BAB IV PENUTUP Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari pembahasan mengenai larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi warga negara suku Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi, sebagai berikut: A. KESIMPULAN 1. Bahwa alasan atau latar belakang masih berlaku larangan pemilikan HM bagi suku Tionghoa tersebut yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K/898/A/1975, tidak tepat lagi jika diberlakukan di DIY. Hal ini karena DIY sejak tahun 1984 telah memberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY, yaitu sejak dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 dan diberlakukannya Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984. Alasan dikeluarkan dan diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, karena pada jaman dulu Gubernur (Sultan/Raja) memiliki pemikiran takut kalau tanah di DIY dikuasai oleh warga negara suku Tionghoa karena lebih kaya dan pandai melihat tanah yang berprospek untuk dikembangkan dibandingkan warga negara indonesia asli (pribumi). Dari alasan diberlakukannya larangan pemilikan HM tersebut juga tidak tepat jika dasar pertimbangannya dilihat dari sisi ekonomi, karena yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan seseorang sebagai warga negara untuk berhak atau tidak mendapatkan suatu hak atas tanah di Indonesia yaitu harus sesuai dengan subyek hukum yang terdapat UUPA sebagai hukum pertanahan nasional. 132 Jika Surat Edaran Gubernur DIY tersebut ditinjau dari tata urutan perundangundangan, asas preferensi hukum, dan perkembanganan hukum seharusnya sudah tidak relevan lagi dan bertendensi diskriminatif, tetapi masih saja hingga sekarang masih tetap diberlakukan di DIY. Karena sangat jelas bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bertentangan dengan UUPA, asas nasionalitas (Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA), asas persamaan hak (Pasal 9 ayat (2)), asas Equality Before The Law, asas Lex Superior Derogat Lex Inferiori, UU Kewarganegaraan, UU HAM, dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 2. Dengan masih diberlakukannya Larangan pemilikan HM yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut di DIY, bahwa yang diperbolehkan memiliki tanah dengan HM yaitu hanya WNI asli (pribumi) saja, sedangkan bagi WNI keturunan Tionghoa hanya diberikan HGB. Bahwa sebenarnya setiap warga negara indonesia didalam ketentuan UUPA tanpa adanya perbedaan berhak untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia, termasuk juga di DIY yang telah memberlakukan UUPA sepenuhnya. Tetapi dengan masih diberlakukannya larangan pemilikan HM tersebut banyak terjadi penyelundupan (pelanggaran) hukum, misalnya seperti: WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah di DIY dengan HM dengan meminjam nama dari WNI asli (pribumi), WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena nama, wajah, dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), atau WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara memberikan uang tambahan kepada Notaris / PPAT agar dibantu pengurusan tanahnya agar mendapatkan status HM. B. SARAN Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkenaan dengan penulisan ini adalah: 133 1. Pemerintah Daerah seharusnya mencabut dan tidak memberlakukan aturan larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang berlaku di DIY tersebut, karena dengan adanya larangan tersebut mengurangi hak asasi yang dimiliki orang sebagai warga negara untuk dapat memiliki tanah dengan status HM di Indonesia. Karena aturan larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut juga jelas-jelas bertentangan dengan: - UUPA; - UU Kewarganegaraan; - UU HAM; - UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; - Asas “nasionalitas”, yang pemilikan HM atas tanah di Indonesia adalah hak bagi setiap warga negara indonesia.; - Asas “persamaan hak”, yang pemilikan hak atas tanah (termasuk pemilikan HM atas tanah) adalah hak setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin, suku atau golongan, ataupun warga kulit; - Asas “Superior Derogat Lex Inferiori”, yang dimana peraturan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan atau bertabrakan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi; - Asas “Equality Before The Law”, yang bahwa setiap orang sebagai warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan / di hadapan hukum. Selain itu bahwa alasan / latar belakang larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut yang dasar pertimbangannya melihat pada keadaan ekonomi seorang tidak tepat, karena seharusnya dasar pertimbangan yang digunakan untuk memberikan hak atas tanah kepada seseorang dengan melihat pada subyek hukumnya, seperti yang diatur dalam ketentuan UUPA. 134