BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Afektif 1. Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komitmen Afektif
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi muncul sebagai topik penting dalam studi dan
perusahaan. Para peneliti memandang komitmen organisasi sebagai tantangan
utama pada abad ke-21 (Luthans, 2006). Individu yang loyal terhadap
organisasi akan selalu bekerja dengan organisasi dan terus berusaha untuk
mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, individu yang tidak berkomitmen
tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (Kemp dalam Khan dkk,
2014). Komitmen organisasi didefinisikan sebagai 1). keinginan kuat untuk
tetap sebagai anggota organisasi tertentu, 2). keinginan untuk berusaha keras
sesuai keinginan organisasi 3). keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan
tujuan organisasi (Becker dkk dalam Luthans, 2006). Mowday dkk (dalam
Luthans 2006) mengartikan komitmen organisasi sebagai sikap yang
merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan
dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi
dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Apabila seseorang telah
berkomitmen dengan organisasi maka individu akan menunjukkan keyakinan
dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai
oleh organisasi (Mowday dkk, 1979). Individu dengan komitmen organisasi
yang tinggi dikarakteristikkan dengan adanya penerimaan dan kepercayaan
yang tinggi dalam nilai dan tujuan organisasi, keinginan untuk berusaha sekuat
tenaga demi kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk
mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi (Mowday dkk, 1979).
Komitmen organisasi bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki
ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan
penerimaan nilai yang ada di dalam organisasi serta tekad dalam diri untuk
mengabdi kepada organisasi (Porter dkk., 1974). Peningkatan komitmen
organisasi berhubungan positif dengan hasil organisasi yang berharga,
9
termasuk penilaian kinerja, penurunan niat untuk mencari pekerjaan baru dan
mengurangi turnover (Bergmann & Johnston dalam Boles dkk, 2007).
Komitmen organisasi bersifat multidimensi, oleh karena itu Allen dan
Meyer (dalam Luthans, 2006) membedakan bentuk komitmen organisasi yang
dibagi atas tiga komponen, yaitu :
a. Affective commitment
Merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan emosional atau
emotional attachment, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam
suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat
akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want
to) melakukan hal tersebut.
b. Continuance commitment
Atau disebut sebagai komitmen berkelanjutan berkaitan dengan persepsi
individu tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan
organisasi. Jadi individu akan mempertimbangkan untung rugi apabila
ingin tetap bergabung dengan organisasi atau justru meninggalkan
organisasi. Hal ini mungkin karena hilangnya senioritas, promosi, atau
benefit. Individu yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini akan
bertahan dalam organisasi karena memang mereka butuh (need to)
melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.
c. Normative commitment
Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan individu tentang
kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi, karena tindakan
tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Hal ini berarti
individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan merasa bahwa
mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi dimana mereka
bergabung.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen
organisasi merupakan keinginan individu untuk bertahan sebagai anggota
organisasi, menerima tujuan dan nilai-nilai yang dianut organisasi dan hal itu
diwujudkan dengan pengabdian serta loyalitas penuh sesuai tujuan dan nilai
organisasi yang diharapkan. Adanya komitmen organisasi yang baik dari
individu akan berdampak positif pada hasil baik organisasi serta berkurangnya
intensitas anggota untuk keluar dari organisasi.
2. Pengertian Komitmen Afektif
Allen & Meyer (1990) mengungkapkan bahwa setiap komponen
memiliki dasar yang berbeda. Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi
masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi
anggota. Hal ini diperkuat oleh Vandenberghe (2004), bahwa komitmen afektif
memberikan efek kuat secara langsung terhadap niat untuk keluar dari
organisasi. Apabila komitmen afektif tinggi, maka niat untuk keluar dari
organisasi juga rendah. Individu yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap
organisasi juga ditentukan oleh adanya komitmen afektif atau keterikatan
secara emosional terhadap organisasi (Rhoades dkk, 2001).
Hartmann dan Bambacas (2000) mendefinisikan bahwa komitmen afektif
mengacu kepada perasaan memiliki, merasa terikat kepada organisasi dan
telah memiliki hubungan dengan karakteristik pribadi, struktur organisasi,
pengalaman bekerja misalnya gaji, pengawasan, kejelasan peran, serta berbagai
keterampilan. Buchanan (dalam Allen dan Meyer, 1990) menjelaskan
komitmen afektif sebagai keikutsertaan suatu individu terhadap tujuan dan nilai
organisasi dengan berdasarkan pada ikatan psikologis antara individu dan
organisasi tersebut.
Mowday dkk (dalam Allen dan Meyer, 1990) memiliki definisi tersendiri
mengenai komitmen afektif, yaitu suatu hubungan yang kuat antara individu
dengan
organisasi
atau
perusahaan
yang
diidentifikasikan
dengan
keikutsertaannya dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Lebih lanjut lagi
Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990) menggambarkan komitmen afektif
sebagai suatu kecenderungan untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara
konsisten sebagai hasil dari akumulasi investasi yang hilang jika aktivitasnya
dihentikan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen afektif merupakan salah satu komponen dalam komitmen organisasi
yang berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi, dan merasa terlibat
dalam seluruh aktivitas, tujuan, nilai suatu organisasi. Komitmen afektif
merupakan kesadaran bahwa anggota organisasi memiliki tujuan dan nilai yang
sama dan selaras dengan organisasi tempatnya bergabung. Pada tahap ini
tujuan dan nilai individu memiliki keselarasan dan kesatuan sehingga akan
mempengaruhi individu untuk berdedikasi penuh dengan loyalitasnya dan ingin
tetap bergabung dengan organisasi serta rendahnya niat untuk keluar dari
organisasi.
3. Faktor-Faktor Komitmen Afektif
Secara konseptual masing-masing dari tiga komponen komitmen
organisasi memiliki anteseden yang berbeda. Mowday dkk (dalam Allen &
Meyer, 1990) mengemukakan bahwa anteseden komitmen afektif individu
terhadap organisasi dipengaruhi oleh empat kategori, yaitu:
a. Karakteristik pribadi
Gender, usia, masa jabatan dalam organisasi, status pernikahan, tingkat
pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi
individu mengenai kompetensinya.
b. Karakteristik pekerjaan
c. Pengalaman kerja
Meyer dan Allen (dalam Allen dan Meyer, 1990) telah menunjukkan
bahwa penyebab terkuat dalam komitmen afektif adalah pengalaman
kerja,
terutama
pengalaman-pengalaman
yang
dapat
memenuhi
kebutuhan psikologis karyawan untuk merasa nyaman dalam organisasi
serta kompeten dalam melakukan pekerjaan sesuai peranannya.
d. Karakteristik struktural
Meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol,
dan sentralisasi otoritas.
Dari keempat kategori diatas, Meyer & Allen (Allen & Meyer, 1990)
menunjukkan bukti terkuat terletak pada faktor pengalaman kerja, terutama
pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk membuat individu nyaman dalam
organisasi dan kompeten dalam peran kerjanya.
Rhoades dkk (2001) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor
munculnya komitmen afektif individu dalam organisasi yang diperkuat oleh
persepsi dukungan organisasi, antara lain penghargaan yang diberikan oleh
organisasi (reward), keadilan prosedural, dan dukungan penyelia.
Allen & Meyer (1990) memiliki penjelasan tersendiri mengenai
anteseden atau penyebab dari komitmen afektif, yaitu :
a. Tantangan pekerjaan
Merupakan pekerjaan yang dilakukan individu dalam organisasi adalah
menantang dan menarik.
b. Kejelasan peran
Merupakan kejelasan harapan dari organisasi terhadap individu.
c. Kejelasan sasaran dalam tugas
Merupakan pemahaman individu mengenai apa yang seharusnya
dilakukan individu dalam pekerjaannya.
d. Kesulitan tujuan
Merupakan persyaratan pekerjaan dari organisasi yang tidak terlalu
menuntut
e. Manajemen yang menerima
Merupakan kondisi orang-orang yang berada di manajemen puncak
organisasi menaruh perhatian terhadap ide yang diberikan oleh karyawan
lain
f. Kedekatan dengan sesama anggota
Merupakan adanya hubungan dekat dengan beberapa orang-orang dalam
organisasi
g. Ketergantungan organisasi
Merupakan rasa kepercayaan terhadap organisasi karena apa yang
dikatakan maka akan dilakukan oleh pihak organisasi
h. Keadilan atau kewajaran
Pada organisasi terdapat orang-orang mendapatkan lebih dari layak dan
ada juga yang mendapatkan jauh lebih sedikit
i. Kepentingan pribadi
Pada organisasi, individu didorong untuk merasa bahwa pekerjaan yang
dilakukan membawa kontribusi penting terhadap tujuan besar organisasi
j. Tanggapan organisasi atas kinerja
Merupakan seberapa sering organisasi memberikan umpan balik terhadap
kinerja individu
k. Pastisipasi
Merupakan kesempatan individu untuk berpartisipasi dalam memutuskan
mengenai standar beban kerja dan kinerja.
Berdasarkan pemaparan beberapa faktor komitmen afektif diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor komitmen afektif secara garis besar
adalah karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik struktural,
dan pengalaman kerja. Faktor karakteristik pribadi meliputi kepentingan
pribadi dan kedekatan dengan sesama anggota. Faktor karakteristik pekerjaan
meliputi tantangan kerja, kejelasan peran, kejelasan sasaran dan tugas,
kesulitan tujuan. Faktor karakteristik struktural meliputi keadilan prosedural,
dukungan penyelia, penerimaan manajer, keadilan, ketergantungan organisasi.
Sedangkan yang terakhir adalah faktor pengalaman kerja meliputi reward,
partisipasi individu, dan feedback organisasi.
4. Aspek-Aspek Komitmen Afektif
Beberapa ahli memiliki penjelasan dan konsep tersendiri mengenai
komitmen afektif. Allen & Meyer (1990) menjelaskan ada tiga aspek yang
menggambarkan adanya komitmen afektif individu terhadap organisasi, yaitu:
a. Keterikatan emosional
Merupakan perasaan kuat individu terhadap organisasi sehingga akan
mudah melekat secara emosional terhadap organisasi. Individu akan
merasa bahwa ia adalah bagian dari keluarga organisasi tersebut yang
ditunjukan dengan afeksi positif dan rasa memiliki (sense of belonging)
yang tinggi terhadap organisasi. Karena adanya perasaan terikat terhadap
organisasi, maka individu hanya mempunyai sedikit alasan untuk keluar
dari
organisasi
dan
tetap
berkeinginan
untuk
melanjutkan
keanggotaannya pada organisasi.
b. Identifikasi
Merupakan keyakinan dan penerimaan individu terhadap tujuan dan
nilai-nilai organisasi. Adanya keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan
dan nilai-nilai organisasi merupakan salah satu kunci terbentuknya
rangkaian aspek komitmen organisasi lainnya. Aspek tersebut dapat
dilihat dari beberapa sikap, yaitu: adanya kesamaan tujuan dan nilai yang
dimiliki individu dengan organisasi, adanya perasaan individu bahwa
organisasi memberikan kebijakan untuk mendukung kinerjanya, dan
adanya kebanggan telah menjadi bagian dari organisasi.
c. Partisipasi
Merupakan keinginan individu untuk terlibat secara sungguh-sungguh
dalam kepentingan organisasi. Adanya keinginan untuk sungguhsungguh terlibat dalam setiap aktivitas atau kegiatan organisasi tercermin
dalam penerimaan individu untuk menerima dan melaksanakan berbagai
macam tugas dan kewajiban yang dibebankan. Individu akan selalu
berusaha memberikan kinerja yang terbaik melebihi standar minimal
yang diharapkan organisasi. Selain itu, individu akan bersedia untuk
melaksanakan pekerjaan diluar tugas dan perannya apabila bantuannya
diperlukan oleh organisasi.
Menurut Gautam, Dick, & Wagner (2004) menjelaskan bahwa komitmen
afektif terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. Emotional attachment
Merupakan kelekatan emosional terhadap kelompok atau organisasi.
Organisasi memiliki makna tersendiri bagi individu sehingga individu
merasa telah menjadi bagian organisasi. Individu yang telah terikat
secara emosional akan tetap setia dan loyal terhadap organisasi.
b. Identification
Merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai dan
kebijakan organisasi. Hal ini ditunjukan dengan kesamaan nilai dan
tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi. Selain itu individu
merasa bangga menjadi bagian dari organisasi.
c. Involvement
Merupakan keinginan kuat individu untuk berusaha demi kepentingan
organisasi. Hal ini ditunjukan dari usaha individu untuk menerima dan
melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya
melebihi yang diharapkan organisasi. Individu akan melakukan suatu
pekerjaan diluar tanggung jawabnya apabila dibutuhkan.
Berdasarkan pemaparan beberapa aspek-aspek komitmen afektif
organisasi di atas, yang akan digunakan sebagai landasan alat ukur komitmen
afektif dalam penelitian ini adalah aspek yang dirumuskan oleh Allen & Meyer
yang terdiri dari keterikatan emosional, identifikasi, dan partisipasi. Pemilihan
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut telah
digunakan untuk penyusunan alat ukur komitmen afektif dengan nama ACS
(Affective Commitment Scale) yang nantinya akan digunakan sebagai alat ukur
komitmen afektif pada penelitian ini.
5. Komitmen Afektif pada Korp Sukarela
Komitmen afektif merupakan prediktor kuat dari perilaku yang
menguntungkan organisasi dan tindakan sukarela yang bertahan lama dan
melebihi tugas-tugas formal (Mathieu & Zajac, 1990; Meyer dkk, 2002).
Komitmen afektif merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan
emosional, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi
(Allen & Meyer, 1990). Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat
akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to)
melakukan hal tersebut, bukan merasa berkewajiban terhadap organisasi
(normative) atau takut mengalami kerugian apabila meninggalkan organisasi
(continuance). Individu dengan komitmen afektif yang kuat terhadap
organisasi tercermin dalam penerimaan nilai dan tujuan organisasi serta
dedikasi dan loyalitas kepada organisasi (Rhoades dkk, 2001).
Korps Sukarela merupakan relawan dalam gerakan Palang Merah
Indonesia yang bekerja secara sukarela dalam pelayanan kemanusiaan.
Relawan bukanlah pegawai yang ingin dibayar atas pekerjaan yang dilakukan,
yang harus dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan yang berlaku (Susilo dkk,
2008). Hal ini berarti bahwa relawan bekerja tanpa imbalan, mengorbankan
waktu, tenaga dan pikiran untuk organisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dipahami bahwa komitmen afektif
korps sukarela adalah keterikatan relawan terhadap organisasi, penerimaan
nilai dan tujuan organisasi, serta loyalitas untuk terlibat dalam tugas atau
kegiatan organisasi dalam pelayanan kemanusiaan secara sukarela.
B. Optimisme
1. Pengertian Optimisme
Optimisme muncul sebagai salah satu komponen utama dalam gerakan
psikologi positif terbaru yang digagas oleh Martin Seligman. Namun,
optimisme juga telah dibahas selama bertahun-tahun sebelumnya. Optimisme
memiliki dampak positif terhadap kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
karakteristik ketekunan, prestasi, dan motivasi yang dapat menyebabkan
keberhasilan akademis, olahraga, politik, dan pekerjaan yang telah diteliti
selama
bertahun-tahun.
Psikologi
menempatkan
optimisme
sebagai
karakteristik kognitif berkenaan dengan harapan atas hasil akhir positif dan
atau atribusi kausal positif (Luthans, 2006).
Optimisme didefinisikan oleh First, Carver, dan Scheier (dalam Peterson
& Seligman, 2004) sebagai ekspektasi menyeluruh bahwa hal-hal baik akan
banyak terjadi di masa depan dan sedikit hal-hal buruk. Ketika seseorang
mengalami hambatan dalam mencapai tujuan maka individu memiliki
pengaturan diri untuk tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Optimisme
akan menyebabkan individu terus berusaha mencapai tujuan, sedangkan
individu yang pesimis akan menyerah.
Kebalikan dari optimisme adalah pesimisme. Pesismisme telah diketahui
dapat menyebabkan kepasifan, kegagalan, kerenggangan sosial, dan yang lebih
ekstrem dapat menyebabkan depresi dan kematian (Luthans, 2006). Individu
yang optimis akan menginterpretasikan suatu peristiwa yang buruk dengan
membuat
atribusi
eksternal
(bukan
kesalahan
mereka),
tidak
stabil
(kemunduran temporer), dan spesifik (bermasalah hanya dalam situasi
tersebut). Sedangkan individu yang pesimis akan menginterpretasi suatu
peristiwa yang buruk dengan membuat atribusi internal (kesalahan mereka
sendiri), stabil (akan berlangsung lama), dan global (akan menentukan apapun
yang mereka inginkan) (Buchanan, Seligman, Gillham, Peterson, & Maier
dalam Peterson & Seligman, 2004).
Menurut Seligman (2008), seseorang yang optimis apabila mengalami
ketidakberuntungan akan melawan ketidakberuntungan tersebut dengan
menganggap hal tersebut dikarenakan keadaan, akan berlalu dengan cepat, dan
masih banyak hal yang bisa dilakukan dalam hidup. Individu yang optimis
biasanya akan bereaksi lebih positif terhadap kemunduran-kemunduran normal
dalam hidup dan bangkit dari kegagalan besar dengan lebih cepat daripada
yang dilakukan sebelumnya.
Optimisme memiliki hubungan signifikan dengan karakteristik yang
diinginkan seperti kebahagiaan, daya tahan, prestasi, dan kesehatan (Peterson
dalam Luthans, 2006). Seseorang yang optimis akan lebih sehat dan bisa
meraih banyak hal dalam pertandingan, sekolah, serta pekejaan (Seligman,
2008).
Di tempat kerja, optimisme dapat menjadi kekuatan yang sangat positif.
Orang yang optimis mungkin termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas
dan punya semangat tinggi, punya tingkat aspirasi yang tinggi dan memperluas
tujuan, tekun menghadapi tantangan dan kesulitan, membuat atribusi dari
kegagalan seseorang dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena
ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik, dan cenderung
merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental. Ada beberapa bidang
pekerjaan dan karier dimana optimisme akan sangat berharga (misalnya
penjualan, periklanan, humas, desain produk, pelayanan pelanggan, dan dalam
bidang layanan kesehatan dan sosial) (Luthans, 2006).
Berdasarkan pemaparan diatas, optimisme dapat disimpulkan sebagai
sikap individu mengenai harapan hasil akhir positif dan memperkirakan sedikit
terjadi hal-hal buruk sehingga individu akan terus berusaha mencapai tujuan,
bereaksi positif terhadap kemunduran hidup, mudah bangkit dari kegagalan.
Individu yang bersikap optimis akan memperoleh banyak manfaat dalam
berbagai bidang kehidupan serta dapat bersikap lebih positif dalam
menghadapi berbagai hal yang ditemui dalam keseharian.
2. Aspek-Aspek Optimisme
Optimisme merupakan salah satu komponen dalam gerakan psikologi
positif. Seligman (2008) menjelaskan aspek-aspek optimisme adalah sebagai
berikut:
a. Permanence
Permanence merupakan kepercayaan bahwa kejadian-kejadian buruk atau
kejadian baik akan berlangsung dalam waktu tertentu, dan selalu ada
mempengaruhi kehidupan seseorang. Sebagian orang tetap tak berdaya
ketika mengalami kegagalan sementara orang-orang lainnya akan mudah
membuang ketidakberdayaan.
Peristiwa buruk akan diyakini penyebabnya sebagai permanensi oleh orang
yang pesimis dan mudah menyerah. Kejadian-kejadian buruk itu akan tetap
berlangsung, dan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Sedangkan bagi
orang-orang yang optimis peristiwa buruk yang membuat mereka tidak
berdaya akan dilawan dengan keyakinan bahwa penyebab dari banyak
kejadian buruk hanya bersifat sementara.
Peristiwa baik akan diyakini oleh orang-orang yang optimis bahwa peristiwa
tersebut memiliki penyebab permanensi. Sedangkan bagi orang yang
pesimis, peristiwa baik akan diyakini memiliki penyebab yang sementara.
Orang-orang yang percaya bahwa kejadian-kejadian baik mempunyai
penyebab permanensi akan berusaha lebih keras setelah keberhasilannya.
Orang-orang yang melihat alasan-alasan sementara untuk kejadian-kejadian
baik mungkin akan menyerah walaupun mereka berhasil, dan percaya
bahwa keberhasilan itu hanya kebetulan.
b. Pervasiveness
Pervasiveness merupakan keyakinan bahwa suatu peristiwa baik atau buruk
memiliki penyebab universal atau spesifik. Penjelasan-penjelasan universal
menciptakan ketidakberdayaan pada berbagai situasi dan penjelasanpenjelasan yang spesifik hanya menciptakan ketidakberdayaan pada daerah
yang tertimpa masalah saja.
Seseorang yang optimis akan percaya bahwa kejadian-kejadian buruk
memiliki penyebab yang spesifik, dan kejadian-kejadian baik memiliki
penyebab yang universal. Seseorang akan menyimpan masalahnya dengan
rapi dalam sebuah kotak dan menjalani kehidupannya yang menyangkut
masalah tersebut dengan baik. Individu yang
mengidentifikasikan
kegagalan memiliki penyebab spesifik akan tetap kuat pada kehidupan yang
lainnya. Kejadian-kejadian baik akan diterima sebagai sesuatu yang akan
memperbaiki segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang yang optimis.
Orang-orang yang pesimis meyakini bahwa kejadian-kejadian buruk
memiliki penyebab universal, dan kejadian-kejadian baik memiliki
penyebab yang spesifik. Saat mengalami kegagalan atau masalah mereka
seperti tertimpa bencana besar, jika satu hal dalam hidupnya hancur maka ia
akan menyerah pada segala hal dan seluruh kehidupannya kacau.
c. Personalization
Personalization merupakan keyakinan penyebab internal diri atau eksternal
terhadap suatu kejadian buruk atau baik. Seseorang individu yang optimis
akan menjelaskan kejadian buruk yang menimpa disebabkan oleh faktor
eksternal, dan menjelaskan kejadian baik disebabkan oleh faktor internal.
Orang-orang
yang
menyalahkan
kejadian-kejadian
eksternal
tidak
kehilangan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri saat kejadian-kejadian
buruk menimpa mereka. Secara keseluruhan, mereka lebih banyak suka
pada diri mereka sendiri. Individu yang pesimis akan menjelaskan kejadian
buruk yang menimpa disebabkan oleh faktor internal diri, dan menjelaskan
kejadian baik disebabkan oleh faktor eksternal. Orang-orang yang
menyalahkan dirinya sendiri saat mereka gagal membuat rasa penghargaan
terhadap diri mereka sendiri menjadi rendah. Mereka berpikir bahwa
mereka tidak berguna, tidak memiliki kemampuan, dan tidak dicintai.
Berdasarkan pemaparan diatas, aspek yang dirumuskan oleh Seligman
yang terdiri dari: permanence, pervasiveness, dan personalization akan
digunakan untuk penyusunan alat ukur optimisme pada penelitian ini
dikarenakan paling sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pemilihan ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut telah digunakan untuk
penyusunan alat ukur optimisme oleh Seligman (2008) yang nantinya akan
digunakan sebagai alat ukur optimsime pada penelitian ini.
C. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989) merujuk pada
tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong orang lain atau
menguntungkan orang lain atau kelompok. Perilaku prososial didefinisikan
dengan istilah memberikan konsekuensi bagi orang lain, mereka melakukan
secara sukarela dan bukan di bawah paksaan. Baron & Byrne (2005)
mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan yang menguntungkan
orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang
yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu
risiko bagi orang yang memberikan pertolongan. Myers (dalam Sarwono,
2002) menyatakan bahwa perilaku prososial atau altruisme adalah hasrat untuk
menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan sendiri.
Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan
orang lain.
Sears, dkk (1994) mendefinisikan perilaku prososial sebagai kategori
yang lebih luas dibanding atruisme, meliputi segala bentuk tindakan yang
dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan
motif-motif si penolong. Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan
tindakan altruistik. Perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang
tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong
yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Rushton dalam
Sears dkk, 1994). Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah
suatu perilaku sosial yang menguntungkan dan di dalamnya terdapat unsurunsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme. Perilaku prososial
dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial.
Seseorang yang prososial akan melakukan tindakan kecil dengan
menawarkan pertolongan kepada orang-orang yang dikenalnya padahal
sebenarnya akan lebih mudah jika ia hanya mengurus dirinya sendiri. Tindakan
prososial selalu melibatkan perpaduan dari sedikit pengorbanan pribadi untuk
memberikan pertolongan dan pada saat yang sama memperoleh sejumlah
kepuasan pribadi karena melakukannya. Perpaduan dari pengorbanan dan
kepuasan ini terjadi baik pada tingkatan yang relatif sederhana dan aman,
misalnya menolong ibu dan anak kecilnya di bandara, maupun sesuatu yang
rumit dan berbahaya, misalnya menyelamatkan orang asing yang tenggelam
(Baron & Byrne, 2005).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
prososial adalah tindakan individu memberikan bantuan kepada orang lain
tanpa mengharapkan suatu keuntungan bagi diri sendiri meskipun terkadang
membutuhkan pengorbanan.
2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial
Terdapat beberapa macam aspek dalam perilaku prososial
menurut
Eisenberg dan Mussen (1989) yaitu:
a. Sharing (Berbagi)
Berbagi merupakan kondisi dimana individu memiliki kecukupan
untuk saling membagi apa yang dimilikinya lebih baik secara materi
maupun ilmu pengetahuann kepada orang lain. Selain itu perilaku berbagi
akan dilakukan dalam suasana suka maupun duka.
b. Cooperating (Bekerja sama)
Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku individu yang
sengaja dilakukan dengan sekelompok orang maupun organisasi demi
terwujudnya suatu tujuan yang diinginkan. Kerja sama biasanya saling
menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menyenangkan satu
sama lain.
c. Helping (Menolong)
Menolong
merupakan
tindakan
sukarela
individu
tanpa
mempedulikan keuntungan maupun kerugian dari tindakan memberi
bantuan atau menolong dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa dari
orang yang ditolong. Menolong orang yang sedang mengalami kesulitan
dapat berupa moril maupun meteriil.
d. Honesty (Kejujuran)
Kejujuran adalah perilaku individu yang ditunjukkan dengan
perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan keadaan dan tidak
menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada. Perilaku jujur juga
termasuk tidak berbuat curang kepada orang lain.
e. Donating (Menyumbang)
Perilaku menyumbang adalah tindakan individu yang bersedia
untuk membantu dengan tenaga, pikiran, maupun materi kepada orang lain
yang membutuhkan.
f. Generosity (Dermawan)
Perilaku dermawan adalah tindakan individu yang menunjukkan
rasa kemanusiaan dengan cara memberikan secara sukarela sebagian barang
yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkan.
Menurut Penner dkk (1995) dalam perilaku prososial terdapat beberapa
komponen yaitu:
a. Tanggung jawab sosial
Merupakan kecenderungan untuk menerima segala konsekuensi dan
bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuat.
b. Empati
1) Mampu berempati
Merupakan kecenderungan untuk berorientasi pada perasaan simpati
atas apa yang dialami orang lain dan peduli terhadap orang yang
kurang beruntung.
2) Pengambilan sudut pandang
Merupakan kecenderungan secara spontan mengadopsi sudut pandang
dari sisi psikologis orang lain.
3) Kemampuan mengatasi stres
Kecenderungan untuk mengalami perasaan cemas dan gelisah pada
situasi tegang dengan orang lain.
c. Penalaran moral
1) Orientasi moral orang lain
Merupakan kecenderungan untuk fokus pada hal yang terbaik untuk
orang lain saat membuat keputusan moral.
2) Perhatian dengan moral bersama
Merupakan kecenderungan untuk mempertimbangkan kepentingan
semua pihak dan dampaknya saat membuat keputusan moral.
d. Menolong
Merupakan kecenderungan untuk memberi bantuan kepada individu atau
kolompok yang membutuhkan.
Berdasarkan pemaparan beberapa aspek-aspek perilaku prososial di atas,
yang akan digunakan sebagai landasan alat ukur perilaku prososial dalam
penelitian ini adalah aspek yang dirumuskan oleh Eisenberg & Mussen yang
terdiri dari sharing, cooperating, helping, honesty, donating, dan generosity.
Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek yang
dirumuskan oleh Eisenberg & Mussen pada tahun 1989 ini merupakan aspek
yang paling sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini.
D. Hubungan antara Optimisme dan Perilaku Prososial dengan
Komitmen Afektif
Komitmen organisasi merupakan kekuatan relatif identifikasi individu
dan keterlibatan dalam organisasi tertentu (Mowday dkk dalam Allen &
Meyer, 1990). Komitmen organisasi terdiri dari beberapa komponen salah
satunya adalah komitmen afektif. Komitmen afektif merupakan salah satu
komponen dalam komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990),
komitmen jenis ini merupakan ikatan secara emosional yang melekat pada
individu untuk mengidentifikasikan dan melibatkan dirinya dalam organisasi.
Komitmen afektif bisa dikatakan sebagai hal yang penting untuk menentukan
dedikasi dan loyalitas karyawan.
Seorang individu yang memiliki kecenderungan tinggi dalam hal
komitmen afektif akan menunjukkan rasa memiliki (sense of belonging)
terhadap organisasi, meningkatnya keterlibatan dalam aktifitas organisasi,
keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap
bertahan dalam organisasi (Rhoades dkk, 2001). Karyawan yang memiliki
komitmen afektif kuat akan senantiasa setia terhadap organisasi dikarenakan
keinginan tersebut berasal dari dalam hati.
Kanter (dalam Allen & Meyer, 1990) menyebut affective attachment
dengan istilah komitmen kohesi yaitu kedekatan individu yang berdasar pada
perasaan dan emosional kepada kelompok dan oleh Buchanan (dalam Allen
dan Meyer, 1990) yang mengkonsepsikan komitmen sebagai pendukung,
kedekatan afektif kepada tujuan dan nilai-nilai organisasi, peran seseorang
yang berhubungan dengan tujuan, nilai, dan demi organisasi itu sendiri,
terpisah dari nilai instrumental.
Individu yang memiliki komitmen afektif memiliki banyak dampak
positif terhadap diri dan organisasi, salah satunya adalah mengurangi penarikan
diri dan mengurangi tingkat turnover dari organisasi. Vandenberghe dkk
(2004) telah melakukan penelitian longitudinal mengenai penyebab dan
dampak komitmen afektif terhadap organisasi, penyelia, dan kelompok kerja
yang melibatkan 316 responden yang merupakan alumni Belgian University.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi
memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap intensi untuk berhenti dan
berpengaruh secara tidak langsung terhadap turnover. Sedangkan komitmen
afektif terhadap supervisor memiliki efek langsung negatif terhadap intensi
untuk berhenti. Temuan ini mungkin disebabkan bahwa supervisor adalah
perwakilan resmi dari organisasi untuk karyawan (Eisenberger dkk dalam
Vandenberghe, 2004) dan jika komitmen afektif karyawan
yang rendah
terhadap supervisor tidak meningkat, maka akan mengakibatkan karyawan
keluar dari organisasi. Selain itu komitmen afektif terhadap supervisor
berdampak langsung pada kinerja karyawan dan komitmen afektif terhadap
organisasi berdampak tidak langsung pada kinerja. Hal ini dikarenakan
karyawan menemukan lebih banyak energi dari ikatan emosional dari atasan
dibanding dengan organisasi.
Allen & Smith (dalam Allen & Meyer, 1990) mengemukakan bahwa
terdapat hubungan positif antara komitmen afektif dengan inovasi karyawan,
pelaporan diri, dan efisiensi waktu. Meyer dkk (2002) telah melakukan studi
meta-analisis mengenai penyebab, keterkaitan, dan konsekuensi dari komitmen
organisasi, menemukan bahwa komitmen afektif memiliki korelasi yang paling
kuat dan menguntungkan terhadap organisasi yaitu kehadiran, kinerja, perilaku
kewargaan organisasi (OCB) serta menguntungkan bagi individu yaitu
berkurangnya stres, dan berkurangnya konflik pekerjaan-keluarga.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa komitmen afektif berkorelasi
negatif dengan stres pekerjaan yang akan mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan individu (Begley & Czajka dalam Meyer dkk, 2002). Individu
yang memiliki komitmen afektif tinggi akan bereaksi negatif terhadap stressor
dibanding mereka yang kurang berkomitmen afektif (Reilly dalam Meyer dkk,
2002).
Konsekuensi positif dari komitmen afektif yang dimiliki individu
terhadap organisasi tentunya menjadi keinginan besar bagi setiap organisasi
maupun perusahaan, akan tetapi membangun komitmen afektif individu bukan
suatu hal yang mudah. Menurut Allen & Meyer (1990) terdapat faktor
karakteristik individu sebagai pendorong terbentuknya komitmen afektif
terhadap organisasi. Karakteristik individu menurut Robbins & Judge (2008)
terdiri dari kemampuan, karakteristik biografis, pembelajaran, persepsi, nilai,
kepribadian dan sikap yang berhubungan kuat dengan komitmen afektif. Sikap
optimis dan prososial diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya
komitmen afektif individu. Sehingga, individu dengan kepribadian optimis dan
sikap prososial yang tinggi akan memiliki tingkat komitmen afektif yang tinggi
pula.
Bressler (2006) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara harapan,
optimisme, komitmen organisasi dan intensi turnover pada prajurit tentara
Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara harapan
dan optimisme dengan komitmen afektif tentara. Sebaliknya, tentara yang
merasa kurang optimis dan penuh harap terhadap organisasi berarti mereka
merasa tidak ada hubungan emosional. Hal tersebut diperkuat oleh Karrasch
(2003) yang menyatakan bahwa tentara dengan penuh harapan dan optimis
akan menunjukkan komitmen afektif yang lebih kuat terhadap organisasi
dibandingkan menunjukkan komitmen kontinuan.
Vohra & Goel (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan lima
konstruk psikologi positif yaitu hope, optimisme, resilience, subjective well
being, dan self efficacy dengan komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara lima
konstruk psikologi positif (termasuk optimisme) dengan komitmen organisasi
(komitmen afektif dan komitmen normatif) dan kepuasan kerja. Hal ini
dikarenakan pada individu yang optimis akan cenderung terus berada dalam
suatu organisasi karena mereka mengidentifikasikannya pada level perasaan.
Hubungan positif ini menunjukkan bahwa optimis akan membuat individu
terus bertahan dengan harapan bahwa situasi akan membaik pada pekerjaan
yang sama dan tidak perlu mencari alternatif lain. Optimisme ini juga
memberikan kontribusi pada pengorbanan yang tinggi dalam pekerjaan
meskipun kepuasan kerja relatif lebih rendah.
Hubungan mengenai optimisme dan komitmen afektif juga diungkapkan
dalam penelitian Simons & Buitendach (2013) yang menguji hubungan
konstruk psychologycal capital (hope, optimism, resilience, self efficacy)
dengan keterikatan dan komitmen organisasi karyawan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hope, optimism,
resilience, self efficacy dengan affective commitment dan normative
commitment. Optimisme berhubungan positif dengan komitmen afektif
dikarenakan adanya suatu kepercayaan dan penerimaan tujuan serta nilai-nilai
organisasi. Karyawan akan bersedia untuk fokus membantu organisasi
mencapai tujuannya dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya
dalam organisasi.
Terdapat faktor lain yang diduga berhubungan dengan komitmen afektif
yaitu perilaku prososial. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif. Schad (1994)
menguji hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen organisasi yang
didalamnya terdapat komitmen afektif dan keterlibatan jaringan komunikasi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku prososial berkorelasi
signifikan dengan komitmen organisasi. Ini berarti bahwa dorongan perilaku
membantu orang lain di tempat kerja juga dapat membantu organisasi menjadi
sukses dan mendorong komitmen terhadap organisasi.
Hubungan mengenai perilaku prososial dengan komitmen afektif juga
dilakukan oleh Grant, Dutton, & Rosso (2008). Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa semakin tinggi identitas prososial karyawan maka
semakin tinggi tingkat komitmen afektif terhadap perusahaan. Hal ini
dikarenakan prososial akan menumbuhkan penerimaan terhadap organisasi
serta memberikan yang terbaik untuk organisasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa optimisme dan
perilaku prososial yang termasuk dalam faktor karakteristik individu
merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi adanya komitmen afektif
individu terhadap organisasi. Individu yang memiliki kecenderungan untuk
prososial akan membantu orang lain atau organisasi tanpa diminta dan untuk
kepentingan orang lain maupun organisasi. Seseorang dengan sikap prososial
mendapatkan akses untuk menolong dengan bergabung pada organisasi non
profit (NGO) salah satunya adalah Palang Merah Indonesia sehingga individu
akan berkomitmen pada organisasi untuk tetap bisa menolong orang lain.
Selain itu, individu yang memiliki optimisme tinggi akan berpikir positif
terhadap kondisi dan tindakannya saat ini dan juga masa yang akan datang. Hal
ini akan membuat individu cenderung terikat secara emosional atau
berkomitmen afektif terhadap organisasi.
E. Hubungan antara Optimisme dengan Komitmen Afektif
Optimisme didefinisikan oleh First, Carver, dan Scheier (dalam Peterson
& Seligman, 2004) sebagai ekspektasi menyeluruh bahwa hal-hal baik akan
banyak terjadi di masa depan dan sedikit hal-hal buruk. Ketika seseorang
mengalami hambatan dalam mencapai tujuan maka individu memiliki
pengaturan diri untuk tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Optimisme
akan menyebabkan individu terus berusaha mencapai tujuan, sedangkan
individu yang pesimis akan menyerah.
Buchanan & Seligman, Gillham, Peteson, Maier (dalam Peterson &
Seligman, 2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang menjelaskan peristiwa
buruk pada hal yang terbatas, dengan penyebab eksternal, ketidakstabilan, dan
spesifik merupakan deskripsi dari seseorang yang optimis, sedangkan
seseorang yang merasa bahwa peristiwa buruk memiliki penyebab internal,
stabil, dan global merupakan deskripsi dari seseorang yang pesimis.
Optimisme dikaitkan dengan karakteristik positif yang diinginkan seperti
kebahagiaan, daya tahan tubuh yang baik, prestasi dan kesehatan (Peterson
dalam Luthans, 2006). Optimisme yang dimiliki individu memiliki dampak
positif diberbagai bidang, salah satunya dalam bidang pekerjaan. Orang yang
optimis akan cenderung termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan
memiliki semangat yang tinggi, memiliki aspirasi yang tinggi, memiliki tujuan
yang luas, tekun dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, mereka
membuat atribusi dari kegagalan dan mundur sementara, atribusi yang terjadi
bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik, dan
cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental (Luthans, 2006).
Optimisme menjadi sangat berharga di berbagai bidang pekerjaan misalnya
penjualan, periklanan, humas, desain produk, layanan pelanggan, layanan
kesehatan dan layanan sosial (Luthans, 2006).
Selain itu, Seligman (2008) menjelaskan banyak manfaat yang akan
diperoleh bagi orang yang bersikap optimis. Bagi siswa yang bersekolah, siswa
yang optimis akan cenderung sukses dan berprestasi di kelas maupun di
lapangan bermain. Siswa yang optimis akan mengatasi hambatan belajar, tidak
mudah menyerah atas kegagalan dikelas, dan terdorong untuk mengembangkan
potensinya. Selain itu, individu atau tim yang lebih optimis dalam bidang olah
raga akan berusaha untuk mencapai kesuksesan dalam pertandingan dengan
mengejar kemenangan meskipun telah memperoleh kekalahan sebelumnya,
mampu mengatasi tekanan selama pertandingan di lapangan, dan memiliki
percepatan pergerakan untuk menang. Sikap optimis pada individu juga
berpengaruh terhadap kesehatan. Orang yang optimis apabila menderita sakit
dan berada dalam ketidakberdayaan akan bertahan dalam ketidakberdayaan dan
tidak mudah menyerah, sehingga akan memperbaiki sistem kekebalan
tubuhnya. Orang yang optimis akan berpegang pada gaya hidup sehat
(Seligman, 2008).
Optimis sangat bermanfaat bagi individu dalam berbagai aspek
kehidupan. Sikap optimis diduga berpengaruh terhadap adanya komitmen
afektif individu terhadap organisasi. Hubungan antara optimisme dan
komitmen afektif telah ditunjukan dalam beberapa penelitian. Deddy, dkk
(2014) melakukan penelitian mengenai psychological capital yang di dalamnya
terdapat dimensi optimisme, hope, self-efficacy, dan resiliensi terhadap
komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masingmasing dimensi termasuk dimensi optimisme berkorelasi signifikan terhadap
komitmen organisasi yang di dalamnya terdapat komponen komitmen afektif.
Hal ini dikarenakan individu dengan level hope, resilience, optimism yang
tinggi menunjukkan kepuasan dan komitmen yang lebih tinggi (Luthan dan
Youssef dalam Deddy dkk, 2014).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ahmadi dkk (2015) yang meneliti
hubungan psychologycal capital dengan komitmen organisasi karyawan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara
optimisme, hope, resiliensi, self-efficacy dengan komitmen organisasi
(komitmen afektif, normatif dan kontinuan). Hal ini dikarenakan karyawan
yang menunjukkan psychologycal capital akan lebih berkomitmen secara
emosional
terhadap
organisasi,
dan
memiliki
kesediaan
membantu
meningkatkan performa organisasi, sehingga tercapai keberhasilan dan
keunggulan organisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap optimis
membawa manfaat bagi individu dalam berbagai bidang kehidupan, salah
satunya dalam bidang organisasi. Adanya optimisme pada relawan diharapkan
membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara
emosional atau afektif.
F.
Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif
Perilaku prososial didefinisikan oleh Eisenberg & Mussen (1989) sebagai
tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk menolong atau menguntungkan
orang lain atau anggota dari kelompok. Perilaku prososial diartikan sebagai
istilah untuk memberikan konsekuensi bagi orang lain, mereka melakukan hal
tersebut dengan sukarela meskipun dibawah tekanan. Meskipun perilaku
prososial memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, ada kemungkinan
mereka melakukan hal tersebut karena berbagai alasan. Contoh alasan individu
terdorong untuk membantu seseorang adalah alasan egois (untuk mendapat
penghargaan), untuk mendapat pengakuan dari orang lain, atau karena benarbenar simpati atau peduli mengenai orang lain. Perilaku prososial individu
kepada orang lain dapat ditunjukan dengan berbagi, kerja sama, menolong,
jujur, menyumbang, dan dermawan (Eisenberg & Mussen, 1989).
Keinginan untuk menolong atau prososial merupakan dorongan dari
dalam. Keinginan menolong tersebut diduga berhubungan dengan bagaimana
individu terkoneksi secara emosional terhadap suatu organisasi sehingga dapat
berkomitmen secara afektif. Hubungan antara perilaku prososial dan komitmen
afektif telah terbukti dalam beberapa penelitian. Shaw dkk (2003) melakukan
penelitian untuk menguji hubungan komitmen organisasi dengan performa
karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi
berkorelasi dengan performansi. Selain itu, komitmen organisasi (afektif,
normatif, dan kontinuan) juga terbukti berhubungan dengan perilaku prososial
dalam organisasi. Hal ini dikarenakan apabila perilaku menolong dan perilaku
kewargaan organisasi lainnya meningkat maka akan meningkat pula komitmen
afektif.
Akhigbe dkk (2014) meneliti hubungan antara perilaku prososial dan
komitmen organisasi pegawai sektor publik. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perilaku prososial (didalamnya terdapat basis moralitas
personal, membangun image organisasi, identifikasi psikologi) berpengaruh
terhadap komitmen afektif, normatif, dan kontinuan. Pegawai yang berperilaku
melampaui tugas peranannya akan menciptakan dampak positif dan komitmen
organisasi. Hal ini dikarenakan kesediaan membantu oleh pegawai dalam
organisasi dan melakukan lebih dari tugas yang telah dideskripsikan akan
membantu mendorong organisasi berhasil. Selain itu menolong orang lain
dalam organisasi akan mempengaruhi perasaan positif terhadap organisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
prososial merupakan tindakan sukarela untuk menguntungkan orang lain.
Adanya perilaku prososial pada individu terutama relawan diharapkan
membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara
emosional atau afektif.
G. Kerangka Pemikiran
Bagan 1
Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Optimisme dan Perilaku
Prososial dengan Komitmen Afektif pada Korps Sukarela
H. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara optimisme dan perilaku prososial dengan
komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Terdapat hubungan antara optimisme dengan komitmen afektif pada Korps
Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Terdapat hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif pada
Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Download