Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan

advertisement
PENGEMBANGAN KANTIN KEJUJURAN DALAM RANGKA
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI
BERTARAF INTERNASIONAL (SDN BI) TLOGOWARU
KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG
SKRIPSI
OLEH
HADIYAH RIWAYATI
NIM 105811479407
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
DESEMBER 2009
PENGEMBANGAN KANTIN KEJUJURAN DALAM RANGKA
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI
BERTARAF INTERNASIONAL (SDN BI) TLOGOWARU
KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Negeri Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Oleh
Hadiyah Riwayati
105811479407
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
Desember 2009
ABSTRAK
Riwayati, Hadiyah. 2009. Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka
Pendidikan Antikorupsi di Sekolah Dasar Negeri Bertaraf Internasional
(SDN BI) Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Skripsi,
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi PPkn, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. H. A Rosyid
Al-Atok, M.Pd., MH. (II) Drs. Ketut Diara Astawa, SH., M.Si.
Kata Kunci: kantin kejujuran, pendidikan antikorupsi
Salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk memberantas
korupsi di Indonesia yaitu melalui pendidikan antikorupsi. Ide terus digali untuk
mencari strategi terbaik dalam memberantas korupsi melalui pendidikan
antikorupsi tersebut, termasuk cara mengasah kejujuran dan menumbuhkan
mental antikorupsi di kalangan pelajar. Salah satu diantaranya yaitu melalui kantin
kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pola pengembangan
kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota
Malang, (2) mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pengembangan
kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota
Malang dan (3) mendeskripsikan manfaat pengembangan kantin kejujuran dalam
rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif. Sedangkan sumber data penelitian dibagi menjadi tiga yaitu
informan, catatan lapangan dan dokumen. Penentuan informan penelitian
ditentukan dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan tiga teknik yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi.
Analisis data dilakukan meliputi tiga unsur yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Untuk menjamin keabsahan data dilakukan dengan teknik
triangulasi sumber yakni dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek
data yang diperoleh melalui wawancara, observasi didukung dengan catatan
lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa: (1) Kantin kejujuran
merupakan salah satu strategi yang tepat agar siswa belajar dan berlatih
mengimplementasikan nilai-nilai antikorupsi seperti kejujuran, keadilan, tanggung
jawab, kedisiplinan, ketertiban serta kemandirian. Kantin kejujuran dapat
digunakan sebagai wadah bagi pendidikan kader calon pemimpin bangsa yang
berwatak antikorupsi. Pola pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru
oleh pihak sekolah dilakukan secara efektif dan efisien mulai dari tahap
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi diarahkan pada
kemajuan dan hasil yang optimal; (2) Faktor pendukung pengembangan kantin
kejujuran terdiri dari adanya bantuan modal; Perilaku warga sekolah untuk
berperilaku jujur; Pemberian materi pendidikan antikorupsi pada mata pelajaran
PKn; Siswa menyukai makanan dan dapat menjangkau harga yang ditawarkan;
Kesadaran siswa untuk mematuhi norma yang berlaku; Pemahaman siswa
terhadap mekanisme pembelian dan pembayaran; Siswa mengetahui tentang
korupsi. Sedangkan faktor penghambat pengembangan kantin kejujuran yaitu
semua siswa belum tentu bisa untuk berbuat jujur, disiplin, mandiri, tertib dan
bertanggung jawab; Guru mengalami kesulitan melepas anak kelas satu karena
sebagian dari mereka masih belum mengerti nominal uang; (3) Manfaat yang
diperoleh diketahui sebagai berikut; Bagi sekolah terbentuknya perilaku dan
lingkungan yang jujur serta sebagai sarana mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran
yang telah diajarkan di dalam kelas; Bagi siswa dapat melatih sikap jujur,
bertanggung jawab, mandiri, taat terhadap norma, tata tertib dan ketentuan yang
berlaku; Bagi orang tua dapat memberikan motivasi dan pembinaan terhadap anak
agar selalu berperilaku jujur; Dan bagi masyarakat dapat mendidik generasi muda
berperilaku jujur dan berakhlak mulia.
Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan: (1) Hendaknya sekolah
yang bersangkutan juga menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran
dan dalam pengawasan kantin kejujuran dapat melibatkan siswa di dalamnya
melalui piket kantin kejujuran; (2) Guru hendaknya pada saat siswa bermain Ular
Tangga Antikorupsi (UTAK) dapat memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai
kejujuran yang terangkum di permainan UTAK tersebut; (3) Dinas Pendidikan
Kota Malang hendaknya memberikan dukungan dan ikut menfasilitasi sekolah
yang berkeinginan untuk mendirikan dan melaksanakan praktik kantin kejujuran;
(4) Peneliti atau mahasiswa yang akan datang hendaknya dapat meneliti metode
pembelajaran antikorupsi yang diterapkan di dalam kelas.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengembangan
Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan Antikorupsi Di Sekolah Dasar
Negeri Bertaraf Internasional (SDN BI) Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang
Kota Malang”.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang.
2. Bapak Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang yang telah memberikan izin penelitian
selama PPKn masih berada dalam naungan FIP.
3. Bapak Drs. Ketut Diara Astawa, SH., M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan serta Pembimbing II dengan kesabarannya yang telah
memberikan motivasi, pengarahan, nasehat selama bimbingan hingga
terselesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drs. H. A Rosyid Al-Atok, M.Pd., MH., selaku pembimbing I dengan
kesabarannya yang telah memberikan motivasi, pengarahan, nasehat selama
bimbingan hingga terselesaikan skripsi ini.
5. Bapak Dr. H. Yudi Batubara, SH., MH. selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan.
7. Kepala Sekolah, guru serta staf TU SDN BI Tlogowaru yang telah memberi
izin dan kesempatan untuk bekerjasama selama penelitian.
8. Orang tuaku tercinta Bapak Mudawi dan Ibu Alm. Murniyah, yang tidak
pernah berhenti memberikan dukungan moral dan spiritual yang tidak ternilai
harganya sedari kecil hingga saat ini kepada penulis.
9. Kakakku Mas Zaini, Alm. Mas Zainullah, dan Mbak Yuyun serta Mbak Yanti
dan Mas Fajar, yang memberikan kasih sayang selama ini.
10. Sahabatku Mas Deny, Vita, Ivo, Roro, Sharon, Iteng, Maman yang
mendoakan, memberikan semangat dan bantuannya dalam penyelesaian
skripsi ini.
11. Teman-teman kos Youmie 22 c beserta teman-teman PPKn angkatan 2005
khususnya Off A, kebersamaan kita adalah kenangan terindah yang tidak
pernah terlupakan.
12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Mengingat
keterbatasan
pengetahuan
kemampuan
penulis
dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis menyadari hasilnya belum dapat dikatakan
sempurna. Oleh karena itu penulis sangat menghargai dengan sepenuh hati dan
mengucapkan terima kasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun
guna penyempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan
Malang, 21 Desember 2009
Penulis
BAB
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa
Indonesia
akhir-akhir
ini
tengah
menghadapi
berbagai
permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multidimensional serta problem lain
yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan
secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat
salah satunya adalah problematika korupsi yang tidak kunjung usai. Problematika
korupsi menyangkut hal-hal yang berdimensi antarnegara karena modus operandi
dan dampak korupsi di era global bersifat multidimensi.
Lord Acton dalam salah satu karyanya mengemukakan ”Power tends to
corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”, artinya kekuasaan
cenderung untuk berbuat korupsi. Tesis Acton tersebut selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois (The Spirit of Law),
bahwa orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan
untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar
kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekusaan (Taufik,
2008:1).
Berdasarkan atas hasil rilis Transparancy International (TI) menunjukkan
dari tahun 1995-2005 posisi Indonesia berada pada kisaran 5 besar negara
terkorup di dunia (TI, 2006). Sementara itu menurut survei yang dilakukan oleh
Pasific Economic and Risk Consultancy (PERC) menunjukkan bahwa pada tahun
2005 Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia
(Mochtar, 2006:4).
Menurut Harmanto (2008:4) berbagai perangkat hukum dan kelembagaan
telah dibuat dalam rangka pemberantasan korupsi, antara lain UU No. 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu negara Indonesia juga telah
mengesahkan instrumen internasional yaitu United Nations Convention Against
Corruption dalam bentuk UU No. 7 Tahun 2006 sebagai pengesahan atas
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Antikorupsi. Dalam bidang kelembagaan
antikorupsi, pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang disertai dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Berbagai
upaya tersebut telah dilakukan untuk menghentikan praktik korupsi. Akan tetapi
dalam realitanya korupsi sangat sulit untuk diberantas.
Namun demikian, memberantas korupsi melalui aspek penegakan hukum
(law enforcement) saja, masih belum efektif untuk menghentikan praktik korupsi
yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini harus dibarengi pula dengan upaya
tindakan preventif (pencegahan) agar korupsi tidak diwariskan kembali kepada
generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Setelah berbagai usaha
pemberantasan korupsi ditangani oleh berbagai lembaga di Indonesia dengan hasil
beragam, dunia pendidikan saat ini sudah mulai merasa bertanggung jawab akan
pentingnya penanaman kesadaran melawan perilaku korupsi melalui institusi
resmi yaitu sekolah.
Sekolah sebagai lingkungan kedua bagi anak, dapat menjadi tempat
pembangunan karakter dan watak. Sekolah dapat memberikan nuansa yang
mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan etika yang hendak
ditanamkan, termasuk di dalamnya perilaku antikorupsi. Upaya yang dapat
dilakukan untuk penanaman pola pikir, sikap dan perilaku antikorupsi yaitu
melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan (Hassan, 2004:9).
Pendidikan di Indonesia tentunya mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Karena manusia yang lahir melalui
sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,
beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta dapat
menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di saat institusi lain tidak berdaya
melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan dapat
dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi. Dengan
cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral peserta didik.
Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling depan untuk mencegah korupsi
dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good
governance) untuk masa yang akan datang.
Salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk memberantas
korupsi di Indonesia yaitu melalui pendidikan antikorupsi. Ide terus digali untuk
mencari strategi terbaik dalam memberantas korupsi melalui pendidikan
antikorupsi tersebut, termasuk cara mengasah kejujuran dan menumbuhkan
mental antikorupsi di kalangan pelajar. Salah satu di antaranya yaitu melalui
kantin kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan
Tinggi.
Kantin kejujuran bisa menjadi tempat pembelajaran bagi peserta didik
tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang pada akhirnya akan
bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus
memunculkan generasi antikorupsi. Di dalam mengembangkan kantin kejujuran
sebagai salah satu strategi pendidikan antikorupsi, hal ini tentunya tidaklah
mudah. Terutama faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam
pengembangan kantin kejujuran tersebut. Terdapat beberapa sekolah yang harus
menutup kantin kejujuran tersebut karena mengalami kerugian. Seperti yang
termuat dalam radar Tarakan sebagai berikut:
SMAN 1 Tanjung Selor Tarakan harus menutup kantin yang baru saja
didirikan di sekolah tersebut karena diduga telah terjadi kecurangan. Hal
yang serupa juga dialami oleh SMUN 01 Boyolangu kabupaten
Tulungagung. Kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu ini diresmikan
bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia. Selain kejaksaan
dan muspida setempat, Bupati Tulungagung Heru Tjahjono beserta seluruh
jajarannya menyempatkan hadir dalam acara peresmian kantin kejujuran
tersebut. Namun semangat dalam rangka menerapkan pendidikan
antikorupsi di sekolah tersebut harus terkikis, karena kantin tersebut
mengalami kebangkrutan dan harus ditutup (Dharma, 2009:1).
Pengembangan kantin kejujuran tersebut tentu tidak terlepas dari peran
berbagai pihak dan kondisi lingkungan sekolah dalam mensosialisasikan serta
menginternalisasikannya kepada siswa. Pengembangan kantin kejujuran tersebut
dapat diterapkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada peserta
didik sejak dini. Tantangannya kemudian adalah bagaimana mengembangkan dan
memelihara kantin kejujuran dengan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Memelihara dan memperkuat nilai-nilai kejujuran tersebut tentulah
harus tercermin dalam keseluruhan proses penyelenggaraannya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul penelitian
”Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan Antikorupsi Di
Sekolah Dasar Negeri Bertaraf Internasional (SDN BI) Tlogowaru Kecamatan
Kedungkandang Kota Malang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan
antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang?
2. Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin kejujuran
dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang?
3. Apa manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran dalam
rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka
pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang.
2. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin
kejujuran rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang.
3. Mendeskripsikan manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran
dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang.
D. Kegunaan Penelitian
Dengan adanya penelitian tentang pengembangan kantin kejujuran dalam
rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru, diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada berbagai pihak diantaranya:
1. Bagi Peneliti
a. Dengan adanya penelitian ini, dapat menambah wawasan beserta
pengalaman di lapangan terkait dengan pengembangan kantin kejujuran
tersebut.
b. Melatih kemampuan dalam memahami dan menganalisis persoalan secara
kritis dan sistematis.
2. Bagi Jurusan PPKn
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian wawasan keilmuan serta
sumbangan pemikiran yang berupa pengetahuan dan informasi tentang
masalah yang diteliti khususnya mengenai pengembangan kantin kejujuran
dalam rangka pendidikan antikorupsi yang mengambil obyek penelitian di
SDN BI Tlogowaru Kota Malang.
b. Sebagai bahan untuk menambah dan melengkapi referensi untuk
perbendaharaan kajian ilmiah serta pengembangan ilmu pengetahuan yang
dapat dimanfaatkan sebagai penunjang bagi mahasiswa dalam rangka
memperdalam pengetahuan dan pengalaman belajar di Perguruan Tinggi.
3. Bagi Universitas Negeri Malang
Laporan hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan
kepustakaan.
4. Bagi Sekolah
a. Melalui pengembangan kantin kejujuran tersebut dapat mengarahkan
peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran di lingkungan
sekolah. Kantin kejujuran perlu diterapkan di sekolah sebagai upaya
preventif bagi peserta didik untuk menjauhi praktik korupsi.
b. Pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari
warga sekolah. Program tersebut patut diberikan apresiasi yang tinggi
dengan mensukseskannya secara bersama. Melalui program ini akan
mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Karena tugas guru
tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih
dari itu guru bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa.
BAB
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjaun Tentang Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Menurut Prodjohamidjojo (2001:7) istilah korupsi berasal dari bahasa latin
Corruption atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Korupsi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:55) diartikan buruk, rusak, busuk,
suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya (memakai
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan menurut Tim Abdi Guru
(2006:106) korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan (uang
negara, atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain. Dan menurut undang-undang antikorupsi, korupsi adalah tindak pidana. yaitu
tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dengan cara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi (kumpulan orang dan/ atau kekayaan terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum) yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan
personal. Persoalan struktural karena telah melekat dalam sistem pemerintahan.
Sedangkan persoalan kultural karena kelaziman kolektif yang telah diterima
menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial. Dan
dikatakan persoalan personal karena mentalitas korupsi menyatu dengan
kepribadian bangsa Indonesia pada umumnya (Tim Abdi Guru, 2006:114).
Terjadinya korupsi tentunya dilatarbelakangi oleh adanya faktor
pendorong untuk melakukannya. Suradi (2006:11-16) menyebutkan bahwa
terdapat tiga unsur penting yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi.
Unsur-unsur tersebut meliputi:
a. Adanya Tekanan (Pressure)
Kehidupan dapat menciptakan tekanan situasional yang signifikan,
pada suatu saat seseorang akan diuji tentang etika dan kejujurannya. Tekanan
dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu:
1) Tekanan keuangan
Tekanan keuangan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
korupsi karena serakah, gaya hidup melebihi kemampuan, memiliki hutang
atau mengalami kerugian keuangan yang cukup besar, dan kebutuhan
keuangan yang tidak terduga.
2) Tekanan karena sifat buruk yang dimiliki seseorang
Kebiasaan seseorang seperti suka berjudi, mengkonsumsi obat
terlarang dan alkohol nantinya akan berakibat terkurasnya keuangan yang
dimiliki orang tersebut. Hal ini akan mendorong seseorang tersebut untuk
melakukan kecurangan yang nantinya akan mengarah pada perbuatan korupsi.
3) Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan
Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan yang menyebabkan
seseorang melakukan korupsi diantaranya, kurang dihargainya atas kinerja
yang telah dicapai, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, takut kehilangan
jabatan, dan perasaan dibayar lebih rendah.
4) Tekanan yang lain
Setiap orang akan menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupannya,
namun sifat dan kualitas tekanan tersebut bervariasi. Misalkan kebutuhan akan
keuangan, pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi, gaji yang lebih besar dan
sebagainya.
b. Kesempatan atau peluang (Opportunity)
Adakalanya kejahatan muncul bukan karena niat jahat dari pelaku
melainkan karena ada kesempatan atau peluang. Demikian juga halnya dengan
korupsi. Banyak pelaku korupsi (koruptor) melakukan perbuatan tersebut
karena adanya peluang untuk melakukannya.
c. Rasionalisasi (Rasionalization)
Untuk menjelaskan rasionalisasi dapat memberikan kontribusi
terhadap terjadinya korupsi, karena rasionalisasi akan memberikan suatu
pembenaran tentang apa saja yang kita lakukan dengan tujuan untuk
memuaskan diri sendiri, meskipun tidak memiliki alasan yang kuat dan
pembenaran tersebut juga tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi
moral atau etika. Misalkan seseorang yang melakukan korupsi, dan uang
korupsi tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan dan menyantuni fakir
miskin. Dengan melakukan rasionalisasi akan membantu seseorang untuk
menyembunyikan ketidakjujuran dari tindakannya.
Meningkatnya kasus korupsi juga dapat disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya rendahnya moralitas atau perilaku yang menyimpang dari normanorma kehidupan, tidak memiliki budaya malu, tidak taat hukum, sikap mental
yang tidak baik, tidak amanah, tidak jujur, dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
diperlukan adanya langkah-langkah positif diantaranya adalah penyadaran dan
pembinaan moralitas bangsa, sehingga penyelenggaraan negara dapat berjalan
secara baik yaitu bersih dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
2. Dampak Korupsi
Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terdapat pada hampir semua
negara. Di negara maju maupun berkembang, apalagi di negara yang sedang giatgiatnya membangun seperti Indonesia, fenomena korupsi akan senantiasa terjadi
dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Menurut Saptono (2007:106) korupsi
akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi keberlangsungan bangsa
Indonesia. Diantaranya biaya hidup menjadi mahal karena ongkos suap para
pengusaha
pada
akhirnya
dibebankan
kepada
konsumen
atau
rakyat;
menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar; merusak wibawa
pemerintah;
melahirkan
berbagai
kejahatan
lain
seperti
pemalsuan,
penyelundupan, intimidasi, menurunkan kuantitas dan kualitas pembangunan;
pemerintah makin kehilangan dukungan rakyat.
Sedangkan dalam bidang politik menurut Samidi & Vidyaningtyas
(2008:88) korupsi akan mempengaruhi pada kehidupan demokrasi. Korupsi akan
mempersulit kehidupan demokrasi dan tata pemerintahan yang baik dengan cara
menghancurkan proses formal. Sebagai contoh korupsi di lembaga pemilihan
umum dan badan legislatif akan mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam
pembentukan kebijaksanaan, korupsi di pemerintahan publik akan menghasilkan
ketidakseimbangan dalam pemberian layanan terhadap masyarakat. Dengan
demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa korupsi mengikis kemampuan
institusi dari pemerintah karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya,
dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatannya bukan karena prestasi tetapi
karena adanya uang suap untuk menaiki jabatan tertentu yang diinginkan.
Korupsi juga akan memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidakefisienan yang tinggi. Korupsi
juga dapat mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan
hidup dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran
pemerintah (Samidi & Vidyaningtyas, 2008:89).
3. Instrumen Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Mengingat dampak korupsi yang telah ditimbulkan tersebut, tidak ada
pilihan lain kecuali memberantasnya. Langkah awal yang dapat dilakukan yaitu
dengan membuat aturan-aturan hukum untuk memberantas korupsi. Sebagai
bentuk kepedulian pemerintah terhadap korupsi yang terjadi di Indonesia,
pemerintah mengambil beberapa kebijakan baik melalui peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi disertai pula dengan
lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi
di Indonesia.
Berikut ini gambaran umum mengenai berbagai kebijakan pemerintah
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia mulai dari pemerintahan Soekarno
sampai pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Tahun
Kebijakan Pemberantasan Korupsi
Pemerintahan Soekarno (1945-1966)
1956-1957
Gerakan antikorupsi dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, wakil Staf
Angkatan Darat. Pada masa itujuga dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan ini dibuat karena Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktik
korupsi saat itu.
Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
1967
Sebagai pejabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 228 Tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi.
1970
Dibentuk Komisi Empat berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 1970. Komisi ini
bertugas meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam
pemberantasan korupsi. Komisi ini terdiri atas empat orang, yaitu: Wilopo, I.
J. Kasimo, Prof. Ir Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.
1971
Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi No. 3 Tahun 1971.
1977
Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib (Opstib) yang berlanjut Inspres No.
9 Tahun 1977 tentang pembentukan Tim Operasi Tertib. Tim itu bertugas
untuk mengikis habis praktek-praktek penyelewengan dalam segala bentuk.
1980
1) Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1980
tentang Tindak Pidana Suap.
2) Pemerintah mengeluarkan peraturan Disiplin Pegawai Negeri yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980.
Pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999)
1998
1) Sidang umum MPR menghasilkan salah satu ketetapan yang secara tegas
menuntut pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Ketetapan itu tertuang
dalam Tap MPR No. XI/MPR/1998.
2) Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
1999
1) Pemerintah membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan
Negara.
2) Terbitnya surat Keputusan Presiden tanggal 13 Oktober 1999 tentang
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara.
2000
1) Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.
2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) berdiri
melalui PP No. 19 Tahun 2000. Tim gabungan ini merupakan cikal bakal
dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
3) Terbitnya surat keputusan Dirjen Administrasi Hukum Umum
Departemen dan HAM tanggal 7 Juli 2000 untuk menetapkan
pemebentukan tim persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2003)
2001
1) Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa
dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah Agung
dengan dasar UU No.31 Tahun 1999.
2002
Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tahun
2003
Kebijakan Pemberantasan Korupsi
1) Presiden mengeluarkan Keppres Pembentukan Panitia Seleksi Calon
Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Indonesia menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan
Korupsi di New York, Kamis 18 Desember 2003.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)
2004
1) Keppres 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan
Tipikor berwenang memeriksa dan memutus kasus korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2) Inpres 5/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
2005
Keppres 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Tim ini bertugas mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan; menelusuri,
mengamankan aset korupsi untuk pengambilan kerugian negara secara
optimal.
(Sumber: Koran Tempo, 25 Oktober 2004. Dalam Saptono, 2007:108)
Sebuah instrumen hukum tentang korupsi, apabila dalam pelaksanaannya
tidak ada lembaga yang berwenang menegakkan hukum tersebut maka hal ini
tidak akan berarti. Oleh karena itu, untuk lebih memaksimalkan pemberantasan
korupsi, pemerintah Indonesia telah membentuk lembaga-lembaga antikorupsi.
Lembaga antikorupsi tersebut ada yang dibentuk oleh negara berdasarkan undangundang dan ada pula yang dibentuk oleh masyarakat.
Lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh negara adalah Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK).
KPK
dalam
melaksanakan
tugas
dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
KPK adalah sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Komisi ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan contoh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat antara lain
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Gerakan antikorupsi (Gerak). Partisipasi
kedua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini antara lain dengan cara
memberikan pengawasan serta informasi dan pengaduan terhadap dugaan adanya
tindak korupsi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga negara lain.
Di samping itu, kedua LSM tersebut juga ikut memberdayakan masyarakat agar
masyarakat memiliki keberanian dan kepedulian terhadap pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia (Dwiyono, 2007:93).
4. Upaya Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi melalui berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan
baik melalui peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang
korupsi disertai dengan lembaga-lembaga yang berperan untuk memberantas
korupsi ternyata masih belum efektif untuk menghentikan praktik korupsi yang
terjadi selama ini. Kelemahan aturan sering digunakan para koruptor untuk lolos
dari jerat hukum. Sehingga perlu disusun dan diperbaiki terus-menerus berbagai
peraturan serta cara kerja pemerintah agar menjadi lebih efisien, penciptaan
lingkungan kerja bebas korupsi, pemisahan secara tegas harta milik negara dan
milik pribadi, penggunaan fasilitas milik negara untuk kepentingan umum dan
penggunaannya untuk kepentingan pribadi, etika profesi dan tata tertib lembaga.
Pemberantasan korupsi selain melalui tindakan yang bersifat represif
(menekan) yaitu melalui aturan hukum yang telah ada, dapat pula melalui
tindakan yang bersifat preventif (mencegah). Pencegahan bisa dilakukan dengan
perbaikan sistem hukum, kelembagaan, dan budaya masyarakat. Selain perbaikan
sistem hukum dan kelembagaan, perlu pula dilakukan perbaikan manusianya atau
budaya masyarakat (Saptono, 2007:108-109). Sehubungan dengan hal tersebut,
Dwiyono (2007:89) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam
memberantas korupsi yaitu:
1) Mendorong agama agar lebih berperan dalam menumbuhkan sikap
antikorupsi.
Dengan iman yang kuat dan hati yang bersih diharapkan bisa
mencegah seseorang melakukan korupsi. Karena apabila iman seseorang tidak
kuat, maka hatipun menjadi kotor. Apabila hati seseorang kotor, maka akan
mudah melakukan tindakan tercela seperti berbohong atau tidak jujur, tidak
adil dan tindakan tercela lainnya termasuk melakukan korupsi. Sebaliknya,
apabila iman seseorang kuat, hati menjadi bersih sehingga orang tersebut akan
kuat menahan diri dari tindakan tercela termasuk korupsi.
2) Memberdayakan kembali moral bangsa.
Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Bangsa kita
sangat menjunjung tinggi moralitas. Tetapi akhir-akhir ini, disadari ataupun
tidak telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama sudah diabaikan, dan dianggap sebagai suatu
kemajuan. Sudah saatnya membangun kekuatan untuk mendidik akhlak
generasi penerus bangsa yang akan datang dengan memberikan sentuhan nilainilai kearifan lokal yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia.
3) Meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.
Setelah bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak beberapa tahun
yang lalu, korupsi sungguh membuat rakyat lebih sengsara. Sudah saatnya
pemerintah
mengagendakan
kebijakan
untuk
kemiskinan sehingga rakyat menjadi sejahtera.
program
pengentasan
4) Memilih pemimpin yang antikorupsi.
Seorang pemimpin yang bermoral dan bijaksana mampu dijadikan
panutan bagi masyarakat serta mampu mengatasi permasalahan-permasalahan
yang ada dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Segala perilaku
buruk, tidak jujur, dan tidak adil yang dilakukan oleh para pemimpin atau
pejabat akan memberikan teladan buruk bagi masyarakat, dan memungkinkan
mereka untuk melakukan perbuatan serupa. Begitu pula halnya dengan
tindakan korupsi. Apabila dilakukan oleh oknum-oknum pejabat atau
pimpinan akan mendorong bawahannya untuk melakukan tindakan korupsi di
kalangan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sikap objektif didalam
menjatuhkan pilihan terhadap para pemimpin bangsa yang akan datang.
5) Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang antikorupsi
sangat penting. Karena dengan adanya sosialisasi, masyarakat menjadi
mengetahui bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari korupsi. Selain itu,
masyarakat juga mengetahui sanksi-sanksi yang akan diterima apabila
melakukan tindakan korupsi. Dengan demikian diharapkan, setiap anggota
masyarakat mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.
Memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan upaya
yang sungguh-sungguh dan dukungan dari semua pihak untuk memberantasnya.
Upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung hingga sekarang ini. Upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi selama ini diwujudkan dalam bentukbentuk sebagai berikut:
a. Pengawasan oleh warga masyarakat.
b. Instrumen hukum pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi yang
berwujud pada peraturan perundang-undangan.
c. Lembaga pengawas, seperti DPR, DPRD, BPK, dan Bawasda.
d. Lembaga pengawan independen seperti KPK.
e. Lembaga penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan).
Selain bentuk-bentuk yang diwujudkan seperti hal tersebut di atas, upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi ternyata selama ini juga telah diwujudkan
dalam dunia pendidikan. Salah satu lembaga negara di Indonesia yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki tugas dan wewenang dalam upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi tersebut, telah melaksanakan program
pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan melalui institusi pendidikan yaitu
sekolah. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 13 huruf c yang menyatakan
dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
upaya pencegahan salah satunya disebutkan yaitu menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
Gerakan antikorupsi sudah seharusnya didukung oleh pemerintah dan
setiap elemen masyarakat di Indonesia. Kebencian terhadap praktik korupsi
seharusnya merasuki setiap benak individu, khususnya peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa. Menurut Harmanto (2008:7) pendidikan antikorupsi
merupakan langkah awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai
ke arah yang lebih baik sejak usia dini. Peserta didik nantinya dalam waktu relatif
singkat akan segera bersentuhan dengan aspek pelayanan publik yang rentan
terjadi korupsi. Sehingga apabila mereka mengetahui dan memahami lingkup,
modus, dampak dari korupsi diharapkan mereka dapat mengajak dan mewarnai
lingkungan sekitarnya untuk berani dan bangkit melawan korupsi.
Saatnya dunia pendidikan mendorong upaya pemberantasan dan
pencegahan praktik korupsi dengan serius. Institusi pendidikan diyakini sebagai
tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi.
Peserta didik yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang
sejak dini harus diajarkan untuk menjauhi praktik korupsi dan dapat turut aktif
memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual
dan moral (Prayitno, 2007:1).
B. Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu
secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Suatu
proses
dimana
suatu
bangsa
mempersiapkan
generasi
mudanya
untuk
menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan
efisien (Sanaky, 2009:1). Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran
(intellect)
dan
jasmani
anak-anak,
selaras
dengan
alam
dan
masyarakatnya. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ditegaskan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Kasim (dalam Kuswandoro, 2008:21) menjelaskan secara umum
pendidikan selalu dicirikan oleh dua kepedulian yaitu budaya dan masyarakat,
yaitu
pemindahan
keterampilan-keterampilan
teknis
yang
perlu
untuk
menjalankan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup, serta pemindahan nilai-nilai
agama, filosofis, budaya dan sosial dari masing-masing masyarakat dan penduduk
tersebut ke generasi muda. Sedangkan Sudarminta (dalam Kuswandoro, 2008:21)
menjelaskan bahwa Pendidikan secara luas adalah usaha sadar yang dilakukan
oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu
peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang
dewasa susila.
Manusia dijuluki sebagai animal educandum sekaligus animal educandus,
yaitu makhluk yang dididik sekaligus makhluk yang mendidik. Maka pengertian
pendidikan jelas lebih luas daripada sekedar penyekolahan. Pendidikan dipahami
sebagai ikhtiar pembudayaan. Pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa
pengalihan pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi juga nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial (Hassan 2004:5)
Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan
pendidikan yang sering disebut taxonomy Bloom. Pertama, ranah kognitif yang
menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah
dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan
ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi,
sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih
keterampilan seperti menulis dan teknik mengajar. Dari ketiga ranah pendidikan
tersebut harus selaras dan saling melengkapi (Muslihati, 2005:12) .
Keterlibatan pendidikan dalam upaya pencegahan korupsi memiliki
kedudukan strategis antisipatif. Korupsi terhadap sebagian negara telah dianggap
sebagai kejahatan transnasional. Sehingga memunculkan banyak ide terhadap cara
pencegahan korupsi tersebut. Salah satu ide yang dicanangkan adalah melalui
pendidikan. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah
menjalankan pendidikan antikorupsi melalui berbagai upaya. Tidak terkecuali
Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya sosialisasi pendidikan
antikorupsi. Hal tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa
yang harus dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor
pendidikan.
Pendidikan antikorupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan
koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai
baru kepada peserta didik (Dharma, 2004:1). Kejujuran merupakan prinsip dasar
dalam pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan di
sekolah, menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik. Menurut Sanaky
(2009:2) untuk mewujudkan pendidikan antikorupsi, pendidikan di sekolah harus
diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti
pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan
kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pendidikan karakter, Lickona (dalam Megawangi, 2007:4)
menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action
diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga moral action. Ketiganya harus dikembangkan
secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik
dapat berkembang secara optimal, baik aspek pada kecerdasan intelektual,
emosional maupun spritual.
Pendidikan memiliki posisi sangat strategis dalam upaya membangun
sikap antikorupsi. Melalui pendidikan antikorupsi diberikan pembelajaran sikap
mental dan nilai-nilai moral antikorupsi di sekolah, sehingga peserta didik dapat
memiliki pandangan dan sikap yang permissive terhadap segala bentuk praktik
korupsi. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat
menyelamatkan peserta didik agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup
generasi sebelumnya. Langkah untuk menangani korupsi melalui sistem
pendidikan akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia.
Di dalam konteks pendidikan antikorupsi, yang terpenting adalah tujuan
pendidikan nilai. Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan
internalisasi
hakikat
korupsi
(ontologis),
pemahaman
praktik
korupsi
(epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan (aksiologis) untuk
mencegah perilaku korupsi. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi
melalui pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa dalam
memajukan
budi
pekerti,
(Sulistyawan, 2008:28).
pikiran,
tindakan
untuk
menentang
korupsi
Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis falsafah
dalam pendidikan nilai, moral dan agama. Pendidikan dapat dimaknai dan
dimanfaatkan sebagai instrumen, selain mampu mentransformasikan nilai-nilai
moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering (pemecahan
masalah sosial). Hidayatullah (2007:6) memberikan pendapatnya sebagai berikut:
Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui tindakan preventif adalah
dengan menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan
korupsi, dan sekaligus juga mendidik generasi muda dengan
menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan melakukan kampanye publik,
maupun melalui penanaman nilai-nilai moral dan etika yang dapat
dimasukkan ke dalam kurikulum pada berbagai level terutama pada level
pendidikan awal seperti SD dan SMP. Dengan upaya ini diharapkan
mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang bersih dan menjadi
generasi muda yang dapat menjadi contoh bagi generasi sesudahnya dan
sebelumnya.
Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah: (1) pembentukan
pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2)
pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan
keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi.
Sedangkan manfaat dalam jangka panjangnya adalah menyumbang pada
keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program antikorupsi serta
mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri peserta didik yang kelak akan
menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan (Dharma, 2004:7).
Menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Atas dasar ini, penyelenggaraan pendidikan antikorupsi lewat
jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk
membudayakan antikorupsi di Indonesia.
Salah satu faktor keberhasilan dalam pendidikan antikorupsi di sekolah
yaitu adanya daya dukung seluruh komponen sekolah. Daya dukung tersebut
adalah adanya budaya sekolah yaitu berupa keteladanan guru dan kepala sekolah
merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan antikorupsi tersebut.
Kemudian disusul oleh konsistensi dalam penerapan aturan sekolah, kejujuran
siswa, dan keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan.
Muhammadun (2006:3) menyebutkan tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam membangun pendidikan antikorupsi antara lain sebagai berikut:
1) Menempatkan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter.
2) Setelah tercipta karakter, maka perlu membangun kurikulum yang tidak hanya
menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, namun juga mampu
mengkontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di
masyarakat.
3) Melakukan real action (aksi nyata) dalam pemberantasan korupsi, sehingga
pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana, namun sebuah gerakan yang
memang sangat diperhitungkan untuk kelangsungan masa depan bangsa.
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka
sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan dan tradisi
tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Generasi berikutnya terkondisikan
menerima kebenaran tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.
Dalam konteks pendidikan antikorupsi dibutuhkan pencarian dan pengembangan
kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms) seperti menghargai pentingnya nilai-nilai
kejujuran, keadilan, dan integritas.
Dilihat dari tujuannya, memasukkan pendidikan antikorupsi di sekolah
merupakan gagasan yang sangat cerdas. Karena peserta didik merupakan
kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya. Menurut
Hassan (2004:8) pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan suatu langkah
untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi menjadi
budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah harus bisa memberikan
contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya keteladanan dari
pendidik itu sendiri.
C. Kantin Kejujuran
Memberantas korupsi haruslah dimulai dari penanaman sikap antikorupsi
dalam masyarakat dan harus ditanamkan sejak dini. Salah satunya dengan
menggalakkan pendirian ”kantin kejujuran” yang dimulai dari tingkat sekolah.
Suatu upaya yang sangat baik dalam melatih kejujuran para individu agar terbiasa
berbuat jujur. Dilihat dari penamaan kantin tersebut tentunya pendirian kantin
tersebut bertujuan untuk menanamkan kepada peserta didik tentang arti penting
sebuah kejujuran.
Kantin kejujuran merupakan salah satu model atau strategi praktik
pendidikan antikorupsi bagi peserta didik di lingkungan sekolah. Nantinya peserta
didik akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu ingin menerapkan kejujuran hati
nuraninya atau tidak. Mentalitas siswa masih menjadi salah satu tantangan yang
harus dihadapi dalam mengembangkan kantin kejujuran di sekolah. Eko S.
Tjiptadi,
selaku
Direktur
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
mengemukakan dalam peresmian kantin kejujuran di SMAN 1 Ciparay di desa
Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung bahwa:
Kantin kejujuran adalah sebuah model kantin yang dikelola oleh anakanak sekolah dengan modal jujur. Setiap anak sekolah berhak terlibat
untuk menjadi pengurus dan pengelola kantin kejujuran. Prinsip
keterbukaan dan kejujuran menjadi ciri utama dari para pengelolanya
(Pikiran Rakyat, 2008:11).
Menurut Syaharudin (2009:1) kantin kejujuran dalam pelaksanaannya
tersebut tidak dijaga oleh seorang pelayan toko atau kasir. Kantin dibiarkan
terbuka tanpa penjaga. Melalui kantin kejujuran, siswa belajar berperilaku jujur
dan bersikap patuh ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur kepada
diri sendiri, secara langsung dapat menyentuh kesadaran dan sikap siswa.
Dengan adanya kantin kejujuran di sekolah diharapkan siswa bisa kembali
melatih hati nuraninya pada saat membeli sesuatu di kantin tanpa diawasi oleh
penjaga. Kantin kejujuran bisa menjadi suatu terapi agar siswa nantinya tidak
mempraktikkan korupsi karena tindakan itu bisa menghancurkan mental
masyarakat dan negara. Sekolah diharapkan bisa menjadi contoh agar lulusannya
bisa menjadi sumber daya manusia yang jujur sehingga dapat membantu
perubahan positif di masyarakat (Tuti, 2009:2).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:68), jujur artinya lurus
hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Kejujuran dapat diartikan
sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati. Menurut buku panduan
warung kejujuran (warjur) tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi
salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku
antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila peserta didik sejak dini memiliki dan
mampu menerapkan nilai kejujuran di dalam keseharian, diharapkan untuk jangka
waktu ke depan mereka mampu senantiasa berperilaku jujur.
Kejujuran adalah nilai hidup yang bersifat universal. Setiap orang dari
semua bangsa dan agama mengenal kejujuran walaupun tidak setiap orang
sanggup dan berani melakukan. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran sifatnya
berjenjang sesuai dengan usia perkembangan seseorang. Dari penyelidikan
psikolog perkembangan Piaget dan Kohlberg (dalam Santrock, 2006:443)
diketahui bahwa proses perkembangan moral adalah proses perkembangan otak.
Karena itu perkembangan moral berhubungan erat dengan perkembangan kognitif
seseorang.
Anak-anak dan remaja membentuk pemikiran moral mereka seiring
dengan perkembangan mereka dari tahap yang satu ke tahap berikutnya, dan
bukan hanya bersikap pasif dengan menerima saja moralitas suatu kebudayaan.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Usia 2 sampai 7 tahun.
Dari penyelidikan diketahui bahwa anak diantara usia 2-7 tahun belum
mampu membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik atau buruk suatu
perbuatan. Mereka patuh untuk melakukan suatu perbuatan tertentu,
tujuannya untuk menyenangkan orang tua dan mendapat pujian, serta tidak
melakukan suatu perbuatan yang dilarang adalah karena takut akan hukuman.
Mengajar anak kejujuran dalam fase ini dapat dilakukan terutama melalui
penguatan positif terhadap kejujuran, dengan memuji dan menghargai
perbuatan jujurnya dan penguatan negatif terhadap perbuatan tidak jujur
dengan mencela dan menghukum perbuatan tidak jujur serta mengajar melalui
peneladanan oleh orang tua atau guru.
2) Usia 7 sampai 10 tahun
Anak usia ini mulai memahami dan mengunakan konsep. Maka konsep
kejujuran mulai dapat diajarkan, demikian juga konsep tentang ketidakjujuran dan akibatnya. Hati nurani anak mulai terbentuk dan anak mulai
mengetahui tentang baik buruknya sebuah perbuatan. Cara berpikirnya masih
sangat terbatas terhadap perbuatan yang nyata (konkret) dan anak belum
sanggup melihat dari sudut pandang orang lain.
Mengajari anak tentang kejujuran dalam fase ini selain dengan
peneladanan dan penguatan positif dan negatif, juga melalui cerita dan kasus
nyata yang dapat dibayangkan anak. Lalu ditanyakan apa akibatnya dari
perbuatan tidak jujur orang tersebut. Pada usia ini motivasi untuk melakukan
hal yang baik sudah harus berpindah dari menyenangkan orang tua, kepada
alasan bahwa melakukan perbuatan baik membawa rasa senang dan damai
pada diri sendiri, karena sesuai dengan hati nuraninya.
3) Usia 11 sampai 13 tahun.
Pada usia ini, anak sudah mulai dapat berpikir kearah abstrak dan
sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Ia sudah dapat membedakan
motivasi yang ada dibelakang sebuah perbuatan dan dapat mempertimbangkan
perbuatan dari segi motivasi atau niat itu.
4) Usia 13 sampai dewasa.
Remaja dan pemuda telah sanggup berpikir abstrak dan membuat
hipotesa. Mereka mempunyai standar tentang yang baik atau buruk perbuatan
dari diri mereka sendiri. Pada usia ini tingkah laku moral yang sesungguhnya
baru timbul. Masa ini perlu digunakan baik-baik untuk menanamkan
kesanggupan berpikir mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat
penalaran moral. Para remaja sanggup menginterpretasi penilaian moral dan
menjadikannya sebagai nilai pribadi. Dari penelitian diketahui bahwa
perkembangan
mempribadikan
konsep
(internalisasi)
terjadi
melalui
identifikasi dengan tokoh yang dianggap sebagai contoh atau model (hero
worship).
Pada usia anak-anak, keluarga dan lembaga pendidikan mempunyai andil
yang besar untuk memberi pesan moral. Keberhasilan peserta didik tidak hanya
diukur dari tinggi rendahnya nilai, akan tetapi juga kejujuran, akhlak atau budi
pekerti yang dimiliki. Menurut Syaharudin (2009:4) upaya pemberantasan korupsi
dalam jangka panjang akan menuai keberhasilan apabila dilakukan dengan
kombinasi antara represif, preventif dan edukatif secara integral. Pendirian kantin
kejujuran di sekolah merupakan sarana untuk membentuk sikap mental yang
positif, dan kepribadian yang jujur di kalangan pelajar, sekaligus sebagai media
yang cukup efektif dalam menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab pada diri
peserta didik sebagai kader pemimpin bangsa dimasa yang akan datang.
Dalam implementasi kantin kejujuran tersebut, para pelajar diberikan
kesempatan untuk menentukan sikap, akan berbuat jujur atau melakukan
kecurangan. Harus disadari bahwa moral generasi muda merupakan aset utama
sebuah bangsa. Oleh karenanya, mempersiapkan sikap hidup dan perilaku jujur
dengan moral yang baik dan mental yang bersih, akan menjadi cara yang efektif
dalam menanggulangi dan mencegah timbulnya koruptor di masa mendatang.
BAB
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor
(dalam Moleong, 2008:21) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah
satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan
mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau
perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau
organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
Sedangkan jenis penelitian adalah studi kasus. Studi kasus adalah studi
yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki
pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi.
Penelitian dibatasi waktu, tempat, serta kasus yang dipelajari berupa program,
peristiwa, aktivitas, atau individu (Bungin, 2007:3). Penelitian dilaksanakan di
SDN BI Tlogowaru dalam kaitannya dengan program kantin kejujuran.
B. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan dan jenis penelitian di mana peneliti bertindak
sebagai observer, pengumpul data, penganalisis data dan sekaligus pembuat
laporan hasil penelitian maka kehadiran peneliti adalah sebagai pengamat
partisipan yaitu peneliti mengamati dan ikut terlibat dalam penelitian ini.
Kehadiran peneliti dalam penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke
lapangan dengan mengadakan observasi dan wawancara. Peneliti menyesuaikan
diri dengan orang-orang di lingkungan penelitian dan menciptakan hubungan baik
dengan orang-orang di lokasi penelitian. Dengan menciptakan suasana akrab
terhadap diri informan sehingga dapat memperlancar jalannya penelitian.
Selain kehadiran peneliti, kehadiran peserta didik (siswa) sebagai subyek
penelitian juga sangat diperlukan. Tanpa adanya peserta didik atau subyek yang
diteliti, maka penelitian ini tidak akan bisa berjalan karena peserta didiklah yang
menjadi sasaran utama pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan
antikorupsi di SDN BI Tlogowaru tersebut. Selama berada dilokasi penelitian,
peneliti melakukan pengamatan terhadap subyek terliti (siswa) secara langsung.
Secara langsung pengamatan tersebut dilakukan terhadap rekaman aktivitas siswa
pada saat mengunjungi kantin kejujuran tersebut pada jam istirahat. Peneliti juga
mendapat informasi dari kepala sekolah, pelaksana kantin kejujuran dan guru wali
kelas III dan IV terkait dengan pengembangan kantin kejujuran dalam rangka
pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang tersebut yang sudah
terlaksana selama ini.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SDN BI Tlogowaru, yang berlokasi di Komplek
Pendidikan Internasional Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di SDN BI Tlogowaru, karena
sekolah ini memiliki karakteristik keunggulan yaitu adanya pengembangan kantin
kejujuran di lingkungan sekolah tersebut. Meskipun letak sekolah ini yang relatif
jauh dari wilayah perkotaan, namun fasilitas infrastruktur, sarana dan prasarana
sangat lengkap, canggih dan modern. Salah satu sarana yang berada di SDN BI
Tlogowaru yaitu adanya kantin kejujuran yang bersih, luas dan sehat. Oleh karena
itu, terkait dengan judul penelitian yang telah dikemukakan di atas memungkinkan
peneliti untuk mengadakan penelitian di SDN BI Tlogowaru.
D. Sumber dan Jenis Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan
tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain
(Moleong, 2008:157). Sedangkan menurut Arikunto (2006:102) yang dimaksud
dengan sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh, jadi sumber
data itu menunjukkan asal informasi. Adapun sumber data dalam penelitian ini
dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian, jadi ia harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian dan berkewajiban
secara sukarela menjadi anggota tim peneliti, walaupun hanya bersifat
informal (Moleong, 2000:90).
Pemilihan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive
sampling). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah orangorang yang mengetahui benar tentang pengembangan kantin kejujuran di SDN
BI Tlogowaru. Dalam prosedur sampling yang terpenting adalah menentukan
informan kunci (key informan). Untuk menentukan informan kunci, peneliti
memilih Kepala Sekolah SDN BI Tlogowaru dan selanjutnya peneliti perlu
menghubungi pengelola atau pelaksana kantin kejujuran di SDN BI
Tlogowaru. Agar dapat menyaring data yang diperlukan, maka dalam
menentukan informan peneliti menggunakan teknik bola salju (snowball
sampling). Kesimpulannya peneliti tidak akan berhenti hanya pada satu
informan saja, karena semakin banyak informan maka semakin banyak
informasi yang diperoleh. Apabila selama penelitian berlangsung informasi
yang diperoleh dari informan yang telah ditentukan sebelumnya masih
terdapat kekurangan, maka peneliti dapat mencari informan lain seperti guru
dan siswa untuk mencari jawaban terkait dengan rumusan masalah penelitian
sehingga
mendapatkan
informasi
atau
data
yang
lengkap
tentang
pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru tersebut.
2. Catatan Lapangan
Menurut Bogan dan Biklen catatan lapangan merupakan catatan
tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam
rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian
kualitatif. Catatan lapangan nantinya akan digunakan peneliti yang berisi
peristiwa dan pengalaman yang dilihat serta dicatat selengkap dan seobjektif
mungkin pada saat penelitian berlangsung (dalam Moleong, 2008:209).
3. Foto
Sekarang ini foto sudah lebih banyak dipakai sebagai alat untuk
keperluan penelitian kualitatif karena dapat dipakai dalam berbagai keperluan.
Foto menghasilkan catatan deskriptif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi subyektif dan hasilnya sering dianalisis secara
induktif (Moleong, 2008:160). Pengambilan foto oleh peneliti, dilakukan
dengan meminta bantuan orang lain. Hal ini dilakukan untuk melihat
hubungan dan respons subyek sewaktu berhubungan dengan peneliti agar
mendapatkan latar yang alami atau tidak dibuat-buat pada saat pengambilan
foto tersebut dilakukan.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan oleh peneliti dilakukan
dengan memasuki lapangan atau latar penelitian yakni merupakan salah satu ciri
utama penelitian kualitatif. Dalam hal pengumpulan data sesuai dengan bentuk
pendekatan kualitatif serta sumber dan jenis data yang digunakan, maka teknik
pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam teknik
yaitu sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewe ) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2008:186). Wawancara dalam penelitian ini, juga
menggunakan wawancara terstruktur artinya pada awal penelitian, peneliti
sudah menanyakan pertanyaaan yang terformat dalam daftar pertanyaan yang
telah tersusun terkait dengan pengembangan kantin kejujuran di SDN BI
Tlogowaru yang akan dilakukan terhadap kepala sekolah, pengelola atau
pelaksana kantin kejujuran, guru wali kelas III dan IV serta siswa yang
menjadi subjek penelitian yaitu siswa kelas III dan IV.
2. Observasi
Menurut Winarno Surakhmat, observasi adalah teknik pengumpulan
data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala yang diteliti
dengan seksama serta mengamati langsung terhadap obyek dan sasaran
penelitian (dalam Sugiyono, 2006:162). Observasi dalam penelitian ini,
dilakukan untuk mengetahui gambaran umum lokasi atau area kantin
kejujuran, mengetahui sistem manajemen dalam kantin kejujuran baik cara
pembelian dan pembayaran, mengetahui sistem pengawasannya dan perilaku
siswa terkait dengan pengembangan kantin kejujuran dalam rangka
pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru.
3. Dokumentasi
Menurut Arikunto (2006:206) dokumentasi adalah mencari data
mengenai sesuatu hal atau variabel yang berasal dari pihak lain. Dalam
penelitian ini akan mempergunakan media elektronik berupa kamera untuk
merekam proses pada saat kegiatan penelitian berlangsung. Dokumentasi
berupa foto merupakan bukti autentik bahwa penelitian ini telah dilaksanakan.
Selain foto, nantinya peneliti akan melengkapi data-data berupa
dokumen tertulis mengenai sistem pembukuan yang terdapat dalam kantin
kejujuran yang dimanfaatkan untuk menafsirkan bahkan meramalkan data
yang diperoleh.
F. Analisis Data
Menurut Patton analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan umum dasar (dalam
Moleong, 2000:103). Sesuai dengan tujuan penelitian dan jenis data yang
dikumpulkan yaitu jenis data kualitatif dan deskriptif, maka teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengolahan data non statistik atau
teknik
analisa
deskriptif
kualitatif
yang
artinya
menggambarkan
atau
mendeskripsikan kembali data yang terkumpul.
Analisis data yang dipakai dalam penelitian adalah model analisis
interaktif Miles dan Huberman (1992:20-23). Dalam model ini terdapat tiga
komponen analisis meliputi, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan
proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam proses ini peneliti
tetap bergerak diantara tiga analisis, sesudah pengumpulan data sesuai unitnya
dengan menggunakan waktu yang tersisa dalam penelitian. Untuk lebih jelasnya
proses analisisnya dalam model interaktif dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan
Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Miles & Huberman
Sumber: Model Analisis Interaktif (Miles&Huberman, 1992:20)
Langkah dalam analisis data tersebut meliputi:
1. Reduksi Data
Mereduksi data dimaksudkan untuk pemilihan dan penyederhanaan
data yang telah diperoleh, mulai dari awal pengumpulan data sampai kepada
proses penyusunan laporan penelitian. Jadi dalam mereduksi data, data yang
diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi ditulis dalam
bentuk rekaman data, dikumpulkan, dirangkum dan dipilih hal-hal yang pokok
sehingga didapatkan hasil pengamatan yang lebih akurat. Data yang direduksi
memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila
diperlukan.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah penyusunan data secara naratif dari informasi
yang telah diperoleh dari hasil reduksi data yang dilakukan. Penyajian data
dilakukan untuk mengurutkan data yang terkumpul dan telah dianggap valid.
Kemudian dilakukan penyusunan sesuai dengan rumusan masalah, kegiatan
ini akan memudahkan peneliti untuk melihat bagian-bagian tertentu ataupun
keseluruhan dari data hasil penelitian.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk membuat kesimpulan
terhadap hasil penafsiran dan evaluasi. Kegiatan ini mencakup pencarian
makna data serta memberi
penjelasan. Selanjutnya, dilakukan kegiatan
verifikasi, yaitu menguji kebenaran, keakuratan dan mencocokan makna-
makna yang muncul dari data. Verifikasi tersebut merupakan validitas dari
data yang disimpulkan.
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
Dalam penelitian ini, upaya untuk menjamin keabsahan datanya digunakan
teknik triangulasi. Menurut Moleong (2008:324) triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data
itu untuk keperluan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Adapun teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi dengan sumber,
yakni dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek data yang diperoleh
melalui wawancara, observasi didukung dengan catatan lapangan.
Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengecek
data yang diperoleh melalui beberapa sumber baik dari kepala sekolah, pengelola,
guru dan siswa didukung oleh hasil pengamatan selama berada di lapangan. Data
yang diperoleh dari beberapa sumber tersebut dideskripsikan serta dikategorikan
untuk mendapatkan kesimpulan. Pengecekan data yang berasal dari pemberi data
(informan) bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan
disepakati oleh pemberi data (informan), berarti data tersebut valid sehingga
semakin kredibel.
H. Tahap-tahap Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian ini, diawali
dengan tahap pra lapangan sampai pada penulisan laporan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
a. Merumuskan masalah
Suatu penelitian selalu bertindak pada masalah, tanpa masalah
penelitian tidak dapat dilaksanakan. Mengenai perumusan masalah dalam
penelitian, Moleong (2008:92) menjelaskan bahwa masalah itu, sewaktu
akan mulai memikirkan suatu penelitian, sudah harus dirumuskan secara
jelas, sederhana dan tuntas. Dalam penelitian ini masalah atau fokus
penelitiannya adalah pengembangan kantin kejujuran dalam rangka
pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru, dengan perumusan sebagai
berikut:
1) Bagaimana pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka
pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang?
2) Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin
kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru
Kota Malang?
3) Apa manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran
dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota
Malang?
b. Penyusunan desain penelitian
Kegiatan dalam tahap ini meliputi identifikasi masalah, studi
kepustakaan, dan pemilihan metode penelitian. Kegiatan penyusunan
desain penelitian ini dilakukan untuk mengurus izin penelitian, serta
panduan bagi pelaksanaan penelitian.
c. Perizinan
Sehubungan penelitian yang dilaksanakan diluar kampus dan
merupakan sebuah institusi formal yang berada dibawah naungan Dinas
Pendidikan Nasional, maka penelitian ini memerlukan izin dengan
prosedur sebagai berikut:
1) Permintaan surat pengantar untuk melakukan penelitian ke Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang diajukan ke Kepala
Dinas Pendidikan Nasional Kota Malang.
2) Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang memberikan surat pengantar
izin untuk melakukan penelitian yang diajukan kepada Kepala Sekolah
SDN BI Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang.
d. Penyusunan Instrumen Penelitian
Kegiatan dalam penyusunan instrumen penelitian meliputi
penyusunan daftar pertanyaan untuk melakukan wawancara serta
pembuatan format lembar observasi dan dokumentasi.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik:
1) Melakukan wawancara dengan kepala sekolah, pengelola atau
pelaksana kantin kejujuran, guru wali kelas III dan IV serta siswa kelas
III dan IV terkait dengan judul penelitian yaitu pengembangan kantin
kujujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru
2) Mengamati aktivitas siswa, pada saat melakukan pembelian makanan
ataupun minuman dan pada saat melakukan transaksi pembayaran di
kantin kejujuran tersebut serta cara pengawasan yang dilakukan dalam
kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru.
b. Pengolahan Data
Dari hasil pengumpulan data kemudian dilakukan pengolahan data
yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengolahan data ini dimaksudkan
untuk mempermudah nantinya dalam proses analisis data.
c. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif yang
menggambarkan dan menafsirkan keadaan yang sekarang. Tujuannya
melukiskan suatu keadaan yang sedang terjadi pada saat penelitian
berlangsung. Hasil analisis data diuraikan dalam paparan data dan temuan
penelitian.
d. Menarik Kesimpulan
Setelah dianalisis, langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan
yang diambil sesuai dengan data yang telah terkumpul dan dianalisis
dengan seobyektif mungkin.
3. Tahap Pelaporan
Setelah data yang diperoleh diolah dan dianalisis, kemudian
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, maka
dalam tahap pelaporan ini selanjutnya adalah menyusun hasil penelitian dalam
bentuk laporan (Skripsi) sesuai dengan pedoman yang berlaku di Universitas
Negeri Malang.
BAB
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian dan analisis temuan penelitian dalam
pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk jenjang pendidikan sekolah dasar dengan mempertimbangkan tingkat
kematangan berfikir siswa dan padatnya jam pelajaran, praktik kantin
kejujuran ini merupakan salah satu strategi yang tepat agar siswa dapat belajar
dan berlatih mengimplementasikan nilai-nilai antikorupsi seperti kejujuran,
keadilan, tanggung jawab, kedisiplinan, ketertiban serta kemandirian dalam
kehidupan sehari-hari terutama di dalam lingkungan sekolah. Pengembanagan
kantin kejujuran dapat digunakan sebagai salah satu wadah bagi pendidikan
kader calon pemimpin bangsa yang berwatak antikorupsi di masa yang akan
datang. Pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan
antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang oleh pihak sekolah dilakukan
secara efektif dan efisien mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan hingga evaluasi selalu diarahkan pada kemajuan dan hasil yang
optimal.
2. Faktor pendukung pengembangan kantin kejujuran terdiri dari adanya bantuan
modal; Perilaku warga sekolah untuk jujur setiap melakukan transaksi
pembelian dan pembayaran; Pemberian materi pendidikan antikorupsi di
dalam kelas yang termuat pada mata pelajaran PKn; Siswa menyukai makanan
dan dapat menjangkau harga yang ditawarkan; Kesadaran siswa untuk
mematuhi norma-norma yang berlaku di kantin kejujuran; Pemahaman siswa
terhadap mekanisme pembelian dan pembayaran di kantin kejujuran; Siswa
mengetahui bahwa korupsi merupakan perbuatan yang tidak baik karena dapat
merugikan diri sendiri dan orang lain. Sedangkan faktor penghambat
pengembangan kantin kejujuran yaitu semua siswa belum tentu bisa untuk
berbuat jujur, disiplin, mandiri, tertib dan bertanggung jawab; Guru
mengalami kesulitan dalam melepas anak kelas satu karena sebagian dari
mereka ada yang masih belum mengerti nominal uang.
3. Manfaat yang diperoleh dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran
dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang
sebagai berikut: Bagi sekolah terbentuknya perilaku dan lingkungan yang jujur
di sekolah serta sebagai sarana mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran yang
telah diajarkan di dalam kelas; Bagi siswa dapat melatih sikap jujur,
bertanggung jawab, mandiri dan dapat melatih siswa untuk taat dan patuh
terhadap norma, tata tertib dan ketentuan yang berlaku di sekolah maupun di
masyarakat; Bagi orang tua dapat memberikan motivasi dan pembinaan
terhadap anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah,
maupun di lingkungan masyarakat; Dan bagi masyarakat dapat mendidik
generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia.
B. Saran
Sebagai akhir karya tulis ilmiah ini, maka peneliti mengajukan beberapa
saran yang ditujukan kepada:
1. Sekolah
Agar program kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru menjadi lebih
sempurna dan dapat dijadikan wahana pendidikan moral yang efektif,
hendaknya
sekolah
yang
bersangkutan
juga
menerapkan
kurikulum
antikorupsi dalam pembelajaran dan dalam pengawasan kantin kejujuran
hendaknya juga melibatkan siswa di dalamnya melalui piket kantin kejujuran.
2. Guru
Guru hendaknya ikut mendampingi pada saat siswa bermain Ular
Tangga Antikorupsi (UTAK) agar dapat memberikan penjelasan mengenai
nilai-nilai kejujuran yang terangkum di permainan UTAK tersebut.
3. Dinas Pendidikan Kota Malang
Dinas pendidikan Kota Malang hendaknya memberikan dukungan dan
ikut menfasilitasi sekolah yang berkeinginan untuk mendirikan dan
melaksanakan praktik kantin kejujuran.
4. Peneliti atau mahasiswa yang akan datang
Peneliti atau mahasiswa yang akan datang hendaknya dapat meneliti
metode pembelajaran antikorupsi yang diterapkan di dalam kelas. Untuk
mengevaluasi keberhasilan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa
dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) terkait dengan materi tentang korupsi
yang disampaikan oleh guru.
DAFTAR RUJUKAN
Abdi Guru, Tim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VIII.
Jakarta: Erlangga.
Anonimous. 01 Januari, 2009. Kantin Kejujuran Sempat Ditutup. Radar Tarakan
(Online), (http://www.radartarakan.com/, diakses tanggal 05 Mei 2009).
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Dharma, Budi. 25 Oktober 2004. Korupsi dan Budaya. Kompas. (Online),
(www.kompas.com., diakses tanggal 20 Oktober 2008).
Dharma, Satria. 01 Januari 2009. Kantin Kejujuran Versus Prinsip 3-2-1 (Online),
(http//satriadharma.com/, diakses tanggal 20 April 2009).
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Dwiyono, Agus. 2007. Kewarganegaraan SMP Kelas VIII. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Harmanto. 2008. Mencari Model Pendidikan Antikorupsi Bagi Siswa SMP Dan
MTs. Makalah disajikan dalam seminar Simposium Nasional Pendidikan
Tahun 2008. Surabaya.
Hassan, Fuad. 2004. Pendidikan Adalah Pembudayaan; dalam Pendidikan
Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas
Kuswandoro, Wawan. 11 Juni 2008. Pendidikan Aktual (Online),
(www.wawankuswandoro.blogspot.com, diakses tanggal 20 Oktober
2008).
Megawangi, Ratna. 16 November 2007. Pendidikan Kharakter 3 M (Moral
Knowing,
Moral
Feeling,
dan
Moral
Action)
(Online),
(http//keyanagu.blogspot.com, diakses tanggal 22 Oktober 2008).
Miles,B & Huberman,A. Tanpa Tahun. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Cecep Rohadi. 1992.
Jakarta. UI Press.
Mochtar, Akil. Memberantas Korupsi Efektifitas Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dalam Gratifikasi. Jakarta: Q-Communication.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Muhammadun. 08 April 2008. Kantin Kejujuran dan Pendidikan Antikorupsi
( Online), (http.diknas-padang.org, diakses tanggal 5 Maret 2009)
Muslihati. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 Universitas Negeri
Malang.
Nazir, Mohamad. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pikiran Rakyat. 16 Januari, 2008. Menakar Kejujuran di Kantin Sekolah (Online),
(http://beta.pikiranrakyat.com/index.php., diakses tanggal 28 April 2009).
Prayitno, Irwan. 30 April 2007. Pendidikan Anti Korupsi (Online), (http: //fpksdpr.or.id., diakses tanggal 04 Desember 2008).
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik
Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: CV. Mandar Maju.
Samidi & Vidyaningtyas. 2008. Belajar Memahami Kewarganegaraan 2 untuk
Kelas VIII SMP dan MTS. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sanaky, Hujair AH. 5 Februari 2009. Pendidikan Antikorupsi. (Online),
(http:sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/pendidikan-anti-korupsi/, diakses
tanggal 5 Maret 2009.
Santrock, John W. 2006. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Saptono. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII. Jakarta:
Phibeta.
Syaharuddin. 6 Maret 2009. Kantin Kejujuran Sebuah Alternatif Budaya
Antikorupsi. (Online), (http://syaharuddin.wordpress.com/, diakses tanggal
5 Maret 2009).
Sugita, Basuki. 19 Mei 2007. Ayo Bermain Ular Tangga Antikorupsi. Kompas.
(Online), (www.kompas.com., diakses tanggal 22 Oktober 2008).
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
CV.Alfabeta.
Sulistiawan, Bhayu. 2008. Nilai-nilai Antikorupsi Dalam Pendidikan Islam
(Online), ( Shariah @ National Law.htm, diakses tanggal 29 November
2008).
Suradi. 2006. Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai
Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya. Yogyakarta: Gava
Media.
Taufik. 5 Agustus 2008. Pendidikan dan Gerakan Antikorupsi. (Online),
(http://taufik79.wordpress.com/, diakses tanggal 5 Maret 2009).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2008. Bandung: Fokusmedia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2004. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
RIWAYAT HIDUP
Hadiyah Riwayati dilahirkan di Sumenep-Madura
tanggal 27 Desember 1986, anak bungsu dari empat
bersaudara, pasangan Bapak Mudawi dan Ibu (Alm.)
Murniyah.
ditempuh
Pendidikan
di
kampung
dasar
dan
menengah
halamannya
di
telah
Sumenep.
Pendidikan dasar ditempuh di SDN Pandian I dan lulus
pada tahun 1999. Sedangkan pendidikan menengah pertama ditempuh di MTsN
Sumenep dan lulus tahun 2002 dan pendidikan menengah atas ditempuh di MAN
Sumenep dan lulus tahun 2005. Semasa MTs dan MAN, penulis aktif di kegiatan
organisasi sekolah (OSIS) dan pramuka. Pendidikan berikutnya ditempuh di
Universitas Negeri Malang melalui jalur PMDK dan diterima di jurusan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada tahun 2005.
Download