URGENSI PENGAWASAN PERIKANAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah, hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. UU 18/2012 menyatakan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pemanfaatan sumber daya perikanan saat ini semakin meningkat di berbagai kawasan, termasuk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan sumber daya ikan sebagai bahan pangan seafood untuk memenuhi kebutuhan perkembangan penduduk dunia, mendorong eksploitasi perikanan secara berlebihan. Kondisi ini diperburuk oleh cara-cara penangkapan ikan, penggunaan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing), serta penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unregulated, and unreported fishing/IUU fishing). Modus operandi IUU fishing pun beragam , antara lain: a. melakukan penangkapan ikan tanpa izin, b. mengunakan izin palsu, c. menggunakan alat tangkap yang dilarang, d. menangkap jenis ikan (spesies) yang tidak sesuai dengan izin, e. menangkap ikan di wilayah yang tidak sesuai ijin, 1 f. tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data hasil tangkapan, g. membawa ikan hasil tangkapan langsung ke negara lain (transhipment), h. penangkapan ikan di wilayah yang dilarang, i. menangkap ikan di wilayah kompetensi Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) tanpa mengindahkan ketentuan RFMOs maupun ketentuan internasional, j. penangkapan ikan menggunakan modifikasi Alat Penangkapan Ikan (API) atau Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI) ikan yang dilarang, k. danlain-lain. Praktek-praktek IUU fishing yang terjadi di WPP-NRI telah menyebabkan kerugian bagi Pemerintah RI, baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa kerugian material maupun immaterial, kerugian ekonomi, ekologi, maupun sosial. Kerugian ekonomi, antara lain potensi hilangnya Pungutan Hasil Perikanan (PHP), subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan dan penciptaan ketahanan pangan. Sedangkan kerugian dari aspek ekologi, antara lain berupa kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang diakibatkan oleh penggunaan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan. Praktek IUU fishing menyebabkan kesulitan otoritas pengelolaan perikanan untuk mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang akurat, yang diperlukan untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan. Dari aspek sosial, terbukti bahwa praktek IUU fishing di WPP-NRI menyebabkan nelayan dalam negeri yang notabene didominasi oleh nelayan-nelayan skala kecil, menjadi kalah bersaing, dan berpotensi mendesak matapencaharian masyarakat nelayan kecil. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2001, yang menyatakan bahwa bahwa negara-negara berkembang berpotensi kehilangan 25% dari stok sumber daya ikannya akibat dari kegiatan IUU fishing. Berdasarkan estimasi FAO tersebut, estimasi kerugian Indonesia akibat kehilangan sumber daya ikan bisa mencapai 1,6 juta ton/tahun, dengan asumsi nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 6,5 juta ton (sesuai Kep. Menteri KP No. 45/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di WPP-NRI). 2 Urgensi Pengawasan Perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Kegiatan-kegiatan sebagaimana diuraikan di atas, berpotensi mengancam kelestarian sumber daya perikanan, menimbulkan kerugian bagi negara, mengganggu kepentingan nelayan dan pembudidaya ikan, iklim industri dan usaha perikanan nasional, yang pada akhirnya akan mengancam ketahanan pangan. Untuk itu, peran pengawasan perikanan sebagaimana diamanatkan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU 45/2009 tentang Perubahan Atas UU 31/2004 tentang Perikanan menjadi sangat penting. Pengawas Perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Tabel. Data Kepal Perikanan Pelaku Illegal Fishing TAHUN DIPERIKSA DI AD HOC [unit] [unit] KII KIA KII+ KIA 2005 344 91 24 115 2006 1.447 83 49 132 2007 2.207 95 88 183 2008 2.178 119 124 243 2009 3.961 78 125 203 2010 2.253 24 159 183 2011 3.348 30 76 106 2012 4.326 42 70 112 2013 3.871 24 44 68 2014* 1.153 14 9 23 JUMLAH 25.088 600 768 1.368 Sumber : Direktorat Jenderal PSDKP, KKP, 2014. Keterangan ; - KII = Kapal Perikanan Indonesia - KIA = Kapal Perikanan Asing *) per- 31 Juli 2014 3 Dalam menanggulangi praktek-praktek IUU fishing di WPP-NRI, pengawasan perikanan yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan 2 (dua) pendekatan, hard structure dan soft structure, mulai dari hulu hingga hilir. Pendekatan hard structure dilakukan dilakukan dengan memeriksa dokumen perizinan, melakukan pemantauan posisi dan pergerakan kapal perikanan menggunakan sarana vessel monitoring system (VMS), melakukan operasi pengawasan di laut baik secara mandiri maupun dengan bekerjasama dengan institusi penegak hukum lainnya (TNI-AL, POLAIR, TNI-AU, dll.). Selain itu, pengawasan juga dilakukan dimulai di darat (sebelum kapal-kapal perikanan beroperasi menangkap ikan), dilanjutkan di laut (pada saat kapal-kapal perikanan melakukan operasi penangkapan ikan), ketika kapal-kapal perikanan kembali ke darat saat mendaratkan hasil tangkapannya, dan ketika kapal-kapal perikanan mendistribusikan hasil tangkapannya. Seiring dengan kondisi pengelolaan perikanan saat ini, sangat penting bagi Pemerintah untuk memperkuat kebijakan pengelolaan laut untuk mencegah dan menanggulangi IUU Fishing, dengan memperkuat kelembagaan yang membidangi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. 4