Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL DI LAUT CINA SELATAN (WPP- NRI 711) Oleh Isa Nagib Edrus, Ali Suman dan Muhammad Taufik ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang stok, life history dan dinamika populasi ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan (WPP NRI 711). Pendekatan dalam pengambilan data adalah melalui survey tempat pendaratan utama dan survei laut. Hasil penelitian menjukkan bahwa perikanan armada perikanan ukuran kecil (5 – 10 GT) mendominasi perikanan demersal. Alat tangkap pancing, bubu dan payang merupakan alat tangkap yang mendominasi dengan trip terbanyak pada wilayah karang dalam, sementara pukat ikan dan dogol dengan besaran usaha 30 GT ke atas mengambil wilayah tangkap pada perairan di atas 4 mil laut. Rata-rata produksi di perairan Bintan adalah 96.808 ton/tahun, sedangkan di Bangka Belitung 73.598 ton per tahun dan Tanjung Balai Karimun adalah 20.731 ton per tahun. Komposisi jenis ikan demersal didapatkan melebihi 100 jenis dan yang mendominasi adalah Nemipterus spp, Caesio cuning, dan Sciaenidae. Cacth per Unit Effort (CPUE) tertinggi menurut alat tangkap adalah pukat ikan yaitu 343 kg ikan demersal per hari dan yang terkecil adalah pancing ulur dan payang, yaitu masing-masing 23 dan 24 kg per hari. Musim memijah ikanikan yang dominan tertangkap dua kali dalam setahun dan puncak musim ikan atau musim tangkap bergantung pada pada kondisi cuaca. Nilai laju pengusahaan (E) untuk beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap adalah : ikan kakap merah 0,34/tahun, ekor kuning 0,53/tahun, kurisi 0,58/tahun, kaneke 0,37/tahun, kerapu sunu 0,23/tahun dan kakap tanda-tanda 0,48/tahun. Estimasi potensi lestari (MSY) untuk WPP 711 adalah sebesar 482.200 ton/tahun dan upaya optimum (f opt.) 9.987 unit alat tangkap standar dogol. Status ekslpoitasi sudah berada pada tahapan overfishing,dengan demikian harus dilakukan penantaan upaya penangkapan. Kata Kunci: Perikanan Demersal, Stok, Life History, Dinamika Populasi, Laut Cina Selatan 1 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN WPP 711 Laut Cina Selatan adalah salah satu dari 11 WPP yang ditetapkan melalui Permen KP No.01/MEN/2009. Perairan ini terletak di Indonesia bagian barat yang secara yurisdiksi politik berbatasan dengan perairan negara lain, yaitu Malaysia, Vietnam dan Thailand. WPP 711-Laut Cina Selatan meliputi empat propinsi yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Jambi dan Bangka-Belitung. Kekayaan sumberdaya ikan strategis, seperti udang, cumi-cumi, ikan demersal dan karang yang melimpah telah menarik banyak armada penangkapan dari luar kawasan, bahkan dari negara-negara sekitar, untuk beroperasi di wilayah ini, baik secara legal maupun ilegal. Pemanfatan sumber daya perikanan di wilayah Laut Cina Selatan dilakukan oleh berbagai negara yang langsung berbatasan dengan LCS, yaitu meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Dengan demikian maka beberapa jenis sumber daya ikan terutama yang bersifat peruaya (migrasi) merupakan milik bersama (shared stocks) diantara negara-negara tersebut. Sekitar sepertiga luas perairannya termasuk ke dalam perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Luas perairan LCS yang masuk wilayah Indonesia diestimasi sekitar 595 km2 (SCS, 1979; Cholik et al., 1995). Lokasi memiliki iklim tropis dan curah hujan yang tinggi, dimana perairan ini memiliki beragam ekosistem aquatik dengan keaneka-ragaman jenis ikan yang tinggi. Sejalan dengan perkembangan perikanan, tekanan penangkapan yang tinggi telah dialami oleh hampir seluruh kawasan, terlebih di zona tradisional yang bersinggungan dalam semua kepentingan otorita administrasi di kawasan regional masing-masing. Pada kawasan seperti ini, pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan lestari memerlukan informasi yang reliable berkaitan dengan sediaan (stock), sebaran sumberdaya ikan dan karakteristik perikanannya sehingga langkahlangkah kebijakan eksploitasi dapat dilakukan dengan tepat tanpa membahayakan kelestariannya. Perairan Laut Cina Selatan, merupakan daerah yang potensial untuk penangkapan ikan demersal dan udang Penaeid. Pemanfaatan sumber daya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan sudah berlangsung cukup lama dan status pengusahaannya cenderung berada dalam tingkatan yang jenuh (Dwiponggo, 1977; Naamin et al., 1992). Dengan adanya indikator semakin menurunnya laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok di perairan ini, yang berarti sudah terjadi penurunan 2 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) stok (Badrudin dan Karyana, 1992), maka stok sumber daya ikan demersal di perairan ini perlu mendapat perhatian yang serius dan upaya-upaya pengelolaan yang lebih baik, sehingga sumber daya yang ada masih dapat menjadi modal bagi perbaikan (recovery) stok dalam kaitannya dengan pemanfaatan secara berkelanjutan dan lestari. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh a tentang stok, life history dan dinamika populasi ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi dasar pengelolaan perikanan yang menunjang keberlanjutan pemanfaatan bagi kesejahteraan bangsa. BAHAN DAN METODE Data dan informasi yang dikumpulkan sebagian besar berbasis pada aspek biologi yang dilakukan oleh para peneliti, teknisi dan beberapa tenaga enumerator sebagai penghimpun data harian di lokasi penelitian. Kegiatan terdiri dari sampling hasil tengkapan di beberapa tempat pendaratan ikan terpilih dan survei laut dengan lintasan tertentu dengan armada KM Madidihang 02. Lokasi kabupaten-kota yang menjadi lokasi penelitian antara lain Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Sungai Liat (Bangka) dan Tanjung Pandan (Belitung). Komponen kegiatan meliputi aspek biologi dan aspek penangkapan, perikanan dan survei laut dengan metode sapuan (swepth area). Aspek biologi yang dikumpulkan adalah: panjang ikan dan biologi reproduksi. Aspek penangkapan meliputi : penyebaran dan musim penangkapan, laju tangkap dan kepadatan stok, komposisi jenis dan parameter populasi. Data sekunder dihimpun dari Kantor Dinas Perikanan setempat dan instansi terkait lainnya. Survei laut laut dilakukan untuk mencari kepadatan, biomassa, stok dan laju tangkap. Analisis data yang diperoleh mengacu kepada metoda-metoda baku yang biasa digunakan. Estimasi besarnya stok dilakukan melalui penghitungan laju tangkap (catch rate) dengan menggunakan metode swepth area dan dinamika populasi digunakan program FISAT (Sparre and Venema., 1992). Data catch dan effort yang bersifat runtun waktu akan dianalisis selain untuk mendapatkan gambaran perkembangan (trend) indeks kelimpahan stok juga akan diterapkan model surplus produksi untuk mendapatkan dugaan MSY (Badrudin, 2002). 3 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang memiliki kedalaman relatif dangkal di bagian selatan dan semakin dalam ke arah utara. Dasar perairan di daerah tersebut terdiri dari lumpur, pasir campur lumpur, dan pasir. Bagian terbesar dari perairan sebelah barat Kalimantan dan sebelah utara Bangka-Belitung terdapat banyak sponge dan batuan karang. Seperti juga pada bagian utara di sekitar kepulauan Natuna terdapat kekayaan sumbedaya terumbu karang serta pada lokasi ini banyak digunakan bubu dan pancing. Pemanfaatan sumber daya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan dan sekitarnya telah berlangsung sejak lama. Eksploitasi tersebut telah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an dimana alat tangkap yang efektif adalah jaring trawl. Dari keadaan tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan dan sekitarnya berada pada tekanan penangkapan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Usaha perikanan yang mengambil manfaat dari kesuburan dan keanekaragaman LCS adalah meliputi dari mulai perikanan artisanal sampai perikanan industri, karena besaran usaha perikanan perahu tanpa motor tercatat cukup besar dan tidak sebanding dengan jumlah perahu bermotor. Ukuran kapasitas kapal antara 5 dan 10 GT adalah yang terbesar dalam jumlah dan disusul oleh ukuran 10 – 20 GT dan 20 – 30 GT, sedangkan ukuran di atas 30 GT tergolong rendah. Oleh karena itu wilayah tangkap masih berkisar lebih banyak pada 4 mil laut, sementara wilayah ZEE kurang diminati karena rendahnya hasil tangkapan pelagis besar seperti cakalang dan tuna. Produksi perikanan demersal yang merupakan kontribusi catatan tahunan menurut wilayah pendaratan diringkas pada Tabel 1. Potensi ikan demersal dari LCS yang merupakan kontribusi produksi Provinsi Kepulauan Riau menyumbang rata-rata 96.808 ton/tahun (75% demersal), dari Provinsi Bangka Belitung sebesar 73.598 ton/tahun ( 31 % demersal). 4 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Produksi ikan demersal berdasarkan wilayah pendaratan. Wilayah Provinsi Bintan (Kepri) Produksi Rasio Rata-Rata Demersal Tangkapan (Ton per Tahun) Demersal-Pelagis 96.808 75% Demersal Bangka Belitung 73.598 Tanjung Balai Karimun (Kepri) 20.731 31% Demersal Tahun Data 2008 - 2011 2001 - 2011 Daerah Penangkapan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang memiliki kedalaman relatif dangkal di bagian selatan dan semakin dalam ke arah utara. Menurut Sudrajat & Beck (1978) daerah dimana trawl dapat dioperasikan (trawlable) di LCS adalah di sebelah selatan, terutama terdapat di pantai timur Sumatera dan barat Kalimantan yang dasar perairannya terdiri atas lumpur, pasir campur lumpur, dan pasir. Pada bagian tertentu perairan sebelah barat Kalimantan dan sebelah utara Bangka-Belitung ditandai oleh nelayam sebagai titik-titik karang dalam, dimana banyak digunakan bubu dan pancing. Pola penangkapan ikan demersal di LCS adalah spesifik berbasis ekosistem, sehingga hanya tersebar secara spasial menurut titik-titik (spot) daerah tangkapan yang bersifat mengelompok di lokasi tertentu (Gambar 2). Lokasi tangkapan umumnya ditandai oleh keberadaan ekosistem spesifik di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang dan estuaria yang merupakan area spill over dari sumberdaya ikan, atau tanda-tanda lainnya seperti paparan perairan dangkal berlumpur padat, berbatu dan adanya karang dalam. Lokasi seperti ini menyebar di antara pulau-pulau sekitar Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Natuna, Anambas, dan pulau-pulau kecil serta gosong di perairan lepas pantai Kalimantan Barat yang ditemui dari Utara hingga Barat Laut. Oleh karena daerah tangkapan ikan demersal di LCS berbasis ekosistem dan bersifat mengelompok (Gambar 1), nelayan dari setiap basis pendaratan ikan regional lebih fokus pada wilayah tangkapan terdekat. Hal ini ditandai oleh jumlah trip penangkapan dari berbagai alat tangkap yang tinggi sepanjang tahun (±1,3 juta trip/tahun) dengan perode harian (oneday fishing) sampai mingguan. Jumlah trip penangkapan yang dominan adalah dari perikanan pancing dan bubu. Dengan demikian, wilayah yang mendapat tekanan penangkapan lebih besar tetap di sekitar 5 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) pesisir (inshore fishing), karena kapasitas kapal yang umumnya rendah. Kecuali itu, wilayah jelajah penangkapan berkisar dari 50 - 100 mil laut dari basis pelabuhan masing-masing, yaitu bagi nelayan Riau, Bangka Belitung dan Pemangkat sampai perairan Natuna. Sementara wilayah ZEE belum menjadi perhatian penuh bagi nelayan-nelayan yang berbasis di beberapa Provinsi tersebut di atas. Daerah Tangkapan Ikan KM Armada dengan alat tangkap bubu Daerah Tangkapan Ikan KM Debi Jaya dengan alat tangkap bubu Daerah Tangkapan Ikan KM Jaya Makmur dengan alat tangkap bubu Daerah Tangkapan Ikan KM Portugal dengan alat tangkap bubu Daerah Tangkapan Ikan KM Riski Jaya dengan alat tangkap pancing Daerah Tangkapan ikan KM Portugal dengan alat tangkap pancing Armada Perikanan yang berbasis di PPN Tanjung Pandan Daerah Tangkapan ikan KM Portugal dengan alat tangkap payang Gambar 1. Daerah penangkapan ikan menurut armada perikanan bubu, pancing dan payang yang berbasis pada PPN Tanjung Pandan 6 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Alat Tangkap Setiap daerah pendaratan ikan memiliki kebiasaan masing-masing dalam memilih dan menggunakan alat tangkap, namun dominasi jumlah dari alat tangkap yang digunakan menunjukkan kecenderungan yang sama dari tiap daerah. Perikanan bubu, pukat ikan, pancing, dan gabungan alat tangkap pancing dan bubu ternyata mendominasi usaha perikanan demersal di LCS. Disamping itu tercatat juga ada penggunaan alat tangkap lain seperti muroami dan sero yang berbasis pada penangkapan di derah lamun, terumbu karang, dan karang dalam. Selain itu, perikanan yang berbasis perairan dangkal berlumpur padat umumnya menggunakan pukat ikan, rawai dan payang (Gambar 2). Kecenderungan penggunaan jenis alat tangkap pancing dan bubu tersebut menempatkan perikanan demersal masuk kategori perikanan berkelanjutan, karena hasil tangkapan terbatas dan selektif. Akan tetapi penggunaan muroami disinyalir masih dilakukan meskipun terlarang dan hasil tangkapan muroami yang terbesar adalah ekor kuning. A B Gambar 2. Armada kapal pukat ikan (A) dan bubu (B) di Kabupaten Bintan Komposisi Hasil Tangkapan dan CPUE Komposisi hasil tangkapan di bawah ini menunjukkan bahwa perikanan demersal di LCS benar-benar berbasis ekosistem. Beberapa jenis demersal dominan yang tertangkap umumnya adalah memiliki habitat rataan pasir lumpur dan habitat batuan karang dalam di dasar perairan neritik, serta perairan sekitar terumbu karang serta estuaria. Komposisi yang mendominasi 10 besar hasil tangkapan adalah terdiri dari : Kurisi pasir (Nemipterus spp.), Ekor kuning (Caesio cuning), Gulamah (Sciaenidae), Kaci-kaci/Kaneke/seminyak (Diagramma pictum), Kuwe (Caranx spp.; Carangodes spp.; Seriola rivoliana.), Pari (Aetoplatea zonora; Dasyatis 7 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) kuhlii; Paeniuralymha sp), kakap merah (Lutjanus malabaricus), Jenaha (L. Johnii), tanda-tanda (L. vitta), bawal hitam (Formio niger), Nuri (Choerodon spp), Kerapu/ sunu (Epinephelus sexfasciatus; Epinephelus areolatus; Plectropomus maculates), Remang (Muraenesox cinereus), Manyung (Arius thalasinus), Kapas-kapas (Gerres kapas), kakatua (Scarus spp.), Biji nangka/Kuniran (Parupeneus chrysopleuron), Ayam-ayam (Abalistes stellatus), dan Lencam (Lethrinus lentjan). Beberapa jenis ikan demersal yang dominan tertangkap diambil sampelnya untuk mengetahui pola eksploitasinya (Lampiran 1). Ukuran ikan adalah variabel penting dalam ekologi perikanan karena dapat digunakan sebagai basis untuk memperkirakan sifat sejarah hidup ikan, termasuk jangka waktu hidup, laju pemanfaatan, pertumbuhan dan laju kematian (Froese & Pauly 2000). Ikan manyung (Arius thalasinus) memiliki sebaran frekuensi panjang yang menunjukkan adanya dua kelompok umur. Interval panjang dari 46-49 cm sampai 5861 cm merupakan kelompok modus panjang ikan dewasa, lebih dominan dari pada kelas dewasa tua. Dengan kata lain bahwa komposisi kelas interval dewasa tua yang berkisar pada 78-82 cm sampai 94-97 cm sangat rendah dan ini menunjukkan bahwa ikan manyung dalam status eksploitasi tinggi. Menurut Dulvy et al., 2003), ikanikan berukuran besar sangat rentan terhadap penangkapan. Kejadian ini khususnya relevan sekali jika dikaitkan dengan ikan karang atau ikan demersal, karena ikan demersal berukuran besar selalu menjadi target perikanan komersil (Sadovy & Vincent 2003). Untuk kasus seperti ini perlu adanya penatataan upaya penangkapan agar kelas rekrutimen siap tangkap tersebut mengalami pertumbuhan populasi dan perkembangan ukuran panjang. Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) memiliki frekuensi sebaran panjang yang menunjukkan adanya kelompok umur dewasa muda yang mendominasi. Interval panjang sampai dengan 15-17 cm mewakili kelas anakan. Interval panjang dari 20-23 cm, 23-26 cm sampai 26-29 cm merupakan kelompok dewasa muda dan kelas ini justru yang terbanyak dalam populasinya. Menurut Froese & Pauly (2000), ikan karang atau demersal adalah serupa dengan kelompok ikan lain, dimana dalam pola distribusi frekuensi kelompok populasi ikan karang/demersal didominasi oleh individu-individu ukuran kecil. Jadi ikan kelompok ini sangat jarang mencapai ukuran lebih dari modus terbanyaknya dalam populasi. Sebaliknya kelas interval panjang ikan kakap merah dari 44-47 cm sampai di atas 47-50 cm tergolong sedikit, dimana ini menunjukkan adanya eksplotasi tinggi atas ikan kakap merah sebelumnya. Menurut Sadovy (1997), populasi yang memiliki ukuran besar dalam 8 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) jumlah rendah biasanya menunjukkan adanya tekanan penangkapan di masa lalu dan adanya rekruitmen baru menunjukkan adanya pertumbuhan populasi. Pengelolaan sumberdaya ikan untuk menyediaan ukuran siap tangkap perlu dilakukan, yaitu dengan mengurangi atau membatasi waktu kegiatan penangkapan. Ikan kakap/tanda-tanda (Lutjanus vitta) yang diamati memiliki ukuran terkecil 11 cm dan terbesar pada ukuran panjang 36 cm dengan rata-rata 21,51 cm. Distrbusi frekuensi ikan kakap ini memperlihatkan lebih umur muda lebih banyak, semantara umur dewasa tua yang dimulai dari ukuran 29 cm sudah terlihat mendatar kurvanya, dimana ini sebagai tanda adanya eksploitasi yang intensif. Panjang pertama kali tertangkap Lc = 23,65 cm. Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning (Caesio cuning) hampir bersifat normal, namun kelas interval 16 sampai 20 yang merupakan dewasa muda mendominasi populasi dan kelas interval 10-12 cm sebagai anakan dan interval ukuran 24-28 cm sebagai dewasa tua masih banyak muncul (tertangkap). Sementara ukuran 28 cm ke atas sudah semakin jarang. Panjang pertama kali tertangkap Lc = 19,84 – 26 cm. Distribusi prekuensi ekor kuning sama pola kurvanya dengan kakap merah bahwa kurva distribusi frekuensi panjang menjadi tinggi di kiri yang merupakan kelas interval dewasa muda. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi sumberdaya ikan ekor kuning sangat intensif, dimana ukuran 24 cm ke atas yang merupakan ukuran siap tangkap menjadi berkurang. Kasus tingginya eksploitasi ekor kuning ini dapat dikaitkan dengan penggunaan muroami yang bersifat cepat menguras sumberdaya ikan. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus peronii) bersifat normal, dimana modus (terbanyak) kelas interval panjang ada pada ukuran 18-20. Ukuran siap tangkap dengan kelas interval 22-24 cm dan 24-26 terdapat hanya sedikit, sementara tingkat eksploitasi ikan kurisi sangat tinggi. Panjang pertama kali tertangkap Lc = 18,89 cm. Koefisien pertumbuhan (K = 0,85) dari ikan kurisi pasir yang tinggi diharapkan mampu menjaga rekruitmen dalam artian pengelolaan sumberdaya ikan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan kelas interval ukuran dewasa tua siap tangkap sehingga distribusi normalnya tetap dapat dipertahankan. Menurut Choat et al. (2006), untuk mencapai frekuensi ukuran populasi yang berdistribusi normal, pola perikanan yang baik menghendaki perhatian yang luar biasa, yaitu adanya perbaikkan pengelolaan perikanan dan konservasi sumberdaya perikanan. 9 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sebaran ukuran panjang total ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) berkisar antara 16,0 – 73,0 cm dengan rata-rata 38,79 cm dan modus terbanyak ada pada panjang 31 cm. Distribusi ikan kerapu sunu juga bersifat hampir normal dengan kurva terlihat lebih condong ke kiri. Panjang pertama kali tertangkap Lc = 43,7 cm. Hal ini sama seperti ikan kakap bahwa ukuran dewasa tua sudah mulai menyusut jumlahnya sebagai akibat dari intensifitas penangkapan. Probabilitas dan selektivitas dari masing-masing alat tangkap sangat menentukan hasil tangkapan. Kemudian hasil tangkapan serta ketersediaan sumberdaya ikan menentukan besaran laju tangkap atau CPUE. Armada perikanan dengan alat tangkap tunggal memiliki tingkat CPUE untuk ikan demersal lebih rendah dibandingkan dengan armada pengguna alat tangkap lebih dari 1 . Armada dengan alat tangkap yang potensial mengeruk sumberdaya ikan adalah yang memiliki tingkat CPUE yang tinggi. Pada Tabel 2 disajikan CPUE ikan demersal dari berbagai alat tangkap di perairan Laut Cina Selatan dan terlihat yang memiliki CPUE tertinggi adalah alat tangkap pukat ikan. Tabel 2. CPUE ikan demersal menurut armada perikanan di Laut Cina Selatan tahun 2014. ARMADA PERIKANAN CPUE (Parsial) Unit Analisis (jumlah Armada) Pancing Ulur 23 Kg / hari 228 unit Pancing + Bubu 85 Kg / hari 102 unit Bubu 52 Kg / hari 95 unit 135 Kg / hari 33 unit 24 Kg / hari 27 unit 343 Kg / hari 90 unit Muroami Payang Pukat Ikan Dinamika Populasi dan Potensi Lestari (MSY) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dapat dilihat dari nilai laju pengusahaannya(E) dan nilai E di atas 0,5 dianggap sebagai lebih tangkap. Nilai E untuk ikan kakap merah 0,34/tahun, ekor kuning 0,53/tahun, kurisi 0,58/tahun, kaneke 0,37/tahun, kerapu sunu 0,23/tahun dan kakap tanda-tanda 0,48/tahun. Hal ini berarti bahwa tingkat pemanfaatan kakap merah 68 %, ekor kuning 106%, kurisi pasir 116 %, kaneke 74%, kerapu sunu 46% dan kakap tanda-tanda 96%. 10 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Berdasarkan indikator dari nilai E tersebut maka dapat diprediksi bahwa eksploitasi untuk ikan kakap merah masih terbuka 32%, untuk ekor kuning dan kurisi pasir sudah dalam status kelebihan tangkap masing-masing 6 % dan 16%. Eksploitasi ikan kaneke sudah masuk pada status penangkapan yang intensif dan hanya tersisa batas upaya penangkapan lanjutan hanya 26%. Eksploitasi kakap tanda-tanda juga tergolong intensif dan hanya tersisa batas usaha lanjutan 4%. Sementara eksploitasi kerapu sunu masih belum masuk intensif dan masih tersisa batas usaha lanjutan 54%. Seperti telah disebut di atas bahwa eksploitasi di LCS telah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an dan intensitas terus meningkat sampai dengan 2014, di mana alat tangkap yang masuk kategori efektif adalah pukat ikan (jaring trawl). Dari keadaan tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan LCS dan sekitarnya berada pada tekanan penangkapan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, kegiatan penangkapan oleh negara-negara lain dapat dikatagorikan sebagai illegal fishing, di mana pada dekade terakhir ini tampak semakin merajalela, seperti diketahui adanya penangkapan kapal ikan Veitnam di Natuna. Penggunaan alat tangkap muroami yang sesungguhnya sudah dilarang juga menjadi penyebab dari terkurasnya sumberdaya ikan, terutama ekor kuning (Gambar 3). Pada beberapa data yang terkumpul, ikan ekor kuning tidak dimasukkan kepada hasil tangkapan muroami, tetapi dalam kenyataannya ikantersebut ditangkap dengan muroami. Gambar 3. Sebaranpanjang Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) di Laut Cina Selatan. TKG ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dari mulai Januari, Pebruari, Maret, dan September didominasi oleh tingkat 1 dan sedikit ada TKG 2. Prediksi matang gonad yang mendekati memijah diperkirakan Desember atau Januari. TKG 11 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ikan kakap tanda-tanda (Lutjanus vittae) pada bulan tersebut didominasi oleh TKG III dengan persentase sebesar 67,6% dan TKG IV dengan persentasi sebesar 2,9%. Rata-rata nilai indeks kematangan gonad ikan kakap tanda-tanda tertinggi terjadi pada bulan Maret (1,77) dan terendah pada bulan Agustus (0,57). Dengan demikian diduga pemijahan ikan kakap amoy di perairan Biantan terjadi pada bulan Maret. Tidak seperti kakap merah, ikan ekor kuning (Caesio cuning) memiliki TKG dengan tingkat yang beragam meskipun didominasi oleh TKG 1. TKG ekor kuning di bulan Pebruari dan Mei sudah ada yang ke tingkat ‘spent’ dari semua TKG yang ada mulai dari TKG 1,2,3, 4,5 dan 6, dimana bulan September ada yang mencapai TKG 6. Rata-rata nilai indeks kematangan gonad ikan ekor kuning tertinggi terjadi pada bulan April (0,67). Hal ini menunjukkan bahwa waktu memijah ekor kuning adalah pada bulan Pebruari, April, Mei dan Oktober. TKG ikan kurisi dari bulan Pebruari, Maret, Mei selalu didominasi tingkat 1 dan sudah dijumpai sedikit TKG 2, 3 dan 4. Tingkat ‘spent” dijumpai pada bulan Mei dan September, dimana ini menunjukkan waktu memijah jatuh pada bulan Mei dan September. Estimasi potensi lestari (MSY) menurut Model Produksi Surplus Schaeffer (1957) untuk WPP 711 dengan data serial 11 tahun (Tabel 3) didapatkan sebesar 482.200 ton/tahun. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 385.760 ton/tahun. Upaya optimal alat tangkap dogol, sebagai alat yang distandarisasi, adalah sebesar 9.987 unit (Gambar 4), sementara f aktual adalah 10.878 unit alat tangkap dogol. Dengan demikian tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan sudah berada pada tahapan yang overfishing, dengan demikian harus dilakukan pengurangan upaya. Tabel 3. Produksi, upaya dan CPUE ikan demersal di WPP NRI711 TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 12 CATCH (C) 165.078 179.071 197.625 183.238 142.786 195.503 125.348 167.638 191.784 195.556 191.444 EFFORT (F) 7.129 12.117 9.096 7.916 8.561 7.670 11.319 11.494 7.708 11.604 10.878 CPUE (C/F) 23,16 14,78 21,73 23,15 16,68 25,49 11,07 14,58 24,88 16,85 17,60 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN DAN SARAN Alat tangkap untuk memanfaatka sumber daya ikan demersal di Laut Cina Selatan (WPP-NRI711) didominasi alat tangkap bubu, pukat ikan dan pancing serta komposisi jenis ikan didominasioleh ikan kurisi (Nemipterus spp). Dinamika populasi ikan demersal menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan dengan puncak musim pemijahan berlangsung dua kali dalam setahun. Status pemanfaatan sumber daya ikan demersal sudah berada dalam tahapan yang over-fishing dan harus dilakukan pengurangan upaya sekitar 891 unit alat tangkap dogol. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan Penelitian Stok dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal Untuk Mendukung Industrialisasi Di WPP 571-Selat Malaka dan WPP 711-Laut Cina Selatan di Balai Penelitian Perikanan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (dulu Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan), Balitbang KPTahun Anggaran (TA) 2014. DAFTAR PUSTAKA Badrudin., 2002. Pendugaan MSY dengan Model Produksi Surplus. Pelatihan Enumerator monitoring dan Evaluasi Sumberdaya Perikanan. Direktorat Sumberdaya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Badrudin & Karyana, 1992. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal di perairan pantai barat Kalimantan. Jur.;?/nal Penelitian Perikanan Laut No. 71 : 1-8. Cholik, F., A. Sudradjat, & P.T. Imanto. 1995. Peluang agribisnis budi daya laut di Kawasan Timur Indonesia. hlm. 136−156. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Karamba Jaring Apung bagi Budi Daya Laut. Jakarta, 12−13 April 1995 Dulvy, N.K., Y. Sadovy, & J.D. Reynolds. 2003. Extinction vulnerability in marine populations. Fish Fish Ser 4:25–64 Dwiponggo, A. 1977. Peta Beberapa Sumber Perikanan Demersal (dasar) di Laut Jawa dan Cina Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Froese, R. & D. Pauly,. 2000. FishBase 2000: concepts, design and data sources. ICLARM, Manila. Naamin, N., B. Sumiono, S. Ilyas, D. Nugroho, B. Iskandar PS, H.R. Barus, M. Badrudin, A. Suman & E.M. Amin, 1992. Pedoman teknis pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya udang penaeid bagi pembangunan perikanan. Seri Pengembangan Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/ PT/22/1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 86 hal. Sadovy, Y. 1997. Live reef fishery species features prominently in first marine fish IUCN Red List. Live Reef Fish Information Bulletin No. 2, Secretariat of the Pacific Community, Noumea, pp. 13–14. Sadovy, Y & A.C.J, Vincent. 2003. Ecological issues and the trades in live reef fishes. In: Coral reef fishes. Dynamics and diversity in a complex ecosystem. P.F. Sale (Ed). Academic Press, San Diego, CA, p 391–420 Schaefer, M.B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 14, pp. 669–81. Sudradjat, A. & Beck, U. 1978. Report on the Southern South China Sea demersal trawl survey, June-July 1978. Contrib. of the Dem. Fish. Proj. No. 4/1978. MFRI-GTZ. Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1. Manual. FAO fish. Tech. 14 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Lampiran 1. Distribusi panjang beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711). 15 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 16 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 17 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA UDANG DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh Tri Ernawati, Duranta D. Kembaren dan Ali Suman Balai Penelitian Perikanan Laut Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji gambaran status pemanfaatan sumber daya udang penaeid sebagai landasan untuk melakukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Hasil tangkapan udang di perairan LCS dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menunjukkan terjadinya perubahan komposisi dari jenis dari udang yang bernilai ekonomis tinggi (jerbung dan dogol) ke jenis udang yang bernilai ekonomis rendah (udang sudu). Rata-rata ukuran udang penaeid yang tertangkap lebih kecil daripada rata-rata ukuran matang gonad (L50% < Lm). Kondisi stok udang penaeid berdasarkan indeks kepadatan stok CPUE menunjukkan trend yang menurun. Berdasarkan pendekatan metode analitik status sumberdaya udang penaeid di LCS telah menunjukkan tingkat pemanfaatan secara umum telah berlebih (E > 0,5). Oleh karena itu diperlukan perhatian yang lebih intensif dan rasional dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan beberapa langkah kebijakan, yaitu melalui kebijakan: 1). pengurangan jumlah trip atau pelarangan penangkapan padapuncak musim pemijahan, 2). pelarangan penangkapan di area-area nursery ground untuk meminimalkan juvenil-juvenil atau individu-individu muda tertangkap (clossing area), dan 3). Penerapan dan implementasi PermenKP no 2 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap seperti pukat tarik/lampara dasar. Kata kunci : Stok, tingkat pemanfaatan, udang, Laut Cina Selatan 18 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Laut Cina Selatan berdasarkan Permen KP No. PER 01/MEN/2009 adalah bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) 711, meliputi perairan Laut Cina Selatan (LCS), Selat Karimata dan Laut Natuna. Perairan LCS adalah bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang memiliki kedalaman relatif dangkal di bagian selatan dan merupakan perairan laut-dalam di bagian utara. Upaya penangkapan ikan/udang di LCS umumnya sudah tinggi (highly exploited) bahkan sudah melebihi tangkapan (over exploited) terutama bagi sumber daya yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti udang penaeid. Sejalan dengan meningkatnya permintaan akan komoditas udang Penaeid baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor mengakibatkan terjadinya perkembangan pesat dalam peningkatan upaya pemanfaatannya. Dalam buku potensi disebutkan bahwa potensi lestari sumber daya udang penaeid di WPP 711 adalah sebesar 72.250 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan telah melebihi upaya optimum (Suman et al., 2014). Sumber daya udang penaeid adalah sumber daya bersifat dapat pulih (renewable resources). Namun tingginya intensitas penangkapan udang Penaeid di perairan LCS dan dilakukan sepanjang hari dan sepanjang tahun, maka dikhawatirkan pemanfaatannya akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya tanpa ada pengelolaan yang rasional. Sumber daya udang Penaeid sangat rentan terhadap dampak penangkapan mengingat sifatnya yang memiliki ruaya yang sempit, aktivitas rendah dan kawanan relatif kecil (Aoyama, 1973). Penyebaran sumber daya udang Penaeid di LCS terdapat pada kedalaman perairan kurang dari 30 m dengan kondisi habitat dasar perairan berupa lumpur, lumpur berpasir dan masih dipengaruhi oleh massa air tawar. Daerah penangkapan udang penaeid tersebar di area Laut Cina Selatan bagian selatan (Pantai Barat Kalimantan dan Pantai Timur Sumatera) (Suman et al., 2014). Tujuan penulisan makalah untuk mengkaji gambaran status pemanfaatan sumber daya udang penaeid sebagai landasan untuk melakukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan dasar bagi pengkajian selanjutnya. 1. Komposisi Jenis dan Struktur Ukuran Kegiatan penangkapan udang di LCS dilakukan dengan menggunakan alat tangkap jaring tiga lapis (trammel net), bagan apung dan pukat tarik atau lampara dasar. Trammel net banyak digunakan di area LCS bagian barat (Sumatera Selatan 19 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dan Bangka Belitung), sedangkan lampara dasar banyak digunakan di area timur (Kalimantan Barat). Trammel net banyak dijumpai di daerah Banyuasin dan Belitung. Sementara lampara dasar banyak ditemukan di setiap perairan di wilayah Kalimantan Barat (Ketapang, Sungai Kakap dan Pemangkat-Sambas). Alat tangkap trammel net dan pukat tarik dioperasikan secara harian dengan perahu berukuran ≤ 5 GT. Komposisi hasil tangkapan trammel net di perairan Belitung terdiri atas krustasea, ikan, sotong dan biota lain. Hasil tangkapan didominasi oleh ikanikan demersal yang mencapai 75,92% dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan udang penaeid sebesar 15,39%, rajungan sebesar 5,4%, sotong sebesar 2,06% dan gastropoda sebesar 0,04%. Udang penaeid yang mendominasi adalah jenis udang putih (Penaeus indicus) sebanyak 11,68% (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi jenis hasil tangkapan Trammel Net di perairan Belitung, 2014 20 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Observasi laut dengan mengikuti penangkapan lampara dasar di bulan Mei dan September 2014 diketahui bahwa komposisi jenis didominasi oleh kelompok udang dan ikan. Proporsi udang terhadap hasil tangkapan lampara dasar adalah sebesar 38,2% (Mei) dan 39,6% (September). Proporsi ikan diperoleh sebesar 46,1% (Mei) dan 34,7% (September) (Tabel 2). Konsentrasi udang penaeid di pantai barat Kalimantan adalah di daerah Ketapang, Telok Batang, Mempawah, Singkawang dan Pemangkat (BRPL,2006). Hasil survei trawl di perairan Natuna pada tahun 2005 tidak diperoleh kelompok udang Penaeid (BRPL,2006). Tabel 2. Komposisi hasil tangkapan Lampara Dasar di perairan Pemangkat, 2014. Berdasarkan hasil observasi di laut bulan Mei dan September jenis-jenis udang yang tertangkap di perairan Pemangkat dan sekitar antara lain adalah jenis udang wangkang/peci (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeus affinis), udang sudu (Metapenaeus brevicornis), udang putih (Metapenaeus tenuipes), udang merah (Metapenaeopsis sp.) dan udang ket (Parapenaeopsis scluptilis). Jenis udang sudu (M.brevicornis) mendominasi di antara jenis udang-udang lain (Gambar 1). 21 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 1. Komposisi jenis udang yang tertangkap lampara dasar di perairan di sekitar perairan Pemangkat, 2014 Proporsi udang terhadap hasil tangkapan total di sekitar perairan Pemangkat lebih besar dibandingkan di perairan Belitung dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan di kedua area tersebut. Pantai-pantai Kalimantan Barat adalah perairan yang masih dipengaruhi oleh massa air tawar karena terdapat sungai-sungai besar yang bermuara di pantai tersebut. Menurut Motoh (1981), udang penaeid umumnya menyebar di perairan yang masih dipengaruhi oleh massa air tawar. Pengamatan struktur ukuran udang penaeid dilakukan terhadap beberapa jenis, antara lain: Penaeus merguiensis, P. indicus, Metapenaeus ensis, M. affinis dan M. brevicornis. Struktur ukuran panjang karapas udang P. merguiensis di LCS area barat (Banyuasin) lebih besar dibandingkan yang tertangkap di area timur (Pemangkat). Perbedaan ukuran udang yang tertangkap di area barat dan timur LCS disebabkan oleh perbedaan jenis alat tangkap sehingga mempengaruhi penentuan daerah penangkapan. Ukuran rata-rata panjang karapas udang penaeid yang tertangkap, udang jantan cenderung lebih kecil dibandingkan udang betina, baik jenis Penaeus maupun Metapeneus (Tabel 3). 22 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 3. Struktur ukuran panjang karapas Udang Penaeid di perairan Laut Cina Selatan. Jenis Udang burung/wangkang/peci (P.merguiensis ) Udang putih (P. indicus ) Udang dogol (M. ensis ) Udang dogol (M. affinis ) Udang dogol (M. brevirconis ) Kisaran Panjang Karapas (mm) Jantan Betina 16 - 52 19 - 59 12 - 46 14 - 51 17 - 39 15 - 72 17 - 52 17 - 61 12 - 29 13 - 40 11 - 20 12 - 30 Rata-rata Panjang Karapas ± sd Jantan Betina 33,0 ± 4,93 35,3 ± 6,25 22,9 ± 3,08 25,8 ± 5,57 26,4 ± 2,39 31,2 ± 4,66 28,8 ± 5,58 31,9 ± 5,50 21,4 ± 2,46 24,5 ± 5,04 15,0 ± 1,90 17,8 ± 2,48 Alat Tangkap Trammel Net Lampara dasar Trammel Net Trammel Net Lampara dasar Lampara dasar Lokasi Banyuasin Pemangkat Belitung Banyuasin Pemangkat Pemangkat 2. Rata-rata Ukuran Rata-rata Tertangkap (L) dan Matang Gonad (Lm) Rata-rata ukuran rata-rata udang tertangkap (L) adalah hal yang penting untuk diketahui. Bila dikaitkan dengan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) dapat diketahui status populasinya. Kajian tentang (L) dan (Lm) dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan besarnya ukuran ikan/udang yang boleh ditangkap (minimum legal size). Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad dapat didefinisikan sebagai panjang karapas pada 50% dari semua individu yang telah matang gonad (King, 1995). Ukuran matang gonad dapat dijadikan sebagai indikator ukuran pemijahan dalam suatu populasi (Crocos, 1987 dalam Crocos et al, 2001). Hasil penelitian di perairan Laut Cina Selatan diperoleh bahwa ukuran ratarata panjang karapas udang penaeid yang tertangkap (L5) dan matang gonad (Lm) bervariasi (Tabel 4). Rata-rata udang penaeid yang tertangkap di perairan LCS belum melakukan pemijahan (L < Lm) kecuali jenis P.indicus di perairan Belitung. Ratarata udang P.indicus yang tertangkap di perairan Belitung telah sempat melakukan pemijahan ditunjukkan dengan L > Lm. Ukuran rata-rata tangkapan yang lebih rendah dibandingkan ukuran rata-rata matang gonad akan menyebabkan penurunan stok sumberdaya akibat terhambatnya proses rekruitmen (Henriques, 1999 dalam Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan sudah mengakibatkan terancamnya kelestarian sumberdaya yang ada terutama di perairan pantai barat Kalimantan, dengan masih banyak digunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengelolaan melalui penggunaan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan seperti trammel net, memperbesar ukuran mata jaring dan pelarangan kegiatan penangkapan di area yang teridentifikasi sebagai daerah nursery ground. 23 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 4. Ukuran rata-rata tertangkap dan matang gonad Udang Penaeid di perairan Laut Cina Selatan, 2014 Lokasi Spesies L 50% (mmCL) Lm (mmCL) Pera iran ba rat LCS (Suma tera Selatan dan Bangka Belitung) Penae us merguiensis Me tapenaeus ensis 48,1 64,9 Pera iran Timur LCS (Panta i Barat Kalima ntan) P. me rguiensis 26,8 33,7 M.affinis 23,4 25,4 M.brevicornis 18,2 19,7 Penaeus indicus 31,6 34,8 29,4 32,4 3. Musim Penangkapan dan Musim Pemijahan Dugaan musim penangkapan udang di perairan Pemangkat didasarkan pada data statistik perikanan selama kurun waktu 2007-2013. Analisa dilakukan terhadap hasil tangkapan per unit upaya lampara dasar. Hasil analisa menunjukkan bahwa musim penangkapan terjadi pada bulan Juni sampai Desember dan puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juni (Gambar 2). Gambar 2. Indeks musim penangkapan udang di perairan Pemangkat Prediksi musim pemijahan udang di suatu perairan dapat dilakukan melalui pengamatan distribusi tingkat kematangan gonad udang betina di perairan tersebut (Martosubroto, 1978) setiap bulannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang jerbung/putih/peci (P. merguiensis, P. indicus) di perairan barat LCS (Banyuasin 24 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dan Belitung) cenderung memiliki pola musim memijah yang hampir sama yaitu pada bulan antara April - Juli. Musim pemijahan udang jerbung (P. merguiensis) di sekitar perairan barat Kalimantan terjadi pada bulan Februari, Juni dan Nopember. Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian pada periode tahun 1988 - 1990 di perairan pantai utara Jawa Barat, memperlihatkan bahwa udang jerbung memijah hampir setiap bulan dengan puncak musim pemijahan pada bulan Mei (musim timur) dan Maret (musim barat) (Suman et al., 1991). Musim pemijahan udang jerbung di perairan Cilacap dan sekitarnya berlangsung sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Agustus, Nopember dan April (Adisusilo, 1983). Udang jerbung di perairan Panimbang, Jawa Barat diketahui puncak pemijahan pada bulan September (Suman et al., 1988), sementara itu di pantai utara Jawa Tengah pada bulan Oktober-Nopember (Naamin, 1971). Variasi musim pemijahan di beberapa lokasi dipengaruhi oleh perubahan suhu dan salinitas perairan. Menurut Preston (1985) dalam Zacharia & Kakati (2004), dijelaskan bahwa suhu dan salinitas sangat mempengaruhi penetasan telur dan daya tahan larva yang dihasilkan. 4. Status Stok dan Tingkat Pemanfaatan Kelimpahan stok udang penaeid di LCS diperoleh dengan melakukan survei laut menggunakan trawl sebagai alat standar. Survei laut dilakukan dengan kapal riset maupun perahu nelayan. Hasil tangkapan per-jam (catch rate) alat tangkap trawl diasumsikan proporsional dengan biomassa udang penaeid yang ada di alam, maka angka tersebut merupakan salah satu indek kelimpahan (kepadatan) stok yang terbaik bagi pendugaan besarnya stok (standing stock). Kepadatan stok udang penaeid berdasarkan hasil sampling mini trawl (lampara dasar) perahu nelayan di sekitar perairan Ketapang diperoleh 5,57 kg/km2. Sedangkan kepadatan stok udang penaeid diperoleh dari hasil kapal riset relatif lebih kecil yaitu 2,40 kg/km2. Hasil survei dengan kapal riset, kelimpahan udang penaeid paling padat adalah di sekitar perairan Mempawah dan sebelah barat Pulau Karimata. Perbedaan hasil kepadatan stok yang diperoleh dari sampling perahu nelayan dan kapal riset disebabkan oleh perbedaan area setting alat tangkap. Setting lampara dasar di Ketapang dilakukan pada perairan sekitar muara dan pesisir pantai dengan kedalaman perairan < 10m. Sedangkan sampling kepadatan stok dengan kapal riset dilakukan di perairan dengan kedalaman rata-rata lebih dari 20 m. Kondisi ini disebabkan karena keterbatasan kapal riset tidak mampu menjangkau sekitar daerah muara dan 25 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) pesisir pantai yang dapat menyebabkan kapal kandas. Menurut Motoh (1981) daerah penyebaran udang penaeid umumnya terdapat di perairan yang masih dipengaruhi oleh massa air tawar (freshwater discharge). Oleh karena itu kepadatan stok di area muara lebih tinggi dibandingkan di perairan yang lebih dalam. Penyebaran sumber daya udang penaeid di Laut Cina Selatan pada umumnyan terkonsentrasi di sekitar pantai (BRPL, 2006). Secara ekologis daerah penangkapan udang jerbung (Banana shrimp) biasanya terdapat bersamaan dengan kelompok udang dogol (Endeavour shrimp) terutama terdapat di perairan dangkal dan muara sungai atau di daerah yang terdapat hutan mangrovenya (Woffy, 1990). Kondisi kelimpahan stok udang dapat direpresentasikan oleh hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) sebagai indek kepadatan stok yang digambarkan oleh kecenderungan (trend) yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Trend CPUE udang penaeid yang didaratkan di Pemangkat dari periode tahun 2007 – 2013 menunjukkan trend yang menurun (Gambar 3). Penurunan terendah terjadi pada tahun 2013. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan stok udang penaeid yang disebabkan oleh upaya penangkapan yang sudah lebih tangkap (over exploited). Terjadinya over exploited adalah dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan yang tidak bertanggungjawab atau tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan alat tangkap lampara dasar (mini trawl). Gambar 3. Perkembangan CPUE udang berdasarkan hasil tangkapan lampara dasar di Pemangkat Hasil analisis berdasarkan metode analitik diperoleh tingkat pemanfaatan (E) berkisar antara 0,5 – 0,7 (Tabel 5) . Status sumberdaya udang penaeid di LCS 26 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) telah menunjukkan tingkat pemanfaatan yang secara umum menunjukkan kondisi yang memerlukan perhatian yang lebih intensif dan rasional dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Nilai laju eksploitasi (E) yang cenderung tinggi (> 0,5) menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di LCS telah melebihi batas pemanfaatan yang optimum. Menurut Gulland (1971) suatu stok sudah mencapai pengusahaan yang optimal bila nilai E optimal (E opt) adalah 0.5. Penggunaan E ~ 0.5 sebagai nilai optimal untuk rasio pengusahaan suatu stok didasarkan pada asumsi bahwa mortalitas alami (M) sama dengan mortalitas penangkapan (F). Tabel 5. Nilai laju ekploitasi beberapa jenis Udang Penaeid di Laut Cina Selatan. No 1. 2. 3. 4. 5. Spesies Udang jerbung/putih/peci (P. merguiensis) Udang jerbung/putih (P. indicus) Udang dogol (M. ensis) Udang dogol (M. affinis) Udang susu (M. brevicornis) Nilai laju eksploitasi (E) 0,70 0,66 0,53 0,5 0,6 5. Opsi pengelolaan Status pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di perairan Laut Cina Selatan secara umum sudah menunjukkan kondisi lebih tangkap, dengan ditunjukkan ukuran rata-rata yang tertangkap relatif lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata ukuran matang gonad. Berkaitan dengan hal tersebut dan berdasarkan pada hasil penelitian ini terdapat dua opsi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mendukung kelesatarian sumberdaya udang yaitu : Oleh karena itu dalam pengelolaan perikanan udang dan di wilayah ini harus lebih hati-hati. Perlu dibatasi atau dikurangi jumlah upaya penangkapannya. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan beberapa langkah kebijakan, yaitu melalui kebijakan: 1). pengurangan jumlah trip atau pelarangan penangkapan padapuncak musim pemijahan, 2). pelarangan penangkapan di area-area nursery ground untuk meminimalkan juvenil-juvenil atau individu-individu muda tertangkap (clossing area), dan 3). Penerapan dan implementasi PermenKP no 2 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti pukat tarik/lampara dasar diganti dengan trammel net. 27 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN DAN SARAN Hasil tangkapan udang di perairan LCS dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menunjukkan terjadinya perubahan komposisi dari jenis dari udang yang bernilai ekonomis tinggi (jerbung dan dogol) ke jenis udang yang bernilai ekonomis rendah (udang sudu). Puncak musim penangkapan teridentifikasi pada bulan Juni diperairan timur LCS sedangkan puncak musim pemijahan udang jerbung terjadi pada bulan Februari, Juni dan Nopember di perairan timur LCS, sementara puncak pemijahan diperairan barat LCS terjadi pada bulan April - Juli. Rata-rata ukuran udang penaeid yang tertangkap lebih kecil daripada rata-rata ukuran matang gonad (L < Lm). Status stok sumber daya udang di perairan Laut Cina Selatan sudah berada dalam tahapan yang over-fishing, dengan demikian harus dilakukan pengurangan upaya sekitar 20-40 % dari kondisi saat ini. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Stok dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid dan Krustasea Lain dalam Mendukung Industrialisasi Perikanan di WPP 571 Selat Malaka – Laut Andaman dan WPP 711 Selat Karimata – Laut Natuna – Laut Cina Selatan di Balai Penelitian Perikanan Laut T.A. 2014. DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, S. 1983. Ukuran matang kelamin dan musim pemijahan udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 29: 97-102. Anonymous. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 01/ MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Aoyama, T., 1973. The demersal stock and fisheries of the South China Sea. SCS/ DEV/73/3. FAO.Rome. 80p. BRPL, 2004. Status Stok, Dampak Penangkapan dan Bioekologi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dan Demersal di Perairan Selat Malaka. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta BRPL, 2006. Riset Pengkajian Stok, Life History dan Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan Demersal dan Udang Penaeid di Laut Cina Selatan, Laut Jawa 28 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dan Selat Makasar. Laporan Akhir. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. BRPL, 2008. Riset Stok, Lingkungan SDI Demersal dan Pelagis Ekonomis Penting dan Sistem Operasi Penangkapan di Selat Malaka dan Pantai Timur Sumatera. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta Crocos, P.J.,Y.C. Park, D.J. Die, K. Warburton & F. Manson. 2001. Reproductive dynamics of endevour prawn, Metapenaeus endevouri and M. ensis, in Albatross Bay, Gulf of Carpentaria, Australia. Marine Biology. 138 : 63 – 75. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (DJPT). 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Diterbitkan setiap tahun. King, M. 1995. Fisheries Biology: Assessment and Management. Fishing News Books. Oxford, England: 341p. Martosubroto, P. 1978. Musim pemijahan dan pertumbuhan udang jerbung, Penaeus merguiensis de Man dan udang dogol, Metapenaeus ensis de Haan di perairan Tanjung Krawang. Prosiding Seminar Ke-II Perikanan Udang. Jakarta, 15-18 Maret 1977: hal. 7-20. Motoh,H. 1981. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, in the Philippines. SEAFDEC Tech. Pap. No. 7: 128p. Naamin, N. 1971. Laporan pendahuluan mengenai spawning ground udang di pantai utara Jawa Tengah. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. PL/71: 18 hal. Pauly, D., J. Ingles & R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters from length frequency data (ELEFAN I and II). In: Penaeid shrimp-their biology and management: 220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England. Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97. Sudjastani, T. 1974. Dinamika populasi ikan kembung di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 1 : 30-64. Suman, A. dan D. Nugroho, 1988. Perikanan udang putih (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Pemalang dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.47 : 13-20. 29 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Suman, A., Wudianto., B. Sumiono., H.E. Irianto.,Badrudin & K. Amri. 2014. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI). Balai Penelitian Perikanan Laut, P4KSI, BALITBANG-KP. Jakarta. Woffy,A. 1990. Population dynamics of Metapenaeus ensis (Penaeid) in the Gulf of Papua,PNG. Fishbyte Vo. 8 (1): 18-20. Zacharia, S. & V.S. Kakati. 2004. Optimal salinity and temperature for early developmental stages of Penaeus merguiensis De man. Aquaculture (232): 373 – 382. 30 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI WPP 711 LAUT CINA SELATAN Oleh Khairul Amri, Umi Chodrijah, Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat dan Enjah Rahmat ABSTRAK Sumberdaya ikan pelagis besar merupakan komoditas ekonomis penting yang banyak dimanfaatkan nelayan di perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 Laut Cina Selatan. Perairan Laut Cina Selatan telah lama menjadi daerah tujuan penangkapan ikan bagi nelayan purse seine (PS) yang berasal dari Jawa yang berpangkalan di Pekalongan, Tegal dan Juana. Selain itu, perairan ini juga merupakan daerah penangkapan ikan potensial bagi nelayan lokal yang berada di sekitar perairan ini. Penelitian ini mengkaji aspek pemanfaatan dan status stok sumberdaya ikan pelagis besar di WPP 711 Laut Cina Selatan. Data yang digunakan merupakan data hasil penelitian pada tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar di Laut Cina Selatan dilakukan dengan menggunakan armada beragam. Perikanan tenggiri umumnya didominasi oleh perikanan skala rakyat (artisanal) menggunakan kapal motor tempel (KMT) 5-10 GT dengan alat tangkap dominan gillnet dan pancing ulur. Perikanan tongkol umumnya dimanfaatkan kapal-kapal purse seine dari Jawa dengan kapal berukuran besar 20-30 GT bahkan lebih. Potensi lestari SDI pelagis besar sebesar 54.170 ton/tahun, dengan upaya optimum (F Opt.) setara: 11.931 purse seine dan tingkat pemanfaatannya mendekati optimum. Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar di LCS masih bisa dikembangkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Kata kunci: sumberdaya pelagis besar, status stok, Laut Cina Selatan 31 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Sumberdaya ikan pelagis besar merupakan komoditas ekonomis penting yang banyak dimanfaatkan nelayan di perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 Laut Cina Selatan. Beberapa literatur menyebutkan, perairan Laut Cina Selatan (LCS) menempati posisi penting dalam produksi perikanan dunia yaitu memberi kontribusi sebesar lebih dari 12% dari produksi ikan, dan merupakan daerah yang tinggi tingkat keragaman biodiversitasnya (Talaue-McManus, 2000). Perairan Laut Cina Selatan telah lama menjadi daerah tujuan penangkapan ikan bagi nelayan purse seine (PS) yang berasal dari Jawa yang berpangkalan di Pekalongan, Tegal dan Juana. Selain itu, perairan ini juga merupakan daerah penangkapan ikan potensial bagi nelayan lokal yang berada di sekitar perairan ini, mulai dari nelayan Bangka-Belitung di bagian selatan; nelayan Kepulauan Riau di bagian tengah; dan nelayan Kalimantan Barat seperti Pemangkat dan nelayan Natuna di bagian utara. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang banyak dimanfaatkan nelayan di perairan ini adalah kelompok ikan tuna neritik seperti jenis-jenis tongkol dan tenggiri serta hiu/ cucut juga lemadang. Berdasarkan Kepmen KP No.45 Tahun 2011, angka estimasi potensi sumberdaya perikanan di WPP 711 sebesar 1.059 juta ton, adapun ikan pelagis besar potensinya diperkirakan mencapai 66.100 ton/tahun. Sampai sejauh ini belum banyak informasi terkait hasil penelitian sumberdaya ikan pelagis besar terutama yang membahas aspek pemanfaatan dan status stok sumberdayanya. Tulisan ini menyajikan aspek pemanfaatan dan status stok sumberdaya ikan pelagis besar di WPP 711 Laut Cina Selatan. Data yang digunakan merupakan data hasil penelitian pada tahun 2014 dengan maksud memberikan informasi terbaru mengenai kondisi sumberdaya ikan pelagis besar di perairan ini. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Januari-Desember 2014. Lokasi penelitian di perairan yang masuk dalam WPP-NRI 711 ini meliputi perairan BangkaBelitung, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan (wilayah Indonesia). Lokasi pendaratan yang ditetapkan sebagai lokasi sampling meliputi pelabuhan 32 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) pendaratan ikan di Tanjung Pandan (Belitung); Sungailiat (Bangka); Moro (Tanjung Balaikarimun); Tanjung Pinang (Bintan); dan Pemangkat (Kalimantan Barat). Jenis Data dan Cara Perolehannya Data yang dikumpulkan adalah data dari kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis besar di lokasi sampling yang meliputi: • • • • Data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan melalui ’catch monitoring’ terhadap kapal-kapal penangkap ikan pelagis besar yang mendaratkan dan membongkar ikannya di lokasi-lokasi sampling, ataupun melalui observasi laut. Pencatatan dibantu oleh tenaga enumerator lapangan di lokasi sampling Pencatatan hasil tangkapan dilakukan menurut format standar berdasarkan waktu, fishing ground, spesifikasi kapal dan species Data aspek operasional penangkapan dikumpulkan melalui observasi (di laut dan di darat) dan wawancara dengan nakhoda kapal/nelayan Data pendukung (statistik perikanan, data register kapal) dikumpulkan di tempat pendaratan ikan, pangkalan pendaratan dan instansi terkait. Pengolahan dan Analisa Data Data hasil tangkapan yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk lembar kerja (worksheet) dan disusun menurut kapal pada setiap trip dan atau tawur. Data kemudian diringkas menurut waktu (bulan) untuk menduga kecenderungan perubahannya secara musiman berdasarkan nilai rata-rata statistik yang diperoleh. Fluktuasi musim tangkapan diduga berdasarkan nilai laju tangkap yang diperoleh; komposisi hasil tangkapan didasarkan pada hasil sampling komposisi jenis di atas kapal nelayan. Analisis secara grafis dan statistik sederhana diterapkan untuk menunjukkan kecenderungan perubahan yang terjadi pada fluktuasi hasil tangkapan. Untuk menghitung Catch Per Unit Effort (CPUE), data yang digunakan adalah data produksi (catcth) dan upaya (effort) dari ikan pelagis besar. Untuk menetukan indeks kelimpahan yang juga menggambarkan tingkat pemanfaatan, analisa CPUE dilakukan berdasarkan Sparre and Venema (1999): 33 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) CPUE = catch / unit effort Dimana : Catch = total hasil tangkapan (kg) Effort = total upaya penangkapan (unit alat tangkap) CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Untuk mengetahui pola musim penangkapan digunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Spiegel, M. R., 1961). Cara perhitungannya sbb: 1. Hitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) yaitu : U Ui m = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) = CPUE per bulan (ton/trip) = 12 (jumlah bulan dalam setahun) 2. Hitung Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen 3. Selanjutnya dihitung : IMi = Indeks Musim ke i t = Jumlah tahun dari data 4. Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang. 34 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Parameter biologi dan dinamika populasi dianalisa dengan metode standar. Parameter yang dianlisa adalah ukuran ikan pertama kali tertangkap (Lc). Identifikasi gonad mengacu pada urutan tingkat kematangan gonad (Effendie, 2002). Gonado Somatic Index dianalisis dengan rumus yang dikemukakan Effendi, (2002). Nilai Lm dianalisis dengan metode Spearman-Karber dalam Udupa (1986). Kebiasaan makanan dianalisis dengan metode frekuensi kejadian, dalam persentase (Effendi, 1979). Jumlah telur dihitung dengan metode gravimetri dan fekunditas dianalisis dengan rumus yang dikemukakan Effendi, (1979). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kondisi Perikanan Jenis-jenis ikan pelagis besar yang umumnya tertangkap nelayan di perairan Laut Cina Selatan terdiri dari kelompok jenis tongkol, yang dominan adalah jenis tongkol komo/kawakawa (Euthynnus affinis) dan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol). Sementara jenis tenggiri terdiri dari tenggiri batang (Scomberomerus commerson) dan tengggiri papan (Scomberomerus guttatus). Selain itu juga tertangkap ikan lemadang dan hiu/cucut. Lokasi pendaratan ikan pelagis besar di WPP 711 dilakukan nelayan di pelabuhan pendaratan ikan resmi (milik pemerintah) seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN); Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) dan juga di pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan milik peroarang atau swasta yang dikenal dengan sebutan tangkahan. Beberapa PPN yang dijadikan lokasi sampling adalah PPN Tanjung Pandan (Belitung); PPN Sungailiat (Bangka) dan PPN Pemangkat (Kalimantan Barat). Jenis Alat Tangkap Ikan pelagis besar di perairan LCS ditangkap menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut (gillnet), pancing ulur, dan purse seine. Nelayan tradisional dengan kapal berukuran kecil ke laut sehari pulang (one day fishing), sedangkan nelayan pada kapal-kapal besar (skala industri) jumlah hari laut antara 10-15 hari. 35 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gillnet atau jaring insang hanyut dominan menangkap ikan tenggiri dan tongkol. Alat tangkap jaring insang hanyut yang digunakan nelayan LCS umumnya mempunyai ukuran panjang jaring sekitar 4.000-10.000 m, dalam 17 m dengan besar mata jaring 4-5 inchi. Jaring ini merupakan jaring insang permukaan sehingga tidak memiliki pemberat di bagian bawahnya, “pemberat” jaring menggunakan “benang kaki “ yaitu bagian bawah jaring sedalam sekitar 2 m yang terbuat dari bahan yang tenggelam. Pemberat logam hanya digunakan di bagian ujung –ujung jaring. Pancing ulur yang banyak digunakan nelayan di LCS terdiri dari dua jenis, yaitu untuk menangkap tenggiri dan menangkap ikan pelagis kecil. Pancing tenggiri dibuat khusus dengan menambahkan beberapa kawat di atas mata pancing, tujuannya adalah bila umpan dimakan ikan tenggiri maka pancing tidak putus karena ada kawatnya. Pancing biasa dioperasikan di sekitar rumpon atau di sekitar perairan karang di luar rumpon. Pancing tenggiri menggunakan umpan ikan yang dipotong atau ikan kecil yang utuh, sedangkan pancing ulur menggunakan umpan palsu berupa benang sutra dimensi. Alat tangkap purse seine operasionalnya sangat dipengaruhi musim (bulan gelap dan terang). Panjang jaring yang digunakan sekitar 450 depa dengan kedalaman sekitar 80 depa. Ukuran mata jaring 1 inch dengan konstruksi kantong berada di samping. Umumnya armada pukat cincin menggunakan satu genset dan satu unit mesin induk dengan kapasitas 240 PK. Alat bantu penangkapan berupa lampu halogen dan merkuri dengan daya 1000 hingga 3000 watt. Perkembangan Armada Armada penangkapan ikan pelagis besar yang beroperasi di LCS didominasi kapal-kapal berukuran kecil. Kapal yang mendaratkan ikannya di PPN Sungailiat mayoritas tradisional berupa kapal motor berukuran < 5 GT. Pada tahun 2013 jumlah kapal < 5 GT sangat dominan (75%), kapal 5-10 GT (25%) sisanya dalam jumlah kecil kapal berukuran 10-20 GT tidak ada kapal berukuran > 30 GT hanya ada 1 kapal (Gambar 1). 36 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 1. Jumlah dan prosentase kapal (2013) di PPN Sungailiat Kapal penangkapan ikan nelayan di PPN Tanjung Pandan didominasi oleh kapal motor (KM) dengan alat tangkap dengan ukuran tonase rata-rata < 5 GT. Sedangkan untuk kapal pengangkut ikan ukuran toanasenya berkisar antara 10-50 GT. Perkembangan jumlah kapal berdasarkan ukuranya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Perkembangan armada penangkap ikan di PPN Tanjung Pandan Tahun Kapal Motor/KM (GT) Total < 10 GT 10’-30 GT 30’-60 GT 2005 509 19 1 529 2006 509 19 1 529 2007 509 19 1 529 2008 303 15 4 322 2009 303 15 4 322 2010 303 15 4 322 2011 303 15 4 322 2012 303 15 4 322 15 4 323 2013 304 Sumber: PPN Tanjung Pandan, 2014 Armada penangkapan di Moro didominasi oleh perahu motor tempel (76%), dan motor tempel 24%. Sedangkan dari besarnya tonase kapal di dominasi oleh ukuran 5 GT yaitu 77%, > 5-30 GT sebesar 22%, dan sebagian kecil > 30 GT sebesar 37 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 1% (Gambar 3). Kapal dengan alat tangkap gillnet di sekitar Pulau Moro dan Tj. Balai Karimun terdiri dari dua macam yaitu yang dibawah 5 GT dan lebih dari 20 GT (Gambar 2). Gambar 2. Kategori Kapal Berdasarkan Tonase di Tanjung Balai Karimun Armada penangkap di Tanjung Pinang didominasi perahu tanpa motor (PTM) sebesar 52%, sedangkan di kota Batam didominasi o motor tempel (MT) sebesar 38%. Sedangkan di Kepulauan Riau secara keseluruhan, jumlah kapal motor (KM) sebesar 44%, perahu tanpa motor (PTM) sebesar 36% dan perahu motor tempel (MT) sebesar 20%. (Gambar 3). Gambar 3. Jumlah dan komposisi armada penangkap ikan di wilayah Kep. Riau 2008-2011 Armada penangkapan ikan pelagis besar di PPN Pemangkat didominasi oleh kapal-kapal purse seine berukuran besar (20-30 GT) dengan prosentase mencapai 36%. Disusul kemudian oleh kapal-kapal berukuran 5-10 GT (21%). Kapal-kapal 38 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) berukuran 50-100 GT sekitar 16%. Adapun kapal-kapal berukuran kecil (< 5 GT) jumlahnya sangat sedikit (Gambar 4). 6% 1% Jumlah Armada Berdasarkan Ukuran Kapal (GT) di Pemangkat 2009-2013 21% 1200 0 - 5 GT 16% 1000 5-10 Jumlah (unit) 800 10-20 2009 600 2010 400 2011 11% 9% 2012 200 100 - 200 0 5-10 10-20 20 - 30 30 - 50 30 - 50 50 - 100 2013 0- 5 20 - 30 50 - 100 100 - 200 Ukuran kapal (GT) 36% Gambar 4. Jumlah armda dan prosentasenya berdasarkan ukuran di PPN Pemangkat 2009-2013 Musim dan Daerah Penangkapan Musim penangkapan ikan pelagis besar di LCS, untuk jenis tenggiri berlangsung pada musim utara yaitu mulai bulan November sampai Februari (musim barat) sedangkan musim penangkapan ikan tongkol terjadi pada musim selatan/ timur (bulan Juli-September). Hasil tangkapan pada Musim Barat lebih banyak dibandingkan dengan pada Musim Timur. Karakteristik hasil tangkapan pada Musim Barat umumnya tenggiri dan tongkol berukuran besar sementara pada Musim Timur banyak tertangkap ikan tenggiri dan tongkol berukuran kecil dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Daerah penangkapan ikan nelayan LCS seperti terlihat pada (Gambar 5). Nelayan gillnet di Pemangkat daerah penangkapannya meliputi perairan Bangka hingga Natuna. Daerah penangkapan gillnet yang berbasis di Moro dibedakan menjadi dua, yaitu kapal gillnet > 20 GT menangkap di sekitar Selat Karimata, sedangkan kapal gillnet < 5 GT menangkap ikan di sekitar Pulau Moro, Pulau Jang, Pulau Buru, Pulau Kijang, Pulau Karimun Anak, Pulau Kundur, dan sekitar Tanjung Pelanduk. Gillnet di Pulau Bangka memiliki daerah penangkapan di sekitar utara Pulau Bangka. Daerah penangkapan tenggiri dengan pancing ulur yang berbasis di Belitung yaitu di perairan Karang Pesawat (50 mil sebelah utara Belitung: perairan L. Natuna) dan karang tangkal (45 mil utara P. Belitung) serta di perairan sebelah timur (Selat Karimata) yakni di sekitar P. Klumpang. Daerah penangkapan nelayan Bintan berada di sekitar kepulauan Anambas dan Laut Serasan serta Laut Natuna dan Selat Karimata. 39 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 5. Daerah penangakpan pelagis besar nelayan Laut Cina Selatan Produksi dan CPUE Produksi jenis ikan pelagis besar di PPN Sungailiat dan CPUE berdasarkan alat tangkap ditampilkan pada Gambar 6. Produksi tenggiri batang (2002-2013) tertinggi sebesar 282,915 kg (2004) dan terendah pada 2008 (272,674 kg). Produksi tongkol komo tertinggi pada 2004 (399,248 kg) dan terendah pada 2012 ( 383,235 kg). CPUE purse seine tertinggi tahun 2008 (839 kg/trip), ternnya meturun pada 20102011, dan mulai naik lagi tetapi tidak signifikan pada 2012-2013. CPUE pancing ulur menunjukkan tren yang sudah hampir mendatar dari 2007-2011, kemudian mulai ada kenaikkan pada tahun 2012-2013. Tren CPUE gillnet menunjukkan fluktuasi yang hampir sama dengan payang tetapi pada 2009-2011 tmenurun drastis. S. commerson E. affinis Pancing Ulur T. Tonggol Gillnet Mini Purse Seine 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 6. Perkembangan Produksi Ikan Pelagis Besar di PPN Sungailiat-Bangka 40 Payang 900 CPUE (kg/trip) Produksi (kg) S. guttatus 450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 - 2012 2013 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Produksi ikan di PPN Pemangkat didominasi pelagis kecil (layang 22% dan selar 17%), pelagi besar (tongkol komo 18%, tongkol abu-abu 12%) sisanya ikan demersal. (kurisi gulamah, manyung, udang). Sekitar 84% hasil tangkapan pelagis besar dihasilkan kapal gillnet, sisanya 26 % disumbangkan oleh kapal purse seine. Tren produksi ikan pelagis besar yaitu tongkol komo, tongkol abu-abu dan tenggiri, secara umum mengalami penurunan dari tahun 2009 sampai 2012, kemudian mengalami peningkatan pada 2013.Tahun 2011 produksi tenggiri sangat tinggi seiring peningkatan upaya penangkapannya. CPUE dan laju tangkap kapal gillnet di PPN Pemangkat (2012) ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Laju Tangkap Kapal Gill Net di Pemangkat Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rerata produksi (Kg) 378,082 460,691 332,605 343,274 184,460 293,978 171,775 88,479 190,132 278,545 459,065 430,059 3,611,145 Upaya (trip) 97 119 97 96 77 76 91 44 90 82 114 115 1098 Catch rate 3897.8 3871.4 3428.9 3575.8 2395.6 3868.1 1887.6 2010.9 2112.6 3396.9 4026.9 3739.6 3288.8 (Sumber: Statistik PPN Pemangkat 2012) Produksi pelagis besar tahunan di PPN Tanjung Pandan berfluktuasi (Tabel 3) dan CPUE tongkol dan tenggiri (Gambar 7). Hasil tangkapan tertinggi ikan tongkol dan ternggiri terjadi pada 2006 (tenggiri: 421.231 kg; dan tongkol: 333.900 kg) dan terendah untuk tenggiri tahun 2010 (109.657 kg) sementara tongkol tahun 2009 (18.498 kg). Produksi tongkol mengalami penurunan yang sangat drastis sejak tahun 2007 sampai 2013. 41 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 3. Produksi pelagis besar di PPN Tanjung Pandan 2007-2013 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total Landing (kg) Tenggiri Tongkol 164.548 263.186 421.231 290.849 319.373 162.399 109.657 171.512 128.126 214.448 129.747 229.276 333.900 58.623 64.653 18.498 20.918 25.358 35.091 47.209 Gambar 7. CPUE tongkol dan tenggiri di PPN Tanjung Pandan 2004-2013 Produksi bulanan ikan pelagis besar hasil tangkapan gillnet di perairan Laut Cina Selatan yang didaratkan nelayan di Tanjung Pinang selama 2013 secara umum memperlihatkan fluktuasi dengan trend yang cenderung menurun (Gambar 8). Kelimpahan (CPUE) ikan tongkol berkisar 75,38 - 238,18 kg/trip, sementara CPUE tenggiri berkisar 35,42 - 146,57 kg/trip. CPUE tongkol tertinggi Januari dan terendah pada September, sedangkan CPUE tenggiri tertinggi bulan Mei dan terendah September. 42 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 8. Produksi total pelagis besar dan produksi bulanan di Tanjung Pinang 2008-2011 PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap tren hasil tangkapan terlihat adanya penurunan produksi sumberdaya perikanan pelagis besar di Laut Cina Selatan di lokasi-lokasi tertentu. Indikasi ini juga terlihat dari penurunan CPUE pada tahun-tahun tertentu. Tetapi hal ini belum bisa menggambarkan kondisi secara keseluruhan, karena di lokasi-lokasi pendaratan lain justru terlihat indikasi tren produksi stabil dan bahkan CPUE mengalami peningkatan, yang berarti kelimpahan sumberdaya ikan pelagis besar di LCS masih cukup besar. Dari pengematan terhadap aspek biologi didapatkan panjang ikan tenggiri batang berkisar antara 23-125 cmFL sedangkan ikan tenggiri batang maksimum berukuran 240 cm (fishbase). Ukuran pertama kali tertangkap Lc = 68,8 cm. Struktur ukuran tenggiri papan yang tertangkap gillnet menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap masih juvenil sampai yang telah matang gonad. Gillnet sebagai alat tangkap yang dominan dioperasikan menunjukkan panjang pertama kali tertangkap (Lc) pada panjang 44,6 cm. Ikan tenggiri batang berukuran besar tertangkap pada bulan Maret. Pada penelitian ini bulan Februari – September modus nilai panjang ikan yang tertangkap terus mengalami pergerakan ke arah kiri yaitu ke arah ikan-ikan berukuran kecil. Pada bulan Juli – September terdapat 2 (dua) puncak modus. Hal ini menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap pada bulan Juli-September sangat beragam dan selain ikan berukuran kecil atau belum dewasa ditemukan juga ikan berukuran besar yang siap untuk memijah. Dari uji t menunjukkan pola pertumbuhan tenggiri papan di perairan LCS adalah isometrik (pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan panjangnya). 43 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hal ini mengindikasikan bahwa perairan LCS adalah perairan yang subur dengan ketersediaan makanan yang cukup banyak bagi ikan untuk tumbuh dan berkembangbiak. Tingkat kematangan gonad sampel didominasi oleh TKG IV, kematangan gonad ikan jantan hanya ditemukan dari TKG I-III. Selama penelitian belum ditemukan gonad ikan jantan pada TKG IV atau V. Sedangkan ikan betina dominan ditemukan pada TKG III-V. Panjang ikan jantan pada TKG I-III ditemukan pada panjang ikan < 45 cm, sedangkan ikan betina mulai terlihat ada gonadnya pada panjang > 45 cm. Ikan tongkol kawa-kawa yang tertangkap pada bulan Januari-Maret, bulan Mei sampai Oktober 2014 modus ukuran hampir sama. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) yang tertangkap gillnet adalah 39,1 cm, ternyata lebih besar dibandingkan nilai Lm yaitu 34 (betina) dan 35,8 cm (jantan) . Nilai Lc harus lebih besar dari nilai Lm agar rekrutmen berlangsung baik. Bila nilai Lc lebih kecil dari Lm maka ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan muda belum pernah memijah. Nilai Lc yang terlalu kecil disebakan oleh penggunaan mata jaring atau mata pancing yang terlalu kecil. Dari hubungan panjang berat terlihat bahwa nilai b adalah 2,938. Dari uji t terhadap tongkol kawa-kawa menunjukkan hasil pola pertumbuhan isometrik Pola pertumbuhan isometrik artinya pertumbuhan panjang seiring dengan pertambahan beratnya. Pasokan makanan di di perairan Laut Cina Selatan tersedia cukup memadai. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) Euthynnus affinis yang tertangkap gillnet adalah 39,1 cm, ternyata lebih besar dibandingkan nilai Lm yaitu 34 (betina) dan 35,8 cm (jantan) . Nilai Lc harus lebih besar dari nilai Lm agar rekrutmen berlangsung baik. Bila nilai Lc lebih kecil dari Lm maka ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan muda belum pernah memijah. Nilai Lc yang terlalu kecil disebakan oleh penggunaan mata jaring atau mata pancing yang terlalu kecil. Dari hubungan panjang berat terlihat bahwa nilai b adalah 2,938. . Dari uji t terhadap tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) menunjukkan hasil pola pertumbuhan isometrik Pola pertumbuhan isometrik artinya pertumbuhan panjang seiring dengan pertambahan beratnya. Pasokan makanan di di perairan Laut Cina Selatan tersedia cukup memadai. Dari kandungan isi lambung dapat disimpulkan bahwa kebisaan makan Euthynnus affinis adalah Sardinella spp (5%) dan Loligo sp (2%), kondisi lambung kosong (63,4%) dan kondisi makanan sudah hancur (29,7%), sehingga jenis-jenis makanan yang biasa dimakan tongkol kawa-kawa sulit untuk diidenfikasi. 44 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Ukuran tongkol abu-abu hasil tangkapan gill net di Laut Cina Selatan selama Januari sampai September 2014 berkisar antara 29-82 cm. Ukuran panjang paling banyak (modus) yaitu ML 45 dan 48 cm, sedangkan ukuran rata-rata 46.7 cm. Hasil perhitungan hubungan panjang berat 1840 ekor ikan tongkol abu-abu dari bulan Januari sampai Juni memperlihatkan nilai b tongkol abu-abu adalah 3.036. Hasil perhitungan dengan uji tmenghasilkan t hitung= 0.000037, sedang t tabel= 1.96, artinya t hitung < dari t tabel sehingga tolak h1 terima t0, artinya berdasarkan uji t menghasilkan nilai b=3. Menurut Effendie (1997) jika nilai b yang dihasilkan = 3 maka pertumbuhan bersifat isometrik, artinya pertambahan berat ikan sama dengan pertambahan panjangnya. Dari pertumbuhan ikan tongkol abu-abu yang bersifat isometrik ini kita menduga bahwa mangsa ikan ini cukup di habitatnya. Perkembangan tingkat kematangan gonad (TKG) tongkol abu-abu dari bulan Januari sampai September dari masing-masing tingkatan berfluktatif. Tren TKG IV ikan betina terus meningkat sampai bulan Juli sayang bulan berikutnya tidak terdapat TKG IV hal ini karena kurangnya sampel atau pada waktu peneliti ke lapangan tidak ada kapal yang mendarat sehingga sulit mendapat sampel, namun dengan melihat TKG pada ikan jantan pada bulan Agustus TKG IV mulai menurun sehingga patut diduga ikan tongkol abu-abu memijah pada bulan Agustus. Hasil analisis dengan metode Spearman-Karber menunjukkan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tongkol abu-abu yang tertangkap di Laut Cina Selatan adalah 40.5 cm FL (pada kisaran FL 39,2 - 41,9 cm). Isi lambung ikan tongkol abu-abu yang tertangkap di Laut Cina Selatan dari bulan Januari- September 2014 adalah cumi-cumi (Loliginidae) 45 %, teri 9.4 %, ikan layang 17.2 %, tembang 1.6 % dan ikan hancur (tidak teridentifikasi) 25 %. Dari jenis isi lambung tongkol abu-abu bisa kita simpulkan ikan tongkol abu-abu adalah ikan karnivora yang memakan berbagai jenis ikan dan moluska. Hasil kajian pendugaan stok dengan aplikasi Model Produksi Surplus data catch dan effort di Laut Cina Selatan selama 11 tahun (2000-2010), diperoleh nilai dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 48.910 ton/tahun dengan upaya optimal (fopt.) sebesar 45.879 unit standar jaring insang hanyut (Gambar 9). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 39.128 ton /tahun. Berdasarkan data Statistik Perikanan Tangkap, pada tahun 2010 diperoleh jumlah alat yang beroperasi sebesar 20.877 unit standar jaring insang hanyut dan produksi ikan pelagis besar sebesar 43.379 ton. Dengan demikian effort aktual 2010 belum melebihi effort optimum dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar non tuna di perairan ini sebesar 0,46. 45 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 60000 Produksi (Ton) 50000 40000 2005 30000 2010 2008 2006 2009 2007 2003 2002 2004 2001 20000 10000 0 0 20000 40000 60000 80000 100000 Upaya (Unit) Gambar 9. Kurva hubungan antara produksi dan upaya SDI pelagis besar non tuna di WPP 711 Dengan memperhatikan hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar non tuna masih di bawah tingkat optimum, masih bisa dikembangkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehatihatian. KESIMPULAN Dalam penelitian ini terlihat bahwa pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar di Laut Cina Selatan dilakukan dengan menggunakan armada beragam. Perikanan tenggiri umumnya didominasi oleh perikanan skala rakyat (artisanal) menggunakan kapal motor tempel (KMT) 5-10 GT dengan alat tangkap dominan gillnet dan pancing ulur. Perikanan tongkol umumnya dimanfaatkan kapal-kapal purse seine dari Jawa dengan kapal berukuran besar 20-30 GT bahkan lebih. Potensi lestari SDI pelagis besar sebesar 54.170 ton/tahun, dengan upaya optimum (F Opt.) setara: 11.931 purse seine dan tingkat pemanfaatannya mendekati optimum. Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar di LCS masih bisa dikembangkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. PERSANTUNAN 46 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar di WPP 571 Selat Malaka dan WPP 711 Laut Cina Selatan untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan T.A. 2014, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2014. Statistik Perikanan PPN Sungailiat Bangka 2014. Laporan tahunan statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara 2002-2014. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Anonymous, 2013. Statistik Perikanan PPN Pemangkat 2013. Laporan tahunan statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara 2002-2013. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Spiegel M. R. 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co, New York. 359P. Sparre, P. dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal. Talaue-McManus L (2000) Transboundary diagnostic analysis for the South China Sea. EAS/RCU Tech Rep Ser No 14, 107 p Beverton, R. J. H. and S. J. Holt. 1956. A Review of Methods for Estimating Mortality Rates in Exploited Fish Populations, with Special Reference to Sources of Bias in Catch Sampling. Rapp. P.-V. Reun. CIEM, 140: 67 – 83. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 112 hlm Effendie, I. M. 2002. Biologi Reproduksi Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 116 hlm. Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p. Schaefer, M.B. & C.J. Orange. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and skipjack (Katsuwonus pelamis) in three areas of the Eastern Pacific Ocean by axamination of gonads. Bulletin .I-ATTC 1 (6): 282-349. 47 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sparre, P. & S. C. Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assessment, Part 1 - Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306,376 pp. Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. 48 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL LAUT CINA SELATAN (WPP-NRI 711). Oleh Achmad Zamroni, Moh Fauzi dan Hari Ilhamdi ABSTRAK . Status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di WPP RI 711 disajikan dengan melihat keragaan perikanan, armada penangkapan dan alat tangkap, jumlah dan komposisi jenis hasil tangkapan, aktivitas penangkapan serta indeks kelimpahan stok. Penelitian dilaksanakan tahun 2014 di perairan WPP RI 711 yang meliputi: Pontianak, Pemangkat, Tanjung Pinang dan Teluk Batang/Tanjung Satai. Data yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan per kapal, aspek operasional penangkapan dan data pendukung (statistik perikanan, data register kapal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan upaya pada perikanan purse seine di Pemangkat walaupun jumlah purse seine menurun. Jumlah hari lebih lama (diatas 2 minggu) nilai CPUE lebih sedikit, 13-15 hari merupakan jumlah hari optimum. Diduga terjadi perubahan komposisi jenis, dominasi layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma) sekitar 48 %, bentong (Selar crumenophthalmus ) 30%, tongkol 10%. Sumberdaya ikan terubuk (T. toli) di sekitar Pemangkat, pada musim tertentu hasil tangkapan cukup banyak lebih besar dibanding terubuk di Bengkalis. Eksploitasi dilakukan oleh jaring terubuk (gll net) dengan menggunakan armada kecil (<10 GT). Ikan Kembung Tanjung Satai (R. brachysoma) memberi kontribusi sebesar 16% dari total produksi perikanan. Kata kunci: WPP-NRI 711, status pemanfaatan, sumberdaya ikan, pelagis kecil 49 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per-tahun, sekitar 73 % merupakan kelompok ikan pelagis baik besar maupun kecil. Potensi ikan pelagis kecil sendiri sekitar 56 dari potensi keseluruhan. Gambar 1. Peta WPP RI 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) (DJPT-KKP,2011). Dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, wilayah Laut Cina Selatan dikelompokkan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 bersama dengan Selat Karimata, Laut Natuna dan sekitarnya dengan luas wilayah diperkirakan sekitar 595 000 km². Laut Cina Selatan (LCS) telah lama menjadi daerah tujuan penangkapan bagi nelayan purse seine (PS) dari Jawa, yaitu Pekalongan, Tegal dan Juana, pada sekitar musim timur (Mei – September). Pembaharuan terhadap penelitian terdahulu mengenai perkembangan eksploitasi sumberdaya pelagis kecil perlu dilakukan, selain itu, penelitian ini juga untuk menentukan status eksploitasi, kelimpahan sumberdaya dan hal-hal terkait 50 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) life history ikan pelagis kecil untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan perikanan. Penelitian sebelumnya di Laut Cina Selatan kerjasama penelitian dengan ‘SEAFDEC’ (tahun 2003-2005) serta penelitian tentang kajian stok tahun 2005,meliputi akustik, oseanografi dan perikanan demersal. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014 di perairan yang masuk dalam WPPNRI 711 yang meliputi Pontianak, Pemangkat, Tanjung Pinang dan Teluk Batang/ Tanjung Satai. Data yang dikumpulkan adalah data dari kegiatan perikanan tangkap di lokasi sampling yang meliputi: • • • • Data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan melalui ’catch monitoring’ terhadap kapal-kapal (purse seine, purse seine mini) yang mendarat dan bongkar ikan di lokasi-lokasi contoh, ataupun melalui observasi laut. Pencatatan dibantu oleh tenaga enumerator lapangan di lokasi utama (9 orang enumerator) serta nakhoda kapal pada kegiatan on board observer Pencatatan hasil tangkapan dilakukan menurut format standar berdasarkan waktu, fishing ground, spesifikasi kapal dan species Data aspek operasional penangkapan dikumpulkan melalui observasi (di laut dan di darat) dan wawancara dengan nakhoda kapal/nelayan Data pendukung (statistik perikanan, data register kapal) dikumpulkan di tempat pendaratan ikan, pangkalan pendaratan dan instansi terkait. Data hasil tangkapan ditabulasi dalam bentuk lembar kerja (worksheet) dan disusun menurut kapal pada setiap trip dan atau tawur. Data kemudian diringkas menurut waktu (bulan) untuk menduga kecenderungan perubahannya secara musiman berdasarkan nilai rata-rata statistik yang diperoleh. Fluktuasi musim tangkapan diduga berdasarkan nilai laju tangkap yang diperoleh; komposisi hasil tangkapan didasarkan pada hasil sampling komposisi jenis di atas kapal nelayan. Analisis secara grafis dan statistik sederhana diterapkan untuk menunjukkan kecenderungan perubahan yang terjadi pada fluktuasi hasil tangkapan. 51 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL Perikanan Pukat Cincin di Pemangkat Armada dan Aspek Operasional Penangkapan Jumlah armada pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat berjumlah 30 unit dengan ukuran berkisar antara 32 hingga 117 GT. Jumlah ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2011 jumlah kapal mencapai 36 unit dan tahun 2012 turun menjadi 32 unit. Masing-masing kapal penangkap memiliki kapal penampung yang akan membawa hasil tangkapannya ke pangkalan pendaratan ikan. Lama hari di laut antara 2 hingga 27 hari (rata-rata 19-20 hari), jumlah Anak Buah Kapal (ABK) berkisar antara 20-23 orang. Panjang jaring yang digunakan sekitar 450 depa dengan kedalaman sekitar 80 depa. Ukuran mata jaring 1 inch dengan konstruksi kantong berada di samping. Umumnya armada pukat cincin menggunakan satu genset dan satu unit mesin induk dengan kapasitas 240 PK. Alat bantu penangkapan berupa lampu halogen dan merkuri dengan daya 1000 hingga 3000 watt. Setiap armada peanangkap juga delengkapi mesin pembeku (freezer). Jumlah dan Komposisi Hasil Tangkapan Selama periode tahun 2013 jumlah hasil tangkapan armada pukat cincin sekitar 4177 ton, jumlah ini lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil monitoring terhadap armada pukat cincin yang berbasis di Pemangkat pada tahun 2011 total hasil tangkapan sebesar 4918 ton. Tahun berikutnya yakni 2012 produksinya turun menjadi 3769 ton Bila dibandingkan dengan data statistik yang dikeluarkan oleh PPN Pemangkat nampak bahwa meskipun terjadi bias perbedaan sebesar 23% namun kecenderungan pola produksinya sama (Gambar 2). 52 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 2. Jumlah hasil tangkapan armada pukat cincin yang berbasis di PPN Pemangkat tahun 2007 hingga 2013. Ikan layang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin sebesar 48 % dari total hasil tangkapan. Jenis ikan layang yang tertangkap adalah Decapterus russelli dan D. macrosoma. Hasil tangkapan ikan Selar Bentong (Selar crumenophthalmus) sebesar 30% dari total hasil tangkapan, sedangkan ikan tongkol komo berkontribusi 10% dari total hasil tangkapan (Gambar 3). Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan armada pukat cincin yang berbasis di PPN Pemangkat tahun 2014. 53 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Daerah Penangkapan dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan armada pukat cincin yang berbasis di PPN Pemangkat adalah di sekitar kepulauan Natuna, pulau Midai dan Subi. Kawasan ini merupakan bagian dari perairan Laut Cina Selatan (Gambar 4). Gambar 4. Daerah penangkapan armada pukat cincin yang berbasis di PPN Pemangkat. Musim paceklik ikan terjadi pada akhir musim barat hingga musim peralihan satu (Januari - Mei). Para nelayan setempat memberi istilah “musim utara” pada bulan-bulan tersebut dimana kondisi gelombang yang tinggi dan angin yang kencang menyebabkan nelayan jarang yang beroperasi menangkap ikan. Jumlah trip pada musim paceklik rata-rata hanya 10 trip. Pada musim timur jumlah hasil tangkapan mulai naik dan mencapai puncaknya pada bulan Juli dengan total hasil tangkapan mencapai 614 ton (tahun 2013). Nilai produksi kembali meningkat pada akhir musim 54 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) peralihan dua (Gambar 5), sehingga dalam satu tahun terjadi dua kali puncak musim penangkapan yaitu bulan Juli dan Oktober-Nopember. Gambar 5. Nilai indeks musim penangkapan armada pukat cincin di Pemangkat tahun 2011-2013. Indeks Kelimpahan Stok Nilai laju tangkap armada purse seine di Pemangkat pada tahun 2013 sebesar 13 ton/trip atau setara dengan 740 kg/hari. Laju tangkap bulanan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan Desember, yaitu sebesar 1,1 ton/hari atau setara dengan 20 ton/ trip. Nilai laju tangkap terendah terjadi pada bulan Januari – April, yaitu sekitar 400 kg/hari atau setara dengan 5,3 ton/trip (Gambar 6). Nilai laju tangkap yang diperoleh lebih rendah dari tahun sebelumnya (tahun 2011). Tahun 2011 nilai laju tangkap harian sebesar 856 kg/hari sedangkan tahun 2012 turun menjadi 693 kg/ hari (Gambar 7). Jumlah trip mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 dari 36 unit armada yang aktif selama setahun terdapat 278 trip, pada tahun 2012 dari 32 armada terdapat 261 trip sedangkan pada tahun 2013 dari 30 armada terdapat 282 trip. Semakin meningkatnya jumlah trip ternyata tidak diikuti dengan kenaikan produksinya. Pada Gambar 8 dapat diketahui bahwa trip dengan jumlah hari laut lebih dari 15 hari memperoleh hasil tangkapan lebih rendah. Nilai laju tangkap (kg/hari) juga mengalami penurunan setelah hari ke-15. 55 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 6. Nilai laju tangkap dan jumlah trip bulanan armada pukat cincin di PPN Pemangkat. Gambar 7. Laju tangkap armada pukat cincin yang berbasis di Pemangkat tahun 2011-2013. Gambar 8. Hubungan antara produksi, laju tangkap dan jumlah hari di laut. 56 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Perikanan Terubuk di Pemangkat Ikan terubuk yang tertangkap di perairan sekitar Pemangkat berbeda spesies dengan ikan terubuk yang terdapat di Bengkalis. Spesies ikan terubuk di Pemangkat sama dengan ikan terubuk yang tertangkap di Serawak, Malaysia, yaitu Tenualosa toli. Eskploitasi ikan terubuk di perairan Kalimantan Barat khususnya Pemangkat menggunakan jaring plastik, yang merupakan alat tangkap jenis gillnet tepi bagi armada di bawah 5 GT. Terdapat dua jenis armada jaring plastik yakni yang berukuran 2 - 3 GT yang beroperasi pada perairan lebih dari 5 mil dan di bawah 2 GT yang beroperasi di bawah 5 mil. Saat ini jumlah armada jaring plastik belum bisa diketahui secara pasti karena kapal yang berukuran dibawah 5 GT tidak memerlukan ijin dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sambas (tidak diambil retribusi). Di Pemangkat diperkirakan terdapat lebih dari 200 kelompok nelayan yang masing-masing kelompok memiliki maksimal 10 orang anggota. Berdasarkan informasi dari nelayan dan DKP, armada jaring plastik terdapat di Selakau hingga Liku dan daerah Paloh merupakan daerah yang paling banyak terdapat armada jaring plastik. Data statistik DKP Kab. Sambas hanya terdapat 110 armada < 5 GT untuk seluruh Kab. Sambas (under estimate). Armada jaring plastilk di Pemangkat hanya diawaki oleh dua orang kru (Nahkoda dan ABK). Armada ini dilengkapai dengan mesin dongfeng 15 PK dan baterai isi ulang (rechargeable) sebagai penerangan. Jaringi plastik terbuat dari benang plastik dengan panjang jaring 30 pis (1.500 m) dan dalam jaring 6 depa (9 meter) dengan mata jaring 2¼ inchi, yang dilengkapi dengan pemberat berupa timah sebanyak 105 kg dan pelampung utama sejumlah 3 buah serta 50 buah pelampung kecil. Lama tanam jaring gill net hanyut ini kira-kira 1 - 1.5 jam dan dalam satu malam dilakukan satu kali setting, apabila cuaca mendukung sampai dua kali. Daerah penangkapan jaring plastik nelayan pasar melayu, Pemangkat adalah di sekitar pesisir pantai Selakau hingga pesisir pantai Tanjung Datu (Gambar 9). Lama operasi penangkapan 1 – 3 hari. Daerah operasi penangkapan one day fishing hanya di sekitar pesisir Selakau hingga pesisir Santebang, sedangkan operasi penangkapan yang mencapai 3 hari disekitar pesisir Santebang sampai Tanjung Datu. Hasil wawancara dengan bapak Hanafi dan salah satu nelayan pasar melayu bahwa musim penangkapan ikan terubuk dimulai dari bulan Januari – April, yang merupakan puncak musim ikan terubuk, bulan Mei – Juli kosong dan kembali meningkat pada bulan Agustus – Desember. Karena kekosongan ikan terubuk di bulan Mei – Juli nelayan jaring terubuk mengganti jaringnya dengan jaring bawal. 57 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 9. Daerah penangkapan armada jaring plastik pasar melayu. Komposisi hasil tangkapan beberapa kapal contoh jaring plastik di Pasar Melayu, Pemangkat terdiri dari ikan parang-parang, senangin, ikan campur, bawal, kembung, terubuk, tenggiri dan semperek, hasil tangkapan di dominasi oleh ikan semperek mencapai 56 % (Gambar 10a). Ikan semperek merupakan julukan dari anak ikan terubuk bagi nelayan Pemangkat. Ikan terubuk dengan berat kurang dari 500 gram disebut semperek sedangkan ikan yang beratnya lebih dari 500 gram disebut ikan terubuk. Fluktuasi hasil tangkapan ikan semperek dari beberapa kapal contoh menunjukkan bahwa pada bulan Januari hasil tangkapan ikan semperek dan ikan terubuk masih rendah. Pada bulan Februari hasil tangkapan semperek meningkat secara signifikan mencapai 1,2 ton. Hasil tangkapan ikan semperek menurun drastis pada bulan Maret bahkan ikan terubuk tidak tertangkap (Gambar 10b). 58 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) a b Gambar 10. (a) Komposisi hasil tangkapan gillnet di Pemangkat, Januari-Maret 2014; (b) Fluktuasi hasil tangkapan gillnet di Pemangkat, Januari-Maret 2014. Perikanan Kembung di Teluk Batang Musim dan Hasil Tangkapan Ikan Musim Ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Teluk Batang pada tahun 2012 terjadi antara bulan Juli – Desember. Pada tahun 2012 volume produksi perikanan yang di daratkan di PPP Teluk Batang tercatat sebesar 1.967,83 ton (Statistik Perikanan Tangkap PPP Teluk Batang 2012). Pada Gambar 11a dapat dilihat fluktuasi bulanan hasil total tangkapan kapal ikan yang di daratkan di PPP Teluk Batang, musim ikan terjadi sekitar bulan Desember sampai dengan Februari. Dari seluruh hasil tangkapan ikan yang tertangkap, jenis ikan yang dominan tertangkap di PPP Teluk Batang pada tahun 2012 adalah ikan Kembung, yaitu sebesar 239.676 kg. Pada tahun 2013, tercatat volume produksi perikanan yang didaratkan di PPP Teluk Batang sebanyak 1.529,59 ton. Komposisi jenis hasil tangkapan di PPP Teluk Batang tahun 2013 juga didominasi oleh ikan Kembung, yaitu sebesar 391.363 Kg, sedangkan produksi ikan Manyung, Gulamah, Tembang , dan Selanget adalah 314.340 kg, 136.581 kg, 83.988 kg dan78.275 kg (Gambar 11b). 59 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ab Gambar 11. a. Hasil Tangkapan Ikan yang di daratkan di PPP Teluk Batang pada tahun 2013 dan 2014; b. Hasil Tangkapan ikan yang didaratkan di PPP Teluk Batang tahun 2013. Hasil Tangkapan Ikan Kembung (Rastrelliger brachysoma) di Teluk Batang Tahun 1994 – 2000 hasil tangkapan ikan kembung dari alat tangkap jaring lingkar sebesar 70%, 10% dari jaring insang tetap dan 19% lainnya berasal dari jenis-jenis alat tangkap lainnya seperti jaring insang hanyut, jermal, sero serta pukat cincin mini (Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Barat, 1995-2001, dalam Hariati dkk., 2011). Hasil tangkapan ikan kembung dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 12a). Peningkatan ini seiring dengan bertambanya jumlah unit alat penangkapan dan upaya penangkapan yang dilakukan. Berdasarkan data hasil tangkapan bulanan ikan kembung menunjukkan musim penangkapan terjadi pada bulan September – Maret dengan puncak hasil tangkapan terjadi pada bulan Desember (Gambar 12b). ab Gambar 12. a. Hasil tangkapan ikan kembung (Rastrelliger brachysoma) tahun 2009-2013; b. Grafik Total Hasil tangkapan ikan kembung pada tahun 2012 dan tahun 2013 di PPP Teluk Batang. 60 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Armada dan Daerah Penangkapan Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan kembung di Teluk Batang dan sekitarnya adalah pukat cincin mini dan jaring insang hanyut. Jumlah alat tangkap Pukat Cincin pada tahun 2012 tercatat sebanyak 22 unit dan Jaring Insang Hanyut sebanyak 48 unit, pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah alat tangkap Pukat cincin sebanyak 29 unit dan Jaring insang Hanyut sebanyak 122 unit. Daerah penangkapannya di dekat Pulau Penebangan, Pulau Pelapis di sebelah barat Pulau Maya. Hasil tangkapan pukat cincin umumnya didaratkan di pangkalan pemilik kapal (tangkahan) masing-masing di Tanjung Satai dan Pintau. Hampir semua hasil tangkapan pukat cincin diangkut ke Pelabuhan Teluk Batang dengan kapal pengangkut untuk dilakukan pencatatan produksi, hanya sedikit yang langdung dibawa dengan kapal penangkap. Hal yang sama juga terjadi pada hasil tangkapan jaring insang hanyut. Indeks Kelimpahan Stok Nilai lajut tangkap pukat cincin mini dan jaring insang hanyut di Teluk Batang dan sekitarnya menunjukkan bahwa laju tangkap tertinggi terjadi pada bulan Desember, sedangkan laju tangkap terendah terjadi pada bulan Maret – Mei. Bulan April – Juli 2013 tidak tertangkap spesies ikan kembung, karena pada bulan tersebut bukan merupakan musim ikan kembung (Tabel 1.) Tabel 1. Hasil Tangkapan dan Upaya (jumlah trip) Pukat incin dan Jaring Insang Hanyut kembung di PPP Teluk Batang 2013. Bulan Total Cacth(Kg) Trip Total Kembung(Kg) CPUE Jan 24654 52 7667 474,12 Feb 44828 81 15487 553,43 Mar 31636,4 72 6027 439,39 Apr 33635,7 74 0 454,54 Mei 36773,4 87 0 422,68 Jun 49345 86 0 573,78 Jul 47477,5 84 0 565,21 Agust 54804 83 4515 660,29 61 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Bulan Total Cacth(Kg) Trip Total Kembung(Kg) CPUE Sep 63233 88 7590 718,56 Okt 53691 69 23534 778,13 Nop 84424 107 34002 789,01 Des 113678 95 93234 1196,61 Total 638180 978 192056 7625,745 PEMBAHASAN Terjadi penurunan jumlah unit PS Pemangkat dari 36 unit pada 2011 menjadi tinggal 30 unit pada2013. Dengan kapasitas kapal yang besar sehingga mampu menjelajah lautan secara lebih leluasa kapal mampu menjangkau daerah penangkapan lebih jauh, tapi berakibat membutuhkan jumlah hari laut semakin lama hingga 1 bulan (rata-rata 19-20 hari). Penggunaan tehnologi dan alat bantu penangkapan modern bertujuan untuk memperoleh hasil tangkapan semakin banyak, namun kondisi biomassa semakin terbatas. Trend peningkatan jumlah trip penangkapan disertai jumlah hari laut semakin lama secara keseluruhan meningkatkan tekanan penangkapan yang berdampak pada semakin rendahnya hasil tangkapan per unit upaya (ton/trip atau kg/hari) dan total hasil tangkapan. Produksi sekitar 5000 ton pada 2011 turun menjadi 4200 ton pada 2013. Pada periode sebelumnya terjadi kenaikan produksi antara 2007-2009. Sementara itu,terdapat indikasi perbedaan nilai produksi dari hasil monitoring dengan data statistik perikanan sebesar 23%. Untuk meningkatkan akurasi data pencatatan hasil tangkapan dan operasional penangkapan menjadi semakin penting sekaligus berperan sebagai komponen pengelolaan yang bertanggung jawab. Berdasarkan fluktuasi indek musim ikan pelagis musim paceklik diperkirakan berlangsung sekitar bulan Januari-April dengan jumlah trip rata-rata 10 trip/kapal. Pada bulan Mei (musim timur) hasil tangkapan meningkat, pada bulan Juli lebih tinggi sebesar 614 ton dan mencapai puncak sekitar Oktober-November (musim peralihan). Pola musiman ikan pelagis di Laut Cina Selatan yang bersamaan juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Wudianto et al. (2007 dan 2007a). Pola musiman juga hampir bersamaan dengan pola musiman ikan pelagis di Laut Jawa seperti diuraikan sebelumnya oleh Atmaja et al. (1986), Amin & Suwarso (1990), Suwarso et al. (2004), Hendiarti et al. (2005). 62 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Jumlah hari di laut untuk melakukan penangkapan berkisar antara 5-27 hari. Namun ketika operasional telah lebih lama dari 15 hari ternyata tidak seimbang dengan hasil tangkapan yang diperoleh (laju tangkap); dengan jumlah hari lebih pendek maka akan diperoleh laju tangkap yang lebih besar. Pola demikian juga terlihat di perairan lain seperti di pantai utara Jawa oleh kapal MPS Rembang, di Laut Sulawesi utara Tumumpa oleh kapal MPS Tumumpa serta beberapa lokasi lainnya. Hal ini diduga terkait dengan fisiensi penangkapan dan gejala kejenuhan populasi ikan pelagis kecil akibat penangkapan secara terus menerus. Terjadi perubahan komposisi jenis hasil tangkapan. Kontribusi kategori ‘layang’ (Decapterus russelli dan D. macrosoma) saat ini sekitar 48%, bentong (Selar crumenophthalmus) 30%, tongkol 10%. Pada kurun 2003-2007 dominasi kategori layang mencapai 60% (Zamroni, 2009), dalam kurun 2003-2005 Wudianto et al. (2007) melaporkan hasil tangkapan laying di Laut Cina Selatan mencapai 65% dari total hasil tangkapan. Perubahan komposisi hasil tangkapan sering terjadi dalam perikanan yang telah tereksploitasi penuh. Di Laut Jawa indikasinya terlihat pada kemunculan ikan ayam-ayaman pada beberapa tahun terakhir serta kenaikan prosentase jenis selar dalam hasil tangkapan. KESIMPULAN Upaya penangkapan perikanan purse seine yang berbasis di Pemangkat mengalami peningkatan walaupun jumlah PS menurun, tetapi menyebabkan penurunan produksi. Komposisi jenis ikan pelagis kecil mengalami perubahan akibat tekanan penangkapan yang intensif. Terdapat sumberdaya ikan terubuk (T. toli) di sekitar Pemangkat, pada musim tertentu hasil tangkapan lebih besar dibanding terubuk di Bengkalis dan eksploitasinya menggunakan jaring terubuk (gll net) dengan armada skala kecil (<10 GT). Ikan kembung Tanjung Satai (R. brachysoma) memberi kontribusi sebesar 16% dari total produksi perikanan, pengusahaan dilakukan secara tradisional dengan jumlah upaya masih mengalami peningkatan. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil penelitian Penelitian Stok, Distribusi dan Parameter Biologi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di WPP 711, TA 2014 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. 63 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M., T. Dahril dan D. Efison. 1995. Ekologi reproduksi ikan Terubuk (Alosa toli) di perairan Bengkalis, Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 1: 2-19. Anonimous. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP-DKP dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. Bailey, C.; Dwiponggo, A.; Marahudin F. Indonesian marine capture fisheries. 1987. ICLARM Stud. Rev. (10): 196p. Blaber, S.J.M. and D. Brewer. 1997. Feeding ecology of Tenualosa macrura in Bengkalis. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Blaber, S.J.M. 1998. Reproductive ecology and life history of Terubuk in Indonesia. 2nd Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 1998. Brewer, D. and S.J.M. Blaber. 1997. Reproductive ecology and life history of Tenualosa macrura in Bengkalis. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Blaber, S.J.M., D.T. Brewer, D.A. Milton, G.S. Merta, D. Efison, G. Fry and T. van der Velde. 1999. The life history of the Protandrous Tropical Shad Tenualosa macrura (Alosinae : Clupeidae) : Fishery Implications. Estuarine, Coastal and Shelft Science, 49, 689 – 701. Conway, D. VP, G. W. Rowena, Joanna Hugues-Dit-Ciles, C. P. Gallienne and David B Robins. 2003. Guide to the coastal and surface Zooplankton of the South-Western Indian Ocean. Marine Biological Association of the United Kingdom. Occasional Publication No 15. Version 1, June 2003. Dwiponggo, A. 1987. Indonesia’s marine fisheries resources. In: C. Bailey, A. Dwiponggo & F. Marahudin. Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM. Studies and Review 10: 10-63. Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri bogor, 192 p. Efison, D. 2007. Identifikasi calon suaka perikanan ikan Terubuk (Tenualosa macrura) : Ringkasan Eksekutif. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Dir. Jen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. 12 pp. 64 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hariati, T. Wudianto & Subagja. 2008. TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) DARI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF LAUT CINA SELATAN. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14:393-401 Holden, M.J. and D.F.S Raitt (eds.). 1974. Manual of Fisheries Sciences. Part 2. Methods of Resource Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech. Pap., (115). Rev. 1: 214p. Hurasan, M. S. dan H. Banjar. 1993. Alat tangkap, komposisi dan dugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Utara Maluku, Sorong dan Fakfak. Jurnal Pen. Perikanan Laut, 80: 46-52. Kailola, P.J., M.J. Williams, P.C. Stewart, R.E. Reichelt, A. McNee and C. Grieve. 1993. Australian Fisheries Resources. Bureau of Resource Sciences/ Fisheries Research and Development Corporation, Canberra. Mangga Barani, Husni, Dr. MSi. 2006. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia. Dipresentasikan pada Sosialisasi Hasil Kegiatan Riset. Pusat Riset Periknan Tangkap. BPPI Semarang, 14 Desember 2006. Martosubroto, P. 2005. Menuju pengelolaan Perikanan yang bertanggung jawab. Forum Pengkajian Stok Ikan Laut, Hotel Bintang. Jakarta, 27-28 Desember 2005. Merta, I.G.S., Suwarso, Wasilun, K. Wagiyo., E.S. Girsang dan Suprapto. 1999. Status populasi dan bio-ekologi ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) di propinsi Riau. J. Pen. Perikanan Indonesia V(3): 15 – 29. Merta, I.G.S., Suwarso and S.B. Atmaja. 1997. Preliminary study on catch fluctuation patterns of Terubuk (Tenualosa macrura) fishery in Bengkalis waters, Riau Province. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Merta, I.G.S., Suwarso and XX. Sumber Daya Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Pengelolaannya. Departemen Kelautan dan Perikanan – ACIAR. Poster. Pauly, D. and G.I. Murphy. 1982. Theory and Management of Tropical Fisheries. ICLARM..; Perbowo, N. 2007. Pengelolaan Ikan Terubuk. DJPT-SDI, DKP. 65 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Robertson, M. and J. Ovenden. 2002. Indonesian Terubuk (Tenualosa macrura): Larval identification using genetics. Shad Larvae Identification Report. Molecular Fisheries Laboratory (QDPI Southern Fisheries Centre, 13 Beach Road, Deception Bay, 4508) and University of Queensland (St. Lucia, 4072, Qld.). Roos, D., O. Roux. & F. Command. 2007. Notes on the Biolgy of the bigeye scad, Selar crumenophthalmus (Carangidae) around Reunion Island, Southwest Indian Ocean. Scientia Marina. 71(1) :137-144 Schreck, C.B. and P.B. Moyle. 1990. Methods for Fish Biology. American Fisheries Sociaety. Bethesda, Maryland, USA. Sparre, P., E. Ursin and S.C. Venema. 1989. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. FAO Fisheries Technical Paper, 306/1: 337p. Suprapto dan Suwarso. 2000. Perikanan Terubuk di Kabupaten Bengkalis (Propinsi Riau). Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 6(1): 2-6. Suwarso, Wasilun, dan I.G.S. Merta. 1999. Pengendalian lingkungan perikanan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) di Propinsi riau. Warta Lit. Kan. Indonesia 5 : 6 – 13. Suwarso. 2014. Sumber daya Ikan Terubuk (Tenualosa sp.) di perairan pantai Pemangkat, Kalimanan Barat. Seminar Nasional Ikan VIII dan Konggres IV Masyarakat Iktiologi Indonesia. Bogor, 3-4 Juni 2014. 12 Pp. Suwarso. 1998. Kelimpahan populasi ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae), dan dugaan nilai produksinya di perairan estuarin sekitar Bengkalis (Riau). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II, ISBN: 979-818668-0. Suwarso dan I.G.S. Merta. 1997. Kelimpahan populasi ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) dan dugaan produksinya di perairan estuarin sekitar Bengkalis (Riau). Simposium Perikanan Indonesia II, Ujung Pandang, 23-24 September 1997. 99-103. Suwarso. 2000. Penurunan populasi dan alternatif pengelolaan ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae), di Propinsi Riau.Prosiding Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan. ISBN: 979-9583-4-8. Suwarso, I. G. S. Merta dan Karsono Wagiyo. Sumber Daya Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Pengelolaannya. POSTER. Departemen Kelautan dan Perikanan – ACIAR. 66 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Suwarso, A. Zamroni & Wudianto. 2008. Biologi Reproduksi dan Dugaan Musim Pemijahan Ikan pelagis Kecil di Laut Cina Selatan. Jurnal penelitian Perikanan Indonesia. (XIV)4: 379-391 Syam, A.R. 2006. Parameter Stok Dan Laju Tingkat Eksploitasi Ikan Kawalinya (Selar crumenophthalmus) di Peraitan Maluku. Prosiding. Disampaikan pada seminar Nasional Ikan IV di Jatiluhur. Wagiyo, K. Bioekologi, sediaan, eksploitasi dan konservasi ikan Terubuk (Tenualosa macrura, Bleeker, 1852). Wagiyo, K. 2003. Kelimpahan Larva Terubuk (Tenualosa macrura) dan beberapa faktor hidrologis daerah asuhannya. Interim Report (unpublished). Wagiyo, K. dan Suwarso. 1999. Kondisi lingkungan estuarin Bengkalis dalam hubungannya dengan kelimpahan larva ikan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, ISBN: 979-8186-79-6. Yamaji, I. 1996. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Hoikusha. Japan 67 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA CUMI-CUMI DI LAUT CINA SELATAN (WPP-NRI 711) Oleh Asep Priatna, Suwarso dan Hari Ilhamdi ABSTRAK Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Karimata, Laut Cina Selatan, dan Laut Natuna (WPP 711) memiliki sumberdaya cumi-cumi yang cukup potensial untuk dimanfaatkan. Pemanfaatan cumi-cumi di WPP 711 didominasi oleh unit penangkapan bouke ami yang berasal dari berbagai daerah, diantaranya berbasis di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi, Kota Pontianak. Penelitian untuk mengetahui tingkat pemanfaatan cumi-cumi oleh bouke ami yang berbasis di Pontianak dilakukan selama tahun 2014 sampai bulan September 2015. Data dan informasi merupakan hasil observasi dan pencatatatan harian terhadap kapal-kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkapannya. Sekitar 73% kapal penangkap berukuran 1030 GT mendominasi unit penangkapan bouke ami yang aktif. Pemanfaatan cumicumi berlangsung sepanjang tahun. Hasil tangkapan cumi-cumi mencapai 80% dari total tangkapan bouke ami. Puncak musim penangkapan terjadi dua kali yaitu puncak tertinggi pada bulan September-November dan puncak kedua pada bulan Maret-Mei. Sementara bukan musim pada bulan Juni-Agustus, dan paceklik pada bulan Desember-Februari. Tingkat upaya penangkapan bouke ami berbanding lurus terhadap jumlah produksi cumi-cumi. Dinamika musim penangkapan mencerminkan fluktuasi CPUE bulanan cumi-cumi. Selama periode 2012-2015 menunjukkan jumlah upaya, produksi dan CPUE cumi-cumi menunjukkan peningkatan. Rata-rata produksi cumi-cumi mencapai 1200 ton/tahun atau sekitar 100 ton/bulan atau 2,2 ton/trip. Jumlah trip kapal bouke ami rata-rata 4 kali trip per tahun. CPUE terbesar pada bulan September-Oktober mencapai 2,87 ton/trip dan terendah pada bulan Januari yaitu rata-rata 0,54 ton/trip. Rata-rata CPUE bulanan sekitar 2,01 ton/trip. Tingkat upaya mungkin bisa ditingkatkan atau paling tidak dipertahankan. Kata Kunci: Cumi-cumi, CPUE, tingkat pemanfaatan, WPP 711, Sei Rengas, Sei Jawi 68 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Cumi-cumi (Loligo sp) merupakan salah satu potensi sumberdaya non ikan yang bernilai ekonomis yang banyak tersebar di Perairan Indonesia, dan menjadi komoditas ekspor perikanan Indonesia. Salah satu daerah penangkapan cumi-cumi yang potensial adalah perairan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut China Selatan. Perairan tersebut merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi penangkapan cumi-cumi untuk komoditas lokal maupun ekspor. Potensi sumberdaya cumi-cumi di perairan Indonesia diperkirakan 28.255 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan sekitar 75% dari potensi lestarinya. Walaupun tingkat pemanfaatan rata-rata masih dibawah potensi lestari, tetapi pada 8 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah mengalami kelebihan tangkap dan hanya 2 WPP yang statusnya kurang tangkap yaitu Laut Seram dan Laut Arafura (Mallawa, 2006). Berdasarkan KEP.45/MEN/2011, potensi sumberdaya cumi-cumi di WPP 711 mencapai 2.700 ton/tahun atau 10% dari total potensi cumi-cumi di seluruh perairan Indonesia yang mencapai 28.300 ton/tahun, dengan status tingkap pemanfaatan moderat. Produksi cumi-cumi di WPP 711 pada tahun 2013 tercatat 31.783 ton, dimana pada 9 tahun terakhir (2005-2013) telah mengalami kenaikan rata-rata 28,15% per tahun (DJPT, 2014). Sebagian besar jenis cumi-cumi adalah famili Loligonidae. Cumi-cumi (cephalopoda) dapat ditangkap hampir oleh semua jenis alat penangkap ikan yang ada di Indonesia. Berdasarkan statistik produksi per jenis alat tangkap tahun 2013, lima jenis alat tangkap yang mendominasi hasil tangkapan cumi-cumi diantaranya adalah bagan perahu (lift net), pancing cumi (Squid jigger), pukat tarik ikan (fish net), payang termasuk lampara (pelagic Danish seine), dan dogol termasuk Lampara dasar, Jaring arad, Cantrang (Demersal danish seine) (DJPT, 2014). Cumi-cumi (Loligo sp.) di perairan Indonesia umumnya ditangkap dengan pancing cumi (squid jigging), jala jatuh berkapal (cast net) dan bagan apung (bouke ami). Persentase hasil tangkapan cumi-cumi dari masing-masing alat tangkap ini adalah 100%, 85% dan 80% (KEP.MEN.KP.Nomor KEP.60/MEN/2010). Berdasarkan jenis-jenis alat tangkap ikan di Indonesia, bouke ami merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan sebagai jaring angkat (lift net). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2010 tentang produktivitas kapal penangkap ikan, disebutkan bahwa cumi-cumi dari kapal bouke 69 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ami merupakan hasil tangkapan utama, dimana persentase hasil tangkapannya sebesar 80% dari total tangkapannya. Pontianak-Kalimantan Barat merupakan salah satu basis perikanan yang memanfaatkan cumi-cumi dari WPP-711. Rata-rata produksi tahunan (2005-2013) cumi-cumi di WPP 711, sekitar 11% nya berada di Pontianak. Statistik perikanan tangkap 2013 menyebutkan bahwa setidaknya 30% unit bagan perahu termasuk juga bouke ami yang beroperasi di WPP 711 berada di Provinsi Kalimantan Barat, dengan jumlah trip mencapai 39,595 trip pada tahun 2013. Produksi cumi-cumi di Kalimantan Barat pada tahun 2013 tercatat 1.966 ton, dimana pada 9 tahun terakhir (2005-2013) telah mengalami kenaikan rata-rata 23,94% per tahun (DJPT, 2014). Sebagian besar jenis cumi-cumi yang didaratkan adalah famili Loligonidae. PPP Sungai Rengas dan PPI Sungai Jawi di Pontianak merupakan salah satu basis pendaratan cumi-cumi dari WPP 711, dimana unit penangkapan yang mendominasi hasil tangkapan cumi-cumi adalah bouke ami (jaring cumi). Berdasarkan data statistik tahun 2014 di kedua pelabuhan perikanan tersebut, kapal-kapal bouke ami mendominasi yaitu sekitar 70% dibandingkan jumlah unit penangkapan lainnya, dan sekitar 80% produksi cumi-cumi dihasilkan dari bouke ami. Beberapa penelitian mengenai sumberdaya cumi-cumi (Loliginidae) yang menyinggung WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina Selatan telah dilakukan oleh Pralampita dan Chodriyah (2009), Chodrijah dan Budiarti (2011), Rosalina et al. (2011), Triharyuni dan Puspasari (2012), Triharyuni et al. (2012), dan Atmaja (2013). Namun informasi mengenai sumber daya cumi-cumi yang didaratkan di basis-basis utama di WPP 711 belum banyak dibahas. Hal tersebut karena kurangnya data dan informasi tentang perikanan cumi-cumi dari sentra-sentra perikanan di sekitar WPP 711. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai sumberdaya cumi-cumi yang didaratkan di Pontianak yaitu di PPP Sungai Rengas dan PPI Sungai Jawi sebagai salah satu basis utama pendaratan cumi-cumi dari WPP 711. Tulisan ini membahas profil, aspek penangkapan, musim-daerah penangkapan, produksi, upaya, komposisi jenis, potensi, dan status pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Pontianak. METODE Penelitian perikanan cumi-cumi hasil tangkapan bouke ami di basis pendaratan PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi Pontianak. Informasi aspek penangkapan dan hasil 70 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) tangkapan dilakukan dengan metode survey pada tahun 2014-2015, yaitu observasi langsung terhadap kapal-kapal bouke ami dan hasil tangkapannya. Sementara data dan informasi aspek produksi dan upaya diperoleh dari hasil pencatatan harian PPP Sei Rengas, PPI Sei Jawi, dan pos PSDKP Pontianak terhadapa kapal-kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkkapan selama tahun 2012 – September 2015. Data yang dikumpulkan meliputi spesifikasi kapal, durasi trip, serta jumlah dan jenis hasil tangkapan. Produktivitas hasil tangkapan cumi-cumi dari bouke ami diestimasi dengan menggunakan analisis catch per unit effort (CPUE) menurut Gulland (1982) yaitu: CPUEi = Catch i/Effort I ………………….…………………………….. (1) CPUEi : jumlah cumi-cumi hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan ke-i (ton/trip) Catch i : cumi-cumi hasil tangkapan bulan ke-i (ton) Effort i : upaya penangkapan bouke ami ke-i (trip) Analisis pola musim penangkapan ikan menggunakan Metode Persentase Ratarata yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Spiegel, 1961). Perhitungan nilai rata-rata bulanan CPUE dalam setahun (U ) yaitu: ………………….……………..............……………….. (2) Ū = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) Ui = CPUE per bulan (ton/trip) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) Up yaitu rasio Ui terhadap Ū dinyatakan dalam persen diperoleh : …………….…………………..…..............……….. (3) Perhitungan indeks musim penangkapan: …………….…….…………………….............…….. (4) 71 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) IMi = Indeks Musim ke-i t = jumlah tahun dari data Musim penangkapan jika IM>1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, IM<1 bukan musim, dan IM=1 yaitu sama dengan nilai rata-rata bulanan, dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang. Berdasarkan jumlah kapal-kapal bouke ami yang berangkat atau datang dari dan ke PPP Sei Rengas dan Sei Jawi dari Bulan Januari 2012 sampai September 2015, tidak semuanya mendaratkan hasil tangkapan, analisis didasarkan pada pendaratan kapal yang mendaratkan hasil tangkapan meskipun minimum. HASIL 1. Profil perikanan cumi-Cumi Sumberdaya cumi-cumi menjadi salah satu sumberdaya yang dominan di Pontianak saat ini. Pangsa pasar sumberdaya ini sangat bagus terutama untuk pasar ekspor yang menjanjikan harga tinggi. Cumi-cumi dominan diupayakan dengan menggunakan alat tangkap bouke ami. Terdapat dua basis pendaratan cumi-cumi di Pontianak yaitu PPP Sei Rengas dan PPP Sei Jawi yang semuanya berasal dari WPP 711. Produksi cumi-cumi yang didaratkan di kedua tempat tersebut menunjukkan tren peningkatan sepanjang tahun 2012-2015. Rata-rata produksi cumi-cumi mencapai 1.200 ton/tahun atau sekitar 100 ton/bulan. Sepanjang tahun 2014, tercatat sebanyak 143 unit kapal bouke ami (607 trip) yang aktif mendaratkan hasil tangkapan cumi-cumi di Pontianak yang beroperasi di WPP 711 (Barat Kalimantan, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan. Ukuran kapal bervariasi antara 5 GT sampai lebih dari 60 GT dan didominasi oleh kapal berukuran 10-30 GT yaitu 73% dari total jumlah kapal bouke ami yang aktif di Pontianak. Durasi kapal-kapal bouke ami beroperasi antara 15-60 hari per tripnya, kapal dengan ukuran <30 GT rata-rata 14-20 hari/trip, sementara kapal >30 GT mencapai 40-70 hari/trip. 72 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 2. Aspek penangkapan Kapal-kapal Bouke ami yang berbasis di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi Pontianak, merupakan kapal kayu berukuran 6-98 GT. Selain 1 unit mesin utama, juga menggunakan 1 unit mesin untuk lampu, dan 1 unit mesin untuk freezer palka sebagai sistem pendingin untuk menyimpan hasil tangkapan. Jumlah ABK 7–14 orang. Gambar 1 merupakan contoh kapal bouke ami yang berbasis di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi. Gambar 1. Kapal bouke ami yang berbasis di Sei Rengas dan Sei Jawi, Pontianak. Bouke ami termasuk alat tangkap jaring angkat (lift net), yang dipasang pada sisi kanan kapal. Ukuran jaring menyesuaikan panjang kapal, biasanya sama dengan panjang dek bebas kapal berkisar antara 12-20 m. Bouke ami adalah jaring berupa perangkap berbentuk persegi, panjang frame jaring 8-16 m, kedalaman jaring 1015 m, dan mesh size 1 inch berbahan polyamide. Bagian bawah jaring dilengkapi cincin, pemberat dan tali kerut, sementara bagian atasnya merupakan kantong. Daerah penangkapan kapal bouke ami Pontianak mencakup Laut Cina Selatan dan Selat Karimata. Operasi penangkapan cumi-cumi dengan bouke ami dilakukan pada malam hari mulai dari jam 6 sore hingga jam 5 pagi, menggunakan alat bantu lampu untuk menarik gerombolan cumi-cumi dengan daya 750-2000 watt sebanyak 24-90 buah. Dalam satu malam dilakukan 5-8 kali setting. Waktu yang dibutuhkan untuk setting 1 jam, waktu tunggu 30 menit, dan 30 menit untuk hauling. 73 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Saat proses penangkapan jaring akan menjadi terbalik dengan bagian bawah yang bercincin dan pemberat akan mengkerut dan menyatu oleh tali kerut yang ditarik dengan bantuan winch hauler pada saat houling dan terlebih dahulu sampai di permukaan, sedang bagian kantongnya akan terdapat di bawah. Cumi-cumi diangkat ke kapal dengan bantuan serok. Selanjutnya hasil tangkapan ditempatkan di palka. Jumlah dan kapasitas palka menyesuaikan dengan ukuran kapal umumnya antara 4-8 palka tiap kapal. Bila cumi-cumi di lokasi penangkapan relative berukuran besar, cumi-cumi ditangkap dengan pancing. Cumi-cumi berukuran besar cenderung lebih liar, jauh dari kapal, dan ada di kolom periaran yang lebih dalam, sehingga kurang memungkinkan untuk ditangkap dengan bouke ami. Pengoperasian pancing cumi-cumi dan pancing lainnya juga dilakukan pada saat waktu tunggu bouke ami. Gambar 2 merupakan sebaran bulanan indeks musim (IM) penangkapan cumi-cumi di WPP 711 dengan bouke ami yang berbasis di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi. Musim penangkapan terjadi pada 2 periode yaitu bulan April dan bulan Agustus-November (IM>1). Sementara bukan musim penangkapan terjadi pada bulan Desember-Maret dan bulan Mei-Juli (IM<1). Meskipun bulan Mei-Juli temasuk kriteria bukan musim, namun pada kenyataannya aktivitas penangkapan tetap dilakukan pada periode tersebut, dengan jumlah effort yang lebih rendah dibanding periode musim penangkapan (April, Agustus-November). Gambar 2. Indeks musim penangkapan cumi-cumi dari kapal bouke ami di Pontianak 74 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 3. Hasil tangkapan Terdapat dua tempat pendaratan cumi-cumi hasil tangkapan bouke ami di Pontianak, yaitu PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi. Hasil tangkapan cumi-cumi umumnya telah dikemas di kapal, karena umumnya kapal-kapal yang lebih besar telah dilengkapi dengan sistem pendingin (freezer). Di kapal, hasil tangkapan cumicumi ataupun ikan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan ditempatkan pada cetakan (packing) berbahan alumunium/stainless berukuran 48x27x11,5 cm untuk selanjutnya di tempatkan pada palka pendingin. Bobot per cetakan yaitu 15-16 kg dan 11-13 kg masing-masing untuk cumi-cumi dan ikan, setelah beku di masukkan pada kemasan plastik (Gambar 3). Cumi-cumi yang didaratkan di PPI Sei Jawi langsung dimuat ke kontainer, sedangkan di PPP Sei Rengas harus dibawa dengan truk sebelum dimuat di container karena akses container belum memungkinkan masuk ke PPP Sei Rengas. Cumicumi dalam container dibawa ke Jakarta untuk selanjutnya diekspor. Sementara pada kapal yang lebih kecil, pengawetan hasil tangkapan di palka masih menggunakan es. Cumi-cumi dibawa ke cold storage untuk di sortir dan di kemas sebelum di pasarkan. Gambar 3. Proses pengukuran bobot cumi-cumi dalam kemasan beku Kapal bouke ami yang berbasis di Pontianak pada saat beroperasi, tidak hanya mengoperasikan bouke ami tetapi juga menggunakan pancing cumi yang berbentuk pancing rawai. Hasil tangkapan tidak hanya cumi-cumi, terdapat berbagai jenis ikan lainnya yaitu pelagis besar, pelagis kecil sebagai hasil tangkapan sampingan, dan ikan demersal hasil tangkapan pancing tangan (hand line). Hasil wawancara dengan nelayan disebutkan bahwa hasil tangkapan jaring bouke ami adalah cumicumi (Loligo sp), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus lepturus), kembung 75 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (Rastrelliger sp), selar (Caranx sp), tongkol (Thunnus tonggol), dan jenis ikan lainnya. Sedangkan untuk hasil tangkapan pancing tangan berupa manyung (Arius sp), tenggiri (Scomberomorus sp), kakap (Lutjanus sp) dan budun/belanak (Valamugil seheli). Sumberdaya cumi-cumi dalam hasil tangkapan bouke ami berlangsung sepanjang tahun dan merupakan hasil tangkapan yang paling dominan. Berdasarkan rata-rata hasil tangkapan bulanan dari Januari 2012 – September 2015, kontribusinya mencapai 79% dari hasil tangkapan, sisanya ikan pelagis kecil (9%) seperti ikan layang, lemuru, bentong, kembung dan selar. Ikan pelagis besar (5%) seperti tenggiri dan tongkol, ikan demersal (4%) yaitu ikan manyung, ekor kuning, kerapu, biji nangka, dan kurisi, dan ikan lainnya (3%). Dalam kurun 2012-2014 persentase hasil tangkapan cumi-cumi cenderung berfluktuasi meskipun relatif kecil, peningkatan yang cukup signifikan terjadi dari tahun 2014 ke 2015 (Gambar 4). Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan bouke ami yang mendarat di S. Rengas, Pontianak, 2012-2015. Berdasarkan prosentase komposisi jenis, hasil tangkapan cumi-cumi paling banyak diperoleh pada bulan Agustus (69%) dan yang paling sedikit pada bulan Februari (16%) saja dibandingkan jenis sumberdaya lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan (Gambar 5). 76 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 5. Variasi musiman dari komposisi hasil tangkapan bouke ami yang mendarat di Sei Rengas-Sei Jawi, Pontianak, 2012-2015. Prosentase komposisi jenis cumi-cumi yang didaratkan di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi belum bisa diestimasi, mengingat cumi-cumi sudah langsung di kemas beku. Namun pengamatan sekilas bahwa jenis cumi-cumi adalah dari famili Loliginidae, genus Loligo yaitu Loligo chinensis, Loligo singhalensis, Loligo edulis, Loligo duvaucelli, dan terdapat pula jenis sontong (Gambar 6). Gambar 6. Jenis cumi-cumi dan sontong yang didaratkan di Pontianak. Cumi-cumi hasil tangkapan yang dikemas beku dikelompokkan dalam lima ukuran (Tabel 1). Cumi-cumi yang berukuran besar (26-35cm) yang tergolong ukuran super, biasanya hasil tangkapan pancing cumi karena cumi berukuran besar cenderung berada di strata yang lebih dalam dan sangat lincah sehingga cukup sulit untuk ditangkap dengan bouke ami. 77 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Kelompok ukuran Cumi-Cumi berdasarkan sistem kemasannya Jenis cumi ( Kode A ) A2 ( Susun 2 ) / Super A3 ( Susun 3 ) A4 ( Susun 4 ) A5 ( Susun 5 ) Cendol Ukuran/ekor (cm) 26-35 21-25 16-20 11-15 5-10 Berat/packing (kg) 12,50 dan 15 13,37 15,72 15,53 15-16 4. Produksi dan upaya penangkapan Produksi cumi-cumi berdasarkan monitoring harian di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi tahun 2012-2013 berjumlah 2.141 ton atau 51% dari jumlah produksi cumicumi di Kalimantan Barat yaitu 4.239 ton pada tahun 2012-2013, dan hanya sekitar 4,6% dari produksi cumi-cumi di WPP 711 tahun 2012-2013 (DJPT, 2014). Produksi tahunan (2012-2015) hasil tangkapan kapal bouke ami mengalami fluktuasi. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2013 dibanding 2012 sekitar 14%, kemudian meningkat pada tahun 2014 dibanding 2013 sekitar 38%, sementara bila melihat jumlah produksi dan trip bouke ami sampai bulan September 2015, maka produksi sampai akhir tahun 2015 diperkirakan akan lebih tinggi dari tahun 2014. Demikian juga dengan produksi cumi-cumi yang mengalami fluktuasi produksi tahunan seperti halnya hasil tangkapan total bouke ami. Mengingat hampir 80% hasil tangkapan bouke ami adalah cumi-cumi, sehingga produksi bouke ami mencerminkan pula produksi cumi-cumi (Gambar 7). Rata-rata produksi bulanan menunjukkan puncak produksi cumi-cumi terjadi pada bulan Oktober-November mencapai rata-rata 196,6 ton dan terendah pada bulan Januari-Februari rata-rata sekitar 4,1 ton (Gambar 7). 78 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 7. Produksi bulanan hasil tangkapan total dan cumi-cumi (ton) dari kapal bouke ami yang di daratkan di Sei Rengas dan Sei Jawi tahun 2012-2015. Berdasarkan monitoring harian selama periode 2012 sampai September 2015, upaya penangkapan (trip kapal) cumi-cumi oleh bouke ami berfluktuasi setiap bulan dan tahunnya (Gambar 6). Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 118 kapal (604 trip) bouke ami, dimana 39 unit (79 trip) hasilnya nihil atau tidak ada hasil tangkapannnya. Pada tahun 2013, jumlah kapal yang beroperasi sebanyak 156 kapal (559 trip), dan 84 unit (129 trip) hasilnya nihil. Tahun 2014, yang beroperasi sebanyak 166 kapal (688 trip), dan 61 unit (81 trip) hasilnya nihil. Sementara pada tahun 2015 (sampai bulan September), yang beroperasi sebanyak 124 kapal (372 trip), dan 21 unit (33 trip) hasilnya nihil. Rata-rata sebanyak 85% dari total trip per tahun kapal-kapal bouke ami mendaratkan hasil tangkapannya. Sementara 15% dari jumlah trip tidak mendaratkan hasil tangkapan (nihil), disebabkan karena mengalami kerusakan mesin, hanya lapor atau mengisi perbekalan. Jumlah trip kapal bouke ami rata-rata 4 kali trip per tahun. Berdasarkan jumlah kapal yang beroperasi, upaya penangkapan bouke ami cenderung mengalami peningkatan meskipun jumlah tripnya berflukstuasi setiap tahunnya. Selama tahun 2012-2015, upaya penangkapan (trip) cumi-cumi oleh bouke ami pada tahun 2012-2015 yang paling tinggi terdapat pada bulan April, Mei, September, dan Oktober. Sementara jumlah trip yang relative paling sedikit terdapat pada bulan Januari-Maret. Penurunan jumlah trip dari bulan sebelumnnya terdapat pada bulan Juli, Agustus, dan Desember (Gambar 8). 79 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 8. Fluktuasi jumlah upaya penangkapan (trip) bulanan kapal-kapal bouke ami yang berbasis di Sei Rengas dan Sei Jawi (Pontianak) tahun 2012-2015. Rata-rata hasil tangkapan cumi-cumi sekitar 100 ton per bulan atau 60% dari total hasil tangkapan bouke ami yang didaratkan di Pontianak. Hasil tangkapan cumi-cumi dari bouke ami sangat bervariasi secara musiman/bulanan, yaitu dari hasil minimum antara 50-100 kg hingga mencapai maksimum sekitar 23 ton per trip per kapal (rata-rata 2,2 ton/trip). Kontribusinya diperkirakan sekitar 80% dari total hasil tangkapan bouke ami. Secara umum, diketahui kelompok cumi-cumi cenderung menentukan hasil tangkapan bouke ami secara keseluruhan. Rata-rata bulanan hasil tangkapan cumi-cumi dari bouke ami per satuan upaya tangkap (trip) atau CPUE (catch per unit effort) yang didaratkan di PPP Sei Rengas dan PPI Sei Jawi selama periode 2012-2015 sebesar 2,01 ton/trip. CPUE terbesar pada bulan September-Oktober mencapai 2,87 ton/trip, dan terendah pada bulan Januari yaitu rata-rata 0,54 ton/trip. Rata-rata CPUE bulanan sekitar 0,5 ton/ trip terhadap rata-rata CPUE bulanan total hasil tangkapan bouke ami (Gambar 9). CPUE tahunan cumi-cumi hasil tangkapan bouke ami menunjukkan tren yang terus meningkat sepanjang tahun 2012-2015. 80 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 9. Fluktuasi CPUE (ton/trip) cumi-cumi hasil tangkapan kapal bouke ami yang didaratkan di Sei Rengas dan Sei Jawi, Pontianak, tahun 2012-2015 PEMBAHASAN Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkap ikan dan bantu penangkapan ikan di WPP RI menunjukkan bahwa kapal bouke ami dapat beroperasi di semua WPP RI. Daerah penangkapan cumi-cumi oleh kapal-kapal bouke yang berbasis di Pontianak tentunya di WPP 711 yaitu perairan Barat Kalimantan, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan. WPP 711 merupakan lokasi yang memiliki sumberdaya cumi-cumi yang potensial sepanjang tahun. Upaya pemanfaatan cumi-cumi tidak hanya dilakukan oleh kapal-kapal bouke ami dari Pontinak saja. Kapal-kapal bouke ami dari Blanakan (Pralampita & Chodriyah, 2009); (Chodrijah & Budiarti, 2011), Sungailiat (Rosalina et al., 2011), Rembang (Triharyuni & Puspasari, 2012), Kejawanan (Triharyuni et al., 2012), Muara Baru (Atmaja, 2013); (Rooskandar, 2014), dan Muara Angke (Ainun, 2014) juga memanfaatkan cumi-cumi di WPP 711. Selain pengoperasian bouke ami sebagai alat tangkap utama, nelayan-nelayan bouke ami di Pontianak juga menggunakan pancing tangan untuk menangkap cumicumi. Hal ini umum dilakukan oleh nelayan serupa dari daerah Juwana (Hufiadi & Mahiswara, 2007) dan daerah lainnya seperti yang disebutkan dalam beberapa penelitian diatas. Indeks musim penangkapan sumberdaya cumi-cumi dari kapal-kapal bouke ami yang berbasis di Pontianak mencermin puncak-puncak musim penangkapan, 81 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) karena aktivitas penangkapan hampir terjadi sepanjang bulan kecuali pada bulan Desember-Februari (musim barat). Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan April (musim peralihan-1) dan bulan September-November (musim peralihan-2) yang lebih tinggi dibanding musim peralihan-1. Musim penangkapan tersebut sama dengan musim tangkap cumi-cumi oleh armada tangkap dari pesisir utara Jawa yang beroperasi di WPP 712 dan WPP 711. Cumi-cumi yang didaratkan di Rembang tertangkap setiap bulan. Bulan Maret-Mei dan November sebagai musim tangkap, sedangkan bulan Desember-Februari dan Juni-Oktober merupakan bukan musim tangkap (Triharyuni et al., 2012). Musim penangkapan cumi-cumi yang didaratkan di Sungailiat-Bangka terjadi pada bulan April, Mei, Juni, Oktober, dan November (Rosalina et al., 2011). Penelitian Prasetyo (2014) mengenai sebaran spasial cumi-cumi (Loligo Spp.) di Selat Karimata hingga Laut Jawa menyebutkan hasil tangkapan cumi-cumi pada tahun 2011 dan 2012 lebih banyak tertangkap pada musim peralihan-2 hingga musim barat (September-Desember) dimana sebaran spasial penangkapan cumicumi banyak terjadi di bagian barat Laut Jawa hingga Selat Karimata. Pada saat musim tangkap diduga kelimpahan cumi-cumi tinggi dan pada saat tidak musim tangkap kelimpahan cumi-cumi rendah. Tingginya upaya tangkap dan produksi cumi-cumi pada musim tangkap mengindikasikan hal tersebut. Hartati (1998) menyebutkan bahwa bahwa musim penangkapan cumi-cumi berhubungan dengan kelimpahan cumi-cumi. Faktor nyata musim penangkapan cumi-cumi adalah kondisi cuaca. Puncak musim penangkapan pada musim peralihan disebabkan karena kondisi perairan pada musim tersebut relatif tenang sehingga jumlah upaya tangkap (trip) juga tinggi. Sementara musim penangkapan cumi-cumi di perairan Selat Alas berlangsung pada bulan Oktober-Maret, dengan puncak musim pada bulan November. Masa panceklik berlangsung pada bulan April-September, dan bulan Juni-Agustus merupakan puncak musim panceklik (Hartati et al., 2004). Musim penangkapan cumi-cumi di Lombok berlangsung pada musim barat, yaitu pada bulan Oktober-Maret (Soselisa et al., 1986). Hal tersebut di sebabkan kondisi periaran di wilayah timur Indonesia cenderung tenang pada musim barat. Selain faktor cuaca, tingginya kelimpahan cumi-cumi pada bulan November disebabkan diduga karena pada bulan ini kondisi perairan subur, akibat unsur hara dari Laut Banda terbawa arus sampai di Laut Jawa sehingga perairan menjadi lebih 82 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) subur (Chodriyah & Hariati, 2010). Oleh karena itu, pada musim peralihan-2 dengan kondisi periaran relative lebih tenang, maka jumlah penangkapan tinggi, kelimpahan tinggi, sehingga produksi cumi-cumi relative lebih tinggi dibanding musim lainnya. Komposis jenis cumi-cumi hasil bouke ami yang didaratkan di Pontianak diduga hampir sama dengan komposisi jenis yang didaratkan berbagai lokasi lainnya seperti Bangka Belitung maupun utara Jawa. Mengingat kapal-kapal bouke ami tersebut juga menangkap cumi-cumi di WPP 711. Selain itu peyebaran cumicumi relative cukup luas, ditambah kedekatan lokasi WPP 711 dengan WPP 712. Observasi di pasar ikan Pontianak menunjukkan jenis cumi-cumi yang ada adalah famili Loliginidae, genus Loligo yaitu Loligo chinensis, Loligo singhalensis, Loligo edulis, Loligo duvaucelli, dan terdapat pula jenis sontong. Pada puncak musim penangkapan bulan April dan Oktober, urutan komposisi jenis cumi yang didaratkan di Rembang adalah L. duvaucelli, L. edulis, L. chinensis, dan L. singhalensis. (Triharyuni & Puspasari, 2012). L. duvaucelli merupakan jenis cumi-cumi yang dominan tertangkap di Selat Alas (Hartati, 1998); (Mubarak & Suprapto, 1999), juga di Blanakan (Pralampita & Chodriyah, 2009). Jumlah upaya penangkapan cumi-cumi oleh bouke ami di Pontianak menunjukkan peningkatan selama 4 tahun terakhir. Fluktuasi jumlah upaya juga terjadi secara bulanan, upaya penangkapan yang tinggi terjadi pada musim peralihan-1 (April-Mei) dan yang lebih tinggi lagi pada musim peralihan-2 (September-Oktober). Sementara penurunan jumlah upaya tangkap terjadi pada musim timur (Juli-Agustus), dan yang paling rendah pada musim barat (DesemberFebruari). Fluktusi jumlah upaya penangkapan tersebut serupa dengan kapal-kapal yang berbasis di Muara Angke, karena sebagian besar kapal-kapal tersebut beroperasi di WPP 711 (Ainun, 2014); Rooskandar (2014). Umumnya dinamika musiman upaya tangkap tidak berbeda jauh dengan upaya tangkap kapal-kapal bouke ami dari pesisir utara Jawa. Faktor teknis unit penangkapan bouke ami seperti dimensi kapal, ukuran alat tangkap, jumlah awak kapal dan daya lampu, dapat menentukan jumlah hasil tangkapan. Hasil penelitian Triharyuni S. et al. (2012) menyebutkan hanya ukuran kapal yang signifikan terhadap perubahan hasil tangkapan dengan pengaruh sebesar 53%. Sementara ketiga faktor teknis lainnya tidak signifikan. Faktor non teknis yang mempengaruhi seperti musim, cuaca, suhu, salinitas, yang memang tidak 83 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) bisa dikontrol (Triharyuni S. et al., 2012). Pada perikanan bouke ami, dimensi kapal sepertinya cukup berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Ukuran kapal sangat menentukan ukuran frame, jaring, daya mesin, durasi trip, jangkauan lokasi penangkapan, dan kapasitas palka. Hasil tangkapan bouke ami didominasi oleh cumi-cumi sebagai target tangkapan, mencapai 80% dari total hasil tangkapan. Sejalan dengan upaya tangkap, produksi cumi-cumi dari bouke ami yang didaratkan di Pontianak menunjukkan tren yang terus meningkat. Fluktuasi produksi bulanan juga meyerupai dinamika upaya tangkap berdasarkan musim. Tingginya produksi cumi-cumi dipengaruhi oleh banyaknya trip penangkapan (Triharyuni et al., 2012); (Pralampita & Chodriyah, 2009). Fluktuasi produksi bulanan cumi-cumi dari WPP 711 yang didaratkan di Pontianak, relative sama dengan produksi cumi-cumi dari laut Jawa (WPP 712) yang didaratkan di utara Jawa. Hasil tangkapan cumi-cumi yang didaratkan di Juwana tertinggi pada bulan Nopember dan terendah pada bulan Juni (Hufiadi & Mahiswara, 2007). Di Kejawanan, hasil tangkapan terbesar pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Maret (Triharyuni et al., 2012). Di Rembang tertinggi pada bulan Juni dan terendah pada bulan Januari-Februari (Triharyuni & Puspasari, 2012). Sementara di Blanakan (2005-2006) puncak penangkapan pada bulan DesemberJanuari (Pralampita & Chodrijah, 2009). Di Laut Jawa, tingginya hasil tangkapan cumi-cumi pada musim timur diduga karena suburnya perairan dan kaya akan unsur hara. Pada musim timur di sekitar Laut Banda dan Selat Makassar terjadi upwelling sehingga daerah sekitarnya menjadi subur. Unsur hara tersebut terbawa arus ke Laut Jawa mengakibatkan Laut Jawa selama dan sesudah musim timur menjadi subur (Wyrtki,1961). Massa air yang berasal dari arah timur tersebut membawa salinitas yang berkadar tinggi 32-33,75‰ yang sesuai dengan cumi-cumi (Chodriyah & Hariati, 2010). Perbedaan ini diduga karena lokasi penangkapan yang berbeda (Triharyuni S. et al., 2012). Kapal-kapal bouke ami mengesuaikan lokasi tangkapan dari Laut Jawa ke Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, karena adanya pergeseran kelimpahan cumi-cumi dan kondisi cuaca. Fluktuasi upaya pemanfaatan bouke ami di Pontianak berpengaruh terhadap jumlah produksi cumi-cumi, artinya jumlah upaya yang tinggi menghasilkan produksi yang tinggi pula dan sebaliknya. Rooskandar (2014) menyebutkan kenaikan volume 84 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) produksi cumi-cumi berbanding lurus terhadap kenaikan jumlah unit penangkapan di Muara Baru. Sehingga dinamika bulanan musim penangkapan cumi-cumi dari WPP 711 oleh bouke ami yang berbasis Pontianak, sekaligus mencerminkan kondisi CPUE cumi-cumi dari bouke ami. Selama 4 tahun terakhir, tren produksi cumi-cumi dan upaya tangkap bouke ami di Pontianak menunjukkan peningkatan. Peningkatan CPUE (ton/trip) sebesar 20% per tahun, atau 6% per tahun untuk CPUE berdasarkan jumlah unit penangkapan (ton/unit). Sepanjang tahun 2005-2009, produksi, upaya, dan CPUE cumi-cumi di Sungailiat terus meningkat (Rosalina et al., 2011). Triharyuni & Puspasari (2012) menyebutkan selama tahun 2006-2009 produksi cumi-cumi yang didaratkan di Rembang mengalami kenaikan rata-rata sekitar 26% setiap tahunnya. Begitu juga produksi cumi-cumi di Muara angke, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tahun 2009 sebesar 2.577,74 ton pada tahun 2012 naik menjadi 8.493,41 ton (UPT PPI Muara Angke 2013 dalam Ainun, 2014). CPUE cumi-cumi di Pontianak yang tertinggi pada bulan September-Oktober (musim peralihan-2) dan terendah pada bulan Januari (musim barat). Fluktuasi CPUE bulanan tersebut serupa dengan yang diperoleh dari beberapa basis bouke ami di Utara Jawa seperti Juwana (Hufiadi & Mahiswara, 2007), Blanakan (Pralampita & Chodriyah, 2009); (Chodrijah & Budiarti, 2011), Sungailiat (Rosalina et al., 2011), Rembang (Triharyuni & Puspasari, 2012), Kejawanan (Triharyuni et al., 2012), Muara Angke (Ainun, 2014), dan Muara Baru (Rooskandar, 2014). Hal ini disebabkan kapal-kapal bouke ami memiliki target yang sama yaitu cumi-cumi. Selain beroperasi di WPP 712, kapal-kapal dari berbagai daerah tersebut juga sedikit banyak beroperasi di WPP 711 yang berdekatan dengan WPP 712. Dinamika kelimpahan cumi-cumi di WPP 711 diduga sama dengan di WPP 712. Analisis Model Produksi Surplus dari Schaeffer (1957) terhadap data catch dan effort tahun 2000-2011 (DJPT, 2012) pada sumberdaya cumi-cumi di WPP-RI 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) diperoleh nilai dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 6.073 ton/tahun dengan upaya optimal (fopt.) sebesar 3.667 unit standar bagan apung (Gambar 9). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 4.859 ton. Berdasarkan data Statistik Perikanan Tangkap, pada tahun 2011 diperoleh jumlah alat tangkap setara bagan apung sebanyak 4.394 unit standar bagan apung. Tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di WPP-RI 711 pada tahun 2011 sebesar 1,2 atau telah melebihi effort lestarinya. 85 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN DAN SARAN Unit penangkapan bouke ami yang berbasis di Pontianak memanfaatkan secara penuh sumberdaya cumi-cumi dari WPP 711. Fluktuasi produksi cumi-cumi ditentukan oleh jumlah upaya tangkapnya. Musim penangkapan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan berbanding lurus dengan jumlah produksi, CPUE dan kelimpahan cumi-cumi. Puncak musim terjadi dua kali, yaitu puncak pertama lebih tinggi pada musim peralihan 2 (September-November), dan puncak kedua pada musim peralihan 1 (April-Mei). Sementara bukan musim pada musim timur, dan paceklik terjadi pada musim barat. Status pemanfaatan sumber daya cumi-cumi di perairan Laut Cina Selatan sudah melebihi upaya yang optimum (over-fishing), sehingga harus dilakukan pengurangan upaya sekitar 20 % dari kondisi saat ini. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Karakteristik Biologi Perikanan, Habitat Sumber Daya dan Potensi Produksi Sumber Daya Ikan di WPP711, APBN TA. 2015 di Balai Penelitian Perikanan Laut. Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. 2013. Perkembangan perikanan cumi–cumi di sentra pendaratan ikan utara pulau Jawa. J. Lit. Perikan. Ind. 19 (1):31-38 Ainun, R. N. 2014. Musim Penangkapan dan Pemetaan Daerah Penangkapan Jaring Cumi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 29 p. Chodriyah,U. & T.Hariati. 2010. Musim penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (3): 217-223. Chodrijah, U. & T.W. Budiarti . 2011. Beberapa aspek biologi cumi-cumi jamak (Loligo duvaucelli) yang didaratkan di Blanakan, Subang, Jawa Barat. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 357-362 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2014. Statistik PerikananTangkap di Laut menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), 2005-2013. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 484 hal. 86 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hartati, S.T. 1998. Fluktuasi Musiman Hasil Tangkapan Cumi-cumi (Loliginidae) di Perairan selat Alas, NTB. Thesis: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. p. 36-37. Hufiadi & Mahiswara. 2007. Karakteristik Perikanan Jaring Cumi di Utara Jawa. J. Lit. Perikan. Ind. 13 (2): 12. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. KeputusanMenteri Kelautan dan Perikanan, No. Kep.06/Men/2010 tentang alat penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Mallawa, A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II Kabupaten Selayar tahun 2016. 31 hal. Mubarak, H. & Suprapto. 1999. Penangkapan cumi-cumi di Selat Alas (Nusa Tenggara Barat). Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 3: 2-10. Pralampita, W. A. & U. Chodriyah. 2009. Aspek perikanan dan komposisi hasil tangkapan cumi-cumi yang didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan. Blanakan, Subang, Jawa Barat. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2 (5): 251-256. Prasetyo, B. A., S. Hutabarat, A. Hartoko. 2014. Sebaran spasial cumi-cumi (loligo spp.) dengan variabel suhu permukaan laut dan klorofil-a data satelit modis aqua di Selat Karimata hingga laut jawa. Diponegoro Journal Of Maquares. 3 (1): 51-60. Rooskandar, B. P. 2014. Analisis Produksi Cumi-cumi Unit Penangkapan Bouke Ami di PPS Nizam Zachman Jakarta. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. 27 p. Rosalina, D., W. Adi & D. Martasari. 2010. Analisis Tangkapan Lestari dan Pola Musim Penangkapan Cumi-cumi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat-Bangka. Maspari Journal. 2:26-38. Soselisa, J., S. Majuki & W. Subani. 1986. Produksi danMusim Penangkapan Cumicumi (Loligo spp.) di Lombok (Nusa Tenggara Barat). JPPL. 34: 79-90. 87 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Triharyuni, S. & R. Puspasari. 2012. Produksi dan musim penangkapan cumi-cumi (loligo spp.) di perairan Rembang (Jawa Tengah). J. Lit. Perikan. Ind. 18 (2):77-83 Triharyuni, S., Wijopriono, A. P. Prasetyo & R. Puspasari. 2012. Model produksi dan laju tangkap kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan, Cirebon Jawa Barat. J. Lit. Perikan. Ind. 18 (3):135-143. 88 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KAPASITAS PENANGKAPAN PERIKANAN PUKAT CINCIN DI LAUT CINA SELATAN (WPP 711) (STUDI KASUS PUKAT CINCIN PEMANGKAT) Oleh : Hufiadi, Mahiswara, dan Wahyuni Nasution ABSTRAK Unit penangkapan pukat cincin dapat dikategorikan efisien apabila perolehan hasil tangkapannya mendekati produksi potensial dalam kegiatan operasi penangkapannya. Penelitian kapasitas penangkapan dilakukan pada perikanan pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat. Pengukuran efisiensi teknis dapat dijadikan sebagai indikator kinerja alat tangkap pukat cincin. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan kapasitas pukat cincin yang mendaratkan hasil tangkapan dilakukan pengukuran efisiensi berdasarkan kinerja produksi tahunan dan musim penangkapan. Analisis dilakukan secara matematis dengan menggunakan metode PtP (Peak to peak) dan DEA (Data Envelopment Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kapasitas perikanan pukat cincin yang berbasis di Pemangkat, selama periode tahun 2007 – 2013 diperoleh skor efisiensi rata-rata 0,86. Pemanfaatan kapasitas pukat cincin pada musim barat, timur , peralihan I dan peralihan II masing-masing sebesar 85%, 90%, 87% dan 84% dari tangkapan potensial. Beberapa kapal pukat cincin dari ke empat musim tersebut menunjukkan pemanfaatan kapasitas yang tidak optimal dan merupakan indikasi adanya excess capacity. Kata Kunci :efisiensi teknis, Laut Cina Selatan, musim penangkapan, pukat cincin 89 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Perairan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan salah satu daerah penangkapan utama kapal pukat cincin yang berbasis di Pemangkat, Batam dan Tanjungbalai Asahan. Bahkan pada era tahun 1990-an armada perikanan pukat cincin yang berbasis di Pekalongan dan Juwana, Jawa Tengah pada saat di perairan Laut Jawa berlangsung musim timur, menjadikan perairan LCS sebagai daerah penangkapan. Perkembangan perikanan pukat cincin di Kalimantan Barat, khususnya di Pemangkat tidak terlepas dari aktivitas perluasan jangkauan daerah penangkapan armada dari Jawa Tengah. Namun demikian saat ini aktivitas kapal pukat cincin dari Jawa relatif sudah sangat berkurang. Sumber daya ikan pelagis di perairan LCS merupakan komoditi perikanan yang penting dan bersifat strategis yang secara intensif dimanfaatkan oleh armada pukat cincin. Hasil tangkapan pukat cincin umumnya didominasi jenis ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) sekitar 67,3 % yang diikuti jenis ikan banyar (Rastrelliger kanagurta), selar (Crumenophthalmus), juwi atau tembang (Sardinella spp.) dengan jumlah masingmasing kurang dari 10% (Atmadja dan Nugroho, 2004). Dalam hal pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis, pada saat ini kondisi obyektif di lapangan menunjukkan adanya tekanan eksploitasi yang tinggi terhadap sumberdaya ikan di perairan LCS. Hasil kajian Komnas Kajian Stok sumberdaya ikan yang dituangkan dalam Permen KP No.45/Tahun 2011 menunjukkan bahwa, untuk sumberdaya ikan pelagis kecil dalam status pemanfaatan jenuh (fully exploited). Kondisi ini membawa konsekuensi terjadinya perubahan indeks upaya penangkapan dan hasil tangkapan. Laju tangkap pukat cincin terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir karena penurunan stok sumberdaya ikan layang (Decapterus sp.) dan banyar (Rastrelliger kanagurta). Kedua jenis ikan tersebut memberi kontribusi yang sangat besar terhadap hasil tangkapan pukat cincin (Atmadja & Nugroho, 2004 ; Hariati et al., 2005). Tekanan penangkapan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan diperkirakan memberi dampak terhadap proses biologi ikan tersebut (Suwarso et al., 2008). Dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan, kepentingan jangka pendek ditujukan untuk menghindari terjadinya tangkapan lebih terhadap stok ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem pengelolaan untuk tercapainya hasil tangkapan yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan, pada hakekatnya adalah pengelolaan ekosistem, dimana keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya sangat erat hubungan sebab akibatnya. Perubahan pada satu elemen ekosistem akan 90 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) merubah struktur secara keseluruhan ekosistem tersebut (Wiyono & Wahju, 2006). Secara umum usaha penangkap ikan mengharapkan produksi/hasil tangkapan yang ideal dengan penggunaan input yang efisien. Usaha penangkapan ikan memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Perolehan keuntungan berkaitan erat dengan efisiensi produksi. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian pendugaan produksi (hasil tangkapan) optimal dan efesiensi teknis kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan LCS, yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat. METODE PENELITIAN Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer untuk analisis efisiensi perbandingan antara kapal pukat cincin dihimpun melalui kegiatan enumerasi. Petugas enumerator mendata kapal pukat cincin aktif yang melakukan operasi penangkapan selama tahun 2014. Data sekunder diiperoleh dari statistik perikanan (produksi dan upaya) PPN Pemangkat tahun 2007-2013. Pengolahan dan analisis data Analisis efisiensi pemanfaatan ikan pelagis di perairan LCS didasarkan pada produktivitas pukat cincin yang melakukan pendaratan di PPN Pemangkat, Kalimantan Barat. Kajian efisiensi penangkapan tahunan dilakukan terhadap data kegiatan operasi pukat cincin selama kurun waktu antara tahun 2007 – 2013, serta melalui pengamatan (mengolah data primer yang dihimpun selama satu tahun) dengan membandingkan efisiensi antar kapal pukat cincin yang aktif beroperasi selama tahun 2014. Pengukuran efisiensi penangkapan tahunan diukur dengan mengunakan analisis Peak to Peak (PtP), sementara pengukuran nilai efisiensi antara pakat cincin yang aktif menggunakan analisis Data Envelopment Analysis (DEA). Analisis data tahunan Untuk mengetahui kapasitas penangkapan, data dianalisis dengan metode Peak-to-Peak (PtP). Menurut Ballard dan Roberts (1997) dalam Zheng and Zhou 91 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (2005) (www.terrapub.co.jp diakses tanggal 10 Mei 2011), metode PtP adalah pengukuransederhana terhadap respon lembaga atau pengamat olehindustri untuk mengubah permintaan. Pengukuran itu didasarkan pada trend melalui pendekatan puncak yang dianggap mencerminkan output maksimum yang dicapai pada stok modal dan ikan. Menurut Ballard danRoberts, fungsiproduksi Cobb-Douglas atau mirip dengan model Schaffer jangka pendek adalah sebagai berikut : ...............................................................................................(1) dalam hal ini Yt merupakan hasil tangkapan total atau output yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Lt adalah jumlah pengusaha pada waktu t; kt adalah jumlah stok pada waktu t; Tt adalah penyesuaian trend teknologi dan A adalah koefisien deret. Sedangkan untuk nilai a dan b merupakan Constant Returns to Scale (CRS), jika dijumlahkan harus sama dengan 1. Untuk mempermudah perhitungan, persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi : Yt = A.Vt.Tt dengan Vt = Ltaktb .................................................................(2) Jika Vt adalah jumlah unit produksi (misalnya jumlah kapal, GT atau daya lampu). Metode peak to peak ini digunakan untuk mengestimasi tren teknologi yang terjadi, dengan asumsi A = 1 pada unit input Vt dan unit output Yt. Tingkat teknologi pada periode waktu tertentu t(Tt) ditentukan oleh tingkat rata-rata perubahan dalam produktivitas antara tahun yang mempunyai produksi puncak(Persamaan 3). Relatif terhadap tahun t tertentu, nilai m dan n sesuai dengan lamanya waktu dari tahun sebelumnyad an mengikuti tahun puncak. ....................................................(3) Analisis data antar pukat cincin Data tangkapan pukat cincin selama tahun 2014 dianalisis dengan Data Envelopment Analysis (DEA). Pengukuran kapasitas penangkapan antara pukat cincin dihitung dengan pendekatan multioutput yaitu (layang, selar dan ikan lainnya) mengingat tidak semua hasil tangkapan memberikan kontribusi secara terus menerus terhadap total hasil tangkapan, yaitu dengan memilih jenis ikan tertentu yang secara relatif terus menerus memberikan kontribusi total hasil tangkapan sebagai output data dan dikaji menurut musim penangkapan (musim barat, timur, peralihan I dan peralihan II). 92 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Aspek teknis pukat cincin : bobot dan ukuran kapal, panjang jaring, daya lampu, lama trip, volume palkah, jumlah ABK, bahan bakar dan perbekalan terlebih dahulu dilakukan analisis penentuan faktor-faktor input yang berpengaruh terhadap produksi perikanan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglass, dengan bantuan MS Excel dan SPSS 22. Selanjutnnya Input yang dianggap berpengaruh dijadikan sebagai instrumen dalam penilain efisiensi kapasitas penangkapan. Untuk mendapatkan gambaran dinamika efisiensi teknis, selanjutnya dihitung dengan menggunakan DEA. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar unit alat tangkap yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). Jumlah hasil tangkapan jenis ikan m oleh alat tangkap j (Ujm) ditetapkan sebagai output data. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Karakteristik Perikanan Pukat Cincin Pemangkat Unit pukat cincin (purse seine) yang berbasis di PPN Pemangkat merupakan pukat cincin pelagis kecil. Kapal terbuat dari bahan kayu dan kayu berlapis fibre. Ukuran bobot kapal berkisar antara 30 – 117 GT. Tenaga penggerak yang digunakan relatif besar yaitu mesin dengan kisaran kekuatan antara 180-380 PK. Pukat cincin tergolong unit penangkapan padat karya, dengan jumlah ABK berkisar 15-25 orang untuk setiap unit. Perkembangan teknologi dalam penanganan hasil tangkapan terjadi pada kapal pukat cincin. Sejak tahun 2009, kapal pukat cincin Pemangkat sebagian besar sudah menggunakan sistem freezer, dalam mempertahankan kualitas ikan hasil tangkapan. Meski demikian hingga saat ini terdapat kapal yang masih menggunakan es untuk mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan. Beberapa kapal pukat cincin di Pemangkat telah menggunakan power block untuk mengangkat jaring dalam operasinya. Penggunaan teknologi ini telah meningkatkan efisiensi pengoperasiannya dalam hal waktu dan tenaga kerja. Pada saat musim ikan, kapal pukat cincin menitipkan hasil tangkapan kepada kapal penampung, sebagai upaya menjaga mutu 93 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) hasil tangkapan agar tetap dalam kondisi segar. Telah menjadi kebiasaan kapal pukat cincin di Pemangkat, senantiasa mengupayakan ikan hasil tangkapan dalam keadaan segar. Ukuran panjang jaring pukat cincin berkisar antara 450-570 meter, tinggi jaring mencapai 120 meter dengan ukuran mata jaring di bagian kantong 1,0 inci. Sistem operasi penangkapan pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan lampu/ cahaya sebelum dilakukan pengoperasian jaring. Kegiatan penangkapan praktis hanya dilakukan pada malam hari (pada periode bulan gelap). Jumlah daya lampu yang digunakan oleh satu unit penangkapan pukat cincin berkisar antara 20.000 watt – 75.000 watt. Jumlah hari di laut dalam satu trip penangkapan pukat cincin berkisar antara 11-20 hari. Daerah penangkapan pukat cincin umumnya mencapai posisi garis lintang antara 20 dan 40LU, hingga mencapai perbatasan Vietnam.Seperti dari beberapa armada pukat cincin Pemangkat yang berhasil dihimpun berada di sekitar lintang 20 LS - 40LS dan1070 – 1100 BT (Gambar 1).Sebelumnya daerah penangkapan pukat cincin Pemangkat tidak jauh dari Pelabuhan yaitu disekitar pulau Pulau Mindai dan PulauTimou. Seiring semakin menurunnya hasil tangkapan, ekspansi ke perairan yang lebih jauh terjadi yaitu hingga keperairan sekitar kepulauan Natuna Besar, Pulau Selor dan Pulau Panjang. Pada musim angin Selatan pukat cincin pemangkat umumnya beroperasi disekitar Pulau Subi dan Pulau Sugi yaitu merupakan perairan yang berbatasan dengan Malaysia. Gambar 1. Daerah penangkapan pukat cincin nelayan Pemangkat. 94 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Cincin Hasil dari analisis kapasitas perikanan pukat cincin yang berbasis di Pemangkat, selama periode tahun 2007 – 2013 diperoleh skor efisiensi rata-rata 0,86. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode tersebut perikanan pukat cincin beroperasi sekitar 86% dari kapasitas optimal dan secara teknis perikanan pukat cincin mengalami excess capacity sebesar 14%. Trajektori paling efisien untuk perikanan pukat cincin terjadi pada tahun 2007 dan 2009 sementara trajektori paling tidak efisien terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Pola perkembangan efisiensi secara umum mengikuti pola perkembangan produksi, sementara pola perkembangan upaya (trip) secara umum cenderung terus meningkat. Pada Tahun 2007 terjadi efisiensi yang tinggi, sementara produksi pukat cincin pada tahun yang sama pada kondisi rendah. Peningkatan efisiensi selanjutnya terjadi setelah tahun 2008 yang diikuti dengan pengurangan input (trip) sebesar 3,17% pada tahun 2008 dibanding tahun sebelumnya yang secara agregat diikuti oleh peningkatan output sebesar 27,71% (Gambar 2). Gambar 2. Perkembangan efisiensi, produksi dan trip penangkapan pukat cincin Pemangkat periode tahun 2007 – 2013. Hasil tangkapan total (actual catch) dan nilai kemampuan tangkap (potential catch) pada kurun waktu tahun 2007 – 2013 merupakan hasil dari penghitungan matematik (Gambar 3). Nilai tangkapan potensial selama kurun waktu 2007 – 2013 secara umum cenderung tidak mengalami perubahan nilai yang tajam terutama dari mulai tahun 2008 hingga 2013. Sedangkan hasil tangkapan aktual selama periode 2007 – 2013 mengalami fluktuatif, terjadi penurunan produksi yang relatif tajam pada tahun 2012 hingga 2013 yaitu mencapai 28% lebih penurunan produksi dari tahun sebelumnya (2011). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut pada beberapa 95 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) tahun menunjukkan adanya excesscapacity. Kapasitas berlebih (excess capacity) merupakan perbandingan relatif antara tingkat tangkapan potensial (maksimal) terhadap hasil tangkapan aktual. Gambar 3. Produksi aktual dan produksi potensial perikanan pukat cincin pemangkat periode tahun 2007-2013. Excess capacity penangkapan pukat cincin paling tinggi terjadi pada tahun 2012 dan 2013 yaitu masing- masing 2530 ton dan 3168 ton (Gambar 4). Excess capacity dapat terjadi bila terdapat ketidakseimbangan pasar yaitu perubahan dalam penawaran dan permintaan, sehingga perusahaan menangkap ikan terlalu banyak (Pascoe et.al 2003). Gambar 4. Grafik excess fishing capacity pemanfaatan perikanan pukat Cincin di Pemangkat 2007-2013. 96 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Efisiensi Teknis Berdasarkan Musim Penangkapan Analisis efisiensi antar unit pukat cincin (purse seine) yang berbasis di Pemangkat, dihitung dengan pendekatan multi output (hasil tangkapan layang, selar dan ikan lainnya) dan dikaji menurut musim penangkapan (musim barat, timur, peralihan I dan peralihan II). Penilaian kapasitas penangkapan berdasarkan pada data input operasional (upaya) dan hasil tangkapan armada pukat cincin yang dihimpun enumerator pada tahun 2014. Unit alat tangkap yang dianggap efisien secara penuh (fully efficient) adalah kapal yang mempunyai skor efisiensi sebesar 1,00 atau 100 %, pada kondisi tersebut, seluruh input dimanfaatkan penuh atau tidak terdapat potensi peningkatan input yang digunakan. Berdasarkan hasil perhitungan Data Envilopment Analysis (DEA) terhadap 29 kapal pukat cincin pada musim barat diperoleh rata-rata efisiensi sebesar 0,85. Distribusi nilai efisiensi penangkapan pukat cincin tersebut adalah berkisar antara 0,01 – 1,00 didominasi oleh kapal dengan capaian nilai efisiensi optimal yaitu sebanyak 19 kapal (65,5%) sementara kapal yang tidak efisien sebanyak 10 kapal (34,5%). Hasil Perhitungan DEA pada musim timur diperoleh bahwa tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapanpukat cincin rata-rata mencapai nilai efisiensi sebesar 0,90. Distribusi nilai efisiensi tersebut dari 29 sampel kapal terdapat 20 kapal (69,0%) berada pada tingkat pemanfaatan yang optimal dan yang lainnya sebanyak 9 kapal (31,0%) tidak optimal. Nilai efisiensi yang diperoleh armada pukat cincin berkisar antara 0,34 - 1,00 Selama musim peralihan I, diperoleh nilai efisiensi rata-rata sebesar 0,87. Berdasarkan data pukat cincin yang aktif beroperasi di LCS pada musim peralihan dari 28 sampel kapal diperoleh sebanyak 18 kapal (64,3%) berada pada tingkat efiseinsi yang optimal dan yang lainnya sebanyak 10 kapal (35,7%) berada pada tingkat yang tidak optimal (inefficiency). Nilai efisiensi tersebut yang dicapai berkisar antara 0,30–1,00. Selama musim peralihan II, diperoleh nilai efisiensi rata-rata sebesar 0,84. Berdasarkan data pukat cincin yang aktif beroperasi di LCS pada musim peralihan II dari 28 sampel kapal diperoleh sebanyak 13 kapal (46,4%) berada pada tingkat efiseinsi yang optimal dan yang lainnya sebanyak 15 kapal (53,6%) berada pada tingkat yang tidak optimal (inefficiency). Nilai efisiensi tersebut yang dicapai berkisar antara 0,42–1,00. 97 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Berdasarkan pemanfaatan variabel input (VIU) yang digunakan dalam pengoperasian pukat cincin pada musim barat, timur, peralihan I dan musim peralihan II diperoleh masing-masing nilai rata-rata VIU berkisar antara 0,93 –0,99, 0,98 – 1,00, 0,98 – 0,99 dan 0,97 – 0,99. Berdasarkan nilai VIU yang menjadi instrumen dalam pengendalian kapasitas pukat cincin dari ketiga musim tersebut, secara umum menunjukkan sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pukat cincin pencapai nilai VIU mendekati atau mencapai nilai 1,00 (Gambar 5). Gambar 5. Distribusi pemanfaatan variabel input pukat cincin Pemangkat pada musim barat, timur dan peralihan I dan peralihan II. Kapasitas berlebih terjadi pada beberapa kapal pukat cincin dalam setiap musim penangkapan. Berdasarkan hasil perhitungan DEA, berlebih (excess capacity) pada tangkapan dominan (layang dan selar) ditunjukkan pada Gambar 6. Pada musim barat excess capacity tertingi terhadap pemanfaatan ikan layang sebesar 4696 kg, selar 9887 kg dan pada ikan lainnya sebesar 5008 kg. Musim timur tertinggi untuk ikan layang sebesar 9530 kg, ikan selar 6081 kg dan pada ikan lainnya 5262 kg. Pada musim peralihan I tertinggi dalam pemanfaatan ikan layang sebesar 7555 kg, ikan selar 7990 dan pada ikan lainnya 9512 kg. Pada musim peralihan II excess capacity tertinggi pemanfaatan pada ikan layang sebesar 7244 kg, terhadap ikan selar 7423 kg dan pada ikan lainnya sebanyak 8684 kg. Nilai excess capacity yang 98 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) tinggi menunjukkan tingkat pemanfaatan dalam penggoperasian pukat cincin tersebut kecil terhadap tangkapan potensial. Gambar 6. Excess capacity di setiap musim dalam pemanfaatan tangkapan dominan BAHASAN Perikanan pukat cincin Pemangkat yang beroperasi di perairan LCS, efisiensinya secara umum sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 menunjukkan tren yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 0,78 – 1,00. Tahun 2009 mengalami peningkatan produksi aktual yang signifikan, sementara upaya mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya sehingga pada tahun 2009 nilai efisiensi tinggi (optimal). Sebaliknya pada tahun 2012 hingga 2013 terjadi penurunan produksi yang relatif tajam yaitu mencapai 28%, penurunan produksi dari tahun sebelumnya. Perbedaan produksi aktual dengan produksi potensial perikanan pukat cincin terjadi selama periode tahun 2007-2013. Apabila kapasitas perikanan dikendalikan maka produksi perikanan pukat cincin sebenarnya mampu ditingkatkan mengikuti grafik produksi potensial. Misal pada tahun 2012 dan 2013 masing-masing potensi output 47% dan 68% lebih besar dari produksi aktual yaitu masing-masing 2530 ton dan 3168 ton. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi pukat cincin di LCS pada tahun 2012 dan 2013 kecil, yaitu 68% dan 60% dari hasil yang seharusnya optimal. Dengan 99 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) demikian mengurangi kapasitas sebesar 32% pada tahun 2012 dan 40% tahun 2013 akan memungkinkan output diproduksi secara optimal. Uji model DEA untuk menentukan angka efisiensi sebagai indikator penilaian kapasitas penangkapan.Pengukuran pemanfaatan kapasitas unit pukat cincin dilakukan pula dengan membandingkan efisiensi antar unit alat tangkap yang sejenis yang aktif beroperasi. DEA dapat digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi, yang secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et al., 2004). Kondisi faktual penangkapan ikan pelagis dengan pukat cincin Pemangkat yang beroperasi di LCS, mencapai efisiensi yang optimal pada musim barat, musim timur dan musim peralihan I sebagian besar yang ditandai oleh nilai efisiensi teknis (TE) mencapai 1,00. Rata-rata efisiensi dari keempat musim penangkapan (barat, timur, peralihan I dan peralihan II) yaitu masing masing 0,85, 0,90, 0,87 dan 0,84. Persentase kapal pukat cincin yang mencapai efisiensi optimal (nilai TE 1,00) pada keempat musim penangkapan masing-masing 65%, 69%, 64% dan 46%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan pukat cincin di Pemangkat telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal dalam pemanfaatan teknologi yang ada terutama pada musim barat, timur dan peralihan I. Pada musim peralihan II beberapa kapal pukat cincin yang beroperasi dibawah tingkat kapasitasnya atau mengalami pemanfaatan kapasitas input yang rendah. Perbedaan capaian efisiensi kemungkinan terkait dengan perbedaan lokasi penangkapan, perbedaan dalam keterampilan awak kapal/nakhoda, perbedaan usia kapal, atau alat bantu navigasi dan lainnya yang berbeda (Cunningham & Greboval, 2001). Nelayan dikatakan melakukan penangkapan secara efisien jika produksi ikan yang diperoleh pada saat penangkapan mendekati potensi maksimum. Berdasarkan hasil analisis potensi output secara keseluruhan yang sesuai kapasitas pukat cincin di Pemangkat adalah pada musim barat 18%, timur 11%, peralihan I 15% dan musim peralihan II 19% lebih besar dari produksi aktual. KESIMPULAN Selama kurun waktu antara 2007 – 2013, perikanan pukat cincin Pemangkat melakukan kegiatan operasi penangkapan rata-rata 86% dari kapasitas optimal yang dimiliki, dengan demikian perikanan pukat cincin mengalami excess capacity sebesar 14%. Tingkat eksploitasi pukat cincin yang beroperasi di Laut Cina Selatan 100 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (Natuna) pada tahun 2012 dan 2013 sekitar 68% dan 60% terhadap hasil tangkapan potensial. Tingkat efisiensi pukat cincin di Pemangkat pada musim timur lebih tinggi dibandingkan pada musim barat, peralihan I dan II dengan persentase kapal pukat cincin yang mencapai efisiensi optimal (nilai TE 1,00) lebih banyak. Sementara musim peralihan I sedikit lebih tinggi dibanding musim barat dan peralihan II. Pemanfaatan kapasitas pukat cincin pada musim barat, timur, peralihan I dan musim peralihan II masing-masing sebesar 85%, 90%, 87% dan 84% dari tangkapan potensial. Rendahnya tingkat pemanfaatan potensial pada musim peralihan II menunjukkan adanya excess capacity yang tinggi dibanding pada musim lainnya. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi hasil penelitian “Pengkajian Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Ikan dan Pukat Cincin di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (WPP 571 dan WPP 711)” Tahun Anggaran 2014 di Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, S.B. & D. Nugroho, 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro (Ambligaster sirm, Clupeidae) dan model terapan Beverton & Holt di Laut natuna dan Sekitarnya. JPPI. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 10 (4). 21-27. Cooper WC, Seiford, LM, Tone, Kaoru, 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. Cunningham, S & D.Greboval, 2001.Managing Fishing Capacity.A Review of policy and Technical issue. FAO and Agricultural Organisation of The United nations. 54 p Hariati et al., 2005.Ikan Layang biru (Decapterus macarellus), salah satu spesies ikan pelagis kecil laut dalam di Indonesia.Warta Penelitian Perikanan Indonesia.Vol 2 No 5: 15-18. Pascoe, S., James, E. K., Greboval, D and C. J. Morrison-Paul, 2003.Measuring and Assessing Capacity in Fisheries. 2. Issues and Methode. FAO Fisheries Technical Paper No. 443/2. Rome. 130 pp. 101 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Suwarso, A. Zamroni, & Wudianto. 2008. Biologi produksi dan dugaan musim pemijahan ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan. J. Lit. Perikan. Ind 14(4): 379-391. Wiyono ES dan Wahju RI. 2006. Penghitungan Kapasitas Penangkapan (Fishing Capacity) pada Perikanan Skala Kecil pantai. Suatu penelitian Pendahuluan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hlm.381-389. Zheng, Yi & Qi Zhou, Ying, 2005, Measures of the Fishing Capacity of Chinese Marine Fleets and Discussion of the Methods, www.terrapub.co.jp diakses tanggal 10 Mei 2011 102 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN KAKAP (Lutjanus vitta) DI PERAIRAN NATUNA DAN SEKITARNYA, LAUT CINA SELATAN (WPP-NRI 711) Oleh Prihatiningsih, Nur’ainun Muchlis dan Muhammad Taufik ABSTRAK Penangkapan ikan kakap yang terus berlangsung akan menyebabkan terganggunya stok sumberdaya ikan kakap di perairan Natuna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi stok sumberdaya ikan kakap dari aspek biologi reproduksi dan kebiasaan makan. Pengambilan contoh ikan kakap dilakukan di Kijang, Bintan (Kepulauan Riau) bulan Maret, April, Mei, Agustus dan September 2014. Contoh ikan kakap diperoleh dari hasil tangkapan menggunakan bubu ikan dan pancing ulur no 8 dan 9 pada kedalaman 70-90 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kakap yang ditemukan relatif berukuran besar berkisar 11,0 sampai dengan 36,3 cmTL dengan rata-rata 21,51 cmTL. Pola pertumbuhan ikan kakap bersifat allometrik negatif dan faktor kondisi berkisar 1,24 – 1,39. Nisbah kelamin antara jenis kelamin jantan dan betina umumnya seimbang. Musim pemijahan ikan kakap diduga terjadi pada bulan Maret. Pola pemijahannya bersifat total spawner dan memiliki potensi reproduksi yang cukup besar dengan fekunditas 11.220 – 323.310 butir telur. Kebiasaan makan ikan kakap bersifat karnivora umumnya jenis krustasea dimana makanan utamanya adalah udang kipas (Squilla sp) sebesar 44%, makanan pelengkapnya adalah udang (Penaeidae) sebesar 38% dan makanan tambahannya adalah kepiting (Portunus spp) 11% dan udang rebon (Mysis spp) 7%. KATA KUNCI : Biologi reproduksi, ikan kakap (Lutjanus vitta), perairan Natuna. 103 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Ikan kakap (Lutjanus vitta) merupakan kelompok ikan demersal dari famili Lutjanidae. Ikan kakap ini banyak tertangkap oleh bubu ikan dan pancing ulur. Ikan kakap selain dikonsumsi secara lokal juga di ekspor ke negara tetangga yaitu Singapore dan Malaysia karena Kepulauan Riau letak geografisnya berdekatan dengan negara tersebut. Kegiatan penangkapan ikan demersal di perairan Laut Natuna yang didaratkan di Kabupeten Bintan – Kepulauan Riau mengalami peningkatan dari tahun 20082011. Dengan meningkatnya produksi dan kegiatan penangkapan, dikhawatirkan stok ikan tersebut akan menipis, Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka sumberdaya ikan disuatu perairan harus dikelola secara rasional, dengan memperhatikan aspek biologi, ekonomi, ekologi dan sosial (Widodo & Suadi, 2006) sehingga tercapai pengembangan perikanan ikan kakap yang berkelanjutan dan lestari. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi stok ikan kakap dari aspek biologi reproduksi diantaranya sebaran ukuran panjang, hubungan panjang berat, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan kebiasaan makan ikan kakap di perairan Natuna (Laut Cina Selatan) untuk digunakan dalam bahan pengkajian stok dan sebagai dasar pengembangan pengelolaannya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan (Maret, April, Mei, Agustus dan September) tahun 2014. Lokasi penangkapan merupakan daerah penangkapan di sekitar perairan Laut Natuna dengan kedalaman 70-90 meter. Daerah ini umumnya merupakan perairan karang yang sebagian besar merupakan habitat ikan kekakapan. Pengumpulan Data Pengambilan contoh ikan kakap dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (Tangkahan) Kijang, Bintan (Kepulauan Riau). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut – Jakarta. Contoh ikan kakap 104 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) diperoleh dari hasil tangkapan menggunakan bubu ikan dan pancing ulur dengan mata pancing no 8 dan 9. Contoh panjang ikan diukur dengan ketelitian 0,1 cm dan berat individu dengan ketelitian 1,0 gram. Gonad ikan kakap diawetkan dengan menggunakan larutan gilson. Gambar ikan kakap disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 . Ikan kakap (Lutjanus vitta) di perairan Natuna tahun 2014. . ANALISIS DATA Hubungan panjang-berat Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula: W = aLb .........................................................................................................(1) dimana : W = berat L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b = ”slope” Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik H1 : b ≠3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan 105 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). Faktor kondisi Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung. Faktor kondisi ikan kakap dihitung dengan rumus (Effendie, 1979): Kn = 102 W/L3 …………………………………….…………............……...(2) ikan Dimana: Kn = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata Nisbah kelamin Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan kakap jantan dengan jumlah ikan kakap betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel & Torrie, 1993) dengan rumus : ………………………..………….........………...........….(3) dimana ; Oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina; ei = Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1; k = kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang ditemukan. Tingkat kematangan gonad (TKG) Perkembangan TKG diamati secara makroskopis (visual) dengan cara melihat perubahan morfologi gonad serta pengamatan secara mikroskopis yaitu histologi dengan metode parafin dan pewarnaan hematoxylin - eosin. Secara visual / makroskopis dengan menggunakan kaca pembesar (lup). Tanda-tanda yang digunakan dalam membedakan jenis kelamin yaitu untuk ikan betina adalah bentuk ovari, besar kecil ukuran ovari, pengisian ovari dalam rongga tubuh dan warna ovari. Sebaliknya, untuk ikan jantan yaitu bentuk testis, ukuran testis, pengisian testis dalam rongga tubuh, serta warna testis. Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan berdasarkan atas acuan Holden & Raitt (1974), yang terdiri atas lima tingkatan (Tabel 1). 106 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan Tingkat kematangan gonad/ Keterangan/Remarks Gonad maturity stage I (belum matang) Ovarium dan testes, panjang 1/3 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerahmerahan. Telur tidak dapat dilihat dengan mata biasa. II (belum matang) Panjang ovarium sekitar 1/2 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerahmerahan. Telur belum dapat dilihat dengan mata biasa. III (matang) Panjang ovarium dan testes sekitar 2/3 rongga perut. Warna ovarium pink-kuning dan butiran telur sudah tampak. IV (matang) Panjang ovarium 2/3 memenuhi rongga perut. Ovarium berwarna orange dengan pembuluh darah sudah mulai kurang jelas. Transparan dan butiran telur terlihat jelas. V Ovarium mengerut sampai panjang 1/2 rongga perut sebagai tanda pemijahan tetapi (spent) ada butir-butir telur. Sumber/sources : Holden & Raitt (1974) Secara mikroskopis yaitu perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium berdasarkan klasifikasi Kuo et al. (1974), yaitu stadium I (oosit primer mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis; gonad berbentuk kecil, telur belum dapat dibedakan oleh mata biasa,ukuran menyusut, berwarna kemerahan). Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan Effendie (1979), yaitu : 107 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) IKG dimana ; IKG Bg Bt x 100%....................................................................................(4) : Indeks kematangan gonad (%) : Berat gonad ikan (gram) : Berat total ikan (gram). Fekunditas dan diameter telur Penghitungan fekunditas ikan kakap dilakukan dengan mengambil gonad ikan kakap yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10. Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0.1 gram kemudian diteliti sebaran ukuran telur dan jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetri dengan rumus Holden & Raitt (1974) : F = nxGxV g .................................................................................... (5) dimana : F = fekunditas; n = jumlah telur dalam sub sample; V = volume pengenceran G = berat gonad; g = berat gonad sub sample (0.1 gram). Analisis kebiasaan makan Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode frekuensi kejadian dan metode gravimetrik. Metode ini dikembangkan oleh Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus : IP (%) = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100% ...........................................................(6) dimana: IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i. 108 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN BAHASAN HASIL Sebaran ukuran panjang Ikan kakap (Lutjanus vitta) yang diamati dari perairan Natuna (Laut Cina Selatan) yang didaratkan di Kijang, Bintan-Kepulauan Riau berjumlah 1.589 ekor. Ukuran terkecil terdapat pada ukuran panjang 11,0 cmTL dan terbesar pada ukuran panjang 36,3 cmTL dengan rata-rata 21,51 cmTL (Gambar 2). Gambar 2. Sebaran ukuran panjang ikan kakap (L. vitta) di perairan Natuna dan sekitarnya. Hubungan panjang-berat Pola pertumbuhan ikan kakap dengan menggunakan alat tangkap bubu ikan dan pancing ulur secara keseluruhan dari 316 sampel ikan bersifat allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,911 dan koefesien determinasi (R2) sebesar 0,949 dan koefesien korelasi (r) sebesar 0,974 sehingga terjadi hubungan yang sangat erat antara variabel panjang dan berat ikan kakap. Dengan memisahkan antara jenis kelamin jantan dan betina, maka hubungan panjang berat ikan kakap jenis kelamin jantan dan betina adalah allometrik negatif dengan nilai b, koefesien determinasi (R2) dan koefesien korelasi (r) masing-masing sebesar 2,905; 0,953; 0,976 (jantan) dan 2,946; 0,962; 0,981 (betina). Dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan kakap lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya (Gambar 3). 109 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 3. Hubungan panjang berat ikan kakap (L. vitta) di perairan Natuna. Faktor kondisi Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dan dari segi komersil berupa kualitas dan kuantitas daging ikan untuk dikonsumsi. Faktor kondisi ikan kakap disajikan pada Gambar 4. Faktor kondisi ikan kakap berkisar 1,24 – 1,39 dengan rata-rata 1,34 terkecil pada bulan Agustus dan terbesar pada bulan September. Gambar 4. Faktor kondisi ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya. 110 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Nisbah Kelamin (Sex ratio) Berdasarkan hasil pengamatan bulan Maret, perbandingan nisbah kelamin antara ikan kakap jantan dan betina yaitu 2,61 : 1,0 (72,3% : 27,7%), artinya dialam populasi jenis kelamin jantan 2 kali lebih banyak dibandingkan jantan. Bulan April dan Mei , perbandingan nisbah kelamin jantan dan betina masing-masing 1,0 : 1,3 (42% : 58%) dan 1,2 : 1,0 (54,7% : 45,3%) dalam keadaan seimbang. Bulan September juga perbandingan jenis kelaminnya dalam keadaan seimbang yaitu 1,1 : 1,0 (53,9% : 46,0% (Gambar 4). Dengan demikian secara keseluruhan nisbah kelamin jantan dan betina ikan kakap dalam keadaan seimbang yaitu 1,0:1,1 (47,9%:52,0%). Gambar 4. Nisbah kelamin ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya. Tingkat kematangan gonad (TKG) Komposisi TKG ikan kakap yang diamati pada jenis kelamin jantan bulan Maret menyebar pada TKG I – IV didominasi oleh stadia III-IV dengan persentasi 46,2%. Bulan April menyebar pada stadia I-IV didominasi oleh stadia II dengan presentasi sebesar 54,54%. Bulan Mei, TKG menyebar pada stadia I – V didominasi oleh stadia II dengan presentasi 38,46% namun ditemukan stadia V yang menandakan akan terjadi musim pemijahan. Bulan Agustus dan September TKG menyebar pada stadia I – III didominasi oleh stadia I sebanyak 45,0%. Pada jenis kelamin betina, TKG ikan kakap pada bulan Maret dan April menyebar pada stadia I-IV didominasi stadia III sebesar 67,6% (Maret) dan pengamatan bulan April didominasi oleh stadia II sebesar 50,0%. Bulan Mei, TKG menyebar pada stadia I-V didominasi oleh stadia III dengan presentasi sebesar 111 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 30,95%. Bulan Agustus dan September TKG menyebar pada stadia I – IV, bulan Agustus didominasi stadia III (38,46%) dan bulan September didominasi stadia II (55,0%) (Gambar 5). Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya. Indeks kematangan gonad (IKG) Rata-rata nilai indeks kematangan gonad ikan kakap betina tertinggi terjadi pada bulan Maret (1,77) dan terendah pada bulan Agustus (0,57). Indeks kematangan gonad ikan kakap disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Indeks kematangan gonad ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya. 112 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Fekunditas dan diameter telur Fekunditas ikan kakap yang diamati memiliki kisaran 11.220 – 323.310 butir telur dengan rata-rata 77.098 butir telur setiap satu induk betinanya. Nilai fekunditas terendah (11.220 butir telur) terdapat pada ukuran ikan 23,6 cmTL dan tertinggi (323.310 butir telur) terdapat pada ukuran ikan 31,2 cmTL. Gambar 7 memperlihatkan hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan kakap yang menunjukkan koefesien determinasi atau nilai model observasi (R2) sebesar 0,252. Gambar 7. Hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya.. Pola pemijahan ditentukan berdasarkan analisis ukuran diameter telur. Di bawah ini merupakan sebaran frekuensi diameter telur ikan kakap yang diamati untuk menduga pola pemijahan. Diameter telur ikan kakap berkisar pada 51,5 – 567,01 µm (Gambar 8). Gambar 8. Sebaran diameter telur ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya. 113 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Kebiasaan makan Kebiasaan makan ikan kakap bersifat karnivora dimana makanan utamanya adalah krustasea jenis udang kipas (Squilla sp) sebesar 44%, makanan pelengkapnya adalah udang (Penaeidae) sebesar 38% dan makanan tambahannya adalah kepiting (Portunus spp) 11% dan udang rebon (Mysis spp) 7% (Gambar 9). isi lambung Lutjanus vitta Kepiting (Portunus spp) 11% 38% Udang kipas (Squilla spp) 44% 7% rebon (Mysis spp) udang (Penaeidae) Gambar 9 . Kebiasaan makan ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya BAHASAN Ikan kakap, Lutjanidae vitta dengan nama lain The brownstripe Snapper adalah salah satu sumberdaya ikan demersal cukup potensial, umumnya ditangkap oleh alat tangkap pukat ikan, pancing dan bubu ikan biasanya hidup di kedalaman 30-100 m. Sebaran ukuran panjang ikan kakap menyebar normal berkisar antara 11,0 cmTL sampai dengan 36,3 cmTL dengan rata-rata 21,51 cmTL. Hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Ramachandran et al., (2014) di perairan India berkisar antara 9,0 – 31,8 cm. Menurut Longenecker et al., (2010), ikan kakap, Lutjanus vitta memiliki rata-rata panjang 15 cm dan panjang maksimum 37 cm. Hubungan panjang berat ikan kakap secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina bersifat allometrik negatif dengan persamaan W=0,01L2,911 (keseluruhan), W=0,018L2,905 (jantan), dan W=0,015L2,946 (betina) yang artinya pola pertambahan panjang ikan kakap lebih cepat dari pertumbuhan 114 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) beratnya. Hal ini sama dengan hasil penelitian Usman et al., (2014) pada jenis ikan yang berbeda namun masih dalam satu famili Lutjanidae yaitu ikan kakap merah (Lutjanus spp.) di perairan utara Cirebon-Laut Jawa menunjukkan pola pertumbuhan allometrik negatif, namun berbeda dengan Ramachandran et al., (2014) di perairan India bahwa pola pertumbuhan ikan kakap, lutjanus vitta bersifat issometrik. Nilai faktor kondisi ikan kakap rata-rata memiliki bentuk tubuh kurang pipih berkisar 1,24 – 1,39 dengan rata-rata 1,34 terkecil pada bulan Agustus dan terbesar pada bulan September. Effendie (1979) menyatakan bahwa nilai K berkisar 2 - 4 apabila badan ikan agak pipih dan berkisar 1 - 3 apabila badan ikan kurang pipih. Nilai faktor kondisi ikan kakap selama 5 bulan cenderung berfluktuatif. Besarnya nilai faktor kondisi pada bulan Mei dan September terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin, dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan. Nisbah kelamin ikan kakap antara jenis kelamin jantan dan betina adalah seimbang yaitu 1,0:1,1 (47,9%:52,0%). Ball & Rao (1984) menyatakan bahwa ratio kelamin merupakan perbandingan ikan betina dan jantan dalam suatu populasi, dimana nisbah 1:1 (50% betina dan 50% jantan) merupakan kondisi yang ideal sehingga sangat baik untuk keberlangsungan rekruitman individu dalam populasi ikan kakap di Laut Natuna. Umumnya perbedaan jumlah ikan yang tertangkap berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah maupun mencari makan. Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pengetahuan mengenai kematangan gonad diperlukan untuk menentukan atau mengetahui perbandingan antara ikan yang matang gonadnya dengan ikan yang belum matang gonad dari stok yang ada di perairan, selain itu dapat diketahui ukuran atau umur ikan pertama kali matang gonad, mengetahui waktu pemijahan, lama pemijahan dan frekuensi pemijahan dalam satu tahun (Effendie, 1979). Ikan kakap jenis kelamin jantan dan betina pada bulan Maret memiliki komposisi perkembangan kematangan gonad yang lebih besar dibandingkan bulan lainnya dimana TKG jantan didominasi oleh stadia III-IV dengan persentasi 46,2% dan jenis kelamin betina, TKG ikan kakap didominasi stadia III sebesar 67,6%. Dalam biologi perikanan, Effendie (1997) menyatakan bahwa pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad ikan diperlukan untuk mengetahui perbandingan 115 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak. Dari pengetahuan tahap perkembangan gonad ini juga akan didapatkan keterangan bilamana ikan tersebut akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan suatu informasi untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif. Melalui IKG ini dapat dinyatakan adanya perubahan yang terjadi dalam gonad. Rata-rata nilai IKG gonad ikan kakap betina tertinggi terjadi pada bulan Maret (1,77) dan terendah pada bulan Agustus (0,57).Berdasarkan data TKG dan IKG, diduga pemijahan ikan kakap di perairan Natuna yang didaratkan di Kijang terjadi pada bulan Maret. Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan memijah (Effendie 1997). Berdasarkan hasil pengamatan, fekunditas ikan kakap yang diamati berkisar 11.220 – 323.310 butir telur. Umumnya ikan teleostei perairan laut memiliki tingkat fekunditas tinggi, mencapai ribuan sampai jutaan setiap ikan betinanya pertahun. Nilai fekunditas yang tinggi ini berarti ikan kakap memiliki potensi reproduksi yang tinggi pula, sehingga berpengaruh pula pada tingginya kesedian stok dan rekruitmen ikan kakap. Hubungan antara panjang ikan dan fekunditas ikan kakap menunjukkan bahwa hanya 25,2% dari keragaman nilai fekunditas ikan kakap yang dapat dijelaskan oleh panjang total. Nilai koefesien korelasi (r) adalah akar dari R2 yaitu sebesar 0,502. Nilai r menujukkan bahwa keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut sebesar 50%. Diameter oosit telur ikan kakap berkisar 51,5 – 567,01 µm. Berdasarkan sebaran frekuensi diameter telur dapat diketahui bahwa terdapat hanya satu modus ukuran diameter telur. Diameter telur ini bervariasi dengan ukuran yang berbeda, maka dapat diindikasikan bahwa pola pemijahan adalah total spawner atau telur yang sudah matang dikeluarkan sekaligus dalam suatu periode pemijahan dan akan melakukan pemijahan kembali pada musim pemijahan berikutnya. Ikan kakap berdiameter tebanyak berkisar pada ukuran 351 µm yaitu berjumlah 286 butir (28,99%). Diameter telur ikan kakap, Lutjanus vitta di perairan Natuna jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter oosit pada L. malabaricus di Kupang maupun di Sape kurang lebih berukuran 500-600μ (tingkat V) (Andamari et al., 2004), L. sebae (950 µm) dan L. argentimaculatus (870 µm) yang memijah di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol (Suastika et al., 2003). Ukuran telur masak yang ada dalam ovarium berbeda-beda (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa waktu pemijahan terus menerus pada kisaran waktu yang lama. (Hoar 1957 in Siregar 2004) menyatakan bahwa Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari 116 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ukuran dameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, maka semua telur masak yang ada di ovarium berukuran sama, dimana ukuran ini berbeda dengan ukuran telur pada saat folikel masih muda. Tetapi bila waktu pemijahan terus menerus pada kisaran waktu yang lama, maka ukuran telur masak yang ada dalam ovarium berbeda-beda. Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan dan dapat dilihat hubungan ekologi di antara organisme di dalam perairan itu, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan (Effendie, 1997). Hasil analisa isi lambung (stomach content) ikan kakap bersifat karnivora dimana makanan utamanya adalah krustasea jenis udang kipas (Squilla sp) sebesar 44%, makanan pelengkapnya adalah udang (Penaeidae) sebesar 38% dan makanan tambahannya adalah kepiting (Portunus spp) 11% dan udang rebon (Mysis spp) 7% di mana jenis makanan tersebut merupakan jenis makanan yang banyak tersedia di perairan Laut Natuna, sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan tersebut merupakan habitat tumbuh dan berkembang yang baik bagi Lutjanus vitta. KESIMPULAN Pola pertumbuhan ikan kakap di perairan Natuna dan sekitarnya bersifat allometrik negatif, dan nisbah kelamin antara jenis kelamin jantan betina adalah seimbang, dengan musim pemijahan terjadi pada bulan Maret. Pola pemijahan ikan kakap adalah total spawner dan memiliki potensi reproduksi yang cukup besar dengan fekunditas berkisar 11.220 – 323.310 butir telur dan hanya 25,2% dari keragaman nilai fekunditas ikan kakap yang dapat dijelaskan oleh panjang total. Kebiasaan makan ikan kakap bersifat karnivora. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian stok dan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal untuk mendukung industrialisasi di WPP 571-Selat Malaka dan WPP 711 Laut Cina Selatan Jawa di Balai Penelitian Perikanan Laut. Tahun 2014. 117 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Andamari, R. , D. Milton, T. Van Der Velde, B. Sumiono. 2004. Pengamatan aspek biologi ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dari perairan Sape dan Kupang. JPPI Sumber Daya dan Penangkapan Vol.10 No.4 Effendie, H. M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor,112 pp. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Holden, M. J. & Raitt. D. F. S. (eds.). 1974. Manual of Fisheries Sciences. Part 2. Methods of Resource Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech pap., (115). Rev. 1 : 214 pp. Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquaculture, 3: 1 – 14. Longenecker, K., R. Langson, H. Bolick & A. Allison. 2010. Population size structure and rapid reproductive analysis of exploited reef fish population at Kamiali Wildlife management Area, Papua New Guinea. Bishop Museum Technical Report 52. Honolulu, Hawaii. Ramachandran, S., D.M. Ali & Benjamin C.V. 2014. Age, growth and mortality of brownstripe snapper Lutjanus vitta (Quoy & Gaimard, 1824) from Southwest coast of India. J. Mar. Biol. Ass. India, 55 (2), 61-68. Suastika, M., P.I. Imanto, & A. Priyono. 2003. Catatan aspek biologi pemeliharaan induk ikan kakap merah di Balai Besar Riset Perikanan Gondol, Bali. 2003 (belum diterbitkan). Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta. 333 pp. Usman. A, O.K. Sumadhiharga, M.P. Patrial, 2014. Pengelelolaan sumberdaya ikan kakap merah (Lutjanus spp.) di perairan Utara Cirebon, laut Jawa. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol 5 No 1: 65-74 p. 118 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KARAKTERISTIK BIOLOGI IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) DI PERAIRAN BANGKA DAN SEKITARNYA, LAUT CINA SELATAN (WPP-NRI 711) Oleh Nur’ainun Muchlis dan Prihatiningsih ABSTRAK Ikan kurisi merupakan salah satu jenis ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis yang penting karena permintaan yang cukup tinggi khususnya oleh konsumen lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek biologi ikan kurisi serta kebiasaan makannya.Penelitian ini dilakukan di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Pantai Sungailiat pada bulan Februari – Nopember 2014. Data yang dikumpulkan meliputi pengukuran panjang dan berat ikan kurisi yang didaratkan, rasio kelamin, serta kebiasaan makan. Hasil penelitian menunjukkan sebaran ukuran panjang ikan kurisi yang berkisar antara 11,9 – 27,9 cm FL dengan rata-rata 15,9 - 17,9 cm FL dengan puncak modus pada ukuran panjang 15,9 cm FL. Rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) diperoleh nilai Lc = 17.832 cm FL. Hasil analisa isi lambung ikan kurisi (Nemipterus furcosus) menunjukkan makanan utamanya adalah kepiting, beberapa jenis udang dan ikan hancur, sementara makanan tambahan adalah cumicumi dengan persentase kemunculan kurang dari 10 %. Kata kunci : Aspek biologi, kebiasaan makan, kurisi, Bangka PENDAHULUAN Ikan kurisi merupakan salah satu jenis ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi khususnya di perairan Bangka dan sekitarnya. Nilai ekonomis yang tinggi di dasarkan atas permintaan yang cukup tinggi khususnya oleh konsumen lokal. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN 119 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sungailiat umumnya tertangkap oleh pancing. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dapat memicu terjadinya kondisi lebih tangkap (over fishing). Kegiatan penangkapan yang sesuai dengan daya dukung dapat menjamin kelestarian dengan didukung oleh informasi mengenai ukuran pertama kali tertangkap dan ukuran pertama kali memijah. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biologi ikan kurisi meliputi sebaran ukuran panjang, hubungan panjang berat, pendugaan rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm), nisbah kelamin dan kebiasaan makan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Pantai Sungailiat pada bulan Februari – Nopember 2014 (Gambar 1). Data yang dikumpulkan meliputi pengukuran panjang dan berat ikan kurisi yang didaratkan, rasio kelamin, serta kebiasaan makan. Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel ikan di PPN Sungailiat 120 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Analisis Data Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang-berat mengacu pada effendie (1997) dengan formula : W = aLb …………………………………………………..……..........……….. (1) Dimana : W = Berat L = Panjang a = Intersep (Perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b = Kemiringan (Slope) Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu : Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b< 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). Sebaran frekuensi panjang Perhitungan frekuansi panjang dilakukan dengan melihat nilai rata-rata panjang ikan kurisi dan persentase kemunculan dari tiap rata-rata panjang ikan selama satu tahun pengamatan. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan kurisi jantan dengan jumlah ikan kurisi betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel dan Torrie, 1993) dengan rumus : …………………………...........................………….(2) dimana ; Oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina; ei = Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1; k = kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang ditemukan. 121 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Analisis Kebiasaan Makan Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode frekuensi kejadian dan metode gravimetrik. Metode ini dikembangkan oleh Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus : IP (%) = [(Vi*Oi)/∑(Vi*Oi)]*100%.......................................................................(3) dimana : IP = indeks bagian terbesar (indeks of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Panjang Berat Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan bobot tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan proses gabungan dari tingkah laku dan proses fisiologi. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain ukuran makanan yang dimakan, ukuran ikan diperairan, jenis makanan yang dimakan, serta kualitas dan kondisi ikan (umur, keturunan dan genetik). Menurut Effendie (1979), pencatatan ukuran panjang ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu. Dalam mempelajari panjang berat ini diperlukan pola statistik agar dapat menganalisis data panjang dan berat yang didapatkan. Pola statistik yang digunakan dalam menganalisis hubungan panjang berat ini adalah analisis regresi. Sebagai dasar analisis regresi adalah hubungan linier antara dua peubah yang dalam hal ini adalah panjang dan beratnya. Pola pertumbuhan ikan kurisi jantan bersifat allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,633 dan koefesien korelasi sebesar 0,826 sehingga dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan kurisi jantan lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Demikian pula dengan pola pertumbuhan ikan kurisi betina, pola pertumbuhannya bersifat allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2.625 dan koefesien korelasi sebesar 0,860 (Gambar 2) 122 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 2. Hubungan panjang berat ikan kurisi di perairan Bangka dan sekitarnya Sebaran Ukuran Panjang Sebaran ukuran panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN Sungailiat-Bangka tahun 2014 dari 1.027 ekor sampel ikan kurisi yang berkisar antara 11,9 – 27,9 cm FL dengan rata-rata 15,9 - 17,9 cm FL dengan puncak modus pada ukuran panjang 15,9 cm FL (Gambar 3). Gambar 3. Sebaran ukuran panjang ikan kurisi (Nemipterus Furcosus) di Sungailiat, Bangka 2014 Pendugaan rata-rata panjang pertama kali tertangkap (Lc) Pada pengamatan terhadap pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Bangka dan sekitarnya diperoleh nilai Lc = 17.8 cm FL (Gambar 4). 123 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) N.furcosus Frekuensi kumulatif (%) 100 75 Lc= 17,832 cmFL 50 25 0 10 15 20 25 30 Panjang cagak (cm) Gambar 4. Pendugaan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan kurisi di perairan Bangka dan sekitarnya. Nisbah Kelamin Stok atau sumberdaya ikan perlu untuk memperhatikan struktur umur dan rasio jenis kelamin dari populasi ikan yang tersedia supaya sumberdaya ikan tersebut tetap lestari. Pendugaan terhadap stok ikan jenis tertentu harus mengetahui perbandingan jumlah jantan dan betina. Pengamatan jenis kelamin ikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari struktur populasi. Pengujian statistik dan anggapan bahwa satu ekor ikan jantan memijah dengan satu ekor ikan betina dikatakan seimbang, tetapi seperti yang telah kita ketahui tidak semua jenis ikan memiliki perbandingan 1:1 diasumsikan seimbang. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah mutlak, hal ini dapat dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie, 1979). Ikan tertentu bisa saja ikan betina harus lebih banyak daripada ikan jantan, dapat diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan kelestariannya, maksudnya adalah dari beberapa ekor ikan betina dapat dibuahi oleh satu ekor ikan jantan. Namun sebaliknya jika ikan jantan lebih banyak dari ikan betina kemungkinan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sangat tipis atau mengalami kepunahan karena kuantitatif dari telur yang dihasilkan oleh ikan betina lebih sedikit. Apabila jantan lebih banyak dari betina dapat diartikan bahwa populasi tersebut belum tentu mampu mempertahankan kelestariannya atau cenderung punah (Effendie, 2002). 124 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Perbandingan nisbah kelamin antara kurisi jantan dan betina di perairan Bangka dan sekitarnya pada bulan Februari 2014 yaitu 1,0 : 1,68 (37.3% : 62.7%) artinya di alam populasi ikan kurisi betina sedikit lebih banyak dibandingkan kelamin jantan. Bulan April, perbandingan nisbah kelamin antara ikan kurisi jantan dan betina di Sungailiat yaitu 5,80 : 1,0 (85.3% : 14.7%) artinya di alam populasi ikan kurisi jantan lebih banyak dibandingkan kelamin betina. Bulan Mei, Perbandingan nisbah kelamin antara ikan kurisi jantan dan betina yaitu 1,0 : 2,39 (29.5% : 70.5%) artinya di alam populasi ikan kurisi betina lebih banyak dibandingkan kelamin jantan (Gambar 5) Gambar 5. Rasio Kelamin Ikan Kurisi di perairan Bangka dan sekitarnya. Kebiasaan Makan Pengamatan isi lambung dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dari ikan kurisi yang didaratkan di PPN Sungailiat selama tahun 2014n. Kebiasaan makan ikan dapat dilihat dari hubungan ekologi diantara organisme didalam perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan (Effendie, 1979). Berdasarkan hasil analisa isi lambung ikan kurisi (Nemipterus furcosus), pengamatan bulan Februari 2014, makanan utamanya adalah kepiting yang kehadirannya mencapai 41.2%, makanan pelengkapnya adalah ikan yang sudah hancur dengan kehadiran 35.3%, sedangkan makanan tambahan dari jenis udang Bulan April, isi lambung hampir seimbang antara kepiting, udang dan ikan dimana masing-masing berada pada kisaran 30 %. Adapun isi lambung pada bulan Mei ditemukan makanan utama adalah ikan sebanyak 36.4%, makanan tambahan yaitu udang 27.3% dan kepiting 21.2%, adapun makanan tambahan adalah cumicumi dengan persentase kemunculan 15.2% (Gambar 6) 125 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Berdasarkan hasil analisa isi lambung ikan kurisi (Nemipterus furcosus) setiap bulan pengamatan pada tahun 2014, makanan utamanya adalah kepiting, selanjutnya beberapa jenis udang, ikan hancur, adapun makanan tambahan adalah cumi-cumi dengan persentase kemunculan kurang dari 10 %. Gambar 6. Isi Lambung Ikan Kurisi di perairan Bangka dan sekitarnya KESIMPULAN Pola pertumbuhan ikan kurisi (N. furcosus) yang tertangkap di Perairan Bangka dan sekitarnya bersifat allometrik negatif. Sebaran ukuran panjang ikan kurisi berkisar antara 11,9 – 27,9 cm FL dengan rata-rata 15,9 - 17,9 cm FL dan puncak modus pada ukuran panjang 15,9 cm FL. Ikan kurisi bersifat karnivor dengan nisbah kelamin selalu ditemui lebih banyak ikan betina. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset : Pengkajian stok dan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal untuk mendukung industrialisasi di WPP 571 Selat Malaka dan WPP 711 laut Cina Selatan di Balai Penelitian Perikanan Laut, Tahun 2014. 126 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Effendie, H.M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, 112 pp. Steel, R. G. D. & H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 333 pp. Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. 127 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) UKURAN LAYAK TANGKAP TONGKOL KAWA-KAWA (Euthynnus Affinis) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh Umi Chodrijah, Thomas Hidayat dan Yoke Hany Restiangsih ABSTRAK Ikan tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) termasuk dalam family Scombridae. Ikan tongkol merupakan salah satu sumberdaya perikanan ekonomis penting, sehingga perlu suatu pengelolaan yang baik agar pemanfaatan ikan tongkol dapat terus berlanjut. Salah satu informasi yang dibutuhkan untuk pengupayaan pengelolaan ikan adalah dengan mengetahui struktur ukuran dan ukuran ikan yang layak tangkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, hubungan panjang berat, dan ukuran layak tangkap ikan tongkol kawa-kawa betina berdasarkan ukuran pertama kali mencapai kedewasaan di Laut Cina Selatan. Sebanyak 1465 sampel ikan tongkol kawa-kawa dikumpulkan dari 2 tempat pendaratan ikan yaitu tempat pendaratan ikan di Kijang, Tanjung Pinang, Riau Kepulauan dan PPN Pemangkat, Kalimantan Barat pada bulan Februari sampai dengan Oktober 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol kawa-kawa diperoleh panjang minimum 26 cm FL, maksimum 62 cmFL dan panjang-rata-rata 33 cmFL. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot ikan tongkol kawa-kawa adalah W = 0,020L2,938. Ikan tongkol kawa-kawa yang layak ditangkap setidaknya telah mencapai panjang cagak sebesar 35,8 cmFL. Kata kunci: tongkol kawa-kawa, ukuran, Laut Cina Selatan PENDAHULUAN Ikan tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting sehingga perlu suatu pengelolaan yang baik agar pemanfaatan ikan tongkol dapat terus berlanjut. Dalam Statistik Perikanan Tangkap, terdapat 3 128 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) jenis ikan tongkol yaitu tongkol krai (Frigate tuna), tongkol kawa-kawa (kawakawa, Eastern little tuna) dan tongkol abu (Longtail tuna). Estimasi produksi tongkol tahun 2012 adalah 588.060 ton (Statistik Perikanan Tangkap, 2014). Pada tahun 2013, volume ekspor tuna, cakalang, tongkol mencapai sekitar 209.410 ton dengan niai USD$ 764,8 juta (Dirjen P2HP, 2014). Selain itu, Indonesia merupakan Negara kontributor produksi terbesar diantara 32 negara anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dengan rata-rata produksi tahun 2009-2012 sebesar 356.682/ tahun (25,22%). (DJPT, 2015). Laut Cina Selatan (LCS) merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang memiliki kedalaman relative dangkal di bagian selatan dan perairan laut dalam di bagian utara (Suman et al., 2014). Menurut Boer et al., (2001), potensi perikanan LCS per tahunnya sekitar 1,25 juta ton, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 20%. Berdasarkan Kepmen 45 Tahun 2011, angka estimasi potensi sumberdaya perikanan di WPP 711 sebesar 1.059 juta ton, ikan pelagis besar potensinya diperkirakan 66.100 ton/tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, hubungan panjang bobot dan ukuran layak tangkap ikan tongkol kawa-kawa dari perairan Laut Cina Selatan. Informasi ini sangat diperlukan sebagai bahan dasar pengelolaan ikan tongkol sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran layak tangkap ikan tongkol kawa-kawa dilakukan di tempat pendaratan ikan di Kijang, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau dan PPN Pemangkat (Kalimantan Barat). Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh tenaga enumerator. Ikan tongkol kawakawa diperoleh dari hasil tangkapan alat tangkap gillnet. Data morfometri ikan yaitu panjang cagak (diukur dengan ketelitian 0,1 cm) dan berat (ditimbang hingga ketelitian 1gr) diukur untuk tiap individu ikan tongkol kawa-kawa dari hasil tangkapan nelayan gillnet di perairan Laut Cina Selatan. 129 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Analisis Data Pendugaan ukuran ikan pertama kali tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara distribusi panjang kelas (sumbu X) dengan jumlah ikan yang dinyatakan dengan distribusi normal kumulatif estimasi (sumbu Y). Untuk memperoleh nilai Lc (length at first capture) yaitu dengan menarik garis hubungan antara sumbu X dan sumbu Y untuk nilai 50% (Beverton & Holt (1957) dalam Sparre & Venema, 1992). proporsi tertahan = N Jumlah Total Keterangan: N = jumlah ikan pada tiap tengah kelas (ekor) X dan Y digunakan untuk menghitung nilai a (intercept) dan b (slope). Menurut Sparre dan Venema (1999), untuk membuat kurva tersebut terlebih dahulu harus menghitung nilai dari SL estimasi, dengan rumus: SLobs = 1 1 + exp(S1 - S2xL) 1 + exp (S1 - S2 xL = exp (S1 - S2 xl) = Ln [ - 1] = Sl - S2xL Untuk menghitung ukuran ikan pertama kali tertangkap (Lc) dilakukan dengan menghitung nilai L50%, titik 50% dipilih karena merupakan inflection point (titik belok) dimana kurva logistik yang dihubungkan dengan kurva ogive selection titik beloknya berada pada angka 50%. Pada perhitungan Lc maupun Lm nilai 50% dianggap merupakan titik optimum dimanfaatkannya sumberdaya perikanan, dimana 100% ikan yang ada di laut optimumnya hanya 50% yang boleh ditangkap dan separuhnya lagi harus lepas. Dari jumlah yang lepas ke laut diharapkan bisa tumbuh jadi ikan dewasa dan bisa berkembangbiak (menghasilkan keturunan baru). Rumus untuk menghitung Lc adalah sebagai berikut: dimana : SLobs 130 = Frekwensi kumulatif dari proporsi tertahan Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) L50 % S1& S2 S1 S2 = panjang tubuh ikan dimana 50% tertahan = konstanta pada rumus kurva logistik berbasis panjang = nilai intersep a (perpotongan antara garis linear dengan sumbu y) = nilai slope b (sudut kemiringan garis regresi) Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, isometric (b=3) atau alometrik (b±3), dihitung dari hubungan antara panjang dan berat ikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979) yaitu : W = a*Lb dimana : W= berat ikan (gram) L = panjang cagak ikan (cm) a dan b = konstanta Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut di atas selanjutnya diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 dengan menggunakan “uji-t”. Panjang pertama kali matang gonad (Lm/Length at first maturity) dianalisis dengan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986): m = xk +X/2 – (XΣpi) keterangan: m = logaritma ukuran pertama kali matang gonad xk = logaritma nilai tengah kelas terakhir dimana terjadi matang gonad 100% X = selisih logaritma nilai tengah Pi = perbandingan matang gonad tiap kelas panjang CL= Convidence limit (batas atas dan bawah) m = panjang ikan pertama kali matang gonad ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i qi = 1 – pi 131 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Distribusi Panjang Cagak dan Hubungan Panjang Berat Berdasarkan hasil analisis, sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol kawakawa diperoleh panjang minimum 26 cm FL, maksimum 62 cmFL dan panjang-ratarata 39,11 cmFL dengan modus pada ukuran 33 midlength cmFL. (Gambar 1). Gambar 1.Distribusi frekuensi panjang cagak tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) di Laut Cina Selatan 2014 Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan tongkol kawa-kawa sebanyak 1465 ekor sampel dihasilkan persamaan W = 0,020L2,938 (r2= 0,949) dengan nilai b = 2,938 (Gambar 2). Setelah dilakukan uji t, nilai t hitung (thitung = 0.004525 ) lebih kecil dari t tabel (t tabel =1,965) dengan tingkat kepercayaan 95% yang artinya peningkatan pertambahan berat sebanding dengan pertumbuhan panjangnya. Gambar 2. Hubungan panjang dan bobot tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) di perairan Laut Cina Selatan 2014 132 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Nilai Lc dan Nilai Lm Dari kurva sigmoid persentase sebaran frekuensi panjang dan frekuensi kumulatif pada posisi 50% diperoleh panjang rata-rata tertangkap (Lc) ikan tongkol kawa-kawa yang tertangkap dengan gillnet adalah 39,1 cmFL, (Gambar 3). Gambar 3. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan tongkol kawa-kawa (Euthynnus affinis) hasil tangkapan di Laut Cina Selatan 2014 Berdasarkan analisis dengan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986), panjang pertama kali matang gonad ikan tongkol kawa-kawa diperoleh nilai 34 cm (betina) dan 35,8 cm (jantan). Menurut penelitian sebelumnya, nilai Lm tongkol kawa-kawa di Jepang adalah 29 cmFL (IOTC, 2006). Apabila dibandingkan antara nilai Lc = 39,1 cm dan Lm, maka ikan tongkol kawa-kawa yang tertangkap di Laut Cina Selatan memiliki nilai Lc di atas nilai Lm (Lc>Lm). PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis, ikan tongkol kawa-kawa yang tertangkap pada bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 2014 diperoleh kisaran 26 - 62 midlength cmFL dengan modus pada ukuran 33 midlength cmFL. Menurut penelitian sebelumnya yaitu Robert et al., (1997) di perairan Selandia Baru dengan alat tangkap purse seine memperoleh kisaran 26 - 41 cm. Sedangkan menurut Iswarya dan Sujatha, (2012) di Utara Andhra Pradesh, India diperoleh ukuran pada kisaran 30 - 46 cm dan Yu Tao, (2012) di Selat Taiwan dengan alat tangkap purse seine diperoleh kisaran ukuran pada 25 - 40 cm. 133 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Berdasarkan hubungan panjang bobot terlihat bahwa nilai b adalah 2,938. Setelah dilakukan uji t, nilai t hitung (thitung = 0.004525) lebih kecil dari t tabel (t tabel =1,965) dengan tingkat kepercayaan 95% yang artinya peningkatan pertambahan bobot sebanding dengan pertumbuhan panjangnya. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Menurut Rohit et al., (2012) di perairan India, nilai b untuk Euthynnus affinis adalah 2,889. Perbedaan pola pertumbuhan dipengaruhi oleh, jenis kelamin, keturunan, umur, penyakit, tingkat kematangan gonad, ketersediaan makanan, dan suhu perairan (Effendi, 2002). Menurut Merta, 1993, bahwa perbedaan nilai b disebabkan oleh perbedaan habitat, jenis kelamin, tahap-tahap pertumbuhan ikan mulai dari larva, yuwana, dan saat ikan mulai matang gonad. Estimasi nilai a dan b spesies E. affinis dari beberapa penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel.1. Tabel 1 . Estimasi nilai a dan b dari hubungan panjang berat E. affinis (Rohit et al., 2012). Area Value a Reference b Indian Ocean 0.0166 2.963 Morrow, 1954 Philippine Water Indian Ocean 0.0108 3.154 Tester and Nakamura, 1957 0.0138 3.0287 0.000031 2.886 Indian Waters 0.019 2.95 James et al., 2003 Indian Waters 0.0254 2.889 Rohit et al., 2012 Mangalore, India Silas, 1967 Muthiah,1985 Sedangkan rata-rata panjang pertama kali tertangkap (Lc) yang tertangkap gillnet adalah 39,1 cm, ternyata lebih besar dibandingkan nilai Lm yaitu 34 (betina) dan 35,8 cm (jantan). Nilai Lc harus lebih besar dari nilai Lm agar rekruitmen berlangsung baik. Bila nilai Lc lebih kecil dari Lm maka ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan muda belum pernah memijah. Nilai Lc yang terlalu kecil disebakan oleh penggunaan mata jaring atau mata pancing yang terlalu kecil. Sedangkan hasil analisis panjang pertama kali matang gonad Lm = 34 (betina) dan 35,8 cm (jantan). Nilai Lm dari hasil penelitian yang sudah ada tersaji pada Tabel 2.. Nilai Lm Euthynnus affinis di perairan Laut Cina Selatan hampir sama dengan di Laut Jawa. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan tongkol kawa-kawa seyogyanya ikan yang ditangkap adalah ikan-ikan yang setidaknya pernah memijah satu kali. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa 134 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ukuran pertama kali matang gonad adalah 35,8 cmFL sehingga disarankan bahwa ukuran tongkol kawa-kawa yang layak ditangkap dengan ukuran panjang lebih dari 35,8 cm FL. Tabel 2. Nilai Lm ikan tongkol dari penelitian sebelumnya. Spesies Lokasi Jenis Kelamin Lm (cm) Euthynnus affinis Selat Taiwan Betina Jantan Pantai Mangalore Betina Jantan Perairan India Gabungan Andhra Pradesh, India Betina Jantan Laut Cina Selatan Gabungan Auxis rochei Laut Jawa Laut Liguria Pantai Mangalore India Auxis thazard Pantai Mangalore India Gabungan Betina Jantan Betina Jantan Gabungan Gabungan Betina Jantan Gabungan Andhra Pradesh, India Betina Jantan 26.9 27.1 43 44 37.7 49 49.7 50 Referensi Yu Tao et al ., (2012) Muthiah, (1985) Abdussamad et al ., (2012) Iswarya dan Sujatha, (2012) Williamson, (1970) dalam Muthiah, (1985) 33.7 Hidayat, (2013) 32.5 Plandri et al ., (2009) 33.5 23.8 Muthiah, (1985) 24 23 23 James et al ., (1992) dalam Pillai & Pillai, (2000) 30.5 Muthiah, (1985) 30 30 James et al ., (1992) dalam Pillai & Pillai, (2000) 38.5 Iswarya dan Sujatha, (2012) 36.7 KESIMPULAN Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tongkol kawa-kawa diperoleh panjang minimum 26 cm FL, maksimum 62 cmFL dan panjang-rata-rata 33 cmFL. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot ikan tongkol kawa-kawa adalah W = 0,020L2,938. Ikan tongkol kawa-kawa yang layak ditangkap adalah setidaknya telah mencapai panjang cagak sebesar 35,8 cmFL.. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar di WPP 571 Selat Malaka dan WPP 711 Laut Cina Selatan untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan T.A. 2014, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. 135 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Beverton, R. J. H. and S. J. Holt. 1956. A Review of Methods for Estimating Mortality Rates in Exploited Fish Populations, with Special Reference to Sources of Bias in Catch Sampling. Rapp. P.-V. Reun. CIEM, 140: 67 – 83. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2015. Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol. 208pp. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 112 hlm Effendie, I. M. 2002. Biologi Reproduksi Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor: viii + 116 hlm. Iswarya, D and Sujatha, K. 2012, Fishery and some aspects of reproductive biology of two coastal species of tuna, Auxis thazard (Lacepède, 1800) and Euthynnus affinis (Cantor, 1849) off north Andhra Pradesh, India. Indian J. Fish., 59(4) : 67-76. IOTC . 2006. Compilation of information on neritic tuna in the Indian Ocean. Working paper IOTC-2006-SC-INF11 Roberts E.P, D. Eggleston and G. D. James, 1997. Frigate tuna Auxis thazard in New Zealand waters (note). Fisheries Research Division, Ministry of Agriculture and Fisheries, P.O. Box 19–062, Wellington, New Zealand. Rohit, P. Anuleksmi C, E.M. Abdussamad, K.K. Joshi, K.P. Said Koya, Shubhadeep Ghosh, A. Margaret M. Rathinam, S. Kemparaju, H.K. Dokhia, D. Prakasan, and N. Beni, 2012. Fishery and bionomics of the little tuna, Euthynnus affinis (Cantor, 1849) exploited from Indian waters. Central Marine Fisheries Research Institute. Indian J. Fish., 59(3) : 33-42. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p. Schaefer, M.B. & C.J. Orange. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and skipjack (Katsuwonus pelamis) in three areas of the Eastern Pacific Ocean by axamination of gonads. Bulletin .I-ATTC 1 (6): 282-349. 136 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sparre, P. & S. C. Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assessment, Part 1 - Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306,376 pp. Suman, A.,Wudianto, Sumiono, B., Irianto, H.E., Badrudin dan Amri, K. 2014. Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan. Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI). Ref Graphika. Jakarta. Xxiii+199pp. Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1. Yu Tao, Chen Mingru1, Du Jianguo, LuZhenbin and Yang Shengyun, 2012. Age and growth changes and population dynamics of the black pomfret (Parastromateus niger) and the frigate tuna (Auxis thazard thazard), in the Taiwan Strait. Department of Oceanography, Xiamen University, Xiamen 361005, ChinaLat. Am. J. Aquat. Res., 40(3): 649-656. 137 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PERIKANAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BANGKA, LAUT CINA SELATAN Oleh Tegoeh Noegroho, Yoke Hanny R, dan Thomas Hidayat ABSTRAK Penangkapan ikan pelagis besar di Laut Cina Selatan telah lama dilakukan. Ikan pelagis besar ada yang menjadi target seperti yang tertangkap pada gillnet dan ada pula yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan seperti pada mini purse seine. Perikanan pelagis besar di Laut Cina Selatan khususnya perairan Bangka belum tergambarkan dengan baik, oleh sebab itu perlu adanya penelitian yang terkait perikanan pelagis besar sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan. Penelitian telah dilakukan pada Februari-November di PPN Sungailiat tahun 2014. Metode observasi dan wawancara telah digunakan dalam pengumpulan data-data perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perikanan perikanan yang sedang berlangsung di perairan Sungailiat Bangka. Hasil penelitian menunjukkan produksi ikan pelagis besar yang dominan adalah tenggiri dan tongkol. Armada penangkapan didominasi ukuran < 5 GT. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri adalah pancing ulur dan gillnet. Pancing ulur adalah alat tangkap yang terus bertambah dari tahun 2005-2013. Komposisi hasil tangkapan pancing ulur didominasi oleh ikan tenggiri, terutama pada kapal < 5 GT. CPUE pancing ulur telah menunjukkan tren yang datar, sehingga penambahan alat tangkap ini sebaiknya sdah tidak dilakukan lagi. Musim penangkapan ikan tenggiri berlangsung pada Maret-Juni dan Oktober-November. Puncak musim terjadi pada April dan Oktober. Sedangkan kondisi tidak musim dimana ikan tenggiri yang tertangkap jumlahnya sedikit berlangsung pada Desember-Februari dan Juni-September. Daerah penangkapan gillnet dan pancing ulur tidaklah terlalu berjauhan dan nelayan Bangka mencari ikan disekitar pulau hingga 60 mil. Pada musim Timur daerah penangkapan gillnet cenderung berada di sisi utara karena nelayan berlindung dari angin timur, sedangkan pada musim barat daerah penangkapan gillnet lebih menyebar mulai utara sampai ke timur. Kata kunci: tenggiri, CPUE, komposisi tangkapan, musim penangkapan 138 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Laut Cina Selatan (WPP 711) merupakan wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Thailand. Sebagai wilayah perbatasan, menempati posisi penting, karena jika dimanfaatkan secara baik, selain dapat meningkatkan aspek kesejahteraan juga keamanan. Perairan ini telah lama diidentifikasi sebagai wilayah perairan padat nelayan. Aktivitas eksploitasi sumberdaya perikanan dilakukan secara intensif oleh nelayan konvensional maupun modern, baik secara legal maupun ilegal. Posisi penting perairan Laut Cina Selatan (LCS) menyangkut tingginya tingkat keanekaragaman biologi yang dimilikinya. Perairan yang berada di barat Indo Pasifik ini telah lama dikenal sebagai laut dangkal yang sangat potensial di dunia. LCS menempati posisi penting dalam produksi perikanan dunia yaitu sebesar lebih dari 12%, dan merupakan daerah yang tinggi keragamannya (Talaue-McManus, 2000). LCS juga merupakan perairan dengan tingkat biodiversity yang tinggi. Perairan bagian selatan LCS yang merupakan bagian perairan Indonesia (LCSI) dikategorikan sebagai perairan neritik dengan kedalaman rata-rata 70 m dan merupakan salah satu daerah potensi perikanan laut. Wilayah perairan ini membentang dari utara mulai dari Laut Natuna sampai ke perairan Bangka-Belitung dan Selat Karimata di bagian selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik perikanan tenggiri di perairan Bangka. Penelitian ini meliputi aspek pemanfaatan, CPUE, musim penangkapan, daerah penangkapan, dan komposisi hasil tangkapan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perikanan tenggiri yang berlangsung di perairan Bangka, dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat. BAHAN DAN METODE Lokasi Survei Lokasi penelitian dilakukan di peraian Bangka dengan pusat pendaratan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat. PPN Sungailiat merupakan pelabuhan Nusantara yang merupakan basis terbesar kapal-kapal penangkap ikan di Pulau Bangka. Beberapa jenis kapal dan alat tangkap dengan berbagai ukuran mendaratkan ikan hasil tangkapannya di PPN Sungailiat. Daerah penangkapan ikan pelagis besar di perairan Bangka berada tidak jauh dari pantai, sekitar pulau, dan agak jauh untuk kapal-kapal yang lebih besar. 139 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) CPUE (Catch Per Unit Effort) Pengumpulan data dilakukan di PPN Sungailiat, Jawa Barat dari bulan Februari dan November 2014. Data yang digunakan adalah produksi (catcth) dan upaya (effort) dari ikan neritik tuna. Untuk menetukan indeks kelimpahan yang juga menggambarkan tingkat pemanfaatan di gunakan analisa CPUE berdasarkan Sparre and Venema (1999): CPUE = catch / unit effort Dimana : Catch = total hasil tangkapan (kg) Effort = total upaya penangkapan (unit alat tangkap) CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Musim Penangkapan Untuk mengetahui pola musim penangkapan ikan digunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Spiegel, M. R., 1961). Cara perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Hitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) yaitu : = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) = CPUE per bulan (ton/trip) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) U Ui 2. Hitung Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen 3. Selanjutnya dihitung : IMi = Indeks Musim ke i t 140 = Jumlah tahun dari data Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 4. Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari 1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan dalam keadaan normal atau berimbang. Pola musim penangkapan dengan metode rata-rata bergerak (moving average) sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Produksi Ikan Produksi ikan di menunjukkan tren yang terus meningkat dari 2002 sampai 2008. Setelah 2008 produksi mulai sedikit menurun sampai 2011. Produksi ikan mulai naik lagi pada tahun 2012 dan 2013. Produksi tahun 2013 mencapai 6.559.635 ton dengan nilai transaksi mencapai Rp. 111.504.615.500. Beberapa jenis ikan yang mempunyai nilai tinggi seperti kakap merah, kerapu, tenggiri, bawal hitam, dan tongkol, menjadi komoditas ekspor ke Malaysia dan Singapura. Perkembangan produksi ikan di PPN Sungailiat tersaji pada Gambar 1. Gambar 1. Perkembangan Produksi Ikan di Perairan Bangka Dari total produksi, ikan pelagis besarnya terdiri dari tenggiri papan (Scomberomorus guttatus), tenggiri (Scomberomorus commerson), tongkol komo (Euthynnus affinis), dan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol). Produksi tenggiri 141 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) tertinggi pada periode 2002-2013 didaratkan pada tahun 2004 (282,915 kg) dan tahun 2008 (272,674 kg). Tren produksi tenggiri tahun 2009-2013 menunjukkan kejadian stabil, dengan rata-rata 160,000 kg. Produksi tongkol komo tertinggi tahun 2004 (399,248 kg) dan tahun 2012 (383,235 kg). Produksi tongkol komo pada periode tahun 2006-2010 mengalami penurunan yang drastis dengan rata-rata 130,000 kg/ tahun. Produksi tahun 2013 mengalami penurunan yang tajam setelah naik tinggi pada tahun 2012. Perkembangan produksi ikan pelagis besar lainnya dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi (kg) S. guttatus S. commerson E. affinis T. Tonggol 450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Gambar 2. Perkembangan Produksi Ikan Pelagis Besar Gambar 3. Nilai produksi ikan pelagis besar dominan di Perairan Bangka Belitung 142 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 3 memperlihatkan terjadi penurunan nilai produksi yang signifikan dari jenis tongkol krai dan terjadi peningkatan nilai produksi jenis tenggiri, Jenis tenggiri papan tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun sedangkan jenis tongkol komo pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang tajam hingga 6000 ton. Melonjaknya produksi tongkol komo pada tahun 2009 disebabkan oleh kesalahan identifikasi pada tahun sebelumnya. Tabel 1. Dimensi Kapal di PPN Sungailiat No Jenis Kapal Trip (hari) ABK (orang) GT Dimensi (Meter) (P) (L) (D) Waktu Operasi 1 Pancing Ulur 4 3-5. 5-8. 15 1.8 1.5 pagi dan malam 2 Payang 3 5-7. 5 12 1.5 1.2 pagi dan malam 3 Gillnet 4-5. 5 5-6. 12-15. 2 1.5 Malam 4 Mini Purse Seine 3 14 15-20 25 3.5 2 Malam Alat Tangkap dan Cara Pengoperasian Mayoritas nelayan Provinsi Bangka Belitung dapat dikategorikan sebagai nelayan kecil atau nelayan tradisional, hal ini terlihat dari armada yang digunakan merupakan armada < 5 GT. Armada di atas 5 GT juga terdapat di Provinsi ini tetapi jumlahnya jauh lebih rendah dari armada <5 GT, seperti yang terlihat pada Gambar 4. 143 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 4. Perkembangan armada penangkapan ikan di Provinsi Bangka Belitung Ikan pelagis besar khususnya neritik tuna yang didaratkan di PPN Sungailiat berasal dari kapal-kapal tradisional dibawah 10 GT. Jumlah kapal kategori < 5 GT sangat dominan sebesar 75%, dan 5-10 GT sebesar 25% pada tahun 2013. Pada 2013 kapal dengan kategori 10-20 GT tidak ada dan ukuran lebih besar dari 30 GT hanya ada 1 kapal (kapal INKAMINA). Dimensi dan besarnya GT kapal di PPN Sungailiat dapat dilihat pada Tabel 1. Terlihat GT kapal yang paling besar adalah kapal purse seine, sedangkan kapal yang lain mempunyai GT yang hampir sama. Pancing ulur di PPN Sungailiat ada dua jenis yaitu tipe kapal Buton dan tipe kapal Bangka. Kapal pancing ulur Bangka mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan dengan pancing ulur kapal andon dari Buton. Dari alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar di perairan Bangka antara lain: pancing ulur, payang, gillnet, dan mini purse seine. Tahun 2013 alat tangkap pancing ulur mempunyai jumlah paling banyak yaitu 404 unit, gillnet berjumlah 236 unit, mini purse seine berjumlah 56 unit, dan payang berjumlah 48 unit. Jumlah kapal di perairan Bangka dapat dilihat pada Gambar 5. 144 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 5. Jumlah Alat Tangkap di PPN Sungailiat Tahun 2013 Jumlah pancing ulur dari tahun 2005-2013 menunjukkan tren yang meningkat terus sampai tahun 2012 dan pada 2013 menurun sekitar 2 %. Untuk gillnet juga menunjukkan tren yang hampir sama dengan pancing ulur. Payang dan mini purse seine menunjukkan tren yang semakin menurun sejak tahun 2009. Mini purse seine mulai trennya mulai naik lagi pada tahun 2011-2013. Tren perkembangan alat tangkap di PPN Sungailiat dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di PPN Sungailiat Tahun 2005-2013 Pancing Ulur Pancing ulur yang digunakan mempunyai dua type yaitu untuk menangkap tenggiri, dan menangkap ikan pelagis besar. Pancing tenggiri dibuat khusus dengan menambahkan kawat beberapa di atas mata pancing, tujuannya adalah bila umpan 145 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dimakan ikan tenggiri maka pancing tidak putus karena ada kawatnya. Pancing biasa dioperasikan di sekitar rumpon atau di sekitar perairan karang di luar rumpon. Pancing tenggiri menggunakan umpan ikan yang dipotong atau ikan kecil yang utuh, sedangkan pancing ulur menggunakan umpan palsu berupa benang sutra dimensi. Cara pengoperasian pancing tenggiri adalah pertama mata pancing dipasangi umpan dan kemudian dilemparkan ke air dengan area 10-20 meter. Nelayan kadang mengoperasikan pancing tenggiri lebih dari dari satu unit dalam satu kapal, dan diikat pada tiang di kapal. Sedangkan pancing ulur dioperasikan dengan cara menurunkan pancing dengan area 20 meter dan kemudian pancing ditarik-tarik, bila sudah terasa berat diduga ikan sudah banyak yang makan umpan maka pancing akan ditarik ke atas. Disain pancing tenggiri dan pancing ulur tersaji pada Gambar 7. (A) (B) Gambar 7. (A) Disain Pancing Tenggiri, dan (B) Pancing Ulur di PPN Sungailiat Komposisi hasil tangkapan untuk pancing ulur < 5 GT didominasi oleh ikan tenggiri (55%), Selaroides sp 40%, dan ikan lainnya 5%. Untuk pancing ulur yang lebih besar > 5 GT komposisi hasilnya didominasi ikan talang-talang 23%, ikan kuwe 14%, ikan layang 14%, ikan kembung 13%, tenggiri 12%, dan beberapa jenis ikan lainnya. Komposisi hasil tangkapan pancing ulur tersaji pada Gambar 8. Ikan tenggiri di perairan Bangka dominan tertangkap oleh pancing ulur dan gillnet hal ini berbeda dengan di Teluk Kwandang, yang dominan tertangkap dengan alat tangkap purse seine (pajeko lampu). (Noegroho., et al (2012) 146 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 2% Tenggiri Batang kuwe 12% 14% Layang 2% 14% Kembung Barakuda Bentong 23% 14% Talang-talang tetengkek 5% Siro 13% Lainnya 1% (A) (B) Gambar 8. (A). Komposisi Hasil Tangkapan Pancing Ulur Ukuran Kapal < 5 GT dan (B) Ukuran 5 – 10 GT di PPN Sungailiat-Bangka Jaring Insang Hanyut (Gillnet) Cara pengoperasian gillnet dimulai dengan melempar tiang yang ada lampu penanda yang diikuti dengan jaring dengan kapal mundur dengan kecepatan 2-4 knot. Tali selambar yang panjangnya hampir 40 m salah satu ujungnya diikat di kapal. Setting jaring biasanya jam 17.00 WIB. Dan hauling pada jam 2 malam. Jaring di tarik secara manual oleh ABK atau dengan menggunakan hauler, tali selambar yang di ikat di kapal ditarik terlebih dahulu sampai pada bagian badan jaring, sambil melepas ikan yang ada di jaring. Biasanya waktu penarikan jaring berlangsung sekitar 3 jam. Pada saat menunggu hauling, nelayan sering memanfaatkan waktunya dengan memancing. Gillnet mempunyai target ikan tongkol dan tenggiri. Dan dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Disain Jaring Insang Hanyut (Gillnet) di Sungailiat-Bangka 147 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hasil tangkapan per upaya beberapa alat tangkap utama yang menangkap ikan pelagis disajikan pada Gambar 10. CPUE purse seine tertinggi tahun 2008 sebesar 839 kg/trip. Menurun pada tahun 2010-2011, dan meningkat tajam pada 2012-2013. CPUE pancing ulur terlihat menunjukkan tren yang sudah hampir mendatar dari 2007-2011, kemudian mulai ada kenaikkan pada tahun 2012-2013. CPUE pancing ulur tidak terlalu berfluktuasi terlihat stabil pada kisaran antara 200-300 kg/trip. Tren CPUE gillnet menunjukkan fluktuasi yang hampir sama dengan payang tetapi pada tahun 2009-2011 trennya menurun drastis. Pancing Ulur Gillnet Mini Purse Seine Payang 900 800 CPUE (kg/trip) 700 600 500 400 300 200 100 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Gambar 10. Hasil Tangkapan Per Upaya (CPUE) Musim dan Daerah Penangkapan Musim penangkapan ikan tenggiri berlangsung pada Maret-Juni dan OktoberNovember. Dengan puncak musim terjadi pada April dan Oktober. Musim paceklik pada Desember-Februari dan Juni-September (Gambar 11). Musim penangkapan berlangsung dua kali, Maret-Juni merupakan musim peralihan pertama sampai menjelang musim timur, sedangkan puncak musim kedua berlangsung pada musim peralihan kedua menuju ke musim barat. Kondisi ini bermanfaat buat nelayan yang menangkap ikan tenggiri di perairan Bangka. Kondisi ini juga hampir sama dengan yang dilaporkan Noegroho, (2013) di perairan Teluk Kwandang Laut Sulawesi bahwa musim penangkapan tenggiri berlangsung pada April-Mei-Juni dan OktoberNovember. 148 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 0,4 Indek Musim Penangkapan 0,3 0,2 0,1 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des -0,1 -0,2 -0,3 Gambar 11. Indek Musim Penangkapan Ikan Tenggiri di Perairan Bangka Daerah penangkapan ikan nelayan gillnet dan pancing ulur ditampilkan pada Gambar 12. Daerah penangkapan gillnet dan pancing ulur tidaklah terlalu berjauhan dan nelayan Bangka mencari ikan disekitar pulau hingga 60 mil. Gambar 12. Daerah Penangkapan Pancing Ulur dan Gillnet di Perairan Bangka Khusus daerah penangkapan kapal gillnet di perairan Bangka dan didaratkan di PPN Sungailiat tersaji pada Gambar 13. Pada musim Timur daerah penangkapan cenderung berada di sisi utara karena nelayan berlindung dari angin timur, sedangkan pada musim barat daerah penangkapan gillnet lebih menyebar mulai utara sampai ke timur. Perbedaan daerah penangkapan kapal gilnet tersaji pada Gambar 13. 149 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 13. Daerah Penangkapan Kapal Gillnet di Perairan Bangka (Sumber: Data Monitoring Pelabuhan Sungailiat) KESIMPULAN Pancing ulur dan gillnet adalah alat tangkap utama digunakan dalam penangkapan ikan pelagis besar di perairan Bnagka. Komposisi hasil tangkapan pancing ulur menunjukkan presentase tenggiri yang tertangkap cukup besar, yaitu 12-55%. CPUE pancing ulur menunjukkan tren yang berfluktuasi dari tahun ke tahun sehingga penambahan alat tangkap dan kapal pancing ulur untuk menangkap tenggiri harus dikendalikan. Puncak musim penangkapan tenggiri di perairan Bangka berlangsung pada April dan Oktober. Daerah penangkapan gillnet dan pancing ulur berubah seiring dengan adanya perubahan musim angin. 150 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2014. Statistik Perikanan PPN Sungailiat Bangka 2014. Laporan tahunan statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara 2002-2014. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Statistik perikanan tangkap tahun 2002-2014 Noegroho. T., 2013. Penelitian Aspek Biologi dan Penangkapan Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson, Lacepede 1800) di Perairan Teluk Kwandang, Laut Sulawesi. Tesis. Universitas Indonesia. 1-82. Noegroho. T, Umi. C, & H. Thomas. 2012. Hasil Tangkapan, Laju Tangkap, dan Panjang Rata-rata Tertangkap Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) dari Kapal Pajeko Lampu di Perairan Kwandang, Laut Sulawesi, dalam Kartamihardja et al., Ed. 2012. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Menuju Ekonomi Biru Industrialisasi Perikanan Tangkap. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap:385:1-9. Spiegel M. R. 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ. Co, New York. 359P. Sparre, P. dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal. Talaue-McManus L (2000) Transboundary diagnostic analysis for the South China Sea. EAS/RCU Tech Rep Ser No 14, 107 p 151 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PARAMETER POPULASI IKAN TENGGIRI BATANG (Scomberomorus Commerson) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh Y.H. Restiangsih, T. Noegroho, dan Umi Chodrijah ABSTRAK Perikanan tenggiri merupakan komoditas unggulan di Laut Cina Selatan. Di Bangka tingkat konsumtif masyarakat terhadap ikan tenggiri sangat tinggi, hal ini diikuti dengan tingkat penangkapan yang tinggi. Control penangkapan dan kajian biologi perlu dilakukan guna keberlanjutan perikanan ikan tenggiri. Penelitian telah dilakukan pada Januari sampai dengan Desember 2014 di Sungailiat-Bangka. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dinamika populasi seperti laju pertumbuhan, tingkat kematian, tingkat eksploitasi, dan pola rekrutmen ikan tenggiri (Scomberomorus commerson). Sampel ukuran ikan tenggiri diambil secara acak dari hasil tangkapan pancing ulur (handline). Data ukuran ikan yang diperoleh digunakan untuk perhitungan dinamika populasi. Analisis dinamika populasi dilakukan dengan program FISAT II. Dari hasil penelitian diperoleh L∞ (cm) dan laju pertumbuhan (K) masing-masing 129,6 cm dan 0,49/ tahun. Laju mortalitas total (Z) sebesar 1,61 per tahun. Tingkat kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,01/tahun lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kematian alami (M) sebesar 0,60/tahun. Tingkat eksploitasi (E) ikan tenggiri di Laut Cina Selatan adalah 0,58/tahun. Pola rekrutmen ikan tenggiri terjadi dua kali, puncak pertama terjadi pada Maret-April, dan yang kedua pada September-Oktober. Kata kunci: Scomberomorus commerson, parameter dinamika populasi, Laut Cina Selatan 152 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Ikan tenggiri batang (Scomberomorus commerson) merupakan kelompok ikan pelagis. Perikanan tenggiri merupakan komoditas unggulan di Laut Cina Selatan yang tersebar di beberapa tempat pendaratan antara lain Bangka, Belitung, Tanjung Pinang, Kepulauan Tj. Balai Karimun, dan Kepulauan Anambas. Di Sungailiat, Bangka ikan tenggiri merupakan perikanan utama yang diperuntukan kebutuhan konsumsi lokal maupun ekspor. Total produksi ikan tenggiri di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat pada 2012 hingga 2014 terus meningkat yaitu pada tahun 2012 adalah sebesar 209 ton, tahun 2013 naik 19,48% menjadi 259.5 ton, dan pada tahun 2014 naik 37,9% menjadi 418 ton (Anonimous, 2015). Tingginya tingkat konsumtif masyarakat Bangka terhadap ikan tenggiri mengakibatkan tingginya aktifitas penangkapan. Hal ini di dukung oleh nilai CPUE pancing ulur pada tahun 2012 hingga 2014 yang terus meningkat, yaitu pada tahun 2012 183 Kg/trip, tahun 2013 230 Kg/trip dan tahun 2014 304 Kg/trip (Anonimous, 2015). CPUE pancing ulur menunjukkan intensifnya penangkapan yang dilakukan. Jika hal tersebut terus dilakukan tanpa adanya pengawasan, dapat mengancam keberlajutan dari perikanan ikan tenggiri. Penelitian terhadap dinamika populasi ikan tenggiri di Indonesia masih jarang dilakukan, dibandingkan yang dilakukan di beberapa negara seperti: di perairan Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, UAE, Oman, dan Kuwait (Jayabalan et al., 2011); di perairan pantai Iran (Shojaei et al., 2007); di perairan Australia (Welch et al., 2002); dan di Laut India, (Kasim et al., 2002). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis beberapa parameter dinamika populasi seperti laju pertumbuhan, tingkat kematian, tingkat eksploitasi, dan pola rekrutmen ikan tenggiri (Scomberomorus commerson). Dari hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daya ikan tenggiri yang berkelanjutan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Januari sampai dengan Desember 2014. Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat, Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Data panjang ikan dikumpulkan setiap bulan baik oleh peneliti maupun dibantu tenaga enumerator. 153 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pengambilan contoh ikan didapat dari kapal pancing ulur. Data morfometri ikan yaitu panjang cagak diukur dengan ketelitian 0.1 cm dan bobot ikan ditimbang dengan ketelitian 0.1 Kg. Sampling ukuran ikan diambil secara acak dan kemudian dibuat persentase frekuensi dalam beberapa kelas panjang, dan kemudian dianalisis menggunakan komputer dalam program FISAT II. Analisa Data Parameter populasi ikan tenggiri diestimasi dengan mengelompokkan ukuran ikan dengan interval 4 cm setiap bulannya. Pertumbuhan ikan yang dieksploitasi dihitung dengan mengikuti model von Bertalanffy dengan persamaan berikut: Lt = L∞ (1-e-K(t-t0)) ......................................................................................... 1) dimana: Lt = panjang ikan pada umur t L∞ = panjang asimtotik (infiniti) K = konstanta pertumbuhan t0 = umur pada panjang 0 cm Data frekuensi panjang bulanan dianalisis secara langsung dengan program Electronic Length Frequency Analysis (ELEFAN I). Dalam program ELEFAN 1 modus-modus atau puncak-puncak teridentifikasi dengan proses restrukturisasi. Puncak-puncak tersebut diasumsikan mewakili kohor-kohor dan paling cocok dalam pembentukan suatu kurva pertumbuhan von Bertalanffy secara interaktif, nilai-nilai L dan K dari Rn yang tertinggi. Untuk membandingkan pertumbuhan dan umur dari penelitian yang lain serta kecepatan pertumbuhan maka digunakan Growth Performance Index (Ø’) atau sering disebut phi-prime (Munro& Pauly, 1983), yaitu: Ø’= Log (K) + 2 Log (L∞) ......................................................................2) Mortalitas untuk populasi ikan yang sudah tereksploitasi merupakan kombinasi dari mortalitas alami dan mortalitas karena penangkapan (Pauly, 1983; Sparre & Venema, 1999; Welcomme, 2001). Mortalitas alami (M) dapat dihitung berdasarkan rumus empiris Pauly (1980). yang menggunakan data parameter pertumbuhan ikan dan rerata suhu permukaan air tahunan dalam satuan derajat Celsius. Rerata suhu permukaan perairan di Laut Cina Selatan nilainya mendekati 29°C. 154 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Log(M)= -0,0066–0,279* Log(L∞)+0,6543* Log(K)+0,4634* Log(T) .......3) dimana: T = suhu perairan dari survei laut di daerah penangkapan 29°C dimasukan sebagai input Mengingat ikan tenggiri mempunyai sifat menggerombol (Sparre & Venema, 1999) maka nilai M dikoreksi menjadi 20% lebih rendah, sehingga rumus Pauly tersebut menjadi: M = 0,8* Exp(-0,0152-0,279*Ln L”+0,6543*Ln K+0,463*Ln T ........4) Koefisien mortalitas total (Z) diperoleh dari kurva hasil tangkapan berdasarkan panjang (length converted catch curve) (Pauly, 1983) yang perhitungannya dilakukan secara komputerisasi menggunakan paket program FISAT (Gayanilo et al., 1996). Laju mortalitas penangkapan (F) diestimasi dengan menggunakan persamaan: F = Z-M ......................................................................................................5) Tingkat eksploitasi (E) dihitung menggunakan persamaan Pauly (1983), yaitu: E = F/Z = F/ (F+M) .....................................................................................6) dimana, M= laju mortalitas E= tingkat eksploitasi Z= mortalitas total F= mortalitas penangkapan Pola rekrutmen diduga dengan program FISAT pada sub bagian recruitment pattern, dengan input data L∞, K, dan to (Gayanilo et al., 1996). Dari pola rekrutmen yang terbentuk dapat ditentukan perkiraan waktu saat puncak rekrutmen terjadi dan dapat diduga musim pemijahan. 155 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN BAHASAN HASIL Pertumbuhan dan Umur Dari data panjang ikan tenggiri yang telah dianalisis dengan menggunakan ELEFAN I (Gambar 1) diperoleh panjang infinity (L∞) 129,6 cm, dan laju pertumbuhan 0,49 per tahun. Nilai K < 1 yang diperoleh menunjukkan bahwa ikan tenggiri di perairan Laut Cina Selatan mempunyai pertumbuhan yang lambat. Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Von Bertalanffy Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Dari panjang infinity (L∞), laju pertumbuhan (K) dan nilai t0 (-0,049/tahun) diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy Lt= 129,6 (1-e-0,49(t+0,049)). Dari persamaan yang diperoleh dibuat kurva hubungan antara umur dengan panjang ikan. Kurva pertumbuhan ikan tenggiri dengan beberapa variasi umur dapat dilihat pada Gambar 2.Nilai Indek Kecepatan Pertumbuhan (Ø’) ikan tenggiri di perairan Laut Cina Selatan adalah 3,9/tahun. 156 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Ikan Tenggiri (Relative Length at Age) Laju Kematian dan Laju Ekksploitasi Berdasarkan kurva hasil tangkapan menurut ukuran panjang, lingkaran yang berwarna hitam menggambarkan kelompok ikan tenggiri yang telah dieksploitasi (Gambar 3). Dari hasil analisis regresi dengan program FISAT II diperoleh laju mortalitas alami 0,75 per tahun, laju mortalitas karena penangkapan 1,01 per tahun. Pauly (1980) merekomendasikan laju mortalitas alami untuk ikan-ikan yang cepat bermigrasi seperti ikan tenggiri harus dikalikan dengan 0,8, jadi laju mortalitas alami (M) menjadi 0,6 per tahun. Dengan demikian laju mortalitas total (Z) yang merupakan jumlah laju mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F) menjadi 1,61 per tahun. Gambar 3. Kurva Hasil Tangkapan menurut ukuran Panjang Ikan 157 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Laju tingkat eksploitasi optimum terjadi jika terdapat keseimbangan rasio antara M dan Fsehingga diasumsikan bahwa nilai eksploitasi optimum (EOPTIMUM) yang lestari setara dengan E = 0,5. Tingkat eksploitasi ikan tenggiri di Laut Cina Selatan adalah 0,58. Pola Rekrutmen Pola rekrutmen ikan tenggiri terjadi terjadi sepanjang tahun, dengan dua puncak pada bulan Maret sampai dengan April (peak recruitment), dan pada bulan September sampai dengan Oktober (lean recruitment). (Gambar 4) Gambar 4. Pola Rekrutmen Ikan Tenggiri di Laut Cina Selatan PEMBAHASAN Dari panjang infiniti (L∞) dan laju pertumbuhan (K) per tahun dapat diketahui ikan tenggiri pada umur 1, 2, dan 3 tahun masing-masing mempunyai panjang 52, 82, dan 101 cm. Panjang infiniti tenggiri 129,6 cm tercapai pada umur ikan lebih dari 15 tahun. Darvishi et al. (2011) melaporkan tenggiri di Teluk Persia dan Laut Oman pada umur 1, 2, 3, 4, masing-masing mempunyai panjang 63 cm, 104 cm, 129 cm, dan 129 cm. Hasil Penelitian Noegroho & Hidayat (2014) menyatakan di perairan Kwandang Laut Sulawesi melaporkan ikan tenggiri pada umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun masing-masing mempunyai panjang 73,4 cm ; 111,6 cm ; 128,7 cm ; 136,2 cm dan 139,6 cm dengan panjang infiniti 142,3 cm. Panjang infiniti dan laju pertumbuhan tenggiri di beberapa lokasi tersaji pada Tabel 1. 158 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Panjang Infiniti dan Laju Pertumbuhan Tenggiri Panjang infiniti ikan tenggiri di Laut Cina Selatan termasuk di tengah-tengah antara panjang infiniti 110-232,4 cm. Nilai laju pertumbuhan ikan tenggiri termasuk yang sedang dan hampir sama dengan nilai K yang dilaporkan di Pantai Iran bagian selatan (Shojaei et al., 2007). Laju kematian karena penangkapan (F) sebesar 1.01 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kematian alami (M) sebesar 0,60, jadi nilai mortalitas total (Z) 1,61 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ikan tenggiri di Laut Cina Selatan mencapai 1 per tahun yang artinya seluruh kohort telah penuh dieksploitasi atau telah tertangkap (Beverton & Holt, 1957). Laju kematian penangkapan ikan tenggiri di Laut Cina Selatan menunjukkan intensitas yang tinggi daripada laju kematian penangkapan ikan tenggiri di perairan Teluk Kwandang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa aktifitas penangkapan ikan tenggiri di Laut Cina Selatan lebih intensif dibanding dengan perairan Teluk Kwandang. Nilai Z, M, F, dan E dari beberapa hasil penelitian yang sudah ada tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Estimasi Nilai Z, M, F, dan E dari Beberapa Area. Sumber: disarikan dari Darvishi et al. (2011) dan Jayabalan et al. (2011) Laju eksploitasi (E) diperoleh dari nilai Z dan F dengan persamaan F/Z. Berdasarkan kriteria Pauly et al. (1983), nilai laju pengusahaan yang rasional dan 159 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) lestari disuatu perairan berada pada nilai E < 0,5 atau paling tinggi pada nilai E=0,5. Tingkat eksploitasi ikan tenggiri di Laut Cina Selatan adalah 0,58 yang berarti laju eksploitasi ikan tenggiri batang di perairan ini sudah berada pada keadaan yang jenuh (fully exploited). Tingkat eksploitasi tenggiri di beberapa lokasi juga menunjukkan hal yang sama, seperti pada tabel 2. kondisi ini apabila berlangsung terus-menerus tanpa adanya penataan pengusahaan maka kelestarian tenggiri akan terancam. Oleh karena itu, perlu dilakukan pola pemanfaatan yang bertanggungjawab agar potensi lestari tetap terjaga. Beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk mengendalikan tingkat eksploitasi antara lain mengatur penutupan musim penangkapan pada bulan-bulan saat diperkirakan ikan memijah, dan pengendalian upaya penangkapan. Pola rekrutmen memiliki keterkaitan dnegan waktu pemijahan (ongkers, 2006). Rekrutmen tenggiri terjadi sepanjang tahun, dan puncaknya terjadi dua kali yaitu pertama Maret sampai dengan April dan kedua September sampai dengan Oktober. Pola rekrutmen berlangsung dalam dua periode musim, pertama berlangsung pada musim peralihan pertama dan kedua berlangsung pada akhir musim angin timur sampai musim peralihan kedua. Hasil ini hampir sama dengan yang dilaporkan Noegroho & Hidayat (2014) di perairan Kwandang Laut Sulawesi, yang mendapatkan rekrutmen tenggiri berlangsung dua puncak yaitu Maret sampai dengan Juli dan September sampai dengan Oktober. Sedangkan Darvishi et al., (2011) di Teluk Persia dan Laut Oman, melaporkan puncak rekrutmen tenggiri berlangsung pada September- Oktober. KESIMPULAN Pertumbuhan ikan tenggiri di Laut Cina Selatan melimiki pola pertumbuhan yang lambat. Puncak rekrutmen ikan tenggiri terjadi dua kali, yaitu pada bulan Maret sampai dengan April dan pada bulan September sampai dengan Oktober. Laju mortalitas penangkapan ikan tenggiri lebih tinggi dari laju mortalitas alami, hal ini memperlihatkan sumberdaya ikan tenggiri di perairan Laut Cina Selatan telah dieksploitasi. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan jumlah upaya penangkapan agar kelestarian sumberdaya ikan tenggiri dapat tetap terjaga. 160 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar DI WPP 571 dan WPP 711 Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan di Balai Penelitian Perikanan Laut T.A 2014. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2015. Statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Beverton, R. J. H. &S. J. Holt. 1957. On the Dynamics of Exploited Fish Populations. Fishery Investigations Ministry of Agriculture and Food (Great Britain)Series, 2(19): 533 p. Darvishi M, Kaymaram F, Salarpouri A, Behzadi S & B. Daghooghi.2011. Population Dynamic and Biological Aspects of Scombermorus commerson in the Persian Gulf and Oman Sea (Iranian coastal). IOTC WPNT01–22. Gayanilo, F. C. Jr., Sparre, P. & D. Pauly. 1996. The FAO ICLARM Stock Assessment Tools (FISAT) User’s Guide.FAO Computerized Information Series (Fisheries). Rome,FAO, 126 p. Grandcourt, E., T. Z. Al Abdessalaam, F. Francis, A. T. Al Shamsi, S. Al Ali, K. Al-Ali, S. Hartmann, A. l Suwaidi. 2005. Assessment of the Fishery for Kingfish (Kanaad/ Khabat), Scomberomorus commerson, in the Waters off Abu Dhabi Emirate. Marine Environmental Research Centre. United EmirateArab:1-14. Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. FAO Fishing News (Books) Ltd. Surrey: 255p. Jayabalan, N., Lubna Al-Kharusi, Saoud Al-Habsi, Shama Zaki, Fatma Al-Kiyumi, & D. Suliman. 2011. An Assesment of Share Stock Fishery of The Kingfish Scomberomorus commerson (Lacepede 1800) in The GCC Water. J.Mar. Biol. Ass. India, 53. 46-57. Kasim, H. M., C. Muthiah, N. G. K. Pillai, T. M. Yohannan, B. Manojkumar, K. P. Said Koya, T. S. Balasubramanian, U. S. Bhat, M. N. K. Elayathu, C. Manimaran and H. K. Dhokia. 2002. Stock assessment of seerfishes in the Indian Seas. In: N. G. K. Pillai, N. G. Menon, P. P. Pillai and U. Ganga 161 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (Eds.) Management of Scombroid Fisheries. Central Marine Fisheries Research Institute, Kochi. p. 108-124. McIlwain JL, Claereboudt MR, Zaki S, Al-Oufi H, Al-Akzami Y, Goddard JS (2005) Spatial variation in age and growth of the kingfish (Scomberomorus commerson) in the coastal waters of the Sultanate of Oman. Fisheries Research 73:283-298 Munro, J. L. & D. Pauly. 1983. A Simple Method for Comparing the Growth of Fishes and Invertebrates.ICLARM Fishbyte, 1(1): 5-6. Noegroho, T & H. Thomas. 2014. Dinamika Populasi Ikan Tenggiri (Scomberomorus Commerson) Di Perairan Teluk Kwandang, Laut Sulawesi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. hal 251-258. Ongkers, OTS. 2006. Pemantauan Terhadap Parameter Populasi Ikan Teri Merah (Encrasicholina heterolaba) Di Teluk Ambon Bagian Dalam. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV di Jatiluhur tanggal 29-30 Agustus 2006. Masyarakat Iktiologi Indonesia kerjasama dengan Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, PRPT-DKP, Departemen MSP-IPB dan Puslit Biologi LIPI : 31-40. Pauly, D. 1980. On the Interrelationships Between Natural Mortality, Growth Parameters and Mean Environmental Temperature in 175 Fish Stocks. Journal du ConseilInternational pour I’ Exploration de la Mer, 39:175192. Pauly, D. 1983. Some Simple Methods in Tropical Fish Stock Assessment. FAO Fisheries Technical Paper No. 234. 52p. Randall, J.E., 1995. Coastal fishes of Oman. University of Hawaii Press, Honolulu, Hawaii.439 pp. Shojaei, M. G., S. A. T. Motlagh, J. Seyfabadi, B. Abtahi& R. Dehghani. 2007. Age, Growth and Mortality Rate of the Narrow-Barred Spanish Mackerel(Scomberomorus commerson Lacepede, 1800) in Coastal Waters of Iran from Length Frequency Data.Turk. J. Fish. Aquat. Sci., 7: 115-121. Sparre, P. and Venema, S. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hal. 162 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sumpton, W.D. and M.F. O’Neil .,2004.Monitoring Requirement for the Management of Spanish Mackerel (Scomberomorus commerson) in Queensland. Sohthern Fisheries Centre Deception Bay. QI04026.34pp. Welch, D.J., Hoyle, S.D., McPherson, G.R. and Gribble, N.A. 2002. Preliminary assessment of the Queensland east coast Spanish mackerel fishery. Information Series QI02110, Queensland Government, Department of Primary Industries, Cairs, 32 pp. Welcomme, R. L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. London Fishing News Book. A Division of Blackwell Science. 358p. 163 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) SUMBER DAYA IKAN TERUBUK (Tenualosa Sp.) DI PERAIRAN ESTUARI PEMANGKAT KALIMANTAN BARAT Oleh Suwarso, Fadly Yahya, Adi Kuswoyo dan Hari Ilhamdi ABSTRAK Ikan terubuk (Tenualosa spp.) adalah ikan estuari, endemik dan umumnya bersifat ‘protandrous hermaphodite’. Sejauh ini diketahui terubuk hanya ditemukan di pantai timur Sumatera, antara lain di perairan Bengkalis, Riau (Tenualosa macrura) serta Labuhan Batu dan Labuhan Bilik, Sumatera Utara (Tenualosa ilisha). Status sumber daya terubuk di pantai timur Sumatera sangat menurun akibat eksploitasi intensif sehingga sejak beberapa tahun lalu telah mengalami overfishing. Meskipun saat ini tidak lagi menjadi target utama penangkapan seperti kondisi sekitar dua dekade sebelumnya, ikan terubuk ini masih diburu. Degradasi lingkungan ikut memperparah rekruitmen ikan terubuk. Penelitian ini dilakukan melalui observasi lapangan selama Januari-Maret 2014 dan pencacahan hasil tangkapan gillnet yang mendarat di Pemangkat. Hasil menunjukkan, jenis yang eksis di daerah Pemangkat diduga Tenualosa toli, species yang sama tersebar di Serawak. Daerah penangkapan tersebar dari utara di daerah perbatasan dengan Serawak hingga ke selatan sekitar Singkawang. Dalam periode 2013- Maret 2014 hasil tangkapan rata-rata sekitar 41 ekor (sekitar 10 kg) tapi dapat mencapai 500 an ekor atau 130 kg. Hasil tangkapan didominasi terubuk muda ukuran kecil (semparek, berat <500 gram) sebanyak 99%. Hasil tangkapan berfluktuasi menurut musim. Kosongnya hasil tangkapan pada bulan-bulan tertentu diperkirakan berhubungan dengan fungsi perairan pantai Kalimantan Barat sebagai feeding ground. Kajian mendalam bagi kekayaan jenis dan konservasi terubuk sangat diperlukan. Kata kunci: Sumber daya, terubuk, estuari, Pemangkat, Kalimantan Barat. 164 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Ikan Terubuk (Tenualosa spp.; Alosinae, Clupeidae) termasuk komoditas perikanan yang penting, strategis dan bernilai ekonomis tinggi. Terubuk merupakan ikan estuari, endemik dan umumnya bersifat ‘protandrous hermaphodite’ (setiap individu ikan akan mengalami perubahan seksualitas dari jantan menjadi betina pada ukuran/umur tertentu). Sejauh ini, di Asia dikenal lima spesies terubuk dengan daerah penyebaran seperti terlihat pada (Gambar 1), antara lain T. ilisha, T. macrura, T. toil, T. reevsii dan T. thibaudeaui. Terubuk di Indonesia diketahui hanya ditemukan di pantai timur Sumatera, antara lain T. macrura di perairan estuari Bengkalis (Riau), T. ilisha di Labuhan Batu dan Labuhan Bilik (Sumatera Utara); sedang T. toli ditemukan di perairan estuari Serawak (Blaber et al., 1996). Untuk perairan Bengkalis, sejak lama terubuk menjadi primadona. Ikan ini terus-menerus diburu, selain karena harga telurnya (gonad betina dalam kondisi matang) cukup mahal (12 juta rupiah/kg), dagingnya juga dikonsumsi. Sampai sekitar tahun lima puluhan ikan terubuk masih dapat dijumpai dalam jumlah yang melimpah dengan hasil tangkapan 2000-3000 ekor/kapal; namun sejak tahun 1960-an terjadi penurunan hasil tangkapan, tahun 1980-an hasil tangkapan jumlahnya terbatas (Ahmad et al., 1995). Tahun 1997 Suwarso & Merta melaporkan produksi ikan terubuk di Bengkalis berkisar antara 0,5-10 ton/bulan atau sekitar 4-37 ribu ekor/bulan dengan nilai 3,6-175 juta rupiah. Gambar 1. Peta penyebaran terubuk (Tenualosa spp.) di Asia (Sumber: Brewer & Blaber, 1997) 165 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Penurunan sumber daya terubuk di pantai timur Sumatera tersebut terutama akibat eksploitasi intensif, sehingga tercapai kondisi recruitment overfishing sejak beberapa tahun lalu. Degradasi lingkungan Sungai Siak yang terjadi akibat polusi serbuk kayu, limbah rumah tangga dan transportasi ikut memperparah recruitment ikan terubuk. Meskipun saat ini tidak lagi menjadi target penangkapan seperti kondisi dua dekade sebelumnya, ikan terubuk masih diburu. Paper ini melaporkan keberadaan sumber daya ikan terubuk di pantai sekitar Pemangkat (Kalimantan Barat) berdasarkan observasi lapangan dan pencacahan hasil tangkapan gill net yang mendarat di Pemangkat. Mengingat strategisnya sumberdaya ini hasil diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam pengelolaan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab sekaligus bagi kekayaan jenis ikan di Indonesia. BAHAN DAN METODE Contoh ikan terubuk diperoleh dari hasil tangkapan jaring plastik (gill net tepi) yang melakukan penangkapan di pantai sekitar Pemangkat selama Januari-Maret 2014. Kapal yang digunakan berukuran kurang dari 5 GT. Selama periode survey tersebut dilakukan pengumpulan specimen ikan serta observasi lapangan untuk mendapatkan informasi tentang operasional perikanan ini. Indek kelimpahan ikan diperoleh berdasarkan data hasil tangkapan alat gill net yang mendarat selama Februari 2013 sampai Maret 2014 melalui pencacahan hasil tangkapan. Identifikasi species dengan mengacu pada FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes (1999) dan Kailola (1980). Analisis deskriptif dan statistik dengan mempresentasikannya secara grafis dilaksanakan untuk melihat kecenderungan yang terjadi pada indek kelimpahan (hasil tangkapan per unit upaya, kg/trip). Pengukuran panjang dan kondisi kematangan juga dilakukan untuk memperoleh data biologi ikan. 166 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Species dan Biologi Dari identifikasi terhadap beberapa ikan contoh yang dikumpulkan selama Januari-Maret 2014 menunjukkan jenis ikan terubuk yang tersebar di daerah Pemangkat diduga Tenualosa toli (Gambar 2). Species yang sama juga tersebar di Serawak. Ikan terubuk di Pemangkat merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi. Harga ditentukan oleh bobot ikan, ikan berukuran > 500 gram dikategorikan sebagai ‘terubuk’, bila beratnya < 500 gram dikategorikan sebagai ‘semparek’. Gambar 2. Ikan Terubuk di perairan sekitar Pemangkat, Kalimantan Barat. Ukuran ikan yang tertangkap berkisar antara panjang 18 – 36 cmFL (rata-rata 25 cm) berat 85 - 730 gram (rata-rata 262 gram). Sebaran frekuensi panjang ikan tertera pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat terlihat paling tidak terdapat dua kelompok ukuran (umur) ikan yang masing-masing diwakili oleh modus ukuran 20 cm dan 27 cm; ada kemungkinan ada modus ukuran lain, yaitu 23 cm dan 35 cm. Dari ikan contoh sebanyak 71 ekor, selama Januari-Maret 2014 yang teridentifikasi sebagai ikan betina/female (memiliki telur/ovary) sebanyak 45 ekor (63%) yang berukuran 22 cm ke atas, sedang lainnya kosong (mungkin ikan jantan/ male). Berdasarkan data tersebut ukuran transisi saat terjadi perubahan kelamin dari jantan (semparek kecil) menjadi betina (semparek besar dan terubuk) pada jenis ini dimungkinkan terjadi pada ukuran 23-25 cmFL. 167 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Dari ke 45 ekor ikan betina tersebut sebagian besar (87%) berada dalam kondisi kematangan awal (immature) dimana ovari kecil, tipis, panjang, berwarna merah tua dan jernih; belum terlihat adanya butiran telur. Sisanya, 9% berada dalam kondisi pematangan gonad/telur (maturing) dan kondisi pasca mijah/spent (4%). Indek Gonad Somatik (GSI) berkisar antara 0,2 – 6,0 % (rata-rata 0,95 %). Gambar 3. Ukuran (panjang dan berat) ikan terubuk di perairan Pemangkat, Kalimantan Barat. Alat Tangkap dan Lokasi Penangkapan Ikan terubuk ditangkap dengan menggunakan jaring plastik (gill net tepi) yang dioperasikan dengan perahu kecil ukuran kurang dari 5 GT (Gambar 4) di perairan yang berjarak sekitar 5 mil. ABK umumnya hanya 2 orang, salah satunya adalah sebagai nakhoda. Nelayan jarring plastik dapat ditemui di Pasar Melayu (Pemangkat). Setiap kapal dilengkapi dengan mesin Dongfeng 15 pK dan baterai untuk penerangan. Jaring terbuat dari benang plastik, panjang 1000-1500 m, dalam 7-9 m, mata jaring 2¼-2½ inch, dilengkapi dengan pemberat timah sebanyak 105 kg dan pelampung utama sebanyak 3 buah serta 50 buah pelampung kecil. Lama tanam jaring gill net hanyut ini kira-kira 1-1,5 jam; dalam satu malam biasanya hanya dilakukan satu kali setting, jika cuaca mendukung bisa dua kali. 168 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 4. Kapal gill net (jaring plastik) di Pemangkat. Daerah penangkapan tersebar dari utara di perbatasan dengan Serawak (Tanjung Datu) hingga ke selatan sekitar Singkawang. Beberapa lokasi yang dapat diidentifikasi antara lain pantai Pengikik, pulau Moro, Jawai, Tanjung Bayung, Lampu Putih dan Selimpai. (Gambar 5). Operasi penangkapan antara 1 sampai 3 hari; jika penangkapan di pantai Selakau hingga Santebang (Singkawang) hanya 1 hari, sedangkan jika di pesisir Santebang sampai Tanjung Datu bisa mencapai 3 hari. Gambar 5. Peta daerah penangkapan ikan Terubuk (T. toli) oleh alat tangkap gill net di perairan pantai Pemangkat, Kalbar. 169 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Saat ini jumlah alat jaring plastik ini belum bisa diketahuai secara pasti. Hal ini karena kapal-kapal berukuran dibawah 10 GT tidak memerlukan ijin Dinas Kelautan dan Perikanan. Namun dengan adanya bantuan untuk kelompok nelayan menyebabkan jumlah kelompok nelayan meningkat. Diperkirakan terdapat lebih dari 200 kelompok nelayan di seluruh Kabupaten Sambas dimana masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang. Di Pasar Melayu (Pemangkat) saja terdapat 30 kelompok nelayan sehingga bila satu kelompok nelayan memiliki 5 armada maka jumlah armada jaring plastik di Pasar Melayu diperkirakan mencapai lebih dari 150 unit. Selain itu, armada jaring plastik juga dapat dijumpai di Selakau hingga Liku serta sekitar Paloh. Data statistik Kab. Sambas mencatat sekitar 110 armada jarring plastik di seluruh Kab. Sambas. Musim Tangkapan dan Kelimpahan Berdasarkan wawancara dengan nelayan gill net di Pasar Melayu, musim penangkapan Terubuk berlangsung antara bulan Januari sampai April; antara MeiJuli kosong, dan musim lagi antara bulan Agustus-Desember. Pada kekosongan musim Terubuk pada bulan Mei–Juli nelayan biasanya berganti alat tangkap dengan jaring bawal. Ikan Terubuk yang tertangkap antara Januari-Maret biasanya didominasi oleh kategori ‘semparek’ atau ikan berukuran kecil antara 200-450 gram; sedangkan antara Agustus-Desember hasil tangkapan berupa kategori ‘terubuk’ (berat > 500 gram). Dari hasil pencacahan selama Februari sampai Maret 2014 terhadap 11 nelayan gill net di Pasar Melayu terkumpul total hasil tangkapan gill net tepi sebanyak 6123 kg atau 637 kg/bulan. Frekuensi penangkapan tiap nelayan antara 1-18 trip/bulan (rata-rata 6 trip/bulan). Dari 11 nelayan contoh 5 orang memperoleh hasil tangkapan rata-rata dibawah 50 kg, tapi 6 nelayan lainnya memperoleh hasil tangkapan antara 70-465 kg/bulan (rata-rata 268 kg/bulan). Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) digunakan sebagai indek kelimpahan ikan untuk memberi gambaran pola fluktuasi kelimpahannya. Fluktuasi hasil tangkapan terlihat pada Gambar 5. Pola fluktuasi seperti ditunjukkan pada Gambar 6 memperlihatkan hasil tangkapan minimal terjadi pada bulan Agustus 2013, puncak musim pada 2013 berlangsung pada bulan Mei 2013 tetapi pada 2014 puncaknya pada bulan Februari. Puncak yang lebih tinggi terjadi pada bulan Nopember 2013. 170 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hasil tangkapan ikan terubuk pada gill net tepi cukup banyak walaupun nampaknya tidak menjadi penangkapan, kontribusinya sekitar 38%, jenis lainnya terdiri dari parang-parang, tengiri, ikan pelagis kecil, bawal dan lain-lain. Berdasarkan kategori ukurannya kategori ‘semparek’ (terubuk kecil/muda) mendominasi hasil tangkapan terubuk (99%) (Gambar 6). Gambar 6. Fluktuasi hasil tangkapan gillnet di Pasar Melayu, Januari-Maret 2014 Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan gillnet dan kelompok terubuk yang didaratkan di Pasar Melayu (Pemangkat), Januari-Maret 2014. PEMBAHASAN Keberadaan ikan terubuk di Kalimantan Barat diketahui dari hasil survey lapangan antara bulan Januari-Maret 2014. Diduga dari species T. toli, species yang sama dengan yang ditemukan di Serawak. Dari fakta sifat biologi yang terinventarisasi pada periode tersebut sementara ini diperkirakan bahwa perairan KalBar kemungkinan berfungsi sebagai daerah untuk tumbuh, mencari makan dan 171 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) mematangkapan telurnya. Ini terlihat dari hasil pengamatan biologi pada bulan Januari-Maret 2014 yang menunjukkan kondisi telur (gonad/ovary) umumnya masih muda (immature) dan berkembang (maturing). Dengan asumsi memiliki karakteristik biologi yang sama dengan species terubuk lainnya terlihat indikasi ukuran saat terjadi peralihan (transisi) sexual ikan terjadi pada ukuran sekitar 23-25 cm FL, sedang pada T. macrura di Bengkalis ukuran transisi terjadi pada ukuran sekitar 20-21 cmFL. Secara umum ukuran yang tertangkap lebih besar dibanding ikan terubuk di Bengkalis. Belum diketahui tingkat pemanfaatan yang sesungguhnya meski tidak semua nelayan gillnet tepi menangkap terubuk, dan ini akibat sangat sedikitnya jumlah nelayan contoh (11 orang/unit kapal/alat); sedang dari fakta lapangan menunjukkan jumlah alat tangkap gillnet tepi di sekitar Pemangkat saja mencapai 200 kapal, belum diketahui pasti jumlah alat ini di Kabupaten Sambas. Namun mengingat distribusinya yang terbatas (kurang dari 5 mil dari daratan) dan bernilai tinggi, jenis ini diduga akan mengalami peningkatan tekanan penangkapan secara terus menerus dan akan mengkibatkan penurunan populasi, apalagi spesies ini termasuk sangat rawan terhadap tekanan lingkungan. Identifikasi secara lengkap termasuk aspek upaya penangkapan dan life-history ikan diperlukan untuk dasar-dasar bagi pengelolaannya secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Musim ikan terubuk di perairan pantai Kalimantan Barat berlangsung dua kali, yaitu antara bulan Januari-Maret dan September-Desember; bulan Mei-Agustus diketahui sebagai musim paceklik ikan terubuk dan digantikan oleh ikan bawal. Hasil tangkapan per unit upaya sebagai indek kelimpahan memperlihatkan kelimpahan berfluktuasi secara musiman. CPUE berkisar antara 1-34 kg/trip/hari (rata-rata 25 kg/trip), sedang CPUE terubuk di Bengkalis (2012-2013) sekitar 29 kg/trip; bedanya ikan kategori terubuk di Pemangkat sangat sedikit (sekitar 1%) sedang di Bengkalis lebih banyak (12%). Bahkan dalam periode 2013 sampai Maret 2014 hasil tangkapan ikan terubuk rata-rata sekitar 41 ekor (10 kg) tapi dapat mencapai 500 an ekor (130 kg), didominasi oleh ikan muda/semparek berat rata-rata kurang dari 500 gram/ekor (99%). KESIMPULAN Sumberdaya terubuk di perairan sekitar Pemangkat diduga jenis Tenualosa toli (Alosinae, Clupeidae), merupakan komoditas ekonomis (harga cukup mahal) dan 172 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) sangat spesifik. Merupakan ikan estuari, protandrous hermaphrodit dan endemik dengan sebaran yang terbatas sehingga rawan mengalami penurunan kualitas biologinya. Walaupun tidak menjadi target penangkapan gillnet (hasil tangkapan terubuk 38% dari total hasil tangkapan) dikhawatirkan juga akan mengalami penurunan stok bahkan menjadi semakin langka seperti kerabat dekatnya di estuari Bengkalis Riau (T. macrura). Selain tekanan penangkapan tekanan lingkungan dapat memperberat tekanan terhadap stok ini. Musim ikan terubuk berlangsung dua kali dalam setahun (2013-2014), pertama antara bulan Januari-Maret dan SeptemberDesember. Pada bulan April/Mei sampai Agustus hasil tangkapan sangat rendah. PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut tahun 2014 yang berjudul “Kajian Stok, Distribusi dan Parameter Biologi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan di WPP 571 dan 711” yang didanai oleh APBN 2014. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M., T. Dahril dan D. Efison. 1995. Ekologi reproduksi ikan Terubuk (Alosa toli) di perairan Bengkalis, Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 1: 2-19. Blaber, S.J.M., D.T. Brewer, D.A. Milton, G.S. Merta, D. Efison, G. Fry and T. van der Velde. 1999. The Life History of the Protandrous Tropical Shad Tenualosa macrura (Alosinae : Clupeidae) : Fishery Implications. Estuari, Coastal and Shelf Science, 49, 689-701. Blaber, S.J.M. and D. Brewer. 1997. Feeding ecology of Tenualosa macrura in Bengkalis. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Blaber, S.J.M. 1998. Reproductive ecology and life history of Terubuk in Indonesia. 2nd Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 1998. Brewer, D. and S.J.M. Blaber. 1997. Reproductive ecology and life history of Tenualosa macrura in Bengkalis. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Efison, D. 2007. Identifikasi calon suaka perikanan ikan Terubuk (Tenualosa macrura) : Ringkasan Eksekutif. Satker Direktorat Konservasi dan 173 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Taman Nasional Laut, Dir. Jen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. 12 pp. Merta, I.G.S., Suwarso, Wasilun, K. Wagiyo, E.S. Girsang dan Suprapto. 1999. Status Populasi dan Bio-Fkologi Ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) di Propinsi Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, V(3) : 15-29. Merta, I.G.S., Suwarso and S.B. Atmaja. 1997. Preliminary study on catch fluctuation patterns of Terubuk (Tenualosa macrura) fishery in Bengkalis waters, Riau Province. Presented in 1st Co-ordination Meeting on Terubuk Fishery. Pekanbaru, 23-24 July 1997. Merta, I.G.S., Suwarso and XX. Sumber Daya Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Pengelolaannya. Departemen Kelautan dan Perikanan – ACIAR. Poster. Perbowo, N. 2007. Pengelolaan Ikan Terubuk. DJPT-SDI, DKP. Robertson, M. and J. Ovenden. 2002. Indonesian Terubuk (Tenualosa macrura): Larval identification using genetics. Shad Larvae Identification Report. Molecular Fisheries Laboratory (QDPI Southern Fisheries Centre, 13 Beach Road, Deception Bay, 4508) and University of Queensland (St. Lucia, 4072, Qld.). Suprapto dan Suwarso. 2000. Perikanan Terubuk di Kabupaten Bengkalis (Propinsi Riau). Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 6(1): 2-6. Suwarso. 1998. Kelimpahan populasi ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae), dan dugaan nilai produksinya di perairan estuarin sekitar Bengkalis (Riau). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II, ISBN: 979-818668-0. Suwarso dan I.G.S. Merta. 1997. Kelimpahan populasi ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) dan dugaan produksinya di perairan estuarin sekitar Bengkalis (Riau). Simposium Perikanan Indonesia II, Ujung Pandang, 23-24 September 1997. 99-103. Suwarso, Wasilun dan I.G.S Merta. 1999. Pengendalian lingkungan perikanan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae) di Propinsi Riau. Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 5(4): 6-13. Suwarso. 2000. Penurunan populasi dan alternatif pengelolaan ikan Terubuk, Tenualosa macrura (Clupeidae), di Propinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan. ISBN: 979-9583-4-8. 174 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Suwarso, I. G. S. Merta dan Karsono Wagiyo. Sumber Daya Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) dan Pengelolaannya. POSTER. Departemen Kelautan dan Perikanan – ACIAR. Wagiyo, K. Bioekologi, sediaan, eksploitasi dan konservasi ikan Terubuk (Tenualosa macrura, Bleeker, 1852). Wagiyo, K. 2003. Kelimpahan Larva Terubuk (Tenualosa macrura) dan beberapa faktor hidrologis daerah asuhannya. Interim Report (unpublished). Wagiyo, K. dan Suwarso. 1999. Kondisi lingkungan estuarin Bengkalis dalam hubungannya dengan kelimpahan larva ikan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, ISBN: 979-8186-79-6. 175 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) RESTRUKTURISASI KEBIJAKAN PEMBESARAN NAPOLEON (Cheilinus Undulatus Rüppell 1835) DI PERAIRAN ANAMBAS DAN NATUNA Oleh Isa Nagib Edrus ABSTRAK Masalah perikanan Napoleon yang terjadi pada aspek budidaya adalah kesenjangan antara legalitas ukuran panen dan jumlah kuota dengan peningkatan produksi dan pemasarannya. Tulisan ini menggunakan pendekatan analisis kebijakan publik dengan tujuan memberikan arahan pengembangan sea-ranching ke dalam bentuk model yang legalitasnya dapat diterima semua pihak dengan mempertimbangkan prinsip kesesuaian sifat-sifat ekosistem dalam usaha perikanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk menanggulangi permasalahan yang terkait perikanan budidaya dibutuhkan perubahan pola managemen budidaya laut dengan memperhatikan aspek-aspek produktivitas, sustainabilitas, stabilitas, tracebilitas, equitabilitas dan legalitas. Dari perubahan tersebut diharapkan menjadi bentuk legalitas aturan yang lebih menguntungkan bagi pembudidaya dan bagi ikan rawan punah itu sendiri, sehingga dapat dipandang selaras dengan prinsip Non Detrimental Finding dan tata laksana perikanan yang bertanggung jawab. Pola yang dapat ditawarkan untuk solusi tersebut adalah budidaya laut (mariculture) KJA Napoleon dijadikan bagian integral dari pola sea-ranching, karena pola sea-ranching memiliki konsep yang baik dalam hal konservasi dan pengkayaan sumberdya melalui restoking. Model tersebut dapat mengatasi masalah yang terjadi dengan memperhatikan perbaikan pelembagaan dalam sistem usaha budidaya. Pengembangan model ini berdasarkan pada penjaminan assosiasi pelaku usaha atas semua transparansi jalannya usaha. Kata kunci: sea-ranching, ikan Napoleon, Anambas, Natuna 176 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Status Ikan Napoleon adalah Terancam punah apabila pengelolaannya tanpa pengaturan (Russell, 2004). CITES tahun 2004 telah menetapkan appendiks 2 dengan batasan panen yang tidak merugikan (Non Detrimental Finding) dan mewajibkan adanya penetapan kuota perdagangan (CITES, 2004). Untuk menyikapi pertimbangan CITES tersebut, pemerintah telah mengeluarkan penetapan kuota Nasional 2000 ekor secara berjenjang dan regional menurut tahun dan penentuan pintu ekspor melalui Bandar udara. Kemudian untuk merubah regulasi yang lama pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Keputusan Menteri Nomor KP 37 Tahun 2013, tentang aturan yang boleh ditangkap dan tidak boleh ditangkap. Dari sekian banyak masalah pengelolaan yang terjadi di lapangan, masalah krusial adalah menyangkaut kesenjangan yang terjadi antara deregulasi di bidang pengelolaan dengan perikanan tangkap napoleon dan perikanan budidaya napoleon. Masalah tersebut adalah menyangkut IUU Fishing, pembatasan stok, pintu pemasaran ekspor, ukuran panen hasil budidaya, dan pengawasan. Permasalahan yang terkait dengan perikanan budidaya di Anambas dan Natuna adalah produksi akhir-akhir ini meningkat karena menurunnya penjualan. Penurunan penjualan pada dasarnya adalah terkait dengan (1) masalah pintu keluar ekspor yang hanya sematamata bergantung pada transportasi laut, (2) besaran stok diluar ketentuan, dan (3) ukuran panen (< 1 kg) masuk kategori larangan, dimana semua ini menjadi paradoks atau terbentur pada regulasi yang telah ditetapkan. Untuk menanggulangi permasalahan yang terkait perikanan budidaya dibutuhkan total Solution menyangkut aspek biologi ikan, konservasi, teknis, ekonomis, sosial, hukum dan kelembagaan dalam bisnis perikanan Napoleon. Perubahan pola managemen budidaya laut Keramba Jaring Apung (KJA) Napoleon adalah langkah strategis sebagai suatu solusi, dimana dari perubahan tersebut diharapkan menjadi bentuk legalitas aturan yang lebih menguntungkan bagi pembudidaya dan bagi ikan rawan punah itu sendiri, sehingga dapat dipandang selaras dengan prinsip Non Detrimental Finding dan tata laksana perikanan yang bertanggung jawab. Pola yang dapat ditawarkan untuk solusi tersebut adalah budidaya laut (mariculture) KJA Napoleon dijadikan bagian integral dari pola sea-ranching, karena pola sea-ranching memiliki konsep yang baik dalam hal konservasi dan pengkayaan sumberdya melalui restoking. Untuk itu diperlukan sedikit perubahan model dan kelembagaan usaha perikanan KJA Napoleon agar dapat mengentaskan masalah yang terjadi dan layak menurut pandangan CITES. 177 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) CITES dalam hal ini hanya mengatur bentuk perdagangannya ke luar, sementara bentuk-bentuk mangement ke dalam perlu dikelola sebaik-baiknya oleh pemerintah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus merugikan ikan Napoleon sendiri yang statusnya rawan punah (Edrus & Suman, 2013), karena jenis ikan tidak begitu baik dikenal oleh masyarakat (Sadovy, 2003). Ramburambu konservasi dan panen yang tidak merugikan harus menjadi ketentuan paling pokok dalam mengontrol pengelolaan perikanan Napoleon. Convensi CITES yang tertuang dalam Resolution Conf. 11.16 (Rev.CoP15) seputar tema tentang usulan transformasi status populasi dari Appendix 1 menjadi Appendix II melalui aktivitas ranching memberikan ruang positif atas ranching dengan beberapa rekomendasi tentunya. CITES (2003) memberikan definisi tentang istilah ranching, yaitu berarti pembesaran suatu species hewan dalam suatu lingkungan yang terkontrol dan hewan tersebut sebagai telur atau anakan diambil dari alam, dimana hewan tersebut dalam bentuk telur atau anakan memiliki kemungkinan survival yang sangat rendah untuk menjadi dewasa. Selanjutnya difinisi “sistem penandaan yang seragam” (uniform marking system) berarti suatu sistem dari penandaan setiap produk yang dizinkan oleh Konferensi CITES untuk setiap species, yang secara minimum, termasuk dalam Standarisasi Organisasi Internasional untuk kode dua surat (sertifikasi produk dan transportasi) dari negara asal, yang mencantumkan angka identifikasi unik spesifik dan tahun produksi untuk produk-produk dalam sediaan stok atau produk yang diperdagangkan dari operasi dalam stok pada waktu yang tercantum dalam proposal, tahun dimana proposal itu mendapat persetujuan. Secara garis besar dari difinisi CITES tersebut dapat diringkas bahwa CITES menghendaki adanya prinsip konservasi yang ketat atas kepentingan peningkatan kelulusan hidup species di alam dan perlunya dokumen asal usul suatu produk ranching. Sekarang kita akan melihat sejauh mana Keramba Jaring Apung (KJA) dapat memenuhi prinsip di atas dengan cara memodifikasinya menjadi sea-ranching. Secara teknis kegiatan sea-ranching berbeda dengan mariculture (KJA). Searanching akan sangat tergantung dari karakteristik geografi dan hidrografi wilayah, sehingga paket teknologi yang dipergunakan akan sangat disesuaikan dengan lokasi. Benih dapat diambil dari beragam sumber penghasil benih dan setelah tahapan melepaskan benih ikan ke perairan yang telah dipersiapkan, benih mengalami pembesaran secara alami tanpa adanya pemberian pakan, jadi alam yang memelihara dan kemudian panen dapat dilakukan di alam. Pada budidaya laut (mariculture), benih juga diambil dari beragam sumber penghasil, tetapi tahapan pembesaran benih terjadi dalam ruang sempit dan terbatas. Tahapan dalam budidaya laut terkontrol 178 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dengan manajemen intensif dimana jumlah tebar benih tertentu dan pakan khusus diberikan secara periodik, seperti pola KJA yang tersebar di perairan pantai, dan kemudian panen dilakukan pada waktu yang jelas dengan hanya menaikkan jaring (Azwar, 1990; Sirait, 2007). Terminologi lain mendifinisikan “ranching” sebagai suatu sistem budidaya, dimana pertama-tama komoditas budidaya dibesarkan dalam area terbatas (memenuhi kapasitas) sampai bertelur, kemudian anakannya dilepas ke dalam lingkungan yang alamiah dan akhirnya stadium dewasa dapat ditangkap dari linkungan alamiah tersebut (Tseng, 1989; Jia & Chen, 2000) Dari difinisi di atas jelas bahwa sistem KJA berbeda secara teknis dengan sistem sea-ranching. Pertanyaannya adalah bagaimana merekonstruksi perikanan budidaya KJA di Anambas dan Natuna sehingga sesuai dengan sistem sea-ranching sebagaimana pengertian CITES di atas yang secara substansial mengandung prinsipprinsip restocking dan konservasi? Seperti diketahui bahwa aktivitas pembesaran ikan Napoleon dalam KJA di kedua lokasi itu sudah terjadi selama 3 dekade dan dapat dipandang sebagai primordial dari pola sea-ranching. Berarti perlu diketahui langkah-langkah apa saja untuk merestrukturisasi pengembangan pola KJA sehingga pola KJA tersebut menjadi bagian sea-ranching dan menjadi usaha perikanan Napoleon yang berkelanjutan dan legal dalam semua aspek tersebut di atas. Kecuali itu langkah-langkah apa saja yang perlu dikembangkan supaya aspek legalitas dari semua tahapan budidaya sampai pemasaran dan jalur pasarnya perlu ditetapkan sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan arahan pengembangan searanching ke dalam bentuk model yang legalitasnya dan dapat diterima semua pihak dengan mempertimbangkan prinsip kesesuaian sifat-sifat ekosistem dalam usaha perikanan. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penulisan adalah analisis publik (Suharto, 2014), yaitu memformulasi semua informasi yang tersedia menjadi suatu anjuran yang bermanfaat untuk mengentasan suatu masalah. Tulisan ini terfokus pada kajian sifat-sifat pendukung dan pelemah dari suatu ekosistem laut yang diusahakan seperti 179 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) pada aspek-aspek produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, tracebilitas, equitabilitas dan lagalitas. Analisis ini mencoba untuk berangkat dari kerangka berfikir di bawah ini (Kotak 1). PEMASARAN PEMANENAN NELAYAN PEMBESARAN KERAMBA JARING APUNG PENANGKAPAN ANAKAN SPAWNING PEMBESARAN EX-SITU BENIH PEMANENAN SPILL OVER EFFECT BENIH ALAM BENIH PENELURAN KONTORL LINGKUNGAN PELEPASAN SEA-RANCHING ANAKAN ANAKAN TUMBUH KESESUAIAN TUMBUH PEMATANGAN HABITAT DEWASA DEWASA Gambar 1. Model KJA terpadu sea-ranching, modifikasi pola Maasaru (1999) 180 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KERANGKA BERFIKIR Substansi mendasar dari Kepmen KP Nomor 37 tahun 2013 adalah pembatasan terbatas berdasarkan ukuran yang intinya adalah sebagai upaya memberikan kesempatan ikan napoleon mengembangan populasinya di alam. Hal yang dikehendaki oleh regulasi tersebut adalah ketersediaan plasma nutfah dari ukuran terkecil matang gonad sampai indukan Napoleon matang gonad yang cukup di alam, sehingga akan memberikan kesempatan ikan Napoleon bergenerasi kembali. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan yang hakiki atas pengelolaan sumberdaya ikan supaya tidak terjadi krisis perikanan. Perlakuan pembesaran ikan Napoleon pada sistem mariculture (KJA) di Anambas dan Natuna tidak dapat disamakan dengan pengertian atau terminologi dari prinsip dasar budidaya yang sesunggguhnya, seperti juga prinsip dasar sea-ranching. Aktivitas pembesaran seperti ini tidak menerapkan pelakuan yang terkontrol sebagaimana perlakuan budidaya pada hatchery yang dimulai dari pembenihan, sementara budidaya pembesaran sangat bergantung pada benih alam. Namun kesamaan antara mariculture dan sea-ranching adalah sama-sama berkenaan dengan asal muasal benih dan perbedaannya adalah pada cara panen dan prinsip restocking, dimana pengkayaan sumberdaya (enhancement) menjadi tujuan sea-ranching dan peningkatan produksi adalah tujuan dari mariculture. Untuk itu dalam sistem mariculture (KJA) dibutuhkan tahapan tambahan atau kontribusi agar dapat menjamin prinsip restocking untuk kepentingan mendukung konservasi ikan Napoleon di alam. Restocking yang menjadi dasar dari sea-ranching diasumsikan dapat dikenakan pula pada pola usaha KJA untuk mengembangkan populasi ikan Napoleon di alam melalui usaha-usaha dengan caranya sendiri atau cara-cara yang disepakati (Gambar 1). Dengan demikian KJA pembesaran ikan Napoleon dapat menjadi bagian dari sea-ranching dan tidak harus menjadi usaha yang kontra produktif atas regulasi yang diatur pemerintah atau CITES. Bilamana tahapan pembesaran ikan Napoleon dalam KJA dan upaya restocking yang terdokumentasi dengan baik dapat dipertanggung-jawabkan, maka pengaturan selanjutnya pada pola tata niaga pemasaran dapat lebih mudah dilegalisasi dan jalur pemasaran dapat dinegosiasikan kembali. Seperti disebutkan di atas, pengertian sea-ranching yang di dalamnya ada tahapan restocking adalah berkaitan dengan pengkayaan sumberdya (enhancement) suatu komoditas, dimana secara teknis pola KJA dapat menjadi bagian pada tahapan awal sea-ranching (Gambar 1). Dalam hal ini KJA berfungsi sebagai penyedia benih pada tahapan restorasi. Ada dua jalan dalam hal penyebaran benih ke alam, pertama menurut kesepakatan atas seberapa besar kontribusi pelaku bisnis Ikan Napoleon melepaskan benih ke alam dengan ketetapan (jumlah dan ukuran) yang akan menjadi konsensus bersama. Kedua, upaya pembesaran ikan Napoleon pada sejumlah keramba jaring apung (KJA) sesungguhnya dapat diasumsikan menjadi sumber benih, dimana setiap petak KJA dibagi ke dalam fungsinya masing-masing. Satu atau dua petak dapat secara khusus digunakan untuk petak pengindukan ikan Napoleon dengan harapan bahwa di petak tersebut akan terjadi spawning ex-situ dan proses berikutnya terjadi spill over effects ke luar keramba, kemudian anakan ikan Napoleon yang menyebar ke alam dapat ditangkap kembali oleh nelayan untuk benih pembesaran dalam KJA. Oleh karena tahapan dalam sea-ranching, terutama menyangkut restocking, membutuhkan adanya konsensus dan kesepahaman inter dan antar stakeholder dan pemerintah, maka perlu adanya pelembagaan atas usaha sea-ranching ikan Napoleon, dimana diharapkan pemantapan sea-ranching pada masing-masing lokasi Anambas dan Natuna adalah dalam bentuk kawasan terpadu usaha Napoleon yang mengakomodasi beragam usaha secara horizontal menurut profesi, seperti pembudiaya, nelayan benih, pengumpul, pemasaran dan usaha-usaha pendukung lainnya. Selanjutnya masing-masing profesi tersebut membutuhkan semacam assosiasi untuk mengembangkan modal sosialnya, agar semua permasalahan dapat diatasi bersama. 181 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL DAN PEMBAHASAN Prospek Pengembangan Sea-Ranching Pengembangan usaha KJA ikan Napoleon di Anambas dan Natuna dapat menjawab berbagai masalah perikanan Napoleon dengan jalan membangun model sea-ranching yang tepat berdasarkan penjaminan aspek produktivitas, sustainabilitas, stabilitas, tracebilitas, equitabilitas dan legalitas. Model seperti ini sesungguhnya mengacu pada pembangunan yang memperhatikan keseuaian “agro-ecosystem property”. Analisis tentang hal ini menyangkut apa saja hal yang menguntungkan/positif dapat dikembangkan dan kelemahan/negatif sebagai penghambat pengembangan. Di bawah ini akan didiskripsi secara ringkas masingmasing aspek tersebut. Produktivitas Pola budidaya laut (mariculture) ikan Napoleon dalam KJA sejauh ini sudah jelas memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding perikanan tangkap Napoleon, meskipun diakui usaha budidaya ini mahal, membutuhkan waktu yang panjang (sampai 6 tahun untuk ukuran panen), dengan manajemen yang rumit (Wawancara Pribadi, 2012; Soemodinoto et al., 2013). Berbeda dengan mariculutre, pola searanching bukan saja menyebabkan produktivitas ukuran dewasa meningkat, tetapi juga ketersediaan benih akan meningkat (Sirait, 2007). Menurut laporan KKJI pada acara Focus Group Discussion tanggal 23 Oktober 2015 di Jakarta, Sejauh ini pada sentra produksi KJA Anambas dan Natuna tersedia lebih kurang 300.000 ekor ikan Napoleon yang siap jual. Ikan Napoleon sebanyak ini mengalami kesulitan pemasaran. Kesulitan ini berhubungan dengan (1) ketentuan ukuran panen ikan Napoleon yang diatur oleh Kepmen KP nomor 37 tahun 2013; (2) kuota yang yang ditetapkan tidak sebanyak itu; (3) ketentuan pemasaran melalui udara; dan (4) kapal penjemput sudah mengurangi jadwalnya. Sustainabilitas Restocking dalam pola sea-ranching dapat menjamin kesenambungan benih Napoleon dari alam (Tseng, 1989). Kecuali itu, tindakan-tindakan aksi dalam aspek sustainabilitas seperti menyiapkan keramba khusus untuk indukan, tempat dimana yang akan terjadi spawning dan kemudian terjadi spill-over effect benih ke sekitar 182 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) habitat yang cocok, dapat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam konservasi ikan Napoleon. Keramba indukan seperti ini dapat menjawab kehati-hatian panen (NDF) yang diamanatkan CITES. Pandangan bahwa pemanfaatan benih ikan Napoleon dari alam adalah selaras dengan pengertian konservasi, karena dalam KJA kelulusan hidup cukup tinggi dari kelulusan hidup anakan ikan yang menghadapi predator. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kelulusan hidup anak ikan Napoleon dalam keramba 85% (BP2KSI, 2014), tetapi sebaliknya kelulusan hidup anakan ikan Napoloen dalam proses panen dari alam hanya 20% (Edrus & Suman, 2013). Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa satu sisi pembesaran ikan Napoleon dalam keramba dapat menjamin kelulusan hidup ikan, tetapi cara panen anakan ikan dari alam belum mendukung sepenuhnya angka kelulusan hidup menjadi lebih tinggi dari ancaman predator alami. Dengan kata lain, kematian anakan ikan juga disebabkan cara-cara yang buruk dari prosedur pasca panen tangkapan dari alam (Edrus & Suman, 2013). Hal ini artinya bahwa tindakan pasca panen benih belum menjamin konservasi, kecuali ada tindakan memperbaikan metode pasca panen. Stabilitas Faktor stabilitas usaha pembesaran ikan dalam keramba bergantung pada benih alam dan pakan alam. Ikan Napoleon memiliki kebiasaan makan tersendiri, terutama ketika stadium juvenile (Randall et al., 1978). Dengan demikian dua faktor penting ini (benih dan pakan) perlu dikembangkan menurut preferensi ikan Napoleon dan dipastikan kelestariannya. Restocking adalah kunci sukses untuk stabilitas usaha perikanan dengan pola KJA (Bell et al., 2008). Penjaminan pada ketersediaan benih ikan Napoleon bergantung pada langkah-langkah teknis pemilik KJA bersama nelayan pencari benih dalam upaya restocking jangka pendek maupun jangka panjang. Baik pemilik KJA maupun nelayan pencari benih harus membangun sarana dan prasarana dengan caranya sendiri dalam mendukung kerja restocking. Tracebilitas. Asal usul dan life story biologis dari ikan harus jelas. Asal usul dibagi dua, yaitu pertama adalah asal dari tangkapan atau asal dari budidaya dan asal komoditas pada bongkar muat ikan yang perlu dibuktikan oleh dokumen resmi. Kedua, asal usul biologis benih ikan yang digunakan dalam sea-ranching, yaitu apakah benih ikan Napoleon dari alam sekitarnya memang berasal dari proses spawning populasi Napoleon dari keramba (ex-situ) atau dari proses spawning 183 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) alami di luar keramba (in-situ) dan ini perlu bukti ilmiah. Penelitian ikan Napoleon dewasa di habitat aslinya sejauh ini menyebutkan hanya 2 ekor ikan Napoleon dewasa dijumpai pada jelajah lintas sensus yang sangat panjang, hingga sampai dua kali survei laut dilakukan (Edrus et al., 2012; BPSPL, 2013). Fakta ini mendorong asumsi tentang asal anakan ikan Naploen adalah berasal dari keramba. Asal usul benih ikan Napoleon sekitar wilayah keramba menjadi sangat penting sekali untuk menetapkan tindakan selanjutnya, bahwa apakah mungkin menjadikan keramba sebagai wadah spawning ex-situ ikan Napoleon. Penelitianpenelitian sudah mengarah ke hal ini (Satria & Syam, 2015; Satria et al., 2015), seperti (1) ditemukannya warna putih dalam kolom air keramba pada waktu tertentu oleh pemilik keramba, dimana Colin (2010) menyebutkan sifat ikan Napoleon dalam masa kawin selalu dalam bentuk bergerombol melakukan pemijahan telur (Spawning aggregation). Penelitian di Anambas menyebutkan bahwa spawning ikan Napoleon terjadi antara Oktober dan Januari; (2) satu kelompok sample (dari 13 kelompok sample yang dikumpulkan) membuktikan uji parental bahwa benih ikan yang ada di sekitar keramba berasal dari keramba; (3) prilaku kawin (sebelum spawning) ikan Napoleon diasumsikan berubah setelah sekian lama dalam keramba sebagai respon naluri fungsi perkembang-biakan, seperti terlihat pada malam hari pada periode lunar. Penelitian-penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk mendukung teknologi spawning ikan Napoleon dalam keramba dan teknologi pasca panen anakan ikan Napoleon di luar keramba. Kegiatan-kegiatan ini harus didukung oleh pihak pemerintah dan stakeholder terkait. Model sea-ranching harus lebih berkembang ke dalam bentuk integrasi teknologi pembesaran dan pembenihan. Model sea-ranching ini juga perlu didukung oleh sistem dokumentasi asal usul yang dapat dipercaya, sehingga mempermudah sertifikasi keramba jaring apung (KJA) dan sertifikasi hasil produk KJA itu sendiri. Tertip administrasi (berita acara dan pelaporan) dan tertib hukum dari sea-ranching pada akhirnya akan mempermudah pengawasan dalam tingkat proses budidaya di sentra produksi dan dalam pengawasan dan keamanan transportasinya di laut. Jika dari awal sudah tertip maka pintu keluar ekspor tidak saja dapat bergantung pada bandar udara tetapi juga pada pelabuhan laut. Equitabilitas. Ketentuan regulasi adalah mengikat secara umum dan pengecualian atasnya akan menjadi paradoks karena akan menimbulkan kecemburuan sosial dan menimbulkan dampak negatif sebagai ikutannya. Sekecil apapun celah yang diperlonggar atas produk regulasi akan menjadi perselingkuhan 184 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dalam sistem yang semula diatur untuk tertibnya sesuatu (Edrus & Suman, 2013). Peternak atau pengumpul ikan Napoleon akan mencari jalan untuk “bermain”di wilayah abu-abu pada wilayah yang diperlonggar tersebut. Dalam hal ini, Permen KP nomor 37 tahun 2013 mengatur tentang ukuran yang tidak boleh ditangkap dari alam adalah interval 100 gram - 1000 gram dan diatas 3000 gram. Itu artinya yang boleh ditangkap lalu dijual adalah interval 1000 gram – 3000 gram. Ketika regulasi seperti ini dihubungkan dengan ukuran panen ikan Napoleon dari hasil sea-ranching akan menimbulkan masalah. Terutama yang umum dipanen dan mencapai harga tertinggi untuk ikan Napoleon hasil pembesaran sea-ranching adalah antara 600 gram sampai 800 gram. Memberikan kelonggaran ukuran untuk penjualan hasil searanching akan menjadi masalah pada ketentuan hasil tangkapan di alam. Nelayan penangkap ikan Napoleon dari alam dapat saja berkilah ketika mereka mendapatkan hasil pancingan berukuran di bawah 1000 gram sebagai hasil pembesaran ketika melaporkannya untuk dijual. Ketika kejadian seperti ini meluas maka Permen KP nomor 37 tahun 2013 tersebut tidak mempunyai makna lagi untuk mengatur ukuran tangkap, karena aspek equitabilitas dalam penerapannya diabaikan. Berbeda dari aspek hukum yang mengikat secara merata, distribusi hasil pembangunan atau pengembangan suatu usaha biasanya bergantung pada performan atau kinerja bagaimana usaha tersebut dalam mengelola sumberdaya. Jadi bisa saja tidak berdistribusi normal atau tidak merata. Kelompok usaha dengan kemampuan yang spesifik dari mengelola sumberdaya yang spesifik biasanya mendapatkan porsi yang cukup dibanding kelompok yang bersifat sebaliknya. Dalam hal ini alam memiliki anugerahnya masing-masing untuk pengelola sumberdaya yang berbeda kinerja (performances). Dalam hal sumberdaya apa yang dimiliki oleh Anambas dan Natuna dapat dikatakan bahwa sumberdaya anakan ikan Napoleon diasumsikan sebagai anugerah tersendiri atas model KJA yang sudah 3 dekade mereka terapkan dan ini merupakan bagian dari kinerja perikanan budidaya di laut. Modifikasi pola budidaya laut menjadi sea-ranching adalah model yang lebih inovatif yang harus diikuti oleh penelitian-pengembangan lanjutan (Tringali et al., 2008; Bell et al., 2008). Pola kinerja perikanan budidaya seperti ini diharapkan menjadi bagian dari konservasi ikan Napoleon secara Nasional, seperti yang diamanatkan CITES dan regulasi Kemeterian Kelautan dan Perikanan. Langkah yang perlu diambil pemerintah untuk tidak menimbulkan paradoks dalam impelementasi hukum adalah melakukan penelitian untuk melihat apakah 185 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) model sea-ranching dan anugrah yang ada di Anambas dan Natuna itu juga ditemukan di wilayah Indonesia yang lain. Informasi ini adalah diperlukan untuk menentukan kebijakan yang spesifik lokal dengan perangkat regulasi yang bersifat lokal pula, dimana pemerintah dapat membuat standarisasi regulasi yang berlaku untuk model sea-ranching yang sama. Di samping itu, pemerintah dapat pula membuat zonasi wilayah usaha yang terkait dan mendorong terbentuknya assosiasi yang terkait pula, sehingga zonasi sea-rancing dan zonasi perikanan tangkap dapat terpetakan dengan tegas dan jelas. Pola zonasi seperti ini akan mempermudah sertifikasi, pengawasan dan pengembangan lebih lanjut. Namun peran pemerintah ini tidak berdiri sendiri dan peran stakeholder sebagai mitra pemerintah diharap mampu mengemban amanat konservasi ikan rawan punah. Analisis stakeholder perlu juga untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengukur seberapa jauh pengaruh stakeholder dalam upaya menegakkan konservasi melalui setiap usahanya dan seberapa baik sikap dan prilaku stakeholder dalam membangun kerja sama antar stakeholders dan membangun hubungan baik dengan pemerintah dalam penegakan hukum. Dalam hal ini assosiasi stakeholder perlu dibangun untuk mempermudah pengembangan usaha. Diasumsikan bahwa melalui peran assosiasi tersebut maka pemerataan hasil pembangunan dapat terjadi. Apabila pola usaha perikanan tangkap dan perikanan sea-ranching sudah jelas dalam terminologinya dan zonasi wilayahnya pun sudah jelas terpetakan, sertifikasi untuk masing-masing produk dapat ditentukan. Melalui sertifikasi ini diharapkan paradok tentang ukuran panen ikan Napoleon dari sea-ranching dengan ukuran yang tidak boleh ditangkap pada perikanan tangkap Napoleon dapat diselesaikan dengan tafsir tersendiri atas Kepmen KP nomor 37 tahun 2013 sejauh tidak dipolitisasi. Untuk hal yang sama dapat berlaku ketika menentukan kuota ikan Napoleon hasil sea-ranching. Legalitas Usaha yang sporadis tidak dapat dikontrol dengan baik, oleh karena itu legalitas hanya diberikan pada model sea-ranching yeng terdokumentasi dengan jelas. Model sea-ranching perlu dikelola oleh kelembagaan yang jelas dan setiap pemilik harus menjadi bagian dari assosiasi, agar sifat dan perilaku setiap anggota dapat diarahkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan. Rewardest dan funisment dapat ditentukan dalam rangka mendukung perikanan yang bertanggung jawab dan hal ini 186 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) perlu konsesus bersama untuk mendapatkan hak legalitas yang dijamin pemerintah. Oleh karena itu mitra bisnis satu sama lain perlu menempatkan kepentingannya pada wadah yang sehat dan kuat sebagai modal sosial dalam partisipasi (Kolopaking, 2002; Mariana, 2006), serta memposisikannya pada domain yang baik di mata pemerintah, yaitu jauh dari praktek ala mafia dalam usaha perikanan yang menjadi paradoks saat ini. Zonasi wilayah perlu diatur oleh assosiasi secara konsensus untuk menjamin azas konservasi dalam prinsip sustainability seperti diatur dalam Kepmen KP RI No. 35/KEPMEN-KP/ 2011. Pengkayaan sumberdaya harus dipandang sebagai oportunitas dari area spesifik yang ingin digarap dan memenuhi target skala perikanan budidaya pada lahan yang direhabilitasi (Aciar, 2011). Dalam pola searanching pelaku usaha KJA perlu menyediakan petak-petak khusus pengindukan dan spawning yang terkontrol. Secara bersama, asssosiasi perlu menentukan area plasma dan area pemanfaatan benih ikan Napoleon, di mana pada area plasma perlu adanya ketetapan pelarangan yang disepakati bersama untuk kepentingan penetapan kawasan restoking ikan napoleon di alam. Legalitas dapat juga diberikan dengan adanya kesepemahaman tertulis bahwa dalam setiap panen pemilik usaha KJA dengan suka rela melepaskan beberapa ikan Napoleon ke alam sebagai upaya restoking dan kesepemahaman tentang ukuran benih awal pembesaran di antara ukuran 5 cm – 15 cm (sesuai dengan ukuran Permen KP Nomor 37 tahun 2013). Sertifikasi adalah dokumen penting dan legal sebagai tindakan pencegahan (mitigation measure) atas masalah pengangkutan hasil budidaya sea-ranching melalui laut atau udara. Sejauh ini P2HP mengalami kesulitan dalam minilai masalah legalitas yang diluar ketentuan. Seperti diketahui bahwa sertifikasi yang diberikan sejauh ini adalah lebih kepada usaha pembesaran atau budidaya secara umum dan bukan spesifik ikan Napoleon. Oleh karen itu, dalam upaya legalitas tersebut model sea-ranching harus mendokumentasikan informasi-informasi penting tentang proses budidaya ikan Napoleon, yaitu mulai dari aplikasi logbook harian, berita acara dan pelaporan-pelaporan, dimana semua dokumentasi tersebut di bawah kontrol unit kerja teknis terkait yang diketahui oleh dinas terkait. Tertip dokumentasi tersebut harus menjadi keniscayaan bahwa pemilik usaha mendapatkan jaminan sertifikasi usaha budidaya dan sertifikasi angkutan hasil budidaya dengan mudah tanpa harus dibebani oleh hal-hal yang diluar kesepakatan dan kesepemahaman. 187 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Dokumentasi dan sertifikasi seperti ini mungkin dapat memudahkan sampai sebatas kepentingan P2HP, tetapi apakah dapat menjamin acceptabilitas CITES, karena masih menyangkut kuota dan pintu ekspor yang telah ditetapkan oleh pihak Indonesia sendiri (scientific authority dan management authority), seperti ekspor melalui udara. Dengan tertipnya dokumentasi dan sertifikasi, pihak Indonesia dapat saja merubah jalur angkutan dari udara menjadi jalur laut sejauh model ini (legalitasnya) dipresentasikan dengan baik kepada CITES sebagai pihak yang mengatur perdagangan di luar negeri. Pelaku bisnis atas angkutan hasil budidaya dapat dikategorikan pada usaha monopoli atau oligopoli dengan dampak yang berbeda. Namun akar masalahnya bukan terletak pada sistem pemasaran itu, melainkan pada prilaku pelaku bisnis, apakah dapat diatur atau sporadis di luar kontrol. Sekali lagi assosiasi harus berperan aktif sebagai mitra pemerintah untuk mengatur rute pemasaran yang benar. Artinya asssosiasi dapat menentukan pola angkutan secara terbuka yang dapat disetujui pemerintah dan CITES sekaligus. Adapun legalitas atau peningkatan kuota ekspor sangat bergantung pada apakah CITES dapat diyakinkan pada situasi Anambas dan Natuna yang bersifat spesifik tersebut? Apakah CITES dapat menerima model sea-ranching ikan Napoleon yang dimodifikasi sehingga semua itu sinkron dengan prinsip NDF, konservasi dan perikanan yang berkelanjutan? Undangan atas pengamat dan ahli grouper dan Wrasse yang bernaung di bawah CITES akan sangat bermanfaat dalam menentukan langkah pengembangan perikanan Napoleon di Anambas dan Natuna. Kebijakan Pengembangan Persefektif masa depan sea-ranching di Anambas dan Natuna bergantung pada upaya-upaya memperbaiki kinerja perikanan KJA Napoleon yang sudah berlangsung dengan baik sekarang. Tabel 1. memberikan ringkasan singkat pedoman pengembangan yang diawali oleh dua panduan, yaitu pertanyaan kunci sebagai indikasi apa yang diinginkan dan hipotesa kerja sebagai arahan pada perihal yang akan diperbaiki. 188 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Persepektif pengembangan sea-ranching yang terintegrasi dengan keramba jaring apung (KJA) di Anambas dan Natuna Pertanyaan Kunci Hipotesa Kerja 1. Bagaimana mereklamasi hirarki lahan keramba jaring apung (KJA) tanpa merusak tujuan usaha pembesaran ikan, usaha perikanan benih anakan ikan dan perikanan umpan dan kemudian pada waktu yang sama dapat mengatasi secara sinergis kelangkaan benih dan keterbatasan komponen produksi? 2. Bagaimana merekstrukturisasi kelembagaan masyarakat agar masyarakat menjadi pelaku-pelaku agribisnis yang sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki akses permodalan, pemerataan kesempatan kerja dan produksi serta penjaminan pemasaran? 3. Bagaimana membangun kawasan KJA terintegrasi tanpa menciptakan benturan-benturan kepentingan lingkungan dan prinsip pembangunan yang berkelanjutan? 1. Budidaya pembesaran yang terintegrasi dengan restocking ikan Napoleon sebagai komoditas unggulan wilayah dalam satu ka wasan sehamparan dapat menciptakan usaha perikanan Napoleon yang lebih efektif dan efisien, dimana dengan cara ini produktivitas lahan KJA meningkat, ketersediaan benih berkesinambungan dan komponen produksi terpenuhi. 2.Usaha budidaya berkelompok berdasarkan profesi yang spesifik dari situasi beragam profesi yang dibangun dalam satu kawasan sehamparan dan satu assosiasi akan menciptakan sistem usaha yang sehat, sehingga lembaga pendamping (seperti UPP) dapat mengembangkan modal sosial untuk mempromosikan dan menjamin kebutuhan permodalan pada lembaga keuangan dan sekaligus mengatur pemasaran yang tersertifikasi secara legal. 3.Pola sea-ranching akan menciptakan perputaran intern energi dan sumberdaya benih dalam kawasan terpadu KJA pada kawasan yang sepesifik sehingga tidak mengganggu kelestarian lingkungan alam. 189 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Garis Besar Pedoman Pengembangan 1. Menstruktur kembali pola KJA yang ada menjadi bentuk terpadu dengan sea-rancing, di mana setiap unit usaha merekayasa petak-petak keramba apung dengan fungsi pembesaran ikan menurut ukuran dan menyediakan petak khusus untuk wadah spawning. 2. Membangun sistem dokumentasi operasional melalui logbook harian, berita acara kegiatan, dan rakapitulasi data tebar benih dan panen secara periodik untuk setiap unit usaha sea-ranching. 3. Membangun kawasan perikanan Napoleon sistem horizontal dengan profesi masing-masing yang terpadu pada basis usaha perikanan bibit ikan Napoleon, usaha pembesaran dan restocking (spawning) ikan Napoleon, usaha penyediaan pakan, usaha angkutan pemasaran, dan usaha saprodi. (Untuk selanjutnya disebut sebagai Kawasan Terpadu Sea-Ranching Ikan Napoleon). 4. Menetapkan ukuran panen (benih dan dewasa) dan kuota ekspor ikan Napoleon berbasis sertifikasi khusus produk sea-ranching. 5.Mengembangkan pola ekspor melalui laut berbasis sertifikasi produk budidaya legal dan sertifikasi angkutan legal. 6.Membangun dan memberdayaan kelembagaan kemitraan sebagai pendamping (Unit Pendukung Pengelolaan), asosiasi pelaku bisnis, bapak angkat, dan koperasi usaha untuk tujuan mempercepat adopsi teknologi, membentuk opini bisnis yang sehat, membangun jejaring informasi partisipatif, dan memberdayakan pelaku-pelaku usaha. 7.Merestrukturisasi/memperkuat peran pemerintah sesuai TUPOKSI dalam sistem pembinaan, pelayanan dan pengawasan dalam Kawasan Terpadu Sea-Ranching Ikan Napoleon. 8. Mengembangkan pola kontribusi yang disepakati dari tiap unit usaha sea-ranching pada upaya restocking ikan Napoleon dewasa ke alamnya pada setiap kali termin penjualan hasil pembesaran. Rencana Aksi Dengan sedikit melakukan reklamasi sistem usaha yang sudah ada dan memperhatikan semua prasyarat pengembangan seperti disebut di muka, program pembangunan sea-ranching dapat disusun sebagai berikut. 1. Rekayasa konstruksi KJA dalam bentuk pembagian petak keramba pembesaran sesuai peruntukannya, seperti petak keramba untuk ukuran ikan yang berbeda, untuk pengindukan dan untuk area spawning. 190 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 2. Penerapan dukumentasi proses dengan pola log-book dalam semua jenjang kegiatan sea-ranching, seperti stock opname, penebaran benih, pemanenan, jumlah pelepasan ke alam, rekapitulasi data bulanan, dan pemberian ransum makanan ikan (jenis dan jumlah), dimana semua data dan informasi dibuatkan berita acara bulanan dan dilaporkan rangkap dua ke instansi-instansi berwenang yang telah ditetapkan. 3. Mendorong terciptanya usaha-usaha terkait sea-ranching menurut pola horizontal dengan diversifikasi profesi/usaha, seperti usaha pembesaran ikan, penyediaan benih, penyediaan pakan, penyediaan saprodi dan obat-obatan, perbengkelan, dan koperasi. 4. Menciptakan regulasi dan memberikan sertifikasi benih, sertifikasi produk pembesaran, sertifikasi pengangkutan produk atau sertifikasi eksport, dimana sertifikasi dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang telah ditunjuk sesuai dengan ketetapan ukuran panen dan kuota yang disepakati dengan memperhatikan semua dokumentasi proses restocking dalam sea-ranching yang dilaporkan pemilik KJA. 5. Menetapkan pelabuhan eksport dalam kawasan terpadu restocking dan sea-ranching bagi produk dan angkutan yang telah disertifikasi, dimana penetapan berdasarkan nota kesepemahaman antara assosiasi pengusaha dan instansi pemerintah terkait. 6. Menciptakan assosiasi pengusaha dan stakeholder untuk mengelola modal sosial dalam rangka mempermudah kerja sama, pembinaan dan pengawasan. 7. Menetapkan TUPOKSI lembaga pemerintah terkait berkenaan dengan audit usaha, pembinaan, pelayanan, sertifikasi, dan pengawasan. 8. Membangun kesepemahaman antar pelaku usaha KJA yang meliputi juga nelayan dan unit kerja teknis pemerintah untuk mengembangkan sistem restocking benih ikan Napoleon, mulai dari menetapkan regulasi yang disepakati bersama sampai merekonstruksi teknis dan rancang bangun restocking ikan Napoleon pada tehapan KJA sesuai dengan habitat untuk anakan ikan Napoleon. 9. Menetapkan zonasi peruntukan sebagai kawasan perlindungan benih dan kawasan pemanfaatan. 191 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Dukungan Penelitian Dalam pengembangan usaha sea-ranching dibutuhkan banyak informasi dan data. Beberapa tindak lanjut penelitian yang masih diperlukan berdasarkan pada kebutuhan pengembangan tersebut antara lain adalah menyangkut thema-thema di bawah ini. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Uji parental anakan ikan Napoleon Uji genetis asal usul anakan ikan Napoleon Laju Kelulusan hidup dalam pasca panen anakan ikan Napoleon Laju Kelulusan hidup dalam proses pembesaran ikan Napoleon Tipe dan ketersediaan pakan alami baik untuk pembesaran ikan Napoleon Diversifikasi komoditas ekonomis penting dalam sea-ranching. Analisis perbaikan stok di alam melalui kegiatan sea-ranching Keramba jaring apung (KJA) sebagai sumber benih dalam upaya mendukung restocking sebagai bagian dari sea-ranching (Gambar 1) dapat melalui dua jalan. Pertama melalui cara kontribusi suka rela dan kedua melalui rekayasa biologis dan reproduktif. Cara pertama adalah benih diperoleh dengan jalan partisipasi pelaku bisnis, baik dari pemilik KJA maupun dari nelayan penangkap benih. Dalam hal ini diperlukan kesadaran yang tinggi untuk secara bersama memberikan kontribusi benih. Kontribusi adalah dalam bentuk pelepasan kembali benih ikan Napoleon ke alam setelah cukup ukuran. Untuk pihak pemilik KJA, mereka dianjurkan membesarkan benih dalam KJA dan melakukan pelepasan sekian ekor (dari 5 % hasil panen KJA) atau dengan nilai kontribusi yang disepakati bersama. Untuk pihak nelayan penangkap anakan atau pencari benih, mereka dianjurkan untuk membuat satu unit keramba pembesaran benih sebagai tanggung jawab perorangan atau kolektif, dimana benih dibesarkan sampai ukuran siap tebar ke alam dengan memperhitungkan peningkatan kelulusan hidup di alam. Adapun lokasi pelepasan anakan ke alam adalah kawasan yang memiliki habitat yang cocok dan kawasan tersebut merupakan lokasi yang dipilih untuk dizonasi sebagai kawasan perlindungan benih. Teknik pembesaran benih dalam keramba ini akan berhasil apabila masalah pakan khusus untuk anakan ikan Napoleon tersedia (anak kepiting). Sejauh ini pihak pemilik KJA berhasil membesarkan benih ikan Napoleon dalam keramba dari 192 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ukuran “biji beras” sampai sampai lebih dari 2 inci (Wawancara Pribadi, 2012). Hal ini berarti bahwa rekayasa pembesaran benih dapat mengacu pada atau mengadopsi pada teknologi partisipatif yang sudah berkembang di Anambas dan Natuna. Namun penelitian-penelitian tentang pakan anakan ikan Napoleon tetap diperlukan untuk pengembangannya, sebagaimana diketahui bahwa untuk ukuran anakan 1 sampai 2 inci adalah periode tersulit dalam menentukan pakan yang sesuai dan yang digemari anakan ikan Napoleon, seperti pengalaman hatchery ikan Napoleon di Bali (Sim, 2004). Perlakuan pembesaran anakan tersebut dalam keramba sangat menentukan besarnya tingkat kelulusan hidupnya di alam saat dilakukan penebaran ke habitat aslinya. Sebaliknya, perbaikan pasca panen benih yang ditangkap dari alam juga sangat menentukan besarnya tingkat kelulusan hidup benih dalam masa transportasi sampai ke tempat penampungan (Edrus & Suman, 2013). Keduanya dapat dipertimbangkan sebagai nilai tambah dalam tindakan konservasi sumberdaya ikan Napoleon. Cara kedua adalah benih dapat diperoleh melalui hasil spawning ex-situ dalam KJA. Dalam hal ini petak KJA dibuat beberapa unit untuk ukuran yang berbeda, dimana satu atau dua petak keramba dibuat khusus untuk indukan yang siap bertelur (matang gonad) dan kondisi keramba dalam posisi bersih dari biota penempel dan lumut. Diasumsikan bahwa ikan-ikan napoleon dewasa setelah mendekam beberapa tahun dalam KJA akan merubah prilaku kawinnya sebagai insting reproduktif bawaan. Sejauh ini ikan-ikan dewasa telah menunjukkan pelepasan telur (spawning) dalam keramba, seperti adanya petunjuk pemutihan kolom air. Stok anakan ikan Napoleon sebanyak itu di Anambas dan Natuna, yang dianggap sebagai anugrah, juga diasumsikan berasal dari hasil perkawian dalam KJA, dimana terjadi spill over effects dari larva yang keluar menembus jalan keramba. Asumsi ini akan dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian-penelitian uji parental dan genetis. Perbaikan stok ikan Napoleon di alam sangat bergantung pada keberhasilan pelepasan telur dalam keramba. Oleh karena itu, peran serta masing-masing pemilik KJA menjadi suatu harapan untuk menyiapkan sarana pelepasan telur tersebut. Penyiapan sarana seperti itu dapat juga dengan jalan partisipasi nelayan, baik perorangan maupun kolektif yang difasilitasi oleh Unit Pelayanan Teknis terkait. Lokasi pembangunan sarana tersebut ditentukan menurut kesuaian geografis ekosistem padang lamun dan terumbu karang, karena peristiwa spill over effects tersebut harus lebih dekat dengan habitat yang disukai ikan Napoleon. Lokasi 193 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) seperti ini harus termasuk dalam kawasan perlindungan dan zonasinya sudah harus ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa indikator sukses dalam peningkatan stok ikan Napoleon di alam melalui pola sea-ranching adalah berhubungan dengan fungsi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Perlakuan pembesaran benih dalam keramba penampungan. Jumlah benih yang disumbangkan pelaku usaha perikanan Napoleon. Ketersediaan pakan spesifik anakan ikan Napoleon. Teknolog partisipatif pakan anakan ikan Napoleon. Perbaikan teknik pasca panen anakan ikan Napoleon. Perubahan perilaku kawin ikan Napoleon pada situasi ex-situ. Kesiapan sarana KJA untuk pelepasan telur dan kebersihan keramba. Stimulasi kematangan gonad. Partisipasi masyarakat nelayan. Penzonasian wilayah peruntukan yang tepat. Pola panen dalam model sea-ranching ini (Gambar 1) lebih bertumpu pada panen anakan ikan Napoleon dari alam. Ukuran yang boleh dipanen adalah ukuran di bawah 100 gram sebagaimana ketentuan Kepmen KP No. 37 tahun 2013. Bentuk dewasa dengan ukuran antara 100 gram sampai 1000 hanya dipanen dari usaha pembesaran dalam KJA, sementara stadium dewasa di atas 100 gram yang hidup di alam harus menjadi cadangan sumberdaya untuk peningkatan stok ikan Napoleon di alam. Dengan jalan ini populasi ikan Napoleon di alam diharapkan dapat berkembang dengan adanya cukup ukuran dewasa yang matang gonad. Pola panen seperti ini diharapkan selaras dengan prinsip Non-detrimental Finding sebagaimana yang diinginkan CITES. Penguatan Kelembagaan Semua kegiatan dalam tahapan budidaya yang menggunakan model searanching, yaitu dimulai dari penen benih, tebar benih, pembesaran benih, pelepasan benih ke alam (spill over effects), restocking anakan ke alam (kontribusi), sampai pada panen ukuran dewasa siap jual dari KJA wajib tercatat dalam log-book harian untuk mendapatkan data dan informasi yang terukur. Fungsi log-book adalah untuk membuat berita acara dan pelaporan pelaku bisnis kepada Unit Pelayanan Teknis 194 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (UPT) permerintah, dengan tujuan memperoleh sertifikasi produk dan sertifikasi transportasi hasil. Untuk kepentingan seperti ini (sertifikasi), peran Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) harus distrukturisasi kembali dalam ketetapan TUPOKSI. Siapa bertugas apa dan apa yang menjadi beban tugas. Hal ini menyangkut kepentingan pelayanan pada sarana dan prasarana. Sarana adalah bentuk-bentuk penyediaan teknis infrastruktur dan prasarana adalah bentuk-bentuk lembaga pelayanan pembinaan. Dalam hal ini, UPTD Perikanan Budidaya, UPTD Kelautan dan Perikanan, dan UPT dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir perlu menempatkan posisi sesuai dengan TUPOKSI masing-masing untuk menyiapkan program pengembangan dan regulasi operasional. Jalur birokrasi dan koordinasi kinerja pelayanan pemerintah harus jelas dan sederhana, sehingga tidak terjadi kesulitan pada pihak pemerintah sendiri dan pihak stakeholders. Pelayanan sertifikasi produk dan sertifikasi transportasi perlu diatur dalam regulasi yang lebih mengakomodasi kepentingan pengawasan di tingkat lapang dan kemudahan pelaku usaha. Di samping itu, pemerintah pusat atau pemerintah daerah perlu menetapkan keputusan dalam hal TUPOKSI UPTD tersebut. Di sisi yang lain, stakeholder dalam komunitas pelaku bisnis ini perlu membangun wadah berserikat dalam bentuk assosiasi pengelola perikanan KJA Napoleon. Lembaga ini diperlukan untuk kemudahan pengelolaan ikan dan perikanan Napoleon dalam bentuk-bentuk partisipatif dan kemudahan kerja sama kemitraan inter dan antar stakehorlders serta kerjasama antara stakeholders dan pemerintah. Usaha Perikanan budidaya ikan Napoleon di Anambas dan Natuna merupakan subsistem dari perikanan di Indonesia. Tuntutan pada peran assosiasi bisnis adalah turut menyusun tata perekonomian dunia yang lebih adil, lebih baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Assosiasi dalam peran kepemimpinannya harus mengembangkan sederet etika bisnis (business ethics) untuk perusahaanperusahan KJA yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan yang juga mencakup tanggung jawab sosial. Sehingga analisis lingkungan eksternal bisnis (termasuk didalamnya faktor sosial) perlu dimasukan (incorporated) dalam proses penentuan tujuan perusahaan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Napoleon yang berkelanjutan, bersama elemen-elemen lingkungan internal perusahaan (Adrianto et al., 2013). 195 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pola pembinaan dan pengawasan terhadap semua aspek pengelolaan ikan rawan punah akan menjadi mudah dengan adanya assosiasi seperti ini, karena semua bentuk kesepemahaman dan konsensus dapat melalui aspirasi anggota dalam assosiasi. Assosiasi turut bertanggung jawab atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tahapan proses pengelolaan perikanan Napoleon, sebagaimana juga assosiasi dapat mengajukan usulan-usulan yang harus dipertimbangkan pemerintah, seperti misalnya perubahan pintu ekspor dari bandara ke pelabuhan laut. Pada dasarnya keberhasilan pengembangan kawasan terpadu pengelolaan perikanan KJA Napoleon di Anambas dan Natuna akan bergantung pada manajemen Assosiasi tersebut serta dalam kontrol dan pelayanan pemerintah daerah. Dalam hal ini semua aktivitas harus terkontrol melalui “Jejaring Informasi” yang harus dibuat oleh ahli Infomatika Teknologi. Juga perilaku bisnis dari pelaku-pelaku usaha dapat diditeksi secara dini melalui kinerja assosiasi, terutama bagaimana assosiasi mengelola modal sosial, seperti membangun kepercayaan, kebersamaan, sikap partisipatif, keinginan berbagi, dan mengembangkan visi dan misi pengelolaan ikan rawan punah. Keberhasilan tersebut juga dapat diraih melalui indigenous knowledge, yaitu praktek-praktek adat lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Seperti adanya pola buka tutup dalam panen anakan ikan Napoleon yang ditetapkan secara partisipatif oleh petinggi adat. Peran lembaga adat dapat lebih dikembangkan dalam semua aspek sistem budidaya melalui pola sea-ranching ini. Pengawasan pada tingkat lapang sangat bergantung pada partisipasi masyarakat dan kepemimpinan adat. Keberhasilan tersebut juga akan lebih mencapai target yang diinginkan jika semua aspek sea-ranching ini dapat disosialisasikan kepada semua pihak. Semua intrumen regulasi yang berkenaan dengan sea-ranching perlu mendapatkan persetujuan sehingga dapat diterima masyarakat dan pelaku usaha. Dengan demikian, kunci sukses yang menjadi indikator keberhasilan penguatan kelembagaan dalam model sea-ranching adalah berkaitan dengan fungsi di bawah ini. 1. Peran Jejaring Informasi. 2. Peran UPTD dengan birokrasi yang sederhana sesuai dengan TUPOKSInya. 3. Regulasi yang sepesifik lokal dan dapat diterima pelaku usaha. 196 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 4. Pola kemitraan yang seimbang dan saling menguntungkan. 5. Penguatan kelembagaan adat. 6.Sosialisasi program sea-ranching dan regulasinya Penyiapan regulasi usaha KJA perikanan napoleon Target utama dari regulasi yang ingin disiapkan adalah bagaiman instrumen hukum dapat melegalisasi pengelolaan perikanan Napoleon model sea-ranching di Anambas dan Natuna tanpa menciptakan kondisi yang paradoks dengan regulasi yang sudah ada atau tanpa menciptakan kesan pengucualian aturan pada usaha KJA di kedua lokasi itu. Gugatan politis dapat saja terjadi ketika timbul suatu kecemburuan sosial dalam hal kepentingan atau justru menimbulkan penyalahgunaan regulasi. Pengecualian yang diberikan kepada usaha perikanan Napleon di Anambas dan Natuna harus didasari oleh alasan yang jelas, terutama dengan memperhatikan kinerja perikanan Napoleon berbasis sea-ranching. Sehingga hal yang sama dapat menjadi contoh usaha perikanan Napoleon di wilayah lain. Seperti dijelaskan di atas bahwa model sea-ranching tersebut dapat memenuhi aspek sustainabilitas, tracelibilitas, dan legalitas dalam usaha perikanan. Adanya restocking benih ke alam juga telah memenuhi aspek konservasi (stabilitas) dan pemerataan kesempatan usaha (equitabilitas). Kecuali itu, sistem produksi hanya bertumpu pada panen ikan Napoleon dewasa dari KJA dan panen anakan dari wilayah khusus zonasi pemanfaatan. Beberapa hal di atas dapat menjadi pertimbangan untuk memberikan pengecualian pada pengelolaan perikanan Napoleon di luar dari ketetapan Kepmen KP nomor 37 tahun 2013. Kepmen KP nomor 37 tahun 2013 mengatur tentang ukuran ikan Napoleon yang boleh dan tidak boleh ditangkap. Regulasi ini mengatur perikanan tangkap Napoleon. Kaitannya dengan perikanan KJA Napoleon adalah menyangkut ukuran benih yang boleh ditangkap dari alam (di bawah 100 gr). Namun yang belum terakomodasi adalah ukuran panen ikan Napoleon dari KJA. Hal ini menjadi gap terhadap ketentuan Kempen KP tersebut manakala hasil panen Napoleon dari KJA dipasarkan dengan ukuran siap jual (600 gr – 800 gr), sementara ukuran yang boleh tertangkap adalah 1000 gr sampai 3000 gr. Untuk alasan itu dibutuhkan regulasi dalam bentuk deklarasi khusus untuk melegalisasi ukuran panen ikan Napoleon dari hasil pembesaran dalam KJA. Prasyarat deklarasi tersebut adalah proses dokumentasi 197 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) dalam semua tahapan kegiatan sea-ranching, dimana dokumentasi tersebut berupa kawasan yang terzonasi dengan jelas, berita acara yang valid, pelaporan yang berkala dan sampai keluarnya sertifikasi produk dan sertifikasi transportasi produk KJA. Deklarasi harus menyangkut pula ketentuan kuota panen untuk produk KJA. Prasyarat keluarnya deklarasi tersebut berkenaan dengan pelaporan analisis penilaian dan rasio antara jumlah RTP, jumlah tebar, angka kematian, jumlah panen, potensi anakan di alam dan jumlah pelepasan dalam proses restocking. Penilaian ini selaras sebagaimana penentuan kuota tangkap di alam yang berdasarkan pada stock assessment, tetapi yang dikaji lebih kepada potensi anakan ikan Napleon di alam, karena tingkat pemanfaatan terbesar ikan Napoleon di Anambas dan Natuna adalah anakan ikan Napolen. Deklarasi juga mengatur tentang proses sertifikasi dan kelembagaan yang bertanggung jawab atasnya, karena kunci legalitas usaha perikanan Napoleon berbasis sea-ranching tersebut juga bergantung pada legalitas lembaga yang mengeluarkan sertifikasi. Dengan demikian, kunci sukses yang menjadi indikator keberhasilan penetapan regulasi pengelolaan perikanan Napoleon berbasis sea-ranching adalah berkaitan dengan fungsi di bawah ini. 1. Model sea-ranching yang terdokumentasi dengan baik. 2.Kawasan sea-ranching perikanan Napoleon yang dizonasi secara legal. 3. Penetapan deklarasi khusus yang mengatur ukuran panen dan kuota produk KJA. 4. Legalitas lembaga yang mengeluarkan sertifiksi produk KJA dan sertifikasi transportasi produk KJA. Sistem transportasi dan mekanisme pemasaran Pengembangan model sea-ranching periknan Napoleon di Anambas dan Natuna meliputi banyak aktor atau Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang meliputi nelayan, buruh, pembudidaya, pengumpul, pemasaran dan usaha-usaha pendukung lainnya. Oleh karena itu pengembangan sea-ranching adalah menurut pola bisnis terintegrasi dan bersifat profesi horizonatal dari beragam bidang usaha menurut ragam RTP. Pola Usaha agribisnis seperti ini adalah meliputi kawasan sehamparan, dimana semua 198 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) komponen usaha berada dalam satu kawasan pelayanan dan perputaran energi, input dan ouput menjadi bersifat efektif dan efisien. Dalam Kawasan Terpadu Sea-Ranching Perikanan Napoleon seperti ini tentu saja harus didukung pintu tunggal pemasaran, yaitu pelabuhan ekspor. Kawasan terpadu tersebut di bawah manajemen Assosiasi Usaha Perikanan KJA Napoleon Anambas dan Natuna yang juga bertanggung jawab pada pemasaran hasil keluar wilayah. Assosiasi secara aklamasi dapat menentukan unit usaha refresentatif yang akan melakukan transportasi hasil budidaya ke pasar global (Hongkong), sebagaimana sudah berjalan selama 30 tahuan. Dengan adanya dukungan sertifikasi produk dan sertifikasi transportasi produk, Assosiasi juga dapat mengajukan usulan kepada pemerintah untuk pengiriman hasil melalui pelabuhan laut. Dalam hal ini pola pemasaran hasil KJA, dengan ketetapan Napoleon hidup dengan ukuran dewasa siap jual (600 gr – 1000 gr), ditangani menurut pola penjemputan hasil oleh kapal pengumpul pada pelabuhan yang ditetapkan dan di bawah kontrol P2HP dan karantina. Pemantauan dan Evaluasi Pengembangan sea-ranching akan berdampak positif jangka pendek dan jangka panjang pada populasi ikan Napoleon sesuai dengan hasil yang diharapkan. Pemantauan pada progres dalam masa proses pengembangan (on going) diperlukan untuk memastikan kesuaian tahapan pengembangan produksi dengan pendekatanpendekatan konservasi, restocking (enhancement) dan pemenuhan aspek legalitas. Dalam rangka menilai kinerja pengembangan sea-ranching pengelolaan perikanan budidaya Napoleon untuk kepentingan perbaikan manajemen ke depan, beberapa indikator yang perlu dipantau antara lain seperti pada Tabel Lampiran 1. Pada tahap evaluasi dampak jangka panjang dari pengembangan sea-ranching, tujuan yang ingin dicapai adalah memastikan bahwa model sea-ranching dapat memperbaiki atau meningkatkan populasi ikan Napoleon di alam. Adapun indikator dari dampak jangka panjang ini adalah seperti disajikan pada Tabel Lampiran 2. Waktu untuk pemantauan dapat dilaksanakan tiga kali menurut periode implementasi, seperti tahap pra-implementasi, fase implementasi dan postimplementasi. Waktu evaluasi dapat dilaksanakan pada pasca-impelementasi, yaitu sekitar 5 sampai 10 tahun setalah implementasi. 199 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Penanggung jawab pemantauan dan evaluasi adalah UPTD terkait. Pelaksanaannya dalam bentuk kerja sama dengan evaluator eksternal. Unit analisis pemantauan dan evaluasi meliputi mulai dari ekosistem terkait, dokumen searanching yang tersedia, sampai kepada RTP sebagai pelaku usaha, birokrat/aparat pemerintah sebagai penentu kebijakan, pemangku kepentingan sebagai penanggung jawab pengelolaan sumberdaya, dan LSM sebagai pengamat lingkungan. KESIMPULAN DAN SARAN Budidaya pembesaran ikan Napoleon yang terintegrasi dengan sea-ranching dalam satu kawasan sehamparan dapat dilegalkan karena memenuhi aspek konservasi dan kehati-hatian panen, dimana usaha ini mampu menyediakan benih ikan Napoleon secara mandiri melalui usaha restocking, sehingga daur kebutuhan semua komponen usaha terpenuhi secara berkelanajutan dan semua produknya dan pemasaran hasil melalui satu pintu pelabuhan laut dapat disertifikasi dan disetujui. Pengawasan atas jalannya kegiatan sea-ranching dalam satu kawasan seperti itu mudah dilakukan, karena tanggung jawab ada pada assosiasi yang membangun pola leadership dalam bentuk berserikat dan jaringan informasi yang mengorganisir semua bentuk koordinasi kegiatan, dimana dengannya legalitas dan tracebilitas produk dan pemasaran dapat diberikan. Dari aspek produksi, pola sea-ranching lebih bertumpu pada panen anakan ikan yang merupakan hasil restocking sendiri dan panen Napoleon dewasa dari KJA, sementara ikan dewasa di alam dibiarkan tumbuh untuk bergenerasi, oleh karenanya pola sea-ranching tidak akan mengganggu populasi ikan Napoleon di alam Jika pelaku bisnis usaha pembesaran ikan Naploen dalam keramba menginginkan adanya legalitas usaha yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pelaku bisnis perlu mengambil langkah untuk memperkuat usaha dengan melakukan proses dokumentasi harian, bulanan dan tahunan terhadap jalannya usaha dan melalui assosiasi pelaku bisnis dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya anggotanya dan aparatur pemerintah. DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 2010. ACIAR Fisheries Program Project Profile 2011 - 2012. ACIAR< Research that works for Developing Counries and Australia. 187 pp. 200 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Adrianto, A., A. Fahrudin, T. Kodiran, M. A. Al Amin, A. Afandy & A. Handani. 2013. Pemetaan Sosial untuk pPemberdayaan Masyarakat di Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas – Kepulaun Riau. Working Paper PSKPL – IPB. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB, Bogor. 49 h. Azwar ZI. 1990. A Study Report on The Traning Course on Marine Ranch System. Marine Biologycal Institute Kochi University. USA. Bell, J.D., K.M. Leber, H. L. Blankenship, N.R. Loneragan & R. Masuda. 2008. A New Era for Restocking, Stock Enhancement and Sea Ranching of Coastal Fisheries Resources. FAO Coorporate Documen Respository. DOI 10.1080/10641260701776951. P. 1 – 9 BP2KSI, 2014. Penelitian bahan penetapan status perlindungan jenis ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di perairan Anambas. Laporan Final Penelitian. Tidak dipublikasi. BPSPL, 2013. Laporan kegiatan identifikasi dan monitoring populasi, habitat, peredaran dan pemanfaatan jenis ikan napoleon Cheilinus undulatus di Kabupaten Kepulauan Anambas – Kepulauan Riau. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, Dirjen KP3K – Kementerian Kelautan dan Perikanan CITES. 2003. Ranching and trade in ranched specimens of species transferred from Appendix I to Appendix II. Trem of Ranching in CITES Priority. Conf. 11.16 (Rev. CoP15). Colin, P.L., 2010. Aggregation and spawning behaviour of the humphead wrasse Cheilinus undulates (Pisces: Labridae): general aspects of spawning behaviour. Journal of Fish Biology 76: 987-1007. Edrus, I.N., S.R. Suharti, Mozril, Hendrisman, I.M. Rizqan, Maldi, R.P. Sari, M.Saputra. 2012. Identifikasi dan Monitoring Populasi, Habitat, Peredaran dan Pemanfaatan Jenis Ikan Napoleon (Cheilinis undulatus) di Kabupaten Kepulauan Riau. Laporan Proyek. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang, Padang, 41 hal. Edrus, I.N. & A. Suman. 2013. Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835): Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia. IPB Press, Bogor, 149 hal. Jia, J. & J. Chen. 2000. Sea Farming and Sea-ranching in China. FAO FISHERIES TECHNICAL PAPER nomor 418, Rome, 23 pp. 201 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Kolopaking, Lala M. 2002. Pola-Pola Kemitraan Dalam pengembangan Usaha Ekonomi Skala Kecil/Gurem. Makalah Lokakarya Nasional “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas pengembangan Kawasan”. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 4 -5 November 2002. Jakarta. Mariana, Dede, 2006.Modal Sosial (Social Capital) Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan. Makalah dalam Warta Bapeda Jabar, Oktberdesember 2006. Menteri Kelautan dan Perikanan. 2011. Kepmen KP RI No. 35/KEPMEN-KP/ 2011 tentang pencadangan kawasan konservasi perairan nasional kepulauan Anambas. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menteri Kelautan dan Perikanan. 2013. Peraturan Menteri KP No. 35/PERMEN-KP/ 2013 tentang perlindungan jenis ikan Nomor 35 tahun 2013. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Randall, J.E., S. M. Head, and A. P. L. Sanders. 1978. Food Habits of The Giant Humphead Wrasse (Cheilinus undulates, Labridae). Env. Biol. Fishes 3: 335-338 Russell, B. 2004. Cheilinus undulatus. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 26 August 2013. Sadovy, Y., M. Kulbicki, P. Labrosse, Y. Letourneur, P. Lokani and T.J. Donaldson. 2003. The humphead wrasse, Cheilinus undulatus: Synopsis of a threatened and poorly known giant coral reef fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries 13(3):327–364. Satria, F & A.R. Syam. 2015. Penelitian bahan penetapan status perlindungan jenis ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Kepulauan Anambas. Kertas Kerja BPPKSI-Jatiluhur, pada Focus Group Discussion di Jakarta Jatiluhur, 23 Oktober 2015. 19 hal. Satria F, A.R.Syam, D.W.H.Tjahjo & M.R.Anwar-Putri. 2015. Perlindungan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di Perairan Kepulauan Anambas. BPPKSI-Jatiluhur. Sirait, M. 2007. Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea-Ranching dalam Mendukung Wisata Bahari: Studi Kasus di Kawasan Gili Indah, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Disertasi Pasca Sarjana, IPB, Bogor, 129 hal. 202 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Soemodinoto, A., A. Djunaedi & J.M. Nur. 2013. Budidaya Ikan Napoleon oleh Masyarakat di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau: Evolusi Kegiatan, Jejaring Pembudidaya dan Kelayakan Usaha. Tringali, M.D. , K.M. Leber, W.G. Halstead, R.Mcmichael, J. O’hop, B. Winner, R. Cody, C. Young, C. Neidig, H. Wolfe, A. Forstchen & L. Barbieri. 2008. Marine Stock Enhancement in Florida: A Multi-Disciplinary, Stakeholder-Supported, Accountability-Based Approach. Restocking, Stock Enhancement and Sea Ranching Systems and Their Role in Fisheries Management. FAO Coorporate Documen Respository. DOI. 10.1080/10641260701776902. P. 51 – 57. Tseng, C.K., 1989. Farming and ranching of the sea in China. In: Selected Works of C.K. Tseng, pp.1235-1247. Beijing, Ocean Publishing House, 1279p. 203 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) LAMPIRAN Lampiran 1. Indikator monitoring di kawasan terpadu pengelolaan perikanan Napoleon di Anambas dan Natuna INDIKATOR PELAKSANA SUMBER INFORMASI DAN DATA Produktivitas • Jumlah panen ikan Napoleon hidup dewasa (ekor/KJA/tahun) • Jumlah panen anakan ikan Napoleon (ekor/nelayan/tahun) • Jumlah pakan (kg/jenis/KJA/tahun) • I n t e r n a l / e k s t e r n a l evaluator • Logbook • berita acara • pelaporan Sustainabilitas • Jumlah anakan di alam/ha • Jumlah ketersediaan sea weed/ha • Indek keanekaragaman dan kepadatan ikan karang di terumbu karang sekitar. • Survival rate dalam proses panen anakan (ekor/panen) • Survival rate dalam pembesaran (ekor/bulan) • Jumlah kejadian peneluran (spawning) dalam keramba (fenomena/tahun) • Internal/eksternal evaluator • BPSPL • Logbook • berita acara • pelaporan • Survei Laut Stabilitas • Jumlah anakan yang dibeli dalam periode waktu (ekor/tahun) • Jumlah pakan untuk ikan dewasa (kg/jenis/KJA/tahun) • Jumlah pakan untuk juvenil (kg/ jenis/KJA/tahun) • Pendapatan bersih & B/C rasio usaha pembesaran ikan Napoleon. • Pendapatan bersih & B/C rasio usaha penangkap anakanikan Napoleon. • Fluatuasi harga per tahun. • Jumlah kedatangan kapal pembeli/ tahun • Internal/eksternal evaluator • Logbook • berita acara • pelaporan • wawancara informan kunci • Survei ekonomi PARAMETER 204 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tracebilitas • Jumlah dan intensitas RTP yang menggunakan logbook • Jumlah dan intensitas RTP yang menggunakan berita acara • Jumlah dan intensitas RTP yang membuat pelaporan, • Jumlah sample uji parental dan intensitas yang merujuk pada asal usul anakan ikan Napoleon yang hidup di sekitar KJA. • Kesesuaian genetis anakan ikan Napoleon dengan induknya di KJA. •Eksternal evaluator • Logbook • berita acara • pelaporan wawancara informan kunci Equitabilitas • Jumlah nelayan atau RTP menurut profesi dalam usaha sea-ranching (RTP/profesi) • Jumlah RTP yang membuat petak pembesaran benih untuk restocking. • Komposisi pengumpul: pembudidaya:penangkap benih. • Jumlah petak pembesaran benih yang dibuat secara kolektif. • Jumlah anggota dan pengurus dalam Assosiasi • Persepsi anggota assosiasi pada akses kegiatan sea-ranching (intensitas-non parametrik). • Sikap, pengetahuan, keterampilan anggota pada proses sea-ranching (intensitas – non parametrik) • • e k s t e r n a l evaluator • Logbook • berita acara • pelaporan wawancara informan kunci Lagalitas • Luasan kawasan sea-ranching yang terzonasi • Kelayakan proses dokumentasi / logbook, berita acara. Pelaporan (intensitas-non parametrik). • Persepsi pelaku usaha dan stakeholders pada deklarasi yang dibuat pemerintah (intensitas pemahaman – non parametrik. • Jumlah sertifikasi yang sudah dikeluarkan (dokumen/jenis sertifikasi) • e k s t e r n a l evaluator • Logbook • berita acara • pelaporan • wawancara informan kunci 205 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Lampiran 2. : Indikator evaluasi dampak pengembangan sea-ranching perikanan Napoleon di Anambas dan Natuna PARAMETER INDIKATOR PELAKSANA Enhancement (Pengkayaan Suberdaya ikan Napoleon) • Sediaan stok ikan Napoleon dewasa di alam (ekor/hektar) • Sediaan stok anakan ikan Napoleon menurut periode waktu selama 5 tahun di alam (ekor/ ha/tahun). • Laju kecepatan tumbuh populasi ikan Napoleon (ekor/tahun) • Internal/eksternal evaluator 206 SUMBER INFORMASI DAN DATA • Monitoring populasi di laut Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPANPUKAT IKAN YANG BERBASIS DI TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU Oleh : Mahiswara dan Baihaqi ABSTRAK Pukat ikan (fish net) adalah jenis alat tangkap pukat yang didesain khusus untuk menangkap ikan dengan ikan dasar-demersal sebagai spesies targetnya. Pukat ikan dalam klasifikasi alat tangkap yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai fish net. Struktur armada yang ada pada saat ini, pukat ikan Tanjung Pinang dikategorikan menjadi dua, yaitu pukat ikan kecil dengan kapal <100 GT dan dengan kapal 100 – 200 GT. Tenaga penggerak yang digunakan memiliki kekuatan antara 150 – 500 PK. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei melalui kegiatan on board observer pada bulan Mei 2014. Tujuan penulisan ini yaitu mendapatkan informasi komposisi hasil tangkapan, laju tangkap/ CPUE dan daerah penangkapan pukat ikan yang berbasis di Tanjung Pinang. Hasil penelitian menunjukkan komposisi hasil tangkapan pukat ikan yaitu ikan demersal (68,51%), ikan pelagis (14,37%), ikan rucah (11,14%), cumi (4,01%), udang (1,96%) dan invertebrata (0,01%). Besaran laju tangkap pukat ikan berkisar antara 10 – 730,7 kg/tawur dengan rata-rata 383,84 kg/ tawur atau 84,82 kg/jam. Daerah penangkapan pukat ikan yang berbasis di Tanjung Pinang berada pada daerah operasi penangkapan dilakukan pada posisi sekitar 1060 - 1090 LS & 010 - 020 BT. Kata kunci : pukat ikan, komposisi hasil tangkapan, laju tangkap, daerah penangkapan 207 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Pukat ikan (fish net) adalah jenis alat tangkap pukat yang didesain khusus untuk menangkap ikan demersal sebagai spesies target. Pukat ikan dalam klasifikasi alat tangkap yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sering diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai fish net. Sebenarnya istilah fish net mempunyai arti yang tidak jelas, karena secara harafiah fish net atau jaring ikan berarti semua alat penangkap ikan yang material utamanya terbuat dari bahan jaring (net-webbing). Terlepas dari berbagai istilah yang dikenakannya, sebenarnya alat tangkap yang berama pukat ikan-fish net tergolong dalam alat tangkap trawl, karena target spesies pukat ikan yaitu ikan dasar yang hidup di dekat atau di dasar perairan. Jaring pukat ikan umumnya dirancang dengan bukaan mulut tinggi (high opening trawl). Pengoperasian pukat ikan di WPP Laut China Selatan didasarkan pada SK. Mentan No: 770/Kpts/IK.120/10/1996 tentang penggunaan pukat ikan di wilayah perairan ZEEI Laut China Selatan. Kepemilikan kapal pukat ikan di Tanjung Pinang umumnya bersifat individu, namun dalam operasionalnya dikelola oleh sebuah manajemen yang tujuan utamanya menampung hasil tangkapan dari setiap anggota kelompoknya, dengan cara membiayai seluruh keperluan operasional. Setiap pengelola armada perikanan pukat ikan di Tanjung Pinang memiliki gudang/ tangkahan sendiri, sebagai pusat aktivitas bongkar hasil tangkapan. Struktur armada pukat ikan Tanjung Pinang dikategorikan menjadi dua, yaitu ukuran pukat ikan kecil dengan kapal <100 GT dan dengan ukuan kapal 100 – 200 GT. Tenaga penggerak yang digunakan memiliki kekuatan antara 150 – 500 PK. Sebagian besar mesin yang digunakan kapal pukat ikan yang berbasis di Tanjung Pinang yaitu mesin Cummins. Mesin lokal ataupun produk China jarang digunakan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seluruh ijin pengoperasian pukat ikan dikeluarkan oleh pusat, dalam hal ini Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. METODOLOGI Pengumpulan data Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei laut melalui kegiatan on board observer pada unit penangkapan pukat ikan selama periode pengumpulan data bulan Mei 2014. Kegiatan on board observer dilaksanakan pada 208 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) kapal pukat ikan KM Harapan Murni (P 26,40 m ; L 6,88 m; D 2,35 m, 63 GT, 350 PK) yang dilengkapi dengan peralatan navigasi, radio, fish finder dan GPS (Global Positioning Systems). Kegiatan penangkapan dilaksanakan selama 19 hari dengan jumlah hari efektif pengoperasian pukat ikan 15 hari. Jumlah total tawur selama trip penangkapan sebanyak 54 kali. Informasi yang dicatat antara lain : hasil tangkapan, jumlah tawur, posisi dan lama penarikan. Identifikasi ikan berdasarkan Trap and Kailola (1984) dan Bruin and Russell (1994). Analisis Data Analisis mengenai spesifikasi alat tangkap dan daerah penangkapan dilakukan secara deskriptif dalam bentuk gambar dan tabulasi, sedangkan perbedaan laju tangkap rata-rata hasil tangkapan per setting/tawur dihitung melalui rumus sebagai berikut : CPUE = Catch (Kg) Upaya (setting/jam) HASIL Pukat Ikan Tanjung Pinang Berbeda dengan pukat udang, pukat ikan baik yang berukuran kecil, sedang maupun besar umumnya dioperasikan dengan kapal tipe stern trawler. Pukat ikan yang digunakan (fish net) yaitu pukat dengan panjang ris atas (head rope) 60, 0 m dan panjang ris bawah (ground rope) 61,0 m. Pada prinsipnya jaring pukat ikan yang terkonsentrasi di Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), terdiri dari bagian sayap, mulut badan dan kantong. Pada saat operasi penangkapan mulut jaring terbuka secara horizontal dengan menggunakan “otter board” dan secara vertikal menggunakan pelampung dan pemberat. Dari hasil pengamatan jaring pukat ikan mempunyai dimensi sebagai berikut: Pada sayap digunakan tali ris dengan bahan PA diameter 16 mm dan 16 mm. Pada tali ris atas digunakan 2 buah tali dilengkapi dengan pelampung untuk satu sisi sebanyak 20 pelampung (No 800, Ø 8 inci). Pemberat bobin sepanjang 40 meter dengan pemberat rantai besi diameter 3/8 inci dengan berat 50 kg dan panjang total 27 meter yang dipasang dengan jarak antar ikatan 30 cm dengan panjang rantai 45 cm. 209 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Panjang sayap ± 20 m. Bahan jaring pada bagian sayap yaitu PE Ø 6mm dengan besar mata pada sayap 36 inci. Pada bagian mulut jaring dipasang tali head rope PA 22 mm (dua buah ) dan tali Foot rope PA 24 mm (3 buah). Pada tali head rope dipasang pelampung 210 mm sebanyak 15 buah. Dan pada tali foot rope dipasang pemberat timah seperti pada bagian sayap. Pada bagian badan bahan jaring digunkan PE terdiri dari d 120 dan d 96 dengan besar mata jaring terus menurun yaitu mulai dari badan jaring yang berukuran 96 inci, 48 inci, 24 inci, 12 inci 9 inci, 6 inci 4 inci, dan 3 inci dan 2 inci. Sedangkan pada bagian kantong digunakan bahan PE d 42 dengan mesh size 1,5 inci dengan panjang kantong 6 m. Sisi bagian bawah ditambah anyaman satu baris, setengah mata dengan ukuran mata yang lebih besar PE Ø 4 mm dengan mesh size 3,5 inci (Gambar 1) HR. 60 m GR. 61 m 11 # Say ap 30 m all bar 96” 96” d/12 0 17 # all mesh m 96 “. 90 #. 48 “. 180 24 “.#.270 #12 “. 360 9“. #. Badan 41 1p 2b 450 #. 6 “. 430 4“. #. 370 3“. #. 295 #. 2“. 250 #. “. 1½ 220 #. Kantong 6m 11 # 1½“ 220 #. 17 # d/1 20 d/ 96 d/9 6 d/ 96 d/ 72 d/ 60 d/ 48 d/ 30 d/ 24 d/ 24 d/ 30 d/4 2 Keterangan : Tali ris atas : kuralon ∅16m m Ris bawah kuralon ∅16m m Tali pelampung PP ∅6 mm Pelampung bola ∅ 8 inci (40 bh). Gambar 1. Konstruksi dan desain pukat ikan Panjung Pinang 210 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 2. Kapal pukat ikan Tanjung Pinang Dengan ukuran kapal yang relatif besar, pengoperasian pukat ikan praktis bisa dilakukan sepanjang tahun. Upaya penangkapan relatif menurun pada saat berlangsung musim barat. Dalam satu trip penangkapan ikan dengan pukat ikan lamanya berkisar antara 14-22 hari. Umumnya kapal pukat ikan dalam satu hari (24 jam) melakukan pengoperasian antara 3-5 tawur jaring (setting), dengan lama penarikan jaring di dalam air antara 2-5 jam/tawur. Dari hasil kegiatan on board observer di kapal pukat ikan KM Harapan Murni (63 GT, 350 PK) yang berbasis di Tanjung Pinang pada bulan Mei 2014 diperoleh informasi bahwa, trip penangkapan dilakukan selama 19 hari dengan jumlah hari efektif pengoperasian pukat ikan selama 15 hari. Terjadi kerusakan jaring yang membutuhkan waktu perbaikannya. Jumlah total tawur selama trip penangkapan sebanyak 54 kali, dengan sekali mengalami kegagalan operasi. Rata-rata waktu penarikan jaring di dasar perairan yaitu 270 menit/tawur, dengan kisaran antara 95 – 345 menit per tawur. Kecepatan kapal pada saat melakukan penarikan jaring berkisar antara 3-3.7 knot. Dengan durasi penarikan jaring yang lama, gerakan kapal pada saat penarikan dapat berubah-ubah arah sesuai dengan kondisi daerah penangkapan. Rata-rata laju tangkap pukat ikan Tanjung Pinang yaitu 383,84 kg/ tawur atau 84.82 kg/jam. 211 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Komposisi Hasil Tangkapan Dari hasil kegiatan observer pada bulan Mei 2014, diperoleh informasi bahwa komposisi hasil tangkapan ikan demersal merupakan target penangkapan. Dari 54 kali tarikan diperoleh rata-rata laju tangkap 84,82 kg/jam. Berdasarkan famili diperoleh laju tangkap tertinggi adalah Carangidae dengan rata-rata laju tangkap sebesar 6,34 kg/jam (13,78 %) dari total laju tangkap, berikutnya diikuti oleh Nemipteridae 6,24 kg/jam (13,55%), Lutjanidae 3,90 kg/jam (8,24 %), Gerreidae 2,96 kg/jam (6,43%), Mullidae 2,72 kg/jam (5,91%), Ariidae 2,71 kg/jam (5,89%) dan Haemulidae 2,30 kg/jam (5,00%). Sementara laju tangkap udang (Penaeidae) relatif rendah yaitu 0,92 kg/jam (2,00%), cumi-cumi 0,93 kg/jam (2,03% dan sotong 0,47 kg/jam (1,03%). Sedangkan laju tangkap ikan rucah (trash fish) 5,44 kg/jam (11,82%) (Gambar 3). Hasil tangkapan pukat ikan didominasi oleh ikan demersal mencapai 68,51%, berikutnya adalah perikanan pelagis 14,37% kemudian cumi dan sotong sekitar 4,01%. Sementara kategori trash fish merupakan kumpulan dari ikan-ikan kecil yang dianggap tidak ekonomis atau rucah mencapai 11,14%. (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi berdasarkan katagori ikan tangkapan Pukat Ikan PERIKANAN TANGKAPAN PERSEN KG % Demersal 7761.50 68.51 Pelagis 1627.75 14.37 udang 221.50 1.96 cumi,sotong 454.80 4.01 Invertebrata 1.5 0.01 Trashfish 1261.8 11.14 Total 11328.85 100 Jenis ikan demersal yang dominan tertangkap antara lain : kurisi (Nemipteridae) kakap (Lutjanidae), kapasan (Gerreidae) kuniran (Mullidae), sembilang (Arridae), bubunyai (Haemulidae), pari (Dasyatididae) dan beloso (Synodontidae). Tangkapan ikan pelagis didominasi oleh ikan karangid (Carangidae 13,8%), kembung 212 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (Scombridae 0,7%) Alu-alu (Sphyraenidae 0,1%). Sementara yang termasuk masuk kedalam kelompok trash fish terdiri dari buntal (Diodontidae), bukur (Monacanthidae), udang krosok (Shrimp), helikopter (Triacanthidae), kapasan (Pomacentridae), walangan (Triglidae), pepetek (Leiognathidae), lepuh dan ikanikan kecil lainnya. Trash fish ini didominasi oleh ikan buntal sekitar 60% dan bukur 15% sedangkan ikan lainnnya masing-masing sebarannya sekitar 5%. Gambar 3. Komposisi Tangkapan Pukat Ikan Tanjung Pinang. Gambar 4. Komposisi Ikan Demersal Hasil Tangkapan Pukat Ikan Selain ikan demersal yang menjadi target penangkapan, tertangkap juga ikan pelagis (Gambar 5) sebagai hasil tangkapan sampingan dengan total hasil tangkapan 213 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) sebesar 1627.75 kg atau 14,37% dari total tangkapan pukat ikan. Terdapat 13 jenis ikan pelagis yang tertangkap yang didominasi oleh ikan selar kuning (S. leptolepis) (68% dari jenis ikan pelagis yang tertangkap) atau 10% dari total tangkapan pukat ikan. Gambar 5. Komposisi Ikan Pelagis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Jenis krustacea yang tertangkap sebesar 221,50 kg atau 1,96% dari total tangkapan pukat ikan. Hasil tangkapan krustacea yang tertangkap didominasi oleh udang krosok. Komposisi krustacea terdiri dari udang jerbung, krosok, lobster, dan kipas dengan masing-masing prosentase sebesar 8%, 57%, 3%, dan 32%. Selain itu, cumi cumi tertangkap sebanyak 2% dari total tangkapan, sotong 1% dan sisanya adalah jenis kepiting. Ikan rucah yang tertangkap mencapai 1261,8 kg atau 11,14% dari total tangkapan (Tabel 2). 214 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 2. Komposisi jenis ikan rucah hasil tangkapan Pukat Ikan Jenis Persentase DIODONTIDAE (Buntal) 60 MONACANTHIDAE (bukur) 15 SHIRM (Udang krosok) 5 TRIACANTHIDAE (helikopter) 5 POMACENTRIDAE (kapasan) 5 TRIGLIDE Cehelidonichthys sp (walangan) 3 LEOGNATUDAE (petek) 2 LAIN-LAIN (Lepuh dan ikan -ikan kecil ) 5 Daerah penangkapan Armada pukat ikan yang berbasis di Tanjung Pinang melakukan operasi di wilayah perairan Laut China Selatan di sekitar Pulau Natuna atau istilah nelayan lokal adalah daerah Tokong Kemudi, dan Perairan Kep. Riau (selat Karimata) atau istilah nelayan lokal adalah daerah Pejantan. Kedalaman perairan di lokasi penangkapan umumnya kurang dari 50 meter. Gambar 6 adalah daerah penangkapan kapal pukat ikan berdasarkan obervasi observer yang mengukuti secara langsung aktivitas penangkapan selama 1 trip penuh. Gambar 6. Daerah Penangkapan Kapal Pukat Ikan yang Berbasis di Tanjung Pinang 215 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PEMBAHASAN Pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Selat Malaka terus mengalami peningkatan upaya. Intensitas pemanfaatan yang tinggi di Selat Malaka terjadi baik terhadap kelompok sumberdaya ikan demersal maupun pelagis. Laju eksploitasi penangkapan dapat digambarkan dengan bertambahnya jumlah kapal, peningkatan kemampuan tangkap, dan kapasitas penangkapan serta perluasan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda (Atmadja, 2008). Masalah pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkembang di Selat Malaka dewasa ini yaitu beroperasinya kapal-kapal pukat ikan (fish net) sejak tahun 1990 di perairan ZEE, untuk penangkapan ikan demersal (Sumiono, 2002). Bersamaan dengan meningkatnya pukat ikan tahun 1991 di Selat Malaka, terjadi menurunnya hasil tangkapan per upaya (CPUE) dari kapal pukat ikan yakni dari 11 ton/kapal pada tahun 1994 menjadi 7,5 ton / kapal/trip pada tahun 1996 (Sumiono, 2002). Presentase hasil tangkapan pukat ikan di sekitar Pulau Berhala (Selat Malaka) berdasarkan kelompok (kategori) ikan terdiri dari demersal (52,26 %), cumi-cumi (29,69%), pelagis (8,81 %), udang (3,39%) dan trashfish (5,84 %). Hasil penelitian tahun 2003 menunjukkan bahwa, nilai laju tangkap ikan demersal pada perikanan pukat ikan yang beroperasi di perairan sekitar Pulau Berhala sebesar 127,7 kg/jam (Hufiadi dan Nurdin, 2006). Dari informasi tersebut tampak jelas bahwa terdapat kecenderungan semakin menurunnya nilai CPUE untuk perikanan pukat ikan di perairan Selat Malaka. Fenomena yang hampir sama diduga kuat terjadi pula pada perikanan pukat ikan yang berbasis di Tanjung Pinang. Keadaan ini terindikasi oleh semakin meningkatnya jumlah unit penangkapan pukat ikan yang mendapatkan ijin penangkapan. Perikanan pukat ikan sejatinya adalah trawl yang tergolong sangat aktif dengan produktifitas yang relatif tinggi. Alat ini bersifat tidak ramah lingkungan, karena menangkap segala jenis dan ukuran ikan yang berada pada lintasan sapuan bagian mulut jaring. Berdasarkan pencatatan observer pada perikanan pukat ikan yang beroperasi di perairan lainnya (Kepulauan Riau) diperoleh rata-rata laju tangkap 84,82 kg/jam. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan famili diperoleh laju tangkap tertinggi adalah kelompok ikan carangidae dengan rata-rata laju tangkap sebesar 6,34 kg/jam (13,78 % dari total laju tangkap). 216 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN Jenis ikan demersal yang dominan tertangkap antara lain : kurisi (Nemipteridae) kakap (Lutjanidae), kapasan (Gerreidae) kuniran (Mullidae), sembilang (Arridae), bubunyai (Haemulidae), pari (Dasyatididae) dan beloso (Synodontidae). Tangkapan ikan pelagis didominasi oleh ikan karangid (Carangidae 13,8%), kembung (Scombridae 0,7%) Alu-alu (Sphyraenidae 0,1%). Produktivitas dan komposisi tangkapan pukat ikan diperoleh rata-rata laju tangkap 84,82 kg/jam. Tangkapan tertinggi adalah famili Carangidae dengan ratarata laju tangkap sebesar 6,34 kg/jam (13,78 %) dari total laju tangkap, berikutnya diikuti oleh Nemipteridae 6,24 kg/jam (13,55%), Lutjanidae 3,90 kg/jam (8,24 %), Gerreidae 2,96 kg/jam (6,43%), Mullidae 2,72 kg/jam (5,91%), Ariidae 2,71 kg/jam (5,89%) dan Haemulidae 2,30 kg/jam (5,00%). Laju tangkap udang (Penaeidae) relatif rendah yaitu 0,92 kg/jam (2,00%), sedangkan cumi-cumi 0,93 kg/jam (2,03%) dan sotong 0,47 kg/jam (1,03%). Laju tangkap ikan rucah (trash fish) 5,44 kg/jam (11,82%). Daerah penangkapan pukat ikan yang berbasis di Tanjung pinang umumnya dari Perairan Pulau Bintan hingga ke selatan sekitar Pulau Pejantan dan ke utara sekitar perairan Tokang Kemudi. Daerah penangkapan pukat ikan terletak pada posisi 1060 - 1090 LS & 010 - 020 BT. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset Pengkajian Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Ikan dan Pukat Cincin di Selat Malaka (WPP571) dan Laut China Selatan (WPP 711) TA. 2014 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Anonymus. 2008. Dinamika Populasi Sumberdaya Ikan Demersal dan Udang Penaeid di Laut Jawa (Losari Transek). Laporan Teknis Riset. Balai Riset Perikan Laut. Jakarta. Atmadja, S. B. 2008. Sumberdaya ikan pelagis kecil dan dinamika perikanan pukat cincin di Laut Jawa. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.100 pp. 217 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Burhanuddin., S. Martosewojo., A.Djamali dan R. Moeljanto. 1984. Perikanan Demersal di Indonesia. LON – LIPI, Jakarta. Hal : 9 – 55. De Bruin G.H.P., and B.C. Russel. (1994). The Marine fishery Resources of Srilanka. Food and Agriculture Organization of The Unite Nation Rome . 400 P. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 8. Hufiadi & E.Nurdin. 2006. Laju tangkap dan kepadatan stok ikan demersal di perairansekitar P.Berhala, Selat Malaka. Seminar Nasional Perikanan Tangkap.Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p.128-133 Sumiono, B. 2002. Laju tangkap dan kepadatan stok ikan demersal di perairan Selat Malaka.Jurnal Penelitian Perikanan laut.Jakarta BRKP.DKP.Vol 8. (1): 4151. Trap T.G and Kailola P.J. (1984). Trawled Fishes of southern Indonesia and Nortwestern Australia. The Australian Development Assistance Bureu. The Directorate General of Fisheries Indonesia, The German Agency for Technical Cooperation Australia, 406 p. 218 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) MUSIM PENANGKAPAN, LAJU TANGKAP DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DI LAUT CINA SELATAN Oleh Thomas Hidayat , Tegoeh Noegroho2 dan Umi Chodrijah3 1 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan Februari sampai Desember 2014 di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat, Kalimanatan Barat, dan bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang laju tangkap, musim penangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan. Data primer diperoleh dengan pencatatan langsung yang dilakukan enumerator pada hasil tangkapan kapal jaring insang hanyut, sedangkan data sekunder yang dianalisis merupakan data statistik perikanan dari PPN Pemangkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju tangkap 4.518 kg/ trip, atau sama dengan 545,8 kg/setting. Musim penangkapan terjadi pada sekitar Maret, Agustus dan November, sementara musim paceklik pada Februari dan Mei. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang di Laut Cina Selatan didominasi oleh tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 41%, tongkol komo (Euthynnus affinis) 39%, tenggiri (Scomberomorus commerson) 11%. Ikan tongkol abu-abu yang tertangkap paling dominan berukuran 47 - 49 cmFL dan tongkol komo 41 - 46 cmFL, hal ini menunjukkan sebagian besar hasil tangkapan sudah tergolong ikan dewasa. KATA KUNCI : Jaring insang, laju tangkap, musim penangkapan, Laut Cina Selatan PENDAHULUAN Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 Laut Cina Selatan dan Laut Natuna merupakan perairan dengan kedalaman rata-rata 70 m dan banyak terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Perairan ini memiliki potensi sumberdaya ikan yang 219 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) besar, khususnya ikan pelagis kecil dan pelagis besar. Hasil tangkapan dari Laut Cina Selatan didaratkan di beberapa tempat seperti Pemangkat, Tanjung Pinang dan Bangka-Belitung. Pemangkat merupakan salah satu tempat pendaratan utama dari kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Cina Selatan. Di PPN Pemangkat terdapat beberapa jenis alat tangkap yaitu : pukat cincin (purse seine), jaring insang hanyut (gill net), lampara dasar, rawai dasar tetap dan boukeami. Produksi ikan yang didaratkan pada tahun 2012 mencapai 9.248 ton/tahun. Produksi ikan di Pemangkat didominasi pelagis kecil (layang 22%, selar 17%), ikan pelagis besar (tongkol komo 18%, tongkol abu-abu 12%), sisanya yaitu ikan demersal seperti kurisi, gulamah, manyung, udang dan lain-lain. Ikan-ikan pelagis besar seperti tongkol komo (Euthynnus affinis), tongkol abuabu (Thunnus tonggol) dan tenggiri (Scomberomorus commerson) tertangkap hanya oleh alat tangkap pukat cincin dan jaring insang hanyut. Produksi ikan pelagis besar terutama tuna neritik (tongkol komo, tongkol abu-abu dan tenggiri), dihasilkan 84 % oleh kapal jaring insang hanyut, sisanya 26 % disumbangkan oleh kapal pukat cincin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis laju tangkap, musim penangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap jaring insang di Laut Cina Selatan. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilakukan dari Februari sampai Desember 2014 terhadap hasil tangkapan jaring insang hanyut dengan daerah penangkapan Laut Cina Selatan dan sekitarnya yang didaratkan di PPN Pemangkat, Kalimantan Barat. Analisis Data Ukuran ikan pertama kali tertangkap atau Length at first capture (Lc) merupakan 50 % fraksi tertahan (ikan yang tertangkap) dari alat tangkap. Nilai Lc diperoleh dari data sebaran panjang yang dihitung dengan rumus (Sparre & Venema 1999): SLest= 1/(1+exp(S1-S2*L)).................................................................................................(1) 220 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Lc=S1/S2.........................................................................................(2) dimana: SLest : kurva logistic S1dan S2 : Konstanta Perhitungan Laju tangkap diperoleh dengan menggunakan rumus Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : ................................................................................... (3) dimana, CR= laju tangkap Cw = bobot tangkapan (kg) t = satuan waktu (trip) Dugaan musim penangkapan ikan ditentukan menggunakan metode persentase rata-rata (the average percentage methods) yang didasarkan pada analisis runtun waktu (times series analysis) (Spiegel, 1961). Sebagai berikut : 1. CPUE = Catch Per Unit of Effort U = 1 m ∑U i …………..................................................……. m i =1 (1) U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip) U i = CPUE per bulan (ton/trip) m = 12 (jumlah bulan dalam setahun) 2. Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen : Up = Ui x 100 % ………...................................………..…... (2) U 3. Indeks Musim Penangkapan IMi = 1 t ∑U p t i =1 ..……….…...................................................…….. (3) IMi = Indeks Musim ke i t = Jumlah tahun dari data 221 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) HASIL Armada dan Daerah Penangkapan Kapal jaring insang hanyut di Pemangkat rata-rata terbuat dari kayu berukuran 16-47 GT,dilengkapi mesin penggerak inboard merk Yanmar atau Jiangdong 100120 PK, perlengkapan lainnya alat penentu posisi (GPS). Banyaknya ABK 8-10 orang, dengan lama trip 9-12 hari sekali melaut. Alat tangkap jaring insang hanyut yang digunakan nelayan Pemangkat mempunyai ukuran panjang jaring sekitar 6.000-10.000 m, dalam 20-25 m, panjang tali pelampung 8-10m dengan besar mata jaring 4-5 inchi. Jaring ini tidak memiliki pemberat pada bagian bawahnya, sebagai gantinya menggunakan “benang kaki “ yaitu bagian bawah jaring sedalam sekitar 2 m yang terbuat dari bahan yang tenggelam. Pemberat logam hanya di bagian ujung – ujung jaring. Lebih lengkapnya desain jaring insang seperti terlihat pada Gambar 1. Pengoperasian jaring insang hanyut pada dasarnya sederhana yaitu setelah kapal sampai di daerah penangkapan (fishing ground) kapal akan berlayar dengan kecepatan sekitar 3 knot sambil menurunkan jaring, arah haluan kapal diusahakan berlawanan dengan arus laut. Setting atau penurunan alat tangkap biasanya dimulai sekitar pukul 16.00 WIB dan mulai ditarik (hauling) sekitar pukul 22.00 WIB. Penarikan jaring ke atas dek kapal dilakukan dengan bantuan mesin penggulung (power block) yang biasa disebut mesin gol, sambil menarik jaring ABK melepaskan ikan yang yang terjerat/terpuntal pada jaring kemudian jaring disusun agar mudah untuk operasi berikutnya. Proses penarikan jaring bila tidak banyak ikan sekitar 3 jam, tetapi bila banyak ikan bisa mencapai 6 jam. . Gambar 1. Desain jaring insang hanyut di Pemangkat 222 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Daerah penangkapan jaring insang hanyut di Pemangkat di sebelah Barat Pemangkat 1070-1090 BT yaitu sekitar P. Pejantan, P. Pengikik, P. Tambelan, pada bulan September - Oktober terlihat daerah penangkapan sekitar 1050 BT mendekati Tanjung Pinang, sedangkan secara vertikal daerah penangkapan menyebar dari 30 LU sampai 10 LS, di bulan Desember daerah penangkapan terjauh di Utara di sekitar P. Subi dan P. Natuna. Lebih lanjut sebaran daerah penangkapan jaring insang hanyut dapat dilihat di Gambar 2. Gambar 2. Daerah penangkapan jaring insang hanyut di PPN Pemangkat. Laju Tangkap dan Musim Penangkapan Nilai laju tangkap diperoleh dari hasil pencatatan enumerator terhadap hasil tangkapan tiap trip kapal jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan dari bulan dari Februari sampai Desember 2014. Laju tangkap rata-rata jaring insang hanyut adalah 4.518 kg/trip, atau sama dengan 545,8 kg/setting (Tabel 1). 223 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Laju tangkap jaring insang hanyut dari Laut Cina Selatan Bulan Produksi (kg) ∑ trip ∑ setting Laju tangkap (kg/trip) Laju tangkap (kg/setting) Februari 39759 8 66 4969,9 602,4 Maret 54157 8 65 6769,6 833,2 April 43745 10 89 4374,5 491,5 Mei 29235 9 70 3248,3 417,6 Juni 39620 7 63 5660,0 628,9 Juli 37805 8 66 4725,6 572,8 Agustus 35661 7 53 5094,4 672,8 September 26208 9 78 2912,0 336,0 Oktober 40130 9 76 4458,9 528,0 November 37437 9 70 4159,7 534,8 Desember 26618 8 69 3327,3 385,8 Rata-rata 8.4 70 4518,2 545,8 Dari analisis musim penangkapan dalam periode waktu selama 6 (enam) tahun dari 2008 sampai 2013, diketahui bahwa musim penangkapan kapal jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan terjadi pada sekitar Maret, Agustus dan November. Sedangkan musim paceklik diawali pada Februari dan Mei (Gambar 3). Gambar 3. Indeks Musim Penangkapan (IMP) jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan yang didaratkan di PPN Pemangkat. 224 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Komposisi Jenis Hasil Tangkapan Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan yaitu tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 41%, tongkol komo (Euthynnus affinis) 39%, tenggiri (Scomberomorus commerson) 11%, layaran (Istiophorus oriental) 3,5%, manyung (Arius sp) 1,8% dan lain-lain 2,6% (Gambar 4). Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan. Sebaran ukuran ikan tongkol abu-abu di Laut Cina Selatan selama 11 bulan menyebar normal dengan 1 modus pada kelas 47 - 49 cmFL, sedangkan struktur ukuran tongkol abu-abu berkisar dari 35 - 85 cmFL. Gambar 5. Struktur ukuran tongkol abu-abu hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan. 225 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Ukuran ikan tongkol komo yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan berkisar antara panjang cagak (FL) 35 - 64cm, dengan modus 41 - 46 cmFL. Gambar 6. Struktur ukuran tongkol komo hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan. BAHASAN Rata-rata laju tangkap jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan selama penelitian (Februari - Desember 2014) yaitu 4.518 kg/trip, atau sama dengan 545,8 kg/setting (dengan lama trip rata-rata 9 - 12 hari). Hal ini berbeda dengan laju tangkap alat tangkap ini Laut Jawa 306,3 kg/setting (Hidayat & Noegroho, 2013), sedangkan laju tangkap di perairan Thailand 223 kg/setting (Yesaki, 1991). Musim penangkapan kapal jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan terjadi pada sekitar Maret, Agustus dan November serta musim paceklik pada Februari dan Mei, sementara musim penangkapan terjadi pada bulan Agustus dan November. Hasil penelitian Hendiarti et al. (2005) mendapatkan pada bulan Juni sampai Oktober (Musim Timur) kadar klorofil di Laut Jawa tinggi, pada Musim Timur arus permukaan arus bergerak dari Laut Banda melalui Laut Flores dan dari Selat Makassar ke Laut Jawa selanjutnya bergerak ke Laut Natuna dan Laut Cina Selatan membawa air yang kaya akan nutrisi (Hendiarti et al., 2005). Ikan tuna neritik (tongkol abu-abu dan tongkol komo) merupakan top predator dalam trophic level di perairan ini yang mangsanya ikan-ikan pelagis kecil. Tingginya kelimpahan klorofil yang mengindikasikan kelimpahan plankton akan memicu kelimpahan ikan pelagis kecil, yang membuat habitat perairan ini menjadi tempat yang menarik bagi ikan-ikan tuna neritik. Selanjutnya Lehodey et 226 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) al. (1998) menuliskan gerombolan tuna sering terlihat berada di sekitar perairan yang kelimpahan planktonnya tinggi. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang di Laut Cina Selatan didominasi oleh tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 41%, tongkol komo (Euthynnus affinis) 39%, tenggiri (Scomberomorus commerson) 11%. Di Laut Jawa komposisi hasil tangkapan jaring insang tongkol komo (Euthynnus affinis) 54 %, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 36 %, tenggiri ( Scomberomorus commerson) 9 % (Hidayat & Nugroho, 2013). Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang di Laut Cina Selatan dan di Laut Jawa memiliki persamaan dimana didominasi oleh tongkol abu-abu, tongkol batik dan tenggiri. Hal ini diduga karena tongkol komo, tongkol abu-abu dan tenggiri cenderung hidup pada kelompok (schooling) yang sama (Collete & Nauen, 1983). Ukuran ikan tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan berkisar antara panjang cagak (FL) 35 - 85cm, dengan modus 47 - 49 cmFL. Ukuran ikan tongkol komo berkisar antara panjang cagak (FL) 35-64 cm, dengan modus 41 - 46 cmFL. Hal ini berbeda dengan ukuran tongkol abu-abu yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Jawa antara 25 - 60 cmFL, dengan modus 43 cm, sedangkan ukuran ikan tongkol komo 22 – 49 cmFL, dengan modus 37 cm (Hidayat & Noegroho, 2013). Sedangkan ukuran rata-rata tongkol abu-abu dengan alat tangkap ini di Thailand adalah 38,7 cm, dan tongkol komo rata-rata 39,2 cm (Yesaki, 1991). Ukuran tongkol abu-abu hasil tangkapan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan paling banyak pada ukuran 47 - 49 cmFL dan tongkol komo 41 - 46cmFL. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol abu-abu dan tongkol komo yang tertangkap alat ini sebagian besar sudah tergolong dewasa. Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (length at first maturity/Lm) ikan tongkol abu-abu di perairan Laut Cina Selatan adalah 40 cmFL (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2014), di perairan Taiwan sekitar 37 cm (Chiang et al., 2011), sementara Lm ikan tongkol komo di Laut Jawa adalah 33,7 cm (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2012). Dengan demikian jaring dapat dikatakan jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan adalah ramah lingkunngan karena dapat menjamin pembaruan populasi. 227 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN Rata-rata laju tangkap jaring insang hanyut di Laut Cina Selatan adalah 4.518 kg/trip. Musim penangkapan terjadi pada sekitar Maret, Agustus dan November serta musim paceklik pada Februari dan Mei. Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang di Laut Cina Selatan didominasi oleh tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) 41%, dan ikan yang tertangkap sebagian besar sudah tergolong dewasa. Dengan demikian penangkapan ikan tongkol dengan menggunakan jaring insang hanyut akan menjamin kelestarian sumber daya di Laut Cina Selatan. PERSANTUNAN Makalah ini merupakan kontribusi dari Kegiatan “Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan Dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Di WPP 711 Laut Cina Selatan Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan”.Balai Penelitian Perikanan Laut tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Perikanan Laut. 2012. Laporan Akhir.Penelitian Distribusi Dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Di WPP-716 Laut Sulawesi DanWPP-712 Laut Jawa. Balai Penelitian Perikanan Laut. 2014. Laporan Akhir.Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan Dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis BesarDi WPP 711 Laut Cina Selatan Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan. Chiang W.C.,H. Hsu,S.C. Fu,S.C. Chen, C.L. Sun, W.Y. Chen, D.C. Liu, W.C. Su. 2011. Reproductive biology of longtail Tuna (Thunnus tonggol) from coastal waters off Taiwan. Working Party on Neritic Tuna 01, IOTC 2011. Collete B.B. and C.E. Nauen. 1983.FAO Special Catalogue. Vol. 2 Scombrids Of The World An Annotated And Illustrated Catalogue Of Tunas, Mackerels, Bonitos, And Related Species Known To Date. FAO Fisheries Synopsys.125 (2): 33-34 Hendiarti, N., Suwarso, E. Aldrin, K. Amri, S. I. Sachoemar & I. B. Wahyono. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java.Oceanography 18 (4).112-123. 228 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hidayat T..&,T. Noegroho. 2013. Perikanan jaring insang hanyut di Laut Jawa. Bunga Rampai. Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Jawa. PT Penerbit IPB Press. ISBN. 978-979-493-631-3. Lehodey, P., J. Andre, M. Bertignac, J. Hampton, A.Stoens, C. Menkes, C. Memery, & N. Grima. 1998. Predicting skipjack tuna forage distributions in the equatorial Pacific using a coupled dynamical bio-geochemical model. FisheryOceanography 7(3/4):317–325. Sparre P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis, Buku 1. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian R.I. Jakarta. 438 hal. Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics.Schaum Publ. Co., New York. 359 p. Yesaki M, 1991. Interaction between fisheries for small tunas off the South China Sea coast of Thailand And Malaysia.In Interactions of Pacific Tuna Fisheries. Vol. 1-Summary Report and Paper on Interaction. FAO Fish. Tech. Pap. (336/1):300-319. 229 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENERAPAN METODE Data Envelopment Analysis DALAM EVALUASI EFISIENSI PUKAT CINCIN GUNA MENGOPTIMALKAN PRODUKTIVITAS Oleh Tri Wahyu Budiarti dan Mahiswara ABSTRAK Pesatnya perkembangan pukat cincin di Pemangkat memicu nelayan untuk berusaha meningkatkan hasil produksinya. Peningkatan produksi ini dilakukan dengan cara meningkatkan upaya penangkapan dan meningkatkan input upaya penangkapan semaksimal mungkin. Keadaan seperti ini malah menyebabkan penurunan hasil tangkapan karena terjadinya penurunan sumberdaya ikan di lokasi penangkapan yaitu Laut Cina Selatan. Penurunan kemampuan tangkap ini mempengaruhi perubahan cara pandang para pengelola perikanan terkait bagaimana menentukan perhitungan guna menghasilkan hasil tangkapan yang optimal dengan penggunaan input seefisien mungkin. Penelitian ini dilakukukan guna mengevaluasi efisiensi unit penangkapan pukat cincin dalam hal ini penggunaan jumlah input produksi. Metode yang digunakan pada pengolahan data adalah metode Data Envelopmnet Analysis (DEA) dengan bantuan program DEAP 2.1. Berdasarkan hasil persamaan produktivitas dengan metode Cobb-Douglass dan uji statistik diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin berukuran 30 – 60 GT di Pemangkat adalah lama waktu trip, kebutuhan ransum dan bahan bakar yang digunakan. Hasil perhitungan fluktuasi dan rata-rata produksi optimal berada di bawah fluktuasi dan rata-rata produksi aktual. Sehingga agar nilai produksi optimal dapat dicapai perlu dilakukan penurunan sampai tingkat yang efisien terhadap ketiga input variabel tersebut. Kata kunci: DEA, efisiensi, produksi optimal, pukat cincin di Pemangkat 230 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap utama yang digunakan nelayan Pemangkat untuk menangkap ikan pelagis di perairan Laut Cina Selatan. Pesatnya perkembangan unit penangkapan pukat cincin yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat dipengaruhi juga adanya perluasan daerah penangkapan nelayan pukat cincin daerah lain, misalnya Pekalongan. Sejalan dengan investasi kapal baru yang lebih besar (80 – 100 GT) pada 1982-1983 menyebabkan peningkatan kapasitas penangkapan (dimensi ukuran jaring, ukuran kapal, dan kekuatan mesin), strategi penangkapan dan perluasan daerah penangkapan pukat cincin Pekalongan ke bagian timur Laut Jawa dan Laut Cina Selatan (Atmadja 2002). Selain itu perkembangan pukat cincin dipicu juga oleh adanya penggunaan lampu untuk meningkatkan efektifitas penangkapan menggantikan peranan rumpon yang ditanam di laut pada tahun 1986-1987 (Atmadja dan Sadhotomo, 1995). Pada tahun yang sama mulai berkembang penggunaan pukat cincin di Pontianak dan pada tahun 1990 meluas ke Pemangkat Kabupaten Sambas. Pada kenyataannya peningkatan jumlah upaya dan modifikasi/ penambahan jumlah input misalnya penggunaan lampu dan fish finder tidak serta-merta menguntungkan nelayan, bahkan terindikasi adanya kelebihan tangkap sehingga lambat laun akan menurunkan kemampuan tangkap karena terjadinya penurunan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Penurunan kemampuan tangkap ini mempengaruhi perubahan cara pandang para pengelola perikanan terkait bagaimana menentukan perhitungan guna menghasilkan hasil tangkapan yang optimal dengan penggunaan input seefisien mungkin. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menentukan nilai produksi optimal yang sesuai dengan penggunaan input dalam kondisi efisien. Data Envelopment Analysis (DEA) sebagai salah satu metode dalam mengukur efisiensi relatif yang mengasumsikan input berdasarkan output diharapkan dapat dijadikan sarana dalam memecahkan permasalahan tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan metode DEA untuk menentukan produksi optimal unit penangkapan pukat cincin di Pemangkat pada penggunaan input yang efisien. METODE PENELITIAN Pengambilan data penelitian dilakukan pada Februari- November 2014 di PPN Pemangkat pada kapal berukuran 30 – 60 GT. Data yang dijadikan sebagai bahan 231 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) analisis berupa aspek teknis operasional dan hasil tangkapan 12 unit (96 trip). Aspek teknis operasional tersebut antara lain: panjang kapal (m), kekuatan mesin (HP), panjang jaring (m), daya lampu (watt), lama trip (hari), jumlah ABK (orang), bahan bakar (ton), dan ransum (Rupiah) Setiap usaha memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan, dan perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi berproduksi, ketentuan ini berlaku juga untuk usaha penangkapan. Pada kenyataannya di lapangan terdapat beberapa masalah terkait penggunaan faktor-faktor produksi (input). Untuk menentukan faktor produksi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglass. Pengolahan data produktivitas dilakukan dengan bantuan program MS Excel dan SPSS versi 22. Persamaan fungsi Cobb-Douglass yang digunakan adalah sebagai berikut : Y = boX1b1 X2b2 X3b3...................... Xnb eu.......................................(1) keterangan : Y : variabel yang dijelaskan X : variabel yang menjelaskan (faktor produksi) b0, b1, b2.... bn : besaran yang akan diduga u : kesalahan (disturbance term) e : bilangan natural ≈ 2,718 Untuk memudahkan pendugaan, maka persamaan tersebut diubah menjadi persamaan linier berganda dengan cara melogaritma naturalkan (Ln) persamaan tersebut, sehingga bentuk persamaannya menjadi sebagai berikut : Ln Y = Ln b0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + ............+ bn Ln Xn + u Ln e..(2) keterangan : Y adalah produktivitas kapal pukat cincin dan X1 (panjang kapal), X2 (kekuatan mesin), X3 (panjang jaring), X4 (daya lampu), X5 (lama trip), X6 (jumlah ABK), X7 (solar), dan X8 (Ransum) yang merupakan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produktivitas kapal pukat cincin. Derajat keeratan hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel tak bebas (Y) dilakukan dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2). Uji F-statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama faktor produksi yang digunakan (X) terhadap produksi (Y), dan uji t-statistik untuk mengetahui pengaruh faktor produksi (X) secara individu terhadap produksi (Y). 232 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pengukuran efisiensi teknis penangkapan dilakukan dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan bantuan software DEAP version 2.1 (Colli et al. 2005), kemudian pengolahan analisis dilanjutkan menggunakan program Microsoft Excel. DEA merupakan analisis program matematik untuk mengestimasi efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Faktor input (X) yang berpengaruh terhadap output/ hasil tangkapan (Y) berdasarkan hasil perhitungan metode Cobb Douglas dijadikan vektor output (u) dan vektor inputs (x). Diandaikan terdapat m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989; 1994): ……....................................................................(3) dimana : J θ1 u jm ≤ ∑ z j u jm , (output dibandingkan DMU) j =1 J ∑z j =1 j x jn ≤ x jn , j x jn = λ jn x jn , J ∑z j =1 n∈ xf n ∈ xv z j ≥ 0, j = 1,2,..., J , λ jn ≥ 0, n =1,2,..., N , dimana TE adalah technical efficiency (efisiensi teknis), zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; θ 1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan m output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan λ*jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output, TECU) kemudian didefinisikan dengan menggandakan θ1* dengan produksi 233 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU) berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: TECU = u 1 = * ....................................................................(4) * θ1 u θ1 Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input ( λ ) pada masing-masing DMU sehingga diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). Mengitung VIU yaitu dengan cara membandingkan variabel optimum dengan variabel aktual. Dimana: VIU<1 : terjadi kapasitas berlebih input penangkapan, sehingga diperlukan pengurangan VIU. VIU>1: terjadi kekurangan input penangkapan, sehingga diperlukan penambahan input atau pengembangan usaha. VIU=1: tingkat kapasitas optimal (efisien). Dengan bantuan MS Excel diperoleh nilai input yang efisien, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan nilai produksi optimal dengan memasukkan nilai input optimal ke dalam persamaan produksi yang telah terbentuk pada persamaan Cobb Douglass hasil perhitungan sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pada kapal pukat cincin berukuran 30 – 60 GT, terdapat dua belas unit kapal yang dianalisis, dengan rata-rata panjang kapal 21.09 m (Tabel 1). Hasil analisis persamaan regresi berganda pada fungsi produksi menurut Cobb-Douglass bahwa dari delapan jenis input (faktor produksi) yang dianalisis terdapat tiga faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin yaitu X5 (lama trip), X7 (bahan bakar), dan X8 (Ransum) (Tabel 2). 234 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Rata-rata output dan faktor input pada kapal berukuran 30 - 60 GT Output/ Input Ket. Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Rata-rata Simpangan baku N (kapal) Hasil tangkapan (ton) Panjang Kapal (m) Kekuatan mesin (PK) Panjang jaring (m) Daya lampu (kilowatt) Trip (hari) Jumlah ABK (orang) Bahan bakar (liter) 21,03 21,09 265 541,7 47,45 18 21 9,25 3,97 1,60 51,9 5,1 15,36 0,97 1,00 2,28 12 12 12 12 12 12 12 12 Ransum (juta Rupiah) 5,08 1,41 12 Hasil pengujian pengaruh bersama-sama faktor produksi yang digunakan (X5, X7, X8) terhadap produksi (Y) yang dilakukan dengan uji F memenuhi persyaratan uji (Fhitung > Ftabel) dengan tingkat signifikan 0.02 (kurang dari 0.05). Begitu juga hasil statistik uji t untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor input (X5, X7, X8) terhadap produksi (Y) memenuhi persyaratan uji yaitu nilai t hitung masing-masing faktor tersebut lebih besar daripada nilai t tabel, dengan tingkat signifikan masingmasing faktor kurang dari 0.05 pada taraf kepercayaan 95% (Tabel 2). Adapun persamaan produksi yang diperoleh berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada kapal berukuran 30 – 60 GT tersebut adalah Y = -32.23 + 1.906 X5 + 1.013 X7 + 1.976 X8, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.832. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor tersebut (lama trip, bahan bakar, dan ransum) dapat menjelaskan nilai produksi (Y) sebesar 83.2%, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Tabel 2. Parameter estimasi model produksi kapal berukuran 30 - 60 GT t hitung t tabel Beta Sig Konstanta -32,23 X5 1,906 3,042 1,860 0,016 X7 1,013 3,806 1,860 0,005 X8 1,976 4,778 1,860 0,001 F hitung F tabel sig 13,247 4,07 0,02 235 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Hasil perhitungan efisiensi teknis kapal pukat cincin berukuran 30 – 60 GT dengan menggunakan metode DEA (Gambar 1 dan Lampiran 3) diketahui terdapat empat unit kapal pukat cincin yang kurang efisien (TE = 0.85 ~ 1) dan delapan unit kapal lainnya dalam keadaan efisien (TE = 1). Sehingga dapat dikatakan dari kedua belas unit pukat cincin yang dianalisis hanya terdapat sekitar 66,67 % unit yang kapasitas penangkapannya efisien (TE = 1) atau terdapat 33,33% yang mengalami kapasitas berlebih (TE < 1). Ketidakefisienan ini disebabkan karena adanya kelebihan pemanfaatan input produksi (excess capacity) pada pengoperasian pukat cincin di Pemangkat. KM L KM K KM J KM I KM H l a p a KM G K a m KM F a N KM E KM D KM C KM B KM A 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00 Efisiensi Gambar 1. Distribusi efisiensi teknis pukat cincin 30 – 60 GT Tingkat pemanfaatan input variabel (VIU) pukat cincin dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisiensi teknis sama dengan satu (TE = 1). Jika rasio VIU kurang dari satu (VIU < 1.00) maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu melakukan pengurangan penggunaan input tersebut (Fare et al. 1994). Secara umum tingkat pemanfaatan input variabel pukat cincin yang berbasis di Pemangkat sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU satu (VIU = 1). Pada penggunaan variabel input diketahui hanya satu unit kapal yang tidak efisien (VIU = 0.75 ~ 1) dalam melakukan penambahan jumlah input lama waktu trip dan ransum dan sebelas unit lainnya efisien (VIU = 1). (Gambar 2). Setelah diperoleh hasil VIU maka dapat ditentukan juga nilai kapasitas berlebih kapal pukat cincin yang dianalisis dengan cara melakukan pengurangan antara 236 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DMU (%) jumlah input optimal (input target) dengan jumlah input aktual (input observasi). Kapasitas berlebih (excess capacity) ini menunjukkan nilai berlebihnya jumlah input yang digunakan pada pengoperasian pukat cincin. Rata-rata prosentase kapasitas berlebih terjadi pada bahan bakar sebesar -0.791% dan ransum sebesar -0.451%. Dengan rata-rata tingkat pemanfaatan VIU bahan bakar sebesar 0.992 dan ransum 0.995, maka perlu rata-rata potensi perbaikan bahan bakar 63.694% dan ransum 36.306% (Tabel 2). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0,75 - 1 =1 Trip BBM Ransum Variable Input Utilization Gambar 2. Distribusi nilai VIU pukat cincin berukuran 30 – 60 GT Tabel 2. Rata-rata kapasitas berlebih, tingkat VIU dan potensi perbaikan kapal berukuran 30 – 60 GT Keterangan 1. Kapasitas berlebih (%) - Trip - Bahan bakar - Ransum 2. Tingkat VIU - Trip - Bahan bakar - Ransum 3. Potensi Perbaikan (%) - Trip - Bahan bakar - Ransum Nilai 0,000 -0,791 -0,451 1,000 0,992 0,995 0,000 63,694 36,306 237 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Produksi Optimal Pukat Cincin Berukuran 30 – 60 GT Nilai produksi aktual adalah nilai hasil tangkapan unit pukat cincin dalam keadaan sebenarnya (saat observasi). Nilai produksi aktual pukat cincin berukuran 30 – 60 GT ini bervariasi yaitu antara 3.60 – 46.50 ton setiap trip. Rata-rata produksi aktual keduabelas unit pukat cincin Pemangkat yang berukuran 30 – 60 GT adalah 21.03 ton setiap trip. Berdasarkan persamaan produksi yang diperoleh dari analisis regresi linier terhadap faktor produksi diperoleh tiga faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin berukuran 30 - 60 GT yaitu jumlah hari per trip, bahan bakar, dan ransum. Dengan memasukkan nilai faktor produksi pada tingkat kapasitas yang efisien dari hasil perhitungan efisiensi teknis maka dapat ditentukan nilai produksi optimal pukat cincin yang berukuran 30 – 60 GT. Hasil pendugaan nilai produksi optimal pada keduabelas unit kapal pukat cincin di Pemangkat yang berukuran 30 – 60 GT pada kisaran 14.22 – 25.02 ton/ trip atau rata-rata sebesar 19.74 ton/trip. Sehingga terdapat selisih rata-rata sebesar 6.54% dibandingkan dengan rata-rata produksi aktualnya (Gambar 3). 30 Produksi (ton) 25 20 15 10 5 0 0 2 4 6 Nama Kapal 8 10 Produksi aktual Produksi optimal Rata-rata produksi aktual Rata-rata produksi optimal 12 Gambar 3. Produksi aktual, optimal dan rata-rata pukat cincin berukuran 30-60GT PEMBAHASAN Berdasarkan hasil persamaan produktivitas dengan metode Cobb-Douglass, dan hasil uji statistik diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin berukuran 30 – 60 GT di Pemangkat adalah lama waktu trip, kebutuhan ransum dan bahan bakar yang digunakan. Sudibyo (1998) menyatakan bahwa hasil produksi pukat cincin di Pekalongan sangat nyata dipengaruhi oleh faktor 238 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) panjang kapal, lama trip, dan bahan bakar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suherman dan Fitri (2004), bahwa kebutuhan bahan bakar mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin di Bajomulyo, Juwana. Wiyono dan Hufiadi (2014) menyatakan bahwa hasil tangkapan pukat cincin skala kecil di perairan utara Jawa dipengaruhi oleh tiga faktor input yaitu panjang kapal, kebutuhan es, dan jumlah perbekalan yang dibawa. Keseragaman faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin di Pemangkat dengan pukat cincin di wilayah utara Jawa tersebut mengindikasikan bahwa faktor input yang bersifat variabel (bahan bakar, lama trip, kebutuhan ransum, dan lainnya) mempunyai pengaruh lebih besar daripada faktor input yang bersifat tetap. Dengan tujuan memperoleh hasil tangkapan yang semaksimal mungkin, nelayan Pemangkat akan lebih mudah dan lebih murah dalam meningkatkan faktor-faktor input variabel, daripada merubah ukuran kapal dan ukuran pukat cincin. Peningkatan upaya penangkapan yang dilakukan nelayan dapat menurunkan total hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) karena ikan yang menjadi target penangkapan semakin berkurang seiring dengan peningkatan upaya penangkapan (Purwanto dan Nugroho 2011). Peningkatan jumlah input variabel pada pukat cincin berukuran 30 – 60 GT akan menimbulkan ketidakefisienan dalam upaya penangkapan, karena adanya indikasi penurunan jumlah sumberdaya perikanan di Laut Cina Selatan yang dibuktikan dengan penurunan rata-rata CPUE berdasarkan data produksi perikanan PPN Pemangkat tahun 2005 - 2013. Salah satu konsekuensi penurunan produktivitas tersebut adalah turunnya nilai CPUE pukat cincin di Laut Cina Selatan sebesar 16,67 % jika dimisalkan bahwa jumlah potensi ikan pelagisnya tetap sama setiap tahunnya. Fenomena penurunan sumberdaya ini diperkuat juga oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di WPP RI bahwa kondisi beberapa ikan pelagis kecil (Banyar, Kembung, D. macrostoma dan D. ruselli) di perairan Laut Cina Selatan (WPP-711) telah mengalami penangkapan berlebih (fully exploited). Pada kapal berukuran 30 – 60 GT, jika faktor input yang digunakan besar, mereka memperoleh hasil tangkapan yang banyak, tetapi kemampuan kapal kurang mendukung dalam mengangkut hasil tangkapan. Pada kondisi ini memerlukan kapal lain dalam hal ini kapal angkut untuk mengangkut hasil tangkapan. Penggunaan kapal angkut tersebut ditengarai akan mengurangi keuntungan karena adanya biaya tambahan bahan bakar minyak untuk operasional kapal angkut. Sehingga dapat dikatakan kategori kapal pukat cincin berukuran 30 - 60 GT tersebut tidak efisien, 239 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) karena nilai produksi aktualnya melebihi produksi optimal. Agar diperoleh kapasitas input kapal yang efisien maka harus dilakukan pengurangan jumlah input sesuai dengan tingkat efisiensinya, sehingga produksi optimalnya tercapai. KESIMPULAN Berdasarkan analisis produksi terhadap 12 unit kapal pukat cincin berukuran 3060 GT di Pemangkat, terdapat kelebihan tangkap sebesar 6,54% dari nilai produksi optimalnya. Hal ini disebabkan karena adanya kelebihan input (excess capacity) pada dua jenis faktor produksi yang mempengaruhinya yaitu jumlah BBM (solar), dan nilai ransum. Sehingga agar nilai produksi optimal dapat dicapai perlu dilakukan penurunan sampai tingkat yang efisien terhadap ketiga input variabel tersebut. DAFTAR PUSTAKA Atmadja SB dan Sadhotomo B. 1995. Aspek Operasional Kapal Pukat Cincin di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 32. Jakarta. hal. 65-71 Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnel CJ, Bettese GE. 2005. An Introduction to efficiency and productivity Analisys. New York, USA. Springer Science Bussiness Media, LLC.347 P. Fare R, Grosskopf S, Lovell C.A.K. 1994. Production Frontiers. United Kingdom: Cambridge University Press. 296p. Purwanto & Nugroho D. 2011. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan Upaya Penangkapan pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 17 No.1. hal 23-30. Suherman A. dan Fitri ADP. 2004. Pengaruh Berbagai Faktor Input Terhadap Hasil Tangkapan Purse Seine di Bajomulyo, Juwana Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Laporan Kegiatan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro Semarang. 28 hal. Sudibyo. 1998. Studi Tentang Pengaruh Berbagai Faktor Input Terhadap Hasil Tangkapan Purse Seine di Pekalongan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 80 hal. Wiyono, ES & Hufiadi. 2014. Measuring the Technical Efficiency of Purse Seine in Tropical Small-scale Fisheries in Indonesia. Asian Fisheries Science 27 (2014). Asian Fisheries Society. 297-308. 240 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ASPEK PENANGKAPAN DAN KOMPOSISI PERIKANAN PUKAT CINCIN DI PEMANGKAT Oleh Wahyuni Nasution, Hufiadi dan Mahiswara ABSTRAK Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap perikanan pelagis kecil utama dan cukup produktif di perairan Laut Cina Selatan termasuk di wilayah operasi Pemangkat. Tulisan ini menyajikan informasi deskriptif mengenai aspek penangkapan perikanan pukat cincin dan komposisi hasil tangkapan dari kapalkapal yang berbasis di Pemangkat yang beroperasi pada tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kapal pukat cincin yang beroperasi pada tahun 2014 adalah sebanyak 30 unit. Perkembangan armada pukat cincin di Pemangkat semakin baik hal ini dapat dilihat dari penggunaan power block dalam operasi penangkapan, dan penggunaan frizzer sebagai pengganti balok es untuk menjaga mutu hasil tangkapan. Dari semua kapal pukat cincin, diketahui laju tangkap total dari keseluruhan kapal pukat cincin adalah 21004,7 kg/trip, dengan jumlah trip sebanyak 242 trip selama setahun. Kapal-kapal pukat cincin di Pemangkat telah mengalami perkembangan hal ini ditunjukkan dengan penggunaan frizzer sebagai pengganti es balok. Hasil tangkapan utama dari perikanan pukat cincin adalah ikan pelagis kecil. Dari pengamatan kapal KM Hoki Tuna yang terbesar terdiri dari jenis perikanan pelagis kecil dengan proporsi 73,4 %, perikanan pelagis besar dengan proporsi 29.22 %. KATA KUNCI: perikanan, pukat cincin, Laut Cina Selatan PENDAHULUAN Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang umumnya hidup pada lapisan permukaan dan terdiri dari banyak spesies yang 241 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) berukuran badannya relatif tetap kecil meskipun telah dewasa (Dwiponggo,1983). Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah – daerah dimana terjadi proses pengadukan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomasaa yang sangat besar (Csirke dalam Merta,et al.,1999). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Cina Selatan wilayah Indonesia telah berlangsung secara intensif sejak lama. Secara umum, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Laut Cina Selatan dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Cina Selatan wilayah Indonesia telah berlangsung secara intensif sejak lama, terutama oleh armada pukat cincin yang berbasis di Pemangkat, Palembang, dan Kepulauan Riau serta Pekalongan dan Juwana. Pengoperasian pukat cincin di Laut Cina Selatan difokuskan untuk sumberdaya ikan pelagis kecil. Armada kapal pukat cincin memiliki alat penangkapan yang selektivitas yang cukup tinggi, ditunjukkan oleh ukuran mata jaring yang distandarkan, lokasi penangkapan yang direncanakan dan musim penangkapan tertentu. Penggunaan rumpon pada perikanan pukat cincin di Pemangkat ditengarai menjadikan ikan permukaan berkumpul di seputar rumpon, bergabung dengan jenis ikan pelagis lain. Ekspansi kapal pukat cincin yang berasal dari perairan utara Jawa perairan Samudera Hindia menjadikan tekanan eksploitasi sumberdaya ikan (pelagis besar dan pelagis kecil) semakin tinggi. Tulisan ini menyajikan informasi deskriptif mengenai aspek penangkapan perikanan pukat cincin yang berbasis di Pemangkat yang beroperasi pada tahun 2014 beserta hasil tangkapan yang mendominasi dari kegiatan penangkapan KM Hoki Tuna yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pemangkat. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di tempat pendaratan ikan di PPN Pemangkat pada bulan Januari – November 2014. 242 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pengambilan Data Kegiatan penelitian dilakukan terhadap perikanan pukat cincin meliputi hasil tangkapan, teknik penangkapan, daerah penangkapan serta komposisi hasil tangkapan selama tahun 2014. Data hasil tangkapan per kapal dikumpulkan melalui ‘catch monitoring’ terhadap kapal-kapal pukat cincin yang mendaratkan hasil tangkapan di PPN Pemangkat. Pencatatan data dibantu oleh tenaga enumerator mengenai aspek penangkapan keseluruhan (dimensi kapal dll). Jenis data yang diperoleh yaitu berupa aspek penangkapan yang meliputi: ukuran kapal, dimensi alat tangkap, dan mesin kapal. Data lain yaitu berupa data yang terkait kegiatan operasi penangkapan yaitu: trip kapal penggunaan BBM dan hasil tangkapannya (harian, bulanan dan tahunan yang dikumpulkan dari buku laporan tahunan perikanan dan buku bakul di tempat pendaratan ikan). Informasi utama dari faktor inputan unit penangkapan ikan yang akan dihimpun meliputi: gross tonnage kapal (GT), panjang kapal (m), kekuatan kapal (HP), jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (liter), jumlah total hari di laut (jumlah tawur), daerah penangkapan. Sedangkan aspek output digunakan data produksi unit penangkapan. Data komposisi hasil tangkapan pukat cincin secara keseluruhan diambil setiap bulan, namun untuk komposisi secara detail dihimpun secara langsung dengan ikut serta dalam operasional penangkapan kapal pukat cincin yaitu KM Hoki Tuna. Data yang diambil adalah komposisi hasil tangkapan serta ukuran panjang ikan yang tertangkap oleh pukat cincin yang dioperasikan oleh kapal Hoki Tuna dalam satu trip operasi penangkapan. Analisis data Data hasil tangkapan tiap-tiap jenis ikan dijumlah, lalu dihitung persentasenya terhadap masing-masing hasil tangkapan total: Ci Ci % Ki = Ctotal Ctotal x 100% ………..…………………....................... (1) Ki = komposisi jenis ikan i Ci = hasil tangkapan i Ctot = hasil tangkapan total 243 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pendugaan ukuran rata-rata ikan pertama kali menggunakan metode kurva logistik, yaitu dengan memplotkan presentase frekuensi kumulatif dengan panjang ikan. Untuk mengetahui distribusi frekuensi ikan madidihang yang tertangkap, dibuat tabel frekuensi kumulatif (%). Perolehan data diperoleh melalui kegiatan survei di PPN Pemangkat yang merupakan sentra pendaratan ikan perikanan pukat cincin (purse seine) yang beroperasi di perairan Laut Cina Selatan dan sekitarnya. Data sekunder berasal dari data statistik perikanan dan data yang berasal dari institusi terkait, data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber (nelayan, pengurus, pemilik) menggunakan kuesioner dan beberapa form wawancara. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Jumlah Kapal Pukat Cincin di Pemangkat Unit penangkapan utama yang berbasis di PPN Pemangkat yakni perikanan pukat cincin (purse seine), jaring pancing ulur, jaring insang (gillnet), lampara dasar dan rawai dasar. Pada tahun 1991 - 1995, jumlah pukat cincin yang terdaftar adalah 6 unit; tahun 1996 jumlah kapal mulai meningkat sampai tahun 2003 mencapai 48 unit (Gambar 1), dengan rata-rata pertambahan tiap tahunnya 4 unit. Pada tahun 2004, jumlah kapal yang aktif beroperasi 42 unit, namun pada akhir tahun 2005 dan 2006 jumlah kapal aktif berkurang masing-masing menjadi 35 dan 32 unit (Hariati, et al. 2009). Pada 2007-2010 jumlah unit penangkapan kapal pukat cincin tidak mengalami penambahan jumlah yakni sebanyak 32 unit. Pada tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami penambahan jumlah unit penngkapan kapal pukat cincin berjumlah 34 unit. Terdapat tiga jenis kategori kapal pukat cincin berdasarkan atas fungsinya yaitu kapal penangkap (catcher boat), kapal lampu (light boat), dan kapal pengumpul dan pengangkut (collecting atau carrier vessel) (Widodo, 2010). Peningkatan unit penangkapan pukat cincin sangat dipengaruhi oleh perkembangan rumpon, kemudahan administrasi, membaiknya layanan kepelabuhan dan fasilitas infrastruktur yang memadai oleh pihak pelabuhan yang menyebabkan unit – unit penangkapan pukat cincin yang berada di sekitar wilayah PPN Pemangkat 244 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 1. Perkembangan armada (unit) perikanan di PPN Pemangkat Gambar 2. Perkembangan Produksi per Alat Tangkap di PPN Pemangkat Produksi ikan yang tercatat dalam statistik perikanan PPN Pemangkat menggambarkan produksi ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat dan di beberapa tangkahan yang berada di wilayah kerja PPN, yang berasal dari kapal-kapal penangkap pukat cincin yang berbasis di Pemangkat. Pada Gambar 2 menyajikan produksi total hasil tangkapan di PPN Pemangkat. Tampak bahwa pada periode tahun 2005-2011 hasil tangkapan yang paling bantak didaratkan adalah hasil tangkapan pukat cincin dibandingkan dengan alat tangkap lain. Hasil tangkapan pukat cincin mengalami kenaikan dari tahun 2007 sampe 2009, Tampak bahwa pada periode tahun 2005-2009 terjadi peningkatan produksi ikan yang didaratkan dengan nilai rata-rata kenaikan sebesar 28.7% dan mengalami penurunan pada tahun 2009 hingga 2012. 245 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Deskripsi Armada Pukat Cincin dan Pengoperasiannya Kapal (fishing vessel) pukat cincin Pemangkat terbuat dari kayu, kisaran panjang 15-25 m, lebar 4 - 7 m, dan dalam 1 - 3 m. Bobot kapal adalah 30 – 117 GT, 4 unit antara lain berukuran 30 - 34 GT (ukuran medium) dan 26 unit lainnya 50 112 GT (ukuran besar). Mesin penggerak yang digunakan berkekuatan 160-360 PK. Lama di laut umumnya berkisar 9-20 hari, dengan jumlah ABK umumnya berkisar 5-28 orang. Jumlah tawur 1-2 kali per hari, penggunaan BBM rata-rata 3-15 ton/ trip, dan penggunaan es balok 10-30 balok/trip dan sebagian lagi menggunakan frizzer. Jumlah kapal yang menggunakan frizzer adalah sekitar 10 unit. Kapal pukat cincin yang berbasis di PPN Pemangkat dalam pengoperasiannya menggunakan alat bantu penangkapan rumpon dan cahaya (lampu). Lampu yang digunakan dalam setiap operasi penangkapan ada dua jenis, yaitu lampu sorot dengan kapasitas daya 400 watt dan lampu bohlam dengan kapasitas daya 1500 watt. Jumlah daya lampu yang digunakan oleh satu unit penangkapan pukat cincin berkisar antara 36.000 watt – 75.000 watt. Kapal pukat cincin di Pemangkat sudah dibantu dengan alat navigasi diantaranya adalah fish finder, GPS, dan radio komunikasi. Sebagian besar kapal sudah menggunakan mesin pendingin (frizzer). Untuk kapal pukat cincin yang masih menggunakan pendingin es balok, hasil tangkapannya setiap hari dititipkan pada kapal penampung yang kemudian akan dibawa ketempat pendaratan. Jaring pukat cincin terbuat dari bahan nilon dengan 4 ukuran mata jaring dari atas ke bawah masing-masing adalah 4, 3, 2, dan 1 inci di bagian kantung. Panjang jaring 510 - 600 m, dan dalam jaring 105 – 127.5 m. Para pemilik kapal pukat cincin Pemangkat mempunyai kapal pengangkut hasil tangkapan (carrier vessel) dari daerah penangkapan ke pangkalan (di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat) yang berjumlah 21 unit dan berukuran 5 - 40 GT. . 246 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 3. Desain Alat tangkap pukat cincin di PPN Pemangkat Keterangan Gambar: Ris atas dan tali pelampung PE Ø 2 x10 mm : 570 m. Ris bawah dan tali pemberat rope PE Ø10 dan16 mm : 800m. Dalam jaring 42 m Pelampung putih sintesis rubber Panjang 15,4 cm x Ø 9,8 cm./ Y-50. Pelampung kuning sintetis raber Panjang 20,3 cm Ø 11,4 cm , jarak pelampung rata-rata 30 cm, ( untuk bagian kantong) Pemberat timah panjang 4,9 cm Ø. 3.3 cm @ 250 g. = 500 kg , jarak antar pemberat 7-8 cm Cincin kuningan @ 2kg, = 100 buah, tali cincin panjang 0,8 m PE Ǿ 10 mm, jarak antar tali cincin = 6 m Tali kolor Nylon Ø 48 mm, Panjang 800 m/4 rool. 247 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Upaya Penangkapan (Jumlah Trip) Nilai laju tangkap diperoleh dari data hasil trip kapal masuk yang beroperasi selama tahun 2014. Laju tangkap total dari keseluruhan kapal pukat cincin adalah 21004,7 kg/trip, dengan jumlah trip sebanyak 242 trip selama setahun. Rata-rata laju tangkapan armada pukat cincin yang berbasis di Pemangkat adalah 18828 kg/trip (lamanya satu trip 9-20 hari). Dari Tabel 1. Diketahui bahwa hasil tangkapan pukat cincin yang paling besar terjadi pada bulan Juni, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada bulan Januari. Data pada bulan Januari diketahui didata pada pertengahan bulan. Tabel 1. Laju tangkap pukat cincin 2014 Bulan Hasil Tangkapan (Kg) Jumlah trip Laju Tangkap (Kg/trip) Februari 10825 4 2706.25 Maret 119039 19 6265.21 April 511450 26 19671.15 Mei 700557 28 25019.89 Juni 921760 29 31784.83 Juli 551292 28 19689.00 Agustus 383263 23 16663.61 September 594715 28 21239.82 Oktober 613615 28 21914.82 November 676619 29 23331.69 Daerah Penangkapan Pukat Cincin Daerah penangkapan pukat cincin umumnya mencapai posisi garis lintang antara 20 dan 40LU, hingga mencapai perbatasan Vietnam. Seperti tertera pada Gambar 4, daerah penangkapan dari beberapa armada pukat cincin Pemangkat yang berhasil dihimpun berada di sekitar lintang20 LS - 40LS dan1070 – 1100 BT. Sebelumnya daerah penangkapan pukat cincin Pemangkat tidak jauh dari Pelabuhan yaitu disekitar pulau Pulau Mindai dan PulauTimou. 248 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Seiring semakin menurunnya hasil tangkapan, ekspansi ke perairan yang lebih jauh terjadi yaitu hingga keperairan sekitar kepulauan Natuna Besar, Pulau Selor dan Pulau Panjang. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun diperoleh informasi bahwa, pada musim angin Selatan pukat cincin pemangkat umumnya beroperasi disekitar Pulau Subi dan Pulau Sugi yaitu merupakan perairan yang berbatasan dengan Malaysia. Armada pukat cincin Pemangkat melakukan operasi di sekitar pulau-pulau kecil di perairan Natuna yaitu Muri, Midai, Panjang, Sabang Mawang, Subi, Seluan, Seraya, dan Pulau Tiga pada kedalaman 40 - 100 m (Hariati, et al 2009). Berdasarkan pada posisi yang direkam oleh alat (black box onboard) yang dipasang di salah satu kapal pukat cincin Pemangkat pada bulan Juni - Agustus 2004, daerah penangkapan yang ditempuh kapal pukat cincin adalah perairan sekitar Pulau Natuna Besar pada kedalaman 30 - 80 m (Siriraksophon, 2006). Gambar 4. Posisi daerah penangkapan (fishing ground) pukat cincin yang berbasis di Pemangkat Komposisi Hasil Tangkapan Pukat Cincin Hasil tangkapan kapal pukat cincin menunjukkan bahwa ikan yang dominan tertangkap dari keseluruhan adalah jenis ikan pelagis kecil yakni ikan Bentong (Selar crummenopphthalmus) dan Ikan Layang (Decapterus spp) yang merupakan hasil tangkapan utama yang banyak tertangkap di perairan Laut Cina Selatan sekitar 249 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) rumpon. Identifikasi hasil tangkapan perikanan pukat cincin dicatat melalui kegiatan observer dari kapal KM Hoki Tuna. Ikan layang (Decapterus spp) merupakan hasil tangkapan utama pula pada perikanan purse seine di Laut Jawa, dengan tingkat produksi 60% dari hasil tangkapan total, ikan pelagis kecil lainnya. seperti ikan kembung, lemuru, selar, bentong dan tembang (Aziz et al., 2000). Hasil tangkapan KM Hoki Tuna menunjukkan bahwa ikan yang dominan tertangkap adalah jenis ikan pelagis kecil seperti ikan layang (Decapterus sp) dan Bentong (Selar crumenophthalmus) dan ikan pelagis besar tongkol batik (Euthinnus affinis) dan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol). Komposisi hasil tangkapan kapal pukat cincin KM. Hoki Tuna dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil tangkapan bentong yaitu sebanyak 4309 kg, ikan layang sebesar 2358 kg, dan ikan tongkol sebesar 2032,5 kg. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dikhususkan untk menangkap ikan jenis pelagis, namun dalam operasinya tidak menutup kemungkinan menangkap ikan jenis pelagis besar. Hasil pengamatan terhadap komposisi hasil tangkapan dari pukat cincin yang dioperasikan oleh kapal KM Hoki Tuna diketahui bahwa presentasi ikan pelagis kecil yang tertangkap adalah sebesar 70,78%; ikan pelagis besar sebesar 29.22 %. Spesies yang dominan dan berhasil diidentifikasi berturut-turut adalah: Layang (Decapterus russelli), Bentong (Caranx crumenophthalmus), sedangkan untuk ikan pelagis besar didominasi oleh ikan tongkol batik (Euthinnus affinis). Berdasarkan hasil pengukuran morfometrik ketiga jenis ikan tersebut (panjang total, tinggi tubuh dan lingkar tubuh) diperoleh panjang total ikan layang berkisar 7,9 – 22 cm (ratarata 15,22 cm), Bentong berkisar 7,2 – 20,5 cm (rata-rata 15,19 cm). (Tabel 2). 250 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 5. Komposisi hasil tangkapan kapal pukat cincin KM Hoki Tuna di Pemangkat Tabel 2. Ukuran ikan pelagis kecil (cm) dominan tertangkap pukat cincin (KM Hoki Tuna) Jmh TL Rataan Tinggi Rataan Lingkar tbh Rataan N cm cm cm cm cm cm Layang biru (Decapterus macrosoma) 132 8,5 - 20 16,88 1,1-5,5 3,0 4,2 – 10,4 8,5 Layang (Decapterus russelli) 227 7,9 – 22 15,22 1,4 – 4,9 3,2 3,8 – 12.9 8,5 Bentong (Selar crummenopphthalmus) 227 7,2 – 20.5 15,19 1,6 – 6,5 4,2 4,2 – 15,6 10,5 IKAN 251 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) (a) (c) (b) (d) Gambar 6. Ukuran panjang (a) layang biru (Decapterus macrosoma); (b) layang (Decapterus russelli); (c) bentong (Selar crummenopphthalmus); (d) tongkol batik (Euthinnus affinis) Ukuran yang dominan tertangkap untuk ikan layang (Decapterus russelli) 1819 cm dan ikan bentong (Selar crummenopphthalmus) 19-20 cm. Ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan layang (Decapterus russelli) betina adalah 18,97 cm dan untuk yang jantan adalah 21,2 cm. Ikan banyar (Rasterlliger kanagurta) berkelamin betina ukuran pertama kali matang gonad 20,37 cm sedangkan yang jantan 20,87 cm (Pralampita, 2010). Diduga ikan pelagis kecil yang dominan sudah matang gonad dengan kisaran ukuran diatas ukuran nilai Lm yaitu 18,97 cm. Komposisi perikanan pelagis besar terdiri dari Tongkol batik (Euthynnus affinis) sebesar 73,4%, tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) sebesar 8,7%, dan ikan layaran (Istioporus oriental) sebesar 6,9 % dari keseluruhan total hasil tangkapan ikan pelagis besar sebesar 2763.5 kg. Kisaran ukuran tongkol batik yang tertangkap oleh alat tangkap pukat cincin adalah 8,7 – 20 cmFL. 252 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Kekhawatiran terhadap tekanan sumberdaya ikan pelagis kecil, yaitu rata-rata umur ikan lebih muda banyak yang tertangkap dan menimbulkan adanya upaya peningkatan laju eksploitasi serta akan menimbulkan rekruitmen over fishing, berhubung ukuran pertama kali ikan yang tertangkap (Lc) lebih besar daripada pertama kali matang gonad (Lm) serta penetapan spesifik daerah pemijahan dari hasil tangkapan purse seine masih sulit dilaksanakan (Widodo,1991). Menurut Sumarto dalam Sunarjo (1990) sifat menggerombol ikan ini pada umumnya membelakangi rumpon, dan selalu menghadap/menentang arus. Sifat menggerombol ikan layang tidak terbatas dengan ikan sejenisnya, bahkan kerap kali bergabung dengan jenis lainnya, seperti bawal (Stromateus sp) , Selar (Caranx sp) , ikan Tembang (Sardinella sp) dan lain-lainnya. Hal ini yang menyebabkan komposisi utama dari kapal pukat cincin (purse seine) adalah ikan layang dan selar. Menurut penelitian Hariati (2011), operasi penangkapan pukat cincin menggunakan tiga cara atau metode, metode yang komposisi hasil tangkapannya paling banyak adalah cara ketiga yaitu menangkap kelompok ikan pelagis yang berkumpul di bawah benda yang terapung (kayu/ sampah). Jenis-jenis ikan yang tertangkap terdiri atas ikan pelagis besar dan kecil dan didominansi oleh ikan cakalang dan layang biru (Decapterus macarellus) bersama jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan siro dan banyar. Selanjutnya tertangkap ikan kuwe, alu-alu, semar, tongkol krei, tongkol komo,lisong, mandidihang, dan kambing-kambing. Jenis-jenis hasil sampingan yang tertangkap dikarenakan ikan cakalang,layang, dan jenisjenis lainnya sedang berkumpul dengan solid dan tidak banyak bergerak sehingga mudah ditangkap, dibandingkan dengan gerombolan ikan cakalang dan lainnya yang tertangkap menggunakan cara satu. KESIMPULAN Kapal pukat cincin Pemangkat terdiri dari yang berukuran besar 50 - 112 GT sebanyak 26 unit dan yang berukuran medium (30 - 34 GT) sebanyak 4 unit. Ukuran kapal berkisar antara panjang 15-25 m, lebar 4 - 7 m, dan dalam 1 - 3 m. Panjang jaring yang digunakan berukuran 510 - 600 m, dan dalam jaring 105 – 127.5 m. Hal ini membuktikan bahwa kapal pukat cincin di Pemangkat telah mengalami perkembangan, baik dari segi ukuran, metode pengoperasian, dan metode pendingin (frizzer). Daerah penangkapan pukat cincin umumnya mencapai posisi garis lintang antara 20 dan 40LU, hingga mencapai perbatasan Vietnam dengan lamanya 253 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) trip berkisar antara 9-20 hari laut dan jumlah ABK 5-28 ABK. Hasil tangkapan dari pukat cincin KM Hoki Tuna terdiri dari perikanan pelagis kecil, perikanan pelagis besar dan perikanan demersal. Jenis ikan pelagis kecil terdiri dari ikan Bentong (Selar crumenophthalmus), Layang biru (Decapterus macrosoma), ikan layang (Decapterus russelli), dan untuk perikanan pelagis besar didominasi oleh ikan Tongkol Batik (Euthinnus affinis), Tongkol Abu-abu (Thunnus tonggol). dan Cumi-cumi (Loligo sp). Hasil pengukuran panjang cagak (Fork Length) ikan layang (Decapterus russelli) yang tertangkap memperlihatkan kisaran panjang 7,922 cmFL, ikan layang lonco (Decapterus macrosoma) adalah 8,5 – 20 cm FL dan bentong (Selar crummenopphthalmus) memiliki kisaran panjang 7,2-20,5 cmFL. DAFTAR PUSTAKA Aziz,K.A., J.Widodo, Mennofatria Boer, Asikin Djamali dan A.Ghofar , 2000. Reevaluasi Potensi Sumberdaya Ikan Up Dating Potensi Sumberdaya Ikan Ekonomis Penting (Laporan Akhir). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan , IPB ,Bogor. Dwiponggo,1983.Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia,Laporan Penelitian Perikanan Laut No.2 Puslitbang Perikanan Jakarta. Hariati, Tuti. 2009. Perikanan Pukat Cincin di Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. Vol.15 No.1 Maret: 79-91. Hariati, tuti. 2011. Status dan perkembangan perikanan pukat cincin Di Banda Aceh. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. Vol.17 no.3: 157-167. Merta.I.G.S.,B.Sadhotomo dan J.Widodo,1999. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil dan Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta. Pralampita, W.A & U. Chodriyah. 2010. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Layang (Decapterus russelli) dan Ikan Banyar (Rasterlliger kanagurta) yang Didaratkan DI Rembang, Jawa Tengah. BAWAL. Jakarta. Siriraksophon, S. 2006. Fishing operation and their fishing grounds targetting small pelagic fishes. Presented in the SEAFDEC Regional Conference on Pelagic Fisheries and it’s Management. Siemreap Cambodia. 21-24 November 2006. 14 pp. 254 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Sunarjo .1990 . Analisa Parameter Pertumbuhan Ikan Layang Deles (Decapterus macrosoma Blkr) di Perairan Laut Jawa Bagian Timur. (Skripsi) Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Widodo,J.1991. Maturity and Spawning of Shortfin Scad (Decapterus macrosoma) Carangidae of The Java Sea. Asian Fishery Society ,Manila. Widodo, A.A & B. I. Prisantoso. 2010. Keragaan Armada Pukat Cincin Tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik Indonesia. Jurnal Peneliti Perikanan Indonesia. Jakarta. 255 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KONDISI OSEANOGRAFI (SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A) PERAIRAN LAUT CINA SELATAN BERDASARKAN DATA MULTITEMPORAL Oleh Khairul Amri dan Yoke Hani Restiangsih ABSTRAK Laut Cina Selatan yang berada dalam perairan Indonesia ini merupakan salah satu kawasan perairan yang subur. Kedalaman perairan ini relatif dangkal di bagian selatan dan lebih dalam di bagian utara dan dikategorikan sebagai perairan neritik yang menjadi salah satu perairan yang memiliki potensi perikanan laut. Penelitian aspek oseanografi perairan ini dilakukan pada tahun 2014 menggunakan data multi temporal yang dianalisa dari citra Satelit MODIS Aqua. Data analisa sebaran SPL dapat memberikan gambaran mengenai pola sebaran dan nilai fluktuasi suhu permukaan laut perairan secara bulanan dan musiman. Sementara sebaran konsentrasi klorofil-a diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola dan tingkat kesuburan perairan yang menggambarkan produktifitas primer perairan. Hasil penelitian menunjukkan pola sebaran SPLsemakin ke arah barat daya (semenanjung Malaysia) cenderung lebih dingin dibandingkan ke arah timur (Kalimantan) dan barat (Sumatera) yang terlihat lebih hangat. Massa air bersuhu lebih dingin di bagian barat daya ini memiliki salinitas yang lebih tinggi. Salinitas lebih rendah umumnya berada di sekitar pantai baik di pesisir Kalimantan Barat maupun Sumatera (Riau Kepulauan) yang menunjukkan adanya pengaruh massa air dari limpasan sungaisaungai besar. Perairan ini pada musim hujan (September-Desember dan JanuariFebruari) terlihat relatif subur dengan konsentrasi kandungan klorofil-a yang lebih tinggi asupan unsur hara (nutrien) yang terbawa massa air sungai yang pengaruhnya terlihat sampai ke bagian tengah perairan. Kata Kunci: SPL, klorofil-a, data multi temporal, Laut Cina Selatan 256 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PENDAHULUAN Laut Cina Selatan (LCS) berdasarkan Permen KP No. PER 01/MEN/2009 adalah bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711. Perairan WPP 711 ini wilayahnya cukup luas meliputi perairan Laut Cina Selatan dan Laut Natuna di bagian utara serta perairan Bangka-Belitung dan Selat Karimata di bagian selatan. Luas wilayah perairan LCS diperkirakan mencapai sekitar 595 000 km². Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang memiliki kedalaman relatif dangkal di bagian selatan dan lebih dalam di bagian utara. Secara umum, perairan ini dikategorikan sebagai perairan neritik dengan kedalaman rata-rata 70 m dan merupakan salah satu daerah potensi perikanan laut. Bentuk perairan ini memanjang dari timur laut ke barat laut, mulai dari Selat Baski (Selat antara Taiwan dan Filipina) hingga ke perairan Indonesia. Laut Cina Selatan yang berada dalam wilayah Indonesia, merupakan bagian perairan LCS yang memisahkan antara daratan Kalimantan dengan Sumatera. Lautan ini terbentuk oleh genangan laut zaman Plestoin dan dibangun oleh topografi dasar perairan yang sangat sederhana (Suyarso, 1997). Dari segi potensi, Laut Cina Selatan yang berada dalam perairan Indonesia ini merupakan salah satu kawasan perairan yang kaya akan sumber daya perikanan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Makassar (MREP, 1999 dalam Anonim, 2002). Kondisi oseanografi suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan dan sebaran sumberdaya ikan yang ada dalam perairan tersebut. Dinamika oseanografi di Laut Cina Selatan mengalami perubahan sesuai monsun dan pergerakan airnya dipengaruhi perpindahan massa air dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Tulisan ini mengkaji kondisi oseanografi perairan Laut Cina Selatan wilayah Indonesia dengan fokus pada data suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a sebagai indikator produktivitas primer perairan. 257 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) BAHAN DAN METODE Bahan Dalam studi ini digunakan data citra sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a hasil pengukuran sensor satelit Aqua MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Data yang dianalisa adalah citra periode 2010-2014. Data citra sebaran SPL dan konsentrasi Klorofil-a dalam bentuk level-2 (bulanan) MODIS di-download dari NASA website (http://www.reason.gsfc.nasa.gov). Data lainnya untuk melengkapi pembahasan diperoleh dari kajian literatur terkait. Metode Data SPL diduga dengan menggunakan algoritma standard MODIS 11 µm NLSST Algorithm (http://nasa.gsfc.gov) sedangkan data konsentrasi klorofil-a diduga berdasarkan algoritma OC3M (O’Reilly et al., 2000) yang merupakan algoritma default dalam SeaDAS 5.2. Semua data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini belum diverifikasi dengan data hasil pengukuran lapangan. Data analisa sebaran SPL diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola sebaran dan nilai fluktuasi suhu permukaan laut perairan secara bulanan dan musiman. Sementara sebaran konsentrasi klorofil-a diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola dan tingkat kesuburan perairan yang menggambarkan produktifitas primer perairan. Dari kedua analisa data tersebut juga akan terlihat gambaran pola arus permukaan perairan yang ditunjukkan dengan kecenderungan pergerakan massa air yang dipresentasikan dengan perubahan SPL dan sebaran klorofil-a berdasarkan analisa data secara time series (deret waktu). Analisa tambahan dilakukan dengan membandingkan data literatur sebagai pelengkap. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Sebaran Spasial dan Temporal SPL Pola sebaran spasial Suhu Permukaan Laut (SPL) perairan Laut Cina Selatan ditampailkan pada Gambar 1 (Jananuari-Juni) dan Gambar 2 (Juli-Desember). 258 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Dari citra terlihat sebaran SPL perairan LCS pada bulan Januari- Februari lebih rendah dengan masuknya massa air bersuhu dingin dari arah utara. Selanjutnya mulai bulan Maret massa air dengan nila SPL rendah mulai menghilang dan SPL mulai mengangat pada bulan April-Mei dan kemudian menurun pada bulan JuniJuli-Agustus SPL sedikit menurun dan selanjutnya Oktober-November SPL mulai mengangat. Kemudian pada bulan Desember SPL kembali mengalami penurunan. Massa air dengan nilai sebaran SPL lebih hangat umumnya berada di bagian tengah perairan, sementara di bagian pinggir perairan seperti pantai barat Kalimantan dan pantai timur semenanjung Malaysia SPL cenderung lebih rendah. Diduga hal ini terkait dengan pengaruhnya masuknya massa air dari beberapa muara sungai. JAN MAR FEB FEB Kalimantan Sumatera Kalimantan Sumatera Kalimantan Sumatera MEI APR JUN Kalimantan Kalimantan Kalimantan SPL (0C) Sumatera Sumatera Sumatera Gambar 1. Citra sebaran SPL bulanan Laut Cina Selatan (Januari-Juni 2014) 259 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) JUL SEP AGS Kalimantan Sumatera Kalimantan Kalimantan Sumatera OKT Sumatera NOV Kalimantan DES Kalimantan Kalimantan SPL (0C) Sumatera Sumatera Sumatera Gambar 2. Citra sebaran SPL bulanan Laut Cina Selatan (Juli-Desember 2014) Selama pengamatan 2010-2014, suhu permukaan laut berfluktiasi setiap tahunnya. Pada tahun 2010 SPL di Laut Cina Selatan cenderung lebih tinggi, sementara pada tahun 2011 suhu permukaan laut menurun dan pada tahun 20122013 mengalami peningkatan secara perlahan (Gambar 3). Secara umum fluktuasi nilai rata-rata suhu permukaan laut memiliki tren yang sama, yaitu antara MaretSeptember meningkat tetapi terjadi sedikit penurunan pada bulan Agustus dan Nopember-Februari rata-rata suhu permukaan laut cenderung menurun. Kisaran tertinggi selama periode pengamatan terjadi pada bulan Mei untuk setiap tahunnya yaitu masing-masing dengan nilai sebaran 31,52 °C, 30,66 °C, 30,79 °C, 31,43 °C, dan 31,27 °C. Sedangkan nilai terendah terjadi pada bulan Januari masing-masing dengan nilai sebaran 28,32 °C, 27,17 °C, 27,51 °C, 28,14 °C, dan 26,63 °C (Gambar 3). 260 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) WPP 711 32 Suhu Permukaan Laut (oC) 31 30 29 28 27 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt 26 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 3. Grafik nilai rata-rata bulanan SPL di LCS selama periode 2010-2014 Sebaran Spasial dan Temporal Klorofil-a Sebaran spasial dan temporal klorofil-a permukaan (Gambar 4 dan Gambar 5) menunjukkan bahwa perairan Laut Cina Selatan merupakan perairan yang subur dengan nilai sebaran klorofil-a permukaan yang tinggi. Konsentrasi klorofil-a tinggi umumnya terlihat di perairan pantai terutama di pesisir Kalimantan Barat (Indonesia) dan wilayah pesisir Sabah-Serawak (Malaysia). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di wilayah pesisir berasal dari aliran air yang masuk melalui muara-muara sungai besar di lokasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa tingginya klorofil-a di wilayah pesisir akibat pengkayaan nutrien dari aliran massa air dari daratan. Klorofil-a tinggi ditemukan sepanjang tahun di pesisir, sementara di bagian tengah perairan pada bulan Maret-Agustus nilai sebaran klorofil-a cenderung rendah akibat berkurangnya aliran nutrien karena musim kemarau (volume massa air dari sungai berkurang). Selanjutnya, memasuki bulan September sampai Desember dan kemudian berlanjut Januari-Februari, sebaran klorofil-a kembali meningkat seiring datangnya musim hujan, sehingga aliran nutrien kembali meningkat dan menyuburkan perairan. 261 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) JAN FEB Kalimantan Sumatera Kalimantan Sumatera Kalimantan Sumatera MEI APR Kalimantan Sumatera MAR JUN Kalimantan Sumatera Kalimantan Klo-a (mg/l) Sumatera Gambar 4. Citra sebaran Klorofil-a permukaan bulanan di perairan Laut Cina Selatan (Januari-Juni 2014) 262 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) JUL Kalimantan Sumatera Kalimantan Kalimantan Sumatera Sumatera OKT NOV Kalimantan Sumatera SEP AGS DES Kalimantan Sumatera Kalimantan Klo-a (mg/l) Sumatera Gambar 5. Citra sebaran Klorofil-a permukaan bulanan di perairan Laut Cina Selatan (JuliDesember 2014) Nilai sebaran rata-rata bulanan klorofil-a selama periode 2010-2014 di perairan Laut China Selatan memiliki tren yang seragam, kecuali pada tahun 2014 terdapat tren klorofil-a yang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya (Gambar 6). Jika pada tahun-tahun sebelumnya nilai klorofil-a berfluktuasi setiap bulannya, pada tahun 2014 terjadi penurunan nilai rata-rata klorofil-a pada bulan Januari – Maret dan mulai terjadi peningkatan pada bulan April – Juli dan mengalami penurunan kembali pada bulan Agustus. Kisaran nilai rata-rata bulanan klorofil-a tertinggi dijumpai pada tahun 2014 pada bulan Juli dengan nilai 0,70 mg/m3. Sedangkan yang terendah pada bulan Maret 2014 dengan nilai 0,23 mg/m3. Pada akhir 2014, nilai rata-rata klorofil-a sangat rendah dibanding tahun lainnya. 263 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 0,8 WPP 711 0,7 Klorofil-a (mg/m3) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt 0 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 6. Fluktuasi nilai rata-rata bulanan klorofil-a bulanan di perairan Laut Cina Selatan 2010-2014 PEMBAHASAN Dari segi geografis, Laut Cina Selatan yang berada di wilayah perairan Indonesia termasuk perairan dangkal yang merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf). Dasar lautnya ditutupi lumpur dan pasir serta karang, topografinya melandai dari selatan ke utara (Wyrtky, 1961). Kedalaman dasar perairan bagian selatan Laut Cina Selatan ini bervariasi berkisar antara 20 meter (sekitar BangkaBelitung) di bagian selatan hingga 90 meter di bagian utara (Laut Natuna). Berdasarkan literatur, bentuk dasar perairan sebelah barat Kalimantan pada umumnya cukup dangkal dengan bentuk dasar bergelombang dan tidak curam. Sedangkan di perairan ke arah Sumatera dasar perairannya cenderung agak rata (tidak bergelombang) atau lebih landai. Dari irisan melintang topografi dasar perairan, terlihat bahwa semakin ke arah utara yakni di perairan Laut Natuna, dasar perairannya jauh lebih dalam dan lebih curam (Anonim, 1997). Bentuk-bentuk 264 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) topografi yang umum dijumpai di dasar perairan Laut Cina Selatan diantaranya adalah dataran, kanal dan bentuk-bentuk topografi karang/reef (Suyarso, 1997). Dari segi oseanografis, Laut Cina Selatan merupakan suatu kanal yang menghubungkan pertukaran massa air antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia melalui Selat Malaka, Selat Sunda dan sebagian besar melewati Laut Jawa dan masuk melalui beberapa selat di Kepulauan Nusa Tenggara. Dampak pertukaran massa air tersebut diketahui banyak berpengaruh terhadap kondisi iklim di Indonesia. Dominansi dan penyebaran masing-masing massa air tersebut di bagian selatan perairan Laut Cina Selatan sangat tergantung pada musim. Pada musim barat (Desember-Pebruari) angin munson di bagian utara (sekitar Kepulauan Natuna) kebanyakan berarah utara sampai timur laut dan pada musim timur (Juli – September) angin kebanyakan berarah selatan sampai barat daya (Ilahude, 1997). Sekali-sekali angin munson tersebut dapat berarah barat laut pada musim barat dan berarah tenggara pada musim timur. Pada musim peralihan I (Maret-Mei) dan peralihan II (September-Nopember) kecepatan angin umumnya lemah dan arahnya tidak menentu. Adanya angin muson ini menimbulkan adanya arus-arus paras/ permukaan laut yang berganti arah sesuai dengan peralihan munson. Pada musim barat arah arus permukaan khususnya di Selat Karimata ke arah selatan atau selatantenggara dan pada musim timur arahnya utara atau utara-barat laut (Ilahude, 1997). Selain oleh angin munson, Armondo di Laut Cina Selatan juga ditimbulkan dan dipelihara oleh perbedaan tinggi muka laut antara Pulau Belitung dan Kepulauan Natuna yang berubah-ubah sesuai perubahan musim (Wyrtky, 1961). Arus tersebut yang merupakan bagian utama dari Armondo dan adalah kelanjutan dari “monsoon current” yang ada di Laut Jawa (Berlage, 1927), pada musim timur membawa massa air dari Laut Jawa masuk ke Laut Cina Selatan. Massa air ini umumnya memiliki salinitas yang rendah karena telah mengalami banyak pengenceran dari sungaisungai di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada musim barat, hal sebaliknya yang terjadi yaitu massa air bersalinitas tinggi diangkut oleh Armondo dari Laut Cina Selatan melalui Kepulauan Natuna masuk ke Selat Karimata dan selanjutnya menuju Laut Jawa (Ilahude, 1997). Beberapa sungai besar dan anak-anak sungainya mempengaruhi massa air di perairan bagian selatan Laut Cina Selatan ini, di antaranya adalah Sungai Musi, Sungai Batanghari dan Sungai Siak (di Sumatera) yang mengalir dari arah barat. Sementara dari arah timur (Kalimantan) mengalir dari Sungai Kapuas dan Sungai Sambas. Massa air yang masuk dari sungai ini selain mempengaruhi parameter fisik 265 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) seperti suhu, kecerahan dan salinitas, juga mempengaruhi tingkat kesuburan perairan (klorofil-a) akibat asupan nutrien yang terbawa aliran massa air. Dari sebaran SPL terlihat bahwa pada musim hujan, massa air di sekitar pesisir Kalimantan Barat dan pesisir timur Sumatera cenderung lebih rendah sementara konsentrasi klororil-a permukaannya cenderung tinggi. Ini memandakan bahwa asupan massa air dari muara-muara sungai pada musim hujan memiliki nilai sebaran SPL lebih rendah dengan saat musim kemarau. Massa air tersebut juga membawa nutrien sehingga kesuburan perairan meningkat ditandai dengan tingginya kandungan klorofil-a pada saat itu. Secara umum, suplai nutrien di Laut Cina Selatan terlihat sangat tergantung kepada suplai nutrien yang berasal dari asupan dari daratan melalui limpasan massa air di muara-muara sungai di sekitar perairan ini. KESIMPULAN Secara umum, massa air Laut Cina Selatan yang berada dalam wilayah perairan Indonesia memiliki karakteristik oseanografi fisik dan kimia yang relatif sama dengan perairan Indonesia pada umumnya. Suhu permukaan laut rata-rata 29, 84 0C. Pola sebaran suhu semakin ke arah barat daya (semenanjung Malaysia) cenderung lebih dingin dibandingkan ke arah timur (Kalimantan) dan barat (Sumatera) yang terlihat lebih hangat. Massa air bersuhu lebih dingin di bagian barat daya ini memiliki salinitas yang lebih tinggi. Salinitas lebih rendah umumnya berada di sekitar pantai baik di pesisir Kalimantan Barat maupun Sumatera (Riau Kepulauan) yang menunjukkan adanya pengaruh massa air dari limpasan sungai-saungai besar. Perairan ini pada musim hujan (September-Desember dan Januari-Februari) terlihat relatif subur dengan konsentrasi kandungan klorofil-a yang lebih tinggi asupan unsur hara (nutrien) yang terbawa massa air sungai yang pengaruhnya terlihat sampai ke bagian tengah perairan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Penelitian Aspek Biologi, Tingkat Pemanfaatan dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar di WPP 571 Selat Malaka dan WPP 711 Laut Cina Selatan untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan T.A. 2014, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. 266 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Anonim. 2002. Laporan Akhir Penelitian Sumber Daya Kelautan di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Cina Selatan, Khususnya Perairan Belitung, Bangka dan Kalbar. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Anonim. 2009. Permen KP No. PER 01/MEN/2009 Tentang WIlayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Berlage, H.P. 1927. Monsoon currents in the Java Sea and its entrances. Verh. Magn. Met. Obs. Batavia, 19: 1-28 Ilahude, A.G. 1997. Sebaran Suhu, Salinitas, Sigma-T dan Zat Hara Perairan Laut Cina Selatan. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. O’Reilly, J. E., S. Maritorena, D. A. Siegel, M. C. O’Brien, D. Toole, B. G. Mitchell, M. Kahru, F. P. Chavez, P. Strutton, G. F. Cota, S. B. Hooker, C. R. McClain, K. L. Carder, F. Muller-Karger, L. H. Harding, A. Magnuson, D. Phinney, G. F. Moore, J. Aiken, K. R. Arrigo, R. Letelier, and M. Culver. 2000. Ocean color chlorophyll-a a algorithms for SeaWiFS, OC2, and OC4: Version 4. In: Hooker, S.B. and E. R. Firestone (eds.): SeaWiFS postlaunch technical report series, Volume 11, SeaWiFS postlaunch calibration and validation analyses, Part 3. Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Maryland. NASA/TM-2000-206892, Vol.11. pp. 9-23. Pescod, M.B. 1977. Surface water quality criteria for tropical developing countries, water and health in hot climates. Suyarso, 1997. Lingkungan Fisik Kawasan Laut Cina Selatan. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Wyrtky, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report 2:1-195. 267 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) DINAMIKA POPULASI IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN NATUNA, LAUT CINA SELATAN Oleh Moh Fauzi, Suwarso dan Achmad Zamroni ABSTRAK Pendugaan parameter populasi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) melalui analisis distribusi frekuensi panjang bulanan dengan menganalisis sampel yang dikumpulkan di perairan Natuna, Laut Cina Selatan dari Januari 2012- Juli 2013. Data frekuensi panjang dianalisis dengan Program FiSAT. Hasil menunjukkan bahwa parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (L∞) dan laju pertumbuhan (K) adalah 23,1cm FL dan 1,3 Y-1. Pola rekrutmen menunjukkan satu puncak perekrutan. Kematian total (Z) adalah 8,1 dan tingkat eksploitasi (E) adalah 0,72. Pengelolaan yang lestari perlu mengurangi upaya penangkapannya, trip maupun jumlah hari di laut. Kata kunci: ikan layang, pertumbuhan, eksplotasi, Laut Cina Selatan PENDAHULUAN Perkembangan penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Laut China Selatan ke arah lepas pantai yang dirintis oleh armada pukat cincin Pekalongan sejak tahun 1985 di perairan Pejantan telah diikuti oleh nelayan Kalimantan Barat, khususnya di Pemangkat pada tahun 1990. Jumlah kapal pukat cincin Pemangkat yang pada tahun 1995 hanya enam unit, pada tiap tahunnya meningkat sampai mencapai 48 unit pada tahun 2003. Komposisi hasil tangkapan pukat cincin Pemangkat terdiri atas jenis ikan yang bersifat neritik dan oseanik, terutama jenis-jenis ikan pelagis kecil yaitu dua jenis ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma spp.), bentong (Selar crumenophthalmus) dan banyar (Rastrelliger kanagurta) (Hariati, 2009). Tingkat 268 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) pemanfaatan spesies ikan layang deles di perairan Laut Cina Selatan Indonesia 2003- 2005 sudah tinggi yakni mencapai 0,66 (Hariati, 2008). Ikan layang deles merupakan jenis ikan pelagis kecil yang penyebarannya meliputi Selat Sunda, perairan timur Indonesia Teluk Benggala, Filipina dan Laut Cina Selatan. Ikan ini hidup secara bergerombol di perairan pantai maupun lepas pantai yang berhubungan dengan laut dalam yang memiliki kadar garam tinggi. Eksploitasi ikan ini dilakukan oleh armada pukat cincin, payang dan jaring insang. Makanan utamanya berupa plankton kasar dan invertebrate kecil (Murniyati, 2003). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dinamika populasi meliputi parameter pertumbuhan, kematian dan tingkat eksploitasi ikan layang hasil tangkapan armada pukat cincin yang beroperasi di sekitar perairan Natuna Laut Cina Selatan. Parameter yang diperoleh diharapkan menjadi bahan masukan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis pelagis kecil. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data yang digunakan dalam analisis merupakan rangkaian sebaran frekuensi panjang cagak serial bulanan ikan layang deles (Decapterus macrosoma) hasil tangkapan armada pukat cincin yang didaratkan di PPN Pemangkat, Kalimantan Barat periode 2012-2013. Metode sampling Pengambilan sampel sesuai dengan prosedur standar pada kapal pukat cincin yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pemangkat, Kalimantan Barat. Pengukuran panjang cagak( FL) dalam satuan millimeter terdekat untuk analisis pertumbuhan dengan menggunakan kertas ukur measuring paper. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan serial bulanan menurut selang kelas panjang 5 mmFL. Data length frequency bulanan tersebut kemudian digandakan terhadap hasil tangkapan spesies layang deles dan diboboti dengan nilai panjang dan beratnya. Dari nilai pembobotan tersebut dilakukan analisa untuk menentukan kelompok-kelompok cohort (mean &sd) melalui metode Bhattacharrya. Dari kelompok-kelompok umur 269 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) ini akan diperoleh garis pertumbuhan Linking of mean yang dengannya diperoleh nilai starting sample dan lengthnya. Analisa data Pendugaan tingkat pemanfaatan ikan layang deles dilakukan dengan penentuan parameter-parameter pertumbhan terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy. Parameter-parameter pertumbuhan ikan tersebut adalah panjang asimptotik (L∞), koefisien laju pertumbuhan (K) dan umur teoretis pada saat panjang ikan nol (tnol). Pendugaan nilai L∞ dilakukan dengan metode Powell-Wetherall dalam paket program Fisat-II. Nilai L∞ yang didapat selanjutnya digunakan sebagai dugaan awal untuk memperoleh nilai K dengan menggunakan program ELEFAN I. Nilai tnol diduga dengan menggunakan persamaan empiris Pauly. Setelah parameter-parameter pertumbuhan ikan layang diketahui selanjutnya dilakukan penghitungan laju mortalitas total (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt. Pendugaan laju kematian alami (M) dihitung berdasarkan persamaan empiris Pauly. Nilai Z dan M kemudian digunakan untuk menduga laju kematian akibat penangkapan/ fishing mortality (F) dan laju eksploitasi ikan layang dihitung berdasarkan nisbah dari laju kematian akibat penangkapan dan mortalitas total. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kisaran Panjang Jumlah ikan layang deles yang diamati 895 ekor sampel terdiri dari 7 set data frekuensi panjang cagak bulanan yakni pada bulan Januari, Mei, Juni, Juli Agustus (2012) dan Juni, Juli (2013). Kisaran kelas panjang antara 10.75 hingga 20,75 cmFL. Berdasarkan hasil pengelompokkan ke dalam kelas panjang didapatkan 10 kelas panjang dengan frekuensi yang berbeda-beda untuksetiap kelas panjang tersebut Kelompok Umur Berdasarkan metode Bhatacharya, diperoleh kurva normal yang menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang ikan. Dari Januari 2012 hingga Juli 270 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) 2013, ikan layang deles mengalami pertumbuhan panjang, ditunjukan pergeseran modus ke arah kanan (Gambar 1). Sebaran kelompok ukuran ikan selar setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 1. Gambar 1.Sebaran panjang cagak ikan layang deles (D. macrosoma) di perairan Natuna 20122013 271 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Tabel 1. Sebaran kelompok ukuran layang deles (Decapterus macrosoma) Waktu Mean ± s.d. kelompok ukuran 1 kelompok ukuran 2 Januari 2012 13.85 ± 1.76837 Mei 2012 16.16 ± 0.64 0.64 Juni 2012 17 ± 0.47 0.47 Juli 2012 13.61 ± 0.5 16.5 ± 0.79 Agustus 2012 12.5 ± 0.67 15.62 ± 0.89 Juni 2013 16.1 ± 0.56 Juli 2013 15.67 ± 0.75 Parameter pertumbuhan Dengan menggunakan metoda plot Powell-Wetherall diperoleh dugaan panjang infiniti (Loo) = 23,1 (Gambar 2). Dugaan koefisien pertumbuhan (K) = 1,3cm/tahun didapat dengan menggunakan program Elefan I (k scan). Kurva pertumbuhan layang D. macrosoma yang dihasilkan dari sebaran frekuensi panjang cagak dapat dilihat pada Gambar 3. 272 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 2. Kurva regresi (Li –L’i) dan L’I ikan layang deles (D. macrosoma) di Laut Natuna 2012-2013 Gambar 3. Kurva koefisien pertumbuhan layang deles (D. macrosoma) di Laut Natuna 2012-2013 273 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Pola pertumbuhan Von Berrtalanfy dan kunci umur panjang dari layang deles di Laut Natuna disajikan pada (Gambar 4). Nilai dugaan to (umur teoretis pada saat panjang ikan sama dengan nol) didapat t0 = -0.0035. Nilai dugaan diperoleh menggunakan persamaan empiris Pauly (1983). Bila nilai parameter pertumbuhan yang digunakan adalah hasil analisis Bhattacharrya maka model pertumbuhan dan hubungan umur-panjang teoretis layang deles di Laut Natuna dengan persamaan Von Bertalanfy adalah: Lt = 23.1*[1- exp – 1.03 * (t+0.0035)] Gambar 4. Hubungan Panjang cagak dengan umur ikan layang deles di Laut Natuna 2012-2013 Mortalitas Nilai koefisien kematian total (Z) ikan layang diperoleh sebesar 8.1 per tahun. Nilai ini diturunkan dari hasil kurva hasil tangkapan konversi panjang (Length converted catch Curve) model plot Beverton and Holt. (Gambar 5) memperlihatkan kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan layang deles. Dengan memasukkan nilai K = 1.3cm tahun-1, L∞ = 23.1 dan T = 30°C ke persamaan empiris Pauly (1983), diperoleh nilai dugaan koefisien kematian alaminya adalah 2.26 tahun-1. Dari kedua nilai parameter tersebut maka nilai dugaan koefisiesn kematian karena penangkapan (F) dapat diduga dengan cara mengurangkan nilai koefisien kematian total (Z) terhadap koefisien kematian alami (M) yakni sebesar 5.84 tahun-1. 274 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Nilai dugaan status eksploitasi (E) diperoleh dengan membagi nilai dugaan koefisien kematian karena penangkapan (F=5.84) terhadap koefisien kematian total (Z=8.1). Nilai dugaan status eksploitasi (E) didapat sebesar 0.72 per tahun. Gambar 5. Kurva konversi panjang layang deles (D. macrosoma) di Laut Natuna 2012-2013 Pola Rekruitmen Hasil analisis rekrutment menunjukkan rekrutmen ikan layang deles terjadi sepanjang tahun dengan puncak rekrutmen cenderung satu kali dalam setahun (Gambar 6). Prosentase rekrutmen tertinggi pada Mei, Juni dan Juli sebesar 52.5% (Tabel 2). 275 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) Gambar 6. Pola rekruitmen layang deles (D. macrosoma) di Perairan Natuna 2012-2013 Tabel 2. Presentase rekrutmen ikan layang deles bulanan Bulan Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 276 Rekruitmen (%) 1.03 1.09 1.22 7.27 15.45 19.89 17.18 12.79 11.56 8.86 3.66 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) PEMBAHASAN Parameter populasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu sumberdaya di suatu perairan. Berdasarkan analisa metode powell watherall dan Elefan untuk L∞ dan K didapatkan nilai parameter pertumbuhan layang deles di Laut Natuna pada 2012-2013 adalah L∞ 23,1 cm FL dan laju pertumbuhan K 1,3 pertahun. Umur teoretis pada saat panjang nol (t0) sebesar -0.0035. Nilai K merupakan suatu parameter yang menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai batas limit bagian atas dari pola pertumbuhan ikan. Semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan maka ikan semakin cepat mencapai panjang maksimum. Berdasarkan hasil penelitian Hartati (2008) di perairan yang sama didapatkan nilai L∞ sebesar 25,84 cm dan K= 1,2. Nampak bahwa meskipun laju pertumbuhan layang deles masih sama seperti penelitian 10 tahun yang lalu, namun nilai L∞ cenderung semakin kecil. Menurut Laurec dan Le guen dalam Nurhakim (1993) bisa saja terjadi perbedaan nilai estimasi parameter pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena pengaruh interval contoh yang terambil dan perlakuan matematik untuk memperolehnya. Selain itu perbedaan bisa disebabkan oleh lamanya waktu pengambilan contoh, musim, ukuran sampel yang diambil serta lokasi penangkapannya (Aziz, et al 1992). Koefisien kematian menggambarkan berkurangnya kelimpahan ikan-ikan dalam satu kelompok umur pada kurun waktu tertentu di suatu perairan karena faktor alam maupun penangkapan. Diperoleh nilai koefisien kematian total (Z) sebesar 8.1 per tahun, koefisen kematian alami (M) sebesar 2,26 dan koefisien kematian karena penangkapan sebesar 5.84. Nilai parameter kematian ini meningkat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (10 tahun lalu) di perairan yang sama (Hariati, 2008) yakni Z = 4,92; M: 1,71 dan F 3,21. Kematian alami umumnya dipengaruhi oleh factor lingkungan kondisi perairan, predator, penyakit, kekurangan pakan dan mati karena tua. Nilai dugaan koefisien ini (M=2) dengan asumsi bahwa suhu rata-rata tahunan di Laut Cina Selatan adalah 30°C. Nisbah pemanfaatan (E) ikan layang biru hasil penelitian ini sebesar 0.72. Ini artinya tingkat pemanfaatan ikan layang di Laut Natuna sudah mencapai tingkat pemanfaatan optimumnya. Persentase pemanfaatan ikan layang sebesar 144% (=(E/0,5)*100%) dari tingkat optimumnya. Sehingga untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang berimbang dengan sumberdaya maka disarankan untuk tidak menambah jumlah armada atau mengurangi effort. 277 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) KESIMPULAN Tingkat eksploitasi ikan layang deles di perairan Natuna, Laut Cina Selatan telah melebihi nilai optimumnya (144%). Untuk itu saran pengelolaannya adalah mengurangi effort/upaya penangkapannya. Opsi pengelolaannya antara lain dengan mengurangi jumlah armada, trip maupun jumlah hari di laut DAFTAR PUSTAKA Azis, K.A., Muchsin, I. & Boer, M. 1992. Kajian Dinamika Populasi Ikan-Ikan Niaga Utama di perairan Pantai Barat Bengkulu. (Laporan Penelitian, tidak dipublikasikan). Fak. Perikanan IPB. Bogor. Hariati, T., Wudianto & Subagja. 2008. Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang (Decapterus Russelli Dan Decapterus Macrosoma) Dari Perairan Zona Ekonomi Ekslusif Laut Cina Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14(4): 393-401 Hariati, T., Chodriyah, U. & Taufik, M. 2009. Perikanan Pukat Cincin Di Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15(1): 79-91 Murniyati, A.S. 2003. Biologi 100 ikan laut ekonomis penting di Indonesia. Edisi 2. Sekolah Usaha Perikanan Menengah Tegal. 102 hal 278 Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Perairan Laut Cina Selatan (WPP-NRI 711) LAMPIRAN Lampiran 1. Sebaran panjang cagak layang deles di perairan Natuna 2012-2013 279