BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan utama penelitian. Bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian harga diri, dan waria. 2.1 Harga Diri 2.1.1. Pengertian Harga diri Coopersmith (2009) memberikan definisi tentang harga diri yang sering sekali digunakan oleh para ahli yaitu : “Be self esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customorly maintains with regard to him self:it expresses an attitude of approval or di sapproval and indicakes the extent to which the individual believes him self to be capable,significant,successful and worthy. Self esteem is a personal judgment of worthness or worthiness that is expressed in the attitude the individual holds to wards him self (Coopersmith, 2009). Harga diri disini adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan terhadap dirinya sendiri dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. Seseorang akan merasa lebih berharga menghargai dirinya bila ia sudah mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya sehingga tidak akan memaksakan dirinya melakukan sesuatu yang ia tahu ia tidak mampu melakukannya sebaik mungkin. Harga diri adalah salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu (Ghufron, 2010). Setiap orang menginginkan penghargaan yang positif. Penghargaan yang positif akan membuat seseorang merasa bahwa dirinya berharga, berhasil dan berguna (berarti). Meskipun dirinya memiliki kekurangan baik secara fisik dan psikis, terpenuhinya kebutuhan harga diri akan menghasilkan sikap optimis dan percaya diri. Apabila kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi, maka akan membuat seseorang berperilaku negatif (Ghufron, 2010). Tidak semua kompensasi harga diri negatif menyebabkan perilaku negatif. Ada juga yang menyadari perasaan rendah diri kemudian mengkompensasikannya melalui prestasi dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, prestasi apapun yang dicapai akan meningkatkan harga diri seseorang. Menurut James (dalam Baron dan Byrne, 2004) harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh individu itu sendiri. Mencakup sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif dan negatif. Harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak dan menunjukkan tingkat dimana individu menyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan didalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut (Coopersmith dalam Sari, 2009). Harga diri dapat juga diartikan sebagai evaluasi yang menyeluruh dari dirinya (Santrock, 2003). Sedangkan menurut Branden (2009) harga diri adalah apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya, bukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa dirinya sebenarnya. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri baik secara positif maupun negatif, yang dapat tercermin melalui sikap seseorang tersebut. Harga diri merupakan hasil dari penilaian yang dilakukannya yang menunjukkan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri serta mampu, berhasil, berharga dan berguna. 1.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Harga diri dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan dan pengertian orang (Ghufron, 2010). Faktor harga diri tersebut diantaranya : 1. Kondisi fisik Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan daya fisik dan tinggi badan yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. Begitu pula dengan waria yang terlalu memikirkan ukuran dan bentuk tubuhnya. Mereka akan berusaha untuk bisa merubah bentuk tubuhnya dengan melakukan segala hal. 2. Lingkungan keluarga Gerungan (dalam sari, 2009), menyatakan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia. Ia belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi kelompoknya. Keluarga disinimeliputi status ekonomi, pekerjaan orang tua, nilai-nilai orang tua, sejarah perkawinan, keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak dan interkasi orang tua dengan anak. Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. Sebaliknya, orang tua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga.. 3. Lingkungan sosial Klass dan Hodge ( dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain kepadanya. Termasuk penerimaan teman dekat, mereka bahkan mau untuk melepaskan prinsip diri dan melakukan perbuatan yang sama dengan teman dekat mereka agar bisa dianggap “sehati” walaupun perbuatan itu adalah perbuatan negatif. Sementara menurut Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) ada beberapa perubahan dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahankan diri. Kesuksesan itu dapat timbul melalui pengalaman dilingkungan, kesuksesan dibidang tertentu, kompetisi dan nilai kebaikan. 1.1.3. Klasifikasi harga diri Coorpersmith (dalam Ghufron, 2004) mengemukakan ciri-ciri individu sesuai dengan tingkat harga dirinya : 1.) Harga Diri tinggi a. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain. b. Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik. c. berhasil atau berprestasi di bidang akademik,aktif dan dapat mengekpresikan dirinya dengan baik. d. lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. 2.) Harga Diri Rendah a. Menganggap dirinya sebagai orang tidak berharga dan tidak sesuai, sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya. b. Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya terhadap dunia luar dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain. c. Menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu mendapat hasil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras, serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya. d. Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan. 2.1.4. Aspek-aspek harga diri Menurut Coopersmith (dalam Sriati, 2008) membagi harga diri ke dalam empat aspek: 1. Kekerasaan Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. 2. Keberartian Adanya kepedulian, penilaian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. 3. Kemampuan Sukses memenuhi tuntutan prestasi. Ditandai dari keberhasilan individu melakukan sesuatu. Menurut Felker (dalam Ghufron, 2004) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari : 1. Perasaan diterima Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu. 2. Perasaan Mampu Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. 3. Perasaan Berharga Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar sopan, baik dan lain sebagainya. 2.1.5. Perkembangan Harga Diri Ketika lahir,bayi tidak dilengkapi dengan harga diri. Bayi yang baru lahir tidak dapat membedakan diri dengan lingkungan. Klien menyatakan bahwa identitas bayi menyatu dengan orang-orang disekitarnya (dalam Frey dan Carlock, 1987). Harga diri diperoleh melalui interaksi sosial dengan keluarga dan orang-orang lain yang dijumpai selama hidup. Teori looking glass self dari Cooley (dalam Mcllveen dan Gross, 1997) menyatakan bahwa diri direflesikan melalui reaksi orang lain. Untuk memahami seperti apa diri, seseorang perlu mengetahui bagaimana orang lain melihatnya dan melalui hal inilah anak-anak mempunyai kesan seperti apa mereka. Apa yang dipantulkan kembali kepada seseorang adalah evaluasi dari perilaku dan penampilan tersebut yang pada akhirnya membentuk perasaan mengenai diri (seperti rasa bangga dan malu). Perkembangan diri, termasuk harga diri, dipengaruhi oleh reaksi orang lain dan perbandingan orang lain (Mcllveen dan Gross, 1997). Orang tua dan orang dewasa lainnya sering membandingkan anak dengan anak lain. Jika anak diingatkan bahwa dia kurang pintar dibandingkan kakaknya, anak tersebut akan memasukkannya sebagai bagian dari konsep dirinya. Akibatnya si anak mungkin akan memiliki harga diri yang tendah, yang nantinya harga diri rendah ini mempengaruhi bukan saja performa akademisnya ( anak tersebut tidak berprestasi sesuai dengan kemampuan sebenarnya) melainkan juga pada bidang kehidupan lainnya. Melalui masukan yang diterima tersebut,anak mulai membentuk citra diri yang akan mengikutinya hingga dewasa. 2.1.6. Fungsi Harga Diri Harga diri yang tinggi menjaga seseorang dari stress dan emosi negatif lainnya serta meningkatkan penyesuaian diri. Harga diri rendah sering kali diasosiasikan dengan depresi, kecemasan dan maladjustment (Leary, Tambor, Tendd dan Downs, 1995). Orang yang tidak menyukai dirinya mempunyai citra diri yang rendah. Orang tersebut akan terus menerus mengharapkan dukungan orang lain yang mengatakan bahwa dia baik. Keadaan ini memaksanya berperilaku sesuai dengan keinginan orang lain seolah-olah dia harus mendapatkan persetujuan dari orang lain untuk melakukan sesuatu (Brecht, 2000), lebih lanjut Brecht (2000) menambahkan bahwa harga diri bagi manusia berfungsi sebagai fondasi bagi bangunan, sebuah struktur penting yang diatasnya akan dibangun hal penting lainnya. Jika fondasinya rapuh maka apapun yang dibangun diatasnya tidak akan aman. Demikian pula pada manusia, jika seseorang memiliki harga diri dan konsep diri yang rapuh maka apapun yang dia kembangkan dalam hidup ini akan didasarkan pada fondasi yang rawan. Akibatnya jika dia mengalami kegagalan dalam hidup dia akan mengatakan pada dirinya betapa tidak bergunanya dirinya justru akan semakin menurunkan harga dirinya. Leary dkk ( 1995), mengatakan bahwasanya harga diri berfungsi sebagai sosiometer yang memantau sejauh mana seseorang disertakan atau dikucilkan oleh orang lain dan pengetahuan itu mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu guna meminimalisir peluang terjadinya penolakan atau pengucilan. Manusia mempunyai kebutuhan untuk disertakan dan menghindari pengucilan dari kelompok sosialnya karena kebutuhan untuk membentuk ikatan sosial memiliki nilai survival (mempertahankan kelangsungan hidup). Agar dapat mempertahankan suatu hubungan dengan oranglain, seseorang membutuhkan suatu sistem untuk memonitor perasaan orang,khususnya sejauhmana oranglain menolak atau mengucilkan dirinya. Sistem inilah yang nantinya akan memberikan petunjuk mengenai penolakan atau pengucilan tersebut dan akan mengingatkan individu mengenai status keterlibatannyaserta mendorong individu tersebut mengembalikan statusnya ketika terancam. Orang dengan harga diri rendah lebih sensitif terhadap petunjuk sosial yang berupa penolakan dibandingkan orang dengan harga diri lebih tinggi. Orang yang merasa mereka dilibatkan dan diterima, tidak terlalu memusingkan bagaimana mereka menyesuaikan diri dibandingkan orang yang tidak merasa demikian (Moreland dan Levine, Snodgrass dalam Leary dkk,1995). 2.2. Waria 2.2.1. Pengertian Waria Oetomo (dalam Kurniawati, 2011) menyatakan bahwa dalam perkembangannya waria merupakan “ Proyek “ feminitas yang artinya suatu proses keadaan maskulin ke feminine. Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki-laki, mempertontonkan perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun pada saat-saat tertentu mereka masih menunjukkan keagresifannya,menunjukkan aksi maskulin dan menganggap penetrator sebagai peran seksualnya. Waria juga dikatakan yaitu seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas jenis kelaminnya (Perroto & Culkin dalam Kurniawati, 2011). Kusumayanti ( dalam Kurniawati, 2011) menyatakan waria atau banci adalah jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Menurut Atmojo (dalam Kurniawati, 2011) menambahkan waria adalah laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita, istilah waria diberikan bagi penderita transesksual yaitu seseorang yang memiliki fisik yang berbeda dengan jiwanya. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuian antara fisik, psikis dan seks. Dalam arti secara fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan. Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka waria bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. 2.2.2. Jenis-jenis Waria Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen. Mereka terdiri dari berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik-psikiatri dapat dibedakan karena mempunyai ciri-ciri khusus (Kurniawati, 2011). Atmojo (dalam Kurniawati, 2011) menyatakan bahwa waria terbagi dalam kelompok kecil : a. Kaum transeksual, yaitu waria yang mengalami ketidaksesuaian pada jenis kelamin biologis mereka. Ada keinginan dari mereka untuk menghilangkan dan menggantikan alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Untuk langkah awal mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki-lakinya, misalnya mengoperasi sebagian dari tubuhnya seperti payadura, dagu, kelopak mata, jakun dan ciri fisik laki-laki lainnya. Minimalnya mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian seperti wanita. b. Kaum transvestisme,yaitu mereka yang hanya mendapat kepuasan dengan berpakaian seperti lawan jenisnya. Dalam pola hubungan seks, mereka adalah heteroseksual dan biasanya mereka terikat dalam suatu perkawinan atau dalam mencari pasangan selalu perempuan. Penderita kelompok ini adalah laki-laki. Jumlah mereka sedikit dan biasanya berpakaian lawan jenis pada saat tertentu saja, yaitu pada saat akan melakukan hubungan seksual. Jadi tampak bahwa pemakaian pakaian perempuan disini untuk mendapatkan gairah seksual, berbeda dengan para transeksual yang berpakaian perempuan karena merasa ada ketidaksesuian antara fisik dengan jiwanya. Secara transvestis tetap suka dengan ciri-ciri kelakian mereka, meskipun mereka memakai pakaian perempuan kadang mereka tetap memang kumis dan tetap senang berhubungan seksual dengan perempuan. c. Kaum homoseksual penderita transvestisme, yaitu mereka yang mendapat kepuasan seksual dari hubungan homoseksual dan berpakaian lawan jenis. d. Kaum opportunities, yaitu mereka yang memanfaatkan kesempatan, dimana mereka berperilaku dan berpanampilan seperti waria untuk mencari penghasilan atau nafkah. Jadi tidak terdapat kelainan seperti 3 kelompok sebelumnya. 2.2.3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya waria Crooks dan Karla (1999), menyatakan bahwa penyebab dari seseorang menjadi waria,yaitu: a. Faktor biologis Penjelasan bisologis munculnya gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak, berkontribusi terhadap maskulinitas otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus dan sebaliknya dengan hormon feminism. Anak-anak manusia dan primata dari ibu yang mengkonsumsi hormon seks semasa hamil sering kali berperilaku seperti lawan jenis dan mengalami abnormalitas anatomis. Meskipun anakanak tersebut tidak selalu identitas gender yang tidak normal, hormon seks yang dikonsumsi ibu semasa hamil tetap menimbulkan minat dan perilaku lintas gender dalam tingkat yang lebih tinggi dari normal. Gladue ( Davison, Neale dan Kring dalam Elviana, 2009) meneliti kadar hormon pada orang dewasa yang mengalami gangguan dalam identitas gender. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan kadar hormon pada laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender. Laki-laki heteroseksual dan laki-laki homoseksual. Meskipun ada perbedaan, hal tersebut sulit diinterprestasi karena banyak orang yang mengalami gangguan identitas gender menggunakan hormon seks sebagai upaya mengubah tubuh mereka agar sesuai dengan lawan jenis yang mereka yakini sebagai gender mereka. b. Faktor psikososial Seorang anak akan mengembangkan identitas gendernya selaras dengan apa yang diajarkan pada mereka selama masa pengasuhan. Menurut pendekatan psikososial, terbentuknya gangguan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi temperamen anak, kualitas dan sikap orang tua. Secara budaya,masih terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminism dan anak perempuan menjadi tomboy, termasuk dengan pembedaan terhadap pakaian dan mainan untuk anak laki-laki dan perempuan.