Jurnal Pendidikan Penabur

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dra. Kristinawati Susatio, M.M.
Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M.
Dra. Mulyani
Prof. Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut.
1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang
berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk
bahasa ilmiah populer.
2.
Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3.
Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10
point/spasi ganda.
4.
Panjang naskah hasil penelitian atau opini + 4500 kata, sedangkan untuk
info serta resensi buku + 2000 kata.
5.
Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6.
Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar
pustaka, dan keterangan mengenai penulis.
7.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
9.
Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada
ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar
huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
10. Naskah dikirim dalam bentuk CD dan hasil print out ke Redaksi Jurnal
Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5.
Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected]
11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup penulis yang memuat latar
belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah
ditulis.
12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR.
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 13/Tahun ke-8/ Desember 2009
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
i
Pengantar Redaksi
ii - v
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Pola Perilaku Anak, Josephine, Kevin, dan
Tirza, 1-11
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu, Vincensius Yandi Arie Putra,
12-21
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando, Freddy Giovanni Setiawan, Ratnaganadi Paramita,
dan Ricky Dwiputra Setiamanah,
22-29
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku, Widodo,
30-41
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing dalam Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan , P. Slamet Widodo,
42-55
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah,
56-63
Menjadi Guru Pembelajar, Bambang Kaswanti Purwo,
Thomas Wibowo Agung,
64-70
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar,
Hilda Karli,
71-79
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Terhadap Kualitas Pendidikan, David Wijaya, 80-96
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal,
97-102
Thomas Wibowo Agung,
Resensi buku: Human Resource Managament in Education (Manajemen Sumber Daya Manusia dalam
Pendidikan), Henry Sumurung,
103-106
Profil BPK PENABUR Metro,
V. Hariyati,
Keterangan Tentang Penulis,
112-114
107-111
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
i
Pengantar Redaksi
endidikan diharapkan mengalami perubahan dan kemajuan
dari waktu ke waktu sehingga dapat menghasilkan sumber
daya manusia yang mampu membangun dirinya sendiri, orang
lain dan lingkungannya secara bermoral, beradab, dan tentu
saja berketuhanan Yang Maha Esa. Melalui proses pendidikan yang
bermutu dan berkesinambungan manusia diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan dan lingkungannya secara perorangan dan
bersama-sama dengan orang lain dalam masyarakat yang majemuk.
Harapan terhadap pendidikan begitu tingginya, sehingga tidak jarang
kemajuan suatu bangsa dilihat dari mutu pendidikan nasional di
negerinya. Dengan ungkapan lain dikatakan, kemajuan suatu bangsa
dan negara tergantung pada mutu pendidikan nasionalnya. Sebagai
contoh, keberhasilan Uni Ssoviet meluncurkan sputnik di abad
pertengahan, sangat mengejutkan Amerika Serikat dan merasa
tertinggal dari Uni Soviet. Presiden Amerika lalu bertanya, “Apa yang
terjadi dalam pendidikan Amerika?”. Kemudian mereka melakukan
perubahan dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang studi
matematika. Contoh lain, di berbagai negara termasuk Indonesia,
pendidikan sering dibebani dengan tugas-tugas “titipan” yang
memperberat kurikulum dan akhirnya merepotkan guru dan siswa.
Titipan itu diberikan dengan harapan pesan yang hendak
disampaikan itu dianggap efektif kalau diberikan melalui sistem
pendidikan.
Uraian di atas menunjukkan, pendidikan yang bermutu dapat
membuat manusia cerdas berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilainilai yang dikehendaki. Sementara itu, memperoleh pendidikan juga
menjadi salah satu hak azasi manusia yang menjadi kewajiban
pemerintah untuk memenuhinya. Dengan demikian masalah
pendidikan dan pemerataan memperolah kesempatan pendidikan
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Untuk memajukan
bangsa secara keseluruhan diperlukan pendidikan bermutu yang
dapat diakses oleh semua anggota masyarakat sesuai dengan
kemampuan intelektual dan fisiknya. Di sisi lain dialami juga bahwa
pendidikan yang bermutu dan dapat diperoleh oleh semua,
memerlukan sumber daya (tenaga, dana, sarana, prasarana, dan
waktu) yang bermutu dalam jumlah yang cukup. Dalam rangka
meningkatkan dan meratakan mutu dan kesempatan memperoleh
pendidikan, pemerintah di banyak negara menyisihkan dana yang
cukup besar. Pemerintah Indonesia misalnya, dalam dua tahun
belakangan ini telah berusaha mengalokasikan 20% dari APBN dan
APBD. Di sisi lain besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan
sekolah-sekolah swasta walaupun Pemerintah menyediakan bantuan
melalui program Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Keberanekaragaman keadaan ekonomi, budaya, dan sosial
masyarakat serta keadaan geografi Indonesia merupakan tantangan
tersendiri dalam pembangunan pendidikan secara nasional
khususnya di bidang pendidikan. Sungguhpun demikian, untuk
P
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
meningkatkan mutu pendidikan, Pemerintah telah menetapkan standar
isi, proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan,
serta lulusan sebagaimana dituntut dalam Undang-Undang No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam rangka
menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, standar memang
diperlukan, tetapi standar yang kaku untuk kondisi yang sangat
beraneka ragam dapat menimbulkan masalah yang menjauhkan upaya
itu dari tujuan yang dikehendaki. Sebagai salah satu contoh ialah
penyelenggaraan Ujian Negara (UN) yang sampai sekarang
menimbulkan polemik karena UN menerapkan patokan yang baku
secara nasional untuk semua siswa yang memiliki karakteristik,
lingkungan, sarana, sumber belajar, serta proses pengalaman belajar
yang berbeda-beda. Walaupun diungkapkan bahwa hasil UN bukanlah
satu-satunya penentu kelulusan siswa dan dapat dipergunakan untuk
memberikan gambaran pendidikan untuk setiap satuan pendidikan
dan secara nasional, akan tetapi keberanekaragaman kondisi dan
otonomi sekolah mengakibatkan UN masih terus menerus dipersoalkan.
Sampai tahun pelajaran 2009/2010, UN masih tetap dilaksanakan
walaupun dengan polesan-polesan.
Diakui bahwa dalam meningkatkan mutu, standar yang dapat
dijadikan acuan memang diperlukan dan dari standar itu dapat
diketahui status yang telah dicapai. Standar itu dapat dinaikkan setiap
tahun untuk memacu peningkatan. Cara demikian dapat juga
dilakukan dalam upaya meningkatkan dan meratakan pendidikan
secara nasional. Namun cara demikian tentu perlu disikapi dan
dilakukan secara terencana dan sistematis oleh masing-masing satuan
pendidikan. Apalagi kalau cara standarisasi melalui UN itu
diberlakukan secara nasional dan harus diikuti oleh semua siswa maka
sejak dini sekolah perlu melakukan inovasi dalam strategi, metode,
dan teknik belajar dan membelajarkan. Inovasi yang dimaksud tentu
bukan dengan melakukan pemadatan proses belajar-membelajarkan
atau meningkatkan frekuensi dan intensitas latihan mengerjakan soalsoal menjelang UN (drilling).
Standar mutu melalui UN menunjukkan bahwa pengukuran
dilakukan berdasarkan hasil (output oriented), sehingga UN dianggap
sebagai pengawasan (quality control) dan hasil ujian siswa yang tidak
mencapai standar dianggap “cacad”. Padahal mutu output, terkait
dengan mutu input, proses, dan lingkungan yang seharusnya terlebih
dahulu distandarisasi, sehingga sebelum dilakukan quality control,
terlebih dahulu dilakukan quality assurance yang dapat meminimalkan
kelemahan-kelemahan atau cacad dalam output. Akan tetapi kenyataannya sekolah dan siswa wajib mengikuti UN, oleh karena itu pada
saat ini tidak perlu mempersoalkan penyelenggaraan UN lagi tetapi
yang perlu dilakukan ialah bagaimana menyiasati UN berdasarkan
kaidah-kaidah belajar-membelajarkan yang benar.
UN pada hakekatnya berbasis hasil (output-based) dan hasil belajar
siswa diukur dengan menggunakan standar nasional yang mengacu
pada kurikulum nasional pula sehingga UN pada hakikatnya
merupakan bentuk ujian berdasarkan patokan (criterion reference test).
Kemampuan siswa yang diukur mengacu pada standar kompetensi,
kompetensi dasar dan indikator kompetensi yang ditetapkan dalam
kurikulum. Semakin tinggi penguasaan siswa atas indikator-indikator
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
iii
kemampuan yang ditetapkan dalam kurikulum, semakin besar pula
kemungkinan siswa memperoleh nilai yang baik dalam UN.
Selaras dengan sifat UN yang berbasis hasil dan berdasarkan
patokan maka salah satu siasat sekolah atau guru untuk
menghadapinya ialah dengan menerapkan pendekatan belajar tuntas
(mastery learning). Pendekatan ini menjabarkan standar kemampuan
yang ditetapkan menjadi kemampuan-kemampuan khusus (indikator
kemampuan) yang perlu dipelajari dan dikuasai siswa secara tuntas.
Pendekatan ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan dan
dipraktekkan di Amerika, mulai tahun 1920-an dan dalam
perjalanannya mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan yang
dilakukan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1968 dianggap sebagai
perkembangan yang signifikan dalam proses belajar-membelajarkan.
Di Indonesia sendiri pendekatan ini sudah lama dikenal oleh guru
atau calon guru. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa setiap siswa dapat
belajar apabila diberikan lingkungan belajar yang sesuai (di dalam
dan luar sekolah), termasuk strategi dan sumber belajar. Siswa
dimungkinkan memperoleh pengalaman sesuai dengan karakteristiknya seperti kecepatan, waktu dan gaya belajarnya dengan
menggunakan berbagai sumber belajar. Sungguhpun memungkinkan
siswa belajar dalam kelompok, tetapi pendekatan ini lebih memberikan
perhatian pada belajar secara individual.
Pendekatan ini mensyaratkan setiap siswa mencapai 80% dari
setiap indikator kompetensi dan kalau target ini belum tercapai siswa
diberikan bantuan belajar atau remedial sehingga target tersebut
tercapai. Secara logika, mencapai paling sedikit 80% dari setiap
indikator kemampuan akan memungkinkan siswa mencapai 80%
kemampuan dasar dan standar kemampuan yang ditetapkan dalam
kurikulum. Apabila hal ini terjadi maka besar kemungkinan siswa akan
dapat menyelesaikan soal-soal UN dengan nilai yang baik.
Belajar tuntas dapat memotivasi siswa belajar lebih giat dan aktif,
mencapai prestasi belajar lebih tinggi, serta memberikan rasa percaya
diri dalam belajar untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pendekatan
ini juga mendorong guru untuk memperhatikan masing-masing siswa
secara individu serta memberikan bantuan dalam memecahkan
masalah-masalah belajar siswa. Melakukan evaluasi formatif secara
berkala dan teratur dan diikuti dengan umpan balik yang tepat, serta
memberikan bimbingan yang intensif dalam remedial kepada siswa
yang menghadapi masalah belajar, merupakan kegiatan rutin guru
dalam membantu siswa menuntaskan proses belajarnya. Proses belajar
yang demikian akan menuntun siswa secara dini, terencana, dan
sistematis menguasi kemampuan-kemampuan yang ditetapkan dalam
kurikulum serta sekaligus mempersiapkan siswa menghadapi UN
dengan hasil yang jauh lebih baik. Kecemasan siswa serta drill
menghadapi UN tentu tidak terjadi lagi dan menghadapi UN bukan
merupakan sesuatu yang menakutkan lagi bagi siswa. Mereka pun
memiliki percaya diri dapat menempuh UN dengan baik.
Di samping hasil UN, mutu pendidikan dapat juga dilihat pada
proses penyelenggaraannya di sekolah seperti dalam kegiatan
ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang mengembangkan kemampuan
akademik siswa. Dalam setiap bidang studi siswa didorong untuk
belajar secara aktif, mandiri, dan kreatif untuk menambah pengetahuan
dalam ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Di lingkungan sekolah
iv
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
BPK PENABUR, pengembangan karya ilmiah siswa dilakukan antara
lain dengan mendorong siswa melakukan penelitian dalam bidang
yang sesuai dengan minatnya. Tulisan-tulisan dalam Jurnal Pendidikan
Penabur edisi Desember 2009 ini, yang pada intinya berkaitan dengan
upaya peningkatan pendidikan di sekolah, memuat tiga hasil
penelitian siswa SMA yaitu Dampak Kekerasaan dalam Rumah Tangga
Terhadap Pola Prilaku Anak, Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando,
dan Bangunan Tahan Gempa. Ketiga tulisan tersebut dapat
mencerminkan bagaimana prinsip belajar tuntas diterapkan melalui
penelitian.
Walaupun belum dikaitkan dengan UN belajar tuntas bukan hal
yang baru bagi guru. Hal ini terlihat dari tulisan yang berjudul Mencapai
Kriteria Ketuntasan Minimal Bilangan Baku, Meningkatkan Motivasi Siswa
Bertanya, Pembelajaran Tematik Menggeser Pembelajaran Fragmented,
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah dan
Menjadi Guru Pembelajar. Kelima tulisan tersebut terkait langsung
dengan penerapan pendekatan belajar tuntas. Ketuntasan belajar
diukur dari pencapaian siswa terhadap target kemampuan yang
ditetapkan secara spesifik dan terukur oleh guru. Dalam konteks inilah
guru perlu mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan tujuan,
bahan belajar dan strategi belajar sesuai dengan lingkungan dan
karakteristik siswa. Dalam proses belajar siswa dimotivasi aktif
menanyakan hal-hal yang belum diketahui atau belum dimengertinya
sehingga guru dapat memberikan bantuan mengatasi kesulitan belajar
siswa. Dengan demikian, proses belajar dan membelajarkan bukan lagi
berpusat kepada guru tetapi kepada siswa dan guru dituntut
memfungsikan dirinya sebagai perencana, pengelola, penilai, dan
pendamping siswa dalam proses belajar dan membelajarkan. Guru
diharapkan dapat membuat siswa belajar dengan menciptakan
lingkungan, suasana, dan strategi belajar-membelajarkan yang
interaktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan.
Keberhasilan penyelenggaran pendidikan dalam meningkatkan
mutu tidak dapat dipisahkan dari tata kelola di sekolah. Oleh karena
itu, edisi ini juga memuat tulisan tentang Implikasi Manajemen Keuangan
Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan serta kajian buku dengan judul Human
Resource Management in Education. Penyelenggaraan pendidikan
dengan tata kelola yang tepat dalam arti yang luas termasuk dalam
tata kelola kelas, hendaknya dapat memperkuat keyakinan bahwa
pendidikan itu memang diperlukan dan bukan Sekolah Dirancang
Menghasilkan Siswa yang Gagal. Semoga.
Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
v
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Penelitian
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Terhadap Pola Perilaku Anak
Josephine, Kevin, dan Tirza*)
Abstrak
ermasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah dampak yang terjadi pada anak
yang menerima perlakuan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Data yang diperoleh
dan responden yang dipilih secara acak di sekolah, pusat-pusat pembelajaran dan
perumahan menunjukkan anak mengalami kekerasan fisik dan mental. Reaksi sebagian
besar responden ketika mengalami KDRT adalah meghindari pelaku. Sebahagian besar responden
umumnya mengalami perubahan yang signifikan. Peneliti menyarankan bagi para korban KDRT
memaafkan tindakan si pelaku agar tidak tersimpan dendam dan traumatis yang berkepanjangan.
Bagi para pelaku tindakan KDRT, penulis menyarankan menyadari perilaku yang mereka perbuat
dapat menyebabkan hal yang fatal terhadap anak.
P
Kata-kata kunci : Kekerasan, kekerasan dalam rumah tangga, perkembangan perilaku.
Abstract
This survey was aimed at revealing the impacts of domestic violance to the children. The data were collected
from a number of children randomly selected from a school, a mall and, a housing compound in West Jakarta.
The data showed that most of the respondents had experienced of family violence which resulted in significant
behavior changes. The study provides the victims and the actors a set of recommendations.
Key words: Violence, domestic violence, abuse
Pendahuluan
Semakin lama semakin banyak orang yang
melakukan tindakan kekerasan. Hal ini dapat
kita lihat melalui media televisi, surat kabar
maupun peristiwa yang langsung nyata di
hadapan kita. Kekerasan yang terjadi cenderung
meningkat baik dari sisi kualitatif maupun
kuantitatif yang terjadi di lingkup publik atau
dalam keluarga. Salah satu korban yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga
adalah anak. Anak adalah potensi dan penerus
cita-cita bangsa, oleh karena itu anak harus
dijaga dan dipelihara dengan baik, maka anak
akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula
sesuai dengan keinginan dan harapan.
Belakangan ini ada sebagian orang yang
memperlakukan anaknya dengan perlakuan
yang tidak wajar, contohnya pemukulan,
penyerangan, dan lain-lain. Kekerasan diartikan
sebagai semua tindakan, perbuatan, sikap, dan
perkataan langsung atau tidak langsung,yang
tidak menghormati dan melukai keberadaan
seseorang secara fisik maupun jiwa. Kekerasan
bukan hanya bersifat fisik misalnya pembunuhan, perkosaan, pemukulan, penyerangan,
perbudakan seksual, lontaran kata-kata yang
tidak senonoh, tetapi sikap yang melecehkan
juga dianggap sebagai kekerasan. Anak sebagai
*) Alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
1
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hakhak dan kebutuhannya secara memadai.
Sebaliknya anak bukanlah objek tindakan
kesewenang-wenangan dan perlakuan yang
tidak manusiawi dari siapapun atau pihak
manapun.
Fenomena perlakuan salah merupakan
suatu permasalahan yang dihadapi oleh anakanak yang terjadi di lingkungan keluarga.
Namun kasus ini tidak banyak terungkap ke
permukaan, karena masih ada anggapan bahwa
perlakuan salah pada anak masih menjadi
masalah domestik. Akan tetapi kejadian ini telah
menyangkut pelanggaran HAM dan hak anak
itu sendiri. Permasalahan perlakuan salah pada
anak menjadi urusan publik.
Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan
lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah
kemudian masyarakat. Keluarga dipandang
sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh
orang tua dan orang-orang yang terdekat. Dalam
bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan.
Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga
yang lainnnya. Keluarga bersifat dinamis dan
memiliki nilai- nilai dan kebiasaan yang turun
temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak
tersadari)2.
Sering dikatakan, anak merupakan cermin
dari apa yang terjadi dalam rumah tangga. Dari
karakteristik keluarga yang berbeda dapat
dilihat seperti suasana/lingkungan keluarga
yang bahagia, maka wajah anak itu terlihat
begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka
murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu
yang berkaitan dengan orang tuanya. Dengan
kata lain perubahan emosi dapat lebih mudah
dilihat pada anak dibandingkan dengan orang
tua.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang dampak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan pola
perilaku / tingkah laku anak. Peneliti terta-rik
untuk mengetahui reaksi anak ketika menjadi
korban, kemudian sikap anak ketika menghadapi permasalahan dan hubungan sosial anak
ketika mengalami tindakan kekerasan dalam
keluarganya. Adapun yang menjadi perumusan
masalah adalah (a) apa reaksi anak ketika
mengalami KDRT, (b.) bagaimana sikap anak
ketika mengalami permasalahan, (c) bagaimana
perubahan yang terjadi pada anak sesudah
mengalami KDRT, (d) bagaimana hubungan
sosial anak di dalam keluarganya sesudah
mengalami KDRT.
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Adapun tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui (a) mengetahui reaksi anak ketika
mengalami KDRT, (b) mengetahui sikap anak
ketika mengalami permasalahan, (c) mengetahui
perubahan yang terjadi pada anak sesudah
mengalami KDRT, (d) mengetahui hubungan
sosial anak di dalam keluarganya sesudah
mengalami KDRT.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk menambah wawasan dan informasi
kepada masyarakat dan para pelajar, khususnya
masyarakat dan siswa-siswi SMAK 4 PENABUR
Jakarta.
Landasan Teori
Kekerasan
Kekerasan adalah perbuatan seseorang/
sekelompok orang yang menyebabkan cedera/
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik/barang orang lain. Dalam arti lain,
kekerasan adalah tindakan yang berakibat
kesengsaraan/penderitaan-penderitaan pada
seseorang secara fisik, seksual/psikologis,
termasuk ancaman-ancaman tertentu, pemaksaan/perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum
di dalam lingkungan kehidupan pribadi. Istilah
kekerasan itu sendiri berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan tindakan
perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong dalam
dua bentuk kekerasan sembarang, yang
mencakup kekerasan dalam skala kecil/yang
tidak terencanakan, dan kekerasan yang
terkoordinasi, yang dilakukan oleh kelompokkelompok, baik yang diberi hak, maupun tidak
seperti yang terjadi dalam perang (yakni
kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme.
Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk (a) tindak
kekerasan fisik, (b) tindak kekerasan nonfisik
dan (c) tindak kekerasan psikologis/jiwa.
Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang
bertujuan melukai, menyiksa/menganiaya
orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan anggota tubuh pelaku
(tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya.
Tindak kekerasan nonfisik adalah tindakan
yang bertujuan merendahkan citra / kepercayaan diri seseorang, baik melalui kata-kata
maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/
dikehendaki korbannya.
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tindak kekerasan psikologis/jiwa adalah
tindakan yang bertujuan mengganggu/
menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban
menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat,
menjadi penurut, menjadi selalu bergantung
pada suami / orang lain dalam segala hal
(termasuk keuangan). Akibatnya, korban
menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan
tertekan atau bahkan takut.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan
dengan urusan kehidupan di rumah, berkenaan
dengan keluarga. Dengan kata lain, rumah
tangga adalah keluarga. Kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga dikenal dengan KDRT.
KDRT menurut UU no.23 tahun 2004, adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan dan anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan / penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
KDRT atau sering kita dengar dengan
istilah domestic violence. Menurut Comprehensive
Textbook of Phychiatry, KDRT mempunyai
konteks yang lebih luas dalam kaitan
relationship, termasuk hubungan perkawinan,
kekerasan pada usia lanjut yang dilakukan oleh
caregiver, kekerasan yang dilakukan oleh
pasangan hubungan yang dekat. Child abuse
(kekerasan terhadap anak, termasuk dalam
KDRT) merupakan bentuk perlakuan kekerasan
terhadap anak-anak. Terry E.Lawson, psikiater
internasional yang merumuskan definisi tentang
kekerasan terhadap anak, menyebut ada 4
macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse
physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/
pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian,
mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk / tidak
ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh menjadi
mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk/
dilindungi. Anak akan mengingat semua
kekerasan emosional jika kekerasan emosional
itu berlangsung konsisten. Orang tua yang
secara emosional berlaku keji pada anaknya,
akan terus menerus melakukan hal yang sama
sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/
pengasuh dan pelindung anak, setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian,
menyuruh anak itu untuk diam/jangan
menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus
menerus menggunakan kekerasan verbal seperti
perkataan “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, dan
sebagainya. Anak akan mengingat semua
kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu
berlangsung dalam satu periode. Sedangkan
Physical abuse, terjadi ketika orang tua memukul
anak (ketika anak sebenarnya memerlukan
perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika
kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode
tertentu. Sementara itu sexual abuse biasanya
tidak tejadi selama 18 bulan pertama dalam
kehidupan anak.
Perkembangan Pola Perilaku
Allport mengemukakan kepribadian adalah
sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya
yang unik terhadap lingkungannya. Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan
berkesinambungan dan progresif dalam
organism, dari lahir-mati (Chaplin C.P. , 1989 :
134). Sedangkan Hurlock E.B. (1987 : 23)
menyatakan bahwa “Perkembangan dapat
didefinisikan sebagai deretan progresif dari
perubahan yang teratur dan koheren”.
“Progresif” menandai bahwa perubahannya
terarah, membimbing mereka maju, dan bukan
mundur. “Teratur” dan “koheren” menunjukkan
hubungan yang nyata antara perubahan yang
terjadi dan telah mendahului / mengikutinya.
Ini berarti bahwa perkembangan juga
berhubungan dengan proses belajar, terutama
mengenai isinya yaitu tentang apa yang akan
berkembang berkaitan dengan perbuatan belajar.
Disamping itu juga bagaimana suatu hal itu
dipelajari, apakah melalui memorisasi atau
melalui peniruan dan atau dengan menangkap
hubungan-hubungan, hal-hal ini semua ikut
menentukan proses perkembangan.
Dapat pula dikatakan bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang kekal dan
tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada
tingkat integrasi yang lebih tinggi, terjadi
berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan,
dan belajar.
Carol Getswicki (1995) mengemukakan
beberapa prinsip dasar perkembangan, antara
lain :
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
3
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
1.
Dalam perkembangan terdapat urutan
yang diramalkan pemahaman tentang
perilaku yang seharusnya terjadi berikutnya, akan membantu para praktisi untuk
mengenal perkembangan yang khusus dan
menantang fase berikutnya yang semestinya.
2. Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan
berikutnya. Suatu perkembangan tidak akan
mungkin terjadi berkesinambungan dengan
baik bila anak didorong untuk melampaui
/ secara tergesa-gesa menjalani tahap-tahap
awal. Anak harus diberi waktu yang sesuai
dengan yang mereka butuhkan sebelum
melanjutkan tahap berikutnya.
3. Dalam perkembangan terdapat waktuwaktu yang optimal. Waktu-waktu yang
menunjukkan kesiapan harus dikenai
melalui pengamatan yang cermat. Proses
belajar akan terjadi dengan sangat mudah
pada saat yang optimal. Setiap pengajaran
tidak akan menjadikan proses belajar dengan mudah sebelum mencapai kepuasan.
4. Perkembangan merupakan hasil interaksi
faktor-faktor biologis (kematangan) dan
faktor-faktor lingkungan (belajar).
Kematangan merupakan prasyarat munculnya kesiapan untuk belajar. Lingkungan
menentukan arah perkembangan.
5. Perkembangan maju berkelanjutan merupakan kesatuan yang paling emosional, sosial
berhubungan, dengan semua aspek (fisik,
kognitif, emosional, sosial) yang saling
mempengaruhi.
Dengan kata lain, perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan pembelajaran.
Karena melalui proses pembelajaran, maka
perkembangan tersebut dapat diramalkan sesuai
dengan prosesnya. Oleh sebab itu, akan terjadi
perbedaan perkembangan di setiap individu,
yang sebagian karena pengaruh bawaan dan
sebagian karena kondisi lingkungan. Ini berlaku
bagi perkembangan fisik maupun psikologi.
Maka, begitu pula dengan perkembangan pola
perilaku.
Bagi anak-anak, dalam proses pembelajaran, berlaku teori modeling. Anak yang
dibesarkan dengan tindak kekerasan akan
menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.
Misalnya seorang anak laki-laki tinggal bersama
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
ayah, yang merupakan pelaku kekerasan
terhadap ibunya. Maka anak tersebut akan
berlaku sama, yaitu cenderung menggunakan
cara yang sama kepada pasangannya di
kemudian hari. Gangguan kesehatan baik fisik
maupun mental dapat terjadi pada korban,
gangguan tersebut berupa trauma, keguguran,
penyakit seksual yang menular, sakit kepala,
masalah kandungan, gangguan pencernaan,
perilaku hidup tidak sehat dan kecacatan.
Gangguan kesehatan mental berupa stres,
gangguan depresi, gangguan kecemasan,
disfungsi seksual, psikotik, kepribadian ganda,
gangguan obsesif kompulsi, dan lain-lain
(dampak domestic violence).
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari
orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan
setelah ia dewasa dan mempunyai anak, ia akan
berlaku kejam kepada anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak yang agresif, yang pada
gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
agresif. Dengan sangat mengerikan, Lawson
menggambarkan bahwa semua jenis gangguan
mental ada hubungannya dengan perlakuan
buruk yang diterima manusia ketika ia masih
kecil.
Hal yang serupa juga dikatakan secara tidak
langsung oleh teori behaviorisme. Behaviorisme
adalah teori belajar yang lebih menekankan pada
tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon
terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kausalitas,
dengan cara diadakan wawancara dan
pengisian angket angket secara langsung
dengan responden di salah satu sekolah di
Jakarta Barat, mall Jakarta Barat dan perumahan
di Jakarta Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 3 November 2008.
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah sampel random atau acak
yaitu setiap individu mempunyai kesempatan
yang sama untuk menjadi sampel. Data
dikembangkan melalui metode wawancara dan
angket langsung yang kemudian menggunakan
tabel frekuensi.
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tabel 3. Lama Responden
Menjadi Korban KDRT
Pengolahan Data
Lama Menjadi
Korban KDRT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, didapatkan data sebagai berikut.
Tabel 1. Umur Responden
Umur
Frekuensi
%
17 tahun
3
60
20 tahun
1
20
24 tahun
1
20
Jumlah
5
100
%
< 2 tahun
0
0
2 - 4 tahun
2
40
4 - 6 tahun
2
40
6 - 8 tahun
1
20
> 8 tahun
5
100
menjadi korban KDRT selama 4-6 tahun dan
sisanya sudah menjadi korban KDRT selama 8
tahun.
Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa 3
responden (60%) berusia 17 tahun. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa mayoritas korban KDRT
berumur di bawah 18 tahun. Hal ini disebabkan
pada usia dibawah 18 tahun, orang lebih labil
dalam bertindak dan beremosi sehingga dapat
memancing perilaku KDRT.
Tabel 2. Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Frekuensi
Frekuensi
%
Laki-laki
2
40
Perempuan
3
60
Jumlah
5
100
Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden sejumlah 3 orang berjenis
kelamin perempuan dengan presentase sebanyak
60% dan 2 responden dengan presentase 40%
berjenis kelamin laki – laki. Dapat disimpulkan
bahwa mayoritas korban KDRT adalah
perempuan. Hal ini disebabkan perempuan
lebih lemah secara fisik dan mental dibandingkan laki – laki
Berdasarkan data tabel 3, sebanyak 2
responden dengan presentase 40% sudah
menjadi korban KDRT selama 2 – 4 tahun,
sedangkan dengan jumlah dan presentase yang
sama dengan sebelumnya, tercatat mereka sudah
Tabel 4: Orang yang Cenderung Lebih
Banyak Melakukan KDRT Terhadap
Responden
Orang yang cenderung
lebih banyak
melakukan KDRT
Frekuensi
%
Ayah
2
40
Ibu
3
60
Ayah & Ibu
0
0
Saudara kandung
0
0
Jumlah
5
100
Dari tabel 4, dapat diketahui bahwa pelaku
KDRT dalam keluarga mayoritas adalah ibunya
sendiri, sebanyak 2 resoponden mengalami
KDRT oleh ayahnya sendiri dan tak ada
responden yang mengalami tindak KDRT oleh
kedua orang tua, saudara kandung dan lain –
lain. Hal ini disebabkan karena Ibu lebih banyak
ambil andil dalam mendidik anak dibanding
dengan ayah mereka.
Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa
sebanyak 3 responden dengan presentase 60 %
mengalami tindakan kekerasan mental dan fisik
dan sebanyak 2 responden mengalami tindak
kekerasan mental. Hal ini dapat disebabkan
karena sifat sang pelaku yang suka memukul
dan mudah mencaci maki merupakan tindakan
kekerasan fisik dan mental.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
5
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tabel 5: Jenis Kekerasan yang Sering
Responden Hadapi
Jenis kekerasan yang
sering hadapi
Frekuensi
%
Mental
2
40
Fi s i k
0
0
Mental & fisik
3
60
Jumlah
5
100
Dari tabel 6, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden mengalami KDRT karena
masalah pendidikan dan masalah perselingTabel 6: Penyebab KDRT yang dialami
Responden
Penyebab KDRT
Frekuensi
%
Masalah pendidikan
2
40
Masalah ekonomi
keluarga
0
0
Sifat sang pelaku
0
0
Melakukan
kesalahan
0
0
Kehilangan orang
yang disayang
1
20
Perselingkuhan
2
40
Jumlah
5
100
kuhan. Hal ini disebabkan 2 responden
bermasalah dengan nilai – nilai akademisnya
di sekolah dan 2 responden lainnya, ayahnya
melakukan perselingkuhan dengan wanita lain.
Tabel 7: Perilaku yang Sering Didapati
Responden Ketika KDRT
Perilaku yang sering
didapati ketika KDRT
6
Frekuensi
%
Pukulan dan hinaan
3
60
Hinaan
2
40
Jumlah
5
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Dari tabel 7, diketahui bahwa sebanyak 3
responden dengan presentase 60% mendapati
pukulan dan hinaan ketika mengalami KDRT.
Hal ini disebabkan karena ketika KDRT itu
terjadi, pertama – tama sang pelaku memulainya
dengan hinaan kemudian dilanjutkan dengan
pukulan.
Tabel 8: Kondisi Pelaku Saat
Melakukan KDRT
Kondisi pelaku saat
melakukan KDRT
Frekuensi
%
Sadar
5
100
Tidak sadar (mabuk)
0
0
Jumlah
5
100
Dari tabel 8, dapat diketahui bahwa semua
pelaku tindakan KDRT melakukan tindak
kekerasan dengan keadaan sadar kepada semua
responden. Hal ini dapat dikarenakan konflik
pemicu tindakan KDRT bukan disebabkan
pengaruh alkohol.
Tabel 9: Reaksi Responden Ketika
Menghadapi Perlakuan KDRT
Reaksi ketika menghadapi
perlakuan KDRT
Frekuensi
%
Menghindar
1
20
Menghindar dan diam saja
1
20
Menghindar dan menangis
1
20
Membentak, menghindar,
menggerutu, menangis dan
d i am s aj a
2
40
Jumlah
5
100
Dari tabel 9, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden dengan presentase
sebanyak 40% membentak, menghindar,
menggerutu, menangis dan diam saja ketika
menerima perlakuan KDRT. Hal ini dapat
disebabkan oleh keadaan hati responden
sebelum menerima perlakuan tersebut, dan
kedua responden tersebut berjenis kelamin
perempuan.
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tabel 10: Orang yang Juga Menerima
Perlakuan KDRT Selain Responden
Orang yang juga menerima
perlakuan KDRT
Frekuensi
%
Saudara kandung
3
40
Ibu dan saudara kandung
2
60
Jumlah
5
100
Dari tabel 10, dapat diketahui bahwa semua
saudara kandung responden mengalami
tindakan KDRT juga, dan 2 ibu dari keseluruhan
responden mengalami tindakan KDRT. Hal ini
dikarenakan pihak orang tua yang seharusnya
menjadi penjaga tetapi menyalahgunakan
kekuasaan yang dimiliki justru kerap kali
menjadi pelaku KDRT.
Tabel 11: Reaksi Responden Ketika Melihat
Orang Lain Mengalami TKDRT
Reaksi ketika melihat orang
lain mengalami KDRT
Frekuensi
%
Membela
2
40
Membela dan bersembunyi
1
20
Membela, menangis dan
bersembuyi
2
40
Dari tabel 11, dapat diketahui bahwa
sejumlah 2 responden membela ketika melihat
orang dalam keluarganya turut mengalami
tindakan KDRT, 1 responden membela dan
bersembunyi dan 2 orang responden bereaksi
membela, menangis dan bersembunyi. Hal ini
dapat dikarenakan oleh sifat tiap – tiap
responden yang berbeda.
Tabel 12: Ada Tidaknya yang Membela
Responden Ketika Menerima Perlakuan KDRT
Ada Tidaknya yang
Membela Ketika Menerima
Perlakuan KDRT
Frekuensi
%
Dari tabel 12, dapat diketahui sebanyak 3
dengan presentase 60% responden dibela
seseorang ketika menerima perlakuan KDRT
dan sebanyak 2 responden dengan presentase
40% tidak dibela oleh siapapun ketika ia
menerima perlakuan KDRT. Hal ini dapat
disebabkan kedekatan responden dengan
sesorang dalam keluarganya sehingga ia tak
akan membiarkan begitu saja oleh orang tersebut
ketika ia menerima perlakuan KDRT. Dan
mayoritas responden dibela oleh Ibu dan
saudara kandung.
Tabel 13: Ada Tidaknya Konflik di Dalam Diri
Responden Untuk Menghargai Pelaku Sebagai
Bagian Dari Keluarga
Ada Tidaknya Konflik di
Dalam Diri Untuk
Menghargai Pelaku Sebagai
Bagian Dari Keluarga
Frekuensi
%
Ada
3
60
T i d ak
2
40
Jumlah
5
100
Dari tabel 13, dapat diketahui bahwa 3 (60%)
responden mengalami konflik di dalam dirinya
untuk menghargai pelaku sebagai bagian dari
keluarga dan sebanyak 2 (40%) responden tidak
mengalami konflik dalam dirinya untuk
menghargai sang pelaku sebagai bagian dari
keluarganya.
Jadi, ketika seseorang yang seharusnya
menjadi orang tua yang menjaga dan melindungi
anaknya tetapi ia menyalahgunakan kekuasaaan itu dan bertindak sebaliknya dan menjadi
pelaku KDRT. Maka terjadi konflik dalam batin
anak tersebut untuk hormat atau tidak kepada
orang tuanya.
Tabel 14: Pernah Tidaknya Responden
Menarik Diri Dari Pergaulan Sosial
Pernah tidaknya menarik
diri dari pergaulan sosial
Frekuensi
%
Ada
3
60
Ya, pernah
2
40
T i d ak
2
40
Tidak pernah
3
60
Jumlah
5
100
Jumlah
5
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
7
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tabel 16: Pernah Tidaknya Responden
Menceritakan Pengalamannya Kepada
Orang Lain
Tabel 14: Pernah Tidaknya Responden
Menarik Diri Dari Pergaulan Sosial
Pernah tidaknya menarik
diri dari pergaulan sosial
Frekuensi
%
Ya, pernah
2
40
Tidak pernah
3
60
Jumlah
5
100
Dari tabel 14, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden sebanyak 3 responden
dengan presentase 60% tidak pernah menarik
diri dari pergaulan sosialnya sedangkan 2
responden dengan presentase 40% pernah
menarik diri dari pergaulan sosialnya karena
tindakan KDRT yang mereka alami. Hal ini
dikarenakan responden menceritakan kisahnya
kepada teman – teman dalam pergaulannya
sehingga ia tidak menarik diri dari pergaulan.
Tabel 15: Ada Tidaknya Bentuk Pelampiasan
Terhadap KDRT
Ada tidaknya bentuk
pelampiasan terhadap KDRT
Frekuensi
%
Ya
3
60
T i d ak
2
40
Jumlah
5
100
Dari tabel 15, dapat diketahui mayoritas
responden sebanyak 3 orang dengan presentase
60% mempunyai bentuk pelampiasan terhadap
KDRT yang terjadi dan sebanyak 2 responden
dengan presentase 40% tidak memiliki bentuk
pelampisan terhadap KDRT yang terjadi. Hal ini
mungkin dikarenakan responden tidak dapat
menahan emosinya dan mengatasi permasalahannya tanpa suatu penyaluran sehingga
responden mempunyai bentuk pelampiasan
tersendiri terhadap tindakan KDRT yang terjadi.
Pelampiasan yang terjadi tidak di tanyakan
peneliti karena ini terlalu bersifat pribadi.
Dari tabel 16, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden sebanyak 4 responden
dengan presentase 80% pernah menceritakan
pengalamannya kepada orang lain dan 1
responden dengan presentase 20% tidak pernah
menceritakan pengalamannya kepada orang
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Pernah Tidaknya
Menceritakan Pengalamannya Kepada Orang Lain
Frekuensi
%
Ya
4
80
T i d ak
1
20
Jumlah
5
100
lain. Hal ini dapat dikarenakan responden
mempercayai dan dekat dengan orang–orang di
sekelilingnya sehingga responden menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Mayoritas
responden memilih teman sebayanya sebagai
orang yang dipercayai untuk membagi
pengalamannya. Hal ini disebabkan oleh lebih
dekatnya hubungan responden dengan
temannya dibandingkan dengan keluarganya.
Sedangkan untuk satu responden yang
tidak menceritakan dalam hal ini, yang
dimaksud adalah bahwa responden selama ini
diam saja seolah – olah tidak terjadi apa – apa
dalam keluarganya. Jadi peneliti mengetahui
bahwa ia merupakan salah satu korban KDRT
dengan melalui teman peneliti yang melihat
langsung kejadian tersebut. Walaupun teman
peneliti melihat langsung bahwa orang tuanya
melakukan tindak KDRT terhadap anak itu,
sang responden tetap tidak menceritakan hal
tersebut kepada siapapun.
Tabel 17: Ada Tidaknya Orang Terdekat yang
Mengatakan Bahwa Responden Berubah Sejak
Pengalamannya
Ada Tidaknya Orang
Terdekat yang Mengatakan
Berubah Sejak
Pengalamannya
Frekuensi
%
Ya
2
40
T i d ak
3
60
Jumlah
5
100
Dari tabel 17, dapat diketahui bahwa
mayoritas reponden sebanyak 3 responden
dengan presentase 60% terlihat tidak berubah
sejak pengalaman KDRT oleh orang – orang
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
terdekat dan 2 responden dengan presentase 40%
terlihat berubah oleh orang – orang terdekat. Hal
ini disebabkan responden berpura – pura tidak
ada masalah apapun dalam keluarganya dan
tetap bersikap seperti hari – hari sebelumnya
sehingga orang – orang di sekelilingnya tidak
melihat perubahan dalam diri responden.
dengan presentase 20% sering terlibat
perkelahian di luar keluarga. Hal ini dapat
dikarenakan pengalaman KDRT yang ia peroleh
justru membuat responden menjadi seseorang
yang anti-kekerasan karena ia tak mau menjadi
serupa dengan sang pelaku.
Tabel 20: Sikap Responden Ketika Terjadi
Permasalahan
Tabel 18: Ada Tidaknya Perubahan Perilaku
Responden Sesudah Mengalami KDRT
Ada Tidaknya Perubahan
Perilaku Sesudah
Mengalami KDRT
Sikap Ketika Terjadi
Permasalahan
Frekuensi
%
Frekuensi
%
Melampiaskan pada suatu
hal/kegiatan
1
20
Ya
3
60
3
60
T i d ak
2
40
Menceritakan pengalaman
pada orang yang dipercaya
Jumlah
5
100
Diam dan berpikir
1
20
Cuek
0
0
Jumlah
5
100
Dari tabel 18, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden sebanyak 3 responden
dengan presentase 60% mengalami perubahan
dalam diri sesudah mengalami tindakan KDRT
dan sebanyak 2 responden dengan presentase
40% tidak mengalami perubahan dalam diri
sesudah mengalami tindakan KDRT. Hal ini
dapat disebabkan besarnya kekecewaan
responden terhadap perilaku sang pelaku
sehingga membuat traumatis secara tak
Tabel 19: Sering Tidaknya Responden Terlibat
Perkelahian di Luar Keluarga
Sering Tidaknya Terlibat
Perkelahian di Luar
Keluarga
Frekuensi
%
Sering
1
20
Jarang
4
80
Jumlah
5
100
langsung yang mengakibatkan perubahan pola
perilaku responden.
Dari tabel 19, dapat diketahui bahwa
mayoritas responden sebanyak 4 responden
dengan presentase 80% jarang terlibat
perkelahian di luar keluarga walaupun
mengalami tindakan KDRT dan 1 responden
Dari tabel 20, dapat diketahui bahwa mayoritas
responden sebanyak 3 responden dengan
presentase 60% menceritakan pengalamannya
(curhat) kepada orang yang dipercaya ketika
terjadi permasalahan, 1 responden dengan
presentase 20% melampiaskan pada suatu hal
/ kegiatan ketika terjadi permasalahan dan 1
orang responden dengan presentase 20%
bersikap diam dan berpikir ketika terjadi
permasalahan. Hal ini disebabkan pada
dasarnya manusia adalah makluk sosial,
responden merasa tak mampu menghadapi
masalahnya sendirian dan butuh orang untuk
menopangnya.
Tabel 21: Ada Tidaknya Pengaruh KDRT
Ketika Responden Membuat Keputusan dalam
Memilih Pasangan Hidup
Ada Tidaknya Pengaruh
KDRT dalam Memilih
Pasangan Hidup
Frekuensi
%
Ya
3
60
T i d ak
2
40
Jumlah
5
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
9
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dari tabel 21, dapat diketahui bahwa mayoritas
responden sebanyak 3 responden dengan
presentase 60% mengatakan bahwa pengalaman KDRT yang terjadi mempengaruhi mereka
membuat keputusan dan 2 responden dengan
presentase 40% mengatakan bahwa pengalaman
KDRT yang terjadi tidak mempengaruhi mereka
dalam membuat keputusan. Hal ini disebabkan
oleh intesitas dan lamanya responden menerima
perlakuan KDRT. Karena semakin lama
seseorang ditempa oleh perlakuan KDRT, maka
secara tak sadar itu akan mempengaruhi pola
pikiran dan dari pola pikiran akan
mempengaruhi pola perilaku sang korban.
Tabel 22: Ada Tidaknya Perubahan Suasana
Keluarga Setelah Mengalami Tindakan KDRT
Ada Tidaknya Perubahan
Suasana Keluarga Setelah
Mengalami Tindakan KDRT
Frekuensi
%
Ya
3
60
T i d ak
2
40
Jumlah
5
100
Tabel 23: Komunikasi Responden Dengan
Pelaku KDRT Setelah Terjadi KDRT
Komunikasi dDengan
Pelaku KDRT Setelah
Terjadi KDRT
Frekuensi
%
Kembali ke keadaan sebelum
KDRT
1
20
Biasa saja, namun menjaga
jarak
2
40
Jarang
0
0
Sangat jarang (bicara
seperlunya saja)
2
40
Tidak berkomunikasi sama
s e k al i
0
0
Jumlah
5
100
enggan dan menjaga jarak yang timbul dari diri
responden akibat KDRT yang dialaminya.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari tabel 22, dapat diketahui bahwa mayoritas
responden sebanyak 3 responden dengan
presentase 60% mengalami perubahan suasana
keluarga setelah mengalami tindakan KDRT dan
2 responden dengan presentase 40% tidak
mengalami perubahan suasana keluarga setelah
mengalami tindakan KDRT. Hal ini disebabkan
oleh perasaan takut, waspada dan marah di
dalam tiap – tiap individu dalam keluarga itu
sehingga mempengaruhi suasana dalam
keluarga setelah kejadian KDRT.
Sumber pertanyaan no: 27
Dari tabel 23, dapat diketahui bahwa
sebanyak 2 responden dengan presentase 40%
berkomunikasi biasa saja dengan sang pelaku,
namun menjaga jarak, 2 responden dengan
presentase 40% berkomunikasi sangat jarang
(berbicara seperlunya saja) dengan sang pelaku
dan 1 responden dengan presentase 20%
berkomunikasi layaknya keadaan sebelum
KDRT. Hal ini dapat disebabkan oleh perasaan
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Berdasarkan penelitian yang telah penulis
lakukan, dapat disimpulkan bahwa reaksi
responden yang paling umum adalah
menghindar kemudian menangis. Reaksi
repsonden ini merupakan reaksi mereka yang
tak mampu berbuat lebih jauh karena pihak yang
menjadi pelaku KDRT adalah orang tua mereka
sendiri, sehingga ada rasa tak berdaya dalam
diri mereka.
Pengalaman KDRT yang pernah dialaminya
mempengaruhi sang anak ketika mengalami
permasalahan. Mayoritas responden menceritakan permasalahannya kepada orang yang
dipercayai, ketika mengalami permasalahan.
Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh pengalaman KDRT yang pernah responden alami.
Hubungan sosial anak di dalam keluarga
sesudah pengalaman KDRT juga turut berubah.
Intesitas komunikasi anak dengan sang pelaku
menjadi lebih jarang, sekalipun berjalan normal
seperti sebelumnya, responden menjaga jarak
dengan sang pelaku.
Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
Saran
Bagi sang anak, penulis menyarankan untuk
memaafkan perbuatan sang pelaku dan biarlah
waktu berlalu tanpa dendam. Memang hal itu
susah dilaksanakan, tapi cobalah untuk mulai
berkomunikasi dengan sang pelaku karena
komunikasi adalah jembatan pikiran. Dengan
komunikasi salah paham dan persoalan dapat
terselesaikan.
Pelampiasan emosi memang dibutuhkan
sebagai penyalur pikiran, akan tetapi pelampiasan emosi hendaknya dalam bentuk kegiatan
yang positif dan berguna. Lebih baik bercerita
(curhat) kepada sahabat terdekat guna
meringankan beban pikiran.
Bagi sang pelaku, penulis menyarankan
untuk menyadari betapa besar dan fatal dampak
perbuatannya kepada seorang anak. Tindak
kekerasan yang dilakukan dapat berakibat
hilangnya kepercayaan anak terhadap Anda
dan berubahnya perilaku anak. Tak jarang anak
lebih condong ke perbuatan yang negatif.
Daftar Pustaka
Ciciek, Farha. (2005). Jangan ada lagi kekerasan
dalam rumah tangga. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Sadock, Benjamin J. (2006). Comperhensice textbook
of psychiatery. New York:American
Psychiatric Association
Widiastuti, Rofi dan Titiana Adinda. (2009).
Demi anakku dan masa depanku; Pengalaman
perempuan korban KDRT dan menjadi
orangtua tunggal. Jakarta: : Elex Media
Komputindo
www.tripod.com
www. Bared118’sblog.com
www.wikipedia.com
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
11
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Penelitian
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Vincensius Yandi Arie Putra*)
Abstrak
encana alam yang terjadi akibat gempa dapat merusak dan menghancurkan bangunanbangunan yang terbuat dari beton dengan kerangka besi. Selama ini masyarakat kurang
menggunakan bambu sebagai bahan bangunan permanen walaupun sejak jaman dahulu,
bambu telah digunakan untuk bahan bangunan. Penelitian ini meneliti penggunaan bambu
sebagai bahan bangunan tahan gempa dengan mengukur kekuatan bambu itu setelah melalui
proses pengawetan. Hasil penelitian ini menunjukkan, sungguhpun memiliki kelemahan, bambu
dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan tahan gempa dan menyarankan agar masyarakat
meningkatkan penggunaan bambu untuk berbagai jenis bangunan tahan gempa.
B
Kata-kata kunci: Jenis-jenis bambu, kelemahan bambu, kelebihan bambu
Abstract
Earthquakes have damaged or destroyed many buildings and brought a lot of victims all over the world
including those in Indonesia. This research aimed at finding out the possibility of using bamboo as one of the
materials to construct seismic building. In this research the strength of three kinds of bamboo was measured to
know its endurance for earthquakes. The experiment concluded, bamboo is appropriate for building construction
and recommended to socialize the use of bamboo widely to all levels of society.
Key words: Kinds of bamboo, weakneses of bamboo, advantages of bamboo
Pendahuluan
Dari berbagai bencana alam yang terjadi, salah
satu di antaranya adalah gempa bumi yang
terjadi diberbagai tempat di dunia ini, termasuk
di Indonesia. Gempa merusak dan bahkan dapat
membuat tanah longsor dan merusak sampai
meluluhlantakkan bangunan yang ada di atas
permukaan bumi sehingga tidak hanya
menimbulkan kerugian materi tetapi juga
menelan korban jiwa. Menyadari akibat gempa
terhadap bangunan, para ahli merancang
struktur dan bahan bangunan sedemikian rupa
sehingga tahan gempa dan melindungi
penghuninya dari akibat gempa itu.
Penelitian ini mengkaji kemungkinan
penggunaan bambu sebagai bahan bangunan
tahan gempa. Adapun faktor yang mendorong
penulis memilih bambu sebagai bahan
bangunan karena berbagai alasan. Pertama,
Indonesia sangat berlimpah dengan persediaan
bambu, tetapi penggunaan bambu untuk bahan
bangunan belum optimal karena masyarakat
menganggap bangunan yang terbuat dari bambu
kurang bergengsi dan bentuknya kurang
menarik. Kedua, berdasarkan hasil penelitian,
struktur bambu memiliki banyak keunggulan.
*) Siswa Kelas Brilliant SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta
12
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Seratnya yang elastis sangat baik menahan
beban, baik beban tekan maupun tarik. Bahkan
jenis bambu tertentu dapat menggantikan baja
sebagai tulangan beton. Ketiga, dari segi
geografis, Indonesia berada di lempengan
gunung, mengakibatkan mudah terjadi gempa
bumi. Hal ini harus disikapi sejak dini untuk
memilih struktur bangunan yang tahan gempa.
Berdasarkan dua alasan sebelumnya, maka
tepatlah memilih bambu sebagai materi dalam
mengkonstruksi bangunan tahan gempa.
Pengalaman menunjukkan bahwa pada
hakikatnya penduduk asli Indonesia secara
turun-temurun telah menggunakan bambu
sebagai bahan bangunan untuk dangau,
pondok, rumah tempat tinggal, dan berbagai
jenis bangunan lainnya. Penggunaan bambu
secara tradisional untuk bangunan yang selama
ini telah dilakukan belum didahului dengan
penelitian secara ilmiah. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan bencana alam akibat gempa
bumi yang semakin sering terjadi belakangan ini,
perlu diteliti kemungkinan pemakaian bambu
untuk berbagai jenis bangunan besar yang tahan
gempa.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah mengetahui
kemungkinan penggunaan bambu sebagai
bahan bangunan tahan gempa. Untuk itu perlu
diketahui (a) kekuatan bambu kosong tanpa
buku, (b) kekuatan bambu kosong dengan buku,
dan (c) kekuatan bambu tanpa buku maupun
berbuku, yang sudah diisi.
Batasan Penelitian
Terdapat berbagai jenis bambu, mulai dari
bambu besar dan tinggi sampai bambu kecil
sehingga dipergunakan juga sebagai tanaman
hias. Dalam kesempatan ini bambu yang diteliti
dibatasi pada jenis Bambu Gading, Bambu Ori,
dan Bambu Petung.
Sedangkan dari bahan yang digunakan
untuk memperkuat bambu ini juga dibatasi yaitu
mortar, campuran semen dan pasir, dan
campuran lain yang digunakan adalah
campuran styrofoam dan mortar sebagai perekat
tiap butir styrofoam tersebut. Perbandingan
antara semen dan pasir pada mortar ialah 1:2
dan perbandingan antara mortar dan styrofoam
pada campuran kedua ialah 3:2. Oleh karena
keterbatasan waktu, semen yang digunakan
tidak sepenuhnya kering, karena semennya
hanya didiamkan selama 17 hari.
Kajian Teoretis
Sebelum dilakukan penelitian perlu diketahui
secara tepat hal-hal yang berkaitan dengan
bambu seperi (a) sifat-sifat, (b) masalah-masalah,
dan (c) cara pengolahan bambu.
Sifat-sifat bambu
Meskipun bambu, baja dan beton masing-masing
dapat digunakan untuk struktur bangunan,
bambu memiliki sifat yang berbeda dengan baja
dan beton, baik secara fisis mekanis dan
kimiawi. Sifat-sifat kimia bambu jelas berbeda
dengan sifat kimia bahan- bahan lainnya yaitu
sebagai berikut. Pertama, kadar selulosa berkisar
antara 42,4% - 53,6%. Kedua, kadar lignin
bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan
kadar pentosan 1,24% - 3,77%. Ketiga, kadar abu
1,24% - 3,77%;. Keempat, kadar silika 0,10% 1,78%; 4) Kadar ektraktif (kelarutan dalam air
dingin) 4,5% - 9,9%. Kelima, kadar ekstraktif
(kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8. Terakhir,
yang ke enam, kadar ekstraktif (kelarutan dalam
alkohol benzene) 0,9% - 6,9%.
Anatomi bambu juga berbeda dengan bahan
lainnya. Perbedaan utamanya yaitu pada bagian
tengah bambu yang berongga, dan buku-buku
yang dimiliki bambu. Banyak orang menganggap
bahwa rongga di bagian tengah bambu ini
merupakan kelemahan bambu, karena rongga
tersebut menyebabkan bambu tidak cukup kuat
menahan beban, padahal sebenarnya pembatas
antara ruas yang satu dan ruas yang lain
berfungsi sebagai bracer yang memperkuat
bambu, dan juga rongga ini memberi keuntungan
tambahan dalam menggunakan bambu sebagai
struktur bangunan karena membuat bambu tidak
terlalu kaku dan lebih ringan. Sedangkan sifat
mekanisnya nanti akan dibandingkan dengan
beton dan baja sebagai pembanding kekuatan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
13
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Masalah-Masalah Bambu
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya,
bambu masih sangat jarang digunakan di
Indonesia. Alasannya antara lain ialah (a)
banyak orang masih ragu akan kekuatan bambu;
(b) masyarakat beranggapan bahwa bambu
adalah material bagi orang miskin, dan (c)
bambu tidak awet, karena mudah berlumut dan
diserang kutu. Alasan-alasan tersebut pada
hakikatnya kurang kuat dan tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Di pihak lain, bambu
sangat mudah didapat di Indonesia. Dari
ratusan spesiesnya yang ada di dunia, lebih dari
seratus jenisnya dapat ditemukan di Indonesia.
Tabel berikut ini berisikan jenis-jenis bambu yang
dapat ditemukan di Indonesia. Jenis-jenis bambu
yang ada di daerah-daerah di Indonesia antara
lain adalah seperti tertera dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1: Jenis-jenis Bambu
No.
Nama Latin
Nama Daerah
1.
Arundinaria japonica Sieb & Zuc ex
Stend.
2.
Bambusa arundinacea (Retz.) Wild.
Pring ori
Sumatera, Java, Sulawesi
3.
Bambusa atra Lindl.
L o l e ba
Maluku
4.
Bambusa balcooa Roxb.
5.
Bambusa blumeana Bl. ex Schul. f.
Bambu duri
Jawa, Sulawesi, Nusa
Tenggara
6.
Bambusa glaucescens (Wild) Sieb ex
Munro.
Bambu pagar, cendani
Jawa
7.
Bambusa horsfieldii Munro.
Bambu embong
Jawa
8.
Bambusa polymorpha Munro.
-
Jawa
9.
Bambusa tulda Munro.
-
Jawa
10.
Bambusa vulgaris
Bambu Gading
Sumatera
11.
Bambusa vulgaris Schard.
Awi ampel, haur
Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Maluku
12.
Dendrocalamus asper
Bambu petung
Java, Bali, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi
13.
Dendrocalamus giganteus Munro.
Bambu sembilang
Jawa
14.
Dendrocalamus strictur (Roxb) Ness.
Bambu batu
Jawa
15.
Dinochloa scandens O.K.
Bambu cangkoreh,
K ad al an
Jawa
16.
Gigantochloa apus Kurz.
Bambu apus, tali
Jawa
17.
Gigantochloa atroviolacea
Bambu hitam, wulung
Jawa
18.
Gigantochloa atter
Bambu ater, jawa benel,
bu l u h
Jawa
19.
Gigantochloa achmadii Widjaja.
B u l u h ap u s
Sumatera
14
-
Ditemukan di
-
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Jawa
Jawa
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
No.
Nama Latin
Nama Daerah
Ditemukan di
20.
Gigantochloa hasskarliana
Bambu lengka tali
Jawa, Bali, Sumatera
21.
Gigantochloa levis (Blanco) Merr.
Bu l u h su l u k
Kalimantan
22.
Gigantochloa manggong Widjaja.
Bambu manggong
Jawa
23.
Gigantochloa nigrocillata Kurz
Bambu lengka, terung
terasi
Jawa
24.
Gigantochloa pruriens
Buluh rengen
Sumatera
25.
Gigantochloa psedoarundinaceae
Bambu andong, gambang
surat
Jawa
26.
Gigantochloa ridleyi Holtum.
Tiyang kaas
B al i
27.
Gigantochloa robusta Kurz.
Bambu mayan, temen serit
Jawa, Bali, Sumatera
28.
Gigantochloa waryi Gamble
B u l u h d ab o
Sumatera
29.
Melocanna bacifera (Roxb) Kurz.
30.
Nastus elegantissimus (Hassk) Holt.
Bambu eul-eul
Jawa
31.
Phyllostachys aurea A&Ch. Riviera
bambu uncea
Jawa
32.
Schizotachyum blunei Ness.
Bambu wuluh, tamiang
Jawa, East Nusa
Tenggara, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi,
Maluku
33.
Schizotachyum brachycladum Kuez.
Buluh nehe, awi buluh,
ute wanat, tomula
Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Maluku
34.
Schizotachyum candatum Backer ex
Heyne
Buluh bungkok
Sumatera
35.
Schizotachyum lima (Blanco) Merr.
Bambu toi
Sulawesi, Maluku, Irian
Jaya
36.
Schizotachyum longispiculata Kurz.
Bambu jalur
Jawa, Sumatera,
Kalimantan
37.
Schizotachyum zollingeri Stend.
Bambu jala, cakeutreuk
Jawa, Sumatera
-
Cara mendorong masyarakat umum
menggunakan bambu sebagai bahan bangunan
dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan
kepada masyarakat bahwa bambu itu bukan
hanya digunakan oleh orang miskin, dan juga
bahwa bambu itu cukup kuat untuk digunakan
sebagai bahan bangunan. Hal ini dapat
didukung dengan memberikan bukti berupa
eksperimen kekuatan bambu. Sedangkan
berkaitan dengan kekuatan bambu, dapat
dibuktikan melalui penelitian yang
menunjukkan bahwa melalui proses pengawet-
Jawa
an, bambu dapat tahan lama. Khusus yang
berkaitan dengan pengawetan bambu, berikut
ini diuraikan teknik pelaksanaannya secara
rinci.
Pengawetan Bambu
A. Proses-proses pengawetan bambu
I. Vertical Soak Dif
Diffusion
fusion (VSD)
a. Alat dan bahan yang diperlukan
adalah: (1) tiga kg borax, (2) dua kg
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
15
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Ukuran bambu
Diameter dan luas penampang bambu-bambu
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Petung :
Diameter luar
= 7.5 cm
Diameter dalam = 6 cm
Area
= 1.589x10-3 m2
2. Gading :
Diameter luar
= 6.5 cm
Diameter dalam = 5.9 cm
Area
= 5.840x10-4 m2
3. Ori
:
Diameter luar = 7.5 cm
Diameter dalam = 5 cm
Area
= 2.453x10-3 m2
Kemudian sebagian potongan bambu diisi,
namun masih ada potongan bambu yang masih
kosong. Eksperimen ini menunjukkan berat
masing-masing ketiga jenis bambu itu seperti
tertera dalam tabel 2 sampai dengan tabel 4.
Berat Bambu
Setelah diisi, bambu diukur beratnya dan
diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel 2, 3,
dan 4 berikut ini.
Tabel 2: Berat* Bambu Petung
Empty
Mortar +
Styrofoam
Mortar
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
351.7
315.2
1972.8
1869.6
1705.3
1776
Sample 2
336.7
352.5
2196.6
1766
1605.5
1726.1
Sample 3
374.9
337.2
2224.3
2080.4
1548.8
1440.3
Avg.
354.43
334.97
2131.23
1905.33
1619.87
1647.67
Catatan: * dalam gram
Tabel 3: Berat* Bambu Gading
Empty
Mortar
Mortar +
Styrofoam
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
245.7
117.1
1788.1
1659.6
1176.7
1413.7
Sample 2
275.4
143.7
1796.1
1852.5
1351.8
1307.4
Sample 3
225.6
134.9
1763
1419.5
1211.6
1569.4
Avg.
248.9
131.9
1782.4
1643.87
1246.7
1430.17
Catatan: * dalam gram
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
17
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Tabel 4: Berat* Bambu Ori
Empty
Mortar
Mortar +
Styrofoam
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
408.5
442.8
1541.2
1751.6
1218.6
1331.5
Sample 2
449.3
409
1221.3
1454.4
1267.4
1143.9
Sample 3
447.9
47 2 . 1
1132.3
1451
1222.2
1278
Avg.
435.23
441.3
1298.27
1552.33
1236.07
1251.13
Catatan: * dalam gram
2500
2000
Petung
Gading
1500
Ori
1000
500
0
Berbuku
Tidak
Berbuku
K o so ng
Tidak
Berbuku
Isi Mo rtar
Tidak
Isi Styro fo am
Gambar 2: Berat dari parameter-parameter yang digunakan
Kekuatan bambu dan perbandingan
Kekuatan tekan dari parameter-parameter yang digunakan diukur dan dibandingkan dengan
hasil seperti tertera pada tabel 5 sampai dengan tabel 7.
Tabel 5: Kekuatan Bambu Petung
Empty
Mortar
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
49.44
56.22
43.03
42.66
62.88
36
Sample 2
67.32
60.04
44.01
36
44.88
37.73
Sample 3
50.55
63.34
60.9
35.76
52.28
38.72
Avg.
55.77
59.88
49.32
38.14
53.35
37.48
Catatan: Bambu Petung (in MPa)
18
Mortar +
Styrofoam
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Tabel 6: Kekuatan* Bambu Gading
Empty
Mortar +
Styrofoam
Mortar
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
49.44
56.22
43.03
42 . 6 6
62.88
36
Sample 2
67.32
60.04
44.01
36
44.88
37.73
Sample 3
50.55
63.34
60.9
35.76
52.28
38.72
Avg.
55.77
59.88
49.32
38.14
53.35
37.48
Catatan: * in MPa
Tabel 7: Kekuatan* Bambu Ori
Empty
Mortar +
Styrofoam
Mortar
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
With
Node
Without
Node
Sample 1
33.72
39.95
29.72
33.32
27.01
25.97
Sample 2
3 1 . 48
38.11
27.72
34.28
22.05
27.88
Sample 3
28.84
39.07
24.57
32.08
26.85
27.56
Avg.
31.3 5
39.04
27.34
33.22
25.30
27.14
Catatan: * in MPa
Tabel 8: Kekuatan Bambu Beton
No.
C oncrete
cylinder
Tensile
strength
(MPa)
1.
A -1
32,81
2.
A-2
33,95
3.
A-3
33,81
Avg .
33,52
1.
B-1
37,22
2.
B-2
38,38
3.
B-3
39,42
Avg.
38,34
1.
C-1
40,80
2.
C-2
3 1 , 49
3.
C-3
35,16
Avg.
35,82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
19
Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata
(a) bambu lebih kuat dari beton; (b) bambu
petung adalah yang terkuat dari semua jenis
yang digunakan pada penelitian ini; (c) beton
tidak dapat digunakan untuk memperkuat
bambu; dan (d) penggunaan bambu memberikan
keamanan lebih daripada beton.
Atas dasar kesimpulan tersebut, maka
disarankan (a) masyarakat terus meningkatkan
pemanfaatan bambu, mengingat bambu banyak
terdapat di Indonesia; (b) kalau menggunakan
bambu, hendaknya disertai tanggung jawab,
yaitu dengan melestarikannya agar tidak terjadi
kepunahan; dan (c) melakukan pengamatan dan
penelitian kekuatan bambu dari jenis yang lain
serta untuk mengetahui cara membuat struktur
yang baik dari bambu
http://karmidi.blogspot.com/
http://www.bambooman.com.au/
http://www.dephut.go.id/
http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/
200806040215 44perbandingan%20
kuat%20lentur%20balok%20ber
penampang%20perse gi%20dengan%20
balok%20berpenampang%20I.pdf/
http://www.sahabatbambu.com/
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
21
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
Penelitian
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
Freddy Giovanni Setiawan, Ratnaganadi Paramita, dan Ricky Dwiputra Setiamanaha*)
Abstrak
ndonesia undoubtedly has rich and diverse cultural backgrounds. There are various
different ethnics with different traditions and cultures including rituals, dances, paintings,
sculptures and musics that describe unique features of the regions. This research explored
acoustic sasando, a traditional musical instrument from Rote Island, the southernmost
island of Indonesia. The sound spectrum of each melody strings were recorded and analyzed using
the sound analyzer software called sonogram. Various comparisons were made in this research
and one of the important findings is that the sound spectrum of sasando consists of more discrete
frequencies as compared to that of guitar. The discrete frequency in sasando gives more sound color
than that in guitar. For the melody strings, the difference between the frequencies of each sasando’s
string is less than the harmonics of the dominant frequency. The frequency difference and the
binaural effect of the brain and the resonance effect of the lontar leaves are also discussed in this
article.
I
Key words: Sasando, wave, sound, musical acoustic, fourier transform.
Abstract
Indonesia memiliki latar belakang budaya yang kaya serta beraneka ragam. Terdapat berbagai jenis suku
bangsa yang memiliki kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda seperti upacara adat, tari, lukisan, ukiran
dan musik yang mencerminkan ciri-ciri unik setiap daerah. Penelitian ini mengeksplorasi Sasando , sebuah
alat musik dari Pulau Rote, pulau Indonesia yang paling selatan. Dalam merekam dan menganalisis spektrum
bunyi masing-masing tali melodi, dipergunakan perangkat lunak analisis bunyi Sonogram. Berbagai
perbandingan dilakukan dalam penelitian dan salah satu hasil terpenting dari penelitian ini ialah bahwa
spektrum bunyi sasando terdiri atas lebih banyak frekwensi yang berbeda-beda dibandingkan dengan gitar.
Perbedaan frekwensi dan dampak binaural otak dan dampak resonansi daun lontar juga dibahas dalam
tulisan ini.
Kata kunci: Sasando, gelombang, suara, akustik musik, fourier transform.
Introduction
Indonesia, a country which is the biggest
archipelago in the world, has a nice historical
review. The location between Indian Ocean and
Pacific Ocean makes Indonesia becomes a centre
along ancient trading routes between Far East
and Middle East. This fact results in cultural
exchanges between Indonesian native people
and the trading countries, such as China, India,
and European Countries. This variety of cultures
was also strongly influenced by a multitude of
religions, such as Confucianism, Hinduism,
*) Siswa Kelas Brilliant SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
Buddhism, and Islam. In fact, the cultures are
fused and made a complex one different from
original cultures.
trees in that surrounding areas. The climate,
weather, and the condition of the soil in the
island only support palmyra palm trees live well.
This
fact
causes
Timorese citizens to live
mostly depends on the
palmyra palm tree. This
is also the reason why
Timorese citizens use
lontar leaves from the
palmyra palm tree to
make Sasando.
This lontar leaf
which is the resonator of
Sasando is actually the
most interesting fact
about Sasando. While the
other chordophones, like
guitar, use wood as its
Fig. 1 : Rp 5,000.00 of the year 2002 with the picture of sasando in it.
resonator, Sasando uses
lontar leaves as its
If we study more details about Indonesian resonator. Why does this Sasando use lontar leaves
culture, it is also as interesting as its history. as its resonator? Is it really a resonator of the
Indonesia consists of the archipelago from instrument or is it just used for decoration? How
Sabang to Merauke. This position and its does it work? Does its existence give any effect to
consequences – discussed above – result in sound produced? Those are questions we would
differences of ethnics, traditions and cultures like to address in this paper. Through our
(such as rituals, dances, paintings, sculptures experiments, we would like to examine carefully
and also music) which describe exclusive about the lontar leaves’ effect and describe the
features of the local region in each area, such as characteristics of this musical instrument,
Borobudur Temple (Candi Borobudur), which was especially related to sound frequencies produced.
one of The Seven Wonders in The World, Kecak
In our research, we hypothesize that Sasando
Dance from Bali, which was admitted by the has differences in tones with the other string
international countries as an amazing dance, musical instruments because Sasando is a unique
and also Sinanggar Tullo, a traditional song from instrument with its interesting lontar leaves
Batak, of which the video has been shown several covering its body. Like the other musical
times in MTV.
instruments, Sasando also has resonance, which
Among those interesting variety of culture
and traditions, we found something very
interesting. It is a musical instrument, a
kind of chordophone – string musical
instrument – from Rote Island, the
southernmost island in Indonesia,
called Sasando. Sasando consists of
bamboo as the main body, strings as the
sound sources, and lontar leaves
(Palmyra Palm leaves) as the resonator.
However, why do people in Rote Island
use lontar leaves as Sasando’s resonator?
Sasando comes from Rote Island – a
part of Timor Island in the southern of
Indonesia – where a large number of
palmyra palm trees are found growing
wildly by nature, better than some other
Fig. 2: Palmyra Palm Trees in Rote Island
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
23
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
we thought it happens because this lontar leaf
works as Sasando’s resonator and frequencies
spreader. Besides, we also predict that Sasando
has an effect affecting our brains called binaural
effects.
Physical Theory
Fundamental Theory
A wave is a disturbance that propagates through
space and time. A wave is formed by a vibration,
but a vibration itself is not a wave. It has to
propagate through space and time to be called
as a wave. According to this definition, there are
two types of wave i.e., mechanical wave – a wave
which propagates through a medium (e.g. sound)
– and non-mechanical wave – a wave which does
not propagate through a medium (e.g.
electromagnetic wave). But we will only discuss
in this paper about mechanical waves which
propagate through a medium .
Wave Properties
Discussing about wave will bring us to a
discussion about its properties. Basic properties
of wave are period (T), frequency (f), wavelength
(lambda), amplitude (A), intensity, interference
and beats. A wavelength is the total distance
between two sequential crests or troughs or any
points which have the same distance with those
of two sequential crests or troughs. These two
points form a complete cycle of a wave.
Amplitude (A) is a measurement of the distance
from the zero position to a crest or a trough of the
wave.
The period (T) is the total time needed for
one complete cycle of an oscillation of a wave.
The frequency (f) is the total cycle of a wave in a
unit time (a second) or the number of periods per
unit time (per second). It is inversely proportional
to the period (T).
Interference is the addition (superposition)
of two or more waves which are correlated or
coherent to each other that result in a new wave
pattern. Beats are interferences between two
waves which have a slight frequency difference.
Sound and Musical Acoustic
What is sound? Sound is a longitudinal wave. It
is a traveling wave which is transmitted through
a medium – solid, liquid, and gas. As sound is a
wave, the explanation above also applies for
sound.
Musical acoustic is the branch of acoustic –
a study of sound, ultrasound and infrasound –
which is focusing on the area of study about
musical instrument and human voice. Music
itself is a form of art whose medium is sound. It
could be produced by musical instrument,
human voice, even some unused material (e.g.
garbage music), but we will only discuss about
musical instruments. There are some types of
musical instruments. One of them is
chordophone. Chordophone is a type of musical
instrument that uses strings to produce its sound.
Sasando is basically a Chordophone.
Fourier Transform
Fourier transform is an operation that transforms
the domain of a function into another domain
which is the conjugation of the original domain.
In our experiment, the original data from Sasando
sound is basically in time domain while we need
it in a form of frequency domain to analyze it. In
order to do the analysis, we need the Fourier
transform which in our chase, we transform the
data from time domain to frequency domain.
There are several common conventions for
defining the Fourier transform of an integrable
function ƒ: R --> C
(1)
Fig. 3: Picture of a wave and its properties
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
for every real number of ù .
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
The independent variable t represents time (in
second or s) and the variable ù represents
frequency (in Hertz or Hz).
360 degrees. They are also places where the
strings are attached and can be tuned until we
find the best notes that we want. These simple
structures are made of brown wood.
Sasando
4.
Woven Palm Leaves
This is the most unique part of Sasando. Unlike
other musical instruments, it is used as the
resonator. It is usually made of 64 sheets of lontar
leaves (32 at the right side of bow, and the others
at the left side), which are woven together with a
simple thread and fixed at the bases. These leaves
can be folded and unfolded.
Parts of Sasando
1
2
5. Lumps
These parts are also important because by sliding
it, we change the length of the strings, which
results in different tones. These structures are so
small, made from wood, and attached to
Sasando’s long tubular. The number of lumps is
the same as the number of strings.
3
4
5
7
6
8
Fig. 4: Picture of Sasando
1. Symbol Leaf
It is a unique structure which is usually made by
a Sasando maker or an artist. It consists of three
oval structures that stick together at one end and
made from lontar leaves. It is a symbol of special
and traditional culture of Rote Island.
6. Strings
This is the most important thing of Sasando
because if there are no strings, no sound can be
produced. The number of the strings of each
Sasando is different, but commonly it has 24
strings. They are divided into two parts. The right
part is for accord and the left part is for melody
and bass. All attached are circling the tubular. A
Sasando player plays the two parts together and
combines them.
7. Long Tubular
A long cylinder made of wood is the main body
of Sasando. It is the place where strings and lumps
are attached. The main color is soft brown, like
the wood itself, but it is usually decorated with
some unique and traditional architecture with
many different colors. This decoration shows that
it is originally comes from Rote.
2. Bow
It is a structure similar to a bow made of bamboo.
It represents a main body with the long tubular
and used to fix the top and the bottom bases. It is
also a part where the resonator leaves are
attached.
8. Bamboo Foot
As its name, this part is placed at the bottom of
Sasando, which is fixed to a bow. The important
function is to make the Sasando stand well while
being played. It is made of a half piece of bamboo.
3. Bases
The parts consist of two main parts, the top and
the bottom. Each of them is fixed to the bow and
made like a door hinge, so they can be rotated to
Experimental Method
We do three observations in our experiment as
described below:
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
25
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
The first observation in our experiment was
to determine that Sasando has something different
from the other chordophones commonly found.
So, Sasando is so unique, the one and only from
Indonesia. To find out the facts, we used another
musical instrument – guitar – to be compared
with our Sasando. We did some simple things.
Started from plucking the strings for each musical
instruments, from 1st until 8th Tones (Basic Tone
of Sasando is on F sharp of guitar, the second one
is G Sharp, and so on) and recording them by
microphone. Then we compared the outputs
produced by the helping program – Sonogram v
2.8 – we used to make our tabulation of data
become simpler. This program has many features
like the Fast Fourier Transform (FFT) and
Autocorrelation as the features that we used a
lot to determine either the peak frequencies or
the pitch of the tones we need with also their
graphs.
The second observation of our experiment
is to prove that lontar leaf is not only for Sasando
resonances, but it also affects the frequencies
spreading. We found out this step by doing the
same thing with the first step we did, but we
record the sound when the Sasando’s foldable leaf
be folded and unfolded.
The last observation is to check either
Sasando has the binaural effects or not. At first,
we have read our journal resources and found
that binaural effects are auditory processing
artifacts, or apparent sounds, the perception of
which arises in the brain independent of physical
stimuli. This effect could happen when the sound
has more than one dominant frequency with
more or less than 30 Hz in differences from the
sasando
fundamental frequency. We found out by
checking the data from the 1st observation and
plotting a graph to make sure that the frequencies
are covered by the range area.
Results and Discussion
By recording the 1st - 8th harmonics of Sasando, we
got the data below.
Table 1: Various harmonics of Sasando
Stable
Note
Crest (Hz)
Pitch
C1
C2
C3
T(ms)
F(Hz)
1.
387
1119
2239
2 .7
370
2.
430
1205
2067
2.4
416
3.
473
904
2325
2.1
476
4.
516
1464
3488
2
500
5.
559
1119
2239
1.8
555
6.
602
1248
3100
1.6
625
7.
689
1378
2067
1.4
714
8.
732
1464
2239
1.3
769
Table 1 shows the data that we got by looking at
the Fast Fourier Transform (FFT) and the
Autocorrelation. We observed the pitch
(fundamental frequency), and also the three most
dominant frequencies shown on Crest Diagram,
denotes by C1 until C3. We can see that the first
guitar
Fig. 5: An example of Fast Fourier Transform / FFT (first harmonic)
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
dominant frequency is slightly different from the
pitch. The interesting facts showed by C2 and
C3 shows that the Sasando’s frequencies are
Table 2 and Fig. 7 show the duration of the
existing sound and the constantly and directly
change of the sound. Fig. 8 mentions about the
PITCH:T=2.7ms; f=370.0Hz
PITCH:T=2.7ms; f=370.0Hz
guitar
sasando
Fig. 6: An example of Autocorrelation (first harmonic)
widely spread. The graph below shows the
example of them (first harmonic, red colored) by
using Sonogram.
From the second observation, by recording
the sound of folded and unfolded leaves of
Sasando, we got these Fig. 7 and Fig. 8 with the
supporting Table 2 below.
fundamental frequency that usually appears at
the crest, but in the graph of Sasando with
folded leaf, the fundamental frequency appears
not at the crest of the graph. So the lontar leaf
does affect the resonance and the spreading of
the frequencies.
Unfolded Leaf
Folded Leaf
Fig. 7: Sasando’
Sasando’ss sonogram
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
27
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
Red = 387
Green = 1033
Blue = 2153
387
387
Red = 1119
Green = 732
Blue = 344
1119
1119
2153
2153
1033
1033
344
344
732
732
Fig. 8: Sasando’s Fast Fourier Transform/FFT
Tabel 2 : The Frequencies Spreading and the Time of Existing Sound
Unfolded Leaf
Stable
Note
28
Crest (Hz)
Pitch
C1
C2
C3
T(ms)
F(Hz)
F#
387
1033
2153
2 .7
370
F#
1119
732
344
2.7
370
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Exist
Time (sec)
4.38
(1.19 to 5.57)
2.81
(1.33 to 4.14)
Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando
800
F re q u e n c y
o b s e rv e d
700
600
F > 30
500
F < 30
400
300
1st 2nd 3rd 4th 5th 6th 7th 8th
Fig. 9: Binaural Beat Chart
From Fig. 9, we could assume that the binaural
effects can happen because Sasando’s sound
frequency spreads between the ranges of the
frequencies that trigger the binaural effects.
Conclusion
From these three observations that we did in the
experiment, i.e the data acquired, the analysis of
the data using Sonograph, and the discussion
about the data, we could clarify about these three
conclusions.
First, from all 8 graphs of Sasando’s
harmonics with its three dominant frequencies
in Table 1, we can conclude that Sasando has more
widely spread frequencies than guitar does.
Table 2 and Fig. 7 shows that the time needed
for the sound, produced by Sasando with folded
leaves, to disappear is longer than that of Sasando
with unfolded leaves. In Fig. 7, we can also see
that the amplitude of the sound produced with
folded leaves is increasing before constantly
decreasing while the amplitude of the sound
produced with unfolded leaves is constantly
decreasing from the very beginning. Fig. 8 also
shows that, for Sasando with folded leaves, the
fundamental frequency, that usually appears at
the crest, appears but not at the crest of the graph.
These facts bring us to a conclusion, the second
conclusion, that these leaves do affect Sasando
sound. Thus, it shows that these lontar leaves are
the resonators of Sasando and also the spreaders
of Sasando’s frequency.
The third conclusion is that Sasando sound has
binaural beats. As we see in Fig. 9, the range of
Sasando sound is between the ranges of frequency
– which is 30 Hz more or less than the
fundamental frequency – that can cause a
binaural effect which means that it can make an
effect of relaxation.
References
Hink, R. F., K. Kodera, O. Yamada, K. Kaga, and
J. Suzuki. (1980). Binaural interaction of a
beating frequency following response.
Audiology 19:36–43.
Lawrence, R. (1977). IEEE Transactions on
Acoustics, speech, and signal processing. Vol.
ASSP – 25.
Oster, G. (1973). Auditory beats in the brain.
Scientific American 229:94–102.
William H. Press, Saul A. Teukolsky, William T.
Vetterling, Brian P. Flannery. (2002).
Numerical Recipes in C++, 2nd
edition, Cambridge University Press., p. 501
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
29
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
Penelitian
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan
Bilangan Baku
Widodo*)
Abstrak
alam upaya meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan di sekolah baik di masingmasing satuan pendidikan dan secara nasional, Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) memberikan kebebasan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) sesuai dengan kondisi lokal tanpa mengabaikan tuntutan mutu secara nasional.
Dalam kenyataannya tidak jarang ditemui KKM yang ditetapkan itu tidak dapat dipenuhi karena
penyusunan dan penetapannya kurang tepat dan kurang berpedoman pada ketentuan yang ada.
Dengan demikian proses dan hasil belajar dan membelajarkan di sekolah tidak mencapai mutu
seperti yang direncanakan. Tulisan berikut membahas cara menyusun dan menetapkan KKM
untuk masing-masing mata pelajaran dengan tujuan dapat memberikan pencerahan kepada guru
dan sekolah sehingga peserta didik dan guru, serta sekolah secara keseluruhan, dapat memenuhi
KKM secara baik. Tulisan ini secara khusus membahas penggunaan bilangan baku dalam mencapai
KKM.
D
Kata kunci : KKM, sekolah, LHBS, bilangan baku
Abstract
To enhance the education quality at school level as well as at national level, the government has been
implementing the 2006 Curriculum (Curriculum of Educational Unit Level) in which every school is authorized
to develop its own curriculum based on the basic guidelines given by the Central Government. To attain the
curriculum objectives, each school is also encouraged to set the criteria for learning mastery (KKM) for each
subject. However, in the implementation not all of schools can fulfill the criteria (KKM) as they were not
properly formulated and set. This article discusses how to formulate and define the criteria (KKM) properly
based on the regulations and existing school conditions. This article introduces the techniques of using
standardized scores in relation to the fulfillment of KKM.
Key words: KKM, SKBM, standardized score
Pendahuluan
Kurikulum 2006 merupakan kurikulum yang
memberikan tempat seluas-luasnya bagi setiap
sekolah untuk merancang sendiri kurikulumnya. Kurikulum 2006 disebut dengan Kurikulum
*) Guru SDK BPK PENABUR Tasikmalaya
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu
kebebasan sekolah yang dapat berbeda dengan
sekolah lain adalah dalam menentukan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata
pelajarannya. Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) sama artinya dengan istilah Standar
Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM).
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
Sebelum tahun pelajaran dimulai setiap
guru menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) mata pelajaran yang akan diajarkan. KKM
tersebut menjadi KKM sekolah. KKM Pelajaran
yang satu berbeda dengan pelajaran lainnya.
KKM pelajaran yang sama di tingkat kelas yang
di bawah dapat berbeda dengan tingkat kelas di
atasnya. KKM yang telah ditetapkan oleh guru
dan sekolah harus dicantumkan dalam Laporan
Hasil Belajar Siswa disingkat LHBS atau Rapor
(Bimtek Kurikulum 2006: 2).
Sebagian besar guru-guru SD BPK
PENABUR Tasikmalaya menetapkan KKM
hanya berdasarkan alasan agar mudah dicapai
siswa dan lebih terkesan “Sesuai yang aku mau”
secara spontan menyebut suatu “angka aman”,
sehingga tidak berani menetapkan KKM dengan
angka lebih tinggi. Penetapan KKM tidak
dibentuk menggunakan kriteria-kriteria yang
sebenarnya. Guru tidak dapat menunjukkan
dasar penetapan KKM secara tertulis, guru
hanya memberikan suatu angka. Sementara itu
ada juga sejumlah guru beranggapan penetapan
KKM merepotkan, hanya menambah pekerjaan,
dan belum dapat melihat manfaat tambahan
bagi guru. Akibatnya KKM yang ditetapkan
kurang mencerminkan intake siswa, kompleksitas bahan ajar, serta daya dukung yang dimiliki.
Guru tidak melakukan perubahan dan pembangunan diri dalam pembelajarannya. Seolaholah ada atau tidak ada KKM sama saja, yang
penting semua bahan ajar telah diajarkan. Tidak
terlihat semangat guru yang dapat mempengaruhi siswa berusaha mencapai KKM.
Penyusunan soal tes tidak mencerminkan
indikator-indikator Kompetensi Dasar, sehingga
terdapat ketidak sesuaian antara soal tes dengan
indikatornya dan hasilnya kurang memuaskan.
Ada tes ulang tanpa ada remedial atau
bimbingan. Kualitas pendidikan tidak meningkat, bahkan cenderung menurun, dan tertinggal
dengan pesaing-pesaing yang bersemangat
melakukan perubahan-perubahan. Dengan
demikian, dirasakan sangat perlu membenahi
pembelajaran dengan penetapan KKM yang
benar (sesuai kriteria) dan cara-cara mencapai
KKM yang benar pula.
Penetapan KKM sejalan dengan sistem
“Belajar Tuntas” atau “Mastery Learning”
(Moleong, 1978: 6). Seluruh siswa tanpa kecuali
harus dapat mencapai taraf penguasaan penuh
pada setiap Kompetensi Dasar (KD). Tes formatif
(ulangan harian) dan tes sumatif (Tes evaluasi
akhir semester atau uji blok) dilakukan bukan
hanya untuk menentukan angka kemajuan
belajar semata, tetapi juga sebagai dasar catu
balik (feed back) untuk menentukan saat setiap
siswa memperoleh bantuan dalam mencapai
tujuan pembelajaran (Stone & Nielson, 1982: 11).
Tes formatif dimaksud merupakan tes yang
dilakukan untuk melakukan evaluasi setelah
pembahasan selesai satu atau dua Kompetensi
Dasar (KD). Tes sumatif dimaksud merupakan
tes yang dilaksanakan setelah seluruh
Kompetensi Dasar dalam satu semester telah
selesai pembahasannya (Dick & Carey, 1978: 8,
10, 11). Dengan demikian tes yang dilakukan
disebut ‘Diagnostic Progress Test’ atau Tes
Diagnosa Kemajuan.
Pencapaian KKM meskipun secara eksplisit
ditujukan kepada siswa yang harus mencapainya, namun sebenarnya secara implisit juga
ditujukan kepada guru untuk mencapainya.
Guru yang profesional harus dapat menentukan
KKM yang tepat dan dengan segala kemampuannya mengupayakan seluruh siswa dapat
mencapai bahkan dapat melampaui KKM.
Upaya guru secara garis besar meliputi
empat langkah yang dikenal dengan istilah
“P3R” yaitu Persiapan, Pelaksanaan, Penilaian,
dan Refleksi (Suparno 1998: 72). Yang dimaksud
persiapan yaitu guru membuat program
pembelajaran tahunan, program semester,
menyusun silabus, dan membuat rencana
pembelajaran. Pembuatan program pembelajaran tersebut dituntun dan merupakan
pengembangan standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD) yang terdapat dalam
kurikulum 2006. Guru dapat mengembangkan
atau memperkaya dengan menambahkan materi
lain yang berhubungan. Di dalam pembuatan
rencana pembelajaran (RP) atau rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) dapat
ditambahkan catatan tentang isu atau kejadian
atau peristiwa atau berita yang sedang hangat
yang dapat dikaitkan dengan kompetensi dasar
(KD) yang akan dibahas.
Selanjutnya, guru melaksanakan pembelajaran sesuai jadwal dan sesuai program
semester. Setiap selesai pembahasan satu atau
dua kompetensi dasar (KD) dilakukan tes
formatif untuk melakukan penilaian mengukur
tingkat pencapaian KKM. Disarankan menggunakan tes obyektif agar mudah melakukan
analisa tes. Tahap akhir adalah guru melakukan
refleksi merenungkan semua tahapan yang telah
dilaksanakan untuk menemukan kekurangankekurangan guna melakukan perbaikan tugas
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
31
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
profesional guru di kemudian hari. Demikian
juga gaya mengajar guru mencerminkan
pelaksanaan pengajaran ikut mempengaruhi
pencapaian KKM (Dianne Lapp, dkk, 1975: 1).
Guru sebagai orang dewasa diharapkan mampu
memperbaiki bahkan mengubah gaya
mengajarnya bila ternyata gaya mengajarnya
kurang dapat mendukung / membantu siswa
mencapai ketuntasan (KKM) yang diharapkan.
Tidak kalah pentingnya guru harus memahami,
bahwa setiap siswa mempunyai keragaman
dalam hal kecakapan maupun kepribadian yang
merupakan ciri-ciri khusus yang bersifat
menonjol yang membedakan dirinya dengan
orang lain. (Hall & Lindsey, 1981: 9). Dengan
demikian pemberian bimbingan harus disesuaikan dengan sifat-sifat khas setiap siswa.
Uraian sebelumnya menunjukkan KKM di
awal proses pembelajaran menentukan proses
belajar-membelajarkan dan pencapaian tujuan
pembelajaran. Dengan demikian penyusunan
dan penetapan KKM perlu dilakukan secara
cermat, tidak semata-mata memperhatikan apa
yang hendak dicapai, tetapi juga bagaimana
keadaan yang ada. Masalahnya kemudian ialah,
bagaimana menyusun, menetapkan KKM dan
mencapai KKM itu?
Pembahasan
Penetapan KKM
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ditetapkan
pada awal tahun pelajaran oleh forum warga
sekolah (Guru dan Kepala Sekolah) dalam rapat.
Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan
bulat dengan rentang 0 – 100. Nilai ketuntasan
belajar maksimal adalah 100, tetapi sekolah
diperbolehkan menetapkan KKM di bawah 100.
Nilai KKM yang telah ditetapkan sekolah harus
dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa
(LHBS) atau Rapor dalam kolom KKM atau SKB.
Urut-urutan penetapan KKM adalah sebagai
berikut.
KKM
Indikator
32
KKM
KD
KKM
SK
KKM
MP
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Keterangan:
KKM Indikator
Indikator-indikator yang terdapat dalam
Kompetensi Dasar (KD) kemungkinan
berbeda-beda kompleksitasnya, ada yang
tinggi, sedang, dan rendah. Dengan
demikian setiap indikator memiliki KKM
yang berbeda. KKM Indikator dirata-ratakan
dan menjadi KKM Kompetensi Dasar (KD).
KKM Kompetensi Dasar (KD)
Setiap Standar Kompetensi (SK) terdiri atas
beberapa Kompetensi Dasar (KD) yang
memiliki KKM yang berbeda (hasil rata-rata
KKM indikator-indikatornya). Rata-rata
KKM KD menjadi KKM SK.
KKM Standar Kompetensi (SK)
KKM Standar Kompetensi (SK) merupakan
hasil rata-rata KKM KD. Rata-rata dari KKM
SK suatu mata pelajaran menjadi KKM Mata
Pelajaran.
KKM Mata Pelajaran (MP)
KKM Mata Pelajaran (MP) merupakan hasil
rata-rata KKM setiap Standar Kompetensi
(SK). KKM MP antara tingkat kelas yang
satu dengan tingkat kelas yang lainnya
boleh berbeda, boleh juga sama ditentukan
oleh kriteria-kriteria yang membentuk KKM.
KKM Sekolah
Menggambarkan KKM Mata Pelajaran
seluruh tingkat kelas di sekolah tersebut.
KKM sekolah yang satu boleh berbeda
dengan KKM sekolah lainnya.
Kompetensi Dasar (KD) merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta
didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai
rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.
Standar Kompetensi merupakan kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang
menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan
KKM
Sekolah
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester.
SK terdiri atas sejumlah KD sebagai acuan baku
yang harus dicapai dan berlaku secara nasional
(Kurikulum 2006).
Kriteria Penetapan KKM
Penetapan KKM tidak dilakukan secara
sembarangan menetapkan angka tertentu sesuai
keinginan guru, tetapi harus memenuhi kriteria
(1) kompleksitas (kesulitan dan kerumitan
bahan ajar), (2) daya dukung, dan (3) intake siswa.
Ketiga kriteria ini merupakan kriteria minimal
untuk mencapai target minimal penguasaan
siswa terhadap suatu kompetensi dasar.
Sedangkan hasil belajar siswa dapat dilihat dari
berbagai segi pengukuran selain tes tertulis, ada
tes lisan, pengamatan, unjuk kerja, tugas, dan
lain-lain.
1. Kompleksitas (kesulitan dan kerumitan bahan
ajar)
Tingkat kompleksitas setiap mata pelajaran
bahkan setiap Kompetensi Dasar (KD) berbedabeda. Tingkat kompleksitas yang tinggi akan
mempengaruhi penetapan KKM menjadi rendah
dan sebaliknya tingkat kompleksitas rendah
akan mempengaruhi penetapan KKM yang
tinggi. Tingkat kompleksitas suatu mata
pelajaran dikategorikan tinggi bila dalam
pelaksanaan pembelajarannya menuntut (1)
guru harus memahami dengan sungguhsungguh kompetensi yang harus dicapai siswa,
dan guru dituntut harus kreatif serta inovatif
dalam melaksanakan pembelajaran, (2) waktu
yang diperlukan untuk pembelajaran cukup
lama (jam tatap muka banyak) karena
memerlukan pengulangan-pengulangan, dan (3)
sangat diperlukan penalaran dan kecermatan
siswa yang tinggi.
Contoh kompleksitas tinggi: Mata pelajaran
Matematika
1) Matematika SD pembahasan Bangun Ruang
(khususnya Luas Permukaan), kelas VI
- Anak harus membayangkan bentuk
bangun ruang
- Anak harus mampu mengembangkan
rumus penghitungan
- Anak harus memahami bahan pembelajaran kelas sebelumnya (kelas IV
dan V)
2) Matematika SMP pembahasan Aljabar Perfaktoran, kelas VIII
-
3)
Anak harus membayangkan bentuk
aljabar
- Anak harus memahami bahan pembelajaran kelas sebelumnya (kelas VII)
Matematika SMA pembahasan Dimensi 3
(Ukur Ruang), kelas X
- Siswa harus mampu membayangkan
permasalahan Dimensi 3
- Siswa harus mampu menggambar bangun
- Siswa harus mampu membuat model
- Siswa harus mampu menganalisa
Contoh kompleksitas rendah: Mata pelajaran
Matematika
1) Matematika SD pembahasan operasi bilangan
- Anak hanya dituntut kemampuan
menambah dan mengurangkan.
Misal 10 + 5 = . . .atau 75 – 30 = . . .
2) Matematika SMP pembahasan Statistik, kelas
IX
- Sedikit rumus dan hanya operasi
menambah dan mengurangkan
3) Matematika SMA pembahasan Matrik, kelas
XII
- Hanya operasi menambah dan mengurangkan
Tinggi-rendahnya kompleksitas bahan
pembelajaran dapat dikatakan relatif. Untuk
sekolah yang satu dinilai tinggi tetapi di sekolah
lain dinilai sedang. Khususnya Matematika, bila
soalnya saja belum terbayang, bagaimana bisa
mengerjakannya?. Rupanya kalimat tersebut
yang menjadi kunci Matematika memiliki
kompleksitas tinggi.
Guru masa depan tidak lagi tampil sebagai
pengajar (teacher), melainkan beralih sebagai
pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan
manajer belajar (learning manager). (Sidi, 2001).
Ada pepatah kuno, bahwa ’murid tidak dapat
melebihi gurunya, sudah baik bila ia dapat
menyamai gurunya’. Bagaimana mungkin siswa
dapat menyamai atau bahkan melebihi gurunya,
kalau sang guru tidak memberikan seluruh
ilmunya kepada siswanya. Mengukur
keberhasilan belajar siswa dari apa yang telah
dipelajarinya, bukan yang tidak dipelajarinya.
Sesulit apapun soal, bila mengetahui cara
memecahkannya, karena pernah berlatih soal
yang serupa pastilah siswa dapat memecahkannya. Setidaknya ada semangat untuk
berusaha memecahkannya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
33
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
Sebenarnya tidak ada mata pelajaran yang
memiliki kompleksitas tinggi, bila semua bahan
ajar telah diajarkan tuntas sampai dengan
pemberian soal-soal latihannya. Suatu mata
pelajaran menjadi memiliki kompleksitas tinggi
karena ada sebagian bahan yang tidak diajarkan
secara tuntas, demikian juga soal-soal
latihannya ada yang tidak dibahas. Bahan yang
tidak diajarkan dan soal-soal latihan yang tidak
dilatihkan justru dijadikan soal tes. Sudah dapat
dipastikan hasilnya tidak semua siswa mampu
mencapai KKM, lalu disimpulkan memiliki
kompleksitas tinggi. Siswa tidak mampu
memecahkan, karena guru tidak pernah
mengajarkannya dan tidak pernah melatihkan
soal yang serupa (bukan soal yang sama).
Diharapkan keadaan yang demikian tidak
terjadi, khususnya di lingkungan BPK
PENABUR sehingga guru benar-benar tetap
menjaga profesionalismenya.
2. Daya Dukung
Yang dimaksudkan dengan daya dukung yaitu
(a) tenaga pengajar (guru) yang memenuhi
kualifikasi minimal S1/D4 yang selalu siap
melaksanakan pembelajaran (b) sarana
penunjang pendidikan meliputi (ruangan kelas,
media pembelajaran, laboratorium, perpustakaan) , (c) manajemen sekolah yang mampu
mendukung kelancaran Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) dengan baik, dan (d) kepedulian
pemangku kepentingan (stakesholder) sekolah
(Pengurus, Orang tua siswa, guru, dan
karyawan). Keempat jenis daya dukung itu
diharapkan tersedia dalam jumlah, kualitas dan
waktu yang tepat.
Daya dukung di BPK PENABUR tergolong
sangat baik, terlihat dari kenyataan bahwa
hampir semua guru TK sampai dengan SMA/
SMK memiliki kualifikasi Sarjana S1 / D4,
bahkan ada yang S2. Ada sebagian kecil guruguru TK dan SD yang sedang menempuh studi
penyetaraan peningkatan kualifikasi untuk
memperoleh gelar sarjana S1 / D4. Setiap guru
siap mengajar 5 atau 6 hari penuh, sarana
prasarana pendidikan di atas rata-rata baik,
dukungan pengurus baik, dan dukungan orang
tua siswa juga baik. Kadang-kadang daya
dukung yang baik yang telah dimiliki belum
disadari benar, sehingga belum dapat memacu
kinerja atau semangat berprestasi bagi sebagian
guru.
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
3. Intake Siswa
Intake siswa atau tingkat kemampuan rata-rata
siswa (Bimtek KTSP-Depdiknas, 2008) dapat
ditentukan sebagai berikut. Untuk siswa kelas 1
SD atau kelas 7 SMP atau kelas 10 SMA/SMK,
penentuan intake siswa berdasarkan rata-rata
hasil seleksi Penerimaan Siswa Baru (PSB), atau
menggunakan STTB/Ijazah, atau LHBS/Rapor
tingkat kelas sebelumnya. Bagi SD yang tidak
melaksanakan seleksi Penerimaan Siswa Baru
(PSB), penetapan langsung KKM berdasarkan
KKM tahun pelajaran sebelumnya, atau ditetapkan berdasarkan keputusan rapat forum warga
sekolah. Siswa kelas 2 – 6 SD atau kelas 8-9 SMP
atau kelas 11-12 SMA/SMK, penetapan intake
siswa berdasarkan tingkat kemampuan rata-rata
siswa yang dicapai dalam LHBS atau Rapor
semester sebelumnya.
Intake siswa yang dimiliki BPK PENABUR
di atas rata-rata sampai sangat baik. Sudah
diakui oleh masyarakat sekitar BPK PENABUR,
bahwa rata-rata anak-anak yang belajar di BPK
PENABUR berasal dari keluarga-keluarga yang
memiliki latar belakang pendidikan baik,
sehingga dapat dipastikan kalau output
lulusannya juga pasti baik
Table 1: Menafsirkan Kriteria menjadi
Angka Nilai
Kriteria
Tingkat
1. Kompleksitas
2. Daya Dukung
3. Intake Siswa
Poin
Nilai
Rentang
Nilai
Tinggi
1
5 0 - 64
Sedang
2
65 - 80
Rendah
3
81 - 10 0
Tinggi
3
81 - 100
Sedang
2
65 - 80
Rendah
1
50 - 64
Tinggi
3
81 - 100
Sedang
2
65 - 80
Rendah
1
50 - 64
(Bimtek KTSP-Depdiknas, 2008)
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
Jika suatu Mata Pelajaran kompleksitasnya rendah,
daya dukungnya sedang, dan intake siswa sedang,
maka perhitungan penetapan KKM sebagai
berikut.
a. Perhitungan berdasarkan Poin Nilai
KKM=
3+2+2
x100 = 77.78 dibulatkan menjadi 78
9
b.
Perhitungan berdasarkan Rentang Nilai
KKM =
90+76+68
3
x100 = 78
Guru BPK PENABUR minimal berijazah
Sarjana (S1 atau D-4), sering mendapat pelatihan
melalui MGMP, dan pelatihan-pelatihan
lainnya, bekerja penuh berada di sekolah
meskipun tidak ada jadwal mengajar. Jadi dapat
dikategorikan memiliki nilai sedang, bahkan
seharusnya nilai sedang maksimal. Apalagi
yang berijazah S2, berpengalaman mengajar
dibidangnya lebih dari 10 tahun, tentu nilainya
lebih dari sedang. Sarana dan prasarana belajar
rata-rata sekolah BPK PENABUR baik, tidak
relevan kalau diberi nilai rendah. Orang tua
siswa percaya kepada BPK PENABUR, bahkan
rela mengeluarkan uang lebih agar putra/
putrinya tidak ketinggalan teman-temannya,
mendukung setiap kegiatan sekolah, maka
dukungan orangtua tidak relevan kalau diberi
nilai rendah.
Jika suatu Mata Pelajaran kompleksitasnya
tinggi, daya dukung tinggi, dan intake siswa sedang,
maka perhitungan penetapan KKM sebagai
berikut.
KKM=
1+3+2
9
x100 = 66.67 dibulatkan menjadi 67
a. Perhitungan berdasarkan Poin Nilai
Atau
c. Perhitungan berdasarkan Rentang Nilai
KKM =
60+85+65
3
x100 = 70
BPK PENABUR dikenal masyarakat
memiliki daya dukung sangat baik (perhatian
pengurus tinggi, sarana tersedia baik, guru-guru
dan karyawan sangat baik, dan perhatian orang
tua siswa sangat baik) dan intake siswa di atas
rata-rata, dengan demikian seharusnya setiap
mata pelajaran KKM-nya di atas 75. Penulis
mengasumsikan, bahwa sekolah yang berani
menetapkan KKM tinggi mencerminkan
keseriusan, kesiapan, dan kesungguhan warga
sekolah (terutama kepala sekolah, guru, dan
karyawannya) dalam memberikan pelayanan
yang semakin baik. Masyarakat melihat
kepedulian sekolah dalam membimbing dan
menghantar siswa-siswanya untuk meraih
prestasi lebih. Penulis mengasumsikan bila
Sekolah-sekolah BPK PENABUR berani
menetapkan KKM tinggi berarti kepala sekolah,
guru, dan karyawannya benar-benar siap,
serius, dan sungguh-sungguh dalam
memberikan pelayanan yang semakin baik.
Dengan demikian masyarakat mau mempercayakan putra-putrinya menjadi bagian BPK
PENABUR untuk ikut memiliki prestasi lebih.
Mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal
Sekolah harus menginformasikan KKM yang
telah ditetapkan kepada seluruh siswa dan
orang tua siswa (masyarakat), demikian juga
cara mencapai KKM tersebut. Tercapai atau tidak
tercapainya KKM dapat diketahui dari hasil Tes
Formatif dan Tes Sumatif. Bila KKM suatu
Kompetensi Dasar (KD) belum dapat dicapai
oleh sebagian besar siswa, maka sebaiknya guru
tidak melanjutkan pembahasan Kompetensi
Dasar (KD) berikutnya. Guru harus mengadakan
remedial (pengajaran ulang), bimbingan dan tes
perbaikan. Bila hanya sebagian kecil siswa yang
tidak mencapai KKM, pembahasan Kompetensi
Dasar (KD) berikutnya dapat dilaksanakan,
tetapi guru harus memberikan remedial,
bimbingan, dan tes perbaikan kepada siswasiswa tersebut sampai semua siswa mencapai
KKM. Remedial, bimbingan, dan tes perbaikan
sebaiknya dilaksanakan di luar jam tatap muka
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), agar semua
Kompetensi Dasar (KD) dapat dibahas sesuai
waktu yang telah ditetapkan. Pemberian
remedial, bimbingan, dan tes perbaikan tidak
terbatas waktu dan pelaksanaannya sampai
setiap siswa mencapai KKM.
Bila dalam membuat soal tes sesuai dengan
indikator sesuai dengan kompetensi dasar (KD),
dan KD diberitahukan kepada siswa setiap awal
pembelajaran, serta diajarkan kepada siswa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
35
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
dapat dipastikan sebagian besar hasil tes siswa
mencapai KKM. Bila guru konsekuen dengan
profesinya dibuktikan dengan selalu memberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan
kepada siswa-siswa yang belum mencapai
KKM, maka semua siswa tidak terkecuali akan
mampu mencapai KKM setiap kompetensi dasar
(KD) yang diajarkan. Kuncinya hanya pada “guru
sadar profesi atau tidak”.
Pencapaian KKM untuk setiap Kompetensi
Dasar (KD) melalui Tes Formatif mudah
dilaksanakan atau sangat dimungkinkan
(meskipun ada beberapa siswa yang harus
diberikan remedial, bimbingan, dan tes
perbaikan berulang-ulang), karena waktu yang
tersedia cukup banyak dan bahan ajar yang
dibahas dan dievaluasi masih sangat sedikit
(satu atau dua Kompetensi Dasar). Yang
menjadi masalah atau kendala yaitu dalam
pencapaian KKM ketika Tes Sumatif atau uji blok
bila ternyata ada banyak siswa dari hasil Tes
Sumatifnya tidak mencapai KKM. Untuk
melaksanakan remedial, bimbingan, dan tes
perbaikan kurang memungkinkan, karena
waktu yang tersedia sampai dengan penulisan
Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS atau Rapor)
sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah/
kendala tersebut penulis ingin membagikan
pengalaman mencapai KKM dengan menggunakan bilangan baku.
S² = merupakan penjumlahan setiap nilai hasil
tes yang dikuadratkan.
Mencapai KKM menggunakan Bilangan Baku
Bilangan Baku (Pawitan, 2009: 62-63) atau
dikenal dengan istilah Z-skore (Mc Clave &
Sincich, 2003: 72). Bila data sampel berukuran
n, dinotasikan dengan {X1, X2, . . ., Xn} yang
mempunyai rata-rata X dan simpangan baku
Sx dapat ditransformasikan menjadi {Z1, Z2, . .
.,Zn}, yang mempunyai rata-rata Z dan
simpangan baku Sz. Rumus Z-skore atau
Bilangan Baku, yaitu :
Zi =
Xi - X
Sx
Keterangan:
Xi = nilai hasil tes
= rata-rata nilai hasil tes.
diperoleh dengan cara menjumlahkan
seluruh nilai sampel (misalnya sebanyak 40
siswa), kemudian hasil penjumlahan
tersebut dibagi dengan banyaknya sampel
(misalnya 40 siswa).
Sx = simpangan baku (standar deviasi), yang
diperoleh dari
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Z-skore bila digunakan untuk membentuk
bilangan baru dengan rata-rata
dan simpangan baku So, maka bilangan baru tersebut
adalah
Keterangan:
= nilai rata-rata bilangan baru yang
diharapkan (misalnya sebesar KKM)
So= besarnya simpangan baku yang kita
harapkan (misalnya 5 atau 10)
Zi = hasil dari Z-skore. Zi dapat berupa bilangan
positif atau bilangan negatif
Zi yang positif (+) akan membentuk nilai baru
lebih besar dari
Zi yang negatif (-) akan membentuk bilangan
baru lebih kecil dari
Contoh hasil nilai Evaluasi Akhir Semester
Genap tahun pelajaran 2008/2009 mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas
VI SD BPK PENABUR Tasikmalaya dengan
sampel sebanyak 40 siswa sebagai berikut.
65
37
34
50
46
33
45
52
31
31
45
21
35
48
47
37
36
33
36 34
31
32
33
38
31
33
31
34
42
31
32
33
40
33
47
33
33
32
31
33
Angka-angka tersebut di atas merupakan
hasil tes dari soal tes yang dibuat oleh tim
penyusun soal UPTD Pendidikan Kecamatan.
Butir-butir soal yang tersusun ternyata merupakan bahan yang tidak diajarkan lebih mendalam
oleh guru, sehingga semua siswa kebingungan
dan memberikan jawaban tidak dengan pasti.
Hasilnya tidak sesuai atau tidak menggambarkan kemampuan siswa. Memang ada
kemungkinan soal menjadi sangat sulit atau
sebaliknya menjadi sangat mudah bila soal tes
tidak dibuat oleh gurunya. Hasil yang tidak
memuaskan tersebut di atas bukan sepenuhnya
kesalahan guru, karena ada kelemahan terdapat
pada butir-butir soalnya. Bagaimanapun juga
hasil tes menunjukkan semua siswa memperoleh
nilai sangat rendah, tidak memuaskan.
KKM ditetapkan 70 sedangkan rata-rata Tes
Formatif, PR, dan Tugas berkisar diantara nilai
70 – 90. bila diproses menjadi nilai akhir sebagai
nilai yang dituliskan pada LHBS akan diperoleh
banyak siswa tidak mencapai KKM. Agar KKM
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
bimbingan, dan tes perbaikan tidak ada
pembatasan, dan dilakukan di luar jam tatap
muka atau sepulang sekolah (guru BPK
PENABUR setelah ±90 menit KBM selesai baru
boleh meninggalkan sekolah). Bila banyak siswa
yang tidak mampu mencapai KKM, guru harus
mawas diri (introspeksi) jangan-jangan
kesalahan terdapat pada cara guru mengajar.
Mungkin perlu memperbaiki metode, mungkin
perlu ditambah porsi latihannya, mungkin perlu
mengubah gaya mengajar, mungkin perlu
menambah alat peraga, dan atau mungkin butir
soal tidak sesuai dengan indikator tidak sesuai
dengan kompetensi dasar. Seandainya ada
kelemahan guru tetap memberikan remedial,
bimbingan, dan tes perbaikan, serta melakukan
perbaikan atau perubahan yang berhubungan
dengan guru.
Mencapai KKM dengan menggunakan
bilangan baku atau Z-skore atau melakukan
konversi (transformasi) menjadi nilai baru hanya
diperbolehkan digunakan untuk hasil tes sumatif (tes evaluasi akhir semester). Sebab waktu
yang tersedia antara akhir pelaksanaan tes
dengan penulisan Laporan Hasil Belajar Siswa
(LHBS atau Rapor) sangat terbatas. Tidak
memungkinkan untuk memberikan remedial,
bimbingan, dan tes perbaikan. Dengan kemajuan
teknologi yang dimiliki BPK PENABUR dapat
digunakan guru untuk membantu membentuk
nilai baru menggunakan bilangan baku atau Zskore. Dengan demikian sebagian tugas guru
dapat digantikan oleh teknologi.
Saran
Dari pembahasan yang dipaparkan di atas
diharapkan agar guru menggunakan kriteria
yang benar dalam menetapkan KKM, sebab akan
mengarahkan pembelajaran menjadi lebih fokus,
memungkinkan melakukan inovasi, dan
memotivasi anak didik untuk mengetahui
pentingnya menguasai bahan ajar bagi dirinya
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
agar bersemangat mencapai KKM. Guru harus
melayani setiap siswa, memuaskan haknya ntuk
memperoleh remedial, bimbingan, dan tes
perbaikan sampai mencapai KKM. Hal itu
menunjukkan keseriusan guru dalam
pembelajaran dan menunjukkan kasih sayang
yang besar kepada setiap siswa.
Remedial, bimbingan, dan tes perbaikan
dilaksanakan mengunakan waktu luang (waktu
sebelum pulang) seusai kegiatan belajar
mengajar. Agar waktu tatap muka di kelas tidak
berkurang karena mengkhususkan waktu untuk
melayani siswa yang membutuhkan bimbingan.
Dalam meningkatkan pelayanannya guru
sebaiknya melakukan refleksi atau perenungan
dan introspeksi diri serta mempertanyakan
sudah benarkah melakukan persiapan
pembelajaran (termasuk menetapkan KKM),
pelaksanaan pembelajaran, dan melakukan
evaluasi selama ini. Haruskah dilakukan
perubahan dan perbaikan?. Dan selalu ingat
untuk melihat ada wajah-wajah Allah di wajah
setiap anak didik yang selalu berharap hanya
yang terbaik guru persembahkan. Guru yang
terbuka terhadap perubahan harus melakukan
pembangunan pembelajaran. Artinya selalu
memperbaiki atau menyempurnakan persiapan
pembelajarannya, pelaksanaan pembelajarannya, dan penilaiannya. Dengan demikian akan
membuahkan hasil yang berkualitas tinggi, baik
bagi guru pribadi, bagi siswa, juga bagi BPK
PENABUR dan masyarakat. Masing-masing
guru memotivasi diri (melakukan penguatan
diri) secara pribadi untuk bekerja dan melayani
semakin baik. Nama BPK PENABUR harus
semakin bertambah dan aku (guru) harus
semakin berkurang. Maksudnya kita membiasakan diri untuk bekerja keras agar dapat
memberikan yang terbaik seperti untuk Tuhan
dan bukan untuk manusia, dan hasilnya lamakelamaan menjadi terbiasa dan tidak menjadi
beban, tetapi sukacita. Bila nama BPK PENABUR
semakin besar, maka guru dan karyawan
semakin memiliki kepastian untuk terus tetap
dapat berkarya.
Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku
Daftar Pustaka
Dick, Walter, & Lou Carey. (1978). The systematic
design of instruction, Illinois: Scott,
Forresman & Co
Hall, Calvin S., & Linsey Gardner. ( 1981).
Theories of Personality. New York : John
Wiley & Son
Lapp, Dianne, dkk. (1975). Teaching and learning:
philosophical, psychological and curricular
application.New York : Mac Milan
Publishing Co, Inc.
Mc.Clave, James T., Sincich Terry. (2003). A first
course in statistics, New Jersey : Perarson
Education, Inc.
Moleong, L.J. (1978). Belajar tuntas, Jakarta : BP3
Departemen P dan K
Pawitan, Gandhi. (2009). Statistika untuk Bisnis,
Bandung : Unpar
Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyarakat
Belajar, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu.
Stone, David R., & Elwin C. Nielson. (1982).
Educational psychology :The develompment
of teaching skills. New York : Harper & Row
Publishers
Suparno, Paul. (1998). Dasar dan orientasi
pendidikan Jesuit, dalam P.J.Suwarno, Sanata
Dharma menemukan jalannya. Yogyakarta
: USD
_______, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 22, 2006,
Kurikulum 2006, Jakarta : Media Makmur
Maju Mandiri
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
41
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Penelitian
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui
Metode Snowball-throwing dalam Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan
P. Slamet Widodo*)
Abstrak
alam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP, guru sering menemukan
kesulitan memberikan motivasi siswa agar mampu berbicara untuk mengemukakan
pertanyaan atau pendapat. Penelitian ini mencoba memecahkan masalah tersebut melalui
penelitian tindakan kelas di kelas 7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya dengan metode
snowball-throwing. Setelah melakukan dua kali putaran kegiatan dengan penyempurnaan pada
setiap putaran, penelitian ini membuktikan bahwa metode snowball-throwing dapat meningkatkan
keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan
guru menerapkan metode snowball-throwing dalam mengatasi kesulitan siswa dalam bertanya.
D
Kata kunci : Teori belajar, metode snowball-throwing, penelitian tindakan kelas.
Abstract
The objectives and characteristics of the social sciences require interactive instructions but the teachers often
find the students passive and it is difficult to encourage them to raise questions or express their ideas in civics.
This classroom action research aimed at overcoming the students’obstacles in expressing themselves. The
research, conducted at Grade 9 of BPK PENABUR Junior High School , Tasikmalaya, showed that the
snowball-throwing technique is quite effective to encourage the students to be more active in raising questions
in teaching-learning processes in civics. Detailed activities in the classroom action research are described in
this article.
Key words: Learning theory, snowball-throwing method, classroom action research.
Pendahuluan
Dalam pendekatan pembelajaran yang berbasis
siswa (students oriented), siswa diharapkan
berperan secara aktif tidak hanya secara fisik
tetapi terutama dalam menggunakan
kemampuan berpikirnya. Keaktifan siswa itu
dapat terlihat dalam bentuk mengajukan
pertanyaan, pendapat atau pandangan lain
bahkan berupa bantahan. Dalam pengalaman
penulis terutama ketika mengajar mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas 7A,
*) Kepala SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
para siswa pasif dan jarang yang ada berani
bertanya. Hal ini membuat penulis bertanyatanya, mengapa para siswa jarang bertanya.
Pertanyaan mengapa hampir tidak ada
siswa yang bertanya ketika penulis mengajar di
kelas ini membuat penulis mencoba mengajar
dengan sebuah metode yang dapat membangkitkan rasa keberanian siswa dalam bertanya.
Oleh karena itu penulis mencoba menggunakan
metode snowball-throwing sebagai upaya
membangkitkan keinginan siswa bertanya
tentang pokok materi yang diajarkan.
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Dengan mengadakan penelitian tindakan
kelas (PTK) akar masalah keengganan siswa
mengemukakan pertanyaan dapat dikaji, diteliti,
dan didiskusikan untuk kemudian dievaluasi
dan dicari pemecahannya. Dengan adanya
pengamat (observer) sekaligus sebagai penilai
penulis mendapatkan temuan-temuan yang asli
dari para pengamat. Selain itu penulis juga
mendapatkan kritikan, dan evaluasi dari orang
lain yang secara langsung menyaksikan proses
kegiatan mengajar dan penerapan metode.
Pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa masalah yang terjadi dalam proses
belajar-mengajar terutama yang berhubungan
dengan minat dan motivasi belajar di SMP BPK
PENABUR Tasikmalaya siswa tidak memiliki
motivasi yang kuat sehingga berdampak pada
kurangnya minat bertanya. Secara umum PTK
bermanfaat untuk membantu guru memperbaiki
mutu pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan rasa percaya diri
guru, dan memungkinkan guru secara aktif
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Atas dasar pengamatan, permasalahan
dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana
meningkatkan motivasi bertanya melalui
penerapan metode snowball-throwing dalam mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di
kelas 7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya?”
Bertolak dari rumusan masalah yang telah
disebutkan PTK ini dilakukan dengan tujuan
(1) mencari metode pembelajaran yang tepat
untuk mengaktifkan suasana pembelajaran di
kelas sehingga dapat meningkatkan aktivitas
keterampilan dalam bertanya tentang materi
yang diajarkan; (2) mengujicobakan metode
snowball-throwing dalam pembelajaran di kelas
untuk meningkatkan motivasi bertanya siswa;
dan (3) melatih siswa untuk memiliki motivasi
dalam mengemukakan pertanyaan sehingga
menemukan relevansi materi pelajaran yang
diajarkan dengan persoalan yang dihadapi di
masyarakatnya. Dengan demikian hasil PTK ini
diharapkan bermanfaat pertama untuk para
siswa. Mereka diharapkan dapat (a) bertanya
suatu masalah sesuai dengan materi yang
diajarkan kepada guru dengan sistematis dan
jelas; (b) memiliki keberanian untuk mengemukakan pertanyaan dalam berbagai situasi
terutama di lingkungan kelas bersama temanteman maupun guru; (c) merumuskan pertanyaan secara sistematis dan terarah; dan (d)
mengemukakan pertanyaan sesuai dengan
gagasan-gagasan yang terbaik dari hasil
pemikiran bersama dengan teman kelompoknya.
Kedua, para guru memperoleh gambaran
tentang (a) metode pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang dapat meningkatkan
motivasi bertanya pada siswa; dan (b)
penerapan pendekatan metode snowball-throwing
dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan khususnya untuk meningkatkan motivasi
bertanya. Ketiga sekolah, khususnya SMPK BPK
PENABUR Tasikmalaya, memiliki siswa yang
terampil dalam bertanya terutama dalam
menghadapi arus globalisasi dan kompleksitas
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
sehingga dapat menghadapi setiap permasalahan yang muncul dengan arif dan bijaksana.
Tinjauan Teoretis dan Perumusan
Hipotesis
Pengertian Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris
“communication”),secara etimologis atau menurut
asal katanya adalah dari bahasa Latin
communicatus, dan perkataan ini bersumber pada
kata communis Dalam kata communis ini memiliki
makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’
yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk
kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi secara terminologis merujuk
pada adanya proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam
komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk
pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16)
komunikasi dapat diartikan sebagai”...the process
through which individuals–in relationships, group,
organizations and societies—respond to and create
messages to adapt to the environment and one
another”. Komunikasi manusia adalah proses
yang melibatkan individu-individu dalam suatu
hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan
untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama
lain.
Teori Belajar
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan
menemukan banyak teori belajar yang bersumber
dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di
bawah ini akan dikemukakan dua jenis teori
belajar, yaitu: (a) teori pemrosesan informasi dari
Gagne, dan (b) teori belajar Gestalt. Menurut teori
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
43
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
pemrosesan informasi dari Gagne, dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil
belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi
adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal
dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang
diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan
proses kognitif yang terjadi dalam individu.
Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan
dari lingkungan yang mempengaruhi individu
dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (a) motivasi; (b)
pemahaman; (c) pemerolehan; (d) penyimpanan;
(e) ingatan kembali; (f) generalisasi; (g) perlakuan
dan (h) umpan balik.
Teori belajar yang kedua adalah teori belajar
gestalt. Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang
mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah
bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler,
ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting.
Pertama, hubungan bentuk dan latar (figure and
gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua
yaitu figure (bentuk) dan latar belakang.
Penampilan suatu obyek seperti ukuran,
potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
Kedua, kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur
yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan
dipandang sebagai satu bentuk tertentu. Ketiga,
kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang
memiliki kesamaan cenderung akan dipandang
sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
Keempat, arah bersama (common direction); bahwa
unsur-unsur bidang pengamatan yang berada
dalam arah yang sama cenderung akan
dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk
tertentu. Kelima, kesederhanaan (simplicity);
bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana,
penampilan reguler dan cenderung membentuk
keseluruhan yang baik berdasarkan susunan
simetris dan keteraturan. Keenam, ketertutupan
(closure) bahwa orang cenderung akan mengisi
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan
yang tidak lengkap.
Sementara menurut Akhmad Sudrajat, teori
belajar adalah suatu teori yang di dalamnya
terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan
belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan
dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
Namun teori belajar ini tidaklah semudah yang
dikira, dalam prosesnya teori belajar ini
membutuhkan berbagai sumber sarana yang
dapat menunjang, seperti: lingkungan siswa,
kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat
kecerdasan siswa. Semua unsur ini dapat
dijadikan bahan acuan untuk menciptakan
suatu model teori belajar yang dianggap cocok,
tidak perlu terpaku dengan kurikulum yang ada
asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan
tujuan pendidikan.
Teori belajar sebagai cara pengaplikasian
dalam kegiatan belajar mengajar antara guru
dan siswa, masih membutuhkan metode
pembelajaran yang tepat mengingat lingkungan,
sarana, dan tingkat kecerdasan siswa saling
berbeda. Metode snowball-throwing yang penulis
lakukan dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan ini ingin menunjukkan
bahwa suatu model teori belajar harus didukung
oleh metode yang tepat. Menurut penulis,
snowball-throwing merupakan metode yang tepat
untuk meningkatkan motivasi siswa dalam
bertanya.
Metode Snowball-throwing
Proses belajar yang dapat meningkatkan
aktivitas dalam keterampilan bertanya dengan
baik, sistematis, sesuai dengan masalah yang
tertuang dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
di antaranya adalah bertanya. Dengan bertanya
siswa mampu menggali materi yang belum dapat
dijelaskan oleh guru. Melalui pertanyaan yang
sistematis, siswa dapat berlatih menyusun
kalimat yang baik dan benar sesuai kaidah
bahasa Indonesia. Tidak sedikit siswa yang
mengemukakan pertanyaan tidak sesuai
dengan materi yang diajarkan. Bahkan mereka
belum mampu merumuskan pertanyaan dengan
baik dan benar.
Metode snowball-throwing merupakan salah
satu modifikasi dari teknik bertanya yang
menitikberatkan pada kemampuan merumuskan
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
pertanyaan yang dikemas dalam sebuah
permainan yang menarik yaitu saling
melemparkan bola salju (snowball-throwing) yang
berisi pertanyaan kepada sesama teman. Metode
yang dikemas dalam sebuah permainan ini
membutuhkan kemampuan yang sangat
sederhana yang bisa dilakukan oleh hampir
setiap siswa dalam mengemukakan pertanyaan
sesuai dengan materi yang dipelajarinya.
Metode snowball throwing adalah metode
yang digunakan untuk memperdalam satu topik.
Metode ini biasa dilakukan oleh beberapa
kelompok yang terdiri dari lima sampai delapan
orang yang memiliki kemampuan merumuskan
pertanyaan yang ditulis dalam sebuah kertas
menyerupai bola. Kemudian, kertas itu
dilemparkan kepada kelompok lain yang untuk
ditanggapi dengan menjawab pertanyaan yang
dilemparkan tersebut.
Secara sederhana metode snowball-throwing
dapat digambarkan sebagai berikut. Siswa
merumuskan pertanyaan secara tertulis di kertas
berdasarkan materi yang diterangkan oleh guru.
Kemudian kertas tersebut dilipat-lipat
sedemikian rupa lalu dilemparkan kepada
kelompok lain. Setelah membuka kertas tersebut,
kelompok lain itu menjawab pertanyaan dan
melemparkan kembali ke kelompok yang
menulis pertanyaan tadi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam
metode ini ialah:
1. Guru menyampaikan materi yang akan
disajikan.
2. Guru membentuk kelompok-kelompok dan
memanggil masing-masing ketua kelompok
untuk memberikan penjelasan tentang
materi.
3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke
kelompoknya masing-masing, kemudian
menjelaskan materi yang disampaikan oleh
guru kepada temannya.
4. Kemudian masing-masing siswa diberikan
satu lembar kerja untuk menuliskan
pertanyaan apa saja yang menyangkut
materi yang sudah dijelaskan oleh ketua
kelompok.
5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola
dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang
lain selama kurang lebih 5 menit.
6. Setelah siswa mendapat satu bola/satu
pertanyaan diberikan kesempatan kepada
siswa untuk menjawab pertanyaan yang
tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut
secara bergantian.
7. Guru memberikan kesimpulan.
8. Guru mengevaluasi kegiatan tersebut
dengan cara memberikan komentar
sekaligus memberikan penilaian mengenai
jenis dan bobot pertanyaan, rumusan
kalimat, kemudian memberikan contoh
rumusan pertanyaan yang benar.
9. Penutup.
Metode snowball-throwing ini dapat
memberikan kesempatan kepada teman dalam
kelompok untuk merumuskan pertanyaan
secara sistematis. Di samping itu dapat
membangkitkan keberanian siswa dalam
mengemukakan pertanyaan dengan tuntunan
pertanyaan kepada teman lain maupun guru.
Juga melatih siswa menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh temannya dengan baik. Dapat
pula merangsang siswa mengemukakan
pertanyaan sesuai dengan topik yang sedang
dibicarakan dalam pelajaran tersebut. Berikutnya
dapat mengurangi rasa takut siswa dalam
bertanya kepada teman maupun guru serta
melatih kesiapan siswa. Terakhir, dengan
menggunakan metode ini memungkinkan siswa
saling memberikan pengetahuan.
Kelebihan dari metode snowball-throwing di
antaranya adalah melatih kesiapan siswa dalam
merumuskan pertanyaan dengan bersumber
pada materi yang diajarkan serta saling
memberikan pengetahuan. Sedangkan
kelemahan dari metode ini yakni pengetahuan
tidak luas hanya berkutat pada pengetahuan
sekitar siswa serta tidak efektif.
Kerangka Berpikir
Daya serap materi pelajaran yang disajikan oleh
guru di depan kelas sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Selain faktor keterampilan guru
dalam menerapkan metode pembelajaran, daya
serap siswa juga dipengaruhi oleh suasana
belajar di kelas. Suasana belajar di kelas yang
tenang, belum tentu menjamin bahwa materi
yang diajarkan terserap oleh siswa dengan baik.
Kadangkala guru terlena oleh suasana belajar
yang tampak seolah-olah tidak ada masalah
karena siswa diam ketika guru mempersilakan
siswa bertanya. Suasana seperti ini ditafsirkan
oleh banyak guru bahwa kelas kondusif
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
45
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
sehingga siswa dapat menyerap semua yang
telah diajarkan. Guru merasa puas bila tidak ada
seorang siswa pun yang mengajukan
pertanyaan.
Demikianlah masalah yang terjadi di kelas
7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya di awal
tengah semester tahun pelajaran 2008/2009.
Pada awalnya guru mengatakan bahwa
mengajar di kelas 7 paling menyenangkan,
karena siswanya tertib, tenang, menurut, tidak
ribut dan tidak ada gangguan berarti. Namun
dalam sebuah perbincangan dengan beberapa
guru yang mengkritisi suasana tersebut
mengemukakan bahwa kelas yang “menyenangkan” ini makin lama makin membosankan.
Apalagi dibuktikan dengan hasil ulangan yang
tidak menunjukkan hasil yang diharapkan.
Siswa tidak pernah mengemukakan pertanyaan
ketika guru memberikan kesempatan bertanya.
Sebaliknya bila guru bertanya para siswa pun
tidak mampu menjawab dengan baik apalagi
sesuai dengan materi yang diajarkan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
aktivitas pembelajaran diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan mengemukakan
pendapat yang sesuai dengan konteks
kehidupan masyarakat. Dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan siswa diajak
untuk mempelajari teori-teori kenegaraan yang
bersumber pada norma-norma dan kaidah yang
berlaku untuk selanjutnya dikaitkan dengan
kehidupan masyarakat sehari-hari. Oleh karena
itu, sangat tepat bila siswa mampu mengemukakan pendapatnya sesuai konteks dan
sistematis.
Meningkatnya keterampilan siswa dalam
bertanya dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan diharapkan juga dapat
meningkatkan aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran di kelas karena kemampuan
bertanya yang baik. Dengan memiliki kemampuan bertanya yang baik, siswa mampu pula
mengkritisi kenyataan yang terjadi dalam
masyarakat.
Jika guru mampu menerapkan metode yang
sesuai dengan situasi kelas dalam proses
pembelajaran, maka kelas akan hidup dan
dinamis. Kelas yang hidup dalam arti siswa aktif
dalam mengikuti pelajaran, terjadi hubungan
interaktif baik antara guru dengan siswa
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
maupun antara siswa dengan siswa. Kelas yang
dinamis adalah kelas yang para siswanya secara
antusias memerhatikan apa yang diajarkan oleh
guru. Terlebih lagi, bahan pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dapat dikaitkan dengan
kehidupan nyata di dalam masyarakat atau
negara serta dipadukan dengan mata pelajaran
lain seperti IPS atau Agama. Dengan demikian
siswa tidak merasa terbebani dengan teori yang
harus dihafalkan dan siswa mampu menggali
materi pelajaran dengan kehidupan nyata.
Dalam kerangka berpikir seperti itulah,
tersirat bahwa situasi kelas yang “diam”
disebabkan oleh rendahnya motivasi dalam
bertanya dan kurangnya keterampilan dalam
mengemukakan pertanyaan para siswanya.
Untuk itu perlu dikembangkan agar siswa
menjadi berani bertanya sekaligus mengungkapkan pendapatnya sehingga suasana kelas
menjadi hidup dan dinamis. Dari beberapa
metode yang ada, penulis berpendapat bahwa
metode snowball-throwing merupakan salah satu
metode yang dapat membangkitkan motivasi
siswa dalam bertanya.
Metode snowball-throwing dapat mendorong,
siswa mengajukan pertanyaan dalam kelompok
yang kemudian dirumuskan dalam secarik
kertas. Siswa dapat berani bertanya dengan
dibantu oleh rumusan pertanyaan yang akan
dilemparkan kepada sesama teman di kelompok
lain. Metode ini juga dapat menciptakan
suasana sangat rileks, menyenangkan dan tidak
menakutkan untuk mengajukan pertanyaan.
Secara tidak sengaja siswa mampu mengemukakan pertanyaan secara kritis dan sistematis
dan tidak keluar dari materi esensial yang
diajarkan. Dengan demikian, penerapan metode
snowball-throwing dalam proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan di kelas
diharapkan dapat meningkatkan aktivitas
dalam bertanya bagi para siswa. Keterampilan
bertanya yang cukup memadai dapat
mewujudkan belajar yang berkualitas.
Perumusan Hipotesis Tindakan
Atas kajian teoritis sebelumnya, maka hipotesis
tindakan dirumuskan sebagai berikut. “Bila
dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan metode snowball-throwing dicobakan
di kelas 7A maka motivasi bertanya siswa dapat
ditingkatkan”.
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Mata Pelajaran
: Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas/Semester
: VII/Ganjil
Pertemuan ke: 1
Alokasi waktu
: 2 X 40 menit
Standar Kompetensi
:
Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kompetensi Dasar
:
1 Mendeskripsikan hakikat norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, peraturan, yang berlaku
dalam masyarakat.
2 Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara.
3 Menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Indikator
:
1 Siswa menjelaskan pengertian norma.
2 Siswa menyadari makna dan pentingnya norma dalam kehidupan bersama.
3 Siswa memahami berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat.
4 Siswa memahami hakikat dan arti penting norma hukum bagi warga negara.
5 Siswa mampu mengamalkan berbagai macam norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
I.
II.
Materi Esensial
: Norma dalam Kehidupan Bersama
Metode Pembelajaran : Ceramah, Tanya jawab, Snowball Throwing
III. Langkah-langkah Pembelajaran:
A. Kegiatan Awal
1 Mengabsen siswa
2
Mempersiapkan setting ruangan dan kesiapan belajar siswa.
3 Memberikan soal pre-test.
4 Mengkontekstualkan materi norma masyarakat dengan pengalaman siswa.
5 Menjajagi materi dengan bertanya tentang pengertian norma.
6 Menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
B. Kegiatan Inti
1 Guru menjelaskan tentang hakikat dan jenis-jenis norma.
2 Guru menjelaskan metode snowball-throwing
3 Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok.
4 Guru memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang
materi pertanyaan.
5 Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya kemudian menjelaskan materi
yang disampaikan guru kepada teman-temannya.
6 Setiap siswa diberikan satu lembar kertas kerja dengan warna yang berbeda untuk
menuliskan satu pertanyaan menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok.
7 Siswa membuat masing-masing pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang telah
diajarkan tanpa membuka buku.
8 Kertas yang telah ditulisi pertanyaan dibentuk seperti bola atau pesawat terbang.
9 Guru mempersilakan siswa anggota kelompok 1 melemparkan kertas kepada kelompok 2,
dan kelompok 2 melemparkan ke kelompok 3.
10 Guru mempersilakan siswa membuka kertas yang diterima dari temannya, kemudian
membacakan isi pertanyaan tersebut.
11 Secara acak guru membahas pertanyaan siswa sehingga materi yang sebagian besar materi
terbahas.
48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
C. Penutup
1 Guru menanyakan kesulitan metode Snowball Throwing yang diterapkan.
2 Guru memberikan post tes.
3 Guru memberikan tugas materi untuk pertemuan berikutnya.
IV.
1
2
3
Penilaian
Bentuk Penilaian : Pos Tes
Jenis soal
: Uraian
Soal Pos Test
:
1 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan pengertian norma!
2 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berkaitan dengan pentingnya norma bagi kehidupan
bersama!
3 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan macam norma yang berlaku
dalam masyarakat!
4 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan pengamalan salah satu norma
dalam kehidupan masyarakat!
Berdasarkan temuan siklus pertama
penulis berunding bersama dengan pengamat
untuk membuat langkah-langkah pada siklus
kedua. Sebelum melangkah kepada siklus
kedua, penulis bersama pengamat membuat
sebuah refleksi. Dalam refleksi ini penulis
mendengarkan kekurangan atau hal-hal yang
sudah baik yang dikemukakan oleh pengamat.
Pada kesempatan diskusi ini, pengamat
memberikan saran yang akan dilakukan oleh
penulis pada siklus kedua. Langkah-langkah
yang dilaksanakan pada siklus kedua dapat
penulis gambarkan melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sebagai berikut.
Mata Pelajaran
: Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas/Semester
: VII/Ganjil
Pertemuan ke:2
Alokasi waktu
: 2 X 40 menit
Standar Kompetensi
:
Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kompetensi Dasar
:
1 Mendeskripsikan hakikat norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, peraturan, yang
berlaku dalam masyarakat.
2 Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara.
3 Menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Indikator
:
1. Siswa menjelaskan pengertian norma.
2. Siswa menyadari makna dan pentingnya norma dalam kehidupan bersama.
3. Siswa memahami berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat.
4. Siswa memahami hakikat dan arti penting norma hukum bagi warga negara.
5. Siswa mampu mengamalkan berbagai macam norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
I. Materi Esensial: Norma dalam Kehidupan Bersama
II Metode Pembelajaran: Ceramah, Tanya jawab, snowball-throwing
III. Langkah-langkah Pembelajaran:
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
49
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Kegiatan Pembelajaran
Waktu
A Kegiatan Awal
10’
1. Mengabsen siswa
2. Mempersiapkan setting ruangan dan kesiapan belajar siswa.
3. Memberikan soal pre-test.
4. Mengkontekstualkan materi norma masyarakat dengan pengalaman siswa.
5. Menjajagi materi dengan bertanya tentang pengertian norma.
6. Menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
B. Kegiatan Inti
60’
1 Guru menjelaskan tentang hakikat dan jenis-jenis norma.
2 Guru menjelaskan metode snowball-throwing
3 Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok.
4 Guru memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang
materi pertanyaan.
5 Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya kemudian menjelaskan materi
yang disampaikan guru kepada teman-temannya.
6 Masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja dengan warna yang saling
berbeda untuk menuliskan satu pertanyaan yang menyangkut materi yang sudah
dijelaskan oleh ketua kelompok.
7 Siswa membuat masing-masing pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang telah
diajarkan tanpa membuka buku.
8 Kertas yang telah ditulisi pertanyaan dibentuk seperti bola atau pesawat terbang.
9 Guru mempersilakan siswa anggota kelompok 1 melemparkan kertas kepada kelompok
2, dan kelompok 2 melemparkan ke kelompok 3.
10 Guru mempersilakan siswa membuka kertas yang diterima dari temannya, kemudian
membacakan isi pertanyaan tersebut.
11 Secara acak guru membahas pertanyaan siswa sehingga materi yang sebagian besar
materi terbahas.
C. Penutup
1 Guru mengevaluasi bersama siswa proses KBM melalui metode snowball-throwing yang
diterapkan.
2 Guru memberikan post test sesuai dengan materi yang diajarkan.
3 Guru menutup proses KBM dengan mengucapkan terima kasih atas partisipasi para
siswa.
IV. Alat/Bahan/Sumber Belajar
1 Alat:Kertas lipat berwarna-warni
2 Bahan:Norma dalam Kehidupan Bersama
3 Sumber Belajar: Tim Abdi Guru. (2004). Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII. Jakarta:
Erlangga
V. Penilaian
1 Bentuk Penilaian :Post test
2 Jenis soal:Uraian
3 Soal Post tes:
1 Jelaskan pengertian norma!
2 Jelaskan makna pentingnya norma bagi masyarakat!
3 Kemukakan berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat.
4 Jelaskan hakikat dan arti penting norma bagi warga negara.
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
No.
1.
Standar Kompetensi
Menunjukkan sikap
positif terhadap
norma-norma yang
berlaku dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan
bernegara.
Indikator
Penilaian
Tes tertulis
Siswa menjelaskan
pengertian norma
Siswa menyadari makna
dan pentingnya norma
dalam kehidupan
bersama.
Siswa memahami
berbagai macam norma
yang berlaku dalam
masyarakat.
Siswa mampu
mengamalkan berbagai
macam norma yang
berlaku dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan
bernegara.
Teknik Pengumpulan Data
1.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan
beberapa instrumen yaitu:
a. Lembar observasi
Lembar observasi ini digunakan dan
diisi oleh peneliti, teman guru sejawat
sebagai observer. Melalui lembar
observasi ini dapat diketahui tingkat
perkembangan keterampilan siswa
dalam menyampaikan pertanyaan dari
setiap tahap kegiatan penelitian
tindakan yang dilakukan.
b. Buku catatan pengamatan
Buku catatan ini berisi catatan kejadian
selama siswa menerapkan metode
snowball-throwing. Buku ini penting bagi
peneliti untuk evaluasi bersama dengan
observer.
Teknik Analisis Data
Dari keseluruhan data yang terkumpul
selanjutnya dilakukan analisa data, sebagai
berikut.
Instrumen
1
Jelaskan yang dimaksud
dengan norma.
2
Jelaskan pentingnya
norma bagi kehidupan
bersama.
3
Sebutkan dan jelaskan 4
macam norma yang
berlaku dalam
masyarakat.
4
Berikan 1 contoh
pengamalan salah satu
norma dalam kehidupan
masyarakat.
a. Lembar Observasi
Dari hasil isian lembar observasi jumlah
indikator yang baik, sedang, dan kurang
kemudian hasil akhir dipresentasikan
dan dibuat kesimpulan.
b. Buku catatan pengamat
Berisi catatan-catatan kejadian selama
kegiatan penelitian berlangsung baik
kekurangan maupun kelebihannya. Hal
ini sangat berguna untuk melangkah dari
siklus yang satu ke siklus berikutnya.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini disusun
berdasarkan hasil pengamatan, catatan kejadian
selama diadakan proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang menggunakan metode snowball-throwing dan beberapa
catatan penting dari teman guru sejawat yang
bertindak sebagai pengamat.
Adapun hasil pembelajaran dapat dilihat
pada tabel 1 berikut.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
51
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Tabel 1: Observasi Aktifitas Siswa Pada Proses Belajar Siklus Ke-1
Kelas 7-A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya
Senin, 9 Agustus 2008
No
Nilai Siklus Ke-1
Nama Siswa
Rata-rata
Lipatan
Pertanyaan
Jawaban
Pre-Test
Pos-Test
1
Alvin Junianto Lan
85
93
76
70
85
81.80
2
Andre Sunjaya
55
65
70
75
87
7 0 . 40
3
Anthony Widianto T
75
77
70
72
85
75.80
4
Arie Setiawan Wardana
70
65
72
65
75
69.40
5
Billy Josep Sugiaman
75
69
65
67
76
70.40
6
Caroline Theja Wijaya
70
75
70
68
78
72.20
7
Chrisfella Cokro H
75
75
70
68
80
73.60
8
Cindy Ratnasari Dewi
70
76
72
67
81
73.20
9
Erika Oktavia
65
73
72
70
82
7 2 . 40
10
Irma Efriati Situmorang
65
62
75
67
75
68.80
11
Ivan Pratama
65
64
67
68
85
69.80
12
Jesslyn Gita
95
90
71
68
78
80.40
13
Kelvin
85
90
74
65
75
77.80
14
Lidya Effendy
80
89
70
68
85
78.40
15
M. Safitri Sihotang
65
65
65
65
68
65.60
16
Michael Natanael
65
65
70
65
72
67.40
17
Rafika Suhadi
65
60
65
68
73
66.20
18
Ressitha Dwi Sithaginy
70
70
70
67
72
69.80
19
Sally Tanurahardja
70
65
70
66
70
68.20
20
Setiadi Putra Cendana
75
72
76
68
73
72.80
21
Shafira Johanna, Tjong
70
73
70
69
72
70.80
22
Stefanie Kurniawan
85
88
75
72
86
81.20
23
Tommy Suhendra
65
68
65
65
68
66.20
24
V ania Winnita
75
90
76
70
78
77.80
25
V incent
70
65
65
72
80
7 0 . 40
26
Yohan Kurniawan
70
65
70
73
81
71.80
72.12
7 3 . 42
70.42
68.38
77.69
7 2 . 41
Rata-rata
Tasikmalaya, 9 Agustus 2008
Guru Mata Pelajaran,
Drs. P. Slamet Widodo
Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
Pengamat I,
Aan Burhan, S.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Tasikmalaya
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Pengamat II,
Ai Tin Sumartini, S.Pd.
Guru SMP Negeri 5 Tasikmalaya
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Berdasarkan pengamatan pengamat, pada siklus
ke-1 masih ada beberapa siswa yang belum
mampu merumuskan pertanyaan dengan baik
meskipun rata-ratanya 73.42. Demikian pula
hasil pre test dengan rata-rata nilai 68.38. Namun
hasil post test menunjukkan nilai yang bagus
mengingat bahwa para siswa boleh membuka
buku. Kegiatan pada siklus ke-1 ini, penulis
membolehkan para siswa untuk membuka buku
pelajaran ketika merumuskan pertanyaan
maupun dalam menjawab pertanyaan.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ratarata siswa belum bisa merumuskan pertanyaan
dengan baik dan memuaskan (72.41).
Tabel 2: Observasi Aktifitas Siswa Pada Proses Belajar Siklus Ke-2
Kelas 7-A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya
Senin, 18 Agustus 2008
Nilai Siklus Ke-2
No
Nama Siswa
R ata-rata
Lipatan
Pertanyaan
Jawaban
Pre-Test
Pos-Test
1
Alvin Junianto Lan
85
94
78
74
87
83.60
2
Andre Sunjaya
60
67
73
78
88
73.20
3
Anthony Widianto T
78
78
72
75
87
78.00
4
Arie Setiawan Wardana
70
67
76
68
77
71.60
5
Billy Josep Sugiaman
72
80
75
69
78
7 4. 8 0
6
Caroline Theja Wijaya
71
76
68
70
80
73.00
7
Chrisfella Cokro H
76
78
76
72
82
76.80
8
Cindy Ratnasari Dewi
73
77
80
70
83
76.60
9
Erika Oktavia
66
74
76
72
85
7 4. 6 0
10
Irma Efriati Situmorang
67
65
75
69
78
70.80
11
Ivan Pratama
68
65
78
70
86
7 3 . 40
12
Jesslyn Gita
90
90
68
72
80
80.00
13
Kelvin
86
92
73
70
77
79.60
14
Lidya Effendy
82
90
76
72
86
81.20
15
M. Safitri Sihotang
67
70
75
67
70
69.80
16
Michael Natanael
65
67
68
67
74
68.20
17
Rafika Suhadi
68
65
73
70
75
70.20
18
Ressitha Dwi Sithaginy
72
75
70
69
74
72.00
19
Sally Tanurahardja
71
68
72
68
72
70.20
20
Setiadi Putra Cendana
76
75
72
70
75
73.60
21
Shafira Johanna, Tjong
72
76
78
71
74
7 4. 2 0
22
Stefanie Kurniawan
86
89
72
74
88
81.80
23
Tommy Suhendra
67
69
78
68
70
70.40
24
V ania Winnita
76
90
67
72
80
7 7. 0 0
25
V incent
72
67
78
75
82
7 4. 8 0
26
Yohan Kurniawan
72
68
68
76
85
73.80
73.38
75.85
73.00
71.08
79.73
74.74
Rata-rata
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
53
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
Tasikmalaya, 18 Agustus 2008
Guru Mata Pelajaran,
Drs. P. Slamet Widodo
Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
Observer I,
Aan Burhan, S.Pd.
Guru SMP Negeri 7 Tasikmalaya
Observer II,
Ai Tin Sumartini, S.Pd.
Guru SMP Negeri 5 Tasikmalaya
Berdasarkan pengamatan observer, pada
siklus ke-2 beberapa siswa terlihat sudah
mampu merumuskan pertanyaan dengan baik
meskipun rata-ratanya tidak naik secara
signifikan (75.85). Demikian pula hasil pre test
naik dengan rata-rata 71.08. Namun hasilpost
test menunjukkan nilai yang belum bagus
mengingat bahwa para siswa tidak boleh
membuka buku. Kegiatan pada siklus ke-2 ini,
penulis melarang para siswa untuk membuka
buku pelajaran ketika merumuskan pertanyaan
maupun dalam menjawab pertanyaan.
Bila dibandingkan antara siklus ke-1 dan
ke-2 akan terlihat perbandingan sebagai berikut.
throwing ini, penulis optimis bahwa siwa mampu
mengemukakan pertanyaan sedikit demi sedikit.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Upaya meningkatkan motivasi siswa bertanya
melalui metode Snowball Throwing dalam mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ternyata sungguh dapat meningkatkan keterampilan
siswa dalam bertanya bagi para siswanya.
Berdasarkan hasil pengamatan dan catatan
kejadian selama tindakan kelas dilaksanakan
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Nilai Siklus Ke-2
No
Nama Siswa
Rata-rata
Lipatan
Pertanyaan
Jawaban
Pre-Test
Pos-Test
1
Siklus ke-1
72.1 2
73.42
70.42
68.38
77.69
72.41
2
Siklus ke-2
73.38
75.85
73
71.08
79.73
74.74
Kenaikan/Perubahan
1.26
2 . 43
2.58
2.60
2.04
2.33
Bila dibandingkan antara siklus pertama
dengan kedua, terlihat bahwa siswa telah
mampu merumuskan pertanyaan secara baik,
meskipun belum memenuhi harapan yang
maksimal. Demikian pula dalam menjawab
pertanyaan, siswa sudah mencapai kemajuan
siginifi-kan. Hasil pre test dan post test pun
mengalami kemajuan.
Meski boleh dikatakan sedikit sekali tingkat
perubahan, namun penulis merasa bahwa siswa
sudah memiliki kemajuan dalam merumuskan
pertanyaan. Selain itu yang cukup menggembirakan bahwa para siswa sudah berani
mengajukan pertanyaan yang telah mereka
rumuskan dan menjawab pertanyaan temantemannya. Berbekal hasil metode snowball54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
1.
2.
3.
Kurangnya keterampilan siswa dalam
bertanya pada diri siswa menyebabkan
suasana kelas kurang aktif selama
pembelajaran berlangsung.
Penyebab kurangnya keaktifan dan
keterampilan siswa dalam bertanya akibat
tidak adanya keberanian siswa dalam
bertanya. Hal ini disebabkan adanya
perasaan takut jika pertanyaan yang
diungkapkan melenceng dari materi yang
dijelaskan.
Penerapan metode snowball-throwing dalam
proses pembelajaran dapat meningkatkan
keaktifan dan keterampilan siswa untuk
bertanya di dalam forum kelas sekaligus
Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing
mengaktifkan suasana pembelajaran di
kelas.
4. Keterampilan siswa dalam bertanya dapat
meningkatkan kemampuan berpikir secara
sistematis, dan memperluas wawasan
siswa terutama berhubungan dengan
praktik kehidupan di dalam masyarakat.
5. Keterampilan siswa dalam bertanya
dibutuhkan siswa dalam melaksanakan
proses pembelajaran khususnya mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan;
yang pada akhirnya akan berdampak pada
kedalaman materi yang diterima sekaligus
meningkatkan prestasi belajar siswa.
Upaya meningkatkan Siswa Bertanya
melalui metode snowball-throwing dalam
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam
pelaksanaannya tidak seluruhnya dapat
berjalan dengan lancar. Adapun kendala yang
ditemui sebagai berikut.
1. Ketua kelompok yang kurang terampil
dalam mengarahkan teman-temannya dapat
menyebabkan siswa tidak mampu merumuskan pertanyaan dengan baik.
2. Siswa yang tidak memperhatikan akan
menuliskan pertanyaan yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
Saran
Berdasarkan pengalaman peneliti selama proses
pelaksanaan tindakan kelas, ada beberapa hal
yang baik diperhatikan oleh guru. Pertama perlu
kemampuan guru untuk menerapkan metode
pengajaran yang tepat dan menarik dalam
pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini untuk
menghindari masalah yang berlarut-larut.
Kemampuan siswa bertanya merupakan
masalah klasik yang seringkali dianggap tidak
penting, namun sangat merisaukan. Bila guru
tidak mencoba suatu metode yang baru, maka
masalah ini akan terbawa terus sampai ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Kedua metode snowball-throwing termasuk
salah satu metode yang penulis harapkan
mampu memecahkan masalah klasik yakni
keengganan siswa bertanya. Namun metode ini
harus dilakukan terus menerus sampai siswa
memiliki motivasi dan kemampuan dalam
mengemukakan pertanyaan.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2007). Penelitian tindakan
kelas (PTK) untuk Guru, Kepala Sekolah,
Pengawas, dan Penilai. Universitas Negeri
Yogyakarta
Fajar, Arnie. (2002). Portofolio dalam pengajaran
IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum berbasis kompetensi,
konsep, karakteristik, dan implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Mundilarto, Rustam. (2004). Penelitian tindakan
kelas. Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tim Abdi Guru. (2004). Kewarganegaraan untuk
SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga
http://gurupkn.wordpress.com/2007/11/19/
snowball-throwing/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
-----------Kebijakan kurikulum berbasis kompetensi.
(2002). Jakarta, Pusat Kurikulum - Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
-----------Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama
Pedoman khusus pengembangan sistem
penilaian berbasis kompetensi sekolah
menengah pertama mata pelajaran
pengetahuan sosial. (2003). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama
----------Kurikulum berbasis kompetensi mata
pelajaran kewarganegaraan (citizenship)
sekolah lanjutan pertama. (2001). Jakarta:
Pusat Kurikulum - Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional
-----------Kurikulum tingkat satuan pendidikan mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan
sekolah menengah pertama. (2001). Jakarta:
Pusat Kurikulum - Badan Penelitian dan
Pengembangan
Depar-temen
Pendidikan Nasional
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
55
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
Opini
Motivasi Kerja Guru
dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
Thomas Wibowo Agung*)
Abstrak
otivasi internal dan eksternal merupakan kekuatan/dorongan psikologis bagi sesorang
untuk berbuat serta mengarahkan seseorang mencapai tujuannya. Oleh karena itu, motivasi
dapat mempengaruhi kreativitas dan prestasi seseorang, termasuk guru dalam
meningkatkan profesionalismenya secara optimal. Tulisan ini secara khusus membahas
bagaimana motivasi kerja dapat mendorong guru menjadi lebih kreatif dalam meningkatkan kualitas
proses dan hasil pembelajaran dengan mengevaluasi secara sistemik kurikulum sebagai acuan
utama dalam melaksanakan proses belajar membelajarkan. Kajian ini juga memperhatikan peranan
guru sebagai motivator terhadap orang lain dalam melakukan inovasi di lingkungannya, khususnya
dalam mengembangkan kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
M
Kata kunci : Motivasi, motivasi kerja, fungsi guru, pengembangan kurikulum, lingkungan.
Abstract
Internal and external motivations can function as a psychological strength guiding and directing somebody
to act to achieve her/his objectives. Motivation, therefore, can develop the teacher’s professionalism in developing
their creativity for better achievements. This article discusses in depth how working motivation can stimulate
the teacher to be more creative in imrpoving the quality of instructional processes and the students’ learning
achievements by assessing and developing systematically the existing curriculum on which teaching and
learning processes are based. Besides, this article reviews the teacher’s role as a motivator for the others in
initiating an innovative change and innovation in the school environment. A set of practical recommendations
is given to the principal and the teachers to motivate the teachers to develop school curriculum.
Key words: Motivation, working motivation, functions of teacher, curriculum development.
Pendahuluan
Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis, serta bertanggungjawab. Dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan pemerintah menetapkan delapan
standar nasional pendidikan, yaitu standar isi,
*) Mantan Pengawas BPK PENABUR Tasikmalaya
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar
penilaian pendidikan. Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan
acuan utama bagi satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembel-
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
ajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (BSNP, 2006). Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan. Satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat
mengembangkan kurikulum dengan standar
yang lebih tinggi dari SI dan SKL. KTSP dapat
memasukkan pendidikan kecakapan hidup dan
pendidikan berbasis keunggulan lokal. KTSP
dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial
budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Selama ini guru-guru
memiliki peran sebagai pelaksana kurikulum
(curriculum implementer). Ini terlihat pada
pelaksanaan pembelajaran di sekolah, guru
hanya mengikuti petunjuk dari pemerintah
pusat (Departemen Pendidikan Nasional), apa
saja yang akan diajarkan dan dilaksanakan
sesuai kurikulum yang dirancang oleh para ahli
kurikulum. Dalam hal ini perancangan dan
evaluasi kurikulum yang bersifat makro disusun
oleh tim pemerintah pusat, guru hanya bisa
mengembangkan kurikulum makro menjadi
kurikulum mikro yaitu menyusun kurikulum
dalam bidangnya untuk jangka waktu satu
tahun, satu semester, beberapa minggu dan
beberapa hari (Program tahunan, program
semester, Silabus, dan Satuan Pembelajaran /
RPP).
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan dan silabus (BSNP, 2006) . Ini
artinya kewenangan sekolah dan guru sangat
menentukan keberhasilan tujuan pendidikan di
tingkat sekolah masing-masing. Guru-guru
sebaiknya harus bisa mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi di daerahnya agar
tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan
kebutuhan. Guru mempunyai tugas antara lain
: (1) menyusun dan merumuskan tujuan yang
tepat; (2) memilih dan menyusun bahan
pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat
dan tahap perkembangan anak; (3) memilih
metode dan media pembelajaran yang bervariasi;
dan (4) serta menyusun program dan alat
evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang
tersusun sistematis dan rinci akan sangat
memudahkan guru dalam implementasinya.
Tantangan pengajaran dan pembelajaran
saat ini telah berubah. Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, perubahan struktur
masyarakat, dan maju pesatnya pengetahuan,
serta munculnya beberapa teori pembelajaran,
telah mengubah esensi dan tugas pokok seorang
guru. Guru bukan lagi “aktor” di kelas, dengan
kekuasaannya dan pengetahuannya, yang
mengatur apapun yang terjadi dikelas. Sekarang
justru siswa yang menjadi pusat pembelajaran.
Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator,
yang hanya bisa memerintah anak didiknya
melakukan ini dan itu. Ia juga lebih menjadi
motivator bukan eksekutor.
Setiap anak didik memiliki beragam
kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia
menggunakan dari yang visual, audio, sampai
kinestik. Gardner (1983) juga mengingatkan
adanya multi kecerdasan (multiple intelligences)
pada setiap anak mulai yang bersifat logismatematis, linguistik, musik, sampai intrapersonal. Semua itu tentu saja menuntut sebuah
peran baru, unik tetapi juga tidak gampang dari
seorang guru. Guru dituntut terampil, memiliki
motivasi dan kreatif dalam pendekatan
mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi
keberbedaan pada diri anak didik.
Setiap satuan pendidikan perlu melakukan
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran
untuk terlaksananya pembelajaran yang efektif
dan efisien. Dengan KTSP, kepala sekolah dan
guru dituntut untuk lebih kreatif dan selalu
membuat perubahan dalam proses pembelajaran
khususnya pemanfaatan media dan metode
belajar yang semakin beraneka ragam untuk
proses mengajar di kelas. Proses pembelajaran
perlu disiapkan dengan lebih baik dan serius.
Hal ini menuntut kepala sekolah dan guru
memiliki motivasi yang tinggi untuk tetap dapat
bersaing sesuai tuntutan perubahan global yang
demikian cepat serta tuntutan profesi yang
dimilikinya.
Peranan pimpinan sekolah dalam membangkitkan semangat, mendorong dan menjadi
suri tauladan bagi guru dalam meningkatkan
kinerjanya. Guru perlu memiliki motivasi yang
tinggi dan menyadari ada peran yang berbeda
dibanding masa lampau, perlu menyiapkan diri,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
57
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
belajar terus menerus, dan mengembangkan diri
mengikuti perubahan teknologi informasi. Guru
adalah seorang pembelajar yang dewasa yang
mandiri dan mampu memanfaatkan atau
mengaitkan dengan pengetahuan atau
pemahaman yang mereka miliki sebelumnya.
Tulisan ini membahas bagaimana cara
kepala sekolah memotivasi guru untuk menggunakan teknologi informasi dalam meningkatkan kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Hasil kajian dalam tulisan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi institusi sekolah khususnya
pimpinan sekolah dalam menginovasi
kurikulum dan mendorong guru untuk
menghasilkan suatu proses belajar mengajar
yang efektif serta guru dapat mengembangkan
kurikulum sesuai tuntutan globalisasi dan
karakteristik peserta didik.
Pembahasan
Motivasi adalah dorongan psikologis yang
timbul pada diri sendiri untuk berperilaku dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Motivasi
merupakan kekuatan pendorong yang akan
mewujudkan suatu perilaku guna mencapai
tujuan peningkatan prestasi kerja dirinya.
Motivasi dapat mempengaruhi prestasi kerja
seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan
tertentu. Keberhasilan pemimpin sekolah
menimbulkan motivasi guru dalam bekerja
dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuannya menciptakan situasi dan iklim kerja
yang kondusif.
Motivasi dari seorang Pemimpin
Ada beberapa cara untuk memotivasi orang lain
untuk mencapai sasaran atau menyelesaikan
suatu tugas maupun mengatasi persoalan dan
tantangan yang dihadapinya. Salah satu
karakteristik utama yang harus dimiliki seorang
pemimpin adalah kemampuannya untuk
memotivasi orang lain dalam mencapai visi, misi
dan tujuan dari organisasinya. Seorang
pemimpin yang tidak mampu memotivasi
anggotanya, tidak lebih dari seorang petunjuk
jalan, yang mengetahui kemana harus pergi
tetapi sepenuhnya tidak dapat mengendalikan
mereka yang dipandunya.
Jenderal Norman Schwarzkopff, pemimpin
sekutu semasa Perang Teluk menunjukkan
bahwa seorang pemimpin dalam militer yang
memiliki wewenang untuk memaksakan
58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
kepatuhan, biasanya adalah seorang motivator
yang buruk. Pada prinsipnya, jika seorang
pemimpin selalu menggunakan pendekatan
kekuasaan dengan memaksa anggotanya untuk
melakukan sesuatu, maka organisasi itu tidak
akan bertahan lama. Jika ada sedikit kesempatan,
maka orang-orang dalam organisasi itu akan
keluar atau paling tidak kinerja (performance)
mereka jauh dari yang diharapkan. Banyak
sekali organisasi atau perusahaan mengalami
turn-over yang besar karena pegawainya tidak
memiliki motivasi yang benar. (sumber http://
tech.groups.yahoo.com/himatika_ugm/
motivasi diri)
Hubungan Motivasi dengan Emosi
Kemampuan seorang pemimpin untuk
memotivasi anggotanya sangat dipengaruhi oleh
kecerdasan emosinya (EQ). Setidaknya ada enam
keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang
pemimpin sebelum dia dapat memimpin orang
lain. Pertama, mengenali diri sendiri. Mengenali
emosi diri sendiri. Keterampilan ini meliputi
kemampuan diri sendiri (kita) untuk dapat
mengidentifikasi apa yang sesungguhnya kita
rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul
dalam pikiran, kita harus dapat menangkap
pesan apa yang ingin disampaikan. Ketidakmampuan untuk mengenali perasaan membuat
kita berada dalam kekuasaan emosi kita, artinya
kita kehilangan kendali atas perasaan kita yang
pada gilirannya membuat kita kehilangan
kendali atas diri dan hidup kita.
Kedua mengelola emosi diri sendiri. Ada
beberapa langkah dalam mengelola emosi diri
sendiri, yaitu : pertama adalah menghargai emosi
dan menyadari dukungannya kepada kita; kedua
berusaha mengetahui pesan yang disampaikan
emosi dan meyakini bahwa kita pernah berhasil
menangani emosi ini sebelumnya; ketiga adalah
dengan bergembira (merasa senang) ketika kita
mengambil tindakan untuk menanganinya.
Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk
pengendalian diri (self controlled) yang paling
penting dalam manajemen diri, karena kitalah
sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau
perasaan kita, bukan sebaliknya.
Ketiga memotivasi diri sendiri. Menata
emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan
merupakan hal yang sangat penting dalam
kaitannya untuk memberi perhatian, untuk
memotivasi diri sendiri (achievement motivation).
Kendali diri emosional, menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
adalah landasan keberhasilan dalam berbagai kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan
bidang. Keterampilan memotivasi diri memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan
memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemamdalam segala bidang. Orang-orang yang puan membangun kerjasama tim yang tangguh
memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih dan handal.
produktif dan efektif dalam pekerjaan apapun
Jadi memotivasi orang lain, bukan sekedar
yang mereka hadapi.
mendorong atau bahkan memerintah seseorang
Keempat mengenali emosi orang lain. untuk melakukan sesuatu, melainkan sebuah
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki seni yang melibatkan berbagai kemampuan
empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. dalam mengenali dan mengelola emosi diri
Penguasaan keterampilan ini membuat kita lebih sendiri dan orang lain. Paling tidak kita harus
efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. mengetahui bahwa seseorang melakukan
Inilah yang disebut Stephen Covey sebagai sesuatu karena didorong oleh motivasinya.
komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih
Ada tiga tingkatan motivasi seseorang,
dahulu sebelum dimengerti orang lain. yaitu : motivasi yang didasarkan atas ketakutan
Keterampilan ini merupakan dasar dalam (fear motivation). Seseorang yang melakukan
berhubungan dengan orang lain secara efektif. sesuatu karena rasa takut, jika tidak melakukan,
Kelima mengelola emosi orang lain.
maka sesuatu yang buruk akan terjadi, misalnya
Jika keterampilan mengenali emosi orang lain orang yang takut pada atasan (bos) karena takut
merupakan dasar
dipecat, orang
dalam berhubungyang takut untuk
an antar pribadi,
tidak masuk
maka keterampilan
kerja walaupun
... memotivasi orang lain,
mengelola emosi
sakit karena khabukan sekedar mendorong atau
orang lain merupawatir gajinya
kan pilar dalam
dipotong, orang
bahkan memerintah seseorang
membina hubungmembeli polis
untuk melakukan sesuatu,
an dengan orang
asuransi karena
melainkan sebuah seni yang
lain. Pada dasartakut jika terjadi
melibatkan berbagai kemampuan
nya manusia adasesuatu dengdalam mengenali dan mengelola
lah makhluk emoannya
maka
sional, sebagian
anak dan istriemosi diri sendiri dan orang lain.
besar hubungan
nya akan menmanusia dibangun
derita. Tingkatan
atas dasar emosi
kedua ialah moyang muncul dari
tivasi ingin meninteraksi antar manusia. Keterampilan capai sesuatu (achieve-ment motivation). Motivasi
mengelola emosi orang lain merupakan ini lebih baik dari motivasi yang pertama, karena
kemampuan yang dahsyat jika kita dapat sudah ada tujuan didalamnya. Seseorang mau
mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu melakukan sesuatu karena dia ingin mencapai
membangun hubungan antar pribadi yang suatu sasaran atau prestasi tertentu. Tingkatan
kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia ketiga ialah motivasi yang didorong kekuatan
pendidikan hubungan antar institusi atau dari dalam (inner motivation). Seseorang yang
organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan telah menemukan dan memiliki misi dan tujuan
antar individu. Semakin tinggi kemampuan hidup akan bekerja berdasarkan nilai-nilai
individu dalam organisasi untuk mengelola (values) yang diyakini. Nilai-nilai itu dapat
emosi orang lain (membina hubungan yang berupa rasa kasih (love) pada sesama atau ingin
efektif dengan pihak lain) semakin tinggi kinerja memiliki makna dalam menjalani hidupnya.
organisasi itu secara keseluruhan.
Sebagai orang yang beriman kepada Kristus,
Keenam memotivasi orang lain. Keteram- nilai yang kita yakini adalah Nilai-nilai
pilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan Kristiani. Orang yang memiliki motivasi yang
dari keterampilan mengenali dan mengelola didorong kekuatan dari dalam biasanya memiliki
emosi orang lain. Keterampilan ini adalah bentuk visi yang jauh ke depan, baginya bekerja bukan
lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu sekedar memper-oleh sesuatu (uang, harta, harga
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
59
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
diri, kebanggaan, prestasi) tetapi merupakan
proses belajar yang harus dilaluinya untuk
mencapai visi hidupnya.
Menurut buku The One Minute Manager,
kedua penulis Kenneth Blanchard dan Spencer
Johnson, (2003), menuliskan bahwa untuk
menjadi manajer yang efektif dan dapat
memotivasi anak buah untuk mencapai sasaran
perusahaan, ada tiga hal yang harus dilakukan,
yaitu : pertama adalah membangkitkan inner
motivation dari orang yang dipimpinnya dengan
menetapkan dan berbagi misi atau sasaran yang
akan dicapai. Sebagai pemimpin kita perlu
berbagi dengan anggota organisasi kita untuk
secara bersama melihat visi secara jelas dan
menentukan alasan mengapa kita melakukannya. Motivasi yang benar akan tumbuh
dengan sendirinya ketika seseorang telah dapat
melihat visi yang jauh lebih besar dari sekedar
pencapaian target. Sehingga setiap orang dalam
organisasi kita dapat bekerja dengan lebih efektif
karena didorong oleh motivasi dari dalam
dirinya. Hal kedua dan ketiga yang perlu
dilakukan oleh seorang manajer efektif adalah
memberikan pujian yang tulus dan teguran yang
tepat. Kita dapat membuat orang lain melakukan
sesuatu secara efektif dengan cara memberikan
pujian, dorongan dan kata-kata atau isyarat
(gesture) yang positif.
Carnegie (2007), menempatkan hal ini
sebagai prinsip pertama dan kedua dalam
menangani manusia, yaitu (a) jangan mengkritik, mencerca atau mengeluh, dan (b) berikan
penghargaan yang jujur dan tulus. Manusia
pada prinsipnya tidak senang dikritik, dicemooh
atau dicerca, tetapi sangat haus akan pujian dan
apresiasi. Tetapi kritik atau teguran yang tepat
seringkali justru diperlukan untuk membangun
tim/kelompok kerja yang kokoh dan handal.
Yang terpenting ketika menegur orang lain
adalah bukan pada apa yang kita sampaikan
tetapi bagaimana cara menyampaikannya.
Teguran yang tepat justru akan menjadi motivasi
dan akan menimbulkan reaksi yang positif.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan
oleh berberapa peneliti belakangan ini
menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak semata
didasarkan pada nilai uang yang diperoleh
(monetary value). Ketika kebutuhan dasar (to live)
seseorang terpenuhi, maka dia akan
membutuhkan hal-hal yang memuaskan
jiwanya (to love) seperti kepuasan kerja,
penghargaan, perhatian, suasana kerja; dan halhal yang memuaskan hasratnya untuk
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
berkembang (to learn) yaitu kesempatan untuk
belajar dan mengembangkan dirinya. Pada
akhirnya orang bekerja atau melakukan sesuatu
karena nilai, ingin memiliki hidup yang
bermakna dan dapat mewariskan sesuatu
kepada yang dicintainya (to leave a legacy),
(dalam http://tech.groups.yahoo.com/
himatika_ugm/motivasi diri).
Dorongan untuk Bekerja
Seseorang akan melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu, dimaksudkan sebagai upaya untuk
merealisir keinginan-keinginan yang ada pada
dirinya. Keinginan-keinginan yang dimaksudkan berkaitan dengan jenis-jenis kebutuhan
yang ada. Maslow dalam buku Nasution (1986),
mengelompokkan jenis-jenis kebutuhan dalam
suatu hirarki, yaitu : kebutuhan fisiologis,
kebutuhan keamanan/keselamatan, kebutuhan
cinta kasih (kebutuhan sosial dan kebutuhan
penghargaan), dan kebutuhan aktualisasi diri.
Sedangkan Mc Clelland (1961) menyebutkan ada
tiga kebutuhan yang mempengaruhi motivasi,
yaitu kebutuhan kekuasaan, kebutuhan afiliasi,
dan kebutuhan berprestasi. Dengan demikian,
kecenderungan dan intensitas perbuatan
seseorang dalam bekerja kemungkinan besar
dipengaruhi oleh jenis kebutuhan yang ada pada
diri orang yang bersangkutan.
Demikian halnya dengan motivasi kerja
guru dalam mengembangkan kurikulum di
sekolah, ia akan dipengaruhi oleh keinginankeinginan yang ada padanya. Apabila guru
mempunyai keinginan yang kuat sesuai peranannya, ia akan berusaha melakuan tugas-tugas
yang berkaitan dengan upaya pengembangan
kurikulum di sekolah secara optimal sesuai
dengan keinginannya.
Tanggung Jawab Terhadap Tugas
Sebagai konsekuensi atas jabatan yang diemban
guru, maka seorang guru akan mempunyai
sejumlah tugas yang harus dilakukan sesuai
jabatannya. Beban tugas ini berkaitan dengan
kuantitas dan kualitas tugas yang diberikan
kepada guru. Dengan demikian, berat ringannya
beban tugas yang ada pada guru akan
mempengaruhi usaha-usahanya dalam bekerja
sesuai kemampuannya.
Motivasi kerja guru dalam mengembangkan
kurikulum di sekolah akan ditentukan oleh
besar kecilnya tanggung jawab yang ada pada
diri guru dalam melaksanakan tugas. Dengan
tanggung jawab ini, para guru akan memiliki
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang sebagai realisasi dari kegiatan-kegiatan yang
dihadapinya dan bagaimana menyelesaikannya didambakan. Pelaksanaan suatu tugas dapat
sendiri tugas-tugas yang diberikan kepadanya. berjalan dengan lancar dan mencapai
Pemberian tanggung jawab secara individual sasarannya, antara lain diwarnai oleh ada
kepada guru memungkinkan memberi tidaknya minat guru terhadap tugas yang
kesempatan kepada guru untuk mengopti- dibebankan. Jadi, besar kecilnya minat guru
malkan segenap potensi yang dimilikinya dalam terhadap suatu tugas akan mempengaruhi kadar
bekerja. Pada akhimya, ia akan mencapai atau mutu motivasi kerja guru dalam
kesuksesan dalam merealisir keinginan- mengembangkan kurikulum di sekolah.
keinginan yang didambakan.
Nawawi (1989), mengatakan bahwa minat dan
Tanggung jawab di sini dapat diartikan kemampuan terhadap sesuatu pekerjaan berpengaruh
sebagai suatu tuntutan yang ada dalam diri pula terhadap moral kerja. Minat (interest) adalah
seseorang untuk melaksanakan tugas yang dorongan untuk memilih suatu objek atau tidak
menjadi kewajibannya. Guru yang ber- memilih objek lain yang sejenis. Objek minat
tanggungjawab terhadap tugasnya, akan selalu dapat berupa benda, kegiatan, jabatan atau
berusaha melaksanakan tugas-tugas yang pekerjaan, orang, dan lain-lain. Sedangkan minat
menjadi kewajibannya dengan sebaik-baiknya diekspresikan dengan perasaan suka atau tidak
dan penuh kesungguhan. Sudjana (1989), suka terhadap objek. Dalam hubungannya
mengatakan: “tanggung jawab mengembangkan dengan minat guru terhadap tugas dalam
kurikulum mengandung arti bahwa guru dituntut
mengembangkan
untuk selalu mencakurikulum di
ri gagasan baru,
sekolah berarti di
penyempurnaan
dalam diri guru
praktek
pengterdapat pera...kadar
motivasi
kerja
yang
ajaran”.
saan untuk medimiliki guru dalam
Tanggung
laksanakan kemengembangkan kurikulum di
jawab guru dalam
giatan-kegiatan
mengembangkan
sekolah dipengaruhi banyak
dalam mengemkurikulum di sesedikitnya beban tugas yang
bangkan kurikolah ditandai
menjadi
tanggung
jawabnya
kulum di sekodengan upaya tilah. Hal ini disedak segera puas
babkan karena
atas hasil yang
pengaruh dari
dicapainya, selalu
dalam
diri
dan
atau
dari
luar
diri
guru.
mencoba mencari cara-cara baru guna mengatasi
Menurut
Sukartini
(1986),
untuk
mengesetiap hambatan yang ada dan mengadakan
tahui
minat
seseorang
terhadap
sesuatu
objek
penyempurnaan-penyempurnaan cara melakdapat
diketahui
dengan
memperhatikan
apa
sanakan tugas sehingga menjadi lebih baik, dan
yang
ia
tanyakan,
apa
yang
ia
bicarakan
pada
merasa malu apabila ternyata kegiatan-kegiatan
yang dilakukan itu gagal/tidak dapat dilakukan. waktu-waktu tertentu, apa yang ia baca, dan apa
Berdasarkan uraian di atas, dapat yang ia gambar atau lukis secara spontan. Oleh
dikatakan bahwa kadar motivasi kerja yang karena itu, minat guru terhadap tugasnya dapat
dimiliki guru dalam mengembangkan dilihat dari : kerajinan dalam bekerja, mendalami
kurikulum di sekolah dipengaruhi banyak tugas yang diberikan, dan menerima tugas-tugas
sedikitnya beban tugas yang menjadi tanggung dengan perasaan senang.
jawabnya yang harus dilaksanakan guru seharihari dan bagaimana cara menyelesaikannya. Penghargaan atas Tugas
Beban tugas ini ditekankan pada tugas mengajar, Penghargaan atas suatu jabatan atau
membimbing siswa, dan melaksanakan adminis- keberhasilan yang dicapai guru dalam bekerja
merupakan salah satu motivator yang
trasi sekolah.
mendorongnya bekerja lebih baik. Nawawi
Minat Terhadap Tugas
(1984), mengatakan bahwa penghargaan,
Guru melaksanakan tugas-tugas yang penghormatan, pengakuan, serta perlakuan
dibebankan kepada dirinya itu dapat dikatakan terhadap karyawan pendidik sebagai subjek atau
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
61
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
manusia yang memiliki kehendak, pikiran,
perasaan dan lain-lain sangat besar
pengaruhnya terhadap moral kerja mereka.
Adanya penghargaan terhadap tugas, dapat
menyebabkan munculnya rasa cinta dan bangga
terhadap tugas-tugas yang diberikan. Rasa cinta
dan bangga yang dimilikinya itu, memungkinkan yang bersangkutan dapat melaksanakan
tugasnya dengan penuh kesungguhan dan
tanggung jawab. Hal ini disebabkan karena
adanya penghargaan, dapat memberi kepuasan
kepadanya sehingga menyebabkan mereka
bekerja lebih giat lagi.
Seperti yang dikatakan oleh Arismunandar
(www.kabarindonesia.com/28 April 2009),
“Suatu profesi yang tidak memiliki kebanggaan
sukar berkembang. Orang harus menyenangi
pekerjaannya. Buat apa seseorang menjadi guru
kalau dia sendiri tidak menyenangi pekerjaan
itu”. Meskipun pada kenyataannya masih sulit
ditemukan seorang guru yang benar-benar
bangga terhadap jabatannya sebagai guru.
Sehubungan dengan beberapa tugas guru
yang berkaitan dengan pengembangan
kurikulum di sekolah, apabila guru menghargai
terhadap tugas-tugas tersebut maka guru yang
bersangkutan dalam bekerjanya akan diwarnai
oleh rasa cinta dan bangga sehingga memungkinkan “mereka dapat mengoptimalkan pola
kerjanya”. Rasa cinta dan bangga ini tidak harus
ditampakkan lewat kata-kata, tetapi yang lebih
penting adalah realisasinya di dalam tindakan.
Guru akan selalu memperhatikan tugas-tugas
yang diberikan meskipun tidak ringan dalam
pelaksanaannya, tidak merasa rendah diri bila
berada di luar lingkungan kerja, menjaga harkat
dan martabat jabatan guru, dan berusaha
meningkatkan citra guru pada dunia luar
melalui pengabdiannya kepada masyarakat.
Kesimpulan dan Saran
Pimpinan sekolah memainkan peranan penting
dalam menginovasi kurikulum, meningkatkan
kualitas pendidikan dan memotivasi guru dalam
membuat perubahan dalam proses pembelajaran
dengan memanfaatkan teknologi informasi
sebagai salah satu media pembelajaran sehingga
potensi peserta didik menjadi berkembang.
Pimpinan sekolah berkewajiban mendorong
guru untuk menciptakan ide-ide baru yang kreatif
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
dalam metode pembelajaran, pemanfaatan alat
peraga, menciptakan lingkungan kelas yang
tenang & nyaman dalam proses belajar mengajar
di sekolah, serta hendaknya guru dapat
melakukan classroom action research.
Setiap guru bertanggungjawab mengembangkan KTSP mata pelajaran yang diampunya
minimal sesuai dengan Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan serta memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi peserta
didik.
Dalam penyusunan KTSP, guru hendaknya
mengembangkan kreativitas peserta didik secara
optimal sebagaimana Taxonomi Bloom dengan
pola kecakapan pembelajaran Higher Order
Thinking (HOT) Skill seperti klasifikasi, membuat
analisa, menciptakan ide, membuat keputusan,
memecahkan masalah dan membuat perencanaan yang membutuhkan pemikiran yang lebih
luas dan lebih dalam.
Motivasi kerja guru dalam mengembangkan
kurikulum di sekolah akan berdayaguna,
apabila guru mempunyai : keinginan, minat,
penghargaan, bertanggungjawab dan meningkatkan dirinya dalam melaksanakan tugas yang
berkaitan dalam upaya mengembangkan
kurikulum di sekolah.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan
dan keterampilan guru untuk mengembangkan
kurikulum di sekolah, guru dituntut mengembangkan dirinya sehingga dapat memenuhi
tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu cepat. Peningkatan
kemampuan guru melalui pendidikan jabatan,
dapat ditempuh dengan mengikuti MGMP,
pelatihan, penataran, lokakarya, seminar yang
berkenaan dengan tugas guru di sekolah,
maupun melalui pendidikan formal ke jenjang
strata yang lebih tinggi.
Masyarakat akan menaruh harapan agar
anak-anaknya berhasil dengan segudang
“kemampuan” pada institusi sekolah, dalam hal
ini guru adalah sosok yang mempunyai peranan
besar. Tanpa ada motivasi dan kreativitas yang
tinggi dari seorang guru dalam proses
pembelajaran di sekolah maka apa yang telah
dilakukan olehnya bertahun-tahun di sekolah
akan menuai cemooh dari masyarakat, yang
pada akhirnya menghancurkan institusi sekolah
itu sendiri.
Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah
Daftar Pustaka
Carnegie, Dale. (2007). How to win friends and
influence people. kinayath.wordpress.com
Gardner, Howard (1983). Multiple Intelligences.
www.ThomasArmstrong.com
Hersey, Paul dan Blanchard (1977). Management
of organization behavior. New Jersey:
Prentice- Hall Inc.
http://tech.groups.yahoo.com/himatika_ugm/
motivasi diri
Kenneth Blanchard, Spencer Johnson (2003). The
one minute manager. PT Elex Media
Komputindo
Meirawan, Danny. (1987). Pengaruh iklim
organisasi sekolah dan motif kerja terhadap
penampilan kerja guru Bandung: IKIP
Mc Clelland, David (1961). The achieving society.
New York : D. Van Nostrand Company
Inc.
Nasution S. (1986). Didaktik asas-asas mengajar.
Bandung: CV. Jemmars
Nawawi, Hadari. (1989). Mutu pendidikan
nasional. Makalah dalam konvensi
nasional, di IKIP Medan
Sudjana, Nana (1989). Dasar-dasar proses belajar
mengajar. Bandung: Sinar Baru
Sukartini (1986). Kontribusi minat akademik orang
tua dan guru terhadap konsep dan siswa. IKIP
Bandung
www.gatra.com., 12 Mei 2003
www.kabarindonesia.com., 28 April 2009
______Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia. Nomor : 22, 23 & 24
Tahun 2006
______Catatan Kuliah S-2 PKLH Universitas
Siliwangi, tahun 2002-2004
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
63
Menjadi Guru Pembelajar
Opini
Menjadi Guru Pembelajar
Bambang Kaswanti Purwo*)
Abstrak
ejak tahun tujuh puluhan terjadi perubahan paradigma dalam pendidikan yang
mempengaruhi pandangan terhadap pendidik dan peserta didik di dalam proses belajarmengajar. Mengajar tidak lagi dimaknakan sebagai yang dahulu dipahami sebagai
kegiatan menyampaikan pengetahuan, menyuapkan ilmu pengetahuan kepada siswa.
Mengajar dalam pengertian baru menjadi guru pembelajar (bukan guru pengajar), membantu siswa
belajar untuk belajar, membimbing siswa sampai ke penyadaran akan pemelajaran sepanjang hayat.
Guru tidak lagi menempatkan diri berperan sebagai satu-satunya model bagi pemelajaran bahasa
dan satu-satunya yang mampu menemukan dan membetulkan kesalahan siswa. Guru berperanan
lebih sebagai konselor, fasilitator, kolaborator, dan pelatih strategi belajar bagi siswa. Tulisan ini
merupakan upaya untuk mengulas paradigma baru itu: dari diskusi mengenai atribut guru sebagai
“pengajar” dan “pembelajar” sampai pada uraian singkat mengenai gaya belajar dan strategi belajar.
S
Kata-kata kunci: Belajar, pemelajar, mengajar, membelajarkan, pembelajar, pengajaran yang berpusat
pada siswa, gaya belajar, strategi belajar.
Abstract
In the years of seventies, there was a paradigm shift in education which affects the roles of teachers and
students in the teaching-learning process. Teaching is no longer interpreted as in the previous sense of
imparting knowledge or spoon feeding to the learners. Teaching is helping learners learn to learn, making
them aware of learning as life-long learning. The role of teachers shifted from being the (sole) model for the
language, the (sole) actor for identifying and correcting errors to being the counselor, facilitator, collaborator,
and trainer of learning strategies. The present article is an attempt to elaborate the new paradigm: from the
pair terms attributed to teachers’ role as “pengajar” and “pembelajar”to a brief discussion on learning
styles and learning strategies.
Key words: Learning, learner, teaching, helping learner to learn, learner centered, learning styles, learning strategies.
Pendahuluan
Sudah dalam beberapa dekade ini, sejak tahun
1970-an, pengajaran bahasa1 diwarnai dengan
pendekatan yang namanya “pendekatan
komunikatif” (communicative approach). Apa
perubahan mendasar yang terjadi? Pengajaran
bahasa tidak lagi memusatkan perhatian pada
proses mengajarkan bahasa (language-centered
process), 2 metode apa yang dipakai untuk
mengajar, bagaimana guru menyampaikan
bahan ajar, bagaimana guru mengurutkan bahan
ajar (dari yang mudah ke yang sukar), bagaimana
guru bertindak manakala siswa berbuat
kesalahan. Gebrakan pembaruan yang terjadi
*) Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Menjadi Guru Pembelajar
mengalihkan kiblat yang menjadi tumpuan guru
di dalam kegiatannya di kelas. Guru memakai
sudut pandang yang berkiblat pada siswa,
berpusat pada siswa (learner centered). Perhatian
bukan pada bagaimana menyampaikan bahan
ajar kepada siswa, melainkan pada bagaimana
siswa menyerap bahan ajar, bagaimana proses
pemahaman dan penguasaan bahasa oleh
siswa.
Namun, apa yang dimaksudkan dengan
“berpusat pada siswa” ini? Sekurang-kurangnya ada dua yang dapat memperjelas apa yang
dimaksudkan itu, yakni (a) bahan ajar
bagaimana yang diperlukan oleh siswa dan (b)
bagaimana proses siswa menangkap bahan ajar.
Dalam hal bahan ajar, apa yang disampakan di
kelas bukan apa yang – menurut anggapan guru
– perlu untuk siswa, melainkan apa yang
memang sungguh diperlukan oleh siswa. Guru,
sebelum menyampaikan bahan ajar, perlu tahu
– melalui pengamatan atau wawancara – apa
yang diperlukan oleh siswanya (learners’ need).
Ihwal bagaimana proses siswa mengolah
atau mencerna bahan ajar, bagaimana itu
tercermin dalam perilaku guru manakala
berinteraksi dengan siswa di kelas dapat
dijelaskan dengan dua istilah ini: guru sebagai
“pengajar” atau guru sebagai “pembelajar”?
Guru yang menerapkan pendekatan
komunikatif dituntut untuk bertindak sebagai
pembelajar, tidak sebagai pengajar. Uraian pada
makalah ini diawali dengan penjelasan
mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah
“pembelajar” dan istilah yang berkaitan
dengannya, yakni “memelajarkan” vs. “membelajarkan”, “pemelajaran” vs. “pembelajaran”.
Pembelajaran vs. Pemelajaran
Perbedaan makna di antara “pembelajaran” dan
“pemelajaran” ini perlu diuraikan terlebih
dahulu sebelum dipaparkan penjelasan lebih
lanjut mengenai apa arti “guru sebagai
pembelajar”. Berikut ini uraian mengenai kaidah
yang berlaku pada proses pembentukan kata di
dalam bahasa Indonesia.
Sistem morfologi bahasa Indonesia
mengenal dua proses pembentukan kata ini: (a)
peN-/-an dan (b) per-/-an. Nomina penggantian
merupakan bentuk yang dihasilkan dari verba
mengganti, sedangkan pergantian berasal dari
berganti. Dengan peN-/-an, kata dasarnya dapat
pula berupa kata yang sudah berafiks, misalnya
ber-, sehingga dapat dihasilkan kata baru seperti
pada (1).
(1) a. berdaya
memberdayakan pemberdayaan
b. berlaku memberlakukan pemberlakuan
c. belajar
membelajarkan
pembelajaran
Adapun dari verba memper-, seperti pada (2),
dapat dihasilkan bentuk pemer-/-an.
(2) a. memperdaya pemerdayaan
b. memperoleh pemerolehan
c. mempelajari pemelajaran
Apa perbedaan makna di antara pember-/an (1) dan pemer-/-an (2) itu? Yang pertama
mengandung makna kausatif ’membuat,
menyebabkan ... menjadi ...’. Amati (3) dan(4).
(3) a. memberdayakan nelayan ‘membuat
nelayan berdaya’
b. memberlakukan undang-undang
’membuat undang-undang berlaku’
c. membelajarkan siswa ’membuat
siswa belajar’
(4) a. pemberdayaan nelayan ’proses/
kegiatan membuat nelayan berdaya’
b. pemberlakuan undang-undang
’membuat undang-undang (mulai)
berlaku’
c. pembelajaran siswa ’membuat siswa
belajar’
Namun, tidak ada makna kausatif pada
kata dengan memper- dan pemer/-an (5).
(5) a. memperoleh bahasa ’menguasai
bahasa’
b. mempelajari kosakata ’belajar tentang kosakata’
Dari memper- pada (5) ini dapat dihasilkan kata
dengan pemer-/-an.
(6) a. pemerolehan bahasa
b. pemelajaran kosakata
Jadi, pembentukan kata dengan pember-/-an dan
pemer-/-an, kalau mengukuti kaidah bahasa
Indonesia, adalah pemakaian seperti pada (7)
dan (8) ini.
(7) pembelajaran siswa membelajarkan
siswa
(8) pemelajaran kosakata
mempelajari
kosakata
Akan tetapi, yang meluas dipakai hingga saat
ini bukan rangkaian kata seperti pada (8),
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
65
Menjadi Guru Pembelajar
pemelajaran kosakata, melainkan rangkaian kata
seperti pada (9).
(9) ??pembelajaran kosakata ??membelajarkan kosakata
Pada makalah ini, tidak akan dipakai rangkaian
kata seperti “pembelajaran kosakata” (9) itu. Kata
pembelajaran memiliki makna kausatif (sebagaimana yang diulas pada (3) dan (4)) dan karena
itu rangkaian kata pada (9) itu bermakna ’proses
atau kegiatan membuat kosakata belajar’ –
makna yang aneh. Apabila yang dimaksudkan
adalah makna ’proses atau kegiatan belajar atau
mempelajari kosakata”, maka – jika mengikuti
kaidah pembentukan kata di dalam bahasa
Indonesia (sebagaimana yang diuraikan di atas)
– dipakai rangkaian kata pemelajaran kosakata.
Rangkaian kata yang tidak mengandung makna
kausatif mengikuti pola pada (8): pemelajaran tata
bahasa, pemelajaran bahasa, pemelajaran menulis.
Untuk rangkaian kata yang bermakna kausatif
perlu seseorang yang menjadi pelaku suatu
perbuatan, misalnya, siswa. Maka rangkaian
katanya adalah pembelajaran siswa, mengikuti
pola pada (3) dan (4).
Singkat kata, apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, pemelajaran adalah
learning, sedangkan pembelajaran adalah
instruction. 3 Makna kata pembelajaran tidak
berdekatan arti dengan kegiatan belajar atau
mempelajari, melainkan dengan kegiatan
mengajar.
Sampai di sini yang dibahas adalah kata
yang berkenaan dengan kegiatan atau proses
(member-, pember-, memper-, pemer-). Bagaimana
dengan kata yang mengait ke pelaku atau orang
yang melakukan kegiatan itu (seperti menulis
penulis, membaca
pembaca)? Bagaimana
mengatakan pelaku dari kegiatan member- dan
memper-? Pertimbangkanlah (10) dan (11).
(10) mempelajari [sesuatu]
pemelajar
(’learner’)
(11) membelajarkan [seseorang] pembelajar (’teacher”, ’instructor’)
Jadi, pemelajar dapat bersinonim dengan siswa,
sedangkan pembelajar bersinonim dengan guru.
Dengan demikian, dalam hal apa yang dapat
dilakukan oleh guru di kelas, ada dua istilah
yang dapat dipakai untuk menggambarkan itu:
guru sebagai pengajar dan guru sebagai
pembelajar. Ini merupakan dua perilaku yang
dapat dipilih oleh guru.
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Siswa, Pelajar vs. Pemelajar; Guru,
Pengajar vs. Pembelajar
Mengapa mempersulit diri dengan memunculkan istilah-istilah baru? Mengapa dirasa
perlu menciptakan istilah pemelajar; padahal,
sudah ada kata siswa, yang artinya toh mirip?
Lagi pula, sudah ada kata pelajar (yang
berpadanan dengan pupil) dan pelajaran (yang
berpadanan dengan lesson). Untuk apa mempersulit diri dengan penciptaan kata seperti
pemelajar, pemelajaran?
Alasan ini erat kaitannya dengan perkembangan pembicaraan di bidang pengajaran
bahasa sejak tahun 1970-an, yang beralih
orientasi dari guru sebagai pusat ke siswa
sebagai pusat (learner centered). Oleh karena itu,
diperlukan istilah dalam bahasa Indonesia
untuk menyatakan konsep “learner” dan
“learning”; kata pelajar terlalu sempit untuk
menampung pengertian ‘learner’ itu.
Lingkup makna kata siswa dan pelajar
terbatas, sedangkan lingkup kata pemelajar tak
terbatasi oleh ruang dan waktu. Kata pelajar atau
siswa berkaitan dengan lingkup sekolah,
pendidikan formal, sedangkan pemelajar atau
pemelajaran berkenaan dengan sesuatu yang tidak
harus dilakukan di sekolah. Pemelajaran
(’learning’) adalah suatu proses atau kegiatan
yang dapat dilakukan seumur hidup, tidak
terbatasi dengan ruang atau masa-masa di
sekolah. Meskipun sudah lulus, siapa pun dapat
terus belajar sepanjang hayat dan mereka ini
disebut pemelajar bukan pelajar atau siswa. Yang
disebut siswa atau pelajar pun, atau mereka
yang sedang belajar di sekolah, dapat juga
disebut pemelajar, jika mereka bersikap seperti
yang berikut ini. Belajar bukan untuk kepentingan atau untuk dilakukan di lingkungan
sekolah dan pada “saat ini” (misalnya, untuk
memperoleh nilai, lalu naik kelas atau lulus dan
mendapatkan ijazah). Belajar adalah kegiatan
yang terus-menerus, tidak hanya pada masa
bersekolah. Belajar adalah kegiatan yang terus
dilakukan sepanjang hayat di mana saja.
Bagaimana pula dengan guru? Guru yang
pengajar adalah guru yang mengajar siswa.
Guru yang pembelajar adalah guru yang
membelajarkan siswa. Perbedaan antara “guru
yang mengajar siswa” dan “guru yang membelajarkan siswa” akan diulas berikut ini.
Menjadi Guru Pembelajar
pun kebanyakan pendek dan singkat. Jarang
terjadi atau hampir tidak ada yang sebaliknya:
siswa bertanya dan guru menjawab. Gurulah
Kalau ditanyakan “Apa yang diharapkan untuk yang sepenuhnya mengendalikan interaksi di
dilakukan oleh seorang guru di kelas?”, jawaban kelas, Tidak ada selaan atau interupsi dari
yang serta merta keluar adalah “mengajar”. siswa, tidak pula ada pertanyaan atau
Dengan diterapkannya pendekatan komunikatif permintaan penjelasan akan sesuatu yang sudah
di dalam pengajaran bahasa mulai era 1970-an, diterangkan oleh guru tetapi belum jelas bagi
kalau kita berbicara mengenai “mengajar di siswa. Guru menjalani tahap-tahap penyamkelas”, ada pengertian baru, yang berbeda paian bahan sesuai dengan rencana yang sudah
dengan pengertian yang lazim dipakai disiapkan sebelumnya. Guru terus melaju,
sebelumnya. Perbedaan ini dapat dijelaskan berusaha memenuhi target menyelesaikan bahan
dengan memanfaatkan pembahasan pada dua ajar seperti yang sudah direncanakan. Ia melaju
pasal di atas (dua pasal setelah “Pengantar”). terus, kurang merasa perlu tahu apakah bahan
Istilah mengajar, pengajaran, pengajar dipakai yang ia sampaikan dipahami oleh siswa atau
untuk pengertian yang lama. Istilah membel- tidak, dan lebih memusatkan perhatian
ajarkan, pembelajaran, pembelajar digunakan di sini bagaimana dapat menyelesaikan bahan ajar
untuk pengertian yang baru.
yang telah disiapkan rapi sebelumnya.
Meskipun pengertian yang baru itu sudah
Guru sebagai pembelajar juga menyiapkan
beredar mulai tahun 1970-an dalam pembica- bahan ajar sebelumnya tetapi apa yang
raan dan penelidilakukan pada
tian mengenai teori
waktu menyajipengajaran bahakannya di kelas
sa, di dalam praktidak sama dengPerhatian guru pengajar lebih
tik pengajaran di
an yang dilakutercurah pada penyampaian
ruang kelas, bakan oleh guru
bahan ajar, sedangkan perhatian
nyak guru yang
sebagai pengajar.
guru pembelajar lebih pada
masih menerapGuru pengajar
kan pengertian
bagaimana siswa belajar,
menyampaikan
yang lama, termabutir per butir dari
bagaimana siswa menyerap
suk di Indonesia.
bahan ajar yang ia
bahan.
Menurut pengersiapkan sesuai
tian itu, guru cendengan rencanaderung menjadi
nya. Ia mengerah(satu-satunya)
kan usahanya
sumber pengetahuan di kelas. Guru menem- sedemikian rupa sehingga semua butir dari
patkan diri sebagai satu-satunya sumber bahan ajarnya dapat terselesaikan pada akhir
informasi di kelas, satu-satunya yang “paling jam pelajaran. Guru pembelajar tidak terpaku
tahu”. Kegiatan “mengajar” adalah kegiatan pada daftar butir-butir yang telah ia siapkan. Ia
menyampaikan ilmu pengetahuan, kegiatan tidak mengejar target supaya semua butir pada
menyuapkan ilmu pengetahuan kepada siswa. bahan ajar yang ia siapkan itu selesai
Guru aktif, guru berbicara, asyik menjelaskan disampaikan semuanya pada akhir jam
sesuatu, bahkan mungkin mencoba dengan pelajaran. Dari waktu ke waktu ia memantau
berbagai cara supaya dipahami oleh siswa. apakah bahan yang sedang ia sampaikan diserap
Siswa duduk dengan diam mendengar-kan dan siswanya atau tidak. Kepeduliannya lebih pada
– jika merasa perlu – mencatat. Jika pelajaran di apakah butir yang ia dijelaskan itu ditangkap
kelas itu direkam ke dalam kaset, akan siswanya atau tidak. Tidak setiap butir
kedengaran bahwa hampir seluruh suara yang memerlukan waktu yang sama untuk
terekam dalam pelajaran bahasa di kelas adalah menjelaskannya. Ada yang ternyata tidak perlu
suara yang keluar dari mulut guru, bukan dari dijelaskan, siswa sudah tahu. Ada yang hanya
siswa.
perlu penjelasan singkat, sudah langsung
Apabila ada dialog atau tanya-jawab di dipahami. Namun, ada pula yang memakan
kelas, yang terjadi adalah guru bertanya dan waktu lebih lama, tergantung pada proses
siswa menjawab. Jawaban yang diberikan siswa penyerapan, tergantung pada seberapa lama
Mengajar vs. Membelajarkan Siswa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
67
Menjadi Guru Pembelajar
waktu yang diperlukan siswa untuk
mempelajarinya. Singkatnya, perbedaan antara
kedua macam perilaku yang dapat dipilih oleh
guru adalah sebagai berikut. Perhatian guru
pengajar lebih tercurah pada penyampaian
bahan ajar, sedangkan perhatian guru
pembelajar lebih pada bagaimana siswa belajar,
bagaimana siswa menyerap bahan.
Apa perbedaan antara guru pengajar dan
guru pembelajar pada waktu memeriksa
karangan siswa, misalnya? Guru pengajar
dengan teliti dan cermat akan menandai setiap
kekurangan atau kesalahan siswa dan langsung
memperbaikinya, langsung menuliskan
pembetulannya. Yang ada di benaknya adalah
bagaimana ia dapat mencurahkan segala
kemampuannya untuk membantu siswa agar
karangannya menjadi lebih baik. Guru
pembelajar hanya menandai bagian-bagian yang
perlu diperbaiki, tetapi tidak memberitahukan
bagaimana perbaikannya. Siswa diminta
mengerjakan sendiri atau bertanya pada teman
sekelasnya bagaimana memperbaiki bagianbagian yang ditandai oleh guru. Lalu, setelah
itu, mereka diminta menulis kembali
karangannya. Kapan saat yang tepat bagi guru
pembelajar untuk membantu siswa dalam
memperbaiki karangannya? Pada waktu siswa
sudah berusaha maksimal (bersama temanteman sekelasnya) dan tetap saja tidak dapat
melakukan perbaikan – sudah “mentok” – ya
inilah saat yang tepat.
Singkatnya, guru pembelajar memberikan
peluang kepada siswa untuk mencoba belajar
dengan daya kekuatan sendiri, atau dalam kerja
sama dengan temannya. Guru pembelajar
melatih siswa untuk tidak menggantungkan
sepenuhnya dan terus-menerus pada guru. Guru
pembelajar memberi kesempatan pada siswa
untuk mengalami bahwa mereka juga memiliki
kemampuan memperbaiki sendiri kekurangan
mereka. Mereka dilatih untuk dapat belajar
mandiri. Lebih dari itu, siswa dipersiapkan agar
belajar tidak semata-mata agar naik kelas atau
lulus ujian. Belajar bukanlah kegiatan yang
dilakukan di lingkup sekolah. Belajar adalah
kegiatan sepanjang hayat dan – karena itu – guru
menyadarkan akan potensi yang dimiliki oleh
siswa, meyakinkan siswa akan adanya potensi
itu,4 memacu siswa untuk mengembangkan itu.
Guru tidak membuat siswa bergantung pada
guru, tetapi mendorong dan mengarahkan agar
mereka secepatnya dapat mandiri.
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Apa lagi yang dilakukan oleh
guru sebagai pembelajar?
Salah satu hal yang dianggap penting oleh
banyak guru dalam kegiatannya mengajar di
kelas ialah mengusahakan bagaimana supaya
bahan yang sudah dipersiapkannya secara rapi
itu dapat diselesaikan dalam waktu yang
tersedia. Perhatian guru lebih tercurah pada
pengelolaan dan penataan bahan ajar itu sendiri,
misalnya, dari mana saya harus mulai
menyampaikan bahan-bahan yang sudah saya
siapkan ini, bagaimana mengurutkannya, dan
bagaimana menghabiskan semua bahan itu.
Akan tetapi, guru yang membelajarkan
siswa lebih memalingkan perhatiannya pada
proses belajar siswa, bagaimana siswa menyerap
bahasa. Apa yang terjadi pada siswa dalam
proses mempelajari bahasa? Apa yang membuat
siswa bisa berhasil? Apa yang menyebabkan
siswa gagal? Apa yang harus dilakukan guru
agar siswa terbantu dalam proses mempelajari
bahasa itu.
Sampai dengan tahun 1960-an para ahli
pengajaran bahasa sibuk memikirkan metode
mengajar yang bagaimana yang paling ampuh
untuk dipakai. Kita kenal ada Grammar
Translation Method, Direct Method, Audiolingual
Method, dsb. Dengan beralihnya kiblat, yang
menjadi minat perhatian bukan lagi apa yang
dilakukan oleh guru dalam mengajar, bukan lagi
berbagai macam cara untuk mengajar melainkan,
antara lain, berbagai macam cara bagaimana
siswa belajar. Ini berkaitan dengan “gaya
belajar” (learning style) dan “strategi belajar”
(learning strategies).5
Gaya siswa dapat dibedakan, sekurangkurangnya atas tiga. Ada siswa yang cenderung
untuk belajar secara visual, ada yang lebih kuat
segi auditorinya, ada lagi siswa yang
mengandalkan diri pada aspek kinestetik dalam
belajar.
Siswa yang visual belajar dengan
mengandalkan daya penglihatannya. Mereka
perlu melihat gerak gerik guru dan ekspresi
wajah guru supaya agar mereka dapat
memahami isi pelajaran. Mereka akan memilih
duduk di deretan depan dan berusaha untuk
menghindari gangguan pandang (misalnya,
pandangan ke arah guru terganggu oleh kepala
teman yang duduk di depannya). Proses
pemahaman mereka akan terbantu apabila guru
Menjadi Guru Pembelajar
menyediakan gambar-gambar, transparansi,
video, lembar edar (handout). Selama pelajaran
mereka akan mencatat secara rinci informasi
yang mereka peroleh.
Siswa tipe auditori belajar dengan
berpegang pada daya pendengarannya. Mereka
belajar dengan baik apabila ada diskusi,
membahas persoalan dengan orang lain dan
mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang
lain. Mereka menginterpretasikan makna
dengan memperhatikan lagu suara, titi nada,
dan ciri-ciri bunyi yang lain. Informasi yang
tertulis tidak ada maknanya bagi mereka
sebelum itu dibacakan atau mereka dengar.
Mereka dapat menyerap informasi dengan baik
apabila itu disuarakan atau digunakan tape
recorder, misalnya.
Siswa yang kinestetik belajar melalui
gerakan, berbuat, menyentuh. Siswa jenis ini
dapat belajar dengan baik apabila ada kegiatan
dengan gerakan tangan, menjelajahi sekitarnya
secara fisik. Berat bagi mereka untuk diminta
duduk diam dalam waktu yang lama. Mereka
akan tergerak untuk bangkit dari tempat
duduknya dan mulai menjelajahi ruangan dan
yang ada di sekitarnya.
Strategi belajar ada kaitannya dengan gaya
belajar. Siswa yang visual akan lebih suka
memilih cara belajar seperti membuat daftar kata
(misalnya, dalam belajar kosakata), atau
mengelompok-kelompokkan kata. Siswa yang
analitis (suka menganalisis) akan lebih memilih
cara belajar seperti mempelajari kaidah atau
rumus-rumus, analisis kontrastif, memotongmotong kata atas unsur-unsurnya. Siswa
dengan pendekatan global akan memilih cara
belajar yang dapat membantu mereka
menemukan gambaran secara umum atau
menyeluruh.
siswa kurang dimanfaatkan sehingga siswa
tidak diberi kesempatan atau dilatih untuk
menjadi sadar akan adanya potensi di dalam
dirinya itu – potensi untuk belajar sendiri,
potensi untuk mampu mengerjakan sendiri,
potensi untuk mampu memecahkan persoalan
sendiri. Ia kurang mempertimbangkan pula
bahwa siswa tidak belajar secara sama. Di antara
siswanya ada berbagai gaya belajar (learning
styles) dan strategi belajar (learning strategies) yang
berbeda-beda dan oleh karena itu guru perlu
memperkaya diri dengan berbagai cara
mengelola kegiatan belajar di kelas.
Guru pembelajar memperhitungkan tidak
hanya kekhasan dan keanekaragaman di dalam
diri siswa (learner centered), melainkan juga
membuka peluang bagi siswa untuk terusmenerus mencoba sendiri atau bersama teman
sekelasnya. Guru tidak langsung memberi tahu
kepada siswa solusi atau perbaikan yang harus
dilakukan oleh siswa. Siswa dilatih untuk
belajar menjadi mandiri dalam menemukan
kekurangan sendiri (atau kekurangan teman
sekelasnya) serta memperbaiki kekurangannya
sendiri atau dalam kerja sama dengan temantemannya. Guru pembelajar membantu dan
membimbing siswa agar mencoba dan mencoba
terus untuk belajar sendiri, menemukan
persoalannya sendiri, dan berusaha memecahkannya sendiri. Siswa dipacu untuk mencari
dan berkonsultasi dengan sumber-sumber
belajar yang lain (seperti perpustakaan, internet,
atau nara sumber lain) dan tidak semata-mata
menggantungkan diri pada guru dan bahan ajar
di kelas.
Catatan kaki
1
Teori pengajaran bahasa yang berkembang dan
dikenal meluas selama ini berkenaan dengan
pengajaran bahasa sebagai bahasa asing, bukan
pengajaran bahasa sebagai bahasa pertama
atau bahasa ibu. Namun, ada di antaranya
yang dapat jugaditerapkan pada pengajaran
bahasa sebagai bahasa pertama.
2
Lihat, misalnya, Diana-Larsen Freeman,
“Expanding Roles of Learners and Teachers in
Learner-Centered Instruction”, di dalam Learners
and Language Learning, suntingan Willy A.
Renandya dan George Jacobs (Singapore:
SEAMEO Regional Language Centre: 1998), hlm.
207–226.
Penutup
Guru sebagai pengajar dan guru sebagai
pembelajar sama-sama berkehendak baik. Apa
yang dilakukan oleh kedua tipe guru ini samasama atas kehendak baik ingin membantu siswa.
Hanya, apa yang dilakukan dalam usahanya
membantu siswa berbeda. Guru pengajar
mengerahkan tenaganya sendiri, bertumpu pada
dirinya sendiri dalam kegiatannya membantu
siswa. Ia bekerja keras, mengerahkan daya
kemampuannya. Potensi yang ada di dalam diri
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
69
Menjadi Guru Pembelajar
3
Istilah “pembelajaran” dalam pengertian
‘instruction’, bukan ‘learning’, pernah dipakai
pada salah satu judul buku terbitan Universitas
Negeri Jakarta
4
Lihat, misalnya, Constructivism as a Paradigm
for Teaching and Learning (2004) http://
www.thirteen.org/edonline/concept2class/
constructivism/inde…; Mardziah Hayati Abdullah,
Problem-Based Learning in Language Instruction:
A Constructivist Method, http://learn2study.org/
teachers/problem_learning.htm
5
Andrew D. Cohen dan Zoltan Domyei, “Focus
on the Language Learner: Motivation, Styles and
Strategies”, di dalam An Introduction to Applied
Linguistics, suntingan Norbert Schmitt (London:
Arnold 2002), hlm. 170–190
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Daftar Pustaka
Cohen, Andrew D. dan Zoltan Domyei. (2002).
“Focus on the language learner: motivation, styles and strategies”, di dalam An
introduction to applied linguistics. Norbert
Schmitt (ed.), London: Arnold, 170–190
Larsen-Freeman, Diana. (1998). “Expanding roles
of Learners and teachers in learner-centered
instruction” dalam Willy A. Renandya dan
George Jacobs (ed.) Learners and Language
Learning. Singapore: SEAMEO Regional
Language Centre, 207–226
Mardziah, Hayati Abdullah. Problem-based
learning in language instruction: A constructivist method. http://learn2study.
org/teachers/problem_ learning.htm
______Constructivism as a pParadigm for teaching
and learning. (2004). http://www.thirteen.
org/edonline/concept2class/constructivism/
inde…
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
Opini
Pembelajaran Tematik dan
Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
Hilda Karli*)
Abstrak
endekatan berorientasi pada peserta didik dan pembelajaran tematik dalam proses
pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam meningkatkan
mutu pendidikan nasional. Kedua pendekatan itu terlihat jelas dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Sekolah Dasar yang sekarang ini diterapkan. Setelah menelaah
pendekatan tematis secara konseptual dan membandingkannya dengan pendekatan fragmented,
tulisan ini mengidentifikasi sejumlah kesulitan guru melaksanakan pembelajaran tematis. Tulisan
ini menemukan, pembelajaran tematis memudahkan peserta didik memahami konsep-konsep secara
holistik tetapi pembelajaran fragmented juga masih diperlukan untuk lebih memahami pokok
bahasan tertentu.
P
Kata-kata kunci: Pembelajaran tematik, pembelajaran keterhubungan, pembelajaran terintegrasi,
pembelajaran jaring laba-laba, pembelajaran fragmented, penilaian hasil belajar.
Abstract
Students centered and thematic instructions are two of approaches developed and implemented by the Indonesian
Government to improve the national education quality at primary school level. Having reviewed theoretically
the thematic instructions and compared them to the fragmented instructions (previously used), this article
reveals some difficulties faced by primary school teachers in practising the thematic instructions. The
analysis in this article indicates that thematic instructions enable the students understand the concepts
holistically, but to some extent the fragmented instructions are still needed to help the students understand
certain topics.
Key words : Thematic instruction, connected instruction, integrated instruction, spider-web instruction,
fragmented instruction, learning achievement evaluation.
Pendahuluan
Banyak para guru SD menjadi bingung setelah
dicanangkannya pembelajaran tematik yang
harus dilaksanakan di kelas tahun 2004. Begitu
pula sang kepala sekolah menghadap dilema
dalam memutuskan apakah perlu pembelajaran
tematik dilaksanakan di kelas. Baik para guru
maupun kepala sekolah belum memahami
pembelajaran tematik. Bagaimana mereka harus
melaksanakan? Padahal sang guru sudah
terbiasa mengajar dengan pembelajaran yang
bersifat fragmented, pembelajaran yang
memberikan pelajaran secara terpisah-pisah
untuk setiap mata pelajaran yang diajarkan di
SD.
Sejak bergulirnya kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) 2004 kelas 1 dan 2 SD
dihimbau oleh Dinas Pendidikan di Indonesia
*) Dosen PGSD Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
71
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
untuk menerapkan pembelajaran tematik. Belum
dua tahun KBK berjalan, muncul embrio dari
KBK yaitu Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006 menghimbau kelas 1
sampai 3 SD untuk menerapkan pembelajaran
tematik. Para guru menjadi lebih stress lagi
ketika bergantinya kurikulum, sementara itu
pembelajaran tematik harus dilaksanakan.
Pembelajaran tematik, yang menjadi sebuah
wacana baru, dianggap baik diterapkan di SD
tentu mempunyai beberapa alasan, antara lain:
pola pikiran anak yang masih holistik artinya
usia siswa sekitar 4 – 10 tahun pola pemikirannya masih satu kesatuan, umumnya mereka
menjadi berpikir fragmented karena pola asuh
orang dewasa yang memisah-misahkannya.
Berikutnya, usia siswa SD masih bersifat
operasional kongkrit. Menurut Jean Piaget dalam
Dahar (1998), pada usia tersebut anak masih
butuh alat peraga (media) yang kongkrit (nyata)
untuk menjelaskan suatu konsep. Juga saat
proses belajar untuk mengenal suatu konsep
tentu tidak lepas dari kehidupan yang paling
dekat dengan lingkungan siswa. Oleh karena
melalui payung tema yang menarik perhatian
siswa, sang guru dapat membelajarkan beberapa
mata pelajaran seperti: Matematika (Mat), Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS), Bahasa Indonesia (BI), Seni Budaya
Keterampilan (SBK), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Agama, dan Olahraga. Terakhir,
pembelajaran tematik sudah diperkenalkan sejak
siswa duduk dibangku TK oleh karena sangat
sinambung sekali.
Berdasarkan analisis penulis ketika menjadi
nara sumber dalam semiloka atau workshop
pembelajaran tematik di sekolah dasar baik
negeri atau swasta di Indonesia, masih banyak
sekolah dasar yang belum melaksanakan
pembelajaran tematik. Hal ini dikarenakan
antara lain: tidak adanya bahan ajar yang
mendukung, ketidakpahaman guru untuk
melaksanakan pembelajaran tematik, Dinas
Pendidikan setempat sudah menyusun silabus
pembelajaran tematik sementara guru tidak
dilibatkan saat penyusunannya tetapi mereka
harus melaksanakannya. Alasan lain ialah pada
saat mensosialisasikan pembelajaran tematik,
guru terlalu dicekoki atau dijejali dengan materi
yang baku seperti silabus yang sudah ada dan
harus dilaksanakan. Guru perlu memahami cara
membuat silabus, RPP dan implementasinya
untuk pembelajaran tematik. Jadi ketika guruguru diberikan silabus yang menggunakan
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
pembelajaran tematik dari Dinas Pendidikan
setempat, guru hanya tunduk pada Dinas tanpa
tahu tujuan dan cara penerapan pembelajaran
tematik. Dengan demikian jenis pembelajaran
tematik sebaiknya diperkenalkan kepada para
guru, guru diberi kebebasan untuk memilih jenis
pembelajaran tematik. Sudah barang tentu guru
akan tahu konsekuensi yang perlu diambil
ketika mereka memutuskan suatu jenis
pembelajaran tematik temasuk penilaian akhir
dan jadwal pelajaran. Guru SD tidak mandiri
karena terlalu dimanjakan dengan aturan dari
Dinas Pendidikan setempat yang mensosialisasikan secara rinci pembelajaran tematik.
Berbeda dengan guru SMP dan SMA yang lebih
mandiri dan lebih berani mengambil sikap dalam
menerapkan pembelajaran atau aturan.
Banyak kalangan guru SD dan pemerhati
pendidikan bertanya , apakah pembelajaran
fragmented dianggap tidak baik sehingga seolaholah digeser oleh pembelajaran tematik?
Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran
fragmented yang ideal? Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran tematik yang ideal?
Apakah kekuatan dan kelemahan dari setiap
pembelajaran fragmented maupun tematik?
Apakah pembelajaran fragmented sudah
dilaksanakan secara ideal? Apakah pembelajaran fragmented cocok diterapkan di SD?
Bagaimanakah pembelajaran tematik agar dapat
dilaksanakan secara ideal? Apakah pembelajaran tematik cocok diterapkan di SD? Tulisan
ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu melalui pembahasan kritis.
Pembahasan
Pembelajaran fragmented sebagai suatu
pendekatan belajar mengajar suatu mata
pelajaran yang utuh tanpa mengkaitkan mata
pelajaran satu dengan yang lainnya (Fogarty,
1991). Bila seorang guru kelas SD mengajar
mata pelajaran matematika maka konsep pada
pelajaran matematika diajarkan utuh kepada
siswanya tanpa melihat atau mempertimbangkan dengan konsep yang ada pada mata
pelajaran IPA atau bahasa Indonesia. Jadi dalam
pembelajaran Fragmented setiap mata pelajaran
dirancang secara terpisah-pisah dan tidak ada
usaha untuk mengkaitkan di antara mata
pelajaran tersebut. Oleh Fogarty pembelajaran
fragmented disimbolkan dengan sebuah periskop
yang artinya memandang satu arah, fokus yang
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
sempit untuk setiap mata pelajaran. Contohnya
di Kelas 3 SD semester I, guru akan mengajar
IPA, IPS, Bahasa Indonesia dan Matematika
dengan pokok bahasan yang sudah tercantum
secara berurutan dalam kurikulum tanpa
melihat keterpaduan dari setiap konsep.
Mata pelajaran
IPA
Topik:
Udara
Mata pelajaran
B. Indonesia
Topik:
Penduduk
Mata pelajaran
IPS
Topik:
Hasil bumi
Mata pelajaran
Matematika
Topik:
Bilangan
Gambar 1: Fokus pembelajaran mata
pelajaran IPA, IPS, BI dan Mat, jenis
pembelajaran Fragmented
Pembelajaran tematik sebagai suatu
pendekatan belajar mengajar yang melibatkan
beberapa mata pelajaran dalam satu tema untuk
memberikan pengalaman bermakna bagi siswa.
Pengalaman bermakna maksudnya anak
memahami konsep – konsep yang telah mereka
pelajari itu melalui pengalaman langsung dan
menghubungkannya dengan konsep lain yang
sudah mereka pahami (Tim Pengembang PGSD,
1996). Pembelajaran menurut Depdiknas (2004)
adalah suatu pola umum kegiatan pembelajaran
yang tersusun secara sistematis berdasarkan
prinsip-prinsip pendidikan, psikologi, didaktik,
dan komunikasi dengan mengintegrasikan
struktur (langkah pembelajaran, metode, media,
manajemen kelas, evaluasi dan waktu yang
diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien).
Pembelajaran Tematik berorientasi pada
kebutuhan perkembangan anak artinya menolak
drill sebagai dasar pembentukan pengetahuan
dan struktur intelektual siswa. Jika dibandingkan dengan pembelajaran fragmented maka
pembelajaran Tematik lebih menekankan
keterlibatan siswa secara aktif baik kognitif
maupun skill dalam proses pembelajarannya.
Dewasa ini pembelajaran fragmented
dilaksanakan tanpa melihat kebutuhan
perkembangan anak, guru mendrill siswanya
agar pembentukan pengetahuan dan struktur
intelektual siswa terbentuk dengan cepat
(instant). Jika pembelajaran fragmented
dilaksanakan dengan memandang dari segi
kebutuhan perkembangan siswa dalam
pembentukan pengetahuan dan struktur
intelektual maka sebenarnya pembelajaran
fragmented merupakan salah satu cara
pembelajaran yang baik diterapkan di SD jika
dilaksanakan secara ideal. Hanya sayangnya
pembelajaran fragmented yang dilaksanakan di
sekolah sekedar catat, duduk, dengar dan hafal.
Sang guru hanya menggunakan metode ceramah
saja untuk mendrill konsep secara instant.
Bagaimana jika pembelajaran fragmented
dilaksanakan secara student centered? Apakah
output-nya akan menghasilkan siswa yang
kreatif, kritis dan inovatif? Tentu, asalkan
pembelajaran fragmented dilaksanakan secara
student centered.
Pembelajaran tematik dan pembelajaran
fragmented menggunakan berbagai macam
metode dan teknik dengan melihat dari
kebutuhan siswa.
Pembelajaran yang
menggunakan ajang permainan (learning by
playing) dapat memotivasi siswa dalam belajar
dan sangat cocok diterapkan di kelas TK dan SD
kelas rendah. Sedangkan untuk kelas tinggi
lebih cocok learning by doing. Prinsip belajar
seraya bermain dan belajar seraya bekerja dapat
diterapkan dalam pembelajaran tematik dan
pembelajaran fragmented.
Menurut Fogarty (1991) ada tiga macam
pembelajaran tematik yang diperkenalkan di
Indonesia terutama di kalangan mahasiswa S1–
PGSD dari sepuluh macam yang ditulis olehnya.
Pertama, pembelajaran keterhubungan
(conneccted) adalah pembelajaran dalam satu
mata pelajaran yang menggunakan tema untuk
mengkaitkan sub bab /bab yang satu dengan
lainnya. Misalnya dalam pelajaran IPA ada bab
Makhluk Hidup dan Benda maka untuk
mengkaitkannya dibuat tema: “Makhluk hidup
dan benda di sekitar kita” Contoh Gambar di
bawah ini ditujukan untuk kelas 3SD yang
mengkaitkan dua konsep Makhluk Hidup dan
Benda berdasarkan KTSP 2006. Umumnya
dalam pembelajaran IPA yang menggunakan
tema “Makhluk hidup dan benda di sekitar kita”,
guru mengajarkan konsep mahkluk hidup di
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
73
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
tema tanpa ada batas satu pelajaran dengan
pelajaran lainnya. Satu sub tema dilakukan
setiap hari tanpa jadwal pelajaran hanya jam
pelajaran yang ditekankan. Penilaian dilakukan
secara keterpaduan untuk setiap mata pelajaran
dan aspek Kognitif, Afektif dan Psikomotor.
Contoh untuk mata pelajaran BI, Mat, IPA, IPS
dan SBK dengan tema Diri Sendiri. Kegiatan
pembejaran tematik terpadu ini seperti yang
sudah biasa dilaksanakan di TK. Pada satu hari
guru memberikan pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan
SBK tanpa ada batasan jam pelajaran. Guru
hanya memberikan pelajaran tentang diri sendiri
tetapi dalam kegiatan pembelajaran ada
pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan SBK. Dalam
evaluasi akhir, berupa tes tertulis, juga tidak ada
batasan konsep mata pelajaran BI, Mat, IPA, IPS
dan SBK tetapi yang ditonjolkan adalah
temanya. Guru perlu jeli dalam menyusun soal
tes tertulis sehingga tema dan konsep menjadi
satu keterpaduan yang dapat mengukur kognitif
dari setiap mata pelajaran. Perlu kerja ekstra
dari guru untuk memisahkan nilai dari setiap
mata pelajaran dalam soal tes tersebut karena
nilai rapot yang masih terpisah untuk setiap
mata pelajaran.
Terdapat alasan mengapa pembelajaran
tematik perlu dilaksanakan di kelas 1-3 SD.
Pertama, berpikir masih holistik artinya pada
umumnya siswa SD masih berpikir satu
kesatuan dan belum bisa terkotak-kotak.
Misalnya ketika mereka sedang bermain
“kekereta-apian” mereka sibuk mencari penumpang, yang jadi penumpang bayar dengan
“uang-uangan”, yang masinis sibuk menjalankan kereta api sambil mengeluarka bunyi
“jes…jes…jes”, dst. Bila kita amati maka pelajaran Mat, IPA, IPS, BI, SBK semuanya menjadi satu
kesatuan. Kedua, masih senang bermain artinya
siswa TK dan SD masih senang aktif bergerak
untuk melancarkan psikomotor (motorik kasar)
kasarnya. Kegiatan yang paling mereka senangi
adalah bermain karena bagi mereka bermain
adalah ungkapan ekspresi, manipulatif,dan
inovasi mereka. Ketiga, rasa ingin tahu yang
besar artinya anak usia 4 – 12 tahun rasa ingin
tahu sangat besar, terlihat dari perilaku mereka
ketika mereka berusia balita selalu bertanya
mengapa?”, ketika usia mereka di atas balita
mulai dengan mengotak-atik mainan bahkan
hingga rusak. Keempat berpikir operasional
kongkrit (benda nyata) artinya menurut Jean
Piaget , siswa yang berusia 6 – 14 tahun termasuk
tingkat berpikir operasional kongkrit. Mereka
butuh media/alat peraga yang sebenarnya (real)
untuk memahami sesuatu fakta/peristiwa.
Bahasa Indonesia
IPS
Menyebutkan data
diriMenyelesaikan
gambar orangMenjiplak
dan menebalkan
gambar
Menyebutkan data diri
Menunjukkan sikap
saling menghargai
misalnya jenis kelamin
Diri Sendiri
Matematika
IPA
Membilang atau menghitung
secara ururt 1-5
Menyebutkan banyak benda
1-5
Menerangkan bagian
tubuh
Menjelaskan kegunaan
bagian tubuh yang
teramati
Gambar 4: Keterkaitan antar mata pelajaran IPA, IPS, B. Indonesia dan
Matematika dalam tema Diri Sendiri jenis tematik terpadu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
75
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
Mereka belum mampu berpikir abstrak seperti
orang dewasa umumnya.
Pembelajaran Tematik selalu berkaitan
dengan tema. Kegunaan dalam pembelajaran
tematik antara lain: Sebagai payung untuk
mengkaitkan beberapa mata pelajaran. Tema
harus menarik dan bermakna bagi siswa untuk
belajar selanjutnya. Tema disesuaikan dengan
tingkat perkembangan siswa (dari khusus ke
umum). Tema dipilih sesuai dengan ketersediaan sumber belajar
Contoh tema yang dapat digunakan di
kelas seperti: diri sendiri, keluarga, lingkungan,
tempat umum, rumah, pekerjaan, hiburan,
pakaian, makanan, transportasi, pariwisata,
komunikasi, teknologi, kejadian sehari-hari,
negara, pertanian, peristiwa, pendidikan, K3,
tumbuhan, binatang, budi pekerti, pengalaman,
kesehatan dan lain lain. Pemilihan tema
sebenarnya dibebaskan pada guru disesuaikan
dengan kondisi siswa, sekolah dan lingkungan.
Guru A dan Guru B mungkin akan berbeda ketika
memilih tema untuk mengajarkan “membilang
1 sampai 5” , hal ini tidak menjadi masalah yang
penting Kompetensi Dasar dari mata pelajaran
itu tercapai. Pada akhirnya siswa akan
mengerjakan soal dan pemecahan masalah yang
umum ditemui di lingkungannya.
Metode yang digunakan dalam pembelajaran tematik bermacam-macam agar siswa tidak
bosan seperti; bermain peran, karya wisata,
tanya jawab, eksperimen, bernyanyi, papan
buletin, pemberian tugas, pameran, pemecahan
masalah, diskusi kelompok, pengamatan,
latihan, dan lain lain. Salah satu komponen
yang penting dalam suatu pembelajaran yaitu
penilaian (evaluasi). Penilaian tidak hanya
ditekankan pada segi kognitif saja tetapi aspek
lainnya seperti psikomotor dan afektif pun
diperhatikan dalam proses pembelajaran
berlangsung. Artinya proses dan produk
keduanya diukur saat proses pembelajaran
berlangsung dan dilakukan secara terus
menerus. Mengukur pengetahuan jauh lebih
mudah daripada mengukur keterampilan dan
moral siswa karena perlu pengamatan yang terus
menerus dari guru untuk melihat tingkat
perkembangannya.
Media merupakan sarana yang mendukung
pembelajaran seperti: lingkungan sekolah,
lingkungan kelas, alat peraga yang dibuat oleh
guru, majalah, internet, nara sumber (orang tua
/guru /keluarga yang diundang) museum, dll.
Baik dalam pembelajaran tematik dan
pembelajaran fragmented perlu didukung dengan
media yang menarik dan bermakna agar
pembelajaran lebih bermakna.
Ada 4 tahap yang perlu dilakukan oleh sang
guru dalam pembelajaran. Tahapan tersebut
menurut Depdiknas (2004) yaitu; (1) tahap
apersepsi (pembuka) yaitu:kegiatan yang
dilakukan diawal pelajaran akan dimulai,
misalnya dengan bernyanyi yang berkaitan
dengan tema untuk memancing perasaan
senang siswa atau demontrasi suatu kegiatan
yang membuat siswa penasaran dan ingin tahu
lebih banyak, atau mengajukan pertanyaan yang
menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut,
dan lain-lain.
Fungsi apersepsi untuk memotivasi siswa,
mengetahui pengetahuan awal siswa, dan
memancing rasa ingin tahu siswa; (2) tahap
penyampaian informasi yatu:kegiatan yang
biasa dilakukan oleh guru umumnya, memberi-
Table 1: Alat evaluasi dan bentuk penilaian
No.
Alat Penilaian
1.
Penugasan (projec t)
Bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk
menyelesaikan sebuah proyek
2.
Hasil karya (produc t)
Karya seni, laporan, gambar, bagan, tulisan , dan benda
3.
Unjuk Kerja
(performanc e)
Penempilan diri dalam kelompok maupun individual dalam bentuk
kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di
depan umum
4.
Tes tertulis (paper and
Penc il)
Penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan formatif dan sumatif
5.
Kumpulan hasil karya
siswa (protofolio)
Kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda,
karya tulis, isian, tabel dlan lain-lain
76
Bentuk
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
pertanyaan lain seperti “ Apakah
pembelajaran tematik harus ada jadwal mata
pelajaran, bagaimana cara mengisi nilai raport?
Penutup
Pembelajaran menurut Depdiknas (2004) adalah
suatu kegiatan pembelajaran antara siswa dan
guru yang tersusun secara sistematis berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan, psikologi,
didaktik, dan komunikasi dengan mengintegrasikan struktur (langkah pembelajaran, metode,
media, manajemen kelas, evaluasi dan waktu
yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien). Pembelajaran
tematik dan pembelajaran fragmented dapat
dilaksanakan di kelas 1-3 SD jika pembelajaran
tersebut dilaksanakan dengan benar. Adanya
kerjasama yang baik antara instansi yang terkait
dengan para guru SD. Pelatihan lokakarya,
seminar, KKG, studi banding ke sekolah lain
yang menjadi induk semang (mitra), melatih guru
lebih kreatif dalam membuat alat peraga, sekolah
menyediakan media pembelajaran yang lebih
menarik merupakan cara-cara untuk meningkatkan kualitas guru SD dalam penerapan
pembelajaran tematik dan pembelajaran
fragmented.
Pembelajaran tematik atau pembelajaran
fragmented baik dilaksanakan di kelas SD dengan
catatan pembelajaran dilaksanakan dengan
melihat sudut pandang kebutuhan dan
perkembangan siswa. Tidak ada suatu
pembelajaran yang dianggap paling ideal untuk
dilaksanakan di SD. Tergantung situasi dan
kondisi serta kebutuhan dari setiap sekolah.
Setiap pembelajaran tentu ada kelebihan dan
kendalanya. Tergantung pada para guru untuk
mengantisapasi kendala pembelajaran tersebut.
Beberapa kelebihan Pembelajaran Tematik
antara lain memberikan pengalaman dan
kegiatan belajar relevan dengan tingkat
perkembangan anak sehingga hasil belajar akan
lebih tahan lama selain itu mengasah keterampilan berpikir dan skill selain penguasan konsep.
Saat proses pembelajaran berlangsung secara
tidak langsung menumbuh kembangkan keterampilan sosial anak seperti; kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek terhadap orang lain.
Kendala Pembelajaran Tematik antara lain:
keluhan guru saat merencanakan pembelajaran
tematik yang memakan waktu dan tenaga yang
lebih banyak mulai dari penyusunan matriks
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
tematik, jaring laba-laba, program semester,
silabus dan RPP sekaligus dibuat dalam 1
semester. Banyak guru tidak tahu bahwa untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan
SBK boleh tidak berurutan materi yang diajarkan
kecuali Matematika hatus berurutan dalam 1
semester. Perlu menyiapkan media yang sesuai
dengan pemilihan tema.
Cara mengatasi kendala pembelajaran
tematik antara lain: perlu kerjasama guru SD
dari setiap jenjang misalnya kelas I SD (Team
Work) untuk membuat perencanaan hingga
pelaksanaan pembelajaran tematik. Untuk
membantu guru menyediakan media pembelajaran maka sebaiknya para siswa diajak terlibat
untuk menyiapkan media sesuai dengan tema
tiga hari sebelumnya.
Menggunakan tidak lebih dari dua judul
buku bahan ajar tematik dari penulis dan
penerbit yang berbeda untuk membantu guru
baik dalam persiapan, pelaksanaan dan
evaluasi.
Kelebihan pembelajaran fragmented antara
lain: konsep dari setiap mata pelajaran dapat
diajarkan pada siswa secara mendalam dan
memiliki kemurnian sendiri. Guru dapat
menyiapkan RPP sesuai dengan keahliannya,
sehingga dengan mudah menentukan ruang
lingkup bahasan yang diprioritaskan dalam
setiap mata pembelajaran. Bahan pelajaran yang
disajikan dapat disajikan secara logis dan
sistematis serta memudahkan guru menyusun
RPP. Pembelajaran fragmented dapat menumbuh
kembangkan keterampilan sosial anak seperti;
kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek
terhadap orang lain
Beberapa kendala Pembelajaran Fragmented
antara lain guru dalam menyampaikan informasi masih cenderung ceramah sehingga masih
bersifat “teacher centered”. Guru perlu menyiapkan banyak latihan soal dan kata tanya agar
pembelajaran tidak bosan sehingga siswa seperti
“drill” soal latihan kurangnya penekanan pada
proses pembelajaran sehingga hasil belajar tidak
tahan lama karena setiap mata pelajaran
mempunyai contoh yang berbeda dan kurang di
maknai dalam lingkungan sekitarnya. Pola
pikiran siswa seolah-olah dikotak-kotakkan oleh
batasan mata pelajaran sehingga siswa belajar
kurang bermakna.
Beberapa cara mengatasi kendala Pembelajaran Fragmented antaralain: Kelompok Kerja
Guru SD dari tiap jenjang untuk mewadahi
diskusi dalam membuat perencanaan hingga
Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar
pelaksanaan mengajar di kelas. Agar
pembelajaran lebih memotivasi siswa sebaiknya
para siswa diajak terlibat untuk menyiapkan
media dengan menggunakan pendekatan
lingkungan, menggunakan bahan ajar mata
pelajaran yang terdiri dari konsep dan latihan
yang menekankan pada keterampilan berpikir
dan menggunakan metode dan teknik mengajar
yang bervariasi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, (2004).
Kurikulum berbasis kompetensi untuk sekolah
dasar . Jakarta : Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional, (2006).
Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk
sekolah dasar . Jakarta : Depdikbud
Tim Pengembang PGSD.(1996). Pembelajaran
terpadu utuk PGSD D-II. Jakarta: Depdikbud
Dahar, R. (1998). Teori - teori belajar. Jakarta:
Erlangga
Fogarty, R. (1991). The mindful school how to
integrate the curricula, Ilinois: Skylight Pub,
Inc.
Karli, H. (2000). Pengembangan model pembelajaran
terpadu tentang makhluk hidup dan bendabenda di sekitar kita untuk meningkatkan
keterampilan berpikir rasional siswa SD kelas
III. Tesis. PPs UPI : Bandung
Karli, H dan Hutabarat, H.. (2008). Implementasi
KTSP. Bandung: Generasi Info Media
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
79
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Opini
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Terhadap Kualitas Pendidikan
David Wijaya*)
Abstrak
alah satu prinsip dalam setiap organisasi ialah efisiensi yang kerap kali menjadi penentu
dalam keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Efisiensi mencakup penggunaan
semua sumber daya yang tersedia termasuk tenaga, waktu, dan dana. Tulisan ini secara
khusus membahas manajemen keuangan sekolah di dalam perspektif akuntansi. Menyadari
manajemen keuangan sekolah berbeda dengan manajemen keuangan perusahaan yang berorientasi
kepada laba, telaahan dalam tulisan difokuskan pada tata kelola administrasi keuangan sekolah
berdasarkan sistem manajemen keuangan yang baku sesuai dengan standar akuntansi dan
keuangan yang berlaku secara umum.
S
Kata kunci: Manajemen keuangan sekolah, kualitas pendidikan, akuntansi
Abstract
Efficiency is one of the organization principles which often becomes the determinant of the organization
success to achieve its goals. The efficiency includes all resources, such as man, money, materials, and time that
directly affect the quality of education in the school. This article focuses on the discussion of the school finance
management in accounting perspectives. Assuming that the school finance management is different from that
of the corporate, this article discusses the school finance management applying the standardized financial
management system in accordance with general accepted accounting principle (GAAP).
Key words: School finance management, quality of education, accountancy
Pendahuluan
Sejalan dengan berkembangnya otonomi daerah,
di dalam lingkup pendidikan formal, mulai
muncul konsep Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) yang menjadikan pengelolaan pendidikan
lebih terarah dan terkoordinasi dengan baik dari
segi penyelenggaraan, pendanaan, pengembangan, dan pengawasan. Menurut Depdiknas
(2007), di dalam pelaksanaan MBS, ada tiga hal
yang perlu dilaksanakan, yaitu: (1) manajemen
sekolah (fungsi dan substansinya) di dalam
kerangka MBS; (2) pembelajaran aktif, kreatif,
*) Dosen Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
efektif, dan menyenangkan (PAKEM); dan (3)
peningkatan peran serta masyarakat dalam
mendukung program sekolah.
Partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan telah diamanat-kan pada
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 8,
yang disebutkan bahwa “masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan” serta pasal 9 yang berbunyi
“masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Masyarakat akan mendukung program
sekolah apabila kepala sekolah mampu
menyelenggarakan manajemen pendidikan
yang transparan, terutama transparansi dalam
hal manajemen keuangan. Sesuai dengan
prinsip akuntabilitas, masyarakat berhak
mengetahui apa yang telah disumbangkannya
kepada sekolah, baik tingkat efisiensi maupun
efektivitasnya. Dengan demikian, kepala sekolah
perlu memiliki kemampuan untuk mengelola
keuangan sekolah secara transparan, akuntabel,
efektif, dan efisien.
Salah satu masalah fundamental di dalam
sistem pendidikan nasional adalah sulitnya
memperoleh informasi keuangan sekolah yang
terstandarisasi. Oleh karena itu, pembenahan
manajemen keuangan sekolah harus dimulai
dengan cara menyusun teknik-teknik pengelolaan keuangan sekolah yang komprehensif
sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan
yang berlaku secara umum.
Manajemen keuangan sekolah merupakan
salah satu bidang garapan substansi
administrasi pendidikan yang secara khusus
menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan yang dimiliki dan
digunakan oleh kepala sekolah. Manajemen
keuangan sekolah tidak hanya terkait dengan
pengelolaan sumber dana pendidikan yang
digunakan untuk proses pendidikan, tetapi juga
terkait dengan berbagai permasalahan (resiko)
tentang pengelolaan keuangan sekolah serta
upaya sekolah untuk mencari sumber-sumber
pendanaan bagi kelangsungan organisasinya.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa sekolah
memerlukan anggaran pendidikan yang besar,
terutama untuk aktivitas pembangunan dan
pemeliharaan gedung sekolah, pengadaan
peralatan dan perlengkapan sekolah, serta
aktivitas pembiayaan operasional sekolah.
Aktivitas-aktivitas sekolah tersebut akan
terganggu apabila tidak didukung dengan
anggaran pendidikan yang memadai. Semakin
besar anggaran pendidikan, maka diperkirakan
akan semakin meningkatkan kualitas
pendidikan.
Tidak mengherankan jika anggaran
pendidikan nasional belum memadai sehingga
mengakibatkan kondisi pendidikan di tanah air
memprihatinkan. Hal tersebut dapat terindikasi
dari kondisi gedung dan perlengkapan sekolah
di Indonesia. Tidak sedikit gedung sekolah di
Indonesia terancam ambruk, juga tidak sedikit
sekolah yang hanya memiliki standar kelayakan
minimal, yakni hanya memiliki gedung sekolah
dan guru. Pada umumnya, sekolah dengan
standar minimal tersebut akan menghasilkan
siswa dengan pengetahuan yang minimal serta
berdampak terhadap kualitas pendidikan.
Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%
dari APBN maupun APBD (seperti diamanatkan
oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
pasal 49 ayat 1) belum berimbang antara sekolah
negeri dengan sekolah swasta. Selama ini,
pengalokasian dana pendidikan terlalu
mengutamakan sekolah negeri. Di provinsi Jawa
Tengah, alokasi anggaran pendidikan adalah
20% dari APBN untuk pendidikan, sebesar 70%nya masih diperuntukkan bagi sekolah negeri,
sedangkan sekolah swasta hanya memperoleh
sekitar 30%-nya. Meskipun demikian, kondisi
tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan dua
atau tiga tahun yang lalu, karena pengalokasian
anggaran pendidikan sebesar 20% sudah
tercapai. Hanya saja, pengalokasian anggarannya harus dikendalikan agar proporsional.
Selama ini, jika sekolah negeri kekurangan
dana karena pasokan dana dari Pemerintah
sangat terbatas, kepala sekolah negeri
cenderung menunggu alokasi dana berikutnya
dari Pemerintah daripada melakukan upaya
untuk mengatasi kekurangan dana. Demikian
halnya dengan sekolah swasta, karena adanya
keterbatasan dana pasokan dari Pemerintah,
kepala sekolah swasta berinisiatif mengatasinya
dengan cara meminta dana dari yayasan
pendidikan atau sumber dana nonpemerintah.
Meskipun kepala sekolah swasta dapat meminta
dana selain dari Pemerintah, tetapi mereka tidak
cukup kuat untuk menanggung risiko atas
kebijakan yang diambilnya karena mereka takut
mendapat tuduhan negatif karena melakukan
tindakan ilegal.
Dalam rangka menyukseskan program
wajib belajar (Wajar) 9 tahun, Pemerintah telah
mengalokasikan dana pendidikan kepada
satuan pendidikan dalam bentuk bantuan
operasional sekolah (BOS). Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya, kita melihat banyak sekali
perbedaan mekanisme pengelolaan BOS antara
sekolah negeri dengan sekolah swasta. Tabel 1
di bawah ini menguraikan lima perbedaan
mekanisme pengelolaan BOS antara sekolah
negeri dengan sekolah swasta.
Dengan adanya permasalahan tersebut,
akhirnya para penyelenggara pendidikan
berupaya keras untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Namun, upaya tersebut
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
81
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Tabel 1 : Mekanisme Pengelolaan BOS
Sekolah Negeri
Menggratiskan seluruh siswa di sekolah negeri
terhadap biaya operasional sekolah.
Meringankan beban biaya operasional sekolah
bagi siswa di sekolah swasta.
Sekolah negeri dengan kategori RSBI dan SBI
diperbolehkan memungut dana dari orang tua
siswa yang mampu dengan persetujuan
Komite Sekolah.
Pemda setempat wajib mengendalikan
pungutan biaya operasional sekolah di sekolah
swasta sehingga siswa miskin bebas dari
pungutan tersebut.
Pemda setempat wajib memenuhi kekurangan
biaya operasional sekolah dari APBD apabila
dana BOS dari Depdiknas belum mencukupi.
Tidak ada pungutan berlebihan kepada siswa
yang mampu.
Semua sekolah negeri wajib menerima dana
BOS. Apabila sekolah negeri tersebut menolak
dana BOS, maka sekolah tersebut dilarang
memungut biaya dari peserta didik, orang tua,
atau wali peserta didik.
Sekolah penerima dana BOS adalah seluruh
sekolah swasta yang telah memiliki izin
operasional.
Biaya investasi menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Biaya investasi bisa mendapatkan bantuan dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
memerlukan biaya yang besar. Biaya
pendidikan memang mahal, tetapi masalahnya
adalah seberapa besar biaya penyelenggaraan
pendidikan yang dibebankan kepada siswa. Di
negara-negara yang pemerintahnya mengerti
akan pentingnya pendidikan, pemerintah
menanggung sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan, sehingga biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh siswa
menjadi ringan atau murah. Dengan demikian,
pendidikan yang mahal bukan secara otomatis
menunjukkan kualitas pendidikan yang tinggi,
karena tinggi rendahnya biaya pendidikan
ditentukan oleh manajemen keuangan sekolah.
Kualitas pendidikan dapat tercermin dari jumlah
biaya pendidikan yang dikeluarkan beserta
pengendalian biayanya. Informasi laporan
keuangan sekolah termasuk jenis aktivitas serta
unit cost sekolah seharusnya diawasi sehingga
kualitas pendidikan dapat ditentukan berdasarkan kemampuan manajemen keuangan sekolah
secara tepat dan akurat. Ini berarti bahwa sistem
biaya pendidikan merupakan bagian dari
manajemen keuangan sekolah serta merupakan
salah satu alat penentu terwujudnya kualitas
pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah
yang dibahas dalam tulisan ini ialah pengaruh
dari penerapan manajemen keuangan sekolah
terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
82
Sekolah Swasta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Hasil pembahasan dalam artikel ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholders
pendidikan sebagai dasar penerapan manajemen
keuangan sekolah berbasis akuntansi yang
sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan
yang berlaku secara umum serta penerapan
sistem manajemen keuangan sekolah berbasis
kualitas pendidikan sehingga akan berdampak
terhadap peningkatan kualitas pendidikan
secara berkelanjutan serta penyelenggaraan tata
pamong sekolah yang baik (good corporate
governance).
Pembahasan
Definisi Manajemen Keuangan Sekolah
Manajemen keuangan merupakan manajemen
terhadap fungsi-fungsi keuangan, sedangkan
fungsi keuangan merupakan kegiatan utama
yang harus dilakukan oleh mereka yang
bertanggung jawab di dalam bidang tertentu.
Fungsi manajemen keuangan adalah
menggunakan dana serta mendapatkan dana
(Husnan, 1992).
Manajemen keuangan sekolah dapat
diartikan sebagai “tindakan pengurusan atau
ketatausahaan keuangan yang meliputi
pencatatan, perencanaan, pelaksanaan,
pertanggungjawaban, dan pelaporan” (smen
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Depdiknas, 2002). Dengan demikian, manajemen
keuangan sekolah merupakan rangkaian
aktivitas mengatur keuangan sekolah yang
dimulai dari perencanaan, pembukuan,
pembelanjaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan sekolah.
Menurut Bafadal (2004), manajemen
keuangan sekolah dapat diartikan sebagai
“keseluruhan proses pemerolehan dan
pendayagunaan uang secara tertib, efisien, dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka
memperlancar pencapaian tujuan pendidikan”.
Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal
yang perlu digarisbawahi terkait dengan
manajemen keuangan sekolah, antara lain
sebagai berikut.
1. Manajemen keuangan merupakan keseluruhan proses upaya memperoleh serta
mendayagunakan seluruh dana.
2. Mencari sebanyak mungkin sumber-sumber
keuangan serta berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan dana dari
sumber-sumber keuangan tersebut. Menurut
Depdiknas (2007), sumber-sumber pendapatan sekolah dapat berasal dari: (1)
Pemerintah, yang meliputi: Pemerintah
Pusat, yang dialokasikan melalui APBN
serta Pemerintah Kabupaten/Kota, yang
dialokasikan melalui APBD; (2) usaha
mandiri sekolah, yang berupa kegiatan:
pengelolaan kantin sekolah, koperasi
sekolah, wartel, jasa antar jemput siswa,
panen kebun sekolah; kegiatan sekolah
yang menarik sehingga ada sponsor yang
memberi dana; kegiatan seminar/
pelatihan/lokakarya dengan dana dari
peserta yang dapat disisihkan sisa
anggarannya untuk sekolah; serta
penyelenggaraan lomba kesenian dengan
biaya dari peserta atau perusahaan yang
dapat disisihkan sebagian dananya untuk
sekolah; (3) orang tua siswa, yang berupa
sumbangan fasilitas belajar siswa,
sumbangan pembangunan gedung, iuran
BP3, dan SPP; (4) dunia usaha dan industri,
yang dilakukan melalui kerjasama dalam
berbagai kegiatan, baik berupa bantuan
uang maupun fasilitas sekolah; (5) hibah
yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, di mana kepala
sekolah perlu menyusun proposal yang
menguraikan kebutuhan pengembangan
program sekolah; (6) yayasan penye-
lenggara pendidikan bagi lembaga pendidikan swasta; serta (7) masyarakat luas.
Selain itu, menurut Bastian (2007), ada tiga
anggaran publik dalam anggaran
pendidikan yang harus kita perhatikan,
yaitu: (1) anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat; (2) anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) yang dikelola
oleh Pemerintah Daerah; serta (3) anggaran
pendapatan dan belanja sekolah (APBS)
yang dikelola oleh satuan pendidikan
(sekolah).
APBD
APBN
APBS
Gambar 1: Sumber Dana Pendidikan
Sagala (2008) menjelaskan kerangka sistem
penganggaran pendidikan pada pemerintahan kabupaten/kota seperti terdapat pada
gambar 2.
Mekanisme penentuan anggaran
pendidikan dimulai dari musyawarah
pembangunan desa (Musbangdes) yang di
dalamnya termasuk sekolah yang berada di
desa tersebut. Akan tetapi, di lain pihak,
sekolah juga mengajukan anggaran sekolah
yang disebut dengan rencana anggaran
pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS)
kepada Cabang Dinas Pendidikan setempat.
Selanjutnya, hasil Musbangdes digabungkan di kecamatan, sehingga oleh Camat
diidentifikasi dan diolah menjadi usulan
daftar kegiatan pembangunan (UDKP) pada
tingkat kecamatan yang di dalamnya sudah
termasuk program dinas yang berada di
kecamatan. UDKP dari kecamatan bersama
dengan usulan dinas teknis diserahkan
kepada Badan Perencana Pembangunan
Daerah (BAPPEDA).
Oleh BAPPEDA kabupaten, setiap
usulan rencana tersebut dibawa ke rapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
83
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Satuan Pendidikan
Desa/Kelurahan
Musbangdes
Cabang Dinas
Kecamatan
UDKP
Dinas
BAPPEDA
Rakorbang
Panitia Anggaran
Rapat Penyusunan
Anggaran
Pembahasan
Repetada/RAPBD
Bupati (Eksekutif)
Repetada/APBD
DPRD (Legislatif)
Perda/APBD
Gambar 2: Mekanisme Penentuan Anggaran Pendidikan Kabupaten
koordinasi pembangunan (Rakorbang)
kabupaten untuk menentukan prioritas
pembangunan disertai dengan rencana
anggarannya. Hasil Rakorbang tersebut memuat
program kerja kabupaten/kota yang dianalisis
kembali oleh panitia anggaran kabupaten/kota
dibawah koordinasi sekretaris daerah (Sekda).
Setelah dianalisis, hasilnya ditetapkan menjadi
rencana pembangunan tahunan daerah
(Repetada) yang nantinya akan diolah menjadi
RAPBD untuk diajukan ke legislatif. Repetada
ini telah diperiksa oleh masing-masing dinas
termasuk dinas pendidikan, sehingga tercipta
kesesuaian antara usulan dengan yang disetujui,
baik program maupun anggaran yang
diperlukan untuk melaksanakan program
tersebut.
Usulan anggaran tersebut selanjutnya
dibahas oleh DPRD kabupaten dalam
bentuk dengar pendapat dengan Bupati/
Walikota dan dinas teknis untuk
mengetahui rincian program dan anggaran
yang diperlukan. Hasil rapat penyusunan
anggaran ini dalam bentuk Repetada
diajukan kepada pihak legislatif daerah
untuk dibahas dan selanjutnya setelah
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
3
dianggap sesuai dengan ketentuan dan
anggaran yang tersedia, oleh DPRD tersebut
diterbitkan peraturan daerah (Perda)
menjadi APBD.
Menggunakan seluruh dana yang tersedia
atau diperoleh semata-mata untuk
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Pada pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005, pembiayaan pendidikan
terdiri dari: (1) biaya investasi, yang meliputi
biaya penyediaan sarana dan prasarana,
pengembangan SDM, dan modal kerja tetap;
(2) biaya personal, yang meliputi biaya
pendidikan yang harus dikeluarkan oleh
peserta didik agar dapat mengikuti proses
pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan; dan (3) biaya operasi, yang
meliputi gaji pendidik dan tenaga
kependidikan serta tunjangan yang melekat
pada gaji; bahan atau peralatan pendidikan
habis pakai; serta biaya operasi pendidikan
tak langsung berupa daya, air, jasa
telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya.
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
4.
Penggunaan seluruh dana sekolah harus
dilakukan secara efektif dan efisien. Selain
itu, penggunaan seluruh dana sekolah
harus dilakukan dengan tertib dan mudah
dipertanggungjawabkan kepada semua
pihak yang terkait. Pelaksanaan kegiatan
penggunaan dana harus mengacu kepada
RAPBS yang telah ditetapkan. Pembukuan
uang masuk dan keluar harus dilakukan
secara teliti dan transparan. Oleh karena itu,
tenaga akuntansi sekolah (staf administrasi
sekolah) harus menguasai teknik akuntansi
yang benar sehingga hasil perhitungannya
tepat dan akurat. Penggunaan anggaran
juga harus memperhatikan asas umum
pengeluaran negara, yaitu manfaat
penggunaan uang negara minimal harus
sama apabila uang tersebut digunakan
sendiri oleh masyarakat. Selain itu, kita juga
harus memperhatikan pasal 24, 28, dan 30
dari Undang-undang Perbendaharaan
Negara yang berusaha mencegah pengeluaran yang melampaui kredit anggaran
atau tidak tersedia anggarannya. Kreditkredit yang disediakan dalam anggaran
tidak boleh ditambah baik secara langsung
maupun tidak langsung karena adanya
keuntungan bagi negara. Demikian pula
halnya dengan barang-barang milik negara
dalam bentuk apapun, tidak boleh
diserahkan kepada mereka yang
mempunyai tagihan kepada negara.
Perkembangan Perspektif
Manajemen Keuangan Sekolah
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia
pendidikan telah berkembang cepat secara
kuantitatif. Pada tahun 1965, jumlah sekolah
dasar (SD) sebanyak 53.233 sekolah dengan
jumlah murid sebanyak 11.577.943 murid dan
jumlah guru sebanyak 274.545 guru. Dalam
kurun waktu sekitar 40 tahun, jumlah sekolah
dasar (SD) menjadi sebanyak 144.567 SD atau
Politik
Ekonomi
naik sekitar 170%, dengan jumlah murid
sebanyak 26.627.427 murid atau naik sekitar
130% dan jumlah guru sebanyak 1.301.452 guru
atau naik sekitar 370% (Pusat Informatika –
Balitbang Depdiknas, 2009). Namun, di sisi lain,
perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti
dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, aspek-aspek pendukung
pendidikan seperti manajemen keuangan
sekolah, belum serius dikembangkan. Perkembangan perspektif manajemen keuangan sekolah
dijelaskan pada gambar 3.
Di dalam perspektif politik, sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sistem
pendidikan nasional kita mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, di mana kegiatan
pendanaan pendidikan tidak diatur secara
khusus. Namun, dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003, kegiatan pendanaan pendidikan
sudah diatur secara khusus dalam Bab XIII, yang
substansinya meliputi sebagai berikut: (1)
pendanaan pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat; (2) sumber pendanaan
pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan; (3)
pengelolaan dana pendidikan berdasarkan
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik; dan (4) pengalokasian
dana pendidikan.
Jika dilihat pada uraian Bab XIII, kita belum
melihat adanya petunjuk teknis tentang
manajemen keuangan pendidikan, khususnya
tentang pelaporan keuangan pendidikan. Peran
serta masyarakat dalam mendukung dan
mengontrol manajemen keuangan pendidikan
juga belum jelas. Di samping itu, standar
pembiayaan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, hanya mengatur unsur biaya tanpa
petunjuk perhitungan biaya pendidikan. Oleh
karena itu, kita perlu melakukan pendekatan
terintegrasi dalam manajemen keuangan
Administrasi
Publik
Akuntansi
Gambar 3: Perkembangan Perspektif Manajemen Keuangan Sekolah
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
85
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
terintegrasi dalam manajemen keuangan
pendidikan, baik dari regulator, pengawas,
evaluator, maupun operator pendidikan.
Di dalam perspektif ekonomi, kita mengenal
konsep ekonomi pendidikan. Landasan
konseptual ekonomi pendidikan menurut Cohn
(1979) mengacu kepada prinsip bahwa ekonomi
adalah keterbatasan (scarcity) dan keinginan
(desirability). Ekonomi dapat dipahami sebagai
suatu studi tentang bagaimana seseorang atau
masyarakat memilih untuk menggunakan uang
dan sumber lainnya yang sifatnya terbatas
(desirability) untuk menghasilkan atau mencapai
keinginan (scarcity) yang sifatnya tidak terbatas.
Bagi sekolah formal, ekonomi pendidikan
menyangkut proses tentang bagaimana
pendidikan dihasilkan melalui jalur
penyelenggaraan sekolah, pendistribusian
pendidikan di antara individu dan kelompokkelompok yang memerlukan, berapa banyak
biaya yang dihabiskan oleh masyarakat di dalam
kegiatan pendidikan, serta kegiatan pendidikan
macam apa yang harus diseleksi. Isu utama
ekonomi pendidikan menurut Cohn adalah
identifikasi dan ukuran nilai ekonomi bagi
pendidikan, alokasi sumber-sumber dalam
pendidikan, gaji guru, biaya pendidikan, dan
perencanaan pendidikan. Ada beberapa aspek
yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) memprediksi
kebutuhan pendidikan; (2) mengalokasikan
setiap komponen biaya pendidikan; (3)
melakukan analisis terhadap sumber dana
pendidikan serta dari mana dana pendidikan
tersebut dapat diperoleh; dan (4) melakukan
pengawasan terhadap keuangan sekolah.
Di dalam perspektif administrasi publik,
tujuan dari manajemen keuangan sekolah
adalah membantu pengelolaan sumber
keuangan sekolah serta menciptakan
mekanisme pengendalian yang tepat bagi
pengambilan keputusan keuangan sekolah
untuk mencapai tujuan sekolah yang
transparan, akuntabel, dan efektif. Pengendalian
yang baik terhadap administrasi manajemen
keuangan sekolah akan memberikan dampak
positif berupa pertanggungjawaban sosial yang
baik bagi berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholder) di sekolah.
Di dalam perspektif akuntansi, setiap
kepala sekolah wajib menyampaikan laporan
keuangan, terutama terkait dengan penerimaan
dan pengeluaran keuangan sekolah kepada
Komite Sekolah dan Pemerintah. Dengan
demikian, standar akuntansi keuangan sekolah
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
dapat diberlakukan sebagai kriteria pelaporan
keuangan sekolah yang akan disajikan bagi para
pengelola sekolah. Hal ini dapat menjamin
adanya akuntabilitas publik, khususnya bagi
para pengguna jasa pendidikan. Oleh karena itu,
peranan manajemen keuangan sekolah di dalam
perspektif akuntansi adalah sebagai berikut: (1)
melakukan analisis setiap keputusan sekolah
dari aspek keuangan sekolah; (2) melakukan
analisis pendanaan bagi kepentingan investasi
sekolah; (3) melakukan analisis biaya
pendidikan terkait penentuan biaya jasa
pendidikan; serta (4) melakukan analisis arus
kas operasi sekolah.
Prinsip-prinsip Manajemen
Keuangan Sekolah
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 pasal 48, pengelolaan dana pendidikan
berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsipprinsip dalam pengelolaan dana pendidikan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
penyelenggara dan satuan pendidikan yang
didirikan oleh masyarakat terdiri atas prinsipprinsip umum dan prinsip-prinsip khusus.
Prinsip-prinsip umum meliputi keadilan,
efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Keadilan berarti besarnya pendanaan
pendidikan (Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat) disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Efisiensi merupakan
perbandingan antara masukan (input) dengan
keluaran (output) atau antara daya (tenaga,
pikiran, waktu, dan biaya) dengan hasil.
Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua
hal, yaitu: penggunaan waktu, tenaga, dan biaya;
serta hasil (outcomes). Transparansi berarti
adanya keterbukaan dalam manajemen
keuangan sekolah, yaitu keterbukaan sumber
keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaannya, dan pertanggungjawabannya harus jelas
sehingga dapat memudahkan berbagai pihak
yang berkepentingan untuk mengetahuinya.
Akuntabilitas publik berarti penggunaan uang
sekolah dapat dipertang-gungjawabkan sesuai
dengan rencana sekolah yang ditetapkan. Ada
tiga syarat utama agar dapat tercipta
akuntabilitas publik, yaitu: (1) adanya
transparansi dari penyelenggara pendidikan
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
dalam hal masukan dan keikutsertaan mereka
pada berbagai komponen sekolah; (2) adanya
standar kinerja sekolah dalam hal pelaksanaan
tugas, fungsi, dan wewenang; serta (3) adanya
partisipasi untuk saling menciptakan suasana
sekolah yang kondusif dalam bentuk pelayanan
pendidikan dengan prosedur yang mudah, biaya
yang murah, dan proses yang cepat.
Sedangkan prinsip-prinsip khusus meliputi
efektivitas, kecukupan, dan keberlanjutan.
Manajemen keuangan sekolah dapat dikatakan
efektif apabila kepala sekolah dapat mengatur
keuangan untuk membiayai aktivitas sekolah
dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang
bersangkutan serta hasil kualitatifnya sesuai
dengan rencana sekolah yang telah ditetapkan.
Prinsip kecukupan berarti pendanaan
pendidikan cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi Standar
Nasional Pendidikan. Prinsip keberlanjutan
berarti pendanaan pendidikan dapat digunakan
secara berkesinambungan untuk memberikan
layanan pendidikan yang memenuhi Standar
Nasional Pendidikan.
1.
Anggaran pendidikan
Anggaran merupakan rencana operasional
yang dinyatakan secara kuantitatif dalam
bentuk satuan uang yang digunakan
sebagai pedoman dalam melaksanakan
kegiatan lembaga dalam kurun waktu
tertentu (Fattah, 2002).
2. Pola subsidi pendidikan
Subsidi pendidikan merupakan sumber
pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, pengusaha, dan masyarakat untuk
membiayai aktivitas investasi fisik dan nonfisik dalam rangka meningkatkan kapasitas
dan mutu layanan sekolah.
3. Pengukuran dan pelaporan kinerja
pendidikan
Dengan adanya laporan kinerja
pendidikan, maka stakeholders sekolah
dapat mengetahui secara jelas tentang
kinerja organisasi sekolah sehingga akan
menjadi bahan masukan bagi proses
perencanaan kinerja pendidikan selanjutnya. Salah satu tujuan diadakannya
pelaporan kinerja pendidikan adalah dalam
rangka pelaksanaan akuntabilitas pada
sektor publik (Akdon, 2007).
4. Cost and pricing jasa pendidikan
Siklus Manajemen Keuangan Sekolah
Menurut James dan Phillips (1995), unsurunsur biaya dan penetapan harga jasa
Bastian (2007) menjelaskan siklus manajemen
pendidikan meliputi pertama ialah
keuangan sekolah di dalam perspektif akuntansi
pembiayaan (costing) jasa pendidikan,
seperti terdapat pada gambar 4.
yaitu membandingkan pengeluaran sekolah
Adapun tahapan manajemen keuangan
dengan manfaatnya bagi pelanggan jasa
sekolah sesuai gambar 4 sebagai berikut.
pendidikan. Kedua penetapan harga
(pricing) jasa pendidikan, yaitu
penerima jasa pendidikan akan
Anggaran
dikenakan harga jasa pendidikan
Pendidikan
tertentu sesuai dengan tujuan
sekolah. Ada tiga aspek penetapan
harga jasa pendidikan, yaitu: (1)
Audit Kinerja
Pola Subsidi
Pendidikan
diferensiasi jasa pendidikan; (2)
Pendidikan
faktor-faktor penentu harga jasa
Siklus Manajemen
pendidikan; serta (3) biaya pengemKeuangan Sekolah
bangan produk jasa pendidikan.
Pengukuran dan
5. Audit keuangan pendidikan
Audit Keuangan
Pelaporan Kinerja
Pendidikan
Audit keuangan pendidikan
Pendidikan
bertujuan untuk menentukan
apakah laporan keuangan sekolah
C osting and Pricing
secara keseluruhan telah disajikan
Jasa Pendidikan
sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku secara
Gambar 4: Siklus Manajemen Keuangan Sekolah
umum.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
87
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
6. Audit kinerja pendidikan
Audit kinerja merupakan upaya sistematis
untuk mengumpulkan, menyusun,
mengolah, dan menafsirkan informasi,
dengan tujuan menyimpulkan peringkat
kompetensi seseorang dalam satu jenis
keahlian profesi pendidikan berdasarkan
norma kriteria tertentu, serta menggunakan
kesimpulan tersebut di dalam proses
pengambilan keputusan kinerja yang
direkomendasikan (Sagala, 2007).
Peran dan Fungsi Manajemen
Keuangan Sekolah
Peran dan fungsi manajemen keuangan sekolah
adalah menyediakan berbagai informasi
kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan,
agar berguna dalam pengambilan keputusan
ekonomi pada suatu entitas pendidikan (Bastian,
2007). Berbagai informasi keuangan tersebut
dapat digunakan oleh stakeholders sekolah
dengan perannya masing-masing meliputi
sebagai berikut:
1. Kepala sekolah
Kepala sekolah memanfaatkan data-data
keuangan sekolah untuk menyusun
rencana sekolah yang dipimpinnya,
mengevaluasi kemajuan yang dicapai
dalam usahanya untuk mencapai tujuan
sekolah, serta melakukan tindakan korektif
yang diperlukan. Keputusan yang diambil
oleh kepala sekolah berdasarkan data-data
keuangan sekolah adalah menentukan
peralatan pendidikan apa yang sebaiknya
dibeli, berapa persediaan alat tulis kantor
(ATK) yang harus disiapkan, dan
sebagainya.
2. Guru dan karyawan sekolah
Guru dan karyawan sekolah merupakan
kelompok yang tertarik pada informasi
mengenai stabilitas dan profitabilitas di
sekolahnya. Ini berarti bahwa kelompok
tersebut juga tertarik dengan informasi
tentang penilaian kemampuan sekolah
dalam memberikan imbal jasa, manfaat
pensiun, dan peluang kerja.
3. Kreditur
Kreditur atau pemberi pinjaman tertarik
dengan informasi mengenai keuangan
sekolah sehingga dapat memutuskan
apakah pinjaman serta bunganya dapat
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
dibayar pada saat jatuh tempo. Hal tersebut
berlaku apabila sekolah tersebut
memerlukan bantuan dari kreditur.
4. Orang tua siswa
Orang tua siswa tertarik dengan informasi
mengenai kelangsungan hidup sekolah,
terutama perjanjian jangka panjang sekolah
serta tingkat ketergantungan sekolah.
5. Pemasok
Pemasok (supplier) tertarik dengan informasi
mengenai kemungkinan jumlah hutang
sekolah yang akan dibayar pada saat jatuh
tempo.
6. Pemerintah
Pemerintah (termasuk lembaga-lembaga
yang berada dibawah otoritasnya) tertarik
dengan informasi mengenai alokasi sumber
daya serta aktivitas sekolah. Informasi
tersebut dibutuhkan untuk mengatur
aktivitas sekolah, menetapkan anggaran,
dan sebagai dasar penyusunan anggaran
untuk tahun berikutnya.
7. Masyarakat
Sekolah dapat mempengaruhi anggota
masyarakat dengan berbagai cara. Laporan
keuangan sekolah dapat membantu
masyarakat dengan cara menyediakan
informasi tentang kecenderungan dan
perkembangan terakhir terkait pengelolaan
keuangan sekolah beserta rangkaian
aktivitasnya.
Menurut Bafadal (2004), fungsi dari
manajemen keuangan sekolah meliputi
kegiatan-kegiatan (1) perencanaan anggaran
tahunan, yaitu penyusunan secara komprehensif
dan realistis mengenai rencana pendapatan dan
pembelanjaan satu tahun sekolah; (2)
pengadaan anggaran, yaitu segala upaya yang
dilakukan oleh sekolah untuk mendapat
masukan dana dari sumber-sumber keuangan
sekolah; (3) pendistribusian anggaran, yaitu
penyaluran anggaran sekolah kepada unit-unit
tertentu di sekolah; (4) pelaksanaan anggaran,
di mana setiap personel sekolah menggunakan
seluruh anggaran yang terdistribusikan kepada
dirinya untuk melaksanakan tugasnya; (5)
pembukuan keuangan, yaitu keseluruhan
pencatatan secara teratur mengenai perubahanperubahan yang terjadi atas penghasilan dan
kekayaan sekolah; dan (6) pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan, yaitu kegiatan
pemeriksaan seluruh pelaksanaan anggaran
sekolah.
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Manajemen Biaya
Pendidikan Berbasis
Kualitas Pendidikan
Menurut Bastian (2007), ada 3
sistem
pengelolaan
biaya
pendidikan berbasis kualitas
pendidikan. Ketiga sistem tersebut
meliputi:
1. Cost standard system
Sistem ini lebih dikenal
dengan School Based Cost
Accounting System (SBCAS),
yang didasarkan pada standar
costing unit (unit biaya
standar), di mana setiap
sekolah dapat menggunakannya untuk mengukur seluruh
biayanya. SBCAS dapat
digunakan sebagai dasar
untuk menghitung biaya per
unit siswa. Untuk menghitung
rata-rata biaya siswa pada
setiap sekolah, SBCAS mengumpulkan data biaya langsung (direct costs) dari SchoolBased Cost Report (SBCR).
2. Grade-based system
Berbeda dengan SBCAS,
sistem ini menetapkan siswa
sebagai standard costing unit.
Pendekatan ini lebih akurat
karena agar dapat melakukan
evaluasi sistem akuntansi
biaya, para pengelola sekolah
dapat mencari perbedaan
penghitungan biaya yang
dihasilkan dari kedua sistem
tersebut. Dalam pendekatan
ini, perbedaan biaya per siswa
akan dihasilkan dengan
prosedur akuntansi yang
berbeda. Pada akhirnya,
sistem ini akan meningkatkan
kemampuan kepala sekolah
untuk menganggarkan dan
mengendalikan biaya pendidikan.
3. Service-based system
Pendekatan ini dihitung
berdasarkan kepada tingkat
jasa pendidikan yang diterima.
Oleh karena itu, penghitungan
biaya pendidikan dipisahkan
Tabel 2: Contoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Sekolah
(School-based cost report)
Statistik:
Jumlah siswa yang terdaftar
750
Jumlah hari dalam tahun akademik
170
Jumlah hari potensial siswa
127
Jumlah hari sesungguhnya
115
Persentase kedatangan (attendance
report)
90,5%
Biaya Langsung-Instruksi:
Gaji guru umum
R p 117.500.000
Gaji guru pendidikan khusus
Rp 48.000.000
Gaji pembantu (aide)
Rp
5.850.000
Gaji guru pengganti
Rp
3.770.000
Perlengkapan belajar dan
perpustakaan
Rp
8.520.000
Jasa lain-lain (termasuk atletik,
transportasi, dan konsultasi)
R p 32.750.000
Jumlah Biaya Langsung-Instruksi
R p 216.390.000
Biaya Langsung-Administrasi:
Gaji administrasi
Rp 12.500.000
Perlengkapan administrasi
Rp
Operasi dan peralatan
Rp 27.000.000
Lainnya
Rp
1550.000
750.000
Jumlah Biaya LangsungAdministrasi
R p 41 . 8 0 0 . 0 0 0
Biaya Tidak Langsung-Alokasi
dari Kantor Pusat:
Komite sekolah
Rp
350.000
Administrasi
Rp
4.330.000
Asuransi jiwa dan kesehatan
R p 13.520.000
Operasi dan peralatan
Rp
7 40 . 0 0 0
Sewa dan depresiasi
Rp
350.000
Jasa kontrak
Rp
220.000
Perjalanan
Rp
85.000
Jumlah Biaya Tidak LangsungAlokasi dari Kantor Pusat
R p 19.595.000
Jumlah Biaya Langsung dan
Tidak Langsung
R p 277.785.000
Rata-rata biaya siswa yang
terdaftar
Rp
3 7 0 . 40 0
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
89
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Tabel 3: C ontoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Tingkatan
Tingkat 10
(Grade-b ased cost report)
Tingkat 11
Tingkat 12
Total
Biaya LangsungInstruksi:
Gaji guru umum
Rp 47.000.000
Rp 41.125.000
R p 29.375.000
R p 117.500.000
Gaji guru p endidikan
khusus
Rp 24.000.000
Rp 14.400.000
Rp
9.600.000
Rp
48.000.000
Gaji p embantu (aide)
Rp
3.510.000
Rp
1.462.500
Rp
877.500
Rp
5.850.000
Gaji guru p engganti
Rp
1.508.000
Rp
1.319.500
Rp
942.500
Rp
3.770.000
Perlengkap an belajar
dan p erp ustakaan
Rp
3.408.000
Rp
2.982.000
Rp
2.130.000
Rp
8.520.000
Jasa lain-lain
(termasuk atletik,
transp ortasi, dan
konsultasi)
Rp
6.550.000
Rp
8.187.500
R p 18.012.500
Rp
32.750.000
Jumlah Biaya
Langsung-Instruksi
R p 85.976.000
Rp 69.476.500
R p 60.937.500
R p 216.390.000
Gaji administrasi
Rp
5.000.000
Rp
4.375.000
Rp
3.125.000
Rp
12.500.000
Perlengkap an
administrasi
Rp
620.000
Rp
542.500
Rp
387.500
Rp
1.550.000
O p erasi dan p eralatan
Rp
6.750.000
R p 10.800.000
Rp
9.450.000
Rp
27.000.000
Lainnya
Rp
300.000
Rp
Rp
187.500
Rp
750.000
Jumlah Biaya
Langsung Administrasi
R p 12.670.000
R p 15.980.000
R p 13.150.000
Rp
41.800.000
K omite sekolah
Rp
140.000
Rp
122.300
Rp
Rp
350.000
Administrasi
R
1.732.000
Rp
1.512.600
Rp
1.085.400
Rp
4.330.000
Asuransi jiwa dan
kesehatan
Rp 5.408.000
Rp
4.723.000
Rp
3.389.000
Rp
13.520.000
O p erasi dan p eralatan
Rp
96.000
Rp
258.500
Rp
185.500
Rp
740.000
Sewa dan dep resiasi
Rp
140.000
Rp
122.300
Rp
87.700
Rp
350.000
Jasa kontrak
Rp
8.000
Rp
76.900
Rp
55.100
Rp
220.000
Perjalanan
Rp
4.000
Rp
29.700
Rp
21.300
Rp
85.000
Jumlah Biaya Tidak
Langsung-Alokasi
dari Kantor Pusat
Rp
Rp
6.845.300
Rp
4.911.700
Rp
Jumlah Biaya
Langsung dan Tidak
Langsung
Rp 106.484.000
R p 92.301.800
300
262
Biaya LangsungAdministrasi:
262.500
Biaya Tidak
Langsung-Alokasi
dari Kantor Pusat:
Jumlah siswa yang
dibutuhkan
Rata-rata biaya siswa
yang terdaftar
90
Rp
7.838.000
355.000
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Rp
352.300
87.700
R p 78.999.200
188
Rp
420.200
19.595.000
R p 277.785.000
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
menurut jenis-jenis jasa yang tersedia di
sekolah, yaitu: jasa pendidikan umum,
pendidikan khusus, serta atletik dan
konsultasi.
Analisis Biaya-Manfaat
(Cost-Benefit Analysis) Pendidikan
Hampir dapat dipastikan bahwa proses
pendidikan tidak dapat berjalan dengan lancar
tanpa adanya dukungan biaya pendidikan yang
memadai. Implikasi terhadap pemberlakuan
kebijakan desentralisasi pendidikan membuat
para pengambil keputusan pendidikan
seringkali mengalami kesulitan dalam
mendapatkan referensi tentang komponen
pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut
dirasakan semakin mendesak sejak dimulainya
pelaksanaan otonomi daerah, termasuk otonomi
dalam bidang pendidikan. Apalagi masalah
pembiayaan pendidikan tersebut sangat
menentukan kesuksesan program MBS, KBK,
ataupun KTSP (kurikulum tingkat satuan
pendidikan) yang saat ini diberlakukan.
Pembiayaan pendidikan merupakan suatu
masalah pendidikan yang kompleks karena di
dalamnya terdapat saling keterkaitan pada
setiap komponennya, yang memiliki rentang
yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga
makro (nasional), yang meliputi sumber
pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme
pengalokasian dana pendidikan, efektivitas dan
efisiensi dalam penggunaan dana pendidikan,
akuntabilitas pendidikan yang diukur dari
perubahan yang terjadi pada semua tataran
pendidikan, serta berbagai permasalahan yang
terkait dengan pembiayaan pendidikan.
Biaya pendidikan memegang peran yang
penting di dalam keberlangsungan hidup dunia
pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas
juga tidak terlepas dari perencanaan anggaran
pendidikan yang mantap serta pengalokasian
dana pendidikan yang tepat sasaran dan efektif.
Istilah “biaya” (cost) dapat diartikan sebagai
pengeluaran, sedangkan di dalam ilmu ekonomi,
istilah “biaya” dapat berupa uang atau bentuk
moneter lainnya (Hallak, 1985). Biaya
pendidikan merupakan salah satu komponen
instrumental (instrumental input) yang sangat
penting dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dalam hal ini, biaya pendidikan
memiliki cakupan yang lebih luas, yakni semua
jenis pengeluaran yang berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan, baik dalam
bentuk uang maupun barang dan tenaga
(Supriadi, 2003).
Fattah (2002) mengklasifikasikan biaya
pendidikan menjadi dua jenis, yaitu biaya
langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung
(indirect cost). Biaya langsung merupakan biayabiaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
siswa (yang dikeluarkan oleh Pemerintah, orang
tua, dan siswa), seperti: pembelian alat-alat
pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran,
transportasi, dan gaji guru. Biaya tidak langsung
merupakan keuntungan yang hilang (forgone
earning) dalam bentuk biaya peluang yang hilang
(opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa
selama belajar, misalnya uang jajan siswa dan
pembelian peralatan sekolah.
Analisis biaya-manfaat merupakan suatu
metodologi yang banyak digunakan dalam
melakukan analisis investasi pendidikan.
Analisis biaya-manfaat dikaitkan dengan
analisis keuntungan atas investasi pendidikan
dari segi pembentukan kemampuan, sikap, dan
keterampilan. Metode tersebut dapat membantu
para pengambil keputusan pendidikan dalam
menentukan pilihan di antara berbagai alternatif
alokasi sumber dana pendidikan yang terbatas
tetapi memberikan keuntungan yang tinggi.
Pengembangan investasi pendidikan perlu
dilakukan untuk peningkatan kualitas
pendidikan.
Di dalam konsep dasar pembiayaan
pendidikan, ada dua hal penting yang perlu
dikaji dan dianalisis, yaitu biaya pendidikan
secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan
per siswa (unit cost). Biaya satuan di tingkat
sekolah merupakan agregat (jumlah) dari biaya
pendidikan di tingkat sekolah, baik yang
bersumber dari Pemerintah, orang tua, dan
masyarakat yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan selama satu tahun
pelajaran. Biaya satuan per siswa merupakan
suatu ukuran yang menggambarkan seberapa
besar uang yang dialokasikan oleh sekolah
secara efektif untuk kepentingan siswa dalam
menempuh pendidikan.
Analisis mengenai biaya satuan dapat
dilakukan dengan cara menggunakan sekolah
sebagai unit analisis. Dengan menganalisis
biaya satuan, kita dapat mengetahui tingkat
efisiensi penggunaan sumber dana di sekolah,
keuntungan dari investasi pendidikan, serta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
91
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Tabel 4: C ontoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Jasa (Service-b ased cost report)
Pendidikan
Umum
PendidikanKhusus
Atletik
Konsultasi
Total
Biaya LangsungInstruksi:
Gaji guru umum
R p 111.230.000
-
Rp
Gaji guru pendidikan
khusus
-
Rp 48.000.000
Gaji pembantu (aide)
Rp
1.530.000
Rp
Gaji guru pengganti
Rp
2 . 5 7 0 . 0 00
Perlengkapan belajar
dan perpustakaan
Rp
Jasa lain-lain
(termasuk atletik,
transportasi, dan
konsultasi)
Rp
Jumlah Biaya
Langsung-Instruksi
R p 123.170.000
Gaji administrasi
Rp
Perlengkapan
administrasi
6.270.000
-
R p 117.500.000
-
-
R p 48 . 0 0 0 . 0 0 0
4.320.000
-
-
Rp
5.850.000
Rp
1.200.000
-
-
Rp
3.770.000
6.020.000
Rp
2.500.000
-
-
Rp
8.520.000
1.820.000
Rp
5.030.000
Rp 20.400.000
R p 5.500.000
R p 32.750.000
R p 61.050.000
R p 26.670.000
R p 5.500.000
R p 216.390.000
7 . 1 7 5 . 0 00
Rp
3.526.600
Rp
1 . 5 40 . 6 0 0
R p 3 1 7 . 8 00
R p 12.500.000
Rp
882.500
Rp
437.300
Rp
191.000
Rp
Rp
O perasi dan peralatan
Rp
15.368.500
Rp
7.617.500
Rp
3.327.700
Lainnya
Rp
426.900
Rp
211.600
Rp
92.400
Jumlah Biaya Langsung-Administrasi
Rp
23.792.700
R p 11.793.000
Rp
5.151.700
Komite sekolah
Rp
199.200
Rp
98.700
Rp
Administrasi
Rp
2.464.800
Rp
1.221.600
Asuransi jiwa dan
kesehatan
Rp
7.695.600
Rp
O perasi dan peralatan
Rp
421.200
Sewa dan depresiasi
Rp
Jasa kontrak
Biaya LangsungAdministrasi:
39.400
1 . 45 0 . 0 0 0
Rp 686.300
R p 27.000.000
Rp
Rp
19.100
750.000
R p 1.062.600
R p 41 . 8 0 0 . 0 0 0
43 . 1 0 0
Rp
8.900
Rp
Rp
533.700
Rp
110.100
Rp 4.330.000
3.814.400
Rp
1.666.300
Rp
343.600
R p 13.520.000
Rp
208.800
Rp
91.200
Rp
1 8.800
Rp
740.000
199.200
Rp
98.700
Rp
43.100
Rp
8.900
Rp
350.000
Rp
125.200
Rp
62.100
Rp
27.100
Rp
5.600
Rp
220.000
Perjalanan
Rp
48.400
Rp
24.000
Rp
10.500
Rp
2.200
Rp
85.000
Jumlah Biaya Tidak
Langsung-Alokasi
dari Kantor Pusat
Rp
11.153.600
Rp
5.528.300
Rp
2 . 41 5 . 0 0 0
Rp
498.100
R p 19.595.000
Jumlah Biaya
Langsung dan Tidak
Langsung
R p 158.116.300
R p 78.371.300
R p 7.060.700
R p 19.595.000
127.500
1.200
Biaya Tidak
Langsung-Alokasi
dari Kantor Pusat:
Jumlah siswa yang
dibutuhkan
Rata-rata biaya siswa
yang terdaftar
92
Rp
1.240
Rp
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
65.309
Rp 34.236.700
1.222
Rp
28.017
300
Rp
23.536
350.000
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
kegiatan tersebut memerlukan dukungan biaya
pendidikan.
Dana pendidikan yang mencukupi
memperlihatkan suatu kecenderungan bahwa
kegiatan sekolah akan berjalan lancar sehingga
mendorong kinerja guru yang tinggi di dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran, kegiatan
kurikulum (intrakurikulum, kokurikulum, dan
ekstrakurikulum) yang berkualitas, serta
pelayanan administrasi ketatausahaan yang
efektif. Pada tataran teknis, kepala sekolah perlu
mengembangkan
kemampuan
untuk
menganalisis biaya yang dibutuhkan untuk
aktivitas operasional sekolah yang berkorelasi
signifikan terhadap kualitas pendidikan yang
akan dicapainya. Secara politik, pagu anggaran
pendidikan yang bersumber dari pemerintah
harus tetap diperjuangkan oleh sekolah dan
masyarakat. Jika pemerintah tidak menyediakan
dana operasional sekolah yang memadai, maka
sekolah akan sulit meningkatkan mutunya.
Berdasarkan hasil pengamatan Mintarsih
(2004), kualitas lulusan ditentukan oleh
besarnya dukungan biaya pendidikan yang
menunjang kegiatan belajar-mengajar, selain
lokasi lingkungan sekolah, peran serta orang tua,
serta dedikasi guru. Biaya pendidikan akan
memberikan dampak positif terhadap setiap
program sekolah, antara lain: (1) peningkatan
kesejahteraan guru serta personil tata usaha
sekolah yang berimplikasi terhadap kegiatan
belajar-mengajar di sekolah; dan (2) karena
dengan adanya dana pendidikan yang
mencukupi, guru tidak perlu mencari tambahan
gaji di luar sekolah tempatnya bertugas serta guru
dapat mencurahkan perhatiannya kepada
sekolah tempatnya mengajar.
Kesimpulan dan Saran
Uang merupakan salah satu sumber daya
pendidikan yang penting. Uang dipandang
sebagai darah di dalam tubuh manusia, yang
mati hidupnya ditentukan oleh sirkulasi darah
di dalam tubuh. Namun, ada juga yang
berpendapat bahwa uang ibarat kuda dan
pendidikan ibarat gerobak. Gerobak tidak akan
berjalan tanpa ditarik oleh kuda. Pendidikan
tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya
biaya atau uang.
Pendidikan merupakan salah satu sektor
publik yang dapat melayani masyarakat dengan
kegiatan pengajaran, bimbingan, dan latihan
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
yang dibutuhkan oleh peserta didik. Manajemen
keuangan di dalam lembaga pendidikan
(sekolah) berbeda dengan manajemen keuangan
perusahaan yang berorientasi profit atau laba.
Sekolah merupakan organisasi publik yang
nirlaba atau non-profit. Oleh karena itu,
manajemen keuangan sekolah memiliki
keunikan sesuai dengan misi dan karakteristik
pendidikan.
Pada dasarnya, setiap sekolah sudah
menyelenggarakan sistem pengelolaan
keuangan yang baik, tetapi kadar substansi
pelaksanaannya beragam antara sekolah yang
satu dengan sekolah yang lainnya. Adanya
keragaman tersebut tergantung kepada besar
kecilnya tipe sekolah, letak sekolah, dan predikat
sekolah.
Oleh karena itu, penerapan sistem
manajemen keuangan yang baku di sekolah
tidak dapat disangkal lagi. Permasalahan yang
terjadi di sekolah terkait dengan manajemen
keuangan sekolah di antaranya: sumber dana
pendidikan yang terbatas; pembiayaan program
pendidikan yang serampangan; serta tidak
mendukung visi, misi, dan kebijakan
sebagaimana tertulis di dalam rencana strategis
sekolah. Di satu sisi, sekolah perlu dikelola
dengan tata pamong yang baik (good corporate
governance) sehingga menjadikan sekolah
tersebut bersih dari berbagai malfungsi dan
malpraktik pendidikan.
Salah satu masalah utama dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
adalah rendahnya anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan dapat
terindikasi dari kondisi sarana dan prasarana
pendidikan yang belum memadai. Meskipun
Pemerintah telah memenuhi amanat konstitusi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
alokasi APBN maupun APBD sebesar 20% untuk
sektor pendidikan, tetapi dalam prakteknya
sekolah swasta hanya mendapatkan porsi
anggaran yang jauh lebih kecil daripada sekolah
negeri. Selain itu, mekanisme penyaluran dana
BOS bagi sekolah swasta dan sekolah negeri
sangat berbeda. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar Pemerintah memberikan
porsi anggaran yang seimbang antara sekolah
negeri dan sekolah swasta serta Pemerintah
seharusnya tidak mendiskriminasikan sekolah
swasta karena sekolah negeri dan sekolah
swasta mempunyai peran yang sama, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya
Pemerintah lebih memihak kepada sekolah
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
swasta karena hidup matinya sekolah swasta
tergantung dari iuran siswa.
Dengan adanya permasalahan tersebut,
maka penyelenggara pendidikan akan berusaha
keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dengan cara menganalisis biaya pendidikan.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis biaya pendidikan adalah analisis
biaya-manfaat (cost-benefit analysis), yaitu suatu
metode analisis keuntungan atas investasi
pendidikan dari sudut pandang pembentukan
kemampuan, sikap, dan keterampilan sehingga
dapat membantu para pengambil keputusan
pendidikan dalam menentukan suatu pilihan di
antara berbagai alternatif alokasi sumber dana
pendidikan yang terbatas tetapi memberikan
keuntungan yang tinggi. Oleh karena itu, kepala
sekolah seharusnya mampu melakukan analisis
biaya-manfaat agar dapat menyusun RAPBS
serta dapat membuat kebijakan sekolah untuk
mencapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan
dana pendidikan.
Sistem biaya pendidikan merupakan bagian
dari manajemen keuangan sekolah serta
merupakan salah satu alat penentu terwujudnya
kualitas pendidikan. Pendidikan yang mahal
bukan secara otomatis menunjukkan kualitas
pendidikan yang tinggi, karena tinggi rendahnya
biaya pendidikan ditentukan oleh manajemen
keuangan sekolah. Oleh karena itu, setiap
sekolah seharusnya menerapkan manajemen
keuangan sekolah berbasis akuntansi yang
sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan
yang berlaku secara umum serta sistem
manajemen keuangan sekolah berbasis kualitas
pendidikan.
Hasil kajian di atas dapat bermanfaat bagi
seluruh stakeholders pendidikan sebagai dasar
penerapan manajemen keuangan sekolah
berbasis akuntansi yang sesuai dengan standar
akuntansi dan keuangan yang berlaku secara
umum serta penerapan sistem manajemen
keuangan sekolah berbasis kualitas pendidikan
sehingga akan berdampak terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan
serta penyelenggaraan tata pamong sekolah
yang baik (good corporate governance).
Daftar Pustaka
Akdon. (2007). Strategic management for
educational management. Bandung: Alfabeta
Bafadal, Ibrahim. (2007). Dasar-dasar manajemen
dan supervisi taman kanak-kanak. Jakarta:
Bumi Aksara
Bastian, Indra. (2007). Akuntansi pendidikan.
Bandung: Erlangga
Cohn, Elchanan. (1979). The economic of education.
Massachusetts: Ballinger Publishing
Company
Costa, Vincent P. (2000). Panduan pelatihan untuk
mengembangkan sekolah. Jakarta: Depdiknas
Departemen Keuangan. (2004). Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Departemen Pendidikan Nasional. (2001).
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 056/U/2001
tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah
Departemen Pendidikan Nasional. (2002).
Manajemen keuangan: materi pelatihan
terpadu untuk kepala sekolah. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat
Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional. (2003).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional. (2005).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Departemen Pendidikan Nasional. (2007).
Manajemen keuangan sekolah: Materi
pendidikan dan pelatihan. Jakarta: Direktorat
Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan
Departemen Pendidikan Nasional. (2008).
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan
Dinas Pendidikan Kota Semarang. Pembiayaan
pendidikan dari BOS dan pendamping BOS
(BPP/BPPP). Diakses pada tanggal 22
Oktober 2009, dari http://www.disdikkotasmg.org/index.php?option=
com_content&view=article&id=246:
pembiayaan-pendidikan-dari-bos-danpendamping-bos-bppbppp.
Fattah, Nanang. (2002). Ekonomi dan pembiayaan
pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Hallak, J. (1985). Analisis biaya dan pengeluaran
untuk pendidikan. Paris: International
Institute For Education Planning,
UNESCO
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
95
Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah
Hunt, Herold C. (1963). Educational administration
and finance in becoming an educator. Boston:
Houghton Mifflin Company
Husnan, Suad. (1992). Manajemen keuangan: teori
dan penerapan. Yogyakarta: BPFE
James, Chris and Peter Phillips. (1995). The
practice of educational marketing in schools.
Educational Management Administration
and Leadership, Vol. 23, No. 2, pp. 75-88
Johns, Roe L. and Edgar L. Morphet. (1975). The
economic and financing of education: a system
approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Maisyaroh dkk. (2004). Perspektif manajemen
pendidikan berbasis sekolah. Malang:
Universitas Negeri Malang
Mintarsih, Danumihardja. (2004). Manajemen
keuangan sekolah. Jakarta: Uhamka Press
Psacharopaulos, G. (1987). Economics of education
research and studies. New York: Pergamon
Press.
Republika. (2009). Alokasi 20 persen dana
pendidikan belum berimbang. 22 Juni 2009.
Ritonga, Razali. (2007). Efek penurunan dana
pendidikan. Republika, 4 September 2007
Rivai, V. (2005). Performance appraisal: Sistem yang
tepat untuk menilai kinerja karyawan dan
meningkatkan daya saing perusahaan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Sagala, Syaiful. (2007). Manajemen strategik dalam
peningkatan mutu pendidikan. Bandung:
Alfabeta
Sagala, Syaiful. (2008). Administrasi pendidikan
kontemporer. Bandung: Alfabeta
Sinungan, Muchadarsyah. (1993). Dasar-dasar
manajemen kredit. Jakarta: Bumi Aksara
Sufyarma. (2003). Manajemen pendidikan: Kapita
selekta. Bandung: Alfabeta
Supriadi, Dedi. (2003). Satuan biaya pendidikan
dasar dan menengah. Bandung: Rosda
Karya
Surjadi. (1982). Sekolah dan pembangunan.
Bandung: Alumni
Suryosubroto, B. (1988). Dimensi-dimensi
administrasi pendidikan di sekolah.
Yogyakarta: Bina Aksara
Thomas, Jones H. (1985). Introduction to school
finance: Technique and social policy. New
York: MacMillan Publishing Company
Tim Dosen Administrasi Pendidikan –
Universitas Pendidikan Indonesia. (2009).
Manajemen pendidikan. Bandung: Alfabeta
Widjanarko, M dan P.A. Sahertian. (1997).
Manajemen keuangan sekolah: Bahan
pelatihan manajemen pendidikan bagi kepala
SMU se-Indonesia
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
Isu Mutakhir
Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
Thomas Wibowo Agung*)
uatu penelitian yang
dilakukan dua
mahasiswa ITB, Eko
Purwono dan Hanson E.
Kusuma tentang kecurangan
akademis siswa sewaktu
sekolah, dengan melibatkan
8.182 responden mahasiswa
ITB Program Strata I, yang
terdaftar pada semester I
tahun pelajaran 2009/2010,
angkatan 2003 s/d 2009 dari
semua program studi ITB,
hasilnya : 58% mengaku
pernah melakukan
kecurangan saat belajar di SD,
78% pernah curang saat di
SMP, 80% pernah curang saat
di SMA dan 37% ketika kuliah
di ITB. Mereka juga mengaku
bahwa teman-teman mereka
melakukan hal yang sama
(melakukan kecurangan) : di
SD (85%), di SMP (92%), di
SMA (91%) dan di ITB (56%).
Berdasarkan data diatas,
diakui atau tidak,
kecenderungan untuk berbuat
curang lebih banyak terjadi
pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah (sumber :
Harian Pikiran Rakyat, Kamis 3
Desember 2009, hal. 29).
Apabila hasil penelitian di
atas benar, maka ada
pemahaman yang salah dari
peserta didik/siswa bahwa
S
*)
“jika tidak melakukan
kecurangan maka dia akan
gagal”. Apa yang salah
dengan sistem pendidikan di
Indonesia?
Pada saat terakhir ini kita
juga membaca tentang
kontroversi pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) karena
dijadikan satu-satunya
standar kelulusan siswa.
Keputusan MA No. 2596/K/
Pdt/2008 tertanggal 14
September 2009, Pemerintah
dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, diminta
untuk tidak
menyelenggarakan UN
sebelum memperbaiki sistem
pendidikan nasional. Dalam
isi putusan ini, para tergugat
yakni Presiden, Wapres,
Mendiknas, dan Ketua Badan
Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dinilai lalai memenuhi
kebutuhan hak asasi manusia
(HAM) di bidang pendidikan.
Pemerintah juga lalai
meningkatkan kualitas guru.
Padahal pelaksanaan UN
merupakan amanat Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional
Pendidikan pada pasal 63
dinyatakan: penilaian
pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas :
penilaian hasil belajar oleh
pendidik (guru), kemudian
oleh satuan pendidikan
(sekolah), dan yang ketiga
oleh pemerintah melalui UN
secara obyektif, berkeadilan
dan akuntabel.
Selanjutnya berdasarkan
Permendiknas No. 75 Tahun
2009 Psl. 5 “Ujian Nasional
Tahun Pelajaran 2009/2010
dilaksanakan dua kali yaitu
UN utama dan UN ulangan”.
Mengapa Pemerintah yakin
kalau “pasti” ada siswa yang
tidak lulus (gagal) pada UN
utama sehingga perlu
diadakan UN ulangan?
Dengan adanya dua kali UN,
maka UN utama SMA/MA,
SMALB dan SMK akan
dilaksanakan pada minggu
ketiga Maret 2010, dan UN
utama SMP/MTs, dan SMPLB
dilaksanakan minggu ke 4
Maret 2010. Sedangkan UN
ulangan SMA/MA, SMALB
dan SMK dilaksanakan
minggu ke dua Mei 2010 dan
UN ulangan SMP/MTs, dan
SMPLB dilaksanakan minggu
ketiga Mei 2010. Siapkah
sekolah mempersiapkan
peserta didik yang akan
menghadapi UN secara
maksimal?
Mantan Pengawas BPK PENABUR Tasikmalaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
97
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
Penulis sengaja membuka
tulisan ini dengan statement
yang menggugat. Mengapa?,
menjelang akhir semester/
akhir tahun pelajaran,
seringkali banyak orangtua/
guru yang menjadi stres
karena anak-anaknya akan
menghadapi Ulangan Umum/
Ujian Nasional. Sebaliknya
pasti ada juga pembaca yang
tidak setuju dengan statement
di atas. Tetapi apa yang
terjadi dengan kondisi
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan kita lebih
berorientasi pada nilai
bahkan nilai mata pelajaran
tertentu seperti: Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, IPA (UN SMP);
Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi (UN SMA IPA);
Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, Ekonomi,
Sosiologi, Geografi (UN SMA
IPS), ketimbang pada input
dan proses. Mengapa nilai
UN harus dijadikan
instrumen pengukuran
keberhasilan belajar siswa?
Semakin sekolah menekankan
pada nilai, semakin besar
kemungkinan siswa untuk
menyontek atau berbuat
kecurangan, walaupun siswa
menyadari bahwa menyontek
itu salah. Siswa yang
diarahkan atau berorientasi
pada hasil/nilai dalam
melakukan sesuatu, maka
siswa tidak akan
melakukannya dengan baik.
Dampak lain dari
pembelajaran berorientasi
nilai adalah terjadinya
persaingan yang tidak sehat
di dalam kelas dan siswa
kurang dapat berkolaborasi,
yang pada akhirnya
menghambat perkembangan
kecerdasan sosial siswa.
Menurut Robert E. Slavin
98
(2009) dalam bukunya
“Cooperative Learning”, bahwa
bentuk-bentuk persaingan di
dalam kelas jarang sekali
bersifat efektif dan sehat.
Pembelajaran berorientasi
nilai bukanlah segalagalanya, jauh lebih penting
adalah menciptakan proses
pembelajaran yang
menyenangkan dan
bermakna. Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses
pembelajaran agar peserta
didik secara aktif
mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Beberapa ahli pendidikan
seperti Paulo Freire (1991) ,
Ivan Illich (2000), J. Drost
(1999), Everett Reimer (1971),
John Holt (1977), Alfie Kohn
(1999), Neil Postman (1992),
dan William Glasser (1990),
telah lama mengkritisi
pelaksanaan proses
pendidikan di sekolah. Proses
pendidikan atau mungkin
lebih tepatnya proses
pembelajaran di sekolah
selama ini sangat jauh dari
praktik pembelajaran yang
manusiawi, yang sesuai
dengan cara belajar alamiah
kita. Bukankah selama ini,
sistem pendidikan kita dan
guru-guru di beberapa
sekolah dalam melakukan
evaluasi masih “senang”
mengagungkan penggunaan
kurva distribusi normal atau
kurva lonceng (Bell Curve).
Kurva distribusi normal ini
mengharuskan ada 10% anak
yang prestasinya rendah, 80%
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
rata-rata dan 10% yang
berprestasi cemerlang.
Ketika penulis berkesempatan bertanya pada beberapa
guru; “Bapak/Ibu, jika anda
mempunyai 40 murid dalam
satu kelas, dan saat ujian
semua mendapat nilai 100,
anda sukses atau gagal?”
Dengan spontan mereka
menjawab, “Gagal”. “Lho ...
kok gagal”, tanya saya? “Ya
Pak, kalau semua dapat nilai
100 maka pasti soalnya terlalu
mudah, atau gurunya yang
tidak bisa membuat soal, atau
saat ujian anak-anaknya
kerjasama atau nyontek”.
Penulis mengejar dengan
pertanyaan lain, “Sekarang
kalau Bapak/Ibu diminta
mengajar 40 orang anak
memasak nasi goreng spesial,
kalau semua anak belum bisa
memasak nasi goreng seperti
yang anda inginkan, apa yang
akan anda lakukan?” Ya, kita
akan mengulangi lagi sampai
semua anak-anak bisa”, jawab
mereka. “Sekarang, kalau
semuanya berhasil memasak
nasi goreng yang sangat enak,
anda berhasil atau gagal?”,
tanya saya lagi. “Wah, kalau
semuanya bisa, ini berarti kita
sangat berhasil, Pak”, jawab
mereka.
“Kalau begitu apa
bedanya antara mengajar
anak memasak nasi goreng
dengan mengajar anak suatu
pelajaran, misalnya Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA,
IPS atau Bahasa Inggris?”.
Kali ini guru diam dan tidak
berkomentar tetapi ada juga
yang bergumam, “Bedanya di
proses!”. Ya, apabila proses
pembelajaran telah dilakukan
dengan baik, benar dan
dilakukan berulang-ulang,
maka hasilnya akan sama,
sehingga kalau semua siswa
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
memperoleh nilai ujian 100,
berarti guru sukses/berhasil.
Peran guru dan sekolah
bagi anak didik bersifat unik.
Unik karena guru tidak bisa
menggeneralisasi kebutuhan
anak didik dalam cara,
bentuk, dan ukuran yang
sama. Menurut Stoll (1996),
idealnya sebuah sekolah
mampu memberikan
pelayanan optimal kepada
anak didiknya. Ia juga
diharapkan dapat menjamin
bahwa setiap peserta didik
mencapai standar optimal
yang bisa mereka raih.
Sekolah bertanggung jawab
agar seluruh aspek dalam diri
peserta didik, baik yang
bersifat akademik dan non
akademik, dapat berkembang
secara penuh, dan itu hanya
mungkin terjadi jika sekolah
secara terus menerus
menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif bagi
setiap anak didiknya.
Tantangan pengajaran
dan pembelajaran saat ini
telah berubah. Perkembangan
Teknologi Informasi,
perubahan struktur
masyarakat, dan maju
pesatnya pengetahuan, serta
munculnya beberapa teori
pembelajaran, telah
mengubah esensi dari tugas
pokok seorang guru. Guru
bukan lagi “aktor” di kelas,
dengan kekuasaannya dan
pengetahuannya, yang
mengatur apapun yang terjadi
di kelas. Sekarang justru
siswa yang menjadi pusat
pembelajaran. Peran guru
lebih menjadi fasilitator bukan
orator, yang hanya bisa
memerintah anak didiknya
melakukan ini dan itu. Ia juga
lebih menjadi motivator bukan
eksekutor.
Setiap anak memiliki
beragam kekhasan dan
keunikan. Dalam belajar, ia
menggunakan dari yang
visual, audio, sampai
kinestetik. Howard Gardner
juga mengingatkan adanya
multi kecerdasan (multiple
intelligences) pada setiap anak
mulai dari kecerdasan
linguistik/verbal/bahasa,
logika/matematika, spasial/
visual, kinestetik/tubuh,
musikal/ritmik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Semua
itu tentu saja menuntut
sebuah peran baru, unik tetapi
juga tidak gampang dari
seorang guru. Guru dituntut
terampil dan kreatif dalam
pendekatan mengajar, mampu
memahami dan memfasilitasi
keberbedaan pada diri setiap
anak didik.
Seorang guru, dengan
peran yang berbeda
dibanding masa lampau,
perlu menyiapkan diri, belajar
terus-menerus, dan
mengembangkan diri
mengikuti perubahan
teknologi informasi. Guru
adalah seorang pembelajar,
yang memiliki karakteristik
belajar yang berbeda dengan
anak. Ia adalah pembelajar
yang dewasa (adult learner)
yang mandiri dan mampu
memanfaatkan atau
mengaitkan dengan
pengetahuan atau
pemahaman yang mereka
miliki sebelumnya.
Tujuan guru/orangtua
mengajar anak adalah agar
anak bisa menguasai apa
yang diajarkan, tidak peduli
apa cara yang digunakan.
Yang penting ujung-ujungnya
anak bisa menguasai dengan
baik apa yang diajarkan.
Kalau cara mengajar yang
digunakan di sekolah, kita
terapkan untuk mengajar
anak kita, yang masih kecil,
belajar bicara atau berjalan,
maka pasti kita akan stress,
karena ternyata dengan sistem
penilaian yang digunakan di
sekolah, anak-anak kita akan
masuk kategori anak yang
idiot. Mengapa masuk
kategori idiot? Karena anakanak kita gagal terus. Nilai
mereka selalu do, re, mi alias
1, 2 atau 3.
Dalam hampir setiap
kasus yang pernah penulis
temukan, bila ada timbul
masalah belajar biasanya kita
hanya melihat pada sisi
anak/siswa. Jarang sekali kita
melihat dan mencari tahu
peran yang dimainkan oleh
guru/sekolah dan atau sistem
pendidikan kita hingga
masalah muncul. Siswa yang
dianggap bermasalah
biasanya akan “diterapi”
melalui guru Bimbingan
Konseling (BK) dan kalau
masih tidak bisa menjadi anak
yang baik, siswa ini akan
diskors atau dikeluarkan. Di
sini terlihat bahwa
sebenarnya siswa tidak drop
out tetapi pushed out.
Lalu, apa sih sebenarnya
ujian itu? Untuk kondisi saat
ini, ujian adalah suatu cara
untuk mengetahui kecepatan
mengingat kembali (recall),
suatu informasi yang telah
dihafal sebelumnya (register),
dan menggunakan (apply)
informasi yang telah diingat
kembali untuk menjawab soal
ujian, bukan menjawab
persoalan hidup. Singkatnya,
ujian saat ini hanyalah
menguji kemampuan
menghafal. Celakanya,
sekolah tidak pernah
mengajarkan anak didik
teknik, cara, metode, atau
strategi menghafal yang baik
dan benar, yang sesuai
dengan cara kerja otak dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
99
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
pikiran dalam menyerap
informasi.
Sistem ujian kita
menggunakan sistem closed
book atau buku tertutup.
Praktek ini didasari oleh
asumsi bahwa kemampuan
mengingat suatu pengetahuan
jauh lebih berharga dari pada
kemampuan untuk mencari
sumber pengetahuan. Ujian
closed book ditambah lagi
siswa tidak boleh bekerja
sama akhirnya sangat
membebani anak didik.
Tolong jangan salah mengerti.
Saya juga sangat tidak setuju
bila siswa nyontek. Tetapi
mengapa kita tidak
memberikan latihan ujian
dengan frekuensi lebih dan
mengajarkan cara belajar
“kolaborasi”? Hal ini sangat
kontradiktif dengan tujuan
ujian itu sendiri. Sistem closedbook mempunyai beberapa
keburukan lainnya. Cara
menguji seperti ini
memberikan beban ekstra bagi
siswa. Siswa yang sangat
pintar/cerdas dalam hal
aplikasi akan mendapat nilai
jelek bila ia lupa rumus atau
definisi. Bila kita mengacu
pada hirarki kognisi
seseorang, sesuai dengan
taksonomi Bloom, maka cara
ujian seperti ini hanya
mengajarkan anak untuk
berfikir pada level yang
rendah, level mengingat dan
menghafal saja. Kita tidak
mengajar siswa berfikir pada
level yang lebih tinggi yaitu
analisa, sintesa, evaluasi dan
kreativitas.
Menurut Taxonomi
Bloom, Lower Order Thinking
(LOT) skill adalah kecakapan
untuk mengingat dan
menghafal. LOT skill tidak
membutuhkan pemikiran
yang dalam dan luas. Pada
akhirnya hanyalah
100
menghasilkan manusiamanusia yang bekerja sebagai
operator atau staf saja.
Sedangkan kecakapan
berpikir seperti klasifikasi,
membuat analisa,
menciptakan ide, membuat
keputusan, memecahkan
masalah dan membuat
perencanaan membutuhkan
pemikiran yang lebih luas dan
lebih dalam. Inilah yang
disebut Higher Order Thinking
(HOT) skills, yang nantinya
akan menghasilkan manusia
yang tangguh dan handal
sebagai pimpinan perusahaan
(owner/top manager) atau
pemimpin bangsa di masa
mendatang. Melatih
kreativitas adalah salah satu
cara mendidik manusia untuk
kembali menjadi ciptaan
seperti yang Tuhan ciptakan
pertama kali. Imagination is
more important than knowledge
(Albert Einstein).
Jadi, bila kita berbicara
mengenai sistem pengujian,
kebanyakan yang siswa
lakukan adalah suatu permainan yang tidak bermutu.
Siswa hanya belajar
mengingat, menghafal dan
membeo. Siswa tidak
dibenarkan untuk berfikir
kreatif dan inovatif. Agar
lulus dan selamat, siswa
harus menjawab seperti yang
diajarkan oleh guru dan harus
sesuai dengan kunci jawaban
yang dimiliki guru. Para
pendidik saat ini telah
merendahkan martabat dan
kemampuan berfikir makhluk
ciptaan Tuhan. Otak kita
dengan sekitar 10-15 milyar
sel saraf, yang memiliki
kemampuan sangat luar
biasa, dirancang untuk
berfikir kreatif dan dapat
menyimpan informasi lebih
dari seluruh perpustakaan di
dunia, namun sistem
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
pendidikan kita telah
mereduksi fungsi otak
“hanya” sebagai mesin fotocopy.
Perlu juga kita ketahui
bahwa setiap kegagalan yang
dialami oleh anak di sekolah
akan mengakibatkan konsep
diri yang buruk. Padahal,
konsep diri merupakan
fondasi/dasar untuk keberhasilan di bidang apa saja
dalam hidup. Dari
pengalaman di sekolah,
penulis mengamati bahwa
konsep diri yang buruk, selalu
berhubungan dengan
berbagai kegagalan yang telah
atau pernah dialami anak saat
sekolah. Dan satu hal penting
adalah bahwa untuk bisa
memperbaiki konsep diri yang
sudah terlanjur negatif atau
buruk kita perlu mencari dan
mengingat kembali berbagai
keberhasilan yang pernah kita
capai (kisah sukses).
Menurut William Glasser
(1990), “tidak peduli berapa
banyak kegagalan yang
pernah dilakukan oleh
seseorang di masa lalu, tidak
masalah apa latar belakang
budaya, warna kulit, latar
belakang sosial ekonomi, atau
apapun itu, ia tidak akan bisa
berhasil sampai dia melalui
suatu kesempatan, mulai
mencapai keberhasilan dalam
salah satu aspek kehidupan
mereka”. Sebaliknya penulis
yakin jika seorang anak, tidak
peduli apapun latar
belakangnya, apabila dapat
berhasil di sekolah, maka ia
mempunyai kemungkinan
besar untuk berhasil dalam
hidupnya. Jika anak merasakan kegagalan dalam proses
pendidikannya, baik itu pada
tingkat PAUD, SD, SMP, dan
SMA, atau di Perguruan
Tinggi/Universitas, maka
kesempatannya untuk
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
berhasil dalam hidup akan
menurun drastis. Kalau kita
hubungkan dengan proses
pemrograman pikiran, maka
semuanya akan tampak
sangat gamblang. Anak yang
telah terlanjur diprogram
untuk percaya bahwa ia
adalah seorang pecundang,
bodoh, nakal, tolol, tidak bisa
apa-apa, dan selalu gagal,
pasti akan menjadi seperti
yang ia yakini.
Sudah saatnya kita
mengubah sistem pendidikan
kita menjadi suatu sistem
yang benar-benar mampu
memberdayakan anak didik
kita. Merupakan tanggung
jawab kita bersama untuk bisa
membantu mengembangkan
semua potensi yang dimiliki
oleh anak-anak kita, melalui
proses pendidikan yang
memanusiakan anak
manusia. Lalu bagaimana
cara kita untuk bisa
membantu anak berkembang?
Ada dua hal dasar, menurut
Glasser, yang perlu
diperhatikan berkenaan
dengan kebutuhan anak.
Yang pertama, kebutuhan
akan cinta dan mencintai.
Yang ke dua adalah
kebutuhan akan rasa diri
berharga. Kebutuhan akan
cinta dan mencintai ini
merupakan hal yang paling
mendasar yang perlu didapat
oleh anak, dan berlaku
sebagai fondasi untuk
mencapai sukses. Jika
seseorang mampu
memberikan dan menerima
cinta, dan mampu melakukannya secara konsisten dalam
hidupnya, maka sampai pada
tingkat tertentu ia bisa
dikatakan berhasil.
Sering kali kita berfikir
bahwa pemenuhan
kebutuhan cinta dan
mencintai ini hanya bisa
dilakukan di rumah saja.
Ternyata keyakinan ini salah.
Banyak masalah yang timbul
di sekolah, baik itu dalam
bentuk siswa yang tidak
kooperatif, tidak ada motivasi
belajar, masalah disiplin,
siswa yang nakal, dan
masalah lainnya, semua
berawal dari tidak
terpenuhinya kebutuhan
mendasar seorang siswa/
anak yaitu cinta dan
mencintai. Anak
membutuhkan cinta tidak
hanya dari rumah, tetapi juga
di sekolah, baik itu dari
gurunya maupun dari kawankawannya. Sekolah seringkali
lebih banyak memperhatikan
kebutuhan dasar yang kedua
yaitu rasa diri berharga.
Bagaimana sekolah bisa
memenuhi kebutuhan rasa
diri berharga? Untuk bisa
menca-pai rasa diri berharga
dibutuhkan pengetahuan dan
kemampuan untuk berfikir.
Jika seorang anak masuk
sekolah dan gagal dalam
upaya memperoleh
pengetahuan, belajar cara
menghafal, belajar berfikir
yang benar, berfikir level
tinggi, belajar memecah-kan
masalah, maka kegagalan ini
akan terus terbawa hingga
anak menjadi manusia
dewasa. Orangtua, guru,
lingkungan, dan masyarakat
tampaknya tidak akan
mampu memperbaiki
kegagalan ini.
Dalam proses mengembangkan rasa diri berharga,
apabila anak memiliki
pengetahuan, mampu berfikir
kreatif, benar dan mampu
memecahkan masalah yang
dia hadapi maka dia akan
mempunyai rasa percaya diri
yang kuat untuk belajar
memberi dan menerima cinta.
Setidaknya anak mempunyai
peluang yang lebih besar
untuk mendapatkan cinta,
saat ia merasa dirinya
berharga, sehingga ia dapat
bertahan dalam menghadapi
penolakkan. Melalui cinta,
seorang anak akan
mengembangkan motivasi
untuk berhasil dan merasa
diri berharga. Jika anak tidak
belajar untuk bisa
memberikan cinta maka anak
akan menjadi anak yang
sering merasa gagal. Hal ini
terlihat pada anak yang
terlalu dimanja dan terlalu
dilindungi.
Cinta dan rasa diri
berharga ini merupakan satu
kesatuan yang sering kita
hubungkan dengan identitas
pribadi. Cinta dan rasa diri
berharga dapat dipandang
sebagai dua jalan untuk
mencapai identitas pribadi
yang berhasil. Bagi
kebanyakan anak hanya ada
dua tempat di mana mereka
bisa mendapatkan identitas
diri sebagai pribadi yang
sukses yaitu di rumah dan di
sekolah. Dalam konteks
sekolah, cinta dapat
diwujudkan dalam bentuk
tanggung jawab sosial. Bila
anak tidak belajar untuk
bertanggung jawab terhadap
sesama, peduli dengan
sesama, dan membantu
sesama, maka rasa cinta akan
menjadi konsep yang lemah
dan terbatas.
Peran pimpinan sekolah
dan guru diharapkan dapat
menciptakan lingkungan dan
suasana belajar yang kondusif
sehingga peserta didik dapat
berhasil 100%. Sudah saatnya
guru/sekolah kembali diberi
kepercayaan dan kebebasan
dalam proses evaluasi/ujian
serta dalam proses kelulusan
siswa. Masyarakatlah yang
nantinya akan menilai
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
101
Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal
kualitas sekolah. Dengan
demikian sekolah akan
memiliki daya komparatif
positif dalam meningkatkan
kualitas pendidikan. Siapa
yang dapat membantu peserta
didik berhasil dengan
segudang “kemampuan”?
Masyarakat akan menaruh
harapan itu pada institusi
sekolah, dalam hal ini guru
adalah sosok yang
mempunyai peran besar.
Guru-guru yang profesional
apalagi dengan predikat telah
memiliki sertifikat pendidik
pasti akan sanggup menjawab
harapan orangtua/
masyarakat. Selamat berkarya
di bidang pendidikan.
102
Daftar Pustaka
Drost, J. Keterampilan perlu
dibuka kembali, Kompas
27 April 1999
Freire, Paulo. Pendidikan kaum
tertindas (Pedagogy of
opressed), cet III. Jakarta:
LP3ES 1991
Freire, Paulo. (2001).
Pendidikan yang
membebaskan, pendidikan
yang memanusiakan
dalam Menggugat
pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Glasser, William (1990). The
quality school. New
York: Harper & Row.
Holt, John (1977). Growing
without school . Illich,
http://www.context.org/
ICLIB/IC06/Holt.htm
Ivan . (2000). Deschooling
society (dihapuskan
segala bentuk lembaga
sekolah)
Resensi buku : Resensi buku : Human Resource Managament in Education
Resensi buku
Judul Buku:
Human Resource Managament in Education
(Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan)
Pengarang:
James J Jones & Donald L Walters
Penerbit:
Q-Media
Cetakan:
Pertama, Desember 2008
Tebal:
468 halaman
Oleh: Henry Sumurung*)
D
unia pendidikan telah berkembang
pesat hingga melahirkan pula suatu
ilmu
pengelolaan/manajemen
pendididan yang juga merujuk kepada
prinsip dan teori manajemen modern. Ditambah
pula dengan keunikan dunia pendidikan yang
memiliki karakteristik berbeda dengan dunia
usaha lainnya telah menjadikan suatu
pendekatan pengelolaan
sumber daya yang khusus
yaitu manajemen pendidikan. Dari berbagai aspek
manajemen lembaga pendidikan (sekolah) di antaranya aspek keuangan,
sarana prasarana dan
kurikulum, personalia atau
sumber daya manusia
pendidikan menjadi kunci
penting dalam efektifitas
misi pendidikan.
Pendidik (guru) sebagai sumber daya manusia
yang utama bagi sekolah
memiliki peran strategis
yang semakin menekankan
pada kompetensi dan
profesionalisme. Guru
menjadi tulang punggung utama yang harus
dapat diandalkan agar proses kegiatan pendidikan (belajar mengajar) dapat berlangsung secara
efektif. Bahkan tidak saja dalam skala mikro di
sekolah, juga dalam skala makro di suatu
negara/ bangsa. Dalam sejarah Jepang, sebagai
salah satu bangsa yang unggul di dunia, ketika
mengalami kekalahan Perang Dunia II, Kaisar
mengintruksikan untuk mendata jumlah guru
di negaranya. Suatu langkah awal yang strategis
untuk kembali bangkit. Di sini dapat dilihat
betapa penting dan strategisnya profesi
pendidik.
Buku ini merupakan
karya terjemahan dari dua
orang profesor ilmu
pendidikan dari Temple
University yaitu Dr James
J Jones dan Dr Donald L
Walters yang banyak
mengangkat kondisi dunia
pendidikan di Amerika.
Namun demikian, masih
sangat relevan diaplikasikan dalam dunia pendidikan nasional. Penulis
buku ini melihat perlunya
suatu pendekatan yang
khusus terkait berkembangnya sistem pengelolaan lembaga pendidikan.
Secara khusus dalam
mengelola sumber daya
manusia, utamanya tenaga pendidik, yang
menjadi bagian terpenting dalam operasionalisasi sekolah. Penulis ingin membantu
pembaca untuk dapat memahami: (1) bentuk
penelitian dan praktek yang harus dilakukan
*) Wakil Kepala Sekolah Nasional Plus BPK PENABUR Bogor
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
103
Resensi buku : Human Resource Managament in Education
oleh staf manajemen di suatu lembaga
pendidikan, (2) bentuk-bentuk lembaga
pendidikan tempat mereka bekerja, (3)
keuntungan yang akan diraih melalui sebuah
proses seleksi SDM yang lebih baik, dan (4)
penggunaan sumber daya manusia yang efektif
di lembaga-lembaga pendidikan (hal 7). Latar
belakang penulisan didorong oleh terjadinya
restrukturisasi dalam dunia pendidikan,
pengorganisasian sistem pendidikan dan
desentralisasi kekuasaan organisasional. Hal
yang mungkin sama terjadi di Indonesia dengan
adanya gerakan reformasi pendidikan dan
otonomi daerah .
Secara politis dunia pendidikan nasional
saat ini mulai memasuki babak baru menjadi
aspek yang strategis dalam masa depan bangsa.
Hal ini tercantum dalam UU Pendidikan
Nasional dan APBN yang telah menetapkan 20%
dari total anggaran kepada dunia pendidikan.
Fakta lain yang ada di lapangan bahwa sekitar
80% dari anggaran operasional sekolah
ditujukan kepada pengelolaan sumber daya
manusia. Latar belakang yang kuat kenapa
MSDM di dunia pendidikan menjadi penting.
Buku ini disajikan dalam bentuk yang
sistematis dalam lima bagian dan 14 bab.
Dimulai dari pengenalan konsep manajemen
sumber daya manusia, aplikasi sampai
pengembangannya. Boleh dikata buku ini tersaji
dalam bentuk buku teks namun cukup populer
dan praktis untuk dibaca. Pada bagian Pertama
pembaca akan mengenal bagaimana konsep tata
cara pengelolaan sumber daya manusia. Secara
praktis dikenalkan beberapa aktivitas terkait
fungsi manajemen sumber daya manusia antara
lain: pengelolaan dan perencanaan, analisis
kerja, rekruitmen, seleksi, penempatan, pelatihan
penghargaan dan pengembangan karir, gaji dan
tunjangan, masa jabatan, masa pensiun,
negoisasi kolektif manajemen kontrak kerja serta
staf pendukung (hal 41). Perencanaan
merupakan tahap awal yang strategis dalam
sistem manajemen modern. Sekolah atau bahkan
kumpulan sekolah (yang dalam satu
pengawasan/pengelolaan) perlu menetapkan
arah pengelolaan SDMnya. Perencanaan yang
strategis sekolah hendaknya memuat pernyataan visi, misi, tujuan, parameter dan strategi (hal
73). Pimpinan SDM akhirnya dapat memiliki
pedoman dalam penetapan perencanaan SDM.
Perencanaan strategis dan perencanaan SDM
akan menjadi efektif ketika ada sebuah
hubungan timbal balik dan saling mengun104
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
tungkan diantara kedua fungsi tersebut. Pihak
yang menyusun perencanaan strategis perlu
menyadari fakta bahwa keputusan mereka
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh SDM yang
ada. Dalam buku ini beberapa konsep dan contoh
penerapan ditampilkan penulis dalam bentuk
tabel seperti contoh kualifikasi guru untuk
memudahkan pembaca untuk lebih memahaminya. Bahkan untuk lebih menajamkan
pemahaman pembaca, disajikan kesimpulan
dan beberapa latihan atau pertanyaan dalam
setiap babnya.
Tantangan bagi dunia pendidikan saat ini
adalah bagaimana agar para siswa unggulan
dapat lebih tertarik memilih ilmu pendidikan.
Isu ini tidak hanya menyangkut masalah
rekruitmen saja namun bagaimana sistem
pendidikan secara nasional. Bagaimana SDMSDM handal dan terbaik memilih menjadi tenaga
pendidik. Sebagai contoh kasus diangkat
penulis adalah program yang dikembangkan
bersama oleh Fakultas Pendidikan Guru di Lamar
University dan Beaumont Independence School
District di Texas yang menawarkan kursus bagi
siswa/i SMU tentang studi pendidikan guru dan
pelatihan mengajar (hal 132). Peserta dibatasi
kepada siswa/i yang memiliki nilai rata-rata di
atas 3,0, kemampuan leadership (ditunjukan
dalam keaktifan kegiatan intra sekolah dan
ekstra kurikuler) dan menujukkan ketertarikan
dalam bidang pengajaran.
Mengapa guru menjadi kunci keberhasilan
dari tujuan lembaga pendidikan. Hal yang logis
dalam konsep proses input-output. Output terbaik
akan didapat melalui input yang baik pula.
Dalam banyak riset didapati bahwa lebih dari
85% orangtua menganggap bahwa guru merupakan hal yang paling penting dalam efektifitas
proses pendidikan. Sehingga para pemegang
kebijakan SDM pendidikan hendaknya lebih
cermat dalam melaksanakan proses rekruitmen
dan seleksi. Hal tersebut merupakan starting
point menuju keberhasilan pengelolaan SDM.
Pengembangan metode konvensional dalam
rekruitmen dan seleksi perlu semakin dipertimbangkan. Ragam informasi dan metoda akan
meningkatkan kredibilitas proses tersebut.
Seperti dalam proses rektruitmen yang tidak
hanya sebatas surat rekomendasi dan wawancara namun dikembangkan dalam tes micro
teaching dan lainnya.
Selanjutnya SDM pendidikan yang unggul
perlu dijaga agar kinerjanya dapat optimal dan
memiliki etos kerja yang kuat. Istilah ‘the right
Resensi buku : Resensi buku : Human Resource Managament in Education
man on the right place’ dapat dipahami sejak awal aplikasi (Coach to application): pelatihan yang
guru ditugaskan. Bagaimana penugasan diberikan secara langsung akan memungkinkan
mengajar dapat didaratkan dengan baik. kemampuan-kemampuan baru dipelajari.
Orientasi kerja bagi guru baru seringkali
Salah satu keunikan dalam mengelola SDM
diabaikan. Pendampingan (mentoring) dalam pendidikan adalah dalam pelaksanaan
membimbing guru baru memasuki lingkungan kompensasi dan tunjangan. Tolak ukur
baru bertujuan untuk mempercepat proses pekerjaan guru tidak hanya berbasis pada waktu
penyesuaian dan keluarnya potensi guru.
kerja namun juga hasil kerja. Sehingga perlu
Proses penilaian dan pengembangan secara keputusan yang cermat dalam menentukan
tradisional telah diyakini sebagai proses yang besarnya kompensasi, khususnya gaji,
secara waktu merupakan kegiatan utama di berdasarkan dari komponen tetap (fixed) dan
bagian kepegawaian. Bahkan saat ini terus variabelnya (variabel).
berkembang menjadi fungsi yang tunggal.
Sistem penggajian dalam dunia pendidikan
Penilaian tanpa pengembangan dan pengem- paling tidak melaksanakan model-model antara
bangan tanpa penilaian akan menjadi konsep lain: sistem gaji tunggal: yang merupakan sistem
yang lemah bila dibandingkan dengan ketika digunakan di banyak sekolah dan mengacu
keduanya dipadukan menjadi konsep yang kepada pengalaman dan keahlian. Sistem gaji
tunggal. Keleprestasi: merupamahan yang ada
kan rancangan
pa-da salah satu
kompensasi yang
dari konsep tersedidasari
pada
Penilaian tanpa pengembangan
but tidak akan
prestasi karyadan pengembangan tanpa
bisa ditebus tanpa
wan. Sistem inpenilaian
akan menjadi konsep
memperhatikan
sentif: adalah siskonsep lainnya
tem imbalan yang
yang lemah bila dibandingkan
(hal 241).
diberikan sebagai
dengan ketika keduanya
Proses tersekompensasi suatu
dipadukan menjadi konsep yang
but di atas akan
prestasi tertentu.
tunggal.
menghasilkan
Sistem gaji tamhasil layanan
bahan untuk tugas
pendidikan yang
tambahan: adalah
semakin baik
sistem gaji yang
yang secara berkelanjutan akan mengacu pada melingkupi wilayah kerja tambahan dan
konsep manajemen mutu terpadu (Total Quality kegiatan ekstrakurikuler. Terakhir adalah sistem
Management). Dengan adanya umpan balik (feed gaji guru kelas. Seperti disebut diatas bahwa
back) dalam proses penilaian dan pengembangan perlu daya tarik dunia pendidikan dalam
akan membuat tenaga pendidik bertindak menjaring SDM terbaik, maka tunjangan adalah
kolaboratif dan memilki beragam pengetahuan, salah satu alatnya. Tunjangan diberikan bukan
keterampilan serta sikap yang mengarah kepada berdasarkan prestasi individu melainkan
yang lebih baik.
berdasarkan kemampuan sekolah dalam
Beberapa program pengembangan guru mensejahterakan dan mempertahankan guruyang penulis angkat antara lain: RPTIM (Readi- gurunya.
ness, Planning, Training, Implemantation dan
Tidak kalah pentingnya dalam pengelolaan
Maintenance): program yang menempatkan staff SDM pendidikan adalah masalah status
untuk mengemban tanggung jawab yang lebih kepegawaian, hubungan ketenagakerjaan dan
besar dalam perencanaan dan pelaksanaan program pensiun. Salah satu tujuan dari
program pengembangan melalui kesiapan, perlunya penetapan status karyawan adalah
perencanaan, pelatihan, pelaksanaan dan memberikan rasa aman dalam bekerja bagi para
pemeliharaan. Kedua, CBAM (Concern Based setiap pekerja.
Adoption Model): Model adopsi berdasarkan pada
Sebagai tenaga profesional, kepastian
perhatian yang menekankan individualisasi perlindungan hukum atas hak akan meningproses pengembangan staf dan mengenali katkan fokus pekerjaan. Bahkan kondisi yang
beberapa tingkat perhatian karyawan dalam mungkin tidak populer atau tidak diinginkan
sebuah proses perubahan. Ketiga, pelatihan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
105
Resensi buku : Human Resource Managament in Education
pensiun perlu mekanisme dan kaidah-kaidah
yang akan mendorong setiap invidu termotivasi.
Terakhir buku ini mengungkap beberapa isu
penting seputar pengelolaan SDM di dunia
pendidikan antara lain mengenai organisasi
guru, permasalahan seputar staf pendukung
(tenaga kependidikan). Dan antisipasi penulis
pada trend-trend pendidikan di masa mendatang
seperti: pelecehan seksual, kesetaraan peluang,
perubahan peran dan pola pengambilan
keputusan.
Sangat menarik bahwa manajemen sekolah
(school based management) akan mengakomodir
semua kepentingan. Setiap individu yang sangat
terpengaruh oleh sebuah keputusan harus
memainkan peran penting dalam proses
pengambilan keputusan. Selain itu setiap usaha
perbaikan dalam bidang pendidikan cenderung
akan lebih efektif jika dilakukan oleh individuindividu yang memiliki sense of belonging serta
tanggungjawab terhadap proses yang dijalankan. Sehingga keputusan akan bergerak dari
bawah ke atas (bottom-up) dan hanya sedikit
keputusan yang turun dari atas ke bawah (topdown) dan menuju kepada shared decision making
(pengambilan keputusan bersama).
Sebagai konsekuensi buku terjemahan,
kemungkinan besar dapat terjadi pergeseran
makna atau maksud penulis akibat penterjemahan yang kurang pas. Atau bisa juga terjadi
akibat adanya perbedaan kondisi yang spesifik
106
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
ditempat penulis berada dengan kondisi tempat
pembaca (Indonesia) berada. Sebagai contoh
adalah pengistilahan distrik operasional
sekolah yang tidak biasa digunakan.
Kemungkinan distrik yang dimaksudkan adalah
wilayah pengawasan, yang umumnya tercakup
dalam wilayah kecamatan (UPTD). Contoh
lainnya adalah Negoisasi Kolektif dimana
merupakan wadah kolektif dari suatu profesi,
adalah mungkin di Indonesia lebih dikenal
sebagai Asosiasi Profesi Guru (contoh PGRI).
Namun di sisi yang lain, buku ini cukup
mumpuni, dapat menjadi referensi utama dunia
pendidikan karena materi yang disampaikan
cukup spesifik. Saat ini buku yang mengetengahkan materi Pengelolaan Sumber Daya Manusia
dalam dunia pendidikan tidaklah banyak.
Dalam banyak buku MSDM maupun buku
tentang pengelolaan lembaga pendidikan,
MSDM tenaga pendidikan menjadi suatu
bagian/ bab dari bahasan buku keseluruhan.
Kecenderungan otoritas pendidikan menuju
pengelolaan yang desentralisasi, otonom dan
mandiri (akibat kondisi yang sangat variatif),
memerlukan kemampuan semua entitas
pendidikan di seluruh lini untuk dapat mampu
memahami dan menguasai pengelolaan SDM
pendidikan. Untuk itu buku ini dapat membuka
atau memperluas wawasan dan cakrawala
berpikir pimpinan dan pengelola sekolah dan
bahkan guru sebagai sasaran buku ini.
Profil BPK PENABUR Metro
Profil
Profil BPK PENABUR Metro
V. Hariyati*)
Sejarah Singkat
PK PENABUR Metro (Lampung)
bermula dari adanya jumlah anak usia
sekolah di GKI Metro yang cenderung
terus meningkat. Fakta ini terlihat pada
awal tahun 60-an maka jemaat pun sepakat
untuk membangun/ mendirikan sekolah
dibelakang gedung GKI Metro.
Cita-cita itu diwujudkan ketika pada tahun
1965 GKI Metro membentuk pengurus
Pendidikan Kristen yang diketuai oleh Ny. Tan
Kim Tjan. Dua tahun kemudian (1967) pengurus
berhasil mendirikan gedung sekolah diatas
B
tanah seluas 108m2 dengan biaya swasembada
jemaat, yang pada awalnya dikenal dengan
nama Sekolah BPK Djawa Barat yang berada
dalam naungan pengurus yang dikenal dengan
nama Komisi Pembantu Setempat (KPS) Metro,
Lampung Tengah.
Seiring dengan bertambahnya jumlah
murid, tahun 1971 gedung sekolah diperluas
menjadi 264,6 m². Kendati begitu perluasan itu
masih saja dirasakan kurang. Delapan tahun
kemudian pengurus membeli sebidang tanah
seluas 2.152 m² dijalan Jendral Sudirman Ganjar
Agung, tahun 1981 gedung sekolahpun dibangun seluas 1.810 m², taman bermain 400 m².
Tahun 1988 keluar izin operasional untuk
mengelola sekolah Taman Kanak-Kanak yang
diberi nama TK Dharma Wiyata. Sedangkan izin
mengelola Sekolah Dasar baru keluar tahun
1989. Berdasarkan akreditasi tahun 1993 status
Sekolah Dasar Dharma Wiyata berubah dari
Terdaftar menjadi disamakan. Kemudian pada
tahun 2000 TK dan SD Dharma Wiyata berganti
nama menjadi TKK dan SDK BPK PENABUR.
Tabel 1: Perkembangan Jumlah Siswa
TKK-SDK Tahun 2006-2010
300
252
Jumlah Siswa
252
248
250
246
200
150
112
109
89
100
91
50
0
2006/2007
TK
2007/2008
2008/2009
20097/2010
SD
*) Kepala TKK dan SDK BPK PENABUR Metro
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
107
Profil BPK PENABUR Metro
Data perkembangan jumlah siswa di atas
memperlihatkan kecenderungan naik turun dan
terlihat juga dalam jumlah siswa secara
keseluruhan memang minim. Penyebab sulitnya
berkembang jumlah siswa di BPK PENABUR
antara lain adalah sebagai berikut.
1. Ada anggapan bahwa sekolah BPK
PENABUR sekolah mahal.
2. Adanya sekolah – sekolah yang menerima
bantuan khususnya dari Pemerintah untuk
siswa
3. Sekolah unggulan banyak bermunculan
dalam satu kota.
4. Jumlah sekolah dalam satu kota cukup
banyak yaitu 54 Paud, 54 TK , dan 63 SD.
Keunggulan TK - SDK
BPK PENABUR Metro
Jumlah siswa SD
Keunggulan yang dapat diandalkan mencakup
hal-hal berikut.
1. Gedung sekolah yang megah. ( Gedung TK
berlantai tiga )
2. Sarana APE di dalam dan di luar ruangan,
sangat memadai.
3. Laboratorium yang meliputi kKomputer,
musik, dan sains.
4. Perpustakan yang dilengkapi dengan
pembelajaran multi media
5. Mobil antar jemput siswa.
6. Program Nilai-Nilai Kristiani (N2K), yang
membentuk karakter siswa.
7. Kurikilum plus, bahasa Mandarin, bahasa
Inggris dan Teknolosi Informasi
8. Letak sekolah yang strategis
9. SDM yang cukup profesional
10. Security sekolah, menjaga
keamanan sekolah.
11. Dengan didukung sarana dan
prasaranan yang baik meliputi :
a. Laboratorium komputer
b. Lab IPA
c. Ruang multi media
d. UKS
e. Perpustakaan
f. Gedung Olah raga
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
g. Kelengkapan Alat Elektronik ( TV, LCD,
LAPTOP, DVD, dan lain-lain)
Langkah - langkah yang telah
diupayakan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
langkah-langkah yang ditempuh antara lain
adalah sebagai berikut.
1. Memperbaiki citra sekolah dalam prestasi
belajar
2. Menyelenggarakan pembinaan bagi guru
dan karyawan untuk meningkatkan etos
kerja dan kompetensi kerja.
3. Memperbaiki dan melengkapi sarana dan
prasarana
4. Mengikuti perlombaan baik dibidang
akademik maupun non akademik.
5. Pengadaan sarana penunjang :
a. Laboratorium komputer
b. Lab IPA
c. Ruang multi media
d. UKS
e. Perpustakaan
f. Gedung Olah raga
g. Sarana multi media ( TV, LCD, LAPTOP,
DVD, Keyboard dan lain-lain).
Perkembangan jumlah kelulusan tahun
2005/2006 sampai tahun dapat disajikan seperti
dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2: Perkembangan Jumlah Kelulusan
Siswa SD
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
39
40
42
34
2005/2006
2006/2007
2007/2008
2008/2009
Profil BPK PENABUR Metro
Sedangkan sejumlah prestasi yang dicapai oleh siswa TKK, dan SDK dalam berbagai jenis
lomba terlihat dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3: Prestasi Siswa TKK dan SDK
Jenjang
TKK
SDK
Jenis Lomba
T ah u n
Tingkat
Juara
Gerak dan Lagu, "Gebyar
Keterampilan Guru dan Anak".
2005
Kota Metro
III
Mewarnai " SDM Fair Of Educ ation"
2008
Kota Metro
I
Melukis "Gebyar Keterampilan Guru
dan Anak"
2008
Kota Metro
I
Mewarnai Gambar "HUT Radar
Metro"
2008
Kota Metro
I
Mewarnai Gambar "HUT Radar
Metro"
2008
Kota Metro
Favorit
Matematika
2003
Kota Metro
I
Matematika
2003
Provinsi
II
Pidato Bahasa Inggris
2004
Kota Metro
I
Olympiade Sains
2005
Provinsi
I
Peringkat UAS
2007
Kota Metro
I
Komputer
2007
Kota Metro
I
Catur
2007
Kota Metro
I
Pidato Bahasa Inggris
2008
Kota Metro
III
Olympiade Sains
2008
Kota Metro
III
POR Usia Dini Bulu Tangkis
2008
Kota Metro
I
Melukis
2008
Kota Metro
II
Sementara itu, tabel 4 menunjukkan prestasi guru dalam berbagai lomba dari tahun 2005.
Tabel 4: Prestasi Guru
No.
Jenis Lomba
T ah u n
Tingkat
Juara
1.
Melukis, "HUT sanggar MITRA SATATA"
2005
Kota Metro
I
2.
"Story Telling" Pustakada Metro.
2008
Kota Metro
Harapan I
3.
Bercerita "Keterampilan Guru dan Anak"
2008
Kota Metro
II
4.
APE (Alat Peraga Edukatif ) .
2008
Kota Metro
II
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
109
Profil BPK PENABUR Metro
Pendidik dan tenaga kependidikan sangat penting dalam proses pendidikan. Tabel 5 berikut
menunjukkan data jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang pernah dan masih bertugas
sejak tahun 1967.
Tabel 5: Data Pegawai Tahun 1967-2010
No Nama yang Pernah Bekerja
1.
Sudartin
Jabatan
No
Nama yang Masih Bekerja
Jabatan
Guru
1.
Sugeng
Guru
Guru
2.
Yusuf Warsito
Guru
2.
Yohana Kalvarita
3.
Martha Samsi
Guru
3.
Sutoyo
Karyawan
4.
Karmin
Guru
4.
Waluyo
Karyawan
5.
Sudarwanto
Guru
5.
Rakhmat Subagyo
Guru
6.
Kusdiono
Guru
6.
Anastasia Mujirah
Guru
7.
Murwati
Guru
7.
V. Hariyati
8.
Sudiyo
Guru
8.
Effendi
Guru
9.
Sulam
Guru
9.
Teguh Suharto
Guru
10.
Sutatik
Guru
10.
Betty Elfrida Mantiri
Guru
11.
Ketut Suyanto
Guru
11.
Diana Debora
Guru
12.
Dwi Purwanti
Guru
12.
Endar Ruri Dodasih
Guru
13.
Erlita
Guru
13.
Emenuel Setiyanto
Guru
14.
Sri Marthina
Guru
14.
Susilo
15.
Sri Lutri Mardiani
Guru
15.
Desi Srinaningsih
Guru
16.
Hotma Lidia Sitio
Guru
16.
Rinekti Hermini
guru
17.
Pdt. Talsum Santosa STh.
Guru
17.
Andriyantomo
Karyawan
18.
Nila Wahyuni
Guru
18.
Roma Wisesa
Guru
Guru
19.
Simanjuntak
Guru
Guru
19. Albertus Ady S
20.
Theresia Suwartiningsih
Karyawan
20.
Natalia Nur Betty
21
Yusuf Purwadi
Karyawan
21
Claudia Agni Pranasti
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Kepala TK/SD
Karyawan
Karyawan
Profil BPK PENABUR Metro
Dari tahun 1967 terdapat 14 kepala sekolah yang pernah memimpin sekolah dan 7 ketua Yayasan
yang telah mengembangkan TK dan SDK BPK PENABUR Metro, sebagaimana terlihat dalam tabel
6 dan 7 berikut.
Tabel 7: Ketua Yayasan
Tahun 1967-2010
Tabel 6: Kepala Sekolah
Tahun 1967-2010
Nama
No
T ah u n
Nama
No
T ah u n
1.
1967- 1974
Ny. Tan Kim Chan
1.
1967-
Ny. Tan Kim Chan
2.
1974-1978
Pdt. Yahya Purwanto
2.
1974-1980
Pdt. Yahya Purwanto
3.
1978-1979
T u k i l ah
3.
1982-1986
T. Hendryanto
4.
1979-1980
Susilo
4.
1986-1994
Benyamin C
5.
1980-1983
Endang
5.
1994-1998
Ayub Indra Hartanto
6.
1983-1984
Supardi
6.
1998-2006
Alexander K. Ruslim
7.
1984-1995
Roosye Wijaya
7.
2006-2010
Rico Simanjuntak
8.
1995
H. Alben Ambarita
9.
1996-2004 TK
Anastasia Mujirah
10.
2004-sekarang
V . Hariyati
11.
1996-2004 SD
Rakhmat Subagyo
12.
2004-2008 SD
Effendi
13.
2008-2009
Teguh Suharto
14.
2010- TK/SD
V . Hariyati
Penutup
Pujian serta syukur kepada Tuhan atas anugerah
yang diberikan melalui bimbingan, kerjasama,
semangat, dan ketulusan hati dalam pelayanan
di BPK PENABUR Metro.
Dalam perkembangan BPK PENABUR
Metro, semua pegawai diharapkan semakin
kreatif, inovatif, dan tekun dalam pelayanan,
sehingga BPK PENABUR Metro semakin maju
dan menjadi sekolah unggulan terutama di kota
Metro. Tuhan memberkati.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
111
Keterangan Mengenai Penulis
Bambang
Kaswanti lahir di Yogyakarta, 19 April 1951. Meraih gelar doktor linguistik di
Purwo, Prof. Dr.,
Universitas Indonesia 1982, dengan disertasi Deiksis dalam Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Saat ini Ketua Dewan Guru Besar pada
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Kepala Pusat Kajian
Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya Jakarta (1995–2006), Direktur
Eksekutif Penerbit Universitas Atma Jaya (2005–2009), guru besar luar
biasa pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas
Negeri Jakarta, editor Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and
Languages in Indonesia), Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994–
1997, 1997–1999), salah seorang penyusun buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia edisi pertama (1988). Menjadi peneliti pascadoktor pada
Institute for Advanced Study, Princeton (1983–1984), di University of
Melbourne (1989) atas undangan “The Australian Vice Chancellors’
Committee”, dan di Max Planck Institute, Leipzig (2000). Memperoleh
penghargaan sebagai “Orang Muda Berkarya di Bidang Akademik”
dari pemerintah Republik Indonesia 28 Oktober 1988. Berkat bukunya
Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius,
1990) diundang sebagai salah seorang anggota tim pengembang
Kurikulum 1994 dan 2004 mata pelajaran Bahasa Indonesia.
David Wijaya, SE.,
lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen
FE UKRIDA Jakarta pada tahun 2006 dengan predikat Cum Laude, dan
alumnus SMUK Kalam Kudus II Jakarta. Lulusan terbaik pada program
studi Manajemen FE UKRIDA Jakarta. Sejak tahun 2007 sampai
sekarang, menjadi dosen dan Koordinator Laboratorium Manajemen
Keuangan Lanjutan FE UKRIDA Jakarta. Di samping memiliki
pengalaman sebagai staf pengajar FE UKRIDA Jakarta, sampai saat ini
masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul Laboratorium FE UKRIDA
Jakarta. Selain itu, terafiliasi pada perusahaan yang bergerak dalam
bidang pendidikan, pelatihan, dan konsultasi strategi bisnis sebagai
Konsultan dan Associate Partner Arrbey.
Freddy Giovanni
Setiawan,
lahir di Bandung, 29 Januari 1992. Saat ini siswa kelas XII Brilliant
SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi : Juara 1 Lomba
Fisika Atma Jaya tahun 2009; Juara 1 UNICEF Junior Ambassador tahun
2009; Peringkat 4 dalam Indonesian Young Scientist tahun
2009;Semifinalis Lomba Fisika UGM se-Indonesia tahun 2009;
Semifinalis Lomba Fisika UNJ tahun 2008 dan 2009.
Henry Sumurung, SE, lahir di Bogor, Oktober 1973. Lulus Sarjana Ekonomi dari Universitas
MM.,
Katolik Parahyangan Bandung dengan konsentrasi Manajemen Sumber
Daya Manusia. Tahun 2002 melanjutkan studi Pasca Sarjana di Magister
Manajemen Agrobisnis Institut Pertanian Bogor. Bergabung dengan
BPK PENABUR tahun 2004 sebagai Kepala SMA. Selanjutnya tahun
2006 sampai sekarang dipercaya untuk memimpin Sekretariat BPK
PENABUR Bogor. Saat ini secara intens melakukan pendampingan
dalam pemantapan operasional sekolah nasional plus BPK PENABUR
Bogor di Sentul City termasuk dalam bidang kepegawaian.
112
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Keterangan Mengenai Penulis
Hilda Karli, Dra., M.Pd.,
lahir di Bandung, November 1967. Menyelesaikan program S2
Pendidikan IPA SD-UPI Bandung. Bekerja sebagai dosen tetap, penulis
buku, trainer pendidikan, dan koordinator penulis. Sekarang ini bekerja
sebagai dosen PGSD - Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta.
.Hasil karyanya anatara lain, bahan ajar untuk anak SD Tematik untuk
kelas 1-3 SD Penerbit Erlangga; Aku pandai menulis untuk TK Penerbit
Erlangga for Kids; Kebesaran Allah dalam sains untuk kelas 1-6 SD
Penerbit: GIM; Panduan belajar dan Evaluasi IPA untuk kelas 4-6 SD
Penerbit: Grasindo. Buku untuk pemerhati pendidikan dan Guru SD:
Implementasi KBK penerbit: BIM; Implementasi KTSP penerbit: BIM;
Head Hand Heart dalam KBK penerbit: BIM; Bagaimana Sertifikasi Guru
dilaksanakan? penerbit: BIM
Josephine,
alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009.
Kevin,
alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009.
P. Slamet Widodo,
lahir di Bantul, Yogyakarta, 31 Mei 1961. Pendidikan SD dan SMP
ditempuh di Bantul. Pendidikan menengah atas diselesaian di Seminari
Menengah Mertoyudan Magelang. Memperoleh ijazah S1 bidang
Bahasa dan Sastra Indonesia dengan mata kuliah minor Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) diperoleh di IKIP Sanata Darma Yogyakarta
tahun 1986. Usai menyelesaikan S1, langsung mengajar di SMEA
Katolik Yos Sudarso Rembang selama satu tahun dan selama dua tahun
mengajar di Yayasan Salib Suci di Kuningan Jawa Barat. Sejak tahun
1989 menjadi guru tetap dan membina mata pelajaran
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia di SMP BPK PENABUR
Tasikmalaya, dan diangkat sebagai Kepala SMP tahun 2009- sampai
sekarang. Di sela-sela kesibukan sebagai guru, aktif dalam kegiatan
gereja, dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Kewarganegaraan di Tasikmalaya.
Ratnaganadi Paramita,
lahir di Jakarta, November 1992, adalah siswi kelas XII program Brilliant
Class di SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi :
“Delegasi Indonesia” untuk “VI International Zhautykov Olympiad
2010”; “Indonesian Delegate Finalist” untuk “International Young Scientist
Competition” th. 2010; Peringkat 4 Nasional pada “Indonesian Young
Scientist/INaYS” di Universitas Pahrayangan, Bandung th. 2009; Juara
2 Lomba Fisika “Einstein Competition” tingkat Nasional pada Pekan
Ilmiah Fisika Universitas Negeri Jakarta 2008; Juara 2 Lomba Fisika di
SMAN 2 Tangerang 2009; “Master of Ceremony & Participant” dari “2008
Asian Science Camp” di Bali; “Certificate of Appreciation” dari Monaco
Monarchy sebagai “Delegasi Indonesia” pada “14th Mondial du Theater/
14th World Festival of Amateur Theater 2009 in Monaco”; “Medali Emas”
untuk “Great Performance” pada “9th World Festival of Children’s Theater
2006 in Lingen,Germany”; “Medali Emas” untuk “The Best Performance”
pada “The Asia-Pasific Festival of Children’s Theater 2004 in Toyama,Japan”;
koordinator Acara dan Lomba pada “Brilliant Competition 2009”, lomba
sains dan matematika tingkat Nasional untuk siswa/i SMP; Fasilitator
pada “Kongres Anak Indonesia 2005” untuk siswa teladan seIndonesia; aktif di berbagai kegiatan sosial dan organisasi yang
diadakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kementrian Sosial,
Kementrian Pemuda dan Olah Raga.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
113
Ricky
Dwiputra lahir di Palembang, Juli 1992. Saat ini siswa kelas 3 di Brilliant Class
Setiamanah,
SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi: Semifinalis
Pesta Sains IPB 2009 bidang Fisika, Juara 1 lomba UNICEF “Kids for
Kids” 2009 dan meraih gelar UNICEF Junior Ambassador, Top 10 “Best
of The Best Competition” Abacus Mental Arithmetic se-Indonesia, Credit
award for Australian Mathematic Competition, peserta pelatihan
bioteknologi di Universitas Atmajaya 2007, peserta lomba sepak bola
“Laurensia Cup” dan futsal “Gading Serpong Olympic” 2009. Aktif
ekstrakulikuler futsal dan basket di sekolah.
Thomas Wibowo Agung, lahir di Tuban, Jawa Timur, Maret 1962. Menyelesaikan Program S2 di
Drs., M.Pd.,
Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Program Studi Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) tahun 2004. Saat ini
sebagai Pengawas Pendidikan di BPK PENABUR Tasikmalaya. Pernah
menjadi Kepala SMPK PENABUR Tasikmalaya (1998 s/d 2009).
Tirza,
alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009.
V. Hariyati, S.Pd.,
lahir di Lumajang, April 1967. Menyelesaikan pendidikan program S1
STKIP PGRI Metro, tahun 2009. Sebagai guru TK BPK PENABUR Metro,
tahun 1991-2004, kemudian diangkat menjadi Kepala TK BPK
PENABUR Metro, tahun 2004-2009. Saat ini sebagai Kepala TK
merangkap SD BPK PENABUR Metro.
Vincensius Yandi Arie lahir di Jambi, Agustus 1992. Saat ini siswa kelas XII Brilliant SMAK
Putra,
Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi: Juara 1 Kompetisi
Matematika UNPAR 2009, Juara 3 Logika Matematika UI 2009, Juara 2
Lomba Matematika UGM 2009, Juara 3 Lomba Matematika Vektor
Universitas Malang 2009, Peserta Olimpiade Matematika Tingkat
Provinsi 2009, Juara Harapan 1 Lomba Matematika UNJ 2008.
Widodo, Drs.,
114
lahir di Yogyakarta Juli 1960. Menyelesaikan pendidikan program S1
IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta
jurusan Ekonomi Pendidikan Bisnis tahun 1983. Guru SMA Katolik
yayasan Siswarta Banjarmasin tahun 1984 -1985, guru SMA dan SMP
BPK PENABUR Tasikmalaya tahun 1986 – 2000. Tahun 2000 sampai
sekarang sebagai guru SDK BPK PENABUR Tasikmalaya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009
Download