Full Edition

advertisement
Editorial
PERKEMBANGAN DERMATOLOGI PEDIATRIK
Dermatologi pediatrik dewasa ini berkembang
mengalami banyak kemajuan dalam hal etiopatogenesis
dan pemeriksaan baik genetika maupun biomolekular,
sehingga diagnosis dapat dibangun akurat dan cepat.
Diagnosis akurat penyakit kulit pada bayi dan anak
membutuhkan anamnesis menyeluruh, pengamatan serta
evaluasi seksama mulai dari riwayat hamil, lahir, dan
penyakit pada keluarga. Manifestasi penyakit kulit yang
sama pada bayi dan anak klinis dapat berbeda dari remaja
dan dewasa. Penguasaan etiopatogenesis, dapat
menghasilkan terapi dan prognosis lebih tepat. Rejimen
dan dosis terapeutik anak berbeda dengan dewasa,
demikian juga risiko toksisitas. Dermatologi pediatrik
merupakan tantangan tersendiri dalam hal diagnosis serta
manajemen, pada beberapa kasus memerlukan kerjasama
baik dengan dokter anak.
Genodermatosis adalah penyakit diturunkan berkaitan
dengan struktur dan fungsi kulit, dengan morbiditas
jangka panjang dan risiko mortalitas bermakna.
Penguasaan genetik dan pemahaman mekanisme dasar
patogenesis berkembang, sehingga klasifikasi kelainan
genetik ikut berubah. Klasifikasi berdasarkan fenotip
diganti dengan pengelompokan berdasarkan jalur
patogenesis yang sama, seperti pada kelainan RA
Sopathies. RA Sopathies adalah kelompok sindrom
kelainan genetik mempengaruhi Ras-mitogen activated
protein kinase pathway dan berfungsi mengontrol
tumorigenesis dan pertumbuhan sel. Penelitian dilakukan
untuk pengobatan kemoterapi baru dengan target
Raspathway. Kelainan genetik lain berupa kelainan kulit
mosaik terjadi akibat mutasi postzygotic, saat dan lokasi
mutasi menentukan gambaran klinis fenotip. Mutasi
spesifik untuk beberapa kelainan kulit mosaik telah
diketahui seperti K1 dan K10 untuk epidermal nevus
dengan epidermolitik hiperkeratosis. Saat ini baru
ditemukan beberapa mutasi genetik kelainan mosaik lain
seperti nevus epidermal, nevus sebasea, dan sindrom
proteus. Pemeriksaan genetik
antenatal menunjang
diagnosis prenatal serta pilihan terapi lebih cepat.
Diagnostik prenatal memungkinkan konseling genetik
berkembang pesat di negara maju, dapat dikembangkan di
negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia.
Berbagai kelainan tumor vaskular ataupun
malformasi, salah satu mengenai hemangioma infantil
(HI), port wine stain dan Sturge Weber syndrome.Temuan
baru di bidang dermatologi pediatrik berkaitan dengan HI,
yaitu jenis atipikal HI serta pengobatan menggunakan
propanolol. Fase pertumbuhan HI saat ini diketahui paling
cepat terjadi antara 5,5-7,5 pekan, lebih cepat dari
perkiraan sebelumnya. Minimal atau abortive-growthhemangioma (MAG) adalah tumor vaskular glucose-1
transportere positive konsisten dengan HI. Tumor ini
muncul saat lahir, kisaran 70% tidak berproliferasi serta
lokasi di ekstremitas inferior, bokong, lipat paha, tidak
seperti tipikal HI. Betabloker oral mungkin dapat
digunakan setelah fase proliferasi dan dipertimbangkan
penggunaan sebelum prosedur laser atau bedah untuk
alasan kosmetik. Propanolol oral merupakan modalitas
sangat efektif untuk pengobatan HI ulserasif atau ada
keterlibatan jalan napas dan organ dalam. Penelitian
retrospektif propanolol sebagai pengobatan HI
membuktikan hasil lebih superior daripada kortikosteoid
sistemik demikian juga efek samping.Topikal betabloker
yaitu timolol dapat diberikan untuk HI superfisial ukuran
kecil dan tidak memerlukan terapi sistemik. Pada artikel
ini timolol dibandingkan dengan kortikosteroid topikal
ultrapoten dalam pengobatan HI superfisial, serta
mengenai vaskular malformasi.
Kelainan ulkus pada genital anak atau remaja sering
merupakan indikator aktivitas pelecehan seksual ataupun
penyakit menular seksual akibat aktivitas seksual tanpa
paksaan. Saat ini makin dikenal ulkus genital akut pada
populasi gadis remaja yang merupakan kondisi reaktif
dari kejadian nonseksual, yaitu Lipschutz ulcer. Epstein
Barr virus, gastroenteritis akibat virus atau infeksi saluran
napas bagian atas adalah penyakit paling sering
mendahului ulkus timbul. Kelainan kondiloma
akuminatum anak pada artikel ini, membahas penyakit ini
tidak hanya ditransmisi melalui hubungan seksual, tetapi
sangat mungkin melalui cara non-seksual dari carrier.
Transmisi dapat berasal dari perinatal serta ascending
infection. Kisaran 75% kondiloma akuminata anak atau
dewasa dengan sistem imun baik dapat sembuh spontan
dalam beberapa bulan atau tahun. Kondiloma akuminatum
tanpa keluhan pada anak, sebaiknya tidak diintervensi,
kecuali lesi lebih dari 2 tahun karena tidak mengalami
resolusi spontan. Hingga saat ini belum ada pengobatan
kondiloma akuminatum yang disetujui FDA untuk usia
kurang dari 12 tahun, karena penelitian pada pasien anak
kurang.
Artikel ini lebih menitikberatkan kelainan kulit
pediatrik. Pandangan dan diskusi mengenai kelainan
vaskular, pemeriksaan penyakit genetik, maupun
kondiloma akuminatum pada anak serta modalitas
beberapa penyakit seperti penggunaan beta bloker pada
hemangioma infantil,
diharapkan memperkaya
pengetahuan dermatologi pediatrik.
Theresia L Toruan
Departemen IK Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sriwijaya
Palembang
1
Artikel Asli
EVALUASI TERAPI KORTIKOSTEROID TOPIKAL ULTRAPOTEN DAN
SOLUSIO TIMOLOL MALEAT 0,5% TERHADAP UKURAN HEMANGIOMA
INFANTIL SUPERFISIAL
Lukman Ariwibowo, Sunardi Radiono, Retno Danarti
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ABSTRAK
Hemangioma infantil (HI) adalah tumor vaskular jinak yang sampai saat ini patofisiologinya belum
jelas. Hingga saat ini, terapi topikal lini pertama untuk kelainan ini adalah menggunakan kortikosteroid
ultrapoten. Namun demikian, karena efek samping penggunaan kortikosteroid dan responnya yang kadang
gagal, diperlukan alternatif terapi topikal lain yang aman dan lebih cepat menunjukkan perbaikan lesi. Solusio
timolol maleat 0,5% adalah penghambat reseptor ß non selektif, yang dapat menghambat proliferasi dan
memicu regresi HI. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi kortikosteroid topikal ultrapoten dan
solusio timolol maleat 0,5% terhadap ukuran lesi HI superfisial. Desain penelitian ini adalah kohort
retrospektif, melibatkan 59 rekam medis dan foto dokumentasi pasien HI superfisial yang diterapi dengan
kortikosteroid ultrapoten (klobetasol propionat 0,05% atau betametason dipropionat 0,05%) atau solusio
timolol maleat 0,5% dalam kurun waktu 2009-2014 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Terdapat perbedaan
bermakna (p<0,001) pada perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang HI di antara kedua kelompok.
Perbandingan selisih luas antara kedua kelompok juga didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001).
Dapat disimpulkan bahwa solusio timolol maleat 0,5% lebih baik dibandingkan dengan kortikosteroid topikal
ultrapoten dalam hal pengurangan ukuran lesi HI superfisial.
Kata kunci: Hemangioma infantil superfisial, kortikosteroid ultrapoten, solusio timolol, maleat 0,5%
EVALUATION OF TOPICAL ULTRAPOTENT CORTICOSTEROID THERAPY
AND TIMOLOL MALEATE SOLUTION 0.5% TOWARD SUPERFICIAL
INFANTILE
HEMANGIOMA SIZE
ABSTRACT
Infantile hemangioma (IH) is a benign vascular tumor which its pathophysiology is still not well
understood. To date topical ultrapotent corticosteroids is used as a first line treatment for superficial IH.
However, due to many side effects of corticosteroids and its response to IH regression that sometimes fails,
alternatives of other topical therapies is needed. Timolol maleat 0.5% solution is a nonselective ß-blocker
which may inhibit the proliferation and trigger the regression of IH. This study was aimed to evaluate topical
ultrapotent corticosteroids and timolol maleate 0.5% solutionfor superficial IH. The design of this study was a
retrospective cohort, involving 59 medical records and photo documentation of superficial IH patients treated
with topical ultrapotent corticosteroids 0,5% clobetasol propionate or 0,5% betametasone dipropionate and
timolol maleate 0,5% solution in the period from 2009 to 2014 in Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta. The results
showed that the length axis difference of IH between the two groups had a significant differences (p<0.001).
Width difference of IH between the two groups had also significant differences (p<0.001). Timolol maleat 0.5%
solution was significantly superior compared to topical ultrapotent corticosteroids on size reduction of
superficial IH lesion.
Keywords: Superficial infantile hemangioma, ultrapotent corticosteroids, timolol maleate 0.5% solution
Korespondensi:
Gedung Radiopoetro Lantai 3, Jl.
Farmako, Sekip, Yogyakarta 55281
Telpon/Fax 0274-560700
Email: [email protected]
2
MDVI
PENDAHULUAN
Hemangioma infantil (HI) merupakan tumor vaskular
yang paling sering ditemukan pada masa bayi dan anak.1
Kelainan ini mempunyai implikasi pada kosmetik dan
psikologis sehingga diperlukan terapi. Pendekatan masa
lalu untuk penatalaksanaan lesi HI non-komplikata adalah
edukasi orang tua pasien disertai observasi. Saat ini,
keputusan untuk melakukan intervensi terapi lebih dipilih
untuk menghindari risiko yang tidak dapat diprediksi
terhadap masalah kosmetik dan psikologis.2,3
Terdapat berbagai pilihan modalitas terapi HI, namun
dengan adanya ketidakefektifan dan efek samping
berbagai modalitas terapi tersebut mendorong untuk
dicari alternatif terapi lain yang aman dan mempunyai
hasil yang memuaskan. Kortikosteroid secara sistemik
maupun topikal telah digunakan sebagai terapi awal untuk
HI, terutama HI non komplikata.3 Namun demikian,
kortikosteroid hanya dapat memberikan respon baik pada
30% kasus HI, sedangkan sebanyak 30% menunjukkan
respon parsial, dan sisanya tidak memberi respons.4,5
Patofisiologi HI sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.6,7Kelainan ini memiliki perjalanan klinis yang
dimulai pada usia 2 minggu pertama kehidupan yang
ditunjukkan oleh fase proliferasi yang didominasi oleh
sel-sel endotelial yang berproliferasi cepat dan berakhir
sampai usia 1 tahun. Fase ini kemudian diikuti oleh fase
involusi, dimulai pada usia 1 tahun dan berlanjut sampai
usia sekitar 4-6 tahun, yang ditandai oleh berkurangnya
proliferasi, meningkatnya apoptosis, melambatnya
pertumbuhan lesi, dan akhirnya berhenti.8,9
Hemangioma infantil diklasifikasikan menjadi
superfisial, dalam, dan campuran.8 Penatalaksanaan HI
superfisial yang kecil, lokal, dan non komplikata
umumnya menggunakan terapi kortikosteroid topikal.3
Dipandang dari efek samping yang mungkin ditimbulkan
pada anak, penggunaan kortikosteroid topikal ultrapoten
untuk HI superfisial memberikan hasil lebih baik
dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik dan injeksi
intra lesi.2
Penghambat reseptor β menjadi pilihan dalam
penanganan HI sejak ditemukannya secara tidak sengaja
efek propranolol sistemik yang diberikan pada pasien
anak dengan gangguan kardiovaskular yang kebetulan
memiliki HI, yaitu terjadi perbaikan pada lesi HI yang
diderita.10 Penelitian lanjutan menunjukkan penggunaan
propranolol dan timolol secara topikal memberikan
perbaikan pada kasus HI.11-14
Sejak tahun 2009 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
untuk tatalaksana HI superfisial juga digunakan solusio
timolol maleat topikal 0,5% selain kortikosteroid topikal.
Sediaan timolol topikal yang ada di Indonesia baru
tersedia dalam bentuk solusio timolol maleat 0,5% tetes
mata yang sering digunakan untuk terapi glaukoma.
3
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi
kortikosteroid topikal ultrapoten dan solusio timolol
maleat 0,5% terhadap ukuran lesi HI superfisial.
METODE PENELITIAN
Rancangan
penelitian
ini
adalah
kohort
retrospektif.Sampel diambil dari data rekam medis dan
foto dokumentasi pasien HI superfisial yang diterapi di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode Januari 2009-Desember 2014.
Kriteria inklusi adalah data rekam medis pasien yang
didiagnosa HI superfisial non komplikata dengan ukuran
maksimal 50 milimeter (mm) yang mendapatkan
kortikosteroid topikal ultrapoten (klobetasol propionat
0,05% atau betametason dipropionat 0,05%) yang
dioleskan dua kali sehari atau solusio timolol maleat 0,5%
yang dioleskan 2 kali sehari selama 6 bulan; umur saat
mulai diterapi maksimal 12 bulan; dan memiliki foto
dokumentasi dengan skala ukuran pada area lesi HI
superfisial pada saat awal sebelum diterapi sampai bulan
ke-6 terapi. Kriteria eksklusi adalah ditemukannya
riwayat penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi
terapi HI superfisial dan terdapat komplikasi yang bukan
disebabkan oleh terapi topikal yang diberikan pada
penatalaksanaan HI superfisial. Penelitian ini telah
memperoleh kelaikan etik dari Medical and Health
Research Ethics Committee (MHREC) Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
Data yang diambil dari rekam medis meliputi jenis
kelamin, umur saat diperiksa pertama kali, umur saat
munculnya lesi HI, berat badan lahir, umur ibu, umur
kehamilan, lokasi lesi, selisih ukuran terpanjang lesi, dan
selisih luas lesi selama 6 bulan terapi. Ukuran terpanjang
lesi dan luas lesi diukur dari foto dokumentasi berskala
menggunakan program perangkat lunak ImageJ®.
Pengukuran dilakukan oleh asisten peneliti untuk alasan
obyektivitas (gambar 1 dan 2). Data yang diperoleh
tersebut dimasukkan ke dalam program perangkat lunak
SPSS®20. Data dianalisis menggunakan uji t tidak
berpasangan apabila distribusi data normal, atau
menggunakan uji Mann Whitney apabila distribusi data
tidak normal. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini
ditetapkan apabila p < 0,05
L. Ariwibowo, dkk
Gambar 1.
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil
Pasien HI superfisial setelah diterapi dengan
klobetasol
propionat 0,05% selama 6 bulan
(gambar sisi kanan), menunjukkan warna lesi lebih
pudar.
Gambar
.
2
Pasien HI superfisial setelah diterapi dengan solusio
timolol maleat 0,5%selama 6 bulan (gambar sisi
kanan) menunjukkan tebal dan warna lesi
berkurang.
yang diterapi dengan solusio timolol maleat 0,5%
berjumlah 33 pasien. Karakteristik sampel dari
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tidak terdapat
perbedaan secara bermakna pada kedua kelompok
pada jenis kelamin, umur pasien, umur muncul lesi
HI, berat badan lahir, umur kehamilan, umur ibu, dan
lokasi lesi.
HASIL PENELITIAN
Subjek penelitian yang didapat adalah sebanyak
59 orang dari 344 pasien HI superfisial yang
memenuhi kriteria inklusi. Pasien yang menerima
terapi selama 6 bulan dari kelompok kortikosteroid
topikal ultrapoten klobetasol propionat 0,05% atau
betametason dipropionat 0,05% berjumlah 26 pasien,
s e d a n g k a n k e l o m p o k p a s i e n
Tabel 1. Karakteristik klinis berdasarkan jenis terapi pada subjek penelitian di RSUP dr. Sardjito
periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59)
Jenis kelamin, n (%)
Laki-laki
Perempuan
Umur pasien, (bulan)
Median
Kisaran
Umur muncul HI, (bulan)
Median
Kisaran
Berat badan lahir, (gram)
Rerata (Simpang Baku)
Umur kehamilan, (minggu)
Median
Kisaran
Umur ibu, (tahun)
Rerata (Simpang Baku)
Lokasi lesi, n (%)
Kepala leher
Badan
Ekstremitas
Kortikosteroid topikal
ultrapoten
n = 26
Solusio timolol maleat
0,5%
n = 33
p
8 (30,7)
18 (69,3)
9 (27,3)
24 (72,7)
5,5
1-11
6
1-11
0,284
1
1-2
1
1-2
0,852
3198 (± 207,5)
3253 (± 199,9)
0,307
38
36-40
38
36-40
0,789
28,3 (± 3,8)
28,6 (± 3,0)
0,780
22 (84,6)
3 (11,5)
1 (3,9)
23 (69,7)
7 (21,2)
3 (9,1)
4
MDVI
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7
Perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang lesi
HI superfisial setelah 6 bulan terapi antara kedua
kelompok berbeda secara bermakna (tabel 2); pada
kelompok yang diterapi dengan solusio timolol
maleat hasil lebih baik dibandingkan dengan
kelompok yang diterapi kortikosteroid topikal
ultrapoten (p < 0,001). Selisih luas
lesi HI superfisial setelah 6 bulan terapi pada kedua
kelompok berbeda secara bermakna (tabel
3).Kelompok yang diterapi dengan solusio timolol
maleat lebih baik dibandingkan dengan kelompok
yang diterapi kortikosteroid topikal ultrapoten (p <
0,001).
Tabel 2. Perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang HI setelah terapi selama 6 bulan pada subjek penelitian di
RSUP dr. Sardjito periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59)
Kortikosteroid topikal
ultrapoten (mm)
Solusio timolol maleat
0,5% (mm)
Nilai p
Median
- 2,5
2,0
<0,001
Kisaran
-8,0 - 8,0
-2,0 - 19,0
Keterangan : nilai median negatif (-) menunjukkan ukurannya bertambah besar deltanya dari ukuran hemangioma
awal
Tabel 3. Perbandingan selisih luas setelah terapi selama 6 bulan pada subjek penelitian di RSUPN DR. Sardjito
periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59)
Kortikosteroid topikal ultrapoten
Solusio timolol maleat
Nilai p
(mm2)
0,5% (mm2)
Median
- 19,4
19,1
<0,001
Kisaran
-65,6 - 44,6
-67,2 – 517,4
Keterangan: nilai median negatif (-) menunjukkan ukurannya bertambah besar deltanya dari ukuran hemangioma
awal
PEMBAHASAN
Hemangioma infantil (HI) diperkirakan terjadi pada
sekitar 4-10% bayi pada tahun pertama kehidupan.14,15
Kelainan ini dapat terjadi pada semua jenis kelamin,
namun lebih sering pada perempuan dengan perbandingan
2:1.9 Bayi prematur dengan berat badan lahir rendah, ibu
dengan riwayat kehamilan multipel, umur ibu di atas 35
tahun saat melahirkan merupakan faktor risiko HI.9,16,17
Pada penelitian ini subjek adalah pasien HI superfisial
sebanyak 59 orang, masing-masing hanya memiliki satu
buah lesi HI superfisial. Hal ini sesuai dengan penelitian
Boye dkk. (2009),9 umumnya lesi HI adalah soliter. Dua
puluh enam pasien HI superfisial telah diterapi dengan
kortikosteroid ultrapoten topikal (11 orang klobetasol
propionat 0,05% dan 15 orang betametason dipropionat
0,05%), dan 33 orang diterapi dengan solusio timolol
maleat 0,5% topikal yang masing-masing dioleskan 2 kali
sehari selama 6 bulan terapi. Perbandingan jumlah
5
penderita HI superfisial dalam penelitian ini antara
perempuan dan laki-laki sekitar 2,5:1, tidak berbeda
dengan penelitian sebelumnya.16,17 Lokasi lesi HI
superfisial lebih dominan terjadi di area kepala leher.
Kejadian di badan dan ekstremitas lebih sedikit. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa lesi HI dominan di
area kepala leher.13,14,18
Subjek penelitian mulai diterapi pada pada kisaran
usia 5,5-6 bulan. Perbandingan usia antara kedua
kelompok terapi secara statistik tidak berbeda bermakna
(p = 0,284). Lesi HI superfisial terbanyak muncul pada
usia1 bulan, secara statistik tidak berbeda bermakna
antara kedua kelompok (p = 0,852). Hal ini serupa dengan
penelitian Boye dkk.,9 yang menyatakan HI paling banyak
terjadi pada 2 minggu pertama pasca kelahiran,
sedangkan Chakkittakandiyil dkk.13 menyatakan HI
terjadi pada 3±3 minggu pasca kelahiran.
L. Ariwibowo, dkk
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil
Berat badan lahir (gram) pada penderita HI superfisial
pada penelitian ini antara kedua kelompok terapi tidak
berbeda secara statistik (kortikosteroid ultrapoten: 3198,0
± 207,5; solusio timolol maleat 0,5%: 3253,0±199,9;
p=0,307). Pada penelitian ini pada kedua kelompok terapi
tidak didapatkan subjek dengan berat badan lahir rendah,
berbeda dengan penelitian Ho dkk. (2007),17 yang
menemukan bahwa HI lebih sering terjadi pada anak yang
memiliki berat badan lahir rendah.
Umur kehamilan ibu secara statistik tidak berbeda
bermakna antara kedua kelompok terapi (p = 0,789). Pada
penelitian ini tidak terdapat umur kehamilan kurang
bulan, berbeda dengan penelitian Callahan dan Yoon
(2012),2 yang menyatakan bahwa umur kehamilan yang
kurang merupakan risiko munculnya HI pada anak yang
dilahirkan.
Umur ibu ketika melahirkan, secara statistik tidak
berbeda bermakna antara kedua kelompok (kortikosteroid
ultrapoten: 28,3±3,8; solusio timolol 0,5%: 28,6 ± 3,0; p
= 0,780). Pada penelitian ini umur ibu ketika melahirkan
tidak ada yang lebih dari 35 tahun, berbeda dengan
penelitian Bree dkk (2001),16 yang menyatakan bahwa
anak dengan HI dilahirkan oleh ibu berusia lebih dari 35
tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi
solusio timolol maleat 0,5% selama 6 bulan lebih baik
dibandingkan dengan kortikosteroid topikal ultrapoten
selama 6 bulan untuk pasien HI superfisial. Belum pernah
dilakukan penelitian yang membandingkan kortikosteroid
topikal ultrapoten dengan solusio timolol maleat 0,5%
untuk terapi HI superfisial. Chakkittakandiyil dkk.
(2012),13 melakukan penelitian kohort retrospektif
terhadap penggunaan gel timolol maleat 0,1% dan gel
timolol maleat 0,5% dengan menggunakan skala VAS
(Visual Analog Score) berdasarkan foto dokumentasi
pasien selama terapi. Penelitian yang membandingkan
terapi kortikosteroid topikal (mometason furoat dan
tramsinolon) dengan solusio timolol maleat 0,5% tetes
mata untuk pasien HI superfisial telah dilaporkan
sebelumnya, dengan hasil solusio timolol maleat 0,5%
lebih baik.19
Hingga saat ini kortikosteroid topikal ultrapoten
merupakan terapi pilihan untuk hemangioma infantil
superfisial kecil dan non komplikata.3 Mekanisme aksi
kortikosteroid untuk HI yaitu menghambat potensial
vaskulogenik dari sel punca yang diambil dari HI
manusia. Penekanan ekspresi dari VEGF-A oleh
kortikosteroid akan menghambat vaskulogenesis HI.20
Efek antiproliferatif dan vasokonstriksi dari kortikosteroid
topikal ultrapoten diduga turut pula berperan dalam
mekanisme terapi HI superfisial.21-23
Penghambat
reseptor
β
terbukti
menekan
perkembangan HI melalui penekanan regulasi berbagai
faktor proangiogenik misalnya bFGF dan VEGF-A, serta
memicu apoptosis sel endotel kapiler, juga melalui efek
vasokonstriksi yang dimilikinya.21,22 Namun demikian
masih banyak hal yang belum dapat diterangkan tentang
mekanisme pasti terapi penghambat reseptor β seperti
halnya dengan kortikosteroid.18
Penelitian Chakkittakandiyil dkk. (2012)13 menemukan bahwa untuk terapi HI superfisial pemberian gel
timolol maleat 0,5% topikal selama 8,0 ± 10,9 bulan lebih
baik pada VAS (Visual Analog Scale) dibandingkan
dengan gel timolol maleat 0,1%. Bonifazi dkk. (2013),14
melakukan pemantauan terapi HI dengan galenik
propranolol 1% topikal yang dilakukan selama 4-6 bulan,
terdapat regresi lebih dari 60% ukuran awal pada 13 kasus
dari 25 kasus HI yang diterapi secara dini.
Pada penelitian ini tidak didapatkan efek samping
terapi pada kedua kelompok selama terapi 6 bulan. Pernah
dilaporkan efek samping akibat absorpsi sistemik terapi
kortikosteroid ultrapoten pada HI.23 Penggunaan
penghambat reseptor β secara topikal untuk HI adalah
aman, namun pernah dilaporkan adanya gangguan tidur
pada penggunaan gel timolol secara topikal untuk HI.13
Penelitian kohort retrospektif ini memiliki beberapa
keterbatasan, di antaranya adalah pengambilan foto
dokumentasi pasien dari data yang dimiliki yang tidak
sepenuhnya standar, serta faktor pengukuran yang hanya
terdiri atas variabel ukuran aksis terpanjang lesi dan luas
lesi. Pada penelitian ini kortikosteroid topikal ultra poten
yang dipakai sebanyak 2 jenis, juga merupakan
keterbatasan penelitian. Penelitian uji klinis kohort
prospektif yang lebih lengkap diperlukan untuk lebih
sempurnanya hasil yang didapatkan. Keterbatasan yang
ada dalam penelitian ini tidak mengurangi fakta
terdapatnya gambaran perbaikan klinis yang lebih baik
pada penggunaan solusio timolol maleat 0,5%
6
MDVI
dibandingkan dengan pemakaian kortikosteroid topikal
ultrapoten dalam kurun waktu 6 bulan, sehingga hasil
penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk terapi topikal
HI superfisial.
KESIMPULAN
Terapi solusio timolol maleat 0,5% selama 6 bulan
untuk HI superfisial lebih baik dibandingkan dengan
kortikosteroid topikal ultrapoten ditinjau dari selisih
pengurangan ukuran aksis terpanjang dan perbandingan
selisih luas lesi HI superfisial.
Solusio timolol maleat 0,5% dapat dipakai sebagai
alternatif terapi topikal HI, namun masih diperlukan
penelitian uji klinis kohort prospektif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. dr.
Hardyanto Soebono, Sp.KK(K) dan dr. Arief Budiyanto,
Ph.D, Sp.KK(K) atas saran dan asupan untuk perbaikan
makalah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Frieden IJ. Infantile hemangioma research:
Looking backward and forward. J Invest Dermatol.
2011;131:2345-8.
2. Callahan A, Yoon M. Infantile hemangioma: A
review. Saudi J Ophthal. 2012;26:283-91.
3. Rosenblatt A, Mathes EF, Rosbe KW. Infantile
hemangiomas: From pathogenesis to clinical
features. Research Rep Neonat. 2012;2:55-64.
4. Pope E, Krafchik BR, Macarthur C, Stempak D,
Stephens D, Weinstein M, dkk. Oral versus highdose pulse corticosteroids for problematic infantile
hemangiomas: A randomized, controlled trial.
Pediatrics. 2007;119:e1239-47.
5. Pandey A, Gangopadhyay AN, Sharma SP, Kumar
V, Gupta DK, Gopal SC. Evaluation of topical
steroids in the treatment of superficial
hemangioma. Skinmed. 2010;8: 9-11.
6. Barnes CM, Christison-Lagay EA, Folkman J. The
placenta theory and the origin of infantile
hemangioma. Lymphat Res Biol. 2007;5:245-55.
7. Bischoff J. Progenitor cells in infantile
hemangioma. J Craniofac Surg. 2009; 20: Suppl
1:695-7.
7
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7
8. Boscolo E, Bischoff J. Vasculogenesis in infantile
hemangioma. Angiogenesis. 2009;12:197-207.
9. Boye E, Jinnin M, Olsen BR. Infantile
hemangioma: Challenges, new insights, and
theraupetic promise.
J Craniofac Surg.
2009;20:Suppl 1:678-84.
10. Leaute-Labreze C, Taieb A. Efficaccy of betablocker in infantile capilarry haemangiomas: The
physiopathological significance and therapeutic
consequences.
Ann
Dermatol
Venereol.
2008;135:860-2.
11. Pope E, Chakkitakandiyil A. Topical timolol gel
for infantile hemangiomas: A pilot study. Arch
Dermatol. 2010;146:564-5.
12. Calvo M, Garcia-Millan C, Villegas C, FueyoCasado A, Buron I. Topical timolol for infantile
hemangioma of the eyelid. Int J Dermatol.
2012;52:603-4.
13. Chakkittakandiyil A, Phillips R, Frieden IJ,
Siegfried E, Lara-Corrales I, Lam J, dkk. Timolol
maleate 0.5% or 0.1% gel-forming solution for
infantile
hemangiomas:
A
retrospective
multicenter, cohort study. Pediatr dermatol.
2012;29:28-31.
14. Bonifazi E, Milano A, Colonna V. Evaluation of
safety and efficacy of a galenic preparation of 1%
propranolol in 89 cases of cutaneous infantile
hemangioma. Eur J Pediat Dermatol. 2013;23:93104.
15. Gorincour G, Kokta V, Rypens F, Garel L, Powell
J, Dubois J. Imaging characteristics of two
subtypes of congenital hemangiomas: Rapidly
involuting congenital hemangiomas and noninvoluting congenital hemangiomas. Pediatr
Radiol.2005;35:1178-85.
16. Bree AF, Siegfried E, Sotelo-Avila C, Nahass G.
Infantile hemangiomas: Speculation on placental
trophoblastic
origin.
Arch
Dermatol.
2001;137:573-7.
17. Ho NT, Lansang P, Pope E. Topical imiquimod in
the treatment of infantile hemangiomas: A
retrospective study. J Am Acad Dermatol. 2007;
56: 63-8.
18. Abarzua-Araya A, Navarrete-Dechent CP, Heusser
F, Retamal J, Zegpi-Trueba MS. Atenolol versus
propranolol for the treatment of infantile
hemangiomas: A randomized controlled study. J
Am Acad Dermatol. 2014;70:1045-9.
19. Ariwibowo L, Danarti R. Comparison of efficacy
between topical corticosteroid, timolol maleat
L. Ariwibowo, dkk
20.
21.
22.
23.
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil
0,5% eye drop, and education observation in
managing infantile hemangioma. Oral presentation.
21st Regional Conference of Dermatology. Danang
Vietnam 9-12 April.2014:(abstract book p. 18990).
Greenberger S, Boscolo E, Adini I. Corticosteroid
suppression of VEGF-A in infantile hemangiomaderived stem cells. N Engl J Med. 2010;362: 100513.
Theletsane T, Redfern A, Raynham O, Harris T,
Prose NS, Khumalo NP. Life-threatening infantile
haemangioma: A dramatic response to propranolol.
J Eur Acad Dermatol Venereol.2009;23:1465-6.
Peridis S, Pilgrim G, Athanasopoulos I, Parpounas
K. A meta-analysis on the effectiveness of
propranolol for the treatment of infantile airway
haemangiomas.
Int
J
Pediatr
Otorhinolaryngol.2011;75:455-60.
Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids.
Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies;
2012. h. 2659-65.
8
Artikel Asli
PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF)
SERUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PASIEN PSORIASIS VULGARIS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Grace Waworuntu, Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto – Mahadi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan
ABSTRAK
Telah dilakukan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang untuk mengukur kadar vascular endothelial growth
factor (VEGF) serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan menggunakan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA).
Subyek penelitian (SP) berjumlah 25 terbanyak laki-laki 17 orang (68%). Rerata usia adalah 40,84 tahun dengan
subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%). Terbanyak adalah suku
Batak, 12 orang (48%). Angka kejadian psoriasis vulgaris terbanyak pada kelompok yang mengalami psoriasis dengan
durasi <5 tahun, sebanyak 17 orang (68%). Berdasarkan kelompok umur awitan penyakit 15-30 tahun merupakan yang
terbanyak dengan frekuensi sebesar 11 orang (44%). Nilai tengah body surface area (BSA) subyek penelitian adalah 9%
dengan frekuensi terbanyak pada BSA >10% yaitu sebesar 11 orang (48%).
Nilai tengah VEGF serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris adalah 270,60 pg/mL. Tersering ditemukan pada laki-laki
, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok usia 40 sampai 60 tahun.
Kata Kunci: VEGF serum - psoriasis vulgaris
LEVELS OF SERUM VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF)
BASED ON THE CHARACTERISTICS OF PSORIASIS VULGARIS PATIENTS
PROFILE IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
ABSTRACT
A cross-sectional descriptive study was done to determine levels of serum vascular endothelial growth factor (VEGF)
in 25 psoriasis vulgaris patients at Haji Adam Malik General Hospital Medan using enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) method.
There was male predominance, 17 from 25 patients (68%). The mean age was 40,84 years old with the majority in the
age group of less than 40-years old, 14 people (56%). The largest ethnicity was Batakese, 12 people (48%). The incidence
of psoriasis vulgaris had the highest frequency in the duration group of less than 5 years, 17 people (68%). Based on the
onset of disease, onset group of 15-30 years was the highest with a frequency of 11 people (44%). The median body surface
area (BSA) was 9% with the highest frequency in the BSA more than 10% in the amount of 11 people (48%).
The median serum VEGF was 270,60 pg / mL. There was male preponderance, with the highest frequency in the age
40-60 years.
Keywords : VEGF serum - psoriasis vulgaris
Korespondensi:
Jl. Bunga lau No. 17 – Medan
Telp/Fax:
Email: [email protected]
8
MDVI
PENDAHULUAN
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak
mengancam jiwa, namun dapat menjadi parah dan belum
dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai oleh
hiperproliferasi keratinosit, gangguan diferensiasi,
neoangiogenesis, dan inflamasi.1 Prevalensi psoriasis
berkisar antara 0,1% sampai 11,8% dengan estimasi
kejadian 60 kasus per 100,000 per tahun di seluruh dunia.
Di Indonesia prevalensi penyakit ini belum terdata secara
jelas, namun insidens di Asia saja cenderung rendah
(0,4%). Psoriasis umumnya terjadi pada ras Kaukasia, dan
dilaporkan 7 juta orang di Amerika Serikat terkena
penyakit psoriasis ini dan 1,5 juta setiap tahunnya berobat
ke dokter dengan keluhan psoriasis.2-4
Kejadian psoriasis sama pada laki-laki dan
perempuan, namun beberapa studi menemukan
prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.4,5 Data rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan
periode Januari hingga Desember 2011, mendapatkan 46
pasien (0,81%) didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris dari
total 5.644 kunjungan berobat ke Poliklinik Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Dua puluh lima dari
46 pasien (54,3%) berjenis kelamin laki-laki dan 21
pasien (45,6%) berjenis kelamin perempuan.6
Berbagai studi menunjukkan rerata awitan psoriasis
berkisar antara kelompok usia 15 sampai 30 tahun.
Sebanyak 75% pasien menderita psoriasis sebelum usia
46 tahun. Studi lainnya mengatakan bahwa awitan
psoriasis dapat terjadi pada dua puncak, yaitu pada
kelompok usia 16-22 tahun dan kelompok usia 57-60
tahun.4,7
Patogenesis psoriasis merupakan mekanisme yang
rumit dan sampai saat ini masih belum diketahui,
meskipun berbagai penelitian telah dilakukan. Keratinosit,
fibroblas, sel penyaji antigen atau antigen-presenting cells
(APC), sel T, dan sel endotel dianggap sebagai sel-sel
yang mengalami kerusakan utama pada psoriasis.8,9
Sebagian peneliti menduga terdapat peran vascular
endothelial growth factor (VEGF) dalam mencetuskan
angiogenesis dan berpengaruh pada patogenesis psoriasis.
Walaupun peran angiogenesis mungkin tidak besar dalam
patogenesis psoriasis, pemahaman mengenai
angioproliferasi dapat berguna dalam menemukan obatobat antipsoriasis di masa depan. Bahkan vitamin D,
retinoid, siklosporin yang biasa digunakan untuk mengobati psoriasis bersifat anti-angiogenik, selain sebagai
antiproliferasi dan antiinflamasi.10,11
Sampai saat ini penulis belum dapat menemukan
publikasi penelitian yang spesifik mengenai VEGF
berdasarkan karakteristik psoriasis di Indonesia
khususnya di Sumatera Utara. Patogenesis psoriasis yang
Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14
rumit, perjalanan penyakit yang kronis, tingkat
kekambuhan yang tinggi, dan pengobatan yang cukup
sulit, menyebabkan topik psoriasis ini perlu untuk
dipelajari.
SUBYEK DAN METODE
Penelitian ini merupakan studi deskriptif rancangan
potong lintang (cross sectional) yang dilaksanakan dari
bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014, bertempat di
Poliklinik Divisi Alergi Dep/SMF IK RSUP. H. Adam
Malik Medan. Pengambilan sampel dilakukan secara total
sampling. Kriteria penerimaan adalah pasien yang telah
didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris dan telah
menandatangani informed consent. Diagnosis psoriasis
vulgaris ditegakkan bila dijumpai gejala klinis yaitu
adanya plak eritematosa yang ditutupi skuama tebal dan
berwarna putih keperakan, dibantu dengan pemeriksaan
tambahan berupa fenomena tetesan lilin dan tanda
Auspitz yang positif.
Kriteria penolakan adalah pasien psoriasis vulgaris
yang sedang hamil atau menyusui, mengkonsumsi obatobatan yang bersifat imunosupresi dalam kurun waktu 4
minggu terakhir. Obat tersebut di antaranya adalah
retinoid, siklosporin, kortikosteroid, serta obat-obat
antiinflamasi dan antihistamin, menggunakan obat
kortikosteroid atau imunomodulator topikal dalam kurun
waktu 2 minggu terakhir, menderita penyakit fibrosis,
inflamasi kronis dan keganasan.
Pemeriksaan serum dengan teknik sandwich enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan
perangkat pemeriksaan (VEGFA-human, ELISA kit,
Abnova- Taiwan). Pemeriksaan dilakukan menggunakan
ELISA analyser Chemwell 2910 (Awareness Technology,
Inc.).
HASIL PENELITIAN
Karakteristik subyek penelitian
Didapatkan subyek penelitian berjenis kelamin lakilaki sebanyak 17 (68%) dari 46 orang. Rerata usia adalah
40,84 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 67
tahun. Subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia
kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%). Suku
terbanyak adalah suku Batak, sebanyak 12 orang (48%).
Sebagian besar populasi menempuh pendidikan perguruan
tinggi, yaitu sebanyak 17 orang (68%). (Tabel 1)
9
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris
G. Waworuntu, dkk
Tabel 1.Karakteristik pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan (Oktober 2013 - Juni 2014) n=25
Karakteristik subyek penelitian
Jumlah(orang)
n
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
17
68.0
Perempuan
8
32.0
< 40
14
56.0
40-60
8
32.0
> 60
3
12.0
Batak
12
48.0
Jawa
7
28.0
Lainnya
6
24.0
SD
1
4.0
SMP
2
8.0
SMA
5
20.0
Perguruan tinggi
17
68.0
Dokter
2
8.0
Pegawai swasta
2
8.0
PNS
5
20.0
Tidak bekerja
8
32.0
Wiraswasta
8
32.0
Kelompok Usia
Suku
Pendidikan
Pekerjaan
Pada penelitian ini psoriasis vulgaris terbanyak pada
kelompok dengan durasi <5 tahun sebanyak 17 orang
(68%). Rentang lama sakit (durasi) adalah 8 bulan – 20
tahun, dengan nilai tengah 5 tahun. Berdasarkan awitan
penyakit, kelompok usia awitan 15-30 tahun merupakan
yang terbanyak, yaitu 11 orang (44%). Nilai tengah
awitan 33 tahun, dengan kisaran 15-57 tahun.
Berdasarkan atas anamnesis didapatkan satu pasien
dengan riwayat keluarga yang juga menderita psoriasis.
Nilai tengah body surface area (BSA) subyek penelitian
adalah 9% dengan luas minimal 2% dan maksimal
24%.(Tabel 2)
Tabel 2. Karakteristik pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan
(Oktober 2013 - Juni 2014) n=25
Karakteristik subyek penelitian
Jumlah (orang)
n
%
Kelompok Durasi Penyakit (tahun)
<5 tahun
17
68.0
5 – 10 tahun
3
12.0
10 – 15 tahun
2
8.0
>15 tahun
3
12.0
15 – 30 tahun
11
44.0
30 – 45 tahun
8
32.0
45 – 60 tahun
6
24.0
Kelompok Awitan Penyakit (tahun)
Riwayat keluarga dengan psoriasis
Ada
1
4.0
Tidak ada
24
96.0
BSA (%)
<3
2
8.0
3 – 10
11
44.0
> 10
12
48.0
10
MDVI
Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14
Hasil pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan VEGF serum menggunakan Elisa
Gambar 1.
Tampilan Micro-Wells sebelum Pengukuran Absor
bansi dengan ELISA Analyzer.
analyzer didapatkan nilai median 270,60 pg/mL
(11,23- 1596,7 pg/mL). (Tabel 3)
Kurva 1. Kurva Standar untuk Menentukan Konsentrasi VEGF
Tabel 3. VEGF berdasarkan pemeriksaan ELISA, pada pasien psoriasis vulgaris
di RSUP. H. Adam Malik Medan (Oktober 2013 - Juni 2014) n=25
n
Median
SD
Min
Max
VEGF
25
270,60
415,62
11,23
1596,7
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
17
8
270,60
269,36
286,22
606,26
11,23
52,08
1044,8
1596,7
Usia (tahun)
<40
40-60
>60
14
8
3
160,95
604,18
123,36
277,57
543,81
94,68
30,15
11,23
52,08
1044,8
1596,7
239,65
Durasi Penyakit (tahun)
<5
5-10
10-15
>15
17
3
2
3
270,60
278,56
110,34
1370,23
287,88
249,89
18,41
726,97
11,23
52,08
97,32
239,65
1044,80
551,16
123,36
1596,70
Onset Penyakit
15-30
30-45
45-60
11
8
6
124,33
287,86
285,62
453,26
498,67
238,31
30,15
11,23
52,08
1370,20
1596,67
657,22
BSA
<3%
3-10%
>10%
2
11
12
324,24
159,51
328,88
320,91
182,74
527,91
97,32
52,08
11,23
551,16
560,95
1596,67
11
G. Waworuntu, dkk
PEMBAHASAN
Secara umum diyakini bahwa frekuensi terjadinya
psoriasis pada laki-laki dan perempuan sama. Namun,
studi yang dilakukan oleh Chen dkk., (2003) di Taiwan
menunjukkan dari 5.864 pasien psoriasis yang berobat ke
klinik mereka, 3.243 adalah laki-laki dan 2.621
perempuan. Rata-rata angka prevalensi satu tahun adalah
0,19%; yaitu 0,23% untuk laki-laki dan 0,16%
perempuan. Terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05)
prevalensi kejadian pada jenis kelamin pasien psoriasis.
Prevalensi psoriasis pada usia di bawah 30 tahun adalah
sama pada kedua jenis kelamin, namun meningkat lebih
cepat pada laki-laki usia 30 tahun atau lebih.12
Studi lain yang dilakukan oleh Sinniah dkk., bahwa
dari total 5.607 pasien yang berobat ke Rumah Sakit
Tengku Ampuan Rahimah, Klang, Malaysia dari Januari
2003 sampai dengan Desember 2005, terdapat 9,5%
pasien dengan psoriasis. Proporsi pasien laki-laki
sebanyak 11,6% (316/2.613) dan perempuan 7,2%
(215/2.994).13 Sampai saat ini belum ditemukan kata
sepakat apakah prevalensi psoriasis berbeda pada jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
Psoriasis dapat terjadi pada semua usia, namun jarang
pada anak-anak (0,71%) dan sebagian besar kasus terjadi
sebelum usia 35 tahun.14 Pada penelitian kami insidens
terbanyak pada kelompok usia di bawah 40 tahun.
Sedangkan pada populasi psoriasis di Arab Saudi yang
dilakukan oleh Fortune dkk., dilaporkan insidens psoriasis
berat terdapat pada usia 22 - 26 tahun.15 Kundakci dkk.,
melaporkan kasus pada anak-anak yang jarang ditemukan,
terdapat prevalensi sebanyak 5,7% pada kelompok usia <
10 tahun.16
Satu studi yang dilakukan di unit Dermatologi Rumah
Sakit Universitas Treichville Pantai Gading, Afrika Barat
menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 39,6
tahun dengan usia termuda 4 tahun dan tertua 77 tahun.
Terdapat 3 anak-anak (5,3%) dan 53 dewasa (94,7%).
Pada kelompok dewasa, 38 pasien (67%) berada pada usia
antara 30 sampai 50 tahun.17 Sinniah dkk., melaporkan
insidens tersering pada kelompok usia 40-60 tahun
(17,2%).13
Studi lainnya, menunjukkan penurunan prevalensi
psoriasis pada kelompok usia yang lebih lanjut, terutama
pada usia di atas 70 tahun. Prevalensi psoriasis menurun
sebesar 28% pada pasien usia 70 sampai 79 tahun, dan
menurun 60% pada usia 80 sampai 89 tahun. Penemuan
ini menunjukkan bahwa psoriasis dapat mengalami remisi
pada pasien lanjut usia atau pasien tidak cukup peduli
untuk mencari pengobatan medis. Studi di Spanyol juga
menunjukkan penurunan prevalensi psoriasis pada usia
lebih tua, khususnya di atas usia 70 tahun.18
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris
Namun berbagai studi tersebut bertolak belakang
dengan studi yang dilakukan pada populasi di Taiwan.
Chang dkk., menemukan prevalensi psoriasis selama satu
tahun mencapai puncaknya di atas 70 tahun. Prevalensi
psoriasis meningkat lebih dari 50% pada pasien usia ≥ 70
tahun, dibandingkan dengan pasien kelompok usia 60-69
tahun. Hal ini mungkin terjadi karena sistem asuransi
kesehatan yang lebih baik pada para lansia di Taiwan.19
Penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk., melaporkan
dari 480 pasien, sebanyak 175 pasien sudah menderita
psoriasis lebih dari 10 tahun (38,6%), diikuti kelompok
durasi penyakit 1-5 tahun yaitu sebanyak 124 pasien
(27,4%), kelompok durasi 6-10 tahun sebanyak 121
pasien (26,7%), dan kelompok durasi <1 tahun hanya 33
pasien (7,3%).20 Data kepustakaan menunjukan bahwa
rerata usia pasien dengan psoriasis bervariasi dari 10-30
tahun, namun penyakit dapat dimulai pada berbagai
awitan usia termasuk saat balita.18,21 Farber dan Nall
(1974) menemukan bahwa rerata awitan usia psoriasis
adalah 27,8 tahun dan 10% terjadi sebelum usia 10 tahun.
Ia juga melaporkan bahwa pasien perempuan
menunjukkan awitan lebih awal dibandingkan dengan
laki-laki. Temuan tersebut menunjukkan terdapat
interaksi antara jenis kelamin dengan perkembangan
fenotipe pasien psoriasis. Psoriasis merupakan penyakit
autoimun yang dimediasi oleh sel T helper-1 (Th1) yang
menjelaskan kerentanan perkembangan fenotipe psoriasis
pada pasien perempuan di usia lebih dini. Observasi ini
juga serupa pada penyakit autoimun lainnya yang
dimediasi oleh Th1, yaitu lupus eritematosus, sklerosis
multipel, dan reumatoid artritis, dengan predisposisi pada
pasien perempuan.22
Penelitian yang dilakukan Neimann dkk., menyatakan
bahwa awitan psoriasis menunjukkan dua puncak usia
(bimodal). Mereka menyatakan bahwa distribusi bimodal
pada awitan psoriasis menunjukkan dua bentuk tampilan
klinis psoriasis, yaitu tipe 1 dan tipe 2.5 Tipe 1 terjadi
pada pasien sebelum usia 40 tahun dan merupakan 75%
seluruh kasus dan merupakan bentuk yang lebih berat,
sedangkan tipe 2 terjadi pada pasien setelah usia 40
tahun.3,4 Studi kami tidak menunjukan distribusi bimodal
pada awitan psoriasis. Hanya terdapat satu puncak, yaitu
pada kelompok usia 15-30 tahun.
Psoriasis adalah penyakit yang kompleks dan
multifaktor. Banyak studi yang menunjukan kaitan
penyakit dengan faktor genetik. Sebanyak 40% pasien
psoriasis dengan riwayat keluarga positif terhadap
psoriasis. Insidens psoriasis pada studi kembar
menunjukan dasar kekeluargaan penyakit ini. Konkordasi
sebesar 35-75% telah ditunjukkan pada kembar
monozigot, dibandingkan dengan konkordasi sebesar 1230% pada kembar dizigotik. Temuan tersebut juga
12
MDVI
disertai dengan awitan, distribusi penyakit, tingkat
keparahan, dan gambaran klinis yang sama.23
Studi lain yang dilakukan di Korea oleh Kwon dkk.,
menunjukkan 12 dari 129 (9,3%) pasien lanjut usia
memiliki riwayat keluarga dengan psoriasis; 8 orang pada
kerabat tingkat pertama, dan 4 orang pada kerabat tingkat
kedua. Pasien dengan awitan usia lanjut (≥60 tahun)
menunjukkan insidens yang lebih rendah pada riwayat
keluarga dibandingkan dengan pasien awitan usia > 30
tahun atau 30-60 tahun.24 Penelitian kami menunjukkan
bahwa dari 25 subyek penelitian yang ada, hanya satu
orang dengan riwayat psoriasis di keluarga, yaitu
hubungan kerabat tingkat pertama (adik kandung), dan
awitan penyakit pada usia 41 tahun.
Berdasarkan pengukuran BSA, didapatkan frekuensi
yang hampir sama banyaknya, yaitu pada BSA 3-10%
sebanyak 12 orang (44%) dan BSA >10% sebanyak 11
orang (48%). Studi yang dilakukan di klinik Dermatologi
di Sarawak, Malaysia terhadap 520 pasien, sebagian besar
dengan BSA kurang dari 10%, 61 pasien (44,2%) dengan
BSA <2%; 59 pasien (42,7%) dengan BSA 2-10%. 11
(8%) dengan BSA 11-90%, dan hanya 7 pasien (5,1%)
dengan BSA >90%.25
Studi yang dilakukan oleh Kwon dkk., menunjukkan
dominasi pasien dengan luas psoriasis yang lebih ringan
(BSA<5%) pada kelompok awitan usia lanjut (1.202
pasien) dibandingkan dengan kelompok awitan usia dini
dan menengah (63 pasien dan 521 pasien). Hal ini
menunjukkan bahwa aktivitas psoriasis lebih ringan pada
pasien awitan usia lanjut.24 Penelitian lain pada populasi
di Kanada menunjukkan insidens psoriasis derajat sedang
dan berat, ditemukan sebanyak 62% dari 514 pasien
dengan keterlibatan BSA > 3%.26
Penelitian ini juga menggambarkan nilai VEGF yang
diharapkan dapat berguna bagi penelitian lain yang
membahas peran VEGF dalam patogenesis psoriasis
vulgaris. Nilai absorbansi VEGF dan konsentrasi VEGF
yang diperoleh dari pemeriksaan serum pasien psoriasis
tertera pada tabel 3.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nofal dkk.,
dilaporkan bahwa rerata VEGF serum pada 30 pasien
psoriasis vulgaris derajat sedang sampai berat adalah
sebesar 327 pg/mL. Penelitian tersebut juga membuktikan
peran VEGF dalam patogenesis psoriasis, yaitu kadar
VEGF serum menurun pada pasien sesudah diberi terapi
kombinasi
asitretin
dan
Psoralen-UVA
photochemotherapy (PUVA).27
Hasil yang didapat pada penelitian 122 pasien
psoriasis vulgaris di Jepang oleh Takahashi dkk.,
menunjukan kadar VEGF serum sebesar 221 pg/ml,
sedangkan Zablotna dkk., melaporkan 47 pasien psoriasis
yang berasal dari Polandia bagian Utara, rerata VEGF
serum sebesar 368,43 pg/mL.28,29 Penelitian yang
Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14
dilakukan Shimauchi dkk., menunjukkan VEGF serum
pasien psoriasis sebesar 545 pg/mL. Lebih lanjut
penelitian tersebut menyatakan faktor angiogenik VEGF
tidak hanya menjadi petanda biologik penting pada
psoriasis vulgaris, namun peran VEGF dapat sebagai
prediktor respon terapi.30
Peran VEGF juga terlihat pada karsinoma sel
skuamosa. VEGF dapat menjadi prediktor terhadap
tingkat rekurensi dan prognosis penyakit. Rerata VEGF
serum dilaporkan lebih tinggi pada kelompok pasien
dengan rekurensi (731 pg/mL) dibandingkan dengan
tanpa rekurensi (327,69 pg/mL).31
Kadar VEGF serum yang bervarisi menunjukkan
bahwa masih belum ada jumlah yang dianggap dapat
mewakili semua populasi psoriasis vulgaris, sehingga
menarik untuk diteliti dan dilaporkan pada berbagai
populasi di tiap negara.
Pada penelitian ini akan ditinjau kadar VEGF serum
berdasarkan masing-masing karakteristik pasien psoriasis.
Nilai tengah VEGF serum lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak banyak penelitian yang
membahas mengenai kadar VEGF pada laki-laki atau
perempuan pasien psoriasis. Satu penelitian menyatakan
tidak terdapat perbedaan bermakna kadar VEGF serum
antar jenis kelamin pada pasien psoriasis.30
Berdasarkan kelompok usia, didapatkan nilai tengah
VEGF serum lebih tinggi pada kelompok usia 40-60
tahun. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mengetahui apakah kadar VEGF serum ini berperan
terhadap manifestasi klinis pasien.3,4,7
Pada hasil analisis nilai VEGF berdasarkan durasi
penyakit, didapatkan nilai tengah VEGF tertinggi pada
durasi penyakit >15 tahun. Masih diperlukan penelitian
lebih lanjut apakah VEGF berperan dalam durasi penyakit
psoriasis vulgaris.
Berdasarkan awitan penyakit, didapatkan nilai
tengah VEGF tertinggi pada kelompok awitan 30-45
tahun. Menurut Henseler dkk., psoriasis dibagi menjadi
dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Pada tipe 1 biasanya
terjadi pada usia di bawah 40 tahun dan biasanya penyakit
cenderung lebih parah. Puxeddu dkk., menyatakan peran
VEGF dalam patogenesis penyakit psoriasis vulgaris,
yaitu VEGF sebagai faktor angiogenik yang
memperburuk inflamasi lesi kulit.3,4,7
Jika data dibedakan berdasarkan BSA, akan
didapatkan bahwa nilai tengah VEGF serum tertinggi
berada pada kelompok BSA >10%. Masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai peran VEGF terhadap
derajat keparahan psoriasis.
13
G. Waworuntu, dkk
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini didapatkan 25 sampel psoriasis
vulgaris dalam kurun waktu sembilan bulan dengan nilai
tengah kadar VEGF serum 270,60 pg/mL 415.62 pg/mL.
Karakteristik SP didapatkan psoriasis terbanyak pada
laki-laki, umumnya tersering pada suku Batak, frekuensi
terbanyak pada kelompok usia < 40 tahun, mayoritas
berpendidikan setingkat perguruan tinggi, pekerjaan
seimbang antara yang tidak bekerja maupun wiraswasta.
Karakteristik klinis didapatkan frekuensi terbanyak pada
durasi penyakit < 5 tahun, awitan penyakit pada
kelompok 15-30 tahun, nilai BSA 3-10%, hanya 1 pasien
dengan riwayat keluarga psoriasis. Nilai tengah kadar
VEGF serum tertinggi pada jenis kelamin laki-laki; suku
Jawa; kelompok usia 40-60 tahun; durasi penyakit >15
tahun; awitan terbanyak pada kelompok usia 30 sampai
45 tahun; dan BSA >10%.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Peter BP, Weissman FG, Gill MA. Pathophysiology and
treatment of psoriasis. Am J Health Syst Pharm. 2000;57:64559
Suomela S. Studies on the molecular patogenesis of psoriasis.
Helsinki University Biomedical Dissertations. 2004; 52:1-81
Henseler T, Christophers E. Psoriasis of early and late onset:
characterization of two types of psoriasis vulgaris. J Am Acad
Dermatol. 1985; 13: 450-6
Gudjonsson J, Elder JT. Psoriasis: epidemiology. Clin
Dermatol. 2012;18:377
Neimann AL, Porter SB, Gelfand JM. The epidemiology of
psoriasis. Expert Rev. Dermatol. 2006;1: 63-75
Pane HN. Profil kadar leptin serum pada berbagai derajat
keparahan pasien psoriasis vulgaris di rumah sakit umum
pusat haji adam malik medan (Tesis). Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2013.
Nevitt GJ, Hutchinson PE. Psoriasis in the community:
prevalence, severity and patients' beliefs and attitudes towards
the disease. Br J Dermatol. 1996; 135: 533-7
Ortonne JP. Recent developments in the understanding of the
patogenesis of psoriasis. Br J Dermatol. 1999;54: 1-7
Bos JD, De Rie MA. The patogenesis of psoriasis:
immunological facts and speculations. Immunol Today. 1999;
20: 40-6
Creamer D, Sullivan D, Bicknell R, Barker J. Angiogenesis in
psoriasis. Angiogenesis. 2002; 5: 231-6
Nickoloff BJ. Characterization of lymphocyte-dependent
angiogenesis using a SCID mouse: human skin model of
psoriasis. J Invest Dermatol Symp Proc. 2000; 5: 67-73
Chen HH, Tseng MP, Tsai TF. An epidemiologic study of
Taiwanese psoriatic patients in a single clinic. Dermatol
Sinica. 2003; 21: 216–24
Sinniah B , Saraswathy Devi S, Prashant BS. Epidemiology of
psoriasis in malaysia: a hospital based study. Med J Malaysia.
2010; 65:112-4
Ibrahim G, Waxman R, Helliwell PS. The prevalence of
psoriatic arthritis in people with psoriasis. Arthritis
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris
Rheumatism. 2009; 61:1373-8
15. Fortune DG, Richards HL, Griffiths CE. Psychologic factors
in psoriasis: consequences, mechanisms, and interventions.
Dermatol Clin. 2005; 23: 681–94
16. Kundakci N, Ursen UT, Babiker MO, Urgey EG. The
evaluation of the sociodemographic and clinical features of
Turkish psoriasis patients. Int J Dermatol. 2002; 41: 220–4
17. Kassi K, Mienwoley OA, Kouyate M, Koui S, Kouassi
KA.Severe skin forms of psoriasis in black africans:
epidemiological, clinical, and histological aspects related to 56
cases. Autoimmune Diseases. 2013; 56:1032
18. Parisi S, Symmons D, Griffiths C, Ashcroft DM. Global
epidemiology of psoriasis: a systematic review of incidence
and prevalence. J Invest Dermatol. 2013; 133: 377-85
19. Chang YT, Chou CT, Yu CW, Lin MW, Shiao YM, Chen CC,
dkk. Cytokine gene polymorphisms in Chinese patients with
psoriasis. Br J Dermatol. 2007; 156: 899–905
20. Lin TY, See LC, Shen YM, Liang CY, Chang HN, Lin YK,
dkk. Quality of life in patients with psoriasis in Northern
Taiwan. Chang Gung Med J. 2011;34:186-96
21. Landegren J, Mobacken H. Psoriasis related conditions. A
pictorial atlas. Clinical presentation and differential diagnosis.
J Eur Acad Dermatol.1995; 1-21
22. Farber EM, Nall L. Natural history of psoriasis in 5600
patients. Dermatologica. 1974; 148:1-18
23. Oka A, Mabuchi T, Ozawa A, Inoko H. dkk Current
understanding of human genetics and genetic analysis of
psoriasis. J Dermatol .2012; 39:231–41
24. Kwon HH, Kwon IH, Youn JI. Clinical study of psoriasis
occurring over the age of 60 years: is elderly-onset psoriasis a
distinct subtype? Int J Dermatol. 2012; 51: 53–8
25. Felix Boon-Bin Yap. Psoriasis among Sarawakian natives in a
tertiary skin centre in Sarawaka. Australas J Dermatol. 2010;
20: 45-6
26. Papp K , Valenzuela F, Poulin Y, Bernstein G, Wasel N.
Epidemiology of moderate to severe plaque psoriasis in a
Canadian surveyed population. J Cutan Med Surg.
2010;14:167-74
27. Nofal A, Makhzangy AL, Attwa I, Nassar E, Abdalmoati A.
Vascular endothelial growth factor in psoriasis: an indicator of
disease severity and control. JEADV. 2009; 23: 803-6
28. Takahashi H, Tsuji, H, Hashimoto Y, Ishida-Yamamoto A,
Iizuka, H. Serum cytokines and growth factor levels in
Japanese patients with psoriasis. Clin Exp Dermatol. 2010; 35:
645–9
29. Zablotna M, Sobjanek M, Nedoszytko B, Lange M, Kozicka
D, Glen J, dkk. Association of psoriasis with the VEGF gene
polymorphism in the Northern Polish population. JEADV.
2013; 27: 319–23
30. Shimauchi T, Hirakawa S, Suzuki T, Yasuma A, Majima Y,
Tatsuno K, dkk. Serum interleukin-22 and vascular endothelial
growth factor serve as sensitive biomarkers but not as
predictors of therapeutic response to biologics in patients with
psoriasis. J Dermatol. 2013; 40: 805–12
31. Khademi
B,
Soleimanpour
M,
Ghaderi
A,
Mohammadianpanah M. Prognostic and predictive value of
serum vascular endothelial growth factor (VEGF) in squamous
cell carcinoma of the head and neck. Oral Maxillofac Surg.
2013; 3
14
Artikel Asli
RESISTENSI ANTIBIOTIK PROPIONIBACTERIUM ACNES DARI
BERBAGAI LESI KULIT AKNE VULGARIS
DI RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
Reti Hindritiani, Asmaja Soedarwoto, Kartika Ruchiatan, Oki Suwarsa, Mirantia Umi Budiarti,
Desidera Husadani, Achmad Yudha Pranata
Departemen IK Kulit dan Kelamin
FK Universitas Padjadjaran/RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Resistensi Propionibacterium acnes (P. acnes) terhadap antibiotik semakin meningkat. Penilaian resistensi sebaiknya dilakukan
setiap lima tahun untuk menentukan antibiotik yang digunakan dalam terapi akne vulgaris (AV). Perbedaan prevalensi resistensi P.
acnes di berbagai wilayah antara lain disebabkan perbedaan bahan pemeriksaan (BP) yang belum seragam di antara para peneliti.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kepositivan P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul, serta
resistensinya terhadap tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin, dan eritromisin.
Penelitian ini merupakan studi analitik potong lintang, untuk membandingkan tingkat kepositivan P. acnes dari tiga BP dengan
identifikasi P. acnes menggunakan mesin VITEK®2, kemudian dilakukan uji kepekaan dengan metode difusi. Jumlah peserta
penelitian adalah 50 pasien AV.
Tingkat % kepositivan kultur P. acnes dari permukaan lesi kulit (70%), komedo tertutup (66,6%), dan pustula (60%) secara
statistik tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Persentase resistensi P. acnes dari ketiga BP menunjukkan hasil yang serupa, yaitu
berturut-turut dari yang paling rendah adalah doksisiklin, tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, dan klindamisin.
Simpulan, tidak terdapat perbedaan bermakna antara BP permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul terhadap angka
kepositifan kultur P. acnes dan resistensinya. Doksisiklin masih dapat digunakan sebagai pilihan utama terapi antibiotik pada AV,
sedangkan penggunaan klindamisin dan eritromisin sebaiknya dipertimbangkan kembali karena mempunyai angka resistensi tinggi.
Kata kunci: akne vulgaris, P. acnes, pengambilan sampel, resistensi
ANTIBIOTIC RESISTANCY OF PROPIONIBACTERIUM ACNES FROM
ACNE VULGARIS LESIONS
IN DR. HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG
ABSTRACT
Propionibacterium acnes (P. acnes) resistance toward antibiotics is gradually increasing. Sensitivity test should be done once
every five years to determine the antibiotics used in acne vulgaris (AV) treatment. One of the reason for the difference in prevalence of
resistance among various country is the divergence of study materials used by the researchers. The purpose of this study was to
determine P. acnes positivity from skin surface, closed comedone, and pustule, along with its resistance toward tetracycline,
doxycycline, minocycline, clindamycin, and erythromycin.
This was a cross-sectional analytic study to compare P. acnes positivity from three different study materials. P. acnes was
identified using VITEK®2 and the sensitivity test were done using disc diffusion method. The number of participants were 50 AV
patients.
The different of P. acnes positivity from skin surface (70%), closed comedone (66,6%), and pustule (60%) were not statistically
significant (p> 0,05). Resistance of P. acnes from the three study materials showed similar result, namely from the lowest to highest
resistance were toward doxycycline, tetracycline, minocycline, erythromycin, and clindamycin respectively.
Conclusion, there is no significant different of P. acnes positivity and resistance among skin surface, closed comedone, and
pustule. Doxycycline may still be used as the main choice of antibiotic treatment in AV, while clindamycin and erythromycin need to
be reconsidered because of the high resistance rates.
Keywords: acne vulgaris, P. acnes, sampling method, resistance
Korespondensi:
Jl. Pasteur no 38, Bandung, 40161,
Telepon/Fax (022) 2032426
Email: [email protected]
15
MDVI
PENDAHULUAN
Akne vulgaris (AV) merupakan inflamasi kronis pada
folikel pilosebasea,1,2 yang ditandai dengan komedo
sebagai lesi patognomonik, papul, pustul, nodus, dan kista
di tempat predileksi, yaitu wajah, leher, punggung bagian
atas, bahu, dan lengan atas.2,3 AV dapat mengenai semua
usia, 85% terjadi pada pasien kelompok usia remaja
hingga dewasa muda.2
Empat faktor utama yang berperan dalam patogenesis
AV adalah peningkatan produksi sebum, hiperkeratinisasi
duktus pilosebaseus, inflamasi, dan abnormalitas mikroba
pada duktus, terutama Propionibacterium acnes (P.
acnes).1,2 P. acnes merupakan bakteri yang berperan
dalam pembentukan lesi AV dengan mencetuskan reaksi
inflamasi.1
Peran P. acnes dalam patogenesis AV menjadi dasar
pemberian antibiotik sistemik melalui aktivitas antibakteri
maupun efek antiinflamasi.4 Berdasarkan Indonesian
Acne Expert Meeting (IAEM) tahun 2012, doksisiklin
merupakan terapi oral lini pertama untuk AV derajat
sedang dan berat, lini pertama untuk wanita hamil adalah
eritromisin.3 Antibiotik lain yang sering digunakan untuk
pengobatan AV adalah tetrasiklin, klindamisin, dan
minosiklin. Dengan semakin luasnya penggunaan
antibiotik, maka resistensi P. acnes terhadap antibiotik
semakin meningkat. Pasien AV dengan koloni P. acnes
yang kurang sensitif terhadap antibiotik memiliki respons
terapi yang lebih buruk bila dibandingkan dengan
individu dengan mikroorganisme P. acnes yang masih
sensitif.6 Penelitian resistensi bakteri sebaiknya dilakukan
setidaknya satu kali dalam lima tahun karena resistensi
antibiotik dapat berkembang dengan cepat.10 Penelitian
mengenai resistensi P. acnes di RSHS pernah dilakukan
pada tahun 1986 dan terakhir pada tahun 2006.6,7
Isolasi P. acnes dapat dilakukan dari berbagai BP.
Hal ini disebabkan karena populasi P. acnes dapat
ditemukan di permukaan kulit maupun di dalam stratum
korneum, di infundibulum kelenjar sebaseus, dan di
folikel rambut bagian bawah.8 Walaupun banyak
anggapan bahwa P. acnes bersifat anaerob, P. acnes yang
ditemukan pada kulit tidak sepenuhnya anaerob. Cove
dkk.9 mendapatkan bahwa P. acnes dapat menoleransi
keberadaan oksigen hingga 100%, walaupun dengan
tingkat pertumbuhan yang lebih rendah.
Beberapa peneliti menggunakan teknik apus lesi
(swab), dan peneliti lainnya mengambil BP dari materi
lesi, baik itu komedo, pustul, maupun papul dengan hasil
kepositivan, prevalensi resistensi dan resistensi antibiotik
yang berbeda-beda. BP yang berbeda ini memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing.5,10-1
Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat
kepositivan kultur P. acnes dari BP permukaan lesi
dengan apus kulit, komedo tertutup, dan pustul, serta
16
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 15 - 19
untuk mengetahui resistensi bakteri P.acnes tersebut
terhadap lima antibiotik yang digunakan pada pengobatan
AV, yaitu tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin,
dan eritromisin.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik potong
lintang, untuk membandingkan tingkat kepositivan P.
acnes dari tiga BP dan uji kepekaan P. acnes dengan
metode difusi. Peserta penelitian adalah pasien AV di
Poliklinik IK Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUP Dr.
Hasan Sadikin (RSHS) tahun 2014, dengan rentang usia
12 hingga 39 tahun yang dipilih berdasarkan urutan
kedatangan pasien (consecutive sampling) sampai
terpenuhi besar sampel. Besar sampel berdasarkan
perhitungan dengan taraf kepercayaan 95% adalah 50
pasien.
Pada setiap pasien dilakukan pengambilan BP untuk
identifikasi P. acnes, yaitu dari permukaan kulit dengan
apus kulit, komedo tertutup, dan pustul. Kriteria inklusi
adalah pasien baru atau lama yang didiagnosis sebagai
AV berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, serta
memiliki lesi komedo tertutup dan pustul. Tidak terdapat
kriteria eksklusi pada penelitian ini.
Bahan Penelitian
Permukaan lesi kulit diambil dengan cara
membersihkan permukaan wajah dengan kapas yang
dibasahi NaCl 0,9% kemudian seluruh permukaan kulit
wajah pasien diusap dengan sebuah lidi kapas steril yang
dicelupkan ke dalam larutan Phosphate buffer pH 7.0
yang mengandung 2% Tween 80. Lidi kapas kemudian
dimasukkan ke dalam media transpor. BP dari komedo
tertutup dan pustul dipilih secara acak. Pengambilan BP
tersebut dilakukan dengan cara membersihkan permukaan
lesi dan kulit di sekitarnya menggunakan kapas yang
dibasahi alkohol 70%, kemudian dibiarkan sampai kering.
Komedo tertutup dan pustul kemudian ditusuk dengan
menggunakan jarum steril berukuran 26 G. Isi komedo
tertutup dan pustul dikeluarkan dengan cara menekan lesi
menggunakan ekstraktor komedo steril. Isi komedo dan
pus yang keluar diusap dengan menggunakan lidi kapas
steril dan dimasukkan ke dalam media transport.
Kultur, Identifikasi, dan Uji Kepekaan P. acnes
Bahan pemeriksaan dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan kultur bakteri dalam media agar darah. Koloni
bakteri tersangka berupa koloni berwarna putih,
kekuningan, atau putih keabuan, permukaan halus dan
berkilat dengan diameter 1-2 mm. Identifikasi P. acnes
kemudian dilakukan secara otomatis dengan mesin
MDVI
Vitek® 2 dengan cara membuat suspensi koloni bakteri
dalam Fluid thioglycolate medium (FTM) dengan
kekeruhan Mc Farland 0,5. Suspensi bakteri dimasukkan
ke dalam mesin Vitek® 2 yang mengandung berbagai uji
biokimia untuk identifikasi bakteri. Hasil pembacaan
berupa kertas cetakan yang bertuliskan bakteri yang
teridentifikasi.
Uji kepekaan dilakukan dengan metode disc diffusion.
Suspensi koloni bakteri dalam FTM dengan kekeruhan
Mc Farland 0,5 dioleskan secara merata pada media agar
Muller Hinton. Cakram antibiotik tetrasiklin, doksisiklin,
minosiklin, klindamisin, dan eritromisin diletakkan
dengan meggunakan pinset steril. Media agar kemudian
diinkubasi dalam anaerobic jar. Hasil uji kepekaan
dibaca dengan melihat dan mengukur lingkaran zona
hambat di sekitar cakram antibiotik setelah 24 jam.
Penilaian hasil uji kepekaan dilakukan berdasarkan
standar Clinical and Laboratory Standard Institute
(CLSI).
Data perbandingan angka kepositivan P. acnes
dengan BP apusan kulit, komedo tertutup, dan pustul
dianalisis secara statistik menggunakan uji Cochran.
Hasil dinyatakan bermakna secara statistik bila p<0,05.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik pasien AV berdasarkan jenis kelamin,
umur dan pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Peserta penelitian berjumlah 50 orang, sebagian besar
adalah perempuan (58%). Usia pasien terbanyak berada
pada kelompok usia 20-24 tahun (36%). Sebagian besar
pasien berpendidikan terakhir setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (62%).
Tabel 1. Karakteristik Pasien Akne Vulgaris di Poliklinik IKKK
RSHS tahun 2014 (n=50)
Karakteristik
Jumlah (N=50)
N
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
21
42
Perempuan
29
58
Kelompok Usia (tahun)
10-14
2
4
15-19
14
28
20-24
18
36
25-29
8
16
30-34
5
10
3
6
≥ 35
Pendidikan
SD
4
8
SMP
4
8
SMA
31
62
D3
3
6
S1
7
14
S2
1
2
Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 125 -128
Hasil isolasi P. acnes dari 50 BP permukaan lesi kulit
ditemukan positif pada 35 sampel (70%), dari komedo
tertutup positif pada 33 sampel (66,7%), sedangkan dari
putul, ditemukan positif pada 30 sampel (60%) (Gambar
1).
Gambar 1.
Tingkat kepositivan P. acnes dari permukaan lesi
kulit, komedo tertutup, dan pustul pada 50
pasien AV di Poliklinik IKKK RSHS tahun 2014.
Tingkat kepositivan BP apusan kulit, komedo
tertutup, dan pustul dianalisis secara statistik dengan uji
Cochran untuk data kategorik berpasangan. Hasil uji
menunjukkan bahwa perbedaan angka kepositivan
tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,593).
Pada BP permukaan kulit, resistensi didapatkan pada
24 pasien dari 35 pasien dengan hasil kultur P. acnes
positif, dengan kata lain, prevalensi resistensi adalah
sebesar 68,6%. Pada BP komedo tertutup dan pustul,
resistensi secara berturut-turut didapatkan pada 22 pasien
dari 33 pasien (prevalensi resistensi 66,7%) dan 20 dari
30 pasien (prevalensi resistensi 66,7%).
Resistensi P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo
tertutup, dan pustul dapat dilihat pada Gambar 2.
Persentase resistensi P. acnes dari tiga BP pada penelitian
ini memiliki hasil yang sama, yaitu terendah pada
doksisiklin, diikuti oleh tetrasiklin, minosiklin,
eritromisin, dan paling tinggi terhadap klindamisin.
Gambar 2.
Resistensi P. Acnes terhadap doksisiklin,
tetrasiklin,
minosiklin,
eritromisin,
dan
klindamisin pada
pasien AV di
Poliklinik IKKK RSHS tahun 2014.
17
MDVI
PEMBAHASAN
Tingkat kepositivan P. acnes masing-masing BP pada
penelitian ini adalah 70% pada BP permukaan lesi kulit,
66,7% pada komedo tertutup, dan 60% pada pustul.
Secara statistik tidak ditemukkan adanya perbedaan angka
kepositivan yang bermakna antara ketiga BP tersebut.
Pengambilan BP P. acnes dapat dilakukan dari
permukaan kulit dan dari folikel pilosebaseus (komedo,
papul, dan pustul).10 Pengambilan dari permukaan kulit
dapat menggunakan teknik apusan, kerokan,12 atau teknik
Williamson dan Kligman.9 Tingkat kepositivan
pengambilan sampel dari apus permukaan berkisar 5393,7%.13-4 Pengambilan sampel mikroorganisme dari
permukaan kulit lebih mudah dibandingkan dengan
pengambilan sampel mikroorganisme dari folikel serta
dapat sekaligus mengambil beberapa area folikel.
Walaupun BP diambil dari permukaan kulit, tetapi habitat
mikroorganisme tersebut adalah di folikel.11 BP yang
diambil dengan apus dari seluruh permukaan wajah,
mengandung organisme yang berasal dari banyak folikel,
sehingga pengambilan bahan pemeriksaan permukaan
dari area kulit yang luas direkomendasikan untuk menilai
prevalensi resistensi propionibacteria pada kulit.10
Pengambilan sampel dari komedo, papul, atau pustul
dapat menggunakan biopsi plong, teknik pengambilan
dengan sianoakrilat,12 ekstraksi komedo, atau ekstraksi
pustul.10 Metode ekstraksi pustul dan ekstraksi komedo
memiliki keuntungan, yaitu mudah dilakukan dan dapat
mengisolasi P. acnes yang berada di folikel pilosebaseus,
namun hanya mewakili satu folikel. Tingkat kepositivan
pengambilan BP dengan metode ekstraksi komedo
berkisar 55-92%, sementara ekstraksi pustul berkisar 7396%. Penelitian resistensi P. acnes di RSHS dilakukan
dengan BP pustul, dan didapatkan tingkat kepositivan
100% pada tahun 1986 dan 61% pada tahun 2006.6,7
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat
kepositivan P. Acnes, antara lain kepadatan P. acnes,11-15
lokasi pengambilan sampel,16 usia pasien,15 dan faktor
biofilm P. acnes.8 Masing-masing folikel pilosebaseus
dapat memiliki lingkungan mikro yang berbeda satu sama
lain, sehingga memengaruhi kolonisasi P. acnes.11
Semakin padat P. acnes maka kemungkinan mendapatkan
isolat yang positif akan semakin tinggi.16 Kepadatan P. acnes dipengaruhi pula oleh lokasi tubuh.9,15
Area dengan kepadatan kelenjar sebaseus yang tinggi,
misalnya wajah, dada, dan punggung merupakan tempat
yang subur untuk pertumbuhan P. acnes.17 Pada
penelitian ini, seluruh BP diambil dari wajah. Teknik
pengambilan BP tidak berbeda dengan kuman lain, karena
walaupun banyak terdapat anggapan bahwa P. acnes
bersifat anaerob, P. acnes yang ditemukan pada kulit
tidak sepenuhnya anaerob. Dari penelitian oleh Cove
dkk.9 didapatkan hasil bahwa P. acnes dapat mentoleransi
18
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 15 - 19
keberadaan oksigen hingga 100%, walaupun dengan
tingkat pertumbuhan yang lebih rendah.
Usia pasien juga memengaruhi tingkat kepadatan P.
acnes. Miura dkk.15 (2010) melaporkan bahwa kelompok
usia 15-19 tahun memiliki tingkat kepadatan P. acnes
tertinggi. Pada satu literatur disebutkan, pada usia
pubertas, terjadi pematangan unit pilosebaseus sehingga
meningkatkan jumlah mikroorganisme lipofilik, misalnya
P. acnes.17 Pada penelitian ini kelompok usia terbanyak
adalah 20-24 tahun (Tabel 1) yang sudah melewati
puncak masa pubertas sehingga kemungkinan
menurunkan tingkat kepositivan P. acnes.
Keberadaan biofilm P. acnes juga dapat menurunkan
kepositivan P. acnes dari lesi komedo tertutup dan pustul.
Biofilm melekat secara ireversibel pada dinding folikel
rambut, sehingga pengambilan BP untuk isolasi P. acnes
yang membentuk biofilm tersebut kemungkinan akan
gagal.8 Pada penelitian ini, BP dari permukaan kulit,
komedo tertutup, dan pustul mempunyai tingkat
kepositivan yang tidak berbeda secara bermakna.
Prevalensi resistensi P. acnes terhadap berbagai
antibiotik telah banyak dilaporkan di berbagai negara
dengan hasil yang bervariasi, yaitu 91% di Eropa,18 31%
di Iran,19 dan 9% di Australia.20 Prevalensi resistensi pada
penelitian ini, dari BP permukaan kulit 68,6%, komedo
tertutup 66,7%, dan pustul 66,7%.
Resistensi P. acnes terhadap antibiotik dari ketiga BP
didapatkan serupa, yaitu tertinggi terhadap klindamisin,
diikuti eritromisin, minosiklin, tetrasiklin, dan terendah
terhadap doksisiklin. Di RSHS, Soedarwoto pada tahun
1986 mendapatkan resistensi terhadap tetrasiklin dan
kloramfenikol masing-masing sebesar 3,33%, sedangkan
pada klindamisin dan eritromisin tidak didapatkan
resistensi.6 Nurwulan (2006) mendapatkan resistensi
terhadap tetrasiklin sebesar 12,9%, eritromisin 45,2%,
dan klindamisin 61,3%. Pada doksisiklin dan minosiklin
tidak didapatkan resistensi.7
Pada satu pasien dapat ditemukan resistensi antibiotik
yang berbeda dengan BP yang berbeda. Hal ini
disebabkan masing-masing lesi AV dapat diumpamakan
sebagai infeksi folikel yang terpisah. Satu lesi dapat
mengandung galur P. acnes yang resisten, sementara lesi
yang lain mengandung galur yang sensitif.10 Resistensi P.
acnes tertinggi didapatkan pada klindamisin diikuti
eritromisin. Resistensi P. acnes pertama kali ditemukan
terhadap eritromisin dan klindamisin pada tahun 1979.21
Tang dkk. (2012)22 Moon dkk. (2012),23 serta Luk dkk.
(2011)24 menyebutkan bahwa resistensi terhadap
klindamisin adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan antibiotik lain, diikuti oleh eritromisin. Moon dkk.
(2012)23 menyatakan bahwa klindamisin topikal
merupakan obat over the counter (OTC) yang paling
sering digunakan untuk mengobati AV sehingga
MDVI
resistensinya ditemukan paling tinggi. Tetrasiklin dan
minosiklin jarang diberikan sebagai terapi antibiotik AV,
tetapi resistensi kemungkinan dapat disebabkan adanya
resistensi silang dengan doksisiklin.24,25 Pada penelitian
ini, doksisiklin merupakan antibiotik yang angka
resistensinya paling rendah (<10%). Doksisiklin
merupakan antibiotik pilihan utama untuk terapi AV
karena berbagai penelitian menyebutkan angka resistensi
yang masih rendah.21-24 Berdasarkan IAEM, doksisiklin
merupakan terapi oral lini pertama untuk AV derajat
sedang dan berat sehingga di RSUP Dr. Hasan Sadikin
doksisiklin diberikan kepada sebagian besar pasien AV
yang membutuhkan antibiotik. Hal ini kemungkinan
menjadi penyebab mulai timbulnya resistensi terhadap
doksisiklin.
Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 125 -128
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
PENUTUP
Tidak terdapat perbedaan tingkat kepositivan kultur
P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan
pustul. Hasil uji kepekaan P. acnes dari ketiga BP
tersebut juga didapatkan serupa. Berdasarkan hasil
tersebut, ketiga BP sama baiknya dalam mengisolasi P.
acnes dari lesi AV dan dalam menilai resistensi.
Doksisiklin masih dapat digunakan sebagai pilihan
utama terapi antibiotik pada pasien AV, sedangkan
tetrasiklin dan minosiklin dapat digunakan sebagai terapi
alternatif. Klindamisin dan eritromisin sebaiknya
dipertimbangkan kembali penggunaannya karena
memiliki angka resistensi yang lebih tinggi.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Layton AM. Disorders of sebaceous glands. Dalam: Burns T,
Breatnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of
dermatology. Edisi ke-8. New-Jersey: Willey-Blackwell; 2010. h.42.188.
Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM. Acne vulgaris and
acneiform eruptions. Dalam: Goldsmith AL, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Lefell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.
h.897-917.
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia. Indonesian acne
expert meeting 2012. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia.
Dreno B, Bettoli V, Ochsendorf F, dkk. European recommendations
on the use of oral antibiotics for acne. Eur J Dermatol. 2004;14:391-9.
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Panduan Praktik
Klinik. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. RS DR. Hasan Sadikin FK Universitas Padjadjaran. Bandung. 2013.
Soedarwoto AD. Resistensi Propionibacterium acnes terhadap
berbagai antibiotika. Bandung: Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
Universitas Padjadjaran; 1986.
Nurwulan F. Kepekaan Propionibacterium acnes terhadap beberapa
antibiotik pada penderita akne vulgaris. Bandung: Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, Universitas Padjadjaran; 2006.
Alexeyev OA, Jahns A. Sampling and detection of skin
Propionibacterium acnes: current status. Anaerobe. 2012;18:479-83.
Cove JH, Holland KT, Cunliffe WJ. Effects of oxygen concentration
on biomass production, maximum spesific growth rate and
23.
24.
25.
extracellular enzyme production by three species of cutaneous
Propionibacteria grown in continuous culture. J Gen Microbiol.
1983;129:3327-34.
Eady AE Cove JH, Layton AM. Is antibiotic resistance in cutaneous
propionibacteria clinically relevant? Am J Clin Dermatol. 2003;4:81331.
Shaheen B, Gonzales M. A microbial aetiology of acne: what is the
evidence? Br J Dermatol.2011;165:474-85.
Zouboulis CC, Piquerro-Martin J. Update and future of systemic acne
treatment. Dermatol. 2003;206:37-53.
Burkhart CN, Burkhart CG. Microbiology's principle of biofilms as a
major factor in the pathogenesis of acne vulgaris. Int J Dermatol.
2003;42:925-27.
Webster GF. Overview of the pathogenesis of Acne. Dalam: Webster
GF, penyunting. Acne and its therapy. New York: Informa Healthcare;
2007.
Miura Y, Ishige I, Soejima N, Suzuki Y, Uchida K, Kawana S, dkk.
Quantitative PCR of Propionibacterium acnes DNA in samples
aspirated from sebaceous follicles on the normal skin of subjects with
or without acne. J Med Dent Sci. 2010; 57:65-74.
Coates P, Vyakarnm S, Eady EA, Jones CE, Cove JH, Cunliffe WJ
dkk. Prevalence of antibiotic-resistant propionibacteria on the skin of
acne patients: 10-year surveillance data and snapshot distribution
study. Br J Dermatol. 2002;146: 840-48.
Grice EA, Segre JA. The skin microbiome. Nature. 2011;9:244-53.
Ross JI, Snelling AM, Carnegie E, Coates P, Cunliffe WJ, Bettoli V,
dkk. Clinical and laboratory investigations antibiotic-resistant acne:
lessons from Europe. Br J Dermatol. 2003;148:467-78.
Zandi S, Vares B, Abdollahi H. Determination of microbial agents of
acne vulgaris and Propionibacterium acnes antibiotic resistance in
patients referred to dermatology clinics in Kerman, Iran. Jundishapur J
Microbiol. 2011;4:17-22.
Toyne H, Webber C, Collignon P, Dwan K, Kljakovic M.
Propionibacterium acnes (P. acnes) resistance and antibiotic use in
patients attending Australian general practice. Aus J Dermatol.
2012;53:106-11.
Eady EA, Jones C, Tipper JL, Cove JH, Cunliffe WJ, Layton AM dkk.
Antibiotic resistant propionibacteria in acne: need for policies to
modify antibiotic usage. Br Med J. 1993;306:555-6.
Tang JJ, Heng A, Chan LC, Tang MM, Rhosidah B. Antibiotic
sensitivity of propionibacterium acnes isolated from patients with acne
vulgaris in Hospital Kuala Lumpur, Malaysia. Mal J Dermatol.
2012;28:1-8.
Moon SH, Roh HS, Kim YH, Kim JE, Ko JY. Antibiotic resistance of
microbial strains isolated from Korean acne patients. J Dermatol.2012;
39:833-7.
Luk NMT, Hui M, Lee CS, Fu LH, Liu ZH, Lam LY, dkk. Antibioticresistant Propionibacterium acnes among acne patients in a regional
skin centre in Hong Kong. JEADV. 2011;27:31-6.
Eady EA, Gloor M, Leyden JJ. Propionibacterium acnes resistance: a
worldwide problem. Dermatol. 2003;206:54-6.
19
Artikel Asli
INSIDENS PENYAKIT KULIT DI DIVISI DERMATOLOGI GERIATRI
POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT
DR. CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2008-2013
Lili Legiawati, Shannaz Nadia Yusharyahya, Sri Adi Sularsito, Nessya Dwi Setyorini
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK. Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangkunkusumo Jakarta
ABSTRAK
Jumlah penduduk usia lanjut diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Hal tersebut berakibat pada semakin
banyaknya masalah kesehatan yang timbul pada populasi tesebut. Saat ini belum terdapat data insidensi penyakit kulit di Divisi
Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui insidensi penyakit kulit di divisi Dermatologi Geriatri poliklinik Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2008-2013.
Metode penelitian retrospektif menggunakan catatan rekam medik pasien kunjungan poliklinik. Seluruh pasien berusia 60
tahun atau lebih dengan kelainan kulit dimasukkan dalam penelitian.
Terdapat 2343 pasien, laki-laki 43,5% dan wanita 56,5%. Kategori umur terbanyak adalah usia 60-65 tahun (53,1%).
Sepuluh kasus terbanyak adalah dermatitis (28,85%), diikuti tumor kulit (17,50%), kelainan kosmetik (12,46%), penyakit infeksi
(10,50%), xerosis cutis (6,27%), pruritus (5,42%), kelainan apendiks kulit (4,95%), dermatosis eritroskuamosa (4,27%), alergi
dan erupsi obat alergik (4,05%), dan ulkus (1,71%). Dermatitis kontak iritan merupakan kasus dermatitis terbanyak (26,18%
dari seluruh kasus dermatitis). Riwayat penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi (22,34%).
Penelitian ini menggambarkan insidensi penyakit kulit pasien di divisi Dermatologi Geriatri poliklinik Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008-2013. Pola lima penyakit terbanyak hampir sama dari tahun ke tahun, yaitu
dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit infeksi, dan xerosis cutis.
Kata kunci: insidens, dermatologi geriatri
INCIDENCE SKIN DISEASE IN GERIATRIC DERMATOLOGY DIVISION
DERMATOVENEREOLOGY OUT PATIENT CLINIC
DR. CIPTO MANGUNKUSUMO GENERAL HOSPITAL YEAR 2008-2013
ABSTRACT
It is estimated that geriatric population will be doubled in 2025. That increased number of population will result in more
health problems occurred in elderly. Until now, there are no incidence data of dermatological problem in Geriatric Dermatology
Division in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Purpose to understand the incidence of dermatological conditions at geriatric dermatology division, dermatovenerology out
patient clinic in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2008-2013.
Methods this is a retrospective study using outpatients medical records. All patients which were 60 years old or more with
dermatological problems who were consulted to the clinic in the period of six years (2008–2013) were enrolled in this study.
There were 2343 subjects enrolled, male 43,5% and female 56,5%. Most patients were in 60-65 years old group (53,1%).
The most cases were dermatitis (28,85%), followed by skin tumor (17,50%), cosmetic disorders (12,46%), infectious disease
(10,50%), xerosis cutis (6,27%), pruritus (5,42%), appendages disorder (4,95%), eritrosquamous dermatosis (4,27%), allergic
condition and eruption (4,05%), and ulcer (1,71%). Irritative contact dermatitis was the most dermatitis case (26,18% of all
dermatitis case).The most comorbidity found in the subjects was hypertension (22,34%).
This study depicted the incidence of dermatological conditions of patients at geriatric dermatology division
dermatovenerology out patient clinic in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2008-2013. The 5 most skin diseases were almost
the same year by year, they were dermatitis, skin tumor, cosmetic disorder, infectious disease, and xerosis cutis.
Key words: incidence, geriatric dermatology
Korespondensi:
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat
Telp. 021-31935383
Email: [email protected]
20
L. Legiawati, dkk
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup di
Indonesia, jumlah populasi penduduk usia lanjut pun
meningkat. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010
menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar
negara dengan jumlah penduduk usia lanjut terbanyak di
dunia, yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada tahun 2010
atau 9,6% dari jumlah penduduk. Menurut data
Kementrian Kesehatan, tahun 2014 diharapkan terjadi
peningkatan usia harapan hidup dari 70,6 tahun pada 2010
menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan struktur usia penduduk. Menurut
proyeksi Bappenas, jumlah penduduk usia lanjut 60 tahun
atau lebih akan meningkat dari 18,1 juta jiwa pada 2010
menjadi dua kali lipat, yakni 36 juta jiwa pada 2025.1
Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut dapat berakibat
pada semakin banyaknya masalah kesehatan yang timbul
pada populasi tersebut.
Adanya perubahan degeneratif dan metabolik yang
terjadi pada berbagai lapisan kulit selama proses penuaan
mengakibatkan pasien usia lanjut lebih rentan terhadap
bermacam kondisi. Penyakit sistemik, faktor kebersihan
diri, status sosial ekonomi, iklim dan cuaca, warna kulit,
jenis kelamin, nutrisi, budaya, dan beberapa kebiasaan,
misalnya merokok dan minum minuman beralkohol juga
berperan terhadap kondisi kulit pasien usia lanjut.
Berbeda dengan pasien muda, stres fisis atau psikososial
yang relatif ringan dapat memicu timbulnya penyakit akut
pada pasien geriatri.2
Diagnosis dan penanganan penyakit kulit pada pasien
usia lanjut merupakan tantangan tersendiri bagi para
klinisi. Seringkali pasien geriatri datang dengan beberapa
masalah kesehatan (multipatologi). Pada pasien geriatri
umumnya telah terjadi berbagai penyakit kronis, fungsi
organ-organ yang menurun, dan penurunan status
fungsional (disabilities). Banyaknya obat yang
dikonsumsi oleh pasien justru membahayakan tubuh
mereka karena berbagai fungsi organ yang telah
mengalami penurunan. Selain itu manifestasi klinis
penyakit kulit pada pasien geriatri dapat berbeda atau
tidak khas seperti pada pasien muda.3
Penyakit kulit pada populasi usia lanjut bervariasi
antar negara. Penelitian yang dilakukan pada 4009 pasien
geriatri di Turki pada tahun 2005 menunjukkan bahwa
dermatitis adalah penyakit yang paling sering ditemukan,
diikuti oleh infeksi jamur, pruritus, infeksi bakteri, dan
infeksi virus. Di Singapura pada tahun 1990, xerosis kutis
dan dermatosis asteatotik adalah penyakit yang paling
sering, diikuti oleh skabies, infeksi bakteri, dan dermatitis
eksem. Di Taiwan pada tahun 2001, penyakit kulit pada
pasien geriatri yang paling sering ditemukan adalah
Insidens penyakit kulit geriatri
eksem, diikuti oleh infeksi jamur, xerosis, tumor jinak,
dan infeksi virus.2
Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian
deskriptif mengenai pola kunjungan penyakit kulit dan
kelamin pada pasien geriatri di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
insidens penyakit kulit dan kelamin di divisi Geriatri
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta selama tahun 2008-2013.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi sarana pelayanan kesehatan dalam
mengurangi angka morbiditas penyakit kulit dan kelamin
pada pasien geriatri. Data dan informasi dari penelitian ini
dapat pula digunakan untuk membantu penelitian lebih
lanjut.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif
deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari bagian Rekam Medis RSUPN Cipto
Mangunkusumo.
Teknik
pengambilan
sampel
menggunakan metode total sampling. Subjek penelitian
adalah seluruh pasien Dermatovenereologi yang berusia
di atas atau sama dengan 60 tahun dengan kelainan kulit
dan/atau kelamin yang berobat atau yang dikonsulkan ke
divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam kurun waktu enam
tahun (Januari 2008- Desember 2013).
Data penelitian dikumpulkan dari dokumen rekam
medis dan dicatat dalam formulir penelitian. Kemudian
data yang telah rampung disusun dalam bentuk tabel dan
diolah menggunakan IBM SPSS Statistic v20. Analisis
dilakukan menggunakan analisis deskriptif dengan
membuat tabel, diagram batang, dan diagram cakram
yang mencakup frekuensi dan persentase sampel
berdasarkan tahun kunjungan, jenis kelamin, dan
kelompok umur.
HASIL
Variabel demografis yang didata pada 2343 pasien di
divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM
adalah distribusi tahun kunjungan, jenis kelamin, umur,
pendidikan, dan pekerjaan. Tabel 1 berikut menunjukkan
data sosiodemografis subyek penelitian.
21
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26
MDVI
Tabel 1. Data sosiodemografis pada pasien geriatri yang menjadi subjek penelitian penyakit kulit di poliklinik dermatologi
Geriatric FKUI/RSCM 2008-2013
Frekuensi (n)
Persen (%)
Jumlah pasien
2343
100.0
Tahun kunjungan
2008
381
16.3
2009
360
15.4
2010
466
19.9
2011
439
18.7
2012
362
15.5
2013
335
14.3
Jenis kelamin
Perempuan
1324
56.5
Laki-laki
1019
43.5
Umur
60-65 tahun
1243
53.1
66-70 tahun
551
23.5
71-75 tahun
276
11.8
76-80 tahun
183
7.8
>80 tahun
90
3.8
Pendidikan
Tidak diketahui
1363
58.2
SD/SMP/SMA
609
26.0
D3/S1/S2/S3
312
13.3
Tidak sekolah
59
2.5
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
820
35.0
Tidak bekerja/pensiunan
734
31.3
Tidak diketahui
381
16.3
Pegawai swasta/wiraswasta
286
12.2
Dosen/guru
57
2.4
Pegawai negeri sipil (PNS)
29
1.2
Lain-lain (petani, berkebun, buruh, supir, pendeta)
24
1.0
Bidan/dokter/petugas kesehatan
12
0.5
Jumlah kasus yang didapatkan di divisi Geriatri
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta pada Januari 2008 sampai
Desember 2013 adalah sebanyak 18 kelompok diagnosis,
yang terdiri atas 2343 kasus. Delapan belas kelompok
diagnosis tersebut adalah dermatitis, tumor kulit, kelainan
kosmetik, penyakit infeksi, xerosis kutis, pruritus,
kelainan apendiks kulit, dermatosis eritroskuamosa, alergi
dan erupsi obat alergik, ulkus, infeksi menular seksual,
inflamasi, gigitan serangga, kelainan metabolik, penyakit
jaringan ikat, gangguan vaskular, dermatosis
Gambar 1.
22
Diagram jumlah subjek pada tiap kelompok diagnosis penyakit
kulit di poliklinik dermatologi geriatri RSCM 2008-2013
vesikobulosa, dan kelompok lain-lain. Dari delapan
belas kelompok tersebut didapatkan sepuluh kelompok
diagnosis terbanyak, yaitu dermatitis (676 kasus;
28,85%), tumor kulit (410 kasus; 17,5%), kosmetik (292
kasus; 12,46%), infeksi (246 kasus; 10,5%), xerosis kutis
(147 kasus; 6,27%), pruritus (127 kasus; 5,42%), kelainan
adneksa kulit (116 kasus; 4,95%), dermatosis
eritroskuamosa (100 kasus; 4,27%), alergi dan erupsi obat
alergik (95 kasus; 4,05%), dan ulkus (40 kasus; 1,71%).
Kasus lain selain sepuluh kelompok diagnosis tersebut
berjumlah total 94 kasus (4,01%). Dari tiap kelompok
diagnosis, didata lima diagnosis terbanyak (tabel 2).
Gambar 2.
Diagram cakram persentase tiap-tiap kelompok diagnosis
penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri RSCM 2008-2013
L. Legiawati, dkk
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Insidens penyakit kulit geriatri
Tabel 2. Lima Diagnosis Terbanyak dari Tiap Kelompok Diagnosis penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri
FKUI/RSCM 2008-2013
Kelompok diagnosis
Diagnosis
Frekuensi
Dermatitis
Tumor kulit
Kosmetik
Infeksi
Xerosis Cutis
Pruritus
Kelainan adneksa kulit
Dermatosis eritroskuamosa
Alergi & Erupsi obat alergik
Ulkus
Dermatitis kontak iritan
177
Liken simpleks kronik/Neurodermatitis
154
Dermatitis seboroik
136
Dermatitis atopi
47
Dermatitis numularis
47
Keratosis seboroik
222
Fibroma mole
31
Kista
24
Hiperplasia sebasea
14
Kalus
14
Hiperpigmentasi pascainflamasi
61
Melasma
51
Lentigo senilis
33
Vitiligo
31
Aging skin
29
Kandidosis kutis
39
Verucca vulgaris/filiformis
32
Infeksi sekunder
31
Tinea (fasialis, corporism cruris, pedis, manus)
26
Morbus hansen
24
Xerosis cutis
Pruritus ec xerosis kutis
147
79
Pruritus senilis
23
Pruritus ec systemic diseases
9
Pruritus vulva
5
Pruritus skrotalis
3
Miliaria
52
Onikomikosis
33
Paronikia
13
Alopecia
9
Onikodistrofi
4
Psoriasis (-gutata, -inversa, -vulgaris, -skalp, sebo-)
51
Eritroderma
26
Pitiriasis sika
7
Pitiriasis rosea
6
Psoriasis pustulosa generalisata
3
Urtikaria
39
Erupsi obat alergik
36
Angioedema
16
HyperIgE
3
Sindrom Stevens Johnson
1
Ulkus
40
23
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26
MDVI
Data menunjukkan terdapat 10 kelompok diagnosis
terbanyak dengan pola yang kurang lebih serupa setiap
tahunnya. Tabel 3, 4, dan 5 menunjukkan sepuluh
kelompok diagnosis terbanyak berdasarkan
kunjungan, kelompok umur, dan jenis kelamin.
Tabel 3. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Tahun Kunjungan pada 2008-2013
Frekuensi (n)
No
Kelompok Diagnosis
Total
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1
Dermatitis
118
108
144
115
96
95
676
2
Tumor kulit
79
63
80
84
62
42
410
3
Kosmetik
50
56
60
51
43
32
292
4
Infeksi
27
39
57
45
38
40
246
5
Xerosis cutis
21
22
24
26
35
19
147
6
Pruritus
15
9
32
22
21
28
127
7
Kelainan adneksa kulit
18
19
23
22
20
14
116
8
Dermatosis eritroskuamosa
15
17
13
23
14
18
100
9
Alergi & erupsi obat alergik
11
11
17
18
15
23
95
10
Ulkus
8
7
6
9
4
6
40
11
Lain-lain
19
9
10
24
14
18
94
Total
381
360
466
439
362
335
2343
Tabel 4. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Umur pada Tahun 2008-2013
Umur
No
Kelompok Diagnosis
Total
60-65 tahun
66-70 tahun
71-75 tahun
76-80 tahun
>80 tahun
1
Dermatitis
359
162
77
48
30
676
2
Tumor kulit
212
105
60
25
8
410
3
Kosmetik
193
51
26
21
1
292
4
Infeksi
119
66
29
19
13
246
5
Xerosis cutis
73
29
18
14
13
147
6
Pruritus
45
34
15
20
13
127
7
Kelainan adneksa kulit
66
29
8
10
3
116
8
Dermatosis eritroskuamosa
48
24
19
4
5
100
9
Alergi & erupsi obat alergik
57
20
10
7
1
95
10
Ulkus
23
7
5
4
1
40
11
Lain-lain
Total
48
24
9
11
2
94
1243
551
276
183
90
2343
Tabel 5. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tahun 2008-2013
Jenis Kelamin
No
24
Kelompok Diagnosis
Total
1
Dermatitis
Laki-laki
348
2
Tumor kulit
144
266
410
3
Kosmetik
63
229
292
4
Infeksi
139
107
246
5
Xerosis cutis
78
69
147
6
Pruritus
52
75
127
7
Kelainan adneksa kulit
28
88
116
8
Dermatosis eritroskuamosa
56
44
100
9
Alergi & erupsi obat alergik
41
54
95
10
Ulkus
24
16
40
11
Lain-lain
46
48
94
1019
1324
2343
Total
Perempuan
328
676
tahun
L. Legiawati, dkk
Insidens penyakit kulit geriatri
Pada subjek penelitian, didapatkan pula data
komorbiditas. Tabel 6 merupakan data sepuluh riwayat
penyakit aHipertensi menempati komorbiditas terbanyak,
yaitu didapatkan pada 462 subjek
Tabel 6
Komordibitas pada subjek penelitian penyakit kulit di
poliklinik dermatologi geriatri FKUI/RSCM 2008-2013
No
Riwayat Penyakit Penyerta
Jumlah
1
Hipertensi
462
2
Tidak Ada
423
3
Atopi
366
4
Diabetes melitus
257
5
Dislipidemia
201
6
Gangguan jantung
125
7
Gangguan muskuloskeletal
92
8
Gangguan gastrointestinal
92
9
Hiperurisemia
84
10
Penyakit ginjal & saluran kemih
76
DISKUSI
Terdapat 2343 diagnosis kulit pada geriatri yang
terdata di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
selama periode enam tahun, yaitu dari Januari 2008
sampai Desember 2013. Seluruh pasien usia 60 tahun atau
lebih dengan kelainan kulit dimasukkan dalam penelitian.
Tahun 2010 merupakan tahun dengan kunjungan pasien
geriatri dengan diagnosis kelainan kulit terbanyak
(19,9%). Dominasi pasien adalah jenis kelamin
perempuan dengan rasio perempuan : laki-laki sebesar
1,3:1. Kelainan kulit mayoritas dialami oleh kelompok
umur 60-65 tahun (53,1%). Kasus tersebut dialami
terbanyak pada kelompok ibu rumah tangga dan
pensiunan/tidak bekerja (35,0% dan 31,3%), serta pada
kelompok pendidikan dasar sampai menengah (26,0%).
Sepuluh kasus terbanyak adalah dermatitis (28,85%),
diikuti tumor kulit (17,50%), kelainan kosmetik
(12,46%), penyakit infeksi (10,50%), xerosis cutis
(6,27%), pruritus (5,42%), kelainan apendiks kulit
(4,95%), dermatosis eritroskuamosa (4,27%), alergi dan
erupsi obat alergik (4,05%), serta ulkus (1,71%).
Dermatitis kontak iritan, neurodermatitis, dan dermatitis
seboroik merupakan tiga kasus dermatitis terbanyak
(26,18%; 22,778%; dan 20,12% dari seluruh kasus
dermatitis). Keratosis seboroik merupakan kasus tumor
kulit terbanyak (54.15% dari seluruh kasus tumor kulit).
Pada kelompok kosmetik, hiperpigmentasi pascainflamasi
(20,89% dari keluhan kosmetik) dan melasma (17,47%
dari keluhan kosmetik) merupakan dua diagnosis
terbanyak. Sedangkan, pada kelompok infeksi, diagnosis
kandidosis kutis, veruka, dan infeksi sekunder merupakan
tiga penyakit terbanyak (15,85%; 13,01%; dan 12,6% dari
seluruh kasus infeksi kulit). Infeksi jamur yang
merupakan infeksi terbanyak tersebut mungkin pengaruh
dari faktor iklim tropis dan higienitas pasien.
Pola lima penyakit terbanyak hampir sama dari tahun
ke tahun, yaitu dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik,
penyakit infeksi, dan xerosis cutis. Demikian pula kelima
penyakit tersebut juga menempati lima penyakit
terbanyak pada setiap kelompok umur, akan tetapi
persentase pruritus dalam tiap kelompok umur meningkat
dengan bertambahnya usia (3,62% pada kelompok 60-65
tahun; 6,17% pada kelompok 66-70 tahun; 5,43% pada
kelompok 71-75 tahun; 10,93% pada kelompok 76-80
tahun; 14,44% pada kelompok >80 tahun). Pola lima
penyakit terbanyak pada perempuan adalah dermatitis
(328/1324), tumor kulit (266/1324), kosmetik (229/1324),
infeksi (107/1324), dan kelainan apendiks kulit (88/1324).
Sedangkan, pada laki-laki adalah dermatitis (348/1019),
tumor kulit (144/1019), infeksi (139/1019), xerosis cutis
(78/1019), dan kosmetik (63/1019).
Riwayat penyakit penyerta terbanyak adalah
hipertensi, yaitu sebanyak 462% pasien mengalaminya.
Sedangkan, 423% pasien tidak memiliki riwayat penyakit
penyerta apapun. Selain itu, terdapat riwayat penyakit
atopi, diabetes mellitus, dislipidemia, gangguan jantung,
gangguan muskuloskeletal, gangguan gastrointestinal,
hiperurisemia, serta penyakit ginjal dan saluran kemih
sebagai sepuluh riwayat penyakit penyerta terbanyak pada
subyek.
Sebuah studi di Taiwan oleh Liao YH (2001)4 pada
pasien lanjut usia yang berkunjung ke poliklinik
Dermatologi National Taiwan University Hospital pada
1993-1999 menunjukkan bahwa kelainan kulit terbanyak
adalah dermatitis (58,7%), infeksi jamur (38,0%), pruritus
(14,2%), tumor jinak (12,8%), dan infeksi virus (12,3%).
Studi lain yang dilakukan oleh Smith DR dkk (2002)5 di
panti jompo di Taiwan selatan antara November 1999
sampai Februari 2000 menunjukkan lebih dari setengah
pasien mengalami infeksi jamur (61,6%) dan xerosis
(58,3%), sedangkan penyakit kulit pruritik lain, seperti
dermatitis dan scabies menempati persentase 7,3% dan
3,3%.
Studi yang dilaksanakan di Tunisia oleh Souissi A et
al (2006)6 pada 1518 pasien geriatri di klinik kulit selama
satu tahun (Juni 1999 s/d. Juli 2000) menunjukkan bahwa
infeksi jamur merupakan penyakit kulit terbanyak
(16,9%), diikuti oleh tumor (12,8% di mana 63,3%-nya
adalah tumor jinak), dermatitis (11,9%), anomali
keratinisasi (8,7%), infeksi bakteri (8,7%), infeksi viral
(6,8%), dan pruritus (6,4%). Studi di Kroasia oleh
Cvitanović H dkk (2010)7 pada 3200 pasien geriatri
mendapatkan hasil berupa diagnosis terbanyak adalah
25
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26
MDVI
keratosis aktinik (22,38%), dermatitis seboroik (18,98%),
dermatitis numularis (9,37%), dermatitis kontak alergik
dan iritan (7,3%), mikosis (6,81%), psoriasis (6,20%),
veruka vulgaris (4,74%), fibroma (3,28%), nevus
(1,09%), dan akne (0,12%).
Sebuah studi multisenter di Jepang oleh (Furue M
dkk, (2011)8, yang melibatkan 69 rumah sakit universitas,
45 rumah sakit distrik, dan 56 klinik swasta, menunjukan
bahwa kelainan kulit terbanyak pada populasi geriatri
adalah eksema, dermatitis atopik, tinea pedis,
Uritkaria/angioedema, tinea unguium, kutil virus,
psoriasis, dermatitis kontak akne, dermatitis seboroik,
eksema tangan, tumor jinak kulit, alopesia areata, herpes
zoster/postherpetic neuralgia, ulkus nondiabetikum,
prurigo, kista epidermal, ain di Nepal oleh Thapa DP,
dkk (2012)9 pada 6442 pasvitiligo vulgaris, keratosis
seboroik, dan erupsi obat/toksikoderma. Studi lain di
Nepal oleh Thapa DP, dkk (2012)9 pada 6442 pasien
geriatric pada 2010-April 2011 menunjukan dermatosis
terbanyak adalah dermatitis 35,8%, infeksi jamur 13,6%,
infeksi virus 7%, pruritus 7,3%, skabies dan
fotodermatitis
masing-masing
4,5%,
kelainan
papuloskuamosa 3,3%, infeksi bakteri dan iktiosis
masing-masing 2,1%, vesikobulosa 1,8%, tumor dan
kelainan pigmentasi 0.6%.
Studi di Siena, Italia oleh Rubegni P, dkk (2012)10
pada total 2100 pasien geriatri sejak Januari 2003 s/d.
Desember 2009 menunjukkan penyakit kulit terbanyak
adalah pruritus “sine material” (18,9%), diikuti oleh
tumor jinak (13,5%), tumor ganas (13,2%), dan keratosis
aktinik (9,1%).
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menggambarkan insidens penyakit kulit
di Divisi Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit dan
Kelamin FKUI/RSCM tahun 2008-2013. Pola lima
penyakit terbanyak hampir sama dari tahun ke tahun,
yaitu dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit
infeksi, dan xerosis cutis.
Diagnosis dan terapi penyakit kulit pada geriatri
merupakan tantangan tersendiri bagi klinisi. Tidak jarang,
pasien datang dengan multikomorbiditas yang dapat
mempengaruhi kondisi kulit. Data yang didapat dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan
asupan bagi sarana pelayanan kesehatan sehingga dapat
meningkatkan tata laksana pasien lebih baik. Selain itu,
data penelitian ini dapat pula digunakan untuk penelitian
lebih lanjut mengenai Dermatologi Geriatri.
26
DAFTAR PUSTAKA
1.
Badan Pusat Statistik. Data statistik Indonesia. 2013. Diunduh
dari http://www.bps.go.id. 31 Desember 2013.
2. Jafferany N, Huynh TV, Silverman MA, Zaidi Z. Geriatric
dermatoses: a clinical review of skin diseases in an aging
population. Int J Dermatol. 2012;51;509-22.
3. Farage MA, Miller KW, Berardesca E, Maibach HI. Clinical
dermatitis versus allergic contact dermatitis. Dalam: Chew
AL, Maibach HI, penyunting. Irritant dermatitis. New York:
Springer; 2006;2.h.11-17
4. Liao YH, Chen KH, Tseng MP, Sun CC. Pattern of skin
diseases in a geriatric patient group in Taiwan: a 7-year survey
from the outpatient clinic of a university medical center.
Dermatology. 2001;203(4):308-13.
5. Smith DR, Sheu HM, Hsieh FS, Lee YL, Chang SJ, Guo YL.
Prevalence of skin disease among nursing home patients in
southern Taiwan. Int J Dermatol. 2002 Nov;41(11):754-9.
6. Souissi A, Zeglaoui F, El Fekih N, Fazaa B, Zouari B,
Kamoun MR. Skin diseases in the elderly: a multicentre
Tunisian study. Ann Dermatol Venereol. 2006;133(3):231-4.
7. Cvitanović H, Knezević E, Kuljanac I, Jancić E. Skin disease
in a geriatric patients group in outpatient dermatologic clinic
Karlovac, Croatia. Coll Antropol. 2010;34 Suppl 2:247-51.
8. Furue M, Yamazaki S, Jimbow K, Tsuchida T, Amagai M,
Tanaka T, dkk. Prevalence of dermatological disorders in
Japan: a nationwide, cross-sectional, seasonal, multicenter,
hospital-based study. J Dermatol. 2011;38(4):310-20. doi:
10.1111/j.1346-8138.2011.01209.
9. Thapa DP, Jha AK, Kharel C, Shrestha S. Dermatological
problems in geriatric patients: a hospital based study. Nepal
Med Coll J. 2012;14(3):193-5.
10. Rubegni P, Poggiali S, Nami N, Rubegni M, Fimiani M. Skin
diseases in geriatric patients: our experience from a public skin
outpatient clinic in Siena. G Ital Dermatol Venereol.
2012;147(6):631-6.
Laporan Kasus
SATU KASUS PORT WINE STAIN DENGAN
STURGE WEBER SYNDROME
Thigita A. Pandaleke, Pieter L. Suling
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sam Ratulangi / RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado
ABSTRAK
Seorang perempuan usia 35 tahun datang dengan port wine stain dan Sturge Weber Syndrome pada wajah sejak lahir.
Terdapat bercak merah dan benjolan pada wajah, tangan, serta badan sejak lahir yang awalnya hanya kecil kemudian beberapa
bertambah besar, sedangkan lainnya menetap tidak gatal dan tidak nyeri, namun beberapa berdarah bila disentuh. Sejak tahun
2000 dua buah benjolan di kepala berukuran kurang lebih sebesar biji kacang, tidak bertambah besar namun mudah berdarah
terutama saat terkena sisir. Bercak berwarna merah cerah, yang kemudian menjadi warna merah tua terutama di wajah. Tidak
teraba hangat pada perabaan, tidak gatal, dan tidak nyeri. Riwayat operasi gusi 10 tahun yang lalu akibat sering terjadi
pembengkakan dan perdarahan di gusi. Riwayat sakit kepala yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik tampak tumor multipel ukuran 0,5-1cm, sewarna kulit, permukaan licin, mobile. Tampak pula
makula eritem, batas jelas, ukuran plakat, berbentuk pulau, suhu normal pada perabaan (port wine stain (+)). Diagnosis pada
kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini belum ada
penanganan khusus karena belum didapatkan adanya keterlibatan pada organ lain, masih perlu dilakukan observasi lebih
lanjut.
Kata kunci: port wine stain, Sturge Weber Syndrome
PORT WINE STAIN WITH STRUGE WEBER SYNDROME :
A CASE REPORT
ABSTRACT
A woman aged 35 years old was came with ports wine stain and Sturge Weber syndrome on the face since birth. Since she
was born there are red spots and bumps on the face, hands, and body that initially only small then some grow others remain. The
bumps are not itchy and painful, but some bleed when touched. In 2000 there is bumps on the head approximately like beans, did
not increase in size but bleed easily, especially when exposed to comb. Bright red patches, over time partly be a deep red color,
especially in the face. Not felt warm on touch, not itchy, and no pain. Ten years ago she had a surgery on her gum, due to
frequent swelling and bleeding in the gums. History of intermittent headache since 3 years ago.
There is multiple tumor, macule erythema (port wine stain (+)) at physical examination. The diagnosis in this case is based
on history, physical examination and investigations. In this case no special handling because it has not obtained any further
involvement in other organs, but stil needs to be further observation.
Keywords: port wine stain, Sturge Weber Syndrome
Korespondensi:
Jl. Raya Tanawangko – Manado
Telp: Telp : 0431-838287
Email: [email protected]
27
MDVI
PENDAHULUAN
Malformasi kapiler adalah kelainan kongenital dari
pembuluh darah kapiler.1 Dikenal juga dengan istilah port
wine stain, angel’s kiss, salmon patches, atau nevus
flammeus neonatorum.1,2 Merupakan jenis yang paling
umum terjadi pada malformasi vaskuler.2
Malformasi kapiler tersebar secara sporadik,
meskipun pada beberapa kasus ditemukan adanya pola
pewarisan.3,4 Insidens terjadinya malformasi kapiler
biasanya pada bayi baru lahir, di Amerika Serikat sebesar
0,3-0,5%, dan 0,1-2% pasien dari populasi di dunia.1,3
Sering terjadi pada bayi yang berkulit putih 42%
dibandingkan kulit hitam 31%.1
Etiologi malformasi kapiler belum diketahui pasti.
Diduga kelainan ini terjadi pada minggu ke-4 sampai ke10 kehamilan. Dalam kombinasi dengan malformasi
vaskular lainnya, malformasi kapiler bisa merupakan
suatu sindrom yang terdiri atas Sturge Weber Syndrome
(SWS), Phakomatosis pigmentovascularis (PPV), dan
Klippel-Trenaunay (KT).1
Sturge Weber Syndrome (SWS) adalah suatu kelainan
neurokutaneus kongenital yang bukan merupakan suatu
penyakit genetik.2 Dikenal juga dengan nama
encephalotrigeminal angiomatosis atau craniofacial
angiomatosis.1,3
Insidens SWS jarang, diperkirakan 1 per 50.000
kelahiran.1,2,4-7 Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang, pemeriksaan neurologis,
histopatologis, serta pemeriksaan ofthalmologis.2,3
Pengobatan SWS bertujuan untuk mengontrol adanya
kelainan neurologis akibat defek di jaringan otak serta
bila ada kelainan di mata. Untuk kepentingan kosmetik
terhadap penanganan PWS telah dicoba berbagai
modalitas seperti terapi konservatif, elektrokoagulasi,
tato, dermabrasi, cryosurgery dan laser. Pencegahan
terhadap komplikasi menjadi perhatian terpenting untuk
kelainan ini terutama kelainan di mata dan otak yang
dapat menyebabkan kematian.2,3
Berikut ini akan dilaporkan satu kasus port wine stain
dengan Sturge Weber Syndrome yang merupakan kasus
pertama yang dijumpai di bagian kami.
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32
di kepala kurang lebih 2 buah sebesar biji kacang, yang
kemudian bertambah beberapa buah, benjolan tidak
bertambah besar namun mudah berdarah terutama saat
terkena sisir.
Bercak merah pada wajah, badan, kedua lengan dan
kedua tungkai dialami sejak lahir. Ukuran bercak
bertambah besar seiring bertambahnya usia, dan hampir
memenuhi seluruh wajah, badan, lengan dan tungkai.
Awalnya berwarna merah cerah, lama kelamaan sebagian
menjadi warna merah tua terutama di wajah. Tidak teraba
hangat pada perabaan, tidak gatal, dan tidak nyeri.
Riwayat operasi gusi 10 tahun yang lalu akibat sering
terjadi pembengkakan dan perdarahan gusi. Riwayat sakit
kepala yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu.
Keluhan
panas tinggi dan kejang, gangguan
keseimbangan, keram-keram pada satu sisi tubuh
disangkal. Alergi makanan, alergi obat-obatan maupun
riwayat atopi pada penderita dan keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisis menunjukkan keadaan umum baik,
kesadaran kompos mentis. Kedua konjungtiva tidak
anemis. Pada jantung, paru-paru, dan hati tidak ditemukan
kelainan. Pada regio fasialis, parietalis et occipitalis
tampak tumor multipel ukuran bervariasi Ø 0,5-1cm,
sewarna kulit, permukaan licin, mobile (Gambar 1).
Gambar 1.
LAPORAN KASUS
Perempuan usia 35 tahun, petani, bangsa Indonesia,
suku Minahasa datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Prof. dr .R.D Kandou Manado tanggal 22 mei
2014, dengan keluhan benjolan pada wajah, tangan dan
kepala.
Sejak lahir terdapat benjolan pada wajah dan tangan
sejak lahir awalnya hanya kecil seperti jerawat, beberapa
benjolan bertambah besar yang lainnya tetap. Benjolan
tersebut tidak gatal dan tidak nyeri, namun beberapa
berdarah bila disentuh. Sejak tahun 2000 timbul benjolan
28
Regio fasialis, parietalis et occipitalis tampak
tumor multipel ukuran bervariasi Ø 0,5-1cm,
sewarna kulit, permukaan licin, mobile yang
secara klinis sesuai dengan sturge weber
syndrome.
Regio fasialis et coli anterior, abdominalis, thorakalis
anterior et posterior, antebrachii et brachii D/S, kruris D/S
tampak makula eritem, batas jelas, ukuran plakat (hampir
seluruh regio fasialis), berbentuk pulau, suhu normal pada
perabaan (port wine stain (+)), pada regio oralis tampak
asimetris dan edema. (Gambar 2).
TA. Pandaleke & PL. Suling
Port wine stain dengan Sturge Weber Syndrome
Gambar 2. Regio fasialis et coli anterior, abdominalis, thorakalis anterior et posterior, antebrachii et brachii D/S, kruris D/S
tampak port wine stain
Pada kasus ini didiagnosis Sturge Weber Syndrome
bentuk II (angioma fasial /PWS, dengan atau tanpa
glaukoma, tanpa kelinan intrakranial) dan didiagnosis
banding dengan Sturge Weber Syndrome bentuk I
(angioma fasial/PWS dan angioma leptomeningen, dari
glaukoma), dan bentuk III (angioma leptomeningen tanpa
glaukoma).
Hasil pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan
semuanya dalam batas normal. Hasil konsul dari bagian
mata didapatkan adanya Blepharitis dan episkleritis pada
okuli dekstra dan sinistra (Gambar 3). Hasil konsul bagian
saraf didiagnosis dengan Sturge Weber syndrome.
Pemeriksaan brain CT-scan tidak terdapat adanya
kelainan.
Gambar 3. Blefaritis dan episkleritis ODS
Gambaran histopatologis lesi tumor kulit, pada
subepidermal tampak banyak pembuluh darah kapiler
yang berdilatasi, stroma diantaranya terdiri atas jaringan
ikat
fibrous dan kolagen. Tidak ditemukan tanda
keganasan. Gambaran histopatologis ini mendukung
diagnosis port wine stains, struge weber syndrome
Gambar 4).
Gambar 4. Tampak jaringan kulit dilapisi epidermis. Subepidermal di dalam dermis tampak banyak pembuluh darah kapiler
yang melebar.
29
MDVI
Belum ada penatalaksanaan khusus pada kasus ini,
namun pencegahan komplikasi sangat penting, sehingga
pasien dianjurkan untuk kontrol setiap 1 bulan sekali.
PEMBAHASAN
Malformasi vaskular merupakan suatu kelainan
perkembangan pembuluh darah yang terjadi pada
kehamilan minggu ke-4 sampai ke-10. Secara
rheologically malformasi vaskular terdiri atas slow-flow
dan fast-flow. Port-wine stain (PWS) atau malformasi
kapiler termasuk dalam malformasi vaskular slow-flow
dengan insidens 0,3%.1
Port wine stain berlokasi di semua tempat termasuk
mukosa, terutama di wajah dan leher ± 81%, ditandai
dengan perubahan warna kulit merah muda sampai merah
anggur, dengan bentuk geografik tertentu dan tersebar
dermatomal, tidak nyeri, tidak pernah berdarah spontan
dan tidak hangat pada perabaan. Port wine stain
berkembang secara normal sesuai perkembangan endotel
normal dan ukurannya sesuai ukuran tubuh.1,2
Dalam kombinasi dengan malformasi vaskular
lainnya, malformasi kapiler bisa merupakan suatu
sindrom yang terdiri atas Sturge Weber Syndrome,
phakomatosis pigmentovascularis (PPV), dan KlippelTrenaunay (KT).1 Sturge Weber Syndrome merupakan
sindrom neuro-okulokutaneus yang ditandai dengan
angioma kutaneus yaitu malformasi kapiler atau PWS
ipsilateral pada wajah pada persarafan nervus trigeminus
cabang oftalmik (V1) dan cabang maksilaris (V2),
malformasi vaskular atau angioma leptomeningen dan
korteks serebri ipsilateral serta angioma pada koroid.3,8,9
Sturge Weber syndrome dapat ditemukan lengkap yaitu
adanya PWS, kelainan susunan saraf pusat dan kelainan
mata, tetapi dapat juga tidak lengkap.9 Manifestasi klinis
yang terpenting yaitu terdapatnya PWS pada wajah
terutama pada persarafan nervus trigeminus cabang
oftalmik (V1) dan cabang maksilaris (V2).6
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Port wine stain merupakan bagian dari malformasi
vaskular atau angioma vaskular yang merupakan kelainan
perkembangan dari pembuluh darah, ditandai dengan
perubahan warna kulit merah muda sampai keunguan,
dengan bentuk geografik tertentu dan tersebar
dermatomal, berkembang secara normal dan ukurannya
sesuai ukuran tubuh.1,2 Kasus ini terdapat bercak merah
pada wajah, badan, kedua lengan dan tungkai yang
dialami sejak lahir, bertambah besar seiring bertambahnya
usia dan terdapat pada hampir seluruh tubuh. Awalnya
bercak berwarna merah cerah yang lama kelamaan
sebagian menjadi merah tua seperti anggur. Terdapat
beberapa benjolan diatas bercak di wajah dan lengan,
sewarna kulit, awalnya hanya kecil kemudian beberapa
30
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32
bertambah besar. Terdapat benjolan serupa di kepala.
Benjolan tersebut mudah berdarah bila terkena sisir
ataupun disentuh.
Port wine stain ditandai dengan lesi kongenital
homogen biasanya unilateral 86% dapat bilateral 14%.1,9
Lesi flat tidak nyeri, tidak mudah berdarah, tidak teraba
hangat pada perabaan. Lima puluh persen berlokasi di
wajah terutama pada distribusi nervus trigeminus.1
Manifestasi klinis SWS adalah PWS kurang lebih 8% 33%, yang tersebar di kulit kepala, wajah, leher, dan
semua tempat termasuk mukosa.3,9,10 Menurut Tallman
(1991) hanya PWS yang tersebar di daerah persarafan
nervus trigeminus cabang 1 dan 2 yang menyebabkan
SWS. Pada wajah, leher, badan, lengan dan tungkai
pasien didapatkan adanya makula eritem, batas jelas
ukuran numular sampai plakat, berbentuk pulau, suhu
normal pada perabaan.
Manifestasi oral terdapat pada 38% kasus, berupa
hemangioma pada bibir, mukosa mulut, lidah, gusi, dan
palatum. Makroglosia dan hipertrofi tulang maksila
didapatkan pada beberapa pasien sehingga wajah tampak
asimetris.6 Kasus ini tampak bibir membengkak,
asimetris, berwarna merah keunguan, gusi dan lidah yang
membengkak serta pertumbuhan gigi yang berlebihan.
Riwayat dioperasi 10 tahun yang lalu akibat
pembengkakan dan perdarahan pada gusi. Gorlin dan
Pinborg (1964) pada 111 kasus SWS, 38% memiliki
manifestasi oral, dimana paling sering terkena bibir, gigi,
palatum, serta dasar mulut yang berwarna merah.11
Pasien dikonsulkan ke bagian Neurologis karena
adanya keluhan nyeri kepala yang hilang timbul sejak 3
tahun yang lalu serta tampak adanya hemiparesis pada sisi
wajah sebelah kanan. Dari bagian Neurologis pasien
didiagnosis sebagai SWS dan direncanakan untuk
dilakukan CT-scan kepala. Gejala neurologis yang dapat
terjadi yaitu hemiparesis dan hemiplegi (± 25%-56%),
gangguan pertumbuhan dan keterbelakangan mental (±
50%-75%), nyeri kepala (± 44% - 62%), dan hipertrofi
jaringan lunak (± 30%).9 Kejang atau epilepsi merupakan
gejala neurologis yang paling sering timbul (lebih kurang
75%-90%), terjadi akibat iritasi kortikal oleh angioma
leptomeningen sehingga terjadi hipoksia, iskemia dan
gliosis.1,9 Kejang dapat dicetuskan oleh demam, kejang
bersifat generalisata atau spasme tonik klonik, bangkitan
kejang dapat menyebabkan hemiplegi persisten.9,12 Pada
kasus ini tidak ditemukan kelainan neurologis berupa
kejang, sejak kecil hingga sekarang.
Pasien dikonsulkan ke bagian Mata untuk melihat ada
tidaknya keterlibatan organ mata seperti glaukoma. Pada
kasus ini tidak ditemukan adanya glaukoma. Tallman
(1991) melaporkan 310 pasien, ± 91% dengan PWS yang
tersebar di mata dan di atas mata berhubungan dengan
kelainan neurologis atau susunan saraf pusat dan
TA. Pandaleke & PL. Suling
glaukoma.9 Glaukoma merupakan kelainan mata yang
paling sering ditemui pada SWS yaitu jumlah 30%-71%.
9,12
Buftalmos serta kehilangan penglihatan juga sering
ditemukan pada SWS.2,8
Pada kasus ini pemeriksaan radiologis yang dilakukan
yaitu CT-scan kepala untuk mengetahui ada tidaknya
keterlibatan intrakranial. Hasil CT-scan didapatkan hasil
normal. Selain itu pada pemeriksaan laboratorium darah
tidak didapatkan adanya kelainan. Pada SWS beragam
pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis di samping gejala klinis yang khas.13
Pemeriksaan foto polos kepala menunjukkan gambaran
kalsifikasi tram-line atau tram track yang merupakan
patognomonis SWS yaitu kalsifikasi girus subkortikal
yang paling banyak terletak di regio parietal dan
oksipital.13,14 CT-scan (Computed Tomography) lebih
sensitif dibandingkan foto polos kepala, dengan gambaran
kalsifikasi tram-line atau tram-track yang lebih jelas.8,14
Selain itu CT-scan dapat memberikan gambaran atrofi
kortikal, pembesaran pleksus koroid dan kerusakan bloodbrain barrier selama terjadinya kejang.8,10,13,14 Elavarasu
dkk (2013) di India, melaporkan seorang wanita umur 43
tahun dengan SWS dimana pada pemeriksaan CT-scan
tidak didapatkan adanya gambaran kalsifikasi.15 Pada
SWS pemeriksaan darah biasanya tidak menunjukkan
kelainan, kecuali bila terdapat penyakit penyerta.9,13
Pada kasus ini pemeriksaan histopatologis didapatkan
jaringan kulit dilapisi epidermis, subepidermal tampak
banyak pembuluh darah kapiler yang berdilatasi, stroma
di antaranya terdiri atas jarigan ikat fibrous dan kolagen.
Tidak ditemukan tanda keganasan.
Pemeriksaan histopatologi PWS didapatkan adanya
dilatasi kapiler normal pada papila dan retikular dermis
bagian atas dengan jumlah kapiler meningkat.8,10
Kasus ini didiagnosis sebagai SWS bentuk II, Roach
dan Scale pada tahun 1992 mengklasifikasikan SWS
dalam tiga bentuk yaitu: Bentuk I (Angioma fasial/PWS
dan angioma leptomeningen, dengan atau tanpa
glaukoma); Bentuk II (Angioma fasial/PWS, dengan atau
tanpa glaukoma, tidak ada penyakit intrakranial) ; Bentuk
III (Angioma leptomeningen tanpa glaukoma).6 Enjolras
dkk (1985), pada penelitian retrospektif 106 pasien PWS
hanya remaja dijumpai 12 pasien SWS dan 4 pasien
dengan glaukoma tanpa angioma.9
Terapi spesifik pada kasus ini untuk kelainan kulit
dan vaskuler belum dilakukan. Penanganan PWS dengan
SWS saat ini belum ada yang spesifik. Pengobatan
ditujukan untuk kelainan neurologis, mata dan
kosmetik.9,16 Pemberian antikonvulsan dilakukan bila
terdapat kejang, terapi simptomatik dan profilaktik bila
terdapat sakit kepala, penanganan glaukoma untuk
mengurangi tekanan intraokular, serta laser untuk
penanganan kosmetik.9 Pulsed dye laser (PDL)
Port wine stain dengan Sturge Weber Syndrome
merupakan terapi baku emas untuk PWS. Laser dengan
panjang gelombang spesifik 585 nm, durasi pendek 1,5 10 ms memberikan hasil baik.2,17
Pada pasien ini tidak didapatkan adanya keterlibatan
organ lain, baik mata maupun saraf, hanya tampak adanya
pertumbuhan gigi yang berlebihan serta gusi yang tampak
membengkak, namun sudah pernah dilakukan operasi
sejak 10 tahun yang lalu. Pencegahan komplikasi pada
SWS sangat penting, terutama bila terdapat gejala
gangguan vaskuler otak berupa kejang, hemiparese atau
hemiplegi, gangguan pertumbuhan fisik termasuk
gangguan pertumbuhan mandibula dan maksila serta
pertumbuhan mental. Pencegahan ini harus dilakukan
segera setelah lahir dan dilanjutkan sampai akhir
pubertas.9,12,18 Pemeriksaan mata dilakukan sebulan sekali
untuk mengontrol glaukoma dan efek yang
ditimbulkannya yaitu kerusakan saraf optikus sampai
kebutaan.12,18
Prognosis pada kasus ini quo ad vitam, quo ad
functionam, dan quo ad sanationam dubia. Mengingat
masih perlu untuk terus dilakukan observasi untuk
melihat keterlibatan lebih lanjut pada gangguan vaskuler
otak, maupun glukoma untuk mencegah kerusakan saraf
optikus yang lebih lanjut berupa kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Boon LM, Vikkula M. Vascular malformations.
Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2012.h.207785.
Antaya RJ. Capillary malformation. Disitasi
Februari
2014.
Tersedia
di:
http://emedicine.medscape.com/article/1084479overview#a0101
Enjolras O, Mulliken JB. Vascular malformations.
Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting.
Textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-2.
Oxford: Blackwell Science Ltd; 2000: 975-95.
Galbraith S. Capillary malformations (port wine
stains): clinical features, diagnosis, and associated
syndromes. Disitasi April 2015. Tersedia di:
http://www.uptodate.com/contents/capillarymalformations-port-wine-stains-clinical-featuresdiagnosis-and-associated-syndromes
Govori V, Gjikolli B, Ajvazi H, Morina N.
Management of patient with Sturge weber
syndrome: a case report. Cases journal. 2009;
2(9394): 1-6
31
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32
MDVI
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
32
Neto FXP, Junior MAV, Ximenes LS, Jacob CCS,
Junior AGR, Palbeta ACP. Clinical features of
Struge
Weber
Syndrome.
Intl
Arch
Otorbinolaryngol. 2008; 12(1): 565-70
Purkait R, Samanta T, Sinhamahapatra T,
Chatterjee M. Overlap of Struge Weber syndrome
and Klippel Trenaunay syndrome. Indian J
Dermatol. 2011; 56(6); 755-7
Robaee AL, Banka N, Alfadley A. Phakomatosis
pigmentovaskularis type IIb associated with Sturge
Weber syndrome. Pediatric Dermatol. 2004 21; 6:
642-5.
Takeoka M. Sturge Weber syndrome. Disitasi Mei
1913.
Tersedia
di:
http://www.eMedicine
dermatology.com
Hall BD, Cadle RG, Cornelius SMM, Bay CA.
Clinical report: Phakomatosis pigmentovaskularis:
Implication for severity with special reference to
mongolian spots associated with Sturge Weber
syndromes. Am J Med Genetics part A. 2007:
3047-53.
Kalakonda B, Pradeep K, Mishra A, Reddy K,
Muralikrishna T, Lakshmi V, dkk. Periodontal
management of Sturge Weber syndrome. Case
report in dentistry. 2013;1-4
Maton B, Krsek P, Jayakar P, Reshick T, Koehn M,
Morrison G, dkk. Medically intractable epilepsy in
Sturge – Weber syndrome is associated with
cortical malformation; implication for surgical
therapy. Int League Against Epilepsy.
2010;
51(2):257-67.
Khan AN. Imaging in Sturge Weber syndrome.
eMedicine radiologist; 2010. Disitasi: Juli 2013.
Tersedia
di:
http://www.eMedicine
dermatology.com
Wong SW, Kyaw L, Ong LC, Zulfiqar AM. SturgeWeber syndrome without facial nevus: an unusual
cause of neonatal seizures. J Paed Child Health.
2010; 1-4
Elvarasu S, Kumaran TS, Kumar PKS. Periodontal
management of gingival enlargement associated
with Sturge Weber syndrome. J Indian Periodontal.
2013; 17: 235-8
Perez DEC, Neto JSP, Graner E, Lopes MA. Struge
Weber syndrome in a 6-year-old girl. Int J Pediatric
Dentistry. 2005;15:131-5
Mariwalla K, Dover JS. The use of lasers in the
pediatric population. Dalam: Dover JS, Alam M,
penyunting. Advances in dermatologic surgery.
2010: 1-5.
Monte ADM. Sturge Weber syndrome. eMedicine
ophthalmology, pediatrics and communicable
diseases; 2010. Disitasi: Februari 2005. Tersedia di:
http://www.eMedicine dermatology.com
Laporan Kasus
NEVUS KONGENITAL MELANOSITIK SEDANG
DITERAPI DENGAN BEDAH EKSISI DAN ISLAND PEDICLE FLAP
Dhini Indah Nugriaty, Arif Widiatmoko, Diah Prabawati Retnani, Yuli Megasasi,
Yasmina Diah Kumala
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Brawijaya/RSUP dr. Saiful Anwar - Malang
ABSTRAK
Salah satu ciri dari nevus kongenital melanositik (Congenital melanocytic nevus /CMN) adalah risiko transformasi menjadi
melanoma. Terapi biasanya dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya melanoma atau alasan kosmetik.
Dilaporkan suatu kasus pada perempuan berusia 17 tahun dengan keluhan utama benjolan yang terasa nyeri pada leher kiri
atas sejak 3 tahun yang lalu yang bertambah parah. Benjolan pertama kali muncul ketika lahir dan berkembang perlahan.
Pemeriksaan dermatologis pada submandibula sinistra, terdapat plak hiperpigmentasi, padat, batas tegas, ukuran 1.2x1.6 x0.75 cm,
coklat kehitaman, simetris, dan permukaan verukosa. Dilakukan terapi dengan bedah eksisi, dan island pedicle flap, konseling serta
terapi farmakologik. Pemeriksaan histopatologis pada dermis didapatkan proliferasi sel, dengan nukleus bulat-oval, pleomorfik
ringan, beberapa atipikal, melanin tersusun dalam sarang pada dermis superfisial, dengan kecurigaan displastik pada nevus
campuran. Pemeriksaan imunohistokimia antiKi67 didapatkan lesi melanositik jinak. Tujuh minggu pasca eksisi, didapatkan sedikit
makula eritematosa tanpa tanda jaringan parut hipertrofik.
Bedah eksisi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada CMN. The island pedicle flap digunakan pada defek kecil
sampai sedang pada lokasi yang mempunyai sumber perekrutan jaringan yang baik. Serial follow up direkomendasikan pada nevus
yang telah diangkat.
Kata kunci: nevus, island pedicle flap
MEDIUM CONGENITAL MELANOCYTIC NEVUS
TREATED WITH EXCISION SURGERY AND ISLAND PEDICLE FLAP
ABSTRACT
The most significant feature of a congenital melanocytic nevus (CMN) is the associated risk for transformation into melanoma.
Treatment is undertaken to reduce the risk of melanoma or cosmetic reasons.
It was reported A-17 year old female came with the chief complaint of a tender bump in left upper neck since 3 years ago and get
worsen. The bump appeared when she was born and slowly developed. Dermatological examination of submandible sinistra, there was
single hyperpigmented plaque, solid, well defined, 1.2x1.6 x0.75 cm, dark brown black, symmetrical, and verrucous. An excisional
surgery, island pedicle flap, counselling and pharmacological therapies were given. Histopathological examination revealed cell
proliferation, round-oval nucleus, mild pleomorphic, several atypical, melanin arranged in the nests in dermoepidermal junction and
superficial dermis, suggested compound nevus and suspect of dysplastic. AntiKi67 immunohistochemistry revealed benign
melanocytic lesion. After 7 weeks, slight erythematous macule without signs of hyperthropy scar observed.
Excision recommended as the first-line treatment for CMN. The island pedicle flap used in small to medium size defect in location
where its provide a good source of tissue recruitment. A series of follow up recommended after removal.
Keywords: congenital melanocytic nevus, dysplastic,excissional surgery, island pedicle flap
Korespondensi:
Jl. Letjen. Suprapto no 2 Malang
Telp/fax: 0341-340991, 0813-8306-1589
email:[email protected]
33
MDVI
PENDAHULUAN
Nevus melanositik merupakan proliferasi jinak
normal dari melanosit yang secara garis besar dibedakan
menjadi nevus
melanositik kongenital dan nevus
melanositik didapat.1-3 Nevus melanositik kongenital atau
Congenital melanocytic nevus (CMN) adalah nevus
melanositik yang muncul sejak lahir atau pada tahun
pertama kehidupan.1-3 Lesi dapat kecil atau menutupi
sebagian besar permukaan tubuh.1,3 Biasanya berwarna
lebih gelap dibandingkan dengan kulit sekelilingnya,
terdapat rugose atau permukaan halus yang meninggi,
dapat disertai rambut yang tebal, panjang dan gelap.1,2
Klasifikasi nevus
melanositik kongenital dibagi
berdasarkan ukurannya; kecil (<1,5 cm), sedang (1,5–19
cm), dan besar (>20 cm).1,3
Nevus displastik (dysplastic nevus/DN) atau atipikal,
digunakan pada lesi melanositik neoplasia atau
hiperplasia yang memiliki variasi histologi dari pola yang
biasa atau terjadinya peningkatan
risiko terhadap
keganasan.2,7 Nevus displastik atau atipikal pertama kali
ditemukan pada keluarga yang memiliki kerentanan
terhadap melanoma.2,7-12 Nomenklatur lain yang
berhubungan dengan lesi ini, di antaranya B–K moles,
Clark’s nevus, dan nevus with architectural disorder
(NAD).8-12 Hingga saat ini DN dikenal sebagai salah satu
faktor risiko melanoma, dengan risiko relatif bervariasi
antara 3.9% dan 8.8%. 2,7-12
Secara umum terdapat beberapa perbedaan antara
bentuk klinis CMN yang sedang berkembang dan DN.
Ciri klinis CMN yang sedang berkembang adalah: bentuk
yang halus dan reguler, berbatas tegas, diameter lebih
dari 1,5 cm dan cenderung kurang berambut;1,2,4
Sedangkan pada DN: bentuk lesi rata atau mempunyai flat
shoulders, beberapa asimetri dan mempunyai warna yang
bervariasi dalam satu lesi,7 walaupun sebagian DN
cenderung mengalami regresi.2,7
Terapi bedah tidak selalu dapat menurunkan risiko
CMN atau DN untuk berkembang menjadi melanoma
namun, apabila terdapat kecurigaan maka seluruh lesi
harus
dieksisi dengan margin yang baik untuk
mendapatkan hasil yang secara kosmetik baik.1,3,13,14
Upaya utama pencegahan pada CMN atau DN adalah
mengurangi pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV),
dengan perilaku perlin-dungan terhadap pajanan sinar UV
sedini mungkin.2,5,7
LAPORAN KASUS
Seorang perempuan berumur 17 tahun datang ke Poli
Kulit dan Kelamin dengan keluhan utama benjolan pada
leher kiri atas yang terasa nyeri sejak 3 tahun yang lalu
yang bertambah parah. Benjolan muncul sejak pasien
lahir, berukuran kecil dengan permukaan rata, perlahan
berkembang sesuai dengan pertumbuhan tubuh pasien.
34
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38
Benjolan tidak gatal dan tidak nyeri. Pasien memiliki
sejumlah tahi lalat pada badannya. Tidak ada riwayat
penurunan berat badan secara cepat dalam waktu singkat.
Tidak didapatkan riwayat keganasan pada pasien ataupun
keluarga, termasuk keganasan pada kulit dan pankreas.
Pasien belum pernah berobat ke dokter sebelumnya untuk
keluhan benjolan tersebut. Tidak ada riwayat kejang
ataupun hidrosefalus.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 82 x/menit, pernapasan 16x/menit,
dan temperatur aksila 36oC. Pemeriksaan fisik lainnya
tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan dermatologik, pada submandibula
sinistra (Gb 1-2), didapatkan plak hiperpigmentasi,
tunggal, padat, batas tegas, ukuran 1,2 cm x 1,6 cm x 0,75
cm, coklat kehitaman, simetris, permukaan verukosa,
tanpa flat shoulder pada kedua sisinya.
Gambar 1-2
Gambar 1-2 (
) plak hiperpigmentasi, tunggal,
padat, batas tegas, ukuran 1.2 cm x 1.6 cm x 0.75
cm,
coklat kehitaman, simetris, permukaan
verukosa, tanpa flat shoulder pada kedua sisinya
Diagnosis banding awal adalah nevus melanositik
kongenital, nevus verukosa, dan nevus melanositik
atipikal.
Pasien direncanakan untuk dilakukan bedah eksisi,
island pedicle flap untuk memperbaiki defek akibat
tindakan
bedah
dan
dilakukan
pemeriksaan
histopatologik. Indikasi dilakukannya bedah eksisi pada
pasien ini adalah karena alasan estetik. Tidak ada riwayat
diabetes melitus, alergi obat, penyakit pembekuan darah,
luka yang sulit sembuh serta keloid. Informasi mengenai
prosedur lengkap diberikan pada pasien dan orangtuanya,
serta dimintakan persetujuan tindak medik.
Setelah tindakan aseptik dan penyuntikan anestesi
lokal, dilakukan bedah eksisi untuk mengangkat seluruh
lesi (gambar 3). Dibuat garis segitiga diluar lesi sebagai
penanda island pedicle flap (gambar 4). Dilakukan eksisi
pada tepi penanda segitiga, dan juga dilakukan undermine
secukupnya sehingga tersisa pedicle berbentuk se-
DI. Nugriaty, dkk
Terapi nevus kongenital melanositik sedang dengan eksisi dan island pedicle flap
perti pulau pada pusat
flap. Kemudian dilakukan
penjahitan pada lesi yang dieksisi sampai tepi pedicle
sehingga terbentuk mirip huruf Y (gambar 5). Pasien
diberikan sefadroksil 500 mg dua kali sehari, asam
mefenamat 500 mg tiga kali sehari, dan salep mupirosin.
Pasien diminta kontrol dua minggu setelah dilakukan
bedah eksisi untuk pengangkatan jahitan dan evaluasi
penyembuhan luka.
Hasil pemeriksaan histopatologik
didapatkan
hiperkeratosis, dengan pertumbuhan verukosa pada
lapisan epidermis (gambar 6).
Pada lapisan dermis ditemukan proliferasi sel,
nukleus bulat-oval (gambar 7), pleomorfik ringan
(gambar 8), beberapa atipikal, sebagian kromatin halus
sebagian kasar, sitoplasma mengandung pigmen melanin
yang tersusun pada sarang pada kait dermo-epidermal
(gambar 9) dan dermis atas (gambar 10), dengan
kecurigaan DN pada nevus melanositik campuran.
Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia anti
Ki67 untuk membedakan proliferasi pada sel nevus.
Pemeriksaan antiKi67 menunjukkan proliferasi sel yang
rendah (kurang dari
1%) dengan kesimpulan lesi
melanositik jinak.
Gambar 3-5. Prosedur bedah eksisi dan island pedicle flap
35
MDVI
36
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38
DI. Nugriaty, dkk
Terapi nevus kongenital melanositik sedang dengan eksisi dan island pedicle flap
Pasien diminta kontrol ke Poliklinik Kulit untuk
pengangkatan jahitan dan evaluasi penyembuhan luka dua
minggu kemudian. Penutupan luka baik dan ditemukan
sedikit krusta pada tepi luka (gambar 11-12). Setelah
pengangkatan jahitan, didapatkan makula eritematosa di
sekitar luka. Pasien diminta untuk melanjutkan terapi dan
kontrol ke Poliklinik Kulit dua minggu setelah kontrol
pertama, atau satu bulan pasca operasi. Setelah enam
minggu, pasien datang kembali ke Poliklinik Kulit dan
didapatkan
sedikit
makula
eritematosa,
makula
hiperpigmentasi serta jaringan parut atrofik minimal
(gambar
13-14).
PEMBAHASAN
Salah satu ciri CMN adalah risiko transformasi menjadi
melanoma.1-3 Lesi yang berukuran lebih kecil mempunyai
faktor risiko yang lebih kecil dibandingkan CMN yang
lebih besar.3 Risiko transformasi pada nevus yang berukuran
lebih kecil adalah antara 0% dan 4.0%, sementara yang
berukuran lebih besar adalah antara 4,5% dan 10%. 2,3
Castilla dkk. pada satu studi di tahun 1981, melaporkan
bahwa satu nevus dengan diameter kira-kira 10 cm dapat di
identifikasi pada 20 445 subyek dari total subyek 500 000
balita di Amerika Selatan.2
Pasien ini datang dengan keluhan utama benjolan pada
leher kiri atas yang dirasakan nyeri sejak 3 tahun yang lalu
dan bertambah parah. Benjolan muncul sejak pasien lahir,
berukuran kecil dengan permukaan rata,
perlahan
berkembang sesuai dengan pertumbuhan tubuh pasien
hingga pasien berusia 17 tahun. Benjolan tidak gatal dan
tidak nyeri. Tidak didapatkan riwayat melanoma, keganasan
pada kulit atau keganasan lainnya pada pasien dan keluarga.
Tidak ada riwayat kejang dan
hidrosefalus. Dari
pemeriksaan dermatologik pada submandibula sinistra,
didapatkan plak hiperpigmentasi, padat, berbatas tegas,
ukuran diameter 1,2 cm x 1,6 cm x 0,75 cm, berwarna coklat
tua dan hitam, simetrik, permukaan verukosa, tanpa flat
shoulder pada sisinya. Satu-satunya ciri yang sesuai dengan
DN yang ditemukan pada pasien ini adalah ukuran diameter
lesi 1,5 cm , sedangkan ciri lesi lainnya termasuk lesi yang
simetrik, batas tegas dan bentuk lesi regular lebih sesuai
dengan CMN. Berdasarkan hal tersebut, secara klinis pasien
didiagnosa sebagai nevus kongenital melanositik berukuran
sedang.
Pada pasien ini, pemeriksaan histopatologik pada bagian
dermis menunjukkan proliferasi sel dengan nukleus bulatoval, pleomorfik ringan, beberapa atipikal dengan derajat
yang bervariasi, dengan beberapa kromatin halus sedangkan
beberapa kasar. Sitoplasma mengandung pigmen melanin
yang tersusun berbentuk sarang pada kait dermo-epidermal
dan dermis superfisial. Menurut parameter dari kromatin dan
sitoplasma, kasus ini sesuai dengan kriteria diagnosis DN,
walaupun derajat keparahan tidak dapat diklasifikasikan.
Namun, adanya temuan pigmen melanin yang tersusun
dalam sarang pada kait dermo-epidermal dan dermis
superfisial, sesuai dengan nevus melanositik campuran yang
biasa ditemukan pada CMN. Hasil pemeriksaan
histopatologik menyebutkan kecurigaan terhadap adanya
DN, tetapi hasil pemeriksaan imunohistokimia anti Ki67
menunjukkan proliferasi sel yang rendah, sehingga
disimpulkan merupakan nevus melanositik jinak.
Pada pasien ini, walaupun secara klinis bentuknya
seperti nevus melanositik biasa, karena alasan estetik maka
dilakukan eksisi seluruh lesi dan koreksi dengan
menggunakan island pedicle flap, serta ditambahkan margin
2 mm, sesuai dengan literatur.
Pada pasien ini, dipilih the island pedicle flap karena
ukuran lesi (1,6 cm x 1,2 x 0,75 cm) , lokasi dari defek yaitu
pada submandibula sehingga mempunyai sumber untuk
pengambilan jaringan, dan disesuaikan dengan estetika. The
island pedicle flap mempunyai suplai vaskular dibandingkan
classic advancement flap, dengan pasokan darah berasal dari
dasar flap dan harus menjangkau seluruh panjang dari flap
sampai ke tepi.11 Tipe flap ini akan memberikan panjang
tambahan jaringan yang diperkirakan sama ukurannya
dengan defek dan meminimalisir distorsi lokal.11
Penyembuhan bekas luka eksisi dan flap pada pasien ini
cukup baik. Hal tersebut dilihat dari didapatnya makula
eritematosa di sekitar luka dua minggu pasca eksisi dan
berkurang setelah enam minggu serta dengan jaringan parut
hipertropik minimal.
Dengan diagnosis ini, aspek yang penting untuk
diperhatikan adalah edukasi pasien tentang adanya risiko
keganasan dan apa saja yang harus dipantau secara
berkala.1,2 Pasien harus diajarkan bagaimana memeriksa diri
sendiri dengan bantuan dari foto dan melakukan follow-up
jangka pendek yang dapat mendeteksi dan memastikan
bahwa nevus stabil.1,2 Konseling untuk pasien CMN yang
telah dilakukan pengangkatan termasuk bagaimana
melindungi kulit dari pajanan sinar matahari dan
penghindaran sunburn, baik untuk pasien maupun keluarga
pasien.2,7 Hal tersebut termasuk penghindaran matahari pada
siang hari, berjalan di tempat yang teduh, bila beraktifitas di
luar ruangan memilih pada pagi hari atau sore hari,
penggunaan pakaian protektif misalnya baju lengan panjang,
rok atau celana panjang, dan juga tabir surya.2
Karena pasien merupakan pelajar SMA tanpa adanya
aktifitas tambahan di luar ruangan, pajanan sinar matahari
terhadap pasien relatif tidak banyak. Meskipun demikian,
pada pasien dan keluarganya perlu dilakukan konseling
menyeluruh mengenai perlindungan terhadap pajanan sinar
matahari dan dianjurkan kontrol secara berkala untuk nevus
lainnya.
37
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38
MDVI
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
38
Grichnik JM, Rhodes AR, Sober A J, Benign
Neoplasias and Hyperplasias of Melanocytes.
Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill; 2012.h. 1377-82.
Bishop JA. Lentigos, Melanocytic Nevi and
Melanoma. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, penyunting. Rook’s Textbook of
Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: WilleyBlackwell; 2010.h. 54.10-54.9.
Lyon VB. Congenital Melanocytic Nevi. Pediatr
Clin N Am. 2010; 57: 1155–76.
Barnhill RL. Tumors of the Melanocytes. Dalam:
Barnhill RL, Crowson MA, Magro CM, Piepkorn
MW, penyunting. Dermatopathology. Edisi ke-3.
New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2010.h.
615-81
Weedon D. Lentigenes, Nevi and Melanomas.
Dalam: Weedon D. Weedon’s Skin Pathology.
Edisi ke-3. China: Churchill Livingstone Elsevier;
2010.h.713-34.
Elder DE, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X, Benign
Pigmented Lessions and Malignant Melanoma.
Dalam: Elder DE, Johnson BL, Elenitsas R,
Murphy GF, penyunting. Lever’s Histopathology of
the Skin. Edisi ke-9. New York: Lippincot Williams
and Wilkins; 2005.h.713-44.
Grichnik JM, Tucker MA. Atypical (Dysplastic)
Melanocytic Nevi. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;
2012.h. 1410-6.
Arumi-Uria M. Dysplastic nevus: the eye of
thehurricane. J Cutan Pathol. 2008; 35 (Suppl. 2):
16–9.
Culpepper KS, Granter SR, McKee PH. My
approach to atypical melanocytic lesions. J Clin
Pathol 2004; 57: 1121–31.
Sheehan JM, Kingsley M, Rohrer TE, Excisional
Surgery and Repair, Flaps, and Grafts. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill; 2012.h. 2921-49.
Ibrahimi O A, Alikhan A, Eisen DB. Congenital
melanocytic nevi: Where are we now? J Am Acad
Dermatol. 2012; 67: 515.e1-13.
Bader RS. The Island Pedicle Flap: A Valuable
Tool for the Repair of Small- to Medium-Sized
Surgical Defects on the Extremities. Cosm
Dermatol. 2007; 20(7): 446-8.
13.
14.
15.
Lee KK, Swanson NA, Lee HN, Overview of flaps.
Dalam: Color Atlas Of Cutaneus Excision And
Repairs. Edisi ke-1. Cambridge: Cambridge
University Press; 2008.h 33-48.
Patel KG, Sykes J M. Concepts in local flap design
and classification. Operative Techniques in
Otolaryngology. 2011; 22: 13-23
Prieto VG,Shea CR. Immunohistochemistry of
Melanocytic Proliferations. Arch Pathol Lab Med.
2011; 135: 853–9
Tinjauan Pustaka
DERMATITIS KONTAK OKUPASIONAL
PADA PENATA RAMBUT
Affendi Purbananto, Sri Awalia Febriana, Dwi Retno Adi Winarni
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
ABSTRAK
Penata rambut adalah salah satu profesi yang rentan mengalami dermatitis kontak, terutama karena sering terpajan
langsung dengan bahan kimia terkandung dalam berbagai produk maupun alat yang digunakan saat bekerja. Bahan
bersifat iritan atau alergen pada produk pewarna rambut adalah p-phenylenediamine, p-methylaminophenol; dan hidrogen
peroksida; pada pengeriting rambut adalah ammonium thioglycolate dan glyceryl monothioglycolate; pada pelurus
rambut adalah formaldehid dan sodium hidroksida. Bermacam produk, misalnya sampo, pelembab (kondisioner), spray,
gel, dan wax rambut juga dapat mengandung bahan bersifat iritan maupun alergen. Peralatan bekerja, misalnya gunting,
biasanya mengandung nikel yang dapat menimbulkan dermatitis kontak, demikian pula sarung tangan lateks. Pencegahan
dermatitis kontak pada penata rambut dapat dilakukan dengan menghindari atau mengganti produk perawatan rambut
yang diduga sebagai penyebab. Selain itu, penggunaan alat pelindung, misalnya sarung tangan dan baju pelindung juga
sangat penting untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara kulit dengan berbagai bahan tersebut.
Kata kunci: dermatitis kontak okupasional, penata rambut, alergen, iritan
OCCUPATIONAL CONTACT DERMATITIS
ON HAIRDRESSER
ABSTRACT
Hairdresser is one profession which is susceptible to contact dermatitis mainly, due to directly exposed to chemicals
contained in various products or tools used when working. Materials that are irritants or allergensin hair dye products are
p-phenylenediamine, p-methylaminophenol, and hydrogen peroxide; in hair curlers are ammonium thioglycolate and
glyceryl monothioglycolate; in hair straightener are formaldehyde and sodium hydroxide. Products such as shampoo,
conditioner, spray, gel, and hair wax may also contain irritants or allergens. Nickel contained in equipment works like
scissors can also cause contact dermatitis, similarly with gloves that contain latex. Prevention of contact dermatitis in
hairdressers can be done by avoiding or replacing hair care products are suspected as the cause. In addition, the use of
protective equipments, such as gloves and protective clothing, is also very important to prevent direct skin contact with
these materials.
Keywords: occupational contact dermatitis, hairdresser, allergen, irritant
Korespondensi:
Gedung Radioputro Lantai 3,
Jl. Farmako 1, Sekip, Sleman, Yogyakarta
Telpon/Fax 0274-560700
Email: [email protected]
39
MDVI
PENDAHULUAN
Dermatitis kontak okupasional (DKO) adalah
penyakit kulit non infeksius yang disebabkan atau
diperburuk oleh pekerjaan seseorang karena kontak
dengan bahan yang digunakan. DKO tidak menular dari
satu individu ke individu lainnya, dan biasanya banyak
terjadi di negara industri. Salah satu profesi yang rentan
terkena DKO adalah penata rambut. Berdasarkan bahan
yang sering digunakan penata rambut, bentuk DKO yang
dialami berupa dermatitis kontak, baik iritan maupun
alergi.1 Hal ini terjadi karena seorang penata rambut
sering terpajan langsung dengan berbagai bahan kimia
terkandung dalam produk yang digunakan, misalnya
sampo, cairan pengeriting rambut, cat rambut, dan bahan
pelurus rambut, ataupun kontak langsung dengan
peralatan yang digunakan, misalnya gunting atau sarung
tangan.2,3
Berdasarkan data epidemiologi, prevalensi DKO
berkisar antara 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja per tahun.4
Penelitian terhadap 405 responden penata rambut dan ahli
kosmetik nasional di Amerika Serikat ditemukan lebih
dari 50% mengalami dermatitis kontak. Sebanyak 203
penata rambut yang mengalami dermatitis kontak, 62 di
antaranya datang memeriksakan diri ke dokter spesialis
kulit dan 20 orang di antaranya mengalami dermatitis
kronis.5
Meskipun DKO tidak memerlukan rawat inap,
bersifat ringan, dan sering dianggap tidak berisiko,
pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial harus
diperhitungkan.6 Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat
membantu dalam mengenali berbagai bahan potensial
menyebabkan DKO pada penata rambut, sehingga
berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan untuk
menjaga kesehatan kulit para penata rambut.
EPIDEMIOLOGI
Berbagai produk perawatan rambut telah banyak
dilaporkan memiliki efek samping terhadap kulit.
Keluhan yang sering dilaporkan adalah dermatitis kontak
akibat reaksi alergi maupun iritasi.7,8 Dermatitis kontak
iritan (DKI) terjadi sekitar 80% dari semua kasus DKO,
sedangkan dermatitis kontak alergi (DKA) hanya berkisar
20%.1 Bagian tubuh yang terlibat biasanya adalah tangan
dan lengan bawah.9 Sebuah penelitian di Italia pada tahun
2006 menunjukkan bahwa 60% dari 42.839 pasien
dengan dermatitis kontak berprofesi sebagai penata
rambut, merupakan satu dari lima pekerjaan yang
memiliki angka kejadian tertinggi.7
Berdasarkan penelitian oleh Khumalo, dkk. (2005)
pada 261 penata rambut yang mengalami dermatitis
kontak di Eropa pada tahun 2005, 49 pasien di antaranya
dilakukan uji tempel. Hasil uji tempel tersebut
menunjukkan reaksi positif 1 pada 27 pasien dan 22
40
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44
pasien bereaksi positif lebih dari positif terhadap berbagai
bahan kimia yang digunakan oleh penata rambut.
Sembilan belas (7,3%) di antaranya positif alergi terhadap
paraphenylenediamine (PPD) yang merupakan komponen
pada pewarna rambut.7
Penelitian Lind, dkk. (2005) menyatakan bahwa
selain PPD, kandungan dalam pewarna rambut lainnya
yang dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi adalah
toluene-2,5-diamine (TDA) atau sulfatnya, toluene-2,5diaminesulphate (TDS). PPD dan TDA (atau TDS)
merupakan bahan yang paling berperan dalam reaksi
alergi. Uji tempel yang dilakukan pada penata rambut, 1758% menunjukkan reaksi positif terhadap PPD dan 1425% terhadap TDA atau TDS.10
Dermatitis kontak umumnya terjadi pada 6 minggu
pertama setelah memulai pekerjaan sebagai penata
rambut. Sebuah studi potong lintang menunjukkan
prevalensi dermatosis pada penata rambut berkisar antara
16,9% hingga 38,2%. Studi lain di kota Tainan, Taiwan,
menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi terhadap DKI
(83%) dan DKA (44%).7
ETIOLOGI
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan terjadi bila kulit terkena
iritan ringan berulang-ulang dalam kurun waktu lama atau
iritan kuat yang akan menyebabkan kerusakan kulit
seketika, misalnya bahan yang mengandung asam atau
basa.1 Penggunaan sampo dapat menghilangkan lipid dan
kelembaban alami kulit tangan penata rambut. Produk
hair finishing, hidrogen peroksida, dan amonia pada
bahan pewarna rambut, serta iritan persulfate dan
thioglycolates pada bahan bleaches dan cairan pengeriting
rambut permanen juga berefek sama.11 DKI akan
menyebabkan kulit menjadi kemerahan dan meradang
yang tingkat keparahannya bergantung pada beberapa hal.
Hal tersebut antara lain faktor individu berupa riwayat
alergi atau riwayat dermatitis kontak sebelumnya, bagian
tubuh yang terkena, serta kondisi lingkungan pekerjaan
seperti cuaca panas dan kelembaban yang rendah akan
menyebabkan
kulit
menjadi
kering
sehingga
mempermudah terjadi friksi dengan peralatan yang
digunakan.1
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi merupakan keadaan dimana
individu tersensitasi dengan bahan yang disebut dengan
alergen.1 Alergen yang paling sering ditemukan pada
penata rambut adalah paraphenylenediamine dan oksidatif
pewarna rambut, salts of thioglycolic acid pada pewarna
rambut permanen yang dapat ditemukan pada rambut
beberapa minggu setelah aplikasi. Resorsinol and
A. Purbananto, dkk
Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut
pyrogallol pada bahan oksidatif pewarna rambut, sampo,
dan bahan karet sarung tangan juga merupakan penyebab
DKA pada penata rambut. Beberapa kasus di lingkungan
kerja penata rambut juga ditemukan kejadian alergi
terhadap nikel. Krim pengeriting rambut permanen yang
mengandung ammonium thioglycolate juga dapat
menyebabkan keluarnya nikel dari alat piñata rambut,
misalnya gunting.2
DKA akan melibatkan sistem imun tubuh. Sel imun
tubuh akan bereaksi dengan bahan yang masuk ke dalam
tubuh. Bahan asing dari luar tubuh tersebut dapat berupa
bahan kimia kuat yang terserap ke dalam kulit dan
menimbulkan respons alergi seperti ruam. Ruam akan
muncul sekitar 24 hingga 96 jam setelah kontak. Derajat
keparahan reaksi tersebut bergantung pada berapa lama
dan bagaimana kontak dengan alergen, jenis kelainan
kulit, suhu dan kelembaban di tempat kerja apakah
cenderung menyebabkan berkeringat atau kulit kering
atau kulit pecah-pecah, dan faktor lainnya seperti usia dan
riwayat DKA pada keluarga.1
PATOFISIOLOGI
Dermatitis kontak iritan merupakan kondisi
kerusakan kulit langsung yang disebabkan oleh bahan
Tabel 1. Manifestasi klinis dermatitis kontak okupasional1
Dermatitis Kontak Alergi
Kemerahan kulit
Kering, bercak berskuama
Bula membasah
Sensasi terbakar atau gatal
Bengkak pada mata
Gatal
Kulit menghitam/pecah-pecah
Reaksi akan meluas hingga area sekitar kontak
BAHAN
IRITAN
DAN
PERAWATAN RAMBUT
ALERGEN
iritan. Bahan iritan tersebut akan merusak sel jika
terkena dalam waktu dan konsentrasi tertentu. Dalam hal
ini proses imunologis tidak terlibat dan tanpa didahului
sensitasi terlebih dahulu. Iritan akan merusak dengan cara
menghancurkan atau memindahkan lipid dan mengubah
kapasitas pengikatan air, sehingga akan memicu
kerusakan sel epidermis.1
Dermatitis
kontak
alergi
adalah
reaksi
hipersensitivitas tipe IV yang hanya mengenai individu
yang terpapar sensitizer sebelumnya. Dua fase dalam
hipersensitivitas tipe IV adalah induksi dan elisitasi.
Selama proses fase induksi, alergen atau hapten akan
penetrasi ke epidermis dengan melibatkan antigenpresenting cell (APC). Proses antigen ini dipengaruhi
oleh limfosit T. Fase elisitasi muncul ketika individu
tersensitasi oleh antigen kembali. Antigen penetrasi ke
epidermis dan diekspresikan oleh APC. Proses antigen
dipengaruhi oleh limfosit T efektor yang bersirkulasi,
sehingga menghasilkan limfokin yang akan memerantarai
respons inflamasi yang merupakan karakteristik dari
DKA.1
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis antar individu akan berbeda
bergantung pada pajanan bahan yang kontak dengannya.1
(Tabel 1)
Dermatitis Kontak Iritan
Kulit bengkak ringan
Kulit terasa kaku
Kulit kering pecah-pecah
Bula/vesikel
Reaksi lokalisata (terbatas pada area kontak)
PADA
Perawatan rambut dapat dilakukan dengan berbagai
cara, dapat berupa pewarnaan rambut, pengeritingan
rambut, pelurusan rambut, atau hanya menata rambut
dengan menggunakan gel, spray, atau wax.2 Berikut
adalah beberapa bahan dan alat yang sering menjadi
bahan iritan dan alergen pada penata rambut:
Pewarna rambut permanen. Pewarna rambut permanen
terdiri atas 2 komponen utama, yaitu krim pewarna dan
bahan oksidasi atau developer.12
Pewarna (krim pewarna). Pewarna terbagi atas 3
komposisi berdasarkan reaksi kimiawinya, yakni
prekursor, couplers, dan direct dyes. Prekusor meliputi
senyawa
dengan gugus para-, misalnya p-phenylenediamine. Bila
prekursor bertemu dengan bahan oksidasi (developer)
maka akan teroksidasi dan segera bereaksi dengan
couplers. Couplers meliputi senyawa dengan gugus meta, misalnya m- phenylenediamine.13
Senyawa p-phenylenediamine; merupakan komponen
pewarna rambut yang paling banyak dilaporkan
menyebabkan dermatitis kontak. Hampir semua merek
pewarna mengandung komponen PPD tersebut. PPD
sendiri dapat berekasi silang dengan benzokain, ester
PABA, dan azo dyes khususnya disperse yellow 3 (DY3)
dan disperse orange 1 (DO1).14
Senyawa p-methylaminophenol; termasuk komponen
pewarna rambut yang sering menyebabkan dermatitis
kontak, biasanya akan memperburuk keadaan pada indi
41
MDVI
du yang juga sensitif dengan PPD.14
Bahan oksidasi (developer cream)
Hidrogen peroksida. Merupakan bahan terpenting yang
selalu ada pada sebagian besar pewarna rambut, namun
diklasifikasikan sebagai bahan oksidasi. Terkadang
ammonium hidroksida ditambahkan di dalam pewarna
rambut untuk mengaktivasi hidrogen peroksida. Hidrogen
peroksida juga terdapat pada produk pengeriting rambut
sebagai bahan neutralizing. Biasanya hidrogen peroksida
lebih sering menyebabkan DKI dibandingkan dengan
DKA karena sifatnya yang iritatif.12,14
Pengeriting Rambut
Glyceryl monothioglycolate. Merupakan komponen
dalam pengeriting rambut yang paling sering
menyebabkan dermatitis kontak.14
Ammonium thioglycolate. Merupakan bahan utama di
dalam pengeriting rambut permanen dan merupakan
penyebab dermatitis kontak terbanyak kedua pada
pengeriting rambut setelah glyceryl monothioglycolate.14
Pelurus Rambut
Formaldehid. Sumber atau produk yang mengandung
formaldehid sangat banyak. Selain terdapat pada
komponen pelurus rambut, formaldehid biasanya terdapat
pada produk kosmetik lainnya, yaitu sabun mandi, sampo,
pewarna kuku, disinfektan, deodoran, cairan kumur,
pemoles mobil, pembersih kloset, plastik, pengawet
kosmetik, dan obat-obatan. Selain dapat menyebabkan
dermatitis kontak, formaldehid juga dapat menyebabkan
urtikaria kontak.14,15
Sodium hidroksida. Sodium hidroksida atau natrium
hidroksida adalah sejenis logam kaustik yang terbentuk
dari oksida basa. Sodium oksida larut dalam air. Sodium
hidroksida membentuk larutan alkalis yang kuat ketika
dilarutkan ke dalam air. Sodium hidroksida digunakan di
berbagai macam bidang industri, sering digunakan
sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan
kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen, serta di
laboratorium kimia. Karena sifatnya yang basa, sodium
hidroksida digunakan pada pencampuran komponen
pelurus rambut.14
Pencuci (sampo), pelembab (kondisioner), spray, gel,
dan wax rambut
Tensides (concamidopropyl betaine). Concamidopropyl
betaine digunakan sebagai pembentuk busa pada sampo,
dapat berfungsi pula sebagai surfaktan pada produk sabun
tangan. Concamidopropyl betaine juga digunakan dalam
kosmetik sebagai bahan pengemulsi dan pengental,
sehingga dapat mengurangi iritasi. Pada kondisioner
rambut berfungsi sebagai bahan antistatik sehingga tidak
mengiritasi
kulit
kepala.
Beberapa
penelitian
42
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44
menunjukkan concamidopropyl betaine justru bersifat
alergen. Concamidopropyl betaine juga memiliki sifat
antiseptik.14
Bahan pengawet
Methyldibromo
Methyldibromo
glutaronitrile.
glutaronitrile umumnya digunakan sebagai pengawet.
Kontak dengan bahan kimia tersebut dapat menyebabkan
alergi dan beberapa dilaporkan positif
pada uji
tempel.14,15
Methylchloroisothiazolinone.
Methylchloroisothiazolinone, selain sebagai pengawet
pada produk kosmetik, juga dapat berfungsi sebagai
antibakterial yang efektif terhadap bakteri Gram positif
dan negatif, serta sebagai antifungal. Pada konsentrasi
yang tinggi, methyl
chleroisothiazolinone dapat menjadi iritan pada kulit.
Beberapa laporan juga menyatakan dapat menyebabkan
kontak alergi pada beberapa individu.14,15
Parabens. Parabens banyak digunakan sebagai pengawet
pada kosmetik, farmasi, dan beberapa makanan. Kosmetik
yang mengandung parabens berupa sampo, cat rambut,
produk perawatan rambut, krim perawatan kulit, maskara,
lipstik, alas bedak, eye shadow, eye liner, dan pemerah
pipi.14
Parfum
Hydroxylsohexyl
3-cyclohexene
carboxaldehyde.
Hydroxylsohexyl
3-cyclohexene
carboxaldehyde
merupakan pewangi sintetik yang terdapat dalam sabun
dan deodoran. Seringkali menyebabkan kontak alergik
dengan prevalensi 2-3%.14
Cinnamaldehyde. Cinnamaldehyde merupakan pewangi
yang ditambahkan pada beberapa produk kosmetik.
Cinnamaldehyde tersebut dapat ditemukan secara alami
dalam minyak esensial chamomile, namun jarang sekali
menyebabkan kontak alergik.14
Alat Kerja
Gunting, jepit rambut, rol rambut. Nikel. Penelitian
yang dilakukan Wahhberg (2008) pada 35 penata rambut,
mendapatkan hasil 29 orang positif pada uji tempel
standar yang dilakukan, dan 14 di antaranya positif
terhadap nikel. Prevalensi alergi yang tinggi kemungkinan
disebabkan oleh kekerapan penggunaan alat yang
mengandung nikel, misalnya gunting, jepit, rol, dan alat
pengeriting rambut.5
Sarung Tangan. Lateks; Lateks merupakan emulsi
kompleks yang mengandung emulsi, protein, alkaloid,
pati, gula, terpena, minyak, tannin, dan resin.14
Mercaptobenzothiazoles. Terdapat pada berbagai produk
yang terbuat dari karet alami. Selain sarung tangan,
A. Purbananto, dkk
mercaptobenzothiazoles dapat ditemukan pada ear plug,
sepatu karet, apron, masker, dan baju renang. Mercapto
Tabel 2. Bahan iritan dan alergen dalam berbagai produk perawatan rambut5, 12-15
Jenis Bahan/Alat
Komponen
Krim pewarna:
p-phenylenediamine
p-methylaminophenol
2-methyl-5-hydroxyethylaminophenol
m-phenylendiamine
Pewarna rambut
Bahan Oksidasi:
Hydrogen peroxide
Hydrochinone
p-dihydroxybenzol
Kalium persulfat
Natrium persulfate
Pengeriting
Ammonium thioglycolate
rambut
Glyceryl monothioglycolate
permanen
Cysteaminehydrochloride
Formaldehid
Sodium hydroxide
Pelurus Rambut
Potassium hydroxide
Lithium hydroxide
Tensides (concamidopropyl betaine),
Bahan pengawet (methyldibromo
Sampo,
Glutaronitrile, parabens
kondisioner,
methylchloroisothiazolinone),
hair spray, hair gel,hair wax
Parfum (cinnamal, eugenol,
hydroxylsohexyl 3-cyclohexene
carboxaldehyde)
Kontak dengan
Gunting (nikel)
alat kerja
Sarung tangan (latex,
mercaptobenzothiazoles, thiurames,
Pelindung kulit
dithiocarbamates, phthalates,
formaldehyde)
enzothiazoles dilaporkan sering menyebabkan DKA.14
Bahan iritan dan alergen yang terkandung dalam
berbagai produk perawatan rambut selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
DIAGNOSIS
Diagnosis DKI pada dasarnya diketahui berdasarkan
riwayat paparan terhadap bahan yang berpotensi sebagai
iritan seperti tercantum pada Tabel 2. Manifestasi klinis
dan lokasi distribusinya juga dapat mengarahkan kita
untuk mendiagnosis DKI. Kelainan kulit yang timbul
biasanya dapat menghilang setelah menjauhkan diri dari
bahan iritan, dan jika perlu dapat diberikan pengobatan
khusus. DKI pada beberapa kasus juga dapat merupakan
efek kumulatif dari iritan yang multipel.1
Pada DKA lebih mudah untuk mengenalinya dan
tidak diperlukan tes spesifik. Kelainan kulit akan hilang
(walaupun tidak selalu) sepenuhnya bila kontak dengan
alergen pada Tabel 2 dapat dihindari. Tes tempel dapat
dilakukan
untuk
mengonfirmasi
DKA
dan
Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut
mengidentifikasi
alergen
penyebab.
koeksistensi dengan DKI dapat juga terjadi.1
Iritan
Sensitizer
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Terkadang
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
PENATALAKSANAAN
Pencegahan
Gejala DKO berkurang bila pasien beristirahat dari
pekerjaannya. Kekambuhan saat pasien bekerja kembali
sangat bervariasi, berkisar antara 35-80%.16,17 Prevalensi
DKO dapat diturunkan melalui pencegahan yang
sempurna, antara lain: 1) pemahaman tentang lingkungan
kerja dan berbagai bahan yang mungkin menyebabkan
DKO, sehingga dapat menghindari kontak langsung
dengan bahan tersebut; 2) penggunaan alat pelindung diri,
misalnya baju pelindung dan sarung tangan, bertujuan
menghindari kontak langsung antara kulit dengan bahan
bersifat iritan atau allergen;1,18 3) melakukan uji tempel
pada calon pekerja sebelum diterima, pekerja kemudian
ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan
yang rentan terhadap dirinya sesuai hasil uji tempel; 4)
pemeriksaan kesehatan berkala bertujuan untuk
mengetahui dengan cepat dan tepat apakah pekerja
terkena penyakit kulit akibat kerja; 5) kerjasama antara
dokter, ahli kimia, dan ahli dalam bidang tenaga kerja
untuk mengatur alat kerja, cara kerja, atau memperhatikan
bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan
untuk mencegah kontaminasi pada kulit.1
Pengobatan
43
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44
MDVI
Tatalaksana utama ialah menghindari pajanan bahan
atau alat yang dicurigai, baik yang bersifat mekanik, fisis,
maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang
memperberat. Dengan menghindari penyebab, DKO akan
sembuh sendiri tanpa pengobatan topikal dan mungkin
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang
kering. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan
dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya
hidrokortison, atau untuk kelainan kronik dapat diberikan
kortikosteroid lebih kuat.17,19
6.
PROGNOSIS
Prognosis pada DKO akut cukup baik, terutama pada
penata rambut yang menjalankan rencana terapi dengan
kooperatif. Kekambuhan dapat muncul apabila terpajan
iritan atau alergen kembali. Bila bahan iritan tidak dapat
dihindari dengan sempurna, maka prognosis menjadi
kurang baik. Keadaan tersebut sering terjadi pada DKI
kronis yang penyebabnya multifaktor.17 Prognosis pada
DKA umumnya baik, sejauh bahan kontak dapat
dihindari. Prognosis menjadi kurang baik dan kronik bila
terjadi bersamaan dengan faktor endogen (dermatitis
atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan
oleh alergen yang tidak mungkin dihindari.17,18
10.
KESIMPULAN
Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut
muncul ketika terjadi kontak dengan bahan dan alat yang
bersifat allergen atau iritan pada saat bekerja. Penggunaan
masker, sarung tangan plastik, dan baju pelindung pada
saat bekerja dapat mencegah kontak kulit langsung
dengan bahan tersebut. Pemeriksaan kesehatan berkala
dan edukasi yang baik oleh dokter dapat mengurangi
angka kejadian DKO tersebut.
7.
8.
9.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
DAFTAR PUSTAKA
1. Krishnan S, Darmada IGK, Rusyati LMM.
Occupational contact dermatitis. J Udayana. 2013; 1: 17
2. Schwensen JF, Johansen JD, Veien NK, Funding AT,
Avnstorp C, Osterballe M, dkk. Occupational contact
dermatitis in hairdressers: an analysis of patch test data
from the Danish Contact Dermatitis Group, 2002–2011.
Contact Dermatitis. 2013; 70: 233–237
3. Kezic S, Visser MJ, Verberk MM. Individual
susceptibility to occupational contact dermatitis.
Industrial Health. 2009; 47: 469-78
4. Tanja Korfitsen Carøe, Niels Ebbehøj, Tove Agner. A
survey of exposures related to recognized occupational
contact dermatitis in Denmark in 2010. Contact
Dermatitis. 2013; 70: 56–62
5. Putra IB. Penyakit kulit akibat kerja karena kosmetik.
USU Repository. 2008; 1: 1-8
44
18.
19.
Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D,
Wilkinson M. U.K. standards of care for occupational
contact dermatitis and occupational contact urticarial.
Br J Dermatol. 2013; 168: 1167–75
Khumalo NP, Jessop S, Ehrlich R. Prevalence of
cutaneous adverse effects of hairdressing. Arch
Dermatol. 2006; 142: 377-83
Heidi Søsted. Occupational Contact Dermatitis:
Hairdressers. Contact Dermatitis. 2010; 45: 865-71
Koch P. Occupational contact dermatitis: recognition
and management. Am J Clin Dermatol. 2001; 2(6):
353-65
Lind ML. Dermatitis in hairdressers as a problem in
chemical control. Ann Occup Hyg. 2005; 49(6): 457-59
Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda
A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2009.h.129-53
Nohynek GJ, Skare JA, Meuling WJ, Wehmeyer KR,
de Bie AT, Vaes WH, dkk. Human systemic exposure
to [14 1 c]-paraphenylenediamine-2 containing
oxidative hair dyes: absorption, kinetics, 3 metabolism,
excretion and safety assessment. Food Chemic. 2015;
1; 1-32
Bowling JC, Scarisbrick J, Warin AP. Allergic contact
dermatitis
from
trideceth-2-carboxamide
monoethanolamine (MEA) in hair dye. Contact
dermatitis. 2002; 47: 116-7
Coz CJ, Lepoittevin JP. Allergens: chemical structures,
sources and references. Berlin: Springer Berlin
Heidelberg; 2007: 1-254
Rietschel RL, Fowler JF. Preservative and vehicles in
cosmetics and toiletries. Fisher’s Contact Dermatitis.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins;
2008.h. 303-4
Brown T. Strategies for Prevention: occupational
contact dermatitis. Occupat Med. 2004; 54(7): 450-7
Taylor JS, Sood A. Occupational skin disease. Dalam:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw Hill; 2008.h.2067-80
Mari CT, Kathryn AZ. Allergic contact dermatitis.
Dalam: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw Hill; 2012.h. 152-65
Sosted H, Agner T, Andersen KE, Menne T. 55 cases
of allergic reactions to hair dye: a descriptive,
consumer complaint-based study. Contact dermatitis.
2002; 47: 299-303
Tinjauan Pustaka
PEMERIKSAAN GENETIK ANTENATAL
PADA GENODERMATOSIS
Frien Refla Syarif, Sri Lestari
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Andalas/RSUP dr.M.Djamil Padang
ABSTRAK
Pemeriksaan genetik antenatal telah berkembang dengan pesat dalam genodermatosis. Genodermatosis merupakan
penyakit yang diturunkan dalam hal struktur dan fungsi kulit mencakup berbagai penyakit kulit turunan yang mungkin terkait
dengan risiko mortalitas yang bermakna dan morbiditas jangka panjang. Terdapat kemajuan yang pesat dalam metode untuk
pemeriksaan antenatal sejak 1980-an. Di masa lalu, pilihan untuk diagnosis antenatal pada penyakit ini terbatas pada biopsi
kulit fetus, tetapi saat ini kemajuan genetika molekuler telah berkembang dan sangat mempengaruhi diagnosis prenatal bidang
dermatologi. Pertemuan antara ilmu genetika dan dermatologi telah semakin luas dengan dapat diidentifikasinya kelainan gen
yang diturunkan hingga meningkatkan penemuan spektrum fenotip dan integrasi data molekuler dan klinis. Selain itu, diagnosis
prenatal memberikan orangtua pilihan terapi pada waktu yang lebih cepat. Di Indonesia perkembangan ilmu genetik dan
clinical genetic (genetik klinis) sudah berkembang cukup pesat. Konseling genetik sebagai sebuah ilmu dan konselor genetik
sebagai sebuah profesi telah berkembang pesat di negara maju demikian juga di beberapa negara berkembang. Mengingat
Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, hal ini tentunya merupakan tantangan yang terkait
dengan kesehatan untuk memberikan layanan ini.
Kata kunci: pemeriksaan genetik antenatal, genodermatosis
ANTENATAL GENETIC EXAMINATION
IN GENODERMATOSES
ABSTRACT
Antenatal genetic exmination has been developing progress in genodermatoses. Genodermatoses refer to inherited disease
of skin structure and function. It encompasses a range of inheritable skin diseases that may be associated with significant
mortality rate and long-term morbidity. There have been major advances in methods for antenatal testing since 1980s. In the
past, options for antenatal diagnosis of these diseases were limited to fetal skin biopsy but presently the progress of molecular
genetics led to a revolution which also had affected the dermatology field profoundly. The interface between genetics and
dermatology has broadened with the identification of the heritable disorders, improve recognition of phenotypic spectrums and
integration of molecular and clinical data. Furthermore, prenatal diagnosis gives parents the therapeutic option at the earliest
possible time. In Indonesia, the development of genetic science and clinical genetics (genetic clinic) has been growing quite
rapidly. Genetic counseling as a science and as a profession genetic counselor has been growing rapidly in developed countries
as well as in some developing countries. Since Indonesia is the fourth most populous country in the world, it is certainly a
challenge related to health to provide this service.
Keywords: antenatal genetic examination, genodermatoses
Korespondensi:
Jl. Perintis Kemerdekaan – Padang
Telp/fax: 0751-810256
Email: [email protected]
45
MDVI
PENDAHULUAN
Diagnosis genodermatosis di masa lampau sulit
ditegakkan dengan begitu banyaknya sistem klasifikasi
dan nomenklatur yang tidak konsisten. Sejak dasar
genodermatosis telah ditentukan, integrasi molekuler dan
data klinis dapat membantu untuk mempermudah
mengelompokkan
penyakit
dan
mengeliminasi
terminologi yang tidak diperlukan.1,2
Genodermatosis meliputi berbagai penyakit kulit
turunan yang berhubungan erat dengan kekerapan
mortalitas dan morbiditas jangka panjang.3 Pada saat
mengevaluasi pasien yang dicurigai berpenyakit
genodermatosis, langkah awal yang perlu dilakukan
adalah mendapatkan riwayat genodermatosis melalui
anamnesis sedikitnya dari 3 generasi dan memeriksa
status dermatologikus termasuk rambut, kuku, dan
mukosa oral/gigi. Ini sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan riwayat pada keluarga (terutama orangtua
dan saudara sedarah) yang memiliki kelainan yang sama
sehingga dapat menegakkan pola penurunan genetik pada
keluarga. Hasil pemeriksaan laboratoris, radiografi, dan
histologis sebelumnya juga harus dikumpulkan.4
Dahulu diagnosis prenatal untuk berbagai kondisi ini
dilakukan hanya dengan biopsi kulit fetus.3 Eritroderma
iktiosiformis kongenital bulosa dan junctional EB
merupakan kondisi pasien yang sukses pertama kali
didiagnosis menggunakan teknik ini.5 Biopsi kulit fetus
dimulai sejak tahun 1987 pada saat ditemukannya delesi
gen steroid sulfatase yang mengakibatkan terjadinya
iktiosis x-linked recessive.6
Dua puluh lima tahun terakhir terdapat kemajuan
yang bermakna dalam menjelaskan dasar genetik
gangguan kelainan kulit.6 Penelitian pada mutasi gen
manusia kemudian berkembang pada tahun 2003.7,8 Sejak
tahun 2000 terdapat kemajuan pesat berbagai penelitian
yang menemukan lebih dari 1000 gen bertanggungjawab
terhadap fenotip manusia dan mencapai 300 gen yang
berhubungan dengan abnormalitas pada kulit.9-12
Sebelum dilakukan diagnostik molekuler pada pasien
genodermatosis, keuntungan dan kerugian pemeriksaan
ini harus dipertimbangkan dan dibicarakan dengan pasien
dan/atau keluarga pasien. Efek hasil pemeriksaan
terhadap pasien yang diperiksa atau anggota keluarga
harus dijelaskan kepada pasien dan keluarga. Konfirmasi
diagnosis yang dicurigai penting pada saat hasil
pemeriksaan karena dapat mempengaruhi prognosis,
monitoring dan/atau terapi.4,13,14
Masalah medis selama kehamilan dan kelahiran dapat
diantisipasi dan diterapi tepat waktu, misalnya proses
persalinan yang tidak maju (kala dua memanjang) bila ibu
mengandung bayi dengan iktiosis x-linked. Oleh sebab
itu, diagnosis prenatal memberikan pilihan abortus
terapeutik terhadap bayi yang dikandung15 dengan
46
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53
pertimbangan risk and benefit, serta etika, moral, dan
legalitas.31 Alasan lain untuk melakukan pemeriksaan
antenatal adalah terdapatnya faktor risiko pada anggota
keluarga yang tidak memiliki kelainan klinis
genodermatosis atau untuk menentukan anggota keluarga
mana yang carrier (pada kelainan resesif).4,13,14
Sebelum melakukan analisis genetik diperlukan
konseling dan informed consent terhadap pasien dan
keluarga. Dijelaskan juga kemungkinan dapat terjadi
kesalahan diagnosis apabila terdapat perubahan genetik
yang tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode
pemeriksaan yang akan dilakukan, mosaicism, genetic
(locus) heterogeneity dan kesalahan laboratoris.4
Keterbatasan pemeriksaan, termasuk mahalnya harga
pemeriksaan, terdapat potensi kesalahan diagnostik dan
implantansi pada embrio serta rasio kehamilan menjadi
lebih rendah pada pasien yang melakukan prenatal/implantation genetic diagnosis (PGD) dibandingkan
dengan pasien yang sedang menjalani fertilisasi
invitro.4,16
Di Indonesia perkembangan ilmu genetik dan clinical
genetic (genetik klinis) sudah berkembang cukup pesat.
Konseling genetik sebagai sebuah ilmu dan konselor
genetik sebagai sebuah profesi telah berkembang pesat di
negara-negara maju demikian juga di beberapa negara
berkembang. Mengingat Indonesia adalah negara dengan
penduduk terbesar keempat di dunia, hal ini tentunya
merupakan tantangan yang terkait dengan kesehatan
untuk memberikan layanan ini.17 Rumah Sakit Harapan
Kita dan Eijkman Institute di Jakarta, RS Telogorejo dan
Universitas Diponegoro di Semarang, Inter-University
Center (IUC) Bioteknologi di Bandung menyediakan
pelayanan diagnostik sitogenetik di Indonesia.18
Makalah
ini
membahas
tentang
indikasi,
kontraindikasi, aspek etika, dan teknik pemeriksaan
genetik yang dapat dilakukan untuk mebantu menegakkan
diagnosis pasti antenatal pada genodermatosis.
PEMERIKSAAN ANTENATAL
Definisi pemeriksaan antenatal
Pemeriksaan antenatal adalah program peduli
kesehatan kandungan yang bertujuan mengoptimalkan
kesehatan ibu dan anak melalui monitoring reguler pada
kehamilan.19 World Health Organization (WHO)
mendefinisikan
pemeriksaan
antenatal
sebagai
pemeriksaan selama kehamilan oleh dokter atau tenaga
medis yang ahli.20
Konseling genetik dan diagnosis prenatal
Konseling genetik merupakan satu proses komunikasi
efektif dokter-pasien atau keluarga pasien untuk
mendapat penjelasan penyakit, prognosis, risiko kejadian,
FR. Syarif & S. Lestari
pola penurunan genetik, pencegahan, dan tatalaksana
penyakit sebelum orangtua pasien memilih terapi.
Konseling genetik penting pada praktik dermatologi dan
diagnosis prenatal, terutama dilakukan pada penyakit
genodermatosis yang berat.21
Diagnosis prenatal dilakukan untuk memprediksi
kelainan genetik pada anak yang belum lahir
menggunakan metode invasif dan non-invasif.22 Sebelum
adanya metode pemeriksaan non-invasif berbasis DNA,
diagnosis prenatal pada genodermatosis menggunakan
analisis ultrastruktural dan imunohistokimia dengan
biopsi kulit fetus yang diperoleh pada usia gestasi 18 dan
22 minggu. Kelainan genetik herediter yang terdapat pada
anggota keluarga atau carrier harus diidentifikasi
sebelum dilakukan pemeriksaan.23,24
Pemeriksaan
diagnostik
prenatal
untuk
genodermatosis dilakukan pada rerata usia gestasi 19
minggu. Pada saat mutasi genetik telah teridentifikasi
dalam suatu keluarga, pemeriksaan ini harus dilakukan.21
Indikasi dan kontraindikasi diagnosis prenatal
Hal
terpenting
pada
diagnosis
prenatal
genodermatosis adalah memperoleh informasi rinci
tentang riwayat kesehatan 3 generasi sebelumnya pada
seorang pasien dengan tujuan untuk menilai risiko
kejadian penyakit.25 Indikasi medis yang diperlukan untuk
pemeriksaan genetik pada genodermatosis adalah adalah
terdapatnya faktor risiko pada anggota keluarga yang
tidak memiliki kelainan genodermatosis atau untuk
menentukan anggota keluarga mana yang carrier
(kelainan
resesif).
Pre-natal/implantation
genetic
diagnosis dilakukan pada orangtua yang memiliki anak
dengan kecurigaan genetik yang diturunkan secara resesif
autosomal (RA), dominan autosomal (DA) dan ibu yang
dicurigai carrier atau pasien dengan kelainan xlinked.4,13,14
Infeksi serviks aktif, misalnya klamidia atau herpes,
infeksi vaginal, perdarahan vagina atau vaginal spotting,
uterus anteversi atau retroversi yang ekstrim merupakan
indikasikontra dalam pemeriksaan antenatal invasif.26
Sedangkan kehamilan kembar saat ini menjadi kontra
indikasi untuk pemeriksaan antenatal noninvasif dengan
teknik pemisahan sel fetus dari darah ibu.27
Aspek etika diagnosis prenatal
Bahan pemeriksaan untuk diagnosis prenatal dan
genetik medik awalnya diambil dari cairan amnion
(amniosintesis).21 Namun, akibat tindakan tersebut
terdapat kecenderungan terminasi kehamilan.21,28
Terminasi kehamilan masih menjadi perdebatan dalam
bidang moral, etik, dan legalitas.29 Oleh karena alasan ini,
pemeriksaan diagnosis prenatal harus dilakukan dengan
hati-hati dan dengan informed consent.21,30
Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis
Terminasi dapat dilakukan kapan saja selama masa
gestasi apabila terdapat risiko tinggi, batasan usia aborsi
adalah usia kehamilan kurang dari 24 minggu, namun
batasan ini tidak dipakai pada kasus apabila bayi yang
akan lahir akan menderita abnormalitas fisik maupun
mental atau akan menderita cacat yang berat.28
Keputusan untuk melakukan terminasi tiap individu
berbeda, dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk nilai
agama, etika, dan hukum, indikasi medis. Beberapa
genodermatoses
menyebabkan
morbiditas
yang
bermakna, umpamanya Harlequin ichthyosis dan
beberapa bentuk epidermolisis bulosa. Banyak
genodermatosis lainnya hanya mengakibatkan masalah
kosmetik namun tidak berpengaruh pada harapan hidup.
Hingga saat ini belum ada panduan PGD yang jelas dan
setiap kasus harus dipertimbangkan secara individual.31
Teknik diagnostik prenatal
Teknik yang digunakan dalam diagnostik prenatal
meliputi beberapa teknik yang dilakukan untuk melihat
defek kelahiran dan kondisi genetik termasuk prosedur
invasif baku, yaitu amniosintesis, chorionic villus
sampling (CVS) dan kordosintesis, fetoskopi dan biopsi
kulit fetus maupun prosedur noninvasif seperti
ultrasonografi, pemisahan sel fetus dari darah ibu dan
teknik gen molekuler.32 Teknik diagnostik prenatal harus
dibedakan dengan metode screening prenatal. Screening
prenatal, misalnya serum screening dan ultrasonografi
rutin dilakukan namun tidak untuk menegakkan
diagnosis.32,32
Pemeriksaan genetik antenatal untuk genodermatosis
terus berkembang dan di masa depan metode noninvasif
diyakini mudah tersedia. Pemanfaatan diagnosis genetik
prenatal untuk gangguan kulit yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup, tetapi dengan fenotip lebih ringan,
menimbulkan tantangan baru bagi penyedia layanan
kesehatan. Skema ringkas metode diagnosis prenatal
ditunjukkan pada gambar. 1.31
Gambar 1. Pemilihan teknik pemeriksaan antenatal.
47
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53
MDVI
PEMERIKSAAN
GENODERMATOSIS
ANTENATAL
PADA
Teknik pemeriksaan antenatal
Kelainan kongenital merupakan penyebab 20-25%
kematian perinatal.34 Pemeriksaan klinis sangat penting
dalam menegakkan diagnosis kerja pada beberapa
kelainan genetik termasuk genodermatosis.3 Teknik
pemeriksaan antenatal sangat membantu dalam penemuan
Tabel.1 Teknik yang tersedia untuk diagnosis prenatal pada genodermatosis
Teknik
Waktu gestasi
Biopsi kulit fetus
15 – 27 minggu (waktu yang tepat
bergantung pada penyakit)
risiko kelainan genetik dan pada ibu yang merencanakan
kehamilan.3,35 Pemeriksaan antenatal tidak hanya
kehamilan.3,35 Pemeriksaan antenatal tidak hanya
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis pada
genodermatosis, namun juga diperlukan untuk
tatalaksana.3 Teknik ini merupakan teknik lanjut untuk
memperoleh penegakan kemungkinan diagnosis sejak
masa gestasi menggunakan berbagai teknik.34,36
Teknik diagnosis prenatal yang dapat digunakan di
bidang dermatologi tertera dalam tabel di bawah ini.15
-
Risiko dan kerugian
Dilakukan pada waktu akhir gestasi
Dapat tidak memastikan diagnosis
Fetal scarring
Fetal loss (1-3%)
Infeksi
Kebocoran amnion
-
Fetal loss (0.5%)
Kebocoran amnion
Vaginal spotting/bleeding
Infeksi
Fetal loss (1%)
-
Dapat mengenai anggota tubuh fetus
Vaginal spotting/bleeding
Meningkatkan insiden hemangioma infantil
Kebocoran amnion
Keuntungan
- Digunakan apabila gen penyebab tidak
dapat ditemukan, mutasi spesifik tidak
dapat diidentifikasi atau analisis
keterkaitan gen tidak tersedia
- Telah banyak dilakukan
Amniosintesis
15 – 20 minggu
Chrionic villus sampling (CVS)
10 – 12 minggu
Diagnosis genetik preimplantasi
Sebelum implantasi blastosis
- Kriteria diagnosis tidak terlalu khas pada
kasus genodermatosis
- Bentuk genodermatosis tidak tampak hingga
akhir masa gestasi
Ultrasonografi
Pada masa kehamilan namun detail fetus
dapat divisualisai dengan lebih baik setelah
18 – 20 minggu
Maternal serum screening
(pemisahan sel fetus dari darah ibu)
- Mahal
- Terbatas dilakukan karena memerlukan uji
prenatal tambahan untuk konfirmasi
- Rasio kehamilan menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan in vitro fertilization
- Memerlukan uji prenatal tambahan untuk
konfirmasi
15 – 20 minggu
- Telah banyak dilakukan
- Dilakukan pada awal kehamilan
- Mengeliminasi terminasi pada fetus yang
menderita genodermatosis
- Menguntungkan bagi pasutri yang
memiliki kesulitan memiliki anak
- Dapat mendeteksi abnormalitas pada
genodermatosis tanpa adanya riwayat
keluarga
- Noninvasif
- Iktiosis x-linked berhubungan dengan
rendahnya kadar estradiol unconjugated
- Noninvasif
TEKNIK NONINVASIF
Ultrasonografi
Kondisi genetik dapat didiagnosis dengan
menggunakan teknik visualisasi fetal langsung terhadap
fetus menggunakan ultrasound yang merupakan
gelombang suara frekuensi tinggi yang dipantulkan dari
densitas jaringan fetus di uterus.37 Ultrasonografi
merupakan metode konvensional dalam diagnosis
prenatal yang sering digunakan. Tanda beberapa
genodermatosis
dapat
diperoleh
menggunakan
ultrasonografi terutama pada kasus
48
de novo.31 Sedangkan pemeriksaan histopatologi
penting pada kelainan kulit yang diturunkan, namun
banyak di antaranya yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan ini.38
Ultrasonografi yang digunakan untuk diagnosis
prenatal hanya dapat dilakukan setelah usia gestasi 18
minggu.31,37 Kelainan kulit yang dapat didiagnosis
menggunakan metode ini antara lain epidemolisis bulosa
(EB), iktiosis Harlequin, displasia ektodermal
hipohidrotik, displasia kondroektodermal, nevus sebasea
linear, cutis verticis gyrata, dan tuberous sclerosis.37,39-41
FR. Syarif & S. Lestari
Snowflake sign (partikel echogenic multipel pada
cairan amnion) yang terdapat pada kavitas amnion
merupakan petanda pengelupasan kulit fetus untuk
beberapa kelainan termasuk junctional EB dengan atresia
pilorik dan iktiosis Harlequin.42,43 Snowflake sign juga
ditemukan pada aplasia cutis congenita.44
Epidermolisis bulosa. Salah satu tanda kemungkinan
diagnosis epidermolisis bullosa (EB) adalah terdapatnya
atresia pilorik pada fetus yang dapat dilihat menggunakan
ultrasonografi, dan tanda lainnya adalah stenosis ureteral,
artrogriposis, deformitas hidung atau telinga.42 Diagnosis
prenatal junctional EB dengan atresia pilorik dapat
teridentifikasi dengan
tampilan nonkutan misalnya
dilatasi gaster dan polihidramnion.45
Iktiosis Harlequin. Kecurigaan terhadap diagnosis
iktiosis Harlequin dapat ditegakkan apabila ditemukan
bentuk wajah dismorfik, ekstremitas abnormal, kontraktur
sendi yang luas, deformitas fleksor pada jari-jari fetus,
keterbatasan pertumbuhan janin dan adanya partikel
hiperekhogenik dalam cairan amnion.46-48 Dismorfik
fasial dapat terlihat lebih jelas dengan menggunakan
ultrasonografi tiga dimensi.49
Aplasia cutis congenital. Terlihat lesi cystic yang halus
terdapat pada skalp tanpa adanya kelainan serebral.
Placental infarcts, amniotic bands, fetus papyraceous
juga berhubungan dengan penyakit ini. Untuk
menegakkan diagnosis prenatal penyakit ini harus
didapatkan riwayat keluarga dengan pola penurunan
penyakit dominan autosomal dan riwayat infeksi pada
kehamilan sebelumnya.50
Displasia ektodermal hipohidrotik. Pada dysplasia
hipohidrotik dapat ditemukan facial cleft, cyclopia, dan
kelainan orbita. Defek fasial pada fetus akan lebih jelas
bila dilakukan ultrasonografi pada usia kehamilan 24
minggu, namun dapat dilakukan lebih awal bila
menggunakan ultrasonografi tiga dimensi (3-D).37
Displasia kondroektodermal. Terdapat defek pada
jantung yang dapat dilihat menggunakan USG, defek
berupa atrium and endocardial cushion..51
Nevus sebasea linear. Akan nampak massa jaringan
lunak pada garis tengah tubuh fetus diikuti dengan
terdapatnya makrosefali dan polihidramnion.39 Dapat juga
terlihat berupa skin tag-like lesion pada tempat predileksi
nevus sebasea linear.52
Cutis verticis gyrate. Pada daerah kepala fetus
akan tampak cairan antara skalp dengan tulang kranium
yang akan menghilang pada usia kehamilan 20 minggu.40
Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis
Tuberous sclerosis. Penemuan cardiac rhabdomyoma
merupakan salah satu tanda tuberous sclerosis namun
apabila hanya terdapat satu cardiac rhabdomyoma maka
diagnosis tuberous sclerosis menjadi meragukan.
Terdapatnya tumor yang multipel dapat menguatkan
kecurigaan diagnosis tuberous sclerosis.43,53
Pemisahan sel fetus dari darah ibu. Inti sel fetus
(eritroblas) yang bersirkulasi dalam darah maternal yang
berjumlah sangat banyak dapat digunakan untuk
pemeriksaan ekstraksi DNA.54,55 Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada trimester pertama kehamilan. Tidak
terdapat risiko infeksi maternal atau abortus. Sel fetus
dapat diisolasi dari darah maternal menggunakan flow
cytometry, antibodi monoklonal atau polymerase chain
reaction (PCR).54
Iktiosis x-linked merupakan penyebab utama nilai
yang sangat rendah dari unconjugated estradiol yang
merupakan salah satu marker pada genodermatosis ini.
Pada kondisi ini terdapat insufisiensi steroid sulfatasi
plasenta yang merupakan tanda kecurigaan iktiosis xlinked. Oleh karena itu amniosintesis atau chorionic villus
sampling harus dilakukan untuk mengkonfirmasi
kecurigaan diagnosis ini.56
TEKNIK INVASIF
Diagnosis prenatal merupakan sinonim pemeriksaan
antenatal invasif dan evaluasi kromosom.57 Indikasi untuk
pemeriksaan antenatal menggunakan teknik invasif adalah
terdapatnya peningkatan risiko terjadinya kelainan
genetik pada fetus.58
Amniosintesis
Teknik ini umumnya digunakan prosedur invasif
untuk diagnosis prenatal pada trimester kedua
kehamilan.31 Prosedur ini dilakukan dengan cara insersi
jarum 20-22 gauge melalui kulit abdomen ibu dan uterus
menuju ke dalam kantung amnion, kemudian dilakukan
aspirasi cairan amnion (tidak lebih dari 20-30 ml) yang
berisi sel fetus. Prosedur ini umumnya dilakukan pada
usia gestasi 16 minggu, dapat dilakukan antara minggu 914 yang disebut dengan early amniocentesis, namun
cairan amnion masih sedikit dan biasanya dilakukan
untuk penelitian sitogenik. Pemeriksaan ini biasanya
dituntun menggunakan ultrasound.59
Amniosintesis merupakan prosedur yang relatif aman.
Frekuensi kejadian chorioamnionitis yang disebabkan
oleh amniosintesis sekitar 0.1%, namun pernah
dilaporkan terjadinya septikemia maternal dengan edem
pulmonal, gagal ginjal dan dissemintaed intravascular
coagulation (DIC).60
49
MDVI
Kebocoran cairan amnion merupakan komplikasi
relatif (1-2%) yang terjadi oleh sebab amniosintesis,
namun biasanya membaik dalam waktu 48-72 jam.
Komplikasi lain adalah transient vaginal spotting yang
biasanya terjadi pada ibu hamil berusia di atas 40 tahun.61
Iktiosis kongenital dapat dinilai menggunakan
amniosintesis dengan
ditemukannya
peningkatan
echogenicity pada cairan amnion dan penebalan kulit fetus.62
Cairan amnion yang keruh ditemukan pada pemeriksaan
dengan amniosintesis pada Iktiosis Harlequin.63
Chorionic villus sampling (CVS)
Chorionic villus sampling berbeda dengan amniosintesis. Pada amniosintesis, cairan amnion yang
diaspirasi, sedangkan pada CVS jaringan plasenta yang
diaspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan ultrasound
baik
melalui
transabdominal
maupun
trasnvaginal/transservikal.64 Keuntungan dari CVS dan
amniosintesis adalah keduanya dapat dilakukan pada
masa awal kehamilan sejak usia gestasi 6 minggu. Namun
pada beberapa center menunda prosedur CVS hingga 10
minggu usia gestasi karena terdapat kemungkinan fetal
loss (1%). Chorionic villus sampling umumnya dilakukan
pada usia gestasi 10-12 minggu.64
Indikasi untuk prosedur CVS adalah sama dengan
indikasi pada prosedur amniosintesis dengan tambahan
terdapatnya diagnosis kelainan genetik secara biokimia
dan molekuler pada ibu.65 Chorionic villus sampling
dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis
prenatal pada junctional epidermolysis bullosa dan
dystrophic epidermolysis bullosa.66
Komplikasi prosedur ini antara lain adalah perdarahan
vaginal yang umumnya terjadi sebanyak 7-10% pasien
yang diambil sampel CVS melalui transservikal namun
tidak mengganggu kelahiran. Komplikasi lain adalah
chorioamnionitis dan ruptur membran korion yang
disebabkan oleh trauma mekanik ataupun kimia terhadap
korion (0.3%).65
Junctional epidermolysis bullosa. Akan ditemukan
mutasi pada gen LAMA3, LAMB3, LAMC2, ITGB4,
BPAG2/COL17A1, dengan rata-rata protein yang terlibat
adalah laminin 5.3
Dystrophic epidermolysis bullosa. Pada penyakit ini akan
ditemukan mutasi pada gen COL7A1, dengan protein
yang terlibat adalah kolagen tipe VII.3
Fetoskopi dan biopsi kulit fetus (fetal skin biopsy)
Fetoskopi dilakukan menggunakan anestesi sedatif
dengan memasukkan endoskopi fiberoptic ke uterus pada
usia kehamilan 16-20 minggu. Indikasi utama
dilakukannya fetoskopi adalah untuk melihat isi uterus,
fetal blood sampling (biasanya berasal dari umbilical
cord) dan biopsi jaringan fetus. Fetoskopi memiliki
keterbatasan untuk melihat kelainan genodermatosis.3
50
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53
Biopsi kulit fetus awalnya mewakili pemeriksaan
antenatal untuk genodermatosis, namun saat ini telah
tergantikan oleh metode berbasis DNA. Biopsi kulit fetus
pertama kali dilakukan pada tahun 1980-an untuk
mendiagnosis
congenital
bullous
ichtyosiform
erythroderma dan Herlitz junctional epidemolysis
bullosa.5
Indikasi dilakukannya prosedur ini adalah apabila gen
penyebab kelainan genodermatosis tidak diketahui,
namun
pada
diagnosis
prenatal
menunjukkan
kemungkinan adanya genodermatosis.3 Indikasi lain
dilakukannya biopsi kulit fetus adalah kecurigaan
terhadap kemungkinan terjadinya iktiosis pada fetus
terutama iktiosis Harlequin. Biopsi umumnya dilakukan
pada usia kehamilan 22 minggu karena kelainan struktur
biasanya muncul pada usia kehamilan tersebut. Pada usia
kehamilan 19 minggu sudah dapat diperiksa keratinized
hair canals dan sel pada cairan amnion.67 Biopsi kulit
fetus juga dapat digunakan untuk menegakkan albinisme
okulokutaneus yang dilakukan pada trimester kedua
kehamilan.68,69
Kelemahan biopsi kulit fetus antara lain adalah
sampling error, sampel untuk analisis yang tidak
memadai, kesulitan dalam menginterpretasikan morfologi
dan imunohistokimia. Kelemahan tersebut sangat
bergantung pada pengalaman ahli kandungan dan patologi
anatomi. Artefak yang mungkin didapat pada saat
melakukan biopsi dapat menyerupai kelainan patologis.
Namun, secara keseluruhan, biopsi kulit fetus memiliki
tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah fetal loss
(kurang dari 1%) dan abortus spontan.3
Diagnosis genetik pre-implantasi
Diagnosis genetik preimplantasi atau
prenatal/implantation genetic diagnosis (PGD) merupakan
salah satu metode yang dapat memberikan informasi
mengenai keterlibatan genetik pada embrio di masa awal
kehamilan.70
Diagnosis
genetik
preimplantasi
dikembangkan untuk menghindari aborsi pada
pemeriksaan antenatal untuk genodermatosis.71
Prosedur ini dilakukan dengan cara menghilangkan
satu sel dari embrio secara invitro untuk menegakkan
diagnosis prenatal pada kelainan genodermatosis yang
berulang, berat dan dapat diturunkan, dengan demikian
dapat menghindari implantasi pada embrio yang
terkena.72 Aplikasi klinis diagnosis genetik preimplantasi
dilakukan apabila terdapat risiko pada embrio untuk
kelainan resesif autosomal, ectodermal dysplasia-skin
fragility syndrome dan dystrophic epidermolysis
bullosa.73
Terdapat tiga teknik untuk melakukan biopsi pada
embrio, yaitu polar body biopsy, cleavage stage biopsy
FR. Syarif & S. Lestari
dan trophectoderm biopsy, dan diagnosis harus
ditegakkan dalam 12-48 jam agar reimplantasi embrio
dapat dilakukan.70,74 Teknik cleavage stage biopsy paling
sering dilakukan namun memiliki keterbatasan, yaitu
dapat merusak embrio dan dapat terjadi misdiagnosis oleh
karena adanya cellular mosaicism. Risiko terjadinya
kesalahan diagnosis adalah sebanyak 2% pada kondisi
autosomal resesif dan 11% pada autosomal dominan.74
Amniosintesis atau CVS direkomendasikan untuk
mengkonfirmasi diagnosis.75
SIMPULAN
Ketidaktersediaan tatalaksana khusus terhadap pasien
dengan genodermatosis, pemeriksaan antenatal pada saat
kehamilan dapat dilakukan terutama apabila terdapat
risiko penyakit yang rekuren terjadi pada anggota
keluarga. Sebelum pemeriksaan antenatal pada pasien
yang diduga dengan genodermatosis, informasi detail
tentang riwayat kesehatan pada 3 generasi sebelumnya
penting untuk ditanyakan. Indikasi medis pemeriksaan
genetik pada genodermatosis adalah terdapatnya faktor
risiko pada anggota keluarga yang tidak memiliki
kelainan genodermatosis atau untuk menentukan anggota
keluarga mana yang carrier (kelainan resesif), orang tua
yang memiliki anak dengan kondisi RA, pasien yang
memiliki kelainan DA, dan ibu yang carrier atau pasien
dengan kelainan x-linked. Prinsip pemeriksaan genetik
antenatal adalah terdeteksinya mutasi genetik dan tandatanda khas
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Fine JD, Eady RA, Bauer EA. The classification of
inherited epidermolysis bullosa (EB): report of the
third international consensus meeting on diagnosis
and classification of EB. J Am Acad Dermatol.
2008; 58: 931-50.
Oji V, Tadini G, Akiyama M. Revised
nomenclature and classification of inherited
ichtyoses: results of the first ichtyosis consensus
conference. 2010; 63: 607-41.
Fassihi H, Eady RA, Mellerio JS, Ashton GH,
Dopping HPJ, Denyer JE, dkk. Prenatal diagnosis
for severe inherited skin disorder: 25 years’
experience. Br J Dermatol. 2006; 154: 106-13.
Schaffer
JV.
Molecular
diagnostic
in
genodermatoses. Cutan Med Surg. 2012; 211-20.
Rodeck CH, Eady RA, Gosden CM. Prenatal
diagnosis of epidermolysis bullosa letalis. Lancet.
1980; i: 949-52.
Bonifas JM, Morley BJ, Oakey RE. Cloning of a
cDNA for steroid sulfatase: frequency occurence of
gene deletions in patients with recessive x
Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
chromosome-linked ichtyosis. Proc Natl Acad Sci.
1987; 84:9248-51.
International HapMap Consortium. A haplotype
map of the human genome. Nature. 2005;
437:1299-320.
1000 Genomes Project Consortium. A map of
human genome vriation from population-scale
sequencing. Nature. 2010; 467; 1061-73.
Antonarakis SE, McKusickVA. OMIM passes the
1000-disease-gene mark. Nat Genet. 2000;25:11.
Bale SJ. The morbid anatomy of the dermatologic
genome: an update for the third millenium. J Cutan
Med Surg. 2001;5:117-25.
Lander ES. Initial impact of the sequencing of the
human genome. Nature. 2011;470:187-97.
Feramisco JD, Sadreyef RI, Murray ML.
Phenotypic and genotypic analyses of genetic skin
disease through the online Mendelian inheritance in
man (OMIM) database. J Invest Dermatol.
2009;129:2628-36.
Rantanen E, Hietala M, Kristoffersson U. What is
ideal genetic counseling? A survey of current
international guidelines. Eur J Hum Genet.
2008;16:445-52.
Laukaitis CM. Genetics for the general internist.
Am J Med. 2012; 125:7-13.
Luu M, Francis JLC, Glick SA. Prenatal diagnosis
of genodermatoses: Current scope and future
capabilities. Int J Dermatol. 2010;49:353-61.
Sengupta SB, Delhanty JD. Preimplantation genetic
diagnosis: Recent triumphs and remaining
challenges. Expert Rev Mol Diagn. 2012;12:58592.
Rujito L, Ghozali PA. Menggagas pengembangan
layanan konseling genetik di unit pelayanan
kesehatan: Sebuah kajian awal. Maj Kedokt Indon.
2010; 60(9): 426-30.
World Health Organization. Identifying regional
priorities in the area of human genetics in SEAR:
Report of an intercountry consultation. WHO
Regional Office for South-East Asia.2003:1-26.
Ministry of Health and Population. Basic essential
obstetric care: Protocols for physicians. Standards
of Practice for Integrated MCH/RH Services. 2005;
p. 173.
Rooney C. Antenatal care and maternal health: How
effective is it? A review of the evidence. Maternal
Health and Safe Motherhood Programme Division
of Family Health World Health Organization
Geneva. 1991: 6-14.
Nishie W. Humanization of autoantigen. Nat Met.
2007; 13: 378-83.
Winnacker EL. Predictive genetic diagnosis. Senate
Commission on Genetic Research. 2003; p. 1-65.
51
MDVI
23. Schaffer
JV.
Molecular
diagnostic
in
genodermatosis. Semin Cutan Med Surg. 2012; 31:
211-20.
24. Kulkarni ML, Vengalath S. Prenatal diagnosis of
genetic disorders. Indian J Pediatrics. 1995;
32:1229-38.
25. Michaels HS, Nazareth SB, Tambini L. Prenatal
genetic counseling. Dalam: Evans MI, Johnson MP,
Yaron Y, Drugan A, penyunting. Prenatal
diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company;
2006.h.71-8.
26. American
College
of
Obstetricians
and
Gynecologists (ACOG). Clinical management
guidelines for Obstetrician-Gynecologists: Prenatal
diagnosis of fetal chromosomal abnormalities.
Obstet Gynecol. 2001; 97(5 Pt 1): suppl 1-12.
27. Shea J, Diamandis E, Hoffman B, Lo YMD, Canick
J, Boom DVD. A new era in prenatal diagnosis:
The use of cell-free fetal DNA in maternal
circulation for detection of chromosomal
aneuploidies. Clin Chem. 2013; 59: 1151 – 9.
28. Gare M, Gosme-Seguret S, Kaminski M, Cuttini M.
Ethical decision-making in prenatal diagnosis and
termination of pregnancy: a qualitative survey
among physicians and midwives. Prenatal Diag.
2002; 22: 811-7.
29. Newson AJ. Ethical aspects arising from noninvasive fetal diagnosis. Semin Fetal Neonatal Med.
2008; 13: 103-8.
30. Veach P McCarthy, Bartels DM, LeRoy BS. Ethical
and professional challenges posed by patients with
genetic concerns. A report of focus group
discussions with genetic counselors, physicians, and
nurses. J Genetic Counselling. 2001;10:97-119.
31. Ramot Y. Intrauterine diagnosis of genodermatoses.
Curr Derm Rep. 2013;2:243-8.
32. Greb A, Wegner J. Counseling for abnormalities.
Dalam: Evans MI, Johnson MP, Yaron Y, Drugan
A, penyunting. Prenatal diagnosis. Mexico:
McGraw-Hills Company; 2006.h.529-36.
33. Crombleholme TM, D’Alton M, Cendron M,
Alman B, Goldberg MD, Klauber GT, dkk. Prenatal
diagnosis and the pediatric surgeon: the impact of
prenatal consultation on perinatal management. J
Pediatric Surg. 1996;31:156-63.
34. Marino T, Ramus RM. Prenatal diagnosis for
congenital malformations and genetic disorders.
Drugs, Diseases & Procedures. 2012;68:1-4.
35. Holbrook KA, Smith LT, Elias S. Prenatal
diagnosis of genetic skin disease using fetal skin
biopsy samples. Arch Dermatol.1993;129:1437-54.
36. Ashton GH, Bady RA, McGrath JA. Prenatal
diagnosis for inherited skin diseases. Clin
Dermatol. 2000; 18: 643-8.
52
Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap
Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53
37. Sepulveda W, Sandoval R, Carstens E, Gutierrez J,
Vasquez P. Hypohidrotic ectodermal dysplasia:
prenatal
diagnosis
by
three-dimensional
ultrasonography. J Ultrasound Med. 2003; 22: 7315.
38. Dolan CR, Smith LT, Sybert VP. Prenatal detection
of epidermolysis bullosa letalis with pyloric atresia
in a fetus by abnormal ultrasound and elevated
alphafetoprotein. Am J Med Genet. 1993; 47: 395400.
39. Neis AE, Johansen KL, Harms RW, Watson WJ,
Brost BC. Sonographic characteristics of linear
nevus sebaceous sequence. Ultrasound Obstet
Gynecol. 2006; 27: 323-4.
40. Nas T, Biri A, Gursoy R, Biberoglu K, Oztas M.
Prenatal ultrasonographic appearance of isolated
cutis verticis gyrata. Ultrasoung Obstet Gynecol.
2005; 26: 97-8.
41. Lee KA, Williams B, Roza K, Ferguson H, David
K, Eddleman K, dkk. PTPN11 analysis for the
prenatal diagnosis of Noonan syndrome in fetuses
with abnormal ultrasound findings. Clin Genet.
2009; 75: 190-4.
42. Achiron R, Hamiel PO, Engelberg S, Barkai G,
Reichman B, Mashiach S. Aplasia cutis congenita
associated with epidermolysis bullosa and pyloric
atresia: the diagnostic role of prenatal
ultrasonography. Prenat Diagn. 1992;12:765-71.
43. Bongain A, Benoit B, Ejnes L, Lambert JC, Gillet
JY. Harlequin fetus: three-dimensional sonogrphic
findings and new diagnostic approach. Ultrasound
Obstet Gynecol. 2002; 20: 82-5.
44. Meizner I, Carmi R. The snowflake sign. A
sonographic marker for prenatal detection of fetal
skin denudation. J Ultrasound Med. 1990;9:607-9.
45. Azarian M, Dreux S, Vuillard E, Meneguzzi G,
Haber S, Guimiot F, dkk. Prenatal diagnosis of
inherited epidermolysis bullosa in a patient with no
family history: a case report and literature review.
Prenatal Diag. 2006;26:57-9.
46. Holden S, Ahuja S, Stuart AO, Firth HV, Lees C.
Prenatal diagnosis of harlequin ichtyosis presenting
as distal arthrogryposis using three-dimensional
ultrasound. Prenatal Diag. 2007;27:566-7.
47. Berg C, Geipel A, Kohl M, Krokowski M, Baschat
AA, Germer U, dkk. Prenatal sonographic features
of Harlequin ichtyosis. Arch Gynecol Obstet.
2003;268:48-51.
48. Tourette C, Tron E, Mallet S, Levy-Mozziconacci
A, Bonnefont JP, D’Ercole C, dkk. Threedimensional ultrasound prenatal diagnosis of
congenital ichtyosis: contribution of molecular
biology. Prenat Diagn. 2012; 32: 498-500.
49. Vohra N, Rochelson B, Smith LM. Threedimensional sonographic findings in congenital
FR. Syarif & S. Lestari
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
(Harlequin) ichtyosis. J Ultrasound Med.
2003;22:737-9.
Jelin AC, Glenn OA. Membranous aplasia cutis
congenital. A recognizable lesion on prenatal
sonography. J Ultrasound Med. 2009;28:1393 – 6.
Hayrullah ALP, Fatih SAP, Altin H, Karatas Z,
Baysal T, Karaaslan S. Ellis-van Creveld syndrome
(chondroectodermal dysplasia) a case report:
Association of common atrium and persistent left
superior vena cava. Turkish J Pediatric Disease.
2013;2:89 – 93.
Lien SH, Hsu ML, Yuh YS, Lee CM, Chen CC,
Chang PY, dkk. Prenatal three dimensional
ultrasound detection of linear nevus sebaceous
syndrome. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed.
2005;90:F315.
Chen CP, Su YN, Hung CC, Lee CN, Hsieh FJ,
Chang TY, dkk. Molecular genetic analysis of the
TSC genes in two families with prenatally
diagnosed
rhabdomyomas.
Prenat
Diagn.
2005;25:176-8.
Yeoh SC, Sargent I, Redman C. Fetal cells in
maternal blood and their use in non invasive
prenatal diagnosis. Progress Obstet Gynecol.
1993;14:51-63.
Hahn S, Holzgreve W. Prenatal diagnosis using
fetal cells from maternal blood. Evans MI, Johnson
MP, Yaron Y, Drugan A, penyunting. Prenatal
diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company;
2006.h.505-12.
Luu M, Cantatore FJL, Glick SA. Prenatal
diagnosis of genodermatosis: current scope and
future capabilities. Int J Dermatol. 2010;49:353-61.
Trajkovic SP, Antic V, Kopitovic V. Invasive
prenatal diagnosis. Dalam: Choy R, penyunting.
Prenatal diagnosis – morphology scan and invasive
methods. Croatia: Intech; 2012.h.1-26.
Shulman LP, Simpson JL, Elias S. Invasive prenatal
genetic technique. Glob Libr Women’s Med.
2008;10:1-15.
Mujezinovic
F,
Alfirevic
Z.
Technique
modifications
for
reducing
the
risksfro
amniocentesis or chorionic villus sampling.
Cochrane Database Syst Rev. 2012;8:CD008678.
Hamoda H, Chamberlain PF. Clostridium welchii
infection following amniocentesis: A case report
and review of the literature. Prenat Diagn.
2002;22:783-5.
Borgida AF, Mills AA, Feldman DM. Outcome of
pregnancies complicated by ruptured membranes
after genetic amniocentesis. Am J Obstet Gynecol.
2000;183;937-9.
Phadnist SV, Griffin DR, Eady RA, Rodecks CH,
Chitty LS. Prenatal diagnosis and management
strategies in a family with a rare type of congenital
Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
ichtyosis. Ultrasound Obstet Gynecol. 2007;30:90712.
Suzumori K, Kanazaki T. Prenatal diagnosis of
harlequin ichtyosis by fetal skin biosy; report of
two cases. Prenat Diagn. 1991;11:451-7.
Mujezinovic F, Alfirevic Z. Procedure-related
complications of amniocentesis and chorionic villus
sampling: A systematic review. Obstet Gynecol
2007;110:687-94.
Evans MI, Rosner G, Yaron Y, Wapner R.
Chorionic villus sampling. Evans MI, Johnson MP,
Yaron Y, Drugan A, editors. Prenatal diagnosis.
Mexico: McGraw-Hills Company; 2006:p.433-42.
McMillan JR, Long HA, Akiyama M, Shimizu H,
Kimble RM. Epidemolysis bullosa (EB) – diagnosis
and therapy. Wound Practice and Research.
2009;7:62-70.
Akiyama M, Suzumori K, Shimizu H. Prenatal
diagnosis of harlequin ichtyosis by the examination
of keratinized hair canals and amniotic fluid cells at
19 weeks’ estimated gestational age. Prenatal Diag.
1999; 19:167-71.
Shimizu H, Niizeki H, Suzumori K. Prenatal
diagnosis of oculocutaneous albinism by analysis of
the
fetal
tyrosinase
gene.
J
Invest
Dermatol.1994;103:104-6.
Ashton GHS, Eady RAJ, McGrath JA. Prenatal
diagnosis for inherited skin diseases. Clin
Dermatol.2000; 18:643–8.
Braude P, Pickering S, Flinter F, Ogilvie CM.
Preimplantation genetic diagnosis. Nat Rev Genet.
2002;3: 941-55.
Thorp JM, Hartmann KE, Shadigian E. Long-term
physical and psychological health consequences of
induced abortion: Review of the evidence. Obstet
Gynecol Surv.2003;58:67-79.
Ogilvie CM, Braude PR, Scriven PN.
Preimplantation genetic diagnosis – an overview. J
Histochem Cytochem.2005;53:255-60.
Fassihi H, Grace J, Lashwood A. Preimplantation
genetic diagnosis of skin fragility-ectodermal
dysplasia syndrome. Br J Dermatol. 2006;154:54650.
Lewis CM, Pinel T, Whittaker JC, Handyside AH.
Controlling misdiagnosis errors in preimplantation
genetic diagnosis: A com[rehensive model
encompassing extrinsic and intrinsic sources of
error. Hum Reprod.2001;16:43-50.
Brezina PR, Brezina DS, Kearns WG.
Preimplantation genetic testing. BMJ. 2012;345:5968.
53
Download