BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kali mendengar

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kali mendengar kata pengusaha atau majikan dan buruh,
maka yang sering kali terbersit dalam ingatan adalah dua posisi yang sangat
berlainan dan cenderung kontras. Disatu sisi pengusaha atau majikan
menunjukkan bahwa seseorang yang menempati posisi tersebut berasal dari
strata ekonomi dan sosial yang tinggi sehingga memiliki modal untuk
mendirikan usaha. Sebaliknya, buruh atau pekerja justru menunjukkan bahwa
mereka yang menempati posisi tersebut tergolong sebagai kaum yang berada
pada strata ekonomi rendah, sehingga menggunakan sumber dayanya yakni
tenaga untuk menghasilkan pendapatan. Meskipun keduanya memiliki
perbedaan tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka tidak dapat
dipisahkan begitu saja, dan hal itulah yang dilukiskan dalam hubungan kerja.
Menurut
Undang-Undang
No.
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, hubungan kerja diartikan sebagai hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.1 Hubungan kerja diantara
pengusaha dan buruh menjadi wadah yang sekaligus mengkerangkai
hubungan yang mereka jalin. Hubungan tersebut menunjukkan bagaimana
1
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam ILO, Undang-undang
Ketenagakerjaan Republik Indonesia : Major Labour Laws of Indonesia, Kantor Perburuhan
Internasional, Jakarta, 2004, hlm. 11-12
1
kedua belah pihak yakni pengusaha dan buruh pada dasarnya memang saling
membutuhkan.
Hubungan kerja juga kerap diartikan sebagai suatu hubungan antara
seorang buruh dan seorang majikan, didalamnya ditetapkan kedudukan pihak
itu terhadap satu sama lainnya berdasarkan rangkaian hak dan kewajiban
buruh terhadap majikan dan sebaliknya majikan terhadap buruh.2 hubungan
tersebut juga memperlihatkan adanya interaksi yang terjalin diantara dua
peran berbeda, dimana masing-masing peran memiliki konsekuensinya
masing-masing. Konsekuensi yang disebut merupakan hak dan kewajiban
yang melekat baik bagi pengusaha atau majikan dan buruh. Dalam hal ini,
pengusaha memiliki hak untuk menggunakan tenaga buruh untuk
menghasilkan suatu produk tertentu (materiil ataupun jasa), dan tentunya
wajib memberikan balasan dari tindakan tersebut, seperti upah dan juga
jaminan dari risiko pekerjaan tersebut. Sebaliknya, buruh yang mengorbankan
tenaga dan waktunya untuk menghasilkan suatu produk bagi pengusaha,
kemudian berhak atas upah dan jaminan kerja.
Hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan buruh memang
awalnya didasari oleh saling membutuhkan antara kedua belah pihak,
sehingga memutuskan untuk melakukan kerjasama. Dalam hal ini, tercipta
kesepakatan yang mengatur hubungan tersebut agar dapat berlangsung
dengan lancar. Namun, kenyataanya terkadang masih terdapat masalah2
Lihat Imam Soepomo, 2001, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, dalam Anne
Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal :
Permasalahan dan Prospek. Yayasan Akatiga. Bandung, 2003, hlm.10
2
masalah dalam hubungan kerja, seperti munculnya konflik antara keduanya.
Dalam hubungan kerja juga terkandung potensi konflik yang dapat muncul.
Konflik dan kerja sama dapat saja mewarnai dalam suatu hubungan
kerja karena memang hubungan kerja termasuk sebagai hubungan atau relasi
sosial3. Hanya saja, hubungan kerja mencakup relasi sosial yang khusus yakni
antara pihak pengusaha atau majikan dan buruh atau pekerja. Layaknya suatu
relasi sosial lainnya, hubungan kerja tersebut juga melibatkan aspek-aspek
sosial yang turut ada di dalamnya. Dengan kata lain, hubungan kerja
pengusaha dan buruh tidak hanya berisi aspek-aspek ekonomi saja, tetapi juga
terdapat aspek-aspek sosial. Salah satu aspek sosial tersebut yakni menjadi
arena pertarungan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam
hubungan tersebut. Dalam konteks ini, pertarungan kepentingan pengusaha
dan buruh. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kerja menentukan
bagi pengusaha dan buruh. Bagi pengusaha dan buruh, hubungan kerja samasama memiliki arti yang penting untuk kehidupan mereka. Jika bagi
pengusaha, hubungan kerja penting dalam mempengaruhi kelangsungan
usahanya hingga mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan bagi
buruh penting terkait kelangsungan sumber pendapatannya sehingga berupaya
mendapatkan kesejahteraan sebesar-besarnya.
Hubungan kerja antara pengusaha dan buruh telah menjadi isu
yang sejak lama dibicarakan berbagai pihak. Bahkan, telah banyak pula
3
Hubungan atau relasi sosial dalam kerja yang berarti sebagai hubungan sosial yang dimasuki
orang-orang berdasarkan pergaulan mereka dalam proses produksi. Lihat Eugene V. Schneider,
Sosiologi Industri, Aksara Persada, Jakarta, 1986, hlm. 33-34
3
peraturan-peraturan seperti undang-undang yang dibuat pemerintah terkait hal
ini.4 Namun begitu, tetap saja berbagai masalah masih menghiasi hubungan
kerja antara pengusaha dan buruh. Terlebih tidak semua bentuk hubungan
kerja antara pengusaha dan buruh masuk atau dijelaskan secara detail di
dalamnya, misalnya hubungan kerja terkait industri pedesaan yang memiliki
karakteristik tersendiri yang khas. Hubungan kerja antara pengusaha dan
buruh khususnya pada industri pedesaan menarik untuk dilihat lebih lanjut
karena sifatnya yang kompleks layaknya relasi sosial. Karenanya peneliti
berupaya melihat lebih jauh bagaimana pola-pola yang terjadi dalam
hubungan tersebut serta dampaknya terhadap pihak-pihak yang terlibat di
suatu desa sentra industri genteng press Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
B. Rumusan Masalah
Hubungan kerja antara pengusaha dan buruh tergolong relasi sosial
yang kompleks. Terlebih hubungan kerja tersebut berlangsung pada industri
pedesaan seperti di sentra industri genteng press Wiroko. Kondisi tersebut
memungkinkan adanya pola relasi sosial yang berbeda dari relasi sosial atau
4
Undang-Undang Ketenagakerjaan seperti Undang-undang No. 21/2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (sesuai dengan
Putusan Makhkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, Undang-undang No. 2/2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Masa Berlakunya UU No. 2/2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Guus Erma van Voss dan Surya Tjandra
(ed), Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hlm. 1
4
hubungan kerja umumnya seperti pada industri skala besar di perkotaan.
Berdasarkan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana pola relasi sosial yang berkembang disana dan
dampaknya bagi pihak terkait, baik bagi pengusaha maupun buruh?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui pola relasi sosial yang berkembang disana dan
dampaknya bagi pihak terkait, baik bagi pengusaha maupun buruh
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat
kebijakan agar lebih memperhatikan peraturan dan kebijakan
terkait hubungan kerja dan ketenagakerjaan khususnya pada
industri di pedesaan.
2.
Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
referensi atau kajian mengenai relasi sosial dalam hubungan kerja
bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
E. Hubungan Kerja di Industri Pedesaan
Hubungan kerja secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu
hubungan yang terjalin antara dua aktor yakni majikan dan buruh atau pekerja.
5
Namun, sebenarnya hubungan kerja tidaklah dimaknai sesederhana itu. Pada
dasarnya hubungan kerja merupakan suatu hubungan timbal balik antara
pemberi pekerjaan dengan yang menerima pekerjaan yang menyangkut aspekaspek seperti : pertukaran sumber daya, aturan tentang hak dan kewajiban
dalam konteks hubungan produksi, proses pembentukan kesepakatan tersebut,
kepentingan-kepentingan masing-masing pihak, dan mekanisme pengelolaan
konflik yang terjadi, dan kontrol majikan terhadap buruh dan sebaliknya.5 Dari
penjelasan tersebut tampak bahwa konsep hubungan kerja sendiri adalah
kompleks, karena menyangkut berbagai aspek yang ada di dalamnya.
Hubungan kerja sebagai suatu konsep yang kompleks ini turut pula
ditegaskan oleh salah satu penelitian terdahulu. Penelitian oleh Kerry Lasmi
Sugiarti dan Shelly Novi H.P tahun 2001 tentang Buruh dalam Industri Teh
Rakyat Ciwidey, Jawa Barat6 menemukan bahwa bentuk hubungan buruh dan
majikan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni semi formal dan
informal. Bentuk hubungan semi formal ditemukan pada industri teh rakyat
yang sudah menerapkan organisasi kerja perusahaan sebagaimana di
perkebunan teh swasta atau negara. Sedangkan hubungan informal, tidak
terdapat pembagian kerja yang jelas dengan kesepakatan kerja yang tidak
tertulis. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa hubungan kerja antara
5
Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati,Op cit, hlm.2
Kerry Lasmi Sugiarti dan Shelly Novi H.P, Buruh dalam Industri Teh Rakyat Ciwidey, Jawa
Barat, 2002 dalam Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda, dan Selly Riawati. Hubungan Perburuhan
di Sektor Informal : Permasalahan dan Prospek. Yayasan Akatiga. Bandung, 2003, hlm. 104-105
6
6
majikan dan buruh terdiri dari beragam bentuk, baik yang semi formal maupun
informal.
Sementara itu, jika membicarakan industri pedesaan sendiri maka
akan menyangkut hal-hal khusus dan khas yang menjadi karakteristiknya.
Industri pedesaan memiliki ciri khas yang membedakannya dengan dengan
industri lain yang umumnya berada di perkotaan, seperti masih bersifat
tradisional (pada umumnya industri pedesaan menyangkut industri rumah
tangga dan kecil), yang tingkat pembagian kerja, keterampilan para pekerja,
dan diferensiasi dalam proses produksi masih sangat rendah.7 Dari pendapat
tersebut diketahui hal yang penting yakni selain memiliki ciri khas atau
karakteristik, industri pedesaan pun juga dikenal dengan “keterbatasan” yang
dimilikinya terutama dalam hal skala usaha (teknologi dan jumlah tenaga kerja)
dan keterampilan pekerjanya.
Sementara itu, pendapat lain yang kurang lebih senada juga ditunjukan
dalam penelitian yang berjudul Marjinalisasi dan Eksploitasi Perempuan
Usaha Mikro di Perdesaan Jawa oleh Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati
Chotim pada tahun 2004, terhadap dua kasus usaha mikro pedesaan, yaitu
pengolahan gula kelapa di Banyumas dan genteng di Klaten. Penelitian ini
mampu memberikan gambaran kondisi usaha mikro atau industri pedesaan.
Industri pedesaan digambarkan ditandai dengan ciri-ciri seperti : (1) jenis
transaksi jual beli dalam jumlah kecil, (2) sebagian transaksi dilakukan dengan
7
Tadjuddin Noer Effendi dan Helmut Weber (ed), Industrialisasi di Pedesaan Jawa, Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Friedrich Ebert Stiftung, Goethe
Institute,Yogyakarta, 1993, hlm. 8
7
orang-orang yang dikenal, (3) kesepakatan yang dibangun bersifat langsung
(face to face) diantara dua orang atau lebih dengan orang-orang yang dipercaya
dan dapat dipertanggungjawabkan dan berdasarkan kepercayaan dan referensi
pribadi, (4) memiliki aturan sosial tersendiri serta, (5) menggabungkan
berbagai jenis pekerjaan yang sumber dayanya dimiliki dan dikendalikan
sendiri oleh mereka untuk kebutuhan yang sifatnya subsisten.8
Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa industri pedesaan
lekat dengan keterbatasan beberapa aspek terkait teknologi, jumlah pekerja dan
keterampilan pekerja. Selain itu, industri pedesaan dapat dimaknai sebagai
industri atau usaha yang berskala mikro dan kecil sehingga sifatnya subsisten
dan keberlangsungnya tidak dapat dipisahkan dengan aturan-aturan sosial yang
berlaku disana. Dengan kata lain, industri pedesaan turut dipengaruhi oleh
relasi sosial dan aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya.
Membicarakan industri di pedesaan berarti mau tidak mau harus
juga menilik bagaimana konsep hubungan kerja dan industri pedesaan itu
sendiri. Namun begitu, tidak lantas membuat hubungan kerja di industri
pedesaan hanya sekedar dimaknai sebagai gabungan antara kedua konsep
tersebut. Lebih dari itu, dalam memaknai hubungan kerja di industri pedesaan
juga berarti melihat jalinan hubungan pengusaha dengan buruh, serta
kesepakatan kerja mereka, tetapi juga melihat berbagai aturan-aturan sosial
yang berlaku disana.
8
Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati Chotim. Marjinalisasi dan Eksploitasi Perempuan Usaha
Mikro di Perdesaan Jawa. Yayasan Akatiga. Bandung. 2004. hlm. 10
8
Kehidupan masyarakat di pedesaan umumnya masih diwarnai oleh
berbagai aturan-aturan sosial yang secara khusus masih diberlakukan, misalnya
gotong royong dalam mendirikan rumah atau kerja bakti dalam membangun
fasilitas umum bagi warganya. Keberadaan aturan-aturan tersebut turut
mengindikasikan bahwa masih ada relasi-relasi sosial yang khas pada
masyarakat di pedesaan, termasuk yang berkaitan dengan hubungan kerja
terkait industrinya yakni antara pengusaha dan buruh. Namun, di sisi lain kita
tidak dapat memungkiri fakta bahwa sangat mungkin terjadi perubahan dalam
kehidupan masyarakat pedesaan, baik itu berupa perkembangan, pergeseran
atau parubahan pada aturan yang berlaku hingga relasi-relasi sosialnya.
Karena, harus diakui pula bahwa perubahan memang menjadi suatu
keniscayaan dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan menunjukkan adanya
pergeseran hubungan kerja dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Pertama,
penelitian mengenai Pembagian Kerja dalam Masyarakat Pengrajin : Studi
Perkembangan Spesialisasi Pekerjaan dan Produksi dalam Bidang Usaha
Rumahtangga Pengrajin Tembaga-Kuningan di Pedesaan oleh Mahendra
Wijaya tahun 1992.9 Temuan penelitian tersebut menggambarkan perubahan
yang terjadi terhadap pembagian kerja masyarakat perajin. Perkembangan
pasar mengakibatkan pembagian kerja meningkat, hubungan fungsional antara
9
Mahendra Wijaya, 1992, Pembagian Kerja dalam Masyarakat Pengrajin : Studi Perkembangan
Spesialisasi Pekerjaan dan Produksi dalam Bidang Usaha Rumahtangga Pengrajin TembagaKuningan di Pedesaan dalam Sajogyo, Satyawan, Sunito, Harmini S. Adiwibowo, Nuraini W.
Prasodjo, Panen 20 Tahun Ringkasan Tesis dan Disertasi 1975-1994 Studi Sosiologi Pedesaan
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Puspa Swara, Jakarta, 1996, hlm.371-375
9
unit kerja, pergeseran ikatan hubungan yang semula berdasarkan kekerabatan
dan persahabatan menuju ikatan hubungan yang kepentingan, ekonomi uang,
dan meningkatnya buruh upahan dalam industri kerajinan tembaga-kuningan
tradisional. Perkembangan ekonomi tradisional menuju ekonomi pasar ternyata
mendorong perkembangan kelembagaan hubungan kerja yang ditemui dalam
patronage menuju hubungan kerja kontraktual. Selain itu, perubahan pada
hubungan kerja masyarakat pedesaan juga ditunjukkan oleh penelitian oleh Sri
Hery Susilowati, tahun 2005 tentang Gejala Pergeseran Kelembagaan Upah
pada Pertanian Padi Sawah. Penelitian tersebut menemukan bahwa sistem
kelembagaan hubungan kerja yang mengedepankan kebersamaan dan
kemiskinan bersama (shared poverty) telah bergeser ke sistem yang lebih
berorientasi pada uang dan waktu.10
Kedua penelitian terdahulu tersebut menjadi penelitian terdahulu
yang memiliki kesamaan. Kedua penelitian menunjukkan adanya pergeseran
hubungan kerja di pedesaan yang semula kental dengan hubungan
kekeluargaan dan kekerabatan, patronase bergeser menjadi hubungan
kontraktual dengan orientasi pada uang.
Adanya fakta terkait pergeseran hubungan kerja di pedesaan turut
mendorong adanya kemungkinan bahwa hal yang sama dapat terjadi pada
hubungan kerja di industri pedesaan. Oleh sebab itu, berbagai pola relasi sosial
pun berpeluang untuk ditemukan keberadaannya dalam hubungan kerja antara
10
Sri Hery Susilowati, 2005, Gejala Pergeseran Kelembagaan Upah pada Pertanian Padi Sawah,
Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No.1 , Juli 2005, hlm. 48-60
10
pengusaha dan buruh, seperti relasi sosial eksploitasi, patron klien serta
kekeluargaan dan kekerabatan.
Relasi sosial eksploitasi menjadi salah satu jenis relasi yang eksis
di masyarakat, khususnya terkait dengan hubungan antara pengusaha atau
majikan dengan buruh. Terlebih beberapa penelitian terdahulu menunjukkan
adanya pergeseran menuju hubungan kontaktual yang lebih berorientasi pada
uang dalam hubungan kerja di pedesaan. Karena itu, relasi sosial eksploitasi
pun kemungkinan dapat mewarnai hubungan kerja antara pengusaha dan buruh
di sentra industri genteng press Wiroko. Eksploitasi sendiri berarti bahwa
melakukan akumulasi modal atau memupuk keuntungan atas biaya dan risiko
pihak lain yang posisinya lebih lemah.11 Pengertian tersebut menegaskan
bahwa suatu ekploitasi dapat terjadi diantara pihak yang posisinya lebih kuat
terhadap yang lemah. Dalam konteks hubungan pengusaha atau majikan dan
buruh, maka akan sangat jelas bahwa pihak yang menjadi objek eksploitasi
adalah buruh yang notabene berada pada posisi tawar yang lebih rendah
dibanding dengan pengusaha.
Eksploitasi terhadap buruh atau pekerja bukanlah sebagai isu yang
baru. Adalah Marx yang memulai mengutarakan pendapatnya tentang hal ini.
Pada dasarnya Marx membahas mengenai pertentangan dua kelas yang berada
pada posisi yang berbeda yakni kelas pemilik alat-alat produksi atau burguise
dan kelas pekerja/buruh yang lazim disebut prolentar dalam proses dan cara
berproduksi. Dalam hubungan tersebut Marx menganggap bahwa nilai semua
11
Ratih Dewayanti dan Erna Ermawati Chotim, Op cit, hlm. 19
11
komoditas adalah sepadan dengan pekerjaan (manusia) yang terkandung dalam
masing-masing komoditas.12 Konsekuensinya, tenaga kerja manusia sebagai
tenaga upahan dianggap sebagai komoditas dalam proses tukar menukar di
pasar (transaksi jual beli) yang tidak berbeda dari jenis-jenis komoditas
lainnya.13 Hal tersebut menjadi suatu kesempatan dan momentum bagi
munculnya eksploitasi terhadap buruh.
Pemikiran Marx sangat dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi
di abad 19, yang telah menghasilkan atau melahirkan fenomena yang bertolak
belakang antara buruh yang hidup menderita dan sengsara di satu pihak dan
pemilik alat-alat produksi yang menikmati surplus yang disumbangkan oleh
keringat dan tenaga yang dikeluarkan oleh kaum buruh di pihak lain.14 Dengan
kata
lain,
industrialisasi
menghasilkan
konsekuensi
tersendiri
yakni
menyediakan peluang munculnya eksploitasi dalam proses dan hubungan
produksi. Sementara itu, konsekuensi lain lebih lanjut bahkan dapat
menghasilkan hubungan yang dipenuhi ketimpangan dan ketergantungan.
Kelas burguise dapat hidup dan bertahan lebih lama tanpa kelas prolentar,
tetapi sebaliknya kelas prolentar tidak dapat hidup tanpa kelas burguise.15
12
Mahendra Wijaya, Perspektif Sosiologi Ekonomi: dari Masyarakat pra kapitalis hingga neoliberal, Lindu Pustaka, Surakarta, 2007, hlm. 14
13
Ibid, hlm. 14-15
14
Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2012, hlm. 146
15
Ibid, hlm.168
12
Wujud eksploitasi yang dilakukan pengusaha terhadap buruh juga
turut dijelaskan oleh Marx melalui surplus value atau nilai lebih.16 Pada
dasarnya surplus value memang merupakan keuntungan yang berasal dari
proses produksi. Namun yang terjadi justru keuntungan tersebut tidak
dibagikan secara adil pada pihak-pihak yang terlibat dalam proses dan
hubungan produksi. Dengan kata lain, surplus value hanya dinikmati oleh
pengusaha atau kelas burguise, dan tidak dapat dinikmati oleh buruh. Menurut
Marx, terdapat dua keuntungan yang diperoleh pengusaha terkait surplus
value17, yang meliputi:
1) Keuntungan utama, yaitu diperoleh melalui jam kerja yang
berlebih yang sebenarnya adalah hak buruh. Namun dalam
prosesnya buruh tidak pernah menerimanya sehingga merasa
dirugikan. Sebaliknya keuntungan itu, kemudian menjadi hak
penguasa yang telah memiliki kontrak (legal-system) yang
ditanda-tangani serta isi kontrak telah disetujui buruh.
2) Keuntungan tidak utama, yaitu yang menyatakan bahwa harga
jual adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha.
Dengan demikian buruh tidak menikmati keuntungan apapun,
karena jenis keuntungan tidak utama menjadi milik langsung
dari para pengusaha pemilik industri. Kondisi tersebut
sebenarnya telah terjadi eksploitasi secara terselubung, yang dari
16
Istilah surplue value muncul dan mendominasi proses pertukaran pada masyarakat kapitalis,
setelah menggantikan istilah lain yakni nilai guna atau use value pada proses pertukaran di abad
pertengahan. Lihat Ibid, hlm.163
17
Lihat Agus Salim, Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 36
13
masa kemasa selalu menyulitkan kedudukan buruh dalam upaya
menagih haknya. Persengketaan buruh dan pengusaha dalam
bentuk perjuangan untuk menaikkan gaji dan kesejahteraan
buruh selalu terganjal dengan perhitungan rasional yang dibuat
oleh pengusaha.
Relasi sosial eksploitasi yang dimaksud dalam penelitian ini
cenderung mengacu pada pandangan Marx, terutama terkait surplus value.
Meminjam penggambaran Marx bahwa eksploitasi merupakan relasi antar
kelas yakni antara burguise dan prolentar, yang dalam konteks ini
pengusaha/majikan sebagai kelas burguise dan buruh sebagai kelas prolentar.
Surplus value yang merupakan hasil dari proses produksi yang berasal dari
selisih dari pemasukan (produk yang berhasil dijual) dengan biaya pengeluaran
(untuk memproduksi produk), seharusnya dibagi secara adil pada pihak-pihak
dalam proses produksi yakni pengusaha dan buruh. Namun yang sering terjadi
justru surplus value ini secara keseluruhan atau sebagian besar menjadi milik
pengusaha melalui surplus value jenis keuntungan utama (jam kerja yang
berlebih) ataupun surplus value jenis keuntungan tidak utama (klaim bahwa
harga jual sebagai biaya produksi yang dikeluarkan pengusaha).
Sementara itu, relasi sosial patron klien juga sangat mungkin
menjadi salah satu pola relasi dalam hubungan kerja di industri pedesaan.
Setidaknya beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan
kenyataan
tersebut. Pertama, penelitian tentang Pola Hubungan Patron Klien : Studi
tentang Hubungan Patron Klien di Sentra Industri Kerajinan Sayang Sayang,
14
Kelurahan Sayang Sayang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, oleh Lalu
Lutfi pada tahun 200618. Penelitian tersebut berhasil menemukan beberapa
temuan yang penting seperti pelaku usaha yang terdapat di sentra industri
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu patron yang menguasai alatalat produksi, modal, pengetahuan mengenai keterampilan pemasaran dan
ditunjukkan dengan kepemilikan materi berupa bentuk rumah, perabot rumah,
kendaraan bermotor, yang dalam hal ini adalah pengusaha. Sementara itu, klien
: hanyalah orang yang memiliki tenaga berupa keterampilan, yang dalam hal
ini adalah pengrajin. Kerja sama yang terjalin antara keduanya kemudian
diperluas. Pengusaha berusaha agar pengrajin tetap menjual kerajinan pada
patron/dirinya yang disebut langganan tetap, sehingga ia memberi pinjaman
uang saat pengrajin membutuhkan ataupun memberi hadiah pengrajin pada
waktu tertentu. Sementara di lain pihak, karena perekonomian pengrajin yang
tidak menentu, kerja sama yang ditawarkan pengusaha disambut dengan baik
oleh pengrajin. Prasarat kerja sama keduanya tidaklah berbelit-belit yakni
hanya saling percaya.
Kedua, Penelitian oleh Pahruddin HM tahun 2009, tentang Relasi
Patronase dalam Perkebunan Karet Rakyat di Jambi19. Beberapa hasil
penelitian tersebut yakni adanya pola relasi patronase dalam pengelolaan
perkebunan karet rakyat, dengan para pemilik kebun karet atau tauke yang
bertindak sebagai patron, dan para penyadap karet yang menjadi kliennya.
18
Lalu Lutfi, Pola Hubungan Patron Klien : Studi tentang Hubungan Patron Klien di Sentra
Industri Kerajinan Sayang Sayang, Kelurahan Sayang Sayang, Nusa Tenggara Barat, Tesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006, hlm. 82-84
19
Pahruddin HM, Relasi Patronase dalam Perkebunan Karet Rakyat, Jurnal Sosiologi Reflektif
Vol.3 No. 2, April 2009, hlm.98-114
15
Hubungan tersebut dapat berjalan karena pertukaran sumber daya yang dimiliki
oleh pemiliki kebun berupa sejumlah areal perkebunan karet dengan tenaga
yang dimiliki oleh para penyadap dengan menyadapnya. Dalam hal ini, para
penyadap tersebut diberikan fasilitas seperti peralatan sadap karet dan
kebutuhan sehari-hari. Setelah hasil sadapan karet dikumpulkan, barulah
pemilik kebun menimbang hasil penyadapan tiap anak buahnya kemudian
memberikan bayaran, dan hasil sadap tersebut di jual ke pabrik. Hubungan
tersebut dianggap sama-sama menguntungkan. Namun, realitasnya justru lebih
menguntungkan satu pihak (tauke).
Relasi sosial patron klien ataupun hubungan patronase (patronage)
berasal dari ungkapan bahasa Spanyol, yakni patron yang artinya seseorang
yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh.20 Patron
tersebut yang berkedudukan sebagai induk semang, majikan atau pelindung
terhadap klien (orang lain yang berkedudukan sebagai buruh atau yang
dilindungi).21 Dalam hal ini, dapat dimaknai bahwa patron adalah pihak yang
menjadi pelindung si klien. Namun begitu, tindakan patron dalam rangka
melindungi, membantu atau mendukung klien juga menghadirkan konsekuensi
bagi klien untuk membalasnya kepada patron.
Penjelasan yang cukup memadai mengenai relasi sosial patron
klien diberikan oleh Scott. Menurutnya patron klien merupakan suatu kasus
khusus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang menyangkut suatu persahabatan,
20
Sunyoto Usman, Sosiologi : Sejarah, Teori dan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012,
hlm 127
21
Ibid
16
di mana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk
memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya
lebih rendah (klien), yang sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan
dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi kepada patron tadi.22
Secara sederhana, relasi patron klien dapat ditandai dengan ada dua posisi yang
berbeda dan saling membutuhkan, dimana dalam masing-masing posisi
tersebut terlekat konsekuensi bagi orang atau individu yang ada di dalamnya.
Lebih lanjut, relasi sosial patron klien memiliki ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan hubungan lain. Ciri-ciri yang dimaksud adalah
adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran, adanya sifat tatap muka
(face to face character), dan sifatnya yang luwes dan meluas (hubungan ini
dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak,
misalnya patron terkait dengan kliennya tidak saja hanya terbatas karena
patron klien, namun juga karena kebetulan sebagai teman atau sahabat)23.
Suatu relasi sosial patron klien dapat berjalan dengan mulus atau
tidaknya sangat bergantung oleh beberapa unsur yang ada di dalamnya. Unsurunsur yang dimaksud seperti, 1). Apa yang diberikan oleh satu pihak
merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak yang lain, entah pemberian
tersebut berupa barang atau jasa dan sebagainya, 2). Adanya hubungan timbal
22
James C. Scott, 1972, Patron Client, Politics and Political Change in South Asia dalam Yujiro
Hayami dan Masao Kikuchi, Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm.14
23
Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang: Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta. 1988, hlm. 5
17
balik yang merupakan implikasi pemberian pihak lain, sehingga pihak yang
menerima merasa memiliki kewajiban untuk membalasnya, 3). Adanya normanorma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah
kedudukannya (klien) untuk melakukan penawaran (kesempatan untuk menarik
diri dari hubungan tersebut jika salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak
memberi sesuai yang diharapkan)24. Dengan kata lain, sukarela menjadi norma
relasi sosial patron klien sehingga memungkinkan klien berpindah ke patron
lain jika apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan relasi sosial patron klien
yang sudah ia kembangkan.
Relasi sosial patron klien sendiri banyak ditemui dalam berbagai
negara atau kebudayaan di penjuru dunia, seperti Campbell (1964) melihat
patronase pada penggembala-penggembala Sarakatsan di Yunani, Boissevain
(1966) membahas patronase antara orang-orang Sicilia di Italia, dan Cohen
(1966) mengulas gejala patronase dengan istilah hubungan feodal di Bornu,
Afrika.25 Namun begitu, sebenarnya secara umum terdapat dua kategori dari
relasi sosial patron klien yang meliputi: 1). patron klien yang bersifat
patrimonial yakni mendasarkan pada penerimaan nilai-nilai tradisional tertentu
yang melembagakan posisi superordinasi dan subordinasi dan 2). patron klien
yang bersifat represif mendasarkan pada bentuk tekanan atau eksploitasi dari
kelompok yang berkuasa sebagai akibat dari legitimasi yang dimiliki.26 Kedua
kategori relasi sosial patron klien tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan
24
Ibid, hlm. 3
Ibid, hlm. 23-30
26
Sunyoto Usman, Op .cit, hlm. 10
25
18
sehari-hari manusia, yang kadang kita lakukan atau dekat dengan kita namun
tidak disadari.
Patron klien menjadi suatu bentuk relasi atau hubungan yang khas.
Pada dasarnya relasi sosial tersebut mengandung keterlibatan dua aktor yang
berasal dari posisi atau kedudukan yang berbeda. Karena merekalah yang
akhirnya berperan sebagai patron dan klien. Antara keduanya terkait oleh
konsekuensi peran masing-masing, dimana patron berkewajiban menyediakan
bantuan ataupun perlindungan bagi klien dan klien pun wajib membalasnya
dengan dukungan dan jasa-jasa tertentu sesuai yang dibutuhkan patron. Dalam
konteks ini, relasi sosial patron klien dapat menjadi pola relasi sosial dalam
hubungan kerja pengusaha dan buruh di industri genteng press Wiroko yakni
dengan adanya pengusaha sebagai patron dan buruh sebagai klien.
Dalam kehidupan masyarakat desa, hubungan kekeluargaan atau
kekerabatan masih memegang peranan penting. Keterkaitan antara keduanya
umumnya dapat dilihat dari kegiatan pertanian maupun kegiatan lain seperti
industri. Seperti
yang diungkapkan
J.H Boeke bahwa kerja
harus
menyesuaikan diri dengan keluarga beserta susunan keluarga, bukan
sebaliknya.27 Pernyataan tersebut mengartikan bahwa dalam kerja dan
hubungan kerja memang turut dipengaruhi oleh keluarga. Keterkaitan
hubungan kerja atas dasar kekeluargaan dan kekerabatan dengan industri di
pedesaan diungkap oleh Srosodiharjo28 yakni bahwa family system (menurut
27
Lihat J.H. Boeke, 1948, Prakapitalisme di Asia (terjemahan) dalam Raharjo, Pengantar
Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,2004, hlm.147
28
Soedjito Srosodihardjo, Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan., Tiara Wacana
Yogyakarta, 1987, hlm. 126
19
Eugene Staley merupakan salah satu kategori industri kecil) sebagai dasar
industri pedesaan. Family yang dimaksud adalah keluarga dalam arti batih atau
inti dengan keluarga dalam arti kerabat. Lebih lanjut, menurutnya hanya
keluarga yang memproduksi untuk dijual di pasaran saja yang dimasukan
dalam kategori industri pedesaan.29
Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang terkait dengan
hubungan kerja banyak ditemukan di berbagai hasil penelitian terkait kegiatan
pertanian. Salah satunya hasil penelitian pertanian oleh Susilowati pada tahun
2001 di Jawa Barat membuktikan bahwa hubungan buruh langganan dan
majikan yang terjalin diperkuat melalui hubungan famili, yakni sekitar 17
persen buruh langganan memiliki hubungan famili dengan pemilik lahan.30
Dengan adanya hubungan famili tersebut akan timbul saling kepercayaan
(trust) antara buruh dan majikan sehingga menekan peluang buruh melakukan
penyimpangan, dan juga memiliki fungsi sekaligus sebagai pengawas terhadap
buruh lainnya.31 Selain itu, hasil penelitian lain, oleh Dadi Suhanda terkait
relasi majikan buruh nelayan bagan di Jakarta Utara, menemukan bahwa relasi
buruh majikan berdasarkan kekerabatan. Para majikan memanfaatkan anggotaanggota kerabatnya sendiri untuk turut terlibat dalam hubungan produksi
karena dilatarbelakangi oleh sifat proses produksi yang kepercayaan
antarpelaku produksi untuk bisa menghindarkan kecurangan yang dilakukan
29
Ibid
Susilowati, SH, C. Saleh, A.K Zakaria, S. Wahyuni, Supriyati, Supadi, Waluyo dan Tjetjep,
2001, Studi Dinamika Ekonomi Pedesaan (PATANAS) Usaha tani, Ketenagakerjaan dan
Konsumsi dalam Sri Hery Susilowati, Gejala Pergeseran Upah pada Pertanian Padi Sawah,
Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No.1 , Juli 2005, hlm. 48-60
31
Ibid
30
20
para buruh dan akan memudahkan kontrol dalam proses produksi.32
Dari
kedua penelitian tersebut diketahui adanya kesamaan yakni hubungan keluarga
atau kekerabatan dalam hubungan kerja justru menghasilkan manfaat,
khususnya dalam fungsi pengawasan bagi majikan.
Selain itu, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan
kekerabatan, khususnya dalam perekrutan pekerja. Hasil penelitian oleh
Susetiawan terkait Konflik Sosial Dalam Kajian Sosiologis Hubungan Buruh,
Perusahaan dan Negara di Indonesia dengan Studi Kasus Dua Pabrik Tekstil
di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah yang dimaksud. Salah satu hasil
temuan penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam rekruitmen tenaga kerja,
maka para buruh yang telah lama bekerja di sebuah pabrik menjadi para
perantara (intermediaries) pencari kerja dengan manajemen, meskipun tidak
menerima imbalan material bagi aktivitas tersebut33. Pemberian pekerjaan
kepada sanak-keluarga memainkan peranan yang penting dalam mengontrol
buruh di tempat kerja.34 Dari penelitian tersebut diketahui bahwa perekrutan
buruh yang dibantu oleh buruh yang sudah lama bekerja memiliki fungsi
pengawasan pula, karena kualitas personal buruh juga diperhatikan.
Kepercayaan (trust) menjadi alasan penting dibalik keterkaitan
relasi keluarga dan kerabat dalam hubungan kerja, khususnya antara pengusaha
dan buruh. Selain itu, kondisi tertentu yang memungkinkan dalam proses
32
Dadi Suhanda, Implikasi Relasi Buruh-Majikan terhadap Jaminan Sosial Buruh-Studi Kasus
Nelayan Bagan di Kamal Muara, Jakarta Utara, 2003 dalam Anne Friday Safaria, Dadi Suhanda,
dan Selly Riawati, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal : Permasalahan dan Prospek,
Yayasan Akatiga, Bandung, 2003, hlm 62
33
Susetiawan, Konflik Sosial : Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 156
34
Ibid, hlm. 325
21
produksi terjadi penyimpangan atau kecurangan yang dilakukan buruh,
membuat adanya peluang memanfaatkan buruh atau pekerja keluarga dan
kerabat untuk mengawasi teman lainnya. Dan hal itulah yang dilakukan
pengusaha atau majikan dibalik keputusannya untuk merekrut tenaga kerja dari
orang-orang yang masih keluarga dan kerabat, karena pastinya sudah dikenal
sehingga dapat dipercaya.
Kekeluargaan dan kekerabatan dalam hubungan kerja juga
mencakup industri rumah tangga dan industri kecil di pedesaan yang anggota
keluarganya menjadi pemilik dan sekaligus buruh atau tenaga kerja. Dalam
kaitan hal tersebut maka penelitian ini perlu meminjam istilah self exploitation
dari A.V. Chayanov. Ia sendiri merupakan seorang tokoh ilmuwan yang
pemikirannya cukup berpengaruh, terutama terkait dengan ekonomi pertanian,
dan sosiologi pedesaan. Pemikiran kunci Chayanov adalah teori ekonomi
petani yang didalamnya membahas self exploitation atau eksploitasi diri.
Pemikiran Chayanov yang didasarkan pada studinya tentang petani-petani kecil
di Rusia, konteks yang terbatas itu kadang-kadang memaksa petani untuk
melakukan pilihan yang tak masuk akal jika dilihat dari segi ketentuanketentuan pembukuan yang lazim. Keluarga-keluarga petani yang harus hidup
dari hasil lahan-lahan yang kecil di daerah-daerah yang terlalu padat
penduduknya akan bekerja keras dan lama secara tak terbayangkan untuk
memperoleh tambahan yang bagaimanapun kecilnya dari produksi mereka
jauh melampaui titik di mana seorang kapitalis yang hati-hati tidak akan
22
bersedia melangkah lehih lanjut. Dan Chayanov menamakan hal itu “self
exploitation” atau swa-pacal.35
Dari pemikiran tentang self exploitation dalam konteks kehidupan
petani, khususnya bagi petani lapisan bawah merupakan hal yang biasa mereka
lakukan dan bahkan menjadi strategi mereka untuk menjaga kelangsungan
hidup keluarganya. Dalam self exploitation tersebut, terdapat unsur penting
yang menandainya yaitu “there is a tendency among farmers is the bottom
layer to use its power to limit the lowest utility. That is, they are willing to
work "whatever" with the level of wages "whatever" home to meet his need for
food and money “ atau terdapat kecenderungan di kalangan petani lapisan
bawah untuk menggunakan tenaganya sampai batas utilitas yang paling rendah.
Artinya, mereka bersedia bekerja “apa saja” dengan tingkat upah “berapa saja”
asal dapat memenuhi kebutuhannya akan makanan dan uang36.
Self exploitation pada kehidupan petani kala itu dapat terjadi karena
beberapa asumsi dan proposisi Chayanov, berikut ini:
a) Masyarakat tani atau peasant society adalah masyarakat pedesaan
yang didalamnya tidak ada pasar tenaga kerja dan ekonominya
semata-mata terdiri dari satuan-satuan. Kemudian usaha tani
keluarga, yaitu usaha tani yang tidak menggunakan tenaga
upahan, melainkan didominasi oleh tenaga dalam keluarga.
35
James. C. Scott, Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 19
36
Abdul Hakim, Trisnawati, Alfi Haris Wanto, Rural Community Strategy Options in Dealing
with Crisis : A Sociological Perspective, Journal of Basic and Applied Scientific Research 1(11)
2372-2378, 2011, TextRoad Publication, hlm. 2376
23
b) Usaha tani keluarga tidak bersifat profit maximazation,
melainkan membangun dan menjaga keseimbangan consumerlabour reatio (CL), dan dengan demikian disebut subsisten.
Dalam hal ini, CL mempengaruhi jumlah jam kerja bagi anggota
dewasa (jika CL naik, jam kerja bertambah, dan dengan
demikian
output
per
hektar
menjadi
bertambah)
serta
mempengaruhi produktivitas tenaga kerja (output per tenaga
kerja bertambah). Terjadi proses self exploitation of labour
power atau eksploitasi diri terhadap yakni pada daya/tenaga
buruh.
c) Dalam masyarakat tani, semua rumah tangga terdapat jangkauan
terbuka terhadap tanah garapan37.
Ketiga proposisi tersebutlah yang dapat menjelaskan kondisi lahirnya self
exploitation khususnya pada masayarakat petani kala itu, terutama pada rumah
tangga petani yang berada pada lapisan bawah.
Self exploitation atau eksploitasi terhadap diri sendiri mungkin
menjadi konsekensi dari adanya industri genteng press dalam konteks terbatas
pada industri skala mikro dengan modal yang minim. Kondisi tersebut
memungkinkan pemilik atau pengusaha yang sekaligus juga menjadi buruh
atau tenaga kerja dalam industrinya.
37
Gunawan Wiradi, Karya Chayanov Ditinjau Kembali, Diterbitkan 15 August 2006, jam 01:16
WIB, diakses dari http://rumahkiri.net/diskursus/gagasan/16-gagasan/15-karya-chayanov-ditinjaukembali pada 19 November 2014 jam 4.56 WIB
24
Sementara
itu,
dalam
kondisi
yang
serupa
juga
akan
memungkinkan anggota keluarga pengusaha tersebut ikut menjadi buruh atau
tenaga kerja dalam industrinya. Anggota keluarga tersebut sering atau kadang
membantu pengusaha dengan bertindak sebagai buruh. Fenomena tersebut
dapat terjadi karena dalam masyarakat desa akan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia bila kondisi ekonomi mengalami perubahan atau
kemiskinan.38 Dalam hal ini, tenaga kerja menjadi satu-satunya sumber yang
dimiliki oleh keluarga pengusaha industri genteng press, sehingga itulah yang
digunakan demi kelangsungan ekonomi rumah tangganya yang tetap tercukupi.
Para anggota keluarga tersebut bekerja dengan bayaran upah yang bisa
dikatakan lebih rendah dari upah rata-rata ketika mereka bekerja layaknya
buruh pada umumnya yang bukan merupakan angota keluarga pemilik atau
pengusaha industri genteng press. Keadaan tersebut termasuk sebagai suatu
bentuk eksploitasi yang tersembunyi/terselubung atau hidden exploitation.
Penelitian ini bermaksud melihat bagaimana pola-pola relasi sosial
dalam hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan buruh dan
dampaknya di sentra industri genteng press Wiroko. Untuk itu, metode
etnografi dipilih peneliti karena penelitian ini tidak bermaksud menguji suatu
hipotesis, melainkan ingin mengeksplorasi realitas dan pengalaman di
lapangan. Dalam hal ini, etnografi digunakan agar penelitian ini mampu
mengungkap pola-pola relasi sosial dalam hubungan kerja pengusaha dan
buruh beserta dampaknya bagi mereka masing-masing.
38
Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1995, hlm.56
25
Dalam hubungan kerja antara pengusaha dan buruh di sentra
industri genteng Press Wiroko sangat mungkin diwarnai dengan berbagai pola
relasi sosial seperti relasi sosial eksploitasi, patron klien dan berdasarkan
kekeluargaan dan kekerabatan. Keberadaan relasi sosial tersebut tentu akan
membawa konsekuensi yakni dampak bagi masing-masing pihak yang terlibat
didalamnya baik pengusaha maupun buruh. Dalam dampak tersebut termasuk
didalamnya adalah dampak khusus bagi anggota keluarga yang bekerja
menjadi buruh yang tidak dibayar dalam relasi sosial kekeluargaan, atau self
exploitation dan hidden exploitation. Terkait dengan bagaimana perwujudan
dari masing-masing relasi sosial dan dampaknya bagi pengusaha dan buruh
dipaparkan lebih lanjut pada bab akhir penelitian ini.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kualitatif dengan
etnografi sebagai metodenya. Kualitatif dipilih karena memang penelitian
ini bermaksud melihat realitas dari lapangan secara alami. Dalam hal ini,
realitas tersebut khususnya dalam melihat hubungan kerja pengusaha dan
buruh, relasi sosial yang terjalin dan dampaknya sesuai dengan apa yang
benar-benar terjadi disana. Untuk itu, peneliti memilih etnografi sebagai
metodenya agar mampu memaksimalkan dalam upaya melihat hal tersebut
secara alami. Hal ini disebabkan etnografi merupakan metode penelitian
26
yang mempelajari bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan
sebagaimana adanya.39
Sementara itu, tipe etnografi yang dipilih adalah etnografi kritis
atau critical etnographies.40 Tipe entnografi kritis yang digunakan dalam
penelitian ini turut dilatar belakangi oleh tujuan penelitian yakni
mengungkap realitas relasi sosial dalam hubungan kerja pengusaha dan
buruh yang notabene sering diwarnai dengan ketidaksamaan status, dan
ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Hal tersebut dapat menempatkan
salah satu pihak berada di posisi atas dan sebaliknya pihak lain berada di
bawah atau dengan kata lain terkait dengan isu kekuasaan.
Peneliti etnografi dituntut untuk memahami secara mendalam
konteks yang diteliti tanpa membawa pra konsep atau praduga atau teori
yang dimilikinya.41 Terkait hal tersebut, peneliti menyadari sepenuhnya
bahwa setting sosial yang memuat latar dan konteks di lokasi penelitian
menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk
untuk mencari informasi dan data langsung ke lokasi.
39
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Dezin Guba dan Penerapannya, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2001, hlm. 152
40
Terdapat dua tipe etnografi yang paling populer digunakan, yaitu 1). Etnografi realis atau realist
etnography yang umum digunakan ranah antropologi budaya, dimana peneliti menarasikan dalam
sudut pandang orang ketiga secara objektif, tanpa terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan politik,
2) etnografi kritis atau critical etnography yang menggunakan perspektif kritis untuk merespon
keadaan terkini masyarakat dimana sistem kekuasaan, keistimewaan, kehormatan,dan wewenang
membuat orang termajinalisasi dalam kelas, ras dan gender. Peneliti etnografi kritis mempelajari
berbagai isu-isu terkait kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksamaan, ketidakseimbangan, dominasi,
represi, hegemoni, dan pengorbanan. Dari John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Reserch
Design : Choosing Among Five Approaches-2nd edition, California, Sage Publication,2007, hlm
69-70
41
Agus Salim,2001, Op. cit, hlm.156
27
Langkah awal, peneliti melakukan pengamatan atau observasi awal
dengan langsung ke lokasi penelitian. Peneliti secara khusus mengunjungi
dan melihat seluruh dusun yang tergabung dalam wilayah Desa Wiroko,
hingga akhirnya peneliti mengetahui informasi penting tentang dusundusun yang menjadi pusat industri genteng press. Dalam pengamatan awal
tersebut peneliti juga dapat melihat langsung aktivitas sehari-hari di
industri genteng press, yang memang terlihat dari jalan yang dilewati
seperti kegiatan menjemur genteng, riuhnya bunyi alat cetak genteng
dalam proses pencetakan dan kencangnya bunyi mesin molen berbahan
bakar diesel yang sedang mengolah tanah. Beberapa kali peneliti
melakukan pengamatan awal tersebut, dari mulai pagi hingga sore hari.
Dalam pengamatan awal tersebut, peneliti masih belum tinggal langsung
disana melainkan hanya beberapa jam dan dalam beberapa hari saja.
Meskipun singkat namun dalam benak peneliti telah memiliki gambaran
nyata dari realitas yang memang benar-benar terjadi disana. Proses
tersebut peneliti lakukan pada bulan September 2014.
Hasil pengamatan awal cukup membantu peneliti dalam sedikit
memberi gambaran dan suasana sebenarnya di lokasi penelitian. Namun
peneliti menyadari bahwa hal tersebut belumlah cukup untuk penelitian ini
sehingga perlu melakukan pengamatan atau observasi terlibat, khususnya
terlibat secara aktif. Oleh karena itu, penelitipun bermaksud untuk dapat
tinggal sementara disana agar dapat berinteraksi langsung dan merasakan
sendiri bagaimana keseharian kehidupan masyarakatnya. Dan sebelum
28
melakukan proses tersebut maka peneliti perlu memenuhi sejumlah
persyaratan terkait perijinan. Proses pemenuhan ijin tersebut yang
bertahap-tahap memang pada awalnya menjadi hambatan peneliti,
mengingat kurangnya informasi tersebut dan ketidaktahuan peneliti.
Tetapi, pada akhirnya peneliti berhasil memperoleh ijin penelitian dan
tinggal di lokasi penelitian mulai pertengahan bulan Oktober hingga
pertengahan November 2014.
Dengan berbekal surat ijin penelitian maka peneliti pun secara
terbuka mengutarakan maksud dan tujuan penelitian ini pada para pejabat
desa setempat, termasuk kepada kepala Desa Wiroko. Niat peneliti pun
akhirnya disambut baik dengan pemberian ijin dan penerimaan terhadap
peneliti untuk tinggal disana selama beberapa waktu. Tidak hanya itu,
kepala Desa Wiroko juga sangat membantu peneliti dalam memberikan
informasi secara umum terkait kondisi desa dan khususnya terkait industri
genteng press disana. Lebih dari itu, kepala Desa Wiroko yang kebetulan
masih memiliki ikatan hubungan keluarga dengan peneliti, bertindak
sebagai perantara42 untuk menghubungkan peneliti pada salah seorang
informan yang sangat penting dalam penelitian ini. Hanya saja peneliti
mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh data informan tersebut
terkait kesibukan pekerjaanya sehingga ia jarang bersedia melayani orangorang yang bermaksud melakukan penelitian seperti peneliti. Oleh karena
itu, bagi peneliti yang awalnya sulit untuk memiliki akses untuk bertemu
42
Perantara atau middleman ialah orang yang tahu akan kebutuhan peneliti yang sekaligus dapat
mengantarkan peneliti menghubungi sejumlah informan yang penting. Dalam Y. Slamet, Metode
Penelitian Sosial, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2006, hlm. 88
29
dan memperoleh data dari informan penting tersebut dapat menyiasatinya
dengan bantuan kepala desa.
Secara umum peneliti tidak menemui kesulitan yang berarti dalam
penelitian ini, selain sulitnya akses menjangkau seorang informan penting
karena merupakan pengusaha yang memiliki industri genteng press
terbesar disana. Dalam hal pemilihan dan proses perolehan data dari
informan pun cukup mudah dilakukan oleh peneliti. Hal ini disebabkan
para pengusaha dan buruh disana umumnya sudah terbiasa menghadapi
orang-orang yang melakukan penelitian sehingga mereka pun tidak
menaruh curiga berle bihan pada peneliti dan mau memberikan informasi
dan data pada peneliti. Selain itu, bantuan dari kepala desa dan yang
kebetulan masih memiliki hubungan keluarga atau saudara sangat
membantu peneliti dalam memberi akses ke informan lainnya. Hal tersebut
berkaitan dengan masyarakatnya yang mengenal rasa tidak enak dan
sungkan atau dalam bahasa setempat pekewuh jika tidak membantu
peneliti, karena hal tersebut berkaitan dengan seorang tokoh ternama desa
seperti kepala desa. Upaya inilah yang turut membuat para informan
dengan mudah bersedia memberikan informasi yang peneliti perlukan.
Beberapa teknik seperti pengamatan atau observasi terlibat,
wawancara mendalam dan dokumentasi (rekaman suara dan gambargambar) digunakan dalam rangka memperoleh data. Pengamatan terlibat
adalah yang utama dalam penelitian ini sehingga penelitipun melakukan
proses tersebut dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini, peneliti hampir
30
setiap hari, dari pagi sekitar pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore hari selama
disana berkunjung ke suatu industri genteng press yang memang banyak
terdapat disana. Awalnya peneliti banyak berkunjung ke berbagai tempat,
namun setelah beberapa hari peneliti hanya rutin mengunjungi beberapa
tempat yang dijadikan informan dalam penelitian ini yakni sebanyak 4
perusahaan saja. Disana peneliti berinteraksi langsung, bercengkrama
dengan pengusaha maupun buruh dan mencoba membangun keakraban
dengan mereka. Penelitipun terkadang harus menjawab pertanyaanpertanyaan normatif dari mereka yang disana seperti nama, asal, keperluan
dan selama disana bertempat tinggal dimana, hingga pertanyaan yang
menggelitik bagi peneliti seperti mengapa peneliti berani hanya sendiri,
berjalan kaki dan berkeliling ke berbagai tempat melihat industri genteng
press. Di sela-sela interaksi itupun peneliti mencoba mencari celah untuk
mengajukan pertanyaan agar memperoleh data penelitian.
Selain di rumah pengusaha yang sekaligus tempat produksi atau
tempat produksi, peneliti juga berkunjung ke rumah para buruh yang
berasal dari dalam maupun dari luar wilayah Desa Wiroko. Kunjungan ke
rumah buruh ini terutama dilakukan peneliti pada buruh yang bekerja di
industri genteng milik seorang informan yang penting, karena peraturan
dan kedisiplinan kerja disana begitu diperhatikan dan diperhitungkan
dalam penentuan upah pekerja. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh
data, maka peneliti menunggu buruh yang bekerja tersebut hingga pulang
di sore hari dan melakukan wawancara di rumah buruh tersebut.
31
Secara umum peneliti tidak mengalami kesulitan besar dalam
proses pengumpulan data ini karena peneliti dapat mengerti bahasa yang
mereka gunakan. Hanya beberapa istilah lokal setempat yang khusus, yang
kurang dimengerti peneliti, namun setelah itu ditanyakan kembali, mereka
bersedia menjelaskan lebih lanjut. Istilah-istilah tersebut seperti misalnya
rit atau engkel (satuan ukuran yang besarnya 1 unit bak truk dengan ban
belakang tunggal), njeglok (aktivitas dalam proses pencetakan genteng).
Berbagai keterangan dan penjelasan para informan terkait data tersebut
ditulis penulis dalam buku kecil sebagai catatan lapangan. Catatan tersebut
juga berisikan apa-apa saja yang dilihat peneliti disana, terutama hal-hal
unik dan menarik yang berhasil ditemukan peneliti
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wiroko, Kecamatan
Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih
karena desa tersebut menjadi sentra industri genteng press yang cukup
besar dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tersebut, terutama
menjadi pengusaha dan buruh.
3. Jenis dan Sumber Data
Kebutuhan, jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini, meliputi :
a)
Data Primer
Data primer dalam penelitian ini berasal dari informan
yakni pengusaha dan buruh, baik dalam bentuk hasil wawancara,
32
observasi atau pengamatan serta foto atau gambar yang
menunjukkan bagaimana kondisi, suasana, kegiatan yang mereka
lakukan. Untuk data yang terkait dengan hasil pengamatan atau
observasi terlibat dilakukan peneliti terhadap pengusaha dan buruh,
kegiatan yang mereka lakukan, waktu dan tempat berlangsungnya
kegiatan tersebut. Dalam hal ini juga termasuk pula melihat
bagaimana suasana atau setting sosial disana, tingkah laku mereka
dalam berbagai kesempatan, misalnya suasana di pagi hari saat
awal memulai pekerjaan, dan apa yang dilakukan pengusaha dan
buruh saat itu.
Data hasil observasi atau pengamatan terlibat tersebut
dicatat dalam buku kecil yang menjadi catatan lapangan. Catatan
tersebut memuat semua hal yang dilihat peneliti terkait suasana,
tingkah laku disana, juga ungkapan dan temuan menarik dari
informan tentang kegiatan atau kerja yang mereka lakukan.
Terkadang juga berisi ungkapan isi hati dan nilai atau pandangan
mereka terkait “kerja”, seperti kerja (di industri genteng press)
yang mereka anggap tidak dapat mereka lakukan secara “tetap”
seperti di pabrik karena suatu ketika terdapat kebutuhan sosial
seperti hajatan atau kerja bakti yang lebih mereka utamakan dengan
mengorbankan waktu masuk kerja baik telat maupun sampai tidak
masuk kerja. Selain itu, dalam rangka memperoleh hasil observasi
tersebut, peneliti juga mengambil gambar atau foto dari berbagai
33
situasi, suasana yang sedang berlangsung dan kegiatan, tempattempat yang mereka gunakan untuk bekerja maupun beristirahat.
Sementara itu, data terkait wawancara mendalam meliputi
catatan penting hasil wawancara, rekaman dan transkrip hasil
wawancara yang berpedoman pada interview guide atau pedoman
wawancara yang telah dibuat peneliti. Data tersebut berisi jawaban
atas berbagai pertanyaan yang diharapkan mampu menguak relasi
sosial dalam hubungan kerja buruh dan pengusaha seperti sejarah
pengusaha dalam medirikan usaha dan bagi buruh adanya
pertanyaan terkait sejarah awal mula ia bisa menjadi buruh di suatu
industri genteng press, tentang perekrutan buruh dan tentang sistem
pengupahan.
b) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai data
yang dapat membantu penelitian ini, terutama dalam hal terkait
lokasi dan setting sosial penelitian. Data tersebut merupakan data
yang sudah diolah pihak lain dan bukan berasal dari para informan,
berasal dari berbagai pihak seperti dari intansi pemerintah daerah,
kantor Desa Wiroko, dan Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi Kabupaten Wonogiri. Data-data tersebut meliputi data
laporan kependudukan Desa Wiroko dan data kelompok industri
kecil potensial di Kabupaten Wonogiri. Kedua data tersebut
34
digunakan peneliti
sebagai salah satu bahan untuk membantu
menggambarkan terkait lokasi dan setting sosial penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Terkait dengan teknik pengumpulan data maka penelitian ini
memperhatikan subjek dan objek yang ada di dalamnya. Subjek dalam
konsep penelitian merujuk pada informan yang hendak diminati atau digali
datanya, sedangkan objek merujuk pada masalah atau tema yang sedang
diteliti.43 Subjek dalam penelitian ini adalah para pengusaha dan buruh di
sentra industri genteng press, Desa Wiroko. Subjek penelitian atau
informan tersebut dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang dapat
memperkuat alasan pemilihannya dan kerap disebut dengan teknik
purposive. Sementara itu, objek penelitian ini adalah hubungan kerja
antara pengusaha dan buruh khususnya pada relasi sosial yang terjalin di
dalamnya.
Penelitian ini berupaya untuk melihat hubungan kerja dan
kemudian pola relasi sosial yang terjalin antara pengusaha dan buruh. Oleh
sebab itu, beberapa informan yang diperlukan dalam hal ini dipilih
berdasarkan kriteria tertentu, yakni memilih perusahaan atau industri
genteng press berdasarkan skala usaha atau industrinya (dengan dasar
jumlah tenaga kerja) dan kondisi usaha. Untuk kriteria skala usaha
menggunakan dasar jumlah tenaga kerja berdasarkan kategori Badan Pusat
Statistik (BPS) yang terdiri dari a). Industri rumah tangga dengan jumlah
43
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
Erlangga, Jakarta, 2009, hlm.91
35
pekerja 1-4 orang, b). Industri kecil dengan pekerja 5-19 orang, c). Industri
menengah dengan pekerja 20-99 orang, dan d). Industri besar dengan
pekerja 100 orang atau lebih.44 Sementara itu, kriteria kondisi usaha yang
dimaksud ialah kondisi usaha yang stabil, berkembang naik dan menurun,
berdasarkan sejarah dan perkembangan usaha.
Berhubung penelitian ini memfokuskan hubungan kerja dan relasi
sosial pengusaha dan buruh, maka para informan merupakan para
pengusaha dan buruh yang bekerja disana. Sebanyak 4 unit usaha/industri
genteng press, yang terdiri dari 4 orang pengusaha dan 7 orang buruh
menjadi informan dalam penelitian ini. Berikut ini (lihat tabel 1 dan 2)
identitas masing-masing informan tersebut.
Tabel 1
Identitas Pengusaha
Pengusaha
Umur
(th)
60
Pendidikan
Edi
Jenis
Kelamin
L
SD
Th. Mulai
Usaha
1988
Skala
Usaha
Menengah
Kondisi
Usaha
Stabil
Bambang
L
56
SMP
1994
Kecil
Meningkat
Agus
L
65
SLTA
1992
Menurun
L
45
SMP
1997
Rumah
Tangga
Rumah
Tangga
Didit
Meningkat
Sumber: data primer peneliti, 2014
44
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan, UPP STIM
YKPN, Yogyakarta, 2006, hlm: 73
36
Tabel 2
Identitas Buruh
Buruh
Rudi
Budi
Dibyo
Utami
Jenis
Kelamin
L
L
L
P
Umur
(th)
35
30
36
40
SMP
SMP
SMP
SMP
Th. Mulai
Kerja
1999
2009
1992
1997
Retno
P
58
SMP
2005
SD
SMP
1997
2005
Rusman
L
47
Dewo
L
28
Sumber: data primer peneliti, 2014
Pendidikan
Status Kerja
Buruh Harian
Buruh Borongan
Buruh Harian
Buruh tidak dibayar/
keluarga
Buruh tidak dibayar/
keluarga
Buruh lepas paruh waktu
Buruh lepas
Sementara itu, para informan dalam penelitian ini akan digali
informasinya menggunakan berbagai teknik pengumpulan data yang telah
dipilih oleh peneliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini, meliputi :
a) Observasi atau Pengamatan Terlibat
Pengamatan terlibat dipilih karena dengan teknik ini peneliti
dapat benar-benar mengetahui dan bahkan memahami bagaimana
relasi sosial dan hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan
buruh. Terlebih penelitian etnografi pun menempatkan pengamatan
terlibat
sebagai
metode
utama
dalam
pengumpulan
data.
Pengamatan terlibat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis keterlibatan aktif, yakni peneliti ikut mengerjakan apa yang
dikerjakan pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.45
45
Agus Salim, op. cit, hlm.160
37
Peneliti melaksanakan pengamatan terlibat ini disertai upaya
untuk membaur dengan para informan. Untuk itu, agar kehadiran
peneliti
dapat
diterima
maka
peneliti
tidak
lupa
untuk
memperkenalkan diri dan memberi tahu maksud dan tujuan
peneliti. Upaya tersebut membuat peneliti dapat diterima untuk ikut
mengerjakan
aktivitas
kerja
keseharian
mereka
hingga
mendapatkan data yang dibutuhkan. Data-data tersebut seperti
siapa saja pihak yang terlibat dalam proses produksi, kegiatan apa
saja yang dilakukan buruh, apa peran pengusaha dalam proses
produksi, bagaimana proses pengupahan dan terkait suasana, waktu
dan tempat berlangsungnya tiap peristiwa tersebut.
Dengan pengamatan terlibat selama beberapa waktu ini,
peneliti juga berusaha untuk dapat merasakan apa yang dirasakan
informan dengan turut serta dalam beberapa aktivitas kerja.
Meskipun pekerjaan tersebut hanya pekerjaan yang sifatnya ringan.
Pekerjaan yang coba dilakukan seperti mengangkat alas cetak dari
kayu, memindahkan genteng untuk
dijemur di
luar dan
memindahkan kayu sambil menunggu dalam proses pembakaran.
Peneliti tidak diijinkan untuk membantu melakukan kegiatan lain
terutama dalam proses pencetakan karena proses tersebut memang
memerlukan keterampilan khusus dan rawan akan terjadi
kerusakan. Sedangkan peneliti tidak memiliki keterampilan
tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan peneliti
38
dalam melakukan pengamatan terlibat. Meskipun begitu, dalam
pengamatan terlibat ini peneliti sempat mendapatkan kesempatan
berinteraksi langsung dengan cukup dekat dengan pengusaha dan
buruh di waktu istirahat. Dalam kesempatan tersebut bahkan
peneliti ikut merasakan dan menikmati makanan dan minuman
yang disediakan untuk buruh.
Dalam berbagai kesempatan, peneliti juga melakukan
observasi atau pengamatan dan wawancara langsung ke rumah
buruh, terutama pada kasus perusahaan atau industri genteng press
tertentu yang peraturan dan jam kerjanya diawasi secara ketat.
Sementara itu, selama menjalani proses pengamatan terlibat
tersebut secara keseluruhan tidak ada masalah yang berarti dihadapi
peneliti. Para informan umumnya bersedia menerima keberadaan
peneliti untuk dapat masuk di lingkungannya dan berinteraksi pada
peneliti. Beberapa informan bahkan ada yang bercerita atau
mencurahkan isi hatinya tentang masalah pribadi pada peneliti.
b) Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam menjadi salah satu teknik yang
dipakai dalam pengumpulan data yang dilakukan terhadap para
informan baik pengusaha maupun buruh. Wawancara tersebut
dilakukan secara tidak struktur yakni pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan peneliti pada informan secara tidak runtut atau urut
melainkan berkembang mengikuti apa yang diungkapkan informan.
39
Hal ini dimaksudkan agar peneliti juga mampu mengorek data yang
menarik dari informan yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh
peneliti. Meskipun wawancara ini tidak terstruktur namun tetap
memiliki fokus yang dituangkan dalam interview guide. Beberapa
hal terkait fokus penelitian ini antara lain, bagaimana sejarah usaha
bagi pengusaha dan sejarah dapat bekerja di suatu indutri genteng
press bagi buruh, bagaimana cara perekrutan dan pengupahan
buruh, bagaimana keterlibatan pengusaha dan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan buruh di tempat kerja.
Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap 4 orang
pengusaha dan 7 orang buruh. Wawancara dilakukan secara tidak
terstruktur tetapi tidak terlepas dari konteks atau fokus penelitian
ini. Saat informan mengungkap hal–hal menarik maka peneliti
dapat menggalinya secara mendalam. Wawancara ini juga
dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh cukup data terkait
fokus penelitian. Selain itu, jenis wawancara tersebut dimaksudkan
agar peneliti mampu mengerti dan memahami apa yang
diungkapkan, dirasakan oleh informan. Karena dalam suatu
wawancara dimungkinkan
terkadang informan mengungkapkan
istilah-istilah asing bagi peneliti. Adanya istilah tersebut membuat
peneliti pada akhirnya mengerti suatu pengetahuan baru pula,
misalnya suatu sistem pengupahan pada salah satu industri genteng
press
yang
disebut
totalan
yang
merupakan
mekanisme
40
perhitungan dan pemberian upah keseluruhan tiap setahun sekali.
Karena wawancara ini dilakukan secara
mendalam maka
memungkinkan informan menjelaskan istilah tersebut secara detail
bahkan dalam hal ini hingga memberikan contoh agar peneliti
mengerti apa yang ia maksud.
Secara keseluruhan dapat dikatakan peneliti tidak mengalami
kendala berarti dalam melakukan wawancara mendalam ini.
Namun, bukan berarti sama sekali peneliti tidak menemukan
kesulitan. Salah satu kesulitan yang dialami peneliti dalam hal ini
adalah jika menemui informan penting namun kurang bersedia
untuk diwawancarai karena kesibukan kerja yang padat dan
memang kurang memiliki antusias untuk hal tersebut. Menghadapi
hal tersebut, peneliti menyiasatinya dengan meminta bantuan
perantara yang kebetulan merupakan tokoh ternama disana yakni
kepala desa untuk menghubungkan peneliti dengan informan
tersebut. Kesulitan lain yang sempat dirasakan peneliti adalah
pernah mendapatkan penolakan dari informan untuk diwawancarai
sehingga peneliti mencari dan menghubungi informan lain yang
bersedia sebagai gantinya. Terkait adanya kesulitan dengan
informan yakni buruh yang bekerja di industri genteng press
dengan peraturan kerja yang ketat maka wawancara dilakukan saat
istirahat ataupun saat sore ketika buruh sudah pulang kerja dan
berada di rumah.
41
c) Dokumentasi
Dokumentasi yang berupa foto-foto ataupun rekaman
wawancara digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data.
Dalam hal ini peneliti terbantu dengan adanya alat perekam
(recorder) dan kamera untuk mendokumentasikan data. Dalam tiap
kesempatan pengamatan terlibat ataupun wawancara mendalam
maka peneliti tidak lupa membawa kedua alat tersebut. Foto-foto
atau gambar yang diambil oleh peneliti sangatlah beragam, seperti
informan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan informan, tempat
tinggal, tempat kerja dan produk genteng press yang dihasilkan.
5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini berpedoman pada alur
penelitian maju bertahap atau The Development Research Sequence (DRS)
dari Spradley. Berbagai tahap yang dimaksudkan Spradley tersebut
meliputi : 1) Menetapkan informan, 2) Mewawancarai informan, 3).
Membuat catatan etnografis, 4). Mengajukan pertanyaan deskriptif, 5).
Melakukan analisis wawancara, 6). Membuat analisis domain, 7).
Mengajukan pertanyaan struktural, 8). Membuat analisis taksonomik, 9).
Mengajukan pertanyaan kontras, 10). Membuat analisis komponen, 11).
Menemukan tema-tema budaya, dan 12). Menulis suatu etnografi.46
Tahap-tahap tersebut diaplikasikan pula dalam penelitian ini menjadi
46
James P. Spradley, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm. 63-31
42
langkah-langkah peneliti dalam melakukan penelitian, termasuk dalam hal
analisis.
Dalam analisis etnografi terdapat suatu alur yang khas dan
membedakannya dengan penelitian pada umumnya. Perbedaan yang
dimaksud adalah dalam hal urutan aktivitasnya dari pemilihan masalah
sampai laporan dilakukan dalam waktu yang sama.47 Untuk itu, pada
pemilihan masalah, peneliti dalam memperhatikan pada tujuan yang ingin
dicapai yakni mampu mengungkap praktek budaya atau nilai-nilai suatu
kelompok masyarakat, yakni pengusaha dan buruh yang terkait hubungan
kerja di sentra industri genteng press wiroko. Selanjutnya, yang dilakukan
peneliti adalah mengumpulkan data kebudayaan atau dalam konteks ini
data terkait dengan pengusaha dan buruh di Wiroko. Dalam upaya
pengumpulan data tersebut, peneliti menggunakan beberapa teknik seperti
pengamatan terlibat, wawancara mendalam serta dokumentasi agar benarbenar dapat mengumpulkan data secara maksimal.
Setelah data berhasil dikumpulkan baik dari hasil pengamatan
terlibat, wawancara mendalam dan dokumentasi, peneliti kemudian
langsung menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, peneliti membaca,
memeriksa ulang data yang berhasil dikumpulkan hingga dapat
menemukan simbol-simbol, atribut, istilah kebudayaan yang diungkapkan
informan melalui bahasa asli atau lokal. Selain itu, dalam proses ini,
peneliti juga menemukan beberapa nilai-nilai khas yang diyakini oleh para
47
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif,
Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm. 140
43
informan. Disamping itu, dalam tahap ini peneliti juga melihat lebih lanjut
secara seksama hingga memungkinkan ditemukannya hubungan atau
keterkaitan antara simbol-simbol atau nilai-nilai kebudayaan pengusaha
dan buruh di Wiroko.
Proses analisis dalam penelitian etnografi ini memang cukup
lengkap dan memadai. Hal ini disebabkan beragamnya jenis atau macam
analisis yang digunakan dalam etnografi. Setidaknya terdapat empat jenis
atau macam analisis yang digunakan dalam etongrafi, antara lain analisis
domain (merujuk pada pencarian unit dan hubungannya dalam skala yang
lebih besar), analisis taksonomi (bertujuan untuk mengidentifikasi unitunit yang lebih kecil di dalam domain/unit yang lebih besar dalam suatu
kebudayaan), analisis komponen (untuk mencari atribut-atribut
yang
membedakan simbol-simbol dari suatu domain) dan analisis tema
(bermaksud mencari hubungan diantara domain dan bagaimana domaindomain yang ada dihubungkan dengan budaya secara keseluruhan).48
Setelah melakukan analisis secara rinci dan bertahap-tahap maka
berlanjut pada tahap formulasi masalah penelitian etnografi. Dalam hal ini
masalah penelitian etnografi yang dimaksud merupakan suatu pernyataan
yang dibangun berdasarkan data-data yang sudah melewati proses analisis.
Selanjutnya, pernyataan penelitian yang telah dibangun tersebut segera
ditulis dalam bentuk laporan etnografi. Dalam tahap penulisan laporan
etnografi ini, peneliti tetap berpedoman pada masalah atau pernyataan
48
Ibid, hlm. 142
44
yang telah dibangun, sembari kembali melakukan analisis terhadap data
yang sudah terkumpul. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada temuan
penelitian yang terlewat serta berupaya agar analisis penelitian lebih tajam,
terutama dalam menunjukkan terkait simbol dan nilai-nilai khas yang
berhasil ditemukan dalam penelitian ini.
45
Download