Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) kalsium secara in vitro pada

advertisement
26 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Produk Crackers
Crackers adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui
proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang mengarah kepada
rasa asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapislapis (Manley 2000). Jenis crackers yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga
macam, yaitu crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo,
dan crackers komersial high calcium original. Pemilihan ketiga jenis crackers
tersebut didasarkan pada perbedaan komposisi bahan baku yang diduga akan
menyebabkan perbedaan total kalsium. Produk crackers yang diteliti disajikan
pada Gambar 7.
Crackers
kontrol
Crackers dengan tepung
kepala ikan lele dumbo
Crackers
komersial
Gambar 7. Produk Crackers yang diteliti
Crackers kontrol merupakan jenis crackers dimana bahan bakunya
merupakan bahan-bahan yang umum digunakan untuk pembuatan crackers,
artinya tidak ada bahan khusus yang digunakan untuk memperkaya atau
meningkatkan kandungan zat gizi khususnya kalsium. Sebagian besar
kandungan kalsium pada crackers kontrol berasal dari susu skim dan tepung
terigu. Pada crackers kedua dilakukan pemanfaatan tepung kepala ikan lele
dumbo sebanyak 12,5 g. Crackers ini dipilih karena berdasarkan Ferazuma
(2009) tergolong ke dalam “tinggi” kalsium sehingga dapat dijadikan pangan yang
dapat berkontribusi terhadap kecukupan kalsium harian. Selain itu, crackers
tersebut merupakan crackers formulasi terbaik yang dipilih oleh 20 panelis
berdasarkan uji organoleptik hedonik dan mutu hedonik.
27 Crackers komersial high calcium original merupakan jenis crackers
komersial yang memiliki klaim “tinggi” kalsium. Selain itu, pemilihan crackers ini
didasarkan karena cukup dikenal masyarakat. Di pasaran, crackers ini terdiri atas
dua macam yaitu original, dan vegetable. Pada penelitian ini, yang dipilih adalah
yang original. Pemilihan tersebut atas pertimbangan bahwa jenis bahan baku
yang digunakan diharapkan menghasilkan karakteristik yang hampir sama
dengan kedua crackers lainnya sehingga ketiganya dapat dibandingkan.
Keberadaan serat pada crackers komersial high calcium vegetable juga dapat
mempengaruhi bioavailabilitas kalsium yang merupakan inti dari penelitian ini.
Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat
beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya
(Ink 1988).
Pada penelitian ini, crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala
ikan lele dumbo didapatkan dengan cara membuatnya sendiri, sedangkan
crackers komersial didapat dengan cara membeli. Metode yang digunakan dalam
pembuatan crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
adalah metode all in dough yaitu semua bahan dicampur sekaligus menjadi
adonan dan difermentasi bersama-sama. Proses pencampuran bahan-bahan
crackers bertujuan untuk membentuk adonan yang dikehendaki hingga tercapai
konsistensi adonan (Ferazuma 2009).
Semua bahan yang digunakan diaduk sampai kalis yaitu bersifat plastis
(dapat ditarik membentuk film tipis) tetapi tidak lengket dan tidak mudah sobek.
Manley (2000) menyatakan bahwa proses pengadukan adonan bertujuan untuk
memperoleh campuran adonan yang homogen. Menurut Ferazuma (2009),
waktu pengadukan yang dibutuhkan sampai kalis sekitar 30-35 menit. Setelah
adonan kalis dilakukan fermentasi selama satu jam. Boekhoet dan Robert (2003)
menjelaskan
bahwa
pada
saat
pencampuran
adonan,
jaringan
gluten
mengembang akibat reaksi oksidasi antara ragi dan tepung terigu. Selama
fermentasi terbentuk gas CO2 dan adonan menjadi lebih kenyal. Selain gas CO2,
fermentasi ragi juga menghasilkan etanol yang dapat memberikan aroma harum
pada saat adonan dipanggang.
Langkah selanjutnya setelah proses fermentasi dilakukan proses
pembuatan lembaran. Adonan ditekan dan dipipihkan dengan menggunakan
roller untuk memperoleh ketebalan lembaran adonan yang dikehendaki. Proses
tersebut dilakukan untuk memperoleh ketebalan yang sama, tidak terdapat
28 lubang, dan tepinya rata. Setelah pembuatan lembaran selesai dilakukan, proses
selanjutnya adalah pelipatan dan pemberian taburan campuran margarin, garam,
dan mentega. Pada penelitian ini, tahap tersebut dilakukan dengan cara melipat
lembaran sehingga setengah bagian lembaran menutupi setengah bagian
lembaran yang lain (Ferazuma 2009). Proses pembuatan lembaran dilakukan
lima kali dengan tingkat ketebalan yang diinginkan terus diturunkan mulai 7, 5,
sampai 3 mm. Sama halnya dengan pembuatan lembaran dan pelipatan,
pemberian taburan campuran margarin, garam, dan mentega juga dilakukan
sebanyak lima kali. Menurut Manley (2000), tahap ini dilakukan untuk
memperbaiki lembaran adonan yang kurang baik, memperoleh lembaran adonan
yang lebih seragam, dan membentuk konsistensi yang baik (mempengaruhi
struktur produk akhir). Lembaran adonan yang sudah tipis dan merata didiamkan
selama 5-10 menit sebelum dilakukan proses pencetakan. Tahap pengistirahatan
ini dilakukan untuk mengontrol bentuk crackers setelah dipanggang.
Setelah pengistirahatan, adonan kemudian dicetak dan dipanggang
dengan suhu yang digunakan sebesar 180ºC selama lima menit. Kemudian suhu
diturunkan menjadi 150ºC selama 10-15 menit. Menurut Manley (2000), selama
pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu pengembangan struktur
produk, penurunan kadar air 1%-5% dan perubahan warna pada permukaan
biskuit.
Keragaan Kadar Air, Protein, Fosfor, dan Total Kalsium Crackers
Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Selain itu,
kandungan air juga menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan
itu (Winarno 2008). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar zat gizi
dalam basis basah dan kering. Hasil analisis kadar air crackers dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis rata-rata kadar air (%) pada produk crackers
No
1
2
3
Ket:
Jenis Crackers
Kadar Air (% bb)*
Kontrol
2,57 ± 0,11a
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
2,94 ± 0,49a
Komersial
1,55 ± 0,31a
* Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), dan n=2
29 Berdasarkan tabel di atas, kadar air crackers (basis basah) berkisar
antara 1,55% sampai dengan 2,94%. Nilai tersebut sudah sesuai dengan SNI 012973-1992 yang menyatakan bahwa syarat kadar air biskuit adalah maksimal 5%
basis basah.
Jenis crackers tidak berpengaruh nyata terhadap kadar airnya (p>0,05).
Hal ini diduga disebabkan karena proses pemanggangan yang hampir sama.
Proses pemanggangan menyebabkan terjadinya penguapan air bebas dalam
bahan baku penyusun crackers. Nilai kadar air crackers dipengaruhi oleh suhu
dan lama waktu pemanggangan dalam oven. Selain itu, banyaknya air yang
ditambahkan ke dalam adonan dapat menyebabkan persamaan kadar air produk
tersebut. Ferazuma (2009) menyatakan bahwa biskuit dengan kadar air yang
terlalu tinggi menyebabkan tekstur biskuit kurang renyah.
Kadar Protein
Protein merupakan bagian dari semua sel hidup yang terbentuk dari
asam-asam amino dalam jumlah besar setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh.
Protein terdapat pada otot, tulang, kulit, dan jaringan lain serta cairan tubuh
berupa enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan
sebagainya. Protein berfungsi sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan zat pengatur (Almatsier 2006).
Pada penelitian ini, analisis kandungan protein bertujuan untuk
mendapatkan berat sampel setara 2 g protein yang akan digunakan untuk
analisis bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa
kadar rata-rata protein (basis basah) produk crackers berkisar antara 6,46%
sampai dengan 11,10%, sedangkan dalam basis kering, kadar protein crackers
berkisar antara 6,64% sampai dengan 11,41%.
Tabel 7 Hasil analisis rata-rata kandungan protein (%) pada produk crackers
No
1
2
3
Ket
Kadar Protein**
(% basis basah) (% basis kering)*
Kontrol
8,99 ± 0,07
9,24 ± 0,07b
Dengan tepung kepala ikan lele dumbo
11,10 ± 0,25
11,41 ± 0,25a
Komersial
6,46 ± 0,44
6,64 ± 0,45c
: * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
** n=2
Jenis Crackers
Secara nyata kandungan protein tertinggi terdapat pada produk crackers
dengan tepung kepala ikan lele dumbo dan yang terendah adalah crackers
komersial (p<0,05). Jika dibandingkan dengan SNI 01-2973-1992 yang
30 mensyaratkan kandungan protein crackers minimum 9% basis basah, hanya
crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo yang memenuhi syarat tersebut.
Berdasarkan label kemasan, crackers komersial memiliki kadar protein 15%.
Perbedaan kadar protein hasil analisis dan informasi label kemasan diduga
disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam pegukuran kadar
protein crackers.
Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis produk crackers
sangat berpengaruh terhadap kandungan protein crackers tersebut (p<0,05).
Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 9a) dapat dilihat bahwa kandungan protein
crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo lebih tinggi dari kedua jenis
crackers lainnya. Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan.
Setiap bahan baku yang digunakan memiliki kandungan zat gizi yang berbedabeda. Tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan dalam pembuatan
crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kandungan protein
yang tinggi yaitu 51,15% (bb) sehingga diduga mempengaruhi kandungan protein
crackers yang dihasilkan. Persen kontribusi protein dalam satu takaran saji (44 g)
crackers kontrol, crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan crackers
komersial terhadap kecukupan protein (60 g) berturut-turut adalah
6,59%,
8,14%, dan 4,73%. Berdasarkan kontribusi tersebut, ketiga crackers bukan
merupakan sumber protein.
Kandungan Fosfor
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah
kalsium. Dalam tubuh fosfor mempunyai peran struktural dan fungsional. Secara
struktural sebagian besar (85%) fosfor bersama-sama kalsium berada dalam
tulang rangka dan gigi (Soekatri & Kartono 2004), sedangkan secara fungsional
fosfor berperan untuk: (1) mengatur pelepasan energi selama pembakaran atau
oksidasi hidrat arang, lemak, dan protein (2) fosforilasi monosakarida dan lemak
untuk memfasilitasi jalan ke sel membran, (3) penyerapan dan transportasi zat
gizi, (4) mengatur keseimbangan asam basa, dan (5) merupakan bagian DNA
dan RNA (Linder 2006).
Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis
kandungan fosfor dalam produk crackers adalah metode vanadat-molibdat. Hasil
pengabuan basah crackers setelah direaksikan dengan pereaksi vanadatmolibdat kemudian dibaca serapannya dengan menggunakan Spektrofotometer
pada panjang gelombang (λ) 400 nm. Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan
31 bahwa kandungan fosfor produk crackers berkisar antara 78,79 sampai dengan
152,21 mg/100g (basis basah) atau 80,99 sampai dengan 156,48 mg/100 g
(basis kering).
Tabel 8 Hasil analisis rata-rata kadar fosfor (mg/100g) pada produk crackers
No
Jenis Crackers
1
2
Kadar Fosfor**
(mg/100g basis kering)*
(mg/100g basis basah)
78,79 ± 5,67
81,00 ± 5,83a
104,21 ± 6,98
107,13 ± 7,17a
Kontrol
Dengan tepung kepala
ikan lele dumbo
3 Komersial
152,21 ± 13,48
156,48 ± 13,86b
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
** n = 2
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 8) diketahui bahwa jenis
crackers berpengaruh nyata terhadap kandungan fosfornya (p<0,05). Hasil uji
lanjut (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa kandungan fosfor crackers komersial
lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05). Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan bahan baku crackers tersebut. Menurut Ferazuma
(2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala ikan lele dumbo, maka
semakin tinggi kadar fosfor crackers. Sementara itu, kandungan fosfor crackers
formulasi tidak berbeda nyata dengan crackers konvensional. Satu takaran saji
(44 g) crackers kontrol, dengan tepung kepala ikan lele dumbo, dan komersial
dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kecukupan fosfor (600 mg)
berturut-turut sebesar 3,47%, 4,59%, dan 6,70%. Berdasarkan kontribusi
tersebut, ketiga crackers bukan merupakan sumber fosfor. Kondisi ini cukup baik
bagi penyerapan kalsium.
Total Kalsium
Kalsium terkandung dalam tubuh kita dalam jumlah lebih banyak dari
mineral lainnya. Diperkirakan 1,5% sampai 2% berat badan orang dewasa dan
39% dari total mineral tubuh. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada
jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam darah
dan cairan ekstraseluler (Anderson 2004).
Total kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam suatu
bahan pangan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui total kalsium pada
penelitian ini adalah analisis total kalsium metode AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometric). Sampel hasil pengabuan basah dibaca serapannya pada
32 panjang gelombang (λ) 422,7 nm. Tabel 9 menyajikan hasil analisis total kalsium
produk crackers
Tabel 9 Hasil analisis rata-rata total kalsium (mg/100g) pada crackers
No
Jenis Crackers
1
2
Total Kalsium**
(mg/100g basis basah)
(mg/100g basis kering)
86,28 ± 4,34
88,70 ± 4,46a
552,79 ± 9,83
568,29 ± 10,11b
Kontrol
Dengan tepung kepala
ikan lele dumbo
3 Komersial
1210,04 ± 6,37
1243,97 ± 6,55c
Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
** n=2
Berdasarkan Tabel 9, total kalsium produk crackers berkisar antara 86,29
sampai dengan 1210,04 mg/100g (basis basah) atau 88,70 sampai dengan
1243,9719 mg/100 g (basis kering). Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan
bahwa jenis crackers berpengaruh nyata terhadap total kalsium (p<0,05).
Kemudian, berdasarkan hasil uji lanjut (Lampiran 9c) diketahui bahwa total
kalsium ketiga crackers berbeda nyata satu sama lain.
Sama halnya dengan kandungan fosfor, perbedaan yang signifikan dari
total kalsium crackers disebabkan karena adanya perbedaan bahan baku
crackers tersebut. Total kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele
dumbo lebih tinggi secara nyata daripada crackers kontrol (p<0,05) disebabkan
karena adanya penambahan tepung kepala ikan lele dumbo pada crackers
tersebut. Menurut Ferazuma (2009), semakin tinggi penambahan tepung kepala
ikan lele dumbo, maka semakin tinggi kadar kalsium dan fosfor crackers.
Sementara itu, tingginya total kalsium dalam crackers komersial disebabkan
adanya penambahan kalsium karbonat. Hal ini sesuai dengan keterangan yang
tercantum pada kemasan bahwa penambahan kalsium karbonat bertujuan untuk
memperkaya kalsium pada crackers komersial..
Perbedaan total kalsium dalam crackers tentu saja akan menyebabkan
perbedaan kontribusinya terhadap kecukupan kalsium harian. Tabel di bawah ini
menunjukkan kontribusi total kalsium yang terkandung dalam crackers per
takaran saji (44 g) terhadap pemenuhan kalsium harian. Berdasarkan Tabel 10,
kontribusi total kalsium crackers per takaran saji terhadap AKG kalsium dengan
pendekatan ALG umum kalsium tahun 2007 berkisar antara 4,75% sampai
66,55%.
33 Tabel 10 Persentase kontribusi total kalsium crackers terhadap kecukupan
kalsium berdasarkan ALG umum (2007)
No
Jenis Crackers
1
Kandungan kalsium
per takaran saji
(mg/44 g)
37.96
Kontrol
Dengan tepung kepala ikan lele
2
243.23
dumbo
3
Komersial
532.42
Keterangan : ALG kalsium umum = 800 mg/hari
Kontribusi
kalsium (%)
4.75
30.40
66.55
Menurut Karmini dan Briawan (2004), suatu produk pangan dikategorikan
sumber yang baik dari suatu zat gizi apabila dalam takaran saji produk tersebut
dapat menyediakan 10% sampai 19% dari Angka Label Gizi (ALG) serta
dikatakan tinggi apabila kontribusinya terhadap ALG lebih besar atau sama
dengan 20%. Berdasarkan kategori tersebut, crackers dengan tepung kepala
ikan lele dumbo dan crackers komersial dikategorikan tinggi kalsium, sedangkan
crackers kontrol dikategorikan rendah kalsium. Hasil ini menjadi bukti bahwa
kalim gizi yang terdapat dari ketiga jenis crackers adalah benar.
Bioavailabilitas Kalsium dan Total Kalsium Tersedia Produk Crackers
Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) kalsium
Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia
untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi
(Miller 1996). Total kalsium yang tinggi dalam suatu produk belum menjamin
jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh yang tinggi pula sehingga pengetahuan
akan bioavailabilitasnya sangatlah penting. Bioavailabilitas kalsium dianalisis
dengan menggunakan metode in vitro yang merupakan simulasi dari sistem
pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal (Roig et al. 1999). Pengujian
bioavailabilitas secara in vitro hanya menunjukkan jumlah kalsium yang dapat
diserap dan tidak sampai tahap utility (penggunaan) karena metode ini
merupakan simulasi dari keadaan sistem pencernaan di lambung dan usus halus
saja, tidak sampai peredaran darah (Rajagukguk 2004). Pengujian ini dilakukan
melalui teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Bisswanger (2008)
menjelaskan bahwa prinsip teknik dialisis yaitu memisahkan makromolekul
terlarut
dari
larutan
terluarnya
melalui
membran
semipermeabel
yang
memungkinkan terjadinya difusi senyawa yang memiliki berat molekul yang
34 rendah, tetapi bukan makromolekulnya. Sementara itu, kantung dialisis dimana
proses dialisis berlangsung disimulasikan sebagai usus halus.
Kantung(a)
dialisis
(a)
(b)
Gambar 8 Tahap persiapan inkubasi: Gelas piala berisis kantung dialisis dalam
larutan buffer NaHCO3 (a) dan tabung shaker berisi kantung dialisis
dalam suspensi sampel (b)
Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan
terbebas dari ikatan garamnya. Gropper et al. (2005) menyatakan bahwa kalsium
dalam pangan dan suplemen berada dalam bentuk garam yang relatif tidak larut,
sedangkan kalsium hanya diabsorpsi dalam bentuk terionisasi (Ca2+) sehingga
agar dapat diserap kalsium harus dilepaskan dari bentuk garamnya. Kalsium
dalam lambung dapat larut dari berbagai garam kalsium sekitar satu jam pada
kondisi pH asam. Hasil penelitian Kaya et al. (2007) memperlihatkan bahwa
solubilitas (kelarutan) kalsium biskuit terbaik dihasilkan pada pH 2. Kalsium
bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk terlarut (soluble)
(Miller 1996). Selain itu, pada pH tersebut sejumlah enzim-enzim pencernaan
dapat aktif.
Di samping pada pH 2, berdasarkan deskripsi produk, pepsin aktif pada
suhu 370C. Hal ini sejalan dengan Bisswanger (2008) yang menyatakan bahwa
sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis (37oC). Kondisi selama inkubasi
merupakan simulasi dari kondisi tubuh saat pencernaan gastrointestinal terjadi
(Puspita 2003). Sementara itu, penambahan enzim pepsin dan pancreatin bile
berperan dalam pemecahan protein sehingga kalsium dapat lepas dari bentuk
ikatan kalsium-protein yang terdapat pada crackers (Roig et al. 1999).
Berdasarkan Linder (2006), pemecahan protein dimulai dari lambung (denaturasi
dengan HCl dan proteolitis dari pepsin). Pencernaan yang lebih banyak
selanjutnya terjadi di bagian usus halus, dibantu oleh berbagai ekso dan
35 endopeptidase dalam pankreas dan cairan intestinal. Enzim pankreatin bile yang
digunakan memberikan aksi yang optimal pada pH 5 (Kamchan 2003). Gambar 9 Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air
bergoyang (shaker water bath)
Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium
crackers berkisar antara 8,00% sampai dengan 17,40% basis basah.
Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 8), bioavailabilitas kalsium ketiga jenis
crackers tersebut sangat dipengaruhi jenis crackersnya (p<0,05). Kemudian uji
lanjut (Lampiran 9d) menunjukkan bahwa ketiga jenis crackers tersebut berbeda
secara nyata satu sama lainnya. Crackers kontrol memiliki bioavailabilitas
kalsium yang lebih tinggi secara nyata dibandingkan jenis crackers lainnya
(p<0,05). Kamchan (2003) mengelompokan bioavailabilitas kalsium menjadi tiga
yaitu tinggi (≥20%), sedang (10% – 19%), dan rendah (≤10%). Berdasarkan
pengelompokkan tersebut, crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala
ikan lele dumbo memiliki bioavailabilitas kalsium yang termasuk sedang,
sedangkan crackers komersial memiliki bioavailabilitas yang rendah. Crackers
dengan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dijadikan contoh produk turunan
yang baik dari tepung tulang ikan. Hal ini didasari karena bioavailabilitasnya yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioavailabilitas tepung tulang ikan tuna
yang hanya memiliki bioavailabilitas kalsium sebesar 0,86% (Trilaksani et al.
2006). Pemanfaatan tepung tulang ikan menjadi produk siap saji diharapkan
dapat mengoptimalkan penyerapan kalsiumnya karena pada pembuatan produk
seperti crackers, dapat ditambahkan bahan baku lain yang dapat mempertinggi
bioavailabilitasnya. Pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium
crackers disajikan pada Gambar 9.
36 Gambar 10 Pengaruh jenis crackers terhadap bioavailabilitas kalsium (%)
Crackers kontrol dan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo
memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
bioavailabilitas sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69%
sampai dengan 8,76% (Safitri 2003), bioavailabilitas susu bubuk komersial high
calcium yang berkisar antara 6,40% sampai dengan 9,60% (Puspita 2003),
bioavailabilitas biji-bijian yaitu 3,50% sampai dengan 4,20% (Kamchan 2003),
dan bioavailabilitas crackers dengan penambahan udang rebon kering
yang
berkisar 2,85 sampai dengan 5,17% (Sijabat 2003). Sebaliknya, secara umum
bioavailabilitas kalsium ketiga jenis crackers sebagian besar lebih rendah jika
dibandingkan dengan bioavailabilitas produk sereal sarapan yang berkisar antara
2,69% sampai dengan 33,46% (Rajagukguk 2004).
Lebih tingginya bioavailbilitas kalsium pada ketiga crackers daripada
bioavailbilitas pada sayuran hijau dan hasil olahannya serta biji-bijian diduga
karena adanya kandungan serat, fitat, dan atau oksalat yang dapat menghambat
penyerapan kalsium. Kamchan (2003) menyatakan bahwa dari ketiga komponen
tumbuhan
tersebut,
fitat
memiliki
korelasi
yang
paling
kuat
terhadap
penghambatan penyerapan kalsium pada pangan berbasis tumbuhan khususnya
pada biji-jian. Mekanisme penghambatan fitat, oksalat, dan beberapa jenis serat
seperti hemiselulosa yaitu dengan mengikat kalsium sehingga keberadaannya
menjadi kompleks kalium yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh
tubuh kemudian dikeluarkan melalui feses.
37 Pengolahan pangan seperti perebusan dapat dilakukan untuk mengurangi
penghambatan penyerapan kalsium oleh komponen tumbuhan. Safitri (2003)
menjelaskan bahwa bioavailabilitas pada sayuran seperti bayam, daun singkong,
daun katuk meningkat setelah mengalami proses perebusan. Hal ini disebabkan
karena perebusan menyebabkan rusaknya dinding sel sehingga kalsium dapat
larut dalam air. Perebusan juga merusak oksalat sehingga kalsium terdapat
dalam bentuk bebas dari oksalat yang kemudian absorpsinya menjadi lebih
tinggi.
Sementara itu, penambahan susu pada saat mengkonsumsi sereal
sarapan dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Hal ini
diduga disebabkan karena kandungan laktosa dalam susu yang ditambahkan.
Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang
memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan
menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal
(Allen 1982). Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
bioavailabilitas kalsium crackers melalui peningkatan jumlah susu skim dalam
bahan baku atau konsumsi bersamaan antara crackers dengan susu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu
faktor pendorong maupun faktor penghambat. Guthrie (1975) menyatakan bahwa
faktor-faktor pendorong bioavailabilitas kalsium antara lain vitamin D yang cukup,
keasamam dari massa yang dicerna, laktosa, rasio kalsium fosfor, asam amino
lisin, stabilitas emosional, dan kebutuhan tubuh akan kalsium, sedangkan faktorfaktor penghambatnya antara lain asam oksalat, asam fitat, peningkatan motilitas
gastrointestinal, asam lemak rantai panjang, dan kurangnya olahraga. Namun,
pada penelitian ini yang diamati hanya pengaruh total kalsium, fosfor, dan
protein.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson (Lampiran 10) total kalsium dan
fosfor crackers memiliki korelasi negatif terhadap bioavailabilitas kalsium yang
sangat signifikan (p<0,05), sedangkan kadar protein crackers tidak berkorelasi
secara signifikan (p>0,05) terhadap bioavailabilitas kalsium crackers. Hal ini
memiliki
arti
bahwa
semakin
tinggi
kadar
kalsium
atau
fosfor
maka
bioavailabilitas kalsium crackers semakin rendah. Sementara itu, kadar protein
crackers tidak mempengaruhi bioavailabilitas kalsium pada crackers.
Korelasi
negatif
antara
kandungan
kalsium
crackers
dengan
bioavailabilitasnya sejalan dengan penelitian Lewis et al. (1989) yang
38 menyatakan bahwa terdapat indikasi adanya penurunan proporsi kalsium dari
makanan yang diserap oleh usus pada intik kalsium yang tinggi. Hal tersebut
dibuktikan dengan peningkatan ekskresi kalsium pada feses saat intik kalsium
tinggi (1600 mg/hr) dibandingkan ketika intik kalsium sedang (700 mg/hr).
Kalsium pada feses terdiri atas kalsium yang tidak terabsorpsi dan kalsium
(dalam jumlah kecil) yang disekresikan ke dalam saluran gastrointestinal. Weaver
dan Heaney (2008) menyatakan bahwa fraksi kalsium yang diserap umumnya
bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan intiknya. Nilai penyerapan
kalsium akan meningkat sejalan dengan penurunan level kalsium yang dalam hal
ini dianggap sama dengan asupan kalsium (Trilaksani et al. 2006).
Berbeda dengan total kalsium, korelasi negatif kandungan fosfor terhadap
bioavailabilitas kalsium dikarenakan kedua mineral tersebut berkompetisi dalam
hal penyerapannya di usus. Selain itu, Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap
absorpsi
kalsium
terjadi
melalui
dua
jalan
yaitu
1)
secara
langsung
mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet yaitu
pembentukan komplek kalsium fosfat yang relatif tak larut, dan 2) secara tidak
langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau
kelebihan fosfor. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976
menunjukan bahwa defisiensi fosfor meningkatkan produksi 1,25-(OH)2-vit D3
yang kemudian akan meningkatkan absorpsi kalsium begitu pula sebaliknya
(Allen 1982).
Absorpsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, (a) transelular; melalui
transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D9k, dan (b)
paraselular; melalui difusi pasif kalsium (Weaver & Heaney 2008). Kedua jalur
tersebut melibatkan protein dengan mekanisme yang berbeda. Calcitriol
mempengaruhi penyerapan kalsium dengan menstimulasi protein pengikat
kalsium (Calbindin) (Gropper et al. 2005). Satu molekul calbindin mengikat dua
atau lebih ion kalsium (Anderson 2004). Kemudian penyerapan kalsium terjadi
melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan
intaseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral. (Gropper et al. 2005).
Sementara itu, pada difusi pasif, konsentrasi makromolekul seperti protein
berperan dalam menimbulkan perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar
sehingga ion kalsium dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Bisswanger
2008). Winarno (2008) menyebutkan bahwa berat molekul protein sangat besar
sehingga bila dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal.
39 Protein tulang ikan sebagian besar terdiri atas protein kolagen dengan
asam amino penyusun utamanya adalah prolin, glisin dan alanin. Dalam kondisi
alami protein fibriler atau skleroprotein ini sulit untuk dicerna oleh enzim pepsin
dan pankreatin. Kolagen bersifat tidak larut dalam pelarut encer seperti air,
larutan garam, asam, basa maupun alkohol, tetapi bila dipanaskan akan berubah
menjadi gelatin yang larut air (Winarno 1997). Kondisi ini diduga mempengaruhi
bioavailabilitas kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo.
Sifat kolagen yang sulit dicerna oleh pepsin dan pankreatin dapat menyebabkan
kalsium tidak terlepas dari ikatannya dengan protein sehingga kalsium tidak
terdapat dalam keadaan bebas dan tidak dapat berdifusi ke dalam kantung
dialisis. Namun di sisi lain, keberadaan protein kolagen yang tidak tercerna juga
dapat mendorong kalsium berdifusi ke dalam kantung dialisis. Damodaran (1996)
menyebutkan bahwa protein memiliki berat molekul berkisar antara 20.000
sampai 100.000 dalton sementara itu, kantung dialisis yang digunakan hanya
bisa dilewati oleh molekul dengan berat molekul maksimal 8000 dalton. Molekul
protein tidak dapat melalui membran semipermeabel, tetapi masih dapat
menimbulkan tegangan pada membran tersebut (Winarno 2008).
Peran positif protein pada kedua jalur penyerapan kalsium dapat
menunjukkan bahwa peningkatan protein memberikan pengaruh yang baik bagi
penyerapan kalsium dalam tubuh. Namun, di sisi lain intik protein yang
berlebihan juga tidak dianjurkan karena hasil penelitian Heaney (2002)
menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi
kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut
Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Allen (1982)
menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena reabsorpsi kalsium di ginjal
menurun karena peningkatan glomerolus filtration rate (GFR). Kedua pernyataan
tersebut sejalan dengan penelitian ini dimana kandungan protein dalam crackers
tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi penyerapan kalsium. Heaney
(2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap
tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat
antagonis jika asupan kalsium rendah.
Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral walaupun
kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral (Apriyantono et al. 1989).
Kadar abu cenderung meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan
tepung kepala ikan lele dumbo. Kadar abu biskuit maksimum menurut SNI
40 adalah 2% (bb). Kadar abu crackers dengan kepala ikan lele dumbo (3,95% bb)
berada di atas persyaratan kadar abu biskuit SNI juga lebih tinggi dari crackers
kontrol (2,65% bb) (Ferazuma 2009). Tepung kepala ikan lele dumbo tidak hanya
terbuat dari tulang kepala namun, masih terdapat jaringan lainnya seperti kulit
dan daging sehingga bukan tidak mungkin kadar abu yang tinggi juga
mencerminkan kadar mineral lain selain fosfor dan kalsium yang tinggi pula.
Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen
(bervalensi 2) seperti magnesium, seng, dan besi dapat mengurangi absorpsi
kalsium ketika mineral tersebut berada dalam keadaan berlebih dalam saluran
pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal
penyerapannya di usus. Etcheverry et al. (2004) menjelaskan bahwa afinitas
mineral-mineral tersebut untuk membentuk kompleks mineral lebih tinggi jika
dibandingkan dengan afinitas mineral dengan reseptor pada sel usus. Hal ini
menyebabkan kegagalan transfer kalsium ke dalam sel serta kegagalan aksi
enzim proteolitis untuk melepaskan kalsium menjadi ion bebas. Pengaruh kation
divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak
bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium
(Gropper et al. 2005). Keadaan ini diduga menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan bioavailabilitas kalsium pada crackers dengan tepung kepala ikan
lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan crackers kontrol, terlebih
Etcheverry et al. (2004) menyatakan bahwa korelasi kandungan kalsium, seng
dan besi pada susu komersial memiliki korelasi yang lemah terhadap
bioavailabilitas mineral-mineral tersebut.
Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan variasi dalam bioavailabilitas
kalsium yaitu bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk
(Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk
kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium
karbonat, kalsium asetat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat.
Namun, kalsium karbonat lebih banyak digunakan karena relatif murah dan
memiliki ukuran molekul yang kecil. Crackers komersial yang diperkaya kalsium
karbonat memiliki bioavailabilitas kalsium yang lebih rendah dibandingkan
dengan kedua crackers lainnya. Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada
suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam
jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga
rendah (5,5%). Berdasarkan Lewis et al. (1989) absorpsi kalsium susu lebih
41 tinggi daripada absorpsi kalsium karbonat. Baker (1991) menambahkan bahwa
kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium
fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi. Hal
tersebut diduga mendukung hasil yang menunjukkan bahwa bioavailabilitas
kalsium crackers kontrol lebih tinggi dibandingkan kedua jenis crackers lainnya.
Perbedaan bioavailabilitas kalsum menyebabkan informasi mengenai jenis
kalsium yang digunakan untuk memperkaya kalsium dalam suatu bahan
makanan menjadi penting.
Total Kalsium Tersedia
Fraksi kalsium yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan
berkebalikan dengan intiknya, tetapi kuantitas absolut dari kalsium yang
diabsorpsi meningkat seiring dengan peningkatan intiknya (Weaver & Heaney
2008). Total kalsium tersedia menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap
oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total kalsium dan bioavailabilitasnya. Jika di
dalam suatu bahan pangan mengandung total kalsium yang tinggi namun
bioavailabilitasnya rendah maka total kalsium tersedianya pun menjadi rendah
dan sebaliknya. Total kalsium tersedia dihitung dengan cara mengalikan total
kalsium crackers dengan persen bioavailabilitasnya. Total kalsium tersedia dari
produk crackers disajikan dalam Tabel 11 berikut:
Tabel 11 Hasil analisis rata-rata total kalsium tersedia pada crackers
Kalsium tersedia
No
Jenis
crackers
1
Kontrol
2
Dengan
tepung
kepala ikan
lele dumbo
3
Komersial
Total
kalsium
(mg/100g
bb) (A)
%Bioavailab
ilitas
kalsium* (B)
86,28 ± 4,34
Harga per
mg kalsium
tersedia per
takaran saji
(Rp)
mg per
100 g*
(C)
mg per
takaran
saji (44 g)*
(D)
17,40 ± 0,23a
15,01a
6,60a
-
552,79 ±
9,83
14,53 ± 0,44b
80,30b
35,33b
48,09
1210,04 ±
6,37
8,00 ± 0,36c
96,79c
42,59c
50,37
Ket: * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
** C = B x A dan D = 44/100 X C
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa total kalsium yang tersedia
pada crackers berkisar antara 15,03 mg/100g sampai dengan 96,83 mg/100g.
42 Total kalsium tersedia dipengaruhi oleh jenis crackers (p<0,05). Ketiga jenis
crackers memiliki total kalsium tersedia yang berbeda nyata satu sama lain
(Lampiran 10). Crackers komersial secara nyata memiliki total kalsium tersedia
paling tinggi, sedangkan total kalsium tersedia paling rendah terdapat pada
crackers kontrol (p<0,05). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka
disajikan pula total kalsium tersedia dalam 44 gram (per takaran saji) dari ketiga
jenis crackers. Satu takaran saji sebanyak 44 gram untuk crackers kontrol dan
dengan tepung kepala ikan lele dumbo setara dengan 11 keping, sedangkan
untuk crackers komersial satu takaran saji setara dengan 6 keping crackers.
Konsumsi satu takaran saji crackers memberikan total kalsium tersedia berkisar
antara 6,61 mg sampai dengan 42,60 mg.
Total kalsium tersedia pada konsumsi satu takaran saji crackers dengan
tepung kepala ikan lele dumbo dan komersial lebih tinggi dibandingkan dengan
sayuran hijau dan olahannya yaitu sebesar 0,24 sampai dengan 9,04 mg/100g
(Safitri 2003), biji-bijian sebesar 2,90 sampai dengan 7,10 mg/100g (Kamchan
2003), dan crackers dengan penambahan udang rebon yaitu 10,03 sampai
dengan 16,47 mg/100g (Sijabat 2003), namun lebih rendah jika dibandingkan
dengan konsumsi produk sereal sarapan komersial yang ditambah susu sebesar
109,30 sampai dengan 243,10 mg/30g (Rajagukguk 2004) maupun produk susu
bubuk komersial high calcium yaitu 92,36 sampai dengan 226,37 mg/100g
(Puspita 2003).
Harga skala industri dari satu takaran saji (44 g) crackers dengan tepung
kepala ikan lele dumbo adalah Rp 1 699,28 (Ferazuma 2009), sedangkan di
pasaran crackers komersial high calcium original kemasan 80 g dijual dengan
harga Rp 3 899,99 atau setara dengan Rp 2 144,99 per 44 g. Jika perhitungan
harga per mg kalsium didasarkan pada total kalsium crackers, crackers komersial
akan miliki harga lebih murah (Rp 4,34) dibandingkan crackers dengan tepung
kepala ikan lele dumbo (Rp 7,10). Namun, dengan mempertimbangkan
bioavailabilitasnya, harga per mg kalsium yang dihitung berdasarkan total
kalsium tersedia menghasilkan harga per mg kalsium yang lebih murah (Rp
48,09) pada crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo dibadingkan pada
crackers
komersial
(Rp
50,37).
Oleh
karena
itu,
informasi
mengenai
biioavailabilitas kalsium menjadi dasar pertimbangan yang penting bagi
konsumen dalam memutuskan crackers mana yang bisa dipilih dalam
pemenuhan kebutuhan kalsium baik dari aspek gizi maupun ekonomi.
Download