KECEMASAN BERKOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM TES WAWANCARA KERJA Hery Bajora Nasution Abstrak Kecemasan merupakan hal yang dapat terjadi pada siapa saja namun ada kalanya kecemasan tersebut berlebihan, kecemasan ini berpengaruh terhadap kualitas interaksi antarpribadi, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi berbagai situasi atau fenomena sosial yang ada di masyarakat dan berupaya menarik realitas sosial tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter sifat, model, tanda atau gambaran tenang fenomena tertentu. Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data wawancara, observasi dan pustaka. Pada penelitian ini melibatkan tujuh orang informan yang diperoleh dengan tekhnik penarikan sampel acak accidental sampling. Kecemasan informan ditentukan berdasarkan tingkat rendah, sedang, tinggi pada tahap prawawancara, perkenalan, inti. Dalam menganalisis data digunakan analisis data kualitatif untuk memilah, mensintesis, mencari dan menemukan pola, serta menarasikan data yang diperoleh dari wawancara. Hasil penelitian disimpulkan bahwa kecemasan yang timbul diakibatkan oleh pikiran-pikiran negatif dari diri sendiri. Kecemasan itu akan terus timbul, kita hanya dapat berusaha untuk menekan rasa cemas, interaksi komunikasi antarpribadi saat tes wawancara belum efektif karena sebagian besar calon karyawan memberi informasi yang dibuat-buat mengenai dirinya agar pewawancara menganggap mereka sosok yang positif dan bersemangat. Informan mencoba menurunkan kecemasannya dengan cara melakukan interaksi dengan peserta tes wawancara lain, melakukan pengamatan terhadap peserta tes wawancara, memotivasi diri mereka sendiri dan mendengarkan musik, berfikir positif merupakan cara yang ampuh untuk mengalihkan kecemasan. Kata kunci: Kecemasan, interaksi, antarpribadi 1. Pendahuluan Tahap seleksi wawancara merupakan tahapan yang harus dilewati pencari kerja sebelum mendapatkan pekerjaan, hal ini sangat penting karena interviewer akan menilai dan mengambil segala informasi yang dibutuhkan tentang calon karyawan secara langsung. Tahap wawancara tidak akan melihat seberapa bagus IPK dan pengetahuan calon karyawan, tetapi lebih memperhatikan kesiapan calon karyawan dalam hal menjual kekuatan diri dan meyakinkan para interviewer. Tujuan wawancara kerja adalah untuk menilai sisi psikologis, perilaku, kepemimpinan, komitmen, kejujuran, tanggung jawab, dan segudang nilai kebaikan yang masuk dalam penilaian perusahaan (Dirgantoro dan Pratono, 2012:iii). Fase ini merupakan tahapan yang menentukan.Bagi beberapa orang, wawancara kerja mungkin adalah momok yang menakutkan. Kecemasan atau ketakutan yang muncul sebelum atau pada saat wawancara itu memang wajar. Apalagi jika seseorang belum memiliki pengalaman kerja atau baru pertama kali melamar pekerjaan. Sebenarnya orang yang berulang kali melamar pekerjaan pun bisa mengalami hal yang sama. Mungkin perbedaannya adalah ia bisa mengelola emosi sehingga pengendalian dirinya lebih terjaga. Hal itu dikarenakan ia sudah terlatih menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan pewawancara. Pengendalian diri dan pengelolaan emosi memang sangat penting dalam mengikuti wawancara kerja. Oleh karena itu, masalah utama yang selalu dihadapi oleh sebagian besar calon karyawan atau pegawai dalam wawancara kerja adalah kepercayaan diri. Kecemasan dan ketidakpastian yang dialami calon karyawan berpengaruh terhadap interaksi komunikasi antarpribadi calon karyawan dan pewawancara. Dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (2001:80), Devito mengungkapkan bahwa kecemasan berkomunikasi merujuk pada rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara didepan umum, dan sikap pendiam dalam interaksi komunikasi. Kecemasan yang semakin meningkat dapat menghambat komunikasi antarpribadi antara pewawancara dan calon karyawan, pewawancara dapat saja mengurangi poin kita atau malah mereka salah paham dikarenakan sikap dan ucapan kita yang semakin kaku atau mengawur. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian ini. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengalaman calon karyawan dalam tes wawancara, apakah mereka merasa antusias, cemas dalam tahap perkenalan, maupun tahapan untuk mengetahui personal calon karyawan, dan apakah tingkat kecemasan mereka meningkat atau menurun selama proses wawancara? 2) Bagaimanakah komunikasi antarpribadi pewawancara dan calon karyawan dalam tes wawancara kerja? 3) Faktor-faktor apakah yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya kecemasan calon karyawan dalam pengalaman mereka menghadapi tes wawancara, dan bagaimana mereka mengatasinya. Setiap penelitian yang dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) Penelitian ini bertujuan untuk memahami kecemasan calon karyawan dalam pengalaman interaksi komunikasi mereka dengan pewawancara dalam tes wawancara kerja. 2) Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan interaksi komunikasi antarpribadi calon karyawan dan pewawancara dalam tes wawancara kerja. 3) Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab kecemasan mereka dalam pengalaman tes wawancara kerja dan bagaimana mereka mengatasinya. 2. Kajian Literatur Komunikasi adalah kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia (Efendy, 2003:8). Ada banyak pengertian yang dapat menggambarkan mengenai komunikasi. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, imbauan; yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara tatap muka maupun tidak langsung, melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, ataupun perilaku (Effendy, 2003:60). Model Komunikasi dari Harold Lasswell dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkembangan teori komunikasi (1948). Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa) (Mulyana,2006:4) . Terdapat tiga kategori sifat komunikator yang paling menarik dan paling sering dibahas dalam literatur komunikasi yaitu : sifat mementingkan diri sendiri, sifat berdebat, dan sifat cemas. (Morissan, 2010:7 -9): a. Sifat mementingkan diri sendiri b. Sifat berdebat c. Sifat Cemas Kecemasan berkomunikasi yang tinggi merupakan kecenderungan untuk mengalami kecemasan dalam waktu yang relatif lama dan dalam berbagai situasi yang berbeda. Dalam hal ini seseorang menderita karena merasa sangat cemas ketika ia harus berkomunikasi sehingga ia ingin bahkan akan menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini menyebabkan orang bersangkutan tidak dapat bersosialisasi dalam masyarakat.Banyak ahli psikologi yang berbicara mengenai kecemasan, sebagai berikut: Kecemasan sebagai keadaan yang emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan yang tegang yang tidak menyenangkan dan perasaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang burk akan segera terjadi (Nevid dkk, 2003). Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi individu untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal bagi ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang rasional dan langsung, maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak realistis yakni tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego/defend mechanism (Freud dalam Corey, 2005). Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis. Dalam teori pembelajaran dianggap sebaga suatu dorongan yang menjadi perantara antara suatu situasi yag mengancam dan perilaku menghindar. Kecemasan dapat diukur denga self report, dengan mengukur ketegangan fisiologis, dengan mengamati perilaku yang tampak (Davison dkk, 2006).Ciri-ciri kecemasan (Nevid, 2003) adalah berupa: Secara fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan dan anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung berdebar keras atau bertak kencang, pusing ,merasa lemas atau mati rasa,sering buang air kecil, merasa sensitif, atau mudah marah. Cara behavioral meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependent, perilaku terguncang. Secara kognitif meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu ata ketakutanatau aphensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi tanpa penjelasan yang jelas, ketakutan akan kehilangan control, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa semuanya tidak bisa lagi dikendalikan, merasa sulit memfokuskan pikiran dan berkonsentrasi. Menurut Heber dan Runyon (1984), kecemasan dimanifestasikan dalam empat hal:Kognitif (dalam pikiran individu), motorik (dalam tindakan), somatik (dalam reaksi fisik/biologis), afektif (dalam emosi individu). Kecemasan (anxiety) sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas. Terkadang, seseorang menghadapi kecemasan sebagai sebuah tantangan sehingga mempersiapkan sesuatu untuk menghadapinya. Hal ini yang akan memberikan hasil yang positif. Tetapi terkadang pula, kecemasan membuat seseorang tidak berdaya, dan merasa tidak mampu menghadapi kecemasan itu sehingga ingin lari dari masalahnya dengan mengembangkan defend mechanism (mekanisme pertahanan diri/ego) Kategori gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)IV,yang sering dibahas diantaranya adalah:Gangguan panik tanpa agoraphobia, gangguan panik dengan agoraphobia, agoraphobia tanpa riwayat gangguan panic, phobia spesifik, phobia social, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca traumatic, gangguan stres akut, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan yang tidak terdefinisi. Dalam http://e-journal-PSIKOLOGI/anxiety _disorder//htm. Disebutkan bahwa Setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda terhadap stres tergantung pada kondisi masing-masing individu, beberapa simptom yang muncul tidaklah sama. Kadang beberapa diantara simtom tersebut tidak berpengaruh berat pada beberapa individu, lainnya sangat mengganggu, ada beberapa gejala umum gangguan kecemasan, diantaranya: 1) Berdebar diiringi dengan detak jantung yang cepat: Kecemasan memicu otak untuk memproduksi adrenalin secara berlebihan pada pembuluh darah yang menyebabkan detak jantung semakin cepat dan memunculkan rasa berdebar. Namun dalam beberapa kasus yang ditemukan individu yang mengalami gangguan kecemasan kontinum detak jantung semakin lambat dibandingkan pada orang normal. 2) Rasa sakit atau nyeri pada dada: Kecemasan meningkatkan tekanan otot pada rongga dada. Beberapa individu dapat merasakan rasa sakit atau nyeri pada dada, kondisi ini sering diartikan sebagai tanda serangan jantung yang sebenarnya adalah bukan. Hal ini kadang menimbulkan rasa panik yang justru memperburuk kondisi sebelumnya. 3) Rasa sesak napas: Ketika rasa cemas muncul, syaraf-syaraf impuls bereaksi berlebihan yang menimbulkan sensasi dan sesak pernafasan, tarikan nafas menjadi pendek seperti kesulitan bernafas karena kehilangan udara. 4) Berkeringat secara berlebihan: Selama kecemasan muncul terjadi kenaikan suhu tubuh yang tinggi. Keringat yang muncul disebabkan otak mempersiapkan perencanaan fight or flight terhadap stressor 5) Kehilangan gairah seksual atau penurunan minat terhadap aktivitas seksual 6) Gangguan tidur 7) Tubuh gemetar:Gemetar adalah hal yang dapat dialami oleh orang-orang yang normal pada situasi yang menakutkan atau membuatnya gugup, akan tetapi pada individu yang mengalami gangguan kecemasan rasa takut dan gugup tersebut terekspresikan secara berlebihan, rasa gemetar pada kaki, atau lengan maupun pada bagian anggota tubuh yang lain. 8) Tangan atau anggota tubuh menjadi dingin dan bekeringat 9) Kecemasan depresi memunculkan ide dan keinginan untuk bunuh diri 10) Gangguan kesehatan seperti sering merasakan sakit kepala (migrain) (http://ejournal-PSIKOLOGI/anxiety _disorder//htm.) Kecemasan juga memiliki efek merusak pada orang dewasa. Jess dan Gregory mengatakan “Kecemasan adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang sehat” (Teori Kepribadian, 2010:260), mereka juga memakai pendapat Sullivan (1953) yang menyamakan kecemasan parah dengan pukulan keras pada kepala. Kecemasan membuat manusia tidak mampu belajar, merusak ingatan, menyempitkan sudut pandang dan dapat menyebabkan amnesia. Hal yang unik dari kecemasan adalah bahwa ia mempertahankan keadaan sebagaimana saat itu, walaupun seseorang benar-benar merasa terganggu. Ketika kecemasan menghasilkan tindakan yang secara khusus diarahkan untuk mencapai perasaan lega, maka kecemasan menghasilkan perilaku: Mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, Membuat orang tetap mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman. Secara garis besar memastikan bahwa seseorang tersebut belum belajar dari pengalaman mereka” (Sullivan:1953, Teori Kepribadian 2010:260). Stuart & Sundeen (1998) menggolongkan tingkat kecemasan sebagai berikut: Kecemasan Ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati serta waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Kecemasan sedang, Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehinga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah, mengalami penyempitan perspektif, gemetar, sulit berkonsentrasi, peningkatan frekuensi pernafasan dan detak jantung. Kecemasan berat, sangat mengurangi lahan persepsi. Individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan halhal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan, sering sulit berkomunikasi, tidak mampu memahami situasi. Tingkat panik Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Perpektif yang dimiliki mulai menyimpang, tingkat ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Ketika kita bertemu dan terlibat dalam percakapan dengan orang yang belum kita kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita mengenai orang tersebut, dan kita tidak memiliki jawaban pasti atas berbagai pertanyaan tersebut. Kita mengalami ketidakpastian, dan karenanya kita mencoba untuk mengurangi ketidakpastian tersebut melalui interaksi komunikasi. Berger dan Calabrese melalui teorinya mengajukan sejumlah aksioma atau sering juga disebut dengan istilah preposisi. Suatu aksioma tidak memerlukan pembuktian karena pernyataan itu sendiri merupakan bukti. Pernyataan atau aksioma yang dikemukakan Berger dan Calabrese masing- masing menunjukkan adanya hubungan antara ketidakpastian yang merupakan konsep sentral teori dengan sejumlah konsep lainnya. Hubungan itu dapat bersikap positif atau negatif. Tabel 1.1: Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian Konsep Utama Konsep Terkait Ketidakpastian meningkat Komunikasi verbalmenurun Ketidakpastian meningkat Pernyataan nonverbalmenurun Ketidakpastian meningkat Pencarian informasimenurun Ketidakpastian meningkat Keintiman komunikasi menurun Ketidakpastian meningkat Resiprositas menurun Ketidakpastian meningkat Kesamaan menurun Ketidakpastian meningkat Kesukaan menurun Sumber: Morrisan.M.A, Psikologi Komunikasi, 2010:93 Hubungan Negatif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Negatif 3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas sosial tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu. (Bungin, 2010 : 68). Dalam uraian yang lebih lugas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap kecemasan pelamar kerja dalam tes wawancara kerja dan cara mengatasinya yang pernah dialami oleh informan yang akan saya teliti selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Penelitian kualitatif lebih menekan pada persoalan kedalaman data bukan banyaknya data. (Kriyantono, 2009:56). Peneliti memilih informan yang sudah pernah berpengalaman menjalani tes wawacara kerja melalui Pusat Jasa Ketenagakerjaan USU Medan ( minimal dua kali) di karenakan peneliti melihat betapa besarnya minat alumni mahasiswa untuk mencari kerja melalui acara JobFair yanag pernah diadakan oleh PJK USU terbukti sekitar 3.000 Pelamar kerja yang sudah mendaftar di hari kedua pada Job Fair yang diadakan di Pendopo USU, dan tidak kurang 37 perusahaan dan BUMN ikut berpartisipasi (Medan Bisnis,9 February 2012) dan acara ini tidak membatasi asal almamater para pencari kerja. Subjek penelitian ditentukan melalui accidental sampling yang didapatkan ketika mengikuti acara JOBFAIR yang diadakan di Pendopo USU tahun 2012. Dengan asumsi pengalaman mereka wawancara sebelumnya mereka sudah dapat memiliki persiapan yang lebih matang, dan memilliki kemampuan untuk lebih menguasai diri pada saat tes wawancara, tetapi tetap masih memiliki rasa kecemasan. Adapun informan penelitian ditentukan pada saat penelitian berlangsung, sebagaimana penelitian kualitatif biasa dilakukan. Tekhnik pengambilan informan dilakukan dengan pertimbangan tertentu. Besarnya informan ditentukan oleh pertimbangan informasi yang didapatkan. Pencarian informan penelitian akan berhenti apabila peneliti tidak lagi menemukan variasi jawaban darai para informan tersebut. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulankesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 2) Penyajian data, penyajian data merupakan usaha menggambarkan fenomena atau keadaan sesuai dengan data yang telah direduksi dan disajikan ke dalam laporan yang sistematis dan mudah dipahami, Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal. 3) Interpretasi data atau penarikan kesimpulan, merupakan permasalahan peneliti yang menjadi pokok pemikiran terhadap apa yang diteliti. Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan terhadap data yang telah direduksi ke dalam laporan secara sistematis, dengan cara membandingkan, menghubungkan, dan memilih data yang mengarah pada pemecahan masalah. Langkah ini adalah tahap penarikan kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel. (http://skripsimahasiswa.blogspot.com). Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. Penentuan waktu penelitian dilakukan secara random sesuai dengan kebutuhan penelitian. 4. Pembahasan Dari hasil pengamatan peneliti, melalui tujuh orang informan, maka dapat dilakukan pembahasan mengenai kecemasan berkomunikasi antarpribadi pelamar kerja dalam tes wawancara kerja dan cara mengatasinya. Kecemasan yang terjadi seringkali berawal dari gambaran-gambaran yang berasal dari diri pribadi. Dalam beberapa kasus informan dapat mengurangi tingkat kecemasan mereka dengan cara melakukan komunikasi bersama orang lain, mendengarkan musik dan mencoba menenangkan diri sendiri. Kebanyakan dari mereka merasakan adanya ketidakpastian akan bagaimana kondisi wawancara nanti. Berger dan Calabrese (1982) pernah menuturkan “Untuk dapat berinteraksi dengan lancar, terkoordinasi dan dimengerti, orang harus mampu memperkirakan bagaimana rekan bicaranya akan berperilaku, dan berdasarkan atas perkiraan tersebut, berdasarkan keahlian yang dimilikinya, memberikan tanggapan yang mampu memberikan hasil yang optimal” (Psikologi Komunikasi:88). Secara tidak sadar informan melakukan strategi untuk mengurangi ketidakpastian seperti yang dituangkan Berger: 1) Strategi pasif. Pada strategi pasif, informan menjalani peran sebagai pengamat diam-diam yang tidak diketahui individu lainnya. Dengan kata lain strategi pasif merupakan upaya untuk mengurangi ketidak pastian melalui pengamatan diamdiam guna mendapatkan informasi mengenai orang lain. Strategi ini terbagi dua, yaitu Reactivity searching dilakukan dengan mengamati setiap gerak-gerik orang yang dituju danDisinhibition searching adalah strategi pasif dimana kita mengamati seseorang dalam situasi dan keadaan santai, tidak terlalu menjaga penampilan dan berlaku apa adanya.Hal ini terjadi pada Ditta Fionita dan Dian. 2) Strategi aktif. Pada strategi ini informan akan menjalani peran sebagai pengamat secara tidak langsung. Pencarian informasi dengan menggunakan strategi aktif dilakukan dengan cara bertanya kepada orang lain mengenai seseorang atau kondisi yang anda ingin ketahui dan memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar orang yang yang menjadi target lebih mudah anda amati. Terjadi pada Yunita dan Aprini. 3) Strategi Interaktif. Pada strategi ini informan mengandalkan komunikasi secara langsung dengan peserta wawancara lain. Taktik mendapatkan informasi dilakukan dengan cara bertanya secara langsung dengan orang lain atau menawarkan untuk membuka diri dengan maksud lawan bicara juga bersedia untuk membuka dirinya.” (Psikologi komunikasi:96-97). Terjadi pada Imanda dan Taufik. Selain pendapat tersebut Bandura (Blackburn dan Davidson,1994) (Manajemen Emosi:52) juga menjelaskan hal-hal yang berpengaruh dalam meredakan kecemasan, antara lain: 1) Self efficiacy adalah sebagai suatu perkiraan individu terhadap kemampuannya sendiri mengatasi situasi. 2) Outcome Expectancy memiliki pengertian sebagai perkiraan individu terhadap kemungkinan terjadinya akibat-akibat tertentu yang mungkin berpengaruh dalam menekan kecemasan. Menurut Ramaiah (2003) (Manajemen Emosi:52) ada beberapa cara untuk mengatasi kecemasan seperti pengendalian diri, dukungan tindakan fisik, tidur, mendengarkan musik dan mengonsumsi makanan. Kecemasan sendiri ada dalam dua bentuk. Menurut Devito (The Interpersonal Communication Book): trait apprehension (dari dalam diri sendiri) dan state apprehension (kecemasan yang timbul karena situasi sosial). Balckburn dan Davidson (1994) (Manajemen Emosi:56) mengemukakan reaksi kecemasan dapat mempengaruhi suasana hati, pikiran, motivasi, perilaku, dan gerakan biologis, seperti suasana hati berpengaruh pada kecemasan, mudah marah, perasaansangat tegang. Pikiran berpengaruh pada rasa khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri tidak berdaya atau perasaan sensitif.Motivasi berpengaruh pada ingin menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin melarikan diri.Perilaku berpengaruh pada rasa gelisah, gugup, waspada berlebihan.Gerakan biologis berpengaruh pada gerakan spontan meningkan, berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering. Pada tahap komunikasi antarpribadi saat wawancara berlangsung, maka hal ini selalu berkaitan dengan diri. Jika kita ingin melakukan komunikasi antarpribadi, maka kita harus bersedia membuka diri dan mengungkapkan informasi mengenai diri kita. Berbicara mengenai diri selalu terkait dengan konsep diri, kesadaran dan harga diri. Informan yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: yakin akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya (Rakhmat, 2007:105). Oleh sebab itu, informan dengan konsep diri yang tinggi selalu berusaha menyesuaikan perilakunya dengan orang lain, dan sebaliknya individu dengan konsep diri negatif, kesadaran dan harga diri rendah akan sulit menyesuaikan perilakunya dengan orang lain. Selain karena konsep diri, perilaku informan dalam wawancara juga bergantung pada persepsi mereka terhadap pewawancara atau terhadap tes wawancara itu sendiri. Jika informan memiliki persepsi yang kurang bagus, maka informan tersebut akan menjaga jarak dan tidak terlalu membuka diri terhadap informasi. Yang dibutuhkan pewawancara. Pada kenyataannya persepsi individu informan seringkali tidak cermat. Bila informan menanggapi perilaku pewawancara secara tidak cermat maka komunikasi antarpribadi dapat berlangsung tidak efektif. Dan bila kedua pihak menanggapi perilaku satu sama lain dengan tidak cermat, maka dapat terjadi salah paham. Bila dikaitakan dengan tingkat kecemasan dalam tes wawancara maka ciri yang berlangsung adalah: 1) Pada tingkat kecemasan dan ketidakpastian tinggi, komunikasi antarpribadi yang berlangsung umumnya berlawanan dengan ciri komunikasi efektif Devito. Saat terjadi kecemasan dan ketidakpastian yang tinggi, keterbukaan bagi peserta wawancara sangat rendah, Pada tahap wawancara peserta wawancara akan menyesuaikan diri dengan karakter pewawancara. Apabila mereka menganggap informasi yang akan diberikan memberi kesan negatif, maka mereka akan mengarang informasi yang berkesan positif. 2) Pada tingkat kecemasan sedang, komunikasi antarpribadi yang berlangsung umumnya biasa saja, tidak ada kesan khusus yang diperoleh, karena pada umumnya mereka menganggap hal ini adalah hal yang wajar dan memang ssudah seharusnya. 3) Pada tingkat kecemasan rendah, komunikasi yang berlangsung umumnya efektif dimana peserta wawancara merasa tes wawancara lebih kepada suatu obrolan, keduanya cepat merasa akrab dan suasanya yang ditimbulkan juga tidak kaku. Komunkikasi efektif akan menurunkan kecemasan peserta wawancara. Informan introvert yang merasakan kecemasan tinggi cenderung akan menghindari komunikasi saat pra-wawancara. Pada informan yang ekstrovert yang merasakan kecemasan tinggi maka dia akan mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tes wawancara dan karakter pewawancaranya. Informan yang mengalami kecemasan umumnya mengalami detak jantung yang semakin cepat, berkeringat, wajah memerah karena malu, pucat karena merasa tak berdaya, gemetar, ingin buang air kecil pada saat pra-wawancara maupun saat wawancara berlangsung. Selain itu informan yang mengalami kecemasan juga melakukan persiapan yang berlebihan seperti memeriksa barangnya berulang ulang, meminta dukungan, mencari informasi, makan, juga merasa bingung dalam bertindak. Hal ini merupakan parameter kecemasan yang diungkapkan Petterson dan Ritts: 1) Aspek fisik seperti denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu 2) Aspek tingkah laku seperti penghindaran dan perlindungan diri 3) Aspek kognitif seperti terlalu fokus pada diri sendiri serta timbulnya pemikiran negatif (Morissan, 2010:9) Sebagian besar teori-teori komunikasi antarpribadi membahasa tentang proses dan tahap interaksi seperti teori pengurangan ketidakpastian dalam berkomunikasi dan memiliki tiga tahapan perkembangan seperti tahap masukan, tahap personal dan tahap keluaran. Merujuk pada teori tersebut peneliti membagi tahapan kecemasan menjadi tapah pra-wawancara, tahap perkenalan, tahap inti wawancara. Pada setiap tahapan, kecemasan yang dimiliki tiap informan berbeda-beda, dalam tiap tahapan informan dapat mengalami peningkatan maupun penurunan kecemasan. Komunikasi antarpribadi dapat mempengaruhi kecemasan informan, hal ini diperkuat dengan banyaknya informan yang mengatakan kalau kecemasannya akan menurun seiring adanya peningkatan komunikasi saat wawancara. Saat tahap pra-wawancara informan akan membawa persepsi dan prediksinya mengenai proses komunikasi yang akan berlangsung. Pada tahap Perkenalan mereka akan berusaha mengurangi rasa kecemasannya melalui komunikasi verbal, non-verbal, pengamatan dan cara berperilaku. Semakin tinggi komunikasi verbal dan non-verbal pada tahap ini makadapat mengurangi kecemasan informan. Dalam tahap ini peneliti mengaitkan dengan aksioma teori Berger dan Calabrese sebagai berikut:Ketidakpastian yang tinggi pada tahap masukan (pra-wawancara) akan mendorong peningkatan komunikasi verbal diantara orang yang tidak saling mengenal. Peningkatan komunikasi verbal pada akhirnya akan mengurangi tingkat ketidakpastian, dan manakala ketidakpastian terus menurun maka jumlah komunikasi verbal meningkat. Pada tahap awal interaksi, ketika ungkapan non-verbal meningkat maka tingkat ketidakpastian menurun. Kepastian yang lebih besar akan mendorong peningkatan komunikasi non-verbal satu sama lainnya. Misalnya kontak mata atau tindakan berjabat tangan. (Psikologi Komunikasi:92-93). Ketidakpastian yang tinggi dalam suatu hubungan menyebabkan turunnya tingkat keintiman isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi. Tingkat keintiman yang tinggi ditandai dengan keterbukaan para pihak untuk mengungkapkan informasi mengenai dirinya.Ketidakpastian tinggi akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku orang lain. Ketika tingkatketidak pastian menurun maka pencarian informasi perilaku menurun. (Psikologi Komunikasi:92-93). Tingkat ketidakpastian tinggi menghasilkan tingkat resiprositas tinggi. Tingkat ketidakpastian rendah menghasilkan tingkat resiprositas rendah. Kedua pernyataan menunjukkan hubungan posotif. Dua orang yang baru pertama kali terlibat dalam percakapan akan cenderung meniru satu sama lainnya. Adapun yang dimaksud resiprositas adalah jika salah satu pihak hanya menediakan sedikit informasi mengenai dirinya, maka pihak lainnya akan melakukan hal serupa.Kesamaan akan mengurangi ketidakpastian sedangkan perbedaan akan meningkatkan ketidakpastian. Misalnya dua orang yang tidak saling kenal tetapi sama-sama kuliah di universitas yang sama. Namun keduanya mungkin memiliki perbedaan bahwa keduanya berasal dari fakultas yang berbeda dan memiliki jenis kelamin yang berbeda. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap tingkat ketidakpastian.Ketidakpastian yang meningkat akan mengurangi perasaan menyukai sebaliknya penurunan ketidakpastian menghasilkan peningkaan rasa suka. (Psikologi Komunikasi:92-93). Faktor yang cenderung berpotensi menjadi penyebab kecemasan dan ketidakpastian dalam penelitian ini terbagi atas faktor internal dan faktor internal. Faktor internal adalah kecemasan yang berasal dari dalam diri atau pemikiran negatif dari informan itu sendiri. Faktor eksternal adalah yang berasal dari orang lain atau situasi lingkungan seperti merasa minder dengan orang lain atau situasi pewawancara yang jutek. Disamping itu penyebab kecemasan dan ketidakpastian ini juga dijelaskan berdasarkan teori kecemasan berkomunikasi, yaitu: 1) Degree of Evaluation Semakin tinggi calon karyawan merasa dirinya sedang dievaluasi, maka kecemasan akan semakin meningkat. 2) Subordinate status Saat calon karyawan merasa bahwa pewawancara memiliki pengetahuan dan wibawa yang jauh lebih luas dari calon karyawan maka kecemasan berkomunikasi akan semakin meningkat. 3) Degree of consciuousness Semakin sadar calon karyawan dengan kekurangannya, maka kecemasan komunikasi akan semakin tinggi. 4) Degree of unpredictability Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin tinggi tingkat kecemasan. 5) Degree of similiarity Saat calon karyawan merasakan semakin banyak persamaan maka kecemasan akan berkurang. 6) Prior succes and failures Keberhasilan atau kegagalan calon karyawan di suatu tes wawancara akan berpengaruh terhadap respon calon karyawan pada tes selanjutnya. 7) Lack of communication skills and experience Kurangnya kemampuan dan pengalaman calon karyawan akan menyebabkan kecemasan berkomunikasi, terutama jika calon karyawan tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya. Dari faktor penyebab kecemasan ini, kecemasan yang dominan dialami oleh informan disebabkan oleh degree of evaluation, degree of unpredictability, Prior succes and failures. Bila dilihat dari aksioma Berger, kecemasan dan ketidakpastian informan dominan terjadi karena ketidakpastian yang tinggi akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku pewawancara, juga tingkat ketidakpasstian yang tinggi menghasilkan derajat resiprositas tinggi. Perwujudan kecemasan yaitu:Demam panggung, jantung berdebar lebih keras ,lupa akan apa yang dibicarakan, terkadang memutar-mutar pembicaraan, telapak tangan dan kaki dingin dan berkeringat, nafas terengah-engah, hampir seluruh otot tegang, suhu terasa panas, tangan dan kaki gemetar, suara bergetar, berbicara cepat tetapi tidak jelas, tidak dapat mendengar dengan baik atau tidak berkonsentrasi, merasa ingin buang air kecil, gelisah Faktor-faktor penyebab kecemasan yaitu:Kurang mempersiapkan diri, harapan yang terlalu tinggi, cemas karena akan dinilai, pengalaman buruk di masa lampau yang menjadi ketakutan tersendiri, pembicara di hadapkan dengan situasi baru, merasa mempunyai saingan yang lebih unggul, merasa memiliki tekanan dari pewawancara, memiliki pemikiran akan mengalami situasi bahaya. Faktor-faktor mengatasi kecemasan yaitu:Berfikir positif, memiliki motivasi yang kuat, belajar dari pengalaman, berinteraksi, mendengarkan musik, persiapan yang cukup, meminta dukungan dari orang terdekat, percaya diri, yakin dengan kemampuan diri bertindak sesuai etika, mengikuti peraturan, sopan, tersenyum tulus, percaya kalau tes wawancara gagal bukan berarti akhir dari segalanya Hal ini berkaitam dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tabita Silitonga (Skripsi USU:2011) dengan hasil faktor penyebab kecemasan terbagi dua, faktor internal dari karakter dan bayangan negatif dari informan itu sendiri dan eksternal dari faktor lingkungan informan, serta pada tingkat kecemasan dan ketidakpastian tinggi, komunikasi antarpribadi yang berlangsung umumnya berlawanan dengan ciri komunikasi efektif Devito, yaitu saat terjadi kecemasan dan ketidakpastian yang tinggi keterbukaan yang terjadi rendah (Tabita,2011:179) Andrianto dan Dewi (2006) melakukan penelitian mengenai kecemasan berbicara di muka umum yaitu hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa fakultas Keguruan Universitas Muhammadiah Purwokerto (UMP). Penelitian ini menujukan adanya hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di muka umum, dimana semakin baik pola pikir yang dimiliki oleh seorang mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang dihadapi, begitu juga sebaliknya semakin buruk pola pikir yang dimiliki oleh seorang mahasiswa maka semakin tinggi tingkat kecemasan mahasiswa saat berbicara di muka umum. (http://www.eprints.ac.id //artikel ivan_dkk_kepercayaan_diri_dengan_kecemasan.htm). Tabel 4.1 Kecemasan Tahap Pra-wawancara Nama Penyebab kecemasan Yunita Emilia, Ditta Adytya, Fionita Situasi baru Mengatasi kecemasan Merasa tes adalah tahap yang wajar adanya, antusias, merasa memiliki pengalaman dan kemampuan yang cukup, mendengarkan musik, melakukan interaksi. Imanda Rizky Soaloon Lubis, Taufik Hidayat Aprini, Dian Febrina Memiliki pengalaman kurang baik saat tes wawancara kerja. Melakukan interaksi, mempersiapkan jawaban tes wawancara berdasarkan pengalaman sebelumnya. Ketakutan dianggap kurang cerdas oleh pewawancara, takut telat, merasa saingan lebih bagus, tidak berani membuka diri, memiliki pengalaman kurang baik saat tes wawancara kerja Meminta dukungan dari orang yang dikenal, Meyakinkan diri cukup kompeten dengan latar belakang pendidikan. Tabel 4.2 Kecemasan Tahap Perkenalan Nama Penyebab kecemasan Ditta Adytya, Fionita Situasi baru, belum mengetahui tipe pewawancara Imanda Rizky Soaloon Lubis, Taufik Hidayat, Yunita Emilia Suara terlalu pelan, membuat kalimat yang sulit dimengerti, tidak dapat berbicara lancar Mengurangi kecemasan Bertindak sesuai etika/sopan santun, berfikir kalau tes ini akan cepat terlewati Bertindak ssesuai sopan santun, berjabat tangan, memberi senyum, menganggap wawancara memang tahap yang dibutuhkan. Situasi baru, belum megenali tipe pewawancara, merasa wawancara Aprini Situmorang, seperti proses interogasi, berdebar, Dian Febrina keringat dingin, ingin buang air kecil, bibir bergetar Tabel 4.2 Kecemasan Tahap Inti Wawancara Nama Penyebab Kecemasan Cemas pada tahap psikotes Ditta Adytya, dapat mengetahui kebohongan Taufik Hidayat mereka. Pertanyaan yang menjebak, Dian Febrina, bingung alasan memilih jurusan Fionita, Imanda kuliah dan alasan mencari kerja, Rizky, Yunita takut ketahuan mengarang Emilia cerita, tidak lancar berbicara Tidak suka bercerita tentang diri Aprini khususnya keluarga, merasa ada Situmorang tekanan, merasa pewawancara lebih pintar dalam segala hal, Pewawancara tipe orang yang ramah rapi, dan membuat wawancara menjadi suasana yang menyenangkan. Mengatasi Kecemasan Memperhatikan isyarat non-verbal pewawancara agar dapat memprediksi tindakan selanjutnya Sopan, mengatur jawaban yang baik, mengatur kalimat yang bagus, menceritakan tentang diri sendiri. Menatap pewawancara agar dianggap memiliki keberanian, bertindak seperti pada acara formal, tidak terlalu berharap akan diterima merasa minder karena saingan terlihat lebih bagus, kelihatan gemetar pada perusahaan yang dituju, berfikir kalau penerimaan itu tergantung rezeki orangnya. 5. Penutup Dari hasil penelitian mengenai kecemasan berkomunikasi antarpribadi saat menjalani tes wawancara dan cara mengatasinya, maka dapat ditarik kesimpulan: 1) Sebagian besar informan merasakan kecemasan dan ketidakpastian yang rendah pada tahap pra-wawancara karena meraka berpendapat kalau tes wawancara itu memang wajar dan memang begitu keadaannya. 2) Kebanyakan informan mengalami peningkatan kecemasan bila pada tahap awal sudah merasa cemas, kemudian pada tahap berikutnya komunikasi yang dilakukan tidak efektif meneguhkan kecemasan mereka terhadap tanggapan buruk pewawancara kepada mereka untuk menghindarinya mereka mengarang cerita dan gambaran positif mengenai dirinya. 3) Informan yang Introvert merasa cemas dan tidak pasti karena karakter personalnya yang memang tertutup. Mereka ingin mendapatkan dukungan hanya dengan orang yang sudah dianggapnya menjadi teman. Tetapi mahasiswa yang ekstrovert dapat mendapat dukungan dan usaha untuk mengurangi ketidakpastian dari peserta wawancara lainnya karena mereka tidak merasa sulit untuk berkomunikasi dengan peserta lainnya. 4) Untuk tingkat resiprositas sepertinya dominan informan akan mengalami tingkat resiprositas tinggi karena usaha untuk menyesuaikan diri atau kesamaan dengan pewawancara. Kecemasan saat wawancara seperti perasaan grogi tentang kemampuannya untuk berkomunikasi secara verbal dan non-verbal secara tepat, dan ketrampilan untuk menjadi pendengar yang baik. 5) Interaksi komunikasi antarpribadi informan terhadap pewawancara belum efektif karena dominan informan kurang membuka diri terhadap pewawancara, kurang berempati, lebh mengedepankan pencitraan diri yang baik di depan pewawancara. 6) Faktor yang paling sering menyebabkan kecemasan peserta wawancara baik pada tahap pra-wawancara, tahap perkenalan dan tahap inti wawancara yakni kecemasan yang ditimbulkan dari diri mereka sendiri (trait anxiety). Dengan kata lain gambaran akan ketakutan atau kesalahan yang belum pasti dilakukan sudah menghantui pikiran mereka sebelum menjalani tes wawancara. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa dominan informan tidak belajar (dalam kecemasan) melalui pengalaman, Kecemasan itu akan terus timbul, dan yang dapat mereka pelajari hanya bagaimana mengendalikan dan menekan perasaan itu untuk saja walaupun hanya untuk sementara saja. Kecemasan yang berasal dari dalam diri dapat berubah atau berkembang seiring dengan peningkatan komunikasi antarpribadi. Lain halnya dengan state anxiety hal ini akan terus menetap dipikiran para beberapa informan. Kecemasan karena faktor ini tidak akan berubah seiring dengan peningkatan atau penurunan tingkat komunikasi antarpribadi Yang dapat mereka lakukan hanya menekan kecemasannya atau mencoba mengabaikannya secara perlahan. Untuk mengalahkan rasa tersebut mereka perlu melakukan pembuktian diri bahwa mereka lebih baik.Sebagian besar informan dapat menguasai rasa kecemasannya karena ada pengendalian diri yang kuat dari dirinya sendiri. 7) Informan yang mengalami kecemasan rendah biasanya merasa diri mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh peserta lain atau keahlian yang memang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Daftar Pustaka American Psychiatric Association, 1994. DSM-IVtm : Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Dissorder. Washington.DC: The American Psychiatric Association Bungin, Burhan,2001 Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosia lainnya. Jakarta: Kencana Prenama Media Group. Bungin, Burhan,2010 Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosia lainnya. Jakarta: Kencana Prenama Media Group. Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Carol Tavris, Carol Wade. 2007. Psikologi,9th Edition. Jakarta: Penerbit Erlangga Corey, Geral. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama Davison, G.C, Neale,J.M & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnoral. Jakarta: Rajawali Press Dennis,Greenberger, 2004. Manajemen Pikiran : Metode Ampuh menata Pikiran Untuk Mengatasi Depresi, kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Yogyakarta: Mizan Devito, Joseph A, 2008 Essentials Of Human Communication. Boston,USA: Pearson Education, Inc. Devito, Joseph.A, 2001. The Interpersonal Communication Book, Longman. Ninth Edition. NYC: Dirgantoro, Franz & S.I Pratono, 2012. 99.9% Pasti Lolos Tes Wawancara Kerja. Jakarta: Tangga Pustaka. Diana Keable,1997. The Management of Anxiety: A Guide For Therapist. London: Churchill Livingstoone. Effendy, Onong Uchjana,2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Fajar, Marhaeni, 2009. Ilmu Komunikasi Teori & Praktik. Jakarta: Graha Ilmu Feist,Gregory Jess, 2010. Teori Kepribadian 1, Edisi.07. Jakarta:Salemba Humanika Haber, A. & Runyon, R.P. 1984. Psychology of Adjustment. New York: The Dorsey Press Jalaludin Rakhmat, 1995, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Morissan, 2010. Psikologi Komunikasi . Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia Manasa . Vol 1, No 1,2007. Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasan Berkomunikasi Secara Lisan pada Remaja. Semarang. UNISSULA Press Mark Durank & David Barlow. 2007. Psikologi Abnormal. Yogyakart: Pustaka Pelajar Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Nevid, J.S, Rathus, S.A & Green, B. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT. Refika Aditama. Paksi, Yongkie Jalu, 2011. 13 Pertanyaan Jebakan Wawancara Kerja. Yogyakarta: PT. Buku Seru Safaria, Triantono & Saputra, Nofrans Eka, 2009. Manajemen Emosi : Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta : PT. Bumi Aksara Silitonga, Tabitha,2011. Skripsi:Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Mahasiswa FISIP USU Pada Proses Bimbingan Skripsi. Medan:USU Press Sumadinata, N. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda karya Wiryanto, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:Gramedia Widiastama Indonesia Zaviera Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Yogyakarta: KTD Website: http://file.upi.edu/article/9876_ilmu_komunikasi_htm. Diakses tanggal 17 Maret 2012 http:// www.usu.ac.id/ilmu - sosial-dan-ilmu - politik./repository/.html diakses tanggal 17 Maret 2012 http:// e-jornal/ PSIKOLOGI/kecemasan-anxiety-pengertian-dan-ciri.html. diakses tanggal 20 Juli 2012 http://psikologi-unissula.com/article/88579/self-efficacy-dengan-kecemasan-komunikasipada-mahasiswa-dalam-mempresentasikan-tugas-di-depan-kelas.html. Diakses tanggal 17 Maret 2012 http:/ /www.skripsimahasiswa.blogspot.com./tekhnik-analisa-data//. Diakses tanggal 18 Maret 2012 http:// www. eprints.ac.id/7625/1/kecemasanJIS.pdf. Diakses tanggal 18 Maret 2012. http://www.sinaukomunikasi.Wordpress.com/kecemasan/mccroskey.Diakses tanggal 18 Maret 2012 http://www.skripsimahasiswa.blogspot.com. Diakses tanggal 18 Maret 2012 http://www.eprints.ac.id//artikel_ivan_dkk_kepercayaan_diri_dengan_kecemasan.htm). Diakses tanggal 29 Maret 2012 http://www.anneahira.com/definisi_ilmu_komunikasi.htm. Diakses tanggal 29 Maret 2012 http:// www.psychologymania.blogspot.com-kecemasan.htm.diakses tanggal 20 Juli 2012