TINJAUAN PUSTAKA Penyelenggaraan Makanan Institusi Menurut Moehyi (1992), makanan institusi merupakan bentuk penyelenggaraan makanan kelompok yang memiliki tempat memasak dan menyajikan makanan dalam satu area tertentu. Penyelenggaraan makanan institusi biasanya bersifat non komersil, baik dikelola oleh pemerintah maupun badan swasta, atau pun yayasan sosial. Adapun ciri-ciri penyelenggaraan makanan institusi adalah sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan makanan dilakukan oleh institusi itu sendiri dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan; 2. Dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan makanan sudah ditetapkan jumlahnya sehingga penyelenggara harus menyesuaikan pelaksanaannya dengan dana yang tersedia; 3. Makanan diolah dan dimasak di dapur yang berada dalam lingkungan tempat institusi itu berada; 4. Hidangan makanan yang disajikan diatur dengan menggunakan menu induk (master menu) dengan siklus mingguan atau sepuluh harian; 5. Hidangan makanan yang disajikan tidak banyak berbeda dengan hidangan yang biasa disajikan dilingkungan keluarga. Berbagai keterbatasan dalam penyelenggaraan makanan institusi sering mengakibatkan kerugian tidak saja bagi konsumen tetapi juga bagi penyelenggara. Adapun kelemahan dari penyelenggaraan makanan institusi antara lain sebagai berikut: 1. Kualitas bahan makanan yang digunakan sering tidak begitu baik karena keterbatasan alat; 2. Cita rasa makanan kurang diperhatikan karena tidak ada resiko untung atau rugi; 3. Makanan kurang bervariasi menyebabkan konsumen tidak berselera memakannya sehingga terdapat sisa makanan dalam jumlah banyak; 4. Porsi makanan konsumen tidak sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Mukrie (1990), beberapa faktor yang mendorong dilaksanakannya makanan masal di tempat kerja, adalah: 1. Kurang tersedianya waktu untuk menyimpan makanan; 2. Jarak tempat kerja yang jauh dan menyita waktu; 3. Kesulitan membawa makanan selama dalam perjalanan menuju tempat kerja; 6 4. Adanya keharusan diselenggarakannya makanan bagi tenaga kerja tersebut. Tujuan umum dari penyelenggaraan makanan masal ini adalah tersedianya makanan yang memuaskan bagi konsumen, dengan manfaat yang setinggitingginya bagi institusi. Penyelenggaraan makanan masal merupakan penyelenggaraan makanan yang menyediakan makanan diatas 50 porsi. Adapun tujuan khusus dari penyelenggaraan makanan masal adalah: 1. Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan, dan dimakan dengan layak; 2. Pelayanan yang cepat dan menyenangkan; 3. Menu seimbang dan bervariasi; 4. Memberikan harga yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan; 5. Memiliki standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi. Penyelenggaraan Makanan Industri Penyelenggaraan makanan industri secara lebih profesional baru dimulai pada pertengahan abad ke-17 bersamaan dengan awal Revolusi Industri di Eropa. Pada masa itu dirasakan perlu adanya usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja para pekerja di berbagai industri. Pemberian makanan yang memenuhi syarat terbukti dapat meningkatkan produktivitas kerja para pekerja pabrik. Penyelenggaraan makanan industri mulai dikembangkan di berbagai industri tekstil, bank, dan sebaginya. Pemberian makanan bagi karyawan pabrik atau perusahaan sampai saat itu masih dikaitkan dengan pemberian jaminan kesejahteraan. Penyelenggaraan makanan yang didasarkan atas kebutuhan karyawan akan zat gizi agar memperoleh tingkat kesehatan yang optimal yang memungkinkan tercapainya produktivitas kerja maksimal baru dilaksanakan pada awal abad ke-20. Tujuan penyelenggaraan makanan pun berubah menjadi meningkatkan produktivitas kerja yang berarti peningkatan produksi (Moehyi 1992). Menurut Mukrie (1990), pelayanan gizi institusi atau tenaga kerja adalah suatu bentuk penyelenggaraan makanan masal yang sasarannya di pabrik, perusahaan atau perkantoran. Tujuan dari diadakannya penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja ini adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan stamina pekerja yang sebaik-baiknya, agar dapat diciptakan suasana kerja yang memungkinkan tercapainya produktivitas kerja yang maksimal. 7 Faktor yang mendorong perkembangan penyelenggaraan makanan industri menurut Mukrie (1990) adalah sebagai berikut: 1. Tumbuhnya kesadaran dan keyakinan para pengusaha industri bahwa pelayanan makanan di institusi tempat karyawan bekerja akan meningkatkan produktivitas kerja karyawan; 2. Lokasi tempat kerja yang jauh dari pemukiman dan berbagai hambatan transportasi tidak memungkinkan karyawan pulang ke rumah untuk makan; 3. Berbagai kemajuan sebagai hasil pembangunan telah membuka kesempatan bagi para wanita untuk memperoleh pekerjaan di luar rumah. Terbatasnya waktu mereka dirumah tidak memungkinkan mereka menyiapkan makanan di rumah. Pelayanan gizi institusi industri memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Standar makanan yang disediakan diperhitungkan sesuai dengan beban kerja dan lama pekerjaan, serta pertimbangan situasi kerja; 2. Waktu makan pada umumnya seperti waktu makan di rumah, terutama makan siang atau makan sore, kadang kala ada makan pagi dan makan malam. Semua makanan diberikan di ruang makan lengkap dengan air minum; 3. Pada saat pabrik tidak berproduksi, yaitu pada hari libur maka pemberian makanan ditiadakan atau diganti bahan lain; 4. Diperlukan tenaga khusus yang mengelola serta melayani makanan di ruang makan; 5. Jumlah yang dilayani harusnya tetap, atau sedikit sekali perubahan. Penyediaan untuk tamu dilakukan tersendiri dan terpisah; 6. Macam hidangan sederhana, tidak banyak variasi dan disajikan menurut kemampuan perusahaan, tanpa mengabaikan kebutuhan konsumen; 7. Pelayanan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan paling banyak dilakukan adalah menggunakan tiket makanan bertanggal. Penyelenggaraan makanan tenaga kerja ini dikelola oleh pemilik sendiri secara penuh, dikontrakkan dengan pemborong makanan, ataupun dikelola oleh serikat buruh bersama perusahaan, kadang kegiatan pengelolaan penyediaan makanan ini dimodifikasi dengan kombinasi cara-cara yang telah disebutkan (Mukrie 1990). 8 Tenaga Pengolah Makanan Isi tenaga kerja yang diperlukan dalam penyelenggaraan makanan berdasarkan Moehyi (1992), baik komersial maupun non komersial, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok tenaga kerja, yaitu: A. Kelompok Tenaga Pengelola Tenaga-tenaga pengelola kegiatan penyelenggaraan makanan bertanggung jawab atas perencanaan, pengawasan, dan pengendalian. Kelompok tenaga ini bertanggung jawab dalam penyusunan menu, standarisasi kualitas, dan cita rasa makanan yang dihasilkan, serta efisiensi penggunaan dan daya yang tersedia sehingga biaya penyelenggaraan makanan dapat ditekan serendah mungkin tanpa mengurangi mutu dan cita rasa makanan. B. Kelompok Tenaga Pelaksana Kelompok tenaga pelaksana dalam penyelenggaraan makanan adalah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan produksi dan distribusi makanan kepada konsumen. Isi tenaga dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai keahlian dalam kegiatan masak-memasak, baik melalui pendidikan formal maupun melaui pengalaman yang cukup. C. Kelompok Tenaga Pembantu Pelaksana Kelompok tenaga pembantu pelaksana penyelenggaraan makanan adalah mereka yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan makanan, tetapi tidak mempunyai tanggung jawab khusus. Umumnya mereka hanya membantu tenaga pelaksana untuk menyelesaikan tugasnya, seperti membersihkan bahan makanan, memotong, mengiris, atau membantu pekerjaan memasak lainnya, termasuk membersihkan peralatan. Proses Penyelenggaraan Makanan A. Perencanaan Menu Menurut Mukrie (1990), menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan atau dihidangkan untuk seseorang atau kelompok orang untuk setiap kali makan. Perencanaan menu adalah serangkaian kegiatan menyusun hidangan dalam variasi yang serasi untuk manajemen penyelenggaraan makanan di institusi. Oleh karena itu, perencanaan menu yang baik sangat diperlukan dalam penyelenggaraan makanan karena memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Memudahkan pelaksana dalam menjalankan tugasnya sehari-hari; 9 2. Dapat menyusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi esensial yang dibutuhkan tubuh; 3. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur, sehingga menghindari kebosanan; 4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia, sehingga kekurangan uang belanja dapat dihindari; 5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin; 6. Menu yang terencana dengan baik dapat menjadi suatu alat penyuluhan gizi yang baik. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam proses perencanaan menu adalah: 1. Kecukupan gizi, yaitu menu memperhatikan kebutuhan gizi konsumen; 2. Macam dan peraturan institusi, yaitu dalam hal penggunaan anggaran belanja bahan makanan, banyaknya personil, dan prosedur pembelian bahan makanan; 3. Kebiasaan makan, yaitu menu menyesuaikan dengan kebiasaan makan individu atau golongan yang ditentukan oleh faktor kejiwaan, sosial-budaya, agama, latar belakang pendidikan, lingkungan hidup sehari-hari, dan tempat asal; 4. Macam dan jumlah orang yang dilayani; 5. Peralatan dan perlengkapan dapur yang tersedia; 6. Macam dan jumlah pegawai; 7. Macam pelayanan yang diberikan; 8. Musim atau iklim dan keadaan pasar; 9. Dana yang tersedia (Mukrie 1990). 10 Bagan faktor yang mempengaruhi perencanaan menu berdasarkan modifikasi Mahmood dan Mukrie dalam Sinaga (2007) adalah sebagai berikut: Kebiasaan makan dan kesukaan Kecukupan Gizi Macam dan jumlah orang yang dilayani Karakteristik makanan dan sifat rangsangannya Konsumen Menu Sasaran dan tujuan organisasi Manajemen Kondisi pasar Dana/anggaran Keahlian Tipe produksi dan sistem pelayanan Macam dan peraturan institusi Fasilitas dan perlengkapan Gambar 1 Diagram faktor pengaruh perencanaan menu B. Penerimaan Bahan Makanan Penerimaan bahan makanan menurut Mukrie (1990) adalah rangkaian kegiatan meneliti, memeriksa, mencatat, dan melaporkan bahan makanan yang masuk sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (surat perjanjian jual beli). Fungsi penerimaan bahan makanan ada dua, yaitu penerimaan bahan makanan langsung dan penerimaan bahan makanan tidak langsung. Kedua fungsi tersebut bergantung atas besar kecilnya institusi, semakin besar institusi semakin menyukai bentuk langsung. Penerimaan bahan makanan langsung adalah bahan makanan diterima, langsung diperiksa oleh bagian penerimaan, kemudian penjual/rekanan langsung mengirim ke bagian penyimpanan kering maupun segar. Penerimaan tidak langsung adalah bahan makanan diterima oleh unit penerimaan, dan petugas unit tersebut bertugas menyalurkan bahan makanan tersebut ke bagian penyimpanan. Proses penerimaan bahan makanan memiliki prinsip yang harus diperhatikan, terdiri atas: 1. Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan jumlah bahan makanan yang tertulis dalam faktur pembelian dan sama jumlahnya dengan daftar permintaan institusi; 11 2. Mutu bahan makanan yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang diminta pada surat kontrak perjanjian jual beli; 3. Harga bahan makanan yang tercantum dalam faktur pembelian harus sama dengan harga bahan makanan yang tercantum pada penawaran bahan makanan. Cara atau bentuk penerimaan terdiri atas dua isi, yaitu sebagai berikut: 1. Blind Receiving atau sering disebut cara buta Petugas penerima tidak mendapatkan spesifikasi bahan makanan serta faktur pembelian dari pihak penjual/leveransir. Petugas penerimaan bertugas mengecek, menimbang, dan menghitung bahan makanan yang datang di ruang penerimaan, kemudian mencatat di buku laporan atau formulir yang telah dilengkapi dengan jumlah, berat, panjang, dan spesifikasi lain jika diperlukan. Pihak leveransir mengirim faktur penerimaan bahan makanan langsung ke bagian pembayaran, sedangkan bagian penerimaan mengirim pula lembar formulir bahan makanan yang diterima untuk dicocokkan oleh bagian pembelian/pembayaran. 2. Konvensional Petugas penerima bahan makanan mendapatkan faktur dan spesifikasi satua dan jumlah bahan makanan yang dipesan, jika jumlah dan mutu tidak sesuai, petugas penerima berhak mengembalikannya. Petugas penerima harus mencatat semua bahan makanan yang diterima dan bahan makanan yang dikembalikan untuk dilaporkan kepada bagian pembelian atau pembayaran. C. Pembelian Bahan Makanan Menurut Mukrie (1990), pembelian bahan makanan adalah rangkaian kegiatan dalam penyediaan macam dan jumlah serta spesifikasi bahan makanan tertentu dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di institusi. Proses pembelian bahan makanan dapat menerapkan berbagai prosedur yang tergantung pada kebijakan, kondisi, besar institusi, dan kemampuan sumber daya institusi tersebut, yakni terdiri atas: 1. Pembelian langsung ke pasar (The open market of buying) Proses pembelian merupakan hasil kesepakatan antara pembeli dan penjual. Pembeli akan mengumpulkan informasi pasar tentang macam, kualitas, harga, dan ketersediaan bahan makanan. Pesanan dapat dilakukan melalui telepon, datang langsung ke pasar, atau berdasarkan perjanjian antara pembeli dengan penjual. 12 2. Pelelangan (The formal competitive of bid) Cara pembelian tergolong resmi dan mengikuti prosedur pembelian yang telah dijabarkan dalam Keputusan Presiden, serta peraturan yang ditetapkan Pemerintah Daerah ataupun penanggung jawab tertentu. 3. Pembelian musyawarah (The negotiated of buying) Pembelian dengan cara ini hanya dilakukan untuk bahan makanan yang hanya tersedia pada waktu-waktu tertentu, jumlahnya terbatas, dan merupakan bahan makanan yang dibutuhkan konsumen. 4. Pembelian yang akan datang (Future contract) Pembelian ini dirancang untuk bahan makanan yang telah terjamin, terpercaya dalam hal mutu, keadaan dan harganya. 5. Pembelian tanpa tanda tangan (Unsigned contract) Perjanjian dalam proses pembelian dilakukan atas dasar kepercayaan, sehingga pihak rekanan harus memiliki reputasi yang tinggi dalam pelaksanaan pembelian bahan makanan. D. Penyimpanan Bahan Makanan Menurut Mukrie (1990), penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, serta penyaluran bahan makanan sesuai dengan permintaan untuk persiapan pemasakan bahan makanan. Tujuan dari proses penyimpanan bahan makanan adalah sebagai berikut: 1. Memelihara dan mempertahankan kondisi serta mutu bahan makanan yang disimpan; 2. Melindungi bahan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan, dan gangguan lingkungan lainnya; 3. Melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan makanan dengan mutu dan waktu yang tepat; 4. Menyediakan persediaan bahan makanan dalam macam jumlah dan mutu yang memadai. E. Persiapan dan Pemasakan Persiapan bahan makanan menurut Mukrie (1990) adalah suatu proses kegiatan yang spesifik dalam rangka menyiapkan bahan makanan dan bumbu sebelum dilakukan pemasakan. Kegiatannya meliputi semua perlakuan pada saat bahan makanan diterima, diambil atau dikeluarkan dari penyimpanan untuk kemudian disiangi, dibersihkan bagian-bagian yang tidak dimakan, dicuci, 13 dipotong, direndam bila perlu, diiris tipis, digiling, ditumbuk-tumbuk, dirajang, diaduk, diayak, dibentuk, dicetak, dipanir sampai saat bahan makanan siap untuk dimasak. Persiapan bahan makanan memiliki pengaruh yang besar terhadap standar porsi, standar resep, yang akhirnya dengan prosedur makanan yang ditetapkan dapat mempengaruhi kualitas makanan yang dihasilkan. Persiapan bahan makanan bertujuan untuk: 1. Tersedianya racikan yang tepat dari berbagai macam bahan makanan untuk berbagai masakan dalam jumlah yang sesuai dengan porsi, menu yang berlaku, dan jumlah konsumen; 2. Tersedianya berbagai anjuran bumbu masakan sesuai resep, isi masakan, menu, dan jumlah konsumen. Menurut Mukrie (1990), pemasakan bahan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang ditentukan dengan menambahkan bumbu standar menurut resep, jumlah konsumen, serta perlakuan spesial yaitu pemasakan dengan air, lemak, pemanasan dalam rangka mewujudkan masakan dengan cita rasa yang tinggi. Tujuan dari pemasakan bahan makanan adalah sebagai berikut: 1. Memperbaiki daya cerna makanan; 2. Mempertahankan nilai gizi makanan; 3. Mempertahankan dan menambah rasa serta rupa dari bahan makanan; 4. Menimbulkan rasa aman bagi manusia. F. Distribusi dan Penyajian Makanan Proses distribusi berdasarkan Mukrie (1990) mengenal dua cara pendistribusian makanan kepada konsumen, yaitu: 1. Cara sentralisasi Semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada suatu tempat (centralized). Sebelum memilih cara sentralisasi ini, maka penanggung jawab penyediaan makanan sudah harus memperhitungkan konsekuensi yang harus diadakan seperti luas tempat, peralatan, tenaga dan kesepian manajemen yang menyeluruh. Beberapa keuntungan menerapkan cara sentralisasi dalam proses pendistribusian diantaranya adalah penghematan bangunan institusi, tidak membutuhkan alat-alat makan yang berlebih di pantry, masalah kelebihan makanan atau sisa makanan akan berkurang, pengawasan dipusat, 14 pendistribusian dapat lebih intensif dan teliti, tidak akan dijumpai suara keributan tenaga, alat ataupun bau makanan ke konsumen, serta makanan dapat langsung ke konsumen tanpa hambatan yang berarti. Kelemahan dari pelaksanaan cara sentralisasi ini adalah dibutuhkan uang pendistribusian yang cukup luas untuk peralatan makanan dan alat makan, diperlukan pegawai yang terampil dan terlatih untuk bekerja dengan teliti, cepat, benar, dan rapi, ketidaksesuaian alat makan dan isi hidangan yang tersedia, serta kepuasan konsumen per orang agak terabaikan. 2. Cara desentralisasi Cara pendistribusian desentralisasi biasa diterapkan di institusi yang memiliki ruang makan atau unit-unit pelayanan yang berada pada lokasi yang berbeda. Fokus kegiatan masih tetap berada di unit pembagian utama, kemudian selanjutnya menata makanan dalam alat-alat makan perorangan yang telah disediakan di dapur ruangan. Sistem ini membutuhkan pos pelayanan makan sementara yang berfungsi menghangatkan kembali makanan, membuat minuman atau seisinya, menyiapkan peralatan makanan sesuai dengan porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan, serta membawa hidangan kepada konsumen. Keuntungan cara desentralisasi adalah mutu makanan dapat dipertahankan karena makanan dihangatkan kembali dan peralatan yang dibutuhkan relative lebih sedikit serta macam peralatan lebih murah dibandingkan cara sentralisasi. Kelemahan cara sentralisasi adalah memerlukan tempat distribusi yang luas, kadang kualitas makanan dapat rusak, pelayanan makanan lebih lambat, biaya pantry cukup tinggi, pengawasan sukar, kesulitan menata peralatan makan dan inventarisasinya di pantry, serta sering menimbulkan kegaduhan dan bau makanan. Proses penyajian makanan menurut Mukrie (1990), memberi arti khusus bagi penampilan makanan. Seni penyajian ini ada beberapa jenis, tergantung dari asal tempat metode tersebut diperkenalkan yang terdiri atas: 1. Pelayanan di meja gaya Amerika Konsep dasar pelayanan penyajian makanannya yaitu menyajikan hidangan pada piring di dapur. Biasanya ada piring roti, mentega, dan daun salad. Bagian kiri disediakan hidangan cair, tetapi air berada disebelah kanan. Bila ada piring kotor harus diangkat. 2. Pelayanan di meja gaya Perancis 15 Sebagian makanan sudah disajikan pada piring dan sisanya diperagakan dimuka tamu. Bagian kanan dari piring diletakkan pisau, sendok sup, dan gelas minum, sedangkan bagian kiri diletakkan garpu, mentega, dan pisau mentega. 3. Pelayanan menggunakan baki atau alat makan bersekat Alat makan bersekat yang digunakan dapat terbuat dari plastik, alumunium, ataupun stainless steel dan memiliki kedalaman yang cukup untuk porsi hidangan yang ditetapkan. 4. Pelayanan cafetaria Pelayanan cafetaria biasanya dilakukan di pabrik, rumah sakit, lembaga penyediaan makanan masal, sekolah, ataupun di tempat umum. Prinsip pelayanan ini adalah menggabungkan fungsi yang sama seperti alat makan diatur mulai dari sendok garpu, serbet, lalu baki, dan piring. Hidangan juga diatur mulai dengan penyegar, sup, hidangan panas, hidangan dingin, minuman panas, dingin, terakhir makanan penutup, dan loket pembayaran. Adapun cara pelayanan dengan cafetaria terdiri atas: cafetaria umum (konsumen dapat mengambil sendiri hidangan yang diinginkannya), cafetaria dengan pelayanan, dan kantin bergilir. 5. Pelayanan makanan kapal terbang Faktor Pengaruh Kepuasan Kerja Secara teoritis, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, pemenuhan harapan penggajian, dan efektivitas kerja. Faktoryang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah: (a) jenis pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan; (b) supervisi; (c) organisasi dan manajemen; (d) kesempatan untuk maju; (e) gaji dan keuntungan dalam finansial lainnya seperti adanya insentif; (f) rekan kerja; dan (g) kondisi pekerjaan (Rivai 2009). Selanjutnya Rivai (2009) juga menegaskan kepuasan kerja adalah mengenai bagaimana orang merasakan pekerjaan dan aspek-aspeknya. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus benar-benar memperhatikan kepuasan kerja, yang dapat dikategorikan sesuai dengan fokus karyawan atau perusahaan, yaitu: 1. Manusia berhak diberlakukan dengan adil dan hormat, pandangan ini menurut perpektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi 16 perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indikator emosional atau kesehatan psikologis; 2. Perpektif kemanfaatan, bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan kepuasan kerja antara unit-unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Kepuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku kerja seperti malas, rajin, produktif, dan lain-lain, atau mempunyai hubungan dengan beberapa isi perilaku yang sangat penting dalam organisasi. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yang berkaitan dengan beberapa aspek menurut Hariandja (2002), yaitu: 1. Gaji, yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil; 2. Pekerjaan itu sendiri, yaitu jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang memuaskan; 3. Rekan sekerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan; 4. Atasan, yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan dan dalam hal ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja; 5. Promosi, yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak, proses kenaikan jabatan kurang terbuka atau terbuka. Ini juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang; 6. Lingkungan kerja, yaitu lingkungan fisik dan psikologi. Penilaian Tingkat Kepuasan kerja Kepuasan kerja menurut Rivai (2009) pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Oleh karena itu, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atau perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Kepuasan dalam dunia kerja salah satunya bisa mengacu kepada kompensasi yang diberikan oleh pengusaha, termasuk gaji atau penghargaan 17 dan fasilitas kerja lainnya seperti rumah dinas dan kendaraan kerja. Konteks “puas” dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu individu akan merasa puas apabila dia mengalami hal-hal: 1. Apabila hasil atau imbalan yang didapat atau diperoleh individu tersebut lebih dari yang diharapkan. Masing-masing individu memiliki target pribadi. Apabila mereka termotivasi untuk mendapatkan target tersebut, mereka akan bekerja keras. Pencapaian hasil dari kerja tersebut akan membuat individu merasa puas 2. Apabila hasil yang dicapai lebih besar dari standar yang ditetapkan. Apabila individu memperoleh hasil yang besar dari standar yang ditetapkan oleh perusahaan, maka individu tersebut memiliki produktivitas yang tinggi dan layak mendapatkan penghargaan dari perusahaan. 3. Apabila yang didapat oleh karyawan sesuai dengan persyaratan yang diminta dan ditambah dengan ekstra yang menyenangkan konsisten untuk setiap saat serta dapat ditingkatkan setiap waktu. Faktor Pengaruh Produktivitas Kerja Penyediaan tenaga kerja menurut Arfida (2002) juga dipengaruhi oleh tingkat produktivitas kerja. Banyak orang yang bekerja keras, tetapi banyak juga orang yang bekerja dengan sedikit usaha. Hasil yang diperoleh dari dua cara tersebut tentu akan berbeda. Produktivitas kerja seseorang dipengaruhi oleh motivasi dari tiap-tiap individu, tingkat pendidikan, dan pelatihan yang sudah diterima, serta kemampuan manajemen. Orang yang berpendidikan tinggi dan giat berlatih pada dasarnya mempunyai produktivitas yang lebih tinggi juga. Manajemen yang relatif baik akan mampu mengerahkan karyawannya untuk meningkatkan produktivitas kerja. Melalui pendekatan sistem, faktor yang mempengaruhi produktivitas karyawan perusahaan dapat digolongkan pada tiga kelompok, yaitu: 1. Kualitas dan fisik karyawan (pendidikan, latihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental, dan fisik); 2. Sarana pendukung (lingkungan kerja yang terdiri atas keselamatan dan kesehatan kerja, sarana produksi, dan teknologi, serta kesejahteraan yang terdiri atas upah, jamsostek, dan keamanan; 3. Supra sarana (kebijaksanaan pemerintah, hubungan industrial, manajemen). 18 Perbaikan-perbaikan di bidang lingkungan kerja dapat menumbuhkan semangat dan kecepatan kerja. Demikian juga perbaikan di bidang pengupahan dan jaminan sosial dapat meningkatkan motivasi kerja dan kemampuan fisik karyawan. Adanya kepastian atas kelangsungan pekerja dan penghasilan yang akan diperoleh hingga hari tua, merupakan pendorong untuk meningkatkan produktivitas kerja. Faktor manajerial yang mempengaruhi langsung produktivitas adalah melalui perbaikan pengorganisasian dan tata kerja yang memperkecil pemborosan, dan keborosan penggunaan sumber-sumber. Faktor yang tidak langsung mempengaruhi produktivitas adalah melalui fasilitas latihan serta perbaikan penghasilan dan jaminan sosial karyawan. Menurut Palacio&Theis (2009), terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi dan dapat pula meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam sistem pelayanan makanan. Produktivitas tenaga kerja pelayanan makanan dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan input, meningkatkan output, atau melakukan keduanya pada waktu yang bersamaan. Penilaian Produktivitas Kerja Secara umum produktivitas berdasarkan Sinungan (2008) diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang-barang atau jasa) dengan masukan yang sebenarnya. Suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan tenaga kerja, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan fisik bentuk dan nilai. Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi barang-barang atau jasa, dimana merupakan hubungan antara output dan input. Orientasi dari produktivitas kerja bukan tertuju hanya pada output atau hanya pada input melainkan kepada keduanya. Konsep produktivitas adalah “lebih luas” dari konsep-konsep yang hanya berorientasi pada satu segi saja (seperti efisiensi, produksi, dan efektivitas). Hubungan antara output dan input biasanya dinyatakan dalam rasio atau indeks (perbandingan rasio dengan rasio). Palacio&Theis (2009), menjabarkan maksud produktivitas kerja dalam sistem pelayanan makanan diartikan sebagai rasio satu atau lebih input yang dibandingkan dengan beragam output. Input dalam hal ini terdiri atas jam kerja, uang yang dihabiskan, dan sumber daya lainnya yang digunakan, sedangkan output terdiri atas makanan yang dihasilkan. 19 Secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga isi yang sangat berbeda. 1. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan secara historis yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan apakah meningkat atau berkurang serta peningkatannya 2. Perbandingan pelaksana antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapaian relatif 3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya.Inilah yang terbaik sebagai memusatkan perhatian pada sasaran/tujuan. Secara khusus menurut Palacio&Theis (2009), pengukuran produktivitas kerja dari suatu penyelenggaraan makanan dilakukan dengan menentukan produktivitas tenaga pengolah makanannya. Pengukuran produktivitas tenaga kerja merupakan hal yang sangat menarik, sebab mengukur hasil-hasil tenaga kerja manusia dengan segala masalah-masalah yang bervariasi khususnya pada kasus-kasus di negara berkembang atau pada semua organisasi selama periode antara perubahan-perubahan besar pada formasi modal. Metode pengukuran produktivitas tenaga kerja yang baik adalah berdasarkan waktu tenaga kerja (jam, hari, atau tahun), dimana pengeluaran diubah ke dalam unit-unit pekerja yang biasanya diartikan sebagai jumlah kerja yang dapat dilakukan dalam satu jam oleh pekerja yang terpercaya yang bekerja menurut pelaksanaan standar (Sinungan 2008). Pengukuran produktivitas karyawan dalam jasa pelayanan makanan berdasarkan Gregoire&Spears (2007) terdapat 6 cara, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Makanan/jam kerja = 2. Menit/makanan = Total makanan yang disajikan/ hari Jam kerja/hari Menit kerja/hari Total makanan yang disajikan/ hari 3. Biaya upah/hari = ∑ gaji per jam tiap karyawan x Jam bekerja tiap karyawan 4. Biaya upah/makanan yang disajikan = Total biaya upah harian Makanan yang disajikan/ hari 5. Biaya kerja/hari = Total biaya upah/hari + Total biaya kerja langsung lainnya (keuntungan sisa, dan sebagainya)/hari 20 6. Biaya kerja/makanan yang disajikan = Total biaya kerja/hari Makanan yang disajikan/ hari Hubungan Tingkat Kepuasan Kerja Terhadap Produktivitas Produktivitas kerja merupakan suatu hasil kerja dari seorang karyawan. Hasil kerja karyawan ini merupakan suatu proses bekerja dari seseorang dalam menghasilkan suatu barang atau jasa. Produktivitas kerja karyawan dapat menurun dikarenakan kemungkinan adanya ketidaknyamanan dalam bekerja, upah yang minim dan juga ketidakpuasan dalam bekerja. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Almigo (2004), salah satunya menjelaskan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang diterima karyawan, semakin tinggi pula produktivitas kerjanya. Hasil pengujian hubungan aspek-aspek kepuasan kerja dengan produktivitas kerja, menunjukkan bahwa dari lima aspek kepuasan kerja yang digunakan (pekerjaan itu sendiri, gaji atau upah, pengawasan kerja, promosi kerja, dan rekan kerja) diketahui masing-masing aspek memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan produktivitas kerja, kecuali pada aspek rekan kerja.