BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Konsep Demokrasi Demokrasi bukan merupakan istilah asing bagi semua orang. Hampir semua negara di dunia dewasa ini menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan demokrasi saat ini semakin mendunia dan diakui sebagai bentuk pemerintahan yang lebih bagus dibandingkan dengan sejumlah bentuk pemerintahan yang lain. Sebab terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi pelaksanaan demokrasi disuatu negara, seperti ideologi, latar belakang sejarah, kondisi sosial budaya, tingkat kemajuan ekonomi, dan sebagainya.36 Menurut Hans Kelsen, ide demokrasi berawal dari keinginan manusia untuk menikmati kebebasan (free will). Kebebasan yang mungkin didapat dalam masyarakat, dan khususnya di setiap negara, tidak bisa berarti kebebasan dari setiap ikatan, tetapi hanya bisa berupa kebebasan dari satu macam ikatan tertentu.37 Apa yang disampaikan Hans Kelsen tersebut tidak terlepas dari sejarah perjalanan dari demokrasi itu sendiri. Perjalanan demokrasi melalui proses yang cukup panjang. Pada perkembangan awal mengenai demokrasi hadir sebagai pemberontakan untuk menggulingkan kekejaman dari penguasa. Oleh karena itu, rakyat menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang langsung diawasi oleh rakyat. Konsep demokrasi 36 Budi Juliardi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 82. 37 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 77. 23 lahir di Yunani Kuno dan dipraktikan dalam hidup bernegara antara abad IV sebelum masehi hingga abad VI masehi. Demokrasi yang dipraktikan pada saat itu adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan oleh seluruh rakyat atau warga negara, yang pada saat itu berjumlah kurang lebih 300.000 orang.38 Pada zaman Yunani Kuno inilah istilah demokrasi tersebut muncul, istilah demokrasi mempunyai konotasi yang sangat buruk. Demokrasi (“demos” + “cratos” atau “demos” + “kratien”, dibayangkan orang sebagai pemerintah oleh semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy).39 Demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. Dalam bahasa Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.40 Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat sehingga rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu juga pada dasarnya diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan, negara yang baik diidealkan juga agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Sedangkan menurut tafsir R.Kranenburg di dalam bukunya “Inleiding in de vergelijkende 38 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 2002, hlm 54. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet2, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2011, hlm 116. 40 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 241. 39 24 staatsrechtwetenschap”, perkataan demokrasi yang terbentuk dari dua kata pokok kata Yunani di atas, maknanya adalah cara memerintah oleh rakyat.41 Setelah itu, pada abad ke XVIII timbul suatu sistem demokrasi baru yang memberikan kemungkinan untuk dapat dilaksanakan dalam negara-negara besar serta berkembang ke arah peradaban modern, karena dalam sistem demokrasi ini tidaklah semua orang warga negara diikut-sertakan secara langsung dalam pemerintahan, melainkan mereka itu memilih wakil-wakil mereka di antara mereka itu sendiri, yang kemudian duduk dalam badan-badan perwakilan. Inilah sebabnya, maka sistem demokrasi ini disebut demokrasi tidak langsung atau disebut juga demokrasi perwakilan.42 Demokrasi baik langsung maupun tidak langsung, bersendi pada rakyat yang memerintah dirinya sendiri, sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah bersifat identik yaitu sama-sama rakyat.43 Dalam sejarah teori demokratis, terletak suatu konflik yang sangat tajam mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat dimana warga negara dapat terlibat dalam pemerintahan sendiri atau suatu bantuan bagi pembuatan keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalui pemberian suara secara periodik).44 Konflik inti telah memunculkan tiga jenis atau model pokok demokrasi. Pertama, demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi, suatu sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah 41 Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, 1987, hlm 6 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 12 42 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2008, hlm. 201-210 43 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006,hlm.129 44 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm 6. 25 publik dimana warga negara terlibat secara langsung. Ini adalah tipe demokrasi “asli” yang terdapat di Athena kuno, di antara tempat-tempat yang lain. Kedua, ada demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, suatu sistem pemerintahan yang mencakup “pejabat-pejabat” terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili” kepentingan-kepentingan atau pandangan-pandangan dari para warganegara dalam daerah-daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi “aturan hukum”. Ketiga, demokrasi yang didasarkan atas model satu partai. 45 Schumpeter mengemukakan apa yang ia namakan “teori lain mengenai demokrasi.” “Metode demokratis”, katanya,” adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.”46 Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan sistem politik abad ke 20 sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Dengan demikian menurut definisi ini, demokrasi mengandung dua dimensi “kontes dan partisipasi”, yang menurut Robert Dahl merupakan hal yang menentukan bagi demokrasi atau poliarki. Demokrasi juga mengimpilikasikan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan untuk 45 David Held, Demokrasi…,ibid. Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, edisi ke 2, New York Harer, 1947, hlm 269 dalam Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti, Jakarta, 1995, hlm 5. 46 26 berbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu.47 Dewasa ini, terdapat beberapa macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. 48 Demokrasi yang banyak dipraktikan sekarang ini adalah demokrasi konstitusional dimana ciri khasnya adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya oleh konstitusi (UUD) dan tidak dibenarkan bertindak sewenangwenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah ini tercantum dalam konstitusi.49 Dalam sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial politik yang demokratis dalam masyarakat yang beragam. Pasang surut demokrasi di Indonesia pada hakikatnya dapat dibagi dalam lima periode. Pertama, Periode 1945-1949 dengan sistem demokrasi Pancasila. Kedua, Periode 1949-1959 dengan sistem demokrasi parlementer. Ketiga, Periode 1959-1965 dengan sistem demokrasi Terpimpin. Keempat, Periode 1965-1998 dengan sistem demokrasi Pancasila (Orde Baru). Kelima, Periode 1998-sekarang dengan sistem demokrasi Pancasila (Orde Reformasi) 47 Samuel P. Huntington, Gelombang…,ibid, hlm 6. Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar…,op.cit. hlm 50. 49 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar…,ibid. hlm 52. 48 27 Periodisasi demokrasi di Indonesia dapat dilihat sejalan dengan perkembangan Undang-Undang Dasar. Pada awal kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 telah menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dapat diketahui dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sehingga puncak kedaulatan rakyat berujung kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada kondisi demikian, seolah-olah rakyat sebagai pemilik kedaulatan telah menyerahkan sepenuhnya kepada MPR untuk bertindak sebagai penyelenggara tertinggi dari negara. Sistem ketatanegaraan menempatkan MPR sebagai puncak kekuasaan negara, yang menyebabkan kekuasaan MPR tidak dapat dikontrol oleh lembaga apapun, bahkan tidak jarang UUD diingkari, sehingga terkesan kekuasaan MPR di atas UUD 1945.50 Namun, akibat amandemen UUD 1945 kedua pada 18 Agustus 2002, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang penuh kedaulatan rakyat. Rumusan kedaulatan rakyat dalam prinsip di negara Indonesia berubah menjadi kedaulatan tetap berada ditangan rakyat, namun dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.51 Rumusan demikian lebih mencerminkan dari hak yang sebenarnya tentang kekuasaan tertinggi. Perumusan demikian, lebih 50 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 188. 51 Jimmly Asshddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1994, hlm 27-28 28 realistik, dalam artian menampung prinsip ketatanegaraan sekaligus, yaitu, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan parlemen.52 Pemahaman mengenai kerakyatan (demokrasi) tidak dapat dipisahkan dari paham konsep negara hukum. Hal ini dikarenakan hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. 53 Oleh karena itu, apabila kita mengkaji mengenai negara hukum, maka terdapat hubungan yang erat dengan demokrasi. Sebagaimana negara hukum formal yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara hukum formal ini disebut pula dengan negara demokratis yang berlandaskan negara hukum. 54 Selanjutnya F.J. Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsurunsur utamanya sebagai berikut:55 a. b. c. d. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi; penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan); Pemerintahan didasarkan pada undang-undang; adanya peradilan administrasi. Dari keempat unsur utama negara hukum formal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi hakhak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya mengedepankan aspek 52 Jimmly Asshddiqie, Gagasan Kedaulatan…,ibid. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…,op.cit. hlm 249. 54 Ni’matul Huda, Negara Hukum…,op.cit. hlm 6. 55 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Indhill Co.Jakarta, 1989, hlm 30 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. 53 29 formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan individu terlindungi secara formal. Lebih lanjut B. mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai, yakni:56 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara damai melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict) 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society). 3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers) 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion) 5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. 6. Menjamin tegaknya keadilan. Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut:57 1. Pemerintahan yang bertanggungjawab 2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurangkurangnya dua calon untuk setiap kursi. 3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik. 4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat 5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan. Di satu sisi asas-asas demokratis yang melandasi rechtstaat, menurut S.W. Couwenberg meliputi 5 asas, yaitu:58 1. Asas hak-hak politik 2. Asas mayoritas 3. Asas perwakilan 56 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford Univercity Press, New York, 1960, hlm 70 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 13. 57 Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 14. 58 Philiphus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm 72 dalam Ni’matul Huda, Negara Hukum…,ibid. hlm 15. 30 4. Asas pertanggungjawaban 5. Asas publik Ilmuwan lain seperti Ulf Sundhaussen menyebutkan tiga syarat demokrasi untuk suatu sistem politik, yaitu: jaminan atas hak seluruh warganegara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan bebas; semua warga negara menikmati kebebasan berorganisasi, memperoleh informasi, dan beragama; serta dijaminnya hak yang sama di depan hukum.59 Terhadap pemaparan baik unsur, nilai, maupun asas demokrasi pada hakikatnya mencerminkan tataran ideal, seperti adanya hak dari warga negara yang lebih diakomodir, pemilihan pemimpin secara berkala, fungsi pemerintah yang dibatasi secara bertanggungjawab, transparansi dan akuntabilitas pmerintahan, desentralisasi dan otonomi daerah, serta media yang independen.60 Akan tetapi memang pada realita pelaksanaan seringkali tidak sesuai dengan tataran idealita. Hal ini juga disampaikan oleh Mahfud MD, dimana beliau menyatakan bahwa asas demokrasi hampir semua disepati sebagai modal terbaik bagi dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi ternyata memberikan implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.61 Sehingga tidak dapat kita pungkiri banyak negara yang mengatasnamakan negara demokrasi tetapi pada sejatinya masih dalam sistem otoritarian. Sebuah negara dapat dikatakan menganut sistem pemerintahan demokratis jika sudah menerapkan kriteria-kriteria pemerintahan yang demokratis. Ulf Sundhoussen,”Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan Politik,” dalam Prisma, No.2 Tahun XXI, 1992, hlm 64 dalam R.Siti Zuhro, dkk Demokrasi Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta, 2009, hlm 19. 60 R.Siti Zuhro, dkk, Demokrasi Lokal…,ibid. hlm 23. 61 Mahfud MD,Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,Rineka Cipta,Jakarta,2000,hlm 19. 59 31 Pemerintahan demokratis menurut International Conference Of Jurists, Bangkok, tahun 1965 adalah:62 1. Supremacy of Law (hukum di atas segala hal) 2. Equality before the law (Persamaan di hadapan hukum) 3. Constitutional guarantee of Human Rights (jaminan konstitusional terhadap HAM) 4. Impartial Tribune (Peradilan yang tidak memihak) 5. Civic education (pendidikan kewarganegaraan) Pembicaraan mengenai demokrasi juga tidak terlepas dari sistem pemerintahan di suatu negara. Hal ini dikarenakan demokrasi adalah sesuatu yang penting bagi institusi-institusinya atau dalam hal ini pemerintah. Sebagai contoh dipilih oleh masyarakat melaui pemilihan umum yang bebas, yang secara jelas membedakannya dari bentuk masyarakat lainnya.63 Prinsip atau daya hidup pemerintahan demokrasi menurut Montesquieu adalah berupa kebaikan politik yang diwujudkan dengan cinta tanah air, cinta akan kesetaraan, patriotisme yang penuh pengorbanan diri. Sederhananya, terdapat perpaduan antara kepentingan pribadi dan umum.64 Untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatoris dan sejalan dengan keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, penegakan demokrasi harus didukung dengan pilar-pilar demokrasi tersebut adalah pemerintah yang bertanggungjawab, Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas untuk menyatakan pendapat, sistem peradilan yang bebas, menjamin hak asasi manusia, dan mempertahankan keadilan.65 Di dalam 62 Budi Juliardi, Pendidikan…,op.cit.., hlm 90. Richard M.Ketchum, Demokrasi:Sebuah Pengantar,Niagara,Yogyakarta,2004, hlm 19. 64 Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm 48. 65 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…, op.cit., hlm 245. 63 32 demokarsi terdapat ide persamaan, dimana pandangan bahwa derajat kebebasan dalam masyarakat sebanding dengan jumlah individu yang merdeka mengandung arti bahwa semua individu mempunyai nilai politik yang sama dan bahwa setiap orang mempunyai tuntutan yang sama atas kebebasan, dan itu berarti bahwa tuntutan yang sama agar kehendak kolektif selaras dengan kehendak pribadinya.66 Sehingga bentuk-bentuk nyata demokrasi modern yang diterapkan di Indonesia dapat dilihat dengan wujud pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih presiden dan lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah, serta pemimpin daerah dalam hal ini adalah kepala daerah. Penerapan konsep demokrasi ini tidak dapat dijalankan dengan berjalan di tempat. Penerapan konsep ini diperlukan pengkajian yang berkesinambungan sehingga mencapai demokrasi yang dipandang ideal bagi suatu negara. Pada hakikatnya, pemerintahan atau sistem politik demokratis tidak datang, tumbuh, dan berkembang dengan sendirinya. Demokrasi bukanlah taken for granted (warisan), demokrasi membutuhkan usaha nyata dari setiap warga maupun penyelenggara negara untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga mendukung pemerintahan atau sistem politik demokrasi. Perilaku demokrasi yang terkait dengan nilai-nilai demokrasi akan membentuk kultur demokrasi. Perwujudan demokrasi sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum di bidang hak-hak asasi manusia. Demokrasi bukan semata-mata bertumpu pada kehendak rakyat yang bebas, akan tetapi tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip hukum bernegara. Oleh karena itu, pemenuhan hak asasi manusia menjadi bagian 66 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqiem, Nusamedia, Bandung, 2006, hlm 406. 33 penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan, pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang memberikan jaminan hak asasi manusia terhadap warga negara. B. Hak Asasi Manusia Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, mengenai hakikat dari hak asasi manusia yaitu hak alami yang dimiliki seseorang karena tidak lain sebagai manusia. Perjalanan mengenai hak asasi manusia di dunia mengalami pasang surut gelombang politik kekuasaan yang pada akhirnya sampai di Indonesia. Di Indonesia, kepedulian mengenai hak asasi manusia, dalam kurun waktu perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, baru muncul dipermukaan dan menjadi isu paling populer semenjak gelombang reformasi pada tahun 1998 yang membuka katup-katup demokratisasi di bidang kehidupan ketatanegaraan.67 Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan tinjauan mengenai demokrasi. Bagi Lyman Tower Sargent,68 demokrasi membuka kunci keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik, kesederajatan di antara warga negara, kesederajatan kebebasan, dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan warga negara, sistem perwakilan, dan sistem pemilu. Sehingga sistem politik demokratis pulalah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.69 Adanya kesederajatan manusia juga dipahami oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa hak 67 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2009, hlm 383. 68 Lyman Tower Sargent, Contemporary political Ideologies (Homewood, III: The Dorsey Press, 1981, hlm 30-31 dalam Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Erlangga, Yogyakarta, 2014, hlm 14. 69 Suparman Marzuki, Politik Hukum…,ibid. 34 asasi manusia tersebut merupakan “universal” tidak tergantung apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau kepercayaan.70 Diskursus demokrasi di Indonesia sebenarnya telah melewati sejarah yang panjang. Usaha untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dapat dilihat dari rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni orde lama dan orde baru. Pada era Soekarno dikenalkan model Demokrasi Terpimpin, sedangkan pada era Soeharto dimunculkan Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih terbentuk suatu pemerintahan demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim tersebut malah memunculkan pemerintahan otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.71 Perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, mempertegas dua hal kerangka hukum dasar demokrasi sekaligus, yaitu demokrasi prosedural berupa ditetapkannya prosedur dan mekanisme penentuan puncak jabatan politik eksekutif baik nasional maupun daerah melalui pemilu langsung oleh rakyat. Perubahan ini menempatkan warga negara sebagai subjek hukum yang memiliki makna dan nilai politik serta hukum sekaligus dalam penentuan jabatan-jabatan politik. Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum, menunjukkan bahwa negara selalu dikonotasikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk memaksakan kehendak kepada warga negaranya. Pemaksaan kehendak ini tentu dapat diperkenankan sepanjang langkah tersebut tidak menindas harkat dan 70 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak-Hak Asasi Manusia:Konsep Dasar dan Pengertiannya yang pada Masa-Masa Awal Perkembangannya” dalam Eko Riyadi, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia, FH UII, Yogyakarta, 2011, hlm 1. 71 Suparman Marzuki, Politik Hukum…,op.cit.., hlm 24. 35 martabat kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Lord Acton mengenai perlunya pembatasan kekuasaaan, apabila kekuasaan tidak dapat dibatasi maka kekuasaan akan cenderung disalahgunakan (power tends to corrupt).72 Oleh sebab itu, agar keabsahan untuk melakukan pemaksaan kehendak tersebut dapat dilakukan tanpa melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, maka harus ada seperangkat rambu-rambu yang diperuntukkan untuk melindungi hak asasi manusia bagi warga negaranya. Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang, dan adanya pemaksaan tersebut tidak dilakukan tanpa batas.73 Dengan demikian, pengaturan mengenai hak asasi manusia akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam suatu konstitusi negara. Bahkan salah satu ciri negara hukum adalah adanya jaminan hak asasi manusia, di samping pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Ketentuan yang mengingatkan Indonesia sebagai negara hukum adalah sesuai amanat konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut dimana negara Indonesia menjadi negara yang tunduk pada hukum yang berlaku. Yang selanjutnya dijelaskan kembali mengenai negara hukum tersebut oleh Sri Soemantri, mempunyai unsur-unsur yang terkandung dalam kosnep negara hukum, yaitu:74 72 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar…,op.cit.., hlm 107. Dahlan Thaib (et.al),Teori dan Hukum Konstitusi,Rajawali Press,Jakarta, 2011, hlm 15. 74 Galang Asmara, 2005, OMBUDSMAN Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, LaksBang Press Indo, Yogyakarta, hlm 34 dalam Mustofa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, FH UII, Yogyakarta, 2010, hlm 57. 73 36 a. adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara; b. adanya pembagian kekuasaan; c. bahwa dalam melakukan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; d. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, terdapat korelasi yang cukup erat antara negara hukum dan pengaturan mengenai hak asasi manusia di dalam ketatanegaraan di Indonesia. Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa pengaturan ham menjadi penting untuk dimasukkan ke dalam UUD? Hal ini dapat dijawab dengan mengingat negara sebagai organisasi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan. Oleh sebab itu untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka dalam setiap konstitusi akan selalu memuat ketentuan mengenai hal ini. Konsekuensi yang terjadi adalah hak asasi manusia diletakkan sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan maka perdebatan mengenai hak asasi manusia tersebut terjadi cukup panjang diantara founding fathers. Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, perdebatan mengenai hak asasi manusia telah berlangsung pada saat founding fathers merumuskan UndangUndang Dasar di dalam sidangnya. Dalam buku “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi”, Sri Soemantri menyampaikan ilustrasi perdebatan sebagai berikut. Moh Hatta dan Moh Yamin berpendapat bahwa hak tersebut perlu dirumuskan dalam konstitusi untuk menjamin warga negara terhadap tindakan sewenangwenang dari pihak penguasa. Di lain pihak, Soekarno dan Soepomo beranggapan bahwa hak-hak tersebut bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa seperti 37 yang telah disepakati, yang kemudian tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang dalam hal ini disebut sebagai aliran pikiran kekeluargaan atau falsafah kekeluargaan.75 Soepomo mengemukakan konsep negara integralistik dalam hubungan negara dan masyarakat. Pada pokoknya sebagai berikut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasarkan aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak satu golongan yang paling kuat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisahkan.”76 Melihat perdebatan para founding fathers dalam naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 memang terdapat perbedaan pandangan yang sangat prinsipil satu sama lain. Oleh karena itu sebagai jalan tengah, dimasukkannya ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945. Sesungguhnya pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 banyak menyebutkan tentang hak-hak asasi. Sejak alinea pertama sampai dengan alinea terakhir memuat hak-hak asasi. Alinea pertama, pada hakikatnya adalah merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka (freedom to be free). Pengakuan akan perikemanusiaan adalah inti sari dari hak-hak asasi manusia. Dalam alinea kedua, disebutkan Indonesia sebagai negara yang adil. Kata sifat adil jelas menunjukkan kepada salah satu tujuan dari negara hukum untuk mencapai atau mendekati keadilan. Dari alinea ketiga, dapat ditarik kesimpulan bahwa rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya supaya terjelma kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Hal ini adalah salah satu dari pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang 75 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1986, hlm 51 dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara…,op.cit..,hlm 396. 76 Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu…,op.cit..,hlm 97. 38 mengandung persamaan dalam bentuk politik. Sedangkan alinea keempat, menunjukkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam segala bidang yaitu politik hukum, sosial, kulturil, dan ekonomi.77 Pada perkembangan awal, perdebatan tersebut berakhir dengan suatu kompromi, yakni dicantumkannya “Hak Warga Negara” (rights of the citizens) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights) dalam Undang-Undang Dasar 1945.78 Selanjutnya pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 diatur pada bagian batang tubuh, akan tetapi tidak dicantumkan terlalu banyak, hal ini karena didasarkan banyak perbedaan pendapat dari para penyusunnya.79 Pengaturan tersebut hanya terdiri dari 7 pasal, yaitu pasal-pasal yang langsung berbicara mengenai hak-hak asasi. Ketujuh pasal tersebut adalah Pasal 27 tentang persamaan dalam hukum dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, Pasal 29 tentang kemerdekaan untuk memeluk agama, Pasal 31 tentang untuk mendapat pengajaran, Pasal 32 perlidungan yang bersifat kebudayaan, Pasal 33 mengenai hak ekonomi, dan Pasal 34 mengenai kesejahteraan sosial.80 Meskipun pengaturan mengenai hak asasi manusia pada tahun-tahun setelahnya tidak mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan pemerintah pada era Soeharto lebih terfokus pada dalih trilogi 77 Moh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Yogyakarta, 1983, hlm 324. 78 Eko Riyadi, Bahan Ajar…,op.cit..,hlm 16. 79 Ismail Suny, Konstitusi Indonesia dan Hak-Hak Asasi Manusia, ceramah untuk Panitia Ad Hoc IV MPRS dalam Moh. Kusnadi, Pengantar Hukum Tata..,loc.cit. 80 Lihat UUD 1945 sebelum amandemen 39 pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pemerataan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.81 Pada periode reformasi perdebatan mengenai jaminan konstitusional atas perlindungan hak asasi manusia kembali muncul. Hasil dari pengaturan di Era Reformasi tersebut adalah lahirnya Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada pokoknya mengamanatkan kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.82 Turunan dari Ketetapan MPR tersebut adalah disyahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.83 Kemudian, setelah amandemen kedua UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia dirumuskan dan dimasukkan dalam konstitusi. Ketentuan hak asasi manusia tersebut dirumuskan dalam bab XA dengan judul Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Selain itu, langkah lebih lanjut dalam pemajuan dan penguatan sistem penegakan hak asasi manusia nasional ditempuh dengan mengadopsi instrumen hak asasi internasional dan mengintegrasikannya dengan sistem hukum nasional. Salah satu hasil dari ratifikasi instrumen internasional yaitu ditandatanganinya ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International 81 Moh.Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia”, hlm 80 dalam Eko Riyadi, Bahan Ajar…,op.cit..,hlm 18. 82 Eko Riyadi, Bahan Ajar..,op.cit..,hlm 19. 83 Eko Riyadi, Bahan Ajar..,ibid. 40 Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Isi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 ayat (1), menyebutkan “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Uraian pengertian ini sudah memberikan cakupan yang lebih luas bahwa adanya perlindungan hak asasi manusia tidak hanya dipandang sebagai warga disuatu negara melainkan sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari: 1. hak untuk hidup 2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 3. hak mengembangkan diri 4. hak memperoleh keadilan 5. hak atas kebebasan pribadi 6. hak atas rasa aman 7. hak atas kesejahteraan 8. hak turut serta dalam pemerintahan 9. hak wanita 10. hak anak Terhadap beberapa hal yang dicantumkan dalam undang-undang mengenai HAM tersebut mengatur mengenai kebutuhan pribadi seseorang sebagai manusia, di satu sisi, terdapat hak yang cukup menarik yakni hak turut serta dalam pemerintahan yang merupakan hak yang dapat dikatakan sebagai hak di luar kebutuhan sebagai pribadi manusia melainkan disinergikan dengan kedudukannya 41 sebagai warga negara. Kontekstualisasi mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam mempergunakan hak pilihnya terdapat dalam point 8, yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Hal ini dikarenakan dalam melaksanakan hak pilihnya seorang warga negara bebas untuk memilih dan dipilih dalam kaitannya untuk menjalankan tugas kenegaraan, seperti misalnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilu legislatif, dan pemilu eksekutif.84 Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945. Kovenan internasional tentang hak- hak Sipil dan Politik (Pasal 25) menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.85 Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas. Melihat pengaturan mengenai hak asasi manusia di dalam konstitusi sebenarnya sudah stabil, permasalahan selanjutnya adalah urusan mengenai implementasi dari penegakan hak asasi manusia. Kewajiban negara dalam hal ini adalah untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to 84 Erfandi, Parlimentary Thereshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press,Malang, 2014, hlm 81. 85 Erfandi, Parlimentary Thereshold…,ibid..,hlm 82. 42 protect) semua jenis hak asasi manusia.86 Salah satu bentuk nyata dari negara adalah membentuk instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia serta melakukan pengawasan terhadap pelakasanaan instrumen hukum tersebut. Salah satu perwujudan instrumen hukum nasional dalam rangka mengakomodir hak asasi manusia di bidang hak politik adalah dengan adanya aturan hukum pemilihan kepala daerah. Jaminan hukum dipenuhinya hak-hak politik bagi warga di daerah dapat dilakukan dengan pemberian hak dipilih dan memilih dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, materi muatan dalam instrumen hukum pemilihan kepala daerah harus mampu mengakomodir hak-hak warga negara sebagai upaya negara atas kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. C. Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan umum kepala daerah merupakan bagian penting dalam otonomi daerah dan penyelenggaraan demokrasi. Otonomi daerah mempunyai korelasi langsung dengan penyelenggaraan demokrasi. Dari sudut demokrasi, dalam arti formal, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dari segi materiil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan yang bersanding dengan prinsip negara kesejahteraan dan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum.87 Oleh karena otonomi daerah bertalian dengan 86 Manfred Nowak, Introduction to International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, 2002, hlm 48-49 dalam Eko Riyadi, Bahan Ajar..,op.cit..,hlm 22. 87 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah,Nusa Media,Bandung, 2009, hlm 86-87. 43 demokrasi, maka harus ada lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di daerah. Salah satu lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan sebagai wujud demokrasi di daerah adalah adanya pemerintahan daerah. Pembicaraan mengenai pemerintahan daerah tentu tidak terlepas kepada bagaimana menyelenggarakan pemerintahan tersebut di daerah. Dan salah satu tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah mengenai mekanisme pemilihan untuk menentukan kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sendiri mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.88 Aturan mengenai pemilihan kepala daerah telah dirumuskan dalam suatu undang-undang baik tergabung dalam suatu pembahasan materi muatan undangundang maupun berdiri sendiri dalam bentuk undang-undang. Perjalanan pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah ini telah dimulai sejak era orde baru. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah merupakan salah satu hasil legislasi yang mengatur mengenai sistem pemerintahan di daerah setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 mengatur mengenai pencalonan seseorang sebagai kepala daerah. Dituliskan dalam undang-undang tersebut bahwa kepala daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan 88 Deddy Supriady dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia, Jakarta, 2002, hlm 61. 44 Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur. Hasil pemilihan yang dimaksud dalam pasal tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikitdikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. 89 Selanjutnya di dalam penjelasan undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang dimiliki masingmasing calon, karena hal ini adalah merupakan hak perogatif presiden. Menteri Dalam Negeri yang dalam hal ini bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah Tingkat II tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masingmasing calon.90 Perjalanan pertama demokrasi di daerah ini masih diatur oleh pemerintah pusat termasuk pemilihan kepala daerah yang masih menjadi hak perogratif presiden. Hal ini juga didasarkan pada sistem pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah pusat yakni menjadikan kepala daerah lebih mencerminkan sebagai alat (wakil) pemerintah pusat daripada sebagai alat kelengkapan daerah otonom.91 Dinamika pengaturan pemilihan kepala daerah berlanjut di orde reformasi dimana disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perbedaan mendasar di dalam pelaksanaan 89 Lihat Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 Lihat Penjelasan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1974 91 Bagir Manan, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm 241. 90 45 pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah sejak berlakunya UU No 22 Tahun 1999, yakni pemilu yang dikontruksi untuk memilih anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden, selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilih aktif. Rakyat tidak hanya menjadi pemilih, namun juga berkesempatan menjadi calon yang dipilih. Sebaliknya, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem pemilihan perwakilan oleh anggota dewan atau diangkat dan atau ditunjuk oleh pejabat pusat. Dalam sistem tersebut, rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru hanya menjadi penonton dalam pelaksanaan proses pemilihan kepala daerah. Di dalam undang-undang ini mekanisme pemilihan kepala daerah baik Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota dipilih oleh DPRD.92 Adapun pelaksanaan pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala tersebut diselenggarakan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD.93 Selanjutnya pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.94 Pemilihan yang dilakukan demikian memang dirasa sangat mudah dan rapi dalam pelaksanaan demokrasi. Akan tetapi, karena indikasi korupsi yang banyak dilakukan oleh DPRD saat itu dengan mementingkan kepentingan diri dengan menaikkan gaji maupun honorarium bagi mereka sendiri, kecenderungan memanfaatkan fasilitas atas nama studi banding, kecenderungan untuk mengaitkan pembentukan 92 Lihat Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1999 Lihat Pasal 39 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 94 Lihat Pasal 40 ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999 93 46 kebijakan publik di daerah dengan imbalan uang bagi anggota DPRD, kecenderungan melakukan “blackmailing” kepada kepala daerah untuk menolak laporan peranggungjawaban, dan semua hal tersebut dikarenakan kewenangan yang besar pada DPRD,95 maka aturan tersebut dianggap tidak relevan lagi. Oleh karena itu, terdapat koreksi atas kondisi politik dalam pemilihan kepala daerah tersebut sehingga digunakannya pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya, dan calon-calon yang bersaing dalam suatu kompetisi dengan aturan yang sama. Prinsip utama dalam pembuatan tatacara dan mekanisme tahapan kegiatan dan penunjang tahapan kegiatan tersebut adalah menciptakan pemilihan kepala daerah langsung dengan prosedur yang terduga (predictable procedure) dengan hasil yang tak terduga (unpredictable result).96 Ketentuan ini memberikan aturan bahwa pemilihan harus dilaksanakan dengan tata cara dan mekanisme yang dapat diketahui dan diakses semua pemilih, partai politik, dan calon peserta untuk menjamin adanya tranparansi dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan pelaksanaan pemilihan dapat berjalan dengan adil sesuai aturan yang berlaku hingga calon terpilih tidak diketahui atau dapat ditentukan sebelumnya. 95 Marzuki Lubis, Pergeseran Garis Peraturan Perundang-Undangan tentang DPRD & Kepala Daerah dalam Ketatanegraan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm 177. 96 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005, hlm 110. 47 Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis dan pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 97 Dalam realitas pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis jatuh pada pilihan dilaksanakan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Pilkada langsung dapat disebut sebagai praktik politik demokratis apabila memenuhi beberapa prinsipial, yakni menggunakan asas-asas yang berlaku dalam rekrutmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan wakil Presiden, yakni asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.98 Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern dalam rangka terselenggaranya pemerintahan yang mandiri, efisien, dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum (public service) melalui pemberian otonomi daerah dalam sistem negara kesatuan, artinya rakyat memilih seseorang dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat.99 Terdapat hal yang menarik di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia terkhusus pada pemerintahan daerah. Pada pemerintahan daerah, dikenal adanya sistem desentralisasi bagi daerah di Indonesia yang mengandung makna adanya 97 Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 Meujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 yakni Asas pelaksanaan Pilkada adalah LUBER JURDIL yang mengadopsi asas Pemilu 99 Marzuki Lubis, Pergeseran Garis..,,op.cit., hlm 216. 98 48 pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hal yang seimbang dengan kewajiban masyarakat yang demokratis.100 Terkhusus terdapat beberapa daerah yang memiliki sistem desentralisasi yang berbeda seperti daerah istimewa, daerah khusus, dan otonomi khusus yang dikenal dengan desentralisasi asimetris. Konsekuensi adanya desentralisasi asimetris memungkinkan adanya perbedaan daripada daerah lain. Salah satunya terhadap pengaturan mengenai bidang pemerintahan daerah. Berikut terdapat beberapa daerah beserta ketentuan pemilihan kepala daerahnya yang menganut desentralisasi asimetris. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Sedangkan di Provinsi Aceh menurut Pasal 65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Perbedaan mengenai pemilihan kepala daerah juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dimana Gubernur dan Wakil Gubernur tidak dipilih oleh DPRD ataupun rakyat secara langsung tetapi melalui Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI: kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus, Nusamedia, Bandung, 2014, hlm 51. 100 49 penetapan.101 Perbedaan-perbedaan tersebut pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu menemukan pemimpin bagi daerah, sehingga bukan merupakan suatu kekhawatiran yang didasarkan atas pilih kasih terhadap suatu daerah melainkan bentuk perhatian tersendiri terhadap daerah yang berkebutuhan khusus. . Perkembangan mengenai aturan mengenai pemilihan kepala daerah mengalami dinamika yang cepat pada saat disyahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan ini mengembalikan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD. Masyarakat luas merespon terhadap aturan tersebut dan menginginkan dikembalikannya pemilihan kepala daerah melalui pemilihan oleh rakyat. Sebagaimana dijelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi.102 Perbaikan terhadap ketentuan pemilihan kepala daerah terjadi berulangulang. Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengembalikan pemilihan dilakukan oleh rakyat, kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Di tahun yang sama dilakukan perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Adapun ketentuan yang diatur adalah mengenai pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali 101 Lihat UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Penjelasan Perppu No. 1 Tahun 2014 Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. 102 50 secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.103 Peserta pemilihan baik pasangan calon Gubernur dan calon wakil Gubernur, pasangan calon Bupati dan calon wakil Bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota, yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.104 Perjalanan mengenai pengaturan pemilihan kepala daerah di Indonesia juga diwarnai dengan adanya judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh warga negara yang merasa dirugikan hak kosntitusionalnya. Terdapat beberapa kali dilakukannya judicial review terhadap UU No. 8 Tahun 2015 di MK. Hal ini mendapat pandangan tersendiri, sangat dimungkinkan bahwa kedepannya akan dilakukan lagi perubahan mengenai UU No.8 Tahun 2015 ini, sehingga menciptakan pengaturan pemilihan kepala daerah yang lebih ideal. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU No.8 Tahun 2015 dapat secara ringkas dicermati dalam pembahasan di berikut ini: Pertama, Putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 atas pengujian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 mengenai adanya calon kepala daerah yang berasal dari keluarga petahana yang dikhawatirkan terjadi politik dinasti. Amar putusan yang dijatuhkan oleh MK adalah menyatakan rumusan pasal yang dimohonkan bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta merta berarti diskriminasi. Namun, MK berpendapat bahwa dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata103 104 Lihat Pasal 3 UU No 8 Tahun 2015 Lihat Pasal 39 UU No 8 Tahun 2015 51 mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya yakni hak dipilih atau mencalonkan diri.105 Kedua, Putusan MK No. 38/PUU-XIII/2015. Dalam judicial review ini memohon dilakukan pengujian atas Pasal 1 angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s UU No.8 Tahun 2015. Pada amar putusan MK menyatakan rumusan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Adapun bunyi pasal yang dimohonkan adalah sebagai berikut, “Anggota DPR, atau anggota DPD, atau anggota DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan cukup memberitahukan perihal keinginannya tersebut kepada pimpinannya.”106 Berdasarkan putusan MK tersebut maka setiap calon kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, maupun DPRD dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Ketiga, Putusan MK No.60/PUU-XIII/2015. Pasal yang dimintakan pengujian adalah Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No.8 Tahun 2015, pengajuan tersebut terkait persyaratan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang didasarkan jumlah penduduk. MK memberikan putusan bahwa rumusan pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. 105 Hal ini dikarenakan menghambat Lihat putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/33_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015 106 Lihat Putusan MK No. 38/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/38_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2016. 52 pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum. Akan tetapi putusan MK tersebut diterima dengan syarat terkait.107 Keempat, Putusan MK No 42/PUU-XIII/2015, Pasal 7 huruf g UU No.8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional). Permohonan judicial review terhadap syarat calon kepala daerah yang tidak boleh dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.108 Kelima, Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015, adapun norma yang dimintakan pengujian adalah Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), UU No.8 Tahun 2015 pada pokoknya pemohon berpusat pada masalah terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan oleh adanya ketentuan dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian yang mempersyaratkan paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. 109 Pada kondisi demikian Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015. Di dalam Pasal 54 ayat (5) Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 menyatakan, 107 Lihat Putusan MK No.60/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/60_PUUXIII_2015.pdf, 108 Lihat Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/42_PUUXIII_2015.pdf, 109 Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015. 53 “dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon atau tidak ada pasangan calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan pemilihan diselenggarakan pada pemilihan serentak berikutnya.” Mahkamah berpendapat bahwa rumusan pasal tersebut bertentangan dengan semangat UUD 1945 jika pemilihan kepala daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya, sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh.110 Kemudian mahkamah menilai bahwa mekanisme pemilihan dilakukan melalui referendum (dengan menyatakan setuju atau tidak setuju) pada rakyat yang mana sebelumnya terdapat wacana dilakukannya aklamasi.111 Pengujian undang-undang mengenai pilkada di MK memberikan indikasi bahwa formulasi dari undang-undang pemilihan kepala daerah masih belum sempurna. Apabila kondisi demikian dibiarkan tentunya akan menimbulkan problematika hukum pada tataran teoritik maupun sosiologis. Di satu sisi, hal tersebut terjadi dikarenakan alur demokrasi baik di pusat maupun di daerah terus berjalan sehingga dinamika pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah harus mengikuti. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum 110 Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015. 111 Lihat Putusan MK No 100/PUU-XIII/2015, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/100_PUUXIII_2015.pdf, diakses 1 Januari 2015. 54 itu ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.112 112 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 154. 55