23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP DEMOKRASI

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP DEMOKRASI, HAK ASASI
MANUSIA, DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Konsep Demokrasi
Demokrasi bukan merupakan istilah asing bagi semua orang. Hampir
semua negara di dunia dewasa ini menamakan dirinya sebagai negara demokrasi.
Hal ini menunjukkan bahwa gagasan demokrasi saat ini semakin mendunia dan
diakui sebagai bentuk pemerintahan yang lebih bagus dibandingkan dengan
sejumlah bentuk pemerintahan yang lain. Sebab terdapat sejumlah faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan demokrasi disuatu negara, seperti ideologi, latar
belakang sejarah, kondisi sosial budaya, tingkat kemajuan ekonomi, dan
sebagainya.36 Menurut Hans Kelsen, ide demokrasi berawal dari keinginan
manusia untuk menikmati kebebasan (free will). Kebebasan yang mungkin
didapat dalam masyarakat, dan khususnya di setiap negara, tidak bisa berarti
kebebasan dari setiap ikatan, tetapi hanya bisa berupa kebebasan dari satu macam
ikatan tertentu.37 Apa yang disampaikan Hans Kelsen tersebut tidak terlepas dari
sejarah perjalanan dari demokrasi itu sendiri.
Perjalanan demokrasi melalui proses yang cukup panjang. Pada
perkembangan awal mengenai demokrasi hadir sebagai pemberontakan untuk
menggulingkan kekejaman dari penguasa. Oleh karena itu, rakyat menciptakan
suatu bentuk pemerintahan yang langsung diawasi oleh rakyat. Konsep demokrasi
36
Budi Juliardi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 82.
37
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001,
hlm 77.
23
lahir di Yunani Kuno dan dipraktikan dalam hidup bernegara antara abad IV
sebelum masehi hingga abad VI masehi. Demokrasi yang dipraktikan pada saat itu
adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik
dijalankan oleh seluruh rakyat atau warga negara, yang pada saat itu berjumlah
kurang lebih 300.000 orang.38
Pada zaman Yunani Kuno inilah istilah demokrasi tersebut muncul, istilah
demokrasi mempunyai konotasi yang sangat buruk. Demokrasi (“demos” +
“cratos” atau “demos” + “kratien”, dibayangkan orang sebagai pemerintah oleh
semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang
(autocracy).39 Demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau
“government or rule by the people”. Dalam bahasa Yunani demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.40 Artinya, kekuasaan itu pada
pokoknya diakui berasal dari rakyat sehingga rakyatlah yang sebenarnya
menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan
kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu juga pada
dasarnya diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan, negara yang baik
diidealkan juga agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti
dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Sedangkan
menurut tafsir R.Kranenburg di dalam bukunya “Inleiding in de vergelijkende
38
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 2002, hlm 54.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet2, Sinar Grafika
Offset, Jakarta, 2011, hlm 116.
40
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hlm. 241.
39
24
staatsrechtwetenschap”, perkataan demokrasi yang terbentuk dari dua kata pokok
kata Yunani di atas, maknanya adalah cara memerintah oleh rakyat.41
Setelah itu, pada abad ke XVIII timbul suatu sistem demokrasi baru yang
memberikan kemungkinan untuk dapat dilaksanakan dalam negara-negara besar
serta berkembang ke arah peradaban modern, karena dalam sistem demokrasi ini
tidaklah semua orang warga negara diikut-sertakan secara langsung dalam
pemerintahan, melainkan mereka itu memilih wakil-wakil mereka di antara
mereka itu sendiri, yang kemudian duduk dalam badan-badan perwakilan. Inilah
sebabnya, maka sistem demokrasi ini disebut demokrasi tidak langsung atau
disebut juga demokrasi perwakilan.42 Demokrasi baik langsung maupun tidak
langsung, bersendi pada rakyat yang memerintah dirinya sendiri, sehingga antara
yang memerintah dan yang diperintah bersifat identik yaitu sama-sama rakyat.43
Dalam sejarah teori demokratis, terletak suatu konflik yang sangat tajam
mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat dimana
warga negara dapat terlibat dalam pemerintahan sendiri atau suatu bantuan bagi
pembuatan keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah
melalui pemberian suara secara periodik).44 Konflik inti telah memunculkan tiga
jenis atau model pokok demokrasi. Pertama, demokrasi langsung atau demokrasi
partisipasi, suatu sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah
41
Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, 1987,
hlm 6 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2005, hlm 12
42
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2008, hlm. 201-210
43
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006,hlm.129
44
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm 6.
25
publik dimana warga negara terlibat secara langsung. Ini adalah tipe demokrasi
“asli” yang terdapat di Athena kuno, di antara tempat-tempat yang lain. Kedua,
ada demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, suatu sistem pemerintahan yang
mencakup “pejabat-pejabat” terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili”
kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari para warganegara
dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi “aturan
hukum”. Ketiga, demokrasi yang didasarkan atas model satu partai. 45
Schumpeter mengemukakan apa yang ia namakan “teori lain mengenai
demokrasi.” “Metode demokratis”, katanya,” adalah prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka
memperoleh suara rakyat.”46 Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini
mendefinisikan sistem politik abad ke 20 sebagai demokratis sejauh para pembuat
keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan
umum yang adil, jujur, dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara
bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa
berhak memberikan suara. Dengan demikian menurut definisi ini, demokrasi
mengandung dua dimensi “kontes dan partisipasi”, yang menurut Robert Dahl
merupakan hal yang menentukan bagi demokrasi atau poliarki. Demokrasi juga
mengimpilikasikan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan untuk
45
David Held, Demokrasi…,ibid.
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, edisi ke 2, New York
Harer, 1947, hlm 269 dalam Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti,
Jakarta, 1995, hlm 5.
46
26
berbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi
perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu.47
Dewasa ini, terdapat beberapa macam istilah demokrasi. Ada yang
dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi soviet,
demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi
yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the
people”.
48
Demokrasi yang banyak dipraktikan sekarang ini adalah demokrasi
konstitusional dimana ciri khasnya adalah pemerintahan yang terbatas
kekuasaannya oleh konstitusi (UUD) dan tidak dibenarkan bertindak sewenangwenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah ini tercantum dalam konstitusi.49
Dalam sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia yang telah lebih
dari setengah abad, perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Masalah
pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana upaya untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik yang
demokratis dalam masyarakat yang beragam. Pasang surut demokrasi di Indonesia
pada hakikatnya dapat dibagi dalam lima periode. Pertama, Periode 1945-1949
dengan sistem demokrasi Pancasila. Kedua, Periode 1949-1959 dengan sistem
demokrasi parlementer. Ketiga, Periode 1959-1965 dengan sistem demokrasi
Terpimpin. Keempat, Periode 1965-1998 dengan sistem demokrasi Pancasila
(Orde Baru). Kelima, Periode 1998-sekarang dengan sistem demokrasi Pancasila
(Orde Reformasi)
47
Samuel P. Huntington, Gelombang…,ibid, hlm 6.
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar…,op.cit. hlm 50.
49
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar…,ibid. hlm 52.
48
27
Periodisasi demokrasi di Indonesia dapat dilihat sejalan dengan
perkembangan Undang-Undang Dasar. Pada awal kemerdekaan Indonesia, UUD
1945 telah menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat. Hal
ini dapat diketahui dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sehingga puncak kedaulatan rakyat berujung
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada kondisi demikian, seolah-olah
rakyat sebagai pemilik kedaulatan telah menyerahkan sepenuhnya kepada MPR
untuk
bertindak
sebagai
penyelenggara
tertinggi
dari
negara.
Sistem
ketatanegaraan menempatkan MPR sebagai puncak kekuasaan negara, yang
menyebabkan kekuasaan MPR tidak dapat dikontrol oleh lembaga apapun, bahkan
tidak jarang UUD diingkari, sehingga terkesan kekuasaan MPR di atas UUD
1945.50
Namun, akibat amandemen UUD 1945 kedua pada 18 Agustus 2002, MPR
tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang penuh
kedaulatan rakyat. Rumusan kedaulatan rakyat dalam prinsip di negara Indonesia
berubah menjadi kedaulatan tetap berada ditangan rakyat, namun dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.51 Rumusan demikian lebih mencerminkan dari
hak yang sebenarnya tentang kekuasaan tertinggi. Perumusan demikian, lebih
50
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm 188.
51
Jimmly Asshddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1994, hlm 27-28
28
realistik, dalam artian menampung prinsip ketatanegaraan sekaligus, yaitu,
kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan parlemen.52
Pemahaman mengenai kerakyatan (demokrasi) tidak dapat dipisahkan dari
paham konsep negara hukum. Hal ini dikarenakan hukum yang mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang
dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. 53 Oleh karena itu, apabila kita
mengkaji mengenai negara hukum, maka terdapat hubungan yang erat dengan
demokrasi. Sebagaimana negara hukum formal yaitu negara hukum yang
mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk
hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara hukum formal ini
disebut pula dengan negara demokratis yang berlandaskan negara hukum. 54
Selanjutnya F.J. Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsurunsur utamanya sebagai berikut:55
a.
b.
c.
d.
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi;
penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan);
Pemerintahan didasarkan pada undang-undang;
adanya peradilan administrasi.
Dari keempat unsur utama negara hukum formal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi hakhak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah
dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya mengedepankan aspek
52
Jimmly Asshddiqie, Gagasan Kedaulatan…,ibid.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…,op.cit. hlm 249.
54
Ni’matul Huda, Negara Hukum…,op.cit. hlm 6.
55
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Indhill Co.Jakarta, 1989, hlm 30
dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid.
53
29
formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan individu terlindungi secara
formal.
Lebih lanjut B. mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa
nilai, yakni:56
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara damai melembaga
(institutionalized peaceful settlement of conflict)
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society).
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession
of rulers)
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion)
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman Mengakui
serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam
masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan
serta tingkah laku.
6. Menjamin tegaknya keadilan.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa
lembaga sebagai berikut:57
1. Pemerintahan yang bertanggungjawab
2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan
pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurangkurangnya dua calon untuk setiap kursi.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan.
Di satu sisi asas-asas demokratis yang melandasi rechtstaat, menurut S.W.
Couwenberg meliputi 5 asas, yaitu:58
1. Asas hak-hak politik
2. Asas mayoritas
3. Asas perwakilan
56
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford Univercity Press, New
York, 1960, hlm 70 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 13.
57
Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 14.
58
Philiphus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm 72 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 15.
30
4. Asas pertanggungjawaban
5. Asas publik
Ilmuwan lain seperti Ulf Sundhaussen menyebutkan tiga syarat demokrasi
untuk suatu sistem politik, yaitu: jaminan atas hak seluruh warganegara untuk
dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan bebas;
semua warga negara menikmati kebebasan berorganisasi, memperoleh informasi,
dan beragama; serta dijaminnya hak yang sama di depan hukum.59
Terhadap pemaparan baik unsur, nilai, maupun asas demokrasi pada
hakikatnya mencerminkan tataran ideal, seperti adanya hak dari warga negara
yang lebih diakomodir, pemilihan pemimpin secara berkala, fungsi pemerintah
yang
dibatasi
secara
bertanggungjawab,
transparansi
dan
akuntabilitas
pmerintahan, desentralisasi dan otonomi daerah, serta media yang independen.60
Akan tetapi memang pada realita pelaksanaan seringkali tidak sesuai dengan
tataran idealita. Hal ini juga disampaikan oleh Mahfud MD, dimana beliau
menyatakan bahwa asas demokrasi hampir semua disepati sebagai modal terbaik
bagi dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi ternyata memberikan implikasi
yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.61 Sehingga
tidak dapat kita pungkiri banyak negara yang mengatasnamakan negara demokrasi
tetapi pada sejatinya masih dalam sistem otoritarian.
Sebuah negara dapat dikatakan menganut sistem pemerintahan demokratis
jika
sudah
menerapkan
kriteria-kriteria
pemerintahan
yang
demokratis.
Ulf Sundhoussen,”Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan
Politik,” dalam Prisma, No.2 Tahun XXI, 1992, hlm 64 dalam R.Siti Zuhro, dkk Demokrasi
Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta,
2009, hlm 19.
60
R.Siti Zuhro, dkk, Demokrasi Lokal…,ibid. hlm 23.
61
Mahfud MD,Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,Rineka Cipta,Jakarta,2000,hlm 19.
59
31
Pemerintahan demokratis menurut International Conference Of Jurists, Bangkok,
tahun 1965 adalah:62
1. Supremacy of Law (hukum di atas segala hal)
2. Equality before the law (Persamaan di hadapan hukum)
3. Constitutional guarantee of Human Rights (jaminan konstitusional
terhadap HAM)
4. Impartial Tribune (Peradilan yang tidak memihak)
5. Civic education (pendidikan kewarganegaraan)
Pembicaraan mengenai demokrasi juga tidak terlepas dari sistem
pemerintahan di suatu negara. Hal ini dikarenakan demokrasi adalah sesuatu yang
penting bagi institusi-institusinya atau dalam hal ini pemerintah. Sebagai contoh
dipilih oleh masyarakat melaui pemilihan umum yang bebas, yang secara jelas
membedakannya dari bentuk masyarakat lainnya.63 Prinsip atau daya hidup
pemerintahan demokrasi menurut Montesquieu adalah berupa kebaikan politik
yang diwujudkan dengan cinta tanah air, cinta akan kesetaraan, patriotisme yang
penuh pengorbanan diri. Sederhananya, terdapat perpaduan antara kepentingan
pribadi dan umum.64
Untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatoris dan sejalan dengan
keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, penegakan demokrasi
harus didukung dengan pilar-pilar demokrasi tersebut adalah pemerintah yang
bertanggungjawab, Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan
umum yang bebas untuk menyatakan pendapat, sistem peradilan yang bebas,
menjamin hak asasi manusia, dan mempertahankan keadilan.65 Di dalam
62
Budi Juliardi, Pendidikan…,op.cit.., hlm 90.
Richard M.Ketchum, Demokrasi:Sebuah Pengantar,Niagara,Yogyakarta,2004, hlm 19.
64
Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik,
Nusamedia, Bandung, 2007, hlm 48.
65
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, op.cit., hlm 245.
63
32
demokarsi terdapat ide persamaan, dimana pandangan bahwa derajat kebebasan
dalam masyarakat sebanding dengan jumlah individu yang merdeka mengandung
arti bahwa semua individu mempunyai nilai politik yang sama dan bahwa setiap
orang mempunyai tuntutan yang sama atas kebebasan, dan itu berarti bahwa
tuntutan yang sama agar kehendak kolektif selaras dengan kehendak pribadinya.66
Sehingga bentuk-bentuk nyata demokrasi modern yang diterapkan di Indonesia
dapat dilihat dengan wujud pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih presiden
dan lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah, serta pemimpin
daerah dalam hal ini adalah kepala daerah.
Penerapan konsep demokrasi ini tidak dapat dijalankan dengan berjalan di
tempat. Penerapan konsep ini diperlukan pengkajian yang berkesinambungan
sehingga mencapai demokrasi yang dipandang ideal bagi suatu negara. Pada
hakikatnya, pemerintahan atau sistem politik demokratis tidak datang, tumbuh,
dan berkembang dengan sendirinya. Demokrasi bukanlah taken for granted
(warisan), demokrasi membutuhkan usaha nyata dari setiap warga maupun
penyelenggara negara untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga mendukung
pemerintahan atau sistem politik demokrasi. Perilaku demokrasi yang terkait
dengan nilai-nilai demokrasi akan membentuk kultur demokrasi.
Perwujudan demokrasi sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum di
bidang hak-hak asasi manusia. Demokrasi bukan semata-mata bertumpu pada
kehendak rakyat yang bebas, akan tetapi tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip
hukum bernegara. Oleh karena itu, pemenuhan hak asasi manusia menjadi bagian
66
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul
Muttaqiem, Nusamedia, Bandung, 2006, hlm 406.
33
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan, pemerintahan
yang demokratis adalah pemerintahan yang memberikan jaminan hak asasi
manusia terhadap warga negara.
B. Hak Asasi Manusia
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, mengenai hakikat dari
hak asasi manusia yaitu hak alami yang dimiliki seseorang karena tidak lain
sebagai manusia. Perjalanan mengenai hak asasi manusia di dunia mengalami
pasang surut gelombang politik kekuasaan yang pada akhirnya sampai di
Indonesia. Di Indonesia, kepedulian mengenai hak asasi manusia, dalam kurun
waktu perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, baru muncul dipermukaan
dan menjadi isu paling populer semenjak gelombang reformasi pada tahun 1998
yang membuka katup-katup demokratisasi di bidang kehidupan ketatanegaraan.67
Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan tinjauan mengenai demokrasi.
Bagi Lyman Tower Sargent,68 demokrasi membuka kunci keterlibatan warga
negara dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan di antara warga
negara, kesederajatan kebebasan, dan kemerdekaan yang diberikan atau
dipertahankan warga negara, sistem perwakilan, dan sistem pemilu. Sehingga
sistem politik demokratis pulalah yang memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.69 Adanya
kesederajatan manusia juga dipahami oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa hak
67
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2009, hlm 383.
68
Lyman Tower Sargent, Contemporary political Ideologies (Homewood, III: The
Dorsey Press, 1981, hlm 30-31 dalam Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia,
Erlangga, Yogyakarta, 2014, hlm 14.
69
Suparman Marzuki, Politik Hukum…,ibid.
34
asasi manusia tersebut merupakan “universal” tidak tergantung apapun warna
kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau kepercayaan.70
Diskursus demokrasi di Indonesia sebenarnya telah melewati sejarah yang
panjang. Usaha untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dapat dilihat dari
rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni
orde lama dan orde baru. Pada era Soekarno dikenalkan model Demokrasi
Terpimpin, sedangkan pada era Soeharto dimunculkan Demokrasi Pancasila.
Namun, alih-alih terbentuk suatu pemerintahan demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim tersebut malah memunculkan pemerintahan
otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.71
Perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, mempertegas dua hal
kerangka hukum dasar demokrasi sekaligus, yaitu demokrasi prosedural berupa
ditetapkannya prosedur dan mekanisme penentuan puncak jabatan politik
eksekutif baik nasional maupun daerah melalui pemilu langsung oleh rakyat.
Perubahan ini menempatkan warga negara sebagai subjek hukum yang memiliki
makna dan nilai politik serta hukum sekaligus dalam penentuan jabatan-jabatan
politik.
Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum, menunjukkan bahwa negara
selalu dikonotasikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk
memaksakan kehendak kepada warga negaranya. Pemaksaan kehendak ini tentu
dapat diperkenankan sepanjang langkah tersebut tidak menindas harkat dan
70
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak-Hak Asasi Manusia:Konsep Dasar dan
Pengertiannya yang pada Masa-Masa Awal Perkembangannya” dalam Eko Riyadi, Bahan Ajar
Mata Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia, FH UII, Yogyakarta, 2011, hlm 1.
71
Suparman Marzuki, Politik Hukum…,op.cit.., hlm 24.
35
martabat kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Lord Acton
mengenai perlunya pembatasan kekuasaaan, apabila kekuasaan tidak dapat
dibatasi maka kekuasaan akan cenderung disalahgunakan (power tends to
corrupt).72 Oleh sebab itu, agar keabsahan untuk melakukan pemaksaan kehendak
tersebut dapat dilakukan tanpa melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, maka
harus ada seperangkat rambu-rambu yang diperuntukkan untuk melindungi hak
asasi manusia bagi warga negaranya.
Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan agar
tidak diterapkan secara sewenang-wenang, dan adanya pemaksaan tersebut tidak
dilakukan tanpa batas.73 Dengan demikian, pengaturan mengenai hak asasi
manusia akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam suatu
konstitusi negara. Bahkan salah satu ciri negara hukum adalah adanya jaminan
hak asasi manusia, di samping pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan
peradilan yang bebas.
Ketentuan yang mengingatkan Indonesia sebagai negara hukum adalah
sesuai amanat konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Konsekuensi dari
amanat undang-undang tersebut dimana negara Indonesia menjadi negara yang
tunduk pada hukum yang berlaku. Yang selanjutnya dijelaskan kembali mengenai
negara hukum tersebut oleh Sri Soemantri, mempunyai unsur-unsur yang
terkandung dalam kosnep negara hukum, yaitu:74
72
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar…,op.cit.., hlm 107.
Dahlan Thaib (et.al),Teori dan Hukum Konstitusi,Rajawali Press,Jakarta, 2011, hlm 15.
74
Galang Asmara, 2005, OMBUDSMAN Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia, LaksBang Press Indo, Yogyakarta, hlm 34 dalam Mustofa Lutfi, Hukum
Sengketa Pemilukada di Indonesia, FH UII, Yogyakarta, 2010, hlm 57.
73
36
a. adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
b. adanya pembagian kekuasaan;
c. bahwa dalam melakukan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu
berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis;
d. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Oleh karena itu, terdapat korelasi yang cukup erat antara negara hukum
dan pengaturan mengenai hak asasi manusia di dalam ketatanegaraan di
Indonesia. Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa pengaturan ham
menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam UUD? Hal ini dapat dijawab dengan
mengingat
negara
sebagai
organisasi
kekuasaan
cenderung
untuk
menyalahgunakan kekuasaan. Oleh sebab itu untuk memberikan jaminan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka dalam setiap konstitusi akan
selalu memuat ketentuan mengenai hal ini. Konsekuensi yang terjadi adalah hak
asasi manusia diletakkan sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan
maka perdebatan mengenai hak asasi manusia tersebut terjadi cukup panjang
diantara founding fathers.
Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, perdebatan mengenai hak
asasi manusia telah berlangsung pada saat founding fathers merumuskan UndangUndang Dasar di dalam sidangnya. Dalam buku “Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi”, Sri Soemantri menyampaikan ilustrasi perdebatan sebagai berikut.
Moh Hatta dan Moh Yamin berpendapat bahwa hak tersebut perlu dirumuskan
dalam konstitusi untuk menjamin warga negara terhadap tindakan sewenangwenang dari pihak penguasa. Di lain pihak, Soekarno dan Soepomo beranggapan
bahwa hak-hak tersebut bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa seperti
37
yang telah disepakati, yang kemudian tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945,
yang dalam hal ini disebut sebagai aliran pikiran kekeluargaan atau falsafah
kekeluargaan.75 Soepomo mengemukakan konsep negara integralistik dalam
hubungan negara dan masyarakat. Pada pokoknya sebagai berikut:
“Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan,
segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan
merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting
dalam negara yang berdasarkan aliran pikiran integral ialah penghidupan
bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak satu golongan yang paling kuat,
akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup seluruhnya sebagai
persatuan yang tak dapat dipisahkan.”76
Melihat perdebatan para founding fathers dalam naskah persiapan
Undang-Undang Dasar 1945 memang terdapat perbedaan pandangan yang sangat
prinsipil satu sama lain. Oleh karena itu sebagai jalan tengah, dimasukkannya
ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945. Sesungguhnya
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 banyak menyebutkan tentang hak-hak
asasi. Sejak alinea pertama sampai dengan alinea terakhir memuat hak-hak asasi.
Alinea pertama, pada hakikatnya adalah merupakan pengakuan akan adanya
kebebasan untuk merdeka (freedom to be free). Pengakuan akan perikemanusiaan
adalah inti sari dari hak-hak asasi manusia. Dalam alinea kedua, disebutkan
Indonesia sebagai negara yang adil. Kata sifat adil jelas menunjukkan kepada
salah satu tujuan dari negara hukum untuk mencapai atau mendekati keadilan.
Dari alinea ketiga, dapat ditarik kesimpulan bahwa rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya supaya terjelma kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Hal ini
adalah salah satu dari pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang
75
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1986,
hlm 51 dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara…,op.cit..,hlm 396.
76
Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu…,op.cit..,hlm 97.
38
mengandung persamaan dalam bentuk politik. Sedangkan alinea keempat,
menunjukkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam segala
bidang yaitu politik hukum, sosial, kulturil, dan ekonomi.77
Pada perkembangan awal, perdebatan tersebut berakhir dengan suatu
kompromi, yakni dicantumkannya “Hak Warga Negara” (rights of the citizens)
bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights) dalam Undang-Undang Dasar 1945.78
Selanjutnya pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 diatur
pada bagian batang tubuh, akan tetapi tidak dicantumkan terlalu banyak, hal ini
karena didasarkan banyak perbedaan pendapat dari para penyusunnya.79
Pengaturan tersebut hanya terdiri dari 7 pasal, yaitu pasal-pasal yang langsung
berbicara mengenai hak-hak asasi. Ketujuh pasal tersebut adalah Pasal 27 tentang
persamaan dalam hukum dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28
tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran secara lisan
dan tulisan, Pasal 29 tentang kemerdekaan untuk memeluk agama, Pasal 31
tentang untuk mendapat pengajaran, Pasal 32 perlidungan yang bersifat
kebudayaan, Pasal 33 mengenai hak ekonomi, dan Pasal 34 mengenai
kesejahteraan sosial.80 Meskipun pengaturan mengenai hak asasi manusia pada
tahun-tahun setelahnya tidak mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Hal ini dikarenakan pemerintah pada era Soeharto lebih terfokus pada dalih trilogi
77
Moh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata
Negara, Yogyakarta, 1983, hlm 324.
78
Eko Riyadi, Bahan Ajar…,op.cit..,hlm 16.
79
Ismail Suny, Konstitusi Indonesia dan Hak-Hak Asasi Manusia, ceramah untuk Panitia
Ad Hoc IV MPRS dalam Moh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata..,loc.cit.
80
Lihat UUD 1945 sebelum amandemen
39
pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pemerataan ekonomi, dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.81
Pada periode reformasi perdebatan mengenai jaminan konstitusional atas
perlindungan hak asasi manusia kembali muncul. Hasil dari pengaturan di Era
Reformasi tersebut adalah lahirnya Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, yang pada pokoknya mengamanatkan kepada presiden dan
lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia
termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional
hak asasi manusia.82 Turunan dari Ketetapan MPR tersebut adalah disyahkannya
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.83
Kemudian, setelah amandemen kedua UUD 1945, pengaturan mengenai
hak asasi manusia dirumuskan dan dimasukkan dalam konstitusi. Ketentuan hak
asasi manusia tersebut dirumuskan dalam bab XA dengan judul Hak Asasi
Manusia yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Selain itu, langkah
lebih lanjut dalam pemajuan dan penguatan sistem penegakan hak asasi manusia
nasional ditempuh dengan mengadopsi instrumen hak asasi internasional dan
mengintegrasikannya dengan sistem hukum nasional. Salah satu hasil dari
ratifikasi instrumen internasional yaitu ditandatanganinya ratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan di Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
81
Moh.Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia”, hlm 80 dalam
Eko Riyadi, Bahan Ajar…,op.cit..,hlm 18.
82
Eko Riyadi, Bahan Ajar..,op.cit..,hlm 19.
83
Eko Riyadi, Bahan Ajar..,ibid.
40
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik).
Isi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pada Pasal 1 ayat (1), menyebutkan “ Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.” Uraian pengertian ini sudah memberikan cakupan yang lebih luas
bahwa adanya perlindungan hak asasi manusia tidak hanya dipandang sebagai
warga disuatu negara melainkan sebagai manusia seutuhnya.
Hak-hak yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia terdiri dari:
1. hak untuk hidup
2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. hak mengembangkan diri
4. hak memperoleh keadilan
5. hak atas kebebasan pribadi
6. hak atas rasa aman
7. hak atas kesejahteraan
8. hak turut serta dalam pemerintahan
9. hak wanita
10. hak anak
Terhadap beberapa hal yang dicantumkan dalam undang-undang mengenai
HAM tersebut mengatur mengenai kebutuhan pribadi seseorang sebagai manusia,
di satu sisi, terdapat hak yang cukup menarik yakni hak turut serta dalam
pemerintahan yang merupakan hak yang dapat dikatakan sebagai hak di luar
kebutuhan sebagai pribadi manusia melainkan disinergikan dengan kedudukannya
41
sebagai warga negara. Kontekstualisasi mengenai perlindungan terhadap hak asasi
manusia dalam mempergunakan hak pilihnya terdapat dalam point 8, yaitu hak
untuk turut serta dalam pemerintahan. Hal ini dikarenakan dalam melaksanakan
hak pilihnya seorang warga negara bebas untuk memilih dan dipilih dalam
kaitannya untuk menjalankan tugas kenegaraan, seperti misalnya hak untuk
memilih dan/atau dipilih dalam pemilu legislatif, dan pemilu eksekutif.84
Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai
bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD
1945. Kovenan internasional tentang hak- hak Sipil dan Politik (Pasal 25)
menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk
mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan
dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.85 Dalam disiplin hak asasi
manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap
orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara
untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas.
Melihat pengaturan mengenai hak asasi manusia di dalam konstitusi
sebenarnya sudah stabil, permasalahan selanjutnya adalah urusan mengenai
implementasi dari penegakan hak asasi manusia. Kewajiban negara dalam hal ini
adalah untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to
84
Erfandi, Parlimentary Thereshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia,
Setara Press,Malang, 2014, hlm 81.
85
Erfandi, Parlimentary Thereshold…,ibid..,hlm 82.
42
protect) semua jenis hak asasi manusia.86 Salah satu bentuk nyata dari negara
adalah membentuk instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan hak asasi
manusia serta melakukan pengawasan terhadap pelakasanaan instrumen hukum
tersebut.
Salah satu perwujudan instrumen hukum nasional dalam rangka
mengakomodir hak asasi manusia di bidang hak politik adalah dengan adanya
aturan hukum pemilihan kepala daerah. Jaminan hukum dipenuhinya hak-hak
politik bagi warga di daerah dapat dilakukan dengan pemberian hak dipilih dan
memilih dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, materi muatan
dalam instrumen hukum pemilihan kepala daerah harus mampu mengakomodir
hak-hak warga negara sebagai upaya negara atas kewajiban pemenuhan hak asasi
manusia.
C. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan umum kepala daerah merupakan bagian penting dalam otonomi
daerah dan penyelenggaraan demokrasi. Otonomi daerah mempunyai korelasi
langsung dengan penyelenggaraan demokrasi. Dari sudut demokrasi, dalam arti
formal, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil otonomi daerah mengandung
makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersanding dengan prinsip
negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara
berdasarkan atas hukum.87 Oleh karena otonomi daerah bertalian dengan
86
Manfred Nowak, Introduction to International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff
Publishers, Leiden/Boston, 2002, hlm 48-49 dalam Eko Riyadi, Bahan Ajar..,op.cit..,hlm 22.
87
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah,Nusa Media,Bandung, 2009, hlm 86-87.
43
demokrasi, maka harus ada lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
demokrasi di daerah.
Salah satu lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan sebagai
wujud demokrasi di daerah adalah adanya pemerintahan daerah. Pembicaraan
mengenai pemerintahan daerah tentu tidak terlepas kepada bagaimana
menyelenggarakan pemerintahan tersebut di daerah. Dan salah satu tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah mengenai mekanisme pemilihan
untuk menentukan kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sendiri
mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan
demokrasi,
keadilan,
pemerataan,
kesejahteraan
masyarakat,
memelihara
hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.88
Aturan mengenai pemilihan kepala daerah telah dirumuskan dalam suatu
undang-undang baik tergabung dalam suatu pembahasan materi muatan undangundang maupun berdiri sendiri dalam bentuk undang-undang. Perjalanan
pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah ini telah dimulai sejak era orde
baru. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah
merupakan salah satu hasil legislasi yang mengatur mengenai sistem
pemerintahan di daerah setelah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 mengatur mengenai
pencalonan seseorang sebagai kepala daerah. Dituliskan dalam undang-undang
tersebut bahwa kepala daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan
88
Deddy Supriady dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, PT Gramedia, Jakarta, 2002, hlm 61.
44
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan fraksi-fraksi dengan
Gubernur. Hasil pemilihan yang dimaksud dalam pasal tersebut diajukan oleh
DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikitdikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. 89
Selanjutnya di dalam penjelasan undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang
diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang dimiliki masingmasing calon, karena hal ini adalah merupakan hak perogatif presiden. Menteri
Dalam Negeri yang dalam hal ini bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat
Kepala Daerah Tingkat II tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masingmasing calon.90 Perjalanan pertama demokrasi di daerah ini masih diatur oleh
pemerintah pusat termasuk pemilihan kepala daerah yang masih menjadi hak
perogratif presiden. Hal ini juga didasarkan pada sistem pemerintahan yang
diterapkan oleh pemerintah pusat yakni menjadikan kepala daerah lebih
mencerminkan sebagai alat (wakil) pemerintah pusat daripada sebagai alat
kelengkapan daerah otonom.91
Dinamika pengaturan pemilihan kepala daerah berlanjut di orde reformasi
dimana
disahkannya
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah. Terdapat perbedaan mendasar di dalam pelaksanaan
89
Lihat Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974
Lihat Penjelasan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1974
91
Bagir Manan, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945,
Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm 241.
90
45
pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah sejak berlakunya UU No 22
Tahun 1999, yakni pemilu yang dikontruksi untuk memilih anggota legislatif serta
presiden dan wakil presiden, selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam
menggunakan hak pilih aktif. Rakyat tidak hanya menjadi pemilih, namun juga
berkesempatan menjadi calon yang dipilih. Sebaliknya, pemilihan kepala daerah
dilakukan dengan sistem pemilihan perwakilan oleh anggota dewan atau diangkat
dan atau ditunjuk oleh pejabat pusat. Dalam sistem tersebut, rakyat sebagai
pemilik kedaulatan justru hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan proses
pemilihan kepala daerah.
Di dalam undang-undang ini mekanisme pemilihan kepala daerah baik
Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
dipilih oleh DPRD.92 Adapun pelaksanaan pemilihan calon kepala daerah dan
calon wakil kepala tersebut diselenggarakan melalui rapat paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD.93 Selanjutnya
pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh
suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil
kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.94 Pemilihan yang
dilakukan demikian memang dirasa sangat mudah dan rapi dalam pelaksanaan
demokrasi. Akan tetapi, karena indikasi korupsi yang banyak dilakukan oleh
DPRD saat itu dengan mementingkan kepentingan diri dengan menaikkan gaji
maupun honorarium bagi mereka sendiri, kecenderungan memanfaatkan fasilitas
atas nama studi banding, kecenderungan untuk mengaitkan pembentukan
92
Lihat Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1999
Lihat Pasal 39 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
94
Lihat Pasal 40 ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999
93
46
kebijakan publik di daerah dengan imbalan uang bagi anggota DPRD,
kecenderungan melakukan “blackmailing” kepada kepala daerah untuk menolak
laporan peranggungjawaban, dan semua hal tersebut dikarenakan kewenangan
yang besar pada DPRD,95 maka aturan tersebut dianggap tidak relevan lagi.
Oleh karena itu, terdapat koreksi atas kondisi politik dalam pemilihan
kepala daerah tersebut sehingga digunakannya pemilihan kepala daerah langsung
oleh rakyat. Melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan
mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, di mana
rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon
yang didukungnya, dan calon-calon yang bersaing dalam suatu kompetisi dengan
aturan yang sama. Prinsip utama dalam pembuatan tatacara dan mekanisme
tahapan kegiatan dan penunjang tahapan kegiatan tersebut adalah menciptakan
pemilihan kepala daerah langsung dengan prosedur yang terduga (predictable
procedure) dengan hasil yang tak terduga (unpredictable result).96 Ketentuan ini
memberikan aturan bahwa pemilihan harus dilaksanakan dengan tata cara dan
mekanisme yang dapat diketahui dan diakses semua pemilih, partai politik, dan
calon peserta untuk menjamin adanya tranparansi dan akuntabilitas. Sehingga
diharapkan pelaksanaan pemilihan dapat berjalan dengan adil sesuai aturan yang
berlaku hingga calon terpilih tidak diketahui atau dapat ditentukan sebelumnya.
95
Marzuki Lubis, Pergeseran Garis Peraturan Perundang-Undangan tentang DPRD &
Kepala Daerah dalam Ketatanegraan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm 177.
96
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem, dan
Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005, hlm 110.
47
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis dan pasangan calon diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.
97
Dalam realitas pemilihan kepala daerah dipilih
secara demokratis jatuh pada pilihan dilaksanakan dengan pemilihan langsung
oleh rakyat. Pilkada langsung dapat disebut sebagai praktik politik demokratis
apabila memenuhi beberapa prinsipial, yakni menggunakan asas-asas yang
berlaku dalam rekrutmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif dan
pemilihan Presiden dan wakil Presiden, yakni asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.98
Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah merupakan conditio sine
quanon bagi suatu negara demokrasi modern dalam rangka terselenggaranya
pemerintahan yang mandiri, efisien, dan bertanggungjawab dalam memberikan
pelayanan umum (public service) melalui pemberian otonomi daerah dalam sistem
negara kesatuan, artinya rakyat memilih seseorang dalam rangka keikutsertaan
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu
rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi
masyarakat.99
Terdapat hal yang menarik di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
terkhusus pada pemerintahan daerah. Pada pemerintahan daerah, dikenal adanya
sistem desentralisasi bagi daerah di Indonesia yang mengandung makna adanya
97
Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004
Meujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 yakni Asas
pelaksanaan Pilkada adalah LUBER JURDIL yang mengadopsi asas Pemilu
99
Marzuki Lubis, Pergeseran Garis..,,op.cit., hlm 216.
98
48
pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan
daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hal yang
seimbang dengan kewajiban masyarakat yang demokratis.100 Terkhusus terdapat
beberapa daerah yang memiliki sistem desentralisasi yang berbeda seperti daerah
istimewa, daerah khusus, dan otonomi khusus yang dikenal dengan desentralisasi
asimetris. Konsekuensi adanya desentralisasi asimetris memungkinkan adanya
perbedaan daripada daerah lain. Salah satunya terhadap pengaturan mengenai
bidang pemerintahan daerah.
Berikut terdapat beberapa daerah beserta ketentuan pemilihan kepala
daerahnya yang menganut desentralisasi asimetris. Diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP), dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap bakal calon dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Sedangkan di Provinsi
Aceh menurut Pasal 65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5
(lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta
dilaksanakan secara jujur dan adil. Perbedaan mengenai pemilihan kepala daerah
juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dimana Gubernur dan Wakil
Gubernur tidak dipilih oleh DPRD ataupun rakyat secara langsung tetapi melalui
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI: kajian terhadap Daerah
Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus, Nusamedia, Bandung, 2014, hlm 51.
100
49
penetapan.101 Perbedaan-perbedaan tersebut pada hakikatnya mempunyai tujuan
yang sama yaitu menemukan pemimpin bagi daerah, sehingga bukan merupakan
suatu kekhawatiran yang didasarkan atas pilih kasih terhadap suatu daerah
melainkan bentuk perhatian tersendiri terhadap daerah yang berkebutuhan khusus.
.
Perkembangan mengenai aturan mengenai pemilihan kepala daerah
mengalami dinamika yang cepat pada saat disyahkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan ini mengembalikan
pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD. Masyarakat luas merespon
terhadap aturan tersebut dan menginginkan dikembalikannya pemilihan kepala
daerah melalui pemilihan oleh rakyat. Sebagaimana dijelaskan bahwa
pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang
luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan
prinsip demokrasi.102
Perbaikan terhadap ketentuan pemilihan kepala daerah terjadi berulangulang. Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang mengembalikan pemilihan dilakukan oleh rakyat, kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Di tahun yang sama dilakukan
perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Adapun ketentuan
yang diatur adalah mengenai pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali
101
Lihat UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Penjelasan Perppu No. 1 Tahun 2014 Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota.
102
50
secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.103
Peserta pemilihan baik pasangan calon Gubernur dan calon wakil Gubernur,
pasangan calon Bupati dan calon wakil Bupati, serta pasangan calon walikota dan
calon wakil walikota, yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik atau pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.104
Perjalanan mengenai pengaturan pemilihan kepala daerah di Indonesia
juga diwarnai dengan adanya judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh
warga negara yang merasa dirugikan hak kosntitusionalnya. Terdapat beberapa
kali dilakukannya judicial review terhadap UU No. 8 Tahun 2015 di MK. Hal ini
mendapat pandangan tersendiri, sangat dimungkinkan bahwa kedepannya akan
dilakukan lagi perubahan mengenai UU No.8 Tahun 2015 ini, sehingga
menciptakan pengaturan pemilihan kepala daerah yang lebih ideal.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review
terhadap beberapa pasal dalam UU No.8 Tahun 2015 dapat secara ringkas
dicermati dalam pembahasan di berikut ini: Pertama, Putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 atas pengujian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8
Tahun 2015 mengenai adanya calon kepala daerah yang berasal dari keluarga
petahana yang dikhawatirkan terjadi politik dinasti. Amar putusan yang
dijatuhkan oleh MK adalah menyatakan rumusan pasal yang dimohonkan
bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa tidak
setiap pembedaan serta merta berarti diskriminasi. Namun, MK berpendapat
bahwa dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata103
104
Lihat Pasal 3 UU No 8 Tahun 2015
Lihat Pasal 39 UU No 8 Tahun 2015
51
mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu
anggota
keluarga
kepala
daerah
petahana)
untuk
menggunakan
hak
konstitusionalnya yakni hak dipilih atau mencalonkan diri.105
Kedua, Putusan MK No. 38/PUU-XIII/2015. Dalam judicial review ini
memohon dilakukan pengujian atas Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7
huruf s UU No.8 Tahun 2015. Pada amar putusan MK menyatakan rumusan pasal
tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Adapun bunyi pasal yang dimohonkan
adalah sebagai berikut, “Anggota DPR, atau anggota DPD, atau anggota DPRD
yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan cukup memberitahukan
perihal keinginannya tersebut kepada pimpinannya.”106 Berdasarkan putusan MK
tersebut maka setiap calon kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, maupun
DPRD dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Ketiga, Putusan MK No.60/PUU-XIII/2015. Pasal yang dimintakan
pengujian adalah Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No.8 Tahun 2015, pengajuan
tersebut terkait persyaratan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang
didasarkan jumlah penduduk. MK memberikan putusan bahwa rumusan pasal
tersebut
dinyatakan
inkonstitusional.
105
Hal
ini
dikarenakan
menghambat
Lihat putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/33_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015
106
Lihat Putusan MK No. 38/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/38_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2016.
52
pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum. Akan tetapi putusan MK
tersebut diterima dengan syarat terkait.107
Keempat, Putusan MK No 42/PUU-XIII/2015, Pasal 7 huruf g UU No.8
Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitusional). Permohonan judicial review terhadap syarat calon kepala
daerah yang tidak boleh dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.108
Kelima, Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, adapun norma yang
dimintakan pengujian adalah Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan
ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6), UU No.8 Tahun 2015 pada pokoknya pemohon berpusat pada masalah
terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan oleh adanya ketentuan
dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian yang mempersyaratkan
paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. 109 Pada
kondisi demikian Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015. Di dalam Pasal 54 ayat (5)
Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 menyatakan,
107
Lihat Putusan MK No.60/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/60_PUUXIII_2015.pdf,
108
Lihat Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/42_PUUXIII_2015.pdf,
109
Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015.
53
“dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa
pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon atau tidak ada
pasangan calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan
keputusan penundaan seluruh tahapan dan pemilihan diselenggarakan pada
pemilihan serentak berikutnya.”
Mahkamah berpendapat bahwa rumusan pasal tersebut bertentangan
dengan semangat UUD 1945 jika pemilihan kepala daerah tidak dilaksanakan dan
ditunda sampai pemilihan berikutnya, sebab hal itu merugikan hak konstitusional
warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena tak
terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh.110
Kemudian mahkamah menilai bahwa mekanisme pemilihan dilakukan melalui
referendum (dengan menyatakan setuju atau tidak setuju) pada rakyat yang mana
sebelumnya terdapat wacana dilakukannya aklamasi.111
Pengujian undang-undang mengenai pilkada di MK memberikan indikasi
bahwa formulasi dari undang-undang pemilihan kepala daerah masih belum
sempurna. Apabila kondisi demikian dibiarkan tentunya akan menimbulkan
problematika hukum pada tataran teoritik maupun sosiologis. Di satu sisi, hal
tersebut terjadi dikarenakan alur demokrasi baik di pusat maupun di daerah terus
berjalan sehingga dinamika pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah harus
mengikuti. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto
Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum
110
Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015.
111
Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015.
54
itu ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.112
112
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 154.
55
Download