Hukum dan Masyarakat

advertisement
JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 2
April 2015
NILAI KEBENARAN DALAM PEMIDANAAN TERHADAP
TINDAK PIDANA MAKAR
Oleh:
Kristina Sawen.SH.,MH
Abstrak
Kebenaran atas terjadinya suatu perbuatan sebagai kesalahan
senantiasa menjadi dasar dalam penetapan pemidanaan, sehingga dalam
penerapan hukum tidak serta merta mengabaikan nilai-nilai keadilan dalam
kehidupan masyarakat. Pemahaman dasar tentang nilai kebenaran koherensi
(konsistensi) dari perbuatan makar sebagai perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan undang undang pidana dan dikatakan kebenaran koherensi ketika
terjadi pelanggaran terhadap larangan perbuatan tersebut. Tindakan melakukan
perbuatan yang dilarang (tindak pidana makar) dalam ketentuan undang undang
merupakan kebenaran koherensi, sehingga berdasarkan ketentuan selanjutnya
dari Pasal tentang makar tersebut, pelakunya dikenakan sanksi berupa
pemidanaan.
I. Pendahuluan
Tujuan hukum menurut Aristoteles, adalah untuk mencapai kehidupan
yang baik1. Dan untuk memperoleh kehidupan yang baik maka diperlukan hukum
yang bertugas untuk mengatur dan menata kehidupan manusia bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi tertib, namun juga mengatur
adil tidaknya
kepentingan dalam hidup bermasyarakat. Unsur utama yang dibutuhkan manusia
dari hukum yaitu ketertiban; keadilan dan kepastian hukum. Agar kehidupan
manusia menjadi tertib, maka hendaknya hukum dibutuhkan sebagai sarana
pengendali yang bersifat memaksa kepada masyarakat dengan tujuan memberikan
ketertiban hukum. Dan keadilan merupakan kehendak yang bersifat tetap dan
yang tak ada akhirnya
untuk memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang
menjadi haknya. Keadilan merupakan sesuatu yang sangat abstrak karena ukuran
1
ibid
Hukum dan Masyarakat 2015
rasa keadilan bagi individu atau kelompok sangat berbeda berdasarkan kebutuhan
masing-masing.
Dan ukuran keadilan tidak terlepas dari kebenaran.
Untuk
mengetahui hal mana yang benar, dan menjadi ukuran keadilan sangat abstrak dan
dipengaruhi oleh latar belakang dan kebutuhan setiap pihak. Oleh karena itu
maka ukuran keadilan tentu berbeda antara satu dengan lainnya.
II. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Kebenaran
Apakah kebenaran (truth) itu? Kaum agama mengartikan kebenaran
sebagai apa yang diyakini dan dipercaya, bahwa yang benar adalah keyakinan dan
kepercayaan dalam agama yang dianut. Aliran ideologi dalam pemikiran filsafat
memiliki kebenaran terhadap masyarakat sebagaimana diatur menurut paham dan
ideologinya.
Kebenaran
berasal
dari
kata
dasar
“benar”
yang
bermakna: 1) sesuai sebagaimana adanya; 2) tidak berat sebelah; 3) lurus hati; 4)
dapat dipercaya (cocok dengan keadaan sebenarnya; 5) sah dan 6) sangat. Maka
kata kebenaran diartikan sebagai keadaan yang cocok dengan keadaan yang
sesungguhnya, dan sesuatu yang sungguh-sungguh adanya. Misalnya kebenaran
yang diajarkan oleh agama, dan kelurusan hati, kejujuran2.
Kebenaran (truth) dalam bahasa Latin dan Yunani diistilahkan veritas
dan
aletheia, yakni kebenaran sebagai lawan dari kesalahan, kesesatan,
kepalsuan dan kadang juga opini.
3
Protagoras berpendapat bahwa kebenaran
adalah relative yang berkembang dalam sejarah filsafat sebagai aliran relativisme.
Yang mana dalam perkembangannya pada abad pertengahan mengenai doktrin
yang dikenal sebagai kebenaran ganda. Hal ini juga menyatakan bahwa apa yang
benar dalam filsafat mungkin saja salah dalam agama dan sebaliknya. Pada
2
Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggung Jawab, Penerbit
Alfa Beta, Bandung, 2012 hal 106.
3
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer; Penerbit PT Raja Grafindo
Persada; Jakarta, 2015, hal 106.
17
Hukum dan Masyarakat 2015
pandangan berikutnya mengenai kebenaran oleh Thomas Aquinas, dan kaum
Skolastik yang mendefinisikan kebenaran sebagai adequatio rei et inttelectus
“kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal,
benda”.
4
Kebenaran dianggap
sebagai istilah transendental mengenai semua yang ada, arti tertentu kebenaran
bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berbeda tetapi tentang hal-hal itu
sendiri. Menurut Abbas Hammami Mintaredja,
kata “kebenaran” digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkret maupun yang abstrak. kebenaran adalah
kesesuian antara ide dan realitas. Ide adalah suatu konsep yang hadir di dalam
akal. Sementara realitas adalah sesuatu yang nyata adanya. Kebenaran adalah satu
nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Ketika menguraikan tentang kebenaran maka tidak terlepas dari berbagai
teori-teori tentang kebenaran itu sendiri. Pemahaman kebenaran sebagai suatu
konsep sangat berbeda pada ilmu pengetahuan mana kebenaran itu dipandang.
Karena kriteria kebenaran tidak selalu sama, tergantung sifat dan watak dari
pengetahuan itu sendiri.
B. Teori-Teori Kebenaran
Dalam
perkembangan
ilmu
untuk
menemukan
kebenaran,
menyandarkan diri pada beberapa kriteria atau teori kebenaran. Ada beberapa
pendapat ahli atau versi pemahaman mengenai teori-teori kebenaran.
Suriasumantri mengemukakan 3 (tiga) teori kebenaran yang paling banyak
dibahas oleh para filsuf, yaitu teori kebenaran koherensi; teori kebenaran
korespondensi dan teori kebenaran pragmatis.
4
Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Penerbit
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hal 241.
18
Hukum dan Masyarakat 2015
Berdasarkan teori kebenaran tersebut di atas, maka sesuai dengan uraian
tugas berikut, maka akan dibicarakan beberapa jenis teori kebenaran yang paling
banyak diuraikan dalam
ilmu filsafat diantaranya teori korespondensi; teori
koherensi dan teori pragmatis. Uraian teori-teori kebenaran sebagai berikut:
a.
Teori Korenspondensi
Teori korespondensi atau the correspondence theory of truth¸ atau
disebut dalam istilah lain the accordance theory of truth, adalah keadaan benar
itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat yang
dimaksud. 5 teori ini juga menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi
pengetahuan yang
terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi
(sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Teori kebenaran
korespondensi dengan tegas menyatakan bahwa truth is agreement between a
proposition and a fact, bahwa kebenaran merupakan sebuah kesesuaian antara
sebuah proposisi (pernyataan) dan sebuah fakta. Jaminannya
adalah bahwa
adanya kesamaan atau setidak-tidaknya kemiripan struktural antara apa yang
dinyatakan (proposisi yang diungkapkan dalam satu kalimat) dan suatu fakta
objektif di dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.6
Kattsoff mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila
ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu
5
Suriasumantri, Jujun Dalam buku Filsafat dan Filsafat Ilmu Oleh Aripin Banasuru,
Penerbit Alfabeta; Bandung, 2014. Hal; 115
6
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading, dalam Buku Filsafat ilmu Sebuah
Analisis Kontemporer oleh Zaprulkhan, Penerbit RajaGrafindo, Jakarta, 2015, hal 106.
19
Hukum dan Masyarakat 2015
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.7
Para penganut teori korenspondesi diantaranya Leibniz, Spinoiza, Hegel dan
Bradley.
Teori korespondensi meliputi 2 (dua) tipe, yaitu korespondensi sebagai
korelasi dan korespondensi sebagai kongruensi. 8 Yang pertama berpandangan
bahwa setiap pembawa kebenaran adalah berkorelasi dengan sebuah keadaan;
artinya bahwa
jika keadaan
yang dikorelasikan dengan sebuah pembawa
kebenaran benar-benar mewujud maka pembawa kebenaran adalah benar, kalau
tidak ia adalah salah. Sedang bentuk yang berikut
mengklaim bahwa
isomorfisma (keserupaan) struktural antara pembawa kebenaran dan fakta-fakta
yang mereka korespondensikan ketika pembawa kebenaran adalah benar.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaras
dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima
unsur yang perlu yaitu :
1. Statement (pernyataan)
2. Agreement (persesuaian)
3. Situation (situasi)
4. Reality (kenyataan)
5. Judgements (Putusan)
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori
korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam
masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas
pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang
diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan7
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta; Penerbit Kanisius,
1997, hal 148.
8
Richard L.Kirkham, Teori-Teori Kebenaran Pengantar Kritis dan Komprehensif,
Penerbit Nusa Media; Bandung, 2013, hal 179.
20
Hukum dan Masyarakat 2015
tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di
dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus
mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan
nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran
berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang
ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan
apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
b.
Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi
consistence theory of
beranggapan bahwa
truth
atau
atau disebut juga teori konsistensi
the coherence theory of truth,
the
yang
kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antar putusan itu sendiri.
Kebenaran diambil berdasarkan
hubungan antara putusan yang baru dengan
putusan-putusan lainnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih
dahulu.9 Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu
proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian atau informasi) akan
diakui sahih/dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan
dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis
sesuai kebutuhan-kebutuhan logika. Mendasarkan diri pada kriteria konsistensi
suatu argumentasi. Teori ini berangkat dari
pengetahuan Aristoteles yang
mengatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui adalah sesuatu yang dapat
dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek.
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil
test dan eksperimen dianggap reliable jika kesan-kesan yang berturut-turut dari
9
Arifin Banasuru, Op-cit
21
Hukum dan Masyarakat 2015
satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori koherensi, untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah
didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan
atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek maka
pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu
tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di
dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu
sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di
dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi.
Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman
dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi
merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedang teori konsistensi merupakan
usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya
tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan
dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang
konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematic coherence dan truth is
consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C. Logika matematik yang deduktif
memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa
kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini
digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis. Teori ini sudah ada sejak
Pra Socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan George
Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan
22
Hukum dan Masyarakat 2015
tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
c.
Teori Pragmatis
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para
pendidik sebagai metode project atau medoe problem solving dari dalam
pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu
memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan
pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan.
Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di
dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan
benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu
mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu
praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan,
teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi
kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan
kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan
(satisfactory consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak/
tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
23
Hukum dan Masyarakat 2015
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika
tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James
dan John Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu
ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi
Dewey konsekuesi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, melainkan dalam
hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah
mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung
melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti
segala sesuai melalui praktek di dalam problem solving.
C. Teori Kebenaran dalam Hukum Pidana
Pengertian hukum pidana sangat berbeda antara setiap ahlinya. Menurut
pakar hukum dari barat, yaitu Pompe, bahwa hukum pidana adalah keseluruhan
aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan
aturan pidananya.10
Hazewinkel-Suringa, membagi hukum pidana dalam arti
objektif (ius poenale)
meliputi perintah dan larangan
yang pelanggarannya
diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak serta ketentuan-ketentuan
yang mengatur upaya yang dapat digunakan apabila norma itu dilanggar yang
disebut hukum penitensier; serta hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi)
yakni hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan
menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
Pendapat Hazewinkel-Suringa lebih
memperjelas tugas Negara menyangkut kepentingan umum untuk dapat menuntut,
menjatuhkan dan melaksanakan pidana.
Istilah hukum pidana oleh beberapa ahli dipandang secara berbeda-beda
berdasarkan cara pandang, batasan dan ruang lingkup dari pengertian hukum
pidana itu sendiri. Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari
10
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hal 9.
24
Hukum dan Masyarakat 2015
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar
untuk :
1.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu
bagi siapa saja yang melanggarnya;
2.
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana diancamkan;
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan
tersebut.11
Mengutip pendapat di atas, maka Moeljatno memandang hukum pidana
dalam konteks yang lebih luas. Hal itu ternyata dalam penjelasan point tersebut,
yakni hukum pidana materiil terlihat dalam bagian perbuatan mana yang dilarang
dan tidak boleh dilakukan serta ancaman sanksi pidana dan perihal waktu (kapan)
dan dalam hal apa pelakunya dapat dikenakan pidana yang diancamkan.
Sedangkan batasan terhadap hukum pidana formil Nampak pada bagian ketiga
yang menyatakan cara pelaksanaan pengenaan pidana terhadap seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana. Sehingga Moeljatno memandang hukum pidana
mencakup hukum pidana materiil dan juga hukum pidana formil. Hampir sama
dengan pendapat Moeljatno, maka Van Bemmelen, Wirjono Prodjodikoro juga
memandang hukum pidana kedalam dua hal, yaitu hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil.
11
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal
2.
25
Hukum dan Masyarakat 2015
Berbeda halnya menurut Adami Chazawi, memandang hukum pidana
sebagai bagian dari hukum publik, yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan
tentang :
1.
Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan
dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif
maupun pasif/negative) tertentu yang disertai dengan ancaman
sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
2.
Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada
bagi sipelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang
diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3.
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan
Negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa,
hakim) terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar
hukum pidana dalam rangka usaha Negara menentukan,
menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya,
serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan
oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan
Negara dalam upaya Negara menegakkan hukum pidana
tersebut12.
Pendapat Adami Chazawi, tidak jauh berbeda dengan pendapat ahli
lainnya sebagaimana di atas, dalam hal pembagian hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil, namun pada bagian ketiga memberikan penekanan pada
proses peradilan yang harus dijalnkan oleh seseorang yang dianggap bersalah
12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal 2.
26
Hukum dan Masyarakat 2015
bahkan juga mengenai upaya dan usaha yang boleh dilakukan oleh
tersangka/terdakwa dalam melindungi dan mempertahankan hak-haknya atas
tindakan Negara dalam rangka menegakkan hukum pidana.
Memahami keterkaitan nilai keadilan dalam ranah hukum pidana sebagai
nilai kebenaran maka tidak terlepas dari pemahaman dasar mengenai kebenaran.
Mengutip pendapat Abbas Hammami Mintaredja, mengenai kebenaran sebagai
suatu kesesuaian antara ide dan realitas. Ide adalah suatu konsep yang hadir di
dalam akal. Sementara realitas adalah sesuatu yang nyata adanya. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Maka
dalam konteks hukum pidana yang memahami hukum pidana sebagai dasar untuk
menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut; serta menentukan kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana
sebagaimana diancamkan; serta menentukan cara bagaimana pengenaan pidana
dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut
(Moeljatno), maka nilai kebenaran yang ada dalam konteks hukum pidana
sebagaimana pengertian hukum pidana menurut Moeljatno diatas, bahwa yang
dimaksud dengan sebuah ide (pengetahuan) dalam konsep pengertian kebenaran,
yaitu larangan dan kebolehan yang telah diatur dengan ancaman berupa sanksi
bagi pelanggarnya. Disertai pula ide mengenai kapan dan dalam hal apa pelaku
larangan tersebut dikenakan pidana dan ide (pengetahuan) mengenai cara-cara
pelaksanaan pengenaan pidana bagi pelanggarnya. Nilai kebenaran sebagai sebuah
ide dalam hukum pidana dituangkan dalam konsep hukum pidana yang disebut
hukum pidana materiil dalam rumusan Undang undang secara umum dalam Kitab
27
Hukum dan Masyarakat 2015
Undang Undang Hukum Pidana (maupun hukum pidana materiil lainnya) dan
hukum pidana formil yang tertuang dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) atau undang undang pelaksanaan pidana lainnya.
Kebenaran merupakan suatu kesesuaian antara ide dan realitas, maka
ketika ide berupa rumusan Pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
menyatakan larangan untuk tidak mengambil barang sesuatu milik orang lain
secara melawan hukum dengan maksud untuk menguasai sebagaimana diatur
dalam Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian, dan dalam realitasnya
atau kenyataan, seseorang melakukan perbuatan mengambil barang sesuatu milik
orang lain tanpa izin (sepengetahuan pemilik barang) secara melawan hukum
dengan maksud untuk menguasai barang tersebut adalah suatu perbuatan yang
tidak benar, karena tidak adanya kesesuaian antara ide (bunyi pasal) dengn
realitas. Disinilah maka keadilan harus dilaksanakan dengan memberikan sanksi
kepada pelaku perbuatan mengambil barang orang tanpa izin dan melawan hukum
dengan niat menguasai (memiliki). Dengan demikian maka nilai keadilan
terpenuhi baik bagi
pemilik barang yang merupakan kelompok masyarakat
sehingga terpenuhi rasa keadilan social
terhadap masyarakat dan individu
maupun bagi aparat pemerintah dalam menjaga dan melindungi kepentingan
umum yaitu ketertiban hukum.
D. Nilai Kebenaran Dalam Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Makar.
Untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau
perbuatan pidana maka hukum pidana menganut asas legalitas. Dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP, yang berbunyi “ nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana mendahuluinya”. Oleh Moeljatno maka
asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu :
28
Hukum dan Masyarakat 2015
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
undang undang;
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (kiyas);
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.13
Perbuatan pidana akan dinyatakan memenuhi syarat tindak pidana
materiil ketika diatur dan dimuat dalam ketentuan hukum sebagaimana
disyaratkan dalam asas legalitas. Demikian halnya tindak pidana makar.
Dinyatakan sebagai perbuatan pidana karena rumusannya dalam bunyi Pasal 87
KUHP “aanslag tot een feit bestaat zoodra het voornemen des daders zich door
een begin van uitvering in den zin van art 53 heeft geopenbaar”
yang
diindonesiakan dalam KUHP, berbunyi dikatakan ada makar untuk melakukan
suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan seperti dimaksud dalam Pasal 53.
Tindak pidana makar dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
kemudian dikaitkan dengan teori kebenaran konsistensi, maka adalah sangat
sederhana, ketika rumusan tindak pidana makar (sebagai suatu ide) diatur dalam
Pasal 87 KUHP. sebagai suatu ide yang dibuat dalam pernyataan berupa bunyi
Pasal “dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksu dalam Pasal
53”. Bunyi Pasal tersebut merupakan konsep ide dalam pengertian kebenaran.
Bahwa adalah suatu nilai perbuatan makar bila niat sudah ada dan nyata dari
permulaan pelaksanaannya. Selanjutnya suatu perbuatan yang dimaksud dalam ide
(bunyi pasal) tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUHP, mengenai
perbuatan dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan
13
Mahrus Ali. Op-cit
29
Hukum dan Masyarakat 2015
maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu
memerintah. Termasuk pula ide (yang tertuang) dalam Pasal 106 KUHP, yakni
makar dengan maksud supaya wilayah Negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke
tangan musuh, atau dengan maksud memisahkan sebagian wilayah Negara dari
Negara lain.
Ide berupa bunyi Pasal sebagai suatu pengetahuan menyangkut makar,
diuraikan dalam dua bentuk, yaitu makar dengan niat membunuh atau menjadikan
tidak mampu Presiden atau Wakil Presiden, dan makar dengan niat memisahkan
sebagian atau seluruh wilayah Negara jatuh ketangan musuh. Merupakan sebuah
ide yang telah dinyatakan dalam ketentuan perundang undangan hukum pidana.
Dan ketika dikaitkan dalam konsep asas legalitas, maka pelanggaran terhadap
pasal tersebut patutlah dipidana karena kepentingan Negara yang dirugikan
sehingga akan mengancam keamanan dan ketertiban social.
Berangkat dari uraian sebelumnya mengenai nilai kebenaran dalam
hukum pidana ketika adanya kesesuaian antara ide dan realitas, yang dimaknai
sebagai kesesuaian antara perbuatan (realitas) tidak melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana adanya larangan untuk tidak berbuat (ide), atau dengan kata lain.
Larangan untuk tidak mencuri dan perbuatan tidak mencuri sebagaimana larangan
tersebut dikatakan sebagai suatu kebenaran. Disinilah titik temu antara nilai
kebenaran sebagai nilai keadilan dalam ranah hukum pidana.
Selanjutnya dalam penerapan teori kebenaran koherensi (the coherence
theory of truth), yang menyatakan bahwa
suatu kebenaran akan yang
menegaskan suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian
atau informasi) akan diakui sahih/dianggap benar apabila memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat
dibuktikan secara logis sesuai kebutuhan-kebutuhan logika. Oleh karena itu maka
tindak pidana makar sebagai suatu pernyataan terhadap pengetahuan (proposisi),
30
Hukum dan Masyarakat 2015
yang dinyatakan sebagai bunyi ketentuan perundang-undangan pidana kemudian
ketika terbukti adanya pelanggaran terhadap pasal tersebut, kemudian berdasarkan
penelusuran (penelitian) hukum pidana dalam konteks hukum pidana formil yang
juga disebut proses pelaksanaan hukum pidana oleh aparat Negara14, dan ketika
terbukti keterkaitan antara ide (bunyi Pasal) sebagai proposisi pengetahuan
kemudian memenuhi unsur tindak pidana dalam proses peradilan pidana, maka
akan dinyatakan sebagai suatu kebenaran karena hasil penelitian (penelusuran
hukum pidana) menyatakan adanya perbuatan makar dengan niat membunuh atau
membuat ketidakmampuan memerintah terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dan adanya makar dengan niat memisahkan atau menyerahkan sebagian atau
seluruh wilayah Negara kepada Negara lain.
Pada pemahaman dan penjelasan sederhana mengenai penerapan nilai
kebenaran koherensi pada tindak pidana makar, maka adalah kebenaran koherensi
ketika keterkaitan antara ide (bunyi Pasal) yang telah diatur dalam ketentuan
perundang undangan pidanandan realitas (penelusuran Aparat Peradilan Pidana)
saling berkoheren atau berkonsisten.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum pidana merupakan satu sistem
dalam bentuk sistem peradilan pidana criminal justice system, yang mempunyai
keterkaitan antara setiap sistem peradilan pidananya, baik dalam subsistem
kepolisian, subsistem penuntutan dan penetapan putusan dalam peradilan pidana.
Sehingga nilai keadilan merupakan nilai akhir dalam putusan hakim yang
merupakan sub sistem lainnya yang mana dimulai sejak tahapan penyidikan.
Maka untuk melihat kebenaran koherensi dalam putusan terhadap tindak pidana
makar, hendaknya memperhatikan konsistensi dari keadaan sebelumnya dalam
sistem peradilan pidana yang lain.
14
Polisi sebagai penyidik dan penyelidik, Jaksa selaku Penuntut Umum dan Hakim dalam
penetapan putusan serta eksekutor yang dilaksanak oleh Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana
(criminal justice System)
31
Hukum dan Masyarakat 2015
V. Penutup
Dalam penulisan ini dilihat mengenai pemahaman dasar tentang nilai
kebenaran koherensi (konsistensi) dari perbuatan makar sebagai perbuatan yang
dilarang dalam ketentuan undang undang
pidana dan dikatakan kebenaran
koherensi ketika terjadi pelanggaran terhadap larangan perbuatan tersebut. Atau
dengan kata lain tindakan melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana
makar) dalam ketentuan undang undang merupakan kebenaran koherensi,
sehingga berdasarkan ketentuan selanjutnya dari Pasal tentang makar tersebut,
pelakunya dikenakan sanksi berupa pemidanaan.
Daftar Pustaka
Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggung Jawab,
Penerbit Alfa Beta, Bandung, 2012.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002.
Engelbrecht
dalam Adami Chazawi,
Keselamatan Negara,
Kejahatan Terhadap Keamanan dan
Penerbit RajaGrafindo Persada. Jakarta.
2002.
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan,
Yogyakarta; Penerbit
Kanisius, 1997.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Penerbit
Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005.
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading, dalam Buku Filsafat ilmu
Sebuah Analisis Kontemporer oleh Zaprulkhan,
Penerbit
RajaGrafindo, Jakarta, 2015.
32
Hukum dan Masyarakat 2015
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1983.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum edisi Revisi, Penerbit Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, 2008.
Richard L.Kirkham, Teori-Teori Kebenaran Pengantar Kritis dan Komprehensif,
Penerbit Nusa Media; Bandung, 2013.
Siswanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana Konsep, Dimensi dan Aplikasi.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015.
Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun,
Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.
Satochid Kartanegara, , Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun
oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V; 1954-1955.
Suriasumantri, Jujun Dalam buku Filsafat dan Filsafat Ilmu Oleh Aripin
Banasuru, Penerbit Alfabeta; Bandung, 2014.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer; Penerbit PT Raja
Grafindo Persada; Jakarta, 2015.
33
Download