Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria A. Latar Belakang Studi ini ingin menggambarkan tentang eksistensi sebuah entitas sosial yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis. Studi ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana pondok Pesantren waria Alfatah Senin-kamis dalam memperjuangkan kepentingan kaum waria di Yogyakarta. Selain daripada itu, studi ini juga akan mendalami bagaimana selanjutnya Pondok Pesantren tersebut merepresentasikan dirinya di ruang publik. Studi ini akan meletakkan Pondok Pesantren sebagai basis perjuangan waria untuk memperoleh penerimaan sosial. Hidup sebagai waria harus mampu bertahan dari berbagai ragam tekanan yang menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum sepenuhnya diterima di dalam ruang sosial tersebut. Maka oleh sebab itu mereka tidak bisa lari dari tekanan-tekanan sosial, namun sebaliknya mereka harus menghadapi dengan berbagai siasat agar harapan mereka untuk mempertahankan kultur sebagai waria bisa tercapai. Melalui bahasa, gaya hidup, cara berpakaian yang bertentangan 1 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar menawar dalam kehidupan sosial bermasyarakat.1 Secara aturan budaya yang mengikat dalam masyarakat, kita hanya mengakui dua sisi yang berlawanan, seperti misalnya kiri-kanan, hitam-putih, kaya-miskin, pria-wanita. Akan menjadi hal yang tabu jika pria di posisikan dengan pria karena karakter dari masing-masing ini telah mutlak ditentukan dan tidak dapat di ubah. Namun seiring berjalannya waktu pertukaran jati diri ini banyak kita temui di seluruh negara termasuk Indonesia dan khususnya untuk daerah Yogyakarta. Pertukaran jati diri ini kerap kita kenal dengan sebutan waria. Jika pilihan waria tetap diteruskan, maka resiko dan permasalahan besar akan diperoleh waria dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Masalah yang kerap kali di temukan oleh waria seperti misalnya penolakan keluarga, tidak diterima secara sosial, dianggap sebagai lelucon dan kesulitan dalam mengakses pelayanan publik yang telah tersedia. Berbicara waria dari waktu ke waktu memang tidak ada habisnya, untuk daerah Yogyakarta sendiri sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Kelompok waria sudah tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas mereka sebagai kalangan dari masyarakat yang bertentangan dari jenis kelamin yang telah di tentukan. Sebagai kaum yang termaginalkan kelompok ini kerap kali membuat 1 Koeswinarno, 2006, Hidup Sebagai Waria, Lkis, Jakarta. hal 10 2 resah masyarakat karena kehadirannya yang di anggap sebagai sampah masyarakat akibat ketidakmampuannya. Namun demikian walaupun waria merupakan bagian dari masyarakat yang dikucilkan, mereka tetap bagian dari warga negara yang secara tidak langsung tetap dapat memanfaatkan hak-haknya sebagai warga negara. Salah satu contohnya yakni pemanfaatan ruang publik. Namun fakta dilapangan yang kita temui adalah kehidupan yang termaginalkan, mulai dari sisi pekerjaan, agama dan politik. Para waria harus berjuang untuk mendapatkan akses pelayanan publik dengan statusnya sebagai kaum minoritas. Sejatinya, dalam penelitian ini akan melihat bagaimana proses representasi dengan formasi yang cukup panjang demi mengakui kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat. Mengutip skripsinya Titik Widayanti yang mengatakan bahwa waria Yogyakarta diposisikan sebagai orang-orang tertindas. Mereka tidak memiliki kesamaan akses dengan masyarakat lainnya. Waria mengalami diskriminasi untuk mengakses kesehatan, pendidikan, tempat beribadah dan pekerjaan di sektor publik. Belum mendapatkan pengakuan terhadap identitas mereka dikarenakan budaya dominan dalam masyarakat kita yang hanya mengakui dua identitas seksual menjadi alasan mendasar belum diakuinya identitas waria.Maka oleh 3 sebab itu tidak mengherankan jika kesulitan waria dalam mengakses merupakan suatu sisi yang layak untuk dikaji lebih dalam lagi.2 Keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal merupakan fakta yang menunjukkan bahwa waria diposisikan sebagai kelompok yang termaginalkan. Belum adanya pengakuan dari masyarakat dan negara berdampak pada keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal. Banyak dari masyarakat yang masih meragukan kepandaian dan kualitas waria. Pendidikan, skill yang rendah memberikan keraguan masyarakat untuk memberi pekerjaan kepada waria. Keterbatasan pekerjaan dari sektor formal ini menjadikam waria pada akhirnya memilih untuk bekerja di sektor informal, seperti pekerja seks atau nyebong, ngamen dan bekerja di salon.3 Gebrakan awal yang dilakukan oleh waria yang bernama Maryani kelahiran 15-Agustus-1960 adalah dengan mendirikan pesantren senin kamis di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Mendirikan pesantren merupakan langkah awal yang dilakukan Ibu Maryani guna mempermudah waria dalam melakukan ibadah tanpa harus melihat latar belakang mereka.Adapun maksud dari pesantren waria ini adalah sebuah tempat yang difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan keagamaan seperti shalat, zikir, dan belajar membaca al-quran oleh sekelompok orang yang memiliki anatomi tubuh pria namun sifat dan tingkah lakunya 2 Widayanti, 2008, Politik Subaltern, Yogyakarta. hal 3 3 Ibid, hal 103 4 cenderung ke arah wanita. Munculnya pesantren waria ini merupakan realitas sosial keagamaan dari perspekif kaum marginal yang menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam lagi, baik itu proses mendirikan pesantren, pengembangan pesantren dan lainnya. Melalui segelumit masalah yang dihadapkan pada kelompok waria diharapkan melalui wadah Pesantren ini mereka memperoleh perubahan yang maksimal seperti aksesibilitas pelayanan publik. Hal yang paling terlihat secara kasat mata ialah pengaksesan waria ketika ingin beribadah. Banyak dari masyarakat yang tidak menerima waria untuk masuk ke masjid guna beribadah. Kesulitan dan permasalahan yang seperti ini mempersempit gerak waria ketika ingin beribadah, belum lagi pemilihan sarung atau mukena yang akan mereka gunakan. Tekanan sosial yang diperoleh oleh waria ini melahirkan sebuah fenomena dan pemikiran baru untuk mendirikan pesantren khusus untuk kelompok waria. Terdapat suatu hal yang baru dalam kajian waria saat ini, yakni beribadah di dalam pesantren ini para waria tidak dipaksakan untuk menggunakan sarung dan peci. Namun, pilihan diberi kebebasan kepada setiap waria terhadap kenyamanannya menggunakan perlengkapan untuk shalat dan beribadah. Hal unik lainnya dari pesantren ini adalah tidak adanya batasan bagi waria yang beragama non islam untuk masuk dan bergabung dalam pesantren ini dengan alasan agar 5 tidak adanya perlakuan tekanan yang dirasakan oleh waria, jelas Maryani ketika berkunjung ke pondok pesantrennya. Pemahaman tentang agama yang ditawarkan kepada waria berguna untuk membentuk kepribadian yang lebih baik lagi.Harapannya kemudian, stigma negatif yang melekat dalam tubuh waria dapat berangsur-angsur pulih dan waria bisa diterima di lingkungan masyarakat. Jika hal ini telah terwujud maka waria tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dan untuk mengakses pelayanan publik waria juga akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Dengan melihat fenomena baru ini mungkin mata hati kita akan mulai tergerak untuk melihat waria dengan frame baru yang mereka tunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka tidak hanya sebagai waria yang menjadi sampah masyarakat, namun di sisi baru mereka menunjukkan bahwa solidaritas yang tinggi di kalangan waria mempertontonkan bahwa mereka sudah mulai bangkit dengan formasi baru melalui sebuah ruang yang kita kenal dengan “Pesantren Waria Al-fatah Senin-Kamis Notoyudan, Yogyakarta”. Formasi baru ini merupakan gebrakan baru yang membuktikan bahwa waria sudah mulai bangkit dan maju lebih cepat dari pijakan awal sebelumnya. Ditengah-tengah kesibukan bekerja, mereka masih meluangkan waktu untuk berkumpul bersama kaum yang termaginalkan dengan waktu yang telah disepakati bersama.Hal ini terbukti dengan peristiwa merapi beberapa tahun silam, waria asuhan Maryani hadir dalam 6 membantu masyarakat korban merapi bantuan sosial yang mereka lakukan di lokasi bencana alam merupakan salah satu bentuk dari pergerakan baru.Selain dari bakti sosial yang mereka lakukan, para waria juga membantu memotong rambut para pengungsi dengan total sekitar 250 waria. Keunikan seperti ini pada akhirnya mengundang rasa ingin tahu pihak luar mengenai pondok pesantren tersebut. Hal ini terbukti dengan berkunjungnya para wartawan dan peneliti asing dari Perancis, Jerman dan Belanda seperti yang diungkapkan oleh Ibu Maryani. Studi ini merupakan lanjutan dari skripsi yang telah di tulis oleh Ikhda Noviyati dan Titik Widayanti. Jika hasil dari skripsi tersebut bercerita mengenai bagaimana kelompok waria yang termaginalkan dengam berusaha penuh untuk bangkit dan berekstensi untuk di akui dalam ranah masyarakat dan negara dan lebih lanjut lagi mengatakan bahwa waria tidak bisa survive dikarenakan adanya konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan. Namun berbeda dengan studi ini yang merupakan studi lanjutan yang akan berbicara proses agenda yang terjadi di dalam pesantren tersebut. Searah dengan proses agenda di dalam pesantren akan terlihat bagaimana dampak yang dihasilkan melalui strategi yang dikonsepkan oleh Ibu Maryani beserta teman-temannya.Representasi yang begitu kokoh membuka dan meningkatkan eksistensi waria dengan harapan masyarakat dan pemerintah mau menerima serta mengakui keberadaan mereka. Lebih mendalam lagi penulis akan berusaha mencari titik terdalam mengenai motif utama dari pendirian pesantren ini. Apakah murni hanya sebatas 7 ingin mendirikan pesantren sebagai arena untuk melakukan ibadah atau bahkan pesantren dijadikan sebagai wadah bagi para waria untuk bangkit memberikan perlawanan atas tuntutan untuk disetujuinya “Toilet ketiga”. Lebih lanjut lagi secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk komunitas waria adalah peningkatan pemikiran baru dalam melangkah lebih maju sebagai kaum waria.Tidak hanya itu saja hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat membantu kelompok waria dalam menjamin eksistensinya melalui pemanfaatan yang tepat terhadap pesantren yang dibangun oleh Maryani.Sedangkan untuk masyarakat, hasil penelitian ini mencoba menyuguhkan pemikiran baru dalam memandangi kehidupan waria. Masyarakat dalam hal ini tidak lagi menghambat waria dalam mengakses pelayanan publik karena pria yang memilih dirinya untuk berpenampilan seolaholah seperti wanita adalah pilihan tersendiri bagi mereka yang telah difikirkan dengan matang dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Yang terakhir tentu dikhususkan bagi pemerintah sebagi aktor yang berperan banyak terhadap hajat hidup masyarakatnya, maka penelitian ini memiliki satu asa agar pemerintah dapat berfikir dan meninjau ulang terhadap setiap kebijakan publik untuk dapat mempertimbangkan kehadiran waria di tengah-tengah masyarakat. 8 B. Rumusan Masalah Melalui latar belakang yang telah penulis jelaskan. Maka terbentuklah sebuah rumusan masalah yang nantinya akan di jawab pada halaman selanjutya, adapun rumusan masalah tersebut adalah: 1. Mengapa pondok pesantren waria didirikan? 2. Bagaimana pondok pesantren waria merepresentasikan dirinya di ruang publik? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui sejauh mana perkembanganpondok pesantren hadir dalam menjalankan fungsinya dan peranannya. 2. Untuk melihat bagaimana representasi pondok pesantren waria agar bisa di terima oleh masyarakat D. Kerangka Teori D1. Politik Representasi Perkembangan representasi politik sebagai sebuah konsep sekaligus praktek yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejumlah fenomena dalam perpolitikan praktis dan perkembangan debat teoretis dalam ilmu politik. Fenomenafenomena yang sangat mempengaruhi perkembangan representasi sebagai sebuah konsep adalah, antara lain, demokrasi dan demokratisasi, peningkatan peranan masyarakat sipil, maraknya kemunculan gerakan sosial baru, serta munculnya aktor9 aktor politik global dan internasional yang mengklaim merepresentasikan kelompokkelompok masyarakat yang sering diabaikan, disingkirkan atau tertindas. Dengan demikian, perkembangan perpolitikan di tataran praksis telah memaksa ilmuwan politik untuk memperbarui gagasan dan pemahaman mereka mengenai representasi dan mengembangkannya menjadi sebuah konsep penting di dalam ilmu politik.4 Pada abad pertengahan, kata perwakilan banyak di pakai oleh gereja. Setelah itu seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga politik di Eropa, khususnya setelah lembaga parlemen, kata perwakilan di pakai sebagai orang atau sekelompok orang yang mewakili orang lain. Pada abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah dikaitkan dengan “agency and acting for others’, Disini konsep perwakilan sudah berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau mewakili orang atau banyak orang.5 Berangkat dari penjelasan di atas, Piktin mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori, Yaitu:6 1. Perwakilan formal, dimana perwakilan dipahami dalam dua dimensi: Otoritas dan akuntabilitas. Adapun dimensi pertama berkaitan dengan 4 http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_06_08_12_35_52_ToR%20Simposium%20Klaster% 20Riset%20Representasi%20Politik%2020%20Juni%202013.pdf di unggah 14.20 Wib 5Kacung Marijan, 2009, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana group,Jakarta. hal 39 6 Hanna, F Pitkin, 1967, The Concept of Refresentation, University Of California Press, London. Hal 38 10 otorisasi apa saja yang diberikan kepada para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya maka dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilannya, sedangkan fungsi akuntabilitas menuntut adanya pertanggung jawaban dari para wakil tentang apa yang dikerjakan. representasi sebagai pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai person yang di beri kewenangan untuk bertindak. Hal ini berarti wakil diberikan hak untuk bertindak yang sebelumnya tidak memiliki hak 2. Perwakilin deskriptif, yakni adanya wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang di wakilkan, meskipun tidak berniat untuk yang di wakilinya. Para wakil biasanya akan merefleksikan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (seperti yang diwakilinya) tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang diwakilkan. representasi deskriptif ini biasanya seseorang dapat berfikir tentang representasi sebagai “standing for” segala sesuatu yang tidak ada. Person bisa berdiri demi orang lain atau mereka cukup menyerupai orang lain. Karakteristik deskriptif ini biasanya meliputi warna kulit, gender dan kelas sosial. 3. Perwakilan simbolik, dimana para wakil adalah simbol dari kelompok atau bangsa yang diwakilkan. Pada aspek ini biasanya tidak merepresentasikan sesuai fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan peta atau 11 potret tetapi dnegan simbol, sehingga simbol Cuma mensubstitusi yang diwakili dan simbol mensubstitusi apa yang disimbolkan 4. Perwakilan substansif, dimana para wakil berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilkan atau publik. Perwakilan ini di anggap sebagai “acting for” orang lain. Dalam konteks ini wakil akan berbicara, bertindak demi opini, keinginan, kebutuhan atau kepentingan substansif Representasi sudah banyak menyedot perhatian para akadimisi, salah satu karya yang terkenal adalah defisini representasi yang dikemukakan oleh Pitkin yang mengatakan bahwa “To make present again. Political representation is the activity of making citizens vices, opinions and perspective “present” in the public policy making processes”. Ulasan ini kemudian di rangkum oleh Tonquist dan Warouw: “..bahwa representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika representasi terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap.Apa yang direpresentasikan kemudian bersifat substansif, deskriptif dan simbolik. Representasi substansi “bersifat untuk”(acts for), representasi deskriptif “berdiri untuk”(stands for) sedangkan representasi simbolik juga “berdiri untuk” (stands for) namun kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas”7 Lain halnya dengan Robert Putnam yang berpendapat bahwa rakyat yang sadar sebagai warga negara secara organik akan membangun dirinya dari bawah, 7Dikutip dari Tonquist dan warrow, 2009, Memahami demokrasi:Beberapa Catatan Pendahuluan Tentang Konsep dan Metode dalam Samadhi dan Warouw, Demokrasi di atas pasir, PCD Press, Yogyakarta. Hal 36 12 antara lain melalui koperasi atau organisasi lainnya tanpa terkait dengan ideologi, institusi ataupun keterikatan politik. Karena itu, representasi menjadi desuatu yang berlebihan karena rakyat bisa bertindak secara langsung melalui kontak-kontak yang sama dan asosiasi-asosiasi yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama.8 Andrew Heywood (1997) menyebutkan empat model utama representasi, yaitu: trusteeship, delegation, the mandate, dan resemblace. Senada dengan ini Gilbert Abcarian (1970: 177-178) dalam Bintan R. Saragih (1997) mengemukakan empat tipe atau model hubungan dalam representasi, yaitu: 1. Wali (trustee), di mana si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. 2. Utusan (delegate), dimana si wakil bertindak sebagai utusan dari yang diwakilinya. Di sini si wakil selalu mengikuti intstruksi dan petunjuk dari yang diwakilnya dalam melaksanakan tugasnya. 3. Politico, dimana si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakannya tergantung dari isu yang dibahas. 4. Partisan, dimana si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari organisasi politiknya. Setelah si wakil terpilih dalam suatu pemilihan 8Ibid, Hal 39 13 umum maka lepaslah hubungannya dengan para pemilihnya dan mulailah hubungannya dengan organisasi atau partai yang mencalonkannya dalam pemilu tersebut.9 Dalam membahas tentang mekanisme perwakilan tentunya tidak terlepas dari apa yang kita kenal dengan kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan melalui perwakilan maka aspirasi serta kepentingan masyarakat dimasukkan dalam sebuah kebijakan. Kekuasaan yang diberi oleh negara dan menjadi tugas negara adalah bagaimana menampung kepentingan/keinginan masyarakat, baik dalam bentuk general interest maupun partikular interest. Fungsi representasi menurut Tonquist yaitu: Pertama, Popular control: To provide for degree of popular control over the goverment. Kedua, Leadership: to provide for leaderahip and responsibility in decision making. Ketiga, system maintenance: to contribute towards the maintenance nd smooth running of political system by enlisting the support of citizens.10 Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan representasi dalam kelompok waria merupakan suatu proses dimana ide-ide mengenai keadilan dijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga strategi yang ada: 9 Heywood, Andrew, 1997, Politics, Macmillan Press, London. 10 A.H. Birch,1971, Representation, Pall mall perss, London hal. 107 14 Retorika tentang kesamaan dan jaminan diskriminasi positif atas kesamaan. Retorika tentang kesamaan merupakan penerimaan publik terhadap klaim-klaim kelompok waria. Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa retoris belumlah cukup mempunyai kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan.11 Salah satu masalah yang kerap kali diperbincangkan didalam kajian poitik representasi adalah ketika mempertanyakan bagaimana mengakomodasi kelompokkelompok marginal yang secara politik agar bisa diperhatikan kepentingannya , termasuk juga tuntutan representasi waria dalam arena publik. Dengan naiknya waria ke permukaan maka akan sama halnya dengan representasi dari kelompok mereka untuk bisa diakomodasi kepentingannya sebagai kelompok yang marginal. Ada empat hal yang terkait dengan konsep perwakilan. Pertama, dengan penempatan sekelompok orang yang mewakili dan termanifestasikan ke dalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi, atau bahkan gerakan. Kedua, adanya sekelompok yang diwakili seperti konstituen atau klien. Ketiga, adanya sesuatu yang diwakili, seperti pendapat, kepentingan dan perspektif. Keempat, adalah konteks politik dimana perwakilan itu bisa berlangsung. Dalam situasi seperti ini, perwakilan berrati adanya relasi antara wakil dan terwakili yang terbalut oleh kepentingan.12 Hanna F Pitkin mengemukakan bahwa “the representative system is the modern from of democracy” yang berarti bahwa representasi layak dalam politik 11 Repository.library.uksw.edu/.../T2_75201 Diunduh pada 12-Maret-2014 pukul 21.39 WIB 12Optict, Kacung Marijan hal 41 15 modern. Dalam konsepsi representasi menurut Pitkin ada empat cara memandang representasi. Apabila berkaca pada konteks yang sudah dijelaskan di atas maka hadirnya waria yang berusaha merepresentasikan dirinya melalui pondok pesantren merupakan kesempatan yang mereka pilih melalui aspek religi untuk dapat bangkit dari garis marginal dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka yang selama ini teracuhkan. Hal ini tentu dapat kita lihat melalui sosok Maryani sebagai waria yang dapat dikategorikan sebagai kelas bawah yang merasa tertindas atas ketidak adilan perlakuan yang diberikan oleh masyarakat luas.Melalui pesantren waria ini kita dapat melihat berbagai waria dari daerah dan kelas yang berbeda datang dan berkumpul menjadi satu kesatuan guna menyusun kekuatan dalam rangka menyuarakan hak yang tidak mereka dapatkan.Melalui media pesantren ini kelompok waria akan dimediasi untuk semakin kuat dan kokoh dalam garisnya yang terlahir sebagai seorang waria. Pesantren yang digunakan sebagai wadah pada akhirnya nanti akan menimbulkan sebuah representasi tuntutan dari waria. Tuntutan yang diinginkan oleh waria bisa saja berupa adanya “Toilet ketiga”.Seluruh akses yang ada saat ini dipertimbangkan kembali untuk memikirkan kelompok waria. Misalnya seorang waria akan kesulitan dalam mengakses toilet umum. Waria akan kebingungan untuk masuk ke toilet lakilaki atau perempuan, contoh lainnya lagi adalah pengaksesan masjid. Tidak semua masjid akan menerima waria untuk masuk ke dalam masjid mereka, terlebih lagi 16 kegalauan yang akan timbul ketika waria memilih untuk menggunakan mukena atau sarung. Dalam kaitannya dengan kelompok waria, maka representasi yang dilakukan oleh Ibu Maryani dengan merangkul teman waria lainnya untuk melakukan strategi yang nantinya bertujuan untuk memperoleh penerimaan dari masyarakat. Adapun pondok pesantren akan dijadikan sebagai wadah bagi kelompok marginal ini untuk mampu merepresentasikan dirinya dengan berbagai cara yang sangat strategis tanpa merugikan banyak pihak. Ide-ide mengenai eksistensi perwakilan kelompok waria akan memuat proses perjalanan dari pergerakan politik waria yang sudah sejak lama diperjuangkan. D2. Penerimaan Sosial Politik representasi digunakan sebagai teori untuk menggerakkan serta merepresentasikan waria di bawah kepemimpinan Ibu Maryani, teori penerimaan sosial kemudian menjadi tujuan kelompok waria dalam merepresentasikan dirinya untuk kemudian agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat secara umum. Maka dua teori ini menjadi satu kesatuan yang saling menghubungkan dalam mengkerangkai dan menjelaskan eksistensi pondok pesantren waria. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong 17 kemungkinan terjadinya kekerasan.13 Kekerasan dan tekanan sosial akan terus terjadi kepada setiap kelompok yang di anggap bertentangan dengan budaya dalam masyarakat. Waria misalnya, dalam studi ini akan terlihat keseharian mereka yang di penuhi dengan tekanan sosial. Namun, tekanan sosial akan berakhir jika kelompok yang tertekan berusaha untuk memperoleh penerimaan sosial. Menurut Tailor penerimaan sosial adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa mengenadalikan. Menerima adalah sikap yang dapat melihat orang lain sebagai individu. Adapun penerimaan sosial dalam penelitian ini dapat di ukur melalui indikator berikut: 1. Keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain 2. Adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain 3. Kesamaan yang dirasakan dengan orang lain atau kelompoknya 4. Tingginya intensitas dalam berinteraksi dengan kelompoknya14 Sedangkan Hurlock (1973:92) yang mengartikan penerimaan sosial sebagai suatu keadan dimana keberadaan seseorang ditanggapi dengan positif oleh orang lain dalam suatu kelompok. Penerimaan sosial disini juga berarti sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Hal ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan seseorang untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain 13 Kun, 2006, sosiologi 2, Esis, Jakarta. Hal 63 14Septalia Meta karina, suryanto Jurnal psikologi kepribadian dan sosial volume 1, No 02, Juni 2012 hal 8 18 untuk bekerja sama. Sementara penerimaan sosial menurut Berk adalah kemampuan seseorang sehingga pada akhirnya ia bisa di hormati oleh kelompok lain sebagai partner sosial. Seedangkan Leary mengatakan penerimaan sosial sebagai signal dari orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial. Leary juga mengatakan bahwa sikap penerimaan sosial dapat dibuktikan melalui toleransi yang diberikan oleh orang lain untuj dijadikan partner dalam suatu hubungan.15 Menurut Rogers penerimaan masyarakat terhadap diri seseorang berperan dalam mewujudkan penghargaan dalam mewujudkan penghargaan atau kenyamanan dalam diri seseorang. Penerimaan sosial dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan terhadap hal-hal tertentu atau terhadap suatu kelompok.16 Maka dalam kajian sosial dan politik perlu adanya pengakuan atau penerimaan dari masyarakat agar tidak terjadi pengucilan atau diskriminasi dari berbagai aspek. Seseorang atau sekelompok orang dapat diterima di dalam lingkungannya dipersepsikan menampilkan sikap-sikap berikut: 1. Menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu tanpa syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan dalam hal ini akan menerima sepenuhnya 15 Ibid 16Rogers, 1987, 19 2. Memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar belakang atau keadaan individu 3. Tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu memiliki keyakinan atas kemampuan atau potensi pada dirinya. 4. Individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki kebebasan. Dengan kata lain individu merasa bahwa lingkungannya memberikan sesuatu independensi17 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan sosial adalah. Pertama, ciri kepribadian. Tidak ada seorangpun yang mempunyai kepribadian yang sepenuhnya positif disukai dan tidak adanya segi negatif. Penerimaan sosial terjadi dari penilaian masyarakat terhadap orang lain atas kepribadiannya. Biasanya seseorang dapat diterima secara sosial karena ada karakter yang menarik dan hal ini akan mengimbangi karakternya yang kurang baik.Kedua, ciri non kepribadian. Hal ini terkait dengan kesan pertama seseorang ikut menentukan sejauh mana seseorang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Jika seseorang menunjukkan sikap positifnya maka ia akan diterima dalam suatu kelompok. Namun sebaliknya jika pada saat pertama sudah menunjukkan hal negatif maka akan ditolak dalam suatu kelompok.18 Berikut merupakan bentuk-bentuk dari penerimaan sosial: 1. Indentification (Identifikasi) 17 Andi Mappiere, 1982, Psikologi remaja, Usaha Nasional, Surabaya hal 53 18 W.A Gerungan, 1996, Op Cit, hal 67 20 Keadaan menerima dalam kategori ini adalah pengaruh karena kita mengidentifikasi atau memihak sebuah kelompok, individu atau karena alasan tertentu. Identifikasi membantu mempertahankan hubungan personal antara mereka yang terlibat. Pada bentuk penerimaan ini, isi dari perubahan keyakinan dan perilaku bukanlah suatu hal yang penting jika dibandingkan dengan hasilnya. Contoh, sikap memihak pada suatu lembaga sosial dan menerima aturan-aturan yang ada pada lembaga tersebut meskipun mereka belum mengetahui aturan-aturan itu secara meneyeluruh. 2. Internalization ( Internalisasi) Bentuk penerimaan yang paling dalam adalah ketika seseorang merasa yakin untuk mempercayai perubahan sikap. Pada kategori ini, seseorang telah terinternalisasi dengan keyakinan baru, menerima makna dan bentuk sosial.19 Penerimaan sosial muncul ketika terjadinya sebuah permasalahan sosial pada suatu kelompok tertentu. Masalah sosial adalah tingkah laku yang menentang atau menyimpang dari norma masyarakat. Di dalam masyarakat yang lebih luas waria masih dianggap sebagai kelompok sosial yang menimbulkan masalah-masalah ketertiban umum sejajar dengan pelacuran, gelandangan dan pengemis, sehingga 19 Cai,elearning.gunadarma.ac.id Diunduh pada 12-Maret-2014 pukul 21.08 WIB 21 penertiban di mata pemerintah.20 Maka, hadirnya pondok pesantren sebagai sebuah wadah perkumpulan waria berfungsi untuk melakukan sebuah perubahan agar dapat diterima secara sosial. Sedangkan menurut Hurlock (1997) seseorang yang diterima oleh kelompok sosialnya akan menunjukan karakteristik sebagai berikut21 : 1. Merasa aman saat berada ditengah-tengah lingkungan. Individu akan merasa nyaman ketika berada dilingkungan. 2. Dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan mempunyai harga diri. 3. Akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin bahwa kelompok menerima keadaanya. 4. Akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. Dalam arti individu akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan dapat menerima keadaan individu. E. Definisi Konseptual E1. Waria Waria adalah mereka yang yang secara gender adalah kaum wanita, namun secara fisik mereka merupakan seorang lelaki. Kelompok ini biasanya akan menyukai 20 Nurdin, 1990, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, Angkasa, Bandung. Hal 54 21 Hurlock, 1977, The Psychology of Adolescence, McGraw-Hill, Tokyo, hal 32 22 laki-laki karena mereka telah memposisikan dirinya sebagai wanita secara kejiwaan dan secara fisik. Hingga saat ini masyarakat masih sangat sulit untuk menerima kehadiran waria ditengah-tengah lingkungan mereka, tidak mengherankan hingga saat ini waria memperoleh diskriminasi mulai dari segi pekerjaan, pendidikan, sosial dll. E2. Politik Representasi Politik Representasi adalah adanya kelompok kecil yang bertindak atas nama atau mewakili orang atau banyak lain. Untuk politik representasi kali ini dapat kita lihat melalui perjuangan waria yang dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan. E3. Penerimaan Sosial Penerimaan sosial sebagai suatu keadan dimana keberadaan seseorang ditanggapi dengan positif oleh orang lain dalam suatu kelompok. Penerimaan sosial disini juga berarti sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Gagasan penerimaan sosial ini merupakan bagian dari teori yang mewakili kelompok waria ketika mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan publik dan ketidakadilan yang diterima. Kategori sebagai penerimaan sosialakan muncul dari kelompok minoritas seperti waria dalam hal suatu pemberdayaan melalui pondok pesantren untuk bisa diterima oleh masyarakat secara umum. F. Definisi Operasional 23 F1. Politik Representasi Dengan menggunakan konsep Politik Representasiakan dilihat pada: 1. Alasan melakukan representasi 2. Formulasi strategi 3. Hasil dari strategi Sedangkan untuk strategi yang dilakukan oleh waria diantaranya adalah: 1. Metode strategihorizontal 2. Konsep pengorganisasian 3. Target dari strategi F2. Penerimaan sosial Dalam penelitian dengan menggunakan konsep ini akan melihat bagaimana waria bergabung dalam suatu kelompok untuk menyolidkan identitas mereka agar bisa diterima masyarakat dan memperoleh eksistensinya sebagai waria. Adapun bentuk penerimaan tersebut diantaranya adalah: 1. Memperoleh kemudahan dalam akses pekerjaan 2. Memperoleh haknya dan dimudahkan dalam pelayanan publik 3. Diterima dalam lingkungan masyarakat 24 G. Metodelogi Penelitian G1. Jenis penelitian Dalam mengkerangkai sebuah penelitian perlu dibingkai dengan adanya metode penelitian.Terkait dengan Pondok Pesantren ini peneliti memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun jenis metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam menindaklanjuti temuan-temuan di lapangan yakni dengan menggunakan studi kasus. Creswell mendefinisikan studi kasus sebagai suatu eksplorasi dari sistem-sistem atau kasus yang terkait. Sejalan dengan pemikirannya Creswell, Berg (2007) memaparkan bahwa studi kasus adalah metode yang menekankan pada eksploitatif dari sebuah kasus. Sejalan dengan tunutan kekhasan dari studi kasus yang mengggunakan “mengapa dan bagaimana” maka daam hal ini peneliti juga mengemukakan pertanyaan sama yang terletak di dalam rumusan masalah. Suatu kasus akan menjadi menarik untuk diteliti jika memiliki corak khas tersebut untuk orang lain atau minimal untuk peneliti.Selain daripada itu studi kasus menjadi relevan dalam kasus ini karena studi ini merupakan suatu kasus yang sifatnya kontemporer, maka hal ini berbanding lurus dengan studi kasus yang meneliti kasus pada masa sekarang dengan melihat masa lalu sebagai background semata. Makadengan menggunakan metode ini diharapkan dapat menangkap kompleksitas kasus tersebut. Hal lebih lanjut lagi yang harus kita ingat adalah bahwa studi yang kita lakukan memiliki karakter yang unik, sehingga penting dan bermanfaat bagi para pembaca karena sesungguhnya dalam mengkerangkai perjalanan dalam menyusun 25 skripsi ini studi kasus harus dapat membantu peneliti dalam menggali data baik itu perorangan, kelompok, program, budaya, agama, mayarakat dan komunitas untuk memahami dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi atau yang akan di hadapi.22 Sebelum melangkah lebih jauh, tahapan petama yang peneliti lakukan adalah dengan menetapkan obyek penelitian dengan tepat.Guna mencapai sasaran yang tepat dan mempersempit ruang lingkup kajian ini, maka peneliti menggunakan Pesantren Waria Al-fatah Senin-Kamis sebagai penelitian utama agar memperoleh data-data yang dapat dikonseptualisasikan dalam studi ini. Maka, hasil akhir yang akan penulis sodorkan nantinya berupa temuan-temuan baru mengenai Pondok Pesantren Waria Al-fatah Senin-kamis baik itu mengenai sejarah berdirinya pondok pesantren hingga gerakan-gerakan yang dihasilkan dari pondok pesantren tersebut. G2.Metode pengumpulan data Dalam melakukanpenelitian ini, ada beberapa cara yang dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data yang akurat.Adapun tekhnik pengumpulan data yang akan penulis gunakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam jenis penelitian ini, diantaranya adalah: 1.Observasi 22 Raco,R 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta. Hal 49 26 Observasi memiliki dua prinsip pokok yang telah menjadi tradisi dari kualitatif yang diantaranya adalah: pertama, peneliti tidak boleh “mencapuri” uruan subjek penelitian dan yag kedua adalah peneliti harus bisa menjaga sisi alamiah dari subjek penelitian dengan tujuan untuk memperoleh data yang murni tanpa ada rekayasa. Selain daripada itu untuk memperoleh hasil observasi yang valid maka dibutuhkan waktu yang panjang dan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang kali.23 Dalam menggunakan observasi ini penulis hanya mengamati bagaimana gambaran dan keadaan singkat mengenai pesantren tersebut serta kondisi lingkungan sekitar. Observasi ini nantinya membantu penulis dalam memberikan informasi tambahan dalam menulis dan mengkorelasikan data sebagai tambahan kajian skripsi. Observasi pada umumnya akan bersinggungan dengan Setting, maka untuk kajian ini hal yang harus dilakukan oleh peneliti adalah pemilihan Setting, jika Setting sudah diperoleh makan penelitian bisa dilanjutkan. Hal ini senada dengan observasi yang dilakukan pada kawasan pesantren.Sejauh penelitian yang dilakukan observasi yang dilakukan tidak membutuhkan “izin masuk” yang sulit.Hingga saat ini peneliti mendapatkan perlakuan yang baik dari Maryani dan para santri.Tidak ada kesulitan yang berarti ditemui oleh peneliti. Hal ini tentu dapat menunjang kelancaran proses pencarian data yang valid. 23 Agus salim 2005, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta. hal 14 27 2. Wawancara Dalam tekhnik pengumpulan data melalui wawancara ini merupakan kajian yang paling esensial, karena peneliti terjun dan bertatap muka langsung kepada informan.Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan santai dengan harapan terbentuk sebuah kedekatan secara emosional antara peneliti dan informan.Jika pendekatan telah terbentuk maka kajian dalam menguak data sesuai dengan kebuthan peneliti dapat di peroleh dengan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti oleh informan. Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan empat model, yakni: (1) wawancara alamiah-informal yakni pertanyaan dikembangkan secara spontan terhadap responden; (2) wawancara dengan pedoman umum yakni peneliti telah mempersiapkan sebelumnya pertanyaan umum yang akan diajukan kepada responden; (3) wawancara dengan pedoman terstandar terbuka yakni digunakan jika wawancara yang digunakan banyak pengumpul data guna membatasi temuan dengan variasi yang akan muncul; (4) wawancara tidak langsung adalah tekhnik wawancara yang digunakan oleh beberapa orang akibat sesuatu hal tidak dapat dilakukan sendiri oleh peneliti.24 Sejalan dengan hal tersebut maka proses wawancara akan dilakukan bersama pendiri Pesantren waria dalam hal ini adalah Maryani, para santri, masyarakat sekitar dan non sekitar, tokoh agama serta pemerintah. Cakupan 24 Agus salim 2005, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta hal 17 28 pemilihan proses wawancara ini dilakukan dengan pertimbangan untuk memperoleh hasil data yang valid. 3. Dokumen lainnya Dokumen ini digunakan untuk mencari referensi tambahan bagi peneliti dalam rangka melengkapi dari hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi dan wawancara. Adapun yang termasuk dalam bagian dokumen lainnya ini adalah jurnal, foto, media massa, karya ilmiah, buku dan penelitian sebelumnya yang dianggap relevan. Dengan memilih untuk menggunakan dokumen lainnya sebagai bahan tambahan di anggap dapat membantu peneliti dalam memaksimalkan perolehan data yang valid atau dapat digunakan sebagai data pembanding untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Dokumen digunakan untuk keperluan penelitian dengan alasan sebagai berikut: a. Dokumen digunakan karena merupakan sumber data yang stabil dan mendorong b. Berguna sebagai bukti dalam pengujian c. Sesuai dengan penelitian kualitatif yang sifatnya alamiah 29 4. Hasil pengkajian ini berguna untuk membuka kesempatan yang lebih luas terhadap yang diselidiki.25 Untuk dokumen lainnya ini merupakan bahan sekunder yang bisa penulis akses dengan mudah karena Pondok Pesantren yang didirikan oleh seorang waria ini mendapatkan sorotan di banyak kalangan.Maka tidak mengerankan jika akhir-akhir ini Pesantren Waria Al-fatah Senin-Kamis menjadi issue hangat.Selaras dengan hal itu penuis dapat menemukan data sekunder yang bersinggungan dengan studi yang peneliti lakukan. G3. Teknis Analisis Data Teknis analisis data yang akan penulis gunakan yakni melalui beberapa langkah yang di antaranya adalah langkah pertama yang akan penulis lakukan untuk menganalisis data adalah dengan mengumpulkan hasil wawancara yang telah dilakukan selama di lapangan. Jawaban dari setiap informan diteliti kembali apakah sesuai dengan pertanyaan yang telah penulis ajukan ketika proses wawancara berlangsung. Selama melakukan dan mencermati jawaban dari informan maka penulis dapat memahami bagaimana posisi seorang informan, hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam memilah perolehan data.Posisi informan sangat perlu kita ketahui untuk memperoleh hasil penelitian yang tidak mengalami keberpihakan.Jika semuanya telah dilakukan maka langkah selanjutnya yang perlu 25 Moleong ,2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. hal 217 30 dilakukan adalah dengan mengkolaborasikan menggunakan teori yang telah peneliti pilih sebelumnya. Kerangka teori yang telah kita pilih sangat berfungsi untuk memagari selama proses penulisan data berlangsung. Langkah terakhir, atau finishing adalah dengan memaparkan secara jelas temuan berdasarkan tahapan analisis data yang telah dilakukan, dengan demikian, maka pembuatan kesimpulan dapat dilakukan.Untuk tahapan akhir yakni kesimpulan adalah rangkaian dari seluruh hasil temuan-temuan di lapangan yang telah di kombinasikan dengan teori-teori yang telah di pilih sebelumnya. H. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan disajikan dengan suatu rangkaian pembahasan yang tersusun secara sistematis yang sangat berkaitan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Adapun hasil penelitian ini akan dituliskan ke dalam 5 bab yang akan di jabarkan sebagai berikut: Bab pertama yang akan saya tuliskan adalah: 1. Latar belakang, mengapa saya memilih topik ini dan mengapa topik ini menarik untuk dikaji lebih dalam lagi 2. Rumusan masalah, masalah yang akan diteliti dan di cari jawabannya 31 3. Kerangka teori, yakni teori yang akan digunakan dalam mengkerangkai penelitian ini agar dapat menemukan jawaban-jawaban yang akan penulis cari 4. Definisi konseptual dan definisi operasional 5. Metode penelitian, yakni penjelasan yang berisi tentang jenis penelitian yang akan penulis gunakan baik itu dalam tekhnik pengumpulan data dan tekhnik analisis data Bab kedua adalah identifikasi waria yang menghalami penekanan sosial. Dalam bab ini akan membahas kelompok waria yang mengalami diskriminasi baik itu secara agama, pekerjaan dan pelayanan publik. Secara rinci penulis akan menjelaskan bagaimana peristiwa yang sering dihadapi oleh waria sebagai kelompok subaltern. Bab ketiga strategi dari Pondok Pesantren Waria. Pada bagian ini akan mengkategorikan lebih dalam lagi bagaimana usaha yang dilakukan oleh Maryani beserta santrinya dalam melakukan strategi melalui pondok pesantren tersebut untuk bisa diterima masyarakat. Bab keempat yakni hasil dari representasi dari pondok pesantren waria. Pada bab ini akan terlihat bentuk penerimaan masyarakat terhadap kehadiran waria ditengahtengah lingkungan mereka. 32 Bab kelima kesimpulan yakni terkait rangkuman singkat mengenai pembahasan secara keseluruhan beserta refleksi hasil penelitian terhadap Politik Representasi 33