BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan
negara
tropis
yang
memiliki
banyak
keanekaragaman hayati. Tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya memiliki
manfaat beragam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Salah satu manfaatnya adalah untuk pengobatan. Sejak
zaman dahulu masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman obat sebagai
obat tradisional yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Seperti jamu, baik yang
diseduh maupun direbus. Dewasa ini, banyak masyarakat yang kembali
memanfaatkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan. Back to nature adalah
istilah yang saat ini tidak asing dalam dunia pengobatan.
Jamur atau fungi adalah salah satu sumber penyebab timbulnya penyakit.
Infeksi oleh mikroba banyak terjadi apalagi di negara tropis seperti di Indonesia
yang kelembabannya cukup tinggi. Hal ini menyebabkan baik bakteri maupun
jamur tumbuh dan berkembang dengan cepat. Perkembangannya yang sangat
cepat dan kemudahannya untuk tumbuh telah menuntut para penemu obat untuk
mencari dan menemukan obat baru yang berfungsi sebagai antimikroba, karena
infeksi oleh bakteri maupun jamur sering dialami oleh manusia ataupun hewan.
Sementara itu, saat ini banyak mikroba yang telah resisten terhadap beberapa jenis
antibiotik. Tubuh kita merupakan tempat tinggal bagi sebagian jamur dan bakteri.
Sebagian dari mikroba tersebut berguna bagi manusia, dan yang lain
1
2
dalam kondisi tertentu dapat dengan cepat menggandakan diri dan akhirnya
menyebabkan peradangan atau infeksi pada tubuh kita.
Infeksi dapat diobati dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik adalah
zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi (jamur), yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain, yang memiliki khasiat
mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi
manusia relatif kecil (Sofa, 2004). Akan tetapi penggunaan antibiotik secara
besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya
resistensi. Banyaknya bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik tertentu
menyebabkan pengobatan terhadap penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
dan jamur menjadi lebih lama (Anonim, 2011).
Tingginya
kasus
resistensi
antibiotik
di
Indonesia
cukup
mengkhawatirkan. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara
dengan
beban
tinggi
kekebalan
obat
terhadap
kuman
(Multidrug
Resistancy/MDR) di dunia berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO)
tahun 2009. Resistensi antibiotik sudah menjadi masalah dunia dikarenakan
kurangnya rasionalitas penggunaan antibiotik. Banyak antibiotik diberikan, dijual
dan dibeli dengan tidak semestinya (Anonim, 2011), sehingga dapat menimbulkan
resistensi ataupun efek lain seperti alergi, idiosinkrasi dan keracunan (Sofa, 2004).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011), bahwa
penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan sering kali tidak tepat, sehingga
dapat menimbulkan pengobatan yang kurang efektif, peningkatan resiko terhadap
pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan. Maka dari itu,
3
dibutuhkan solusi yang tepat untuk mencegah permasalahan tersebut. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan obat-obat alam.
Antifungi merupakan salah satu antibiotika yang digunakan untuk
menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh fungi atau jamur. Antifungi adalah
aktivitas suatu senyawa yang dapat menghambat atau membunuh jamur tertentu,
sehingga antifungi ini diharapkan dapat menyembuhkan suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi jamur. Beberapa antifungi yang digunakan oleh
masyarakat umum adalah obat-obat hasil sintesis secara kimiawi, misalnya
Nistantin, Ketoconazole, Fluconazole yang mungkin lebih mahal dan sulit
disintesis. Namun, sekarang
banyak masyarakat yang mulai memanfaatkan
tanaman untuk pengobatan.
Penyakit infeksi juga dapat diobati menggunakan obat-obat tradisional.
Salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman kayu
kuning (A.flava). Tanaman ini sangat berpotensi sebagai antifungi (Nakamoto
dkk, 1995). Rebusan batang kayu kuning telah lama dimanfaatkan di beberapa
daerah di Indonesia misalnya di Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat dan Selatan,
Kalimantan, dan beberapa daerah di Papua, terutama untuk mengobati diare
berdarah, hepatoprotektor, obat cacing dan gangguan saluran pencernaan lainnya
dimana bakteri penyebabnya adalah Shigella sp., Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus. Dari aspek fitokimia diduga rebusan batang kayu kuning
mengandung senyawa kimia alkaloid yaitu berberin yang merupakan senyawa
golongan alkaloid isokuinolin.
4
Banyaknya masyarakat yang kembali menggunakan obat herbal, memacu
penulis untuk melakukan penelitian tentang aktivitas antifungi dari ekstrak air
batang kayu kuning, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
adakah aktivitas lain yang mungkin bisa dimanfaatkan. Uji aktivitas ini
menggunakan fungi C.albicans dan T.mentagrophytes. Pemilihan fungi tersebut
didasarkan pada penggunaan tanaman ini di masyarakat. Rebusan batang kayu
kuning biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sariawan, pembersih
luka, obat kutu air, dan obat diare. Sariawan adalah salah satu infeksi yang sering
sekali diderita oleh masyarakat. Begitu pula dengan kutu air atau yang disebut
sebagai tinea pedis, merupakan salah satu jenis penyakit dermatofitosis yang
prevalensinya paling tinggi (Jawetz dkk., 2001). Sementara itu, mikroba penyebab
sariawan adalah C.albicans dan salah satu fungi penyebab kutu air adalah
T.mentagrophytes.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian
tentang aktivitas antifungi yang berasal dari tanaman, yaitu dari ekstrak larut air
batang kayu kuning. Penelitian ini akan memberikan bukti ilmiah kemanfaatan
ekstrak larut air batang kayu kuning sebagai antifungi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, batang kayu kuning berpotensi untuk
dikembangkan sebagai antimikroba alami, maka perlu diketahui:
1.
Apakah ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) mempunyai aktivitas
sebagai antifungi terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes.
5
2.
Bagaimanakah profil kandungan kimia dan berapakah kadar relatif senyawa
alkaloid yang terkandung dalam ekstrak larut air batang kayu kuning
(A.flava).
3.
Berapakah konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh
minimum (KBM) ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) terhadap
C.albicans dan T.mentagrophytes.
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikroba
suatu senyawa, terutama untuk mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik
tertentu. Penelitian ini untuk memberikan dukungan atau bukti ilmiah bahwa
ekstrak air batang kayu kuning (A.flava) memiliki aktivitas sebagai antifungi,
dalam hal ini terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes. Sehingga
kedepannya dapat digunakan sebagai sumber obat antifungi, khususnya bagi
masyarakat yang jauh dari pusat kesehatan.
Selain itu, dewasa ini banyak kalangan yang tertarik dengan obat-obatan
yang bersumber dari tanaman, mengingat obat-obatan alami memiliki efek
samping yang relatif lebih lebih kecil dibanding obat-obat sintetik. Maka dari itu,
penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas
khususnya masyarakat pengguna tanaman kayu kuning sehingga tanaman ini
dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama oleh masyarakat terpencil.
Selanjutnya penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan
formulasi sediaan herbal yang mungkin nanti akan dikembangkan.
6
D. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui aktivitas antifungi ekstrak larut air batang kayu kuning terhadap
jamur C.albicans dan T.mentagrophytes.
2.
Mengidentifikasi dan menetapkan kadar relatif senyawa alkaloid yang
terkandung dalam ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) dengan KLT
(Kromatografi Lapis Tipis).
3.
Mengetahui kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum
(KBM) ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) terhadap jamur
C.albicans dan T.mentagrophytes.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L. Merr)
Gambar 1. Tanaman kayu kuning (Arcangelisia flava L.Merr) (Anonim, 2012)
a.
Morfologi tumbuhan
Tumbuhan ini berupa terna, memanjat atau liana, menahun, panjangnya
dapat mencapai ± 20 m. Batang utama sebelum bercabang dua, besarnya seperti
lengan/betis orang dewasa, batang tersebut mengandung air, batang dan
7
cabangnya liat, batang bulat, membelit, kasar, berwarna cokelat kehitaman, dalam
batang berwarna kuning dan rasanya pahit. Bentuk daun bundar telur sampai
lonjong atau oval yang meruncing di bagian ujung, permukaan daun hijau
mengkilat. Perbungaan malai, terdapat pada batang tua atau di ketiak daun, warna
bunga kuning pucat. Pada batang atau cabang-cabang yang besar terdapat tandan
buah yang menggantung, buah berbentuk kotak, berwarna kuning, permukaan
berbulu, terdiri atas daging buah yang berlendir dan biji besar, bulat pipih
(Anonim, 1995b).
b.
Ekologi dan penyebaran
Merupakan tumbuhan liar yang umumnya ditemukan tumbuh di pantai
berbatu atau di tepi-tepi hutan, pada ketinggian 100 m sampai 800 m di atas
permukaan laut. Berbunga pada bulan Juli-September, pengumpulan bahan
sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Kayu kuning dapat dijumpai di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sebagian di Irian (Sitepu
dan Sutikno, 2001). Namun pada penelitian ini sampel diambil langsung dari
habitat aslinya yaitu di Desa Suban Jeriji, Kecamatan Rambang Dangku,
Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
c.
Taksonomi
Nama umum :Kayu kuning
Nama daerah :Daun bulan, tali kuning (Sumatera), Katola (Muna, Sulawesi),
uwus (Sulawesi) (Anonim, 2009), Kayu kunino (Palembang), Areuy ki koneng
(Sunda), Oyod sirawan, Sirawan kunyit, peron kebo, peron sapi (Jawa), Wali
8
bulan (Maluku), Wari bulan (Ambon); Gumi modoku, Mololeya, gumini
(Halmahera Utara) (Heyne, 1987).
Sinonim
: Arcangelisia lemniscata (Miers) Becc., Archangelisia loureiri
(Pierre) Diels., Anamirta flavescens Miq.
Klasifikasi tanaman kayu kuning dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledonae
Ordo
: Ranuncuiales
Familia
: Menispermaceae
Genus
: Arcangelisia
Species
: Arcangelisia flava L.Merr.
(Backer dan Van den Brink, 1969)
d.
Kandungan kimia
Batang kayu kuning mengandung senyawa saponin, flavonoid dan tanin, di
samping itu kayunya juga mengandung glikosida dan alkaloid. Alkaloid yang
terkandung di dalam batang Kayu kuning adalah alkaloid isokuinolin seperti yang
telah dilaporkan oleh Singh dkk., (2010).
Menurut Kawpradub dkk., (2004) alkaloid isokuinolin seperti jatorrhizine,
palmatine dan berberine biasa diisolasi dari bagian batang tanaman kayu kuning.
9
Terdapat juga beberapa alkaloid minor seperti kolumbanina, dehydrocorydalmine,
homoaromoline dan thalifendine.
Sedangkan terpen yang terkandung dalam akar kuning termasuk golongan
diterpen antara lain fibraleusin, fibraurin (Siwon,1982). Selain itu, batang kayu
kuning juga mengandung saponin, flavonoid dan tannin walaupun jumlahnya
sedikit (Sitepu dan Sutikno, 2001).
Gambar 2. Struktur alkaloid berberin (Harborne, 1973)
e. Manfaat
Batang kayu kuning banyak digunakan sebagai obat tradisional oleh
masyarakat Asia tenggara, baik sebagai obat luar maupun obat dalam. Cairan
yang keluar dari kayu yang masih muda sering digunakan sebagai obat panas
dalam atau sariawan, sedangkan rebusan kayu digunakan sebagai obat penyakit
kuning, diare dan obat cacing. Di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, rebusan
batang kayu kuning digunakan sebagai obat diare berdarah, sakit kuning dan air
perasannya digunakan untuk sakit mata (Larisu, 2011).
Sementara itu dari penelitian lain, diketahui bahwa berberin yang
merupakan alkaloid isokinolin yang terkandung dalam tanaman kayu kuning ini
memiliki banyak aktivitas farmakologi yaitu sebagai antihipertensi, antiinflamasi,
10
antidepresan, antikanker, antimikroba, hipolipidemik, hepatoprotektif dan
antidiabetik (Singh dkk., 2010).
2.
Candida albicans
Agen infeksi dikenal sebagai mikroba yang beredar seharian di seluruh
tubuh kita. Sebagai flora normal mikroba ini berada di mulut, tenggorokan, gusi,
saluran hidung, gastroinstentinal, dan beberapa organ lainnya seperti vagina.
Beberapa kali kematian disebabkan oleh adanya infeksi. Hanya sel jaringan sehat
dan organ dalam tubuh kita yang dapat secara efektif mempertahankan diri
terhadap mikroorganisme menular. Mikroba, baik berupa bakteri, virus atau
jamur, biasanya tidak menimbulkan penyakit sampai perlawanan dari tubuh
menurun.
a. Morfologi dan identifikasi
Jamur
C.albicans
adalah
spesies
jamur
patogen
dari
golongan
deuteromycota. Spesies ini merupakan penyebab infeksi oportunistik yang disebut
kandidiasis pada kulit, mukosa, dan organ dalam manusia. Beberapa karakteristik
dari spesies ini adalah berbentuk seperti telur (ovoid) atau sferis dengan diameter
3-5 µm dan dapat memproduksi pseudohifa. Spesies C.albicans memiliki dua
jenis morfologi, yaitu bentuk seperti khamir dan bentuk hifa. Selain itu, fenotipe
atau penampakan mikroorganisme ini juga dapat berubah dari berwarna putih dan
rata menjadi kerut tidak beraturan, berbentuk bintang, lingkaran, bentuk seperti
topi, dan tidak tembus cahaya serta memiliki kemampuan untuk menempel pada
sel inang dan melakukan kolonisasi. Jamur C.albicans merupakan jamur dimorfik
karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu
11
sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan
kecambah yang akan membentuk hifa semu (Jawetz dkk., 2001).
Klasifikasi C.albicans:
b.
Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Sub filum
: Saccharomycotina
Classis
: Saccharomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
Familia
: Saccharomycetaceae
Genus
: Candida
Species
: Candida albicans
Struktur Fisik
Dinding sel C.albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai
target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses
penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel
tersebut adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari
lingkungannya. Jamur C.albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks,
tebalnya 100 sampai 400 nm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan
khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat kering dinding
sel, -1,3-D-glukan dan 1,6-D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %,
protein 6-25 % dan lipid 1-7 %. Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium,
komponen-komponen ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk
miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sel ragi.
12
Gambar 3. Morfologi Jamur Candida albicans (Anonim, 2000)
Dinding sel C.albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Jamur
C.albicans merupakan salah satu dari 70 spesies dari jamur Candida sp.. Istilah
kandidiasis diterapkan untuk proliferasi berlebihan C.albicans dalam usus, mulut,
kerongkongan, atau vagina. Kandidiasis sistemik melibatkan proliferasi
berlebihan dari C.albicans seluruh tubuh. Jamur C.albicans bisa mendiami semua
bagian tubuh manusia, tetapi biasanya hanya dalam jumlah kecil. Sampai dengan
33% dari orang-orang di daerah barat menderita kandidiasis yang lebih proliferasi.
c.
Patogenesis
Kandidiasis superfisial (kulit dan mukosa) ditandai oleh penambahan
jumlah Candida dalam kerusakan kulit atau epitel yang memungkinkan invasi
lokal oleh ragi dan hifa semu. Kandidiasis sistemik terjadi bila candida masuk ke
dalam aliran darah dan pertahanan fagositik inang tidak kuat untuk menahan
pertumbuhan dan penyebaran jamur. Dari sirkulasi, Candida dapat menginfeksi
ginjal, menempel pada jantung atau menimbulkan infeksi hampir dimana saja
(misalnya meningitis, arthritis). Histologi lokal lesi kulit atau mukokutan ditandai
oleh reaksi peradangan yang bervariasi dari abses pirogenik sampai granuloma
13
kronis. Lesi ini mengandung pseudohifa dan sel jamur tunas yang berlimpah.
Peningkatan candida yang besar dalam saluran pencernaan sering mengikuti
pemberian antibiotik antibakteri oral, dan ragi dapat masuk ke sirkulasi dengan
menembus mukosa usus (Jawetz dkk., 2001).
Jamur C.albicans berada dalam tubuh manusia dan infeksi baru terjadi
apabila terdapat faktor predisposisi pada tubuh. Faktor-faktor yang dapat
meningkatnya kasus kandidiasis antara lain disebabkan oleh :
1) Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk, misalnya: bayi
baru lahir, orang tua renta, penderita penyakit menahun, orang-orang dengan
gizi rendah
2) Penyakit tertentu, misalnya: diabetes melitus
3) Kehamilan
4) Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus,
misalnya oleh air, keringat, urin atau air liur.
5) Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.
Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan C.albicans
serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya
perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa
semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak jaringan, sehingga invasi ke
dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi ditentukan oleh kemampuan jamur tersebut
merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan. Enzim-enzim yang berperan
sebagai faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik seperti proteinase, lipase
dan fosfolipase.
14
Jamur C.albicans menyebabkan penyakit sistemik progresif pada penderita
yang lemah atau sistem imunnya tertekan, terutama jika imunitas perantara sel
terganggu. Candida dapat menimbulkan invasi dalam aliran darah, tromboflebitis,
endokarditis atau infeksi pada mata dan organ-organ lain bila dimasukkan secara
intravena (keteter, jarum, hiperalimenasi, penyalahgunaan narkotika dan
sebagainya). Infeksi kandidiasis mengakibatkan komplikasi minimal seperti
kemerahan, gatal dan ketidaknyamanan, meskipun komplikasi bisa berat atau fatal
jika tidak ditangani sesegera mungkin. Dalam bidang kesehatan, kandidiasis
adalah infeksi lokal biasanya pada mukosa membran kulit, termasuk rongga mulut
(sariawan) faring atau esofagus, saluran pencernaan, kandung kemih, atau alat
kelamin (vagina, penis). Infeksi tersebut bisa menyebar ke seluruh tubuh.
d. Penatalaksanaan
Sariawan dan bentuk kandidiasis mukokutan lain biasanya diobati dengan
nistatin topikal, gentian violet, Ketoconazol atau Fluconazol. Kandidiasis sistemik
diobati dengan Amphoterisin B, terkadang dikombinasikan dengan Flucytosine
oral. Penyembuhan lesi kulit dipercepat dengan menyingkirkan faktor-faktor yang
berpengaruh seperti kelembaban yang berlebihan, obat-obat antibakteri.
Kandidiasis mukokutan kronis merespon Ketoconzol dan azol-azol lainnya
dengan baik, tetapi pasien mengalami defek genetik dan sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Seringkali sulit untuk menetapkan diagnosis awal
dari kandidiasis sistemik, gejala-gejala klinis tidak pasti, dan biakan seringkali
negatif (Jawetz dkk., 2001).
15
e. Zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan C.albicans
Zat yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan Candida,
diantaranya adalah vitamin dan mineral yang khususnya penting bagi
pemeliharaan sistem kekebalan yang kuat meliputi: vitamin A, Vitamin B6, Zinc,
Selenium, magnesium, asam folat, zat besi (terkandung dalam rosella), Asam
lemak esensial.
Adapun zat lain yang menghambat pertumbuhan C.albicans :
1) berberin (terkandung dalam A.flava dapat membunuh C.albicans;
2) antioksidan (terkandung dalam rosella) mengurangi kerusakan radikal bebas
yang disebabkan oleh C.albicans,
3) beta 1,3-Glucan exerts bersifat anti-jamur terhadap pertumbuhan C.albicans;
4) chitosan menghambat proliferasi C.albicans;
5) glukomanan menekan proliferasi C.albicans;
6) beta-carotene (terkandung dalam rosella) melindungi vagina terhadap
proliferasi C.albicans;
7) bromelain meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk
pertahanan terhadap C.albicans;
8) dismutase superoksida (SOD) (disuntikkan intravena) mengurangi poliferasi
Candidas sp.;
9) Alpha Linolenic Acid (LNA) adalah fungisida yang efektif yang dapat
membunuh ragi C.albicans;
10) asam kaprilat menghambat pertumbuhan C.albicans dalam usus;
11) Echinacoside mencegah kambuhnya infeksi oleh C.albicans,
16
dan masih banyak senyawa lain yang bisa membunuh ataupun menghambat
pertumbuhan jamur C.albicans (Tanjong, 2011).
3.
Trichophyton mentagrophytes
Jamur ini merupakan salah satu penyebab terjadinya mikosis kutaneus.
Mikosis kutaneus disebabkan oleh jamur yang hanya menginfeksi jaringan
permukaan berkeratin (kulit, rambut, dan kuku). Kelompok jamur yang
menyebabkan mikosis kutaneus disebut dermatofit, yaitu genus Microsporum,
Trichophyton dan Epidermophyton dan infeksi oleh kelompok jamur ini sering
disebut dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan salah satu infeksi yang paling
sering terjadi di dunia. Jamur ini tidak mengancam jiwa penderita, tapi mereka
menetap dan menyusahkan, serta jutaan dollar telah dihabiskan setiap tahun untuk
mengobatinya (Jawetz dkk., 2001).
Menurut Jawetz dkk., (2001), dermatofitosis sering disebut tinea, karena
adanya lesi sirkuler yang membesar. Spesies tunggal dapat menyebabkan lebih
dari satu tipe tinea, dan sebaliknya bentuk klinis tunggal sepertitinea corporis bisa
disebabkan oleh lebih dari satu spesies dermatofit. T.mentagrophytes adalah salah
satu jamur dari genus Trichophyton yang sering menyebabkan infeksi dermatofit,
misalnya tinea pedis, tinea cruris, tinea capitis, tinea barbae, dan tinea ungueum.
Berikut adalah kalisifikasi dari jamur tersebut
Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Classis
: Euascomycetes
17
Ordo
: Onygenales
Familia
: Arthrodermataceae
Genus
: Trichophyton
Species
: Trichophyton mentagrophytes
a. Morfologi dan karakteristik
Bentuk makroskopis T.mentagrophytes adalah merupakan tenunan lilin,
berwarna putih sampai putih kekuningan yang agak terang atau berwarna violet
merah. Kadang bahkan berwarna pucat kekuningan dan cokelat, koloninya bisa
seperti kapas sampai bergranula, berkelompok seperti anggur yang sangat banyak
pada cabang-cabang terminal (Jawetz dkk., 2001). Jamur ini merupakan jamur
filamentous yang menyerang kulit yang menggunakan keratin sebagai nutrisinya.
Keratin adalah protein utama dalam kulit, rambut dan kuku.
Gambar 4. Morfologi jamurTrichophyton mengrophytes (Anonim, 2013)
b. patogenesis
Athlete’s
foot
atau
tinea
pedis
merupakan
dermatofitosis
yang
prevalensinya paling tinggi (Jawetz dkk., 2001). Infeksi ini terjadi ketika jamur
dermatofit tumbuh dan menggandakan diri pada kaki, terutama pada jari kaki, dan
beberapa menyerang tangan. Athlete’s foot adalah suatu infeksi atau peradangan
18
yang berhubungan dengan kaki dan jamur penyebabnya adalah T.rubrum,
T.mentagrophytes dan E.floccosum. T.mentagrophytes tumbuh dengan subur di
area yang hangat dan lembab. Hal tersebut menjadi lazim apabila kita memakai
sepatu yang berbahan plastik dan berkeringat banyak. Tinea pedis menular lewat
kontak langsung atau hubungan dengan materi seperti sepatu, kaus kaki, atau
permukaan kolam.
Penyakit tinea pedis disebabkan oleh hifa yang menyerang kulit pada jari
kaki dan menyebabkannya jadi kering dan kawasan lesi yang bersisik. Lesi
membesar, tergantung pada kelembaban. kemudian kulit akan merekah, pucat dan
terdapat infeksi sekunder dari bakteri yang menyebabkan gatal-gatal, lembapb dan
kawasan putih terbentuk di antara jari-jari kaki. Kulat yang menyebabkan tinea
pedis akan tersebar di sekitarnya. jamur menjangkiti jaringan apabila sistem
kekebalan tubuh tidak dapat melawannya. Pencegahan tinea pedis tergantung pada
keseimbangan kesehatan, kebersihan dan kaki yang kering. Agen antifungi seperti
miconazole, biasanya efektif dalam menangani masalah ini (Jawetz dkk., 2001).
c. Penatalaksanaan
Terapi terdiri dairi pelepasan menyeluruh struktur epitel yang mati dan
yang terinfeksi serta pemberian antijamur kimia atau antibiotik topikal. Untuk
mencegah infeksi ulang, daerah tersebut dijaga agar tetap kering dan terhindar
dari sumber-sumber infeksi, misalnya binatang piaraan yang terinfeksi serta
mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama. Pada kasus tinea corporis,
tinea pedis obat-obatan yang paling efektif adalah itraconazol dan terbinafin.
Sejumlah preparat topikal juga bisa dipakai, misalnya miconazol nitrat,tolnaftat
19
dan clotrimazol. Jika dipergunakan selama sedikitnya 2-4 minggu, angka
kesembuhan biasanya mencapai 70-100%. Pengobatan sebaiknya dilanjutkan
selama 1-2 minggu setelah lesi bersih. Pada kasus-kasus yang menyusahkan,
dapat diberikan griseofulvin oral jangka pendek (Jawetz dkk., 2001).
4.
Media
Media dappat dianggap sebagai kumpulan zat organik maupun anorganik
yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri dengan syarat-syarat tertentu,
seperti:
a. Susunan makanan;
b. Tekanan osmose;
c. Derajat keasaman;
d. Temperatur;
e. Sterilitas
Selain untuk isolasi, identifikasi, dan diferensiasi, media juga
digunakan untuk membawa material dari tempat lain ke laboratorium agar kuan
dalam material tersebut hidup sesampainya di laboratorium (Anonim, 1993).
Setiap mikroba mempunyai sifat fisiologi tertentu sehingga memerlukan nutrisi
tertentu pula (Sumarsih, 2003).
Berdasarkan bentuknya, ada dua macam media yaitu media cair (liquid
media) dan media padat (solid media). Pada media padat ditambahkan bahan
pembeku (solidifying agent), contohnya adalah agar.
20
Menurut konsistensinya dikenal adanya:
1) Media padat (solid), adanya penambahan agar, gelatin yang
ditempatkan pada plate atau tabung. Bahan utama agar adalah
galaktan dari kompleks Alga genus Gelidium. Agar akan cair pada
suhu 100o C dan akan memadat pada suhu kurang dari 43oC.
Sebagai contoh TSA (Trypton Soya Agar)
2) Media setengah padat (semisolid), penambahan jumlah agar
setengah dari komposisi media padat. Diletakkan pada tabung
tegak, biasanya digunakan untuk melihat motilitas mikroba,
sebagai contoh Semi Solid Sucrose Media.
3) Media cair (broth), tanpa adanya pemadat seperti agar. Media cair
misalnya media kaldu, media gula, TSB (Trypton Soya Broth)
(Hugo dan Russell’s, 2004).
a.
Menurut isi dari media dikenal:
1) Media basal, digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat
media lain yang lebih kompleks;
2) Media campuran, adalah media selain media basal, juga
ditambahkan berbagai macam zat, baik organik maupunanorganik
(Pratiwi, 2008).
Beberapa media dalam penggunaannya ditambahkan substansi tertentu
menurut tujuan penggunaannya , misalnya media yang ditambahkan suatu jenis
antibiotik tertentu untuk menghambat pertumbuhan bakteri tertent, sehingga
hanya bakteri jenis tetentu saja yang dapat tumbuh. Media untuk pertumbuhan
21
kapang dan khamir memiliki pH yang lebih rendah (5,5-6,0) dibanding media
untuk pertumbuhan bakteri (pH 7,0-7,4). Asam laktat dapat digunakan untuk
memberikan pH yang rendah karena tidak menghambat pertumbuhan fungi.
Media untuk pertumbuhan fungi juga dapat ditambahkan antibiotik seperti
kloramfenikol atau tetrasiklin untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri (Hugo
dan Russell’s, 2004).
5.
Sterilisasi
Sterilisasi disebut juga proses untuk membebaskan suatu benda dari semua
mikroorganisme, baik bentuk vegetatif maupun spora (Gupte, 1990). Sterilisasi
merupakan suatu proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini
adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang
terdapat pada suatu benda. Proses ini melibatkan aplikasi biosidal agent atau
proses
fisik
dengan
tujuan
untuk
membunuh
atau
menghilangkan
mikroorganisme. Sterilisasi didesain untuk membunuh atau menghilangkan
mikroorganisme. Target suatu metode inaktivasi tergantung dari metode dan tipe
mikroorganismenya, yaitu tergantung dari asam nukleat, protein, atau membran
mikroorgaisme tersebut (Pratiwi, 2008).
Proses sterilisasi digunakan dalam bidang mikrobiologi untuk mencegah
pencemaran organisme luar, pada bidang bedah untuk mempertahankan keadaan
aseptis, pada pembuatan makanan dan obat-obatan untuk menjamin keamanan
terhadap pencemaran oleh mikroorganisme dan di dalam bidang- bidang lain pun
sterilisasi sangat penting (Gupte, 1990).
22
Secara umum ada dua jenis sterilisasi, yaitu secara fisik dan secara kimia.
Sterilisasi secara fisik meliputi panas kering, panas basah, radiasi dan filtrasi.
Sterilisasi secara kimia menggunakan bahan-bahan kimia dalam rosesnya (Gupte,
1990).
6.
Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dapat menghambat atau membunuh
mikroba, terutama yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Definisi ini
kemudian berkembang menjadi senyawa yang dalam konsentrasi kecil mampu
menghambat bahkan membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme (Jawetz
dkk., 2001). Mekanisme kerja antimikroba adalah dengan cara mengganggu
bagian-bagian yang penting dalam sel yaitu sintesis dinding sel, fungsi membran
sel, sintesis protein, metabolisme asam nukleat, dan metabolit esensial (Anonim,
1993).
Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dapat dibagai menjadi
beberapa tipe, yaitu :
a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel yang
terganggu
akan
menyebabkan
dinding
sel
menjadi
rapuh
dan
mengakibatkan pecah. Termasuk ke dalam golongan ini adalah Betalaktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin
(Jawetz dkk., 2001).
b. Antibiotik yang menghambat sintesis RNA dan DNA. Sintesis RNA dan
DNA dihambat oleh gangguan terhadap enzim akibatnya protein yang
23
penting bagi mikroba tidak terbentuk sempurna. Yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah Quinolone (DNA), Rifampicin (RNA), Actinomycin
D, Lincosamides, Metronidazole (Ganiswara dkk., 1995).
c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Sintesis protein yang
penting untuk mikroba akan dihambat, sehingga pertumbuhan mikroba
terhambat. Antibiotik dengan mekanime ini adalah golongan macrolide,
aminoglycoside, tetracycline, kloramfenikol, kanamycin, streptomisin
(Sujudi, 1993).
d. Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Membran plasma
bersifat semipermeabel dan berperan sebagai barrier selektif. Adanya
gangguan pada membran plasma tentu saja akan mengganggu fungsinya
sebagai barrier, sehingga zat-zat penting dari isi sel dapat keluar dan
mengakibatkan kematian mikroorganisme tersebut. Contohnya antara lain
imidazol, Ionimycin (Pratiwi, 2008) dan Valinomycin. Ionomycin bekerja
dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu
kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel.
e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial. Antibiotik secara
kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme karena memiliki
kemiripan struktur dengan substrat normal bagi enzim metabolisme,
sehingga metabolisme terhenti. Antibiotik dengan mekanisme ini adalah
sulfonamida dan para amino bezoid acid (Pratiwi, 2008).
Perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis
antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis
24
yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri
tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan yang
lebih tinggi.
7.
Antifungi
Antifungi adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh jamur atau fungi seperti sariawan, panu, kadas,
kurap, kutu air dan lain sebagainya. Biasanya obat jamur diberikan secara topikal
meskipun ada kalanya diberikan secara oral ataupun infus. Uji aktivitas antifungi
sama seperti uji antimikroba lainnya, dapat dilakukan dengan difusi agar ataupun
dilusi cair. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, misalnya media
yang digunakan dan saat pengamatan setelah proses inkubasi, karena jamur
cenderung membentuk koloni sehingga berbeda dengan pengamatan pertumbuhan
bakteri.
Menurut mekanisme kerjanya antifungi dapat dibedakan menjadi beberapa
golongan, yaitu
a. Golongan polyene
Merupakan antibiotik yang secara selektif menghambat organisme yang
membran selnya mengandung sterol, tetapi tidak berpegaruh terhadap kumankuman prokariotik. Antibiotik ini bekerja dengan mengikat sterol pada membran
plasma fungi sehingga membran plasma sel menjadi sangat permeabel dan sel
menjadi mati. Contoh antifungi golongan ini adalah amfoterisin B, nistatin,
candicin dan rimocidin (Sujudi, 1993).
25
b. Golongan azol
Antifungi kelompok azol merupakan obat jamur yang paling banyak
digunakan di Indonesia, golongan azol berhubungan dengan sintesis sterol,
bekerja dengan cara menghambat α-lanosterol 14 demethylase. Contoh obat jamur
golongan azol adalah imidazol dan triazol. Contoh imidazol adalah klotrimazol,
mikonazol dan ketokonazol sementara contoh triazol adalah itrakonazol dan
flukonazol (Pratiwi, 2008).
c. Golongan Echinocandins
Bekerja dengan menghambat sistesa glukan dalam dinding sel. Contoh
obat jamur golongan echinocandins adalah caspofugin.
d. Griseofulvin
Merupakan antifungi yang diproduksi oleh Penicillium. Griseofulvin
mengikat keratin pada kulit, folikel rambut, dan kuku dengan cara mengeblok
penggabungan mikrotubul pada mitosis sehingga menghambat reproduksi fungi
(Pratiwi, 2008). Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur
dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel
muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini tidak
efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia (Humang,
2012).
Masih ada beberapa golongan kecil antifungi lainnya seperti golongan
Allylamines, kemudian asam benzoat, tolnaftat yang merupakan alternatif
mikonnazol, asam undesilenat dan flucytocine yang merupakan antimetabolit basa
sitosin pada sintesis DNA dan RNA.
26
8.
Metode Uji Aktivitas Antimikroba
a. Metode Difusi
1) Metode disc diffusion (Kirby & Bauer)
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2008).
Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor
obat dan mikroorganisme (misal: sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran
partikel molekul, dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktorfaktor tersebut memungkinkan melakukan uji dengan kepekaan yang baik (Jawetz
dkk., 2001). Zona hambatan berhubungan dengan KHM dan hubungan ini telah
digunakan untuk determinasi nilai yang menyatakan apakah mikroba tersebut
peka , intermediet, atau resisten (Mahon dan Manuselis, 1995).
2) E-test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inbitory
Concentration) atau KHM, yaitu konsentarasi minimal suatu agen antimikroba
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan
strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya
yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada media Agar.
27
3) Ditch-plat technique
Sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang
dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan Petri pada bagian tengah
secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit
yang berisi agen antimikroba (Pratiwi, 2008)
4) Cara sumuran
Metode ini serupa dengan metode Kirby-Bauer, setelah bakteri dioleskan
pada permukaan media agar hingga merata, dibuat sumuran dengan garis tengah
tertentu, ke dalam diteteskan larutan uji, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Hasil dibaca seperti Kirby-Bauer.
5) Pour Plate
Suspensi bakteri sebanyak satu ose dimasukkan ke dalam 4 mL agar base
1,5 % pada 50oC. Setelah suspensi kuman homogen, dituang pada media agar dan
ditunggu sebentar agar membeku, diletakkan disk di atas media, dieramkan 15-20
menit dengan temperatur 37oC, hasil dibaca sesuai standar masing-masing
(Sujudi, 1993).
b. Metode dilusi
1) Metode dilusi cair (broth dilution test)
Metode dilusi cair menggunakan antimikroba dengan kadar menurun
secara bertahap pada media cair. Media kemudian diinokulasi mikroba uji dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam (Jawetz dkk., 2001).
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal
28
Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan adalah
dengan membuat seri pengeceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan
sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya
dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen
antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat
jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
Metode dilusi cair dapat dilakukan dengan menggunakanan volume yang
berukuran mikro disebut juga metode mikrodilusi. Metode ini menggunakan
microplate. Metode ini sangat menguntungkan apabila kita memiliki sampel yang
jumlahnya sedikit, sehingga tidak dapat diuji dengan menggunakan metode dilusi
cair atau difusi agar. Selain itu juga tidak membutuhkan banyak tempat dalam
pengerjaannya. Namun, dalam melakukan metode ini dibutuhkan ketelitian dan
kecermatan yang lebih, karena kesalahan dalam menuang sampel atau suspensi
mikroba akan menyebabkan hasil yang kacau.
Dalam metode ini mula-mula disiapkan seri konsentrasi antibiotik dari
yang terendah sampai tertinggi. Ke dalam microplate masing-masing seri
konsentrasi dimasukkan ke dalam sumuran, diurutkan dari konsentrasi yang
rendah ke konsentrasi yang tinggi, kemudian ditambah media yang telah
diinokulasi mikroba uji ke dalam masing-masing sumuran. Setelah diinkubasi 24
jam, larutan uji agen antimikroa atau antibiotik pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM
29
(konsentrasi hambat minimum). Biasanya kemudian ditambahkan pereaksi MTT
(3-(4,5-dimetylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium Bromide) agar memperjelas
pengamatan. Pereaksi ini akan direduksi menjadi formazan berwarna ungu di
dalam mitokondria sel yang hidup. Sumuran yang tidak berubah warna menjadi
ungu menunjukkan KHM. Identifikasi KHM juga dapat diautomatisasi melalui
penghamburan cahaya maupun perubahan
warna, setelah dilakukan inkubasi
dalam waktu yang sesuai (Hugo dan Russel’s, 2004). Dilakukan juga kontrol
media yang tidak diberi antimikroba dan tidak diberi mikroba uji, serta kontrol
media yang hanya diberi mikroba uji. Pada mikrodilusi konsentrasi akhir mikroba
dalam tiap sumuran adalah 105 CFU/mL untuk bakteri dan 5x102-2,5x103
CFU/mL untuk fungi (Schwalbe, dkk., 2007).
2) Metode dilusi padat (solid dilution test)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba
yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).
9.
Bioautografi
Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada
kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi,
antibiotik, dan antiviral (Stahl, 1973). Keuntungan metode ini yaitu efisien untuk
mengetahui adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan
walaupun berada dalam campuran yang kompleks, sehingga dapat digunakan
untuk petunjuk dalam mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah
30
tidak dapat menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). Ada tiga macam
bioautografi, yaitu:
a.
Bioautografi overlay
Lempeng kromatogram diletakkan dalam cawan petri lalu dituangi
medium yang telah disuspensikan dengan mikroba uji, kemudian diinkubasi
pada suhu dan waktu tertentu (Djide dkk, 2005). Letak zat aktif ditandai
dengan zona jernih pada media mikroba yang diuji.
b.
Bioautografi kontak
Metode in dilakukan dengan cara senyawa antimikroba dipindahkan
dari plat KLT ke media agar yang telah diinokulasi mikroba uji secara merata.
Lempeng kromatogram tersebut ditempatkan di atas media agar selama 15-30
menit kemudian diangkat dari media agar dan diinkubasi pada suhu dan
waktu tertentu. Senyawa akan berdifusi dari plat KLT menuju agar karena
adanya perbedaan konsentrasi, semakin tinggi kadar senyawa antimikroba
semakin banyak yang berdifusi ke dalam media agar. Penghambatan
pertumbuhan bakteri akan nampak sebagai zona jernih (Djide dkk., 2005).
c.
Bioautografi langsung
Metode ini dilakukan dengan menyemprot plat KLT dengan suspensi
mikroba uji. Setelah diinkubasi dalam waktu tertentu, letak zat aktif
antimikroba dapat diketahui dengan adanya zona jernih (Djide dkk., 2005).
31
F. Landasan Teori
Tumbuhan suku Menispermaceae atau anak suku Arcangelisia, pada
umumnya mengandung alkaloid golongan isokinolin, yaitu suatu alkaloid
kuarterner yang berbentuk garam. Alkaloid dalam bentuk garam akan sangat
mudah larut dalam air.
Ekstrak larut air hasil refluks batang kayu kuning (A. flava) diprediksi
mengandung alkaloid berberin. Berberin merupakan alkaloid isokinolin yang
dapat berefek sebagai antimikroba (Scazzocchio dkk, 2001). Seperti di
masyarakat, dimana air rebusan batang kayu kuning digunakan untuk obat diare
berdarah (Larisu, 2011), sariawan dan obat luka infeksi, maka ekstrak larut air
tersebut dapat diuji khasiatnya sebagai antifungi, sehingga dapat diketahui
aktivitas dan potensinya. Sementara untuk menentukan profil metabolit apa saja
yang terkandung dalam ekstrak tersebut, maka dilakukan analisis kualitatif dan
kuantitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan TLC Scanner. Keberadaan
berberin HCl ditegaskan dengan cara membandingkan pola spektrum sampel dan
standar, kemudian kadar alkaloid yang terkandung dalam ekstrak tersebut dapat
dihitung sebagai berberin HCl.
G. Hipotesis
Ekstrak larut air batang kayu kuning (Arcangelisia flava L.Merr) yang
mengandung senyawa alkaloid berberin HCl dengan kadar relatif tertentu,
berpotensi sebagai antifungi terhadap koloni Candida albicans ATCC 10231 dan
Trichophyton mentagrophytes.
Download