Kesehatan memiliki nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehat bukan hanya sebagai kondisi bebas dari penyakit atau kelemahan tetapi juga sebagai suatu kondisi fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang komplit. Sehat jasmani merupakan komponen yang penting dalam arti sehat yang sesungguhnya, yaitu tidak terdapat penyakit pada dirinya, selera makan baik, dapat tidur nyenyak, dan seluruh fungsi fisiologis tubuh berjalan dengan normal (Paramita, 2012). Kondisi kejiwaan pasien mempengaruhi kesembuhan dan mengurangi keluhan fisik yang dirasakan (Hatchett & Bellar, 2012). Sejalan dengan kenyataan yang ada, akan dilakukan penelitian yang akan mengangkat dampak psikologis yang dialami oleh pasien kanker serviks. Dampak psikologis yang dialami oleh pasien kanker serviks dapat berupa distres psikososial terhadap diagnosis kanker yang dialaminya dan efek samping dari rangkaian terapi yang dijalaninya. Perubahan fisik dan psikologis yang dialami pasien akan memberikan pengaruh dalam perubahan status pekerjaan dan kehidupan sosial seperti peran sebagai istri dan sebagai ibu (Hatchett & Bellar, 2012, Knapp & Berkowitz, 2003). Pada pasien kanker serviks terjadi beberapa respons psikologis terhadap sakitnya yaitu menyangkal, marah, tawar menawar, depresi dan menerima (Kubler Ross, 1998). Kesulitan pasien untuk melalui tahapan sampai dengan tahap menerima keadaan sakitnya akan menyebabkan distres psikologis yang berkepanjangan sehingga mengalami depresi dan tidak dapat kooperatif, baik dalam hal pengobatan maupun dalam menjaga kesehatan tubuh (Potter & Perry, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 16,2 % dari 117 pasien kanker yang menjalani kemoterapi mengalami depresi (Pandey, et.al., 2006). 2 Depresi dapat terjadi pada pasien kanker serviks karena munculnya rasa kehilangan, contohnya : seorang penderita kanker serviks akan merasa bahwa ia bukan lagi wanita sejati. Namun sejalan dengan meluasnya penyakit, maka depresi ini dapat juga diakibatkan oleh rasa perpisahan dengan dunia, misalnya: ketidakmampuan untuk bekerja, kesulitan ekonomi, dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas yang disenangi. Pasien kanker serviks merasa cemas, bingung, marah karena kehilangan fungsi reproduksi dan kesempatan memiliki keturunan, dan memiliki perasaan bersalah dan kekhawatiran yang besar karena aktivitas seksual jadi terganggu (Berek, 2005). Beberapa hal lain yang dapat memicu timbulnya depresi pada penderita kanker adalah obat -obatan, dan komplikasi terapi (Iconomou, et al, 2008). Oleh sebab itu penanganan depresi pada setiap penderita kanker tidak selalu sama (Otto, 2001). Para pasien juga seringkali mengkaitkan sakit mereka dengan rasa bersalah akan hal-hal di masa lalu serta kehilangan makna akan hidup mereka (Teodora, Ianovici, & Bancilla, 2012). Depresi pada pasien penyakit kronis akan mempengaruhi persepsi pasien terhadap prognosis penyakit mereka (Mc.Lachlan, 2011). Pasien penyakit kronis yang menderita depresi lebih sering merasakan dan melaporkan sakit yang mereka alami (Bair, Robinson, Klaton & Kroenke, 2003) mengalami penurunan kualitas hidup serta lebih banyak menjalani gaya hidup tidak sehat seperti merokok, dan lalai dalam menjalani pengobatan (Boylan et al, 2004, Mc. Lachlan, 2011). Depresi juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan penurunan kondisi kesehatan yang drastis pada pasien Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) dan memunculkan perasaan tidak berdaya, pesimis, sulit tidur, berkurangnya nafsu makan, sulit berkonsentrasi, dan menarik diri dari 3 lingkungan sosial pada pasien COPD dan Chronic Health Failure (Yohannes A. M, 2009). Depresi juga berperan signifikan dalam meningkatkan risiko kembalinya pasien CHF ke rumah sakit serta lamanya pasien dirawat di rumah sakit (Yohannes A. M, 2009). Salah satu hal yang paling banyak terjadi pada pasien penyakit kronis adalah penurunan tingkat aktivitas. Penurunan aktivitas pada pasien kanker tidak hanya berasosiasi dengan depresi (Yohannes A. M, 2009) tetapi juga dapat meningkatkan depresi (Thorsen et al, 2005). Sebaliknya, latihan fisik berkorelasi negatif dengan depresi pada pasien kanker (Courneya, Keats & Turner, 2000). Eratnya keterkaitan antara penyakit kanker serviks dengan depresi menunjukkan pentingnya peran psikolog dalam upaya mengatasi kondisi depresi agar pasien kanker serviks dapat menghadapi penyakitnya dengan lebih baik. Untuk mengatasi depresi, individu perlu menemukan coping yang tepat yaitu dengan menghentikan siklus depresi yang dialaminya. Behavioral Activation (BA) membantu menghentikan siklus depresi dan menemukan kekuatan-kekuatan yang ia miliki, yaitu dengan mengubah coping yang buruk dengan mengaktivasi kegiatan-kegiatan positif (Kanter, Manos, Busch, & Rusch, 2009; Kanter, Busch, & Rusch, 2009; Dimidjian, Barrera Jr, Martell, Munoz, & Lewinsohn, 2011). Menurut BA, depresi merupakan serangkaian penurunan perilaku, yang ditandai dengan beberapa gejala, seperti anhedonia, reaksi emosional yang disforik karena kehilangan, berkurangnya atau rendahnya reinforcement positif (Lewinsohn, 1974, Kanter et al, 2009). BA mendorong penjadwalan aktivitas untuk meningkatkan kehadiran reinforcement positif di lingkungan dan pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan keterampilan klien untuk meraih dan mempertahankan reinforcement positif (Kanter, Manos, 4 Bowe, Baruch, Busch, & Rusch, 2010; Hopko & Carvalho, 2009). Seseorang yang rentan depresi akan memiliki masalah yang dapat mengurangi kemampuannya untuk merasakan reinforcement positif dari lingkungan (Martell, Dimidjian, & Herman-Dunn, 2010; Hopko & Carvalho, 2009; Veale, 2008), dengan demikian teknik BA dapat digunakan untuk menurunkan dan mengatasi depresi. BA merupakan intervensi yang efektif untuk menangani depresi juga dapat digunakan pada gangguan depresi komorbid dengan kecemasan. Depresi dan kecemasan dipandang sebagai respon berupa afek negatif dari interaksi antara kerentanan psikologis dan stres lingkungan, yaitu berkurangnya penguatan positif dan meningkatnya pengalaman tidak menyenangkan (Hopko, Robertson & Lejuez, 2006). Tritmen BA pada pasien kanker yang mengalami depresi menunjukkan adanya kemajuan, berupa penurunan pada tingkat depresi, kecemasan somatik, gangguan kecemasan, nyeri tubuh, dan permasalahan kegiatan keseharian dan fungsi fisik yang lebih baik. Kemajuan tersebut dapat dipertahankan oleh pasien hingga pengukuran follow-up (Hopko, Robertson & Carvalho, 2009). Hopko, Magidson dan Lejuez (2011) menyebutkan bahwa depresi mayor merupakan gangguan yang biasa ditemukan pada pasien dengan kanker payudara, hasil penelitian menunjukkan bahwa BA merupakan intervensi yang memiliki efikasi dan efek yang kuat serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan kanker payudara. Penelitian-penelitian BA pada pasien dengan gangguan depresi mayor memiliki bukti yang kuat, kualitas yang sangat baik, dan efek yang kuat ( Spates, Pagoto & Kalata, 2006; Hopko et al, 2011). 5 Sementara itu, Veale (2008) menyebutkan bahwa BA adalah terapi untuk depresi berfokus pada penjadwalan kegiatan untuk mendorong pasien melakukan kegiatan yang dihindari dan menganalisis fungsi proses kognitif yang mendukung penghindaran (avoidance). BA juga memiliki keunggulan dari farmakoterapi menggunakan paroxitine karena memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah, lebih murah, dan tidak memiliki dampak seperti farmakoterapi (Sturmey, 2009). Model depresi dan teknik terapi yang dikembangkan Lewinsohn telah terbukti secara empiris dalam berbagai penelitian pada setting yang berbedabeda, seperti pendekatan group-behavior therapy pada warga Latin yang mengalami depresi (Comas-Diaz, 1981, dalam Kanter et al, 2010) dan terapi pada wanita depresi di kawasan menengah ke bawah (Padfield, 1976, dalam Kanter et al, 2010). Penelitian pun menunjukkan bahwa terapi BA memiliki efektivitas yang setara dengan keseluruhan paket CT (Cognitive therapy) setelah intervensi (Jacobson et al, 1996, dalam Manos et al, 2010) dan dapat mencegah kekambuhan dalam follow-up 2 tahun setelahnya (Gortner, Gollan, Dobson, & Jacobson, 1998, dalam Manos et al, 2010 & Hopko et al, 2003). Menurut Manos, Kanter dan Busch (2010) penurunan depresi yang dialami klien disebabkan oleh peningkatan reinforcement positif setelah melakukan aktivasi perilaku. Pada kasus penyakit kanker, BA juga terbukti efektif menurunkan depresi melalui dua fokus sasaran yaitu menurunnya perilaku menghindar dan meningkatnya perilaku penerimaan terhadap kondisi fisiknya (Hopko, et al, 2011). 6 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas BA untuk menurunkan tingkat depresi wanita dengan kanker serviks. Adapun hipotesisnya adalah teknik BA efektif menurunkan tingkat depresi pada wanita dengan kanker serviks. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan di bidang ilmu psikologi klinis pada umumnya dan memberikan sumbangan penelitian mengenai tenik BA yang dapat diterapkan oleh klinisi untuk membantu menurunkan tingkat depresi wanita dengan kanker serviks. METODE Variabel Penelitian Ada dua variabel dalam penelitain ini. Variabel pertama sebagai variabel bebas yaitu teknik BA, variabel kedua sebagai variabel terikat yaitu simtom depresi. Subjek Penelitian Pencarian subjek ini dilakukan selama kurang lebih sebulan. Dari hasil skrining awal ini mendapatkan subjek sebanyak 3 orang yang memenuhi kriteria. Namun dalam perjalanan 2 pasien mengundurkan diri dengan alasan kesibukan. Dengan demikian subjek dalam penelitian yang dapat mengikuti intervensi sampai selesai sejumlah 1 orang. Subjek dalam penelitian ini bernama ibu YU mengidap kanker serviks stadium 1b. Subjek berusia 46 tahun, telah menikah dan memiliki 3 orang anak. Subjek mengalami depresi sedang berdasarkan skala BDI-II dan subjek telah mendapatkan terapi medis yaitu operasi dan kemoterapi sebanyak 4 kali. Kriteria terakhir yang telah dipenuhi subjek adalah bersedia mengitu seluruh proses penelitian hingga selesai. 7