BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kali mendengar kata pengusaha atau majikan dan buruh, maka yang sering kali terbersit dalam ingatan adalah dua posisi yang sangat berlainan dan cenderung kontras. Disatu sisi pengusaha atau majikan menunjukkan bahwa seseorang yang menempati posisi tersebut berasal dari strata ekonomi dan sosial yang tinggi sehingga memiliki modal untuk mendirikan usaha. Sebaliknya, buruh atau pekerja justru menunjukkan bahwa mereka yang menempati posisi tersebut tergolong sebagai kaum yang berada pada strata ekonomi rendah, sehingga menggunakan sumber dayanya yakni tenaga untuk menghasilkan pendapatan. Meskipun keduanya memiliki perbedaan tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka tidak dapat dipisahkan begitu saja, dan hal itulah yang dilukiskan dalam hubungan kerja. Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja diartikan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.1 Hubungan kerja diantara pengusaha dan buruh menjadi wadah yang sekaligus mengkerangkai hubungan yang mereka jalin. Hubungan tersebut menunjukkan bagaimana 1 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam ILO, Undang-undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia : Major Labour Laws of Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, 2004, hlm. 11-12 1 kedua belah pihak yakni pengusaha dan buruh pada dasarnya memang saling membutuhkan. Hubungan kerja juga kerap diartikan sebagai suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan, didalamnya ditetapkan kedudukan pihak itu terhadap satu sama lainnya berdasarkan rangkaian hak dan kewajiban buruh terhadap majikan dan sebaliknya majikan terhadap buruh.2 hubungan tersebut juga memperlihatkan adanya interaksi yang terjalin diantara dua peran berbeda, dimana masing-masing peran memiliki konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi yang disebut merupakan hak dan kewajiban yang melekat baik bagi pengusaha atau majikan dan buruh. Dalam hal ini, pengusaha memiliki hak untuk menggunakan tenaga buruh untuk menghasilkan suatu produk tertentu (materiil ataupun jasa), dan tentunya wajib memberikan balasan dari tindakan tersebut, seperti upah dan juga jaminan dari risiko pekerjaan tersebut. Sebaliknya, buruh yang mengorbankan tenaga dan waktunya untuk menghasilkan suatu produk bagi pengusaha, kemudian berhak atas upah dan jaminan kerja. Hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan buruh memang awalnya didasari oleh saling membutuhkan antara kedua belah pihak, sehingga memutuskan untuk melakukan kerjasama. Dalam hal ini, tercipta kesepakatan yang mengatur hubungan tersebut agar dapat berlangsung dengan lancar. Namun, kenyataanya terkadang masih terdapat masalah2 Lihat Imam Soepomo, 2001, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, dalam Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal : Permasalahan dan Prospek. Yayasan Akatiga. Bandung, 2003, hlm.10 2 masalah dalam hubungan kerja, seperti munculnya konflik antara keduanya. Dalam hubungan kerja juga terkandung potensi konflik yang dapat muncul. Konflik dan kerja sama dapat saja mewarnai dalam suatu hubungan kerja karena memang hubungan kerja termasuk sebagai hubungan atau relasi sosial3. Hanya saja, hubungan kerja mencakup relasi sosial yang khusus yakni antara pihak pengusaha atau majikan dan buruh atau pekerja. Layaknya suatu relasi sosial lainnya, hubungan kerja tersebut juga melibatkan aspek-aspek sosial yang turut ada di dalamnya. Dengan kata lain, hubungan kerja pengusaha dan buruh tidak hanya berisi aspek-aspek ekonomi saja, tetapi juga terdapat aspek-aspek sosial. Salah satu aspek sosial tersebut yakni menjadi arena pertarungan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut. Dalam konteks ini, pertarungan kepentingan pengusaha dan buruh. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kerja menentukan bagi pengusaha dan buruh. Bagi pengusaha dan buruh, hubungan kerja samasama memiliki arti yang penting untuk kehidupan mereka. Jika bagi pengusaha, hubungan kerja penting dalam mempengaruhi kelangsungan usahanya hingga mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan bagi buruh penting terkait kelangsungan sumber pendapatannya sehingga berupaya mendapatkan kesejahteraan sebesar-besarnya. Hubungan kerja antara pengusaha dan buruh telah menjadi isu yang sejak lama dibicarakan berbagai pihak. Bahkan, telah banyak pula 3 Hubungan atau relasi sosial dalam kerja yang berarti sebagai hubungan sosial yang dimasuki orang-orang berdasarkan pergaulan mereka dalam proses produksi. Lihat Eugene V. Schneider, Sosiologi Industri, Aksara Persada, Jakarta, 1986, hlm. 33-34 3 peraturan-peraturan seperti undang-undang yang dibuat pemerintah terkait hal ini.4 Namun begitu, tetap saja berbagai masalah masih menghiasi hubungan kerja antara pengusaha dan buruh. Terlebih tidak semua bentuk hubungan kerja antara pengusaha dan buruh masuk atau dijelaskan secara detail di dalamnya, misalnya hubungan kerja terkait industri pedesaan yang memiliki karakteristik tersendiri yang khas. Hubungan kerja antara pengusaha dan buruh khususnya pada industri pedesaan menarik untuk dilihat lebih lanjut karena sifatnya yang kompleks layaknya relasi sosial. Karenanya peneliti berupaya melihat lebih jauh bagaimana pola-pola yang terjadi dalam hubungan tersebut serta dampaknya terhadap pihak-pihak yang terlibat di suatu desa sentra industri genteng press Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. B. Rumusan Masalah Hubungan kerja antara pengusaha dan buruh tergolong relasi sosial yang kompleks. Terlebih hubungan kerja tersebut berlangsung pada industri pedesaan seperti di sentra industri genteng press Wiroko. Kondisi tersebut memungkinkan adanya pola relasi sosial yang berbeda dari relasi sosial atau 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan seperti Undang-undang No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan Putusan Makhkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, Undang-undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Guus Erma van Voss dan Surya Tjandra (ed), Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hlm. 1 4 hubungan kerja umumnya seperti pada industri skala besar di perkotaan. Berdasarkan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pola relasi sosial yang berkembang disana dan dampaknya bagi pihak terkait, baik bagi pengusaha maupun buruh? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pola relasi sosial yang berkembang disana dan dampaknya bagi pihak terkait, baik bagi pengusaha maupun buruh D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan agar lebih memperhatikan peraturan dan kebijakan terkait hubungan kerja dan ketenagakerjaan khususnya pada industri di pedesaan. 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi atau kajian mengenai relasi sosial dalam hubungan kerja bagi penelitian-penelitian selanjutnya. E. Hubungan Kerja di Industri Pedesaan Hubungan kerja secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu hubungan yang terjalin antara dua aktor yakni majikan dan buruh atau pekerja. 5 Namun, sebenarnya hubungan kerja tidaklah dimaknai sesederhana itu. Pada dasarnya hubungan kerja merupakan suatu hubungan timbal balik antara pemberi pekerjaan dengan yang menerima pekerjaan yang menyangkut aspekaspek seperti : pertukaran sumber daya, aturan tentang hak dan kewajiban dalam konteks hubungan produksi, proses pembentukan kesepakatan tersebut, kepentingan-kepentingan masing-masing pihak, dan mekanisme pengelolaan konflik yang terjadi, dan kontrol majikan terhadap buruh dan sebaliknya.5 Dari penjelasan tersebut tampak bahwa konsep hubungan kerja sendiri adalah kompleks, karena menyangkut berbagai aspek yang ada di dalamnya. Hubungan kerja sebagai suatu konsep yang kompleks ini turut pula ditegaskan oleh salah satu penelitian terdahulu. Penelitian oleh Kerry Lasmi Sugiarti dan Shelly Novi H.P tahun 2001 tentang Buruh dalam Industri Teh Rakyat Ciwidey, Jawa Barat6 menemukan bahwa bentuk hubungan buruh dan majikan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni semi formal dan informal. Bentuk hubungan semi formal ditemukan pada industri teh rakyat yang sudah menerapkan organisasi kerja perusahaan sebagaimana di perkebunan teh swasta atau negara. Sedangkan hubungan informal, tidak terdapat pembagian kerja yang jelas dengan kesepakatan kerja yang tidak tertulis. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa hubungan kerja antara 5 Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati,Op cit, hlm.2 Kerry Lasmi Sugiarti dan Shelly Novi H.P, Buruh dalam Industri Teh Rakyat Ciwidey, Jawa Barat, 2002 dalam Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal : Permasalahan dan Prospek. Yayasan Akatiga. Bandung, 2003, hlm. 104-105 6 6 majikan dan buruh terdiri dari beragam bentuk, baik yang semi formal maupun informal. Sementara itu, jika membicarakan industri pedesaan sendiri maka akan menyangkut hal-hal khusus dan khas yang menjadi karakteristiknya. Industri pedesaan memiliki ciri khas yang membedakannya dengan dengan industri lain yang umumnya berada di perkotaan, seperti masih bersifat tradisional (pada umumnya industri pedesaan menyangkut industri rumah tangga dan kecil), yang tingkat pembagian kerja, keterampilan para pekerja, dan diferensiasi dalam proses produksi masih sangat rendah.7 Dari pendapat tersebut diketahui hal yang penting yakni selain memiliki ciri khas atau karakteristik, industri pedesaan pun juga dikenal dengan “keterbatasan” yang dimilikinya terutama dalam hal skala usaha (teknologi dan jumlah tenaga kerja) dan keterampilan pekerjanya. Sementara itu, pendapat lain yang kurang lebih senada juga ditunjukan dalam penelitian yang berjudul Marjinalisasi dan Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa oleh Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati Chotim pada tahun 2004, terhadap dua kasus usaha mikro pedesaan, yaitu pengolahan gula kelapa di Banyumas dan genteng di Klaten. Penelitian ini mampu memberikan gambaran kondisi usaha mikro atau industri pedesaan. Industri pedesaan digambarkan ditandai dengan ciri-ciri seperti : (1) jenis transaksi jual beli dalam jumlah kecil, (2) sebagian transaksi dilakukan dengan 7 Tadjuddin Noer Effendi dan Helmut Weber (ed), Industrialisasi di Pedesaan Jawa, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Friedrich Ebert Stiftung, Goethe Institute,Yogyakarta, 1993, hlm. 8 7 orang-orang yang dikenal, (3) kesepakatan yang dibangun bersifat langsung (face to face) diantara dua orang atau lebih dengan orang-orang yang dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan dan berdasarkan kepercayaan dan referensi pribadi, (4) memiliki aturan sosial tersendiri serta, (5) menggabungkan berbagai jenis pekerjaan yang sumber dayanya dimiliki dan dikendalikan sendiri oleh mereka untuk kebutuhan yang sifatnya subsisten.8 Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa industri pedesaan lekat dengan keterbatasan beberapa aspek terkait teknologi, jumlah pekerja dan keterampilan pekerja. Selain itu, industri pedesaan dapat dimaknai sebagai industri atau usaha yang berskala mikro dan kecil sehingga sifatnya subsisten dan keberlangsungnya tidak dapat dipisahkan dengan aturan-aturan sosial yang berlaku disana. Dengan kata lain, industri pedesaan turut dipengaruhi oleh relasi sosial dan aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Membicarakan industri di pedesaan berarti mau tidak mau harus juga menilik bagaimana konsep hubungan kerja dan industri pedesaan itu sendiri. Namun begitu, tidak lantas membuat hubungan kerja di industri pedesaan hanya sekedar dimaknai sebagai gabungan antara kedua konsep tersebut. Lebih dari itu, dalam memaknai hubungan kerja di industri pedesaan juga berarti melihat jalinan hubungan pengusaha dengan buruh, serta kesepakatan kerja mereka, tetapi juga melihat berbagai aturan-aturan sosial yang berlaku disana. 8 Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati Chotim. Marjinalisasi dan Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa. Yayasan Akatiga. Bandung. 2004. hlm. 10 8 Kehidupan masyarakat di pedesaan umumnya masih diwarnai oleh berbagai aturan-aturan sosial yang secara khusus masih diberlakukan, misalnya gotong royong dalam mendirikan rumah atau kerja bakti dalam membangun fasilitas umum bagi warganya. Keberadaan aturan-aturan tersebut turut mengindikasikan bahwa masih ada relasi-relasi sosial yang khas pada masyarakat di pedesaan, termasuk yang berkaitan dengan hubungan kerja terkait industrinya yakni antara pengusaha dan buruh. Namun, di sisi lain kita tidak dapat memungkiri fakta bahwa sangat mungkin terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat pedesaan, baik itu berupa perkembangan, pergeseran atau parubahan pada aturan yang berlaku hingga relasi-relasi sosialnya. Karena, harus diakui pula bahwa perubahan memang menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan menunjukkan adanya pergeseran hubungan kerja dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Pertama, penelitian mengenai Pembagian Kerja dalam Masyarakat Pengrajin : Studi Perkembangan Spesialisasi Pekerjaan dan Produksi dalam Bidang Usaha Rumahtangga Pengrajin Tembaga-Kuningan di Pedesaan oleh Mahendra Wijaya tahun 1992.9 Temuan penelitian tersebut menggambarkan perubahan yang terjadi terhadap pembagian kerja masyarakat perajin. Perkembangan pasar mengakibatkan pembagian kerja meningkat, hubungan fungsional antara 9 Mahendra Wijaya, 1992, Pembagian Kerja dalam Masyarakat Pengrajin : Studi Perkembangan Spesialisasi Pekerjaan dan Produksi dalam Bidang Usaha Rumahtangga Pengrajin TembagaKuningan di Pedesaan dalam Sajogyo, Satyawan, Sunito, Harmini S. Adiwibowo, Nuraini W. Prasodjo, Panen 20 Tahun Ringkasan Tesis dan Disertasi 1975-1994 Studi Sosiologi Pedesaan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Puspa Swara, Jakarta, 1996, hlm.371-375 9 unit kerja, pergeseran ikatan hubungan yang semula berdasarkan kekerabatan dan persahabatan menuju ikatan hubungan yang kepentingan, ekonomi uang, dan meningkatnya buruh upahan dalam industri kerajinan tembaga-kuningan tradisional. Perkembangan ekonomi tradisional menuju ekonomi pasar ternyata mendorong perkembangan kelembagaan hubungan kerja yang ditemui dalam patronage menuju hubungan kerja kontraktual. Selain itu, perubahan pada hubungan kerja masyarakat pedesaan juga ditunjukkan oleh penelitian oleh Sri Hery Susilowati, tahun 2005 tentang Gejala Pergeseran Kelembagaan Upah pada Pertanian Padi Sawah. Penelitian tersebut menemukan bahwa sistem kelembagaan hubungan kerja yang mengedepankan kebersamaan dan kemiskinan bersama (shared poverty) telah bergeser ke sistem yang lebih berorientasi pada uang dan waktu.10 Kedua penelitian terdahulu tersebut menjadi penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan. Kedua penelitian menunjukkan adanya pergeseran hubungan kerja di pedesaan yang semula kental dengan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, patronase bergeser menjadi hubungan kontraktual dengan orientasi pada uang. Adanya fakta terkait pergeseran hubungan kerja di pedesaan turut mendorong adanya kemungkinan bahwa hal yang sama dapat terjadi pada hubungan kerja di industri pedesaan. Oleh sebab itu, berbagai pola relasi sosial pun berpeluang untuk ditemukan keberadaannya dalam hubungan kerja antara 10 Sri Hery Susilowati, 2005, Gejala Pergeseran Kelembagaan Upah pada Pertanian Padi Sawah, Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No.1 , Juli 2005, hlm. 48-60 10 pengusaha dan buruh, seperti relasi sosial eksploitasi, patron klien serta kekeluargaan dan kekerabatan. Relasi sosial eksploitasi menjadi salah satu jenis relasi yang eksis di masyarakat, khususnya terkait dengan hubungan antara pengusaha atau majikan dengan buruh. Terlebih beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya pergeseran menuju hubungan kontaktual yang lebih berorientasi pada uang dalam hubungan kerja di pedesaan. Karena itu, relasi sosial eksploitasi pun kemungkinan dapat mewarnai hubungan kerja antara pengusaha dan buruh di sentra industri genteng press Wiroko. Eksploitasi sendiri berarti bahwa melakukan akumulasi modal atau memupuk keuntungan atas biaya dan risiko pihak lain yang posisinya lebih lemah.11 Pengertian tersebut menegaskan bahwa suatu ekploitasi dapat terjadi diantara pihak yang posisinya lebih kuat terhadap yang lemah. Dalam konteks hubungan pengusaha atau majikan dan buruh, maka akan sangat jelas bahwa pihak yang menjadi objek eksploitasi adalah buruh yang notabene berada pada posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pengusaha. Eksploitasi terhadap buruh atau pekerja bukanlah sebagai isu yang baru. Adalah Marx yang memulai mengutarakan pendapatnya tentang hal ini. Pada dasarnya Marx membahas mengenai pertentangan dua kelas yang berada pada posisi yang berbeda yakni kelas pemilik alat-alat produksi atau burguise dan kelas pekerja/buruh yang lazim disebut prolentar dalam proses dan cara berproduksi. Dalam hubungan tersebut Marx menganggap bahwa nilai semua 11 Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati Chotim, Op cit, hlm. 19 11 komoditas adalah sepadan dengan pekerjaan (manusia) yang terkandung dalam masing-masing komoditas.12 Konsekuensinya, tenaga kerja manusia sebagai tenaga upahan dianggap sebagai komoditas dalam proses tukar menukar di pasar (transaksi jual beli) yang tidak berbeda dari jenis-jenis komoditas lainnya.13 Hal tersebut menjadi suatu kesempatan dan momentum bagi munculnya eksploitasi terhadap buruh. Pemikiran Marx sangat dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi di abad 19, yang telah menghasilkan atau melahirkan fenomena yang bertolak belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak dan pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di pihak lain.14 Dengan kata lain, industrialisasi menghasilkan konsekuensi tersendiri yakni menyediakan peluang munculnya eksploitasi dalam proses dan hubungan produksi. Sementara itu, konsekuensi lain lebih lanjut bahkan dapat menghasilkan hubungan yang dipenuhi ketimpangan dan ketergantungan. Kelas burguise dapat hidup dan bertahan lebih lama tanpa kelas prolentar, tetapi sebaliknya kelas prolentar tidak dapat hidup tanpa kelas burguise.15 12 Mahendra Wijaya, Perspektif Sosiologi Ekonomi: dari Masyarakat pra kapitalis hingga neoliberal, Lindu Pustaka, Surakarta, 2007, hlm. 14 13 Ibid, hlm. 14-15 14 Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 146 15 Ibid, hlm.168 12 Wujud eksploitasi yang dilakukan pengusaha terhadap buruh juga turut dijelaskan oleh Marx melalui surplus value atau nilai lebih.16 Pada dasarnya surplus value memang merupakan keuntungan yang berasal dari proses produksi. Namun yang terjadi justru keuntungan tersebut tidak dibagikan secara adil pada pihak-pihak yang terlibat dalam proses dan hubungan produksi. Dengan kata lain, surplus value hanya dinikmati oleh pengusaha atau kelas burguise, dan tidak dapat dinikmati oleh buruh. Menurut Marx, terdapat dua keuntungan yang diperoleh pengusaha terkait surplus value17, yang meliputi: 1) Keuntungan utama, yaitu diperoleh melalui jam kerja yang berlebih yang sebenarnya adalah hak buruh. Namun dalam prosesnya buruh tidak pernah menerimanya sehingga merasa dirugikan. Sebaliknya keuntungan itu, kemudian menjadi hak penguasa yang telah memiliki kontrak (legal-system) yang ditanda-tangani serta isi kontrak telah disetujui buruh. 2) Keuntungan tidak utama, yaitu yang menyatakan bahwa harga jual adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha. Dengan demikian buruh tidak menikmati keuntungan apapun, karena jenis keuntungan tidak utama menjadi milik langsung dari para pengusaha pemilik industri. Kondisi tersebut sebenarnya telah terjadi eksploitasi secara terselubung, yang dari 16 Istilah surplue value muncul dan mendominasi proses pertukaran pada masyarakat kapitalis, setelah menggantikan istilah lain yakni nilai guna atau use value pada proses pertukaran di abad pertengahan. Lihat Ibid, hlm.163 17 Lihat Agus Salim, Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 36 13 masa kemasa selalu menyulitkan kedudukan buruh dalam upaya menagih haknya. Persengketaan buruh dan pengusaha dalam bentuk perjuangan untuk menaikkan gaji dan kesejahteraan buruh selalu terganjal dengan perhitungan rasional yang dibuat oleh pengusaha. Relasi sosial eksploitasi yang dimaksud dalam penelitian ini cenderung mengacu pada pandangan Marx, terutama terkait surplus value. Meminjam penggambaran Marx bahwa eksploitasi merupakan relasi antar kelas yakni antara burguise dan prolentar, yang dalam konteks ini pengusaha/majikan sebagai kelas burguise dan buruh sebagai kelas prolentar. Surplus value yang merupakan hasil dari proses produksi yang berasal dari selisih dari pemasukan (produk yang berhasil dijual) dengan biaya pengeluaran (untuk memproduksi produk), seharusnya dibagi secara adil pada pihak-pihak dalam proses produksi yakni pengusaha dan buruh. Namun yang sering terjadi justru surplus value ini secara keseluruhan atau sebagian besar menjadi milik pengusaha melalui surplus value jenis keuntungan utama (jam kerja yang berlebih) ataupun surplus value jenis keuntungan tidak utama (klaim bahwa harga jual sebagai biaya produksi yang dikeluarkan pengusaha). Sementara itu, relasi sosial patron klien juga sangat mungkin menjadi salah satu pola relasi dalam hubungan kerja di industri pedesaan. Setidaknya beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan kenyataan tersebut. Pertama, penelitian tentang Pola Hubungan Patron Klien : Studi tentang Hubungan Patron Klien di Sentra Industri Kerajinan Sayang Sayang, 14 Kelurahan Sayang Sayang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, oleh Lalu Lutfi pada tahun 200618. Penelitian tersebut berhasil menemukan beberapa temuan yang penting seperti pelaku usaha yang terdapat di sentra industri tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu patron yang menguasai alatalat produksi, modal, pengetahuan mengenai keterampilan pemasaran dan ditunjukkan dengan kepemilikan materi berupa bentuk rumah, perabot rumah, kendaraan bermotor, yang dalam hal ini adalah pengusaha. Sementara itu, klien : hanyalah orang yang memiliki tenaga berupa keterampilan, yang dalam hal ini adalah pengrajin. Kerja sama yang terjalin antara keduanya kemudian diperluas. Pengusaha berusaha agar pengrajin tetap menjual kerajinan pada patron/dirinya yang disebut langganan tetap, sehingga ia memberi pinjaman uang saat pengrajin membutuhkan ataupun memberi hadiah pengrajin pada waktu tertentu. Sementara di lain pihak, karena perekonomian pengrajin yang tidak menentu, kerja sama yang ditawarkan pengusaha disambut dengan baik oleh pengrajin. Prasarat kerja sama keduanya tidaklah berbelit-belit yakni hanya saling percaya. Kedua, Penelitian oleh Pahruddin HM tahun 2009, tentang Relasi Patronase dalam Perkebunan Karet Rakyat di Jambi19. Beberapa hasil penelitian tersebut yakni adanya pola relasi patronase dalam pengelolaan perkebunan karet rakyat, dengan para pemilik kebun karet atau tauke yang bertindak sebagai patron, dan para penyadap karet yang menjadi kliennya. 18 Lalu Lutfi, Pola Hubungan Patron Klien : Studi tentang Hubungan Patron Klien di Sentra Industri Kerajinan Sayang Sayang, Kelurahan Sayang Sayang, Nusa Tenggara Barat, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006, hlm. 82-84 19 Pahruddin HM, Relasi Patronase dalam Perkebunan Karet Rakyat, Jurnal Sosiologi Reflektif Vol.3 No. 2, April 2009, hlm.98-114 15 Hubungan tersebut dapat berjalan karena pertukaran sumber daya yang dimiliki oleh pemiliki kebun berupa sejumlah areal perkebunan karet dengan tenaga yang dimiliki oleh para penyadap dengan menyadapnya. Dalam hal ini, para penyadap tersebut diberikan fasilitas seperti peralatan sadap karet dan kebutuhan sehari-hari. Setelah hasil sadapan karet dikumpulkan, barulah pemilik kebun menimbang hasil penyadapan tiap anak buahnya kemudian memberikan bayaran, dan hasil sadap tersebut di jual ke pabrik. Hubungan tersebut dianggap sama-sama menguntungkan. Namun, realitasnya justru lebih menguntungkan satu pihak (tauke). Relasi sosial patron klien ataupun hubungan patronase (patronage) berasal dari ungkapan bahasa Spanyol, yakni patron yang artinya seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh.20 Patron tersebut yang berkedudukan sebagai induk semang, majikan atau pelindung terhadap klien (orang lain yang berkedudukan sebagai buruh atau yang dilindungi).21 Dalam hal ini, dapat dimaknai bahwa patron adalah pihak yang menjadi pelindung si klien. Namun begitu, tindakan patron dalam rangka melindungi, membantu atau mendukung klien juga menghadirkan konsekuensi bagi klien untuk membalasnya kepada patron. Penjelasan yang cukup memadai mengenai relasi sosial patron klien diberikan oleh Scott. Menurutnya patron klien merupakan suatu kasus khusus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang menyangkut suatu persahabatan, 20 Sunyoto Usman, Sosiologi : Sejarah, Teori dan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm 127 21 Ibid 16 di mana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi kepada patron tadi.22 Secara sederhana, relasi patron klien dapat ditandai dengan ada dua posisi yang berbeda dan saling membutuhkan, dimana dalam masing-masing posisi tersebut terlekat konsekuensi bagi orang atau individu yang ada di dalamnya. Lebih lanjut, relasi sosial patron klien memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan hubungan lain. Ciri-ciri yang dimaksud adalah adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran, adanya sifat tatap muka (face to face character), dan sifatnya yang luwes dan meluas (hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, misalnya patron terkait dengan kliennya tidak saja hanya terbatas karena patron klien, namun juga karena kebetulan sebagai teman atau sahabat)23. Suatu relasi sosial patron klien dapat berjalan dengan mulus atau tidaknya sangat bergantung oleh beberapa unsur yang ada di dalamnya. Unsurunsur yang dimaksud seperti, 1). Apa yang diberikan oleh satu pihak merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, entah pemberian tersebut berupa barang atau jasa dan sebagainya, 2). Adanya hubungan timbal 22 James C. Scott, 1972, Patron Client, Politics and Political Change in South Asia dalam Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi, Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm.14 23 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang: Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1988, hlm. 5 17 balik yang merupakan implikasi pemberian pihak lain, sehingga pihak yang menerima merasa memiliki kewajiban untuk membalasnya, 3). Adanya normanorma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) untuk melakukan penawaran (kesempatan untuk menarik diri dari hubungan tersebut jika salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi sesuai yang diharapkan)24. Dengan kata lain, sukarela menjadi norma relasi sosial patron klien sehingga memungkinkan klien berpindah ke patron lain jika apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan relasi sosial patron klien yang sudah ia kembangkan. Relasi sosial patron klien sendiri banyak ditemui dalam berbagai negara atau kebudayaan di penjuru dunia, seperti Campbell (1964) melihat patronase pada penggembala-penggembala Sarakatsan di Yunani, Boissevain (1966) membahas patronase antara orang-orang Sicilia di Italia, dan Cohen (1966) mengulas gejala patronase dengan istilah hubungan feodal di Bornu, Afrika.25 Namun begitu, sebenarnya secara umum terdapat dua kategori dari relasi sosial patron klien yang meliputi: 1). patron klien yang bersifat patrimonial yakni mendasarkan pada penerimaan nilai-nilai tradisional tertentu yang melembagakan posisi superordinasi dan subordinasi dan 2). patron klien yang bersifat represif mendasarkan pada bentuk tekanan atau eksploitasi dari kelompok yang berkuasa sebagai akibat dari legitimasi yang dimiliki.26 Kedua kategori relasi sosial patron klien tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan 24 Ibid, hlm. 3 Ibid, hlm. 23-30 26 Sunyoto Usman, Op .cit, hlm. 10 25 18 sehari-hari manusia, yang kadang kita lakukan atau dekat dengan kita namun tidak disadari. Patron klien menjadi suatu bentuk relasi atau hubungan yang khas. Pada dasarnya relasi sosial tersebut mengandung keterlibatan dua aktor yang berasal dari posisi atau kedudukan yang berbeda. Karena merekalah yang akhirnya berperan sebagai patron dan klien. Antara keduanya terkait oleh konsekuensi peran masing-masing, dimana patron berkewajiban menyediakan bantuan ataupun perlindungan bagi klien dan klien pun wajib membalasnya dengan dukungan dan jasa-jasa tertentu sesuai yang dibutuhkan patron. Dalam konteks ini, relasi sosial patron klien dapat menjadi pola relasi sosial dalam hubungan kerja pengusaha dan buruh di industri genteng press Wiroko yakni dengan adanya pengusaha sebagai patron dan buruh sebagai klien. Dalam kehidupan masyarakat desa, hubungan kekeluargaan atau kekerabatan masih memegang peranan penting. Keterkaitan antara keduanya umumnya dapat dilihat dari kegiatan pertanian maupun kegiatan lain seperti industri. Seperti yang diungkapkan J.H Boeke bahwa kerja harus menyesuaikan diri dengan keluarga beserta susunan keluarga, bukan sebaliknya.27 Pernyataan tersebut mengartikan bahwa dalam kerja dan hubungan kerja memang turut dipengaruhi oleh keluarga. Keterkaitan hubungan kerja atas dasar kekeluargaan dan kekerabatan dengan industri di pedesaan diungkap oleh Srosodiharjo28 yakni bahwa family system (menurut 27 Lihat J.H. Boeke, 1948, Prakapitalisme di Asia (terjemahan) dalam Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,2004, hlm.147 28 Soedjito Srosodihardjo, Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan., Tiara Wacana Yogyakarta, 1987, hlm. 126 19 Eugene Staley merupakan salah satu kategori industri kecil) sebagai dasar industri pedesaan. Family yang dimaksud adalah keluarga dalam arti batih atau inti dengan keluarga dalam arti kerabat. Lebih lanjut, menurutnya hanya keluarga yang memproduksi untuk dijual di pasaran saja yang dimasukan dalam kategori industri pedesaan.29 Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang terkait dengan hubungan kerja banyak ditemukan di berbagai hasil penelitian terkait kegiatan pertanian. Salah satunya hasil penelitian pertanian oleh Susilowati pada tahun 2001 di Jawa Barat membuktikan bahwa hubungan buruh langganan dan majikan yang terjalin diperkuat melalui hubungan famili, yakni sekitar 17 persen buruh langganan memiliki hubungan famili dengan pemilik lahan.30 Dengan adanya hubungan famili tersebut akan timbul saling kepercayaan (trust) antara buruh dan majikan sehingga menekan peluang buruh melakukan penyimpangan, dan juga memiliki fungsi sekaligus sebagai pengawas terhadap buruh lainnya.31 Selain itu, hasil penelitian lain, oleh Dadi Suhanda terkait relasi majikan buruh nelayan bagan di Jakarta Utara, menemukan bahwa relasi buruh majikan berdasarkan kekerabatan. Para majikan memanfaatkan anggotaanggota kerabatnya sendiri untuk turut terlibat dalam hubungan produksi karena dilatarbelakangi oleh sifat proses produksi yang kepercayaan antarpelaku produksi untuk bisa menghindarkan kecurangan yang dilakukan 29 Ibid Susilowati, SH, C. Saleh, A.K Zakaria, S. Wahyuni, Supriyati, Supadi, Waluyo dan Tjetjep, 2001, Studi Dinamika Ekonomi Pedesaan (PATANAS) Usaha tani, Ketenagakerjaan dan Konsumsi dalam Sri Hery Susilowati, Gejala Pergeseran Upah pada Pertanian Padi Sawah, Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No.1 , Juli 2005, hlm. 48-60 31 Ibid 30 20 para buruh dan akan memudahkan kontrol dalam proses produksi.32 Dari kedua penelitian tersebut diketahui adanya kesamaan yakni hubungan keluarga atau kekerabatan dalam hubungan kerja justru menghasilkan manfaat, khususnya dalam fungsi pengawasan bagi majikan. Selain itu, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan kekerabatan, khususnya dalam perekrutan pekerja. Hasil penelitian oleh Susetiawan terkait Konflik Sosial Dalam Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia dengan Studi Kasus Dua Pabrik Tekstil di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah yang dimaksud. Salah satu hasil temuan penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam rekruitmen tenaga kerja, maka para buruh yang telah lama bekerja di sebuah pabrik menjadi para perantara (intermediaries) pencari kerja dengan manajemen, meskipun tidak menerima imbalan material bagi aktivitas tersebut33. Pemberian pekerjaan kepada sanak-keluarga memainkan peranan yang penting dalam mengontrol buruh di tempat kerja.34 Dari penelitian tersebut diketahui bahwa perekrutan buruh yang dibantu oleh buruh yang sudah lama bekerja memiliki fungsi pengawasan pula, karena kualitas personal buruh juga diperhatikan. Kepercayaan (trust) menjadi alasan penting dibalik keterkaitan relasi keluarga dan kerabat dalam hubungan kerja, khususnya antara pengusaha dan buruh. Selain itu, kondisi tertentu yang memungkinkan dalam proses 32 Dadi Suhanda, Implikasi Relasi Buruh-Majikan terhadap Jaminan Sosial Buruh-Studi Kasus Nelayan Bagan di Kamal Muara, Jakarta Utara, 2003 dalam Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal : Permasalahan dan Prospek, Yayasan Akatiga, Bandung, 2003, hlm 62 33 Susetiawan, Konflik Sosial : Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 156 34 Ibid, hlm. 325 21 produksi terjadi penyimpangan atau kecurangan yang dilakukan buruh, membuat adanya peluang memanfaatkan buruh atau pekerja keluarga dan kerabat untuk mengawasi teman lainnya. Dan hal itulah yang dilakukan pengusaha atau majikan dibalik keputusannya untuk merekrut tenaga kerja dari orang-orang yang masih keluarga dan kerabat, karena pastinya sudah dikenal sehingga dapat dipercaya. Kekeluargaan dan kekerabatan dalam hubungan kerja juga mencakup industri rumah tangga dan industri kecil di pedesaan yang anggota keluarganya menjadi pemilik dan sekaligus buruh atau tenaga kerja. Dalam kaitan hal tersebut maka penelitian ini perlu meminjam istilah self exploitation dari A.V. Chayanov. Ia sendiri merupakan seorang tokoh ilmuwan yang pemikirannya cukup berpengaruh, terutama terkait dengan ekonomi pertanian, dan sosiologi pedesaan. Pemikiran kunci Chayanov adalah teori ekonomi petani yang didalamnya membahas self exploitation atau eksploitasi diri. Pemikiran Chayanov yang didasarkan pada studinya tentang petani-petani kecil di Rusia, konteks yang terbatas itu kadang-kadang memaksa petani untuk melakukan pilihan yang tak masuk akal jika dilihat dari segi ketentuanketentuan pembukuan yang lazim. Keluarga-keluarga petani yang harus hidup dari hasil lahan-lahan yang kecil di daerah-daerah yang terlalu padat penduduknya akan bekerja keras dan lama secara tak terbayangkan untuk memperoleh tambahan yang bagaimanapun kecilnya dari produksi mereka jauh melampaui titik di mana seorang kapitalis yang hati-hati tidak akan 22 bersedia melangkah lehih lanjut. Dan Chayanov menamakan hal itu “self exploitation” atau swa-pacal.35 Dari pemikiran tentang self exploitation dalam konteks kehidupan petani, khususnya bagi petani lapisan bawah merupakan hal yang biasa mereka lakukan dan bahkan menjadi strategi mereka untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Dalam self exploitation tersebut, terdapat unsur penting yang menandainya yaitu “there is a tendency among farmers is the bottom layer to use its power to limit the lowest utility. That is, they are willing to work "whatever" with the level of wages "whatever" home to meet his need for food and money “ atau terdapat kecenderungan di kalangan petani lapisan bawah untuk menggunakan tenaganya sampai batas utilitas yang paling rendah. Artinya, mereka bersedia bekerja “apa saja” dengan tingkat upah “berapa saja” asal dapat memenuhi kebutuhannya akan makanan dan uang36. Self exploitation pada kehidupan petani kala itu dapat terjadi karena beberapa asumsi dan proposisi Chayanov, berikut ini: a) Masyarakat tani atau peasant society adalah masyarakat pedesaan yang didalamnya tidak ada pasar tenaga kerja dan ekonominya semata-mata terdiri dari satuan-satuan. Kemudian usaha tani keluarga, yaitu usaha tani yang tidak menggunakan tenaga upahan, melainkan didominasi oleh tenaga dalam keluarga. 35 James. C. Scott, Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 19 36 Abdul Hakim, Trisnawati, Alfi Haris Wanto, Rural Community Strategy Options in Dealing with Crisis : A Sociological Perspective, Journal of Basic and Applied Scientific Research 1(11) 2372-2378, 2011, TextRoad Publication, hlm. 2376 23 b) Usaha tani keluarga tidak bersifat profit maximazation, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan consumerlabour reatio (CL), dan dengan demikian disebut subsisten. Dalam hal ini, CL mempengaruhi jumlah jam kerja bagi anggota dewasa (jika CL naik, jam kerja bertambah, dan dengan demikian output per hektar menjadi bertambah) serta mempengaruhi produktivitas tenaga kerja (output per tenaga kerja bertambah). Terjadi proses self exploitation of labour power atau eksploitasi diri terhadap yakni pada daya/tenaga buruh. c) Dalam masyarakat tani, semua rumah tangga terdapat jangkauan terbuka terhadap tanah garapan37. Ketiga proposisi tersebutlah yang dapat menjelaskan kondisi lahirnya self exploitation khususnya pada masayarakat petani kala itu, terutama pada rumah tangga petani yang berada pada lapisan bawah. Self exploitation atau eksploitasi terhadap diri sendiri mungkin menjadi konsekensi dari adanya industri genteng press dalam konteks terbatas pada industri skala mikro dengan modal yang minim. Kondisi tersebut memungkinkan pemilik atau pengusaha yang sekaligus juga menjadi buruh atau tenaga kerja dalam industrinya. 37 Gunawan Wiradi, Karya Chayanov Ditinjau Kembali, Diterbitkan 15 August 2006, jam 01:16 WIB, diakses dari http://rumahkiri.net/diskursus/gagasan/16-gagasan/15-karya-chayanov-ditinjaukembali pada 19 November 2014 jam 4.56 WIB 24 Sementara itu, dalam kondisi yang serupa juga akan memungkinkan anggota keluarga pengusaha tersebut ikut menjadi buruh atau tenaga kerja dalam industrinya. Anggota keluarga tersebut sering atau kadang membantu pengusaha dengan bertindak sebagai buruh. Fenomena tersebut dapat terjadi karena dalam masyarakat desa akan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan atau kemiskinan.38 Dalam hal ini, tenaga kerja menjadi satu-satunya sumber yang dimiliki oleh keluarga pengusaha industri genteng press, sehingga itulah yang digunakan demi kelangsungan ekonomi rumah tangganya yang tetap tercukupi. Para anggota keluarga tersebut bekerja dengan bayaran upah yang bisa dikatakan lebih rendah dari upah rata-rata ketika mereka bekerja layaknya buruh pada umumnya yang bukan merupakan angota keluarga pemilik atau pengusaha industri genteng press. Keadaan tersebut termasuk sebagai suatu bentuk eksploitasi yang tersembunyi/terselubung atau hidden exploitation. Penelitian ini bermaksud melihat bagaimana pola-pola relasi sosial dalam hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan buruh dan dampaknya di sentra industri genteng press Wiroko. Untuk itu, metode etnografi dipilih peneliti karena penelitian ini tidak bermaksud menguji suatu hipotesis, melainkan ingin mengeksplorasi realitas dan pengalaman di lapangan. Dalam hal ini, etnografi digunakan agar penelitian ini mampu mengungkap pola-pola relasi sosial dalam hubungan kerja pengusaha dan buruh beserta dampaknya bagi mereka masing-masing. 38 Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, hlm.56 25 Dalam hubungan kerja antara pengusaha dan buruh di sentra industri genteng Press Wiroko sangat mungkin diwarnai dengan berbagai pola relasi sosial seperti relasi sosial eksploitasi, patron klien dan berdasarkan kekeluargaan dan kekerabatan. Keberadaan relasi sosial tersebut tentu akan membawa konsekuensi yakni dampak bagi masing-masing pihak yang terlibat didalamnya baik pengusaha maupun buruh. Dalam dampak tersebut termasuk didalamnya adalah dampak khusus bagi anggota keluarga yang bekerja menjadi buruh yang tidak dibayar dalam relasi sosial kekeluargaan, atau self exploitation dan hidden exploitation. Terkait dengan bagaimana perwujudan dari masing-masing relasi sosial dan dampaknya bagi pengusaha dan buruh dipaparkan lebih lanjut pada bab akhir penelitian ini. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian kualitatif dengan etnografi sebagai metodenya. Kualitatif dipilih karena memang penelitian ini bermaksud melihat realitas dari lapangan secara alami. Dalam hal ini, realitas tersebut khususnya dalam melihat hubungan kerja pengusaha dan buruh, relasi sosial yang terjalin dan dampaknya sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi disana. Untuk itu, peneliti memilih etnografi sebagai metodenya agar mampu memaksimalkan dalam upaya melihat hal tersebut secara alami. Hal ini disebabkan etnografi merupakan metode penelitian 26 yang mempelajari bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan sebagaimana adanya.39 Sementara itu, tipe etnografi yang dipilih adalah etnografi kritis atau critical etnographies.40 Tipe entnografi kritis yang digunakan dalam penelitian ini turut dilatar belakangi oleh tujuan penelitian yakni mengungkap realitas relasi sosial dalam hubungan kerja pengusaha dan buruh yang notabene sering diwarnai dengan ketidaksamaan status, dan ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Hal tersebut dapat menempatkan salah satu pihak berada di posisi atas dan sebaliknya pihak lain berada di bawah atau dengan kata lain terkait dengan isu kekuasaan. Peneliti etnografi dituntut untuk memahami secara mendalam konteks yang diteliti tanpa membawa pra konsep atau praduga atau teori yang dimilikinya.41 Terkait hal tersebut, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa setting sosial yang memuat latar dan konteks di lokasi penelitian menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk untuk mencari informasi dan data langsung ke lokasi. 39 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Dezin Guba dan Penerapannya, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001, hlm. 152 40 Terdapat dua tipe etnografi yang paling populer digunakan, yaitu 1). Etnografi realis atau realist etnography yang umum digunakan ranah antropologi budaya, dimana peneliti menarasikan dalam sudut pandang orang ketiga secara objektif, tanpa terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan politik, 2) etnografi kritis atau critical etnography yang menggunakan perspektif kritis untuk merespon keadaan terkini masyarakat dimana sistem kekuasaan, keistimewaan, kehormatan,dan wewenang membuat orang termajinalisasi dalam kelas, ras dan gender. Peneliti etnografi kritis mempelajari berbagai isu-isu terkait kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksamaan, ketidakseimbangan, dominasi, represi, hegemoni, dan pengorbanan. Dari John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Reserch Design : Choosing Among Five Approaches-2nd edition, California, Sage Publication,2007, hlm 69-70 41 Agus Salim,2001, Op. cit, hlm.156 27 Langkah awal, peneliti melakukan pengamatan atau observasi awal dengan langsung ke lokasi penelitian. Peneliti secara khusus mengunjungi dan melihat seluruh dusun yang tergabung dalam wilayah Desa Wiroko, hingga akhirnya peneliti mengetahui informasi penting tentang dusundusun yang menjadi pusat industri genteng press. Dalam pengamatan awal tersebut peneliti juga dapat melihat langsung aktivitas sehari-hari di industri genteng press, yang memang terlihat dari jalan yang dilewati seperti kegiatan menjemur genteng, riuhnya bunyi alat cetak genteng dalam proses pencetakan dan kencangnya bunyi mesin molen berbahan bakar diesel yang sedang mengolah tanah. Beberapa kali peneliti melakukan pengamatan awal tersebut, dari mulai pagi hingga sore hari. Dalam pengamatan awal tersebut, peneliti masih belum tinggal langsung disana melainkan hanya beberapa jam dan dalam beberapa hari saja. Meskipun singkat namun dalam benak peneliti telah memiliki gambaran nyata dari realitas yang memang benar-benar terjadi disana. Proses tersebut peneliti lakukan pada bulan September 2014. Hasil pengamatan awal cukup membantu peneliti dalam sedikit memberi gambaran dan suasana sebenarnya di lokasi penelitian. Namun peneliti menyadari bahwa hal tersebut belumlah cukup untuk penelitian ini sehingga perlu melakukan pengamatan atau observasi terlibat, khususnya terlibat secara aktif. Oleh karena itu, penelitipun bermaksud untuk dapat tinggal sementara disana agar dapat berinteraksi langsung dan merasakan sendiri bagaimana keseharian kehidupan masyarakatnya. Dan sebelum 28 melakukan proses tersebut maka peneliti perlu memenuhi sejumlah persyaratan terkait perijinan. Proses pemenuhan ijin tersebut yang bertahap-tahap memang pada awalnya menjadi hambatan peneliti, mengingat kurangnya informasi tersebut dan ketidaktahuan peneliti. Tetapi, pada akhirnya peneliti berhasil memperoleh ijin penelitian dan tinggal di lokasi penelitian mulai pertengahan bulan Oktober hingga pertengahan November 2014. Dengan berbekal surat ijin penelitian maka peneliti pun secara terbuka mengutarakan maksud dan tujuan penelitian ini pada para pejabat desa setempat, termasuk kepada kepala Desa Wiroko. Niat peneliti pun akhirnya disambut baik dengan pemberian ijin dan penerimaan terhadap peneliti untuk tinggal disana selama beberapa waktu. Tidak hanya itu, kepala Desa Wiroko juga sangat membantu peneliti dalam memberikan informasi secara umum terkait kondisi desa dan khususnya terkait industri genteng press disana. Lebih dari itu, kepala Desa Wiroko yang kebetulan masih memiliki ikatan hubungan keluarga dengan peneliti, bertindak sebagai perantara42 untuk menghubungkan peneliti pada salah seorang informan yang sangat penting dalam penelitian ini. Hanya saja peneliti mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh data informan tersebut terkait kesibukan pekerjaanya sehingga ia jarang bersedia melayani orangorang yang bermaksud melakukan penelitian seperti peneliti. Oleh karena itu, bagi peneliti yang awalnya sulit untuk memiliki akses untuk bertemu 42 Perantara atau middleman ialah orang yang tahu akan kebutuhan peneliti yang sekaligus dapat mengantarkan peneliti menghubungi sejumlah informan yang penting. Dalam Y. Slamet, Metode Penelitian Sosial, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2006, hlm. 88 29 dan memperoleh data dari informan penting tersebut dapat menyiasatinya dengan bantuan kepala desa. Secara umum peneliti tidak menemui kesulitan yang berarti dalam penelitian ini, selain sulitnya akses menjangkau seorang informan penting karena merupakan pengusaha yang memiliki industri genteng press terbesar disana. Dalam hal pemilihan dan proses perolehan data dari informan pun cukup mudah dilakukan oleh peneliti. Hal ini disebabkan para pengusaha dan buruh disana umumnya sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang melakukan penelitian sehingga mereka pun tidak menaruh curiga berle bihan pada peneliti dan mau memberikan informasi dan data pada peneliti. Selain itu, bantuan dari kepala desa dan yang kebetulan masih memiliki hubungan keluarga atau saudara sangat membantu peneliti dalam memberi akses ke informan lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan masyarakatnya yang mengenal rasa tidak enak dan sungkan atau dalam bahasa setempat pekewuh jika tidak membantu peneliti, karena hal tersebut berkaitan dengan seorang tokoh ternama desa seperti kepala desa. Upaya inilah yang turut membuat para informan dengan mudah bersedia memberikan informasi yang peneliti perlukan. Beberapa teknik seperti pengamatan atau observasi terlibat, wawancara mendalam dan dokumentasi (rekaman suara dan gambargambar) digunakan dalam rangka memperoleh data. Pengamatan terlibat adalah yang utama dalam penelitian ini sehingga penelitipun melakukan proses tersebut dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini, peneliti hampir 30 setiap hari, dari pagi sekitar pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore hari selama disana berkunjung ke suatu industri genteng press yang memang banyak terdapat disana. Awalnya peneliti banyak berkunjung ke berbagai tempat, namun setelah beberapa hari peneliti hanya rutin mengunjungi beberapa tempat yang dijadikan informan dalam penelitian ini yakni sebanyak 4 perusahaan saja. Disana peneliti berinteraksi langsung, bercengkrama dengan pengusaha maupun buruh dan mencoba membangun keakraban dengan mereka. Penelitipun terkadang harus menjawab pertanyaanpertanyaan normatif dari mereka yang disana seperti nama, asal, keperluan dan selama disana bertempat tinggal dimana, hingga pertanyaan yang menggelitik bagi peneliti seperti mengapa peneliti berani hanya sendiri, berjalan kaki dan berkeliling ke berbagai tempat melihat industri genteng press. Di sela-sela interaksi itupun peneliti mencoba mencari celah untuk mengajukan pertanyaan agar memperoleh data penelitian. Selain di rumah pengusaha yang sekaligus tempat produksi atau tempat produksi, peneliti juga berkunjung ke rumah para buruh yang berasal dari dalam maupun dari luar wilayah Desa Wiroko. Kunjungan ke rumah buruh ini terutama dilakukan peneliti pada buruh yang bekerja di industri genteng milik seorang informan yang penting, karena peraturan dan kedisiplinan kerja disana begitu diperhatikan dan diperhitungkan dalam penentuan upah pekerja. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh data, maka peneliti menunggu buruh yang bekerja tersebut hingga pulang di sore hari dan melakukan wawancara di rumah buruh tersebut. 31 Secara umum peneliti tidak mengalami kesulitan besar dalam proses pengumpulan data ini karena peneliti dapat mengerti bahasa yang mereka gunakan. Hanya beberapa istilah lokal setempat yang khusus, yang kurang dimengerti peneliti, namun setelah itu ditanyakan kembali, mereka bersedia menjelaskan lebih lanjut. Istilah-istilah tersebut seperti misalnya rit atau engkel (satuan ukuran yang besarnya 1 unit bak truk dengan ban belakang tunggal), njeglok (aktivitas dalam proses pencetakan genteng). Berbagai keterangan dan penjelasan para informan terkait data tersebut ditulis penulis dalam buku kecil sebagai catatan lapangan. Catatan tersebut juga berisikan apa-apa saja yang dilihat peneliti disana, terutama hal-hal unik dan menarik yang berhasil ditemukan peneliti 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena desa tersebut menjadi sentra industri genteng press yang cukup besar dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tersebut, terutama menjadi pengusaha dan buruh. 3. Jenis dan Sumber Data Kebutuhan, jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi : a) Data Primer Data primer dalam penelitian ini berasal dari informan yakni pengusaha dan buruh, baik dalam bentuk hasil wawancara, 32 observasi atau pengamatan serta foto atau gambar yang menunjukkan bagaimana kondisi, suasana, kegiatan yang mereka lakukan. Untuk data yang terkait dengan hasil pengamatan atau observasi terlibat dilakukan peneliti terhadap pengusaha dan buruh, kegiatan yang mereka lakukan, waktu dan tempat berlangsungnya kegiatan tersebut. Dalam hal ini juga termasuk pula melihat bagaimana suasana atau setting sosial disana, tingkah laku mereka dalam berbagai kesempatan, misalnya suasana di pagi hari saat awal memulai pekerjaan, dan apa yang dilakukan pengusaha dan buruh saat itu. Data hasil observasi atau pengamatan terlibat tersebut dicatat dalam buku kecil yang menjadi catatan lapangan. Catatan tersebut memuat semua hal yang dilihat peneliti terkait suasana, tingkah laku disana, juga ungkapan dan temuan menarik dari informan tentang kegiatan atau kerja yang mereka lakukan. Terkadang juga berisi ungkapan isi hati dan nilai atau pandangan mereka terkait “kerja”, seperti kerja (di industri genteng press) yang mereka anggap tidak dapat mereka lakukan secara “tetap” seperti di pabrik karena suatu ketika terdapat kebutuhan sosial seperti hajatan atau kerja bakti yang lebih mereka utamakan dengan mengorbankan waktu masuk kerja baik telat maupun sampai tidak masuk kerja. Selain itu, dalam rangka memperoleh hasil observasi tersebut, peneliti juga mengambil gambar atau foto dari berbagai 33 situasi, suasana yang sedang berlangsung dan kegiatan, tempattempat yang mereka gunakan untuk bekerja maupun beristirahat. Sementara itu, data terkait wawancara mendalam meliputi catatan penting hasil wawancara, rekaman dan transkrip hasil wawancara yang berpedoman pada interview guide atau pedoman wawancara yang telah dibuat peneliti. Data tersebut berisi jawaban atas berbagai pertanyaan yang diharapkan mampu menguak relasi sosial dalam hubungan kerja buruh dan pengusaha seperti sejarah pengusaha dalam medirikan usaha dan bagi buruh adanya pertanyaan terkait sejarah awal mula ia bisa menjadi buruh di suatu industri genteng press, tentang perekrutan buruh dan tentang sistem pengupahan. b) Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai data yang dapat membantu penelitian ini, terutama dalam hal terkait lokasi dan setting sosial penelitian. Data tersebut merupakan data yang sudah diolah pihak lain dan bukan berasal dari para informan, berasal dari berbagai pihak seperti dari intansi pemerintah daerah, kantor Desa Wiroko, dan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Kabupaten Wonogiri. Data-data tersebut meliputi data laporan kependudukan Desa Wiroko dan data kelompok industri kecil potensial di Kabupaten Wonogiri. Kedua data tersebut 34 digunakan peneliti sebagai salah satu bahan untuk membantu menggambarkan terkait lokasi dan setting sosial penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Terkait dengan teknik pengumpulan data maka penelitian ini memperhatikan subjek dan objek yang ada di dalamnya. Subjek dalam konsep penelitian merujuk pada informan yang hendak diminati atau digali datanya, sedangkan objek merujuk pada masalah atau tema yang sedang diteliti.43 Subjek dalam penelitian ini adalah para pengusaha dan buruh di sentra industri genteng press, Desa Wiroko. Subjek penelitian atau informan tersebut dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang dapat memperkuat alasan pemilihannya dan kerap disebut dengan teknik purposive. Sementara itu, objek penelitian ini adalah hubungan kerja antara pengusaha dan buruh khususnya pada relasi sosial yang terjalin di dalamnya. Penelitian ini berupaya untuk melihat hubungan kerja dan kemudian pola relasi sosial yang terjalin antara pengusaha dan buruh. Oleh sebab itu, beberapa informan yang diperlukan dalam hal ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yakni memilih perusahaan atau industri genteng press berdasarkan skala usaha atau industrinya (dengan dasar jumlah tenaga kerja) dan kondisi usaha. Untuk kriteria skala usaha menggunakan dasar jumlah tenaga kerja berdasarkan kategori Badan Pusat Statistik (BPS) yang terdiri dari a). Industri rumah tangga dengan jumlah 43 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm.91 35 pekerja 1-4 orang, b). Industri kecil dengan pekerja 5-19 orang, c). Industri menengah dengan pekerja 20-99 orang, dan d). Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.44 Sementara itu, kriteria kondisi usaha yang dimaksud ialah kondisi usaha yang stabil, berkembang naik dan menurun, berdasarkan sejarah dan perkembangan usaha. Berhubung penelitian ini memfokuskan hubungan kerja dan relasi sosial pengusaha dan buruh, maka para informan merupakan para pengusaha dan buruh yang bekerja disana. Sebanyak 4 unit usaha/industri genteng press, yang terdiri dari 4 orang pengusaha dan 7 orang buruh menjadi informan dalam penelitian ini. Berikut ini (lihat tabel 1 dan 2) identitas masing-masing informan tersebut. Tabel 1 Identitas Pengusaha Pengusaha Umur (th) 60 Pendidikan Edi Jenis Kelamin L SD Th. Mulai Usaha 1988 Skala Usaha Menengah Kondisi Usaha Stabil Bambang L 56 SMP 1994 Kecil Meningkat Agus L 65 SLTA 1992 Menurun L 45 SMP 1997 Rumah Tangga Rumah Tangga Didit Meningkat Sumber: data primer peneliti, 2014 44 Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2006, hlm: 73 36 Tabel 2 Identitas Buruh Buruh Rudi Budi Dibyo Utami Jenis Kelamin L L L P Umur (th) 35 30 36 40 SMP SMP SMP SMP Th. Mulai Kerja 1999 2009 1992 1997 Retno P 58 SMP 2005 SD SMP 1997 2005 Rusman L 47 Dewo L 28 Sumber: data primer peneliti, 2014 Pendidikan Status Kerja Buruh Harian Buruh Borongan Buruh Harian Buruh tidak dibayar/ keluarga Buruh tidak dibayar/ keluarga Buruh lepas paruh waktu Buruh lepas Sementara itu, para informan dalam penelitian ini akan digali informasinya menggunakan berbagai teknik pengumpulan data yang telah dipilih oleh peneliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi : a) Observasi atau Pengamatan Terlibat Pengamatan terlibat dipilih karena dengan teknik ini peneliti dapat benar-benar mengetahui dan bahkan memahami bagaimana relasi sosial dan hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan buruh. Terlebih penelitian etnografi pun menempatkan pengamatan terlibat sebagai metode utama dalam pengumpulan data. Pengamatan terlibat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis keterlibatan aktif, yakni peneliti ikut mengerjakan apa yang dikerjakan pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.45 45 Agus Salim, op. cit, hlm.160 37 Peneliti melaksanakan pengamatan terlibat ini disertai upaya untuk membaur dengan para informan. Untuk itu, agar kehadiran peneliti dapat diterima maka peneliti tidak lupa untuk memperkenalkan diri dan memberi tahu maksud dan tujuan peneliti. Upaya tersebut membuat peneliti dapat diterima untuk ikut mengerjakan aktivitas kerja keseharian mereka hingga mendapatkan data yang dibutuhkan. Data-data tersebut seperti siapa saja pihak yang terlibat dalam proses produksi, kegiatan apa saja yang dilakukan buruh, apa peran pengusaha dalam proses produksi, bagaimana proses pengupahan dan terkait suasana, waktu dan tempat berlangsungnya tiap peristiwa tersebut. Dengan pengamatan terlibat selama beberapa waktu ini, peneliti juga berusaha untuk dapat merasakan apa yang dirasakan informan dengan turut serta dalam beberapa aktivitas kerja. Meskipun pekerjaan tersebut hanya pekerjaan yang sifatnya ringan. Pekerjaan yang coba dilakukan seperti mengangkat alas cetak dari kayu, memindahkan genteng untuk dijemur di luar dan memindahkan kayu sambil menunggu dalam proses pembakaran. Peneliti tidak diijinkan untuk membantu melakukan kegiatan lain terutama dalam proses pencetakan karena proses tersebut memang memerlukan keterampilan khusus dan rawan akan terjadi kerusakan. Sedangkan peneliti tidak memiliki keterampilan tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan peneliti 38 dalam melakukan pengamatan terlibat. Meskipun begitu, dalam pengamatan terlibat ini peneliti sempat mendapatkan kesempatan berinteraksi langsung dengan cukup dekat dengan pengusaha dan buruh di waktu istirahat. Dalam kesempatan tersebut bahkan peneliti ikut merasakan dan menikmati makanan dan minuman yang disediakan untuk buruh. Dalam berbagai kesempatan, peneliti juga melakukan observasi atau pengamatan dan wawancara langsung ke rumah buruh, terutama pada kasus perusahaan atau industri genteng press tertentu yang peraturan dan jam kerjanya diawasi secara ketat. Sementara itu, selama menjalani proses pengamatan terlibat tersebut secara keseluruhan tidak ada masalah yang berarti dihadapi peneliti. Para informan umumnya bersedia menerima keberadaan peneliti untuk dapat masuk di lingkungannya dan berinteraksi pada peneliti. Beberapa informan bahkan ada yang bercerita atau mencurahkan isi hatinya tentang masalah pribadi pada peneliti. b) Wawancara Mendalam Wawancara mendalam menjadi salah satu teknik yang dipakai dalam pengumpulan data yang dilakukan terhadap para informan baik pengusaha maupun buruh. Wawancara tersebut dilakukan secara tidak struktur yakni pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan peneliti pada informan secara tidak runtut atau urut melainkan berkembang mengikuti apa yang diungkapkan informan. 39 Hal ini dimaksudkan agar peneliti juga mampu mengorek data yang menarik dari informan yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh peneliti. Meskipun wawancara ini tidak terstruktur namun tetap memiliki fokus yang dituangkan dalam interview guide. Beberapa hal terkait fokus penelitian ini antara lain, bagaimana sejarah usaha bagi pengusaha dan sejarah dapat bekerja di suatu indutri genteng press bagi buruh, bagaimana cara perekrutan dan pengupahan buruh, bagaimana keterlibatan pengusaha dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan buruh di tempat kerja. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap 4 orang pengusaha dan 7 orang buruh. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur tetapi tidak terlepas dari konteks atau fokus penelitian ini. Saat informan mengungkap hal–hal menarik maka peneliti dapat menggalinya secara mendalam. Wawancara ini juga dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh cukup data terkait fokus penelitian. Selain itu, jenis wawancara tersebut dimaksudkan agar peneliti mampu mengerti dan memahami apa yang diungkapkan, dirasakan oleh informan. Karena dalam suatu wawancara dimungkinkan terkadang informan mengungkapkan istilah-istilah asing bagi peneliti. Adanya istilah tersebut membuat peneliti pada akhirnya mengerti suatu pengetahuan baru pula, misalnya suatu sistem pengupahan pada salah satu industri genteng press yang disebut totalan yang merupakan mekanisme 40 perhitungan dan pemberian upah keseluruhan tiap setahun sekali. Karena wawancara ini dilakukan secara mendalam maka memungkinkan informan menjelaskan istilah tersebut secara detail bahkan dalam hal ini hingga memberikan contoh agar peneliti mengerti apa yang ia maksud. Secara keseluruhan dapat dikatakan peneliti tidak mengalami kendala berarti dalam melakukan wawancara mendalam ini. Namun, bukan berarti sama sekali peneliti tidak menemukan kesulitan. Salah satu kesulitan yang dialami peneliti dalam hal ini adalah jika menemui informan penting namun kurang bersedia untuk diwawancarai karena kesibukan kerja yang padat dan memang kurang memiliki antusias untuk hal tersebut. Menghadapi hal tersebut, peneliti menyiasatinya dengan meminta bantuan perantara yang kebetulan merupakan tokoh ternama disana yakni kepala desa untuk menghubungkan peneliti dengan informan tersebut. Kesulitan lain yang sempat dirasakan peneliti adalah pernah mendapatkan penolakan dari informan untuk diwawancarai sehingga peneliti mencari dan menghubungi informan lain yang bersedia sebagai gantinya. Terkait adanya kesulitan dengan informan yakni buruh yang bekerja di industri genteng press dengan peraturan kerja yang ketat maka wawancara dilakukan saat istirahat ataupun saat sore ketika buruh sudah pulang kerja dan berada di rumah. 41 c) Dokumentasi Dokumentasi yang berupa foto-foto ataupun rekaman wawancara digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Dalam hal ini peneliti terbantu dengan adanya alat perekam (recorder) dan kamera untuk mendokumentasikan data. Dalam tiap kesempatan pengamatan terlibat ataupun wawancara mendalam maka peneliti tidak lupa membawa kedua alat tersebut. Foto-foto atau gambar yang diambil oleh peneliti sangatlah beragam, seperti informan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan informan, tempat tinggal, tempat kerja dan produk genteng press yang dihasilkan. 5. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dalam penelitian ini berpedoman pada alur penelitian maju bertahap atau The Development Research Sequence (DRS) dari Spradley. Berbagai tahap yang dimaksudkan Spradley tersebut meliputi : 1) Menetapkan informan, 2) Mewawancarai informan, 3). Membuat catatan etnografis, 4). Mengajukan pertanyaan deskriptif, 5). Melakukan analisis wawancara, 6). Membuat analisis domain, 7). Mengajukan pertanyaan struktural, 8). Membuat analisis taksonomik, 9). Mengajukan pertanyaan kontras, 10). Membuat analisis komponen, 11). Menemukan tema-tema budaya, dan 12). Menulis suatu etnografi.46 Tahap-tahap tersebut diaplikasikan pula dalam penelitian ini menjadi 46 James P. Spradley, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm. 63-31 42 langkah-langkah peneliti dalam melakukan penelitian, termasuk dalam hal analisis. Dalam analisis etnografi terdapat suatu alur yang khas dan membedakannya dengan penelitian pada umumnya. Perbedaan yang dimaksud adalah dalam hal urutan aktivitasnya dari pemilihan masalah sampai laporan dilakukan dalam waktu yang sama.47 Untuk itu, pada pemilihan masalah, peneliti dalam memperhatikan pada tujuan yang ingin dicapai yakni mampu mengungkap praktek budaya atau nilai-nilai suatu kelompok masyarakat, yakni pengusaha dan buruh yang terkait hubungan kerja di sentra industri genteng press wiroko. Selanjutnya, yang dilakukan peneliti adalah mengumpulkan data kebudayaan atau dalam konteks ini data terkait dengan pengusaha dan buruh di Wiroko. Dalam upaya pengumpulan data tersebut, peneliti menggunakan beberapa teknik seperti pengamatan terlibat, wawancara mendalam serta dokumentasi agar benarbenar dapat mengumpulkan data secara maksimal. Setelah data berhasil dikumpulkan baik dari hasil pengamatan terlibat, wawancara mendalam dan dokumentasi, peneliti kemudian langsung menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, peneliti membaca, memeriksa ulang data yang berhasil dikumpulkan hingga dapat menemukan simbol-simbol, atribut, istilah kebudayaan yang diungkapkan informan melalui bahasa asli atau lokal. Selain itu, dalam proses ini, peneliti juga menemukan beberapa nilai-nilai khas yang diyakini oleh para 47 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm. 140 43 informan. Disamping itu, dalam tahap ini peneliti juga melihat lebih lanjut secara seksama hingga memungkinkan ditemukannya hubungan atau keterkaitan antara simbol-simbol atau nilai-nilai kebudayaan pengusaha dan buruh di Wiroko. Proses analisis dalam penelitian etnografi ini memang cukup lengkap dan memadai. Hal ini disebabkan beragamnya jenis atau macam analisis yang digunakan dalam etnografi. Setidaknya terdapat empat jenis atau macam analisis yang digunakan dalam etongrafi, antara lain analisis domain (merujuk pada pencarian unit dan hubungannya dalam skala yang lebih besar), analisis taksonomi (bertujuan untuk mengidentifikasi unitunit yang lebih kecil di dalam domain/unit yang lebih besar dalam suatu kebudayaan), analisis komponen (untuk mencari atribut-atribut yang membedakan simbol-simbol dari suatu domain) dan analisis tema (bermaksud mencari hubungan diantara domain dan bagaimana domaindomain yang ada dihubungkan dengan budaya secara keseluruhan).48 Setelah melakukan analisis secara rinci dan bertahap-tahap maka berlanjut pada tahap formulasi masalah penelitian etnografi. Dalam hal ini masalah penelitian etnografi yang dimaksud merupakan suatu pernyataan yang dibangun berdasarkan data-data yang sudah melewati proses analisis. Selanjutnya, pernyataan penelitian yang telah dibangun tersebut segera ditulis dalam bentuk laporan etnografi. Dalam tahap penulisan laporan etnografi ini, peneliti tetap berpedoman pada masalah atau pernyataan 48 Ibid, hlm. 142 44 yang telah dibangun, sembari kembali melakukan analisis terhadap data yang sudah terkumpul. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada temuan penelitian yang terlewat serta berupaya agar analisis penelitian lebih tajam, terutama dalam menunjukkan terkait simbol dan nilai-nilai khas yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini. 45