Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 PENGURANGAN BAU (OFF-ODOR) DAGING ITIK CIHATEUP DENGAN SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN (Decreasing Meat Off-Odor of Cihateup Duck by Antioxidant Supplementation) S.Y. RANDA1, P.S. HARDJOSWORO2, A. APRIYANTONO3 dan R. HUTAGALUNG4 1 Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua 2 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor 4 Nutrifindo ABSTRACT The objective of this study was to determine the effect of antioxidant supplementation of vitamin E either without or combined with vitamin A and C in order to reduce an intensity of duck meat off-odor. Level of supplementation per kilogram ration were: 20,000 IU vitamin A, 250 mg vitamin C and 400 IU vitamin E (dα-tocopheryl acetate). The supplementation treatments were vitamin E without combination with other vitamins (E0), vitamin E and vitamin A (EA), vitamin E and C (EC), and vitamin E with vitamin A and C (EAC). The control treatment was the basal ration without any vitamin supplementation (E0). The protein content of basal ration for starter diet was 20%, and finisher diet was 16%. Both diets had the same energy content of 3000 kcal/kg. The main energy source for the ration was coconut oil, which was provided in the ration 7.5%. In this study, 80 male DOD Cihateup ducks were used. The treatment was given for 10 weeks to the animals since they were two weeks old. There were 10 trained panelists involved to evaluate the intensity and the attribute of meat off-odor. The study results showed that the antioxidant supplementation was able to reduce the meat off-odor intensity. Vitamin and antioxidant in combination form especially combination of vitamin E and C was the most effective treatment to produce meat with the lowest off-odor intensity. The supplementation of antioxidant not only decreased off-odor intensity, but also changed the profile of off-odor attribute, from fishy to fatty. Key Words: Cihateup Duck, Meat Off-Odor, Antioxidant, Vitamin E ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan untuk menentukan pengaruh suplementasi antioksidan vitamin E yang diberikan tanpa atau dikombinasikan dengan vitamin A atau C terhadap pengurangan intensitas bau (off-odor) daging itik. Dosis dari masing-masing vitamin per kg ramsum yaitu: vitamin A 20 000 IU, vitamin C 250 mg, dan vitamin E (d-α-tokoferil asetat) 400 IU. Perlakuan suplementasi vitamin yaitu vitamin E tanpa kombinasi (E0), kombinasi vitamin E dan C (EC), vitamin E dan A (EA), vitamin E, A dan C (EAC). Sebagai perlakuan kontrol diberikan ransum basal tanpa suplementasi vitamin (E0). Kandungan protein ransum basal untuk periode starter 20%, dan periode finisher 16%. Kandungan energi untuk kedua jenis ransum tersebut sama, 3000 kkal/kg. Sumber energi utama ransum berasal dari minyak kelapa sebanyak 7.5%. Sebagai ternak percobaan dipergunakan itik cihateup jantan sebanyak 80 ekor, yang telah mulai dipelihara sejak umur harian (itik meri, DOD). Pemberian ransum dilakukan selama 10 minggu periode penelitian, yang dimulai pada umur ternak dua minggu. Panelis terlatih sebanyak 10 orang dilibatkan dengan menggunakan metode sensori mengukur intensitas bau (off-odor) dan jenis atau komponen off-odor daging. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan vitamin dapat menurunkan intensitas off-odor daging. Pemberian vitamin dengan cara kombinasi terutama kombinasi vitamin E dan C sangat efektif menghasilkan daging dengan intensitas off-odor paling rendah. Selain menurunkan intensitas off-odor, pemberian vitamin antioksidan juga mengubah profil intensitas komponen off-odor daging itik, dari yang lebih berbau amis (fishy) menjadi lebih berbau lemak (fatty). Kata Kunci: Itik Cihateup, Bau (Off-Odor) Daging, Antioksidan, Vitamin E 629 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 PENDAHULUAN Itik cihateup asal Tasikmalaya (Jawa Barat) memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber daging yang dapat berkontribusi nyata terhadap pemenuhan konsumsi protein bagi masyarakat Indonesia. Namun demikian, rendahnya selera dan terbatasnya konsumen terhadap daging itik menjadikannya sebagai salah satu alasan bagi peternak untuk belum memberi perhatian serius bagi pengembangan ternak ini sebagai sumber daging. Peternak itik umumnya lebih memfokus usahanya pada produksi telur saja. Pembatasan selera konsumen terhadap daging itik ini sangat dipengaruhi oleh adanya bau tak sedap (off-odor) pada daging itik tersebut. Sebagian besar orang menyebutkan bau tak sedap pada daging itik itu sebagai bau amis atau bau anyir. Terbentuknya bau tak sedap (off-odor) pada daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: genetik, pakan, perubahan kimia daging, dan manajemen pengolahan daging (HEATH dan REINECCIUS, 1986). Pengaruh genetik menyebabkan adanya off-odor yang spesifik dari masing-masing jenis ternak, seperti boar odor pada daging babi jantan dan mutton odor pada daging domba (BAILEY et al., 1992). Pembentukan off-odor spesifik itu sangat terkait dengan senyawa-senyawa kimia volatil tertentu yang terdapat dalam daging. Sebagai contoh, 3α-hidroksi-5α-androst-16ene dan 4-metil oktanoat adalah komponenkomponen kimia yang secara berturut-turut, berperan dalam pembentukan boar odor dan mutton odor (HEATH dan REINECCIUS, 1986). Selain ditentukan oleh adanya senyawasenyawa kimia tertentu, off-odor pada daging dapat semakin dipertajam dengan terjadinya perubahan-perubahan komponen organik daging yang terutama disebabkan oleh oksidasi lemaknya. Oksidasi lemak ini menjadi masalah yang serius pada kualitas daging karena bukan saja terkait dengan pembentukan off-odor, tetapi juga menyebabkan perubahan pada warna dan tekstur daging. Sebagai unggas air, itik memiliki kandungan lemak tubuh yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ternak unggas lain, ayam misalnya. Tingginya kandungan lemak pada itik sangat berpotensi untuk terjadinya oksidasi lemak yang berakibat pada 630 terbentuknya off-odor pada ternak tersebut. Penelitian Hustiany (2001) terhadap itik Jawa melaporkan bahwa tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh menjadi faktor penyebab terbentuknya off-odor pada daging ternak tersebut. Kualitas off-odor akibat oksidasi lemak yang terdeteksi dari penelitian tersebut, yaitu antara lain: bau green, grassy, langu, apek, amis dan pesing. Penggunaan antioksidan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan dari kerusakan, khususnya kerusakan yang diakibatkan oleh oksidasi, sudah banyak diteliti. Hasil-hasil penelitiannya membuktikan bahwa antioksidan merupakan salah satu cara efektif mengatasi persoalan tersebut. Oksidasi suatu bahan pangan tidak hanya mengakibatkan kualitasnya menurun dan kemudian menjadi rusak sehingga tidak layak lagi dikonsumsi (RUSSELL et al., 2004), akan tetapi oksidasi juga merupakan penyebab dari terbentuknya radikal-radikal bebas dalam bahan pangan (MORRISSEY et al., 1994). Pemakaian vitamin E (α-tokoferol) dalam ransum dapat bersifat ganda. Vitamin E selain dimanfaatkan oleh ternak sebagai komponen nutrisi yang diperlukan dalam proses-proses fisiologis dan metabolisme tubuh, juga berperan sebagai senyawa antioksidan. Pada tahap penelitian ini, vitamin E dipakai dalam fungsinya sebagai antioksidan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, diperoleh bahwa vitamin E sebagai antioksidan efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan-persoalan penurunan mutu bahan pangan, khususnya daging ternak, akibat degradasi oksidatif (BRUNN-JENSEN et al., 1996; RUSSELL et al., 2003). Beberapa penelitian melaporkan pula bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih tinggi bilamana dapat bersinergisme dengan antioksidan lain daripada hanya bekerja sebagai senyawa tunggal. Vitamin antioksidan lain yang dapat bersinergis dengan vitamin E untuk meningkatkan daya antioksidannya, yaitu vitamin A dan C (LAMBELET et al., 1985). Penelitian ini dilaksanakan untuk mencoba memanfaatkan kemampuan vitamin sebagai antioksidan, khususnya vitamin E, guna menghambat dan mengurangi pembentukan bau amis pada daging itik, yang diduga bau tersebut terbentuk akibat adanya proses oksidasi yang dialami oleh lemak yang terdapat dalam daging ataupun dalam depot-depot Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 lemak lainnya. Oleh karena itu hipotesis yang ditetapkan untuk penelitian ini bahwa supplementasi vitamin E sebagai antioksidan, baik secara tunggal ataupun yang dikombinasikan dengan vitamin antioksidan lain, yakni vitamin A dan C, dapat mengurangi dan atau menghilangkan off-odor pada daging itik Cihateup. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan bertempat di Laboratorium Bagian IPT Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB; dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Ternak yang dipakai dalam percobaan ini yaitu itik meri jantan dari galur cihateup sebanyak 80 ekor, yang diperoleh dari Laboratorium Bagian IPT Unggas IPB. Penyusunan ransum percobaan dilakukan dengan mensuplementasikan ke dalam ransum basal berbagai kombinasi antioksidan, yang terdiri atas vitamin A, C dan E. Dosis dari masing-masing vitamin per kilogram ransum adalah: vitamin A 20 000 IU, vitamin C 250 mg, dan vitamin E (d-α-tokoferil asetat) 400 IU. Kombinasi disusun dengan menggunakan vitamin E (α-tokoferol) sebagai basis komposisi. Suplementasi kombinasi komposisi vitamin ke dalam ransum basal yang merupakan perlakuan dalam percobaan ini, yaitu: 1. Tanpa suplementasi (ransum perlakuan kontrol, E0) 2. Suplementasi vitamin E tanpa kombinasi (E1) 3. Suplementasi kombinasi vitamin E dan A (EA) 4. Suplementasi kombinasi vitamin E dan C (EC) 5. Suplementasi kombinasi vitamin E, A,dan C (EAC) Ransum basal disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak itik pedaging dengan mengacu pada NRC (1994), yaitu untuk ransum pertumbuhan awal (starter), kandungan protein 20% dan energi metabolis 3000 kkal/kg; untuk ransum pertumbuhan akhir (finisher), kandungan protein 16% dan energi metabolis 3000 kkal/kg. Ransum basal menggunakan minyak kelapa sebanyak 7,5% sebagai sumber utama energi ransum. Komposisi lengkap ransum basal diseneraikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Susunan bahan pakan ransum basal* Bahan makanan (%) Pertumbuhan awal akhir Jagung kuning 10,00 15,00 Tepung tapioka 7,05 7,00 Minyak kelapa 7,50 7,50 CGM (corn gluten meal) 8,64 5,00 Bungkil kacang kedelai 18,26 9,71 Tepung gandum 8,68 7,55 Polard gandum 36,00 44,27 Garam dapur (NaCl) 0,25 0,25 Dikalsium fosfat (DCP) 1,50 1,25 Tepung kapur 0,52 0,78 DL-metionin 0,08 0,10 L-lisin 0,37 0,14 L-treonin 0,14 0,42 L-triptofan 0,01 0,03 Vitamin mix 0,50 0,50 Mineral mix 0,50 0,50 Komposisi nutrisi ransum Energi metabolis (EM) 3000 (kkal/kg) Protein kasar (%) 20 3000 16 Lemak kasar (%) 9,79 10,14 Serat kasar 6,08 6,21 *Kandungan nutrisi dihitung berdasarkan pada bahan kering 90% Pemberian ransum perlakuan dalam masa periode pertumbuhan awal (starter-grower) mulai dari umur dua sampai lima minggu. Setelah itu dilanjutkan dengan ransum periode pertumbuhan akhir (finisher) dari umur lima sampai sepuluh minggu. Pemberian ransum dalam bentuk tepung (all mash) dan air minum ad libitum. Pemberian ransum diberikan sebanyak 100 – 125 gram/hari/ekor pada fase starter dan 150 – 200 gram/hari/ekor pada fase finisher. Pemberian ransum 2 – 3 kali per hari. Pengukuran sisa ransum dilakukan setiap pagi, bersamaan dengan pembersihan kandang. Masa pemeliharaan starter selama lima minggu. Pada umur pemeliharaan empat 631 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 minggu, secara bertahap ransum starter digantikan dengan ransum akhir pertumbuhan (finisher). Secara penuh ransum finisher mulai diberikan pada umur pemeliharaan ternak lima minggu. Pemotongan ternak dilaksanakan saat periode pemeliharaan 10 minggu, atau umur ternak 12 minggu. Prosedur pemotongan dikondisikan agar ternak tidak mengalami stres yang berlebihan. Variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu terdiri atas tingkat intensitas bau (offodor) dan jenis bau (off-odor) daging itik. Sampel daging diperoleh dari bagian paha (tanpa kulit) ternak itik percobaan. Intensitas dan jenis bau diukur dengan menggunakan pengujian sensori. Pelaksanaan uji sensori pada tahap ini menggunakan dua metode, yaitu uji ranking dan uji deskripsi, dengan melibatkan 10 panelis terlatih. Pada uji ranking, rancangan yang dipakai adalah acak kelompok lengkap. Setiap panelis menerima dua set sampel. Masing-masing set, terdiri atas lima bahan uji yang mewakili perlakuan ransum yang diberikan kepada ternak. Setiap bahan uji diberi nomor kode sampel tiga digit yang ditetapkan menggunakan Tabel Bilangan Acak. Sampel daging yang diuji berbentuk kubus 1 cm3, direbus selama 40 menit, dan ditempatkan dalam botol bening bertutup. Panelis memberikan penilaian intensitas offodor pada masing-masing sampel dengan mengurutkan sampel-sampel tersebut dalam ranking 1, 2, 3 , 4 dan 5. Ranking 1 menunjukkan tingkatan off-odor yang sangat rendah, sedangkan ranking 5, yaitu tingkatan off-odor yang sangat tinggi. Referensi off-odor memakai daging rebus yang diambil dari bagian tunggir ternak. Penentuan jenis atau atribut off-odor daging itik dilakukan dengan menggunakan uji deskripsi, dan yang ditetapkan melalui hasil diskusi dan kesepakatan bersama dengan semua panelis. Berdasarkan pada penetapan tersebut diperoleh enam jenis atribut off-odor daging itik, yaitu tengik (rancid), amis (fishy), bau lemak (fatty), bau basi atau bau jamur (moldy), langu (beany), bau tanah (earthy). Masing-masing jenis bau tersebut selanjutnya diukur intensitasnya dengan menggunakan garis skala 0 – 150 mm. Uji ranking dan analisisnya pada tahap ini dilaksaksanakan dengan analisis Friedman 632 dalam perancangan acak kelompok lengkap menurut prosedur MEILGAARD et al. (1999). Atribut off-odor dianalisis dengan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA) melalui pengujian skala garis, dan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) dengan program Biplot yang dijalankan melalui perangkat lunak Microsoft Office Excel 2003. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan intensitas off-odor hasil uji ranking terhadap daging itik dari ternak-ternak yang diberi perlakuan berbagai kombinasi antioksidan diperlihatkan dalam diagram Gambar 1. Analisis hasil uji ranking yang dilakukan dengan metode Friedman memperlihatkan bahwa penggunaan antioksidan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap intensitas off-odor daging itik cihateup. Uji lanjut LSD pada taraf 5% memperlihatkan bahwa semua perlakuan antioksidan menghasilkan intensitas off-odor daging itik yang nyata lebih rendah daripada yang tidak diberi antioksidan (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi antioksidan yang berbasis pada vitamin E (αtokoferol) efektif dalam mengurangi off-odor pada daging itik. 2.95 b EAC 1.9 c EC 3.1 b EA 2.7 b E1 4.35 a EO 1 2 3 4 5 Gambar 1. Nilai rataan ranking intensitas off-odor dari masing-masing ransum perlakuan Dari semua perlakuan antioksidan, kombinasi vitamin E dan C memperlihatkan hasil yang paling efektif mengurangi intensitas off-odor dibandingkan tiga perlakuan antioksidan yang lain. Hal ini disebabkan oleh efek sinergis antara vitamin E dan C dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 fungsinya sebagai antioksidan yang menghambat jalannya proses oksidasi lemak daging. Sehingga dengan demikian menghambat pula proses terbentuknya senyawa-senyawa volatil off-odor yang berasal dari oksidasi lemak. Perlakuan E1, EA dan EAC meskipun dapat mengurangi off-odor tetapi tidak sesignifikan perlakuan EC. Pengaruh ketiga perlakuan itu tidak dapat dibedakan secara tegas, sebagaimana pengaruh perlakuan EC. Lebih rendahnya off-odor pada perlakuan kombinasi EC daripada kombinasi EA maupun EAC, menunjukkan bahwa mekanisme sinergisme antara vitamin E dan C lebih efektif daripada antara vitamin E dan A, maupun antara vitamin E, A dan C. Perbedaan keefektifan antara kombinasi vitamin E-C dan E-A dinyatakan pula oleh NIKI et al. (1995) yang melaporkan bahwa interaksi antara αtokoferol dan β-karoten (vitamin A) tidak nyata sebagaimana pada interaksi antara αtokoferol dan asam askorbat (vitamin C). Hal ini disebabkan oleh sifat vitamin A yang bilamana tidak dimetabolisir dengan sempurna oleh tubuh, vitamin tersebut dapat beralih peran menjadi prooksidan. Hasil analisis dengan menggunakan metode QDA diperlihatkan dengan pemetaan masingmasing atribut dalam model jaring laba-laba yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Tampak pada gambar itu bahwa pemberian berbagai perlakuan antioksidan berpengaruh terhadap intensitas masing-masing atribut off-odor. Perlakuan E0 mempunyai luasan area intensitas yang lebih besar daripada perlakuan lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat offodor pada daging yang tidak diberi antioksidan lebih tinggi daripada yang diberi antioksidan. Luasan area yang paling kecil diperlihatkan oleh perlakuan EC. Perlakuan E0 atau tanpa antioksidan lebih condong ke arah fishy, sedangkan yang disuplementasikan dengan antioksidan lebih ke arah fatty. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan antioksidan berpengaruh dalam mengurangi intensitas bau fishy pada daging itik. Analisis keterkaitan hubungan dari masingmasing atribut off-odor berdasarkan pada kualitasnya dan pengaruh antioksidan yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis Komponen Utama diperlihatkan oleh Gambar 3. Hasil dari grafik menunjukkan bahwa hanya dengan menggunakan komponen pertama, sudah bisa memberi indikasi bahwa terdapat hubungan yang kuat sebesar 92,5% untuk menjelaskan adanya hubungan antara jenis off-odor dan kualitasnya, serta antara kualitas off-odor dengan perlakuan antioksidan yang diberikan. Fatty 100 80 60 Beany Fishy 40 20 0 Earthy Rancid Moldy E0 E1 EA EC EAC Gambar 2. Atribut off-odor daging itik cihateup masing-masing ransum perlakuan Berdasarkan analisis pada Gambar 3, enam jenis off-odor daging itik yang dideteksi dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori sesuai sifat dan kualitas dari offodor tersebut. Kelompok pertama terdiri atas beany, moldy, fatty dan earthy; sedangkan, kelompok yang kedua yaitu rancid dan fishy. Kelompok yang disebut pertama, merupakan jenis-jenis off-odor yang kualitas intensitasnya relatif bersifat sedang apabila dibandingkan dengan kelompok yang kedua, fishy dan rancid. Keterkaitan antara perlakuan kontrol (E0) dengan bau fishy seperti yang ditunjukkan oleh analisis QDA, diperlihatkan pula dalam Gambar 3. Perlakuan E0 berada dalam satu kuadran dengan bau fishy dalam jarak yang sangat dekat. Hal ini menunjukkan bahwa daging yang berasal dari ternak yang tidak diberi antioksidan (E0) memiliki bau fishy yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan off-odor lainnya. Demikian juga posisi EC yang berseberangan jauh dari E0, menunjukkan kemampuan perlakuan tersebut yang menghasilkan intensitas off-odor yang paling rendah. 633 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 2 1,5 Fishy E0 PC 2 (4,4%) 1 EC EA 0,5 E1 -4 -3 -2 -1 0 0 -0,5 Rancid 1 2 3 Earthy 4 5 6 Moldy -1 Fatty -1.5 Beany -2 -2,5 EAC -3 PC 1 (92,5%) Gambar 3. Hubungan antara kualitas atribut off-odor dengan perlakuan berbagai antioksidan berdasarkan analisis komponen utama KESIMPULAN 1. Suplementasi vitamin sebagai antioksidan dalam ransum itik mampu mengurangi intensitas bau (off-odor) daging itik. Pemberian dalam bentuk kombinasi vitamin, terutama kombinasi vitamin E dan C sangat efektif dalam upaya pengurangan bau (off-odor) daging tersebut. 2. Pemberian antioksidan vitamin mengubah profil intensitas komponen bau (off-odor) daging itik dari yang lebih berbau amis (fishy) menjadi berbau lemak (fatty). DAFTAR PUSTAKA BAILEY, M,E,, T.J. ROURKE, R.A. GUTHEIL and C.Y.J. WANG. 1992. Undesirable flavors of meat. In: Off-Flavors in Foods and Beverages. CHARALAMBOUS, G. (Ed.). Amsterdam: Elsevier. hlm. 127 – 159. BRUUN-JENSEN, L., M. SKOVGAARD, E.A. MADSEN, L.H. SKIBSTED and G. BERTELSEN. 1996. The combined effect of tocopherols, L-ascorbyl palmitate and L-ascorbic acid on the development of warmed-over flavour in cooked, minced turkey. Food Chem. 55: 41 – 47. 634 HEATH, H.B. and G. REINECCIUS. 1986. Flavor Chemistry and Technology. Avi Book, New York. hlm 71 – 111. HUSTIANY, R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. LAMBELET, T., F. SAUCY and J. LOLIGER. 1985. Chemical evidence for interactions between vitamin E and C. Experentia 41: 1384 – 1388. RUSSELL, E.A., A. LYNCH, K. GALVIN, P.B. LYNCH and J.P. KERRY. 2003. Quality of raw, frozen and cooked duck meat as affected by dietary fat and α-tocopheryl acetate supplementation. Int. J. Poult. Sci. 2(5): 324 – 334. RUSSELL, E.A., P.B. LYNCH, K. O’SULLIVAN and J.P. KERRY. 2004. Dietary supplementation of αtocopheryl acetate on α-tocopherol levels in duck tissues and its influence on meat storage stability. Int. J. Food Sci. Tech. 39: 331 – 340. MEILGAARD, M., G.V. CIVILLE dan B.T. CARR. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Pr., New York. MORRISEY, P.A., D.J. BUCKLEY, P.J.A. SHEEHY and F.J. MONAHAN. 1994. Vitamin E and meat quality. Proc. Nutr. Soc. 53: 289 – 295. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 N.R.C. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ed rev. ke-9. D.C: National Academy Pr., Washington. Niki, E., N. Noguchi, H. Tsuchihashi and N. Gotoh. 1995. Interaction among vitamin C, vitamin E, and β-carotene. Am. J. Clin. Nutr. Supl 62: 1322S – 1326S. 635