BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH 2.1 Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari beberapa daerah, yang kesemua daerah tersebut merupakan sebuah daerah otonom yang mendapat pengakuan oleh Negara, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-undang. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terrwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan 16 17 pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahannya dengan asas-asas sebagai berikut : 1. Asas desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.15 Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak dari pemilik hak kepada penerima sebagian hak dengan obyek tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan diberikan kepada pemerintah daerah, dengan objek hak berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. 2. Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertical di wilayah tertentu. 3. Asas tugas pembantuan, adalah penguasaan dari pemerintah kepada daerah kota dan atau desa; dari pemerintahan provinsi kepada pemerintah kabupaten atau kota dan atau desa; serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 15 HAW. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.25 18 2.1.1 Tindak Pemerintah Tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang dimaksud, adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie).16 Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan ‘tindakan pemerintahan’ (Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan.17 Menurut Komisi Van Poelje yang dimaksudkan dengan ‘publiek rechtelijke handeling’ atau tindakan dalam hukum public adalah tindakantindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. 18 Romeijn mengemukakkan bahwa tindak pemerintahan adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi Negara (bestuurs organ) yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada di luar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.19 Ada 2 (dua) bentuk tindakan pemerintah yakni:20 1. Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechtshandeling) dapat dimaknai sebagai tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir 16 Sadjijono, 2007, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Press Indo, Yogyakarta, h.79 17 Ibid 18 Sadjijono, Op.cit, h.82 19 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h.70 20 Sadjijono, Op.cit, h.90 19 sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum. 2. Tindakan pemerintah berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum (feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa penciptaan hubungan hukum yang baru maupun perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsurunsur sebagai berikut:21 a. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs organ); b. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie); c. Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi; d. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum; e. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah; f. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum; 21 Sadjijono, Op.cit, h.81 20 Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik ini dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan. Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian yakni: a. Tindakan membuat Keputusan (beschikking) Keputusan (beschikking) adalah merupakan salah satu bentuk tindakan hukum publik yang dilakukan secara sepihak (bersegi satu). Menurut Van der Pot dan Van Vollenhoven berpendapat bahwa keputusan adalah tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan, dilakukan oleh suatu badan Pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.22 Sedangkan menurut Sjahran Basah bahwa beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.23 Unsur-unsur utama beschikking sebagai penetapan (keputusan) tertulis tersebut, meliputi24 : 1) Penetapan tertulis; 2) Oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara; 3) Tindakan hukum Tata Usaha Negara; 4) Konkrit, Individual; 22 Sadjijono, Op.cit, h.86 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung, 2000, h185 24 Sadjijono, Op.cit, h.91 23 21 5) Final; 6) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merumuskan: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” b. Tindakan membuat Peraturan (regeling) Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat berwenang dan mengikat secara umum. Peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (general and abstract). Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.25 Peraturan (regeling) selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).26 Perlu dijelaskan bahwa dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 “Keputusan” tidak termasuk pada hierarkhi 25 Jimly Asshiddiqi, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, h.2 26 Maria Farida Indrati, 2001, Ilmu Perundang-Undangan(Jenis,Fungsi dan Materi Muatan), Kanisius, Jakarta, h.78 22 peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. Istilah keputusan diubah dengan sebutan ”Peraturan” misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, Peraturan Bupati dan lain-lain. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; - Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; - Peraturan Pemerintah; - Peraturan Presiden; - Peraturan Daerah Provinsi; dan - Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang jenis dan bentuk produk hukum daerah menyebutkan jenis produk hukum daerah terdiri atas: - Peraturan Daerah; - Peraturan Kepala Daerah; - Peraturan Bersama Kepala Daerah; 23 - Keputusan Kepala Daerah; - Instruksi Kepala Daerah; Dari penjelasan diatas dapat dinyatakan bahwa Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum termasuk perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (beschikking) tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan (Reglement Daad van De Administratie). c. Tindakan Materiil (materiele daad) Tindakan materiil adalah tindakan nyata yang tidak melahirkan akibat hukum (Recht Gevolg) dari perbuatan pemerintah tersebut sedangkan tindakan hukum yaitu ada maksud untuk melahirkan akibat hukum. Bentuk-bentuk konkrit dari tindakan materiil dapat dicontohkan sebagai berikut: 1) Perbuatan nyata Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi pelayanan. Dalam fungsi ini perbuatan nyata dilihat dari: a) Fungsi pelayanan jasa misalnya pelayanan jasa pos dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan penyediaan air minum, pelayanan jasa angkutan kereta api, pelayanan jasa angkutan laut (PELNI). b) Fungsi pelayanan pemerintahan misalnya: - Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan. - Pihak Kelurahan mewajibkan bagi setiap warga yang membuat KTP untuk membuat pas photo (wajib photo). 24 2) Fungsi Pembangunan misalnya pembangunan jembatan dan gedung pemerintah. 3) Dalam rangka penegakan hukum misalnya tindakan pengosongan dan penyegelan. 2.2 Kewenangan Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administrative. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintah atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan.27 Kewenangan dan wewenang memiliki pengertian yang berbeda adapun yang membedakan pengertian dari wewenang dan kewenangan adalah cangkupannya . Kewenangan memiliki pengertian yang luas yang mencangkup segala bidang yang merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu bersumber dari undang-undang sedangan wewenang merupakan bagian dari kewenangan yang memiliki cangkupan lebih sempit yaitu hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan yang dapat diartikan bahwa wewenang diperoleh setelah mendapatkan kewenangan. 27 E Utrech, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 56 25 Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang sebenarnya tidak dapat disejajarkan dan disamakan dengan istilah bevoegheid dalam kepustakaan hukum Belanda .28 Menurut pandangan Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun hukum privat.29 Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunaan dalam konsep hukum publik. Kewenangan digunakan dalam hukum publik karena hukum publik ini merupakan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau dapat digambarkan antara atasan dan bawahan. Sehingga apabila dalam melakukan tugasnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara penuh maka ia dapat melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya. Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yurids, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.30 28 Sadjijono,Op.cit, h.49 Philipus M Hadjhon, Op.Cit, h. 54 30 Lutfi Efendi,2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia, Malang, h. 29 18 26 Wewenang disini meliputi segala tindakan pemerintahan baik adapun berupa dalam pembuatan keputusan pemerintah, wewenang dalam pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi yang utamanya ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Wewenang disini dapat diartikan adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang dapat menimbulkan akibatakibat hukum. Menurut H.D. Stoud wewenang adalah : Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurrechttelijke bevoeggdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik.31 Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang akan tetapi, yang diberi mandate bertindak atas nama pemberi mandate. Dalam pemberian mandate, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat)32 31 H.D.Stoud, 1983, Pengantar Studi Public Administration, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.65 32 Prajudi Atmosudardjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Cetakan Ke-9, Jakarta, h.48 27 Kewenangan yang dimiliki organ pemerintahan dapat dikatakan bahwa kewenangan organ pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata, kewenanganyang diperolehnya adalah berdasarkan secara atributif, delegasi dan mandat. Kewenangan atributif merupakan kewenangan asli yaitu kewenangan tersebut diperoleh berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, kewenangan delegasi yaitu pelimpahan kewenangan dari suatu organ pemerintahan yang satu ke organ pemerintahan yang lain, pelimpahan kewenangan disini dapat digambarkan secara horizontal. Kewenangan mandat yaitu pemberian kewenangan antara atasan terhadap bawahan yang mana si penerima bertindak atas nama pemberi mandat. 2.2.1 Jenis-Jenis Kewenangan Setiap perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada suatu kewenangan yang sah. Tanpa disertai kewenangan yang sah, seorang pejabat ataupun lembaga tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu, kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun lembaga. Berdasarkan sumbernya, “wewenang dibedakan menjadi yaitu wewenang personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal yaitu wewenang yang bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada di atasnya. 33 Berdasarkan sumbernya kewenangan dapat dibagi dua yaitu wewenang personal dan ofisial. Wewenang personal disini dapat diartikan bahwa wewenang 33 Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Surabaya, h. 77 28 yang diperolehnya tersebut bersumber dari intelegensi, pengalaman dan nilai yang dimiliki oleh personel itu sendiri dan berdasarkan norma yang berlaku. Kewenangan ofisial dapat diartikan bahwa kewenangan yang diperolehnya tersebut bersumber dari atasannya atau yang berada di atasnya. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat). J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.34 34 Ibid 29 Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:35 1. Delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 35 Philipus M. Hadjon, Op Cit, h. 5 30 5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. 36 2.3 Aset Daerah Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Dari definisi tersebut diatas maka aset daerah adalah sama dengan barang daerah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menentukan bahwa “Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah 36 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,, h. 219 31 Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, menentukan bahwa “Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”. Aset daerah, meliputi sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah daerah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonom dan/atau social dimasa depan diharapkan dapat diperoleh , baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang , termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.37 Barang milik daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah juga berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik Negara/Daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah diperjelas lingkupnya yang meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan/sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian yang sama mengenai barang milik daerah dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang 37 Nunuy Nur Afiah, 2009, Implementasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah, Kencana, Jakarta, h.16 32 Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, menentukan bahwa : “Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah.” 2.4 Perjanjian Dalam undang-undang, perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban (perikatan). Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian sebagai: "Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena hanya mengenai hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan didalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku dan mencakup perbuatan melawan hukum sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan. Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah : 33 1. R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.38 2. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.39 3. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.40 Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut “debitur” atau si berutang. 38 R. Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 1. 39 Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 6. 40 RM. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h. 97. 34 Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang, 2. Melakukan suatu perbuatan, 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. Rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci : 41 1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaktidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas Nampak adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus atau kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan : a. melaksanakan tugas tanpa kuasa. b. perbuatan melawan hukum. 41 h.78. Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 35 Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedang yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal. 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Sehubungan dengan hal itu, maka beliau 36 mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi42 : 1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. 2. Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu 43: 1. Essentialia. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya perjanjian). 2. Naturalia. Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. 3. Accidentalia. Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tiga tahapan, yaitu 44 : 42 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, 2000, h. 49. Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 98. 44 Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 43 hal. 16. 37 a) Pra-contractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang tercakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan; b) Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengisi dan mengikat kedua belah pihak; c) Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut. 2.4.1 Subjek dan Objek Perjanjian Subyek dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian. Dalam hal ini terdapat dua macam subyek, yakni seseorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu. Subyek yang berupa seorang manusia haruslah memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan. Subyek perjanjian dengan sendirinya sama dengan subyek perikatan yaitu kreditur dan debitur yang merupakan subyek aktif dan subyek pasif. Adapun kreditur maupun debitor tersebut dapat orang perseorangan maupun dalam bentuk badan hukum. KUH Perdata membedakan dalam tiga golongan untuk berlakunya perjanjian : 1. Perjanjian berlaku bagi pihak yang membuat perjanjian. 2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang mendapat hak. 3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga. 38 Sedangkan obyek dalam perjanjian adalah berupa prestasi, yang berujud memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan sesuatu, baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk berbuat sesuatu yaitu prestasi dapat berujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Dalam hal ini terdapat tiga macam obyek, yakni : 1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan. 2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan. 3. Barang-barang tersebut sudah ada atau akan ada dikemudian hari.