PENGEMBANGAN KANTIN KEJUJURAN DALAM RANGKA PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI BERTARAF INTERNASIONAL (SDN BI) TLOGOWARU KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG SKRIPSI OLEH HADIYAH RIWAYATI NIM 105811479407 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DESEMBER 2009 PENGEMBANGAN KANTIN KEJUJURAN DALAM RANGKA PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI BERTARAF INTERNASIONAL (SDN BI) TLOGOWARU KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG SKRIPSI Diajukan kepada Universitas Negeri Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Oleh Hadiyah Riwayati 105811479407 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Desember 2009 ABSTRAK Riwayati, Hadiyah. 2009. Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan Antikorupsi di Sekolah Dasar Negeri Bertaraf Internasional (SDN BI) Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Skripsi, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi PPkn, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. H. A Rosyid Al-Atok, M.Pd., MH. (II) Drs. Ketut Diara Astawa, SH., M.Si. Kata Kunci: kantin kejujuran, pendidikan antikorupsi Salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia yaitu melalui pendidikan antikorupsi. Ide terus digali untuk mencari strategi terbaik dalam memberantas korupsi melalui pendidikan antikorupsi tersebut, termasuk cara mengasah kejujuran dan menumbuhkan mental antikorupsi di kalangan pelajar. Salah satu diantaranya yaitu melalui kantin kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang, (2) mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang dan (3) mendeskripsikan manfaat pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Sedangkan sumber data penelitian dibagi menjadi tiga yaitu informan, catatan lapangan dan dokumen. Penentuan informan penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga teknik yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan meliputi tiga unsur yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber yakni dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek data yang diperoleh melalui wawancara, observasi didukung dengan catatan lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa: (1) Kantin kejujuran merupakan salah satu strategi yang tepat agar siswa belajar dan berlatih mengimplementasikan nilai-nilai antikorupsi seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, kedisiplinan, ketertiban serta kemandirian. Kantin kejujuran dapat digunakan sebagai wadah bagi pendidikan kader calon pemimpin bangsa yang berwatak antikorupsi. Pola pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru oleh pihak sekolah dilakukan secara efektif dan efisien mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi diarahkan pada kemajuan dan hasil yang optimal; (2) Faktor pendukung pengembangan kantin kejujuran terdiri dari adanya bantuan modal; Perilaku warga sekolah untuk berperilaku jujur; Pemberian materi pendidikan antikorupsi pada mata pelajaran PKn; Siswa menyukai makanan dan dapat menjangkau harga yang ditawarkan; Kesadaran siswa untuk mematuhi norma yang berlaku; Pemahaman siswa terhadap mekanisme pembelian dan pembayaran; Siswa mengetahui tentang korupsi. Sedangkan faktor penghambat pengembangan kantin kejujuran yaitu semua siswa belum tentu bisa untuk berbuat jujur, disiplin, mandiri, tertib dan bertanggung jawab; Guru mengalami kesulitan melepas anak kelas satu karena sebagian dari mereka masih belum mengerti nominal uang; (3) Manfaat yang diperoleh diketahui sebagai berikut; Bagi sekolah terbentuknya perilaku dan lingkungan yang jujur serta sebagai sarana mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran yang telah diajarkan di dalam kelas; Bagi siswa dapat melatih sikap jujur, bertanggung jawab, mandiri, taat terhadap norma, tata tertib dan ketentuan yang berlaku; Bagi orang tua dapat memberikan motivasi dan pembinaan terhadap anak agar selalu berperilaku jujur; Dan bagi masyarakat dapat mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia. Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan: (1) Hendaknya sekolah yang bersangkutan juga menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran dan dalam pengawasan kantin kejujuran dapat melibatkan siswa di dalamnya melalui piket kantin kejujuran; (2) Guru hendaknya pada saat siswa bermain Ular Tangga Antikorupsi (UTAK) dapat memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai kejujuran yang terangkum di permainan UTAK tersebut; (3) Dinas Pendidikan Kota Malang hendaknya memberikan dukungan dan ikut menfasilitasi sekolah yang berkeinginan untuk mendirikan dan melaksanakan praktik kantin kejujuran; (4) Peneliti atau mahasiswa yang akan datang hendaknya dapat meneliti metode pembelajaran antikorupsi yang diterapkan di dalam kelas. KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan Antikorupsi Di Sekolah Dasar Negeri Bertaraf Internasional (SDN BI) Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang”. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. 2. Bapak Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang telah memberikan izin penelitian selama PPKn masih berada dalam naungan FIP. 3. Bapak Drs. Ketut Diara Astawa, SH., M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan serta Pembimbing II dengan kesabarannya yang telah memberikan motivasi, pengarahan, nasehat selama bimbingan hingga terselesaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. H. A Rosyid Al-Atok, M.Pd., MH., selaku pembimbing I dengan kesabarannya yang telah memberikan motivasi, pengarahan, nasehat selama bimbingan hingga terselesaikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. H. Yudi Batubara, SH., MH. selaku dosen Pembimbing Akademik. 6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan. 7. Kepala Sekolah, guru serta staf TU SDN BI Tlogowaru yang telah memberi izin dan kesempatan untuk bekerjasama selama penelitian. 8. Orang tuaku tercinta Bapak Mudawi dan Ibu Alm. Murniyah, yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan moral dan spiritual yang tidak ternilai harganya sedari kecil hingga saat ini kepada penulis. 9. Kakakku Mas Zaini, Alm. Mas Zainullah, dan Mbak Yuyun serta Mbak Yanti dan Mas Fajar, yang memberikan kasih sayang selama ini. 10. Sahabatku Mas Deny, Vita, Ivo, Roro, Sharon, Iteng, Maman yang mendoakan, memberikan semangat dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. 11. Teman-teman kos Youmie 22 c beserta teman-teman PPKn angkatan 2005 khususnya Off A, kebersamaan kita adalah kenangan terindah yang tidak pernah terlupakan. 12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu dalam terselesaikannya skripsi ini. Mengingat keterbatasan pengetahuan kemampuan penulis dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis menyadari hasilnya belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu penulis sangat menghargai dengan sepenuh hati dan mengucapkan terima kasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan Malang, 21 Desember 2009 Penulis BAB PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multidimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat salah satunya adalah problematika korupsi yang tidak kunjung usai. Problematika korupsi menyangkut hal-hal yang berdimensi antarnegara karena modus operandi dan dampak korupsi di era global bersifat multidimensi. Lord Acton dalam salah satu karyanya mengemukakan ”Power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”, artinya kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi. Tesis Acton tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois (The Spirit of Law), bahwa orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekusaan (Taufik, 2008:1). Berdasarkan atas hasil rilis Transparancy International (TI) menunjukkan dari tahun 1995-2005 posisi Indonesia berada pada kisaran 5 besar negara terkorup di dunia (TI, 2006). Sementara itu menurut survei yang dilakukan oleh Pasific Economic and Risk Consultancy (PERC) menunjukkan bahwa pada tahun 2005 Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia (Mochtar, 2006:4). Menurut Harmanto (2008:4) berbagai perangkat hukum dan kelembagaan telah dibuat dalam rangka pemberantasan korupsi, antara lain UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu negara Indonesia juga telah mengesahkan instrumen internasional yaitu United Nations Convention Against Corruption dalam bentuk UU No. 7 Tahun 2006 sebagai pengesahan atas Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Antikorupsi. Dalam bidang kelembagaan antikorupsi, pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disertai dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Berbagai upaya tersebut telah dilakukan untuk menghentikan praktik korupsi. Akan tetapi dalam realitanya korupsi sangat sulit untuk diberantas. Namun demikian, memberantas korupsi melalui aspek penegakan hukum (law enforcement) saja, masih belum efektif untuk menghentikan praktik korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini harus dibarengi pula dengan upaya tindakan preventif (pencegahan) agar korupsi tidak diwariskan kembali kepada generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Setelah berbagai usaha pemberantasan korupsi ditangani oleh berbagai lembaga di Indonesia dengan hasil beragam, dunia pendidikan saat ini sudah mulai merasa bertanggung jawab akan pentingnya penanaman kesadaran melawan perilaku korupsi melalui institusi resmi yaitu sekolah. Sekolah sebagai lingkungan kedua bagi anak, dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Sekolah dapat memberikan nuansa yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk di dalamnya perilaku antikorupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk penanaman pola pikir, sikap dan perilaku antikorupsi yaitu melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan (Hassan, 2004:9). Pendidikan di Indonesia tentunya mempunyai peranan penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Karena manusia yang lahir melalui sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di saat institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral peserta didik. Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling depan untuk mencegah korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) untuk masa yang akan datang. Salah satu strategi pencegahan yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia yaitu melalui pendidikan antikorupsi. Ide terus digali untuk mencari strategi terbaik dalam memberantas korupsi melalui pendidikan antikorupsi tersebut, termasuk cara mengasah kejujuran dan menumbuhkan mental antikorupsi di kalangan pelajar. Salah satu di antaranya yaitu melalui kantin kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi. Kantin kejujuran bisa menjadi tempat pembelajaran bagi peserta didik tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang pada akhirnya akan bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi antikorupsi. Di dalam mengembangkan kantin kejujuran sebagai salah satu strategi pendidikan antikorupsi, hal ini tentunya tidaklah mudah. Terutama faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengembangan kantin kejujuran tersebut. Terdapat beberapa sekolah yang harus menutup kantin kejujuran tersebut karena mengalami kerugian. Seperti yang termuat dalam radar Tarakan sebagai berikut: SMAN 1 Tanjung Selor Tarakan harus menutup kantin yang baru saja didirikan di sekolah tersebut karena diduga telah terjadi kecurangan. Hal yang serupa juga dialami oleh SMUN 01 Boyolangu kabupaten Tulungagung. Kantin kejujuran SMUN 01 Boyolangu ini diresmikan bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia. Selain kejaksaan dan muspida setempat, Bupati Tulungagung Heru Tjahjono beserta seluruh jajarannya menyempatkan hadir dalam acara peresmian kantin kejujuran tersebut. Namun semangat dalam rangka menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah tersebut harus terkikis, karena kantin tersebut mengalami kebangkrutan dan harus ditutup (Dharma, 2009:1). Pengembangan kantin kejujuran tersebut tentu tidak terlepas dari peran berbagai pihak dan kondisi lingkungan sekolah dalam mensosialisasikan serta menginternalisasikannya kepada siswa. Pengembangan kantin kejujuran tersebut dapat diterapkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada peserta didik sejak dini. Tantangannya kemudian adalah bagaimana mengembangkan dan memelihara kantin kejujuran dengan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Memelihara dan memperkuat nilai-nilai kejujuran tersebut tentulah harus tercermin dalam keseluruhan proses penyelenggaraannya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul penelitian ”Pengembangan Kantin Kejujuran Dalam Rangka Pendidikan Antikorupsi Di Sekolah Dasar Negeri Bertaraf Internasional (SDN BI) Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? 2. Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? 3. Apa manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang. 2. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin kejujuran rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang. 3. Mendeskripsikan manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang. D. Kegunaan Penelitian Dengan adanya penelitian tentang pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru, diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak diantaranya: 1. Bagi Peneliti a. Dengan adanya penelitian ini, dapat menambah wawasan beserta pengalaman di lapangan terkait dengan pengembangan kantin kejujuran tersebut. b. Melatih kemampuan dalam memahami dan menganalisis persoalan secara kritis dan sistematis. 2. Bagi Jurusan PPKn a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian wawasan keilmuan serta sumbangan pemikiran yang berupa pengetahuan dan informasi tentang masalah yang diteliti khususnya mengenai pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi yang mengambil obyek penelitian di SDN BI Tlogowaru Kota Malang. b. Sebagai bahan untuk menambah dan melengkapi referensi untuk perbendaharaan kajian ilmiah serta pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan sebagai penunjang bagi mahasiswa dalam rangka memperdalam pengetahuan dan pengalaman belajar di Perguruan Tinggi. 3. Bagi Universitas Negeri Malang Laporan hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan kepustakaan. 4. Bagi Sekolah a. Melalui pengembangan kantin kejujuran tersebut dapat mengarahkan peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran di lingkungan sekolah. Kantin kejujuran perlu diterapkan di sekolah sebagai upaya preventif bagi peserta didik untuk menjauhi praktik korupsi. b. Pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Melalui program ini akan mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Karena tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa. BAB KAJIAN PUSTAKA A. Tinjaun Tentang Korupsi 1. Pengertian Korupsi Menurut Prodjohamidjojo (2001:7) istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruption atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:55) diartikan buruk, rusak, busuk, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan menurut Tim Abdi Guru (2006:106) korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan (uang negara, atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dan menurut undang-undang antikorupsi, korupsi adalah tindak pidana. yaitu tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dengan cara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (kumpulan orang dan/ atau kekayaan terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal. Persoalan struktural karena telah melekat dalam sistem pemerintahan. Sedangkan persoalan kultural karena kelaziman kolektif yang telah diterima menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial. Dan dikatakan persoalan personal karena mentalitas korupsi menyatu dengan kepribadian bangsa Indonesia pada umumnya (Tim Abdi Guru, 2006:114). Terjadinya korupsi tentunya dilatarbelakangi oleh adanya faktor pendorong untuk melakukannya. Suradi (2006:11-16) menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur penting yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Unsur-unsur tersebut meliputi: a. Adanya Tekanan (Pressure) Kehidupan dapat menciptakan tekanan situasional yang signifikan, pada suatu saat seseorang akan diuji tentang etika dan kejujurannya. Tekanan dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: 1) Tekanan keuangan Tekanan keuangan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi karena serakah, gaya hidup melebihi kemampuan, memiliki hutang atau mengalami kerugian keuangan yang cukup besar, dan kebutuhan keuangan yang tidak terduga. 2) Tekanan karena sifat buruk yang dimiliki seseorang Kebiasaan seseorang seperti suka berjudi, mengkonsumsi obat terlarang dan alkohol nantinya akan berakibat terkurasnya keuangan yang dimiliki orang tersebut. Hal ini akan mendorong seseorang tersebut untuk melakukan kecurangan yang nantinya akan mengarah pada perbuatan korupsi. 3) Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi diantaranya, kurang dihargainya atas kinerja yang telah dicapai, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, takut kehilangan jabatan, dan perasaan dibayar lebih rendah. 4) Tekanan yang lain Setiap orang akan menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupannya, namun sifat dan kualitas tekanan tersebut bervariasi. Misalkan kebutuhan akan keuangan, pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi, gaji yang lebih besar dan sebagainya. b. Kesempatan atau peluang (Opportunity) Adakalanya kejahatan muncul bukan karena niat jahat dari pelaku melainkan karena ada kesempatan atau peluang. Demikian juga halnya dengan korupsi. Banyak pelaku korupsi (koruptor) melakukan perbuatan tersebut karena adanya peluang untuk melakukannya. c. Rasionalisasi (Rasionalization) Untuk menjelaskan rasionalisasi dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya korupsi, karena rasionalisasi akan memberikan suatu pembenaran tentang apa saja yang kita lakukan dengan tujuan untuk memuaskan diri sendiri, meskipun tidak memiliki alasan yang kuat dan pembenaran tersebut juga tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi moral atau etika. Misalkan seseorang yang melakukan korupsi, dan uang korupsi tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan dan menyantuni fakir miskin. Dengan melakukan rasionalisasi akan membantu seseorang untuk menyembunyikan ketidakjujuran dari tindakannya. Meningkatnya kasus korupsi juga dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya rendahnya moralitas atau perilaku yang menyimpang dari normanorma kehidupan, tidak memiliki budaya malu, tidak taat hukum, sikap mental yang tidak baik, tidak amanah, tidak jujur, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan adanya langkah-langkah positif diantaranya adalah penyadaran dan pembinaan moralitas bangsa, sehingga penyelenggaraan negara dapat berjalan secara baik yaitu bersih dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 2. Dampak Korupsi Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terdapat pada hampir semua negara. Di negara maju maupun berkembang, apalagi di negara yang sedang giatgiatnya membangun seperti Indonesia, fenomena korupsi akan senantiasa terjadi dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Menurut Saptono (2007:106) korupsi akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi keberlangsungan bangsa Indonesia. Diantaranya biaya hidup menjadi mahal karena ongkos suap para pengusaha pada akhirnya dibebankan kepada konsumen atau rakyat; menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar; merusak wibawa pemerintah; melahirkan berbagai kejahatan lain seperti pemalsuan, penyelundupan, intimidasi, menurunkan kuantitas dan kualitas pembangunan; pemerintah makin kehilangan dukungan rakyat. Sedangkan dalam bidang politik menurut Samidi & Vidyaningtyas (2008:88) korupsi akan mempengaruhi pada kehidupan demokrasi. Korupsi akan mempersulit kehidupan demokrasi dan tata pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal. Sebagai contoh korupsi di lembaga pemilihan umum dan badan legislatif akan mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam pembentukan kebijaksanaan, korupsi di pemerintahan publik akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam pemberian layanan terhadap masyarakat. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatannya bukan karena prestasi tetapi karena adanya uang suap untuk menaiki jabatan tertentu yang diinginkan. Korupsi juga akan memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidakefisienan yang tinggi. Korupsi juga dapat mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah (Samidi & Vidyaningtyas, 2008:89). 3. Instrumen Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Mengingat dampak korupsi yang telah ditimbulkan tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali memberantasnya. Langkah awal yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat aturan-aturan hukum untuk memberantas korupsi. Sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap korupsi yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengambil beberapa kebijakan baik melalui peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi disertai pula dengan lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Berikut ini gambaran umum mengenai berbagai kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia mulai dari pemerintahan Soekarno sampai pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tahun Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pemerintahan Soekarno (1945-1966) 1956-1957 Gerakan antikorupsi dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, wakil Staf Angkatan Darat. Pada masa itujuga dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan ini dibuat karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktik korupsi saat itu. Pemerintahan Soeharto (1967-1998) 1967 Sebagai pejabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. 1970 Dibentuk Komisi Empat berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 1970. Komisi ini bertugas meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi. Komisi ini terdiri atas empat orang, yaitu: Wilopo, I. J. Kasimo, Prof. Ir Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto. 1971 Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 3 Tahun 1971. 1977 Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib (Opstib) yang berlanjut Inspres No. 9 Tahun 1977 tentang pembentukan Tim Operasi Tertib. Tim itu bertugas untuk mengikis habis praktek-praktek penyelewengan dalam segala bentuk. 1980 1) Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. 2) Pemerintah mengeluarkan peraturan Disiplin Pegawai Negeri yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980. Pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999) 1998 1) Sidang umum MPR menghasilkan salah satu ketetapan yang secara tegas menuntut pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Ketetapan itu tertuang dalam Tap MPR No. XI/MPR/1998. 2) Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) 1999 1) Pemerintah membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara. 2) Terbitnya surat Keputusan Presiden tanggal 13 Oktober 1999 tentang Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara. 2000 1) Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. 2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) berdiri melalui PP No. 19 Tahun 2000. Tim gabungan ini merupakan cikal bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi. 3) Terbitnya surat keputusan Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen dan HAM tanggal 7 Juli 2000 untuk menetapkan pemebentukan tim persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2003) 2001 1) Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . 2) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah Agung dengan dasar UU No.31 Tahun 1999. 2002 Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tahun 2003 Kebijakan Pemberantasan Korupsi 1) Presiden mengeluarkan Keppres Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) Indonesia menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi di New York, Kamis 18 Desember 2003. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang) 2004 1) Keppres 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa dan memutus kasus korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2) Inpres 5/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 2005 Keppres 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim ini bertugas mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan; menelusuri, mengamankan aset korupsi untuk pengambilan kerugian negara secara optimal. (Sumber: Koran Tempo, 25 Oktober 2004. Dalam Saptono, 2007:108) Sebuah instrumen hukum tentang korupsi, apabila dalam pelaksanaannya tidak ada lembaga yang berwenang menegakkan hukum tersebut maka hal ini tidak akan berarti. Oleh karena itu, untuk lebih memaksimalkan pemberantasan korupsi, pemerintah Indonesia telah membentuk lembaga-lembaga antikorupsi. Lembaga antikorupsi tersebut ada yang dibentuk oleh negara berdasarkan undangundang dan ada pula yang dibentuk oleh masyarakat. Lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh negara adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. KPK adalah sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan contoh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Gerakan antikorupsi (Gerak). Partisipasi kedua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini antara lain dengan cara memberikan pengawasan serta informasi dan pengaduan terhadap dugaan adanya tindak korupsi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga negara lain. Di samping itu, kedua LSM tersebut juga ikut memberdayakan masyarakat agar masyarakat memiliki keberanian dan kepedulian terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia (Dwiyono, 2007:93). 4. Upaya Pemberantasan Korupsi Pemberantasan korupsi melalui berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan baik melalui peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang korupsi disertai dengan lembaga-lembaga yang berperan untuk memberantas korupsi ternyata masih belum efektif untuk menghentikan praktik korupsi yang terjadi selama ini. Kelemahan aturan sering digunakan para koruptor untuk lolos dari jerat hukum. Sehingga perlu disusun dan diperbaiki terus-menerus berbagai peraturan serta cara kerja pemerintah agar menjadi lebih efisien, penciptaan lingkungan kerja bebas korupsi, pemisahan secara tegas harta milik negara dan milik pribadi, penggunaan fasilitas milik negara untuk kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi, etika profesi dan tata tertib lembaga. Pemberantasan korupsi selain melalui tindakan yang bersifat represif (menekan) yaitu melalui aturan hukum yang telah ada, dapat pula melalui tindakan yang bersifat preventif (mencegah). Pencegahan bisa dilakukan dengan perbaikan sistem hukum, kelembagaan, dan budaya masyarakat. Selain perbaikan sistem hukum dan kelembagaan, perlu pula dilakukan perbaikan manusianya atau budaya masyarakat (Saptono, 2007:108-109). Sehubungan dengan hal tersebut, Dwiyono (2007:89) menyebutkan beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi yaitu: 1) Mendorong agama agar lebih berperan dalam menumbuhkan sikap antikorupsi. Dengan iman yang kuat dan hati yang bersih diharapkan bisa mencegah seseorang melakukan korupsi. Karena apabila iman seseorang tidak kuat, maka hatipun menjadi kotor. Apabila hati seseorang kotor, maka akan mudah melakukan tindakan tercela seperti berbohong atau tidak jujur, tidak adil dan tindakan tercela lainnya termasuk melakukan korupsi. Sebaliknya, apabila iman seseorang kuat, hati menjadi bersih sehingga orang tersebut akan kuat menahan diri dari tindakan tercela termasuk korupsi. 2) Memberdayakan kembali moral bangsa. Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas. Tetapi akhir-akhir ini, disadari ataupun tidak telah terjadi degradasi moral di negeri ini. Sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama sudah diabaikan, dan dianggap sebagai suatu kemajuan. Sudah saatnya membangun kekuatan untuk mendidik akhlak generasi penerus bangsa yang akan datang dengan memberikan sentuhan nilainilai kearifan lokal yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia. 3) Meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. Setelah bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak beberapa tahun yang lalu, korupsi sungguh membuat rakyat lebih sengsara. Sudah saatnya pemerintah mengagendakan kebijakan untuk kemiskinan sehingga rakyat menjadi sejahtera. program pengentasan 4) Memilih pemimpin yang antikorupsi. Seorang pemimpin yang bermoral dan bijaksana mampu dijadikan panutan bagi masyarakat serta mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Segala perilaku buruk, tidak jujur, dan tidak adil yang dilakukan oleh para pemimpin atau pejabat akan memberikan teladan buruk bagi masyarakat, dan memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan serupa. Begitu pula halnya dengan tindakan korupsi. Apabila dilakukan oleh oknum-oknum pejabat atau pimpinan akan mendorong bawahannya untuk melakukan tindakan korupsi di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sikap objektif didalam menjatuhkan pilihan terhadap para pemimpin bangsa yang akan datang. 5) Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang antikorupsi sangat penting. Karena dengan adanya sosialisasi, masyarakat menjadi mengetahui bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari korupsi. Selain itu, masyarakat juga mengetahui sanksi-sanksi yang akan diterima apabila melakukan tindakan korupsi. Dengan demikian diharapkan, setiap anggota masyarakat mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan dukungan dari semua pihak untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung hingga sekarang ini. Upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi selama ini diwujudkan dalam bentukbentuk sebagai berikut: a. Pengawasan oleh warga masyarakat. b. Instrumen hukum pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi yang berwujud pada peraturan perundang-undangan. c. Lembaga pengawas, seperti DPR, DPRD, BPK, dan Bawasda. d. Lembaga pengawan independen seperti KPK. e. Lembaga penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan). Selain bentuk-bentuk yang diwujudkan seperti hal tersebut di atas, upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi ternyata selama ini juga telah diwujudkan dalam dunia pendidikan. Salah satu lembaga negara di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki tugas dan wewenang dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi tersebut, telah melaksanakan program pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan melalui institusi pendidikan yaitu sekolah. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 13 huruf c yang menyatakan dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan salah satunya disebutkan yaitu menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan. Gerakan antikorupsi sudah seharusnya didukung oleh pemerintah dan setiap elemen masyarakat di Indonesia. Kebencian terhadap praktik korupsi seharusnya merasuki setiap benak individu, khususnya peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Menurut Harmanto (2008:7) pendidikan antikorupsi merupakan langkah awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang lebih baik sejak usia dini. Peserta didik nantinya dalam waktu relatif singkat akan segera bersentuhan dengan aspek pelayanan publik yang rentan terjadi korupsi. Sehingga apabila mereka mengetahui dan memahami lingkup, modus, dampak dari korupsi diharapkan mereka dapat mengajak dan mewarnai lingkungan sekitarnya untuk berani dan bangkit melawan korupsi. Saatnya dunia pendidikan mendorong upaya pemberantasan dan pencegahan praktik korupsi dengan serius. Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Peserta didik yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajarkan untuk menjauhi praktik korupsi dan dapat turut aktif memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral (Prayitno, 2007:1). B. Pendidikan Antikorupsi Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Sanaky, 2009:1). Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kasim (dalam Kuswandoro, 2008:21) menjelaskan secara umum pendidikan selalu dicirikan oleh dua kepedulian yaitu budaya dan masyarakat, yaitu pemindahan keterampilan-keterampilan teknis yang perlu untuk menjalankan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup, serta pemindahan nilai-nilai agama, filosofis, budaya dan sosial dari masing-masing masyarakat dan penduduk tersebut ke generasi muda. Sedangkan Sudarminta (dalam Kuswandoro, 2008:21) menjelaskan bahwa Pendidikan secara luas adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa susila. Manusia dijuluki sebagai animal educandum sekaligus animal educandus, yaitu makhluk yang dididik sekaligus makhluk yang mendidik. Maka pengertian pendidikan jelas lebih luas daripada sekedar penyekolahan. Pendidikan dipahami sebagai ikhtiar pembudayaan. Pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi juga nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (Hassan 2004:5) Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan yang sering disebut taxonomy Bloom. Pertama, ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis dan teknik mengajar. Dari ketiga ranah pendidikan tersebut harus selaras dan saling melengkapi (Muslihati, 2005:12) . Keterlibatan pendidikan dalam upaya pencegahan korupsi memiliki kedudukan strategis antisipatif. Korupsi terhadap sebagian negara telah dianggap sebagai kejahatan transnasional. Sehingga memunculkan banyak ide terhadap cara pencegahan korupsi tersebut. Salah satu ide yang dicanangkan adalah melalui pendidikan. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah menjalankan pendidikan antikorupsi melalui berbagai upaya. Tidak terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya sosialisasi pendidikan antikorupsi. Hal tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa yang harus dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor pendidikan. Pendidikan antikorupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Dharma, 2004:1). Kejujuran merupakan prinsip dasar dalam pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan di sekolah, menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik. Menurut Sanaky (2009:2) untuk mewujudkan pendidikan antikorupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pendidikan karakter, Lickona (dalam Megawangi, 2007:4) menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik aspek pada kecerdasan intelektual, emosional maupun spritual. Pendidikan memiliki posisi sangat strategis dalam upaya membangun sikap antikorupsi. Melalui pendidikan antikorupsi diberikan pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral antikorupsi di sekolah, sehingga peserta didik dapat memiliki pandangan dan sikap yang permissive terhadap segala bentuk praktik korupsi. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan peserta didik agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia. Di dalam konteks pendidikan antikorupsi, yang terpenting adalah tujuan pendidikan nilai. Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman praktik korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan (aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa dalam memajukan budi pekerti, (Sulistyawan, 2008:28). pikiran, tindakan untuk menentang korupsi Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis falsafah dalam pendidikan nilai, moral dan agama. Pendidikan dapat dimaknai dan dimanfaatkan sebagai instrumen, selain mampu mentransformasikan nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering (pemecahan masalah sosial). Hidayatullah (2007:6) memberikan pendapatnya sebagai berikut: Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui tindakan preventif adalah dengan menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan korupsi, dan sekaligus juga mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan melakukan kampanye publik, maupun melalui penanaman nilai-nilai moral dan etika yang dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pada berbagai level terutama pada level pendidikan awal seperti SD dan SMP. Dengan upaya ini diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang bersih dan menjadi generasi muda yang dapat menjadi contoh bagi generasi sesudahnya dan sebelumnya. Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah: (1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi. Sedangkan manfaat dalam jangka panjangnya adalah menyumbang pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program antikorupsi serta mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri peserta didik yang kelak akan menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan (Dharma, 2004:7). Menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar ini, penyelenggaraan pendidikan antikorupsi lewat jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk membudayakan antikorupsi di Indonesia. Salah satu faktor keberhasilan dalam pendidikan antikorupsi di sekolah yaitu adanya daya dukung seluruh komponen sekolah. Daya dukung tersebut adalah adanya budaya sekolah yaitu berupa keteladanan guru dan kepala sekolah merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan antikorupsi tersebut. Kemudian disusul oleh konsistensi dalam penerapan aturan sekolah, kejujuran siswa, dan keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan. Muhammadun (2006:3) menyebutkan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam membangun pendidikan antikorupsi antara lain sebagai berikut: 1) Menempatkan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter. 2) Setelah tercipta karakter, maka perlu membangun kurikulum yang tidak hanya menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, namun juga mampu mengkontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. 3) Melakukan real action (aksi nyata) dalam pemberantasan korupsi, sehingga pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana, namun sebuah gerakan yang memang sangat diperhitungkan untuk kelangsungan masa depan bangsa. Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan dan tradisi tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Generasi berikutnya terkondisikan menerima kebenaran tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku. Dalam konteks pendidikan antikorupsi dibutuhkan pencarian dan pengembangan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms) seperti menghargai pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas. Dilihat dari tujuannya, memasukkan pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan gagasan yang sangat cerdas. Karena peserta didik merupakan kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya. Menurut Hassan (2004:8) pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan suatu langkah untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi menjadi budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah harus bisa memberikan contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya keteladanan dari pendidik itu sendiri. C. Kantin Kejujuran Memberantas korupsi haruslah dimulai dari penanaman sikap antikorupsi dalam masyarakat dan harus ditanamkan sejak dini. Salah satunya dengan menggalakkan pendirian ”kantin kejujuran” yang dimulai dari tingkat sekolah. Suatu upaya yang sangat baik dalam melatih kejujuran para individu agar terbiasa berbuat jujur. Dilihat dari penamaan kantin tersebut tentunya pendirian kantin tersebut bertujuan untuk menanamkan kepada peserta didik tentang arti penting sebuah kejujuran. Kantin kejujuran merupakan salah satu model atau strategi praktik pendidikan antikorupsi bagi peserta didik di lingkungan sekolah. Nantinya peserta didik akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak. Mentalitas siswa masih menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam mengembangkan kantin kejujuran di sekolah. Eko S. Tjiptadi, selaku Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK mengemukakan dalam peresmian kantin kejujuran di SMAN 1 Ciparay di desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung bahwa: Kantin kejujuran adalah sebuah model kantin yang dikelola oleh anakanak sekolah dengan modal jujur. Setiap anak sekolah berhak terlibat untuk menjadi pengurus dan pengelola kantin kejujuran. Prinsip keterbukaan dan kejujuran menjadi ciri utama dari para pengelolanya (Pikiran Rakyat, 2008:11). Menurut Syaharudin (2009:1) kantin kejujuran dalam pelaksanaannya tersebut tidak dijaga oleh seorang pelayan toko atau kasir. Kantin dibiarkan terbuka tanpa penjaga. Melalui kantin kejujuran, siswa belajar berperilaku jujur dan bersikap patuh ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur kepada diri sendiri, secara langsung dapat menyentuh kesadaran dan sikap siswa. Dengan adanya kantin kejujuran di sekolah diharapkan siswa bisa kembali melatih hati nuraninya pada saat membeli sesuatu di kantin tanpa diawasi oleh penjaga. Kantin kejujuran bisa menjadi suatu terapi agar siswa nantinya tidak mempraktikkan korupsi karena tindakan itu bisa menghancurkan mental masyarakat dan negara. Sekolah diharapkan bisa menjadi contoh agar lulusannya bisa menjadi sumber daya manusia yang jujur sehingga dapat membantu perubahan positif di masyarakat (Tuti, 2009:2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:68), jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Kejujuran dapat diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati. Menurut buku panduan warung kejujuran (warjur) tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila peserta didik sejak dini memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran di dalam keseharian, diharapkan untuk jangka waktu ke depan mereka mampu senantiasa berperilaku jujur. Kejujuran adalah nilai hidup yang bersifat universal. Setiap orang dari semua bangsa dan agama mengenal kejujuran walaupun tidak setiap orang sanggup dan berani melakukan. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran sifatnya berjenjang sesuai dengan usia perkembangan seseorang. Dari penyelidikan psikolog perkembangan Piaget dan Kohlberg (dalam Santrock, 2006:443) diketahui bahwa proses perkembangan moral adalah proses perkembangan otak. Karena itu perkembangan moral berhubungan erat dengan perkembangan kognitif seseorang. Anak-anak dan remaja membentuk pemikiran moral mereka seiring dengan perkembangan mereka dari tahap yang satu ke tahap berikutnya, dan bukan hanya bersikap pasif dengan menerima saja moralitas suatu kebudayaan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Usia 2 sampai 7 tahun. Dari penyelidikan diketahui bahwa anak diantara usia 2-7 tahun belum mampu membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik atau buruk suatu perbuatan. Mereka patuh untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, tujuannya untuk menyenangkan orang tua dan mendapat pujian, serta tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang adalah karena takut akan hukuman. Mengajar anak kejujuran dalam fase ini dapat dilakukan terutama melalui penguatan positif terhadap kejujuran, dengan memuji dan menghargai perbuatan jujurnya dan penguatan negatif terhadap perbuatan tidak jujur dengan mencela dan menghukum perbuatan tidak jujur serta mengajar melalui peneladanan oleh orang tua atau guru. 2) Usia 7 sampai 10 tahun Anak usia ini mulai memahami dan mengunakan konsep. Maka konsep kejujuran mulai dapat diajarkan, demikian juga konsep tentang ketidakjujuran dan akibatnya. Hati nurani anak mulai terbentuk dan anak mulai mengetahui tentang baik buruknya sebuah perbuatan. Cara berpikirnya masih sangat terbatas terhadap perbuatan yang nyata (konkret) dan anak belum sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Mengajari anak tentang kejujuran dalam fase ini selain dengan peneladanan dan penguatan positif dan negatif, juga melalui cerita dan kasus nyata yang dapat dibayangkan anak. Lalu ditanyakan apa akibatnya dari perbuatan tidak jujur orang tersebut. Pada usia ini motivasi untuk melakukan hal yang baik sudah harus berpindah dari menyenangkan orang tua, kepada alasan bahwa melakukan perbuatan baik membawa rasa senang dan damai pada diri sendiri, karena sesuai dengan hati nuraninya. 3) Usia 11 sampai 13 tahun. Pada usia ini, anak sudah mulai dapat berpikir kearah abstrak dan sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Ia sudah dapat membedakan motivasi yang ada dibelakang sebuah perbuatan dan dapat mempertimbangkan perbuatan dari segi motivasi atau niat itu. 4) Usia 13 sampai dewasa. Remaja dan pemuda telah sanggup berpikir abstrak dan membuat hipotesa. Mereka mempunyai standar tentang yang baik atau buruk perbuatan dari diri mereka sendiri. Pada usia ini tingkah laku moral yang sesungguhnya baru timbul. Masa ini perlu digunakan baik-baik untuk menanamkan kesanggupan berpikir mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat penalaran moral. Para remaja sanggup menginterpretasi penilaian moral dan menjadikannya sebagai nilai pribadi. Dari penelitian diketahui bahwa perkembangan mempribadikan konsep (internalisasi) terjadi melalui identifikasi dengan tokoh yang dianggap sebagai contoh atau model (hero worship). Pada usia anak-anak, keluarga dan lembaga pendidikan mempunyai andil yang besar untuk memberi pesan moral. Keberhasilan peserta didik tidak hanya diukur dari tinggi rendahnya nilai, akan tetapi juga kejujuran, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki. Menurut Syaharudin (2009:4) upaya pemberantasan korupsi dalam jangka panjang akan menuai keberhasilan apabila dilakukan dengan kombinasi antara represif, preventif dan edukatif secara integral. Pendirian kantin kejujuran di sekolah merupakan sarana untuk membentuk sikap mental yang positif, dan kepribadian yang jujur di kalangan pelajar, sekaligus sebagai media yang cukup efektif dalam menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab pada diri peserta didik sebagai kader pemimpin bangsa dimasa yang akan datang. Dalam implementasi kantin kejujuran tersebut, para pelajar diberikan kesempatan untuk menentukan sikap, akan berbuat jujur atau melakukan kecurangan. Harus disadari bahwa moral generasi muda merupakan aset utama sebuah bangsa. Oleh karenanya, mempersiapkan sikap hidup dan perilaku jujur dengan moral yang baik dan mental yang bersih, akan menjadi cara yang efektif dalam menanggulangi dan mencegah timbulnya koruptor di masa mendatang. BAB METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008:21) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Sedangkan jenis penelitian adalah studi kasus. Studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian dibatasi waktu, tempat, serta kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu (Bungin, 2007:3). Penelitian dilaksanakan di SDN BI Tlogowaru dalam kaitannya dengan program kantin kejujuran. B. Kehadiran Peneliti Sesuai dengan pendekatan dan jenis penelitian di mana peneliti bertindak sebagai observer, pengumpul data, penganalisis data dan sekaligus pembuat laporan hasil penelitian maka kehadiran peneliti adalah sebagai pengamat partisipan yaitu peneliti mengamati dan ikut terlibat dalam penelitian ini. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan dengan mengadakan observasi dan wawancara. Peneliti menyesuaikan diri dengan orang-orang di lingkungan penelitian dan menciptakan hubungan baik dengan orang-orang di lokasi penelitian. Dengan menciptakan suasana akrab terhadap diri informan sehingga dapat memperlancar jalannya penelitian. Selain kehadiran peneliti, kehadiran peserta didik (siswa) sebagai subyek penelitian juga sangat diperlukan. Tanpa adanya peserta didik atau subyek yang diteliti, maka penelitian ini tidak akan bisa berjalan karena peserta didiklah yang menjadi sasaran utama pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru tersebut. Selama berada dilokasi penelitian, peneliti melakukan pengamatan terhadap subyek terliti (siswa) secara langsung. Secara langsung pengamatan tersebut dilakukan terhadap rekaman aktivitas siswa pada saat mengunjungi kantin kejujuran tersebut pada jam istirahat. Peneliti juga mendapat informasi dari kepala sekolah, pelaksana kantin kejujuran dan guru wali kelas III dan IV terkait dengan pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang tersebut yang sudah terlaksana selama ini. C. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di SDN BI Tlogowaru, yang berlokasi di Komplek Pendidikan Internasional Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di SDN BI Tlogowaru, karena sekolah ini memiliki karakteristik keunggulan yaitu adanya pengembangan kantin kejujuran di lingkungan sekolah tersebut. Meskipun letak sekolah ini yang relatif jauh dari wilayah perkotaan, namun fasilitas infrastruktur, sarana dan prasarana sangat lengkap, canggih dan modern. Salah satu sarana yang berada di SDN BI Tlogowaru yaitu adanya kantin kejujuran yang bersih, luas dan sehat. Oleh karena itu, terkait dengan judul penelitian yang telah dikemukakan di atas memungkinkan peneliti untuk mengadakan penelitian di SDN BI Tlogowaru. D. Sumber dan Jenis Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2008:157). Sedangkan menurut Arikunto (2006:102) yang dimaksud dengan sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh, jadi sumber data itu menunjukkan asal informasi. Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Informan Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian, jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian dan berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim peneliti, walaupun hanya bersifat informal (Moleong, 2000:90). Pemilihan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive sampling). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah orangorang yang mengetahui benar tentang pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru. Dalam prosedur sampling yang terpenting adalah menentukan informan kunci (key informan). Untuk menentukan informan kunci, peneliti memilih Kepala Sekolah SDN BI Tlogowaru dan selanjutnya peneliti perlu menghubungi pengelola atau pelaksana kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru. Agar dapat menyaring data yang diperlukan, maka dalam menentukan informan peneliti menggunakan teknik bola salju (snowball sampling). Kesimpulannya peneliti tidak akan berhenti hanya pada satu informan saja, karena semakin banyak informan maka semakin banyak informasi yang diperoleh. Apabila selama penelitian berlangsung informasi yang diperoleh dari informan yang telah ditentukan sebelumnya masih terdapat kekurangan, maka peneliti dapat mencari informan lain seperti guru dan siswa untuk mencari jawaban terkait dengan rumusan masalah penelitian sehingga mendapatkan informasi atau data yang lengkap tentang pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru tersebut. 2. Catatan Lapangan Menurut Bogan dan Biklen catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan nantinya akan digunakan peneliti yang berisi peristiwa dan pengalaman yang dilihat serta dicatat selengkap dan seobjektif mungkin pada saat penelitian berlangsung (dalam Moleong, 2008:209). 3. Foto Sekarang ini foto sudah lebih banyak dipakai sebagai alat untuk keperluan penelitian kualitatif karena dapat dipakai dalam berbagai keperluan. Foto menghasilkan catatan deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi subyektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif (Moleong, 2008:160). Pengambilan foto oleh peneliti, dilakukan dengan meminta bantuan orang lain. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan dan respons subyek sewaktu berhubungan dengan peneliti agar mendapatkan latar yang alami atau tidak dibuat-buat pada saat pengambilan foto tersebut dilakukan. E. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan oleh peneliti dilakukan dengan memasuki lapangan atau latar penelitian yakni merupakan salah satu ciri utama penelitian kualitatif. Dalam hal pengumpulan data sesuai dengan bentuk pendekatan kualitatif serta sumber dan jenis data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam teknik yaitu sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewe ) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186). Wawancara dalam penelitian ini, juga menggunakan wawancara terstruktur artinya pada awal penelitian, peneliti sudah menanyakan pertanyaaan yang terformat dalam daftar pertanyaan yang telah tersusun terkait dengan pengembangan kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru yang akan dilakukan terhadap kepala sekolah, pengelola atau pelaksana kantin kejujuran, guru wali kelas III dan IV serta siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu siswa kelas III dan IV. 2. Observasi Menurut Winarno Surakhmat, observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala yang diteliti dengan seksama serta mengamati langsung terhadap obyek dan sasaran penelitian (dalam Sugiyono, 2006:162). Observasi dalam penelitian ini, dilakukan untuk mengetahui gambaran umum lokasi atau area kantin kejujuran, mengetahui sistem manajemen dalam kantin kejujuran baik cara pembelian dan pembayaran, mengetahui sistem pengawasannya dan perilaku siswa terkait dengan pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru. 3. Dokumentasi Menurut Arikunto (2006:206) dokumentasi adalah mencari data mengenai sesuatu hal atau variabel yang berasal dari pihak lain. Dalam penelitian ini akan mempergunakan media elektronik berupa kamera untuk merekam proses pada saat kegiatan penelitian berlangsung. Dokumentasi berupa foto merupakan bukti autentik bahwa penelitian ini telah dilaksanakan. Selain foto, nantinya peneliti akan melengkapi data-data berupa dokumen tertulis mengenai sistem pembukuan yang terdapat dalam kantin kejujuran yang dimanfaatkan untuk menafsirkan bahkan meramalkan data yang diperoleh. F. Analisis Data Menurut Patton analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan umum dasar (dalam Moleong, 2000:103). Sesuai dengan tujuan penelitian dan jenis data yang dikumpulkan yaitu jenis data kualitatif dan deskriptif, maka teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengolahan data non statistik atau teknik analisa deskriptif kualitatif yang artinya menggambarkan atau mendeskripsikan kembali data yang terkumpul. Analisis data yang dipakai dalam penelitian adalah model analisis interaktif Miles dan Huberman (1992:20-23). Dalam model ini terdapat tiga komponen analisis meliputi, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam proses ini peneliti tetap bergerak diantara tiga analisis, sesudah pengumpulan data sesuai unitnya dengan menggunakan waktu yang tersisa dalam penelitian. Untuk lebih jelasnya proses analisisnya dalam model interaktif dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Miles & Huberman Sumber: Model Analisis Interaktif (Miles&Huberman, 1992:20) Langkah dalam analisis data tersebut meliputi: 1. Reduksi Data Mereduksi data dimaksudkan untuk pemilihan dan penyederhanaan data yang telah diperoleh, mulai dari awal pengumpulan data sampai kepada proses penyusunan laporan penelitian. Jadi dalam mereduksi data, data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi ditulis dalam bentuk rekaman data, dikumpulkan, dirangkum dan dipilih hal-hal yang pokok sehingga didapatkan hasil pengamatan yang lebih akurat. Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah penyusunan data secara naratif dari informasi yang telah diperoleh dari hasil reduksi data yang dilakukan. Penyajian data dilakukan untuk mengurutkan data yang terkumpul dan telah dianggap valid. Kemudian dilakukan penyusunan sesuai dengan rumusan masalah, kegiatan ini akan memudahkan peneliti untuk melihat bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan dari data hasil penelitian. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk membuat kesimpulan terhadap hasil penafsiran dan evaluasi. Kegiatan ini mencakup pencarian makna data serta memberi penjelasan. Selanjutnya, dilakukan kegiatan verifikasi, yaitu menguji kebenaran, keakuratan dan mencocokan makna- makna yang muncul dari data. Verifikasi tersebut merupakan validitas dari data yang disimpulkan. G. Pengecekan Keabsahan Temuan Dalam penelitian ini, upaya untuk menjamin keabsahan datanya digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2008:324) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. Adapun teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi dengan sumber, yakni dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek data yang diperoleh melalui wawancara, observasi didukung dengan catatan lapangan. Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber baik dari kepala sekolah, pengelola, guru dan siswa didukung oleh hasil pengamatan selama berada di lapangan. Data yang diperoleh dari beberapa sumber tersebut dideskripsikan serta dikategorikan untuk mendapatkan kesimpulan. Pengecekan data yang berasal dari pemberi data (informan) bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh pemberi data (informan), berarti data tersebut valid sehingga semakin kredibel. H. Tahap-tahap Penelitian Langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian ini, diawali dengan tahap pra lapangan sampai pada penulisan laporan sebagai berikut: 1. Tahap persiapan a. Merumuskan masalah Suatu penelitian selalu bertindak pada masalah, tanpa masalah penelitian tidak dapat dilaksanakan. Mengenai perumusan masalah dalam penelitian, Moleong (2008:92) menjelaskan bahwa masalah itu, sewaktu akan mulai memikirkan suatu penelitian, sudah harus dirumuskan secara jelas, sederhana dan tuntas. Dalam penelitian ini masalah atau fokus penelitiannya adalah pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru, dengan perumusan sebagai berikut: 1) Bagaimana pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? 2) Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? 3) Apa manfaat dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang? b. Penyusunan desain penelitian Kegiatan dalam tahap ini meliputi identifikasi masalah, studi kepustakaan, dan pemilihan metode penelitian. Kegiatan penyusunan desain penelitian ini dilakukan untuk mengurus izin penelitian, serta panduan bagi pelaksanaan penelitian. c. Perizinan Sehubungan penelitian yang dilaksanakan diluar kampus dan merupakan sebuah institusi formal yang berada dibawah naungan Dinas Pendidikan Nasional, maka penelitian ini memerlukan izin dengan prosedur sebagai berikut: 1) Permintaan surat pengantar untuk melakukan penelitian ke Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang diajukan ke Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kota Malang. 2) Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang memberikan surat pengantar izin untuk melakukan penelitian yang diajukan kepada Kepala Sekolah SDN BI Tlogowaru Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. d. Penyusunan Instrumen Penelitian Kegiatan dalam penyusunan instrumen penelitian meliputi penyusunan daftar pertanyaan untuk melakukan wawancara serta pembuatan format lembar observasi dan dokumentasi. 2. Tahap Pelaksanaan a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: 1) Melakukan wawancara dengan kepala sekolah, pengelola atau pelaksana kantin kejujuran, guru wali kelas III dan IV serta siswa kelas III dan IV terkait dengan judul penelitian yaitu pengembangan kantin kujujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru 2) Mengamati aktivitas siswa, pada saat melakukan pembelian makanan ataupun minuman dan pada saat melakukan transaksi pembayaran di kantin kejujuran tersebut serta cara pengawasan yang dilakukan dalam kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru. b. Pengolahan Data Dari hasil pengumpulan data kemudian dilakukan pengolahan data yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengolahan data ini dimaksudkan untuk mempermudah nantinya dalam proses analisis data. c. Analisis Data Analisis data yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif yang menggambarkan dan menafsirkan keadaan yang sekarang. Tujuannya melukiskan suatu keadaan yang sedang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Hasil analisis data diuraikan dalam paparan data dan temuan penelitian. d. Menarik Kesimpulan Setelah dianalisis, langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan yang diambil sesuai dengan data yang telah terkumpul dan dianalisis dengan seobyektif mungkin. 3. Tahap Pelaporan Setelah data yang diperoleh diolah dan dianalisis, kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, maka dalam tahap pelaporan ini selanjutnya adalah menyusun hasil penelitian dalam bentuk laporan (Skripsi) sesuai dengan pedoman yang berlaku di Universitas Negeri Malang. BAB PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan analisis temuan penelitian dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Untuk jenjang pendidikan sekolah dasar dengan mempertimbangkan tingkat kematangan berfikir siswa dan padatnya jam pelajaran, praktik kantin kejujuran ini merupakan salah satu strategi yang tepat agar siswa dapat belajar dan berlatih mengimplementasikan nilai-nilai antikorupsi seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, kedisiplinan, ketertiban serta kemandirian dalam kehidupan sehari-hari terutama di dalam lingkungan sekolah. Pengembanagan kantin kejujuran dapat digunakan sebagai salah satu wadah bagi pendidikan kader calon pemimpin bangsa yang berwatak antikorupsi di masa yang akan datang. Pola pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang oleh pihak sekolah dilakukan secara efektif dan efisien mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi selalu diarahkan pada kemajuan dan hasil yang optimal. 2. Faktor pendukung pengembangan kantin kejujuran terdiri dari adanya bantuan modal; Perilaku warga sekolah untuk jujur setiap melakukan transaksi pembelian dan pembayaran; Pemberian materi pendidikan antikorupsi di dalam kelas yang termuat pada mata pelajaran PKn; Siswa menyukai makanan dan dapat menjangkau harga yang ditawarkan; Kesadaran siswa untuk mematuhi norma-norma yang berlaku di kantin kejujuran; Pemahaman siswa terhadap mekanisme pembelian dan pembayaran di kantin kejujuran; Siswa mengetahui bahwa korupsi merupakan perbuatan yang tidak baik karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Sedangkan faktor penghambat pengembangan kantin kejujuran yaitu semua siswa belum tentu bisa untuk berbuat jujur, disiplin, mandiri, tertib dan bertanggung jawab; Guru mengalami kesulitan dalam melepas anak kelas satu karena sebagian dari mereka ada yang masih belum mengerti nominal uang. 3. Manfaat yang diperoleh dari diterapkannya pengembangan kantin kejujuran dalam rangka pendidikan antikorupsi di SDN BI Tlogowaru Kota Malang sebagai berikut: Bagi sekolah terbentuknya perilaku dan lingkungan yang jujur di sekolah serta sebagai sarana mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran yang telah diajarkan di dalam kelas; Bagi siswa dapat melatih sikap jujur, bertanggung jawab, mandiri dan dapat melatih siswa untuk taat dan patuh terhadap norma, tata tertib dan ketentuan yang berlaku di sekolah maupun di masyarakat; Bagi orang tua dapat memberikan motivasi dan pembinaan terhadap anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat; Dan bagi masyarakat dapat mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia. B. Saran Sebagai akhir karya tulis ilmiah ini, maka peneliti mengajukan beberapa saran yang ditujukan kepada: 1. Sekolah Agar program kantin kejujuran di SDN BI Tlogowaru menjadi lebih sempurna dan dapat dijadikan wahana pendidikan moral yang efektif, hendaknya sekolah yang bersangkutan juga menerapkan kurikulum antikorupsi dalam pembelajaran dan dalam pengawasan kantin kejujuran hendaknya juga melibatkan siswa di dalamnya melalui piket kantin kejujuran. 2. Guru Guru hendaknya ikut mendampingi pada saat siswa bermain Ular Tangga Antikorupsi (UTAK) agar dapat memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai kejujuran yang terangkum di permainan UTAK tersebut. 3. Dinas Pendidikan Kota Malang Dinas pendidikan Kota Malang hendaknya memberikan dukungan dan ikut menfasilitasi sekolah yang berkeinginan untuk mendirikan dan melaksanakan praktik kantin kejujuran. 4. Peneliti atau mahasiswa yang akan datang Peneliti atau mahasiswa yang akan datang hendaknya dapat meneliti metode pembelajaran antikorupsi yang diterapkan di dalam kelas. Untuk mengevaluasi keberhasilan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) terkait dengan materi tentang korupsi yang disampaikan oleh guru. DAFTAR RUJUKAN Abdi Guru, Tim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga. Anonimous. 01 Januari, 2009. Kantin Kejujuran Sempat Ditutup. Radar Tarakan (Online), (http://www.radartarakan.com/, diakses tanggal 05 Mei 2009). Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Dharma, Budi. 25 Oktober 2004. Korupsi dan Budaya. Kompas. (Online), (www.kompas.com., diakses tanggal 20 Oktober 2008). Dharma, Satria. 01 Januari 2009. Kantin Kejujuran Versus Prinsip 3-2-1 (Online), (http//satriadharma.com/, diakses tanggal 20 April 2009). Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dwiyono, Agus. 2007. Kewarganegaraan SMP Kelas VIII. Jakarta: Ghalia Indonesia. Harmanto. 2008. Mencari Model Pendidikan Antikorupsi Bagi Siswa SMP Dan MTs. Makalah disajikan dalam seminar Simposium Nasional Pendidikan Tahun 2008. Surabaya. Hassan, Fuad. 2004. Pendidikan Adalah Pembudayaan; dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas Kuswandoro, Wawan. 11 Juni 2008. Pendidikan Aktual (Online), (www.wawankuswandoro.blogspot.com, diakses tanggal 20 Oktober 2008). Megawangi, Ratna. 16 November 2007. Pendidikan Kharakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action) (Online), (http//keyanagu.blogspot.com, diakses tanggal 22 Oktober 2008). Miles,B & Huberman,A. Tanpa Tahun. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Cecep Rohadi. 1992. Jakarta. UI Press. Mochtar, Akil. Memberantas Korupsi Efektifitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi. Jakarta: Q-Communication. Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Muhammadun. 08 April 2008. Kantin Kejujuran dan Pendidikan Antikorupsi ( Online), (http.diknas-padang.org, diakses tanggal 5 Maret 2009) Muslihati. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 Universitas Negeri Malang. Nazir, Mohamad. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Pikiran Rakyat. 16 Januari, 2008. Menakar Kejujuran di Kantin Sekolah (Online), (http://beta.pikiranrakyat.com/index.php., diakses tanggal 28 April 2009). Prayitno, Irwan. 30 April 2007. Pendidikan Anti Korupsi (Online), (http: //fpksdpr.or.id., diakses tanggal 04 Desember 2008). Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: CV. Mandar Maju. Samidi & Vidyaningtyas. 2008. Belajar Memahami Kewarganegaraan 2 untuk Kelas VIII SMP dan MTS. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Sanaky, Hujair AH. 5 Februari 2009. Pendidikan Antikorupsi. (Online), (http:sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/pendidikan-anti-korupsi/, diakses tanggal 5 Maret 2009. Santrock, John W. 2006. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Saptono. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII. Jakarta: Phibeta. Syaharuddin. 6 Maret 2009. Kantin Kejujuran Sebuah Alternatif Budaya Antikorupsi. (Online), (http://syaharuddin.wordpress.com/, diakses tanggal 5 Maret 2009). Sugita, Basuki. 19 Mei 2007. Ayo Bermain Ular Tangga Antikorupsi. Kompas. (Online), (www.kompas.com., diakses tanggal 22 Oktober 2008). Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: CV.Alfabeta. Sulistiawan, Bhayu. 2008. Nilai-nilai Antikorupsi Dalam Pendidikan Islam (Online), ( Shariah @ National Law.htm, diakses tanggal 29 November 2008). Suradi. 2006. Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya. Yogyakarta: Gava Media. Taufik. 5 Agustus 2008. Pendidikan dan Gerakan Antikorupsi. (Online), (http://taufik79.wordpress.com/, diakses tanggal 5 Maret 2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2008. Bandung: Fokusmedia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2004. Jakarta: PT Armas Duta Jaya. RIWAYAT HIDUP Hadiyah Riwayati dilahirkan di Sumenep-Madura tanggal 27 Desember 1986, anak bungsu dari empat bersaudara, pasangan Bapak Mudawi dan Ibu (Alm.) Murniyah. ditempuh Pendidikan di kampung dasar dan menengah halamannya di telah Sumenep. Pendidikan dasar ditempuh di SDN Pandian I dan lulus pada tahun 1999. Sedangkan pendidikan menengah pertama ditempuh di MTsN Sumenep dan lulus tahun 2002 dan pendidikan menengah atas ditempuh di MAN Sumenep dan lulus tahun 2005. Semasa MTs dan MAN, penulis aktif di kegiatan organisasi sekolah (OSIS) dan pramuka. Pendidikan berikutnya ditempuh di Universitas Negeri Malang melalui jalur PMDK dan diterima di jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada tahun 2005.