BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan studi Net Index terbaru yang dirilis Yahoo! dan lembaga survei TNS Indonesia pada tahun 2010, terdapat peningkatan penggunaan media internet yang menggantikan media tradisional seperti koran dan radio, bahkan berada di peringkat kedua setelah televisi (www.ycorpblog.com). Hal itu didukung dengan makin mudahnya akses internet dengan makin meningkatkan ketersediaan paket biaya internet yang murah dari para operator telpon seluler dan semakin terjangkaunya telpon pintar (smartphone) yang mampu mengakses internet telah mendorong pertumbuhan pengguna internet dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan Indonesia kini berada pada urutan kelima pengguna internet di seluruh dunia setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan (www.internetworldstats.com). Media internet digunakan oleh (calon) konsumen untuk mencari informasi terkait dengan sebuah produk sebelum melakukan pembelian ataupun hanya sekedar melihat-lihat (browsing). Lebih jauh lagi, internet digunakan sebagai media pertemanan atau media sosial (facebook, twitter, myspace) yang memungkinkan untuk melakukan komunikasi dua arah. Makin cepatnya perkembangan penggunaan internet memungkinkan penyebaran komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring (online) juga makin cepat. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan Solomon (2007: 449) yang menyatakan bahwa komunikasi negatif dari mulut ke mulut lebih mudah disebarkan secara daring. Penyebaran komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring yang makin cepat perlu menjadi perhatian bagi para pemasar mengingat dampaknya yang dapat sangat merugikan bagi perusahaan. Komunikasi dari mulut ke mulut dianggap sebagai kekuatan sosial yang mempengaruhi pemikiran dan praktek pemasaran pada awal pengetahuan hingga kini (Kozinet et al., 2010). Hal tersebut karena komunikasi dari mulut ke mulut terkait dengan keputusan pembelian dan perilaku pilihan. Komunikasi dari mulut ke mulut dianggap lebih jujur dan terpercaya oleh konsumen daripada rekomendasi yang 1 didapat dari tenaga penjual atau saluran pemasaran formal perusahaan karenanya perlu mendapat perhatian oleh perusahaan (penyedia jasa) dan tidak dapat dianggap sepele. Berdasarkan penjelasan tersebut, seharusnya komunikasi dari mulut ke mulut dapat menjadi alat promosi yang sangat murah bagi perusahaan dan bukan menjadi justifikasi konsumen atas kualitas produk atau jasa perusahaan yang buruk. Komunikasi positif dari mulut ke mulutlah yang diharapkan oleh perusahaan. Sedangkan komunikasi negatif dari mulut ke mulut harus dihindari karena sangat merugikan bagi perusahaan. Pada kenyataannya, baik konsumen yang sangat tidak puas maupun yang sangat puas cenderung melakukan aktivitas komunikasi dari mulut ke mulut. Konsumen yang puas akan melakukan komunikasi positif dari mulut ke mulut sedangkan konsumen yang sangat tidak puas akan melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan bentuk U antara kepuasan dan komunikasi dari mulut ke mulut (Anderson, 1998). Komunikasi negatif dari mulut ke mulut terjadi karena adanya komunikasi asimetri. Komunikasi asimetri selain karena ketidakpuasan yang disebabkan ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh oleh konsumen juga karena ketidakmampuan dan ketidakinginan konsumen untuk menyampaikan keluhannya langsung ke penyedia jasa (perusahaan). Ketidakmampuan dan ketidakinginan konsumen untuk menyampaikan keluhannya langsung ke perusahaan mendorong konsumen untuk lebih memilih diam atau mengemukakan keluhannya secara pribadi kepada keluarga, teman atau kerabat dan mengingatkan pihak-pihak tersebut untuk tidak menggunakan produk atau jasa perusahaan tertentu atau langsung beralih kepada produk atau jasa lain. Komunikasi negatif dari mulut ke mulut merupakan respon konsumen atas stimulus yang diberikan oleh perusahaan secara berulang, yaitu tanggapan perusahaan yang tidak menyenangkan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan konsumen atas keluhan mereka. Berdasarkan teori pembelajaran pengkondisian instrumental (learning theory, instrumental condition) yang dipopulerkan oleh B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika, konsumen mendapat pembelajaran yaitu merupakan hal yang sia-sia untuk mengekspresikan keluhan ke perusahaan. Pembelajaran konsumen 2 tersebut didasarkan baik pada pengalaman pribadi maupun informasi yang diperoleh dari orang lain terkait dengan hal tersebut (Schiffman dan Kanuk, 2007: 192). Suatu studi menemukan bahwa konsumen yang tidak puas atas produk atau jasa yang digunakan rata-rata akan menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut ke 9 orang (Blodget et al., 1993). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Halstead (2002) yaitu konsumen yang tidak puas cenderung berbicara kepada 4 orang atau lebih tentang pengalaman mereka yang tidak menyenangkan dibandingkan dengan konsumen yang puas. Dengan kata lain konsumen yang puas hanya akan membicarakan pengalaman memuaskan mereka kepada kurang dari 4 orang. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian Lau dan Ng (2001) bahwa 80% dari responden menceritakan setidaknya kepada 3 orang lain tentang pengalaman mereka yang tidak menyenangkan saat menggunakan jasa tertentu. Hal tersebut merupakan dasar bagi pemasar untuk tidak dapat menganggap remeh konsumen yang tidak puas dan harus memberikan perhatian lebih untuk menangani hal tersebut. Menurut Stephen dan Gwinner (1998), konsumen yang tidak mengemukakan keluhannya ke perusahaan saat merasa tidak puas perlu menjadi perhatian bagi manajemen karena beberapa alasan, yaitu (1) perusahaan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki masalah dan mempertahankan konsumen, (2) reputasi perusahaan akan rusak dengan adanya komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh konsumen yang tidak puas yang dapat mengakibatkan hilangnya konsumen potensial maupun konsumen yang ada, (3) perusahaan mengalami penurunan umpan balik yang berharga tentang kualitas produk atau jasa yang dapat mengurangi kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas guna melakukan peningkatan kualitas. Komunikasi dari mulut ke mulut hampir sulit untuk dikendalikan dan diukur serta membutuhkan perlakuan yang berbeda dari perusahaan. Hal itu dikarenakan konsumen tidak menyampaikan langsung keluhannya kepada pihak perusahaan sehingga perusahaan tidak mengetahui dan menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, terlepas bahwa komunikasi negatif dari mulut ke mulut merupakan pelengkap dari 3 perilaku keluhan yang lain (Halstead, 2002), penting bagi para pemasar untuk memberi perhatian lebih terhadap komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat negatif tersebut. Hal tersebut karena disamping bersifat negatif dan tidak dapat dikontrol oleh perusahaan dapat pula merusak penjualan di masa yang akan datang (Blodgett et al., 1993). Hal itulah yang menyebabkan perlunya perusahaan memberi perhatian lebih atas kemungkinan adanya komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh konsumen dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele. Cara untuk mengantisipasi terjadinya komunikasi negatif dari mulut ke mulut adalah dengan mengetahui hal-hal yang dapat mendorong terjadinya komunikasi negatif dari mulut ke mulut tersebut. Beberapa penelitian terkait dengan anteseden perilaku keluhan konsumen telah dilakukan namun tidak secara spesifik meneliti perilaku keluhan yang bersifat private (pribadi), yaitu komunikasi negatif dari mulut ke mulut, (Richins, 1983; Brown dan Swartz, 1984; Blodgett et al., 1993; Lau dan Ng, 2001; Cho et al., 2002; Heung dan Lam, 2003; Phau dan Sari, 2004; Oh, 2004; Goetzinger et al., 2006; Velazquez et al., 2006; Fernandes dan Santos, 2007; Ngai et al., 2007). Dari penelitian-penelitian tersebut masih terdapat pertentangan hasil pada beberapa faktor pendorong komunikasi negatif dari mulut ke mulut dan membutuhkan pengujian lebih lanjut. Komunikasi, khususnya komunikasi negatif dari mulut ke mulut negatif secara daring, merupakan variabel fokal pada penelitian ini. Dalam konteks komunikasi, terdapat interaksi antara pemberi pesan dan penerima pesan. Interaksi tersebut terjadi dalam suatu sistem sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut Littlejohn dan Foss (2009), nilai-nilai akan mempengaruhi terjadinya interaksi tersebut. Menurut Rokeach, (1968 dalam Luna dan Gupta, 2001), nilai budaya merupakan pegangan pokok yang memandu tindakan-tindakan atau dengan kata lain memiliki pengaruh terhadap perilaku. Menurut Williams (1968 dalam Liu, 1999) nilai-nilai merupakan penjelasan yang sangat kuat atas perilaku manusia dan dapat mempengaruhi perilaku manusia karena nilai-nilai memberikan standar atau kriteria atas apa yang dilakukan. Budaya mempengaruhi perilaku masyarakat (Solomon, 2013:549; Peter dan Olson, 4 2005:288). Karena nilai-nilai merupakan jantung dari kebanyakan definisi budaya maka nilai-nilai budaya juga mendorong perilaku seseorang. Pemahaman nilai-nilai budaya sangat penting untuk memahami bagaimana masyarakat dalam kelompok budaya tertentu berperilaku. Konsekuensinya, para ilmuwan keperilakuan telah menerapkan konsep nilai-nilai sebagai prediktor atas perilaku konsumen (Henry, 1976 dalam Liu, 1999). Karena terdapat pertentangan hasil penelitian terkait dengan beberapa faktor pendorong komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang membutuhkan pengujian lebih lanjut dan beberapa pernyataan yang menghubungkan antara nilai-nilai dan perilaku, peneliti memasukkan variabel nilai-nilai individualisme pada penelitian ini sebagai variabel pemoderasi. Sehingga pada penelitian ini diteliti peran nilai-nilai individualisme pada anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring. Pada saat mempelajari budaya yang dipelajari adalah masyarakat, sedangkan pada saat mempelajari nilai-nilai yang dipelajari adalah individu (Hofstede: 2001:15). Kerangka kerja Hofstede digunakan dalam penelitian ini karena kerangka kerja ini dapat digunakan untuk membedakan nilai-nilai di antara kelompok-kelompok dalam suatu kelompok budaya (within-culture subgroups) yang dikenal dengan sub budaya (Hofstede, 2001:27). Nilai-nilai budaya Hofstede (2001) yang digunakan dalam penelitian ini adalah individualisme. Hal tersebut mengacu pada Patterson et al. (2006) yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya individualisme memiliki pengaruh yang kuat pada penanganan jasa. Penanganan jasa terkait dengan kegagalan jasa (service failure). Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mempermudah seseorang untuk berkomunikasi dengan pihak lain tentang apapun, dimanapun dan kapanpun termasuk berbagi pengalaman atas penggunaan suatu produk atau jasa tertentu. Internet memberikan banyak informasi produk yang dapat diakses dengan hanya menekan tombol. Seseorang dapat mencari informasi tentang suatu produk atau jasa dari kelompok diskusi (discussion board) di internet yang berisi tentang pengalaman seseorang atas penggunaan suatu produk (Fong dan Burton, 2007) ataupun komunikasi yang terjadi di dalam suatu komunitas daring 5 (Brown et al., 2007). Menurut Kotler dan Keller (2006: 508) komunikasi personal yang menggunakan media internet dikenal dengan istilah komunikasi dari mulut ke mulut secara daring (online WOM atau electronic WOM (eWOM) atau komunikasi antar situs (word-of-web) atau komunikasi antar mouse (word-of-mouse)). Sebagai sumber informasi, konsumen dapat menggunakan internet untuk mengekspresikan rasa puas maupun keluhannya atas suatu barang ataupun jasa yang dapat menjadi masukan bagi pihak lain dalam membuat keputusan pembelian. Keluhan yang disampaikan melalui internet tidak hanya terkait dengan produk atau jasa yang diperoleh secara daring, namun dapat pula keluhan atas produk atau jasa yang diperoleh secara offline (luring). Hal ini dapat dikatakan bahwa keluhan yang disampaikan oleh konsumen melalui internet juga dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi konsumen lain. Bahkan komunikasi yang sifatnya negatif memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam mempengaruhi evaluasi suatu produk dari pada komunikasi yang bersifat positif (Laczniak et al., 2001 dan Lau dan Ng, 2001). Menurut hasil riset Edelman Trust Barometer yang dilakukan dari tanggal 16 Oktober 2012 hingga 28 Nopember 2012 (www.antaranews.com) tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media daring lebih tinggi dari pada terhadap media tradisional seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Lebih jauh lagi masyarakat juga memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap media sosial. Beberapa hal yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan perilaku keluhan konsumen dengan media daring adalah kekuatan teknologi yang dapat membantu konsumen untuk mendapatkan informasi dan menyebarkan informasi juga keluhan, makin mudahnya akses internet bagi masyarakat, dan masih sedikitnya penelitian yang terkait dengan komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring (Fong dan Burton, 2007; Brown et al., 2007; Tsuifang et al., 2010). Brown et al. (2007) meneliti bagaimana komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam suatu komunitas daring. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fong dan Burton (2007) meneliti keterkaitan antara komunikasi dari mulut ke mulut secara daring dengan negara asal pada kelompok diskusi (discussion board) dalam media internet. Kelompok diskusi tersebut mendiskusikan tentang pengalaman seseorang 6 atas penggunaan suatu produk. Penelitian tersebut menggali hal-hal apa yang diinformasikan dan bagaimana informasi dicari. Penelitian yang dilakukan oleh Tsuifang et al. (2010) meneliti dampak komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring terhadap penerima pesan negatif tersebut. Pada penelitian ini, peneliti meneliti anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut dalam setting daring. Selain meneliti anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring, penelitian ini meneliti pula konsekuensi dari komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring. Model yang komprehensif dibutuhkan untuk memperkuat perlunya perhatian atas perilaku keluhan yang bersifat pribadi karena perilaku keluhan ini tidak disadari keberadaannya oleh penyedia jasa. Sehingga tidak hanya perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi atau mendorong konsumen untuk melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring namun perlu diketahui pula perilaku konsumen setelah mereka melakukan perilaku keluhan yang bersifat pribadi ini. Selain itu, berdasarkan temuan yang dilakukan peneliti pada penelitian pendahuluan, peneliti mendapati bahwa hampir seluruh pasien yang diwawancara, meskipun telah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dan telah melakukan komunikasi negatif dari mulut mulut kepada teman atupun kerabat, mereka tetap menggunakan jasa medis tersebut (Mardhiyah, 2012). Hasil penelitian pendahuluan tersebut bertentangan dengan teori peran yang diajukan oleh Kahn (1964 dalam Pfeffer, 1982: 98) yang menekankan konsekuensi perilaku yang diharapkan dalam peran tertentu. Sebagai pihak yang melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang bertujuan mengingatkan konsumen lain untuk tidak menggunakan produk atau jasa tertentu yang dikomunikasikan, berdasarkan teori peran, konsumen tersebut akan menolak untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa yang dikomunikasikannya. Namun temuan yang diperoleh peneliti saat melakukan penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pasien yang mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan terkait dengan jasa medis dan melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut tetap menggunakan jasa medis yang dikomunikasikan. Hal tersebut membutuhkan pengujian lebih lanjut. 7 Bidang medis menjadi perhatian peneliti mengingat dampak dari kegagalan pelayanan jasa khususnya di bidang medis berpotensi adanya penderitaan baik secara fisik maupun secara mental bagi konsumen (Brown dan Swartz, 1984) maupun keluarga konsumen. Kemungkinan terburuk dari adanya kegagalan pelayanan di bidang medis adalah adanya cacat permanen atau bahkan kehilangan nyawa bagi konsumen. Hal itulah yang memaksa konsumen untuk mengekspresikan keluhannya terutama secara pribadi untuk mengingatkan orang-orang terdekat agar berhati-hati dalam menggunakan jasa medis tertentu sehingga tidak mengalami hal serupa. Selain itu, dari wawancara pendahuluan juga ditangkap dari beberapa pendapat pasien adanya arogansi profesi dokter, yakni dokter memberikan pelayanan seadanya karena merasa si pasien membutuhkan dirinya. Dokter merasa telah cukup memberikan layanan kepada pasien dengan banyaknya pasien yang datang kepadanya. Melalui penelitian ini diharapkan penyedia jasa medis, khususnya dokter, dapat menyadari bahwa si pasien dapat menyampaikan informasi negatif kepada teman atau kerabatnya atas layanan yang mereka terima yang dapat merugikan bagi penyedia jasa medis dalam jangka panjang. Dengan menggunakan media internet si pasien dapat menceritakan pengalamannya terkait dengan suatu layanan jasa medis. Komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring terkait dengan jasa medis akan makin cepat tersebar dan dapat berdampak buruk bagi penyedia jasa medis tersebut. Dampak pemberitaan kasus Prita Mulyasari yang menurunkan jumlah pasien rumah sakit Omni Internasional di Tangerang dari sekitar 300 pasien menjadi di bawah 100 orang pasien beberapa saat ketika kasus tersebut ramai diperbincangkan masyarakat (www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com) merupakan contoh dampak penyebaran komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Hal tersebut dikarenakan adanya penyebaran dari mulut ke mulut melalui media internet. Para pengguna internet (netter) terutama yang mempunyai blog telah menuliskan pendapatnya di blognya masing-masing yang mayoritas menentang aksi yang dilakukan oleh rumah sakit Omni Internasional Tangerang. Hasil dari tulisan pada bolg tersebut adalah terbentuknya citra buruk rumah sakit tersebut. Mengingat dampak yang ditimbulkan akibat 8 kelalaian penyedia jasa maupun dampak dari komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh konsumen akibat kelalaian penyedia jasa hendaknya penyedia jasa, khususnya di bidang medis, berhati-hati dalam memberikan layanannya. Selain itu pemberian layanan yang optimal memang harus juga dipikirkan oleh rumah sakit sebagai instansi yang berorientasi profit yang mendapatkan keuntungan dari konsumennya. Karena itulah penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah meneliti anteseden dan konsekuensi komunikasi negatif dari mulut ke mulut melalui media internet atau secara daring pada jasa medis. 1.2. Perumusan Masalah Komunikasi asimetri antara konsumen dan penyedia jasa merupakan penyebab konsumen mengekspresikan keluhannya secara pribadi atau melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut atas pengalaman yang tidak menyenangkan yang mereka alami. Komunikasi asimetri tersebut selain karena konsumen tidak mendapatkan layanan sesuai dengan yang diharapkan juga karena ketidakmampuan dan ketidakinginan konsumen untuk mengutarakan keluhannya langsung ke penyedia jasa. Ketidakmampuan konsumen dapat disebabkan karena konsumen tidak berani untuk menyampaikan pengalaman yang dirasakan. Ketidakinginan konsumen dapat disebabkan karena konsumen tidak merasakan manfaat jika mengekspresikan keluhannya langsung ke perusahaan. Terdapat dua kesenjangan riset yang mendorong dilakukannya penelitian ini. Kesenjangan riset pertama terkait dengan kesenjangan teoritis atau model penelitian, dimana terdapat perbedaan hasil penelitian terkait dengan anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang memerlukan pengujian lebih lanjut. Kesenjangan riset kedua terkait dengan setting penelitian, yaitu komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring. Anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang masih menjadi perdebatan dan membutuhkan pengujian lebih lanjut adalah kepercayaan diri, tingkat kepentingan jasa, kemungkinan sukses perilaku keluhan, dan manfaat keluhan (Tabel 1.2.). Tabel 1.2. merupakan ringkasan dari Tabel 1.1 terkait dengan perbedaan hasil 9 penelitian pada beberapa anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Variabel kepercayaan diri menunjukkan hasil yang signifikan pada penelitian yang dilakukan oleh Lau dan Ng (2001) dan Fernandes dan Santos (2007). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mardhiyah et al. (2013), kepercayaan diri tidak berpengaruh pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Variabel kemungkinan sukses keluhan secara signifikan berpengaruh pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut pada penelitian yang dilakukan oleh Blodgett et al. (1983), Fernandes dan Santos (2007), dan Mardhiyah et al. (2013). Hubungan tersebut tidak menunjukkan adanya signifikansi pada penelitian yang dilakukan oleh (Oh, 2004) dan Fernandes dan Santos (2007). Untuk variabel kepentingan jasa, signifikansi hubungan terhadap komunikasi negatif dari mulut ke mulut tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Blodgett et al. (1983), Liu dan Ng (2001), dan Oh (2004). Penelitian yang dilakukan oleh Mardhiyah et al. (2013) kepentingan jasa tidak berpengaruh pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Pada variabel manfaat keluhan, penelitian yang dilakukan oleh Lau dan Ng (2001) menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Sedangkan Oh (2004) dan Mardhiyah et al. (2013) mendapati bahwa manfaat keluhan tidak berpengaruh pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Komunikasi negatif dari mulut ke mulut negatif secara daring merupakan variabel utama yang diuji pada penelitian ini. Dalam konteks komunikasi, terdapat interaksi antara pemberi pesan dan penerima pesan. Menurut Littlejohn dan Foss (2009) nilai-nilai mempengaruhi terjadinya interaksi tersebut. Lebih jauh lagi, beberapa penelitian yang meneliti perilaku keluhan menunjukkan terdapat perbedaan perilaku keluhan antara kelompok yang memiliki nilai-nilai individualisme tinggi dengan kelompok yang memiliki nilai-nilai individualisme yang rendah (Liu dan McClure, 2001; Phau dan Sari, 2004; Ngai et al, 2007). Berdasarkan hal tersebut, peneliti memasukkan variabel nilai-nilai budaya sebagai variabel pemoderasi, yaitu individualisme, untuk meneliti mengapa terjadi pertentangan hasil penelitian pada penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan anteseden komunikasi negatif dari 10 mulut ke mulut. Penelitian ini dilakukan untuk menutup kesenjangan riset pertama yang terkait dengan kesenjangan teoritis. Kesenjangan riset kedua muncul karena perkembangan teknologi telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menyampaikan keluhannya atas layanan yang tidak sesuai dengan harapan mereka, terutama komunikasi negatif dari mulut ke mulut ke pihak lain, secara lebih luas. Konsumen dimungkinkan untuk melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring sekalipun jasa yang digunakan diperoleh secara luring. Karena penyebaran komunikasi negatif dari mulut ke mulut lebih mudah disebarkan secara daring (Solomon, 2007: 396), hal tersebut harus menjadi perhatian bagi para penyedia jasa. Penelitian tentang anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Tabel 1.1. menunjukkan beberapa penelitian yang meneliti tentang perilaku keluhan konsumen, khususnya tentang komunikasi negatif dari mulut ke mulut. Namun penelitian tersebut meneliti tentang komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara luring (Richins, 1983; Blodgett et al., 1993; Lau dan Ng, 2001; Oh (2004); Velazquez et al. (2006); Fernandes dan Santos, 2007). Penelitian tentang komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring telah dilakukan oleh Goetzinger et al. (2006), Brown et al. (2007), dan Tsuifang (2010). Namun penelitian-penelitian tersebut tidak meneliti tentang anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring. Goetzinger et al. (2006) meneliti bagaimana konsumen memberikan tanggapan baik secara positif maupun negatif terkait dengan penggunaan barang atau jasa tertentu melalui media situs jejaring. Dalam hal ini situs jejaring tersebut merupakan pihak ketiga yang memberikan wadah bagi konsumen untuk memberikan tanggapannya terkait dengan suatu produk ataupun jasa. Penelitian yang dilakukan Brown et al. (2007) meneliti bagaimana komunikasi terjadi di dalam komunitas daring. Tsuifang (2010) meneliti bagaimana dampak komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring pada penerima pesan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara luring dapat diterapkan juga sebagai anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? Sehingga pada penelitian ini diteliti peran nilai-nilai individualisme pada anteseden komunikasi negatif dari mulut 11 ke mulut secara daring. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terkait dengan metode riset, yaitu setting penelitian yang ada. Tabel 1.1. Perbedaan Hasil Penelitian Sumber Richins, Marsha L. (1983) Blodgett, et al. (1993) Lau dan Ng (2001) Cho et al. (2002) Variabel Bebas • Keruwetan (severity) masalah • Sumber kesalahan (attribution of the blame) • Persepsi tanggung jawab atas keluhan • Stabilitas/kemampuan mengontrol • Sikap terhadap keluhan • Kemungkinan sukses • Kepentingan produk • Kepercayaan diri • Sosiabilitas • Tanggung jawab sosial • Persepsi kebernilaian keluhan • Sikap terhadap bisnis secara umum • Persepsi reputasi perusahaan • Keterlibatan produk • Keterlibatan keputusan pembelian • Tingkat ketidakpuasan • Tingkat kepentingan pembelian • Persepsi manfaat keluhan • Karakter Personal • Faktor situasional Variabel Terikat Setting Penelitan Negatif WOM secara luring Ketidakpuasan atas produk retail Hasil • Signifikan • Signifikan • Signifikan Negatif WOM secara luring Negatif WOM secara luring Ketidakpuasan atas produk retail • Tidak signifikan • Tidak signifikan • Signifikan • Signifikan Ketidakpuasan • Signifikan atas produk, • Tidak signifikan merek, dan jasa • Tidak signifikan • Signifikan • Tidak signifikan • Tidak signifikan • Signifikan • Signifikan Keluhan ke perusahaan • Daring: ketidakpuasan atas buku, produk-produk yang terkait dengan internet (software – hardware) • Luring: ketidakpuasan atas pakaian, toko retail, produk-produk yang terkait dengan internet • Signifikan • Tidak signifikan • Signifikan • Signifikan • Signifikan Bersambung 12 Lanjutan Tabel 1.1. Sumber Oh (2004) Velazquez et al. (2006) Goetzinger et al. (2007) Variabel Terikat Setting Penelitan • Ketidakpuasan • Sikap terhadap keluhan -Manfaat Sosial • Kemungkinan untuk sukses • Kesulitan mengemukakan keluhan • Tingkat kepentingan jasa • Atribusi eksternal • Persepsi penggunaan gratis Negatif WOM secara luring Ketidakpuasan atas layanan perpustakaan • Tingkat ketidakpuasan • Sikap terhadap keluhan • Kemungkinan sukses • Tingkat kepentingan situasi • Keluhan maupun pujian atas produk atau jasa yang diperoleh secara daring Tindakan pribadi secara luring Variabel Bebas Fernandes dan Santos (2007) Tsuifang (2010) • Tingkat ketidakpuasan • Persepsi kemungkinan suksesnya keluhan • Rasa percaya diri • Signifikan • - Tidak signifikan • Tidak signifikan • Tidak signifikan Negatif dan positif WOM secara daring Positive WOM secara daring Brown et al. (2007) Hasil Negatif WOM secara luring • Signifikan • Signifikan • Tidak signifikan Ketidakpuasan • Signifikan atas jasa • Tidak signifikan restoran • Tidak signifikan • Tidak signifikan Menganalisattg • Mengetahui halkepuasan atau hal yang ketidakpuasan menyebabkan atas produk konsumen puas atau jasa (member pujian) tertentu yang dan hal-hal yang ditulis melalui mengecewakan web site konsumen • Dapat diketahui lebih jelas bagaimana para konsumen berinteraksi pada komunitas daring Ketidakpuasan • Signifikan atas jasa • Signifikan restoran • Signifikan • Menceritakan bagaimana dampak komunikasi positif WOM secara daring terhadap penerima pesan Bersambung 13 Lanjutan Tabel 1.1. Perbedaan Hasil Penelitian Sumber Variabel Terikat Setting Penelitan Negatif WOM secara daring Ketidakpuasan atas jasa medis Variabel Bebas Mardhiyah et al. (2013) • Tingkat ketidakpuasan • Tingkat kepentingan jasa • Persepsi sukses perilaku keluhan • Persepsi manfaat keluhan • Kepercayaan diri • Altruisme • Niat retaliasi • Biaya keluhan Hasil • Tidak signifikan • Tidak signifikan • Signifikan • Tidak signifikan • Tidak signifikan •Signifikan •Signifikan •Signifikan Tabel 1.2. Rangkuman Perbedaan Hasil Penelitian Anteseden dari Komunikasi Negatif dari Mulut ke Mulut Variabel KEPERCAYAAN DIRI Peneliti Hasil Lau & Ng (2001) Signifikan Cho et al. (2002) Signifikan Fernandes & Santos (2007) Signifikan Mardhiyah et al. (2013) Tidak signifikan Blodgett et al. (1983) Oh (2004) Velazquez et al. (2004) Fernandes & Santos (2007) Mardhiyah et al. (2013) Signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan Signifikan KEPENTINGAN JASA Blodgett et al. (1983) Lau & Ng (2001) Cho et al. (2002) Oh (2004) Mardhiyah et al. (2013) Signifikan Signifikan Tidak signifikan Signifikan Tidak signifikan MANFAAT KELUHAN Lau & Ng (2001) Cho et al. (2002) Oh (2004) Mardhiyah, et al. (2013) Signifikan Signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan KEMUNGKINAN SUKSES KELUHAN 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, secara umum terdapat pertanyaan penelitian, yaitu apakah anteseden dan konsekuensi komunikasi negatif 14 dari mulut ke mulut dalam setting luring juga dapat diterapkan pada setting daring? Secara lebih spesifik, pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut dengan menambahkan variabel pemoderasian nilai-nilai individualisme sebagai akibat adanya hasil-hasil penelitian yang masih diperdebatkan (debatable): a. Apakah kepercayaan diri berpengaruh positif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? b. Apakah altruisme berpengaruh positif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? c. Apakah kepentingan jasa berpengaruh positif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? d. Apakah kemungkinan sukses keluhan berpengaruh negatif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? e. Apakah manfaat keluhan berpengaruh negatif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? f. Apakah atribusi eksternal berpengaruh positif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? g. Apakah niat retaliasi berpengaruh positif pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring? h. Apakah komunikasi negatif dari mulut ke mulut yang dilakukan secara daring berpengaruh positif pada penolakan pembelian ulang? i. Apakah pengaruh positif kepercayaan diri pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? j. Apakah pengaruh positif altruisme pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? k. Apakah pengaruh positif kepentingan jasa pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? l. Apakah pengaruh negatif kemungkinan sukses keluhan pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? 15 m. Apakah pengaruh negatif manfaat keluhan pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? n. Apakah pengaruh positif atribusi eksternal pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? o. Apakah pengaruh positif niat retaliasi pada komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dimoderasi oleh nilai-nilai individualisme? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk membangun dan menguji pengaruh nilai-nilai individualisme pada model anteseden dan konsekuensi komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring sehingga mendapatkan model yang komprehensif. Secara spesifik penelitian ini bertujuan: (1) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring pada jasa medis, (2) untuk menganalisis konsekuensi komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring pada jasa medis, (3) menganalisis peran nilai budaya, yaitu individualisme pada anteseden komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring pada jasa medis. 1.5. Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian, lingkup teori yang digunakan sebagai dasar pada penelitian ini adalah teori komunikasi; teori pembelajaran perilaku; teori keadilan; teori sifat; teori berpindah, bersuara, dan kesetiaan; teori atribusi; dan teori peran. Model penelitian yang dibangun dalam riset ini merupakan pengembangan dari model-model penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Lau dan Ng (2001), Liu dan McClure (2001), Cho et al. (2002), Oh (2004), Velazquez et al. (2006), Fernandes dan Santos (2007), dan Mardhiyah et al. (2013) Konteks penelitian ini adalah penelitian yang meneliti pengalaman negatif konsumen yang terkait dengan penggunaan jasa medis. Yang dimaksud pengalaman negatif terkait dengan jasa medis adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang 16 dirasakan oleh konsumen selama berlangsungnya proses pemberian jasa medis baik yang disebabkan karena prosedur layanan medis, proses interaksi antara pihak-pihak yang terkait selama proses pemberian jasa medis berlangsung, maupun kesembuhannya. Salah satu atau lebih dari ketiga aspek tersebut memberikan rasa yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi penilaian konsumen secara keseluruhan atas layanan medis yang diterimanya dan dapat membentuk pengalaman yang tidak menyenangkan bagi konsumen. Namun jasa medis dalam hal ini lebih terkait pada si pemberi jasa atau orang-terlibat dalam proses pemberian jasa. Subyek penelitian adalah konsumen yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan terkait dengan dokter, paramedis, maupun rumah sakit yang terlibat dalam proses pemberian layanan medis baik secara langsung maupun yang tidak langsung. Secara langsung adalah pengalaman tersebut langsung dialami oleh dirinya. Sedangkan secara tidak langsung adalah pengalaman tersebut dialami oleh keluarga atau kerabat dekatnya namun dengan syarat pengalaman tidak menyenangkan tersebut diketahui secara pasti oleh dirinya. Selain itu konsumen juga telah melakukan komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring. Komunikasi negatif dari mulut ke mulut secara daring dalam penelitian ini adalah komunikasi langsung yang berisi informasi negatif yang dilakukan satu pihak dengan pihak lain dengan menggunakan media internet baik berupa surat elektronik (e-mail) maupun percakapan (chat) melalui media sosial dan pengirim pesan (messangers) seperti facebook, yahoo messanger, blackberry messanger, twitter, ataupun whatsapp. Komunikasi langsung (dengan menggunakan media internet) dipilih karena sifatnya yang lebih persuasif dan merupakan konsep dasar dari komunikasi dari mulut ke mulut. Penelitian tidak hanya difokuskan pada kota-kota besar pengguna dan frekuensi penggunaan internet tertinggi di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogjakarta, dan Kepulauan Riau (Darwin, 2011) namun penelitian juga mencakup kota-kota yang lain di Indonesia mengingat jangkuan dari internet yang dapat menjangkau siapa saja dan dimana saja. Hal tersebut dapat terjangkau dengan 17 penggunaan kuisioner daring. Untuk mempercepat mendapatkan data dengan tetap memperhatikan karakteristik sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian, selain menggunakan kuisioner daring dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan kuisioner langsung. 18