BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Afektif 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi muncul sebagai topik penting dalam studi dan perusahaan. Para peneliti memandang komitmen organisasi sebagai tantangan utama pada abad ke-21 (Luthans, 2006). Individu yang loyal terhadap organisasi akan selalu bekerja dengan organisasi dan terus berusaha untuk mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, individu yang tidak berkomitmen tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (Kemp dalam Khan dkk, 2014). Komitmen organisasi didefinisikan sebagai 1). keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, 2). keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi 3). keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Becker dkk dalam Luthans, 2006). Mowday dkk (dalam Luthans 2006) mengartikan komitmen organisasi sebagai sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Apabila seseorang telah berkomitmen dengan organisasi maka individu akan menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai oleh organisasi (Mowday dkk, 1979). Individu dengan komitmen organisasi yang tinggi dikarakteristikkan dengan adanya penerimaan dan kepercayaan yang tinggi dalam nilai dan tujuan organisasi, keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi (Mowday dkk, 1979). Komitmen organisasi bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan penerimaan nilai yang ada di dalam organisasi serta tekad dalam diri untuk mengabdi kepada organisasi (Porter dkk., 1974). Peningkatan komitmen organisasi berhubungan positif dengan hasil organisasi yang berharga, 9 termasuk penilaian kinerja, penurunan niat untuk mencari pekerjaan baru dan mengurangi turnover (Bergmann & Johnston dalam Boles dkk, 2007). Komitmen organisasi bersifat multidimensi, oleh karena itu Allen dan Meyer (dalam Luthans, 2006) membedakan bentuk komitmen organisasi yang dibagi atas tiga komponen, yaitu : a. Affective commitment Merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan emosional atau emotional attachment, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut. b. Continuance commitment Atau disebut sebagai komitmen berkelanjutan berkaitan dengan persepsi individu tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Jadi individu akan mempertimbangkan untung rugi apabila ingin tetap bergabung dengan organisasi atau justru meninggalkan organisasi. Hal ini mungkin karena hilangnya senioritas, promosi, atau benefit. Individu yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini akan bertahan dalam organisasi karena memang mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain. c. Normative commitment Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan individu tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi, karena tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Hal ini berarti individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi dimana mereka bergabung. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan keinginan individu untuk bertahan sebagai anggota organisasi, menerima tujuan dan nilai-nilai yang dianut organisasi dan hal itu diwujudkan dengan pengabdian serta loyalitas penuh sesuai tujuan dan nilai organisasi yang diharapkan. Adanya komitmen organisasi yang baik dari individu akan berdampak positif pada hasil baik organisasi serta berkurangnya intensitas anggota untuk keluar dari organisasi. 2. Pengertian Komitmen Afektif Allen & Meyer (1990) mengungkapkan bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota. Hal ini diperkuat oleh Vandenberghe (2004), bahwa komitmen afektif memberikan efek kuat secara langsung terhadap niat untuk keluar dari organisasi. Apabila komitmen afektif tinggi, maka niat untuk keluar dari organisasi juga rendah. Individu yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap organisasi juga ditentukan oleh adanya komitmen afektif atau keterikatan secara emosional terhadap organisasi (Rhoades dkk, 2001). Hartmann dan Bambacas (2000) mendefinisikan bahwa komitmen afektif mengacu kepada perasaan memiliki, merasa terikat kepada organisasi dan telah memiliki hubungan dengan karakteristik pribadi, struktur organisasi, pengalaman bekerja misalnya gaji, pengawasan, kejelasan peran, serta berbagai keterampilan. Buchanan (dalam Allen dan Meyer, 1990) menjelaskan komitmen afektif sebagai keikutsertaan suatu individu terhadap tujuan dan nilai organisasi dengan berdasarkan pada ikatan psikologis antara individu dan organisasi tersebut. Mowday dkk (dalam Allen dan Meyer, 1990) memiliki definisi tersendiri mengenai komitmen afektif, yaitu suatu hubungan yang kuat antara individu dengan organisasi atau perusahaan yang diidentifikasikan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Lebih lanjut lagi Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990) menggambarkan komitmen afektif sebagai suatu kecenderungan untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara konsisten sebagai hasil dari akumulasi investasi yang hilang jika aktivitasnya dihentikan. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif merupakan salah satu komponen dalam komitmen organisasi yang berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi, dan merasa terlibat dalam seluruh aktivitas, tujuan, nilai suatu organisasi. Komitmen afektif merupakan kesadaran bahwa anggota organisasi memiliki tujuan dan nilai yang sama dan selaras dengan organisasi tempatnya bergabung. Pada tahap ini tujuan dan nilai individu memiliki keselarasan dan kesatuan sehingga akan mempengaruhi individu untuk berdedikasi penuh dengan loyalitasnya dan ingin tetap bergabung dengan organisasi serta rendahnya niat untuk keluar dari organisasi. 3. Faktor-Faktor Komitmen Afektif Secara konseptual masing-masing dari tiga komponen komitmen organisasi memiliki anteseden yang berbeda. Mowday dkk (dalam Allen & Meyer, 1990) mengemukakan bahwa anteseden komitmen afektif individu terhadap organisasi dipengaruhi oleh empat kategori, yaitu: a. Karakteristik pribadi Gender, usia, masa jabatan dalam organisasi, status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya. b. Karakteristik pekerjaan c. Pengalaman kerja Meyer dan Allen (dalam Allen dan Meyer, 1990) telah menunjukkan bahwa penyebab terkuat dalam komitmen afektif adalah pengalaman kerja, terutama pengalaman-pengalaman yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis karyawan untuk merasa nyaman dalam organisasi serta kompeten dalam melakukan pekerjaan sesuai peranannya. d. Karakteristik struktural Meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari keempat kategori diatas, Meyer & Allen (Allen & Meyer, 1990) menunjukkan bukti terkuat terletak pada faktor pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk membuat individu nyaman dalam organisasi dan kompeten dalam peran kerjanya. Rhoades dkk (2001) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor munculnya komitmen afektif individu dalam organisasi yang diperkuat oleh persepsi dukungan organisasi, antara lain penghargaan yang diberikan oleh organisasi (reward), keadilan prosedural, dan dukungan penyelia. Allen & Meyer (1990) memiliki penjelasan tersendiri mengenai anteseden atau penyebab dari komitmen afektif, yaitu : a. Tantangan pekerjaan Merupakan pekerjaan yang dilakukan individu dalam organisasi adalah menantang dan menarik. b. Kejelasan peran Merupakan kejelasan harapan dari organisasi terhadap individu. c. Kejelasan sasaran dalam tugas Merupakan pemahaman individu mengenai apa yang seharusnya dilakukan individu dalam pekerjaannya. d. Kesulitan tujuan Merupakan persyaratan pekerjaan dari organisasi yang tidak terlalu menuntut e. Manajemen yang menerima Merupakan kondisi orang-orang yang berada di manajemen puncak organisasi menaruh perhatian terhadap ide yang diberikan oleh karyawan lain f. Kedekatan dengan sesama anggota Merupakan adanya hubungan dekat dengan beberapa orang-orang dalam organisasi g. Ketergantungan organisasi Merupakan rasa kepercayaan terhadap organisasi karena apa yang dikatakan maka akan dilakukan oleh pihak organisasi h. Keadilan atau kewajaran Pada organisasi terdapat orang-orang mendapatkan lebih dari layak dan ada juga yang mendapatkan jauh lebih sedikit i. Kepentingan pribadi Pada organisasi, individu didorong untuk merasa bahwa pekerjaan yang dilakukan membawa kontribusi penting terhadap tujuan besar organisasi j. Tanggapan organisasi atas kinerja Merupakan seberapa sering organisasi memberikan umpan balik terhadap kinerja individu k. Pastisipasi Merupakan kesempatan individu untuk berpartisipasi dalam memutuskan mengenai standar beban kerja dan kinerja. Berdasarkan pemaparan beberapa faktor komitmen afektif diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor komitmen afektif secara garis besar adalah karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik struktural, dan pengalaman kerja. Faktor karakteristik pribadi meliputi kepentingan pribadi dan kedekatan dengan sesama anggota. Faktor karakteristik pekerjaan meliputi tantangan kerja, kejelasan peran, kejelasan sasaran dan tugas, kesulitan tujuan. Faktor karakteristik struktural meliputi keadilan prosedural, dukungan penyelia, penerimaan manajer, keadilan, ketergantungan organisasi. Sedangkan yang terakhir adalah faktor pengalaman kerja meliputi reward, partisipasi individu, dan feedback organisasi. 4. Aspek-Aspek Komitmen Afektif Beberapa ahli memiliki penjelasan dan konsep tersendiri mengenai komitmen afektif. Allen & Meyer (1990) menjelaskan ada tiga aspek yang menggambarkan adanya komitmen afektif individu terhadap organisasi, yaitu: a. Keterikatan emosional Merupakan perasaan kuat individu terhadap organisasi sehingga akan mudah melekat secara emosional terhadap organisasi. Individu akan merasa bahwa ia adalah bagian dari keluarga organisasi tersebut yang ditunjukan dengan afeksi positif dan rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi terhadap organisasi. Karena adanya perasaan terikat terhadap organisasi, maka individu hanya mempunyai sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan tetap berkeinginan untuk melanjutkan keanggotaannya pada organisasi. b. Identifikasi Merupakan keyakinan dan penerimaan individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi. Adanya keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi merupakan salah satu kunci terbentuknya rangkaian aspek komitmen organisasi lainnya. Aspek tersebut dapat dilihat dari beberapa sikap, yaitu: adanya kesamaan tujuan dan nilai yang dimiliki individu dengan organisasi, adanya perasaan individu bahwa organisasi memberikan kebijakan untuk mendukung kinerjanya, dan adanya kebanggan telah menjadi bagian dari organisasi. c. Partisipasi Merupakan keinginan individu untuk terlibat secara sungguh-sungguh dalam kepentingan organisasi. Adanya keinginan untuk sungguhsungguh terlibat dalam setiap aktivitas atau kegiatan organisasi tercermin dalam penerimaan individu untuk menerima dan melaksanakan berbagai macam tugas dan kewajiban yang dibebankan. Individu akan selalu berusaha memberikan kinerja yang terbaik melebihi standar minimal yang diharapkan organisasi. Selain itu, individu akan bersedia untuk melaksanakan pekerjaan diluar tugas dan perannya apabila bantuannya diperlukan oleh organisasi. Menurut Gautam, Dick, & Wagner (2004) menjelaskan bahwa komitmen afektif terdiri dari tiga komponen, yaitu: a. Emotional attachment Merupakan kelekatan emosional terhadap kelompok atau organisasi. Organisasi memiliki makna tersendiri bagi individu sehingga individu merasa telah menjadi bagian organisasi. Individu yang telah terikat secara emosional akan tetap setia dan loyal terhadap organisasi. b. Identification Merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai dan kebijakan organisasi. Hal ini ditunjukan dengan kesamaan nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi. Selain itu individu merasa bangga menjadi bagian dari organisasi. c. Involvement Merupakan keinginan kuat individu untuk berusaha demi kepentingan organisasi. Hal ini ditunjukan dari usaha individu untuk menerima dan melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya melebihi yang diharapkan organisasi. Individu akan melakukan suatu pekerjaan diluar tanggung jawabnya apabila dibutuhkan. Berdasarkan pemaparan beberapa aspek-aspek komitmen afektif organisasi di atas, yang akan digunakan sebagai landasan alat ukur komitmen afektif dalam penelitian ini adalah aspek yang dirumuskan oleh Allen & Meyer yang terdiri dari keterikatan emosional, identifikasi, dan partisipasi. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut telah digunakan untuk penyusunan alat ukur komitmen afektif dengan nama ACS (Affective Commitment Scale) yang nantinya akan digunakan sebagai alat ukur komitmen afektif pada penelitian ini. 5. Komitmen Afektif pada Korp Sukarela Komitmen afektif merupakan prediktor kuat dari perilaku yang menguntungkan organisasi dan tindakan sukarela yang bertahan lama dan melebihi tugas-tugas formal (Mathieu & Zajac, 1990; Meyer dkk, 2002). Komitmen afektif merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi (Allen & Meyer, 1990). Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut, bukan merasa berkewajiban terhadap organisasi (normative) atau takut mengalami kerugian apabila meninggalkan organisasi (continuance). Individu dengan komitmen afektif yang kuat terhadap organisasi tercermin dalam penerimaan nilai dan tujuan organisasi serta dedikasi dan loyalitas kepada organisasi (Rhoades dkk, 2001). Korps Sukarela merupakan relawan dalam gerakan Palang Merah Indonesia yang bekerja secara sukarela dalam pelayanan kemanusiaan. Relawan bukanlah pegawai yang ingin dibayar atas pekerjaan yang dilakukan, yang harus dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan yang berlaku (Susilo dkk, 2008). Hal ini berarti bahwa relawan bekerja tanpa imbalan, mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk organisasi. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dipahami bahwa komitmen afektif korps sukarela adalah keterikatan relawan terhadap organisasi, penerimaan nilai dan tujuan organisasi, serta loyalitas untuk terlibat dalam tugas atau kegiatan organisasi dalam pelayanan kemanusiaan secara sukarela. B. Optimisme 1. Pengertian Optimisme Optimisme muncul sebagai salah satu komponen utama dalam gerakan psikologi positif terbaru yang digagas oleh Martin Seligman. Namun, optimisme juga telah dibahas selama bertahun-tahun sebelumnya. Optimisme memiliki dampak positif terhadap kesehatan fisik, kesehatan psikologis, karakteristik ketekunan, prestasi, dan motivasi yang dapat menyebabkan keberhasilan akademis, olahraga, politik, dan pekerjaan yang telah diteliti selama bertahun-tahun. Psikologi menempatkan optimisme sebagai karakteristik kognitif berkenaan dengan harapan atas hasil akhir positif dan atau atribusi kausal positif (Luthans, 2006). Optimisme didefinisikan oleh First, Carver, dan Scheier (dalam Peterson & Seligman, 2004) sebagai ekspektasi menyeluruh bahwa hal-hal baik akan banyak terjadi di masa depan dan sedikit hal-hal buruk. Ketika seseorang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan maka individu memiliki pengaturan diri untuk tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Optimisme akan menyebabkan individu terus berusaha mencapai tujuan, sedangkan individu yang pesimis akan menyerah. Kebalikan dari optimisme adalah pesimisme. Pesismisme telah diketahui dapat menyebabkan kepasifan, kegagalan, kerenggangan sosial, dan yang lebih ekstrem dapat menyebabkan depresi dan kematian (Luthans, 2006). Individu yang optimis akan menginterpretasikan suatu peristiwa yang buruk dengan membuat atribusi eksternal (bukan kesalahan mereka), tidak stabil (kemunduran temporer), dan spesifik (bermasalah hanya dalam situasi tersebut). Sedangkan individu yang pesimis akan menginterpretasi suatu peristiwa yang buruk dengan membuat atribusi internal (kesalahan mereka sendiri), stabil (akan berlangsung lama), dan global (akan menentukan apapun yang mereka inginkan) (Buchanan, Seligman, Gillham, Peterson, & Maier dalam Peterson & Seligman, 2004). Menurut Seligman (2008), seseorang yang optimis apabila mengalami ketidakberuntungan akan melawan ketidakberuntungan tersebut dengan menganggap hal tersebut dikarenakan keadaan, akan berlalu dengan cepat, dan masih banyak hal yang bisa dilakukan dalam hidup. Individu yang optimis biasanya akan bereaksi lebih positif terhadap kemunduran-kemunduran normal dalam hidup dan bangkit dari kegagalan besar dengan lebih cepat daripada yang dilakukan sebelumnya. Optimisme memiliki hubungan signifikan dengan karakteristik yang diinginkan seperti kebahagiaan, daya tahan, prestasi, dan kesehatan (Peterson dalam Luthans, 2006). Seseorang yang optimis akan lebih sehat dan bisa meraih banyak hal dalam pertandingan, sekolah, serta pekejaan (Seligman, 2008). Di tempat kerja, optimisme dapat menjadi kekuatan yang sangat positif. Orang yang optimis mungkin termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan punya semangat tinggi, punya tingkat aspirasi yang tinggi dan memperluas tujuan, tekun menghadapi tantangan dan kesulitan, membuat atribusi dari kegagalan seseorang dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik, dan cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental. Ada beberapa bidang pekerjaan dan karier dimana optimisme akan sangat berharga (misalnya penjualan, periklanan, humas, desain produk, pelayanan pelanggan, dan dalam bidang layanan kesehatan dan sosial) (Luthans, 2006). Berdasarkan pemaparan diatas, optimisme dapat disimpulkan sebagai sikap individu mengenai harapan hasil akhir positif dan memperkirakan sedikit terjadi hal-hal buruk sehingga individu akan terus berusaha mencapai tujuan, bereaksi positif terhadap kemunduran hidup, mudah bangkit dari kegagalan. Individu yang bersikap optimis akan memperoleh banyak manfaat dalam berbagai bidang kehidupan serta dapat bersikap lebih positif dalam menghadapi berbagai hal yang ditemui dalam keseharian. 2. Aspek-Aspek Optimisme Optimisme merupakan salah satu komponen dalam gerakan psikologi positif. Seligman (2008) menjelaskan aspek-aspek optimisme adalah sebagai berikut: a. Permanence Permanence merupakan kepercayaan bahwa kejadian-kejadian buruk atau kejadian baik akan berlangsung dalam waktu tertentu, dan selalu ada mempengaruhi kehidupan seseorang. Sebagian orang tetap tak berdaya ketika mengalami kegagalan sementara orang-orang lainnya akan mudah membuang ketidakberdayaan. Peristiwa buruk akan diyakini penyebabnya sebagai permanensi oleh orang yang pesimis dan mudah menyerah. Kejadian-kejadian buruk itu akan tetap berlangsung, dan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Sedangkan bagi orang-orang yang optimis peristiwa buruk yang membuat mereka tidak berdaya akan dilawan dengan keyakinan bahwa penyebab dari banyak kejadian buruk hanya bersifat sementara. Peristiwa baik akan diyakini oleh orang-orang yang optimis bahwa peristiwa tersebut memiliki penyebab permanensi. Sedangkan bagi orang yang pesimis, peristiwa baik akan diyakini memiliki penyebab yang sementara. Orang-orang yang percaya bahwa kejadian-kejadian baik mempunyai penyebab permanensi akan berusaha lebih keras setelah keberhasilannya. Orang-orang yang melihat alasan-alasan sementara untuk kejadian-kejadian baik mungkin akan menyerah walaupun mereka berhasil, dan percaya bahwa keberhasilan itu hanya kebetulan. b. Pervasiveness Pervasiveness merupakan keyakinan bahwa suatu peristiwa baik atau buruk memiliki penyebab universal atau spesifik. Penjelasan-penjelasan universal menciptakan ketidakberdayaan pada berbagai situasi dan penjelasanpenjelasan yang spesifik hanya menciptakan ketidakberdayaan pada daerah yang tertimpa masalah saja. Seseorang yang optimis akan percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab yang spesifik, dan kejadian-kejadian baik memiliki penyebab yang universal. Seseorang akan menyimpan masalahnya dengan rapi dalam sebuah kotak dan menjalani kehidupannya yang menyangkut masalah tersebut dengan baik. Individu yang mengidentifikasikan kegagalan memiliki penyebab spesifik akan tetap kuat pada kehidupan yang lainnya. Kejadian-kejadian baik akan diterima sebagai sesuatu yang akan memperbaiki segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang yang optimis. Orang-orang yang pesimis meyakini bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab universal, dan kejadian-kejadian baik memiliki penyebab yang spesifik. Saat mengalami kegagalan atau masalah mereka seperti tertimpa bencana besar, jika satu hal dalam hidupnya hancur maka ia akan menyerah pada segala hal dan seluruh kehidupannya kacau. c. Personalization Personalization merupakan keyakinan penyebab internal diri atau eksternal terhadap suatu kejadian buruk atau baik. Seseorang individu yang optimis akan menjelaskan kejadian buruk yang menimpa disebabkan oleh faktor eksternal, dan menjelaskan kejadian baik disebabkan oleh faktor internal. Orang-orang yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak kehilangan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri saat kejadian-kejadian buruk menimpa mereka. Secara keseluruhan, mereka lebih banyak suka pada diri mereka sendiri. Individu yang pesimis akan menjelaskan kejadian buruk yang menimpa disebabkan oleh faktor internal diri, dan menjelaskan kejadian baik disebabkan oleh faktor eksternal. Orang-orang yang menyalahkan dirinya sendiri saat mereka gagal membuat rasa penghargaan terhadap diri mereka sendiri menjadi rendah. Mereka berpikir bahwa mereka tidak berguna, tidak memiliki kemampuan, dan tidak dicintai. Berdasarkan pemaparan diatas, aspek yang dirumuskan oleh Seligman yang terdiri dari: permanence, pervasiveness, dan personalization akan digunakan untuk penyusunan alat ukur optimisme pada penelitian ini dikarenakan paling sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut telah digunakan untuk penyusunan alat ukur optimisme oleh Seligman (2008) yang nantinya akan digunakan sebagai alat ukur optimsime pada penelitian ini. C. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989) merujuk pada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong orang lain atau menguntungkan orang lain atau kelompok. Perilaku prososial didefinisikan dengan istilah memberikan konsekuensi bagi orang lain, mereka melakukan secara sukarela dan bukan di bawah paksaan. Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang memberikan pertolongan. Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan bahwa perilaku prososial atau altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan sendiri. Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan orang lain. Sears, dkk (1994) mendefinisikan perilaku prososial sebagai kategori yang lebih luas dibanding atruisme, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan tindakan altruistik. Perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Rushton dalam Sears dkk, 1994). Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku sosial yang menguntungkan dan di dalamnya terdapat unsurunsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme. Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial. Seseorang yang prososial akan melakukan tindakan kecil dengan menawarkan pertolongan kepada orang-orang yang dikenalnya padahal sebenarnya akan lebih mudah jika ia hanya mengurus dirinya sendiri. Tindakan prososial selalu melibatkan perpaduan dari sedikit pengorbanan pribadi untuk memberikan pertolongan dan pada saat yang sama memperoleh sejumlah kepuasan pribadi karena melakukannya. Perpaduan dari pengorbanan dan kepuasan ini terjadi baik pada tingkatan yang relatif sederhana dan aman, misalnya menolong ibu dan anak kecilnya di bandara, maupun sesuatu yang rumit dan berbahaya, misalnya menyelamatkan orang asing yang tenggelam (Baron & Byrne, 2005). Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah tindakan individu memberikan bantuan kepada orang lain tanpa mengharapkan suatu keuntungan bagi diri sendiri meskipun terkadang membutuhkan pengorbanan. 2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial Terdapat beberapa macam aspek dalam perilaku prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989) yaitu: a. Sharing (Berbagi) Berbagi merupakan kondisi dimana individu memiliki kecukupan untuk saling membagi apa yang dimilikinya lebih baik secara materi maupun ilmu pengetahuann kepada orang lain. Selain itu perilaku berbagi akan dilakukan dalam suasana suka maupun duka. b. Cooperating (Bekerja sama) Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku individu yang sengaja dilakukan dengan sekelompok orang maupun organisasi demi terwujudnya suatu tujuan yang diinginkan. Kerja sama biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menyenangkan satu sama lain. c. Helping (Menolong) Menolong merupakan tindakan sukarela individu tanpa mempedulikan keuntungan maupun kerugian dari tindakan memberi bantuan atau menolong dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa dari orang yang ditolong. Menolong orang yang sedang mengalami kesulitan dapat berupa moril maupun meteriil. d. Honesty (Kejujuran) Kejujuran adalah perilaku individu yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada. Perilaku jujur juga termasuk tidak berbuat curang kepada orang lain. e. Donating (Menyumbang) Perilaku menyumbang adalah tindakan individu yang bersedia untuk membantu dengan tenaga, pikiran, maupun materi kepada orang lain yang membutuhkan. f. Generosity (Dermawan) Perilaku dermawan adalah tindakan individu yang menunjukkan rasa kemanusiaan dengan cara memberikan secara sukarela sebagian barang yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkan. Menurut Penner dkk (1995) dalam perilaku prososial terdapat beberapa komponen yaitu: a. Tanggung jawab sosial Merupakan kecenderungan untuk menerima segala konsekuensi dan bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuat. b. Empati 1) Mampu berempati Merupakan kecenderungan untuk berorientasi pada perasaan simpati atas apa yang dialami orang lain dan peduli terhadap orang yang kurang beruntung. 2) Pengambilan sudut pandang Merupakan kecenderungan secara spontan mengadopsi sudut pandang dari sisi psikologis orang lain. 3) Kemampuan mengatasi stres Kecenderungan untuk mengalami perasaan cemas dan gelisah pada situasi tegang dengan orang lain. c. Penalaran moral 1) Orientasi moral orang lain Merupakan kecenderungan untuk fokus pada hal yang terbaik untuk orang lain saat membuat keputusan moral. 2) Perhatian dengan moral bersama Merupakan kecenderungan untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak dan dampaknya saat membuat keputusan moral. d. Menolong Merupakan kecenderungan untuk memberi bantuan kepada individu atau kolompok yang membutuhkan. Berdasarkan pemaparan beberapa aspek-aspek perilaku prososial di atas, yang akan digunakan sebagai landasan alat ukur perilaku prososial dalam penelitian ini adalah aspek yang dirumuskan oleh Eisenberg & Mussen yang terdiri dari sharing, cooperating, helping, honesty, donating, dan generosity. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek yang dirumuskan oleh Eisenberg & Mussen pada tahun 1989 ini merupakan aspek yang paling sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. D. Hubungan antara Optimisme dan Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif Komitmen organisasi merupakan kekuatan relatif identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu (Mowday dkk dalam Allen & Meyer, 1990). Komitmen organisasi terdiri dari beberapa komponen salah satunya adalah komitmen afektif. Komitmen afektif merupakan salah satu komponen dalam komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), komitmen jenis ini merupakan ikatan secara emosional yang melekat pada individu untuk mengidentifikasikan dan melibatkan dirinya dalam organisasi. Komitmen afektif bisa dikatakan sebagai hal yang penting untuk menentukan dedikasi dan loyalitas karyawan. Seorang individu yang memiliki kecenderungan tinggi dalam hal komitmen afektif akan menunjukkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi, meningkatnya keterlibatan dalam aktifitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi (Rhoades dkk, 2001). Karyawan yang memiliki komitmen afektif kuat akan senantiasa setia terhadap organisasi dikarenakan keinginan tersebut berasal dari dalam hati. Kanter (dalam Allen & Meyer, 1990) menyebut affective attachment dengan istilah komitmen kohesi yaitu kedekatan individu yang berdasar pada perasaan dan emosional kepada kelompok dan oleh Buchanan (dalam Allen dan Meyer, 1990) yang mengkonsepsikan komitmen sebagai pendukung, kedekatan afektif kepada tujuan dan nilai-nilai organisasi, peran seseorang yang berhubungan dengan tujuan, nilai, dan demi organisasi itu sendiri, terpisah dari nilai instrumental. Individu yang memiliki komitmen afektif memiliki banyak dampak positif terhadap diri dan organisasi, salah satunya adalah mengurangi penarikan diri dan mengurangi tingkat turnover dari organisasi. Vandenberghe dkk (2004) telah melakukan penelitian longitudinal mengenai penyebab dan dampak komitmen afektif terhadap organisasi, penyelia, dan kelompok kerja yang melibatkan 316 responden yang merupakan alumni Belgian University. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap intensi untuk berhenti dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap turnover. Sedangkan komitmen afektif terhadap supervisor memiliki efek langsung negatif terhadap intensi untuk berhenti. Temuan ini mungkin disebabkan bahwa supervisor adalah perwakilan resmi dari organisasi untuk karyawan (Eisenberger dkk dalam Vandenberghe, 2004) dan jika komitmen afektif karyawan yang rendah terhadap supervisor tidak meningkat, maka akan mengakibatkan karyawan keluar dari organisasi. Selain itu komitmen afektif terhadap supervisor berdampak langsung pada kinerja karyawan dan komitmen afektif terhadap organisasi berdampak tidak langsung pada kinerja. Hal ini dikarenakan karyawan menemukan lebih banyak energi dari ikatan emosional dari atasan dibanding dengan organisasi. Allen & Smith (dalam Allen & Meyer, 1990) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara komitmen afektif dengan inovasi karyawan, pelaporan diri, dan efisiensi waktu. Meyer dkk (2002) telah melakukan studi meta-analisis mengenai penyebab, keterkaitan, dan konsekuensi dari komitmen organisasi, menemukan bahwa komitmen afektif memiliki korelasi yang paling kuat dan menguntungkan terhadap organisasi yaitu kehadiran, kinerja, perilaku kewargaan organisasi (OCB) serta menguntungkan bagi individu yaitu berkurangnya stres, dan berkurangnya konflik pekerjaan-keluarga. Beberapa peneliti berpendapat bahwa komitmen afektif berkorelasi negatif dengan stres pekerjaan yang akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu (Begley & Czajka dalam Meyer dkk, 2002). Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi akan bereaksi negatif terhadap stressor dibanding mereka yang kurang berkomitmen afektif (Reilly dalam Meyer dkk, 2002). Konsekuensi positif dari komitmen afektif yang dimiliki individu terhadap organisasi tentunya menjadi keinginan besar bagi setiap organisasi maupun perusahaan, akan tetapi membangun komitmen afektif individu bukan suatu hal yang mudah. Menurut Allen & Meyer (1990) terdapat faktor karakteristik individu sebagai pendorong terbentuknya komitmen afektif terhadap organisasi. Karakteristik individu menurut Robbins & Judge (2008) terdiri dari kemampuan, karakteristik biografis, pembelajaran, persepsi, nilai, kepribadian dan sikap yang berhubungan kuat dengan komitmen afektif. Sikap optimis dan prososial diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya komitmen afektif individu. Sehingga, individu dengan kepribadian optimis dan sikap prososial yang tinggi akan memiliki tingkat komitmen afektif yang tinggi pula. Bressler (2006) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara harapan, optimisme, komitmen organisasi dan intensi turnover pada prajurit tentara Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara harapan dan optimisme dengan komitmen afektif tentara. Sebaliknya, tentara yang merasa kurang optimis dan penuh harap terhadap organisasi berarti mereka merasa tidak ada hubungan emosional. Hal tersebut diperkuat oleh Karrasch (2003) yang menyatakan bahwa tentara dengan penuh harapan dan optimis akan menunjukkan komitmen afektif yang lebih kuat terhadap organisasi dibandingkan menunjukkan komitmen kontinuan. Vohra & Goel (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan lima konstruk psikologi positif yaitu hope, optimisme, resilience, subjective well being, dan self efficacy dengan komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara lima konstruk psikologi positif (termasuk optimisme) dengan komitmen organisasi (komitmen afektif dan komitmen normatif) dan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan pada individu yang optimis akan cenderung terus berada dalam suatu organisasi karena mereka mengidentifikasikannya pada level perasaan. Hubungan positif ini menunjukkan bahwa optimis akan membuat individu terus bertahan dengan harapan bahwa situasi akan membaik pada pekerjaan yang sama dan tidak perlu mencari alternatif lain. Optimisme ini juga memberikan kontribusi pada pengorbanan yang tinggi dalam pekerjaan meskipun kepuasan kerja relatif lebih rendah. Hubungan mengenai optimisme dan komitmen afektif juga diungkapkan dalam penelitian Simons & Buitendach (2013) yang menguji hubungan konstruk psychologycal capital (hope, optimism, resilience, self efficacy) dengan keterikatan dan komitmen organisasi karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hope, optimism, resilience, self efficacy dengan affective commitment dan normative commitment. Optimisme berhubungan positif dengan komitmen afektif dikarenakan adanya suatu kepercayaan dan penerimaan tujuan serta nilai-nilai organisasi. Karyawan akan bersedia untuk fokus membantu organisasi mencapai tujuannya dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Terdapat faktor lain yang diduga berhubungan dengan komitmen afektif yaitu perilaku prososial. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif. Schad (1994) menguji hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen organisasi yang didalamnya terdapat komitmen afektif dan keterlibatan jaringan komunikasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku prososial berkorelasi signifikan dengan komitmen organisasi. Ini berarti bahwa dorongan perilaku membantu orang lain di tempat kerja juga dapat membantu organisasi menjadi sukses dan mendorong komitmen terhadap organisasi. Hubungan mengenai perilaku prososial dengan komitmen afektif juga dilakukan oleh Grant, Dutton, & Rosso (2008). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa semakin tinggi identitas prososial karyawan maka semakin tinggi tingkat komitmen afektif terhadap perusahaan. Hal ini dikarenakan prososial akan menumbuhkan penerimaan terhadap organisasi serta memberikan yang terbaik untuk organisasi. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa optimisme dan perilaku prososial yang termasuk dalam faktor karakteristik individu merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi adanya komitmen afektif individu terhadap organisasi. Individu yang memiliki kecenderungan untuk prososial akan membantu orang lain atau organisasi tanpa diminta dan untuk kepentingan orang lain maupun organisasi. Seseorang dengan sikap prososial mendapatkan akses untuk menolong dengan bergabung pada organisasi non profit (NGO) salah satunya adalah Palang Merah Indonesia sehingga individu akan berkomitmen pada organisasi untuk tetap bisa menolong orang lain. Selain itu, individu yang memiliki optimisme tinggi akan berpikir positif terhadap kondisi dan tindakannya saat ini dan juga masa yang akan datang. Hal ini akan membuat individu cenderung terikat secara emosional atau berkomitmen afektif terhadap organisasi. E. Hubungan antara Optimisme dengan Komitmen Afektif Optimisme didefinisikan oleh First, Carver, dan Scheier (dalam Peterson & Seligman, 2004) sebagai ekspektasi menyeluruh bahwa hal-hal baik akan banyak terjadi di masa depan dan sedikit hal-hal buruk. Ketika seseorang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan maka individu memiliki pengaturan diri untuk tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Optimisme akan menyebabkan individu terus berusaha mencapai tujuan, sedangkan individu yang pesimis akan menyerah. Buchanan & Seligman, Gillham, Peteson, Maier (dalam Peterson & Seligman, 2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang menjelaskan peristiwa buruk pada hal yang terbatas, dengan penyebab eksternal, ketidakstabilan, dan spesifik merupakan deskripsi dari seseorang yang optimis, sedangkan seseorang yang merasa bahwa peristiwa buruk memiliki penyebab internal, stabil, dan global merupakan deskripsi dari seseorang yang pesimis. Optimisme dikaitkan dengan karakteristik positif yang diinginkan seperti kebahagiaan, daya tahan tubuh yang baik, prestasi dan kesehatan (Peterson dalam Luthans, 2006). Optimisme yang dimiliki individu memiliki dampak positif diberbagai bidang, salah satunya dalam bidang pekerjaan. Orang yang optimis akan cenderung termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan memiliki semangat yang tinggi, memiliki aspirasi yang tinggi, memiliki tujuan yang luas, tekun dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, mereka membuat atribusi dari kegagalan dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik, dan cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental (Luthans, 2006). Optimisme menjadi sangat berharga di berbagai bidang pekerjaan misalnya penjualan, periklanan, humas, desain produk, layanan pelanggan, layanan kesehatan dan layanan sosial (Luthans, 2006). Selain itu, Seligman (2008) menjelaskan banyak manfaat yang akan diperoleh bagi orang yang bersikap optimis. Bagi siswa yang bersekolah, siswa yang optimis akan cenderung sukses dan berprestasi di kelas maupun di lapangan bermain. Siswa yang optimis akan mengatasi hambatan belajar, tidak mudah menyerah atas kegagalan dikelas, dan terdorong untuk mengembangkan potensinya. Selain itu, individu atau tim yang lebih optimis dalam bidang olah raga akan berusaha untuk mencapai kesuksesan dalam pertandingan dengan mengejar kemenangan meskipun telah memperoleh kekalahan sebelumnya, mampu mengatasi tekanan selama pertandingan di lapangan, dan memiliki percepatan pergerakan untuk menang. Sikap optimis pada individu juga berpengaruh terhadap kesehatan. Orang yang optimis apabila menderita sakit dan berada dalam ketidakberdayaan akan bertahan dalam ketidakberdayaan dan tidak mudah menyerah, sehingga akan memperbaiki sistem kekebalan tubuhnya. Orang yang optimis akan berpegang pada gaya hidup sehat (Seligman, 2008). Optimis sangat bermanfaat bagi individu dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap optimis diduga berpengaruh terhadap adanya komitmen afektif individu terhadap organisasi. Hubungan antara optimisme dan komitmen afektif telah ditunjukan dalam beberapa penelitian. Deddy, dkk (2014) melakukan penelitian mengenai psychological capital yang di dalamnya terdapat dimensi optimisme, hope, self-efficacy, dan resiliensi terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masingmasing dimensi termasuk dimensi optimisme berkorelasi signifikan terhadap komitmen organisasi yang di dalamnya terdapat komponen komitmen afektif. Hal ini dikarenakan individu dengan level hope, resilience, optimism yang tinggi menunjukkan kepuasan dan komitmen yang lebih tinggi (Luthan dan Youssef dalam Deddy dkk, 2014). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ahmadi dkk (2015) yang meneliti hubungan psychologycal capital dengan komitmen organisasi karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara optimisme, hope, resiliensi, self-efficacy dengan komitmen organisasi (komitmen afektif, normatif dan kontinuan). Hal ini dikarenakan karyawan yang menunjukkan psychologycal capital akan lebih berkomitmen secara emosional terhadap organisasi, dan memiliki kesediaan membantu meningkatkan performa organisasi, sehingga tercapai keberhasilan dan keunggulan organisasi. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap optimis membawa manfaat bagi individu dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya dalam bidang organisasi. Adanya optimisme pada relawan diharapkan membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara emosional atau afektif. F. Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif Perilaku prososial didefinisikan oleh Eisenberg & Mussen (1989) sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk menolong atau menguntungkan orang lain atau anggota dari kelompok. Perilaku prososial diartikan sebagai istilah untuk memberikan konsekuensi bagi orang lain, mereka melakukan hal tersebut dengan sukarela meskipun dibawah tekanan. Meskipun perilaku prososial memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, ada kemungkinan mereka melakukan hal tersebut karena berbagai alasan. Contoh alasan individu terdorong untuk membantu seseorang adalah alasan egois (untuk mendapat penghargaan), untuk mendapat pengakuan dari orang lain, atau karena benarbenar simpati atau peduli mengenai orang lain. Perilaku prososial individu kepada orang lain dapat ditunjukan dengan berbagi, kerja sama, menolong, jujur, menyumbang, dan dermawan (Eisenberg & Mussen, 1989). Keinginan untuk menolong atau prososial merupakan dorongan dari dalam. Keinginan menolong tersebut diduga berhubungan dengan bagaimana individu terkoneksi secara emosional terhadap suatu organisasi sehingga dapat berkomitmen secara afektif. Hubungan antara perilaku prososial dan komitmen afektif telah terbukti dalam beberapa penelitian. Shaw dkk (2003) melakukan penelitian untuk menguji hubungan komitmen organisasi dengan performa karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi berkorelasi dengan performansi. Selain itu, komitmen organisasi (afektif, normatif, dan kontinuan) juga terbukti berhubungan dengan perilaku prososial dalam organisasi. Hal ini dikarenakan apabila perilaku menolong dan perilaku kewargaan organisasi lainnya meningkat maka akan meningkat pula komitmen afektif. Akhigbe dkk (2014) meneliti hubungan antara perilaku prososial dan komitmen organisasi pegawai sektor publik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku prososial (didalamnya terdapat basis moralitas personal, membangun image organisasi, identifikasi psikologi) berpengaruh terhadap komitmen afektif, normatif, dan kontinuan. Pegawai yang berperilaku melampaui tugas peranannya akan menciptakan dampak positif dan komitmen organisasi. Hal ini dikarenakan kesediaan membantu oleh pegawai dalam organisasi dan melakukan lebih dari tugas yang telah dideskripsikan akan membantu mendorong organisasi berhasil. Selain itu menolong orang lain dalam organisasi akan mempengaruhi perasaan positif terhadap organisasi. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan sukarela untuk menguntungkan orang lain. Adanya perilaku prososial pada individu terutama relawan diharapkan membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara emosional atau afektif. G. Kerangka Pemikiran Bagan 1 Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Optimisme dan Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif pada Korps Sukarela H. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara optimisme dan perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Terdapat hubungan antara optimisme dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Terdapat hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta.