KECEMASAN BERKOMUNIKASI ANTARPRIBADI

advertisement
KECEMASAN BERKOMUNIKASI ANTARPRIBADI
DALAM TES WAWANCARA KERJA
Hery Bajora Nasution
Abstrak
Kecemasan merupakan hal yang dapat terjadi pada siapa saja namun ada kalanya
kecemasan tersebut berlebihan, kecemasan ini berpengaruh terhadap kualitas interaksi
antarpribadi, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan
untuk menggambarkan, menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi berbagai situasi atau
fenomena sosial yang ada di masyarakat dan berupaya menarik realitas sosial tersebut ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter sifat, model, tanda atau gambaran tenang
fenomena tertentu. Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif yang
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data wawancara,
observasi dan pustaka. Pada penelitian ini melibatkan tujuh orang informan yang
diperoleh dengan tekhnik penarikan sampel acak accidental sampling. Kecemasan
informan ditentukan berdasarkan tingkat rendah, sedang, tinggi pada tahap prawawancara, perkenalan, inti. Dalam menganalisis data digunakan analisis data kualitatif
untuk memilah, mensintesis, mencari dan menemukan pola, serta menarasikan data yang
diperoleh dari wawancara. Hasil penelitian disimpulkan bahwa kecemasan yang timbul
diakibatkan oleh pikiran-pikiran negatif dari diri sendiri. Kecemasan itu akan terus
timbul, kita hanya dapat berusaha untuk menekan rasa cemas, interaksi komunikasi
antarpribadi saat tes wawancara belum efektif karena sebagian besar calon karyawan
memberi informasi yang dibuat-buat mengenai dirinya agar pewawancara menganggap
mereka sosok yang positif dan bersemangat. Informan mencoba menurunkan
kecemasannya dengan cara melakukan interaksi dengan peserta tes wawancara lain,
melakukan pengamatan terhadap peserta tes wawancara, memotivasi diri mereka sendiri
dan mendengarkan musik, berfikir positif merupakan cara yang ampuh untuk mengalihkan
kecemasan.
Kata kunci: Kecemasan, interaksi, antarpribadi
1. Pendahuluan
Tahap seleksi wawancara merupakan tahapan yang harus dilewati pencari kerja
sebelum mendapatkan pekerjaan, hal ini sangat penting karena interviewer akan menilai
dan mengambil segala informasi yang dibutuhkan tentang calon karyawan secara langsung.
Tahap wawancara tidak akan melihat seberapa bagus IPK dan pengetahuan calon
karyawan, tetapi lebih memperhatikan kesiapan calon karyawan dalam hal menjual
kekuatan diri dan meyakinkan para interviewer. Tujuan wawancara kerja adalah untuk
menilai sisi psikologis, perilaku, kepemimpinan, komitmen, kejujuran, tanggung jawab,
dan segudang nilai kebaikan yang masuk dalam penilaian perusahaan (Dirgantoro dan
Pratono, 2012:iii).
Fase ini merupakan tahapan yang menentukan.Bagi beberapa orang, wawancara
kerja mungkin adalah momok yang menakutkan. Kecemasan atau ketakutan yang muncul
sebelum atau pada saat wawancara itu memang wajar. Apalagi jika seseorang belum
memiliki pengalaman kerja atau baru pertama kali melamar pekerjaan. Sebenarnya orang
yang berulang kali melamar pekerjaan pun bisa mengalami hal yang sama. Mungkin
perbedaannya adalah ia bisa mengelola emosi sehingga pengendalian dirinya lebih terjaga.
Hal itu dikarenakan ia sudah terlatih menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan
pewawancara. Pengendalian diri dan pengelolaan emosi memang sangat penting dalam
mengikuti wawancara kerja. Oleh karena itu, masalah utama yang selalu dihadapi oleh
sebagian besar calon karyawan atau pegawai dalam wawancara kerja adalah kepercayaan
diri.
Kecemasan dan ketidakpastian yang dialami calon karyawan berpengaruh terhadap
interaksi komunikasi antarpribadi calon karyawan dan pewawancara. Dalam bukunya The
Interpersonal Communication Book (2001:80), Devito mengungkapkan bahwa kecemasan
berkomunikasi merujuk pada rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara
didepan umum, dan sikap pendiam dalam interaksi komunikasi. Kecemasan yang semakin
meningkat dapat menghambat komunikasi antarpribadi antara pewawancara dan calon
karyawan, pewawancara dapat saja mengurangi poin kita atau malah mereka salah paham
dikarenakan sikap dan ucapan kita yang semakin kaku atau mengawur. Hal inilah yang
menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian ini.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah pengalaman calon karyawan dalam tes wawancara, apakah mereka
merasa antusias, cemas dalam tahap perkenalan, maupun tahapan untuk mengetahui
personal calon karyawan, dan apakah tingkat kecemasan mereka meningkat atau
menurun selama proses wawancara?
2) Bagaimanakah komunikasi antarpribadi pewawancara dan calon karyawan dalam
tes wawancara kerja?
3) Faktor-faktor apakah yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya kecemasan
calon karyawan dalam pengalaman mereka menghadapi tes wawancara, dan
bagaimana mereka mengatasinya.
Setiap penelitian yang dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1) Penelitian ini bertujuan untuk memahami kecemasan calon karyawan dalam
pengalaman interaksi komunikasi mereka dengan pewawancara dalam tes
wawancara kerja.
2) Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan interaksi komunikasi antarpribadi
calon karyawan dan pewawancara dalam tes wawancara kerja.
3) Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang berpotensi menjadi
penyebab kecemasan mereka dalam pengalaman tes wawancara kerja dan
bagaimana mereka mengatasinya.
2. Kajian Literatur
Komunikasi adalah kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia (Efendy, 2003:8). Ada banyak
pengertian yang dapat menggambarkan mengenai komunikasi. Komunikasi juga dapat
diartikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna
sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan,
imbauan; yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara tatap muka maupun tidak
langsung, melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, ataupun perilaku
(Effendy, 2003:60).
Model Komunikasi dari Harold Lasswell dianggap oleh para pakar komunikasi
sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkembangan teori
komunikasi (1948). Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan
proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan : Who Says What In Which Channel To
Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa
Dengan Efek Apa) (Mulyana,2006:4) .
Terdapat tiga kategori sifat komunikator yang paling menarik dan paling sering
dibahas dalam literatur komunikasi yaitu : sifat mementingkan diri sendiri, sifat berdebat,
dan sifat cemas. (Morissan, 2010:7 -9):
a. Sifat mementingkan diri sendiri
b. Sifat berdebat
c. Sifat Cemas
Kecemasan berkomunikasi yang tinggi merupakan kecenderungan untuk
mengalami kecemasan dalam waktu yang relatif lama dan dalam berbagai situasi yang
berbeda. Dalam hal ini seseorang menderita karena merasa sangat cemas ketika ia harus
berkomunikasi sehingga ia ingin bahkan akan menghindari berkomunikasi dengan orang
lain. Hal ini menyebabkan orang bersangkutan tidak dapat bersosialisasi dalam
masyarakat.Banyak ahli psikologi yang berbicara mengenai kecemasan, sebagai berikut:
Kecemasan sebagai keadaan yang emosional yang mempunyai ciri keterangsangan
fisiologis, perasaan yang tegang yang tidak menyenangkan dan perasaan aprehensi atau
keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang burk akan segera terjadi (Nevid
dkk, 2003).
Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi individu untuk berbuat
sesuatu. Fungsinya adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal
bagi ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi
ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan melalui cara-cara
yang rasional dan langsung, maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak realistis
yakni tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego/defend mechanism (Freud dalam
Corey, 2005).
Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang disertai
dengan meningkatnya ketegangan fisiologis. Dalam teori pembelajaran dianggap sebaga
suatu dorongan yang menjadi perantara antara suatu situasi yag mengancam dan perilaku
menghindar. Kecemasan dapat diukur denga self report, dengan mengukur ketegangan
fisiologis, dengan mengamati perilaku yang tampak (Davison dkk, 2006).Ciri-ciri
kecemasan (Nevid, 2003) adalah berupa:
Secara fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan dan anggota tubuh
yang bergetar atau gemetar, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan
terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung berdebar keras atau
bertak kencang, pusing ,merasa lemas atau mati rasa,sering buang air
kecil, merasa sensitif, atau mudah marah.
Cara behavioral meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan
dependent, perilaku terguncang.
Secara kognitif meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu ata
ketakutanatau aphensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan,
keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi tanpa
penjelasan yang jelas, ketakutan akan kehilangan control, ketakutan akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa semuanya tidak
bisa lagi dikendalikan, merasa sulit memfokuskan pikiran dan
berkonsentrasi.
Menurut Heber dan Runyon (1984), kecemasan dimanifestasikan dalam empat
hal:Kognitif (dalam pikiran individu), motorik (dalam tindakan), somatik (dalam reaksi
fisik/biologis), afektif (dalam emosi individu).
Kecemasan (anxiety) sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak
berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas. Terkadang, seseorang
menghadapi kecemasan sebagai sebuah tantangan sehingga mempersiapkan sesuatu untuk
menghadapinya. Hal ini yang akan memberikan hasil yang positif. Tetapi terkadang pula,
kecemasan membuat seseorang tidak berdaya, dan merasa tidak mampu menghadapi
kecemasan itu sehingga ingin lari dari masalahnya dengan mengembangkan defend
mechanism (mekanisme pertahanan diri/ego)
Kategori gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM)IV,yang sering dibahas diantaranya adalah:Gangguan panik tanpa
agoraphobia, gangguan panik dengan agoraphobia, agoraphobia tanpa riwayat gangguan
panic, phobia spesifik, phobia social, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca
traumatic, gangguan stres akut, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan yang
tidak terdefinisi.
Dalam http://e-journal-PSIKOLOGI/anxiety _disorder//htm. Disebutkan bahwa
Setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda terhadap stres tergantung pada kondisi
masing-masing individu, beberapa simptom yang muncul tidaklah sama. Kadang beberapa
diantara simtom tersebut tidak berpengaruh berat pada beberapa individu, lainnya sangat
mengganggu, ada beberapa gejala umum gangguan kecemasan, diantaranya:
1) Berdebar diiringi dengan detak jantung yang cepat: Kecemasan memicu otak untuk
memproduksi adrenalin secara berlebihan pada pembuluh darah yang menyebabkan
detak jantung semakin cepat dan memunculkan rasa berdebar. Namun dalam
beberapa kasus yang ditemukan individu yang mengalami gangguan kecemasan
kontinum detak jantung semakin lambat dibandingkan pada orang normal.
2) Rasa sakit atau nyeri pada dada: Kecemasan meningkatkan tekanan otot pada
rongga dada. Beberapa individu dapat merasakan rasa sakit atau nyeri pada dada,
kondisi ini sering diartikan sebagai tanda serangan jantung yang sebenarnya adalah
bukan. Hal ini kadang menimbulkan rasa panik yang justru memperburuk kondisi
sebelumnya.
3) Rasa sesak napas: Ketika rasa cemas muncul, syaraf-syaraf impuls bereaksi
berlebihan yang menimbulkan sensasi dan sesak pernafasan, tarikan nafas menjadi
pendek seperti kesulitan bernafas karena kehilangan udara.
4) Berkeringat secara berlebihan: Selama kecemasan muncul terjadi kenaikan suhu
tubuh yang tinggi. Keringat yang muncul disebabkan otak mempersiapkan
perencanaan fight or flight terhadap stressor
5) Kehilangan gairah seksual atau penurunan minat terhadap aktivitas seksual
6) Gangguan tidur
7) Tubuh gemetar:Gemetar adalah hal yang dapat dialami oleh orang-orang yang
normal pada situasi yang menakutkan atau membuatnya gugup, akan tetapi pada
individu yang mengalami gangguan kecemasan rasa takut dan gugup tersebut
terekspresikan secara berlebihan, rasa gemetar pada kaki, atau lengan maupun pada
bagian anggota tubuh yang lain.
8) Tangan atau anggota tubuh menjadi dingin dan bekeringat
9) Kecemasan depresi memunculkan ide dan keinginan untuk bunuh diri
10) Gangguan kesehatan seperti sering merasakan sakit kepala (migrain) (http://ejournal-PSIKOLOGI/anxiety _disorder//htm.)
Kecemasan juga memiliki efek merusak pada orang dewasa. Jess dan Gregory
mengatakan “Kecemasan adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat
perkembangan hubungan interpersonal yang sehat” (Teori Kepribadian, 2010:260), mereka
juga memakai pendapat Sullivan (1953) yang menyamakan kecemasan parah dengan
pukulan keras pada kepala. Kecemasan membuat manusia tidak mampu belajar, merusak
ingatan, menyempitkan sudut pandang dan dapat menyebabkan amnesia. Hal yang unik
dari kecemasan adalah bahwa ia mempertahankan keadaan sebagaimana saat itu, walaupun
seseorang benar-benar merasa terganggu. Ketika kecemasan menghasilkan tindakan yang
secara khusus diarahkan untuk mencapai perasaan lega, maka kecemasan menghasilkan
perilaku: Mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, Membuat orang
tetap mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman. Secara garis besar
memastikan bahwa seseorang tersebut belum belajar dari pengalaman mereka”
(Sullivan:1953, Teori Kepribadian 2010:260).
Stuart & Sundeen (1998) menggolongkan tingkat kecemasan sebagai berikut:
Kecemasan Ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati serta waspada. Individu
akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Kecemasan
sedang, Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain sehinga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun
dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah, mengalami penyempitan perspektif, gemetar,
sulit berkonsentrasi, peningkatan frekuensi pernafasan dan detak jantung. Kecemasan
berat, sangat mengurangi lahan persepsi.
Individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan halhal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak
pengarahan, sering sulit berkomunikasi, tidak mampu memahami situasi. Tingkat panik
Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang kontrol, tidak dapat
berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun telah diberi
pengarahan. Perpektif yang dimiliki mulai menyimpang, tingkat ini tidak sejalan dengan
kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan
yang sangat bahkan kematian.
Ketika kita bertemu dan terlibat dalam percakapan dengan orang yang belum kita
kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita mengenai orang
tersebut, dan kita tidak memiliki jawaban pasti atas berbagai pertanyaan tersebut. Kita
mengalami ketidakpastian, dan karenanya kita mencoba untuk mengurangi ketidakpastian
tersebut melalui interaksi komunikasi.
Berger dan Calabrese melalui teorinya mengajukan sejumlah aksioma atau sering
juga disebut dengan istilah preposisi. Suatu aksioma tidak memerlukan pembuktian karena
pernyataan itu sendiri merupakan bukti. Pernyataan atau aksioma yang dikemukakan
Berger dan Calabrese masing- masing menunjukkan adanya hubungan antara
ketidakpastian yang merupakan konsep sentral teori dengan sejumlah konsep lainnya.
Hubungan itu dapat bersikap positif atau negatif.
Tabel 1.1: Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian
Konsep Utama
Konsep Terkait
Ketidakpastian meningkat
Komunikasi verbalmenurun
Ketidakpastian meningkat
Pernyataan nonverbalmenurun
Ketidakpastian meningkat
Pencarian informasimenurun
Ketidakpastian meningkat
Keintiman komunikasi menurun
Ketidakpastian meningkat
Resiprositas menurun
Ketidakpastian meningkat
Kesamaan menurun
Ketidakpastian meningkat
Kesukaan menurun
Sumber: Morrisan.M.A, Psikologi Komunikasi, 2010:93
Hubungan
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas sosial tersebut ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi,
situasi ataupun fenomena tertentu. (Bungin, 2010 : 68).
Dalam uraian yang lebih lugas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi
terhadap kecemasan pelamar kerja dalam tes wawancara kerja dan cara mengatasinya yang
pernah dialami oleh informan yang akan saya teliti selanjutnya. Penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini
tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul sudah
mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya. Penelitian kualitatif lebih menekan pada persoalan kedalaman data
bukan banyaknya data. (Kriyantono, 2009:56).
Peneliti memilih informan yang sudah pernah berpengalaman menjalani tes
wawacara kerja melalui Pusat Jasa Ketenagakerjaan USU Medan ( minimal dua kali) di
karenakan peneliti melihat betapa besarnya minat alumni mahasiswa untuk mencari kerja
melalui acara JobFair yanag pernah diadakan oleh PJK USU terbukti sekitar 3.000 Pelamar
kerja yang sudah mendaftar di hari kedua pada Job Fair yang diadakan di Pendopo USU,
dan tidak kurang 37 perusahaan dan BUMN ikut berpartisipasi (Medan Bisnis,9 February
2012) dan acara ini tidak membatasi asal almamater para pencari kerja.
Subjek penelitian ditentukan melalui accidental sampling yang didapatkan ketika
mengikuti acara JOBFAIR yang diadakan di Pendopo USU tahun 2012. Dengan asumsi
pengalaman mereka wawancara sebelumnya mereka sudah dapat memiliki persiapan yang
lebih matang, dan memilliki kemampuan untuk lebih menguasai diri pada saat tes
wawancara, tetapi tetap masih memiliki rasa kecemasan. Adapun informan penelitian
ditentukan pada saat penelitian berlangsung, sebagaimana penelitian kualitatif biasa
dilakukan. Tekhnik pengambilan informan dilakukan dengan pertimbangan tertentu.
Besarnya informan ditentukan oleh pertimbangan informasi yang didapatkan. Pencarian
informan penelitian akan berhenti apabila peneliti tidak lagi menemukan variasi jawaban
darai para informan tersebut.
Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari
analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulankesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
2) Penyajian data, penyajian data merupakan usaha menggambarkan fenomena atau
keadaan sesuai dengan data yang telah direduksi dan disajikan ke dalam laporan
yang sistematis dan mudah dipahami, Penyajian data diarahkan agar data hasil
reduksi terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah
dipahami dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti
berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat
disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara
menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang
sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan
penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting menuju
tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal.
3) Interpretasi data atau penarikan kesimpulan, merupakan permasalahan peneliti yang
menjadi pokok pemikiran terhadap apa yang diteliti. Pada tahap ini peneliti
mengambil kesimpulan terhadap data yang telah direduksi ke dalam laporan secara
sistematis, dengan cara membandingkan, menghubungkan, dan memilih data yang
mengarah pada pemecahan masalah. Langkah ini adalah tahap penarikan
kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Proses untuk
mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang
kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke
lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.
(http://skripsimahasiswa.blogspot.com).
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. Penentuan waktu
penelitian dilakukan secara random sesuai dengan kebutuhan penelitian.
4. Pembahasan
Dari hasil pengamatan peneliti, melalui tujuh orang informan, maka dapat
dilakukan pembahasan mengenai kecemasan berkomunikasi antarpribadi pelamar kerja
dalam tes wawancara kerja dan cara mengatasinya. Kecemasan yang terjadi seringkali
berawal dari gambaran-gambaran yang berasal dari diri pribadi. Dalam beberapa kasus
informan dapat mengurangi tingkat kecemasan mereka dengan cara melakukan komunikasi
bersama orang lain, mendengarkan musik dan mencoba menenangkan diri sendiri.
Kebanyakan dari mereka merasakan adanya ketidakpastian akan bagaimana kondisi
wawancara nanti. Berger dan Calabrese (1982) pernah menuturkan “Untuk dapat
berinteraksi dengan lancar, terkoordinasi dan dimengerti, orang harus mampu
memperkirakan bagaimana rekan bicaranya akan berperilaku, dan berdasarkan atas
perkiraan tersebut, berdasarkan keahlian yang dimilikinya, memberikan tanggapan yang
mampu memberikan hasil yang optimal” (Psikologi Komunikasi:88).
Secara tidak sadar informan melakukan strategi untuk mengurangi ketidakpastian
seperti yang dituangkan Berger:
1) Strategi pasif. Pada strategi pasif, informan menjalani peran sebagai pengamat
diam-diam yang tidak diketahui individu lainnya. Dengan kata lain strategi pasif
merupakan upaya untuk mengurangi ketidak pastian melalui pengamatan diamdiam guna mendapatkan informasi mengenai orang lain. Strategi ini terbagi dua,
yaitu Reactivity searching dilakukan dengan mengamati setiap gerak-gerik orang
yang dituju danDisinhibition searching adalah strategi pasif dimana kita mengamati
seseorang dalam situasi dan keadaan santai, tidak terlalu menjaga penampilan dan
berlaku apa adanya.Hal ini terjadi pada Ditta Fionita dan Dian.
2) Strategi aktif. Pada strategi ini informan akan menjalani peran sebagai pengamat
secara tidak langsung. Pencarian informasi dengan menggunakan strategi aktif
dilakukan dengan cara bertanya kepada orang lain mengenai seseorang atau kondisi
yang anda ingin ketahui dan memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar orang
yang yang menjadi target lebih mudah anda amati. Terjadi pada Yunita dan Aprini.
3) Strategi Interaktif. Pada strategi ini informan mengandalkan komunikasi secara
langsung dengan peserta wawancara lain. Taktik mendapatkan informasi dilakukan
dengan cara bertanya secara langsung dengan orang lain atau menawarkan untuk
membuka diri dengan maksud lawan bicara juga bersedia untuk membuka dirinya.”
(Psikologi komunikasi:96-97). Terjadi pada Imanda dan Taufik.
Selain pendapat tersebut Bandura (Blackburn dan Davidson,1994) (Manajemen
Emosi:52) juga menjelaskan hal-hal yang berpengaruh dalam meredakan kecemasan,
antara lain:
1) Self efficiacy adalah sebagai suatu perkiraan individu terhadap kemampuannya
sendiri mengatasi situasi.
2) Outcome Expectancy memiliki pengertian sebagai perkiraan individu terhadap
kemungkinan terjadinya akibat-akibat tertentu yang mungkin berpengaruh dalam
menekan kecemasan.
Menurut Ramaiah (2003) (Manajemen Emosi:52) ada beberapa cara untuk
mengatasi kecemasan seperti pengendalian diri, dukungan tindakan fisik, tidur,
mendengarkan musik dan mengonsumsi makanan.
Kecemasan sendiri ada dalam dua bentuk. Menurut Devito (The Interpersonal
Communication Book): trait apprehension (dari dalam diri sendiri) dan state apprehension
(kecemasan yang timbul karena situasi sosial). Balckburn dan Davidson (1994)
(Manajemen Emosi:56) mengemukakan reaksi kecemasan dapat mempengaruhi suasana
hati, pikiran, motivasi, perilaku, dan gerakan biologis, seperti suasana hati berpengaruh
pada kecemasan, mudah marah, perasaansangat tegang.
Pikiran berpengaruh pada rasa khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,
membesar-besarkan ancaman, memandang diri tidak
berdaya atau perasaan
sensitif.Motivasi berpengaruh pada ingin menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin
melarikan diri.Perilaku berpengaruh pada rasa gelisah, gugup, waspada berlebihan.Gerakan
biologis berpengaruh pada gerakan spontan meningkan, berkeringat, gemetar, pusing,
berdebar-debar, mual, mulut kering.
Pada tahap komunikasi antarpribadi saat wawancara berlangsung, maka hal ini
selalu berkaitan dengan diri. Jika kita ingin melakukan komunikasi antarpribadi, maka kita
harus bersedia membuka diri dan mengungkapkan informasi mengenai diri kita. Berbicara
mengenai diri selalu terkait dengan konsep diri, kesadaran dan harga diri. Informan yang
memiliki konsep diri yang positif akan memiliki kesadaran diri yang tinggi.
Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: yakin akan kemampuan
mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu,
menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang
tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya karena ia
sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha
mengubahnya (Rakhmat, 2007:105).
Oleh sebab itu, informan dengan konsep diri yang tinggi selalu berusaha
menyesuaikan perilakunya dengan orang lain, dan sebaliknya individu dengan konsep diri
negatif, kesadaran dan harga diri rendah akan sulit menyesuaikan perilakunya dengan
orang lain.
Selain karena konsep diri, perilaku informan dalam wawancara juga bergantung
pada persepsi mereka terhadap pewawancara atau terhadap tes wawancara itu sendiri. Jika
informan memiliki persepsi yang kurang bagus, maka informan tersebut akan menjaga
jarak dan tidak terlalu membuka diri terhadap informasi. Yang dibutuhkan pewawancara.
Pada kenyataannya persepsi individu informan seringkali tidak cermat. Bila informan
menanggapi perilaku pewawancara secara tidak cermat maka komunikasi antarpribadi
dapat berlangsung tidak efektif. Dan bila kedua pihak menanggapi perilaku satu sama lain
dengan tidak cermat, maka dapat terjadi salah paham.
Bila dikaitakan dengan tingkat kecemasan dalam tes wawancara maka ciri yang
berlangsung adalah:
1) Pada tingkat kecemasan dan ketidakpastian tinggi, komunikasi antarpribadi yang
berlangsung umumnya berlawanan dengan ciri komunikasi efektif Devito. Saat
terjadi kecemasan dan ketidakpastian yang tinggi, keterbukaan bagi peserta
wawancara sangat rendah, Pada tahap wawancara peserta wawancara akan
menyesuaikan diri dengan karakter pewawancara. Apabila mereka menganggap
informasi yang akan diberikan memberi kesan negatif, maka mereka akan
mengarang informasi yang berkesan positif.
2) Pada tingkat kecemasan sedang, komunikasi antarpribadi yang berlangsung
umumnya biasa saja, tidak ada kesan khusus yang diperoleh, karena pada umumnya
mereka menganggap hal ini adalah hal yang wajar dan memang ssudah seharusnya.
3) Pada tingkat kecemasan rendah, komunikasi yang berlangsung umumnya efektif
dimana peserta wawancara merasa tes wawancara lebih kepada suatu obrolan,
keduanya cepat merasa akrab dan suasanya yang ditimbulkan juga tidak kaku.
Komunkikasi efektif akan menurunkan kecemasan peserta wawancara.
Informan introvert yang merasakan kecemasan tinggi cenderung akan menghindari
komunikasi saat pra-wawancara. Pada informan yang ekstrovert yang merasakan
kecemasan tinggi maka dia akan mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya
mengenai tes wawancara dan karakter pewawancaranya. Informan yang mengalami
kecemasan umumnya mengalami detak jantung yang semakin cepat, berkeringat, wajah
memerah karena malu, pucat karena merasa tak berdaya, gemetar, ingin buang air kecil
pada saat pra-wawancara maupun saat wawancara berlangsung. Selain itu informan yang
mengalami kecemasan juga melakukan persiapan yang berlebihan seperti memeriksa
barangnya berulang ulang, meminta dukungan, mencari informasi, makan, juga merasa
bingung dalam bertindak.
Hal ini merupakan parameter kecemasan yang diungkapkan Petterson dan Ritts:
1) Aspek fisik seperti denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu
2) Aspek tingkah laku seperti penghindaran dan perlindungan diri
3) Aspek kognitif seperti terlalu fokus pada diri sendiri serta timbulnya pemikiran
negatif (Morissan, 2010:9)
Sebagian besar teori-teori komunikasi antarpribadi membahasa tentang proses dan
tahap interaksi seperti teori pengurangan ketidakpastian dalam berkomunikasi dan
memiliki tiga tahapan perkembangan seperti tahap masukan, tahap personal dan tahap
keluaran. Merujuk pada teori tersebut peneliti membagi tahapan kecemasan menjadi tapah
pra-wawancara, tahap perkenalan, tahap inti wawancara. Pada setiap tahapan, kecemasan
yang dimiliki tiap informan berbeda-beda, dalam tiap tahapan informan dapat mengalami
peningkatan maupun penurunan kecemasan. Komunikasi antarpribadi dapat mempengaruhi
kecemasan informan, hal ini diperkuat dengan banyaknya informan yang mengatakan
kalau kecemasannya akan menurun seiring adanya peningkatan komunikasi saat
wawancara.
Saat tahap pra-wawancara informan akan membawa persepsi dan prediksinya
mengenai proses komunikasi yang akan berlangsung. Pada tahap Perkenalan mereka akan
berusaha mengurangi rasa kecemasannya melalui komunikasi verbal, non-verbal,
pengamatan dan cara berperilaku. Semakin tinggi komunikasi verbal dan non-verbal pada
tahap ini makadapat mengurangi kecemasan informan.
Dalam tahap ini peneliti mengaitkan dengan aksioma teori Berger dan Calabrese
sebagai berikut:Ketidakpastian yang tinggi pada tahap masukan (pra-wawancara) akan
mendorong peningkatan komunikasi verbal diantara orang yang tidak saling mengenal.
Peningkatan komunikasi verbal pada akhirnya akan mengurangi tingkat ketidakpastian,
dan manakala ketidakpastian terus menurun maka jumlah komunikasi verbal meningkat.
Pada tahap awal interaksi, ketika ungkapan non-verbal meningkat maka tingkat
ketidakpastian menurun. Kepastian yang lebih besar akan mendorong peningkatan
komunikasi non-verbal satu sama lainnya. Misalnya kontak mata atau tindakan berjabat
tangan. (Psikologi Komunikasi:92-93).
Ketidakpastian yang tinggi dalam suatu hubungan menyebabkan turunnya tingkat
keintiman isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat
keintiman yang tinggi. Tingkat keintiman yang tinggi ditandai dengan keterbukaan para
pihak untuk mengungkapkan informasi mengenai dirinya.Ketidakpastian tinggi akan
meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku orang lain. Ketika
tingkatketidak pastian menurun maka pencarian informasi perilaku menurun. (Psikologi
Komunikasi:92-93).
Tingkat ketidakpastian tinggi menghasilkan tingkat resiprositas tinggi. Tingkat
ketidakpastian rendah menghasilkan tingkat resiprositas rendah. Kedua pernyataan
menunjukkan hubungan posotif. Dua orang yang baru pertama kali terlibat dalam
percakapan akan cenderung meniru satu sama lainnya. Adapun yang dimaksud resiprositas
adalah jika salah satu pihak hanya menediakan sedikit informasi mengenai dirinya, maka
pihak lainnya akan melakukan hal serupa.Kesamaan akan mengurangi ketidakpastian
sedangkan perbedaan akan meningkatkan ketidakpastian. Misalnya dua orang yang tidak
saling kenal tetapi sama-sama kuliah di universitas yang sama. Namun keduanya mungkin
memiliki perbedaan bahwa keduanya berasal dari fakultas yang berbeda dan memiliki jenis
kelamin yang berbeda. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap tingkat
ketidakpastian.Ketidakpastian yang meningkat akan mengurangi perasaan menyukai
sebaliknya penurunan ketidakpastian menghasilkan peningkaan rasa suka. (Psikologi
Komunikasi:92-93).
Faktor yang cenderung berpotensi menjadi penyebab kecemasan dan ketidakpastian
dalam penelitian ini terbagi atas faktor internal dan faktor internal. Faktor internal adalah
kecemasan yang berasal dari dalam diri atau pemikiran negatif dari informan itu sendiri.
Faktor eksternal adalah yang berasal dari orang lain atau situasi lingkungan seperti merasa
minder dengan orang lain atau situasi pewawancara yang jutek.
Disamping itu penyebab kecemasan dan ketidakpastian ini juga dijelaskan
berdasarkan teori kecemasan berkomunikasi, yaitu:
1) Degree of Evaluation
Semakin tinggi calon karyawan merasa dirinya sedang dievaluasi, maka kecemasan
akan semakin meningkat.
2) Subordinate status
Saat calon karyawan merasa bahwa pewawancara memiliki pengetahuan dan
wibawa yang jauh lebih luas dari calon karyawan maka kecemasan berkomunikasi
akan semakin meningkat.
3) Degree of consciuousness
Semakin sadar calon karyawan dengan kekurangannya, maka kecemasan
komunikasi akan semakin tinggi.
4) Degree of unpredictability
Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin tinggi tingkat kecemasan.
5) Degree of similiarity
Saat calon karyawan merasakan semakin banyak persamaan maka kecemasan akan
berkurang.
6) Prior succes and failures
Keberhasilan atau kegagalan calon karyawan di suatu tes wawancara akan
berpengaruh terhadap respon calon karyawan pada tes selanjutnya.
7) Lack of communication skills and experience
Kurangnya kemampuan dan pengalaman calon karyawan akan menyebabkan
kecemasan berkomunikasi, terutama jika calon karyawan tidak berusaha untuk
meningkatkan kemampuannya.
Dari faktor penyebab kecemasan ini, kecemasan yang dominan dialami oleh
informan disebabkan oleh degree of evaluation, degree of unpredictability, Prior succes
and failures. Bila dilihat dari aksioma Berger, kecemasan dan ketidakpastian informan
dominan terjadi karena ketidakpastian yang tinggi akan meningkatkan upaya untuk
mencari informasi mengenai perilaku pewawancara, juga tingkat ketidakpasstian yang
tinggi menghasilkan derajat resiprositas tinggi.
Perwujudan kecemasan yaitu:Demam panggung, jantung berdebar lebih keras ,lupa
akan apa yang dibicarakan, terkadang memutar-mutar pembicaraan, telapak tangan dan
kaki dingin dan berkeringat, nafas terengah-engah, hampir seluruh otot tegang, suhu terasa
panas, tangan dan kaki gemetar, suara bergetar, berbicara cepat tetapi tidak jelas, tidak
dapat mendengar dengan baik atau tidak berkonsentrasi, merasa ingin buang air kecil,
gelisah
Faktor-faktor penyebab kecemasan yaitu:Kurang mempersiapkan diri, harapan
yang terlalu tinggi, cemas karena akan dinilai, pengalaman buruk di masa lampau yang
menjadi ketakutan tersendiri, pembicara di hadapkan dengan situasi baru, merasa
mempunyai saingan yang lebih unggul, merasa memiliki tekanan dari pewawancara,
memiliki pemikiran akan mengalami situasi bahaya.
Faktor-faktor mengatasi kecemasan yaitu:Berfikir positif, memiliki motivasi yang
kuat, belajar dari pengalaman, berinteraksi, mendengarkan musik, persiapan yang cukup,
meminta dukungan dari orang terdekat, percaya diri, yakin dengan kemampuan diri
bertindak sesuai etika, mengikuti peraturan, sopan, tersenyum tulus, percaya kalau tes
wawancara gagal bukan berarti akhir dari segalanya
Hal ini berkaitam dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tabita
Silitonga (Skripsi USU:2011) dengan hasil faktor penyebab kecemasan terbagi dua, faktor
internal dari karakter dan bayangan negatif dari informan itu sendiri dan eksternal dari
faktor lingkungan informan, serta pada tingkat kecemasan dan ketidakpastian tinggi,
komunikasi antarpribadi yang berlangsung umumnya berlawanan dengan ciri komunikasi
efektif Devito, yaitu saat terjadi kecemasan dan ketidakpastian yang tinggi keterbukaan
yang terjadi rendah (Tabita,2011:179)
Andrianto dan Dewi (2006) melakukan penelitian mengenai kecemasan berbicara
di muka umum yaitu hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di muka
umum pada mahasiswa fakultas Keguruan Universitas Muhammadiah Purwokerto (UMP).
Penelitian ini menujukan adanya hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara
di muka umum, dimana semakin baik pola pikir yang dimiliki oleh seorang mahasiswa
maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang dihadapi, begitu juga sebaliknya
semakin buruk pola pikir yang dimiliki oleh seorang mahasiswa maka semakin tinggi
tingkat kecemasan mahasiswa saat berbicara di muka umum. (http://www.eprints.ac.id
//artikel ivan_dkk_kepercayaan_diri_dengan_kecemasan.htm).
Tabel 4.1 Kecemasan Tahap Pra-wawancara
Nama
Penyebab kecemasan
Yunita Emilia,
Ditta Adytya,
Fionita
Situasi baru
Mengatasi kecemasan
Merasa tes adalah tahap yang wajar
adanya, antusias, merasa memiliki
pengalaman dan kemampuan yang
cukup, mendengarkan musik,
melakukan interaksi.
Imanda Rizky
Soaloon Lubis,
Taufik Hidayat
Aprini, Dian
Febrina
Memiliki pengalaman
kurang baik saat tes
wawancara kerja.
Melakukan interaksi, mempersiapkan
jawaban tes wawancara berdasarkan
pengalaman sebelumnya.
Ketakutan dianggap kurang
cerdas oleh pewawancara,
takut telat, merasa saingan
lebih bagus, tidak berani
membuka diri, memiliki
pengalaman kurang baik
saat tes wawancara kerja
Meminta dukungan dari orang yang
dikenal, Meyakinkan diri cukup
kompeten dengan latar belakang
pendidikan.
Tabel 4.2 Kecemasan Tahap Perkenalan
Nama
Penyebab kecemasan
Ditta Adytya,
Fionita
Situasi baru, belum mengetahui
tipe pewawancara
Imanda Rizky
Soaloon Lubis,
Taufik Hidayat,
Yunita Emilia
Suara terlalu pelan, membuat
kalimat yang sulit dimengerti,
tidak dapat berbicara lancar
Mengurangi kecemasan
Bertindak sesuai etika/sopan
santun, berfikir kalau tes ini
akan cepat terlewati
Bertindak ssesuai sopan santun,
berjabat tangan, memberi
senyum, menganggap
wawancara memang tahap yang
dibutuhkan.
Situasi baru, belum megenali tipe
pewawancara, merasa wawancara
Aprini Situmorang,
seperti proses interogasi, berdebar,
Dian Febrina
keringat dingin, ingin buang air
kecil, bibir bergetar
Tabel 4.2 Kecemasan Tahap Inti Wawancara
Nama
Penyebab Kecemasan
Cemas pada tahap psikotes
Ditta Adytya,
dapat mengetahui kebohongan
Taufik Hidayat
mereka.
Pertanyaan yang menjebak,
Dian Febrina,
bingung alasan memilih jurusan
Fionita, Imanda
kuliah dan alasan mencari kerja,
Rizky, Yunita
takut ketahuan mengarang
Emilia
cerita, tidak lancar berbicara
Tidak suka bercerita tentang diri
Aprini
khususnya keluarga, merasa ada
Situmorang
tekanan, merasa pewawancara
lebih pintar dalam segala hal,
Pewawancara tipe orang yang
ramah rapi, dan membuat
wawancara menjadi suasana
yang menyenangkan.
Mengatasi Kecemasan
Memperhatikan isyarat non-verbal
pewawancara agar dapat
memprediksi tindakan selanjutnya
Sopan, mengatur jawaban yang
baik, mengatur kalimat yang bagus,
menceritakan tentang diri sendiri.
Menatap pewawancara agar
dianggap memiliki keberanian,
bertindak seperti pada acara formal,
tidak terlalu berharap akan diterima
merasa minder karena saingan
terlihat lebih bagus, kelihatan
gemetar
pada perusahaan yang dituju,
berfikir kalau penerimaan itu
tergantung rezeki orangnya.
5. Penutup
Dari hasil penelitian mengenai kecemasan berkomunikasi antarpribadi saat
menjalani tes wawancara dan cara mengatasinya, maka dapat ditarik kesimpulan:
1) Sebagian besar informan merasakan kecemasan dan ketidakpastian yang rendah
pada tahap pra-wawancara karena meraka berpendapat kalau tes wawancara itu
memang wajar dan memang begitu keadaannya.
2) Kebanyakan informan mengalami peningkatan kecemasan bila pada tahap awal
sudah merasa cemas, kemudian pada tahap berikutnya komunikasi yang dilakukan
tidak efektif meneguhkan kecemasan mereka terhadap tanggapan buruk
pewawancara kepada mereka untuk menghindarinya mereka mengarang cerita dan
gambaran positif mengenai dirinya.
3) Informan yang Introvert merasa cemas dan tidak pasti karena karakter personalnya
yang memang tertutup. Mereka ingin mendapatkan dukungan hanya dengan orang
yang sudah dianggapnya menjadi teman. Tetapi mahasiswa yang ekstrovert dapat
mendapat dukungan dan usaha untuk mengurangi ketidakpastian dari peserta
wawancara lainnya karena mereka tidak merasa sulit untuk berkomunikasi dengan
peserta lainnya.
4) Untuk tingkat resiprositas sepertinya dominan informan akan mengalami tingkat
resiprositas tinggi karena usaha untuk menyesuaikan diri atau kesamaan dengan
pewawancara. Kecemasan saat wawancara seperti perasaan grogi tentang
kemampuannya untuk berkomunikasi secara verbal dan non-verbal secara tepat,
dan ketrampilan untuk menjadi pendengar yang baik.
5) Interaksi komunikasi antarpribadi informan terhadap pewawancara belum efektif
karena dominan informan kurang membuka diri terhadap pewawancara, kurang
berempati, lebh mengedepankan pencitraan diri yang baik di depan pewawancara.
6) Faktor yang paling sering menyebabkan kecemasan peserta wawancara baik pada
tahap pra-wawancara, tahap perkenalan dan tahap inti wawancara yakni kecemasan
yang ditimbulkan dari diri mereka sendiri (trait anxiety). Dengan kata lain
gambaran akan ketakutan atau kesalahan yang belum pasti dilakukan sudah
menghantui pikiran mereka sebelum menjalani tes wawancara. Hal ini juga
memberikan gambaran bahwa dominan informan tidak belajar (dalam kecemasan)
melalui pengalaman, Kecemasan itu akan terus timbul, dan yang dapat mereka
pelajari hanya bagaimana mengendalikan dan menekan perasaan itu untuk saja
walaupun hanya untuk sementara saja. Kecemasan yang berasal dari dalam diri
dapat berubah atau berkembang seiring dengan peningkatan komunikasi
antarpribadi. Lain halnya dengan state anxiety hal ini akan terus menetap dipikiran
para beberapa informan. Kecemasan karena faktor ini tidak akan berubah seiring
dengan peningkatan atau penurunan tingkat komunikasi antarpribadi Yang dapat
mereka lakukan hanya menekan kecemasannya atau mencoba mengabaikannya
secara perlahan. Untuk mengalahkan rasa tersebut mereka perlu melakukan
pembuktian diri bahwa mereka lebih baik.Sebagian besar informan dapat
menguasai rasa kecemasannya karena ada pengendalian diri yang kuat dari dirinya
sendiri.
7) Informan yang mengalami kecemasan rendah biasanya merasa diri mereka
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh peserta lain atau keahlian yang
memang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association, 1994. DSM-IVtm : Diagnostic and Statistical Manual Of
Mental Dissorder. Washington.DC: The American Psychiatric Association
Bungin, Burhan,2001 Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan
Ilmu Sosia lainnya. Jakarta: Kencana Prenama Media Group.
Bungin, Burhan,2010 Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan
Ilmu Sosia lainnya. Jakarta: Kencana Prenama Media Group.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Carol Tavris, Carol Wade. 2007. Psikologi,9th Edition. Jakarta: Penerbit Erlangga
Corey, Geral. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika
Aditama
Davison, G.C, Neale,J.M & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnoral. Jakarta: Rajawali Press
Dennis,Greenberger, 2004. Manajemen Pikiran : Metode Ampuh menata Pikiran
Untuk Mengatasi Depresi, kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya.
Yogyakarta: Mizan
Devito, Joseph A, 2008 Essentials Of Human Communication. Boston,USA:
Pearson Education, Inc.
Devito, Joseph.A, 2001. The Interpersonal Communication Book,
Longman.
Ninth Edition. NYC:
Dirgantoro, Franz & S.I Pratono, 2012. 99.9% Pasti Lolos Tes Wawancara Kerja. Jakarta:
Tangga Pustaka.
Diana Keable,1997. The Management of Anxiety: A Guide For Therapist. London:
Churchill Livingstoone.
Effendy, Onong Uchjana,2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Fajar, Marhaeni, 2009. Ilmu Komunikasi Teori & Praktik. Jakarta: Graha Ilmu
Feist,Gregory Jess, 2010. Teori Kepribadian 1, Edisi.07. Jakarta:Salemba
Humanika
Haber, A. & Runyon, R.P. 1984. Psychology of Adjustment. New York: The
Dorsey Press
Jalaludin Rakhmat, 1995, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Morissan, 2010. Psikologi Komunikasi . Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
Manasa . Vol 1, No 1,2007. Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasan
Berkomunikasi Secara Lisan pada Remaja. Semarang. UNISSULA Press
Mark Durank & David Barlow. 2007. Psikologi Abnormal. Yogyakart: Pustaka
Pelajar
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Nevid, J.S, Rathus, S.A & Green, B. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta:
Erlangga
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Paksi, Yongkie Jalu, 2011. 13 Pertanyaan Jebakan Wawancara Kerja. Yogyakarta: PT.
Buku Seru
Safaria, Triantono & Saputra, Nofrans Eka, 2009. Manajemen Emosi : Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta : PT. Bumi
Aksara
Silitonga, Tabitha,2011. Skripsi:Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan
Ketidakpastian Mahasiswa FISIP USU Pada Proses Bimbingan Skripsi. Medan:USU Press
Sumadinata, N. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda
karya
Wiryanto, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:Gramedia Widiastama Indonesia
Zaviera Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: KTD
Website:
http://file.upi.edu/article/9876_ilmu_komunikasi_htm. Diakses tanggal 17 Maret 2012
http:// www.usu.ac.id/ilmu - sosial-dan-ilmu - politik./repository/.html diakses tanggal 17
Maret 2012
http:// e-jornal/ PSIKOLOGI/kecemasan-anxiety-pengertian-dan-ciri.html. diakses
tanggal 20 Juli 2012
http://psikologi-unissula.com/article/88579/self-efficacy-dengan-kecemasan-komunikasipada-mahasiswa-dalam-mempresentasikan-tugas-di-depan-kelas.html. Diakses tanggal 17
Maret 2012
http:/ /www.skripsimahasiswa.blogspot.com./tekhnik-analisa-data//.
Diakses tanggal 18 Maret 2012
http:// www. eprints.ac.id/7625/1/kecemasanJIS.pdf. Diakses tanggal 18 Maret 2012.
http://www.sinaukomunikasi.Wordpress.com/kecemasan/mccroskey.Diakses tanggal 18
Maret 2012
http://www.skripsimahasiswa.blogspot.com. Diakses tanggal 18 Maret 2012
http://www.eprints.ac.id//artikel_ivan_dkk_kepercayaan_diri_dengan_kecemasan.htm).
Diakses tanggal 29 Maret 2012
http://www.anneahira.com/definisi_ilmu_komunikasi.htm. Diakses tanggal 29 Maret 2012
http:// www.psychologymania.blogspot.com-kecemasan.htm.diakses tanggal 20 Juli 2012
Download