%$%, 3(1'$+8/8$1 /DWDU%HODNDQJ Studi ini membahas tentang relasi antara pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang. Tujuannya adalah melihat bagaimana bentuk relasi antara pengusaha dengan penguasa berjalan di ranah lokal atau di ranah pemerintah daerah. Politik di ranah lokal masih menjadi pilihan penulis dikarenakan saat ini konsentrasi politik kita tengah mengalami pergeseran dari yang semula sentralistik dan terpusat pada level nasional menuju pola desentralisasi yang terpusat di daerah. Sehingga segala bentuk dinamika politik di level lokal menjadi sangat menarik untuk dikaji. Lebih jauh lagi penelitian ini berupaya mengungkap strategi apa yang digunakan oleh pengusaha untuk masuk dalam ranah politik pemerintahan dan turut serta berkuasa menentukan arah pembangunan daerah Kabupaten Malang. Serta bagaimana jaringan ini dapat terpelihara hingga saat ini. Untuk mempertajam penjelasan penulis juga menambahkan pembahasan praktik relasi pengusaha dengan penguasa pada kasus Pemilukada Kabupaten Malang tahun 2015. Sejatinya ranah politik dan bisnis merupakan dua hal yang berbeda. Artinya dua ranah ini bergerak dalam ruang yang berbeda dengan orientasi yang tidak sama. Politik berorientasi pada segala tata cara untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Sementara ranah bisnis beroientasi pada keuntungan secara materiil atau keuntungan ekonomi. Namun,dalam beberapa titik pada nyatanya keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya. Kompleksitas jaman menjadikan garis batas antara keduanya menjadi kabur. Politik begitu akrab dengan bisnis dan dunia bisnis begitu syarat dengan politik. Relasi bisnis dan politik tersebut secara sederhana diklasifikasikan oleh Yoshihara Kunio (1990) menjadi enam tipe berikut, yaitu: a) keluarga presiden, b). kapitalis birokrat, c) 1 kapitalis konco, d)politisi yang beralih menjadi kapitalis, e) kapitalis yang beralih menjadi politisi, dan f) kapitalis lain yang berkoneksi pemerintah. 1 Konteks sejarah menunjukkan bahwa relasi antara pengusaha dan politisi di Indonesia telah terjalin sejak lama. Pada masa orde baru, para pengusaha kita memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah khususnya dengan presiden. Dalam banyak literature disebutkan bahwa pada masa itu Soeharto telah berhasil membangun kerajaan politik sekaligus kerajaan bisnisnya. Beberapa analis politik menyebut Soeharto membentuk sebuah oligarki politik. Yang dimaksud oligarki sendiri oleh Jeffery Winters adalah “oligarchy is defined by the politics of wealth defense”2.Kurang lebih artinya adalah oligarki sebagai sebuah politik mempertahankan kekayaan atau kesejahteraan. Selanjutnya, hasil studi Vedi Hadiz menunjukkan bahwa Soeharto telah membentuk oligarki politik yang terdiri dari anggota militer, pengusaha cina, beberapa pengusaha pribumi, sekaligus kerajaan bisnis yang dibangun oleh anakanaknya. 3 Diantarnya adalah perusahaan produsen kayu lapis yang diketuai oleh Bob Hasan, Liem Sioe Liong pemilik Salim Group, keluarga Ryadi pemilik Lippo. Kedua anak Soeharto yakni Bambang Tri Hatmojo yang memiliki perusahaan Bimantara yang meliputi perbankan, perdagangan, gas alam, telekomunikasi dan produksi otomotif. Semantara Tomy Soeharto memiliki Humpuss yang bergerak dalam bidang insdutri, termasuk angkutan udara, otomotif, supermarket, dan distribusi komunitas. 4 Kondisi tersebut tidak jauh berbeda pasca jatuhnya rezim orde baru dan masuknya era reformasi. Oligarki tetap bertengger dalam perpolitikan kita. 1 Yoshihara Kunio. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. hlm. 95-108 Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (ed), 2014. Beyond Oligarchy. USA: Cornell Southeast Asia Program Publik ation. hlm. 15 3 Vedi R Hadiz.2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES 4 Ibid., hlm. 126; 187 2 2 Reformasi tak mampu mengubah tatanan politik oligarki meski rezim telah terganti. Seperti yang diungkapkan oleh Winters yang menyatakan bahwa: “Oligarchs have the money, media empires, network, and positions in the parties (or the resources to create new ones) thath allow them to dominate the new democratic syste, and pursue strategies of wealth defense outside the political theater.”Kurang lebih artinya adalah: “oligarki mempunyai uang, kerajaan media, jaringan, dan posisi dalam partai (atau sumber daya untuk membuat partai baru) yang memungkinkan mereka untuk mendominasi sistemdemokrasi baru dan mengejar strategi pertahanan kekayaan di luar panggung politik. 5 Dengan kata lain selama oligarki masih memiliki sumber daya yang cukup mereka akan tetap ada meskipun rezim berganti seperti kondisi saat ini. Kondisi ini terbukti ketika pasca reformasi 1998 dimana panggung politik kita pada level nasional telah dihiasi oleh waja-wajah pengusaha. Meskipun sebagian dari mereka memiliki latar belakang politik yang kuat. Namun mereka juga memiliki jaringan usaha yang sangat besar. Dari hasil studinya, Winters berhasil memetakan beberapa politisi yang menguasai bisnis khususnya bisnis dibidang media dan bisnis-bisnis lainnya. Seperti yang terlihat pada tabel berikut: 3ROLWLVL Aburizal Bakrie Dahlan Iskan Susilo Bambang Yudoyono 5 7DEHO 3ROLWLVLGDQ-DULQJDQ2OLJDUNLQ\DGL,QGRQHVLD 3HQGXNXQJ 0HGLD 3HUXVDKDDQ/DLQ 2OLJDUNL Sendiri TVOne, ANTV, Bakrie Group Visi Media Asia, VivaNews.com Jawa Pos Group Fangbian Iskan (Radar, TV Corporindo (FIC) Network) Budi Media Nusa Sampoerna Sampoerna, Perdana (Jurnal Group, Lippo Sunaryo Nasional), Trans Group,CT Group Sampoerna, Crop (Trans Tv, (Bank Mega, Ramadhan Trans 7), Trnas Property, Ibid., hlm. 19 3 $ILOLDVL3HPLOLN 3DUWDL3ROLWLN Golkar Demokrat Demokrat Pohan, Chairul Tanjung, James Roady (Pether Gonta) Surya Paloh Sendiri Prabowo Hasim Brothers Wiranto Hary Tanoesodibjo (sebelum mendirikan partai sendiri) Megawati Taufik Kiemas, Arifin Panigoro Jusuf Kalla Sendiri Detik.com, Lippo Transmart) Media Berita Satu Media Holdings (suara pembaharuan, Jakarta globe, investor daily, beritasatu.com) Metro Tv, Media Papandayan Indonesia Hotel, Bali Intercontinental Hotel, Seraton Media Hotel, PT.Surya Persindo, dll Nusantara Energy Group, PT. Kertas Nusantara, PT. KIani Kertas, PT.Belantara Pusaka, dll MNC Groups, RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo Radio, Seputar Indonesia, Okezone - Nasional Demokrasi (Nasdem) Gerakan Indonesa Raya (Gerindra) Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalla Group: PT. Golkar Bumi Karsa, PT. Bumi Sarana Utama, PT. Kalla Inti Karsa, dll. - Sumber: Jeffry Winters, Oligarchy and Democracy in Indonesia dalam Michele Ford dan Thomas B, Pepinsky (ed),Beyond Oligarchy, 2014 Nama-nama yang tertulis dalam tabel tersebut adalah mereka yang beberapa kali muncul dan terpilih dalam bursa Pilpres selama periode 2004 dan 2009. Fakta ini semakin menguatkan argumen bahwa dunia politik kita sangat erat dengan pengusaha. Bahkan Pilpres 2014 dimenangkan oleh pasangan 4 pengusaha Jokowi dan Jusuf Kalla. Sebelum terjun dalam politik Jokowi adalah pengusaha furniture dari Kota Solo. Sementara Jusuf Kalla adalah pengusaha sukses dari Sulawesi yang memiliki jaringan perusahaan yang besar di berbagi daerah di Indonesia. Selain itu, pengusaha juga banyak ditemui pada lembaga legislatif. Tercatat sebesar 44,6% anggota DPR RI memiliki latar belakang pengusaha. 6 Tidak jauh berbeda dengan level nasional, relasi antara pengusaha dan politisi juga terjalin di ranah lokal. Pemilu masih dijadikan salah satu isntrumen yang paling kuat untuk membagun relasi. Jika di ranah nasional relasi dibangun melalui Pilpres dan Pileg maka di level lokal relasi tersebut terjalin melalui pemilukada. Bahkan beberapa kepala daerah terpilih di Indonesia berasal dari kalangan pengusaha. Seperti yang terlihat pada tabel berikut: 7DEHO 'DIWDU3HQJXVDKD7HUSLOLK6HEDJDL.HSDOD'DHUDKGDQ:DNLO.HSDOD'DHUDK No 1 6 Nama pengusaha I Wayan Geredeg 2 Joko Widodo 3 Herry Zudianto 4 Haeny Relawati Rini Widyastuti UsahaYang Dimiliki Jabatan -PT. Arsa Buana Manunggal (ABM) -Direktur CV Karya Dharma -CV Singarsa Bidang Ekspor, Pengusaha Mebel Pengusaha Batik Margaria Group Pengusaha SPBU Bupati Karang Asem 20052010 Periode II 20102015 Walikota Solo 20052010 20012006 20012006 20102012 20062012 20062011 Walikota Yogyakarta Bupati Tuban Periode I ___,2013. “Tercatat 44,6% Pengusaha Terjun ke Politik“ yang diakses melalui lama http://www.beritamoneter.com/tercatat-446-pengusaha-terjun-ke-politik/ pada 3 Oktober 2015 pukul 06.17 5 5 Ikmal Jaya 6 Rina Iriani 7 Danar Rahmanto Mukti Agung Wibowo 8 -Pengelola PO Dewi Sri -Bus Angkutan Bumi Serpong Damai, Kemang Pratama, Lippo Karawachi, Bintaro Jaya, Bukit Sentul (Anak Ismail dan Rokhayah) Pengusaha Salon Pengusaha otobus Timbul Jaya Direktur PO Dewi Sri (Anak Ismail dan Rokhayah) Pemilik Yayasan Sekolah (SD Global Islamic School) Pengusaha Kesehatan 9 Buyar Winarso 10 11 Haryanti Sutrisno Saiful Illah 12 Idza Priyanti 13 Budi Budiman 14 Dede Sudrajat PO Bus Dewi Sri (Anak Ismail dan Rokhayah) Pengusaha Group Mayasari, PO Bus Doa Ibu, Mal, dan Showroom Pengusaha otobus 15 Abah Anton Pengusaha Tetes Tebu Pengusaha Tambak 16 Mustofa Kamal Pengusaha Penggilingan Pasa Pasir Batu Sumber: Ira Permata Sari (2014)7 Walikota Tegal 20092014 - Bupati Karanganyar Bupati Wonogiri Wakil Bupati Pemalang 20032008 20102015 20102015 20082013 - Bupati Kebumen Bupati Kediri 20102015 20102015 20102015 20122016 - Walikota Tasikmalaya 20132018 - Wakil walikota Tasikmalaya Walikota Malang Pilbub Mojokerto 20132018 20132018 20102015 - Bupati Sidoarjo Bupati Brebes - 20162021 20162021 - 20162021 Data tersebut telah menunjukkan betapa besar minat para pengusaha di tingkat daerah untuk dapat berkiprah dalam dunia politik. Sedikitnya terdapat dua jalan yang dapat ditempuh oleh pengusaha untuk masuk dalam dunia politik. Pertama, mereka memilih terjun langsung dalam dunia politik dengan mencalonkan diri dalam pemilu baik Pileg, Pilpres, maupun Pemilukada. 7 Ira Permata Sari . “Kepala Daerah: Dari Pengusaha ke Penguasa Daerah” dalam Muhtar Haboddin (ed). 2014. Dinamika Pemerintahan Lokal. Malang: Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya 6 Kedua,mereka memilih di belakang layar yaitu sebatas mendukung pasangan calon tertentu dalam pemilu. Mereka berperan sebagai tim sukses, penyandang dana.sponsor atau sebagai broker. Jenis pengusaha yang kedua inilah yang kerap luput atau kurang mendapat perhatian. Sosok mereka yang berada di belakang layar menjadikan posisi mereka kurang diperhatikan. Padahal sejatinya dalam beberapa kasus sosok pengusaha semacam ini memiliki pengaruh yang kuat dalam politik kita. Ketika banyak pengusaha menjatuhkan pilihan untuk tampil langsung dalam bursa politik kita bukan berarti pengusaha yang berada di belakang layar tidak memiliki tujuan politik. Berada di belakang layar dapat kita baca sebagai sebuah pilihan politik tersendiri bagi sebagian pengusaha. Strategi dan cara mereka berpolitik menjadi menarik untuk dilihat. Ketika membicarakan persoalan pengusaha dan politisi kita selalu terjebak pada tokoh-tokoh pengusaha yang sekaligus menjadi politisi seperti Hari Tanoe Sudibjo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dll. Hal ini membuktikan bahwa kajian politik terkait dengan pengusaha dan politik masih cukup sempit. Artinya ada fenomena lain yang luput dari perhatian khalayak umum terkait dengan persoalan pengusaha dan politik. Untuk itu penelitian mengenai pengusaha dan politik sudah seharusnya diberikan warna baru dengan menggeser kajian pada para pengusaha yang bermain dalam ranah politik dengan cara berdiri di belakang layar. Berangkat dari argumentasi tersebut, penulis pada akhirnya memilih untuk melihat pengusaha di Kabupaten Malang yang memiliki pengaruh kuat dalam politik dan pemerintahan di Kabupaten Malang. Namun, ia tidak berperan ganda sebagai politisi atau pejabat di Kabupaten Malang. Artinya secara formal pengusaha tersebut tidak menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. 7 Namun, akibat relasinya yang besar dengan pemerintah kemudian mampu memberikan porsi untuk pengusaha dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan. Munculnya jenis pengusaha yang kedua tersebut dalam dinamika politik Kabupaten Malang telah menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti.Terdapat tiga fakta terkait dengan adanya relasi antara pengusaha dengan penguasa di Kabupaten Malang yang pada akhirnya melatarbelakangi penulis mengambil tema penelitian ini. Ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, pengusaha mememiliki pengaruh yang sangat besar dalam dinamika politik di Malang Raya. Sebagai buktinya pada Pemilukada Kota Batu kemenangan Edy Rumpoko tidak terlepas dari peran besar pengusaha STR pemilik salah satu tempat wisata besar di Kota Batu. Selanjutnya kemenangan Anton Sutiaji pada Pemilukada Kota Malang juga tidak lepas dari peran beberapa pengusaha lokal Malang seperti GFR dan IK. 8 Kedua, khusus untuk Kabupaten Malang sosok pengusaha local IK tampil secara kuat dan dominan dalam pengaruhnya terhadap jalannya politik dan pemerintahan. Kiprah IK sedikitnya dapat dilihat dalam dua hal, yakni kemampuan IK dalam mengakses proyek pemerintah, dan juga posisinya yang bertindak sebagai salah satu penyumbang dana kepada paslon pada Pemilukada Kabupaten Malang tahun 2015. Ketiga, munculnya pengusaha-pengusaha kelas kakap dalam kontestasi politik Kabupaten Malang bukanlan tanpa alasan yang kuat. Kabupaten Malang adalah salah satu kabupaten yang memiliki potensi besar untuk berkembang. Mengikuti jejak daerah sekitarnya Kota Batu dan Kota Malang yang sudah berkembang lebih dulu, Kabupaten Malang disinyalir akan mengalami peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor. Peluang pembangunan 8 Wawancara dengan NGST pada 11 Maret 2016 8 ekonomi semakin terbuka manakana sektor perekonomian mulai seimbang antara beberapa sektor. Tidak lagi bertumpu secara penuh pada sektor ekonomi primer (pertanian, peternakan, perikanan) namun sudah terlihat adanya potensi peluang ekonomi pada sektor jasa dan industri. Menurut data dari Kantor Penanaman Modal Kabupaten Malang tercatat sektor pertanian mencapai angka 29,15%, sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 23,82% dan sektor industry sebesar 19,71%. 9 Kondisi ini sangat memungkinkan adanya peningkatan penanaman modal di Kabupaten Malang sehingga membuka peluang masuknya kalangan pengusaha. Perkembangan ekonomi Kabupaten Malang yang membaik menjadi salah satu peluang ekonomi bagi para pengusaha untuk meningkatkan keuntungan materiil mereka. Dibangunnya relasi dengan pemerintah kemudian menjadi penting untuk masuk dalam lingkungan ekonomi di daerah tersebut. Bahkan Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa 70% anggota HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) memiliki akses terhadap APBN dan APBD. 10 Sementara itu, pemilukada banyak dipilih oleh pengusaha sebagai pintu masuk ke dalam lingkungan politik. Dari banyak penelitian menyimpulkan bahwa tingginya biaya pemilukada menjadi faktor utama masuknya kalangan pengusaha ke dalam politik. Relasi kemudian terbangun antara pengusaha dan penguasa yang memiliki motif yang berbeda namun saling menguntungkan sehingga membentuk sebuah hubungan timbal balik yang bersifat mutulasime. Karena sifatnya hanya sebagai pintu masuk maka relasi antara pengusaha dan penguasa kemudian terjalin secara berkelanjutan. Artinya proses ini tidak berhenti ketika pemilukada bearkhir, namun terus berlanjut dan dipelihara oleh masing-masing pihak untuk melindungi kepentingan masing-masing. 9 Website Kabupaten Malang yang diakses melalui http://kpm.malangkab.go.id/index.php?kode=36 pada 20 Desember 2015 pukul 08.15 10 http://antikorupsi.info/ 9 laman Keberlangsungan hubungan tersebut kemudian membentuk sebuah relasi yang cenderung mengarah pada relasi patronase. Selain membentuk sebuah oligarki politik, relasi antara bisnis dan politik di Indonesia juga banyak terjalin dalam sebuah relasi patronase. Penelitian terbaru Muhammad Kamil (2015) 11 misalnya melihat relasi antara Relasi Kuasa antar Elit dalam Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa Tahun 2013-2015relasi patronase ini terjadi didasari oleh kepemilikan sumber daya yang tidak seimbang antara keduanya sehingga dibutuhkan untuk menjalin relasi guna melengkapi kebutuhan masing-masing pihak. Konsep patronase secara sederhana dimaknai sebagai sebuah relasi yang mendudukan salah satu pihak sebagai patron dengan posisi yang lebih tinggi dan pihak lainnya menjadi klien yang memiliki posisi dibawahnya. Dalam konteks pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malangkasus seperti ini terjadi manakala terlihat adanya kecenderungan aktor pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan penguasa. Sehingga relasi tersebut memiliki kecenderungan dengan relasi patronase. Hal ini diperkuat dengan fakta menarik terkait dengan adanya upaya pengusaha menjalin relasi dengan pemegang kekuasaan lain selain kepala daerah. Sehingga dalam studi ini penulis cenderung menggunakan istilah penguasa. Hal ini dikarenakan jaringan relasi antara pengusaha dengan oknum pemerintahan melebar hingga oknum birokrasi, oknum militer, oknum legislatif hingga masyarakat sipil. Relasi ini terjalin menjadi sebuah jaringan patronase yang berkembang dan melibatkan banyak aktor. Hubungan timbal balik yang dilandasi oleh motif ekonomi dan politik menjadi sebuah fenomena menarik yang bisa dikaji dari penelitian ini. Terlebih lagi dengan segala upaya yang dilakukan untuk memelihara jaringan tersebut. Dari pemaparan tersebut pada akhirnya terdapat 11 Tesis: Muhammad Kamil. 2015. “Politik dan Bisnis di Provinsi Bali: Membongkar Relasi Kuasa antar Elit dalam Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa Tahun 2013-2015”. 10 kekosongan terkait perlu diketahuinya bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa di tingkat daerah khususnya di Kabupaten Malang. Serta lebih jauh perlu diketahui pula bagaimana relasi ini bekerja untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak dan untuk memlihara relasi antara keduanya. 5XPXVDQ0DVDODK Dari pemaparan latar belakang tersebut, studi ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang: “Bagaimana bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang?” 7XMXDQGDQ0DQIDDW3HQHOLWLDQ Adapun tujuan dari penelitian ini bermaksud untuk: a. Mengetahui bentuk relasi yang dibangun antara pengusaha dan penguasa dalam dinamika politik di Kabupaten Malang Sementara itu manfaat yang diharapkan dapat dihasilkan dari studi ini adalah: a. Secara teoritis penelitian ini diharapakan dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang politik lokal, relasi bisnis dan politik, desentralisasi, serta demokrasi lokal dan pemilukada. b. Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada setiap pembaca terkait praktik nyata yang terjadi dalam relasi antara pengusaha dan penguasa di tingkat daerah. /LWHUDWXUH5HYLHZ Dalam kajian politik di Indonesia, studi tentang relasi antara pengusaha dan politik telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sepanjang eksistensi politik di Indonesia khususnya dimulai pada masa orde baru telah terjalin relasi tersebut antara Soeharto dengan orang-orang disekitarnya. Beberapa peneliti telah berhasil dengan sangat baik menjelaskan bangunan relasi tersebut. 11 Robison (dalam Vedi Hadis, 2005: 119-120) menjelaskan bahwa para jendral yang memiliki kedekatan khusus dengan Soeharto menguasai beberapa urusan penting pemerintahan. Seperti misalnya pengelolaan kehutanan, bulog, perdagangan, dan pertamina. Para birokrat politik ini membentuk suatu link dan kerjasama dengan para pengusaha berupa kontrak-kontrak, lisensi, kredit bank negara , dan lain-lain. Hubungan ini bersifat simbiosis dimana para birokrat memberi jalan pengusaha untuk mengakses ekonomi dari sumber-sumber negara, disisi lain para pengusaha menyediakan dana untuk kepentingan politik para birokrat. Tidak hanya Soeharto bahkan para pejabat disekitar Soeharto kemudian juga membentuk keluarga bisnis dan politik untuk mencapai keuntungan dari sumber-sumber negara. Robison menyebutkan beberapa nama diantaranya adalah Mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan Setneg Ginandjar Kartasasmita. Meskipun tak sepopuler keluarga Cendana (keluarga Soeharto) namun mereka juga membentuk keluarga bisnis politik seperti Soeharto (Hadiz, 2005). Praktik oligarki mengalami masa kejayaan pada tahun 1986 dan seterusnya mereka mengamankan bisnis-bisnis nya melalui permainan kebijakan oleh negara. Misalnya kebijakan untuk mencabut monopoli impor dan memacu sektor ekspor. Monopoli sektor publik dalam hal pembamngkit daya, jalan raya, pelabuhan, dan telekomunikasi. Vedi mengungkapkan bahwa:”sektor-sektor ekonomi penting tetap kebal dari deregulasi. Sektor-sektor ini seringkali adalah sektor-sektor di mana para konglomerat dan keluarga-keluarga bisnis-politis memiliki operasi-operasi mereka yang paling menguntungkan.”(Hadiz,2005:123124) Selanjutnya Jeferry Winters (dalam Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (ed),2014) secara ringkas juga menjelaskan tentang kondisi oligarki yang dibangun pada masa Soeharto dan bagiamana kondisinya pasca turunnya 12 soeharto yakni pada era reformasi seperti saat ini. Hasil studi Winters meunjukkan bahwa pasca orde baru kelompok oligarki di Indonesia didominasi oleh kalangan pengusaha dari perusahaan media. Mereka membangun aliansi dengan partai politik tertentu. Bahkan sebagain dari mereka dengan kekayaan yang dimiliki telah membangun sendiri partai politknya. Oligarki pada era reformasi sedikit memiliki perbedaan dengan oligarki pada masa Soeharto. Saat ini praktik oligarki marak ditemukan dalam proses elektoral. Berbagai praktik relasi yang terbangun antara pengusaha dan politik menjelma pada berbegai bentuk dan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pemilukada menjadi lahan yang paling basah bagi tumbuh suburnya oligarki. Mahalnya biaya politik dalam pemilukada, pergeseran perilaku politik masyarakat dari idealis menuju sikap yang pragmatis, dan berubahnya sistempemilu yang mengganti sistemproporsional tertutup menjadi sistemproporsional terbuka, serta pemilihan kepala daerah oleh DPR berubah menjadi pemilukada langsung mengakibatkan tingkat kompetensi antara pasangan semakin tinggi. Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada strategi pemenangan para kandidat. AAGN Ari Dwipayana (2009) dalam studinya tentang dimensi ekonomi dalam proses demokrasi dengan studi kasus Pemilukada Sleman tahun 2005 memperlihatkan adanya relasi yang kuat antara biaya politik yang tinggi dengan kecenderungan munculnya relasi antara pengusaha dengan para kandidat. Ari Dwiayana (2009) menjelaskan bahwa: Politik dan bisnis berada dalam proses tawar menawar yang yang didasarkan prinsip mutualisme. Kekuatan bisnis memiliki sumber dana, sedangkan kekuatan politik memiliki otoritas dan akses pada kebijakan. Dalam hubungan transaktif titik temu antara keduanya akan terjadi dalam arena electoral baik pileg, pilpres, dan pemilukada. kebutuhan kekuatan 13 politik untuk membiayai aktifitas elektoralnya akan dipenuhi oleh kekuatan bisnis dengan investasi politiknya. 12 Relasi yang dibangun antara pengusaha dengan kandidat dipilih sebagai salah satu cara untuk mendapatkan biaya politik. sehingga kemudian muncul istilah sponsor. Lebih jauh lagi Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti (2015) secara komprehensif menjelaskan bagiamana relasi antara pengusaha dan politisi terjalin melalui sebuah hubungan patronase dan klientelisme dalam proses elektoral.Kedua istilah ini seringkali digunakan secara bergantian. Namun secara teoritis Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti dalam studinya tentang politik uang di Indonesia berusaha memberikan perbedaan dari keduanya. “Patronase dimaknai sebagai sebuah hubungan yang merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung. Sementara klientelisme merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung.” Dalam pemilukada relasi patronase yang paling umum adalah terjalin dalam proses pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas, barang-barang kelompok, pork barrel projects. Sementara kleintelisme banyak ditemukan dalam hubungan mobilisasi pemilih dalam bentuk tim sukses dan mesin-mesin jaringan sosial serta partai politik. Tidak hanya pada pemilukada, patronase dan klientelisme juga terjadi ada pemilihan legislatif (Pileg). Sepanjang Pileg 2014 beberapa peneliti telah berhasil memotret praktik patronase dan klientelsime di beberapa daerah di Indonesia. Diantarnya adalah Ibrahim (2015) M. Mahsun (2015) Gandung Ismanto dan Idris Toha (2015) Caroline Pascarina (2015) Marzuki Wahid (2015) Rubaidi (2015) dan Rudi Rohi (2015). Studi tersebut menyajikan fakta bahwa praktik patronase dan klientelisme tumbuh subur dan menjadi trend baru dalam pemilu kita. Patronase ditekankan pada beberapa kegiatan yang banyak ditemukan adalah 12 AAGN Dwipayana. 2009. “Demokrasi Biaya Tinggi: Dimensi Ekonomi Dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru.” JSP Vol. 12 Nomor 3, hlm, 257-390 14 praktik pemberian sembako, sumbangan untuk pembangunan infrastruktur, dan bentuk pemberian barang yang lainnya. Sementara klientelisme dibentuk dalam rangka melakukan mobilisasi politik dengan pembentukan jaringan tim sukses yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Tim sukses tersebut terdiri dari tim dari partai politik, broker, dan para relawan. Berbeda dengan patronase yang hanya bersifat sementara, artinya masyarakat diberikan barang atau sumbangan kemudian mereka diminta untuk memberikan suaranya pada saat pemilu. Dan hubungannya tidak berlanjut setelah pemilu selesai. Klientelsime lebih bersifat berkesinambungan, artinya jaringan ini akan tetap terjalin hingga para caleg tersebut duduk pada kursi legislatif. Misalnya pemberian proyek atau penyaluran dana aspirasi yang menguntungkan para tim sukses. (Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti (ed), 2015) Kajian tentang hubungan patronase juga telah dijelaskan oleh Ahimsa Putra (1988). Dengan menggunakan teori ptaronase dari Jame Scout dan menambahkannya dengan perspektif keadaan dan budaya Ahimsa menjelaskan tentang relasi patron-klien di Sulawesi Selatan. Penelitian ini lebih fokus pada hubungan patronase yang lebih banyak dipengaruhi adanya kondisi budaya yang mendukung tumbuh dan berkembangnya hubungan ini. Lebih jauh dari hubungannya dengan proses elektoral pembahasan mengenai relasi antara pengusaha dan calon kepala daerah dalam pemilukada sangat erat kaitannya dengan proses demokrasi di tingkat lokal. Desentralisasi secara langsung berdampak pada semakin beragamnya dinamika demokrasi di tingkat lokal yang hadir dalam berbagai praktik politik dan pemerintahan. Caroline Paskarina, Mariatul Asiah dan Otto Gusti Madung (2015) dalam salah satu karyanya telah berhasil menyajikan beberapa potret menarik praktik demokrasi di ranah lokal. 15 Demokrasi pada awal kemunculannya digambarkan sebagai upaya untuk meningkatkan kebebasan dan pasrtisipasi politik warga yang kemudian melahirkan proses-proses electoral seperti pemilu dan memunculkan institusiintitusi penopang demokrasi. Seiring berkembangnya dinamika politik kita, demokrasi kemudian diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan penduduk karena beberapa praktik di daerah telah menyajikan fakta bahwa demokrasi telah dibajak oleh elit melalui cara patronase, kartelisasi dan penguasaan elit yang mengakibatkan demorkasi tidak merata. Beberapa hasil penelitian dari studi ini menggambarkan betapa banyak praktik politisasi demokrasi di tingkat lokal dalam rangka berebut kontrol atas kesejahteraan khususnya di tingkat elit. Tiga hal penting yang berhasil mereka potret adalah soal patronase dan populisme, strategi esklusi dan inklusi melalui strategi etnis, agama, dan kekerasan, serta strategi aktor alternative yang semuanya digunakan dalam rangka memperoleh kesejahteraan (Caroline Paskarina, Mariatul Asiah dan Otto Gusti Madung (ed),2015). Terakhir kajian tentang bisnis dan politik secara khusus juga dijelaskan oleh Yahya A. Muhaimin (1991) dan Syarif Hidayat (2007). Yahya A. Muhaimin melihat adanya praktik patrimonialsime dan pengaruh kebudayaan jawa dengan watak “bapakisme”. Patriomonialisme kemudian memunculkan para pengusaha klien yang menjalain hubungan patronase dengan para pejabat pemerintah. yan dimaksud dengan pengusaha klien adalah individu dan perusahaan yang tergantung pad apengusaha untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya. Hubungan tersebut berimplikasi terhadap kebijaksanaan ekonomi yang menguntungkan para pengusaha klien. Sementara itu Syarif Hidayat dengan melihat studi pada relasi bisnis dan politik di Porvinsi Banten melihat adanya shadow state dalam praktik pemerintahan di Provinsi Banten. dengan mengelaborasi pengaruh jawara, pengusaha, dan penguasa Syarif Hidayat melihat adanya kontrol terhadap 16 pemerintahan oleh aktor-aktor di luar pemerintahan. Dalam kajian tersebut disebutkan adanya pengaruh Tuan Besar (Chassan Sochib) mulai dari proses pemilukada Provinsi Banten tahun 2001 yang kemudian berhasil meletakkan Ratu Atut sebagai wakil Gubernur Banten pada periode 2001-2006. Pemilukada merupakan langkah awal dibukanya invetasi politik oleh tuan besar untuk bisa menguasai pemerintahan. Selanjutnya pengaruh tuan besar dalam pemerintahan menghasilkan adanya praktik premanisme terhadap mega proyekk di Banten. yang dalam salah satu praktiknya seperti adanya lelang yang hanya diadakan secara formalitas. Karena pada akhirnya perusahaan kontraktor milik tuan besarlah yang menguasai proyek-proyek besar di Banten. Adanya kontrol yang kuat oleh tuan besar pada pemeirntahan di Banten pada akhirnya menghadirkan kesimpulan bahwa pemerintah dalam hal ini lembaga-lembaga di tingkat daerah Porvinsi banten telah memiliki kelemhan fungsi sehingga kebijakan publik tidak lebih dari praktik persekongkolan oleh aktor elit dengan elit diluar pemerintahan. Penguasa mempuyai jaringan informal yang terdir dari pengusaha yang pada kenyataanya mengendalikan arah kebijakan daerah. Berdasarkan pemaparan beberapa studi sebelumnya tentang relasi antara pengusaha dan politisi secara ringkas dapat dipahami bahwa relasi antara pengusaha dan politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sebagai berikut. Pertama, dilihat dari kacamata oligarki. Kedua, patronase dan klientelisme. Ketiga, patrimonilaisme. Keempat, shadow state, dan kelima dari sudut pandang demokrasi lokal. Penelitian ini kemudian berupaya memberikan suatu kebaruan dan sumbangan pemikiran yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya. Sedikitnya terdapat tiga hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. 17 Pertama, penelitian ini berupaya mengungkap relasi baru dalam patronase yang selama ini bersifat hirarkis menuju suatu hubungan yang lebih bersifat transaksional. Penelitian sebelumnya tentang patronase dan klientelisme banyak menempatkan posisi penguasa sebagai patron dan pengusaha sebagai klien. Sementara studi ini berupaya menunjukkan fakta perkembangan dinamika politik di ranah lokal yang tidak lagi menempatkan penguasa sebagai patron dan pengusaha sebagai klien. Posisi patron bisa ditempati oleh pengusaha dengan kekuatan modal yang ia miliki. Namun, klien dalam studi ini juga memiliki nilai tawar yang tinggi sehingga relasi patronase lebih bersifat transaksional. Meskipun demikian kajian ini tetap tidak menghilangkan logika awal hubungan patronase yang menitikberatan pada hubungan yang tidak seimbang yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan antara patron dan klien. Kedua, dalam sudut pandang demokrasi lokal penelitian ini berupaya menjelaskan bagaimana elit berupaya membajak praktik demokrasi. Jika penelitian sebelumnya banyak fokus pada aktor elit pemerintahan maka penelitian ini berupaya melihat relasi antara aktor pemerintahan dalam hal ini calon kepala daerah dengan aktor non pemerintahan yakni pengusaha yang melakukan relasi untuk membajak praktik demokrasi melalui pemilukada. Sehingga penekanan dari studi ini yakni pada relasi diantara keduanya, tidak hanya fokus pada salah satunya. Ketiga, berbeda dengan patrimonialisme yang menekankan pada pengaruh struktural dan kultural dalam memandang relasi pengusaha dan politik. Studi ini tidak berusaha mengaitkan relasi tersebut dari adanya pengaruh kultural. Hal ini dikarenakan secara kultur budaya bapakisme dan ptriomonialisme sudah tidak lagi sepenuhnya relevan. Kajian ini tidak serta merta memposisikan pengusaha sebagai klien dari penguasa sehingga menempatkannya dalam hubungan hirarkis. Akan tetapi lebih menekenkan adanya hubungan yang saling membutuhkan yang 18 dilandasakan pada pertimbangan yang sangat rasional yakni pertimbangan keuntungan yang akan didapat oleh keduanya. Keempat, studi ini tidak sepenuhnya mengarah pada adanya praktik shadow state pada praktik pemerintahan di Kabupaten Malang. Dikarenakan posisi pengusaha tidak serta merta mengambil/membajak proses pemerintahan disana. Adanya campur tangan kepala daerah yang cukup besar dalam relasi ini menunjukkan bahwa negara secara formal tetap hadir dalam proses pemerintahan. Tidak sepenuhnya aktor informal yang melaksanakan pemerintahan. Kelima,studi ini telah menggunakan pintu masuk pemilukada untuk membaca relasi antara pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang. Akan tetapi secara lebih jauh studi ini juga telah melihat bagaimana relasi ini bekerja dalam kesehariannya terlepas dari momen pemilukada yang telah berlangsung. Bagaimana jaringan ini berkembang dan bekerja untuk memelihara jaringan tersebut lebih banyak dibahas dalam studi ini. .HUDQJND7HRULWLN Untuk menganalisis bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang, penulis memilih teori patron-klien sebagai pisau analisis dalam menganalisis kasusini. Sebagai teori utama, teori patron-klien akan bertujuan untuk menjelaskan dan menjabarkan secara komprehensif terkait bentuk relasi pengusaha dan penguasa. A. Teori Patron-Klien Konsep patron-klien akan digunakan untuk melihat relasi yang terjalin antara pengusaha dan calon kepala daerah. Patronase merujuk pada pemahaman tentang adanya seseorang yang bertindak sebagai patron dan klien dalam sebuah relasi yang dibangun antar individu. Relasi ini tidak seperti relasi yang dijalin pada umumnya akan tetapi memiliki kharasteritik atau kekhasan yang 19 mengakibatkan relasi tersebut bisa disebut sebagai patronase. Pada awal kemunculannya sekitar dekade 1960-1970 konsep patron-klien digunakan untuk menganalisa hubungan pada masyarakat petani dengan tuan tanah. Selanjutnya pada periode 1980-1990an studi ini berkembang pada analisa tentang mobilisasi politik yang mencakup berbagai macam segmen masyarakat, kelompok dan partai politik. Dekade terahkhir yakni memasuki pada dekade 1990-2000 fokus analisanya berkembang memasuki relasi yang lebih dinamis dengan fokus pada relasi yang melibatkan masyarakat sipil, institusi formal, dan politisi.13 James Scott mendefiniskan patronase sebagai berikut: the patron client relationship, an exchange relationship between roles, may be defined as a special case of dyadic (two-person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to the patron.14 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa relasi patron klien merujuk pada hubungan antar individu yang memiliki posisi sosial ekonomi yang tidak sama. Dimana si patron memiliki kedudukan yang lebih tinggi sehingga dapat memberikan perlindungan pada si klien yang memiliki posisi dibawahnya, yang kemudian si klien akan membalas berupa pemberian dukungan atau layanan pribadi kepada si patron. James Scout memposisikan patron sebagai pemasok barang dan jasa yang dibutuhkan oleh klien dan keluarganya untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka. Sementara klien disebut sebagai seseorang yang menerima barang dan jasa tersebut yang membuatnya terikat dengan patron.15 13 Roniger dalam Mulyadi Sumarto. 2014. Perlindungan Sosial dan Klientelisme. Yogyakarta: UGM Press 14 James Scout, 1972. “Patron-Slient Politics and Political Change in Southest Asia”. dalam American Political Science Review, vol. 66 No.1 (91-113), hlm. 92 15 Ibid., hlm 92-93 20 lebih jauh lagi Scott menjalaskan pla perbedaan sumber daya yang dimiliki ole patron dan klien yang akan membanu kita mengidentifkasi siapa yang bertindak sebagai patron dan siapa yang bertindak sebagai klien. Scott menjelaskan ada tiga sumber daya yang dimiliki oleh patron, yakni: a) their own knowledge and skills, b) direct control of the property, or, c) indirect control of the property or authority of others (often the public) 16Sementara itu klien diidentifikasi oleh Scott memiliki sedikitnya tiga kemampuan sebagai berikut: a) labor service and economic support, b) military or fighting duties, c) political service.17 Istilah patronase kerap digunakan secara bergantian dengan istilah klientelisme. Definisi klientelisme mirip dengan pengertian dari patronase seperti yang didefinisikan oleh S.N Eisenstadt dan Rene Lemarchand sebagai berikut: In its most common science usage clientelism denotes a specific type of sosialstructure, or mode of sosialstratification. Here attention of directed to an interstitial sosialspace, lying somewhere between the categories of class and ethnicity, that takes into account those micro-level solidarity, or "quasi-groups", generally referred to as patron-client ties, and whose anatomy has been most extensively studied and dissected by sosialanthropologist. As has been repeatedly stressed, patron-client ties involve dyadic bonds between individuals of unequal power and socioeconomic status; they exhibit a diffuse, particularistic, face to face quality strongly reminiscent of ascriptive solidarities; unlike ascriptive ties, however, they are voluntarily entered into and derive their legitimacy from expectations of mutual benefits. Asymmetry, diffuseness and reciprocity are basic features of the type of sosialstructure that has become associated with political clientelism. 18 Definisi tersebut juga menekankan pada relasi individu, hubungan timbal balik, asimetris, dan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun mereka menambah 16 ibid., hlm. 97 ibid., hlm. 98 18 S.N Einstadt dan Rene Lemarchand. 1981. “Political Clientelism, Patronage and Development”. Contemporary Political Sociology Vol 3. Sage Publik ation Beverly Hills London. hlm. 15 17 21 adanya perasaan sukarela antara keduanya untuk membentuk hubungan tersebut dan berharap dapat menguntungkan satu dengan yang lainnya. Briquet juga mendefinikasn klientelsime sebagai “suatu relasi antarindividu yang memiliki status tidak setara (seorang patron dan kliennya) yang melibatkan pertukaran timbal balik antara barang dan pelayanan berdasarkan suatu jaringan personal yang dirasakan oleh keduanya sebagai suatu kewajiban moral.” 19Sementara Magaloni mendefinisikan Klientelisme “sebagai suatu relasi personal dua arah yang bersifat asimetris dan resiprokal dimana seorang patron memberikan barang atau wujud materi lainnya yang diperlukan oleh kliennya untuk dipertukarkan dengan loyalitas dari klien kepada patronnya. 20 Meskipun penggunaan istilah patronase dan klientelisme kerap digunakan secara bergantian akan tetapi untuk selanjutnya dalm studi ini akan digunakan istilah patronase agar menghindari kerancuan dari penggunaan dua istilah tersebut. Dari pemaparan definisi yang disampaikan oleh beberapa ahli berikut pada intinya terdapat tiga unsur utama dalam patron-klien yang disampaikan oleh Scott, pertama, their basic inequality, kedua, their face to face character, and their difuse flexibility.21Begitu juga Hicken menjelaskan bahwa klientelisme setidaknya mengandung tiga hal: “Pertama, kontigensi atau timbale balik. Kedua, hirarkis, ada penakanan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara 19 Briquet J.L. 2007. “Clientelism.” In M. Bevir (ed), Encyclopedia of Governance, Sage Publik ation, Thousand Oaks, pp. 95-97 dalam Mulyadi Sumarto. op.cit., hlm 27 20 Magaloni, B. 2006. Voting for Autocracy: Hegemonic Party Survival and Its Demise in Mexico, Cambrige University Press, Cambridge, dalam Mulyadi., op.,cit. hlm. 27 21 James Scout, op.cit, hlm. 93. 22 patron dan klien. Ketiga, aspek pengulangan, pertukaran klientelistik berlangsung secara terus menerus.” 22 Penekanan utama dari patron-klien adalah adanya ketidakseimbangan diantara patron dan klien dalam hal sumber daya ekonomi yang ia memiliki, ketidakseimbangan ini yang kemudian melahirkan hubungan yang bersifat hirarkis. Akan tetapi perkembangan jaman dan perubahan struktur ekonomi serta politik telah mempengaruhi relasi patronase di era sekarang. Hubungan patronase saat ini telah mencapai hubungan yang lebih kompleks yang membawanya pada bentuk pertukaran politik. Yang bergeser analisanya dari desa menuju hubungan masyarakat kota, Pertukaran antara informasi dan sumber daya, dan bentukbentuk negosiasi dalam hal kebijakan, dan lainnya. 23 Seperti halnya dalam relasi antara pengusaha dan calon kepala daerah boleh jadi terdapat ketidakseimbangan ekonomi antara keduanya. Akan tetapi sedikit berbeda dengan penjelasan yang disampaikan Scout, klien dalam relasi ini tidak diposisikan dipihak yang lemah seperti yang digambarkan oleh Scout. Klien bisa jadi memiliki sumber ekonomi yang lebih kecil dibandingkan dengan patron akan tetapi ia memiliki sumber daya yang lain yang dapat meningkatkan posisi tawarnya terhadap patron. Sehingga keduanya lebih berada pada posisi yang saling membutuhkan. Seperti yang disampaikan oleh Hopkin (dalam Hasurl Hanif, 2009) sebagai berikut: Socioeconomic modernization brought greater geographical mobility and urbanization, higher level of education, the replacement of agrarian by industrial employment and the decline of traditional rural elites. These development weakened traditional patron-client lies, which made way for new forms of exchange. Organized political parties, with relatively bureaucratized structure, replaced landlord and lokal notables as patrons. 22 23 Edward Aspinall dan Mada Sukmajanti (ed), 2015. Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. hlm. 4-5 Tina Hilgers. 2011. Clientelism and Conceptual stretching: differentiating among concept and among analytical level. Springer Science +business Media B.V 9 July 2011. 23 Clients, enjoying higher living standards and less instinctively deferential, demanded more immediate material benefit in exchange for their votes. In this new, “mass party” cleintelism, patrons have to buy votes by distributing concrete excludable benefits and favour to individual voters or groups of voters. Definisi ini tepat untuk menggambarkan relasi antara pengusaha dan calon kepala daerah dalam studi ini. Modernisasi, peningkatan level pendidikan, pergantian dari masyarakat agraris menjadi masyarakat insdutri telah membawa kita pada pemahaman baru tentang relasi patronase. Artinya relasi patronase tidak murni melihat klien diposisi bawah yang sifatnya merespon apa yang telah patron berikan. Akan tetapi klien memiliki posisi tawar yang bisa ia berikan kepada patron. Selain itu pengertian tersebut juga tepat untuk menggambarkan relasi patronase di kondisi sosial masyarakat kelas menengah. Konsep patronase kerap digunakan untuk melihat relasi antara majikan dengan anak buah. Sehingga konteks sosial ekonominya juga berada pada level masyarakat bawah dengan urusan ekonomi menjadi fokus utamanya. Atau dalam lingkup politik patronase digunakan untuk melihat relasi antara politisi dengan pemilih. Sementara, patronase yang dijelaskan oleh Hopkin ini akan membantu penulis menjelaskan patronase di kalangan menengah atas yang melibatkan para penguasa ekonomi dalam hal ini pengusaha dengan penguasa politik dalam hal ini pejabat dan politisi. Dalam melihat relasi antara pengusaha dengan penguasa atau politik relasi ini cukup tepat menggambarkan bagaiaman bentuk relasi yang terjalin. Tetap pada logika awal patronase yang menempatkan sebuah relasi yang tidak seimbag antara patron dan klien seperti konsep awal yang disampaikan oleh Scott. Artinya ada patron yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari klien. Ini disebabkan karena modalitas yang dimiliki oleh patron lebih besar ketimbang klien. Namun,dengan penambahan penjelasan dari Hopkin mempertegas posisi kliendalam studi ini yang mana klien juga tetap memiliki modalitas yang bisa ia tawarkan kepada patron. Kemudian yang 24 nantinya menentukan siapa yang berpihak sebagai patron dan siapa yang berpihak sebagai klien adalah kemampuan mereka untuk mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan kekuatan modaliats yang mereka miliki. Pengusaha dalam konteks ini memiliki modal ekonomi, sementara penguasa memiliki modal politik. Dalam beberapa kasus kemudian mereka menjalin sebuah hubungan yang bersifat recipocral atau timbal balik. Relasi terjalin terus menerus hingga terjalin sebuah relasi yang berkelanjutan. Kemudian yang bertindak sebagai patron adalah pihak yang memegang kendali atas relasi ini. Jika posisi patron dan klien menggunakan indikator ekonomi sebagai penentu boleh jadi pengusaha bertindak sebagai patron karena memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar daripada calon kepala daerah. Sementara itu kepala daerah bertindak sebagai klien karena menerima bantuan keuangan dari klien. Akan tetapi jika kita melihat kekuasaan politik yang lebih besar yang dimiliki oleh calon kepala daerah boleh jadi calon kepala daerah yag bertindak sebagai patron karena mampu memberikan perlindungan terhadap pengusaha melalui kekuasaan politik yang ia miliki. Disinilah kemudian posisi patron dan klien dapat digunakan secara bergantian oleh keduanya. Pada akhirnya penggunaan konsep patronase dalam studi ini akan digunakan untuk melihat bentuk relasi yang dibangun antara keduanya, siapa yang berlaku sebagai patron dan siapa kleinnya, sumber daya apa yang diberikan oleh patron kepada klien, dan imbalan apa yang akan diberikan oleh klien kapada si patron, serta bagiamana relasi tersebut dibentuk dan dijalankan dalam rangka meraih keuntungan masing-masing pihak. 'HILQLVL.RQVHSWXDO Definisi konseptual dari pemaparan teoritik dari teori patronase, mutual hostage, dan politik transaksional adalah sebagai berikut: 25 1. Patron-klienadalah sebuah relasi pertukaran timbal balik yang terjadi antara dua actor yakni patron dan klien yang mana patron dengan kekuatan modal lebih yang ia miliki mampu memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh klien. Sementara klien akan membalas pemberian patron dengan loyalitas dan membantu kepentingan patron. 'HILQLVL2SHUDVLRQDO Operasionalisasi ketiga teori tersebut dalam melihat relasi antara pengusaha dengan penguasa di Kabupaten Malang akan menggunakan beberapa indikator berikut: 1. Relasi pengusaha dengan penguasa yang terdiri dari: kepala daerah, oknum birokrasi, oknum militer, oknum DPRD, oknum kepolisian dan kejaksaan, oknum kyai, dan oknum masyarakat sipil; 2. Sumber daya atau modalitas yang dimiliki oleh pengusaha dan penguasa 3. Sumber daya apa saja yang diberikan pengusaha kepada penguasa begitu sebaliknya; 4. Pemberian bantuan dana oleh pengusaha terhadap calon kepala daerah pada Pemilukada Kabupaten Malang tahun 2015; 5. Kemudahan akses oleh pengusaha terhadap proyek pemerintah dan penguasaan asset pemerintah; 6. Proses tawar menawar antara pengusaha dan penguasa dalam rangka mencapai kesepakatan; 7. Kepentingan ekonomi politik penguasa berupa kemenangan pemilukada, pemberian hadiah, dan pelanggengan jabatan pada struktur birokrasi; 8. Relasi timbale balik yang saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa; 9. Hubungan mutualisme antara pengusaha dengan pengusaha. 0HWRGH3HQHOLWLDQ -HQLV3HQHOLWLDQ 26 Studi ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus. dengan memilih model studi kasus Stake (dalam Craswell) yakni penelitian studi kasus mendalam dengan memilih single case study. Artinya peneltian ini hanya akan meneliti satu kasus yakni relasi pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang. Pilihan terhadap metode penelitian ini dikarenakaan studi ini beragkat dari sebuah kasus untuk melihat masalah yang ingin diteliti. pilihan pada satu kasus ini kemudian dibastasi oleh dimensi lokasi, pelaku, fokus dan subtansi yang diteliti. lokasi yang dipilih terbatas di Kabupaten Malang. Dengan objek yang diteliti terbatas pada pengusaha dan penguasa. sementara subtansi yang dipilih adalah erbatas pada bentuk relasi antara keduanya. Selanjutnya peneliti juga berupaya untuk menjelaskan secara komprehensif dari kasus yang dipilih. Pilihan metode studi kasus akan mempermudah peneliti untuk memahami realitas yang terjadi dalam kasus ini. Karena penelitian studi kasus akan mengantarkan peneliti pada penguasaan kasus secara mendalam dan eksploratif. Pemahaman secara mendalam terhadap kasus yang dipilih oleh peneliti akan mempermudah peneliti menjawab rumusan masalah yang dipilih dalam studi ini yang membutuhkan jawaban yang bersifat komprehensif. Rumusan masalah yang diangkat yakni terkait dengan bagaiamana bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa sehingga dibutuhkan pemahaman yang mendalam dalam kasus ini. -HQLV'DWD a. Data Primer adalah data yang didapat dari narasumber dari hasil wawancara secara langsung dan mendalam di lapangan. Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber yang berkompeten untuk menejelaskan kasus yang terjadi. b. Data sekunder adalah data yang didapat dari dokumen yang didapat dari Bappeda seperti misalnya laporan APBD, RPJMD, dan dokumen dari KPUD dan Bawaslu Kabupaten Malang. Data dari sumber pustaka berupa buku dan 27 penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Serta data dari berita yang termuat di media massa baik cetak maupun electronik yang berkaitan dengan penelitian ini. 7HKQLN3HQJXPSXODQ'DWD Studi ini akan menggunakan dua tehnik pengumpulan data sekaligus guna mendapatkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap kasus yang diangkat dalam studi ini, dua tehnik tersebut adalah sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara mendalam dipilih oleh penulis sebagai tehnik utama untuk mendapatkan data primer. Dengan melakukan wawancara secara mendalam penulis mampu menggali data secara komprehensif dari beberapa narasumber terpilih. dalam penelitian ini penulis telah melakukan wawancara dengan 32 narasumber yang terdiri dari: politisi, wartawan dan media massa, pengamat politik dan terdiri dari kalangan dosen FISIP Universitas Brawijaya, LSM, masyarakat umum, kyai, calon Kepala Daerah Kabupaten Malang Tahun 2015, Tim sukses, KPU, serta Bawaslu. Sebelum melakukan wawancara peneliti telah menyiapkan pedoman wawancara sebagai acuan dalam melakukan wanwancara. b. Dokumentasi Tehnik pengumpulan data yang terakhir ini dilakukan penulis dengan cara mengumpulkan sumber-sumber pustaka dan dokumen yang berkait dengan kasus yang diangkat. Data dari sumber pustaka dan dokumen-dokumen pemerintah akan memperkuat argument peneliti dan hasil penelitian pada kasus ini. pengumpulan data dokumentasi penulis lakukan dengan meminta beberapa data dari KPU, Bawaslu, kliping media massa, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang khususnya di Bagian Bappeda dan Administrasi pembangunan, serta beberapa data dari website LPSE Kabupaten Malang. dan website Pemda Kabupaten Malang. 7HKQLN$QDOLVLV'DWD 28 Tehnik analisi data dalam tsudi ini akan menggunakan model alir (flaw model) (Liza Horizon, 2007). Model alir sendiri terdiri dari tiga tahap yakni: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Pertama, pada tahap reduksi data peneliti melakukan pemilihan, penyederahanaan dan abstraksi dari data yang diperoleh. Dalam tahap ini peneliti mebuat transkip hasil wawancara, melakukan koding data, dan menarasikan hasil observasi, dan memilih serta menyederhanakan dokumen yang sesuai dengan penelitian, Pengelompokan data sesuai dengan kata kunci tertentu dilakukan pada tahap ini. Sehingga data yang didapat telah terkelompok sesuai dengan kata kuncinya masing-masing. pada tahap ini peneliti juga akan melakukan pemilihan data-data yang sesuai dengan tema penelitian. Kedua, setelah melakukan pemilihan data pada tahap penyajian data peneliti mulai mendeskripsikan data yang diperoleh dengan cara menuliskan dan menarasikannya. Peneliti mulai mengabungkan data yang didapat dari wawancara, observasi dan dokumentasi kedalam sebuah narasi yang komprehensif. Pada tahap ini peneliti mulai menganalis data yang didapat dengan teori yang dipilih. Selain itu peneliti juga mengelompokkan data-data sesuai dengan sistematika bab yang telah disusun. Dalam melakukan analisis data peneliti menggunakan metode triangulasi. Metode ini bertujuan untuk menguji tingkat kebenaran data yang didapat dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dalam proses ini peneliti akan melakukan konfirmasi sampai mendapatkan data yang paling valid.. Dengan mengelaborasi data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi maka tingkat kebenaran data semaki tinggi. Sementara ini dalam menganalisis data wawancara peneliti menerapkan sistem“saturation point” yang artinya peneliti akan menggali data sampai pada titik jenuhnya. Memasukkan data-data kuantitatif dari hasil dokumentasi juga akan digunakan untuk menambah validasi data yang diperoleh. 29 Ketiga, pada tahap akhir yakni penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahap ini peneliti melakukan penarikan kesimpulan yang tidak lain adalah menemukan jawaban dari rumusan masalah yang tela ditentukan sebelumnya dengan megacu pada data yang telah didapat. 6LVWHPDWLND%DE Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab dengan model vertical. penulis menyusun bab secara runtut kebawah dengan meulai penjelasan dari yang paling umum menuju inti permasalahan dan berakhir pada kesimpulan akhir. Penjelasan dari masing-masing bab adalah sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional, dan metode penelitian. Bab II, MasuknyaBisnis dalam Ranah Politik. di Kabupaten Malang. Untuk memberikan pemahaman terhadap kasus yang diangkat pada studi ini maka peneliti perlu untuk menjelaskan tentang kondisibisnis dan politik di Kabupaten Malang. Pada bagian ini penulis menjelaskan secara ringkas bagaimana bisnis masuk dalam dunia politik di era otonomi daerah dan munculnya pengusaha lokal. Sementara kondisi politik dijelaskan oleh peneliti dengan memotret Pemilukada di Kabupaten Malang. Bab III, Relasi Pengusaha dan Penguasa di Kabupaten Malang. Bagian ini merupakan bagian inti dari penelitian ini. Pada bagian ini akan fokus melihat bagaimana patronase dibangun oleh Pengusaha di Kabupaten Malang. Selanjutnya dijelaskan pula bagaimanabentuk riil bekerjanya relasi patronase di Kabupaten Malang yang sedikitnya melalui dua cara yakni melalui relasi mutual hostage dan politik transaksional. Pada bagian akhir bab ini penulis juga menambahkan temuan di 30 lapagan terkait dengan upaya pengusaha membangun citra positif di tengah masyarakat umum. Bab IV, Patronase dan Demokrasi Lokal:Membaca Relasi PengusahaPenguasa Dalam Pemilukada Kabupaten Malang. Bab ini sifatnya lebih mengarah pada penajaman dari bab sebelumnya. Pada bagian ini penulis mencoba mengambil contoh kasus nyata praktik relasi antara pengusaha dengan penguasa di Kabupaten Malang dalam praktik pemilukada. Pilihan kasus pemilukada karena pertimbangan kebaruan data dan kemudahan dalam pencarian data. Bab V, Penutup. Bagian penutup dari bab ini akan berisikan kesimpulan secara komprehensif dan agenda ke depan. 31