Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers (Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia) Editor: Imam JP Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana 1. dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual 2. kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers vi Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers (Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia) Dr. Naungan Harahap, SH.,MH. Editor: Imam JP Perwajahan Isi dan Sampul: Bud Sr Cetakan I: 2014 ISBN: 978-602-7936-19-5 Diterbitkan oleh: Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2014, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Gedung Dewan Pers, Lt. 4 Jln. Kebon Sirih No. 34 Jakarta Pusat 10340 Telp. 021-3453131, Fax. 021-345175 Dicetak Oleh : PT. Semesta Rakyat Merdeka Hak cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved Sambutan vii H. Margiono Sambutan Ketua Penanggung Jawab Hari Pers Nasional 2014 Menjaga Semangat Berdemokrasi Dan Kebebasan Berekspresi Assalamualaikum Wr. Wb. S yukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Ilahi bahwa kita masih dianugerahi begitu banyak nikmat, terutama nikmat kesehatan dan kemampuan berpikir jernih, agar selalu mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat baik bagi masyarakat pers pada khususnya maupun bagi bangsa dan negara ini pada umumnya. viii Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Masyarakat seringkali menempatkan pers dengan sejumlah sebutan, salah satunya sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif. Sebutan semacam ini merupakan harapan dari masyarakat, dan sekaligus menjadi tantangan para wartawan dan pengelola perusahaan pers. Oleh karena, masyarakat semakin kritis dan cerdas, sehingga mereka juga menuntut wartawan yang sadar akan profesi, beretika jurnalistik, terampil dalam menyikapi kemajuan zaman dan membela kepentingan publik. Tahun ini pers nasional kembali harus membuktikan harapan masyarakatnya, karena Indonesia memasuki kelanjutan babak berdemokrasi melalui pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden. Apalagi, masyarakat semakin memiliki akses informasi dari berbagai sumber melalui produk kemajuan teknologi informasi berbasis internet. Pers bukan lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri, pers juga memanfaatkan internet dan informasinya tetap dipercaya masyarakat karena pers memiliki kode etik jurnalistik yang sudah menjadi hukum besi, yakni “akan patah kepercayaan masyarakat bilamana pers melanggar kode etiknya.” Hal semacam ini sejalan pula dengan kenyataan berkaitan tingkat kepercayaan masyarakat berinformasi di internet. “If you lie, you die.” ( Jika Anda berbohong, maka Anda mati). Inilah realitas dalam keterbukaan informasi. Menghadapi realitas inilah pers, terutama wartawan, semakin perlu meningkatkan kompetensi dengan senantiasa memperkaya wawasannya. Salah satunya wartawan menulis buku. Buku adalah mahkota bagi wartawan, di tengah kesibukan berkarya jurnalistik di perusahaan persnya masing-masing. Dalam kaitan inilah, kita patut bersyukur atas terbitnya buku-buku karya wartawan dan tokoh pers nasional yang diterbitkan dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2014. Hal ini telah dimulai sejak Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama ini buku-buku yang ditulis oleh kalangan pers tidak wajib Sambutan ix murni ilmiah-akademis sebagaimana banyak dilakukan oleh pakar di perguruan tinggi. Namun demikian, para wartawan atau tokoh pers patut pula kita yakini bahwa gagasan yang dituangkan dalam bentuk artikel dan telaah kritis bergaya jurnalistik layak bersanding dengan karya ilmiah populer. Saya secara khusus menghaturkan banyak terima kasih kepada para wartawan dan tokoh pers nasional yang telah meluangkan waktu dan berbesar hati menyumbangkan buah pikirnya, sehingga menjadi tradisi penerbitan buku-buku ini. Berbagai tulisan berkaitan dengan jurnalistik, kinerja pers, perusahaan multimedia massa, etika dan hukum pers, serta tema-tema lain yang disajikan oleh wartawan dan tokoh pers ini layak menjadi referensi melek media (media literacy) guna menambah wawasan para pemangku kepentingan pers nasional yang bersemboyan: “Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat.” Dan, tahun ini Hari Pers Nasional (HPN) yang puncak acaranya berlangsung di Bengkulu, Bumi Bunga Rafflesia, berfokus mengenai “Pers Sehat, Rakyat Berdaulat.” Bengkulu memiliki sejarah panjang bagi masyarakat dunia dengan kehadiran Sir Thomas Stamford Raffles selaku Gubernur Bengkulu untuk kepentingan Kerajaan Inggris pada 1818 hingga 1824. Bersama pakar botani Dr. Arnoldi, Raffles menjumpai bunga berukuran besar yang kemudian dikenal dengan nama Rafflesia Arnoldi. Sejarah nasional juga mencatat posisi strategis Bengkulu, karena salah seorang bapak bangsa dan proklamator kemer­dekaan Republik Indonesia, Soekarno, diasing­ kan pemerintah penjajah Belanda pada 1938 hingga 1942. Di Bengkulu inilah, Soekarno mematangkan sejumlah gagasannya, termasuk untuk mewujudkan kemerdekaan negerinya, Indonesia. Tidak sedikit catatan penting ditorehkan Soekarno mengenai cita-cita untuk bangsanya untuk merdeka di Bengkulu. Insya Allah gagasan Soekarno demi bangsanya juga dapat memberikan semangat bagi insan pers nasional melalui penerbitan buku-buku ini, menuju kebaikan kehidupan berdemokrasi dan menjaga kebebasan x Dr. Naungan Harahap, SH., MH. berekspresi maupun kebebasan pers seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 9 Februari 2014 H. Margiono (Ketua Umum PWI Pusat) Sambutan xi Rita Sri Hastuti Sambutan Ketua Panitia Pelaksana Hari Pers Nasional 2014 Berbagi Pemikiran dan Pengalaman Assalamualaikum Wr. Wb. B agi wartawan, buku adalah monumen. Dengan kata lain, puncak karya seorang wartawan adalah menulis buku. Tidak heran bila banyak wartawan yang telah merasa cukup lama di lapangan, kemudian menulis buku. xii Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Sebuah pepatah Cina yang sering disebut-sebut oleh para motivator penulisan, mengatakan, “seburam-buramnya catatan, lebih baik daripada lupa”. Dengan menuliskan pengalaman-pengalamannya—baik yang sudah pernah diungkap di media maupun yang belum—dalam sebuah buku, maka jejak-jejak pemikiran sang penulis terekam di dalamnya. Itulah yang diinginkan seorang wartawan. Segala kegelisahannya, pemikirannya yang kritis—yang mungkin tak semua bisa diungkapkan di media massa—dapat dikeluarkannya di dalam buku. Bagi wartawan, menulis adalah segalanya. Menulis tidak saja membuat dirinya “diakui”, tetapi lebih dari itu–menulis adalah sesuatu yang membahagiakan. Namun, lebih dari itu, buku yang ditulis oleh wartawan sangat diharapkan dapat ikut mencerdaskan bangsa, karena isinya yang berdasarkan pengamatan panjang dapat memperluas cakrawala pemikiran pembacanya. Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir, Hari Pers Nasional (HPN)—yang diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PWI dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985—ditandai dengan penerbitan buku-buku yang ditulis oleh wartawan Indonesia. Sesuai dengan yang diamanatkan UU Pers Nomor 40/1999, Pasal 3 bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Meski tidak melalui media cetak atau elektronik, wartawan yang berkompetensi tinggi akan mempunyai pikiran yang sama dalam memilih topik dan bahasa dalam buku yang ia terbitkan. Artinya, melalui buku, dia juga memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Melihat semakin bertambahnya jumlah buku yang diterbitkan dalam rangka HPN, tentu sangat menggembirakan. Hal itu menandakan bahwa memang semakin banyak wartawan Indonesia yang tidak saja ingin merekam pengalamannya, tetapi juga berbagi pengalaman dan pemikiran sebagai bagian ikut mencerdaskan bangsa. Sambutan xiii Dengan demikian, tema HPN 2014, “Pers Sehat Rakyat Berdaulat”, tak semata-mata diperlihatkan melalui media massa, tetapi juga melalui buku-buku yang ditulis oleh wartawan Indonesia. Selamat membaca, semoga bermanfaat bagi Anda. Jakarta, 9 Februari 2014 Rita Sri Hastuti (Ketua Panitia Pelaksana HPN 2014) Dr. Naungan Harahap, SH.,MH. Pengantar Penulis Bismillahirrahmanirrahim S yukur alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puja dan puji penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan judul “Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers: Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia”. Penulisan buku ini merupakan sumbangan untuk memenuhi jadwal kegiatan panitia pelaksanan pusat dalam memperingati Hari Pers Nasional (HPN) dan hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tahun 2014. Karya ilmiah ini sebagian besar sumber tulisan disusun dari naskah Disertasi S3 Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Sambutan xv yang dipertahankan oleh penulis dalam sidang terbuka Guru Besar promosi doktor di Bandung pada tanggal 8 Agustus 2012 dengan judul; ”Kajian Hukum Persaingan Usaha Industri Media Massa Nasional Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers Dalam Tujuan Negara Kesejahteraan”. Bahanbahan penulisan diperoleh dan diolah melalui serangkaian kegiatan penelitian studi lintas disiplin ilmu, ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu komunikasi. Obyek tulisan fokus pada variabel-variabel kajian hukum bisnis, praktik monopoli industri media massa, pengamatan terhadap pers, kemerdekaan pers, dan negara kesejahteraan serta fenomena persaingan industri media massa, baik cetak maupun elektronik. Membahas Kemerdekaan pers yang sudah dikenal di Indonesia dapat dilihat dalam sejarah pers nasional yang tidak terpisahkan dari idealisme pers untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Setelah era reformasi, berlakunya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ternyata fungsi dan peran pers tidak hanya sebagai penyebar informasi publik, melainkan berkembang menjadi lembaga ekonomi yang mengutamakan aspek komersial. Keberadaan industri media massa ini memberikan pengaruh positif ataupun negatif pada pembangunan demokrasi dan negara kesejahteraan. Penulis menyadari bahwa buku ini belum sempurna. Materi dan isi di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan. Segala tegur sapa ataupun kritik yang objektif dan konstruktif selalu penulis harapkan dan akan diterima dengan senang hati. Selesainya tulisan ini tidak terlepas dari adanya bimbingan, arahan, dan saran positif serta dorongan dari semua pihak, khususnya tim promotor. Untuk itu, ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam dan penghargaan yang tulus pertama-tama penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H. selaku Ketua Tim Promotor/Guru Besar Ilmu Hukum Bisnis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Prof. Djuhaendah adalah ketua Tim Promotor I (S-3) dan Ketua Pembimbing Tesis (S-2), komunikasi dengan beliau selalu berjalan lancar. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. H. xvi Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb. selaku anggota Tim Promotor II. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum Prof. Dr. H. Pontang Moerad BM, S.H. anggota Tim Promotor III. Pada April 2011, beliau wafat saat persiapan sidang Seminar Hasil Penelitian (SHP), serta Prof. Huala Adolf, S.H., L.L.M., Ph.D., FCBArb. yang bersedia menjadi penguji. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Tim Pembahas Oponan Ahli, yaitu Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, S.Sos., L.L.M, Almarhum Prof. Dr. H. Yudha Bhakti, S.H., M.H., Dr. Supraba Sekarwati W., D.H., CN dan Prof. Dr. Gde Panca Astawa, S.H., M.H. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir., DE.A, beserta para pembantu rektor dan Dekan Fakultas Hukum Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H. Demikian juga kepada Direktur Pascasarjana Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ir. Mahfud Arifin, M.S. beserta para asisten direktur dan semua karyawan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor ilmu hukum. Pihakpihak lain yang telah berjasa kepada penulis dalam penulisan disertasi ini antara lain Rektor dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara beserta staf. Demikian pula semua guru penulis di SDN 21, SMPN 2, SMP Perguruan Rakyat Padangsidempuan Sumatra Utara, dan SMKN Jakarta. Penulis juga mengapresiasi bantuan tokoh Dewan Pers di Jakarta, antara lain Bung Bambang Harymurti (wakil ketua), Bung Wina Armada Sukardi (anggota) beserta staf yang telah memberikan kesempatan penelitian dan pengumpulan data untuk penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada jajaran pimpinan Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI, Kepala Biro Humas dan Hukum Bapak Ahmad Junaidi dan staf Ibu Erika Rovita Maharani yang telah memberikan kesempatan wawancara dan pengumpulan data. Sambutan xvii Tak lupa, penulis juga menyampaikan rasa bangga kepada rekan-rekan seprofesi di bidang kewartawanan dan pengurus PWI, khususnya kepada anggota Dewan Pers Bung Wina Armada Sukardi, S.H., M.M., M.B.A. yang terus memberikan dukungan moril sebagai partner diskusi tentang hukum pers dan kode etik jurnalistik Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan pengurus/anggota DPC Ikadin Bandung, khususnya advokat Bung Tigor Gultom, S.H., M.H. teman berdiskusi. Secara khusus, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua rekan mahasiswa S-3 angkatan tahun 2007-2008. Demikian pula kepada rekan-rekan lain, terima kasih atas semua bantuannya. Selanjutnya, sebagai rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah Swt., ungkapan perasaan bangga dan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis persembahkan kepada ayahanda H. Harun Harahap (almarhum) Gelar Mangaraja Bangun Dipabuat, Ibunda Inang Hj. Tiolin Siregar (almarhumah) yang sudah berpulang ke pangkuan Ilahi ketika penulis masih kecil. Disertasi ini ananda persembahkan kepada orangtua sebagai salah satu perwujudan cita-cita pendidikan kepada anak-anak saleh yang ditinggalkan. Begitu juga kepada mertua, Bapak M. Suyono (almarhum) dan Ibu Hj. Siti Rukoyah (almarhumah), terima kasih atas segala doa dan perhatian selama hidup. Rasa hormat dan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada ketiga saudaraku, kakanda Hj. Nurhayati, Hj. Purnama Bulan, dan abanganda Godung Humala (almarhum). Ketika penulis masih kecil, merekalah yang mendidik dan selalu memotivasi penulis untuk meraih cita-cita sampai ke pendidikan tinggi. Kepada istri tercinta, Hj. Yenny Rukiyani, anak-anak tersayang Adhya Rajasandi Harahap, S.E. dan Annisa Nurbaiti, S.E. (Ak.), terima kasih tak terhingga atas andil besar berupa dorongan moril, semangat, dan doa sejak penulis mengikuti kuliah di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, sampai saat menempuh ujian akhir dan selesainya xviii Dr. Naungan Harahap, SH., MH. penulisan disertasi ini. Khusus kepada istri dan ananda Adhya dan Annisa, terima kasih atas kerelaan hilangnya sebagian waktu untuk berkumpul bersama selama ini. Semoga apa yang ayah jalani untuk memenuhi syarat pendidikan doktor ilmu hukum dapat menjadi teladan dan motivasi bagi kalian dalam menuntut ilmu di masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap disertasi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam tulisan ini. Billahi taufik walhidayah. Wassalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh. Bandung, Februari 2014 Penulis Dr. H. Naungan Harahap Sambutan xix Daftar Isi Sambutan Penanggung Jawab Hari Pers Nasional 2014 |vii Sambutan Panitia Pelaksana Hari Pers Nasional 2014 |xi Pengantar Penulis |xiv Bab I Hukum Persaingan Industri Media Massa Dan Kemerdekaan Pers |1 A. Komersial dan Idealisme Pers |1 B. Pers Bisnis Sejak Orde Baru |6 C. Peran Pers dan Pelanggaran Delik Pers |9 D. Larangan Praktik Monopoli Media Massa |12 E. Perubahan Ketatanegaraan |18 F. Kemerdekaan Pers dan Kode Etik |24 Bab II Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan |32 A. Pengertian dan Istilah Media Massa |32 B. Landasan Teori |34 C. Persaingan Usaha Menuju Negara Kesejahteraan |49 1. Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila |60 2. Aspek Moral dalam Persaingan Usaha |65 3. Pembangunan Hukum dalam Persaingan Usaha |67 D. Demokrasi dan Kemerdekaan Pers Mewujudkan Kesejahteraan |69 1. Pers Pilar Demokrasi |74 2. Demokrasi dan Kontrol Sosial Pers |78 3. Kemerdekaan Pers dan Pembangunan Hukum dalam RPJP |80 xx Dr. Naungan Harahap, SH., MH. xx 4. Pendekatan Kemerdekaan Pers |83 5. Kemerdekaan Pers Mendukung Negara Kesejahteraan |83 E. Fungsi Media Massa Meningkatkan Kesejahteraan |85 1. Fungsi dan Peran Dewan Pers |87 2. Fungsi dan Peran Organisasi Pers dan Perusahaan Pers |91 3. Fungsi dan Peran KPPU |94 F. Ruang Lingkup Industri Media Massa |97 1. Hukum Media Massa |100 2. Kode Etik Profesi |102 - KEJ Dewan Pers |106 G. Sistem Regulasi Persaingan Usaha |111 1. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat |112 2. Industri Media Massa |115 H. Aspek-aspek Hukum Media Massa |120 1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers |120 2. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran |123 3. UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE |125 4. UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP |127 I. Persyaratan Mendirikan Perusahaan Media Massa pada Era Orde Lama, Orde Baru, Hingga Reformasi |130 Bab III Kemerdekaan Pers Dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa |136 A. Sejarah Kemerdekaan Pers |136 1. Kemerdekaan Pers (1945–1966) |139 2. Kemerdekaan Pers (1966–1999) |145 3. Kemerdekaan Pers (1999–sekarang) |150 xxi B. C. D. E. F. G. H. Sambutan xxi Sistem Pers di Indonesia |153 1. Pers Liberal |153 2. Pers Bebas dan Bertanggung Jawab |155 3. Kemerdekaan Pers yang Profesional |159 Ruang Lingkup Kemerdekaan Pers |162 1. Tujuan Kemerdekaan Pers |164 2. Fungsi Kemerdekaan Pers |166 Asas-asas Pers yang Baik dalam Industri Media Massa |166 1. Asas Moralitas |168 2. Asas Profesionalitas |169 3. Asas Demokratis |170 4. Asas Supremasi Hukum |170 5. Asas Keadilan |171 6. Asas Kepastian Hukum |172 7. Asas Nasionalisme |173 8. Asas Kekeluargaan |173 Peran Pers yang Baik dalam Kemerdekaan Pers |174 1. Wahana Informasi yang Positif |174 2. Mencerdaskan Masyarakat |176 3. Memenuhi Informasi Bagi Kepentingan Publik |178 4. Mengembangkan Demokrasi |181 Kegiatan Bisnis Industri Media Massa |186 1. Kegiatan Jurnalistik Berita, Artikel, dan Foto |186 2. Iklan dan Pariwara |189 Penyalahgunaan Kemerdekaan Pers dan Akibatnya |190 Perbandingan Hukum Kemerdekaan Pers di Beberapa Negara |195 1. Malaysia |198 2. Jerman |198 3. Australia |198 4. Amerika Serikat |199 xxii Dr. Naungan Harahap, SH., MH. xxii Bab IV Persaingan Usaha Industri Media Massa Diaitkan Dengan Kemerdekaan Pers |201 A. Pelaksanaan Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Usaha Media Massa |201 B. Persaingan Usaha Industri Media Massa MenujuPersaingan yang Sehat dan Sesuai Etika Profesi |207 C. Permasalahan Pelaksanaan Kemerdekaan Pers |212 D. Akibat Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat Media Massa Terhadap Kemerdekaan Pers |220 1. Manajemen Media Menuntut Keuntungan Besar |221 2. Redaksi Media Mengabaikan Etik dan Idealisme Pers |223 3. Independensi Profesionalisme Pers Terganggu |225 E. Tanggung Jawab Media Massa Terhadap Publik dan Isi Pemberitaan |225 F. Pelaksanaan Sanksi Hukum, Administrasi, Etika Pers, Hak Jawab dan Koreksi |227 1. KUH Perdata |228 2. KUH Pidana |230 3. Hukum Administrasi |236 4. Hak Jawab |238 1). Hak Jawab Dalam Etika Pers |239 2). Hak Jawab Dalam UU Pers |239 5. Hak Koreksi |243 G. Kasus-Kasus Praktik Monopoli Media, Delik Pers dan Etika di Indonesia dan Negara Lain |244 1. Praktik Monopoli Media Elektronik |244 1). Kelompok Korporasi Kepemilikan Media Massa |244 2). KPPU: Astro Langgar Hak Siar Liga Inggris |246 3). MPPI vs PT MNC |262 xxiii Sambutan 4). Praktik Monopoli Media Cetak |282 2. Kasus Delik Pers |284 (1). Tommy vs Tempo |286 (2). Prita vs RS Omni |294 (3). Infotainment vs Selebriti Luna Maya |296 (4). Lady Di vs Paparazi |297 (5). Gugatan Perdana Menteri Singapura vs New York Times |299 DAFTAR PUSTAKA |301 TENTANG PENULIS |312 xxiii Bab I Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers A. Komersial dan Idealisme Pers Dalam pembangunan industri media massa, persaingan usaha dan kemerdekaan pers masih merupakan masalah kontroversial yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Di samping fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers juga merupakan lembaga ekonomi.1 Terkait dengan adanya unsur komersial yang menjadi bagian dari industri pers, persaingan antarmedia pun menjadi semakin tinggi. Pada umumnya untuk memenangi persaingan tersebut, media berlomba memenuhi ketiga unsur yaitu faktual, aktual, dan menarik. Namun, pemenuhan ketiga unsur tersebut sering terlepas dari unsur faktualnya yang kadang-kadang ditinggalkan. Hal itu bisa mengakibatkan berita disajikan secara tidak proporsional, artinya hanya berdasarkan asumsi wartawan tanpa memisahkan fakta dan opini. Demikian pula untuk memenuhi unsur menarik, pers terkadang melanggar norma hukum yang telah ditetapkan sebagai acuan. Lihat Fungsi Pers Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 tentang Pers. 1 2 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Terkait hal ini, fungsi lembaga ekonomi yang dimiliki oleh pers dapat saja menjadi bumerang bagi pers sendiri. Sebaliknya, distorsi informasi makin sering terjadi, artinya, pers mulai berpihak kepada kelompok pengusaha pers yang lebih kuat dan berkuasa.2 Fenomena itu memperkuat adanya indikasi terganggunya kemerdekaan pers akibat dominasi bisnis pers yang mengutamakan kepentingan komersial daripada idealisme pers. Kemerdekaan pers juga telah berkembang yang antara lain ditandai dengan adanya regulasi di bidang media massa. Namun, kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kemerdekaan pers tersebut dan media massa masih berpihak pada kepentingan industri daripada kepentingan publik yang lebih luas.3 Sementara tujuan pokok kemerdekaan pers adalah pertama tersedianya segala informasi yang menjadi hak dan milik masyarakat dan kedua terlaksananya fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Namun, kalangan pers masih banyak yang belum memahami makna kemerdekaan pers itu. Menurut UU RPJP 2005-2025, aspek kelembagaan kemerdekaan pers/media massa dalam kurun waktu 20 tahun mendatang akan menjadi masalah dan tantangan terberat pembangunan nasional, terutama dalam menghadapi proses konsolidasi demokrasi; “Akses masyarakat ter­hadap informasi yang bebas dan terbuka, dalam banyak hal, akan lebih memu­ dahkan kontrol atas pemenuhan kepentingan publik; Peran media massa yang bebas sangat menentukan dalam proses menemukan, mencegah, memublikasikan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan dan korupsi; Tantangan lain adalah mengatasi berbagai dampak negatif perkembangan industri pers yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalis dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 126 3 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025. Lihat Bab II Kondisi Umum Bidang Politik, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Fokus Media, 2007, hlm.39 2 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 3 bukan mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Keseluruhan upaya tersebut berada dalam konteks menempatkan peranan pers sebagai salah satu pilar dan perkembangan demokrasi.”4 Dampak negatif yang terakhir dirasakan oleh masyarakat yakni adanya pers yang masih menganggap bahwa konsep kemerdekaan pers yang dimilikinya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Padahal kemerdekaan pers di negara-negara demokratis adalah milik masyarakat yang didelegasikan oleh rakyat melalui proses demokrasi untuk dilaksanakan oleh pers. Dampak negatif lainnya, pada kenyataannya, privasi orang ada yang terganggu dan ada norma-norma masyarakat yang dilanggar. Keseluruhan dampak dari kebebasan pers, baik itu positif maupun negatif, menimbulkan pertanyaan apakah memang sudah tepat konteks kebebasan pers yang terdapat dalam Undang-Undang Pers. Bila konteks kebebasan pers tersebut sudah tepat maka seharusnya tidak ada lagi permasalahan yang timbul. Kemerdekaan pers umumnya tidak bisa diwujudkan di dalam negara yang tertinggal atau negara yang menganut sistem pemerintahan tidak demokratis. Jadi kemerdekaan pers itu penting dalam kehidupan pers. Kebebasan pers akan lebih bermakna jika disertai tanggung jawab dan pers tidak bebas sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan itu harus bisa dipertanggungjawabkan atau dengan istilah kebebasan yang bertanggung jawab.5 Permasalahan pers Indonesia tidak bisa dilepaskan dari berbagai kendala yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan kemerdekaan pers. Pada kenyataannya, selama ini terdapat empat jenis perbuatan, tindakan, atau kebijakan yang dapat mendistorsi kemerdekaan pers yaitu melalui peraturan, birokrasi, kriminalisasi pers, dan jajaran perusahaan pers.6 Distorsi atas kemerdekaan pers yang bersumber dari insan pers atau praktisi UU RPJP, Op.cit, hlm.65. Elvinaro Ardianto dkk, Komunikasi Massa-Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hlm. 203 6 R.H. Siregar, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Dewan Kehormatan PWI, Januari 2005, hlm 151-159. 4 5 4 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. pers terjadi sebagai akibat tidak dilaksanakannya tugas-tugas jurnalistik sesuai dengan norma etik dan norma hukum. Jajaran pers itu sendiri dapat mendistorsi kemerdekaan pers. Distorsi jenis ini pada hakikatnya dapat dibagi dua, yaitu yang bersumber dari pemilik perusahaan pers dan yang bersumber dari insan pers itu sendiri. Bersumber dari perusahaan pers dimungkinkan sesuai dengan dinamika perkembangan perusahaan pers. Seperti diketahui, perusahaan pers dewasa ini sudah berkembang menjadi industri yang padat modal. Dalam kaitan ini, Mochtar Lubis7 mengatakan perkembangan perusahaan pers Indonesia telah menjadi perusahaan konglomerat dan mungkin perusahaan pers itu sendiri menjadi lembaga yang punya vested interest yang hendak dilindunginya. Apakah dengan perkembangan seperti ini kita masih dapat mempertahankan kedudukan pers Indonesia sebagai pers yang memiliki etos seperti dulu? Mochtar Lubis mengkritik, etos kerja wartawan telah terkena erosi oleh perkembangan perusahaan pers yang mengharuskan mereka melakukan kompromi untuk me­lin­dungi kepentingan-kepentingannya.8 Yang dimaksud dengan etos wartawan Indonesia adalah kerakyatan, kemer­deka­an, dan kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran serta nilai-nilai yang mendukung hak-hak demokrasi. Etos tersebut tertanam dalam diri wartawan dari perjuangan dan pengalaman pers Indonesia selama masa penjajahan bertahun-tahun. Sementara etos pers Indonesia bersumber pada perjuangan bangsa Indonesia untuk memajukan bangsa, memerdekakan bangsa dari kaum penjajah.9 Hal tersebut semakin mengemuka pada saat “Era Reformasi” mulai berjalan. Pada saat reformasi mulai ber­gulir, pergerakan pers pun mulai mengecap kebebasan yang selama ini diimpikan. Dengan dukungan pemerintah, pers mulai menjalankan fungsi sepenuhnya dengan diber­ 7 Mochtar Lubis, Etos Pers Indonesia dalam Visi Wartawan 45, Media Sejahtera, Jakarta,1992, hlm.15.Lihat juga R.H.Siregar, Setengah Abad Pergulatan Etia Pers, Op.cit, hlm.11 8 Ibid. hlm.11 9 Ibid Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 5 lakukannnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berbagai dukungan pers lahir pada era reformasi di antaranya, pertama didapat dari perubahan ketatanegaraan yaitu konstitusi negara dengan dilakukannya amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 28F dinyatakan bahwa hak untuk berkomunikasi dan hak untuk mendapatkan informasi merupakan hak asasi manusia. Adanya Pasal 28 dan Pasal 28F merupakan dukungan dan amanat konstitusi sekaligus merupakan regulasi pers yang harus dilaksanakan bahwa, Pertama, pelaksanaan kemerdekaan pers harus dijamin. Kedua, adanya jaminan perlindungan bagi wartawan, Ketiga, hilangnya birokrasi dalam hal pendirian perusahaan pers dengan dicabutnya ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Keempat, tidak ada pemberedelan atau penyensoran, Kelima, adanya transparansi kinerja pemerintah dan semakin dekatnya hubungan antara masyarakat dan pemerintah dengan pers sebagai jembatannya, dan Keenam, masyarakat men­dapat informasi yang lebih banyak mengenai segala hal. Dengan dukungan tersebut, pers di Indonesia kemudian mengalami perkembangan yang pesat. Dalam penelitian lain ditemukan, datangnya era reformasi tidak begitu banyak berpengaruh terhadap struktur kepemilikan atau konglomerasi media.Kebebasan pers sebagai buah dari gerakan reformasi justru menambah rasa aman bagi para pengusaha media. Pada masa refomasi, pers bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis pada zaman Orde Baru.10 Meskipun sebenarnya, pada era reformasi, dengan adanya dukungan pemerintah, pembuatan sejumlah perundang-undangan yang baru dinilai positif dengan diberlakukannya regulasi di bidang media massa. Regulasi tergolong baru yang melingkupi hukum media massa, seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004, hlm. 65 10 6 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)11. Namun, dengan tercantumnya dalam perundangan-undangan tersebut yaitu adanya fungsi ekonomi, orientasi pengembangan industri media massa, baik cetak maupun elektronik mulai bergeser dari aspek pers idealis ke aspek pers komersial (bisnis). Laporan Dewan Pers menunjukkan, selama 30 tahun Orde Baru (1966-1996) jumlah penerbitan yang memi­liki SIUPP hanya sekitar 260 media. Kemudian setelah deregulasi di bidang pers mulai bergulir tahun 1999, jumlah penerbitan melonjak tajam menjadi 1381. Tahun 2001, jumlahnya bertambah menjadi 1881. Namun, hanya ber­selang beberapa bulan saja ternyata 70 persen berhenti terbit dan akhir tahun 2001 media cetak tinggal 566 penerbitan, selebihnya kolaps, gulung tikar, dan akhirnya mati. Keadaan itu memprihatinkan pebisnis pers dalam mengembangkan investasi, karena modal kerja, dan sumber daya manusia yang tersedia tidak dapat diberdayakan secara optimal.12 B. Pers Bisnis Sejak Orde Baru Di Indonesia, indikasi praktik pers bisnis sudah terjadi sejak pada masa Orde Baru (1966-1998), sedangkan sebe­lumnya yakni pada masa Orde Lama (1945-1965) media massa nasional masih menganut pers perjuangan atau idealis. Pada era Orde Baru ketentuan mengenai media massa yaitu UU Pokok Pers No.11/1966 jo. No.4/ 1967 diubah menjadi UU Pokok Pers No. 21/1982. Perubahan ini sekaligus menandai era baru dalam pers Indonesia. Selain terkait dengan politik dan hukum, pers Empat undang-undang di bidang media cetak dan elektronik yaitu UU Nomor. 40 Tahun 1999 tentang Pers mulai berlaku tanggal 23 September 1999 LNRI Tahun 1999 Nomor 166, UU Nomor 32 Tahun 2005 tentang Penyiaran berlaku tgl. 28 Desember 2002 LNRI Tahun 2002 Nomor 139, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentahg ITE berlaku tgl. 21 April 2008 LNRI Tahun 2008 Nomor 58, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, berlaku tgl 30 April 2008 LNRI Tahun 2008 Nomor 61. 12 Laporan Dewan Pers Tahun 2008. 11 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 7 Indonesia juga mulai bermain bisnis 13. Perkenalan pers Indonesia dengan bisnis semakin akrab setelah keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Surat Keputusan Menpen No. 214A/Kep/Menpen/1984 mengenai tata cara memperoleh SIUPP. Sejak itulah pengelolaan pers tak ubahnya mengelola bisnis lain sehingga mengaburkan makna idealisme yang selama ini menjadi ciri pers Indonesia.14 Bagaimanapun, hadirnya regulasi SIUPP pada masa itu telah menjadi tonggak penting bagi munculnya kelompok-kelompok perusahaan media yang bermodal kuat. Dengan kekuatan modalnya, mereka bisa memperoleh SIUPP baru dari Departemen Penerangan (sekarang Menkominfo) atau membeli SIUPP surat kabar lain yang kehabisan modal untuk bertahan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, akibat perubahan regulasi di bidang pers ini interaksi yang terjadi bukan lagi antara insan pers dan pemerintah melain­kan berkembang antara pengusaha media dan penguasa politik. Para pihak saling bersinergi mencari keuntungan: penguasa memperoleh stabilitas, sedangkan peng­usaha mendapatkan fasilitas.15 Dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Pers, dinyatakan bahwa pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dalam penjelasan ayat tersebut, disebutkan bahwa perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.16 Perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan fungsi lembaga ekonomi yang dimiliki oleh pers karena hal itu akan berkaitan Ibnu Hamad, Op.cit, hlm.64 Ibid, hlm 64 15 Ibid, hlm 65, lihat Sen,Krishna and David T Hill, Media, Cultures, and Politics in Indonesia, Cictoria: Oxford University Press, 2000, ch,2,hlm.51-71, Yasuo Hannazaki, Pers Terjebak (terjemahan), Jakarta, ISAI,1998 dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik. Fenomena SIUPP ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Kelompok Kompas-Gramedia (KKG), Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, Grafiti/Jawa Pos Grup. 16 Op.cit, Penjelasan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 13 14 8 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dengan Pasal 10 Undang-Undang Pers. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawannya dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kese­jahteraan lainnya.” Berkaitan dengan kepemilikan saham, berlaku ketentuan dalam undang-undang PT dan Undang-Undang Pasar Modal. Jadi, sangatlah penting hal ini dijelaskan lebih lanjut agar tidak terjadi perbenturan mengenai penjelasan untuk hal tersebut. Untuk mencapai tujuan-tujuan komersial, tidak jarang terjadi kelompok-kelompok media terlibat persaingan dan menimbulkan per­ saingan usaha yang tidak sehat antar- media massa cetak dan elektronik. Kini persaingan tidak wajar di lingkungan industri media massa itu makin transparan, baik dalam mencari produk pemberitaan atau jasa informasi maupun dalam monopoli saham kepemilikan perusahaan. Pada umumnya kasus-kasus persaingan usaha tidak sehat terkait dengan media massa mencakup praktik penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar, kartel, dan kepemilikan saham mayoritas pada dua atau tiga lebih perusahaan. Selain itu kasus yang agak menarik perhatian akhirakhir ini adalah pelanggaran oleh grup bisnis perusahaan pers berupa penyebaran koran dan jaringan frekuensi radio, dan televisi. Para pelaku usaha dalam kasus ini berusaha dengan cara memanfaatkan jaringan publik domain secara ilegal. Di bidang industri media elektronik terdapat indikasi adanya upaya menuju monopoli oleh “televisi swasta nasional” yang menguasai televisi lokal. Televisi tersebut berusaha untuk menguasai jaringan. Dengan menguasai jaringan, praktiknya akan terjadi wajib tayang. Program siaran yang diatur oleh televisi nasional dari Jakarta secara sepihak harus disiarkan oleh televisi lokal di daerah. Jika hal itu terjadi, akibatnya akan dapat merugikan pemirsa televisi lokal di daerahdaerah dan dapat mengancam prinsip kemerdekaan pers. Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam laporannya menyebutkan, mereka menemukan adanya kasus persaingan kepemilikan saham mayoritas di bidang televisi swasta yang dilakukan kelompok- Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 9 kelompok televisi swasta nasional, antara lain Media Nusantara Citra (MNC). Kelompok media ini menguasai mayoritas kepemilikan tiga stasiun televisi swasta nasional yaitu RCTI, Global TV, dan TPI (sekarang bernama MNCTV). Kelompok Bank Mega “Trans TV” dengan “TV-7” milik grup Kompas. Kedua kelompok media ini membentuk satu stasiun televisi bernama Trans-7 yang kepemilikan saham mayoritasnya dimiliki oleh Bank Mega. Grup Bakrie ANTV membeli perusahaan Lativi. Kerja sama televisi swasta yang disebut terakhir ini kemudian membentuk TV One. Grup koran Media Indonesia mendirikan Metro TV, serta Grup TV Indosiar dengan Radio Elshinta. Di bidang media cetak juga terjadi adanya praktik kepemilikan saham mayoritas seperti grup koran Jawa Pos dan Radar dengan televisitelevisi lokal, antara lain TV Batam. Grup Harian “Bali Pos” dengan Bali TV, Yogyakarta TV, Bandung TV. C. Peran Pers dan Pelanggaran Delik Pers Di samping terjadinya kasus persaingan usaha tidak sehat antarmedia massa di Indonesia, banyak media massa juga terkait dengan delik pers dan mendapat klaim dari masyarakat. Bahkan menurut laporan Dewan Pers, beberapa media massa diperkarakan ke pengadilan melalui perdata dan pidana dengan tuntutan ganti rugi sangat besar jumlahnya.17 Contoh di dalam negeri, kasus-kasus pencemaran nama baik terkait dengan mantan Ketua DPA, Baramuli yang menuntut majalah Info Bisnis. Tommy Soeharto vs majalah Gatra. Harian Kompas, majalah Tempo, dan Koran Tempo digugat oleh Marimutu Sinivasan dari Texmaco. Majalah Time vs Soeharto, dan kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional.18 Penghinaan atau pencemaran nama baik dan fitnah (libel atau slander) adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk Log.cit, Laporan Dewan Pers Harian Kompas, Jakarta, Desember, 2009. 17 18 10 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. melawan media massa. Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, tetapi bentuk penghinaan dikenal adanya pencemaran tertulis, penghinaan ringan, pengaduan dan tuduhan fitnah. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, tetapi bisa dikenakan untuk pers dengan ancaman hukuman bervariasi, antara empat bulan dan enam tahun penjara. Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, dengan Pasal 310 KUHP.19 Terkait dengan tanggung jawab hukum pers, Loebby Loqman20, mengatakan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidak memuat pertanggungjawaban sehingga pertanggungjawaban dalam bidang pers tunduk pada aturan yang umum, yaitu pertanggungjawaban yang ada dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam perkara pidana, pertanggung jawaban didasarkan atas asas “tiada hukum tanpa kesalahan” sehingga harus dicari siapa orang yang bersalah. Orang yang bersalah itulah yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. KUHP mengatur sistem penyertaan. Menurut Loebby, Undang-undang Pers yang terdahulu yaitu UU Pers No. 11 Tahun 1966 dan UU Pers No. 21 Tahun 1982, menganut sistem pertanggungjawaban fiktif bagi kejahatan melalui alat cetak yang diatur dalam Pasal 61 dan 62 KUHP. Tidak adanya pertanggungjawaban pers dalam Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang menyebabkan adanya risiko tuntutan hukum kepada pers. Untuk itu, Loebby berpendapat harus dicari sejauh mana terdapat penyertaan dalam dunia pers. Hal itu tentu merupakan risiko yang harus ditanggung oleh insan pers, dan termasuk adanya kebebasan pers.21 Bagir Manan22 berpendapat, sistem pertanggung­jawaban pers tersebut 19 Ibid , hlm.15-18. Loebby Loqman, Hukum dan Pembelaan Wartawan, makalah pada Pelatihan PWI, Cisarua Bogor, Juli 2001. 21 Ibid 22 Bagir Manan, Pers dan Hakim, makalah disampaikan dalam Pelatihan Saksi 20 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 11 dapat ditinjau dari dua hal, yaitu sifat serta tanggung jawab individual dan tanggung jawab menurut kaidah profesi. Menurut Bagir Manan, pertama; sifat dan tanggung jawab individual, misalnya kasus pence­maran tertulis (Pasal 310 ayat 2), mensyaratkan harus ada unsur publikasi penyiaran (disiarkan), sedangkan yang memutuskan suatu berita disiarkan atau tidak disiarkan adalah redaksi, bukan wartawan. Walaupun berita itu ditulis oleh wartawan, tetapi kalau tidak disiarkan belum memenuhi unsur pidana. Redaksi yang memutuskan menyiarkan itulah yang memenuhi unsur pidana. “Semestinya redaksi yang bertanggung jawab secara kepidanaan karena redaksi memenuhi unsur perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijk)”23 Kedua; sifat dan tanggung jawab menurut kaidah profesi. Dikemukakannya, apabila suatu pertanggungjawaban hukum semata-mata sebagai akibat atau timbul karena pekerjaan profesi yaitu dari kegiatan jurnalistik, maka semua pertanggungjawaban pertama-tama harus didasarkan pada asas dan kaidah profesi yaitu ketentuan-ketentuan etik dan ketentuan hukum yang mengatur profesi. Relevan dengan pernyataan tersebut, Andi Samsan Nganro24 mengatakan bahwa kebebasan pers sifatnya tidak absolut. Kebebasan pers harus diimbangi dengan tanggung jawab. Selain itu, Yenti Garnasih25 mengatakan tentu saja kebebasan pers itu berkaitan dengan kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, dalam penerapan hukum pers, ancaman pidana harus tetap merupakan iltimum remedium, maksudnya asas perbuatan pidana tersebut bukan meniadakan ancaman pidana tetapi harus mem­ pertimbangkan untung-ruginya ancaman pidana. Sehubungan dengan fungsi dan peran pers yang demikian penting dalam negara demokrasi, para pihak ada yang mengusulkan agar Khusus Ahli Dewan Pers, Batam, Juni 2010, dan ceramah pada Calon Hakim, di Mega Mendung, Bogor, Mei 2010. 23 Ibid 24 Andi Samsan Nganro, Pasal-asal Pencemaran Nama Baik dan Kemerdekaan Pers, makalah pada Seminar Dewan Pers, Jakarta, Januari 2010.. 25 Yenti Garnasih., Log.cit 12 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. pelanggaran terhadap nama baik dan kehormatan yang dilakukan oleh pers tidak langsung dituntut secara pidana, tetapi lebih dahulu digunakan sarana yang ada dalam Undang Undang Pers. Mengenai ancaman hukuman, tidak dikenakan dengan hukuman pidana tetapi cukup dikenakan sanksi perdata.26 Terkait dengan perbedaan persepsi hukum positif mana yang akan diterapkan, apakah UU Pers atau KUHPidana, dalam delik pers perlu dicari solusi untuk memperoleh kepastian hukum, mengingat kegiatan dan kehidupan manusia sangat luas sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan atau perundang-undangan yang tuntas dan jelas. Untuk itu, harus diupayakan adanya pembentukan hukum atau yurisprudensi oleh hakim melalui vonis di pengadilan.27 Yang dimaksud dengan pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Kegiatan demikian meru­ pakan proses konkretisasi atau individualisasi per­ aturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein) tertentu.28 Hakim dapat disebut sebagai pembentuk hukum semu atau quasi legislator. Karena UU sering tidak jelas, bersifat umum dan abstrak, maka hakim harus mencari hukumnya.29 D. Larangan Praktik Monopoli Media Massa Dalam era demokrasi ekonomi ini tentu saja tidak mudah untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.30 Permasalahannya semakin J. Satrio,Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.106. 27 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 79-80. 28 Ibid, hlm.81 29 Ibid, hlm.83, lihat juga C.F.G Sunaryati Hartono dalam Peranan Pengadilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional”, Binacipta, Bandung, 1975 hlm.9 30 Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara RI. Lembaran Negara RI Tahun 1999 26 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 13 berat terutama di tengah situasi yang sedang menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika. Di samping itu, kebijakan komunikasi dan informasi nasional belum optimal.31 Dengan perkataan lain, dikemukakan oleh Sunaryati Hartono32 bahwa bangsa Indonesia mengidamkan suatu masya­ rakat yang adil dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar (seimbang, tidak ekstrem) dan berperikemanusiaan, sehingga tercapai keselarasan, keserasian, dan ketenteraman di seluruh negeri. Peningkatan peran media komunikasi dan informasi di satu sisi akan menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi demokrasi,33 sedangkan di sisi lain media massa dalam menjalankan fungsinya secara otonom dan independen belum optimal. Jaringan media massa masih diha­dapkan pada terbatasnya kapasitas, jangkauan, dan kualitas sarana dan prasarana media massa serta kualitas sumber daya manusia. Keadaan ini telah mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses informasi.34 Program pengembangan komunikasi, informasi, dan media massa bertujuan meningkatkan peran pers dan media massa dalam memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh infor­masi secara bebas, transparan, dan bertanggung jawab, serta dalam rangka mewujudkan masyarakat informasi menuju masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam hal ini, pemerintah melakukan kegiatan pokok antara lain memfasilitasi peninjauan atas aspek-aspek politik terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan pers dan media massa, dan pengkajian serta pene­litian yang relevan dalam pengembangan kualitas dan kuantitas Nomor 42, Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, Februari 2004, hlm.1 31 Perpres RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, Log.cit. hlm. 41-42, 125,128 32 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni Cetakan Kesatu, Bandung, 1991, hlm. 3 33 Log.cit – Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, hlm. 33-34 34 Ibid 14 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. informasi dan komunikasi.35 Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan proses globalisasi telah memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai-nilai bisnis yang berkembang dan hidup di Indonesia. Wolfgang G. Friedman36 menggambarkan bahwa globalisasi merupakan hal yang tidak bisa ditolak lagi oleh setiap bangsa karena di dalamnya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dalam aktivitas manusia. Alfin Toffler mengatakan, tekno­ logi komunikasi telah menciptakan globalisasi dunia dan mengakibatkan kegiatan bisnis saling mempengaruhi. Dalam kaitan ini, Djuhaendah Hasan37 menyatakan dalam era global, pengaruh ekonomi global selalu melekat dalam hukum bisnis. Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur soal pertentangan kepentingan antarpelaku usaha saat satu pelaku usaha merasa dirugikan oleh tindakan pelaku usaha lainnya.38 Dengan kata lain, persaingan usaha dapat dipahami sebagai kondisi persaingan di antara pelaku usaha yang berjalan secara tidak fair.39 Hal itu disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan perekonomian negara. Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan oleh para pihak dan akan efektif apabila konsep hukum tersebut difasilitasi dengan instrumen hukum yang bersifat pemaksa (imperative).40 Instrumen atau alat hukum dimaksud adalah dengan berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk Indonesia, undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat memiliki lan­ dasan konstitusional yakni bid WG.Friedman, New York Times, artikel surat kabar, New York. Lihat laporan Utama Majalah Biskom, Jakarta, Volume Mei 2008, hlm. 8 dan Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, YOI, Jakarta, 1996, hlm. 11 37 Djuhaendah Hasan (ed), Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Pembangunan Hukum Indonesia , Kumpulan tulisan dalam buku, Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Unpad Bandung, September 2007, hlm.9 38 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.263 39 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm.10. 40 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm. 263 35 36 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 15 Pancasila dan UUD 1945. Pasal 33 ayat (1) tentang kebebasan berusaha, ayat (2), dan (3). Dalam konsiderans ditegaskan bahwa tujuan umum yang hendak dicapai UU Larangan Praktik Monopoli antara lain; ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi kepada terwujudnya ke­ se­ jahteraan rakyat berda­ sarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan mewujudkan demokrasi ekonomi, serta mencegah pemu­satan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Apabila ingin mengetahui apakah ada atau tidak terjadi suatu kasus persaingan usaha tidak sehat dapat ditinjau berdasarkan hukum bisnis. Menurut ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999 terdapat tiga kriteria penting yang dapat digunakan untuk memenuhi unsur kasus persaingan usaha tidak sehat, yaitu pertama persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur, kedua dilakukan dengan cara melawan hukum, dan ketiga menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku.41 Sementara untuk menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara persaingan usaha berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 mensyaratkan diben­ tuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi bertugas melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan tiga kategori yang ada (perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan). Selain itu komisi memiliki kewenangan seperti mela­kukan penye­ lidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus-kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha dan; Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain dan masyarakat; serta menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.42 Oleh karena itu, dari rumusan di atas dapat dikemukakan bahwa hukum persaingan usaha pada umumnya merupakan sengketa perdata43 Dalam KUHPerdata (BW) ditemukan pasal yang mengatur Ibid, hlm. 10 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm. 266-270. 43 Ibid, hlm 267 41 42 16 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. persaingan usaha yaitu Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melanggar Hukum/PMH) yang menyatakan bahwa “setiap perbuatan yang melanggar hukum dan mem­bawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannnya untuk mengganti kerugian tersebut.” Pasal ini tidak mengatur tentang persaingan usaha secara khusus. Hanya, karena keluasannya, pasal-pasal perdata itu bisa dijadikan dasar oleh mereka yang menderita kerugian akibat perbuatan curang di dalam persaingan usaha. Namun, apabila di dalam kasus persaingan usaha terdapat persaingan curang dapat juga diproses secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Terkait pembahasan mengenai perusahaan pers atau industri media massa harus mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat merugikan masyarakat. Menurut ketentuan umum Pasal 1 UU No.5 Tahun 1999, praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur dan melawan hukum. Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan. Para pengusaha media yang dekat dengan elite kekuasaan mendapat kemudahankemudahan yang berlebihan sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan seke­lompok kecil pengusaha media massa yang tidak didukung oleh idealisme pers sejatinya merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan peran media massa menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.44 Lihat penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 44 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 17 Dalam penegakan hukum, pengawasan atas pelaksanaan undangundang ini ditangani secara independen oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Berda­ sarkan perintah undang-undang, KPPU memiliki ke­we­­­nangan antara lain menjatuhkan sanksi tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ke­ten­tuan berupa pembatalan perjanjian, penetapan ganti rugi, dan mengenakan denda Rp1.000.000.000 s.d. Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah). Menurut Pasal 44 ayat (5) putusan komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Komisi bertugas melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan tiga kategori yang ada (perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan). Menurut Pasal 30-37 dinyatakan KPPU merupakan lembaga independen yang diamanatkan oleh undang-undang, sedangkan keang­ gotaannya diangkat berdasarkan Keputusan Presiden RI No.75 Tahun 1999. KPPU memi­liki tugas dan kewenangan tertentu. Sementara we­ we­nang komisi mencakup antara lain; menerima laporan dari masyarakat dan atau pelaku usaha tentang dugaan ter­jadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat; melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus-kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha, dan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain dan masyarakat; serta menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.45 Di kebanyakan negara, warga dan konsumen menerima informasi yang mereka butuhkan melalui media, termasuk surat kabar dan televisi. Media bertindak sebagai perantara yang mengumpulkan informasi dan menyebarkannya kepa­da warga dan konsumen. Simon dkk. menjelaskan, kepe­milikan media massa adalah bentuk lain dari kontrol dan monopoli 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 45 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm. 266-270. 18 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. perusahaan media massa yang dapat dimiliki oleh negara atau swasta yaitu keluarga. Dalam penelitiannya, dikemukakan kepemilikan industri media massa terbagi dalam tiga kategori yaitu negara, swasta (termasuk keluarga, yang dimiliki publik secara luas dan karyawan) dan lain-lain. Kepemilikan memberi bentuk pada informasi yang disampaikan kepada para pemilih dan konsumen, tetapi dia menegaskan kepemilikan bukan satu-satunya faktor penentu sajian berita media. Menurut Simon, negara memo­nopoli pasar media jika pangsa media yang dikuasai pemerintah melebihi 75 persen. Untuk mewujudkan suatu cita-cita keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, berarti memerlukan peningkatan pendapatan masyarakat yang berkeadilan. Monopoli dan monopsoni harus dihindari atau dikendalikan oleh negara agar tidak merugikan masyarakat, maka sistem ekonomi harus dapat mengerahkan partisipasi aktif masyarakat luas dalam kegiatan pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk mengantisipasi era globalisasi itu, agar perekonomian Indonesia dan dunia usaha di Indonesia bisa “survive” Indonesia harus memiliki nilai kecepatan, strategi, kewirausahaan, dan persaingan.46 E. Perubahan Ketatanegaraan Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, kon­stitusi negara Republik Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, terutama di bidang ketatanegaraan. Salah satu di antaranya adalah terjadinya beberapa kali amandemen terhadap isi batang tubuh UUD 1945 yang hingga saat ini telah empat kali diamandemen. Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Perubahan khusus pada Pasal 28 memberi legitimasi pada kemer­ dekaan pers. Dengan sendirinya, dengan telah diamandemennya pasal Diskusi Sehari, Perekonomian dan Dunia Usaha Indonesia, Harian Kompas, Jakarta, tanggal 9 Maret 2004 46 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 19 tersebut menjadi Pasal 28F, otomatis menempatkan aturan itu sebagai salah satu dasar hukum ketentuan di bidang pers. Pasal 28F ini juga menjadi payung hukum pers nasional yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. ** (Perubahan Kedua Tahun 2000) Bandingkan dengan isi Pasal 28 sebelum diamandemen. Perimbangan mengenai segi ideal dan komersial peru­sahaan erat kaitannya dengan sistem pers yang berlaku di suatu negara, sedangkan yang menjadi pokok per­masalahan mengenai sistem pers adalah kebebasannya. Sistem kebebasan itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yakni hak asasi manusia untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD’45. Memang secara ter­surat Pasal 28 UUD 1945 tidak menyebutkan “kebebasan pers”, tetapi secara tersirat kebebasan pers itu tersimpul di dalamnya. Kebebasan pers (freedom of the press) atau kebebasan mempunyai dan menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) serta kebebasan berbicara (freedom of speech) adalah beberapa di antara hak manusia yang asasi. Hak tersebut memungkinkan manusia tidak diganggu saat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai warga dari suatu kehidupan bersama. Istilah kemerdekaan pers dan kebebasan pers, selama rapat-rapat pembahasan RUU Pers, termasuk persoalan yang mendapat pembahasan mendalam dan kemudian istilah kemerdekaan pers disepakati sebagai ganti kebebasan pers.47 Paradigma kemerdekaan pers yang profesional dipakai untuk menggantikan paradigma “kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Dari aspek konstitusi, kata kemerdekaan pers dinilai lebih sesuai dengan Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 28 yang menjamin ke­mer­dekaan 47 Laporan Komisi I DPR RI dalam pembicaraan Tingkat IV tentang Rancangan Undang-Undang Pers, tanggal 15 September 1999. Lihat dalam Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Dewan Pers, Jakarta, November 2007, hlm. 19. 20 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Dari aspek substansi, kemerdekaan pers memiliki makna yang lebih hakiki karena kemerdekaan adalah hak asasi bagi setiap orang, termasuk insan pers, yang tidak boleh dirampas. Sementara kebebasan pers, selain dapat ditafsirkan menjadi kebebasan absolut, bebas nilai, dapat pula digunakan sebagai pembenaran terhadap kebebasan yang tanpa batas.48 Bagi dunia pers, kata “kebebasan” ataupun “kebebasan berusaha” juga dijamin oleh UUD 1945, yakni Pasal 28 dan Pasal 33. Di bidang perekonomian nasional, berdasarkan Pasal 33 dijelaskan: (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara. (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak­ muran rakyat. (4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berke­ lan­ jutan, berwawasan ling­ kungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. *** (Perubahan Keempat 2002) (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. *** (Perubahan Keempat Tahun 2002). Djuhaendah Hasan berpendapat, pada kata “kese­ jahteraan” di dalamnya terkandung pula asas pembangunan ekonomi bagi segenap bangsa Indonesia, tanpa kecuali, baik usaha besar maupun kecil. Hukum bisnis di Indonesia memperoleh dasar hukum berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, terutama dalam Pembukaan alinea keempat yang berbunyi: “….Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan Ibid., hlm.19 48 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 21 kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melak­ sanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, per­­­da­maian abadi dan keadilan sosial…, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Landasan hukum pokok lainnya, hukum bisnis terdapat dalam ketentuan Pasal 33. Peran kemerdekaan pers dalam pengembangan usaha industri media massa harus berorientasi pada makna kon­ sepsi negara kesejahteraan, sebagaimana tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Negara kesejahteraan yang dimak­sud adalah konsep berdasarkan UUD 1945. Namun, masya­ rakat adil dan makmur yang merata secara material dan spiritual hingga kini masih merupakan harapan dan cita-cita bangsa. Dalam konstitusi, cita-cita luhur lainnya yang diamanatkan, yaitu negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta men­cerdaskan kehidupan bangsa. Selain program mening­katkan kesejahteraan rakyat, dalam disertasi ini juga dilakukan penelusuran terhadap agenda pemerintah dalam rangka menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Untuk itu, sasaran dan arah kebijakan pemerintah akan men­jamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat.49 Semen­ tara itu, negara bertindak sebagai regulator dan penye­­dia pelayanan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak, tetapi tetap menjunjung tinggi hukum (supremasi hukum).50 Kewajiban pemerintah untuk memajukan kese­jahteraan umum secara tegas dinyatakan sebagai salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam kaitan dengan paham dan konsep negara kesejahteraan berda­sarkan UUD 1945, perwujudan kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan amanat konstitusi51 yang secara filosofis berlandaskan cita hukum (rechts-idee) NKRI. PJPN, Op.cit, hlm. 126 A.V. Dicey, An Introduction to the Study of Law Constitution, Mac Millan & Co, London, 1959, hlm.50. 51 Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 dan makna Pasal 33 dan 34 pada batang tubuh UUD 1945. 49 50 22 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Mewujudkan kesejahteraan umum dalam konsep negara ke­ sejahteraan semakin penting, terutama pengembangan peran dan fungsi industri media massa nasional sebagai sarana komunikasi dalam proses mencerdaskan bangsa. Namun kenyataannya, menurut kajian disertasi dalam konsep Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah belum optimal menempatkan industri media massa sebagai lembaga ekonomi yang strategis, otonom, dan independen dalam menyejahterakan bangsa.52 Untuk itu apabila ingin mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil serta berlandaskan hukum dapat dilakukan dengan memantapkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh. Hal ini dapat diwujudkan antara lain dengan mewujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media massa serta keleluasaan ber­ serikat, berkumpul, dan berpendapat.53 Peningkatan peranan komunikasi dan informasi, menu­ rut RPJP 2005-2025 ditekankan pada pencerdasan masya­­rakat dalam kehidupan politik. Dalam upaya mem­berikan pendidikan politik dan mencerdaskan bangsa, media massa dapat melakukannya dengan cara54 sebagai berikut; (a). mewujudkan kebebasan pers yang lebih mapan, ter­lembaga serta menjamin hak masyarakat luas untuk berpendapat dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara secara cerdas dan demokratis, (b). mewujudkan pemerataan informasi yang lebih besar dengan mendorong munculnya media-media massa daerah yang independen, (c). mewujudkan deregulasi yang lebih besar dalam bidang penyiaran sehingga dapat lebih menjamin pemerataan informasi secara nasional dan dapat mencegah monopoli informasi, (d). menciptakan jaringan informasi yang bersifat interaktif antara masyarakat kalangan pengambilan keputusan politik untuk mencip­ takan kebijakan yang lebih mudah dipahami masyarakat luas. (e). menciptakan jaringan teknologi informasi dan komu­ nikasi yang Ibid , hlm.126 Ibid , hlm 113 54 Ibid , hlm. 114 52 53 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 23 mampu menghubungkan seluruh link informasi yang ada di pelosok nusantara sebagai suatu kesatuan yang mampu mengikat dan mem­ perluas integritas bangsa. (f ). memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan ko­munikasi secara efektif agar mampu memberikan informasi yang lebih konprehensif kepada masyarakat internasional supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat meletakkan Indonesia pada posisi politik yang menyulitkan, (g). meningkatkan lembaga independen di bidang komu­ nikasi dan informasi untuk lebih mendukung proses pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dan perwujudan kebebasan pers yang lebih mapan. Hal-hal yang telah diuraikan di atas menunjukkan bukti bahwa Indonesia merupakan negara kesejahteraan, sedangkan permasalahan pokok pembangunan nasional dalam RPJM 2004-2009 dikemukakan, antara lain pada tahun 2003 tercatat masih tingginya jumlah pengangguran terbuka yakni 9,5 juta jiwa per tahun (9,5 persen). Kese­jahteraan masyarakat di perdesaan, mencakup sekitar 60 persen penduduk Indonesia, khususnya petani masih sangat rendah.55 Untuk pembahasan akan diuraikan sistem hukum, peraturan dan undang-undang berdasarkan Perpres No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009. Dalam Perpres tentang RPJMN, pengaruh teori Friedman sangat tampak pada bagian-bagian awal. Dalam konteks substansi hukum, terdapat beberapa permasalahan antara lain terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undangundang terhadap peraturan pelaksanaannya.56 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN Tahun 2004-2009, Op.cit, hlm 9-17. 56 Lihat Bab 9 mengenai “Pembenahan Sistem dan Politik Hukum” khususnya pada bagian “Permasalahan” Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Log.cit. 55 24 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. F. Kemerdekaan Pers dan Kode Etik Dalam membedah tentang kemerdekaan pers. Menurut C. Merrill, yang dimaksud dengan kemerdekaan pers adalah kondisi yang memung­ kinkan para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugas mereka sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, kemerdekaan pers mencakup kebebasan negatif (bebas dari) dan kebebasan positif (bebas untuk). Dengan kata lain, konsep “bebas dari” seseorang dimungkinkan dan tidak dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan, sedangkan dengan konsep “bebas untuk” sese­orang dimungkinkan berbuat untuk mencapai apa yang diinginkan. Dalam perspektif tersebut, kemerdekaan pers berarti kondisi yang memungkinkan para pekerja pers tidak dipaksa untuk berbuat sesuatu dan mampu berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya.57 Teori kemerdekaan pers atau disebut juga kebebasan pers bertitik tolak dari pers liberal dan teori tanggung jawab sosial. Disebut demikian karena inti pemikirannya adalah: “Siapa saja yang menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu kepada masyarakat.”58 Teori baru ini muncul sebagai reaksi atas teori pers libertarian yang dinilai terlalu mementingkan kebebasan yang sebelumnya telah berkembang di Amerika. Dalam perkembangan se­lan­jutnya di era demokrasi industri modern, teori tang­gung jawab sosial memiliki fungsi-fungsi pers yaitu mencerdaskan publik, mendukung sistem ekonomi, politik, kebebasan politik, dan hiburan. Untuk itu, James D. Wolfensohn59 menyatakan penda­patnya bahwa pers yang bebas itu bukan suatu keme­wahan. Pers menjadi inti dari suatu pembangunan yang merata, bisa membongkar korupsi, dan mengontrol kebijakan publik serta memperlancar perdagangan dengan menyampaikan Ana Nadhya Abrar, Panduan Buat Pers Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm 5 58 William L.Rivers dkk, Media Massa & Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ke-3, Jakarta, 2008, hlm.99. 59 James D. Wolfensohn, Perihal Pers Bebas Kata Pengantar dalam buku Hak Memberitakan Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Seri Studi Pembangunan World Bank Institute, Terjemahan M.Hamid (ed), PDA Tempo, Jakarta, 2006, hlm. viii. 57 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 25 gagasan dan inovasi yang melintas batas negara. Kondisi legal dan status kepemilikan media memang merupakan salah satu ancaman terhadap kemerdekaan pers, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai pemasok informasi yang dibutuhkan masyarakat. Apabila media mudah dipidanakan atau digugat pasal pencemaran nama baik, misalnya, banyak informasi yang dibutuhkan untuk menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik akan terbenam di bawah permukaan. Demikian apabila kepemilikan media terkonsentrasi dalam beberapa konglomerat atau dimiliki pemerintah, hal serupa pasti terjadi.60 Pada tahun 1904 Joseph Pulitzer, pendiri akademi jurnalistik, mengatakan “Komersialisme memang sah-sah saja bagi koran yang memang harus hidup ….Namun ko­mersialisme akan menjadi kemerosotan dan bahaya jika terlalu dipentingkan. Begitu pengelola merasa bahwa koran­nya semata-mata adalah unit bisnis, saat itu pula kekuatan moralnya lenyap”. Selanjutnya Pulitzer menga­takan pula bahwa:” Tanpa adanya etika, koran bukan hanya tak akan mampu melayani kepentingan masyarakat, tetapi justru akan menjadi bahaya terhadap masyarakat tersebut.”61 Seperti dimaklumi, esensi dari pers bebas adalah tidak diperkenankan­ nya tindakan preventif. Sementara Suardi Tasrif mengatakan, ada tiga syarat pokok bagi kebebasan pers di mana pun, yaitu; 1. Tidak diperlukannya izin untuk menerbitkan penerbitan pers, 2. Tidak ada sensor, dan 3. Tidak ada pemberedelan. Hal tersebut secara jelas ditegaskan dalam Pasal 4 UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1966, yang diubah dan disempurnakan oleh UU No.4 Tahun 1967 dan UU No. 23 Tahun 1982 yang menetapkan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. 60 Bambang Harymurti, Hak Memberitakan, Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Seri Studi Pembangunan World Bank Institute, The World Bank Washington,D.C., Terjemahan M. Hamid (ed), PDA Tempo, Jakarta, 2006, hlm. vi 61 Ibid , hlm 102-103 26 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Di Indonesia, pemakaian istilah kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers mulai disepakati pada saat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers di DPR.62 Istilah “kemerdekaan pers yang profesional” diperkenalkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan di Komisi I. Paradigma “kemerdekaan pers yang profesional” dipakai untuk menggantikan paradigma “kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Kedua paradigma ini dinilai memiliki makna yang sangat berbeda. Dari aspek konstitusi, kata “kemerdekaan pers” dinilai lebih sesuai dengan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 28 yang menjamin “kemerdekaan” setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Dari rangkaian kalimat tersebut terlihat bahwa per­kataan kemerdekaan pers itu secara tersurat tidak kita temukan dalam UUD 45, karena UUD 45 tidak meng­ gunakan istilah “kebebasan” melainkan “kemerdekaan”. Menurut penelitian pemakaian istilah “kemerdekaan” itu sesuai dengan sejarah pembentukannya yakni dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, pers yang memiliki kemerdekaan juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dengan Tap MPR Nomor. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam PBB tentang HAM Pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”. Undang-Undang Pers dalam Pasal 6 menyatakan bahwa peran pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk menge­­tahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi men­­dorong terwujudnya supremasi hukum Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Dewan Pers 62 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 27 dan hak asasi manusia; menghormati kebhinekaan, mengembangkan pen­­dapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dapat dikatakan, peran pers paling dapat dirasakan dan paling utama yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan peran yang lain adalah dalam melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Katakata berkaitan dengan kepentingan umum, dapat diterjemahkan sebagai kinerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai wakil dari rakyat. Pada dasarnya, pers menjadi semacam alarm atau peringatan dini bagi pemerintah dalam menjalankan peme­rintahan agar tercipta good governance. Pemahaman lebih luas tentang kemerdekaan pers dikemukakan Bagir Manan63 bahwa kemerdekaan pers telah lama diterima sebagai salah satu pilar bahkan syarat demokrasi. Tanpa kemerdekaan pers, demokrasi akan semu belaka, karena ada beberapa pilar demokrasi yang tidak dapat dipisahkan dari kemerdekaan pers, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkomunikasi, kebe­basan mencari dan memperoleh informasi, dan hak menga­ wasi jalannya pemerintahan. “Berbagai hak atas ke­be­basan di atas dan pengawasan terhadap jalannya peme­rintahan memerlukan pers yang merdeka. Tanpa pers yang merdeka, hak tersebut sulit dijalankan secara wajar bahkan sama sekali terbelenggu.”64 Selain sebagai bagian dari demokrasi, kemerdekaan pers merupakan unsur hak asasi manusia. Dalam konteks hak asasi manusia, amandemen Bill of Rights Amendment AS (1791), menegaskan berlakunya larangan membuat undang-undang mengenai pengaturan pers. Terkait dengan obyek tulisan ini antara lain peraturan dan perundang-undangan di bidang media massa buatan Belanda yang sempat Bagir Manan, Makalah, Op.Cit Ibid 63 64 28 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. diberlakukan di Indonesia yaitu Ordonansi tentang ”Pers Bredel”. Menurut Oemar Seno Ajie,65 Persbreidel mengandung suatu larangan terbit, suatu verschijningsverbod yang dapat diikuti dengan larangan mencetak, menerbitkan, dan mengedarkan barang cetakan, periodik, apabila larangan untuk verschijnen (terbit) tersebut tidak membawa hasil yang memuaskan. Indonesia kini telah memiliki peraturan dan perundang-undangan sendiri di bidang media massa, sekurang-kurangnya sebanyak 8 (delapan) perundangundangan, yaitu di bidang pers (media cetak), bidang penyiaran (media elektronik radio dan TV), internet (media online), dan informasi publik. Kebijaksanaan dalam pengaturan persaingan bisnis yang sehat mem­ punyai tujuan efisiensi secara maksimal. Dalam hukum bisnis, masalah etika bisnis merupakan hal yang sangat penting karena perkembangan dan pembangunan bisnis akan berjalan apabila bisnis sebagai suatu kegiatan ekonomi dijalankan secara fair dan tidak melanggar etika yang dapat merugikan pihak lain, karena tindakan jahat bukan hanya merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain dalam hidup bermasyarakat. Mochtar Kusumaatmadja66 menjelaskan, moral sese­ orang yang didasarkan pada etika disebut otonom, maksud­ nya adalah jika yang bersangkutan dapat langsung ber­bicara kepada manusia sebagai anggota masyarakat tanpa berkaitan dengan anggota masyarakat lainnya. Moral didasarkan atas hati nurani manusia itu sendiri dan memungkinkan manusia itu untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk atau disebut etika adalah suatu hal yang mem­bedakan antara sifat manusia dan hewan. Sekaligus kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk merupakan sumber dari kesadaran berkaidah (Normbewustsein) manusia, atau heteronom. Sekelompok manusia yang hidup bersama merupakan masyarakat, kare­nanya berbeda dengan sekelompok hewan. Oemar Seno Adji, Pembreidelan Surat Kabar Sebagai Kasus, dalam buku Subagio Pr dkk, Persuratkabaran Indonesia Dalam Era Informasi, Sinar Harapan, 1986, hlm. 257-260 66 Mochtar Kusumaatmadja, B.Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Buku I, Cetakan ke-1, Bandung, 1999, hlm. 26. 65 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 29 Relevan dengan tulisan ini, selayaknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian konsep Etika dan Kode Etik Profesi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa etika adalah ilmu apa yang baik dan apa yang buruk, hak dan kewajiban moral (akhlak) atau budi pekerti atau susila.. Penjelasan lain K. Bertens dalam buku “Etika”67 menyatakan bahwa moral dari segi etimologi sama dengan etika. Dalam kehidupan sehari-hari sering tidak bisa dibedakan antara etika dan moral. Secara harfiah, sebagaimana diartikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI)68 moral adalah ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Etika adalah filsafat moral yang mempelajari feno­mena secara refleks dan kritis sehingga etika dapat dipan­dang sebagai sarana orientrasi. Franz Magnis-Suseno69 mengatakan etika adalah pengetahuan, ibarat sarana pen­ carian orientasi di tempat “gelap”. Dalam penaf­siran bebas70 boleh dikatakan orientasi sangat penting bagi wartawan di lapangan, misalnya reporter yang sedang men­da­pat tugas liputan ke suatu tempat yang masih asing. Se­ba­ gaimana juga profesi lain, profesi jurnalistik memiliki kode etik yang berisi norma tentang moralitas bagaimana menjalankan praktik sebagai jurnalis atau wartawan. Dengan kode etik ini utamanya diharapkan indepen­densi wartawan tetap terjaga agar tidak melanggar kepen­tingan umum. Lebih jauh dengan kode etik dapat juga menjadi motivasi untuk mendorong agar peduli dan kritis sebagai wujud penghormatan pada hukum dan HAM.71 Batasan independensi itu diwujudkan dalam bentuk etika dan kode etik profesi. Ditinjau dari sudut sifatnya, etika umumnya tidak dalam bentuk tertulis, K.Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 1993, KUBI, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Depdiknas, Balai Pustaka. 69 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1987. 70 Naungan Harahap, Diktat Kuliah Etika & Regulasi Penyiaran, Fikom PKTA Unpad,2009. 71 Luhut MP dan Sidik Suraputra, Kode Etik Profesi dari ….., Makalah, workshop Peradi, Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2010. 67 68 30 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. sementara kode etik sudah terulis. Suatu kode etik sifatnya bukanlah sesuatu yang eksklusif. Dengan demikian, masyarakat juga bisa mengetahuinya, misalnya melalui program sosialisasi atau diskusi panel. Kode etik jurnalistik dalam hal ini menjadi salah satu dan yang utama menjadi barometer profesionalisme wartawan. KEJ menyangkut hati nurani terdalam wartawan. Rumusan etika profesi jurnalistik merupakan hasil pergumulan hati nurani wartawan. Pelaksanaannya juga harus dilandasi dengan hati nurani. Maka pelanggaran terhadap hati nurani profesi wartawan jelas merupakan sifat yang tercela. Secara prinsip, pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik khususnya bagi wartawan dapat bermakna merupakan perbuatan yang lebih tercela daripada pelanggaran terhadap hukum atau perundang-undangan sekalipun.72 Pelaksanaan etika pers secara gamblang dapat dijelaskan terbagi dalam beberapa tahapan, yaitu pertama menca­ kup mencari informasi yang baik untuk bahan pemberitaan terutama mengadakan wawancara dengan sumber berita, kedua adalah ketika wartawan membuat, mengetik, atau menyajikan informasi. Kedua tahapan tersebut yaitu men­cari dan menyajikan informasi biasa disebut merupakan proses pracetak atau prasiaran. Ketiga adalah tahapan per­tanggungjawaban etik dan hukum kepada hati nurani war­tawan dan publik atas produk berita yang disiarkan. Hal ini disebut pascacetak/siaran. Proses berita tersebut mulai mencari, menyajikan, dan tanggung jawab yang merupakan ruang lingkup kode etik jurnalistik. Jadi jelas ketaatan wartawan terhadap kode etik tidak cukup sampai mencari dan menyajikan, tetapi masih ada tangggung jawab etik wartawan yaitu setelah koran diter­bitkan atau berita foto disiarkan. Proses dan tahapan itu disebut kegiatan jurnalistik, dan setiap kegiatan jurnalistik merupakan prinsip dan obyek etika profesi pers yang tidak terbantahkan. Baik-buruknya informasi yang disiarkan secara etis sangat tergantung pada Wina Armada, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Dewan Pers, Op.cit hlm 147. 72 Hukum Persaingan Industri Media Massa dan Kemerdekaan Pers 31 penaatan kode etik jurnalistik oleh wartawan yang mengembannya karena di dalam­nya melekat tanggung jawab moral profesi. Bab II Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan A. Pengertian dan Istilah Media Massa Mengenai pengertian dan istilah media massa. A.Muis73 memberi pengertian secara etimologis kata “Pers” (Belanda), “Press” (Inggris), “Presse” (Prancis) berarti “tekan” atau “cetak” yang berasal dari bahasa Latin, Pressare dari kata premere (tekan). Definisi terminologisnya ialah “media massa cetak”, disingkat “media cetak”. Dalam bahasa Belanda Drukpers, atau pers dalam bahasa Inggris printed media atau printing press, atau press. Istilah pers sudah lazim diartikan sebagai “surat kabar” (newspaper) atau “majalah” (magazine), dan sering pula dimasukkan pengertian wartawan di dalamnya. Media massa juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi, maksudnya menurut Jakob Oetama74, apabila iklan menjadi bagian integral dari bentuk dan isi media, maka ben­tuk dan kualitas iklan juga tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dan kaidah-kaidah etis yang melekat pada profesi media. Apa yang disebut creative design, jika orisinal, kreatif, dan indah, bukan saja memperkuat sam­painya pesan, tetapi juga memperkaya kesegaran pesan-pesan berita dalam keseluruhan media. Hasil 73 A.Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi,Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers, Mario Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 1996, hlm. 11 74 Jakob Oetama, Op.cit, hlm. 129. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 33 karya yang kreatif mempersyaratkan profesionalisme di bidang periklanan. Istilah pers telah dikenal oleh masyarakat kita sebagai salah satu jenis media massa (media komunikasi massa). Banyak yang menyebutnya “mass media” (bahasa Inggris) yang semestinya disebut “media massa“ dalam bahasa Indonesia. Misalnya dalam UU Pokok Pers pasal 2 ayat 1 (UU No.11/1966 jo UU No.4/1967 jo No. 21/1982) digunakan istilah “mass media”. Biasa pula digunakan istilah media massa cetak, disingkat menjadi media cetak (printed media). Istilah pers dapat dibagi dalam dua bagian yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah media massa yang meliputi semua alat komunikasi massa, termasuk film, radio, dan televisi. Sementara pers dalam arti sempit dibatasi hanya pada pers cetak saja.75 Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pers adalah dalam arti luas, yakni media massa. Sementara menurut perundang-undangan, media massa adalah salah satu per­usahaan pers nasional, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Pers No. 40 Tahun 1999 bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers, meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lain­nya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Sementara dalam hukum pers, yang disebut istilah delik pers sebenarnya bukan merupakan terminologi hukum, melainkan hanya sebutan umum atau konvensi di kalangan masyarakat untuk menamai pasal-pasal KUHPidana yang berkaitan dengan pers. Karena yang sering melakukan pelanggaran atas delik itu adalah pers, maka tindak pidana itu dikatakan sebagai delik pers.76 Perusahaan pers, baik cetak maupun elektronik, atau disebut juga media massa secara garis besar dapat dike­mu­kakan bahwa sistem manajemen pers hampir sama dengan jenis perusahaan yang lain pada umumnya. Organisasi 75 J.C.T.Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1980, hlm 3. 76 RH.Siregar, Komariah Sapardjaja (ed), Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta, 2003, hlm. 1. 34 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. manajemennya terdiri atas dua bagian besar yaitu redaksi dan administrasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bisnis industri media massa sama dengan kegiatan bisnis di perusahaan-perusahaan lain. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila kita mengetahui pengertian perusahaan pers ber­dasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers: “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meli­­ puti perusahaan media cetak, media elektronk, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”. Menurut ketentuan Permenpen No. 01/Per/Menpen 1984 perusahaan/ penerbitan pers meliputi badan usaha swasta nasional berbentuk badan hukum, koperasi, atau bentuk badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penerbitan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertang­gung jawab, serta mengutamakan sifat-sifat adil dan dikelola secara bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Perusahaan/penerbit pers nasional harus memiliki badan hukum berbentuk 1. Perseroan Terbatas (PT), 2. Koperasi, 3. Yayasan, 4. Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketentuan mengenai badan hukum ini ditemukan pula dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 9 dijelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, dan setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara Pasal 10 dan 11 menjelaskan setiap perusahaan pers mem­berikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya, dan investasi penanaman modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. B. Landasan Teori Setiap penelitian senantiasa harus menggunakan pemikiranpemikiran teoritis. Tulisan ini berpijak pada tiga teori hukum: Pertama, Negara Hukum Kesejahteraan Pancasila (welfare state) Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 35 sebagai grand theory. Teori ini pada intinya menyatakan bahwa negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Negara bertindak sebagai regulator dan penyedia pelayanan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak, tetapi tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Negara Kesejahteraan, Welfare State atau Welvaar Staat merupakan antitesis dari konsep Negara Hukum Klasik yang dikenal dengan istilah Nachwakersstaat (Negara Penjaga Malam) yang bertindak aktif, “jemput bola” untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera sebagai cita-cita bangsa. Pemerintah hukum negara modern tidak bersikap menunggu atau pasif dan baru bertindak apabila muncul gangguan terhadap rakyat seperti yang terjadi di negara-negara dengan konsep negara hukum klasik. Dalam perspektif negara kesejahteraan (welfare state) dan negara hukum yang mendapatkan hak-hak asasi ma­nusia dan asas kedaulatan rakyat (konsumen), kese­jah­te­raan masyarakat suatu negara tidak ditentukan pada apa yang telah dicapai masyarakat yang lain. Kesejahteraan terletak pada apa yang telah dicapai masyarakat itu sendiri, dan keseimbangan pasar yang telah dicapai menentukan tingkat perekonomian suatu negara. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep negara hukum kesejahteraan telah menggeser pengertian asas legalitas, yang semula bermakna sebagai pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetnatigheid van het bestuur) menjadi pemerintahan berda­­sarkan atas hukum (rechtmatigheid van het bestuur), yang kemudian menjadi lebih longgar lagi menjadi doelmatigheid van het bestuur untuk memberikan ruang kebe­basan bertindak yang lebih luas oleh pemerintah (peningkatan freies ermessen) guna menyelenggararakan negara kesejahteraan. Menurut Jeremi Bentham, ekonomi kesejahteraan merupakan salah satu komponen inti dari analisis kebijakan terhadap proses kebijakan dan sekaligus salah satu unsur dalam proses kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini, analisis kebijakan adalah aplikasi teori dan model ekonomi kese­ jahteraan untuk meningkatkan rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan. Demikian selanjutnya untuk negara-negara yang bercirikan 36 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. negara kesejahteraan (welfare state). Soal alokasi sumber daya di antara sektor publik dan swasta menjadi cukup penting, mengingat negara kesejahteraan juga berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan umum warganya dengan sumber daya yang terbatas. Bukan sekadar menjamin keamanan swasta untuk mengejar kesejahteraan mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, kehadiran ke­tentuan yang secara tegas memisahkan sumber daya publik dari sumber daya swasta menjadi tidak terhindarkan untuk meniadakan tumpang tindih alokasi publik-privat yang pasti terjadi bila tidak ada peraturan tegas tentang itu. Dalam konsep negara kesejahteraan, negara atau pe­merintah bukan hanya turut campur dalam kesejahteraan masyarakat, tetapi juga harus aktif untuk menyejahterakan masyarakat. Untuk itu, diperlukan berbagai sarana seperti peraturan dan perundang-undangan dan sarana lainnya sehingga misi mulia tersebut berhasil secara optimal.77 Jimly Asshiddiqie mengatakan, Indonesia mengadopsi konsep negara kesejahteraan (walfare state) dari negara-negara maju.78 Menurut Muhammad Hatta, konsep negara kesejah­teraan merupa­ kan kebalikan dari konsep negara kapitalis atau negara polisi atau negara penjaga malam. Dengan pengertian demikian, masalah pengurusan kesejahteraaan masyarakat merupakan urusan pasar atau urusan pribadipribadi atau urusan masyarakat itu sendiri.79 Konsep negara kesejahteraan (welfare state, welvaarstaat) merupakan reformasi dari konsep negara pen­jaga malam (nachtwakerstaat) yang lahir lebih dahulu. Dalam konsep negara polisi penjaga malam, negara itu diang­gap sebagai penjaga malam yang hanya bertugas menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi hal-hal yang menganggu ketertiban. Mengenai upaya untuk mencapai kesejahteraan sepenuhnya diserahkan kepada 77 imly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 55 78 Ibid ,hlm.55 79 Ibid, hlm.55 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 37 anggota masyarakat itu sendiri, Negara sama sekali tidak turut campur di dalamnya. Akan tetapi, kemudian dengan berkembangnya ilmu dan teknologi serta sebagai dampak negatif dari konsep negara penjaga malam itu sendiri, mengakibatkan dalam mas­yarakat terjadi berbagai macam masalah sosial yang memaksa negara/pemerintah harus campur tangan secara aktif dalam kehidupan masyarakat tersebut. Dalam keadaan demikian, negara dianggap sebagai penjaga malam. Kemudian pemikiran negara sebagai penjaga malam berubah dan diganti dengan konsep negara kesejahteraaan (welfare state).80 Ketentuan tersebut me­ ne­ kankan keterlibatan negara secara langsung untuk men­ ciptakan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kon­sep negara kesejahteraaan. Konsep ini dipopulerkan oleh Presiden AS Franklin Delano Roosevelt (1933-1945).81 Konsep negara hukum kesejahteraan sering juga disebut sebagai negara hukum modern dalam arti material. Mac Iver menyebutkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau negara hukum material, memiliki cirri-ciri sebagai berikut.82 Dalam negara hukum kesejahteraan yang diutamakan adalah terja­ minnnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat. Pertimbangan-pertim­ bangan efisiensi dan manajemen le­bih diutamakan daripada pemba­gian kekuasaan yang ber­orien­tasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar dari­pada peran legislative, sedangkan hak milik tidak bersifat mutlak. Uraian di atas menunjukkan bahwa peran negara ditem­patkan pada posisi yang kuat dan lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfare) dan ke­adilan sosial (social justice). Konsepsi negara hukum modern demikian, dalam berbagai literatur disebutkan, selain meng­­ hendaki setiap tindakan negara atau pemerintah harus ber­dasarkan hukum, juga Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang,Alumni, Bandung, 2005, hlm.2 81 Ibrahim R, Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, Volume 26 No.1 Tahun 2007, hlm. 10 82 Dikutip dari Abrar, Hak Pengawasan Negara Atas Pertambangan Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, PPS-Unpad, Bandung, 1999, hlm 1. 80 38 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. negara diserahi peran, tugas, dan tanggung jawab yang lebih luas untuk mensejahterakan rakyat. Dewasa ini, sejumlah Negara di Eropa seperti Negara-negara Skandinavia, Belanda, Belgia, dan Inggris menganut sistem Negara kesejahteraan dalam satu bentuk atau lainnya. Di Indonesia konsep Negara kesejahteraan antara lain dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea kedua dan keempat. Pada alinea kedua berbunyi: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan sela­mat sentausa, … yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Tercantumnya perkataan adil dan makmur dalam alinea kedua pembukaan menurut penelitian penulis menunjukkan bahwa NKRI menganut konsep negara kese­jahteraan. Begitu pula pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 juga diketahui bahwa dibentuknya suatu pemerintah Negara Indonesia bertujuan antara lain ….. untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ……, dengan mewujudkan suatu ke­adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain pada pembukaan, keterangan yang lain tentang negara kese­jahteraan ditemukan pada batang tubuh UUD 1945 yaitu pada Pasal 33 dan 34 Bab XIV UUD 1945 berjudul Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Kedua, teori keadilan Pancasila sebagai middle range theory. Sehu­ bungan dengan hal itu, Soerjono Soekanto mengatakan, “Di samping ketertiban, hukum juga bertu­juan untuk mencapai keadilan yang pada hakikatnya ber­akar pada kondisi yang pada suatu waktu tertentu di­ingin­ kan oleh suatu masyarakat tertentu.” Pendapat ini da­pat dipahami sebab unsur keadilan tidak bisa dipisahkan. Hu­kum merupakan perangkat atas dan kaidah yang men­ja­min adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam ma­ sya­ rakat. Artinya, unsur keteraturan (kepastian), keter­ tiban, dan keadilan adalah tiga pilar yang menopang hukum, dan merupakan roh hukum. Hal itu perlu sekali dipahami bukan hanya bagi kehidupan masyarakat yang teratur, tetapi juga merupakan syarat penting. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 39 Masyarakat menghendaki kehidupannya aman, ten­te­ram, teratur, dan terjamin oleh penguasanya melalui pela­yanan hukum, pemberian hak yang seimbang dengan kewa­jibannya. Dengan kata lain, masyarakat senantiasa men­cari keadilan. Keadilan yang didambakan oleh ma­syarakat ada­lah keadilan yang sesuai dengan apa yang dirasakan dan yang berlaku dalam negara tempat masyarakat itu berada. John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice mengatakan bahwa “Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran, dan sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran, dan keadilan tidak bisa diganggu gugat”.83 Beberapa teori keadilan dikemukakan Aristoteles da­lam bukunya Etika. Dia membagi keadilan ke dalam dua golongan, yaitu: 1.) keadilan distributif, yaitu keadilan dalam hal pendis­ tribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat. Terkait dengan keadilan distributif ini, yang dimaksud oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa yang didapat (he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves). 2.) keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini, keadilan dalam hubungan antara satu orang dan orang lain yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan (what is given) dengan apa yang diterimanya (what is received).84 Menurut berbagai referensi di dalam masyarakat modern sekarang, dikenal adanya teori nilai keadilan menu­rut hukum (legal justice) yaitu keadilan menurut aturan nor­matif yang ada dan berlaku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Keadilan sosial (social justice) yaitu keadilan yang didasarkan pada apa yang ada dan hidup berkembang di dalam masyarakat meskipun tidak tertulis. Dan, keadilan moral (moral John Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan), Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2006, Cetakan I, hlm 3. 84 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm 109. 83 40 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. justice) yang didasarkan pada nilai baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan agama yang dianut masing-masing pembuat keputusan yang diyakini membawa akibat mendapat dosa atau berpahala. Untuk mencapai keadilan formal harus memenuhi unsur yang berlaku juga bagi suatu keadilan hukum. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:85 1). Harus ada ketentuan yang mengatur bagaimana mem­berlakukan manusia dalam kasus-kasus tertentu yang dihadapinya. 2). Ketentuan hukum tersebut harus jelas sasaran pem­berlakuannya. Dalam hal ini, mesti ada ketentuan yang menentukan apakah aturan hukum tersebut berlaku untuk orang dalam semua kategori, atau hanya berlaku untuk kategori orang tertentu saja. 3). Aturan hukum tersebut haruslah diterapkan secara tidak memihak dan tanpa diskriminasi kepada setiap orang yang memenuhi kualifikasi pengaturannya. Agar tercapai suatu keadilan sosial, diperlukan pelak­sanaan prinsipprinsip hukum tertentu. John Rawls dalam teori keadilan mempersyaratkan dua prinsip keadilan sosial yang sangat memengaruhi pemikiran abad ke20, yaitu prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Paling utama adalah prinsip kebebasan yang sama (equal liberty), yakni setiap orang memiliki hak atas kebebasan individual (liberty) yang sama dengan hak orang lainnya. 2. Prinsip kesempatan yang sama (equal opportunity). Dalam hal ini, ketidakadilan ekonomi dalam masya­rakat harus diatur untuk melindungi pihak yang tidak beruntung, dengan jalan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang dengan persyaratan yang adil.86 Untuk menjaga agar koridor yang akan memberikan arah kebijakan politik hukum yang bersumber dari cita negara kesejahteraan tersebut dapat berfungsi dengan baik, pemerintah harus menerapkan suatu asas keadilan Ibid, hlm 118 Ibid, hlm. 126 85 86 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 41 sehingga kepentingan masing-masing pihak akan terlindungi, bukan dominasi kepentingan otoriter. Asas keadilan Pancasila akan menciptakan suatu mekanisme pengawasan, menghindarkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, menegakkan kemerdekaan pers di tengah persaingan bisnis, menjamin agar pemerintah dan legislatif dalam melakukan pembaruan hukum yang memberikan kepastian hukum yang adil dan tertib. Terkait dengan permasalahan dalam tulisan ini, teori keadilan hukum bisnis tersebut diperkuat oleh teori dari Aristoteles untuk dapat menganalisis dan menjawab pertanyaan. Aristoteles, salah seorang murid Plato yang hidup pada masa teori klasik Yunani Kuno, dikenal sebagai seorang filosof termasyhur. Dalam tulisannya, Retorika, Aristoteles87 menganjurkan apabila suatu hukum positif yang berlaku tidak menguntungkan, sebaiknya lari ke “hukum universal”. Namun, Aristoteles menegaskan hukum positif harus dimenangkan daripada hukum tidak tertulis. Selain Aristoteles, tokoh lainnya yaitu Roscoe Pound dan Mochtar Kusumaatmadja termasuk jajaran tokoh terkemuka yang menekankan pentingnya keadilan dan kepastian hukum di tengah masyarakat. Ketiga, applied theory yaitu teori hukum pembangunan oleh Mochtar Kusumatmadja, yang pada intinya mengatakan bahwa hukum adalah sarana pembangunan (masyarakat dan bangsa). Bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan nilai (values) suatu masyarakat, karena itu mela­lui pembangunan hukum, nilai dan perilaku masya­rakat diarahkan (diubah) ke arah yang dikehendaki. Meng­ambil makna teori hukum pembangunan sangat relevan dengan fungsi hukum sebagai pembaru masyarakat yang diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja setelah menelaah sociological jurisprudence theory dari Roscoe Pound di Amerika Serikat. Menurut Roscoe Pound, hukum merupakan institusi sosial yang diciptakan untuk membahagiakan manusia, memajukan masyarakat. Prajudi Atmosudirdjo, Log.cit, hlm. 14 87 42 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Fungsionalisasi hukum dalam kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh lembaga peradilan dalam memutus suatu perkara. Oleh karena itu, hakim menerapkan tiga tahapan, yaitu menemukan hukum (menetapkan secara se­lektif aturan atau kaidah mana yang tepat dari sekian banyak aturan atau kaidah yang ada) dan jika tidak ditemukan maka hakim dapat menemukannya melalui putusan pengadilan sebelumnya yang dapat digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, menafsirkan atau memaknai aturan/kaidah yang ditetapkan terhadap perkara yang akan diputuskan, dan kemudian menerapkan aturan/kaidah tersebut pada perkara yang akan diputuskan. Lembaga peradilan (hakim) secara konkret mengarahkan terjadinya perubahan sosial (social enginering) melalui putusan-putusannya. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pandangan antara Roscoe Pound dan Mochtar Kusumatmadja. Perbedaan pendapat kedua tokoh itu disebabkan oleh masalah dan kondisi sosial di Indonesia tidak sama dengan apa yang terjadi pada masyarakat Amerika Serikat. Jika Roscou Pound sangat menonjolkan peranan peradilan maka Mochtar Kusumatmadja memberikan peranan yang sangat penting pada perundang-undangan. Hal ini cukup beralasan karena sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sedang membangun, sehingga semua potensi bangsa diarahkan untuk mendukung kegiatan pembangunan di segala aspek kehidupan. Tidak sepertti Pound yang sangat percaya dengan fungsi mekanisme hukum, Mochtar Kusumatmadja tidak menafikan unsur manusia (aspek kemanusiaan) dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, untuk mewujudkan tujuan hukum menciptakan suatu kondisi masyarakat yang tertib, teratur, dan demokratis. Pada intinya, kerangka pemikiran ini berpijak pada pemahaman untuk mencapai keadilan dalam masyarakat. Diperlukan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat.88 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan 88 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 43 Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa suatu sistem hukum positif tidak bisa tidak, harus berdasarkan keadilan. Mochtar berpendapat, walau arti atau makna keadilan itu bisa berbeda-beda dari satu sistem nilai ke sistem yang lain, tetapi suatu sistem hukum tak dapat bertahan lama apabila tidak dirasakan adil oleh masyarakat yang diatur oleh hukum itu. Dengan perkataan lain, ketidakadilan akan mengganggu ketertiban yang justru menjadi tujuan tatanan hukum. “Ketertiban yang tengah terganggu berarti bahwa keteraturan dan karenanya kepastian tidak lagi terjamin. Jadi suatu tatanan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadilan”.89 Untuk itu, Mochtar mengatakan perlu dibedakan antara fungsi hukum dan tujuan hukum. Dalam argumentasinya, dijelaskan bahwa hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban. Hal itu bukan tujuan akhir dari hukum melainkan fungsi hukum, sedangkan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dalam hidup bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai dan dasar falsafah hidup, yang akhirnya bermuara pada keadilan. Keadilan adalah sesuatu yang bisa dirasakan dan merupakan unsur melekat dari hukum sebagai asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat. Tujuan hukum dalam sistem hukum positif Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aspirasi dan tujuan perjuangan bangsa. Dengan perkataan lain, Mochtar mengkonstatir bahwa hukum di masa proses modernisasi dan globalisasi makin lama makin lepas dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya (de-personalized), sehingga aspek fungsi hukum menjadi lebih menonjol atau penting daripada aspek tujuan hukum.90 Mochtar Kusumaatmadja mengatakan hukum diciptakan untuk menjamin tegaknya keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum (K3h). Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat.91 Menurut Djuhaendah Hasan, kedamaian sejati bekerja sama dengan PT Alumni, Edisi ke I, Cetakan ke 1, 2002,hlm. 3-15. 89 Ibid , hlm.52 90 Ibid , hlm. 52-53 91 Djuhaendah Hasan, Refleksi Dinamika Hukum, Log.cit, hlm. 21-22 44 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. akan terwujud bilamana setiap warga masyarakat merasakan ketenteraman dalam batinnya. Para warga atau masyarakat akan merasa tenteram apabila; a). Yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan haknya tidak tergantung pada kekuatan; b). Bilamana para warga merasa yakin, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya secara benar; c). Secara bebas seseorang dapat mengembangkan bakatbakat dan kesenangannya; d). Selalu mendapat perlakuan secara wajar dan berperikemanusiaan, adil, dan beradab, juga ketika telah melakukan suatu kesalahan. Secara implisit, tujuan hukum tersebut sudah mencakup tujuan lain dari hukum yakni mewujudkan keadilan. Kelangsungan ketertiban dan kedamaian sangat tergantung pada terlaksananya keadilan. Oleh karena itu, terselenggaranya keadilan adalah sangat esensial dalam mewujudkan hukum. Di Indonesia, menurut penulis, pada umumnya media massa, baik cetak maupun elektronik, menganut asas ke­adilan, kepastian hukum, dan supremasi hukum, yaitu asas yang melekat pada batang tubuh undangundang tersebut. Pada asas pers nasional dijelaskan asas demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 ditegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Asas “bebas dan bertanggung jawab” menjadi salah satu jiwa dari peraturan “kemerdekaan pers” di Indonesia yang melandasi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pengertian yang sama tentang asas keadian dan ke­pastian hukum juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Pasal 3 dijelaskan pemanfaatan TI dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum yang dianut dalam UU ITE. Asas lainnya yang terkandung dalam UU itu adalah asas Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 45 manfaat, sikap kehati-hatian, iktikad baik, dan netralitas teknologi. Prinsip keadilan, berarti pers dalam memberitakan atau menyiarkan sesuatu mendatangkan atau mengetengahkan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Tolok ukur dari keadilan dalam suatu kegiatan jurnalistik memang tidak dapat ditentukan secara pasti, tetapi ada yang disebut dengan ukuran umum. Sebagai contoh, untuk pemberitaan kegiatan jurnalistik mengenai sengketa antara pihak A dan pihak B. Standar keadilan yang harus dilakukan pers adalah memuat pemberitaan setelah memperoleh keterangan dari pihak A ataupun pihak B (cover both sides). Prinsip keadilan juga memiliki sisi lain. Banyak terdapat fakta di masyarakat yang belum tentu benar. Ketika keadaan sebenarnya tertutup oleh fakta, pers diharapkan mampu membongkar fakta tersebut hingga muncul kebenaran yang sesungguhnya sehingga ada keadilan dalam masyarakat. Selain teori pembangunan hukum juga dikenal adadanya teori pembaruan hukum dari Mochtar Kusumaatmadja, kedua teori ini pada hakekatnya adalah sama untuk dikembangkan yang dapat digunakan sebagai teori aplikatif (applied theory). Pada intinya disebutkan bahwa fungsi hukum adalah sarana pembangunan (masyarakat dan bangsa). Bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah per­ubahan nilai (values) suatu masyarakat. Dengan perkataan lain tentunya hal ini sesuai atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.92 Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, “hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.93 “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di dalam masyarakat”. Berarti hukum itu Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.66. 93 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaruan Hukum di Indonesia, Bandung Lembaga Penelitian Hukum Universitas Padjadjaran dan Binacipta, 1986, hlm.1 92 46 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.94 Dengan perka­ taaan lain, tentunya hal ini sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Penerapan Teori Pembaruan Hukum adalah tujuan pokok dari hukum yang apabila hendak direduksi pada satu hal saja yaitu keadilan merupakan satu prasyarat yang teratur (kepastian). Hukum sebagai sarana yang penting untuk memelihara ketertiban harus dikembangkan dan dibina sedemikian rupa, sehingga dapat memberi ruang gerak perubahan. Bukan sebaliknya, menghambat usaha-usaha pembaruan karena sematamata ingin mempertahankan nilai lama. Pada hakikatnya pembangunan adalah perubahan nilai (values), karena itu melalui pembaruan hukum, nilai dan perilaku masyarakat diarahkan (diubah) ke arah yang dikehendaki.95 Jadi, hakikat dari masalah pembangunan nasional adalah masalah pembaruan cara berpikir dan sikap hidup.Tanpa sikap dan cara berpikir yang berubah, pengenalan (introduction) lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak akan berhasil. Namun, dalam menentukan pilihan, nilai-nilai lama-tua dan baru tersebut selalu diha­dapkan pada berbagai kesulitan dan rintangan terutama jika hendak memilih nilai-nilai kejujuran, keteladanan, dan heterogenitas masyarakat.96 Hal itu menjadi relevan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang menyebutkan beberapa sifat yang perlu dalam masyarakat modern97, misalnya kejujuran (honesty), efisien (efficient), bertepat waktu (punctuality), keteraturan (orderliness), kerajinan (dilligence), sifat hemat (thrifty), rasional dalam mengambil putusan, dan kemampuan untuk menangguhkan selera konsumtif. Konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan yang kemudian dikenal sebagai Teori Pembangunan atau Teori Pembaruan Hukum pada Ibid Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum Pembangunan bekerja sama dengan Penerbit PT Alumni, Bandung, 2002, Log.cit, hlm. 15. 96 Ibid, hlm.10-11 97 Ibid 94 95 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 47 pokoknya mengandung tiga prinsip dasar. Pertama, hukum bukan hanya kaidah/norma tetapi juga merupakan gejala sosial sehingga hukum adalah pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sehingga bila semula hukum memelihara dan mem­pertahankan sesuatu yang sudah ada, dalam pemikiran ini hukum menciptakan masyarakat yang dikehendaki melalui fungsi membantu perubahan dalam masyarakat. Ketiga, dalam penerapannya, perubahan hukum dilakukan berdasarkan skala prioritas mulai dari halhal yang bersifat netral, pribadi dan spiritual, disesuaikan dengan tingkat kesiapan masyarakat.98 Untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaan pem­­­bangunan nasional, menurut Komar Kantaatmadja, bagi Indonesia hukum berperan sebagai sarana pembangunan yaitu bahwa hukum harus mampu memenuhi kebutuhan se­suai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan di segala bidang.99 Sementara pengertian pembangunan seluas-luasnya, menurut Djuhaendah Hasan100 adalah meli­puti segala segi dari kehidupan manusia termasuk kehi­dupan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan dukungan pembangunan hukum. Untuk itu, pembentukan peraturan baru di bidang hukum bisnis sangat mendesak. Hal itu sejalan dengan perkembangan ekonomi di era globalisasi yang makin pesat.101 Pembangunan adalah persyaratan penting dari kese­luruhan kondisi global. Dalam hal ini Lili Rasjidi menga­takan bahwa pembangunan hukum merupakan suatu per­ma­salahan yang lebih bersifat global daripada sekadar bersifat lokal. Makna pembangunan bagi negara-negara berkembang Ibid Komar Kantaatmadja, Peran dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undangundang Perpajakan, makalah seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, Juli 1985 dalam Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hlm.3. 100 Djuhaendah Hasan, Pembangunan Hukum Bisnis, Log.cit, hlm. 1 101 Djuhaendah Hasan, Lihat Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Jaminan Lain. hlm.170 98 99 48 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. adalah perjuangan untuk meningkatkan per­ tumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, keahlian, dan informasi, serta untuk melawan tekanan-tekanan ekonomi dari negara maju.102 Sesungguhnya hukum harus tampil ke depan, menunjukkan arah, dan memberi jalan bagi pembaruan.103 Terkait dengan program pembangunan komunikasi, informasi, dan media massa, selain mempunyai peran yang sangat menentukan bagi keberhasilan pembangunan sistem politik demokrasi, juga berkaitan erat dengan upaya men­cerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan bangsa dimaksud di antaranya meningkatkan peran pers yang berfungsi sebagai sarana media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan lembaga ekonomi104, terutama dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat pembaca, pemirsa, dan pendengar. Namun, keadaan komunikasi sosial dan politik sering tersumbat antara rakyat dan pemerintah, sehingga hasil sambung rasa pembangunan sadar hukum yang digelar di desa-desa tidak berjalan optimal. Ahmad M. Ramli105 mengatakan, akibat dari informasi hukum yang terhambat dan telah dirasakan pada saat ini yaitu tidak adanya kepastian hukum. Hal itu telah mengakibatkan kelemahan dalam kepatuhan publik. Dalam konteks perdagangan dan perekonomian global, pebisnis Indonesia, mau tidak mau dan suka tidak suka, menggunakan dan memanfaatkan eCommerce. Tentunya masalah ini menyangkut pula masalah transfer elektronik. Mitra dagang dan bisnis Indonesia tentu merasa tidak nyaman karena merasa tidak terlindungi akibat ketiadaan cyberlaw. Perkembangan Ibid , hlm. 170 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional , Bandung, Binacipta, 1986, Log.cit, hlm.8 104 Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers 105 Ahmad M. Ramli, Refleksi Dinamika Hukum, Kumpulan Tulisan berjudul Penguatan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Nasional Guna Menunjang Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm.508 102 103 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 49 teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. C. Persaingan Usaha Menuju Negara Kesejahteraan Hukum persaingan usaha dapat dimaknai dengan dua variabel, yakni hukum dan persaingan usaha. Pemaknaan dimaksudkan agar dapat dibedakan antara hukum itu sendiri dan persaingan usaha. Hukum adalah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk dan tak henti-hentinya diperdebatkan di kalangan cendekiawan. Beberapa definisi tentang hukum memberikan pengertian kepada kita bahwa masyarakat hukum adalah himpunan kesatuan hukum yang terikat dalam hubungan yang teratur. Budaya hukum adalah tradisi hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat hukum, dan ilmu hukum adalah penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Konsep hukum merupakan garis-garis besar kebijakan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum, sedangkan pembentukan hukum adalah proses perumusan hukum ditentukan konsep hukum. Penerapan hukum merupakan penyelenggaraan pengaturan setiap hubungan hukum dalam masyarakat hukum. Evaluasi hukum adalah penentuan kualitas hukum, menelaah kualitas potensi dan fungsi dari setiap komponen hukum. Hukum dibutuhkan sebagai sarana pembangunan masyarakat, juga merupakan transformasi masyarakat menuju struktur organisasi dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada saatnya hidup dalam suasana globalisasi masyarakat dunia. Hukum harus dimodernisasi agar tidak tertinggal dari perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebab, jika tertinggal, selanjutnya hukum tidak mampu berperan optimal dalam mengatur atau memberikan pedoman kepada manusia dalam berbagai aktivitasnya. Akibatnya, akan muncul kekacauan (chaos), baik dalam kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, hukum harus selalu diperbarui, disesuaikan dengan 50 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. kondisi dan perkembangan zaman. Kompleksitas hukum menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang, seperti lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (disebut UU Pers) dan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (disebut UU LPMPUTS). Kedua ketentuan perundangundangan tersebut menjadi pokok bahasan penelitian disertasi ini. Istilah hukum persaingan (Competition Law) sebenarnya lebih menekankan pada aspek persaingan. Dengan demi­kian, hukum persaingan merupakan instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilaksanakan. Meskipun demikian, hukum persaingan usaha sangat terkait dengan tiga hal pokok, yaitu (1) pencegahan atau peniadaan praktik monopoli; (2) menjamin terjadinya persaingan yang sehat; dan (3) melarang persaingan yang tidak jujur. Francis Fukuyama pada dekade 1990-an telah memprediksi adanya kecenderungan negaranegara di dunia terhadap pasar bebas. Menurut Fukuyama, prinsipprinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas” telah menyebar dan berhasil memproduksi kesejahteraan material. Fukuyama berpendapat, untuk memastikan terselenggaranya pasar bebas tersebut rambu-rambu dalam bentuk hukum tetap perlu dipatuhi oleh para pelaku pasar. Rambu-rambu hukum dimaksud adalah termasuk berlakunya hukum persaingan usaha pada era pasar bebas. Menurut Khemani, tujuan hukum persaingan usaha yaitu untuk pertimbangan ekonomi dan nonekonomi. Dalam hukum persaingan usaha, pertimbangan ekonomi (economic consideration) diharapkan bisa menciptakan efisiensi ekonomi. Meskipun demikian, tujuan utama hukum persaingan usaha ada tiga hal, yaitu; 1). Memelihara kondisi kompetisi yang bebas (maintenance of free competition). Artinya adalah hukum persaingan usaha ditujukan untuk melindungi persaingan, bukan melindungi pesaing. Tujuan ini dilandasi alasan ekonomi (efisiensi dalam persaingan) dan ideologi (kebebasan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 51 yang sama untuk berusaha dan bersaing). Persaingan yang sehat akan membawa dampak terhadap alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Prancis dan Jerman tercatat sebagai negara yang menonjol dalam menjamin kebebasan ekonomi untuk bersaing, sedangkan Jerman menganggap bahwa kebebasan ekonomi individual setara dengan kebebasan lain dalam sistem demokratik konstitusional. 2). Mencegah penyalahgunaan kekuatan ekonomi (prevention of abuse of economic power) dengan tujuan untuk melengkapi tujuan memelihara kompetisi yang bebas. 3). Melindungi konsumen (protection of consumers). Selama dua dekade terakhir, Amerika Serikat menem­ patkan tujuan perlindungan konsumen secara khusus dalam sistem perekonomian negaranya. Terkait dengan beberapa tujuan utama hukum per­saingan usaha, bahwa pada hakikatnya hukum ini dimak­ sud­ kan untuk mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan-tujuan yang menguntungkan. Dalam arti luas, hukum persaingan usaha bukan hanya meliputi pengaturan per­saingan, melainkan juga soal boleh-tidaknya monopoli, dan juga bisa digunakan sebagai sarana kebijakan publik untuk mengatur sumber daya yang dikuasai negara dan yang boleh dikelola oleh swasta. Pada umumnya, secara substansial hukum persaingan usaha berisi regulasi–regulasi yang mencakup 3 (tiga) hal, sebagai berikut; 1) ketentuan tentang perilaku yang berkaitan dengan aktivitas usaha. 2) ketentuan tentang struktural yang berkaitan dengan aktivitas usaha. 3) ketentuan prosedural tentang pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha. Tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tindakan antipersaingan (anticompetition) dan tindakan persaingan curang (unfair competition practice, unfair methods of competition). Pengertian lain mengenai hukum persaingan usaha memberi pemahaman kepada kita bahwa persaingan usaha di Indonesia menganut asas demokrasi ekonomi. Dalam UU LPMPUTS Pasal 2 dijelaskan, pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan 52 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. demokrasi ekonomi, sedangkan tujuan pembentukan undang-undang ini dalam Pasal 3 ditegaskan adalah untuk; a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c) mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan; d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Kemajuan peradaban membawa umat manusia pada kehidupan universal. Kemajuan teknologi dalam bidang informasi melepaskan pengetahuan manusia dari batas-batas geografi dan waktu. Media menjadi pelaku dalam pertukaran informasi yang begitu cepat. Realitas dunia mewujud, realitas menjadi konstruksi kata-kata media cetak. Terkait dengan era globalisasi dan pasar terbuka yang sangat kompetitif sekarang ini, pers nasional terdorong untuk memasuki area sebagai bagian dari industri komunikasi dan informasi. Untuk itu, peningkatan profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan pers merupakan syarat penting yang harus diupayakan dan dikembangkan secara berkelanjutan, agar mampu mengantisipasi tantangan dengan situasi dan kondisi yang berubah cepat, tetapi tidak kehilangan idealisme dan integritasnya. Pendekatan terhadap pers dapat dilakukan dari dua sisi. Pertama, dari sisi pers sebagai lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mengutamakan sifat-sifat ideal. Di sini kita melihat pers itu sebagai lembaga pembawa pesan-pesan perjuangan nasional demi kepentingan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kedua, kehadiran pers dapat didekati sebagai suatu perusahaan bisnis sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam konteks ini dapat pula diambil makna bahwa pers bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang membawa pesan-pesan untuk pembangunan kesejahteraan demi Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 53 kemakmuran masyarakat. Menurut Pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan per­usahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menye­ lenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Pengertian lain dalam penje­ lasan dikemukakan perusahaan pers harus dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, pers nasional dituntut pula untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjadi pers yang bebas dan sehat, yaitu pers yang merdeka dan bertanggung jawab. Untuk menjawab tun­ tutan kebutuhan masyarakat, pers menghendaki adanya ke­ bebasan dan keterbukaan sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28 UUD 1945, yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah diteliti, uraian pada Pasal 28 ini ternyata secara tersurat tidak mencantumkan istilah kebebasan, melainkan secara tersirat mengandung makna yang merupakan bagian dari kalimat kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, bahwa konstitusi negara Republik Indonesia meng­alami perubahan yang signifikan terutama di bidang ketatanegaraan. Salah satu di antaranya adalah terjadinya beberapa kali amandemen terhadap batang tubuh UUD 1945 yang hingga saat ini telah terjadi empat kali. Perubahan khusus terdapat pada Pasal 28 yang mem­­beri legitimasi pada kemerdekaan pers. Dengan sen­ dirinya, diamandemennya pasal tersebut menjadi Pasal 28F, otomatis menempatkan hal itu sebagai salah satu dasar hukum ketentuan pers. Pasal 28F ini juga menjadi payung hukum pers nasional sekaligus paling mendasar terhadap perubahan UUD 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000. Pasal 28F berbunyi sebagai 54 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. berikut: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan meng­gunakan segala jenis saluran yang tersedia”. ** (Perubahan Kedua Tahun 2000). Bandingkan dengan isi Pasal 28 sebelum diamandemen: “Kemerdekaan berserikat dan ber­kumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara meru­pakan landasan filosofis dan sumber hukum paling utama yang tak terbantahkan dalam pengembangan sistem hukum Indonesia. Begitu pula UUD, tertulis dan tidak tertulis merupakan sumber hukum, sedangkan Pancasila sebagai pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan adalah Groon Norm filsafat sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kelima sila Pancasila menjadi satu kesatuan yang utuh sekaligus memberi landasan yang kokoh bagi setiap pengaturan hukum nasional. Pem­ba­ngunan hukum nasional, baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maupun aplikasi program pem­ bangunan masyarakat, tidak dapat meninggalkan atau mengabaikan arahan konstitusional.106 Hal itu menunjukkan bahwa setiap pembentukan peraturan dan perundang-undangan jika akan diberlakukan lazimnya tercantum dalam konsideran, sekaligus merupakan bukti bahwa filosofi peraturan yang dibuat membentuk suatu sistem hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jika dirumuskan, landasan pengaturan pengembangan sistem hukum Indonesia terdiri atas dua unsur pokok yakni konstitusional dan operasional. Mengacu pada pemikiran bahwa pengembangan sistem hukum merupakan bagian dari pembangunan nasional, hal ini akan membawa pema­haman betapa pentingnya landasan operasional dalam membuat konsep prioritas pembangunan nasional, seperti menyusun program pembangunan hukum 106. Lili Rasjidi., Pembangunan Hukum Nasional, materi kuliah S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, tgl 2 Januari 2008. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 55 nasional untuk mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. Untuk menyusun materi sistem pengembangan hukum nasional, ada dua indikator yang harus dirumuskan yaitu pokok-pokok pembangunan nasional dan pembangunan hukum itu sendiri yang sangat terkait dengan pokok-pokok pikiran UUD 1945 sebagai konstitusi yang termuat di dalam pembukaannya107 sebagai berikut: 1). “Negara” – begitu bunyinya-- “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam pembukaan ini, diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi sege­nap bangsa, seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham per­ seorangan. Negara menurut pengertian “pembukaan” ini menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, seluruhnya. 2). Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 3). Dalam “pembukaan” tercantum negara yang berke­ d­ aulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan per­ mu­ syawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. 4). Pokok pikiran keempat terkadung dalam “pembukaan” ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. 107. Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia, setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN 1999-2004, Pustaka Setia, Bandung, Cetakan IV Revisi, September 2002, halaman 33-34. 56 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Pada intinya, pokok pikiran pertama menegaskan untuk mewujudkan stabilitas yang aman, damai dengan menganut aliran filsafat positivisme tentang hukum alam dari tokoh Grotius. Pokok pikiran kedua mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state), dan pokok pikiran keti­ga yaitu negara demokrasi serta pikiran keempat meng­anut asas manfaat utilitas. Hasil amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang ber­da­sarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Pemerintahan dilaksanakan ber­dasarkan konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Konsekuensi dari pasal 1 ayat (3) amandemen ketiga UUD 1945, adalah keharusan adanya tiga prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara Indonesia, yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pencegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum dan seadil-adilnya. Hukum menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia dalam mengelola negara, dan ditempatkan pada posisi tertinggi. Hukumlah yang mem­ berikan kekuasaan dan sesuai dengan amanat konstitusi. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Pasal II aturan tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan prinsip-prinsip konstitusi yang bersifat supreme dalam tata hukum nasional (national legal order). Artinya, peraturan perundang-undangan yang dibentuk kemudian oleh lembaga berwenang harus berlandaskan prinsip-prinsip UUD 1945 dan tidak dibenarkan suatu undang-undang memuat prinsip-prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UUD 1945. Di dalam penjelasan UUD 1945, Bab Umum No. III dirumuskan bahwa: “Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pembukaan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 57 meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia, pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum tidak tertulis.” Untuk menjelaskannya, kita harus merujuk pada letak sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku seca­ra hierarkis di Indonesia adalah: Tap MPR, UU, Perppu, PP, Keppres, dan Perda. Berkaitan dengan posisi tertinggi UUD 1945 dalam tata urutan perundang-undangan se­ sung­­guhnya tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi negara, (lihat Hans Kelsen dalam “General Theory of Law and State”). Secara konstitusional, landasan pembangunan hukum nasional adalah UUD 1945 dan menjadi hukum dasar Indonesia. Pokok-pokok pikiran hal ini mendapat pengakuan yang tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Bab I, amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3), ada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga Negara, yaitu supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum; dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan menghambat aspek negatif dari kemanusiaan. Munculnya gerakan reformasi pada Mei 1998 merupakan upaya rakyat untuk kembali kepada negara hukum yang sudah dianut oleh Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945. Ada indikasi pada era sebelumnya berlaku adagium, politik sebagai “panglima” yang secara konstitusional hal ini bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, 58 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. era reformasi kembali pada negara hukum yaitu dengan mene­rapkan sistem hukum Indonesia guna mengatur sistem politik dan ekonomi yang bernapaskan kitab suci Alquran, Injil, Weda dan lain-lain. Penerapan hukum yang ditaati dan diikuti akan mencip­ takan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi ma­sya­rakat. Ketiadaan penegakan hukum dan ketertiban akan menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara damai, adil, dan sejahtera. Untuk itu, perbaikan pada aspek keadilan dalam pembangunan industri media massa nasional akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian. Dalam konteks pembangunan nasional, dalam RPJMN 2009-2025 ditetapkan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan bagian integral dari pembangunan tersebut. Pembangunan kesejahteraan rakyat yang dimaksud adalah yang sejalan dengan pembangunan nasional, meliputi pem­ba­­ngunan kesehatan, pendidikan, perumahan, perta­ hanan dan keamanan, politik (proses demokratisasi), hukum, dan sebagainya. Pembangunan nasional sebagai suatu kebijakan besar (grand design) sebagaimana diuraikan di atas memerlukan peru­bahan nilai dan sikap untuk memberikan arah peru­bahan masyarakat yang lebih baik, lebih teratur, dan lebih tertib dari keadaan masyarakat sebelumnya, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa perubahan tersebut harus dilakukan secara teratur. Pembangunan nasional berdasarkan UndangUndang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.108 UU No. 25 Tahun 2004 menjadi landasan hukum berlakunya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN Tahun 2004-2009). Permasalahan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN) tahun 2004-2009, Sinar Grafika Cetakan Pertama Maret 2005, Op.cit hlm 85-101. Berdasarkan Penjelasan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. GBHN ditiadakan sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional. 108 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 59 dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum nasional pada dasarnya meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, pemerintah menetapkan Visi dan Misi Pem­bangunan Nasional Tahun 2004-2009 berdasarkan Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009,109 dirumuskan dalam 3 visi sebagai berikut; 1) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. 2) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia, serta 3) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. 4) dengan misi mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, yang sejahtera. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 adalah landasan operasional pem­bangunan nasional yang mulai berlaku pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ditegaskan, ketentuan tentang GBHN ditiadakan sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional. Hal itu merupakan konsekuensi dari amandemen UUD 1945 yang mengatur bahwa Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan tidak adanya GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan, maka dibutuhkan pengaturan lebih lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional.110 Ke depan, penegakan hukum dan hak asasi manusia menjadi tumpuan penegakan hukum dan hak asasi manusia dengan mengutamakan agenda pemberantasan korupsi, antiterorisme, serta pemberantasan penyalahgunaan narkoba dan obat berbahaya. Untuk itu, menurut RPJP 2005-2025 ada 17 kegiatan yang akan dilakukan, antara lain: penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi, pelak­s­anaan rencana aksi nasional Buku RPJMN 2004-2009, Sinar Grafika, Maret 2005, Op.cit, hlm.19. RPJMN, Op.cit, hlm 506 109 110 60 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. hak asasi manusia, pem­berantasan terorisme/narkoba, efektivitas lembaga hukum, penghormatan persamaan di depan hukum, audit kekayaan pejabat, penyempurnaan konsep proses hukum yang lebih sederhana/ cepat/tepat dan murah, peningkatan operasional penegak hukum dan HAM, pembenahan manajemen perkara, transparansi sistem manajemen perkara dan lembaga hukum, koordinasi dan pembaruan materi hukum, pengawasan keimigrasian, peningkatan fungsi intelijen dan tindakan hukum untuk memutus jaringan narkoba. 1. Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila Dalam kaitan dengan paham dan konsep negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang termuat di dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945 alinea kedua dan keempat), perwujudan kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan amanat konstitusi yang secara filosofis berlandaskan cita hukum (recht-idee) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum positif, termasuk hukum persaingan usaha dan hukum pers di Indonesia harus ditarik dari landasan cita hukum tersebut agar penerapannya bisa menjadikan hukum yang bermartabat, yaitu hukum yang memperoleh kepatuhan dari masyarakat. Indonesia dapat digolongkan sebagai penganut negara kesejahteraan, misalnya dilihat dari tujuan negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasarkan kehidupan bangsa dan keadilan sosial, dan adanya keterlibatan pemerintahan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya. Hal tersebut diatur dalam UUD 45, antara lain Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34. Prinsip-prinsip filosofi digali dari Pancasila yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004). UUD 1945 sebagai konstitusi negara merupakan sumber prinsip-prinsip yuridis normatif dan prinsip-prinsip sosiologis. Konstitusi UUD 1945 digali dari realitas sosial bangsa Indonesia Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 61 dan perkembangan internasional. Cita hukum Pancasila merupakan landasan filosofis politik hukum pers. Cita hukum (rechtsidee) merupakan gabungan dua kata, cita (ide) yang berarti ide, gagasan, rasa cipta, pikiran dan hukum (rechts) yang secara umum diartikan sebagai suatu aturan yang wajib ditaati oleh masyarakat. Cita hukum dengan demikian dapat dimaknai sebagai suatu cita mulia yang ingin dicapai oleh suatu masyarakat atau bangsa yang menjadi pedoman dalam pembangunan hukum. Rudolf Stammler mengartikan cita hukum sebagai konstruksi pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (leitsern) terhadap tercapainya cita-cita masyarakat. Meskipun merupakan titik akhir yang tidak mungkin dicapai, cita hukum memberi manfaat karena cita hukum memiliki dua fungsi yaitu cita hukum bangsa Indonesia dapat menguji hukum positif yang berlaku dan mengarahkan hukum positif melalui sanksi pemaksa agar menuju keadilan (zwangversuchzum richtigen). Cita hukum bangsa Indonesia berakar pada Pancasila yang oleh pendiri negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan filsafat. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan mengenai tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta. Terkait dengan pemikiran tentang Cita-cita Nasional Menuju Negara Hukum Pancasila,111 Arief Sidharta mengatakan, dalam citacita nasional tersebut yang ingin diwujudkan adalah terbentuknya negara hukum Pancasila atau disebut negara hukum demokratik kesejahteraan. Hal ini akan tercapai pada abad ke-21 apabila mendapat landasan ideal berupa legitimasi otoritas politik sebagai persyaratan Arief Sidharta, skema materi kuliah Sistem Filsafat Hukum Indonesia, Pascasarjana Unpad, 2007. 111 62 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. guna mencapai kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kepastian hukum. Proses ke arah itu merupakan perjalanan panjang secara bertahap mulai era tatanan politik kolonial Belanda (1908-1928), interregnum pendudukan Militer-Jepang (1942-1945), periode tatanan politik Negara Republik Indonesia (1950-1985), dan periode pemantapan (1993-1995). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berarti manusia harus berusaha sesuai dengan ajaran Tuhan. Sila peri­ke­manusiaan dan kebangsaan bermakna bangsa Indonesia melihat manusia internasional sebagai satu umat, satu kesatuan, sejajar dan menentang adanya penjajahan atas bangsa-bangsa di dunia. Sifat manusia tidak pernah bebas dan berbeda-beda tetapi kepribadian setiap kelompok dilindungi. “Meski ter­ikat tetapi ada kebebasan sesuai dengan kepri­ba­dian­nya masingmasing.” Sila keadilan sosial atau sila kese­­jahteraan sosial adalah suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia untuk sesama manusia, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada pengisapan. Hubungan lima sila Pancasila merupakan sistem filsafat, bukan gado-gado yang terpisah. Hubungan lima sila Pancasila dalam pandangan bangsa Indonesia adalah hubungan filsafat antarmanusia. Musyawarah dan mufakat adalah cara manusia mencapai jalan hidup bahagia. Musyawarah dan mufakat dinamakan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Cara musyawarah atau mufakat mengandung arti: mengakui adanya perbe­daan antarmanusia yang hidup ber­ kelompok dalam mencari jalan menuju hidup bahagia; mengakui adanya perbedaan dalam kepribadian masing-masing manusia yang berkelompok; tidak menyatakan pen­dapat salah seorang mendominasi pendapat orang lain; diamanatkan, pendapat yang berbeda-beda harus dimusyawarahkan untuk mufakat. Kepribadian individu, menurut pemikiran bangsa Indonesia, diakui dan dilindungi. Undang-Undang Dasar di negara-negara Eropa dan Amerika didasar­ kan pada filsafat pemikiran revolusi Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 63 Prancis; paham individualisme dan liberalisme. Individualisme dan liberalisme adalah paham yang salah, Bung Karno melarang paham itu masuk ke dalam UUD RI (rapat BPPKI 15 Juli 1945). Pancasila menolak paham individualisme atas dasar men are created free and aqual. Pancasila berjiwa kekeluargaan, sifatnya bersumber pada keluarga. Jika Pancasila berjiwa kekeluargaan, pandangan bangsa Indonesia tempat individu dalam pergaulan hidup itu adalah: “kesatuan dalam perbedaan”, ”perbedaan dalam kesatuan”. Makna “kesatuan dalam perbedaan”, “perbedaan dalam kesatuan” terdapat dalam isi lima sila Pancasila yang menjadi jiwa bangsa Indonesia. Berdasarkan penelitian, dalam sila-sila Pancasila terdapat prinsip-prinsip “kesatuan dalam perbedaan”, “perbedaan dalam kesatuan” yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam alam semesta ciptaan Tuhan terdapat kesatuan dan perbedaan misalnya tanda-tanda kehidupan, ada hidup ada mati. Sila Perikemanusiaan/Kebangsaan, umat manusia di dunia merupakan satu kesatuan umat tetapi ada perbedaan bangsa-bangsa. Sila Musyawarah, Mufakat terkait dengan cara manusia mencapai kebahagiaan berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan hidup sejahtera. Sila Keadilan Sosial adalah hubungan manusia dan individu dalam kelompoknya yang merupakan kesatuan tetapi padanya terdapat perbedaan raga, rasa, dan rasio. Gotong royong merupakan makna khas kepri­badian bangsa Indonesia. Gotong royong adalah paham dinamis, lebih dinamis dari paham keke­luar­gaan yang statis. Menurut paham Bung Karno, gotong royong menggambarkan suatu usaha, amal, dan peker­jaan yang disebut “tolong-menolong”, misalnya koperasi. Menurut penelitian Prof. Dr Kuntjaraningrat pada masyarakat desa di Jawa Tengah, yang dimaksud gotong-royong adalah nama kelompok aktivitas manusia yang timbul pada waktu ada peristiwa kematian, atau kecelakaan yang menimpa penduduk desa. Kegiatan gotong-royong ini dilakukan oleh orang-orang yang meru­pakan anggota dari satu kesatuan desa, 64 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. kampung, keturunan karena menyadari mereka anggota kesatuan dan itu dilakukan secara spontan. Kegiatan gotong royong dasarnya adalah kekeluargaan yang bermakna: “kesatuan dalam perbedaan”, ”perbedaan dalam kesatuan”. Ketentuan lain dalam bidang penegakan hukum untuk keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dijelaskan dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan pada Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan keha­ kiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.112 Penegakan hukum dan ke­adilan berdasarkan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila mengandung maksud bahwa penye­leng­garaan peradilan harus diilhami oleh nilai dari sila-sila Pancasila. Hal itu mengandung beberapa konsepsi nilai di dalamnya dan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari113 yaitu nilai ketakwaan, kesederajatan, keadaban, kebangsaan, kebersamaan, kerakyatan, dan keadilan. Yang dimaksud dengan nilai-nilai tersebut adalah; (1) nilai ketakwaan yaitu diharapkan aparat penegak hukum memahami bahwa mereka harus menghormati sesama manusia sebagai pencari keadilan yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada perbedaan di mata Sang Pencipta. Para penegak hukum ataupun pencari keadilan harus memer­cayai keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan wajib menyembah-Nya (bertakwa) tanpa kecuali; (2) nilai kesederajatan yaitu adanya kesamaan pemahaman bahwa dalam pelayanan hukum dan keadilan adalah sama dan sederajat, tidak ada perbedaan kedudukan ataupun status bagi masyarakat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Modul Pembelajaran Bidang Studi Pancasila dan Undang-Undang Dasar NKRI 1945, Jakarta 2010, hlm 3. 112 113 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 65 pencari keadilan; (3) nilai keadaban yaitu terciptanya suasana saling meng­hormati sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang berhak mendapat keadilan berdasarkan aturan hukum yang ada, tidak adanya penekanan, pemak­saan ataupun penindasan antarmanusia; (4) nilai kebang­saan yaitu adanya rasa kebersamaan dan rasa kesera­gaman dalam penerapan aturan hukum mes­kipun secara geografis negara Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang terpisah dalam berbagai suku bangsa; (5) nilai kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yaitu adanya rasa mempunyai kepentingan bersama yang harus dipertahankan; (6) nilai kerakyatan dan kebijaksanaan yaitu adanya kontrol dan pengendalian dalam penegakan hukum untuk mencegah terjadinya dominasi pelayanan suatu kelompok atau segolongan masyarakat tertentu yang ingin diistimewakan dari yang lain; (7) nilai keadilan yaitu adanya sasaran akhir dari penegakan hukum menuju terciptanya keamanan, ketertiban, kemakmuran, kesejahteraan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal itu tidak hanya untuk kepentingan seluruh rakyat dan seluruh bangsa Indonesia di dalam negeri, tetapi juga bisa dirasakan pula oleh bangsa lain di dunia internasional sejalan dengan tujuan negara kita yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. 2. Aspek Moral dalam Persaingan Usaha Perilaku pelaku usaha industri media massa bila dikait­ kan dengan teori etika akan memberi wawasan dan pedoman dalam pengambilan keputusan bisnis ketika pelaku usaha dihadapkan pada situasi yang memiliki dimensi moral, seperti memahami dan me­ mengaruhi keputusan-keputusan atau perilaku dari pesaing, konsumen, dan pemerintah. Dalam teori etika Barat, etika dipecah menjadi dua kategori, teleological dan deontological. Teori teleological mendasarkan peng­ ambilan keputusan moral dengan pengukuran hasil atau konsekuensi suatu perbuatan, sedangkan teori deontological, menentukan etika dari suatu perbuatan berdasarkan aturan atau 66 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. prinsip yang mengatur proses pengambilan keputusan. Etika dalam perusahaan disebut etika bisnis. Etika bisnis bagi para pelaku usaha merupakan hak dan kewajiban untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan mekanisme kaidah yang disepakati bersama. Menurut Djuhaendah Hasan, kesadaran hukum pelaku bisnis mempunyai peran dalam menumbuhkan bisnis yang berbudaya. Namun, kesadaran hukum ini harus merata di antara para pelaku bisnis, para eksekutif, dan juga para birokrat. Djuhaendah menunjukkan faktor lingkungan berperan besar agar budaya bisnis yang baik dan sehat tetap terpelihara dan tidak menim­ bul­kan perilaku bisnis yang melanggar etika. Bisnis yang berbudaya tinggi akan menunjukkan jati diri bangsanya di mata internasional, dan berdampak terha­dap perkembangan ekonomi nasional. Tatanan pengaturan yang berkeadilan sosial ber­ dasar­ kan Pancasila yang bersifat sui generis didasar­kan keseimbangan, kese­ rasian, dan kesejarahan. Adanya suatu tatanan khusus yang dibentuk jangan sampai merugikan salah satu pihak serta keluar dari budaya sebagai cita bangsa, yang dapat menyelaraskan, men­capai keserasian serta keseimbangan. Suatu perundang-undangan berdasarkan keadilan Pancasila yang memi­liki jiwa keselarasan, keserasian, dan keseim­bangan akan sangat melindungi bisnis industri media massa dari ketidakadilan pihak-pihak yang tidak bertang­gung jawab, tanpa memperhatikan aspek moral dan ekonomi. Keadilan Pancasila harus menjadi acuan dalam melin­dungi kemerdekaan pers dan industri media massa. Dengan demikian, berarti perlindungannya harus mengutamakan tujuan menyejahterakan masya­­rakat Indonesia. Masyarakat setempat sebagai pemi­lik harus dilindungi haknya, dikembangkan serta tetap dipertahankan kreativitasnya agar maju dan man­faatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.Pembe­rian perlindungan bagi pers dan industri media massa dalam suatu aturan khusus dan tersendiri (sui generis) memang Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 67 perlu segera dilaksanakan agar karya-karya intelektual masyarakat dan bangsa Indonesia men­dapat kepastian hukum. Hal tersebut merupakan suatu upaya pembaruan hukum dalam sistem hak keka­ yaan intelektual yang sudah ada saat ini. Perlindungan bisnis dan industri media massa dila­kukan melalui pengaturan yang bersifat sui generis harus memperhatikan tiga hal yaitu; pertama, peraturan tersebut harus memenuhi syarat filosofis artinya harus berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, ideologi negara, dan pandangan hidup bangsa Indonesia, juga sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia. Kedua, per­aturan sui generis tersebut harus memenuhi syarat yuridis artinya peraturan tersebut harus dibuat oleh pemerintah bersama dengan dewan perwakilan rakyat sebagai representasi rakyat dan pemilik pengetahuan jurnalistik dan ekspresi pers nasional. Kedua pihak itu harus sejalan dalam menentukan kebijakan terkait dengan pengetahuan jurnalistik dan ekspresi pers nasional. Ketiga, peraturan sui generis tersebut harus memperhatikan syarat sosiologis artinya peraturan tersebut dibuat karena adanya kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. 3. Pembangunan Hukum dalam Persaingan Usaha Dalam persaingan usaha, etika bisnis pembangunan hukum juga sangat penting. Hukum bisnis dibutuhkan sebagai sarana pembangunan masyarakat, dan meru­pakan transformasi nilai-nilai kehidupan ber­ bangsa dan bernegara dalam suasana globalisasi masya­ra­kat dunia. Pembangunan hukum dimaksud adalah UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pemba­ ngunan nasional. Menurut Mohd Yamin, lambang “Bhinneka Tunggal Ika” artinya sama dengan seloka dalam bahasa Latin: E pluribus unum berarti bersatu walaupun berbeda. Lambang RI menunjukkan isi jiwa Negara RI yang disebut jiwa kekeluargaan yang sampai sekarang tercantum dalam Pasal 33 UUD, 68 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.” Usaha bersama menunjukkan adanya kelompok manusia yang didasarkan pada asas kekeluargaan, dan pengertian kekeluargaan dipakai juga dalam organisasi secara kekeluargaan. Dengan perkataan lain, untuk menyusun konsep pembangunan hukum nasional selalu terkait dengan dua hal pokok yaitu politik hukum pemerintah dan tujuan hukum itu sendiri, serta sifat hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, tujuan hukum adalah tercapainya ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum (K3H), sedangkan menurut teori utility ( Jeremy Betham) dan teori etis (Aristoteles) tujuan hukum adalah hal apa yang ingin dicapai. Betham mengatakan, hukum itu berusaha memberikan kebahagiaan/manfaat/kegunaan yang sebesar-besarnya kepada sejumlah manusia yang sebanyak-banyaknya. ”The greatest happinness for the greatest number”. Titik berat tujuan hukum adalah kegunaan atau faedah. Aristoteles mengatakan hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Keadilan distributif (keseimbangan) dan kumulatif (kesamaan) dan titik berat tujuan hukum adalah keadilan. L.J.Van Apeldoorn mengatakan, tujuan hukum itu mengatur per­gaulan hidup damai dan adil, sedangkan Van Kan mengatakan hukum bertujuan menjaga kepentingan tiaptiap manusia supaya kepentingan itu tidak diganggu. Sementara itu, Mochtar Kusumaatmadja menga­takan, fungsi hukum adalah sarana untuk men­ciptakan K3H dan hukum sebagai sarana pemba­ruan/ pembangunan masyarakat, dalam konsep “teori hukum pembangunan”. Hukum adalah tatanan dan kesatuan yang utuh, terdiri atas bagian atau unsur yang saling berkaitan erat. Hukum mempunyai fungsi sebagai sarana kamtibmas dan stabilitas nasional. Soedikno Mertokusumo (1995) mengatakan, sistem hukum adalah satu kesatuan terdiri atas unsur yang mempunyai interaksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Sistem hukum terdiri atas unsur peraturan (norma), asas, dan penger­tian hukum. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 69 Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Pandangan arti atau nilai yuridis akan memengaruhi perkembangan sistem. Sunaryati Hartono (1991) mengatakan, sistem hukum nasional adalah keseluruhan tata hukum nasional yang wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Bagi Negara yang berlandaskan hukum, kesiapan sistem hukum nasional sangat penting. Mengenai komponen sistem hukum nasional, menurut Sunaryati Hartono, ada 17 yaitu filsafat hukum nasional, perundangundangan hukum nasional, yurisprudensi, hukum kebiasaan, aparat penegak hukum, profesi hukum, aparat pelayanan hukum, lembagalembaga hukum, pranata-pranata hukum baru, kesadaran hukum masyarakat, sistem dan metode pendidikan hukum, penelitian hukum, ilmu hukum nasional, informasi hukum, perencanaan hukum, sarana dan prasarana penunjang, dan sumber dana. Selain itu, komponenkomponen sistem hukum mencakup masyarakat hukum, budaya hukum, ilmu hukum, konsep hukum, pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, dan evaluasi hukum. D. Demokrasi dan Kemerdekaan Pers Mewujudkan Kesejahteraan Secara intuitif para pakar telah lama yakin tentang adanya korelasi positif antara demokrasi, kemerdekaan pers, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Bahkan peraih Anugerah Nobel, Amartya Sen, dalam penelitiannya Development as Freedom114 membuktikan adanya kaitan antara kemerdekaan pers dan keberhasilan upaya pencegahan wabah kelaparan. Hasil penelitian ini kemudian menginspirasi Bank Dunia yang melihat persoalan kemerdekaan pers adalah masalah bisnis dan bukan semata-mata berada di ranah politik dan demokrasi seperti pandangan sebelumnya. Bambang Harymurti, Hak Memberitakan, Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Kumpulan Tulisan Buku, Tempo dan The World Bank, 2006, hlm. v-vii 114 70 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Perubahan pandangan Bank Dunia mengenai kemer­dekaan pers memiliki dampak besar terhadap penyusunan strategi pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Sebab, sejak masalah pers diakui sebagai persoalan ekonomi, berbagai institusi internasional di bidang ekonomi mulai menyusun perencanaan dan menjalankan program terkait dengan kehadiran konsep kemerdekaan pers sebagai bagian dari upaya pembangunannya. Karena itu, dalam strategi pembangunan yang efektif, menurut James D.Wolfensohn115, penyampaian informasi dan transparansi merupakan unsur utama yang harus ada. Pers bebas bukan suatu kemewahan, pers menjadi inti pembangunan. Media bisa membongkar korupsi dan mengontrol kebijakan publik serta mengkritisi pemerintah Pentingnya peran pers dalam strategi pembangunan, misalnya dalam memberantas kemiskinan, pemerintah harus membuka akses kebebasan informasi dan mening­katkan kualitas informasi. Rakyat yang memperoleh infor­masi yang lebih banyak akan mampu membuat pilihan yang lebih baik. Di samping itu, fakta-fakta menunjukkan melalui penyampaian gagasan dan inovasi, Pers bisa mem­perlancar perdagangan lintas negara. Demikian pula dalam pembangunan kesejahteraan manusia, peran media sangat penting dengan menyampaikan informasi kesehatan dan pendidikan sampai ke desa-desa terpencil. Pengertian pem­bangunan kesejahteraan manusia116 dalam tulisan ini maksudnya adalah sosial ekonomi mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, pajak, asuransi, dan pensiun. Edmun menekankan negara kesejahteraan memi­ liki tanggung jawab mempersiapkan hidup sejahtera bagi warganya dan memberi jaminan hari tua untuk masa depan. Dalam sistem negara modern, tujuan demokratisasi dan kemerdekaan pers dapat diartikan sebagai sarana menuju negara kesejahteraan. Mochamad 115 James D. Wolfensohn, President The World Bank Group (1995-2005), Perihal Peran Pers Bebas, Tulisan dalam Hak Memberitakan, Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi, Tempo dan The World Bank, 2006, hlm.viii-ix 116 Edmun Conway,50 Gagasan Ekonomi yang Perlu Anda Ketahui, Erlangga, 2010, hlm.146-150 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 71 Hatta mengatakan, Indonesia dapat digolongkan sebagai penganut negara kesejahteraan. Hal itu, misalnya, dilihat dari tujuan negara Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum, men­cerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial. Adanya keterlibatan pemerintahan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya merupakan upaya mengelola sumber-sumber kekayaan negara untuk kepentingan publik. Demikian pula dalam konteks paham kebangsaan, gagasan “empat pilar” kehidupan bernegara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) demokrasi dan kemerdekaan pers tidak bisa dipisahkan dalam proses pembangunan bangsa. Yang dimaksud dengan nilai kebang­saan yaitu adanya rasa kebersamaan dan rasa kese­ragaman dalam penerapan aturan hukum, meskipun secara geografis negara Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang terpisah dalam berbagai macam suku bangsa. Sementara nilai kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yaitu adanya rasa mempunyai kepentingan bersama yang harus dipertahankan. Mochamad Isnaeni Ramdhan117 melalui tulisannya bertajuk “Penegakan Pembukaan UUD 1945, Langkah Nyata Mempertahankan Kehidupan Bernegara” mengatakan, menjalankan fungsi-peran pers dan kemerdekaan pers dalam alam demokrasi akhir-akhir ini menimbulkan per­ masalahan. Keadaan ini perlu diantisipasi dengan mene­ gakkan kembali nilai-nilai Pembukaan UUD 1945. Bebe­rapa gejala atau fakta penyimpangan dan memudarnya implementasi nilai-nilai 4 pilar kehidupan bernegara telah terjadi dalam menjalankan fungsi dan perannya di alam demokrasi. Bahkan di bidang media, format pers dewasa ini yang dikuasai oleh kalangan elite partai politik ikut meramaikan pembangunan karakter dan citra bagi pemilik media massa, seraya membunuh karakter lawan politik. Dalam suasana pers seperti ini, objektivitas tidak lagi menjadi nilai pemberitaan, dan kecerdasan bangsa makin tertinggal. Mochamad Isnaeni Ramdhan, Penegakan Pembukaan UUD 1945, Langkah Nyata Mempertahankan Kehidupan Bernegara, lihat Krisna Harahap, Pemeriksaan Tipikor Yang Mendua di MA, Grafitri Budi Utami, 2011, hlm.266-269. 117 72 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepe­milikan saham atau modal untuk mengontrol isi media. Apabila dikaji, banyak teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa. Menurut Gordon, sebagaimana dikutip Rahayu, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation.118 Dijelaskan, customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas, dan ketersediaan; competitive environment merupakan ling­kungan persaingan yang dihadapi perusahaan. Semen­tara social expectation berhubungan dengan tingkat harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Secara filosofis, negara kesejahteraan berlandaskan pada cita hukum (recht-idee) Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam konstitusi (pem­bukaan UUD 1945 alinea kedua dan keempat). Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum positif, termasuk hukum persaingan usaha dan hukum pers di Indonesia harus ditarik dari landasan cita hukum tersebut agar penerapannya menjadi hukum yang bermartabat, yaitu hukum yang memperoleh kepatuhan dari masyarakat. Hal tersebut diatur dalam UUD 45. Untuk itu, upaya mewujudkan kesejahteraan bersama bagi bangsa Indonesia merupakan amanat konstitusi yang tak terbantahkan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ditinjau dari aspek konseptual (idea) pada nilai-nilai pembukaan konstitusi dimaksud terkandung makna filosofi bangsa yang saling terkait. Relevan dengan judul disertasi ini, penulis membatasi pembahasan mengenai nilai-nilai pembukaan Pancasila, agar analisisnya lebih fokus pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan, yaitu 118 Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi, Vol.V/Oktober 2000, hlm.38. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 73 alinea kedua dan keempat saja terkait dengan materi tentang demokrasi, kemerdekaan pers, dan negara kesejahteraan. Sebagaimana dikemukakan pada aline kedua, mampu menjaga tekad untuk tetap merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur agar mampu berdiri kokoh menjadi suatu negara merdeka yang membutuhkan persatuan segenap komponen bangsa menuju masyarakat adil dan makmur. Pada alinea keempat, dijelaskan mampu menjalankan tujuan negara untuk melin­dungi segenap bangsa Indonesia, artinya pemerintah harus mampu menjaga, memelihara, mengurus semua kekuatan sumber daya alam, ekonomi, manusia dari intervensi kepentingan asing yang merugikan bangsa Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum dan gotong royong. Di bawah koordinasi pemerintah, negara mewujudkan kesejahteraan bersama, dan pemerintah wajib berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kecerdasan ekonomi, kecerdasan sosial, kecerdasan budaya, kecerdasan hankam, dan kecerdasan beragama.119 Namun, pengalaman menunjukkan bahwa independensi media bisa rapuh dan mudah terkompromikan. Di satu sisi, pemerintah sering membelenggu media dan melakukan kontrol demi berbagai kepentingan pribadi yang kuat. Di sisi lain, hal ini telah membatasi kebebasan penyampaian informasi. Sementara untuk mendukung pembangunan, media perlu lingkungan yang baik, dalam arti memiliki kebebasan, kemampuan yang menyejahterakan.120 Penelitian Roumeen Islam121 menarik dipaparkan dalam tulisan ini. Dia mengkritisi hubungan antara kemerdekaan pers dan demokrasi. Islam menjelaskan pada umumnya negara-negara yang demokratis juga memiliki pers yang bebas. Namun, ia mempertanyakan apakah media bebas yang menumbuhkan demokrasi, atau demokrasi yang mengembangkan media bebas. Jelas, dua-duanya bisa terjadi, hanya tingkat demokrasi serta kebebasan media berbeda-beda derajatnya. Sesama negara demokratis, tingkat kebebasan medianya tidak sama, dan di antara negara-negara Ibid Ibid 121 Op.cit, Roumeen Islam, Apa Yang Diberitakan Media dan Mengapa,hlm 2-3 119 120 74 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. yang relatif sama-sama tidak demokratis pun terdapat toleransi terhadap kebebasan media sampai batas tertentu. Dia mengambil contoh dua negara demokratis Rusia dan Amerika Serikat, memiliki sikap yang berbeda terhadap media dan konsep kebebasan media. Misalnya, di suatu negara demokratis jenis liputan tertentu dibatasi sementara di negara demokratis yang lain dibebaskan, seperti berita-berita ekonomi mungkin tidak kenal peraturan seketat yang dikenakan terhadap berita-berita politik. Dalam masyarakat demokratis, warga mempunyai hak asasi untuk mengetahui dan mengeluarkan pendapat, dan mendapatkan informasi dari pemerintah mengenai apa dan mengapa yang dilakukan pemerintah serta mem­ persoalkannya. Masyarakat demokratis memiliki anggapan yang kuat mengenai perlunya transparansi dan keterbukaan pemerintah. Hal itu sudah berlangsung lama. Lebih dari 200 tahun yang lalu, Swedia mengeluarkan undang-undang yang – pertama di dunia -- menekankan pentingnya tranparansi dalam wilayah publik (public domain). 1. Pers Pilar Demokrasi Pada awalnya, pemerintahan yang demokratis dito­pang oleh tiga pilar utama yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam perkembangan demokrasi selanjutnya, pers memainkan perannya memosisikan diri sebagai pilar keempat dalam kehidupan negara bersama pemerintah yang demokratis. Fungsi utama pers selaku pilar keempat demokrasi adalah kemam­puan untuk melaksanakan fungsi kontrol sosial bagi ters­elenggaranya pemerintahan negara yang demok­ratis. Selaku pilar keempat demokrasi, pers tidak berdiri sendiri. Pers adalah bagian atau subtansi dari sistem demokrasi dalam pemerintahan negara yang demokratis yang ditegakkan, diperkuat, dan dito­pang bersama dengan tiga pilar demokrasi lainnya. Dengan prinsip pers sebagai pilar keempat demokrasi, haki­katnya pers merupakan satu kesatuan kekuatan bersama eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan pers menjadi pilar demokrasi, fungsi pers sebagai alat kontrol kekuasaan dan masyarakat Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 75 pada dasarnya identik dengan latar belakang lahirnya ”trias-politika”, suatu teori atas pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang termasyhur dari Montesquieu, media massa sebagai alat untuk mengontrol kekuasaan eksekutif atau raja yang sewenangwenang. Bahkan, pers sebagai pilar keempat demokrasi itu bukan merupakan hal baru. Istilah tersebut sudah lahir sejak zaman John Lockc pada abad ke-18 mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat melalui keempat pilar yang bekerja sama dengan: 1) eksekutif (the King/Queen), 2) parlemen (legislative), 3) pengadilan (judicative), 4) keagamaan (the church), dan 5) pendapat umum (public opinion). Wilbur Schram dalam bukunya The Four Theories of the Press mengelompokkan teori pers sebagai pilar keempat demokrasi berdasarkan sistem politik yang berkembang, yakni; a. sistem pers otoriter, b. sistem pers komunis, c. sistem pers liberal, dan d. sistem responsibility of the press. Menurut Wilbur yang dimaksud dengan sistem pers otoriter dan komunistis terkait dengan sistem politik otoriter dan komunis yang pada dasarnya tidak mengizinkan adanya kemerdekaan pers. Pers hanya dijadikan alat atau corong kekuasaan. Dengan demikian, tidak ada kemerdekaan pers, sedangkan pengertian pers liberal dikaitkan dengan sistem politik demokrasi liberal yang berlaku di suatu negara. Pers diberi kebebasan dalam pemberitaan dengan batasan etika dan hukum. Menurut teori pers liberal ini, hidup-matinya pers tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi oleh masya­rakat atau pasar yang mendukungnya. Jika ia kredibel dan bermanfaat bagi masyarakatnya, ia tetap hidup. Sebaliknya jika isinya tidak bisa dipercaya dan tidak bermanfaat bagi khalayak, ia akan ditinggalkan publik.122 Apabila mengacu pada ketentuan tersebut, maka sistem pers yang dianut oleh pers nasional sekarang ini adalah pers liberal. Berdasarkan laporan Dewan Pers, fakta-fakta menunjukkan tidak sedikit per­usahaan pers Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indoensia, Grasindo, 2005, hlm 122 71-72 76 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tidak sehat menjadi kolaps dan gulung tikar karena ditinggalkan oleh pembaca. Sistem pers bertanggung jawab yang disebut terakhir ini penger­tiannya kurang jelas karena beban tanggung jawab pers tidak pasti ditujukan kepada siapa. Sumber lain mengatakan, istilah pers sebagai pilar keempat demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh anggota parlemen Inggris.123 Disebutkan bahwa untuk menjadi salah satu kekuatan demokrasi, pers harus mempunyai lidah (alat) yang membuat orang lain mau mendengarkan (a tongue which others will listen to). Bahkan ada sebutan the fifth estate, pilar kelima demokrasi. Di beberapa negara Barat, dulu polling disebut sebagai pilar kelima, tetapi posisi itu sekarang ditempati oleh Non-Governmental Organization (NGO). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam konteks global governance sudah dipercaya, mendapat trust, menjadi semacam pilar kelima karena penga­ruhnya yang besar. Dalam melaksanakan peran pers selaku pilar keempat demokrasi, pers nasional telah mempunyai landasan hukum yaitu UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Agar pelaksanaan pilar keempat demokrasi dapat berlangsung lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, perlu diperhatikan antara lain, pers nasional berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM serta menghormati kebhinekaan. Pers sebagai pilar keempat demokrasi paling tidak ada lima fungsi yang harus dilaksanakan dengan baik agar pers dapat menjadi pilar keempat demokrasi. Fungsi-fungsi tersebut adalah penyampaian dan penyebaran informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan lembaga ekonomi. Kelima fungsi tersebut berpeluang tumpang tindih tetapi selalu dapat dibedakan. Selain fungsi informasi, media massa memiliki fungsi pendidikan. Agar dapat disebut sebagai pilar Susanto Pudjomartono, Media: Pilar IV Demokrasi, Workshop SeapaDewan Pers – Fes, Friedrich Ebert Stiftung, 2002, hlm.13 123 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 77 keempat demokrasi, pers harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Konsep kekuasaan keempat (the fourth estate) bagi pers bukan berarti lembaga itu harus beroposisi terhadap pemerintah atau melawan pemerintah. Dalam pengertian itu, kedudukan pers lebih ditekankan pada sifat independensi dan atau kebebasan menyatakan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab yuridis kepada publik yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan juga bertanggung jawab pada etika pers yang dilaksanakan oleh organisasi pers. Pers nasional dapat merealisasikan dirinya sebagai pilar keempat demokrasi di Indonesia apabila dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik. Apakah hal ini sudah terealisasi, masyarakatlah yang akan menilai. Kekuatan moral pers selalu menjadi yang utama. Dalam hubungan ini, legitimasi moral bahwa pers sebagai pilar keempat demokrasi, tidak dapat disangkal. Dewasa ini tidak ada negara yang dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, tanpa adanya peran pers yang efektif. Dalam merealisasikan pers sebagai pilar keempat demokrasi di Indonesia, dituntut adanya hukum yang melarang kekuasaan pemerintah (eksekutif ) sebagai penentu nasib pers atau kewenangan mengurangi kebe­basan pers. Dalam pengertian lain harus dilarang oleh hukum adanya kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain yang bertindak sebagai kekuasaan yudikatif atau menentukan salah atau tidaknya pemberitaan pers. Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers sebagai sarana pengawasan atas ketiga pilar itu dan melandasi kiner­janya dengan check and balance. Untuk dapat mela­kukan peranannya, perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Di samping itu, untuk menegakkan pilar keempat, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. Pers independen seharusnya menyadari 78 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. perannya, tidak sekadar mendukung kepentingan pemi­lik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. 2. Demokrasi dan Kontrol Sosial Pers Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta me­mi­liki peran positif dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang pe­ ranan penting dalam mengembangkan masyarakat demok­ratis. Media massa merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis, se­dang­kan inti dari demokrasi adalah adanya kesem­patan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam meme­ngaruhi sebuah keputusan. Dalam demokrasi juga diperlukan “partisipasi rakyat”, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan punya andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu negara. Perlu dijelaskan yang dimaksud dengan “partisipasi masya­ rakat”124 adalah keikut­sertaan masyarakat untuk meng­akomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pem­bangunan. Mengambil makna demokrasi (democratic) atau manajemen terbuka terkan­dung juga makna kontrol sosial yang tak lain adalah pengawasan masyarakat yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:125 a. social participation yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan. b. social responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah ter­hadap rakyat. c. social support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah. d. social control yaitu pengawasan masyarakat terhadap tindakantindakan pemerintah. Log.cit, RPJMN 2004-2009,Sinar Grafika, 2005, hlm.511 Sukarna. Social Control (Kontrol Masyarakat) Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2002. hlm.1. 124 125 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 79 Dalam negara demokrasi, lembaga-lembaga yang menjadi corong sistem demokrasi seper­ti badan yudikatif, badan perwakilan po­litik atau badan per­wakilan rakyat (ke­kuasaan legislatif ) dapat dikoreksi oleh pers. Apabila keputusan-keputusan badan terse­but merugikan kepentingan masyarakat secara kese­ luruhan, misalnya tidak memihak masyarakat dan menimbulkan rasa ketidak­adilan, maka pers dapat menyam­paikan per­nya­taan dan aspirasinya terhadap kepu­tusan tersebut. Selain itu, pers juga berperan dalam mengoreksi tindakan-tindakan administratif atau administrasi negara dan badan eksekutif sebagai badan penyelenggara kekuasaan negara untuk mewu­ judkan cita-cita rakyat, yaitu terwu­ judnya keamanan dari ancaman luar, kesejah­ teraan masyarakat yang menyeluruh, serta terlindungnya kemer­dekaan per­orangan.126 Demikian juga istilah kontrol sosial sebe­narnya tidak dapat dipisahkan dari isi demokrasi atau prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa antara kontrol sosial dan demokrasi merupakan satu kesa­tuan yang bulat. Setiap ada kontrol sosial dengan sendirinya ada demokrasi atau usaha untuk menegakkan demokrasi. Tentang hal ini, Sukarna dengan tegas mengatakan demokrasi tanpa kontrol sosial adalah kosong, dan kontrol sosial tanpa demokrasi adalah bohong. Karena itu, antara pengawasan sosial dan demokrasi diibaratkan “gula dan manis”-nya.127 Mengenai hal ini fungsi pengawasan pers bisa dimaknai sebagai sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perseorangan atau kelompok. Mak­sudnya adalah untuk memperbaiki ke­adaan mela­lui tulisan yang disalurkan secara langsung atau tidak langsung terhadap aparatur pemerintahan dan lembaga-lembaga masyarakat terkait, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Alex Sobur.Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani. Humaniora Utama Press. Bandung. 2001. hlm.56. 127 Ibid. 126 80 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Tujuan pengawasan sosial melalui pers adalah untuk membantu pengawasan melekat yang telah dila­kukan aparatur negara, baik nasional, regional, lokal maupun rural dan urban. Jadi, pengawasan sosial pada hakikatnya dapat membantu terse­ leng­­ garanya pelaksanaan pekerjaan abdi negara atau abdi peme­­rintah, sedangkan tujuan pengawasan sosial pers sebenarnya adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan stabil. Prinsipnya, tujuan pengawasan sosial media massa tidak bersifat destruktif, melainkan pers dapat mengem­bangkan pemerintahan yang de­mok­ratis, sehingga tidak mengarah kepada tiranisme, nepotisme, ataupun menggunakan cara machiavelistic yaitu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan yang dike­hen­dakinya. Dengan perkataan lain, tujuan pokok pengawasan sosial adalah untuk mencegah peme­rintahan menggunakan sis­tem kediktatoran dalam menjalankan pe­ me­ rin­ tahannya dalam segala 128 tingkatan. 3. Kemerdekaan Pers dan Pembangunan Hukum dalam RPJP Kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak. Dalam konsep hak asasi manusia, kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated right atau hak yang dapat diabaikan/dibatasi. Berdasaran uraian di atas, yang dimaksud dengan kemerdekaan pers di sini adalah kemerdekaan pers atau alat komunikasi di Indonesia dalam mencari, mengolah, dan menulis berita yang disalurkan atau diterbitkan melalui media cetak atau media elektronik. Merdeka dalam arti tidak ada campur tangan kekuasaan dalam aturan mengekang kemerdekaan pers, yang diwujudkan dalam bentuk: a. merdeka dari keharusan memiliki Surat Izin Terbit atau bentuk lainnya, b. merdeka dari sensor pers, c. merdeka dari pemberedelan, d. merdeka dari campur tangan pemerintah dan pihak mana pun dalam kegiatan pers.129 Ibid., Log.Cit, Wikrama Iryans Abidin, Poltik Hukum Pers Indonesia, Grasindo, 128 129 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 81 Pengabaian terhadap kebebasan pers dapat dilak­sanakan apabila terjadi keadaan darurat yang ber­sifat memaksa dan luar biasa, misalnya bencana alam, kekacauan negara, darurat militer, dan lain-lain. Namun, perlu diingat, sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi HAM/Konvensi Jenewa 1948 oleh PBB, pembatasan itu harus dinyatakan dalam undang-undang/per­aturan, diberi batasan mana yang harus dibatasi, dan memi­liki jangka waktu tertentu. Apabila kondisi kem­bali normal, kebebasan penuh harus diberlakukan kembali. Namun, sebaliknya pembatasan-pembatasan yang bersifat represif berupa delik-delik pidana yang mengandung delik pers (pencemaran nama baik, delik agama, kabar bohong dan lain-lain) dipandang sah dan konstitusional. Pembatasan demikian diakui oleh hukum internasional. Kemerdekaan, seperti kebebasan pers atau kebe­basan berpikir dan mengeluarkan pendapat serta kebe­ basan berbicara adalah beberapa di antara hak asasi yang paling mendasar. Sama mendasarnya dengan hak untuk hidup yang mencakup hak untuk men­cari nafkah dan memperoleh upah yang sesuai dengan jerih payah yang diberikan. Hak asasi yang mendasar ini tidak boleh dibatasi dengan alasan apa pun. Hampir semua konstitusi yang ada di dunia ini men­cantumkan jaminan hak asasi yang mendasar ini. Di Indonesia, melalui Pasal 28 UUD 1945 dengan tercan­tumnya ke­bebasan mengeluarkan pikiran atau pendapat terse­but, maksudnya adalah agar kehidupan demokrasi dapat ditumbuhkan. Tepatnya Pasal 28 menyatakan: “Kemerdekaan ber­­se­rikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de­ngan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan de­ngan undang-undang.” Apa yang disebutkan dalam Pasal 28 tersebut, pada hakikatnya merupakan akar sistem dari kebebasan pers Indonesia. Dengan demi­kian, pasal tersebut menentukan bentuk dan isi konsep dasar dari sistem kebebasan pers di Indonesia. Dalam pembangunan hukum nasional, baik dalam pem­­ 2005, hlm.38 82 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. ben­tukan peraturan perundang-undangan mau­pun aplikasi program pembangunan masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja mengingatkan kita agar tidak meninggalkan atau mengabaikan arahan kons­ titusional.130 Maksudnya, baik perencanaan maupun pelaksanaan konsep dan undang-undang dimaksud tetap berada pada koridor konstitusi yang berlaku, seperti pembentukan undang-undang pers, kemer­dekaan pers, dan undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus mengacu pada arahan nilainilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum dasar. Dalam konteks pembangunan nasional di dalam RPJP 20092025 ditetapkan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan bagian integral dari pembangunan tersebut. Pembangunan kesejahteraan rakyat yang dimaksud adalah yang sejalan dengan pembangunan nasional meliputi pembangunan kesehatan, pendidikan, perumahan, pertahanan dan keamanan, politik (proses demokratisasi), hukum, dan sebagainya. Pembangunan nasional sebagai suatu kebijakan besar (grand design) sebagaimana diuraikan di atas memerlukan perubahan nilai (value) dan sikap (attitude) untuk memberikan arah perubahan masyarakat yang lebih baik, lebih teratur, dan lebih tertib dari keadaan masyarakat sebelumnya. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa perubahan tersebut harus dilakukan secara teratur. Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, pemerintah menetapkan Visi-Misi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009. Berda­sarkan Perpres No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009,131 dirumuskan dalam visi mewujudkan per­ekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang ber­kelanjutan. Dengan misi mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, yang sejahtera. 130 Lili Rasjidi, Pembangunan Hukum Nasional, Materi kuliah S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, tgl 2 Januari 2008. 131 Buku RPJMN 2004-2009, Sinar Grafika, Maret 2005, Op.cit, hlm.19. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 83 4. Pendekatan Kemerdekaan Pers Pendekatan terhadap kemerdekaan pers dapat dila­ku­kan dari dua sisi. Pertama, dari sisi pers sebagai lem­baga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mengutamakan sifat-sifat ideal. Di sini kita melihat kemerdekaan pers itu sebagai lembaga pembawa pesan-pesan perjuangan nasional demi kepentingan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kedua, kehadiran pers dapat didekati sebagai suatu perusahaan bisnis sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam konteks ini, dapat pula diambil makna bahwa pers bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang membawa pesan-pesan untuk pembangunan kesejahteraan demi kemakmuran masyarakat. Menurut Pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Pengertian lain dalam penjelasan yang dikemukakan perusahaan pers harus dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. 5. Kemerdekaan Pers Mendukung Negara Kesejahteraan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi dan kemerdekaan pers serta negara kese­jahteraan terbukti memiliki korelasi dan hubungan satu sama lain dalam upaya mewujudkan negara kese­ jahteraan di Indonesia. Demokrasi tidak bisa dipi­ sahkan dengan kemerdekaan pers, demikian pula de­mok­rasi dan kemerdekaan pers merupakan suatu sarana atau alat dalam mencapai tujuan negara kese­jah­teraan. Dalam perspektif yang lebih luas, kemer­de­kaan pers memiliki peran besar, tidak hanya dalam mengem­bangkan demokrasi 84 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tetapi juga di bidang eko­nomi dan menyejahterakan masyarakat, teruta­ma dalam pembangunan sosial dan pendidikan bangsa. Melalui fungsi-fungsi menyiarkan informasi, mem­berikan pendidikan politik dan hiburan yang sehat, melakukan pengawasan sosial terhadap peme­rintah, misalnya soal korupsi, dan lembaga ekonomi, serta peran yang dimiliki media massa dalam jangka panjang dapat mewujudkan pembangunan negara kese­jah­teraan. Terkait dengan hal itu, perusahaan pers berbeda dengan perusahaan bisnis lain yang mengutamakan aspek komersial atau profit marking, betapa pun bantuan sosialnya bersifat abstrak -- tidak teraba seperti berbentuk fisik -- dan sederhananya andil kemerdekaan pers yang dimiliki secara teoretis dan praktis media massa dapat menyumbangkan kesejahteraan sosial bagi rakyat dengan tidak mengabaikan idealism dan nasionalisme kewartawanannya. Dalam perspektif pers sebagai pilar keempat demokrasi bersama pilar lainnya, eksekutif, legislatif, dan yudikatif dapat bersama-sama mewujudkan negara kesejahteraan sebagaimana amanat konstitusi dalam pembukaan Pancasila dan UUD 45 khususnya alinea kedua dan keempat yang merupakan perwujudan nilai-nilai kebangsaan. Peran media massa dalam mentransformasikan nilai-nilai kebangsaan merupakan sesuatu yang sudah seharusnya, dan media kita sesungguhnya sudah dan terus melakukannya. Persoalan yang ada, media cukup kesulitan mengangkat nilai-nilai kebangsaan dalam bentuk nyata karena tidak atau belum menemukan narasumber, tokoh atau fakta-fakta yang dapat atau benar-benar layak menjadi ikon, panutan dalam mentransformasikan nilai-nilai kebangsaan yang relevan dengan kondisi kehidupan saat ini. Demikian pula peran media massa dalam pembangunan karakter bangsa haruslah berlandaskan pada perspektif budaya Indonesia yang meletakkan landasannya dalam kerangka negara kesatuan, dengan keanekaragaman budaya yang memiliki nilai-nilai luhur, kebijaksanaan, dan pengetahuan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 85 lokal yang arif dan bijaksana. Hal tersebut di atas menunjukkan peran media tidak hanya sebagai sarana pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi yang disajikan mempunyai peran yang signifikan dalam proses politik, sosial, ekonomi dan pembangunan negara kesejahteraan. Maka gambaran yang dibentuk oleh isi media yang memberi informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah terhadap objek sosial. Karenanya, media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian berita. Pemusatan kepemilikan terhadap media massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang dilematis yakni antara pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan kepentingan bisnis. Dalam pandangan Robert McChesney, “produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Pada pokoknya, keseluruhan bisnis media membuat peluang untuk mewujudkan berbagai kesejahteraan di bidang kehidupan politik, sosial, budaya,”132 dan ekonomi. E. Fungsi Media Massa Meningkatkan Kesejahteraan Dalam negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat. Pertimbangan-pertim­ bangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pem­bagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi. Robert Mc. Chesney, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29. 132 86 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Lebih besifat negara hukum material yang mengutamakan keadilan sosial. Uraian di atas menunjukkan bahwa peran negara ditempatkan pada posisi yang kuat dan lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfare) dan keadilan sosial (social justice). Dapat dikemukakan bahwa secara formal, konsepsi negara hukum mempunyai tujuan yakni mencegah k­ ek­uasaan absolut, sedangkan secara materil, tujuan negara hukum modern mewujudkan kesejahteraan (kemakmuran) rakyatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumatmadja yang mengemukakan, bahwa pem­ba­ngunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala aspek dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya satu segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka. Tentu sejalan dengan tulisan ini diyakini bahwa pembangunan industri media massa dapat mening­katkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana terlihat dalam sejarah media massa nasional. Sejak reformasi bergulir, seiring dengan era kebebasan pers, orientasi industri media massa baik cetak maupun elektronik mulai bergeser dari pers idealis menjadi pers industri. Bahkan keadaan ini sudah terjadi sejak pada masa Orde Baru, tetapi proses bisnis pers di era reformasi ini semakin transparan dan dipicu terbukanya peluang kebe­basan berusaha di bidang media massa, sejalan dengan berlakunya UU Pers dan UU No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran. Sama halnya dengan perusahaan-perusahaan lain, perusahaan pers pun pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan material dan imaterial. Pihak direksi perusahaan pers atau media massa bersangkutan yang akan menentukan segi manakah yang akan mereka utamakan. Segi idealnya sajakah atau segi komersialnya sepanjang tujuannya tidak bertentangan dengan undang-undang. Mengutamakan segi idealnya saja, dapat berakibat buruk terhadap perkembangan perusahaan pers yang juga harus memperoleh keuntungan. Sebaliknya, mengutamakan segi komersialnya semata akan bertentangan dengan tujuan pers sebagai lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional. Idealnya, pengasuh dan pemilik perusahaan dapat menyinkronkan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 87 kedua tujuan antara ideal dan bisnis yang seimbang, tidak membedakan prioritas kegiatan yang dapat merugikan. 1. Fungsi dan Peran Dewan Pers Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU Nomor. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Sementara anggota Dewan Pers berjumlah 9 orang terdiri atas komunitas pers wartawan, pimpinan perusahaan pers, tokoh masyarakat, dan ahli di bidang pers dan komunikasi. Status keanggotaan Dewan Pers diangkat dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan struktur dan organisasi ditetapkan oleh Keputusan Dewan Pers. Keberadaan Dewan Pers selama ini diharapkan dapat menjadi implementing agency (IA) dari Undang-Undang Pers, tetapi Dewan Pers tidak dapat menja­lankan peran dan fungsinya dengan semestinya karena tidak diberi kewenangan yang memadai. Dalam UU Pers dikemukaan Dewan Pers hanya berperan sebagai lembaga konsultasi, bukan penegak hukum. Pengawasan terhadap pers idealnya dilakukan oleh masya­rakat. Menurut penjelasan Undang-Undang Pers Nomor. 40 Tahun 1999 pengawasan masyarakat yang dimaksud antara lain: oleh setiap orang dengan dijaminnya hak jawab dan hak koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantauan media (media watch) dan oleh Dewan Pers. Ketentuan tentang fungsi dan peran Dewan Pers terdapat pada Bab V Pasal 15 UU Pers: a. Pembentukan Dewan Pers adalah bagian dari upaya mengem­ bangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional (ayat 1). Dengan demikian, Dewan Pers mengemban amanat atas dipatuhinya kode etik pers dan peng­gunaan standar jurnalistik profesional. 88 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. b. Fungsi-fungsi Dewan Pers (Ayat 2) adalah: (1) melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; (2) melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; (3) menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; (4) memberikan pertimbangan dan mengupa­ya­kan penyele­ saian pengaduan masya­ ra­ kat atas kasus-kasus yang berhu­­ bungan dengan pemberitaan pers; (penje­ lasan: pertimbangan yang dikeluarkan Dewan Pers berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik). (5) mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; (6) memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; (7) mendata perusahaan pers. Dewan Pers adalah lembaga independen yang lahir dalam semangat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers. Sebagai lembaga independen yang bebas dari tekanan pemerintah, Dewan Pers memiliki peluang maksimal untuk ber­ peran sebagai mediator independen bagi semua pihak yang bersengketa dengan media. Keputusan yang selalu mengutamakan nonlitigasi (di luar pengadilan) perlu tetap diupayakan untuk menjamin kebebasan pers. Berkaitan dengan fungsi dan peran Dewan Pers tersebut, penulis kemudian melakukan penelitian ke Dewan Pers sepanjang menyangkut kemerdekaan pers dalam tujuan negara kesejahteraan, Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 89 dan salah satu yang menjadi kajian penelitian penulis adalah perlu atau tidaknya dilakukan revisi UU Pers. Penulis menempatkan penelitian pada Bab IV. Pene­litian lainnya soal pengkajian terhadap UU Pers dilakukan oleh Endang Sayekti pada tahun 2001 dan menyimpulkan bahwa UU Pers masih banyak mengan­dung kelemahan, yaitu adanya pasal yang tidak jelas.133 Sri Hartiningsih dalam makalah yang berjudul “Mencermati Beberapa Ketentuan Dalam UU Pers Sebagai Bahan Penyempurnaan” menyebutkan bebe­ rapa ketentuan dalam UU Pers menimbulkan berbagai penafsiran sehingga menyulitkan dalam penerapannya. Ketidakjelasan itu antara lain terdapat dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 dikaitkan dengan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 13.134 Pasal 15 1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan me­ ningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. 2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; b. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; c. Memberikan pertimbangan dan mengupa­yakan penyele­ saian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhu­ bungan dengan pemberitaan pers; d. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; e. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun Endang Sayekti. Kajian Terhadap UU Pers, makalah pada Forum Peninjauan Kembali UU Pers, 13 September 2001 di Solo. 134 Sri Hartiningsih, Mencermati Beberapa Ketentuan Dalam UU Pers Sebagai Bahan Penyempurnaan. Makalah pada Forum Peninjauan Kembali UU Pers, Log. cit ,13 September 2001. 133 90 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. f. peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; Mendata perusahaan pers; 3. Anggota Dewan Pers terdiri atas: a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers; 4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. 5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. 7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari : a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Sri Hartiningsih memaparkan, Pasal 15 UU Pers belum jelas bentuk instrumen hukumnya untuk mem­ bentuk Dewan Pers. Hal itu membawa sejumlah problema­tika, kepada siapa kinerja Dewan Pers diper­tang­gungjawabkan? Begitu pula bagaimana meka­nis­me kerja Dewan Pers, baik internal apalagi dalam kaitannya dengan pihak eksternal? Selain Dewan Pers, terdapat lembaga independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini dibentuk untuk mengatur lembaga penyiaran di Indonesia. KPI diperlukan karena ranah frekuensi adalah milik publik, maka perlu dilaku­kan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 91 pengawasan terhadap penggunaan frekuensi penyiaran. KPI berfungsi menjembatani kepentingan masyarakat dengan institusi pemerintah dan lembaga penyiaran (radio, dan TV swasta, publik, komunitas, maupun berlangg­anan). KPI juga memiliki tugas meng­usa­hakan terciptanya suatu sistem penyiaran nasional yang memberikan kepastian hukum, tatanan, serta keteraturan berdasarkan persamaan dan keadilan. Adapun yang menjadi fungsi KPI adalah mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran di Indonesia. KPI merupakan akses yang menjembatani kepentingan masyarakat dengan institusi pemerintah dan lembaga penyiaran. KPI wajib mengusahakan agar tercipta suatu sistem penyiaran nasional yang memberikan kepastian hukum, tatanan, serta keteraturan berdasarkan asas kebersamaan dan keadilan. 2. Fungsi dan Peran Organisasi Pers dan Perusahaan Pers Organisasi wartawan di Indonesia secara kuantitas jumlahnya cukup banyak, mencapai ratusan, tetapi dalam perjalanannya tidak ada yang mengetahui berapa banyak angka yang pasti. Organisasi wartawan mulai berkembang sejak bergulirnya reformasi yang dimung­kinkan dibukanya keran kebebasan, sebagai­mana termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1) “Warta­wan bebas memilih organisasi wartawan”. Namun kebe­basan berorganisasi yang dimiliki warta­wan tidak berarti bebas sebebas-bebasnya dan tidak bersifat absolut. Untuk itu, berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers memandang perlu melakukan verifikasi organisasi wartawan di Indonesia dalam rangka penertiban dan pembinaan terhadap pers. Hasil verifikasi Dewan Pers tahun 2007 menun­jukkan organisasi wartawan di Indonesia yang telah memenuhi persyaratan hanya ada 3 (tiga) yaitu; Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah 92 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. organisasi wartawan yang didirikan di Solo pada tanggal 9 Februari 1946. Dilihat dari tahun kela­hirannya, PWI merupakan organisasi (kewar­tawanan) tertua di Indonesia. Kini anggota PWI tercatat sekitar 15.000 orang dan memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat, cabang provinsi, dan perwakilan di daerah kabupaten/kota. Tingkat cabang berdiri di setiap provinsi seluruh Indonesia dan termasuk cabang khusus Surakarta sebagai kota kelahiran PWI. Dalam muka­dimah Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga PWI bahwa sejarah PWI menunjukkan per­juangan wartawan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Menurut buku Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI), PWI didirikan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka menyatukan diri mewu­judkan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur serta beradab. PWI memiliki asas Pancasila dan merupakan organisasi wartawan independen dan profesional. Dalam perkembangannya, struktur organisasi PWI telah memiliki cabang di setiap provinsi di Indonesia dengan jumlah anggota sebanyak 14.000 wartawan. Sesuai dengan amanat undang-undang, PWI memiliki Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kese­wenang-wenangan rezim Orde Baru. Mulanya ada­lah pemberedelan majalah Detik, Editor, dan Tempo, 21 Juni 1994. AJI lahir di Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi itu adalah menun­tut dipe­nuhinya hak publik atas informasi, menentang penge­kangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI. Menge­nai fungsi sebagai organisasi pers dan jurnalis, AJI juga gigih memperjuangkan dan mempertahankan kebe­basan pers. AJI berupaya menciptakan iklim pers yang sehat. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 93 Organisasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) didirikan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1998 dan berasaskan Pancasila. IJTI merupakan organisasi yang bersifat independen, wadah berhimpun jurnalis televisi Indonesia. Tujuan dari IJTI adalah mewujudkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab (yang merupakan tujuan umum). Tujuan khususnya adalah mewujudkan korps jurnalis televisi Indonesia yang mandiri, bebas, dan bertanggung jawab. Sementara organisasi perusahaan pers yang aktif di antaranya adalah Serikat Perusahaan Pers (SPS), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). SPS adalah organisasi yang lahir tahun 1946 di Yogyakarta. Dalam periode awal masa perjuangan, organisasi ini mampu menya­ tukan seluruh penerbit pers di Indonesia guna mengawal serta mem­ pertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. SPS merupakan organisasi yang menghimpun para penerbit (koran, majalah, tabloid) dalam arti yang sangat luas dan komprehensif, menyangkut segala aspek dalam pengelolaan perusahaan pers. Hingga saat ini, SPS memiliki anggota sebanyak 433 penerbit pers –surat kabar harian, tabloid, surat kabar mingguan, buletin, dan majalah-- di 29 provinsi (SPS Pusat, Juni 2009). Adapun yang menjadi visi dan misi dari organisasi SPS adalah menegakkan kemerdekaan pers dan membangun industri pers yang sehat dan bermartabat. PPPI adalah asosiasi perusahaan-perusahaan jasa yang men­ ciptakan ide komunikasi pemasaran dan komunikasi publik. PPPI adalah asosiasi perusahaan-perusahaan periklanan yang bergerak di bidang komu­nikasi pemasaran yang berdiri pada 20 Desember 1972. PPPI merupakan penerus PBRI (Persatuan Biro Reklame Indonesia) yang didirikan pada tanggal 1 September 1949. Landasan falsafah PPPI antara lain mewujudkan kehidupan periklanan nasional yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab dengan cara mene­gakkan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia secara murni dan konsisten, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. 94 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. ATVSI didirikan pada tanggal 4 Agustus 2000 dengan pendirinya adalah RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan ANTeve. Kini ATVSI memiliki 10 anggota yaitu RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, Trans TV, ANTeve, Global TV, Metro TV, Trans 7, dan TV One. Kesepuluh anggota ini menyelenggarakan siaran secara nasional. Sebagai asosiasi, ATVSI memiliki visi yaitu memajukan industri televisi siaran Indonesia, sedangkan misinya adalah memajukan, menampung, menyalurkan kepentingan dan keinginan bersama dalam mengembangkan etika perilaku, tanggung jawab profesional, dan pelayanan bagi anggotanya demi kepentingan masyarakat. 3. Fungsi dan Peran KPPU Terkait dengan karakter yang khas dari pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan, dibentuk suatu komisi pengawas yang memiliki otoritas untuk mela­ kukan pengawasan terhadap implementasi undang-undang. Berbagai negara yang membentuk undang-undang ini juga membentuk komisi yang fungsi dan kewenangannya disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku.135 Sistem hukum yang berlaku di suatu negara memberikan perspektif yang berbeda terhadap kedudukan, fungsi, dan kewenangan dari komisi pengawas yang merupakan badan independen. Hal itu umumnya karena komisi memiliki multifungsi sebagai badan quasi judicial, legislative, ataupun executive, artinya fungsi yang tidak umum berada pada hanya suatu badan. Alasan filosofis yang dapat dijadikan dasar pem­ben­tukan KPPU yaitu untuk mengawasi pelak­sanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara. Dengan kewe­nangan tersebut diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik serta sedapat mungkin mampu bertindak secara independen. Alasan sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, Proyek ELIPS. 1999, hlm. 28 135 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 95 KPPU adalah telah menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain adalah dunia usaha membu­­tuhkan penyelesaian yang cepat, murah, seder­hana, dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan hukum sehingga penyelesaian yang cepat dapat terwujud. Keberadaan KPPU diatur dalam Pasal 30 UU Per­saingan Usaha yang menentukan bahwa untuk meng­ awasi pelaksanaan UU No. 5/1999 dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPPU meru­ pakan lembaga yang sifatnya independen terlepas dari segala pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pihak lain dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Pembentukan KPPU dilakukan berdasarkan Kepu­tusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan demi­kian, Indonesia memakai model yang kedua, yaitu KPPU meru­pakan lembaga independen yang bebas dari intervensi pemerintah ataupun kekuatan-kekuatan lainnya sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat 2 UU Persaingan Usaha. Sejak didirikan, KPPU telah menunjukkan aktivi­tasnya dalam memantau setiap gerak langkah serta kepatuhan pelaku usaha terhadap UU No. 5/1999. Jika dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha cukup menggembirakan, bahkan tumbuh dan berkem­bangnya KPPU di kawasan ASEAN sangat cepat. Melihat pesatnya perkembangan tersebut, KPPU sudah dapat menjalankan fungsi sesungguhnya dengan baik dan benar. Yang lebih penting lagi, KPPU sudah mampu membuat persaingan usaha di negara kita men­jadi lebih sehat dibandingkan sewaktu UU No. 5/1999 belum ada. Beberapa regulasi dalam penegakan hukum per­saingan usaha yang berkaitan dengan kewenangan KPPU untuk mengimplementasikan UU Persaingan Usaha dan menegakkan hukum persaingan usaha, antara lain: 96 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pasal 38 s.d Pasal 49). b. Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. c. Peraturan Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. d. Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. e. Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Tugas Pokok, Fungsi dan Wewenang Ketua/Wakil Ketua Komisi, Anggota Komisi, dan Sekretariat Komisi dalam Lingkungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha f. Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengenaan Denda Keterlambatan Penyampaian Pemberitahuan Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan g. Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 19 Huruf D (Praktik Diskriminasi) h. Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) i. Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) j. Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 20 ( Jual Rugi) k. Peraturan KPPU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) l. Peraturan KPPU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) m. Peraturan KPPU Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 50 huruf h Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 97 n. Peraturan KPPU Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. F. Ruang Lingkup Industri Media Massa Untuk memahami posisi media massa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatarbelakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini, media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan. Kedua, media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya, media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas. Menurut Denis McQuail,136 terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa antara lain. a. Memproduksi dan mendistribusi “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. b. Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Denis McQuil, Teori Komunikasi Massa,Agus Dharma (terj), Jakarta: Erlangga, 1987, hlm.40. 136 98 c. d. e. Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan dan atau kewajiban sosial Institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergan­ tungannya pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, tetapi institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum. Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk menyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak, media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah. Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara, sebelum akhirnya terimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan. Dalam masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis, akan tersedia informasi yang layak bagi rakyatnya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tidak demokratis, sistem komunikasi (dalam hal ini media massa) yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Penguasaan terhadap media massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Secara politik, kalangan industri media dan komunikasi dapat menentang dan bahkan sekeras mungkin berupaya mengurangi berbagai intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kekuatan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 99 ini akan segera bereaksi apabila pemerintah berencana mengeluarkan suatu usulan atau kebijakan terhadap sistem media dan komunikasi. Kebijakan pemerintah ini dipandang sebagai kejahatan besar terhadap praktik pasar bebas dalam industri media, tak peduli apa maksud di balik kebijakan tersebut. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepe­mi­likan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”, dari­pada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan mere­kayasa. Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Menurut Smythe, “…Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis” 137 . Kalau dikaji, banyak teori yang mencoba menjelaskan keter­kaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa, baik dari perspektif Marxist maupun yang non-Marxist. Menurut Gordon, sebagaimana dikutip Rahayu, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation.138 Customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas, dan ketersediaan. Competitive environment meru­pakan lingkungan persaingan yang dihadapi peru­sahaan. Sementara social expectation berhubungan dengan ting­katan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komu­­nikasi mencapai tahap industri modern 137 Dallas Smythe, Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, Number 3,1977, hlm.1. 138 Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi, Vol.V/Oktober 2000, hlm.38. 100 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dengan segala konsekuensinya. Hal itu menempatkan media pada sisi yang dilematis yakni antara pemenuhan fungsi media secara komprehensif dan kepentingan bisnis. Dalam pandangan Robert Mc Chesney, “produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Namun, apabila diban­dingkan dengan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaanperusahaan tersebut, kualitas yang dihasilkan bisa kita katakan menyedihkan. Pada pokoknya, keseluruhan bisnis media membuat berbagai keterbatasan terhadap kehidupan politik dan budaya”139. Dalam bukunya, Agus Sudibyo, Dedy N. Hidayat menulis, media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri atas kaum yang itu-itu saja. Media pun memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologisnya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanapun media pertama-tama perlu dilihat sebagai institusi ekonomi dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditas informasi yang berusaha menyiasati tuntutan pasar.140 1. Hukum Media Massa Landasan konstitusi dan yuridis kemerdekaan pers pada era reformasi ini ditandai dengan langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membuat Tap MPR No. XVII/1998 dan amandemen II UUD 1945 Pasal 28 F yang menegaskan bahwa berkomunikasi dan memperoleh 139 Robert Mc. Chesney, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29. 140 Dedy. N Hidayat, Pengantar, dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm.x. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 101 informasi adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi, serta pada tahun 1999 DPR dan pemerintah membuat 2 (dua) undangundang yang memerdekaan pers. Landasan konstitusi dan yuridis kemerdekaan pers di antaranya adalah: 1). Tap MPR No. XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: Pasal 14 : “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani”. Pasal 19: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menge­ luarkan pendapat”. Pasal 20: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Pasal 21: “Setiap orang berhak men­ cari, memperoleh, memiliki, menyimpan, meng­olah, dan menyampaikan informasi dengan meng­gu­nakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal 42: “Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi”. 2). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: Pasal 14 Ayat 1: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Ayat (2): “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infor­masi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Pasal 23 Ayat (2): “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesu­silaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. 102 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Pasal 60 Ayat (2): “Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan”. 3). Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: Intervensi pemerintah terhadap pers tidak boleh ada. Pers dan publiklah yang mengontrol peme­ rintah, bukan sebaliknya. Departemen Penerangan tidak diperlukan. Reformasi pers dari pemerintah sebagai pembina, penentu kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian penyiaran menjadi masingmasing medialah yang membina dan mengendalikan medianya. Pelanggaran oleh pers: bila melanggar kode etik dilakukan ethics enforcement dan bila melanggar hukum dilakukan law enforcement. 4). Amandemen II UUD 1945 menyebutkan sebagai berikut: Pasal 28 E: Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebe­basan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan ber­serikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F: Setiap orang berhak untuk berkomu­nikasi dan memperoleh informasi untuk mengem­ bangkan pribadi dan lingkungan sosial­nya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyam­paikan infor­masi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 2. Kode Etik Profesi Biasanya suatu himpunan profesi merumuskan semacam kode etik. “Kode” adalah sistem peraturan (system of rules), sedangkan “etik” adalah norma perilaku.141 Suseno menyebut kode etik sebagai “daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun 141 T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, Jakarta, PT Gunung Agung, 1985. hlm.61. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 103 oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikatnya saat mempraktikkannya”.142 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kode etik merupakan tuntutan, bim­bingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikatnya saat mempraktikkannya. Kode etik sebenarnya merupakan perincian lebih lanjut dari norma-norma yang lebih umum, yang diru­muskan dan dibahas dalam etika profesi. Kode etik memerinci lebih lanjut dan memperjelas serta mem­pertegas norma-norma tersebut dengan memilih dari berbagai kemungkinan penataan norma-norma yang paling dibutuhkan dalam praktik pelaksanaan profesi yang bersangkutan. Kode etik adalah pemandu sikap dan perilaku bilamana kode etik tersebut telah menjadi fungsi nurani. Kode etik profesi merupakan milik kelom­ pok profesi itu sendiri dan pedoman perilaku yang mereka susun demi kepentingan mereka bersama. Oleh karena itu, yang wajib menjatuhkan sanksi terha­dap mereka yang melanggar adalah kelom­ pok profesi itu sendiri. Sebagai sistem pengaturan yang bersifat normatif, kode etik dengan sendirinya tidak menentukan segala sesuatunya secara nyata dan konkret, tetapi hanya menetapkan nilai-nilai. Nilai tingkah laku yang dicerminkan dalam kode etik, bukan tingkah laku atau perangai yang aktual semata-mata, tetapi meru­ pakan rumusan tentang “bagaimana seharusnya” dan “bagaimana sepatutnya” tingkah laku yang benar atau salah, yang baik atau buruk itu, menurut ukuran moralitas masyarakat. Secara umum, kode kewartawanan itu mencakup ketentuanketentuan:143 a. Mewajibkan para pengemban profesi untuk tidak melakukan perbuatan dengan cara yang dapat merusak profesi. b. Para pengemban profesi seyogianya berperilaku dalam kehidupan Suseno. Nilai, Krisis Nilai, Transvalutasi. Basis 7, 1987. hlm.77 Robert Solomon, Etika, Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987. hlm.93. 142 143 104 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. pribadinya dengan cara yang tidak menimbulkan konflik kepentingan dengan kewajiban-kewajiban profesionalnya c. Para pengemban profesi seyogianya bertindak adil (fair) dalam berurusan dengan rekan profesi. d. Para pengemban profesi seyogianya berupaya menjaga stabilitas informasi yang disajikan dengan selalu berupaya: 1). memaparkan bahan berita secara cermat, objektif, dan konsideratif 2). menghindari distorsi, seleksi, dan mis­representasi fakta 3). menghindari bias dan parsialitas (keber­pihakan) 4). berupaya tidak melakukan dan atau mem­ bangkitkan dugaan-dugaan (conjecture) dan mencampuradukkan fakta dan opini e. Para pengemban profesi seyogianya memiliki integritas dalam menjalankan profesinya f. Para pengemban profesi seyogianya menghormati konfidensialitas sumber infor­masinya sepanjang sumber informasi itu memerlukan dan atau menghendakinya g. Para pengemban profesi seyogianya meng­hormati dan sejauh mungkin tidak memasuki lingkungan kehidupan pribadi (right to privacy), asas ini memublikasikan: 1).Kewajiban untuk memperkenalkan diri secara jelas sebelum melakukan wawan­cara dan atau sebelum mem­ peroleh izin memasuki lingkungan kehidupan pribadi seseorang 2). Berkewajiban menghindari cara pengem­ banan profesi yang menimbulkan harassment (situasi yang sangat mengganggu) bagi subjek pemberitaan dan atau orang lain yang terkait 3). Tidak menggunakan misrepresentasi dan dalih pada waktu berupaya memperoleh informasi Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 105 h. Para pengemban profesi seyogianya meng­ hormati hak jawab dan koreksi i. Para pengemban profesi seyogianya tidak menggunakan bahasa diskriminatif j. Para pengemban profesi seyogianya tidak melakukan plagiat Pada umumnya, etika profesi dipandang sebagai suatu disiplin normatif yang ditandai adanya standar-standar tertentu yang sudah ditentukan dalam ling­kungan bisnis, yang harus diterapkan dalam men­ ja­ lankan aktivitas bisnis tersebut. Standar-standar ini akan menunjukkan apakah yang segala aktivitas yang dijalankan tersebut akan divonis sebagai suatu bisnis yang baik atau buruk, yang kemudian hal itu akan diklaim sebagai suatu yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam peng­ambilan keputusan pada setiap aktivitas dalam bisnis tersebut. Dalam penerapannya, etika profesi bisnis sering kali terbentur oleh berbagai dilema kepentingan yang ingin dicapai dalam bisnis itu sendiri. Namun, semua manajer atau pemegang keputusan suatu bisnis harus tetap dapat menjalani dan menghadapi berbagai konflik etika yang sulit sekali pun. Masalah etika profesi tidak akan pernah habis-habisnya untuk dibahas serta terus mengalami perkem­bangan dan perubahan karena masalah etika sangat terkait dengan banyak kepentingan para pemang­ku kepentingan (stakeholder) yang juga terus ber­kem­­bang. Perkem­bangan peradaban manusia telah menum­buh­kan nilai-nilai baru bagaimana mereka meng­­­ inter­ pretasikan lingkungannya dan kemudian dija­di­kan suatu nilai yang mereka junjung tinggi untuk bisa hidup bersama. Alasan ekonomi sering kali membuat nilai-nilai etika dalam bisnis menjadi sesuatu yang diabaikan. Dengan alasan mengejar keuntungan, pelaku bisnis menjadikan suatu hal yang tadinya haram sebagai sesuatu yang ”halal”. 106 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Terkait dengan kegiatan media massa untuk men­jamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam men­ jaga keper­cayaan publik. Atas dasar itu, wartawan Indonesia bersama Dewan Pers menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Selain setiap perusahaan media massa menerapkan etika yang berlaku di lingkungan internal perusahaan, pada umumnya Kode Etik Jurnalistik juga berlaku di lingkungan media massa nasional yang diberlakukan oleh Dewan Pers. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers ini ruang lingkupnya lebih luas mencakup wartawan, organisasi pers, dan perusahaan pers. -KEJ Dewan Pers: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, meng­hasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Penafsiran: 1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. 2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. 3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. 4. Tidak beriktikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 107 Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran: Cara-cara yang profesional adalah: a. Menunjukkan identitas diri kepada nara­sumber; b. Menghormati hak privasi; c. Tidak menyuap; 1. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sum­ bernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; 2. Menghormati pengalaman traumatik nara­ sumber dalam penyajian gambar, foto, suara; 3. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; 4. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertim­bang­ kan untuk peliputan berita investigasi bagi kepen­ tingan publik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak men­campurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran: 1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. 2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara 108 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. proporsional. 3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. 4. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran: 1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. 2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. 3. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. 4. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang sematamata untuk membangkitkan nafsu birahi. 5. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu peng­ambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran 1. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memu­dahkan orang lain Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 109 untuk melacak. 2. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran 1. Menyalahgunakan profesi adalah segala tin­dakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat ber­ tu­ gas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. 2. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang memengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia dike­ tahui identitas maupun keberadaannya, meng­hargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran 1. Hak tolak adalak hak untuk tidak meng­ ungkapkan identitas dan keberadaan nara­ sumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. 2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. 3. Informasi latar belakang adalah segala infor­masi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan nara­sumbernya. 110 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 4. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyia­ rkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran 1. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. 2. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak nara­sum­ber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran 1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. 2. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehi­dupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran 1. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 111 baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. 2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesa­lahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran 1. Hak jawab adalah hak seseorang atau seke­lompok orang untuk memberikan tang­gapan atau sanggahan terhadap pem­beritaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 2. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. 3. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jur­nalistik dilakukan Dewan Pers, sedangkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dila­ kukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. G. Sistem Regulasi Persaingan Usaha Dewasa ini sudah lebih dari 80 negara di dunia yang telah memiliki Undang-Undang Persaingan Usaha dan Antimonopoli, dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah negara-negara tersebut sementara mengarah pada satu tujuan, yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat (fair competition) merupakan salah satu syarat bagi negaranegara untuk mengelola perekonomian yang berorientasi pasar. 112 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Negara–negara komunis seperti Federasi Rusia dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang pada dasarnya segala aktivitas perekonomiannya diatur oleh negara secara terpusat (central-planned economy), juga mulai mereformasi kebijakan ekonomi mereka menuju ekonomi yang berorientasi pada mekanisme pasar. Bahkan RRC sendiri telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai simbol bagi persekutuan negara-negara dengan pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar. Apabila ditelusuri, sistem regulasi persaingan usaha dan praktik monopoli di bidang bisnis tidak bisa dilepaskan dari adanya latar belakang kepentingan politik hukum suatu bangsa. Contohnya, pembentukan komisi perdagangan VOC oleh Belanda pada zaman penjajahan merupakan salah satu bukti adanya hubungan antara kepentingan politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang berlaku saat itu yang dilatarbelakangi besarnya tuntutan ekonomi rakyatnya di Eropa terhadap kebutuhan akan rempahrempah. Hal itu dapat diteliti dari isi pasal-pasal hak-hak oktroi, cara-cara, dan latar belakang serta tujuan pembentukan VOC di Indonesia pada masa lalu yang ditegaskan secara jelas pada Pasal 2 untuk melakukan praktik monopoli perdagangan. Demikian pula di Indonesia, membentuk berbagai regulasi di bidang persaingan usaha adalah sesuai dengan kebutuhan politik hukum bangsa dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan. Lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat dipandang sebagai suatu regulasi produk hukum buatan asli bangsa Indonesia di bidang industri, perdagangan, dan bisnis, termasuk undang-undang konsumen. 1. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Industri Media Massa Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan (competition) di antara pelaku usaha. Pelaku usaha akan berusaha Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 113 menciptakan, mengemas, serta me­­ma­sarkan produk yang dimiliki, baik barang mau­pun jasa, sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat ber­implikasi positif, sebaliknya dapat menjadi negatif jika dijalan­kan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif. Dari sisi manfaat, persaingan dalam dunia usaha adalah cara yang efektif untuk mencapai pendaya­gu­naan sumber daya secara optimal. Adanya rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehing­ ga harga menjadi lebih rendah serta kualitasnya sema­ kin meningkat. Bahkan lebih dari itu, persaingan dapat menjadi landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka panjang dan dinamakannya ke­unggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive advantage) yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generik, yakni keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus biaya. Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat membentuk beberapa jenis pasar. Ada yang disebut dengan pasar persaingan sempurna (perfect competition market), pasar monopoli, oligopoli, dan juga posisi dominan. Persaingan sempurna adalah struktur pasar yang paling ideal karena sistem pasar ini adalah struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan memproduksi barang dan jasa yang sangat tinggi efisiensinya. Adapun yang disebut oligopoli adalah pasar yang terdiri atas beberapa produsen saja. UU Persaingan Usaha secara garis besar mengatur dua hal, yakni larangan praktik monopoli dan per­saingan tidak sehat. Keduanya (praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat) adalah dua hal yang berbeda. Menurut UU Persaingan Usaha, monopoli diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/ atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha (Pasal 1 angka 1 UU Persaingan Usaha). Berdasarkan pengertian dan istilah, kelompok pelaku usaha dikenal dengan istilah grup pengusaha atau kelompok, sindikasi, juga 114 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. disebut sebagai sektor privat. Sementara praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atau barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pengertian monopoli sebenarnya lebih luas, sehingga jangkauan kata monopoli dapat dilihat jika seseorang yang monopolis menguasai pangsa pasar lebih dari 50 persen. Dengan demikian, pada pasar tersebut masih ada pelaku usaha (pesaing), tetapi terdapat satu atau dua pelaku yang lebih menguasai (Pasal 17 ayat 2 UU Persaingan Usaha). Persaingan usaha tidak sehat dapat dipahami sebagai kondisi persaingan di antara pelaku usaha yang berjalan secara tidak fair. UU Persaingan Usaha memberikan 3 (tiga) indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu: a. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur b. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum c. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha Secara garis besar, UU Persaingan Usaha berisikan sebagai berikut: Pertama, perjanjian yang dilarang sebagaimana yang terdapat dalam Bab III dari Pasal 4 sampai Pasal 16. Kedua, kegiatan yang dilarang terdapat pada Bab IV yang perinciannya dimuat dari Pasal 17 sampai Pasal 24. Ketiga, larangan yang berkaitan dengan posisi dominan terdapat dalam Bab V dari Pasal 25 sampai Pasal 29. Keempat, pengecualian, terdapat dalam Pasal 50 – 51, dan Kelima, lembaga yang ditugasi pemerintah untuk melakukan pengawasan persaingan usaha yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Pasal 30 sampai Pasal 37. Media massa elektronik terkait dengan bisnis informasi, menjadi Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 115 pertanyaan apakah informasi ter­masuk barang yang diatur dalam ruang lingkup praktik monopoli yang diperdagangkan. Untuk menge­tahui kejelasan tentang barang informasi dapat diangkat dari definisi dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (16) yang menjelaskan bahwa barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Mengenai kaitannya dengan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diper­dagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Dengan kata lain, dapat dirumuskan bahwa infor­masi adalah barang tidak berwujud yang diperda­gang­kan melalui sistem jasa. Begitu pula yang dimaksudkan dengan persaingan usaha tidak sehat dijelaskan adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau mela­ wan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang bersangkutan diawasi oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang bersifat independen. 2. Industri Media Massa Sistem regulasi persaingan usaha dalam industri media massa dilaksanakan berdasarkan ketentuan per­aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dan keberadaannya sangat terkait dengan sejarah perkem­­bangan media massa. Keadaan media massa di Indonesia saat ini jauh lebih berkembang dan terasa kiprahnya dibandingkan dengan masa-masa sebe­lum­­nya. Saat ini media massa di Indonesia mulai tum­buh, dan bisnis media massa juga mulai menjadi perha­­tian utama para pengusaha. Namun, di samping itu, perkem­bangan media juga menimbulkan dampak sosial yang memprihatinkan. Hal itu terjadi karena saat ini industri media, baik cetak maupun elektronik, 116 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tidak lagi memperhatikan kualitas informasi yang diberikan kepada masyarakat, melainkan hanya melihat dari sisi keun­tungan yang akan diperoleh perusahaan media, dan ini berdampak bagi masyarakat, terutama remaja. Pemberitaan atau informasi yang disuguhkan oleh kalangan media massa juga terkadang tidak lagi sesuai dengan fungsi media massa secara keseluruhan, melainkan media massa saat ini lebih terpaku pada fungsi menghibur saja. Dengan demikian, informasi yang ditampilkan hanya berkisar mengenai busana, mode, atau yang paling banyak saat ini adalah mengenai selebriti, mulai dari gaya hidup mereka hingga masalah pribadi seperti perceraian. Hal itulah yang sangat disayangkan, karena nantinya secara tidak langsung hal itu akan menjadi contoh atau ”panutan” masyarakat dalam kesehariannya.144 Memang saat ini ada sejumlah kebijakan peme­rintah yang telah disahkan berkaitan dengan media massa, seperti Undang-Undang No.40 Tahun 1999, Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002. Di samping itu, media massa juga selalu diawasi oleh Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, dalam aplikasinya, semua kebijakan itu masih sangat jauh dari harapan. Hal itu tampak dari sistem kinerja media massa yang masih sangat banyak memberitakan atau menginformasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dan melenceng dari peraturan yang telah dikeluarkan. Terlepas apakah itu media cetak maupun elektronik milik pemerintah ataupun milik perseorangan (independen), yang jelas para pemilik industri media tampaknya telah memahami bahwa bidangbidang media komunikasi merupakan komoditas bisnis yang bernilai ekonomis. 144 Fachrur Rizha. Dampak Sosial dari Pengembangan Industri Media Massa dan Implementasi Kebijakan di Bidang Komunikasi Massa. http://pesannanggroe. com/karya-ilmiah/41-karya-ilmiah/70-dampak-sosial-dari-pengembanganindustri-media-massa-dan-implementasi-kebijakan-dibidang-komunikasi-massa. html. Diakses tanggal 7 Oktober 2011. Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 117 Sebagai sebuah industri bisnis, media massa tentunya disadari oleh banyak pihak memiliki pengaruh yang sangat besar. Bagi para pemilik modal, media massa merupakan sarana bisnis. Sementara bagi para komunikator massa, khususnya kalangan wartawan dan karyawan media massa lainnya, media adalah sarana profesi. Bagi kalangan masyarakat tertentu, khususnya tokoh, media massa merupakan infrastruktur kekuasaan. Adapun dimuatnya kebijakankebijakan, perundang-undangan, peraturan-peraturan, merupakan refleksi dari keterlibatan kalangan masyarakat. Di lain pihak, kalangan masyarakat umum mengharapkan media massa sebagai alat kontrol sosial dan perubahan. Dalam hal ini McQuail melukiskan, kedudukan media massa berada di antara dua lapisan sosial, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dengan demikian, media massa menjadi penghubung, bahkan bagian yang menyatu pada sistem-sistem yang berwujud di dalam sebuah negara.145 Pada dasarnya, kedudukan media massa saat ini sangat strategis. Informasi mengalir seolah tanpa batas atau sempadan yang menghubungkan antara masyarakat kalangan atas dan bawah. Namun, seiring perkembangan zaman dan banyaknya kepentingan yang bertarung di dalamnya, kedudukan media massa dinilai sudah tidak ideal lagi. Ini dapat kita lihat melalui peran dan fungsi media massa yang sesungguhnya. Di beberapa jenis media, peran dan fungsinya sudah mengacu pada peran dan fungsi bisnis semata. Saat ini sudah sangat jauh berkurang fungsi edukasi, nilai, dan etika yang disiarkan. Berdalih atas dasar survei terhadap keperluan tontonan atau bacaan masyarakat, media massa kini justru banyak mengumbar nilai-nilai negatif dan fiksi untuk masyarakat. Bahkan ada beberapa aspek pemberitaan atau informasi yang ter­kesan sengaja digembar-gemborkan untuk kepen­ tingan segelintir orang saja. Keadaan ini terjadi karena berlakunya konglomerasi media oleh “pemilik kuasa”. Tak jarang beberapa media Denis McQuail. Op cit., hlm. 78. 145 118 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dimiliki oleh satu orang atau bernaung di bawah satu industri media sehingga format, isi, dan isu yang ditampilkan selalu sama. Akibat­ nya, media menjadi alat “perang” kepentingan oleh pemilik media dan para kroninya. Oleh karena itu, penulis menyebutnya dengan istilah “perebutan lahan”, baik lahan bisnis, lahan kepentingan, maupun lahan-lahan sensasi lainnya. Perkembangan kedua yang patut dicermati ber­kaitan dengan kondisi lingkungan tempat industri media tersebut hidup. Kondisi lingkungan memberi tekanan-tekanan pada institusi media ber­ sangkutan. Globalisasi yang ditandai dengan pergerakan bebas informasi, uang, tenaga kerja, produk, dan jasa melintasi batas-batas tradisional negara makin mendesak berba­gai institusi media untuk betul-betul bersifat kompetitif jika mau survive.146 Tren terakhir menunjukkan semakin ketatnya iklim persaingan dan semakin menguatnya nilai-nilai kepentingan ekonomi (profit) atas nilai-nilai “jurnalisme murni”. Pemilihan topik atau isu untuk diliput, misalnya semakin mempertimbangkan faktor untung rugi (cost benefit) secara finansial. Jadi, tidak semata-mata hanya memper­ timbangkan nilai “jurnalisme murni”. Contohnya terlihat nyata di media cetak pada akhir tahun-tahun terakhir ini, dengan makin tipisnya jarak antara newsroom atau bagian redaksi (editorial) dan bagian bisnis atau usaha “pembauran” bagian redaksi dengan usaha ini dipraktikkan dalam operasional sehari-hari di sejumlah koran nasional. Kegiatan dalam media pers, dengan menggunakan bahasa manajemen, dirumuskan dalam sebutan pra­produksi, produksi, dan pemasaran. Sebutan ini ber­konotasi fisik-material dan berkonteks ekonomi. Sementara kerja jurnalisme sejatinya adalah proses intelektual. Kegiatan jurnalisme pada dasarnya memi­lih realitas sosial Satrio Arismunandar. Perkembangan Terkini dalam Industri Media dan Hubungannya dengan Kurikulum Ilmu Komunikasi di Perguruan Tinggi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. No.1 Januari 2007. hlm.3. 146 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 119 untuk dijadikan informasi pers, untuk kemudian informasi ditransfer ke alam pikiran khalayak luas. Proses mengubah realitas sosial menjadi informasi itu sendiri adalah kerja intelektual, begitu pula penyerapan informasi yang dilakukan oleh kha­layak adalah kerja intelektual. Kerja jurnalisme yang berada dalam situasi industrial tentulah akan menye­ suaikan diri dengan manajemen. Namun, selain diformat oleh manajemen industrial, kerja wartawan juga dipengaruhi oleh etos profesional jurnalismenya masing-masing. Etos profesional ini menuntut adanya kebebasan dalam bekerja. Profesionalisme ditandai oleh kemandirian, sementara kemandirian itu harus ditempatkan dalam proses manajemen. Inilah masalah yang perlu diperhatikan. Jadi bukan sekadar kebebasan wartawan, sebab kebebasan hanya bermakna bagi profesionalisme. Dalam perkembangannya, pers nasional bergerak ke arah penerbitan yang bersifat industrial. Ini ditandai dengan sifatnya yang padat modal dan kemajuan perangkat keras serta pola manajemen yang semakin canggih. Ditambah lagi dengan sifat pengusahaan yang padat modal, sosok pers sekarang sangat berbeda dibandingkan dengan pers nasional pada masa perge­rakan nasional. Oleh karena itu, mungkin kurang tepat men-”tracee”, menelusuri jejak pers sekarang dengan pers nasional tempo “doeloe” pada zaman pergerakan. Pers nasional, dalam hal ini media cetak, pada masa depan bukan hanya menghadapi tantangan di dalam dirinya sendiri, tetapi lebih-lebih lagi perkembangan masyarakat Indonesia. Media cetak berkembang dalam masyarakat industrial. Sebagai catatan, perlu diingat bahwa masyarakat industrial adalah tipe masyarakat yang berkembang setelah meninggalkan dunia agraris tetapi belum memasuki tahapan masyarakat informasi. Posisi media cetak di negeri kita dapat disebut serba tidak tepat tempat. Media cetak muncul ketika bagian terbesar masyarakat belum beranjak dari alam agrarisnya. Dalam alam ini, bukan media 120 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. massa cetak yang diperlukan, sebab masyarakat dapat tercukupi dengan media sosial. Sebelum menjadi masyarakat industrial yang mengandalkan media massa, masyarakat kita akan dilanda oleh arus teknologi komunikasi dengan media interaktif. Dari media sosial ke media interaktif memang suatu loncatan teknologi yang luar biasa, tetapi substansinya sebenarnya tidak banyak berbeda. Media sosial juga bersifat interaktif, setiap pelaku komunikasi dapat menentukan sendiri kapan dan berapa banyak informasi yang akan diambilnya. Sejumlah elite di kota-kota sudah memasuki alam masyarakat informasi. Kebutuhan akan informasi yang bersifat pragmatis dipenuhi melalui media interaktif yang memiliki jaringan internasional. Sejumlah lainnya lebih banyak meng­gunakan media massa elektronik bersifat audiovisual, dengan parabola jam siaran se­pan­jang waktu. Pola penggunaan media audiovisual bersifat menangkap seluruh perhatian, berbeda dengan media audio yang masih bisa dikerjakan sambil lalu. Contoh yang paling khas siaran pagi televisi, dengan begitu jam membaca media cetak edisi pagi akan berkurang. Loncatan budaya komunikasi yang dialami oleh masyarakat kita, dengan sendirinya tidak menguntungkan bagi perkembangan media cetak.147 H. Aspek-aspek Hukum Media Massa 1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenya­ taan kemasyarakatan yang majemuk dan tak henti-hentinya diper­debatkan di kalangan cendekiawan. Kompleksnya hukum menye­babkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Lahirnya berbagai disiplin hukum di antaranya hukum pers (UU No. 40 Tahun 1999) sebagai bagian dari politik hukum (politic of law), merupakan bukti yang tidak terbantahkan Ashadi Siregar, Kebebasan Wartawan Dalam Industri Pers Nasional. Orasi disampaikan pada Acara Wisuda Sarjana, Sekolah Tinggi Komunikasi Massa AWS, Surabaya 25 Juli 1991. hlm 6. 147 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 121 dari kebenaran pernyataan tersebut. Perlu dipahami bahwa politik hukum (rechtspolitek) adalah suatu bidang ilmu yang mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu kegiatan untuk menentukan atau memilih hukum mana yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat. Pengertian lain menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Politik hukum juga mencakup proses pembuatan dan pelak­ sanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Dengan asumsi demikian, perlu diajukan pertanyaan apakah “kebebasan pers” sebagai suatu ciri dari kegiatan hukum pers dapat dikategorikan telah memenuhi unsur politik hukum. Memahami pengertian politik hukum secara umum adalah sangat penting, termasuk juga bagaimana kedudukan disiplin ilmu itu dalam struktur keilmuan disiplin hukum, dan apa manfaatnya jika kita mem­ pelajarinya. Untuk men­je­laskannya, kita harus merujuk pada letak sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang ber­laku di Indonesia. Dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara hierarkis di Indonesia adalah Tap MPR, UU, Perppu, PP, Keppres, dan Perda. Berkaitan dengan posisi tertinggi UUD 1945 dalam tata urutan perundang-undangan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi negara. Hal ini senada dengan pendapat Hans Kelsen dalam “General Theory of Law and State”. Perumusan politik hukum oleh DPR dilakukan melalui beberapa tahapan proses (DPD–DPR–Presiden) dengan empat tingkat. Keinginan membuat atau merevisi undang-undang bisa datang dari berbagai kalangan yang bisa muncul pada tingkat suprastruktur politik ataupun infrastruktur politik. Sementara infrastruktur politik Indonesia terdiri atas partai politik, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), alat komunikasi politik, dan tokoh politik. 122 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Sri Soemantri pernah mengonstatasi, hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Hal itu terkait dengan analisis karena konsentrasi energi politik lebih kuat, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerap kali otonomi hukum di Indonesia diintervensi politik. M. Mahfud dalam pernyataan hipotesisnya mengemukakan bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan ka­rakter produk hukum tertentu di negara tersebut. Ia meng­ artikan konfigurasi politik adalah susunan atau kon­ste­lasi kekuatan politik yang secara dikotomis terbagi dalam kon­figurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara spesifik, untuk mengualifikasikan apakah konfigurasi politik itu demokratis atau otoriter, Mahfud memakai indikator tiga pilar demokrasi, yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik otoriter, yang terjadi adalah sebaliknya. Ketentuan pelaksanaan undang-undang dimaksud adalah peraturan mengenai Undang-Undang Perseroan Terbatas yang dikenal dengan UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT (Tambahan Lembaran Negara RI No. 3587 Kehakiman, Perseroan Terbatas, Saham, Ekonomi (Penjelasan atas Lembaran Negara RI Tahun 1995 Nomor 13). Seperti dimaklumi, dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Penerangan RI No.01/Per/ Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), maka peraturan menteri itu telah menyingkirkan ketentuan sebelumnya mengenai Surat Izin Terbit (SIT) penerbitan pers yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU No.11 Tahun 1966. Dan, ketentuan SIT secara yuridis formal tidak berlaku lagi. Ternyata Permenpen 01/1984 tersebut telah mengakibatkan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 123 terjadinya sifat campur aduk antara undang-undang perusahaan pers (code of the enterprise) dan undang-undang penerbitan yang menyangkut isi (code of publication). Akan tetapi, apabila kita simak bunyi Pasal 33 h Permenpen No. 01/1984 itu, akan timbul interpretasi lain. Sekalipun nama ketentuan tersebut adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga seakan-akan hanya menyangkut aspek bisnis perusahaan pers saja, tetapi ketentuan lain dalam Pasal 11 dan penjelasan Pasal 11 UU No.11/1966 menyatakan. “Jika suatu penerbitan pers, isinya ternyata bertentangan dengan Pancasila, maka sesudah mendengar pertimbangan Dewan Pers, pemerin­tah mengeluarkan suatu keputusan untuk melarang kelang­sungan terbitnya”. Padahal apabila diperhatikan, Pasal 4 dan 8 (2) UU No.11/1966 dengan tegas menyebutkan pula bahwa sensor dan pemberedelan dilarang. Sementara Pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa penerbitan pers tidak wajib memiliki Surat Izin Terbit. Karena Pasal 33 h Permenpen No. 01/1984 mengatur isi suatu penerbitan pers, maka pasal itu meng­gerogoti apa yang telah ditetapkan oleh Pasal 4 dan 8 ayat (2) UU No.11/1966, yakni melarang terjadinya sensor, pemberedelan, dan kewajiban memiliki surat izin terbit terhadap penerbitan pers. Sebagaimana diketahui, dalam tinjauan pustaka dije­laskan bahwa kebebasan pers di mana pun ada tiga syarat pokok yang dipersyaratkan, adalah: 1) tidak diperlukannya izin untuk menerbitkan penerbitan pers, 2) tidak ada sensor, dan 3) tidak ada pemberedelan. 2. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Dalam penelitian pustaka yang dilakukan untuk mem­ perluas wawasan penulis tentang pengertian pers, perlu dicari dan diangkat pemahaman berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam pembukaan dikemukakan bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan 124 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. untuk sebesar-besarnya kemak­ muran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan tujuan untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam lampiran UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dijelaskan bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, me­miliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, pengawasan, dan praktik sosial. Pengertian lain tentang pers penyiaran diuraikan dalam Pasal 1, bahwa yang dimaksud; 1). Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. 2). Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. 3). Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menya­ lurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. 4). Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan . 5). Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 125 melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mem­punyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, pengawasan, dan perekat sosial. Dalam menja­lankan fungsi sebagaimana dimaksud, penyiaran juga mem­punyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah. 3. UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Lahirnya undang-undang ini didasari pertimbangan bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai penge­lolaan informasi dan transaksi elektronik secara merata yang menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi (TI) secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk hukum baru. Diharapkan pemanfaatan TI dapat berperan penting dalam perdagangan dan pertum­buhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kese­jah­ teraan masyarakat sehingga pemanfaatannya dapat melalui infrastruktur hukum. Berdasarkan penelitian, UU ITE yang terdiri atas 13 bab dan 54 pasal merupakan “rezim hukum baru” dalam khazanah peraturan perundangundangan RI yang menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial, asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi, dengan cakupan materi antara lain pengakuan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, pengakuan atas tanda tangan elektronik, penyelenggaraan 126 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. sertifikat elektronik dan sistem elektronik; nama domain, hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi, perbuatan yang dilarang serta ketentuan pidananya. Undang-undang ITE ini memuat ketentuan pidana pasal 45 sampai 52, bagi yang memenuhi unsur melanggar ketentuan pasal 27 sampai pasal 37 diancam pidana penjara 6–10 tahun atau denda antara Rp 600 juta sampai Rp 12 miliar. Dalam ketentuan umum dijelaskan beberapa pengertian informasi elektronik, yakni satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/ atau media elektronik lainnya. Sementara nama domain adalah alamat internet penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. Pada pasal 2 dijelaskan, Undang-Undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Yang baru dalam khazanah hukum di Indonesia adalah karena UU ini menganut asas ekstra teritorial. Artinya, UU ini juga berlaku bagi setiap orang yang berada di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam UU ini, yang akibatnya merugikan pihak-pihak yang berada di Indonesia. Pemanfaatan TI dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum yang dianut dalam UU ITE. Asas lainnya yang Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 127 terkandung dalam UU itu adalah asas manfaat, sikap kehati-hatian, iktikad baik, dan netralitas teknologi. Sebagaimana layaknya undang-undang, UU ini mengatur hal-hal pokok dan aspek-aspek yang terkait dengan pemanfaatan TI, khususnya pengelolaan informasi elektronik dan transaksi elektronik. Oleh karena itu, UU ini mencakup berbagai aspek, mulai dari informasi, elektronik, dan penyelenggaraan elektronik. Transaksi elektronik, penyelenggaraan tanda tangan elektronik, akses ke sistem dan jaringan komputer, nama domain, dan perlindungan terhadap informasi dalam komputer. UU ITE juga mengatur aspek-aspek yang belum diatur di HAKI, seperti desain situs dan karya intelektual yang ada di dalamnya. Perlindungan juga diberikan atas hak-hak pribadi (privacy) sehingga penggunaan setiap informasi melalui media elektronik, yang menyangkut data tentang seseorang harus memperoleh persetujuan pemiliknya. Selain itu, diatur juga tentang penyelesaian sengketa. Ini mencakup gugatan perdata, tata cara melakukan gugatan itu, pengadilan yang memprosesnya, upaya hukum, arbitrase, dan penyelesaian di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution- ADR) yang bisa berupa negosiasi, mediasi, dan konsolidasi. 4. UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP Mengacu pada Pasal 28 F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Termasuk hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan meng­ gunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan dasar pertimbangan itu, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mengatur lebih dalam tentang keterbukaan informasi dan transparansi penyelenggaraan negara sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. 128 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Dalam Bab I Pasal 1 UU KIP dijelaskan bahwa infor­masi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun nonelektronik. Sementara informasi publik adalah informasi yang diha­silkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh penyelenggara negara dan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta badan-badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat atau bantuan luar negeri. Dalam Pasal 4 UU KIP dijelaskan tentang hak masya­rakat sebagai pemohon atau pengguna informasi publik untuk memperoleh, mengetahui, melihat, menghadiri, men­ dapatkan, dan menyebarluaskan informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap per­ mohonan informasi harus disertai dengan alasan yang jelas dan diajukan secara lisan dan tertulis. Setiap informasi yang diperoleh masyarakat harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya menurut peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 6 dan 7 UU KIP disebutkan hak dan kewa­jiban badan publik dalam menerima permintaan infor­masi yang diajukan oleh masyarakat pengguna infor­masi. Badan publik mempunyai hak untuk menolak mem­­ be­rikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, informasi publik yang tidak dapat diberitakan adalah: a. Informasi yang dapat membahayakan negara b. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlin­dungan usaha Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 129 dari persaingan usaha tidak sehat. c. Informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi d. Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan e. Informasi yang diminta belum dikuasai atau belum didokumentasikan. Selain hal yang disebut itu, tidak ada alasan bagi badan publik untuk menolak permintaan informasi dari masya­rakat pengguna informasi publik. Oleh karena itu, badan publik harus bersikap terbuka terhadap masyarakat. Tujuan UU KIP sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU KIP adalah: a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik c. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam peng­ambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik d. Mewujudkan penyelenggara negara yang baik, yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan e. Mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak f. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan/atau g. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Keberadaan UU KIP merupakan angin segar bagi siapa saja, karena setiap orang menjadi berhak memperoleh informasi publik, melihat dan mengetahui informasi publik, menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh informasi publik, mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan sesuai dengan undang-undang ini, dan/atau menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 130 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. I. Persyaratan Mendirikan Perusahaan Media Massa Nasional pada Era Orde Lama, Orde Baru, Hingga Reformasi Pada 14 Maret 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku bagi seluruh Indonesia, sehubungan dengan pemberontakan PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Pada bulan Juli 1957, Soekarno mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Sistem pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai “Pemerintahan Demokrasi Terpimpin” ternyata telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kedudukan dan fungsi pers diarahkan oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa terhadap kemer­dekaan pers termasuk di antaranya melakukan sensor atas informasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa karena United Press mengkritik Soekarno sebagai pemimpin otoriter yang semakin dekat dengan komunis. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan menyangkut sikap penguasa yang antipers. Secara keseluruhan, mencapai 125 tindakan pembatasan kebebasan pers. Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1958, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam,” ujar Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith148. Hal serupa diikuti oleh Penguasa Perang Edwar Smith, C, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (terj), Jakarta,1986, Pustaka Grafitti, hlm. 178 148 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 131 Tertinggi (Peperti), bahwa semua penerbitan surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menteri Penerangan melegalisasi ketentuan tentang SIT itu, dan untuk men­ dapatkan SIT, semua penerbitan harus menandatangani persetujuan atas 19 (sembilan belas) pasal pernyataan. Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan penguasa. Beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya oleh Menteri Penerangan sebagai konsekuensi dari ‘janji’ tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, dan Star Weekly. Sementara Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut. Selanjutnya, Departemen Penerangan mengeluarkan lagi ketentuan baru, yaitu bahwa setiap surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu parpol atau tiga ormas. Hal itu berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Yang lebih penting di sini adalah bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959. Tahun-tahun selanjutnya merupakan lembaran hitam bagi kebebasan pers Indonesia. Kedekatan Soekarno dengan komunis telah menyebabkan tidak hanya pemerintah yang melakukan pengawasan terhadap pers, tetapi tidak jarang juga orang-orang komunis yang melakukan teror terhadap wartawan. Salah satu tajuk harian Cina ‘Keug’ sebagaimana dikemukakan Smith menggambarkan hal itu sebagai berikut: “Cara orang-orang PKI datang dan pergi ke Istana telah menarik perhatian umum begitu rupa sehingga timbul kesan bahwa Bung Karno sekarang lebih dekat ke PKI daripada ke PNI yang kadang-kadang dikecamnya karena aliran kapitalisliberalis yang tampak di dalamnya”149. Era pemberlakuan surat izin cetak (SIC) dalam pendi­rian peru­ sahaan pers ditandai dengan adanya peristiwa Malari. Peristiwa Malari Edwar Smith C. Op.Cit, hlm. 144 149 132 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. merupakan koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap peme­ rintahan Orde Baru setelah 12 (dua belas tahun) tahun berkuasa. Hal itu dimanifestasikan dalam bentuk pemberedelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pemberangusan’, yaitu mencabut Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib. Surat kabar yang diberedel tidak hanya yang terbit di Ibu Kota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers di beberapa kota besar lainnya. Beberapa surat kabar yang dicabut SIT ataupun SIC-nya antara lain harian Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres ( Jakarta), harian Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan dua ketentuan berupa Keputusan Menteri Penerangan tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit pers, serta pengukuhan Serikat Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers. Dengan demikian, peranan media sangat diperlukan untuk penggalangan massa sehingga diperlukan kerja sama dengan pers. Namun, bantuan dan fasilitas yang diberikan diikuti beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar, yaitu (1) media tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto; (2) media tidak boleh menyinggung dwifungsi ABRI; dan (3) media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA. Pada era Orde Baru, berlaku regulasi SIUPP tercatat mulai awal tahun 1980-an. Pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The Press. Di negara asalnya, teori ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theory yang sangat bebas dan terlalu terbuka sehingga kebebasan melupakan etika. Hal itu dikemukakan Komisi Kebebasan Pers Amerika dalam A Free and Responsibility Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam tugas pers Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 133 menurut teori tradisional (Libertarian), teori ini “tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media tentang fungsi itu”150. Dalam penerapan teori ini di Indonesia, muncul per­masalahan besar, yaitu adanya perbedaan persepsi terhadap kedua hal pokok, yaitu tentang “bebas” dan “tanggung jawab”. Bebas dimaksudkan seperti apa yang dikehendaki kaidah jurnalistik atau seperti yang dikehen­daki pemerintah yang tidak memiliki standar yang jelas. Demikian pula halnya dengan “tanggung jawab”. Pers harus bertanggung jawab kepada siapa, apakah kepada masyarakat yang memerlukan informasi secara terbuka atau kepada pemerintah dengan pendekatan keamanan (security approach). Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur kehidupan pers sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini, pemerintah melalui Menpen juga menge­ luarkan seperangkat ketentuan hukum yang pada intinya amat membatasi kebebasan pers. Salah satu yang paling ditakuti oleh penerbitan pers saat itu adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 Tahun 1982. Melalui ketentuan tersebut, Menpen memiliki wewe­ nang yang cukup besar dalam mengendalikan kebe­basan penerbitan pers di Indonesia, yang menurut versi pemerintah dikatakan sebagai ”pembinaan” tetapi dimanifestasikan dengan “pemberedelan”, yaitu mencabut SIUPP pener­ bitan pers. Pada umumnya, dasar pencabutan SIUPP adalah demi keamanan negara dan demi kelangsungan pembangunan walaupun pada kenya­taannya penerbitan pers yang diberedel isinya hanya memberitakan masalah pribadi pejabat atau keluarganya. Sementara beberapa penerbitan pers yang dicabut SIUPP-nya tidak lagi diberi kesempatan untuk terbit kembali. Siebert, Fred S,.et.al., FourTheories of The Press,London, University of Illinois, London, 1973, hlm.74. 150 134 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers meng­akibatkan media menjadi lebih pragmatis, konten media menjadi mandul, dan lebih eufimistis dalam melakukan kritik terhadap penguasa. Sebelum memperoleh teguran dari penguasa, media melakukan self censorship terlebih dahulu. Pendapat berbagai kalangan tentang kondisi pers pada era Orde Baru ini antara lain menyatakan bahwa pers Indonesia “tidak memiliki kebebasan pers sama sekali; pemerintah bertindak represif terhadap pers; dan pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan menyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan oleh penguasa.” Kondisi itu menyebabkan pers “tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting”. Pemberitaan pers cenderung bergaya eufimisme dalam menyampaikan kritik; dan pers menjauhi “kawasan terbatas”, kritik yang disampaikan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat agar SIUPP-nya tidak dicabut penguasa151. Pada era ini, tidak banyak terjadi pemberedelan, dan setelah peristiwa Malari hanya tercatat beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan, Prioritas, dan majalah Tempo, Detik, serta Editor. Selama rezim Orde Baru ini, walaupun industri pers berkembang menjadi konglomerasi pers, tetapi kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali. Kebebasan mendirikan media massa baru diberlakukan mulai era Orde Reformasi hingga sekarang. Berdasarkan UU Pers, perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers, meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Mencermati ketentuan dalam UU Pers, untuk membuat usaha penerbitan koran, tabloid, majalah, dan sejenisnya, sebenarnya cukup “mudah”, yaitu hanya ada dua kewajiban yang harus dipenuhi. Pertama, perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia. Itu 151 Dirangkum dari berbagai tulisan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999 Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 135 berarti perusahaan pers harus berbentuk PT (perseroan terbatas), yayasan, koperasi, dan BUMN. Bahkan dalam praktiknya, Perseroan Komanditer (CV/Commanditaire Vennootschap) pun merupakan badan hukum. Kedua, perusahaan pers mempunyai kewajiban untuk mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Khusus untuk penerbitan pers, ditambah nama dan alamat percetakan. Tulisan nama dan alamat tersebut biasanya tercantum dalam “kotak (box) susunan redaksi (dan perusahaan)”. Ada sanksi jika suatu perusahaan pers tidak memenuhi dua kewajiban tersebut. Jika perusahaan pers tidak meme­nuhi dua kewajiban tersebut, perusahaan pers yang bersang­kutan diancam pidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). Terlepas dari sanksi pidana tersebut, membuat usaha penerbitan pers cukup “mudah”. Tidak sesulit zaman Orde Baru yang mem­bu­tuhkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Namun, tidak adanya SIUPP bukan berarti tanpa izin. Perusahaan pers tetap harus memiliki perizinan untuk kepentingan perekonomian (perdagangan) negara, yaitu harus memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan)/TDUP (Tanda Daftar Usaha Perdagangan). Bab III Kemerdekaan Pers Dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa A. Sejarah Kemerdekaan Pers Perjuangan untuk mengemukakan pendapat secara bebas di media cetak sudah dimulai di Inggris tahun 1579 ketika John Stubbe menulis dan Hugh Singleton sebagai pencetak mengedarkan pamflet tentang perkawinan Ratu Elizabeth I dengan seorang bangsawan Prancis. Pada tahun 1584, William Carter dihukum gantung karena mencetak pamflet pro-Katolik di negeri yang diperintah oleh Protestan. Antara tahun 1644 sampai 1693 John Twyn, William Walwyn, dan Anderton juga menjalani hukuman gantung karena menolak menyebut nama pengarang dari bukubuku yang mereka terbitkan. Sampai tahun 1695 Inggris memberlakukan sensor terhadap semua tulisan sebelum dicetak dan diedarkan kepada umum. Dalam perkembangannya kemudian, di banyak negara kemerdekaan pers lahir dalam berbagai variasi, dari yang ekstrem sampai dengan yang moderat. Pers bebas mulai mendapat tempat yang penting di Amerika ketika Tinjauan Hukum Persaingan Industri Media Massa Dalam Negara Kesejahteraan 137 para pencetus kemerdekaan negeri tersebut merumuskan hak-hak rakyat dalam konstitusi tahun 1787. Perdebatan sengit terjadi antara Alexander Hamilton dan Thomas Jefferson. Berbeda dengan Alexander Hamilton, Thomas Jefferson mengatakan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat tidak cukup disebut secara umum dalam konstitusi. Ia harus diikuti oleh jaminan hukum secara tertulis untuk menghormati dan melindunginya sepanjang masa. Dari perbedaan ini, lahirlah Amandemen Pertama Konstitusi Amerika yang berbunyi, antara lain: “kongres tidak dapat membuat undang-undang yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat atau kebebasan pers...”.152 Kebebasan pers pertama kali dipelopori oleh John Milton pada abad ke-17. Dalam pidatonya yang berjudul Aeropaqitica dia berucap “a speech for unlicenced printing”. Ucapan filsuf berkebangsaan Inggris itu menandai permulaan lahirnya gerakan antisensor sebagai tindakan preventif terhadap publikasi. Perjuangan Milton baru diakui dunia internasional dua abad kemudian, sejak dideklarasikannya piagam Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 28 Desember 1948. Jaminan kebebasan itu tercatat dalam Pasal 19 yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression, this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”. Hal tersebut dinilai masih kurang lengkap. PBB kemudian menyetujui lagi kovenan internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant of Civil and Political). Jaminan kebebasan pers kembali dimasukkan. Pasal 19 Kovenan itu berbunyi: 1). Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2). Everyone shall have the right to freedom of expression, this right shall include freedom to seek, receive, and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the from of art, or through any other media of his choice. 152 Erman Rajagukguk. Kemerdekaan Pers dari Masa ke Masa, Tanggung Jawabnya Dalam Masyarakat Demokratis. Sinar Harapan, 24 Agustus 1982. 138 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 3). The exercise of the rights provide for in paragraph 2 on this article carries it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restriction but these shall only be such as provide by law and are necessary; a. For respect of the right or reputation of others. b. For the protection of national security or public health or morals Terjemahan bebas: 1). Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa dipengaruhi orang lain 2). Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberikan infomasi dan pemikiran apa pun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan karya seni atau media lain sesuai dengan pilihannya. 3). Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini dapat dilakukan sesuai dengan hukum sepanjang diperlukan untuk: a. Menghormati hak atau nama baik orang lain b. Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum. Di Indonesia jaminan kebebasan pers tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28, dan Pasal 28F yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hal tersebut diperkuat lagi dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal 23 ayat 2: “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarkan pendapat sesuai dengan hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 139 Lalu dipertegas dalam UU Pers: “Kebebasan pers adalah hak asasi warga negara” dan setiap usaha menghalangi tegaknya kebebasan pers dapat dipidana dua tahun penjara atau denda Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Makna kebebasan pers sesungguhnya adalah larangan sensor pendahuluan/preventif (prior restraining) terhadap pemberitaanpemberitaan pers. Yang dimaksud sensor di sini adalah: 1). Penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang diterbitkan atau disiarkan. 2). Tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak mana pun. 3) Dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik Dari tahun 1945 sampai saat ini, terjadi fluktuasi kebebasan pers di Indonesia yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode: (1). Era kemerdekaan pers tahun 1945–1966, (2). Era kemerdekaan pers 1966– 1999, (3). Era kemerdekaan pers tahun 1999 sampai sekarang. 1. Kemerdekaan Pers (1945–1966) Pada era revolusi fisik, Indonesia mengalami dualisme sistem peme­ rintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945 dan peme­rintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kem­bali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu. Sebelum masuknya tentara Sekutu dan NICA, pada awal kemerdekaan, pers Indonesia mengalami euforia kebebasan setelah terlepas dari tekanan penjajahan Belanda dan Jepang. Misi utama pers saat itu adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan mem­persiapkan masyarakat untuk melawan Jepang yang masih berada di Indonesia. Dibandingkan dengan kebebasan saat dalam tekanan penjajah, kebebasan pers saat itu mengalami perubahan yang signifikan dari pers otoriter ke pers liberal. Pers dengan bebas menyerukan agar rakyat 140 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. mengadakan pergerakan dalam merebut senjata di kamp Jepang dan memberitakan secara luas hasil pergerakan rakyat tersebut. Kondisi inilah yang menurut Muchtar Lubis merupakan awal dari perjuangan pers secara terbuka.153 Pers pada awal kemerdekaan merupakan mitra pemerintah dalam mencari kebenaran, mem­ perta­ han­ kan kemerdekaan, dan meng­gerakkan rakyat untuk mela­wan penjajah. Secara struktural, pers Indonesia tumbuh dengan baik. Setiap warga negara dapat m­ener­bitkan surat kabar tanpa adanya batasan, perizinan, dan se­ macamnya dari penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Smith dalam Sullivan (1967), “pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 45 surat kabar dengan oplah 227.000 sehari. Di tempat yang tidak ada surat kabar, orang Indonesia menerbitkan surat kabar stensilan”154. Selanjutnya, mengenai pertumbuhan surat kabar secara fisik, dalam Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia yang diterbitkan SPS secara luas dikemukakan bahwa di beberapa daerah pada era revolusi fisik ini terbit beberapa surat kabar Indonesia. Periode ini ditandai pula dengan lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Februari 1946. Pada awal kelahirannya, PWI menempatkan diri seba­ gai organisasi perjuangan bersama organisasi lainnya. “Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi –bahkan mensubordinatkan– orga­nisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri.155 Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh komunitas masyarakat, dan hal ini tidak berarti Hanif Hoesin. Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia. Makalah dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika.2009, hlm. 3 154 Edwar Smith C, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (terj),Jakarta, 1986, Pustaka Grafiti, hlm.73. 155 Togi Simanjuntak (Editor), Wartawan Terpasung – Intervensi Negara di Tubuh PWI, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta. hlm. 15. 153 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 141 mengekang kebebasan wartawan. Setelah Belanda kembali dengan pemerintahan NICA yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia kembali mengalami tekanan. Tekanan-tekanan terhadap pers Indonesia terjadi di berbagai wilayah pendudukan. Di Jakarta, pada 19 April 1946 polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB (Arabian Press Board yang kemudian berubah menjadi Asian Press Board). Pemimpin APB, Dza Shahab ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apa pun, terutama mengenai gerakan-gerakan TNI. Di samping itu, wartawan ‘republiken’ yang bekerja di daerah pendudukan, di intimidasi dan digeledah dengan dalih kolaborasi. Di Surabaya, wartawan yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, menyingkir ke pedalaman dan di sana mereka meneruskan perjuangan membela republik. Di Medan, tekanan terhadap pers dilakukan Sekutu dengan memberedel “Pewarta Deli”, memenjarakan A.O. Lubis (wartawan) dan Rahmat pimpinan percetakan “Syarikat Tapanoeli”. Redaksi “Mimbar Oemum” A.Wahab ditahan dan alat-alat radionya dibeslag oleh Inggris. Demikian pula halnya dengan percetakan “Soeloeh Merdeka” yang disita Inggris pada 4 Juli 1946. Di Sumatra Tengah, percetakan “Oetoesan Soematra” dihancurkan Sekutu, dan kegiatan pener­bitan terhenti pada akhir tahun 1946. Saat agresi I, “Tjahaya Padang” berhenti terbit karena pimpinan dan karyawannya ditawan Belanda bersamaan dengan ditembak matinya Wali Kota Padang Bagindo Azis Chan sebagai pendiri ”Tjahaya Padang”. Sementara di Palembang, kantor surat kabar “Obor Rakjat” menjadi sasaran penembakan Belanda.156 Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kalau merujuk kepada Siebert157 dan kawan-kawan, kebebasan pers Hanif Hoesin. Op.cit. hlm.4. Fred Siebert, S,.et.al., FourTheories of The Press, London, University Of 156 157 142 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory. Menurut teori ini, manusia tidak perlu tergantung kepada kekuasaan (kekuasaan Belanda) dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu merupakan hak asasi. Pada tahun 1945, kebijakan komunikasi dan informasi nasional berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang mengamanatkan kemerdekaan berekspresi. Pikiran masyarakat umum (public opinions) menjadi sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Asas yang ditempuh adalah pers harus merdeka. Bebas dari intervensi pemerintah. Penerbitan pers pun tanpa surat izin terbit. Dari sisi pemerintahan, selama Kabinet Parlementer ini telah terjadi enam kali pergantian kabinet. Kondisi ini merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam mereguk kebebasannya. Pers dengan mudahnya memberikan pandangan, opini, ataupun kritik tajam terhadap kekuasaan. Bahkan muncul opini di kalangan elite politik saat itu, bahwa pers merupakan salah satu faktor penting dalam setiap pergantian kabinet. Di samping berhadapan dengan parlemen dan kabinet, di kalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama antara surat kabar partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang menempatkan diri sebagai oposisi. Karena “........ masingmasing media atau institusi pers tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan ideologis dengan partai-partai tertentu. Dalam hal peranan pers menjatuhkan kabinet, tergambar dari ungkapan Hanna sebagaimana dikutip Smith bahwa: “Pemimpin Redaksi Muchtar Lubis mempunyai saham yang besar dalam menjatuhkan kabinet”158. Menjelang Pemilu 1955, sejumlah penerbitan pers tetap mem­ per­tahankan independensinya, sementara sebagian lain menjadi pers partisan berorientasi partai tertentu. Kecaman pers terhadap tokohtokoh pemerintah dan partai meningkat. Tindakan-tindakan untuk Illinois, London. 1973, Op.cit, hlm. 3. Ibid. hlm. 145. 158 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 143 membungkam pers dengan dalih membocorkan rahasia negara dimulai. Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi Pemandangan, ketika menyiarkan berita tentang penerimaan modal asing, diajukan ke pengadilan. PWI Jakarta menyelenggarakan demonstrasi, protes ke kantor Menteri Kehakiman menuntut agar Asa Bafagih dibebaskan dari segala tuntutan.159 Pers sebagai lembaga social control yang legal terhadap kekuasan amat berfungsi dalam menjaga penguasa agar tidak menyalahgunakan atau melanggar batas-batas kekuasaan. Sistem pers Libertarian, yang kadangkala mengarah kepada trial by the press secara bertahap telah menggiring pers untuk berhadap-hadapan dengan negara. Hal itu pada suatu saat akan menyebabkan negara mempertajam kukunya untuk mengambil tindakan tegas terhadap pers. Kemudian, pada tanggal 14 Maret 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku bagi seluruh Indonesia, sehubungan dengan pemberontakan PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Pada bulan Juli 1957 Soekarno mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Sistem pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai Pemerintahan De­mokrasi Terpimpin” ternyata telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kedudukan serta fungsi pers diarahkan penguasa untuk mencapai tujuan politik demokrasi terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan antipers oleh penguasa yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers. Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan 159 Sabam Leo Batubara. Menegakkan Kemerdekaan Pers. Kumpulan Makalah 1999-2007. Penerbit Dewan Pers. 2007, hlm. 7. 144 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. majalah wajib men­daf­tarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1958, dapat dikatakan sebagai tanggal matin­ya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam,” demikian Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith160. Hal serupa diikuti oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Dalam melakukan pembatasan terhadap kebe­ basan pers, ketentuan demi ketentuan dikeluarkan penguasa. Salah satunya adalah ketentuan dari Menpen yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan parpol atau ormas. Menurut ketentuan ini, masing-masing parpol atau ormas hanya dibenarkan memiliki satu organ resmi, dan surat kabar atau majalah lainnya harus berafiliasi kepada parpol atau ormas tersebut. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di Indonesia yang dimiliki oleh sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah). Selanjutnya, Deppen mengeluarkan lagi ketentuan baru, yaitu bahwa setiap surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu parpol atau tiga ormas. Hal itu berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Yang lebih penting di sini adalah bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959. Kemudian terbit Penetapan Presiden No. 6 Oktober 1960 yang menyatakan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) memberlakukan persyaratan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional dan kebijakan ini adalah awal tiarapnya pers Indonesia. Edwar Smith, C.,Op.cit., hlm. 178. 160 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 2. Kemerdekaan Pers (1966–1999) 145 Pada periode ini, sampai dengan terjadinya Malari tahun 1974, pers Indonesia dengan bebas dapat melakukan kritik terhadap kekuasaan, di samping secara struktural terlihat pertumbuhan jumlah penerbitan pers yang cukup signifikan. Setelah terjadi Malari, rezim Orde Baru mulai melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers, dalam bentuk pemberedelan terhadap beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah. Terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September (G30S/PKI) pada tahun 1965, merupakan the turning point dari sistem pemerintahan otoriter dengan Demokrasi Terpimpin. Selama enam bulan, sejak 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 adalah masa transisi yang sangat kacau di Indonesia, terutama di pusat kekuasaan. Dalam membentuk opini publik, pihak Angkatan Darat menerbitkan surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama mengumandangkan Pancasila dan perjuangan ABRI, khususnya TNI AD. Sementara itu, mahasiswa menerbitkan Harian KAMI untuk memobilisasi gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”. Pada masa transisi ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja mengalami tekanan terhadap content media tetapi juga mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi, sebagaimana halnya yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan Sekutu. Setelah Soeharto menerima mandat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberi kekuasaan untuk mengamankan NKRI yang sedang kacau, mun­cullah momentum awal kembalinya pers Indonesia ke alam demokrasi. Langkah pertama yang diambil Soeharto adalah menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai partai terlarang di Indonesia. Kemudian memerintahkan pembersihan orang-orang komunis yang ada pada penerbitan pers, di antaranya penutupan sementara Kantor Berita Antara, karena menjelang pemberontakan G30S/PKI kantor berita ini dikuasai orang-orang komunis. 146 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Penutupan Antara yang ber­ langsung selama 10 hari, kemudian setelah seluruh karyawan yang terlibat partai komunis “dibersihkan”, Antara beroperasi seperti sedia kala. Komitmen demokrasi yang ditunjukkan Soeharto, disambut baik oleh pers Indonesia yang saat itu turut berjuang menyuarakan Tritura. Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan mahasiswa dalam membersihkan antek Partai Komunis di Indonesia. “Mulai saat ini sebenarnya terjadi ‘bulan madu’ antara pers dan pemerintah, karena pemerintah memberikan “kelonggaran dan toleransi – sebagaimana komitmen awal -- terhadap kritikan pers kepada negara itu sendiri”.161 Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers pada era ini, merupakan tonggak sejarah kebebasan pers Indonesia, dan pada pasal 4 dijamin bahwa: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan”. Pemerintahan Orde Baru menitikberatkan pada pembangunan ekonomi, dan modal asing harus masuk sebanyak-banyaknya ke Indonesia, karena pada awal Orde Baru perekonomian sangat terpuruk, dan inflasi mencapai 600 persen. Keamanan dalam negeri menjadi syarat utama yang diartikulasikan dengan “stabilitas nasional”. Tingkat perekonomian yang mulai membaik, membawa konsekuensi berkembangnya tindakan korupsi di kalangan pemerintahan. Sementara itu, di kalangan pemerintahan sendiri terjadi perpecahan. Kondisi demikian merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam melakukan fungsi social control. Salah satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi Pertamina (investigating report) oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Keberanian pers dalam membongkar masalah sosial, masalah pemerintahan/kekuasaan dan korupsi di kalangan pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers Indonesia menganut Togi Simanjuntak, Op cit., hlm. 90. 161 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 147 paham Libertarian, yang menempatkan manusia tidak tergantung kepada kekuasaan dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri merupakan hak asasi. Kondisi kebebasan pers yang demikian menyebabkan pers Indonesia dikatakan oleh Togi sebagai pers populis dan sikap kritis. “Pers populis dan kritis di Indonesia pernah pula muncul pada masa penjajahan Belanda, selama berkobarnya nasionalisme Indonesia, serta masa revolusi dan masa mempertahankan kemerdekaan”162. Pada tahun 1970, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1970, pemerintah mempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1967, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers adalah: “Memberi pertimbangan kepada badan/instansi pemerintah lainnya, mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UU No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Pasal 3 ayat (3). Keluarnya ketentuan ini mengarah pada upaya penguasa untuk mereduksi kebebasan pers, yang saat itu menurut penguasa “pers Indonesia terlalu bebas”. Hal itu selanjutnya menjadi kontroversi dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran dan pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia walaupun dilakukan dengan mengingkari Pasal 4 UU No.11 Tahun 1966. Walaupun penguasa melakukan pembatasan ter­ha­dap kebebasan pers, tetapi di lain pihak, peme­rin­tah dalam menjalankan programnya sangat me­mer­­lukan dukungan dari masyarakat yang saat itu mencuat sebagai “partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan”. Dengan demikian, peranan media sangat diperlukan untuk penggalangan massa, sehing­ga diperlukan kerja sama dengan pers. Bentuk kerja Ibid., hlm. 77 162 148 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. sama tersebut dimanifestasikan dengan membe­ rikan dukungan melalui berbagai bantuan dan fasilitas. Namun, bantuan dan fasilitas yang diberikan, diikuti dengan beberapa persyaratan yang tidak boleh dilang­gar, yaitu: a. Media tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto; b. Media tidak boleh menyinggung Dwifungsi ABRI; dan c. Media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA. Kemudian terbit Undang-Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997 yang mempersyaratkan izin penyiaran dari segi isi atau materi oleh Departemen Penerangan dan izin frekuensi oleh Departemen Perhubungan.Dengan izin tersebut,pemerintah mendapatkan legalitas menjadi pembina, penentu kebijakan, penga­turan, pengawasan, dan pengendalian pers (media cetak dan media penyiaran). Pers yang pemberitaannya berseberangan dapat dibatalkan isinya, pers menjadi tumpul dan tunduk kepada penguasa. Dalam periode ini terjadi penindasan terhadap pers, antara lain: a. Tercatat 237 perusahaan pers dibatalkan izin terbitnya karena dinilai mengganggu stabilitas nasional. b. Upaya mantan Pemimpin Umum Prioritas Surya Paloh mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung (MA) agar melakukan judicial review terhadap Permenpen No. 01/1984 karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 akhirnya ditolak oleh MA pada 4 Juni 1993. Kemudian mantan Pemred Majalah Tempo menggugat Pemerintah RI (dhi Menpen RI) yang membatalkan SIUPP Tempo. Putusan kasasi Mahkamah Agung H. Soerjono, SH pada 13 Juni 1996 mengesahkan pembatalan SIUPP tersebut. c. Salah satu pejuang berkategori “die hard” adalah Mochtar Lubis. Perang jihadnya terhadap korupsi rezim Orde Lama berakibat tidak saja surat kabarnya Indonesia Raya diberedel, ia pun dibui dan ditahan selama 9 tahun. Kemudian hasil investigative report-nya tentang korupsi di Pertamina dan liputannya tentang Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 149 peristiwa Malari 15 Januari 1974 berakibat Mochtar Lubis kehilangan medianya. Dia ditahan 2,5 bulan oleh rezim Orde Baru.163 Pembatasan kebebasan pers pada era itu juga dilakukan dengan “cara-cara lain” seperti “imbauan pejabat pemerintah” (lebih tepat dikatakan sebagai larangan) untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Imbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telepon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh berbagai pihak dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya telepon” di kalangan pejabat. Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers mengakibatkan media menjadi lebih pragmatis, konten media menjadi mandul, dan lebih eufimistis dalam melakukan kritik terhadap penguasa. Sebelum memperoleh teguran dari penguasa, media melakukan self censorship terlebih dahulu. Pendapat berbagai kalangan tentang kondisi pers pada era Orde Baru ini antara lain dinyatakan bahwa pers Indonesia “tidak memiliki kebebasan pers sama sekali; pemerintah bertindak represif terhadap pers; dan pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan menyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan penguasa. Kondisi ini menyebabkan pers tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting. Pemberitaan pers cenderung bergaya eufimisme dalam menyampaikan kritik; dan pers menjauhi “kawasan terbatas”, kritik yang disampaikan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat agar SIUPP-nya tidak dicabut penguasa164. Pada era ini, tidak banyak terjadi pemberedelan, dan setelah peristiwa Malari tercatat hanya beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan,. Prioritas, dan majalah Tempo, Detik, serta Editor. Sabam Leo Batubara. Op cit., hlm. 9. Dirangkum dari berbagai tulisan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999 163 164 150 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Selama rezim Orde Baru ini, walaupun industri pers berkembang menjadi konglomerasi pers, tetapi kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali. 3. Kemerdekaan Pers (1999–sekarang) Gerakan reformasi yang terjadi pertengahan Mei 1998 merupakan titik balik dari pemerintahan Orde Baru dan membawa “angin segar” bagi kebebasan pers di Indonesia. Penyerahan kekuasaan oleh Soeharto kepada Habibie, telah membuka peluang demokrasi yang selama pemerintahan Orde Baru tidak berproses sebagaimana paham demokrasi itu sendiri. Pada awal pemerintahannya, Yunus Yosfiah yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan pada Kabinet Reformasi, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang membuka ‘keran’ kebebasan pers, yaitu dengan mencabut berbagai ketentuan hukum yang selama rezim Orde Baru dianggap membelenggu kebebasan pers, terutama: (1) Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP); dan (2) SK Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP. Kebijakan tersebut telah membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupan pers nasional secara bebas, tidak saja dalam menumbuhkan penerbitan secara horizontal tetapi juga memberi kebebasan dalam melaksanakan fungsi pengawasan sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru, dan sampai dengan akhir tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1.800-2.000. Wilayah penerbitan pers juga semakin luas, tidak hanya terpusat di ibu kota negara dan kota provinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan. Di bidang konten media, kebebasan pers pada awal reformasi ini berada dalam kondisi euforia yang ditunjukkan “....dalam isi, gaya Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 151 pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan”165 Kondisi euforia pers ini digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat “........ seperti kuda lepas dari kandangnya. Pers Indonesia meloncat-loncat, berlari tanpa arah, dan mendengus ke mana saja.... Banyak pengamat mengeluh, pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung jawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab”166 Euforia kebebasan pers ini mendapat perhatian dari Presiden B.J. Habibie dan menjadi salah satu topik bahasan dalam rapat kerja antara Deppen dan Komisi I DPR. Habibie mengingatkan pers agar tidak menebarkan benih disintegrasi. “Saya yakin sepenuhnya tidak satu pun di antara kita yang ingin media digunakan untuk membangkitkan emosi rakyat guna saling menghujat atau saling menjatuhkan dengan menyebar berita fitnah, atau hal lain yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik167. Sementara itu, kalangan FKP di Komisi I DPR menilai “......... banyaknya SIUPP baru yang dikeluarkan Deppen telah menyebabkan banyak penerbitan pers yang melanggar kode etik jurnalistik, menjadi provokator bagi tindakan brutal massa dan mengombang-ambing sikap masyarakat. Pers dianggap oleh para anggota FKP itu sudah kebablasan. Salah seorang anggota FKP DPR yang berasal dari kalangan pers, Sofyan Lubis juga memberikan penilaian senada, yang dalam salah satu pernyataannya mengungkapkan ..... Pers yang senang membuat berita yang memanaskan suasana. “Seperti judul-judul berita yang dibuat cenderung seram-seram. Bahkan ada kesan penulisnya 165 Hanif Suranto, et.al, Pers Indonesia Pasca Suharto¸ Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta. 1999. hlm.2. 166 Ibid. hlm. 29 167 Ibid. hlm. 30 152 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. membuat judul dulu, baru mencari beritanya. Berita ditulis cenderung superbebas sehingga tidak memperhatikan rambu-rambu Kode Etik Jurnalistik”.168 Terhadap berbagai tudingan tersebut, kalangan masyarakat pers mengemukakan berbagai pembelaannya, seperti yang dikemukakan antara lain oleh R.H. Siregar, Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar, bahkan Menteri Penerangan. Menteri Penerangan misalnya mengemukakan: ”Kekhawatiran anggota FKP mengenai kebebasan pers merupakan wujud perilaku status quo dan mencerminkan pemikiran Orde Baru yang harus ditinggalkan pada era reformasi. Terhadap pernyataan Habibie, R.H. Siregar mengungkapkan “.... pers tidak bisa dikatakan sebagai penyulut disintegrasi bangsa. Kalau memang faktanya betul, sumber informasinya kredibel dan kompeten, saya kira tidak salah. Dalam hal ini, Goenawan Mohamad juga mengungkapkan hal yang sama bahwa apa yang terjadi dalam pers Indonesia saat ini masih dalam batas kewajaran. “Memang ada satu-dua pers yang salah dalam mengartikulasikan kebebasan, tetapi itu tidak banyak.” Sementara itu, wartawan senior Rosihan Anwar mengingatkan bahwa sejak dibukanya keran kebebasan pers, makin santer keluhan berbagai pihak atas pemberitaan pers yang semakin bebas. “Ketika pers menyiarkan berita mengenai tuntutan mahasiswa yang berdemonstrasi dan menuntut pemberantasan KKN, adili Soeharto, hapuskan Dwifungsi ABRI, ganti Habibie dan sebagainya, ada pihak yang menghendaki agar kebebasan pers kembali kendur”. 169 Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya pengawasan pemerintah, tetapi hambatan nonpolitik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Namun, fenomena lain yang perlu mendapat perhatian kalangan Ibid. hlm. 30. Ibid. 168 169 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 153 pers adalah munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama maupun Orde Baru jarang terjadi. Hal itu mengindikasikan semakin baiknya tingkat literasi publik terhadap media dalam menggunakan hak hukumnya untuk mengawasi pers. B. Sistem Pers di Indonesia 1. Pers Liberal Media massa di satu negara mencerminkan sistem pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata lain, perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruh terhadap pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan. Wiio sebagaimana dikutip Martin mengemukakan: “In anything, differences in mass media roles and functions in different social system support a contingency view of communication. Lebih jauh Martin menjelaskan: “According to this view the communication process and outcomes are influenced by internal and external contingencies (situation) as well as by the degree of freedom of the work process of the system”.170 Menurut Siebert, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut, terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat pengetahuan dan kebenaran171. Hal ini adalah karena pers selalu mengambil bentuk dan warna yang sesuai dengan asumsi-asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh negara tempat pers tersebut berada172. Martin, et al, , Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York, 1983, hlm. 86. 171 Siebert, Fred S,.et.al., FourTheories of The Press, London, University of Illinois. 1973. London. Op.cit, hlm. 2 172 Abar, Akhmad Zaini, Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974, LkiS. 1995. 170 154 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Sejak kemerdekaan, Indonesia sudah mengalami beberapa kali pergantian sistem pemerintahan, mulai dari pemerintahan yang demokratis pada awal kemer­dekaan, pemerintahan yang liberal saat kabinet parlementer, dualisme pemerintahan selama masa penja­ jahan NICA/Sekutu yang otoriter dan peme­rin­tahan republik yang demokratis. Kemudian setelah beberapa tahun kembali lagi ke pemerintahan otoriter yang dikenal dengan rezim Orde Lama dan selama hampir 25 tahun era pemerintahan rezim Orde Baru Soeharto. Setelah Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya Perang (SOB) tanggal 14 Maret 1957 sehubungan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi, diikuti Dekrit Presiden 1 Juli 1959, sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia adalah pemerintahan yang otoriter. Sistem pers yang berlaku di Indonesia mulai saat itu juga menganut paham otoritarian yang ditandai dengan terjadinya berba­gai tindakan antipers. Kondisi demikian paling tidak berlangsung sampai awal pemerintahan Orde Baru, saat pemerin­ tahan mengalami masa transisi untuk kembali melak­sanakan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa transisi ini, sistem pers di Indonesia cenderung menganut paham Libertarian, pers dengan bebas dapat melakukan kritik ter­hadap penguasa dan mendukung perjuangan maha­siswa “menghabisi” rezim Orde Lama. Akan tetapi, kebebasan ini tidak bertahan lama, karena setelah peme­rintahan rezim Orde Baru merasa cukup kuat, rezim pemerintahan Soeharto mulai melakukan pem­batasan terhadap berbagai bidang kehidupan, sehingga pers Indonesia kembali ke paham otoritarian. Reformasi yang diawali pertengahan 1997 dengan puncaknya Mei 1998, mengusung tiga tuntutan masyarakat, yaitu demokratisasi, keterbukaan, dan supremasi hukum. Terjadinya penyerahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie telah mengubah sistem peme­ rintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Selama Yogyakarta, hlm. 21. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 155 era pemerintahan Presiden Habibie, terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap kebebasan pers. Saat diundangkannya UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menu­rut berbagai kalangan, undang-undang ini terlalu ‘liberal’, tetapi digunakan sampai sekarang. 2. Pers Bebas dan Bertanggung Jawab Pada awal tahun 1980-an, pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The Press. Di negara asalnya, teori ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theory yang sangat bebas dan terlalu terbuka sehingga kebebasan mengabaikan etika. Hal itu dikemukakan Komisi Kebebasan Pers Amerika dalam A Free and Responsibility Press (1947) dan William E. Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian), tetapi teori ini “tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media tentang fungsi itu”173. Dalam menerapkan teori ini di Indonesia, muncul permasalahan besar, yaitu adanya perbedaan persepsi terhadap kedua hal pokok, yaitu tentang “bebas” dan “tanggung jawab”. Bebas dimaksudkan apakah seperti apa yang dikehendaki kaidah jurnalistik atau seperti yang dikehendaki pemerintah yang tidak punya standar yang jelas. Demikian pula halnya dengan “tanggung jawab”. Pers harus bertanggung jawab kepada siapa, apakah kepada masyarakat yang memerlukan informasi secara terbuka atau kepada pemerintah dengan pende­katan keamanan (security approach). Tidak adanya batasan yang jelas tentang arti kebe­basan dan tanggung jawab ini memberi keleluasaan kepada penguasa untuk mengeluarkan berbagai aturan hukum untuk mengatur pers. Pemerintah menge­luarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Fred Siebert, S,.et.al.Op cit., hlm. 74. 173 156 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. yang mengatur kehidupan pers, sebagai perubahan atas UndangUndang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan seperangkat ketentuan hukum yang pada intinya bersifat represif membatasi kebebasan pers. Salah satu yang paling ditakuti oleh penerbitan pers saat itu adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran dari UU Nomor 21 Tahun 1982. Melalui ketentuan ini, Menteri Penerangan memi­liki wewenang yang cukup besar dalam mengen­dalikan kebebasan penerbitan pers di Indonesia, yang menurut versi pemerintah dikatakan sebagai ‘pembinaan’ tetapi dimanifestasikan dengan “pemberedelan”, yaitu men­cabut SIUPP penerbitan pers. Pada umumnya, dasar pencabutan SIUPP adalah demi keamanan negara dan demi kelangsungan pembangunan, walaupun pada kenyataannya penerbitan pers yang diberedel isinya hanya memberitakan masalah pribadi pejabat atau keluarganya. Sementara beberapa penerbitan pers yang dicabut SIUPP-nya tidak lagi diberi kesempatan untuk terbit kembali. Bertanggung jawab dapat diartikan sebagai ke­ mam­ puan menerima atau memikul tanggung jawab yang timbul dari kesadaran dan kemauan sendiri, atau akibat yang semata-mata karena perbuatan sendiri. Dengan kata lain, bertanggung jawab adalah kemam­puan menerima atau memikul hak dan kewajiban atas dasar kebebasan (free will), bukan yang timbul karena suatu tekanan, keterpaksaan, atau ketidakberdayaan. Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang bebas atau merdeka menentukan sendiri hak dan kewa­ jibannya tanpa suatu tekanan, keterpaksaan, atau keti­dakberdayaan. Pers semacam ini hanya ada kalau ada kemerdekaan pers (freedom of press). Tanpa kemer­dekaan, segala bentuk pertanggungjawaban pers akan bersifat semu sebagai manifestasi tekanan, keter­paksaan, atau ketidakberdayaan. Kedudukan, peran dan pertanggungjawaban Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 157 pers yang tidak merdeka semata-mata ditentukan oleh kehendak pihak yang dominan dengan pilihan menjadi martir atau sebagai alat kekuasaan.174 Pers merdeka memerlukan kebebasan, dan kebe­basan memerlukan demokrasi. Tanpa demokrasi tidak pernah ada kemerdekaan atau kebebasan pers. Karena itu, siapa pun yang menghendaki pers merdeka, harus­ lah menjadi atau pendukung demokrasi (the real democracy, bukan crypto democracy). Selain memerlukan kemerdekaan, pers yang bertanggung jawab haruslah pers yang sehat yaitu pers yang menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara benar, tepat, teratur, dan tertib. Mewujudkan pers yang bertanggung jawab tentu tidak terlepas dari rambu-rambu hukum yang harus dijalankan agar informasi atau berita yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara etika profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pers yang sehat dalam arti pers yang bertanggung jawab memerlukan berbagai persyaratan dan tuntutan yang harus diikuti, yaitu:175 1). Tuntutan etik: tugas atau pekerjaan jurnalistik atau kewartawanan adalah tugas atau pekerjaan profesi. Pedoman pertama dan utama setiap peker­jaan profesi adalah etika yang akan menuntun pelaksanaan tugas atau pekerjaan dengan baik sesuai dengan ciri-ciri profesi. Tuntutan etik profesi bukan saja mengacu pada moral (layak atau tidak layak, patut atau tidak patut), melainkan men­cakup pula tuntuan disiplin dan tanggung jawab. 2). Tuntutan kesantunan atau sopan santun: ada perbedaan antara tuntutan etik dan tuntutan sopan santun. Tuntutan etik adalah tuntutan yang lebih bersifat rohaniah dan pribadi (personal), sedangkan sopan santun adalah tuntutan tingkah laku sosial dan Bagir Manan. Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum. Penerbit Dewan Pers.Jakarta. 2010, hlm.32. 175 Ibid.,hlm.33. 174 158 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. berstandar pada budaya lingkungan atau tempat tertentu. 3). Tuntutan hukum; Wartawan atau pelaku pers, baik sebagai pelayan publik, maupun sebagai unsur kekuasaan sosial (social power) hanya akan hidup dan menikmati kemerdekaan (kebebasan), kala ada (dalam) demokrasi dan negara hukum (democracy under the rule of the law, democratische rechtsstaat). Pers sebagai pelayan publik dan unsur kekuasaan sosial hendaknya menjadi simbol kepatuhan terhadap hukum, dan menjadi pendorong ketaatan pada hukum. 4). Tuntutan integritas; Integritas adalah sikap dan tingkah laku untuk berbuat dengan cara-cara terbaik dan terhormat untuk menghasilkan yang terbaik. 5). Tuntutan cita-cita; Wartawan atau pelaku pers harus memiliki dan bekerja atas dasar suatu cita-cita atau idealisme yang akan menjadi bintang pemandu kemajuan dan menjalankan tugas jurnalistik dengan baik sebagai pembawa informasi, pertukaran pikiran, dan berbagai tuntutan kemanusiaan atau sosial dalam satu masyarakat demokratik. Pers sebagai pelayan publik dan sosial hendaknya menjadi simbol kepatuhan terhadap hukum, dan pendorong ketaatan pada hukum. Untuk itu, pers yang sehat dan bertanggung jawab memerlukan berbagai persyaratan serta pedoman yang harus diikuti, yaitu:176 Pertama setiap pekerjaan profesi adalah etika yang akan menuntun pelaksanaan tugas atau pekerjaan dengan baik sesuai dengan ciri-ciri profesi. Tuntutan etik profesi bukan saja mengacu pada moral (layak atau tidak layak, patut atau tidak patut), melainkan mencakup pula tuntutan disiplin dan tanggung jawab. Oleh karena itu, kode etik disebut juga sebagai aturan disiplin (disciplinary rules), aturan tingkah laku (code of conduct). Bagi wartawan atau pelaku pers, tuntutan etik meliputi hal-hal menjaga objektivitas, berimbang, tidak Ibid.,hlm.33. 176 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 159 berpihak, kejujuran (fairness), cover both sides, berita semata-mata berdasarkan fakta, menjauhi kebohongan, menjauhi fitnah, menjauhi berita yang bersifat menghukum (menghakimi). Menjauhi cara-cara intimidasi dan bertanya yang menekan, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, baik terhadap subjek berita maupun orangorang yang berkaitan dengan subjek berita. Kedua, selain etik juga tuntutan kesantunan atau sopan santun (code of conduct). Memang, secara teoretis antara tuntutan etik dan sopan santun terdapat perbedaan. Tuntutan etik adalah tuntutan yang lebih bersifat rohaniah dan pribadi (personal), sedangkan sopan santun adalah tuntutan tingkah laku sosial dan berstandar pada budaya lingkungan atau tempat tertentu. Setiap wartawan atau pelaku pers sangat perlu menjaga sopan santun saat menjalankan tugas jurnalistik. Menghindari konflik atau sikap permusuhan yang akan menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik. Ketiga, persyaratan lainnya pers harus memiliki integritas. Yang dimaksud dengan integritas adalah sikap dan tingkah laku untuk berbuat dengan cara-cara terbaik dan terhormat untuk menghasilkan yang terbaik. Integritas adalah harkat kemuliaan (dignity) dan kehormatan (honesty) untuk senantiasa mengusahakan dan mencapai yang terbaik. Integritas bertalian dengan attitude dan character yang mencakup nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, kejujuran (fairness), dapat dipercaya atau amanah. Wartawan atau pelaku pers harus memiliki dan bekerja atas dasar suatu cita-cita atau idealisme yang akan menjadi pemandu dalam menjalankan tugas jurnalistik dengan baik sebagai pembawa informasi, dan pertukaran pikiran. 3. Kemerdekaan Pers yang Profesional Tuntutan profesional pers dalam mengemban kemer­dekaan pers juga makin didorong oleh persaingan antarusaha pers yang makin meningkat. Ada yang mengatakan, pemberitaan pers yang buruk akan 160 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. ditinggalkan masyarakat. Masyarakat hanya akan memilih keluaran pers yang baik.177 Pers harus menyadari konsep kemerdekaan pers tidaklah bersifat mutlak. Dalam konsep hak asasi manusia, kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated right atau hak yang dapat diabaikan/dibatasi. Kemerdekaan, seperti kebebasan pers (freedom of the press) atau kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of opinion and expression) serta kebebasan berbicara (freedom of the speech) adalah beberapa di antara hak asasi yang paling mendasar. Sama mendasarnya dengan hak untuk hidup yang mencakup hak untuk mencari nafkah dan memperoleh upah yang sesuai dengan jerih payah yang diberikan. Di Indonesia, Pasal 28 UUD 1945 mencantumkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran atau pendapat agar kehidupan demokrasi dapat ditumbuhkan. Tepatnya Pasal 28 UUD 1945 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang.” Apa yang disebutkan dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut, pada hakikatnya merupakan akar sistem dari kebebasan pers Indonesia. Dengan demikian, pasal tersebut menentukan bentuk dan isi konsep dasar dari sistem kebebasan pers tersebut. Pelaku pers terutama wartawan profesional dituntut memiliki kompetensi tinggi, baik kompetensi penge­ tahuan, kompetensi keterampilan, ataupun kompetensi etik. Selain sebagai syarat profesional, kompetensi yang tinggi juga berjalan seiring dengan tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan maju, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, serta tuntutan yang mengglobal. Tanpa kompetensi yang tinggi dan sikap serta tindakan yang profesional, pekerja pers khususnya wartawan tidak akan dapat menghasilkan keluaran (output) jurnalistik yang dihargai masyarakat. Baik berdasarkan pekerjaan, perkembangan pers, tuntutan, maupun perkembangan baru, haruslah dila­ kukan upaya terusBagir Manan. Op cit. hlm.37. 177 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 161 menerus untuk meningkatkan kom­petensi pers nasional kita. Usahausaha itu wajib dilakukan perusahaan pers, organisasi wartawan, orga­ nisasi perusahaan pers, lembaga-lembaga pendi­ dikan dan pelatihan pers, dan Dewan Pers. Kegiatan meningkatkan kompetensi dapat dilakukan dengan aneka ragam bentuk, seperti pendidikan dan pelatihan, pertemuan-pertemuan ilmiah, lokakarya, diskusi dan sebagainya. Salah satu segmen yang sangat penting untuk meningkatkan kompetensi pers adalah kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi jurnalistik, dan mendorong berbagai kegiatan sosial pers, termasuk mendorong pengembangan pers kampus. Pelaku pers terutama wartawan yang tidak memiliki kompetensi tinggi, baik kompetensi pengetahuan, kompetensi keterampilan, maupun kompetensi etik akan merusak citra kebebasan pers karena tidak memahami UU Pers dan kode etik jurnalistik. Seperti artikel yang pernah ditulis oleh Rosihan Anwar di harian Kompas 9 Februari 2002 dengan judul “80% Wartawan Memeras” yang menyatakan banyaknya wartawan yang melakukan pemerasan, yang berarti suatu kemorosotan akhlak dan moral yang luar biasa.178 Keprofesionalan pers akan pengetahuan dan keterampilan jurnalistik, tentu tidak akan terlepas dari sumber daya pelaku pers yang umumnya memiliki kemampuan atau kompetensi tersebut bukan berasal dari sumber pendidikan dan atau pelatihan pers tetapi tumbuh atas dasar learning by doing. Oleh karena itu, sangat perlu usaha meningkatkan secara terus- menerus pengetahuan dan keterampilan jurnalistik pelaku pers mengenai sikap dan karakter, terutama berkaitan dengan Kode Etik Jurnalistik. Sebagai pekerja profesional, setiap pelaku pers harus mengetahui dengan baik dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah mahkota pelaku pers (sebagaimana kode etik bagi profesi lain). Dalam kenyataan, masih sangat banyak pelaku pers terutama wartawan yang belum membaca apalagi menguasai kode etik jurnalistik yang sangat Sabam Leo Batubara. Op cit. hlm.158. 178 162 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. berpengaruh terhadap pelanggaran kode etik jurnalistik. Dalam menghadapi berbagai tuntutan serta perkembangan baru, pelaku pers harus berusaha meningkatkan kompetensi pers nasional. Usaha-usaha ini wajib dilakukan perusahaan pers, organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan pers serta Dewan Pers. Kegiatan meningkatkan kompetensi kemerdekaan pers yang profesional dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, pertemuan-pertemuan ilmiah, lokakarya, diskusi dan sebagainya. C. Ruang Lingkup Kemerdekaan Pers Secara ringkas terdapat sejumlah asumsi dasar yang melandasi gagasan kemerdekaan pers:179 a. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk pencarian kebenaran. Sejarah umat manusia menunjukkan ketika ada masa di mana terdapat lembaga/orang pemegang otoritas kebenaran, lembaga/orang tersebut potensial menghalangi proses pencarian kebenaran, dengan beragam alasan (Contoh : gereja pra-pencerahan). b. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk mengontrol penguasa, karena menurut Lord Acton: “Kekuasaan Cenderung Korup, dan Kekuasaan Absolut Mutlak Korup!” c. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang memiliki pengetahuan memadai tentang lingkungan sehingga dapat mengambil keputusan secara rasional dalam proses pengambilan keputusan – prasyarat bagi keterlibatan publik dalam proses politik. d. Kemerdekaan pers dibutuhkan dalam rangka men­ ciptakan apa Ade Armando, Kemerdekaan Pers Bukan Kemerdekaan Absolut. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasonal VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 – 18 Juli 2000, hlm.1. 179 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 163 yang disebut sebagai public sphere yakni sebuah ruang bebas di mana beragam suara yang bertentangan dapat terwadahi secara merdeka dan otonom. Seperti terlihat, kemerdekaan pers diasumsikan memiliki makna vital karena adanya kondisi-kondisi yang dibutuhkan demokrasi yang hanya dimungkinkan kalau kemerdekaan pers ada. Para jurnalis memang diberi hak istimewa untuk secara bebas mengumpulkan informasi dalam kondisi-kondisi yang tak dimiliki warga kebanyakan, tetapi pada akhirnya jurnalis juga adalah warga negara yang harus tunduk pada hukum yang berlaku untuk seluruh warga lainnya. Kemerdekaan pers merujuk pada kemerdekaan untuk mengumpulkan dan menyiarkan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kata kuncinya adalah kepentingan publik, kemaslahatan masyarakat. Informasi di luar itu tidak penting untuk dilindungi. Karena itu, kemerdekaan pers tak ada kaitannya sama sekali dengan, misalnya, penyebaran pornografi, penyebaran fitnah, penghinaan, dan sebagainya. Menyertakan penye­baran segala macam informasi sampah ke dalam kemer­de­kaan pers adalah pengkhianatan dan penghinaan terha­dap mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan tersebut. Kemerde­ kaan pers misalnya tidak melindungi pihak-pihak yang sekadar ingin menyiarkan informasi tanpa peduli akan arti “tanggung jawab”. Kemerdekaan pers untuk menyiarkan informasi, tidak mencakup kebebasan untuk menyiarkan kabar bohong. Dalm hal ini, argumen tentang “hak jawab” adalah hak yang bisa digunakan, tetapi bisa juga tidak. Bila pers bohong, atau tidak menyiarkan informasi yang tidak akurat, dan bisa dibuktikan bahwa informasi tersebut memang tidak akurat dan sengaja disebarkan untuk merugikan kepentingan pihak lain, pers pantas dihukum. Kemampuan pers dalam menjalankan peranannya tersebut banyak bergantung kepada seberapa jauh kemerdekaan diperolehnya dari pemerintah dan kekuatan-kekuatan lain. Hanya pers yang bebas yang dapat melayani masyarakat yang demokratis. Ia harus 164 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bebas mengkritik dengan bijaksana dan benar tingkah laku para pejabat dan ia harus mempunyai hak untuk mengetahui aktivitas pernerintahan. 1. Tujuan Kemerdekaan Pers Inti dari demokrasi adalah kepercayaan bahwa akal, kebijaksanaan, dan karakter dari sebagian besar masyarakat akan membawa ke keadaan yang lebih baik dan lebih memuaskan. Akan tetapi, masyarakat dalam alam demokrasi hanya dapat berfungsi jika kepadanya diberikan faktafakta yang benar mengenai lingkungan tempat dia hidup. Jika rakyat tidak mendapat informasi yang benar mengenai persoalan persoalan mereka, maka mayoritas dari mereka yang memerintah bukan saja tidak dapat mengambil keputusan, bahkan bisa membuat keputusan yang salah. Kemampuan pers dalam menjalankan perannya tersebut banyak bergantung pada seberapa jauh kemerdekaan diper­olehnya dari pemerintah dan kekuatan kekuatan lain. Hanya pers bebas yang dapat melayani masyarakat yang demokratis. Ia harus bebas mengkritik dengan bijaksana dan benar tingkah laku para pejabat dan ia harus mempunyai hak untuk mengetahui aktivitas pemerintahan. Namun, kebebasannya harus diiringi tujuan yang hendak dicapai, yang sama pentingnya dengan kebebasan itu sendiri. Pers harus mengemukakan kebenaran. Ia tidak cukup memuat tentang body contest, mengutip pendapat seorang terkemuka tentang sesuatu kontroversi atau mengutip secara lengkap pesan seorang eksekutif, pers harus menguraikan arti dari informasi yang ia berikan dan menempatkannya dalam hubungan masa depan yang lebih baik. Pers dalam masyarakat demokratis mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan sistem demokrasi itu sendiri. Ia mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi kepada legislator, pejabat, dan warga negara pada umumnya. Sebaliknya ia mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas pemerintahan dalam setiap tingkatan. Pers mampu menjadikan dirinya sebagai Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 165 forum pertukaran pandangan dan kritik. Pers harus mampu menolong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memperbaiki diri. Pers harus mampu memperbaiki dirinya sendiri sehingga dapat memberitakan sesuatu secara tepat, benar, fair dan terhormat. Pada akhirnya, pers yang bebas harus mampu berdiri sendiri, lepas dari hambatan hambatan-pemerintah atau kekuatan dari struktur ekonomi tempat dia menjadi salah satu bagian. Kebebasan pers harus dijaga dari penerbit yang hanya bertujuan untuk mencari uang. Tujuan kemerdekaan pers tanpa disadari dapat dibatasi oleh, misalnya, kebutuhan akan iklan. Di samping itu pers bebas yang menumbuhkan penerbitan-penerbitan luas dan besar jangan mematikan pers lokal yang mempunyai perhatian lebih besar terhadap masalah-masalah di lingkungan mereka. Berkembangnya media massa haruslah diiringi dengan kesadaran tentang peranan mereka dalam masyarakat. Konsep ini melahirkan serangkaian peraturan, di mana pers harus obyektif dan menjunjung tinggi kebenaran, kehormatan, dan rahasia pribadi serta melindungi kepentingan tertinggi dari negara. Tradisi demokrasi kemerdekaan pers memerlukan sedikit mungkin peraturan dan mendapat kepastian hukum melalui suatu pengadilan yang bebas. Di banyak negara berkembang, pers seperti berjalan di tepi mata pisau, di bawah serangkaian pembatasan dan tekanan. Jika pers hendak memberikan sumbangannya kepada kemajuan nasional, maka baik pers maupun pemerintah hendaknya mengembangkan hubungan saling memer­cayai daripada hubungan yang antagonistis yang penuh dengan kecurigaan. Dalam ketiadaan ketentuan, pers memutuskan sendiri apa yang ia anggap bijaksana. Ia harus kembali pada keterikatannya kepada bangsa, masyarakat, dan profesinya.180 Erman Rajagukguk. Op cit. 180 166 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 2. Fungsi Kemerdekaan Pers Kebebasan pers selalu dihubungkan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, suatu bagian hak manusia yang paling asasi. Persoalan selalu timbul tentang “kebebasan” yang bagaimana dan sejauh mana? Penafsiran ekstrem dilakukan William O. Douglas. Dia cenderung memandang bahwa kemerdekaan pers adalah absolut atau tanpa batas.181 Di pihak lain, banyak pendapat yang menyatakan bahwa kemerdekaan pers dibatasi oleh fungsi sosial. Dalam. pengertian yang terakhir ini, kebebasan pers, misalnya, tentu tidak akan melindungi hak media massa yang mengeksploitasi seks, menggunakan bahasa yang tidak senonoh, atau memuat berita berita sensasional. Kebebasan pers acap kali juga dihubungkan dengan hak masyarakat untuk mengetahui. Akan tetapi, menurut pandangan yang moderat, tanggung jawab pers bebas selalu menuntut pertimbangan hak masyarakat untuk mengetahui apa? Sejauh mana? Apakah masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui nama seorang korban pemerkosaan, nama seorang terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan, atau apakah umum mempunyai hak untuk mengetahui kehidupan pribadi tetangganya? Pers dalam menyiarkan suatu berita harus mempertimbangkan kondisi etik, psikologi, dan masa depan seseorang. D. Asas-asas Pers yang Baik dalam Industri Media Massa Berbagai referensi menjelaskan, pengertian asas ada­ lah prinsipprinsip pokok dan bersifat umum. Karena me­nyangkut hal pokok, asas dikatakan sebagai prinsip dasar, bahkan karena pentingnya, Djuhaendah Hasan menye­­but­kan asas adalah roh. Pada umumnya, asas demokratis terkait dengan hal-hal pokok, seperti dalam “asas-asas pe­nyelenggaraan 181 Erman Rajagukguk. Op cit., Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 167 negara”182 meliputi; (1). Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meng­uta­makan landasan peraturan perundang-undangan, kepa­­tutan, dan keadilan dalam setiap penyelenggaraan negara; (2). Asas tertib penyelenggaraan negara yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan ke­se­imbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara; (3). Asas kepentingan umum yaitu asas yang men­­dahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. (4). Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; (5). Asas proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara; (6). Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (7) Asas profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan; sedangkan asas demokrasi yang dikandung dalam pers atau kode etik jurnalistik, antara lain meliputi: a. keharusan menghasilkan berita yang berimbang, b. keharusan bersikap independen, c. kewajiban melayani hak jawab, d. kewajiban melayani hak koreksi. Adapun wartawan dalam menjalankan profesinya dituntut untuk bertindak sesuai dengan asas adil, fair, dan berimbang. Walaupun mungkin wartawan memiliki pandangan yang berbeda, dalam menjalankan profesinya wartawan harus tetap bertindak adil, fair, dan berimbang dalam pemberitaan. Hal itu harus diupayakan semaksimal mungkin sampai batas-batas yang memungkinkan. Ini akan menghasilkan keanekaragaman informasi. Semua itu supaya berita tetap demokratis, dan dengan begitu masyarakat memperoleh berita dari berbagai sudut pandang dan dapat Op.cit, RPJMN 2004-2009, hlm.509-510 182 168 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. memberikan penilaian. Wartawan yang tidak bersikap demokratis dalam beritanya adalah wartawan yang tidak menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis akan menyediakan informasi yang layak bagi warga. Sebaliknya, dalam pemerintahan yang tidak demokratis, sistem komunikasi media massa yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Apabila hal ini terjadi, jelaslah pemerintahan yang mengabaikan layanan informasi pers bertentangan dengan asas demokratis. Media sebagai salah satu sumber informasi publik diharapkan bisa menjadi alat untuk mendorong berjalannya ketiga prinsip good governance (prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi). Harus diakui, melalui medialah serangkaian peristiwa, opini, dan realitas dapat disajikan dalam bentuk informasi kepada masyarakat. Dengan menyajikan asas berita-berita aktual dari ber­bagai isu yang berkaitan dengan praktik-praktik korupsi, hukum, politik, dan sebagainya, tampak bahwa sesungguhnya media memiliki kontribusi yang esensial dalam mendukung proses pembangunan demokrasi. Terlebih, saat ini kita sedang berada dalam masa transisi demokrasi yang salah satu jalannya melalui pembaruan tata pemerintahan. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi media massa untuk mendukung proses pembaruan tata pemerintahan yang baik melalui berita-berita informatif, cerdas, kritis, dan bertanggung jawab. Beberapa acuan asas pers yang baik terkait dengan kegiatan jurnalistik dalam pemberitaan yang bertanggung jawab, yakni: 1. Asas Moralitas Wartawan bukan saja harus menyadari bahwa profesi wartawan atau jurnalistik memiliki landasan moral yang kuat, tetapi juga moralitas yang sudah harus mendarah daging dalam diri wartawan. Dengan demikian, semua karya jurnalistik wartawan, apa pun bentuknya, harus dilandasi moralitas yang kuat. Ini juga sekaligus menunjukkan betapa dalam diri wartawan ada tanggung jawab moral yang tinggi. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 169 Wartawan yang melaksanakan profesi tanpa moralitas atau dengan standar moral yang rendah berarti mengingkari jati dirinya sendiri. 183 Kandungan moralitas dalam KEJ, antara lain: a. wartawan tidak boleh beriktikad buruk, b.wartawan tidak boleh membuat berita cabul dan sadis, c.wartawan tidak menyebut identitas korban kesusilaan, d. wartawan tidak menyebut identitas anak-anak sebagai pelaku kejahatan, e. wartawan tidak berprasangka dan diskriminatif terhadap perbedaan jenis kelamin, bahasa, suku agama, dan antargolongan (SARA). f. wartawan tidak merendahkan martabah orang lemah, miskin, dan sakit (jasmani dan rohani), g. wartawan tidak menerima suap, h. wartawan menghormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan umum, i. wartawan melaksanakan kewajiban koreksi, yakni mencabut dan meralat jika mengetahui ada pembuatan berita yang keliru atau tidak benar, walaupun tidak ada yang meminta bahkan jika perlu disertai dengan permintaan maaf. 2. Asas Profesionalitas Asas profesional adalah nilai-nilai profesionalitas apa saja yang dikandung dalam KEJ dan mengapa nilai profesionalitas itu harus ada. Dalam hal ini, asas profesionalitas yang dimaksud antara lain: a.wartawan harus membuat berita yang benar, b. wartawan menunjukkan identitas kepada narasumber, c. wartawan menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, d. wartawan selalu menguji informasi, e. wartawan dapat membedakan fakta dan opini, f. wartawan tidak membuat berita bohong dan fitnah, g. wartawan mencantumkan waktu peristiwa dan atau pengambilan/penyiaran gambar h. wartawan menghargai ketentuan embargo, off the record, informasi latar belakang (background information), i. wartawan harus menjalankan reka ulang. Wirna Armada. Cara Mudah Memahami Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers. Penerbit Dewan Pers. 2008. Log.Cit hlm.41. 183 170 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 3. Asas Demokratis Asas demokrasi adalah nilai demokratis apa saja yang dikandung oleh KEJ dan mengapa harus ada nilai demokratis itu. Dalam hal ini, asas demokratis yang dimaksud antara lain meliputi: a. keharusan menghasilkan berita yang berimbang, b. keharusan bersikap independen, c. kewajiban melayani hak jawab, d. kewajiban melayani hak koreksi. Terkait dengan latar belakang dan golongan wartawan, dalam menjalankan profesinya, wartawan dituntut bertindak adil, fair, dan berimbang. Walaupun mungkin wartawan memiliki pandangan atau golongan yang berbeda, dalam menjalankan profesinya, wartawan harus tetap bertindak adil, fair, dan berimbang dalam berita-beritanya. Hal itu harus diupayakan semaksimal mungkin sampai batas-batas yang memungkinkan. Itu akan menghasilkan keanekaragaman informasi. Semua itu supaya berita tetap demokratis, dan dengan demikian masyarakat memperoleh berita dari berbagai sudut pandang dan dapat memberikan penilaian. Wartawan yang tidak bersikap demokratis dalam beritanya adalah wartawan yang tidak menaati KEJ. 4. Asas Supremasi Hukum Benar bahwa etika dan hukum memiliki karateristik yang sangat berbeda, sehingga ruang lingkup dan sanksinya juga sangat berbeda. Namun, nilai kode etik dapat saja mengadopsi atau mendukung suatu nilai hukum tertentu sebagai bagian dari moral itu sendiri. Dengan demikian, eksistensi hukum yang dimaksud adalah yang didukung oleh nilai moral yang ada dalam etika. Oleh karena itu, ada istilah terkenal quid leges sines moribos ”apalah artinya hukum tanpa moral”.184 Dalam hal ini, yang dimaksud dengan asas hukum dalam KEJ adalah nilai hukum mana saja yang diadopsi dan atau didukung oleh Ibid.,hlm.44. 184 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 171 KEJ dan mengapa hal tersebut terjadi. Asas hukum yang dimaksud, antara lain: a. wartawan tidak boleh melakukan plagiat, b. wartawan menghormati asas praduga tidak bersalah, c. wartawan memiliki hak tolak, d. wartawan tidak menyalahgunakan profesinya. 5. Asas Keadilan Asas keadilan ini mencakup, bahwa jurnalis wajib menyajikan berita yang adil dan seimbang. Pers harus mampu menjadi agents of reforms dan kebijakan media harus independen, mencerminkan suara hati bangsa, bebas dari tekanan, kekangan, campur tangan penguasa di pusat dan di daerah, conflict of interests. Pers nasional harus dapat menjawab tantangan itu dengan kinerja yang profesional yang dilandasi semangat memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Keadilan hanya akan terwujud manakala pers dalam menjalankan tugasnya benar-benar memperlakukan narasumber secara adil. Artinya, dalam pemberitaan, wawancara ataupun bentuk kegiatan pemberitaan lainnya, harus dilaksanakan dengan prinsip sama rata yang dilandasi pengabdian. Contoh implementasi dari asas keadilan ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 97 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yaitu media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil serta seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Keadilan dalam pelayanan terimplementasi dalam bentuk pemberitaan, kesempatan menggunakan pers atas dasar kesepakatan dan ruang yang sama bagi semua peserta pemilu. Jika partai A mendapat porsi pemberitaan setengah halaman, maka partai B juga harus mendapat porsi yang 172 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. sama. Pelayanan seperti inilah yang dituntut undang-undang. Dengan alasan apa pun, pers tidak boleh berlaku tidak adil. Ini perlu digarisbawahi karena untuk mengukur adil-tidaknya institusi pers sangatlah mudah. Intensitas pemberitaan partai tertentu dan kolom yang diberikan dapat dijadikan ukuran adil-tidaknya pelayanan pers terhadap partai politik. 6. Asas Kepastian Hukum Adanya Pasal 8 UU Pers yang berbunyi: “Dalam me­lak­­sanakan profesinya, wartawan dapat mendapat per­lindungan hukum”, bukan­ lah tanpa maksud terten­tu. Pencantuman pasal ini tidaklah dapat disama­ kan dengan perlindungan hukum umum yang diberikan kepada setiap orang. Ketentuan perlindungan ini bersifat sangat khusus buat pers, dan karena itu menjadi sangat berarti. Dalam penjelasan Pasal 8 UU Pers diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” adalah jaminan perlin­ dungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melak­sanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama pers menja­ lankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranan sebagaimana diatur dalam undang-undang itu, wartawan harus mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah atau masyarakat. Makna perlindungan dalam pasal ini menjadi dasar pembenar terhadap tugas-tugas jurnalistik wartawan dengan dasar-dasar pembenar untuk profesi lainnya. Ketika wartawan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, wartawan juga sedang menjalankan keten­ tuan perundang-undangan dan karena itu wartawan tidak dapat dihukum. Banyak yang berang­gapan bahwa wartawan yang sedang melakukan investigasi tidak dilindungi undang-undang. Jika keten­ tuan Pasal 8 UU Pers disimak dengan baik, apa yang dinamakan proses investigative reporting merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik dan Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 173 karena itu sesuai dengan peraturan yang berlaku, kegiatan investigasi tetap dilindungi oleh hukum. Dengan adanya kepastian perlindungan hukum dalam Pasal 8 sebagai salah satu “mahkota” UU Pers, berarti otomatis demi hukum setiap wartawan yang menjalankan tugasnya, sepanjang sesuai dengan standar, sudah melekat mendapat perlindungan hukum. Artinya, ketika menjalankan tugasnya, wartawan tidak boleh dihukum, baik selama pencarian bahan maupun setelah beritanya disiarkan.185 Dalam pengertian lain pasal ini, wartawan dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dituntut. Alasannya, dalam hal ini undang–undang dengan jelas telah memberikan kekhususan kepada profesi wartawan dengan memberikan per­ lin­­ dungan hukum ketika menjalankan tugasnya. Berdasarkan hal ini pula, wartawan jika mengejar-ngejar narasumber dan pejabat, tidak boleh dihukum. 7. Asas Nasionalisme Menurut asas ini, pers juga harus bersifat nasionalis yaitu tidak menutup mata apabila ada persoalan bangsa. Asas nasionalisme tersebut adalah: 1) mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara, 2) memperhatikan keselamatan dan keamanan bangsa, 3) memperhatikan persatuan dan kesatuan negara. 8. Asas Kekeluargaan Asas kekeluargaan dalam pers adalah kemampuan pers untuk membuat masyarakat merasa menjadi anggota suatu kelompok. Misalnya, pada acara yang ditayangkan televisi, seorang gadis yang menderita karena penyakit leukemia, gadis tersebut hampir putus asa karena penyakitnya tidak kunjung sembuh. Setelah tayangan program tersebut di televisi, banyak pemirsa yang bersimpati dan menyerahkan bantuan sebagai bentuk rasa simpati kepada gadis yang menderita penyakit tersebut. Wina Armada Sukardi, Op.Cit, hlm. 198. 185 174 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. E. Peran Pers yang Baik dalam Kemerdekaan Pers Dalam konteks kehidupan sosial, peran media diperlukan untuk memberikan informasi berbagai masalah yang ada dan berkembang di tengah masyarakat, sekaligus dimanfaatkan sebagai jendela untuk melihat permasalahan yang ada melalui peran media, apakah jelas dan sudah memadai. Media sebagai cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, merefleksikan apa adanya. Memandang media sebagai filter yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau bentuk konten lain berdasarkan standar yang dimiliki. Pada satu sisi, media massa juga sering kali dianggap sebagai guide, penunjuk jalan, atau interpreter yang menerjemahkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam. Sementara di sisi yang lain, publik melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai bentuk informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga terjadi tanggapan dan umpan balik yang positif dan mungkin solutif terhadap beragam masalah yang ada. Media tidak hanya sebagai jembatan tempat lalu lalangnya informasi, tetapi juga sebagai partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif. 1. Wahana Informasi yang Positif Salah satu hak pers adalah menyampaikan informasi. McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories merangkum pandangan khalayak terhadap peran media massa sebagai wahana informasi yang positif. Menurut McQuail, ada enam perspektif dalam hal melihat peran pers yang baik, yaitu :186 1). Media massa sebagai jendela sumber informasi. Media dipandang sebagai jendela yang memung­ kinkan khalayak “melihat“ apa yang terjadi di luar, atau media juga dapat berperan sebagai media pembelajaran untuk mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam konteks kehidupan sosial, Denis McQuail. Op cit., hlm. 66. 186 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 2. 3. 4. 5. 6. 175 peran media diperlukan untuk memberikan informasi berbagai masalah yang ada dan berkem­bang di tengah masyarakat, meski jendela ini untuk melihat permasalahan yang ada melalui peran media, apakah jelas dan sudah memadai. Media sebagai kaca spion yang memantulkan berbagai informasi di masyarakat. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Oleh karena itu, para pengelola media sering merasa ”tidak bersalah” jika isi media menggambarkan hal yang buruk dan mungkin menakutkan masyarakat. Memandang media sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau bentuk konten yang lain berdasarkan standar yang dimiliki. Media massa sering kali dianggap sebagai guide, penunjuk jalan, atau interpreter yang mener­jemah­kan arah atas berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. Melihat media sebagai forum untuk mempre­sentasikan berbagai bentuk informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga terjadi tanggapan dan umpan balik yang positif dan mungkin solutif terhadap beragam masalah yang ada. Media sebagai mitra aktif yang tidak sekadar tempat lalu lalangnya informasi, tetapi juga merupakan partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif. Hal tersebut menunjukkan peran media tidak hanya sebagai sarana pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi juga isi yang disaji­ kan mempunyai pesan yang signifikan dalam proses sosial dan politik. Oleh karena itu, gambaran yang dibentuk oleh media yang memberi informasi yang salah akan memunculkan gambaran yang salah terhadap objek sosial. Oleh karena itu, media massa dituntut 176 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan wahana tuntutan etis dan moral penyajian berita. 2. Mencerdaskan Masyarakat Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah melakukan pengawasan sosial dengan menyatakan pendapat secara bebas, tetapi tentu dengan perasaan tanggung jawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi, juga mendidik, menghibur, dan memengaruhi. Pada umumnya, pers sudah dianggap sebagai fenomena kehidupan masya­ rakat modern. Itulah sebabnya, pers terus ditelaah dan dikaji dari berbagai dimensi pendekatan, mulai dari pendekatan ilmu dan filsafat hingga pendekatan teknis. Bahkan, pers diamati sebagai barometer dan perlambang kebebasan dan hak asasi manusia. Tidak dapat disangkal bahwa media massa memberikan andil bagi pembinaan dan pengembangan pendidikan. Media massa memang memiliki kelebihan. Di samping memiliki jumlah pembaca dan pemirsa terbesar, media juga memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, media massa merupakan salah satu mitra kerja yang penting dalam memajukan kegiatan pendidikan. Pers juga diharapkan mampu menyosialisasikan hasil-hasil pembinaan serta pengembangan pendidikan moral dan etika kebangsaan. Sosialisasi pengembangan pendidikan akan berhasil manakala pers dapat mengetahui dan mengerti fungsi sosial media massa, baik secara teori menurut pendapat para pakar maupun pengertian berdasarkan Undang-Undang Pers. Harold D. Lasswell dan Charles Wright dalam bukunya mengelompokkan fungsi-fungsi sosial media massa, yaitu:187 Harold D Lasswell dan Charles Wright. Investigating Estrada, PCIJ. 2000. hlm.203 187 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 177 (1). Fungsi menyiarkan informasi (to inform) atau disebut juga sebagai social surveillance. Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan pengawasan sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan. (2). Fungsi mendidik (to educate). Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun berita. (3) Sebagai social correlation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Begitu pun antara pandangan–pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial. (4). Fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. (5). Fungsi memengaruhi (to influence). Fungsi meme­ ngaruhi menyebabkan pers memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independen yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan pengawasan sosial. Fungsi memengaruhi dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita. (6). Fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada 178 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. khalayaknya. Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar, majalah, serta televisi untuk mengimbangi beritaberita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana, sedangkan di radio atau televisi bisa dalam bentuk pergelaran atau siaran langsung (live). Hanya, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita sehingga fungsi lainnya seolah sudah terlupakan. Untuk itu, fungsi hiburan haruslah ditata agar seimbang dengan fungsi-fungsi lainnya. Sejatinya, fungsi media massa tersebut bersinergi dan sinkron dalam rangka menyajikan pemberitaan yang sehat. Sebab, hanya tontonan yang sehat sajalah yang nantinya dapat melahirkan generasi sehat yaitu generasi yang memiliki karakter sebagai bangsa. (7). Di samping fungsi-fungsi pers tersebut, masih terdapat fungsi lainnya yaitu lembaga ekonomi. Fungsi lembaga ekonomi di sini dimaksudkan sebagai struktur atau badan kelembagaan perusahaan pers yang harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi agar mampu menyejahterakan masyarakat, khususnya karyawan pers. (8).Sementara menurut Smythe, fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak bagi monopoli penjualan iklan kapitalis” 188. 3. Memenuhi Informasi Bagi Kepentingan Publik Media massa juga memiliki peran besar dalam meme­nuhi informasi masyarakat dan kepentingan informasi publik yang baik. Ketentuan 188 Dallas Smythe, Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, Number 3,1977, hlm.1. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 179 mengenai peran pers ini secara tegas diatur dalam Pasal 6 UU Pers. Namun, untuk mampu berperan dalam menyiarkan kepen­tingan informasi tersebut, setidaknya pers harus dapat memenuhi persyaratan dengan kondisi sebagai berikut:189 (1). Adanya kebebasan menyiarkan merupakan dasar utama demokrasi yang menjamin kebebasan ber­ pen­ dapat, menyampaikan informasi, dan menge­ tahui kebenaran. Kebebasan pers memung­ kinkan adanya pengawasan, kritik, dan pendapat yang menjadi diskursus sehari-hari. Kebebasan publikasi diperlukan untuk memunculkan pemerintahan dan masyarakat yang cerdas serta bijaksana. Kondisi tersebut diharapkan akan memperkuat peran media sebagai “watchdog” terhadap institusi kekuasaan dan masyarakat untuk mendorong perubahan masyarakat secara terus-menerus. (2). Terjaminnya pluralitas kepemilikan media meru­ pakan hal yang sangat penting, karena setiap kepemilikan yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perspektif isi media. (3). Terjaminnya keragaman informasi yang dise­diakan untuk khalayak yang berbeda, baik karena perbedaan kategori sosial, berdasarkan perbedaan demografis, psikografis, teknografis, maupun geografis. (4).Terjaminnya penyaluran perbedaan pendapat yaitu sistem media yang memungkinkan setiap komponen masyarakat mendapat akses yang ku­rang lebih sama. Hal itu diperlukan agar suara minoritas secara sosial dan politik tidak termar­ginalkan, sekaligus dalam rangka meng­eliminasi konflik dengan upaya membangun saling penger­tian di antara seluruh komponen yang ada. (5). Tercapainya kondisi jaringan pembaca, yaitu sistem media massa yang mampu menjangkau khalayak yang luas, tidak The Media and Ideological Effect dalam Mass Communication and Society, Sage Publication, California, 1977 189 180 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. ada lagi blankspot atau wilayah yang tidak terlayani media massa, sekaligus dalam rangka mencegah adanya ketertutupan kelompok–kelompok yang tidak terjangkau media dari informasi yang bermanfaat bagi mereka. (6). Terwujudnya penyajian informasi dan budaya yang berkualitas untuk masyarakat. Tuntutannya, agar media massa menyajikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya dengan mengacu pada adanya kode etik dalam menja­lankan jurnalisme media yang hendaknya bersifat objektif, maksudnya akurat, jujur, lengkap, sesuai dengan realitas, teruji, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi yang disajikan juga harus bersifat tidak memihak (imparsial), melaporkan dengan lebih dari satu perspektif, dengan cara yang tidak sensasional atau bias. (7). Terciptanya komitmen media untuk mendukung sistem politik yang demokratis. Sebagaimana kita ketahui bahwa demokrasi Indonesia sedang mencari bentuk. Eksperimentasi politik yang demok­ratis memerlukan waktu cukup lama sampai pada bentuk sistem politik yang lebih solid, agar jangan sampai terjadi setback pada format lama. Di sini perlunya media sebagai pendorong proses demokratisasi, termasuk mendorong perubahanperubahan yang lebih reformatif. (8). Media massa harus respek pada sistem per­adilan, menghargai sistem hukum, sekaligus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum, termasuk tidak memengaruhi jalannya peradilan dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dalam isi medianya. Di sini pentingnya media menegakkan code of conduct yang berlaku secara spesifik ataupun universal. Di samping itu, media juga menyuarakan pentingnya legal action, untuk menyelesaikan sengketa masyarakat. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 181 Publik media massa juga memiliki peran dalam menunjang kehidupan masyarakat untuk menciptakan kepentingan politik yang baik. Untuk mampu berperan dalam hal tersebut, setidaknya harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:190 1). Adanya freedom of publications yang merupakan dasar utama demokrasi dan menjamin kebebasan berpendapat, menyampaikan informasi, dan mengetahui kebenaran. Kebebasan pers memungkinkan adanya kontrol, kritik, dan pendapat yang menjadi diskursus sehari-hari. 2). Terjaminnya plurality of ownership. Pluralitas kepemilikan media merupakan hal yang sangat penting karena setiap kepemilikan yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perspektif isi media. 3). Terjaminnya diversity of information available to public, yakni keragaman informasi yang disediakan untuk khalayak yang berbeda, baik karena perbedaan kategori sosial berdasarkan perbedaan demografis, psikografis, teknografis, maupun geografis. 4). Terjaminnya diversity of exspression of opinion, yaitu sistem media yang memungkinkan setiap komponen masyarakat men­dapat akses yang kurang lebih sama. 5).Tercapainya kondisi extensive reach, yaitu sistem media massa yang mampu menjangkau khalayak yang luas, tidak ada lagi blankspot, atau wilayah yang terlayani media massa. 4. Mengembangkan Demokrasi Kemerdekaan pers merupakan bagian dari kebe­basan memperoleh dan menyampaikan informasi serta menyatakan pendapat yang dilaksanakan melalui pers. Dengan demikian, kemerdekaan pers dapat dipandang sebagai bagian dari konsep demokrasi. Hak demokrasi dan hak politik rakyat bersumber pada hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan dasar manusia. HAM dan kebebasan dasar manusia itu adalah kebebasan menyatakan pendapat secara lisan ataupun 190 Ibid 182 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tulisan, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Di Indonesia, hak itu telah dijamin oleh konstitusi melalui Pasal 28 dan Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945. Namun, pers perlu menyadari bahwa tidak semua orang siap untuk berdemokrasi. Apabila masyarakat tidak menyadari dan tidak menjalankan spirit de­mokrasi, masyarakat demokrasi dan free society tidak akan terwujud. Di sinilah tampak tugas pendidikan yang juga dibebankan kepada ilmu komunikasi dan media massa sebagai medium yang mencapai sebanyak mungkin orang.191 Dalam mengemukakan fakta, di satu sisi, pers memformulasikan pernyataan tentang kebenaran yang menuntut pemikiran untuk diketahui dan dimengerti. Di sisi lain, pers yang mewakili pendapat dan kepentingan umum, berperan seperti layaknya kekuasaan pemegang amanat orang lain, suara rakyat, suara publik, sehingga menjalankan fungsi wakil rakyat di DPR/MPR.192 Sejarah perjalanan pers di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses demokratisasi dan perjuangan bangsa melawan kaum penjajah, karena pers ikut serta dalam gerakan kaum nasionalis. Pada masa penjajahan, meskipun mendapat tekanan dari pemerintah Belanda, keadaan keuangan yang lemah dan kurangnya keterampilan jurnalistik, surat-surat kabar Indonesia tetap terbit untuk menyediakan forum bagi para pemimpin gerakan kemerdekaan. Dinamika sejarah pers Indonesia selama Kebangkitan Nasionalisme,193 seperti disebutkan Mochtar Lubis dalam buku The Press in Indonesia, orang bisa melihat semangat nasionalisme yang diungkapkan dalam nama-nama surat kabar yang diterbitkan Parada Harahap seperti Sinar Merdeka, Bintang Hindia, Bintang Timur, Jakarta Barat, Sinar Pasundan, Semangat, Volskraat, dan Tjaja Timur, sedangkan nama-nama lain Ibid, Astrid S. Susanto-Sumarno, hlm. 52 Ibid, Artidjo Alkostar, hlm. 49. 193 Log.Cit, Edward C.Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, Grafitipers,1986, hlm.67. 191 192 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 183 yang diterbitkan para tokoh pers adalah Matahari, Kompas, Suara Kemerdekaan, Suara Berjuang, Kilat, Api, Guntur, dan Benih Kemerdekaan, serta koran Kemajuan Hindia yang berubah menjadi Kemajuan Indonesia. Menurut Edward C. Smith194, pers Indonesia selama kebangkitan semangat nasionalisme, pers dilahirkan oleh dorongan semangat tinggi nasionalisme guna menggerakkan para pemimpin nasional yakni adanya tuntutan kebutuhan yang mendesak dan hak rakyat untuk berbicara secara bebas. Pada masa itu, pers Indonesia membantu pergerakan dengan menyebarkan berita di kalangan rakyat dan membentuk pendapat umum Indonesia untuk mendukung kemerdekaan dari para penguasa kolonial. Para kaum terdidik yang mampu baca-tulis jumlahnya baru minoritas tetapi melalui mereka berita-berita disebarkan sampai kepada rakyat petani di desa-desa. Pers Indonesia pada masa-masa awal perjuangan dalam memberikan informasi lebih bersifat mengobarkan semangat perjuangan secara emosional ketimbang rasional. Meskipun serba kekurangan, pada masa lalu pers Indonesia sudah membuat langkah permulaan: membuka jalan bagi para wartawan dan penerbit. Pers Indonesia pada masa itu telah melahirkan konsep tentang pers di kalangan orang Indonesia. Pengertian itu tetap ada pada mereka melalui masa-masa sulit yang datang kemudian. Peredaran surat-surat kabar harian pada masa itu hanya berkisar antara 1.500 s.d. 5.000 eksemplar. Namun, sebagaian besar surat kabar sudah memiliki percetakan sendiri, betapa pun kecilnya, sebagian surat kabar masih diset dengan tangan. Untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional sehari-hari, koran-koran tersebut bergantung pada pendapatan iklan. Para pembaca yang berpenghasilan rendah tidak mampu sepenuhnya menunjang surat kabar. Harga langganan bulanan, kurang lebih sepertiga nilainya dari surat-surat kabar Belanda. Seperti dikatakan Hasibuan dalam tulisannya mengenai Ibid 194 184 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. segi ekonomi surat-surat kabar di Hindia, kemajuan surat kabar bergantung pada makin besarnya jumlah pembaca yang punya daya beli untuk membantu meningkatkan nilai iklan surat kabar itu. Pada makna demokrasi atau open management terkandung juga makna kontrol sosial yang tak lain adalah pengawasan masyarakat yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:195 Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan; Social responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat; Social support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah; Social control yaitu pengawasan masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Istilah kontrol sosial sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari isi demokrasi atau prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kontrol sosial dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang bulat. Setiap ada kontrol sosial dengan sendirinya ada demokrasi atau usaha untuk menegakkan demokrasi. Tentang hal ini, Sukarna dengan tegas mengatakan demokrasi tanpa social control adalah kosong, dan social control tanpa demokrasi adalah bohong. Oleh karena itu, kontrol sosial dan demokrasi diibaratkan “gula dan manis”-nya.196 Fungsi kontrol oleh pers bisa dimaknai sebagai sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perseorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan yang disalurkan secara langsung atau tidak langsung terhadap aparatur pemerintahan atau lembaga-lembaga masyarakat yang terkait., sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pelaksanaan fungsi kontrol sosial pers mempunyai banyak tujuan, antara lain:197 untuk menjaga agar undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat dijalankan sebaik-baiknya oleh semua pihak; 195 Sukarna. Social Control (Kontrol Masyarakat) Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2002. hlm.1. 196 Ibid. 197 Ibid. hlm.9 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 185 untuk melindungi hak-hak asasi manusia dari tindakan-tindakan yang dilakukan sewenang-wenang oleh siapa pun; untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, baik kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Lewat kontrol sosial yang dilaksanakan secara efektif institusional dan konstitusional, kepentingankepentingan masyarakat akan terjamin; untuk menjaga agar jalannya pemerintahan sesuai dengan UUD, UU, serta kehendak seluruh lapisan masyarakat dan bangsa. Tujuan kontrol sosial melalui pers untuk membantu pengawasan melekat yang telah dilakukan aparatur negara, baik nasional, regional, lokal, maupun rural dan urban. Jadi, pengawasan sosial pada hakikatnya dapat membantu terselenggaranya pelaksanaan pekerjaan yang sehat dari abdi negara atau abdi pemerintah, abdi pembangunan dan abdi masyarakat dalam rangka membela kepentingan-kepentingan rakyat. Pengawasan sosial oleh pers dapat menunjang pemerintahan yang demokratis sehingga tidak mengarah kepada tiranisme, nepotisme, ataupun menggunakan cara machiavelistik yaitu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya, atau dengan perkataan lain untuk mencegah pemerintahan menggunakan sistem kediktatoran dalam menjalankan pemerintahannya itu dalam segala tingkatan.198 Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peran penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peran penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers merupakan alat kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. Untuk Ibid., 198 186 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dapat melakukan peran tersebut, perlu ada kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Di samping itu pula, untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. F. Kegiatan Bisnis Industri Media Massa 1. Kegiatan Jurnalistik Informasi Berita, Artikel, dan Foto Para tokoh komunikasi atau tokoh jurnalistik memberikan definisi jurnalistik berbeda-beda, tetapi artinya sama. Jurnalistik secara harfiah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda, journalistiek artinya penyiaran catatan harian.199 Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat media massa. Berdasarkan pengertian jurnalistik dari berbagai literatur, dapat dikaji definisi jurnalistik. Namun, jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat, mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhu­bungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Jurnalistik juga dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau media berkala lainnya. M. Djen Amar mengatakan, jurnalistik adalah usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide atau gagasan dengan bentuk suara. Inilah cikal bakal makna jurnalistik sederhana. Pengertian menurut Amar juga dijelaskan pada pendapat Sumadiria. Jurnalistik 199 Assegaff, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm.102. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 187 adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.200 Ada pula pendapat A. Muis dan Edwin Emery. A. Muis (pakar hukum komunikasi) mengatakan bahwa definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun, definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi jurnalistik memasukkan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu tertentu (aktualitas). Edwin Emery juga sama mengatakan bahwa dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Emery menambahkan bahwa seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.201 Ruang lingkup jurnalistik sama saja dengan ruang lingkup pers yang terdiri atas dua bagian, yaitu news dan views.202 News dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu straight news dan feature news. Jurnalistik adalah bidang profesi yang meng­usahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran, dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Sebuah berita jika disajikan haruslah memuat nilai berita di dalamnya. Nilai berita itu mencakup beberapa hal, sebagai berikut:203 objektif: berdasarkan fakta, tidak memihak; aktual: terbaru, belum basi; luar biasa: besar, aneh, janggal, tidak umum; penting: besar pengaruh atau dampaknya bagi orang banyak; menyangkut orang penting/terkenal; jarak: familier, kedekatan (geografis, kultural, psikologis). Sementara berita yang banyak muncul dalam media 200 Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, Jakarta, Penerbit Teraju, 2004, hlm.504. 201 A Muis. Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Dharu Annutama, Jakarta, 1999, hlm.204. 202 Asep Romli Syamsul M, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Bandung, Batic Press, 2005, hlm.90. 203 Ibid., 188 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. massa pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu berita langsung (straight news), berita ringan (soft news) dan berita kisah (feature), yaitu:204 Dalam perkembangan berikutnya, teknik penu­lisan berita langsung, berita ringan, dan berita kisah ini sering dipadukan dalam sebuah laporan menyeluruh dan diturunkan dalam saat yang bersamaan. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah depth news atau investigative news di mana seluruh data dan informasinya diperoleh melalui depth reporting atau investigative reporting. Dengan demikian, depth reporting atau investigative reporting adalah teknik pen­carian data dan informasi terkait dengan apa yang akan diberitakan, sedangkan depth news atau investigative news adalah berita yang dihasilkan melalui depth reporting atau investigative reporting. Kedalaman sebuah berita dapat dilihat dari kelengkapan data dan informasinya, dapat juga dilihat dari kebaruannya, dalam arti sesuatu yang baru itu didapat setelah melalui proses penelusuran yang mendalam. Panjang-tidaknya sebuah tulisan, bukan patokan mendalam atau tidaknya sebuah berita. Foto jurnalistik adalah karya foto biasa tetapi memiliki nilai berita atau pesan yang layak untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa. Foto jurnalistik mencakup kombinasi gambar-gambar (ilustrasi) dan cerita (story). Fotografi pers merupakan pekerjaan memperoleh gambar-gambar bagi pemakai editorial dalam surat kabar, majalah, dan penerbitan lainnya, dan ini tentu sudah ada pada pers Indonesia. Pekerjaan press photographer adalah memperoleh gambar-gambar yang akan melukiskan berita, memperkuat cerita yang ditulis oleh reporter, dan menyajikan berita secara visual.205 Arif Permadi, Jenis-Jenis Berita, www.webnode.com/news/pengertianberita/ diakses tanggal 17 Oktober 2011 205 Bobby Triadi, Fotografi Jurnalistik sebagai Media Komunikasi, http://www. 204 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 189 Kegiatan jurnalistik juga tak lepas dari jurnalistik artikel. Artikel adalah bentuk karangan yang berisi analisis suatu fenomena alam atau sosial dengan maksud untuk menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa fenomena alam atau sosial tersebut terjadi. Suatu artikel kadang-kadang menawarkan suatu alternatif bagi pemecahan suatu masalah. Aktualitas juga merupakan hal yang harus dimiliki sebuah artikel. Untuk bisa mengetahui aktualitas berita, penulis artikel dituntut untuk sering membaca. Aktualitas artikel bisa diperoleh dengan mengamati fenomena-fenomena yang saat ini sedang terjadi. 2. Iklan dan Pariwara Periklanan mendapat sorotan tajam semenjak aspek informasi menjadi bagian penting dalam bisnis. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu memengaruhi kecenderungan konsumtif dalam ma­sya­rakat. Periklanan yang efektif akan mengubah pengetahuan publik mengenai ketersediaan dan karakteristik beberapa produk. Elastisitas permintaan produk akan sangat dipengaruhi aktivitas periklanan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ang­ garan iklan berpengaruh positif terhadap penjualan dan market share. Sebaliknya, peningkatan anggaran iklan pesaing berpengaruh negatif terhadap tingkat penjualan dan market share pesaingnya.206 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklan adalah “berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.” Dari definisi di atas, terdapat beberapa komponen utama dalam iklan, yakni “mendorong dan membujuk”. Dengan kata lain, iklan harus memiliki sifat persuasif. Pengertian iklan secara komprehensif adalah “semua halamansatu.net. Diakses tanggal 16 Oktober 2011 206 Darmadi Durianto, Sugiarto, Anton.W.Widaja, Hendrawan. S. Invasi Pasar dengan Iklan yang Efektif, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003. hlm.45. 190 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu. Sementara Jhon Caples menyatakan bahwa periklanan adalah segala bentuk penyajian nonpersonal, promosi dan ide, barang ataupun jasa oleh sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran.207 Iklan merupakan bagian dari komunikasi yang terdiri atas berbagai kegiatan untuk memberikan infor­masi dari komunikasi kepada pasar sasaran tentang adanya suatu produk, baik berupa barang, jasa, dan ide. Berhasil-tidaknya iklan yang dipasang terga­ntung dari media mana yang digunakan untuk mencapai sasaran. Oleh karena itu, masalah pemilihan media iklan tidak hanya didasar­kan pada perkiraan melainkan juga harus diperhatikan sifat-sifat iklan dan faktor-faktor lain yang memengaruhi kegiatan iklan yang dilakukan. Menurut Tjiptono, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih media iklan adalah:208 dana yang digunakan untuk iklan; sifat pasar; jenis produk; tahap-tahap dalam siklus kehidupan barang. Strategi yang diambil untuk mengiklankan barang dipengaruhi oleh tahap-tahap siklus kehi­dupan barang yaitu tahap perkenalan, pertum­buhan, kedewasaan, dan tahap kejenuhan. G. Penyalahgunaan Kemerdekaan Pers dan Akibatnya Ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 2 UU Pers bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Dalam penerapannya, profesi wartawan harus selalu menjaga kehormatan profesinya dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita/ narasumber yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya. Pers Jhon Caples, Tested Advertising Methods, Fifth Edition, Prentice Hall, 1997, hlm.293 208 Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Cetakan Pertama, Edisi Kedua, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1997, hlm.204. 207 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 191 tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam pemberitaan pun wartawan tidak boleh menyiarkan informasi yang bersifat menghakimi atau membuat kesimpulan soal kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan. Dalam kegiatan jurnalistik, wartawan tidak memasukkan opini pribadi dalam pemberitaan. Wartawan sebaiknya melaporkan dan menyiarkan informasi dan meneliti kembali kebenaran informasi tersebut. Dalam UU Pers telah diterangkan rambu-rambu serta koridor yang jelas dalam menjalankan kemerdekaan pers, dan jika kemerdekaan yang diamanatkan dalam UU Pers tersebut dilanggar, pers akan dikenai sanksi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 18 UU Pers secara jelas menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal 5 ayat 1 UU Pers menyatakan, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah, kemudian pada ayat (2) menyatakan pers wajib melayani hak jawab. UU Pers masih mengandung sejumlah pasal yang menghambat atau setidaknya mengganggu kebebasan pers, misalnya ada pasal-pasal yang mengakibatkan konsekuensi hukum yang merugikan kebebasan pers. Tuduhan penyalahgunaan profesi pers atau penyalahgunaan kemerdekaan pers oleh media dapat diselesaikan antara lain melalui proses hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). Penyelesaian sengketa pers melalui peradilan terbagi dua yaitu proses peradilan pidana dan proses peradilan perdata. Dalam proses peradilan pidana, yang dikenal dengan delik pers yaitu delik yang terdapat di dalam KUHP tetapi tidak merupakan delik yang berdiri sendiri melainkan bagian dari delik khusus yang berlaku umum. Ada dua unsur yang harus dipenuhi supaya seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawabannya dan dituntut di pengadilan secara hukum pidana, yaitu: war­ tawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya 192 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. isi be­rita dan tulisan yang dimaksud serta wartawan yang ber­sangkutan sadar sepenuhnya bahwa tulisan yang dimuat­nya dapat dipidana. Dalam perkembangannya di negara-negara demokrasi, sengketa pers diselesaikan tidak dengan pemidanaan melainkan dengan jalur perdata dengan mem­ berikan kompensasi kerugian korban secara pro­porsional. Kasus pers di Amerika Serikat yang sampai ke pengadilan selalu ditolak dengan adanya Amandemen Pertama Konstitusi AS yang jelas menjamin kebebasan pers. Jika melihat dari sudut pandang KUHP, Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP telah mengatur per­ masalahan penghinaan maupun fitnah/nista yang dapat terjadi dalam pemberitaan pers. Untuk masalah penghinaan, Pasal 310-321 KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan. Beberapa pasal tersebut di atas mengatur ancaman hukuman pidana penjara pa­ling lama 4 bulan sampai dengan 4 tahun. Pem­beratan hukuman akan dikenakan apabila penghinaan ter­sebut memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam bebe­rapa pasal dalam KUHP mengenai tindak pidana penghinaan. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan. Menurut hukum acara pidana, tersangka penghinaan diberi kesem­ patan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkan. Dengan demikian, pada prinsipnya KUHP sendiri juga cukup mem­beri­kan per­ lind­ungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebe­naran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melaku­ kan pem­beritaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tu­duhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika ber­ da­sar­kan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 193 Selain dituntut di pengadilan dengan KUHP, wartawan yang menyalahgunakan kemerdekaan pers juga rentan dengan gugatan perdata perbuatan melanggar hukum. Dalam gugatan perdata yang biasanya muncul adalah gugatan pencemaran nama baik jika korban yang merasa dicemarkan nama baiknya diberi suatu hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut pemulihan kembali haknya. Dari orang yang bertanggung jawab atas timbulnya kerugian itu, atau sebaliknya pembayaran ganti rugi, merupakan suatu kewajiban bagi pihak yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Salah satu unsur perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah harus ada unsur kerugian dalam hal ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum, pemohon (korban) berdasarkan gugatannya ke pengadilan pada pasal 1365 KUHPerdata tidak dapat mengharapkan besarnya kerugian. Kerugian ini ditentukan oleh undang-undang kerugian yang timbul karena adanya perbuatan melanggar hukum, dapat berupa: kerugian material dan kerugian imaterial. Hal itu dapat disimpulkan berdasarkan ketentuan Pasal 1371 KUHPerdata, yang berbunyi; Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hatihati, memberikan hak kepada si korban untuk selain mendapat penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacatnya tersebut. Perkataan penggantian biaya-biaya penyembuhan menunjukkan adanya kerugian yang bersifat material, sedangkan perkataan “kerugian karena luka atau cacat” menunjukkan kerugian imaterial. Selain pasal tersebut, korban dapat menuntut ke pengadilan dengan Pasal 1372 sampai Pasal 1380 KUHPerdata yang juga mengatur tentang kerugian imaterial sebagai akibat perbuatan melang­gar hukum karena penghinaan (pencemaran nama baik). Adapun kerugian imaterial yaitu kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang, karena kerugiannya menyangkut perasaan seseorang, yaitu penderitaan batin. Dalam persaingan usaha, perusahaan media massa yang melanggar ketentuan perundang-undangan dapat mengakibatkan timbulnya risiko 194 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bagi perusahaan berupa sanksi administratif. Secara umum, hukum persaingan usaha bertujuan menjaga “iklim persaingan” antarpelaku usaha serta menjadikan persaingan antarpelaku usaha menjadi sehat. Selain itu, hukum persaingan usaha bertujuan menghindari terjadinya eksploitasi terhadap konsumen oleh pelaku usaha tertentu serta mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut suatu negara. Selain tujuan umum, masing-masing negara mem­ punyai tujuan khusus menghadirkan hukum persaingan usaha. Di Amerika Serikat, hukum persaingan usaha bertujuan melindungi sistem kompetisi (preserve competitive system), di Jerman bertujuan memajukan kesejahteraan dan kebebasan warga negara, dan di Swedia bertujuan mencapai pemanfaatan optimal dari sumber-sumber yang ada di masyarakat. Adapun di Indonesia, tujuan hukum persaingan usaha melalui UU Persaingan Usaha, adalah: a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peraturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi si pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha yang kecil, c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha, dan d. Terciptanya efektivitas dalam kegiatan usaha. KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif secara kumulatif ataupun alternatif. Dalam hal tentang denda, telah diatur dalam Pasal 47 UU Persaingan Usaha, dan KPPU telah menerbitkan aturan teknis soal denda dan ganti rugi yang tercantum dalam keputusan KPPU No. 252/KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 UU Persaingan Usaha. Hukum antimonopoli/persaingan usaha menyediakan sanksi-sanksi pidana bagi si pelanggar hukum, tetapi untuk Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 195 menerapkan sanksi pidana tersebut tetap pejabat penegak hukum, yaitu kepolisian sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan hakim untuk mengadilinya. Jadi, sungguhpun telah ada komisi yang dibentuk berdasarkan UU Persaingan Usaha, tetapi hanya bertugas di bidang administrasi saja. Jadi komisi pengawas tidak mempunyai kewenangan dalam bidang hukum pidana. Namun, putusan komisi merupakan bukti permulaan yang cukup bagi suatu penyidikan perkara pidana. Dalam Undang-Undang Persaingan Usaha terdapat dua macam sanksi pidana, yaitu: (1) Sanksi pidana pokok. Yang termasuk sanksi pidana pokok adalah (a) pidana denda minimal Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan maksimal Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau (b) pidana kurungan pengganti denda paling lama 6 bulan. Sanksi pidana diberikan oleh pengadilan, artinya bukan kewenangan komisi. (2). Pidana tambahan. Ketentuan tentang pidana tambahan terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang Persaingan Usaha di mana pelaku usaha dapat dijatuhi hukuman : 1) pencabutan izin usaha, 2) pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha dilarang menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, 3). Tindakan penghentian terhadap kegiatan-kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain. H. Perbandingan Hukum Kemerdekaan Pers di Beberapa Negara Untuk kepentingan penelitian, penulis membuat perban­dingan hukum kemerdekaan pers, termasuk sistem dan regulasi yang berlaku di beberapa negara di luar Indonesia. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum.209 Sementara Van Aveldorn berpendapat, perbandingan hukum merupakan suatu ilmu bantu Peter Mahmud Marzuki, dalam buku Penelitian Hukum,Op.Cit, hlm. 132. 209 196 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bagi ilmu hukum dogmatik, dalam arti untuk menimbang dan meneliti aturan-aturan hukum dan putusan-putusan pengadilan yang ada dengan sistem hukum lain.210 Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain.211 Dalam tulisan ini perlu dikemukakan bahwa dalam melakukan perbandingan hukum penting juga mengung­ kapkan persamaan dan perbedaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui lebih jelas rumusan dan analisis sistem dan prinsip yang berlaku, sehingga dengan adanya informasi persamaan dan perbedaan, penulisan, dan pengelompokan sumber bahan perbandingan hukum menjadi cerdas. Persamaan di antara perundangundangan beberapa negara yang diperbandingkan mungkin saja terjadi karena adanya persamaan sistem hukum pers yang dianut oleh negaranegara tersebut walaupun dari segi perkembangan ekonomi dan politik mungkin berbeda. Secara teoretis, perbandingan hukum juga dapat dilakukan tanpa melihat sistem hukum ataupun tingkat perkembangan ekonomi, melainkan hanya melihat substansinya yang merupakan kebutuhan demokrasi secara universal di beberapa negara, misalnya hukum persaingan usaha industri media massa dan hukum kemerdekaan pers. Dalam konteks tulisan, kemerdekaan pers dapat dipahami bahwa latar belakang filosofis yang melandasi undang-undang pers tidak sama, seperti negara Republik Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dan Jerman. Dari sudut sistem hukum, aturan yang berlaku di Malaysia, Amerika, dan Australia memiliki kesamaan, yakni menganut sistem hukum common law atau Anglosaxon dan memiliki perbedaan sistem hukum dengan Indonesia dan Jerman yang menganut Eropa continental atau civil law system. Namun, keberadaan hukum kemerdekaan pers di Ibid hlm. 133 Ibid. 210 211 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 197 negara-negara tersebut dapat diduga memiliki persamaan doktrin dan prinsip-prinsip hukum dalam pemberlakuan hukum kemerdekaan pers tersebut. Dengan perkataan lain, ke empat negara tersebut menganut paham kemerdekaan pers meskipun penerapannya bervariasi dan mengalami pasang-surut. Dalam perkembangannya di banyak negara, hukum kemerdekaan pers lahir dalam berbagai variasi, dari yang ekstrem sampai dengan yang moderat. Seperti halnya pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia, Dewan Pers juga mencatat hasil penelitian organisasi pers internasional Prancis, Reporters Sans Frontiers (RSF, Wartawan Tanpa Perbatasan) yang menempatkan kebebasan pers di Indonesia selama tahun 2002 pada peringkat yang lebih baik daripada di Thailand dan Filipina. Dari 139 negara yang diamati RSF, kebebasan pers di Indonesia,Thailand, dan Filipina masing-masing berada pada peringkat ke–57, ke-66, dan ke-89. Salah satu alasan untuk menilai kebebasan pers di Indonesia yang paling baik di Asia Tenggara ialah karena di sini tidak lagi terjadi tekanan dan pengendalian oleh negara terhadap pers sejak pemerintahan Orde Baru berakhir pada bulan Mei 1998. Menurut sejarah, pers bebas mulai mendapat tempat yang penting di Amerika ketika para pencetus kemerdekaan negeri tersebut merumuskan hak-hak rakyat dalam Konstitusi Tahun 1787. Perdebatan sengit terjadi antara Alexander Hamilton dan Thomas Jefferson. Berbeda dengan Alexander Hamilton, Thomas Jefferson mengatakan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat tidak cukup disebut secara umum dalam konstitusi. Ia harus diikuti oleh jaminan hukum secara tertulis untuk menghormati dan melindunginya sepanjang masa. Dari perbedaan ini, lahirlah Amandemen Pertama Konstitusi Amerika yang berbunyi, antara lain: “kongres tidak dapat membuat undang undang yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat atau kebebasan pers...”.212 Ibid., hlm.3. 212 198 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 1. Malaysia Dalam perkembangannya, dewasa ini kebebasan pers Malaysia juga mengalami pasang-surut terkait dengan perjuangan untuk menegakkan salah satu pilar demokrasi ini. Media/pers di negara Malaysia—sama seperti di Indonesia pada masa lalu—dikontrol lewat keharusan pembaruan izin terbit. Pembaruan izin terbit di Malaysia ini jauh lebih ketat dibandingkan dengan di Indonesia pada masa lalu, yakni setiap tahun. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian media juga lebih berpihak kepada pemerintah ketimbang oposisi.213 Media-media di Malaysia dikuasai pemerintah atau partai-partai yang berkuasa, yang tergabung dalam koalisi Barisan Nasional. Politik di Malaysia sudah sedemikian ketat mengekang kemerdekaan pers, sehingga partai oposisi mengeluh kepada Ketua Komisi Pemilu bahwa pers tidak independen, terlalu mendukung pemerintah. Apalagi saat memberikan liputan pemilihan umum yang cenderung tidak berimbang. 2. Jerman Pasal 10 konstitusi UUD Jerman menyatakan: 1). Privacy of posts and telecommunications shall be inviolable 2). This right may restricted on by pursuant to the law. Such law may laid down the person affected shall not be informed of any such restriction if it serves to protect the free democratic basic order or the existence or the security of the Federation or a Land, and the recourse to the courts shall be replaced by a review of the case by bodies and auxiliary appointed by Parliament. (1).Hubungan-hubungan pribadi (privacy) melalui pos dan telekomunikasi tidak boleh diganggu (2). Hak tersebut hanya dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan undang-undang. Undang-undang yang membatasi dapat Kompas, Pers Malaysia Menghadapi Pemilu, 25 Februari 2008 213 Kemerdekaan Pers dan Etika Profesi Dalam Bisnis Industri Media Massa 199 menetapkan bahwa orang-orang yang terkena boleh tidak diberi tahu mengenai pembatasan tersebut apabila pembatasan dilaku­kan untuk melindungi dasar kebebasan demokratis atau mengenai keberadaan (eksistensi) atau keamanan federal atau negara bagian, dan keberatan ke pengadilan akan digantikan dengan cara peninjauan kembali kasus tersebut oleh badan-badan atau badan-badan khusus yang ditunjuk parlemen. 3. Australia Seperti umumnya negara-negara maju lainnya, kemerdekaan pers di negara Australia telah terjaga dan menempatkan pers sebagai alat kontrol pemerintah. Pemerintah tidak menerapkan kebijakan yang mengkriminalkan pers atau tindakan yang menganut criminal defamation dalam pekerjaan jurnalistik. Demikian pula pemerintah dalam kebijakan pers tidak memenjarakan wartawan karena pekerjaan jurnalistik. Australia tidak menganut civil defamation atau karya jurnalistik yang mengandung pencemaran. Namun, pemerintah dapat menghukum (kriminal) pers jika berita yang disampaikan tidak untuk kepentingan umum. Pemerintah dengan tegas memberikan sanksi atas pelanggaran kemerdekaan pers, misalnya pemerasan (blackmail), berita yang disampaikan meru­pakan hasil rekayasa, serta melakukan contempt of court. 4. Amerika Serikat Dalam konstitusi Amerika Serikat ada dua ketentuan mengenai kebebasan korespondensi atau hak komunikasi, yaitu:214 1). Amandemen I (1791) “Congress shall make no law respecting an establishment religion or prohibiting the free exercise thereof or obridging the freedom of speech or of the press, or the right of the people peaceably to assemble and to petition to the Government for redress of grievances” Kongres Bagir Manan, Op cit, hlm.120. 214 200 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dilarang membuat undang-undang mengenai suatu agama atau melarang melaksanakan ibadah menurut agama, menghalangi (mengurangi) hak atas kebebasan berbicara, atau kebebasan pers, atau hak rakyat untuk berserikat atau berkumpul dan hak menyampaikan petisi kepada pemerintah menuntut pemulihan atas suatu kerugian. 2). Amandemen IV: The right of the people to be secure in their persons, houses, papers and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seizures. Hak rakyat atas keamanan jiwa dan badan, rumah, surat, dan barangbarang berharga dari pemeriksaan dan penyitaan tanpa alasan yang sah, tidak boleh dilanggar. Dan tidak satu surat perintah pun boleh dikeluarkan kecuali atas dugaan yang beralasan (alasan yang cukup) dan diberikan atas sumpah atau janji dan harus pula disertai dengan keterangan mengenai tempat yang akan digeledah (diperiksa) dan orang-orang yang akan diperiksa serta barang-barang yang akan disita. Bab IV Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers A. Pelaksanaan Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Usaha Media Massa Kemerdekaan pers mengandung pengertian, tidak ada campur tangan kekuasaan yang dapat mengekang kebebasan pers. Adanya campur tangan dan pengekangan pers dimaksud, memberi ”makna” pada kemerdekaan pers. Sementara persyaratan pokok kemerdekaan pers adalah: 215 a. bebas dari keharusan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) atau bentuk izin lainnya; b. Bebas dari sensor; c. Bebas dari pemberedelan; dan d. Bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak mana pun. Hal itu menjadi penting bagi sebuah negara berkembang atau belum berkembang. Sistem kemerdekaan pers menjadi salah satu indikator penilaian suatu negara demokrasi atau otoriter. Karena, untuk dapat dikatakan sebuah negara menganut pemerintahan demokratis, dapat dilihat dari sistem pers dan pelaksanaan kemerdekaan pers yang berlaku di negara tersebut. Namun pelaksanaan kemerdekaan pers dan kehidupan industri Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2005, hlm. 38. 215 202 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. media massa juga dapat ditentukan oleh “kondisi dan tempat ia hidup”, yakni: sistem politik, sistem dan kultur kekuasaan.216 Di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno (Orde Lama), dan masa Soeharto (Orde Baru) misalnya, hubungan kekuasaan dengan media memiliki pretensi yang berbeda-beda.217 Demikian pula di era reformasi, pers nasional sedemikian bebas karena deregulasi tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut oleh B.J Habibie melalui rangkaian sudden policy (kebijakan dadakan). Kebijakan pemerintah tersebut kemudian oleh Abdurrahman Wahid disusul dengan pembubaran Departemen Penerangan, yang selama era Orde Baru menjadi lembaga pengontrol pers. Konfigurasi politik berubah sejak reformasi bergulir. Pemerintah mulai memberlakukan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai pengganti Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 lebih menekankan pentingnya kebebasan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi: ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelanggaran penyiaran”. Di Indonesia, sejak era Reformasi 1998, keadaan media cenderung berubah ke arah liberalisasi dan membawa pengaruh yang sangat penting dalam proses demokratisasi. Perkembangan yang signifikan adalah posisi kebebasan pers yang dipertegas dalam konstitusi (UUD 1945) dan UndangUndang Pers, serta semakin kokohnya liberalisasi ekonomi. Kebebasan atau liberalisasi media baik cetak maupun elektronik juga memberikan keleluasaan dalam pemilikan media. Para pemilik modal memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menanamkan investasi secara maksimal sebagai bagian dari kegiatan bisnis yang strategis dan menguntungkan. Pada masa Orde Baru, usaha media mengalami pengekangan oleh pemerintah. Sejumlah persyaratan yang harus dilalui oleh pemilik perusahaan untuk mendirikan perusahaan pers. Di antaranya adalah Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm 85 217 Ibid 216 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 203 persyaratan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 juncto UndangUndang No. 4 Tahun 1967 juncto. Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Dengan adanya izin tersebut, pemerintah mendapat legalitas menjadi pembina, penentu kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian pers (media cetak dan media penyiaran). Pers yang pembe­ ritaannya berseberangan dapat dibatalkan isinya sehingga perusahaan pers menjadi tumpul dan tunduk pada penguasa.218 Aturan yang membatasi media tersebut mengakibatkan perusahan pers sulit berkembang, karena adanya sejumlah persyaratan yang sangat ketat. Penerbitan pers 91 persen tersebar di Pulau Jawa (Jawa centered), penambahan halaman dan space iklan dibatasi, serta perusahaan media cetak tidak dapat izin masuk ke industri televisi.219 Kondisi pada masa Orde Baru berubah dengan terbitnya UU Pers, salah satu kondisi perubahan dengan terbitnya undang-undang ini adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers yaitu: “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”, sehingga aturan yang mempersyaratkan SIUPP tidak diperlukan lagi. Pada tahun 2005, sumber Serikat Perusahaan Pers (SPS) mencatat terdapat 829 perusahaan media cetak (surat kabar, tabloid, majalah, buletin). Jumlah ini memang cukup banyak jika dibandingkan dengan perusahaan media cetak pada masa Orde Baru. Namun, dari 829 perusahaan pers media cetak tersebut hanya 30 persen (tiga puluh persen) yang memiliki manajemen perusahaan yang sehat. Ciri-ciri dari media sehat bisnis adalah, di antaranya yaitu perolehan iklan signifikan, media yang berkualitas (mainstreams), mampu membuat produk pers yang atraktif, mencerahkan, taat kode etik, dibutuhkan khalayak, mengandung hiburan yang berkualitas, mempunyai wartawan yang cerdas dan profesional (diukur dari tulisannya), wartawan digaji secara profesional.220 Sabam Leo Batubara, Op. cit, hlm.8. Ibid 220 Sabam Leo Batubara, Op. cit, hlm.70. 218 219 204 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Saat ini, perusahaan media cetak telah bertumbuh menjadi grup perusahaan, di antaranya: a. KKG: 30 perusahaan pers, Kompas Cyber Media, b. Jawa Pos Group lebih dari 140 perusahaan pers, c. Surat Kabar Harian (SKH) Media Indonesia, Metro TV, d. Koran Tempo, Majalah Tempo, e. SKH. Bisnis Indonesia Group, f. SKH. Suara Pembaruan Group, g. SKH. Pos Kota Group , h. SKH Pikiran Rakyat Group, i. SKH. Suara Merdeka Group, j. Majalah Info Kelapa Gading Group, k. SKH. Bali Post Group, l. Majalah Femina Group, m. Majalah Gatra Group, n. Subentra Cipta Media Group, o. Pin Point Group (Majalah Warta Ekonomi), p. Republika Group. Kebebasan pers sesungguhnya tidak memilah-milah antara media cetak dan media elektronik (penyiaran) sepanjang medium tersebut melaksanakan kegiatan pers (jurnalistik), maka jaminan kebebasan tetap melindunginya. Namun dalam kenyataannya tidak semua media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan jurnalistik atau unsur jurnalisme hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media penyiaran. Pembatasan terhadap media penyiaran akan terasa lebih urgen lagi apabila dikaitkan dengan penggunaan frekuensi. Pada hakikatnya, frekuensi adalah milik publik yang jumlahnya terbatas, maka publik juga harus terlibat dalam pengaturan frekuensi tersebut melalui lembagalembaga resmi. Selain untuk mewakili kepentingan publik, negara juga diberi amanah untuk mengurus ranah publik tersebut berdasarkan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan penjelasan sebagai berikut : Pasal 33 1). Sebelum menyelenggarakan kegiatannya, lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran 2). Permohonan izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 205 3). Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran berdasarkan minat, kepentingan. dan kenyamanan publik 4). Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: (1). Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan Komisi Penyiaran Indonesia. (2). Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia. (3). Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara Komisi Penyiaran Indonesia dan pemerintah, dan (4). Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul Komisi Penyiaran Indonesia. (5). Atas dasar hasil kese­pakatan secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia. (6). Izin penyelenggaraan dan per­pan­jangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diter­bitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat ber­sama sebagai­mana dimaksud dalam ayat (4) huruf c. (7). Lembaga penyiaran wajib membayar izin penye­lenggaraan penyiaran melalui kas negara, dan (8). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persya­ratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 34 dijelaskan bahwa izin penye­leng­ garaan penyiaran diberikan untuk penyiaran radio jangka waktu 5 (lima) tahun dan televisi waktu 10 (sepuluh) tahun, dan dapat diperpanjang. Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun, dan izin penyiaran ditegaskan dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Menurut ketentuan, izin penyelenggaraan penyiaran dapat dicabut apabila: tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan; melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran 206 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. yang ditetapkan; tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI; dipindahtangankan kepada pihak lain; melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Demikian pula izin penyelenggaraan penyiaran dikatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali. Kebijakan soal pembatasan Monopoli, Konglomerasi, dan Kepemilikan Silang (Media Penyiaran) sesungguhnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dalam Pasal 18 ayat 1 disebutkan: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi”. Selanjutnya mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan atas jasa penyiaran radio dan televisi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Demikian pula soal kebebasan berusaha di bidang media internet, Pemerintah Indonesia berupaya memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi, khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta infrastruktur hukum dan pengaturannya. Setelah melalui proses panjang, Presiden RI menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan berlaku sejak tanggal 21 April 2008.221 UU ITE terdiri atas 13 bab dan 54 pasal yang merupakan rezim hukum baru untuk mengatur kegiatan cyberspace di Indonesia. Beberapa aspek-aspek penting yang diatur dalam UU ITE adalah aspek yurisdiksi, digunakan pendekatan prinsip perluasan yurisdiksi (extra territorial yurisdiction) disebabkan transaksi elektronik memiliki karakteristik lintas teritorial dan tidak dapat menggunakan pendekatan hukum konvensional. Aspek pembuktian elektronik (e-evidence), alat bukti elektronik merupakan 221 Dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 207 alat bukti dan memiliki akibat hukum yang sah di muka pengadilan. Kemajuan teknologi melalui internet membuat perusahaan pers dapat menyebarkan informasi atau berita melalui internet (daring/online). UU ITE telah memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk menggunakan dan memanfaatkan internet untuk berkomunikasi atau menyebarkan informasi. Pada Pasal 23 UU ITE disebutkan: setiap penyelenggaraan negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan nama domain berupa alamat atau jati diri penyelenggaraan negara, orang, badan usaha dan/atau masyarakat, yakni didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first serve). Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam nama domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual karena tidak diperlukan pemeriksaan substansif seperti pemeriksaan dalam pendaftaran merek dan paten. B. Persaingan Usaha Industri Media Massa Menuju Persaingan yang Sehat dan Sesuai Etika Profesi Persaingan usaha industri media massa nasional, baik cetak maupun elektronik, mulai bergulir seiring dengan terbukanya keran kebebasan pers. Era reformasi yang disebut juga masa perubahan yang reformis menjadi peluang bagi para pihak untuk memasuki dunia bisnis media. Keadaan ini mengakibatkan, dalam perjalanannya cepat atau lambat, wajah pers nasional semakin bergeser dari pers idealis menuju pers industri. Sebenarnya indikasi ke arah itu sudah terjadi sejak masa Orde Baru, tetapi proses bisnis pers pada era reformasi ini semakin transparan dan dipicu oleh terbukanya peluang kebebasan berusaha di bidang media massa sejalan dengan berlakunya UU Pers dan Penyiaran. Menurut laporan media massa belum lama ini, minat investasi di jajaran industri media cetak dan elektronik terus meningkat. Dengan demikian, banyak pengusaha berusaha membeli beberapa perusahaan media dengan cara menguasai saham mayoritas. Tujuan pembelian saham besar-besaran 208 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. di satu sisi merupakan strategi pasar dalam menghadapi persaingan usaha yang ketat, di sisi lain untuk membentuk gabungan korporasi dalam rangka membangun suatu kekuatan grup bisnis media yang kokoh, seperti grup “Trans/7” milik Chairul Tanjung antara kelompok Bank Mega, Trans TV dan TV 7 milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG), Kelompok ANTeve grup Bakrie dengan grup Latif, Lativi dan TV One, Grup Media Indonesia milik Surya Paloh dengan Metro TV, serta grup TV Indosiar dengan Radio Elshinta. Di jajaran media cetak terdapat grup Jawa Pos yang menguasai kepemilikan saham mayoritas dengan televisi-televisi lokal, antara lain TV Batam. Tren penggabungan beberapa stasiun televisi nasional tahun-tahun terakhir ini terus meningkat. Menurut penelitian, dari aspek bisnis penggabungan usaha televisi selain untuk efisiensi, di satu sisi terkait dengan tingginya biaya operasional yang ditanggung oleh masing-masing perusahaan, di sisi lain terbatasnya fasilitas pendapatan iklan. Untuk itu, penggabungan usaha media merupakan solusi bisnis yang tidak bisa dihindari karena market share iklan yang ada tidak cukup mampu menghidupi 10 “televisi nasional” secara sendiri-sendiri. Pada umumnya, jumlah pemasang iklan baru akan naik pada masa-masa kampanye pemilu, sebagaimana publikasi Survei Nielsen Media Research Indonesia menunjukkan, pada Januari-Maret 2008, belanja iklan pemerintah dan parpol meningkat 62 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2007. Diprediksi, belanja iklan meningkat lagi pada Pemilu 2009. Sementara itu, perusahaan media massa yang berorientasi pada bisnis industri surat kabar, tabloid, majalah, dan televisi serta radio makin banyak yang kolaps dan gulung tikar menghentikan kegiatannya. Dalam era globalisasi, keadaan ini tentu saja memprihatinkan bagi para pebisnis pers dalam mengembangkan investasi, karena modal kerja, aset-aset, dan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia tidak dapat diberdayakan secara optimal. Keadaan ini menimbulkan permasalahan baru --sekaligus dilematis—untuk mendorong persaingan usaha tidak sehat. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 209 Secara sederhana, persaingan usaha (business competition) dapat didefinisikan sebagai persaingan usaha antara para penjual dalam merebut pembeli dan pangsa pasar. Hukum persaingan usaha (business competition law) berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan.222 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum persaingan usaha merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur penegakan hukum dalam persaingan usaha, yaitu persaingan usaha di antara para penjual dalam merebut pembeli. Berbagai istilah yang dikenal dan sering digunakan untuk menunjuk instrumen hukum yang mengatur per­saingan usaha yang pada intinya untuk menegaskan bahwa yang ingin dijamin adalah terciptanya persaingan yang sehat. Apa pun istilah yang dipakai, semuanya berkaitan dengan dua hal utama, yaitu menjamin terjadinya persaingan yang sehat dan melarang persaingan yang tidak jujur. Untuk itu, apabila kita ingin mengembangkan persaingan usaha industri media massa menuju persaingan yang sehat maka diperlukan prinsip-prinsip pokok, yaitu; 1). Adanya jaminan kepastian hukum terjadinya persaingan usaha secara sehat, dan 2). Adanya etika profesi bisnis yang baik. Etika dalam arti sebenarnya dapat dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas, atau perilaku suatu individu bisa dianggap baik atau tidak. Dalam etika profesi bisnis, akan diuji peran-peran dan prinsip-prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Umumnya, etika profesi bisnis dipandang sebagai suatu normatif disiplin, dan terdapat standar-standar tertentu yang harus diterapkan dalam menjalankan aktivitas bisnis tersebut. Standar-standar ini akan menunjukkan apakah segala aktivitas yang dijalankan merupakan suatu bisnis yang baik atau buruk. Pendapat yang lain mengatakan, etika berkenaan dengan suatu pedoman yang bersifat sakral, sopan, baik, dihormati, penuh tata krama, UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat 222 210 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bermoral, tidak memecundangi, tidak merugikan, tidak menyusahkan orang lain, dan sebagainya. Biasanya etika juga dianggap sesuai dengan adat, norma, moral, dan aturan. Dalam penerapannya, etika profesi sering kali terbentur dengan berbagai dilema kepentingan yang ingin dicapai dalam bisnis itu sendiri. Namun, semua manajer atau peme­ gang keputusan suatu bisnis harus tetap dapat menjalani dan menghadapi berbagai konflik etika yang sulit sekalipun. Pelaksanaan etika profesi tidak akan pernah ada habisnya serta terus mengalami perkembangan dan perubahan. Masalah etika sangat terkait dengan ekspektasi dari banyak kepentingan para stakeholder-nya yang juga terus berkembang. Sekilas bisa dilihat, etika profesi adalah acuan yang dipakai oleh suatu individu atau perusahaan sebagai pedoman agar aktivitas yang mereka lakukan tersebut tidak merugikan individu atau kelompok komunitas lembaga lain. Dengan kata lain, etika profesi dijadikan pedoman dalam bertingkah laku sebagai nilai-nilai yang baik dalam komunitas. Demikian pula dalam menjalankan aktivitas bisnis, kita akan dihadapkan pada banyak pihak yang berseberangan, bahkan banyak pihak yang tidak bisa lagi membedakan apakah yang telah dilakukannya itu etis atau tidak etis sama sekali. Alasan ekonomi sering kali membuat nilainilai etika dalam bisnis menjadi suatu yang diabaikan. Alasan mengejar keuntungan membuat pelaku bisnis menjadikan sesuatu yang tadinya haram, menjadi halal. Menurut Konosuke Matsushita,223 tujuan bisnis sebe­narnya bukanlah mencari keuntungan semata melainkan untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat. Sementara keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masya­ rakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik, mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhannya tetapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Maka, mereka akan tetap Konosuke Matsushita, Not For Bread Alone, A Business Ethos, A Management Ethics (Kyoto:PHP Institute, 1988), dalam Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relavansinya, Edisi Baru, Kanisius, 1998, Op.cit, hlm. 51. 223 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 211 membeli produk tersebut. Dari sinilah keuntungan akan mengalir terus. Dengan demikian, yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnis bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa kebutuhan masyarakat dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu secara baik, dan dari sanalah ia memperoleh keuntungan. Matshushita berpen­dapat bisnis yang baik selalu mempunyai misi tertentu yang luhur dan tidak sekadar mencari keuntungan. Dalam pandangannya, misi dapat meningkatkan standar hidup masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik.224 Bila berkaitan dengan bisnis, yang tergambar adalah bahwa suatu kegiatan bisnis mempunyai etika tertentu yang dianggap dan diakui oleh pelaku bisnis yang menciptakan keuntungan tanpa merugikan pihak lain, berbisnis dengan sopan. Bahkan dengan gamblangnya, etika bisnis merupakan suatu tatanan perbuatan baik yang harus ditaati dan dijadikan pedoman untuk melakukan bisnis yang bersifat tidak merugikan pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung secara moral. Tegaknya etika bisnis dan sehat-tidaknya iklim bisnis, sangat ditentukan oleh sistem sosial politik yang dianut suatu negara. Untuk menuju persaingan yang sehat, kita juga membutuhan perangkat moral bagi praktik bisnis yang baik dan etis. Hal itu berarti, supaya bisnis dapat dijalankan secara baik dan etis, dibutuhkan pula perangkat hukum yang baik dan adil. Sementara syarat utama untuk menjamin sebuah sistem ekonomi pasar yang fair dan adil adalah perlunya suatu peran pemerintah yang adil juga. Artinya, pemerintah yang benar-benar bersikap netral dan tunduk pada aturan main yang ada, yaitu berupa aturan keadilan yang menjamin hak dan kepentingan setiap orang secara sama dan fair. Di sini diperlukan juga pengawasan yang efektif dari lembaga legislatif dan yudikatif.225 Pada umumnya, sama halnya dengan perusahaan lain, perusahaan pers pun bertujuan memperoleh keuntungan material dan imaterial. Pihak Ibid. Ibid, hlm 219-227 224 225 212 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. direksi perusahaan media massa bersangkutan, akan menentukan segi manakah yang akan mereka utamakan. Segi idealnya sajakah atau segi komersialnya sepanjang tujuannya tidak bertentangan dengan undangundang. Mengutamakan segi idealnya saja, dapat berakibat buruk terhadap perkembangan perusahaan pers yang juga harus memperoleh keuntungan. Sebaliknya, mengutamakan segi komersialnya semata akan bertentangan dengan tujuan pers sebagai lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional. Idealnya, pengasuh dan pemilik perusahaan dapat menyinkronkan kedua tujuan antara ideal dan komersial yang seimbang, tidak membedakan prioritas kegiatan yang dapat merugikan. C. Permasalahan Pelaksanaan Kemerdekaan Pers Pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia dewasa ini masih menghadapi sejumlah kendala dan permasalahan. Kebebasan pers yang diamanatkan oleh undang-undang belum berjalan optimal. Hak demokrasi dan hak kemerdekaan pers belum dinikmati oleh masyarakat. Ketidaklancaran pelaksanaan kemerdekaan pers ini menyebabkan keadaan semakin mengarah pada kontroversi perdebatan pendapat tentang perlutidaknya revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini dengan tegas dan jelas telah membawa angin segar bagi perkembangan dan kemerdekaan pers Indonesia. Proses pembentukan undang-undang ini dilatarbelakangi oleh semangat sosial politik untuk memberikan dan melindungi kemerdekaan pers yang sebesar-besarnya. Demikian pula UU Pers telah memosisikan peran pers secara lebih baik dengan memberi jaminan bahwa kemer­dekaan pers adalah hak asasi warga negara, dan mem­punyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Bahkan amanat yang sama telah ditegaskan dalam Pasal 28F Hasil Amandemen Kedua UUD-45 yang menyebutkan, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengem­bangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyam­paikan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 213 tersedia.” Di samping itu, UU Pers juga telah mengatur tentang peranan pers nasional, seperti halnya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum; melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap kepentingan umum; dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Demikianlah seharusnya pelaksanaan kemerdekaan pers tersebut dalam menuju negara kesejahteraan perlu dijaga dan dipertahankan, jangan sampai terancam atau dihambat. Untuk itu, semua pihak harus menyadari bahwa konsep kemerdekaan pers tersebut bersumber dari kedaulatan rakyat untuk kemudian dilaksanakan oleh wartawan. Pendapat ini berangkat dari konstruksi pemikiran yang mengatakan bahwa rakyat yang berdaulat dengan sendirinya memiliki sejumlah hak publik. Salah satu dari hak publik itu adalah hak untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan. Untuk menemukan jawaban, dalam tulisan ini penulis mencoba melakukan penelitian, siapakah yang akan bertanggung jawab atas pelaksanaan kemerdekaan pers, dan faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan Dewan Pers, penanggung jawab dan penghambat pelaksanaan kemerdekaan pers adalah bersumber pada pers dan faktor sosial yang melingkupinya.226 Menurut keterangan, pers yang dimaksud terbagi dalam dua golongan 227 yaitu wartawan the good guys versus the bad guys. Golongan pertama adalah wartawan dan pers the good guys yakni wartawan yang masih bertugas dan komit sesuai dengan sejarah dan tradisi pers Indonesia, serta berpihak kepada kaum tertindas dan membela golongan yang dizalimi. Golongan kedua, wartawan dan pers the bad guys adalah wartawan yang tidak Naungan Harahap, Penelitian Disertasi pada Dewan Pers, Jakarta, 15 November 2011. 227 Sabam Leo Batubara. Op cit, hlm.86. 226 214 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bertanggung jawab dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada pihak yang tertindas dan yang dizalimi, merusak independensi dan kredibilitas pers sehingga menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penghambat pelaksanaan kemerdekaan pers sejatinya bersumber pada golongan kedua yaitu wartawan dan pers the bad guys yang tidak bertanggung jawab dengan kriteria mengabaikan nasib korban yang dizalimi dan tidak independen. Sementara pelaksana kemerdekaan pers yang baik di masa depan diharapkan dapat diemban oleh golongan pertama, wartawan dan pers the good guys yang masih aktif membela kaum tertindas. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa berbagai kendala yang dapat menghambat kemerdekaan pers adalah faktor sosiokultural atau lazim disebut sosiologis, psikologis, politik hukum, dan perundang-undangan. Penjelasannya, sebagai berikut: 1). Faktor sosiologis228 mencakup aneka etnik, perbedaan norma sosial, dan kurang mampu berbahasa Indonesia. Faktor semantik, pendidikan belum merata. 2). Faktor psikologis disebut hambatan psikologis karena hambatanhambatan tersebut merupakan unsur dari kegiatan psikis manusia. Hambatan dalam pelaksanaan pers yang termasuk dalam hambatan psikologis adalah: 229 perbedaan kepentingan (interest), prasangka (prejudice), stereotip (stereotype), dan motivasi (motivation). 3). Faktor politik hukum dan distorsi pers. Selain melalui peraturan, terbukti dalam praktik distorsi atas kemer­dekaan pers bisa juga dilakukan oleh birokrasi. Pers nasional pun pada masa lalu sangat berpengalaman menghadapi distorsi melalui birokrasi ini. Seperti diketahui, pada zaman Orde Baru dikenal apa yang disebut “budaya telepon”. 4). Faktor perundang-undangan Sebab, masih ada sejumlah ketentuan UU yang dapat dikualifikasikan mengancam kemerdekaan pers, antara Elvinaro Ardianto, Op cit, hlm. 94 Ibid 228 229 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 215 lain UU tentang Perseroan Terbatas, UU Perlindungan Konsumen, UU Hak Cipta, dan sejumlah pasal dalam KUHPidana yang bisa menyeret wartawan masuk penjara. Bahkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran termasuk kategori mengancam kemerdekaan pers karena terdapat sejumlah ketentuan yang memberi peluang kepada birokrasi kembali ikut campur tangan mengatur media siaran, seperti mengeluarkan rekomendasi izin frekuensi. Dari berbagai kenyataan itu, kita bisa mengatakan, sekalipun konstitusi dan UU Pers sudah lebih menjamin kemerdekaan pers, masih saja dimungkinkan distorsi terhadap kemerdekaan pers melalui peraturan perundangundangan.230 Kajian revisi UU Pers pernah disampaikan oleh pemerintah, tetapi menurut kajian versi Dewan Pers atas draf revisi UU Pers versi pemerintah tersebut setidaknya memiliki 6 (enam) ancaman yang dapat menghambat pelaksanaan kebebasan pers. Keenam ancaman terhadap kebebasan pers dimaksud adalah, sebagai berikut: (1). Revisi itu memperbolehkan sensor, pelarangan, pemberitaan, dan pemberedelan. Salah satunya, Pasal 4 ayat (5) meng­ amanatkan antara lain bahwa berita yang membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional dapat disensor, dilarang pemberitaannya, dan medianya dapat diberedel. Pasal itu dinilai sebagai pasal karet, pada gilirannya media yang mem­­beritakan seperti konflik marinir, demo rakyat di kecamatan dan kabupaten dapat dinilai melanggar pasal baru tersebut, dan oleh karena itu kemerdekaan pers dapat diberedel. (2). Penyelenggaraan pers oleh Peraturan Pemerintah (PP). Pasal 5 ayat (4) “Ketentuan tata cara hak jawab dan koreksi diatur dengan PP”. Pada era Orde Baru saja ketentuan tersebut masih urusan masyarakat pers. Sepertinya, pasal baru itu memedomani model Uni Soviet, Kuba, dan Korea Utara. Di negeri itu, tata R.H. Siregar, Efektivitas Peran Pers Dalam Menunjang Pemajuan dan Perlindungan HAM, Makalah Pada Seminar Kemenkum HAM 2009, hlm.4. 230 216 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. cara hak jawab dan koreksi memang diatur pemerintah. Pasal 9 ayat 4: “Standar persyaratan perusahaan pers diatur dengan PP”. Lahirnya PP ini nantinya akan melarang eksistensi media yang tidak memenuhi standar karena tidak pro kepada penguasa. Sementara media yang kritis terhadap penguasa akan dinilai sebagai perusahaan pers yang tidak memenuhi standar sehingga dilarang terbit. (3). Konsep revisi menganut politik hukum yang dapat meng­ kriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik (Pasal 4 ayat 5, Pasal 13, Pasal 17 ayat 2, dan Pasal 18 ayat (3). Pasal 18 ayat 3: pers yang memuat berita yang merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan beragama, bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat, membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional – dipidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku (KUHP). (4). Pasal 17 ayat 2 huruf b: “Masyarakat melakukan gugatan hukum kepada pers yang merugikan kepentingan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok masyarakat. Pasal ini ingin menghapus mekanisme solusi sengketa pers akibat pemberitaan pers seperti yang disosialisasikan Dewan Pers. Bahwasanya berdasar UU Pers, kesalahan kata-kata diselesaikan dengan hak jawab, kemudian bila ada putusan Dewan Pers yang tidak memuaskan, dapat menempuh jalur hukum berdasarkan Pasal 18 ayat 2. Mekanisme solusi berdasar konsep revisi itu justru mendorong masyarakat langsung melakukan gugatan hukum berdasar KUHP. (5). Draf revisi tidak dalam 6 pasal/ayat, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 15 ayat (2) huruf d dan e, Pasal 15 ayat (7) huruf c, dan Pasal 18 ayat (2) memberi legal authority kepada Dewan Pers menjadi penguasa baru, lebih powerful dari Dewan Pers Orde Baru. Karena pembiayaan Dewan Pers bersumber dari Anggaran Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 217 Pendapatan dan Belanja Negara, Dewan Pers menjadi eksekutor penyensoran dan pemberedelan, Dewan Pers diberi kewenangan menindak asosiasi wartawan dan terhadap wartawan yang tidak memenuhi standar, Dewan Pers menentukan sendiri sejumlah regulasi pers tanpa menyertakan komunitas pers. Dengan draf revisi, Dewan Pers akan terlalu berkuasa sehingga dapat menghambat kemerdekaan pers itu sendiri. (6). Paradigma konsep revisi tersebut menempatkan kemerdekaan pers hanya untuk mendukung pembangunan. Sementara berdasarkan UU Pers,Pasal 2 “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat”. Pasal 4 ayat (1), “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”. Pasal 6a: “Pers nasional memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.” Pemerintah yang berencana merevisi UU Pers, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, meski zaman dan kondisi politik sudah berubah, tidak demikian dengan cara pandang kalangan pemerintah terhadap kebebasan pers. Belum terjadi transformasi kultur yang membuat para pemimpin formal lebih apresiatif terhadap hak publik atas informasi dan perbedaan pendapat. Dalam tubuh birokrasi kita, belum terlahir pemahaman baru yang kondusif bagi ruang publik yang otonom dari intervensi negara serta bagi fungsi-fungsi demokratis media. Tak mengherankan, masih sering muncul berbagai ekspektasi usang agar pers berperan dalam mengawal nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, dan pembangunan. Di kalangan pemerintahan, masih berkembang ilusi tentang pers sebagai perangkat pembangunan dan mitra pemerintah. Problem paradigma ini bukan hanya tecermin dalam draf revisi UU Pers yang kontroversial itu, tetapi juga dari pernyataan para pejabat dalam berbagai kesempatan. Kedua, dalam revisi UU Pers tersebut, pemerintah mem­punyai agenda resentralisasi dan reorganisasi kekuasaan pemerintah di bidang pers. 218 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Dalam draf revisi UU Pers ada ambisi politik untuk membangun kembali otoritas dan lingkup kekuasaan pemerintah (Departemen Komunikasi dan Informatika/Depkominfo) layaknya Departemen Penerangan pada masa lalu. Usaha untuk melakukan revisi UU Pers tersebut sebenarnya sudah cukup lama, mulai 2001 atau usianya baru sekitar 2 (dua) tahun. UU Pers berlaku efektif, kontroversi revisi terus berkembang. Namun, dalam perjalanannya hingga sekarang nasib usulan revisi UU Pers tersebut seakan tenggelam di tengah suara lautan kontroversi. Hal itu terjadi karena di antara para pihak yang saling berbeda pendapat belum memperoleh kata kesepakatan. Satu sama lain saling adu konsep, argumentasi, dan kepentingan. Dalam revisi UU tersebut, terdapat tiga kelompok yang terlibat perdebatan. Kelompok pertama adalah tokoh-tokoh perusahaan pers yang menentang dan “ngotot” menolak adanya revisi atau perubahan UU Pers. Kelompok kedua, pemerintah menghendaki agar UU Pers secepatnya diubah, dan kelompok ketiga para praktisi pers yang setuju terhadap kemungkinan diadakannya revisi perubahan tertentu sepanjang syaratsyarat untuk melakukan revisi perubahan terpenuhi. Pada pokoknya, para pihak setuju dengan kemerdekaan pers diatur dalam UU Pers tetapi pada tingkat implementasi semua berbeda. Oemar Seno Adji menegaskan, dalam hal adanya keinginan melakukan revisi UU Pers terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan yaitu: perkembangan undang-undang pidana sudah dipandang tidak cocok lagi diterapkan dalam lapangan pers. Membandingkan dengan di Belanda, sudah tiga kali ketentuan pers dimasukkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi sebanyak itu pula gagal. Prinsip lainnya adalah ancaman penjara terhadap pers tidak wajar lagi hidup di negara demokrasi. Artinya, terhadap karya jurnalistik tidak boleh dikenakan pidana penjara dan ini harus menjadi pegangan dasar. Oleh karena itu, Oemar Seno Adji memperingatkan, ”Janganlah pers memberikan alasan bagi Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 219 pembentuk undang-undang untuk mengatur pers, khususnya janganlah diberi kesempatan untuk lahirnya perundang-undangan pidana.”231 Dalam pembahasan materi revisi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers232 disarankan beberapa hal, yakni perlu dipertimbangkan dan dimasukkan ketentuan untuk penyempurnaan revisi agar undangundang baru yang akan dihasilkan lebih jelas, lengkap, dan terperinci. Penjelasannya, sebagai berikut: (1). Harus ada kejelasan tentang Sistem Pertang­gung­jawaban (2). Harus ada pemberdayaan Dewan Pers (3). Harus dijadikan Undang-Undang Lex Specialis Derogat Lex Generalis (4). Harus ada kejelasan mengenai jenis sanksi (5). Harus ada standar kompetensi profesi wartawan (6). Harus ada penyempurnaan rumusan pada bagian sanksi (7). Harus diatur mekanisme hukum positif/hukum acara gugatan mana yang dipakai (8). Harus jelas sanksinya apabila ada perusahaan pers yang tidak mau menjalankan keputusan yang telah diambil (9). Harus dijelaskan pengertian kategori jurnalistik (10). Harus dikeluarkannya Etika Jurnalistik dari undang-undang (11).Harus ada kejelasan instansi yang berwenang menangani kasus/ delik pers (12). Harus ada pendayagunaan peranan media watch (13). Harus diperjelas hubungan Undang-Undang Pers dengan undangundang yang lain (14). Harus ada sanksi bagi pelanggaran setiap ketentuan (15). Harus ada perlindungan dan kesejahteraan untuk profesi wartawan Oemar Seno Adji, Pers:Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, Tahun 1977, hlm. 48-61. 232 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi, Op.cit, hlm. 219-227. 231 220 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. D. Akibat Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat Media Massa Terhadap Kemerdekaan Pers Arah perkembangan pers Indonesia tampaknya meng­ikuti perkem­ bangan di negara-negara maju sehingga tumbuh menjadi industri informasi. Gejala ke arah itu sudah terlihat sewaktu masuknya Sukamdani dan kawan-kawan ke bidang pers dengan menanggung semua biaya penerbitan Bisnis Indonesia pada tahun 1985. Pada penerbitan surat kabar harian tersebut, redaksi diberi jatah saham 20 persen untuk seluruh wartawan.233 Pada awalnya, Sukamdani yang dikenal masyarakat sebagai pengusaha perhotelan yang sukses memang ingin menerbitkan koran harian Bisnis Indonesia. Kepemilikan berbagai macam perusahaan media massa, baik cetak, online, maupun elektronik, oleh satu konglomerat tertentu diyakini membatasi hak publik dalam memperoleh keberagaman informasi, pemberitaan, dan pandangan yang sangat diperlukan dalam konteks berdemokrasi. Sementara di sisi lain, keberadaan konglomerasi perusahaan media massa juga dianggap tidak memberi banyak kontribusi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan para pekerja pers. Perusahaan juga diketahui sangat alergi terhadap ke­beradaan serikat pekerja media massa yang ada. Akibat konglomerasi dan kekuatan modal, keberadaan pemilik media massa di bidang redaksi menjadi sangat domi­nan. Mereka bahkan mampu mengendalikan kebebasan pemberitaan media massa yang selama ini bersikap independen. Praktik konglomerasi justru merugikan kemer­dekaan pers dan itu tampak dalam sejumlah kasus seperti fenomena perkembangan multimedia. Dan wartawan dituntut tidak hanya bekerja dalam satu moda industri, misalnya untuk media cetak saja, melainkan juga untuk beragam moda pemberitaan lain. Kekuatan modal dalam media yang independen memang menghasilkan sejumlah akibat yang luar biasa dalam bentuk:234 a) media menjadi corong Alex Sobur, Op cit, hlm.370. 233 Ignatius Haryanto. Konglomerasi Media, Serikat Pekerja Media, dan 234 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 221 kepentingan politik atau bisnis semata, b) media mudah diintervensi untuk item-item pemberitaan yang dianggap tabu oleh pemilik atau grup media tersebut. c) media menjadi bias dalam menyajikan informasi kepada publik, lebih jauh media kerap kali jadi berbohong kepada publik, d) ideologi kecepatan penyampaian informasi tetapi belum tentu akurat, e) konflik, sensasionalisme, komersialisme adalah hal-hal yang menjadi keutamaan (virtue) pada industri media sekarang ini, f ) berbaurnya batas antara fungsi informasi dan fungsi hiburan dari media massa. Contoh konglomerasi perusahaan industri media massa pada MNC Group PT Media Nusantara Citra (PT MNC Terbuka) merupakan salah satu konglomerasi media terbesar di Indonesia. Perusahaan media ini memiliki bisnis di bidang produksi program, distribusi program, saluran televisi terestrial, saluran program televisi, surat kabar, tabloid, dan jaringan radio. Perusahaan ini dapat digolongkan sebagai perusahaan media yang terintegrasi secara raksasa.235 Televisi swasta lainnya, yakni SCTV, Metro TV, dan Indosiar berdiri sebagai perusahaan sendiri. Saat ini, SCTV dan Indosiar dalam proses evaluasi untuk merger dalam grup Surya Citra Media.236 1. Manajemen Media Menuntut Keuntungan Besar Tekanan ekonomi memengaruhi komunikasi yang dilakukan. Dalam komunikasi media, melekat tanggung jawab sosial yang sering dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dari perusahaan pers. Dalam media massa, tekanan ekonomi berasal dari pendukung finansial, investor, pemilik, pemasang iklan, pelanggan, kemudian para pesaing serta masyarakat atau publik secara umum. Pertumbuhan pasar media Kebebasan Pers, Paper diskusi Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Dewan Pers, Rabu, 3 Maret 2010 tentang “Konglomerasi Media: Ancaman atau Peluang bagi Kebebasan Pers”, hlm.5. Ibid., http://id.shvoong.com/social-sciences/communication-media-studies /2049280-konglomerasi-media/#ixzz1bV5TWDQf. Diakses tanggal 22 Oktober 2011 235 236 222 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. yang semakin bersaing membuat institusi media menjadi ekspansi bisnis para pengusaha, sehingga banyak keputusan yang diambil berdasarkan keuntungan komersial belaka. Semua media berlomba-lomba membuat tayangan yang kreatif dan menarik perhatian para konsumen, sehingga merebut hati pembaca atau pemirsa. Dalam hal ini dimanfaatkan oleh para awak media untuk menayangkan iklan-iklan agar dapat dipertontonkan, dan tentu saja hal ini merupakan pemasukan terbesar bagi institusi media, bahkan tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pemasukan keuangan media adalah iklan. Namun, yang terjadi adalah pemasang iklan dapat memutuskan apakah suatu program dapat ditayangkan atau tidak, sehingga kekuasaan menjadi di tangan pemilik modal. Sebuah idealisme jurnalistik terkadang memang dikalahkan oleh kekuasaan keuangan. Manajemen media sudah mulai dirasuki oleh teori-teori marketing yang penuh strategi untuk meraup keuntungan komersial, sehingga keputusan-keputusan manajemen media hanya berdasarkan faktor keuangan semata, dan meletakkan idealisme jurnalistik ke urutan paling bawah. Hal itu menyebabkan adanya dilema antara nilai etis, tanggung jawab sosial, dan tekanan ekonomi demi kelangsungan hidup media itu sendiri. Media massa merupakan bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang terjadi. Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah mengubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya yaitu dari data AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga kuartal Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 223 ke-3 tahun 2006, Grup Media Nusantara Citra (MNC) sukses meraup Rp 4,8 triliun atau 32,9 persen dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp 3,4 triliun (23,2 persen). ANTeve dan Lativi (TV One) berhasil memperoleh pendapatan Rp 2,3 triliun (15,7 persen), berada pada peringkat ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya berorientasi pada pemenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.237 Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan pengiklan dengan khalayak pengonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh bisa maksimal. 2. Redaksi Media Mengabaikan Etik dan Idealisme Pers Kekhawatiran para pengamat kehidupan pers di Indonesia bertumpu pada kekhawatiran bergesernya nilai-nilai etis pers Indonesia akibat masuknya orang-orang bisnis yang tidak mempunyai latar belakang pers dalam kehidupan pers. Bagaimanapun, antara dimensi idealisme dan komersialisme yang melekat pada pers mutlak harus berimbang. Hanya dengan mengandalkan idealisme itulah pers dapat memelihara kelangsungan hidupnya. Pers bisa menjadi apa yang disebut giantism seperti yang terjadi di Amerika, surat kabar, majalah, bahkan radio dan televisi di seluruh negeri dimiliki oleh beberapa gelintir pengusaha raksasa yang mengendalikan usahanya dari gedung-gedung pencakar Bahaya, kepemilikan stasiun televisi Terkonsentrasi www.kompas.com/read/ xml/2008/03/27/18321983. Diakses pada 22 Oktober 2011 237 224 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. langit di kota-kota metropolitan.238 Jika giantism terjadi Indonesia, bukan hal yang mustahil para wartawan yang disebabkan kerapuhan idealismenya sudah dimingimingi upah yang lebih besar. Kesejatian pers Indonesia pun akan sirna dan wartawan bukan lagi seorang jurnalis idealis, melainkan seorang perajin atau tukang dalam hal tulis menulis. Ia tidak lagi memiliki dedikasi dan loyalitas kepada media yang pernah membesarkannya. Setiap saat ia siap meloncat dari perusahaan pers yang satu ke perusahaan pers lainnya yang menjanjikan upah lebih besar. Ketika pemilik modal campur tangan terlalu besar dalam redaksi media, hal itu tentunya akan memengaruhi bentuk pemberitaan dari perusahaan pers tersebut. Faktor kepentingan akan menghilangkan etika dan idealisme pers dalam melakukan fungsinya sebagaimana terdapat dalam UU Pers. Media akan selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan berbagai permasalahan terkait kasus-kasus seperti pesan sponsor dari pemilik media, agenda terselubung dewan redaksi, ataupun pelampiasan idealisme si wartawan. Kepentingan yang besar dari pemilik modal mengakibatkan pers tidak mandiri, atau berpihak pada kepentingan tertentu. Padahal kemandirian (zelfstanding haid) adalah wujud dari independensi pers itu sendiri, sehingga pers mengabaikan keberpihakannya terhadap kebenaran dan keadilan serta manfaat berita untuk kepentingan publik. Kepentingan publik yang seharusnya diutamakan menjadi diabaikan oleh pers bahkan mengabaikan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh publik terhadap pers. Kondisi ini mengakibatkan pers menjadi alat rezim yang sangat berada jauh dari kepentingan publik sehingga terciptalah permusuhan dengan pers. Dengan beralihnya wajah pers yang economic oriented maka jurnalistik telah mengabaikan pemberitaan yang objektif, netral, berimbang, faktual, akurat, dan benar. 238 Onong Uchjana Effendy, Problematik Profesi Kewartawanan, Pikiran Rakyat, tanggal 1 September 1990. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 225 3. Independensi Profesionalisme Pers Terganggu Sebagai profesi, tentunya penyelenggaraan pers harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup dan keahlian, baik dalam arti penguasaan pengetahuan maupun keterampilan. Pekerjaan profesi tidak dapat dipisahkan dari integritas sebagai pilar untuk menjaga dan mempertahankan kehormatan serta kemuliaan profesi. Tanpa integritas, kehormatan dan kemuliaan akan sirna. Pers atau wartawan yang tidak memiliki integritas bukan saja kehilangan kehormatan dan kemuliaan, juga akan direndahkan bahkan jadi bahan gurauan. Selain dalam kejujuran dan keterbukaan, integritas adalah untuk senantiasa menjalankan pekerjaan (tugas jurnalistik) dengan cara-cara terbaik untuk mencapai hasil terbaik. Profit oriented telah mengabaikan apa yang disebut social responsibility. Menjadikan pers sebagai alat untuk mencapai kepen­ tingan pemilik modal, sehingga dapat mengancam kehidupan pers karena mengabaikan prinsip independensi pers. Kepen­tingan ekonomi telah mengikis profesionalisme wartawan dalam menja­ lankan tugasnya. Dengan dalih kebebasan pers, profesi wartawan telah melawan hati nurani demi kepentingan pribadi dan kepentingan bisnisnya. E. Tanggung Jawab Media Massa Terhadap Publik dan Isi Pemberitaan Pers merdeka memerlukan kebebasan, dan kebebasan memerlukan demokrasi. Tanpa demokrasi, tidak pernah ada kemerdekaan atau kebebasan pers. Wartawan atau pelaku pers, baik sebagai pelayan publik maupun sebagai unsur kekuatan sosial (social power) hanya akan hidup dalam alam demokrasi dan negara hukum. Demokrasi dan negara hukum tidak hanya subur di tangan penguasa yang demokratis dan menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum (legality, legaliteit), tetapi juga kemerdekaan 226 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. pers dapat hidup subur di tengah masyarakat yang berwatak demokratik dan menjun­jung tinggi hukum. Selain memerlukan kemer­dekaan dalam mengemas isi pemberitaan, pers harus memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, karena dalam setiap kegiatan jurnalistik semua isi pemberitaan media massa harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk memikul tanggung jawab yang besar itu, pers harus sehat yaitu pers yang menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara benar, tepat, teratur, dan tertib. Tanggung jawab manajemen media massa seyogianya dapat dibedakan antara pengelolaan perusahaan pers dan pengelolaan penerbitan pers atau redaksi media massa. Selain untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan produk­tivitas sebagaimana fungsi manajemen pada umumnya, penge­lolaan (perusahaan dan penerbitan) pers yang baik meru­pakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari upaya mem­bangun dan memelihara kepercayaan publik (public trust). Sebagai sebuah perusahaan, industri pers harus dikelola atas dasar prinsip-prinsip ekonomi, termasuk keuntungan ekono­minya. Demikian juga pengelolaan penerbitan pers dan redaksi dimaksudkan agar berita sebagai fungsi utama pers dapat sampai kepada publik secara optimal, dan meme­nuhi segala syarat pemberitaan sesuai dengan kriteria etik dan hukum, serta mencerminkan kompetensi yang tinggi. Pada saat ini, kapitalisasi perusahaan dan penerbitan pers (redaksi) menjadi polemik yang berkepanjangan. Pemilik modal tidak terlepas dari motif mencari keuntungan (rugi laba) termasuk kepemilikan atas pers. Kepemilikan pers oleh para pemilik modal dikhawatirkan akan berpengaruh pada kebebasan wartawan dan kemerdekaan pers, serta pers sebagai sarana demokrasi. Kebijakan pemberitaan ditentukan oleh perhitungan rugi-laba pemilik, bukan lagi mewujudkan berita yang benar dan akurat. Pers tidak akan lagi menjadi instrumen sosial yang melayani kepentingan publik melainkan hanya untuk kepentingan pemilik perusahaan. Di pihak lain, beberapa pendapat menyatakan, keikut­sertaan para investor dalam perusahaan (usaha) pers tidak mungkin bisa dihindari, terutama untuk menghadapi per­saingan ketat media seperti media baru internet dan lain-lain. Media-media tradisional (seperti surat kabar, Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 227 radio) menghadapi ancaman kehilangan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Menguatnya penguasaan pemilik modal di bidang industri media massa dapat menimbulkan berbagai implikasi seperti praktik monopoli penyelenggaraan pers dan eksploitasi terhadap wartawan dan karyawan pers. Selain memberikan informasi yang benar, pers yang sehat dan bertanggung jawab semestinya dapat berfungsi pula sebagai penuntun masyarakat menuju cita-cita bangsa yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehi­ dupan bangsa, mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tidak semestinya pers sebagai pranata sosial menjadi bagian dari suasana tidak kondusif yang menciptakan kemelut. Pers harus berlaku sebagai penuntun yang membimbing, meng­arahkan, dan mengajak memulihkan keadaan yang tenteram. F. Pelaksanaan Sanksi Hukum, Administrasi, Etika Pers, Hak Jawab, dan Koreksi “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa”. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya hubung­an yang kuat antara pers dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap insan pers harus menyadari bahwa dia merupakan pekerja sosial yang bekerja untuk kepentingan umum, dan bertanggung jawab kepada publik. Oleh karena itu, me­ru­­pakan suatu pelanggaran berat terhadap profesi bila pers mencederai masyarakat melalui cara-cara yang tidak pro­fesional, seperti penyesatan informasi, rekayasa informasi, atau bentuk-bentuk lain sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang benar. Ketentuan dan perundang-undangan di bidang pers memberi peluang kepada masyarakat yang merasa diru­gikan akibat suatu pemberitaan pers untuk mengajukan tuntutan, baik tuntutan perdata maupun pidana melalui proses hukum yang berlaku, ke kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan maupun tuntutan profesional kepada lembaga-lembaga pers terkait seperti 228 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Dewan Pers, organisasi pers, perusahaan pers, dan media. Penjelasannya, sebagai berikut; 1. KUH Perdata Ketentuan mengenai ganti rugi di Indonesia antara lain diatur dalam Pasal 1327 sampai Pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut isi pasal-pasal tersebut, ganti rugi tidak hanya dituntut langsung oleh mereka yang namanya dirugikan, tetapi juga boleh dilakukan oleh pasangan suami atau istri dan keturunan waris yang jika namanya dihina sudah meninggal. Bahkan mereka yang merasa menjadi korban penghinaan dimungkinkan meminta kepada pengadilan agar kasusnya dinyatakan sebagai kasus fitnah dalam perkara pidana. Selain itu KUHPt memberikan batas kadaluwarsa gugatan selama setahun. Sesudah batas masa itu lewat, otomatis demi hukum hak mengajukan gugatan menjadi gugur. Selain itu, ketentuan ini bersifat umum, dalam artian bukan semata-mata untuk mengatur ganti rugi dalam dunia pers. Bahkan justru ganti rugi dalam dunia perslah yang “dicantolkan” pada ketentuan-ketentuan dalam KUHPt. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dasar pasal-pasal mengenai ganti rugi yang dapat diarahkan tuntutan ganti rugi kepada pers.239 Pasal 1373 Tuntutan perdata soal penghinaan diajukan untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik serta kehormatan. Menurut pasal ini, tuntutan yang diajukan mempunyai dua tujuan pokok, yaitu ganti rugi dan pemulihan kehormatan atau nama baik. Di sini undangundang memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim untuk menentukan selayaknya ganti rugi yang harus dijatuhkan. Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1993, hlm. 105. 239 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 229 Pasal 1374 Tanpa mengurangi ganti rugi, tergugat dapat meminta supaya keputusan itu tidak disebarluaskan, dengan syarat dia menyatakan penyesalan, minta maaf, dan menyatakan orang yang dihina sebagai orang yang terhormat. Pasal 1375 Tuntutan ketiga pasal sebelum pasal ini dapat pula dilakukan oleh suami atau istri, kakek-nenek, anak dan cucu karena penghinaan dilakukan kepada suami atau istri, anak cucu, orang tua, dan kakek-nenek mereka, setelah orang-orang yang bersangkutan meninggal dunia. Pasal 1375 Pasal 1369 Pasal ini mengisyaratkan, nama baik dan kehormatan tidak hanya melekat pada pribadi pihak yang dihina, tetapi dapat juga menjadi milik keluarga pasangan hidup (suami istri) dan keturunannya. Pengertian ini memperluas arti nama baik atau kehormatan pribadi seseorang menjadi milik keluarganya. Oleh karena itu, walaupun orang yang nama baik atau kehormatannya dirugikan sudah meninggal dunia, kepada keluarganya tetap diberikan hak mengajukan tuntutan ganti rugi. Pada pasal ini disebutkan bahwa hak menuntut ganti rugi tidak hilang karena orang yang menghina atau dihina meninggal dunia. Namun, bila yang melakukan penghinaan meninggal dunia tidak dijelaskan apakah tuntutan ganti rugi dapat pula diajukan kepada keluarga atau ahli waris pihak yang menghina. Di sini kelihatan, pembuat undangundang menganut prinsip kepada pihak keluarga hanya diberikan hal-hal yang menguntungkan mereka saja. Berkaitan dengan masalah ganti rugi akibat penghinaan yang mencemarkan nama baik atau 230 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. kehormatan, pasal-pasal KUHP tersebut di atas sama sekali tidak menyinggung patokan bagaimana menghitung jumlah kerugian yang harus diberikan. Akibatnya, tetap saja besarnya ganti rugi menjadi persoalan. Bila diperbandingkan, penjelasan uraian hukum di Amerika dan Indonesia, ternyata di kedua negara besarnya ganti rugi yang layak masih menjadi masalah karena tidak ada kriteria yang baku dan pasti. Masing-masing dikembalikan kepada keadilan yang situasional berdasarkan keputusan hakim. Tetapi, di kedua negara tetap ada prinsip hukum yang sama: siapa yang mencemarkan nama baik dan kehormatan orang lain harus membayar ganti rugi. Prinsip ini berlaku pula bagi pers di kedua negara; pers yang telah melakukan pencemaran nama baik atau kehormatan seseorang tanpa alasan untuk kepentingan umum harus membayar ganti rugi kepada orang yang dirugikan itu.240 2. KUH Pidana Pertanggungjawaban pers dalam sanksi pidana. Ketika wartawan dituntut pertanggungjawabannya secara hukum pidana, terdapat dua unsur formal dan material yang harus dipenuhi supaya seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawabannya dan dituntut secara hukum, yaitu:241 a. Apakah wartawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya isi berita dan tulisan dimaksud. b. Penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang, sering juga disebut fitnah. Pasal-pasal penghinaan adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah disebarkan Ibid.,hlm.110. Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Delik Pers dalam Hukum Pidana, Penerbit Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta, hlm.2. 240 241 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 231 secara tertulis, dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan negeri dan jika memang dapat, mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.242 Ketentuan hukum penghinaan ini bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers -- nama baiknya tercemar atau merasa terhina -- harus mengadu ke aparat penegak hukum agar perkara tersebut bisa diusut. Sementara kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan instansi negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum dapat berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah bahwa presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya, perkara hukum yang terjadi sering kali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah dapat menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal itu menyebabkan pasal-pasal penghinaan (penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan. Selain itu, ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet” karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterprestasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara. Ibid.,hlm.16. 242 232 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehor­ matan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan termasuk orang yang sudah meninggal dunia. Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis atau lisan, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan, dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, tetapi bisa dikenakan untuk pers dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan dan enam tahun penjara. Pers sering harus berhadapan dengan anggota masya­ rakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam Pasal 310 KUHP). Ini juga berlaku jika memenuhi unsur: a. Dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar) b. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan c. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang. Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998 itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman percobaan karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno dan Jenderal TNI (Purn.) Edi Sudrajat. Dalam kasus ini perbuatan wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti, dan telah mencemarkan nama Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 233 baik pengadu.243 Rambu-rambu hukum sebagai bentuk pertang­ gungjawaban pers masih menganut dualisme yaitu pertanggungjawaban menurut UU Pers dan menurut KUHPid, perbedaan itu dapat diuraikan sebagai berikut: a. Pertanggungjawaban menurut UU Pers Penje­lasan Pasal 12, UU Pers menyebutkan “….Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian penjelasan menyangkut ketentuan pidana khususnya penjelasan Pasal 18 ayat (2) ditegaskan, “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagai­mana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12” Sebagai perbandingan, dalam ketentuan pertang­gungjawaban pers menurut UU No.11 Tahun 1966 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pers, yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang No.11 Tahun 1966 menetapkan “Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan”. Prinsip pertanggungjawaban seperti ini disebut bersifat fiktif. b. Pertanggungjawaban menurut KUHP Sementara itu, menyangkut pertanggungjawaban, Pasal 55 ayat 1 KUHP menetapkan “Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana”: Ibid.,hlm.18. 243 234 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 1) Orang yang melakukan, yang menyuruh me­la­kukan atau turut melakukan perbuatan itu; 2) Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan; Menurut Pasal 55 KUHP, dalam peristiwa pidana dikenal empat jenis pelaku, yaitu: 1). Pelaku (dader), yaitu orang yang melakukan sendiri segala anasir dan elemen peristiwa pidana, biasanya disebut pelaku utama. 2). Pelaku yang menyuruh melakukan (doen plegen), di sini paling tidak terlibat dua orang yang melakukan peristiwa pidana. 3). Pelaku yang turut melakukan (medepleger), artinya orang itu bersama- sama dengan orang lain melakukan perbuatan pidana. Di sini paling tidak ada dua orang yang terlibat, yaitu orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan perbuatan pidana. Pelaku yang dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan pidana (uitlokker). Cara-cara pembujukan itu bermacam-macam, seperti dijanjikan diberikan sejumlah uang/hadiah/jabatan atau melakukan kekerasan untuk melakukan suatu perbuatan. Pertanggungjawaban fiktif menurut UU Pers dan menurut KUHP berbeda. Prinsip pertanggungjawaban menurut UU Pers disebut bersifat fiktif, karena penjelasan Pasal 12 UU Pers menyatakan apabila terjadi sengketa hukum atau perkara pidana maka yang bertanggung jawab adalah “penanggung jawab”. Itu berarti, jika ada gugatan perdata atau penga­duan pidana, maka yang harus bertanggung jawab adalah ”Penanggung Jawab” dimaksud. Pihak kepolisian, misalnya, apabila menerima pengaduan perkara pidana, maka menurut UU Pers tersebut tidak perlu menyelidiki si pelaku utama perbuatan pidana, melainkan langsung meminta Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 235 pertanggungjawaban dari Penanggung Jawab. Padahal belum tentu si penanggung jawab adalah orang yang melakukan perbuatan pidana atau yang mengetahui telah terjadi perbuatan pidana. Namun, karena ketentuan UU Pers menga­takan bahwa penang­ gung jawab harus bertang­gung jawab, baik di bidang usaha maupun di bidang redaksi, tidak bisa tidak, dialah yang harus menghadapi proses hukum. Itulah sebabnya prinsip pertang­gungjawaban pidana menurut UU Pers disebut bersifat fiktif karena belum tentu penanggung jawab tadi melakukan per­buatan pidana yang dituduhkan. Namun, sebagai penanggung jawab menurut UU Pers, mau tidak mau dialah yang harus menghadapi setiap gugatan perdata dan tuntutan pidana. Pertanggungjawaban pidana bersifat fiktif ini makin jelas pada penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU Pers, yang mengatakan “Dalam hal pelanggaran pida­na yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka per­usahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 12. “Dari perkataan “diwakili” dalam rumusan itu berarti pertanggungjawaban pidana dapat dialihkan atau disub­stitusikan kepada orang lain. Sebaliknya, KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban personal atau bersifat individual. Prinsip pertanggungjawaban bersi­fat personal ini tersimpul dari ketentuan Pasal 55 KUHP. Ketentuan Pasal 55 KUHP ini dikenal dengan deelneming atau “penyertaan”. Jadi, kadar keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana tergantung seberapa jauh orang tersebut terlibat dalam proses terjadinya tindak pidana. Berdasarkan prinsip ini, siapa saja yang melakukan perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dialah yang bertanggung jawab. Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana itu tidak dapat dipin­dah­kan, dialihkan, atau disubstitusikan kepada orang lain yang sama sekali tidak melakukan perbuatan pidana. Menurut UU Pers, pertanggungjawaban pidana dapat diwakilkan kepada orang lain--dalam hal ini penanggung jawab-- padahal yang bersangkutan belum tentu orang yang melakukan perbuatan pidana 236 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. sehingga disebut bersifat fiktif. Namun, menurut KUHP, pelaku perbuatan pidanalah yang bertanggung jawab, dan karena itu disebut pertanggungjawaban bersifat personal. 3. Hukum Administrasi Sanksi hukum administrasi merupakan inti dari pene­gakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi. Penggunaan sanksi adminis­ trasi merupakan penerapan kewenangan pemerin­ tahan di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis. Jenis sanksi administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom, sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif, sedangkan sanksi regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan. Perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah, jika sanksi administrasi ditujukan pada perbuatan, sifat repatoircondemnatoir, prosedurnya dilakukan secara langsung oleh pejabat tata usaha negara tanpa melalui peradilan. Sementara sanksi pidana ditujukan pada si pelaku, sifat condemnatoir, harus melalui proses peradilan. Macam-macam sanksi dalam hukum administrasi seperti berikut, bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). a. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang meng­ Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 237 untungkan Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilaku­kan dengan menge­ luarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekat­kan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya. b. Pengenaan uang paksa (dwangsom) Uang paksa dapat dipersamakan sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan c. Pengenaan denda administratif Terdapat perbedaan dalam hal pengenaan denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi 238 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tidak lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti. Dalam pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis. 4. Hak jawab Dari mekanisme internal proses pers, banyak faktor yang menye­ babkan terjadinya pencemaran nama baik melalui pers. Pertama, yang memang jelas mengandung faktor kesengajaan dari pers. Di samping itu, mungkin juga hal itu terjadi akibat faktor ketidaksengajaan, misalnya karena data yang diperlukan tidak muncul atau ditemu­ kannya sudah terlambat. Bisa pula terjadi karena masalah teknis penulisan dan kekurangcermatan pers. Ini memperlihatkan, dari sudut pers sebetulnya “tingkat kesalahan” yang muncul dalam pelbagai penerbitan pers berbeda satu dengan lainnya. Adanya fakta itu, tidak berarti dapat membuat pers yang telah melakukan pencemaran nama baik kemudian luput dari hukum. Sebab, prinsipnya, siapa yang berbuat, dia harus menanggung risiko. Maka, pers yang salah tetap harus dihukum. Tetapi, dalam menjatuhkan hukuman, seharusnya tingkat kesalahan pers harus pula diperhatikan. Pers yang memang sengaja mencemarkan nama baik seseorang tanpa alasan yang kuat, jelas harus memperoleh ganjaran hukum yang tinggi. Tetapi, bagi pers yang mungkin tidak sengaja atau karena kurang cermat, dan dampak yang ditimbulkannya juga tidak terlalu besar bagi korbannya, barangkali akan adil bila hukumannya tidak seberat hukuman kepada pers yang memang sengaja mencemarkan nama baik orang dan berdampak luas pula terhadap kehormatan dan reputasi orang yang namanya dicemarkan itu. Selain itu, mereka yang dirugikan karena pemberitaan pers Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 239 harus pula diberi kesempatan untuk membantah berita mengenai dirinya, atau bahkan membela diri mereka melalui pers itu. Sesudah itu, kepada mereka harus pula diberikan pilihan apakah hanya ingin menyelesaikan persoalannya melalui “hak jawab” yang diberikan kepada mereka untuk membantah dan membela diri di pers itu, atau tetap hendak membawa persoalannya ke pengadilan atau bahkan memilih keduanya sekaligus. 1). Hak Jawab Dalam Etika Pers Hak jawab diatur dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang mengatakan wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau objek berita. Dalam tafsir KEJ dikatakan, hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan. Sementara hak jawab dimuat pada halaman yang sama atau ditempatkan pada letak yang menarik perhatian, maksimum sepanjang berita yang dipertanyakan/dipersoalkan. Mengutamakan kecermatan menjadi lebih mutlak bagi wartawan media siaran karena kecepatan daya siar/sebarnya. Oleh karena itu, penyiaran hak jawab wajib dilakukan segera oleh media siaran, jika perlu berulang. 2). Hak Jawab Dalam UU Pers Hak jawab juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pers yang menyatakan pers wajib melayani hak jawab, sedangkan pada Pasal 1 ayat (11) UU Pers hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 240 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Berbeda dengan hak tolak yang merupakan hak wartawan untuk merahasiakan identitas sumber beritanya, maka hak jawab adalah hak anggota masyarakat, organisasi, badan hukum untuk meluruskan berita yang dianggap merugikan atau berita yang tidak benar. Hak jawab merupakan alat pengawasan masya­ rakat terhadap kebebasan pers, sebab yang dinginkan tidak sekadar kebe­basan melainkan kebebasan bertanggung jawab, artinya kebebasan pers itu harus dipertanggungjawabkan kepada pemiliknya, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Oleh karena itu, rakyat juga wajib mengembangkan dan menjaga kebebasan pers serta menjamin hak memperoleh informasi yang diperl­ukan masyarakat. 244 Berangkat dari partisipasi masyarakat untuk mengem­ bangkan dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan inilah, UU Pers dalam Pasal 17 secara khusus mengatur peran serta masyarakat. Dalam Pasal 17 ayat (1) UU Pers menyatakan masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak mem­ peroleh informasi yang diperlukan. Kemudian dalam Pasal 17 ayat (2) UU Pers ditetapkan bahwa kegiatan masyarakat itu dapat dilakukan berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Menyampaikan usulan dan saran ke Dewan Pers dalam rangka menjaga dan mening­ katkan kualitas pers nasional. Dalam penjelasan Pasal 17 UU Pers dikatakan untuk melaksanakan peran serta masyarakat tersebut dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media (media watch). R.H. Siregar, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Penerbit Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia, 2005, hlm. 131. 244 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 241 Jelaslah bahwa masyarakat dalam UU Pers mempunyai hak untuk mengontrol, bahkan mengoreksi pelaksanaan kebebasan pers. Dan, salah satu cara masyarakat mengawasi dan mengoreksi pelaksanaan kebebasan pers itu adalah melalui mekanisme hak jawab. Dalam Penjelasan Umum UU Pers dengan tegas dikatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya, pers menghormati hak asasi setiap orang. Oleh karena itu, dituntut pers yang profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Hanya saja pelaksanaan hak jawab tersebut sering kurang memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Ada beberapa faktor yang menjadi alasan, seperti:245 (a). Hak jawab baru dimuat beberapa lama kemudian sehingga pelaksanaannya kurang efektif karena masyarakat sudah lupa akan berita awal. (b). Berita awal dimuat di halaman utama dan dalam ukuran berapa kolom, tetapi hak jawab ditempatkan di halaman dalam dengan ukuran satu kolom (c). Dampak yang ditimbulkan berita awal tidak dapat dipulihkan oleh pemuatan hak jawab. Diangkatnya hak jawab menjadi ketentuan hukum positif, menjadikan apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan terhadapnya, maka sanksi atas pelanggarannya pun bergeser, tidak lagi bersifat moral melainkan bersifat hukum. Sanksi hukum ini pun tidak terbatas perdata melainkan bersifat pidana, sekalipun pidana denda. Sebab, dalam Pasal 18 ayat 2 UU Pers dikatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 2, yaitu hak jawab, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Jadi, kalau ada pengelola media tidak melaksanakan hak jawab tersebut dapat dipidana paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Ibid., hlm.132. 245 242 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Dalam hal yang berkepentingan merasa tidak puas atas pelaksanaan hak jawab, memang tidak tertutup kemungkinan untuk mengajukannya menjadi perkara hukum. Hak jawab menjadi bagian penting dalam proses interaksi pers dengan masyarakat. Sebab, secara tidak langsung sesungguhnya hak jawab juga termasuk salah satu bentuk ganti rugi yang diberikan pers. Dengan adanya hak jawab ini, ada dua faktor yang harus ditanggung oleh pers, yaitu :246 1). Tentu saja pemakaian ruangan secara gratis, dengan pemuatan suatu hak jawab, ada ruangan dalam penerbitan pers yang terambil. Sementara kalau tidak ada hak jawab, ruangan itu dapat dipakai untuk berita atau untuk iklan. Berarti secara ekonomis pers yang memuat hak jawab sudah mengeluarkan biaya yang merugikan mereka. 2). Kredibilitas atau citra pers yang bersangkutan. Adanya pemuatan hak jawab dapat menye­ babkan pers yang bersangkutan dinilai kurang profesional. Kalau terusmenerus, akhirnya akan memengaruhi kredibilitas atau citra penerbitan pers yang bersangkutan. Padahal citra atau kredibilitas bagi pers merupakan modal dasar tidak berwujud yang paling mahal. Pers yang tidak mempunyai kredibilitas tidak akan dipercayai oleh pembacanya, dan akhirnya tidak akan dibeli. Jika itu terjadi, pers yang bersangkutan akan merugi atau bahkan gulung tikar. Namun mekanisme penyelesaian persoalan yang dituntut kalangan pers tersebut dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang pers, sering tidak diakui atau diindah­kan masyarakat. Dengan kata lain, tidak meng­indahkan mekanisme hak jawab melainkan lang­sung memerkarakannya, baik secara 246 Wina Armada, Op cit. hlm.98. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 243 perdata maupun pidana. Alasan yang sering muncul ada­lah karena mekanisme hak jawab yang kurang efektif, mengingat ketentuan itu merupakan “hak”, maka tergantung yang ber­ kepentingan mau mem­per­gunakannya atau tidak. 5. Hak Koreksi Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain. Kewajiban koreksi, menurut pasal 5 ayat (3) dan Pasal 1 angka 13 UU Pers adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar, yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi dilakukan atas insiatif redaksi sendiri ketika ia menemukan kesalahan. Berbeda dengan hak jawab, maka terhadap hak koreksi–karena kualitas akibat yang ditimbulkannya tidak seberat hak jawab—tidak diancam dengan pidana denda. Dalam menggunakan hak jawab atau hak koreksi, pihak yang merasa dirugikan perlu melakukan langkahlangkah sistematis sebagai berikut:247 a. Cermati isi pemberitaan tersebut. Pastikan telah terjadi kekeliruan yang berakibat merugikan nama baik kita. b. Catatlah nama koran, majalah, tabloid, atau media hari itu: hari apa, tanggal berapa, edisi ke berapa terbitnya, apa judul berita itu, di halaman dan kolom berapa dimuat berita yang kita duga telah terjadi kekeliruan, siapa wartawan (inisialnya), di mana alamat redaksinya (lengkap dengan nomor faks dan teleponnya), siapa pemimpin redaksinya, siapa ombudsmannya (bila ada) lengkap dengan alamat dan nomor telepon dan faksnya. c. Pastikan bahwa kita berhak mengajukan hak jawab, sebagaimana Pasal 11 dan Pasal 1 UU Pers. Alfian, Pers dan Aspek-Aspek Hukum, Cet.1 Jakarta, Erlangga, 2003, hlm.88 247 244 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. d. Gunting dan kliping berita yang akan kita ajukan e. Kirimkan langsung atau melalui faks, e-mail, pos, dan juga bisa diantar lewat kurir. f. Pastikan kita menyediakan waktu yang cukup untuk dihubungi ombudsman atau redaksi dalam rangka melayani hak jawab dan hak koreksi yang kita adukan. Kriteria untuk mengajukan hak jawab. 1). Hak jawab dapat diajukan oleh seseorang; 2). Hak jawab dapat diajukan oleh sekelompok orang; 3). Hak jawab dapat diajukan dalam bentuk tanggapan; 4). Hak jawab dapat diajukan dalam bentuk sanggahan; 5). Tanggapan atau sanggahan itu diajukan terhadap pemberitaan; 6). Tanggapan atau sanggahan pemberitaan itu harus berupa fakta; 7). Tanggapan dan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang harus berupa fakta itu merugikan nama baiknya. Berkas pengaduan yang terdiri atas: 1). Kliping berita; 2). Tembusan ke redaksi bila ada ombudsman (jika tidak ada ombudsman ke redaksi); 3). Identitas dan alamat lengkap pengadu, termasuk nomor telepon (dilengkapi dengan fotokopi identitas diri); 4).. Surat uraian materi pemberitaan mana yang keliru sehingga menjadi keberatan kita, sekaligus berisi hal apa yang kita mintakan. G. Kasus-Kasus Praktik Monopoli Media, Delik Pers dan Etika di Indonesia dan Negara Lain 1. Praktik Monopoli Media Elektronik 1). Kelompok Korporasi Kepemilikan Media Massa Monopoli kepemilikan media mulai mendapat perhatian Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 245 yang serius. Sekarang ini telah terbentuk setidaknya 5 (lima) kelompok korporasi media papan atas yang perkembangannya cukup mapan, yaitu; Pertama korporasi media PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC Media) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo, membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sekarang bernama MNC TV), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu). Kedua, kelompok di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTeve (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan Star TV (News Corps, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TVOne. Ketiga adalah kelompok PT Trans Corporat (Group Para) dimiliki Chairul Tanjung. Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi Transformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh) milik kelompok Kompas Gramedia (KKG). Kempat adalah kelompok Metro TV dan Harian Media Indonesia milik Surya Paloh. Kelima adalah kelompok Jawa Pos dan TV-TV daerah milik Dahlan Iskan. Konsentrasi kepemilikan media massa di Indonesia mengakibatkan struktur pasar media memiliki bentuk monopoli, yaitu kondisi yang hanya satu pelaku usaha yang mempunyai kontrol eksklusif terhadap pasokan barang dan jasa di suatu pasar. Dalam pasar oligopoli, tindakan yang dilakukan oleh salah satu pemain pasar akan memengaruhi pemain lainnya, baik dalam kebijakan 246 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. maupun performa dari pemain lain. Selain itu, apabila ada pemain baru yang hendak memasuki pasar, maka akan sulit untuk memasuki pasar tersebut apabila tidak memiliki kemampuan atau kekuatan yang sama dengan pemain yang telah ada sebelumnya, yang telah memiliki teknologi dan pengalaman yang lebih kuat. Persaingan yang terjadi tidak hanya persaingan isi dan jenis program tetapi juga persaingan infrastruktur dan teknologi. Sulitnya memasuki pasar tersebut mengakibatkan konsentrasi akan semakin memusat pada pelaku pasar yang kuat. Di samping itu, rencana akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) yang juga memiliki SCTV, juga dinilai melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Pasalnya, PT EMTK nantinya memiliki tiga frekuensi yakni Indosiar, SCTV, dan O Channel. Kasus akuisisi Indosiar oleh PT EMTK semakin marak ketika melibatkan KPPU dan Bapepam.248 KPPU adalah lembaga independen yang berwe­ nang untuk menyelesaikan perkara persaingan usaha. Dasar hukum dibentuknya lembaga ini adalah Pasal 30 UU Persaingan Usaha. Berangkat dari kewenangan KPPU yang memeriksa dan menyelesaikan perkara persaingan usaha, maka penulis melakukan penelitian di KPPU terkait dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang berkaitan dengan industri media massa nasional. 2). KPPU: Astro Langgar Hak Siar Liga Inggris KPPU pernah memutus perkara persaingan usaha terkait media massa nasional yaitu Putusan KPPU No: 3/KPPU-L/2008 qnoyzone.blogdetik..com/index.php/2010/09/22/opini-konglomerasi-mediakepemilikan- silang-pemicu-monopoli-pemberitaan/. Diakses tanggal 15 Oktober 2011 248 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 247 tentang kasus Astro atas kepemilikan hak siar eksklusif Liga Inggris (English Premier League).249 Pada awal September 2007, Astro (penyedia jasa layanan televisi berlangganan Astro dari PT Direct Vision) dituduh melakukan persaingan usaha tidak sehat atas kepemilikan hak siar Liga Inggris untuk wilayah Indonesia. Dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat ditujukan kepada pihak Astro atas kepemilikan Barclays Premier League (BPL) English Premier League (EPL) semenjak musim 2007-2008. Kesepakatan hak siar antara Astro dan ESPN Star Network ini mengakibatkan siaran EPL tidak tersedia di televisi berlangganan lainnya pada musim 2007-2008. Adapun kasus posisi dalam kasus tersebut terhitung sejak dimulainya EPL musim 2007-2008. Astro mulai berusaha menjalankan langkah strategis bisnis yang cukup berani dengan menjadi satu-satunya penyelenggara siaran EPL pada musim 2007-2008. Kepemilikan eksklusif Astro terhadap hak siar EPL tersebut tentu saja menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia pada umumnya dan penggemar Liga Inggris pada khususnya. Berbagai kekecewaan sampai dengan protes atas kepemilikan hak siar eksklusif EPL oleh Astro tersebut bermunculan. Kritik atas kepemilikan hak siar eksklusif pada Astro tersebut tidak datang hanya dari masyarakat penggemar EPL. PT Indonusa Telemedia (Telkom Vision) selaku salah satu pelaku usaha pelayanan televisi berlangganan juga mengkritik hak siar eksklusif Astro tersebut karena dinilai sangat merugikan dan tidak adil. Hal itu disebabkan perjanjian hak siar tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerugian kepada Telkom Vision karena sekitar 50 persen pelanggan baru Telkom Vision mem­batalkan status langganan mereka. Setelah terbukti lengkap dan jelas, KPPU kemudian melakukan Naungan Harahap, Penelitian untuk Penulisan Disertasi, KPPU, Jakarta, 11 November 2011. 249 248 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. rapat pada tanggal 24 Januari 2008 untuk menetapkan bahwa putusan tersebut dapat ditindaklanjuti ke tahap pemeriksaan pendahuluan. Akhirnya, setelah polemik yang cukup lama, KPPU mengeluarkan putusannya mengenai kasus ini. Dalam putusan perkara No. 3/KPPU-L/2008 ini, KPPU menyatakan bahwa pihak Astro All Asia dan PT Direct Vision (PT DV) dinyatakan tidak bersalah. Namun, pihak perwakilan ESPN Star Sports (ESS) dan All Asia Multimedia Networks (AAMN) dinyatakan bersalah melanggar Pasal 16 UU Persaingan Usaha. Selain itu, pihak Astro All Asia, PT.DV, dan AAMN dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf a dan c UU Persaingan Usaha. Poin keempat dalam putusan KPPU ini juga menetapkan pembatalan perjanjian antara ESS dan AAMN yang berhubungan dengan pengendalian dan penempatan hak siar EPL musim 2007-2010 atau minimal perbaikan perjanjian tersebut agar dapat dilakukan dengan proses yang kompetitif di antara operator TV di Indonesia. Setelah putusan ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2008, salah satu pihak pelapor yaitu Indovision melaporkan keberatan mereka atas kasus tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Selain itu, AAMN selaku terlapor mengajukan keberatan mereka terhadap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Oktober 2008. Dalam permohonannya, AAMN menyatakan KPPU keliru dalam melakukan penerapan hukum kasus BPL. Ada tiga poin putusan KPPU yang dianggap mengganjal yaitu pertimbangan KPPU yang memerintahkan agar AAMN tetap mempertahankan kelangsungan hubungan usaha dengan PT DV dengan alasan melindungi kepentingan konsumen yang berlangganan TV berbayar di Indonesia, maka mereka menilai bahwa putusan KPPU tersebut bertentangan dengan kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Persaingan Usaha. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 249 Kemudian soal penerapan Pasal 16 UU Persaingan Usaha dalam kasus BPL, AAMN berpendapat penentuan pasal itu tidak tepat lantaran tidak seluruh unsur pasal itu terbukti. Pasalnya, meskipun terbukti melakukan monopoli, tindakan AAMN yang berkontrak dengan ESS tidak memiliki dampak negatif pada pasar TV berbayar di Indonesia. Pasal 16 UU Persaingan Usaha menegaskan larangan perjanjian yang menimbulkan persaingan tidak sehat. Kisruh hak siar yang dimasalahkan bersumber dari perilaku praperjanjian antara AAMN dengan ESS. Klausul perjanjian tentang pengalihan konten BPL tidak dilakukan melalui tender bukan bagian dari perjanjian terkait dengan pengalihan hak siar BPL. Lagi pula, AAMN tidak memenuhi unsur pelaku usaha yang ditentukan dalam Pasal 16 UU Persaingan Usaha. Sebab, AAMN adalah pihak di luar negeri, berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar negeri. Konsep single economic entry juga tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. AAMN bukan pemegang saham PT DV baik secara langsung maupun tidak langsung. AAMN hanya pemasok dari PT DV dan tidak memiliki kontrol terhadap PT DV. Penerapan pasal 16 UU Persaingan Usaha dianggap melawan prinsip-prinsip hukum yang adil. KPPU, selaku otoritas hukum persaingan, seharusnya tidak melakukan spekulasi. Sementara yang terakhir adalah soal yurisdiksi KPPU terhadap AAMN. AAMN menyatakan KPPU tidak memiliki yurisdiksi terhadap AAMN sebab perkara ini dikecualikan dalam Pasal 50 UU Persaingan Usaha lantaran terkait dengan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yakni hak siar BPL. Adapun yang menjadi alasan pelaporan terhadap Astro kepada KPPU adalah adanya dugaan pelanggaran Pasal 16 dan Pasal 19 huruf (a) dan (c) UU Persaingan Usaha. Adapun pelanggaran Pasal 16 ditujukan kepada AAAN, AAMN dan PT DV dengan ESS. Sementara dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf (a) dan (c) ditujukan kepada 250 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. AAAN, AAMN, dan PT DV. Pasal 16 UU Persaingan Usaha adalah mengenai adanya larangan bagi para pelaku usaha dalam negeri untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain yang mana perjanjian tersebut memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Sifat dari pasal ini adalah pasal yang bersifat rule of reason dalam penegakannya. Sementara isi Pasal 19 UU Persaingan Usaha sendiri berisi kegiatan yang dilarang yaitu penguasaan pasar. Pasal ini melakukan pelarangan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang dapat mengakibatkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Adapun perbuatan tersebut berupa: a. Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, atau c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Dalam kaitan dengan kasus ini, pihak pelapor menganggap bahwa usaha Astro untuk mendapat hak siar eksklusif terhadap hak siar Liga Inggris adalah suatu langkah atau upaya melakukan penguasaan pasar. Hal itu terjadi karena sejak Astro mendapat hak terhadap hak siar Liga Inggris tersebut, banyak calon pelanggan potensial yang awalnya akan menjadi pelanggan PayTV lain malah beralih ke Astro. Hal itu berarti Astro melakukan penghalangan konsumen potensial payTV lain untuk menjadi pelanggan mereka. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 251 Selain itu, tuduhan yang diajukan kepada para terlapor adalah: a). AAMN dan ESS tanpa melalui proses yang kompetitif telah membuat perjanjian terkait dengan hak tayang siaran eksklusif BPL di Indonesia yang dapat mengakibatkan praktik monopoli pada pasar TV berbayar di Indonesia. b). Perilaku AAMN dan ESS tersebut mengakibatkan kerugian yang dialami oleh pesaing PT DV pada pasar TV berbayar di Indonesia dalam jangka pendek dan berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat dalam jangka panjang. Namun, bukan hanya penyedia Astro di Indonesa yaitu PT DV saja yang dituntut oleh para pelapor, melainkan juga para pihak lain yang terkait. Pihak-pihak yang dilaporkan adalah: a. AAAN, Plc. merupakan induk per­ usahaan yang memiliki berbagai anak perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang usaha televisi berbayar, penyiaran radio, produksi dan distribusi content TV serta sejumlah bisnis lainnya di bidang media. Salah satunya adalah PayTV Astro. b. ESS merupakan badan usaha patungan yang berbentuk general partnership antara ESPN dan Star Sports yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang pengembangan produksi program olah raga, distribusi, dan penjualan channel dan hak siar di wilayah Asia dan anak benua India, termasuk di dalamnya kepada perusahaan televisi berbayar di Indonesia, di mana siaran Liga Inggris ditayangkan melalui kanal mereka. c. AAMN melakukan kegiatan usaha utama untuk 252 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. memperoleh content, membuat channel televisi berbahasa Indonesia dan berbahasa Malaysia untuk disuplai kepada operator televisi berbayar yang dioperasikan oleh Astro, baik di PT DV di Indonesia, MBNS di Malaysia, maupun “Kristal Astro” di Brunei Darussalam melakukan kegiatan usaha sekunder berupa pengadaan decoder untuk disuplai ke PT DV di Indonesia. Maka, akibat dari perbuatan para terlapor, pelapor merasa dirugikan secara finansial. Salah satu pelapor yaitu PT Telkom Vision misalnya, merasa dirugikan karena sekitar 50 persen dari calon pelanggannya membatalkan rencana mereka berlangganan disebabkan adanya kabar bahwa Liga Inggris hanya akan disiarkan oleh Astro, bukan Telkom Vision. Sementara itu, laporan yang diajukan pihak-pihak lain (AAAN, ESS, dan AAMN) diajukan karena adanya dugaan bahwa tidak adanya transparansi di dalam tender hak siar Liga Inggris tersebut. Para pelapor menganggap telah terjadi persekongkolan mengenai hak siar antara Astro dan para pihak terkait karena para pelapor tidak diberi tahu terlebih dahulu mengenai adanya hak siar Liga Inggris. Terhadap laporan yang diajukan pelapor, terlapor (ESS, AAMN, AAAN, dan PT DV) mengajukan pembelaannya sebagai berikut: a. ESS berpendapat konstruksi Pasal 50 huruf b dalam perjanjian hak siar Liga Inggris jelas “terkait” dengan HAKI sehingga perjanjian hak siar eksklusif Liga Inggris seharusnya dikecualikan dari UU Persaingan Usaha.. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 253 b. ESS berpendapat bahwa Pasal 16 UU Persaingan Usaha hanya mengatur pelaku usaha, bukan kelom­ pok pelaku usaha, sehingga ESS berada di luar wewenang KPPU karena mereka bukan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam UU Persaingan Usaha. c. ESS mengatakan bahwa PT DV adalah anak perusahaan Lippo Group yang sahamnya 100 persen dimiliki oleh Lippo Group dan tidak ada kepemilikan saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh AAN ataupun AAMN, sehingga dengan ini Astro Group dan PT DV tidak dapat dianggap sebagai Single Economic Entity (SEE) karena PT DV dikontrol oleh Lippo Group dan bukan oleh Astro Group. d. AAAN dan AAMN menyatakan penempatan satu direktur sebagai perwakilan Astro di PT DV juga tidaklah dapat disimpulkan secara sempit sebagai adanya kontrol ataupun kesatuan entitas sebagaimana yang dimaksud dalam doktrin kesatuan entitas ekonomi. Perlu dicatat bahwa dua direktur lainnya ditunjuk oleh Lippo Group. e. Bahwa karena hak siar Liga Inggris itu hanya untuk periode waktu tertentu, yaitu pada Liga Inggris periode 2007-2010 maka masih banyak substitusi lain untuk Liga Inggris. f. ESS menganggap bahwa definisi pasar upstream oleh komisi terlalu sempit. Karena, pasar upstream tersebut setidaknya harus meliputi konten olah raga utama (contoh Formula 1) dan juga konten utama secara umum. g. Selain itu, menurut ESS, pasar downstream tidak 254 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. hanya TV berbayar di Indonesia, tetapi juga meliputi free to air dan TV berbayar. h. Bahwa Liga Inggris hanyalah sebuah konten yang memiliki nilai lebih tetapi bukan konten yang sangat penting bagi para penyelenggara TV berbayar. i. AAAN dan AAMN berpendapat bahwa definisi essential content terlalu cenderung ke definisi “penting” oleh orang awam yang mana berbeda dengan konteks konsep dan definisi essential content/essential facility sebagaimana dikenal dalam hukum kompetisi. j. Bahwa TV-TV berbayar lain di Indonesia memiliki konten eksklusif yang tidak kalah daya tariknya dari Liga Inggris untuk menjaring calon pelanggan. k. ESS mengatakan bahwa sebelum pemberian hak siar, mereka telah melakukan pembicaraan dengan pihak Indovision mengenai hak siar Liga Inggris untuk musim 2007-2010. l. AAMN dan AAAN menyatakan bahwa perilaku praperjanjian hak siar Liga Inggris antara ESS dan AAMN tidak bersifat antikompetisi dan telah dilakukan dengan mekanisme yang kompetitif. m. Bahwa hak siar eksklusif tidak merugikan pesaing dan tidak mengakibatkan adanya pesaing yang bangkrut. n. AAAN dan AAMN mengatakan tidak ada bukti konkret atas dampak kerugian jangka panjang. o. ESS menyatakan bahwa asumsi-asumsi kerugian yang mungkin dialami oleh Indovision tidak memiliki dasar yang kuat dan kalaupun ada kerugian maka hal tersebut tidak dapat dipersalahkan terhadap terlapor. Adapun yang menjadi pertimbangan majelis komisi Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 255 sebelum mengambil putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut: a. Bahwa majelis komisi memandang perlu untuk menerapkan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam upaya memperoleh dan mengeksploitasi hak siar premium konten yang akan disiarkan oleh operator TV di Indonesia. b. Majelis komisi menilai, untuk menghilangkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada perkara ini, dapat dilakukan melalui pembatalan perjanjian atau perbaikan perjanjian antara ESS dan AAMN terkait dengan pengelolaan dan penempatan hak siar Liga Inggris 2007-2010 dilakukan melalui proses yang kompetitif di antara operator TV di Indonesia. c. Majelis komisi berdasarkan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU Persaingan Usaha berwenang untuk mengenakan denda terhadap AAMN. Namun, mengingat industri TV berbayar di Indonesia masih dalam tahap awal pertumbuhan sehingga majelis tidak mengenakan denda dalam perkara ini. d. Majelis komisi memandang perlu untuk melindungi hak-hak dari pelanggan TV berbayar di Indonesia, terutama pelanggan PT DV untuk tetap dapat menikmati siaran yang harus dilakukan oleh AAMN bersama-sama Astro Group sebagai suatu entitas ekonomi. Adapun yang menjadi putusan Majelis Komisi berdasarkan fakta, analisis dan kesimpulan dengan mengingat Pasal ayat (3) UU Persaingan Usaha, Majelis KPPU memutuskan sebagai berikut: 256 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. a. Menyatakan bahwa terlapor III; ESPN Star Sport dan Terlapor IV; All Multimedia Networks FX LLC terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 16 UU Persaingan Usaha. b. Menyatakan bahwa Terlapor I PT Direct Vision dan Terlapor II Astro All Asia Networks PLc. tidak terbukti melanggar Pasal 16 UU Persaingan Usaha. c. Menyatakan bahwa terlapor I PT Direct Vision, Terlapor II Astro All Asia Networks Plc., dan Terlapor IV All Asia Multimedia Networks, FZLLC tidak terbukti melanggar Pasal 19 huruf a dan c UU Persaingan Usaha. d. Menetapkan pembatalan perjanjian antara Terlapor III; ESPN Star Sport dengan Terlapor IV All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC terkait dengan pengendalian dan penempatan hak siar BPL musim 2007-2010 atau Terlapor VI All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC memperbaiki perjanjian dengan Terlapor III ESPN Star Sports terkait dengan pengendalian dan penempatan hak siar BPL musim 2007-2010 agar dilakukan melalui proses yang kompetitif di antara operator TV di Indonesia. e. Memerintahkan Terlapor IV All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC untuk menjaga dan melindungi konsumen TV berbayar di Indonesia dengan tetap mempertahankan kelangsungan hubungan usaha dengan PT Direct Vision dan tidak menghentikan seluruh pelayanan kepada pelanggan sampai adanya penyelesaian hukum mengenai status kepemilikan PT Direct Vision. Setelah putusan ini dijatuhkan oleh KPPU, pada 14 Oktober 2008, Indovision selaku pelapor menyatakan Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 257 keberatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, karena pihak Indovision merasa bahwa putusan tersebut cacat hukum. Dalam kasus Astro ini, hak siar yang dipegang oleh AAMN terhadap BPL adalah untuk musim 2007-2010, berarti musim yang akan disiarkan adalah musim 20072008, 2008-2009, 2009-2010. Dengan ini, terlihat bahwa AAMN memegang hak siar BPL untuk masa tiga tahun. Apabila dikaitkan dengan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Hak Cipta, maka AAMN sama sekali tidak melanggar ketentuan yang ada terkait dengan hak dalam undang-undang hak cipta. Kewenangan KPPU dalam menyelesaikan kasus Astro ini telah dirumuskan dalam Pasal 36 UU Persaingan Usaha. Pada Pasal 36 huruf a sampai KPPU, KPPU diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang bersalah. Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 16 UU Persaingan Usaha. Kedua terlapor kemudian diperintahkan untuk menetapkan pembatalan perjanjian di antara kedua belah pihak yaitu AAMN dengan ESS. Dalam wewenang KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif terdapat ketentuan Pasal 47, adapun sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Persaingan Usaha, maka jenis sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh KPPU adalah sebagai berikut: a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16, dan atau. b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 14, dan atau 258 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik, dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat, dan atau d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, dan atau e. Penetapan pembatalan atas peng­ ga­ bungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan atau f. Penetapan pembayaran ganti rugi, dan atau g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggitingginya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah). Terlebih lagi pada Pasal 47 huruf a UU Persaingan Usaha, pelanggaran terhadap Pasal 16 UU Persaingan Usaha disebutkan secara spesifik bahwa perjanjian terhadap pasal tersebut dapat dikenakan penetapan pembatalan perjanjian. Sampai pada putusan KPPU untuk membatalkan atau menegosiasikan ulang hak siar Liga Inggris, semuanya masih sesuai dengan ketentuan dalam UU Persaingan Usaha, terutama Pasal 47. Namun, permasalahan timbul ketika KPPU pada poin kelima dalam putusannya memerintahkan agar PT DV dan AAMN tetap melaksanakan kerja sama dalam penyiaran TV berlangganan Astro di Indonesia. Hal itu karena dalam ketentuan UU Persaingan Usaha sama sekali tidak disebutkan mengenai kewenangan KPPU untuk memerintahkan pelaku usaha tetap melanjutkan kerja samanya. Oleh karena itu, dalam hal ini KPPU dapat dikatakan melampaui kewenangan yang telah diberikan Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 259 dalam UU Persaingan Usaha dengan memberikan putusan yang berada di luar dari kewenangannya. Mengenai hubungan putusan ini dengan UU Hak Cipta maka karena perjanjian hak siar eksklusif ini adalah dalam bentuk lisensi, maka semua itu akan merujuk pada ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) UU Hak Cipta. Di dalam pasal tersebut, perjanjian lisensi pada umumnya diperbolehkan oleh UU Hak Cipta. Namun, dalam pembentukan kontrak atau surat perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian Indonesia dan atau mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur pada UU Persaingan Usaha. Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha, maka lisensi termasuk ke dalam kelompok yang dikecualikan, sedangkan hak siar Liga Inggris adalah bagian atau derivasi dari HAKI yaitu lisensi, sehingga ia memang dapat dikecualikan seperti dalam Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha. Mengenai dampak yang dapat merugikan perekonomian Indonesia dan atau menim­ bulkan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti disebut dalam Pasal 47 ayat (1) UU Hak Cipta, maka lisensi hak siar Liga Inggris ini terbukti tidak merugikan perekonomian Indonesia, tetapi ia terbukti dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat, sehingga dia dapat dikatakan melanggar ketentuan pasal tersebut karena memenuhi salah satu unsur dalam pasal tersebut karena proses tendernya dianggap tidak transparan. Namun, perjanjian lisensi hak siar ini masih tunduk pada ketentuan dalam UU Hak Cipta. Adapun Pasal 50 UU Persaingan Usaha mengatur perjanjianperjanjian dan per­buatan-perbuatan yang dikecualikan dari 260 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. UU Persaingan Usaha, yaitu sebagai berikut: a. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang. Meskipun tidak ditegas­ kan dalam penjelasan undang-undang ini, perke­ cualian ini hanya berlaku secara terbatas, sepan­jang tidak menghalangi persaingan dan tidak melang­gar UU Persaingan Usaha. c. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan, penge­­ cualian ini juga berlaku secara terbatas Meski­ pun pelaku usaha melaksanakan bisnisnya secara wara­laba tidak dapat begitu saja menjalankan usahanya sehingga mengakibatkan monopoli dan/atau per­saingan usaha tidak sehat. d. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalagi persaingan. e. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. f. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas. g. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia. h. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 261 ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri. i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. j. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan, perkecualian ini pun harus ditafsirkan terbatas, karena pengusaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan-peraturan monopoli atau per­ saingan curang. Ketentuan dalam Pasal 50 huruf a ini adalah ketentuan yang bersifat pengecualian (exceptions). Ketentuan pengecualian ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan dari berbagai kebijakan dan dalam rangka memenuhi hak-hak dasar warga negara oleh negara yang ditata dalam sebuah sistem perekonomian nasional. Selain itu, ketentuan pengecualian ini tidak dapat dihindarkan karena “keterikatan” pada hukum atau perjanjian internasional melalui proses ratifikasi. Pengecualian tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut: a. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negaara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara b. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. c. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga 262 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pelaksanaan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak hanya diatur dalam UU Persaingan Usaha tetapi juga dalam undang-undang sektoral lainnya. Dengan demikian, penetapan kebijakan adanya ketentuan pengecualian (dalam Pasal 50 huruf a) dimaksudkan agar tidak saling kontradiksi kebijakan yang diatur dalam UU Persaingan Usaha dan yang diatur dalam undang-undang sektoral tersebut. Pemberian perlakuan khusus bagi cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk dikuasai negara, sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 51 UU Persaingan Usaha. Selanjutnya, walaupun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176, Pasal 177 dan 178 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus perekonomian daerah, pengaturan dan pengurusan di bidang ekonomi harus tetap berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk yang diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah di bidang perekonomian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan prekonomian nasional karena materi peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional. 3). MPPI vs PT MNC Selain itu, KPPU juga pernah memberikan saran dan per­ timbangan atas perkara praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri media massa nasional, terkait dengan laporan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 263 mempersoalkan kepemilikan PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNC) atas tiga stasiun televisi nasional. KPPU mengeluarkan Saran dan Pertimbangan Nomor 338/K/VI/2008 tanggal 5 Juni 2008. Dugaan ini diawali tembusan dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang mempersoalkan kepemilikan PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNC) atas tiga stasiun televisi nasional. MPPI menilai bahwa hal itu merupakan pemusatan kepemilikan yang melanggar UU Persaingan Usaha. MPPI mengajukan somasi kepada Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) serta Komisi Penyiaran Indonesia, tetapi pihak yang disomasi tidak kunjung menangani kasus ini, terkait dengan dugaan adanya kepemilikan silang MNC oleh MPPI, yaitu MNC dianggap melakukan ketidakpatuhan terhadap UU Persaingan Usaha Pasal 25 ayat (1) dan (2) khususnya penyalahgunaan posisi dominan, penguasaan pangsa pasar, penguasaan frekuensi, serta dugaan adanya perjanjian restriktif antara MNC dan pihak penyedia konten ataupun dengan pihak agensi iklan dan adanya kerisauan masyarakat atas pemusatan kepemilikan suatu perusahaan holding pada beberapa media penyiaran televisi. Akibat somasi yang diajukan kepada Depkominfo serta KPI, dan pihak yang disomasi tidak kunjung menangani kasus ini, akhirnya KPPU membentuk tim gabungan pengkaji 13 (tiga belas) aturan kepemilikan modal. Tim antara lain berisi perwakilan Depkominfo, KPI, KPPU, Bursa Efek Jakarta, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menyelesaikan dugaan kasus MNC tersebut. Dalam penelusuran dugaan kasus tersebut, KPPU tidak melanjutkan penyelidikan pada tahap pemeriksaan lanjutan karena KPPU menganggap tidak cukup bukti. Sebagai bukti penghentian dugaan kasus tersebut, KPPU mengeluarkan Saran dan Pertimbangan Nomor 264 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 338/K/VI/2008 tanggal 5 Juni 2008. Dilihat pada fakta yang terdapat dalam industri televisi terestrial, industri televisi terestrial memang tergolong oligopoli. Hal itu bisa dilihat dari sedikitnya jumlah pemain atau pelaku usaha yang ada dalam industri ini. Meskipun demikian, tidak ada satu pun pemain dominan dalam industri tersebut. Hal itu bisa dilihat dari penguasaan pangsa pasar para pelaku usaha dalam industri ini. Dalam pangsa pasar iklan, tidak ada pelaku usaha yang menguasai di atas 20 persen. Bahkan, jika pangsa pasar dihitung berdasarkan grup perusahaan pemilik stasiun televisi terestrial, tidak ada kelompok usaha yang menguasai lebih dari 35 persen pangsa pasar. Ketiga stasiun televisi terestrial yang dikuasai oleh MNC, yaitu RCTI, Global TV, dan TPI (kini MNCTV) jika diakumulasi, pangsa pasar iklannya hanya sebesar 34,5 persen. Dengan demikian, tarif iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi di bawah MNC masih berada di bawah range harga yang wajar. Bahkan, harga slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi di bawah MNC bukanlah harga tertinggi di pasar iklan. Selain itu, stasiun televisi di bawah MNC tidak pernah menerapkan persyaratan yang memberikan agensi iklan dalam membeli slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi di bawah MNC. Stasiun televisi di bawah MNC pun tidak pernah membatasi agensi iklan untuk memilih slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi lainnya. Jika dilihat dari produksi siaran, penguasaan pangsa pasar pemirsa stasiun televisi terestrial tidak ada yang melebihi 20 persen, dan jika dilihat dari kelompok usaha pemilik stasiun televisi terestrial, tidak ada kelompok usaha yang menguasai lebih dari 35 persen pangsa pemirsa. Secara akumulatif, pangsa pemirsa ketiga stasiun televisi terestrial di bawah MNC hanya sebesar 34 persen. Tidak adanya posisi dominan dalam industri ini secara langsung Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 265 menyebabkan tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dituduhkan kepada MNC. Tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan selain dari penguasaan pangsa pasar yang rendah, juga dapat dilihat dari tidak adanya perjanjian restriktif antara MNC dan pihak penyedia konten dengan pihak agensi iklan. Selain itu, fakta yang ada juga menunjukkan tidak adanya praktik usaha tidak sehat yang dijalankan oleh ketiga stasiun televisi di bawah MNC Media, yaitu RCTI, Global TV, dan TPI (MNCTV). Fakta tersebut dapat dilihat dari tidak adanya tindakan untuk menghambat pelaku usaha lain dalam rangka masuk ke industri yang dilakukan oleh ketiga stasiun televisi di bawah MNC. Selain itu, tidak ada persyaratan memberatkan dalam perjanjian antara tiga stasiun televisi di bawah MNC dan pihak penyedia konten serta agensi iklan. Mengenai penguasaan frekuensi, pemerintah melalui Depkominfo memang hanya memberikan izin beroperasi untuk wilayah nasional kepada 11 (sebelas) stasiun televisi swasta yang ada. Artinya, bila MNC tidak memiliki ketiga stasiun televisi tersebut, selama aturan tersebut belum dihapuskan, maka tidak akan nada pelaku usaha baru dalam industri televisi terestrial nasional. Jika demikian, industri televisi terestrial adalah industri yang sehat, dan tidak ada satu pun pelaku usaha yang dominan memengaruhi industri karena tidak ada satu pun pelaku usaha yang dapat menggunakan market power-nya untuk mendikte pasar. MNC yang memiliki tiga stasiun televisi terestrial swasta nasional juga tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilihat dari tidak adanya tindakan meng­ hambat pesaing/pelaku usaha baru dan tidak adanya perjanjian yang memberatkan penyedia konten dan agensi iklan. Mengenai ketidakpatuhan MNC terhadap UU Persaingan Usaha, bahwa MNC tidak melakukan pelanggaran atas Pasal 266 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. 25 ayat (1) dan (2) UU Persaingan Usaha karena: a. Akumulasi pangsa iklan ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI (MNCTV) tidak mencapai 35 persen. b. Akumulasi pangsa pemirsa ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI tidak mencapai 35 persen. c. Tidak membuat persyaratan yang membe­ratkan penyedia konten dalam menjual dan mendistribusikan hasil produk­ sinya kepada stasiun televisi di bawah MNC. d. Tidak menghalangi penyedia konten untuk menjual atau mendistribusikan hasil produk­sinya kepada stasiun televisi terestrial selain stasiun televisi di bawah MNC. e. Tidak membuat persyaratan yang membe­ratkan ataupun memberikan barang yang tidak wajar kepada agensi iklan dalam membeli slot yang tersedia di tiga stasiun televisi di bawah MNC. f. Tidak menghalangi agensi iklan untuk membeli slot iklan dari stasiun televisi di luar stasiun televisi yang berada di bawah MNC. g. Tidak menghalangi pemirsa untuk memilih stasiun televisi apa yang menjadi tontonan pemirsa. h. Dalam hal penguasaan frekuensi, MNC tidak membatasi pelaku usaha lain yang potensial untuk masuk ke industri televisi terestrial. Penguasaan frekuensi terkait erat dengan izin siaran dan hingga saat ini Depkominfo sebagai institusi yang berwenang mengeluarkan izin siaran hanya memberikan izin kepada 11 (sebelas) lembaga penyiaran swasta. Terkait dengan bidang penyiaran kepemilikan silang di lembaga penyiaran swasta diatur secara umum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan secara khusus Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 267 dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Kedua aturan ini pada dasarnya melarang adanya kepemilikan oleh satu badan hukum di beberapa lembaga penyiaran swasta di daerah (provinsi) yang sama dalam rangka menghindarkan industri penyiaran dari praktik monopoli informasi dan opini. Dilihat dari konteks tersebut, peraturan tersebut belum bisa diterapkan saat ini karena sistem yang berlaku dalam industri penyiaran di Indonesia belum menganut sistem jaringan. Hingga saat ini, izin penyiaran yang dimiliki oleh RCTI, Global TV, dan TPI (MNCTV) adalah izin penyiaran dengan jangkauan nasional. Bila dilihat dari sisi ketersediaan informasi, ketiga stasiun televisi terestrial di bawah MNC itu tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk monopoli informasi dan opini. Hal itu karena pemirsa Indonesia hingga saat ini bebas memilih untuk menerima informasi dari stasiun televisi mana pun tanpa ada hambatan sedikit pun. Isi siaran yang ditayangkan oleh RCTI, Global TV, dan TPI juga terdiri atas beragam kategori. Stasiun televisi terestrial lainnya juga menyiarkan kategori acara yang kurang lebih sama, tetapi dengan komposisi dan target segmen pasar yang berbeda. Oleh karena itu, kepemilikan oleh MNC terhadap RCTI, Global TV, dan TPI sama sekali tidak menyebabkan monopoli informasi dan opini di tangan ketiga stasiun televisi tersebut. Dari uraian di atas, terpapar sejumlah duduk perkara atau posisi kasus serta fakta-fakta mengapa penelusuran atas dugaan kasus kepemilikan silang yang dilakukan oleh MNC dihentikan, walaupun fakta-fakta tersebut di atas harus didasarkan pada suatu putusan atau pernyataan yang dikeluarkan oleh MNC. Akhirnya, pada 5 Juni 2008 KPPU mengeluarkan putusan dalam bentuk saran dan pertimbangan KPPU terkait dengan penanganan kepemilikan silang di media penyiaran televisi. 268 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Atas penghentian penelusuran dugaan kasus kepemilikan silang yang dilakukan oleh MNC berdasarkan tuduhan dari MPPI, KPPU mengeluarkan saran dan pertimbangan No:338/K/ VI/2008 pada 5 Juni 2008 terkait dengan penghentian penanganan dugaan kasus kepemilikan silang di MNC. Nomor : 338/K/VI/2008 Tanggal 5 Juni 2008 Perihal : Saran dan Pertimbangan KPPU Terkait Penanganan Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Televisi -------------------------------------------------------------------------- Sumber, Materi Kebijakan dan Isu Persaingan Usaha ---------------------------------------------------------------------- KPPU mencermati adanya kerisauan masyarakat atas pemusatan kepemilikan suatu perusahaan holding pada beberapa media penyiaran televisi. Beberapa hal yang disimpulkan KPPU sehubungan dengan isu pemusatan kepemilikan dalam industri media televisi yaitu : ------------------------------------------------------------------------------------------------------1). Dari penelitian laporan dugaan pemusatan kepemilikan di industri penyiaran televisi, dapat disimpulkan bahwa pemusatan kepemilikan terjadi secara efektif yang berarti terdapat kontrol atau kendali yang nyata dari perusahaan induk yang berpengaruh pada rencana strategis anak perusahaannya.---------------------------------------------------------------------------------2). MNC tidak bertindak sebagai pemegang posisi dominan dalam industri penyiaran televisi jika dilihat dari pasar relevannya. KPPU juga belum menemukan adanya dampak negatif dari pemusatan kepemilikan terhadap pasar bersangkutan. Namun, KPPU tetap melakukan monitoring terhadap perilaku pelaku usaha di industri penyiaran ---------------------------------- Isi Pertimbangan ---------------------------------------------------------------------------- ------------------------------ Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 269 Dari hasil kajian KPPU terhadap UU Penyiaran, disimpulkan bahwa undang-undang tersebut berupaya mencegah terjadinya pemusatan kepemilikan, baik oleh individu maupun badan hukum mana pun yang bermuara pada terjadi­nya monopoli informasi. Oleh karena itu, KPPU mendukung setiap langkah pemerintah untuk mengimplementasikannya dengan langkah penertiban lisensi penyiaran yang tidak memperbolehkan adanya bentuk-bentuk kegiatan yang memiliki dampak terjadinya pemusatan kepemilikan --------------------------------------------------------------------------------------------------Selain itu, KPPU merekomendasikan pemerintah secepatnya melakukan revisi terhadap PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, di mana PP tersebut bertentangan dengan semangat dan prinsip UU Penyiaran. -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Saran dan pertimbangan KPPU Nomor: 338/K/VI/2008 yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juni 2008 tersebut merupakan bukti bahwa KPPU benar-benar menghentikan sengketa penelusuran dugaan kepemilikan silang di MNC. Dalam saran dan pertimbangan KPPU Nomor: 338/K/VI/2008 yang dikeluarkan pada 5 Juni 2008, secara garis besar KPPU memberikan pendapat bahwa pemusatan kepemilikan terjadi secara efektif yang berarti terdapat kontrol atau kendali yang nyata dari perusahaan induk yang berpengaruh pada rencana strategis anak perusahaannya. Namun, MNC tidak bertindak sebagai pemegang posisi dominan dalam industri penyiaran televisi jika dilihat dari pasar relevannya. Di samping itu, KPPU juga belum menemukan adanya dampak negatif dari pemusatan kepemilikan terhadap pasar bersangkutannya. Namun, KPPU tetap harus melakukan monitoring terhadap perilaku pelaku usaha di industri penyiaran. 270 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. KPPU menyarankan kepada pemerintah untuk meng­ implementasikannya dengan langkah penertiban lisensi penyiaran yang tidak mem­per­bolehkan adanya bentuk-bentuk kegiatan yang memiliki dampak terjadinya pemusatan kepe­ milikan. Sebagai perusahaan induk atau holding company, MNC dinilai tidak terbukti mengendalikan langsung 3 (tiga) stasiun televisi yang dikuasainya yaitu RCTI, Global TV, dan TPI. Dari sisi pasar dan penyiaran, ketiga stasiun televisi tersebut hanya menguasai tidak lebih dari 35% (tiga puluh lima persen) sehingga tidak ada penguasaan pasar lebih dari 50% (lima puluh persen). Di samping itu, KPPU tidak memiliki cukup bukti untuk melanjutkan penelusuran menuju pemeriksaan pendahuluan. MNC dianggap tidak melakukan pelang­garan terhadap UU Persaingan Usaha karena ketiga stasiun televisi tersebut, yaitu RCTI, Global TV, dan TPI menjalankan bisnisnya secara terpisah, dan tidak ada dominasi pertelevisian, termasuk oleh MNC. Ukurannya adalah pangsa pasar dari segi pemirsa dan iklan yang belum melebihi 50% (lima puluh persen). Sebaiknya, dalam hal dugaan kepemilikan silang khususnya yang dialami oleh MNC, terlebih dahulu ditangani menggunakan UU Penyiaran oleh Depkominfo. Namun, penghentian dugaan kasus kepemi­likan silang MNC ini disayangkan oleh MPPI. MPPI ber­ ang­ gapan seharusnya KPPU tidak hanya melihat dari penguasaan pangsa pasar oleh MNC karena memiliki 3 (tiga) stasiun televisi yaitu RCTI, Global TV, dan TPI, melainkan yang terpenting adalah melarang penguasaan akses informasi. Terlebih lagi, di samping MNC menguasai 3 (tiga) stasiun televisi yaitu RCTI, Global TV, dan TPI, MNC juga menguasai beberapa media cetak, radio, internet portal, dan akses informasi lainnya. MPPI pun juga sangat menyayangkan bahwa somasi Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 271 yang diajukan kepada pemerintah tidak direspons dengan baik. Bertentangan dengan MPPI, MNC sangat menyambut baik keputusan KPPU dengan dikeluarkannya saran dan pertimbangan KPPU Nomor: 338/K/VI/2008 tanggal 5 Juni 2008. Tuduhan kepada MNC dianggap tidak proporsional dan menampik bahwa MNC memo­nopoli informasi karena porsi siaran terbesar di MNC adalah hiburan. Pendapat lainnya adalah bila melihat pada penguasaan pasar, MNC diduga melakukan pelanggaran UU Persaingan Usaha atas tindakannya yaitu penguasaan yang diatur dalam Pasal 19 UU Persaingan Usaha: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, atau b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, atau c. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan, atau d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 19 UU Persaingan Usaha adalah unsur pelaku usaha, unsur kegiatan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, unsur pasar bersangkutan, dan unsur persaingan usaha tidak sehat. Dalam dugaan kasus kepemilikan silang ini, MNC hanya memenuhi unsur sebagai pelaku usaha karena yang dimaksud 272 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dengan pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 angka (5) UU Persaingan Usaha adalah: “Setiap orang perorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Dalam hal ini, MNC dapat didefinisikan sebagai badan hukum atau perseroan terbatas karena telah sah berdiri pada tahun 1997 dengan nama PT Panca Andika Mandiri berkedudukan di Jakarta yang kemudian melakukan perubahan nama menjadi PT Media Nusantara Citra pada tahun 2002 serta melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) pada tahun 2007 sehingga status perusahaan menjadi terbuka (go public). MNC bergerak di bidang usaha perdagangan umum, pembangunan, perindustrian, pertanian, pengangkutan, perce­ takan, investasi di bidang multimedia melalui perangkat satelit dan perangkat telekomunikasi lainnya, termasuk distribusi dan produksi konten. Dengan demikian, unsur pelaku usaha terpenuhi. Sementara unsur-unsur lain yaitu unsur kegiatan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk mela­kukan kegiatan usaha yang sama pada pasar ber­sangkutan, unsur pasar bersangkutan, dan unsur persaingan usaha tidak sehat, tidak terpenuhi. Hal itu dapat dilihat bahwa jika pangsa pasar dari ketiga stasiun televisi yang dimiliki oleh MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI dihitung secara total, maka pangsa pemirsa gabungannya adalah sebesar kurang dari 35% (tiga puluh lima persen) atau tepatnya adalah sebesar 34,9% (tiga puluh empat koma sembilan persen). Ini menunjukkan bahwa kepemilikan silang oleh MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI tidak Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 273 menyebabkan adanya posisi dominan atau penguasaan pasar oleh MNC dalam pasar program atau acara. Selain itu, ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI juga tidak melakukan kegiatan yang membatasi pemirsa untuk memilih acara yang ingin ditonton. Dari sisi input-nya, ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI juga tidak menerapkan perjanjian yang memberatkan penyedia konten dan tidak menekan harga yang ditawarkan oleh penyedia konten dalam hal menjual produknya kepada stasiun televisi di bawah MNC. Stasiun televisi di bawah MNC juga tidak terbukti membatasi penyedia konten untuk menjual produknya kepada stasiun televisi lainnya. Sementara itu, pasar iklan RCTI, Global TV, dan TPI secara akumulatif sebesar kurang dari 35% (tiga puluh lima persen) atau tepatnya sebesar 34,5% (tiga puluh empat koma lima persen). RCTI menguasai 15,2% (lima belas koma dua persen) pangsa iklan, Global TV menguasai 8,3% (delapan koma tiga persen) pangsa iklan, dan TPI menguasai 11% (sebelas persen) pangsa iklan. Hal itu menunjukkan bahwa dugaan kepe­milikan silang yang dituduhkan kepada MNC atas kepemilikan silang RCTI, Global TV, dan TPI tidak menyebabkan adanya posisi dominan dalam industri televisi terestrial nasional. Begitu pula dengan tarif iklan yang ditawarkan oleh ketiga stasiun televisi di bawah MNC, yaitu RCTI, Global TV, dan TPI masih berada dalam range harga yang wajar. Bahkan harga slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi di bawah MNC bukanlah harga yang tertinggi di pasar iklan. Ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI pun tidak pernah menerapkan persyaratan yang memberatkan agensi iklan dalam membeli slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi di bawah MNC, dan ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, 274 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dan TPI tidak pernah membatasi agensi iklan untuk memilih slot iklan yang ditawarkan oleh stasiun televisi lainnya. Pendapat lain KPPU terkait dengan dugaan penyalah­ gunaan posisi dominan bahwa di samping diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 UU Persaingan Usaha, MNC diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU Persaingan Usaha. Untuk mengetahui apakah MNC melanggar atau tidak, terlebih dahulu diteliti unsur-unsur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a UU Persaingan Usaha. Pasal 25 ayat (1) huruf a UU Persaingan Usaha menyatakan: “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menetapkan syarat-syarat perda­gangan dengan tujuan mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas”. Pasal 25 ayat (1) huruf a UU Persaingan Usaha mengan­ dung 2 (dua) unsur yaitu unsur pelaku usaha dan unsur posisi dominan. Unsur posisi dominan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 UU Persaingan Usaha adalah: “Keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan posisi pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu”. Dilihat dari struktur pasarnya, industri stasiun televisi terestrial memang tergolong oligopoli. Hal itu bisa dilihat dari sedikitnya jumlah pemain atau pelaku usaha yang ada dalam industri ini. Meskipun demikian, tidak ada satu pun pemain dominan. Hal itu bisa dilihat dari penguasaan pangsa pasar para pelaku usahanya dan tidak ada pelaku usaha menguasai di Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 275 atas 50% (lima puluh persen) pangsa pasar. Demikian juga kita lihat dari sisi grup pemilik stasiun televisi free to air, tidak ada penyalahgunaan posisi dominan oleh ketiga stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI, baik kepada pemirsa maupun kepada penyedia konten dan agensi iklan, karena tidak ada perjanjian eksklusif atau perjanjian yang memberatkan pihak konten dan agensi iklan. Hingga saat ini tidak ada stasiun televisi di bawah MNC yang melakukan pembatasan, baik pembatasan informasi kepada pemirsa maupun pembatasan slot iklan kepada pemirsa maupun pembatasan slot iklan kepada agensi iklan. Begitu pula dalam hal penguasaan frekuensi, MNC tidak membatasi pelaku usaha lain yang potensial untuk masuk ke industri stasiun televisi terestrial. Penguasaan frekuensi terkait erat dengan izin siaran dan hingga saat ini Depkominfo sebagai institusi yang berwenang mengeluarkan izin siaran hanya memberikan izin kepada 11 (sebelas) lembaga penyiaran swasta. Dengan tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a UU Persaingan Usaha maka dugaan pelanggaran yang dilakukan MNC tersebut tidak terpenuhi. KPPU juga memberikan pendapat terkait dengan bidang penyiaran yaitu kepemilikan silang di lembaga penyiaran swasta diatur secara umum dalam UU Penyiaran dan secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran dan Lembaga Penyiaran Swasta. Kedua aturan tersebut pada dasarnya melarang adanya kepemilikan oleh satu badan hukum di beberapa lembaga penyiaran swasta di daerah (provinsi) yang sama dalam rangka menghindari industri penyiaran dari praktik monopoli informasi dan opini. Dilihat dari konteks tersebut, peraturan tersebut belum 276 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. bisa diterapkan saat ini karena sistem yang berlaku dalam industri penyiaran di Indonesia belum menganut sistem jaringan. Hingga saat ini, izin penyiaran yang dimiliki oleh stasiun televisi di bawah MNC yaitu RCTI, Global TV, dan TPI adalah izin penyiaran dengan jangkauan nasional sehingga dugaan terhadap UU Penyiaran yang dilakukan MNC tidak berdasar. Di samping itu, MNC juga bukan merupakan lembaga penyiaran sehingga tidak masalah bila MNC memiliki 3 (tiga) stasiun televisi yaitu RCTI, Global TV, dan TPI, juga televisi berbayar atau pay TV karena dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) menyatakan bahwa larangan kepemilikan silang itu terhadap entitas lembaga penyiaran swasta, dan bukan pada perseorangan atau badan hukum. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran dan Lembaga Penyiaran Swasta, yaitu: “Kepemilikan yang diizinkan yaitu apabila kepemilikan satu LPS radio dan satu lembaga penyiaran berbayar (LPB) atau TV berlangganan dan atau satu media cetak pada wilayah yang sama atau kepemilikan satu LPS televisi dan satu LPB dan satu media cetak pada wilayah yang sama; atau kepemilikan satu, LPS radio dan satu LPS televisi, dan satu LPB pada wilayah yang sama”. Sementara pada Pasal 18 ayat (2) UU Penyiaran disebutkan bahwa kepemilikan silang antara LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara LPS dan perusahaan media cetak, serta antara LPS dan LPS jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. Padahal UU Penyiaran mempunyai filosofi mencegah Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 277 monopoli kepemilikan dan demokratisasi informasi melalui penganekaragaman kepemilikan silang antara LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara LPS dan perusahaan media cetak, serta antara LPS dan LPS jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. Padahal UU Penyiaran mempunyai filosofi mencegah monopoli kepe­ milikan dan demokratisasi informasi melalui peng­anekaragaman kepemilikan dan konten isi siaran. Walaupun MNC menguasai 100 (seratus) frekuensi dari 250 (dua ratus lima puluh) lebih frekuensi yang ada, sebaiknya pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap harus mencari titik temu agar demokratisasi informasi melalui keanekaragaman kepemilikan dan konten isi siaran LPS bisa tercapai. Pendapat-pendapat di atas menjadi dasar bahwa KPPU tidak memiliki cukup bukti untuk melanjutkan pada pemeriksaan lanjutan atas dugaan kepemilikan silang yang dilakukan oleh MNC. Oleh karena itu, KPPU hanya mengeluarkan saran dan pertimbangan KPPU Nomor: 338/K/VI/2008 yang dikeluarkan pada 5 Juni 2008. Seperti kita ketahui, dugaan kasus kepemilikan silang oleh MNC ini menimbulkan polemik yang rumit. Kerumitan ini dipicu oleh pandangan yang melihat adanya perbedaan aturan antara pembatasan kepemilikan yang dimaksudkan dalam UU Penyiaran dan Pemusatan Kepemilikan dalam UU Persaingan Usaha. Dalam UU Persaingan Usaha juga ditemui kesulitan untuk mengukur penguasaan pasar yakni apakah cukup diukur melalui gambaran angka rating yang menggambarkan pemirsa atau distribusi pemasukan iklan. KPPU sendiri berpendapat bahwa kasus ini dapat dipertajam dengan menempatkan konteks kepemilikan saham dengan kepemilikan frekuensi yang pembuktiannya dengan melihat apakah MNC menguasai frekuensi sebagai pemilik 278 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. barang milik publik. Namun, akhirnya KPPU menghentikan pemeriksaan dugaan kasus ini karena KPPU beranggapan tidak mempunyai cukup bukti untuk melanjutkan kasus ini ke tahap selanjutnya yaitu pemeriksaan pendahuluan. Seperti yang diungkapkan perwakilan KPPU, yaitu: “Juga tidak ada penguasaan struktur pasar lebih dari 50 persen. Dari sisi pasar penyiaran dan periklanan, ketiga stasiun televisi itu hanya menguasai sekitar 34 persen dari hasil pembahasan sidang pleno KPPU. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara menya­ takan, pemeriksaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Kemudian menurut Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, pemeriksaan lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dila­kukan oleh Majelis Komisi terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pasal 2 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara menyatakan, penanganan perkara berdasarkan: a. Laporan pelapor, terdiri atas tahap sebagai berikut: laporan, klarifikasi, penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis komisi, putusan komisi. b. Laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi, terdiri atas tahap sebagai berikut: laporan, klarifikasi, sidang Majelis Komisi, dan putusan Majelis Komisi. c. Inisiatif komisi terdiri atas tahap sebagai berikut: kajian, penelitian, pengawasan pelaku usaha, penyelidikan, pemberkasan, sidang Majelis Komisi, putusan komisi. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 279 Selain itu, sejumlah pasal dalam UU Penyiaran menetapkan larangan pemusatan kepemilikan perusahaan penyiaran, di antaranya: a. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran yang menya­takan, pemu­ satan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. b. Pasal 18 ayat (2) UU Penyiaran yang menya­ takan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara lembaga penyiaran swasta dan perusahaan media cetak, serta antara lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. c. Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menya­takan izin penyelenggaraan penyiaran dila­rang dipindahtangankan kepada pihak lain. Terhadap Pasal 18 dan Pasal 34 UU Penyiaran ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang media yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Media Link, Yayasan 28, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) pada 18 Oktober 2011 mengajukan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UndangUndang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dan uji materi pasalpasal tersebut terhadap Pasal-pasal 28D, 28F, dan 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan uji materi dan diberi nomor tanda terima pengajuan perkara 382/PAN. MK/X/2011. 280 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Upaya hukum ini ditempuh oleh KIDP menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum/perseorangan terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, demi kepen­ tingan dan keuntungan sekelompok pemodal atau orang tertentu saja. Akibat penafsiran sepihak dua pasal tersebut, telah muncul masalah pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran televisi dan radio di tangan segelintir pengusaha dan praktik jual-beli izin prinsipal penyiaran, termasuk frekuensi penyiaran dengan dalih perpindahan atau penjualan saham usaha penyiaran. Dalam permohonan uji materi tersebut, KIDP menya­takan penyiaran adalah suatu usaha yang menggunakan frekuensi yang tergolong sebagai sumber daya alam terbatas dan seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Namun, saat ini terjadi praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran, termasuk penguasaan opini publik, aset-aset ekonomi penyiaran, yang berpotensi membatasi, mengurangi hak warga negara dalam menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan hak berekspresi, yang bertentangan dengan tujuan konstitusi. Contoh konkretnya adalah: a. Dominasi dan pemusatan kepemilikan oleh badan hukum penyiaran. Pertama, pem­berian, penjualan, dan pengalihan Izin Penye­lenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Visi Media Asia Tbk. yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTeve) dan PT Lativi Media Karya (TVOne) yang terjadi sekitar Februari 2011. b. Pemberian, penjualan, dan pengalihan Izin Penyeleng­ garaan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek) Tbk. yang menguasai PT Indosiar Karya Media yang memiliki PT Indosiar Visual Mandiri (Indosiar), dan menguasai PT Surya Citra Media Tbk. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers c. 281 (SCMA) yang memiliki PT Surya Citra Televisi (SCTV) yang dilakukan sekitar Juni 2011. Pemberian, penjualan, dan pengalihan Izin Penyeleng­ garaan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Media Nusantara Citra Tbk. yang menguasai/memiliki PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNCTV), PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), dan PT Global Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan sekitar Juni 2007. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menilai Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi (the guardian of constitution) dapat membatalkan keberadaan UU secara menyeluruh ataupun per pasalnya jika bertentangan dengan konstitusi, yakni UndangUndang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) juga berhak memberikan penafsiran terhadap ketentuan di dalam pasal undang-undang agar sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal pada undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon ini mengajukan beberapa permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, di antaranya adalah: a. Mengabulkan seluruh permohonan para pemohon. b. Menyatakan tafsir sepihak pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah inkonstitusional. c. Menyatakan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran konstitutional sepanjang ditafsirkan sebagai berikut : (a). Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran selain yang 282 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. tersebut di dalam UU penyiaran. Harus ditafsirkan: “satu badan hukum apa pun di tingkat mana pun atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 1 (satu) provinsi.” (b). Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, harus ditafsirkan: “bahwa segala bentuk pemindahtanganan IPP dan penguasaan/kepemilikan lembaga penyiaran dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat mana pun bertentangan dengan UU Penyiaran.” d. Memperingatkan seluruh lembaga penyiaran di Indonesia agar menaati peraturan yang berlaku, tidak membuat tafsir atas undang-undang yang melanggar hukum dan menjauhi bisnis penyiaran yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat. e. Meminta pemerintah dan regulator penyiaran agar mengambil tindakan tegas dan adil untuk menghentikan praktik pelanggaran UU Penyiaran dan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang melanggar aturan, sebelum menghadapi tuntutan hukum masyarakat. Sampai saat ini, perkara tersebut masih dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi dan masih menunggu keputusan majelis terhadap permohonan pengujian pasal-pasal tersebut. 4). Praktik Monopoli Media Cetak Praktik monopoli terjadi pada KKG (Kelompok Kompas Gramedia) yang memiliki hampir 30 media cetak dan 2 media online. Tuduhan serupa juga dikenakan kepada Jawa Pos News Network ( JPNN) yang memiliki 97 penerbitan pers. Belum lagi, JPNN akan mengembangkan Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 283 ekspansinya di sektor pertelevisian. Tiras surat kabar harian (SKH) Kompas adalah 500.000 eksemplar. Sementara tiras nasional untuk SKH adalah sebesar 4,8 juta eksemplar. Bila melihat sirkulasi koran nasional, Kompas belum menguasai pasar 50% atau hanya berkisar 10 persen dari pangsa pasar. Di awal 1990-an Kompas memiliki kerajaan bisnis yang terdiri atas 38 perusahaan yang dikenal sebagai Kelompok Kompas-Gramedia. (KKG). Kelompok ini gabungan dari berbagai penerbit buku dan percetakan, stasiun radio, perusahaan perjalanan/wisata, hotel, mesin alat berat, supermarket, asuransi, bank industri periklanan, tambak udang, mebel rotan, perusahaan perfilman, pabrik tisu, warung telekomunikasi, lembaga pendidikan bahasa Inggris dan komputer, dll. Melalui berbagai buku, majalah, dan surat kabar, Kompas-Gramedia mendominasi industri penerbitan. Surat kabar Kompas secara teratur menerima bagian yang lebih besar (lebih dari seperempat) dari pendapatan iklan surat kabar nasional. Sejak 1989, di bawah Divisi Pers Daerah, Kompas-Gramedia merangkul berbagai koran daerah melalui suntikan modal, redaksional, dan kolaborasi manajerial. Adapun media yang berada di bawah Kompas-Gramedia antara lain Harian Kompas, Tribun Pekanbaru, Bangka Pos, Surya, Warta Kota, Tribun Batam, dan Tribun Jabar, Majalah National Geographic, Majalah Bobo, Majalah Hai, Majalah Kawanku, Tabloid Nova, Majalah Chip, Majalah Info Komputer, Majalah Angkasa, Majalah Kontan, Majalah What Hi-Fi?, Tabloid PC Plus, Majalah HotGame, Tabloid Saji, Tabloid Sedap, Tabloid Bola, Tabloid Soccer, Tabloid Motorplus, Majalah Otomotif, Majalah Idea, Kompas.com, Radio Otomotif, dan Radio Sonora. 284 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Jawa Pos merupakan perusahaan pers terbesar kedua, terpusat di harian terbitan Surabaya. Jawa Pos didirikan oleh keluarga pada 1949. Namun pada 1982, PT Grafiti Pers yang membawahi majalah berita terbesar di Indonesia, Tempo, melakukan diversifikasi dengan mengambil alih Jawa Pos yang waktu itu hampir kolaps. Dahlan Iskan ditunjuk merestorasi koran itu, dalam waktu satu dekade berhasil mengubah surat kabar yang sekarat menjadi salah satu dari 200 bisnis terkemuka di Indonesia. Pada 1997, Jawa Pos merentangkan tangan ke seluruh Indonesia dengan 20 surat kabar, 5 tabloid mingguan, dan 4 majalah, di luar 11 percetakan, 1 pabrik kertas, dan 9 perusahaan nonpenerbitan yang bergerak di wilayah perbankan, hotel, internet service, dan real estate. Jawa Pos adalah surat kabar pertama yang berkembang menjadi konglomerat pers melalui konsentrasi secara eksklusif di pasar provinsi. Menurut Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli) poin a, satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu dan di poin b, menguasai 75 persen pangsa pasar.250 2. Kasus Delik Pers Dalam peraturan dan pendapat para ahli, tidak terdapat satu pengertian yang jelas tentang delik pers. Oleh karena itu, pengertian pers yang selalu berkembang akan dapat memengaruhi pengertian delik pers dari arti yang sempit dan berkembang menjadi arti yang luas.251 Menurut eks peraturan 250 http://febrinamasaya.blogspot.com/2010/11/media-cetak-vs-ekonomi.html. Diakes tanggal 15 Oktober 2011 251 Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hlm. 51. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 285 Deuk Pers Reglement 1856, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran dengan mempergunakan barang cetak yang berupa melipatgandakan tulisan, hasil seni lukis, dan teks musik yang dihasilkan oleh pekerjaan mesin atau bahan kimia. Apabila arah pengertiannya mengikuti WvS, dapat disebutkan bahwa delik pers adalah kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.252 Sejauh mana kejahatan melalui pers dapat dirumuskan sebagai delik pers, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak didapatkan rumusan yang pasti.253 Dengan demikian, untuk mengetahui kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kejahatan yang melalui pers dapat dikatakan sebagai delik pers, maka dapat dilihat beberapa pendapat sarjana sebagai berikut:254 Menurut Oemar Seno Adji, terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu delik pers, antara lain: 1). Ia harus dilakukan dengan barang cetakan; 2). Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan; 3). Dari perumusan delik harus dinyatakan bahwa publikasi merupakan suatu syarat penting untuk menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.255 Sementara menurut Vos dan Jonkers, delik pers adalah delik yang dilakukan dengan menggunakan alat pencetak dan pada pelaksanaannya telah terjadi publikasi.256 Sementara R. Moegono berpendapat, terda­pat kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kejahatan melalui pers cetak, yakni harus meme­ nuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1). Perbuatan yang diancam hukuman harus terdiri atas per­nyataan Ibid., A. Hamzah. Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Media Sarana Press, 1987, hlm.66. 254 Ibid., 255 Oemar Seno Adji, Pers Aspek-Aspek Hukum, Jakarta: Erlangga. 1997, hlm 297. 256 Bambang Poernomo, Op cit, hlm.51. 252 253 286 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. pikiran dan perasaan orang; (2). Harus dilakukan dengan barang cetakan; (3). Harus ada publikasi.257 Dari uraian tentang pengertian delik pers tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya beberapa batasan, yaitu:258 a. dalam pengertian umum, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan melalui pers; b. dalam pengertian menurut peraturan (yuridis) sebagaimana tercantum di dalam Reglement op de Druksw erken 1856, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran dengan mempergunakan barang cetak yang berupa melipatgandakan tulisan, hasil seni lukis, dan teks musik yang dihasilkan oleh pekerjaan mesin atau bahan kimia. c. dalam pengertian yang dibatasi menurut para ahli hukum, dengan persyaratan; (a) berupa pernyataan pikiran atau pendapat orang; (b) dilakukan melalui alat cetak atau pers; (c) dan harus adanya publikasi telah terjadi delik. Pengertian delik pers menurut ahli hukum yang dibatasi dengan tiga persyaratan tersebut di atas membawa konsekuensi, bahwa apabila tidak memenuhi syarat pertama lebih dahulu maka tidak termasuk golongan delik pers.259 (1).Tommy vs Tempo Perkara pers masuk ke meja hijau yang cukup menggegerkan pada tahun 2004 adalah kasus majalah Tempo melawan Tommy Winata, bos Artha Graha. Perseteruan ini berawal dari tulisan di Tempo Edisi 3-9 Maret 2003 berjudul “Ada Tommy di Tenabang?”. Berita ini memuat isu adanya proposal renovasi Pasar Tanah Abang yang diajukan Tommy, sebelum pasar tersebut terbakar. Akibat berita itu, timbul keresahan di B.A Manulu, Delik -Delik Pers di Indonesia, Jakarta: PT Media Sarana Press, 1987, hlm. 67. 258 Bambang Poernomo.Op cit. hlm.52. 259 Ibid., 257 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 287 kalangan karyawan Artha Graha, yang kemudian berunjuk rasa ke kantor redaksi Tempo di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat. Rupanya, tak hanya karyawan Tommy yang jengkel dengan pemberitaan tersebut. Sebagian korban kebakaran Pasar Tanah Abang juga marah. Menurut Tommy, kemarahan itu ditujukan ke kantornya dengan cara melempari kantornya itu dengan kotoran dan telur. Bahkan, ada yang mengancam Tommy lewat telepon. Kasus ini menjadi “lebih terhormat” dengan dimintanya Tommy datang ke Gedung DPR, Senayan, 17 Maret 2003. Dalam tulisan itu, Tommy disebut sebagai “pemulung besar”. Sebutan itu membuat Tommy dan orang-orang di sekitarnya marah, tidak terima. Apalagi, Tommy mengaku tidak pernah mengajukan proposal renovasi Tanah Abang. Tempo juga tidak mempunyai cetak biru proposal Tanah Abang. Maka silang sengketa ini pun masuk ke pengadilan. Kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Duduk sebagai terdakwa adalah Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti, wartawan Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali. Berita ini dianggap bohong sehingga menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Saksi Tommy Winata menyatakan tidak pernah mengajukan proposal renovasi Tanah Abang, dan tidak pernah diwawancarai pihak Tempo, kata Jaksa Bastian Hutabarat. Pemberitaan itu membuat resah banyak orang, baik karyawan Tommy maupun pedagang di Pasar Tanah Abang. Selain itu, menurut Bastian, berita itu berkonotasi negatif karena menyebut Tommy sebagai “pemulung besar”. Seperti seorang pengais sampah atau kotoran. Jaksa berpendapat Bambang terbukti bersalah menyebarkan berita bohong sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Tentang Tommy yang menyatakan tidak pernah diwawan­ carai Tempo dipatahkan oleh argumen Bemarda Rurit yang 288 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. mewawancarai Tommy lewat telepon. Ini diperkuat oleh bukti tertulis resmi dari PT Telekomunikasi Indonesia. Saksi Silvia Hasan dan David Tjiu juga membenarkan nomor yang dihubungi itu milik Tommy Winata. Roy Suryo, pakar telematika yang menganalisis rekaman itu, juga menegaskan bahwa suara rekaman itu identik dengan suara Tommy Winata. Jaksa Penuntut Umum menyatakan Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Teuku Iskandar Ali masing-masing dituntut hukuman penjara 2 (dua) tahun dan segera ditahan. Menurut Bambang, jika tuntutan ini diterima oleh majelis hakim akan membahayakan akses publik terhadap informasi. “Jika ada orang kuat tidak senang pemberitaan Anda, lalu ia kirim orang bikin keonaran, Anda akan dituntut menyebarkan berita yang menimbulkan keonaran, dan bisa dihukum 10 tahun. Selain itu, Bambang menilai berkas tuntutan jaksa ini aneh dan terkesan dipaksakan tentang penyebaran berita bohong. “Apakah bantahan Tommy Winata itu disebut bohong? Kalau bantahan itu tidak benar, berarti beritanya benar. Sementara pengacara Todung Mulya Lubis berpendapat, pemberitaan Tempo menyangkut kepentingan umum sehingga seharusnya tidak ada tindak pidana. Apalagi, dalam profesi pers tidak ada kebenaran absolut. “Pers itu mencari kebenaran. Selama mencari kebenaran itu, kalau kaidah-kaidah jurnalistik sudah dipenuhi, cover both sides, tidak ada soal dengan pemberitaan itu. Proses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terutama pada tanggal 16 September 2004 menjadi ajang lontaran yel-yel dan bentangan spanduk dari kedua kelompok. Pada satu sisi, kelompok pembela Bambang Harymurti dan kawan-kawan yang antikriminalisasi pers, meminta hakim membebaskannya, sedangkan kubu lain menolak intervensi terhadap putusan lembaga peradilan. Pada akhirnya, Majelis Hakim yang diketuai Suripto dengan hakim anggota Koesriyanto dan Ridwan Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 289 Mansur, menyatakan bahwa Bambang Harymurti terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong, dan dengan sengaja menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dan melakukan fitnah secara bersama-sama. Berita di Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 dengan judul “Ada Tommy di Tenabang?” dinilai merugikan Tommy serta tidak didasari bukti dan fakta yang kuat. Sesuai dengan fakta di persidangan, Tommy Winata tidak terbukti berada di balik kebakaran Pasar Tanah Abang. Bukti proposal renovasi Tanah Abang yang diajukan Tommy Winata tiga bulan sebelum peristiwa kebakaran, juga tidak ada. Fakta berikutnya, Tommy tidak mendapat keuntungan besar atas kebakaran itu. Selanjutnya, sumber berita yang ditulis Tempo juga tidak dapat ditunjukkan di persidangan. Atas dasar itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Bambang Harymurti selama satu tahun penjara. Sudah sewajarnya terdakwa bertanggung jawab atas pemberitaan tetapi Bambang tidak otomatis menjalani pidana tersebut. Sementara terdakwa Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali, keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan perbuatan tindak pidana mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh kedua terdakwa. Alasannya, Majelis Hakim mengacu pada UU Pers yang menyatakan, dalam perusahaan pers ada redaksi dan nonredaksi, sehingga dalam soal pemberitaan, yang bertanggung jawab adalah atasannya. Kepada pers, Darwin Aritonang penasihat hukum ketiga terdakwa, mengatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum Bastian Hutabarat terhadap ketiga terdakwa kabur dan tidak cermat, tetapi majelis hakim tidak berani secara tegas membebaskan terdakwa. Pembebasan dari hukuman penjara terhadap Ahmad Taufik dan Iskandar Ali dengan alasan sesuai 290 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. dengan Pasal 12 UU No.40 Tahun 199 tentang Pers itu sekadar lips service. Sekadar menyiratkan bahwa perkara tersebut sudah diadili dengan Undang-Undang Pers. Sementara dakwaan subsider pada Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur penyerangan kehormatan dan nama baik, serta fitnah dianggap kabur dan tidak cermat. Hal itu terlihat dari putusan majelis hakim yang tidak konsisten dengan menggunakan Pasal 12 Undang-Undang Pers untuk membebaskan terdakwa Taufik dan Iskandar Ali. Padahal, di dalam dakwaan UU Pers sama sekali tidak dipertimbangkan. Dipakainya UU Pers ini memang cukup mengagetkan banyak kalangan. Sebab, sebelumnya kendati mendapat desakan sana-sini, para hakim terkesan tak mau melirik UU Pers. Alasannya, pihaknya (majelis hakim) tidak mungkin memutus perkara ini di luar dakwaan jaksa yang menuntut kasus itu dengan KUHP, bukan dengan UU Pers. Jaksa Penuntut Umum juga terkejut dengan putusan hakim yang “menyelipkan” pertimbangan pasal UU Pers. Putusan itu kontradiktif. Seusai vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa Bambang Harymurti dan Ahmad Taufik langsung mengajukan banding, sedangkan Iskandar Ali mengajukan kasasi. Iskandar Ali mengajukan kasasi karena tidak puas dengan putusan majelis hakim tingkat pertama yang seharusnya memberikan putusan bebas murni kepada terdakwa Iskandar Ali. (2). Prita vs RS Omni Keluhan pelanggan adalah lumrah, sebab mereka membayar setiap pelayanan yang diterima. Jika pelayanan kurang memuaskan, mereka pasti mengeluh. Ke mana biasanya pelanggan jasa pelayanan publik mengeluh sehingga mendapat Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 291 perhatian pemberi jasa pelayanan?. Ada banyak sarana untuk menyampaikan keluhan jika menghadapi masalah dalam me­ man­ faatkan jasa pelayanan publik. Melalui surat pembaca di media cetak, agar publik tidak meng­alami keluhan yang sama. Ada pula yang disam­paikan dari mulut ke mulut, lewat saudara, tetangga, dan teman. Di zaman serba elektronik, keluhan bisa dikabarkan melalui surat elektronik atau e-mail, juga melalui mailing list pada temanteman satu komunitas. Di samping kabar cepat sampai, reaksi pun lebih cepat datang. Satu di antara banyak keluhan yang disam­ paikan lewat e-mail dilakukan Prita Mulyasari. Pasien Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang, Banten ini, mengeluhkan buruknya pelayanan yang telah dia alami, kepada temantemannya, melalui mailing list. Sebab, keluhan yang disampaikan kepada pihak rumah sakit dan dokter yang melayani, tidak memuaskan dirinya. Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan badan terasa panas tinggi dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah. Diagnosisnya adalah demam berdarah (DB) dan disarankan rawat inap. Semasa rawat inap, Prita merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberi berbagai suntikan tanpa penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher, dan daerah sekitar mata mengalami pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosis awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit. Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu. Isi e-mail Prita Mulyasari sebagai berikut: 292 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. From : prita mulyasari [mailto. [email protected]] Sent : Friday, August 15, 2008 3:51 PM To: customer_care@ banksinarmas. com; hendra. goenawan@ banksinarmas. com; Hendra Goenawan; mario pasla; Lesthya theresa; Lucy Juliana Sapri; Andri Nugroho; Anton Ferdiansyah; ADI ATMANTO; Adia Adithiya Pradithama; Cindy Robertha; Credit Card Supervisor; Yusuf Centerix; [email protected]; kakak gue; Setiawan Diana; Johan; Nadhya Budhiman; Renny Rosanna; Vanty Valentina Subject: Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus. Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr. Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan pemeriksaan lab Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 293 ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah. .......................................................... Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. --------------------------------------------Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hatihati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum. Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni. Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikare­ nakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya 294 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini. Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr. Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian siasia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini. salam, Prita Mulyasari Tindakan Prita didasari alasan bahwa dia telah membayar mahal pelayanan yang mestinya diperoleh dari rumah sakit berstandar internasional. Namun, tanggapan pihak RS Omni luar biasa. Keluhan kecil yang disampaikan kepada teman, dinilai pihak manajemen Rumah Sakit Omni Internasional telah mencemarkan nama baik rumah sakit itu, sehingga Prita diperkarakan melalui jalur hukum. Melalui laporan yang disampaikan pihak manajemen Rumah Sakit Omni Internasional, polisi dan jaksa dengan mudah menemukan pasal-pasal yang dilanggar Prita. Kedua lembaga penegak hukum itu menuduh Prita melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 310 dan 311 KUHP, dan 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 295 Karena ancaman hukuman maksimalnya disebutkan dalam Pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5 tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, Prita Mulyasari pun ditahan. Tindakan cepat jaksa dengan menjerat Prita ternyata menjadi cemoohan publik. Terlebih ada dugaan gratifikasi oleh RS Omni terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang. Sebab, RS Omni Internasional memberikan layanan medical check up dan papsmear cuma-cuma untuk para pegawai Kejari Tangerang. Pengumuman yang sempat ditempel di Gedung Kejari Tangerang ini dikeluarkan 18 Mei 2009, sedangkan Prita ditahan lima hari sebelumnya. Reaksi pun deras berdatangan. Apalagi saat itu tengah berlangsung kampanye pemilu legislatif. Para politisi memanfaatkan kesempatan “menolong” Prita, demi merebut simpati. Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri langsung menyambangi Prita yang ditahan di LP khusus wanita di Tangerang Dalam perkara pidana pada Pengadilan Negeri Tangerang Prita Mulyasari dibebaskan atas dakwaan melakukan penghinaan kepada Rumah Sakit Omni International. Sementara pada pengadilan yang sama, Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten menyatakan Prita bersalah dalam perkara perdata sehingga divonis membayar denda Rp 204 juta. Denda ini adalah pengganti kerugian moril dan materiil yang dialami RS Omni. Vonis ini memicu gelombang simpati kedua pada Prita. Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyatakan akan membayar separuh dari denda yang dibebankan kepada Prita. Tak kalah mengharukan reaksi dari masyarakat. Mereka menghimpun dana dengan cara unik, yakni mengumpulkan uang logam (koin) receh, untuk membayar denda kepada RS Omni. Mahkamah 296 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Agung kemudian mengabulkan permohonan kasasi gugatan perdata Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional. Dengan keluarnya vonis tersebut, Prita dibebaskan dari seluruh ganti rugi.260 ( 3). Infotainment vs Selebriti Luna Maya Kasus hukum antara selebriti Indonesia Luna Maya dan kalangan media infotaintment berujung pada dilaporkannya Luna Maya ke polisi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya. PWI menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 45 ayat (1). Kasus Luna Maya berawal dari dunia daring (online), Luna Maya berkeluh-kesah di akun blognya, Twitter, tentang sikap para wartawan infotainment. Melalui statusnya, Luna Maya mencaci maki pekerja infotainment dengan kalimat bahwa wartawan infotainment lebih hina dari pelacur dan pembunuh!!!! may ur soul burn in hell!!!. Status yang merendahkan dan mengucilkan pekerja infotainment. Sampai akhirnya status tweet-nya dihapus. Beberapa hari kemudian, Luna Maya me­nya­takan permintaan maaf dalam akun blognya, Twitter kepada pekerja infotainment¸ dan masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan pem­ beritaan dirinya di media. Banyak anggota masyarakat yang menyayangkan kasus ini mencuat ke publik. Tidaklah terlalu urgen untuk diselesaikan melalui ranah hukum. Wartawan infotainment haruslah lebih cerdas dan lebih arif menyikapi kasus ini, dengan tidak ikut-ikutan mengikuti euforia gugat-menggugat. Masih banyak kasus- 260 http://berita.liputan6.com/read/253843/prita-rs-omni-dan-sanksi-publik. Diakses tanggal 15 Oktober 2011 Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 297 kasus lain yang lebih penting dan menyangkut kepentingan masyarakat umum yang lebih besar serta lebih layak untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Wartawan infotaintment sebenarnya dapat menggunakan hak jawabnya berdasarkan UU Pers dengan memberikan klarifikasi melalui media atas hujatan yang dilontarkan Luna Maya. Hal itu akan mencerminkan sikap yang lebih arif dan elegan. Kasus ini pun berujung pada perdamaian antara wartawan infotainment yang diwakili oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya dan Luna Maya. Perdamaian itu memang menjadi salah satu syarat pencabutan laporan polisi kepada Luna Maya. Namun, kemudian timbul permasalahan karena perdamaian itu sendiri tidak dilakukan di depan publik atau dalam forum terbuka yang dihadiri seluruh wartawan infotainment karena kasus itu telah menjadi ranah publik. Perdamaian antara wartawan infotainment yang diwakili oleh PWI Jaya dan Luna Maya dilakukan secara diam-diam dan menimbulkan berbagai prasangka dan fitnah. Pelajaran dari kejadian Luna Maya ini adalah bahwa diperlukan suatu kode etik dalam penggunaan dunia internet. (4). Lady Di vs Paparazi Putri Diana adalah ikon abad ke-20. Dia mem­punyai kecantikan feminin dan glamor. Pada saat yang sama, ia dikagumi karena kegiatan amalnya, dan mendukung kampanye untuk melarang ranjau darat. Menikah dengan Pangeran Charles pada tahun 1981, ia menerima gelar “Yang Mulia Putri Diana dari Wales” Dia adalah Bunda Pangeran William dan Pangeran Harry, urutan ke-2 dan ke-3 dalam garis takhta. Pada 1981, Diana menikah dengan Pangeran Charles. Diana 13 tahun lebih muda, pada usia yang baru 20 tahun, 298 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Charles berumur 33 pada saat pernikahan. Masyarakat umum segera dihangatkan dengan kepolosan dan keindahan Putri Diana. Pernikahan itu disaksikan oleh lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia. Selama perkawinan, mereka memiliki dua putra, Pangeran William dan Pangeran Harry. Namun, pada pertengahan dekade 1980-an, ketidakcocokan mulai muncul dalam pernikahan, dan di bawah publisitas, perkawinan mereka mengarah ke perceraian pada 1992. Selama periode ini, Diana dikatakan telah menderita berbagai masalah kesehatan seperti depresi. Diana meninggal dunia pada tanggal 31 Agustus 1997, dalam kecelakaan mobil yang melibatkan Dodi Al-Fayed. Dikatakan, mereka sedang dikejar oleh paparazi pada saat kecelakaan fatal, meskipun pemeriksaan juga mencatat bahwa sopir mobil itu juga berada di bawah pengaruh obat-obatan dan minuman beralkohol. Kontroversi masih menyelimuti kematiannya, dengan pemeriksaan lebih lanjut masih berlang­ sung. Diana tewas setelah mobil Mercedes yang ditum­panginya menabrak sebuah pilar di terowongan Pont de l’Alma di Paris ketika dikejar-kejar paparazi pada suatu malam tanggal 31 Agustus 1997. Saat dikejar paparazi, sopir Henri Paul yang mengemudikan mobil Mercedes dengan kecepatan tinggi, dibuat terkejut oleh lampu sorot dari mobil Fiat Uno warna putih, sehingga Paul kehilangan kendali dan kemudian mobil Mercedes yang ditumpangi Putri Diana beserta Dodi Al- Fayed menabrak dinding terowongan. Pada 2003, kepolisian Inggris mengadakan penyelidikan mendalam atas kematian Putri Diana dan setelah tiga tahun penyelidikan yang menghabiskan dana 3,7 juta Poundsterling, tidak ditemukan bukti yang mendukung teori konspirasi atas kematian Lady Di. Persaingan Usaha Industri Media Massa Dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers 299 (5). Gugatan Perdana Menteri Singapura vs New York Times Perdana Menteri (PM) Lee Hsien Loong sukses memenangi gugatan hukum atas The New York Times Company terkait dengan artikel dinasti politik yang dipublikasikan International Herald Tribune (IHT). Perusahaan surat kabar Amerika ternama, New York Times (NYT), harus membayar total kerugian 160.000 dolar Singapura (114.000 dolar AS atau sekitar Rp 1 miliar) kepada Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan dua menteri seniornya terkait dengan pemuatan artikel tentang dinasti politik atas gugatan pencemaran nama baik Perusahaan NYT dan penulis artikel Philip Bowling, selain harus membayar ganti rugi SGD 60.000 (sekitar Rp 389,6 juta) atas kerugian yang dialami Perdana Menteri Lee dan masing-masing SGD 50.000 (sekitar Rp 324,7 juta) untuk mengganti kerugian kepada dua menteri senior, Lee Kuan Yew dan Goh Chok Tong. Tergugat (perusahaan NYT dan penulis artikel Philip Bowling) juga harus menanggung biaya perkara. Artikel Bowling dipublikasikan oleh NYT Edisi Global, International Herald Tribune (IHT). Artikel yang berjudul “AU In The Family” itu menulis secara tersirat kemungkinan bahwa Lee, putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew, mendapat pekerjaan bukan karena prestasinya. Artikel itu juga menyinggung Goh yang merupakan pendahulu Lee dan kini menjadi menteri senior. Atas gugatan tersebut juga, IHT pada penerbitan edisi berikutnya memuat permohonan maaf kepada Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Menteri Lee Kuan Yew, dan mantan Perdana Menteri Goh Chok Tong atas penderitaan atau keadaan yang memalukan yang disebabkan oleh perbuatan pelanggaran dan artikel dalam IHT. 300 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Artikel yang memuat pencemaran nama baik itu ditulis oleh kolumnis yang berbasis di Hong Kong, Philip Bowling dan NYT telah menyepakati periode kesepakatan untuk membayar kerugian. Artikel Bowring itu membuat pembaca berasumsi Perdana Menteri Lee Hsien Loong hanya mewarisi jabatan PM dari sang ayah. Perdana Menteri Lee Hsien Loong membantah keras tudingan nepotisme tersebut dan menegaskan jabatan kepala pemerintahan itu buah kerja kerasnya. Tuntutan ganti kerugian atas pemberitaan itu bukanlah tuntutan pertama yang dilakukan para pemimpin Singapura terhadap media. Para pemimpin Singapura bahkan telah meraih ratusan ribu dolar dari biaya ganti rugi atas kasus pencemaran nama baik, kritikan, dan publikasi asing. Para pemimpin Singapura beralasan, tuntutan diperlukan untuk melindungi reputasi pemerintah dari serangan orang lain. Tahun lalu. Far Eastern Economic Review yang bermarkas di Hong Kong dan editornya digugat ganti kerugian membayar 400.000 dolar atas tuntutan pencemaran nama baik Perdana Menteri Lee dan ayahnya. Sebelumnya, Editor Senior Wall Street Journal juga didenda 10.000 dolar Singapura pada Maret 2009 atas tuduhan penghinaan terhadap pengadilan kota melalui tiga artikelnya. Denda 25.000 dolar juga pernah dibayarkan oleh surat kabar Dow Jones Publishing Company (Asia) Inc. pada November 2008 karena tuduhan fitnah dalam artikel yang dipublikasikannya.261 http://metronews.fajar.co.id/read/86900/33/index.php. Singapura berhasil mempertahankan reputasi politiknya. Diakses 15 Oktober 2011 261 Daftar Pustaka 301 Daftar Pustaka Buku: Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Cetakan Kesatu, Bandung, Oktober 2004. ---- Perlindungan Rahasia Dagang Dalam UU No. 30/2000 dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 2001. Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2008. A.Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers, Mario Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 1996. Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Desember 2002. Astrid S. Susanto-Sunario, Media Pilar IV Demokrasi, Kumpulan Makalah, Dewan Pers-SEAPA-Friedricht Ebert Stiftung, Jakarta, Oktober 2002. A.Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Penerbit Kanisius, Cetakan ke-9 Yogyakarta, 2006. Astim Riyanto, Filsafat Hukum, Yapemdo, 2003. Bagir Manan, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum, Dewan Pers, November 2010. Bemmelen van J.M, Hukum Pidana 1-Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Cetakan Kedua, 1987. Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu 302 Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Cetakan Kedua, Bandung, 2000. Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, Permata Aksara, 2009, Bruggink J.J.H, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua, Bandung, 1999. Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi- Regulasi & Konvergensi, PT Refika Aditama, Bandung, 2010. Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, 2000 Djoko Purwanto, Komunikasi Bisnis, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta, 2006 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama, Bandung,1996. ---- Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Kumpulan Tulisan In Memoriam Komar Kantaatmadja (1998-2008), Perum Percetakan Negara RI – FH Universitas Padjadjaran, 2008. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Cetakan Pertama, Bandung, 2004. Saefullah E, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Himpunan Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 2000. Eddi Sopandi, Hukum Bisnis – Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab, Refika Aditama, Cetakan Pertama, September 2003. Elvinaro Ardianto dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Simbiosa Rekatama Media, 2009. Daftar Pustaka 303 Fisher B.Aubrey, Teori-Teori Komunikasi, Judul Asli Perspectives on Human Communication, Terjemahan Soejono Trimo, Penyunting Jalaluddin Rakhmat, Remadja Karya,1986 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Edisi Pertama, 2008. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta, 2005. ---- Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), PT RajaGrafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, Agustus 2004. ---- Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketiga, Jakarta 2002. Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit, 2004. Imam Syaukani, A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, April 2004. Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional- Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Cetakan Pertama, Bandung, September 2000. Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, Mei, 2009. Isis Ikhwansyah, Hukum Persaingan Usaha dalam Implementasi Teori dan Praktik, Unpad Press,2010. Islam ed Roemeen, The Right to Tell: The Role of Mass Media in Economic Development, World Bank Institute (WBI) – Pusat Data dan Analisa Tempo, Terjemahan M. Hamid, 2006. Jalaluddin Rachmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketujuh, Bandung, 1992. Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Kumpulan Karangan), LP3ES, Jakarta, 1987. J.E.Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009. 304 Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers Johannes Ibrahim, Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Cetakan Pertama, Bandung Januari 2004. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, An Indonesian-English Dictionary,Edisi Ketiga Third Edition, Direvisi dan Diedit oleh John U.Wolff dan James T. Collins, kerja sama dengan Hassan Shadily, PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keenam, Jakarta, Juni 2000. ----, Kamus Inggris Indonesia, An English-Indonesian Dictionary, Cornell University Press 1975 dan PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan XXV, Jakarta, Agustus 2000. John Pieris & Wiwi Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi CendekiaUKI, Jakarta 2007 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, Bayumedia Publishing, Cetakan ketiga, 2009. ----, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum-Teori dan Implikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum, Pmn, ITSpress, Surabaya 2009. Judhariksawan, Hukum Penyiaran, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, Juni 2010. Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas-Kekuatan dan Strategi di Dalam Ekonomi yang Saling Mengait, Pelajaran di Dalam Logika Baru Pasar Global, Terjemahan/ Alih Bahasa F.X. Budiyanto, Binarupa Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta, 1999. Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004. ---- Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5, PT. Grafitri Budi Utami, Cetakan Ketiga, Bandung, 2009. Daftar Pustaka 305 Lili Rasjidi,Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesembilan, Bandung, 2004. Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Edisi Pertama, Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 2005. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Edisi Pertama, Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 1994. Munir Fuady, Bisnis Kotor (Anatomi Kejahatan Kerah Putih), Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesatu, Bandung, 2004. ---- Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama, Bandung, 2002. ---- Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama, Bandung, 2003. ---- Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesatu, Bandung, 2002. Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia), Raja Grafindo, 2010. Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis di Indonesia, Pustaka, Cetakan Pertama, Bandung, 2001. Mochtar Kusumaatmadja- Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum, dan Pembangunan Bekerja Sama dengan Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 2003. ---- Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerja Sama dengan Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 2003. ---- Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Editor Otje Salman S, Eddy Damian, Edisi Pertama, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Kerja Sama dengan Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 2002. ---- & Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000. 306 Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers Mochtar Lubis, Visi Wartawan 45, Kumpulan Tulisan Suardi Tasrif, Mohammad Said, Media Sejahtera, Cetakan Pertama, Juli 1992 Mulya T. Lubis, Richard M. Buxbaum (Penyunting), Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Edisi Pertama Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986. Oemar Seno Adji, Pers. Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Cetakan Kedua EYD, Jakarta, 1977. ---- Mass Media dan Hukum, Erlangga Jakarta, 1973. Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, an Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007. Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Cetakan III, Bandung 2003. Pindyck S Robert, Rubinfeld L. Rubinfeld, Mikro Ekonomi (Microeconomics 5th edition), Terjemahan, Alih Bahasa Tanty Tarigan, Penyunting Agus Widyantoro, Revisi Edisi Kelima, Jilid 1,PT. Indeks, Jakarta, 2003. Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Edisi Pertama, 2005. Pound Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum terjemahan Mohamad Radjab, An Introduction to The Philosophy of Law, Bharata Karya Aksara, Cetakan Ketiga,Jakarta, 1982. ---- Tugas Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, The Task of Law, Bhratara, Jakarta, 1965 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2003. Rachmadi F, Informasi dan Komunikasi dalam Percaturan Internasional, Alumni, Cetakan Pertama, Bandung, 1988 Ridwan Khairandy,Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Kedua,Jakarta, 2004. Daftar Pustaka 307 Rudy Rizky, Editor, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Percetakan Negara RI, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2008. R.H. Siregar, Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, Kompas-Dewan Kehormatan PWI, 2005 ----Komariah Sapardjaja,Lukas Luwarso,Tim Lembaga Informasi Nasional, Dewan Pers dan LIN, Dewan Pers dalam Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, Februari 2003. Rivers L.William – Jensen W Jay– Peterson Theodore, Media Massa & Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Prenada Media Group, Jakarta,2008 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung 1993 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis (Business Crime), Prenada Media, Edisi Pertama, Jakarta, Juli, 2003. ----Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001 Sabam Leo Batubara, Indonesia Bergulat dalam Paradoks, Dewan Pers, 2009. Saefullah E, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Himpunan Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 2000. Satrio. J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua, Bandung, 2001. ---- Hukum Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kedua, Bandung, 2001. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Pencarian Pembebasan dan Pencerahan, Editor Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Cetakan Pertama, Solo, 2004. ---- Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bati, Cetakan Keenam, Bandung 2006. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Cetakan Kedua, Jakarta, Juni 2004. 308 Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers ---- Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku Kesatu, Sinar Grafika, Cetakan pertama, Jakarta, Oktober 2003. Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Smith C.Edward, Pembredelan Pers di Indonesia, Judul Asli A History of Newspaper suppression in Indonesia, 1949-1965 (Tesis Doktor pada University of Iowa,1969), Penerjemah Atmakusumah, Alex A. Rakhim, Arie Wikdjo Broto, Pustaka Grafitipers, Cetakan Kedua, Jakarta,1986 Sri Soemantri M, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni,Bandung, 1982. Sri Soedwi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Cetakan Keempat,Yogyakarta, Februari, 1981 Subekti.R, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, Bandung, 1995 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Cetakan Kedua, Jakarta, Agustus, 2004. Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Cetakan Kesatu, Bandung, 2003. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Cetakan Keenam, Jakarta, Januari 2003. Soeganda Priyatna – Elvinaro Ardianto, Komunikasi Bisnis-Tujuh Pilar Strategi Komunikasi Bisnis, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009. Suhasril, Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopolid dan Persaingan Usaha tidak Sehat di Indonesia, Ghalia Indonesia, Juli 2010. Sumantoro, Hukum Ekonomi, UI-Pres, 2008. Daftar Pustaka 309 Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Putra A.Bardin, Cetakan Kelima, April 2001. ---- Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Edisi Pertama, Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 1994. ---- Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Cetakan Kesatu, Bandung, 1991. Suyud Margono, Hukum Antimonopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Tim Lindsey, Eddy Damian ed, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2004. Utrecht E, Moh Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.Ichtiar Baru – Sinar Harapan, Cetakan Kesebelas, Jakarta, 1989. Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980), Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, 2002. Vollmar, H.F.A,Hukum Benda (Menurut KUH Perdata), Saduran Chidir Ali, Tarsito, Cetakan Kedua, Bandung, Agustus 1990. Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, Grasindo, 2005. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Dewan Pers, 2007. ---- Kode Etik Jurnalistik, Dewan Pers, 2006 Wirjono Prodjodikoro. R, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Cetakan Pertama, Bandung, 2000. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Bandung, 2000. ----Hukum Internasional, Bunga Rampai, PT Alumni Bandung, 2003 ----Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Kumpulan Makalah, Editor Idris, Rachminawati, Imam Mulyana, PT Fikahati Aneska – FH Universitas Padjadjaran, 2012. 310 Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers Perundang-undangan: 1. Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen 2. Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 tentang Pers 3. Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat 4. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) 6. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHDagang) 7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) 8. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perseroan Terbatas 11. Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Penanaman Modal Asing 12. Undang-Undang RI Nomor.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 13. Undang-Undang RI Nomor. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 (RPJP) 14. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, Maret 2005. Makalah, Pidato Ilmiah, Artikel, dan lainnya: Bagir Manan, Catatan Menuju Pers yang Bertanggung Jawab dan Sehat, pada pelatihan Ahli Dewan Pers, Batam, Juni 2010. Eddy Damian, Plagiat Karya Tulis yang Tidak Melanggar Hukum Hak Cipta, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung 12 Maret 2005. Daftar Pustaka 311 Krisna Harahap, Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan (Studi Kasus Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)/Kopertis Wilayah IV/Jabar), Bandung 05 Maret 2005. Rukmana Amanwinata,Kedudukan dan Fungsi Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi, Makalah seminar Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Bandung 23 September 2004. Naungan H, Aspek-aspek Penting Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik pada Diklat Forum Humas Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan sosialisasi wartawan Jawa Barat, 27 Desember 2010. dan Februari 2011. ---- Penerapan Asas Praduga tidak Bersalah Dalam Pers, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, November 2010 Sumber lainnya: Buletin, Etika, Berita Dewan Pers No.59 Maret-2008 Jurnal Dewan Pers Edisi No.2 November 2010. Jurnal Hukum Bisnis,Volume 24-No.2 Yayasan Pengembangan Bisnis, Jakarta, 2005. ---- Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Yayasan Pengembangan Bisnis, Jakarta, Oktober-November 2002. ----Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18, Yayasan Pengembangan Bisnis Jakarta, 18 Maret 2002. ---- Jurnal Wawasan Hukum, Volume 8 No. 2, Sekolah Tinggi Bandung, Bandung, November 2002. Hukum Hukum Hukum Hukum 312 Tentang Penulis NAUNGAN Harahap, Bin Harun Gelar Sutan Mahodum lahir di Pargarutan Jae Padangsidempuan, Sumatra Utara, 6 Juli 1953. Pria Muslim beranak dua ini tinggal di Jalan Suajadi – Asli II No. 31/182A Bandung, Kelurahan Sukabungah, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat telp. 022-203067. Dia adalah praktisi pers, advokat, dan akademisi dosen. Selepas pensiun sebagai wartawan, dia kini berkantor di Kantor Hukum Naungan & Partner, Advokat dan Legal Consultant, alamat Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Bina Marga Lantai B-2 Jln. LLRE Martadinata No. 119 Kota Bandung, E-mail: [email protected]. Dari hasil pernikahannya dengan Hj. Yenny Rukiyani, Bc.A, Naungan memiliki dua anak, yakni Adhya Rajasandi Harahap, S.E. dan Annisa Nurbaiti, S.E. (mahasiswa S-2 Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung). Naungan adalah putra bungsu dari pasangan H. Harun Harahap, Gelar Mangaraja Bangun Dipabuat (almarhum) dan Hj. Tiolin Siregar (almarhumah). Sementara istrinya, Yenny adalah putri dari pasangan M. Suyono (almarhum) dan Hj. Rukoyah (almarhumah). Dalam keluarga, Naungan memiliki tiga saudara kandung yang juga telah meninggal dunia. Pada masa kecilnya, Naungan sudah ditinggal kedua orang tua. Ibundanya meninggal lebih dulu ketika dia masih umur empat tahun, waktu itu belum sekolah. Selang tiga tahun kemudian ayahandanya wafat saat dia masih sekolah Klas III SR. Naungan masuk sekolah klas satu SD, sebenarnya umurnya baru empat tahun. Menurut kelaziman masa itu, tahun 1957, seorang anak baru boleh masuk sekolah apabila anak sudah berumur sekurang-kurangnya enam tahun. Tangannyapun di kepala 313 belum sampai menjangkau telinga, tapi karena ibu sudah meninggal ayah memasukkannya sekolah ke SD dalam usia empat tahun. Itu artinya umurnya dituakan dua tahun. Jadi sesungguhnya dia memiliki dua macam tahun kelahiran, yaitu lahir biologis tahun 1953 dan lahir administrasi pendaftaran masuk sekolah tahun 1951. Naungan menempuh pendidikan dasar di SDN 21 Padangsidempuan dan lulus 1963, kemudian SMP Padangsidempuan (lulus 1966), dan STM Neg 1 Jurusan Listrik Jakarta (1971). Kuliah sambil kerja adalah pengalaman indah yang tak pernah dia lupakan. Gelar sarjana hukum (S.H.) dia raih dari Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara Bandung pada 1990. Gelar magister hukum (M.H.) diraihnya dari Pascasarjana Universitas Padjadjaran, lulus Cum Laude (dengan pujian) pada 2005. Sementara pendidikan jenjang S-3 (doktor) Program Studi Ilmu Hukum ditempuh di Universitas Padjadjaran, dan menjadi Kandidat Doktor sejak 2008. Pada 1982, Naungan juga pernah mengikuti program non-gelar (nondegree) di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Pendidikan nonformal lainnya dia tempuh di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta, yakni dalam bidang profesi pers (1988). Berbagai jabatan di bidang media, advokat, dan dosen pun pernah disandangnya. Naungan mulai meniti karier sebagai wartawan Harian Umum Mandala pada 1976. Setelah 21 tahun berkiprah di Mandala, dia pindah ke HU Pikiran Rakyat tahun 1997 dan pensiun pada 2007 setelah berkiprah 10 tahun di koran terbesar di Jawa Barat tersebut. Kiprahnya di HU Mandala sampai (1976-1996) dimulai dari wartawan, kemudian redaktur, redaktur pelaksana, dan wakil pemimpin redaksi. Dewan Komisaris PT Satia Mandala Raya (Mandala-Kompas) pada 1992-1995, General Manager PT Grafitri (Percetakan Mandala–Kompas) 1992-1995. Staf Redaksi/Redaktur HU Pikiran Rakyat (1998-2007), Redaktur SKM Priangan Grup Pikiran Rakyat, Redaktur Cyber Media HU Pikiran Rakyat (2005–2007), Penanggung Jawab/Dewan Redaksi & Penasihat Hukum 314 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Tabloid Fajar Pos (sejak 2010), penyunting dan Majalah Jurnal Penelitian Mitra Bestari Kemenkominfo (sejak 2012). Di bidang organisasi profesi pers, Naungan menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak 1977, sampai sekarang. Pada 1981, dia memperoleh status Anggota Biasa PWI No. 10.00.1856.81. Dia juga menjabat menjadi Ketua PWI Perwakilan Kota Bandung pada 1989-1992. Sekretaris I, II PWI Cabang Jawa Barat (1992-2002), Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Cabang Jawa Barat 2002-2007, anggota Presidium Pemantauan Pemilu/Pijafrel (Public and Indonesian Journalist for Free and Fair Election) PWI Jawa Barat (2003- 2007), Ketua Tim Perumus Kurikulum Training of Trainer (TOT) Tingkat Nasional PWI Pusat (2005), Pelatih Nasional Wartawan PWI Pusat (sejak 2007), Ketua Divisi Legislasi dan Advokasi Mapilu/Pijafrel PWI Pusat (sejak 2007), anggota Tim Penyempurnaan PD/PRT-KEJ PWI (sejak 2010), Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang Jawa Barat (20072011), Ahli Dewan Pers (sejak 2010), anggota Dewan Penasihat PWI Cabang Jawa Barat (2011–2016), Asesor/Penguji Kompetensi Wartawan (UKW) Indonesia (sejak 2011), Anggota Komisi Kompetensi Wartawan PWI Pusat (2013-2018). Sebagai wartawan, Naungan juga beberapa kali meraih penghargaan. Pada rentang 1985 sampai 1989, dia empat kali menjadi juara dan memperoleh penghargaan Piagam Adi Sastra dari Jaksa Agung RI dan meraih juara II, III, IV, dan V pada lomba karya tulis Media Massa Cetak Bidang Hukum Tingkat Nasional Kejaksaan Agung RI. Pada 1997, dia menjadi juara I Lomba Karya Tulis Media Massa Bidang Pembangunan Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung dan memperoleh Piagam “Pembangunan” dari Wali Kota Bandung. Naungan pun memperoleh sertifikat dari Dewan Pers sebagai Penghargaan Atas Jenjang Pemilik Standar Kompetensi Wartawan Utama (2011), sertifikat Nomor:032-WU/DP/V/2011. Pada 1992-1997 Naungan melakukan liputan jurnalistik ke negaranegara ASEAN, ROC Taiwan, Australia, lima negara Eropa yakni Prancis, 315 Belanda, Jerman, Swiss, dan Inggris. Pada 1997, dia menjadi peserta Seminar Pers Dunia IFRA di Amsterdam, Belanda. Untuk penyusunan naskah disertasi S3, tahun 2011 Naungan melakukan penelitian di lingkungan kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), jajaran Dewan Pers, dan beberapa media massa nasional. Di bidang profesi hukum praktisi pengacara, Naungan menjadi pengacara & penasihat hukum (sejak 1996). Dia lolos ujian dan memperoleh izin praktek dengan sertifikat pengacara dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat (sejak 1996), masuk organisasi Ikatan Advokat Indonesia/Ikadin (sejak 2004), anggota Dewan Kehormatan DPC Ikadin Bandung (2006–2010), Ketua Dewan Kehormatan DPC Ikadin Bandung (2010-2014), anggota majelis Dewan Kehormatan DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jawa Barat (2009-2013), dan Direktur Kantor Hukum Naungan & Partner, Advokat & Legal Consultant (sejak 2004), Advokat anggota Peradi Nomor Induk Anggota/ NIA.96.11035 2006 (sejak 2006). Sebagai advokat, Naungan (sejak 2004) aktif mem­berikan konsultasi hukum, pembelaan dan penasihat hukum dalam beracara di Pengadilan Negeri Klas IA Bandung, Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi, KPK, dan Mahkamah Agung RI. Dalam perkara pidana melakukan pendampingan klien di Polda Jabar, Polrestabes Bandung, Polres Bandung Timur, Polres Subang, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri Subang terkait perkara delik pers, pencemaran nama baik, kekerasan dalam rumah tangga, perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) di tingkat pertama, banding dan kasasi MA. Dalam perkara perdata gugatan lelang, perkara di PTUN dalam posisi tergugat sengketa tanah di Cibinong Kabupaten Bogor, mendampingi tergugat dalam perkara buruh tekstil pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung. Profesi lain yang pernah dijalaninya adalah Guru pengajar sebagai dosen luar biasa di beberapa universitas negeri dan swasta di Bandung 1996-2011. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung (1997–1998), dosen S-1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas ARS Internasional 2008-2009, dosen D-3 PAKT Penyiaran Fikom Universitas 316 Dr. Naungan Harahap, SH., MH. Padjadjaran 2009-2010, dosen S-1dan D-3 Komunikasi dan Niaga Universitas Telkom (2010-2011), dosen S-1 Fakultas Hukum dan S-2 Pascasarjana Univeversitas Islam Nusantara Bandung (2013 – sekarang). Pada 1996-1997, penulis mengajar di Komando Doktrin, Pendidikan dan Pelatihan (Kodiklat TNI AD). Selama menjadi dosen dia mengasuh mata kuliah Hukum Pidana, Hukum Pers, Regulasi Pers/Penyiaran, Manajemen Media Massa, Etika & Kehumasan, Hukum Dagang, dan Pancasila. Menjadi pelatih Wartawan PWI Cabang Jawa Barat (sejak 1996). Penasihat Ikatan Mahasiswa Program Pascasarjana (IMPP Unpad) pada 2008-2009. Pada masa senggang, Naungan sering menulis artikel hukum (ataupun) pers di media massa, jurnal ilmiah, mengikuti seminar, lokakarya tingkat nasional, menjadi pemateri dalam pendidikan dan pelatihan wartawan di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai seorang Muslim, dia sudah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada 2002. Bandung Februari 2014