BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta. a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain. Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan pemilihan kepala daerah. Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat oleh kasultanan. Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan pengaturan tanahnya sendiri. Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya “Keputusan Presiden No. 33 Tahun 59 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY” dan “Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY”. Sebelum berlakunya UUPA DIY memiliki peraturan-peraturan agrarianya sendiri untuk mengatur pertanahan. Tetapi peraturan-peraturan itu telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DIY No.3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Peraturan-peraturan agraria yang dahulu digunakan untuk mengatur urusan pertanahan di DIY sebelum berlakunya UUPA adalah: a. Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1918 Nomor 18. b. Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1. c. Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 Nomor 25. d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo. Undang-Undang No.19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 1955. e. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. f. Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. g. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol beziterecht). 60 h. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individucol beziterecht). i. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan Hak Milik. j. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. k. Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951. l. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. m. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. n. Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. Isi pengaturan dari beberapa peraturan pertanahan yang dahulu digunakan di DIY sebelum berlakunya UUPA tersebut antara lain, adalah:1 a. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit penambahan dan perubahan tentang yaitu: 1 Blog: Tri Widodo H Utomo, Hukum Pertanahan Di Yogyakarta Sebelum dan Sesudah 1984, Senin 3 Mei 2010. 61 1. Istilah, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht. 2. Ketentuan bahwa "semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan inlandsbezits-recht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa "semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak termasuk wilayah kalurahan diberikan dengan hak andarbe kepada orang yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe itu" (pasal 1 Rijksblad baru). 3. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang melarang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen Yogyakarta (pasal 2). 4. Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah (pasal 6). b. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 1955, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang/hal, salah satunya bidang hukum pertanahan. c. Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengatur: 62 1. Hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan setempat (beschikkingsrecht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Peningkatan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempunyai tanda hak milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal (Pasal 4). 3. Dengan pengesahan Pemerintah Pemerintah kabupaten, kalurahan berwenang mengadakan peraturan tentang pembatasan luas tanah yang dapat dimiliki seseorang atau peraturan tentang peralihan hak yang bersifat sementara (Pasal 5). Sedang Pasal 6 menyatakan bahwa kalurahan sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah yang disebut tanah desa. Tanah desa ini dipergunakan sebagai tanah lungguh, tanah pension, untuk kepentingan umum serta untuk kas desa sendiri. 4. Perihal peralihan hak atas tanah maka (Pasal 8) tidak diperkenankan dan menurut hukum tidak sah (van rechtswegenietig), perbuatan-perbuatan: - Peralihan hak atas tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) langsung atau tidak langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia. - Mengadakan perjanjian-perjanjian yang bermaksud menyewakan atau memberikan kesempatan untuk mempergunakan tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) untuk perusahaan pertanian kecil langsung atau tidak langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia. d. Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah sebagai diatur dalam Perda No. 5 Tahun 1984, dikeluarkanlah Perda No. 12 Tahun 1954. Pasal 1 mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun 63 temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY. Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut biaya oelh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5’- dan sebanyak-banyaknya Rp. 75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (Pasal 2), dan sebelum tanda hak milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik sementara menurut model E (Pasal 6). e. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 184/KPTS/1980. Keputusan Gubernur ini mengatur perihal : adanya perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda no. 12 Tahun 1954 diubah sebagai berikut : 1. Pasal 2 yang mengatur mengenai biaya untuk mendapatkan tanda hak milik model D, Keputusan Gubernur menetapkan biaya antara Rp. 2500,s/d Rp. 10.000,- tergantung luas dan jenis tanah. 2. Pasal 6 dan penjelasannya yang pada pokoknya menetapkan untuk sementara bahwa berlaku model E (tanda hak milik sementara), peraturan yang baru mewajibkan kepada mereka yang masih memiliki tanda hak milik model E segera menggantinya dengan tanda hak milik model D. 3. Lampiran V yang menetapkan bentuk formulir D. f. Kemudian dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 1954 yang mengatur tentang prosedur peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah. Perda No. 11 Tahun 1954 ini menentukan bahwa: 1. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus oleh Dewan Pemerintah Daerah Kalurahan, kemudian dikirim ke Kapanewon dan setelah diberi pertimbangan atau diketahui Panewu diteruskan ke Kabupaten untuk disahkan (Pasal 1). 64 2. Apabila peralihan hak diatas mengandung suatu perkara, maka dalam tindakan pertama diputuskan oleh DPRD Kalurahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan Pleno, kemudian dikirim ke Kapanewon untuk dipertimbangkan atau diketahui oleh Panewu, kemudian diteruskan ke DPD kabupaten untuk dipertimbangkan, dan diteruskan lagi kepada Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberikan keputusan. Dalam hal ini Dewan Pemerintah DIY dapat menyerahkan kekuasaannya kepada Jawatan Agraria DIY (Pasal 2). 3. Untuk keperluan peralihan hak milik atas tanah, Kalurahan diberi kekuasaan memunggut biaya administrasi sebesar Rp. 5,- dan pulasi setinggi-tingginya 5 % dari harga tanah, kecuali peralihan hak yang bersifat warisan dibebaskan dari biaya pulasi (Pasal 4). 4. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah yang menyimpang dari peraturan ini, menurut hukum tidak sah dan akan dikenakan hukuman paling lama selama satu bulan atau denda paling banyak Rp. 100,- barang siapa: - Berhak menerima peralihan didalam urusan warisan. - Memberikan atau menerima hak selain warisan, didalam hal peralihan hak milik perseorangan turun temurun yang menyimpang dari peraturan ini, dan satu bulan setelah diperingatkan oleh Lurah Desa, masih juga belum menepati peraturan. g. Perda No. 10 tahun 1954 tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peralihan hak seperti ini dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan bersama DPR kalurahan, bila peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR, kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis 65 Desa dan Pamong Kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi desa mempunyai wewenang yang sama besar dalam masalah pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. Pada saat itu PPAT hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak barat. h. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang warga negara Indonesia non Pribumi , dengan ini diminta: apabila ada seorang warga negara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak. i. Bahwa sesuai pernyataan Pemerintah Daerah DIY untuk memberlakukan UUPA secara penuh di DIY agar dalam pelaksanaannya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, maka perlu dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. yang mengatakan: UUPA dan peraturan pelaksananya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah propinsi DIY. j. Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY, yang mengatur: 1. Pengurusan agraria yang semula (sebelum berlaku UUPA di DIY) berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi (setelah berlakunya UUPA di DIY). 66 2. Demi adanya keseragaman kesatuan dan kepastian hukum maka perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukan Rijksblad-Rijksblad, peraturanperaturan daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang keagrariaan di Propinsi DIY sehingga hanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya yang berlaku di DIY. 3. Dengan berlakunya UUPA di DIY, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan kewenangan otonomi DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain: - Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1918 Nomor 18. - Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1. - Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 Nomor 25. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. - Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol beziterecht). 67 - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individucol beziterecht). - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan Hak Milik. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. - Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951. b. Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa. Meskipun kenyataannya di DIY telah mencabut peraturan-peraturan pertanahan yang digunakan sebelum UUPA dan telah memberlakukan UUPA sepenuhnya sejak tahun 1984 berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984. Tetapi sampai saat ini “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal: Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi” tidak ikut dicabut, dan masih berlaku di DIY. Isi aturan dari Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 tersebut berbunyi: Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogytakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta : Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah 68 Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak. Dampak dari masih diberlakukannya aturan penyeragaman policy hak atas tanah kepada WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, berdampak semua WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY yang ingin membeli atau memiliki tanah dengan hak milik tidak diperbolehkan. Biasanya bagi mereka WNI keturunan Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah saja. Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) yang lebih tinggi dari pada golongan pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah dengan hak milik oleh golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan "petani-petani berdasi", sedang rakyat kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil. 2 Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia. Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris / PPAT, Dosen Pengajar Hukum Agraria. Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan 2 Ibid. 69 penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Beberapa dari nara sumber tersebut yaitu, meliputi: 1. Bpk Suhartono.3 Beliau adalah petugas kantor BPN DIY yang jabatannya adalah sebagai KASI PENDAFTARAN, PERALIHAN, PEMBEBANAN HAK & PPAT. Beliau membenarkan adanya aturan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi. Dasar munculnya larangan aturan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut sangatlah politis. Tetapi tidak jelaskan secara mendalam terkait dengan dasar alasan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Karena mungkin karena kesejarahan tanah di DIY adalah tanah Kraton, atau mungkin karena policynya (kebijakan) Gubernur atau Pemerintah Daerah pada jaman dulu adalah semi-semi Kraton. BPN juga menyatakan tidak mau mendesak kepada Pemerintah Daerah DIY, karena secara fungsional BPN hanya sebagai pelaksana dari Perintah Daerah DIY. Jika BPN mendesak atau tidak setuju kepada Pemerintah Daerah terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan, takutnya tidak perlu ada kantor BPN di DIY. Kebijakan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut memang agak ada kesenjangan dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia. Alasan diberlakukan kebijakan tersebut karena Pemerintah Daerah DIY 3 Wawancara pada tanggal 16 Juni 2011. 70 takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB saja. Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY. Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan “kekancingan”, yang policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton. Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali, diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut. Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak berlaku. Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil. Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada. BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya. 71 Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli (pribumi) tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli (pribumi) asli (atau dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli (pribumi)). BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan yang ada. Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas tanah yang dari HGB menjadi HM. Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya. Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait dengan permohonan yang diajukan. Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya. Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap 72 saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa. Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut. 2. Bpk Raminudin. 4 Beliau adalah asisten Notaris / PPAT yang bekerja di Kantor Notaris / PPAT Retno Merdeka Wati, SH, MM. , Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan Daerah hanyalah instruksi. Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM. WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM, tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan 4 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011 73 Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM dengan menggunakan nama indonesia asalkan tidak ketahuan oleh BPN. Bahwa adanya kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa bisa memiliki HM tersebut tidak resmi. Tetapi kecolongankecolongan tersebut tidak semua dilakukan di DIY, karena biasanya BPN kota Yogyakarta lebih cermat dan lebih mencurigai. Setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja tidak mencabut larangan kepemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Pernah juga dipertanyakan dalam sosialisasi UU kewarganegaraan yang baru tersebut terkait bagaimana WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY dengan terbitnya UU Kewarganegaraan yang baru ini apa sudah bisa memiliki tanah dengan status HM. Tetapi jawaban waktu itu bahwa masalah larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa itu terkait dengan politis. Jadi meskipun menurut UU kewarganegaraan yang baru di Indonesia tidak ada perbedaan hak dan kewajiban dan penyebutan warga negara, tetapi di DIY masih tetap saja memberlakukan larangan pemilikan HM atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa. Surat Edaran Gubernur DIY itu bukan dari Mendagri, bukan Perda, bukan juga Kepres. Seharusnya kalau menurut undang-undang tidak membedakan apapun. Undang-Undang itu kalah dengan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut. Pernah ada gugatan di pengadilan dan gugatan tersebut tatap kalah, contohnya seperti di Bantul pernah ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah dengan status HM ketahuan kalau dia non pribumi, dan status HM atas tanahnya diturunkan menjadi status HGB. Alasan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut diberlakukan di DIY juga tidak ada pertimbangannya didalam Surat Edaran Gubernur tersebut. WNI keturunan Tionghoa tidak pernah ada yang mengajukan permohonan hak atas tanah dari HGB ditingkatkan menjadi HM. Karena WNI keturunan Tionghoa sudah tahu bahwa semua WNI keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di DIY dengan status HM. 74 Dalam prakteknya ada saja Notaris / PPAT di DIY yang membantu menguruskannya agar supaya WNI keturuanan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM, asalkan WNI keturunan Tionghoa tersebut sudah tidak menggunakan nama Tionghoa atau fisiknya samar-samar tidak terlihat seperti WNI keturunan Tionghoa. Sewaktu ada WNI keturunan Tionghoa meminta tolong untuk dibantu pengurusannya agar memperoleh HM atas tanah, maka Notaris / PPAT akan beralasan / beralibi bahwa Notaris / PPAT tidak mengetahui kalau dia adalah WNI keturunan Tionghoa. Karena tidak bisa menilai orang dari fisik, karena orang Kalimantan (batak) juga berkulit putih dan bermata sipit seperti WNI keturunan Tionghoa pada umumnya. Notaris / PPAT juga tidak berkewenangan untuk membuktikan orang tersebut adalah WNI keturunan Tionghoa atau bukan. Karena yang menyelidiki orang tersebut untuk membuktikan apakah dia WNI keturunan Tionghoa atau bukan kewenangan dari BPN yang mencurigainya. Adapun kemungkinan bahwa WNI keturunan Tionghoa agar dapat memperoleh tanah dengan status HM dengan cara meminjam atau menggunakan nama dari WNI pribumi asli. Selain itu dapat pula merubah nama di KTP (identitas) dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia seperti nama WNI pribumi, dan merubah agama menjadi agama islam agar lolos dan tidak dicurigai. Karena kalau misalkan dalam KTP beragama budha sudah tentu dicurigai dan tidak dapat mendapatkan status tanah dengan HM. BPN juga tidak mau diberi uang suap agar WNI keturunan Tionghoa bisa mendapatkan HM atas tanah. Jika ada kecurigaan supaya tidak dipanggil yaitu ditutupin dengan cara meminjam (menggunakan) nama WNI pribumi atau identitas KTP menggunakan nama Indonesia dan merubah agama menjadi agama islam. Tetapi kalau WNI keturunan Tionghoa masih tetap menggunakan nama Tionghoa jelas Notaris / PPAT tidak berani, karena sama saja tidak akan mendapatkan status tanah 75 dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB. Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB. Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi yang membuat surat keterangan warisnya Lurah / Camat. Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif bukan bersifat objektif. Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di DIY hanya akan diberikan Hak Pakai (HP) atas tanah saja, tidak dapat dengan hak atas tanah yang lain. Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi. Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM, beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar tanggung jawab Notaris / PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas 76 tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN. Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses (tidak diperbolehkan). Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang didapatkan hanya status HGB saja. Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka waktunya bisa 30 (tiga puluh) tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau permohonan hak itu 20 (dua puluh) tahun dan jika jangka waktunya habis bisa diperpanjang lagi. 3. Bpk Nanang Bagus.5 Beliau adalah asisten Notaris / PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta. Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun 1975. WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli (pribumi), atau dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia asli (pribumi). 5 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011. 77 Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja. Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang berkewarganegaraan WNI asli (pribumi), tetapi yang membeli tanah tersebut tetap WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau meminjam nama dari WNI asli (pribumi) haruslah WNI asli DIY atau yang telah memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli (pribumi) dari propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli (pribumi). Jikapun Notaris / PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut. Karena jika Notaris / PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik notaris / PPAT. 4. Ibu Endah Cahyowati6 Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta. 6 Wawancara pada tanggal 12 Oktober 2011. 78 Memang hangat dibicarakan skala nasional terkait pengaturan tanah di DIY, selain ketentuan terkait dengan penetapan Kepala Daerahnya. Pertama-tama untuk mengetahui kaitannya dengan pengaturan pertanahan di DIY maka harus dilihat dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 19 Tahun 1950 dan disempurnakan lagi dengan UU No. 9 Tahun 1955. Salah satu pasalnya yaitu Pasal 4 ayat (1) yang pada mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur masalah tanah. Di DIY yang menarik terkait dengan berlakunya UUPA di DIY, bahwa di DIY ada tanah Kraton (tanah Raja) dan tanah DIY (tanah Negara). Terkait dengan tanah Kraton tersebut berarti bicara secara khusus yang terdiri dari tanah Sultan Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman). Sedangkan untuk tanah di DIY berbicara secara nasional. Tanah di DIY ini harus dilihat dari sejarah, yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: yuridis, historis, sosiologis, filosofis. Jika membicarakan tanah di DIY, itu berarti membicarakan tanah skala nasional. Sedangkan jika membicarakan tanah keraton sudah khusus tanah Sultan Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman). Untuk tanah-tanah adat masih berlaku ketentuan peraturan-peraturan daerah, terutama di daerah 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota. Karena DIY ini memliki 4 (empat) Kabupaten yaitu: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, sedangkan 1 (satu) Kota yaitu: Yogyakarta. Pada waktu sebelum berlakunya UUPA, bahwa tanah-tanah keraton diatur dengan Rijksblad Kasultanan untuk Sultan Ground dan Rijksblad Paku Alaman untuk Paku Alaman Ground. Sebelum UUPA ini berlaku di DIY, tanah-tanah dikota Yogyakarta masih diatur dengan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman. Membicarakan tanah di DIY harus dibedakan, pertama berangkat dari dasar pembentukan DIY yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. 79 Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat (1) itu menyatakan yang intinya bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang / hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan. Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja / Keraton disebut tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Paku Alaman (Paku Alaman Ground). Hal tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 (dua) Kasultanan dan paku Alaman, pasti rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman. Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota) itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan hukum tanah barat. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum) berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan tanah-tanah Keraton / Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA. Dengan adanya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”, dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII (almarhum), di mana intinya berupa aturan bahwa “untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status HM atas tanah di DIY”. Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA. Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di DIY. 80 Alasan utama masih berlakunya Instruksi Gubernur yang melarang pemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut, karena terkait dengan keadaan ekonomi rakyat pribumi. Raja lebih mengutamakan rakyat pribumi dulu untuk kesehjahteraannya. Selain itu juga dikarenakan penjajahan Belanda cukup lama, DIY yang merupakan tanah Raja ini adalah satu-satunya tanah yang tidak diserahkan kepada pemerintah Belanda pada saat penjajahan. Berbeda dengan Surakarta yang awalnya meskipun sama-sama tanah Raja, tetapi sebagian tanahnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda, maka sekarang tanah di Surakarta telah menjadi tanah Negara. Berbeda dengan DIY karena pada waktu itu tidak diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1984, tepatnya 1 april 1984 keluar Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tetapi pada kenyataanya sampai sekarang di DIY masih berlangsung, karena Instruksi Gubernur tersebut masih berlaku dan belum dicabut secara tegas. Bicara tentang UUPA, bahwa mulai dari pasal 2 UUPA tentang hak menguasai negara, dihubungkan dengan asas nasionalitas. Pada saat berlakunya UUPA itu, semua warga negara indonesia menyebut WNI sudah barang tentu itu adalah pengertian WNI dalam arti tunggal. Tidak membedakan WNI asli (pribumi) atau WNI keturunan Tionghoa. Tetapi DIY tidak lepas dari sejarah mengapa masih berlaku aturan seperti ini. Bahwa harus melihat dari unsur politis tetapi dalam arti historisnya, bukan politis dalam arti perkembangan sekarang yang ada rekayasa (untuk kemenangan siapa yang berkuasa). Bicara tanah di DIY harus dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 1. Aspek politis dalam arti yang positif karena harus dikaitkan dengan melihat sejarahnya. 81 2. Aspek yuridis, tanah keraton khusus merupakan kepemilikan Raja yang diatur didalam naungan aturan Rijksblad-Rijksblad. 3. Aspek sosiologis, kalau masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY maka salah satu syaratnya itu adalah harus ada perjanjian. Masyarakat juga mengakui bahwa tanah di DIY adalah milik Raja, tetapi bahwa masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY, dalam aturan internal keraton masyarakat yang ingin menggunakan harus mendapatkan ijin dari Raja dan tergantung tanah mana yang digunakan. Jika tanah yang digunakan Sultan Ground harus mendapatkan ijin dari Sultan, tetapi jika tanah yang digunakan Paku Alaman Ground harus mendapatkan ijin dari Paku Alam. 4. Aspek filosofis, tanah keraton itu juga digunakan untuk kepentingan umum atau kepentingan pembangunan. Untuk proses administratif yuridis dan sosiologisnya sama yaitu harus mendapatkan ijin dari Raja. Seperti contohnya Kampus UGM sebenarnya tanah Kasultananan, tetapi tidak diberikan jangka waktu oleh Sultan. Tanah Kasultanan itu tidak hanya ada di kota Yogyakarta saja, ini ada juga di kabupaten-kabupaten. Juga dapat digunakan oleh masyarakat dengan status diberikan hak pakai, hak sewa dan intinya harus mendapatkan ijin. Sekalipun sudah diberikan ijin untuk didirikan tempat tinggal, maka sebenernya tidak boleh dengan bangunan permanen. Karena takutnya keraton akan menggunakan / menggembangkan tanah tersebut. Sejak Keppres 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY diberlakukan, jika dipersandingkan dengan UUPA seharusnya insturksi Gubernur tersebut sebenarnya sudah tidak berlaku. Tetapi sampai sekarang pun belum bisa diberikan tanah dengan status HM bagi WNI suku Tionghoa. Dalam Pasal 9 UUPA yang menganut asas nasionalitas, Pasal 9 ayat (1) menyatakan: semua warga negara indonesia dapat mempunyai hubungan yang penuh dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Kemudian dalam pasal 9 ayat (2) 82 menyatakan: tiap-tiap warga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Penyebutan WNI dalam UUPA ini adalah WNI Tunggal, sehingga tidak membedakan dalam WNI keturunan Tionghoa atau WNI asli (Pribumi), tetapi tetap saja tidak diperbolehkan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Tetapi kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan pinjam nama WNI asli (pribumi) agar dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY. Selain itu juga ada WNI keturunan Tionghoa yang menguruskan ke Notaris / PPAT untuk melegalkan perjanjian tersebut. Yang dibelakang perjanjian itu ada perjanjian antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), bahwa ada peminjaman nama dari WNI asli (pribumi) untuk mendapatkan tanah dengan status HM. Tetapi jika dilanjutkan berbahaya untuk aspek yuridisnya, karena orang yang dipinjam namanya itu belum tentu mempunyai itikat baik, dan bagaimanapun juga hal tersebut tetap saja jelas tidak diperbolehkan karena merupakan pelanggaran, meskipun perjanjian itu diatas sertifikat boleh dilakukan. Sejak berlakunya UUPA, jika dibaca dalam peraturan pelaksanaanya UUPA yaitu UU No. 56 Prp. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kemudian ada batas penetapan maksimum dan minimumnya, tetapi itu diatur hanya untuk 1 (satu) keluarga tidak mencakup badan hukum. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diatur lebih lanjut dengan PP No. 224 Tahun 1961. Kemudian dalam UUPA diktum 4 A menyebutkan; tanah Swapraja dan tanah bekas Swapraja itu sejak berlakunya UUPA menjadi tanah negara. Kemudian diktum B menyebutkan; ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ketentuan diktum A akan diatur lebih lanjut dalam PP. PP yang dimaksudkan adalah PP No. 224 Tahun 1961. Sekarang jika dilihat dalam ketentuan PP No. 224 Tahun 1961 itu ada obyek landerform, itukan tanah negara, tanah bekas-bekas swapraja, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum, tanah-tanah yang melanggar larangan tanah adat. Tetapi tanah swapraja belum diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Yang dimaksud 83 dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah. Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA. Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja. Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di seluruh wilayah DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota). Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama (balik nama) ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi). Akan tetapi menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama (balik nama) ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi) tersebut tidak menjamin kepastian hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris / PPAT, karena hal pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat baik atau buruk. Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus 84 melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam materi (kekayaan), karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa. Oleh karena itu Sultan (Raja) lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru (UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia), tetap saja larangan pemilikan HM atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama telah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris / PPAT. Bahwa menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris / PPAT yang banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT tidak akan berani menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, 85 jika ketahuan ijin praktek Notaris / PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar kode etik. 2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik. Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut. Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas tanah tersebut, diantaranya: 1. Bpk Budi Santoso7 Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005 tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta, kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM. Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan menggunakan atas nama ayahnya. Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah 7 Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2010 86 dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), yang sebenarnya adalah WNI keturunan Tionghoa. Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso, Notaris / PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip dengan WNI asli (pribumi). Notaris / PPAT menawarkan akan membantu dan dengan diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris / PPAT pada saat pengurusan hak atas tanah tersebut ke BPN. Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB. 2. Bpk Bambang Riyanto8 Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman. Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY (kepala daerah), yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX. Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB. Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah 8 Wawancara, 19 Februari 2012. 87 pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa, sedangkan jika WNI asli (Pribumi) yang membeli tanah perumahan tersebut status tanahnya tersebut tetap dengan HM. Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dan dengan membayar (memberikan) uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB. Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama. Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah, berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut. Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang berstatus HM. 88 Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika dibeli oleh WNI asli (pribumi) status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status tanahnya tersebut tetap berstatus HGB. WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status HM. Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah yang lainnya. 3. Bpk Oey Meng Hoi9 Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY. Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI 9 Wawancara pada tanggal 30 Maret 2010. 89 keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli (pribumi) yang jika membeli rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM. Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan / kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM. Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah / rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama (pinjam nama) dari WNI asli (pribumi). 4. Ibu Imelda10 Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY. Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli (pribumi), dengan status HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris / PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB. Menurut keterangan dari Notaris / PPAT bahwa bagi WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli / memiliki tanah dengan status HM tidak diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja. Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. 10 13 Wawancara pada tangga 13 November 2010. 90 Beliau tidak mengurus atau mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah dari status HGB menjadi status HM, bahwa hasilnya akan sama saja yang diperoleh, status tanahnya yang diperoleh tetap hanyalah HGB saja jika mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah menjadi HM. 5. Bpk Antony Lee11 Dalam harian kompas 8 September 2009; surat pembaca harian kompas : status hak milik tanah bagi WNI pribumi dan keturunan – Antony Lee, Perum Jangkang C 60, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Bahwa pada Juli 2009, saat mengurus jual beli tanah seluas 126 m² pada seorang Notaris di Sleman, Yogyakarta, keIndonesiaan saya kembali dipertanyakan. Notaris mengatakan, karena ada embelembel “Lee” status yang semula Hak Milik harus diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan. Alasannya, ada Instruksi dan Surat Edaran Gubernur DIY 1975 yang hingga kini belum dicabut. Intinya, warga negara keturunan belum diperkenankan memiliki hak milik, bila dipaksakan mengajukan hak milik, Badan Pertanahan Nasional akan menolak menerbitkan Sertifikat. Saya berdalil, pada tahun 1984 Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan penuh UU Pokok Agraria tahun 1960. Ditambah lagi, sejak tahun 2006 disahkan UU Kewarganegaraan yang tidak lagi mengenal istilah Pribumi dan non Pribumi. Akhirnya saya menuruti Notaris itu, dengan mengeluarkan uang tambahan, yang disebutnya perlu adanya pajak dan biaya tambahan pengurusan. Saya tidak bermaksud mengutak-atik kearifan lokal ini. Namun, saya tergelitik pertanyaan, apakah Undang-Undang dikalahkan dengan Instruksi? Lepas dari itu, rasa sakit yang lebih mendera, hati saya kembali bertanya, sudah sepenuhnya Indonesia-kah saya? Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya 11 http://www.scribd.com/doc/33264088/Aturan-UU-Diskriminatif, Kompas 8 September 2009, Surat Pembaca : Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan; Antony Lee. 91 diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut merupakan kebijakan dari Sultan (Raja). Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dengan memberikan uang tambahan. Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah menggunakan nama indonesia dalam identitasnya (tidak menggunakan nama Tionghoa), karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di DIY tetap tidak bisa. Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee mengakui membeli tanah HM WNI asli (pribumi) tetapi pada saat pengurusan jual beli di Notaris / PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM berubah (diturunkan) menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris / PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di DIY. Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli (pribumi) yang awalnya berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa. Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi). Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang 92 sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa. B. ANALISIS. 1. Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menarik untuk dicermati, bahwa masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY yang hal tersebut bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional Indonesia, menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA termasuk HM atas tanah adalah hak bagi warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh pemerintah maupun individu, karena setiap hak atas tanah tersebut bertujuan untuk mensehjahterakan warga negara indonesia. Oleh karenanya hal ini harus dilindungi oleh Negara, yang pelaksaanaanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. (2) UUPA yang mengatur tentang hak menguasai dari Negara, yang menyatakan : atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara ini memberikan wewenang kepada Negara untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 93 c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3), menyatakan: “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” Hak menguasai dari Negara tersebut pelaksanaanya dapat juga dikuasakan kepada Daerah-daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA. Atas dasar hak menguasai dari Negara tersebut, ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum. Macam hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan tertuang dalam Pasal 16 UUPA, yang dapat dimiliki tersebut ialah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Terkait dengan pemberlakuan UUPA di Indonesia seharusnya tidak ada perbedaan antar daerah atau propinsi lainnya, tetapi di DIY mempunyai keistimewaan yang sampai sekarang masih berjalan meskipun bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional. Keistimewaan yang dimiliki DIY tersebut terkait dengan pengaturan pertanahan yaitu dengan masih berlaku dan belum dicabut hingga sekarang ini aturan pertanahan tersebut yang tertuang Surat Edaran Gubernur DIY No. K.898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. 94 Isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut adalah : “apabila ada warga negara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”. Unsur pelepasan HM yang terdapat dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut berbeda dengan unsur pelepasan hak pada umumnya yang digunakan dalam hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengertian dari Pelepasan Hak menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 2 Tahun 2012 ini, adalah: kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak yang Berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan. Bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang diatur dalam UU ini dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tujuan dari Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ini untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesehjahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terkait dengan penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Bahwa terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dalam hal ini yang berhak melakukan penilaian Ganti Kerugian adalah Lembaga Pertanahan dengan menetapkan penilai yang bertujuan untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan 95 Tanah. Penilaian Ganti kerugian oleh penilai tersebut dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d) tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai tersebut merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang kemudian digunakan untuk menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti kerugian. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang; (b) tanah pengganti; (c) pemukiman kembali; (d) kepemilikan saham; atau (e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Dari hasil kesepakatan dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat. Bila mana keberatan kepada pengadilan negeri belum tercapai kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian maka Pihak yang Berhak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. Terkait dengan pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib: (a) melakukan pelepasan hak; dan (b) menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. 96 Penyerahan hasil pengadaan tanah oleh Lembaga Pertanahan kepada Instansi yang memerlukan tanah barulah dapat dilakukan setelah: (a) pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan pelepasan hak telah dilaksanakan; dan/atau (b) pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri. Sedangkan pelepasan HM yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut tidak ada unsur pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi yang ada adalah pelepasan hak milik atas tanah yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa supaya menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh pemerintah daerah DIY, dan setelah WNI keturunan tersebut melakukan pelepasan HM atas tanahnya barulah dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru kepada Kepala Daerah DIY selain HM atas tanah, misalnya seperti HGB atau HP. Meskipun pelepasan HM menjadi hak atas tanah yang lain tersebut dalam Surat Edaran Gubernur dikatakan dilakukan dengan suka rela, tetapi sesungguhnya (faktanya) pelepasan hak tersebut dapat dikatakan memaksa karena tidak ada persetujuan atau keinginan dari pemengang hak untuk melepaskan HM atas tanahnya tersebut. Dapat dilihat bahwa hal ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah DIY dan tidak ada musyawarah dari kedua belah pihak. Selain itu pemegang hak juga tidak mendapatkan perlindungan atau bantuan hukum atas pelepasan HM tersebut. Dampak dari masih diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut yaitu bahwa WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli, memiliki atau memerlukan tanah di DIY dengan status HM tidak diberikan, sedangkan hanya diberikan status tanah dengan HGB saja. Meskipun sebenarnya menurut hukum WNI keturunan Tionghoa tersebut telah sah sebagai warga negara indonesia (WNI). Sebenarnya Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi, tidak tepat diberlakukan lagi di DIY. Karena pada tanggal 1 April 1984 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 3 97 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa urusan diserahkan kepada propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan otonom, sehingga Undang-undang No. 5 Tahun 1960 sejak diundangkan sampai saat ini belum berlaku secara penuh di Daerah tersebut. Tetapi sesuai dengan pernyataan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) secara penuh, maka agar pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu untuk menetapkan pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tersebut bahwa UndangUndang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh wilayahnya berarti 4 kabupaten yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan 1 Kota yaitu Yogyakarta. Setelah dikeluarkannya Kepres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Perda DIY) No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahwa dalam pertimbangan Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tersebut Gubernur DIY telah menyatakan bahwa sesuai dengan tekat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta aturan pelaksanaanya sebagaimana terwujud dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Istimewa 98 Yogyakarta, dan Keputusan Daerah Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 beserta aturan-aturan pelaksanaannya di seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini, pengurusan agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi. Maksudnya, bahwa Pemerintah Daerah DIY diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri, yang terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY. Tetapi atas usul yang diajukan oleh Kepala Daerah DIY (Gubernur DIY) kepada Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk memberlakukan sepenuhnya UUPA di propinsi DIY yang bertujuan agar terjadi keseragaman, kesatuan, dan kepastian hukum. Maka kewenangan otonomi yang dimiliki Pemerintah Daerah DIY yang mengatur soal pertanahan selain UUPA tidak diberlakukan lagi di DIY, melainkan hanya UUPA sebagai hukum agraria nasional yang diberlakukan di DIY seperti propinsi lainnya di Indonesia. Tanah-tanah di DIY yang tidak termasuk diatur dengan UUPA yaitu tanahtanah Hak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman (Sultan Ground dan Paku Alaman Ground) yang selama ini belum dilepaskan, masih Hak Milik atau merupakan domain bebas dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Tanah tersebut adalah tanah milik Raja yang memiliki nilai historis yang panjang, dan menggunakan aturan-aturan Rijksblad untuk mengatur urusan pertanahannya. Sedangkan tanah-tanah yang sudah diatur dengan UUPA adalah hanyalah tanah-tanah yang kewenangannya telah diserahkan kepada pemerintah ataupun tanah-tanah bekas hak barat yang telah dikonversi, yang telah menjadi tanah Negara. 99 Kenyataannya memang sampai berlaku UUPA di DIY sekarang ini, Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 belum dicabut secara tegas. Tetapi dengan diberlakukannya Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis, bahwa alasan Sultan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur DIY terkait dengan larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut alasannya sangat politis, karena pada jaman dulu Sultan (Raja) memikirkan kesehjahteraan bagi WNI asli (pribumi). Karena takut tanah di DIY dikuasai semua oleh WNI keturunan Tionghoa yang alasannya karena WNI keturunan Tionghoa lebih kaya dalam materi dibandingkan WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan Tionghoa juga pandai melihat tanah yang berprospek untuk berkembang. Menurut penulis alasan Sultan yang masih memberlakukan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa dengan dasar pertimbangan kondisi ekonomi tidak tepat diberlakukan, karena seharusnya dasar yang digunakan untuk memberikan pertimbangan hak atas tanah kepada seorang warga negara harus berdasarkan pada subyek hukumnya yang terdapat dalam UUPA. Yaitu berdasarkan atas asas persamaan hak, yang tertuang pada Pasal 9 ayat (2) UUPA, bahwa pasal ini menempatkan subyek hukum baik lakilaki maupun perempuan tidak dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh kenikmatan atas BARA (termasuk pula pemilikan tanah dengan HM di Indonesia). Bahkan pasal ini juga tidak membedakan golongan atau suku, sehingga UUPA tidak menerapkan diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan (suku) karena bertentangan dengan rasa keadilan bangsa indonesia ataupun HAM. Selain itu juga bahwa setiap warga Negara Indonesia, baik WNI keturunan Tionghoa dan WNI asli (pribumi) sama-sama memiliki hak dan kewajiban tanpa adanya perbedaan. 100 Jika memang yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan hak atas tanah bagi warga negara adalah dengan pertimbangan ekonomi, maka hal ini dapat dikatakan diskriminasi. Dengan telah berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini, maka aturan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak tepat lagi jika masih diberlakukan di DIY. Karena dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan: “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Dan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan: “Hanya warga negara indonesia dapat mempunyai hak milik”. Oleh karena hak milik ini merupakan hak yang terpenuh dan terkuat atas tanah maka ditentukan bahwa hak ini disediakan bagi warga negara indonesia saja. Hanya orang-orang asing (WNA) saja yang tidak diperbolehkan untuk mempunyai hak milik ini. Pengertian dari warga negara Indonesia yang dianut dalam UUPA ini adalah pengertian warga negara Indonesia dalam arti kata WNI tunggal, tidak membedakan antara warga negara Indonesia asli (Pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa. Karena hanya mereka yang berstatus WNI, tetapi disamping itu masih mempunyai kewarganegaraan lain (berkewarganegaraan ganda) dalam hal ini oleh UUPA dipersamakan dengan orang asing (WNA), dan berlaku ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUPA yang menyatakan: “orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta perkawinan, demikian pula warga negara indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”. 101 Sedangkan pada kenyataannya, mereka yang WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki HM atas tanah di DIY meskipun mereka telah sah menurut hukum dianggap sebagai warga negara indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap saja hanya diberikan HGB. Dapat diartikan bahwa WNI keturunan Tionghoa jika membeli atau memiliki rumah di DIY hanyalah membeli atau memiliki bangunannya saja, tidak beserta dengan tanahnya, karena tanahnya adalah milik Pemerintah Daerah DIY. Setiap WNI keturunan Tionghoa tersebut jika membeli tanah atau rumah milik WNI asli (Pribumi) awalnya harus melepaskan HM atas tanahnya tersebut dan barulah dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru tetapi selain HM, yang biasanya hanya diberikan HGB saja. WNI keturunan Tionghoa sebagai Pemegang HGB tersebut juga harus melakukan perpanjangan haknya yang jangka waktunya paling lama 30 tahun, dan tidak dapat memohonkan peningkatan hak atas tanah dari HGB menjadi HM. HGB ini berbeda dengan HM karena HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak. Dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa dimungkinkan memiliki atau dapat mengajukan tanah dengan HM tetapi harus mempunyai “surat kekancingan” dari Keraton yang dikeluarkan oleh Sultan. WNI keturunan Tionghoa yang mendapatkan surat kekancingan tersebut biasanya memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton atau biasanya ada keturunan dari keluarga Keraton, maka barulah dapat diberikan tanah dengan HM dengan surat kekancingan tersebut. Jika tidak mempunyai surat kekancingan maka tidak dapat mempunyai tanah dengan HM. Tetapi apabila tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan pembangunan atau kepentingan Pemerintah / Keraton maka tanah tersebut harus dilepaskan. Berdasarkan prinsip Equality Before The Law, masih berlakunya larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi warga negara, khususnya WNI keturunan Tionghoa. Karena sudah seharusnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tanpa adanya pembedaan dari pihak manapun termasuk 102 perbedaan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena sesungguhnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama atas tanah di Indonesia, yang juga keberadaan tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Negara hanyalah diberikan hak menguasai bukanlah sebagai pemilik atas tanah di Indonesia. Hak menguasai tersebut hanya untuk mengatur terkait pengaturan tanah di Indonesia agar tercapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Tujuan diberlakuakannya UUPA di DIY tersebut adalah agar terjadi keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum terkait dengan pengaturan agraria di DIY. Oleh karena itu, bahwa demi adanya keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukannya Rijksblad-Rijksblad, Peraturan Daerah - Peraturan Daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan daerah lainnya tentang Agraria di DIY, sehingga hanya peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) beserta, aturan pelaksanaannya yang berlaku, dengan menetapkan Peraturan Daerah DIY tentang Pelaksanaan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap propinsi di Indonesia melalui pemerintah daerah memang diberikan kewenangan untuk membuat peraturan daerahnya sendiri guna untuk menunjang dan memajukan pemerintahan daerahnya, akan tetapi peraturan daerah yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi, seperti UUD 1945 ataupun Undang-Undang. Tetapi karena UUPA merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan Hukum Tanah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Termasuk pula aturan larangan pemilikan HM atas tanah di DIY bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut, bahwa telah bertentangan dengan 103 “asas persamaan hak”, yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Kesempatan setiap warga negara yang sama tersebut ditujukan baik bagi laki-laki atau perempuan dan/atau bagi WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan, yang sama-sama telah menjadi warga negara untuk dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia. Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA tersebut, yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal itu memuat pula ketentuan bahwa dalam hal ini pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita. Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita ataupun orang-orang laki mempunyai tanah dengan hak milik bertentangan pula dengan ketentuan UUPA tersebut 12 Dengan pemahaman bahwa tidak boleh ada peraturan yang bertentangan dengan peraturan UUPA ini, maka sudah seharusnya jika di DIY ada aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Guberur yang melarang WNI keturunan Tionghoa memiliki tanah dengan status HM seharusnya aturan tersebut tidak dapat diberlakukan lagi, karena jelas-jelas bertentangan dengan “asas Nasionalitas” yang terdapat didalam ketentuan UUPA, yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1). Pasal itu memuat bahwa dalam hal pemilikan tanah hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan BARA dan dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hal ini sesuai dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni suatu asas undang-undang yang dimana jika terjadi konflik / pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah maka undangundang yang lebih tinggilah yang berlaku sedangkan undang-undang yang lebih 12 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 213 104 rendah tidak mengikat, atau dengan kata lain peraturan yang lebih tinggi mengalahkan / mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, tentu kedudukan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di propinsi DIY lebih tinggi daripada Surat Edaran Gubernur No.K.898/A/1975. Selain itu pemberlakuan larangan kepemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak dapat diberlakukan lagi karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam UUPA, yang disini kedudukan UUPA lebih tinggi dibandingkan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan ini juga dapat dilihat dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Propinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Lebih jauh, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011; bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, 105 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Larangan pemilikan HM yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, jika dilihat dan diperbandingkan dengan aturan-aturan / hukum positif yang berlaku di Indonesia selain bertentangan dengan hukum agraria nasional (UUPA), juga bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang diatur dalam UU kewarganegaraan, UU HAM, dan UU penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Karena bahwa sesungguhnya aturan terkait larangan pemilikan tanah dengan HM tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif, dan mengurangi hak yang dimiliki seseorang sebagai warga negara Indonesia yang pada dasarnya pemilikan HM atas tanah di Indonesia yang diatur dalam UUPA tidak melarang dimiliki bagi WNI keturunan Tionghoa, yang dilarang memiliki HM atas tanah di Indonesia hanyalah warga negara asing (WNA) saja. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu setiap hal yang berkaitan dengan warga negara diatur dengan hukum, termasuk pula hal yang berkaitan dengan urusan pertanahan / agraria ataupun hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara harus pula diatur dengan Undang-Undang. Hak seseorang sebagai WNI juga dijamin didalam Konstitusi Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) sebagaimana disebut dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa: ”segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sehingga, tidak boleh ada diskriminasi, karena kedudukan setiap warga negara adalah sama. Dipertegas pula didalam Pasal 28 D ayat (1), bahwa ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, menyatakan bahwa: “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wewang oleh siapapun”. Kepemilikan hak milik yang 106 dimaksudkan tersebut juga menyangkut kepemilikan hak milik atas tanah yang dapat dimiliki seseorang sebagai warga negara Indonesia. Berkaitan dengan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, hal ini termaktub dalam bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 inipun yang menjadi dasar pembentukan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA ini adalah sebagai dasar dari pengaturan agraria nasional. Hadirnya UUPA sebagai hukum agraria nasional ini memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, diantaranya meliputi: 1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan. Jika melihat ketentuan dalam UUPA, Jelas dari Ketentuan bunyi Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa: “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2”. Pernyataan dasar tersebut mendapat penerapan dalam pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai hak yang memberikan hubungan yang terpenuh dengan tanah.13 Selain itu, juga dipertegas dalam bunyi Pasal 21 ayat (1) UUPA, menyatakan: “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Ketentuan ini 13 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 219 107 merupakan penjabaran asas kebangsaan / prinsip nasionalitas / dasar kenasionalan. 14 Sebagaimana juga yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Penjelasan Umum II (5) UUPA antara lain, menegaskan: “sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah”. Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA, Oleh pemerintah juga ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Pengaturan dari badan-badan hukum yang dapat diberikan hak milik oleh pemerintah ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, diantaranya: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara; b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958; c. Badan-Badan Keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertaniaaan / Agraria setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Kesehjahteraan Sosial. Sedangkan bagi orang asing dan badan-badan hukum asing pada dasarnya tidak dapat menguasai tanah dengan hak milik. Hanya dalam hal-hal tertentu orang asing dimungkinkan memperoleh tanah hak milik dan itu pun dibatasi hanya selama 1 (satu) tahun. Larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi orang asing tertuang dalam Pasal 21 ayat (3), bahwa: Orang asing yang sesudah berlakunya undangundang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai 14 Oloan Sitorus & H.M Zaki Sierrad, op.cit, hlm. 91 108 hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Ketentuan yang mengadakan perbedaan antara warga negara Indonesia dan orang asing dalam pemilikan tanah adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum adat.15 Dasar demokrasi atau kerakyatan yang ditunjukan oleh pernyataan dalam Pasal 9 ayat (2), bahwa: Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Demikian pula jika ditafsirkan secara ekstensif dari penjabaran Pasal 9 ayat (2) UUPA ini, kiranya diskriminasi atas dasar atau kepentingan lain, seperti suku bangsa, agama, asal-usul kewarganegaraan (WNI asli (pribumi) maupun WNI Keturunan Tionghoa) tidak diperkenankan oleh UUPA. 16 Penjelasan dari Pasal 9 ayat (2) menghubungkan pernyataan tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2), yang mendasari konsepsi komunalistik Hukum Tanah Nasional. Sebagaimana telah diketahui Pasal 1 tersebut menyatakan antara lain, bahwa semua tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Maka sebagai pihak yang turut mempunyai tanah bersama tersebut, para warga negara Indonesia masing-masing mempunyai hak yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas sebagian dari tanah bersama itu.17 15 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 220 Oloan Sitorus & H.M Zaki Sierrad, op.cit, hlm. 93 17 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 221 16 109 Dasar demokrasi Hukum Tanah Nasional tampak juga dari ketentuan, bahwa dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara warga negara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan diadakan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Diantara para warga negara perbedaan diadakan antara golongan yang ekonomis lemah dan ekonomis kuat (Pasal 11, 15, dan 26 ayat (1)).18 Jika dilihat dalam ketentuan dalam UUPA yang dipahami sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia ini, bahwa sangat jelas larangan kepemilikan tanah dengan hak milik yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA. Karena dalam UUPA menyatakan bahwa setiap hak-hak atas tanah yang ada di Indonesia termasuk hak milik atas tanah adalah hak bagi setiap warga negara indonesia. Kecuali WNI keturunan Tionghoa tersebut memiliki dua kewarganegaraan atau masih dianggap sebagai sebagai warga negara asing (WNA), maka harus melepaskan hak milik atas tanahnya dalam jangka waktu satu tahun karena jika hak milik tersebut tidak dilepaskan maka tanah tersebut akan dengan sendirinya menjadi tanah negara. Selain itu bahwa dalam UUPA juga tidak ada penyebutan / perbedaan antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), mereka sama-sama dianggap sebagai warga negara. Karena pengertian warga negara yang dianut UUPA adalah pengertian warga negara dalam arti Tunggal, maksudnya: UUPA tidak membedakan antara WNI asli (pribumi) ataupun WNI keturunan Tionghoa, mereka sama-sama disebut dan dianggap sebagai warga negara indonesia. Mereka juga sama-sama berhak mempunyai hak atas tanah di Indonesia tanpa adanya pembedaan dari pihak manapun (baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah). Dalam UUPA yang ada hanyalah penyebutan warga negara indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). 18 Ibid 110 Apalagi sejak tahun 1984 pemerintah DIY telah menyatakan untuk memberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Peratuan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang dengan diberlakukannya UUPA di DIY tersebut mencabut dan tidak memberlakukan lagi peraturan pertanahan yang dahalu digunakan untuk mengatur soal agraria di DIY. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Dari bunyi pasal ini dapat dipahami bahwa urusan agraria menurut sifat dan asasnya merupakan tugas pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah diberi otonomi wewenang dalam penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Segala sesuatu yang akan diselenggarakan menurut keperluan suatu daerah tersebut, termasuk membuat peraturan daerah untuk mengatur daerahnya sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Termasuk DIY yang dalam hal ini memiliki aturan larangan kepemilikan tanah dengan hak milik yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan nasional. Oleh karena itu seharusnya aturan tersebut seharusnya dicabut dan tidak diberlakukan lagi agar terjadi kepastian hukum di DIY terkait dengan pengaturan agraria. Sedangkan jika melihat UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik indonesia, bahwa dalam Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan ini, juga memberikan pengertian dari warga negara indonesia adalah: “yang menjadi warga negara indonesia adalah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”. Dalam penjelasan dari Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia ini, 111 kaitannya dengan pengertian ”orang-orang bangsa indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Orang-orang bangsa Indonesia asli ini secara otomatis menjadi warga negara. Sedangkan pengertian “orang-orang bangsa lain” adalah orang-orang seperti peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, yang mengakui Indonesia sebagai tumpah darahnya dan sikap setia kepada negara Republik Indonesia. 19 Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ini tidak ada penyebutan terhadap WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi). Jadi dapat dipahami bahwa baik antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa menurut undang-undang ini sama-sama berstatus sebagai warga negara Indonesia karena tidak ada perbedaan atau penyebutan antara keduanya, dan sudah semestinya setiap warga negara dapat memiliki dan menjalankan hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut sebagai warga negara indonesia Terkait mengenai siapa saja WNI itu, dapat dilihat pada Pasal 4 UU Kewarganegaraan yang menyebutkan, warga negara Indonesia adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia; 19 Sri Harini Dwiyatmi et al.., op.cit, hlm. 291 112 e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak itu; f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia; g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara republik indoensia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Jadi setiap orang yang termasuk salah satu dari yang disebutkan di atas, orang tersebut adalah WNI sepenuhnya. Ketentuan ini berlaku juga bagi WNI keturunan 113 Tionghoa yang berada di wilayah negara Republik Indonesia, asalkan mememenuhi dari salah satu syarat sebagai WNI tersebut. Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 di Indonesia, sudah barang tentu juga diberlakukan di DIY yang termasuk dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mengatur terkait dengan kewarganegaraan di Indonesia, agar adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan / didepan hukum, serta adanya kesetaraan dan keadilan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara indonesia, juga tanpa adanya diskriminasi dari suku, ras dan etnis, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. Hak kepemilikan termasuk kepemilikan atas tanah di Indonesia juga merupakan hak asasi bagi setiap warga negara. Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Munculnya pengaturan mengenai HAM di Indonesia ini karena masih banyak terjadinya penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosialnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya), maupun horizontal (antar warga negara sendiri). Disamping Pancasila dan UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia, pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundangundangan, yang berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang- 114 undangan yang sudah ada, perlu dibentuknya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dasar pemikiran pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini adalah sebagai berikut:20 a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; b. Pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan, serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya; c. Untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus); d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatas oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas; e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar; g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakan, dan untuk itu pemerintah aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Undang-Undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan 20 ibid 115 melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesehjahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia. Terkait dengan larangan kepemilikan tanah dengan hak milik di DIY yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut, jika dipersandingkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini, jelas bertentangan dengan HAM yang melekat dan dimiliki seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan selain itu setiap orang atau setiap warga negara berhak bebas dari perlakuan diskriminasi dan berhak mendapatkan persamaan hak di hadapan atau di depan hukum (asas Equality Before The Law). Beberapa pasal-pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999, yang memiliki keterkaitan dalam penulisan skripsi ini yang berhubungan dengan hak asasi seseorang sebagai warga negara yang berhak bebas dari perlakuan diskriminasi dan berhak mendapatkan perlindungan dan persamaan hak di depan hukum, diantaranya: Ketentuan Pasal 2 berbunyi: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan”. Dalam penjelasan pasal 2 ini, dijelaskan bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tersebut. 116 Ketentuan Pasal 3 ayat (1) berbunyi: “bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk juga warga negara suku Tionghoa memiliki harkat dan martabat yang sama dan sederajat dengan orang atau warga negara yang lainnya, dan juga oleh Tuhan dikaruniai akal dan hati nurari untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum”, jo. Pasal 3 ayat (3) berbunyi: ”setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa yang sama-sama dianggap sebagai warga negara indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum, tanpa adanya diskriminasi. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang dimaksudkan dalam UU ini disebut dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari, karena pengingkaran terhadap hak-hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 21 Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara juga mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek 21 Ketentuan Umum dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 117 sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban itu juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. 22 Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin pula dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuh, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Ketentuan Pasal 4, berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk pula WNI keturunan Tionghoa memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya, dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Ketentuan Pasal 5 ayat (1), berbunyi: “Diakuinya setiap orang sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang juga WNI keturunan Tionghoa berhak menuntut dan mendapatkan perlindungan hak yang sama di depan hukum tanpa adanya pembedaan atau diskriminasi. 22 ibid 118 Ketentuan Pasal 9 ayat (1), berbunyi: “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Jo. Pasal 9 ayat (2), berbunyi: “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa berhak untuk hidup dan memiliki tempat tinggal untuk meningkatkan taraf kehidupannya agar tercapai hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, dan sejahtera. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya”, jo. Pasal 26 ayat (2), berbunyi: “Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal tersebut dapat dipahami bahwa setiap orang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa berhak bebas untuk menentukan kewarganegaraannya dan juga berhak menikmati hak-hak yang melekat pada kewargaranegaraannya tersebut, termasuk juga berhak menikmati hak untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia sesuai peraturan perundangundangan (UUPA) dengan tanpa adanya diskriminasi. Ketentuan Pasal 27 ayat (1), berbunyi: “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia”. pasal ini menjelaskan bahwa orang yang telah sah dianggap sebagai warga negara Indonesia, termasuk pula warga negara suku Tionghoa bebas untuk menentukan tempat tinggalnya yang masih termasuk dalam wilayah NKRI. Ketentuan Pasal 29 ayat (1), berbunyi: “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”. Jo. Pasal 29 ayat (2), berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa juga berhak atas perlindungan atas apa yang dimilikinya, dan berhak diakui oleh hukum dimana saja berada. 119 Ketentuan Pasal 36 ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum”.jo. Pasal 36 ayat (2), berbunyi: “Tidak boleh seorangpun dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang yang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain berhak mempunyai hak milik guna bagi dirinya sendiri, keluarga, bangsa dan masyarakat asalkan kepemilikan hak milik tersebut tidak melanggar hukum. Hak milik yang dimiliki seseorang tersebut juga tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Ketentuan pasal 36 ayat (3), berbunyi: “hak milik mempunyai fungsi sosial”. Dalam penjelasannya bunyi dari Pasal 36 ayat (3) ini, mengartikan: “bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Pasal 37 ayat (1), berbunyi: “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa hak milik termasuk hak milik atas tanah, baru dapat dicabut apabila adanya kepentingan umum yang menghendakinya tetapi dengan memberikan ganti kerugian yang seimbang, pencabutan hak tersebut karena memang semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Ketentuan Pasal 40, berbunyi: “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk juga termasuk WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki tempat tinggal serta berhak atas kehidupan yang layak. Bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui, melindungi dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban itu juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara 120 dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Tetapi dengan adanya larangan kepemilikan hak milik bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah DIY disini malah membatasi hak asasi manusia untuk memiliki hak milik atas tanah, yang sebenarnya setiap warga negara berhak untuk memiliki HM atas tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi. Karena dalam prakteknya hak pemilikan HM atas tanah tidak dilarang oleh negara, dan seharusnya negara melalui pemerintah ataupun pemerintah daerah seharusnya mengakui, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu. Sesuai dalam Pasal 8 jo. Pasal 71 UU HAM, menjelaskan bahwa untuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah, dan juga Pemerintah wajib bertanggung jawab, menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangundang lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Bahwa dengan adanya pengaturan HAM di Indonesia juga telah menghapuskan terkait dengan diskriminasi ras dan etnis yang biasa pada umumnya dialami oleh kaum minoritas atau kaum lemah. Penghapusan diskriminasi ras dan etnis ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Munculnya pengaturan penghapusan ras dan diskriminasi ini karena setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kerena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Selain itu bahwa tindakan diskriminasi ras dan etnis itu juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan Deklarasi Universal HAM. Bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya pula di dalam hukum dan juga berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis. 121 Karena diskriminasi terhadap ras dan etnis tersebut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Pada dasarnya manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras dan etnis tertentu. Dengan adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimesi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan seperti budaya, agama, ras dan etnis juga berpotensi menimbulkan konflik. Dengan adanya ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah / mufakat bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Bila saja terjadi konflik yang diakibatkan karena diskriminasi ras dan etnis, hal ini tidak hanya merugikan kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung, dan dapat mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, dan keamanan di dalam suatu negara serta dapat juga menghambat hubungan persahabatan antar bangsa. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis. Pasal-pasal dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, yang memiliki keterkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini diantaranya yaitu: Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Jo. (2), menyatakan: “penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang diselenggarakan dengan tetap 122 memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya dan hukum yang berlaku di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ketentuan Pasal 3 ayat (1), menyatakan: “penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan”. Ketentuan Pasal 4 huruf a, menyatakan: “tindakan diskriminasi ras dan etnis berupa: memperlakukan perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan, atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya”. Ketentuan Pasal 5 huruf a dan b, menyatakan: “penghapusan diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan: (a) perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis; dan (b) jaminan tidak ada hambatan bagi prakarsa perorangan, kelompok orang atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan kesamaan penggunaan hak sebagai warga Negara”. Ketentuan Pasal 6, menyatakan: “perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Ketentuan Pasal 7, menyatakan: untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara, pemerintah dan pemerintah daerah wajib: a. Memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 123 b. Menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis. c. Mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Melakukan tindakan yang efektif guna memperbaharui, mengubah, mencabut dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis. Ketentuan Pasal 9, menyatakan: “setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis”. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “hak-hak sipil”, antara lain hak untuk: a. bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; b. meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; c. mempertahankan kewarganegaraan; d. membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan melanjutkan keturunan; e. memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain; f. berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas; g. menggunakan bahasa apa pun dengan bebas; h. berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan i. mendapatkan informasi. Yang dimaksud dengan “hak-hak politik”, antara lain hak untuk: a. mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga peradilan dan badan-badan administrasi publik lainnya; 124 b. mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu; c. berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada tingkat apa pun; dan d. berpartisipasi dalam bela negara. Yang dimaksud dengan “hak-hak ekonomi”, antara lain hak untuk: a. berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara Indonesia; b. bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan; c. mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian; d. membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja; e. memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan f. memiliki perumahan. Yang dimaksud dengan “hak-hak sosial dan budaya”, antara lain hak untuk: a. memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayananpelayanan sosial lainnya; b. memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan umum; c. memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya, sosial, dan ekonomi; d. memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya; e. menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan f. menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan etnisnya. 125 Ketentuan Pasal 13 jo. 14, menyatakan: “setiap orang baik secara sendiri atau bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya”. Dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan tanah dengan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut selain bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Karena pada dasarnya dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa oleh pemerintah daerah DIY tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi ras dan etnis, apalagi dasar pertimbangan yang digunakan Sultan untuk melarang WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah adalah dilihat dari perbedaan keadaan tingkat ekonomi antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena seharusnya dasar pertimbangan yang digunakan untuk menentukan seseorang boleh atau tidak mendapatkan hak atas tanah di Indonesia berdasarkan pada subyek hukumnya yang diatur dalam ketentuan UUPA. Seperti yang telah dijabarkan dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, bahwa diskriminasi ras dan etnis di Indonesia telah dihapuskan karena bertentangan dengan HAM. Larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut, dapat dikatakan sebagai memperlakukan perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan, atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan yang dalam ini di bidang sipil dan ekonomi. Dalam hal ini dikatakan dalam hak sipil karena: bebas berhak berdomisili dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berhak mempertahankan kewarganegaraannya, berhak memiliki hak milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain. Sedangkan dikatakan dalam hak ekomoni karena: berhak memiliki perumahan. 126 Dalam ketentuan Pasal 4 huruf a diatas dipertegas dengan ketentuan Pasal 9 yang menyatakan, setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis. Bahwa seharusnya terkait dengan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara, yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 40 Tahun 2008 ini. Dengan adanya pengaturan penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia ini, seharusnya aturan terkait dengan larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, sudah seharusnya oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah DIY tidak diberlakukan lagi karena jelas-jelas bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 huruf d UU ini, bahwa untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan tindakan yang efektif guna memperbaharui, mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis. Sangat jelas bahwa jika dilihat dari penjelasan tersebut diatas bahwa larangan kepemilikan hak milik atas tanah di DIY yang hanya diberlakukan pada WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. K.898/A/1975” bertentangan dengan UUD 1945, UUPA, UU Kewarganegaran Republik Indonesia, UU HAM, dan, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang berlaku di Indonesia. Karena hak milik atas tanah adalah hak yang terkuat dan mutlak yang dapat dimiliki seseorang sebagai warga negara, termasuk juga dapat dimiliki WNI keturunan Tionghoa yang telah sama-sama diakui menurut hukum sebagai warga negara indonesia. 127 Bahwa sudah semestinya Surat Edaran Gubernur DIY tersebut seharusnya dicabut karena sudah tidak tepat untuk diberlakukan lagi di DIY yang sama-sama telah mengakui dan memberlakukan UUPA sebagai hukum agraria nasional, dan juga pemberlakuan larangan pemilikan HM yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut merampas kesehjahteraan dengan mengurangi hak yang dimiliki oleh seseorang sebagai WNI untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia. 2. Analisis Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik. Setelah penulis menganalisa latar belakang larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY, penulis juga menganalisa dampaknya yang terjadi dilapangan akibat pemberlakuan larangan tersebut yang terkait dengan pemilikan hak atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY. Dalam praktek yang terjadi dilapangan bahwa WNI keturunan Tionghoa sampai sekarang tidak dapat atau dilarang memiliki tanah atau rumah dengan status HM di DIY, yang aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, tentang : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. Yang isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, yaitu: “Apabila ada seorang warga negara indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daearh DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”. Seharusnya sejak tahun 1984, yaitu setelah diberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY tersebut seharusnya setiap WNI yang dalam hal ini termasuk pula WNI keturunan Tionghoa sudah dapat dan diperbolehkan memiliki tanah dengan status 128 HM di DIY. Karena ketentuan dalam UUPA tidak menyebutkan atau membedakan antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa. Tetapi sampai sekarang ini didalam prakteknya yang terjadi WNI keturunan Tionghoa tersebut tetap dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, padahal WNI keturunan Tionghoa tersebut sama-sama telah dianggap sebagai warga negara Indonesia menurut hukum yang berlaku. Sudah semestinya bahwa WNI keturunan Tionghoa mendapatkan persamaan hak seperti WNI asli (pribumi), yang telah samasama sebagai warga negara Indonesia tersebut. Bahwa dengan masih diberlakukannya aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM di DIY, yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut juga dapat melahirkan atau menimbulkan kecemburuan sosial antara warga negara, karena dapat dianggap sebagai dikriminasi terhadap ras dan etnis. Karena dengan masih berlakunya aturan tersebut mengurangi hak asasi seseorang yang dimiliki sebagai warga negara Indonesia. Dengan mengingat asas Equality Before The Law, yang dimana bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan / hadapan hukum, oleh karena itu setiap orang tersebut harus diperlakukan sama dalam memperoleh hak dan kewajiban, yang dimana tidak ada pembedaan atau diskriminasi yang satu dengan yang lain. Jika dikaitkan dengan larangan pemilikan HM yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut jelas mengurangi hak yang dimiliki seseorang sebagai warga negara untuk dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis kepada beberapa WNI keturunan Tionghoa yang bertempat tinggal atau berdomisili di DIY, bahwa warga negara suku Tionghoa mengakui dilarang memiliki tanah dengan status HM di DIY, mereka WNI keturunan Tionghoa yang memliki tanah di DIY tersebut biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB saja. Sedangkan yang diperbolehkan memiliki tanah dengan status HM di DIY tersebut hanyalah WNI asli (pribumi) saja. Dari hasil penelitian terhadap WNI keturunan Tionghoa yang dilakukan oleh penulis tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 129 - Budi Santoso dan Bambang Riyanto, mengakui dapat memperoleh tanah dengan status HM di DIY dengan dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dalam hal pengurusannya untuk dibantu memperoleh tanah dengan status HM, tetapi dengan meminta (diberikan) uang tambahan untuk pengurusan perolehan status HM atas tanah tersebut. Selain itu karena mereka telah menggunakan nama indonesia dan tidak lagi menggunakan nama Tionghoa dalam identitasnya, sehingga tidak dicurigai oleh BPN. - Budi Santoso, mengakui dapat memperoleh status tanah dengan HM karena nama, wajah dan perawakannya ayahnya mirip dengan WNI asli (pribumi). - Bambang Riyanto, Imelda dan Antony Lee, mengakui membeli rumah milik warga negara Indonesia asli (Pribumi) di DIY yang awalnya status tanahnya adalah HM, tetapi pada saat menguruskan akta jual beli di Notaris / PPAT, oleh Notaris / PPAT yang menguruskannya tersebut mengatakan status tanah dari rumah tersebut akan turun menjadi HGB, dengan alasan bagi WNI keturunan Tionghoa yang membeli tanah di DIY dengan status HM harus melakukan pelepasan hak terlebih dahulu, setelah itu barulah melakukan permohonan hak yang baru. Dari permohonan hak atas tanah yang baru tersebut tidak dapat dengan status HM, melainkan biasanya hak atas tanah yang diperoleh hanya dengan status HGB saja. - Oey Meng Hoi, megakui telah menjadi WNI menurut hukum. Tetapi pada saat ingin membeli rumah di DIY karena terlihat nama, wajah dan perawakannya jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak dapat memperoleh status tanah dengan HM melainkan status yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja. . Dengan masih diberlakukannya larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut dan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap WNI keturunan Tionghoa yang mengetahui dan mengalami terkait larangan tersebut, bahwa dapat dilihat terjadi penyelundupan hukum yang dilakukan oleh WNI 130 keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki / mendapatkan tanah di DIY dengan status HM. Tetapi penyelundupan hukum untuk dapat memiliki / mendapatkan HM tersebut tetap saja dilakukan tetapi secara diam-diam. Meskipun pada dasarnya sebenarnya mereka mengerti penyelundupan hukum ini melanggar atau bertentangan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Gubernur DIY No. K. 898/I/A/75, Hal: Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI non Pribumi. 131