Jurnal Kedokteran Unram Penasehat Prof. Mulyanto Editor dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes. dr.Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D. dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med. Dewan Redaksi dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K) dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn. dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis. dr. Bambang Priyanto, SpBS dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes. dr. Seto Priyambodo, M.Sc. dr. Nurhidayati, M.Kes. dr. Pandu Ishak Nandana, SpU dr. Arif Zuhan, SpB dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro) dr. Fathul Djannah, SpPA dr. Marie Yuni Andari, SpM Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc. dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK dr. Akhada Maulana, SpU dr. Monalisa Nasrul, SpM dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt Mitra Bestari dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD) dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP) Sekretaris dr. Prima Belia Fathana Layout dan Percetakan Syarief Roesmayadi ISSN : 2301-5977 Jurnal Kedokteran Universitas Mataram Vol. 2, No. 1, Maret 2013 DAFTAR ISI Antimalarial Activity Of Cleome Viscosa Extract (In Vitro Plasmodium Falciparum Chloroquin Resistant Growth Inhibiton) Sindi Antika, Ardiana Ekawanti, Tetrawindu AH....................................................................... 3 Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 41 Ampenan Kelurahan Jempong Baru Kecamatan Sekarbela Tahun 2011 Indana Eva Ajmala, Eka Arie Yuliyani, Anom Josafat................................................. 12 The Effect Of Administration The Highrise Dosage Of Monosodium Glutamate Towards The Level Of Serum Urea-Creatinine On Wistar Rats HayatiN Nisa, Arfi Syamsun, Ima Arum Lestarini …….......................................................... 18 Hindronefrosis Berat Kanan Yang Disebabkan Oleh Duplikasi Pelvis-Ureter Tipe Lengkap Dengan Stenosis Ureterovesikal Junction Ica Justitia, Pandu Ishaq Nandana….............................................................................. 26 Penggunaan Anestesi Regional Pada Kasus Trauma Erwin Kresnoadi ……..................................................................................................... 31 Trombosis Vena Dalam Ima Arum Lestarini ........................................…………................................................. 43 Epidemiologi Gagal Jantung Kronik Pada Usia Lanjut Basuki Rahmat .................………................................................................................... 52 Petunjuk Penulisan Naskah .......................................................................................... 57 2 ANTIMALARIALACTIVITY OF Cleome viscosa EXTRACT (INVITRO PLASMODIUM FALCIPARUM CHLOROQUIN RESISTANT GROWTH INHIBITON) Sindi Antika, Ardiana Ekawanti, Tetrawindu AH Faculty of Medicine, Mataram University Abstract Background. Malaria is public health problem all over the world as WHO data was 300-500 million people were infected and of 2.7 million were dead annually. The main problems to eradicated malaria was resistance of parasite against convensional antimalaria. Thus, the new potential antimalaria substances need to find out. The Cleome viscosa was empirically used by inhabitant in Lombok to cure signs as malaria shown. Objective. The objective of this study was to explore the effectiveness of Cleome viscosa as antimalaria substance by experimentally study against isolat of P. falciparum chloroquin resistance strain. Method. This study design was experimental laboratory design. The Cleome viscosa extract was exposed to P. falciparum chloroquin resistance isolate. Dosage used in this research were 5µg/ml, 10 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml, 75 µg/ml and 100 µg/ml. Control groups were control positive group that the P. falciparum exposed to chloroquin and control negative group no substances added. Parasitemia level and parasitic inhibition counted based on infected erythrocyte of 5000 eryhrocyte count in thin smear. Result. In the lowest dose group (5 µg/ml) shown 67 % parasitic inhibition, the highest parasitic inhibition was in the dose group 10 µg/ml up to 82 %. All dose group was significantly different from control groups (p<0.05%). Conclusion. Cleome viscosa had the substance which potentially inhibited P.falciparum growth, began from dose 5 µg/ml and higher inhibition as dose raised. Keywords: antimalaria, P.falciparum, Cleome viscosa, parasitic inhibition. Abstrak Latar belakang. Malaria masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sebagaimana yang dicatat WHO setiap tahunnya 300-500 juta orang terinfeksi dan 2,7 juta meninggal dunia. Masalah utama eradikasi malaria adalah resistensi parasit terhadap antimalaria, sehingga usaha untuk menemukan senyawa yang potensial sebagai antimalaria sangat perlu dilakukan. Secara empiris Cleome viscosa telah digunakan untuk mengobati malaria di masyarakat sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap tumbuhan tersebut. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas Cleome viscosa sebagai antimalaria terhadap isolat P. falciparum yang resisten klorokuin. Metode. Penelitian ini adalah penelitian experimental, dengan menggunakan berbagai konsentrasi extrak yaitu 5 µg/ml, 10 µg/ml, 25 µg/ml, 75 µg/ml dan 100 µg/ml sebagai kelompok uji dan kelompok kontrol positif menggunakan klorokuin dan kontrol negatif tanpa pemberian antimalaria. Efektifitas dinilai dengan persen hambatan pertumbuhan dan penurunan tingkat parasitemia dari 5000 eritrosit terinfeksi. Hasil. Semua kelompok dosis menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Pada dosis 5 µg/ml sudah menunjukkan persentase hambat pertumbuhan yang efektif (67%) dan persentase hambat tertinggi (87%) terdapat pada kelompok 10 µg/ml. Kesimpulan. Cleome viscosa memiliki kemampuan sebagai antimalaria dengan dosis terkecil 5 µg/ml. Pendahuluan 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah Penyakit malaria hingga saat menjadi masalah kesehatan masyarakat, endemis malaria dan berdasarkan data dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) merupakan penyakit parasitik dengan angka tahun 2001 terdapat 15 juta penderita kesakitan tertinggi di 90 negara. Berdasarkan malaria taksiran WHO, 300-500 juta orang di dunia mortalitas 1,2% atau 23.483 orang.1,2 setiap tahun dan menimbulkan terinfeksi malaria setiap tahunnya, 110 juta Plasmodium falciparum merupakan orang menunjukkan gejala, dan 2,7 juta penyebab malaria yang terbanyak. Dengan diantaranya mengalami kematian. Indonesia ditemukannya Plasmodium falciparum yang merupakan daerah endemis malaria, karena resisten terhadap klorokuin, maka perlu 3 adanya usaha pencarian obat baru yang Prosedur Penelitian lebih a. Penyediaan media RPMI: tangguh, baik yang tanaman maupun sintesis. Cleome berasal dari 3,4 viscosa Penyediaan serum darah golongan O, telah digunakan untuk pengambilan serum darah tersebut secara empiris oleh masyarakat di pulau maka diperlukan informed consent Lombok untuk mengobati penyakit yang b. Pengembangbiakan P.falciparum dengan memiliki gejala klinis seperti malaria (demam, media RPMI berkeringat, menggigil, nyeri otot). Species Cleome yang sering Cleome digunakan c. Memastikan bahwa yang tumbuh dalam adalah media RPMI tersebut adalah P.falciparum viscosa(Bobohan=Jawa, dengan cara: 5 Lengkarang=Lombok). Tumbuhan ini banyak - Membuat preparat tebal dari kultur P. terdapat di Lombok dan biasanya tumbuh di falciparum tersebut sela-sela tanaman kacang tanah di area - Melihat dibawah mikroskop untuk persawahan. Sebagaimana pemaparan di mengetahui apakah terdapat berbagai atas sangat perlu untuk dilakukan penelitian fase dari P. falciparum dengan ciri-ciri tentang efektivitas antimalaria tanaman ini. yang khas pada setiap fase, dengan ditemukannya bentukan-bentukan khas Metodologi Penelitian P. falciparum maka dapat dipastikan Desain Penelitian yang tumbuh dalam kultur tersebut Penelitian ini experimental melakukan adalah penelitian laboratorium dengan pengujian secara in benar-benar Plasmodium vitro d. Menyediakan ekstrak daun Cleome viscosa resisten e. Melakukan uji efek antimalaria ekstrak klorokuin (isolat W2) yang didapatkan dari daun Cleome viscosa pada P.falciparum NAMRU. yang telah dibiakkan dengan cara: Pengujian falciparum falciparum(dengan menggunakan tetes tebal). terhadap ekstrak Cleome viscosa terhadap isolat P. efektifitas dilakukan pada berbagai bentuk morfologi dalam fase eritrositik. Kelompok uji dibagi - menjadi viscosa kelompok kontrol positif, yaitu pada biakan P. negatif, yaitu pada biakan ke dalam sumur mikro dengan konsentrasi tertentu falciparum diberikan chloroquin; kelompok kontrol Memasukkan ekstrak daun Cleome - Kemudian memberikan 50µl suspensi P. P.falciparum falciparum tidak diberikan kloroquin maupun sumur mikro ekstrak Cleome viscosa; kelompok sampel, - yaitu pada biakan P. falciparum diberikan pada masing-masing menginkubasi dalam incubator pada suhu 37º C selama 24 jam ekstrak Cleome vicosa dengan beberapa f. Memeriksa pertumbuhan Plasmodium dosis diantaranya: 5 µg/ml, 10 µg/ml, 25 falciparum dengan menggunakan tetes µg/ml, 50 µg/ml, 75 µg/ml, 100 µg/ml. tebal dan hapusan darah. pemeriksaan hapusan penghitungan eritrosit dilakukan pada 5000 eritrosit. 4 Pada darah terinfeksi 6,7,8 Analisis Data Data Hasil Penelitian hasil penelitian yang diperoleh Sebelum data mengenai efek antimalaria kemudian akan dianalisis dengan analisis ekstrak daun keragaman (Analysis of Variance) satu arah isolate pada taraf nyata 5% dengan meggunakan klorokuinsecara ANOVA satu arah. sebelumnya dilakukan pembuatan ekstrak daun Cleome viscosa Plasmodium melakukan falciparum invitro Cleome resisten didapatkan viscosa kultur terhadap dan terhadap maka kemudian Plasmodium falciparum resisten klorokuin. Tabel 1.Persentase parasitemia masing-masing perlakuan Perlakuan Rata-rata eritrosit yang terinfeksi Parasitemia (%) Kontrol positif 1131 22, 62 Kontrol negatif 1513 30,26 5 493 9,86 10 443 8,85 25 286 5,72 50 271 5,41 75 233 4,66 100 147 2,94 Kelompok Sampel (µg/ml) Dari tabel tersebut didapatkan hasil ekstrak dengan konsentrasi 10 µg yaitu bahwa tingkat parasitemia tertinggi terdapat sebesar 2,94%. pada pemberian ekstrak dengan konsentrasi menggambarkan bahwa semakin tinggi dosis 5 µg yaitu sebesar 9,86% , sedangkan ekstrak tingkat parasitemia terendah pada pemberian rendah jumlah atau tingkat parasitemia W2 Cleome Tabel viscosa tersebut maka . Tabel 2. Persentase penghambatan pertumbuhan W2 Perlakuan Penghambatan pertumbuhan (%) Kontrol positif 25% Kontrol negatif 0% Kelompok Sampel (µg/ml) 5 67% 10 70% 25 81% 50 82% 75 85% 100 90% 5 juga semakin Dari hasil terdapat pada pemberian ekstrak dengan penghambatan konsentrasi 5µg/ml. Tabel tersebut juga pertumbuhan yang terbesar terdapat pada menggambarkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak dengan konsentrasi 100 µg/ml yaitu ekstrak maka semakin tinggi pula persentase sebesar penghambatan pertumbuhan W2. bahwa tabel tersebut didapatkan persentase 90% sedangkan persentase penghambatan pertumbuhan yang terendah Tabel 3. Hasil Analisis Data (Anova one-way) Perlakuan Rata-rata eritrosit yang terinfeksi Kontrol positif 1130,60 Kontrol negatif 1512,60 Signifikansi (p) Kelompok Sampel (µg/ml) 5 493 10 442,40 25 285,80 50 270,60 75 233,20 100 147,20 0,000 Data hasil analisa tersebut menunjukkan antimalaria yang signifikan pada pemberian signifikansi sebesar 0.000 yang berarti p < ekstrak daun Cleome viscosa pada isolate 0.05, sehingga dari hasil data tersebut Plasmodium falciparum resisten klorokuin menunjukkan secara bahwa terdapat efek invitro. Tabel 4. Perbandingan Hasil Kontrol dan Perlakuan Perlakuan yang dibandingkan Rata-Rata eritrosit Klorokuin 3,60 Control (-) 7,40 Klorokuin 8,00 5 µg 3,00 Klorokuin 8,00 10 µg 3,00 Klorokuin 8,00 25 µg 3,00 Klorokuin 8,00 50 µg 3,00 Klorokuin 8,00 75 µg 3,00 6 Signifikansi (p) 0,560 0,008 0,008 0,008 0,008 0,008 Tabel 4. Perbandingan Hasil Kontrol dan Perlakuan (lanjutan) Perlakuan yang dibandingkan Rata-Rata eritrosit Klorokuin 8,00 100 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 5 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 10 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 25 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 50 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 75 µg 3,00 Kontrol (-) 8,00 100 µg 3,00 Signifikansi (p) 0,008 0,008 0,008 0,008 0,008 0,008 0,008 Data tersebut menunjukkan bahwa pada 15µg/ml) serta perbedaan penghambatan perbandingan konsentrasi tertentu terdapat yang bermakna pada perbandingan antara perbedaan penghambatan pertumbuhan W2 kontrol negatif dengan sampel. yang tidak bermakna yang ditandai dengan nilai signifikasi (p) > 0,05 Pembahasan yaitu pada perbandingan konsentrasi klorokuin 0,5µg/ml Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan kontrol negatif. Jadi dari tabel apakah terdapat efek antimalaria ekstrak tersebut penghambatan daun Cleome viscosa terhadap Plasmodium pertumbuhan P. falciparum oleh klorokuin falciparum resisten klorokuin secara in vitro. tidak bermakna jika dibandingkan dengan Sebagaimana yang terjadi di kontrol negatif, sehingga dapat dikatakan Lombok, Cleome viscosa telah digunakan bahwa efek secara empiris sebagai antimalaria dengan penghambatan yang bermakna terhadap cara merebus atau memasak daun dari kultur W2. Cleome viscosa atau yang dikenal dengan menggambarkan klorokuin tidak memiliki nama Jika nilai signifikasi (p) < 0,05 maka terdapat perbedaan penghambatan tersebut penghambatan terdapat pertumbuhan masyarakat Zat aktif yang diduga memiliki efek perbedaan W2 oleh Lombok. pertumbuhan W2 secara bermakna. Pada tabel “Lengkarang” masyarakat antimalaria pada tumbuhan Cleome viscosa secara ini adalah alkaloid, yang alkaloid telah bermakna pada perbandingan antara kontrol diketahui positif (klorokuin 0,5µg/ml) dengan sampel menghambat (5µg/ml, 10µg/ml, 25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml, falciparum dengan cara berikatan dengan 7 bahwa seperti pertumbuhan bekerja Plasmodium DNA parasit protein dan parasit, menghambat sehingga parasit terhambat. sintesis dibandingkan dengan Cleome viscosa, akan pertumbuhan tetapi di wilayah Indonesia terutama di 10,11 Lombok tumbuhan yang paling banyak Hasil penelitian secara umum dari W2 terdapat adalah Cleome viscosa, hal ini yaitu terdapat penghambatan yang signifikan terkait dengan kemudahan mendapatkan terhadap pertumbuhan W2. Penghambatan tumbuhan ini serta masyarakat Lombok lebih pertumbuhan W2 ditandai dengan penurunan mengenal jumlah atau derajat parasitemia dari W2. dengan Seperti yang terdapat pada data hasil adanya pemakaian Cleome viscosa secara penelitian Cleome viscosa Cleomepilosa dibandingkan terbukti dengan terdapat penurunan derajat empiris sebagai antimalarial dengan cara pada konsentrasi 5µg/ml memasak daun tumbuhan tersebut. parasitemia sebesar 67% jika dibandingkan dengan Adapun beberapa penelitian lainnya yang kultur pada pemberian control negative, menggunakan didapatkan tumbuhansebagai derajat parasitemia pada ekstrak salah tumbuhsatu alternatif konsentrasi 5µg/ml adalah sebesar 9,86% pengobatan terhadap malaria, antara lain sedangkan adalah derajat parasitemia pada ekstrak daun sambiloto. Hasil pemberian control negative adalah sebesar penelitian tersebut adalah ekstrak sambiloto 30,26%. memiliki penghambatan bermakna terhadap Hasil penelitian semakin tinggi Cleome viscosa tingkat parasitemia menunjukkan menunjukkan bahwa petumbuhan dari ekstrak konsentrasi ekstrak 10.000 ug/ml dan 1.000 semakin rendah ug/ml.Jika dibandingkan sambiloto tersebut konsentrasi maka bahwa dari W2, semakin hal ini tinggi Cleome P. falciparum viscosa yaitu pada dengan maka lebih ekstrak ekstrak efektif daun dalam konsentrasi ekstrak tersebut maka semakin menghambat pertumbuhan W2, dimana pada tinggi derajat penghambatan pertumbuhan dosis W2. menghambat Meninjau dari penelitian sebelumnya yaitu ekstrak 5µg/ml telah pertumbuhan derajat parasitemia 9,86% W2 dapat dengan jadi persentase pada penelitian ekstrak daun Cleome pilosa penghambatan terhadap P. falciparum resisten klorokuin ekstrak Cleome viscosa sebesar 67%. Dalam secara in vitro didapatkan bahwa pada hal ini ekstrak Cleome viscosa lebih efektif pemberian konsentrasi ekstrak 50 µg/ml dan lebih mudah diperoleh karena tumbuhan didapatkan penghambatan pertumbuhan W2 ini dapat hidup di daerah persawahan, sebesar 98%. dimana seperti yang kita ketahui bahwa Jika melihat dari hasil penelitian tersebut bahwa dengan konsentrasi 50 µg/ml konsentrasi 50 oleh persawahan, sehingga memudahkan untuk memperoleh tumbuhan ini.3 sedangkan dari data penelitian Cleome pada W2 sebagian besar wilayah Lombok adalah area didapatkan penghambatan sebesar 98%, viscosa pertumbuhan Pada penelitian ekstrak pepaya varietas µg/ml cibinong didapatkan hasil bahwa ekstrak didapatkan penghambatan sebesar 82%. pepaya Dalam hal ini Cleome pilosa lebih efektif jika pertumbuhan P. falciparum pada konsentrasi 8 tersebut dapat menghambat 0,01µg/ml sampai dengan konsentrasi tinggi “suatu ekstrak dikatakan efektif sebagai obat 100µg/ml, dibanding dengan kontrol negatif antimalaria, pada konsentrasi tertentu dapat (Rehena, 2009).Efektifitas antimalaria pada menghambat pertumbuhan sebesar > 30 % ekstrak pepaya varietas cibinong lebih tinggi maka obat tersebut dapat dikatakan efektif jika dibandingkan dengan ekstrak daun sebagai obat antimalaria”. Hasil penelitian Cleome viscosa karena pada penelitian yang ektrak Cleome viscosa pada konsentrasi dilakukan efek antimalaria yang signifikan 5µg/ml dapat menghambat pertumbuhan W2 terlihat pada konsentrasi 5µg/ml sampai sebesar 67% secara invitro jika dibandingkan dengan konsentrasi tinggi 100µg/ml, akan dengan kontrol negatif. Jadi ekstrak daun tetapi Cleome viscosa memiliki efek antimalaria kemudahan tumbuhan Cleome dalam menemukan viscosa dibandingkan dengan menemukan varietas cibinong tanaman khususnya di secara invitro.13 pepaya Analisis data daerah Mann-Whitney dengan didapatkan menggunakan hasil bahwa Lombok menyebabkan tumbuhan ini lebih terdapat penghambatan yang signifikan pada memungkinkan untuk diperoleh dibandingkan konsentrasi dengan pepaya varietas cibinong.12 50µg/ml, 5µg/ml, 75µg/ml, 10µg/ml, 100µg/ml. 25µg/ml, Didapatkan Daun johar juga merupakan salah satu hasil bahwa pada setiap konsentrasi terjadi obat alternatif untuk malaria, pada penelitian penurunan jumlah parasitemia pada W2 in vitro, isolat alkaloid daun C. Siamea L. yang ditandai dengan nilai signifikasi < 0,05. (Johar) terbukti memiliki aktivitas antimalaria Akan tetapi pada perbandingan konsentrasi terhadap P. falciparum dengan harga IC50 tertentu terdapat nilai signifikasi yang lebih sebesar 0,24 µg/ml (Pratiwi, 2008).Pada dari 0,05, hal ini menunjukkan tidak terdapat penelitian Cleome viscosa didapatkan hasil penghambatan pertumbuhan atau penurunan penghambatan pertumbuhan W2 terdapat tingkat parasitemia yang bermakna. Terlihat pada konsentrasi 5 µg/ml, dalam hal ini pada konsentrasi 5µg/ml dengan 10µg/ml terlihat dengan bahwa dibandingkan viscosa, daun johar dengan akan lebih ekstrak tetapi hal efektif nilai signifikasi sebesar 0,31, Cleoma konsentrasi 25µg/ml dengan 50µg/ml dengan masih nilai signifikasi sebesar 0,42, konsentrasi ini memerlukan pengujian yang lebih lanjut lagi 50µg/ml karena dosis 5 µg/ml pada ekstrak Cleome signifikasi sebesar 0,55, konsentrasi 75µg/ml viscosa tidak dapat dikatakan sebagai dosis dengan 100µg/ml dengan nilai signifikasi minimal perlu sebesar 0,056, dilakukan pengujian lebih lanjut untuk melihat dengan kontrol dosis minimal yang dapat menghambat signifikansi sebesar 0,056. Hasil tersebut pertumbuhan pada menunjukkan bahwa nilai signifikansi > 0,05, penelitian ekstrak daun johar tersebut telah sehingga didapatkan gambaran bahwa pada diketahui dosis minimal penghambatan yaitu perbandingan penghambatan, W2. sehingga Sedangkan pada konsentrasi 0,24 µg/ml. Jika melihat secara 13 teoritis dengan 75µg/ml dan dengan klorokuin negatif konsentrasi nilai 0,5µg/ml dengan tersebut nilai tidak terdapat perbedaan derajat penghambatan menurut yang bermakna, hal ini disebabakankan Pratiwi, dkk tahun 2007 menyebutkan bahwa karena rentang konsentrasi ekstrak yang 9 kecil sehingga disarankan untuk penelitian sebesar 1,72%. Hal ini disebabkan karena selanjutnya dapat menggunakan konsentrasi perbedaan ekstrak dengan rentang yang lebih besar. diberikan memiliki rentang yang tidak begitu Pada konsentrasi parasitemia 9,86%, jumlah parasitemia 25µg/ml konsentrasi 5,41%, besar, sehingga apabila ingin mendapatkan konsentrasi 10µg/ml gambaran penghambatan pertumbuhan W2 jumlah konsentrasi parasitemia yang jumlah konsentrasi parasitemia 50µg/ml ekstrak 5µg/ml 8,85%, jumlah konsentrasi 4,66%, yang 5,72%, dan signifikan maka dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan parasitemia 75µg/ml lebih rentang konsentrasi yang lebih besar. jumlah Pada konsentrasi kultur pemberian yang klorokuin mendapatkan 0,5µg/ml memiliki 100µg/ml jumlah parasitemia sebesar 2, 94 derajat parasitemia yang tidak berbeda jauh %. dengan derajat parasitemia pada control Jika dilihat dari tingkat penurunan jumlah negatif, hal ini membuktikan bahwa strain W2 parasitemia pada kultur W2 yang diberikan resisten terhadap klorokuin. ekstrak Cleome viscosa dengan konsentrasi Perlu ditekankan bahwa konsentrasi yang 5µg/ml, 10µg/ml, 25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml, digunakan bukan merupakan konsentrasi 100µg/ml, minimal dapat penurunan dilihat parasitemia bahwa dari tingkat konsentrasi yang pertumbuhan W2, dapat menghambat peneliti menggunakan 5µg/ml sampai dengan 100µg/ml memiliki dosis efektif dari ekstrak Cleome pilosa tingkat penurunan parasitemia yang tidak kemudian jauh menurunkan dosis dan menaikkan dosis dari berbeda, terbukti bahwa pada mengambil dosis 9,86% jika dibandingkan dengan konsentrasi menggunakan 10µg/ml yang memiliki tingkat parasitemia menghambat pertumbuhan W2 dan belum sebesar mencari didapatkan dari hasil tersebut perbedaan penurunan tersebut. dengan konsentrasi 5µg/ml derajat parasitemianya 8,85%, efektif rentang konsentrasi dosis menghambat Peneliti minimal pertumbuhan yang mampu yang W2, dapat hal disebabkan menunjukkan perbedaan bahan penelitian yang berupa isolat W2. W2 Oleh penghambatan pertumbuhan pada karena itu keterbatasan ini parasitemia sebesar 1,01%. Hasil tersebut bahwa karena hanya pentingnya bahan- penelitian pemberian kedua konsentrasi tersebut tidak lanjutan untuk mencari dosis minimal yang jauh dapat menghambat pertumbuhan W2 serta berbeda, begitu pula dengan konsentrasi lainnya yaitu pada konsentrasi dosis 10µg/ml dengan 25µg/ml yang memiliki tumbuhan ini yang dapat dilakukan pada selisih 3,13%, percobaan secara konsentrasi 25µg/ml dengan 50µg/ml yang digunakan oleh memiliki selisih parasitemia sebesar 0,31%, merupakan dosis toksik pada hewan coba. parasitemia sebesar toksik dari pemberian invivo. peneliti ekstrak Dosis yang mungkin saja konsentrasi 50µg/ml dengan 75µg/ml yang Pada paparan diatas didapatkan bahwa memiliki selisih parasitemia sebesar 0,75%, terdapat perbedaan tingkat penghambatan sedangkan 75µg/ml pertumbuhan P. falciparum hal tersebut dengan 100µg/ml memiliki selisih parasitemia dapat disebabkan oleh perbedaan strain dari pada konsentrasi 10 P. falciparum, perbedaan varietas tumbuhan 4. Unjiyanto.2009. Resistensi Klorokuin. Available from: www.searchwinds.com (Accessed November 5, 2009) 5. Henrata.2009. Taksonomi Bidens biternata. Available from: http//www.plantamor.com (Accessed: November 5, 2009) 6. Sutamiharja dkk, 2009. Buku Panduan Pelatihan Diagnosis Mikroskopis Malaria. Jakarta. Departemen PArasitologi Medis US NAMRU-2 7. Departement of Health Human Service. 2008. Diagnosis Malaria. Available from: http//www.hhs.gov (Accessed, November 7, 2009) 8. Gandahusada, dkk. 1998. Parasitologi Kedokteran ed. 3. Jakarta. FKUI 9. Gunawan, Ari. 2007. Morfologi Plasmodium. Available from: http//www.freewebs.com (Accessed: November 7 2009) 10. Krettli, dkk. 1997. Antimalaria activity of Extract Bidens pilosa and other Bidens species (Asteraceae) correlated with the presence of acetylene and flavonoid compounds. Available from: www.pubmed.com (Accessed: July 7, 2010) 11. Leonard Bruce. 2007. Bidens. Malaria Journal. 13:12.pp.3 12. Rehena. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Pepaya ( Carica papaya.Linn) terhadap Pertumbuhan Parasit Malaria dan Sosialisasinya sebagai Antimalaria kepada Masyarakat di Kecamatan Kairatu Kabupaten seram Bagian barat. Available from: www.karyailmiah.um.ac.id (Accessed: July 10, 2010) 13. Pratiwi.2008. Aktifitas Antimalaria Isolat Alkanoid Daun Johar (Casia siamea lamk.) terhadap Pertumbuhan P. berghei in vivo. Available from: www.unair.ac.id (Accessed: July 7,2010) 14. Syamsudin, dkk, 2007. Uji Efektivitas Antimalaria Asam Kandis. Available from: www.farmasi.unand.ac.id (accessed : November 5,2010) yang digunakan sebagai ekstrak, keadaan kultur pada saat perlakuan serta perbedaan kandungan zat aktif yang berfungsi sebagai antimalaria pada setiap tumbuhan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pada penambahan ekstrak Cleome viscosa dengan konsentrasi 5µg/ml, 10µg/ml, 25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml, 100µg/ml pada kultur P. falciparum resisten klorokuin (W2) secara in vitro menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan W2 tersebut, berarti dalam hal ini Cleome viscosa memiliki efek antimalaria terhadap W2.Persentase penghambatan pertumbuhan W2 secara invitro oleh Cleome viscosa sebanyak 67% pada konsentrasi 5µg/ml, 70% pada konsentrasi 10 µg/ml, 81% pada konsentrasi 25 µg/ml, 82% pada konsentrasi 50 µg/ml, 85% pada konsentrasi 75 µg/ml, dan 90% pada konsentrasi 100 µg/ml. Daftar Pustaka 1. Rehena. 2009. Malaria. Available from: http//www.karya-ilmiah.um.ac.id (Accessed: November 5, 2009) 2. Dachlan.2005. Malaria Endemic Patterns on Lombok and Sumbawa Islands. Available from: http//:www.jstag.jst.go.ip (Accessed:November 5,2009) 3. Widyawaruyanti. 2005. Uji Efektifitas Antimalaria Ekstrak Sambiloto terhadap P. falciparum In Vitro. Available from: www.adln.lib.unair.ac.id (Accessed: November 5, 2009) 11 HUBUNGAN KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI 41 AMPENAN KELURAHAN JEMPONG BARU KECAMATAN SEKARBELA TAHUN 2011 Indana Eva Ajmala, Eka Arie Yuliyani, Anom Josafat Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstract Background: Nowdays, there are about 2 billion people with helminthiasis. In Indonesia, helminthiasis is the most common disease after malnutrition. The highest prevalence and intensity of helminthiasis occured among school-age children. Intestinal helminthiasis can cause malnutrition Purpose: The purpose of this research is to find out correlation between helminthiasis and nutritional status. Method: This research is a descriptive analytic designed with cross-sectional approach. The subject in this research are the 4, 5 and 6 grade student in State Elementary School 41 Kelurahan Jempong Baru Sekarbela that suitable with the inclusion criteria. The laboratory test using simple stool examination, while the nutritional status measured based on WHO criteria z-score height/age and BMI/age. The analysis on this research are Chi-Square with significancy 0,05 and Kolmogorov-Smirnov if the Chi-Square not suitable. Result: the result shows that 76 student (67,3%) are in a positive way helminth infected and 37 students (32,7%) are negative result, with the highest species are Trichuris trichiura (28,3%). From the Chi-Square, correlation between helminthiasis and nutritional status index height/age p=0,152 (>0,05) and from Kolmogorov-Smirnov correlation between helminthiasis and nutritional status BMI/age are p=0,390 (>0,05). Conclusion: There are no correlation between helminthiasis and nutritional status index height/age and BMI/age. Keyword: Helminthiasis, Nutritional Status, Elementary student Abstrak Latar Belakang: Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan di kalangan anak usia sekolah. Infeksi cacing usus dapat mengakibatkan kurang gizi. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara kecacingan dengan status gizi. Metode Penelitian : Jenis penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN 41 Kelurahan Jempong Baru Kecamatan Sekarbela yang memenuhi kriteria inklusi. Uji laboratorium menggunakan metode sederhana, sedangkan penilaian status gizi menggunakan z-score TB/U dan IMT/U kriteria WHO. Analisis data dengan menggunakan uji ChiSquare dengan derajat kemaknaan 0,05 dan Kolmogorov-Smirnov jika syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi. Hasil penelitian : dari penelitian didapatkan 76 siswa (67,3%) positif kecacingan dan 37 siswa (32,7%) negatif dengan infeksi tertinggi jenis cacing cambuk (28,3%). Dari uji Chi-Square hubungan kecacingan dengan status gizi indeks TB/U didapatkan nilai p =0,152 (>0,05) dan dari uji Kolmogorov-Smirnov hubungan dengan status gizi indeks IMT/U didapatkan nilai p=0,390 (>0,05). Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan status gizi indeks TB/U dan IMT/U. Kata kunci: kecacingan, status gizi, sekolah dasar Pendahuluan Di indonesia penyakit cacing merupakan Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar masalah kesehatan masyarakat terbanyak penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tinggi ditemukan terutama di negara-negara tertinggi didapatkan dikalangan anak usia non sekolah dasar1. industri berkembang). (negara Merid yang mengatakan sedang bahwa Penyakit cacingan tersebar luas, baik di menurut World Health Organization (WHO) pedesaan maupun di perkotaan. Angka diperkirakan 800 juta- 1 milyar penduduk infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. cacingan di Sekolah Dasar di beberapa 12 provinsi tahun prevalensi 1986-1991 sekitar menunjukkan 60%-80%, zat gizi ke dalam tubuh. Dari penelitian Platt sedangkan dan Heard terbukti bahwa perilaku cacing untuk semua umur berkisar antara 40%-60%. dalam mencuri zat gizi menjadi semakin lebih Hasil survey subdit Diare pada tahun 2002 agresif keadaan kurang gizi 1 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi dibandingkan pada keadaan cukup gizi . meunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%- Penilaian status gizi dapat dilakukan 2 96,3% . Di pada secara langsung maupun tidak langsung. provinsi NTB, angka kejadian Penilaian status gizi secara langsung dapat kecacingan juga tergolong tinggi, antara lain dibagi menjadi empat penilaian yaitu secara prevalensi infeksi oleh cacing gelang sebesar antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. 92% dan infeksi oleh cacing cambuk sebesar Sedangkan penilaian status gizi secara tidak 84%. Pada tahun 1998, dilakukan survei langsung dapat dibagi tiga yaitu survei pada sejumlah murid di dua SD di Lombok konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor yang menunjukkan angka prevalensi infeksi ekologi 4. oleh cacing gelang sebesar 78,5% dan Cara pengukuran status gizi yang paling 72,6% 3. sering di masyarakat dan digunakan dalam Keadaan gizi anak merupakan salah satu program gizi masyarakat untuk pemantauan indikator derajat kesehatan. Makin baik status gizi anak balita adalah antropometri status gizi/metode antropometri 4. gizi anak, kesehatan Indonesia makin suatu tinggi tingkat bangsa/negara. kurang energi protein Di Terdapat empat indikator penilaian status (KEP), gizi, yaitu: merupakan masalah gizi yang utama. Infeksi Panjang/tinggi badan menurut umur cacing usus dapat megakibatkan kurang gizi, Berat badan menurut umur anemia, Berat badan menurut panjang/tinggi gangguan pertumbuhan dan kecerdasan. Keberadaan cacing di dalam badan usus, tergantung dari jumlah atau tingkat Indeks Massa Tubuh menurut umur infeksinya akan mempengaruhi pemasukan Tabel 1. Status Gizi menurut Z-Score - WHO Indikator Pertumbuhan Z-Score Di atas 3 Di atas 2 PB/U atau TB/U BB/U Lihat catatan 1 Lihat catatan 2 Di atas 1 0 (angka median) 13 BB/PB atau BB/TB IMT/U Sangat Gemuk Sangat Gemuk (obes) (obes) Gemuk Gemuk (overweight) (overweight) Resiko Gemuk Resiko Gemuk (Lihat catatan 3) (Lihat catatan 3) Tabel 1. Status Gizi menurut Z-Score - WHO (lanjutan) Indikator Z-Score Indikator Z-Score Pertumbuhan Z-Score Pertumbuhan PB/U atau TB/U PB/U atau TB/U Di bawah -1 Di bawah -2 Di bawah-3 Pendek (Stunted) BB kurang (Lihat catatan 4) (underweight) Sangat pendek BB sangat kurang (severe stunted) (severe (Lihat catatan 4) underweight) Kurus (wasted) Kurus (wasted) Sangat kurus Sangat kurus (severe wasted) (severe wasted) Catatan: Metodologi Penelitian 1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya Penelitian tidak menjadi masalah kecuali anak penelitian yang sangat ini termasuk deskriptif dalam analitik dengan tinggi mungkin rancangan gangguan endokrin dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4, 5 yang dan 6 SDN 41 Ampenan Kelurahan Jempong memproduksi hormon pertumbuhan. Baru Kecamatan sekarbela tahun ajaran Rujuklah anak tersebut jika diduga 2011/2012 yang memenuhi kriteria inklusi mengalami dan mengalami seperti adanya tumor gangguan endokrin cross-sectional. jenis eksklusi, berjumlah (misalnya anak yang tinggi sekali siswa.Metode menurut umurnya, sedangkan tinggi dengan melakukan orangtua normal) laboratorium (feses), 2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada kategori ini, badan, Penelitian sebanyak pengambilan pengukuran data ini 113 yakni pemeriksaan pengukuran berat badan tinggi dan kemungkinan penentuan ststus gizi anak menggunakan Z- mempunyai masalah pertumbuhan, Score TB/U dan IMT/U. Z-Score dihitung tetapi akan lebih baik bila anak ini dengan menggunakan dinilai berdasarkan indikator BB/PB calculator program atau BB/TB atau IMT/U Pengolahan data dilakukan secara analitik 3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan resiko. anthropometric WHO Anthro Plus. dengan teknik analisis chi-square untuk Bila mengetahui hubungan antara variabel- kecenderungannya menuju garis z- variabel yang diteliti. Bila tidak memenuhi score 2 berarti resiko lebuh pasti syarat uji Chi-Square, maka akan dilakukan 4. Anak yang pendek atau sangat uji Kolmogorov-Smirnov. Analisis yang pendek, kemungkinan akan menjadi digunakan untuk mengolah data-data yang gemuk bila mendapatkan intervensi diperoleh gizi yang salah. bantuan software SPSS 17. 14 adalah dengan menggunakan maka didapatkan frekuensi jenis kelamin Hasil Dan Pembahasan yaitu sebanyak 64 siswa (56,6%) berjenis 1. Distribusi jenis kelamin siswa kelamin perempuan dan sebanyak 49 siswa Berdasarkan hasil penelitian dari 113 (43,4%) berjenis kelamin laki-laki. siswa yang menjadi subjek penelitian ini Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Siswa Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Perempuan 64 56,6% Laki-laki 49 43,4% Total 113 100 2. Distribusi umur siswa dan yang paling sedikit adalah berumur 9 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tahun dan 14 tahun dengan jumlah siswa frekuensi siswa terbanyak adalah berumur masing-masing 1 orang (0,9%). 12 tahun yang berjumlah 48 siswa (42,5%) Tabel 2. Distribusi Umur Siswa Umur Frekuensi Persentase (%) 9 tahun 1 0,9 10 tahun 22 19,5 11 tahun 31 27,4 12 tahun 48 42,5 13 tahun 10 8,8 14 tahun 1 0,9 Total 113 100 3. Distribusi kejadian kecacingan terinfeksi kombinasi cacing cambuk dan Pada penelitian ini didapatkan frekuensi cacing tambang sebanyak 1siswa (0,9%). siswa yang positif kecacingan sebanyak 76 kecacingan 4. Hubungan antara kejadian kecacingan sebanyak 37 siswa (32,7%). Jenis cacing dengan status gizi berdasarkan indeks yang menginfeksi siswa tersebut didominasi TB/U siswa oleh (67,3%) cacing dan dengan frekuensi Dari hasil penelitian didapatkan bahwa (28,3%), kemudian frekuensi siswa yang memiliki status gizi kombinasi cacing gelang dan cacing cambuk normal dan positif terinfeksi cacing sebanyak sebanyak 29 siswa (25,7%). Frekuensi yang 42 siswa (62,7%), sedangkan yang negatif paling sedikit ditemukan pada siswa yang terinfeksi cacing dan status gizi normal sebanyak 32 cambuk negatif siswa sebanyak 25 siswa (37,3%). Frekuensi siswa 15 dengan kejadian cacingan positif dan status Setelah dianalisis dengan mengguakan uji gizi pendek sebanyak 23 siswa (82,1%), chi-square, maka didapatkan nilai p sebesar kejadian cacingan negatif dan status gizi 0,152 (lebih besar dari 0,05) yang artinya pendek sebanyak 5 siswa (17,9%), kejadian tidak cacingan positif dan status gizi sangat kecacingan dengan status gizi berdasarkan pendek sebanyak 11 siswa (61,1%), kejadian indeks TB/U. ada hubungan antara kejadian cacingan negatif dan status gizi sangat pendek sebanyak 7 siswa (38,9%). Tabel 3. Status Gizi Kejadian Normal Pendek Kecacingan n % N % n % Positif 42 62,7 23 82,1 11 61,1 Negatif 25 37,3 5 17,9 7 38,9 100 28 100 18 100 Total 67 p Sangat Pendek 0,152 5. Hubungan antara kejadian kecacingan sebanyak 2 siswa (100%), dan tidak terdapat dengan status gizi berdasarkan indeks kejadian cacingan negatif dan status gizi IMT/U sangat kurus (0%). Frekuensi kejadian Berdasarkan hasil uji statistik dengan cacingan positif dan memiliki status gizi menggunakan Chi-square antara variabel resiko gemuk sejumlah 8 sisw (88,9%), kejadian kecacingan dengan status gizi kejadian cacingan negatif dan memiliki status berdasarkan IMT/U didapatkan 4 sel (50%) gizi resiko gemuk sejumlah 1 siswa (11,1%), memiliki expected count kurang dari 5 kejadian cacingan positif dan memiliki status sehingga gizi normal sejumlah 61 siswa (65,6%), dilakukan uji Chi-square. Oleh karena itu kejadian cacingan negatif dan status gizi dilakukan uji alternatif Kolmogrov-Smirnov. normal sejumlah 32 siswa (34,4%), kejadian Hasil uji ini didapatkan nilai p=0,0390 (lebih cacingan besar dari 0,05) yang berarti tidak ada sebanyak siswa positif 5 dan siswa dengan status (55,6%), gizi kurus kejadian hubungan cacingan negatif dan status gizi kurus dengan sebanyak IMT/U. 4 siswa (44,4%), tidak kejadian cacingan positif dan status gizi sangat kurus 16 memenuhi antara status gizi kejadian syarat untuk kecacingan berdasarkan indeks Tabel 4. Status Gizi Kejadian Kecacingan Positif Negatif Total Hasil Resiko Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus n % n % n % n % 8 88,9 61 65,6 5 55,6 2 100 1 11,1 32 34,4 4 44,4 0 0 9 100 93 100 9 100 2 100 penelitian kecerdasan. Keberadaan cacing di dalam penelitian yang dilakukan oleh Syahdi Noor usus, tergantung dari jumlah atau tingkat (2008) infeksinya akan mempengaruhi pemasukan terdapat sama 0,390 dengan yang ini p menyatakan hubungan bahwa antara tidak zat gizi ke dalam tubuh 1. kecacingan dengan status gizi dan Windaruslina (1999) yang juga menyatakan tidak ada hubunga Kesimpulan antara kecacingan dengan status gizi murid (indeks TB/U)5,6. Tetapi hal Pada penelitian ini dapat disimpulkan ini tidak sesuai dengan bahwa kepustakaan yang menyatakan infeksi cacing usus dapat mengakibatkan anemia, gangguan terdapat hubungan antara kejadian kecacingan dengan status gizi kurang gizi, pertumbuhan tidak berdasarkan indeks TB/U dan IMT/U. dan Daftar Pustaka 1. Ginting SA. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. 2003 [cited 2010 April 20]. Available from:http://www.library.usu.ac.id 2. Menteri Kesehatan RI. Keputusan Meteri Kesehatan: Pedoman Pengendalian Cacingan. 2006 [cited 2010 April 20]. Available from: http://www.depkes.go.id 3. Gandahusada S. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004 4. Supriasa IDN., Bakri B., Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta:EGC; 2002 5. Syahdi N. Hubungan Kejadian Kecacingan dengan Status Gizi, Umur dan Jenis Kelamin Anak Sekolah Dasar Negeri Bangkal 3 Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru Periode Maret 2007. 6. 17 Berkala Kedokteran jurnal kedokteran dan kesehatan vol.7 no.2; 2008 Windaruslina, Yudiawati. Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Murid SDN 02 dan 04 Bandarharjo Kelurahan Tanjung Mas Kecamatan Semarang Utara Kotamadya Semarang.1999 [cited 2010 April 20]. Available from : http://www.eprintsundip.ac.id THE EFFECT OF ADMINISTRATION THE HIGHRISE DOSAGE OF MONOSODIUM GLUTAMATE TOWARDS THE LEVEL OF SERUM UREA-CREATININE ON WISTAR RATS Hayatin Nisa, Arfi Syamsun, Ima Arum Lestarini Faculty of Medicine, Mataram University Abstract Background: Many cases of Monosodium Glutamate (MSG) consumption were found. Many food producers, even restaurant and household add MSG on the food produced. Safety use of MSG is still being debated. Some have claimed that the use of MSG is safe within certain limits, but the results of several studies in animals found that MSG affects the body's organs. MSG that accumulates in the body will interfere, especially the urinary system (kidneys), liver, brain, hematopoietic system, cardiovascular, central nervous system, and reproductive system. The aim of this study was to detect the effect of MSG in highrise dosage towards the level of serum urea-creatinine on Wistar Rats (Rattus novergicus). Methods: The research used a simple experimental design which iscalled the post-test only control group design. This research wasconducted on five sample groups: one group as a control, and fourothers as the treatment. The control group was not given MSG, butaquadest, while the treatment groups were given MSG solution orallyin gradable dose. MSG solution dose that was given in treatment group1 (P1) were 400 mg/100gBB, while the MSG dose for treatment 2 group(P2) were 800 mg/100gBB, treatment 3 group (P3) were 1200 mg/100gBB,and treatment 4 (P4) were 1600 mg/100gBB that were divided into 2doses. After 14 days, mice anesthetized with diethyl ether, thendecapitation and its blood was taken by intracardiac to determineserum urea-creatinine level on Wistar Rats. Result: There was significant effect of administration MSG on serum urea-creatinine levels on Wistar Rats (p <0.05). The result of this study also showed that higher doses of MSG were given, higher meanlevels of serum urea produced, while serum creatinine levels remainedrelatively constant for each group. Conclusion: There was significant effect of giving MSG on serumurea-creatinine levels on Wistar Rats statistically (p <0.05). Keywords: MSG, 14 days, Highrise Dosage, Urea, Creatinine. Pendahuluan Organisasi dunia seperti Food and Drug Konsumsi Monosodium Glutamat (MSG) Administration (FDA) dan Federation of atau yang lebih dikenal dengan vetsin atau American Societies for Experimental Biology 1 ajinomoto banyak kita temukan . Banyak (FASEB) menyebutkan secara umum MSG produsen MSG aman dikonsumsi. Merunut dari pernyataan produksi, tersebut, di Indonesia Badan Pengawas Obat bahkan restoran dan rumah tangga sekalipun dan Makanan (BPOM) menyatakan MSG menambahkan MSG agar makanan yang termasuk ke dalam bahan makanan yang pada makanan makanan menambahkan yang mereka 2,3 dikonsumsi terasa lebih nikmat . Ini yang aman dikonsumsi4,6. Tetapi sejauh ini, belum menjadikan konsumsi MSG meningkat di banyak penelitian langsung seluruh dunia dan menjadi bahan penambah manusia yang membuktikan rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara, penggunaan 4 MSG 4 aman . terhadap bahwa Sementara tidak terkecuali di Indonesia . Setidaknya penelitian pada hewan coba mendapatkan sampai tahun 1997, setiap tahun produksi bahwa MSG berefek pada organ tubuh 1. MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun Salah satunya terhadap ginjal 1,7,8. dengan konsumsi mengalami kenaikan rata- Ginjal merupakan organ yang berfungsi 4 rata sekitar 24,1% per tahun . untuk mengekskresikan metabolisme dari Pendapat antara aman atau tidaknya MSG juga masih MSG. Konsumsi MSG akan memberikan 4,5 diperdebatkan . efek pada 18 ginjal 1,7,8. Dari penelitian Inuwa dkk. (2011) penggunaan kenaikan mendapatkan MSG pada akan kadar bahwa disusun secara Rancangan Acak Kelompok menyebabkan (RAK) dengan pengambilan data setelah ureum kreatinin. perlakuan (Post Test Only Control Group Sejalan dengan penelitian tersebut, hasil Design). penelitian Marwa dan Manal di Mesir (2011) Populasi dalam penelitian ini adalah tikus juga mendapatkan terjadi peningkatan kadar putih serum terjadi dengan jumlah sampel 30 ekor Tikus Wistar jaringan jantan dengan berat badan 150-250 gram. ginjal. Ada beberapa pendapat mengenai Melakukan adaptasi terhadap 30 ekor Tikus efek ginjal, Wistar jantan selama 7 hari di laboratorium menyebabkan dengan kandang tunggal dan diberi pakan terbentuknya reactive oxygen species (ROS). standar serta minum secukupnya. Pada hari kreatinin, perubahan BUN, serta histopatologis toksisitas diantaranya, MSG pada terhadap MSG Meskipun beberapa pihak menyatakan ke-8, bahwa MSG aman untuk dikonsumsi dalam (Rattus Tikus kelompok, 1 novergicus) Wistar 1 galur dibagi kelompok Wistar menjadi kontrol dan 5 4 batas tertentu . Namun, akurasi penggunaan kelompok perlakuan yang masing-masing MSG pada individu sehari-hari sulit untuk terdiri dari 6 ekor Tikus Wistar yang dipilih diperoleh sehingga penelitian tentang efek secara acak. Masing-masing Tikus Wistar toksik kumulatif MSG sebaiknya menjadi pada setiap kelompok diberi tanda dengan 1 perhatian dan perlu untuk dilakukan . Penelitian peneliti kepala, punggung, perut, ekor, dan kaki, lakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa kemudian menimbang berat badan masing- tikus yang diberikan larutan MSG dosis letal masing tikus. mati pendahuluan dalam waktu yang asam pikrat pada daerah yang berbeda yaitu kurang dari 1 hari Selanjutnya memberikan perlakuan sementara tikus yang diberikan larutan MSG dimana kelompok kontrol hanya diberikan dosis letal dengan dosis terbagi mati dalam aquades, sementara kelompok perlakuan waktu 21 hari. Berdasarkan kesenjangan dari diberikan MSG dengan dosis bertingkat yaitu penelitian kelompok perlakuan 1 (P1) diberikan MSG sebelumnya dan penelitian 1 pendahuluan tersebut, maka pada penelitian sebanyak ini, peneliti akan memberikan perlakuan g/KgBB) berupa dosis perlakuan 2 (P2) yang diberikan MSG LD50, dan 1 sebanyak ½ LD50 MSG atau 800mg/100gBB, LD50), dosis terbagi, 2 kali sehari selama 14 kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberikan hari MSG pemberian larutan 1 bertingkat ( /4 LD50, ½ pada Tikus MSG LD50,3/4 Wistar untuk menilai /4 LD50 MSG (LD50 MSG 16,6 atau 400mg/100gBB, sebanyak 3 /4 LD50 kelompok MSGatau pengaruh pemberian MSG terhadap kadar 1200mg/100gBB dan kelompok perlakuan 4 ureum kreatinin. (P4) yang diberikan MSG sebanyak dosis LD50 MSG Metode Dan Cara Kerja laboratorium. 1600mg/100gBB. MSG diberikan per oral dengan menggunakan Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental atau sonde pada mulut tikus sesuai dosis yang melalui percobaan sudah ditentukan. Hal ini dilakukan selama Rancangan percobaannya 14 hari.Pada hari ke-15 dilakukan pembiusan 19 pada tikus dengan menggunakan obat bius menggunakan metode enzimatik cobass c golongan eter. Hal ini dilakukan untuk 111system. Data pemeriksaan dicatat dalam memudahkan dalam proses pengambilan formulir untuk kemudian dianalisa. darah yang akan dilakukan pada organ jantung Tikus Wistar. Setelah pengambilan Hasil Dan Pembahasan darah menggunakan spuit lalu sampel darah Pengaruh dimasukkan bertingkat terhadap kadar ureum serum ke dalam tabung V dan Hepatika sebagai MSG dosis darah Tikus Wistar dilakukan sentrifuge kemudian dibawa ke Laboratorium pemberian tempat Pengaruh dosis MSG terhadap kadar pengukuran kadar ureum-kreatinin serum ureum serum darah Tikus Wistar, dapat darah Tikus Wistar yang diukur dengan dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 1. Pengaruh dosis MSG terhadap Kadar Ureum Serum Darah Tikus Wistar Kadar ureum serum Besar dosis MSG Rerata (Simpang Baku) K (Aquades (0)) 32,17 (3,061) P1 (400 mg) 44,83 (6,210) P2 (800 mg) 60 (2,530) P3 (1200 mg) 50,17 (12,937) P4 (1600 mg) 67,17 (4,491) p* 0,000 *Uji Kruskal-wallis Tabel 2. Uji Post Hoc Perbedaan Kadar Ureum Serum antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4 - - - - - - - - - - - - - - p=0,00 4 p=0,00 p=0,00 4 4 p=0,01 p=0,52 p=0,1 3 1 09 p=0,00 p=0,00 p=0,0 p=0,01 4 4 15 6 *Uji Mann-Whitney 20 - Dari data di atas didapatkan bahwa paling Sementara korelasi dosis MSG dengan tidak terdapat perbedaan kadar ureum serum kadar ureum serum Tikus Wistar, dapat darah Tikus Wistar antara kelompok yang dijelaskan dalam tabel berikut: bermakna. Tabel 3 Korelasi Dosis MSG dengan Kadar Ureum Serum Tikus Wistar Kadar ureum serum Besar dosis MSG Rerata (Simpang Baku) K (Aquades (0)) 32,17 (3,061) P1 (400 mg) 44,83 (6,210) P2 (800 mg) 60 (2,530) P3 (1200 mg) 50,17 (12,937) P4 (1600 mg) 67,17 (4,491) Rho 0,784 p* 0,000 *Uji Spearman Pengaruh Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian MSG dosis terdapat korelasi yang bermakna antara bertingkat terhadap kadar kreatinin serum dosis pemberian MSG dengan kadar ureum darah Tikus Wistar serum darah Tikus Wistar, dimana Pengaruh dosis MSG terhadap kadar didapatkan bahwa semakin tinggi dosis MSG kreatinin serum darah Tikus yang diberikan maka semakin tinggi pula penjelasannya dapat dilihat dalam tabel kadar ureum serum darah Tikus Wistar. berikut: Tabel 4 Pengaruh dosis MSG terhadap kadar kreatinin serum darah Tikus Wistar Kadar kreatinin serum Besar dosis MSG Median (minimummaksimum) K (Aquades (0)) 0,30 (0,3-0,4) P1 (400 mg) 0,30 (0,2-0,4) P2 (800 mg) 0,40 (0,3-0,5) P3 (1200 mg) 0,20 (0,2-0,3) P4 (1600 mg) 0,20 (0,2-0,3) p* 0,007 *Uji Kruskal-wallis 21 Wistar, Tabel 5 Uji Post Hoc Perbedaan Kadar Kreatinin Serum antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4 - - - - - - - - - - - - - - p=0,59 8 p=0,07 p=0,05 1 8 p=0,17 p=0,59 p=0,02 6 8 0 p=0,01 p=0,07 p=0,00 p=0,09 8 5 8 3 - *Uji Mann-Whitney Dari data di atas didapatkan bahwa dan kelompok perlakuan 2 (P2) dengan konsumsi MSG berpengaruh terhadap kadar kelompok kreatinin kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Pengaruh kelompok, serum ini darah terlihat dimana Tikus pada Wistar. beberapa didapatkan perlakuan 4 (P4), sementara lainnya tidak bermakna secara signifikan. bahwa Sementara korelasi dosis MSG dengan terdapat perbedaan kadar kreatinin pada kadar kelompok penjelasannya dapat dilihat dalam tabel kontrol dengan kelompok perlakuan 4 (P4), antara kelompok perlakuan kreatinin serum Tikus berikut: 2 (P2) dengan kelompok perlakuan 3 (P3) Tabel 6 Korelasi Dosis MSG dengan Kadar Kreatinin Serum Tikus Wistar Kadar kreatinin serum Besar dosis MSG Median (minimummaksimum) K (Aquades (0)) 0,30 (0,3-0,4) P1 (400 mg) 0,30 (0,2-0,4) P2 (800 mg) 0,40 (0,3-0,5) P3 (1200 mg) 0,20 (0,2-0,3) P4 (1600 mg) 0,20 (0,2-0,3) Rho -0,339 p* 0,029 *Uji Spearman 22 Wistar, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kemungkinan lainnya ekskresi dosis kadar penurunan fungsi ginjal sehingga ekskresi kreatinin serum darah Tikus Wistar. Semakin ureum terhambat. MSG dosis tinggi yang tinggi dosis MSG yang diberikan semakin diberikan dalam jangka waktu yang cukup rendah kadar kreatinin dengan kekuatan lama akan menyebabkan peningkatkan efek korelasi yang lemah. toksik pada ginjal 1,11, dikarenakan MSG akan MSG dengan artinya sudah dengan terdapat korelasi yang bermakna antara pemberian ureum, terkait terjadi menyebabkan terbentuknya reactive oxygen Pembahasan Pengaruh species (ROS). Seperti yang telah banyak pemberian MSG dosis dibuktikan bahwa reseptor glutamat terdapat bertingkat terhadap kadar ureum serum pula di luar SSP1,11. Reseptor N-methyl-D- darah Tikus Wistar aspartate (NMDA) (salah satu reseptor Dari data di atas didapatkan bahwa glutamat) telah ditemukan dalam jaringan terdapat perbedaan kadar ureum antara ekstraneuronal, termasuk sel pankreas, kelompok yang bermakna dan korelasi yang saluran urogenital pria bagian bawah, ginjal, bermakna antara dosis MSG dengan kadar limfosit dan megakaryocyte. Stimulasi yang ureum. Hal ini kemungkinan terkait 2 hal, berlebihan pada reseptor NMDA inilah yang yakni akan peningkatan produksi dan atau penurunan ekskresi dari ureum. menyebabkan terbentuknya 1 ROS . peningkatan ROS merupakan Seperti yang kita ketahui, MSG akan molekul yang dapat merusak lipid, DNA, berdisosiasi menjadi sodium (Na) dan L- protein, kromosom, mitokondria, lisosom dan glutamat. L-glutamat kemudian melintasi sel membran sel1,5,9. mesotelial peritoneal menuju aliran darah Kadar ureum normal dalam darah adalah dan sebagian L-glutamat akan dikonjugasi sekitar 10-50 mg/dl (2,9 – 8,9 mmol/L), tetapi menjadi glutamine 1,10,11 . Enzim L-glutamat hal ini tergantung dari jumlah normal protein dehidrogenasememegang peranan sentral yang pada metabolisme nitrogen. Glutaminsintase pembentukan ureum. Bila ginjal rusak atau mengkonversi senyawa kurang baik fungsinya maka kadar ureum glutamine yang nontoksik untuk diangkut ke dalam darah dapat meningkat dan meracuni dalam hati. Kemudian enzim glutaminase sel-sel tubuh10,12,13,14. Namun, ureum serum hati melepaskan amonia dari glutamine untuk merupakan parameter yang kurang spesifik digunakan amonia sebagai menjadi dan fungsi hati dalam ureum , dalam menilai kerusakan ginjal dibandingkan sehingga dapat disimpulkan intake glutamat dengan kreatinin serum. Sehingga untuk yang melakukan semakin tinggi sintesis 10 dimakan tentunya akan screening dalam menilai meningkatkan produksi dari ureum. Sesuai kerusakan ginjal, kedua pemeriksaan ini baik dengan pernyataan, kadar ureum akan lebih ureum maupun kreatinin selalu dilakukan banyak pada orang-orang dengan diet tinggi secara bersamaan10,12. protein dan lebih kecil pada orang-orang dengan diet rendah protein12. 23 Pengaruh pemberian MSG dosis arginin ditransfer ke glisin pada ginjal, bertingkat terhadap kadar kreatinin serum menghasilkan guanidino acetate. Dalam hati, darah Tikus Wistar N-methylation Dari data di atas didapatkan bahwa serum Pengaruh ini kelompok. darah terlihat Hasil Tikus diubah adenosylmethionine, kemudian sebagian 15 Wistar. kreatin diubah menjadi kreatinin . Hal ini beberapa membuktikan bahwa pemberian MSG dapat ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal. pada penelitian acetate menjadi kreatin yang dikatalis enzim S- konsumsi MSG berpengaruh terhadap kadar kreatinin guanidino juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang Kadar kreatinin yang cenderung konstan bermakna antara dosis pemberian MSG dibandingkan dengan kadar kreatinin serum darah Tikus peningkatannya merupakan parameter yang Wistar. Semakin tinggi dosis MSG yang lebih spesifik dan sensitif dalam menentukan diberikan semakin rendah kadar kreatinin derajat kerusakan ginjal. Kreatinin serum ini dengan kekuatan korelasi yang lemah. kemudian meningkat dan tidak dipengaruhi perbedaan kadar BUN yang cepat oleh diet atau masukan cairan16,17. Jumlah Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan kadar kreatinin kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap yang bermakna secara signifikan antara hari lebih bergantung pada massa otot total kelompok kontrol dan kelompok perlakuan daripada 1,8 aktivitas otot atau tingkat MSG . MSG dosis tinggi yang diberikan metabolisme protein, walaupun keduanya dalam jangka waktu yang cukup lama akan juga menimbulkan efek16,17. menyebabkan peningkatkan efek toksik pada ginjal 1,11 , dikarenakan MSG Kreatinin serum merupakan parameter akan yang menyebabkan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) menunjukan akan 1,5,9 , bahwa sehingga MSG menyebabkan hal kerusakan ini untuk pada menentukan glomerulus baik itu kerusakan ginjal yang akut (acute kidney kecendrungan nefrotoksik digunakan injury) ataupun kronis apabila 10,12 . Penelitian ini juga mendapatkan bahwa 7 dikonsumsi dalam dosis yang tinggi . terjadi peningkatan rasio antara BUN dan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kreatinin, dengan nilai kreatinin yang normal kadar kreatinin serum adalah ukuran dan yang mungkin disebabkan karena terjadi massa otot, serta fungsi hati dan ginjal dalam penurunan sintesis kreatinin 10,12,15 . Ini terlihat pada protein fungsi yang ginjal berlebih. dengan intake Rasio normal kelompok perlakuan pemberian MSG, nilai BUN/kreatinin adalah 10 : 1 sampai 20 : 1. kreatinin sedikit di bawah rata-rata yang Adapun beberapa perubahan rasio dan menunjukan bahwa sudah terjadi penurunan penyebab fungsi ginjal dalam sintesis kreatinin. Seperti sebagai berikut: Peningkatan rasio (>20:1), yang disebut Koolman, J. dan Roehm, K. H. dengan (2005), kreatin (N-methylguanidoacetic acid) disebabkan karena (a) peningkatan BUN tidak hanya berasal dari otot itu sendiri, tetapi (prerenal azotemia), gagal jantung, deplesi disintesis dalam dua langkah pada ginjal dan garam, dehidrasi; (b) kerusakan jaringan; (c) hati. Awalnya, kelompok guanidine pada perdarahan GIT, (d) penurunan fungsi ginjal 24 yang nilai mendasarinya kreatinin yang adalah normal, dengan intake protein yang berlebih, 17 produksi atau kerusakan jaringan . 8. Simpulan Terdapat pengaruh pemberian MSG dengan kadar ureum kreatinin serum darah Tikus Wistar. 9. Daftar Pustaka 10. 1. Abass, M. A. dan El-Haleem, M.R.A. Evaluation of Monosodium Glutamate Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity in Adult Male Albino Rats. Journal of American Science 2011; 7(8):264-276. 2. Muchsin, R. Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamate terhadap Histologi Endometrium Mencit (Mus Musculus L); 2009. 3. U.S. Food and Drug Administration. FDA and Monosodium Glutamat(serial online) 1995. Tersedia dalam: http://www.fda.gov/opacom/backgrounde rs/msg.html. 4. Ardyanto, T. D. MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek dan Kontroversinya. Dalam Inovasi 2004; 1: 52-6. 5. Vinodini, N. A., Nayanatara, A. K., dkk. Study on Evaluation of Monosodium Glutamate Induce Oxidative Damage on Renal Tissue on Adult Wistar Rats. Dalam Journal of Chinese Clinical Medicine 2010; Volume 5 Number 3; 144-7 6. Kompas. Keamanan Monosodium Glutamat (serial online) 2011. Tersedia dalam: http://indonesia.glutamate.org/media/Kea manan_monosodium_glutamat.asp. 7. Inuwa, H.M, Aina, V.O, dkk. Determination of Nephrotoxicity and Hepatoxicity of Monosodium Glutamate (MSG) Consumption. DalamBritish 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 25 Journal of Pharmacology and Toxicology 2011;2(3): 148-153. Yousef, J.M. Study The Impacts of Monosodium Glutamate (MSG) and Extract of Green Tea (Theaceae Family) Leaves-Induced on Kidney Biochemical Functions in Rats. DalamInternational Journal of Academic Research 2011; Vol. 3. No. 3. Al – Agha, S. Histological, Histochemical and Ultrastructural Studies on the Kidney of Rats After Administration of Monosodium Glutamate 2010; 5. Murray, R. K., dkk. Harper’s Ilustrated biochemistry 26th Ed.USA: McGraw-Hill Companies, Inc; 2003. Attia, H. A.; Faddah, L. M. dan Yaqub, H. Trans-retinol Precursor and/or N-acetyl Cysteine ProtectsAgainst Monosodium Glutamte-induced Nephrotoxicity inRats. Dalam J. App. Sci. Res., 2008;4 (12): 2108-2119. Price, S.A dan Wilson, L.M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit ed.6. Jakarta: EGC; 2005. Dugdale, D.C, dkk. BUN (serial online) 2009. Tersedia dalam: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/003474.htm Dugdale, D.C., dkk. Creatinin-Blood. (serial online) 2009. Tersedia dalam: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/003475.htm. Koolman, J dan Roehm, K. H. Color Atlas of Biochemistry 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart; 1997. Doloksaribu, B. Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Kadar Ureum, Kreatinin, Dan Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Yang Dipapar Plumbu (tesis pasca sarjana), 2008. Fischbach, F. dan Dunning M. B. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test 8th ed. Philadelphia: Lippincott williams and wilkins; 2009. HINDRONEFROSIS BERAT KANAN YANG DISEBABKAN OLEH DUPLIKASI PELVIS-URETER TIPE LENGKAP DENGAN STENOSIS URETEROVESIKAL JUNCTION Ica Justitia, Pandu Ishaq Nandana Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstract Hydronephrosis defined as a dilatation of renal pelvis and calyces due to urine collection caused by 1 obstruction of the urine outflow from the renal pelvis . Hydronephrosis can be caused by congenital 2 abnormalities or acquired . Duplication of the renal pelvis and ureter is the most common congenital abnormalities in urology. In this article, we will presented a case report of a patient with severe hydronephrosis caused by duplication of the renal pelvis and ureter with stenosis of the ureterovesical junction. Keyword : Hydronephrosis, Double PCS, stenosis UVJ Abstrak Hidronefrosis adalah dilatasi kaliks dan pelvis renalis karena penumpukan urin sebagai akibat obstruksi aliran 1 2 keluar urin di distal dari pelvis renalis. Hidronefrosis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital dan didapat. 3 Duplikasi pelvis-ureter merupakan kelainan kongenital yang penting dan paling sering dibidang urologi. Pada artikel ini akan disajikan laporan kasus seorang pasien dengan hidronefrosis berat yang disebabkan oleh kelainan kongenital duplikasi pelvis-ureter dan stenosis ureterovesikal junction. Pendahuluan kedua orifisium ureter, penekanan ureter Hidronefrosis merupakan keadaan oleh tumor prostat, batu ureter bilateral, dimana kaliks dan pelvis renalis mengalami fibrosis dilatasi sebagai akibat adanya penumpukan atau retroperitoneal, serta kehamilan urine didalam kaliks atau pelvis renalis yang Duplikasi diakibatkan oleh adanya obstruksi aliran urine dibagian distalnya. retroperitoneal ginjal (pelvis) kanker 2 merupakan kelainan kongenital yang penting dan paling 2 sering dibidang urologi. Insidensinya sekitar oleh 2%.3 Secara konvensional, duplikasi ini kelainan kongenital dan didapat. Stenosis terbagi menjadi duplikasi tidak lengkap dan uretra, ureter ektopik, ureterokel, duplikasi lengkap. Duplikasi tidak lengkap jika kedua pelvis-ureter, dan stenosis ureterovesical pelvis ureter bertemu sebelum bermuara serta Hidronefrosis dapat ureteropelvic disebabkan junction merupakan pada buli-buli, sedangkan duplikasi lengkap yang umumnya jika kedua pelvis ureter bermuara pada hidronefrosis. Penyebab tempat yang berbeda.4 Kelainan ini seringkali kongenital lainnya yaitu kerusakan saraf berkaitan dengan anomali saluran kemih cabang dan lainnya seperti ureter ektopik, ureterokel, yang refluks vesikoureter, refluks uretero-ureter, hidronefrosis yang keseluruhannya dapat menyebabkan kelainan kongenital menyebabkan lumbal mielomeningokel. umumnya pada spina Kelainan menyebabkan bifida didapat hidronefrosis.3 adaklah batu ureter, namun jika didapatkan hidronefrosis bilateral, maka harus dipikirkan Pada artikel ini akan disajikan laporan juga kemungkinan adanya striktur uretra, kasus seorang pasien dengan hidronefrosis hiperplasia prostat jinak atau karsinoma yang disebabkan oleh kelainan kongenital prostat, tumor buli-buli yang melibatkan duplikasi pelvis-ureter. 26 Laporan Kasus nyeri ketok costovertebrae angle (CVA). Seorang wanita, 23 tahun, mengeluhkan Hasil pemeriksaan darah lengkap (DL) bengkak dan nyeri pada perut kanan atas normal, begitu pula dengan parameter kimia sejak +2 bulan yang lalu. Awalnya bengkak klinik, khususnya kadar ureum dan kreatinin dirasakan sejak + 7 tahun yang lalu dan plasma. Pada urinalisis didapatkan hasil semakin lama semakin membesar. Tidak ada leukosit penuh/lpb, eritrosit >20/lpb, epitel 10- keluhan 15/lpb, dan proteinuria +1. terkait jumlah maupun kualitas buang air kecil (BAK). Tidak ada riwayat Selanjutnya pasien demam berulang ataupun BAK keluar batu, pemeriksaan pasir, maupun darah. didapatkan hasil hidronefrosis berat ginjal Pemeriksaan fisik CT-scan menjalani abdomen dan menunjukkan kanan dengan megaureter kanan suspek peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg), kongenital (gambar 1), tidak didapatkan pada regio kostovertebrae tampak sisi kanan urolitiasis maupun massa. mengembung dan ballotement positif dan A. Potongan koronal. C. Potongan sagital. B. Potongan transversal. Gambar 1. CT-scan abdomen menunjukkan hidronefrosis dan megaureter ginjal kanan dengan ginjal kiri tampak normal. Penderita kemudian menjalani operasi eksplorasi flank kanan. Saat tidak berdarah. Selain itu didapatkan pula operasi duplikasi ureter mulai pelvis renaliskanan, didapatkan hidronefrosis berat ginjal kanan sampai ureter distal kanan, dan dari sondase dengan volume urin yang tertampung 3100 ke distal didapatkan stenosis pada muara ml, jernih. Parenkim ginjal sangat tipis dan kedua ureter tersebut di buli. 27 (gambar 2 dan 3). Gambar 2. Tampak ginjal kanan yang membesar dengan dobel ureter Gambar 3. Tampak dobel ureter kanan Pembahasan Duplikasi Pasien dengan duplikasi pelvis-ureter merupakan biasanya asimptomatik. Gejala klinis yang kelainan kongenital yang penting dan paling muncul biasanya terkait komplikasi yang sering di bidang urologi. Insidensinya sekitar timbul, 3 2% pelvis-ureter seperti infeksi saluran kemih, atau sekitar 1:250 dari bayi lahir hidronefrosis, bahkan hingga gagal ginjal. hidup,terkait autosomal dominan, dan dua Pada duplikasi tipe tidak lengkap, aliran kali ureter wanita lebih sering ditemukan pada 4,5,6 pada saluran yang satu akan .Secara konvensional, duplikasi ini menimbulkan refluks pada ureter yang lain terbagi menjadi duplikasi tidak lengkap dan (refluks uretero-ureter atau fenomena Yo-Yo) lengkap. Duplikasi tidak lengkap jika kedua sehingga pelvis ureter bertemu sebelum bermuara hidroureter. Sedangkan hidronefrosis pada pada buli-buli, sedangkan duplikasi lengkap tipe jika kedua pelvis ureter bermuara pada disebabkan oleh obstruksi atau stenosis 4 muara ureter dari ginjal kutub kranial dan tempat yang berbeda. timbul duplikasi hidronefrosis lengkap dan hidronefrosis refluks vesiko ureter yang sering timbul pada 28 ureter dari ginjal kutub kaudal.4 Duplikasi ginjal pada satu segmen buruk dilakukan pelvis-ureter berkaitan dengan heminefrektomi yaitu membuang kutub ginjal anomali saluran kemih lainnya seperti ureter yang rusak dengan mempertahankan yang ektopik, vesikoureter, masih baik. Namun jika fungsi ginjal masih refluks uretero-ureter, yang keseluruhannya baik, dilakukan neoimplantasi ureter dengan seringkali ureterokel, refluks dapat menyebabkan hidronefrosis. 3,5 memindahkan muara ureter ke buli-buli.4,5 Pemeriksaan pielografi intravena (PIV) Kesimpulan dapat menunjukkan adanya duplikasi ureter 4 yang lengkap ataupun tidak. Ginjal normal Hidronefrosis dapat disebabkan oleh tampak memiliki 9,4 kaliks, sedangkan ginjal kelainan kongenital duplikasi ginjal pelvis- dengan duplikasi memiliki 11,3 kaliks, polus ureter Pasien dengan duplikasi pelvis-ureter kranial memiliki 3,7 kaliks dan polus kaudal biasanya asimptomatik. Gejala klinis yang 6 7,6 kaliks. Pada beberapa kasus yang sulit muncul biasanya terkait komplikasi yang pemeriksaan timbul. Pada kasus, pasien mengeluhkan retrograd pielografi mungkin Pielogragi antegrad dapat antegrad hidronefrosis dan membantu. pada menunjukkan sistografi informasi mengenai vesikoureter. 6 pembengkakan pasien miksi pada perut/pinggang. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk keberadaan mengevaluasi kelainan anatomi yang 7 mungkin ada dan komlikasi yang mungkin memberi timbul. Penatalaksanaannya tergantung pada refluks keluhan, kelainan anatomi, dan komplikasi ureter kedua dan batas terminasi ureter. Pemeriksaan 3 anatomi yang terjadi. Jika fungsi ginjal buruk dapat Pemeriksaan yang lebih superior, yaitu dilakukan nefrektomi. computed tomography (CT) scanning. CTscan digunakan untuk Referensi mengevaluasi ureterokel intravesika, ureter ektopik, lokasi obstruksi dan hidronefrosis. Penting parenkim ginjal 1. Dennis G.L. Hydronephrosis and Hydroureter. Available from http://www.emedicine.medscape.com/art icle/436259-overview. 2011 2. Tanagho, A.E.Smith’s General Urology : Urinary Obstruction and Stasis. McGraw-Hill: New York. 17th ed : 166, 2010 3. T.M. Wah, M.J. Weston, and H.C. Irving. Case Report: Lower Moiety PelvicUreteric Junction Obstruction (PUJO) of the Duplex Kidney Presenting with Pyonephrosis in Adults. The British Journal of Radiology, 76 : 902-912, 2003 4. Purnomo, B.B. Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto Jakarta. 2nd ed : 128-135 , 2003 5. Kogan, B.A. Smith’s General Urology : Disorder of The Ureter and Ureteropelvic Junction. McGraw-Hill: New York. 17th ed : 559-560, 2010 pada 7 pada kondisi ini adalah mengetahui komplikasi yang sudah terjadi, misalnya ada atau tidaknya infeksi saluran kemih berulang, piuria, viabilitas ginjal, batu yang terbentuk sebagai akibat adanya stasis urine, dan lain-lain, karena akan mempengaruhi penatalaksanaan. Penatalaksanaan duplikasi pelvis-ureter tergantung pada keluhan, kelainan anatomi, dan komplikasi hidronefrosis mungkin yang akibat diperlukan terjadi. fenomena pieloplasti Pada Yo-Yo dengan membuang salah satu ureter. Jika fungsi 29 6. Taghizadeh, A.K. Duplex Kidney, Ureteroceles and Ectopic Ureters. Available from http://www.pediatricurologybook.com/du plex-kidney.html, 2011 7. Khan, A.N. Duplicating Collecting System Imaging. Available from http:// http://www.emedicine.medscape.com/art icle/378075-overview. 2011 30 PENGGUNAAN ANESTESI REGIONAL PADA KASUS TRAUMA Erwin Kresnoadi Bagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Provinsi NTB Abstrak Tehnik anestesi regional digunakan pada pasien trauma saat di ruang operasi sebagai bagian dari prosedur tindakan anestesi atau sebagai kontrol nyeri pasca operasi. Tehnik ini menawarkan kontrol nyeri yang lebih baik, meminimalisir penggunaan jumlah obat-obatan anestesi dan analgesia intravena yang digunakan sebagai kontrol nyeri, mempercepat masa pemulihan, mengurangi penggunaan ruang perawatan intensif (intensive care unit) dan lama rawat inap, meningkatkan fungsi jantung paru, menurunkan kejadian infeksi dan respon neuroendokrin akibat stress, serta mengembalikan fungsi sistem pencernaan lebih cepat. Kekurangan dari metode analgesia regional adalah prosedur pelaksanaanya yang rumit dan diperlukan pelatihan dalam melakukan tehnik tersebut agar tercapai keahlian dalam tehnik analgesia regional. Kata kunci : tehnik anestesi regional, prosedur tindakan anestesi, kontrol nyeri pasca operasi. Pendahuluan yang lebih baik dibandingkan dengan Anestesi regional merupakan salah satu anestesi intravena, tidak hanya di fase metode yang digunakan untuk memberikan preoperatif namun juga pada fase akut pada efek analgesia pada pasien baik selama pasien traumatik serta selama perjalanan operasi menuju rumah sakit. Dokter anestesi memiliki berlangsung maupun setelah operasi. Anestesi regional memiliki beberapa pengalaman keuntungan, seperti yang diperlihatkan di penggunaan tehnik regional serta mereka bidang kemiliteran terbaru bahwa tehnik mampu menggunakan anestesi regional di anestesi regional tidak hanya digunakan luar ruang operasi dan tatalaksana awal pada kasus-kasus yang berada di tingkat pada pasien traumatik.1 prehospital maupun di unit gawat darurat. Tehnik anestesi regional paling yang lebih baik mengenai Penggunaan kokain sebagai blok pleksus sering brachialis pada operasi, pertama kali digunakan pada pasien trauma adalah pada dilakukan di tahun 1884 oleh Crile. Blok saat di ruang operasi sebagai bagian dari perkutaneus pertama kali dilakukan pada prosedur tindakan anestesi atau sebagai tahun 1911 oleh Hirschel dan di tahun yang kontrol nyeri pasca operasi. sama oleh Kuflenkampf.2,3 Pada tahun 1884, Sementara itu, tehnik infiltrasi maupun Corning menampilkan anestesi epidural yang tehnik blok saraf tunggal (single nerve block) pertama merupakan tehnik yang sering digunakan tindakannya di New York Medical Journal oleh dokter bedah atau dokter umum di pada tahun 1885.4 Pada tahun 1898, Bier ruang gawat darurat pada fase preoperatif. (1861-1949) Untuk tehnik anestesi yang lebih canggih (1868-1954) menampilkan anestesi spinal seperti tehnik blok plexus (plexus block pertama dan mempublikasikan pengalaman procedure) pribadinya setelah melakukan percobaan atau pemasangan kateter dan mempublikasikan dan residennya prosedur Hildebrand regional (regional catheter placements) lebih diantara mereka secara bergantian umum digunakan oleh dokter anestesi pada ahli tersebut sempat mengalami nyeri kepala saat yang berat setelah melakukan percobaan operasi atau kontrol nyeri pasca operasi. Tehnik ini memberikan keuntungan tersebut 31 sehingga Bier merasa Kedua pesimis terhadap prospek penggunaan anestesi dan respon neuroendokrin akibat stress, spinal dan hingga bertahun-tahun lamanya sebelum pada fungsi 8 sistem pencernaan lebih cepat. tehnik regional tidak hanya memiliki efek analgesia regional anestesi. Pada tahun 1908, Bier yang sangat baik namun juga tidak memiliki menjelaskan tentang anestesi lokal melalui efek sedasi sehingga akan lebih mudah injeksi intravena, yang disebut sebagai Bier mengawasi status mental pasien terutama menjadi anestesi mengembalikan spinal berkembang akhirnya serta salah satu 5 block. 6 Tehnik anestesi Banyak dari tehnik anestesi pada pada pasien yang mengalami cedera kepala. jaman lampau masih digunakan hingga saat Walaupun demikian, tehnik anestesi regional ini dan seringkali dikombinasikan dengan sampai saat ini masih jarang digunakan pada tehnik atau obat terbaru saat ini. kasus-kasus trauma terutama pada cedera Anestesi regional terbaru membolehkan yang bersifat akut. 9 penggunaan obat anestesi jangka panjang Satu penelitian melaporkan bahwa hampir (long-acting) atau jangka pendek (short- 36 % pasien dengan fraktur panggul akut di acting) tergantung dari kebutuhan waktu ruang gawat darurat tidak mendapatkan yang diinginkan untuk meredakan nyeri. tindakan Pengenalan jarum dan kateter khusus yang diantaranya dipertimbangkan untuk dilakukan digunakan regional blok saraf regional.10,11 Dibandingkan dengan dilakukan di akhir abad ke-19 dan awal abad pasien bedah elektif, dimana kebutuhan akan ke-20 dan tehnik terbaru yang lebih canggih analgesia meliputi stimulasi saraf (nerve stimulation) perioperatif, dan ultrasonography guidance, membantu traumatik selama fase akut membutuhkan pada dokter anestesi dalam melakukan pemantauan yang ketat dan pengelolaan anestesi regional dan meningkatkan presisi nyeri di tingkat pra-rumah sakit atau di lokasi serta keamanan pada penggunaan tehnik peperangan selama perjalanan ke rumah blok saraf perifer dan neuroaksial pada sakitserta selama perawatan selanjutnya di untuk blok saraf pasien yang mengalami nyeri akut. 7 operasi didapatkan beberapa pada sebaliknya periode pada pasien (ICU). kontrol nyeri yang lebih baik dan umum selama dan ruang operasi dan unit perawatan intensif Tehnik anestesi regional menawarkan digunakan analgesia Tingkat stress dan respon inflamasi pada berlangsung pasien trauma lebih tinggi dibandingkan maupun post operasi, penggunaan tehnik dengan pasien bedah elektif. Selain itu, meminimalisir obat- pasien trauma sangat bervariasi tergantung obatan anestesi dan analgesia intravena pada jumlah serta tingkat keparahan dari yang digunakan sebagai kontrol nyeri. Selain luka itu, hasil penelitian didapatkan bahwa tehnik berpengaruh anestesi kesadaran, penggunaan regional jumlah mempercepat masa yang dialaminya pada yang akan bervariasinya tingkat pernapasan, dan stabilitas pemulihan, mengurangi penggunaan ruang hemodinamik pada masing-masing pasien, perawatan intensif (intensive care unit) dan dimana hal-hal tersebut dapat diperburuk lama dengan rawat inap, meningkatkan fungsi jantung paru, menurunkan kejadian infeksi parenteral. 32 pemberian 8 obat analgesik Pengalaman sebelumnya mengenai dengan kondisi stabil, nyaman, dan pasien perawatan prajurit militer yang terluka di sadar sehingga kebutuhan akan pegawai daerah konflik baru-baru ini mengarah pada yang bertugas 11 mengawasi bisa penggunaan tehnik anestesi regional untuk dikurangi. mendapatkan efek analgesia dan anestesia pengalaman yang di dapatkan dari medan stadium operasi. memiliki peran 7,12,13 Dokter penting Literatur pasien terbaru dari anestesi pertempuran bahwa penggunaan anestesi hal regional sebagai terapi awal pada korban dalam ini bersama-sama dengan dokter bedah dan trauma dokter keselamatan korban dan mengurangi nyeri di ruang gawat darurat untuk mampu dan tepat baik selama perjalanan menuju rumah memiliki keuntungan sakit. Pengalaman ini, diperkuat dengan hasil sebagai penelitian tentang penggunaan tehnik blok Penggunaan anestesi regional lebih awal saraf yang pada kasus cedera ekstremitas memiliki menyatakan bahwa penggunaan anestesi keuntungan jangka panjang yaitu dapat regional lebih efektif dalam penanganan mengurangi insidensi terjadinya nyeri kronis pasien-pasien akibat ruang gawat trauma menggunakan intravena. darurat akut dibandingkan regimen opioid cidera kontrol lainnya. tingkat memberikan pengobatan yang aman dan di komplikasi meningkatkan jangka nyeri sequelae, pendek. causalgia gangguan stress pasca trauma. 10,11,14 pendekyaitu jangka seperti Selain dan 13 Teknik anestesi regional yang digunakan sebagai kontrol nyeri sebelum operasi dapat Analgesia regional pada fase awal trauma juga digunakan pada tingkat pra rumah sakit Salah satu manfaat dari penggunaan atau ruang gawat darurat, anestesi regional adalah untuk mengurangi penggunaannya penggunaan obat opioid intravena sebagai pengawasan yang adekuat, baik dari segi terapi nyeri yang adekuat. Penggunaan blok peralatan maupun penyedia layanan. Tidak saraf perifer, membutuhkan obat anestesi semua lokal dengan masa kerja lama namun digunakan pada tingkat pra-rumah sakit atau dengan onset tehnik harus namun regional mendapatkan anestesi sesuai yang cepat sehingga pada ruang gawat darurat dan tidak semua respon stress terhadap penyedia layanan kesehatan terlatih maupun mengurangi berpengalaman dalam menggunakan tehnik terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat anestesi regional. Terutama tehnik anestesi efek samping dari penggunaan opioid seperti neuroaksial depresi pernapasan, peningkatan sedasi, thoracic epidural catheters) yang umum meminimalisir kerusakan jaringan dan pruritus, dan rasa mual. 8 seperti CTEC (continuous digunakan pada operasi regio abdomen atau Keuntungan lainnya dari penggunaan blok fraktur costae, dimana dapat terjadi saraf perifer di tingkat prehospital meliputi komplikasi yang serius seperti hipotensi dan keamanan dalam transportasi menuju rumah cedera medula spinalis. sakit, mengurangi kebutuhan akan Penggunaan tehnik ini sangat bergantung kasus-kasus korban pada keahlian dan staffing model di ruang trauma yang bersifat massal, atau korban gawat darurat. Blok ekstremitas di sisi lain pengawasan pada 33 seringkali mudah dilakukan, walaupun tanpa maupun sindrom adanya USG maupun stimulasi saraf, dan Menurut pengalaman memiliki risiko terjadinya hipotensi atau terdahulu sampai dengan saat ini, para ahli komplikasi Fraktur di Eropa telah menjelaskan prosedur blok costae dan fraktur ekstremitas bagian bawah saraf tunggal yang dilakukan di medan seringkali kita temui di unit gawat darurat. pertempuran oleh dokter yang bekerja di Jenis cedera seperti ini juga relatif mudah tingkat pra rumah sakit dan dokter anestesi untuk ditangani dengan tehnik anestesi yang bekerja di tempat kejadian dan selama regional. telah transportasi menuju rumah sakit. Injeksi membandingkan tehnik anestesi regional tunggal pada blok saraf femoral dilakukan dengan pemakaian opioid di unit gawat pada pasien dengan nyeri lutut setelah darurat dan penanganan awal dirumah sakit. mengalami Kelayakan digunakannya tehnik kateter blok memberikan efek analgesia yang efektif dan saraf block membantu dalam proses transportasi. Barker catheter) untuk efek jangka panjang juga et al. meneliti efek dari pemberian blok saraf telah diteliti.14 femoral single-shot dibandingkan dengan yang relatif Beberapa kontinyu rendah. penelitian (continous nerve nyeri kronis di trauma lainnya. bidang terbukti militer mampu analgesia intravena yaitu metamizole yang Cedera panggul dan ekstremitas bawah Buckenmaier et al. diberikan sebelum rawat inap. Penelitian ini mengilustrasikan memperlihatkan blok saraf femoral kelebihan blok saraf perifer pada tatalaksana memberikan efek anti nyeri lebih awal dan nyeri yang berkepanjangan dan intervensi menekan respon saraf simpatis. pada kasus bedah berulang seperti yang dilaporkan pada penggunaan Penggunaan blok saraf femoral oleh continous dokter yang berpengalaman merupakan lumbar plexus dan sciatic nerve catheters tehnik yang aman, mudah dilakukan, dan pada menyebabkan keterlambatan pengahantaran seorang tentara yang mengalami akibat yang minimal.11 Merujuk pada keamanan dan peperangan. Kemampuan obat anestesi lokal kemudahan dalam mengidentifikasi lokasi dalam dan anatomi sekitar saraf femoralis, beberapa analgesik pada pemberian lewat lumbar dan penelitian telah mendapatkan keuntungan kateter evakuasi dari tehnik blok saraf femoralis atau blok hingga menjalani perawatan di rumah sakit kompartemen fascia iliaca yang dilakukan di selama dalam ruang gawat darurat. Kedua tehnik blok saraf mengontrol nyeri dan menghindari risiko ini mudah untuk dilakukan dan telah terbukti yang terkait dengan paparan opioid dosis efektif meredakan nyeri pada kasus fraktur tinggi, anestesi umum, dan blok saraf yang collum femoris dan fraktur pelvis. Nyeri akut cedera pada ekstremitas memberikan sciatic berulang. 16 efek selama hari bawah anestesi proses sangat baik 12 yang timbul pada fraktur femur diketahui Walaupun pada akhirnya harus dilakukan sebagai salah satu yang fraktur.15 menyakitkan pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri Penggunaan blok saraf pada pasien tersebut tungkai memberikan efek analgesia yang lebih cepat (phantom limb pain) 34 kasus-kasus sangat amputasi pada ekstremitas yang cedera, bayangan dari nyeri dan meningkatkan kepuasan pasien jika membandingkan dibandingkan pemberian morfin intramuskular pada pasien dengan pemberian parenteral maupun intramuskular. opioid 14, 16 femoral secara dengan dari penelitian ini menunjukkan bahwa mampu penerima FICB memiliki efek analgesia yang mengurangi nyeri akut pada fraktur femoris lebih tinggi baik pada saat istirahat maupan distal jika dibandingkan dengan pemberian pada saat pergerakan dinamis mengangkat opioid intravena. Lima puluh empat pasien kaki setinggi 15 derajat. Selain itu, FICB telah mendapatkan terapi blok saraf perifer yang secara membutuhkan acak. signifikan FICB yang mengalami fraktur panggul akut. Hasil Mutty et al. telah mendemonstrasikan blok saraf efek Masing-masing pasien dilakukan oleh waktu dokter anestesi rata-rata 4 menit. mengalami penurunan rasa nyeri sekitar 3,6 Kemudian dari penelitian tersebut diketahui poin dibandingkan dengan pemberian anti tidak ada efek samping dari penggunaan nyeri FICB intravena hydromorphone. Hasil tersebut didapatkan setelah lima menit awal perlakuan. 16 sedangkan pada kelompok morfinmemiliki kecenderungan untuk terjadi Penelitian yang sama dilakukan penurunan saturasi oksigen pada 60 dan 180 oleh Wathen et al. yang membandingkan menit efek analgesia dari tehnik fascia iliaca meskipun suplemen oksigen. telah mendapatkan 10 compartment nerve block (FICB) dengan Cedera ekstremitas atas dan bahu pemberian injeksi morphine intravena pada pasien anak-anak yang mengalami fraktur Blok regional pleksus brachialis pada femur akut yang dilakukan di unit gawat bedah ekstremitas atas memberi efek pereda darurat. Penelitian ini memperkuat penelitian- nyeri yang baik pada fase pr operatif. penelitian kecil Pleksus brachialis dapat di blok melalui sebelumnya tentang efikasi dari penggunaan berbagai pendekatan yang berbeda, yaitu metode blok saraf femoral (femoral nerve pendekatan blockade). Selain itu, dari pihak dokter, infraklavikula (infraclavicular approach), dan perawat, orang tua, dan pasien menunjukkan interskalenus tingkat kepuasan yang lebih tinggi pada Keistimewaan anestesi regional dosis rendah kelompok yang diintervensi dengan metode adalah secara poten menurunkan risiko FICB. serupa dalam skala 14 aksial (axially (interscalene approach), approach). toksisitas dari obat anestesi lokal dan dapat Stewart et al. menjelaskan mengenai digunakan untuk durasi yang lebih singkat prosedur pelaksanaan blok saraf femoral atau yang dilakukan oleh dokter gawat darurat intensitas lebih ringan seperti prosedur- meliputi pemasangan continuous catheters prosedur tatalaksana di unit gawat darurat. pada 40 pasien pediatrik yang mengalami Pada penelitian prospektif yang dilakukan 17 pada tatalaksana nyeri dengan Salah satu kekurangan dari oleh O’Donnell et al. membandingkan blok studi ini adalah adanya potensi bias yang aksiler yang menggunakan penuntun USG bersifat subjektif baik dari pihak pasien dan dosis rendah (low-dose ultrasound-guided peneliti. Pada penelitian yang lebih lanjut, axillary blocks) dengan anestesi umum pada Foss et al. melakukan penelitian yang pasien fraktir femur. 35 yang akan menjalani operasi ekstremitas atas di kamar operasi. Saat yang diberikan sedasi (177,3 ± 37,9 menit) dibandingkan dengan yang menggunakan dibandingkan anestesi umum, pasien yang menerima low- anestesi regional (100,3 ± 28,2 menit). Rata- dose blocks rata waktu yang dibutuhkan dokter untuk experienced mendapat anestesi yang sangat mengevaluasi satu pasien pada kelompok baik, analgesia yang kuat, dan penurunan yang diberikan sedasi adalah 47,1 (±9,8) penggunaan masa menit dan 5 (±0.7) menit pada kelompok penyembuhan yang lebih singkat di rumah yang diberikan anestesi regional. Serta tidak sakit dan dapat menjalani rawat jalan lebih satupun dari kelompok anestesi regional awal. ultrasound-guided opioid, axillary serta 18 kelompok yang diberikan mendapatkan obat analgesik tambahan.19 Kasus cedera lainnya yang sering ditemui Fraktur costae (patah tulang iga) di unit gawat darurat adalah dislokasi sendi ekstremitas atas yaitu dislokasi bahu dan Fraktur costae merupakan kasus yang siku. Dislokasi bahu, pada umumnya sering sering membutuhkan untuk Dimana fraktur ini menimbulkan nyeri yang memberikan efek relaksasi karena sedasi sangat hebat dan pasien yang mengalami ringan tidak memberikan relaksasi terhadap patah tulang iga lebih dari tiga memiliki risiko ketegangan otot atau kontrol nyeri. Sedasi yang lebih tinggi terkena komplikasi pada sedang atau dalammemerlukan pasien untuk organ paru. Nyeri yang ditimbulkan dapat berpuasa terlebih dahulu sehingga butuh mengganggu pernapasan dan kemampuan waktu yang lebih lama di ruang gawat membersihkan sekret dari saluran napas darurat. Blok interskalenus memberikan efek sehingga pereda nyeri yang sangat baik serta relaksasi atelektasis dan hipoksia. Tidak kurang dari otot. Pada tehnik tersebut dimana bahu sepertiga mendapatkan inervasi saraf dari trunkus nosokomial dan tingkat kematian akibat flail superior dan medius yang dekat dengan kulit chest meningkat sampai dengan 16 %. melalui alur skalenus. yang Tatalaksana umum terjadi pada tidak secara sedasi dalam Kegagalan metode ini diakibatkan oleh trauma menyebabkan kasus terjadinya mengalami pada umum kasus meliputi tumpul. pneumonia fraktur costae kontrol nyeri, memberikan efek anestesi pada seluruh fisioterapi pernapasan, dan mobilisasi. Pada pleksus panduan brachialis yaitu bagian trunkus tatalaksana nyeri pada kasus inferior yang dibentuk oleh nervus C7 and trauma tumpul dinding dada T1, dimana bagian tersebut tidak berperan merekomendasikan penggunaan anestesi penting dalam relaksasi pada dislokasi bahu. epidural sebagai tehnik analgesia pilihan Blaivas et al. melakukakn penelitian yang mampu mengatasi pada kasus secara terhadap 42 pasien yang diberikan sedasi optimal, menggunakan etomidate atau dengan blok kontraindikasi. interskalenus dengan penuntun USG yang epidural thorakal pada keadaan tersebut dilakukan oleh dokter ruang gawat darurat. bermanfaat Lama tinggal pasien di unit gawat darurat kapasitas vital paru pada pasien dengan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok napas 36 kecuali nyeri Pemasangan anestesi melipatgandakan spontan, mengurangi dengan fungsi pernapasan paradoksikal pada segmen yang terganggu, dengan risiko terjadinya infeksi, cedera saraf, dan dan risiko prosedur yang lebih spesifik mencegah penggunaan efek opioid samping narkotik dari seperti seperti somnolen, depresi pernapasan, dan gejala gastrointestinal. Bulger penggunaan keracunan 20 et cedera vaskular, anestesi kemungkinan al. menunjukkan analgesia epidural bahwa pneumothorax, lokal, infeksi terjadinya atau sindroma kompartemen (compartment syndrome) pada thorakal kasus trauma ekstermitas. berkaitan dengan penurunan rasio terjadinya Sementara itu, untuk beberapa pasien pneumonia nosokomial dan menurunkan dengan cedera ekstremitas multipel yang kebutuhan akan ventilasi mekanik. Penelitian luas memerlukan tehnik continuous catheter, prospektif yang dilakukannya meliputi 458 dan seringkali pasien tersebut memerlukan kasus trauma tumpul thoraks. Pada pasien obat analgesik dan sedasi sistemik dimana dengan tiga, pemberian obat-obatan sistemik ini lebih rata-rata beralasan dibandingkan penggunaan anstesi membutuhkan ventilator sebanyak 7,6 hari regional dalam beberapa kasus. Meskipun dibandingkan kelompok opioid sistemik yang banyak manfaat yang didapatkan dari tehnik membutuhkan 9,1 hari. Jika ditambahkan analgesia pada pasien dengan cedera paru, risiko teknik ini sering tidak dianggap kurang baik terjadinya pneumonia meningkat enam kali atau dianggap tidak cocok digunakan karena dibandingkan fraktur kelompok costae analgesia dari epidural regional, namun pemanfaatan kelompok epidural. adanya potensi risiko atau efek samping dari kelebihan-kelebihan tersebut penggunaan tehnik ini. Kekurangan dari hanya 22 % pasien yang mendapatkan tehnik ini lebih sering dikarenakan kurangnya analgesia pelatihan Disamping infeksi, epidural koagulopati, instabilitas eksklusi. pada lebih 21 dikarenakan fraktur hemodinamik adanya spinal sebagai atau kurangnya pengetahuan dan tentang teknik anestesi regional oleh para kriteria staf medis di fase pra-rumah sakit dan di Tatalaksana nyeri lainnya sebagai ruang gawat darurat. alternatif anestesi epidural thorakal meliputi blok saraf paravertebralis Sindroma (paravertebral (intercostal nerve injections), dan kateter Trauma ekstremitas dapat menyebabkan intrapleura (intrapleural catheters). terjadinya sindroma kompartemen dimana terjadi Keterbatasan tehnik analgesia regional dari metode (Compartment syndrome) nerve blocks), injeksi saraf intercostalis Kekurangan kompartemen analgesia pembengkakan peningkatan tekanan kompartemen otot juga (edema) dan jaringan otot, menyebabkan regional adalah prosedur pelaksanaanya penurunan sirkulasi, iskemia dan nekrosis yang rumit dan diperlukan pelatihan serta otot yang luas. Salah satu gejala yang terjadi pengulangan pada dalam melakukan tehnik sindroma kompartemen tersebut agar tercapai keahlian dalam tehnik meningkatnya analgesia regional peningkatan rasa nyeri tidak selalu sebagai merupakan prosedur yang bersifat invasif penanda adanya sindroma kompartemen, regional. Anestesi 37 rasa nyeri. adalah Meskipun namun penatalaksanaan nyeri yang merupakan hal penting dalammenegakkan dilakukan pada fase postoperatif terutama diagnosis penggunaan dapat terlepas dari keadaan analgesia yang dialami sehingga pasien.23 Hal yang sama ditemukan oleh diagnosis. Cometa et al., yang menjelaskan mengenai anestesi menghilangkan regional gejalanya menyebabkan keterlambatan awal sindrom Keterlambatan diagnosis dan terapi pada kasus sindroma kompartemen yang terjadi pada sebelumnya trauma dapat regional kontinyu. Pasien kehilangan rasa menyebabkan komplikasi yang lebih parah nyeri secara utuh dengan pemberian blok seperti akibat saraf perifer kemudian mengeluhkan nyeri rhabdomiolisis, dan aritmia jantung. Risiko yang sangat hebat pada hari kedua pasca tersebut lebih tinggi pada pasien yang operasi meskipun telah mendapat blok saraf mengalami fraktur plateau tibia, fraktur akibat yang efektif dan terapi opioid oral. Diagnosis tubrukan (crush prolonged sindroma kompartemen telah ditegakkan dan extrication. 15 Fraktur collum femoralis dan telah diterapi. Sindrom kompartemen dapat fraktur ankle termasuk fraktur yang jarang didiagnosis pada pasien yang menggunakan menimbulkan orthopedi tulang amputasi, panjang gagal injury), ginjal dan kompartemen menggunakan yang analgesia pada cedera anestesi regional yang efektif dan evaluasi timbul akibat klinis serta tingkat kewaspadaan yang tinggi peregangan pasif pada kompartemen yang sangat berperan penting pada saat diagnosis terkena dapat diduga sebagai gejala awal ditegakkan. timbulnya yang penting mengenal risiko akan sindroma menurunnya kompartemen dan penatalaksanaan sesuai orthopedi. komplikasi sindroma kompartemen, Nyeri yang sindroma akan kompartemen, mengakibatkan Sehingga hal ini sangatlah dengan penyebab.24 penggunaan tehnik anestesi regional lanjutan pada pasien lainnya. Terdapat banyak laporan Cedera mengenai mendapatkan analgesia regional terutama Para pada penggunaan tehnik subarachnoid dan epidural. dan komplikasi tehnik anestesi regional terlambatnya diagnosis pada pasien yang 22 saraf praktisi yang terlibat dalam penanganan pasien trauma akut selaiknya Sama halnya dengan pasien yang selalu waspada akan potensi terjadinya menggunakan opioid. Dari hasil analisis komplikasi dan efek samping dari tehnik kasus anestesi regional. Komplikasi yang tidak tersebut, penulis berkesimpulan bahwa penyebab yang paling utama dari selalu muncul keterlambatan cedera saraf, kompartemen diagnosis adalah sindroma dan meliputi injeksi infeksi, intravaskular. dalam Cedera saraf perifer merupakan komplikasi menilai efek analgesia dan semua hal yang yang jarang terjadi pada anestesi regional. berhubungan dengan efek analgesia juga Auroy et al. melaporkan sebanyak dua kasus saling keterlambatan cedera saraf dan satu kasus kejang dari diagnosis. Tingkat kecurigaan yang tinggi, 11.024 kasus blok pleksus aksiler. Dari 3.459 proses pelaksanaan blok interskalenus, terdapat terkait dengan penilaian pengukuran kekeliruan tersebut keadaan tekanan pasien, dan kompartemen satu 38 kasus yang dilaporkan mengalami cedera saraf permanen. Tidak ditemukan trauma langsung oleh jarum suntik pada adanya gagal serabut saraf dapat dikurangi dengan adanya napas, atau kematian dari 23.784 orang USG sebagai penuntun seperti pada FICB. pasien yang mendapat Meskipun obat anestesi lokal dosis tinggi komplikasi ekstremitas atas. henti jantung, blok regional saraf 25 berakibat toksik bagi saraf, namun jika masih Toksisitas dari obat anestesi lokal menjadi dalam dosis terapi obat anestesi lokal sangat aman digunakan.8 perhatian dari pelaksanaan tehnik anestesi regional, terutama pada penggunaan obat Implikasi pada aspek medikolegal juga anestesi lokal dalam jumlah besar. Insidensi harus terjadinya komplikasi tersebut sangat jarang simpatektomi dari penggunaan blok saraf dan dapat dicegah melalui penggunaan perifer adalah peningkatan aliran darah pada tehnik rendah. ekstremitas O’Donnell et al. telah menunjukkan efek bermanfaat penghilang rasa sakit yang baik pada pasien vaskularyang ada pada ekstremitas yang yang akan menjalani operasi bedah trauma mengalami ekstremitas atas dimana digunakan anestesi keamanan dari blok saraf perifer yang lokal dikombinasikan anestesi dosis brachialis regional rendah aksiler. 18 dosis pada blok Walaupun pleksus mendapatkan yang perhatian. dibius dan memperbaiki cedera. Efek terbukti kerusakan Meskipun dengan tingkat penuntun USG demikian, semakin banyak digunakan, potensi risiko penggunaan opioid dalam jumlah besar juga toksisitas dari obat anestesi lokal tidak dapat memiliki risiko tersendiri, seperti depresi diminimalisir. pernapasan, merekomendasikan sedasi yang dalam, dan ASRA dan ASA kemampuan dibutuhkan alat pelindung jalan napas dan pengawasan yang lebih adekuat, seperti ventilasi perjalanan. oksimetri (pulse oxymetri), tekanan darah, Keengganan para praktisi untuk melakukan dan EKG disertai dengan persiapan yang teknik anestesi regional dalam perjalanan sama baiknya dengan peralatan resusitasi sebagai terapi awal pada kasus trauma yang lengkap dan obat-obatan yang tepat dipengaruhi juga oleh adanya ketakutan sebagai bagian dari keamanan prosedur saat praktisi jika sampai mencederai saraf. dilakukan tehnik anestesi regional. selama Adanya dalam kerusakan merupakan saraf kontraindikasi sebelumnya relatif Koagulopati dan antikoagulan untuk dilakukannya tehnik neuraxial dan blok saraf Pemberian antikoagulan perifer sesuai dengan panduan yang dibuat pembedahan oleh Regional setelah pembedahan dan banyak pasien terhadap yang American Anesthesia Society (ASRA). of Penilaian merupakan setelah mendapat terapi terapi standar koagulan atau adanya cedera yang luas dan gangguan trombolitik bahkan sebelum pembedahan neurovaskular pada pasien trauma akut dilakukan. Hal ini menyebabkan perdarahan menjadi merupakan yang signifikan selama prosedur anestesi tantangan tersendiri dikarenakan adanya regional berlangsung atau selama pelepasan perubahan status mental akibat dari cedera kateter kepala, peripheral nerve catheters pada fase pasca sulit dilakukan intoksikasi, atau dan sedasi. Risiko 39 atau penggunaan continuous operasi. Bickler et al. Ringkasan mengemukakan terjadinya ekimosis yang signifikan pada pasien yang batal setelah mengenai tehnik anestesi regional yang menggunakan kateter blok nervus sciatic dan berhasil dilakukan oleh para dokter di Eropa femoralis di lapangan. Di Eropa para dokter umum dan dimana dipulangkan Telah banyak terdapat laporan-laporan pasien mengkonsumsi 26 dokter Ketiga pengobatan enoxaparin, suatu turunan dari heparin. Konferensi Konsensus Third (ASRA’s ASRA Consensus Conference) anestesi menggunakan menggunakan darurat dan ambulans sistem membawanya menuju lokasi tentang penggunaan anestesi regional dan terjadi kecelakaan. Para dokter tersebut antikoagulan dapat disarankan untuk menggunakan pengalaman anestesi yang melakukan tehnik anestesi regional pada digunakan untuk prosedur anestesi regional kondisi penanganan trauma akut. Selain itu, neuraxial. 27 perifer seperti Sementara itu, perdarahan yang pengalaman terbaru dari bidang militer menunjukkan terapi penurunan terhadap pasien yang mendapat anestesi hematokrit, perdarahan yang terjadi bukan regional terutama pada penggunaan tehnik 28 kateter kontinyu baik setelah terjadi cedera Untuk mengurangi risiko komplikasi pada maupun selama transportasi menuju rumah pasien terapi sakit. Dimana pengalaman tersebut dapat koagulan dibutuhkan komunikasi yang baik diterapkan pada seluruh masyarakat sipil antara dokter dengan klinisi yang melakukan pada pemasangan maupun pelepasan blok saraf penggunaan atau saraf analgesia jangka panjang. Sangat penting mengenai jadual pemberian dan dosis obat bagi para dokter anestesi untuk mengambil antikoagulan waktu inisiatif sebagai pelopor dalam mengadaptasi pelaksanaan prosedur bersamaan dengan tehnik anestesi regional di luar lingkungan saat kamar operasi dan menggunakannya di terjadi karena iskemik sel saraf yang irreversibel. yang sedang penggunaan untuk konsentrasi menjalani kateter blok menghindari puncak dari obat antikoagulan di dalam tubuh pasien. tahun-tahun kateter yang dalam terjadi pada pasien yang menggunakan antikoagulan hasil dimilikinya dan menggunakan pedoman yang sama untuk regional yang kemampuan menjanjikan selanjutnya seperti kontinyu untuk ruang gawat darurat dan ditingkat pelayanan kesehatan pra-rumah sakit. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. G. W. Crile. Anesthesia of nerve roots with cocaine. Cleveland Medical Journal, 1897 ; 2 : article 355. G. Hirschel. Die anaesthesierung des plexus brachialis fuer die operationen der oberen extremitaet. München Med Wochenschr, 1911 ; 58 :1555–6. D. Kulenkampff. Die anaesthesierung des plexus brachialis. Zentralblatt fur Chirurgie, 1911 ; 38 : 1337–46. 5. 6. 7. 40 J. L. Corning. Spinal anesthesia and local medication of the cord. New York Medical Journal, 1885 ; 42 : 483–5. A. Bier. Versuche über cocainisirung des rückenmarkes. Deutsche Zeitschrift für Chirurgie, 1899 ; 51 : 361–9. A. Bier. Über einen neuen weg lokalanasthesie an den gliedmassen zu erzeugen. Verhandlungen der 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Deutschen Gesellschaft für Chirurgie, 1908 ; 27 : 204–14. A. R. Plunkett, D. S. Brown, J. M. Rogers, and C. C. Buckenmaier. Supraclavicular continuous peripheral nerve block in a wounded soldier: when ultrasound is the only option. British Journal of Anaesthesia, 2006 ; 97 : 715–7. R. J. Malchow and I. H. Black. The evolution of pain management in the critically ill trauma patient: emerging concepts from the global war on terrorism. Critical Care Medicine, 2008 ; 36 : 346–57. E. M. Davidson, Y. Ginosar, and A. Avidan. Pain management and regional anaesthesia in the trauma patient. Current Opinion in Anaesthesiology, 2005 ; 18 : 169–74. N. B. Foss, B. B. Kristensen, M. Bundgaard et al. Fascia iliaca compartment blockade for acute pain control in hip fracture patients: a randomized, placebo-controlled trial. Anesthesiology, 2007 ; 106 : 773–8. R. Barker, A. Schiferer, C. Gore et al. Femoral nerve blockade administered preclinically for pain relief in severe knee trauma is more feasible and effective than intravenous metamizole: a randomized controlled trial. Journal of Trauma, 2008 ; 64 : 1535–8. C. C. Buckenmaier, G. M. McKnight, J. V. Winkley et al. Continuous peripheral nerve block for battlefield anesthesia and evacuation. Regional Anesthesia and Pain Medicine, 2005 ; 30 : 202–5. R. M. Gallagher and R. Polomano. Early, continuous, and restorative pain management in injured soldiers: the challenge ahead. Pain Medicine, 2006 ; 7 : 284–6. J. E. Wathen, D. Gao, G. Merritt, G. Georgopoulos, and F. K. Battan. A randomized control trial comparing a fascia iliaca compartment nerve block to a traditional systemic analgesic for femur fractures in a pediatric emergency department. Annals of Emergency Medicine, 2007 ; 50 : 162– 71. C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A. Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone. Femoral nerve block for diaphyseal and distal femoral fractures in the emergency department: surgical technique. Journal of Bone and Joint Surgery A, 2008 ; 90 : 218–26. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 41 C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A. Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone. Femoral nerve block for diaphyseal and distal femoral fractures in the emergency department. Journal of Bone and Joint Surgery A, 2007 ; 89 : 2599–2603. B. Stewart, C. T. Smith, L. Teebay, M. Cunliffe, and B. Low. Emergency department use of a continuous femoral nerve block for pain relief for fractured femur in children. Emergency Medicine Journal, 2007 ; 24 : 113–4. B. D. O'Donnell, H. Ryan, O. O'Sullivan, and G. Iohom. Ultrasoundguided axillary brachial plexus block with 20 milliliters local anesthetic mixture versus general anesthesia for upper limb trauma surgery: an observer-blinded, prospective, randomized, controlled trial. Anesthesia and Analgesia, 2009 ; 109 : 279–83. M. Blaivas, S. Adhikari, and L. Lander. A prospective comparison of procedural sedation and ultrasoundguided interscalene nerve block for shoulder reduction in the emergency department. Academic Emergency Medicine, 2011 ; 18 : 922–7. B. J. Simon, J. Cushman, R. Barraco et al. Pain management guidelines for blunt thoracic trauma. Journal of Trauma, 2005 ; 59 : 1256–67. E. M. Bulger, T. Edwards, P. Klotz, and G. J. Jurkovich. Epidural analgesia improves outcome after multiple rib fractures. Surgery, 2004 ; 136 : 426–30. E. T. Davis, A. Harris, D. Keene, K. Porter, and M. Manji. The use of regional anaesthesia in patients at risk of acute compartment syndrome. Injury, 2006 ; 37 : 128–33. G. J. Mar, M. J. Barrington, and B. R. McGuirk. Acute compartment syndrome of the lower limb and the effect of postoperative analgesia on diagnosis. British Journal of Anaesthesia, 2009 ; 102 : 3–11. M. A. Cometa, A. T. Esch, and A. P. Boezaart. Did continuous femoral and sciatic nerve block obscure the diagnosis or delay in treatment of acute lower leg compartment syndrome? A case report. Pain Medicine, 2011 ; 12 : 823–8. Y. Auroy, D. Benhamou, L. Bargues et al. Major complications of regional 27. 28. 29. anesthesia in France: the SOS Regional Anesthesia Hotline Service. Anesthesiology, 2002 ; 97 : 1274-80. P. Bickler, J. Brandes, M. Lee, K. Bozic, B. Chesbro, and J. Claassen. Bleeding complications from femoral and sciatic nerve catheters in patients receiving low molecular weight heparin. Anesthesia and Analgesia, 2006 ; 103 : 1036–7. T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C. Rowlingson et al. Regional Anesthesia in the patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy; American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine evidence-based guidelines (Third Edition). Regional Anesthesia and Pain Medicine, 2010 ; 35 : 64–101. T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C. Rowlingson, and F. K. Enneking. Executive summary: regional anesthesia inthe patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy. Regional Anesthesia and Pain Medicine, 2010 ; 35 : 102–5. 42 TROMBOSIS VENA DALAM Ima Arum Lestarini Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstrak Penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan trombosis yaitu proses pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena inflamasi /trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok faktor pendukung yang dianggap berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai TRIAS VIRCHOW yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen factor koagulasi. Standar baku emas untuk diagnosis TVD adalah venografi intarvena, di mana bahan kontras diinjeksikan pada vena kemudian difoto rontgen untuk melihat di mana terdapat obstruksi vena. Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan.Diagnosis yang didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapt diandalkan, sedangkan untuk penatalaksanaan TVD secara optimal, perlu diagnosis yang obyektif. Guna mempermudah pendekatan diagnosis, digunakan sistem skoring untuk menentukan besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta pemeriksaan laboratorium, Compression ultrasonography, dan venografi, yang dijadikan bukti diagnosis obyektif. Kata kunci : trombosis vena dalam, skor wells Pendahuluan Istilah dari ekstrimitas bawah. Penyakit ini dapat tromboembolik menyerang satu vena bahkan lebih. Vena- menunjukkan hubungan dengan trombosis vena di betis adalah vena-vena yang paling yaitu proses pembentukan bekuan darah sering terserang. Trombosis pada vena (trombus) dan resiko emboli. Trombosis poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana segmen terbentuk bekuan dalam vena sekunder / terjadi. Banyak yang sembuh spontan, dan vena dalam oleh karena inflamasi /trauma sebagian dinding vena atau karena obstruksi vena emboli. Emboli paru-paru merupakan resiko sebagian. Trombosis Vena Dalam (TVD) yang cukup bermakna pada trombosis vena menyerang darah dalam karena terlepasnya trombus kemudian awalnya ikut aliran darah dan terperangkap dalam sistem vena penyakit pembuluh-pembuluh dalam. Serangan vena ileofemoralis lainnya arteri pulmonalis.1,2 disebut trombosis vena dalam akut. TVD dapat bersifat parsial atau total. Kebanyakan trombosis vena dalam berasal 43 berpotensi juga sering membentuk Gambar 1. Trombosis vena dalam Patofisiologi Kerusakan pembuluh darah Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi 3 ada tiga kelompok Cedera faktor pembuluh darah, diketahui dapat mengawali pembentukan pendukung yang dianggap berperan penting trombus. dalam pembentukannya dinding Penyebabnya adalah trauma yang dikenal langsung pada pembuluh darah, seperti VIRCHOW yaitu fraktur dan cedera jaringan lunak, dan infus abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh intravena atau substansi yang mengiritasi, sebagai TRIAS darah dan komponen factor koagulasi 3,4,5 seperti kalium klorida, kemoterapi, atau antibiotik dosis tinggi. Stasis vena Hiperkoagubilitas Stasis aliran darah vena, terjadi bila aliran darah melambat, seperti pada gagal jantung Keseimbangan antara faktor koagulasi atau syok; ketika vena berdilatasi, sebagai alamiah, akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot berfungsi mempertahankan keseimbangan skeletal berkurang, seperti pada istirahat hemostasis lama, paralisis ekstremitas atau anastesi. darah, terjadi paling sering pada pasien Hal-hal tersebut menghilangkan pengaruh dengan dari pompa vena perifer, meningkatkan secara mendadak, penggunaan kontrasepsi stagnasi oral dan sulih hormon estrogen dan kanker dan pengumpulan darah di fibrinolisis normal. penghentian inhibitornya Hiperkoagulabilitas obat antikoagulan ekstremitas bawah. TVD pada penderita terutama stroke terjadi pada tungkai yang mengalami mengaktifkan faktor pembekuan sehingga paralisis. meningkatkan risiko TVD.4 44 jenis serta adenokarsinoma dapat 6 Gambar 2. Patofisiologi dari TVD Faktor Risiko4,7-10 TVD yang terjadi sebelumnya dan kerusakan vena TVD kadang terjadi pada vena yang normal, namun demikian faktor risiko yang Jika sisi dalam vena rusak, kemungkinan dapat menyebabkan TVD adalah : menjadi TVD meningkat, seperti pada : 1. Vaskulitis (inflamasi pada dinding Imobilitas ( kurang gerakan ) Imobilitas akan vena) menyebabkan terjadinya bekuan keadaan seperti kemoterapi dapat merusak vena dan melambatnya aliran darah pada vena dan meningkatkan dan meningkatkan risiko TVD. darah. 2. Fraktur tungkai Contohnya : 3. Komplikasi dari tindakan invasif pada 1. Pasca operasi lebih dari 30 menit, vena karena pada saat anestesinya aliran Hiperkoagulabilitas darah vena menurun. Oleh karena itu pasca operasi, biasanya diberikan Pada kondisi ini pembekuan darah lebih suntikan heparin untuk mencegah cepat dari normal seperti pada : terjadinya TVD. 2. Sakit dan menyebabkan 1. Pengobatan (pil keluarga berencana, perawatandapat imobilisasi estrogen) seperti 2. Kanker stroke 3. Merokok 3. Kehamilan, termasuk 6-8 minggu post 4. Polisitemia partum Kondisi Medis dan Genetik 4. Obesitas 5. Perjalanan jauh dengan kereta atau Pada beberapa kondisi kanker dan terapi pesawat dapat meningkatkan risiko kanker menghasilkan substansi dalam darah terjadinya TVD yang dapat menyebabkan bekuan. Gagal jantung dimana kerusakan pada jantung menyebabkan pompa jantung tidak normal 45 dan efektif sehingga bisa terjadi pooling dan Leiden trombofilia yang dapat menyebabkan bekuan. Penyakit genetik seperti Faktor V bekuan abnormal. Tabel 1. Faktor Risiko dan presdisposisi kondisi terjadinya tromboemboli vena Faktor pasien : Riwayat sebelumnya* Umur > 40 tahun Kehamilan Obesitas Status hiperkoagulabel yang diturunkan : mutasi faktor V Leiden, defisiensi (protein C, protein S, antitrombin), mutasi gen protrombin Kondisi yang mendasari dan faktor didapat Keganasan, terutama penyebaran adenokarsinoma Penggunaan estrogen : kontrasepsi oral, sulih hormon Paralisis* Imobilitas lama Pembatasan gerak dan paralisis ekstremitas bawah Pembedahan, terutama tungkai bawah, pelvis dan abdomen* Pembedahan dengan anestesi > 30 menit Trauma Penyakit seperti IMA, stroke iskemik, gagal jantung kongestif, gagal nafas akut Cedera tungkai bawah* Heparin induced thrombocytopenia Keadaan hiperkoagulabel yang didapat : antibodi antifosfolipid, lupus antikoagulan, hiperhomositeinemia, polisitemia *Faktor risiko utama yang sering menyebabkan TEV Diagnosis terkumpul di lengan atau tungkai. Gejala dan Standar baku emas untuk diagnosis TVD tanda klasik : adalah venografi intarvena, di mana bahan 1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis kontras diinjeksikan pada vena kemudian bila terjadi di tungkai dan di lengan difoto rontgen untuk melihat di mana terdapat atau leher jika mengenai ekstrimitas obstruksi atas. vena. Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan. 2. Pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting Gejala dan tanda 2,4 oedema. Untuk TVD distal Gejala dan tanda pada TVD berhubungan pembengkakan sampai di bawah lutut dengan terjadinya obstruksi aliran darah balik dan TVD proksimal sampai daerah ke pantat. jantung yang menyebabkan darah 46 3. Perabaan kulit hangat dan untuk penatalaksanaan TVD secara optimal, kemerahan di sekitar daerah TVD perlu terutama di bagian belakang dan mempermudah lutut, vena digunakan sistem skoring untuk menentukan superfisial dan pada obstruksi berat besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta kulit tampak sianosis. pemeriksaan terdapat pelebaran 4. Kadang TVD tidak memberikan gejala diagnosis obyektif. pendekatan laboratorium, ultrasonography, yang nyata, gejala timbul setelah yang dan diagnosis, Compression venografi, dijadikan bukti diagnosis obyektif. terjadi komplikasi misalnya terjadi Guna yang 4 Scarvelis dan Wells mengenalkan emboli ke paru. keadaan klinis yang dapat memprediksi adanya TVD seperti pada tabel 2.11 Diagnosis yang didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapt diandalkan, sedangkan Tabel 2 . Skor Wells untuk kecurigaan klinis trombosis vena dalam Karakteristik Klinik Skor Kanker aktif (sedang dilakukan terapi dalam 6 bulan terakhir) 1 Paralisis, paresis atau imobilisasi pada tungkai 1 Tirah baring > 3 hari atau operasi besar dalam 12 minggu terakhir 1 Nyeri tekan terlokalosir sepanjang distribusi vena dalam 1 Bengkak pada seluruh tungkai 1 Bengkak pada tungkai > 3 cm dibandingkan sisi yang tidak sakit 1 Edema pitting pada tungkai sisi sakit 1 Diagnosis alternatif yang menyerupai TVD -2 Kolateral vena superfisial (non-varicose) 1 Pernah terjadi TVD sebelumnya 1 Pretest probability : - High - Moderat - Low Pemeriksaan >2 1 atau 2 <1 penunjang yang dilakukan bifurcation) dengan sensitifitas 97% untuk diagnosis TVD : dan 1. Compression Ultrasonography spesifitas 94%.12 Bila hasil abnormal, diadnosis trombosis vena CU merupakan pemeriksaan non dapat ditegakkan, bila hasil normal invasive pilihan untuk membantu maka menegakkan pada berikutnya. Konversi dari normal ke klinik. abnormal untuk ulang terdapat pada 2% pasien. CU proksimal kurang sensitive untuk TVD distal, simtomatik (femoral, popliteal, calf TVD asimtomatik dan TVD berulang. kecurigaan Prosedur mendeteksi diagnosis TVD ini secara cukup TVD teliti 47 diulang pada pada minggu pemeriksaan CU 2. D-dimer trombosis proksimal dan vena betis Pemeriksaan kadar d-dimer (hasil yang pemecahan fibrin ikat silang yang pemeriksaan ini adalah : dipecah oleh plasmin), merupakan a. Bersifat invasif pemeriksaan tambahan CU guna b. Menimbulkan rasa nyeri meningkatkan ketepatan diagnosis c. TVD. Kadar d-dimer biasanya terisolasi. Kelemahan Mahal dan memerlukan keahlian khusus dalam tekniknya meningkat pada TVD dan / atau EP d. Membutuhkan waktu yang lama (Emboli Paru). Peningkatan kadar d- e. Kemungkinana dimer menunjukkan adanya produk trombosis degradasi fibrin dalam kadar yang f. abnormal tinggi. Peningkatan kadar komplikasi Alergi dan gangguan faal ginjal akibat cairan kontras ini mempunyai arti bahwa telah Karena terjadi trombus yang bermakna dan pemeriksaan non invasif seperti CU pemecahannya dalam tubuh , namun dan d-dimer, dikombinasi dengan belum dapat menunjukkan lokasi 13. pemeriksaan fisik, banyak digunakan Kadar normal dapat membantu untuk sebagai pengganti venografi. menyingkirkan TVD, namun kadar alasan tersebut, 4. MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang meningkat tidak spesifik dan MRI sangat akurat untuk diagnosis mempunyai nilai ramal positif yang TVD, termasuk TVD distal (betis), rendah. Peningkatan kadar d-dimer pelvis dan trombosis asimptomatik bisa sebagai respon non spesifik dari pada wanita hamil. Teknik ini sangat penyakit yang terjadi bersamaan. potensial 3. Venografi untuk membedakan thrombus lama dan baru, serta tidak Venografi merupakan pemeriksaan memerlukan baku emas dari TVD. Keunggulan harganya masih relatif mahal. venografi adalah mampu mendeteksi 48 kontras. Namun Berikut adalah alogaritma untuk diagnosis TVD. Gambar 3. Alur untuk mendiagnosis TVD Penatalaksanaan seperti steptokinase, urokinase dan tissue Penatalaksanaan TVD mencegah bertambah mencegah emboli adalah besarnya paru, untuk plasminogen activator bekerja melarutkan bekuan, trombin. Obat ini terutama digunakan pada sindroma post penderita emboli paru yang luas disertai trombosis dan terjadinya TVD berulang. gangguan Terapi farmakologi yang digunakan biasanya kardiorespirasi perdarahan yang kecil. adalah antikoagulan dan trombolitik. dan risiko 14 Selain terapi farmakologi, juga dilakukan terapi non farmakologi untuk pencegahan secara mekanik yaitu 2,7,8: Antikoagulan Antikoagulan digunakan untuk mencegah 1. Penggunaan kaos kaki yang dapat terjadi bekuan yang semakin besar, dan memberi penekanan (Compression mencegah pembentukan bekuan darah. Jika Elastic stockings). Digunakan pada terapi antikoagulan diberikan segera setelah pagi TVD terbentuk, maka akan menurunkan aktivitas, dilepas pada saat akan risiko terjadinya emboli paru. Antikoagulan tidur, dapat digunakan pula saat yang biasa dipakai adalah heparin dan istirahat dengan posisi menaikkan warfarin. 8 hari dan seharian saat tungkai pada saat tiduran. 2. Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki Trombolitik Berbeda berfungsi dan betis lebih tinggi dari pinggul, dengan mencegah kekambuhan antikoagulan perluasan trombosis, obat yang posisi ini diharapkan dapat memperlancar aliran darah vena.8 maupun trombolitik 49 3. Intermittent pneumatic compresion, alat ini dapat Angiografi merupakan pemeriksaan baku memberikan emas untuk emboli paru, tetapi sangat invasif penekanan dari luar secara teratur dan bisa timbul komplikasi yang lebih fatal. pada tungkai bawah atau tungkai Pemeriksaan ekokardiografi dapat dilakukan bawah dan paha; besarnya tekanan untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kanan 35-40 mmHg selama 10 detik / yang akan meningkatkan risiko kematian menit. sehingga 4. Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada agresif. perlu pengobatan yang lebih 15 kondisi Pencegahan stasis. Pencegahan Komplikasi Emboli Paru TVD dapat dilakukan dengan cara : Trombus yang terlepas menjadi embolus 1. Pemberian injeksi heparin dosis rendah akan mengikuti aliran darah ke jantung dan pada pasien dengan risiko TVD yang akan dialirkan ke cabang – cabang arteri di direncanakan operasi dan akan terjadi paru sehingga akan menghambat aliran imobilisasi setelah operasi. Pada pasien 8 darah . Penderita mengeluh dengan sesak EP mendadak sering dengan risiko rendah disarankan untuk disertai memakai compression stockings. hemoptisis atau nyeri dada atau nyeri dada 2. Kurangi merokok dan berat badan yang dan tiba-tiba kolaps disertai syok bahkan 4,8 kematian mendadak . penderita TVD yang Sekitar tidak dapat meningkatkan terjadnya TVD. 10% 3. Selama perjalanan jauh ( > 6 jam ) ditangani dianjurkan banyak minum air, berkembang kearah emboli paru di mana menghindari menyebabkan olahraga sederhana untuk tungkai, serta kematian. gejala yang berat atau 8 alkohol, melakukan menggunakan kaos kaki compression stockings. Daftar Pustaka Dalam : Kumpulan makalah symposium. Thrombosis in special organ. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2006: 1-3 5. Linkins LA., Kearon C. Venous thromboembolism. In : O’Shaughnessy D, Makris M, Lilicrap D (Ed). Practical hemostasis and thrombosis. 1st Ed. Massachusetts. Blackwell. 2005 : 101-13 6. Doctor corner. Deep venous thrombosis. (cited 9 September 2008). Available from URL : http://yourdoctor.com/healthinfocenter/medicalconditions/cardiovascular/cardiacconditions/vascular-dz/dvt.html 7. Anonymus. Deep vein thrombosis. (cited 9 September 2008) (3 sheet). Available from URL 1. Demaria A. Deep vein thrombosis explained. (cited 9 September 2008) (3 sheet). Available from URL : http://www.cnn.com/2001/WORLD/asiap cf/01/24/dvt.medical/index.html 2. Anonymus. Deep vein thrombosis. (cited 9 September 2008) (3 sheet). Available from URL : http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_vein_th rombosis 3. Venous institute of buffalo. Deep vein thrombosis. Available from URL : http://www.venousinstitute.com/vein_trea tment_deep_vein_thrombosis.html 4. Suharti C. Pathogenesis and clinical feature of thrombosis in special organ. 50 8. 9. 10. 11. 12. 13. http://www.mayoclinic.com/health/deepvein-thrombosis/DS01005 Anonymus. Introduction. Deep vein thrombosis. (cited 9 September 2008) Available from URL : http://www.nhsdirect.nhs.uk/articles/articl e.aspx?articleid=122 Michiels JJ, Reeder-Boertje SWI, van den Bos RR, Wentel TD, Neumann HAM. Prospective studies on diagnosis and management of deep vein thrombosis (dvt) and the post-thrombotic syndrome (pts): filling up the gap part 1: deep-vein thrombosis (dvt): the rotterdam approach. Available from URL : http://www.jmed.ro/index.php?articol=37 2 Anonymus. Introduction to deep vein thrombosis (DVT). Available from URL : http://www.medicinenet.com/deep_vein_t hrombosis/article.htm Scarvelis D, Wells P. Diagnosis and treatment of deep-vein thrombosis. CMAJ 2006;175 (9): 1087–92. Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism : pathophysiology, clinical features and prevention. BMJ. 2002: 25:887-90 Suromo L. D-dimer sebagai parameter tambahan untuk trombosis, fibrinolisis dan penyakit jantung. Dalam : Petanda penyakit kardiovaskuler sebagai Point of 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 51 Care Test (POCT). Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2006:31-40 Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism : treatment strategies. BMJ. 2002: 325:948-50 Ageno W. Treatment of pulmonary embolism ; same as deep vein thrombosis treatmement? DVT forum. 2002; 5:7-8 Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2005: 104-15; 272; Sherlock S. Alih bahasa Andrianto P. Penyakit hati dan sistem saluran empedu. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika, 1995: 597-627 Amirudin F. Karsinoma hepar. Dalam Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1996 : 310-6 Mangarengi F, Pakasi R, Hardjoeno. Tes bilirubin serum. Dalam: Interpretasi hasil tes laboratorium diagnostic. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin. Makasar, 2003: 265-70 Fauza Y, Rusly B, Hardjoeno. Tes enzimatik hepar. Dalam: Interpretasi hasil tes laboratorium diagnostic. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin. Makasar, 2003: 271-85 EPIDEMIOLOGI GAGAL JANTUNG KRONIK PADA USIA LANJUT Basuki Rahmat Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstract Understanding the prevalence of heart failure in the elderly is the basis in determining the policies of stakeholders associated with a substantial economic burden in the management of chronic heart failure particularly in the elderly population. Besides chronic heart failure epidemiological data can be used as a consideration in determining clinicians appropriate strategy in penatalaksanan chronic heart failure in this population. Because we know that elderly patients with heart failure is not only the heart that should be our focus. Other comorbid diseases, physiological changes in the body, the procedure for taking medication are all factors that should be our concern. Keywords: Epidemiology, chronic heart failure, advanced age. Abstrak Pemahaman revalensi gagal jantung pada usia lanjut merupakan dasar dalam menentukan kebijakan dari stakeholder terkait dengan beban ekonomi negara yang besar dalam penatalaksanaan gagal jantung kronik khususnya pada populasi usia lanjut. Selain itu data epidemiologi gagal jantung kronik tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan klinisi dalam menentukan strategi yang tepat dalam penatalaksanan gagal jantung kronik pada populasi ini. Karena telah kita ketahui bahwa pasien usia lanjut dengan gagal jantung tidak hanya jantungnya yang harus menjadi fokus kita. Komorbid penyakit lain, perubahan fisiologis tubuh, tatacara minum obat merupakan faktor-faktor yang harus menjadi perhatian kita. Kata kunci: Epidemiologi, Gagal jantung kronik, usia lanjut. Paradoks Penyakit Jantung Pada Usia ditampilkan Lanjut. tatalaksana penyakit kardiak dan non-kardiak Saat ini demografi”, dunia di mengalami Amerika Serikat dalam tabel 2. Kemajuan “revolusi baik akut maupun kronik (penyakit jantung sebagai koroner, hipertensi, gagal ginjal, kanker dan contohnya, pada tahun 1990 penduduk penyakit diatas usia 65 tahun mencapai 30 juta jiwa, terhadap dan akan mencapai 50 juta jiwa pada tahun jantung. Seseorang yang 20 tahun yang lalu 2020. Peningkatan harapan hidup tersebut mungkin meninggal dalam usia pertengahan diikuti frekuensi oleh karena infark miokard akut (IMA), saat penyakit jantung, paru-paru dan pembuluh ini dapat bertahan sampai usia lanjut hanya darah. kematian saja berkembang menjadi gagal jantung seiring pertambahan usia akibat penyakit pada tahun-tahun berikutnya. Hampir sama jantung jantung dengan ilustrasi kasus tersebut, kontrol memberikan tekanan darah yang baik akan menurunkan dengan peningkatan Penurunan koroner progesifitas dan hipertensi ternyata permasalahan baru. penyakit ternyata peningkatan berkontribusi kejadian gagal jantung 60% kematian karena stroke sampai 30 koroner dan jantung hipertensi ternyata tahun kemudian, akan tetapi pasien tersebut meningkatkan insidensi dan prevalensi gagal akan tetap memiliki risiko untuk menjadi jantung terus gagal jantung sebagai komplikasi hipertensi meningkat sampai beberapa dekade ke kronik dan hipertropi ventrikel kiri (Rich, depan. Beberapa faktor yang berkontribusi 2009) terhadap yang Penyakit infeksi), diprediksikan progresifitas akan gagal jantung 52 Tabel 2. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan insidensi dan prevalensi gagal jantung pada usia lanjut. Populasi usia lanjut - Perubahan kardiovaskular yang berhubungan dengan pertambahan usia - Prevalensi penyakit kardiovaskular yang meningkat Kemajuan tatalaksana penyakit jantung koroner dan hipertensi - - Menurunnya kematian akibat penyakit jantung koroner Era terapi trombolitik Angioplasti, stenting dan CABG Aspirin, clopidogrel, penyekat beta dan ACE-I atau ARB Statin Menurunnya kematian akibat stroke Penggunaan obat antihipertensi yang luas Efek terapi hipertensi sistolik terisolasi dan diastolik Kemajuan tatalaksana penyakit lain - Gagal ginjal kronik tahap terminal - Kanker - Pnemonia dan infeksi lain (sumber Rich, MW 2009) Prevalensi Gagal Jantung Kronik pada diantaranya memiliki fungsi sistolik ventrikel Usia Lanjut. kiri yang masih baik. Menariknya, diantara Studi Framingham menunjukkan bahwa yang mengalami gagal jantung diastolik prevalensi gagal jantung akan meningkat dua ventrikel kiri tersebut 67% adalah wanita. Hal kali lipat setiap 10 tahun pada usia diatas 50 ini kemungkinan disebabkan fakta bahwa tahun, meningkat 0,8 % pada usia dibawah hipertensi adalah penyebab tersering gagal 50 tahun dan meningkat 9,1% pada usia 80 jantung pada wanita usia lanjut (Kitzman et sampai 89 tahun. Menariknya jenis kelamin al., 2001) juga mempengaruhi prevalensi gagal jantung Aspek penting gagal jantung pada usia pada usia lanjut. Hipotesis ini dibuktikan lanjut dalam cardiovascular health study (CHS) diastolik ventrikel kiri meningkat. Pasien yang melibatkan 5888 usia lanjut diatas 65 dengan usia kurang dari 65 tahun, kurang tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 272 lebih 90% gagal jantungnya disebabkan oleh subjek yang mengalami gagal jantung, 54% penurunan fungsi ventrikel kiri oleh karena 53 adalah prevalensi gagal jantung penyakit jantung koroner dan kardiomiopati dengan fungsi sistolik yang masih baik. dilatasi gagal Prevalensi ini dihubungkan dengan fibrosis jantung pada usia lanjut 40-71% disebabkan oleh karena proses penuaan pada populasi oleh gagal jantung diastolik ventrikel kiri usia lanjut (Thomas dan Rich, 2007) . non iskemik. Prevalensi Tabel 1. Prevalensi gagal jantung pada usia lanjut pada beberapa Negara. Cardiovascular health study (CHS) Studi tahun Parameshwar Ho 1992 1993 Ambrosio 1994 Negara Inggris Amerika Serikat Italia Usia subjek Prevalensi (%) <65 0,4 >65 2,8 50-59 0,8 60-69 2,3 70-79 4,9 80-89 9,1 65-69 3,6 75-79 11,1 >85 14,1 Kupari 1997 Finlandia 75-86 8,2 Mosterd 1999 Belanda 55-64 0,7 65-74 2,7 75-84 11,7 Morgan 1999 Inggris 70-84 8,1 Hedberg 2001 Swedia ±75 6,7 Kitzman 2001 Amerika Serikat (CHS) 66-103 8,8 (sumber: Thomas, S. dan Rich, M.W., 2007) Gagal jantung relatif jarang dijumpai pada teratas untuk hospitalisasi pada orang diatas usia dibawah 40 tahun dibandingkan pada usia 65 tahun. usia lanjut dan prevalensi gagal jantung pada 2004, 1,1 juta hospitalisasi pasien di Amerika usia setiap Serikat disebabkan oleh gagal jantung. Usia tahunnya dan lebih dari 10% terjadi pada diatas 65 tahun mencapai 75% kejadian usia 80 tahun. Hal yang sama menunjukkan gagal jantungnya dan dari populasi tersebut kematian karena gagal jantung meningkat lebih dari 50% terjadi gagal jantung pada dengan usia diatas 75 tahun. Sebagian besar gagal pertambahan usia pada semua subgrup jantung dibawah usia 65 tahun adalah pria, demografi di Amerika Serikat. Gagal jantung akan tetapi hampir mendekati 60% gagal merupakan masalah besar disabilitas kronik jantung pada usia lebih dari 65 tahun ada dan gangguan kualitas hidup pada populasi pada populasi wanita(Rich, 2009) lanjut secara meningkat eksponensial dua kali seiring usia lanjut, dan saat ini merupakan indikasi 54 Menariknya, pada tahun Risiko gagal jantung meningkat seiring Selain itu, pada studi observasional pasien dengan peningkatan IMA dan hipertensi. usia lanjut yang mengalami IMA, 75% pasien Insidensi gagal jantung mendekati 10 setiap yang selamat akan berkembang menjadi 1000 populasi usia lanjut dan 75% kasusnya gagal jantung dalam 5 tahun kedepan. Studi didahului dengan hipertensi. Risiko gagal tentang STEMI dengan PCI dibandingkan jantung dengan juga meningkat seiring dengan fibrinolisis pada menunjukkan jantung terdiagnosis selama penurunan mortalitas pada populasi usia perawatan di rumah sakit dan menariknya, lanjut(Goldenberg et al. (2003) dan de boer 80% jantung et al. (2002)) .Sayangnya, seiring dengan adalah populasi usia lanjut. Selain itu di manfaat PCI pada STEMI, pasien STEMI Amerika Serikat, penyakit kardiovaskular tersebut merenggut nyawa seseorang tiap 38 detik, remodeling LV yang menetap, disfungsi dan adalah ventrikel kiri dan gagal jantung. Tatalaksana penyebab utama morbiditas dan mortalitas. IMA terutama STEMI pada populasi usia Infark miokard sering terjadi pada populasi lanjut menurut panduan ACC/AHA dan ESC usia lanjut dengan rata-rata usia pria 64.5 dapat menurunkan mortalitas tapi pasien tahun dan wanita usia 70.4 tahun. Pada yang selamat mungkin akan meningkatkan tahun insidensi gagal jantung(Jugdutt et al. 2010) kali hospitalisasi penyakit 2010, pasien jantung gagal koroner kejadian serangan jantung dapat PCI lanjut pertambahan usia dan hipertensi. Gagal sering manfaat usia terhadap berkembang menjadi setiap 26 detik, 785.000 individu mengalami serangan pertama, 470.000 Kesimpulan individu mengalami serangan jantung ulangan dan Data epidemiologi gagal jantung kronik kira-kira 195.000 mengalami silent infarct pada usia lanjut di Indonesia masih sangat miokard(Jigdutt, terbatas. Data epidemiologi pada penelitian 2010). Kemajuan terapi PJK, termasuk diantaranya IMA dan gagal sebelumnya jantung setelah IMA, akan meningkatkan gambaran besar prevalensi gagal jantung di harapan Indonesia hidup pasien. Gagal jantung memberikan juga acuan mengalami peningkatan merupakan komplikasi sekunder IMA yang seiring tersering yang penyakit jantung koroner, hipertensi dan berkembang menjadi gagal jantung setelah stroke. Adanya paradoks dalam penyakit IMA pertama meningkat seiring dengan jantung terutama pada populasi usia lanjut pertambahan studi memberikan data bahwa kita tidak boleh melaporkan gagal jantung mulai meningkat berpuas diri karena pasien kita telah survive setelah usia 45 tahun(Jigdutt, 2010). dari dan jumlah usia. individu Beberapa Beberapa uji klinik telah menunjukkan dengan jelas bahwa morbiditas dengan bahwa IMA ataupun peningkatan insidensi hipertensinya sudah terkontrol. Karena masih ada permasalahan dan lain setelah itu yaitu gagal jantung kronik. mortalitas setelah STEMI meningkat pada usia lanjut dibandingkan usia yang lebih Daftar Pustaka muda. Akan tetapi, keikutsertaan populasi Abrams, W. B. 1990. Cardiovascular drugs in the elderly. Chest;98;980-986. usia lanjut pada studi IMA masih sedikit. 55 de Boer MJ, Ottervanger JP, van't Hof AW, Hoorntje JC, Suryapranata H, Zijlstra F. 2002. Reperfusion therapy in elderly patients with acute myocardial infarction: a randomized comparison of primary angioplasty and thrombolytic therapy. J. Am. Coll. Cardiol. 39, 1723–1728 Goldenberg I, Matetzky S, Halkin A et al. 2003. Primary angioplasty with routine stenting compared with thrombolytic therapy in elderly patients with acute myocardial infarction. Am. Heart J. 145, 862–867. Jugdutt, B.I. 2010. Heart Failure in the Elderly: Advances and ChallengesExpert Rev Cardiovasc Ther. 8(5):695-715. Kitzman, D.W., Gardin, J.M., Gottdiener, J.S., et al. 2001. Importance of heart failure with preserved systolic function in patients R 65 years of age. CHS Research Group. Cardiovascular Health Study. Am J Cardiol 87:413–9. Rich, M.W. 2009. The Heart failure dalam Hazzard’s Geriatric Medicine And Gerontology. McGraw-Hill Companies. Thomas, S and Rich, 2007, M.W., Epidemiology, Pathophysiology, and Prognosis of Heart Failure in the Elderly. Heart Failure Clin 3 381–387 56 PETUNJUK PENULISAN NASKAH Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada. TEMA TULISAN Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan. Tema yang dapat ditulis antara lain: · Inovasi pembelajaran · Pengembangan kurikulum dan modul · Proses belajar mengajar · Manajemen pendidikan tinggi · Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik · Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan · Media ajar · Evaluasi belajar mengajar · Evaluasi program pendidikan · Etika dan profesionalisme Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima. PANDUAN PENULISAN a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi. b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang namanya tercantum sebagai penulis. c. Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal lainnya. d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada tuntutan plagiarisme dari ilmuwan lain. e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk penelitian yang melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian. f. Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat pernyataan dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga 57 g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang mengikuti aturan kaidah penulisan ilmiah. h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata dengan susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil (penelitian), simpulan, kata kunci. i. Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4. j. Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang umum (MS Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket) maupun print out (rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4 tidak bolak-balik, 1 kolom, menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri, antar paragraf ditandai dengan jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran, rata kiri, menggunakan huruf kapital dan ditebalkan. k. Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. l. Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat korespondensi, yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari satu diurutkan berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden. m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak tergantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di bawah gambar. Tabel dan gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan kepentingannya. n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan penampilan Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke : Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874. Fax (0370) 641717 Mataram - NTB, Kode Pos : 83125 Korespondensi dapat melalui email : [email protected] 58