
Wredhakrama
Madya
Madya Krama
Madyantara
Madya Ngoko
Bagan 1. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Poedjasoedarma dkk. (1979)
b. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono dkk.(1993)
(dalam Sasangka, 2007:18).
95
Tingkat Tutur
Ngoko
Ngoko
Krama
Ngoko Alus
(Ngoko Lugu)
Krama
Krama Alus
(Krama Lugu)
Bagan 2. Unggah-ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989)
atau Ekowardono dkk.(1993)
Kebanggaan berbahasa atau language pride yang dimiliki masyarakat Jawa dinilai
memudar seiring perkembangan zaman. Banyak keluarga muda yang lebih bangga
memperkenalkan bahasa asing pada sang anak dibanding memperkenalkan bahasa Jawa sebagai
bahasa ibu dalam keluarga tersebut. Seorang penutur dapat dikategorikan sebagai penutur setia
bahasa Jawa apabila dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa
secara baik dan benar sesuai kaidah yang telah ditetapkan.
Kondisi bahasa Jawa pada generasi muda dapat dikatakan jauh dari kata aman. Banyak
anak muda tidak lagi mengenal bahasa Jawa krama, karena dalam kesehariannya hanya
diperkenalkan bahasa Jawa ngoko itupun terjadi fenomena sikap bahasa negatif karena tidak
disampaikan dengan baik dan benar. Berikut contoh penggunaan bahasa Jawa pada kalangan
anak muda.
Contoh:
Ayo padha mlebu kelas, kae lho dosene wis teka.
Aku durung siram, mengko wae budhal kampuse.
Bapakku durung mulih nyambut gawe.
Kula ajros menawi boten mlebet.
Ampun ngoten, kula percados kaliyan sampeyan.
Kata-kata yang ditebalkan di atas sering kali terdengar pada saat mahasiswa atau kaum
muda berkomunikasi. Penempatan diksi ragam krama dan ngoko tidak pada tempatnya, menjadi
dominasi kesalahan berbahasa Jawa pada kaum muda. Selain itu, terdapat kata ajros dan
percados yang dianggap penutur sebagai bahasa Jawa ragam krama. Padahal kata tersebut tidak
96
ada maknanya. Fenomena ini terjadi karena kurangnya kosa kata yang dimiliki oleh kaum muda.
Apabila dirunut ke belakang maka keluargalah yang turut andil atas fenomena ini. Oleh karena
itu, pengayaan kosakata berbahasa Jawa sangatlah perlu dilakukan agar keberlangsungan bahasa
Jawa tidak mendekati kepunahan.
C. Pemerolehan Bahasa
Akuisisi atau pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang
kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Chaer, 2009: 167).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Darjdowidjojo (2010, 225) menyatakan bahwa pemerolehan
bahasa adalah proses penguasaan bahasa yg dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia
belajar bahasa ibunya (native language). Oleh karena itu, keluarga seharusnya memberikan
pondasi kuat karena merupakan tempat pertama pemerolehan bahasa berlangsung.
Lingkungan pertama anak bertumbuh adalah keluarga, maka bahasa yang ada pada
keluarga itulah yang memperkuat bahasa ibu. Bahasa pertama yang dikenal oleh anak akan
tersimpan rapi dalam ingatannya, bahkan hingga anak tersebut telah dewasa dan mengenal
banyak bahasa.
Pola pengasuhan anak yang tepat akan mempengaruhi kehidupan anak tersebut di masa
mendatang. Pemberian asah, asih, dan asuh yang sesuai dapat membentuk karakter si anak. Asah
adalah stimulasi, asih berupa kasih sayang, dan asuh adalah kecukupan kebutuhan baik itu
materiil maupun non materiil termasuk pendidikan (Hasan, 2011). Anak sepertihalnya sebuah
kertas kosong yang siap ditulisi dengan berbagai macam warna tinta. Pembelajaran bahasa pada
anak usia dini akan lebih mudah, karena otak yang dimilikinya sedang mengalami perkembangan
pesat atau sering disebut dengan masa golden age. Pada usia keemasan inilah sebaiknya
diberikan stimulus yang maksimal.
Manusia memiliki kemampuan untuk memproduksi ujaran. Kemampuan tersebut
dilengkapi alat wicara yang menyempurkan pengujaran bahasa tersebut. Menurut Chomsky yang
dikutip dalam Chaer (2009) terdapat beberapa hipotesis mengenai pemerolehan bahasa kanakkanak. Hipotesis tersebut antara lain adalah hipotesis nurani, hipotesis tabularasa, dan hipotesis
kesemestaan kognitif. Berikut penjelasan dari hipotesis-hipotesis tersebut.
1) Hipotesis Nurani
97
Dalam hipotesis nurani disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi suatu alat yang
memungkindan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Selain itu Chomsky (dalam
Chaer, 2009: 168-169) juga menemukan beberapa hal yakni:
a. Setiap anak normal akan memperoleh bahasa ibunya.
b. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan.
c. Kalimat yang didengar seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit.
d. Bahasa hanya bisa diajarkan pada manusia.
e. Proses pemerolehan bahasa sesuai dengan jadwal yang terkait dengan pematangan
jiwanya.
f. Seorang anak hanya membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk menguasai struktur bahasa
yang rumit, kompleks, dan universal.
Mengenai hipotesis nurani, Chomsky dan Miller (dalam Chaer, 2009) menemukan
adanya alat yang dapat membuat kanak-kanak bisa berbahasa. Alat tersebut dinamakan
language acquisition device (LAD). Cara kerja dari LAD yakni apabila ada suatu bahasa
(missal: bahasa Jawa) diberikan kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan/input,
maka LAD tersebut akan membentuk salah satu tata bahasa formal sebagai keluaran atau
output.
2) Hipotesis Tabularasa
Tabularasa atau kertas kosong adalah seperti kondisi otak manusia yang baru dilahirkan
belum memiliki pengetahuan apapun. Hipotesis ini semula diperkenalkan oleh John Locke
yang kemudian dikembangkan oleh John Watson (dalam Chaer, 2009). Berikut adalah hasil
pengamatan yang tampak pada perilaku berbahasa manusia.
a. Semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah
merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati
oleh manusia itu.
b. Hipotesis ini merumuskan cara pembelajaran S-R (stimulus-respons).
c. Tahapan awal si anak akan berceloteh „babling period‟ karena proses peniruan dengan
melafalkan semua bunyi yang kemudian menggabungan bunyi-bunyi tersebut, sehingga
memenuhi kualifikasi secara sintaksis dan semantik.
d. Bahasa merupakan sekumpulan tabiat atau perilaku (teori behaviorisme).
98
Hasil pengamatan tersebut terjadi pada manusia dengan bekal wicara yang sempurna.
Bekal wicara tersebut berupa otak dan alat wicara di mana suara manusia yang menjadi
bahasa diproduksi. Skinner (dalam Chaer, 2009) mengemukakan bahwa berbicara
merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam atau
dari luar yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Berikut ini adalah klasifikasi kategori
respons bahasa tersebut.
a. Mand: command dan demand untuk meminta sesuatu.
b. Tacs: menamai sesuatu akibat adanya stimulus.
c. Echoics: perilaku berbahasa (peniruan) yang disebabkan adanya respons pihak lain.
d. Textual: perilaku berbahasa yang muncul akibat adanya stimulus tertulis.
e. Intraverbal operant: operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu
yang dilakukan atau dialami penutur.
Analisis hasil pengamatan yang dilakukan oleh Skiner tersebut menyoroti bagaimana anak
tersebut mendapatkan bahasa, memproses dalam otaknya, hingga memproduksi bahasa.
3) Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Berdasarkan teori kognitif manusia meimiliki tahapan dalam berujar sesuai dengan usia
dan kematangan diri. Berikut tahapan pemerolehan bahasa pada anak:
a. Usia 0 - 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi
terhadap alam sekitarnya (struktur akal mental-kekekalan benda),
b. Usia 2 – 7 tahun anak mengalami representasi kecerdasan membentuk representasi
simbolik yang meliputi permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar,
dll,
c. Bahasa anak semakin berkembang dengan mendapat nilai sosial. Struktur linguistik mulai
dibentuk berdasarkan bentuk kognitif umum yang telah dibentuk pada usia 2 tahun
(Chaer, 2009).
Dalam kenyataannya setiap anak tidak memiliki tahapan yang sama, karena kemampuan
bahasa yang dimilikinya tidak sama. Kemampuan bahasa anak terbentuk juga dari faktor
lingkungan yang kondusif. Oleh karena itu, lingkungan keluarga merupakan pemegang
peranan pokok dalam pemerolehan bahasa pada anak.
99
D. Flash Cards Berbahasa Jawa
Flash cards atau sering disebut kartu baca adalah kartu yang berisi informasi baik berupa
gambar, kata, huruf dan lain sebagainya. Penggunaan flash cards bertujuan untuk merangsang
memory recall yang bila teratur dilakukan akan meningkatkan perkembangan short term maupun
long term memori (Wijayanti dan Dyah, 2014). Flash cards berbahasa Jawa dapat membantu
memperkaya kosakata anak mengenai bahasa Jawa.
Permainan flash cards dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan
tersebut, antara lain:
a)
menyediakan waktu selama satu jam setiap durasinya
b) menyiapkan flash cards dengan gambar (gambar diusahakan bervariasi) dan tulisan
(berbahasa Jawa krama)
c)
menampilkan flash cards di depan anak dengan cepat dan diulang terus menerus
d) mengujikan kepada anak dengan benda riil yang ada di sekitarnya
Pada awalnya anak akan melihat gambar dengan sungguh-sungguh menggunakan daya
visualisasinya. Setelah beberapa tahapan tersebut dilaksanakan, anak akan terpacu untuk
berbicara dan mulai bisa berpikir. Untuk mengoptimalkan kemampuan verbalnya, tentu saja
siswa tersebut harus diajak berkomunikasi dengan materi-materi yang telah diajarkan.
Masa kanak-kanak adalah dunia bermain bagi mereka. Memberikan stimulasi
menggunakan flash cards pada anak dapat dilakukan dengan permainan, sehingga anak akan
tertarik melakukannya. Pemberian rewards dan punishment yang tepat bisa membangkitkan
antusias anak melakukan permainan. Over stimulation pada anak akan menimbulkan dampak
negatif. Anak akan merasa bosan dan terpaksa. Melihat mood anak akan sangat membantu
pembelajaran dan proses pemerolehan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, pembelajaran tidak
bisa dipaksakan untuk mencapai sasaran. Keberhasilan penggunaan flash cards dapat diujikan
menggunakan benda riil yang ada di sekitar kita. Post test dapat dilakukan dengan menayakan
nama benda yang kemudian memberikan pujian pada saat jawaban benar.
Flash cards dapat didesain hanya gambar saja atau gambar dan huruf. Penyajian flash
cards gambar huruf akan memberikan manfaat ganda untuk mengajarkan kosakata dan
mengajarkan membaca pada anak. Gambar yang ditampilkan dalam flash cards tidak boleh
ambigu, yang nantinya akan menimbulkan kebingungan pada anak. Gambar yang terfokus pada
100
suatu objek akan mempermudah anak dalam mengingat. Berikut contoh flash cards berbahasa
Jawa.
Gambar 1. Flashcards Bahasa Jawa
Flash cards di atas menampilkan gambar dan huruf, yang membahas anggota tubuh
manusia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ragam krama. Hal ini bertujuan untuk
memperkenalkan kepada anak nama-nama anggota tubuh dengan bahasa Jawa krama.
Penggunaan flash cards akan lebih efektif apabila dilakukan secara teratur dan menyenangkan.
E. Simpulan
Pemerolehan bahasa berlangsung dalam lingkungan keluarga inti. Keluarga berperan
penuh untuk menentukan bagaimana pendidikan kepada anak diberikan. Pengayaan kosakata
bahasa Jawa pada anak, akan membentuk karakter, sehingga anak mengenal adanya unggahungguh. Hal ini sejalan dengan pendidikan karakter anak yang membentuk kepribadian sesuai
karakter budaya Jawa. Penggunaan flash cards membantu anak menghafal kosakata bahasa Jawa
lebih mudah. Selain itu, anak juga akan belajar mengenal huruf yang akan membantunya pada
saat belajar membaca nantinya. Penumbuhan rasa kecintaan dan kebanggaan berbahasa Jawa
101
seharusnya ditanamkan sejak dini, karena pengenalan bahasa ibu menggunakan flash cards pada
young leaner sangat bermanfaat bagi kelangsungan bahasa Jawa itu sendiri.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hasan, Maimunah. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Diva Press.
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2007. Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan
Paramalingua.
Wijayanti, Kenfitria Diah. 2013. Pengenalan Bahasa Jawa Sejak Usia Dini Pada Anak Untuk
Membentuk Karakter Bangsa. Artikel Ilmiah. Universitas Sebelas Maret.
Wijayanti, Kenfitria Diah & Padmaningsih, Dyah. 2014. Flashcards sebagai Media
Pembelajaran Kreatif Pengenalan Bahasa Jawa Krama Pada Anak Berkebutuhan Khusus
yang Berkategori Tuna Grahita di Kabupaten Karanganyar. Artikel Penelitian. Universitas
Sebelas Maret.
102
SYI’IR TANPA WATON : POTRET PEMERTAHANAN BAHASA JAWA SEBAGAI
REFLEKSI PENDIDIKAN MORAL
Harsono S.S., M.Hum
Pendidikan Bahasa Jawa
Univet Sukoharjo
Abstrak
Syi‟ir Tanpa Waton merupakan tembang musikal Islami yang berisi refleksi diri, tuntunan hidup
untuk berlaku ideal sebagai makhuk Tuhan yang bertakwa. Tembang musikal Islami ini hidup
dan berkembang di masyarakat Jawa hingga sekarang. Syi‟ir Tanpa Waton yang sarat dengan
tuntunan Islam ini sering dilantunkan ketika pengajian di kampung maupun di lingkungan
pondok pesantren. Tembang musikal Islami ini berkembang dimasyarakat menjadi bentuk
konsep baru yang berisi gambaran nilai-nilai ideal sebagai manusia yang bertakwa serta
mengandung pula kritikan bagi orang muslim yang disampaikan secara santun dan elegan.
Tempo, dinamika nada, penekanan pelafalan, dan pilihan kata dalam bahasa Jawa menjadikan
Syi‘ir ini menjadi konsep seni tembang islami yang harmonis, nglangut, dan religius. Dinamika
kenaikan intonasi terjadi pada larik kedua dalam satu baitnya dan meninggi klimaks di akhir larik
kedua pada dua frasa terakhir. Teks pada tembang musikal Islami Syi‟ir Tanpa Waton terdiri 16
bait. Bait 1 dan 2 menggunakan bahasa Arab, untuk selanjutnya bait 3 sampai dengan bait 15
menggunakan bahasa Jawa, serta ditutup bait terakhir menggunakan bahasa Arab. Dalam hal ini,
penulis mengamati penggunaan bahasa Jawa pada tembang musikal Islami tersebut menjadi
solusi pembelajaran, peningkatan keimanan bagi umat muslim, serta pendidikan moral yang
dirasa ampuh di era jaman sekarang khususnya bagi yang mengetahui bahasa Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa agama Islam santun tehadap budaya tradisi daerah, salah satunya media
bahasa Jawa digunakan dalam pengkaryaan Sastra Musikal yang berisi tuntunan dan refleksi diri.
Kata kunci : Syi’ir Tanpa Waton, pemertahanan bahasa jawa, pendidikan moral.
I.Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Syi‟ir Tanpa Waton merupakan tembang musikal Islami yang berisi refleksi diri,
tuntunan hidup untuk berlaku ideal sebagai makhuk Tuhan yang bertakwa. Tembang musikal
Islami ini hidup dan berkembang di masyarakat Jawa hingga sekarang. Syi‟ir Tanpa Waton yang
103
sarat dengan tuntunan Islam ini sering dilantunkan ketika pengajian di kampung maupun di
lingkungan pondok pesantren. Tembang musikal Islami ini berkembang dimasyarakat menjadi
bentuk konsep baru yang berisi gambaran nilai-nilai ideal sebagai manusia yang bertakwa serta
mengandung pula kritikan yang disampaikan secara santun dan elegan. Pada syair teks Syi‟ir
Tanpa Waton menggunakan bahasa arab pada bait awalnya, dilanjutkan menggunakan bahasa
Jawa pada bait-bait selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan konsep tembang musikal Islami ini
menjadi sebuah produk local genius yang berisi akulturasi 2 budaya, Islam dan budaya local
(Jawa). Syi‟ir Tanpa Waton berbentuk tembang yang dilantunkan dengan alunan nada dan
memiliki konvensi sastra didalamnya. Hal ini ditemukan dalam akhiran baris pada tiap baitnya,
sebagian besar memiliki keteraturan persamaan bunyi suku katanya. Pada umumnya karya-karya
sastra Jawa kurang begitu dikenal atau diketahui masyarakat, hal itu disebabkan karya sastra
lama menggunakan bahasa daerah (Jawa) yang sulit dipahami oleh sebagian masyarakat.
Berbeda dengan teks Syi‟ir Tanpa Waton, penggunaan bahasa Jawa yang mudah dimengerti
menjadi salah satu alasan tembang musikal islami ini familiar diberbagai kalangan masyarakat
muslim Jawa. Meskipun demikian, penyampaian kesederhanaan dalam bahasa pada teks Syi‟ir
Tanpa Waton mengandung interpretasi makna yang dalam sehingga dalam pemaknaannya tidak
bisa hanya dengan pemahaman saja karena juga berisi simbol-simbol. Berger berpendapat
(2005:23) sebuah simbol adalah segala sesuatu yang mempunyai signifikasi dan resonansi
kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki
makna yang dalam. Sedangkan Saussure (dalam Chaer 2003:287) menjelaskan makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.
Pada awalnya, sebagian kalangan percaya bahwa yang mengarang sekaligus yang
melantunkan Syi‟ir Tanpa Waton adalah KH. Abdur Rahman Wahid atau yang lebih dikenal
dengan Gus Dur. Hal ini disebabkan karena banyak ditemukan rekaman-rekaman dalam bentuk
audio yang beredar di dunia maya (youtube : salah satu portal web untuk melihat tayangan audio
visual) memiliki kemiripan suara Gus Dur, serta ditambah kandungan dalam syair tersebut,
memiliki esensi gambaran tentang apa yang diperjuangkan beliau semasa hidupnya, sehingga
memberikan keyakinan beberapa kalangan masyarakat jika Syi‟ir Tanpa Waton memang ditulis
oleh Gus Dur.
Pada sebuah situs di media online (2011) putri tertua Gus Dur,
Alissa
Qothrunnada menyatakan belum pernah mendengar syair tesebut langsung dari Gus Dur.
104
Kemudian ditanyakan kepada orang-orang terdekat Gus Dur semasa hidupnya tidak ada yang
menyatakan pernah mendengar syair tersebut langsung dari Gus Dur sebelumnya.
Damar Kasaenan (2011) melakukan penelurusan yang dipublikasikan di situs blog
pribadinya menyatakan bahwa penulis Syi‟ir Tanpa Waton adalah KH. Mohammad Nizam AsShofa, Lc alias Gus Nizam. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Ahlus Shafa wal Wafa
Sioketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Syi‟ir Tanpa Waton adalah ciptaannya pada tahun 2004.
Dalam versi pertama syair ini lebih panjang dua bait, kemudian versi kedua tahun 2007 dua bait
tersebut dihapus dan versi kedua itulah yang beredar luas. Hal tersebut juga dibenarkan oleh para
jema‟ah pondok pesantren Ahlus Shafa wal Wafa yang telah mengikuti pengajian Gus Nizam.
II. Pemertahanan Bahasa Jawa Sebagai Refleksi Pendidikan Moral
Wellek dan Warren (1995:27) memberikan pengertian bahwa karya sastra dapat
memberikan kebermanfaatan berupa keseriusan yang bersifat diktaksis. Keseriusan ditaksis
merupakan keseriusan yang memiliki nilai pendidikan. Karya sastra tidak hanya berisi imajinasi
dari fikiran pengarang, melainkan dalam imajinasinya tersebut memiliki sesuatu yang penting
dan hendaknya diketahui oleh penikmat sastra. Pesan sesuatu yang penting tersebut berupa nilainilai pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh penikmatnya. Syi‟ir Tanpa Waton sebagai
tembang musikal Islami berisi pesan penting yang hendaknya juga dapat dimanfaatkan oleh
penikmatnya. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu‟ur yang berarti perasaan. Kata syu‟ur
berkembang menjadi syi‟ru yang berarti puisi dalam pengertian umum. Dalam kesusastraan
Melayu, Syair mendasar pada pengertian puisi secara umum. Perkembangan telah menjadikan
syair ini menjadi model baru dengan mengalami mengalami perubahan dan modifikasi sehingga
dapat dirancang sesuai dengan keinginan jaman.
Fang dalam bukunya (2011:562-563) menjelaskan bahwa syair merupakan salah satu
jenis puisi lama yang terdiri atas empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang
sekurang-kurangny terdiri atas sembilan sampai dua belas suku kata. Syair tidak mempunyai
unsur-unsur sindiran atau sampiran di dalamnya. Aturan sanjak akhirnya adalah aa-aa dan sanjak
dalam (internal rhyme) hampir-hampir tidak ada.
Menurut isinya, Fang (2011:566) menggolongkan syair menjadi lima, yaitu :
a. Syair Panji
105
Syair Panji misalnya Syair Panji Semirang yang merupakan saduran dari Hikayat Panji
Semirang. Dalam syair jenis ini plot disajikan dengan lebih sederhana dan biasanya satu
syair hanya menceritakan satu cerita utama saja.
b. Syair romantis
Merupakan syair yang menceritakan kisah percintaan yang biasanya ada pada cerita
pelipur lara, hikayat maupun cerita rakyat.
c. Syair kiasan
Berisi tentang percintaan selain manusia, seperti ikan, burung, bunga maupun buahbuahan. Percintaan tersebut adalah sebuah kiasan atau sindiran terhadap peristiwa
tertentu. Contoh syair kiasan adalah Syair Burung Punguk yang menceritakan tentang
percintaan yang gagal akibat perbedaan pangkat (2011:587).
d. Syair sejarah
Merupakan syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi
tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang Mengkasar (dahulu
bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan
Belanda (2011:592).
e. Syair agama
Syair agama merupakan syair yang memuat tentang nasihat-nasihat maupun tuntunan
dalam kehidupan beragama. Contohnya adalah Syair Perahu, Syair Dagang, Syair
Kiamat, Bahr An-Nisa, Syair Takbir Mimpi, Syair Raksi dan lain sebagainya (2011:603604).
Berdasarkan klasifikasi penggolongan syair oleh Fang
tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Syi‟ir Tanpa Waton merupakan jenis Syair Agama. Hal ini dilihat dari substansi isi
teksnya, yang berisi refleksi tuntunan hidup ideal muslim yang bertakwa.
Teks pada tembang musikal islami Syi‟ir Tanpa Waton terdiri 16 bait. Bait 1 dan 2
menggunakan bahasa Arab, untuk selanjutnya bait 3 sampai dengan bait 15 menggunakan bahasa
Jawa, serta ditutup bait terakhir menggunakan bahasa Arab. Dalam hal ini, penulis mengamati
penggunaan bahasa Jawa pada tembang musikal Islami tersebut menjadi solusi pembelajaran,
peningkatan keimanan bagi umat muslim, serta pendidikan moral yang dirasa ampuh di era
jaman sekarang khususnya bagi yang mengetahui bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa
106
agama Islam santun terhadap budaya tradisi daerah, salah satunya media bahasa Jawa digunakan
dalam pengkaryaan Sastra Musikal yang berisi tuntunan dan refleksi diri. Syi‘ir ini menjadi cepat
populer dikalangan masyarakat muslim Jawa karena didorong oleh
faktor primordial
masyarakatnya yang sangat familiar dengan syi‘ir-syi‘ir. Pada jaman dahulu ajaran-ajaran
disampaikan melalui pesan yang tersandikan dalam tembang-tembang. Dalam Syi‟ir Tanpa
Waton, pedoman hidup yang ideal sebagai muslim yang bertakwa digambarkan dengan bahasa
Jawa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Misalnya dalam bait-bait berikut :
Astagfirullah robbal baroya…
Astagfirulloh minal khootooya…
Robbi zidni `ilmannaafii‟a…
Wawaffikni `amalan sholiha…
Terjemahan.
Aku memohon ampun ya Allah Maha Penerima Taubat
Aku memohon ampun ya Allah dari segala dosa
Tambahkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat
Berikanlah aku amalan yang baik (STW- pada bait ke - 1)
Yaa rosulallah salammun‟alaik…
Yaa rofi‟asaaniwaddaaroji…
`atfatayaji rotall `aalami…
Yauhailaljuu diwaalkaromi…
Terjemahan.
Wahai utusan Allah, semoga keselamatan tetap padamu
Wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi
Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga
Wahai ahli dermawan dan pemurah hati (STW- pada bait ke - 2)
Ngawiti ingsun nglaras syi‟iran
Kelawan muji maring Pengeran
Kang paring rohmat lan kanikmatan
Rina wengine tanpa petungan
Terjemahan.
Saya mengawali melantunkan syair
Dengan memuji kepada Tuhan
Yang memberi rahmat dan kenikmatan
Siang dan malam tanpa perhitungan (STW- pada bait ke - 3)
107
Pada bait pertama dan kedua Syi‟ir Tanpa Waton ini menggunakan bahasa Arab,
dilanjutkan pada bait ke-3 menggunakan bahasa Jawa. Dilihat dari perspektif bahasanya, bait ke3 tersebut menggunakan bahasa Jawa yang mudah dimengerti. Tidak menggunakan kosakata
bahasa Jawa yang sulit dimaknai, karena pada dasarnya penciptaan syi‘ir ini sebagai bentuk
refleksi diri dan perenungan-perenungan agar dapat dengan mudah tersampaikan pesannya.
Pencipta syi‘ir ini seolah sengaja menggunakan kode bahasa yang mudah untuk dimaknai. Kode
Bahasa menurut Teeuw (1983) merupakan analisis unsur-unsur yang berupa tata bahasa dan
kosakata, urutan kata dan struktur kalimat. Secara garis besar kode bahasa menjelaskan maknamakna kebahasaan. Menarik mencermati kode bahasa penggunaan kata Ingsun pada bait ke 3
yang berarti ‗saya‘. Kata Ingsun merupakan kategori deiksis dalam teori pragmatik. Kata-kata
seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan katakata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan
kata-kata itu diucapkan. Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis
(Yule, 2006:13)
Deiksis adalah kategori kata yang memiliki referen atau acuan selalu berubah. Ingsun
merupakan kategori deiksis persona tunggal. Deiksis persona merupakan deiksis yang
menunjukkan diri penutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona
pertama (Djajasudarma, 2009:52). Kata Ingsun dalam Syi‟ir Tanpa Waton bait ke-3 diatas seolah
memberikan penegasan, bahwa siapapun yang melagukan tembang ini adalah ingsun ―saya‖
dengan reference acuannya adalah dirinya sendiri (yang mengucapkan). Kata itu telah berpindah
referen atau acuan, bukan ingsun „saya”- nya pencipta Syi‘ir tersebut. Hal ini memberikan
penegasan pula bahwa pencipta syi‘ir ini memberikan ruang untuk penutur tembang ini sejenak
merefleksikan dirinya sendiri, untuk senantiasa selalu berdoa mengagungkan Alloh SWT yang
telah memberikan rahmat dan kenikmatan tanpa berbatas waktu, baik siang ataupun malam.
Pada bait ke-3 tersebut merupakan gambaran sebuah konsep tuntunan moral yang elegan. Tanpa
bermaksud menggurui, menyerahkan bentuk refleksi diri pada diri kita sendiri.
Pada tiga bait selanjutnya menggambarkan cermin kedzaliman dan kelalaian umat
manusia. Penggambaran tersebut memberikan implikasi tentang peringatan supaya kita
menghindari hal-hal yang demikian, agar tidak sengsara di masa depan, misalnya dalam baitbait berikut :
108
Dhuh, bala kanca priya lan wanita
Aja mung ngaji syare‟at blaka
Gur pinter ndongeng nulis lan maca
Tembe mburine bakal sangsara
Terjemahan.
Wahai, para teman pria dan wanita
Jangan hanya belajar syariatnya saja
Hanya akan pandai berbicara, menulis dan membaca
Dikemudian hari akan sengsara (STW-pada bait 4)
Akeh kang apal Qur‟an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dhewe dak digatekake
Yen isih kotor ati akale
Terjemahan.
Banyak yang hafal Al Qur‟an dan Hadisnya
Senang mengkafirkan orang lain
Kafirnya sendiri tidak dihiraukan
Jika masih kotor hati dan pikirannya (STW-pada bait 5)
Gampamg kabujuk nafsu angkara
Ing pepahese gebyare ndonya
Iri lan meri sugihe tangga
Mula atine peteng lan nistha
Terjemahan.
Mudah terbujuk nafsu angkara
Dalam gemerlap indahnya dunia
Iri dan dengki dengan kekayaan tetangga
Sehingga hatinya gelap dan nista (STW-pada bait 6)
Pada bait 4, 5, 6 diatas berisi penekanan hal-hal yang seharusnya dihindari bagi orang
yang bertakwa. Pendidikan moral untuk kita senantiasa berpegang teguh pada norma agama.
Berpijak pada pendapat Teeuw (1983), bahwa untuk mendekati sebuah karya sastra
membutuhkan kemampuan untuk memahami kode yang rumit. Memang benar adanya, kita
mampu untuk menerima pesan dari sebuah tekstual sastra, bilamana kita mengerti kode-kode
yang disampaikan didalamnya. Dalam hal ini Teeuw membagi kategorial menjadi 3 : Kode
bahasa, kode sastra, kode budaya. Apabila pada bait 1, 2 dan 3 didepan dapat didekati melalui
kode bahasanya, pada bait 4,5,6 diatas dapat didekati melalui kode sastranya. Menurut Teeuw
(1983) Kode sastra merupakan kode yang berkenaan dengan unsur-unsur sastra. Dengan kata
lain kode sastra memaparkan estetika sastra. Lain halnya dengan kode bahasa yang dapat
dipahami secara langsung, untuk menganalisis kode sastra pembaca harus berimajinasi,
109
membayangkan apa yang dibayangkan oleh pengarangnya. Mencermati bait 4 pada pilihan kata
larik pertama, muncul kata dhuh sebagai bentuk dinamika penggambaran kekecewaan terhadap
sesuatu yang mungkin terjadi apabila kita terlena hanya mempelajari syariatnya saja. Dengan
pemahaman yang lebih mendalam merupakan himbauan apabila ingin belajar ilmu agama,
sebaiknya jangan hanya mempelajari syariatnya saja yang hanya menjadikan pandai berbicara,
menulis dan membaca, kemudian akan mendapat sengsara. Dalam hal ini pencipta Syi‟ir Tanpa
Waton ingin menggambarkan betapa tidak bermanfaat, betapa kecewa, betapa tiada guna,
disampaikan melalui diksi pada kata dhuh. Tentu saja bukan tanpa alasan pengarang dengan
memilih kata tersebut. Lebih pada ingin memberikan dinamika bahasa sastra yang menarik,
lugas, sederhana dan apa adanya melalui kata dhuh sebagai wujud kekecewaan.
Selain wujud teksnya yang menarik, Syi‟ir Tanpa Waton ketika didengarkan melalui
audio, akan tampak wujud sastra musikalitas tembang yang menarik pula. Dinamika naik
turunnya nada, stressing penekanan serta tempo pada tiap frasa atau kata yang dianggap penting
akan tampak sekali. Selain tempo dan dinamika, yang perlu diperhatikan dalah penekanan.
Penekanan diberikan kepada frasa-frasa tertentu didalam teks Syi‟ir Tanpa Waton (Nikken, 2013
:61)
Tempo, dinamika nada, penekanan pelafalan, dan pilihan kata dalam bahasa Jawa
menjadikan Syi‘ir ini menjadi konsep seni tembang Islami yang harmonis, nglangut, dan
religius. Dinamika kenaikan terjadi pada larik kedua dalam satu baitnya dan meninggi klimaks di
akhir larik kedua pada dua frasa terakhir. Bait ke- 5, pada frasa seneng ngafirke ‗suka
mengkafirkan‘ dan frasa marang liyane ‗kepada orang lain‘ pengarang ingin menyampaikan
pesan yang lebih. Pesan tersebut merupakan bentuk konsep pentingnya berintrospeksi diri untuk
jangan suka menghakimi orang lain, padahal belum tentu kita menjadi pribadi yang bersih. Hal
tersebut memberikan perenungan sekaligus sindiran bagi kita yang terkadang lebih disibukkan
untuk mengurusi dan mencela orang lain, padahal belum tentu kita sendiri bersih dari noda. Pada
larik ini juga memberi pelajaran moralitas yang tinggi bagi kita. Setidaknya meskipun kita telah
diberikan ilmu atau pemahaman yang baik, jangan sampai ilmu dan pemahaman yang baik
tersebut ditafsirkan keliru, sehingga berakhir pada kesombongan yang seolah kita menafsirkan
diri paling benar diatas segalanya. Tergambar pada larik pertama dan kedua akeh kang apal
Qur‟an haditse ‗banyak yang hafal Al Qur‟an dan Hadisnya‘, seneng ngafirke marang liyane
„senang mengkafirkan orang lain‘. Tentunya mawas diri, introspeksi diri, dan pengendalian hawa
110
nafsu (tampak pada bait 6) menjadi pesan yang ingin disampaikan pencipta Syi‘ir. Bahwa untuk
menjadi pribadi yang baik, setidaknya kita dapat menselaraskan hidup dengan mengendalikan
hawa nafsu dan introspeksi diri. Satu hal yang menarik adalah, bahwa pesan itu ditempatkan
pada larik kedua, dimana pada larik kedua pada teks Syi‟ir Tanpa Waton merupakan larik yang
memiliki dinamika penekanan nada dan pelafalan yang meninggi. Hal ini memberikan arti
bahwa kata-kata itu, menjadi kata yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
Gambaran ideal keselarasan hidup tercermin pada bait selanjutnya dibawah ini :
Ayo sedulur ja nglalekake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhide
Baguse sangu mulya matine
Terjemahan.
Ayo saudara jangan melupakan
Wajibnya memahami sesuatu beserta aturannya
Untuk mempertebal iman tauhidnya
Bagusnya bekal mulya matinya (STW-pada bait 7)
Kang aran sholeh bagus atine
Karana mapan sari ngelmune
Laku thariqot lan ma‟rifate
Uga haqiqat manjing rasane
Terjemahan.
Yang disebut sholeh adalah yang bagus hatinya
Karena sudah lengkap dan memahami ilmunya
Tarikat dan makrifatnya berjalan
Hakikat juga tumbuh dalam perasaannya (SWT-pada bait 8)
Bait 7 dan 8 merupakan kontradiksi dari bait 4 - 6. Pada bait 4- 6 lebih menggambarkan
perilaku dzalim dan gambaran perilaku yang tidak baik, akan tetapi pada bait 7 dan 8 diatas lebih
pada contoh gambaran perilaku hidup ideal muslim dalam meningkatkan ketakwaan. Bait 7
penekanan lebih pada bagaimana untuk mempertebal keimanan adalah dengan mempelajari
sesuatu secara utuh dalam hal ini Qur‘an yang merupakan pedoman hidup yang hakiki.
Sedangkan bait 8 lebih pada cerminan perilaku yang ideal adalah ketika kita bisa menyatukan
dan mempelajari sesuatu secara utuh, ditunjang dengan indahnya hati (jiwa), hal inilah yang akan
membawa pada damainya jiwa dalam menjalani hidup.
111
Syi‟ir Tanpa Waton pada bait selanjutnya merupakan antitesa dari bait-bait sebelumnya,
setelah bait-bait sebelumnya gambaran perilaku tidak baik (bait 4-6) dan gambaran perilaku baik
(7 dan 8), untuk selanjutnya dibawalah kita pada bait yang mengandung keimanan hakiki:
Al Qur‟an qadim wahyu minulya
Tanpa tinulis bisa diwaca
Iku wejangan guru waskitha
Den tancepake ing njero dhadha
Terjemahan.
Al Qur‟an qadim wahyu yang mulia
Tanpa ditulis dapat dibaca
Itu nasehat dari guru yang mumpuni
Supaya ditanamkan di dalam dada (STW –pada bait 9)
Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu‟jizat rasul dadi pedhoman
Minangka dalan manjinge iman
Terjemahan :
menempel di hati dan pikiran
merasuk dalam badan dan seluruh hati
mukjizat Rosul (Al-Qur‘an) menjadi pedoman
sebagai jalan masuknya iman (STW-pada bait 10)
Kelawan Allah kang Maha Suci
Kudu rangkulan rina lan wengi
Ditirakati diriyadlohi
Dzikir lan suluk aja nganti lali
Terjemahan.
Kepada Allah yang Maha Suci
Harus mendekatkan diri siang dan malam
Diusahakan dengan sungguh dan ikhlas
Dzikir dan suluk jangan pernah lupa (STW-pada bait 11)
Pada bait 9-11 diatas merupakan gambaran esensi Islam yang hakiki. Al quran menjadi
wahyu mulia, mukjizat nabi Muhammad SAW menjadi pedoman, senantiasa mendekatkan diri
kepada Alloh dengan shalat 5 waktu, senantiasa selalu berdzikir. Hal ini menjadi pelajaran
perenungan untuk menuju pada hubungan manusia dengan Alloh SWT. Dalam konsep budaya
Jawa dikenal dengan manunggaling kawula Gusti.
Selanjutnya pada bait 12 -15 Syi‟ir Tanpa Waton, berisi pedoman hidup untuk lebih
meningkatkan jiwa yang bersabar, mengendalikan hawa nafsu.
112
Uripe ayem rumangsa aman
Dununge rasa tandha yen iman
Sabar narima najan pas-pasan
Kabeh tinakdhir saking Pangeran
Terjemahan.
Hidupnya tentram merasa aman
Mantabnya rasa pertanda beriman
Sabar menerima meskipun pas-pasan
Semua takdir dari Tuhan (STW-pada bait 12)
Kelawan kanca dulur lan tangga
Kang padha rukun aja daksiya
Iku sunnahe Rasul kang mulya
Nabi Muhammad panutan kita
Terjemahan.
Kepada teman, saudara dan tetangga
Rukunlah dan jangan saling bertengkar
Itu sunnanya Rasul yang mulia
Nabi Muhammad panutan kita (STW-pada bait 13)
Ayo nglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat drajate
Senajan ashor tata dhorihe
Ananging mulya makom drajate
Terjemahan.
marilah menjalani semuanya
Allah yang akan mengangkat derajatnya
Meskipun rendah tampilan dhohirnya
Namun mulia maqam derajatnya (STW-pada bait 14)
Lamun palastra ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadhang Allah suwarga manggone
Utuh mayite uga ulese
Terjemahan.
Meskipun akhirnya meninggal
Ruh dan sukmanya tidak tersesat
Dirindukan Allah ditempatkan di surga
Utuh jenazahnya juga kafannya (STW- pada bait 15)
Yarosulalloh salammun‘alaik
Yaarofi‘asaaniwaddaaroj
`atfatayaji rotall `aalami
Yauhailaljuu diwaalkaromi (STW-pada bait 16)
113
Jika dilihat bait 12-15 merupakan cerminan hidup ideal ketika kita dapat membawa diri
dalam lingkungan sosial. Pada bait 12, merupakan refleksi diri untuk lebih meningkatkan
kesabaran. Sabar dalam menerima takdir Alloh SWT. Bait 13 lebih pada bagaimana peran kita
untuk dapat membawa diri dalam lingkungan sosial. Keselarasan dan harmonisasi hidup dapat
tercapai tatkala manusia dapat melakoni perannya sebagai makhluk sosial. Saling menghormati,
mengayomi dan mengasihi satu sama lain. Bait 14 merupakan konsekwensi dari tindakan kita
pada bait 12 dan 13, dengan dapat melaksanakannya, Alloh SWT senantiasa akan mengangkat
derajatnya.
III. Simpulan
Untuk memahami sebuah teks musikal, kiranya perlu diperhatikan pemahaman atas kode
bahasa dan kode sastra. Karena melalui kode-kode tersebut memberikan jalan mudah untuk
dapat memahami makna dalam teks musikal. Syi‟ir Tanpa Waton, muncul dan berkembang
menjadi wujud konsep tembang musikalitas Islami yang berisi pedoman moral, pendidikan
karakter, serta tutunan yang kaya makna. Syi‟ir Tanpa Waton hadir sebagai bentuk karya seni
Islami yang tumbuh dan berkembang membaur dengan lokalitas kedaerahan, yang ditandai
dengan penggunaan bahasa Jawa dalam media penyampaian gagasan-gagasan. Melalui bahasa
Jawa, pencipta tembang Syi‟ir Tanpa Waton ingin mengungkapkan pesan dan gagasan dengan
cara yang sederhana. Setidaknya dengan menggunakan teks bahasa Jawa, Syi‟ir Tanpa Waton
telah menempatkan diri menjadi konsep pembelajaran moral, tuntunan perilaku hidup ideal, serta
refleksi diri umat islam dengan berbasis kearifan lokal melalui bahasa Jawa.
Daftar Pustaka
Berger, Asa Arthur. 2005. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar
Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian
dan Kajian. Jakarta: Refika Aditama.
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
114
Kasaenan, Damar. 2011. Misteri Pengarang Syiir Tanpa Waton. online. Aveilable at http://aliksfx.blogspot.com/2011/10/misteri-pengarang-syieir-tanpo-waton.html [diakses:14 Mei
2015]
Nikken Derek Saputri. 2013.Skripsi : Syi‟ir Tanpa Waton (Kajian Semiotik). Semarang :
Fakultas Bahasa dan Seni. UNES.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. DiIndonesiakan oleh Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yule, George 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
115
FILSAFAT ANALITIK DAN KONSTRUKTIVISTIK
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA
Rahmat, S.S., M.A.
Pendidikan Bahasa Jawa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Pembelajaran bahasa Jawa di abad 21 tentunya diselaraskan dengan perkembangan metode dan
media pembelajaran yang semakin modern dan inovatif. Hadirnya teknologi canggih dalam arti
semakin mempermudah pembelajaran hendaknya digunakan sebagai media yang tepat untuk
menyampaikan materi pembelajaran. Sementara itu, metode pembelajaran dikaitkan dengan cara
mengajar guru atau dalam arti pengelolaan kelas agar siswa dapat mencerna dan memahami
materi sampai tuntas. Sehubungan dengan pembelajaran bahasa Jawa di abad 21, hendaknya
tidak terfokus saja terhadap metode dan media pembelajaran, namun juga sangat penting untuk
menengok kembali filsafat pendidikan yang telah dirumuskan oleh pemerintah sebagai dasar
penyusunan kurikulum. Hal ini penting agar pembelajaran bahasa Jawa dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan yang diharapkan dan dapat dengan mudah dikuasai oleh siswa. Oleh sebab itu,
pembelajaran bahasa Jawa di abad 21 harus tetap mempertimbangkan filsafat pendidikan
didukung oleh metode dan media pembelajaran yang tepat.
Kata Kunci : Pembeajaran bahasa Jawa, Filsafat Pendidikan.
A. Pengantar
Filsafat adalah proses berpikir tentang suatu realitas. Realitas adalah sesuatu yang
disimbolkan lewat bahasa.Bahasa tidak sekedar urutan bunyi yang dapat dipahami secara
empiris, tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non-empiris.Dengan demikian bahasa
sebagai sarana vital dalam berfilsafat, yaitu sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran
tentang fakta dan realitas yang direpresentasikan melalui simbol bunyi (A. Chaedar Alwasilah,
2010:14).
A. Chaedar Alwasilah dalam buku berjudul Filsafat Bahasa dan Pendidikan (2010:14—
15) menyebutkan dua kategori besar filsafat bahasa.Pertama, perhatian terhadap bahasa dalam
menjelaskan berbagai objek filsafat.Artinya, objek material filsafat bahasa adalah bahasa itu
sendiri, sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang falsafi terhadap bahasa itu.Kebenaran
dan keadilan, agaknya tidak mungkin dapat dijelaskan tanpa bantuan analisis bahasa atau analisis
116
penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.Kedua, perhatian terhadap bahasa sebagai objek
material dari kajian filsafat seperti filsafat hukum, filasafat seni, filsafat agama, dan sejenisnya.
Filsafat pendidikan merupakan pemikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan
pendidikan, sesuatu yang dikatakan kompleks dan penting. Dalam filsafat pendidikan terkandung
sejumlah nilai meliputi hakikat manusia, cara memperoleh pengetahuan, standar moral yang
harus dipegang, cara mengorganisasi masyarakat, sampai dengan apa yang diajarkan. Filsafat
pendidikan bahasa merupakan sinergi antara filsafat pendidikan dan filsafat bahasa yang
mendasari alam pikiran manusia ihwal pendidikan bahasa atau suatu kegiatan pendidikan
bahasa.Hal itu sangat penting dan bermanfaat demi pemahaman kebijakan dan praktik
pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) di Indonesia.Dalam hal yang lebih sederhana setiap
kebijakan instruksional guru dalam kelas dapat ditelusuri ke hulu pemikirannya (A. Chaedar
Alwasilah, 2010:15—16).
Pendidikan yang dalam prosesnya selalu memperhatikan pandangan-pandangan filsafat
pendidikan, maka akan tercipta suasana dan kondisi pembelajaran yang mantap. Seperti halnya
pembelajaran di Indonesia ini yang apabila kita lihat dari kurikulum pendidikan, maka akan
terlihat banyak sekali mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Jumlah mata
pelajaran yang banyak tersebut menutut banyak konsekuensi dalam penyelenggaraannya
termasuk dalam hal ini sudut pandang filsafat yang menyertainya yang harus dipahami oleh
pendidik.
Untuk melihat hubungan antara filsafat pendidikan dengan pembelajaran, maka contoh
dalam tulisan ini akan melihat filsafat pendidikan dengan pembelajaran bahasa Jawa. Bahasa
Jawa merupakan salah satu pelajaran muatan lokal yang wajib diselenggarakan di tiga propinsi,
yaitu DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pembelajaran bahasa Jawa diajarkan sejak sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas.Adapun materi yang diajarkan meliputi tiga kategori besar,
yaitu bahasa, sastra, dan budaya. Berkaitan dengan materi bahasa dalam pembelajaran bahasa
Jawa terdapat beberapa keunikan, yaitu tuturan bahasa yang yang mengandung makna tertentu
dan itu dikenal dengan namaparibasan, běbasan, sanepa, cangkriman dan saloka.
Pola-pola tersebut masuk dalam kurikulum bahasa Jawa tidak hanya untuk tingkatan
sekolah menengah atas namun juga ditemukan dalam kurikulum bahasa Jawa tingkat sekolah
dasar.Oleh sebab itu, guru dituntut untuk membelajarkan ungkapan-ungkapan kebahasaan itu
sesuai dengan kurikulum. Adapun pembicaraan lebih lanjut dalam tulisan ini akan lebih melihat
117
filsafat pendidikan dalam pembelajaran bahasa Jawa terutama dalam materi paribasan, běbasan,
cangkriman, sanepa,dan saloka untuk tingkat sekolah dasar.
B. Filsafat Analitik dan Konstruktivistik
Sebelum lebih lanjut membicarakan masalah pembelajaran bahasa Jawa, maka akan
disajikan terlebih dahulu pandangan dari filsafat analitik-konstruktivisme. Pandangan-pandangan
filsafat analitik-konstruktivisme penting untuk diketahui kaitannya dengan pembelajaran bahasa
Jawa.Berikut ini pandangan filsafat yang dimaksud.
1. Filsafat analitik
Filsafat analitik mulai dikenal secara serentak saat filsafat yang berkembang di Inggris
pada waktu itu berorientasi pada penyelidikan bahasa dan dalam perkembangan selanjutnya
mempengaruhi corak filsafat abad ke-20 terutama di kawasan negeri-negeri Anglo-Saxon
(Asep Ahmad Hidayat, 2009:46—47).Kaelan via A. Chaedar Alwasilah (2010:23—30)
menyebut filasafat analitik sebagai metode yang khas untuk menjelaskan, menguraikan dan
menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.Pada umumnya para ahli membagi filsafat
analitika ke dalam tiga aliran, yaitu anatomisme logis, positivisme logis atau empirisme logis,
dan filsafat bahasa biasa.
Anatomisme logis merujuk pada semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide
sederhana atau atomis (atomic ideas) yang harus dianalisis.Lebih lanjut, hakikat realitas dunia
seyogyanya dianalisis melalui analisis logis.Analisis logis berdasarkan pada kebenaran yang
sifatnya universal dan bersumber pada rasio.Ilmu pengetahuan terdiri atas pernyataanpernyataan yang merujuk pada realitas dunia.Realitas dunia itu sendiri terungkapkan lewat
bahasa sehingga antara bahasa dan realitas dunia terdapat kesesuaian bentuk.
Positivisme logis atau empirisme logis bertujuan demi penjelasan bahasa ilmiah dan
menolak metafisika.Aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna
atau tidaknya suatu pernyataan, bukan pada pertanyaan benar atau salah.
2. Filsafat Konstruktivistik
Filsafat konstruktivistik memandang belajar untuk membangun pengetahuan. Seseorang
melakukan kegiatan belajar tidak lain adalah untuk membangun pengetahuan melalui
interaksi dan interpretasi terhadap lingkungannya (Mundilarto, tt). Dalam konteks belajar,
118
konstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, melainkan siswa
mengkonstruksi pengetahuan di benaknya (Epon Ningrum, 2009:1—2).
Munculnya konstruktivisme sangat mungkin sekali disebabkan oleh ketidakpuasan
terhadap parktik tradisional terutama pembelajaran yang dianggap kaku. Suyono dan
Hariyanto (2011:18) menyebutkan bahwa dipertengahan abad ke-20 (sebelum tahun 1950-an)
mengajar masih dimaknai sebagai sebuah proses pemberian bimbingan dan memajukan
kemampuan pembelajar yang semuanya masih berpusat pada guru. Namun, dalam
perkembangannya pendidikan sudah bergeser untuk berpusat kepada siswa, meskipun peran
guru dalam proses pengajaran masih amat besar. Lebih lanjut, Aunurrahman (2010:15—16)
berpandangan bahwa konstruktivisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapanharapan baru yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif
siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegaiatan belajarnya sendiri. Pandanganpandangan di atas menyiratkan bahwa ada keinginan yang kuat untuk mendapatkan
pengetahuan baru dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.
C. Asri Budiningsih (2008:58) menyatakan bahwa proses belajar menurut pandangan
konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke
dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa. Pemberian makna terhadap
objek dan pengalaman oleh individu tidak dilakukan sendiri oleh siswa, melainkan melalui
interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk bisa dalam budaya kelas maupun di
luar kelas.
Von Galserfeld dalam C. Asri Budiningsih (2008:57) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, serta kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan.
a. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Ketika konstruktivisme masuk dalam pembelajaran, maka akan bersinggungan dan
membawa konsekuensi dengan berbagai aspek pengajaran, mulai dari kurikulum sampai
dengan pembelajar itu sendiri. Berikut ini dampak konstruktivistik dalam pembelajaran
yang diungkapkan oleh Suyono dan Hariyanto (2011:109—122).
1) Kurikulum, di mana pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang seuai
dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak. Konstruktivisme
119
menuntut konsekuensi penekanan terhadap keterampilan pemecahan masalah ‗handon problem solving‘ dan penyesuaian dengan pengetahuan awal siswa.
2) Guru, sebagai pendidik harus menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak
atau interaksi anak dengan lingkungan sekelilingnya. Di bawah konstruktivisme
pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antar fakta-fakta serta
memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pendidik harus menyusun
strategi pembelajaran dengan memperhatikan respon atau tanggapan dari siswa serta
mendorong siswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkan informasi. Guru
juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berujung terbuka ‗open
ended questions‘ dan mendorong terjadinya dialog yang ekstensif antar siswa. Dalam
hal ini, sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator, mediator dan mitra belajar yang
membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan
keterampilan peserta didik.
3) Anak didik, diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya.
4) Evaluasi, tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas, namun
justru memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran
(penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam
menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri.
b. Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Keempat aspek yang mempunyai konsekuensi terhadap implementasi konstruktivisme
di atas (kurikulum, guru, anak didik, dan evaluasi) hendaknya dijadikan acuan dalam
pembelajaran yang menggunakan dasar filsafat konstruktivisme. Namun demikian
apabila
kita
mengembalikan
pandangan
kita
terhadap
konstruktivisme,
yaitu
pembelajaran yang berpusat pada siswa maka perlu kita pahami pandangan Aunurrahman
(2010:17—25) yang menyatakan proses konstruksi menuntut kemampuan dasar dari
siswa, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, dan
kemampuan
membandingkan,
mengambil
keputusan
mengenai
persamaan
dan
perbedaan. Selain itu, terdapat enam prinsip dasar dalam pembelajaran konstruktivisme,
yaitu pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, penekanan proses belajar terletak
pada siswa, mengajar adalah membantu siswa belajar, penekanan dalam proses belajar
120
lebih kepada proses bukan hasil akhir, kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan guru
adalah fasilitator.
Adapun esensi dari konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi yang lain, dan apabila
dikehendaki informasi itu menjadi milik sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus
dikemas menjadi proses konstruksi, bertanya, menemukan, masyarakat belajar,
pemodelan, refleksi, dan penilaian (Syaifur Sagala, 2012:88—91).
C. Pembelajaran Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi penutur atau masyarakat Jawa.Dalam cakupan
wilayah, bahasa ini digunakan di tiga provinsi, yaitu DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan di
beberapa tempat lain di Indonesia yang memiliki kelompok-kelompok kecil masyarakat
Jawa.Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh sebagian masyarakat di Suriname.
1. Bahasa Jawa
Apabila kita membicarakan bahasa Jawa, maka kadang kita juga membicarakan adat
budaya bahkan sejarah yang menyertainya.Dikatakan oleh Nanik Herawati (2012:127) bahwa
dalam bahasa Jawa terdapat unggah-ungguh yang meliputi tataran sikap, tata krama, tingkah
laku dan penerapan berbahasa Jawa yang baik dan benar.
Pengertian di atas salah satunya berarti, bahasa Jawa merupakan bahasa komunikasi yang
biasanya disertai dengan tindakan, misalnya apabila kita mengucapkan kata nggih ‗ya/iya‘
maka secara reflek-otomatis akan diikuti oleh gerakan kepala sedikit menunduk. Selain
bahasa yang digunakan untuk komunikasi secara langsung, dalam bahasa Jawa juga terdapat
bahasa yang diwujudkan dalam ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna khusus,
misalnya paribasan ‗peribahasa‘, sanepa ‗perumpamaan‘, cangkriman ‗tebak-tebakan‘, dan
wěwalěr ‗larangan‘.
2. Bahasa Jawa di Sekolah
Kaitannya dengan pembelajaran, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang
dimasukkan dalam kurikulum sebagai muatan lokal.Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah
daerah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang telah membuat kebijakan tentang
pembelajaran bahasa Jawa untuk tingkat satuan pendidikan mulai dari SD, SMP, dan SMA.
121
Berdasarkan pengamatan terhadap kurikulum dan sejumlah buku teks mata pelajaran
Bahasa Jawa mulai dari SD sampai SMA dan juga atas dasar kenyataan di dalam masyarakat,
maka seringkali ungkapan-ungkapan bahasa yang mempunyai makna khusus seperti
paribasan, sanepa,cangkriman dan wěwalěr dimasukkan dalam teks pembelajaran atau
disampaikan secara langsung oleh guru. Berikut ini bukti kurikulum yang diambilkan contoh
dari tingkat sekolah dasar yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilanjutkan dengan sedikit penjelasan tentang empat
ungkapan-ungkapan yang dimaksud dalam bahasa Jawa.
Tabel 1. Kurikulum Bahasa Jawa SD Kelas III
Semester Gasal Keterampilan Menyimak
. Standar
Kompetensi
Dasar
Kompetensi
1. Memahami wacana lisan sastra
1.1
Memahami wacana dialog yang
dan nonsastra dalam kerangka
memuat cangkrimanyang
budaya Jawa.
dibacakan atau melalui
berbagai media.
Tabel 2. Kurikulum Bahasa Jawa SD Kelas IV
Semester Gasal Keterampilan Menyimak
. Standar
Kompetensi
Dasar
Kompetensi
1. Memahami wacana lisan sastra
1.1
Memahami wacana lisan yang
dan nonsastra dalam kerangka
memuat paribasan dan
budaya Jawa.
tembung entar yang dibacakan
atau melalui berbagai media.
122
Tabel 3. Pengertian Parikan, Sanepa, dan Wěwalěr
No.
1.
Jenis
Paribasan,
dalam
Contoh
bahasa Běcik kětitik ala kětara (Nirmala,
Indonesia kata ini artinya sama tt:119), peribahasa ini berarti ‗baik
dengan ‗peribahasa‘.
dan
buruk
akan
terlihat
pada
akhirnya‘.
(běcik = baik, kětitik = tertandai, ala
= buruk, kětara = terlihat)
2.
Sanepa, dalam bahasa Indonesia Asu
kata ini berarti ‗perumpamaan‘.
rěbutan
balung
(Nirmala,
tt:118), perumpamaan ini berarti
‗berebut suatu barang atau hal yang
sepele/remeh‘.
(asu = anjing, rěbutan = berebut,
balung = tulang)
3.
Cangkriman,
dalam
bahasa Pitik walik saba kěbon(Nirmala,
Indonesia kata ini berarti ‗tebak- tt:145), jawaban tebak-tebakan ini
tebakan‘
4.
Wěwalěr,
adalah buah nanas.
dalam
bahasa Aja mangan neng ngarěp lawang
Indonesia dekat artinya dengan yang
‗larangan‘
bila
diterjemahkan
dalam
bahasa Indonesia sebagai ‗jangan
makan di depan pintu‘ dalam bahasa
Indonesia.
(aja = jangan, mangan = makan,
neng = di, ngarěp = depan, lawang =
pintu)
Keempat jenis ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam bahasa Jawa di atas sebenarnya
juga (sudah) diajarkan di lingkungan keluarga Jawa. Biasanya dalam keluarga Jawa ungkapanungkapan tersebut, terlebih untuk wěwalěr disampaikan dengan cara yang berbeda dan kadang
123
anak tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, karena orang tua atau sěsěpuh „yang
dituakan‘ hanya memberi jawaban bahwa itu ―pokoke, ora ilok, saru‖ tanpa memberikan
jawaban atau konfirmasi yang logis. Cangkrimansendiri biasanya digunakan dalam suasana
santai.Oleh sebab itu, seyogyanya sekolah dalam hal ini guru bahasa Jawa harus mampu
menjawab tantangan ini dengan metode, media, dan membantu menemukan jawaban-jawaban
yang logis sesuai dengan pandangan atas filsafat fenomenologi dan analitik di depan.
3. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran bahasa ada beberapa macam, hal itu disesuaikan dengan kebutuhan
dan materi yang akan disampaikan guru kepada peserta didik. Berkaitan dengan pembelajaran
bahasa Jawa, dalam hal ini peserta didik belajar tentang ungkapan-ungkapan seperti
paribasan, sanepa,cangkriman dan wěwalěr, maka metode alternatif yang dapat diterapkan
ialah metode contextual learning.
Elaine B Johnson dalan Rusman (2010:187) mengatakan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna. Selain itu, kontekstual adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan
otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks
dari kehidupan sehari-hari siswa.Sehubungan dengan itu, Basuki (2012:55) juga
mengungkapkan bahwa contextual learning adalah metode pembelajaran yang dikenalkan
oleh John Dewey serta diteruskan oleh Katz pada abad ke-20.Agar pembelajaran menjadi
lebih efektif, dalam model ini guru harus menghubungkan materi pembelajaran dengan
konteks atau situasi nyata.
Kontekstual memiliki arti berhubungan dengan konteks, keadaan dan kejadian.Secara
umum, kontekstual memiliki arti berkenaan dengan, relevan, ada hubungan atau kaitan,
membawa maksud, makna, dan kepentingan.Dalam pendekatan kontekstual terdapat dua
penekanan, yaitu kemampuan menghubungkan materi pembelajaran dengan dunia nyata, serta
kemampuan aplikatif dalam kehidupan siswa (Epon Ningrum, 2009:3).Senada dengan itu,
Nurhadi dalam Rusman (2010:189) berpandangan bahwa pembelajaran kontekstual
merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
124
Dari pengertian di atas, maka metode pembelajaran kontekstual yang dapat dilakukan
guru ialah mengajak peserta didik untuk menghubungkan paribasan, sanepa,cangkriman dan
wěwalěr dengan kehidupan nyata serta disertai dengan alasan-alasan logis yang masuk akal.
Misalnya, mengapa tidak boleh makan di depan pintu? Guru bisa meminta siswa untuk
berpikir akan hal itu, apa yang akan terjadi dengan hal itu, dan dampaknya jika melakukan itu,
atau secara sederhana guru memberi sedikit pandangan mungkin karena makan di depan pintu
itu akan mengganggu orang yang akan lewat. Mengapa aja lunga wayah surup?Ajaklah siswa
berpikir apa yang terjadi saat pergantian waktu dari siang, sore menjadi malam, ada kegiatan
apa di saat itu, mengapa orang-orang pilih masuk rumah dan tidak pergi. Dengan
mengkonstruksi secara analitis maka siswa diharapkan mendapatkan pemahaman yang logis
dan terarah.
4. Media Pembelajaran
Kata ―media‖ berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata ―medium‖
yang secara harfiah berarti ‗perantara atau pengantar‘.Media diartikan sebagai ‗wahana
penyalur informasi belajar atau penyalur pesan‘.Apabila media adalah sumber belajar, maka
secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang
memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan (Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zain, 2010:120).
Alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Jawa
dengan materi ungkapan-ungkapan seperti paribasan, sanepa, dan wěwalěr misalnya guru
membuat pamflet atau gambar yang sesuai dengan konteks, selain itu guru dapat
menayangkan gambar atau film pendek yang sesuai dengan ungkapan-ungkapan itu.
Pembelajaran dengan media visual tersebut dirasakan lebih informatif dan membuat peserta
didik langsung dapat melihat daripada membayang-bayangkan.Dina Indriana (2011:156)
menyebut pembelajaran dengan media visual sebagai pembelajaran yang efektif dan efisien.
D. Kesimpulan
Seiring berjalannya waktu muncullah model-model pendidikan baru di Indonesia yang
lebih inovatif, kreatif dan efektif.Salah satu faktor ialah semakin terbukanya pengetahuan,
informasi dan teknologi. Apabila kita cermati berdasarkan sejarah perkembangan pendidikan di
Indonesia, pembelajaran pada era tahun 1990an dan sebelumnya pola pembelajaran di sekolah
125
masih berpusat pada guru, siswa dididik untuk menghafal meskipun sebenarnya pemerintah telah
mengembangkan model pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun, dalam
kenyataannya praktik pendidikan pada masa itu masih terpusat pada guru. Model yang demikian
itu, sesungguhnya hanya akan menghasilkan generasi ―penghafal‖ yang kurang berfikir secara
kreatif.
Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, pada masa sekarang ini banyak cara yang dapat
ditempuh agar pembelajaran bahasa dapat terlaksana dan hasilnya menunjukkan perubahan lebih
baik. Untuk beberapa hal pembelajaran bahasa diharapkan lebih komunikatif, namun untuk
beberapa hal sesuai dengan materi, pembelajaran bahasa juga dapat ditempuh dengan cara
mengajak siswa merekonstruksi dan berpikir analitis.
Belajar bahasa Jawa sesungguhnya dapat dikemas secara menarik dan menyenangkan
untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Selama ini dalam pembelajaran bahasa Jawa, guru
senantiasa mengajak siswa untuk menghapal suatu materi misalnya ungkapan-ungkapan lisan,
daftar nama anak hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Dengan dasar filsafat analitik
menuntun pembelajar pada hal-hal yang logis, sementara itu konstruktivisme merupakan
konstruksi akan sebuah pengetahuan. Apabila pembelajaran bahasa Jawa untuk beberapa hal
sudah menerapkan konsep analitik dan konstruktivistik maka tidak ada lagi alasan untuk
menyebut bahasa Jawa sebagai pelajaran yang sulit.
Daftar Pustaka
A. Chaedar Alwasilah. (2010). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Asep Ahmad Hidayat. (2009). Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Aunurrahman.(2010). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Basuki.(2012). ―Pembelajaran Sastra Berkonteks Pendidikan Moral dan Budaya (Sebuah
Pendekatan Kontekstual)‖.Prosiding Seminar Nasional Pembelajaran Drama Jawa di
Sekolah. Halaman 50—58. Yogyakarta: Kepel Press.
C.Asri Budiningsih. (2008). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dina Indriana. (2011). Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif. Yogyakarta: DIVA Press.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. (2010). Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Jawa untuk
SD/MI. Yogyakarta.
126
Epon Ningrum. (2009). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) diambil
pada 7 Desember 2012, dari file.upi.edu.
Nanik Herawati. 2012. ―Pengajaran Bahasa Jawa di Sekolah‖. Prosiding Seminar Nasional
Pembelajaran Drama Jawa di Sekolah. Halaman 123—130. Yogyakarta: Kepel Press.
Nirmala.(Tt).Pinter Basa Jawa. Surabaya: Giri Utama.
Mundilarto. (tt). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sains diambil pada 7 Desember
2012, dari staff.uny.ac.id.
Poerwadarminta, W.J.S, C.S. Hardjasoemantri & J. C.H.R. Poedjasoedira.(1939). Baoesastra
Djawa. Batavia: J.B Wolters Uitgevers Maatschappij NV.
Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
Rajawali Press.
Suyono & Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Syaifur Sagala. (2012). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Syamsul Bahri Djamarah & Aswan Zain.(2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
127
QUANTUM LEARNING DALAM PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JAWA
RAGAM KRAMA DAN KRAMA INGGIL
Tri Widiatmi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah
FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
[email protected]
ABSTRAK
Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa. Dalam
proses pembelajaran siswa harus mampu mengembangkan kemampuan berbicara untuk
mengomunikasikan ide dan gagasannya. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik
maka komunikasi akan berjalan lancar. Pembelajaran Bahasa Jawa ragam krama dan krama
inggil merupakan kompetensi keterampilan berbicara yang wajib dimiliki siswa. Aspek
kemahiran berbahasa Jawa yang diharapkan sampai para tataran dimilikinya kompetensi
berbicara untuk berkomunikasi dengan menggunakan ragam krama dan krama inggil dengan
lancar. Dengan pendekatan yang inovatif Quantum Learning, proses pembelajaran lebih
bervariasi, aktif dan menyenangkan. Siswa akan lebih mudah memaknai materi yang diberikan
guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal.
Kata kunci: Keterampilan berbicara, krama, krama inggil, pendekatan Quantum Lerning.
A. Pendahuluan
Bahasa memegang peranan penting dalam membentuk hubungan yang baik antar sesama
manusia. Bahasa adalah alat komunikasi dalam kehidupan manusia Hal ini tidak dipungkiri oleh
siapa pun yang hidup di dunia ini. Bahasa itu ada karena para pengguna bahasa sudah menyetujui
adanya simbol yang sudah disepakati dan aturan-aturan yang sudah diikuti oleh masyarakat.
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan
identitas masyarakat pemakai bahasa.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran bahasa Jawa di
Sekolah Menengah Atas nilai ketuntasan pembelajaran dipusatkan pada empat keterampilan
berbahasa. Empat aspek itu meliputi aspek: (1) menyimak/mendengarkan, (2) berbicara, (3)
128
membaca, dan (4) menulis. Seperti dikemukakan Henry Guntur Tarigan bahwa keterampilan
berbahasa mempunyai empat komponen, yakni (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan
berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Setiap keterampilan itu,
berhubungan erat sekali dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara yang beraneka-ragam
(2008:1).
Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa.
Dalam proses pembelajaran siswa harus mampu mengembangkan kemampuan berbicara untuk
mengomunikasikan ide dan gagasannya. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik
maka komunikasi akan berjalan lancar. Dengan keterampilan berbicara yang dikuasainya
tersebut akan menjadikan bekal yang bermanfaat bagi kehidupan pada masa yang akan datang.
Pembelajaran Bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil merupakan kompetensi
keterampilan berbicara yang wajib dimiliki siswa. Aspek kemahiran berbahasa Jawa yang
diharapkan sampai para tataran dimilikinya kompetensi berbicara untuk berkomunikasi dengan
menggunakan ragam krama dan krama inggil dengan lancar. Oleh karena itu, keterampilan
berbicara ragam krama dan krama inggil, memerlukan proses pembelajaran yang menyenangkan
dan menarik agar mudah dipahami peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa betapa pentingnya keterampilan berbicara dalam
pembelajaran bahasa. Keterampilan berbicara menggunakan bahasa ragam krama dan krama
inggil merupakan keterampilan produktif yang dapat menggambarkan tingkat pemahaman siswa
dalam sebuah pembelajaran. Siswa dapat mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pesan,
pikiran, gagasan, dan perasaan dengan bahasa sendiri. Keterampilan berbicara dalam
pembelajarannya, dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain dengan
diskusi, pidato, bermain peran, wawancara, bercerita.
Pada umumnya rendahnya kemampuan berbicara siswa banyak dipengaruhi pembelajaran
yang masih konvensional. Proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah masih
dominan dilaksanakan oleh guru. Sehingga dengan metode tersebut, pemberian informasi secara
intens dan pemberian penguasaan materi sebanyak-banyaknya bagi siswa akan membawa kepada
keberhasilan pembelajaran. Siswa dalam proses belajar pasif, karena hanya mendengarkan guru.
Ditinjau dari permasalahan di depan, diperlukan suatu pendekatan yang lebih inovatif
yakni pendekatan Quantum Learning. Di dalam quantum learning dapat dimaknai sebagai belajar
dengan memperhatikan beragam cara atau belajar dengan cara yang bervariasi. Dengan
129
pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa agar lebih responsif dan bergairah dalam proses
pembelajaran. Quantum learning berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas serta
menciptakan interaksi yang efektif untuk pembelajaran (Andayani, 2009: 94-95).
Dengan pendekatan quantum learning, proses pembelajaran lebih bervariasi, aktif dan
menyenangkan. Siswa akan lebih mudah memaknai materi yang diberikan guru sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Proses pembelajaran lebih efektif sehingga dapat
mempengaruhi kesuksesan siswa dalam belajar dan tujuan pembelajaran akan dicapai.
Keterampilan berbicara merupakan aspek kemampuan berbahasa yang harus dimiliki
siswa. Keterampilan berbahasa Jawa ragam krama dan krama inggil adalah kompetensi yang
harus dimiliki setiap siswa. Dengan keterampilan berbicara tersebut diharapkan ide, gagasan, dan
dalam mengemukakan pendapat dapat dilakukan oleh siswa
Secara khusus tujuan dari penelitian dengan pendekatan quantum learning ini adalah
mengetahui apakah terjadi peningkatan keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil
pada siswa kelas X AK1 SMK Tamansiswa Sukoharjo, dengan menerapkan pendekatan quantum
learning.
1. Keterampilan berbicara
Keterampilan diartikan sebagai pengetahuan, kemampuan, dan nilai-nilai dasar yang
direfkeksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdiknas:2007). Keterampilan adalah
suatu kemampuan untuk mengeluarkan bakat dalam diri seseorang yang dapat memberikan
manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Keterampilan juga dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat sesuai dengan kegiatan yang dilakukan.
Salah satu aspek berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah berbicara, sebab
keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya (Tarigan, 1986:86). Keterampilan
berbicara menurut Supriyadi (2005:178) bahwa apabila seseorang memiliki keterampilan
berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan
sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antar individu. Sedangkan, keuntungan
profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaa-pertanyaan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan.
130
Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya melalui suatu urutan yang teratur:
mula-mula pada masa kecil belajar menyimak bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu belajar
membaca dan menulis. Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat
atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan
ataupun dengan jarak jauh. Keterampilan ini tidak diperoleh secara otomatis, melainkan harus
belajar dan berlatih (Syafi‘ie, 1993:33).
Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak,
yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak (Tarigan: 2008:3). Berbicara berhubungan
erat dengan perkembangan kosa kata yan diperoleh oleh anak, melalui kegiatan menyimak dan
membaca.
Dalam proses pembelajaran tujuan berbicara adalah untuk mengembangkan kemampuan
berbicara siswa. Dalam hal ini kemampuan mengkomunikasikan ide, gagasan, atau pendapat
yang ingin diungkapkan. Dalam proses pembelajaran bahasa, keterampilan berbicara siswa
diutamakan untuk mengungkapkan pendapat dan perasaan.
2. Pendekatan Quantum Learning
Qantum learning sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi "cahaya".
Semua kehidupan adalah energi . Tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar
tujuannya adalah meraih sebanyak mungkin cahaya, interaksi, hubungan, inspirasi agar
menghasilkan energi cahaya (Bobbi De Porter dan Henacki, 2013:16).
Pendekatan quantum learning mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan
belajar yang efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar
(Suyatno, 2004:31). Pendekatan quantum learning adalah pengubahan bermacam-macam,
interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar dengan menyingkirkan hambatan yang
menghalangi proses belajar alamiah denmagn secara sengaja menggunakan musik, mewarnai
lingkungan sekeliling, dan keterlibatan aktif siswa dan guru. Asas yang digunakan adalah
bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka.
Nyoman S. Degeng (2005:4) menjelaskan bahwa quantum learning ini sebagai "orkestra
pembelajaran yang penuh dengan suasana bebas, santai, menakjubkan, menyenangkan, dan
menggairahkan‖. Penciptaan suasana seperti itu, dapat: (1) dibangun motivasi; (2) ditumbuhkan
131
simpati dan saling pengertian; (3) dibangun sikap takjub kepada pembelajaran; dibangun
perasaan saling memiliki; dan (5) dapat memberikan keteladanan.
Pembelajaran dengan menggunakan quantum learning, guru harus membawa pikiran
siswa ke dalam pikiran guru dan sebaliknya pemikiran guru menjadi pemikiran siswa. Dengan
demikian. ada kedekatan secara psikologis antara guru dengan siswa. Guru juga harus mengenali
gaya belajar siswa, apakah gaya belajarnya visual (mementingkan segala sesuatu yang dilihat),
apakah auditif (mementingkan pendengaran), apakah kinestetik (memerlukan gerakan).
Hal-hal yang perlu dilatih dalam quantum learning ini menurut Bobbi de Potter dan Mike
Hernacki (2005:24) adalah (1) cara siswa memusatkan perhatian (konsentrasi), (2) cara mencatat
yang benar, (3) cara belajar menyiapkan ujian, (4) cara membaca cepat, dan (5) cara
menumbuhkan ingatan jangka panjang (long time memory).
Dalam pelaksanaannya quantum learning memiliki petunjuk yang bersifat spesifik untuk
menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang bahan ajar, menyampaikan isi
pembelajaran, dan memudahkan proses belajar (De Porter,2005:4-5). Dalam hal tersebut
diuraikan cara-cara efektif pelaksanaaan quantum learning sebagai berikut: (1) partisipasi dengan
cara mengubah kelas dari kelas yang biasa menjadi kelas yang menarik;(2) memotivasi dan
menumbuhkan minat dengan menerangkan kerangka rancangan yang dikenal dengan singkatan
TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan); (3) membangun
rasa kebersamaan: (4) menumbuhkan dan mempertahankan daya ingat; dan (5) merangsang daya
dengar anak didik. Semua itu pada hakikatnya akan menempatkan guru dan murid pada jalur
cepat menuju kesuksesan belajar.
Pelaksanaan quantum learning dalam kegiatan pembelajaran diarahkan pada
(1)
suasana belajar yang menyenangkan (peralatan, perabotan, bantuan visual/alat peraga yang
digunakan selama pembelajaran ataupun yang tergantung di dinding kelas, tampilan guru yang
sedap dipandang, dan (2) menekankan sugasti (pemberian komentar positif) dan pembelajaran
yang dipercepat, maksudnya siswa cepat dapat belajar dalam memperoleh kemampuan tertentu.
Quantum learning memiliki lima prinsip, (1) segalanya berbicara, bermaksud segala yang
terjadi dalam lingkungan kelas semuanya menunjang pengiriman pesan pembelajaran. (2)
segalanya bertujuan, bermaksud sebagai semua yang terjadi dalam proses pembelajaran itu
mempunyai tujuan. (3) pengalaman sebelum pemberian nama bermakna bahwa proses belajar
paling baik terjadi ketika murid telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama
132
untuk apa yang mereka pelajari. (4) akui setiap usaha, bermakna usaha untuk belajar
mengandung resiko. Dengan demikian setiap usaha pantas mendapat pengakuan atas kecakapan
dan kepercayaan diri mereka bahwasannya mereka telah mengmbil keputusan untuk mengambil
sebuah langkah.
(5) jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan, mengandung maksud
bahwa perayaan dapat menjadi sebuah perangsang motivasi bagi setiap murid. Perayaan juga
dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan da pula meningkatkan persepsi murid yang
benar terhadap pembelajaran yang diikutinya, serta perkembangan emosi yang positif bagi murid
dalam belajar.
Dalam pelaksanaannya quantum learning memiliki petunjuk yang bersifat spesifik untuk
menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang bahan ajar, menyampaikan isi
pembelajaran, dan memudahkan proses belajar (DePorter, 2003:4-5). Cara-cara efektif
pelaksanaan quantum learning meliputi: (1) partisipasi dengan cara mengubah keadaan kelas dari
yang biasa menjadi kelas yang menarik; (2) memotivasi dan menumbuhkan minat dengan
menerangkan kerangka rancangan yang dikenal dengan singkatan TANDUR (tumbuhkan, alami,
namai, demonstrasikan, ulangi, rayakan); (3) membangun rasakebersamaan; (4) menumbuhkan
dan mempertahankan daya ingat; dan (5) merangsang daya dengan anak didik. Semua itu pada
hakikatnya akan mendapatkan guru dan siswa pada jalur cepat menuju kesuksesan belajar
(Andayani, 2009:96).
Asas utama quantum learning bersandar pada konsep Bawalah dunia mereka ke dunia
kita, dan antarkan dunia kita kedunia mereka. Ini asas utama atau alasan dasar di dalam
melaksanakan quantum learning. Segala hal yang dilakukan dalam penerapan quantum learning
selalu menciptakan sebuah interaksi dengan murid, yang didalamnya termasuk penciptaan
rancangan bahan ajar, serta prosedur penerapan metode pembelajarannya (DePorter, 2003:6).
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data penelitian yang diperoleh adalah data observasi berupa pengamatan pengelolaan
belajar dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran dan data tes formatif
siswa pada setiap siklus.
Data lembar observasi yaitu data pengamatan pengelolaan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan quantum learning dalam meningkatkan prestasi. Data tes formatif
untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran inovatif.
133
Dengan pendekatan quantum learning, proses pembelajaran lebih bervariasi, aktif dan
menyenangkan. Langkah-langkah penelitian yang ditempuh meliputi:
(1)
perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Proses
pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan dalam enam siklus.
A. Analisis Data Penelitian Persiklus
1. Siklus I
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana
pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung terlaksananya
proses
pembelajaran.
Peneliti
bersama
guru
merencanakan
pembelajaran
keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning dengan metode
TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang
akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen penilaian, yakni berupa
tes
dan
nontes.
Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan
beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman
observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa selama
pembelajaran berlangsung.
b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada di kelas X
AK1 dengan jumlah siswa 31 anak. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai
pengamat, sedangkan yang bertindak sebagai pengajar adalah guru mata pelajaran
bahasa Jawa SMK Tamansiswa Sukoharjo. Adapun proses belajar mengajar mengacu
pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan
(observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Pada siklus I, proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan pendekatan
quantum learning berjalan sesuai rencana. Meskipun peran guru dalam mengaktifkan
siswa masih kurang, sehingga guru masih sangat mendominasi dalam kegiatan belajar
tersebut. Sehingga pembelajaran tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Tabel 1. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus I
134
No
Rincian Pencapaian Hasil
Nilai
1
Siswa mendapat nilai < 70
22
2
Siswa mendapat nilai > 70
9
3
Rerata kelas
64,1
4
Ketuntasan klasikal
29%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 22 siswa memperoleh nilai di
bawah nilai ketuntasan minimal dan sembilan siswa memperoleh nilai dia atas
ketuntasan minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 29%. Dari perolehan
nilai tersebut dapat terlihat bahwa hal tersebut menunjukkan proses pembelajaran
pada siklus I belum berhasil. Dengan demikian perlu dilanjutkan siklus berikutnya.
2.
Siklus II
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana
pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung terlaksananya
proses
pembelajaran.
Peneliti
bersama
guru
merencanakan
pembelajaran
keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning dengan metode
TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang
akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen penilaian II, yakni berupa
tes
dan
nontes.
Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan
beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman
observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa selama
pembelajaran berlangsung.
b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan
Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran
yang telah direvisi pada siklus I, sehingga kekurangan pada siklus I dapat diperbaiki
pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan
belajar mengajar.
135
Tabel 2. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus II
No
Rincian Pencapaian Hasil
Nilai
1
Siswa mendapat nilai < 70
8
2
Siswa mendapat nilai > 70
23
3
Rerata kelas
4
Ketuntasan klasikal
71,8
74,2%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 8 siswa memperoleh nilai di
bawah nilai ketuntasan minimal dan 23 siswa memperoleh nilai di atas ketuntasan
minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 74,2%. Dari perolehan nilai
tersebut dapat terlihat bahwa proses pembelajaran pada siklus II ada peningkatan
dibandingkan pada siklus I. Dari hasil evaluasi pada siklus II menunjukkan bahwa
proses pembelajaran belum maksimal dan masih perlu adanya perbaikan, sehingga
perlu dilanjutkan siklus berikutnya.
2.
Siklus III
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa rencana
pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat-alat pendukung
terlaksananya proses pembelajaran. Peneliti bersama guru merencanakan
pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan quantum learning
dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi,
Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran. Menyusun instrumen
penilaian
III,
yakni
berupa
tes
dan
nontes.
Instrumen tes dinilai dari hasil pekerjaan siswa dalam keterampilan berbicara dan
beberapa soal pendukung. Sedangakan instrumen nontes dinilai berdasarkan
pedoman observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati sikap siswa
selama pembelajaran berlangsung.
b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan
Proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang
telah direvisi pada siklus II, sehingga kekurangan pada siklus II dapat diperbaiki
136
dan tidak terjadi perulangan kesalahan pada siklus III. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Tabel 2. Nilai Kemampuan berbicara bahasa Jawa siklus III
No
Rincian Pencapaian Hasil
Nilai
1
Siswa mendapat nilai < 70
4
2
Siswa mendapat nilai > 70
27
3
Rerata kelas
4
Ketuntasan klasikal
74,9
87,1%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 4 siswa memperoleh nilai di
bawah nilai ketuntasan minimal dan 27 siswa memperoleh nilai di atas ketuntasan
minimal. Sedangkan ketuntasan klasikal mencapai 87,1%.
Dari perolehan nilai tersebut dapat terlihat bahwa proses pembelajaran pada siklus
III sudah menunjukkan peningkatan yang sangat menggembirakan. Aktivitas siswa
dan hasil belajar siswa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan
dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak dalam proses pembelajaran.
Untuk selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan yang telah dicapai
dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar mencapai hasil yang
maksimal.
B. Pembahasan
Ketuntasan hasil belajar siswa melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendekatan quantum learning dengan metode TANDUR ( Tumbuhkan, Alami, Namai,
Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan) yang akan digunakan dalam pembelajaran memiliki dampak
positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara dengan penerapan pendekatan
quantum learning guna penngkatan keterampilan berbicara ragam krama dan krama inggil kelas
X AK 1 SMK Tamansiswa Sukoharjo dapat dikatakan berhasil dan cukup memuaskan.
Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya motivasi siswa dalam aktivitas proses
pembelajaran. Pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru meningkat, ini bisa
137
dilihat dari peningkatan nilai pada siklus I, II, dan III yaitu masing-masing 29 %, 74,2 %, dan
87,1 %.
D. Penutup
Berdasarkan penelitian di lapangan, bahwa guru masih menggunakan pendekatan
pembelajaran yang belum inovatif. Pembelajaran konvensional masih dilakukan para pendidikan
karena dianggap model pembelajaran yang sudah mapan. Dalam proses pembelajaran
konvensional ada anggapan, mengutamakan pemberian informasi kepada peserta didik secara
intens akan berdampak pada keberhasilan siswa. Guru ceramah menyampaikan materi pelajaran,
dan siswa secara pasif menerima informasi dari guru.
Penelitian dilaksanakan di SMK Tamansiswa Sukoharjo kelas X AK 1, khususnya pada
pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil. Penelitian
tindakan ini dilakukan tiga siklus, dan pada setiap siklus meliputi empat tahapan yakni,
perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan interprestasi, serta analisis dan refleksi.
Simpulan penelitian tindakan ini adalah terdapat peningkatan keterampilan berbicara,
khususnya pada pemakaian bahasa Jawa ragam krama dan krama inggil. Peningkatan tersebut
terjadi setelah pendekatan quntum learning dipahami oleh guru dan dilaksanakan pada proses
pembelajaran kompetensi berbicara. Nilai KKM dalam pembelajaran keterampilan berbicara
dapat tercapai dan banyak siswa yang mendapat nilai melebihi nilai KKM. Hal dapat dilihat dari
peningkatan nilai siswa pada setiap siklus. Pada siklus tiga ketuntasan klasikal mencapai 87,1%,
peningkatan yang menggembirakan.
Kualitas proses dan hasil pembelajaran meningkat setelah diterapkan pendekatan
quantum learning. Pendekatan quantum learning ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi guru dalam melaksanakan proses kegiatan pembelajaran di kelas secara
klasikal. Dengan metode TANDUR (Tanamkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi,
Rayakan) tujuan pembelajaran tercapai. Dengan demikian bagi guru khususnya bahasa Jawa,
pendekatan quantum learning ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif yang
menyenangkan dalam pencapaian keterampilan berbicara dan kompetensi-kompetensi
Keberhasilan penelitian tindakan kelas
untuk meningkatkan keterampilan berbicara
ragam krama dan krama inggil ini karena menggunakan model yang inovatif yakni dengan
pendekatan quantum learning. Beberapa saran dapat disampaikan: (1) Pendekatan quantum
138
learning ini bisa dimanfaatkan guru dalam pembelajaran tidak hanya pada keterampilan
berbicara saja, tetapi juga bisa dilaksanakan pada keterampilan menyimak, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis. (2) Kepala Sekolah perlu memotivasi guru agar lebih
memperluas wawasan mengenai beragam pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif,
dan inovatif.
Dengan adanya kesempatan mengembangkan profesionalisme guru dan
implementasi berbagai pendekatan pembelajaran tersebut maka diharapkan akan mendorong
kemampuan siswa pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Daftar Pustaka
Andayani. 2009. Pembelajaran Inovatif Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: FKIP UNS
Surakarta.
Edi Subroto. 1987. Sikap Bahasa Generasi Muda Jawa terhadap Bahasa Jawa di Jawa Tengah.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
-------------- (Editor). 2007. Penggunaan Bahasa Jawa Ragam Krama Generasi Muda Jawa di
Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Harjana Harjawiyana dan Supriya Th. 2001. Marsudi Unggah-Ungguh Basa Jawa. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Keraf Gorys. 1985. Tata Bahasa Indonesia. Malang: Penerbit YA3.
Kongres Bahasa Jawa IV. 2006. Keputusan Kongres Bahasa Jawa IV. Semarang: Panitia
Kongres Bahasa Jawa IV.
Maryono Dwiraharjo. 1997. Fungsi Krama bagi Masyarakat Tutur Jawa, Studi Kasus di
Kotamadya Surakarta. Surakarta: Pustaka Cakra.
Padmosusastro Ki. 1899. Serat Paramasastra. Soerakarta: NV Albert Rusche & Co.
Poerwodarminto WJS. 1953. Sarining Paramasatra Djawa. Djakarta: Noorhoff-Kolf NV.
Sarwiji Suwandi, 2009. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Buku
Ajar. Surakarta: FKIP UNS.
Sasangka Sry Satriya Tjatur Wisnu. 1995. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikon
Pembentuknya. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo.
139
Soepomo Poedjosoedarmo dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Sudaryanto (Editor). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panitia Kongres
Bahasa Jawa I Bekerjasama dengan Universitas Duta Wacana.
Sutopo H.B. 2006. Metode Penelitian Kualtatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press
140
KEINDAHAN BAHASA BERUPA TEMBUNG GARBA
PADA SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA MANGKUNAGARA IV
Herlina Setyowati
[email protected]
Abstrak
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis
menggunakan metrum macapat. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang
macapat ialah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang
bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini
ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Serat ini terdiri dari lima pupuh meliputi Pangkur,
Sinom, Pocung, Gambuh, dan Kinanthi. Tembang macapat dibatasi atau dibingkai oleh aturanaturan/ketentuan-ketentuan yang berlaku berupa guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru
wilangan dapat mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta
penggabungan dua kata atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat
pengurangan suku kata agar guru wilangan dapat dipenuhi. Penggabungan dua kata atau lebih
untuk mengurangi jumlah suku kata ini disebut nggarba tembung sehingga akan menimbulkan
keindahan bentuk bahasa pada tembang.
Kata kunci: serat wedhatama, tembung garba.
Pendahuluan
Karya sastra Jawa paling berkembang dan paling banyak karya sastranya dibandingkan
karya sastra lain di nusantara ini. Bentuk karya sastra Jawa ada yang berupa gancaran atau prosa
ada pula yang berbentuk puisi. Puisi Jawa ialah puisi yang ditulis dengan bahasa Jawa atau
wacana puisi yang menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana pengujaran (Karsono, 2001).
Puisi merupakan suatu karya yang terbentuk atas susunan kata penuh makna, dimana kata
mengalami pemadatan bentuk dan perluasan arti. Pemadatan bentuk dalam puisi dilakukan
dengan mengganti kata yang sebenarnya menjadi kata kias atau dengan menciptakan kata baru
yang dianggap mewakili kata. Hal ini dalam puisi dibenarkan karena mengingat puisi merupakan
penciptaan kembali atas kenyataan yang ada, dengan cara yang estetik. Puisi juga merupakan
bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif yang
disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya (Herman J. Waluyo,
1991). Dengan susunan struktur-struktur tersebut akan membentuk rangkaian kata indah yang
141
bermakna, sehingga puisi merupakan karya yang sangat estetis. Rangkaian karya indah ini selain
memiliki efek atau mengandung sesuatu yang ingin diungkapkan melalui pesan estetiknya.
Menurut Wiyatmi (2006) unsur-unsur pembangun puisi yang perlu dicermati oleh para
pembaca dan calon pengkaji puisi sebagai berikut.
1.
Bunyi
Dalam puisi, bunyi memiliki peranan agar puisi itu merdu jika dibaca dan didengarkan.
Mengingat pentingnya unsur bunyi dalam puisi, bahkan seorang penyair melakukan pemilihan
dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan tersebut
antara lain ialah a) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan
mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca atau
pendengarnya; b) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu memperjelas ekspresi; c) ikut
membangun suasana puisi; dan d) mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu.
2.
Diksi
Diksi ialah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih kata-
kata yang tepat sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin
dicapai. Diksi sering juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu.
3.
Bahasa kias
Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa
yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk
mencapai efek tertentu. Bahasa kiasan memiliki beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora,
simile, metonimia, sinedoksi, dan alegori.
4.
Citraan
Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan
melalui kata-kata. Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang
menghasilkannya, yaitu a) citraan penglihatan (visual imagery); b) citraan pendengaran (auditory
imagery); c) citraan rabaan (thermal imagery); d) citraan pencecapan (tactile imagery); e) citraan
penciuman (olfactory imagery), dan f) citraan gerak (kinesthetic imagery).
5.
Sarana retorika
Sarana retorika (rhetorical devices) merupakan muslihat intelektual, yang dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu hiperbola, ironi, ambiguitas, paradoks, litotes, dan elipsis.
6.
Bentuk visual
142
Bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual
meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris. Bentuk visual pada umumnya mensugesti
(berhubungan) dengan makna puisi.
7.
Makna puisi
Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti mengandung makna, baik
yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung, implisit atau simbolis. Makna
tersebut pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam
kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta asmara, cinta sufistik,
kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun tokoh-tokoh tertentu. Makna sebuah puisi,
pada umumnya baru dapat dipahami setelah seorang pembaca membaca, memahami arti tiap
kata dan kiasan yang dipakai dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi yang lain yang
mendukung makna.
Hutomo via Dhanu Priyo Prabowo (2002) membedakan puisi Jawa dalam dua kelompok,
yaitu puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern. Puisi Jawa tradisional berupa tembang,
parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak. Puisi Jawa modern berupa puisi bebas,
yaitu puisi yang tidak terikat oleh norma-norma ketat yang dijumpai dalam puisi Jawa
tradisional. Puisi Jawa tradisional masih terikat dengan guru gatra, guru wilangan, dan guru
lagu. Salah satu jenis puisi jawa tradisional adalah tembang macapat. Setiap bait macapat
mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata
(guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.
Pada aturan guru lagu dan guru wilangan dalam macapat sangat berpengaruh pada aspek
kebahasaan macapat. Guru lagu dapat mengakibatkan perubahan bunyi pada suatu kata dan
pembalikan urutan kata sehingga ‗menyalahi‘ ketentuan tata bahasa. Guru wilangan dapat
mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta penggabungan dua kata
atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat pengurangan suku kata agar guru
wilangan dapat dipenuhi. Kedua aturan tersebut juga dapat berpengaruh pada pilihan leksikal
yang sinonim. Dengan demikian, guru lagu dan guru wilangan dalam macapat dapat terpenuhi
dan susunan bahasanya nampak indah.
Dalam kenyataannya tiap-tiap jenis tembang macapat memilki guru lagu, guru wilangan,
dan guru gatra-nya sendiri-sendiri yang tidak sama antara yang satu dengan yang lain. Tembang
macapat terdiri dari sebelas macam, nama-nama tembang tersebut meliputi Mijil, Sinom,
143
Kinanthi, Asmaradana, Dhandhanggula, Maskumambang, Durma, Pangkur, Pocung, Gambuh,
dan Megatruh. Dalam makalah ini hanya akan diuraikan jenis-jenis tembang dalam Serat
Wedhatama. Berikut ini aturan guru wilangan dan guru lagu dalam tembang macapat.
No.
Tembang
Guru Wilangan dan Guru Lagu
1.
Mijil
10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u
2.
Sinom
8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a
3.
Kinanthi
8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i
4.
Asmarandana
8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, 8a
5.
Dhandhanggula
10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a
6.
Maskumambang
12i, 6a, 8i, 8a
7.
Durma
12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i
8.
Pangkur
8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i
9.
Pocung
12u, 6a, 8i, 12a
10.
Gambuh
7u, 10u, 12i, 8u, 8o
11.
Megatruh
12u, 8i, 8u, 8i, 8o
Sumber: Imam Sutardjo (2011)
Puisi Jawa tradisional pada umumnya dinyatakan dalam bentuk bahasa yang indah agar
menimbulkan kenikmatan bagi yang mendengarkan. Subalidinata (1994) menyatakan bahwa
karya sastra yang indah adalah karangan kang rinacik mawa basa endah, sarta isi kang narik
kawigaten lan nyenengake. Karangan yang dirangkai dengan bahasa yang indah, serta berisi
suatu hal yang memikat dan menyenangkan. Adapun unsur-unsur yang membentuk keindahan
karya sastra meliputi struktur luar yang membangun karya sastra tersebut. Untuk mengejar
keindahan kata, penyair menggunakan kata-kata tertentu yang tidak biasa digunakan secara
leksikal maupun gramatikal. Salah satunya dengan meng-garba tembung.
Tembung garba menurut Padmosoekotjo (1956) ialah “tembung rerangken, tembung
sesambungan, tembung kang kedaden saka gandhenge tembung loro utawa luwih”. Lebih lanjut
Padmosoekotjo menjelaskan bahwa tembung garba atau tembung sandi biasanya terdapat dalam
kesusastraan berwujud tembang. Bahasa dalam tembang merupakan bahasa yang dipatok atau
dibatasi. Dengan demikian, basa pinathok dapat berarti karangan yang dibatasi atau dibingkai
oleh aturan-aturan/ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan ruang dan waktu. Misalnya,
144
pada aturan guru lagu dan guru wilangan dalam macapat sangat berpengaruh pada aspek
kebahasaan macapat. Guru lagu dapat mengakibatkan perubahan bunyi pada suatu kata dan
pembalikan urutan kata sehingga ‗menyalahi‘ ketentuan tata bahasa. Guru wilangan dapat
mengakibatkan pelesapan dan atau penambahan vokal suatu kata serta penggabungan dua kata
atau lebih dengan akibat peluluhan bunyi sehingga berakibat pengurangan suku kata agar guru
wilangan dapat dipenuhi. Kedua aturan tersebut juga dapat berpengaruh pada pilihan leksikal
yang sinonim.
Pembahasan
Serat Wedhatama ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Kata wedha artinya ngelmu,
kawruh (ilmu pengetahuan) dan kata tama artinya becik, linuwih (utama atau baik) (Bausastra
Jawa, 2001). Jadi wedhatama artinya ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Serat Wedhatama
terdiri dari 100 bait tembang yang terdiri dari lima pupuh meliputi pangkur, sinom, pocung,
gambuh, dan kinanthi (Anjar Any, 1986). Berikut ini akan penulis ulangi lagi patokan guru
wilangan dan guru lagu pupuh pangkur, sinom, pocung, gambuh, dan kinanthi.
No.
Tembang
Guru Wilangan dan Guru Lagu
1.
Pangkur
8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i
2.
Sinom
8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a
3.
Pocung
12u, 6a, 8i, 12a
4.
Gambuh
7u, 10u, 12i, 8u, 8o
5.
Kinanthi
8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i
Dengan adanya patokan dalam tembang ini maka tidak heran bila penyair kemudian
mengolah bahasa dengan sedemikan rupa supaya dapat memenuhi konvensi yang ada. Salah
satunya dengan mengabungkan dua kata atau lebih menjadi satu kata yang dikenal dengan
nggarba tembung. Wujud tembung garba pada Serat Wedhatama sangat banyak. Berikut sajian
datanya.
No. Data Tembung Garba
Pupuh
Terjemahan
1.
priyangga = priya angga
Pangkur
sendiri
2.
waspadeng = waspada ing
Pangkur
waspada pada
3.
sangsayarda = sangsaya arda
Pangkur
semakin menjadi
145
4.
sukeng = suka ing
Pangkur
senang
5.
jiwangganira = jiwa angga nira
Pangkur
jiwa ragamu, pribadimu
6.
aneng = ana ing
Pangkur
ada di
7.
sapantuk = sapa antuk
Pangkur
siapa yang dapat
8.
karyenak = karya enak
Sinom
membuat senang
9.
pranaweng = pranawa ing
Sinom
terang
benderang
pada,
jelas
10.
prapteng = prapta ing
Sinom
sampai di
11.
nayakengrat = nayaka ing rat
Sinom
pimpinan di dunia
12.
suwiteng = suwita ing
Sinom
mengabdi pada
13.
tumekeng = tumeka ing
Sinom
sampai di
14.
durgameng = durgama ing
Pocung
jahat di
15.
prablebdeng = pralebda ing
Pocung
pandai, ahli di
16.
kadyeku = kadya iku
Gambuh
seperti itu
17.
saniskareng = saniskara ing
Gambuh
semuanya
18.
sutengong = suta ingong
Gambuh
anakku
18.
legaweng = legawa ing
Gambuh
ikhlas di
19.
nuksmeng = nuksma ing
Gambuh
menyadari
20.
sembadeng = sembada ing
Kinanthi
pantas di
Sebelum pembahasan dilanjutkan, penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang akan
selalu muncul pada pembahasan). Guru gatra adalah aturan jumlah larik dalam setiap bait. Guru
wilangan adalah aturan jumlah suku kata dalam setiap larik. Guru lagu adalah aturan bunyi
vokal dalam setiap akhir larik. Pupuh adalah kumpulan tembang satu jenis. Satu pupuh bisa
terdiri dari beberapa bait tembang.
Tembung garba dapat ditemukan dalam pupuh pangkur berikut ini.
“nggugu karsane priyangga”
…………………………………
‗hanya mengikuti kehendak diri sendiri‘
…………………………………………
146
Kutipan di atas terdapat pada pupuh pangkur bait 3 baris 1. Pada metrum pangkur, guru
wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8a. Kata ‗priya angga‟ digabung menjadi satu kata
yaitu ‗priyangga‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis
‗priya angga‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh pangkur bait 3 baris 5 juga
ditemukan tembung garba sebagai berikut.
………………………………………………
“nanging janma ingkang wus waspadeng semu”
……………………………………………….
…………………………………………
‗namun orang yang tahu gelagat (pandai)‘
………………………………………….
Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 5 adalah 12u. Kata
‗waspada ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗waspadeng‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗waspada ing‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 13. Pada pupuh pangkur bait 4 baris 2 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
…………………………………
“sangsayarda denira cacariwis”
…………………………………
………………………………………..
‗bualan-bualannya semakin menjadi-jadi‘
………………………………………….
Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 11i. Kata
‗sangsaya arda‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sangsayarda‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 11 karena jika tetap ditulis ‗sangsaya arda‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 12. Pada pupuh pangkur bait 5 baris 4 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
………………………….
147
“sukeng tyas yen denina”
………………………….
…………………………
‗gembira apabila dihina‘
…………………………
Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 4 adalah 7a. Kata ‗suka
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sukeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 7
karena jika tetap ditulis ‗suka ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 8. Pada pupuh
pangkur bait 8 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
“socaning jiwangganira”
…………………………
‗sifat-sifat pribadimu‘
……………………..
Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8a. Kata ‗jiwa
angga nira‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗jiwangganira‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗jiwa angga nira‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 9. Pada pupuh pangkur bait 9 baris 5 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
………………………………………..
“amung aneng sajabaning daging kulup”
…………………………………………
…………………………………..
‗hanya ada di luar daging saja nak‘
……………………………………
148
Pada metrum pangkur, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 5 adalah 12u. Kata ‗ana
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗aneng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8
karena jika tetap ditulis ‗ana ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13.
Selanjutnya, pada pupuh sinom bait 1 baris 9 juga ditemukan tembung garba sebagai
berikut.
………………………………………...
“amamangun karyenak tyasing sesama”
………………………………….
‗selalu menyenangkan orang lain‘
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 9 adalah 12a. Kata ‗karya
enak‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗karyenak‟ untuk mengejar guru wilangan supaya
menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗karya enak‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13.
Pada pupuh sinom bait 3 baris 4 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
……………………………..
“mrih pana pranaweng kapti”
……………………………..
………………………
‗agar jelas yang dituju‘
………………………
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 4 adalah 8i. Kata ‗pranawa
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗pranaweng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya
menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗pranawa ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9.
Pada pupuh sinom bait 6 baris 8 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
………………………………
“nugrahane prapteng mangkin”
……………………………….
149
……………………………
‗pahalanya hingga sekarang‘
……………………………
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 8 adalah 8i. Kata ‗prapta
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗prapteng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi
8 karena jika tetap ditulis ‗prapta ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh
sinom bait 8 baris 6 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
…………………………
“nayakengrat Gusti rasul”
………………………….
………………………….
‗utusan Tuhan yaitu Rasul‘
………………………….
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 6 adalah 8u. Kata ‗nayaka
ing rat‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗nayakengrat‟ untuk mengejar guru wilangan supaya
menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗nayaka ing rat‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9.
Pada pupuh sinom bait 11 baris 3 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
…………………….
“apata suwiteng Nata”
…………………….
…………………..
‗apa mengabdi raja‘
………………….
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 3 adalah 8a. Kata ‗suwita
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗suwiteng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi
150
8 karena jika tetap ditulis ‗suwita ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh
sinom bait 14 baris 8 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
……………………………..
“kongsi tumekeng samangkin”
………………………………
……………………………………….
‗di zaman dahulu kala hingga masa kini‘
…………………………………………
Pada metrum sinom, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 8 adalah 8i. Kata ‗tumeka
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗tumekeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi
8 karena jika tetap ditulis ‗tumeka ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9.
Selanjutnya, pada pupuh pocung bait 4 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai
berikut.
“taman limut durgameng tyas kang weh limput”
………………………………………………….
‗di dalam keadaan sepi hati jahat yang menguasai‘
……………………………………………………
Pada metrum pocung, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 12u. Kata
‗durgama ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗durgameng‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗durgama ing‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 13. Pada pupuh pocung bait 9 baris 1 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
“uger lugu den ta mrih pralebdeng kalbu”
…………………………………………..
‗asal benar-benar dalam usahanya meningkatkan pikiran (pandai)‘
……………………………………………………………………
151
Pada metrum pocung, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 12u. Kata
‗pralebda ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗pralebdeng‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 12 karena jika tetap ditulis ‗pralebda ing‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 13.
Selanjutnya, pada pupuh gambuh bait 14 baris 1 dan 2 juga ditemukan tembung garba
sebagai berikut.
“yen wus kambah kadyeku
sarat sareh saniskareng laku”
……………………………
‗bila sudah mengalami seperti itu
syaratnya sabar segala dalam tindakan‘
………………………………………
Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 7u, sedangkan
gatra 2 adalah 10u. Kata ‗kadya iku‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗kadyeku‟ untuk mengejar
guru wilangan supaya menjadi 7 karena jika tetap ditulis ‗kadya iku‟ guru wilangan tembang di
atas menjadi 8. Selanjutnya, Kata ‗saniskara ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗saniskareng‟
untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 10 karena jika tetap ditulis ‗saniskara ing‟ guru
wilangan tembang di atas menjadi 11. Pada pupuh gambuh bait 26 baris 3 juga ditemukan
tembung garba sebagai berikut.
…………………………………
“sarta sabar tawekal legaweng ati”
…………………………………..
………………………………….
‗sabar serta tawakal ikhlas di hati‘
………………………………….
Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 3 adalah 12i. Kata ‗legawa
ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗legaweng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi
12 karena jika tetap ditulis ‗legawa ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 13. Pada pupuh
gambuh bait 30 baris 2 juga ditemukan tembung garba sebagai berikut.
152
………………………………………
“yen wis bisa nuksmeng pasang semu”
……………………………………….
……………………………………………….
‗apabila sudah dapat menghayati gambaran itu‘
…………………………………………………
Pada metrum gambuh, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 10u. Kata
‗nuksma ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗nuksmeng‟ untuk mengejar guru wilangan
supaya menjadi 10 karena jika tetap ditulis ‗nuksma ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi
11.
Selanjutnya, pada pupuh kinanthi bait 5 baris 2 dan 5 juga ditemukan tembung garba
sebagai berikut.
………………………….
“wawasen wuwus sireki
…………………………………..
marma den sembadeng sedya”
………………………………….
………………………..
‗perhatikan kata-katamu
……………………………………..
oleh karena itu bertanggungjawablah‘
………………………………………
Pada metrum kinanthi, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 2 adalah 8i dan pada gatra
5 adalah 8a. Pada gatra 2 kata ‗sira iki‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗sireki‟ untuk mengejar
guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗sireki‟ guru wilangan tembang di atas
menjadi 9. Selanjutnya, pada gatra 5 kata ‗sembada ing‟ digabung menjadi satu kata yaitu
‗sembadeng‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi 8 karena jika tetap ditulis ‗sembada
153
ing‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9. Pada pupuh kinanthi bait 9 baris 1 juga
ditemukan tembung garba sebagai berikut.
“lumrah bae yen kadyeku”
………………………….
‗yang demikian itu biasa‘
…………………………
Pada metrum kinanthi, guru wilangan dan guru lagu pada gatra 1 adalah 8u. Kata ‗kadya
iku‟ digabung menjadi satu kata yaitu ‗kadyeku‟ untuk mengejar guru wilangan supaya menjadi
8 karena jika tetap ditulis ‗kadya iku‟ guru wilangan tembang di atas menjadi 9.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa puisi tradisional dibingkai oleh
guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Konvensi guru wilangan pada setiap gatra harus
dipatuhi. Untuk itu, kadang ditemukan kata-kata yang digandeng untuk mengurangi jumlah suku
kata. Proses menggandeng dua atau lebih kata untuk mengurangi jumlah suku kata disebut
nggarba tembung. Contoh tembung garba pada serat Wedhatama di antaranya: priyangga
(priya+angga), waspadeng (waspada+ing), sangsayarda (sangsaya+arda), dan sukeng
(suka+ing). Dari hasil penelitian di atas mencerminkan kekayaan bahasa Jawa. Selanjutnya,
bahasa Jawa ini harus kita jaga dan kita lestarikan supaya kelak anak cucu kita tetap mengenal
kekayaan bahasa Jawa, salah satunya tembung garba.
Daftar Pustaka
Any, Anjar. 1986. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu.
Herman J. Waluyo. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Padmosoekotjo, S. 1956. A Ngengrengan Kasusutraan Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.
Prabowo, Dhanu Priyo, dkk. 2002. Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat
Bahasa Pendidikan Nasional.
Subalidinata, R. S. 1994. Kawruh Kasustraan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
154
Saputra, H Karsono. 2001. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sutardjo, Imam. 2011.Tembang Jawa. Surakarta: UNS
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
155
PENGAJARAN PUISI JAWA DI SEKOLAH DALAM MEREDAM
KENAKALAN REMAJA
Nurnaningsih, S.S., M.Hum.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa,
FKIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
[email protected]
Abstrak
Pemerintah selalu berusaha mencari penyelesaian adanya masalah kenakalan remaja.
Dalam kenyataannya puisi Jawa yang begitu banyak ditemukan tentang nilai-nilai
pendidikan yang bisa mendidik karakter dan budi pekerti luhur bagi kaum remaja sebagai
penerus bangsa. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi Jawa bisa untuk
meredam kenakalan remaja dan bisa memunculkan jiwa estetis untuk disalurkan ke arah
apresiasi sastra ataupun seni. Adapun puisi Jawa yang dapat mengurangi sifat-sifat
kenakalan remaja adalah puisi yang bertemakan ke-Tuhanan, moral, kesusilaan, puisi
yang mengandung optimisme, semangat patriotisme, cinta tanah air, kejujuran, rendah
hati, penghormatan kepada orang tua, kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Kata kunci: pengajaran, puisi Jawa, kenakalan remaja
A. Pendahuluan
Pada masa sekarang pemerintah direpotkan adanya masalah kenakalan remaja. Dalam
kenyataannya pengajaran sastra khususnya puisi Jawa kurang begitu diminati oleh kaum remaja.
Banyak dijumpai bahwa kaum remaja lebih suka membaca cerita rekaan yang berupa roman,
novel, cerbung, dan cerpen. Kaum remaja yang membaca puisi memang lebih sedikit ditemui.
Para remaja apabila ditanya,―Kenapa lebih suka membaca roman, novel, cerbung, ataupun
roman?‖ Mereka merasa lebih mudah memahami isi ceritanya dibandingkan dengan puisi.
Bagi kaum remaja baik itu di tingkat Sekolah Lanjut maupun di Perguruan Tinggi,
membaca dan menulis puisi itu kurang menarik dan sangat sulit untuk dilakukan. Mereka dalam
menulis di buku harian pun juga lebih suka yang berupa prosa daripada puisi. Sungguh sangat
disayangkan apabila kaum remaja merasa tidak penting mempelajari puisi, apalagi puisi Jawa
yang begitu banyak ditemukan tentang nilai-nilai pendidikan yang bisa mendidik karakter dan
budi pekerti luhur bagi kaum remaja sebagai penerus bangsa. Nilai-nilai pendidikan yang
156
terkandung dalam puisi Jawa bisa untuk meredam kenakalan remaja dan bisa memunculkan jiwa
estetis untuk disalurkan ke arah apresiasi sastra ataupun seni.
Adapun contoh sebagai berikut.
Kang sêkar pangkur winarna / lêlabuhan kang kanggo wong ngaurip / ala lan bêcik
puniku / prayoga kawruhana / adat waton puniku dipun kadulu / miwah ta ing tatakrama
/ dèn-kaèsthi siyang ratri // (Sêrat Wulang Reh, Pupuh IV Pangkur, pada 1).
‘Tembang Pangkur diceritakan, kewajiban yang harus dipegang setiap manusia yang
hidup, masalah buruk dan baik itu, sebaiknya diketahui, kebiasaan yang baik harus bisa
dilihat, dan juga masalah tatakrama/bahasa, selalu dipikirkan baik siang maupun malam‘.
Dalam Tembang Pangkur karangan Pakubuwana IV di atas terkandung amanat yang sangat baik,
yaitu setiap manusia sebaiknya selalu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Sungguh suatu ajaran Jawa yang adiluhung.
Puisi untuk bisa dipelajari dan dipahami memang sangat sulit. Oleh karena itu, kaum
remaja dalam mempelajari puisi diperlukan bimbingan dari guru untuk mengajarinya. Baik itu
dalam dunia pendidikan maupun nonpendidikan. Di dunia pendidikan sekolah lanjut seorang
guru bahasa dan sastra dalam mengajarkan puisi harus mengetahui dan menguasai teori
mengenai puisi cara pengajarannya. Dalam makalah ini akan disajikan cara pengajaran puisi
yang benar dengan harapan kecintaan dan penghayatan siswa pada puisi Jawa yang banyak
mengandung ajaran budi pekerti dapat meredam kenakalan-kenakalan remaja.
B. Pembahasan
Bahasa dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakai yang belum
mendapatkan wadah tempat pernyataan. Untuk mengungkapkan pernyataan jiwa atau kekayaan
jiwa, dengan wadah pernyataan berupa bahasa (Sudaryanto, 1989: 19). Puisi adalah penghayatan
kehidupan manusia yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya,
perasaannya, kemauannya, dan pengalamannya. Puisi merupakan bentuk kesusastraan yang
paling tua. Tradisi berpuisi adalah tradisi kuno dalam masyarakat.
Bênêr luput ala bêcik lawan bêgja / cilaka mapan saking / ing badan priyangga / dudu
saking wong liya / mulane dèn-ngati-ati / sakèh drigama / singgahan dèn-eling // (Sêrat
Wulang Reh, Pakubuwana IV)
‘Benar salah baik buruk dan keberuntungan, kesialan terletak pada, di badan sendiri,
bukan dari orang lain, oleh karena itu harus berhati-hati, semua godaan, jauhilah dan
selalu ingatlah‘.
157
Dalam masyarakat desa di Jawa terdapat tradisi melantunkan tembang-tembang yang
biasa didengar pada saat menghadiri acara hajatan dalam rangka pernikahan, kelahiran, dan
sunatan. Alunan tembang Macapat tidak begitu dinikmati oleh banyak orang di masa sekarang
ini, dan yang sebenarnya adalah isi puisi yang sangat bagus perlu untuk dipahami. Puisi
tradisional Jawa seperti mantra, pantun/ parikan, wangsalan, tembang Macapat
banyak
dijumpai dengan tidak diketahui waktu dan siapa pengarangnya. Puisi Jawa dari jaman ke jaman
tidak hanya ditandai oleh perbedaan struktur fisiknya saja, tetapi juga ditandai perbedaan struktur
batin atau struktur makna.
I.A.Richard dalam Situmorang (1974) mengatakan bahwa seorang kritikus sastra
membedakan dua hal penting yang membangun puisi, yaitu hakekat puisi dan metode puisi.
Hakekat puisi terdiri dari sense (tema, arti), feeling (rasa), tone (nada), dan intention (tujuan,
amanat). Sedangkan metode puisi meliputi diction, imagery, the concrete word, figurative
language, dan rhythm and rime (Hal. 12). Hakekat puisi dan metode puisi tersebut tidak bisa
dipisahkan karena keduanya merupakan kesatuan dalam penciptaan sebuah puisi yang berhasil.
Setiap mata pelajaran di sekolah mempunyai fungsi yang penting untuk bisa ditanamkan
kepada peserta didik. Fungsi maupun tujuan yang penting untuk bisa ditanamkan kepada peserta
didik bisa dilaksanakan dengan baik apabila seorang guru menggunakan metode pengajaran yang
tepat.
Hal yang perlu dilakukan seorang guru dalam pengajaran puisi Jawa sebagai berikut.
Pertama, menanamkan rasa cinta sastra kepada siswa. Kedua, pengajaran puisi tidak hanya
mendasarkan pada aspek-aspek latihan teori dan praktik, tetapi juga pembentukan watak dan
sikap lewat isi puisi-puisi yang dibaca atau diciptakannya, di samping unsur kesenangan dan
kenikmatan artistik. Seorang guru harus bisa membangkitkan kegemaran membaca puisi pada
anak didik. Guru bisa memberikan dorongan siswa untuk dididik menjadi deklamator. Guru bisa
memilih siswa yang berbakat ataupun yang tidak untuk menyusun sajak ataupun hanya sekedar
membaca puisi di depan kelas. Guru harus bisa membangkitkan penghargaan kepada para siswa
bahwa sastra adalah sarana dalam meneruskan kebudayaan kepada generasi mendatang.
Keberhasilan seorang guru dalam mendidik siswa dalam pengajaran puisi bisa diukur
apabila anak didik memperoleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain dan
kehidupan di sekitarnya. Dampak akhir, siswa menjadi lebih bersikap terbuka, rendah hati, peka
158
perasaan, dan memiliki pikiran kritis terhadap tingkah lakunya sendiri, serta mampu ikut
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan di sekitarnya. Keberhasilan seorang guru dalam
mendidik siswa dalam pengajaran puisi juga bisa diukur jika anak didik memperoleh kesenangan
dari membaca dan mempelajari puisi hingga tumbuh keinginan membaca dan mempelajari puisi
pada waktu senggangnya.
Mengajarkan puisi kepada siswa berarti mengungkapkan suatu dunia kehidupan dengan
medium bahasa, dengan syarat-syarat atau norma-norma estetis puisi (Situmorang, 1074: 26).
Kesusasteraan hanya bagian kecil dari pengajaran bahasa. Bahasa puisi berbeda dengan bahasa
sehari-hari. Bahasa puisi memiliki nilai estetis tersendiri yaitu mengutamakan keindahan
(estetika). Suatu puisi yang bisa membahagiakan pembacanya, membuat pembaca tertawa,
bersedih, ataupun menangis, itulah makna keindahannya. Indah yang bisa membuat pembaca
tertawa, bersedih, yang sebenarnya tidak bisa hanya diukur dari penggunaan bahasanya.
Tembang Macapat, parikan, wangsalan, syi‟ir/singir, geguritan dan sebagainya menjadi
tugas pendidik dan pengajar untuk memperkembangkan dan mendorong siswa untuk selalu
mencintai khazanah puisi Jawa. Pendidikan estetis dalam berkreasi sastra juga sama pentingnya
dengan pendidikan intelek atau pendidikan akal. Berdasarkan uraian di atas, salah satu alat yang
penting untuk memupuk dan mengembangkan apresiasi puisi Jawa kepada siswa adalah dengan
jalan pengajaran puisi yang lebih intensif.
Di bawah ini disajikan geguritan (puisi Jawa Modern) bertemakan religius.
Dêlêngên Langit Kae
Sawangên langit kae,
Sawangên ing rina lan wêngi
Apa bedane,
Apa ya padha...
Ing rina donya katon padhang
Ing ratri donya katon pêtêng
Apa suwe pêtêng, apa suwe padhang...
Ora... ora
Coba elinga
Apa suwe sênêngmu
Apa suwe susahmu..
Eling... tansaha eling...
Urip mono mung mampir ngombe...
Tansaha mlaku ing dalan padhang...
Ilangana kang ndadèkake pêtênge lakumu
Laku tumuju dalan padhang..
Kanggo sangu tumêkaning patimu...
159
(Nurnaningsih, Sukoharjo)
Oleh karena itu, pengajaran puisi di sekolah-sekolah menjadi sangat penting terutama saat
ini pemerintah disibukkan dengan permasalahan kenakalan-kenakalan remaja. Dengan
deklamasi, membaca geguritan, nembang Jawa siswa dididik untuk memupuk jiwa estetis, jiwa
keindahan, jiwa yang penuh unsur-unsur moral, budi pekerti luhur yang mampu mengalihkan
pikiran-pikiran siswa ke hal yang negatif.
Walau demikian, kegiatan-kegiatan dalam membaca puisi kurang digemari oleh siswa
baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Berbagai alasan yang diungkapkan siswa
mengapa mereka tidak tertarik pada puisi Jawa. Adapun alasan yang bisa diterima akal sehat
adalah siswa sukar menangkap maksud yang ada di balik keindahan-keindahan penggunaan
bahasa. Menikmati puisi memang lebih sukar jika dibandingkan dengan membaca novel, roman,
cerkak, cerbung dan sebagainya. Menikmati puisi memerlukan keterbukaan hati, ketekunan,
konsentrasi pikiran sebab isi puisi merupakan lambang yang berupa kata-kata dalam jalinan
estetis dan sangat dipadatkan untuk membangkitkan emosi si pembaca.
Bocah kababar pindha dlancang pêthak mêmplak
Tan gampang, ngabang bironi murih manjila lan mapan
Panggarape aja nganti srampangan…
(R. Bambang Nursinggih, S.Sn).
Guru harus bisa menampilkan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengarang berusaha memanfaatkan dan mengeskploitasi semua kekayaan bahasa yang
dipergunakan untuk menuangkan idenya. Guru harus bisa menjadi pembimbing siswa dalam
mempelajari puisi. Dengan demikian jelas bahwa puisi memerlukan pembimbing dari guru.
Membaca puisi lebih dari membaca prosa, memerlukan penghayatan dan kepekaan dalam
menafsirkan makna yang ada.
Dalam karya sastra, semua aspek bentuk ekspresi kejiwaan itu disalurkan melalui
bahasa yang lebih ruwet, membahasakan ekspresi penyair yang ditujukan pada pembaca
misalnya mengejek, meyakinkan, menyindir, mengkritik, menghibur dan sebagainya. Seorang
sastrawan, memerlukan kalimat yang sanggup menggugah perasaan yang paling halus dari
manusia dan kemanusiaan, dan mampu membahasakan ekpresi kejiwaannya (Abdul Razak,
1990: 2-3).
160
Di bawah ini disajikan contoh singir (puisi Jawa Modern) sebagai berikut.
Sun miwiti anarik akaling bocah
bokmanawa lawas-lawas bisa pêcah
bisa mikir bisa ngrasa bisa nggênah
ngarêp-arêp kabeh iku min fadhi‟llah
Yèn manungsa wus dha ngawekani
marang kwasaning Robbul Izatti
tartamtu tan padha gêlêm kari
ngudi mring kasampurnaning dhiri
(Singir / Syi‟ir)
Guru tanpa metode dan teknik yang tepat dalam pengajaran puisi, kemungkinan besar
target yang akan dicapai tidak akan terpenuhi. Guru harus mengetahui amanat apa yang tersurat
dan tersirat dalam puisi. Guru harus mampu memberi contoh membawakan puisi di depan kelas
dengan penuh penghayatan, dan mengerti makna kata-kata sukar yang tertulis dalam puisi. Jika
ada kata-kata yang sukar, guru menjelaskan terlebih dahulu. Pembacaan puisi dengan irama yang
baik akan menghidupkan puisi. Pembacaan puisi yang baik atau merdu mampu menimbulkan
rangsangan estetis terhadap apresiasi siswa pada puisi, sehingga hakekat dan metode puisi bisa
ditemukan.
Guru dalam menentukan puisi yang baik untuk diajarkan di sekolah memerlukan
pengetahuan mengenai tujuan pendidikan/kurikulum itu sendiri, dan pengetahuan luas mengenai
materi sastra khususnya puisi Jawa.
Di bawah ini disajikan parikan yang cocok untuk anak-anak remaja.
Parikan.
aja padha dolanan kêthu
yèn nyopot angèl carane
aja padha dolanan krêtu
kadhung nyokot ra ènèng tambane
Mlinjone kok abang-abang
Nandur ringin rambati kara
Contone gak kurang-kurang
Yèn wong main dadi sangsara
Guru menentukan puisi disesuaikan dengan sifat-sifat kejiwaan anak didik. Larik-larik
puisi harus sesuai dengan keadaan jiwa. Guru harus menghindari puisi-puisi yang belum pantas
161
dibaca oleh siswa. Masa remaja adalah masa yang peka, oleh karena itu guru harus berhati-hati
dalam menentukan contoh puisi.
C. Kesimpulan
Pengajaran puisi Jawa di sekolah membutuhkan metode dan teknik yang tepat ketika
seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya. Adapun sebagai kesimpulan, puisi yang
dapat mengurangi sifat-sifat kenakalan remaja adalah puisi yang bertemakan ke-Tuhanan, moral,
kesusilaan, puisi yang mengandung optimisme, semangat patriotisme, cinta tanah air, kejujuran,
rendah hati, menghormati orang tua, kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Secara fisik puisi
yang merdu, penuh persajakan/purwakanthi yang indah dengan tema-tema yang menarik akan
lebih melekat pada jiwa siswa. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengajaran puisi Jawa yang
tepat kepada siswa mampu membantu program pemerintah dalam menangani kenakalankenakalan remaja.
Pengajaran puisi Jawa dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara
berpikir mengenai hidup, mengenal baik dan buruk, benar dan salah cara hidupnya sendiri serta
bangsanya. Jadi benar, bila dikatakan bahwa puisi merupakan salah satu sarana yang ampuh
untuk usaha kita memanusiakan diri dan lingkungan kita, dapat memperkaya wawasan kita
tentang kehidupan, menggugah kecintaan kepada hidup, merangsang kreativitas dan semangat
untuk menyempurnakan diri, dan menumbuhkan kepercayaan diri dan memupuk rasa identitas
sebagai bangsa. Dengan demikian diharapkan lewat pembelajaran puisi Jawa secara benar, maka
sifat kenakalan remaja misalnya minum minuman keras, sering tawuran dan sebagainya dapat
dihindari.
D. Daftar Pustaka
Abdul Razak. 1990. Kalimat Efektif Struktur, Gaya dan Variasi. Jakarta: PT. Gramedia.
B.P. Situmorang. 1974. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Ende-Flores NTT: Nusa Indah.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolter Uitgevers Maatchappij
N.V. Groningen.
Rahmat Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
R. Bambang Nursinggih. 2010. Arak-arakan Geguritan. Garising Pepesthen. Yogyakarta:
Arindo Nusa Media.
162
Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
163
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBICARA BAHASA JAWA
MELALUI STRATEGI
PEMROSESAN INFORMASI SOSIAL
Yuli Widiyono, M, Pd.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
[email protected]
ABSTRAK
Pembelajaran merupakan (proses) memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek
atau keterampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi. Pembelajaran juga merupakan
usaha yang disadari untuk mengusai kaidah-kaidah tentang informasi dengan menggunakan
sistem simpanan, memori, organisasi kognitif, yang mencakup keaktifan yang relatif tetap untuk
mengubah perilaku. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran akan
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran bisa tercapai apabila
dalam kegiatan pembelajaran siswa aktif dan termotivasi. Pembelajaran yang
dapat
mengaktifkan siswa dan bisa memotivasi siswa dalam memperoleh pengetahuan atau kemajuan
dalam proses belajar yaitu pembelajaran pemrosesan informasi sosial. Joyce, et. al (2004:26)
menyatakan model memproses informasi (information-processing models) merupakan model
pengajaran yang menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk
membentuk makna tentang dunia (sense of world) dengan memperoleh dan mengolah data,
merasakan maalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan
konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data. Model sosial merupakan model pembelajaran
yang menitikberatkan pada tabiat sosial, mempelajari tingkah laku sosial, bagaimana interaksi
sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Model pengajaran
sosial didesain untuk mempersiapkan siswa dalam mengembangkan tingkah laku demokratis
yang terpadu, baik dalam tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang
berbasis demokrasi sosial yang produktif (Joyce. B; Weil, B; Caulhoun, E. 2004:204)
Kata Kunci: Pembelajaran, Pemrosesan Informasi, Sosial, Berbicara
A. Pendahuluan
Secara filosofis bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat mendasar karena
bahwa bahasa Jawa memiliki beragam tingkatan seperti unda usuk, tingkat tutur atau
unggah-ungguh. Kedudukan bahasa Jawa dengan keragaman bahasa memiliki kelebihan
yaitu bentuk unggah-unggah bahasa yang menisyaratkan makna bahwa bahasa itu terdapat
tingkatan-tingakatan dengan fungsi yang berbeda beda. Para komunikan yang terlibat
164
komunikasi dengan bahasa Jawa harus mempertimbangkan, memilih serta memilah bahasa
yang tepat untuk berkomunikasi. Pemilihan bahasa dalam unggah-unggah tersebut secara
tidak langsung akan membentuk kepribadian, kesantunan dan etika.
Bahasa Jawa yang dilindungi dan diatur yang tertuang dalam Undang-Undang,
kebijakan pemerintah mulai, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah
dalam hal ini SK Gubernur, bukti bahwa bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat kuat.
Namun, melihat kondisi yang ada, banyak fakta yang menunjukkan bahwa bahasa Jawa
sekarang ini memiliki kedudukan dan fungsi yang kurang menjajikan. Kekhawatiran
masyarakat terhadap bahasa mulai terbukti dengan penurunan kualitas penggunaan bahasa
Jawa, yaitu banyak generasi muda Jawa yang mulai tidak menguasai unggah-unggah bahasa
Jawa secara baik.
Keberadaan bahasa Jawa sekarang ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Banyak
masyarakat atau pemerhati bahasa Jawa yang khawatir terkait keberadaan bahasa Jawa hal
ini tampak pada masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sasangka (2009:1)
Penurunan kualitas tersebut disebabkan banyak pengaruh, salah satunya pengaruh
globalisasi dan teknologi. Dengan perubahan zaman yang seacar cepat dan perkembangan
teknologi memudahkan informasi sangat mudah diterima, tanpa menilai atau menyaring
semua informasi yang masuk. Dampaknya yaitu adanya perubahan dalam struktur
masyarakat Jawa yang tadinya mengenal tepa slira, rasa handarbeni, sipat egois ‗njaluk
menange dhewe‘, ora bisa srawung marang sapadhane, lan ninggal tata luhur Jawa,
andhap asor anoraga, tuna sathak bathi sanak, lan ngwongake/ ngajeni marang liyan.
Adapun yang lebih mengkhawatirkan tidak peduli dengan norma-norma yang ada
masyarakat, norma sosial dan norma hukum negara.
Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir, terutama yang berada di lapis pertama
(ring satu) yaitu lapisan masyarakat yang pada waktu itu pernah langsung berhubungan
dengan penguasa (kerajaan), baik penguasa di Yogyakarta maupun yang berada di
Surakarta, mulai khawatir terhadap keberadaan unggah-ungguh basa. Kekhawatiran itu
disebabkan adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda Jawa sekarang ini
mulai tidak menguasai unggah-ungguh bahasa secara baik. Akibatnya, muncul kesalahankesalahan pemakaian bahasa Jawa dalam proses komunikasi. Kemampuan berkomunikasi
dipengaruhi oleh penguasaan keterampilan berbicara.
165
Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat peting
perananya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan
berbudaya. Penguasaan keterampilan berbicara oleh peserta didik akan mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai dengan konteks dan situsi
pada saat sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi
muda yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas
runtut, dan mudah dipahami.
Mengetahui konteks bahasa Jawa yang demikian, diperlukan suatu solusi atau
pemecahan terhadap permasalahan yang ada. Alternatif pemecahan permasalahan di atas
yaitu mengembangkan model pembelajaran menggunakan strategi informasi-sosial. Model
pembelajaran berbicara bahasa Jawa berbasis informasi sosial yang menekankan pada tabiat
manusia sebagai makhluk sosial, mempelajari perilaku sosial, dan bagaimana interaksi
sosial. Model pengajaran Pemrosesan informasi menekankan cara-cara dalam meningkatkan
dorongan alamiah manusia dalam membentuk makna.
Joyce, et al (2004:26) menyatakan pengajaran model pemrosesan informasi berguna
untuk mengamati diri sendiri dan masyarakat, serta dapat diterapkan untuk mencapai tujuantujuan pribadi dan sosial dalam pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran dengan
memadukan dua model, yaitu pemrosesan informasi dan sosial dimungkinkan bahwa dalam
pembelajaran mampu mempersiapkan warga negara yang akan mengembangkan tingkah
laku demokratis, baik tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan
berbasis demokrasi sosial yang produktif serta mampu mengembangkan kemampuan siswa
dalam berbicara bahasa Jawa secara benar dan tepat.
Berdasar uraian permasalahan di atas, maka rumusan masalah akan di bahas pada
makalah ini yaitu mendeskripsikan tentang model pembelajaran berbicara bahasa Jawa
melalui strategi pemrosesan informasi sosial. Teori-teori yang digunakan untuk mendukung
pembahasan ini yaitu menguraikan tentang pembelajaran bahasa, model pembelajaran,
model memproses informasi yang difokuskan pada strategi pembelajaran induktif, dan
model pengajaran sosial dengan strategi role playing.
166
B. Pembelajaran Bahasa
1.
Hakikat Bahasa
Pengertian tentang bahasa sangat beragam, bergantung pada teori apa yang
dipakai. Teori yang menyampaikan tentang definisi bahasa sangat beragam dan berbeda
antara satu dengan yang lain. Menurut teori stuktural bahasa dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem tanda yang arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa
bersifat sistemik dan sistematik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuanketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa
merupakan suatu sistem atau subsitem-subsistem. Bahasa kaitannya dengan ciri tanda
merupakan paduan antara dua unsur signified dan signifier (Suparno, 1993:1).
Brown (2007:6) menyatakan bahwa bahwa bahasa bersifat sistemik, bahasa
bersifat arbitrer, bahasa merupakan simbol vokal dan visual,
bahasa merefensikan
makna, bahasa digunakan untuk alat komunikasi, bahasa sebagai komunitas penutur,
bahasa penting untuk manusia dan tidak mungkin terbatas pada manusia saja, bahasa
digunakan oleh semua orang dalam proses pembelajaran yang mempunyai karakteristik
yang sama. Saussure (dalam Abdul Chaer, 2007: 31) memaparkan tentang defini bahasa
memiliki makna yang banyak, tergantung dari kaidah pemakaiannya. Bahasa menunjuk
pada bahasa tertentu adalah langue. Bahasa menunjuk pada bahasa umunya (langage),
bahasa berarti kebijakan dalam bertindak, bahasa berarti ujaran (parole).
Bahasa menurut Bloch dan Tragner (dalam Asep Ahmad Hidayat, 2009:22)
mendefinisikan bahwa bahasa sebagai ―sistem symbol-simbol bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh sekelompok sosial sebagai alat komunikasi (Language is a system of
arbitray vocal symbol by means of wich a sosial group cooperates). Halliday (dalam
Brown, 2007) menambahkan bahwa fungsi bahasa dalam arti yang paling sederhana,
dapat dipandang sebagai padanan kata ‗penggunaan‘. Fungsi bahasa dapat diartikan cara
orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa
lebih dari satu. Fungsi bahasa meliputi fungsi Instrumentalis, fungsi regulatoris, fungsi
representasional, fungsi interaksional, fungsi personal, fungsi heuristik, fungsi imajnatif.
Dari paparan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu
ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang disampaikan menggunakan sistem
tanda tertentu dengan kesepakatan bersama yang berfungsi sebagai alak komunikasi.
167
Melalui komunikasi bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan gagsan, ide, pendapat
kepada orang lain dengan mematuhi kaidah-kaidah atau aturan aturan yang berlaku.
Selain fungsi komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai penunjuk jatidiri atau identitas
kelompok. Bahasa merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu
komunitas suatu bangsa.
2.
Pembelajaran Bahasa
Brown (2007:7) menyatakan “learning is a acquiring or getting of knowledge of
a subject or a skill by study experience, or instruction‖ bahwa pembelajaran (proses)
memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau keterampilan yang
dipelajari, pengalaman, atau instruksi. Pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku
yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. selanjutnya, Brown
(2007:8) menjelaskan tentang karakteristik pembelajaran:
a. Pembelajaran adalah ―mendapatkan atau memperoleh‖
b. Pem belajaran adalah retensi informasi atau keterampilan.
c. Retensi menggunakan sistem simpanan, memori, organisasi kognitif.
d. Pembelajaran mencakup keaktifan, berfokus pada kesadaran dan reaksi terhadap
peristiwa-peristiwa di dalam maupun di luar organisme.
e. Pembelajaran relatif permanen, tetapi pembelajar dapat lupa.
f. Pembelajaran mencakup beberapa jenis praktis, mungkin penguatan secara praktis.
g. Pembelajaran adalah merubah perilaku.
Pembelajaran bahasa bisa tercapai setidaknya memegang kaidah-kaidah dalam
pembelajaran bahasa. Suwarsih Madya (dalam Suwarna, 2002:28) menjelaskan tentang
prinsip-prinsip dalam pembelajaran bahasa. kedelapan prinsip tersebut, yaitu:
a. Pembelajar
akan belajar secara optimal apabila mereka diperlakukan sebagai
individu dengan kebutuhan dan minatnya sendiri-sendiri.
b. Pembelajar akan
belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan aktif
menggunakan bahasa target untuk berkomunikasi dalam berbagai kegiatan belajar
mengajar.
c. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka banyak diaktifkan dengan belajar
bahasa target yang digunakan dalam proses komunikasi, baik lisan maupun tertulis,
sesuai kemampuan, kebutuhan, dan minat mereka.
168
d. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka dihadapkan pada aspek struktur
verbal bahas target dan mengkaji makna budaya yang terkandung dalam bahasa
target.
e. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka ditunjukan pada aspek social budaya
penutur asli bahasa target dan pengalaman langsung dalam budaya bahasa target.
f. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka menyadari peranan dan sifat
dasar bahasa dan budayanya.
g. Pembelajar akan belajar secara optimal diberi balikan yang efektif tentang kemajuan
belajarnya secara kelanjutan.
h. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan untuk
mengelola belajarnya sendiri.
Delapan prinsip pembelajaran bahasa tersebut dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran dikelas. Masing-masing prinsip tersebut bisa dilaksanakan oleh guru atau
pengajar dalam proses pembelajar yang didukung berbagai faktor. Faktor tersebut
meliputi faktor eksteren dan interen pembelajar. Faktor ekstern meliputi seluruh
pendukung kegiatan pembelajaran misalnya faktor guru, kegiatan suasana pembelajar,
lingkungan sosial budaya. Faktor interen meliputi motivasi pembelajar, kemampuan atau
kompetensi pembelajar, keaktifan dan lain-lain.
C. Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa
1.
Hakikat Berbicara
Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang harus dikuasi
oleh siswa dalam belajar bahasa, yaitu mendengar (listening), berbicara (speaking),
membaca (reading), dan menulis (writing). Berbicara adalah suatu keterampilan
berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya dilalui dengan
menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.
Berbicara sudah
tentu berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yang
diperoleh oleh sang anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Tarigan (2008:
15) memberikan pengertian sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan.
169
Brooks dalam Tarigan (2008: 16-17) mengemukakan bahwa prinsip umum
yang mendasari kegiatan berbicara sebagai berikut.
1) Membutuhkan paling sedikit dua orang
2) Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama
3) Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum
4) Merupakan suatu pertukaran antara partisipasi
5) Menghubungkan
setiap
pembicara
dengan
yang
lainnya
dan
kepada
lingkungannya dengan segera
6) Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini
7) Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara atau
bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus)
8) Secara tidak pandang bulu mengahadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan
apa yang diterima sebagai dalil.
Menurut Brown (1983:140) memaparkan bahwa kegiatan berbicara adalah
alat untuk menyampaikan pendapat, perasaan, ide, dan sebagainya dengan aktivitas
artikulasi dan bunyi yang memberikan konstruksi kreatif dalam linguistik. Sementara
itu, Slamet (2008:32) menambahkan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi
yang umum dalam masyarakat. Berbicara merupakan aktivitas komunikasi yang
mengharapkan hubungan antara penutur selaku pembicara dan penanggap tutur
sebagai pendengar.
Maidar
(1998:11)
berpendapat
tujuan
dari
berbicara
adalah
untuk
berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan sesuatu yang ingin dikomunikasikan
pemakai bahasa harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap
pendengarnya, dan mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi
pembicaraan, baik secara umum maupun perseorangan. Tarigan (2008:11-16)
mengemukakan bahwa pada dasarnya pembicara mempunyai tiga maksud umum,
yaitu (a) memberitahukan, melaporkan, (to inform), (b) menjamu, menghibur (to
entertain), dan (c) membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade).
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan
pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah sanga pembicara memahami makna
segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek
170
komunikasinya terhadap (para) pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsipprinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun
perorangan.
Dari beberapa paparan tentang berbicara dapat penulis simpulkan bahwa
berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa yang berkembang
pada kehidupan anak dengan didahului dengan kegiatan menyimak, yang berfungsi
untuk menyampaikan gagasan, pendapat, ide, dan sebagai alat komunikasi dalam
kehidupan.
2.
Jenis-jenis Keterampilan Berbicara
Jenis-jenis pembelajaran dalam keterampilan berbicara menurut Brown (2004)
dibagi ke dalam taksonomi yang muncul pada produksi lisan seperti halnya pada
keterampilan menyimak. Taksonomi ini bertingkat dari imitative hingga ekstensif. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Imitative adalah kemampuan seseorang untuk meniru kembali sebuah kata atau
frase atau bisa jadi sebuah kalimat.
2) Intensif. Jenis keterampilan berbicara kedua yang sering ada dalam konteks
penilaian dalam tingkat ini adalah produksi rentang pendek dari bahasa lisan yang
dibuat unguk menunjukkan kokmpetensi dalam hubungan gramatikal, frase,
leksikal, atau fonologikal. Contoh tugas-tugas penilaian intensif antara lain,
memberikan respon langsung, membaca nyaring, penyelesaian kalimat dan dialog,
gambar isyarat yang terbatas, termasuk urutasn sederhana dan terjemahan samapai
pada level kalimat
3) Responsive. Tugas penilaian responsive antara lain interaksi dan tes pemahaman
tetapi dalam level yang terbatas seperti percakapan pendek, pemberian salam dan
pembicaraan singkat, permintaan sederhana dan pendapat. Penilaian responsive
hampir selalu merupakan percakapan singkat dengan kemungkinan hanya
satu/dua pertanyaan atau jawaban follow up.
4) Interaktif. Tingkat ini berbeda dengan tingkat responsif. Berbicara secara
interaktif merupakan interaksi yang panjang dan komplek, serta sering diikuti
dengan pertukaran ganda atau partisipan ganda. Interaksi dapat terjadi dalam
bentuk bahasa transaksional yang bertujuan menukar informasi yang spesifik atau
171
bahasa interpersonal yang bertujuan membina hubungan sosial. Dalam bahasa
interpersonal, produksi lisan secara pragmatik digunakan dalam register sederhana
dan bahasa percakapan, elipsi, slang, humor dan kaidah sosiolinguistik lainnya.
5) Ekstensif (monolog). Dalam tingkat ini, tugas-tugas produksi lisan diberikan
dalam bentuk laporan lisan, rangkuman, atau pidato pendek. Di sini register
formal dan hati-hati. Kegiatan monolog ini dapat direncanakan.
3.
Tingkat Tutur dalam Berbicara Berbahasa Jawa
Pengenalan tingkat tutur atau ragam bahasa Jawa untuk peserta didik di
Sekolah Menengah Atas menuntut kurikulum bahasa Jawa telah disederhanakan
menjadi dua ragam, yiatu ragam bahasa Jawa ngoko dan ragam krama. Menurut Sry
Satria Catur Wisnu Sasangka (2009: 102-119) ragam bahasa Jawa ngoko dapat
digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih
tinggi status sosialnya dari pada lawan bicaranya. Ragam ngoko ini terbagi menjadi
dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.
Ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua
kosakatanya berbentuk ngoko dan netral, tanpa terselip leksikon krama, krama inggil
atau krama andhap. baik untuk persona pertama, persona kedua, maupun ketiga. Afiks
yang sering digunakan di dalam ragam ini adalah afiks di-, -e, dan –ake. Sedikit
berbeda dengan bentuk ngoko lugu, ragam ngoko alus adalah unggah-ungguh yang
didalamnya bukan hanya terdiri atas kosakata ngoko dan netral saja, melainkan juga
terselip leksikon krama, krama inggil atau krama andhap. yang muncul dengan tujuan
untuk menghormati mitra wicara.
Selanjutnya diuraikan bahwa ragam krama
yaitu bentuk unggah-ungguh
bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi inti dalam ragam
krama adalah leksikon krama bukan leksikon lainnya. Afiks yang muncul dalam
ragam ini pun semua berbentuk krama. Ragam krama dibedakan menjadi dua jenis
yaitu krama lugu dan krama inggil. Secara semantik, ragam krama lugu dapat
didefinisikan sebagai suatu ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun
begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukan
kadar kehalusan. Suatu ragam kosakata terdiri atas kosakata krama, madya, netral dan
masih menggunakan kosakata ngoko, sedangkan kosakata krama inggil yang muncul
172
hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara, afiks yang sering digunakan dalam
krama lugu adalah di-, -e, dan –ake.
Krama alus krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang
kosakata intinya terdiri atas leksikon krama inggil dan krama andhap, Leksikon krama
inggil selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Afiks yang
cenderung lebih sering digunakan dalam krama alus adalah afiks dipun-, -ipun, dan –
aken.
4.
Komponen Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara seorang menyangkut dua unsur pokok yaitu
kompetensi dan performansi. Kompetensi berkaitan dengan pengetahuan tentang ilmu
bahasa seseorang. Performansi merupakan penerapan ilmu bahasa tersebut secara
aplikatif. Sehingga dalam melakukan penilaian paling tidak menyangkut kedua unsur
tersebut. Harris dalam Henry Guntur Tarigan (2008: 3) mengungkapkan beberapa
komponen yang perlu diperhatikan dalam tes kemampuan kemampuan berbicara
meliputi komponen fonologi, struktur, kosakata, dan kecepatan atau kelancaran.
Maidar (1998:87) berpendapat bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang dinilai
berdasarkan kedua faktor penunjang keaktifan berbicara adalah: (1) faktor kebahasaan
yang mencakup pengucapan konsonan, penempatan tekanan, penggunan nada/irama,
pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi kata, tata bentukan, struktur kalimat, dan ragam
kalimat; (2) faktor non kebahasaan mencakup keberanian dan semangat, kelancaran,
kenyaringan suara, pandangan mata, gerak-gerik dan mimik, keterbukaan, penalaran,
penguasaan topik.
Menurut Brooks (dalam Tarigan, 2008:28) menyatakan bahwa dalam
mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan
lima faktor, yaitu: ketepatan dalam pengucapan bunyi-bunyi tersendiri (vocal,
konsonan), apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta tekanan suku kata
memberikan kepuasan, ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa
referensi internal memahami bahasa yang dipergunakan, apakah kata-kata yang
diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat, sejauh manakah kewajaran atau
kelancaran yang tercermin seorang pembicara.
173
D. Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi
1.
Hakikat Model Pemrosesan Informasi
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang di
gunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelasatau
pembelajaran
dalam
tutorial.model
pembelajaran
mengacu
padapendekatan
pembelajaran yang akan di gunakan. Termasuk di dalamnya tujuan-tujuan
pengajaran, dan pengelolaan kelas (Arendes.1977: 7). Hal ini sesuai dengan
pendapat Joice (2009:7) bahwa ―Teach model guides us as we design instruction to
help student achive varions objective” maksud dari kutipan tersebut adalah bahwa
setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu
peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Joyce dan Weil (2009:7) menyatakan bahwa: “Models of teaching are really
models of lerning. As we help student acquire information, ideal, skills, value, ways
of thinking and means of expressingthemselvs, we are also teaching them how to
lern‖. Hal in berarti bahwa model mengajar merupakan model belajar dengan model
ersebut guru dapat membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide,keterampilan
cara, berpikir dan meng expresikan ide diri sendiri. Selain itu, mereka juga
mengajarkan bagimana mereka belajar.
Joyce, et. al (2004:26) menyatakan model memproses informasi (informationprocessing models) merupakan model pengajaran yang menekankan cara-cara dalam
meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang dunia
(sense of world) dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan maalah-masalah
dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa
untuk mentransfer solusi/data tersebut. Salah satu model Informasi yaitu belajar
berpikir secara induktif. Model ini merupakan penyesuaian dari kajian Hilda (1966)
yang telah mengkaji bagaimana siswa dalam mencari dan mengolah informasi,
membuat dan menguji hipotesis yang menghubungkan antar data. Salah satu cara
kerja dalam model ini adalah analisis fonetik dan struktural. Dalam pembelajaran
bahasa, kompetensi komunikatif sangat memperhatikan hal tersebut. Kajian terhadap
masyarakat, negara, dan sejarah mensyaratkan adanya pengkajian konsep. Berikut
174
disajikan tentang model belajar berpikir secara induktif yang dalam model
pengajaran masuk dalam model pemrosesan information.
2.
Model Berpikir Induktif (Membentuk Konsep-Konsep dengan Mengumpulkan dan
Mengolah Informasi)
a.
Struktur (Syntax) Pengajaran
Model induktif memiliki struktur pemutaran yang berkembang setiap
waktu, penelitian induktif hampir tidak pernah singkat. Esensi proses induktif
adalah pengumpulan dan penyaringan informasi tanpa henti; pembangunan
gagasan; khususnya kategori–kategori, yang menyediakan kontrol konseptual atau
daerah-daerah informasi; penciptaan hipotesis untuk dieksplorasi dalam upaya
memahami hubungan–hubungan yang lebih baik atau menyediakan solusi untuk
berabagai masalah; dan perubahan pengetahuan menjadi keterampilan yang
memiliki aplikasi praktis.
Tahap–tahap model induktif tersebut meliputi (1) mengidentifikasi dan
menghitung data yang relevan dengan topik atau masalah, (2) mengelompokkan
objek–objek ini menjadi kategori–kategori ya3g anggotanya memiliki sifat umum,
(3) menafsirkan data dan mengembangkan label untuk kategori–kategori tadi
sehingga data tersebut bias dimanipulasi secara simbolis, dan (4) mengubah
kategori–kategori menjadi keterampilan atau hipotesis–hipotesis.
(1) Tahap Pengumpulan Dan Penyajian Data
Penerapan model induktif melibatkan pengolahan dan pengumpulan data
secara terpisah. Pengolahan dilakukan untuk memperoleh atau
mencari
gagasan–gagasan. Dalam hal ini, pengumpulan data muncul lebih dulu, tetapi
data baru bisa ditambah dan dibuang saat penelitian berlangsung. Dalam
pembelajaran secara siswa bekerja secara induktif, kita sering kali menyajikan
seperangkat data yang tidak terorganisir pada siswa. Proses pembelajaran
dapat dilakukan untuk
melatih siswa mengumpulkan seperangkat data.
Seperangkat data dikembangkan dari ranah substantif yang ditujukan untuk
tujuan–tujuan akademik. Ranah–ranah / bidang–bidang merupakan batasan
yang cukup beragam dan bersifat arbitrer bagi suatu studi bidang–bidang
tersebut merupakan daerah /teretorial yang dicoba untuk dieksplorasi.
175
(2) Tahap Pengujian Dan Pengumpulan Data
Data perlu diuji dengan teliti dan perlu diberi label sehingga dapat
diidentifikasinya saat memindahkan data-data tersebut. Objek–objek dalam
data itu juga perlu dikaji sangat hati–hati sehingga bisa dirasakan dan dilihat
dengan lebih jelas. Tahap ini harus dilakukan dengan hati–hati, atau jika tidak,
penelitian akan menjadi dangkal dan tidak berbobot. Pada tahap ini butuh
kecermatan dan ketelitian serta kesan tergesa gesa harus dihindari, sehingga
hasilnya lebih optimal.
(3) Tahap Klasifikasi Pertama
Untuk menjadi benar–benar produktif, klasifikasi data dilakukan
beberapa kali. Pada tahap pertama
kecenderungan untuk mengklasifikasi
karakteristik-karakteristik kotor. Klasifikasi data harus dilakukan melalui
perbedaan-perbedaan dalam hal materi yang dibawakan, mood dan perangkat
yang digunakan. Terkadang, setelah latihan pertama dalam klasifikasi, ingin
menambah data yang lebih banyak lagi dalam data kita atau sesuat yang tidak
kita perhatikan ketika kita mengkaji dan menghitung data. Dalam kasus–kasus
seperti ini, kita berputar kembali, mengumpulkan atau menguji data lagi, dan
seterusnya.
(4) Tahap Klasifikasi Lanjutan
Pada klasifikasi lanjutan, memperhalus atau meruntuhkan kategori–
kategori, dan bereksperimentasi dengan dua atau tiga skema; kategori–
kategori muncul dan dibagi. Secara bertahap, harus mengontrol data.
Terkadang kita bergantian melakukan klasifikasi dan pencarian data kembali.
(5) Tahap Membangun Hipotesis dan Meningkatkan Keterampilan
Pada tahap ini kalsifikasi dilakukan untuk mengetahui karakter,
sehingga bisa membangun hipotesis-hipotesis untuk mengubah menjadi
keteramilan yang berguna. Membangun keterampilan dari kategori–kategori
menuntut untuk belajar tentang apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan
sesuatu yang sesuai dengan kategori tersebut.
b. Pemikiran–Pemikiran tentang Perancangan Lingkungan Pembelajaran
176
Strategi dan model yang bisa bisa digunakan dengan mudah untuk
merancang pembelajaran yaitu:
1). Sistem Sosial
Guru sebagai inisiator harus menyusun tahap–tahap pengajaran dan
penentu rangkaian aktivitas pembelajaran.
2) Peran/tugas guru
Guru memberikan tanggapan dan respons disetiap tahap pengajaran,
melakukan tugas-tugas kognitif dalam setiap strategi pembelajaran, guru
harus yakin bahwa tugas–tugas kognitif tersebut muncul dengan intruksi yang
optimal dan juga saat yang tepat. Mengatur tugas-tugas mengharuskan guru
untuk mengkaji seperangkat secara utuh sebelum melakukan kategorisasi, lalu
dilanjutkan dengan mencari hubungan–hubungan. Guru menyesuaikan tugas–
tugas dengan tingkat aktivitas kognifitas siswa, menetukan kesiapan siswa.
3) Sistem Pendukung
Model ini dapat diterapkan dalam berbagai kurikulum yang di
dalamnya ada banyak data yang harus diolah. Kemudian tugas guru adalah
membantu memproses data yang lebih kompleks, dan pada waktu bersamaan,
membantu meningkatkan kapasitas umum sistem–sistem pendukung seperti
diatas saat memproses data.
4) Dampak-dampak Instruksional dan Pengiring
Model berpikir induktif dirancang untuk melatih siswa dalam
membentuk konsep, dan sekaligus, mengajarkan konsep–konsep. Model ini
juga membentuk perhatian siswa untuk fokus pada logika, bahasa dan arti
kata–kata, dan sifat pengetahuan.
E. Model Pembelajaran Sosial
1.
Hakikat Model Pengajaran Sosial
Model
pembelajaran
merupakan
prosedur
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dalam proses
proses pembelajaran kegiatan penyapaian informasi, gagasan, skill, nilai, cara
berpikir merupakan bagian penting untuk meningkatkan kapabilitas siswa siswa
177
dalam belajar. Cara penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh terhadap
kemampuan siswa dalam mendidik diri sendiri. Keberhasilan proses pembelajaran
yang dilakukan guru tidak sekadar hanya kharismatik dan persuasif, tetapi bisa
melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang sarat beruatan kognitif dan sosial, serta
mengajarkan tugas-tugas tersebut secara produktif (Joyce. et al.. 2004:7)
Model pengajaran sosial muncul karena tabiat dasar manusia sebagai
mahkluk sosial dan cara-cara belajarnya. Model sosial merupakan model
pembelajaran yang menitikberatkan pada tabiat sosial, mempelajari tingkah laku
sosial, bagaimana interaksi sosial tersebut dapat mempertinggi hasil capaian
pembelajaran akademik. Model pengajaran sosial didesain untuk mempersiapkan
siswa dalam mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam
tataran pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis
demokrasi sosial yang produktif (Joyce. B; Weil, B; Caulhoun, E. 2004:204)
Kerja sama dalam proses pembelajaran pada dasarnya dapat meningkatkan
kualitas kehidupan, semangat, supel dan mencegah adanya konflik sosial yang
dekonstruktif. Kerja sama tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial, namun
juga mendorong aspek intelektual. Penyelesaian tugas
yang dikerjakan dengan
mengandalkan interaksi sosial bisa disiati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil
pembelajaran, meningkatnya perkembangan tingkah laku yang produktif, skill
akademik.
2.
Pembelajaran Role Playing
Joyce, (2004:233) menyatakan role playing adalah keterlibatan partisipan dan
peneliti dalam situasi masalah yang sebenarnya dan adanya keinginan untuk
memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang muncul dari keterlibatan
tersebut. Proses role playing berperan untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2)
mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi
siswa, (3) mengembangkan skill, pemecahan masalah, dan tingkah laku, (4)
mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda.
Proses pembelajaran role playing secara implisit menganjurkan sebuah
pengalaman yang berbasis pembelajaran keadaan yang terjadi ‘disini dan saat ini‘.
Model pembelajaran role playing. Model pembelajaran role playing melibatkan
178
proses psikologi secara tersembunyi yang melibatkan perilaku pribadi, nilai, dan
sistem kepercayaan siswa bisa dilakukan secara spontan dengan analisis yang
dilakukannya.
a. Langkah-langkah Role Playing
Shaftels (dalam Joyce, 2004: 235) menguraikan tentang langkah-langkah
dalam role playing:
1). Memanaskan suasana kelompok;
2). Memilih partisipan;
3). Mengatur setting kejadian
4). Menyiapkan peneliti (observers)
5). Pemeranan
6). Diskusi dan evaluasi
7). Memerankan kembali
8). Berdiskusi dan mengevaluasi
9). Saling berbagi dan mengembangkan kemampuan.
b. Penerapan Model Role Playing
Model role playing adalah model yang serbaguna dan dapat diterapkan dalam
beberapa sasaran pembelajaran yang terbilang penting. Melalui role playing, siswa
dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali dan memperhitungkan
perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mereka bisa memiliki perilaku baru
dalam menghadapi situasi sulit yang tengah dihadapi, dan mereka bisa
meningkatkan skill memecahkan masalah.
Role playing merupakan program pendidikan sosial yang sistematis, karena
menyediakan banyak materi untuk didiskusikan dan dianalisis. Selain itu, model
pembeljaran role playing bisa memunculkan permasalahan untuk diteliti siswa dan
membantu siswa memecahkan masalah.
Joyce (2004:244) menyatakan ciri khas masalah sosial yang dapat digunakan
dengan model ini, yakni:
(1). Konflik interpersonal. Fungsi role playing pada tahap ini adalah
memunculkan konflik antara beberapa orang sehingga siswa bisa menemukan
teknik untuk mengatasi konflik tersebut.
179
(2).Relasi antar kelompok. Masalah ini melibatkan konflik yang mungkin saja
tidak muncul dalam permukaan. Ciri role playing pada tahap ini dapat
digunakan untuk membuka stereotype dan prasangka atau untuk mendorong
penerimaan terhadap hal-hal yang ganjil.
(3). Dilema Individu. Dilema individu muncul ketika seseorang terperangkap
dalam dua nilai yang bertentangan atau antara kepentingannya dan
kepentingan orang lain. Model role Playing ini membuat siswa bisa
mengakses dilema dan membantu mereka untuk mengerti mengapa hal
tersebut terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan.
(4). Masalah Historis atau Kontemporer. Hal ini mencakup situasi yang
bermasalah, saat ini atau masa lalu, dimana pembuat kebjakan, hakim, dan
pemimpin politik, atau negarawan harus menghadapi suatu masalah atau
sesorang dan kemudian membuat keputusan.
Ciri khas masalah sosial, secara alamiah siswa akan fokus pada aspek
dalam situasi yang mereka merasa penting.Siswa akan berkonsentrasi pada
persaan yang terungkapkan, perilaku dan nilai masing-masing pemain peranyang
dapat dilihat melaluikata-kata atau tindakannya, solusi permasalahan, atau
konsekuensi perilaku mereka.
180
Bagan 1: Desain pengembangan Model Pembelajaran Berbicara melalui startegi pemrosesan informasi Sosial
Analisis Kebutuhan
Eksplorasi
Kemampuan, minat
berbicara bahasa Jawa siswa
rendah
-Probematika ket. berbicara
-Ket berbicara dengan
tingkat tutur bahasa Jawa
-kekhawatiran masyarakat
Struktur model
Sistem Sosial
Berpikir Induktif
Role Playing
(Pemrosesan Informasi)
(Sosial)
Peran/tugas Guru
Sistem
Pendukung
Struktur
pengajaran
sistem sosial
Sistem
Pendukung
peran/tugas
guru
Pemrosesan
Informasi Sosial
Informasi,
pembentukan konsep
Tersruktur dan
kooperatif
aktivitas kognitif
dan eksplorasi
materi dan
praktik
penan
Capaian siswa dalam keterampilan
berbicara dan pengiringnya
(nurturan).
0
Daftar Pustaka
Arends, R. 1997. Classroom Instructional Management. New York: The Mc Graw-Hill
Company.
Bachman, L. 1990. Fundamental consideration in language testing. Oxford: Oxford University
Press
Brown, Douglas H .2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices. New
York: Pearson Eduation.
.2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Eduation.
Chaedar Alwasilah. 2007. Filsafat bahasa dan pendidikan. Bandung: Rosda.
Halliday & Hasan R. 1985. Language, context, and text: aspect of language in a social-semiotic
perspective. Victoria: Deakin University.
Joyce,et.al. (2004) Models of Teaching. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc
Maidar G Mukti. 1998. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta:
Airlangga.
Says,
Eee Kyu. 2011. Tata bahasa fungsional (Functional Gramar) dalam
https://equshay.wordpress.com/2011/01/29/apa-itu-tata-bahasa-fungsional-functionalgrammar/. Di Unduh pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2014.
Slamet. 2008. Keterampilan Berbahasa. Surakarta: UNS Press.
Sri Satria Wisnu Catur Sasangka. 2009. Unggah-ungguh basa jawa. Jakarta: Yayasan Paralingua
Suparman, Tatang. 2008. Thema- Rhema dalam Bahasa Indonesia:Suatu Tinjauan Tata Bahasa
Fungsional. Makalah diseminarkan di fakultas sastra universitas Padjadjaran Bandung:
Bandung.
Suparno. 1993. Dasar-dasar linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta: Adicita.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara Sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Thomas, L. and Wareing, S. 1999. ―Language, Society and Power” (terjemahan). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tomlinson, Brian. 1998. Material Development In Language Teaching. Cambridge: Cambridge
University Press.
Verhaar. 2008. Asas-asas linguistik umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG BAHASA DAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN NASIONAL
(Suatu Implementasi dalam Pembelajaran Bahasa)
Sri Endang Kusmarayati
PBI-FKIP-UMK
Abstrak
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memerlukan bahasa untuk
berkomunikasi yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat lainnya. Karena
pentingnya fungsi dan kedudukan bahasa dalam masyarakat, perlu ditetapkan
suatu kebijakan nasional tentang bahasa yang digunakan oleh setiap anggota
masyarakat dalam suatu bangsa. Kebijakan nasional umumnya berisi tentang
ketentuan-ketentuan yang digunakan sebagai dasar dalam menetapkan fungsi
dan kedudukan bahasa. Proses pembelajaran bahasa yang berlangsung dalam
masyarakat tidak dapat lepas dari kebijakan pendidikan nasional yang ada dalam
masyarakat tersebut, sehingga perlu juga ditetapkan suatu kebijakan pendidikan
yang mengatur tentang bagaimana meningkatkan dan memaksimalkan mutu
pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional tersebut dapat dijadikan sebagai
acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Makalah ini membahas tema-tema
tentang Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional,
serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di Indonesia.
A. Pendahuluan
Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan manusia untuk berinteraksi satu sama lain
dalam bersosialisasi di masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memerlukan
bahasa yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat lainnya, sebagai anggota suku atau suatu
bangsa. Karena pentingnya fungsi dan kedudukan bahasa dalam masyarakat, perlu ditetapkan
suatu kebijakan nasional tentang bahasa yang digunakan oleh setiap anggota masyarakat dalam
suatu bangsa. Di Indonesia dikenal adanya Politik Bahasa nasional, yaitu kebijakan nasional
yang berisi tentang ketentuan-ketentuan yang digunakan sebagai dasar dalam menetapkan fungsi
dan kedudukan bahasa di Indonesia.
Berkaitan dengan bahasa, manusia dalam kehidupannya juga terlibat dengan proses
pembelajaran. Bagaimana proses pembelajaran bahasa yang berlangsung dalam masyarakat
tidak dapat lepas dari kebijakan pendidikan nasional yang ada dalam masyarakat tersebut,
sehingga perlu juga ditetapkan suatu kebijakan pendidikan yang mengatur tentang bagaimana
meningkatkan dan memaksimalkan mutu pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional tersebut
dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu
pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi lulusan,
pembiayaan pendidikan dan penilaian pendidikan.
Pembelajaran bahasa dewasa ini belum mencapai tujuan yang diharapkan. Kemampuan
komunikatif yang diharapkan belum tercapai dengan semestinya.
Pembelajaran bahasa
semestinya tidak sekedar mengajarkan tatabahasa dan kosakata, melainkan lebih memperhatikan
bahasa sebagai alat komunikasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Halliday (1994) tentang
fungsi bahasa, yaitu fungsi instrumetal, regulatori, representasional, interaksional, personal,
heuristik, dan fungsi imajinatif.
Dalam makalah ini dibahas tema-tema mengenai Kebijakan Nasional tentang Bahasa
dan Kebijakan Pendidikan Nasional, serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di
Indonesia. Dengan membahas tema-tema tersebut diharapkan pembelajaran bahasa di Indonesia
lebih dapat memperhatikan kebijakan nasional tentang bahasa maupun kebijakan pendidikan
nasional yang berlaku di Indonesia sebagai landasan dalam menyusun kurikulum pengajaran
bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa Asing, serta pelaksanaannya di
kelas.
B. Kebijakan Nasional tentang Bahasa
Manusia adalah mahluk sosial dan bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia
dalam kehidupan sosialnya. Wright (2004:2) mengemukakan penjelasan tentang bahasa sebagai
berikut:
...language is the means by which we conduct our social lives and is foremost among the
factors that allow us to construct humman communities. The importance of language for
human beings as social animals is that it opens up the future to planning. It permits the
past to become share experience from which learning can take place and it allows
cooperation in joint ventures, with all the advantages of scale that implies. As such,
language plays a major role in constitution of groups, and normative behavior and
prespective behavior are essential to the process.
Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh
anggota masyarakat (Abidin, 2006:17) dan kebijakan merupakan bentuk intervensi sosial,
kemudian setelah isi dasar kebijakan diputuskan, selanjutnya perumus kebijakan perlu
memastikan apakah keputusan kebijakan bisa dilaksanakan serta dapat mengatasi masalah yang
ingin diatasi. Kebijakan dirancang sebagai tawaran jawaban terhadap permasalahan yang terjadi
untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk intervensi
sosial dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati bahwa kebijakan bukan sekadar
sebagai sistem tempat aspirasi yang ditentukan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah
keputusan kebijakan tetapi sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintahan. Kebijakan bahasa
adalah pilihan, seperti yang dijelaskan oleh Spolsky (2009:1):
Language policy is all about choices. If you are bilingual or plurilingual, you have to
choose which language to use. Even if you speak only one language, you have choices of
dialect and style. So the result of management, refecting conscious and explisit efforts by
language managers to control the choicesme of these choices.
Cooper (1989:30-31) menamai kebijakan bahasa dengan istilah ‗language planning‟
dan merangkum beberapa defini, diantaranya: menurut Das Gupta (1973): language planning
refers to a set of delibarate activities systematically designed to organize and develop the
language resources of the community in an ordered schedule of time. Menurut Prator cited by
Markee (1986): Language policy-making involves decisions concerning the teaching and use of
language, and their careful formulation by those empowered to do so, for the guidance of others.
Kemudian Ferguson (2006: 12) mengungkapkan bahwa kebijakan bahasa merupakan
cara yang efektif
untuk menunjang dinamika sosial dan bertujuan untuk menjaga
keberlangsungan komunikasi warga negara tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional
yang menggangu stabilitas negara.
Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia dimulai sejak adanya
Sumpah Pemuda yang mencetuskan aspirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal
28 Oktober 1928 yang menyatakan bahwa:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe,
Tanah Air Indonesia
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe,
Bangsa Indonesia
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia
Pernyataan yang ketiga itulah yang melandasi pemerintah Indonesia dalam menyusun
Kebijakan Nasional tentang Bahasa. Dengan semboyan Bineka Tunggal Ika, masyarakat
Indonesia yang tinggal di berbagai pulau di seluruh Indonesia memiliki banyak sekali bahasa
daerah, oleh sebab itu diperlukan bahasa pemersatu, sehingga ditetapkanlan kebijakasan nasional
tentang bahasa yang mengatur fungsi bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta antara
bahasa Indonesia dan bahasa asing yang digunakan di Indonesia.
Dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 Bab XV, pasal 36, telah ditetapkan bahwa
Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Ketentuan ini menjelaskan bahwa bahasa Indonesia
tidak lagi sebagai bahasa perhubungan, tetapi ditetapkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Selanjutnya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan sebagai: 1) Pelaksanaan
administrasi pemerintahan, 2) Pendidikan dan Pengajaran baik yang dikelola oleh pemerintah
maupun swata, 3) Pengembangan nasioanal, 4) Pengembangan Kesusastraan nasional, 5)
Peningkatan mutu media massa, dan 5) Penulisan buku-buku pelajaran dan buku-buku ilmu
pengetahuan baik asli maupun terjemahan. Bahasa daerah tetap dipertahankan dan dilestarikan
sebagai bahasa perhubungan setempat, dan bahasa daerah dapat juga diajarkan di sekolah untuk
mendukung pendokumentasian, dan digunakan untuk pengembangan bahasa nasional. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional juga perlu diperkaya dan disempurnakan dengan keberadaan
bahasa asing yang digunakan di Indonesia untuk memperkaya intilah-istilah agar masyarakat
Indonesia dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan juga teknologi. Hal ini tentu saja
memerlukan penetapan kebijakan nasional tentang fungsi dan kedudukan bahasa daerah maupun
bahasa asing dalam kepentingan nasional.
Kebijakan nasional tentang bahasa tertuang pula dalam Undang-undang Nomor 24 tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan
Undang-undang tentang Bahasa termuat pada bab III tentang Bahasa Negara dalam pasal 25
sampai pasal 45. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang dinyatakan
sebagai bahasa resmi negara dinyatakan juga sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan
sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Di samping itu bahasa Indonesia berfungsi
sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta
sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah, dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi negara berfungsi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar
pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan
dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Lebih lanjut Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional. Bahasa asing dapat juga digunakan untuk tujuan yang mendukung
kemampuan berbahasa asing peserta didik. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara
Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing
bangsa. Undang-undang tersebut menjelaskan pula bahwa bahasa asing dan bahasa daerah
masih memiliki kedudukan dan fungsi yang diharapkan tidak menggangu kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara Indonesia. Di antaranya
dalam publikasi ilmiah dengan kajian khusus masih diperbolehkan menggunakan bahasa
daerah mapun bahasa asing, demikian juga untuk nama-nama geografi di Indonesia, nama
gedung, jalan, apartemen, perkantoran yang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat
dan/atau keaga-maan, penggunaan rambu-rambu umum, fasilitas umum, spanduk, alat
informasi untuk pelayanan umum, serta penyampaian informasi melalui media massa.
C. Kebijakan Pendidikan Nasional
Kondisi Pendidikan
di Indonesia menunjukkan menunjukkan adanya kesenjangan
tingkat pendidikan yang cukup besar antar kelompok masyarakat, fasilitas pelayanan pendidikan
belum tersedia secara merata, terutama di daerah pedesaan, sehingga sulit untuk memperoleh
akses layanan pendidikan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah perlu membuat Kebijakan
Pendidikan Nasional untuk mewujudkan proses pendidikan
yang lebih demokratis,
memperhatikan keragaman, kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Tirtaraharja (2005) bahwa pendidikan
dimaksudkan membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Lebih lanjut Darmaningtyas (2012:4) menjelaskan tentang tugas pendidikan:
Perdidikan bertugas untuk mengubah peradaban masyarakat melalui perwujudan suasana belajar,
proses pembelajaran, dan proses pendidikan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar
secara terus menerus agar beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, dapat mencapai
pengusaan ilmu pengetahuan, teknologi, penanaman etika dan kepribadian yang tangguh, dan
kaya ekspressi estetikanya dalam merespon perubahan dan perkembangan masyarakat dalam
perspektif persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berdaulat.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam definisi tersebut, terdapat tiga pokok pikiran
utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1) usaha sadar dan terencana; 2) mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
dirinya; dan 3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, sebagai salah satu Kebijakan Pendidikan
Nasional mengatur tentang sistem Pendidikan Nasional di Indonesia juga berisi tentang standar
komponen dan pengelolaan pendidikan formal yang berlaku secara nasional yang merupakan
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Stantar nasional pendidikan yang
berlaku meliputi komponen-komponen: 1) Standar Kompetensi Lulusan, 2) Standar Isi, 3)
Standar Proses, 4) Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan
Prasarana, 6) Stantar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan Pendidikan, dan 8) Standar Penilaian
Pendidikan.
Sistem Pendidikan Nasional tersebut dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang
bermutu, serta menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat.
D. Implikasi Kebijakan Nasional tentang Bahasa dan Kebijakan Pendidikan Nasional
dalam Pembelajaran Bahasa di Inodesia
Kebijakan pendidikan nasional merupakan kebijakan publik dalam pendidikan yang
menyangkut kepentingan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan. Pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan
ilmu dan pengetahuan, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan
kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan
baik. Dengan demikian Kebijakan Pendidikan Nasional perlu menjadi pijakan dalam menetapkan
segala hal yang berhubungan dengan pembelajaran. Demikian juga ketika kita mererapkan
pengajaran di bidang bahasa, Kebijaksan Nasional tentang bahasapun perlu dijadikan pijakan,
khususnya dalam mencapai tujuan pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah,
maupun bahasa asing.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Kebijakan Nasional tentang Bahasa
menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional. Bahasa asing dapat juga digunakan untuk tujuan yang mendukung
kemampuan berbahasa asing peserta didik. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara
Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing
bangsa. Bahasa daerah tetap dipertahankan dan dilestarikan sebagai bahasa perhubungan
setempat, dan bahasa daerah dapat juga diajarkan di sekolah untuk mendukung
pendokumentasian, dan digunakan untuk pengembangan bahasa nasional. Selain itu Kebijakan
Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Berpijak pada kedua kebijakan tersebut, dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia
pengajar atau guru diwajibkan untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan
diterapkan secara baik dan benar, karena telah ditetapkan bahwa bahasa Indonesia wajib
digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Namun demikian bahasa asing
dapat juga digunakan untuk kepentingan mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik
dan memfasilitasi mereka yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka
peningkatan daya saing bangsa. Demikian pula ketika melaksanakan pembelajaran bahasa di
kelas, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, penggunaan bahasa pengantar,
yaitu bahasa Indonesia yang baku tetap wajib digunakan.
Belajar bagi pelajar merupakan proses untuk mencapai berbagai macam kompetensi,
keterampilan, dan sikap. Kemampuan pelajar untuk belajar merupakan karakteristik penting yang
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar juga merupakan aktivitas yang
dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan
atau pengalaman-pengalaman. Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan bagi si
pembelajar, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Dengan perubahan
tersebut, diharapkan dapat membantu mereka dalam memecahkan permasalahan hidup dan bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam hal ini belajar ditandai dengan adanya
perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
Tugas utama seorang pengajar atau guru adalah memudahkan pembelajaran bagi para pelajar.
Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan saja harus dapat menyediakan suasana
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, tetapi juga dapat menciptakan pengajaran yang
berhasil dan berkesan. Di samping itu, seorang pengajar atau guru harus mampu mewujudkan
suasana pembelajaran yang dapat merangsang minat pembelajar untuk belajar serta senantiasa
memikirkan keadaan dan keperluan mereka.
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Kegiatan pengupayaan ini akan
mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Oleh karena itu,
setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap
jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat
dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pembelajar, terutama berkenaan dengan
kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran
bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan
maupun tulis. Kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat keterampilan berbahasa,
yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran
bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam
kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam
kegiatan pembelajarannya. Aminuddin (1994:37) menjelaskan tentang prinsip-prinsip belajar
bahasa bahwa pembelajar akan belajar bahasa dengan baik bila a) diperlakukan sebagai individu
yang memiliki kebutuhan dan minat, b) diberi kesempatan berpartisipasi dalam penggunaan
bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, c) bila ia secara sengaja
memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung
proses pemerolehan bahasa, d) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung
dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, e) jika menyadari akan peran dan hakikat
bahasa dan budaya, f) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan g)
jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri.
Dalam proses belajar-mengajar, guru sering berhadapan dengan pelajar-pelajar yang
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini memerlukan kemampuan guru dalam
menentukan strategi pengajaran dan pembelajaran. Hal ini berarti, guru harus dapat menentukan
pendekatan, memilih metode, serta menetapkan teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan
perkembangan dan kemampuan pelajar. Strategi yang dipilih itu, selain berpotensi dapat
merangsang pelajar secara aktif, juga harus mampu menarik perhatian pelajar serta dapat
menghasilkan pembelajaran yang bermakna. Dalam merancang bahan ajar yang berkesan dan
bermakna untuk para pelajar, guru haruslah memikirkan terlebih dahulu metode dan teknik yang
akan digunakan. Pemilihan strategi secara tepat akan mampu menjamin kelancaran serta
keberhasilan penyampaian materi atau bahan ajar. Penggunaan metode dan teknik mengajar yang
bervariasi membuat pengajaran itu lebih menarik dan memberikan ruang bagi pembelajar terlibat
secara aktif sepanjang proses belajar-mengajar tanpa merasa jenuh.
Dalam pembelajaran, terdapat beberapa metode dan teknik yang dapat digunakan oleh
guru. Selanjutnya, dari segi penggunaan teknik mengajar, guru dapat menggunakan teknik
menerangkan, teknik mengkaji, teknik menyelesaikan masalah, teknik bercerita, dan teknik
berdiskusi. Penggunaan contoh-contoh yang bermakna akan membantu pembelajar dalam
memahami materi pengajaran. Ide yang abstrak dan konsep-konsep yang baru dan susah, lebih
mudah dipahami apabila guru menggunakan contoh dengan ilutrasi yang mudah dan konkret.
Misalnya, dalam bentuk lisan, yakni dengan mengemukakan analogi, bercerita, mengemukakan
metafora, dan sebagainya. Contoh bisa juga ditunjukkan dalam bentuk visual. Selain itu konteks
alam, sosial-budaya, politik Indonesia dapat dijadikan sebagai tema dalam pembelajaran bahasa,
baik dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun dalam pembelajaran bahasa
asing sebagai asupan bahan dan/atau konteks situasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun
bahasa asing, kita perlu pula memperhatikan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 yang berisi
tentang standar komponen dan pengelolaan pendidikan formal yang berlaku secara nasional yang
merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pula bahwa stantar nasional pendidikan yang berlaku meliputi komponenkomponen: 1) Standar Kompetensi Lulusan, 2) Standar Isi, 3) Standar Proses, 4) Standar
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Stantar Pengelolaan,
7) Standar Pembiayaan Pendidikan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan.
Jika setiap unsur pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun
bahasa asing berpijak pada kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, diharapkan tujuan
pendidikan nasional dapat tercapai, yaitu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, serta
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
E. Kesimpulan
Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh
anggota masyarakat. Kebijakan nasional tentang bahasa diawali dari peristiwa sumpah pemuda,
dan selanjutnya diatur dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 Bab XV, pasal 36, yang
metetapkan bahwa Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Selanjutnya diatur pula dalam
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan.
Kebijakan Nasional Pendidikan terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, yang mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Undang-uandang tersebut mengatur tentang sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia yang berisi tentang standar komponen dan pengelolaan pendidikan formal
yang berlaku secara nasional yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
Indonesia. Seandainya setiap unsur pembelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah,
maupun bahasa asing berpijak pada kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, diharapkan
tujuan pendidikan nasional dapat tercapai, yaitu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu,
serta menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Daftar Pustaka
Abidin, said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas.
Aminuddin. 1994. Pembelajaran Terpadu sebagai Bentuk Penerapan Kurikulum
1994. Malang : FPBS Malang
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Pebudayaan.
Cooper, Robert, L. 1989. Language Planning and Social Change. New York:
Cambridge University Press.
Darmaningtyas dan Edi Subkhan. 2012. Manipulasi Kebijakan Pendidikan .Jakarta:
Resist Book.
Ferguson, G. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
http://www.unpad,ac.id/UU20-2003-Sisdiknas. pdf.
Spolsky, Bernard. 2009. Language Management. New York: Cambridge University
Press.
Tirtaraharja, Umar dan S.L.La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Wright, Sue. (2004). Language Policy and Language Planning: from Nationalism to
Globalisation. New York: Palgrave Mac
Download