Untitled - Unram Medical Journal

advertisement
Jurnal Kedokteran Unram
Penasehat
Prof. Mulyanto
Editor

dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.

dr.Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.

dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.
Dewan Redaksi

dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)

dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.

dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK

dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD

dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.

dr. Bambang Priyanto, SpBS

dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.

dr. Seto Priyambodo, M.Sc.

dr. Nurhidayati, M.Kes.

dr. Pandu Ishak Nandana, SpU

dr. Arif Zuhan, SpB

dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)

dr. Fathul Djannah, SpPA

dr. Marie Yuni Andari, SpM

Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.

dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK

dr. Akhada Maulana, SpU

dr. Monalisa Nasrul, SpM

dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD

Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt
Mitra Bestari

dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)

dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)
Sekretaris
dr. Prima Belia Fathana
Layout dan Percetakan
Syarief Roesmayadi
ISSN : 2301-5977
Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Vol. 2, No. 1, Maret 2013
DAFTAR ISI
Antimalarial Activity Of Cleome Viscosa Extract
(In Vitro Plasmodium Falciparum Chloroquin Resistant Growth Inhibiton)
Sindi Antika, Ardiana Ekawanti, Tetrawindu AH.......................................................................
3
Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 41
Ampenan Kelurahan Jempong Baru Kecamatan Sekarbela Tahun 2011
Indana Eva Ajmala, Eka Arie Yuliyani, Anom Josafat.................................................
12
The Effect Of Administration The Highrise Dosage Of Monosodium Glutamate Towards The
Level Of Serum Urea-Creatinine On Wistar Rats
HayatiN Nisa, Arfi Syamsun, Ima Arum Lestarini ……..........................................................
18
Hindronefrosis Berat Kanan Yang Disebabkan Oleh Duplikasi Pelvis-Ureter Tipe
Lengkap Dengan Stenosis Ureterovesikal Junction
Ica Justitia, Pandu Ishaq Nandana…..............................................................................
26
Penggunaan Anestesi Regional Pada Kasus Trauma
Erwin Kresnoadi …….....................................................................................................
31
Trombosis Vena Dalam
Ima Arum Lestarini ........................................………….................................................
43
Epidemiologi Gagal Jantung Kronik Pada Usia Lanjut
Basuki Rahmat .................………...................................................................................
52
Petunjuk Penulisan Naskah ..........................................................................................
57
2
ANTIMALARIALACTIVITY OF Cleome viscosa EXTRACT
(INVITRO PLASMODIUM FALCIPARUM CHLOROQUIN RESISTANT GROWTH INHIBITON)
Sindi Antika, Ardiana Ekawanti, Tetrawindu AH
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract
Background. Malaria is public health problem all over the world as WHO data was 300-500 million people
were infected and of 2.7 million were dead annually. The main problems to eradicated malaria was resistance
of parasite against convensional antimalaria. Thus, the new potential antimalaria substances need to find out.
The Cleome viscosa was empirically used by inhabitant in Lombok to cure signs as malaria shown.
Objective. The objective of this study was to explore the effectiveness of Cleome viscosa as antimalaria
substance by experimentally study against isolat of P. falciparum chloroquin resistance strain.
Method. This study design was experimental laboratory design. The Cleome viscosa extract was exposed to
P. falciparum chloroquin resistance isolate. Dosage used in this research were 5µg/ml, 10 µg/ml, 25 µg/ml, 50
µg/ml, 75 µg/ml and 100 µg/ml. Control groups were control positive group that the P. falciparum exposed to
chloroquin and control negative group no substances added. Parasitemia level and parasitic inhibition
counted based on infected erythrocyte of 5000 eryhrocyte count in thin smear.
Result. In the lowest dose group (5 µg/ml) shown 67 % parasitic inhibition, the highest parasitic inhibition was
in the dose group 10 µg/ml up to 82 %. All dose group was significantly different from control groups
(p<0.05%).
Conclusion. Cleome viscosa had the substance which potentially inhibited P.falciparum growth, began from
dose 5 µg/ml and higher inhibition as dose raised.
Keywords: antimalaria, P.falciparum, Cleome viscosa, parasitic inhibition.
Abstrak
Latar belakang. Malaria masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sebagaimana yang dicatat WHO
setiap tahunnya 300-500 juta orang terinfeksi dan 2,7 juta meninggal dunia. Masalah utama eradikasi malaria
adalah resistensi parasit terhadap antimalaria, sehingga usaha untuk menemukan senyawa yang potensial
sebagai antimalaria sangat perlu dilakukan. Secara empiris Cleome viscosa telah digunakan untuk mengobati
malaria di masyarakat sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap tumbuhan tersebut.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas Cleome viscosa sebagai antimalaria terhadap
isolat P. falciparum yang resisten klorokuin.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian experimental, dengan menggunakan berbagai konsentrasi extrak
yaitu 5 µg/ml, 10 µg/ml, 25 µg/ml, 75 µg/ml dan 100 µg/ml sebagai kelompok uji dan kelompok kontrol positif
menggunakan klorokuin dan kontrol negatif tanpa pemberian antimalaria. Efektifitas dinilai dengan persen
hambatan pertumbuhan dan penurunan tingkat parasitemia dari 5000 eritrosit terinfeksi.
Hasil. Semua kelompok dosis menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Pada dosis
5 µg/ml sudah menunjukkan persentase hambat pertumbuhan yang efektif (67%) dan persentase hambat
tertinggi (87%) terdapat pada kelompok 10 µg/ml.
Kesimpulan. Cleome viscosa memiliki kemampuan sebagai antimalaria dengan dosis terkecil 5 µg/ml.
Pendahuluan
60% penduduk Indonesia tinggal di daerah
Penyakit malaria hingga saat menjadi
masalah
kesehatan
masyarakat,
endemis malaria dan berdasarkan data
dan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
merupakan penyakit parasitik dengan angka
tahun 2001 terdapat 15 juta penderita
kesakitan tertinggi di 90 negara. Berdasarkan
malaria
taksiran WHO, 300-500 juta orang di dunia
mortalitas 1,2% atau 23.483 orang.1,2
setiap
tahun
dan
menimbulkan
terinfeksi malaria setiap tahunnya, 110 juta
Plasmodium falciparum merupakan
orang menunjukkan gejala, dan 2,7 juta
penyebab malaria yang terbanyak. Dengan
diantaranya mengalami kematian. Indonesia
ditemukannya Plasmodium falciparum yang
merupakan daerah endemis malaria, karena
resisten terhadap klorokuin, maka perlu
3
adanya usaha pencarian obat baru yang
Prosedur Penelitian
lebih
a. Penyediaan media RPMI:
tangguh,
baik
yang
tanaman maupun sintesis.
Cleome
berasal
dari
3,4
viscosa
Penyediaan serum darah golongan O,
telah
digunakan
untuk pengambilan serum darah tersebut
secara empiris oleh masyarakat di pulau
maka diperlukan informed consent
Lombok untuk mengobati penyakit yang
b. Pengembangbiakan P.falciparum dengan
memiliki gejala klinis seperti malaria (demam,
media RPMI
berkeringat, menggigil, nyeri otot). Species
Cleome
yang
sering
Cleome
digunakan
c. Memastikan bahwa yang tumbuh dalam
adalah
media RPMI tersebut adalah P.falciparum
viscosa(Bobohan=Jawa,
dengan cara:
5
Lengkarang=Lombok). Tumbuhan ini banyak
- Membuat preparat tebal dari kultur P.
terdapat di Lombok dan biasanya tumbuh di
falciparum tersebut
sela-sela tanaman kacang tanah di area
- Melihat
dibawah
mikroskop
untuk
persawahan. Sebagaimana pemaparan di
mengetahui apakah terdapat berbagai
atas sangat perlu untuk dilakukan penelitian
fase dari P. falciparum dengan ciri-ciri
tentang efektivitas antimalaria tanaman ini.
yang khas pada setiap fase, dengan
ditemukannya bentukan-bentukan khas
Metodologi Penelitian
P. falciparum maka dapat dipastikan
Desain Penelitian
yang tumbuh dalam kultur tersebut
Penelitian
ini
experimental
melakukan
adalah
penelitian
laboratorium
dengan
pengujian
secara
in
benar-benar
Plasmodium
vitro
d.
Menyediakan
ekstrak
daun
Cleome
viscosa
resisten
e. Melakukan uji efek antimalaria ekstrak
klorokuin (isolat W2) yang didapatkan dari
daun Cleome viscosa pada P.falciparum
NAMRU.
yang telah dibiakkan dengan cara:
Pengujian
falciparum
falciparum(dengan
menggunakan tetes tebal).
terhadap ekstrak Cleome viscosa terhadap
isolat
P.
efektifitas
dilakukan
pada berbagai bentuk morfologi dalam fase
eritrositik.
Kelompok
uji
dibagi
-
menjadi
viscosa
kelompok kontrol positif, yaitu pada biakan P.
negatif,
yaitu
pada
biakan
ke
dalam
sumur
mikro
dengan konsentrasi tertentu
falciparum diberikan chloroquin; kelompok
kontrol
Memasukkan ekstrak daun Cleome
-
Kemudian memberikan 50µl suspensi
P.
P.falciparum
falciparum tidak diberikan kloroquin maupun
sumur mikro
ekstrak Cleome viscosa; kelompok sampel,
-
yaitu pada biakan P. falciparum diberikan
pada
masing-masing
menginkubasi dalam incubator pada
suhu 37º C selama 24 jam
ekstrak Cleome vicosa dengan beberapa
f.
Memeriksa pertumbuhan Plasmodium
dosis diantaranya: 5 µg/ml, 10 µg/ml, 25
falciparum dengan menggunakan tetes
µg/ml, 50 µg/ml, 75 µg/ml, 100 µg/ml.
tebal
dan
hapusan
darah.
pemeriksaan
hapusan
penghitungan
eritrosit
dilakukan pada 5000 eritrosit.
4
Pada
darah
terinfeksi
6,7,8
Analisis Data
Data
Hasil Penelitian
hasil
penelitian
yang
diperoleh
Sebelum data mengenai efek antimalaria
kemudian akan dianalisis dengan analisis
ekstrak daun
keragaman (Analysis of Variance) satu arah
isolate
pada taraf nyata 5% dengan meggunakan
klorokuinsecara
ANOVA satu arah.
sebelumnya dilakukan pembuatan ekstrak
daun
Cleome viscosa
Plasmodium
melakukan
falciparum
invitro
Cleome
resisten
didapatkan
viscosa
kultur
terhadap
dan
terhadap
maka
kemudian
Plasmodium
falciparum resisten klorokuin.
Tabel 1.Persentase parasitemia masing-masing perlakuan
Perlakuan
Rata-rata eritrosit yang terinfeksi
Parasitemia (%)
Kontrol positif
1131
22, 62
Kontrol negatif
1513
30,26
5
493
9,86
10
443
8,85
25
286
5,72
50
271
5,41
75
233
4,66
100
147
2,94
Kelompok Sampel (µg/ml)
Dari
tabel
tersebut
didapatkan
hasil
ekstrak dengan konsentrasi 10 µg yaitu
bahwa tingkat parasitemia tertinggi terdapat
sebesar
2,94%.
pada pemberian ekstrak dengan konsentrasi
menggambarkan bahwa semakin tinggi dosis
5 µg yaitu sebesar 9,86% , sedangkan
ekstrak
tingkat parasitemia terendah pada pemberian
rendah jumlah atau tingkat parasitemia W2
Cleome
Tabel
viscosa
tersebut
maka
.
Tabel 2. Persentase penghambatan pertumbuhan W2
Perlakuan
Penghambatan pertumbuhan (%)
Kontrol positif
25%
Kontrol negatif
0%
Kelompok Sampel (µg/ml)
5
67%
10
70%
25
81%
50
82%
75
85%
100
90%
5
juga
semakin
Dari
hasil
terdapat pada pemberian ekstrak dengan
penghambatan
konsentrasi 5µg/ml. Tabel tersebut juga
pertumbuhan yang terbesar terdapat pada
menggambarkan bahwa semakin tinggi dosis
ekstrak dengan konsentrasi 100 µg/ml yaitu
ekstrak maka semakin tinggi pula persentase
sebesar
penghambatan pertumbuhan W2.
bahwa
tabel
tersebut
didapatkan
persentase
90%
sedangkan
persentase
penghambatan pertumbuhan yang terendah
Tabel 3. Hasil Analisis Data (Anova one-way)
Perlakuan
Rata-rata eritrosit yang terinfeksi
Kontrol positif
1130,60
Kontrol negatif
1512,60
Signifikansi (p)
Kelompok Sampel (µg/ml)
5
493
10
442,40
25
285,80
50
270,60
75
233,20
100
147,20
0,000
Data hasil analisa tersebut menunjukkan
antimalaria yang signifikan pada pemberian
signifikansi sebesar 0.000 yang berarti p <
ekstrak daun Cleome viscosa pada isolate
0.05, sehingga dari hasil data tersebut
Plasmodium falciparum resisten klorokuin
menunjukkan
secara
bahwa
terdapat
efek
invitro.
Tabel 4. Perbandingan Hasil Kontrol dan Perlakuan
Perlakuan yang dibandingkan
Rata-Rata eritrosit
Klorokuin
3,60
Control (-)
7,40
Klorokuin
8,00
5 µg
3,00
Klorokuin
8,00
10 µg
3,00
Klorokuin
8,00
25 µg
3,00
Klorokuin
8,00
50 µg
3,00
Klorokuin
8,00
75 µg
3,00
6
Signifikansi (p)
0,560
0,008
0,008
0,008
0,008
0,008
Tabel 4. Perbandingan Hasil Kontrol dan Perlakuan (lanjutan)
Perlakuan yang dibandingkan
Rata-Rata eritrosit
Klorokuin
8,00
100 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
5 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
10 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
25 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
50 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
75 µg
3,00
Kontrol (-)
8,00
100 µg
3,00
Signifikansi (p)
0,008
0,008
0,008
0,008
0,008
0,008
0,008
Data tersebut menunjukkan bahwa pada
15µg/ml) serta perbedaan penghambatan
perbandingan konsentrasi tertentu terdapat
yang bermakna pada perbandingan antara
perbedaan penghambatan pertumbuhan W2
kontrol negatif dengan sampel.
yang tidak bermakna yang ditandai dengan
nilai
signifikasi
(p)
> 0,05
Pembahasan
yaitu pada
perbandingan konsentrasi klorokuin 0,5µg/ml
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dengan kontrol negatif. Jadi dari tabel
apakah terdapat efek antimalaria ekstrak
tersebut
penghambatan
daun Cleome viscosa terhadap Plasmodium
pertumbuhan P. falciparum oleh klorokuin
falciparum resisten klorokuin secara in vitro.
tidak bermakna jika dibandingkan dengan
Sebagaimana yang terjadi di
kontrol negatif, sehingga dapat dikatakan
Lombok, Cleome viscosa telah digunakan
bahwa
efek
secara empiris sebagai antimalaria dengan
penghambatan yang bermakna terhadap
cara merebus atau memasak daun dari
kultur W2.
Cleome viscosa atau yang dikenal dengan
menggambarkan
klorokuin
tidak
memiliki
nama
Jika nilai signifikasi (p) < 0,05 maka
terdapat
perbedaan
penghambatan
tersebut
penghambatan
terdapat
pertumbuhan
masyarakat
Zat aktif yang diduga memiliki efek
perbedaan
W2
oleh
Lombok.
pertumbuhan W2 secara bermakna. Pada
tabel
“Lengkarang”
masyarakat
antimalaria pada tumbuhan Cleome viscosa
secara
ini
adalah
alkaloid,
yang
alkaloid
telah
bermakna pada perbandingan antara kontrol
diketahui
positif (klorokuin 0,5µg/ml) dengan sampel
menghambat
(5µg/ml, 10µg/ml, 25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml,
falciparum dengan cara berikatan dengan
7
bahwa
seperti
pertumbuhan
bekerja
Plasmodium
DNA
parasit
protein
dan
parasit,
menghambat
sehingga
parasit terhambat.
sintesis
dibandingkan dengan Cleome viscosa, akan
pertumbuhan
tetapi di wilayah Indonesia terutama di
10,11
Lombok
tumbuhan
yang
paling
banyak
Hasil penelitian secara umum dari W2
terdapat adalah Cleome viscosa, hal ini
yaitu terdapat penghambatan yang signifikan
terkait dengan kemudahan mendapatkan
terhadap pertumbuhan W2. Penghambatan
tumbuhan ini serta masyarakat Lombok lebih
pertumbuhan W2 ditandai dengan penurunan
mengenal
jumlah atau derajat parasitemia dari W2.
dengan
Seperti yang terdapat pada data hasil
adanya pemakaian Cleome viscosa secara
penelitian
Cleome
viscosa
Cleomepilosa
dibandingkan
terbukti
dengan
terdapat
penurunan
derajat
empiris sebagai antimalarial dengan cara
pada
konsentrasi
5µg/ml
memasak daun tumbuhan tersebut.
parasitemia
sebesar 67% jika dibandingkan dengan
Adapun beberapa penelitian lainnya yang
kultur pada pemberian control negative,
menggunakan
didapatkan
tumbuhansebagai
derajat
parasitemia
pada
ekstrak
salah
tumbuhsatu
alternatif
konsentrasi 5µg/ml adalah sebesar 9,86%
pengobatan terhadap malaria, antara lain
sedangkan
adalah
derajat
parasitemia
pada
ekstrak
daun
sambiloto.
Hasil
pemberian control negative adalah sebesar
penelitian tersebut adalah ekstrak sambiloto
30,26%.
memiliki penghambatan bermakna terhadap
Hasil
penelitian
semakin
tinggi
Cleome
viscosa
tingkat
parasitemia
menunjukkan
menunjukkan
bahwa
petumbuhan
dari
ekstrak
konsentrasi ekstrak 10.000 ug/ml dan 1.000
semakin
rendah
ug/ml.Jika
dibandingkan
sambiloto
tersebut
konsentrasi
maka
bahwa
dari
W2,
semakin
hal
ini
tinggi
Cleome
P.
falciparum
viscosa
yaitu
pada
dengan
maka
lebih
ekstrak
ekstrak
efektif
daun
dalam
konsentrasi ekstrak tersebut maka semakin
menghambat pertumbuhan W2, dimana pada
tinggi derajat penghambatan pertumbuhan
dosis
W2.
menghambat
Meninjau dari penelitian sebelumnya yaitu
ekstrak
5µg/ml
telah
pertumbuhan
derajat parasitemia 9,86%
W2
dapat
dengan
jadi persentase
pada penelitian ekstrak daun Cleome pilosa
penghambatan
terhadap P. falciparum resisten klorokuin
ekstrak Cleome viscosa sebesar 67%. Dalam
secara in vitro didapatkan bahwa pada
hal ini ekstrak Cleome viscosa lebih efektif
pemberian konsentrasi ekstrak 50 µg/ml
dan lebih mudah diperoleh karena tumbuhan
didapatkan penghambatan pertumbuhan W2
ini dapat hidup di daerah persawahan,
sebesar 98%.
dimana seperti yang kita ketahui bahwa
Jika melihat dari hasil penelitian tersebut
bahwa
dengan
konsentrasi
50
µg/ml
konsentrasi
50
oleh
persawahan, sehingga memudahkan untuk
memperoleh tumbuhan ini.3
sedangkan dari data penelitian Cleome
pada
W2
sebagian besar wilayah Lombok adalah area
didapatkan penghambatan sebesar 98%,
viscosa
pertumbuhan
Pada penelitian ekstrak pepaya varietas
µg/ml
cibinong didapatkan hasil bahwa ekstrak
didapatkan penghambatan sebesar 82%.
pepaya
Dalam hal ini Cleome pilosa lebih efektif jika
pertumbuhan P. falciparum pada konsentrasi
8
tersebut
dapat
menghambat
0,01µg/ml sampai dengan konsentrasi tinggi
“suatu ekstrak dikatakan efektif sebagai obat
100µg/ml, dibanding dengan kontrol negatif
antimalaria, pada konsentrasi tertentu dapat
(Rehena, 2009).Efektifitas antimalaria pada
menghambat pertumbuhan sebesar > 30 %
ekstrak pepaya varietas cibinong lebih tinggi
maka obat tersebut dapat dikatakan efektif
jika dibandingkan dengan ekstrak daun
sebagai obat antimalaria”. Hasil penelitian
Cleome viscosa karena pada penelitian yang
ektrak Cleome viscosa pada konsentrasi
dilakukan efek antimalaria yang signifikan
5µg/ml dapat menghambat pertumbuhan W2
terlihat pada konsentrasi 5µg/ml sampai
sebesar 67% secara invitro jika dibandingkan
dengan konsentrasi tinggi 100µg/ml, akan
dengan kontrol negatif. Jadi ekstrak daun
tetapi
Cleome viscosa memiliki efek antimalaria
kemudahan
tumbuhan
Cleome
dalam
menemukan
viscosa
dibandingkan
dengan
menemukan
varietas
cibinong
tanaman
khususnya
di
secara invitro.13
pepaya
Analisis
data
daerah
Mann-Whitney
dengan
didapatkan
menggunakan
hasil
bahwa
Lombok menyebabkan tumbuhan ini lebih
terdapat penghambatan yang signifikan pada
memungkinkan untuk diperoleh dibandingkan
konsentrasi
dengan pepaya varietas cibinong.12
50µg/ml,
5µg/ml,
75µg/ml,
10µg/ml,
100µg/ml.
25µg/ml,
Didapatkan
Daun johar juga merupakan salah satu
hasil bahwa pada setiap konsentrasi terjadi
obat alternatif untuk malaria, pada penelitian
penurunan jumlah parasitemia pada W2
in vitro, isolat alkaloid daun C. Siamea L.
yang ditandai dengan nilai signifikasi < 0,05.
(Johar) terbukti memiliki aktivitas antimalaria
Akan tetapi pada perbandingan konsentrasi
terhadap P. falciparum dengan harga IC50
tertentu terdapat nilai signifikasi yang lebih
sebesar 0,24 µg/ml (Pratiwi, 2008).Pada
dari 0,05, hal ini menunjukkan tidak terdapat
penelitian Cleome viscosa didapatkan hasil
penghambatan pertumbuhan atau penurunan
penghambatan pertumbuhan W2 terdapat
tingkat parasitemia yang bermakna. Terlihat
pada konsentrasi 5 µg/ml, dalam hal ini
pada konsentrasi 5µg/ml dengan 10µg/ml
terlihat
dengan
bahwa
dibandingkan
viscosa,
daun
johar
dengan
akan
lebih
ekstrak
tetapi
hal
efektif
nilai
signifikasi
sebesar
0,31,
Cleoma
konsentrasi 25µg/ml dengan 50µg/ml dengan
masih
nilai signifikasi sebesar 0,42, konsentrasi
ini
memerlukan pengujian yang lebih lanjut lagi
50µg/ml
karena dosis 5 µg/ml pada ekstrak Cleome
signifikasi sebesar 0,55, konsentrasi 75µg/ml
viscosa tidak dapat dikatakan sebagai dosis
dengan 100µg/ml dengan nilai signifikasi
minimal
perlu
sebesar
0,056,
dilakukan pengujian lebih lanjut untuk melihat
dengan
kontrol
dosis minimal yang dapat menghambat
signifikansi sebesar 0,056. Hasil tersebut
pertumbuhan
pada
menunjukkan bahwa nilai signifikansi > 0,05,
penelitian ekstrak daun johar tersebut telah
sehingga didapatkan gambaran bahwa pada
diketahui dosis minimal penghambatan yaitu
perbandingan
penghambatan,
W2.
sehingga
Sedangkan
pada konsentrasi 0,24 µg/ml.
Jika
melihat
secara
13
teoritis
dengan
75µg/ml
dan
dengan
klorokuin
negatif
konsentrasi
nilai
0,5µg/ml
dengan
tersebut
nilai
tidak
terdapat perbedaan derajat penghambatan
menurut
yang bermakna, hal ini disebabakankan
Pratiwi, dkk tahun 2007 menyebutkan bahwa
karena rentang konsentrasi ekstrak yang
9
kecil sehingga disarankan untuk penelitian
sebesar 1,72%. Hal ini disebabkan karena
selanjutnya dapat menggunakan konsentrasi
perbedaan
ekstrak dengan rentang yang lebih besar.
diberikan memiliki rentang yang tidak begitu
Pada
konsentrasi
parasitemia
9,86%,
jumlah
parasitemia
25µg/ml
konsentrasi
5,41%,
besar, sehingga apabila ingin mendapatkan
konsentrasi
10µg/ml
gambaran penghambatan pertumbuhan W2
jumlah
konsentrasi
parasitemia
yang
jumlah
konsentrasi
parasitemia
50µg/ml
ekstrak
5µg/ml
8,85%,
jumlah
konsentrasi
4,66%,
yang
5,72%,
dan
signifikan
maka
dilakukan
penelitian lanjutan dengan menggunakan
parasitemia
75µg/ml
lebih
rentang konsentrasi yang lebih besar.
jumlah
Pada
konsentrasi
kultur
pemberian
yang
klorokuin
mendapatkan
0,5µg/ml
memiliki
100µg/ml jumlah parasitemia sebesar 2, 94
derajat parasitemia yang tidak berbeda jauh
%.
dengan derajat parasitemia pada control
Jika dilihat dari tingkat penurunan jumlah
negatif, hal ini membuktikan bahwa strain W2
parasitemia pada kultur W2 yang diberikan
resisten terhadap klorokuin.
ekstrak Cleome viscosa dengan konsentrasi
Perlu ditekankan bahwa konsentrasi yang
5µg/ml, 10µg/ml, 25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml,
digunakan bukan merupakan konsentrasi
100µg/ml,
minimal
dapat
penurunan
dilihat
parasitemia
bahwa
dari
tingkat
konsentrasi
yang
pertumbuhan W2,
dapat
menghambat
peneliti
menggunakan
5µg/ml sampai dengan 100µg/ml memiliki
dosis efektif dari ekstrak Cleome pilosa
tingkat penurunan parasitemia yang tidak
kemudian
jauh
menurunkan dosis dan menaikkan dosis dari
berbeda,
terbukti
bahwa
pada
mengambil
dosis
9,86% jika dibandingkan dengan konsentrasi
menggunakan
10µg/ml yang memiliki tingkat parasitemia
menghambat pertumbuhan W2 dan belum
sebesar
mencari
didapatkan
dari
hasil
tersebut
perbedaan
penurunan
tersebut.
dengan
konsentrasi 5µg/ml derajat parasitemianya
8,85%,
efektif
rentang
konsentrasi
dosis
menghambat
Peneliti
minimal
pertumbuhan
yang
mampu
yang
W2,
dapat
hal
disebabkan
menunjukkan
perbedaan
bahan penelitian yang berupa isolat W2.
W2
Oleh
penghambatan
pertumbuhan
pada
karena
itu
keterbatasan
ini
parasitemia sebesar 1,01%. Hasil tersebut
bahwa
karena
hanya
pentingnya
bahan-
penelitian
pemberian kedua konsentrasi tersebut tidak
lanjutan untuk mencari dosis minimal yang
jauh
dapat menghambat pertumbuhan W2 serta
berbeda,
begitu
pula
dengan
konsentrasi lainnya yaitu pada konsentrasi
dosis
10µg/ml dengan 25µg/ml yang memiliki
tumbuhan ini yang dapat dilakukan pada
selisih
3,13%,
percobaan
secara
konsentrasi 25µg/ml dengan 50µg/ml yang
digunakan
oleh
memiliki selisih parasitemia sebesar 0,31%,
merupakan dosis toksik pada hewan coba.
parasitemia
sebesar
toksik
dari
pemberian
invivo.
peneliti
ekstrak
Dosis
yang
mungkin
saja
konsentrasi 50µg/ml dengan 75µg/ml yang
Pada paparan diatas didapatkan bahwa
memiliki selisih parasitemia sebesar 0,75%,
terdapat perbedaan tingkat penghambatan
sedangkan
75µg/ml
pertumbuhan P. falciparum hal tersebut
dengan 100µg/ml memiliki selisih parasitemia
dapat disebabkan oleh perbedaan strain dari
pada
konsentrasi
10
P. falciparum, perbedaan varietas tumbuhan
4. Unjiyanto.2009. Resistensi Klorokuin.
Available from: www.searchwinds.com
(Accessed November 5, 2009)
5. Henrata.2009.
Taksonomi
Bidens
biternata.
Available
from:
http//www.plantamor.com
(Accessed:
November 5, 2009)
6. Sutamiharja dkk, 2009. Buku Panduan
Pelatihan Diagnosis Mikroskopis Malaria.
Jakarta. Departemen PArasitologi Medis
US NAMRU-2
7. Departement of Health Human Service.
2008. Diagnosis Malaria. Available from:
http//www.hhs.gov (Accessed, November
7, 2009)
8. Gandahusada, dkk. 1998. Parasitologi
Kedokteran ed. 3. Jakarta. FKUI
9. Gunawan,
Ari.
2007.
Morfologi
Plasmodium.
Available
from:
http//www.freewebs.com
(Accessed:
November 7 2009)
10. Krettli, dkk. 1997. Antimalaria activity of
Extract Bidens pilosa and other Bidens
species (Asteraceae) correlated with the
presence of acetylene and flavonoid
compounds.
Available
from:
www.pubmed.com (Accessed: July 7,
2010)
11. Leonard Bruce. 2007. Bidens. Malaria
Journal. 13:12.pp.3
12. Rehena. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun
Pepaya ( Carica papaya.Linn) terhadap
Pertumbuhan Parasit Malaria dan
Sosialisasinya
sebagai
Antimalaria
kepada Masyarakat di Kecamatan
Kairatu Kabupaten seram Bagian barat.
Available
from:
www.karyailmiah.um.ac.id (Accessed: July 10,
2010)
13. Pratiwi.2008. Aktifitas Antimalaria Isolat
Alkanoid Daun Johar (Casia siamea
lamk.) terhadap Pertumbuhan P. berghei
in vivo. Available from: www.unair.ac.id
(Accessed: July 7,2010)
14. Syamsudin, dkk, 2007. Uji Efektivitas
Antimalaria Asam Kandis. Available from:
www.farmasi.unand.ac.id (accessed :
November 5,2010)
yang digunakan sebagai ekstrak, keadaan
kultur pada saat perlakuan serta perbedaan
kandungan zat aktif yang berfungsi sebagai
antimalaria pada setiap tumbuhan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data
dan pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa pada penambahan ekstrak Cleome
viscosa dengan konsentrasi 5µg/ml, 10µg/ml,
25µg/ml, 50µg/ml, 75µg/ml, 100µg/ml pada
kultur P. falciparum resisten klorokuin (W2)
secara
in
vitro
menunjukkan
adanya
penghambatan pertumbuhan W2 tersebut,
berarti dalam hal ini Cleome viscosa memiliki
efek antimalaria terhadap W2.Persentase
penghambatan
pertumbuhan
W2
secara
invitro oleh Cleome viscosa sebanyak 67%
pada
konsentrasi
5µg/ml,
70%
pada
konsentrasi 10 µg/ml, 81% pada konsentrasi
25 µg/ml, 82% pada konsentrasi 50 µg/ml,
85% pada konsentrasi 75 µg/ml, dan 90%
pada konsentrasi 100 µg/ml.
Daftar Pustaka
1. Rehena. 2009. Malaria. Available from:
http//www.karya-ilmiah.um.ac.id
(Accessed: November 5, 2009)
2. Dachlan.2005. Malaria Endemic Patterns
on Lombok and Sumbawa Islands.
Available from: http//:www.jstag.jst.go.ip
(Accessed:November 5,2009)
3. Widyawaruyanti. 2005. Uji Efektifitas
Antimalaria Ekstrak Sambiloto terhadap
P. falciparum In Vitro. Available from:
www.adln.lib.unair.ac.id
(Accessed:
November 5, 2009)
11
HUBUNGAN KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI
41 AMPENAN KELURAHAN JEMPONG BARU KECAMATAN SEKARBELA TAHUN 2011
Indana Eva Ajmala, Eka Arie Yuliyani, Anom Josafat
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract
Background: Nowdays, there are about 2 billion people with helminthiasis. In Indonesia, helminthiasis is the
most common disease after malnutrition. The highest prevalence and intensity of helminthiasis occured
among school-age children. Intestinal helminthiasis can cause malnutrition
Purpose: The purpose of this research is to find out correlation between helminthiasis and nutritional status.
Method: This research is a descriptive analytic designed with cross-sectional approach. The subject in this
research are the 4, 5 and 6 grade student in State Elementary School 41 Kelurahan Jempong Baru Sekarbela
that suitable with the inclusion criteria. The laboratory test using simple stool examination, while the nutritional
status measured based on WHO criteria z-score height/age and BMI/age. The analysis on this research are
Chi-Square with significancy 0,05 and Kolmogorov-Smirnov if the Chi-Square not suitable.
Result: the result shows that 76 student (67,3%) are in a positive way helminth infected and 37 students
(32,7%) are negative result, with the highest species are Trichuris trichiura (28,3%). From the Chi-Square,
correlation between helminthiasis and nutritional status index height/age p=0,152 (>0,05) and from
Kolmogorov-Smirnov correlation between helminthiasis and nutritional status BMI/age are p=0,390 (>0,05).
Conclusion: There are no correlation between helminthiasis and nutritional status index height/age and
BMI/age.
Keyword: Helminthiasis, Nutritional Status, Elementary student
Abstrak
Latar Belakang: Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Di Indonesia penyakit cacing
merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi
didapatkan di kalangan anak usia sekolah. Infeksi cacing usus dapat mengakibatkan kurang gizi.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara kecacingan dengan status gizi.
Metode Penelitian : Jenis penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross-sectional. Penelitian ini
dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN 41 Kelurahan Jempong Baru Kecamatan Sekarbela
yang memenuhi kriteria inklusi. Uji laboratorium menggunakan metode sederhana, sedangkan penilaian
status gizi menggunakan z-score TB/U dan IMT/U kriteria WHO. Analisis data dengan menggunakan uji ChiSquare dengan derajat kemaknaan 0,05 dan Kolmogorov-Smirnov jika syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi.
Hasil penelitian : dari penelitian didapatkan 76 siswa (67,3%) positif kecacingan dan 37 siswa (32,7%)
negatif dengan infeksi tertinggi jenis cacing cambuk (28,3%). Dari uji Chi-Square hubungan kecacingan
dengan status gizi indeks TB/U didapatkan nilai p =0,152 (>0,05) dan dari uji Kolmogorov-Smirnov hubungan
dengan status gizi indeks IMT/U didapatkan nilai p=0,390 (>0,05).
Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan status gizi indeks TB/U dan IMT/U.
Kata kunci: kecacingan, status gizi, sekolah dasar
Pendahuluan
Di indonesia penyakit cacing merupakan
Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar
masalah kesehatan masyarakat terbanyak
penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang
setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas
tinggi ditemukan terutama di negara-negara
tertinggi didapatkan dikalangan anak usia
non
sekolah dasar1.
industri
berkembang).
(negara
Merid
yang
mengatakan
sedang
bahwa
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di
menurut World Health Organization (WHO)
pedesaan maupun di perkotaan. Angka
diperkirakan 800 juta- 1 milyar penduduk
infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah
terinfeksi Ascaris, 700-900 juta terinfeksi
cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei
cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris.
cacingan di Sekolah Dasar di beberapa
12
provinsi
tahun
prevalensi
1986-1991
sekitar
menunjukkan
60%-80%,
zat gizi ke dalam tubuh. Dari penelitian Platt
sedangkan
dan Heard terbukti bahwa perilaku cacing
untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
dalam mencuri zat gizi menjadi semakin lebih
Hasil survey subdit Diare pada tahun 2002
agresif
keadaan
kurang
gizi
1
dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
dibandingkan pada keadaan cukup gizi .
meunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-
Penilaian status gizi dapat dilakukan
2
96,3% .
Di
pada
secara langsung maupun tidak langsung.
provinsi
NTB,
angka
kejadian
Penilaian status gizi secara langsung dapat
kecacingan juga tergolong tinggi, antara lain
dibagi menjadi empat penilaian yaitu secara
prevalensi infeksi oleh cacing gelang sebesar
antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
92% dan infeksi oleh cacing cambuk sebesar
Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
84%. Pada tahun 1998, dilakukan survei
langsung dapat dibagi tiga yaitu survei
pada sejumlah murid di dua SD di Lombok
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor
yang menunjukkan angka prevalensi infeksi
ekologi 4.
oleh cacing gelang sebesar 78,5% dan
Cara pengukuran status gizi yang paling
72,6% 3.
sering di masyarakat dan digunakan dalam
Keadaan gizi anak merupakan salah satu
program gizi masyarakat untuk pemantauan
indikator derajat kesehatan. Makin baik
status gizi anak balita adalah antropometri
status
gizi/metode antropometri 4.
gizi
anak,
kesehatan
Indonesia
makin
suatu
tinggi
tingkat
bangsa/negara.
kurang energi protein
Di
Terdapat empat indikator penilaian status
(KEP),
gizi, yaitu:
merupakan masalah gizi yang utama. Infeksi

Panjang/tinggi badan menurut umur
cacing usus dapat megakibatkan kurang gizi,

Berat badan menurut umur
anemia,

Berat badan menurut panjang/tinggi
gangguan
pertumbuhan
dan
kecerdasan. Keberadaan cacing di dalam
badan

usus, tergantung dari jumlah atau tingkat
Indeks Massa Tubuh menurut umur
infeksinya akan mempengaruhi pemasukan
Tabel 1. Status Gizi menurut Z-Score - WHO
Indikator Pertumbuhan
Z-Score
Di atas 3
Di atas 2
PB/U atau TB/U
BB/U
Lihat catatan 1
Lihat catatan 2
Di atas 1
0 (angka median)
13
BB/PB atau
BB/TB
IMT/U
Sangat Gemuk
Sangat Gemuk
(obes)
(obes)
Gemuk
Gemuk
(overweight)
(overweight)
Resiko Gemuk
Resiko Gemuk
(Lihat catatan 3)
(Lihat catatan 3)
Tabel 1. Status Gizi menurut Z-Score - WHO (lanjutan)
Indikator
Z-Score
Indikator
Z-Score
Pertumbuhan
Z-Score
Pertumbuhan
PB/U atau TB/U
PB/U atau TB/U
Di bawah -1
Di bawah -2
Di bawah-3
Pendek (Stunted)
BB kurang
(Lihat catatan 4)
(underweight)
Sangat pendek
BB sangat kurang
(severe stunted)
(severe
(Lihat catatan 4)
underweight)
Kurus (wasted)
Kurus (wasted)
Sangat kurus
Sangat kurus
(severe wasted)
(severe wasted)
Catatan:
Metodologi Penelitian
1. Seorang anak pada kategori ini
termasuk sangat tinggi dan biasanya
Penelitian
tidak menjadi masalah kecuali anak
penelitian
yang
sangat
ini
termasuk
deskriptif
dalam
analitik
dengan
tinggi
mungkin
rancangan
gangguan
endokrin
dilakukan terhadap seluruh siswa kelas 4, 5
yang
dan 6 SDN 41 Ampenan Kelurahan Jempong
memproduksi hormon pertumbuhan.
Baru Kecamatan sekarbela tahun ajaran
Rujuklah anak tersebut jika diduga
2011/2012 yang memenuhi kriteria inklusi
mengalami
dan
mengalami
seperti
adanya
tumor
gangguan
endokrin
cross-sectional.
jenis
eksklusi,
berjumlah
(misalnya anak yang tinggi sekali
siswa.Metode
menurut umurnya, sedangkan tinggi
dengan
melakukan
orangtua normal)
laboratorium
(feses),
2. Seorang anak berdasarkan BB/U
pada
kategori
ini,
badan,
Penelitian
sebanyak
pengambilan
pengukuran
data
ini
113
yakni
pemeriksaan
pengukuran
berat
badan
tinggi
dan
kemungkinan
penentuan ststus gizi anak menggunakan Z-
mempunyai masalah pertumbuhan,
Score TB/U dan IMT/U. Z-Score dihitung
tetapi akan lebih baik bila anak ini
dengan
menggunakan
dinilai berdasarkan indikator BB/PB
calculator
program
atau BB/TB atau IMT/U
Pengolahan data dilakukan secara analitik
3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan
kemungkinan
resiko.
anthropometric
WHO
Anthro
Plus.
dengan teknik analisis chi-square untuk
Bila
mengetahui
hubungan
antara
variabel-
kecenderungannya menuju garis z-
variabel yang diteliti. Bila tidak memenuhi
score 2 berarti resiko lebuh pasti
syarat uji Chi-Square, maka akan dilakukan
4. Anak yang pendek atau sangat
uji
Kolmogorov-Smirnov.
Analisis
yang
pendek, kemungkinan akan menjadi
digunakan untuk mengolah data-data yang
gemuk bila mendapatkan intervensi
diperoleh
gizi yang salah.
bantuan software SPSS 17.
14
adalah
dengan
menggunakan
maka didapatkan frekuensi jenis kelamin
Hasil Dan Pembahasan
yaitu sebanyak 64 siswa (56,6%) berjenis
1. Distribusi jenis kelamin siswa
kelamin perempuan dan sebanyak 49 siswa
Berdasarkan hasil penelitian dari 113
(43,4%) berjenis kelamin laki-laki.
siswa yang menjadi subjek penelitian ini
Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Siswa
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Perempuan
64
56,6%
Laki-laki
49
43,4%
Total
113
100
2. Distribusi umur siswa
dan yang paling sedikit adalah berumur 9
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
tahun dan 14 tahun dengan jumlah siswa
frekuensi siswa terbanyak adalah berumur
masing-masing 1 orang (0,9%).
12 tahun yang berjumlah 48 siswa (42,5%)
Tabel 2. Distribusi Umur Siswa
Umur
Frekuensi
Persentase (%)
9 tahun
1
0,9
10 tahun
22
19,5
11 tahun
31
27,4
12 tahun
48
42,5
13 tahun
10
8,8
14 tahun
1
0,9
Total
113
100
3. Distribusi kejadian kecacingan
terinfeksi kombinasi cacing cambuk dan
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi
cacing tambang sebanyak 1siswa (0,9%).
siswa yang positif kecacingan sebanyak 76
kecacingan
4. Hubungan antara kejadian kecacingan
sebanyak 37 siswa (32,7%). Jenis cacing
dengan status gizi berdasarkan indeks
yang menginfeksi siswa tersebut didominasi
TB/U
siswa
oleh
(67,3%)
cacing
dan
dengan
frekuensi
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
(28,3%),
kemudian
frekuensi siswa yang memiliki status gizi
kombinasi cacing gelang dan cacing cambuk
normal dan positif terinfeksi cacing sebanyak
sebanyak 29 siswa (25,7%). Frekuensi yang
42 siswa (62,7%), sedangkan yang negatif
paling sedikit ditemukan pada siswa yang
terinfeksi cacing dan status gizi normal
sebanyak
32
cambuk
negatif
siswa
sebanyak 25 siswa (37,3%). Frekuensi siswa
15
dengan kejadian cacingan positif dan status
Setelah dianalisis dengan mengguakan uji
gizi pendek sebanyak 23 siswa (82,1%),
chi-square, maka didapatkan nilai p sebesar
kejadian cacingan negatif dan status gizi
0,152 (lebih besar dari 0,05) yang artinya
pendek sebanyak 5 siswa (17,9%), kejadian
tidak
cacingan positif dan status gizi sangat
kecacingan dengan status gizi berdasarkan
pendek sebanyak 11 siswa (61,1%), kejadian
indeks TB/U.
ada
hubungan
antara
kejadian
cacingan negatif dan status gizi sangat
pendek sebanyak 7 siswa (38,9%).
Tabel 3.
Status Gizi
Kejadian
Normal
Pendek
Kecacingan
n
%
N
%
n
%
Positif
42
62,7
23
82,1
11
61,1
Negatif
25
37,3
5
17,9
7
38,9
100
28
100
18
100
Total
67
p
Sangat Pendek
0,152
5. Hubungan antara kejadian kecacingan
sebanyak 2 siswa (100%), dan tidak terdapat
dengan status gizi berdasarkan indeks
kejadian cacingan negatif dan status gizi
IMT/U
sangat kurus (0%).
Frekuensi
kejadian
Berdasarkan hasil uji statistik dengan
cacingan positif dan memiliki status gizi
menggunakan Chi-square antara variabel
resiko gemuk sejumlah 8 sisw (88,9%),
kejadian kecacingan dengan status gizi
kejadian cacingan negatif dan memiliki status
berdasarkan IMT/U didapatkan 4 sel (50%)
gizi resiko gemuk sejumlah 1 siswa (11,1%),
memiliki expected count kurang dari 5
kejadian cacingan positif dan memiliki status
sehingga
gizi normal sejumlah 61 siswa (65,6%),
dilakukan uji Chi-square. Oleh karena itu
kejadian cacingan negatif dan status gizi
dilakukan uji alternatif Kolmogrov-Smirnov.
normal sejumlah 32 siswa (34,4%), kejadian
Hasil uji ini didapatkan nilai p=0,0390 (lebih
cacingan
besar dari 0,05) yang berarti tidak ada
sebanyak
siswa
positif
5
dan
siswa
dengan
status
(55,6%),
gizi
kurus
kejadian
hubungan
cacingan negatif dan status gizi kurus
dengan
sebanyak
IMT/U.
4
siswa
(44,4%),
tidak
kejadian
cacingan positif dan status gizi sangat kurus
16
memenuhi
antara
status
gizi
kejadian
syarat
untuk
kecacingan
berdasarkan
indeks
Tabel 4.
Status Gizi
Kejadian
Kecacingan
Positif
Negatif
Total
Hasil
Resiko Gemuk
Normal
Kurus
Sangat Kurus
n
%
n
%
n
%
n
%
8
88,9
61
65,6
5
55,6
2
100
1
11,1
32
34,4
4
44,4
0
0
9
100
93
100
9
100
2
100
penelitian
kecerdasan. Keberadaan cacing di dalam
penelitian yang dilakukan oleh Syahdi Noor
usus, tergantung dari jumlah atau tingkat
(2008)
infeksinya akan mempengaruhi pemasukan
terdapat
sama
0,390
dengan
yang
ini
p
menyatakan
hubungan
bahwa
antara
tidak
zat gizi ke dalam tubuh 1.
kecacingan
dengan status gizi dan Windaruslina (1999)
yang juga menyatakan tidak ada hubunga
Kesimpulan
antara kecacingan dengan status gizi murid
(indeks TB/U)5,6.
Tetapi
hal
Pada penelitian ini dapat disimpulkan
ini
tidak
sesuai
dengan
bahwa
kepustakaan yang menyatakan infeksi cacing
usus dapat mengakibatkan
anemia,
gangguan
terdapat
hubungan
antara
kejadian kecacingan dengan status gizi
kurang gizi,
pertumbuhan
tidak
berdasarkan indeks TB/U dan IMT/U.
dan
Daftar Pustaka
1. Ginting SA. Hubungan Antara Status
Sosial Ekonomi Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di
Desa Suka Kecamatan Tiga Panah,
Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera
Utara. 2003 [cited 2010 April 20].
Available
from:http://www.library.usu.ac.id
2. Menteri Kesehatan RI. Keputusan Meteri
Kesehatan: Pedoman Pengendalian
Cacingan. 2006 [cited 2010 April 20].
Available from: http://www.depkes.go.id
3. Gandahusada
S.
Parasitologi
Kedokteran Edisi Ketiga.Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2004
4. Supriasa IDN., Bakri B., Fajar I. Penilaian
Status Gizi. Jakarta:EGC; 2002
5. Syahdi
N.
Hubungan
Kejadian
Kecacingan dengan Status Gizi, Umur
dan Jenis Kelamin Anak Sekolah Dasar
Negeri Bangkal 3 Kecamatan Cempaka
Kota Banjarbaru Periode Maret 2007.
6.
17
Berkala Kedokteran jurnal kedokteran
dan kesehatan vol.7 no.2; 2008
Windaruslina,
Yudiawati.
Hubungan
Kecacingan Dengan Status Gizi Murid
SDN 02 dan 04 Bandarharjo Kelurahan
Tanjung Mas Kecamatan Semarang
Utara Kotamadya Semarang.1999 [cited
2010 April 20]. Available from :
http://www.eprintsundip.ac.id
THE EFFECT OF ADMINISTRATION THE HIGHRISE DOSAGE OF MONOSODIUM
GLUTAMATE TOWARDS THE LEVEL OF SERUM UREA-CREATININE ON WISTAR RATS
Hayatin Nisa, Arfi Syamsun, Ima Arum Lestarini
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract
Background: Many cases of Monosodium Glutamate (MSG) consumption were found. Many food producers,
even restaurant and household add MSG on the food produced. Safety use of MSG is still being debated.
Some have claimed that the use of MSG is safe within certain limits, but the results of several studies in
animals found that MSG affects the body's organs. MSG that accumulates in the body will interfere, especially
the urinary system (kidneys), liver, brain, hematopoietic system, cardiovascular, central nervous system, and
reproductive system. The aim of this study was to detect the effect of MSG in highrise dosage towards the
level of serum urea-creatinine on Wistar Rats (Rattus novergicus).
Methods: The research used a simple experimental design which iscalled the post-test only control group
design. This research wasconducted on five sample groups: one group as a control, and fourothers as the
treatment. The control group was not given MSG, butaquadest, while the treatment groups were given MSG
solution orallyin gradable dose. MSG solution dose that was given in treatment group1 (P1) were 400
mg/100gBB, while the MSG dose for treatment 2 group(P2) were 800 mg/100gBB, treatment 3 group (P3)
were 1200 mg/100gBB,and treatment 4 (P4) were 1600 mg/100gBB that were divided into 2doses. After 14
days, mice anesthetized with diethyl ether, thendecapitation and its blood was taken by intracardiac to
determineserum urea-creatinine level on Wistar Rats.
Result: There was significant effect of administration MSG on serum urea-creatinine levels on Wistar Rats (p
<0.05). The result of this study also showed that higher doses of MSG were given, higher meanlevels of
serum urea produced, while serum creatinine levels remainedrelatively constant for each group.
Conclusion: There was significant effect of giving MSG on serumurea-creatinine levels on Wistar Rats
statistically (p <0.05).
Keywords: MSG, 14 days, Highrise Dosage, Urea, Creatinine.
Pendahuluan
Organisasi dunia seperti Food and Drug
Konsumsi Monosodium Glutamat (MSG)
Administration (FDA) dan Federation of
atau yang lebih dikenal dengan vetsin atau
American Societies for Experimental Biology
1
ajinomoto banyak kita temukan . Banyak
(FASEB) menyebutkan secara umum MSG
produsen
MSG
aman dikonsumsi. Merunut dari pernyataan
produksi,
tersebut, di Indonesia Badan Pengawas Obat
bahkan restoran dan rumah tangga sekalipun
dan Makanan (BPOM) menyatakan MSG
menambahkan MSG agar makanan yang
termasuk ke dalam bahan makanan yang
pada
makanan
makanan
menambahkan
yang
mereka
2,3
dikonsumsi terasa lebih nikmat . Ini yang
aman dikonsumsi4,6. Tetapi sejauh ini, belum
menjadikan konsumsi MSG meningkat di
banyak
penelitian
langsung
seluruh dunia dan menjadi bahan penambah
manusia
yang
membuktikan
rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara,
penggunaan
4
MSG
4
aman .
terhadap
bahwa
Sementara
tidak terkecuali di Indonesia . Setidaknya
penelitian pada hewan coba mendapatkan
sampai tahun 1997, setiap tahun produksi
bahwa MSG berefek pada organ tubuh 1.
MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun
Salah satunya terhadap ginjal 1,7,8.
dengan konsumsi mengalami kenaikan rata-
Ginjal merupakan organ yang berfungsi
4
rata sekitar 24,1% per tahun .
untuk mengekskresikan metabolisme dari
Pendapat antara aman atau tidaknya
MSG
juga
masih
MSG. Konsumsi MSG akan memberikan
4,5
diperdebatkan .
efek pada
18
ginjal 1,7,8. Dari penelitian Inuwa
dkk.
(2011)
penggunaan
kenaikan
mendapatkan
MSG
pada
akan
kadar
bahwa
disusun secara Rancangan Acak Kelompok
menyebabkan
(RAK) dengan pengambilan data setelah
ureum
kreatinin.
perlakuan (Post Test Only Control Group
Sejalan dengan penelitian tersebut, hasil
Design).
penelitian Marwa dan Manal di Mesir (2011)
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus
juga mendapatkan terjadi peningkatan kadar
putih
serum
terjadi
dengan jumlah sampel 30 ekor Tikus Wistar
jaringan
jantan dengan berat badan 150-250 gram.
ginjal. Ada beberapa pendapat mengenai
Melakukan adaptasi terhadap 30 ekor Tikus
efek
ginjal,
Wistar jantan selama 7 hari di laboratorium
menyebabkan
dengan kandang tunggal dan diberi pakan
terbentuknya reactive oxygen species (ROS).
standar serta minum secukupnya. Pada hari
kreatinin,
perubahan
BUN,
serta
histopatologis
toksisitas
diantaranya,
MSG
pada
terhadap
MSG
Meskipun beberapa pihak menyatakan
ke-8,
bahwa MSG aman untuk dikonsumsi dalam
(Rattus
Tikus
kelompok,
1
novergicus)
Wistar
1
galur
dibagi
kelompok
Wistar
menjadi
kontrol
dan
5
4
batas tertentu . Namun, akurasi penggunaan
kelompok perlakuan yang masing-masing
MSG pada individu sehari-hari sulit untuk
terdiri dari 6 ekor Tikus Wistar yang dipilih
diperoleh sehingga penelitian tentang efek
secara acak. Masing-masing Tikus Wistar
toksik kumulatif MSG sebaiknya menjadi
pada setiap kelompok diberi tanda dengan
1
perhatian dan perlu untuk dilakukan .
Penelitian
peneliti
kepala, punggung, perut, ekor, dan kaki,
lakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa
kemudian menimbang berat badan masing-
tikus yang diberikan larutan MSG dosis letal
masing tikus.
mati
pendahuluan
dalam waktu
yang
asam pikrat pada daerah yang berbeda yaitu
kurang
dari
1
hari
Selanjutnya
memberikan
perlakuan
sementara tikus yang diberikan larutan MSG
dimana kelompok kontrol hanya diberikan
dosis letal dengan dosis terbagi mati dalam
aquades, sementara kelompok perlakuan
waktu 21 hari. Berdasarkan kesenjangan dari
diberikan MSG dengan dosis bertingkat yaitu
penelitian
kelompok perlakuan 1 (P1) diberikan MSG
sebelumnya
dan
penelitian
1
pendahuluan tersebut, maka pada penelitian
sebanyak
ini, peneliti akan memberikan perlakuan
g/KgBB)
berupa
dosis
perlakuan 2 (P2) yang diberikan MSG
LD50, dan 1
sebanyak ½ LD50 MSG atau 800mg/100gBB,
LD50), dosis terbagi, 2 kali sehari selama 14
kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberikan
hari
MSG
pemberian
larutan
1
bertingkat ( /4 LD50, ½
pada
Tikus
MSG
LD50,3/4
Wistar
untuk
menilai
/4 LD50 MSG (LD50 MSG 16,6
atau
400mg/100gBB,
sebanyak
3
/4
LD50
kelompok
MSGatau
pengaruh pemberian MSG terhadap kadar
1200mg/100gBB dan kelompok perlakuan 4
ureum kreatinin.
(P4) yang diberikan MSG sebanyak dosis
LD50 MSG
Metode Dan Cara Kerja
laboratorium.
1600mg/100gBB.
MSG
diberikan per oral dengan menggunakan
Penelitian ini dilakukan dengan metode
eksperimental
atau
sonde pada mulut tikus sesuai dosis yang
melalui
percobaan
sudah ditentukan. Hal ini dilakukan selama
Rancangan
percobaannya
14 hari.Pada hari ke-15 dilakukan pembiusan
19
pada tikus dengan menggunakan obat bius
menggunakan metode enzimatik cobass c
golongan eter. Hal ini dilakukan untuk
111system. Data pemeriksaan dicatat dalam
memudahkan dalam proses pengambilan
formulir untuk kemudian dianalisa.
darah yang akan dilakukan pada organ
jantung Tikus Wistar. Setelah pengambilan
Hasil Dan Pembahasan
darah menggunakan spuit lalu sampel darah
Pengaruh
dimasukkan
bertingkat terhadap kadar ureum serum
ke
dalam
tabung
V
dan
Hepatika
sebagai
MSG
dosis
darah Tikus Wistar
dilakukan sentrifuge kemudian dibawa ke
Laboratorium
pemberian
tempat
Pengaruh dosis MSG terhadap kadar
pengukuran kadar ureum-kreatinin serum
ureum serum darah Tikus Wistar, dapat
darah Tikus Wistar yang diukur dengan
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Pengaruh dosis MSG terhadap Kadar Ureum Serum Darah Tikus Wistar
Kadar ureum serum
Besar dosis MSG
Rerata (Simpang Baku)
K (Aquades (0))
32,17 (3,061)
P1 (400 mg)
44,83 (6,210)
P2 (800 mg)
60 (2,530)
P3 (1200 mg)
50,17 (12,937)
P4 (1600 mg)
67,17 (4,491)
p*
0,000
*Uji Kruskal-wallis
Tabel 2. Uji Post Hoc Perbedaan Kadar Ureum Serum antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan
K
P1
P2
P3
P4
K
P1
P2
P3
P4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
p=0,00
4
p=0,00
p=0,00
4
4
p=0,01
p=0,52
p=0,1
3
1
09
p=0,00
p=0,00
p=0,0
p=0,01
4
4
15
6
*Uji Mann-Whitney
20
-
Dari data di atas didapatkan bahwa paling
Sementara korelasi dosis MSG dengan
tidak terdapat perbedaan kadar ureum serum
kadar ureum serum Tikus Wistar, dapat
darah Tikus Wistar antara kelompok yang
dijelaskan dalam tabel berikut:
bermakna.
Tabel 3 Korelasi Dosis MSG dengan Kadar Ureum Serum Tikus Wistar
Kadar ureum serum
Besar dosis MSG
Rerata (Simpang Baku)
K (Aquades (0))
32,17 (3,061)
P1 (400 mg)
44,83 (6,210)
P2 (800 mg)
60 (2,530)
P3 (1200 mg)
50,17 (12,937)
P4 (1600 mg)
67,17 (4,491)
Rho
0,784
p*
0,000
*Uji Spearman
Pengaruh
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pemberian
MSG
dosis
terdapat korelasi yang bermakna antara
bertingkat terhadap kadar kreatinin serum
dosis pemberian MSG dengan kadar ureum
darah Tikus Wistar
serum
darah
Tikus
Wistar,
dimana
Pengaruh dosis MSG terhadap kadar
didapatkan bahwa semakin tinggi dosis MSG
kreatinin
serum
darah
Tikus
yang diberikan maka semakin tinggi pula
penjelasannya dapat dilihat dalam tabel
kadar ureum serum darah Tikus Wistar.
berikut:
Tabel 4 Pengaruh dosis MSG terhadap kadar kreatinin serum darah Tikus Wistar
Kadar kreatinin serum
Besar dosis MSG
Median (minimummaksimum)
K (Aquades (0))
0,30 (0,3-0,4)
P1 (400 mg)
0,30 (0,2-0,4)
P2 (800 mg)
0,40 (0,3-0,5)
P3 (1200 mg)
0,20 (0,2-0,3)
P4 (1600 mg)
0,20 (0,2-0,3)
p*
0,007
*Uji Kruskal-wallis
21
Wistar,
Tabel 5 Uji Post Hoc Perbedaan Kadar Kreatinin Serum antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan
K
P1
P2
P3
P4
K
P1
P2
P3
P4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
p=0,59
8
p=0,07
p=0,05
1
8
p=0,17
p=0,59
p=0,02
6
8
0
p=0,01
p=0,07
p=0,00
p=0,09
8
5
8
3
-
*Uji Mann-Whitney
Dari data di atas didapatkan bahwa
dan kelompok perlakuan 2 (P2) dengan
konsumsi MSG berpengaruh terhadap kadar
kelompok
kreatinin
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
Pengaruh
kelompok,
serum
ini
darah
terlihat
dimana
Tikus
pada
Wistar.
beberapa
didapatkan
perlakuan
4
(P4),
sementara
lainnya tidak bermakna secara signifikan.
bahwa
Sementara korelasi dosis MSG dengan
terdapat perbedaan kadar kreatinin pada
kadar
kelompok
penjelasannya dapat dilihat dalam tabel
kontrol
dengan
kelompok
perlakuan 4 (P4), antara kelompok perlakuan
kreatinin
serum
Tikus
berikut:
2 (P2) dengan kelompok perlakuan 3 (P3)
Tabel 6 Korelasi Dosis MSG dengan Kadar Kreatinin Serum Tikus Wistar
Kadar kreatinin serum
Besar dosis MSG
Median (minimummaksimum)
K (Aquades (0))
0,30 (0,3-0,4)
P1 (400 mg)
0,30 (0,2-0,4)
P2 (800 mg)
0,40 (0,3-0,5)
P3 (1200 mg)
0,20 (0,2-0,3)
P4 (1600 mg)
0,20 (0,2-0,3)
Rho
-0,339
p*
0,029
*Uji Spearman
22
Wistar,
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Kemungkinan
lainnya
ekskresi
dosis
kadar
penurunan fungsi ginjal sehingga ekskresi
kreatinin serum darah Tikus Wistar. Semakin
ureum terhambat. MSG dosis tinggi yang
tinggi dosis MSG yang diberikan semakin
diberikan dalam jangka waktu yang cukup
rendah kadar kreatinin dengan kekuatan
lama akan menyebabkan peningkatkan efek
korelasi yang lemah.
toksik pada ginjal 1,11, dikarenakan MSG akan
MSG
dengan
artinya
sudah
dengan
terdapat korelasi yang bermakna antara
pemberian
ureum,
terkait
terjadi
menyebabkan terbentuknya reactive oxygen
Pembahasan
Pengaruh
species (ROS). Seperti yang telah banyak
pemberian
MSG
dosis
dibuktikan bahwa reseptor glutamat terdapat
bertingkat terhadap kadar ureum serum
pula di luar SSP1,11. Reseptor N-methyl-D-
darah Tikus Wistar
aspartate
(NMDA)
(salah
satu
reseptor
Dari data di atas didapatkan bahwa
glutamat) telah ditemukan dalam jaringan
terdapat perbedaan kadar ureum antara
ekstraneuronal, termasuk sel  pankreas,
kelompok yang bermakna dan korelasi yang
saluran urogenital pria bagian bawah, ginjal,
bermakna antara dosis MSG dengan kadar
limfosit dan megakaryocyte. Stimulasi yang
ureum. Hal ini kemungkinan terkait 2 hal,
berlebihan pada reseptor NMDA inilah yang
yakni
akan
peningkatan
produksi
dan
atau
penurunan ekskresi dari ureum.
menyebabkan
terbentuknya
1
ROS .
peningkatan
ROS
merupakan
Seperti yang kita ketahui, MSG akan
molekul yang dapat merusak lipid, DNA,
berdisosiasi menjadi sodium (Na) dan L-
protein, kromosom, mitokondria, lisosom dan
glutamat. L-glutamat kemudian melintasi sel
membran sel1,5,9.
mesotelial peritoneal menuju aliran darah
Kadar ureum normal dalam darah adalah
dan sebagian L-glutamat akan dikonjugasi
sekitar 10-50 mg/dl (2,9 – 8,9 mmol/L), tetapi
menjadi glutamine
1,10,11
. Enzim L-glutamat
hal ini tergantung dari jumlah normal protein
dehidrogenasememegang peranan sentral
yang
pada metabolisme nitrogen. Glutaminsintase
pembentukan ureum. Bila ginjal rusak atau
mengkonversi
senyawa
kurang baik fungsinya maka kadar ureum
glutamine yang nontoksik untuk diangkut ke
dalam darah dapat meningkat dan meracuni
dalam hati. Kemudian enzim glutaminase
sel-sel tubuh10,12,13,14. Namun, ureum serum
hati melepaskan amonia dari glutamine untuk
merupakan parameter yang kurang spesifik
digunakan
amonia
sebagai
menjadi
dan
fungsi
hati
dalam
ureum ,
dalam menilai kerusakan ginjal dibandingkan
sehingga dapat disimpulkan intake glutamat
dengan kreatinin serum. Sehingga untuk
yang
melakukan
semakin
tinggi
sintesis
10
dimakan
tentunya
akan
screening
dalam
menilai
meningkatkan produksi dari ureum. Sesuai
kerusakan ginjal, kedua pemeriksaan ini baik
dengan pernyataan, kadar ureum akan lebih
ureum maupun kreatinin selalu dilakukan
banyak pada orang-orang dengan diet tinggi
secara bersamaan10,12.
protein dan lebih kecil pada orang-orang
dengan diet rendah protein12.
23
Pengaruh
pemberian
MSG
dosis
arginin ditransfer ke glisin pada ginjal,
bertingkat terhadap kadar kreatinin serum
menghasilkan guanidino acetate. Dalam hati,
darah Tikus Wistar
N-methylation
Dari data di atas didapatkan bahwa
serum
Pengaruh
ini
kelompok.
darah
terlihat
Hasil
Tikus
diubah
adenosylmethionine,
kemudian
sebagian
15
Wistar.
kreatin diubah menjadi kreatinin . Hal ini
beberapa
membuktikan bahwa pemberian MSG dapat
ini
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
pada
penelitian
acetate
menjadi kreatin yang dikatalis enzim S-
konsumsi MSG berpengaruh terhadap kadar
kreatinin
guanidino
juga
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
Kadar kreatinin yang cenderung konstan
bermakna antara dosis pemberian MSG
dibandingkan
dengan kadar kreatinin serum darah Tikus
peningkatannya merupakan parameter yang
Wistar. Semakin tinggi dosis MSG yang
lebih spesifik dan sensitif dalam menentukan
diberikan semakin rendah kadar kreatinin
derajat kerusakan ginjal. Kreatinin serum ini
dengan kekuatan korelasi yang lemah.
kemudian meningkat dan tidak dipengaruhi
perbedaan
kadar
BUN
yang
cepat
oleh diet atau masukan cairan16,17. Jumlah
Beberapa penelitian sebelumnya juga
mendapatkan
kadar
kreatinin
kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap
yang bermakna secara signifikan antara
hari lebih bergantung pada massa otot total
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
daripada
1,8
aktivitas
otot
atau
tingkat
MSG . MSG dosis tinggi yang diberikan
metabolisme protein, walaupun keduanya
dalam jangka waktu yang cukup lama akan
juga menimbulkan efek16,17.
menyebabkan peningkatkan efek toksik pada
ginjal
1,11
,
dikarenakan
MSG
Kreatinin serum merupakan parameter
akan
yang
menyebabkan terbentuknya reactive oxygen
species
(ROS)
menunjukan
akan
1,5,9
,
bahwa
sehingga
MSG
menyebabkan
hal
kerusakan
ini
untuk
pada
menentukan
glomerulus
baik
itu
kerusakan ginjal yang akut (acute kidney
kecendrungan
nefrotoksik
digunakan
injury) ataupun kronis
apabila
10,12
.
Penelitian ini juga mendapatkan bahwa
7
dikonsumsi dalam dosis yang tinggi .
terjadi peningkatan rasio antara BUN dan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
kreatinin, dengan nilai kreatinin yang normal
kadar kreatinin serum adalah ukuran dan
yang mungkin disebabkan karena terjadi
massa otot, serta fungsi hati dan ginjal dalam
penurunan
sintesis kreatinin
10,12,15
.
Ini
terlihat pada
protein
fungsi
yang
ginjal
berlebih.
dengan
intake
Rasio
normal
kelompok perlakuan pemberian MSG, nilai
BUN/kreatinin adalah 10 : 1 sampai 20 : 1.
kreatinin sedikit di bawah rata-rata yang
Adapun beberapa perubahan rasio dan
menunjukan bahwa sudah terjadi penurunan
penyebab
fungsi ginjal dalam sintesis kreatinin. Seperti
sebagai berikut: Peningkatan rasio (>20:1),
yang disebut Koolman, J. dan Roehm, K. H.
dengan
(2005), kreatin (N-methylguanidoacetic acid)
disebabkan karena (a) peningkatan BUN
tidak hanya berasal dari otot itu sendiri, tetapi
(prerenal azotemia), gagal jantung, deplesi
disintesis dalam dua langkah pada ginjal dan
garam, dehidrasi; (b) kerusakan jaringan; (c)
hati. Awalnya, kelompok guanidine pada
perdarahan GIT, (d) penurunan fungsi ginjal
24
yang
nilai
mendasarinya
kreatinin
yang
adalah
normal,
dengan
intake
protein
yang
berlebih,
17
produksi atau kerusakan jaringan .
8.
Simpulan
Terdapat
pengaruh
pemberian
MSG
dengan kadar ureum kreatinin serum darah
Tikus Wistar.
9.
Daftar Pustaka
10.
1. Abass, M. A. dan El-Haleem, M.R.A.
Evaluation of Monosodium Glutamate
Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity
in Adult Male Albino Rats. Journal of
American Science 2011; 7(8):264-276.
2. Muchsin, R. Pengaruh Pemberian
Monosodium
Glutamate
terhadap
Histologi Endometrium Mencit (Mus
Musculus L); 2009.
3. U.S. Food and Drug Administration. FDA
and Monosodium Glutamat(serial online)
1995.
Tersedia
dalam:
http://www.fda.gov/opacom/backgrounde
rs/msg.html.
4. Ardyanto, T. D. MSG dan Kesehatan:
Sejarah, Efek dan Kontroversinya. Dalam
Inovasi 2004; 1: 52-6.
5. Vinodini, N. A., Nayanatara, A. K., dkk.
Study on Evaluation of Monosodium
Glutamate Induce Oxidative Damage on
Renal Tissue on Adult Wistar Rats.
Dalam Journal of Chinese Clinical
Medicine 2010; Volume 5 Number 3;
144-7
6. Kompas.
Keamanan
Monosodium
Glutamat (serial online) 2011. Tersedia
dalam:
http://indonesia.glutamate.org/media/Kea
manan_monosodium_glutamat.asp.
7. Inuwa,
H.M,
Aina,
V.O,
dkk.
Determination of Nephrotoxicity and
Hepatoxicity of Monosodium Glutamate
(MSG)
Consumption.
DalamBritish
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
25
Journal of Pharmacology and Toxicology
2011;2(3): 148-153.
Yousef, J.M. Study The Impacts of
Monosodium Glutamate (MSG) and
Extract of Green Tea (Theaceae Family)
Leaves-Induced on Kidney Biochemical
Functions in Rats. DalamInternational
Journal of Academic Research 2011;
Vol. 3. No. 3.
Al – Agha, S. Histological, Histochemical
and Ultrastructural Studies on the Kidney
of
Rats
After
Administration
of
Monosodium Glutamate 2010; 5.
Murray, R. K., dkk. Harper’s Ilustrated
biochemistry 26th Ed.USA: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2003.
Attia, H. A.; Faddah, L. M. dan Yaqub, H.
Trans-retinol Precursor and/or N-acetyl
Cysteine ProtectsAgainst Monosodium
Glutamte-induced Nephrotoxicity inRats.
Dalam J. App. Sci. Res., 2008;4 (12):
2108-2119.
Price, S.A dan Wilson, L.M. Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit
ed.6. Jakarta: EGC; 2005.
Dugdale, D.C, dkk. BUN (serial online)
2009.
Tersedia
dalam:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/
article/003474.htm
Dugdale, D.C., dkk. Creatinin-Blood.
(serial online) 2009. Tersedia dalam:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/
article/003475.htm.
Koolman, J dan Roehm, K. H. Color
Atlas of Biochemistry 2nd ed. New York:
Thieme Stuttgart; 1997.
Doloksaribu, B. Pengaruh Proteksi
Vitamin C Terhadap Kadar Ureum,
Kreatinin, Dan Gambaran Histopatologi
Ginjal Mencit Yang Dipapar Plumbu
(tesis pasca sarjana), 2008.
Fischbach, F. dan Dunning M. B. A
Manual of Laboratory and Diagnostic
Test 8th ed. Philadelphia: Lippincott
williams and wilkins; 2009.
HINDRONEFROSIS BERAT KANAN YANG DISEBABKAN OLEH DUPLIKASI PELVIS-URETER
TIPE LENGKAP DENGAN STENOSIS URETEROVESIKAL JUNCTION
Ica Justitia, Pandu Ishaq Nandana
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract
Hydronephrosis defined as a dilatation of renal pelvis and calyces due to urine collection caused by
1
obstruction of the urine outflow from the renal pelvis . Hydronephrosis can be caused by congenital
2
abnormalities or acquired . Duplication of the renal pelvis and ureter is the most common congenital
abnormalities in urology. In this article, we will presented a case report of a patient with severe hydronephrosis
caused by duplication of the renal pelvis and ureter with stenosis of the ureterovesical junction.
Keyword : Hydronephrosis, Double PCS, stenosis UVJ
Abstrak
Hidronefrosis adalah dilatasi kaliks dan pelvis renalis karena penumpukan urin sebagai akibat obstruksi aliran
1
2
keluar urin di distal dari pelvis renalis. Hidronefrosis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital dan didapat.
3
Duplikasi pelvis-ureter merupakan kelainan kongenital yang penting dan paling sering dibidang urologi. Pada
artikel ini akan disajikan laporan kasus seorang pasien dengan hidronefrosis berat yang disebabkan oleh
kelainan kongenital duplikasi pelvis-ureter dan stenosis ureterovesikal junction.
Pendahuluan
kedua orifisium ureter, penekanan ureter
Hidronefrosis
merupakan
keadaan
oleh tumor prostat, batu ureter bilateral,
dimana kaliks dan pelvis renalis mengalami
fibrosis
dilatasi sebagai akibat adanya penumpukan
atau
retroperitoneal, serta kehamilan
urine didalam kaliks atau pelvis renalis yang
Duplikasi
diakibatkan oleh adanya obstruksi aliran
urine dibagian distalnya.
retroperitoneal
ginjal
(pelvis)
kanker
2
merupakan
kelainan kongenital yang penting dan paling
2
sering dibidang urologi. Insidensinya sekitar
oleh
2%.3 Secara konvensional, duplikasi ini
kelainan kongenital dan didapat. Stenosis
terbagi menjadi duplikasi tidak lengkap dan
uretra, ureter ektopik, ureterokel, duplikasi
lengkap. Duplikasi tidak lengkap jika kedua
pelvis-ureter, dan stenosis ureterovesical
pelvis ureter bertemu sebelum bermuara
serta
Hidronefrosis
dapat
ureteropelvic
disebabkan
junction
merupakan
pada buli-buli, sedangkan duplikasi lengkap
yang
umumnya
jika kedua pelvis ureter bermuara pada
hidronefrosis.
Penyebab
tempat yang berbeda.4 Kelainan ini seringkali
kongenital lainnya yaitu kerusakan saraf
berkaitan dengan anomali saluran kemih
cabang
dan
lainnya seperti ureter ektopik, ureterokel,
yang
refluks vesikoureter, refluks uretero-ureter,
hidronefrosis
yang keseluruhannya dapat menyebabkan
kelainan
kongenital
menyebabkan
lumbal
mielomeningokel.
umumnya
pada
spina
Kelainan
menyebabkan
bifida
didapat
hidronefrosis.3
adaklah batu ureter, namun jika didapatkan
hidronefrosis bilateral, maka harus dipikirkan
Pada artikel ini akan disajikan laporan
juga kemungkinan adanya striktur uretra,
kasus seorang pasien dengan hidronefrosis
hiperplasia prostat jinak atau karsinoma
yang disebabkan oleh kelainan kongenital
prostat, tumor buli-buli yang melibatkan
duplikasi pelvis-ureter.
26
Laporan Kasus
nyeri ketok costovertebrae angle (CVA).
Seorang wanita, 23 tahun, mengeluhkan
Hasil
pemeriksaan
darah
lengkap
(DL)
bengkak dan nyeri pada perut kanan atas
normal, begitu pula dengan parameter kimia
sejak +2 bulan yang lalu. Awalnya bengkak
klinik, khususnya kadar ureum dan kreatinin
dirasakan sejak + 7 tahun yang lalu dan
plasma. Pada urinalisis didapatkan hasil
semakin lama semakin membesar. Tidak ada
leukosit penuh/lpb, eritrosit >20/lpb, epitel 10-
keluhan
15/lpb, dan proteinuria +1.
terkait
jumlah
maupun
kualitas
buang air kecil (BAK). Tidak ada riwayat
Selanjutnya
pasien
demam berulang ataupun BAK keluar batu,
pemeriksaan
pasir, maupun darah.
didapatkan hasil hidronefrosis berat ginjal
Pemeriksaan
fisik
CT-scan
menjalani
abdomen
dan
menunjukkan
kanan dengan megaureter kanan suspek
peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg),
kongenital (gambar 1), tidak didapatkan
pada regio kostovertebrae tampak sisi kanan
urolitiasis maupun massa.
mengembung dan ballotement positif dan
A.
Potongan koronal.
C.
Potongan sagital.
B.
Potongan transversal.
Gambar 1. CT-scan abdomen menunjukkan hidronefrosis dan megaureter ginjal kanan dengan ginjal
kiri tampak normal.
Penderita kemudian menjalani operasi
eksplorasi
flank
kanan.
Saat
tidak berdarah. Selain itu didapatkan pula
operasi
duplikasi ureter mulai pelvis renaliskanan,
didapatkan hidronefrosis berat ginjal kanan
sampai ureter distal kanan, dan dari sondase
dengan volume urin yang tertampung 3100
ke distal didapatkan stenosis pada muara
ml, jernih. Parenkim ginjal sangat tipis dan
kedua ureter tersebut di buli.
27
(gambar 2 dan 3).
Gambar 2. Tampak ginjal kanan yang membesar dengan dobel ureter
Gambar 3. Tampak dobel ureter kanan
Pembahasan
Duplikasi
Pasien dengan duplikasi pelvis-ureter
merupakan
biasanya asimptomatik. Gejala klinis yang
kelainan kongenital yang penting dan paling
muncul biasanya terkait komplikasi yang
sering di bidang urologi. Insidensinya sekitar
timbul,
3
2%
pelvis-ureter
seperti
infeksi
saluran
kemih,
atau sekitar 1:250 dari bayi lahir
hidronefrosis, bahkan hingga gagal ginjal.
hidup,terkait autosomal dominan, dan dua
Pada duplikasi tipe tidak lengkap, aliran
kali
ureter
wanita
lebih
sering
ditemukan
pada
4,5,6
pada
saluran
yang
satu
akan
.Secara konvensional, duplikasi ini
menimbulkan refluks pada ureter yang lain
terbagi menjadi duplikasi tidak lengkap dan
(refluks uretero-ureter atau fenomena Yo-Yo)
lengkap. Duplikasi tidak lengkap jika kedua
sehingga
pelvis ureter bertemu sebelum bermuara
hidroureter. Sedangkan hidronefrosis pada
pada buli-buli, sedangkan duplikasi lengkap
tipe
jika kedua pelvis ureter bermuara pada
disebabkan oleh obstruksi atau stenosis
4
muara ureter dari ginjal kutub kranial dan
tempat yang berbeda.
timbul
duplikasi
hidronefrosis
lengkap
dan
hidronefrosis
refluks vesiko ureter yang sering timbul pada
28
ureter dari ginjal kutub kaudal.4 Duplikasi
ginjal pada satu segmen buruk dilakukan
pelvis-ureter
berkaitan dengan
heminefrektomi yaitu membuang kutub ginjal
anomali saluran kemih lainnya seperti ureter
yang rusak dengan mempertahankan yang
ektopik,
vesikoureter,
masih baik. Namun jika fungsi ginjal masih
refluks uretero-ureter, yang keseluruhannya
baik, dilakukan neoimplantasi ureter dengan
seringkali
ureterokel,
refluks
dapat menyebabkan hidronefrosis.
3,5
memindahkan muara ureter ke buli-buli.4,5
Pemeriksaan pielografi intravena (PIV)
Kesimpulan
dapat menunjukkan adanya duplikasi ureter
4
yang lengkap ataupun tidak. Ginjal normal
Hidronefrosis
dapat
disebabkan
oleh
tampak memiliki 9,4 kaliks, sedangkan ginjal
kelainan kongenital duplikasi ginjal pelvis-
dengan duplikasi memiliki 11,3 kaliks, polus
ureter Pasien dengan duplikasi pelvis-ureter
kranial memiliki 3,7 kaliks dan polus kaudal
biasanya asimptomatik. Gejala klinis yang
6
7,6 kaliks. Pada beberapa kasus yang sulit
muncul biasanya terkait komplikasi yang
pemeriksaan
timbul. Pada kasus, pasien mengeluhkan
retrograd
pielografi
mungkin
Pielogragi
antegrad
dapat
antegrad
hidronefrosis
dan
membantu.
pada
menunjukkan
sistografi
informasi
mengenai
vesikoureter.
6
pembengkakan
pasien
miksi
pada
perut/pinggang.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk
keberadaan
mengevaluasi
kelainan
anatomi
yang
7
mungkin ada dan komlikasi yang mungkin
memberi
timbul. Penatalaksanaannya tergantung pada
refluks
keluhan, kelainan anatomi, dan komplikasi
ureter kedua dan batas terminasi ureter.
Pemeriksaan
3
anatomi
yang terjadi. Jika fungsi ginjal buruk dapat
Pemeriksaan yang lebih superior, yaitu
dilakukan nefrektomi.
computed tomography (CT) scanning. CTscan
digunakan
untuk
Referensi
mengevaluasi
ureterokel intravesika, ureter ektopik, lokasi
obstruksi
dan
hidronefrosis.
Penting
parenkim
ginjal
1. Dennis G.L. Hydronephrosis and
Hydroureter.
Available
from
http://www.emedicine.medscape.com/art
icle/436259-overview. 2011
2. Tanagho, A.E.Smith’s General Urology :
Urinary
Obstruction
and
Stasis.
McGraw-Hill: New York. 17th ed : 166,
2010
3. T.M. Wah, M.J. Weston, and H.C. Irving.
Case Report: Lower Moiety PelvicUreteric Junction Obstruction (PUJO) of
the Duplex Kidney Presenting with
Pyonephrosis in Adults. The British
Journal of Radiology, 76 : 902-912,
2003
4. Purnomo, B.B. Dasar-dasar Urologi,
Sagung Seto Jakarta. 2nd ed : 128-135 ,
2003
5. Kogan, B.A. Smith’s General Urology :
Disorder
of
The
Ureter
and
Ureteropelvic Junction.
McGraw-Hill:
New York. 17th ed : 559-560, 2010
pada
7
pada
kondisi
ini
adalah
mengetahui komplikasi yang sudah terjadi,
misalnya ada atau tidaknya infeksi saluran
kemih berulang, piuria, viabilitas ginjal, batu
yang terbentuk sebagai akibat adanya stasis
urine,
dan
lain-lain,
karena
akan
mempengaruhi penatalaksanaan.
Penatalaksanaan duplikasi pelvis-ureter
tergantung pada keluhan, kelainan anatomi,
dan
komplikasi
hidronefrosis
mungkin
yang
akibat
diperlukan
terjadi.
fenomena
pieloplasti
Pada
Yo-Yo
dengan
membuang salah satu ureter. Jika fungsi
29
6. Taghizadeh, A.K. Duplex Kidney,
Ureteroceles and Ectopic Ureters.
Available
from
http://www.pediatricurologybook.com/du
plex-kidney.html, 2011
7. Khan, A.N. Duplicating Collecting
System Imaging. Available from http://
http://www.emedicine.medscape.com/art
icle/378075-overview.
2011
30
PENGGUNAAN ANESTESI REGIONAL PADA KASUS TRAUMA
Erwin Kresnoadi
Bagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Provinsi NTB
Abstrak
Tehnik anestesi regional digunakan pada pasien trauma saat di ruang operasi sebagai bagian dari prosedur
tindakan anestesi atau sebagai kontrol nyeri pasca operasi. Tehnik ini menawarkan kontrol nyeri yang lebih
baik, meminimalisir penggunaan jumlah obat-obatan anestesi dan analgesia intravena yang digunakan
sebagai kontrol nyeri, mempercepat masa pemulihan, mengurangi penggunaan ruang perawatan intensif
(intensive care unit) dan lama rawat inap, meningkatkan fungsi jantung paru, menurunkan kejadian infeksi dan
respon neuroendokrin akibat stress, serta mengembalikan fungsi sistem pencernaan lebih cepat. Kekurangan
dari metode analgesia regional adalah prosedur pelaksanaanya yang rumit dan diperlukan pelatihan dalam
melakukan tehnik tersebut agar tercapai keahlian dalam tehnik analgesia regional.
Kata kunci : tehnik anestesi regional, prosedur tindakan anestesi, kontrol nyeri pasca operasi.
Pendahuluan
yang
lebih
baik
dibandingkan
dengan
Anestesi regional merupakan salah satu
anestesi intravena, tidak hanya di fase
metode yang digunakan untuk memberikan
preoperatif namun juga pada fase akut pada
efek analgesia pada pasien baik selama
pasien traumatik serta selama perjalanan
operasi
menuju rumah sakit. Dokter anestesi memiliki
berlangsung
maupun
setelah
operasi. Anestesi regional memiliki beberapa
pengalaman
keuntungan, seperti yang diperlihatkan di
penggunaan tehnik regional serta mereka
bidang kemiliteran terbaru bahwa tehnik
mampu menggunakan anestesi regional di
anestesi regional tidak hanya digunakan
luar ruang operasi dan tatalaksana awal
pada kasus-kasus yang berada di tingkat
pada pasien traumatik.1
prehospital maupun di unit gawat darurat.
Tehnik
anestesi
regional
paling
yang
lebih
baik
mengenai
Penggunaan kokain sebagai blok pleksus
sering
brachialis
pada
operasi,
pertama
kali
digunakan pada pasien trauma adalah pada
dilakukan di tahun 1884 oleh Crile. Blok
saat di ruang operasi sebagai bagian dari
perkutaneus pertama kali dilakukan pada
prosedur tindakan anestesi atau sebagai
tahun 1911 oleh Hirschel dan di tahun yang
kontrol nyeri pasca operasi.
sama oleh Kuflenkampf.2,3 Pada tahun 1884,
Sementara itu, tehnik infiltrasi maupun
Corning menampilkan anestesi epidural yang
tehnik blok saraf tunggal (single nerve block)
pertama
merupakan tehnik yang sering digunakan
tindakannya di New York Medical Journal
oleh dokter bedah atau dokter umum di
pada tahun 1885.4 Pada tahun 1898, Bier
ruang gawat darurat pada fase preoperatif.
(1861-1949)
Untuk tehnik anestesi yang lebih canggih
(1868-1954) menampilkan anestesi spinal
seperti tehnik blok plexus (plexus block
pertama dan mempublikasikan pengalaman
procedure)
pribadinya setelah melakukan percobaan
atau
pemasangan
kateter
dan
mempublikasikan
dan
residennya
prosedur
Hildebrand
regional (regional catheter placements) lebih
diantara mereka secara bergantian
umum digunakan oleh dokter anestesi pada
ahli tersebut sempat mengalami nyeri kepala
saat
yang berat setelah melakukan percobaan
operasi
atau
kontrol
nyeri
pasca
operasi. Tehnik ini memberikan keuntungan
tersebut
31
sehingga Bier
merasa
Kedua
pesimis
terhadap
prospek
penggunaan
anestesi
dan respon neuroendokrin akibat stress,
spinal dan hingga bertahun-tahun lamanya
sebelum pada
fungsi
8
sistem
pencernaan lebih cepat.
tehnik
regional tidak hanya memiliki efek analgesia
regional anestesi. Pada tahun 1908, Bier
yang sangat baik namun juga tidak memiliki
menjelaskan tentang anestesi lokal melalui
efek sedasi sehingga akan lebih mudah
injeksi intravena, yang disebut sebagai Bier
mengawasi status mental pasien terutama
menjadi
anestesi
mengembalikan
spinal
berkembang
akhirnya
serta
salah
satu
5
block.
6
Tehnik anestesi
Banyak dari tehnik anestesi pada
pada pasien yang mengalami cedera kepala.
jaman lampau masih digunakan hingga saat
Walaupun demikian, tehnik anestesi regional
ini dan seringkali dikombinasikan dengan
sampai saat ini masih jarang digunakan pada
tehnik atau obat terbaru saat ini.
kasus-kasus trauma terutama pada cedera
Anestesi regional terbaru membolehkan
yang bersifat akut.
9
penggunaan obat anestesi jangka panjang
Satu penelitian melaporkan bahwa hampir
(long-acting) atau jangka pendek (short-
36 % pasien dengan fraktur panggul akut di
acting) tergantung dari kebutuhan waktu
ruang gawat darurat tidak mendapatkan
yang diinginkan untuk meredakan nyeri.
tindakan
Pengenalan jarum dan kateter khusus yang
diantaranya dipertimbangkan untuk dilakukan
digunakan
regional
blok saraf regional.10,11 Dibandingkan dengan
dilakukan di akhir abad ke-19 dan awal abad
pasien bedah elektif, dimana kebutuhan akan
ke-20 dan tehnik terbaru yang lebih canggih
analgesia
meliputi stimulasi saraf (nerve stimulation)
perioperatif,
dan ultrasonography guidance, membantu
traumatik selama fase akut membutuhkan
pada dokter anestesi dalam melakukan
pemantauan yang ketat dan pengelolaan
anestesi regional dan meningkatkan presisi
nyeri di tingkat pra-rumah sakit atau di lokasi
serta keamanan pada penggunaan tehnik
peperangan selama perjalanan ke rumah
blok saraf perifer dan neuroaksial pada
sakitserta selama perawatan selanjutnya di
untuk
blok
saraf
pasien yang mengalami nyeri akut.
7
operasi
didapatkan
beberapa
pada
sebaliknya
periode
pada
pasien
(ICU).
kontrol nyeri yang lebih baik dan umum
selama
dan
ruang operasi dan unit perawatan intensif
Tehnik anestesi regional menawarkan
digunakan
analgesia
Tingkat stress dan respon inflamasi pada
berlangsung
pasien trauma lebih tinggi dibandingkan
maupun post operasi, penggunaan tehnik
dengan pasien bedah elektif. Selain itu,
meminimalisir
obat-
pasien trauma sangat bervariasi tergantung
obatan anestesi dan analgesia intravena
pada jumlah serta tingkat keparahan dari
yang digunakan sebagai kontrol nyeri. Selain
luka
itu, hasil penelitian didapatkan bahwa tehnik
berpengaruh
anestesi
kesadaran,
penggunaan
regional
jumlah
mempercepat
masa
yang
dialaminya
pada
yang
akan
bervariasinya
tingkat
pernapasan,
dan
stabilitas
pemulihan, mengurangi penggunaan ruang
hemodinamik pada masing-masing pasien,
perawatan intensif (intensive care unit) dan
dimana hal-hal tersebut dapat diperburuk
lama
dengan
rawat
inap,
meningkatkan
fungsi
jantung paru, menurunkan kejadian infeksi
parenteral.
32
pemberian
8
obat
analgesik
Pengalaman
sebelumnya
mengenai
dengan kondisi stabil, nyaman, dan pasien
perawatan prajurit militer yang terluka di
sadar sehingga kebutuhan akan pegawai
daerah konflik baru-baru ini mengarah pada
yang
bertugas
11
mengawasi
bisa
penggunaan tehnik anestesi regional untuk
dikurangi.
mendapatkan efek analgesia dan anestesia
pengalaman yang di dapatkan dari medan
stadium
operasi.
memiliki
peran
7,12,13
Dokter
penting
Literatur
pasien
terbaru
dari
anestesi
pertempuran bahwa penggunaan anestesi
hal
regional sebagai terapi awal pada korban
dalam
ini
bersama-sama dengan dokter bedah dan
trauma
dokter
keselamatan korban dan mengurangi nyeri
di
ruang
gawat
darurat
untuk
mampu
dan
tepat baik selama perjalanan menuju rumah
memiliki keuntungan
sakit. Pengalaman ini, diperkuat dengan hasil
sebagai
penelitian tentang penggunaan tehnik blok
Penggunaan anestesi regional lebih awal
saraf
yang
pada kasus cedera ekstremitas memiliki
menyatakan bahwa penggunaan anestesi
keuntungan jangka panjang yaitu dapat
regional lebih efektif dalam penanganan
mengurangi insidensi terjadinya nyeri kronis
pasien-pasien
akibat
ruang
gawat
trauma
menggunakan
intravena.
darurat
akut
dibandingkan
regimen
opioid
cidera
kontrol
lainnya.
tingkat
memberikan pengobatan yang aman dan
di
komplikasi
meningkatkan
jangka
nyeri
sequelae,
pendek.
causalgia
gangguan stress pasca trauma.
10,11,14
pendekyaitu
jangka
seperti
Selain
dan
13
Teknik anestesi regional yang digunakan
sebagai kontrol nyeri sebelum operasi dapat
Analgesia regional pada fase awal trauma
juga digunakan pada tingkat pra rumah sakit
Salah satu manfaat dari penggunaan
atau
ruang
gawat
darurat,
anestesi regional adalah untuk mengurangi
penggunaannya
penggunaan obat opioid intravena sebagai
pengawasan yang adekuat, baik dari segi
terapi nyeri yang adekuat. Penggunaan blok
peralatan maupun penyedia layanan. Tidak
saraf perifer, membutuhkan obat anestesi
semua
lokal dengan masa kerja lama
namun
digunakan pada tingkat pra-rumah sakit atau
dengan
onset
tehnik
harus
namun
regional
mendapatkan
anestesi
sesuai
yang
cepat
sehingga
pada ruang gawat darurat dan tidak semua
respon
stress
terhadap
penyedia layanan kesehatan terlatih maupun
mengurangi
berpengalaman dalam menggunakan tehnik
terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat
anestesi regional. Terutama tehnik anestesi
efek samping dari penggunaan opioid seperti
neuroaksial
depresi pernapasan, peningkatan sedasi,
thoracic epidural catheters) yang umum
meminimalisir
kerusakan
jaringan
dan
pruritus, dan rasa mual.
8
seperti
CTEC
(continuous
digunakan pada operasi regio abdomen atau
Keuntungan lainnya dari penggunaan blok
fraktur
costae,
dimana
dapat
terjadi
saraf perifer di tingkat prehospital meliputi
komplikasi yang serius seperti hipotensi dan
keamanan dalam transportasi menuju rumah
cedera medula spinalis.
sakit,
mengurangi
kebutuhan
akan
Penggunaan tehnik ini sangat bergantung
kasus-kasus
korban
pada keahlian dan staffing model di ruang
trauma yang bersifat massal, atau korban
gawat darurat. Blok ekstremitas di sisi lain
pengawasan
pada
33
seringkali mudah dilakukan, walaupun tanpa
maupun
sindrom
adanya USG maupun stimulasi saraf, dan
Menurut
pengalaman
memiliki risiko terjadinya hipotensi atau
terdahulu sampai dengan saat ini, para ahli
komplikasi
Fraktur
di Eropa telah menjelaskan prosedur blok
costae dan fraktur ekstremitas bagian bawah
saraf tunggal yang dilakukan di medan
seringkali kita temui di unit gawat darurat.
pertempuran oleh dokter yang bekerja di
Jenis cedera seperti ini juga relatif mudah
tingkat pra rumah sakit dan dokter anestesi
untuk ditangani dengan tehnik anestesi
yang bekerja di tempat kejadian dan selama
regional.
telah
transportasi menuju rumah sakit. Injeksi
membandingkan tehnik anestesi regional
tunggal pada blok saraf femoral dilakukan
dengan pemakaian opioid di unit gawat
pada pasien dengan nyeri lutut setelah
darurat dan penanganan awal dirumah sakit.
mengalami
Kelayakan digunakannya tehnik kateter blok
memberikan efek analgesia yang efektif dan
saraf
block
membantu dalam proses transportasi. Barker
catheter) untuk efek jangka panjang juga
et al. meneliti efek dari pemberian blok saraf
telah diteliti.14
femoral single-shot dibandingkan dengan
yang
relatif
Beberapa
kontinyu
rendah.
penelitian
(continous
nerve
nyeri
kronis
di
trauma
lainnya.
bidang
terbukti
militer
mampu
analgesia intravena yaitu metamizole yang
Cedera panggul dan ekstremitas bawah
Buckenmaier
et
al.
diberikan sebelum rawat inap. Penelitian ini
mengilustrasikan
memperlihatkan
blok
saraf
femoral
kelebihan blok saraf perifer pada tatalaksana
memberikan efek anti nyeri lebih awal dan
nyeri yang berkepanjangan dan intervensi
menekan respon saraf simpatis.
pada kasus bedah berulang seperti yang
dilaporkan
pada
penggunaan
Penggunaan blok saraf femoral oleh
continous
dokter
yang
berpengalaman
merupakan
lumbar plexus dan sciatic nerve catheters
tehnik yang aman, mudah dilakukan, dan
pada
menyebabkan keterlambatan pengahantaran
seorang
tentara
yang
mengalami
akibat
yang minimal.11 Merujuk pada keamanan dan
peperangan. Kemampuan obat anestesi lokal
kemudahan dalam mengidentifikasi lokasi
dalam
dan
anatomi sekitar saraf femoralis, beberapa
analgesik pada pemberian lewat lumbar dan
penelitian telah mendapatkan keuntungan
kateter
evakuasi
dari tehnik blok saraf femoralis atau blok
hingga menjalani perawatan di rumah sakit
kompartemen fascia iliaca yang dilakukan di
selama
dalam
ruang gawat darurat. Kedua tehnik blok saraf
mengontrol nyeri dan menghindari risiko
ini mudah untuk dilakukan dan telah terbukti
yang terkait dengan paparan opioid dosis
efektif meredakan nyeri pada kasus fraktur
tinggi, anestesi umum, dan blok saraf yang
collum femoris dan fraktur pelvis. Nyeri akut
cedera
pada
ekstremitas
memberikan
sciatic
berulang.
16
efek
selama
hari
bawah
anestesi
proses
sangat
baik
12
yang timbul pada fraktur femur diketahui
Walaupun pada akhirnya harus dilakukan
sebagai
salah
satu
yang
fraktur.15
menyakitkan
pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri
Penggunaan blok saraf pada pasien tersebut
tungkai
memberikan efek analgesia yang lebih cepat
(phantom
limb
pain)
34
kasus-kasus
sangat
amputasi pada ekstremitas yang cedera,
bayangan
dari
nyeri
dan meningkatkan kepuasan pasien jika
membandingkan
dibandingkan
pemberian morfin intramuskular pada pasien
dengan
pemberian
parenteral maupun intramuskular.
opioid
14, 16
femoral
secara
dengan
dari
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
mampu
penerima FICB memiliki efek analgesia yang
mengurangi nyeri akut pada fraktur femoris
lebih tinggi baik pada saat istirahat maupan
distal jika dibandingkan dengan pemberian
pada saat pergerakan dinamis mengangkat
opioid intravena. Lima puluh empat pasien
kaki setinggi 15 derajat. Selain itu, FICB
telah mendapatkan terapi blok saraf perifer
yang
secara
membutuhkan
acak.
signifikan
FICB
yang mengalami fraktur panggul akut. Hasil
Mutty et al. telah mendemonstrasikan blok
saraf
efek
Masing-masing
pasien
dilakukan
oleh
waktu
dokter
anestesi
rata-rata
4
menit.
mengalami penurunan rasa nyeri sekitar 3,6
Kemudian dari penelitian tersebut diketahui
poin dibandingkan dengan pemberian anti
tidak ada efek samping dari penggunaan
nyeri
FICB
intravena
hydromorphone.
Hasil
tersebut didapatkan setelah lima menit awal
perlakuan.
16
sedangkan
pada
kelompok
morfinmemiliki kecenderungan untuk terjadi
Penelitian yang sama dilakukan
penurunan saturasi oksigen pada 60 dan 180
oleh Wathen et al. yang membandingkan
menit
efek analgesia dari tehnik fascia iliaca
meskipun
suplemen oksigen.
telah
mendapatkan
10
compartment nerve block (FICB) dengan
Cedera ekstremitas atas dan bahu
pemberian injeksi morphine intravena pada
pasien anak-anak yang mengalami fraktur
Blok regional pleksus brachialis pada
femur akut yang dilakukan di unit gawat
bedah ekstremitas atas memberi efek pereda
darurat. Penelitian ini memperkuat penelitian-
nyeri yang baik pada fase pr operatif.
penelitian
kecil
Pleksus brachialis dapat di blok melalui
sebelumnya tentang efikasi dari penggunaan
berbagai pendekatan yang berbeda, yaitu
metode blok saraf femoral (femoral nerve
pendekatan
blockade). Selain itu, dari pihak dokter,
infraklavikula (infraclavicular approach), dan
perawat, orang tua, dan pasien menunjukkan
interskalenus
tingkat kepuasan yang lebih tinggi pada
Keistimewaan anestesi regional dosis rendah
kelompok yang diintervensi dengan metode
adalah secara poten menurunkan risiko
FICB.
serupa
dalam
skala
14
aksial
(axially
(interscalene
approach),
approach).
toksisitas dari obat anestesi lokal dan dapat
Stewart et al. menjelaskan mengenai
digunakan untuk durasi yang lebih singkat
prosedur pelaksanaan blok saraf femoral
atau
yang dilakukan oleh dokter gawat darurat
intensitas lebih ringan seperti prosedur-
meliputi pemasangan continuous catheters
prosedur tatalaksana di unit gawat darurat.
pada 40 pasien pediatrik yang mengalami
Pada penelitian prospektif yang dilakukan
17
pada
tatalaksana
nyeri
dengan
Salah satu kekurangan dari
oleh O’Donnell et al. membandingkan blok
studi ini adalah adanya potensi bias yang
aksiler yang menggunakan penuntun USG
bersifat subjektif baik dari pihak pasien dan
dosis rendah (low-dose ultrasound-guided
peneliti. Pada penelitian yang lebih lanjut,
axillary blocks) dengan anestesi umum pada
Foss et al. melakukan penelitian yang
pasien
fraktir femur.
35
yang
akan
menjalani
operasi
ekstremitas atas di kamar operasi. Saat
yang diberikan sedasi (177,3 ± 37,9 menit)
dibandingkan dengan yang menggunakan
dibandingkan
anestesi umum, pasien yang menerima low-
anestesi regional (100,3 ± 28,2 menit). Rata-
dose
blocks
rata waktu yang dibutuhkan dokter untuk
experienced mendapat anestesi yang sangat
mengevaluasi satu pasien pada kelompok
baik, analgesia yang kuat, dan penurunan
yang diberikan sedasi adalah 47,1 (±9,8)
penggunaan
masa
menit dan 5 (±0.7) menit pada kelompok
penyembuhan yang lebih singkat di rumah
yang diberikan anestesi regional. Serta tidak
sakit dan dapat menjalani rawat jalan lebih
satupun dari kelompok anestesi regional
awal.
ultrasound-guided
opioid,
axillary
serta
18
kelompok
yang
diberikan
mendapatkan obat analgesik tambahan.19
Kasus cedera lainnya yang sering ditemui
Fraktur costae (patah tulang iga)
di unit gawat darurat adalah dislokasi sendi
ekstremitas atas yaitu dislokasi bahu dan
Fraktur costae merupakan kasus yang
siku. Dislokasi bahu, pada umumnya sering
sering
membutuhkan
untuk
Dimana fraktur ini menimbulkan nyeri yang
memberikan efek relaksasi karena sedasi
sangat hebat dan pasien yang mengalami
ringan tidak memberikan relaksasi terhadap
patah tulang iga lebih dari tiga memiliki risiko
ketegangan otot atau kontrol nyeri. Sedasi
yang lebih tinggi terkena komplikasi pada
sedang atau dalammemerlukan pasien untuk
organ paru. Nyeri yang ditimbulkan dapat
berpuasa terlebih dahulu sehingga butuh
mengganggu pernapasan dan kemampuan
waktu yang lebih lama di ruang gawat
membersihkan sekret dari saluran napas
darurat. Blok interskalenus memberikan efek
sehingga
pereda nyeri yang sangat baik serta relaksasi
atelektasis dan hipoksia. Tidak kurang dari
otot. Pada tehnik tersebut dimana bahu
sepertiga
mendapatkan inervasi saraf dari trunkus
nosokomial dan tingkat kematian akibat flail
superior dan medius yang dekat dengan kulit
chest meningkat sampai dengan 16 %.
melalui
alur
skalenus.
yang
Tatalaksana
umum
terjadi
pada
tidak
secara
sedasi
dalam
Kegagalan
metode
ini
diakibatkan
oleh
trauma
menyebabkan
kasus
terjadinya
mengalami
pada
umum
kasus
meliputi
tumpul.
pneumonia
fraktur
costae
kontrol
nyeri,
memberikan efek anestesi pada seluruh
fisioterapi pernapasan, dan mobilisasi. Pada
pleksus
panduan
brachialis
yaitu
bagian
trunkus
tatalaksana
nyeri
pada
kasus
inferior yang dibentuk oleh nervus C7 and
trauma
tumpul
dinding
dada
T1, dimana bagian tersebut tidak berperan
merekomendasikan
penggunaan
anestesi
penting dalam relaksasi pada dislokasi bahu.
epidural sebagai tehnik analgesia pilihan
Blaivas et
al.
melakukakn
penelitian
yang
mampu
mengatasi
pada
kasus
secara
terhadap 42 pasien yang diberikan sedasi
optimal,
menggunakan etomidate atau dengan blok
kontraindikasi.
interskalenus dengan penuntun USG yang
epidural thorakal pada keadaan tersebut
dilakukan oleh dokter ruang gawat darurat.
bermanfaat
Lama tinggal pasien di unit gawat darurat
kapasitas vital paru pada pasien dengan
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok
napas
36
kecuali
nyeri
Pemasangan
anestesi
melipatgandakan
spontan,
mengurangi
dengan
fungsi
pernapasan
paradoksikal pada segmen yang terganggu,
dengan risiko terjadinya infeksi, cedera saraf,
dan
dan risiko prosedur yang lebih spesifik
mencegah
penggunaan
efek
opioid
samping
narkotik
dari
seperti
seperti
somnolen, depresi pernapasan, dan gejala
gastrointestinal.
Bulger
penggunaan
keracunan
20
et
cedera
vaskular,
anestesi
kemungkinan
al.
menunjukkan
analgesia
epidural
bahwa
pneumothorax,
lokal,
infeksi
terjadinya
atau
sindroma
kompartemen (compartment syndrome) pada
thorakal
kasus trauma ekstermitas.
berkaitan dengan penurunan rasio terjadinya
Sementara itu, untuk beberapa pasien
pneumonia nosokomial dan menurunkan
dengan cedera ekstremitas multipel yang
kebutuhan akan ventilasi mekanik. Penelitian
luas memerlukan tehnik continuous catheter,
prospektif yang dilakukannya meliputi 458
dan seringkali pasien tersebut memerlukan
kasus trauma tumpul thoraks. Pada pasien
obat analgesik dan sedasi sistemik dimana
dengan
tiga,
pemberian obat-obatan sistemik ini lebih
rata-rata
beralasan dibandingkan penggunaan anstesi
membutuhkan ventilator sebanyak 7,6 hari
regional dalam beberapa kasus. Meskipun
dibandingkan kelompok opioid sistemik yang
banyak manfaat yang didapatkan dari tehnik
membutuhkan 9,1 hari. Jika ditambahkan
analgesia
pada pasien dengan cedera paru, risiko
teknik ini sering tidak dianggap kurang baik
terjadinya pneumonia meningkat enam kali
atau dianggap tidak cocok digunakan karena
dibandingkan
fraktur
kelompok
costae
analgesia
dari
epidural
regional,
namun
pemanfaatan
kelompok
epidural.
adanya potensi risiko atau efek samping dari
kelebihan-kelebihan
tersebut
penggunaan tehnik ini. Kekurangan dari
hanya 22 % pasien yang mendapatkan
tehnik ini lebih sering dikarenakan kurangnya
analgesia
pelatihan
Disamping
infeksi,
epidural
koagulopati,
instabilitas
eksklusi.
pada
lebih
21
dikarenakan
fraktur
hemodinamik
adanya
spinal
sebagai
atau
kurangnya
pengetahuan
dan
tentang teknik anestesi regional oleh para
kriteria
staf medis di fase pra-rumah sakit dan di
Tatalaksana nyeri lainnya sebagai
ruang gawat darurat.
alternatif anestesi epidural thorakal meliputi
blok
saraf
paravertebralis
Sindroma
(paravertebral
(intercostal nerve injections), dan kateter
Trauma ekstremitas dapat menyebabkan
intrapleura (intrapleural catheters).
terjadinya sindroma kompartemen dimana
terjadi
Keterbatasan tehnik analgesia regional
dari
metode
(Compartment
syndrome)
nerve blocks), injeksi saraf intercostalis
Kekurangan
kompartemen
analgesia
pembengkakan
peningkatan
tekanan
kompartemen
otot
juga
(edema)
dan
jaringan
otot,
menyebabkan
regional adalah prosedur pelaksanaanya
penurunan sirkulasi, iskemia dan nekrosis
yang rumit dan diperlukan pelatihan serta
otot yang luas. Salah satu gejala yang terjadi
pengulangan
pada
dalam
melakukan
tehnik
sindroma
kompartemen
tersebut agar tercapai keahlian dalam tehnik
meningkatnya
analgesia
regional
peningkatan rasa nyeri tidak selalu sebagai
merupakan prosedur yang bersifat invasif
penanda adanya sindroma kompartemen,
regional.
Anestesi
37
rasa
nyeri.
adalah
Meskipun
namun
penatalaksanaan
nyeri
yang
merupakan hal penting dalammenegakkan
dilakukan pada fase postoperatif terutama
diagnosis
penggunaan
dapat
terlepas dari keadaan analgesia yang dialami
sehingga
pasien.23 Hal yang sama ditemukan oleh
diagnosis.
Cometa et al., yang menjelaskan mengenai
anestesi
menghilangkan
regional
gejalanya
menyebabkan
keterlambatan
awal
sindrom
Keterlambatan diagnosis dan terapi pada
kasus
sindroma kompartemen yang terjadi pada
sebelumnya
trauma
dapat
regional kontinyu. Pasien kehilangan rasa
menyebabkan komplikasi yang lebih parah
nyeri secara utuh dengan pemberian blok
seperti
akibat
saraf perifer kemudian mengeluhkan nyeri
rhabdomiolisis, dan aritmia jantung. Risiko
yang sangat hebat pada hari kedua pasca
tersebut lebih tinggi pada pasien yang
operasi meskipun telah mendapat blok saraf
mengalami fraktur plateau tibia, fraktur akibat
yang efektif dan terapi opioid oral. Diagnosis
tubrukan
(crush
prolonged
sindroma kompartemen telah ditegakkan dan
extrication.
15
Fraktur collum femoralis dan
telah diterapi. Sindrom kompartemen dapat
fraktur ankle termasuk fraktur yang jarang
didiagnosis pada pasien yang menggunakan
menimbulkan
orthopedi
tulang
amputasi,
panjang
gagal
injury),
ginjal
dan
kompartemen
menggunakan
yang
analgesia
pada
cedera
anestesi regional yang efektif dan evaluasi
timbul
akibat
klinis serta tingkat kewaspadaan yang tinggi
peregangan pasif pada kompartemen yang
sangat berperan penting pada saat diagnosis
terkena dapat diduga sebagai gejala awal
ditegakkan.
timbulnya
yang
penting mengenal risiko akan sindroma
menurunnya
kompartemen dan penatalaksanaan sesuai
orthopedi.
komplikasi
sindroma
kompartemen,
Nyeri
yang
sindroma
akan
kompartemen,
mengakibatkan
Sehingga
hal
ini
sangatlah
dengan penyebab.24
penggunaan tehnik anestesi regional lanjutan
pada pasien lainnya.
Terdapat
banyak
laporan
Cedera
mengenai
mendapatkan analgesia regional terutama
Para
pada penggunaan tehnik subarachnoid dan
epidural.
dan
komplikasi
tehnik
anestesi regional
terlambatnya diagnosis pada pasien yang
22
saraf
praktisi
yang
terlibat
dalam
penanganan pasien trauma akut selaiknya
Sama halnya dengan pasien yang
selalu waspada akan potensi terjadinya
menggunakan opioid. Dari hasil analisis
komplikasi dan efek samping dari tehnik
kasus
anestesi regional. Komplikasi yang tidak
tersebut,
penulis
berkesimpulan
bahwa penyebab yang paling utama dari
selalu
muncul
keterlambatan
cedera
saraf,
kompartemen
diagnosis
adalah
sindroma
dan
meliputi
injeksi
infeksi,
intravaskular.
dalam
Cedera saraf perifer merupakan komplikasi
menilai efek analgesia dan semua hal yang
yang jarang terjadi pada anestesi regional.
berhubungan dengan efek analgesia juga
Auroy et al. melaporkan sebanyak dua kasus
saling
keterlambatan
cedera saraf dan satu kasus kejang dari
diagnosis. Tingkat kecurigaan yang tinggi,
11.024 kasus blok pleksus aksiler. Dari 3.459
proses
pelaksanaan blok interskalenus, terdapat
terkait
dengan
penilaian
pengukuran
kekeliruan
tersebut
keadaan
tekanan
pasien,
dan
kompartemen
satu
38
kasus yang
dilaporkan
mengalami
cedera saraf permanen. Tidak ditemukan
trauma langsung oleh jarum suntik pada
adanya
gagal
serabut saraf dapat dikurangi dengan adanya
napas, atau kematian dari 23.784 orang
USG sebagai penuntun seperti pada FICB.
pasien yang mendapat
Meskipun obat anestesi lokal dosis tinggi
komplikasi
ekstremitas atas.
henti
jantung,
blok regional saraf
25
berakibat toksik bagi saraf, namun jika masih
Toksisitas dari obat anestesi lokal menjadi
dalam dosis terapi obat anestesi lokal sangat
aman digunakan.8
perhatian dari pelaksanaan tehnik anestesi
regional, terutama pada penggunaan obat
Implikasi pada aspek medikolegal juga
anestesi lokal dalam jumlah besar. Insidensi
harus
terjadinya komplikasi tersebut sangat jarang
simpatektomi dari penggunaan blok saraf
dan dapat dicegah melalui penggunaan
perifer adalah peningkatan aliran darah pada
tehnik
rendah.
ekstremitas
O’Donnell et al. telah menunjukkan efek
bermanfaat
penghilang rasa sakit yang baik pada pasien
vaskularyang ada pada ekstremitas yang
yang akan menjalani operasi bedah trauma
mengalami
ekstremitas atas dimana digunakan anestesi
keamanan dari blok saraf perifer yang
lokal
dikombinasikan
anestesi
dosis
brachialis
regional
rendah
aksiler.
18
dosis
pada
blok
Walaupun
pleksus
mendapatkan
yang
perhatian.
dibius
dan
memperbaiki
cedera.
Efek
terbukti
kerusakan
Meskipun
dengan
tingkat
penuntun
USG
demikian,
semakin banyak digunakan, potensi risiko
penggunaan opioid dalam jumlah besar juga
toksisitas dari obat anestesi lokal tidak dapat
memiliki risiko tersendiri, seperti depresi
diminimalisir.
pernapasan,
merekomendasikan
sedasi
yang
dalam,
dan
ASRA
dan
ASA
kemampuan
dibutuhkan alat pelindung jalan napas dan
pengawasan yang lebih adekuat, seperti
ventilasi
perjalanan.
oksimetri (pulse oxymetri), tekanan darah,
Keengganan para praktisi untuk melakukan
dan EKG disertai dengan persiapan yang
teknik anestesi regional dalam perjalanan
sama baiknya dengan peralatan resusitasi
sebagai terapi awal pada kasus trauma
yang lengkap dan obat-obatan yang tepat
dipengaruhi juga oleh adanya ketakutan
sebagai bagian dari keamanan prosedur saat
praktisi jika sampai mencederai saraf.
dilakukan tehnik anestesi regional.
selama
Adanya
dalam
kerusakan
merupakan
saraf
kontraindikasi
sebelumnya
relatif
Koagulopati dan antikoagulan
untuk
dilakukannya tehnik neuraxial dan blok saraf
Pemberian
antikoagulan
perifer sesuai dengan panduan yang dibuat
pembedahan
oleh
Regional
setelah pembedahan dan banyak pasien
terhadap
yang
American
Anesthesia
Society
(ASRA).
of
Penilaian
merupakan
setelah
mendapat
terapi
terapi
standar
koagulan
atau
adanya cedera yang luas dan gangguan
trombolitik bahkan sebelum pembedahan
neurovaskular pada pasien trauma akut
dilakukan. Hal ini menyebabkan perdarahan
menjadi
merupakan
yang signifikan selama prosedur anestesi
tantangan tersendiri dikarenakan adanya
regional berlangsung atau selama pelepasan
perubahan status mental akibat dari cedera
kateter
kepala,
peripheral nerve catheters pada fase pasca
sulit
dilakukan
intoksikasi,
atau
dan
sedasi.
Risiko
39
atau
penggunaan
continuous
operasi.
Bickler
et
al.
Ringkasan
mengemukakan
terjadinya ekimosis yang signifikan pada
pasien
yang
batal
setelah
mengenai tehnik anestesi regional yang
menggunakan kateter blok nervus sciatic dan
berhasil dilakukan oleh para dokter di Eropa
femoralis
di lapangan. Di Eropa para dokter umum dan
dimana
dipulangkan
Telah banyak terdapat laporan-laporan
pasien
mengkonsumsi
26
dokter
Ketiga
pengobatan
enoxaparin, suatu turunan dari heparin.
Konferensi
Konsensus
Third
(ASRA’s
ASRA
Consensus
Conference)
anestesi
menggunakan
menggunakan
darurat
dan
ambulans
sistem
membawanya
menuju
lokasi
tentang penggunaan anestesi regional dan
terjadi kecelakaan. Para dokter tersebut
antikoagulan
dapat
disarankan
untuk
menggunakan
pengalaman
anestesi
yang
melakukan tehnik anestesi regional pada
digunakan untuk prosedur anestesi regional
kondisi penanganan trauma akut. Selain itu,
neuraxial.
27
perifer
seperti
Sementara itu, perdarahan yang
pengalaman
terbaru
dari
bidang
militer
menunjukkan
terapi
penurunan
terhadap pasien yang mendapat anestesi
hematokrit, perdarahan yang terjadi bukan
regional terutama pada penggunaan tehnik
28
kateter kontinyu baik setelah terjadi cedera
Untuk mengurangi risiko komplikasi pada
maupun selama transportasi menuju rumah
pasien
terapi
sakit. Dimana pengalaman tersebut dapat
koagulan dibutuhkan komunikasi yang baik
diterapkan pada seluruh masyarakat sipil
antara dokter dengan klinisi yang melakukan
pada
pemasangan maupun pelepasan blok saraf
penggunaan
atau
saraf
analgesia jangka panjang. Sangat penting
mengenai jadual pemberian dan dosis obat
bagi para dokter anestesi untuk mengambil
antikoagulan
waktu
inisiatif sebagai pelopor dalam mengadaptasi
pelaksanaan prosedur bersamaan dengan
tehnik anestesi regional di luar lingkungan
saat
kamar operasi dan menggunakannya di
terjadi
karena iskemik sel saraf yang irreversibel.
yang
sedang
penggunaan
untuk
konsentrasi
menjalani
kateter
blok
menghindari
puncak
dari
obat
antikoagulan di dalam tubuh pasien.
tahun-tahun
kateter
yang
dalam
terjadi pada pasien yang menggunakan
antikoagulan
hasil
dimilikinya
dan
menggunakan pedoman yang sama untuk
regional
yang
kemampuan
menjanjikan
selanjutnya
seperti
kontinyu
untuk
ruang gawat darurat dan ditingkat pelayanan
kesehatan
pra-rumah
sakit.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
G. W. Crile. Anesthesia of nerve roots
with cocaine. Cleveland Medical
Journal, 1897 ; 2 : article 355.
G. Hirschel. Die anaesthesierung des
plexus brachialis fuer die operationen
der oberen extremitaet. München Med
Wochenschr, 1911 ; 58 :1555–6.
D. Kulenkampff. Die anaesthesierung
des
plexus brachialis.
Zentralblatt fur
Chirurgie, 1911 ; 38 : 1337–46.
5.
6.
7.
40
J. L. Corning. Spinal anesthesia and
local medication of the cord. New York
Medical Journal, 1885 ; 42 : 483–5.
A. Bier. Versuche über cocainisirung
des
rückenmarkes.
Deutsche
Zeitschrift für Chirurgie, 1899 ; 51 :
361–9.
A. Bier. Über einen neuen weg
lokalanasthesie an den gliedmassen
zu erzeugen. Verhandlungen der
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Deutschen Gesellschaft für Chirurgie,
1908 ; 27 : 204–14.
A. R. Plunkett, D. S. Brown, J. M.
Rogers, and C. C. Buckenmaier.
Supraclavicular continuous peripheral
nerve block in a wounded soldier:
when ultrasound is the only option.
British Journal of Anaesthesia, 2006 ;
97 : 715–7.
R. J. Malchow and I. H. Black. The
evolution of pain management in the
critically ill trauma patient: emerging
concepts from the global war on
terrorism. Critical Care Medicine, 2008
; 36 : 346–57.
E. M. Davidson, Y. Ginosar, and A.
Avidan.
Pain
management
and
regional anaesthesia in the trauma
patient.
Current
Opinion
in
Anaesthesiology, 2005 ; 18 : 169–74.
N. B. Foss, B. B. Kristensen, M.
Bundgaard et al. Fascia iliaca
compartment blockade for acute pain
control in hip fracture patients: a
randomized, placebo-controlled trial.
Anesthesiology, 2007 ; 106 : 773–8.
R. Barker, A. Schiferer, C. Gore et al.
Femoral nerve blockade administered
preclinically for pain relief in severe
knee trauma is more feasible and
effective than intravenous metamizole:
a randomized controlled trial. Journal
of Trauma, 2008 ; 64 : 1535–8.
C. C. Buckenmaier, G. M. McKnight, J.
V. Winkley et al. Continuous peripheral
nerve block for battlefield anesthesia
and evacuation. Regional Anesthesia
and Pain Medicine, 2005 ; 30 : 202–5.
R. M. Gallagher and R. Polomano.
Early, continuous, and restorative pain
management in injured soldiers: the
challenge ahead. Pain Medicine, 2006
; 7 : 284–6.
J. E. Wathen, D. Gao, G. Merritt, G.
Georgopoulos, and F. K. Battan. A
randomized control trial comparing a
fascia iliaca compartment nerve block
to a traditional systemic analgesic for
femur fractures in a pediatric
emergency department. Annals of
Emergency Medicine, 2007 ; 50 : 162–
71.
C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A.
Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone.
Femoral nerve block for diaphyseal
and distal femoral fractures in the
emergency
department:
surgical
technique. Journal of Bone and Joint
Surgery A, 2008 ; 90 : 218–26.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
41
C. E. Mutty, E. J. Jensen, M. A.
Manka, M. J. Anders, and L. B. Bone.
Femoral nerve block for diaphyseal
and distal femoral fractures in the
emergency department. Journal of
Bone and Joint Surgery A, 2007 ; 89 :
2599–2603.
B. Stewart, C. T. Smith, L. Teebay, M.
Cunliffe, and B. Low. Emergency
department use of a continuous
femoral nerve block for pain relief for
fractured femur in children. Emergency
Medicine Journal, 2007 ; 24 : 113–4.
B. D. O'Donnell, H. Ryan, O.
O'Sullivan, and G. Iohom. Ultrasoundguided axillary brachial plexus block
with 20 milliliters local anesthetic
mixture versus general anesthesia for
upper limb trauma surgery: an
observer-blinded,
prospective,
randomized,
controlled
trial.
Anesthesia and Analgesia, 2009 ; 109
: 279–83.
M. Blaivas, S. Adhikari, and L. Lander.
A
prospective
comparison
of
procedural sedation and ultrasoundguided interscalene nerve block for
shoulder reduction in the emergency
department. Academic Emergency
Medicine, 2011 ; 18 : 922–7.
B. J. Simon, J. Cushman, R. Barraco
et al. Pain management guidelines for
blunt thoracic trauma. Journal of
Trauma, 2005 ; 59 : 1256–67.
E. M. Bulger, T. Edwards, P. Klotz,
and G. J. Jurkovich. Epidural
analgesia improves outcome after
multiple rib fractures. Surgery, 2004 ;
136 : 426–30.
E. T. Davis, A. Harris, D. Keene, K.
Porter, and M. Manji. The use of
regional anaesthesia in patients at risk
of acute compartment syndrome.
Injury, 2006 ; 37 : 128–33.
G. J. Mar, M. J. Barrington, and B. R.
McGuirk.
Acute
compartment
syndrome of the lower limb and the
effect of postoperative analgesia on
diagnosis.
British
Journal
of
Anaesthesia, 2009 ; 102 : 3–11.
M. A. Cometa, A. T. Esch, and A. P.
Boezaart. Did continuous femoral and
sciatic nerve block obscure the
diagnosis or delay in treatment of
acute
lower
leg
compartment
syndrome? A case report. Pain
Medicine, 2011 ; 12 : 823–8.
Y. Auroy, D. Benhamou, L. Bargues et
al. Major complications of regional
27.
28.
29.
anesthesia in France: the SOS
Regional Anesthesia Hotline Service.
Anesthesiology, 2002 ; 97 : 1274-80.
P. Bickler, J. Brandes, M. Lee, K.
Bozic, B. Chesbro, and J. Claassen.
Bleeding complications from femoral
and sciatic nerve catheters in patients
receiving
low
molecular
weight
heparin. Anesthesia and Analgesia,
2006 ; 103 : 1036–7.
T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C.
Rowlingson et al. Regional Anesthesia
in the patient receiving antithrombotic
or thrombolytic therapy; American
Society of Regional Anesthesia and
Pain
Medicine
evidence-based
guidelines (Third Edition). Regional
Anesthesia and Pain Medicine, 2010 ;
35 : 64–101.
T. T. Horlocker, D. J. Wedel, J. C.
Rowlingson, and F. K. Enneking.
Executive
summary:
regional
anesthesia inthe patient receiving
antithrombotic or thrombolytic therapy.
Regional
Anesthesia
and
Pain
Medicine, 2010 ; 35 : 102–5.
42
TROMBOSIS VENA DALAM
Ima Arum Lestarini
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstrak
Penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan trombosis yaitu proses pembentukan bekuan darah
(trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam
vena sekunder / vena dalam oleh karena inflamasi /trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian.
Penyebab utama trombosis vena belum jelas, tetapi ada tiga kelompok faktor pendukung yang dianggap
berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai TRIAS VIRCHOW yaitu abnormalitas aliran
darah, dinding pembuluh darah dan komponen factor koagulasi. Standar baku emas untuk diagnosis TVD
adalah venografi intarvena, di mana bahan kontras diinjeksikan pada vena kemudian difoto rontgen untuk
melihat di mana terdapat obstruksi vena. Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan.Diagnosis yang
didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapt diandalkan, sedangkan untuk penatalaksanaan TVD secara
optimal, perlu diagnosis yang obyektif. Guna mempermudah pendekatan diagnosis, digunakan sistem skoring
untuk menentukan besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta pemeriksaan laboratorium, Compression
ultrasonography, dan venografi, yang dijadikan bukti diagnosis obyektif.
Kata kunci : trombosis vena dalam, skor wells
Pendahuluan
Istilah
dari ekstrimitas bawah. Penyakit ini dapat
tromboembolik
menyerang satu vena bahkan lebih. Vena-
menunjukkan hubungan dengan trombosis
vena di betis adalah vena-vena yang paling
yaitu proses pembentukan bekuan darah
sering terserang. Trombosis pada vena
(trombus) dan resiko emboli. Trombosis
poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen
Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana
segmen
terbentuk bekuan dalam vena sekunder /
terjadi. Banyak yang sembuh spontan, dan
vena dalam oleh karena inflamasi /trauma
sebagian
dinding vena atau karena obstruksi vena
emboli. Emboli paru-paru merupakan resiko
sebagian. Trombosis Vena Dalam (TVD)
yang cukup bermakna pada trombosis vena
menyerang
darah
dalam karena terlepasnya trombus kemudian
awalnya
ikut aliran darah dan terperangkap dalam
sistem vena
penyakit
pembuluh-pembuluh
dalam.
Serangan
vena
ileofemoralis
lainnya
arteri pulmonalis.1,2
disebut trombosis vena dalam akut.
TVD dapat bersifat parsial atau total.
Kebanyakan trombosis vena dalam berasal
43
berpotensi
juga
sering
membentuk
Gambar 1. Trombosis vena dalam
Patofisiologi
Kerusakan pembuluh darah
Penyebab utama trombosis vena belum
jelas,
tetapi
3
ada
tiga
kelompok
Cedera
faktor
pembuluh
darah,
diketahui dapat mengawali pembentukan
pendukung yang dianggap berperan penting
trombus.
dalam
pembentukannya
dinding
Penyebabnya
adalah
trauma
yang
dikenal
langsung pada pembuluh darah, seperti
VIRCHOW
yaitu
fraktur dan cedera jaringan lunak, dan infus
abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh
intravena atau substansi yang mengiritasi,
sebagai
TRIAS
darah dan komponen factor koagulasi
3,4,5
seperti kalium klorida, kemoterapi, atau
antibiotik dosis tinggi.
Stasis vena
Hiperkoagubilitas
Stasis aliran darah vena, terjadi bila aliran
darah melambat, seperti pada gagal jantung
Keseimbangan antara faktor koagulasi
atau syok; ketika vena berdilatasi, sebagai
alamiah,
akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot
berfungsi mempertahankan keseimbangan
skeletal berkurang, seperti pada istirahat
hemostasis
lama, paralisis ekstremitas atau anastesi.
darah, terjadi paling sering pada pasien
Hal-hal tersebut menghilangkan pengaruh
dengan
dari pompa vena perifer, meningkatkan
secara mendadak, penggunaan kontrasepsi
stagnasi
oral dan sulih hormon estrogen dan kanker
dan
pengumpulan
darah
di
fibrinolisis
normal.
penghentian
inhibitornya
Hiperkoagulabilitas
obat
antikoagulan
ekstremitas bawah. TVD pada penderita
terutama
stroke terjadi pada tungkai yang mengalami
mengaktifkan faktor pembekuan sehingga
paralisis.
meningkatkan risiko TVD.4
44
jenis
serta
adenokarsinoma
dapat
6
Gambar 2. Patofisiologi dari TVD
Faktor Risiko4,7-10
TVD
yang
terjadi
sebelumnya
dan
kerusakan vena
TVD kadang terjadi pada vena yang
normal, namun demikian faktor risiko yang
Jika sisi dalam vena rusak, kemungkinan
dapat menyebabkan TVD adalah :
menjadi TVD meningkat, seperti pada :
1. Vaskulitis (inflamasi pada dinding
Imobilitas ( kurang gerakan )
Imobilitas
akan
vena)
menyebabkan
terjadinya
bekuan
keadaan
seperti
kemoterapi dapat merusak vena dan
melambatnya aliran darah pada vena dan
meningkatkan
dan
meningkatkan risiko TVD.
darah.
2. Fraktur tungkai
Contohnya :
3. Komplikasi dari tindakan invasif pada
1. Pasca operasi lebih dari 30 menit,
vena
karena pada saat anestesinya aliran
Hiperkoagulabilitas
darah vena menurun. Oleh karena itu
pasca operasi, biasanya diberikan
Pada kondisi ini pembekuan darah lebih
suntikan heparin untuk mencegah
cepat dari normal seperti pada :
terjadinya TVD.
2. Sakit
dan
menyebabkan
1. Pengobatan (pil keluarga berencana,
perawatandapat
imobilisasi
estrogen)
seperti
2. Kanker
stroke
3. Merokok
3. Kehamilan, termasuk 6-8 minggu post
4. Polisitemia
partum
Kondisi Medis dan Genetik
4. Obesitas
5. Perjalanan jauh dengan kereta atau
Pada beberapa kondisi kanker dan terapi
pesawat dapat meningkatkan risiko
kanker menghasilkan substansi dalam darah
terjadinya TVD
yang dapat menyebabkan bekuan. Gagal
jantung dimana kerusakan pada jantung
menyebabkan pompa jantung tidak normal
45
dan efektif sehingga bisa terjadi pooling dan
Leiden trombofilia yang dapat menyebabkan
bekuan. Penyakit genetik seperti Faktor V
bekuan abnormal.
Tabel 1. Faktor Risiko dan presdisposisi kondisi terjadinya tromboemboli vena
Faktor pasien :

Riwayat sebelumnya*

Umur > 40 tahun

Kehamilan

Obesitas

Status hiperkoagulabel yang diturunkan : mutasi faktor V Leiden, defisiensi (protein C,
protein S, antitrombin), mutasi gen protrombin
Kondisi yang mendasari dan faktor didapat

Keganasan, terutama penyebaran adenokarsinoma

Penggunaan estrogen : kontrasepsi oral, sulih hormon

Paralisis*

Imobilitas lama

Pembatasan gerak dan paralisis ekstremitas bawah

Pembedahan, terutama tungkai bawah, pelvis dan abdomen*

Pembedahan dengan anestesi > 30 menit

Trauma

Penyakit seperti IMA, stroke iskemik, gagal jantung kongestif, gagal nafas akut

Cedera tungkai bawah*

Heparin induced thrombocytopenia

Keadaan hiperkoagulabel yang didapat : antibodi antifosfolipid, lupus antikoagulan,
hiperhomositeinemia, polisitemia
*Faktor risiko utama yang sering menyebabkan TEV
Diagnosis
terkumpul di lengan atau tungkai. Gejala dan
Standar baku emas untuk diagnosis TVD
tanda klasik :
adalah venografi intarvena, di mana bahan
1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis
kontras diinjeksikan pada vena kemudian
bila terjadi di tungkai dan di lengan
difoto rontgen untuk melihat di mana terdapat
atau leher jika mengenai ekstrimitas
obstruksi
atas.
vena.
Pemeriksaan
ini
invasif
sehingga jarang dilakukan.
2. Pembengkakan
terlokalisir
pada
daerah yang terkena disertai pitting
Gejala dan tanda
2,4
oedema.
Untuk
TVD
distal
Gejala dan tanda pada TVD berhubungan
pembengkakan sampai di bawah lutut
dengan terjadinya obstruksi aliran darah balik
dan TVD proksimal sampai daerah
ke
pantat.
jantung
yang
menyebabkan
darah
46
3. Perabaan
kulit
hangat
dan
untuk penatalaksanaan TVD secara optimal,
kemerahan di sekitar daerah TVD
perlu
terutama di bagian belakang dan
mempermudah
lutut,
vena
digunakan sistem skoring untuk menentukan
superfisial dan pada obstruksi berat
besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta
kulit tampak sianosis.
pemeriksaan
terdapat
pelebaran
4. Kadang TVD tidak memberikan gejala
diagnosis
obyektif.
pendekatan
laboratorium,
ultrasonography,
yang nyata, gejala timbul setelah
yang
dan
diagnosis,
Compression
venografi,
dijadikan bukti diagnosis obyektif.
terjadi komplikasi misalnya terjadi
Guna
yang
4
Scarvelis dan Wells mengenalkan
emboli ke paru.
keadaan klinis yang dapat memprediksi
adanya TVD seperti pada tabel 2.11
Diagnosis yang didasarkan pada temuan
fisik saja tidak dapt diandalkan, sedangkan
Tabel 2 . Skor Wells untuk kecurigaan klinis trombosis vena dalam
Karakteristik Klinik
Skor
Kanker aktif (sedang dilakukan terapi dalam 6 bulan terakhir)
1
Paralisis, paresis atau imobilisasi pada tungkai
1
Tirah baring > 3 hari atau operasi besar dalam 12 minggu terakhir
1
Nyeri tekan terlokalosir sepanjang distribusi vena dalam
1
Bengkak pada seluruh tungkai
1
Bengkak pada tungkai > 3 cm dibandingkan sisi yang tidak sakit
1
Edema pitting pada tungkai sisi sakit
1
Diagnosis alternatif yang menyerupai TVD
-2
Kolateral vena superfisial (non-varicose)
1
Pernah terjadi TVD sebelumnya
1
Pretest probability :
- High
- Moderat
- Low
Pemeriksaan
>2
1 atau 2
<1
penunjang
yang
dilakukan
bifurcation) dengan sensitifitas 97%
untuk diagnosis TVD :
dan
1. Compression Ultrasonography
spesifitas
94%.12 Bila
hasil
abnormal, diadnosis trombosis vena
CU merupakan pemeriksaan non
dapat ditegakkan, bila hasil normal
invasive pilihan untuk membantu
maka
menegakkan
pada
berikutnya. Konversi dari normal ke
klinik.
abnormal
untuk
ulang terdapat pada 2% pasien. CU
proksimal
kurang sensitive untuk TVD distal,
simtomatik (femoral, popliteal, calf
TVD asimtomatik dan TVD berulang.
kecurigaan
Prosedur
mendeteksi
diagnosis
TVD
ini
secara
cukup
TVD
teliti
47
diulang
pada
pada
minggu
pemeriksaan
CU
2. D-dimer
trombosis proksimal dan vena betis
Pemeriksaan kadar d-dimer (hasil
yang
pemecahan fibrin ikat silang yang
pemeriksaan ini adalah :
dipecah oleh plasmin), merupakan
a. Bersifat invasif
pemeriksaan tambahan CU guna
b. Menimbulkan rasa nyeri
meningkatkan ketepatan diagnosis
c.
TVD.
Kadar
d-dimer
biasanya
terisolasi.
Kelemahan
Mahal dan memerlukan keahlian
khusus dalam tekniknya
meningkat pada TVD dan / atau EP
d. Membutuhkan waktu yang lama
(Emboli Paru). Peningkatan kadar d-
e. Kemungkinana
dimer menunjukkan adanya produk
trombosis
degradasi fibrin dalam kadar yang
f.
abnormal tinggi. Peningkatan kadar
komplikasi
Alergi dan gangguan faal ginjal
akibat cairan kontras
ini mempunyai arti bahwa telah
Karena
terjadi trombus yang bermakna dan
pemeriksaan non invasif seperti CU
pemecahannya dalam tubuh , namun
dan d-dimer, dikombinasi dengan
belum dapat menunjukkan lokasi 13.
pemeriksaan fisik, banyak digunakan
Kadar normal dapat membantu untuk
sebagai pengganti venografi.
menyingkirkan TVD, namun kadar
alasan
tersebut,
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
yang meningkat tidak spesifik dan
MRI sangat akurat untuk diagnosis
mempunyai nilai ramal positif yang
TVD, termasuk TVD distal (betis),
rendah. Peningkatan kadar d-dimer
pelvis dan trombosis asimptomatik
bisa sebagai respon non spesifik dari
pada wanita hamil. Teknik ini sangat
penyakit yang terjadi bersamaan.
potensial
3. Venografi
untuk
membedakan
thrombus lama dan baru, serta tidak
Venografi merupakan pemeriksaan
memerlukan
baku emas dari TVD. Keunggulan
harganya masih relatif mahal.
venografi adalah mampu mendeteksi
48
kontras.
Namun
Berikut adalah alogaritma untuk diagnosis TVD.
Gambar 3. Alur untuk mendiagnosis TVD
Penatalaksanaan
seperti steptokinase, urokinase dan tissue
Penatalaksanaan
TVD
mencegah
bertambah
mencegah
emboli
adalah
besarnya
paru,
untuk
plasminogen activator bekerja melarutkan
bekuan,
trombin. Obat ini terutama digunakan pada
sindroma
post
penderita emboli paru yang luas disertai
trombosis dan terjadinya TVD berulang.
gangguan
Terapi farmakologi yang digunakan biasanya
kardiorespirasi
perdarahan yang kecil.
adalah antikoagulan dan trombolitik.
dan
risiko
14
Selain terapi farmakologi, juga dilakukan
terapi non farmakologi untuk pencegahan
secara mekanik yaitu 2,7,8:
Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah
1. Penggunaan kaos kaki yang dapat
terjadi bekuan yang semakin besar, dan
memberi penekanan (Compression
mencegah pembentukan bekuan darah. Jika
Elastic stockings). Digunakan pada
terapi antikoagulan diberikan segera setelah
pagi
TVD terbentuk, maka akan menurunkan
aktivitas, dilepas pada saat akan
risiko terjadinya emboli paru. Antikoagulan
tidur, dapat digunakan pula saat
yang biasa dipakai adalah heparin dan
istirahat dengan posisi menaikkan
warfarin.
8
hari
dan
seharian
saat
tungkai pada saat tiduran.
2. Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki
Trombolitik
Berbeda
berfungsi
dan betis lebih tinggi dari pinggul,
dengan
mencegah
kekambuhan
antikoagulan
perluasan
trombosis,
obat
yang
posisi
ini
diharapkan
dapat
memperlancar aliran darah vena.8
maupun
trombolitik
49
3. Intermittent pneumatic compresion,
alat
ini
dapat
Angiografi merupakan pemeriksaan baku
memberikan
emas untuk emboli paru, tetapi sangat invasif
penekanan dari luar secara teratur
dan bisa timbul komplikasi yang lebih fatal.
pada tungkai bawah atau tungkai
Pemeriksaan ekokardiografi dapat dilakukan
bawah dan paha; besarnya tekanan
untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kanan
35-40 mmHg selama 10 detik /
yang akan meningkatkan risiko kematian
menit.
sehingga
4. Mobilisasi awal untuk meningkatkan
aliran
darah
vena
pada
agresif.
perlu
pengobatan
yang
lebih
15
kondisi
Pencegahan
stasis.
Pencegahan
Komplikasi Emboli Paru
TVD
dapat
dilakukan
dengan cara :
Trombus yang terlepas menjadi embolus
1. Pemberian injeksi heparin dosis rendah
akan mengikuti aliran darah ke jantung dan
pada pasien dengan risiko TVD yang
akan dialirkan ke cabang – cabang arteri di
direncanakan operasi dan akan terjadi
paru sehingga akan menghambat aliran
imobilisasi setelah operasi. Pada pasien
8
darah .
Penderita
mengeluh
dengan
sesak
EP
mendadak
sering
dengan risiko rendah disarankan untuk
disertai
memakai compression stockings.
hemoptisis atau nyeri dada atau nyeri dada
2. Kurangi merokok dan berat badan yang
dan tiba-tiba kolaps disertai syok bahkan
4,8
kematian
mendadak .
penderita
TVD
yang
Sekitar
tidak
dapat meningkatkan terjadnya TVD.
10%
3. Selama perjalanan jauh ( > 6 jam )
ditangani
dianjurkan
banyak
minum
air,
berkembang kearah emboli paru di mana
menghindari
menyebabkan
olahraga sederhana untuk tungkai, serta
kematian.
gejala
yang
berat
atau
8
alkohol,
melakukan
menggunakan kaos kaki compression
stockings.
Daftar Pustaka
Dalam : Kumpulan makalah symposium.
Thrombosis in special organ. Badan
Penerbit
Universitas
Diponegoro.
Semarang. 2006: 1-3
5. Linkins LA., Kearon C. Venous
thromboembolism. In : O’Shaughnessy
D, Makris M, Lilicrap D (Ed). Practical
hemostasis and thrombosis. 1st Ed.
Massachusetts. Blackwell. 2005 : 101-13
6. Doctor corner. Deep venous thrombosis.
(cited 9 September 2008). Available from
URL
:
http://yourdoctor.com/healthinfocenter/medicalconditions/cardiovascular/cardiacconditions/vascular-dz/dvt.html
7. Anonymus. Deep vein thrombosis. (cited
9 September 2008) (3 sheet). Available
from
URL
1. Demaria A. Deep vein thrombosis
explained. (cited 9 September 2008) (3
sheet).
Available from URL :
http://www.cnn.com/2001/WORLD/asiap
cf/01/24/dvt.medical/index.html
2. Anonymus. Deep vein thrombosis. (cited
9 September 2008) (3 sheet). Available
from
URL
:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_vein_th
rombosis
3. Venous institute of buffalo. Deep vein
thrombosis. Available from URL :
http://www.venousinstitute.com/vein_trea
tment_deep_vein_thrombosis.html
4. Suharti C. Pathogenesis and clinical
feature of thrombosis in special organ.
50
8.
9.
10.
11.
12.
13.
http://www.mayoclinic.com/health/deepvein-thrombosis/DS01005
Anonymus. Introduction. Deep vein
thrombosis. (cited 9 September 2008)
Available
from
URL
:
http://www.nhsdirect.nhs.uk/articles/articl
e.aspx?articleid=122
Michiels JJ, Reeder-Boertje SWI, van
den Bos RR, Wentel TD, Neumann HAM.
Prospective studies on diagnosis and
management of deep vein thrombosis
(dvt) and the post-thrombotic syndrome
(pts): filling up the gap part 1: deep-vein
thrombosis
(dvt):
the
rotterdam
approach. Available from URL :
http://www.jmed.ro/index.php?articol=37
2
Anonymus. Introduction to deep vein
thrombosis (DVT). Available from URL :
http://www.medicinenet.com/deep_vein_t
hrombosis/article.htm
Scarvelis D, Wells P. Diagnosis and
treatment of deep-vein thrombosis.
CMAJ 2006;175 (9): 1087–92.
Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH.
Venous
thromboembolism
:
pathophysiology, clinical features and
prevention. BMJ. 2002: 25:887-90
Suromo L. D-dimer sebagai parameter
tambahan untuk trombosis, fibrinolisis
dan penyakit jantung. Dalam : Petanda
penyakit kardiovaskuler sebagai Point of
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
51
Care Test (POCT). Badan Penerbit
Universitas
Diponegoro.
Semarang.
2006:31-40
Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH.
Venous thromboembolism : treatment
strategies. BMJ. 2002: 325:948-50
Ageno W. Treatment of pulmonary
embolism ; same as deep vein
thrombosis treatmement? DVT forum.
2002; 5:7-8
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH.
Kapita selekta Hematologi. Edisi 4.
Jakarta: EGC, 2005: 104-15; 272;
Sherlock S. Alih bahasa Andrianto P.
Penyakit hati dan sistem saluran
empedu. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika,
1995: 597-627
Amirudin F. Karsinoma hepar. Dalam
Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 edisi ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI, 1996 : 310-6
Mangarengi F, Pakasi R, Hardjoeno. Tes
bilirubin serum. Dalam: Interpretasi hasil
tes laboratorium diagnostic. Lembaga
Penerbitan
Universitas
Hasanudin.
Makasar, 2003: 265-70
Fauza Y, Rusly B, Hardjoeno.
Tes
enzimatik hepar. Dalam: Interpretasi
hasil
tes
laboratorium
diagnostic.
Lembaga
Penerbitan
Universitas
Hasanudin. Makasar, 2003: 271-85
EPIDEMIOLOGI GAGAL JANTUNG KRONIK PADA USIA LANJUT
Basuki Rahmat
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract
Understanding the prevalence of heart failure in the elderly is the basis in determining the policies of
stakeholders associated with a substantial economic burden in the management of chronic heart failure
particularly in the elderly population. Besides chronic heart failure epidemiological data can be used as a
consideration in determining clinicians appropriate strategy in penatalaksanan chronic heart failure in this
population. Because we know that elderly patients with heart failure is not only the heart that should be our
focus. Other comorbid diseases, physiological changes in the body, the procedure for taking medication are all
factors that should be our concern.
Keywords: Epidemiology, chronic heart failure, advanced age.
Abstrak
Pemahaman revalensi gagal jantung pada usia lanjut merupakan dasar dalam menentukan kebijakan dari
stakeholder terkait dengan beban ekonomi negara yang besar dalam penatalaksanaan gagal jantung kronik
khususnya pada populasi usia lanjut. Selain itu data epidemiologi gagal jantung kronik tersebut dapat
digunakan sebagai pertimbangan klinisi dalam menentukan strategi yang tepat dalam penatalaksanan gagal
jantung kronik pada populasi ini. Karena telah kita ketahui bahwa pasien usia lanjut dengan gagal jantung
tidak hanya jantungnya yang harus menjadi fokus kita. Komorbid penyakit lain, perubahan fisiologis tubuh,
tatacara minum obat merupakan faktor-faktor yang harus menjadi perhatian kita.
Kata kunci: Epidemiologi, Gagal jantung kronik, usia lanjut.
Paradoks Penyakit Jantung Pada Usia
ditampilkan
Lanjut.
tatalaksana penyakit kardiak dan non-kardiak
Saat
ini
demografi”,
dunia
di
mengalami
Amerika
Serikat
dalam
tabel
2.
Kemajuan
“revolusi
baik akut maupun kronik (penyakit jantung
sebagai
koroner, hipertensi, gagal ginjal, kanker dan
contohnya, pada tahun 1990 penduduk
penyakit
diatas usia 65 tahun mencapai 30 juta jiwa,
terhadap
dan akan mencapai 50 juta jiwa pada tahun
jantung. Seseorang yang 20 tahun yang lalu
2020. Peningkatan harapan hidup tersebut
mungkin meninggal dalam usia pertengahan
diikuti
frekuensi
oleh karena infark miokard akut (IMA), saat
penyakit jantung, paru-paru dan pembuluh
ini dapat bertahan sampai usia lanjut hanya
darah.
kematian
saja berkembang menjadi gagal jantung
seiring pertambahan usia akibat penyakit
pada tahun-tahun berikutnya. Hampir sama
jantung
jantung
dengan ilustrasi kasus tersebut, kontrol
memberikan
tekanan darah yang baik akan menurunkan
dengan
peningkatan
Penurunan
koroner
progesifitas
dan
hipertensi
ternyata
permasalahan
baru.
penyakit
ternyata
peningkatan
berkontribusi
kejadian
gagal
jantung
60% kematian karena stroke sampai 30
koroner dan jantung hipertensi ternyata
tahun kemudian, akan tetapi pasien tersebut
meningkatkan insidensi dan prevalensi gagal
akan tetap memiliki risiko untuk menjadi
jantung
terus
gagal jantung sebagai komplikasi hipertensi
meningkat sampai beberapa dekade ke
kronik dan hipertropi ventrikel kiri (Rich,
depan. Beberapa faktor yang berkontribusi
2009)
terhadap
yang
Penyakit
infeksi),
diprediksikan
progresifitas
akan
gagal
jantung
52
Tabel 2. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan insidensi dan prevalensi gagal jantung
pada usia lanjut.
Populasi usia lanjut
-
Perubahan kardiovaskular yang berhubungan dengan pertambahan usia
-
Prevalensi penyakit kardiovaskular yang meningkat
Kemajuan tatalaksana penyakit jantung koroner dan hipertensi
-
-
Menurunnya kematian akibat penyakit jantung koroner

Era terapi trombolitik

Angioplasti, stenting dan CABG

Aspirin, clopidogrel, penyekat beta dan ACE-I atau ARB

Statin
Menurunnya kematian akibat stroke

Penggunaan obat antihipertensi yang luas

Efek terapi hipertensi sistolik terisolasi dan diastolik
Kemajuan tatalaksana penyakit lain
-
Gagal ginjal kronik tahap terminal
-
Kanker
-
Pnemonia dan infeksi lain
(sumber Rich, MW 2009)
Prevalensi Gagal Jantung Kronik pada
diantaranya memiliki fungsi sistolik ventrikel
Usia Lanjut.
kiri yang masih baik. Menariknya, diantara
Studi Framingham menunjukkan bahwa
yang mengalami gagal jantung diastolik
prevalensi gagal jantung akan meningkat dua
ventrikel kiri tersebut 67% adalah wanita. Hal
kali lipat setiap 10 tahun pada usia diatas 50
ini kemungkinan disebabkan fakta bahwa
tahun, meningkat 0,8 % pada usia dibawah
hipertensi adalah penyebab tersering gagal
50 tahun dan meningkat 9,1% pada usia 80
jantung pada wanita usia lanjut (Kitzman et
sampai 89 tahun. Menariknya jenis kelamin
al., 2001)
juga mempengaruhi prevalensi gagal jantung
Aspek penting gagal jantung pada usia
pada usia lanjut. Hipotesis ini dibuktikan
lanjut
dalam cardiovascular health study (CHS)
diastolik ventrikel kiri meningkat. Pasien
yang melibatkan 5888 usia lanjut diatas 65
dengan usia kurang dari 65 tahun, kurang
tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 272
lebih 90% gagal jantungnya disebabkan oleh
subjek yang mengalami gagal jantung, 54%
penurunan fungsi ventrikel kiri oleh karena
53
adalah
prevalensi
gagal
jantung
penyakit jantung koroner dan kardiomiopati
dengan fungsi sistolik yang masih baik.
dilatasi
gagal
Prevalensi ini dihubungkan dengan fibrosis
jantung pada usia lanjut 40-71% disebabkan
oleh karena proses penuaan pada populasi
oleh gagal jantung diastolik ventrikel kiri
usia lanjut (Thomas dan Rich, 2007) .
non
iskemik.
Prevalensi
Tabel 1. Prevalensi gagal jantung pada usia lanjut pada beberapa Negara. Cardiovascular health
study (CHS)
Studi
tahun
Parameshwar
Ho
1992
1993
Ambrosio
1994
Negara
Inggris
Amerika Serikat
Italia
Usia subjek
Prevalensi (%)
<65
0,4
>65
2,8
50-59
0,8
60-69
2,3
70-79
4,9
80-89
9,1
65-69
3,6
75-79
11,1
>85
14,1
Kupari
1997
Finlandia
75-86
8,2
Mosterd
1999
Belanda
55-64
0,7
65-74
2,7
75-84
11,7
Morgan
1999
Inggris
70-84
8,1
Hedberg
2001
Swedia
±75
6,7
Kitzman
2001
Amerika Serikat (CHS)
66-103
8,8
(sumber: Thomas, S. dan Rich, M.W., 2007)
Gagal jantung relatif jarang dijumpai pada
teratas untuk hospitalisasi pada orang diatas
usia dibawah 40 tahun dibandingkan pada
usia 65 tahun.
usia lanjut dan prevalensi gagal jantung pada
2004, 1,1 juta hospitalisasi pasien di Amerika
usia
setiap
Serikat disebabkan oleh gagal jantung. Usia
tahunnya dan lebih dari 10% terjadi pada
diatas 65 tahun mencapai 75% kejadian
usia 80 tahun. Hal yang sama menunjukkan
gagal jantungnya dan dari populasi tersebut
kematian karena gagal jantung
meningkat
lebih dari 50% terjadi gagal jantung pada
dengan
usia diatas 75 tahun. Sebagian besar gagal
pertambahan usia pada semua subgrup
jantung dibawah usia 65 tahun adalah pria,
demografi di Amerika Serikat. Gagal jantung
akan tetapi hampir mendekati 60% gagal
merupakan masalah besar disabilitas kronik
jantung pada usia lebih dari 65 tahun ada
dan gangguan kualitas hidup pada populasi
pada populasi wanita(Rich, 2009)
lanjut
secara
meningkat
eksponensial
dua
kali
seiring
usia lanjut, dan saat ini merupakan indikasi
54
Menariknya, pada tahun
Risiko gagal jantung meningkat seiring
Selain itu, pada studi observasional pasien
dengan peningkatan IMA dan hipertensi.
usia lanjut yang mengalami IMA, 75% pasien
Insidensi gagal jantung mendekati 10 setiap
yang selamat akan berkembang menjadi
1000 populasi usia lanjut dan 75% kasusnya
gagal jantung dalam 5 tahun kedepan. Studi
didahului dengan hipertensi. Risiko gagal
tentang STEMI dengan PCI dibandingkan
jantung
dengan
juga
meningkat
seiring
dengan
fibrinolisis
pada
menunjukkan
jantung
terdiagnosis selama
penurunan mortalitas pada populasi usia
perawatan di rumah sakit dan menariknya,
lanjut(Goldenberg et al. (2003) dan de boer
80%
jantung
et al. (2002)) .Sayangnya, seiring dengan
adalah populasi usia lanjut. Selain itu di
manfaat PCI pada STEMI, pasien STEMI
Amerika Serikat, penyakit kardiovaskular
tersebut
merenggut nyawa seseorang tiap 38 detik,
remodeling LV yang menetap, disfungsi
dan
adalah
ventrikel kiri dan gagal jantung. Tatalaksana
penyebab utama morbiditas dan mortalitas.
IMA terutama STEMI pada populasi usia
Infark miokard sering terjadi pada populasi
lanjut menurut panduan ACC/AHA dan ESC
usia lanjut dengan rata-rata usia pria 64.5
dapat menurunkan mortalitas tapi pasien
tahun dan wanita usia 70.4 tahun. Pada
yang selamat mungkin akan meningkatkan
tahun
insidensi gagal jantung(Jugdutt et al. 2010)
kali
hospitalisasi
penyakit
2010,
pasien
jantung
gagal
koroner
kejadian
serangan jantung
dapat
PCI
lanjut
pertambahan usia dan hipertensi. Gagal
sering
manfaat
usia
terhadap
berkembang
menjadi
setiap 26 detik, 785.000 individu mengalami
serangan
pertama,
470.000
Kesimpulan
individu
mengalami serangan jantung ulangan dan
Data epidemiologi gagal jantung kronik
kira-kira 195.000 mengalami silent infarct
pada usia lanjut di Indonesia masih sangat
miokard(Jigdutt,
terbatas. Data epidemiologi pada penelitian
2010).
Kemajuan
terapi
PJK, termasuk diantaranya IMA dan gagal
sebelumnya
jantung setelah IMA, akan meningkatkan
gambaran besar prevalensi gagal jantung di
harapan
Indonesia
hidup
pasien.
Gagal
jantung
memberikan
juga
acuan
mengalami
peningkatan
merupakan komplikasi sekunder IMA yang
seiring
tersering
yang
penyakit jantung koroner, hipertensi dan
berkembang menjadi gagal jantung setelah
stroke. Adanya paradoks dalam penyakit
IMA pertama meningkat seiring dengan
jantung terutama pada populasi usia lanjut
pertambahan
studi
memberikan data bahwa kita tidak boleh
melaporkan gagal jantung mulai meningkat
berpuas diri karena pasien kita telah survive
setelah usia 45 tahun(Jigdutt, 2010).
dari
dan
jumlah
usia.
individu
Beberapa
Beberapa uji klinik telah menunjukkan
dengan
jelas
bahwa
morbiditas
dengan
bahwa
IMA
ataupun
peningkatan
insidensi
hipertensinya
sudah
terkontrol. Karena masih ada permasalahan
dan
lain setelah itu yaitu gagal jantung kronik.
mortalitas setelah STEMI meningkat pada
usia lanjut dibandingkan usia yang lebih
Daftar Pustaka
muda. Akan tetapi, keikutsertaan populasi
Abrams, W. B. 1990. Cardiovascular drugs in
the elderly. Chest;98;980-986.
usia lanjut pada studi IMA masih sedikit.
55
de Boer MJ, Ottervanger JP, van't Hof AW,
Hoorntje JC, Suryapranata H, Zijlstra F.
2002. Reperfusion therapy in elderly
patients with acute myocardial infarction:
a randomized comparison of primary
angioplasty and thrombolytic therapy. J.
Am. Coll. Cardiol. 39, 1723–1728
Goldenberg I, Matetzky S, Halkin A et al.
2003. Primary angioplasty with routine
stenting compared with thrombolytic
therapy in elderly patients with acute
myocardial infarction. Am. Heart J. 145,
862–867.
Jugdutt, B.I. 2010. Heart Failure in the
Elderly:
Advances
and
ChallengesExpert
Rev
Cardiovasc
Ther. 8(5):695-715.
Kitzman, D.W., Gardin, J.M., Gottdiener,
J.S., et al. 2001. Importance of heart
failure with preserved systolic function in
patients R 65 years of age. CHS
Research Group. Cardiovascular Health
Study. Am J Cardiol 87:413–9.
Rich, M.W. 2009. The Heart failure dalam
Hazzard’s Geriatric Medicine And
Gerontology. McGraw-Hill Companies.
Thomas, S and Rich, 2007, M.W.,
Epidemiology, Pathophysiology, and
Prognosis of Heart Failure in the Elderly.
Heart Failure Clin 3 381–387
56
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi
penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan
pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada
atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan
tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada.
TEMA TULISAN
Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk
dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan.
Tema yang dapat ditulis antara lain:
· Inovasi pembelajaran
· Pengembangan kurikulum dan modul
· Proses belajar mengajar
· Manajemen pendidikan tinggi
· Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik
· Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan
· Media ajar
· Evaluasi belajar mengajar
· Evaluasi program pendidikan
· Etika dan profesionalisme
Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain
yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima.
PANDUAN PENULISAN
a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi.
b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang
namanya tercantum sebagai penulis.
c.
Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal
lainnya.
d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada
tuntutan plagiarisme dari ilmuwan lain.
e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk
penelitian yang melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian.
f.
Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat
pernyataan dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga
57
g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang
mengikuti aturan kaidah penulisan ilmiah.
h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata
dengan susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil
(penelitian), simpulan, kata kunci.
i.
Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4.
j.
Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang
umum (MS Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket)
maupun print out (rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4
tidak bolak-balik, 1 kolom, menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri,
antar paragraf ditandai dengan jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran,
rata kiri, menggunakan huruf kapital dan ditebalkan.
k.
Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
l.
Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat
korespondensi, yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari
satu diurutkan berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden.
m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak
tergantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di
bawah gambar. Tabel dan gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan
kepentingannya.
n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan
penampilan
Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke :
Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram
Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram
Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874. Fax (0370) 641717 Mataram - NTB,
Kode Pos : 83125
Korespondensi dapat melalui email : [email protected]
58
Download