produksi susu kambing peranakan etawah (pe

advertisement
PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE)
BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT
PEMELIHARAAN
SKRIPSI
RUSMAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
RUSMAN. D14086023. Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)
Berdasarkan Ketinggian Tempat Pemeliharaan. Program Alih Jenis, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Afton Atabany M.Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto M.Agr.Sc.
Indonesia sebagai negara agraris, masih mengandalkan negara lain untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani seperti daging dan susu. Konsumsi protein
hewani di Indonesia mencakup produk-produk ternak yaitu daging, telur, susu, serta
produk perikanan. Konsumsi susu nasional, masih mengandalkan impor dari luar
yaitu sebesar 70% dari kebutuhan. Kekurangan tersebut disebabkan oleh produksi
nasional yang masih jauh dari konsumsi nasional. Ternak yang dapat memproduksi
susu yang baik tergolong dalam ternak perah seperti sapi perah, kambing perah dan
kerbau perah.
Kambing perah yang terdapat di Indonesia pada awalnya berasal dari
keturunan kambing Etawah yang berasal dari India. Sebagai salah satu ternak
penghasil susu dan dapat dimanfaatkan oleh manusia yang akhir-akhir ini mulai
populer di Indonesia. Indonesia memiliki kambing perah lokal yang sangat cocok
jika dipelihara di iklim tropis. Kambing tersebut berasal dari hasil persilangan antara
kambing lokal Indonesia yaitu kambing Kacang dengan kambing India yaitu
kambing Etawah/Jamnapari, yang oleh masyarakat disebut kambing Peranakan
Etawah (PE).
Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yang dimulai dari bulan Nopember
2010 sampai bulan Desember 2010. Lokasi penelitian bertempat di lima peternakan
di wilayah Jawa Barat yaitu peternakan Sri Murni (Banjar), Bapak Yepe (Kawalu,
Tasikmalaya), Surya Medal (Sariwangi, Tasikmalaya), Bapak Aan (Sariwangi,
Tasikmalaya), dan UPTD Perbibitan Ternak Kambing PE (Sariwangi, Tasikmalaya).
Lokasi terletak diantara ketinggian 0-200 meter diatas permukaan laut (m dpl), 200400 m dpl, 400-600 m dpl, dan 600-800 m dpl. Data hasil penelitian dianalisis ragam
dan dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey, jika ditemukan berbeda.
Semakin tinggi tempat, maka akan semakin rendah suhu udara dan semakin
rendah suatu tempat, maka suhu udara akan semakin tinggi. Kelembaban udara tidak
dipengaruhi oleh ketinggian tempat, melainkan oleh tekanan uap air. Konsumsi
pakan juga dipengaruhi oleh bobot badan, semakin besar bobot badan, maka
konsumsi bahan kering semakin rendah. Selain mendapat pengaruh dari ketinggian
tempat, produksi susu juga dipengaruhi oleh tatalaksana pemeliharaan.
Ketinggian suatu tempat mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara,
konsumsi pakan dan produksi susu. Ketinggian tempat tidak berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya kelembaban udara, karena kelembaban lebih dipengaruhi oleh
tekanan uap air di udara.
Kata kunci : Kambing Peranakan Etawah (PE), produksi susu, ketinggian tempat.
i
ABSTRACT
Performance of Milk Production of Etawah Crossbred at Different Altitude
Rusman, A. Atabany and B. P. Purwanto
A total of 70% of milk consumption in Indonesia is provided from import because of
inadequate domestic production. Etawah crossbred (PE) belongs to the goat
producing milk that adapt to the Indonesian climate. This research was conducted to
measure the influence of ambient temperature and relative humidity on feed intake
and milk production. The research was taken place in five locations with different
altitudes at 0-200 m; 200-400 m; 400-600 m; and 600-800 meter above sea level,
accordingly. The research was conducted from November until December 2011 in
Tasikmalaya, West Java, Indonesia. The results showed that the altitude affected
ambient temperature, feed consumption and milk production. The altitude had no
significant influence on relative humidity. The higher the location the lower ambient
temperature. Feed consumption was influenced by body weight. The heavier body
weights the lower dry matter consumption. Milk production was also influenced by
husbandry.
Keyword: Etawah crossbred (PE), milk production, and altitude
ii
PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE)
BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT
PEMELIHARAAN
RUSMAN
D14086023
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan IPB
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
iii
Judul
: Penampilan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)
Berdasarkan Ketinggian Tempat Pemeliharaan
Nama
: Rusman
NIM
: D14086023
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
(Ir. Afton Atabany, M.Si)
NIP. 19640521 199512 1 002
(Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.Sc)
NIP. 19600503 198503 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 20 September 2011
Tanggal Lulus :
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bekasi, pada hari Senin, tanggal 22 Desember
1986. Penulis merupakan anak ke-empat dari empat bersaudara, dari keluarga Bapak
Alih Jeran dan Ibu Aisah.
Jenjang pendidikan dasar dimulai pada tahun 1993 di SD Strada 1 Kampung
Sawah, Kota Bekasi dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di SLTP Strada 1 Kampung Sawah, Kota
Bekasi dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
sekolah di SMK Negeri 1 Cibadak, Sukabumi dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, Penulis terdaftar di Institut Pertanian Bogor sebagai
mahasiswa Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Direktorat
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor melalui jalur reguler dan lulus pada
tahun 2008. Pada tahun yang sama, Penulis melanjutkan studi dan diterima sebagai
mahasiswa Program Alih Jenis, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan selama 3 bulan
(Juni-Agustus 2004) di Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah
Bunikasih, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Selama di program keahlian Teknologi
dan Manajemen Ternak, Institut Pertanian Bogor, penulis telah melaksanakan
serangkaian kegiatan Praktik Kerja Lapangan selama 1,5 bulan (14 Juli-18 Agustus
2007) di PT Mega Farm, Cikembar, Kabupaten Sukabumi yang bergerak dibidang
produksi telur ayam ras dan di PT Putra Indo Mandiri Sejahtera, Brastagi, Sumatera
Utara selama tiga bulan (10 Febuari–10 Mei 2008) yang bergerak di bidang produksi
susu sapi perah.
v
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
”Penampilan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) Berdasarkan
Ketinggian Tempat Pemeliharaan”. Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Peternakan (S.Pt) pada Program Alih Jenis, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian ini menganalisis tingkat produksi susu kambing PE berdasarkan
ketinggian tempat pemeliharaan pada peternakan rakyat di sebagian daerah di Jawa
Barat pada suhu dan kelembaban yang berbeda, pengaruh pemberian pakan, dan
produksi susu. Penelitian berisikan kajian produksi dan konsumsi pakan pada
ketinggian tempat pemeliharan dengan suhu dan kelembaban yang berbeda untuk
ternak.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sangat
diperlukan demi tercapainya tujuan yang lebih baik. Besar harapan Penulis semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang peternakan. Amin.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRAK ..................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
x
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Hipotesis ..........................................................................................
Manfaat ...........................................................................................
1
2
2
2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Kambing ...........................................................................................
Keberadaan Kambing Di Indonesia .................................................
Kambing Perah ................................................................................
Kambing Etawah ..............................................................................
Peranakan Etawah (PE) ....................................................................
Pakan Ternak ...................................................................................
Konsumsi Pakan ...............................................................................
Susu dan Kualitas Susu ....................................................................
Produksi Susu Kambing ...................................................................
Iklim .................................................................................................
Suhu Lingkungan ............................................................................
Letak Lintang .......................................................................
Ketinggian Tempat ...............................................................
Kondisi Lingkungan .............................................................
Kelembaban Udara ...........................................................................
Kondisi yang Ideal untuk Ternak ....................................................
3
3
4
4
5
6
6
7
9
11
11
12
12
12
13
13
MATERI DAN METODE ..........................................................................
15
Lokasi dan Waktu ...........................................................................
Lokasi Penelitian .................................................................
Waktu Penelitian ..................................................................
Materi ..............................................................................................
Ternak ..................................................................................
Peralatan ..............................................................................
15
15
15
15
15
15
vii
Pakan ...................................................................................
Peubah yang Diamati ......................................................................
Prosedur ..........................................................................................
Pencatatan Data Wilayah Setempat ....................................
Pengukuran Konsumsi Pakan ...............................................
Pencatatan Produksi Susu ...................................................
Rancangan dan Analisis Data ..............................................
16
16
16
17
17
18
18
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
20
Keadaan Umum Lokasi ....................................................................
Peternakan Sri Murni ...........................................................
Peternakan Bapak Yepe ......................................................
Peternakan Surya Medal .....................................................
Peternakan Bapak Aan .........................................................
Peternakan Malaganti ...........................................................
Tatalaksana Pemeliharaan ...................................................
Kandang ...................................................................
Pemberian Pakan .....................................................
Pemerahan ...............................................................
Perkawinan ..............................................................
Sanitasi ....................................................................
Ketinggian Tempat ..........................................................................
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Suhu Udara ...........
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Kelembaban
Udara ...................................................................................
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Konsumsi Pakan ....
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Produksi Susu .......
20
20
21
21
22
22
23
23
23
24
24
24
25
25
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
36
Kesimpulan .....................................................................................
Saran ................................................................................................
36
36
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
39
LAMPIRAN.................................................................................................
41
28
30
33
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi Susu Kambing per 100 g ..............................................
9
2. Komposisi Zat Makanan Rumput Lapang ......................................
18
3. Ketinggian Tempat, Suhu, Kelembaban, Konsumsi Pakan dan
Produksi Susu pada Kelima Peternakan ........................................
25
4. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Suhu Udara .......................
26
5. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Kelembaban Udara ...........
29
6. Rataan Bobot Badan Kambing dari Kelima Peternakan .................
30
7. Konsumsi Pakan Berdasarkan Bahan Kering Setiap Peternakan ...
31
8. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Produksi Susu ...................
33
9. Tatalaksana Pemeliharaan pada Kelima Peternakan ......................
35
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Peta Lokasi Peternakan ...................................................................
42
2. Tabel Konversi Suhu ke Kelembaban ............................................
43
3. Suhu dan Kelembaban Udara pada Ketinggian Tempat
Pemeliharaan. ...................................................................................
44
4. Produksi Susu pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan ..................
44
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris masih mengandalkan negara lain untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani seperti daging dan susu. Konsumsi protein
hewani di Indonesia masih lebih rendah dari negara-negara tetangga. Setiap tahun
pemerintah mencanangkan program swasembada daging dan susu untuk memenuhi
konsumsi protein hewani nasional. Konsumsi protein hewani di Indonesia mencakup
produk-produk ternak, yaitu daging, telur, susu, dan produk perikanan. Konsumsi
susu nasional masih mengandalkan impor dari luar, yaitu sebesar 70% dari
kebutuhan. Kekurangan tersebut disebabkan produksi nasional yang masih jauh lebih
rendah dari konsumsi nasional.
Susu segar yang dikonsumsi masih mengandalkan peternakan rakyat sebagai
produsen susu nasional yang umumnya berkualitas di bawah standar. Susu segar
memiliki syarat mutu untuk dikonsumsi yang ditetapkan oleh Standar Nasional
Indonesia (SNI) nomor 01-3141-1998. Pada standar tersebut telah dijelaskan bahwa
susu segar adalah susu murni yang tidak mendapatkan perlakuan apapun kecuali
proses pendinginan dan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu segar harus
memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan digunakan untuk proses
pengolahan lebih lanjut.
Ternak yang dapat memproduksi susu digolongkan ke dalam ternak perah
seperti sapi perah, kambing perah, dan kerbau perah. Ternak perah adalah ternak
yang dapat memproduksi susu yang melebihi kebutuhan anak dan induk masih tetap
menghasilkan susu sampai jangka waktu tertentu setelah anak disapih. Kambing
perah bagi masyarakat Indonesia masih belum begitu dikenal sehingga belum banyak
yang mengetahui susu yang berasal dari kambing. Indonesia memiliki kambing lokal
unggulan yang dapat memproduksi susu, yaitu kambing Peranakan Etawah.
Produktivitas kambing PE dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
faktor genetik ternak, manajemen pemeliharaan, serta lingkungan yang ketiganya
saling berkaitan. Perbaikan faktor genetik telah dilakukan melalui seleksi bibit
unggul sebagai indukan, sehingga membutuhkan manajemen yang baik agar potensi
genetik optimal. Faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat direkayasa namun
membutuhkan teknologi yang berdampak pada nilai ekonomis pemeliharaan.
1
Produktivitas kambing PE di alam tropis Indonesia beragam dan dipelihara di lokasi
yang berbeda letak ketinggiannya mulai dari dataran rendah sampai pegunungan.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, konsumsi
pakan, dan produksi susu pada ketinggian tempat yang berbeda.
Hipotesis
Produksi susu dipengaruhi oleh ketinggian tempat, suhu dan kelembaban,
serta konsumsi pakan. Ketinggian tempat di atas permukaan laut dan suhu serta
kelembaban berkaitan dengan konsumsi pakan dan produksi susu.
Manfaat
Penelitian ini bermanfaat sebagai dasar pertimbangan dalam memetakan
wilayah pengembangan usaha peternakan khususnya kambing perah PE di Jawa
Barat serta bahan pertimbangan dalam menetapkan penyediaan
pakan dan
pengelolaan usaha peternakan kambing PE.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing
Taksonomi ternak kambing domestikasi adalah ordo Ungulata, sub-ordo
Artiodactyla, famili Bovidae, sub-famili Caprinae, genus Capra, dan spesies Capra
hircus (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Blakely dan Bade (1992), kambing
merupakan hewan pertama yang didomestikasi manusia. Kambing berasal dari
hewan liar (Capra hircus aegagrus) yang hidup di daerah yang sangat sulit dan
berbatu. Pada permulaannya diperkirakan para pemburu membawa pulang anak
kambing hasil buruan. Anak-anak kambing tersebut dipelihara di desa sebagai hewan
kesayangan kemudian dimanfaatkan untuk diambil susu, daging dan kulitnya.
Kambing banyak ditemukan di desa-desa yang masih primitif.
Kambing adalah sub-spesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia
Barat Daya dan Eropa. Kambing liar tersebar dari Spanyol ke arah timur sampai
India dan dari India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukai
kambing adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Kambing sudah dijinakkan
manusia sejak 7.000-9.000 tahun sebelum masehi. Kambing merupakan hewan
memamah biak yang berukuran sedang. Kambing liar jantan maupun betina memiliki
sepasang tanduk, namun tanduk kambing jantan lebih besar. Pada umumnya
kambing memiliki jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan berbulu lurus dan
kasar. Panjang tubuh kambing liar, adalah 1,3-1,4 m, dengan panjang ekor 12-15 cm.
Bobot badan kambing betina berkisar 50-55 kg, sedangkan kambing jantan dapat
mencapai 120 kg. Bangsa kambing dibedakan menjadi tipe pedaging dan tipe
penghasil susu (Admin, 2007).
Keberadaan Kambing di Indonesia
Ternak kambing tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, karena memiliki
sifat toleransi tinggi terhadap bermacam-macam hijauan pakan ternak, rerumputan
dan dedaunan. Kemampuan adaptasi kambing yang luas memungkinkan kambing
dapat hidup berkembang biak dalam berbagai keadaan lingkungan. Domestikasi
kambing terjadi sejak zaman purba di Asia Tenggara. Manusia bermigrasi pada
zaman prasejarah bersama ternak kambing dan ternak lain dari pusat-pusat
domestikasi kambing (Sudono dan Abdulgani, 2002).
3
Ternak kambing yang dipelihara peternak umumnya merupakan ternak lokal.
Kambing lokal yang berkembang biak dengan baik di Indonesia, yaitu kambing
Kacang dan kambing Peranakan Etawah (PE). Selain itu terdapat kambing lokal lain
seperti kambing Gembrong, Kosta, Marica, Jawarandu dan Bligon (Subandryo dan
Anggraeni, 1997).
Pemeliharaan kambing di Indonesia masih ditujukan untuk
produksi daging, sedangkan produksi susu merupakan produksi sekunder. Menurut
Devendra dan Burns (1994), kambing berfungsi sebagai ternak penghasil daging,
susu, kulit, bulu dan kotoran. Sebanyak 99% ruminansia kecil di Indonesia dipelihara
pada skala peternakan rakyat (Sodiq dan Sumaryadi, 2002) dan umumnya dilakukan
oleh petani penggarap dengan jumlah 2-10 ekor (Devendra dan Burns, 1994).
Kambing Perah
Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu
dengan jumlah melebihi kebutuhan anaknya (Atabany, 2002). Kambing perah yang
biasa dipelihara adalah kambing-kambing lokal seperti kambing Etawah, Peranakan
Etawah dan kambing Jawarandu. Kambing-kambing tersebut merupakan bangsa
kambing perah yang dapat hidup di daerah tropis. Menurut Blakely dan Bade (1992),
kambing perah sering dianggap sebagai ternak miniatur atau bentuk kecil sapi perah.
Ukuran tubuh kambing perah hanya sepersepuluh dari sapi. Ukuran kecil dari
kambing ini memudahkan pemeliharaan dan dapat dipelihara dalam skala kecil
maupun dalam skala industri.
Kambing perah dikembangbiakan dan diseleksi sejak dahulu untuk
menghasilkan susu dalam jumlah banyak. Kambing memiliki karakteristik yang unik
dalam memproduksi susu. Bila sapi memiliki empat puting dan empat ambing yang
terpisah, maka kambing hanya memiliki dua ambing dan dua puting saja. Kambing
perah sangat efisien dalam memproduksi susu. Tujuh ekor kambing dapat
menghasilkan susu yang sama banyaknya dengan produksi satu ekor sapi perah,
tetapi jumlah pakan 10 ekor kambing akan sama dengan jumlah pakan satu ekor sapi
(Blakely dan Bade, 1992).
Kambing Etawah
Kambing Etawah berasal dari daerah Etawah yaitu antara sungai Yamuna dan
Chambal di Provinsi Uttar Pradesh, India dengan nama kambing Jamnapari, namun
di Indonesia lebih dikenal dengan nama kambing Etawah. Persilangan dari kambing
4
Etawah lainnya adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu sebagai
penghasil susu. Indonesia mengimpor kambing Etawah pertama kali dari India pada
tahun 1908 (Sudono dan Abdulgani, 2002). Kambing ini termasuk kambing dwiguna,
yaitu sebagai penghasil daging dan susu (Banarjee, 1982). Warna bulu kambing ini
tidak seragam, biasanya berwarna belang putih, merah atau coklat. Bobot badan
jantan dewasa berkisar antara 68-90 kg dan betina 45-65 kg. Panjang daun telinga
31-40 cm dengan lebar 7-13 cm dan telinga melipat serta terkulai dengan bagian
pangkal menguncup. Profil muka cembung dengan rahang atas lebih pendek dari
rahang bawah. Ukuran ambing besar dengan puting berbentuk botol. Kaki berukuran
panjang dan terdapat rambut panjang terutama pada bagian paha belakang.
Kambing Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing
asli yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia. Menurut
Devendra dan Burns (1994), produksi susu kambing Etawah berkisar 1,5-3,5 kg per
ekor per hari dengan kadar lemak 5,2% atau 200-262 kg selama masa laktasi sekitar
261 hari.
Peranakan Etawah (PE)
Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing lokal
Indonesia dengan kambing lokal dari India, yaitu antara kambing Kacang dan
kambing Etawah, sehingga memiliki sifat diantara kedua tetua kambing tersebut
(Atabany, 2001). Kambing PE merupakan kambing tipe dwiguna yang dapat
menghasilkan susu dan dapat menghasilkan daging. Kambing PE di pulau Jawa,
terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah telah lebih dahulu dibudidayakan
dibandingkan dengan di Jawa Barat. Kambing dikembangkan dan dijadikan sebagai
usaha sambilan di Jawa Barat dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan
hijauan yang tersedia.
Karakteristik kambing PE menurut Markel dan Subandryo (1997) adalah
kuping menggantung ke bawah dengan panjang 18-19 cm, tinggi badan antara 75100 cm, bobot jantan sekitar 40 kg dan betina sekitar 35 kg. Kambing PE jantan
berbulu di bagian atas dan bawah leher, rambut pundak dan paha belakang lebih
lebat dan panjang. Kambing PE betina memiliki rambut panjang hanya pada bagian
paha belakang. Warna rambut kambing PE terdiri atas kombinasi coklat sampai
5
hitam atau abu-abu (Sudono dan Abulgani, 2002) dan muka cembung
(Hardjosubroto, 1994).
Pakan Ternak
Menurut Sofyan et al. (2000), bahan makanan ternak dapat dibagi ke dalam
dua golongan berdasarkan kandungan serat kasar, yaitu bahan penguat (konsentrat)
dan hijauan. Konsentrat adalah satu atau campuran bahan makanan ternak yang
banyak mengandung zat makanan utama (protein, lemak, atau karbohidrat) dan
mempunyai serat kasar kurang dari 18%. Hijauan adalah satu atau campuran
makanan ternak yang mempunyai kadar serat kasar lebih besar dari 18%. Bahan
pakan alami untuk ternak ruminansia adalah hijauan, baik berupa rumput-rumputan
maupun leguminosa. Di negara tropis dengan suhu tanah cukup panas, rumputrumputan dapat tumbuh sepanjang tahun. Iklim Tropis hanya terbagi menjadi musim
hujan dan kemarau. Puncak produksi biasanya dicapai pada saat musim hujan.
Komposisi nutrisi hijauan makanan ternak sangat bervariasi dan tergantung pada
banyak hal, diantaranya adalah spesies tanaman, umur tanaman, iklim dan
pemupukan. Kandungan nutrisi rumput lapang bervariasi tergantung dari jenis dan
komposisi rumput.
Konsumsi Pakan
Menurut Blakely dan Bade (1992), kambing merupakan jenis ruminansia
yang lebih efisien daripada domba atau sapi. Kambing dapat mengkonsumsi bahan
kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya (5%-7% dari berat badan).
Atabany (2002) menyatakan bahwa kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan
kambing perah) di daerah tropis yang diberi makan sekenyangnya, mempunyai
konsumsi bahan kering harian berkisar 1,8%-4,7% dari berat badan.
Bila
dibandingkan dengan sapi yang dapat mengkonsumsi bahan kering 2%-3% dari berat
badan, kambing mampu mengkonsumsi bahan kering relatif lebih banyak untuk
ukuran tubuhnya. Kambing perah mengkonsumsi bahan kering seharusnya 5%-7%
dari berat badan, akan tetapi kambing perah daerah sejuk yang hidup di daerah tropis
mempunyai kisaran konsumsi bahan kering 2,8%-4,9% dari berat badan. Kambing
laktasi membutuhkan protein lebih banyak daripada kambing jantan dewasa dan
induk kering. Kambing jantan aktif dan induk laktasi membutuhkan protein 15%18%.
6
Sudono dan Abulgani (2002) menyatakan bahwa ransum yang dimakan
kambing tergantung pada ukuran tubuh, bangsa kambing, umur, dan jenis kelamin.
Hijauan pakan ternak untuk kambing dewasa tanpa pemberian konsentrat berkisar
antara 5-8 kg per ekor per hari. Campuran hijauan makanan ternak yang terdiri atas
berbagai macam dedaunan dan rumput-rumputan lebih baik daripada hijauan pakan
ternak yang hanya terdiri atas satu jenis hijauan, karena kekurangan zat makanan
pada bahan pakan ternak yang satu dapat dipenuhi bahan pakan ternak yang lain.
Atabany (2002) menyatakan bahwa hijauan segar yang dikonsumsi induk laktasi
merupakan 10% dari berat hidup, sedangkan konsentrat 2% dari berat badan. Total
pakan segar yang dapat dikonsumsi induk laktasi kambing perah adalah 8-10 kg per
ekor per hari.
Pada suhu yang lebih rendah daripada kebutuhan optimumnya, ternak akan
mengkonsumsi ransum lebih banyak karena sebagian energi ransum akan diubah
menjadi panas untuk mengatasi suhu lingkungan yang lebih rendah (Leeson, 1986).
Siregar (1982) menyatakan bahwa iklim dapat mempengaruhi penggunaan pakan
maupun status faali ternak, sehingga kecepatan pertumbuhan ataupun bentuk
produktivitas lain akan ikut dipengaruhi. Pengaruh ketinggian tempat dari permukaan
laut terhadap penggunaan pakan dan status faali ternak berakibat pada pertumbuhan.
Bayong (2004) menyatakan bahwa hewan domestik sangat bergantung pada
ketersediaan pakan. Faktor iklim secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan
ternak yang berkaitan dengan ketersediaan rumput atau tanaman pakan. Kecocokan
pembiakan hewan terhadap iklim bergantung pada mutu atau kualitas gizi rumput
dan jumlah pakan yang tersedia secara alami atau yang dapat ditanam dalam kondisi
iklim tersebut. Produksi ternak bergantung pada iklim, manajemen, pemberian
pakan, dan peternakan. Tatalaksana berternak seperti kualitas dan kuantitas pakan
ternak dipengaruhi oleh aspek iklim.
Susu dan Kualitas Susu
Rahman et al. (1992) menyatakan bahwa secara kimia, susu didefinisikan
sebagai emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam, mineral dan
protein dalam bentuk suspensi koloidal. Saleh (2004) menyatakan bahwa air susu
merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan
komposisi gizi yang ideal dan mengandung semua zat yang dibutuhkan tubuh.
7
Semua zat makanan yang dikandung air susu dapat diserap darah dan dimanfaatkan
tubuh. Sebagai bahan makanan/minuman, air susu sapi mempunyai nilai gizi yang
tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan tubuh seperti
kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B dan riboflavin dalam jumlah tinggi. Komposisi
gizi (protein, mineral dan vitamin yang tinggi) yang mudah dicerna menjadikan susu
sebagai sumber bahan makanan yang fleksibel, sehingga dapat memenuhi keinginan
dan selera konsumen.
SNI 01-3141-1998 (Badan Standarisasi Nasional, 1998) susu segar adalah
susu yang berasal dari ambing induk kambing sehat dan diperoleh dengan cara yang
benar. Susu kambing merupakan hasil sekresi dari ambing kambing sebagai makanan
anaknya. Clark (2001) menyatakan bahwa komposisi susu kambing lebih lengkap
dalam hal kandungan protein, lemak, vitamin (A, B kompleks, C) dan mineral
(kalsium, fosfor, magnesium, potassium dan tembaga) dibandingkan dengan susu
sapi dan susu manusia. Menurut Devendra dan Burn (1994) kandungan protein susu
kambing lebih tinggi dibandingkan dengan susu manusia dalam kaitannya dengan
jumlah kalori. Energi total yang dikandung dalam susu kambing sebanyak 50%
berasal dari lemak, dan masing-masing 25% dari laktosa serta protein sedangkan
proporsi dalam susu manusia adalah 55% dari lemak, 38% laktosa dan 7% dari
protein. Komposisi susu kambing secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Komposisi Susu Kambing per 100 g
Komposisi
Jumlah
Satuan
Air
87
g
Energi
68
kkal
Energi
288
kj
Protein
3,4
g
Total Lemak
3,8
g
Karbohidrat
4,4
g
0
g
0,8
g
Kalsium (Ca)
133
mg
Besi (Fe)
0,05
mg
Magnesium (Mg)
13,97
mg
Fosfor (P)
110
mg
Potassium (K)
204
mg
Sodium (Na)
49
mg
Seng (Zn)
0,3
mg
Tembaga (Cu)
0,04
mg
Mangan (Mn)
0,018
mg
Selenium (Se)
1,4
mcg
Vitamin C (Asam karbonat)
1,29
mg
Thiamin
0,048
mg
Riboflavin
0,138
mg
Niacin
0,227
mg
Serat
Ampas
Mineral
Vitamin
Sumber: Moeljanto dan Wirjantan (2002)
Produksi Susu Kambing
Phalepi (2004) menyatakan bahwa produksi susu dipengaruhi mutu genetik,
umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang
diberlakukan pada ternak (perkandangan, pakan, kesehatan), kondisi iklim setempat,
daya adaptasi ternak dan aktivitas pemerahan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap
9
produksi susu adalah proses penyusuan, yang dapat meningkatkan produksi susu
induk dan akan menurun tajam ketika anak disapih (Hastono, 2003).
Produksi susu pada ternak yang umurnya lebih tua lebih tinggi dari ternak
yang umurnya muda, sebab ternak muda masih mengalami proses pertumbuhan.
Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak-ternak muda hanya sebagian yang
digunakan untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan termasuk
kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan (Phalepi, 2004). Produksi
susu akan meningkat sejak induk beranak dan akan turun hingga akhir masa laktasi
(Blakely dan Bade, 1992). Puncak produksi susu akan dicapai pada hari ke 48-72
setelah beranak (Devendra and Burns, 1994).
Sutama (1994) menyatakan bahwa produksi susu kambing PE berkisar 1,53,5 l per ekor per hari. Menurut Sudono dan Abulgani (2002), produksi susu
kambing PE cukup rendah, yaitu berkisar 0,5–0,9 l per ekor per hari. Atabany (2002)
menyatakan bahwa produksi susu kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari,
tergantung pada bangsa kambing, masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak
perkelahiran dan tatalaksana pemeliharaan. Jumlah pemerahan setiap hari
berpengaruh terhadap produksi susu. Produksi susu meningkat 40% pada pemerahan
dua kali sehari daripada pemerahan satu kali. Produksi susu lebih tinggi 5%-20%
pada pemerahan tiga kali sehari daripada dua kali dan pemerahan empat kali lebih
tinggi 5%-10% daripada pemerahan tiga kali. Kambing betina dengan berat 55 kg
akan memproduksi lebih dari 200 kg susu dalam sekali laktasi dengan lama laktasi
305 hari.
Blakely dan Bade (1992) menyatakan bahwa susu kambing terkenal karena
kandungan nutrisi dan nilai medisnya sejak jaman dahulu. Dibandingkan dengan
susu sapi, susu kambing memiliki karakteristik berwarna lebih putih dan globul
lemak susu lebih kecil dan beremulsi dengan susu. Lemak harus dipisahkan dengan
mesin pemisah (mechanical separator), karena lemak tersebut tidak dengan
sendirinya muncul di atas permukaan. Lemak susu kambing lebih mudah dicerna.
Curd protein susu kambing lebih lunak sehingga lebih memungkinkan untuk dibuat
keju yang spesial. Susu kambing mengandung kalsium, fosfor, vitamin A, E dan B
kompleks yang lebih tinggi. Susu kambing dapat diminum oleh orang yang alergi
10
minum susu sapi (lactose intolerant) dan untuk orang-orang yang mengalami
gangguan pencernaan.
Iklim
Menurut Handoko (1995), cuaca adalah nilai sesaat dari atmosfer serta
perubahan dalam jangka pendek (kurang dari satu jam hingga 24 jam) di suatu
tempat tertentu di bumi. Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai
unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang dari
suatu tempat atau pada suatu wilayah. Iklim dapat terbentuk karena rotasi dan
revolusi bumi dan perbedaan lintang geografi serta lingkungan fisik. Perbedaan ini
menyebabkan perbedaan penyerapan panas matahari oleh bumi sehingga memiliki
pengaruh besar terhadap kehidupan di bumi. Beberapa unsur yang mempengaruhi
keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah adalah suhu atau temperatur
udara, tekanan udara, angin, kelembaban udara, dan curah hujan.
Lebih dari sepertiga bagian dari muka bumi mempunyai iklim tropis, atau
dengan kata lain iklim tropis merupakan bagian yang terbesar di muka bumi
(Bayong, 2004). Sifat-sifat iklim di daerah tropis, seperti di Indonesia, tergolong
panas dan lembab. Hal ini ditandai dengan kelembaban udara rata-rata di atas 60%,
curah hujan rata-rata di atas 1.800 mm/tahun dan perbedaan antara suhu siang dan
malam hari berkisar antara 2-5 0C. Iklim tropis terletak diantara 23,5 0LU dan 23,5
0
LS namun tidak semua daerah yang terletak di lintang tropika memiliki iklim
tropika. Iklim topika merupakan sebuah tipe iklim yang dicirikan dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi sepanjang tahun (Bayong, 2004).
Suhu Lingkungan
Menurut Kartasapoetra (2006), suhu adalah derajat panas atau dingin yang
diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu
yang biasa digunakan adalah derajat Celsius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa
negara lain dinyatakan dalam derajat Fahrenheit (oF). Perbedaan suhu antara berbagai
tempat di bumi secara umum ditentukan oleh letak lintang, ketinggian tempat, dan
kondisi lingkungan. Bayong (2004) menyatakan bahwa suhu udara berubah sesuai
dengan tempat dan waktu. Suhu maksimum pada umumnya terjadi sesudah tengah
hari, biasanya antara jam 12.00 dan jam 14.00; sedangkan suhu minimum terjadi
pada jam 06.00 waktu lokal atau sekitar matahari terbit.
11
Letak Lintang
Semakin ke arah kutub, semakin rendah suhu udara. Semakin jauh dari
ekuator, intensitas penyinaran matahari semakin rendah, sehingga suhu semakin
rendah. Penurunan suhu karena lintang disebabkan oleh semakin rendahnya
intensitas penyinaran matahari pada daerah kutub. Pada daerah tropis, intensitas
penyinaran matahari sangat tinggi karena posisinya tegak lurus dengan daerah
tersebut. Semakin ke arah kutub, sudut datang sinar matahari semakin kecil, sehingga
intensitas penyinaran matahari semakin rendah (Handoko, 1995). Sudut datang sinar
matahari akan mempengaruhi suhu. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih
panas daripada yang datangnya miring (Kartasapoetra, 2006).
Ketinggian Tempat
Semakin tinggi letak suatu tempat, maka semakin rendah suhu udaranya.
Siregar (l982) memberikan batasan bahwa daerah dataran rendah memiliki
ketinggian tempat berkisar antara 0-250 m dari permukaan laut (m dpl) dan daerah
dataran sedang berkisar antara 250-750 m dpl. Payne (1970) menyatakan bahwa suhu
udara harian rata-rata akan menurun 1,7 oC untuk setiap peningkatan ketinggian
tempat 305 m dpl.
Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata tingkat penurunan tersebut adalah
0,65 0C setiap kenaikan ketinggian 100 m. Semakin jauh dari permukaan bumi,
semakin berkurang jumlah molekul udara dan semakin rendah tumbukan antara
molekul, sehingga suhu udara pun semakin rendah. Hal tersebut menyebabkan suhu
udara pegunungan lebih rendah dibanding daerah pantai (Handoko, 1995).
Kondisi Lingkungan
Suhu suatu tempat juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan permukaan
bumi. Suhu akan cenderung lebih rendah pada daerah yang masih bervegetasi lebat
dibanding dengan daerah terbuka. Hal ini terjadi karena tumbuhan memiliki daya
serap lebih besar dibanding dengan daerah terbuka, sehingga energi yang dipantulkan
akan lebih kecil dibanding dengan daerah terbuka (Handoko, 1995). Menurut
Kartasapoetra (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi
ialah jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim; pengaruh
daratan atau lautan; pengaruh sudut datang sinar matahari; pengaruh ketinggian
tempat; pengaruh angin secara tidak langsung; pengaruh panas laten, yaitu panas
12
yang disimpan dalam atmosfer; pengaruh penutup tanah, yaitu tanah yang ditutup
vegetasi yang mempunyai suhu lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi serta
pengaruh tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi.
Bayong (2004) menyatakan iklim tidak hanya mempengaruhi tanaman, tetapi
dipengaruhi juga oleh tanaman. Hutan yang lebat dapat menambah kelembaban
udara melalui transpirasi. Bayangan dari pepohonan dapat mengurangi suhu udara
sehingga penguapan menjadi kecil.
Kelembaban Udara
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang
dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit
tekanan uap air (Handoko, 1995). Kelembaban relatif dinyatakan dengan persen (%),
sedangkan kelembaban mutlak dinyatakan dengan g/m3. Angin selain dapat
menurunkan suhu lingkungan juga dapat menurunkan kelembaban. Handoko (1995)
menyatakan bahwa kelembaban akan lebih kecil jika suhu udara meningkat dan
sebaliknya kelembaban makin tinggi bila suhu udara lebih rendah. Siregar (1982)
menyatakan bahwa kelembaban udara harian rata-rata antara dua lokasi pada
ketinggian tempat yang berbeda (137 m dpl dan 925 m dpl) tidak menunjukkan
perbedaan.
Menurut Kartasapoetra (2006), kelembaban udara tertinggi dicapai pada
musim hujan dan terendah pada musim kemarau di Indonesia. Disamping itu,
kelembaban dipengaruhi juga oleh pohon pelindung, terutama apabila pohon rapat.
Bayong (2004) menyatakan bahwa kelembaban nisbi berubah sesuai dengan tempat
dan waktu. Menjelang tengah hari kelembaban nisbi berangsur-angsur turun
kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar. Kelembaban
banyak berhubungan dengan suhu, curah hujan dan angin.
Kondisi yang Ideal untuk Ternak
Daerah beriklim ideal (comfort zone) ialah suatu daerah yang beriklim
normal bagi kehidupan hewan, sehingga hewan dapat hidup nyaman di lingkungan
dan tidak perlu beradaptasi. Daerah bersuhu kritis ialah daerah yang memiliki suhu di
atas atau di bawah normal, sehingga memaksa hewan yang tinggal pada lingkungan
tersebut harus beradaptasi. Suhu kritis tersebut dapat mengakibatkan hewan menjadi
agak stres (Handoko, 1995).
13
Mamalia adalah hewan berdarah panas (homeotherms). Kebanyakan mamalia
seperti manusia, binatang ternak dan binatang berkulit tebal mempunyai suhu tubuh
sekitar 100
o
F (37,8
0
C). Kenaikan atau penurunan suhu beberapa derajat
mengakibatkan kematian pada mamalia. Daerah batas ambang atas kritis berkisar
103-112 oF (39,4-44,4 0C).
Produktivitas hewan dipengaruhi faktor-faktor lingkungan. Suhu dan
kelembaban udara merupakan dua elemen yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap produktivitas hewan (Mc Dowell et al., 1970). Zona optimum suhu udara
untuk sapi, kerbau, kambing dan domba sekitar 13-18 0C dan kelembaban udara
antara 60%-70% (Mc Dowel et al., 1970).
Siregar (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan atau bentuk produktivitas
lain dari ternak adalah merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor lingkungan meliputi penggunaan makanan dan ketinggian tempat
dari permukaan laut. Bayong (2004) menyatakan bahwa unsur iklim yang
mempengaruhi ternak adalah suhu, curah hujan, kelembaban nisbi, tekanan atmosfer,
angin, badai dan cahaya.
Suhu adalah unsur paling penting. Suhu yang tinggi
biasanya mengurangi produksi ternak. Produksi susu sapi menurun pada suhu tinggi
dengan suhu optimum adalah sekitar 50 oF (10 oC). Suhu sangat dingin juga
berpengaruh pada penurunan produksi ternak, karena energi tubuh banyak dipakai
untuk melawan kedinginan.
14
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di lima peternakan berbeda di daerah Tasikmalaya dan
Banjar, Jawa Barat, dengan perbedaan ketinggian tempat. Kelima peternakan
tersebut :
1. Peternakan 1, yaitu peternakan Sri Murni yang terletak di Kabupaten Banjar
dengan ketinggian tempat 29 m dpl.
2. Peternakan 2, yaitu peternakan Bapak Yepe dengan ketinggian tempat 367 m
dpl.
3. Peternakan 3, yaitu peternakan Surya Medal dengan ketinggian tempat 561 m
dpl.
4. Peternakan 4, yaitu peternakan Bapak Aan dengan ketinggian tempat 673 m
dpl.
5. Peternakan 5, yaitu Balai Malaganti dengan ketinggian 727 m dpl.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan. Penelitian dimulai dari bulan
November 2010 sampai Desember 2010.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan adalah kambing perah Peranakan Etawah (PE)
sebanyak 100 ekor betina yang sedang laktasi, dengan umur sekitar 18-40 bulan.
Sampel ternak diambil sebanyak 20 ekor pada setiap peternakan yang mewakili
ketinggian tempat yang berbeda. Kambing-kambing tersebut dikelompokan ke dalam
empat perlakuan sesuai ketinggian tempat pemeliharaan yang berbeda yaitu: pada
ketinggian 0-200 m dpl, 200-400 m dpl, 400-600 m dpl dan 600-800 m dpl.
Peralatan
Alat yang digunakan dalam pengambilan data wilayah ialah termometer bola
basah-bola kering untuk mengukur suhu dan kelembaban udara dalam kandang pada
saat pengamatan. Global posiition system (GPS) digunakan untuk mengukur
ketinggian tempat pemeliharaan (kandang) pada kelima peternakan. Alat tulis
15
digunakan untuk mencatat data-data yang didapat selama pengamatan. Alat yang
digunakan dalam pencatatan konsumsi pakan dan bobot badan berupa timbangan
gantung dengan kapasitas 10 kg dan kapasitas 100 kg dan karung. Alat yang
digunakan untuk pencatatan produksi ialah gelas ukur, milk can, kain lap dan ember.
Alat yang digunakan untuk mengetahui kualitas susu ialah milkotester. Kantong
plastik ukuran 250 ml digunakan untuk mengambil sampel susu dan kantong plastik
ukuran satu kg untuk mengambil sampel pakan yang berupa hijauan segar.
Pakan
Pakan yang diberikan pada kelima peternakan tersebut berupa hijauan rumput
lapang dan dedaunan yang diperoleh dari sekitar kawasan kandang. Pakan tambahan
berupa ampas tahu juga diberikan namun tidak rutin karena tidak selalu tersedia.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati selama penelitian meliputi suhu udara, kelembaban
udara, konsumsi bahan kering (BK) dan jumlah produksi susu per ekor per hari pada
masing-masing tempat pemeliharaan.
Prosedur
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer didapat secara langsung di lapangan yang baik diperoleh dari
wawancara langsung dengan pemilik ternak, dan dengan melakukan pengamatan
secara langsung di lapangan. Data sekunder didapat dari literatur-literatur yang
didapat dari peternakan maupun yang didapat dari buku-buku referensi tentang
peternakan serta data dari hasil penelitian orang lain. Data sekunder digunakan
sebagai bahan acuan maupun bahan pembanding dengan data yang didapat dari
lapangan.
Data diperoleh dari wawancara serta pengamatan di lapangan yang diukur
meliputi pencatatan data wilayah setempat (pengukuran ketinggian tempat, suhu
lingkungan dan kelembaban udara), konsumsi pakan (BK), dan produksi susu selama
penelitian. Perincian dalam memperoleh data lapangan disajikan pada uraian berikut
ini.
16
Pencatatan Data Wilayah Setempat
Pencatatan data wilayah dilakukan bersamaan dengan survey lokasi
penelitian. Data yang dicatat meliputi keadaan kandang, ketinggian tempat, suhu
udara dan kelembaban udara sekitar kandang.
a)
Ketinggian
tempat
diukur
dengan
menggunakan
GPS
dengan
cara
menghidupkan GPS di tempat terbuka pada saat cuaca cerah agar sinyal dari
satelit dapat diterima. Secara otomatis GPS akan memberikan informasi
ketinggian tempat tersebut.
b) Suhu lingkungan kandang diukur dengan menggunakan termometer bola basahbola kering, dengan cara meletakkan termometer di dalam kandang selama lima
menit. Setelah lima menit, dilakukan pengukuran kembali pada lima menit
berikutnya, sampai tiga kali pengukuran pada setiap waktu pengambilan data.
Pengulangan pengukuran ini dilakukan sebanyak empat kali dengan selang
waktu enam jam pada pagi, siang, sore hari dan malam hari. Hasil yang didapat
dari pencatatan suhu kandang diambil rataannya untuk dijadikan suhu rata-rata
kandang. Rumus untuk menghitung suhu rata-rata udara (T), sebagai berikut:
T = (Tmaks + Tmin)/2
Keterangan:
c)
T
= suhu rata-rata
Tmaks
= suhu bola kering
Tmin
= suhu bola basah
Kelembaban diukur dengan menggunakan termometer bola basah-bola kering.
Cara yang dilakukan sama dengan cara pencatatan suhu pada kandang, yaitu
meletakkan termometer di dalam kandang pada pagi, siang, sore, dan malam
hari. Hasil pengukuran dengan menggunakan termometer dikonversi ke
kelembaban dengan menggunakan tabel konversi suhu ke kelembaban. Hasil
yang didapat dari pencatatan kelembaban udara diambil rataannya untuk
dijadikan kelembaban rata-rata kandang.
Pengukuran Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan hijauan diukur dengan menggunakan timbangan gantung
dengan kapasitas 10 kg. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan dengan mengurangi
pakan yang diberikan dengan pakan sisa yang tidak termakan. Konsumsi pakan
17
dihitung berdasarkan bobot badan kambing. Bobot badan kambing diukur dengan
menggunakan timbangan 100 kg dari masing-masing peternakan.
Komposisi pakan yang diamati terdiri atas BK dari pakan yang diberikan
pada kambing perah di kelima peternakan tersebut. Untuk mengetahui komposisi zat
makanan pada ransum yang diberikan, maka diambil sampel kemudian diuji dengan
menggunakan uji laboratorium. Komposisi pakan hijauan berupa rumput lapang
disajikan dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Rumput Lapang
Jenis Pakan
Komposisi (%)
BK
Abu
Protein
Lemak
SK
TDN
Ca
P
Rumput Lapang*
23,5
14,3
8,82
1,46
32,5
42,8
0,4
0,25
Rumput Lapang**
35,4
9,7
6,7
1,8
34,2
47,6
-
-
Rumput Lapang***
24.0
-
8.0
-
32
56
0,37 0,23
Keterangan Sumber: * Sofyan et al. (2000), ** Siregar (1990), *** Sutardi (1981)
Pencatatan Produksi Susu
Pencatatan produksi susu dilakukan setiap kali kegiatan pemerahan
dilakukan. Pemerahan dilakukan satu kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari.
Pencatatan produksi susu dilakukan setelah pemerahan setiap kambing selesai
dilakukan, yaitu pada saat memindahkan susu dari gelas ukur ke milk can.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan
model sebagai berikut:
Yij = μ + Kj + Pi + εij
Yij
= nilai pengamatan
μ
= nilai tengah umum
Kj
= pengaruh kelompok ke k
Pi
= pengaruh taraf perlakuan ke-i
εij
= pengaruh galat dari perlakuan ke i pada kelompok ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan peubah yang diamati ialah suhu dan
kelembaban, produksi susu dan konsumsi pakan. Kemudian diuji lanjut dengan
menggunakan uji Tukey jika terbukti berbeda.
18
Kriteria yang digunakan :
H0 diterima : tidak ditemukan pengaruh perlakuan
H1 ditolak : ditemukan pengaruh perlakuan
Uji Tukey digunakan untuk mengetahui perbedaan rataan produksi susu
antara peternakan kambing PE pada ketinggian tempat yang berbeda.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Setiap peternakan memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi sejarah
pendirian dan tujuan dari pendirian peternakan serta topografi dan letak koordinat.
Perincian dari keadaan umum masing-masing peternakan disajikan pada uraian
berikut ini.
Peternakan Sri Murni
Penelitian dilakukan pada satu peternakan rakyat yang tersebar di Dusun
Bojongsari yang kemudian bergabung menjadi sebuah koperasi ”Sri Murni”.
Koperasi Sri Murni terletak di Blok Pasirranji, Dusun Bojong sari, Desa Bojong
Kantong, Kecamatan Langen, Kabupaten Banjar Sari dipimpin oleh bapak Yaya.
Peternakan ini terletak pada koordinat 07o22’12,1” BT dan 108o36’21,9” LS pada
ketinggian 29 m dpl. Suhu udara maksimum 27,90 oC dan minimum 26,13 oC
sehingga diperoleh kelembaban relatif rata-rata 87,63%.
Tujuan kelompok tani Sri Murni adalah menyatukan persepsi para anggota
dalam peran aktif membangun pertanian melalui:
1. Membangun kerjasama antara anggota kelompok
2. Mempermudah pembinaan para anggota kelompok
3. Tempat penerapan teknologi pertanian/peternakan
4. Wadah musyawarah para anggota kelompok dalam menyelesaikan permasalahan
5. Sarana usaha tani yang lebih terkordinir
Sasaran yang ingin dicapai dari pembentukan kelompok adalah:
1. Peningkatan pendapatan anggota kelompok
2. Menambahkan/menciptakan lapangan kerja
Koperasi Sri Murni dibentuk pada tanggal 27 Mei 1997, dan dikukuhkan
pada tanggal 27 Maret 2006 yang dipimpin oleh Bapak Karjo dengan 31 orang
anggota. Koperasi ini bergerak pada usaha pokok agribisnis kambing PE, sapi potong
serta ayam Buras. Selain itu, koperasi ini bergerak di usaha lain yaitu jasa traktor,
pembesaran ikan gurame dan sarana produksi pertanian.
Sampai saat ini, koperasi Sri Murni memiliki aset berupa ternak sebanyak
362 ekor, yang terdiri atas kambing PE sebanyak 195 ekor, sapi potong sebanyak 17
20
ekor dan ayam sebanyak 150 ekor. Jika dihitung rata-rata kepemilikan ternak
kambing PE, maka setiap anggota kelompok memiliki ternak sebanyak 6 ekor.
Peternakan Bapak Yepe
Peternakan Bapak Yepe terletak di Kampung Cisumur, Desa Karsa Menak,
Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Peternakan ini terletak pada koordinat
07o21’54,5” BT dan 108o13’14,0” LS pada ketinggian 367 m dpl. Suhu udara
maksimum 25,98 oC dan minimum 23,81 oC, sehingga diperoleh kelembaban relatif
rata-rata 84,13%.
Peternakan Surya Medal
Peternakan Bapak Zam-zam (Surya Medal) terletak di Kampung Cibiru, Desa
Sariwangi, Kecamatan Sariwangi. Letak peternakan ini pada koordinat 07o19’11,6”
BT dan 108o04’19,2” LS pada ketinggian 561 m dpl. Suhu udara maksimum 23,79
o
C dan minimum 22,41 oC, sehingga diperoleh kelembaban relatif rata-rata 89,00%.
Kecamatan Sariwangi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Tasikmalaya yang sudah lama melaksanakan kegiatan pemeliharaan ternak kambing,
khususnya kambing PE. Perkembangan kambing di kecamatan ini dari waktu ke
waktu sangat pesat, sehingga banyak peternak yang beralih dari memelihara domba
ke memelihara kambing PE.
Salah satu sentra peternakan kambing PE berada di Blok Cibiru, Kampung
Leuwi Peusing, Desa Sariwangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya. Di
tempat ini telah berdiri kelompok tani peternak kambing PE, yaitu ”Surya Medal”.
Kelompok tani peternak kambing PE Surya Medal, merupakan kelompok peternak
yang melakukan kegiatan usaha pengadaan bibit dan sebagai produsen/penghasil
susu kambing perah.
Kelompok peternak kambing PE Surya Medal didirikan pada tahun 2004
bermula dari lima orang peternak yang pada perjalanannya sampai akhir tahun 2008
memiliki 222 ekor kambing PE dengan kandang berjumlah 22 unit. Populasi jantan
dewasa sebanyak 26 ekor, dan betina sebanyak 122 ekor, anak jantan sebanyak 24
ekor dan anak betina sebanyak 60 ekor. Kelompok memiliki lahan seluas 0,5 hektar
dan ditanami rumput gajah sebagai penyedia pakan hijauan bagi ternak. Produksi
susu rata-rata per hari mencapai 32,4 liter. Pemasaran susu bersifat lokal, dimana
21
pembeli datang langsung ke lokasi kelompok. Susu kambing yang tidak terjual
dikonsumsi oleh anggota kelompok.
Peternakan Bapak Aan
Peternakan Bapak Aan terletak di Kampung Malaganti, Desa Sukaharja,
Kecamatan Sariwangi. Letak peternakan ini pada koordinat 07o18’17,0” BT dan
108o03’13,4” LS dengan ketinggian 673 m dpl. Suhu udara maksimum 22,96 oC dan
minimum 20,88 oC, sehingga diperoleh kelembaban relatif rata-rata 82,75%.
Peternakan Malaganti
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Perbibitan Ternak Kambing PE
Malaganti terletak di Kampung Malaganti, Desa Sukaharja, Kecamatan Sariwangi.
Peternakan ini terletak pada koordinat 07o17’54,5” BT dan 108o03’08,2” LS dengan
ketinggian 727 m dpl. Suhu udara maksimum 23,2 oC dan minimum 20,58 oC,
sehingga diperoleh kelembaban relatif rata-rata 80,50%.
Pemerintah
Kabupaten
Tasikmalaya
mempunyai
perhatian
untuk
meningkatkan penyediaan ternak bibit yang berkualitas, sehingga dibentuk UPTD
perbibitan ternak yang telah memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sapi Potong di
Tawang Pancatengah dan UPT Kambing PE di Malaganti, Sariwangi. Kedua UPT
tersebut menyediakan bibit sapi potong dan kambing PE berkualitas bagi masyarakat.
Pembentukan UPT didasarkan pada peraturan daerah Kabupaten Tasikmalaya
nomor 15 tahun 2008 tentang organisasi dinas daerah Kabupaten Tasikmalaya.
UPTD
Perbibitan
kambing
PE
dibangun
pada
tahun
2005
dan
mulai
dioperasionalkan pada tahun 2006 yang berlokasi di Kampung Malaganti, Desa
Sukaharja, Kecamatan Sariwangi. Perbibitan kambing PE mempunyai lahan seluas
3.600 m2. UPT memiliki fasilitas satu unit gedung kantor, empat unit kandang ternak
berkapasitas 50 ekor, satu unit gedung serbaguna, satu hektar kebun rumput pada
tanah milik negara, satu unit motor dengan bak terbuka (torbak) pengangkut rumput,
dan satu unit mesin pengolahan kompos.
Populasi induk kambing tercatat 83 ekor. Kambing PE menghasilkan rata-rata
50 ekor anak dan 10 ton pupuk organik serta 800 liter susu per bulan.
Pendirian UPTD ini antara lain bertujuan untuk, 1) menyediakan fasilitas
pembibitan ternak sapi potong dan kambing PE, 2) menyediakan fasilitas tempat
pelatihan, 3) magang dan percontohan bagi peternak serta untuk peningkatan
22
sumberdaya manusia peternak khusunya peternak sapi potong dan kambing PE, 4)
meningkatkan mutu ternak sapi potong dan kambing PE melalui sistem perkawinan
terarah, 5) meningkatkan pendapatan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melalui
penjualan bakalan sapi dan kambing PE, 6) penyebaran ternak kepada peternak
melalui pola kemitraan dan bagi hasil, serta 7) penjualan susu dan pupuk kompos.
Tatalaksana Pemeliharaan
Tatalaksana pemeliharaan pada umumnya masih dilakukan secara tradisional
yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua peternak. Hal
tersebut dapat diamati dari kegiatan yang dilakukan oleh para peternak yang
mencakup sistem perkandangan, pemberian pakan, perkawinan, pemerahan, serta
sanitasi kandang.
Kandang
Kandang yang digunakan pada kelima peternakan merupakan kandang
panggung dengan bahan utama berupa kayu dan bambu. Atap yang digunakan
berupa atap genteng yang terbuat dari tanah liat. Tempat pakan pada peternakan 1, 2,
3, dan 4, berhadap-hadapan (head to head), sedangkan pada peternakan 5 saling
membelakangi (tail to tail). Lantai kandang pada peternakan 1, 2, 3 dan 4 terbuat dari
bambu yang diberi celah agar kotorannya jatuh ke kolong kandang. Lantai kandang
pada peternakan 5 menggunakan kayu yang diberi celah untuk kotoran. Pada
peternakan 2, kondisi lantai kandang yang terbuat dari bambu sudah mulai rusak
yang mengakibatkan ternak sering terperosok, sehingga dapat membahayakan
keselamatan ternak.
Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan berupa pakan hijauan yang diperoleh dari hasil
mengarit (cut and curry). Pada peternakan 1 dan 4, pakan diberikan secara rutin yaitu
dua kali dalam sehari, pada pagi dan sore hari. Peternakan 2, 3, dan 5 memberikan
pakan satu kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari. Waktu pemberian pakan pada
peternakan 2, 3, dan 5 tidak menentu, yaitu antara pukul 08.00 WIB sampai pukul
11.00 WIB. Keterlambatan pemberian pakan disebabkan oleh lokasi dalam mencari
rumput yang cukup jauh dan persaingan para peternak dalam mencari rumput yang
cukup banyak yang mengakibatkan perolehan rumput berkurang.
23
Pemerahan
Setiap peternakan umumnya melakukan pemerahan sekali dalam sehari, yang
dilakukan pada pagi hari. Pada peternakan 1 dan 4, sebelum pemerahan dilakukan
pembersihan ambing dengan menggunakan air hangat, sedangkan pada peternakan 2,
3, dan 5 pembersihan ambing dilakukan dengan air biasa. Pada peternakan 1 dan 4
pemerahan dilakukan pada orang yang sama, sedangkan pada peternakan 2, 3, dan 5
pemerahan dilakukan bergantian. Kepemilikan ternak oleh beberapa orang pada
peternakan 2, 3, dan 5 menyebabkan pemerahan dilakukan secara bergantian.
Pemerahan yang dilakukan pada kelima peternakan untuk mendapatkan
produksi yang maksimal tidak sesuai dengan pendapat Atabany (2002) yang
meyatakan jumlah pemerahan setiap hari berpengaruh terhadap produksi susu.
Pemerahan dua kali sehari produksi susu meningkat 40 % daripada pemerahan satu
kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5%-20 % daripada dua kali dan pemerahan
empat kali lebih tinggi 5%-10% daripada pemerahan tiga kali.
Perkawinan
Perkawinan yang dilakukan merupakan perkawinan secara alami, yaitu
mengawinkan kambing jantan dengan kambing betina secara langsung. Setiap
peternak melakukan perkawinan dengan cara memasukkan pejantan ke dalam
kandang betina yang sedang berahi. Perkawinan dilakukan selama 2-3 hari setelah
ternak menunjukkan berahi. Pada peternakan 2, 3, dan 5, banyak ternak yang
terlewat dalam melakukan perkawinan disebabkan kurangnya pengontrolan birahi.
Pada peternakan 2, keterlambatan perkawinan disebabkan oleh faktor internal
kepengurusan. Faktor-faktor tersebut meningkatkan panjang waktu selang beranak
pada ternak.
Sanitasi
Sanitasi kandang meliputi pembersihan tempat pakan, tempat minum, dan
kotoran ternak. Pada peternakan 1, 3, dan 4, tempat pakan selalu dibersihkan dari
sisa-sisa pakan, sedangkan pada peternakan 2 dan 5 jarang dilakukan pembersihan.
Kotoran ternak tidak terdapat di lantai kandang karena kandang yang digunakan
merupakan kandang panggung. Umumnya kotoran ternak yang terdapat di kolong
kandang dibersihkan 2-3 bulan sekali atau ketika ada petani yang akan membelinya.
24
Tatalaksana
pemeliharaan
pada
masing-masing
peternakan
seperti
perkandangan, pemberian pakan, pemerahan, perkawinan, dan sanitasi tidak sama.
Peternakan 1 dan 4 lebih baik dibanding dengan peternakan 2, 3, dan 5 dalam
tatalaksana pemeliharaan.
Ketinggian Tempat
Pengukuran ketinggian tempat pada kelima peternakan menggunakan alat
GPS dengan tingkat akurasi sekitar 3 m. Hasil pengukuran ketinggian menunjukkan
peternakan 1 terletak pada ketinggian 29 m dpl (meter di atas permukaan laut).
Peternakan 2 terletak pada ketinggian 367 m dpl. Peternakan 3 terletak pada
ketinggian 561 m dpl. Peternakan 4 terletak pada ketinggian 673 m dpl. Peternakan 5
terletak pada ketinggian 727 m dpl. Tabel 3 menunjukkan bahwa kelima peternakan
tersebut berada pada daerah dataran rendah dan dataran sedang. Siregar (l982)
memberikan batasan bahwa daerah dataran rendah memiliki ketinggian antara 0-250
m dpl dan daerah dataran sedang berkisar antara 250-750 m dpl.
Data ketinggian tempat, suhu udara, kelembaban udara, konsumsi pakan dan
produksi susu pada kelima peternakan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota
Banjar disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ketinggian Tempat, Suhu, Kelembaban, Konsumsi Pakan dan Produksi
Susu pada Kelima Peternakan
Ketinggian
Tempat
Dry
Wet
Udara
Kelembaban
(%)
1
29 m dpl
27,90
26,13
27,01±2,49
87,63±7,33
Konsumsi
Pakan
Segar
(kg)
8,0±0,33
2
367 m dpl
25,98
23,81
24,90±3,63
84,13±14,68
7,0±0,21
521,3±222,8
3
561 m dpl
23,79
22,41
23,08±2,80
89,00±7,98
7,5±0,38
828,7±148,6
4
673 m dpl
22,96
20,88
21,92±3,26
82,75±6,74
8,0±0,23
1852,3±788,1
5
727 m dpl
23,02
20,58
21,81±2,31
80,50±4,31
7,5±0,23
570,39±170,7
Peternakan
Suhu (oC)
Rataan
Produksi/ekor/
hari (ml)
1071,1±428,1
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Suhu Udara
Pengukuran suhu pada lima peternakan dilakukan dengan menggunakan
termometer bola basah-bola kering yang ditempatkan di dalam kandang. Tujuan
menggunakan termometer bola basah-bola kering adalah untuk mengetahui suhu
maksimum dan minimum di dalam kandang. Selama pengambilan data suhu
kandang, didapatkan suhu udara yang berbeda-beda pada masing-masing peternakan.
25
Peternakan 1 pada ketinggian 29 m dpl, menunjukkan suhu maksimum 27,90 oC dan
suhu minimum 26,13 oC dengan suhu udara 27,01 oC. Peternakan 2 pada ketinggian
tempat 367 m dpl, menunjukkan rata-rata suhu maksimum 25,98 oC dan suhu
minimum 23,81 oC dengan suhu udara 24,92 oC. Peternakan 3 dengan ketinggian
tempat 561 m dpl, menunjukkan rata-rata suhu maksimum 23,79 oC dan suhu
minimum 22,41 oC, dengan suhu udara 23,08 oC. Peternakan 4 dengan ketinggian
tempat 673 m dpl, menunjukkan rata-rata suhu maksimum 22,96 oC dan suhu
minimum 20,88 oC dengan suhu udara 21,92 oC. Peternakan 5 dengan ketinggian
tempat 727 m dpl, menunjukkan rata-rata suhu maksimum 23,02 oC dan suhu
minimum 20,58 oC dengan suhu udara 21,80 oC.
Ketinggian tempat yang diamati berkisar antara 0 sampai 800 m dpl. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap keadaan suhu
udara pada tempat yang berbeda. Pengaruh ketinggian tempat terhadap suhu udara
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Suhu Udara
Suhu Rataan
(oC)
27,01±2,49a
Suhu*(oC)
Suhu**(oC)
Peternakan 1
Ketinggian
(m dpl)
29
27,01
27,01
Peternakan 2
367
24,90±3,63ab
24,81
25,13
Peternakan 3
561
23,08±2,80ab
23,66
23,84
Peternakan 4
673
21,92±3,26ab
22,35
22,46
Peternakan 5
727
21,81±2,31b
21,57
21,62
Lokasi
Sumber : * Handoko (1995), ** Payne (1970)
Ketinggian tempat di lima peternakan memberikan pengaruh yang sangat
nyata (P<0,01) terhadap suhu di dalam kandang. Suhu udara dipengaruhi faktor
ketinggian, letak garis lintang dari suatu daerah, jarak daerah dengan lautan dan
populasi vegetasi yang terdapat di daerah tersebut. Menurut Kartasapoetra (2006),
faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi antara lain, 1) jumlah
radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim 2) pengaruh daratan atau
lautan, 3) pengaruh angin secara tidak langsung, 4) pengaruh panas laten, yaitu panas
yang disimpan dalam atmosfer, 5) penutup tanah, yaitu tanah yang ditutup vegetasi
26
yang mempunyai temperature lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi, dan 6) tipe
tanah, tanah gelap memiliki indeks suhu lebih tinggi.
Suhu udara peternakan 5 lebih rendah dari peternakan 1 akibat pengaruh
ketinggian tempat. Peternakan 1 mempunyai ketinggian tempat paling rendah dan
suhu udara paling tinggi. Peternakan 5 pada lokasi yang paling tinggi memiliki suhu
udara paling rendah. Suhu udara peternakan 2, 3, dan 4 tidak berbeda dengan
peternakan 1 atau peternakan 5. Payne (1970) menyatakan bahwa suhu udara harian
rata-rata akan menurun 1,7 oC untuk setiap perubahan ketinggian tempat sebesar 305
m dpl. Handoko (1995) menyatakan berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata tingkat
penurunan tersebut adalah 0,65 0C setiap kenaikan ketinggian 100 m.
Suhu kelima peternakan, jika dibandingkan dengan suhu menurut Handoko
(1995) dan Payne (1970), memiliki selisih yang tidak begitu signifikan. Suhu dalam
kandang kelima peternakan dengan suhu menurut Handoko (1995) memiliki selisih
antara 0,11 oC sampai 0,58 oC. Selisih antara suhu dalam kandang di kelima
peternakan dengan suhu udara menurut Payne (1970) berkisar antara 0,18 oC sampai
0,76 oC.
Lokasi peternakan 3, 4 dan 5 berada di kaki gunung Galunggung dan
berhutan lebat, peternakan 2 berada di kota Tasikmalaya (pemukiman), sedangkan
peternakan 1 berada di Kabupaten Banjar. Vegetasi tanaman, posisi daerah terhadap
lautan dan daratan, letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi suhu udara
pada lingkungan sekitar. Peternakan 1 dan 5 mempunyai perbedaan suhu sangat jelas
akibat letak geografis yang berbeda. Peternakan 1 merupakan dataran rendah yang
lokasinya lebih dekat dengan lautan, sedangkan peternakan 5 merupakan dataran
tinggi yang lokasinya terletak di kaki gunung Galunggung. Handoko (1995)
berpendapat suhu suatu tempat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di permukaan
Bumi. Daerah yang masih bervegetasi lebat, memiliki suhu cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan daerah terbuka.
Tabel 4 menunjukkan bahwa ketinggian tempat yang semakin tinggi,
memiliki suhu udara semakin rendah. Kandungan unsur-unsur udara akan semakin
berkurang dengan semakin tinggi tempat, sehingga menyebabkan semakin rendahnya
suhu udara. Udara merupakan penyimpan panas yang buruk, sedangkan permukaan
bumi merupakan konduktor yang baik, sehingga suhu udara sangat dipengaruhi oleh
27
permukaan bumi. Oleh karena itu, proses pemindahan panas lebih efektif pada
permukaan bumi dibandingkan untuk pemanasan udara. Hal ini sesuai dengan
pendapat Handoko (1995) yang menyatakan bahwa semakin tinggi letak suatu
tempat, semakin rendah suhu udaranya. Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata
tingkat penurunan tersebut adalah 0,65 0C untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m.
Payne (1970) menyatakan bahwa suhu udara harian rata-rata akan menurun 1,7 oC
untuk setiap perubahan ketinggian tempat sebesar 305 m dpl.
Suhu kandang pada kelima peternakan memiliki perbedaan sesuai dengan
ketinggian tempatnya. Pada ketinggian antara 0 sampai 800 m dpl, kisaran suhu di
lima peternakan kambing PE berkisar antara 21,8-27,1 oC. Salah satu faktor dalam
menentukan tingkat kenyamanan ternak ialah suhu udara di sekitar kandang. Suhu
udara yang terlalu panas atau terlalu dingin akan mengakibatkan ternak mudah stres,
sehingga dapat mempengaruhi keadaan fisiologis ternak. Kisaran suhu udara pada
kelima peternakan ternyata tidak sesuai dengan pendapat Mc Dowel et al. (1970)
yang menyatakan bahwa zona optimum suhu udara untuk sapi, kerbau, kambing dan
domba sekitar 13-18 0C.
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Kelembaban Udara
Daerah tropika basah seperti Indonesia memiliki kelembaban rata-rata harian
atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun dan umumnya kelembaban lebih dari 60%.
Kelembaban udara didapat dari hasil konversi suhu bola basah-bola kering dengan
menggunakan tabel konversi yang tersedia pada termometer. Selisih dari suhu bola
basah dengan bola kering dicocokkan dengan tabel konversi suhu ke kelembaban.
Hasil yang didapat menunjukkan nilai kelembaban di dalam kandang pada kelima
peternakan. Pengaruh ketinggian tempat terhadap kelembaban udara dapat dilihat
pada Tabel 5.
28
Tabel 5. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Kelembaban Udara
Peternakan 1
Ketinggian
(m dpl)
29
Rataan Kelembaban
(%)
87,63±7,33
Peternakan 2
367
84,13±14,68
Peternakan 3
561
89,00±7,98
Peternakan 4
673
82,75±6,74
Peternakan 5
727
80,50±4,31
Lokasi
Data yang didapat menunjukkan bahwa peternakan 1 memiliki kelembaban
udara rata-rata 87,63%; peternakan 2 memiliki kelembaban udara rata-rata 84,13%;
peternakan 3 memiliki kelembaban udara rata-rata 89,00%; peternakan 4 memiliki
kelembaban udara rata-rata 82,75%; sedangkan peternakan 5 memiliki kelembaban
udara rata-rata 80,50%. Selain suhu udara, kelembaban udara merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kenyamanan ternak. Udara yang terlalu kering ataupun
terlalu basah dapat mempengaruhi keadaan fisiologis ternak dan ternak
membutuhkan kelembaban yang ideal. Menurut Handoko (1995), kelembaban udara
menggambarkan kandungan uap air di udara yang dinyatakan sebagai kelembaban
mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air. Mc Dowel et al.
(1970) menyatakan zona optimum kelembaban untuk sapi, kerbau, kambing dan
domba berkisar 60%-70%.
Ketinggian tempat di lima peternakan secara keseluruhan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kelembaban udara di dalam kandang,
sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Ketinggian tempat tidak mempengaruhi
kelembaban udara, karena kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh uap air yang
terkandung pada udara. Semakin besar uap air di udara, maka kelembaban udara
akan semakin besar pula. Hal tersebut dapat dipengaruhi dari waktu pada saat
melakukan pengambilan data lapangan yang dilakukan pada bulan Nopember sampai
bulan Desember. Pada bulan tersebut, di daerah yang beriklim tropis sedang
mengalami musim penghujan yang menyebabkan kandungan uap air di udara
meningkat. Bayong (2004) menyatakan iklim tidak hanya mempengaruhi tanaman,
tetapi dipengaruhi juga oleh tanaman. Hutan yang lebat dapat menambah
29
kelembaban udara melalui transpirasi. Kelembaban berhubungan dengan suhu, curah
hujan dan angin.
Kelembaban udara tidak berkaitan dengan ketinggian, akan tetapi berkaitan
dengan uap air yang terkandung di udara dan suhu udara. Menurut Siregar (1982),
kelembaban udara harian rata-rata antara dua lokasi dengan ketinggian tempat yang
berbeda (137 m dpl dan 925 m dpl) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Konsumsi Pakan
Kondisi alam Indonesia yang sangat beragam dengan keadaan lingkungan
berbeda dari wilayah satu dengan yang lainnya. Perbedaan lingkungan dapat dilihat
dari topografinya, mulai dari garis pantai sampai jajaran pegunungan di Indonesia.
Keadaan tersebut mempengaruhi jenis dan kondisi ternak yang dipelihara di setiap
daerah, serta ketersediaan pakan dan kualitas pakan yang terdapat pada daerah
tertentu. Bayong (2004) beranggapan bahwa kecocokan pembiakan ternak terhadap
iklim bergantung pada mutu atau kualitas gizi padang rumput dan jumlah pakan yang
tersedia secara alami atau yang dapat ditanam dalam kondisi iklim tersebut.
Konsumsi pakan dihitung berdasarkan bobot badan ternak. Bobot badan
kambing yang diukur dengan timbangan 100 kg dari kelima peternakan ditampilkan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Bobot Badan Kambing dari Kelima Peternakan
Peternakan 1
Ketinggian
(m dpl)
29
Rataan Bobot Badan
(kg)
37,7
Peternakan 2
367
32,1
Peternakan 3
561
45,7
Peternakan 4
673
60,6
Peternakan 5
727
36,6
Lokasi
Hasil penngukuran menunjukkan bahwa bobot badan kambing pada setiap
peternakan sangat beragam. Tabel 6 menunjukkan bobot badan kambing berkisar
32,1-60,6 kg pada kelima peternakan. Bobot tertinggi dimiliki peternakan 4 dan
diikuti peternakan 3, 1, 5 dan 2.
30
Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap kali peternak akan memberikan
pakan dalam satu hari. Konsumsi dihitung dengan mengurangi pakan yang diberikan
dengan pakan sisa yang tidak termakan. Konsumsi pakan hijauan pada kelima
peternakan berupa rumput lapang karena lahan yang dimiliki setiap peternak sangat
terbatas dan tidak memungkinkan ditanami rumput untuk pakan. Jumlah konsumsi
pakan berdasarkan bahan kering oleh ternak ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsumsi Pakan Berdasarkan Bahan Kering Setiap Peternakan
No
Lokasi
Konsumsi
Pakan Segar
(kg)
1
Peternakan 1
8,0±0,33a
Rataan
Bobot
Badan
(kg)
37,7
2
Peternakan 2
7,0±0,21b
32,1
23,5
1,65
5,13
3
Peternakan 3
7,5±0,38ab
45,7
23,5
1,76
3,86
Peternakan 4
a
60,6
23,5
1,88
3,10
5 Peternakan 5 7,5±0,23ab
Sumber: * Sofyan et al. (2000)
36,6
23,5
1,76
4,82
4
8,0±0,23
BK
Rumput
Lapang
(%)*
23,5
Konsumsi
BK/ekor/h
(kg)
Konsumsi
BK/BB
(%)
1,88
4,99
Para peternak memberikan pakan dengan mengandalkan pengalamannya.
Hasil penimbangan pakan yang diberikan oleh peternak bervariasi di setiap
peternakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi berkisar antara 7-8 kg hijauan/ekor/hari,
tergantung dari ketersediaan pakan di sekitar peternakan. Sudono dan Abulgani
(2002) menyatakan bahwa ransum yang dimakan oleh kambing tergantung dari
ukuran tubuh, bangsa kambing, umur, serta jenis kelaminnya. Hijauan pakan ternak
untuk kambing dewasa tanpa diberi konsentrat berkisar antara 5-8 kg per ekor per
hari. Menurut Atabany (2002), hijauan segar yang dikonsumsi induk laktasi
merupakan 10% dari berat hidup, sedangkan konsentrat 2% dari berat badan. Total
pakan segar yang dapat dikonsumsi induk laktasi kambing perah sebanyak 8-10 kg
per ekor per hari.
Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsumsi pakan dari kelima peternakan
secara keseluruhan didapatkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Tabel 7
menunjukkan konsumsi pakan pada peternakan 1 tidak berbeda dengan peternakan 3,
4 dan 5. Konsumsi pakan peternakan 2 tidak berbeda dengan peternakan 3 dan 5.
Perbedaan konsumsi pakan pada kelima peternakan dapat dipengaruhi dari
31
ketersediaan pakan hijauan yang terdapat disekitar lokasi. Peternakan 1 terdapat di
Banjar, di sekitar peternakan masih banyak lahan-lahan kosong yang ditumbuhi
rumput sehingga ketersediaan pakan dapat tercukupi. Peternakan 2 berada di kota
Tasikmalaya sehingga lahan untuk rumput berkurang akibat dari semakin banyaknya
pemukiman penduduk. Hal tersebut yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan
pakan yang menyebabkan konsumsi pakan sedikit. Peternakan 3, 4 dan 5 terdapat di
kaki gunung Galunggung yang lahannya banyak digunakan sebagai lahan pertanian
sehingga para peternak banyak memberi hijauan berupa rumput yang dicampur
dengan tanaman leguminosa seperti daun petai cina dan daun kaliandra.
Konsumsi bahan kering peternakan 1 dan 4 tertinggi yaitu 1,88 kg, diikuti
peternakan 3 dan 5 yaitu 1,76 kg. Konsumsi terendah pada peternakan 2 yaitu 1,65
kg. Tabel 7 menunjukkan konsumsi rata-rata bahan kering masing-masing
peternakan berkisar antara 3,10%-5,13% dari bobot badan. Persentase konsumsi
bahan kering berbeda dengan konsumsi bahan kering dalam satuan kilogram. Hal ini
disebabkan perbedaan bobot badan antara peternakan yang cukup besar, yaitu dengan
kisaran 32,1 kg sampai 60,6 kg. Selisih bobot badan yang mencapai 28,5 kg,
menyebabkan persentase konsumsi bahan kering kambing berbeda dari setiap
peternakan. Persentase konsumsi bahan kering pada peternakan 1, 3, 4, dan 5 kurang
dari 5%. Hal ini tidak sesuai dengan Blakely dan Bade (1992) yang menyatakan
kambing dapat mengkonsumsi bahan kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran
tubuhnya yaitu 5%-7% dari berat badan.
Konsumsi bahan kering pada kambing yang hidup di daerah tropis dalam
kisaran 3,10%-5,13% masih sesuai dengan kebutuhan pakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup pokok dan produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Atabany
(2002) yang menyatakan bahwa kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan
kambing perah) di daerah tropis yang diberi makan sekenyangnya mempunyai
konsumsi bahan kering harian dalam kisaran 1,8%-4,7% dari berat badan. Kambing
perah mengkonsumsi bahan kering sebanyak 5%-7% dari berat badan, akan tetapi
kambing perah daerah sejuk yang hidup di daerah tropis mempunyai kisaran
konsumsi bahan kering 2,8%-4,9% dari berat badan.
32
Kons. BK (%)
6
5
4
3
2
1
0
5,13
4,99
4,82
3,86
3,10
32.1
36.6
37.7
Bobot Badan (Kg)
45.7
60.6
Gambar 1. Persentase Konsumsi Bahan Kering Berdasarkan Bobot Badan
Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin besar bobot badan ternak, maka
persentase konsumsi bahan kering semakin kecil. Dengan demikian, konsumsi bahan
kering dipengaruhi oleh bobot badan ternak. Hal ini sependapat dengan Sudono dan
Abulgani (2002) yang menyatakan bahwa ransum yang dimakan oleh kambing
tergantung dari ukuran tubuh, bangsa kambing, umur, serta jenis kelaminnya.
Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Produksi Susu
Produksi yang diamati adalah produksi susu dari kelima peternakan tersebut.
Sampel yang diambil berjumlah 20 ekor kambing perah yang sedang laktasi dari
setiap peternakan. Pengambilan sampel produksi tersebut dilakukan selama satu
bulan. Produksi yang didapat kemudian dijumlahkan dan ditentukan rataan produksi
per ekor, kemudian dipelajari pengaruh antara produksi susu dengan ketinggian
tempat, suhu udara, dan kelembaban udara. Pengaruh ketinggian tempat terhadap
produksi susu disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Produksi Susu
Peternakan 1
Ketinggian
(m dpl)
29
Produksi/ekor
(ml)
1.071,1±428,1b
Peternakan 2
367
521,3±222,8c
Peternakan 3
561
828,7±148,6bc
Peternakan 4
673
1.852,3±788,1a
Peternakan 5
727
570,4±170,7c
Lokasi
33
Data produksi diambil selama satu bulan pemerahan. Rataan produksi susu
peternakan 1 sebesar 1071,13±428,1 ml per ekor per hari. Rataan produksi susu
peternakan 2 sebesar 521,29±222,8 ml per ekor per hari. Rataan produksi susu
peternakan 3 sebesar 828,71±148,6 ml per ekor per hari. Rataan produksi susu
peternakan 4 sebesar 1852,34±788,1 ml per ekor per hari. Rataan produksi susu
peternakan 5 sebesar 570,39±170,7 ml per ekor per hari.
Produksi susu kambing PE pada kelima peternakan berkisar antara 521,29 ml
sampai 1852,34 ml per ekor per hari. Sesuai dengan pendapat Sudono dan Abulgani
(2002) yang menyatakan bahwa produksi susu kambing PE cukup rendah, yaitu
berkisar antara 0,5-0,9 l per ekor per hari. Atabany (2002) menyatakan produksi susu
kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari. Sutama (1994) menyatakan bahwa
produksi susu kambing PE berkisar dari 1,5-3,5 l per ekor per hari.
Tabel 8 memperlihatkan produksi susu nyata dipengaruhi ketinggian tempat
dari kelima peternakan (P<0,01). Peternakan 4 mempunyai produksi susu lebih tinggi
diikuti oleh peternakan 1 dan 3 dengan produksi rata-rata 1.852,3±788,1 ml;
1.071,1±428,1 ml; dan 828,7±148,6 ml. Ketinggian tempat peternakan 5 tidak
berbeda terhadap produksi susu peternakan 2 dan 3. Produksi susu peternakan 1 tidak
berbeda dengan peternakan 3. Produksi susu yang tidak seragam di tempat penelitian
dapat dibedakan dari beberapa faktor pendukung, diantaranya lokasi yang berbeda
dari letak topografinya yang berdampak pada perbedaan suhu dan kelembaban
udaranya. Siregar (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan atau bentuk produktivitas
ternak merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan dimaksud adalah penggunaan makanan dan ketinggian tempat
yang berhubungan erat dengan unsur-unsur iklim.
Perbedaan produksi susu terjadi akibat dari perbedan pemeliharaan yang
dilakukan oleh kelima peternakan. Produksi susu masing-masing peternakan berbeda
akibat tatalaksana pemeliharaan berbeda yang dilakukan masing-masing peternakan.
Tatalaksana pemeliharaan pada kelima peternakan disajikan pada Tabel 9.
34
Tabel 9. Tatalaksana Pemeliharaan pada Kelima Peternakan
Peternakan
1
2
3
4
5
Produksi Susu
(ml)
baik
rusak
baik
baik
baik
1.071,1±428,1
teratur
teratur
teratur
teratur
teratur
521,3±222,8
baik
baik
baik
baik
baik
828,7±148,6
baik
sangat baik
baik
1.852,3±788,1
teratur
teratur
jarang
570,4±170,7
Tatalaksana
Perkandangan
Pemberian
pakan
Pemerahan
Perkawinan
Sanitasi
sangat baik kurang baik
teratur
jarang
Tabel 9 menunjukkan bahwa tatalaksana pemeliharaan yang dilakukan pada
peternakan 4 dan 1 lebih baik dibandingkan peternakan 2, 3 dan 5. Tatalaksana
pemeliharaan yang baik menghasilkan produksi susu yang tinggi dibandingkan
dengan tatalaksana pemeliharaan yang kurang teratur. Semakin baik pemeliharaan
menyebabkan semakin nyaman ternak yang dipelihara sehingga peluang ternak
mengalami stres semakin kecil. Stres dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh
yang berdampak pada menurun atau berhentinya produksi susu. Dengan demikian,
tatalaksana pemeliharan merupakan salah satu faktor penting dalam menghasilkan
produksi susu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Phalepi (2004) bahwa produksi
susu dipengaruhi mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup,
lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan pada ternak (perkandangan, pakan,
kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak dan aktivitas pemerahan.
35
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Konsumsi pakan kambing PE dipengaruhi oleh bobot badan dan ketinggian
tempat pemeliharaan. Ketinggian tempat dari permukaan laut secara langsung
mempengaruhi suhu dan kelembaban udara. Ketinggian tempat mempengaruhi
produksi susu kambing PE. Produksi susu pada kelima peternakan yang terdapat di
Kabupaten Tasikmalaya dan Banjar lebih dipengaruhi oleh tatalaksana pemeliharaan
dibanding ketinggian tempat.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ketinggian tempat
terhadap produksi susu dengan memperhatikan keseragaman pakan yang diberikan
dan tatalaksana pemeliharaan yang dilakukan.
36
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Penampilan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)
Berdasarkan Ketinggian Tempat Pemeliharaan”. Skripsi disusun sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan (S.Pt) pada Program Alih Jenis,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi
bantuan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya ini ingin penulis sampaikan
kepada :
1.
Ir. Afton Atabany M.Si, dan Dr. Ir. Bagus P. Purwanto M,Agr.Sc, sebagai dosen
pembimbing utama dan pembimbing anggota. Atas bimbingan secara langsung
maupun tidak langsung mulai dari konsultasi, penentuan judul hingga
terselesaikannya skripsi ini. Berbagai masukan berupa saran, kritik, motivasi dan
pengarahan kepada penulis dalam menjalankan usaha peternakan.
2.
Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi M.Si dan Ir. Rini H. Mulyono M.si, sebagai dosen
penguji yang banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi serta
motivasi untuk terus berkarya dalam bidang peternakan.
3.
Dr. Rudi Afnan S.Pt, M.Agr.Sc, sebagai dosen panitia dalam pelaksanaan sidang
yang banyak memberikan masukkan dalam penulisan skripsi.
4.
Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si, selaku dosen pembimbing akademis, yang telah
memberikan pengarahan, saran dan nasehat kepada penulis.
5.
Ayahanda Alih Jeran dan Ibunda Aisah atas kasih sayang dan cintanya yang
tidak pernah bisa tergantikan, serta seluruh keluarga besar yang telah
memberikan dukungan moril, materil serta motivasinya sehingga penulis bisa
menyelesaikan seluruh rangkaian perkuliahan di Program Alih Jenis,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
6.
Seluruh staf dan pengajar di Program Alih Jenis, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
37
7.
Seluruh peternak kambing PE di sekitar Tasikmalaya (Bapak Aan, Zam-zam,
dan kang Yepe serta Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Tasikmalaya), Banjar (Bapak Yaya dan Mas Maftuhin), dan Bandung (Kang
Herry), yang merelakan ternaknya untuk dijadikan bahan penelitian dan berbagi
ilmu serta pengalaman dengan penulis.
8.
Yudhi Krismanto beserta keluarga bahagia Bapak Nanang D. yang selalu
memberikan dukungan kepada penulis dalam bentuk materiil maupun moriil
selama melaksanakan perkuliahan.
9.
Kang Acep Gorbacep, yang banyak membantu dalam mencari lokasi penelitian.
10. Rikawati Kurnia Latifah S.E, yang menjadi inspirasi selama penulis menjalani
perkuliahan sampai terselesaikannya skripsi ini, baik dalam bentuk motivasi
maupun doa.
11. Para sahabat di Kelompok Pemerhati Lingkungan Angsana Diploma IPB, yang
banyak berbagi pengalaman di alam bebas.
12. Teman-teman di Program Alih Jenis Peternakan, atas suka dukanya dalam
menjalani berbagi ilmu pengetahuan di bidang peternakan.
13. Teman-teman satu atap di kontrakan sederhana (Agus T.N., Ridwansyah, Tantan
R., dan Igor S), yang selalu memberi keceriaan dalam keseharian. Kang Ahdi
Muhtadin atas bantuannya dalam pembuatan peta lokasi penelitian. Para sahabat
karib (Sungkara G., Indra F., Ayu Zahara., Agustina R, Ayi A., dan M. Rizki)
atas dukungan untuk menyelesaikan perkuliahan.
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya
bagi penulis, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
38
DAFTAR PUSTAKA
Admin, R. 2007. Tujuh plasma nutfah kambing lokal Indonesia. Sinar Tani.
http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/k1070405.pdf.[18juli2010]
Atabany, A. 2002. Strategi pemberian pakan induk kambing perah sedang laktasi
dari sudut neraca energi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. http/www.tumoutou.net.html. [14 juli 2010].
Atabany, A. 2001. Studi kasus produksi kambing Peranakan Etawah dan kambing
Saanen pada Peternakan Kambing Perah Barokah dan PT. Taurus Dairy
Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 2008. (SNI) nomor 01-3141-1998. 1998.
Standar susu Segar. http://www.disnak.jabarprov.go.id/ data/arsip/ Standar%
20Susu% 20Segar.pdf. [11 Juni 2010].
Banarjee, G. C. 1982. A Textbook of Animal Husbandry. 5th Ed. Oxford and IBM
Publishing Co, New Delhi.
Bayong, T. H. K. 2004. Klimatologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Blakely, J. & D. H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Clark, S. 2001. Comparing milk human, cow, goat and commercial infarm formula.
http/www.milkcompare.htm.[22 juli 2010].
Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis.Terjemahan:
IDK. H. Putra. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya, Jakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta.
Hastono. 2003. Kinerja produksi kambing perah Peranakan Etawah. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 91-94.
Kartasapoetra, A.G. 2006. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan
Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.
Leeson, S. 1986. Nutritional considerations of poultry during heat stress. Poult. Sci.
42 : 69-81.
Markel, R. C. & Subandryo. 1997. Sheep and Goat Production Handbook for
Southeasht Asia. Third Edition. CV. Ekha Putra, Bogor.
Mc Dowell R. E., R. G. Jones, H. C. Pant, A. Roy, E. J. Siegenthalern, & J. R.
Staufer. 1970. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.
H. Freeman and Co, San Fransisco: San Fransisco. Hal: 101-127.
Moeljanto, R. D & B. T. W. Wirjantan. 2002. Sehat dengan Ramuan Tradisional
Khasiat dan Manfaat Susu Kambing Susu Terbaik dari Hewan Ruminansia.
PT. Agro Media Pustaka, Depok.
Payne, W. J. A. 1970. Cattle Production in The Tropics. Longman Group Ltd.,
London. 336 p.
39
Phalepi, M. A. 2004. Performa kambing Peranakan Etawah (studi kasus di peternak
Pusat Pelatihan Pertanian dan Swadaya Pedesaan Citarasa). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahaju, Suliantari, & C. C. Nurwitri. 1992. Bahan
Pengajaran: Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi
Produksi Ternak. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Siregar, S. B. 1982. Pengaruh ketinggian tempat terhadap penggunaan makanan,
status faali dan pertumbuhan kambing dan domba lokal. Tesis Fakultas
Peternakan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Siregar, S. B. 1990. Sapi Perah. Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Sodiq, A. & M. Y. Sumaryadi. 2002. Reproductive performance of Kacang and
Peranakan Etawah Goat in Indonesian. J. Animal Production 4 (2) : 52-59.
Sofyan, L.A., L. Aboenawan., E.B. Laconi., A. Djamil, H., N. Ramli., M. Ridla., &
A.D Lubis. 2000. Diktat Pengetahuan Bahan Makanan Ternak (PBMT).
Laboratoriumoratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subandryo & A. Anggraeni. 1997. Pendekatan konservasi in-situ aktif sumber daya
genetik ternak ruminansia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, Bogor 7-8 Januari 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor. Hal 186-202.
Sudono, A & I. K. Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat. Jurusan
Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutama, I. K. 1994. Puberty and early reproductive performance of peranakan
Etawah Goat. Proc. 5th AAAP Anim. Sci. Congr, Bali.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Peta Lokasi Peternakan
42
42
Lampiran 2. Tabel Konversi Suhu ke Kelembaban
Dry Bulb
(oC)
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24,5
24
23,5
23
22,5
22
21.5
21
20,5
20
19,5
19
18,5
18
17,5
17
16,5
16
0
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
0.5
97
97
97
97
97
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
96
95
95
95
95
95
95
95
1
93
93
93
93
93
93
93
93
92
92
92
92
92
92
92
92
92
91
91
91
91
91
91
91
91
90
90
90
90
Depression of the Well Bulb (oC)
1.5
2
2.5
3
3.5
4
90 87 84 81 78 75
90 87 84 81 78 75
90 87 83 80 77 74
90 86 83 80 77 74
90 86 83 80 77 73
89 86 83 79 76 73
89 86 82 79 76 72
89 86 82 79 75 72
89 85 82 78 75 71
88 85 81 78 74 71
88 84 81 77 74 70
88 84 81 77 74 70
88 84 80 77 73 69
88 84 80 77 73 69
88 84 80 76 72 69
87 84 79 76 72 68
87 83 79 76 72 68
87 83 79 76 71 67
87 83 79 75 71 67
87 83 79 75 71 67
87 83 78 74 70 66
87 82 78 74 70 66
86 82 78 74 70 65
86 82 77 74 69 65
86 82 77 73 69 65
86 82 77 72 68 64
86 81 77 72 68 64
86 81 77 72 68 63
85 81 76 71 67 62
4.5
72
72
71
71
70
70
69
69
68
67
67
66
66
65
65
64
64
63
63
62
62
61
61
60
60
59
59
59
58
5
70
69
69
68
67
67
66
65
65
64
63
63
62
62
62
61
61
60
60
59
59
58
58
57
56
56
55
55
54
5.5
67
66
66
65
64
64
63
62
62
61
60
60
59
59
58
58
57
57
56
56
55
55
54
53
52
52
51
51
50
43
Lampiran 3. Suhu dan Kelembaban Udara pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan
Suhu (celsius)
87,63
27,02
29
Kelembaban (%)
89,00
84,13
24,90
23,10
82,75
21,92
80,50
21,80
367
561
ketinggian (mdpl)
673
727
Lampiran 4. Produksi Susu pada Ketinggian Tempat Pemeliharaan
ketinggian (mdpl)
Produksi (ml)
1852,34
1071,13
828,71
521,29
367
561
673
570,39
727
29
1
Peternakan
2
3
4
5
44
Download