PENGURANGAN BAU (OFF-ODOR) DAGING ITIK CIHATEUP

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENGURANGAN BAU (OFF-ODOR) DAGING ITIK
CIHATEUP DENGAN SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN
(Decreasing Meat Off-Odor of Cihateup Duck by Antioxidant
Supplementation)
S.Y. RANDA1, P.S. HARDJOSWORO2, A. APRIYANTONO3 dan R. HUTAGALUNG4
1
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua
2
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
3
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
4
Nutrifindo
ABSTRACT
The objective of this study was to determine the effect of antioxidant supplementation of vitamin E either
without or combined with vitamin A and C in order to reduce an intensity of duck meat off-odor. Level of
supplementation per kilogram ration were: 20,000 IU vitamin A, 250 mg vitamin C and 400 IU vitamin E (dα-tocopheryl acetate). The supplementation treatments were vitamin E without combination with other
vitamins (E0), vitamin E and vitamin A (EA), vitamin E and C (EC), and vitamin E with vitamin A and C
(EAC). The control treatment was the basal ration without any vitamin supplementation (E0). The protein
content of basal ration for starter diet was 20%, and finisher diet was 16%. Both diets had the same energy
content of 3000 kcal/kg. The main energy source for the ration was coconut oil, which was provided in the
ration 7.5%. In this study, 80 male DOD Cihateup ducks were used. The treatment was given for 10 weeks to
the animals since they were two weeks old. There were 10 trained panelists involved to evaluate the intensity
and the attribute of meat off-odor. The study results showed that the antioxidant supplementation was able to
reduce the meat off-odor intensity. Vitamin and antioxidant in combination form especially combination of
vitamin E and C was the most effective treatment to produce meat with the lowest off-odor intensity. The
supplementation of antioxidant not only decreased off-odor intensity, but also changed the profile of off-odor
attribute, from fishy to fatty.
Key Words: Cihateup Duck, Meat Off-Odor, Antioxidant, Vitamin E
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan untuk menentukan pengaruh suplementasi antioksidan vitamin E yang
diberikan tanpa atau dikombinasikan dengan vitamin A atau C terhadap pengurangan intensitas bau (off-odor)
daging itik. Dosis dari masing-masing vitamin per kg ramsum yaitu: vitamin A 20 000 IU, vitamin C 250 mg,
dan vitamin E (d-α-tokoferil asetat) 400 IU. Perlakuan suplementasi vitamin yaitu vitamin E tanpa kombinasi
(E0), kombinasi vitamin E dan C (EC), vitamin E dan A (EA), vitamin E, A dan C (EAC). Sebagai perlakuan
kontrol diberikan ransum basal tanpa suplementasi vitamin (E0). Kandungan protein ransum basal untuk
periode starter 20%, dan periode finisher 16%. Kandungan energi untuk kedua jenis ransum tersebut sama,
3000 kkal/kg. Sumber energi utama ransum berasal dari minyak kelapa sebanyak 7.5%. Sebagai ternak
percobaan dipergunakan itik cihateup jantan sebanyak 80 ekor, yang telah mulai dipelihara sejak umur harian
(itik meri, DOD). Pemberian ransum dilakukan selama 10 minggu periode penelitian, yang dimulai pada
umur ternak dua minggu. Panelis terlatih sebanyak 10 orang dilibatkan dengan menggunakan metode sensori
mengukur intensitas bau (off-odor) dan jenis atau komponen off-odor daging. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan vitamin dapat menurunkan intensitas off-odor daging.
Pemberian vitamin dengan cara kombinasi terutama kombinasi vitamin E dan C sangat efektif menghasilkan
daging dengan intensitas off-odor paling rendah. Selain menurunkan intensitas off-odor, pemberian vitamin
antioksidan juga mengubah profil intensitas komponen off-odor daging itik, dari yang lebih berbau amis
(fishy) menjadi lebih berbau lemak (fatty).
Kata Kunci: Itik Cihateup, Bau (Off-Odor) Daging, Antioksidan, Vitamin E
629
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN
Itik cihateup asal Tasikmalaya (Jawa Barat)
memiliki
potensi
yang
besar
untuk
dikembangkan sebagai sumber daging yang
dapat berkontribusi nyata terhadap pemenuhan
konsumsi protein bagi masyarakat Indonesia.
Namun demikian, rendahnya selera dan
terbatasnya konsumen terhadap daging itik
menjadikannya sebagai salah satu alasan bagi
peternak untuk belum memberi perhatian
serius bagi pengembangan ternak ini sebagai
sumber daging. Peternak itik umumnya lebih
memfokus usahanya pada produksi telur saja.
Pembatasan selera konsumen terhadap daging
itik ini sangat dipengaruhi oleh adanya bau tak
sedap (off-odor) pada daging itik tersebut.
Sebagian besar orang menyebutkan bau tak
sedap pada daging itik itu sebagai bau amis
atau bau anyir.
Terbentuknya bau tak sedap (off-odor) pada
daging dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: genetik, pakan, perubahan kimia
daging, dan manajemen pengolahan daging
(HEATH dan REINECCIUS, 1986). Pengaruh
genetik menyebabkan adanya off-odor yang
spesifik dari masing-masing jenis ternak,
seperti boar odor pada daging babi jantan dan
mutton odor pada daging domba (BAILEY et
al., 1992). Pembentukan off-odor spesifik itu
sangat terkait dengan senyawa-senyawa kimia
volatil tertentu yang terdapat dalam daging.
Sebagai contoh, 3α-hidroksi-5α-androst-16ene dan 4-metil oktanoat adalah komponenkomponen kimia yang secara berturut-turut,
berperan dalam pembentukan boar odor dan
mutton odor (HEATH dan REINECCIUS, 1986).
Selain ditentukan oleh adanya senyawasenyawa kimia tertentu, off-odor pada daging
dapat semakin dipertajam dengan terjadinya
perubahan-perubahan
komponen
organik
daging yang terutama disebabkan oleh oksidasi
lemaknya. Oksidasi lemak ini menjadi masalah
yang serius pada kualitas daging karena bukan
saja terkait dengan pembentukan off-odor,
tetapi juga menyebabkan perubahan pada
warna dan tekstur daging.
Sebagai unggas air, itik memiliki
kandungan lemak tubuh yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan ternak unggas lain,
ayam misalnya. Tingginya kandungan lemak
pada itik sangat berpotensi untuk terjadinya
oksidasi lemak yang berakibat pada
630
terbentuknya off-odor pada ternak tersebut.
Penelitian Hustiany (2001) terhadap itik Jawa
melaporkan bahwa tingginya kandungan asam
lemak tidak jenuh menjadi faktor penyebab
terbentuknya off-odor pada daging ternak
tersebut. Kualitas off-odor akibat oksidasi
lemak yang terdeteksi dari penelitian tersebut,
yaitu antara lain: bau green, grassy, langu,
apek, amis dan pesing.
Penggunaan
antioksidan
untuk
mempertahankan kualitas bahan pangan dari
kerusakan, khususnya kerusakan
yang
diakibatkan oleh oksidasi, sudah banyak
diteliti. Hasil-hasil penelitiannya membuktikan
bahwa antioksidan merupakan salah satu cara
efektif mengatasi persoalan tersebut. Oksidasi
suatu bahan pangan tidak hanya mengakibatkan
kualitasnya menurun dan kemudian menjadi
rusak sehingga tidak layak lagi dikonsumsi
(RUSSELL et al., 2004), akan tetapi oksidasi
juga merupakan penyebab dari terbentuknya
radikal-radikal bebas dalam bahan pangan
(MORRISSEY et al., 1994). Pemakaian vitamin
E (α-tokoferol) dalam ransum dapat bersifat
ganda. Vitamin E selain dimanfaatkan oleh
ternak sebagai komponen nutrisi yang
diperlukan dalam proses-proses fisiologis dan
metabolisme tubuh, juga berperan sebagai
senyawa antioksidan. Pada tahap penelitian ini,
vitamin E dipakai dalam fungsinya sebagai
antioksidan. Dari berbagai penelitian yang
sudah dilakukan, diperoleh bahwa vitamin E
sebagai antioksidan efektif dan efisien dalam
mengatasi persoalan-persoalan penurunan mutu
bahan pangan, khususnya daging ternak, akibat
degradasi oksidatif (BRUNN-JENSEN et al.,
1996; RUSSELL et al., 2003).
Beberapa penelitian melaporkan pula
bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih
tinggi bilamana dapat bersinergisme dengan
antioksidan lain daripada hanya bekerja
sebagai senyawa tunggal. Vitamin antioksidan
lain yang dapat bersinergis dengan vitamin E
untuk meningkatkan daya antioksidannya, yaitu
vitamin A dan C (LAMBELET et al., 1985).
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencoba
memanfaatkan kemampuan vitamin sebagai
antioksidan, khususnya vitamin E, guna
menghambat dan mengurangi pembentukan
bau amis pada daging itik, yang diduga bau
tersebut terbentuk akibat adanya proses
oksidasi yang dialami oleh lemak yang terdapat
dalam daging ataupun dalam depot-depot
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
lemak lainnya. Oleh karena itu hipotesis yang
ditetapkan untuk penelitian ini bahwa
supplementasi vitamin E sebagai antioksidan,
baik
secara
tunggal
ataupun
yang
dikombinasikan dengan vitamin antioksidan
lain, yakni vitamin A dan C, dapat mengurangi
dan atau menghilangkan off-odor pada daging
itik Cihateup.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama enam
bulan bertempat di Laboratorium Bagian IPT
Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
IPB; dan di Laboratorium Kimia Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Ternak yang dipakai dalam percobaan ini
yaitu itik meri jantan dari galur cihateup
sebanyak 80 ekor, yang diperoleh dari
Laboratorium Bagian IPT Unggas IPB.
Penyusunan ransum percobaan dilakukan
dengan mensuplementasikan ke dalam ransum
basal berbagai kombinasi antioksidan, yang
terdiri atas vitamin A, C dan E. Dosis dari
masing-masing vitamin per kilogram ransum
adalah: vitamin A 20 000 IU, vitamin C 250
mg, dan vitamin E (d-α-tokoferil asetat) 400
IU. Kombinasi disusun dengan menggunakan
vitamin E (α-tokoferol) sebagai basis
komposisi. Suplementasi kombinasi komposisi
vitamin ke dalam ransum basal yang
merupakan perlakuan dalam percobaan ini,
yaitu:
1. Tanpa suplementasi (ransum perlakuan
kontrol, E0)
2. Suplementasi vitamin E tanpa kombinasi
(E1)
3. Suplementasi kombinasi vitamin E dan A
(EA)
4. Suplementasi kombinasi vitamin E dan C
(EC)
5. Suplementasi kombinasi vitamin E, A,dan
C (EAC)
Ransum basal disusun berdasarkan
kebutuhan nutrisi ternak itik pedaging dengan
mengacu pada NRC (1994), yaitu untuk ransum
pertumbuhan awal (starter), kandungan protein
20% dan energi metabolis 3000 kkal/kg; untuk
ransum
pertumbuhan
akhir
(finisher),
kandungan protein 16% dan energi metabolis
3000 kkal/kg. Ransum basal menggunakan
minyak kelapa sebanyak 7,5% sebagai sumber
utama energi ransum. Komposisi lengkap
ransum basal diseneraikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Susunan bahan pakan ransum basal*
Bahan makanan (%)
Pertumbuhan
awal
akhir
Jagung kuning
10,00
15,00
Tepung tapioka
7,05
7,00
Minyak kelapa
7,50
7,50
CGM (corn gluten meal)
8,64
5,00
Bungkil kacang kedelai
18,26
9,71
Tepung gandum
8,68
7,55
Polard gandum
36,00
44,27
Garam dapur (NaCl)
0,25
0,25
Dikalsium fosfat (DCP)
1,50
1,25
Tepung kapur
0,52
0,78
DL-metionin
0,08
0,10
L-lisin
0,37
0,14
L-treonin
0,14
0,42
L-triptofan
0,01
0,03
Vitamin mix
0,50
0,50
Mineral mix
0,50
0,50
Komposisi nutrisi ransum
Energi metabolis (EM)
3000
(kkal/kg)
Protein kasar (%)
20
3000
16
Lemak kasar (%)
9,79
10,14
Serat kasar
6,08
6,21
*Kandungan nutrisi dihitung berdasarkan pada bahan
kering 90%
Pemberian ransum perlakuan dalam masa
periode pertumbuhan awal (starter-grower)
mulai dari umur dua sampai lima minggu.
Setelah itu dilanjutkan dengan ransum periode
pertumbuhan akhir (finisher) dari umur lima
sampai sepuluh minggu. Pemberian ransum
dalam bentuk tepung (all mash) dan air minum
ad libitum. Pemberian ransum diberikan
sebanyak 100 – 125 gram/hari/ekor pada fase
starter dan 150 – 200 gram/hari/ekor pada fase
finisher. Pemberian ransum 2 – 3 kali per hari.
Pengukuran sisa ransum dilakukan setiap pagi,
bersamaan dengan pembersihan kandang.
Masa pemeliharaan starter selama lima
minggu. Pada umur pemeliharaan empat
631
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
minggu, secara bertahap ransum starter
digantikan dengan ransum akhir pertumbuhan
(finisher). Secara penuh ransum finisher mulai
diberikan pada umur pemeliharaan ternak lima
minggu. Pemotongan ternak dilaksanakan saat
periode pemeliharaan 10 minggu, atau umur
ternak 12 minggu. Prosedur pemotongan
dikondisikan agar ternak tidak mengalami stres
yang berlebihan.
Variabel yang diukur dalam penelitian ini
yaitu terdiri atas tingkat intensitas bau (offodor) dan jenis bau (off-odor) daging itik.
Sampel daging diperoleh dari bagian paha
(tanpa kulit) ternak itik percobaan.
Intensitas dan jenis bau diukur dengan
menggunakan pengujian sensori. Pelaksanaan
uji sensori pada tahap ini menggunakan dua
metode, yaitu uji ranking dan uji deskripsi,
dengan melibatkan 10 panelis terlatih. Pada uji
ranking, rancangan yang dipakai adalah acak
kelompok lengkap. Setiap panelis menerima
dua set sampel. Masing-masing set, terdiri atas
lima bahan uji yang mewakili perlakuan
ransum yang diberikan kepada ternak. Setiap
bahan uji diberi nomor kode sampel tiga digit
yang ditetapkan menggunakan Tabel Bilangan
Acak.
Sampel daging yang diuji berbentuk kubus
1 cm3, direbus selama 40 menit, dan
ditempatkan dalam botol bening bertutup.
Panelis memberikan penilaian intensitas offodor pada masing-masing sampel dengan
mengurutkan sampel-sampel tersebut dalam
ranking 1, 2, 3 , 4 dan 5. Ranking 1
menunjukkan tingkatan off-odor yang sangat
rendah, sedangkan ranking 5, yaitu tingkatan
off-odor yang sangat tinggi. Referensi off-odor
memakai daging rebus yang diambil dari
bagian tunggir ternak.
Penentuan jenis atau atribut off-odor daging
itik dilakukan dengan menggunakan uji
deskripsi, dan yang ditetapkan melalui hasil
diskusi dan kesepakatan bersama dengan
semua panelis. Berdasarkan pada penetapan
tersebut diperoleh enam jenis atribut off-odor
daging itik, yaitu tengik (rancid), amis (fishy),
bau lemak (fatty), bau basi atau bau jamur
(moldy), langu (beany), bau tanah (earthy).
Masing-masing jenis bau tersebut selanjutnya
diukur intensitasnya dengan menggunakan
garis skala 0 – 150 mm.
Uji ranking dan analisisnya pada tahap ini
dilaksaksanakan dengan analisis Friedman
632
dalam perancangan acak kelompok lengkap
menurut prosedur MEILGAARD et al. (1999).
Atribut off-odor dianalisis dengan metode
Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
melalui pengujian skala garis, dan Analisis
Komponen Utama (Principal Component
Analysis, PCA) dengan program Biplot yang
dijalankan melalui perangkat lunak Microsoft
Office Excel 2003.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai rataan intensitas off-odor hasil uji
ranking terhadap daging itik dari ternak-ternak
yang diberi perlakuan berbagai kombinasi
antioksidan diperlihatkan dalam diagram
Gambar 1. Analisis hasil uji ranking yang
dilakukan
dengan
metode
Friedman
memperlihatkan bahwa penggunaan antioksidan
berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap
intensitas off-odor daging itik cihateup. Uji
lanjut LSD pada taraf 5% memperlihatkan
bahwa
semua
perlakuan
antioksidan
menghasilkan intensitas off-odor daging itik
yang nyata lebih rendah daripada yang tidak
diberi antioksidan (kontrol). Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi
antioksidan yang berbasis pada vitamin E (αtokoferol) efektif dalam mengurangi off-odor
pada daging itik.
2.95 b
EAC
1.9 c
EC
3.1 b
EA
2.7 b
E1
4.35 a
EO
1
2
3
4
5
Gambar 1. Nilai rataan ranking intensitas off-odor
dari masing-masing ransum perlakuan
Dari semua perlakuan antioksidan,
kombinasi vitamin E dan C memperlihatkan
hasil yang paling efektif mengurangi intensitas
off-odor
dibandingkan
tiga
perlakuan
antioksidan yang lain. Hal ini disebabkan oleh
efek sinergis antara vitamin E dan C dalam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
fungsinya
sebagai
antioksidan
yang
menghambat jalannya proses oksidasi lemak
daging.
Sehingga
dengan
demikian
menghambat pula proses terbentuknya
senyawa-senyawa volatil off-odor yang berasal
dari oksidasi lemak.
Perlakuan E1, EA dan EAC meskipun
dapat mengurangi off-odor tetapi tidak
sesignifikan perlakuan EC. Pengaruh ketiga
perlakuan itu tidak dapat dibedakan secara
tegas, sebagaimana pengaruh perlakuan EC.
Lebih rendahnya off-odor pada perlakuan
kombinasi EC daripada kombinasi EA maupun
EAC, menunjukkan bahwa mekanisme
sinergisme antara vitamin E dan C lebih efektif
daripada antara vitamin E dan A, maupun
antara vitamin E, A dan C. Perbedaan
keefektifan antara kombinasi vitamin E-C dan
E-A dinyatakan pula oleh NIKI et al. (1995)
yang melaporkan bahwa interaksi antara αtokoferol dan β-karoten (vitamin A) tidak
nyata sebagaimana pada interaksi antara αtokoferol dan asam askorbat (vitamin C). Hal
ini disebabkan oleh sifat vitamin A yang
bilamana tidak dimetabolisir dengan sempurna
oleh tubuh, vitamin tersebut dapat beralih
peran menjadi prooksidan.
Hasil analisis dengan menggunakan metode
QDA diperlihatkan dengan pemetaan masingmasing atribut dalam model jaring laba-laba
yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Tampak
pada gambar itu bahwa pemberian berbagai
perlakuan antioksidan berpengaruh terhadap
intensitas masing-masing atribut off-odor.
Perlakuan E0 mempunyai luasan area
intensitas yang lebih besar daripada perlakuan
lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat offodor pada daging yang tidak diberi antioksidan
lebih tinggi daripada yang diberi antioksidan.
Luasan area yang paling kecil diperlihatkan
oleh perlakuan EC. Perlakuan E0 atau tanpa
antioksidan lebih condong ke arah fishy,
sedangkan yang disuplementasikan dengan
antioksidan lebih ke arah fatty. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan antioksidan
berpengaruh dalam mengurangi intensitas bau
fishy pada daging itik.
Analisis keterkaitan hubungan dari masingmasing atribut off-odor berdasarkan pada
kualitasnya dan pengaruh antioksidan yang
dilakukan dengan menggunakan metode
analisis Komponen Utama diperlihatkan oleh
Gambar 3. Hasil dari grafik menunjukkan
bahwa hanya dengan menggunakan komponen
pertama, sudah bisa memberi indikasi bahwa
terdapat hubungan yang kuat sebesar 92,5%
untuk menjelaskan adanya hubungan antara
jenis off-odor dan kualitasnya, serta antara
kualitas off-odor dengan perlakuan antioksidan
yang diberikan.
Fatty
100
80
60
Beany
Fishy
40
20
0
Earthy
Rancid
Moldy
E0
E1
EA
EC
EAC
Gambar 2. Atribut off-odor daging itik cihateup
masing-masing ransum perlakuan
Berdasarkan analisis pada Gambar 3, enam
jenis off-odor daging itik yang dideteksi dalam
penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori sesuai sifat dan kualitas dari offodor tersebut. Kelompok pertama terdiri atas
beany, moldy, fatty dan earthy; sedangkan,
kelompok yang kedua yaitu rancid dan fishy.
Kelompok yang disebut pertama, merupakan
jenis-jenis off-odor yang kualitas intensitasnya
relatif bersifat sedang apabila dibandingkan
dengan kelompok yang kedua, fishy dan rancid.
Keterkaitan antara perlakuan kontrol (E0)
dengan bau fishy seperti yang ditunjukkan oleh
analisis QDA, diperlihatkan pula dalam
Gambar 3. Perlakuan E0 berada dalam satu
kuadran dengan bau fishy dalam jarak yang
sangat dekat. Hal ini menunjukkan bahwa
daging yang berasal dari ternak yang tidak
diberi antioksidan (E0) memiliki bau fishy
yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan
off-odor lainnya. Demikian juga posisi EC
yang berseberangan jauh dari E0, menunjukkan
kemampuan
perlakuan
tersebut
yang
menghasilkan intensitas off-odor yang paling
rendah.
633
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
2
1,5
Fishy
E0
PC 2 (4,4%)
1
EC
EA
0,5
E1
-4
-3
-2
-1
0
0
-0,5
Rancid
1
2
3
Earthy
4
5
6
Moldy
-1
Fatty
-1.5
Beany
-2
-2,5
EAC
-3
PC 1 (92,5%)
Gambar 3. Hubungan antara kualitas atribut off-odor dengan perlakuan berbagai antioksidan berdasarkan
analisis komponen utama
KESIMPULAN
1. Suplementasi vitamin sebagai antioksidan
dalam ransum itik mampu mengurangi
intensitas bau (off-odor) daging itik.
Pemberian dalam bentuk kombinasi
vitamin, terutama kombinasi vitamin E dan
C sangat efektif dalam upaya pengurangan
bau (off-odor) daging tersebut.
2. Pemberian antioksidan vitamin mengubah
profil intensitas komponen bau (off-odor)
daging itik dari yang lebih berbau amis
(fishy) menjadi berbau lemak (fatty).
DAFTAR PUSTAKA
BAILEY, M,E,, T.J. ROURKE, R.A. GUTHEIL and
C.Y.J. WANG. 1992. Undesirable flavors of
meat. In: Off-Flavors in Foods and Beverages.
CHARALAMBOUS, G. (Ed.). Amsterdam:
Elsevier. hlm. 127 – 159.
BRUUN-JENSEN, L., M. SKOVGAARD, E.A. MADSEN,
L.H. SKIBSTED and G. BERTELSEN. 1996. The
combined effect of tocopherols, L-ascorbyl
palmitate and L-ascorbic acid on the
development of warmed-over flavour in
cooked, minced turkey. Food Chem. 55: 41 –
47.
634
HEATH, H.B. and G. REINECCIUS. 1986. Flavor
Chemistry and Technology. Avi Book, New
York. hlm 71 – 111.
HUSTIANY, R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi
komponen off-odor pada daging itik. Tesis.
Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
LAMBELET, T., F. SAUCY and J. LOLIGER. 1985.
Chemical evidence for interactions between
vitamin E and C. Experentia 41: 1384 – 1388.
RUSSELL, E.A., A. LYNCH, K. GALVIN, P.B. LYNCH
and J.P. KERRY. 2003. Quality of raw, frozen
and cooked duck meat as affected by dietary
fat and α-tocopheryl acetate supplementation.
Int. J. Poult. Sci. 2(5): 324 – 334.
RUSSELL, E.A., P.B. LYNCH, K. O’SULLIVAN and J.P.
KERRY. 2004. Dietary supplementation of αtocopheryl acetate on α-tocopherol levels in
duck tissues and its influence on meat storage
stability. Int. J. Food Sci. Tech. 39: 331 – 340.
MEILGAARD, M., G.V. CIVILLE dan B.T. CARR. 1999.
Sensory Evaluation Techniques. CRC Pr.,
New York.
MORRISEY, P.A., D.J. BUCKLEY, P.J.A. SHEEHY and
F.J. MONAHAN. 1994. Vitamin E and meat
quality. Proc. Nutr. Soc. 53: 289 – 295.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
N.R.C. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ed
rev. ke-9. D.C: National Academy Pr.,
Washington.
Niki, E., N. Noguchi, H. Tsuchihashi and N. Gotoh.
1995. Interaction among vitamin C, vitamin
E, and β-carotene. Am. J. Clin. Nutr. Supl 62:
1322S – 1326S.
635
Download