Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 Pengaruh Dosis Konsorsium Pupuk Hayati dan Dosis Nutrisi terhadap Populasi Bakteri Pelarut Fosfat dan Hasil Tomat (Solanum lycopersicum L.) pada Sistem Hidroponik Iva Fitriani1, Pujawati Suryatmana2, dan Emma Trinurani Sofyan2 1Alumni Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 2Staff Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor Korespondensi: [email protected] ABSTRACT Hydroponic system is an alternative agricultural cultivation technology that able to answer the problem of narrowing farmland, decline in soil fertility, and the need of healthy foods. Production of tomato with this system has its own market segment, but it needs a specific treatment, such as preparation of planting medium, usage of fertilizer and addition of nutrient, etc. This experiment aims to determine the effect of biofertilizer consortium dosage and nutrient dosage, as well as their interaction to the population of phosphate solubilizing bacteria and tomato yield. The experiment was conducted in a greenhouse of Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, in June to October 2015. Design of experiment was arranged in factorial randomized block design consisting of two factors. The first factor was biofertilizer consortium dosage (0 mL/polybag, 5 mL/polybag, and 10 mL/polybag), and the second factor was nutrient dosage (0 mL, 250 mL, and 500 mL). The result showed that there was no interaction between biofertilizer consortium dosage and nutrient dosage to the population of phosphate solubilizing bacteria and tomato yield. Keywords: biofertilizer consortium, hydroponic, phosphate solubilizing bacteria, tomato 1. PENDAHULUAN Tomat merupakan komoditas hortikultura yang sangat disukai oleh masyarakat karena rasanya yang segar dan memiliki berbagai macam manfaat, baik sebagai sayuran maupun dikonsumsi langsung sebagai buah segar. Buah tomat juga sering dijadikan bahan kosmetik, obat- obatan serta industri, seperti pembuatan sari buah dan saus tomat (Wasonowati, 2011). Tomat juga dapat dimanfaatkan sebagai pencegah kanker prostat, jika disantap secara teratur sebanyak lima buah tiap minggunya (Handiran d k k ., 2013). varietas yang tidak cocok serta gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Wasonowati, 2011). Produksi tomat nasional tahun 2014 menurut Badan Pusat Statistik sebesar 895.163 ton, angka tersebut menurun dibandingkan produksi tomat tahun 2013 yaitu sebesar 992.780 ton. Penurunan produksi tomat dapat disebabkan karena beberapa hal seperti perubahan iklim global, penurunan daya dukung lahan, penggunaan Keberadaan lahan juga sangat penting dalam menunjang kegiatan produksi pertanian (Ekaputri, 2008). Perkembangan industri dengan cepat dan luas dapat mengakibatkan tergesernya lahan pertanian, terlebih di daerah perkotaan. Salah satu alternatif yang dapat mengatasi kondisi tersebut dan dapat digunakan untuk Naktuinbouw (2012) menjelaskan bahwa tomat varietas Valoasis memiliki keta-hanan terhadap serangan OPT, seperti nematoda (penyebab penyakit puru akar/ Meloidogyne incognita), serangan layu tomat yang disebabkan oleh Fusarium oxyporum f.sp (penyebab layu buah), tomato mosaic virus (ToMV) (penyebab bercak kuning (Verticullium dahlia)) dan tomato spotted wilt virus (TSWV) (virus penyebab bercak layu tomat). 1 Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 meningkatkan hasil tomat pada lahan sempit adalah hidroponik. adalah 119 % dan 695,4 % (Harsani dkk., 2013). Hidroponik merupakan bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media pertanamannya (Lingga, 2009). Hidroponik juga dapat dikatakan sebagai suatu teknologi budidaya dimana kebutuhan akan unsur haranya diberikan bersama-sama dengan air ke dalam media tanam (Karsono, 2013).. Pemberian unsur hara tersebut dapat dilakukan dengan menyiramkan langsung atau meneteskan ke media tanam. Pengaturan komposisi nutrisi hendaknya terdiri atas garam-garam makro dan mikro (Lingga, 2009). Nutrisi yang diperlukan tanaman dapat dipenuhi dengan meramu sendiri berbagai garam, namun cara ini memerlukan keterampilan dan pengetahuan khusus. Pencarian komposisi dosis yang paling baik untuk tiap jenis tanaman khususnya tomat masih terus dilakukan, mengingat tiap jenis tanaman membutuhkan nutrisi dengan komposisi berbeda. Salah satu kesulitan di dalam penyiapan nutrisi ini adalah belum diketahuinya dosis unsur hara yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Pada dosis terlalu rendah pengaruh larutan hara tidak nyata, sedangkan pada dosis yang terlalu tinggi selain boros juga dapat mengakibatkan tanaman mengalami plasmalisis, yaitu keluarnya cairan sel karena tertarik oleh larutan hara yang lebih pekat (Wijayani dan Widodo, 2005). Sutiyoso (2003) menjelaskan bahwa konsentrasi nutrisi yang terlalu rendah akan menampakkan gejala defisiensi sehingga pertumbuhan tanaman tidak sempurna, sedangkan konsentrasi nutrisi berlebihan akan menyebabkan fitotoksisitas. Sistem hidroponik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan penanaman secara konvensional antara lain adalah kebersihannya lebih terjaga, pengolahan lahan dan penanganan gulma lebih mudah dilakukan, penggunaan pupuk dan air sangat efisien, tanaman berproduksi dengan kualitas tinggi, produktivitas tanaman lebih tinggi, tanaman mudah diseleksi dan dikontrol dengan baik serta dapat diusahakan di lahan yang sempit (Suhardiyanto, 2002). Salah satu metode hidroponik yang berkembang di Indonesia adalah hidroponik substrat (Sutiyoso, 2003). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi hidroponik adalah pemilihan media tanam dan pengaturan komposisi nutrisi yang digunakan. Media tanam yang digunakan dalam sistem hidroponik adalah bahan-bahan yang bersifat porous (Trisnawati dan Setiawan, 2005). Pemilihan jenis media ditentukan oleh jenis hidroponik yang digunakan dan jenis tanaman yang akan ditanam. Arang sekam dan cocopeat merupakan salah satu media yang dapat digunakan sebagai media tanam hidroponik. Arang sekam mampu mengikat air dan merupakan unsur hara alami yang dapat menyuburkan tanaman karena sifatnya remah dan strukturnya mudah menyimpan oksigen serta berporositas tinggi (Suradal, 2014). Sementara itu, cocopeat memiliki kemampuan menahan air yang besar. Kadar air dan daya simpan air pada cocopeat masing-masing Pemberian pupuk hayati dapat membantu dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman. Pupuk hayati menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011 adalah produk biologi aktif berbahan mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan kesuburan dan kesehatan tanah. Salah satu contohnya adalah konsorsium pupuk hayati koleksi Universitas Padjadjaran yang terdiri lebih dari satu jenis mikroba, seperti bakteri pemfiksasi N (Azotobacter chroococum, A. vinelandii, Azospirillum sp.), bakteri endofitik Acinetobacter, bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas cepacia) dan jamur pelarut fosfat (Penicillium sp.). Pupuk hayati juga berguna dalam mengefisiensikan penggunaan NPK dan meningkatkan hasil tanaman (Setiawati dkk., 2011). 2 Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 Pemberian pupuk hayati dan nutrisi pada sistem hidroponik merupakan suatu cara yang berfungsi dalam mengoptimalkan produksi tanaman tomat pada lahan yang sempit. Sehubungan dengan hal tesebut, maka diperlukan penelitian mengenai pengaruh aplikasi pupuk hayati dan nutrisi terhadap hasil tanaman tomat dengan sistem hidroponik. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Laboratorium Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman, serta rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Lokasi penelitian berada pada ketinggian ± 725 meter di atas permukaan laut. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama yaitu dosis konsorsium pupuk hayati (B) yang terdiri dari 3 taraf (0 ml/polibeg, 5 ml/polibeg, dan 10 ml/polibeg), dan faktor kedua yaitu dosis nutrisi (H) yang terdiri dari 3 taraf (0 ml, 250 ml, dan 500 ml). Masingmasing taraf perlakuan diulang 3 kali, sehingga total perlakuan 27 satuan perlakuan. Percobaan terdiri dari dua unit, didestruksi pada vegetatif akhir (5 MST) untuk pengamatan populasi bakteri pelarut fosfat dan satu unit lainnya untuk pengamatan hasil tanaman tomat pada panen. Pembuatan nutrisi dilakukan dengan membuat larutan induk yaitu larutan A (6,6 g CaNO3), larutan B (2,4 kg KH2PO4; 1,8 kg KNO3), larutan C (5,4 kg MgSO4) dan larutan D (420 g FeSO4; 3 g CuSO4 ; 12 g MnSO4 ; 12 g H3BO3; 1,2g amonium amolibdat; 6 g (ZnSO4) yang dilarutkan dengan 30 L air. Larutan induk tersebut kemudian diencerkan dengan 100 L air sesuai dengan dosis perlakuan, yaitu kontrol (tanpa aplikasi larutan nutrisi), ½ dosis rekomendasi (250 ml), dan 1 dosis rekomendasi (500 ml). Penyemaian benih tomat varietas Valoasis dilakukan di pot tray 25 hari sebelum pindah tanam ke polibeg. Media tanam yang digunakan adalah campuran arang sekam dan cocopeat dengan perbandingan 2 : 1. Aplikasi konsorsium pupuk hayati dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada 25 HSS (hari setelah semai) atau saat pindah tanam dengan dosis ½ dari dosis total, dan ½ dosis lainnya diberikan pada sisanya diberikan pada tanaman umur 40 HSS (hari setelah semai) atau 2 MST (minggu setelah tanam) di polibeg. Pengambilan sampel media tanam dan sampel tanaman dilakukan pada usia 5 MST yaitu sebelum muncul bunga pertama. Pengambilan sampel media tanam dilakukan pada bagian daerah perakaran tanaman, untuk menganalisis populasi bakteri pelarut fosfat dengan metode Total Plate Count menggunakan media Pikovskaya. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS. Pengujian pengaruh faktor perlakuan dilakukan dengan uji F pada taraf nyata 5%. Jika terdapat pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara penggunaan pupuk hayati dengan nutrisi terhadap populasi bakteri pelarut fosfat, namun terdapat pengaruh mandiri, yaitu pada perlakuan penggunaan nutrisi (Tabel 1). Hasil uji beda jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan terbaik penggunaan nutrisi adalah dosis 250 mL (h1). Hal tersebut ditunjukkan bahwa perlakuan h1 (nutrisi 250 mL) mampu menghasilkan populasi bakteri pelarut fosfat sebesar 75,52 x 105 CFU/g. Pemberian pupuk hayati tidak berpengaruh nyata terhadap populasi bakteri pelarut fosfat diduga adanya persaingan dalam memperebutkan bahan organik dengan jasad renik lain, sehingga dapat menghambat bakteri pelarut fosfat memperoleh unsur hara dari bahan organik. Akibat kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka aktivitas 3 Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 mikroba akan terhambat atau bekerja kurang optimal (Simanungkalit dkk., 2006). Tabel 1 Pengaruh mandiri dosis pupuk hayati dan dosis nutrisi terhadap populasi BPF Perlakuan Rataan Populasi BPF (105 CFU g-1) Dosisi Pupuk Hayati (B) b0 = 0 mL polibeg-1 53,98 b1 = 5 mL polibeg-1 43,73 b2 = 10 mL polibeg-1 64,06 Dosisi Nutrisi (H) h0 = 0 mL (kontrol) h1 = 250 mL (½ dosis rekomendasi) h2 = 500 mL (1 dosis rekomendasi) Keterangan: 30,21 a 75,52 b 56,03 ab Angka-angka yang berhuruf sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Nilai rata-rata yang tidak diberi notasi huruf tidak berpengaruh nyata berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%. Arang sekam dan cocopeat sebagai media tanam diduga telah mengandung unsur hara bagi tanaman. Ketersediaan hara P bagi tanaman dapat dilihat aktivitas mikroba untuk memineralisasikannya, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Hasil analisis awal, media tanam memiliki kandungan C-organik sebesar 27,72% dan total P sebesar 0,29%, maka nisbah C/P yang dihasilkan sebesar 96. Stevenson (1994) mengatakan bahwa apabila nisbah C/P kurang dari 200 maka akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke media tanam. Oleh karena itu, pupuk hayati yang diberikan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata karena tanaman telah memperoleh hara dari media tanam. 3.2 Hasil Tanaman Tomat Hasil tomat ternyata juga tidak dipengaruhi oleh penggunaan pupuk hayati maupun interaksinya dengan nutrisi. Pola pengaruh seperti ini terjadi baik berupa jumlah buah maupun bobot buah. Hal tersebut diduga karena nutrisi telah memenuhi hara bagi tanaman, sehingga kerja pupuk hayati tidak terlihat. Penggunaan nutrisi bersifat sangat mudah diserap dan tersedia bagi tanaman, sehingga dapat mengoptimalkan penyerapan unsur hara baik mikro maupun hara makro (Winda et al., 2012). Darwin dkk. (2012) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada kondisi dimana unsur hara makro dan mikro tersedia akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal. Pemberian nutrisi hidoponik memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah buah maupun bobot buah. Uji lanjut berganda Duncan menunjukkan bahwa dosis perlakuan 250 mL nutrisi (perlakuan h1) merupakan perlakuan terbaik, dengan jumlah buah sebanyak 6 buah dan bobot buah mencapai 839,33 g/tanaman (Tabel 2). Tabel 2 Pengaruh dosis pupuk hayati dan dosis nutrisi terhadap hasil tomat per tanaman Jumlah (buah) Bobot (gram) Dosisi Pupuk Hayati (B) b0 = 0 mL / polibeg 3 401,89 b1 = 5 mL / polibeg 3 471,56 b2 = 10 mL / polibeg 3 362,89 Dosisi Nutrisi (H) h0 = 0 mL (kontrol) 0a 0,00 6b 839,33 c 3b 397,00 b Perlakuan h1 = 250 mL (½ dosis rekomendasi) h2 = 500 mL (1 dosis rekomendasi) Keterangan: Angka-angka yang berhuruf sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Nilai rata-rata yang tidak diberi notasi huruf tidak berpengaruh nyata berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%. Penggunaan nutrisi dengan dosis rekomendasi (h2) ternyata menghasilkan hasil tanaman tomat yang lebih rendah. Hal tersebut diduga akibat terserangnya buah oleh penyakit busuk ujung buah atau blossomend-rot (BER). Blossom-end-rot (BER) bukan penyakit tanaman yang disebabkan hama, 4 Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 bakteri, atau jamur melainkan penyakit fisiologis tanaman yang disebabkan oleh defisiensi kalsium pada tanaman dan perubahan kelembaban. Kelembaban relatif yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tomat adalah 80% dan suhu idealnya 24-28oC (Turgiyono, 2002), namun hasil pengamatan diperoleh kelembaban rendah (41,3%) dan suhu rata- rata cukup tinggi (29,4ºC). Keadaan suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap transpirasi yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Dardjat dan Arbayah, 1996). Pada kelembaban rendah dan suhu tinggi, air yang dilepaskan melalu proses transpirasi meningkat. Lovelles (1991) menyatakan bahwa meningkatnya laju transpirasi yang terlalu cepat dapat merugikan tumbuhan karena menyebabkan tanaman kehilangan air terlalu banyak. Kehilangan air dapat menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan gugurnya bunga dan buah, hasil berkurang dan kualitas rendah serta memacu terjadinya penyakit blossom-end- rot (Yoon et al., 1989). Harjadi dan Yahya (1988) bahwa kehilangan air berlebih dapat mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman, salah satunya adalah kalsium. Kalsium yang dibawa air dari akar ke bagian atas tanaman (melalui xilem) menuju buah akan macet karena banyaknya kalsium di daun akibat tingginya tingkat penguapan, sehingga buah kekurangan asupan kalsium. Kandungan garam total serta akumulasi ion-ion yang tinggi dalam nutrisi mempengaruhi kepekatan nutrisi. Kepekatan larutan juga mempengaruhi metabolisme tanaman, seperti kecepatan fotosintesis, aktivitas enzim dan potensi penyerapan ion-ion oleh akar. Konsentrasi garam yang tinggi dapat merusak akar tanaman dan mengganggu serapan nutrisi dan air. Larutan yang pekat tidak dapat diserap oleh akar secara maksimum, disebabkan tekanan osmosis sel menjadi lebih kecil dibandingkan tekanan osmosis di luar sel, sehingga kemungkinan akan terjadi plasmalisis (Wijayani dan Widodo, 2005). Oleh karena itu perlakuan ½ dosis nutrisi (h1) dinilai cukup efektif terhadap peningkatan hasil tanaman tomat. 4. KESIMPULAN Aplikasi konsorsium pupuk hayati dan nutrisi hidroponik pada tanaman tomat tidak menunjukkan adanya interaksi antara dosis konsorsium pupuk hayati dengan dosis nutrisi terhadap populasi bakteri pelarut fosfat dan hasil tomat. Dosis nutrisi menunjukkan adanya pengaruh mandiri terhadap populasi bakteri pelarut fosfat dan hasil tomat. Aplikasi perlakuan nutrisi hidroponik sebesar 250 mL/polibeg memberikan populasi bakteri pelarut fosfat dan hasil tomat tertinggi, yaitu 5 berturut- turut 75,52 x 10 CFU/g dan 839,33 g per tanaman. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Tomat. http://www.bps.go.id. Dardjat S. dan Arbayah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Darwin, H. P., M. Yasir, dan N.K. Utami. 2012. Dampak bokashi kotoran ternak dalam pengurangan pemakaian pupuk anorganik pada budidaya tanaman tomat. J. Agron. Indonesia 40 (3) H a l : 204-210. Ekaputri, N. 2008. Pengaruh luas panen terhadap produksi tanaman pangan dan perkebunan di Kalimantan Timur. EPP. Vol 5.(2). Hal 36-43. Handiran, R.G., Meiriani, dan Haryati. 2013. Peningkatan kadar vitamin C buah tomat (Lycopersicum esculentum MILL.) dataran rendah dengan pemberian hormon GA3. Jurnal Online Agroteknologi. Vol 2(1). Hal: 333-339. Harjadi, S dan S. Yahya. 1988. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta. Harsani, D.K Kalsin, dan A. Sukendro. 2013. Kajian Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat) sebagai Media Tanam. Institut Pertanian Bogor. 5 Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juni 2017 Karsono, S. 2013. Exploring Classroom Hydroponics. Parung Farm. Bogor. Lingga, P. 2009. Hidroponik : Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Lovelles, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. PT. Gramedia. Jakarta. Naktuinbouw N.L. 2012. Variety Description TMT – Valoasis NL. http://www.naktuinbouw.nl/sites/nak tuinbouw.eu/files/TMT-Valoasis-NL- 012 .pdf. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011. Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. Setiawati. W., I. Sulastrini, dan N. Gunaeni. 2001. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Setiawati, M.R., P. Suryatmana, R. Hindersah, dan B. Joy. 2011. Penggunaan Bakteri Pemfiksasi Nitrogen Azotobacter sp. pada Tanaman Kedelai, Jagung dan Kelapa Sawit. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung Trisnawati, Y. dan Setiawan, A.I. 2005. Tomat Budidaya secara Komersil. Penebar Swadaya. Jakarta. Turgiyono, H. 2002. Budidaya Tanaman Tomat. Yogyakarta. Wasonowati, C. 2011. Meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.). dengan sistem budidaya hidroponik. Agrovigor Vol 4. Hal: 21-28. Wijayani, A., dan W. Widodo. 2005. Usaha meningkatkan beberapa varietas tomat dengan sistem budidaya hidroponik. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 (1). Hal: 77 – 83. Winda A, K.I. Purwani, dan W. Anugerahani. 2013. Pengaruh aplikasi pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman tomat varietas tombatu di PT. Petrokimia Gresik. Jurnal Sains dan Senipomits Vol.2 (1). Hal: 110-117. Yoon, J. Y; S. K. Green; A. T. Tschanz; S. C. S Tsou, and L.C. Chang. 1989. Pepper improvement for the tropics: problem and the AVRDC Approach. International Symposium on Integreted Man Agement Practices. AVRDC. Tainan-Taiwan. p. 8698. Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta., R. Saraswati., D. Setyorini., W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: nd genesis, composition, reactions. 2 ed. Wiley. New York. Suhardiyanto, H. 2002. Teknologi Hidroponik. Modul Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Bogor, 28 Mei – 7 Juni 2002. Kerjasama CREATA-IPB dan Depdiknas. Suradal. 2014. Pembuatan Arang Sekam sebagai Media Tanam. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. http://yogya.litbang. pertanian.go.id. Sutiyoso, Y. 2003. Meramu Pupuk Hidroponik. Penebar Swadaya. Jakarta. 6