Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Dra. Kristinawati Susatio, M.M. Pemimpin Redaksi Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M. Dra. Mulyani Prof. Dr. Theresia K. Brahim Dra. Vitriyani P., M.Pd. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut. 1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk bahasa ilmiah populer. 2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain. 3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10 point/spasi ganda. 4. Panjang naskah hasil penelitian atau opini + 4500 kata, sedangkan untuk info serta resensi buku + 2000 kata. 5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata. 6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar pustaka, dan keterangan mengenai penulis. 7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata. 9. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point. 10. Naskah dikirim dalam bentuk CD dan hasil print out ke Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected] 11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup penulis yang memuat latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis. 12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan. 13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi naskah. 14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau kebijakan BPK PENABUR. Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 13/Tahun ke-8/ Desember 2009 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi i Pengantar Redaksi ii - v Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Pola Perilaku Anak, Josephine, Kevin, dan Tirza, 1-11 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu, Vincensius Yandi Arie Putra, 12-21 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando, Freddy Giovanni Setiawan, Ratnaganadi Paramita, dan Ricky Dwiputra Setiamanah, 22-29 Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku, Widodo, 30-41 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing dalam Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan , P. Slamet Widodo, 42-55 Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah, 56-63 Menjadi Guru Pembelajar, Bambang Kaswanti Purwo, Thomas Wibowo Agung, 64-70 Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar, Hilda Karli, 71-79 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Terhadap Kualitas Pendidikan, David Wijaya, 80-96 Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal, 97-102 Thomas Wibowo Agung, Resensi buku: Human Resource Managament in Education (Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan), Henry Sumurung, 103-106 Profil BPK PENABUR Metro, V. Hariyati, Keterangan Tentang Penulis, 112-114 107-111 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 i Pengantar Redaksi endidikan diharapkan mengalami perubahan dan kemajuan dari waktu ke waktu sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mampu membangun dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya secara bermoral, beradab, dan tentu saja berketuhanan Yang Maha Esa. Melalui proses pendidikan yang bermutu dan berkesinambungan manusia diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan dan lingkungannya secara perorangan dan bersama-sama dengan orang lain dalam masyarakat yang majemuk. Harapan terhadap pendidikan begitu tingginya, sehingga tidak jarang kemajuan suatu bangsa dilihat dari mutu pendidikan nasional di negerinya. Dengan ungkapan lain dikatakan, kemajuan suatu bangsa dan negara tergantung pada mutu pendidikan nasionalnya. Sebagai contoh, keberhasilan Uni Ssoviet meluncurkan sputnik di abad pertengahan, sangat mengejutkan Amerika Serikat dan merasa tertinggal dari Uni Soviet. Presiden Amerika lalu bertanya, “Apa yang terjadi dalam pendidikan Amerika?”. Kemudian mereka melakukan perubahan dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang studi matematika. Contoh lain, di berbagai negara termasuk Indonesia, pendidikan sering dibebani dengan tugas-tugas “titipan” yang memperberat kurikulum dan akhirnya merepotkan guru dan siswa. Titipan itu diberikan dengan harapan pesan yang hendak disampaikan itu dianggap efektif kalau diberikan melalui sistem pendidikan. Uraian di atas menunjukkan, pendidikan yang bermutu dapat membuat manusia cerdas berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilainilai yang dikehendaki. Sementara itu, memperoleh pendidikan juga menjadi salah satu hak azasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Dengan demikian masalah pendidikan dan pemerataan memperolah kesempatan pendidikan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Untuk memajukan bangsa secara keseluruhan diperlukan pendidikan bermutu yang dapat diakses oleh semua anggota masyarakat sesuai dengan kemampuan intelektual dan fisiknya. Di sisi lain dialami juga bahwa pendidikan yang bermutu dan dapat diperoleh oleh semua, memerlukan sumber daya (tenaga, dana, sarana, prasarana, dan waktu) yang bermutu dalam jumlah yang cukup. Dalam rangka meningkatkan dan meratakan mutu dan kesempatan memperoleh pendidikan, pemerintah di banyak negara menyisihkan dana yang cukup besar. Pemerintah Indonesia misalnya, dalam dua tahun belakangan ini telah berusaha mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD. Di sisi lain besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sekolah-sekolah swasta walaupun Pemerintah menyediakan bantuan melalui program Biaya Operasional Sekolah (BOS). Keberanekaragaman keadaan ekonomi, budaya, dan sosial masyarakat serta keadaan geografi Indonesia merupakan tantangan tersendiri dalam pembangunan pendidikan secara nasional khususnya di bidang pendidikan. Sungguhpun demikian, untuk P ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 meningkatkan mutu pendidikan, Pemerintah telah menetapkan standar isi, proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, serta lulusan sebagaimana dituntut dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, standar memang diperlukan, tetapi standar yang kaku untuk kondisi yang sangat beraneka ragam dapat menimbulkan masalah yang menjauhkan upaya itu dari tujuan yang dikehendaki. Sebagai salah satu contoh ialah penyelenggaraan Ujian Negara (UN) yang sampai sekarang menimbulkan polemik karena UN menerapkan patokan yang baku secara nasional untuk semua siswa yang memiliki karakteristik, lingkungan, sarana, sumber belajar, serta proses pengalaman belajar yang berbeda-beda. Walaupun diungkapkan bahwa hasil UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa dan dapat dipergunakan untuk memberikan gambaran pendidikan untuk setiap satuan pendidikan dan secara nasional, akan tetapi keberanekaragaman kondisi dan otonomi sekolah mengakibatkan UN masih terus menerus dipersoalkan. Sampai tahun pelajaran 2009/2010, UN masih tetap dilaksanakan walaupun dengan polesan-polesan. Diakui bahwa dalam meningkatkan mutu, standar yang dapat dijadikan acuan memang diperlukan dan dari standar itu dapat diketahui status yang telah dicapai. Standar itu dapat dinaikkan setiap tahun untuk memacu peningkatan. Cara demikian dapat juga dilakukan dalam upaya meningkatkan dan meratakan pendidikan secara nasional. Namun cara demikian tentu perlu disikapi dan dilakukan secara terencana dan sistematis oleh masing-masing satuan pendidikan. Apalagi kalau cara standarisasi melalui UN itu diberlakukan secara nasional dan harus diikuti oleh semua siswa maka sejak dini sekolah perlu melakukan inovasi dalam strategi, metode, dan teknik belajar dan membelajarkan. Inovasi yang dimaksud tentu bukan dengan melakukan pemadatan proses belajar-membelajarkan atau meningkatkan frekuensi dan intensitas latihan mengerjakan soalsoal menjelang UN (drilling). Standar mutu melalui UN menunjukkan bahwa pengukuran dilakukan berdasarkan hasil (output oriented), sehingga UN dianggap sebagai pengawasan (quality control) dan hasil ujian siswa yang tidak mencapai standar dianggap “cacad”. Padahal mutu output, terkait dengan mutu input, proses, dan lingkungan yang seharusnya terlebih dahulu distandarisasi, sehingga sebelum dilakukan quality control, terlebih dahulu dilakukan quality assurance yang dapat meminimalkan kelemahan-kelemahan atau cacad dalam output. Akan tetapi kenyataannya sekolah dan siswa wajib mengikuti UN, oleh karena itu pada saat ini tidak perlu mempersoalkan penyelenggaraan UN lagi tetapi yang perlu dilakukan ialah bagaimana menyiasati UN berdasarkan kaidah-kaidah belajar-membelajarkan yang benar. UN pada hakekatnya berbasis hasil (output-based) dan hasil belajar siswa diukur dengan menggunakan standar nasional yang mengacu pada kurikulum nasional pula sehingga UN pada hakikatnya merupakan bentuk ujian berdasarkan patokan (criterion reference test). Kemampuan siswa yang diukur mengacu pada standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Semakin tinggi penguasaan siswa atas indikator-indikator Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 iii kemampuan yang ditetapkan dalam kurikulum, semakin besar pula kemungkinan siswa memperoleh nilai yang baik dalam UN. Selaras dengan sifat UN yang berbasis hasil dan berdasarkan patokan maka salah satu siasat sekolah atau guru untuk menghadapinya ialah dengan menerapkan pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Pendekatan ini menjabarkan standar kemampuan yang ditetapkan menjadi kemampuan-kemampuan khusus (indikator kemampuan) yang perlu dipelajari dan dikuasai siswa secara tuntas. Pendekatan ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan dan dipraktekkan di Amerika, mulai tahun 1920-an dan dalam perjalanannya mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan yang dilakukan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1968 dianggap sebagai perkembangan yang signifikan dalam proses belajar-membelajarkan. Di Indonesia sendiri pendekatan ini sudah lama dikenal oleh guru atau calon guru. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa setiap siswa dapat belajar apabila diberikan lingkungan belajar yang sesuai (di dalam dan luar sekolah), termasuk strategi dan sumber belajar. Siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman sesuai dengan karakteristiknya seperti kecepatan, waktu dan gaya belajarnya dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Sungguhpun memungkinkan siswa belajar dalam kelompok, tetapi pendekatan ini lebih memberikan perhatian pada belajar secara individual. Pendekatan ini mensyaratkan setiap siswa mencapai 80% dari setiap indikator kompetensi dan kalau target ini belum tercapai siswa diberikan bantuan belajar atau remedial sehingga target tersebut tercapai. Secara logika, mencapai paling sedikit 80% dari setiap indikator kemampuan akan memungkinkan siswa mencapai 80% kemampuan dasar dan standar kemampuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Apabila hal ini terjadi maka besar kemungkinan siswa akan dapat menyelesaikan soal-soal UN dengan nilai yang baik. Belajar tuntas dapat memotivasi siswa belajar lebih giat dan aktif, mencapai prestasi belajar lebih tinggi, serta memberikan rasa percaya diri dalam belajar untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pendekatan ini juga mendorong guru untuk memperhatikan masing-masing siswa secara individu serta memberikan bantuan dalam memecahkan masalah-masalah belajar siswa. Melakukan evaluasi formatif secara berkala dan teratur dan diikuti dengan umpan balik yang tepat, serta memberikan bimbingan yang intensif dalam remedial kepada siswa yang menghadapi masalah belajar, merupakan kegiatan rutin guru dalam membantu siswa menuntaskan proses belajarnya. Proses belajar yang demikian akan menuntun siswa secara dini, terencana, dan sistematis menguasi kemampuan-kemampuan yang ditetapkan dalam kurikulum serta sekaligus mempersiapkan siswa menghadapi UN dengan hasil yang jauh lebih baik. Kecemasan siswa serta drill menghadapi UN tentu tidak terjadi lagi dan menghadapi UN bukan merupakan sesuatu yang menakutkan lagi bagi siswa. Mereka pun memiliki percaya diri dapat menempuh UN dengan baik. Di samping hasil UN, mutu pendidikan dapat juga dilihat pada proses penyelenggaraannya di sekolah seperti dalam kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang mengembangkan kemampuan akademik siswa. Dalam setiap bidang studi siswa didorong untuk belajar secara aktif, mandiri, dan kreatif untuk menambah pengetahuan dalam ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Di lingkungan sekolah iv Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 BPK PENABUR, pengembangan karya ilmiah siswa dilakukan antara lain dengan mendorong siswa melakukan penelitian dalam bidang yang sesuai dengan minatnya. Tulisan-tulisan dalam Jurnal Pendidikan Penabur edisi Desember 2009 ini, yang pada intinya berkaitan dengan upaya peningkatan pendidikan di sekolah, memuat tiga hasil penelitian siswa SMA yaitu Dampak Kekerasaan dalam Rumah Tangga Terhadap Pola Prilaku Anak, Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando, dan Bangunan Tahan Gempa. Ketiga tulisan tersebut dapat mencerminkan bagaimana prinsip belajar tuntas diterapkan melalui penelitian. Walaupun belum dikaitkan dengan UN belajar tuntas bukan hal yang baru bagi guru. Hal ini terlihat dari tulisan yang berjudul Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Bilangan Baku, Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya, Pembelajaran Tematik Menggeser Pembelajaran Fragmented, Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah dan Menjadi Guru Pembelajar. Kelima tulisan tersebut terkait langsung dengan penerapan pendekatan belajar tuntas. Ketuntasan belajar diukur dari pencapaian siswa terhadap target kemampuan yang ditetapkan secara spesifik dan terukur oleh guru. Dalam konteks inilah guru perlu mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan tujuan, bahan belajar dan strategi belajar sesuai dengan lingkungan dan karakteristik siswa. Dalam proses belajar siswa dimotivasi aktif menanyakan hal-hal yang belum diketahui atau belum dimengertinya sehingga guru dapat memberikan bantuan mengatasi kesulitan belajar siswa. Dengan demikian, proses belajar dan membelajarkan bukan lagi berpusat kepada guru tetapi kepada siswa dan guru dituntut memfungsikan dirinya sebagai perencana, pengelola, penilai, dan pendamping siswa dalam proses belajar dan membelajarkan. Guru diharapkan dapat membuat siswa belajar dengan menciptakan lingkungan, suasana, dan strategi belajar-membelajarkan yang interaktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Keberhasilan penyelenggaran pendidikan dalam meningkatkan mutu tidak dapat dipisahkan dari tata kelola di sekolah. Oleh karena itu, edisi ini juga memuat tulisan tentang Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan serta kajian buku dengan judul Human Resource Management in Education. Penyelenggaraan pendidikan dengan tata kelola yang tepat dalam arti yang luas termasuk dalam tata kelola kelas, hendaknya dapat memperkuat keyakinan bahwa pendidikan itu memang diperlukan dan bukan Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal. Semoga. Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 v Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Penelitian Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Pola Perilaku Anak Josephine, Kevin, dan Tirza*) Abstrak ermasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah dampak yang terjadi pada anak yang menerima perlakuan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Data yang diperoleh dan responden yang dipilih secara acak di sekolah, pusat-pusat pembelajaran dan perumahan menunjukkan anak mengalami kekerasan fisik dan mental. Reaksi sebagian besar responden ketika mengalami KDRT adalah meghindari pelaku. Sebahagian besar responden umumnya mengalami perubahan yang signifikan. Peneliti menyarankan bagi para korban KDRT memaafkan tindakan si pelaku agar tidak tersimpan dendam dan traumatis yang berkepanjangan. Bagi para pelaku tindakan KDRT, penulis menyarankan menyadari perilaku yang mereka perbuat dapat menyebabkan hal yang fatal terhadap anak. P Kata-kata kunci : Kekerasan, kekerasan dalam rumah tangga, perkembangan perilaku. Abstract This survey was aimed at revealing the impacts of domestic violance to the children. The data were collected from a number of children randomly selected from a school, a mall and, a housing compound in West Jakarta. The data showed that most of the respondents had experienced of family violence which resulted in significant behavior changes. The study provides the victims and the actors a set of recommendations. Key words: Violence, domestic violence, abuse Pendahuluan Semakin lama semakin banyak orang yang melakukan tindakan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat melalui media televisi, surat kabar maupun peristiwa yang langsung nyata di hadapan kita. Kekerasan yang terjadi cenderung meningkat baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif yang terjadi di lingkup publik atau dalam keluarga. Salah satu korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah anak. Anak adalah potensi dan penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu anak harus dijaga dan dipelihara dengan baik, maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan. Belakangan ini ada sebagian orang yang memperlakukan anaknya dengan perlakuan yang tidak wajar, contohnya pemukulan, penyerangan, dan lain-lain. Kekerasan diartikan sebagai semua tindakan, perbuatan, sikap, dan perkataan langsung atau tidak langsung,yang tidak menghormati dan melukai keberadaan seseorang secara fisik maupun jiwa. Kekerasan bukan hanya bersifat fisik misalnya pembunuhan, perkosaan, pemukulan, penyerangan, perbudakan seksual, lontaran kata-kata yang tidak senonoh, tetapi sikap yang melecehkan juga dianggap sebagai kekerasan. Anak sebagai *) Alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 1 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hakhak dan kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya anak bukanlah objek tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Fenomena perlakuan salah merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh anakanak yang terjadi di lingkungan keluarga. Namun kasus ini tidak banyak terungkap ke permukaan, karena masih ada anggapan bahwa perlakuan salah pada anak masih menjadi masalah domestik. Akan tetapi kejadian ini telah menyangkut pelanggaran HAM dan hak anak itu sendiri. Permasalahan perlakuan salah pada anak menjadi urusan publik. Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orang tua dan orang-orang yang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga yang lainnnya. Keluarga bersifat dinamis dan memiliki nilai- nilai dan kebiasaan yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari)2. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam rumah tangga. Dari karakteristik keluarga yang berbeda dapat dilihat seperti suasana/lingkungan keluarga yang bahagia, maka wajah anak itu terlihat begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Dengan kata lain perubahan emosi dapat lebih mudah dilihat pada anak dibandingkan dengan orang tua. Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang dampak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan pola perilaku / tingkah laku anak. Peneliti terta-rik untuk mengetahui reaksi anak ketika menjadi korban, kemudian sikap anak ketika menghadapi permasalahan dan hubungan sosial anak ketika mengalami tindakan kekerasan dalam keluarganya. Adapun yang menjadi perumusan masalah adalah (a) apa reaksi anak ketika mengalami KDRT, (b.) bagaimana sikap anak ketika mengalami permasalahan, (c) bagaimana perubahan yang terjadi pada anak sesudah mengalami KDRT, (d) bagaimana hubungan sosial anak di dalam keluarganya sesudah mengalami KDRT. 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (a) mengetahui reaksi anak ketika mengalami KDRT, (b) mengetahui sikap anak ketika mengalami permasalahan, (c) mengetahui perubahan yang terjadi pada anak sesudah mengalami KDRT, (d) mengetahui hubungan sosial anak di dalam keluarganya sesudah mengalami KDRT. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan dan informasi kepada masyarakat dan para pelajar, khususnya masyarakat dan siswa-siswi SMAK 4 PENABUR Jakarta. Landasan Teori Kekerasan Kekerasan adalah perbuatan seseorang/ sekelompok orang yang menyebabkan cedera/ matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik/barang orang lain. Dalam arti lain, kekerasan adalah tindakan yang berakibat kesengsaraan/penderitaan-penderitaan pada seseorang secara fisik, seksual/psikologis, termasuk ancaman-ancaman tertentu, pemaksaan/perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum di dalam lingkungan kehidupan pribadi. Istilah kekerasan itu sendiri berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan tindakan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya tergolong dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil/yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinasi, yang dilakukan oleh kelompokkelompok, baik yang diberi hak, maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme. Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk (a) tindak kekerasan fisik, (b) tindak kekerasan nonfisik dan (c) tindak kekerasan psikologis/jiwa. Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa/menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya. Tindak kekerasan nonfisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra / kepercayaan diri seseorang, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/ dikehendaki korbannya. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Tindak kekerasan psikologis/jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu/ menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada suami / orang lain dalam segala hal (termasuk keuangan). Akibatnya, korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. Kekerasan dalam Rumah Tangga Rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah, berkenaan dengan keluarga. Dengan kata lain, rumah tangga adalah keluarga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dikenal dengan KDRT. KDRT menurut UU no.23 tahun 2004, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dan anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan / penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT atau sering kita dengar dengan istilah domestic violence. Menurut Comprehensive Textbook of Phychiatry, KDRT mempunyai konteks yang lebih luas dalam kaitan relationship, termasuk hubungan perkawinan, kekerasan pada usia lanjut yang dilakukan oleh caregiver, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan hubungan yang dekat. Child abuse (kekerasan terhadap anak, termasuk dalam KDRT) merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E.Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada 4 macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse physical abuse, dan sexual abuse. Emotional abuse terjadi ketika orang tua/ pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk / tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh menjadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk/ dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya, akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu. Verbal abuse terjadi ketika orang tua/ pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam/jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti perkataan “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, dan sebagainya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode. Sedangkan Physical abuse, terjadi ketika orang tua memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Sementara itu sexual abuse biasanya tidak tejadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak. Perkembangan Pola Perilaku Allport mengemukakan kepribadian adalah sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan berkesinambungan dan progresif dalam organism, dari lahir-mati (Chaplin C.P. , 1989 : 134). Sedangkan Hurlock E.B. (1987 : 23) menyatakan bahwa “Perkembangan dapat didefinisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren”. “Progresif” menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju, dan bukan mundur. “Teratur” dan “koheren” menunjukkan hubungan yang nyata antara perubahan yang terjadi dan telah mendahului / mengikutinya. Ini berarti bahwa perkembangan juga berhubungan dengan proses belajar, terutama mengenai isinya yaitu tentang apa yang akan berkembang berkaitan dengan perbuatan belajar. Disamping itu juga bagaimana suatu hal itu dipelajari, apakah melalui memorisasi atau melalui peniruan dan atau dengan menangkap hubungan-hubungan, hal-hal ini semua ikut menentukan proses perkembangan. Dapat pula dikatakan bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, terjadi berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan, dan belajar. Carol Getswicki (1995) mengemukakan beberapa prinsip dasar perkembangan, antara lain : Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 3 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Dalam perkembangan terdapat urutan yang diramalkan pemahaman tentang perilaku yang seharusnya terjadi berikutnya, akan membantu para praktisi untuk mengenal perkembangan yang khusus dan menantang fase berikutnya yang semestinya. 2. Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya. Suatu perkembangan tidak akan mungkin terjadi berkesinambungan dengan baik bila anak didorong untuk melampaui / secara tergesa-gesa menjalani tahap-tahap awal. Anak harus diberi waktu yang sesuai dengan yang mereka butuhkan sebelum melanjutkan tahap berikutnya. 3. Dalam perkembangan terdapat waktuwaktu yang optimal. Waktu-waktu yang menunjukkan kesiapan harus dikenai melalui pengamatan yang cermat. Proses belajar akan terjadi dengan sangat mudah pada saat yang optimal. Setiap pengajaran tidak akan menjadikan proses belajar dengan mudah sebelum mencapai kepuasan. 4. Perkembangan merupakan hasil interaksi faktor-faktor biologis (kematangan) dan faktor-faktor lingkungan (belajar). Kematangan merupakan prasyarat munculnya kesiapan untuk belajar. Lingkungan menentukan arah perkembangan. 5. Perkembangan maju berkelanjutan merupakan kesatuan yang paling emosional, sosial berhubungan, dengan semua aspek (fisik, kognitif, emosional, sosial) yang saling mempengaruhi. Dengan kata lain, perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan pembelajaran. Karena melalui proses pembelajaran, maka perkembangan tersebut dapat diramalkan sesuai dengan prosesnya. Oleh sebab itu, akan terjadi perbedaan perkembangan di setiap individu, yang sebagian karena pengaruh bawaan dan sebagian karena kondisi lingkungan. Ini berlaku bagi perkembangan fisik maupun psikologi. Maka, begitu pula dengan perkembangan pola perilaku. Bagi anak-anak, dalam proses pembelajaran, berlaku teori modeling. Anak yang dibesarkan dengan tindak kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Misalnya seorang anak laki-laki tinggal bersama 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 ayah, yang merupakan pelaku kekerasan terhadap ibunya. Maka anak tersebut akan berlaku sama, yaitu cenderung menggunakan cara yang sama kepada pasangannya di kemudian hari. Gangguan kesehatan baik fisik maupun mental dapat terjadi pada korban, gangguan tersebut berupa trauma, keguguran, penyakit seksual yang menular, sakit kepala, masalah kandungan, gangguan pencernaan, perilaku hidup tidak sehat dan kecacatan. Gangguan kesehatan mental berupa stres, gangguan depresi, gangguan kecemasan, disfungsi seksual, psikotik, kepribadian ganda, gangguan obsesif kompulsi, dan lain-lain (dampak domestic violence). Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah ia dewasa dan mempunyai anak, ia akan berlaku kejam kepada anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif. Dengan sangat mengerikan, Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika ia masih kecil. Hal yang serupa juga dikatakan secara tidak langsung oleh teori behaviorisme. Behaviorisme adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kausalitas, dengan cara diadakan wawancara dan pengisian angket angket secara langsung dengan responden di salah satu sekolah di Jakarta Barat, mall Jakarta Barat dan perumahan di Jakarta Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 November 2008. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel random atau acak yaitu setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Data dikembangkan melalui metode wawancara dan angket langsung yang kemudian menggunakan tabel frekuensi. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Tabel 3. Lama Responden Menjadi Korban KDRT Pengolahan Data Lama Menjadi Korban KDRT Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan data sebagai berikut. Tabel 1. Umur Responden Umur Frekuensi % 17 tahun 3 60 20 tahun 1 20 24 tahun 1 20 Jumlah 5 100 % < 2 tahun 0 0 2 - 4 tahun 2 40 4 - 6 tahun 2 40 6 - 8 tahun 1 20 > 8 tahun 5 100 menjadi korban KDRT selama 4-6 tahun dan sisanya sudah menjadi korban KDRT selama 8 tahun. Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa 3 responden (60%) berusia 17 tahun. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mayoritas korban KDRT berumur di bawah 18 tahun. Hal ini disebabkan pada usia dibawah 18 tahun, orang lebih labil dalam bertindak dan beremosi sehingga dapat memancing perilaku KDRT. Tabel 2. Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Frekuensi Frekuensi % Laki-laki 2 40 Perempuan 3 60 Jumlah 5 100 Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sejumlah 3 orang berjenis kelamin perempuan dengan presentase sebanyak 60% dan 2 responden dengan presentase 40% berjenis kelamin laki – laki. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas korban KDRT adalah perempuan. Hal ini disebabkan perempuan lebih lemah secara fisik dan mental dibandingkan laki – laki Berdasarkan data tabel 3, sebanyak 2 responden dengan presentase 40% sudah menjadi korban KDRT selama 2 – 4 tahun, sedangkan dengan jumlah dan presentase yang sama dengan sebelumnya, tercatat mereka sudah Tabel 4: Orang yang Cenderung Lebih Banyak Melakukan KDRT Terhadap Responden Orang yang cenderung lebih banyak melakukan KDRT Frekuensi % Ayah 2 40 Ibu 3 60 Ayah & Ibu 0 0 Saudara kandung 0 0 Jumlah 5 100 Dari tabel 4, dapat diketahui bahwa pelaku KDRT dalam keluarga mayoritas adalah ibunya sendiri, sebanyak 2 resoponden mengalami KDRT oleh ayahnya sendiri dan tak ada responden yang mengalami tindak KDRT oleh kedua orang tua, saudara kandung dan lain – lain. Hal ini disebabkan karena Ibu lebih banyak ambil andil dalam mendidik anak dibanding dengan ayah mereka. Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa sebanyak 3 responden dengan presentase 60 % mengalami tindakan kekerasan mental dan fisik dan sebanyak 2 responden mengalami tindak kekerasan mental. Hal ini dapat disebabkan karena sifat sang pelaku yang suka memukul dan mudah mencaci maki merupakan tindakan kekerasan fisik dan mental. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 5 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Tabel 5: Jenis Kekerasan yang Sering Responden Hadapi Jenis kekerasan yang sering hadapi Frekuensi % Mental 2 40 Fi s i k 0 0 Mental & fisik 3 60 Jumlah 5 100 Dari tabel 6, dapat diketahui bahwa mayoritas responden mengalami KDRT karena masalah pendidikan dan masalah perselingTabel 6: Penyebab KDRT yang dialami Responden Penyebab KDRT Frekuensi % Masalah pendidikan 2 40 Masalah ekonomi keluarga 0 0 Sifat sang pelaku 0 0 Melakukan kesalahan 0 0 Kehilangan orang yang disayang 1 20 Perselingkuhan 2 40 Jumlah 5 100 kuhan. Hal ini disebabkan 2 responden bermasalah dengan nilai – nilai akademisnya di sekolah dan 2 responden lainnya, ayahnya melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Tabel 7: Perilaku yang Sering Didapati Responden Ketika KDRT Perilaku yang sering didapati ketika KDRT 6 Frekuensi % Pukulan dan hinaan 3 60 Hinaan 2 40 Jumlah 5 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Dari tabel 7, diketahui bahwa sebanyak 3 responden dengan presentase 60% mendapati pukulan dan hinaan ketika mengalami KDRT. Hal ini disebabkan karena ketika KDRT itu terjadi, pertama – tama sang pelaku memulainya dengan hinaan kemudian dilanjutkan dengan pukulan. Tabel 8: Kondisi Pelaku Saat Melakukan KDRT Kondisi pelaku saat melakukan KDRT Frekuensi % Sadar 5 100 Tidak sadar (mabuk) 0 0 Jumlah 5 100 Dari tabel 8, dapat diketahui bahwa semua pelaku tindakan KDRT melakukan tindak kekerasan dengan keadaan sadar kepada semua responden. Hal ini dapat dikarenakan konflik pemicu tindakan KDRT bukan disebabkan pengaruh alkohol. Tabel 9: Reaksi Responden Ketika Menghadapi Perlakuan KDRT Reaksi ketika menghadapi perlakuan KDRT Frekuensi % Menghindar 1 20 Menghindar dan diam saja 1 20 Menghindar dan menangis 1 20 Membentak, menghindar, menggerutu, menangis dan d i am s aj a 2 40 Jumlah 5 100 Dari tabel 9, dapat diketahui bahwa mayoritas responden dengan presentase sebanyak 40% membentak, menghindar, menggerutu, menangis dan diam saja ketika menerima perlakuan KDRT. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan hati responden sebelum menerima perlakuan tersebut, dan kedua responden tersebut berjenis kelamin perempuan. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Tabel 10: Orang yang Juga Menerima Perlakuan KDRT Selain Responden Orang yang juga menerima perlakuan KDRT Frekuensi % Saudara kandung 3 40 Ibu dan saudara kandung 2 60 Jumlah 5 100 Dari tabel 10, dapat diketahui bahwa semua saudara kandung responden mengalami tindakan KDRT juga, dan 2 ibu dari keseluruhan responden mengalami tindakan KDRT. Hal ini dikarenakan pihak orang tua yang seharusnya menjadi penjaga tetapi menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki justru kerap kali menjadi pelaku KDRT. Tabel 11: Reaksi Responden Ketika Melihat Orang Lain Mengalami TKDRT Reaksi ketika melihat orang lain mengalami KDRT Frekuensi % Membela 2 40 Membela dan bersembunyi 1 20 Membela, menangis dan bersembuyi 2 40 Dari tabel 11, dapat diketahui bahwa sejumlah 2 responden membela ketika melihat orang dalam keluarganya turut mengalami tindakan KDRT, 1 responden membela dan bersembunyi dan 2 orang responden bereaksi membela, menangis dan bersembunyi. Hal ini dapat dikarenakan oleh sifat tiap – tiap responden yang berbeda. Tabel 12: Ada Tidaknya yang Membela Responden Ketika Menerima Perlakuan KDRT Ada Tidaknya yang Membela Ketika Menerima Perlakuan KDRT Frekuensi % Dari tabel 12, dapat diketahui sebanyak 3 dengan presentase 60% responden dibela seseorang ketika menerima perlakuan KDRT dan sebanyak 2 responden dengan presentase 40% tidak dibela oleh siapapun ketika ia menerima perlakuan KDRT. Hal ini dapat disebabkan kedekatan responden dengan sesorang dalam keluarganya sehingga ia tak akan membiarkan begitu saja oleh orang tersebut ketika ia menerima perlakuan KDRT. Dan mayoritas responden dibela oleh Ibu dan saudara kandung. Tabel 13: Ada Tidaknya Konflik di Dalam Diri Responden Untuk Menghargai Pelaku Sebagai Bagian Dari Keluarga Ada Tidaknya Konflik di Dalam Diri Untuk Menghargai Pelaku Sebagai Bagian Dari Keluarga Frekuensi % Ada 3 60 T i d ak 2 40 Jumlah 5 100 Dari tabel 13, dapat diketahui bahwa 3 (60%) responden mengalami konflik di dalam dirinya untuk menghargai pelaku sebagai bagian dari keluarga dan sebanyak 2 (40%) responden tidak mengalami konflik dalam dirinya untuk menghargai sang pelaku sebagai bagian dari keluarganya. Jadi, ketika seseorang yang seharusnya menjadi orang tua yang menjaga dan melindungi anaknya tetapi ia menyalahgunakan kekuasaaan itu dan bertindak sebaliknya dan menjadi pelaku KDRT. Maka terjadi konflik dalam batin anak tersebut untuk hormat atau tidak kepada orang tuanya. Tabel 14: Pernah Tidaknya Responden Menarik Diri Dari Pergaulan Sosial Pernah tidaknya menarik diri dari pergaulan sosial Frekuensi % Ada 3 60 Ya, pernah 2 40 T i d ak 2 40 Tidak pernah 3 60 Jumlah 5 100 Jumlah 5 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 7 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Tabel 16: Pernah Tidaknya Responden Menceritakan Pengalamannya Kepada Orang Lain Tabel 14: Pernah Tidaknya Responden Menarik Diri Dari Pergaulan Sosial Pernah tidaknya menarik diri dari pergaulan sosial Frekuensi % Ya, pernah 2 40 Tidak pernah 3 60 Jumlah 5 100 Dari tabel 14, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% tidak pernah menarik diri dari pergaulan sosialnya sedangkan 2 responden dengan presentase 40% pernah menarik diri dari pergaulan sosialnya karena tindakan KDRT yang mereka alami. Hal ini dikarenakan responden menceritakan kisahnya kepada teman – teman dalam pergaulannya sehingga ia tidak menarik diri dari pergaulan. Tabel 15: Ada Tidaknya Bentuk Pelampiasan Terhadap KDRT Ada tidaknya bentuk pelampiasan terhadap KDRT Frekuensi % Ya 3 60 T i d ak 2 40 Jumlah 5 100 Dari tabel 15, dapat diketahui mayoritas responden sebanyak 3 orang dengan presentase 60% mempunyai bentuk pelampiasan terhadap KDRT yang terjadi dan sebanyak 2 responden dengan presentase 40% tidak memiliki bentuk pelampisan terhadap KDRT yang terjadi. Hal ini mungkin dikarenakan responden tidak dapat menahan emosinya dan mengatasi permasalahannya tanpa suatu penyaluran sehingga responden mempunyai bentuk pelampiasan tersendiri terhadap tindakan KDRT yang terjadi. Pelampiasan yang terjadi tidak di tanyakan peneliti karena ini terlalu bersifat pribadi. Dari tabel 16, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 4 responden dengan presentase 80% pernah menceritakan pengalamannya kepada orang lain dan 1 responden dengan presentase 20% tidak pernah menceritakan pengalamannya kepada orang 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Pernah Tidaknya Menceritakan Pengalamannya Kepada Orang Lain Frekuensi % Ya 4 80 T i d ak 1 20 Jumlah 5 100 lain. Hal ini dapat dikarenakan responden mempercayai dan dekat dengan orang–orang di sekelilingnya sehingga responden menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Mayoritas responden memilih teman sebayanya sebagai orang yang dipercayai untuk membagi pengalamannya. Hal ini disebabkan oleh lebih dekatnya hubungan responden dengan temannya dibandingkan dengan keluarganya. Sedangkan untuk satu responden yang tidak menceritakan dalam hal ini, yang dimaksud adalah bahwa responden selama ini diam saja seolah – olah tidak terjadi apa – apa dalam keluarganya. Jadi peneliti mengetahui bahwa ia merupakan salah satu korban KDRT dengan melalui teman peneliti yang melihat langsung kejadian tersebut. Walaupun teman peneliti melihat langsung bahwa orang tuanya melakukan tindak KDRT terhadap anak itu, sang responden tetap tidak menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Tabel 17: Ada Tidaknya Orang Terdekat yang Mengatakan Bahwa Responden Berubah Sejak Pengalamannya Ada Tidaknya Orang Terdekat yang Mengatakan Berubah Sejak Pengalamannya Frekuensi % Ya 2 40 T i d ak 3 60 Jumlah 5 100 Dari tabel 17, dapat diketahui bahwa mayoritas reponden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% terlihat tidak berubah sejak pengalaman KDRT oleh orang – orang Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga terdekat dan 2 responden dengan presentase 40% terlihat berubah oleh orang – orang terdekat. Hal ini disebabkan responden berpura – pura tidak ada masalah apapun dalam keluarganya dan tetap bersikap seperti hari – hari sebelumnya sehingga orang – orang di sekelilingnya tidak melihat perubahan dalam diri responden. dengan presentase 20% sering terlibat perkelahian di luar keluarga. Hal ini dapat dikarenakan pengalaman KDRT yang ia peroleh justru membuat responden menjadi seseorang yang anti-kekerasan karena ia tak mau menjadi serupa dengan sang pelaku. Tabel 20: Sikap Responden Ketika Terjadi Permasalahan Tabel 18: Ada Tidaknya Perubahan Perilaku Responden Sesudah Mengalami KDRT Ada Tidaknya Perubahan Perilaku Sesudah Mengalami KDRT Sikap Ketika Terjadi Permasalahan Frekuensi % Frekuensi % Melampiaskan pada suatu hal/kegiatan 1 20 Ya 3 60 3 60 T i d ak 2 40 Menceritakan pengalaman pada orang yang dipercaya Jumlah 5 100 Diam dan berpikir 1 20 Cuek 0 0 Jumlah 5 100 Dari tabel 18, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% mengalami perubahan dalam diri sesudah mengalami tindakan KDRT dan sebanyak 2 responden dengan presentase 40% tidak mengalami perubahan dalam diri sesudah mengalami tindakan KDRT. Hal ini dapat disebabkan besarnya kekecewaan responden terhadap perilaku sang pelaku sehingga membuat traumatis secara tak Tabel 19: Sering Tidaknya Responden Terlibat Perkelahian di Luar Keluarga Sering Tidaknya Terlibat Perkelahian di Luar Keluarga Frekuensi % Sering 1 20 Jarang 4 80 Jumlah 5 100 langsung yang mengakibatkan perubahan pola perilaku responden. Dari tabel 19, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 4 responden dengan presentase 80% jarang terlibat perkelahian di luar keluarga walaupun mengalami tindakan KDRT dan 1 responden Dari tabel 20, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% menceritakan pengalamannya (curhat) kepada orang yang dipercaya ketika terjadi permasalahan, 1 responden dengan presentase 20% melampiaskan pada suatu hal / kegiatan ketika terjadi permasalahan dan 1 orang responden dengan presentase 20% bersikap diam dan berpikir ketika terjadi permasalahan. Hal ini disebabkan pada dasarnya manusia adalah makluk sosial, responden merasa tak mampu menghadapi masalahnya sendirian dan butuh orang untuk menopangnya. Tabel 21: Ada Tidaknya Pengaruh KDRT Ketika Responden Membuat Keputusan dalam Memilih Pasangan Hidup Ada Tidaknya Pengaruh KDRT dalam Memilih Pasangan Hidup Frekuensi % Ya 3 60 T i d ak 2 40 Jumlah 5 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 9 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Dari tabel 21, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% mengatakan bahwa pengalaman KDRT yang terjadi mempengaruhi mereka membuat keputusan dan 2 responden dengan presentase 40% mengatakan bahwa pengalaman KDRT yang terjadi tidak mempengaruhi mereka dalam membuat keputusan. Hal ini disebabkan oleh intesitas dan lamanya responden menerima perlakuan KDRT. Karena semakin lama seseorang ditempa oleh perlakuan KDRT, maka secara tak sadar itu akan mempengaruhi pola pikiran dan dari pola pikiran akan mempengaruhi pola perilaku sang korban. Tabel 22: Ada Tidaknya Perubahan Suasana Keluarga Setelah Mengalami Tindakan KDRT Ada Tidaknya Perubahan Suasana Keluarga Setelah Mengalami Tindakan KDRT Frekuensi % Ya 3 60 T i d ak 2 40 Jumlah 5 100 Tabel 23: Komunikasi Responden Dengan Pelaku KDRT Setelah Terjadi KDRT Komunikasi dDengan Pelaku KDRT Setelah Terjadi KDRT Frekuensi % Kembali ke keadaan sebelum KDRT 1 20 Biasa saja, namun menjaga jarak 2 40 Jarang 0 0 Sangat jarang (bicara seperlunya saja) 2 40 Tidak berkomunikasi sama s e k al i 0 0 Jumlah 5 100 enggan dan menjaga jarak yang timbul dari diri responden akibat KDRT yang dialaminya. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari tabel 22, dapat diketahui bahwa mayoritas responden sebanyak 3 responden dengan presentase 60% mengalami perubahan suasana keluarga setelah mengalami tindakan KDRT dan 2 responden dengan presentase 40% tidak mengalami perubahan suasana keluarga setelah mengalami tindakan KDRT. Hal ini disebabkan oleh perasaan takut, waspada dan marah di dalam tiap – tiap individu dalam keluarga itu sehingga mempengaruhi suasana dalam keluarga setelah kejadian KDRT. Sumber pertanyaan no: 27 Dari tabel 23, dapat diketahui bahwa sebanyak 2 responden dengan presentase 40% berkomunikasi biasa saja dengan sang pelaku, namun menjaga jarak, 2 responden dengan presentase 40% berkomunikasi sangat jarang (berbicara seperlunya saja) dengan sang pelaku dan 1 responden dengan presentase 20% berkomunikasi layaknya keadaan sebelum KDRT. Hal ini dapat disebabkan oleh perasaan 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa reaksi responden yang paling umum adalah menghindar kemudian menangis. Reaksi repsonden ini merupakan reaksi mereka yang tak mampu berbuat lebih jauh karena pihak yang menjadi pelaku KDRT adalah orang tua mereka sendiri, sehingga ada rasa tak berdaya dalam diri mereka. Pengalaman KDRT yang pernah dialaminya mempengaruhi sang anak ketika mengalami permasalahan. Mayoritas responden menceritakan permasalahannya kepada orang yang dipercayai, ketika mengalami permasalahan. Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh pengalaman KDRT yang pernah responden alami. Hubungan sosial anak di dalam keluarga sesudah pengalaman KDRT juga turut berubah. Intesitas komunikasi anak dengan sang pelaku menjadi lebih jarang, sekalipun berjalan normal seperti sebelumnya, responden menjaga jarak dengan sang pelaku. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Saran Bagi sang anak, penulis menyarankan untuk memaafkan perbuatan sang pelaku dan biarlah waktu berlalu tanpa dendam. Memang hal itu susah dilaksanakan, tapi cobalah untuk mulai berkomunikasi dengan sang pelaku karena komunikasi adalah jembatan pikiran. Dengan komunikasi salah paham dan persoalan dapat terselesaikan. Pelampiasan emosi memang dibutuhkan sebagai penyalur pikiran, akan tetapi pelampiasan emosi hendaknya dalam bentuk kegiatan yang positif dan berguna. Lebih baik bercerita (curhat) kepada sahabat terdekat guna meringankan beban pikiran. Bagi sang pelaku, penulis menyarankan untuk menyadari betapa besar dan fatal dampak perbuatannya kepada seorang anak. Tindak kekerasan yang dilakukan dapat berakibat hilangnya kepercayaan anak terhadap Anda dan berubahnya perilaku anak. Tak jarang anak lebih condong ke perbuatan yang negatif. Daftar Pustaka Ciciek, Farha. (2005). Jangan ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sadock, Benjamin J. (2006). Comperhensice textbook of psychiatery. New York:American Psychiatric Association Widiastuti, Rofi dan Titiana Adinda. (2009). Demi anakku dan masa depanku; Pengalaman perempuan korban KDRT dan menjadi orangtua tunggal. Jakarta: : Elex Media Komputindo www.tripod.com www. Bared118’sblog.com www.wikipedia.com Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 11 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Penelitian Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Vincensius Yandi Arie Putra*) Abstrak encana alam yang terjadi akibat gempa dapat merusak dan menghancurkan bangunanbangunan yang terbuat dari beton dengan kerangka besi. Selama ini masyarakat kurang menggunakan bambu sebagai bahan bangunan permanen walaupun sejak jaman dahulu, bambu telah digunakan untuk bahan bangunan. Penelitian ini meneliti penggunaan bambu sebagai bahan bangunan tahan gempa dengan mengukur kekuatan bambu itu setelah melalui proses pengawetan. Hasil penelitian ini menunjukkan, sungguhpun memiliki kelemahan, bambu dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan tahan gempa dan menyarankan agar masyarakat meningkatkan penggunaan bambu untuk berbagai jenis bangunan tahan gempa. B Kata-kata kunci: Jenis-jenis bambu, kelemahan bambu, kelebihan bambu Abstract Earthquakes have damaged or destroyed many buildings and brought a lot of victims all over the world including those in Indonesia. This research aimed at finding out the possibility of using bamboo as one of the materials to construct seismic building. In this research the strength of three kinds of bamboo was measured to know its endurance for earthquakes. The experiment concluded, bamboo is appropriate for building construction and recommended to socialize the use of bamboo widely to all levels of society. Key words: Kinds of bamboo, weakneses of bamboo, advantages of bamboo Pendahuluan Dari berbagai bencana alam yang terjadi, salah satu di antaranya adalah gempa bumi yang terjadi diberbagai tempat di dunia ini, termasuk di Indonesia. Gempa merusak dan bahkan dapat membuat tanah longsor dan merusak sampai meluluhlantakkan bangunan yang ada di atas permukaan bumi sehingga tidak hanya menimbulkan kerugian materi tetapi juga menelan korban jiwa. Menyadari akibat gempa terhadap bangunan, para ahli merancang struktur dan bahan bangunan sedemikian rupa sehingga tahan gempa dan melindungi penghuninya dari akibat gempa itu. Penelitian ini mengkaji kemungkinan penggunaan bambu sebagai bahan bangunan tahan gempa. Adapun faktor yang mendorong penulis memilih bambu sebagai bahan bangunan karena berbagai alasan. Pertama, Indonesia sangat berlimpah dengan persediaan bambu, tetapi penggunaan bambu untuk bahan bangunan belum optimal karena masyarakat menganggap bangunan yang terbuat dari bambu kurang bergengsi dan bentuknya kurang menarik. Kedua, berdasarkan hasil penelitian, struktur bambu memiliki banyak keunggulan. *) Siswa Kelas Brilliant SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta 12 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Seratnya yang elastis sangat baik menahan beban, baik beban tekan maupun tarik. Bahkan jenis bambu tertentu dapat menggantikan baja sebagai tulangan beton. Ketiga, dari segi geografis, Indonesia berada di lempengan gunung, mengakibatkan mudah terjadi gempa bumi. Hal ini harus disikapi sejak dini untuk memilih struktur bangunan yang tahan gempa. Berdasarkan dua alasan sebelumnya, maka tepatlah memilih bambu sebagai materi dalam mengkonstruksi bangunan tahan gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa pada hakikatnya penduduk asli Indonesia secara turun-temurun telah menggunakan bambu sebagai bahan bangunan untuk dangau, pondok, rumah tempat tinggal, dan berbagai jenis bangunan lainnya. Penggunaan bambu secara tradisional untuk bangunan yang selama ini telah dilakukan belum didahului dengan penelitian secara ilmiah. Oleh karena itu, dengan memperhatikan bencana alam akibat gempa bumi yang semakin sering terjadi belakangan ini, perlu diteliti kemungkinan pemakaian bambu untuk berbagai jenis bangunan besar yang tahan gempa. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah mengetahui kemungkinan penggunaan bambu sebagai bahan bangunan tahan gempa. Untuk itu perlu diketahui (a) kekuatan bambu kosong tanpa buku, (b) kekuatan bambu kosong dengan buku, dan (c) kekuatan bambu tanpa buku maupun berbuku, yang sudah diisi. Batasan Penelitian Terdapat berbagai jenis bambu, mulai dari bambu besar dan tinggi sampai bambu kecil sehingga dipergunakan juga sebagai tanaman hias. Dalam kesempatan ini bambu yang diteliti dibatasi pada jenis Bambu Gading, Bambu Ori, dan Bambu Petung. Sedangkan dari bahan yang digunakan untuk memperkuat bambu ini juga dibatasi yaitu mortar, campuran semen dan pasir, dan campuran lain yang digunakan adalah campuran styrofoam dan mortar sebagai perekat tiap butir styrofoam tersebut. Perbandingan antara semen dan pasir pada mortar ialah 1:2 dan perbandingan antara mortar dan styrofoam pada campuran kedua ialah 3:2. Oleh karena keterbatasan waktu, semen yang digunakan tidak sepenuhnya kering, karena semennya hanya didiamkan selama 17 hari. Kajian Teoretis Sebelum dilakukan penelitian perlu diketahui secara tepat hal-hal yang berkaitan dengan bambu seperi (a) sifat-sifat, (b) masalah-masalah, dan (c) cara pengolahan bambu. Sifat-sifat bambu Meskipun bambu, baja dan beton masing-masing dapat digunakan untuk struktur bangunan, bambu memiliki sifat yang berbeda dengan baja dan beton, baik secara fisis mekanis dan kimiawi. Sifat-sifat kimia bambu jelas berbeda dengan sifat kimia bahan- bahan lainnya yaitu sebagai berikut. Pertama, kadar selulosa berkisar antara 42,4% - 53,6%. Kedua, kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan kadar pentosan 1,24% - 3,77%. Ketiga, kadar abu 1,24% - 3,77%;. Keempat, kadar silika 0,10% 1,78%; 4) Kadar ektraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%. Kelima, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8. Terakhir, yang ke enam, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% - 6,9%. Anatomi bambu juga berbeda dengan bahan lainnya. Perbedaan utamanya yaitu pada bagian tengah bambu yang berongga, dan buku-buku yang dimiliki bambu. Banyak orang menganggap bahwa rongga di bagian tengah bambu ini merupakan kelemahan bambu, karena rongga tersebut menyebabkan bambu tidak cukup kuat menahan beban, padahal sebenarnya pembatas antara ruas yang satu dan ruas yang lain berfungsi sebagai bracer yang memperkuat bambu, dan juga rongga ini memberi keuntungan tambahan dalam menggunakan bambu sebagai struktur bangunan karena membuat bambu tidak terlalu kaku dan lebih ringan. Sedangkan sifat mekanisnya nanti akan dibandingkan dengan beton dan baja sebagai pembanding kekuatan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 13 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Masalah-Masalah Bambu Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bambu masih sangat jarang digunakan di Indonesia. Alasannya antara lain ialah (a) banyak orang masih ragu akan kekuatan bambu; (b) masyarakat beranggapan bahwa bambu adalah material bagi orang miskin, dan (c) bambu tidak awet, karena mudah berlumut dan diserang kutu. Alasan-alasan tersebut pada hakikatnya kurang kuat dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Di pihak lain, bambu sangat mudah didapat di Indonesia. Dari ratusan spesiesnya yang ada di dunia, lebih dari seratus jenisnya dapat ditemukan di Indonesia. Tabel berikut ini berisikan jenis-jenis bambu yang dapat ditemukan di Indonesia. Jenis-jenis bambu yang ada di daerah-daerah di Indonesia antara lain adalah seperti tertera dalam tabel 1 berikut. Tabel 1: Jenis-jenis Bambu No. Nama Latin Nama Daerah 1. Arundinaria japonica Sieb & Zuc ex Stend. 2. Bambusa arundinacea (Retz.) Wild. Pring ori Sumatera, Java, Sulawesi 3. Bambusa atra Lindl. L o l e ba Maluku 4. Bambusa balcooa Roxb. 5. Bambusa blumeana Bl. ex Schul. f. Bambu duri Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara 6. Bambusa glaucescens (Wild) Sieb ex Munro. Bambu pagar, cendani Jawa 7. Bambusa horsfieldii Munro. Bambu embong Jawa 8. Bambusa polymorpha Munro. - Jawa 9. Bambusa tulda Munro. - Jawa 10. Bambusa vulgaris Bambu Gading Sumatera 11. Bambusa vulgaris Schard. Awi ampel, haur Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku 12. Dendrocalamus asper Bambu petung Java, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi 13. Dendrocalamus giganteus Munro. Bambu sembilang Jawa 14. Dendrocalamus strictur (Roxb) Ness. Bambu batu Jawa 15. Dinochloa scandens O.K. Bambu cangkoreh, K ad al an Jawa 16. Gigantochloa apus Kurz. Bambu apus, tali Jawa 17. Gigantochloa atroviolacea Bambu hitam, wulung Jawa 18. Gigantochloa atter Bambu ater, jawa benel, bu l u h Jawa 19. Gigantochloa achmadii Widjaja. B u l u h ap u s Sumatera 14 - Ditemukan di - Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Jawa Jawa Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu No. Nama Latin Nama Daerah Ditemukan di 20. Gigantochloa hasskarliana Bambu lengka tali Jawa, Bali, Sumatera 21. Gigantochloa levis (Blanco) Merr. Bu l u h su l u k Kalimantan 22. Gigantochloa manggong Widjaja. Bambu manggong Jawa 23. Gigantochloa nigrocillata Kurz Bambu lengka, terung terasi Jawa 24. Gigantochloa pruriens Buluh rengen Sumatera 25. Gigantochloa psedoarundinaceae Bambu andong, gambang surat Jawa 26. Gigantochloa ridleyi Holtum. Tiyang kaas B al i 27. Gigantochloa robusta Kurz. Bambu mayan, temen serit Jawa, Bali, Sumatera 28. Gigantochloa waryi Gamble B u l u h d ab o Sumatera 29. Melocanna bacifera (Roxb) Kurz. 30. Nastus elegantissimus (Hassk) Holt. Bambu eul-eul Jawa 31. Phyllostachys aurea A&Ch. Riviera bambu uncea Jawa 32. Schizotachyum blunei Ness. Bambu wuluh, tamiang Jawa, East Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku 33. Schizotachyum brachycladum Kuez. Buluh nehe, awi buluh, ute wanat, tomula Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku 34. Schizotachyum candatum Backer ex Heyne Buluh bungkok Sumatera 35. Schizotachyum lima (Blanco) Merr. Bambu toi Sulawesi, Maluku, Irian Jaya 36. Schizotachyum longispiculata Kurz. Bambu jalur Jawa, Sumatera, Kalimantan 37. Schizotachyum zollingeri Stend. Bambu jala, cakeutreuk Jawa, Sumatera - Cara mendorong masyarakat umum menggunakan bambu sebagai bahan bangunan dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa bambu itu bukan hanya digunakan oleh orang miskin, dan juga bahwa bambu itu cukup kuat untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Hal ini dapat didukung dengan memberikan bukti berupa eksperimen kekuatan bambu. Sedangkan berkaitan dengan kekuatan bambu, dapat dibuktikan melalui penelitian yang menunjukkan bahwa melalui proses pengawet- Jawa an, bambu dapat tahan lama. Khusus yang berkaitan dengan pengawetan bambu, berikut ini diuraikan teknik pelaksanaannya secara rinci. Pengawetan Bambu A. Proses-proses pengawetan bambu I. Vertical Soak Dif Diffusion fusion (VSD) a. Alat dan bahan yang diperlukan adalah: (1) tiga kg borax, (2) dua kg Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 15 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Ukuran bambu Diameter dan luas penampang bambu-bambu tersebut adalah sebagai berikut. 1. Petung : Diameter luar = 7.5 cm Diameter dalam = 6 cm Area = 1.589x10-3 m2 2. Gading : Diameter luar = 6.5 cm Diameter dalam = 5.9 cm Area = 5.840x10-4 m2 3. Ori : Diameter luar = 7.5 cm Diameter dalam = 5 cm Area = 2.453x10-3 m2 Kemudian sebagian potongan bambu diisi, namun masih ada potongan bambu yang masih kosong. Eksperimen ini menunjukkan berat masing-masing ketiga jenis bambu itu seperti tertera dalam tabel 2 sampai dengan tabel 4. Berat Bambu Setelah diisi, bambu diukur beratnya dan diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel 2, 3, dan 4 berikut ini. Tabel 2: Berat* Bambu Petung Empty Mortar + Styrofoam Mortar With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 351.7 315.2 1972.8 1869.6 1705.3 1776 Sample 2 336.7 352.5 2196.6 1766 1605.5 1726.1 Sample 3 374.9 337.2 2224.3 2080.4 1548.8 1440.3 Avg. 354.43 334.97 2131.23 1905.33 1619.87 1647.67 Catatan: * dalam gram Tabel 3: Berat* Bambu Gading Empty Mortar Mortar + Styrofoam With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 245.7 117.1 1788.1 1659.6 1176.7 1413.7 Sample 2 275.4 143.7 1796.1 1852.5 1351.8 1307.4 Sample 3 225.6 134.9 1763 1419.5 1211.6 1569.4 Avg. 248.9 131.9 1782.4 1643.87 1246.7 1430.17 Catatan: * dalam gram Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 17 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Tabel 4: Berat* Bambu Ori Empty Mortar Mortar + Styrofoam With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 408.5 442.8 1541.2 1751.6 1218.6 1331.5 Sample 2 449.3 409 1221.3 1454.4 1267.4 1143.9 Sample 3 447.9 47 2 . 1 1132.3 1451 1222.2 1278 Avg. 435.23 441.3 1298.27 1552.33 1236.07 1251.13 Catatan: * dalam gram 2500 2000 Petung Gading 1500 Ori 1000 500 0 Berbuku Tidak Berbuku K o so ng Tidak Berbuku Isi Mo rtar Tidak Isi Styro fo am Gambar 2: Berat dari parameter-parameter yang digunakan Kekuatan bambu dan perbandingan Kekuatan tekan dari parameter-parameter yang digunakan diukur dan dibandingkan dengan hasil seperti tertera pada tabel 5 sampai dengan tabel 7. Tabel 5: Kekuatan Bambu Petung Empty Mortar With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 49.44 56.22 43.03 42.66 62.88 36 Sample 2 67.32 60.04 44.01 36 44.88 37.73 Sample 3 50.55 63.34 60.9 35.76 52.28 38.72 Avg. 55.77 59.88 49.32 38.14 53.35 37.48 Catatan: Bambu Petung (in MPa) 18 Mortar + Styrofoam Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Tabel 6: Kekuatan* Bambu Gading Empty Mortar + Styrofoam Mortar With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 49.44 56.22 43.03 42 . 6 6 62.88 36 Sample 2 67.32 60.04 44.01 36 44.88 37.73 Sample 3 50.55 63.34 60.9 35.76 52.28 38.72 Avg. 55.77 59.88 49.32 38.14 53.35 37.48 Catatan: * in MPa Tabel 7: Kekuatan* Bambu Ori Empty Mortar + Styrofoam Mortar With Node Without Node With Node Without Node With Node Without Node Sample 1 33.72 39.95 29.72 33.32 27.01 25.97 Sample 2 3 1 . 48 38.11 27.72 34.28 22.05 27.88 Sample 3 28.84 39.07 24.57 32.08 26.85 27.56 Avg. 31.3 5 39.04 27.34 33.22 25.30 27.14 Catatan: * in MPa Tabel 8: Kekuatan Bambu Beton No. C oncrete cylinder Tensile strength (MPa) 1. A -1 32,81 2. A-2 33,95 3. A-3 33,81 Avg . 33,52 1. B-1 37,22 2. B-2 38,38 3. B-3 39,42 Avg. 38,34 1. C-1 40,80 2. C-2 3 1 , 49 3. C-3 35,16 Avg. 35,82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 19 Bangunan Tahan Gempa dengan Bambu Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata (a) bambu lebih kuat dari beton; (b) bambu petung adalah yang terkuat dari semua jenis yang digunakan pada penelitian ini; (c) beton tidak dapat digunakan untuk memperkuat bambu; dan (d) penggunaan bambu memberikan keamanan lebih daripada beton. Atas dasar kesimpulan tersebut, maka disarankan (a) masyarakat terus meningkatkan pemanfaatan bambu, mengingat bambu banyak terdapat di Indonesia; (b) kalau menggunakan bambu, hendaknya disertai tanggung jawab, yaitu dengan melestarikannya agar tidak terjadi kepunahan; dan (c) melakukan pengamatan dan penelitian kekuatan bambu dari jenis yang lain serta untuk mengetahui cara membuat struktur yang baik dari bambu http://karmidi.blogspot.com/ http://www.bambooman.com.au/ http://www.dephut.go.id/ http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/ 200806040215 44perbandingan%20 kuat%20lentur%20balok%20ber penampang%20perse gi%20dengan%20 balok%20berpenampang%20I.pdf/ http://www.sahabatbambu.com/ Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 21 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando Penelitian Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando Freddy Giovanni Setiawan, Ratnaganadi Paramita, dan Ricky Dwiputra Setiamanaha*) Abstrak ndonesia undoubtedly has rich and diverse cultural backgrounds. There are various different ethnics with different traditions and cultures including rituals, dances, paintings, sculptures and musics that describe unique features of the regions. This research explored acoustic sasando, a traditional musical instrument from Rote Island, the southernmost island of Indonesia. The sound spectrum of each melody strings were recorded and analyzed using the sound analyzer software called sonogram. Various comparisons were made in this research and one of the important findings is that the sound spectrum of sasando consists of more discrete frequencies as compared to that of guitar. The discrete frequency in sasando gives more sound color than that in guitar. For the melody strings, the difference between the frequencies of each sasando’s string is less than the harmonics of the dominant frequency. The frequency difference and the binaural effect of the brain and the resonance effect of the lontar leaves are also discussed in this article. I Key words: Sasando, wave, sound, musical acoustic, fourier transform. Abstract Indonesia memiliki latar belakang budaya yang kaya serta beraneka ragam. Terdapat berbagai jenis suku bangsa yang memiliki kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda seperti upacara adat, tari, lukisan, ukiran dan musik yang mencerminkan ciri-ciri unik setiap daerah. Penelitian ini mengeksplorasi Sasando , sebuah alat musik dari Pulau Rote, pulau Indonesia yang paling selatan. Dalam merekam dan menganalisis spektrum bunyi masing-masing tali melodi, dipergunakan perangkat lunak analisis bunyi Sonogram. Berbagai perbandingan dilakukan dalam penelitian dan salah satu hasil terpenting dari penelitian ini ialah bahwa spektrum bunyi sasando terdiri atas lebih banyak frekwensi yang berbeda-beda dibandingkan dengan gitar. Perbedaan frekwensi dan dampak binaural otak dan dampak resonansi daun lontar juga dibahas dalam tulisan ini. Kata kunci: Sasando, gelombang, suara, akustik musik, fourier transform. Introduction Indonesia, a country which is the biggest archipelago in the world, has a nice historical review. The location between Indian Ocean and Pacific Ocean makes Indonesia becomes a centre along ancient trading routes between Far East and Middle East. This fact results in cultural exchanges between Indonesian native people and the trading countries, such as China, India, and European Countries. This variety of cultures was also strongly influenced by a multitude of religions, such as Confucianism, Hinduism, *) Siswa Kelas Brilliant SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando Buddhism, and Islam. In fact, the cultures are fused and made a complex one different from original cultures. trees in that surrounding areas. The climate, weather, and the condition of the soil in the island only support palmyra palm trees live well. This fact causes Timorese citizens to live mostly depends on the palmyra palm tree. This is also the reason why Timorese citizens use lontar leaves from the palmyra palm tree to make Sasando. This lontar leaf which is the resonator of Sasando is actually the most interesting fact about Sasando. While the other chordophones, like guitar, use wood as its Fig. 1 : Rp 5,000.00 of the year 2002 with the picture of sasando in it. resonator, Sasando uses lontar leaves as its If we study more details about Indonesian resonator. Why does this Sasando use lontar leaves culture, it is also as interesting as its history. as its resonator? Is it really a resonator of the Indonesia consists of the archipelago from instrument or is it just used for decoration? How Sabang to Merauke. This position and its does it work? Does its existence give any effect to consequences – discussed above – result in sound produced? Those are questions we would differences of ethnics, traditions and cultures like to address in this paper. Through our (such as rituals, dances, paintings, sculptures experiments, we would like to examine carefully and also music) which describe exclusive about the lontar leaves’ effect and describe the features of the local region in each area, such as characteristics of this musical instrument, Borobudur Temple (Candi Borobudur), which was especially related to sound frequencies produced. one of The Seven Wonders in The World, Kecak In our research, we hypothesize that Sasando Dance from Bali, which was admitted by the has differences in tones with the other string international countries as an amazing dance, musical instruments because Sasando is a unique and also Sinanggar Tullo, a traditional song from instrument with its interesting lontar leaves Batak, of which the video has been shown several covering its body. Like the other musical times in MTV. instruments, Sasando also has resonance, which Among those interesting variety of culture and traditions, we found something very interesting. It is a musical instrument, a kind of chordophone – string musical instrument – from Rote Island, the southernmost island in Indonesia, called Sasando. Sasando consists of bamboo as the main body, strings as the sound sources, and lontar leaves (Palmyra Palm leaves) as the resonator. However, why do people in Rote Island use lontar leaves as Sasando’s resonator? Sasando comes from Rote Island – a part of Timor Island in the southern of Indonesia – where a large number of palmyra palm trees are found growing wildly by nature, better than some other Fig. 2: Palmyra Palm Trees in Rote Island Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 23 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando we thought it happens because this lontar leaf works as Sasando’s resonator and frequencies spreader. Besides, we also predict that Sasando has an effect affecting our brains called binaural effects. Physical Theory Fundamental Theory A wave is a disturbance that propagates through space and time. A wave is formed by a vibration, but a vibration itself is not a wave. It has to propagate through space and time to be called as a wave. According to this definition, there are two types of wave i.e., mechanical wave – a wave which propagates through a medium (e.g. sound) – and non-mechanical wave – a wave which does not propagate through a medium (e.g. electromagnetic wave). But we will only discuss in this paper about mechanical waves which propagate through a medium . Wave Properties Discussing about wave will bring us to a discussion about its properties. Basic properties of wave are period (T), frequency (f), wavelength (lambda), amplitude (A), intensity, interference and beats. A wavelength is the total distance between two sequential crests or troughs or any points which have the same distance with those of two sequential crests or troughs. These two points form a complete cycle of a wave. Amplitude (A) is a measurement of the distance from the zero position to a crest or a trough of the wave. The period (T) is the total time needed for one complete cycle of an oscillation of a wave. The frequency (f) is the total cycle of a wave in a unit time (a second) or the number of periods per unit time (per second). It is inversely proportional to the period (T). Interference is the addition (superposition) of two or more waves which are correlated or coherent to each other that result in a new wave pattern. Beats are interferences between two waves which have a slight frequency difference. Sound and Musical Acoustic What is sound? Sound is a longitudinal wave. It is a traveling wave which is transmitted through a medium – solid, liquid, and gas. As sound is a wave, the explanation above also applies for sound. Musical acoustic is the branch of acoustic – a study of sound, ultrasound and infrasound – which is focusing on the area of study about musical instrument and human voice. Music itself is a form of art whose medium is sound. It could be produced by musical instrument, human voice, even some unused material (e.g. garbage music), but we will only discuss about musical instruments. There are some types of musical instruments. One of them is chordophone. Chordophone is a type of musical instrument that uses strings to produce its sound. Sasando is basically a Chordophone. Fourier Transform Fourier transform is an operation that transforms the domain of a function into another domain which is the conjugation of the original domain. In our experiment, the original data from Sasando sound is basically in time domain while we need it in a form of frequency domain to analyze it. In order to do the analysis, we need the Fourier transform which in our chase, we transform the data from time domain to frequency domain. There are several common conventions for defining the Fourier transform of an integrable function ƒ: R --> C (1) Fig. 3: Picture of a wave and its properties 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 for every real number of ù . Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando The independent variable t represents time (in second or s) and the variable ù represents frequency (in Hertz or Hz). 360 degrees. They are also places where the strings are attached and can be tuned until we find the best notes that we want. These simple structures are made of brown wood. Sasando 4. Woven Palm Leaves This is the most unique part of Sasando. Unlike other musical instruments, it is used as the resonator. It is usually made of 64 sheets of lontar leaves (32 at the right side of bow, and the others at the left side), which are woven together with a simple thread and fixed at the bases. These leaves can be folded and unfolded. Parts of Sasando 1 2 5. Lumps These parts are also important because by sliding it, we change the length of the strings, which results in different tones. These structures are so small, made from wood, and attached to Sasando’s long tubular. The number of lumps is the same as the number of strings. 3 4 5 7 6 8 Fig. 4: Picture of Sasando 1. Symbol Leaf It is a unique structure which is usually made by a Sasando maker or an artist. It consists of three oval structures that stick together at one end and made from lontar leaves. It is a symbol of special and traditional culture of Rote Island. 6. Strings This is the most important thing of Sasando because if there are no strings, no sound can be produced. The number of the strings of each Sasando is different, but commonly it has 24 strings. They are divided into two parts. The right part is for accord and the left part is for melody and bass. All attached are circling the tubular. A Sasando player plays the two parts together and combines them. 7. Long Tubular A long cylinder made of wood is the main body of Sasando. It is the place where strings and lumps are attached. The main color is soft brown, like the wood itself, but it is usually decorated with some unique and traditional architecture with many different colors. This decoration shows that it is originally comes from Rote. 2. Bow It is a structure similar to a bow made of bamboo. It represents a main body with the long tubular and used to fix the top and the bottom bases. It is also a part where the resonator leaves are attached. 8. Bamboo Foot As its name, this part is placed at the bottom of Sasando, which is fixed to a bow. The important function is to make the Sasando stand well while being played. It is made of a half piece of bamboo. 3. Bases The parts consist of two main parts, the top and the bottom. Each of them is fixed to the bow and made like a door hinge, so they can be rotated to Experimental Method We do three observations in our experiment as described below: Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 25 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando The first observation in our experiment was to determine that Sasando has something different from the other chordophones commonly found. So, Sasando is so unique, the one and only from Indonesia. To find out the facts, we used another musical instrument – guitar – to be compared with our Sasando. We did some simple things. Started from plucking the strings for each musical instruments, from 1st until 8th Tones (Basic Tone of Sasando is on F sharp of guitar, the second one is G Sharp, and so on) and recording them by microphone. Then we compared the outputs produced by the helping program – Sonogram v 2.8 – we used to make our tabulation of data become simpler. This program has many features like the Fast Fourier Transform (FFT) and Autocorrelation as the features that we used a lot to determine either the peak frequencies or the pitch of the tones we need with also their graphs. The second observation of our experiment is to prove that lontar leaf is not only for Sasando resonances, but it also affects the frequencies spreading. We found out this step by doing the same thing with the first step we did, but we record the sound when the Sasando’s foldable leaf be folded and unfolded. The last observation is to check either Sasando has the binaural effects or not. At first, we have read our journal resources and found that binaural effects are auditory processing artifacts, or apparent sounds, the perception of which arises in the brain independent of physical stimuli. This effect could happen when the sound has more than one dominant frequency with more or less than 30 Hz in differences from the sasando fundamental frequency. We found out by checking the data from the 1st observation and plotting a graph to make sure that the frequencies are covered by the range area. Results and Discussion By recording the 1st - 8th harmonics of Sasando, we got the data below. Table 1: Various harmonics of Sasando Stable Note Crest (Hz) Pitch C1 C2 C3 T(ms) F(Hz) 1. 387 1119 2239 2 .7 370 2. 430 1205 2067 2.4 416 3. 473 904 2325 2.1 476 4. 516 1464 3488 2 500 5. 559 1119 2239 1.8 555 6. 602 1248 3100 1.6 625 7. 689 1378 2067 1.4 714 8. 732 1464 2239 1.3 769 Table 1 shows the data that we got by looking at the Fast Fourier Transform (FFT) and the Autocorrelation. We observed the pitch (fundamental frequency), and also the three most dominant frequencies shown on Crest Diagram, denotes by C1 until C3. We can see that the first guitar Fig. 5: An example of Fast Fourier Transform / FFT (first harmonic) 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando dominant frequency is slightly different from the pitch. The interesting facts showed by C2 and C3 shows that the Sasando’s frequencies are Table 2 and Fig. 7 show the duration of the existing sound and the constantly and directly change of the sound. Fig. 8 mentions about the PITCH:T=2.7ms; f=370.0Hz PITCH:T=2.7ms; f=370.0Hz guitar sasando Fig. 6: An example of Autocorrelation (first harmonic) widely spread. The graph below shows the example of them (first harmonic, red colored) by using Sonogram. From the second observation, by recording the sound of folded and unfolded leaves of Sasando, we got these Fig. 7 and Fig. 8 with the supporting Table 2 below. fundamental frequency that usually appears at the crest, but in the graph of Sasando with folded leaf, the fundamental frequency appears not at the crest of the graph. So the lontar leaf does affect the resonance and the spreading of the frequencies. Unfolded Leaf Folded Leaf Fig. 7: Sasando’ Sasando’ss sonogram Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 27 Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando Red = 387 Green = 1033 Blue = 2153 387 387 Red = 1119 Green = 732 Blue = 344 1119 1119 2153 2153 1033 1033 344 344 732 732 Fig. 8: Sasando’s Fast Fourier Transform/FFT Tabel 2 : The Frequencies Spreading and the Time of Existing Sound Unfolded Leaf Stable Note 28 Crest (Hz) Pitch C1 C2 C3 T(ms) F(Hz) F# 387 1033 2153 2 .7 370 F# 1119 732 344 2.7 370 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Exist Time (sec) 4.38 (1.19 to 5.57) 2.81 (1.33 to 4.14) Brain Stimulating Effects of Acoustic Sasando 800 F re q u e n c y o b s e rv e d 700 600 F > 30 500 F < 30 400 300 1st 2nd 3rd 4th 5th 6th 7th 8th Fig. 9: Binaural Beat Chart From Fig. 9, we could assume that the binaural effects can happen because Sasando’s sound frequency spreads between the ranges of the frequencies that trigger the binaural effects. Conclusion From these three observations that we did in the experiment, i.e the data acquired, the analysis of the data using Sonograph, and the discussion about the data, we could clarify about these three conclusions. First, from all 8 graphs of Sasando’s harmonics with its three dominant frequencies in Table 1, we can conclude that Sasando has more widely spread frequencies than guitar does. Table 2 and Fig. 7 shows that the time needed for the sound, produced by Sasando with folded leaves, to disappear is longer than that of Sasando with unfolded leaves. In Fig. 7, we can also see that the amplitude of the sound produced with folded leaves is increasing before constantly decreasing while the amplitude of the sound produced with unfolded leaves is constantly decreasing from the very beginning. Fig. 8 also shows that, for Sasando with folded leaves, the fundamental frequency, that usually appears at the crest, appears but not at the crest of the graph. These facts bring us to a conclusion, the second conclusion, that these leaves do affect Sasando sound. Thus, it shows that these lontar leaves are the resonators of Sasando and also the spreaders of Sasando’s frequency. The third conclusion is that Sasando sound has binaural beats. As we see in Fig. 9, the range of Sasando sound is between the ranges of frequency – which is 30 Hz more or less than the fundamental frequency – that can cause a binaural effect which means that it can make an effect of relaxation. References Hink, R. F., K. Kodera, O. Yamada, K. Kaga, and J. Suzuki. (1980). Binaural interaction of a beating frequency following response. Audiology 19:36–43. Lawrence, R. (1977). IEEE Transactions on Acoustics, speech, and signal processing. Vol. ASSP – 25. Oster, G. (1973). Auditory beats in the brain. Scientific American 229:94–102. William H. Press, Saul A. Teukolsky, William T. Vetterling, Brian P. Flannery. (2002). Numerical Recipes in C++, 2nd edition, Cambridge University Press., p. 501 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 29 Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Penelitian Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Widodo*) Abstrak alam upaya meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan di sekolah baik di masingmasing satuan pendidikan dan secara nasional, Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) memberikan kebebasan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sesuai dengan kondisi lokal tanpa mengabaikan tuntutan mutu secara nasional. Dalam kenyataannya tidak jarang ditemui KKM yang ditetapkan itu tidak dapat dipenuhi karena penyusunan dan penetapannya kurang tepat dan kurang berpedoman pada ketentuan yang ada. Dengan demikian proses dan hasil belajar dan membelajarkan di sekolah tidak mencapai mutu seperti yang direncanakan. Tulisan berikut membahas cara menyusun dan menetapkan KKM untuk masing-masing mata pelajaran dengan tujuan dapat memberikan pencerahan kepada guru dan sekolah sehingga peserta didik dan guru, serta sekolah secara keseluruhan, dapat memenuhi KKM secara baik. Tulisan ini secara khusus membahas penggunaan bilangan baku dalam mencapai KKM. D Kata kunci : KKM, sekolah, LHBS, bilangan baku Abstract To enhance the education quality at school level as well as at national level, the government has been implementing the 2006 Curriculum (Curriculum of Educational Unit Level) in which every school is authorized to develop its own curriculum based on the basic guidelines given by the Central Government. To attain the curriculum objectives, each school is also encouraged to set the criteria for learning mastery (KKM) for each subject. However, in the implementation not all of schools can fulfill the criteria (KKM) as they were not properly formulated and set. This article discusses how to formulate and define the criteria (KKM) properly based on the regulations and existing school conditions. This article introduces the techniques of using standardized scores in relation to the fulfillment of KKM. Key words: KKM, SKBM, standardized score Pendahuluan Kurikulum 2006 merupakan kurikulum yang memberikan tempat seluas-luasnya bagi setiap sekolah untuk merancang sendiri kurikulumnya. Kurikulum 2006 disebut dengan Kurikulum *) Guru SDK BPK PENABUR Tasikmalaya 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu kebebasan sekolah yang dapat berbeda dengan sekolah lain adalah dalam menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajarannya. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sama artinya dengan istilah Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM). Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Sebelum tahun pelajaran dimulai setiap guru menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran yang akan diajarkan. KKM tersebut menjadi KKM sekolah. KKM Pelajaran yang satu berbeda dengan pelajaran lainnya. KKM pelajaran yang sama di tingkat kelas yang di bawah dapat berbeda dengan tingkat kelas di atasnya. KKM yang telah ditetapkan oleh guru dan sekolah harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa disingkat LHBS atau Rapor (Bimtek Kurikulum 2006: 2). Sebagian besar guru-guru SD BPK PENABUR Tasikmalaya menetapkan KKM hanya berdasarkan alasan agar mudah dicapai siswa dan lebih terkesan “Sesuai yang aku mau” secara spontan menyebut suatu “angka aman”, sehingga tidak berani menetapkan KKM dengan angka lebih tinggi. Penetapan KKM tidak dibentuk menggunakan kriteria-kriteria yang sebenarnya. Guru tidak dapat menunjukkan dasar penetapan KKM secara tertulis, guru hanya memberikan suatu angka. Sementara itu ada juga sejumlah guru beranggapan penetapan KKM merepotkan, hanya menambah pekerjaan, dan belum dapat melihat manfaat tambahan bagi guru. Akibatnya KKM yang ditetapkan kurang mencerminkan intake siswa, kompleksitas bahan ajar, serta daya dukung yang dimiliki. Guru tidak melakukan perubahan dan pembangunan diri dalam pembelajarannya. Seolaholah ada atau tidak ada KKM sama saja, yang penting semua bahan ajar telah diajarkan. Tidak terlihat semangat guru yang dapat mempengaruhi siswa berusaha mencapai KKM. Penyusunan soal tes tidak mencerminkan indikator-indikator Kompetensi Dasar, sehingga terdapat ketidak sesuaian antara soal tes dengan indikatornya dan hasilnya kurang memuaskan. Ada tes ulang tanpa ada remedial atau bimbingan. Kualitas pendidikan tidak meningkat, bahkan cenderung menurun, dan tertinggal dengan pesaing-pesaing yang bersemangat melakukan perubahan-perubahan. Dengan demikian, dirasakan sangat perlu membenahi pembelajaran dengan penetapan KKM yang benar (sesuai kriteria) dan cara-cara mencapai KKM yang benar pula. Penetapan KKM sejalan dengan sistem “Belajar Tuntas” atau “Mastery Learning” (Moleong, 1978: 6). Seluruh siswa tanpa kecuali harus dapat mencapai taraf penguasaan penuh pada setiap Kompetensi Dasar (KD). Tes formatif (ulangan harian) dan tes sumatif (Tes evaluasi akhir semester atau uji blok) dilakukan bukan hanya untuk menentukan angka kemajuan belajar semata, tetapi juga sebagai dasar catu balik (feed back) untuk menentukan saat setiap siswa memperoleh bantuan dalam mencapai tujuan pembelajaran (Stone & Nielson, 1982: 11). Tes formatif dimaksud merupakan tes yang dilakukan untuk melakukan evaluasi setelah pembahasan selesai satu atau dua Kompetensi Dasar (KD). Tes sumatif dimaksud merupakan tes yang dilaksanakan setelah seluruh Kompetensi Dasar dalam satu semester telah selesai pembahasannya (Dick & Carey, 1978: 8, 10, 11). Dengan demikian tes yang dilakukan disebut ‘Diagnostic Progress Test’ atau Tes Diagnosa Kemajuan. Pencapaian KKM meskipun secara eksplisit ditujukan kepada siswa yang harus mencapainya, namun sebenarnya secara implisit juga ditujukan kepada guru untuk mencapainya. Guru yang profesional harus dapat menentukan KKM yang tepat dan dengan segala kemampuannya mengupayakan seluruh siswa dapat mencapai bahkan dapat melampaui KKM. Upaya guru secara garis besar meliputi empat langkah yang dikenal dengan istilah “P3R” yaitu Persiapan, Pelaksanaan, Penilaian, dan Refleksi (Suparno 1998: 72). Yang dimaksud persiapan yaitu guru membuat program pembelajaran tahunan, program semester, menyusun silabus, dan membuat rencana pembelajaran. Pembuatan program pembelajaran tersebut dituntun dan merupakan pengembangan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang terdapat dalam kurikulum 2006. Guru dapat mengembangkan atau memperkaya dengan menambahkan materi lain yang berhubungan. Di dalam pembuatan rencana pembelajaran (RP) atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dapat ditambahkan catatan tentang isu atau kejadian atau peristiwa atau berita yang sedang hangat yang dapat dikaitkan dengan kompetensi dasar (KD) yang akan dibahas. Selanjutnya, guru melaksanakan pembelajaran sesuai jadwal dan sesuai program semester. Setiap selesai pembahasan satu atau dua kompetensi dasar (KD) dilakukan tes formatif untuk melakukan penilaian mengukur tingkat pencapaian KKM. Disarankan menggunakan tes obyektif agar mudah melakukan analisa tes. Tahap akhir adalah guru melakukan refleksi merenungkan semua tahapan yang telah dilaksanakan untuk menemukan kekurangankekurangan guna melakukan perbaikan tugas Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 31 Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku profesional guru di kemudian hari. Demikian juga gaya mengajar guru mencerminkan pelaksanaan pengajaran ikut mempengaruhi pencapaian KKM (Dianne Lapp, dkk, 1975: 1). Guru sebagai orang dewasa diharapkan mampu memperbaiki bahkan mengubah gaya mengajarnya bila ternyata gaya mengajarnya kurang dapat mendukung / membantu siswa mencapai ketuntasan (KKM) yang diharapkan. Tidak kalah pentingnya guru harus memahami, bahwa setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian yang merupakan ciri-ciri khusus yang bersifat menonjol yang membedakan dirinya dengan orang lain. (Hall & Lindsey, 1981: 9). Dengan demikian pemberian bimbingan harus disesuaikan dengan sifat-sifat khas setiap siswa. Uraian sebelumnya menunjukkan KKM di awal proses pembelajaran menentukan proses belajar-membelajarkan dan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian penyusunan dan penetapan KKM perlu dilakukan secara cermat, tidak semata-mata memperhatikan apa yang hendak dicapai, tetapi juga bagaimana keadaan yang ada. Masalahnya kemudian ialah, bagaimana menyusun, menetapkan KKM dan mencapai KKM itu? Pembahasan Penetapan KKM Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ditetapkan pada awal tahun pelajaran oleh forum warga sekolah (Guru dan Kepala Sekolah) dalam rapat. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0 – 100. Nilai ketuntasan belajar maksimal adalah 100, tetapi sekolah diperbolehkan menetapkan KKM di bawah 100. Nilai KKM yang telah ditetapkan sekolah harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) atau Rapor dalam kolom KKM atau SKB. Urut-urutan penetapan KKM adalah sebagai berikut. KKM Indikator 32 KKM KD KKM SK KKM MP Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Keterangan: KKM Indikator Indikator-indikator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar (KD) kemungkinan berbeda-beda kompleksitasnya, ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Dengan demikian setiap indikator memiliki KKM yang berbeda. KKM Indikator dirata-ratakan dan menjadi KKM Kompetensi Dasar (KD). KKM Kompetensi Dasar (KD) Setiap Standar Kompetensi (SK) terdiri atas beberapa Kompetensi Dasar (KD) yang memiliki KKM yang berbeda (hasil rata-rata KKM indikator-indikatornya). Rata-rata KKM KD menjadi KKM SK. KKM Standar Kompetensi (SK) KKM Standar Kompetensi (SK) merupakan hasil rata-rata KKM KD. Rata-rata dari KKM SK suatu mata pelajaran menjadi KKM Mata Pelajaran. KKM Mata Pelajaran (MP) KKM Mata Pelajaran (MP) merupakan hasil rata-rata KKM setiap Standar Kompetensi (SK). KKM MP antara tingkat kelas yang satu dengan tingkat kelas yang lainnya boleh berbeda, boleh juga sama ditentukan oleh kriteria-kriteria yang membentuk KKM. KKM Sekolah Menggambarkan KKM Mata Pelajaran seluruh tingkat kelas di sekolah tersebut. KKM sekolah yang satu boleh berbeda dengan KKM sekolah lainnya. Kompetensi Dasar (KD) merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Standar Kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan KKM Sekolah Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester. SK terdiri atas sejumlah KD sebagai acuan baku yang harus dicapai dan berlaku secara nasional (Kurikulum 2006). Kriteria Penetapan KKM Penetapan KKM tidak dilakukan secara sembarangan menetapkan angka tertentu sesuai keinginan guru, tetapi harus memenuhi kriteria (1) kompleksitas (kesulitan dan kerumitan bahan ajar), (2) daya dukung, dan (3) intake siswa. Ketiga kriteria ini merupakan kriteria minimal untuk mencapai target minimal penguasaan siswa terhadap suatu kompetensi dasar. Sedangkan hasil belajar siswa dapat dilihat dari berbagai segi pengukuran selain tes tertulis, ada tes lisan, pengamatan, unjuk kerja, tugas, dan lain-lain. 1. Kompleksitas (kesulitan dan kerumitan bahan ajar) Tingkat kompleksitas setiap mata pelajaran bahkan setiap Kompetensi Dasar (KD) berbedabeda. Tingkat kompleksitas yang tinggi akan mempengaruhi penetapan KKM menjadi rendah dan sebaliknya tingkat kompleksitas rendah akan mempengaruhi penetapan KKM yang tinggi. Tingkat kompleksitas suatu mata pelajaran dikategorikan tinggi bila dalam pelaksanaan pembelajarannya menuntut (1) guru harus memahami dengan sungguhsungguh kompetensi yang harus dicapai siswa, dan guru dituntut harus kreatif serta inovatif dalam melaksanakan pembelajaran, (2) waktu yang diperlukan untuk pembelajaran cukup lama (jam tatap muka banyak) karena memerlukan pengulangan-pengulangan, dan (3) sangat diperlukan penalaran dan kecermatan siswa yang tinggi. Contoh kompleksitas tinggi: Mata pelajaran Matematika 1) Matematika SD pembahasan Bangun Ruang (khususnya Luas Permukaan), kelas VI - Anak harus membayangkan bentuk bangun ruang - Anak harus mampu mengembangkan rumus penghitungan - Anak harus memahami bahan pembelajaran kelas sebelumnya (kelas IV dan V) 2) Matematika SMP pembahasan Aljabar Perfaktoran, kelas VIII - 3) Anak harus membayangkan bentuk aljabar - Anak harus memahami bahan pembelajaran kelas sebelumnya (kelas VII) Matematika SMA pembahasan Dimensi 3 (Ukur Ruang), kelas X - Siswa harus mampu membayangkan permasalahan Dimensi 3 - Siswa harus mampu menggambar bangun - Siswa harus mampu membuat model - Siswa harus mampu menganalisa Contoh kompleksitas rendah: Mata pelajaran Matematika 1) Matematika SD pembahasan operasi bilangan - Anak hanya dituntut kemampuan menambah dan mengurangkan. Misal 10 + 5 = . . .atau 75 – 30 = . . . 2) Matematika SMP pembahasan Statistik, kelas IX - Sedikit rumus dan hanya operasi menambah dan mengurangkan 3) Matematika SMA pembahasan Matrik, kelas XII - Hanya operasi menambah dan mengurangkan Tinggi-rendahnya kompleksitas bahan pembelajaran dapat dikatakan relatif. Untuk sekolah yang satu dinilai tinggi tetapi di sekolah lain dinilai sedang. Khususnya Matematika, bila soalnya saja belum terbayang, bagaimana bisa mengerjakannya?. Rupanya kalimat tersebut yang menjadi kunci Matematika memiliki kompleksitas tinggi. Guru masa depan tidak lagi tampil sebagai pengajar (teacher), melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager). (Sidi, 2001). Ada pepatah kuno, bahwa ’murid tidak dapat melebihi gurunya, sudah baik bila ia dapat menyamai gurunya’. Bagaimana mungkin siswa dapat menyamai atau bahkan melebihi gurunya, kalau sang guru tidak memberikan seluruh ilmunya kepada siswanya. Mengukur keberhasilan belajar siswa dari apa yang telah dipelajarinya, bukan yang tidak dipelajarinya. Sesulit apapun soal, bila mengetahui cara memecahkannya, karena pernah berlatih soal yang serupa pastilah siswa dapat memecahkannya. Setidaknya ada semangat untuk berusaha memecahkannya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 33 Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Sebenarnya tidak ada mata pelajaran yang memiliki kompleksitas tinggi, bila semua bahan ajar telah diajarkan tuntas sampai dengan pemberian soal-soal latihannya. Suatu mata pelajaran menjadi memiliki kompleksitas tinggi karena ada sebagian bahan yang tidak diajarkan secara tuntas, demikian juga soal-soal latihannya ada yang tidak dibahas. Bahan yang tidak diajarkan dan soal-soal latihan yang tidak dilatihkan justru dijadikan soal tes. Sudah dapat dipastikan hasilnya tidak semua siswa mampu mencapai KKM, lalu disimpulkan memiliki kompleksitas tinggi. Siswa tidak mampu memecahkan, karena guru tidak pernah mengajarkannya dan tidak pernah melatihkan soal yang serupa (bukan soal yang sama). Diharapkan keadaan yang demikian tidak terjadi, khususnya di lingkungan BPK PENABUR sehingga guru benar-benar tetap menjaga profesionalismenya. 2. Daya Dukung Yang dimaksudkan dengan daya dukung yaitu (a) tenaga pengajar (guru) yang memenuhi kualifikasi minimal S1/D4 yang selalu siap melaksanakan pembelajaran (b) sarana penunjang pendidikan meliputi (ruangan kelas, media pembelajaran, laboratorium, perpustakaan) , (c) manajemen sekolah yang mampu mendukung kelancaran Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan baik, dan (d) kepedulian pemangku kepentingan (stakesholder) sekolah (Pengurus, Orang tua siswa, guru, dan karyawan). Keempat jenis daya dukung itu diharapkan tersedia dalam jumlah, kualitas dan waktu yang tepat. Daya dukung di BPK PENABUR tergolong sangat baik, terlihat dari kenyataan bahwa hampir semua guru TK sampai dengan SMA/ SMK memiliki kualifikasi Sarjana S1 / D4, bahkan ada yang S2. Ada sebagian kecil guruguru TK dan SD yang sedang menempuh studi penyetaraan peningkatan kualifikasi untuk memperoleh gelar sarjana S1 / D4. Setiap guru siap mengajar 5 atau 6 hari penuh, sarana prasarana pendidikan di atas rata-rata baik, dukungan pengurus baik, dan dukungan orang tua siswa juga baik. Kadang-kadang daya dukung yang baik yang telah dimiliki belum disadari benar, sehingga belum dapat memacu kinerja atau semangat berprestasi bagi sebagian guru. 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 3. Intake Siswa Intake siswa atau tingkat kemampuan rata-rata siswa (Bimtek KTSP-Depdiknas, 2008) dapat ditentukan sebagai berikut. Untuk siswa kelas 1 SD atau kelas 7 SMP atau kelas 10 SMA/SMK, penentuan intake siswa berdasarkan rata-rata hasil seleksi Penerimaan Siswa Baru (PSB), atau menggunakan STTB/Ijazah, atau LHBS/Rapor tingkat kelas sebelumnya. Bagi SD yang tidak melaksanakan seleksi Penerimaan Siswa Baru (PSB), penetapan langsung KKM berdasarkan KKM tahun pelajaran sebelumnya, atau ditetapkan berdasarkan keputusan rapat forum warga sekolah. Siswa kelas 2 – 6 SD atau kelas 8-9 SMP atau kelas 11-12 SMA/SMK, penetapan intake siswa berdasarkan tingkat kemampuan rata-rata siswa yang dicapai dalam LHBS atau Rapor semester sebelumnya. Intake siswa yang dimiliki BPK PENABUR di atas rata-rata sampai sangat baik. Sudah diakui oleh masyarakat sekitar BPK PENABUR, bahwa rata-rata anak-anak yang belajar di BPK PENABUR berasal dari keluarga-keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan baik, sehingga dapat dipastikan kalau output lulusannya juga pasti baik Table 1: Menafsirkan Kriteria menjadi Angka Nilai Kriteria Tingkat 1. Kompleksitas 2. Daya Dukung 3. Intake Siswa Poin Nilai Rentang Nilai Tinggi 1 5 0 - 64 Sedang 2 65 - 80 Rendah 3 81 - 10 0 Tinggi 3 81 - 100 Sedang 2 65 - 80 Rendah 1 50 - 64 Tinggi 3 81 - 100 Sedang 2 65 - 80 Rendah 1 50 - 64 (Bimtek KTSP-Depdiknas, 2008) Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Jika suatu Mata Pelajaran kompleksitasnya rendah, daya dukungnya sedang, dan intake siswa sedang, maka perhitungan penetapan KKM sebagai berikut. a. Perhitungan berdasarkan Poin Nilai KKM= 3+2+2 x100 = 77.78 dibulatkan menjadi 78 9 b. Perhitungan berdasarkan Rentang Nilai KKM = 90+76+68 3 x100 = 78 Guru BPK PENABUR minimal berijazah Sarjana (S1 atau D-4), sering mendapat pelatihan melalui MGMP, dan pelatihan-pelatihan lainnya, bekerja penuh berada di sekolah meskipun tidak ada jadwal mengajar. Jadi dapat dikategorikan memiliki nilai sedang, bahkan seharusnya nilai sedang maksimal. Apalagi yang berijazah S2, berpengalaman mengajar dibidangnya lebih dari 10 tahun, tentu nilainya lebih dari sedang. Sarana dan prasarana belajar rata-rata sekolah BPK PENABUR baik, tidak relevan kalau diberi nilai rendah. Orang tua siswa percaya kepada BPK PENABUR, bahkan rela mengeluarkan uang lebih agar putra/ putrinya tidak ketinggalan teman-temannya, mendukung setiap kegiatan sekolah, maka dukungan orangtua tidak relevan kalau diberi nilai rendah. Jika suatu Mata Pelajaran kompleksitasnya tinggi, daya dukung tinggi, dan intake siswa sedang, maka perhitungan penetapan KKM sebagai berikut. KKM= 1+3+2 9 x100 = 66.67 dibulatkan menjadi 67 a. Perhitungan berdasarkan Poin Nilai Atau c. Perhitungan berdasarkan Rentang Nilai KKM = 60+85+65 3 x100 = 70 BPK PENABUR dikenal masyarakat memiliki daya dukung sangat baik (perhatian pengurus tinggi, sarana tersedia baik, guru-guru dan karyawan sangat baik, dan perhatian orang tua siswa sangat baik) dan intake siswa di atas rata-rata, dengan demikian seharusnya setiap mata pelajaran KKM-nya di atas 75. Penulis mengasumsikan, bahwa sekolah yang berani menetapkan KKM tinggi mencerminkan keseriusan, kesiapan, dan kesungguhan warga sekolah (terutama kepala sekolah, guru, dan karyawannya) dalam memberikan pelayanan yang semakin baik. Masyarakat melihat kepedulian sekolah dalam membimbing dan menghantar siswa-siswanya untuk meraih prestasi lebih. Penulis mengasumsikan bila Sekolah-sekolah BPK PENABUR berani menetapkan KKM tinggi berarti kepala sekolah, guru, dan karyawannya benar-benar siap, serius, dan sungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan yang semakin baik. Dengan demikian masyarakat mau mempercayakan putra-putrinya menjadi bagian BPK PENABUR untuk ikut memiliki prestasi lebih. Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Sekolah harus menginformasikan KKM yang telah ditetapkan kepada seluruh siswa dan orang tua siswa (masyarakat), demikian juga cara mencapai KKM tersebut. Tercapai atau tidak tercapainya KKM dapat diketahui dari hasil Tes Formatif dan Tes Sumatif. Bila KKM suatu Kompetensi Dasar (KD) belum dapat dicapai oleh sebagian besar siswa, maka sebaiknya guru tidak melanjutkan pembahasan Kompetensi Dasar (KD) berikutnya. Guru harus mengadakan remedial (pengajaran ulang), bimbingan dan tes perbaikan. Bila hanya sebagian kecil siswa yang tidak mencapai KKM, pembahasan Kompetensi Dasar (KD) berikutnya dapat dilaksanakan, tetapi guru harus memberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan kepada siswasiswa tersebut sampai semua siswa mencapai KKM. Remedial, bimbingan, dan tes perbaikan sebaiknya dilaksanakan di luar jam tatap muka Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), agar semua Kompetensi Dasar (KD) dapat dibahas sesuai waktu yang telah ditetapkan. Pemberian remedial, bimbingan, dan tes perbaikan tidak terbatas waktu dan pelaksanaannya sampai setiap siswa mencapai KKM. Bila dalam membuat soal tes sesuai dengan indikator sesuai dengan kompetensi dasar (KD), dan KD diberitahukan kepada siswa setiap awal pembelajaran, serta diajarkan kepada siswa Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 35 Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku dapat dipastikan sebagian besar hasil tes siswa mencapai KKM. Bila guru konsekuen dengan profesinya dibuktikan dengan selalu memberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan kepada siswa-siswa yang belum mencapai KKM, maka semua siswa tidak terkecuali akan mampu mencapai KKM setiap kompetensi dasar (KD) yang diajarkan. Kuncinya hanya pada “guru sadar profesi atau tidak”. Pencapaian KKM untuk setiap Kompetensi Dasar (KD) melalui Tes Formatif mudah dilaksanakan atau sangat dimungkinkan (meskipun ada beberapa siswa yang harus diberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan berulang-ulang), karena waktu yang tersedia cukup banyak dan bahan ajar yang dibahas dan dievaluasi masih sangat sedikit (satu atau dua Kompetensi Dasar). Yang menjadi masalah atau kendala yaitu dalam pencapaian KKM ketika Tes Sumatif atau uji blok bila ternyata ada banyak siswa dari hasil Tes Sumatifnya tidak mencapai KKM. Untuk melaksanakan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan kurang memungkinkan, karena waktu yang tersedia sampai dengan penulisan Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS atau Rapor) sangat terbatas. Untuk mengatasi masalah/ kendala tersebut penulis ingin membagikan pengalaman mencapai KKM dengan menggunakan bilangan baku. S² = merupakan penjumlahan setiap nilai hasil tes yang dikuadratkan. Mencapai KKM menggunakan Bilangan Baku Bilangan Baku (Pawitan, 2009: 62-63) atau dikenal dengan istilah Z-skore (Mc Clave & Sincich, 2003: 72). Bila data sampel berukuran n, dinotasikan dengan {X1, X2, . . ., Xn} yang mempunyai rata-rata X dan simpangan baku Sx dapat ditransformasikan menjadi {Z1, Z2, . . .,Zn}, yang mempunyai rata-rata Z dan simpangan baku Sz. Rumus Z-skore atau Bilangan Baku, yaitu : Zi = Xi - X Sx Keterangan: Xi = nilai hasil tes = rata-rata nilai hasil tes. diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh nilai sampel (misalnya sebanyak 40 siswa), kemudian hasil penjumlahan tersebut dibagi dengan banyaknya sampel (misalnya 40 siswa). Sx = simpangan baku (standar deviasi), yang diperoleh dari 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Z-skore bila digunakan untuk membentuk bilangan baru dengan rata-rata dan simpangan baku So, maka bilangan baru tersebut adalah Keterangan: = nilai rata-rata bilangan baru yang diharapkan (misalnya sebesar KKM) So= besarnya simpangan baku yang kita harapkan (misalnya 5 atau 10) Zi = hasil dari Z-skore. Zi dapat berupa bilangan positif atau bilangan negatif Zi yang positif (+) akan membentuk nilai baru lebih besar dari Zi yang negatif (-) akan membentuk bilangan baru lebih kecil dari Contoh hasil nilai Evaluasi Akhir Semester Genap tahun pelajaran 2008/2009 mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas VI SD BPK PENABUR Tasikmalaya dengan sampel sebanyak 40 siswa sebagai berikut. 65 37 34 50 46 33 45 52 31 31 45 21 35 48 47 37 36 33 36 34 31 32 33 38 31 33 31 34 42 31 32 33 40 33 47 33 33 32 31 33 Angka-angka tersebut di atas merupakan hasil tes dari soal tes yang dibuat oleh tim penyusun soal UPTD Pendidikan Kecamatan. Butir-butir soal yang tersusun ternyata merupakan bahan yang tidak diajarkan lebih mendalam oleh guru, sehingga semua siswa kebingungan dan memberikan jawaban tidak dengan pasti. Hasilnya tidak sesuai atau tidak menggambarkan kemampuan siswa. Memang ada kemungkinan soal menjadi sangat sulit atau sebaliknya menjadi sangat mudah bila soal tes tidak dibuat oleh gurunya. Hasil yang tidak memuaskan tersebut di atas bukan sepenuhnya kesalahan guru, karena ada kelemahan terdapat pada butir-butir soalnya. Bagaimanapun juga hasil tes menunjukkan semua siswa memperoleh nilai sangat rendah, tidak memuaskan. KKM ditetapkan 70 sedangkan rata-rata Tes Formatif, PR, dan Tugas berkisar diantara nilai 70 – 90. bila diproses menjadi nilai akhir sebagai nilai yang dituliskan pada LHBS akan diperoleh banyak siswa tidak mencapai KKM. Agar KKM Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku bimbingan, dan tes perbaikan tidak ada pembatasan, dan dilakukan di luar jam tatap muka atau sepulang sekolah (guru BPK PENABUR setelah ±90 menit KBM selesai baru boleh meninggalkan sekolah). Bila banyak siswa yang tidak mampu mencapai KKM, guru harus mawas diri (introspeksi) jangan-jangan kesalahan terdapat pada cara guru mengajar. Mungkin perlu memperbaiki metode, mungkin perlu ditambah porsi latihannya, mungkin perlu mengubah gaya mengajar, mungkin perlu menambah alat peraga, dan atau mungkin butir soal tidak sesuai dengan indikator tidak sesuai dengan kompetensi dasar. Seandainya ada kelemahan guru tetap memberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan, serta melakukan perbaikan atau perubahan yang berhubungan dengan guru. Mencapai KKM dengan menggunakan bilangan baku atau Z-skore atau melakukan konversi (transformasi) menjadi nilai baru hanya diperbolehkan digunakan untuk hasil tes sumatif (tes evaluasi akhir semester). Sebab waktu yang tersedia antara akhir pelaksanaan tes dengan penulisan Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS atau Rapor) sangat terbatas. Tidak memungkinkan untuk memberikan remedial, bimbingan, dan tes perbaikan. Dengan kemajuan teknologi yang dimiliki BPK PENABUR dapat digunakan guru untuk membantu membentuk nilai baru menggunakan bilangan baku atau Zskore. Dengan demikian sebagian tugas guru dapat digantikan oleh teknologi. Saran Dari pembahasan yang dipaparkan di atas diharapkan agar guru menggunakan kriteria yang benar dalam menetapkan KKM, sebab akan mengarahkan pembelajaran menjadi lebih fokus, memungkinkan melakukan inovasi, dan memotivasi anak didik untuk mengetahui pentingnya menguasai bahan ajar bagi dirinya 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 agar bersemangat mencapai KKM. Guru harus melayani setiap siswa, memuaskan haknya ntuk memperoleh remedial, bimbingan, dan tes perbaikan sampai mencapai KKM. Hal itu menunjukkan keseriusan guru dalam pembelajaran dan menunjukkan kasih sayang yang besar kepada setiap siswa. Remedial, bimbingan, dan tes perbaikan dilaksanakan mengunakan waktu luang (waktu sebelum pulang) seusai kegiatan belajar mengajar. Agar waktu tatap muka di kelas tidak berkurang karena mengkhususkan waktu untuk melayani siswa yang membutuhkan bimbingan. Dalam meningkatkan pelayanannya guru sebaiknya melakukan refleksi atau perenungan dan introspeksi diri serta mempertanyakan sudah benarkah melakukan persiapan pembelajaran (termasuk menetapkan KKM), pelaksanaan pembelajaran, dan melakukan evaluasi selama ini. Haruskah dilakukan perubahan dan perbaikan?. Dan selalu ingat untuk melihat ada wajah-wajah Allah di wajah setiap anak didik yang selalu berharap hanya yang terbaik guru persembahkan. Guru yang terbuka terhadap perubahan harus melakukan pembangunan pembelajaran. Artinya selalu memperbaiki atau menyempurnakan persiapan pembelajarannya, pelaksanaan pembelajarannya, dan penilaiannya. Dengan demikian akan membuahkan hasil yang berkualitas tinggi, baik bagi guru pribadi, bagi siswa, juga bagi BPK PENABUR dan masyarakat. Masing-masing guru memotivasi diri (melakukan penguatan diri) secara pribadi untuk bekerja dan melayani semakin baik. Nama BPK PENABUR harus semakin bertambah dan aku (guru) harus semakin berkurang. Maksudnya kita membiasakan diri untuk bekerja keras agar dapat memberikan yang terbaik seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, dan hasilnya lamakelamaan menjadi terbiasa dan tidak menjadi beban, tetapi sukacita. Bila nama BPK PENABUR semakin besar, maka guru dan karyawan semakin memiliki kepastian untuk terus tetap dapat berkarya. Mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal Menggunakan Bilangan Baku Daftar Pustaka Dick, Walter, & Lou Carey. (1978). The systematic design of instruction, Illinois: Scott, Forresman & Co Hall, Calvin S., & Linsey Gardner. ( 1981). Theories of Personality. New York : John Wiley & Son Lapp, Dianne, dkk. (1975). Teaching and learning: philosophical, psychological and curricular application.New York : Mac Milan Publishing Co, Inc. Mc.Clave, James T., Sincich Terry. (2003). A first course in statistics, New Jersey : Perarson Education, Inc. Moleong, L.J. (1978). Belajar tuntas, Jakarta : BP3 Departemen P dan K Pawitan, Gandhi. (2009). Statistika untuk Bisnis, Bandung : Unpar Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu. Stone, David R., & Elwin C. Nielson. (1982). Educational psychology :The develompment of teaching skills. New York : Harper & Row Publishers Suparno, Paul. (1998). Dasar dan orientasi pendidikan Jesuit, dalam P.J.Suwarno, Sanata Dharma menemukan jalannya. Yogyakarta : USD _______, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22, 2006, Kurikulum 2006, Jakarta : Media Makmur Maju Mandiri Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 41 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Penelitian Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing dalam Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan P. Slamet Widodo*) Abstrak alam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP, guru sering menemukan kesulitan memberikan motivasi siswa agar mampu berbicara untuk mengemukakan pertanyaan atau pendapat. Penelitian ini mencoba memecahkan masalah tersebut melalui penelitian tindakan kelas di kelas 7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya dengan metode snowball-throwing. Setelah melakukan dua kali putaran kegiatan dengan penyempurnaan pada setiap putaran, penelitian ini membuktikan bahwa metode snowball-throwing dapat meningkatkan keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan guru menerapkan metode snowball-throwing dalam mengatasi kesulitan siswa dalam bertanya. D Kata kunci : Teori belajar, metode snowball-throwing, penelitian tindakan kelas. Abstract The objectives and characteristics of the social sciences require interactive instructions but the teachers often find the students passive and it is difficult to encourage them to raise questions or express their ideas in civics. This classroom action research aimed at overcoming the students’obstacles in expressing themselves. The research, conducted at Grade 9 of BPK PENABUR Junior High School , Tasikmalaya, showed that the snowball-throwing technique is quite effective to encourage the students to be more active in raising questions in teaching-learning processes in civics. Detailed activities in the classroom action research are described in this article. Key words: Learning theory, snowball-throwing method, classroom action research. Pendahuluan Dalam pendekatan pembelajaran yang berbasis siswa (students oriented), siswa diharapkan berperan secara aktif tidak hanya secara fisik tetapi terutama dalam menggunakan kemampuan berpikirnya. Keaktifan siswa itu dapat terlihat dalam bentuk mengajukan pertanyaan, pendapat atau pandangan lain bahkan berupa bantahan. Dalam pengalaman penulis terutama ketika mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas 7A, *) Kepala SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 para siswa pasif dan jarang yang ada berani bertanya. Hal ini membuat penulis bertanyatanya, mengapa para siswa jarang bertanya. Pertanyaan mengapa hampir tidak ada siswa yang bertanya ketika penulis mengajar di kelas ini membuat penulis mencoba mengajar dengan sebuah metode yang dapat membangkitkan rasa keberanian siswa dalam bertanya. Oleh karena itu penulis mencoba menggunakan metode snowball-throwing sebagai upaya membangkitkan keinginan siswa bertanya tentang pokok materi yang diajarkan. Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Dengan mengadakan penelitian tindakan kelas (PTK) akar masalah keengganan siswa mengemukakan pertanyaan dapat dikaji, diteliti, dan didiskusikan untuk kemudian dievaluasi dan dicari pemecahannya. Dengan adanya pengamat (observer) sekaligus sebagai penilai penulis mendapatkan temuan-temuan yang asli dari para pengamat. Selain itu penulis juga mendapatkan kritikan, dan evaluasi dari orang lain yang secara langsung menyaksikan proses kegiatan mengajar dan penerapan metode. Pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa masalah yang terjadi dalam proses belajar-mengajar terutama yang berhubungan dengan minat dan motivasi belajar di SMP BPK PENABUR Tasikmalaya siswa tidak memiliki motivasi yang kuat sehingga berdampak pada kurangnya minat bertanya. Secara umum PTK bermanfaat untuk membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran, meningkatkan profesionalisme guru, meningkatkan rasa percaya diri guru, dan memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Atas dasar pengamatan, permasalahan dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana meningkatkan motivasi bertanya melalui penerapan metode snowball-throwing dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya?” Bertolak dari rumusan masalah yang telah disebutkan PTK ini dilakukan dengan tujuan (1) mencari metode pembelajaran yang tepat untuk mengaktifkan suasana pembelajaran di kelas sehingga dapat meningkatkan aktivitas keterampilan dalam bertanya tentang materi yang diajarkan; (2) mengujicobakan metode snowball-throwing dalam pembelajaran di kelas untuk meningkatkan motivasi bertanya siswa; dan (3) melatih siswa untuk memiliki motivasi dalam mengemukakan pertanyaan sehingga menemukan relevansi materi pelajaran yang diajarkan dengan persoalan yang dihadapi di masyarakatnya. Dengan demikian hasil PTK ini diharapkan bermanfaat pertama untuk para siswa. Mereka diharapkan dapat (a) bertanya suatu masalah sesuai dengan materi yang diajarkan kepada guru dengan sistematis dan jelas; (b) memiliki keberanian untuk mengemukakan pertanyaan dalam berbagai situasi terutama di lingkungan kelas bersama temanteman maupun guru; (c) merumuskan pertanyaan secara sistematis dan terarah; dan (d) mengemukakan pertanyaan sesuai dengan gagasan-gagasan yang terbaik dari hasil pemikiran bersama dengan teman kelompoknya. Kedua, para guru memperoleh gambaran tentang (a) metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat meningkatkan motivasi bertanya pada siswa; dan (b) penerapan pendekatan metode snowball-throwing dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan khususnya untuk meningkatkan motivasi bertanya. Ketiga sekolah, khususnya SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya, memiliki siswa yang terampil dalam bertanya terutama dalam menghadapi arus globalisasi dan kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga dapat menghadapi setiap permasalahan yang muncul dengan arif dan bijaksana. Tinjauan Teoretis dan Perumusan Hipotesis Pengertian Komunikasi Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16) komunikasi dapat diartikan sebagai”...the process through which individuals–in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another”. Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Teori Belajar Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan dua jenis teori belajar, yaitu: (a) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (b) teori belajar Gestalt. Menurut teori Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 43 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing pemrosesan informasi dari Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (a) motivasi; (b) pemahaman; (c) pemerolehan; (d) penyimpanan; (e) ingatan kembali; (f) generalisasi; (g) perlakuan dan (h) umpan balik. Teori belajar yang kedua adalah teori belajar gestalt. Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting. Pertama, hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure. Kedua, kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu. Ketiga, kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki. Keempat, arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu. Kelima, kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan. Keenam, ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap. Sementara menurut Akhmad Sudrajat, teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Namun teori belajar ini tidaklah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana yang dapat menunjang, seperti: lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa. Semua unsur ini dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model teori belajar yang dianggap cocok, tidak perlu terpaku dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan tujuan pendidikan. Teori belajar sebagai cara pengaplikasian dalam kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, masih membutuhkan metode pembelajaran yang tepat mengingat lingkungan, sarana, dan tingkat kecerdasan siswa saling berbeda. Metode snowball-throwing yang penulis lakukan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini ingin menunjukkan bahwa suatu model teori belajar harus didukung oleh metode yang tepat. Menurut penulis, snowball-throwing merupakan metode yang tepat untuk meningkatkan motivasi siswa dalam bertanya. Metode Snowball-throwing Proses belajar yang dapat meningkatkan aktivitas dalam keterampilan bertanya dengan baik, sistematis, sesuai dengan masalah yang tertuang dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di antaranya adalah bertanya. Dengan bertanya siswa mampu menggali materi yang belum dapat dijelaskan oleh guru. Melalui pertanyaan yang sistematis, siswa dapat berlatih menyusun kalimat yang baik dan benar sesuai kaidah bahasa Indonesia. Tidak sedikit siswa yang mengemukakan pertanyaan tidak sesuai dengan materi yang diajarkan. Bahkan mereka belum mampu merumuskan pertanyaan dengan baik dan benar. Metode snowball-throwing merupakan salah satu modifikasi dari teknik bertanya yang menitikberatkan pada kemampuan merumuskan Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing pertanyaan yang dikemas dalam sebuah permainan yang menarik yaitu saling melemparkan bola salju (snowball-throwing) yang berisi pertanyaan kepada sesama teman. Metode yang dikemas dalam sebuah permainan ini membutuhkan kemampuan yang sangat sederhana yang bisa dilakukan oleh hampir setiap siswa dalam mengemukakan pertanyaan sesuai dengan materi yang dipelajarinya. Metode snowball throwing adalah metode yang digunakan untuk memperdalam satu topik. Metode ini biasa dilakukan oleh beberapa kelompok yang terdiri dari lima sampai delapan orang yang memiliki kemampuan merumuskan pertanyaan yang ditulis dalam sebuah kertas menyerupai bola. Kemudian, kertas itu dilemparkan kepada kelompok lain yang untuk ditanggapi dengan menjawab pertanyaan yang dilemparkan tersebut. Secara sederhana metode snowball-throwing dapat digambarkan sebagai berikut. Siswa merumuskan pertanyaan secara tertulis di kertas berdasarkan materi yang diterangkan oleh guru. Kemudian kertas tersebut dilipat-lipat sedemikian rupa lalu dilemparkan kepada kelompok lain. Setelah membuka kertas tersebut, kelompok lain itu menjawab pertanyaan dan melemparkan kembali ke kelompok yang menulis pertanyaan tadi. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini ialah: 1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan. 2. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi. 3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya. 4. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kerja untuk menuliskan pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. 5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama kurang lebih 5 menit. 6. Setelah siswa mendapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian. 7. Guru memberikan kesimpulan. 8. Guru mengevaluasi kegiatan tersebut dengan cara memberikan komentar sekaligus memberikan penilaian mengenai jenis dan bobot pertanyaan, rumusan kalimat, kemudian memberikan contoh rumusan pertanyaan yang benar. 9. Penutup. Metode snowball-throwing ini dapat memberikan kesempatan kepada teman dalam kelompok untuk merumuskan pertanyaan secara sistematis. Di samping itu dapat membangkitkan keberanian siswa dalam mengemukakan pertanyaan dengan tuntunan pertanyaan kepada teman lain maupun guru. Juga melatih siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya dengan baik. Dapat pula merangsang siswa mengemukakan pertanyaan sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan dalam pelajaran tersebut. Berikutnya dapat mengurangi rasa takut siswa dalam bertanya kepada teman maupun guru serta melatih kesiapan siswa. Terakhir, dengan menggunakan metode ini memungkinkan siswa saling memberikan pengetahuan. Kelebihan dari metode snowball-throwing di antaranya adalah melatih kesiapan siswa dalam merumuskan pertanyaan dengan bersumber pada materi yang diajarkan serta saling memberikan pengetahuan. Sedangkan kelemahan dari metode ini yakni pengetahuan tidak luas hanya berkutat pada pengetahuan sekitar siswa serta tidak efektif. Kerangka Berpikir Daya serap materi pelajaran yang disajikan oleh guru di depan kelas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain faktor keterampilan guru dalam menerapkan metode pembelajaran, daya serap siswa juga dipengaruhi oleh suasana belajar di kelas. Suasana belajar di kelas yang tenang, belum tentu menjamin bahwa materi yang diajarkan terserap oleh siswa dengan baik. Kadangkala guru terlena oleh suasana belajar yang tampak seolah-olah tidak ada masalah karena siswa diam ketika guru mempersilakan siswa bertanya. Suasana seperti ini ditafsirkan oleh banyak guru bahwa kelas kondusif Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 45 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing sehingga siswa dapat menyerap semua yang telah diajarkan. Guru merasa puas bila tidak ada seorang siswa pun yang mengajukan pertanyaan. Demikianlah masalah yang terjadi di kelas 7A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya di awal tengah semester tahun pelajaran 2008/2009. Pada awalnya guru mengatakan bahwa mengajar di kelas 7 paling menyenangkan, karena siswanya tertib, tenang, menurut, tidak ribut dan tidak ada gangguan berarti. Namun dalam sebuah perbincangan dengan beberapa guru yang mengkritisi suasana tersebut mengemukakan bahwa kelas yang “menyenangkan” ini makin lama makin membosankan. Apalagi dibuktikan dengan hasil ulangan yang tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Siswa tidak pernah mengemukakan pertanyaan ketika guru memberikan kesempatan bertanya. Sebaliknya bila guru bertanya para siswa pun tidak mampu menjawab dengan baik apalagi sesuai dengan materi yang diajarkan. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk meningkatkan kemampuan mengemukakan pendapat yang sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat. Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa diajak untuk mempelajari teori-teori kenegaraan yang bersumber pada norma-norma dan kaidah yang berlaku untuk selanjutnya dikaitkan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, sangat tepat bila siswa mampu mengemukakan pendapatnya sesuai konteks dan sistematis. Meningkatnya keterampilan siswa dalam bertanya dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan juga dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran di kelas karena kemampuan bertanya yang baik. Dengan memiliki kemampuan bertanya yang baik, siswa mampu pula mengkritisi kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Jika guru mampu menerapkan metode yang sesuai dengan situasi kelas dalam proses pembelajaran, maka kelas akan hidup dan dinamis. Kelas yang hidup dalam arti siswa aktif dalam mengikuti pelajaran, terjadi hubungan interaktif baik antara guru dengan siswa 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 maupun antara siswa dengan siswa. Kelas yang dinamis adalah kelas yang para siswanya secara antusias memerhatikan apa yang diajarkan oleh guru. Terlebih lagi, bahan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat dikaitkan dengan kehidupan nyata di dalam masyarakat atau negara serta dipadukan dengan mata pelajaran lain seperti IPS atau Agama. Dengan demikian siswa tidak merasa terbebani dengan teori yang harus dihafalkan dan siswa mampu menggali materi pelajaran dengan kehidupan nyata. Dalam kerangka berpikir seperti itulah, tersirat bahwa situasi kelas yang “diam” disebabkan oleh rendahnya motivasi dalam bertanya dan kurangnya keterampilan dalam mengemukakan pertanyaan para siswanya. Untuk itu perlu dikembangkan agar siswa menjadi berani bertanya sekaligus mengungkapkan pendapatnya sehingga suasana kelas menjadi hidup dan dinamis. Dari beberapa metode yang ada, penulis berpendapat bahwa metode snowball-throwing merupakan salah satu metode yang dapat membangkitkan motivasi siswa dalam bertanya. Metode snowball-throwing dapat mendorong, siswa mengajukan pertanyaan dalam kelompok yang kemudian dirumuskan dalam secarik kertas. Siswa dapat berani bertanya dengan dibantu oleh rumusan pertanyaan yang akan dilemparkan kepada sesama teman di kelompok lain. Metode ini juga dapat menciptakan suasana sangat rileks, menyenangkan dan tidak menakutkan untuk mengajukan pertanyaan. Secara tidak sengaja siswa mampu mengemukakan pertanyaan secara kritis dan sistematis dan tidak keluar dari materi esensial yang diajarkan. Dengan demikian, penerapan metode snowball-throwing dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dalam bertanya bagi para siswa. Keterampilan bertanya yang cukup memadai dapat mewujudkan belajar yang berkualitas. Perumusan Hipotesis Tindakan Atas kajian teoritis sebelumnya, maka hipotesis tindakan dirumuskan sebagai berikut. “Bila dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan metode snowball-throwing dicobakan di kelas 7A maka motivasi bertanya siswa dapat ditingkatkan”. Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan Kelas/Semester : VII/Ganjil Pertemuan ke: 1 Alokasi waktu : 2 X 40 menit Standar Kompetensi : Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kompetensi Dasar : 1 Mendeskripsikan hakikat norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, peraturan, yang berlaku dalam masyarakat. 2 Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara. 3 Menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Indikator : 1 Siswa menjelaskan pengertian norma. 2 Siswa menyadari makna dan pentingnya norma dalam kehidupan bersama. 3 Siswa memahami berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat. 4 Siswa memahami hakikat dan arti penting norma hukum bagi warga negara. 5 Siswa mampu mengamalkan berbagai macam norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. I. II. Materi Esensial : Norma dalam Kehidupan Bersama Metode Pembelajaran : Ceramah, Tanya jawab, Snowball Throwing III. Langkah-langkah Pembelajaran: A. Kegiatan Awal 1 Mengabsen siswa 2 Mempersiapkan setting ruangan dan kesiapan belajar siswa. 3 Memberikan soal pre-test. 4 Mengkontekstualkan materi norma masyarakat dengan pengalaman siswa. 5 Menjajagi materi dengan bertanya tentang pengertian norma. 6 Menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai B. Kegiatan Inti 1 Guru menjelaskan tentang hakikat dan jenis-jenis norma. 2 Guru menjelaskan metode snowball-throwing 3 Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok. 4 Guru memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi pertanyaan. 5 Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya kemudian menjelaskan materi yang disampaikan guru kepada teman-temannya. 6 Setiap siswa diberikan satu lembar kertas kerja dengan warna yang berbeda untuk menuliskan satu pertanyaan menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. 7 Siswa membuat masing-masing pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang telah diajarkan tanpa membuka buku. 8 Kertas yang telah ditulisi pertanyaan dibentuk seperti bola atau pesawat terbang. 9 Guru mempersilakan siswa anggota kelompok 1 melemparkan kertas kepada kelompok 2, dan kelompok 2 melemparkan ke kelompok 3. 10 Guru mempersilakan siswa membuka kertas yang diterima dari temannya, kemudian membacakan isi pertanyaan tersebut. 11 Secara acak guru membahas pertanyaan siswa sehingga materi yang sebagian besar materi terbahas. 48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing C. Penutup 1 Guru menanyakan kesulitan metode Snowball Throwing yang diterapkan. 2 Guru memberikan post tes. 3 Guru memberikan tugas materi untuk pertemuan berikutnya. IV. 1 2 3 Penilaian Bentuk Penilaian : Pos Tes Jenis soal : Uraian Soal Pos Test : 1 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan pengertian norma! 2 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berkaitan dengan pentingnya norma bagi kehidupan bersama! 3 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan macam norma yang berlaku dalam masyarakat! 4 Buatlah 1 contoh pertanyaan yang berhubungan dengan pengamalan salah satu norma dalam kehidupan masyarakat! Berdasarkan temuan siklus pertama penulis berunding bersama dengan pengamat untuk membuat langkah-langkah pada siklus kedua. Sebelum melangkah kepada siklus kedua, penulis bersama pengamat membuat sebuah refleksi. Dalam refleksi ini penulis mendengarkan kekurangan atau hal-hal yang sudah baik yang dikemukakan oleh pengamat. Pada kesempatan diskusi ini, pengamat memberikan saran yang akan dilakukan oleh penulis pada siklus kedua. Langkah-langkah yang dilaksanakan pada siklus kedua dapat penulis gambarkan melalui Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sebagai berikut. Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan Kelas/Semester : VII/Ganjil Pertemuan ke:2 Alokasi waktu : 2 X 40 menit Standar Kompetensi : Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kompetensi Dasar : 1 Mendeskripsikan hakikat norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, peraturan, yang berlaku dalam masyarakat. 2 Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara. 3 Menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Indikator : 1. Siswa menjelaskan pengertian norma. 2. Siswa menyadari makna dan pentingnya norma dalam kehidupan bersama. 3. Siswa memahami berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat. 4. Siswa memahami hakikat dan arti penting norma hukum bagi warga negara. 5. Siswa mampu mengamalkan berbagai macam norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. I. Materi Esensial: Norma dalam Kehidupan Bersama II Metode Pembelajaran: Ceramah, Tanya jawab, snowball-throwing III. Langkah-langkah Pembelajaran: Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 49 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Kegiatan Pembelajaran Waktu A Kegiatan Awal 10’ 1. Mengabsen siswa 2. Mempersiapkan setting ruangan dan kesiapan belajar siswa. 3. Memberikan soal pre-test. 4. Mengkontekstualkan materi norma masyarakat dengan pengalaman siswa. 5. Menjajagi materi dengan bertanya tentang pengertian norma. 6. Menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai B. Kegiatan Inti 60’ 1 Guru menjelaskan tentang hakikat dan jenis-jenis norma. 2 Guru menjelaskan metode snowball-throwing 3 Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok. 4 Guru memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi pertanyaan. 5 Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya kemudian menjelaskan materi yang disampaikan guru kepada teman-temannya. 6 Masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja dengan warna yang saling berbeda untuk menuliskan satu pertanyaan yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. 7 Siswa membuat masing-masing pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang telah diajarkan tanpa membuka buku. 8 Kertas yang telah ditulisi pertanyaan dibentuk seperti bola atau pesawat terbang. 9 Guru mempersilakan siswa anggota kelompok 1 melemparkan kertas kepada kelompok 2, dan kelompok 2 melemparkan ke kelompok 3. 10 Guru mempersilakan siswa membuka kertas yang diterima dari temannya, kemudian membacakan isi pertanyaan tersebut. 11 Secara acak guru membahas pertanyaan siswa sehingga materi yang sebagian besar materi terbahas. C. Penutup 1 Guru mengevaluasi bersama siswa proses KBM melalui metode snowball-throwing yang diterapkan. 2 Guru memberikan post test sesuai dengan materi yang diajarkan. 3 Guru menutup proses KBM dengan mengucapkan terima kasih atas partisipasi para siswa. IV. Alat/Bahan/Sumber Belajar 1 Alat:Kertas lipat berwarna-warni 2 Bahan:Norma dalam Kehidupan Bersama 3 Sumber Belajar: Tim Abdi Guru. (2004). Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga V. Penilaian 1 Bentuk Penilaian :Post test 2 Jenis soal:Uraian 3 Soal Post tes: 1 Jelaskan pengertian norma! 2 Jelaskan makna pentingnya norma bagi masyarakat! 3 Kemukakan berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat. 4 Jelaskan hakikat dan arti penting norma bagi warga negara. 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing No. 1. Standar Kompetensi Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Indikator Penilaian Tes tertulis Siswa menjelaskan pengertian norma Siswa menyadari makna dan pentingnya norma dalam kehidupan bersama. Siswa memahami berbagai macam norma yang berlaku dalam masyarakat. Siswa mampu mengamalkan berbagai macam norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Teknik Pengumpulan Data 1. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan beberapa instrumen yaitu: a. Lembar observasi Lembar observasi ini digunakan dan diisi oleh peneliti, teman guru sejawat sebagai observer. Melalui lembar observasi ini dapat diketahui tingkat perkembangan keterampilan siswa dalam menyampaikan pertanyaan dari setiap tahap kegiatan penelitian tindakan yang dilakukan. b. Buku catatan pengamatan Buku catatan ini berisi catatan kejadian selama siswa menerapkan metode snowball-throwing. Buku ini penting bagi peneliti untuk evaluasi bersama dengan observer. Teknik Analisis Data Dari keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisa data, sebagai berikut. Instrumen 1 Jelaskan yang dimaksud dengan norma. 2 Jelaskan pentingnya norma bagi kehidupan bersama. 3 Sebutkan dan jelaskan 4 macam norma yang berlaku dalam masyarakat. 4 Berikan 1 contoh pengamalan salah satu norma dalam kehidupan masyarakat. a. Lembar Observasi Dari hasil isian lembar observasi jumlah indikator yang baik, sedang, dan kurang kemudian hasil akhir dipresentasikan dan dibuat kesimpulan. b. Buku catatan pengamat Berisi catatan-catatan kejadian selama kegiatan penelitian berlangsung baik kekurangan maupun kelebihannya. Hal ini sangat berguna untuk melangkah dari siklus yang satu ke siklus berikutnya. Hasil Penelitian Hasil penelitian tindakan kelas ini disusun berdasarkan hasil pengamatan, catatan kejadian selama diadakan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menggunakan metode snowball-throwing dan beberapa catatan penting dari teman guru sejawat yang bertindak sebagai pengamat. Adapun hasil pembelajaran dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 51 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Tabel 1: Observasi Aktifitas Siswa Pada Proses Belajar Siklus Ke-1 Kelas 7-A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya Senin, 9 Agustus 2008 No Nilai Siklus Ke-1 Nama Siswa Rata-rata Lipatan Pertanyaan Jawaban Pre-Test Pos-Test 1 Alvin Junianto Lan 85 93 76 70 85 81.80 2 Andre Sunjaya 55 65 70 75 87 7 0 . 40 3 Anthony Widianto T 75 77 70 72 85 75.80 4 Arie Setiawan Wardana 70 65 72 65 75 69.40 5 Billy Josep Sugiaman 75 69 65 67 76 70.40 6 Caroline Theja Wijaya 70 75 70 68 78 72.20 7 Chrisfella Cokro H 75 75 70 68 80 73.60 8 Cindy Ratnasari Dewi 70 76 72 67 81 73.20 9 Erika Oktavia 65 73 72 70 82 7 2 . 40 10 Irma Efriati Situmorang 65 62 75 67 75 68.80 11 Ivan Pratama 65 64 67 68 85 69.80 12 Jesslyn Gita 95 90 71 68 78 80.40 13 Kelvin 85 90 74 65 75 77.80 14 Lidya Effendy 80 89 70 68 85 78.40 15 M. Safitri Sihotang 65 65 65 65 68 65.60 16 Michael Natanael 65 65 70 65 72 67.40 17 Rafika Suhadi 65 60 65 68 73 66.20 18 Ressitha Dwi Sithaginy 70 70 70 67 72 69.80 19 Sally Tanurahardja 70 65 70 66 70 68.20 20 Setiadi Putra Cendana 75 72 76 68 73 72.80 21 Shafira Johanna, Tjong 70 73 70 69 72 70.80 22 Stefanie Kurniawan 85 88 75 72 86 81.20 23 Tommy Suhendra 65 68 65 65 68 66.20 24 V ania Winnita 75 90 76 70 78 77.80 25 V incent 70 65 65 72 80 7 0 . 40 26 Yohan Kurniawan 70 65 70 73 81 71.80 72.12 7 3 . 42 70.42 68.38 77.69 7 2 . 41 Rata-rata Tasikmalaya, 9 Agustus 2008 Guru Mata Pelajaran, Drs. P. Slamet Widodo Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya Pengamat I, Aan Burhan, S.Pd. Guru SMP Negeri 7 Tasikmalaya 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Pengamat II, Ai Tin Sumartini, S.Pd. Guru SMP Negeri 5 Tasikmalaya Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Berdasarkan pengamatan pengamat, pada siklus ke-1 masih ada beberapa siswa yang belum mampu merumuskan pertanyaan dengan baik meskipun rata-ratanya 73.42. Demikian pula hasil pre test dengan rata-rata nilai 68.38. Namun hasil post test menunjukkan nilai yang bagus mengingat bahwa para siswa boleh membuka buku. Kegiatan pada siklus ke-1 ini, penulis membolehkan para siswa untuk membuka buku pelajaran ketika merumuskan pertanyaan maupun dalam menjawab pertanyaan. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ratarata siswa belum bisa merumuskan pertanyaan dengan baik dan memuaskan (72.41). Tabel 2: Observasi Aktifitas Siswa Pada Proses Belajar Siklus Ke-2 Kelas 7-A SMP BPK PENABUR Tasikmalaya Senin, 18 Agustus 2008 Nilai Siklus Ke-2 No Nama Siswa R ata-rata Lipatan Pertanyaan Jawaban Pre-Test Pos-Test 1 Alvin Junianto Lan 85 94 78 74 87 83.60 2 Andre Sunjaya 60 67 73 78 88 73.20 3 Anthony Widianto T 78 78 72 75 87 78.00 4 Arie Setiawan Wardana 70 67 76 68 77 71.60 5 Billy Josep Sugiaman 72 80 75 69 78 7 4. 8 0 6 Caroline Theja Wijaya 71 76 68 70 80 73.00 7 Chrisfella Cokro H 76 78 76 72 82 76.80 8 Cindy Ratnasari Dewi 73 77 80 70 83 76.60 9 Erika Oktavia 66 74 76 72 85 7 4. 6 0 10 Irma Efriati Situmorang 67 65 75 69 78 70.80 11 Ivan Pratama 68 65 78 70 86 7 3 . 40 12 Jesslyn Gita 90 90 68 72 80 80.00 13 Kelvin 86 92 73 70 77 79.60 14 Lidya Effendy 82 90 76 72 86 81.20 15 M. Safitri Sihotang 67 70 75 67 70 69.80 16 Michael Natanael 65 67 68 67 74 68.20 17 Rafika Suhadi 68 65 73 70 75 70.20 18 Ressitha Dwi Sithaginy 72 75 70 69 74 72.00 19 Sally Tanurahardja 71 68 72 68 72 70.20 20 Setiadi Putra Cendana 76 75 72 70 75 73.60 21 Shafira Johanna, Tjong 72 76 78 71 74 7 4. 2 0 22 Stefanie Kurniawan 86 89 72 74 88 81.80 23 Tommy Suhendra 67 69 78 68 70 70.40 24 V ania Winnita 76 90 67 72 80 7 7. 0 0 25 V incent 72 67 78 75 82 7 4. 8 0 26 Yohan Kurniawan 72 68 68 76 85 73.80 73.38 75.85 73.00 71.08 79.73 74.74 Rata-rata Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 53 Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing Tasikmalaya, 18 Agustus 2008 Guru Mata Pelajaran, Drs. P. Slamet Widodo Guru SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya Observer I, Aan Burhan, S.Pd. Guru SMP Negeri 7 Tasikmalaya Observer II, Ai Tin Sumartini, S.Pd. Guru SMP Negeri 5 Tasikmalaya Berdasarkan pengamatan observer, pada siklus ke-2 beberapa siswa terlihat sudah mampu merumuskan pertanyaan dengan baik meskipun rata-ratanya tidak naik secara signifikan (75.85). Demikian pula hasil pre test naik dengan rata-rata 71.08. Namun hasilpost test menunjukkan nilai yang belum bagus mengingat bahwa para siswa tidak boleh membuka buku. Kegiatan pada siklus ke-2 ini, penulis melarang para siswa untuk membuka buku pelajaran ketika merumuskan pertanyaan maupun dalam menjawab pertanyaan. Bila dibandingkan antara siklus ke-1 dan ke-2 akan terlihat perbandingan sebagai berikut. throwing ini, penulis optimis bahwa siwa mampu mengemukakan pertanyaan sedikit demi sedikit. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Upaya meningkatkan motivasi siswa bertanya melalui metode Snowball Throwing dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ternyata sungguh dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam bertanya bagi para siswanya. Berdasarkan hasil pengamatan dan catatan kejadian selama tindakan kelas dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Nilai Siklus Ke-2 No Nama Siswa Rata-rata Lipatan Pertanyaan Jawaban Pre-Test Pos-Test 1 Siklus ke-1 72.1 2 73.42 70.42 68.38 77.69 72.41 2 Siklus ke-2 73.38 75.85 73 71.08 79.73 74.74 Kenaikan/Perubahan 1.26 2 . 43 2.58 2.60 2.04 2.33 Bila dibandingkan antara siklus pertama dengan kedua, terlihat bahwa siswa telah mampu merumuskan pertanyaan secara baik, meskipun belum memenuhi harapan yang maksimal. Demikian pula dalam menjawab pertanyaan, siswa sudah mencapai kemajuan siginifi-kan. Hasil pre test dan post test pun mengalami kemajuan. Meski boleh dikatakan sedikit sekali tingkat perubahan, namun penulis merasa bahwa siswa sudah memiliki kemajuan dalam merumuskan pertanyaan. Selain itu yang cukup menggembirakan bahwa para siswa sudah berani mengajukan pertanyaan yang telah mereka rumuskan dan menjawab pertanyaan temantemannya. Berbekal hasil metode snowball54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 1. 2. 3. Kurangnya keterampilan siswa dalam bertanya pada diri siswa menyebabkan suasana kelas kurang aktif selama pembelajaran berlangsung. Penyebab kurangnya keaktifan dan keterampilan siswa dalam bertanya akibat tidak adanya keberanian siswa dalam bertanya. Hal ini disebabkan adanya perasaan takut jika pertanyaan yang diungkapkan melenceng dari materi yang dijelaskan. Penerapan metode snowball-throwing dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan dan keterampilan siswa untuk bertanya di dalam forum kelas sekaligus Meningkatkan Motivasi Siswa Bertanya melalui Metode Snowball-throwing mengaktifkan suasana pembelajaran di kelas. 4. Keterampilan siswa dalam bertanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis, dan memperluas wawasan siswa terutama berhubungan dengan praktik kehidupan di dalam masyarakat. 5. Keterampilan siswa dalam bertanya dibutuhkan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan; yang pada akhirnya akan berdampak pada kedalaman materi yang diterima sekaligus meningkatkan prestasi belajar siswa. Upaya meningkatkan Siswa Bertanya melalui metode snowball-throwing dalam Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya tidak seluruhnya dapat berjalan dengan lancar. Adapun kendala yang ditemui sebagai berikut. 1. Ketua kelompok yang kurang terampil dalam mengarahkan teman-temannya dapat menyebabkan siswa tidak mampu merumuskan pertanyaan dengan baik. 2. Siswa yang tidak memperhatikan akan menuliskan pertanyaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Saran Berdasarkan pengalaman peneliti selama proses pelaksanaan tindakan kelas, ada beberapa hal yang baik diperhatikan oleh guru. Pertama perlu kemampuan guru untuk menerapkan metode pengajaran yang tepat dan menarik dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini untuk menghindari masalah yang berlarut-larut. Kemampuan siswa bertanya merupakan masalah klasik yang seringkali dianggap tidak penting, namun sangat merisaukan. Bila guru tidak mencoba suatu metode yang baru, maka masalah ini akan terbawa terus sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua metode snowball-throwing termasuk salah satu metode yang penulis harapkan mampu memecahkan masalah klasik yakni keengganan siswa bertanya. Namun metode ini harus dilakukan terus menerus sampai siswa memiliki motivasi dan kemampuan dalam mengemukakan pertanyaan. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2007). Penelitian tindakan kelas (PTK) untuk Guru, Kepala Sekolah, Pengawas, dan Penilai. Universitas Negeri Yogyakarta Fajar, Arnie. (2002). Portofolio dalam pengajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyasa, E. (2003). Kurikulum berbasis kompetensi, konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Mundilarto, Rustam. (2004). Penelitian tindakan kelas. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tim Abdi Guru. (2004). Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga http://gurupkn.wordpress.com/2007/11/19/ snowball-throwing/ http://akhmadsudrajat.wordpress.com -----------Kebijakan kurikulum berbasis kompetensi. (2002). Jakarta, Pusat Kurikulum - Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional -----------Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama Pedoman khusus pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi sekolah menengah pertama mata pelajaran pengetahuan sosial. (2003). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama ----------Kurikulum berbasis kompetensi mata pelajaran kewarganegaraan (citizenship) sekolah lanjutan pertama. (2001). Jakarta: Pusat Kurikulum - Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional -----------Kurikulum tingkat satuan pendidikan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan sekolah menengah pertama. (2001). Jakarta: Pusat Kurikulum - Badan Penelitian dan Pengembangan Depar-temen Pendidikan Nasional Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 55 Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah Opini Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah Thomas Wibowo Agung*) Abstrak otivasi internal dan eksternal merupakan kekuatan/dorongan psikologis bagi sesorang untuk berbuat serta mengarahkan seseorang mencapai tujuannya. Oleh karena itu, motivasi dapat mempengaruhi kreativitas dan prestasi seseorang, termasuk guru dalam meningkatkan profesionalismenya secara optimal. Tulisan ini secara khusus membahas bagaimana motivasi kerja dapat mendorong guru menjadi lebih kreatif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran dengan mengevaluasi secara sistemik kurikulum sebagai acuan utama dalam melaksanakan proses belajar membelajarkan. Kajian ini juga memperhatikan peranan guru sebagai motivator terhadap orang lain dalam melakukan inovasi di lingkungannya, khususnya dalam mengembangkan kurikulum di tingkat satuan pendidikan. M Kata kunci : Motivasi, motivasi kerja, fungsi guru, pengembangan kurikulum, lingkungan. Abstract Internal and external motivations can function as a psychological strength guiding and directing somebody to act to achieve her/his objectives. Motivation, therefore, can develop the teacher’s professionalism in developing their creativity for better achievements. This article discusses in depth how working motivation can stimulate the teacher to be more creative in imrpoving the quality of instructional processes and the students’ learning achievements by assessing and developing systematically the existing curriculum on which teaching and learning processes are based. Besides, this article reviews the teacher’s role as a motivator for the others in initiating an innovative change and innovation in the school environment. A set of practical recommendations is given to the principal and the teachers to motivate the teachers to develop school curriculum. Key words: Motivation, working motivation, functions of teacher, curriculum development. Pendahuluan Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggungjawab. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pemerintah menetapkan delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, *) Mantan Pengawas BPK PENABUR Tasikmalaya 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembel- Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah ajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (BSNP, 2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari SI dan SKL. KTSP dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup dan pendidikan berbasis keunggulan lokal. KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selama ini guru-guru memiliki peran sebagai pelaksana kurikulum (curriculum implementer). Ini terlihat pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah, guru hanya mengikuti petunjuk dari pemerintah pusat (Departemen Pendidikan Nasional), apa saja yang akan diajarkan dan dilaksanakan sesuai kurikulum yang dirancang oleh para ahli kurikulum. Dalam hal ini perancangan dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro disusun oleh tim pemerintah pusat, guru hanya bisa mengembangkan kurikulum makro menjadi kurikulum mikro yaitu menyusun kurikulum dalam bidangnya untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, beberapa minggu dan beberapa hari (Program tahunan, program semester, Silabus, dan Satuan Pembelajaran / RPP). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus (BSNP, 2006) . Ini artinya kewenangan sekolah dan guru sangat menentukan keberhasilan tujuan pendidikan di tingkat sekolah masing-masing. Guru-guru sebaiknya harus bisa mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi di daerahnya agar tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan kebutuhan. Guru mempunyai tugas antara lain : (1) menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat; (2) memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak; (3) memilih metode dan media pembelajaran yang bervariasi; dan (4) serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang tersusun sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam implementasinya. Tantangan pengajaran dan pembelajaran saat ini telah berubah. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perubahan struktur masyarakat, dan maju pesatnya pengetahuan, serta munculnya beberapa teori pembelajaran, telah mengubah esensi dan tugas pokok seorang guru. Guru bukan lagi “aktor” di kelas, dengan kekuasaannya dan pengetahuannya, yang mengatur apapun yang terjadi dikelas. Sekarang justru siswa yang menjadi pusat pembelajaran. Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator, yang hanya bisa memerintah anak didiknya melakukan ini dan itu. Ia juga lebih menjadi motivator bukan eksekutor. Setiap anak didik memiliki beragam kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia menggunakan dari yang visual, audio, sampai kinestik. Gardner (1983) juga mengingatkan adanya multi kecerdasan (multiple intelligences) pada setiap anak mulai yang bersifat logismatematis, linguistik, musik, sampai intrapersonal. Semua itu tentu saja menuntut sebuah peran baru, unik tetapi juga tidak gampang dari seorang guru. Guru dituntut terampil, memiliki motivasi dan kreatif dalam pendekatan mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan pada diri anak didik. Setiap satuan pendidikan perlu melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya pembelajaran yang efektif dan efisien. Dengan KTSP, kepala sekolah dan guru dituntut untuk lebih kreatif dan selalu membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya pemanfaatan media dan metode belajar yang semakin beraneka ragam untuk proses mengajar di kelas. Proses pembelajaran perlu disiapkan dengan lebih baik dan serius. Hal ini menuntut kepala sekolah dan guru memiliki motivasi yang tinggi untuk tetap dapat bersaing sesuai tuntutan perubahan global yang demikian cepat serta tuntutan profesi yang dimilikinya. Peranan pimpinan sekolah dalam membangkitkan semangat, mendorong dan menjadi suri tauladan bagi guru dalam meningkatkan kinerjanya. Guru perlu memiliki motivasi yang tinggi dan menyadari ada peran yang berbeda dibanding masa lampau, perlu menyiapkan diri, Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 57 Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah belajar terus menerus, dan mengembangkan diri mengikuti perubahan teknologi informasi. Guru adalah seorang pembelajar yang dewasa yang mandiri dan mampu memanfaatkan atau mengaitkan dengan pengetahuan atau pemahaman yang mereka miliki sebelumnya. Tulisan ini membahas bagaimana cara kepala sekolah memotivasi guru untuk menggunakan teknologi informasi dalam meningkatkan kinerja guru dalam proses pembelajaran. Hasil kajian dalam tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi sekolah khususnya pimpinan sekolah dalam menginovasi kurikulum dan mendorong guru untuk menghasilkan suatu proses belajar mengajar yang efektif serta guru dapat mengembangkan kurikulum sesuai tuntutan globalisasi dan karakteristik peserta didik. Pembahasan Motivasi adalah dorongan psikologis yang timbul pada diri sendiri untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan peningkatan prestasi kerja dirinya. Motivasi dapat mempengaruhi prestasi kerja seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Keberhasilan pemimpin sekolah menimbulkan motivasi guru dalam bekerja dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuannya menciptakan situasi dan iklim kerja yang kondusif. Motivasi dari seorang Pemimpin Ada beberapa cara untuk memotivasi orang lain untuk mencapai sasaran atau menyelesaikan suatu tugas maupun mengatasi persoalan dan tantangan yang dihadapinya. Salah satu karakteristik utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuannya untuk memotivasi orang lain dalam mencapai visi, misi dan tujuan dari organisasinya. Seorang pemimpin yang tidak mampu memotivasi anggotanya, tidak lebih dari seorang petunjuk jalan, yang mengetahui kemana harus pergi tetapi sepenuhnya tidak dapat mengendalikan mereka yang dipandunya. Jenderal Norman Schwarzkopff, pemimpin sekutu semasa Perang Teluk menunjukkan bahwa seorang pemimpin dalam militer yang memiliki wewenang untuk memaksakan 58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 kepatuhan, biasanya adalah seorang motivator yang buruk. Pada prinsipnya, jika seorang pemimpin selalu menggunakan pendekatan kekuasaan dengan memaksa anggotanya untuk melakukan sesuatu, maka organisasi itu tidak akan bertahan lama. Jika ada sedikit kesempatan, maka orang-orang dalam organisasi itu akan keluar atau paling tidak kinerja (performance) mereka jauh dari yang diharapkan. Banyak sekali organisasi atau perusahaan mengalami turn-over yang besar karena pegawainya tidak memiliki motivasi yang benar. (sumber http:// tech.groups.yahoo.com/himatika_ugm/ motivasi diri) Hubungan Motivasi dengan Emosi Kemampuan seorang pemimpin untuk memotivasi anggotanya sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya (EQ). Setidaknya ada enam keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin sebelum dia dapat memimpin orang lain. Pertama, mengenali diri sendiri. Mengenali emosi diri sendiri. Keterampilan ini meliputi kemampuan diri sendiri (kita) untuk dapat mengidentifikasi apa yang sesungguhnya kita rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, kita harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Ketidakmampuan untuk mengenali perasaan membuat kita berada dalam kekuasaan emosi kita, artinya kita kehilangan kendali atas perasaan kita yang pada gilirannya membuat kita kehilangan kendali atas diri dan hidup kita. Kedua mengelola emosi diri sendiri. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu : pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada kita; kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya; ketiga adalah dengan bergembira (merasa senang) ketika kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri (self controlled) yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya. Ketiga memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri (achievement motivation). Kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah adalah landasan keberhasilan dalam berbagai kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan bidang. Keterampilan memotivasi diri memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemamdalam segala bidang. Orang-orang yang puan membangun kerjasama tim yang tangguh memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih dan handal. produktif dan efektif dalam pekerjaan apapun Jadi memotivasi orang lain, bukan sekedar yang mereka hadapi. mendorong atau bahkan memerintah seseorang Keempat mengenali emosi orang lain. untuk melakukan sesuatu, melainkan sebuah Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki seni yang melibatkan berbagai kemampuan empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. dalam mengenali dan mengelola emosi diri Penguasaan keterampilan ini membuat kita lebih sendiri dan orang lain. Paling tidak kita harus efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. mengetahui bahwa seseorang melakukan Inilah yang disebut Stephen Covey sebagai sesuatu karena didorong oleh motivasinya. komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih Ada tiga tingkatan motivasi seseorang, dahulu sebelum dimengerti orang lain. yaitu : motivasi yang didasarkan atas ketakutan Keterampilan ini merupakan dasar dalam (fear motivation). Seseorang yang melakukan berhubungan dengan orang lain secara efektif. sesuatu karena rasa takut, jika tidak melakukan, Kelima mengelola emosi orang lain. maka sesuatu yang buruk akan terjadi, misalnya Jika keterampilan mengenali emosi orang lain orang yang takut pada atasan (bos) karena takut merupakan dasar dipecat, orang dalam berhubungyang takut untuk an antar pribadi, tidak masuk maka keterampilan kerja walaupun ... memotivasi orang lain, mengelola emosi sakit karena khabukan sekedar mendorong atau orang lain merupawatir gajinya kan pilar dalam dipotong, orang bahkan memerintah seseorang membina hubungmembeli polis untuk melakukan sesuatu, an dengan orang asuransi karena melainkan sebuah seni yang lain. Pada dasartakut jika terjadi melibatkan berbagai kemampuan nya manusia adasesuatu dengdalam mengenali dan mengelola lah makhluk emoannya maka sional, sebagian anak dan istriemosi diri sendiri dan orang lain. besar hubungan nya akan menmanusia dibangun derita. Tingkatan atas dasar emosi kedua ialah moyang muncul dari tivasi ingin meninteraksi antar manusia. Keterampilan capai sesuatu (achieve-ment motivation). Motivasi mengelola emosi orang lain merupakan ini lebih baik dari motivasi yang pertama, karena kemampuan yang dahsyat jika kita dapat sudah ada tujuan didalamnya. Seseorang mau mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu melakukan sesuatu karena dia ingin mencapai membangun hubungan antar pribadi yang suatu sasaran atau prestasi tertentu. Tingkatan kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia ketiga ialah motivasi yang didorong kekuatan pendidikan hubungan antar institusi atau dari dalam (inner motivation). Seseorang yang organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan telah menemukan dan memiliki misi dan tujuan antar individu. Semakin tinggi kemampuan hidup akan bekerja berdasarkan nilai-nilai individu dalam organisasi untuk mengelola (values) yang diyakini. Nilai-nilai itu dapat emosi orang lain (membina hubungan yang berupa rasa kasih (love) pada sesama atau ingin efektif dengan pihak lain) semakin tinggi kinerja memiliki makna dalam menjalani hidupnya. organisasi itu secara keseluruhan. Sebagai orang yang beriman kepada Kristus, Keenam memotivasi orang lain. Keteram- nilai yang kita yakini adalah Nilai-nilai pilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan Kristiani. Orang yang memiliki motivasi yang dari keterampilan mengenali dan mengelola didorong kekuatan dari dalam biasanya memiliki emosi orang lain. Keterampilan ini adalah bentuk visi yang jauh ke depan, baginya bekerja bukan lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu sekedar memper-oleh sesuatu (uang, harta, harga Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 59 Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah diri, kebanggaan, prestasi) tetapi merupakan proses belajar yang harus dilaluinya untuk mencapai visi hidupnya. Menurut buku The One Minute Manager, kedua penulis Kenneth Blanchard dan Spencer Johnson, (2003), menuliskan bahwa untuk menjadi manajer yang efektif dan dapat memotivasi anak buah untuk mencapai sasaran perusahaan, ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu : pertama adalah membangkitkan inner motivation dari orang yang dipimpinnya dengan menetapkan dan berbagi misi atau sasaran yang akan dicapai. Sebagai pemimpin kita perlu berbagi dengan anggota organisasi kita untuk secara bersama melihat visi secara jelas dan menentukan alasan mengapa kita melakukannya. Motivasi yang benar akan tumbuh dengan sendirinya ketika seseorang telah dapat melihat visi yang jauh lebih besar dari sekedar pencapaian target. Sehingga setiap orang dalam organisasi kita dapat bekerja dengan lebih efektif karena didorong oleh motivasi dari dalam dirinya. Hal kedua dan ketiga yang perlu dilakukan oleh seorang manajer efektif adalah memberikan pujian yang tulus dan teguran yang tepat. Kita dapat membuat orang lain melakukan sesuatu secara efektif dengan cara memberikan pujian, dorongan dan kata-kata atau isyarat (gesture) yang positif. Carnegie (2007), menempatkan hal ini sebagai prinsip pertama dan kedua dalam menangani manusia, yaitu (a) jangan mengkritik, mencerca atau mengeluh, dan (b) berikan penghargaan yang jujur dan tulus. Manusia pada prinsipnya tidak senang dikritik, dicemooh atau dicerca, tetapi sangat haus akan pujian dan apresiasi. Tetapi kritik atau teguran yang tepat seringkali justru diperlukan untuk membangun tim/kelompok kerja yang kokoh dan handal. Yang terpenting ketika menegur orang lain adalah bukan pada apa yang kita sampaikan tetapi bagaimana cara menyampaikannya. Teguran yang tepat justru akan menjadi motivasi dan akan menimbulkan reaksi yang positif. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berberapa peneliti belakangan ini menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak semata didasarkan pada nilai uang yang diperoleh (monetary value). Ketika kebutuhan dasar (to live) seseorang terpenuhi, maka dia akan membutuhkan hal-hal yang memuaskan jiwanya (to love) seperti kepuasan kerja, penghargaan, perhatian, suasana kerja; dan halhal yang memuaskan hasratnya untuk 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 berkembang (to learn) yaitu kesempatan untuk belajar dan mengembangkan dirinya. Pada akhirnya orang bekerja atau melakukan sesuatu karena nilai, ingin memiliki hidup yang bermakna dan dapat mewariskan sesuatu kepada yang dicintainya (to leave a legacy), (dalam http://tech.groups.yahoo.com/ himatika_ugm/motivasi diri). Dorongan untuk Bekerja Seseorang akan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu, dimaksudkan sebagai upaya untuk merealisir keinginan-keinginan yang ada pada dirinya. Keinginan-keinginan yang dimaksudkan berkaitan dengan jenis-jenis kebutuhan yang ada. Maslow dalam buku Nasution (1986), mengelompokkan jenis-jenis kebutuhan dalam suatu hirarki, yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan/keselamatan, kebutuhan cinta kasih (kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan), dan kebutuhan aktualisasi diri. Sedangkan Mc Clelland (1961) menyebutkan ada tiga kebutuhan yang mempengaruhi motivasi, yaitu kebutuhan kekuasaan, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan berprestasi. Dengan demikian, kecenderungan dan intensitas perbuatan seseorang dalam bekerja kemungkinan besar dipengaruhi oleh jenis kebutuhan yang ada pada diri orang yang bersangkutan. Demikian halnya dengan motivasi kerja guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah, ia akan dipengaruhi oleh keinginankeinginan yang ada padanya. Apabila guru mempunyai keinginan yang kuat sesuai peranannya, ia akan berusaha melakuan tugas-tugas yang berkaitan dengan upaya pengembangan kurikulum di sekolah secara optimal sesuai dengan keinginannya. Tanggung Jawab Terhadap Tugas Sebagai konsekuensi atas jabatan yang diemban guru, maka seorang guru akan mempunyai sejumlah tugas yang harus dilakukan sesuai jabatannya. Beban tugas ini berkaitan dengan kuantitas dan kualitas tugas yang diberikan kepada guru. Dengan demikian, berat ringannya beban tugas yang ada pada guru akan mempengaruhi usaha-usahanya dalam bekerja sesuai kemampuannya. Motivasi kerja guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah akan ditentukan oleh besar kecilnya tanggung jawab yang ada pada diri guru dalam melaksanakan tugas. Dengan tanggung jawab ini, para guru akan memiliki Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang sebagai realisasi dari kegiatan-kegiatan yang dihadapinya dan bagaimana menyelesaikannya didambakan. Pelaksanaan suatu tugas dapat sendiri tugas-tugas yang diberikan kepadanya. berjalan dengan lancar dan mencapai Pemberian tanggung jawab secara individual sasarannya, antara lain diwarnai oleh ada kepada guru memungkinkan memberi tidaknya minat guru terhadap tugas yang kesempatan kepada guru untuk mengopti- dibebankan. Jadi, besar kecilnya minat guru malkan segenap potensi yang dimilikinya dalam terhadap suatu tugas akan mempengaruhi kadar bekerja. Pada akhimya, ia akan mencapai atau mutu motivasi kerja guru dalam kesuksesan dalam merealisir keinginan- mengembangkan kurikulum di sekolah. keinginan yang didambakan. Nawawi (1989), mengatakan bahwa minat dan Tanggung jawab di sini dapat diartikan kemampuan terhadap sesuatu pekerjaan berpengaruh sebagai suatu tuntutan yang ada dalam diri pula terhadap moral kerja. Minat (interest) adalah seseorang untuk melaksanakan tugas yang dorongan untuk memilih suatu objek atau tidak menjadi kewajibannya. Guru yang ber- memilih objek lain yang sejenis. Objek minat tanggungjawab terhadap tugasnya, akan selalu dapat berupa benda, kegiatan, jabatan atau berusaha melaksanakan tugas-tugas yang pekerjaan, orang, dan lain-lain. Sedangkan minat menjadi kewajibannya dengan sebaik-baiknya diekspresikan dengan perasaan suka atau tidak dan penuh kesungguhan. Sudjana (1989), suka terhadap objek. Dalam hubungannya mengatakan: “tanggung jawab mengembangkan dengan minat guru terhadap tugas dalam kurikulum mengandung arti bahwa guru dituntut mengembangkan untuk selalu mencakurikulum di ri gagasan baru, sekolah berarti di penyempurnaan dalam diri guru praktek pengterdapat pera...kadar motivasi kerja yang ajaran”. saan untuk medimiliki guru dalam Tanggung laksanakan kemengembangkan kurikulum di jawab guru dalam giatan-kegiatan mengembangkan sekolah dipengaruhi banyak dalam mengemkurikulum di sesedikitnya beban tugas yang bangkan kurikolah ditandai menjadi tanggung jawabnya kulum di sekodengan upaya tilah. Hal ini disedak segera puas babkan karena atas hasil yang pengaruh dari dicapainya, selalu dalam diri dan atau dari luar diri guru. mencoba mencari cara-cara baru guna mengatasi Menurut Sukartini (1986), untuk mengesetiap hambatan yang ada dan mengadakan tahui minat seseorang terhadap sesuatu objek penyempurnaan-penyempurnaan cara melakdapat diketahui dengan memperhatikan apa sanakan tugas sehingga menjadi lebih baik, dan yang ia tanyakan, apa yang ia bicarakan pada merasa malu apabila ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu gagal/tidak dapat dilakukan. waktu-waktu tertentu, apa yang ia baca, dan apa Berdasarkan uraian di atas, dapat yang ia gambar atau lukis secara spontan. Oleh dikatakan bahwa kadar motivasi kerja yang karena itu, minat guru terhadap tugasnya dapat dimiliki guru dalam mengembangkan dilihat dari : kerajinan dalam bekerja, mendalami kurikulum di sekolah dipengaruhi banyak tugas yang diberikan, dan menerima tugas-tugas sedikitnya beban tugas yang menjadi tanggung dengan perasaan senang. jawabnya yang harus dilaksanakan guru seharihari dan bagaimana cara menyelesaikannya. Penghargaan atas Tugas Beban tugas ini ditekankan pada tugas mengajar, Penghargaan atas suatu jabatan atau membimbing siswa, dan melaksanakan adminis- keberhasilan yang dicapai guru dalam bekerja merupakan salah satu motivator yang trasi sekolah. mendorongnya bekerja lebih baik. Nawawi Minat Terhadap Tugas (1984), mengatakan bahwa penghargaan, Guru melaksanakan tugas-tugas yang penghormatan, pengakuan, serta perlakuan dibebankan kepada dirinya itu dapat dikatakan terhadap karyawan pendidik sebagai subjek atau Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 61 Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah manusia yang memiliki kehendak, pikiran, perasaan dan lain-lain sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja mereka. Adanya penghargaan terhadap tugas, dapat menyebabkan munculnya rasa cinta dan bangga terhadap tugas-tugas yang diberikan. Rasa cinta dan bangga yang dimilikinya itu, memungkinkan yang bersangkutan dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Hal ini disebabkan karena adanya penghargaan, dapat memberi kepuasan kepadanya sehingga menyebabkan mereka bekerja lebih giat lagi. Seperti yang dikatakan oleh Arismunandar (www.kabarindonesia.com/28 April 2009), “Suatu profesi yang tidak memiliki kebanggaan sukar berkembang. Orang harus menyenangi pekerjaannya. Buat apa seseorang menjadi guru kalau dia sendiri tidak menyenangi pekerjaan itu”. Meskipun pada kenyataannya masih sulit ditemukan seorang guru yang benar-benar bangga terhadap jabatannya sebagai guru. Sehubungan dengan beberapa tugas guru yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum di sekolah, apabila guru menghargai terhadap tugas-tugas tersebut maka guru yang bersangkutan dalam bekerjanya akan diwarnai oleh rasa cinta dan bangga sehingga memungkinkan “mereka dapat mengoptimalkan pola kerjanya”. Rasa cinta dan bangga ini tidak harus ditampakkan lewat kata-kata, tetapi yang lebih penting adalah realisasinya di dalam tindakan. Guru akan selalu memperhatikan tugas-tugas yang diberikan meskipun tidak ringan dalam pelaksanaannya, tidak merasa rendah diri bila berada di luar lingkungan kerja, menjaga harkat dan martabat jabatan guru, dan berusaha meningkatkan citra guru pada dunia luar melalui pengabdiannya kepada masyarakat. Kesimpulan dan Saran Pimpinan sekolah memainkan peranan penting dalam menginovasi kurikulum, meningkatkan kualitas pendidikan dan memotivasi guru dalam membuat perubahan dalam proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai salah satu media pembelajaran sehingga potensi peserta didik menjadi berkembang. Pimpinan sekolah berkewajiban mendorong guru untuk menciptakan ide-ide baru yang kreatif 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 dalam metode pembelajaran, pemanfaatan alat peraga, menciptakan lingkungan kelas yang tenang & nyaman dalam proses belajar mengajar di sekolah, serta hendaknya guru dapat melakukan classroom action research. Setiap guru bertanggungjawab mengembangkan KTSP mata pelajaran yang diampunya minimal sesuai dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengaktualisasikan berbagai potensi peserta didik. Dalam penyusunan KTSP, guru hendaknya mengembangkan kreativitas peserta didik secara optimal sebagaimana Taxonomi Bloom dengan pola kecakapan pembelajaran Higher Order Thinking (HOT) Skill seperti klasifikasi, membuat analisa, menciptakan ide, membuat keputusan, memecahkan masalah dan membuat perencanaan yang membutuhkan pemikiran yang lebih luas dan lebih dalam. Motivasi kerja guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah akan berdayaguna, apabila guru mempunyai : keinginan, minat, penghargaan, bertanggungjawab dan meningkatkan dirinya dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dalam upaya mengembangkan kurikulum di sekolah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru untuk mengembangkan kurikulum di sekolah, guru dituntut mengembangkan dirinya sehingga dapat memenuhi tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Peningkatan kemampuan guru melalui pendidikan jabatan, dapat ditempuh dengan mengikuti MGMP, pelatihan, penataran, lokakarya, seminar yang berkenaan dengan tugas guru di sekolah, maupun melalui pendidikan formal ke jenjang strata yang lebih tinggi. Masyarakat akan menaruh harapan agar anak-anaknya berhasil dengan segudang “kemampuan” pada institusi sekolah, dalam hal ini guru adalah sosok yang mempunyai peranan besar. Tanpa ada motivasi dan kreativitas yang tinggi dari seorang guru dalam proses pembelajaran di sekolah maka apa yang telah dilakukan olehnya bertahun-tahun di sekolah akan menuai cemooh dari masyarakat, yang pada akhirnya menghancurkan institusi sekolah itu sendiri. Motivasi Kerja Guru dalam Mengembangkan Kurikulum di Sekolah Daftar Pustaka Carnegie, Dale. (2007). How to win friends and influence people. kinayath.wordpress.com Gardner, Howard (1983). Multiple Intelligences. www.ThomasArmstrong.com Hersey, Paul dan Blanchard (1977). Management of organization behavior. New Jersey: Prentice- Hall Inc. http://tech.groups.yahoo.com/himatika_ugm/ motivasi diri Kenneth Blanchard, Spencer Johnson (2003). The one minute manager. PT Elex Media Komputindo Meirawan, Danny. (1987). Pengaruh iklim organisasi sekolah dan motif kerja terhadap penampilan kerja guru Bandung: IKIP Mc Clelland, David (1961). The achieving society. New York : D. Van Nostrand Company Inc. Nasution S. (1986). Didaktik asas-asas mengajar. Bandung: CV. Jemmars Nawawi, Hadari. (1989). Mutu pendidikan nasional. Makalah dalam konvensi nasional, di IKIP Medan Sudjana, Nana (1989). Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Sukartini (1986). Kontribusi minat akademik orang tua dan guru terhadap konsep dan siswa. IKIP Bandung www.gatra.com., 12 Mei 2003 www.kabarindonesia.com., 28 April 2009 ______Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Nomor : 22, 23 & 24 Tahun 2006 ______Catatan Kuliah S-2 PKLH Universitas Siliwangi, tahun 2002-2004 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 63 Menjadi Guru Pembelajar Opini Menjadi Guru Pembelajar Bambang Kaswanti Purwo*) Abstrak ejak tahun tujuh puluhan terjadi perubahan paradigma dalam pendidikan yang mempengaruhi pandangan terhadap pendidik dan peserta didik di dalam proses belajarmengajar. Mengajar tidak lagi dimaknakan sebagai yang dahulu dipahami sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, menyuapkan ilmu pengetahuan kepada siswa. Mengajar dalam pengertian baru menjadi guru pembelajar (bukan guru pengajar), membantu siswa belajar untuk belajar, membimbing siswa sampai ke penyadaran akan pemelajaran sepanjang hayat. Guru tidak lagi menempatkan diri berperan sebagai satu-satunya model bagi pemelajaran bahasa dan satu-satunya yang mampu menemukan dan membetulkan kesalahan siswa. Guru berperanan lebih sebagai konselor, fasilitator, kolaborator, dan pelatih strategi belajar bagi siswa. Tulisan ini merupakan upaya untuk mengulas paradigma baru itu: dari diskusi mengenai atribut guru sebagai “pengajar” dan “pembelajar” sampai pada uraian singkat mengenai gaya belajar dan strategi belajar. S Kata-kata kunci: Belajar, pemelajar, mengajar, membelajarkan, pembelajar, pengajaran yang berpusat pada siswa, gaya belajar, strategi belajar. Abstract In the years of seventies, there was a paradigm shift in education which affects the roles of teachers and students in the teaching-learning process. Teaching is no longer interpreted as in the previous sense of imparting knowledge or spoon feeding to the learners. Teaching is helping learners learn to learn, making them aware of learning as life-long learning. The role of teachers shifted from being the (sole) model for the language, the (sole) actor for identifying and correcting errors to being the counselor, facilitator, collaborator, and trainer of learning strategies. The present article is an attempt to elaborate the new paradigm: from the pair terms attributed to teachers’ role as “pengajar” and “pembelajar”to a brief discussion on learning styles and learning strategies. Key words: Learning, learner, teaching, helping learner to learn, learner centered, learning styles, learning strategies. Pendahuluan Sudah dalam beberapa dekade ini, sejak tahun 1970-an, pengajaran bahasa1 diwarnai dengan pendekatan yang namanya “pendekatan komunikatif” (communicative approach). Apa perubahan mendasar yang terjadi? Pengajaran bahasa tidak lagi memusatkan perhatian pada proses mengajarkan bahasa (language-centered process), 2 metode apa yang dipakai untuk mengajar, bagaimana guru menyampaikan bahan ajar, bagaimana guru mengurutkan bahan ajar (dari yang mudah ke yang sukar), bagaimana guru bertindak manakala siswa berbuat kesalahan. Gebrakan pembaruan yang terjadi *) Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Menjadi Guru Pembelajar mengalihkan kiblat yang menjadi tumpuan guru di dalam kegiatannya di kelas. Guru memakai sudut pandang yang berkiblat pada siswa, berpusat pada siswa (learner centered). Perhatian bukan pada bagaimana menyampaikan bahan ajar kepada siswa, melainkan pada bagaimana siswa menyerap bahan ajar, bagaimana proses pemahaman dan penguasaan bahasa oleh siswa. Namun, apa yang dimaksudkan dengan “berpusat pada siswa” ini? Sekurang-kurangnya ada dua yang dapat memperjelas apa yang dimaksudkan itu, yakni (a) bahan ajar bagaimana yang diperlukan oleh siswa dan (b) bagaimana proses siswa menangkap bahan ajar. Dalam hal bahan ajar, apa yang disampakan di kelas bukan apa yang – menurut anggapan guru – perlu untuk siswa, melainkan apa yang memang sungguh diperlukan oleh siswa. Guru, sebelum menyampaikan bahan ajar, perlu tahu – melalui pengamatan atau wawancara – apa yang diperlukan oleh siswanya (learners’ need). Ihwal bagaimana proses siswa mengolah atau mencerna bahan ajar, bagaimana itu tercermin dalam perilaku guru manakala berinteraksi dengan siswa di kelas dapat dijelaskan dengan dua istilah ini: guru sebagai “pengajar” atau guru sebagai “pembelajar”? Guru yang menerapkan pendekatan komunikatif dituntut untuk bertindak sebagai pembelajar, tidak sebagai pengajar. Uraian pada makalah ini diawali dengan penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “pembelajar” dan istilah yang berkaitan dengannya, yakni “memelajarkan” vs. “membelajarkan”, “pemelajaran” vs. “pembelajaran”. Pembelajaran vs. Pemelajaran Perbedaan makna di antara “pembelajaran” dan “pemelajaran” ini perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum dipaparkan penjelasan lebih lanjut mengenai apa arti “guru sebagai pembelajar”. Berikut ini uraian mengenai kaidah yang berlaku pada proses pembentukan kata di dalam bahasa Indonesia. Sistem morfologi bahasa Indonesia mengenal dua proses pembentukan kata ini: (a) peN-/-an dan (b) per-/-an. Nomina penggantian merupakan bentuk yang dihasilkan dari verba mengganti, sedangkan pergantian berasal dari berganti. Dengan peN-/-an, kata dasarnya dapat pula berupa kata yang sudah berafiks, misalnya ber-, sehingga dapat dihasilkan kata baru seperti pada (1). (1) a. berdaya memberdayakan pemberdayaan b. berlaku memberlakukan pemberlakuan c. belajar membelajarkan pembelajaran Adapun dari verba memper-, seperti pada (2), dapat dihasilkan bentuk pemer-/-an. (2) a. memperdaya pemerdayaan b. memperoleh pemerolehan c. mempelajari pemelajaran Apa perbedaan makna di antara pember-/an (1) dan pemer-/-an (2) itu? Yang pertama mengandung makna kausatif ’membuat, menyebabkan ... menjadi ...’. Amati (3) dan(4). (3) a. memberdayakan nelayan ‘membuat nelayan berdaya’ b. memberlakukan undang-undang ’membuat undang-undang berlaku’ c. membelajarkan siswa ’membuat siswa belajar’ (4) a. pemberdayaan nelayan ’proses/ kegiatan membuat nelayan berdaya’ b. pemberlakuan undang-undang ’membuat undang-undang (mulai) berlaku’ c. pembelajaran siswa ’membuat siswa belajar’ Namun, tidak ada makna kausatif pada kata dengan memper- dan pemer/-an (5). (5) a. memperoleh bahasa ’menguasai bahasa’ b. mempelajari kosakata ’belajar tentang kosakata’ Dari memper- pada (5) ini dapat dihasilkan kata dengan pemer-/-an. (6) a. pemerolehan bahasa b. pemelajaran kosakata Jadi, pembentukan kata dengan pember-/-an dan pemer-/-an, kalau mengukuti kaidah bahasa Indonesia, adalah pemakaian seperti pada (7) dan (8) ini. (7) pembelajaran siswa membelajarkan siswa (8) pemelajaran kosakata mempelajari kosakata Akan tetapi, yang meluas dipakai hingga saat ini bukan rangkaian kata seperti pada (8), Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 65 Menjadi Guru Pembelajar pemelajaran kosakata, melainkan rangkaian kata seperti pada (9). (9) ??pembelajaran kosakata ??membelajarkan kosakata Pada makalah ini, tidak akan dipakai rangkaian kata seperti “pembelajaran kosakata” (9) itu. Kata pembelajaran memiliki makna kausatif (sebagaimana yang diulas pada (3) dan (4)) dan karena itu rangkaian kata pada (9) itu bermakna ’proses atau kegiatan membuat kosakata belajar’ – makna yang aneh. Apabila yang dimaksudkan adalah makna ’proses atau kegiatan belajar atau mempelajari kosakata”, maka – jika mengikuti kaidah pembentukan kata di dalam bahasa Indonesia (sebagaimana yang diuraikan di atas) – dipakai rangkaian kata pemelajaran kosakata. Rangkaian kata yang tidak mengandung makna kausatif mengikuti pola pada (8): pemelajaran tata bahasa, pemelajaran bahasa, pemelajaran menulis. Untuk rangkaian kata yang bermakna kausatif perlu seseorang yang menjadi pelaku suatu perbuatan, misalnya, siswa. Maka rangkaian katanya adalah pembelajaran siswa, mengikuti pola pada (3) dan (4). Singkat kata, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, pemelajaran adalah learning, sedangkan pembelajaran adalah instruction. 3 Makna kata pembelajaran tidak berdekatan arti dengan kegiatan belajar atau mempelajari, melainkan dengan kegiatan mengajar. Sampai di sini yang dibahas adalah kata yang berkenaan dengan kegiatan atau proses (member-, pember-, memper-, pemer-). Bagaimana dengan kata yang mengait ke pelaku atau orang yang melakukan kegiatan itu (seperti menulis penulis, membaca pembaca)? Bagaimana mengatakan pelaku dari kegiatan member- dan memper-? Pertimbangkanlah (10) dan (11). (10) mempelajari [sesuatu] pemelajar (’learner’) (11) membelajarkan [seseorang] pembelajar (’teacher”, ’instructor’) Jadi, pemelajar dapat bersinonim dengan siswa, sedangkan pembelajar bersinonim dengan guru. Dengan demikian, dalam hal apa yang dapat dilakukan oleh guru di kelas, ada dua istilah yang dapat dipakai untuk menggambarkan itu: guru sebagai pengajar dan guru sebagai pembelajar. Ini merupakan dua perilaku yang dapat dipilih oleh guru. 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Siswa, Pelajar vs. Pemelajar; Guru, Pengajar vs. Pembelajar Mengapa mempersulit diri dengan memunculkan istilah-istilah baru? Mengapa dirasa perlu menciptakan istilah pemelajar; padahal, sudah ada kata siswa, yang artinya toh mirip? Lagi pula, sudah ada kata pelajar (yang berpadanan dengan pupil) dan pelajaran (yang berpadanan dengan lesson). Untuk apa mempersulit diri dengan penciptaan kata seperti pemelajar, pemelajaran? Alasan ini erat kaitannya dengan perkembangan pembicaraan di bidang pengajaran bahasa sejak tahun 1970-an, yang beralih orientasi dari guru sebagai pusat ke siswa sebagai pusat (learner centered). Oleh karena itu, diperlukan istilah dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan konsep “learner” dan “learning”; kata pelajar terlalu sempit untuk menampung pengertian ‘learner’ itu. Lingkup makna kata siswa dan pelajar terbatas, sedangkan lingkup kata pemelajar tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Kata pelajar atau siswa berkaitan dengan lingkup sekolah, pendidikan formal, sedangkan pemelajar atau pemelajaran berkenaan dengan sesuatu yang tidak harus dilakukan di sekolah. Pemelajaran (’learning’) adalah suatu proses atau kegiatan yang dapat dilakukan seumur hidup, tidak terbatasi dengan ruang atau masa-masa di sekolah. Meskipun sudah lulus, siapa pun dapat terus belajar sepanjang hayat dan mereka ini disebut pemelajar bukan pelajar atau siswa. Yang disebut siswa atau pelajar pun, atau mereka yang sedang belajar di sekolah, dapat juga disebut pemelajar, jika mereka bersikap seperti yang berikut ini. Belajar bukan untuk kepentingan atau untuk dilakukan di lingkungan sekolah dan pada “saat ini” (misalnya, untuk memperoleh nilai, lalu naik kelas atau lulus dan mendapatkan ijazah). Belajar adalah kegiatan yang terus-menerus, tidak hanya pada masa bersekolah. Belajar adalah kegiatan yang terus dilakukan sepanjang hayat di mana saja. Bagaimana pula dengan guru? Guru yang pengajar adalah guru yang mengajar siswa. Guru yang pembelajar adalah guru yang membelajarkan siswa. Perbedaan antara “guru yang mengajar siswa” dan “guru yang membelajarkan siswa” akan diulas berikut ini. Menjadi Guru Pembelajar pun kebanyakan pendek dan singkat. Jarang terjadi atau hampir tidak ada yang sebaliknya: siswa bertanya dan guru menjawab. Gurulah Kalau ditanyakan “Apa yang diharapkan untuk yang sepenuhnya mengendalikan interaksi di dilakukan oleh seorang guru di kelas?”, jawaban kelas, Tidak ada selaan atau interupsi dari yang serta merta keluar adalah “mengajar”. siswa, tidak pula ada pertanyaan atau Dengan diterapkannya pendekatan komunikatif permintaan penjelasan akan sesuatu yang sudah di dalam pengajaran bahasa mulai era 1970-an, diterangkan oleh guru tetapi belum jelas bagi kalau kita berbicara mengenai “mengajar di siswa. Guru menjalani tahap-tahap penyamkelas”, ada pengertian baru, yang berbeda paian bahan sesuai dengan rencana yang sudah dengan pengertian yang lazim dipakai disiapkan sebelumnya. Guru terus melaju, sebelumnya. Perbedaan ini dapat dijelaskan berusaha memenuhi target menyelesaikan bahan dengan memanfaatkan pembahasan pada dua ajar seperti yang sudah direncanakan. Ia melaju pasal di atas (dua pasal setelah “Pengantar”). terus, kurang merasa perlu tahu apakah bahan Istilah mengajar, pengajaran, pengajar dipakai yang ia sampaikan dipahami oleh siswa atau untuk pengertian yang lama. Istilah membel- tidak, dan lebih memusatkan perhatian ajarkan, pembelajaran, pembelajar digunakan di sini bagaimana dapat menyelesaikan bahan ajar untuk pengertian yang baru. yang telah disiapkan rapi sebelumnya. Meskipun pengertian yang baru itu sudah Guru sebagai pembelajar juga menyiapkan beredar mulai tahun 1970-an dalam pembica- bahan ajar sebelumnya tetapi apa yang raan dan penelidilakukan pada tian mengenai teori waktu menyajipengajaran bahakannya di kelas sa, di dalam praktidak sama dengPerhatian guru pengajar lebih tik pengajaran di an yang dilakutercurah pada penyampaian ruang kelas, bakan oleh guru bahan ajar, sedangkan perhatian nyak guru yang sebagai pengajar. guru pembelajar lebih pada masih menerapGuru pengajar kan pengertian bagaimana siswa belajar, menyampaikan yang lama, termabutir per butir dari bagaimana siswa menyerap suk di Indonesia. bahan ajar yang ia bahan. Menurut pengersiapkan sesuai tian itu, guru cendengan rencanaderung menjadi nya. Ia mengerah(satu-satunya) kan usahanya sumber pengetahuan di kelas. Guru menem- sedemikian rupa sehingga semua butir dari patkan diri sebagai satu-satunya sumber bahan ajarnya dapat terselesaikan pada akhir informasi di kelas, satu-satunya yang “paling jam pelajaran. Guru pembelajar tidak terpaku tahu”. Kegiatan “mengajar” adalah kegiatan pada daftar butir-butir yang telah ia siapkan. Ia menyampaikan ilmu pengetahuan, kegiatan tidak mengejar target supaya semua butir pada menyuapkan ilmu pengetahuan kepada siswa. bahan ajar yang ia siapkan itu selesai Guru aktif, guru berbicara, asyik menjelaskan disampaikan semuanya pada akhir jam sesuatu, bahkan mungkin mencoba dengan pelajaran. Dari waktu ke waktu ia memantau berbagai cara supaya dipahami oleh siswa. apakah bahan yang sedang ia sampaikan diserap Siswa duduk dengan diam mendengar-kan dan siswanya atau tidak. Kepeduliannya lebih pada – jika merasa perlu – mencatat. Jika pelajaran di apakah butir yang ia dijelaskan itu ditangkap kelas itu direkam ke dalam kaset, akan siswanya atau tidak. Tidak setiap butir kedengaran bahwa hampir seluruh suara yang memerlukan waktu yang sama untuk terekam dalam pelajaran bahasa di kelas adalah menjelaskannya. Ada yang ternyata tidak perlu suara yang keluar dari mulut guru, bukan dari dijelaskan, siswa sudah tahu. Ada yang hanya siswa. perlu penjelasan singkat, sudah langsung Apabila ada dialog atau tanya-jawab di dipahami. Namun, ada pula yang memakan kelas, yang terjadi adalah guru bertanya dan waktu lebih lama, tergantung pada proses siswa menjawab. Jawaban yang diberikan siswa penyerapan, tergantung pada seberapa lama Mengajar vs. Membelajarkan Siswa Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 67 Menjadi Guru Pembelajar waktu yang diperlukan siswa untuk mempelajarinya. Singkatnya, perbedaan antara kedua macam perilaku yang dapat dipilih oleh guru adalah sebagai berikut. Perhatian guru pengajar lebih tercurah pada penyampaian bahan ajar, sedangkan perhatian guru pembelajar lebih pada bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menyerap bahan. Apa perbedaan antara guru pengajar dan guru pembelajar pada waktu memeriksa karangan siswa, misalnya? Guru pengajar dengan teliti dan cermat akan menandai setiap kekurangan atau kesalahan siswa dan langsung memperbaikinya, langsung menuliskan pembetulannya. Yang ada di benaknya adalah bagaimana ia dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu siswa agar karangannya menjadi lebih baik. Guru pembelajar hanya menandai bagian-bagian yang perlu diperbaiki, tetapi tidak memberitahukan bagaimana perbaikannya. Siswa diminta mengerjakan sendiri atau bertanya pada teman sekelasnya bagaimana memperbaiki bagianbagian yang ditandai oleh guru. Lalu, setelah itu, mereka diminta menulis kembali karangannya. Kapan saat yang tepat bagi guru pembelajar untuk membantu siswa dalam memperbaiki karangannya? Pada waktu siswa sudah berusaha maksimal (bersama temanteman sekelasnya) dan tetap saja tidak dapat melakukan perbaikan – sudah “mentok” – ya inilah saat yang tepat. Singkatnya, guru pembelajar memberikan peluang kepada siswa untuk mencoba belajar dengan daya kekuatan sendiri, atau dalam kerja sama dengan temannya. Guru pembelajar melatih siswa untuk tidak menggantungkan sepenuhnya dan terus-menerus pada guru. Guru pembelajar memberi kesempatan pada siswa untuk mengalami bahwa mereka juga memiliki kemampuan memperbaiki sendiri kekurangan mereka. Mereka dilatih untuk dapat belajar mandiri. Lebih dari itu, siswa dipersiapkan agar belajar tidak semata-mata agar naik kelas atau lulus ujian. Belajar bukanlah kegiatan yang dilakukan di lingkup sekolah. Belajar adalah kegiatan sepanjang hayat dan – karena itu – guru menyadarkan akan potensi yang dimiliki oleh siswa, meyakinkan siswa akan adanya potensi itu,4 memacu siswa untuk mengembangkan itu. Guru tidak membuat siswa bergantung pada guru, tetapi mendorong dan mengarahkan agar mereka secepatnya dapat mandiri. 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Apa lagi yang dilakukan oleh guru sebagai pembelajar? Salah satu hal yang dianggap penting oleh banyak guru dalam kegiatannya mengajar di kelas ialah mengusahakan bagaimana supaya bahan yang sudah dipersiapkannya secara rapi itu dapat diselesaikan dalam waktu yang tersedia. Perhatian guru lebih tercurah pada pengelolaan dan penataan bahan ajar itu sendiri, misalnya, dari mana saya harus mulai menyampaikan bahan-bahan yang sudah saya siapkan ini, bagaimana mengurutkannya, dan bagaimana menghabiskan semua bahan itu. Akan tetapi, guru yang membelajarkan siswa lebih memalingkan perhatiannya pada proses belajar siswa, bagaimana siswa menyerap bahasa. Apa yang terjadi pada siswa dalam proses mempelajari bahasa? Apa yang membuat siswa bisa berhasil? Apa yang menyebabkan siswa gagal? Apa yang harus dilakukan guru agar siswa terbantu dalam proses mempelajari bahasa itu. Sampai dengan tahun 1960-an para ahli pengajaran bahasa sibuk memikirkan metode mengajar yang bagaimana yang paling ampuh untuk dipakai. Kita kenal ada Grammar Translation Method, Direct Method, Audiolingual Method, dsb. Dengan beralihnya kiblat, yang menjadi minat perhatian bukan lagi apa yang dilakukan oleh guru dalam mengajar, bukan lagi berbagai macam cara untuk mengajar melainkan, antara lain, berbagai macam cara bagaimana siswa belajar. Ini berkaitan dengan “gaya belajar” (learning style) dan “strategi belajar” (learning strategies).5 Gaya siswa dapat dibedakan, sekurangkurangnya atas tiga. Ada siswa yang cenderung untuk belajar secara visual, ada yang lebih kuat segi auditorinya, ada lagi siswa yang mengandalkan diri pada aspek kinestetik dalam belajar. Siswa yang visual belajar dengan mengandalkan daya penglihatannya. Mereka perlu melihat gerak gerik guru dan ekspresi wajah guru supaya agar mereka dapat memahami isi pelajaran. Mereka akan memilih duduk di deretan depan dan berusaha untuk menghindari gangguan pandang (misalnya, pandangan ke arah guru terganggu oleh kepala teman yang duduk di depannya). Proses pemahaman mereka akan terbantu apabila guru Menjadi Guru Pembelajar menyediakan gambar-gambar, transparansi, video, lembar edar (handout). Selama pelajaran mereka akan mencatat secara rinci informasi yang mereka peroleh. Siswa tipe auditori belajar dengan berpegang pada daya pendengarannya. Mereka belajar dengan baik apabila ada diskusi, membahas persoalan dengan orang lain dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain. Mereka menginterpretasikan makna dengan memperhatikan lagu suara, titi nada, dan ciri-ciri bunyi yang lain. Informasi yang tertulis tidak ada maknanya bagi mereka sebelum itu dibacakan atau mereka dengar. Mereka dapat menyerap informasi dengan baik apabila itu disuarakan atau digunakan tape recorder, misalnya. Siswa yang kinestetik belajar melalui gerakan, berbuat, menyentuh. Siswa jenis ini dapat belajar dengan baik apabila ada kegiatan dengan gerakan tangan, menjelajahi sekitarnya secara fisik. Berat bagi mereka untuk diminta duduk diam dalam waktu yang lama. Mereka akan tergerak untuk bangkit dari tempat duduknya dan mulai menjelajahi ruangan dan yang ada di sekitarnya. Strategi belajar ada kaitannya dengan gaya belajar. Siswa yang visual akan lebih suka memilih cara belajar seperti membuat daftar kata (misalnya, dalam belajar kosakata), atau mengelompok-kelompokkan kata. Siswa yang analitis (suka menganalisis) akan lebih memilih cara belajar seperti mempelajari kaidah atau rumus-rumus, analisis kontrastif, memotongmotong kata atas unsur-unsurnya. Siswa dengan pendekatan global akan memilih cara belajar yang dapat membantu mereka menemukan gambaran secara umum atau menyeluruh. siswa kurang dimanfaatkan sehingga siswa tidak diberi kesempatan atau dilatih untuk menjadi sadar akan adanya potensi di dalam dirinya itu – potensi untuk belajar sendiri, potensi untuk mampu mengerjakan sendiri, potensi untuk mampu memecahkan persoalan sendiri. Ia kurang mempertimbangkan pula bahwa siswa tidak belajar secara sama. Di antara siswanya ada berbagai gaya belajar (learning styles) dan strategi belajar (learning strategies) yang berbeda-beda dan oleh karena itu guru perlu memperkaya diri dengan berbagai cara mengelola kegiatan belajar di kelas. Guru pembelajar memperhitungkan tidak hanya kekhasan dan keanekaragaman di dalam diri siswa (learner centered), melainkan juga membuka peluang bagi siswa untuk terusmenerus mencoba sendiri atau bersama teman sekelasnya. Guru tidak langsung memberi tahu kepada siswa solusi atau perbaikan yang harus dilakukan oleh siswa. Siswa dilatih untuk belajar menjadi mandiri dalam menemukan kekurangan sendiri (atau kekurangan teman sekelasnya) serta memperbaiki kekurangannya sendiri atau dalam kerja sama dengan temantemannya. Guru pembelajar membantu dan membimbing siswa agar mencoba dan mencoba terus untuk belajar sendiri, menemukan persoalannya sendiri, dan berusaha memecahkannya sendiri. Siswa dipacu untuk mencari dan berkonsultasi dengan sumber-sumber belajar yang lain (seperti perpustakaan, internet, atau nara sumber lain) dan tidak semata-mata menggantungkan diri pada guru dan bahan ajar di kelas. Catatan kaki 1 Teori pengajaran bahasa yang berkembang dan dikenal meluas selama ini berkenaan dengan pengajaran bahasa sebagai bahasa asing, bukan pengajaran bahasa sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu. Namun, ada di antaranya yang dapat jugaditerapkan pada pengajaran bahasa sebagai bahasa pertama. 2 Lihat, misalnya, Diana-Larsen Freeman, “Expanding Roles of Learners and Teachers in Learner-Centered Instruction”, di dalam Learners and Language Learning, suntingan Willy A. Renandya dan George Jacobs (Singapore: SEAMEO Regional Language Centre: 1998), hlm. 207–226. Penutup Guru sebagai pengajar dan guru sebagai pembelajar sama-sama berkehendak baik. Apa yang dilakukan oleh kedua tipe guru ini samasama atas kehendak baik ingin membantu siswa. Hanya, apa yang dilakukan dalam usahanya membantu siswa berbeda. Guru pengajar mengerahkan tenaganya sendiri, bertumpu pada dirinya sendiri dalam kegiatannya membantu siswa. Ia bekerja keras, mengerahkan daya kemampuannya. Potensi yang ada di dalam diri Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 69 Menjadi Guru Pembelajar 3 Istilah “pembelajaran” dalam pengertian ‘instruction’, bukan ‘learning’, pernah dipakai pada salah satu judul buku terbitan Universitas Negeri Jakarta 4 Lihat, misalnya, Constructivism as a Paradigm for Teaching and Learning (2004) http:// www.thirteen.org/edonline/concept2class/ constructivism/inde…; Mardziah Hayati Abdullah, Problem-Based Learning in Language Instruction: A Constructivist Method, http://learn2study.org/ teachers/problem_learning.htm 5 Andrew D. Cohen dan Zoltan Domyei, “Focus on the Language Learner: Motivation, Styles and Strategies”, di dalam An Introduction to Applied Linguistics, suntingan Norbert Schmitt (London: Arnold 2002), hlm. 170–190 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Daftar Pustaka Cohen, Andrew D. dan Zoltan Domyei. (2002). “Focus on the language learner: motivation, styles and strategies”, di dalam An introduction to applied linguistics. Norbert Schmitt (ed.), London: Arnold, 170–190 Larsen-Freeman, Diana. (1998). “Expanding roles of Learners and teachers in learner-centered instruction” dalam Willy A. Renandya dan George Jacobs (ed.) Learners and Language Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Centre, 207–226 Mardziah, Hayati Abdullah. Problem-based learning in language instruction: A constructivist method. http://learn2study. org/teachers/problem_ learning.htm ______Constructivism as a pParadigm for teaching and learning. (2004). http://www.thirteen. org/edonline/concept2class/constructivism/ inde… Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar Opini Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar Hilda Karli*) Abstrak endekatan berorientasi pada peserta didik dan pembelajaran tematik dalam proses pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedua pendekatan itu terlihat jelas dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar yang sekarang ini diterapkan. Setelah menelaah pendekatan tematis secara konseptual dan membandingkannya dengan pendekatan fragmented, tulisan ini mengidentifikasi sejumlah kesulitan guru melaksanakan pembelajaran tematis. Tulisan ini menemukan, pembelajaran tematis memudahkan peserta didik memahami konsep-konsep secara holistik tetapi pembelajaran fragmented juga masih diperlukan untuk lebih memahami pokok bahasan tertentu. P Kata-kata kunci: Pembelajaran tematik, pembelajaran keterhubungan, pembelajaran terintegrasi, pembelajaran jaring laba-laba, pembelajaran fragmented, penilaian hasil belajar. Abstract Students centered and thematic instructions are two of approaches developed and implemented by the Indonesian Government to improve the national education quality at primary school level. Having reviewed theoretically the thematic instructions and compared them to the fragmented instructions (previously used), this article reveals some difficulties faced by primary school teachers in practising the thematic instructions. The analysis in this article indicates that thematic instructions enable the students understand the concepts holistically, but to some extent the fragmented instructions are still needed to help the students understand certain topics. Key words : Thematic instruction, connected instruction, integrated instruction, spider-web instruction, fragmented instruction, learning achievement evaluation. Pendahuluan Banyak para guru SD menjadi bingung setelah dicanangkannya pembelajaran tematik yang harus dilaksanakan di kelas tahun 2004. Begitu pula sang kepala sekolah menghadap dilema dalam memutuskan apakah perlu pembelajaran tematik dilaksanakan di kelas. Baik para guru maupun kepala sekolah belum memahami pembelajaran tematik. Bagaimana mereka harus melaksanakan? Padahal sang guru sudah terbiasa mengajar dengan pembelajaran yang bersifat fragmented, pembelajaran yang memberikan pelajaran secara terpisah-pisah untuk setiap mata pelajaran yang diajarkan di SD. Sejak bergulirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 kelas 1 dan 2 SD dihimbau oleh Dinas Pendidikan di Indonesia *) Dosen PGSD Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 71 Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar untuk menerapkan pembelajaran tematik. Belum dua tahun KBK berjalan, muncul embrio dari KBK yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 menghimbau kelas 1 sampai 3 SD untuk menerapkan pembelajaran tematik. Para guru menjadi lebih stress lagi ketika bergantinya kurikulum, sementara itu pembelajaran tematik harus dilaksanakan. Pembelajaran tematik, yang menjadi sebuah wacana baru, dianggap baik diterapkan di SD tentu mempunyai beberapa alasan, antara lain: pola pikiran anak yang masih holistik artinya usia siswa sekitar 4 – 10 tahun pola pemikirannya masih satu kesatuan, umumnya mereka menjadi berpikir fragmented karena pola asuh orang dewasa yang memisah-misahkannya. Berikutnya, usia siswa SD masih bersifat operasional kongkrit. Menurut Jean Piaget dalam Dahar (1998), pada usia tersebut anak masih butuh alat peraga (media) yang kongkrit (nyata) untuk menjelaskan suatu konsep. Juga saat proses belajar untuk mengenal suatu konsep tentu tidak lepas dari kehidupan yang paling dekat dengan lingkungan siswa. Oleh karena melalui payung tema yang menarik perhatian siswa, sang guru dapat membelajarkan beberapa mata pelajaran seperti: Matematika (Mat), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Indonesia (BI), Seni Budaya Keterampilan (SBK), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Agama, dan Olahraga. Terakhir, pembelajaran tematik sudah diperkenalkan sejak siswa duduk dibangku TK oleh karena sangat sinambung sekali. Berdasarkan analisis penulis ketika menjadi nara sumber dalam semiloka atau workshop pembelajaran tematik di sekolah dasar baik negeri atau swasta di Indonesia, masih banyak sekolah dasar yang belum melaksanakan pembelajaran tematik. Hal ini dikarenakan antara lain: tidak adanya bahan ajar yang mendukung, ketidakpahaman guru untuk melaksanakan pembelajaran tematik, Dinas Pendidikan setempat sudah menyusun silabus pembelajaran tematik sementara guru tidak dilibatkan saat penyusunannya tetapi mereka harus melaksanakannya. Alasan lain ialah pada saat mensosialisasikan pembelajaran tematik, guru terlalu dicekoki atau dijejali dengan materi yang baku seperti silabus yang sudah ada dan harus dilaksanakan. Guru perlu memahami cara membuat silabus, RPP dan implementasinya untuk pembelajaran tematik. Jadi ketika guruguru diberikan silabus yang menggunakan 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 pembelajaran tematik dari Dinas Pendidikan setempat, guru hanya tunduk pada Dinas tanpa tahu tujuan dan cara penerapan pembelajaran tematik. Dengan demikian jenis pembelajaran tematik sebaiknya diperkenalkan kepada para guru, guru diberi kebebasan untuk memilih jenis pembelajaran tematik. Sudah barang tentu guru akan tahu konsekuensi yang perlu diambil ketika mereka memutuskan suatu jenis pembelajaran tematik temasuk penilaian akhir dan jadwal pelajaran. Guru SD tidak mandiri karena terlalu dimanjakan dengan aturan dari Dinas Pendidikan setempat yang mensosialisasikan secara rinci pembelajaran tematik. Berbeda dengan guru SMP dan SMA yang lebih mandiri dan lebih berani mengambil sikap dalam menerapkan pembelajaran atau aturan. Banyak kalangan guru SD dan pemerhati pendidikan bertanya , apakah pembelajaran fragmented dianggap tidak baik sehingga seolaholah digeser oleh pembelajaran tematik? Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran fragmented yang ideal? Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran tematik yang ideal? Apakah kekuatan dan kelemahan dari setiap pembelajaran fragmented maupun tematik? Apakah pembelajaran fragmented sudah dilaksanakan secara ideal? Apakah pembelajaran fragmented cocok diterapkan di SD? Bagaimanakah pembelajaran tematik agar dapat dilaksanakan secara ideal? Apakah pembelajaran tematik cocok diterapkan di SD? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu melalui pembahasan kritis. Pembahasan Pembelajaran fragmented sebagai suatu pendekatan belajar mengajar suatu mata pelajaran yang utuh tanpa mengkaitkan mata pelajaran satu dengan yang lainnya (Fogarty, 1991). Bila seorang guru kelas SD mengajar mata pelajaran matematika maka konsep pada pelajaran matematika diajarkan utuh kepada siswanya tanpa melihat atau mempertimbangkan dengan konsep yang ada pada mata pelajaran IPA atau bahasa Indonesia. Jadi dalam pembelajaran Fragmented setiap mata pelajaran dirancang secara terpisah-pisah dan tidak ada usaha untuk mengkaitkan di antara mata pelajaran tersebut. Oleh Fogarty pembelajaran fragmented disimbolkan dengan sebuah periskop yang artinya memandang satu arah, fokus yang Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar sempit untuk setiap mata pelajaran. Contohnya di Kelas 3 SD semester I, guru akan mengajar IPA, IPS, Bahasa Indonesia dan Matematika dengan pokok bahasan yang sudah tercantum secara berurutan dalam kurikulum tanpa melihat keterpaduan dari setiap konsep. Mata pelajaran IPA Topik: Udara Mata pelajaran B. Indonesia Topik: Penduduk Mata pelajaran IPS Topik: Hasil bumi Mata pelajaran Matematika Topik: Bilangan Gambar 1: Fokus pembelajaran mata pelajaran IPA, IPS, BI dan Mat, jenis pembelajaran Fragmented Pembelajaran tematik sebagai suatu pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa mata pelajaran dalam satu tema untuk memberikan pengalaman bermakna bagi siswa. Pengalaman bermakna maksudnya anak memahami konsep – konsep yang telah mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami (Tim Pengembang PGSD, 1996). Pembelajaran menurut Depdiknas (2004) adalah suatu pola umum kegiatan pembelajaran yang tersusun secara sistematis berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan, psikologi, didaktik, dan komunikasi dengan mengintegrasikan struktur (langkah pembelajaran, metode, media, manajemen kelas, evaluasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien). Pembelajaran Tematik berorientasi pada kebutuhan perkembangan anak artinya menolak drill sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual siswa. Jika dibandingkan dengan pembelajaran fragmented maka pembelajaran Tematik lebih menekankan keterlibatan siswa secara aktif baik kognitif maupun skill dalam proses pembelajarannya. Dewasa ini pembelajaran fragmented dilaksanakan tanpa melihat kebutuhan perkembangan anak, guru mendrill siswanya agar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual siswa terbentuk dengan cepat (instant). Jika pembelajaran fragmented dilaksanakan dengan memandang dari segi kebutuhan perkembangan siswa dalam pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual maka sebenarnya pembelajaran fragmented merupakan salah satu cara pembelajaran yang baik diterapkan di SD jika dilaksanakan secara ideal. Hanya sayangnya pembelajaran fragmented yang dilaksanakan di sekolah sekedar catat, duduk, dengar dan hafal. Sang guru hanya menggunakan metode ceramah saja untuk mendrill konsep secara instant. Bagaimana jika pembelajaran fragmented dilaksanakan secara student centered? Apakah output-nya akan menghasilkan siswa yang kreatif, kritis dan inovatif? Tentu, asalkan pembelajaran fragmented dilaksanakan secara student centered. Pembelajaran tematik dan pembelajaran fragmented menggunakan berbagai macam metode dan teknik dengan melihat dari kebutuhan siswa. Pembelajaran yang menggunakan ajang permainan (learning by playing) dapat memotivasi siswa dalam belajar dan sangat cocok diterapkan di kelas TK dan SD kelas rendah. Sedangkan untuk kelas tinggi lebih cocok learning by doing. Prinsip belajar seraya bermain dan belajar seraya bekerja dapat diterapkan dalam pembelajaran tematik dan pembelajaran fragmented. Menurut Fogarty (1991) ada tiga macam pembelajaran tematik yang diperkenalkan di Indonesia terutama di kalangan mahasiswa S1– PGSD dari sepuluh macam yang ditulis olehnya. Pertama, pembelajaran keterhubungan (conneccted) adalah pembelajaran dalam satu mata pelajaran yang menggunakan tema untuk mengkaitkan sub bab /bab yang satu dengan lainnya. Misalnya dalam pelajaran IPA ada bab Makhluk Hidup dan Benda maka untuk mengkaitkannya dibuat tema: “Makhluk hidup dan benda di sekitar kita” Contoh Gambar di bawah ini ditujukan untuk kelas 3SD yang mengkaitkan dua konsep Makhluk Hidup dan Benda berdasarkan KTSP 2006. Umumnya dalam pembelajaran IPA yang menggunakan tema “Makhluk hidup dan benda di sekitar kita”, guru mengajarkan konsep mahkluk hidup di Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 73 Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar tema tanpa ada batas satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Satu sub tema dilakukan setiap hari tanpa jadwal pelajaran hanya jam pelajaran yang ditekankan. Penilaian dilakukan secara keterpaduan untuk setiap mata pelajaran dan aspek Kognitif, Afektif dan Psikomotor. Contoh untuk mata pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan SBK dengan tema Diri Sendiri. Kegiatan pembejaran tematik terpadu ini seperti yang sudah biasa dilaksanakan di TK. Pada satu hari guru memberikan pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan SBK tanpa ada batasan jam pelajaran. Guru hanya memberikan pelajaran tentang diri sendiri tetapi dalam kegiatan pembelajaran ada pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan SBK. Dalam evaluasi akhir, berupa tes tertulis, juga tidak ada batasan konsep mata pelajaran BI, Mat, IPA, IPS dan SBK tetapi yang ditonjolkan adalah temanya. Guru perlu jeli dalam menyusun soal tes tertulis sehingga tema dan konsep menjadi satu keterpaduan yang dapat mengukur kognitif dari setiap mata pelajaran. Perlu kerja ekstra dari guru untuk memisahkan nilai dari setiap mata pelajaran dalam soal tes tersebut karena nilai rapot yang masih terpisah untuk setiap mata pelajaran. Terdapat alasan mengapa pembelajaran tematik perlu dilaksanakan di kelas 1-3 SD. Pertama, berpikir masih holistik artinya pada umumnya siswa SD masih berpikir satu kesatuan dan belum bisa terkotak-kotak. Misalnya ketika mereka sedang bermain “kekereta-apian” mereka sibuk mencari penumpang, yang jadi penumpang bayar dengan “uang-uangan”, yang masinis sibuk menjalankan kereta api sambil mengeluarka bunyi “jes…jes…jes”, dst. Bila kita amati maka pelajaran Mat, IPA, IPS, BI, SBK semuanya menjadi satu kesatuan. Kedua, masih senang bermain artinya siswa TK dan SD masih senang aktif bergerak untuk melancarkan psikomotor (motorik kasar) kasarnya. Kegiatan yang paling mereka senangi adalah bermain karena bagi mereka bermain adalah ungkapan ekspresi, manipulatif,dan inovasi mereka. Ketiga, rasa ingin tahu yang besar artinya anak usia 4 – 12 tahun rasa ingin tahu sangat besar, terlihat dari perilaku mereka ketika mereka berusia balita selalu bertanya mengapa?”, ketika usia mereka di atas balita mulai dengan mengotak-atik mainan bahkan hingga rusak. Keempat berpikir operasional kongkrit (benda nyata) artinya menurut Jean Piaget , siswa yang berusia 6 – 14 tahun termasuk tingkat berpikir operasional kongkrit. Mereka butuh media/alat peraga yang sebenarnya (real) untuk memahami sesuatu fakta/peristiwa. Bahasa Indonesia IPS Menyebutkan data diriMenyelesaikan gambar orangMenjiplak dan menebalkan gambar Menyebutkan data diri Menunjukkan sikap saling menghargai misalnya jenis kelamin Diri Sendiri Matematika IPA Membilang atau menghitung secara ururt 1-5 Menyebutkan banyak benda 1-5 Menerangkan bagian tubuh Menjelaskan kegunaan bagian tubuh yang teramati Gambar 4: Keterkaitan antar mata pelajaran IPA, IPS, B. Indonesia dan Matematika dalam tema Diri Sendiri jenis tematik terpadu Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 75 Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar Mereka belum mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa umumnya. Pembelajaran Tematik selalu berkaitan dengan tema. Kegunaan dalam pembelajaran tematik antara lain: Sebagai payung untuk mengkaitkan beberapa mata pelajaran. Tema harus menarik dan bermakna bagi siswa untuk belajar selanjutnya. Tema disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa (dari khusus ke umum). Tema dipilih sesuai dengan ketersediaan sumber belajar Contoh tema yang dapat digunakan di kelas seperti: diri sendiri, keluarga, lingkungan, tempat umum, rumah, pekerjaan, hiburan, pakaian, makanan, transportasi, pariwisata, komunikasi, teknologi, kejadian sehari-hari, negara, pertanian, peristiwa, pendidikan, K3, tumbuhan, binatang, budi pekerti, pengalaman, kesehatan dan lain lain. Pemilihan tema sebenarnya dibebaskan pada guru disesuaikan dengan kondisi siswa, sekolah dan lingkungan. Guru A dan Guru B mungkin akan berbeda ketika memilih tema untuk mengajarkan “membilang 1 sampai 5” , hal ini tidak menjadi masalah yang penting Kompetensi Dasar dari mata pelajaran itu tercapai. Pada akhirnya siswa akan mengerjakan soal dan pemecahan masalah yang umum ditemui di lingkungannya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran tematik bermacam-macam agar siswa tidak bosan seperti; bermain peran, karya wisata, tanya jawab, eksperimen, bernyanyi, papan buletin, pemberian tugas, pameran, pemecahan masalah, diskusi kelompok, pengamatan, latihan, dan lain lain. Salah satu komponen yang penting dalam suatu pembelajaran yaitu penilaian (evaluasi). Penilaian tidak hanya ditekankan pada segi kognitif saja tetapi aspek lainnya seperti psikomotor dan afektif pun diperhatikan dalam proses pembelajaran berlangsung. Artinya proses dan produk keduanya diukur saat proses pembelajaran berlangsung dan dilakukan secara terus menerus. Mengukur pengetahuan jauh lebih mudah daripada mengukur keterampilan dan moral siswa karena perlu pengamatan yang terus menerus dari guru untuk melihat tingkat perkembangannya. Media merupakan sarana yang mendukung pembelajaran seperti: lingkungan sekolah, lingkungan kelas, alat peraga yang dibuat oleh guru, majalah, internet, nara sumber (orang tua /guru /keluarga yang diundang) museum, dll. Baik dalam pembelajaran tematik dan pembelajaran fragmented perlu didukung dengan media yang menarik dan bermakna agar pembelajaran lebih bermakna. Ada 4 tahap yang perlu dilakukan oleh sang guru dalam pembelajaran. Tahapan tersebut menurut Depdiknas (2004) yaitu; (1) tahap apersepsi (pembuka) yaitu:kegiatan yang dilakukan diawal pelajaran akan dimulai, misalnya dengan bernyanyi yang berkaitan dengan tema untuk memancing perasaan senang siswa atau demontrasi suatu kegiatan yang membuat siswa penasaran dan ingin tahu lebih banyak, atau mengajukan pertanyaan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut, dan lain-lain. Fungsi apersepsi untuk memotivasi siswa, mengetahui pengetahuan awal siswa, dan memancing rasa ingin tahu siswa; (2) tahap penyampaian informasi yatu:kegiatan yang biasa dilakukan oleh guru umumnya, memberi- Table 1: Alat evaluasi dan bentuk penilaian No. Alat Penilaian 1. Penugasan (projec t) Bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menyelesaikan sebuah proyek 2. Hasil karya (produc t) Karya seni, laporan, gambar, bagan, tulisan , dan benda 3. Unjuk Kerja (performanc e) Penempilan diri dalam kelompok maupun individual dalam bentuk kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum 4. Tes tertulis (paper and Penc il) Penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan formatif dan sumatif 5. Kumpulan hasil karya siswa (protofolio) Kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda, karya tulis, isian, tabel dlan lain-lain 76 Bentuk Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar pertanyaan lain seperti “ Apakah pembelajaran tematik harus ada jadwal mata pelajaran, bagaimana cara mengisi nilai raport? Penutup Pembelajaran menurut Depdiknas (2004) adalah suatu kegiatan pembelajaran antara siswa dan guru yang tersusun secara sistematis berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan, psikologi, didaktik, dan komunikasi dengan mengintegrasikan struktur (langkah pembelajaran, metode, media, manajemen kelas, evaluasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien). Pembelajaran tematik dan pembelajaran fragmented dapat dilaksanakan di kelas 1-3 SD jika pembelajaran tersebut dilaksanakan dengan benar. Adanya kerjasama yang baik antara instansi yang terkait dengan para guru SD. Pelatihan lokakarya, seminar, KKG, studi banding ke sekolah lain yang menjadi induk semang (mitra), melatih guru lebih kreatif dalam membuat alat peraga, sekolah menyediakan media pembelajaran yang lebih menarik merupakan cara-cara untuk meningkatkan kualitas guru SD dalam penerapan pembelajaran tematik dan pembelajaran fragmented. Pembelajaran tematik atau pembelajaran fragmented baik dilaksanakan di kelas SD dengan catatan pembelajaran dilaksanakan dengan melihat sudut pandang kebutuhan dan perkembangan siswa. Tidak ada suatu pembelajaran yang dianggap paling ideal untuk dilaksanakan di SD. Tergantung situasi dan kondisi serta kebutuhan dari setiap sekolah. Setiap pembelajaran tentu ada kelebihan dan kendalanya. Tergantung pada para guru untuk mengantisapasi kendala pembelajaran tersebut. Beberapa kelebihan Pembelajaran Tematik antara lain memberikan pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan anak sehingga hasil belajar akan lebih tahan lama selain itu mengasah keterampilan berpikir dan skill selain penguasan konsep. Saat proses pembelajaran berlangsung secara tidak langsung menumbuh kembangkan keterampilan sosial anak seperti; kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek terhadap orang lain. Kendala Pembelajaran Tematik antara lain: keluhan guru saat merencanakan pembelajaran tematik yang memakan waktu dan tenaga yang lebih banyak mulai dari penyusunan matriks 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 tematik, jaring laba-laba, program semester, silabus dan RPP sekaligus dibuat dalam 1 semester. Banyak guru tidak tahu bahwa untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan SBK boleh tidak berurutan materi yang diajarkan kecuali Matematika hatus berurutan dalam 1 semester. Perlu menyiapkan media yang sesuai dengan pemilihan tema. Cara mengatasi kendala pembelajaran tematik antara lain: perlu kerjasama guru SD dari setiap jenjang misalnya kelas I SD (Team Work) untuk membuat perencanaan hingga pelaksanaan pembelajaran tematik. Untuk membantu guru menyediakan media pembelajaran maka sebaiknya para siswa diajak terlibat untuk menyiapkan media sesuai dengan tema tiga hari sebelumnya. Menggunakan tidak lebih dari dua judul buku bahan ajar tematik dari penulis dan penerbit yang berbeda untuk membantu guru baik dalam persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Kelebihan pembelajaran fragmented antara lain: konsep dari setiap mata pelajaran dapat diajarkan pada siswa secara mendalam dan memiliki kemurnian sendiri. Guru dapat menyiapkan RPP sesuai dengan keahliannya, sehingga dengan mudah menentukan ruang lingkup bahasan yang diprioritaskan dalam setiap mata pembelajaran. Bahan pelajaran yang disajikan dapat disajikan secara logis dan sistematis serta memudahkan guru menyusun RPP. Pembelajaran fragmented dapat menumbuh kembangkan keterampilan sosial anak seperti; kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek terhadap orang lain Beberapa kendala Pembelajaran Fragmented antara lain guru dalam menyampaikan informasi masih cenderung ceramah sehingga masih bersifat “teacher centered”. Guru perlu menyiapkan banyak latihan soal dan kata tanya agar pembelajaran tidak bosan sehingga siswa seperti “drill” soal latihan kurangnya penekanan pada proses pembelajaran sehingga hasil belajar tidak tahan lama karena setiap mata pelajaran mempunyai contoh yang berbeda dan kurang di maknai dalam lingkungan sekitarnya. Pola pikiran siswa seolah-olah dikotak-kotakkan oleh batasan mata pelajaran sehingga siswa belajar kurang bermakna. Beberapa cara mengatasi kendala Pembelajaran Fragmented antaralain: Kelompok Kerja Guru SD dari tiap jenjang untuk mewadahi diskusi dalam membuat perencanaan hingga Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Fragmented di Sekolah Dasar pelaksanaan mengajar di kelas. Agar pembelajaran lebih memotivasi siswa sebaiknya para siswa diajak terlibat untuk menyiapkan media dengan menggunakan pendekatan lingkungan, menggunakan bahan ajar mata pelajaran yang terdiri dari konsep dan latihan yang menekankan pada keterampilan berpikir dan menggunakan metode dan teknik mengajar yang bervariasi. Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional, (2004). Kurikulum berbasis kompetensi untuk sekolah dasar . Jakarta : Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional, (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk sekolah dasar . Jakarta : Depdikbud Tim Pengembang PGSD.(1996). Pembelajaran terpadu utuk PGSD D-II. Jakarta: Depdikbud Dahar, R. (1998). Teori - teori belajar. Jakarta: Erlangga Fogarty, R. (1991). The mindful school how to integrate the curricula, Ilinois: Skylight Pub, Inc. Karli, H. (2000). Pengembangan model pembelajaran terpadu tentang makhluk hidup dan bendabenda di sekitar kita untuk meningkatkan keterampilan berpikir rasional siswa SD kelas III. Tesis. PPs UPI : Bandung Karli, H dan Hutabarat, H.. (2008). Implementasi KTSP. Bandung: Generasi Info Media Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 79 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Opini Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Terhadap Kualitas Pendidikan David Wijaya*) Abstrak alah satu prinsip dalam setiap organisasi ialah efisiensi yang kerap kali menjadi penentu dalam keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Efisiensi mencakup penggunaan semua sumber daya yang tersedia termasuk tenaga, waktu, dan dana. Tulisan ini secara khusus membahas manajemen keuangan sekolah di dalam perspektif akuntansi. Menyadari manajemen keuangan sekolah berbeda dengan manajemen keuangan perusahaan yang berorientasi kepada laba, telaahan dalam tulisan difokuskan pada tata kelola administrasi keuangan sekolah berdasarkan sistem manajemen keuangan yang baku sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan yang berlaku secara umum. S Kata kunci: Manajemen keuangan sekolah, kualitas pendidikan, akuntansi Abstract Efficiency is one of the organization principles which often becomes the determinant of the organization success to achieve its goals. The efficiency includes all resources, such as man, money, materials, and time that directly affect the quality of education in the school. This article focuses on the discussion of the school finance management in accounting perspectives. Assuming that the school finance management is different from that of the corporate, this article discusses the school finance management applying the standardized financial management system in accordance with general accepted accounting principle (GAAP). Key words: School finance management, quality of education, accountancy Pendahuluan Sejalan dengan berkembangnya otonomi daerah, di dalam lingkup pendidikan formal, mulai muncul konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang menjadikan pengelolaan pendidikan lebih terarah dan terkoordinasi dengan baik dari segi penyelenggaraan, pendanaan, pengembangan, dan pengawasan. Menurut Depdiknas (2007), di dalam pelaksanaan MBS, ada tiga hal yang perlu dilaksanakan, yaitu: (1) manajemen sekolah (fungsi dan substansinya) di dalam kerangka MBS; (2) pembelajaran aktif, kreatif, *) Dosen Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 efektif, dan menyenangkan (PAKEM); dan (3) peningkatan peran serta masyarakat dalam mendukung program sekolah. Partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan telah diamanat-kan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 8, yang disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan” serta pasal 9 yang berbunyi “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Masyarakat akan mendukung program sekolah apabila kepala sekolah mampu menyelenggarakan manajemen pendidikan yang transparan, terutama transparansi dalam hal manajemen keuangan. Sesuai dengan prinsip akuntabilitas, masyarakat berhak mengetahui apa yang telah disumbangkannya kepada sekolah, baik tingkat efisiensi maupun efektivitasnya. Dengan demikian, kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan sekolah secara transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Salah satu masalah fundamental di dalam sistem pendidikan nasional adalah sulitnya memperoleh informasi keuangan sekolah yang terstandarisasi. Oleh karena itu, pembenahan manajemen keuangan sekolah harus dimulai dengan cara menyusun teknik-teknik pengelolaan keuangan sekolah yang komprehensif sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan yang berlaku secara umum. Manajemen keuangan sekolah merupakan salah satu bidang garapan substansi administrasi pendidikan yang secara khusus menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dimiliki dan digunakan oleh kepala sekolah. Manajemen keuangan sekolah tidak hanya terkait dengan pengelolaan sumber dana pendidikan yang digunakan untuk proses pendidikan, tetapi juga terkait dengan berbagai permasalahan (resiko) tentang pengelolaan keuangan sekolah serta upaya sekolah untuk mencari sumber-sumber pendanaan bagi kelangsungan organisasinya. Kita tidak dapat memungkiri bahwa sekolah memerlukan anggaran pendidikan yang besar, terutama untuk aktivitas pembangunan dan pemeliharaan gedung sekolah, pengadaan peralatan dan perlengkapan sekolah, serta aktivitas pembiayaan operasional sekolah. Aktivitas-aktivitas sekolah tersebut akan terganggu apabila tidak didukung dengan anggaran pendidikan yang memadai. Semakin besar anggaran pendidikan, maka diperkirakan akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan. Tidak mengherankan jika anggaran pendidikan nasional belum memadai sehingga mengakibatkan kondisi pendidikan di tanah air memprihatinkan. Hal tersebut dapat terindikasi dari kondisi gedung dan perlengkapan sekolah di Indonesia. Tidak sedikit gedung sekolah di Indonesia terancam ambruk, juga tidak sedikit sekolah yang hanya memiliki standar kelayakan minimal, yakni hanya memiliki gedung sekolah dan guru. Pada umumnya, sekolah dengan standar minimal tersebut akan menghasilkan siswa dengan pengetahuan yang minimal serta berdampak terhadap kualitas pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN maupun APBD (seperti diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1) belum berimbang antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Selama ini, pengalokasian dana pendidikan terlalu mengutamakan sekolah negeri. Di provinsi Jawa Tengah, alokasi anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN untuk pendidikan, sebesar 70%nya masih diperuntukkan bagi sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta hanya memperoleh sekitar 30%-nya. Meskipun demikian, kondisi tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan dua atau tiga tahun yang lalu, karena pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20% sudah tercapai. Hanya saja, pengalokasian anggarannya harus dikendalikan agar proporsional. Selama ini, jika sekolah negeri kekurangan dana karena pasokan dana dari Pemerintah sangat terbatas, kepala sekolah negeri cenderung menunggu alokasi dana berikutnya dari Pemerintah daripada melakukan upaya untuk mengatasi kekurangan dana. Demikian halnya dengan sekolah swasta, karena adanya keterbatasan dana pasokan dari Pemerintah, kepala sekolah swasta berinisiatif mengatasinya dengan cara meminta dana dari yayasan pendidikan atau sumber dana nonpemerintah. Meskipun kepala sekolah swasta dapat meminta dana selain dari Pemerintah, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk menanggung risiko atas kebijakan yang diambilnya karena mereka takut mendapat tuduhan negatif karena melakukan tindakan ilegal. Dalam rangka menyukseskan program wajib belajar (Wajar) 9 tahun, Pemerintah telah mengalokasikan dana pendidikan kepada satuan pendidikan dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS). Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, kita melihat banyak sekali perbedaan mekanisme pengelolaan BOS antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Tabel 1 di bawah ini menguraikan lima perbedaan mekanisme pengelolaan BOS antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Dengan adanya permasalahan tersebut, akhirnya para penyelenggara pendidikan berupaya keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, upaya tersebut Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 81 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Tabel 1 : Mekanisme Pengelolaan BOS Sekolah Negeri Menggratiskan seluruh siswa di sekolah negeri terhadap biaya operasional sekolah. Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Sekolah negeri dengan kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah. Pemda setempat wajib mengendalikan pungutan biaya operasional sekolah di sekolah swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan tersebut. Pemda setempat wajib memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari APBD apabila dana BOS dari Depdiknas belum mencukupi. Tidak ada pungutan berlebihan kepada siswa yang mampu. Semua sekolah negeri wajib menerima dana BOS. Apabila sekolah negeri tersebut menolak dana BOS, maka sekolah tersebut dilarang memungut biaya dari peserta didik, orang tua, atau wali peserta didik. Sekolah penerima dana BOS adalah seluruh sekolah swasta yang telah memiliki izin operasional. Biaya investasi menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Biaya investasi bisa mendapatkan bantuan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. memerlukan biaya yang besar. Biaya pendidikan memang mahal, tetapi masalahnya adalah seberapa besar biaya penyelenggaraan pendidikan yang dibebankan kepada siswa. Di negara-negara yang pemerintahnya mengerti akan pentingnya pendidikan, pemerintah menanggung sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan, sehingga biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh siswa menjadi ringan atau murah. Dengan demikian, pendidikan yang mahal bukan secara otomatis menunjukkan kualitas pendidikan yang tinggi, karena tinggi rendahnya biaya pendidikan ditentukan oleh manajemen keuangan sekolah. Kualitas pendidikan dapat tercermin dari jumlah biaya pendidikan yang dikeluarkan beserta pengendalian biayanya. Informasi laporan keuangan sekolah termasuk jenis aktivitas serta unit cost sekolah seharusnya diawasi sehingga kualitas pendidikan dapat ditentukan berdasarkan kemampuan manajemen keuangan sekolah secara tepat dan akurat. Ini berarti bahwa sistem biaya pendidikan merupakan bagian dari manajemen keuangan sekolah serta merupakan salah satu alat penentu terwujudnya kualitas pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dibahas dalam tulisan ini ialah pengaruh dari penerapan manajemen keuangan sekolah terhadap peningkatan kualitas pendidikan. 82 Sekolah Swasta Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Hasil pembahasan dalam artikel ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholders pendidikan sebagai dasar penerapan manajemen keuangan sekolah berbasis akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan yang berlaku secara umum serta penerapan sistem manajemen keuangan sekolah berbasis kualitas pendidikan sehingga akan berdampak terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan serta penyelenggaraan tata pamong sekolah yang baik (good corporate governance). Pembahasan Definisi Manajemen Keuangan Sekolah Manajemen keuangan merupakan manajemen terhadap fungsi-fungsi keuangan, sedangkan fungsi keuangan merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan oleh mereka yang bertanggung jawab di dalam bidang tertentu. Fungsi manajemen keuangan adalah menggunakan dana serta mendapatkan dana (Husnan, 1992). Manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai “tindakan pengurusan atau ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan” (smen Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Depdiknas, 2002). Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah merupakan rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah yang dimulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan sekolah. Menurut Bafadal (2004), manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai “keseluruhan proses pemerolehan dan pendayagunaan uang secara tertib, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan”. Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang perlu digarisbawahi terkait dengan manajemen keuangan sekolah, antara lain sebagai berikut. 1. Manajemen keuangan merupakan keseluruhan proses upaya memperoleh serta mendayagunakan seluruh dana. 2. Mencari sebanyak mungkin sumber-sumber keuangan serta berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dana dari sumber-sumber keuangan tersebut. Menurut Depdiknas (2007), sumber-sumber pendapatan sekolah dapat berasal dari: (1) Pemerintah, yang meliputi: Pemerintah Pusat, yang dialokasikan melalui APBN serta Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dialokasikan melalui APBD; (2) usaha mandiri sekolah, yang berupa kegiatan: pengelolaan kantin sekolah, koperasi sekolah, wartel, jasa antar jemput siswa, panen kebun sekolah; kegiatan sekolah yang menarik sehingga ada sponsor yang memberi dana; kegiatan seminar/ pelatihan/lokakarya dengan dana dari peserta yang dapat disisihkan sisa anggarannya untuk sekolah; serta penyelenggaraan lomba kesenian dengan biaya dari peserta atau perusahaan yang dapat disisihkan sebagian dananya untuk sekolah; (3) orang tua siswa, yang berupa sumbangan fasilitas belajar siswa, sumbangan pembangunan gedung, iuran BP3, dan SPP; (4) dunia usaha dan industri, yang dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai kegiatan, baik berupa bantuan uang maupun fasilitas sekolah; (5) hibah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, di mana kepala sekolah perlu menyusun proposal yang menguraikan kebutuhan pengembangan program sekolah; (6) yayasan penye- lenggara pendidikan bagi lembaga pendidikan swasta; serta (7) masyarakat luas. Selain itu, menurut Bastian (2007), ada tiga anggaran publik dalam anggaran pendidikan yang harus kita perhatikan, yaitu: (1) anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dikelola oleh Pemerintah Pusat; (2) anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dikelola oleh Pemerintah Daerah; serta (3) anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang dikelola oleh satuan pendidikan (sekolah). APBD APBN APBS Gambar 1: Sumber Dana Pendidikan Sagala (2008) menjelaskan kerangka sistem penganggaran pendidikan pada pemerintahan kabupaten/kota seperti terdapat pada gambar 2. Mekanisme penentuan anggaran pendidikan dimulai dari musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) yang di dalamnya termasuk sekolah yang berada di desa tersebut. Akan tetapi, di lain pihak, sekolah juga mengajukan anggaran sekolah yang disebut dengan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) kepada Cabang Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya, hasil Musbangdes digabungkan di kecamatan, sehingga oleh Camat diidentifikasi dan diolah menjadi usulan daftar kegiatan pembangunan (UDKP) pada tingkat kecamatan yang di dalamnya sudah termasuk program dinas yang berada di kecamatan. UDKP dari kecamatan bersama dengan usulan dinas teknis diserahkan kepada Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Oleh BAPPEDA kabupaten, setiap usulan rencana tersebut dibawa ke rapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 83 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Satuan Pendidikan Desa/Kelurahan Musbangdes Cabang Dinas Kecamatan UDKP Dinas BAPPEDA Rakorbang Panitia Anggaran Rapat Penyusunan Anggaran Pembahasan Repetada/RAPBD Bupati (Eksekutif) Repetada/APBD DPRD (Legislatif) Perda/APBD Gambar 2: Mekanisme Penentuan Anggaran Pendidikan Kabupaten koordinasi pembangunan (Rakorbang) kabupaten untuk menentukan prioritas pembangunan disertai dengan rencana anggarannya. Hasil Rakorbang tersebut memuat program kerja kabupaten/kota yang dianalisis kembali oleh panitia anggaran kabupaten/kota dibawah koordinasi sekretaris daerah (Sekda). Setelah dianalisis, hasilnya ditetapkan menjadi rencana pembangunan tahunan daerah (Repetada) yang nantinya akan diolah menjadi RAPBD untuk diajukan ke legislatif. Repetada ini telah diperiksa oleh masing-masing dinas termasuk dinas pendidikan, sehingga tercipta kesesuaian antara usulan dengan yang disetujui, baik program maupun anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan program tersebut. Usulan anggaran tersebut selanjutnya dibahas oleh DPRD kabupaten dalam bentuk dengar pendapat dengan Bupati/ Walikota dan dinas teknis untuk mengetahui rincian program dan anggaran yang diperlukan. Hasil rapat penyusunan anggaran ini dalam bentuk Repetada diajukan kepada pihak legislatif daerah untuk dibahas dan selanjutnya setelah 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 3 dianggap sesuai dengan ketentuan dan anggaran yang tersedia, oleh DPRD tersebut diterbitkan peraturan daerah (Perda) menjadi APBD. Menggunakan seluruh dana yang tersedia atau diperoleh semata-mata untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pada pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pembiayaan pendidikan terdiri dari: (1) biaya investasi, yang meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap; (2) biaya personal, yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik agar dapat mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan; dan (3) biaya operasi, yang meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji; bahan atau peralatan pendidikan habis pakai; serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah 4. Penggunaan seluruh dana sekolah harus dilakukan secara efektif dan efisien. Selain itu, penggunaan seluruh dana sekolah harus dilakukan dengan tertib dan mudah dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang terkait. Pelaksanaan kegiatan penggunaan dana harus mengacu kepada RAPBS yang telah ditetapkan. Pembukuan uang masuk dan keluar harus dilakukan secara teliti dan transparan. Oleh karena itu, tenaga akuntansi sekolah (staf administrasi sekolah) harus menguasai teknik akuntansi yang benar sehingga hasil perhitungannya tepat dan akurat. Penggunaan anggaran juga harus memperhatikan asas umum pengeluaran negara, yaitu manfaat penggunaan uang negara minimal harus sama apabila uang tersebut digunakan sendiri oleh masyarakat. Selain itu, kita juga harus memperhatikan pasal 24, 28, dan 30 dari Undang-undang Perbendaharaan Negara yang berusaha mencegah pengeluaran yang melampaui kredit anggaran atau tidak tersedia anggarannya. Kreditkredit yang disediakan dalam anggaran tidak boleh ditambah baik secara langsung maupun tidak langsung karena adanya keuntungan bagi negara. Demikian pula halnya dengan barang-barang milik negara dalam bentuk apapun, tidak boleh diserahkan kepada mereka yang mempunyai tagihan kepada negara. Perkembangan Perspektif Manajemen Keuangan Sekolah Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan telah berkembang cepat secara kuantitatif. Pada tahun 1965, jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 11.577.943 murid dan jumlah guru sebanyak 274.545 guru. Dalam kurun waktu sekitar 40 tahun, jumlah sekolah dasar (SD) menjadi sebanyak 144.567 SD atau Politik Ekonomi naik sekitar 170%, dengan jumlah murid sebanyak 26.627.427 murid atau naik sekitar 130% dan jumlah guru sebanyak 1.301.452 guru atau naik sekitar 370% (Pusat Informatika – Balitbang Depdiknas, 2009). Namun, di sisi lain, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, aspek-aspek pendukung pendidikan seperti manajemen keuangan sekolah, belum serius dikembangkan. Perkembangan perspektif manajemen keuangan sekolah dijelaskan pada gambar 3. Di dalam perspektif politik, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sistem pendidikan nasional kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana kegiatan pendanaan pendidikan tidak diatur secara khusus. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kegiatan pendanaan pendidikan sudah diatur secara khusus dalam Bab XIII, yang substansinya meliputi sebagai berikut: (1) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat; (2) sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan; (3) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik; dan (4) pengalokasian dana pendidikan. Jika dilihat pada uraian Bab XIII, kita belum melihat adanya petunjuk teknis tentang manajemen keuangan pendidikan, khususnya tentang pelaporan keuangan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam mendukung dan mengontrol manajemen keuangan pendidikan juga belum jelas. Di samping itu, standar pembiayaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, hanya mengatur unsur biaya tanpa petunjuk perhitungan biaya pendidikan. Oleh karena itu, kita perlu melakukan pendekatan terintegrasi dalam manajemen keuangan Administrasi Publik Akuntansi Gambar 3: Perkembangan Perspektif Manajemen Keuangan Sekolah Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 85 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah terintegrasi dalam manajemen keuangan pendidikan, baik dari regulator, pengawas, evaluator, maupun operator pendidikan. Di dalam perspektif ekonomi, kita mengenal konsep ekonomi pendidikan. Landasan konseptual ekonomi pendidikan menurut Cohn (1979) mengacu kepada prinsip bahwa ekonomi adalah keterbatasan (scarcity) dan keinginan (desirability). Ekonomi dapat dipahami sebagai suatu studi tentang bagaimana seseorang atau masyarakat memilih untuk menggunakan uang dan sumber lainnya yang sifatnya terbatas (desirability) untuk menghasilkan atau mencapai keinginan (scarcity) yang sifatnya tidak terbatas. Bagi sekolah formal, ekonomi pendidikan menyangkut proses tentang bagaimana pendidikan dihasilkan melalui jalur penyelenggaraan sekolah, pendistribusian pendidikan di antara individu dan kelompokkelompok yang memerlukan, berapa banyak biaya yang dihabiskan oleh masyarakat di dalam kegiatan pendidikan, serta kegiatan pendidikan macam apa yang harus diseleksi. Isu utama ekonomi pendidikan menurut Cohn adalah identifikasi dan ukuran nilai ekonomi bagi pendidikan, alokasi sumber-sumber dalam pendidikan, gaji guru, biaya pendidikan, dan perencanaan pendidikan. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) memprediksi kebutuhan pendidikan; (2) mengalokasikan setiap komponen biaya pendidikan; (3) melakukan analisis terhadap sumber dana pendidikan serta dari mana dana pendidikan tersebut dapat diperoleh; dan (4) melakukan pengawasan terhadap keuangan sekolah. Di dalam perspektif administrasi publik, tujuan dari manajemen keuangan sekolah adalah membantu pengelolaan sumber keuangan sekolah serta menciptakan mekanisme pengendalian yang tepat bagi pengambilan keputusan keuangan sekolah untuk mencapai tujuan sekolah yang transparan, akuntabel, dan efektif. Pengendalian yang baik terhadap administrasi manajemen keuangan sekolah akan memberikan dampak positif berupa pertanggungjawaban sosial yang baik bagi berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) di sekolah. Di dalam perspektif akuntansi, setiap kepala sekolah wajib menyampaikan laporan keuangan, terutama terkait dengan penerimaan dan pengeluaran keuangan sekolah kepada Komite Sekolah dan Pemerintah. Dengan demikian, standar akuntansi keuangan sekolah 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 dapat diberlakukan sebagai kriteria pelaporan keuangan sekolah yang akan disajikan bagi para pengelola sekolah. Hal ini dapat menjamin adanya akuntabilitas publik, khususnya bagi para pengguna jasa pendidikan. Oleh karena itu, peranan manajemen keuangan sekolah di dalam perspektif akuntansi adalah sebagai berikut: (1) melakukan analisis setiap keputusan sekolah dari aspek keuangan sekolah; (2) melakukan analisis pendanaan bagi kepentingan investasi sekolah; (3) melakukan analisis biaya pendidikan terkait penentuan biaya jasa pendidikan; serta (4) melakukan analisis arus kas operasi sekolah. Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan Sekolah Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 48, pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsipprinsip dalam pengelolaan dana pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara dan satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat terdiri atas prinsipprinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip-prinsip umum meliputi keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Keadilan berarti besarnya pendanaan pendidikan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Efisiensi merupakan perbandingan antara masukan (input) dengan keluaran (output) atau antara daya (tenaga, pikiran, waktu, dan biaya) dengan hasil. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu: penggunaan waktu, tenaga, dan biaya; serta hasil (outcomes). Transparansi berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan sekolah, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaannya, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga dapat memudahkan berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Akuntabilitas publik berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertang-gungjawabkan sesuai dengan rencana sekolah yang ditetapkan. Ada tiga syarat utama agar dapat tercipta akuntabilitas publik, yaitu: (1) adanya transparansi dari penyelenggara pendidikan Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah dalam hal masukan dan keikutsertaan mereka pada berbagai komponen sekolah; (2) adanya standar kinerja sekolah dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang; serta (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana sekolah yang kondusif dalam bentuk pelayanan pendidikan dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah, dan proses yang cepat. Sedangkan prinsip-prinsip khusus meliputi efektivitas, kecukupan, dan keberlanjutan. Manajemen keuangan sekolah dapat dikatakan efektif apabila kepala sekolah dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas sekolah dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang bersangkutan serta hasil kualitatifnya sesuai dengan rencana sekolah yang telah ditetapkan. Prinsip kecukupan berarti pendanaan pendidikan cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Prinsip keberlanjutan berarti pendanaan pendidikan dapat digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan layanan pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan. 1. Anggaran pendidikan Anggaran merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu (Fattah, 2002). 2. Pola subsidi pendidikan Subsidi pendidikan merupakan sumber pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat untuk membiayai aktivitas investasi fisik dan nonfisik dalam rangka meningkatkan kapasitas dan mutu layanan sekolah. 3. Pengukuran dan pelaporan kinerja pendidikan Dengan adanya laporan kinerja pendidikan, maka stakeholders sekolah dapat mengetahui secara jelas tentang kinerja organisasi sekolah sehingga akan menjadi bahan masukan bagi proses perencanaan kinerja pendidikan selanjutnya. Salah satu tujuan diadakannya pelaporan kinerja pendidikan adalah dalam rangka pelaksanaan akuntabilitas pada sektor publik (Akdon, 2007). 4. Cost and pricing jasa pendidikan Siklus Manajemen Keuangan Sekolah Menurut James dan Phillips (1995), unsurunsur biaya dan penetapan harga jasa Bastian (2007) menjelaskan siklus manajemen pendidikan meliputi pertama ialah keuangan sekolah di dalam perspektif akuntansi pembiayaan (costing) jasa pendidikan, seperti terdapat pada gambar 4. yaitu membandingkan pengeluaran sekolah Adapun tahapan manajemen keuangan dengan manfaatnya bagi pelanggan jasa sekolah sesuai gambar 4 sebagai berikut. pendidikan. Kedua penetapan harga (pricing) jasa pendidikan, yaitu penerima jasa pendidikan akan Anggaran dikenakan harga jasa pendidikan Pendidikan tertentu sesuai dengan tujuan sekolah. Ada tiga aspek penetapan harga jasa pendidikan, yaitu: (1) Audit Kinerja Pola Subsidi Pendidikan diferensiasi jasa pendidikan; (2) Pendidikan faktor-faktor penentu harga jasa Siklus Manajemen pendidikan; serta (3) biaya pengemKeuangan Sekolah bangan produk jasa pendidikan. Pengukuran dan 5. Audit keuangan pendidikan Audit Keuangan Pelaporan Kinerja Pendidikan Audit keuangan pendidikan Pendidikan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan sekolah C osting and Pricing secara keseluruhan telah disajikan Jasa Pendidikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku secara Gambar 4: Siklus Manajemen Keuangan Sekolah umum. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 87 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah 6. Audit kinerja pendidikan Audit kinerja merupakan upaya sistematis untuk mengumpulkan, menyusun, mengolah, dan menafsirkan informasi, dengan tujuan menyimpulkan peringkat kompetensi seseorang dalam satu jenis keahlian profesi pendidikan berdasarkan norma kriteria tertentu, serta menggunakan kesimpulan tersebut di dalam proses pengambilan keputusan kinerja yang direkomendasikan (Sagala, 2007). Peran dan Fungsi Manajemen Keuangan Sekolah Peran dan fungsi manajemen keuangan sekolah adalah menyediakan berbagai informasi kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan, agar berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi pada suatu entitas pendidikan (Bastian, 2007). Berbagai informasi keuangan tersebut dapat digunakan oleh stakeholders sekolah dengan perannya masing-masing meliputi sebagai berikut: 1. Kepala sekolah Kepala sekolah memanfaatkan data-data keuangan sekolah untuk menyusun rencana sekolah yang dipimpinnya, mengevaluasi kemajuan yang dicapai dalam usahanya untuk mencapai tujuan sekolah, serta melakukan tindakan korektif yang diperlukan. Keputusan yang diambil oleh kepala sekolah berdasarkan data-data keuangan sekolah adalah menentukan peralatan pendidikan apa yang sebaiknya dibeli, berapa persediaan alat tulis kantor (ATK) yang harus disiapkan, dan sebagainya. 2. Guru dan karyawan sekolah Guru dan karyawan sekolah merupakan kelompok yang tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas di sekolahnya. Ini berarti bahwa kelompok tersebut juga tertarik dengan informasi tentang penilaian kemampuan sekolah dalam memberikan imbal jasa, manfaat pensiun, dan peluang kerja. 3. Kreditur Kreditur atau pemberi pinjaman tertarik dengan informasi mengenai keuangan sekolah sehingga dapat memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 dibayar pada saat jatuh tempo. Hal tersebut berlaku apabila sekolah tersebut memerlukan bantuan dari kreditur. 4. Orang tua siswa Orang tua siswa tertarik dengan informasi mengenai kelangsungan hidup sekolah, terutama perjanjian jangka panjang sekolah serta tingkat ketergantungan sekolah. 5. Pemasok Pemasok (supplier) tertarik dengan informasi mengenai kemungkinan jumlah hutang sekolah yang akan dibayar pada saat jatuh tempo. 6. Pemerintah Pemerintah (termasuk lembaga-lembaga yang berada dibawah otoritasnya) tertarik dengan informasi mengenai alokasi sumber daya serta aktivitas sekolah. Informasi tersebut dibutuhkan untuk mengatur aktivitas sekolah, menetapkan anggaran, dan sebagai dasar penyusunan anggaran untuk tahun berikutnya. 7. Masyarakat Sekolah dapat mempengaruhi anggota masyarakat dengan berbagai cara. Laporan keuangan sekolah dapat membantu masyarakat dengan cara menyediakan informasi tentang kecenderungan dan perkembangan terakhir terkait pengelolaan keuangan sekolah beserta rangkaian aktivitasnya. Menurut Bafadal (2004), fungsi dari manajemen keuangan sekolah meliputi kegiatan-kegiatan (1) perencanaan anggaran tahunan, yaitu penyusunan secara komprehensif dan realistis mengenai rencana pendapatan dan pembelanjaan satu tahun sekolah; (2) pengadaan anggaran, yaitu segala upaya yang dilakukan oleh sekolah untuk mendapat masukan dana dari sumber-sumber keuangan sekolah; (3) pendistribusian anggaran, yaitu penyaluran anggaran sekolah kepada unit-unit tertentu di sekolah; (4) pelaksanaan anggaran, di mana setiap personel sekolah menggunakan seluruh anggaran yang terdistribusikan kepada dirinya untuk melaksanakan tugasnya; (5) pembukuan keuangan, yaitu keseluruhan pencatatan secara teratur mengenai perubahanperubahan yang terjadi atas penghasilan dan kekayaan sekolah; dan (6) pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, yaitu kegiatan pemeriksaan seluruh pelaksanaan anggaran sekolah. Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Manajemen Biaya Pendidikan Berbasis Kualitas Pendidikan Menurut Bastian (2007), ada 3 sistem pengelolaan biaya pendidikan berbasis kualitas pendidikan. Ketiga sistem tersebut meliputi: 1. Cost standard system Sistem ini lebih dikenal dengan School Based Cost Accounting System (SBCAS), yang didasarkan pada standar costing unit (unit biaya standar), di mana setiap sekolah dapat menggunakannya untuk mengukur seluruh biayanya. SBCAS dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung biaya per unit siswa. Untuk menghitung rata-rata biaya siswa pada setiap sekolah, SBCAS mengumpulkan data biaya langsung (direct costs) dari SchoolBased Cost Report (SBCR). 2. Grade-based system Berbeda dengan SBCAS, sistem ini menetapkan siswa sebagai standard costing unit. Pendekatan ini lebih akurat karena agar dapat melakukan evaluasi sistem akuntansi biaya, para pengelola sekolah dapat mencari perbedaan penghitungan biaya yang dihasilkan dari kedua sistem tersebut. Dalam pendekatan ini, perbedaan biaya per siswa akan dihasilkan dengan prosedur akuntansi yang berbeda. Pada akhirnya, sistem ini akan meningkatkan kemampuan kepala sekolah untuk menganggarkan dan mengendalikan biaya pendidikan. 3. Service-based system Pendekatan ini dihitung berdasarkan kepada tingkat jasa pendidikan yang diterima. Oleh karena itu, penghitungan biaya pendidikan dipisahkan Tabel 2: Contoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Sekolah (School-based cost report) Statistik: Jumlah siswa yang terdaftar 750 Jumlah hari dalam tahun akademik 170 Jumlah hari potensial siswa 127 Jumlah hari sesungguhnya 115 Persentase kedatangan (attendance report) 90,5% Biaya Langsung-Instruksi: Gaji guru umum R p 117.500.000 Gaji guru pendidikan khusus Rp 48.000.000 Gaji pembantu (aide) Rp 5.850.000 Gaji guru pengganti Rp 3.770.000 Perlengkapan belajar dan perpustakaan Rp 8.520.000 Jasa lain-lain (termasuk atletik, transportasi, dan konsultasi) R p 32.750.000 Jumlah Biaya Langsung-Instruksi R p 216.390.000 Biaya Langsung-Administrasi: Gaji administrasi Rp 12.500.000 Perlengkapan administrasi Rp Operasi dan peralatan Rp 27.000.000 Lainnya Rp 1550.000 750.000 Jumlah Biaya LangsungAdministrasi R p 41 . 8 0 0 . 0 0 0 Biaya Tidak Langsung-Alokasi dari Kantor Pusat: Komite sekolah Rp 350.000 Administrasi Rp 4.330.000 Asuransi jiwa dan kesehatan R p 13.520.000 Operasi dan peralatan Rp 7 40 . 0 0 0 Sewa dan depresiasi Rp 350.000 Jasa kontrak Rp 220.000 Perjalanan Rp 85.000 Jumlah Biaya Tidak LangsungAlokasi dari Kantor Pusat R p 19.595.000 Jumlah Biaya Langsung dan Tidak Langsung R p 277.785.000 Rata-rata biaya siswa yang terdaftar Rp 3 7 0 . 40 0 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 89 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Tabel 3: C ontoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Tingkatan Tingkat 10 (Grade-b ased cost report) Tingkat 11 Tingkat 12 Total Biaya LangsungInstruksi: Gaji guru umum Rp 47.000.000 Rp 41.125.000 R p 29.375.000 R p 117.500.000 Gaji guru p endidikan khusus Rp 24.000.000 Rp 14.400.000 Rp 9.600.000 Rp 48.000.000 Gaji p embantu (aide) Rp 3.510.000 Rp 1.462.500 Rp 877.500 Rp 5.850.000 Gaji guru p engganti Rp 1.508.000 Rp 1.319.500 Rp 942.500 Rp 3.770.000 Perlengkap an belajar dan p erp ustakaan Rp 3.408.000 Rp 2.982.000 Rp 2.130.000 Rp 8.520.000 Jasa lain-lain (termasuk atletik, transp ortasi, dan konsultasi) Rp 6.550.000 Rp 8.187.500 R p 18.012.500 Rp 32.750.000 Jumlah Biaya Langsung-Instruksi R p 85.976.000 Rp 69.476.500 R p 60.937.500 R p 216.390.000 Gaji administrasi Rp 5.000.000 Rp 4.375.000 Rp 3.125.000 Rp 12.500.000 Perlengkap an administrasi Rp 620.000 Rp 542.500 Rp 387.500 Rp 1.550.000 O p erasi dan p eralatan Rp 6.750.000 R p 10.800.000 Rp 9.450.000 Rp 27.000.000 Lainnya Rp 300.000 Rp Rp 187.500 Rp 750.000 Jumlah Biaya Langsung Administrasi R p 12.670.000 R p 15.980.000 R p 13.150.000 Rp 41.800.000 K omite sekolah Rp 140.000 Rp 122.300 Rp Rp 350.000 Administrasi R 1.732.000 Rp 1.512.600 Rp 1.085.400 Rp 4.330.000 Asuransi jiwa dan kesehatan Rp 5.408.000 Rp 4.723.000 Rp 3.389.000 Rp 13.520.000 O p erasi dan p eralatan Rp 96.000 Rp 258.500 Rp 185.500 Rp 740.000 Sewa dan dep resiasi Rp 140.000 Rp 122.300 Rp 87.700 Rp 350.000 Jasa kontrak Rp 8.000 Rp 76.900 Rp 55.100 Rp 220.000 Perjalanan Rp 4.000 Rp 29.700 Rp 21.300 Rp 85.000 Jumlah Biaya Tidak Langsung-Alokasi dari Kantor Pusat Rp Rp 6.845.300 Rp 4.911.700 Rp Jumlah Biaya Langsung dan Tidak Langsung Rp 106.484.000 R p 92.301.800 300 262 Biaya LangsungAdministrasi: 262.500 Biaya Tidak Langsung-Alokasi dari Kantor Pusat: Jumlah siswa yang dibutuhkan Rata-rata biaya siswa yang terdaftar 90 Rp 7.838.000 355.000 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Rp 352.300 87.700 R p 78.999.200 188 Rp 420.200 19.595.000 R p 277.785.000 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah menurut jenis-jenis jasa yang tersedia di sekolah, yaitu: jasa pendidikan umum, pendidikan khusus, serta atletik dan konsultasi. Analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis) Pendidikan Hampir dapat dipastikan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya dukungan biaya pendidikan yang memadai. Implikasi terhadap pemberlakuan kebijakan desentralisasi pendidikan membuat para pengambil keputusan pendidikan seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan referensi tentang komponen pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut dirasakan semakin mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah, termasuk otonomi dalam bidang pendidikan. Apalagi masalah pembiayaan pendidikan tersebut sangat menentukan kesuksesan program MBS, KBK, ataupun KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang saat ini diberlakukan. Pembiayaan pendidikan merupakan suatu masalah pendidikan yang kompleks karena di dalamnya terdapat saling keterkaitan pada setiap komponennya, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga makro (nasional), yang meliputi sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasian dana pendidikan, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan dana pendidikan, akuntabilitas pendidikan yang diukur dari perubahan yang terjadi pada semua tataran pendidikan, serta berbagai permasalahan yang terkait dengan pembiayaan pendidikan. Biaya pendidikan memegang peran yang penting di dalam keberlangsungan hidup dunia pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas juga tidak terlepas dari perencanaan anggaran pendidikan yang mantap serta pengalokasian dana pendidikan yang tepat sasaran dan efektif. Istilah “biaya” (cost) dapat diartikan sebagai pengeluaran, sedangkan di dalam ilmu ekonomi, istilah “biaya” dapat berupa uang atau bentuk moneter lainnya (Hallak, 1985). Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam hal ini, biaya pendidikan memiliki cakupan yang lebih luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (Supriadi, 2003). Fattah (2002) mengklasifikasikan biaya pendidikan menjadi dua jenis, yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung merupakan biayabiaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa (yang dikeluarkan oleh Pemerintah, orang tua, dan siswa), seperti: pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran, transportasi, dan gaji guru. Biaya tidak langsung merupakan keuntungan yang hilang (forgone earning) dalam bentuk biaya peluang yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar, misalnya uang jajan siswa dan pembelian peralatan sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan suatu metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan. Analisis biaya-manfaat dikaitkan dengan analisis keuntungan atas investasi pendidikan dari segi pembentukan kemampuan, sikap, dan keterampilan. Metode tersebut dapat membantu para pengambil keputusan pendidikan dalam menentukan pilihan di antara berbagai alternatif alokasi sumber dana pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang tinggi. Pengembangan investasi pendidikan perlu dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Di dalam konsep dasar pembiayaan pendidikan, ada dua hal penting yang perlu dikaji dan dianalisis, yaitu biaya pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan per siswa (unit cost). Biaya satuan di tingkat sekolah merupakan agregat (jumlah) dari biaya pendidikan di tingkat sekolah, baik yang bersumber dari Pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan selama satu tahun pelajaran. Biaya satuan per siswa merupakan suatu ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan oleh sekolah secara efektif untuk kepentingan siswa dalam menempuh pendidikan. Analisis mengenai biaya satuan dapat dilakukan dengan cara menggunakan sekolah sebagai unit analisis. Dengan menganalisis biaya satuan, kita dapat mengetahui tingkat efisiensi penggunaan sumber dana di sekolah, keuntungan dari investasi pendidikan, serta Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 91 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Tabel 4: C ontoh Laporan Biaya Sekolah Berbasis Jasa (Service-b ased cost report) Pendidikan Umum PendidikanKhusus Atletik Konsultasi Total Biaya LangsungInstruksi: Gaji guru umum R p 111.230.000 - Rp Gaji guru pendidikan khusus - Rp 48.000.000 Gaji pembantu (aide) Rp 1.530.000 Rp Gaji guru pengganti Rp 2 . 5 7 0 . 0 00 Perlengkapan belajar dan perpustakaan Rp Jasa lain-lain (termasuk atletik, transportasi, dan konsultasi) Rp Jumlah Biaya Langsung-Instruksi R p 123.170.000 Gaji administrasi Rp Perlengkapan administrasi 6.270.000 - R p 117.500.000 - - R p 48 . 0 0 0 . 0 0 0 4.320.000 - - Rp 5.850.000 Rp 1.200.000 - - Rp 3.770.000 6.020.000 Rp 2.500.000 - - Rp 8.520.000 1.820.000 Rp 5.030.000 Rp 20.400.000 R p 5.500.000 R p 32.750.000 R p 61.050.000 R p 26.670.000 R p 5.500.000 R p 216.390.000 7 . 1 7 5 . 0 00 Rp 3.526.600 Rp 1 . 5 40 . 6 0 0 R p 3 1 7 . 8 00 R p 12.500.000 Rp 882.500 Rp 437.300 Rp 191.000 Rp Rp O perasi dan peralatan Rp 15.368.500 Rp 7.617.500 Rp 3.327.700 Lainnya Rp 426.900 Rp 211.600 Rp 92.400 Jumlah Biaya Langsung-Administrasi Rp 23.792.700 R p 11.793.000 Rp 5.151.700 Komite sekolah Rp 199.200 Rp 98.700 Rp Administrasi Rp 2.464.800 Rp 1.221.600 Asuransi jiwa dan kesehatan Rp 7.695.600 Rp O perasi dan peralatan Rp 421.200 Sewa dan depresiasi Rp Jasa kontrak Biaya LangsungAdministrasi: 39.400 1 . 45 0 . 0 0 0 Rp 686.300 R p 27.000.000 Rp Rp 19.100 750.000 R p 1.062.600 R p 41 . 8 0 0 . 0 0 0 43 . 1 0 0 Rp 8.900 Rp Rp 533.700 Rp 110.100 Rp 4.330.000 3.814.400 Rp 1.666.300 Rp 343.600 R p 13.520.000 Rp 208.800 Rp 91.200 Rp 1 8.800 Rp 740.000 199.200 Rp 98.700 Rp 43.100 Rp 8.900 Rp 350.000 Rp 125.200 Rp 62.100 Rp 27.100 Rp 5.600 Rp 220.000 Perjalanan Rp 48.400 Rp 24.000 Rp 10.500 Rp 2.200 Rp 85.000 Jumlah Biaya Tidak Langsung-Alokasi dari Kantor Pusat Rp 11.153.600 Rp 5.528.300 Rp 2 . 41 5 . 0 0 0 Rp 498.100 R p 19.595.000 Jumlah Biaya Langsung dan Tidak Langsung R p 158.116.300 R p 78.371.300 R p 7.060.700 R p 19.595.000 127.500 1.200 Biaya Tidak Langsung-Alokasi dari Kantor Pusat: Jumlah siswa yang dibutuhkan Rata-rata biaya siswa yang terdaftar 92 Rp 1.240 Rp Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 65.309 Rp 34.236.700 1.222 Rp 28.017 300 Rp 23.536 350.000 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah kegiatan tersebut memerlukan dukungan biaya pendidikan. Dana pendidikan yang mencukupi memperlihatkan suatu kecenderungan bahwa kegiatan sekolah akan berjalan lancar sehingga mendorong kinerja guru yang tinggi di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, kegiatan kurikulum (intrakurikulum, kokurikulum, dan ekstrakurikulum) yang berkualitas, serta pelayanan administrasi ketatausahaan yang efektif. Pada tataran teknis, kepala sekolah perlu mengembangkan kemampuan untuk menganalisis biaya yang dibutuhkan untuk aktivitas operasional sekolah yang berkorelasi signifikan terhadap kualitas pendidikan yang akan dicapainya. Secara politik, pagu anggaran pendidikan yang bersumber dari pemerintah harus tetap diperjuangkan oleh sekolah dan masyarakat. Jika pemerintah tidak menyediakan dana operasional sekolah yang memadai, maka sekolah akan sulit meningkatkan mutunya. Berdasarkan hasil pengamatan Mintarsih (2004), kualitas lulusan ditentukan oleh besarnya dukungan biaya pendidikan yang menunjang kegiatan belajar-mengajar, selain lokasi lingkungan sekolah, peran serta orang tua, serta dedikasi guru. Biaya pendidikan akan memberikan dampak positif terhadap setiap program sekolah, antara lain: (1) peningkatan kesejahteraan guru serta personil tata usaha sekolah yang berimplikasi terhadap kegiatan belajar-mengajar di sekolah; dan (2) karena dengan adanya dana pendidikan yang mencukupi, guru tidak perlu mencari tambahan gaji di luar sekolah tempatnya bertugas serta guru dapat mencurahkan perhatiannya kepada sekolah tempatnya mengajar. Kesimpulan dan Saran Uang merupakan salah satu sumber daya pendidikan yang penting. Uang dipandang sebagai darah di dalam tubuh manusia, yang mati hidupnya ditentukan oleh sirkulasi darah di dalam tubuh. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa uang ibarat kuda dan pendidikan ibarat gerobak. Gerobak tidak akan berjalan tanpa ditarik oleh kuda. Pendidikan tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya biaya atau uang. Pendidikan merupakan salah satu sektor publik yang dapat melayani masyarakat dengan kegiatan pengajaran, bimbingan, dan latihan 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 yang dibutuhkan oleh peserta didik. Manajemen keuangan di dalam lembaga pendidikan (sekolah) berbeda dengan manajemen keuangan perusahaan yang berorientasi profit atau laba. Sekolah merupakan organisasi publik yang nirlaba atau non-profit. Oleh karena itu, manajemen keuangan sekolah memiliki keunikan sesuai dengan misi dan karakteristik pendidikan. Pada dasarnya, setiap sekolah sudah menyelenggarakan sistem pengelolaan keuangan yang baik, tetapi kadar substansi pelaksanaannya beragam antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Adanya keragaman tersebut tergantung kepada besar kecilnya tipe sekolah, letak sekolah, dan predikat sekolah. Oleh karena itu, penerapan sistem manajemen keuangan yang baku di sekolah tidak dapat disangkal lagi. Permasalahan yang terjadi di sekolah terkait dengan manajemen keuangan sekolah di antaranya: sumber dana pendidikan yang terbatas; pembiayaan program pendidikan yang serampangan; serta tidak mendukung visi, misi, dan kebijakan sebagaimana tertulis di dalam rencana strategis sekolah. Di satu sisi, sekolah perlu dikelola dengan tata pamong yang baik (good corporate governance) sehingga menjadikan sekolah tersebut bersih dari berbagai malfungsi dan malpraktik pendidikan. Salah satu masalah utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan. Rendahnya anggaran pendidikan dapat terindikasi dari kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai. Meskipun Pemerintah telah memenuhi amanat konstitusi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang alokasi APBN maupun APBD sebesar 20% untuk sektor pendidikan, tetapi dalam prakteknya sekolah swasta hanya mendapatkan porsi anggaran yang jauh lebih kecil daripada sekolah negeri. Selain itu, mekanisme penyaluran dana BOS bagi sekolah swasta dan sekolah negeri sangat berbeda. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar Pemerintah memberikan porsi anggaran yang seimbang antara sekolah negeri dan sekolah swasta serta Pemerintah seharusnya tidak mendiskriminasikan sekolah swasta karena sekolah negeri dan sekolah swasta mempunyai peran yang sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya Pemerintah lebih memihak kepada sekolah Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah swasta karena hidup matinya sekolah swasta tergantung dari iuran siswa. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka penyelenggara pendidikan akan berusaha keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara menganalisis biaya pendidikan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis biaya pendidikan adalah analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), yaitu suatu metode analisis keuntungan atas investasi pendidikan dari sudut pandang pembentukan kemampuan, sikap, dan keterampilan sehingga dapat membantu para pengambil keputusan pendidikan dalam menentukan suatu pilihan di antara berbagai alternatif alokasi sumber dana pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang tinggi. Oleh karena itu, kepala sekolah seharusnya mampu melakukan analisis biaya-manfaat agar dapat menyusun RAPBS serta dapat membuat kebijakan sekolah untuk mencapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan dana pendidikan. Sistem biaya pendidikan merupakan bagian dari manajemen keuangan sekolah serta merupakan salah satu alat penentu terwujudnya kualitas pendidikan. Pendidikan yang mahal bukan secara otomatis menunjukkan kualitas pendidikan yang tinggi, karena tinggi rendahnya biaya pendidikan ditentukan oleh manajemen keuangan sekolah. Oleh karena itu, setiap sekolah seharusnya menerapkan manajemen keuangan sekolah berbasis akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan yang berlaku secara umum serta sistem manajemen keuangan sekolah berbasis kualitas pendidikan. Hasil kajian di atas dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholders pendidikan sebagai dasar penerapan manajemen keuangan sekolah berbasis akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi dan keuangan yang berlaku secara umum serta penerapan sistem manajemen keuangan sekolah berbasis kualitas pendidikan sehingga akan berdampak terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan serta penyelenggaraan tata pamong sekolah yang baik (good corporate governance). Daftar Pustaka Akdon. (2007). Strategic management for educational management. Bandung: Alfabeta Bafadal, Ibrahim. (2007). Dasar-dasar manajemen dan supervisi taman kanak-kanak. Jakarta: Bumi Aksara Bastian, Indra. (2007). Akuntansi pendidikan. Bandung: Erlangga Cohn, Elchanan. (1979). The economic of education. Massachusetts: Ballinger Publishing Company Costa, Vincent P. (2000). Panduan pelatihan untuk mengembangkan sekolah. Jakarta: Depdiknas Departemen Keuangan. (2004). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Manajemen keuangan: materi pelatihan terpadu untuk kepala sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Manajemen keuangan sekolah: Materi pendidikan dan pelatihan. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Dinas Pendidikan Kota Semarang. Pembiayaan pendidikan dari BOS dan pendamping BOS (BPP/BPPP). Diakses pada tanggal 22 Oktober 2009, dari http://www.disdikkotasmg.org/index.php?option= com_content&view=article&id=246: pembiayaan-pendidikan-dari-bos-danpendamping-bos-bppbppp. Fattah, Nanang. (2002). Ekonomi dan pembiayaan pendidikan. Bandung: Rosda Karya Hallak, J. (1985). Analisis biaya dan pengeluaran untuk pendidikan. Paris: International Institute For Education Planning, UNESCO Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 95 Implikasi Manajemen Keuangan Sekolah Hunt, Herold C. (1963). Educational administration and finance in becoming an educator. Boston: Houghton Mifflin Company Husnan, Suad. (1992). Manajemen keuangan: teori dan penerapan. Yogyakarta: BPFE James, Chris and Peter Phillips. (1995). The practice of educational marketing in schools. Educational Management Administration and Leadership, Vol. 23, No. 2, pp. 75-88 Johns, Roe L. and Edgar L. Morphet. (1975). The economic and financing of education: a system approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Maisyaroh dkk. (2004). Perspektif manajemen pendidikan berbasis sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang Mintarsih, Danumihardja. (2004). Manajemen keuangan sekolah. Jakarta: Uhamka Press Psacharopaulos, G. (1987). Economics of education research and studies. New York: Pergamon Press. Republika. (2009). Alokasi 20 persen dana pendidikan belum berimbang. 22 Juni 2009. Ritonga, Razali. (2007). Efek penurunan dana pendidikan. Republika, 4 September 2007 Rivai, V. (2005). Performance appraisal: Sistem yang tepat untuk menilai kinerja karyawan dan meningkatkan daya saing perusahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Sagala, Syaiful. (2007). Manajemen strategik dalam peningkatan mutu pendidikan. Bandung: Alfabeta Sagala, Syaiful. (2008). Administrasi pendidikan kontemporer. Bandung: Alfabeta Sinungan, Muchadarsyah. (1993). Dasar-dasar manajemen kredit. Jakarta: Bumi Aksara Sufyarma. (2003). Manajemen pendidikan: Kapita selekta. Bandung: Alfabeta Supriadi, Dedi. (2003). Satuan biaya pendidikan dasar dan menengah. Bandung: Rosda Karya Surjadi. (1982). Sekolah dan pembangunan. Bandung: Alumni Suryosubroto, B. (1988). Dimensi-dimensi administrasi pendidikan di sekolah. Yogyakarta: Bina Aksara Thomas, Jones H. (1985). Introduction to school finance: Technique and social policy. New York: MacMillan Publishing Company Tim Dosen Administrasi Pendidikan – Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Manajemen pendidikan. Bandung: Alfabeta Widjanarko, M dan P.A. Sahertian. (1997). Manajemen keuangan sekolah: Bahan pelatihan manajemen pendidikan bagi kepala SMU se-Indonesia Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal Isu Mutakhir Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal Thomas Wibowo Agung*) uatu penelitian yang dilakukan dua mahasiswa ITB, Eko Purwono dan Hanson E. Kusuma tentang kecurangan akademis siswa sewaktu sekolah, dengan melibatkan 8.182 responden mahasiswa ITB Program Strata I, yang terdaftar pada semester I tahun pelajaran 2009/2010, angkatan 2003 s/d 2009 dari semua program studi ITB, hasilnya : 58% mengaku pernah melakukan kecurangan saat belajar di SD, 78% pernah curang saat di SMP, 80% pernah curang saat di SMA dan 37% ketika kuliah di ITB. Mereka juga mengaku bahwa teman-teman mereka melakukan hal yang sama (melakukan kecurangan) : di SD (85%), di SMP (92%), di SMA (91%) dan di ITB (56%). Berdasarkan data diatas, diakui atau tidak, kecenderungan untuk berbuat curang lebih banyak terjadi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (sumber : Harian Pikiran Rakyat, Kamis 3 Desember 2009, hal. 29). Apabila hasil penelitian di atas benar, maka ada pemahaman yang salah dari peserta didik/siswa bahwa S *) “jika tidak melakukan kecurangan maka dia akan gagal”. Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Pada saat terakhir ini kita juga membaca tentang kontroversi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) karena dijadikan satu-satunya standar kelulusan siswa. Keputusan MA No. 2596/K/ Pdt/2008 tertanggal 14 September 2009, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, diminta untuk tidak menyelenggarakan UN sebelum memperbaiki sistem pendidikan nasional. Dalam isi putusan ini, para tergugat yakni Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Padahal pelaksanaan UN merupakan amanat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 63 dinyatakan: penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : penilaian hasil belajar oleh pendidik (guru), kemudian oleh satuan pendidikan (sekolah), dan yang ketiga oleh pemerintah melalui UN secara obyektif, berkeadilan dan akuntabel. Selanjutnya berdasarkan Permendiknas No. 75 Tahun 2009 Psl. 5 “Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2009/2010 dilaksanakan dua kali yaitu UN utama dan UN ulangan”. Mengapa Pemerintah yakin kalau “pasti” ada siswa yang tidak lulus (gagal) pada UN utama sehingga perlu diadakan UN ulangan? Dengan adanya dua kali UN, maka UN utama SMA/MA, SMALB dan SMK akan dilaksanakan pada minggu ketiga Maret 2010, dan UN utama SMP/MTs, dan SMPLB dilaksanakan minggu ke 4 Maret 2010. Sedangkan UN ulangan SMA/MA, SMALB dan SMK dilaksanakan minggu ke dua Mei 2010 dan UN ulangan SMP/MTs, dan SMPLB dilaksanakan minggu ketiga Mei 2010. Siapkah sekolah mempersiapkan peserta didik yang akan menghadapi UN secara maksimal? Mantan Pengawas BPK PENABUR Tasikmalaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 97 Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal Penulis sengaja membuka tulisan ini dengan statement yang menggugat. Mengapa?, menjelang akhir semester/ akhir tahun pelajaran, seringkali banyak orangtua/ guru yang menjadi stres karena anak-anaknya akan menghadapi Ulangan Umum/ Ujian Nasional. Sebaliknya pasti ada juga pembaca yang tidak setuju dengan statement di atas. Tetapi apa yang terjadi dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Pendidikan kita lebih berorientasi pada nilai bahkan nilai mata pelajaran tertentu seperti: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA (UN SMP); Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (UN SMA IPA); Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, Geografi (UN SMA IPS), ketimbang pada input dan proses. Mengapa nilai UN harus dijadikan instrumen pengukuran keberhasilan belajar siswa? Semakin sekolah menekankan pada nilai, semakin besar kemungkinan siswa untuk menyontek atau berbuat kecurangan, walaupun siswa menyadari bahwa menyontek itu salah. Siswa yang diarahkan atau berorientasi pada hasil/nilai dalam melakukan sesuatu, maka siswa tidak akan melakukannya dengan baik. Dampak lain dari pembelajaran berorientasi nilai adalah terjadinya persaingan yang tidak sehat di dalam kelas dan siswa kurang dapat berkolaborasi, yang pada akhirnya menghambat perkembangan kecerdasan sosial siswa. Menurut Robert E. Slavin 98 (2009) dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa bentuk-bentuk persaingan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat. Pembelajaran berorientasi nilai bukanlah segalagalanya, jauh lebih penting adalah menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Beberapa ahli pendidikan seperti Paulo Freire (1991) , Ivan Illich (2000), J. Drost (1999), Everett Reimer (1971), John Holt (1977), Alfie Kohn (1999), Neil Postman (1992), dan William Glasser (1990), telah lama mengkritisi pelaksanaan proses pendidikan di sekolah. Proses pendidikan atau mungkin lebih tepatnya proses pembelajaran di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Bukankah selama ini, sistem pendidikan kita dan guru-guru di beberapa sekolah dalam melakukan evaluasi masih “senang” mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 rata-rata dan 10% yang berprestasi cemerlang. Ketika penulis berkesempatan bertanya pada beberapa guru; “Bapak/Ibu, jika anda mempunyai 40 murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua mendapat nilai 100, anda sukses atau gagal?” Dengan spontan mereka menjawab, “Gagal”. “Lho ... kok gagal”, tanya saya? “Ya Pak, kalau semua dapat nilai 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal, atau saat ujian anak-anaknya kerjasama atau nyontek”. Penulis mengejar dengan pertanyaan lain, “Sekarang kalau Bapak/Ibu diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng spesial, kalau semua anak belum bisa memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?” Ya, kita akan mengulangi lagi sampai semua anak-anak bisa”, jawab mereka. “Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?”, tanya saya lagi. “Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil, Pak”, jawab mereka. “Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS atau Bahasa Inggris?”. Kali ini guru diam dan tidak berkomentar tetapi ada juga yang bergumam, “Bedanya di proses!”. Ya, apabila proses pembelajaran telah dilakukan dengan baik, benar dan dilakukan berulang-ulang, maka hasilnya akan sama, sehingga kalau semua siswa Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal memperoleh nilai ujian 100, berarti guru sukses/berhasil. Peran guru dan sekolah bagi anak didik bersifat unik. Unik karena guru tidak bisa menggeneralisasi kebutuhan anak didik dalam cara, bentuk, dan ukuran yang sama. Menurut Stoll (1996), idealnya sebuah sekolah mampu memberikan pelayanan optimal kepada anak didiknya. Ia juga diharapkan dapat menjamin bahwa setiap peserta didik mencapai standar optimal yang bisa mereka raih. Sekolah bertanggung jawab agar seluruh aspek dalam diri peserta didik, baik yang bersifat akademik dan non akademik, dapat berkembang secara penuh, dan itu hanya mungkin terjadi jika sekolah secara terus menerus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi setiap anak didiknya. Tantangan pengajaran dan pembelajaran saat ini telah berubah. Perkembangan Teknologi Informasi, perubahan struktur masyarakat, dan maju pesatnya pengetahuan, serta munculnya beberapa teori pembelajaran, telah mengubah esensi dari tugas pokok seorang guru. Guru bukan lagi “aktor” di kelas, dengan kekuasaannya dan pengetahuannya, yang mengatur apapun yang terjadi di kelas. Sekarang justru siswa yang menjadi pusat pembelajaran. Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator, yang hanya bisa memerintah anak didiknya melakukan ini dan itu. Ia juga lebih menjadi motivator bukan eksekutor. Setiap anak memiliki beragam kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia menggunakan dari yang visual, audio, sampai kinestetik. Howard Gardner juga mengingatkan adanya multi kecerdasan (multiple intelligences) pada setiap anak mulai dari kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, logika/matematika, spasial/ visual, kinestetik/tubuh, musikal/ritmik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Semua itu tentu saja menuntut sebuah peran baru, unik tetapi juga tidak gampang dari seorang guru. Guru dituntut terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan pada diri setiap anak didik. Seorang guru, dengan peran yang berbeda dibanding masa lampau, perlu menyiapkan diri, belajar terus-menerus, dan mengembangkan diri mengikuti perubahan teknologi informasi. Guru adalah seorang pembelajar, yang memiliki karakteristik belajar yang berbeda dengan anak. Ia adalah pembelajar yang dewasa (adult learner) yang mandiri dan mampu memanfaatkan atau mengaitkan dengan pengetahuan atau pemahaman yang mereka miliki sebelumnya. Tujuan guru/orangtua mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang digunakan di sekolah, kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan stress, karena ternyata dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita akan masuk kategori anak yang idiot. Mengapa masuk kategori idiot? Karena anakanak kita gagal terus. Nilai mereka selalu do, re, mi alias 1, 2 atau 3. Dalam hampir setiap kasus yang pernah penulis temukan, bila ada timbul masalah belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak/siswa. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh guru/sekolah dan atau sistem pendidikan kita hingga masalah muncul. Siswa yang dianggap bermasalah biasanya akan “diterapi” melalui guru Bimbingan Konseling (BK) dan kalau masih tidak bisa menjadi anak yang baik, siswa ini akan diskors atau dikeluarkan. Di sini terlihat bahwa sebenarnya siswa tidak drop out tetapi pushed out. Lalu, apa sih sebenarnya ujian itu? Untuk kondisi saat ini, ujian adalah suatu cara untuk mengetahui kecepatan mengingat kembali (recall), suatu informasi yang telah dihafal sebelumnya (register), dan menggunakan (apply) informasi yang telah diingat kembali untuk menjawab soal ujian, bukan menjawab persoalan hidup. Singkatnya, ujian saat ini hanyalah menguji kemampuan menghafal. Celakanya, sekolah tidak pernah mengajarkan anak didik teknik, cara, metode, atau strategi menghafal yang baik dan benar, yang sesuai dengan cara kerja otak dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 99 Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal pikiran dalam menyerap informasi. Sistem ujian kita menggunakan sistem closed book atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Ujian closed book ditambah lagi siswa tidak boleh bekerja sama akhirnya sangat membebani anak didik. Tolong jangan salah mengerti. Saya juga sangat tidak setuju bila siswa nyontek. Tetapi mengapa kita tidak memberikan latihan ujian dengan frekuensi lebih dan mengajarkan cara belajar “kolaborasi”? Hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan ujian itu sendiri. Sistem closedbook mempunyai beberapa keburukan lainnya. Cara menguji seperti ini memberikan beban ekstra bagi siswa. Siswa yang sangat pintar/cerdas dalam hal aplikasi akan mendapat nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berfikir pada level yang rendah, level mengingat dan menghafal saja. Kita tidak mengajar siswa berfikir pada level yang lebih tinggi yaitu analisa, sintesa, evaluasi dan kreativitas. Menurut Taxonomi Bloom, Lower Order Thinking (LOT) skill adalah kecakapan untuk mengingat dan menghafal. LOT skill tidak membutuhkan pemikiran yang dalam dan luas. Pada akhirnya hanyalah 100 menghasilkan manusiamanusia yang bekerja sebagai operator atau staf saja. Sedangkan kecakapan berpikir seperti klasifikasi, membuat analisa, menciptakan ide, membuat keputusan, memecahkan masalah dan membuat perencanaan membutuhkan pemikiran yang lebih luas dan lebih dalam. Inilah yang disebut Higher Order Thinking (HOT) skills, yang nantinya akan menghasilkan manusia yang tangguh dan handal sebagai pimpinan perusahaan (owner/top manager) atau pemimpin bangsa di masa mendatang. Melatih kreativitas adalah salah satu cara mendidik manusia untuk kembali menjadi ciptaan seperti yang Tuhan ciptakan pertama kali. Imagination is more important than knowledge (Albert Einstein). Jadi, bila kita berbicara mengenai sistem pengujian, kebanyakan yang siswa lakukan adalah suatu permainan yang tidak bermutu. Siswa hanya belajar mengingat, menghafal dan membeo. Siswa tidak dibenarkan untuk berfikir kreatif dan inovatif. Agar lulus dan selamat, siswa harus menjawab seperti yang diajarkan oleh guru dan harus sesuai dengan kunci jawaban yang dimiliki guru. Para pendidik saat ini telah merendahkan martabat dan kemampuan berfikir makhluk ciptaan Tuhan. Otak kita dengan sekitar 10-15 milyar sel saraf, yang memiliki kemampuan sangat luar biasa, dirancang untuk berfikir kreatif dan dapat menyimpan informasi lebih dari seluruh perpustakaan di dunia, namun sistem Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 pendidikan kita telah mereduksi fungsi otak “hanya” sebagai mesin fotocopy. Perlu juga kita ketahui bahwa setiap kegagalan yang dialami oleh anak di sekolah akan mengakibatkan konsep diri yang buruk. Padahal, konsep diri merupakan fondasi/dasar untuk keberhasilan di bidang apa saja dalam hidup. Dari pengalaman di sekolah, penulis mengamati bahwa konsep diri yang buruk, selalu berhubungan dengan berbagai kegagalan yang telah atau pernah dialami anak saat sekolah. Dan satu hal penting adalah bahwa untuk bisa memperbaiki konsep diri yang sudah terlanjur negatif atau buruk kita perlu mencari dan mengingat kembali berbagai keberhasilan yang pernah kita capai (kisah sukses). Menurut William Glasser (1990), “tidak peduli berapa banyak kegagalan yang pernah dilakukan oleh seseorang di masa lalu, tidak masalah apa latar belakang budaya, warna kulit, latar belakang sosial ekonomi, atau apapun itu, ia tidak akan bisa berhasil sampai dia melalui suatu kesempatan, mulai mencapai keberhasilan dalam salah satu aspek kehidupan mereka”. Sebaliknya penulis yakin jika seorang anak, tidak peduli apapun latar belakangnya, apabila dapat berhasil di sekolah, maka ia mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam hidupnya. Jika anak merasakan kegagalan dalam proses pendidikannya, baik itu pada tingkat PAUD, SD, SMP, dan SMA, atau di Perguruan Tinggi/Universitas, maka kesempatannya untuk Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal berhasil dalam hidup akan menurun drastis. Kalau kita hubungkan dengan proses pemrograman pikiran, maka semuanya akan tampak sangat gamblang. Anak yang telah terlanjur diprogram untuk percaya bahwa ia adalah seorang pecundang, bodoh, nakal, tolol, tidak bisa apa-apa, dan selalu gagal, pasti akan menjadi seperti yang ia yakini. Sudah saatnya kita mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak didik kita. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh anak-anak kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia. Lalu bagaimana cara kita untuk bisa membantu anak berkembang? Ada dua hal dasar, menurut Glasser, yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kebutuhan anak. Yang pertama, kebutuhan akan cinta dan mencintai. Yang ke dua adalah kebutuhan akan rasa diri berharga. Kebutuhan akan cinta dan mencintai ini merupakan hal yang paling mendasar yang perlu didapat oleh anak, dan berlaku sebagai fondasi untuk mencapai sukses. Jika seseorang mampu memberikan dan menerima cinta, dan mampu melakukannya secara konsisten dalam hidupnya, maka sampai pada tingkat tertentu ia bisa dikatakan berhasil. Sering kali kita berfikir bahwa pemenuhan kebutuhan cinta dan mencintai ini hanya bisa dilakukan di rumah saja. Ternyata keyakinan ini salah. Banyak masalah yang timbul di sekolah, baik itu dalam bentuk siswa yang tidak kooperatif, tidak ada motivasi belajar, masalah disiplin, siswa yang nakal, dan masalah lainnya, semua berawal dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar seorang siswa/ anak yaitu cinta dan mencintai. Anak membutuhkan cinta tidak hanya dari rumah, tetapi juga di sekolah, baik itu dari gurunya maupun dari kawankawannya. Sekolah seringkali lebih banyak memperhatikan kebutuhan dasar yang kedua yaitu rasa diri berharga. Bagaimana sekolah bisa memenuhi kebutuhan rasa diri berharga? Untuk bisa menca-pai rasa diri berharga dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan untuk berfikir. Jika seorang anak masuk sekolah dan gagal dalam upaya memperoleh pengetahuan, belajar cara menghafal, belajar berfikir yang benar, berfikir level tinggi, belajar memecah-kan masalah, maka kegagalan ini akan terus terbawa hingga anak menjadi manusia dewasa. Orangtua, guru, lingkungan, dan masyarakat tampaknya tidak akan mampu memperbaiki kegagalan ini. Dalam proses mengembangkan rasa diri berharga, apabila anak memiliki pengetahuan, mampu berfikir kreatif, benar dan mampu memecahkan masalah yang dia hadapi maka dia akan mempunyai rasa percaya diri yang kuat untuk belajar memberi dan menerima cinta. Setidaknya anak mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan cinta, saat ia merasa dirinya berharga, sehingga ia dapat bertahan dalam menghadapi penolakkan. Melalui cinta, seorang anak akan mengembangkan motivasi untuk berhasil dan merasa diri berharga. Jika anak tidak belajar untuk bisa memberikan cinta maka anak akan menjadi anak yang sering merasa gagal. Hal ini terlihat pada anak yang terlalu dimanja dan terlalu dilindungi. Cinta dan rasa diri berharga ini merupakan satu kesatuan yang sering kita hubungkan dengan identitas pribadi. Cinta dan rasa diri berharga dapat dipandang sebagai dua jalan untuk mencapai identitas pribadi yang berhasil. Bagi kebanyakan anak hanya ada dua tempat di mana mereka bisa mendapatkan identitas diri sebagai pribadi yang sukses yaitu di rumah dan di sekolah. Dalam konteks sekolah, cinta dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial. Bila anak tidak belajar untuk bertanggung jawab terhadap sesama, peduli dengan sesama, dan membantu sesama, maka rasa cinta akan menjadi konsep yang lemah dan terbatas. Peran pimpinan sekolah dan guru diharapkan dapat menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang kondusif sehingga peserta didik dapat berhasil 100%. Sudah saatnya guru/sekolah kembali diberi kepercayaan dan kebebasan dalam proses evaluasi/ujian serta dalam proses kelulusan siswa. Masyarakatlah yang nantinya akan menilai Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 101 Isu Mutakhir: Sekolah Dirancang Menghasilkan Siswa yang Gagal kualitas sekolah. Dengan demikian sekolah akan memiliki daya komparatif positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Siapa yang dapat membantu peserta didik berhasil dengan segudang “kemampuan”? Masyarakat akan menaruh harapan itu pada institusi sekolah, dalam hal ini guru adalah sosok yang mempunyai peran besar. Guru-guru yang profesional apalagi dengan predikat telah memiliki sertifikat pendidik pasti akan sanggup menjawab harapan orangtua/ masyarakat. Selamat berkarya di bidang pendidikan. 102 Daftar Pustaka Drost, J. Keterampilan perlu dibuka kembali, Kompas 27 April 1999 Freire, Paulo. Pendidikan kaum tertindas (Pedagogy of opressed), cet III. Jakarta: LP3ES 1991 Freire, Paulo. (2001). Pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memanusiakan dalam Menggugat pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Glasser, William (1990). The quality school. New York: Harper & Row. Holt, John (1977). Growing without school . Illich, http://www.context.org/ ICLIB/IC06/Holt.htm Ivan . (2000). Deschooling society (dihapuskan segala bentuk lembaga sekolah) Resensi buku : Resensi buku : Human Resource Managament in Education Resensi buku Judul Buku: Human Resource Managament in Education (Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan) Pengarang: James J Jones & Donald L Walters Penerbit: Q-Media Cetakan: Pertama, Desember 2008 Tebal: 468 halaman Oleh: Henry Sumurung*) D unia pendidikan telah berkembang pesat hingga melahirkan pula suatu ilmu pengelolaan/manajemen pendididan yang juga merujuk kepada prinsip dan teori manajemen modern. Ditambah pula dengan keunikan dunia pendidikan yang memiliki karakteristik berbeda dengan dunia usaha lainnya telah menjadikan suatu pendekatan pengelolaan sumber daya yang khusus yaitu manajemen pendidikan. Dari berbagai aspek manajemen lembaga pendidikan (sekolah) di antaranya aspek keuangan, sarana prasarana dan kurikulum, personalia atau sumber daya manusia pendidikan menjadi kunci penting dalam efektifitas misi pendidikan. Pendidik (guru) sebagai sumber daya manusia yang utama bagi sekolah memiliki peran strategis yang semakin menekankan pada kompetensi dan profesionalisme. Guru menjadi tulang punggung utama yang harus dapat diandalkan agar proses kegiatan pendidikan (belajar mengajar) dapat berlangsung secara efektif. Bahkan tidak saja dalam skala mikro di sekolah, juga dalam skala makro di suatu negara/ bangsa. Dalam sejarah Jepang, sebagai salah satu bangsa yang unggul di dunia, ketika mengalami kekalahan Perang Dunia II, Kaisar mengintruksikan untuk mendata jumlah guru di negaranya. Suatu langkah awal yang strategis untuk kembali bangkit. Di sini dapat dilihat betapa penting dan strategisnya profesi pendidik. Buku ini merupakan karya terjemahan dari dua orang profesor ilmu pendidikan dari Temple University yaitu Dr James J Jones dan Dr Donald L Walters yang banyak mengangkat kondisi dunia pendidikan di Amerika. Namun demikian, masih sangat relevan diaplikasikan dalam dunia pendidikan nasional. Penulis buku ini melihat perlunya suatu pendekatan yang khusus terkait berkembangnya sistem pengelolaan lembaga pendidikan. Secara khusus dalam mengelola sumber daya manusia, utamanya tenaga pendidik, yang menjadi bagian terpenting dalam operasionalisasi sekolah. Penulis ingin membantu pembaca untuk dapat memahami: (1) bentuk penelitian dan praktek yang harus dilakukan *) Wakil Kepala Sekolah Nasional Plus BPK PENABUR Bogor Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 103 Resensi buku : Human Resource Managament in Education oleh staf manajemen di suatu lembaga pendidikan, (2) bentuk-bentuk lembaga pendidikan tempat mereka bekerja, (3) keuntungan yang akan diraih melalui sebuah proses seleksi SDM yang lebih baik, dan (4) penggunaan sumber daya manusia yang efektif di lembaga-lembaga pendidikan (hal 7). Latar belakang penulisan didorong oleh terjadinya restrukturisasi dalam dunia pendidikan, pengorganisasian sistem pendidikan dan desentralisasi kekuasaan organisasional. Hal yang mungkin sama terjadi di Indonesia dengan adanya gerakan reformasi pendidikan dan otonomi daerah . Secara politis dunia pendidikan nasional saat ini mulai memasuki babak baru menjadi aspek yang strategis dalam masa depan bangsa. Hal ini tercantum dalam UU Pendidikan Nasional dan APBN yang telah menetapkan 20% dari total anggaran kepada dunia pendidikan. Fakta lain yang ada di lapangan bahwa sekitar 80% dari anggaran operasional sekolah ditujukan kepada pengelolaan sumber daya manusia. Latar belakang yang kuat kenapa MSDM di dunia pendidikan menjadi penting. Buku ini disajikan dalam bentuk yang sistematis dalam lima bagian dan 14 bab. Dimulai dari pengenalan konsep manajemen sumber daya manusia, aplikasi sampai pengembangannya. Boleh dikata buku ini tersaji dalam bentuk buku teks namun cukup populer dan praktis untuk dibaca. Pada bagian Pertama pembaca akan mengenal bagaimana konsep tata cara pengelolaan sumber daya manusia. Secara praktis dikenalkan beberapa aktivitas terkait fungsi manajemen sumber daya manusia antara lain: pengelolaan dan perencanaan, analisis kerja, rekruitmen, seleksi, penempatan, pelatihan penghargaan dan pengembangan karir, gaji dan tunjangan, masa jabatan, masa pensiun, negoisasi kolektif manajemen kontrak kerja serta staf pendukung (hal 41). Perencanaan merupakan tahap awal yang strategis dalam sistem manajemen modern. Sekolah atau bahkan kumpulan sekolah (yang dalam satu pengawasan/pengelolaan) perlu menetapkan arah pengelolaan SDMnya. Perencanaan yang strategis sekolah hendaknya memuat pernyataan visi, misi, tujuan, parameter dan strategi (hal 73). Pimpinan SDM akhirnya dapat memiliki pedoman dalam penetapan perencanaan SDM. Perencanaan strategis dan perencanaan SDM akan menjadi efektif ketika ada sebuah hubungan timbal balik dan saling mengun104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 tungkan diantara kedua fungsi tersebut. Pihak yang menyusun perencanaan strategis perlu menyadari fakta bahwa keputusan mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh SDM yang ada. Dalam buku ini beberapa konsep dan contoh penerapan ditampilkan penulis dalam bentuk tabel seperti contoh kualifikasi guru untuk memudahkan pembaca untuk lebih memahaminya. Bahkan untuk lebih menajamkan pemahaman pembaca, disajikan kesimpulan dan beberapa latihan atau pertanyaan dalam setiap babnya. Tantangan bagi dunia pendidikan saat ini adalah bagaimana agar para siswa unggulan dapat lebih tertarik memilih ilmu pendidikan. Isu ini tidak hanya menyangkut masalah rekruitmen saja namun bagaimana sistem pendidikan secara nasional. Bagaimana SDMSDM handal dan terbaik memilih menjadi tenaga pendidik. Sebagai contoh kasus diangkat penulis adalah program yang dikembangkan bersama oleh Fakultas Pendidikan Guru di Lamar University dan Beaumont Independence School District di Texas yang menawarkan kursus bagi siswa/i SMU tentang studi pendidikan guru dan pelatihan mengajar (hal 132). Peserta dibatasi kepada siswa/i yang memiliki nilai rata-rata di atas 3,0, kemampuan leadership (ditunjukan dalam keaktifan kegiatan intra sekolah dan ekstra kurikuler) dan menujukkan ketertarikan dalam bidang pengajaran. Mengapa guru menjadi kunci keberhasilan dari tujuan lembaga pendidikan. Hal yang logis dalam konsep proses input-output. Output terbaik akan didapat melalui input yang baik pula. Dalam banyak riset didapati bahwa lebih dari 85% orangtua menganggap bahwa guru merupakan hal yang paling penting dalam efektifitas proses pendidikan. Sehingga para pemegang kebijakan SDM pendidikan hendaknya lebih cermat dalam melaksanakan proses rekruitmen dan seleksi. Hal tersebut merupakan starting point menuju keberhasilan pengelolaan SDM. Pengembangan metode konvensional dalam rekruitmen dan seleksi perlu semakin dipertimbangkan. Ragam informasi dan metoda akan meningkatkan kredibilitas proses tersebut. Seperti dalam proses rektruitmen yang tidak hanya sebatas surat rekomendasi dan wawancara namun dikembangkan dalam tes micro teaching dan lainnya. Selanjutnya SDM pendidikan yang unggul perlu dijaga agar kinerjanya dapat optimal dan memiliki etos kerja yang kuat. Istilah ‘the right Resensi buku : Resensi buku : Human Resource Managament in Education man on the right place’ dapat dipahami sejak awal aplikasi (Coach to application): pelatihan yang guru ditugaskan. Bagaimana penugasan diberikan secara langsung akan memungkinkan mengajar dapat didaratkan dengan baik. kemampuan-kemampuan baru dipelajari. Orientasi kerja bagi guru baru seringkali Salah satu keunikan dalam mengelola SDM diabaikan. Pendampingan (mentoring) dalam pendidikan adalah dalam pelaksanaan membimbing guru baru memasuki lingkungan kompensasi dan tunjangan. Tolak ukur baru bertujuan untuk mempercepat proses pekerjaan guru tidak hanya berbasis pada waktu penyesuaian dan keluarnya potensi guru. kerja namun juga hasil kerja. Sehingga perlu Proses penilaian dan pengembangan secara keputusan yang cermat dalam menentukan tradisional telah diyakini sebagai proses yang besarnya kompensasi, khususnya gaji, secara waktu merupakan kegiatan utama di berdasarkan dari komponen tetap (fixed) dan bagian kepegawaian. Bahkan saat ini terus variabelnya (variabel). berkembang menjadi fungsi yang tunggal. Sistem penggajian dalam dunia pendidikan Penilaian tanpa pengembangan dan pengem- paling tidak melaksanakan model-model antara bangan tanpa penilaian akan menjadi konsep lain: sistem gaji tunggal: yang merupakan sistem yang lemah bila dibandingkan dengan ketika digunakan di banyak sekolah dan mengacu keduanya dipadukan menjadi konsep yang kepada pengalaman dan keahlian. Sistem gaji tunggal. Keleprestasi: merupamahan yang ada kan rancangan pa-da salah satu kompensasi yang dari konsep tersedidasari pada Penilaian tanpa pengembangan but tidak akan prestasi karyadan pengembangan tanpa bisa ditebus tanpa wan. Sistem inpenilaian akan menjadi konsep memperhatikan sentif: adalah siskonsep lainnya tem imbalan yang yang lemah bila dibandingkan (hal 241). diberikan sebagai dengan ketika keduanya Proses tersekompensasi suatu dipadukan menjadi konsep yang but di atas akan prestasi tertentu. tunggal. menghasilkan Sistem gaji tamhasil layanan bahan untuk tugas pendidikan yang tambahan: adalah semakin baik sistem gaji yang yang secara berkelanjutan akan mengacu pada melingkupi wilayah kerja tambahan dan konsep manajemen mutu terpadu (Total Quality kegiatan ekstrakurikuler. Terakhir adalah sistem Management). Dengan adanya umpan balik (feed gaji guru kelas. Seperti disebut diatas bahwa back) dalam proses penilaian dan pengembangan perlu daya tarik dunia pendidikan dalam akan membuat tenaga pendidik bertindak menjaring SDM terbaik, maka tunjangan adalah kolaboratif dan memilki beragam pengetahuan, salah satu alatnya. Tunjangan diberikan bukan keterampilan serta sikap yang mengarah kepada berdasarkan prestasi individu melainkan yang lebih baik. berdasarkan kemampuan sekolah dalam Beberapa program pengembangan guru mensejahterakan dan mempertahankan guruyang penulis angkat antara lain: RPTIM (Readi- gurunya. ness, Planning, Training, Implemantation dan Tidak kalah pentingnya dalam pengelolaan Maintenance): program yang menempatkan staff SDM pendidikan adalah masalah status untuk mengemban tanggung jawab yang lebih kepegawaian, hubungan ketenagakerjaan dan besar dalam perencanaan dan pelaksanaan program pensiun. Salah satu tujuan dari program pengembangan melalui kesiapan, perlunya penetapan status karyawan adalah perencanaan, pelatihan, pelaksanaan dan memberikan rasa aman dalam bekerja bagi para pemeliharaan. Kedua, CBAM (Concern Based setiap pekerja. Adoption Model): Model adopsi berdasarkan pada Sebagai tenaga profesional, kepastian perhatian yang menekankan individualisasi perlindungan hukum atas hak akan meningproses pengembangan staf dan mengenali katkan fokus pekerjaan. Bahkan kondisi yang beberapa tingkat perhatian karyawan dalam mungkin tidak populer atau tidak diinginkan sebuah proses perubahan. Ketiga, pelatihan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 105 Resensi buku : Human Resource Managament in Education pensiun perlu mekanisme dan kaidah-kaidah yang akan mendorong setiap invidu termotivasi. Terakhir buku ini mengungkap beberapa isu penting seputar pengelolaan SDM di dunia pendidikan antara lain mengenai organisasi guru, permasalahan seputar staf pendukung (tenaga kependidikan). Dan antisipasi penulis pada trend-trend pendidikan di masa mendatang seperti: pelecehan seksual, kesetaraan peluang, perubahan peran dan pola pengambilan keputusan. Sangat menarik bahwa manajemen sekolah (school based management) akan mengakomodir semua kepentingan. Setiap individu yang sangat terpengaruh oleh sebuah keputusan harus memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu setiap usaha perbaikan dalam bidang pendidikan cenderung akan lebih efektif jika dilakukan oleh individuindividu yang memiliki sense of belonging serta tanggungjawab terhadap proses yang dijalankan. Sehingga keputusan akan bergerak dari bawah ke atas (bottom-up) dan hanya sedikit keputusan yang turun dari atas ke bawah (topdown) dan menuju kepada shared decision making (pengambilan keputusan bersama). Sebagai konsekuensi buku terjemahan, kemungkinan besar dapat terjadi pergeseran makna atau maksud penulis akibat penterjemahan yang kurang pas. Atau bisa juga terjadi akibat adanya perbedaan kondisi yang spesifik 106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 ditempat penulis berada dengan kondisi tempat pembaca (Indonesia) berada. Sebagai contoh adalah pengistilahan distrik operasional sekolah yang tidak biasa digunakan. Kemungkinan distrik yang dimaksudkan adalah wilayah pengawasan, yang umumnya tercakup dalam wilayah kecamatan (UPTD). Contoh lainnya adalah Negoisasi Kolektif dimana merupakan wadah kolektif dari suatu profesi, adalah mungkin di Indonesia lebih dikenal sebagai Asosiasi Profesi Guru (contoh PGRI). Namun di sisi yang lain, buku ini cukup mumpuni, dapat menjadi referensi utama dunia pendidikan karena materi yang disampaikan cukup spesifik. Saat ini buku yang mengetengahkan materi Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam dunia pendidikan tidaklah banyak. Dalam banyak buku MSDM maupun buku tentang pengelolaan lembaga pendidikan, MSDM tenaga pendidikan menjadi suatu bagian/ bab dari bahasan buku keseluruhan. Kecenderungan otoritas pendidikan menuju pengelolaan yang desentralisasi, otonom dan mandiri (akibat kondisi yang sangat variatif), memerlukan kemampuan semua entitas pendidikan di seluruh lini untuk dapat mampu memahami dan menguasai pengelolaan SDM pendidikan. Untuk itu buku ini dapat membuka atau memperluas wawasan dan cakrawala berpikir pimpinan dan pengelola sekolah dan bahkan guru sebagai sasaran buku ini. Profil BPK PENABUR Metro Profil Profil BPK PENABUR Metro V. Hariyati*) Sejarah Singkat PK PENABUR Metro (Lampung) bermula dari adanya jumlah anak usia sekolah di GKI Metro yang cenderung terus meningkat. Fakta ini terlihat pada awal tahun 60-an maka jemaat pun sepakat untuk membangun/ mendirikan sekolah dibelakang gedung GKI Metro. Cita-cita itu diwujudkan ketika pada tahun 1965 GKI Metro membentuk pengurus Pendidikan Kristen yang diketuai oleh Ny. Tan Kim Tjan. Dua tahun kemudian (1967) pengurus berhasil mendirikan gedung sekolah diatas B tanah seluas 108m2 dengan biaya swasembada jemaat, yang pada awalnya dikenal dengan nama Sekolah BPK Djawa Barat yang berada dalam naungan pengurus yang dikenal dengan nama Komisi Pembantu Setempat (KPS) Metro, Lampung Tengah. Seiring dengan bertambahnya jumlah murid, tahun 1971 gedung sekolah diperluas menjadi 264,6 m². Kendati begitu perluasan itu masih saja dirasakan kurang. Delapan tahun kemudian pengurus membeli sebidang tanah seluas 2.152 m² dijalan Jendral Sudirman Ganjar Agung, tahun 1981 gedung sekolahpun dibangun seluas 1.810 m², taman bermain 400 m². Tahun 1988 keluar izin operasional untuk mengelola sekolah Taman Kanak-Kanak yang diberi nama TK Dharma Wiyata. Sedangkan izin mengelola Sekolah Dasar baru keluar tahun 1989. Berdasarkan akreditasi tahun 1993 status Sekolah Dasar Dharma Wiyata berubah dari Terdaftar menjadi disamakan. Kemudian pada tahun 2000 TK dan SD Dharma Wiyata berganti nama menjadi TKK dan SDK BPK PENABUR. Tabel 1: Perkembangan Jumlah Siswa TKK-SDK Tahun 2006-2010 300 252 Jumlah Siswa 252 248 250 246 200 150 112 109 89 100 91 50 0 2006/2007 TK 2007/2008 2008/2009 20097/2010 SD *) Kepala TKK dan SDK BPK PENABUR Metro Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 107 Profil BPK PENABUR Metro Data perkembangan jumlah siswa di atas memperlihatkan kecenderungan naik turun dan terlihat juga dalam jumlah siswa secara keseluruhan memang minim. Penyebab sulitnya berkembang jumlah siswa di BPK PENABUR antara lain adalah sebagai berikut. 1. Ada anggapan bahwa sekolah BPK PENABUR sekolah mahal. 2. Adanya sekolah – sekolah yang menerima bantuan khususnya dari Pemerintah untuk siswa 3. Sekolah unggulan banyak bermunculan dalam satu kota. 4. Jumlah sekolah dalam satu kota cukup banyak yaitu 54 Paud, 54 TK , dan 63 SD. Keunggulan TK - SDK BPK PENABUR Metro Jumlah siswa SD Keunggulan yang dapat diandalkan mencakup hal-hal berikut. 1. Gedung sekolah yang megah. ( Gedung TK berlantai tiga ) 2. Sarana APE di dalam dan di luar ruangan, sangat memadai. 3. Laboratorium yang meliputi kKomputer, musik, dan sains. 4. Perpustakan yang dilengkapi dengan pembelajaran multi media 5. Mobil antar jemput siswa. 6. Program Nilai-Nilai Kristiani (N2K), yang membentuk karakter siswa. 7. Kurikilum plus, bahasa Mandarin, bahasa Inggris dan Teknolosi Informasi 8. Letak sekolah yang strategis 9. SDM yang cukup profesional 10. Security sekolah, menjaga keamanan sekolah. 11. Dengan didukung sarana dan prasaranan yang baik meliputi : a. Laboratorium komputer b. Lab IPA c. Ruang multi media d. UKS e. Perpustakaan f. Gedung Olah raga 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 g. Kelengkapan Alat Elektronik ( TV, LCD, LAPTOP, DVD, dan lain-lain) Langkah - langkah yang telah diupayakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas langkah-langkah yang ditempuh antara lain adalah sebagai berikut. 1. Memperbaiki citra sekolah dalam prestasi belajar 2. Menyelenggarakan pembinaan bagi guru dan karyawan untuk meningkatkan etos kerja dan kompetensi kerja. 3. Memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana 4. Mengikuti perlombaan baik dibidang akademik maupun non akademik. 5. Pengadaan sarana penunjang : a. Laboratorium komputer b. Lab IPA c. Ruang multi media d. UKS e. Perpustakaan f. Gedung Olah raga g. Sarana multi media ( TV, LCD, LAPTOP, DVD, Keyboard dan lain-lain). Perkembangan jumlah kelulusan tahun 2005/2006 sampai tahun dapat disajikan seperti dalam tabel 2 berikut. Tabel 2: Perkembangan Jumlah Kelulusan Siswa SD 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 39 40 42 34 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 Profil BPK PENABUR Metro Sedangkan sejumlah prestasi yang dicapai oleh siswa TKK, dan SDK dalam berbagai jenis lomba terlihat dalam tabel 3 berikut. Tabel 3: Prestasi Siswa TKK dan SDK Jenjang TKK SDK Jenis Lomba T ah u n Tingkat Juara Gerak dan Lagu, "Gebyar Keterampilan Guru dan Anak". 2005 Kota Metro III Mewarnai " SDM Fair Of Educ ation" 2008 Kota Metro I Melukis "Gebyar Keterampilan Guru dan Anak" 2008 Kota Metro I Mewarnai Gambar "HUT Radar Metro" 2008 Kota Metro I Mewarnai Gambar "HUT Radar Metro" 2008 Kota Metro Favorit Matematika 2003 Kota Metro I Matematika 2003 Provinsi II Pidato Bahasa Inggris 2004 Kota Metro I Olympiade Sains 2005 Provinsi I Peringkat UAS 2007 Kota Metro I Komputer 2007 Kota Metro I Catur 2007 Kota Metro I Pidato Bahasa Inggris 2008 Kota Metro III Olympiade Sains 2008 Kota Metro III POR Usia Dini Bulu Tangkis 2008 Kota Metro I Melukis 2008 Kota Metro II Sementara itu, tabel 4 menunjukkan prestasi guru dalam berbagai lomba dari tahun 2005. Tabel 4: Prestasi Guru No. Jenis Lomba T ah u n Tingkat Juara 1. Melukis, "HUT sanggar MITRA SATATA" 2005 Kota Metro I 2. "Story Telling" Pustakada Metro. 2008 Kota Metro Harapan I 3. Bercerita "Keterampilan Guru dan Anak" 2008 Kota Metro II 4. APE (Alat Peraga Edukatif ) . 2008 Kota Metro II Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 109 Profil BPK PENABUR Metro Pendidik dan tenaga kependidikan sangat penting dalam proses pendidikan. Tabel 5 berikut menunjukkan data jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang pernah dan masih bertugas sejak tahun 1967. Tabel 5: Data Pegawai Tahun 1967-2010 No Nama yang Pernah Bekerja 1. Sudartin Jabatan No Nama yang Masih Bekerja Jabatan Guru 1. Sugeng Guru Guru 2. Yusuf Warsito Guru 2. Yohana Kalvarita 3. Martha Samsi Guru 3. Sutoyo Karyawan 4. Karmin Guru 4. Waluyo Karyawan 5. Sudarwanto Guru 5. Rakhmat Subagyo Guru 6. Kusdiono Guru 6. Anastasia Mujirah Guru 7. Murwati Guru 7. V. Hariyati 8. Sudiyo Guru 8. Effendi Guru 9. Sulam Guru 9. Teguh Suharto Guru 10. Sutatik Guru 10. Betty Elfrida Mantiri Guru 11. Ketut Suyanto Guru 11. Diana Debora Guru 12. Dwi Purwanti Guru 12. Endar Ruri Dodasih Guru 13. Erlita Guru 13. Emenuel Setiyanto Guru 14. Sri Marthina Guru 14. Susilo 15. Sri Lutri Mardiani Guru 15. Desi Srinaningsih Guru 16. Hotma Lidia Sitio Guru 16. Rinekti Hermini guru 17. Pdt. Talsum Santosa STh. Guru 17. Andriyantomo Karyawan 18. Nila Wahyuni Guru 18. Roma Wisesa Guru Guru 19. Simanjuntak Guru Guru 19. Albertus Ady S 20. Theresia Suwartiningsih Karyawan 20. Natalia Nur Betty 21 Yusuf Purwadi Karyawan 21 Claudia Agni Pranasti 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Kepala TK/SD Karyawan Karyawan Profil BPK PENABUR Metro Dari tahun 1967 terdapat 14 kepala sekolah yang pernah memimpin sekolah dan 7 ketua Yayasan yang telah mengembangkan TK dan SDK BPK PENABUR Metro, sebagaimana terlihat dalam tabel 6 dan 7 berikut. Tabel 7: Ketua Yayasan Tahun 1967-2010 Tabel 6: Kepala Sekolah Tahun 1967-2010 Nama No T ah u n Nama No T ah u n 1. 1967- 1974 Ny. Tan Kim Chan 1. 1967- Ny. Tan Kim Chan 2. 1974-1978 Pdt. Yahya Purwanto 2. 1974-1980 Pdt. Yahya Purwanto 3. 1978-1979 T u k i l ah 3. 1982-1986 T. Hendryanto 4. 1979-1980 Susilo 4. 1986-1994 Benyamin C 5. 1980-1983 Endang 5. 1994-1998 Ayub Indra Hartanto 6. 1983-1984 Supardi 6. 1998-2006 Alexander K. Ruslim 7. 1984-1995 Roosye Wijaya 7. 2006-2010 Rico Simanjuntak 8. 1995 H. Alben Ambarita 9. 1996-2004 TK Anastasia Mujirah 10. 2004-sekarang V . Hariyati 11. 1996-2004 SD Rakhmat Subagyo 12. 2004-2008 SD Effendi 13. 2008-2009 Teguh Suharto 14. 2010- TK/SD V . Hariyati Penutup Pujian serta syukur kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan melalui bimbingan, kerjasama, semangat, dan ketulusan hati dalam pelayanan di BPK PENABUR Metro. Dalam perkembangan BPK PENABUR Metro, semua pegawai diharapkan semakin kreatif, inovatif, dan tekun dalam pelayanan, sehingga BPK PENABUR Metro semakin maju dan menjadi sekolah unggulan terutama di kota Metro. Tuhan memberkati. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 111 Keterangan Mengenai Penulis Bambang Kaswanti lahir di Yogyakarta, 19 April 1951. Meraih gelar doktor linguistik di Purwo, Prof. Dr., Universitas Indonesia 1982, dengan disertasi Deiksis dalam Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Saat ini Ketua Dewan Guru Besar pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya Jakarta (1995–2006), Direktur Eksekutif Penerbit Universitas Atma Jaya (2005–2009), guru besar luar biasa pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, editor Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and Languages in Indonesia), Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994– 1997, 1997–1999), salah seorang penyusun buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi pertama (1988). Menjadi peneliti pascadoktor pada Institute for Advanced Study, Princeton (1983–1984), di University of Melbourne (1989) atas undangan “The Australian Vice Chancellors’ Committee”, dan di Max Planck Institute, Leipzig (2000). Memperoleh penghargaan sebagai “Orang Muda Berkarya di Bidang Akademik” dari pemerintah Republik Indonesia 28 Oktober 1988. Berkat bukunya Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius, 1990) diundang sebagai salah seorang anggota tim pengembang Kurikulum 1994 dan 2004 mata pelajaran Bahasa Indonesia. David Wijaya, SE., lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen FE UKRIDA Jakarta pada tahun 2006 dengan predikat Cum Laude, dan alumnus SMUK Kalam Kudus II Jakarta. Lulusan terbaik pada program studi Manajemen FE UKRIDA Jakarta. Sejak tahun 2007 sampai sekarang, menjadi dosen dan Koordinator Laboratorium Manajemen Keuangan Lanjutan FE UKRIDA Jakarta. Di samping memiliki pengalaman sebagai staf pengajar FE UKRIDA Jakarta, sampai saat ini masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul Laboratorium FE UKRIDA Jakarta. Selain itu, terafiliasi pada perusahaan yang bergerak dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan konsultasi strategi bisnis sebagai Konsultan dan Associate Partner Arrbey. Freddy Giovanni Setiawan, lahir di Bandung, 29 Januari 1992. Saat ini siswa kelas XII Brilliant SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi : Juara 1 Lomba Fisika Atma Jaya tahun 2009; Juara 1 UNICEF Junior Ambassador tahun 2009; Peringkat 4 dalam Indonesian Young Scientist tahun 2009;Semifinalis Lomba Fisika UGM se-Indonesia tahun 2009; Semifinalis Lomba Fisika UNJ tahun 2008 dan 2009. Henry Sumurung, SE, lahir di Bogor, Oktober 1973. Lulus Sarjana Ekonomi dari Universitas MM., Katolik Parahyangan Bandung dengan konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Tahun 2002 melanjutkan studi Pasca Sarjana di Magister Manajemen Agrobisnis Institut Pertanian Bogor. Bergabung dengan BPK PENABUR tahun 2004 sebagai Kepala SMA. Selanjutnya tahun 2006 sampai sekarang dipercaya untuk memimpin Sekretariat BPK PENABUR Bogor. Saat ini secara intens melakukan pendampingan dalam pemantapan operasional sekolah nasional plus BPK PENABUR Bogor di Sentul City termasuk dalam bidang kepegawaian. 112 Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 Keterangan Mengenai Penulis Hilda Karli, Dra., M.Pd., lahir di Bandung, November 1967. Menyelesaikan program S2 Pendidikan IPA SD-UPI Bandung. Bekerja sebagai dosen tetap, penulis buku, trainer pendidikan, dan koordinator penulis. Sekarang ini bekerja sebagai dosen PGSD - Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta. .Hasil karyanya anatara lain, bahan ajar untuk anak SD Tematik untuk kelas 1-3 SD Penerbit Erlangga; Aku pandai menulis untuk TK Penerbit Erlangga for Kids; Kebesaran Allah dalam sains untuk kelas 1-6 SD Penerbit: GIM; Panduan belajar dan Evaluasi IPA untuk kelas 4-6 SD Penerbit: Grasindo. Buku untuk pemerhati pendidikan dan Guru SD: Implementasi KBK penerbit: BIM; Implementasi KTSP penerbit: BIM; Head Hand Heart dalam KBK penerbit: BIM; Bagaimana Sertifikasi Guru dilaksanakan? penerbit: BIM Josephine, alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009. Kevin, alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009. P. Slamet Widodo, lahir di Bantul, Yogyakarta, 31 Mei 1961. Pendidikan SD dan SMP ditempuh di Bantul. Pendidikan menengah atas diselesaian di Seminari Menengah Mertoyudan Magelang. Memperoleh ijazah S1 bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dengan mata kuliah minor Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diperoleh di IKIP Sanata Darma Yogyakarta tahun 1986. Usai menyelesaikan S1, langsung mengajar di SMEA Katolik Yos Sudarso Rembang selama satu tahun dan selama dua tahun mengajar di Yayasan Salib Suci di Kuningan Jawa Barat. Sejak tahun 1989 menjadi guru tetap dan membina mata pelajaran Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia di SMP BPK PENABUR Tasikmalaya, dan diangkat sebagai Kepala SMP tahun 2009- sampai sekarang. Di sela-sela kesibukan sebagai guru, aktif dalam kegiatan gereja, dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kewarganegaraan di Tasikmalaya. Ratnaganadi Paramita, lahir di Jakarta, November 1992, adalah siswi kelas XII program Brilliant Class di SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi : “Delegasi Indonesia” untuk “VI International Zhautykov Olympiad 2010”; “Indonesian Delegate Finalist” untuk “International Young Scientist Competition” th. 2010; Peringkat 4 Nasional pada “Indonesian Young Scientist/INaYS” di Universitas Pahrayangan, Bandung th. 2009; Juara 2 Lomba Fisika “Einstein Competition” tingkat Nasional pada Pekan Ilmiah Fisika Universitas Negeri Jakarta 2008; Juara 2 Lomba Fisika di SMAN 2 Tangerang 2009; “Master of Ceremony & Participant” dari “2008 Asian Science Camp” di Bali; “Certificate of Appreciation” dari Monaco Monarchy sebagai “Delegasi Indonesia” pada “14th Mondial du Theater/ 14th World Festival of Amateur Theater 2009 in Monaco”; “Medali Emas” untuk “Great Performance” pada “9th World Festival of Children’s Theater 2006 in Lingen,Germany”; “Medali Emas” untuk “The Best Performance” pada “The Asia-Pasific Festival of Children’s Theater 2004 in Toyama,Japan”; koordinator Acara dan Lomba pada “Brilliant Competition 2009”, lomba sains dan matematika tingkat Nasional untuk siswa/i SMP; Fasilitator pada “Kongres Anak Indonesia 2005” untuk siswa teladan seIndonesia; aktif di berbagai kegiatan sosial dan organisasi yang diadakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kementrian Sosial, Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009 113 Ricky Dwiputra lahir di Palembang, Juli 1992. Saat ini siswa kelas 3 di Brilliant Class Setiamanah, SMAK Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi: Semifinalis Pesta Sains IPB 2009 bidang Fisika, Juara 1 lomba UNICEF “Kids for Kids” 2009 dan meraih gelar UNICEF Junior Ambassador, Top 10 “Best of The Best Competition” Abacus Mental Arithmetic se-Indonesia, Credit award for Australian Mathematic Competition, peserta pelatihan bioteknologi di Universitas Atmajaya 2007, peserta lomba sepak bola “Laurensia Cup” dan futsal “Gading Serpong Olympic” 2009. Aktif ekstrakulikuler futsal dan basket di sekolah. Thomas Wibowo Agung, lahir di Tuban, Jawa Timur, Maret 1962. Menyelesaikan Program S2 di Drs., M.Pd., Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) tahun 2004. Saat ini sebagai Pengawas Pendidikan di BPK PENABUR Tasikmalaya. Pernah menjadi Kepala SMPK PENABUR Tasikmalaya (1998 s/d 2009). Tirza, alumni SMAK 4 BPK PENABUR tahun ajaran 2008-2009. V. Hariyati, S.Pd., lahir di Lumajang, April 1967. Menyelesaikan pendidikan program S1 STKIP PGRI Metro, tahun 2009. Sebagai guru TK BPK PENABUR Metro, tahun 1991-2004, kemudian diangkat menjadi Kepala TK BPK PENABUR Metro, tahun 2004-2009. Saat ini sebagai Kepala TK merangkap SD BPK PENABUR Metro. Vincensius Yandi Arie lahir di Jambi, Agustus 1992. Saat ini siswa kelas XII Brilliant SMAK Putra, Gading Serpong BPK PENABUR Jakarta. Prestasi: Juara 1 Kompetisi Matematika UNPAR 2009, Juara 3 Logika Matematika UI 2009, Juara 2 Lomba Matematika UGM 2009, Juara 3 Lomba Matematika Vektor Universitas Malang 2009, Peserta Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi 2009, Juara Harapan 1 Lomba Matematika UNJ 2008. Widodo, Drs., 114 lahir di Yogyakarta Juli 1960. Menyelesaikan pendidikan program S1 IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta jurusan Ekonomi Pendidikan Bisnis tahun 1983. Guru SMA Katolik yayasan Siswarta Banjarmasin tahun 1984 -1985, guru SMA dan SMP BPK PENABUR Tasikmalaya tahun 1986 – 2000. Tahun 2000 sampai sekarang sebagai guru SDK BPK PENABUR Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.13/Tahun ke-8/Desember 2009