Soilrens, Volume 12 No.1 Tahun 2014

advertisement
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
Pengaruh Dosis Konsorsium Pupuk Hayati dan Dosis Nutrisi terhadap Populasi
Bakteri Pelarut Fosfat dan Hasil Tomat (Solanum lycopersicum L.)
pada Sistem Hidroponik
Iva Fitriani1, Pujawati Suryatmana2, dan Emma Trinurani Sofyan2
1Alumni Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
2Staff
Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor
Korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
Hydroponic system is an alternative agricultural cultivation technology that able to answer the
problem of narrowing farmland, decline in soil fertility, and the need of healthy foods. Production
of tomato with this system has its own market segment, but it needs a specific treatment, such as
preparation of planting medium, usage of fertilizer and addition of nutrient, etc. This experiment
aims to determine the effect of biofertilizer consortium dosage and nutrient dosage, as well as their
interaction to the population of phosphate solubilizing bacteria and tomato yield. The experiment
was conducted in a greenhouse of Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, in
June to October 2015. Design of experiment was arranged in factorial randomized block design
consisting of two factors. The first factor was biofertilizer consortium dosage (0 mL/polybag, 5
mL/polybag, and 10 mL/polybag), and the second factor was nutrient dosage (0 mL, 250 mL, and
500 mL). The result showed that there was no interaction between biofertilizer consortium dosage
and nutrient dosage to the population of phosphate solubilizing bacteria and tomato yield.
Keywords: biofertilizer consortium, hydroponic, phosphate solubilizing bacteria, tomato
1. PENDAHULUAN
Tomat merupakan komoditas hortikultura yang sangat disukai oleh masyarakat
karena rasanya yang segar dan memiliki
berbagai macam manfaat, baik sebagai
sayuran maupun dikonsumsi langsung
sebagai buah segar. Buah tomat juga sering
dijadikan bahan kosmetik, obat- obatan serta
industri, seperti pembuatan sari buah dan
saus tomat (Wasonowati, 2011). Tomat juga
dapat dimanfaatkan sebagai pencegah kanker
prostat, jika disantap secara teratur sebanyak
lima buah tiap minggunya (Handiran d k k .,
2013).
varietas yang tidak cocok serta gangguan
organisme pengganggu tanaman (OPT)
(Wasonowati, 2011).
Produksi tomat nasional tahun 2014
menurut Badan Pusat Statistik sebesar
895.163 ton, angka tersebut menurun
dibandingkan produksi tomat tahun 2013
yaitu sebesar 992.780 ton. Penurunan
produksi tomat dapat disebabkan karena
beberapa hal seperti perubahan iklim global,
penurunan daya dukung lahan, penggunaan
Keberadaan lahan juga sangat penting
dalam
menunjang
kegiatan
produksi
pertanian (Ekaputri, 2008). Perkembangan
industri dengan cepat dan luas dapat
mengakibatkan tergesernya lahan pertanian,
terlebih di daerah perkotaan. Salah satu
alternatif yang dapat mengatasi kondisi
tersebut dan dapat digunakan untuk
Naktuinbouw (2012) menjelaskan bahwa
tomat varietas Valoasis memiliki keta-hanan
terhadap serangan OPT, seperti nematoda
(penyebab penyakit puru akar/ Meloidogyne
incognita), serangan layu tomat yang
disebabkan oleh Fusarium oxyporum f.sp
(penyebab layu buah), tomato mosaic virus
(ToMV)
(penyebab
bercak
kuning
(Verticullium dahlia)) dan tomato spotted wilt
virus (TSWV) (virus penyebab bercak layu
tomat).
1
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
meningkatkan hasil tomat pada lahan sempit
adalah hidroponik.
adalah 119 % dan 695,4 % (Harsani dkk.,
2013).
Hidroponik merupakan bercocok tanam
tanpa menggunakan tanah sebagai media
pertanamannya (Lingga, 2009). Hidroponik
juga dapat dikatakan sebagai suatu teknologi
budidaya dimana kebutuhan akan unsur
haranya diberikan bersama-sama dengan air
ke dalam media tanam (Karsono, 2013)..
Pemberian unsur hara tersebut dapat
dilakukan dengan menyiramkan langsung
atau meneteskan ke media tanam.
Pengaturan komposisi nutrisi hendaknya
terdiri atas garam-garam makro dan mikro
(Lingga, 2009). Nutrisi yang diperlukan
tanaman dapat dipenuhi dengan meramu
sendiri berbagai garam, namun cara ini
memerlukan keterampilan dan pengetahuan
khusus. Pencarian komposisi dosis yang
paling baik untuk tiap jenis tanaman
khususnya tomat masih terus dilakukan,
mengingat tiap jenis tanaman membutuhkan
nutrisi dengan komposisi berbeda. Salah satu
kesulitan di dalam penyiapan nutrisi ini
adalah belum diketahuinya dosis unsur hara
yang optimal bagi pertumbuhan tanaman.
Pada dosis terlalu rendah pengaruh larutan
hara tidak nyata, sedangkan pada dosis yang
terlalu tinggi selain boros juga dapat
mengakibatkan tanaman mengalami plasmalisis, yaitu keluarnya cairan sel karena tertarik
oleh larutan hara yang lebih pekat (Wijayani
dan Widodo, 2005). Sutiyoso (2003)
menjelaskan bahwa konsentrasi nutrisi yang
terlalu rendah akan menampakkan gejala
defisiensi sehingga pertumbuhan tanaman
tidak sempurna, sedangkan konsentrasi
nutrisi berlebihan akan menyebabkan
fitotoksisitas.
Sistem hidroponik memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan penanaman
secara konvensional antara lain adalah
kebersihannya lebih terjaga, pengolahan lahan
dan penanganan gulma lebih mudah
dilakukan, penggunaan pupuk dan air sangat
efisien, tanaman berproduksi dengan kualitas
tinggi, produktivitas tanaman lebih tinggi,
tanaman mudah diseleksi dan dikontrol
dengan baik serta dapat diusahakan di lahan
yang sempit (Suhardiyanto, 2002).
Salah satu metode hidroponik yang
berkembang di Indonesia adalah hidroponik
substrat (Sutiyoso, 2003). Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pengembangan
teknologi hidroponik adalah pemilihan media
tanam dan pengaturan komposisi nutrisi yang
digunakan. Media tanam yang digunakan
dalam sistem hidroponik adalah bahan-bahan
yang bersifat porous (Trisnawati dan
Setiawan, 2005). Pemilihan jenis media
ditentukan oleh jenis hidroponik yang
digunakan dan jenis tanaman yang akan
ditanam.
Arang sekam dan cocopeat merupakan
salah satu media yang dapat digunakan
sebagai media tanam hidroponik. Arang
sekam mampu mengikat air dan merupakan
unsur hara alami yang dapat menyuburkan
tanaman karena sifatnya remah dan
strukturnya mudah menyimpan oksigen
serta berporositas tinggi (Suradal, 2014).
Sementara itu, cocopeat memiliki kemampuan
menahan air yang besar. Kadar air dan daya
simpan air pada cocopeat masing-masing
Pemberian
pupuk
hayati
dapat
membantu dalam penyediaan unsur hara bagi
tanaman. Pupuk hayati menurut Peraturan
Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011 adalah
produk biologi aktif berbahan mikroba yang
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan
kesuburan dan kesehatan tanah. Salah satu
contohnya adalah konsorsium pupuk hayati
koleksi Universitas Padjadjaran yang terdiri
lebih dari satu jenis mikroba, seperti bakteri
pemfiksasi N (Azotobacter chroococum, A.
vinelandii, Azospirillum sp.), bakteri endofitik
Acinetobacter,
bakteri
pelarut
fosfat
(Pseudomonas cepacia) dan jamur pelarut
fosfat (Penicillium sp.). Pupuk hayati juga
berguna dalam mengefisiensikan penggunaan
NPK dan meningkatkan hasil tanaman
(Setiawati dkk., 2011).
2
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
Pemberian pupuk hayati dan nutrisi pada
sistem hidroponik merupakan suatu cara yang
berfungsi dalam mengoptimalkan produksi
tanaman tomat pada lahan yang sempit.
Sehubungan dengan hal tesebut, maka
diperlukan penelitian mengenai pengaruh
aplikasi pupuk hayati dan nutrisi terhadap
hasil tanaman tomat dengan sistem
hidroponik.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Laboratorium Kesuburan
Tanah dan Nutrisi Tanaman, serta rumah kaca
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Lokasi penelitian berada pada ketinggian ±
725 meter di atas permukaan laut.
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola
faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor
pertama yaitu dosis konsorsium pupuk hayati
(B) yang terdiri dari 3 taraf (0 ml/polibeg, 5
ml/polibeg, dan 10 ml/polibeg), dan faktor
kedua yaitu dosis nutrisi (H) yang terdiri dari
3 taraf (0 ml, 250 ml, dan 500 ml). Masingmasing taraf perlakuan diulang 3 kali,
sehingga total perlakuan 27 satuan perlakuan.
Percobaan terdiri dari dua unit, didestruksi
pada vegetatif akhir (5 MST) untuk
pengamatan populasi bakteri pelarut fosfat
dan satu unit lainnya untuk pengamatan hasil
tanaman tomat pada panen.
Pembuatan nutrisi dilakukan dengan
membuat larutan induk yaitu larutan A (6,6 g
CaNO3), larutan B (2,4 kg KH2PO4; 1,8 kg
KNO3), larutan C (5,4 kg MgSO4) dan larutan D
(420 g FeSO4; 3 g CuSO4 ; 12 g MnSO4 ; 12 g
H3BO3; 1,2g amonium amolibdat; 6 g (ZnSO4)
yang dilarutkan dengan 30 L air. Larutan
induk tersebut kemudian diencerkan dengan
100 L air sesuai dengan dosis perlakuan, yaitu
kontrol (tanpa aplikasi larutan nutrisi), ½
dosis rekomendasi (250 ml), dan 1 dosis
rekomendasi (500 ml).
Penyemaian benih tomat varietas
Valoasis dilakukan di pot tray 25 hari sebelum
pindah tanam ke polibeg. Media tanam yang
digunakan adalah campuran arang sekam dan
cocopeat dengan perbandingan 2 : 1. Aplikasi
konsorsium pupuk hayati dilakukan sebanyak
2 kali, yaitu pada 25 HSS (hari setelah semai)
atau saat pindah tanam dengan dosis ½ dari
dosis total, dan ½ dosis lainnya diberikan
pada sisanya diberikan pada tanaman umur
40 HSS (hari setelah semai) atau 2 MST
(minggu setelah tanam) di polibeg.
Pengambilan sampel media tanam dan
sampel tanaman dilakukan pada usia 5 MST
yaitu sebelum muncul bunga pertama.
Pengambilan sampel media tanam dilakukan
pada bagian daerah perakaran tanaman,
untuk menganalisis populasi bakteri pelarut
fosfat dengan metode Total Plate Count
menggunakan media Pikovskaya. Data hasil
pengamatan dianalisis secara statistik
menggunakan program SPSS. Pengujian
pengaruh faktor perlakuan dilakukan dengan
uji F pada taraf nyata 5%. Jika terdapat
pengaruh yang nyata maka dilakukan uji
lanjut jarak berganda Duncan pada taraf nyata
5%.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak
terdapat interaksi antara penggunaan pupuk
hayati dengan nutrisi terhadap populasi
bakteri pelarut fosfat, namun terdapat
pengaruh mandiri, yaitu pada perlakuan
penggunaan nutrisi (Tabel 1). Hasil uji beda
jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa
perlakuan terbaik penggunaan nutrisi adalah
dosis 250 mL (h1). Hal tersebut ditunjukkan
bahwa perlakuan h1 (nutrisi 250 mL) mampu
menghasilkan populasi bakteri pelarut fosfat
sebesar 75,52 x 105 CFU/g.
Pemberian
pupuk
hayati
tidak
berpengaruh nyata terhadap populasi bakteri
pelarut fosfat diduga adanya persaingan
dalam memperebutkan bahan organik dengan
jasad renik lain, sehingga dapat menghambat
bakteri pelarut fosfat memperoleh unsur hara
dari bahan organik. Akibat kebutuhan
hidupnya tidak terpenuhi maka aktivitas
3
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
mikroba akan terhambat atau bekerja kurang
optimal (Simanungkalit dkk., 2006).
Tabel 1 Pengaruh mandiri dosis pupuk
hayati dan dosis nutrisi terhadap
populasi BPF
Perlakuan
Rataan Populasi
BPF (105 CFU g-1)
Dosisi Pupuk Hayati (B)
b0 = 0 mL polibeg-1
53,98
b1 = 5 mL polibeg-1
43,73
b2 = 10 mL polibeg-1
64,06
Dosisi Nutrisi (H)
h0 = 0 mL (kontrol)
h1 = 250 mL (½ dosis
rekomendasi)
h2 = 500 mL (1 dosis
rekomendasi)
Keterangan:
30,21 a
75,52 b
56,03 ab
Angka-angka yang berhuruf sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Nilai rata-rata yang tidak diberi notasi
huruf tidak berpengaruh nyata
berdasarkan analisis sidik ragam pada
taraf nyata 5%.
Arang sekam dan cocopeat sebagai media
tanam diduga telah mengandung unsur hara
bagi tanaman. Ketersediaan hara P bagi
tanaman dapat dilihat aktivitas mikroba untuk
memineralisasikannya, yang sering dinyatakan
dalam nisbah C/P. Hasil analisis awal, media
tanam memiliki kandungan C-organik sebesar
27,72% dan total P sebesar 0,29%, maka
nisbah C/P yang dihasilkan sebesar 96.
Stevenson (1994) mengatakan bahwa apabila
nisbah C/P kurang dari 200 maka akan terjadi
mineralisasi atau pelepasan P ke media tanam.
Oleh karena itu, pupuk hayati yang diberikan
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
karena tanaman telah memperoleh hara dari
media tanam.
3.2 Hasil Tanaman Tomat
Hasil tomat ternyata juga tidak dipengaruhi oleh penggunaan pupuk hayati
maupun interaksinya dengan nutrisi. Pola
pengaruh seperti ini terjadi baik berupa jumlah buah maupun bobot buah. Hal tersebut
diduga karena nutrisi telah memenuhi hara
bagi tanaman, sehingga kerja pupuk hayati
tidak terlihat. Penggunaan nutrisi bersifat
sangat mudah diserap dan tersedia bagi
tanaman, sehingga dapat mengoptimalkan
penyerapan unsur hara baik mikro maupun
hara makro (Winda et al., 2012). Darwin dkk.
(2012) menyatakan bahwa tanaman yang
tumbuh pada kondisi dimana unsur hara
makro dan mikro tersedia akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal.
Pemberian nutrisi hidoponik memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah
buah maupun bobot buah. Uji lanjut berganda
Duncan menunjukkan bahwa dosis perlakuan
250 mL nutrisi (perlakuan h1) merupakan
perlakuan terbaik, dengan jumlah buah
sebanyak 6 buah dan bobot buah mencapai
839,33 g/tanaman (Tabel 2).
Tabel 2 Pengaruh dosis pupuk hayati dan
dosis nutrisi terhadap hasil tomat
per tanaman
Jumlah
(buah)
Bobot
(gram)
Dosisi Pupuk Hayati (B)
b0 = 0 mL / polibeg
3
401,89
b1 = 5 mL / polibeg
3
471,56
b2 = 10 mL / polibeg
3
362,89
Dosisi Nutrisi (H)
h0 = 0 mL (kontrol)
0a
0,00
6b
839,33 c
3b
397,00 b
Perlakuan
h1 = 250 mL (½ dosis
rekomendasi)
h2 = 500 mL (1 dosis
rekomendasi)
Keterangan: Angka-angka yang berhuruf sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Nilai rata-rata yang tidak diberi notasi
huruf
tidak
berpengaruh
nyata
berdasarkan analisis sidik ragam pada
taraf nyata 5%.
Penggunaan nutrisi dengan dosis
rekomendasi (h2) ternyata menghasilkan
hasil tanaman tomat yang lebih rendah. Hal
tersebut diduga akibat terserangnya buah
oleh penyakit busuk ujung buah atau blossomend-rot (BER). Blossom-end-rot (BER) bukan
penyakit tanaman yang disebabkan hama,
4
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
bakteri, atau jamur melainkan penyakit
fisiologis tanaman yang disebabkan oleh
defisiensi kalsium pada tanaman dan
perubahan kelembaban. Kelembaban relatif
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tomat
adalah 80% dan suhu idealnya 24-28oC
(Turgiyono, 2002), namun hasil pengamatan
diperoleh kelembaban rendah (41,3%) dan
suhu rata- rata cukup tinggi (29,4ºC).
Keadaan suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap transpirasi yang sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Dardjat dan Arbayah, 1996).
Pada kelembaban rendah dan suhu tinggi, air
yang dilepaskan melalu proses transpirasi
meningkat. Lovelles (1991) menyatakan bahwa meningkatnya laju transpirasi yang terlalu
cepat dapat merugikan tumbuhan karena
menyebabkan tanaman kehilangan air terlalu
banyak. Kehilangan air dapat menghambat
pertumbuhan tanaman, menyebabkan gugurnya bunga dan buah, hasil berkurang dan
kualitas rendah serta memacu terjadinya
penyakit blossom-end- rot (Yoon et al., 1989).
Harjadi dan Yahya (1988) bahwa kehilangan
air berlebih dapat mengurangi ketersediaan
hara bagi tanaman, salah satunya adalah
kalsium. Kalsium yang dibawa air dari akar ke
bagian atas tanaman (melalui xilem) menuju
buah akan macet karena banyaknya kalsium
di daun akibat tingginya tingkat penguapan,
sehingga buah kekurangan asupan kalsium.
Kandungan garam total serta akumulasi
ion-ion yang tinggi dalam nutrisi mempengaruhi kepekatan nutrisi. Kepekatan larutan
juga mempengaruhi metabolisme tanaman,
seperti kecepatan fotosintesis, aktivitas enzim
dan potensi penyerapan ion-ion oleh akar.
Konsentrasi garam yang tinggi dapat merusak
akar tanaman dan mengganggu serapan
nutrisi dan air. Larutan yang pekat tidak dapat
diserap oleh akar secara maksimum, disebabkan tekanan osmosis sel menjadi lebih kecil
dibandingkan tekanan osmosis di luar sel,
sehingga kemungkinan akan terjadi plasmalisis (Wijayani dan Widodo, 2005). Oleh
karena itu perlakuan ½ dosis nutrisi (h1)
dinilai cukup efektif terhadap peningkatan
hasil tanaman tomat.
4. KESIMPULAN
Aplikasi konsorsium pupuk hayati dan
nutrisi hidroponik pada tanaman tomat tidak
menunjukkan adanya interaksi antara dosis
konsorsium pupuk hayati dengan dosis nutrisi
terhadap populasi bakteri pelarut fosfat dan
hasil tomat.
Dosis nutrisi menunjukkan adanya
pengaruh mandiri terhadap populasi bakteri
pelarut fosfat dan hasil tomat. Aplikasi
perlakuan nutrisi hidroponik sebesar 250
mL/polibeg memberikan populasi bakteri
pelarut fosfat dan hasil tomat tertinggi, yaitu
5
berturut- turut 75,52 x 10 CFU/g dan 839,33
g per tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Tomat.
http://www.bps.go.id.
Dardjat S. dan Arbayah Siregar. 1996. Fisiologi
Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Darwin, H. P., M. Yasir, dan N.K. Utami. 2012.
Dampak bokashi kotoran ternak dalam
pengurangan
pemakaian
pupuk
anorganik pada budidaya tanaman
tomat. J. Agron. Indonesia 40 (3)
H a l : 204-210.
Ekaputri, N. 2008. Pengaruh luas panen
terhadap produksi tanaman pangan dan
perkebunan di Kalimantan Timur. EPP.
Vol 5.(2). Hal 36-43.
Handiran, R.G., Meiriani, dan Haryati. 2013.
Peningkatan kadar vitamin C buah tomat
(Lycopersicum esculentum MILL.) dataran
rendah dengan pemberian hormon GA3.
Jurnal Online Agroteknologi. Vol 2(1).
Hal: 333-339.
Harjadi, S dan S. Yahya. 1988. Pengantar
Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta.
Harsani, D.K Kalsin, dan A. Sukendro. 2013.
Kajian Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat)
sebagai Media Tanam. Institut Pertanian
Bogor.
5
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017
Karsono, S. 2013. Exploring Classroom
Hydroponics. Parung Farm. Bogor.
Lingga, P. 2009. Hidroponik : Bercocok Tanam
Tanpa Tanah. Edisi Revisi. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Lovelles, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi
Tumbuhan untuk Daerah Tropik. PT.
Gramedia. Jakarta.
Naktuinbouw N.L. 2012. Variety Description
TMT
–
Valoasis
NL.
http://www.naktuinbouw.nl/sites/nak
tuinbouw.eu/files/TMT-Valoasis-NL- 012
.pdf.
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011. Pupuk
Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah
Tanah.
Setiawati. W., I. Sulastrini, dan N. Gunaeni.
2001. Penerapan Teknologi PHT pada
Tanaman Tomat. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Bandung.
Setiawati, M.R., P. Suryatmana, R. Hindersah,
dan B. Joy. 2011. Penggunaan Bakteri
Pemfiksasi Nitrogen Azotobacter sp. pada
Tanaman Kedelai, Jagung dan Kelapa
Sawit. Laporan Penelitian. Fakultas
Pertanian
Universitas
Padjadjaran.
Bandung
Trisnawati, Y. dan Setiawan, A.I. 2005. Tomat
Budidaya secara Komersil. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Turgiyono, H. 2002. Budidaya Tanaman
Tomat. Yogyakarta.
Wasonowati,
C.
2011.
Meningkatkan
pertumbuhan
tanaman
tomat
(Lycopersicum esculentum Mill.). dengan
sistem budidaya hidroponik. Agrovigor
Vol 4. Hal: 21-28.
Wijayani, A., dan W. Widodo. 2005. Usaha
meningkatkan beberapa varietas tomat
dengan sistem budidaya hidroponik.
Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 (1). Hal: 77
– 83.
Winda A, K.I. Purwani, dan W. Anugerahani.
2013. Pengaruh aplikasi pupuk hayati
terhadap pertumbuhan dan produktivitas
tanaman tomat varietas tombatu di PT.
Petrokimia Gresik. Jurnal Sains dan
Senipomits Vol.2 (1). Hal: 110-117.
Yoon, J. Y; S. K. Green; A. T. Tschanz; S. C. S
Tsou, and L.C. Chang. 1989. Pepper
improvement for the tropics: problem and
the AVRDC Approach. International
Symposium on Integreted Man Agement
Practices. AVRDC. Tainan-Taiwan. p. 8698.
Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta.,
R. Saraswati., D. Setyorini., W. Hartatik.
2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian.
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Stevenson,
F.J.
1994.
Humus
Chemistry:
nd
genesis, composition, reactions. 2 ed.
Wiley. New York.
Suhardiyanto, H. 2002. Teknologi Hidroponik.
Modul Pelatihan Aplikasi Teknologi
Hidroponik
untuk
Pengembangan
Agribisnis Perkotaan. Bogor, 28 Mei – 7
Juni 2002. Kerjasama CREATA-IPB dan
Depdiknas.
Suradal. 2014. Pembuatan Arang Sekam
sebagai Media Tanam. Balai Pengkajian
Teknologi
Pertanian
Yogyakarta.
http://yogya.litbang. pertanian.go.id.
Sutiyoso, Y. 2003. Meramu Pupuk Hidroponik.
Penebar Swadaya. Jakarta.
6
Download