Editorial PERKEMBANGAN DERMATOLOGI PEDIATRIK Dermatologi pediatrik dewasa ini berkembang mengalami banyak kemajuan dalam hal etiopatogenesis dan pemeriksaan baik genetika maupun biomolekular, sehingga diagnosis dapat dibangun akurat dan cepat. Diagnosis akurat penyakit kulit pada bayi dan anak membutuhkan anamnesis menyeluruh, pengamatan serta evaluasi seksama mulai dari riwayat hamil, lahir, dan penyakit pada keluarga. Manifestasi penyakit kulit yang sama pada bayi dan anak klinis dapat berbeda dari remaja dan dewasa. Penguasaan etiopatogenesis, dapat menghasilkan terapi dan prognosis lebih tepat. Rejimen dan dosis terapeutik anak berbeda dengan dewasa, demikian juga risiko toksisitas. Dermatologi pediatrik merupakan tantangan tersendiri dalam hal diagnosis serta manajemen, pada beberapa kasus memerlukan kerjasama baik dengan dokter anak. Genodermatosis adalah penyakit diturunkan berkaitan dengan struktur dan fungsi kulit, dengan morbiditas jangka panjang dan risiko mortalitas bermakna. Penguasaan genetik dan pemahaman mekanisme dasar patogenesis berkembang, sehingga klasifikasi kelainan genetik ikut berubah. Klasifikasi berdasarkan fenotip diganti dengan pengelompokan berdasarkan jalur patogenesis yang sama, seperti pada kelainan RA Sopathies. RA Sopathies adalah kelompok sindrom kelainan genetik mempengaruhi Ras-mitogen activated protein kinase pathway dan berfungsi mengontrol tumorigenesis dan pertumbuhan sel. Penelitian dilakukan untuk pengobatan kemoterapi baru dengan target Raspathway. Kelainan genetik lain berupa kelainan kulit mosaik terjadi akibat mutasi postzygotic, saat dan lokasi mutasi menentukan gambaran klinis fenotip. Mutasi spesifik untuk beberapa kelainan kulit mosaik telah diketahui seperti K1 dan K10 untuk epidermal nevus dengan epidermolitik hiperkeratosis. Saat ini baru ditemukan beberapa mutasi genetik kelainan mosaik lain seperti nevus epidermal, nevus sebasea, dan sindrom proteus. Pemeriksaan genetik antenatal menunjang diagnosis prenatal serta pilihan terapi lebih cepat. Diagnostik prenatal memungkinkan konseling genetik berkembang pesat di negara maju, dapat dikembangkan di negara dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia. Berbagai kelainan tumor vaskular ataupun malformasi, salah satu mengenai hemangioma infantil (HI), port wine stain dan Sturge Weber syndrome.Temuan baru di bidang dermatologi pediatrik berkaitan dengan HI, yaitu jenis atipikal HI serta pengobatan menggunakan propanolol. Fase pertumbuhan HI saat ini diketahui paling cepat terjadi antara 5,5-7,5 pekan, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Minimal atau abortive-growthhemangioma (MAG) adalah tumor vaskular glucose-1 transportere positive konsisten dengan HI. Tumor ini muncul saat lahir, kisaran 70% tidak berproliferasi serta lokasi di ekstremitas inferior, bokong, lipat paha, tidak seperti tipikal HI. Betabloker oral mungkin dapat digunakan setelah fase proliferasi dan dipertimbangkan penggunaan sebelum prosedur laser atau bedah untuk alasan kosmetik. Propanolol oral merupakan modalitas sangat efektif untuk pengobatan HI ulserasif atau ada keterlibatan jalan napas dan organ dalam. Penelitian retrospektif propanolol sebagai pengobatan HI membuktikan hasil lebih superior daripada kortikosteoid sistemik demikian juga efek samping.Topikal betabloker yaitu timolol dapat diberikan untuk HI superfisial ukuran kecil dan tidak memerlukan terapi sistemik. Pada artikel ini timolol dibandingkan dengan kortikosteroid topikal ultrapoten dalam pengobatan HI superfisial, serta mengenai vaskular malformasi. Kelainan ulkus pada genital anak atau remaja sering merupakan indikator aktivitas pelecehan seksual ataupun penyakit menular seksual akibat aktivitas seksual tanpa paksaan. Saat ini makin dikenal ulkus genital akut pada populasi gadis remaja yang merupakan kondisi reaktif dari kejadian nonseksual, yaitu Lipschutz ulcer. Epstein Barr virus, gastroenteritis akibat virus atau infeksi saluran napas bagian atas adalah penyakit paling sering mendahului ulkus timbul. Kelainan kondiloma akuminatum anak pada artikel ini, membahas penyakit ini tidak hanya ditransmisi melalui hubungan seksual, tetapi sangat mungkin melalui cara non-seksual dari carrier. Transmisi dapat berasal dari perinatal serta ascending infection. Kisaran 75% kondiloma akuminata anak atau dewasa dengan sistem imun baik dapat sembuh spontan dalam beberapa bulan atau tahun. Kondiloma akuminatum tanpa keluhan pada anak, sebaiknya tidak diintervensi, kecuali lesi lebih dari 2 tahun karena tidak mengalami resolusi spontan. Hingga saat ini belum ada pengobatan kondiloma akuminatum yang disetujui FDA untuk usia kurang dari 12 tahun, karena penelitian pada pasien anak kurang. Artikel ini lebih menitikberatkan kelainan kulit pediatrik. Pandangan dan diskusi mengenai kelainan vaskular, pemeriksaan penyakit genetik, maupun kondiloma akuminatum pada anak serta modalitas beberapa penyakit seperti penggunaan beta bloker pada hemangioma infantil, diharapkan memperkaya pengetahuan dermatologi pediatrik. Theresia L Toruan Departemen IK Kulit dan Kelamin FK Universitas Sriwijaya Palembang 1 Artikel Asli EVALUASI TERAPI KORTIKOSTEROID TOPIKAL ULTRAPOTEN DAN SOLUSIO TIMOLOL MALEAT 0,5% TERHADAP UKURAN HEMANGIOMA INFANTIL SUPERFISIAL Lukman Ariwibowo, Sunardi Radiono, Retno Danarti Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta ABSTRAK Hemangioma infantil (HI) adalah tumor vaskular jinak yang sampai saat ini patofisiologinya belum jelas. Hingga saat ini, terapi topikal lini pertama untuk kelainan ini adalah menggunakan kortikosteroid ultrapoten. Namun demikian, karena efek samping penggunaan kortikosteroid dan responnya yang kadang gagal, diperlukan alternatif terapi topikal lain yang aman dan lebih cepat menunjukkan perbaikan lesi. Solusio timolol maleat 0,5% adalah penghambat reseptor ß non selektif, yang dapat menghambat proliferasi dan memicu regresi HI. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi kortikosteroid topikal ultrapoten dan solusio timolol maleat 0,5% terhadap ukuran lesi HI superfisial. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif, melibatkan 59 rekam medis dan foto dokumentasi pasien HI superfisial yang diterapi dengan kortikosteroid ultrapoten (klobetasol propionat 0,05% atau betametason dipropionat 0,05%) atau solusio timolol maleat 0,5% dalam kurun waktu 2009-2014 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) pada perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang HI di antara kedua kelompok. Perbandingan selisih luas antara kedua kelompok juga didapatkan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Dapat disimpulkan bahwa solusio timolol maleat 0,5% lebih baik dibandingkan dengan kortikosteroid topikal ultrapoten dalam hal pengurangan ukuran lesi HI superfisial. Kata kunci: Hemangioma infantil superfisial, kortikosteroid ultrapoten, solusio timolol, maleat 0,5% EVALUATION OF TOPICAL ULTRAPOTENT CORTICOSTEROID THERAPY AND TIMOLOL MALEATE SOLUTION 0.5% TOWARD SUPERFICIAL INFANTILE HEMANGIOMA SIZE ABSTRACT Infantile hemangioma (IH) is a benign vascular tumor which its pathophysiology is still not well understood. To date topical ultrapotent corticosteroids is used as a first line treatment for superficial IH. However, due to many side effects of corticosteroids and its response to IH regression that sometimes fails, alternatives of other topical therapies is needed. Timolol maleat 0.5% solution is a nonselective ß-blocker which may inhibit the proliferation and trigger the regression of IH. This study was aimed to evaluate topical ultrapotent corticosteroids and timolol maleate 0.5% solutionfor superficial IH. The design of this study was a retrospective cohort, involving 59 medical records and photo documentation of superficial IH patients treated with topical ultrapotent corticosteroids 0,5% clobetasol propionate or 0,5% betametasone dipropionate and timolol maleate 0,5% solution in the period from 2009 to 2014 in Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta. The results showed that the length axis difference of IH between the two groups had a significant differences (p<0.001). Width difference of IH between the two groups had also significant differences (p<0.001). Timolol maleat 0.5% solution was significantly superior compared to topical ultrapotent corticosteroids on size reduction of superficial IH lesion. Keywords: Superficial infantile hemangioma, ultrapotent corticosteroids, timolol maleate 0.5% solution Korespondensi: Gedung Radiopoetro Lantai 3, Jl. Farmako, Sekip, Yogyakarta 55281 Telpon/Fax 0274-560700 Email: [email protected] 2 MDVI PENDAHULUAN Hemangioma infantil (HI) merupakan tumor vaskular yang paling sering ditemukan pada masa bayi dan anak.1 Kelainan ini mempunyai implikasi pada kosmetik dan psikologis sehingga diperlukan terapi. Pendekatan masa lalu untuk penatalaksanaan lesi HI non-komplikata adalah edukasi orang tua pasien disertai observasi. Saat ini, keputusan untuk melakukan intervensi terapi lebih dipilih untuk menghindari risiko yang tidak dapat diprediksi terhadap masalah kosmetik dan psikologis.2,3 Terdapat berbagai pilihan modalitas terapi HI, namun dengan adanya ketidakefektifan dan efek samping berbagai modalitas terapi tersebut mendorong untuk dicari alternatif terapi lain yang aman dan mempunyai hasil yang memuaskan. Kortikosteroid secara sistemik maupun topikal telah digunakan sebagai terapi awal untuk HI, terutama HI non komplikata.3 Namun demikian, kortikosteroid hanya dapat memberikan respon baik pada 30% kasus HI, sedangkan sebanyak 30% menunjukkan respon parsial, dan sisanya tidak memberi respons.4,5 Patofisiologi HI sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.6,7Kelainan ini memiliki perjalanan klinis yang dimulai pada usia 2 minggu pertama kehidupan yang ditunjukkan oleh fase proliferasi yang didominasi oleh sel-sel endotelial yang berproliferasi cepat dan berakhir sampai usia 1 tahun. Fase ini kemudian diikuti oleh fase involusi, dimulai pada usia 1 tahun dan berlanjut sampai usia sekitar 4-6 tahun, yang ditandai oleh berkurangnya proliferasi, meningkatnya apoptosis, melambatnya pertumbuhan lesi, dan akhirnya berhenti.8,9 Hemangioma infantil diklasifikasikan menjadi superfisial, dalam, dan campuran.8 Penatalaksanaan HI superfisial yang kecil, lokal, dan non komplikata umumnya menggunakan terapi kortikosteroid topikal.3 Dipandang dari efek samping yang mungkin ditimbulkan pada anak, penggunaan kortikosteroid topikal ultrapoten untuk HI superfisial memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik dan injeksi intra lesi.2 Penghambat reseptor β menjadi pilihan dalam penanganan HI sejak ditemukannya secara tidak sengaja efek propranolol sistemik yang diberikan pada pasien anak dengan gangguan kardiovaskular yang kebetulan memiliki HI, yaitu terjadi perbaikan pada lesi HI yang diderita.10 Penelitian lanjutan menunjukkan penggunaan propranolol dan timolol secara topikal memberikan perbaikan pada kasus HI.11-14 Sejak tahun 2009 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk tatalaksana HI superfisial juga digunakan solusio timolol maleat topikal 0,5% selain kortikosteroid topikal. Sediaan timolol topikal yang ada di Indonesia baru tersedia dalam bentuk solusio timolol maleat 0,5% tetes mata yang sering digunakan untuk terapi glaukoma. 3 Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7 Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi kortikosteroid topikal ultrapoten dan solusio timolol maleat 0,5% terhadap ukuran lesi HI superfisial. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif.Sampel diambil dari data rekam medis dan foto dokumentasi pasien HI superfisial yang diterapi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2009-Desember 2014. Kriteria inklusi adalah data rekam medis pasien yang didiagnosa HI superfisial non komplikata dengan ukuran maksimal 50 milimeter (mm) yang mendapatkan kortikosteroid topikal ultrapoten (klobetasol propionat 0,05% atau betametason dipropionat 0,05%) yang dioleskan dua kali sehari atau solusio timolol maleat 0,5% yang dioleskan 2 kali sehari selama 6 bulan; umur saat mulai diterapi maksimal 12 bulan; dan memiliki foto dokumentasi dengan skala ukuran pada area lesi HI superfisial pada saat awal sebelum diterapi sampai bulan ke-6 terapi. Kriteria eksklusi adalah ditemukannya riwayat penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi terapi HI superfisial dan terdapat komplikasi yang bukan disebabkan oleh terapi topikal yang diberikan pada penatalaksanaan HI superfisial. Penelitian ini telah memperoleh kelaikan etik dari Medical and Health Research Ethics Committee (MHREC) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Data yang diambil dari rekam medis meliputi jenis kelamin, umur saat diperiksa pertama kali, umur saat munculnya lesi HI, berat badan lahir, umur ibu, umur kehamilan, lokasi lesi, selisih ukuran terpanjang lesi, dan selisih luas lesi selama 6 bulan terapi. Ukuran terpanjang lesi dan luas lesi diukur dari foto dokumentasi berskala menggunakan program perangkat lunak ImageJ®. Pengukuran dilakukan oleh asisten peneliti untuk alasan obyektivitas (gambar 1 dan 2). Data yang diperoleh tersebut dimasukkan ke dalam program perangkat lunak SPSS®20. Data dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan apabila distribusi data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney apabila distribusi data tidak normal. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini ditetapkan apabila p < 0,05 L. Ariwibowo, dkk Gambar 1. Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil Pasien HI superfisial setelah diterapi dengan klobetasol propionat 0,05% selama 6 bulan (gambar sisi kanan), menunjukkan warna lesi lebih pudar. Gambar . 2 Pasien HI superfisial setelah diterapi dengan solusio timolol maleat 0,5%selama 6 bulan (gambar sisi kanan) menunjukkan tebal dan warna lesi berkurang. yang diterapi dengan solusio timolol maleat 0,5% berjumlah 33 pasien. Karakteristik sampel dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada kedua kelompok pada jenis kelamin, umur pasien, umur muncul lesi HI, berat badan lahir, umur kehamilan, umur ibu, dan lokasi lesi. HASIL PENELITIAN Subjek penelitian yang didapat adalah sebanyak 59 orang dari 344 pasien HI superfisial yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien yang menerima terapi selama 6 bulan dari kelompok kortikosteroid topikal ultrapoten klobetasol propionat 0,05% atau betametason dipropionat 0,05% berjumlah 26 pasien, s e d a n g k a n k e l o m p o k p a s i e n Tabel 1. Karakteristik klinis berdasarkan jenis terapi pada subjek penelitian di RSUP dr. Sardjito periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59) Jenis kelamin, n (%) Laki-laki Perempuan Umur pasien, (bulan) Median Kisaran Umur muncul HI, (bulan) Median Kisaran Berat badan lahir, (gram) Rerata (Simpang Baku) Umur kehamilan, (minggu) Median Kisaran Umur ibu, (tahun) Rerata (Simpang Baku) Lokasi lesi, n (%) Kepala leher Badan Ekstremitas Kortikosteroid topikal ultrapoten n = 26 Solusio timolol maleat 0,5% n = 33 p 8 (30,7) 18 (69,3) 9 (27,3) 24 (72,7) 5,5 1-11 6 1-11 0,284 1 1-2 1 1-2 0,852 3198 (± 207,5) 3253 (± 199,9) 0,307 38 36-40 38 36-40 0,789 28,3 (± 3,8) 28,6 (± 3,0) 0,780 22 (84,6) 3 (11,5) 1 (3,9) 23 (69,7) 7 (21,2) 3 (9,1) 4 MDVI Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7 Perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang lesi HI superfisial setelah 6 bulan terapi antara kedua kelompok berbeda secara bermakna (tabel 2); pada kelompok yang diterapi dengan solusio timolol maleat hasil lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang diterapi kortikosteroid topikal ultrapoten (p < 0,001). Selisih luas lesi HI superfisial setelah 6 bulan terapi pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (tabel 3).Kelompok yang diterapi dengan solusio timolol maleat lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang diterapi kortikosteroid topikal ultrapoten (p < 0,001). Tabel 2. Perbandingan selisih ukuran aksis terpanjang HI setelah terapi selama 6 bulan pada subjek penelitian di RSUP dr. Sardjito periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59) Kortikosteroid topikal ultrapoten (mm) Solusio timolol maleat 0,5% (mm) Nilai p Median - 2,5 2,0 <0,001 Kisaran -8,0 - 8,0 -2,0 - 19,0 Keterangan : nilai median negatif (-) menunjukkan ukurannya bertambah besar deltanya dari ukuran hemangioma awal Tabel 3. Perbandingan selisih luas setelah terapi selama 6 bulan pada subjek penelitian di RSUPN DR. Sardjito periode Januari 2009 – Desember 2014 (n=59) Kortikosteroid topikal ultrapoten Solusio timolol maleat Nilai p (mm2) 0,5% (mm2) Median - 19,4 19,1 <0,001 Kisaran -65,6 - 44,6 -67,2 – 517,4 Keterangan: nilai median negatif (-) menunjukkan ukurannya bertambah besar deltanya dari ukuran hemangioma awal PEMBAHASAN Hemangioma infantil (HI) diperkirakan terjadi pada sekitar 4-10% bayi pada tahun pertama kehidupan.14,15 Kelainan ini dapat terjadi pada semua jenis kelamin, namun lebih sering pada perempuan dengan perbandingan 2:1.9 Bayi prematur dengan berat badan lahir rendah, ibu dengan riwayat kehamilan multipel, umur ibu di atas 35 tahun saat melahirkan merupakan faktor risiko HI.9,16,17 Pada penelitian ini subjek adalah pasien HI superfisial sebanyak 59 orang, masing-masing hanya memiliki satu buah lesi HI superfisial. Hal ini sesuai dengan penelitian Boye dkk. (2009),9 umumnya lesi HI adalah soliter. Dua puluh enam pasien HI superfisial telah diterapi dengan kortikosteroid ultrapoten topikal (11 orang klobetasol propionat 0,05% dan 15 orang betametason dipropionat 0,05%), dan 33 orang diterapi dengan solusio timolol maleat 0,5% topikal yang masing-masing dioleskan 2 kali sehari selama 6 bulan terapi. Perbandingan jumlah 5 penderita HI superfisial dalam penelitian ini antara perempuan dan laki-laki sekitar 2,5:1, tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya.16,17 Lokasi lesi HI superfisial lebih dominan terjadi di area kepala leher. Kejadian di badan dan ekstremitas lebih sedikit. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa lesi HI dominan di area kepala leher.13,14,18 Subjek penelitian mulai diterapi pada pada kisaran usia 5,5-6 bulan. Perbandingan usia antara kedua kelompok terapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0,284). Lesi HI superfisial terbanyak muncul pada usia1 bulan, secara statistik tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (p = 0,852). Hal ini serupa dengan penelitian Boye dkk.,9 yang menyatakan HI paling banyak terjadi pada 2 minggu pertama pasca kelahiran, sedangkan Chakkittakandiyil dkk.13 menyatakan HI terjadi pada 3±3 minggu pasca kelahiran. L. Ariwibowo, dkk Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil Berat badan lahir (gram) pada penderita HI superfisial pada penelitian ini antara kedua kelompok terapi tidak berbeda secara statistik (kortikosteroid ultrapoten: 3198,0 ± 207,5; solusio timolol maleat 0,5%: 3253,0±199,9; p=0,307). Pada penelitian ini pada kedua kelompok terapi tidak didapatkan subjek dengan berat badan lahir rendah, berbeda dengan penelitian Ho dkk. (2007),17 yang menemukan bahwa HI lebih sering terjadi pada anak yang memiliki berat badan lahir rendah. Umur kehamilan ibu secara statistik tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi (p = 0,789). Pada penelitian ini tidak terdapat umur kehamilan kurang bulan, berbeda dengan penelitian Callahan dan Yoon (2012),2 yang menyatakan bahwa umur kehamilan yang kurang merupakan risiko munculnya HI pada anak yang dilahirkan. Umur ibu ketika melahirkan, secara statistik tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (kortikosteroid ultrapoten: 28,3±3,8; solusio timolol 0,5%: 28,6 ± 3,0; p = 0,780). Pada penelitian ini umur ibu ketika melahirkan tidak ada yang lebih dari 35 tahun, berbeda dengan penelitian Bree dkk (2001),16 yang menyatakan bahwa anak dengan HI dilahirkan oleh ibu berusia lebih dari 35 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi solusio timolol maleat 0,5% selama 6 bulan lebih baik dibandingkan dengan kortikosteroid topikal ultrapoten selama 6 bulan untuk pasien HI superfisial. Belum pernah dilakukan penelitian yang membandingkan kortikosteroid topikal ultrapoten dengan solusio timolol maleat 0,5% untuk terapi HI superfisial. Chakkittakandiyil dkk. (2012),13 melakukan penelitian kohort retrospektif terhadap penggunaan gel timolol maleat 0,1% dan gel timolol maleat 0,5% dengan menggunakan skala VAS (Visual Analog Score) berdasarkan foto dokumentasi pasien selama terapi. Penelitian yang membandingkan terapi kortikosteroid topikal (mometason furoat dan tramsinolon) dengan solusio timolol maleat 0,5% tetes mata untuk pasien HI superfisial telah dilaporkan sebelumnya, dengan hasil solusio timolol maleat 0,5% lebih baik.19 Hingga saat ini kortikosteroid topikal ultrapoten merupakan terapi pilihan untuk hemangioma infantil superfisial kecil dan non komplikata.3 Mekanisme aksi kortikosteroid untuk HI yaitu menghambat potensial vaskulogenik dari sel punca yang diambil dari HI manusia. Penekanan ekspresi dari VEGF-A oleh kortikosteroid akan menghambat vaskulogenesis HI.20 Efek antiproliferatif dan vasokonstriksi dari kortikosteroid topikal ultrapoten diduga turut pula berperan dalam mekanisme terapi HI superfisial.21-23 Penghambat reseptor β terbukti menekan perkembangan HI melalui penekanan regulasi berbagai faktor proangiogenik misalnya bFGF dan VEGF-A, serta memicu apoptosis sel endotel kapiler, juga melalui efek vasokonstriksi yang dimilikinya.21,22 Namun demikian masih banyak hal yang belum dapat diterangkan tentang mekanisme pasti terapi penghambat reseptor β seperti halnya dengan kortikosteroid.18 Penelitian Chakkittakandiyil dkk. (2012)13 menemukan bahwa untuk terapi HI superfisial pemberian gel timolol maleat 0,5% topikal selama 8,0 ± 10,9 bulan lebih baik pada VAS (Visual Analog Scale) dibandingkan dengan gel timolol maleat 0,1%. Bonifazi dkk. (2013),14 melakukan pemantauan terapi HI dengan galenik propranolol 1% topikal yang dilakukan selama 4-6 bulan, terdapat regresi lebih dari 60% ukuran awal pada 13 kasus dari 25 kasus HI yang diterapi secara dini. Pada penelitian ini tidak didapatkan efek samping terapi pada kedua kelompok selama terapi 6 bulan. Pernah dilaporkan efek samping akibat absorpsi sistemik terapi kortikosteroid ultrapoten pada HI.23 Penggunaan penghambat reseptor β secara topikal untuk HI adalah aman, namun pernah dilaporkan adanya gangguan tidur pada penggunaan gel timolol secara topikal untuk HI.13 Penelitian kohort retrospektif ini memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah pengambilan foto dokumentasi pasien dari data yang dimiliki yang tidak sepenuhnya standar, serta faktor pengukuran yang hanya terdiri atas variabel ukuran aksis terpanjang lesi dan luas lesi. Pada penelitian ini kortikosteroid topikal ultra poten yang dipakai sebanyak 2 jenis, juga merupakan keterbatasan penelitian. Penelitian uji klinis kohort prospektif yang lebih lengkap diperlukan untuk lebih sempurnanya hasil yang didapatkan. Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini tidak mengurangi fakta terdapatnya gambaran perbaikan klinis yang lebih baik pada penggunaan solusio timolol maleat 0,5% 6 MDVI dibandingkan dengan pemakaian kortikosteroid topikal ultrapoten dalam kurun waktu 6 bulan, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk terapi topikal HI superfisial. KESIMPULAN Terapi solusio timolol maleat 0,5% selama 6 bulan untuk HI superfisial lebih baik dibandingkan dengan kortikosteroid topikal ultrapoten ditinjau dari selisih pengurangan ukuran aksis terpanjang dan perbandingan selisih luas lesi HI superfisial. Solusio timolol maleat 0,5% dapat dipakai sebagai alternatif terapi topikal HI, namun masih diperlukan penelitian uji klinis kohort prospektif. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K) dan dr. Arief Budiyanto, Ph.D, Sp.KK(K) atas saran dan asupan untuk perbaikan makalah. DAFTAR PUSTAKA 1. Frieden IJ. Infantile hemangioma research: Looking backward and forward. J Invest Dermatol. 2011;131:2345-8. 2. Callahan A, Yoon M. Infantile hemangioma: A review. Saudi J Ophthal. 2012;26:283-91. 3. Rosenblatt A, Mathes EF, Rosbe KW. Infantile hemangiomas: From pathogenesis to clinical features. Research Rep Neonat. 2012;2:55-64. 4. Pope E, Krafchik BR, Macarthur C, Stempak D, Stephens D, Weinstein M, dkk. Oral versus highdose pulse corticosteroids for problematic infantile hemangiomas: A randomized, controlled trial. Pediatrics. 2007;119:e1239-47. 5. Pandey A, Gangopadhyay AN, Sharma SP, Kumar V, Gupta DK, Gopal SC. Evaluation of topical steroids in the treatment of superficial hemangioma. Skinmed. 2010;8: 9-11. 6. Barnes CM, Christison-Lagay EA, Folkman J. The placenta theory and the origin of infantile hemangioma. Lymphat Res Biol. 2007;5:245-55. 7. Bischoff J. Progenitor cells in infantile hemangioma. J Craniofac Surg. 2009; 20: Suppl 1:695-7. 7 Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 2 -7 8. Boscolo E, Bischoff J. Vasculogenesis in infantile hemangioma. Angiogenesis. 2009;12:197-207. 9. Boye E, Jinnin M, Olsen BR. Infantile hemangioma: Challenges, new insights, and theraupetic promise. J Craniofac Surg. 2009;20:Suppl 1:678-84. 10. Leaute-Labreze C, Taieb A. Efficaccy of betablocker in infantile capilarry haemangiomas: The physiopathological significance and therapeutic consequences. Ann Dermatol Venereol. 2008;135:860-2. 11. Pope E, Chakkitakandiyil A. Topical timolol gel for infantile hemangiomas: A pilot study. Arch Dermatol. 2010;146:564-5. 12. Calvo M, Garcia-Millan C, Villegas C, FueyoCasado A, Buron I. Topical timolol for infantile hemangioma of the eyelid. Int J Dermatol. 2012;52:603-4. 13. Chakkittakandiyil A, Phillips R, Frieden IJ, Siegfried E, Lara-Corrales I, Lam J, dkk. Timolol maleate 0.5% or 0.1% gel-forming solution for infantile hemangiomas: A retrospective multicenter, cohort study. Pediatr dermatol. 2012;29:28-31. 14. Bonifazi E, Milano A, Colonna V. Evaluation of safety and efficacy of a galenic preparation of 1% propranolol in 89 cases of cutaneous infantile hemangioma. Eur J Pediat Dermatol. 2013;23:93104. 15. Gorincour G, Kokta V, Rypens F, Garel L, Powell J, Dubois J. Imaging characteristics of two subtypes of congenital hemangiomas: Rapidly involuting congenital hemangiomas and noninvoluting congenital hemangiomas. Pediatr Radiol.2005;35:1178-85. 16. Bree AF, Siegfried E, Sotelo-Avila C, Nahass G. Infantile hemangiomas: Speculation on placental trophoblastic origin. Arch Dermatol. 2001;137:573-7. 17. Ho NT, Lansang P, Pope E. Topical imiquimod in the treatment of infantile hemangiomas: A retrospective study. J Am Acad Dermatol. 2007; 56: 63-8. 18. Abarzua-Araya A, Navarrete-Dechent CP, Heusser F, Retamal J, Zegpi-Trueba MS. Atenolol versus propranolol for the treatment of infantile hemangiomas: A randomized controlled study. J Am Acad Dermatol. 2014;70:1045-9. 19. Ariwibowo L, Danarti R. Comparison of efficacy between topical corticosteroid, timolol maleat L. Ariwibowo, dkk 20. 21. 22. 23. Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kortikosteroid topikal ultrapoten vs solusio timolol maleat 0,5% untuk hemangioma infantil 0,5% eye drop, and education observation in managing infantile hemangioma. Oral presentation. 21st Regional Conference of Dermatology. Danang Vietnam 9-12 April.2014:(abstract book p. 18990). Greenberger S, Boscolo E, Adini I. Corticosteroid suppression of VEGF-A in infantile hemangiomaderived stem cells. N Engl J Med. 2010;362: 100513. Theletsane T, Redfern A, Raynham O, Harris T, Prose NS, Khumalo NP. Life-threatening infantile haemangioma: A dramatic response to propranolol. J Eur Acad Dermatol Venereol.2009;23:1465-6. Peridis S, Pilgrim G, Athanasopoulos I, Parpounas K. A meta-analysis on the effectiveness of propranolol for the treatment of infantile airway haemangiomas. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.2011;75:455-60. Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies; 2012. h. 2659-65. 8 Artikel Asli PROFIL KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SERUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PASIEN PSORIASIS VULGARIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Grace Waworuntu, Chairiyah Tanjung, Irma D. Roesyanto – Mahadi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan ABSTRAK Telah dilakukan suatu studi deskriptif rancangan potong lintang untuk mengukur kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan menggunakan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Subyek penelitian (SP) berjumlah 25 terbanyak laki-laki 17 orang (68%). Rerata usia adalah 40,84 tahun dengan subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%). Terbanyak adalah suku Batak, 12 orang (48%). Angka kejadian psoriasis vulgaris terbanyak pada kelompok yang mengalami psoriasis dengan durasi <5 tahun, sebanyak 17 orang (68%). Berdasarkan kelompok umur awitan penyakit 15-30 tahun merupakan yang terbanyak dengan frekuensi sebesar 11 orang (44%). Nilai tengah body surface area (BSA) subyek penelitian adalah 9% dengan frekuensi terbanyak pada BSA >10% yaitu sebesar 11 orang (48%). Nilai tengah VEGF serum pada 25 pasien psoriasis vulgaris adalah 270,60 pg/mL. Tersering ditemukan pada laki-laki , dengan frekuensi terbanyak pada kelompok usia 40 sampai 60 tahun. Kata Kunci: VEGF serum - psoriasis vulgaris LEVELS OF SERUM VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) BASED ON THE CHARACTERISTICS OF PSORIASIS VULGARIS PATIENTS PROFILE IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN ABSTRACT A cross-sectional descriptive study was done to determine levels of serum vascular endothelial growth factor (VEGF) in 25 psoriasis vulgaris patients at Haji Adam Malik General Hospital Medan using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. There was male predominance, 17 from 25 patients (68%). The mean age was 40,84 years old with the majority in the age group of less than 40-years old, 14 people (56%). The largest ethnicity was Batakese, 12 people (48%). The incidence of psoriasis vulgaris had the highest frequency in the duration group of less than 5 years, 17 people (68%). Based on the onset of disease, onset group of 15-30 years was the highest with a frequency of 11 people (44%). The median body surface area (BSA) was 9% with the highest frequency in the BSA more than 10% in the amount of 11 people (48%). The median serum VEGF was 270,60 pg / mL. There was male preponderance, with the highest frequency in the age 40-60 years. Keywords : VEGF serum - psoriasis vulgaris Korespondensi: Jl. Bunga lau No. 17 – Medan Telp/Fax: Email: [email protected] 8 MDVI PENDAHULUAN Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik yang tidak mengancam jiwa, namun dapat menjadi parah dan belum dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai oleh hiperproliferasi keratinosit, gangguan diferensiasi, neoangiogenesis, dan inflamasi.1 Prevalensi psoriasis berkisar antara 0,1% sampai 11,8% dengan estimasi kejadian 60 kasus per 100,000 per tahun di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit ini belum terdata secara jelas, namun insidens di Asia saja cenderung rendah (0,4%). Psoriasis umumnya terjadi pada ras Kaukasia, dan dilaporkan 7 juta orang di Amerika Serikat terkena penyakit psoriasis ini dan 1,5 juta setiap tahunnya berobat ke dokter dengan keluhan psoriasis.2-4 Kejadian psoriasis sama pada laki-laki dan perempuan, namun beberapa studi menemukan prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.4,5 Data rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan periode Januari hingga Desember 2011, mendapatkan 46 pasien (0,81%) didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris dari total 5.644 kunjungan berobat ke Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Dua puluh lima dari 46 pasien (54,3%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 pasien (45,6%) berjenis kelamin perempuan.6 Berbagai studi menunjukkan rerata awitan psoriasis berkisar antara kelompok usia 15 sampai 30 tahun. Sebanyak 75% pasien menderita psoriasis sebelum usia 46 tahun. Studi lainnya mengatakan bahwa awitan psoriasis dapat terjadi pada dua puncak, yaitu pada kelompok usia 16-22 tahun dan kelompok usia 57-60 tahun.4,7 Patogenesis psoriasis merupakan mekanisme yang rumit dan sampai saat ini masih belum diketahui, meskipun berbagai penelitian telah dilakukan. Keratinosit, fibroblas, sel penyaji antigen atau antigen-presenting cells (APC), sel T, dan sel endotel dianggap sebagai sel-sel yang mengalami kerusakan utama pada psoriasis.8,9 Sebagian peneliti menduga terdapat peran vascular endothelial growth factor (VEGF) dalam mencetuskan angiogenesis dan berpengaruh pada patogenesis psoriasis. Walaupun peran angiogenesis mungkin tidak besar dalam patogenesis psoriasis, pemahaman mengenai angioproliferasi dapat berguna dalam menemukan obatobat antipsoriasis di masa depan. Bahkan vitamin D, retinoid, siklosporin yang biasa digunakan untuk mengobati psoriasis bersifat anti-angiogenik, selain sebagai antiproliferasi dan antiinflamasi.10,11 Sampai saat ini penulis belum dapat menemukan publikasi penelitian yang spesifik mengenai VEGF berdasarkan karakteristik psoriasis di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Patogenesis psoriasis yang Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14 rumit, perjalanan penyakit yang kronis, tingkat kekambuhan yang tinggi, dan pengobatan yang cukup sulit, menyebabkan topik psoriasis ini perlu untuk dipelajari. SUBYEK DAN METODE Penelitian ini merupakan studi deskriptif rancangan potong lintang (cross sectional) yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014, bertempat di Poliklinik Divisi Alergi Dep/SMF IK RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Kriteria penerimaan adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris dan telah menandatangani informed consent. Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan bila dijumpai gejala klinis yaitu adanya plak eritematosa yang ditutupi skuama tebal dan berwarna putih keperakan, dibantu dengan pemeriksaan tambahan berupa fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz yang positif. Kriteria penolakan adalah pasien psoriasis vulgaris yang sedang hamil atau menyusui, mengkonsumsi obatobatan yang bersifat imunosupresi dalam kurun waktu 4 minggu terakhir. Obat tersebut di antaranya adalah retinoid, siklosporin, kortikosteroid, serta obat-obat antiinflamasi dan antihistamin, menggunakan obat kortikosteroid atau imunomodulator topikal dalam kurun waktu 2 minggu terakhir, menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis dan keganasan. Pemeriksaan serum dengan teknik sandwich enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan perangkat pemeriksaan (VEGFA-human, ELISA kit, Abnova- Taiwan). Pemeriksaan dilakukan menggunakan ELISA analyser Chemwell 2910 (Awareness Technology, Inc.). HASIL PENELITIAN Karakteristik subyek penelitian Didapatkan subyek penelitian berjenis kelamin lakilaki sebanyak 17 (68%) dari 46 orang. Rerata usia adalah 40,84 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 67 tahun. Subyek penelitian terbanyak pada kelompok usia kurang dari 40 tahun sebanyak 14 orang (56%). Suku terbanyak adalah suku Batak, sebanyak 12 orang (48%). Sebagian besar populasi menempuh pendidikan perguruan tinggi, yaitu sebanyak 17 orang (68%). (Tabel 1) 9 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris G. Waworuntu, dkk Tabel 1.Karakteristik pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan (Oktober 2013 - Juni 2014) n=25 Karakteristik subyek penelitian Jumlah(orang) n % Jenis Kelamin Laki-laki 17 68.0 Perempuan 8 32.0 < 40 14 56.0 40-60 8 32.0 > 60 3 12.0 Batak 12 48.0 Jawa 7 28.0 Lainnya 6 24.0 SD 1 4.0 SMP 2 8.0 SMA 5 20.0 Perguruan tinggi 17 68.0 Dokter 2 8.0 Pegawai swasta 2 8.0 PNS 5 20.0 Tidak bekerja 8 32.0 Wiraswasta 8 32.0 Kelompok Usia Suku Pendidikan Pekerjaan Pada penelitian ini psoriasis vulgaris terbanyak pada kelompok dengan durasi <5 tahun sebanyak 17 orang (68%). Rentang lama sakit (durasi) adalah 8 bulan – 20 tahun, dengan nilai tengah 5 tahun. Berdasarkan awitan penyakit, kelompok usia awitan 15-30 tahun merupakan yang terbanyak, yaitu 11 orang (44%). Nilai tengah awitan 33 tahun, dengan kisaran 15-57 tahun. Berdasarkan atas anamnesis didapatkan satu pasien dengan riwayat keluarga yang juga menderita psoriasis. Nilai tengah body surface area (BSA) subyek penelitian adalah 9% dengan luas minimal 2% dan maksimal 24%.(Tabel 2) Tabel 2. Karakteristik pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan (Oktober 2013 - Juni 2014) n=25 Karakteristik subyek penelitian Jumlah (orang) n % Kelompok Durasi Penyakit (tahun) <5 tahun 17 68.0 5 – 10 tahun 3 12.0 10 – 15 tahun 2 8.0 >15 tahun 3 12.0 15 – 30 tahun 11 44.0 30 – 45 tahun 8 32.0 45 – 60 tahun 6 24.0 Kelompok Awitan Penyakit (tahun) Riwayat keluarga dengan psoriasis Ada 1 4.0 Tidak ada 24 96.0 BSA (%) <3 2 8.0 3 – 10 11 44.0 > 10 12 48.0 10 MDVI Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14 Hasil pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan VEGF serum menggunakan Elisa Gambar 1. Tampilan Micro-Wells sebelum Pengukuran Absor bansi dengan ELISA Analyzer. analyzer didapatkan nilai median 270,60 pg/mL (11,23- 1596,7 pg/mL). (Tabel 3) Kurva 1. Kurva Standar untuk Menentukan Konsentrasi VEGF Tabel 3. VEGF berdasarkan pemeriksaan ELISA, pada pasien psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan (Oktober 2013 - Juni 2014) n=25 n Median SD Min Max VEGF 25 270,60 415,62 11,23 1596,7 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 17 8 270,60 269,36 286,22 606,26 11,23 52,08 1044,8 1596,7 Usia (tahun) <40 40-60 >60 14 8 3 160,95 604,18 123,36 277,57 543,81 94,68 30,15 11,23 52,08 1044,8 1596,7 239,65 Durasi Penyakit (tahun) <5 5-10 10-15 >15 17 3 2 3 270,60 278,56 110,34 1370,23 287,88 249,89 18,41 726,97 11,23 52,08 97,32 239,65 1044,80 551,16 123,36 1596,70 Onset Penyakit 15-30 30-45 45-60 11 8 6 124,33 287,86 285,62 453,26 498,67 238,31 30,15 11,23 52,08 1370,20 1596,67 657,22 BSA <3% 3-10% >10% 2 11 12 324,24 159,51 328,88 320,91 182,74 527,91 97,32 52,08 11,23 551,16 560,95 1596,67 11 G. Waworuntu, dkk PEMBAHASAN Secara umum diyakini bahwa frekuensi terjadinya psoriasis pada laki-laki dan perempuan sama. Namun, studi yang dilakukan oleh Chen dkk., (2003) di Taiwan menunjukkan dari 5.864 pasien psoriasis yang berobat ke klinik mereka, 3.243 adalah laki-laki dan 2.621 perempuan. Rata-rata angka prevalensi satu tahun adalah 0,19%; yaitu 0,23% untuk laki-laki dan 0,16% perempuan. Terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) prevalensi kejadian pada jenis kelamin pasien psoriasis. Prevalensi psoriasis pada usia di bawah 30 tahun adalah sama pada kedua jenis kelamin, namun meningkat lebih cepat pada laki-laki usia 30 tahun atau lebih.12 Studi lain yang dilakukan oleh Sinniah dkk., bahwa dari total 5.607 pasien yang berobat ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah, Klang, Malaysia dari Januari 2003 sampai dengan Desember 2005, terdapat 9,5% pasien dengan psoriasis. Proporsi pasien laki-laki sebanyak 11,6% (316/2.613) dan perempuan 7,2% (215/2.994).13 Sampai saat ini belum ditemukan kata sepakat apakah prevalensi psoriasis berbeda pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Psoriasis dapat terjadi pada semua usia, namun jarang pada anak-anak (0,71%) dan sebagian besar kasus terjadi sebelum usia 35 tahun.14 Pada penelitian kami insidens terbanyak pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Sedangkan pada populasi psoriasis di Arab Saudi yang dilakukan oleh Fortune dkk., dilaporkan insidens psoriasis berat terdapat pada usia 22 - 26 tahun.15 Kundakci dkk., melaporkan kasus pada anak-anak yang jarang ditemukan, terdapat prevalensi sebanyak 5,7% pada kelompok usia < 10 tahun.16 Satu studi yang dilakukan di unit Dermatologi Rumah Sakit Universitas Treichville Pantai Gading, Afrika Barat menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 39,6 tahun dengan usia termuda 4 tahun dan tertua 77 tahun. Terdapat 3 anak-anak (5,3%) dan 53 dewasa (94,7%). Pada kelompok dewasa, 38 pasien (67%) berada pada usia antara 30 sampai 50 tahun.17 Sinniah dkk., melaporkan insidens tersering pada kelompok usia 40-60 tahun (17,2%).13 Studi lainnya, menunjukkan penurunan prevalensi psoriasis pada kelompok usia yang lebih lanjut, terutama pada usia di atas 70 tahun. Prevalensi psoriasis menurun sebesar 28% pada pasien usia 70 sampai 79 tahun, dan menurun 60% pada usia 80 sampai 89 tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa psoriasis dapat mengalami remisi pada pasien lanjut usia atau pasien tidak cukup peduli untuk mencari pengobatan medis. Studi di Spanyol juga menunjukkan penurunan prevalensi psoriasis pada usia lebih tua, khususnya di atas usia 70 tahun.18 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris Namun berbagai studi tersebut bertolak belakang dengan studi yang dilakukan pada populasi di Taiwan. Chang dkk., menemukan prevalensi psoriasis selama satu tahun mencapai puncaknya di atas 70 tahun. Prevalensi psoriasis meningkat lebih dari 50% pada pasien usia ≥ 70 tahun, dibandingkan dengan pasien kelompok usia 60-69 tahun. Hal ini mungkin terjadi karena sistem asuransi kesehatan yang lebih baik pada para lansia di Taiwan.19 Penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk., melaporkan dari 480 pasien, sebanyak 175 pasien sudah menderita psoriasis lebih dari 10 tahun (38,6%), diikuti kelompok durasi penyakit 1-5 tahun yaitu sebanyak 124 pasien (27,4%), kelompok durasi 6-10 tahun sebanyak 121 pasien (26,7%), dan kelompok durasi <1 tahun hanya 33 pasien (7,3%).20 Data kepustakaan menunjukan bahwa rerata usia pasien dengan psoriasis bervariasi dari 10-30 tahun, namun penyakit dapat dimulai pada berbagai awitan usia termasuk saat balita.18,21 Farber dan Nall (1974) menemukan bahwa rerata awitan usia psoriasis adalah 27,8 tahun dan 10% terjadi sebelum usia 10 tahun. Ia juga melaporkan bahwa pasien perempuan menunjukkan awitan lebih awal dibandingkan dengan laki-laki. Temuan tersebut menunjukkan terdapat interaksi antara jenis kelamin dengan perkembangan fenotipe pasien psoriasis. Psoriasis merupakan penyakit autoimun yang dimediasi oleh sel T helper-1 (Th1) yang menjelaskan kerentanan perkembangan fenotipe psoriasis pada pasien perempuan di usia lebih dini. Observasi ini juga serupa pada penyakit autoimun lainnya yang dimediasi oleh Th1, yaitu lupus eritematosus, sklerosis multipel, dan reumatoid artritis, dengan predisposisi pada pasien perempuan.22 Penelitian yang dilakukan Neimann dkk., menyatakan bahwa awitan psoriasis menunjukkan dua puncak usia (bimodal). Mereka menyatakan bahwa distribusi bimodal pada awitan psoriasis menunjukkan dua bentuk tampilan klinis psoriasis, yaitu tipe 1 dan tipe 2.5 Tipe 1 terjadi pada pasien sebelum usia 40 tahun dan merupakan 75% seluruh kasus dan merupakan bentuk yang lebih berat, sedangkan tipe 2 terjadi pada pasien setelah usia 40 tahun.3,4 Studi kami tidak menunjukan distribusi bimodal pada awitan psoriasis. Hanya terdapat satu puncak, yaitu pada kelompok usia 15-30 tahun. Psoriasis adalah penyakit yang kompleks dan multifaktor. Banyak studi yang menunjukan kaitan penyakit dengan faktor genetik. Sebanyak 40% pasien psoriasis dengan riwayat keluarga positif terhadap psoriasis. Insidens psoriasis pada studi kembar menunjukan dasar kekeluargaan penyakit ini. Konkordasi sebesar 35-75% telah ditunjukkan pada kembar monozigot, dibandingkan dengan konkordasi sebesar 1230% pada kembar dizigotik. Temuan tersebut juga 12 MDVI disertai dengan awitan, distribusi penyakit, tingkat keparahan, dan gambaran klinis yang sama.23 Studi lain yang dilakukan di Korea oleh Kwon dkk., menunjukkan 12 dari 129 (9,3%) pasien lanjut usia memiliki riwayat keluarga dengan psoriasis; 8 orang pada kerabat tingkat pertama, dan 4 orang pada kerabat tingkat kedua. Pasien dengan awitan usia lanjut (≥60 tahun) menunjukkan insidens yang lebih rendah pada riwayat keluarga dibandingkan dengan pasien awitan usia > 30 tahun atau 30-60 tahun.24 Penelitian kami menunjukkan bahwa dari 25 subyek penelitian yang ada, hanya satu orang dengan riwayat psoriasis di keluarga, yaitu hubungan kerabat tingkat pertama (adik kandung), dan awitan penyakit pada usia 41 tahun. Berdasarkan pengukuran BSA, didapatkan frekuensi yang hampir sama banyaknya, yaitu pada BSA 3-10% sebanyak 12 orang (44%) dan BSA >10% sebanyak 11 orang (48%). Studi yang dilakukan di klinik Dermatologi di Sarawak, Malaysia terhadap 520 pasien, sebagian besar dengan BSA kurang dari 10%, 61 pasien (44,2%) dengan BSA <2%; 59 pasien (42,7%) dengan BSA 2-10%. 11 (8%) dengan BSA 11-90%, dan hanya 7 pasien (5,1%) dengan BSA >90%.25 Studi yang dilakukan oleh Kwon dkk., menunjukkan dominasi pasien dengan luas psoriasis yang lebih ringan (BSA<5%) pada kelompok awitan usia lanjut (1.202 pasien) dibandingkan dengan kelompok awitan usia dini dan menengah (63 pasien dan 521 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas psoriasis lebih ringan pada pasien awitan usia lanjut.24 Penelitian lain pada populasi di Kanada menunjukkan insidens psoriasis derajat sedang dan berat, ditemukan sebanyak 62% dari 514 pasien dengan keterlibatan BSA > 3%.26 Penelitian ini juga menggambarkan nilai VEGF yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian lain yang membahas peran VEGF dalam patogenesis psoriasis vulgaris. Nilai absorbansi VEGF dan konsentrasi VEGF yang diperoleh dari pemeriksaan serum pasien psoriasis tertera pada tabel 3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nofal dkk., dilaporkan bahwa rerata VEGF serum pada 30 pasien psoriasis vulgaris derajat sedang sampai berat adalah sebesar 327 pg/mL. Penelitian tersebut juga membuktikan peran VEGF dalam patogenesis psoriasis, yaitu kadar VEGF serum menurun pada pasien sesudah diberi terapi kombinasi asitretin dan Psoralen-UVA photochemotherapy (PUVA).27 Hasil yang didapat pada penelitian 122 pasien psoriasis vulgaris di Jepang oleh Takahashi dkk., menunjukan kadar VEGF serum sebesar 221 pg/ml, sedangkan Zablotna dkk., melaporkan 47 pasien psoriasis yang berasal dari Polandia bagian Utara, rerata VEGF serum sebesar 368,43 pg/mL.28,29 Penelitian yang Vol. 44 No.14 Tahun 2017; 8 -14 dilakukan Shimauchi dkk., menunjukkan VEGF serum pasien psoriasis sebesar 545 pg/mL. Lebih lanjut penelitian tersebut menyatakan faktor angiogenik VEGF tidak hanya menjadi petanda biologik penting pada psoriasis vulgaris, namun peran VEGF dapat sebagai prediktor respon terapi.30 Peran VEGF juga terlihat pada karsinoma sel skuamosa. VEGF dapat menjadi prediktor terhadap tingkat rekurensi dan prognosis penyakit. Rerata VEGF serum dilaporkan lebih tinggi pada kelompok pasien dengan rekurensi (731 pg/mL) dibandingkan dengan tanpa rekurensi (327,69 pg/mL).31 Kadar VEGF serum yang bervarisi menunjukkan bahwa masih belum ada jumlah yang dianggap dapat mewakili semua populasi psoriasis vulgaris, sehingga menarik untuk diteliti dan dilaporkan pada berbagai populasi di tiap negara. Pada penelitian ini akan ditinjau kadar VEGF serum berdasarkan masing-masing karakteristik pasien psoriasis. Nilai tengah VEGF serum lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak banyak penelitian yang membahas mengenai kadar VEGF pada laki-laki atau perempuan pasien psoriasis. Satu penelitian menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar VEGF serum antar jenis kelamin pada pasien psoriasis.30 Berdasarkan kelompok usia, didapatkan nilai tengah VEGF serum lebih tinggi pada kelompok usia 40-60 tahun. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah kadar VEGF serum ini berperan terhadap manifestasi klinis pasien.3,4,7 Pada hasil analisis nilai VEGF berdasarkan durasi penyakit, didapatkan nilai tengah VEGF tertinggi pada durasi penyakit >15 tahun. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut apakah VEGF berperan dalam durasi penyakit psoriasis vulgaris. Berdasarkan awitan penyakit, didapatkan nilai tengah VEGF tertinggi pada kelompok awitan 30-45 tahun. Menurut Henseler dkk., psoriasis dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Pada tipe 1 biasanya terjadi pada usia di bawah 40 tahun dan biasanya penyakit cenderung lebih parah. Puxeddu dkk., menyatakan peran VEGF dalam patogenesis penyakit psoriasis vulgaris, yaitu VEGF sebagai faktor angiogenik yang memperburuk inflamasi lesi kulit.3,4,7 Jika data dibedakan berdasarkan BSA, akan didapatkan bahwa nilai tengah VEGF serum tertinggi berada pada kelompok BSA >10%. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peran VEGF terhadap derajat keparahan psoriasis. 13 G. Waworuntu, dkk KESIMPULAN Dalam penelitian ini didapatkan 25 sampel psoriasis vulgaris dalam kurun waktu sembilan bulan dengan nilai tengah kadar VEGF serum 270,60 pg/mL 415.62 pg/mL. Karakteristik SP didapatkan psoriasis terbanyak pada laki-laki, umumnya tersering pada suku Batak, frekuensi terbanyak pada kelompok usia < 40 tahun, mayoritas berpendidikan setingkat perguruan tinggi, pekerjaan seimbang antara yang tidak bekerja maupun wiraswasta. Karakteristik klinis didapatkan frekuensi terbanyak pada durasi penyakit < 5 tahun, awitan penyakit pada kelompok 15-30 tahun, nilai BSA 3-10%, hanya 1 pasien dengan riwayat keluarga psoriasis. Nilai tengah kadar VEGF serum tertinggi pada jenis kelamin laki-laki; suku Jawa; kelompok usia 40-60 tahun; durasi penyakit >15 tahun; awitan terbanyak pada kelompok usia 30 sampai 45 tahun; dan BSA >10%. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Peter BP, Weissman FG, Gill MA. Pathophysiology and treatment of psoriasis. Am J Health Syst Pharm. 2000;57:64559 Suomela S. Studies on the molecular patogenesis of psoriasis. Helsinki University Biomedical Dissertations. 2004; 52:1-81 Henseler T, Christophers E. Psoriasis of early and late onset: characterization of two types of psoriasis vulgaris. J Am Acad Dermatol. 1985; 13: 450-6 Gudjonsson J, Elder JT. Psoriasis: epidemiology. Clin Dermatol. 2012;18:377 Neimann AL, Porter SB, Gelfand JM. The epidemiology of psoriasis. Expert Rev. Dermatol. 2006;1: 63-75 Pane HN. Profil kadar leptin serum pada berbagai derajat keparahan pasien psoriasis vulgaris di rumah sakit umum pusat haji adam malik medan (Tesis). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2013. Nevitt GJ, Hutchinson PE. Psoriasis in the community: prevalence, severity and patients' beliefs and attitudes towards the disease. Br J Dermatol. 1996; 135: 533-7 Ortonne JP. Recent developments in the understanding of the patogenesis of psoriasis. Br J Dermatol. 1999;54: 1-7 Bos JD, De Rie MA. The patogenesis of psoriasis: immunological facts and speculations. Immunol Today. 1999; 20: 40-6 Creamer D, Sullivan D, Bicknell R, Barker J. Angiogenesis in psoriasis. Angiogenesis. 2002; 5: 231-6 Nickoloff BJ. Characterization of lymphocyte-dependent angiogenesis using a SCID mouse: human skin model of psoriasis. J Invest Dermatol Symp Proc. 2000; 5: 67-73 Chen HH, Tseng MP, Tsai TF. An epidemiologic study of Taiwanese psoriatic patients in a single clinic. Dermatol Sinica. 2003; 21: 216–24 Sinniah B , Saraswathy Devi S, Prashant BS. Epidemiology of psoriasis in malaysia: a hospital based study. Med J Malaysia. 2010; 65:112-4 Ibrahim G, Waxman R, Helliwell PS. The prevalence of psoriatic arthritis in people with psoriasis. Arthritis Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Kadar VEGF serum pasien soriasis vulgaris Rheumatism. 2009; 61:1373-8 15. Fortune DG, Richards HL, Griffiths CE. Psychologic factors in psoriasis: consequences, mechanisms, and interventions. Dermatol Clin. 2005; 23: 681–94 16. Kundakci N, Ursen UT, Babiker MO, Urgey EG. The evaluation of the sociodemographic and clinical features of Turkish psoriasis patients. Int J Dermatol. 2002; 41: 220–4 17. Kassi K, Mienwoley OA, Kouyate M, Koui S, Kouassi KA.Severe skin forms of psoriasis in black africans: epidemiological, clinical, and histological aspects related to 56 cases. Autoimmune Diseases. 2013; 56:1032 18. Parisi S, Symmons D, Griffiths C, Ashcroft DM. Global epidemiology of psoriasis: a systematic review of incidence and prevalence. J Invest Dermatol. 2013; 133: 377-85 19. Chang YT, Chou CT, Yu CW, Lin MW, Shiao YM, Chen CC, dkk. Cytokine gene polymorphisms in Chinese patients with psoriasis. Br J Dermatol. 2007; 156: 899–905 20. Lin TY, See LC, Shen YM, Liang CY, Chang HN, Lin YK, dkk. Quality of life in patients with psoriasis in Northern Taiwan. Chang Gung Med J. 2011;34:186-96 21. Landegren J, Mobacken H. Psoriasis related conditions. A pictorial atlas. Clinical presentation and differential diagnosis. J Eur Acad Dermatol.1995; 1-21 22. Farber EM, Nall L. Natural history of psoriasis in 5600 patients. Dermatologica. 1974; 148:1-18 23. Oka A, Mabuchi T, Ozawa A, Inoko H. dkk Current understanding of human genetics and genetic analysis of psoriasis. J Dermatol .2012; 39:231–41 24. Kwon HH, Kwon IH, Youn JI. Clinical study of psoriasis occurring over the age of 60 years: is elderly-onset psoriasis a distinct subtype? Int J Dermatol. 2012; 51: 53–8 25. Felix Boon-Bin Yap. Psoriasis among Sarawakian natives in a tertiary skin centre in Sarawaka. Australas J Dermatol. 2010; 20: 45-6 26. Papp K , Valenzuela F, Poulin Y, Bernstein G, Wasel N. Epidemiology of moderate to severe plaque psoriasis in a Canadian surveyed population. J Cutan Med Surg. 2010;14:167-74 27. Nofal A, Makhzangy AL, Attwa I, Nassar E, Abdalmoati A. Vascular endothelial growth factor in psoriasis: an indicator of disease severity and control. JEADV. 2009; 23: 803-6 28. Takahashi H, Tsuji, H, Hashimoto Y, Ishida-Yamamoto A, Iizuka, H. Serum cytokines and growth factor levels in Japanese patients with psoriasis. Clin Exp Dermatol. 2010; 35: 645–9 29. Zablotna M, Sobjanek M, Nedoszytko B, Lange M, Kozicka D, Glen J, dkk. Association of psoriasis with the VEGF gene polymorphism in the Northern Polish population. JEADV. 2013; 27: 319–23 30. Shimauchi T, Hirakawa S, Suzuki T, Yasuma A, Majima Y, Tatsuno K, dkk. Serum interleukin-22 and vascular endothelial growth factor serve as sensitive biomarkers but not as predictors of therapeutic response to biologics in patients with psoriasis. J Dermatol. 2013; 40: 805–12 31. Khademi B, Soleimanpour M, Ghaderi A, Mohammadianpanah M. Prognostic and predictive value of serum vascular endothelial growth factor (VEGF) in squamous cell carcinoma of the head and neck. Oral Maxillofac Surg. 2013; 3 14 Artikel Asli RESISTENSI ANTIBIOTIK PROPIONIBACTERIUM ACNES DARI BERBAGAI LESI KULIT AKNE VULGARIS DI RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG Reti Hindritiani, Asmaja Soedarwoto, Kartika Ruchiatan, Oki Suwarsa, Mirantia Umi Budiarti, Desidera Husadani, Achmad Yudha Pranata Departemen IK Kulit dan Kelamin FK Universitas Padjadjaran/RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung ABSTRAK Resistensi Propionibacterium acnes (P. acnes) terhadap antibiotik semakin meningkat. Penilaian resistensi sebaiknya dilakukan setiap lima tahun untuk menentukan antibiotik yang digunakan dalam terapi akne vulgaris (AV). Perbedaan prevalensi resistensi P. acnes di berbagai wilayah antara lain disebabkan perbedaan bahan pemeriksaan (BP) yang belum seragam di antara para peneliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kepositivan P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul, serta resistensinya terhadap tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin, dan eritromisin. Penelitian ini merupakan studi analitik potong lintang, untuk membandingkan tingkat kepositivan P. acnes dari tiga BP dengan identifikasi P. acnes menggunakan mesin VITEK®2, kemudian dilakukan uji kepekaan dengan metode difusi. Jumlah peserta penelitian adalah 50 pasien AV. Tingkat % kepositivan kultur P. acnes dari permukaan lesi kulit (70%), komedo tertutup (66,6%), dan pustula (60%) secara statistik tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Persentase resistensi P. acnes dari ketiga BP menunjukkan hasil yang serupa, yaitu berturut-turut dari yang paling rendah adalah doksisiklin, tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, dan klindamisin. Simpulan, tidak terdapat perbedaan bermakna antara BP permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul terhadap angka kepositifan kultur P. acnes dan resistensinya. Doksisiklin masih dapat digunakan sebagai pilihan utama terapi antibiotik pada AV, sedangkan penggunaan klindamisin dan eritromisin sebaiknya dipertimbangkan kembali karena mempunyai angka resistensi tinggi. Kata kunci: akne vulgaris, P. acnes, pengambilan sampel, resistensi ANTIBIOTIC RESISTANCY OF PROPIONIBACTERIUM ACNES FROM ACNE VULGARIS LESIONS IN DR. HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG ABSTRACT Propionibacterium acnes (P. acnes) resistance toward antibiotics is gradually increasing. Sensitivity test should be done once every five years to determine the antibiotics used in acne vulgaris (AV) treatment. One of the reason for the difference in prevalence of resistance among various country is the divergence of study materials used by the researchers. The purpose of this study was to determine P. acnes positivity from skin surface, closed comedone, and pustule, along with its resistance toward tetracycline, doxycycline, minocycline, clindamycin, and erythromycin. This was a cross-sectional analytic study to compare P. acnes positivity from three different study materials. P. acnes was identified using VITEK®2 and the sensitivity test were done using disc diffusion method. The number of participants were 50 AV patients. The different of P. acnes positivity from skin surface (70%), closed comedone (66,6%), and pustule (60%) were not statistically significant (p> 0,05). Resistance of P. acnes from the three study materials showed similar result, namely from the lowest to highest resistance were toward doxycycline, tetracycline, minocycline, erythromycin, and clindamycin respectively. Conclusion, there is no significant different of P. acnes positivity and resistance among skin surface, closed comedone, and pustule. Doxycycline may still be used as the main choice of antibiotic treatment in AV, while clindamycin and erythromycin need to be reconsidered because of the high resistance rates. Keywords: acne vulgaris, P. acnes, sampling method, resistance Korespondensi: Jl. Pasteur no 38, Bandung, 40161, Telepon/Fax (022) 2032426 Email: [email protected] 15 MDVI PENDAHULUAN Akne vulgaris (AV) merupakan inflamasi kronis pada folikel pilosebasea,1,2 yang ditandai dengan komedo sebagai lesi patognomonik, papul, pustul, nodus, dan kista di tempat predileksi, yaitu wajah, leher, punggung bagian atas, bahu, dan lengan atas.2,3 AV dapat mengenai semua usia, 85% terjadi pada pasien kelompok usia remaja hingga dewasa muda.2 Empat faktor utama yang berperan dalam patogenesis AV adalah peningkatan produksi sebum, hiperkeratinisasi duktus pilosebaseus, inflamasi, dan abnormalitas mikroba pada duktus, terutama Propionibacterium acnes (P. acnes).1,2 P. acnes merupakan bakteri yang berperan dalam pembentukan lesi AV dengan mencetuskan reaksi inflamasi.1 Peran P. acnes dalam patogenesis AV menjadi dasar pemberian antibiotik sistemik melalui aktivitas antibakteri maupun efek antiinflamasi.4 Berdasarkan Indonesian Acne Expert Meeting (IAEM) tahun 2012, doksisiklin merupakan terapi oral lini pertama untuk AV derajat sedang dan berat, lini pertama untuk wanita hamil adalah eritromisin.3 Antibiotik lain yang sering digunakan untuk pengobatan AV adalah tetrasiklin, klindamisin, dan minosiklin. Dengan semakin luasnya penggunaan antibiotik, maka resistensi P. acnes terhadap antibiotik semakin meningkat. Pasien AV dengan koloni P. acnes yang kurang sensitif terhadap antibiotik memiliki respons terapi yang lebih buruk bila dibandingkan dengan individu dengan mikroorganisme P. acnes yang masih sensitif.6 Penelitian resistensi bakteri sebaiknya dilakukan setidaknya satu kali dalam lima tahun karena resistensi antibiotik dapat berkembang dengan cepat.10 Penelitian mengenai resistensi P. acnes di RSHS pernah dilakukan pada tahun 1986 dan terakhir pada tahun 2006.6,7 Isolasi P. acnes dapat dilakukan dari berbagai BP. Hal ini disebabkan karena populasi P. acnes dapat ditemukan di permukaan kulit maupun di dalam stratum korneum, di infundibulum kelenjar sebaseus, dan di folikel rambut bagian bawah.8 Walaupun banyak anggapan bahwa P. acnes bersifat anaerob, P. acnes yang ditemukan pada kulit tidak sepenuhnya anaerob. Cove dkk.9 mendapatkan bahwa P. acnes dapat menoleransi keberadaan oksigen hingga 100%, walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah. Beberapa peneliti menggunakan teknik apus lesi (swab), dan peneliti lainnya mengambil BP dari materi lesi, baik itu komedo, pustul, maupun papul dengan hasil kepositivan, prevalensi resistensi dan resistensi antibiotik yang berbeda-beda. BP yang berbeda ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.5,10-1 Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat kepositivan kultur P. acnes dari BP permukaan lesi dengan apus kulit, komedo tertutup, dan pustul, serta 16 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 15 - 19 untuk mengetahui resistensi bakteri P.acnes tersebut terhadap lima antibiotik yang digunakan pada pengobatan AV, yaitu tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin, dan eritromisin. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik potong lintang, untuk membandingkan tingkat kepositivan P. acnes dari tiga BP dan uji kepekaan P. acnes dengan metode difusi. Peserta penelitian adalah pasien AV di Poliklinik IK Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) tahun 2014, dengan rentang usia 12 hingga 39 tahun yang dipilih berdasarkan urutan kedatangan pasien (consecutive sampling) sampai terpenuhi besar sampel. Besar sampel berdasarkan perhitungan dengan taraf kepercayaan 95% adalah 50 pasien. Pada setiap pasien dilakukan pengambilan BP untuk identifikasi P. acnes, yaitu dari permukaan kulit dengan apus kulit, komedo tertutup, dan pustul. Kriteria inklusi adalah pasien baru atau lama yang didiagnosis sebagai AV berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, serta memiliki lesi komedo tertutup dan pustul. Tidak terdapat kriteria eksklusi pada penelitian ini. Bahan Penelitian Permukaan lesi kulit diambil dengan cara membersihkan permukaan wajah dengan kapas yang dibasahi NaCl 0,9% kemudian seluruh permukaan kulit wajah pasien diusap dengan sebuah lidi kapas steril yang dicelupkan ke dalam larutan Phosphate buffer pH 7.0 yang mengandung 2% Tween 80. Lidi kapas kemudian dimasukkan ke dalam media transpor. BP dari komedo tertutup dan pustul dipilih secara acak. Pengambilan BP tersebut dilakukan dengan cara membersihkan permukaan lesi dan kulit di sekitarnya menggunakan kapas yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dibiarkan sampai kering. Komedo tertutup dan pustul kemudian ditusuk dengan menggunakan jarum steril berukuran 26 G. Isi komedo tertutup dan pustul dikeluarkan dengan cara menekan lesi menggunakan ekstraktor komedo steril. Isi komedo dan pus yang keluar diusap dengan menggunakan lidi kapas steril dan dimasukkan ke dalam media transport. Kultur, Identifikasi, dan Uji Kepekaan P. acnes Bahan pemeriksaan dikirim ke laboratorium untuk dilakukan kultur bakteri dalam media agar darah. Koloni bakteri tersangka berupa koloni berwarna putih, kekuningan, atau putih keabuan, permukaan halus dan berkilat dengan diameter 1-2 mm. Identifikasi P. acnes kemudian dilakukan secara otomatis dengan mesin MDVI Vitek® 2 dengan cara membuat suspensi koloni bakteri dalam Fluid thioglycolate medium (FTM) dengan kekeruhan Mc Farland 0,5. Suspensi bakteri dimasukkan ke dalam mesin Vitek® 2 yang mengandung berbagai uji biokimia untuk identifikasi bakteri. Hasil pembacaan berupa kertas cetakan yang bertuliskan bakteri yang teridentifikasi. Uji kepekaan dilakukan dengan metode disc diffusion. Suspensi koloni bakteri dalam FTM dengan kekeruhan Mc Farland 0,5 dioleskan secara merata pada media agar Muller Hinton. Cakram antibiotik tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, klindamisin, dan eritromisin diletakkan dengan meggunakan pinset steril. Media agar kemudian diinkubasi dalam anaerobic jar. Hasil uji kepekaan dibaca dengan melihat dan mengukur lingkaran zona hambat di sekitar cakram antibiotik setelah 24 jam. Penilaian hasil uji kepekaan dilakukan berdasarkan standar Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI). Data perbandingan angka kepositivan P. acnes dengan BP apusan kulit, komedo tertutup, dan pustul dianalisis secara statistik menggunakan uji Cochran. Hasil dinyatakan bermakna secara statistik bila p<0,05. HASIL PENELITIAN Karakteristik pasien AV berdasarkan jenis kelamin, umur dan pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 1. Peserta penelitian berjumlah 50 orang, sebagian besar adalah perempuan (58%). Usia pasien terbanyak berada pada kelompok usia 20-24 tahun (36%). Sebagian besar pasien berpendidikan terakhir setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (62%). Tabel 1. Karakteristik Pasien Akne Vulgaris di Poliklinik IKKK RSHS tahun 2014 (n=50) Karakteristik Jumlah (N=50) N % Jenis Kelamin Laki-laki 21 42 Perempuan 29 58 Kelompok Usia (tahun) 10-14 2 4 15-19 14 28 20-24 18 36 25-29 8 16 30-34 5 10 3 6 ≥ 35 Pendidikan SD 4 8 SMP 4 8 SMA 31 62 D3 3 6 S1 7 14 S2 1 2 Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 125 -128 Hasil isolasi P. acnes dari 50 BP permukaan lesi kulit ditemukan positif pada 35 sampel (70%), dari komedo tertutup positif pada 33 sampel (66,7%), sedangkan dari putul, ditemukan positif pada 30 sampel (60%) (Gambar 1). Gambar 1. Tingkat kepositivan P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul pada 50 pasien AV di Poliklinik IKKK RSHS tahun 2014. Tingkat kepositivan BP apusan kulit, komedo tertutup, dan pustul dianalisis secara statistik dengan uji Cochran untuk data kategorik berpasangan. Hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan angka kepositivan tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,593). Pada BP permukaan kulit, resistensi didapatkan pada 24 pasien dari 35 pasien dengan hasil kultur P. acnes positif, dengan kata lain, prevalensi resistensi adalah sebesar 68,6%. Pada BP komedo tertutup dan pustul, resistensi secara berturut-turut didapatkan pada 22 pasien dari 33 pasien (prevalensi resistensi 66,7%) dan 20 dari 30 pasien (prevalensi resistensi 66,7%). Resistensi P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul dapat dilihat pada Gambar 2. Persentase resistensi P. acnes dari tiga BP pada penelitian ini memiliki hasil yang sama, yaitu terendah pada doksisiklin, diikuti oleh tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, dan paling tinggi terhadap klindamisin. Gambar 2. Resistensi P. Acnes terhadap doksisiklin, tetrasiklin, minosiklin, eritromisin, dan klindamisin pada pasien AV di Poliklinik IKKK RSHS tahun 2014. 17 MDVI PEMBAHASAN Tingkat kepositivan P. acnes masing-masing BP pada penelitian ini adalah 70% pada BP permukaan lesi kulit, 66,7% pada komedo tertutup, dan 60% pada pustul. Secara statistik tidak ditemukkan adanya perbedaan angka kepositivan yang bermakna antara ketiga BP tersebut. Pengambilan BP P. acnes dapat dilakukan dari permukaan kulit dan dari folikel pilosebaseus (komedo, papul, dan pustul).10 Pengambilan dari permukaan kulit dapat menggunakan teknik apusan, kerokan,12 atau teknik Williamson dan Kligman.9 Tingkat kepositivan pengambilan sampel dari apus permukaan berkisar 5393,7%.13-4 Pengambilan sampel mikroorganisme dari permukaan kulit lebih mudah dibandingkan dengan pengambilan sampel mikroorganisme dari folikel serta dapat sekaligus mengambil beberapa area folikel. Walaupun BP diambil dari permukaan kulit, tetapi habitat mikroorganisme tersebut adalah di folikel.11 BP yang diambil dengan apus dari seluruh permukaan wajah, mengandung organisme yang berasal dari banyak folikel, sehingga pengambilan bahan pemeriksaan permukaan dari area kulit yang luas direkomendasikan untuk menilai prevalensi resistensi propionibacteria pada kulit.10 Pengambilan sampel dari komedo, papul, atau pustul dapat menggunakan biopsi plong, teknik pengambilan dengan sianoakrilat,12 ekstraksi komedo, atau ekstraksi pustul.10 Metode ekstraksi pustul dan ekstraksi komedo memiliki keuntungan, yaitu mudah dilakukan dan dapat mengisolasi P. acnes yang berada di folikel pilosebaseus, namun hanya mewakili satu folikel. Tingkat kepositivan pengambilan BP dengan metode ekstraksi komedo berkisar 55-92%, sementara ekstraksi pustul berkisar 7396%. Penelitian resistensi P. acnes di RSHS dilakukan dengan BP pustul, dan didapatkan tingkat kepositivan 100% pada tahun 1986 dan 61% pada tahun 2006.6,7 Beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat kepositivan P. Acnes, antara lain kepadatan P. acnes,11-15 lokasi pengambilan sampel,16 usia pasien,15 dan faktor biofilm P. acnes.8 Masing-masing folikel pilosebaseus dapat memiliki lingkungan mikro yang berbeda satu sama lain, sehingga memengaruhi kolonisasi P. acnes.11 Semakin padat P. acnes maka kemungkinan mendapatkan isolat yang positif akan semakin tinggi.16 Kepadatan P. acnes dipengaruhi pula oleh lokasi tubuh.9,15 Area dengan kepadatan kelenjar sebaseus yang tinggi, misalnya wajah, dada, dan punggung merupakan tempat yang subur untuk pertumbuhan P. acnes.17 Pada penelitian ini, seluruh BP diambil dari wajah. Teknik pengambilan BP tidak berbeda dengan kuman lain, karena walaupun banyak terdapat anggapan bahwa P. acnes bersifat anaerob, P. acnes yang ditemukan pada kulit tidak sepenuhnya anaerob. Dari penelitian oleh Cove dkk.9 didapatkan hasil bahwa P. acnes dapat mentoleransi 18 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 15 - 19 keberadaan oksigen hingga 100%, walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah. Usia pasien juga memengaruhi tingkat kepadatan P. acnes. Miura dkk.15 (2010) melaporkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun memiliki tingkat kepadatan P. acnes tertinggi. Pada satu literatur disebutkan, pada usia pubertas, terjadi pematangan unit pilosebaseus sehingga meningkatkan jumlah mikroorganisme lipofilik, misalnya P. acnes.17 Pada penelitian ini kelompok usia terbanyak adalah 20-24 tahun (Tabel 1) yang sudah melewati puncak masa pubertas sehingga kemungkinan menurunkan tingkat kepositivan P. acnes. Keberadaan biofilm P. acnes juga dapat menurunkan kepositivan P. acnes dari lesi komedo tertutup dan pustul. Biofilm melekat secara ireversibel pada dinding folikel rambut, sehingga pengambilan BP untuk isolasi P. acnes yang membentuk biofilm tersebut kemungkinan akan gagal.8 Pada penelitian ini, BP dari permukaan kulit, komedo tertutup, dan pustul mempunyai tingkat kepositivan yang tidak berbeda secara bermakna. Prevalensi resistensi P. acnes terhadap berbagai antibiotik telah banyak dilaporkan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi, yaitu 91% di Eropa,18 31% di Iran,19 dan 9% di Australia.20 Prevalensi resistensi pada penelitian ini, dari BP permukaan kulit 68,6%, komedo tertutup 66,7%, dan pustul 66,7%. Resistensi P. acnes terhadap antibiotik dari ketiga BP didapatkan serupa, yaitu tertinggi terhadap klindamisin, diikuti eritromisin, minosiklin, tetrasiklin, dan terendah terhadap doksisiklin. Di RSHS, Soedarwoto pada tahun 1986 mendapatkan resistensi terhadap tetrasiklin dan kloramfenikol masing-masing sebesar 3,33%, sedangkan pada klindamisin dan eritromisin tidak didapatkan resistensi.6 Nurwulan (2006) mendapatkan resistensi terhadap tetrasiklin sebesar 12,9%, eritromisin 45,2%, dan klindamisin 61,3%. Pada doksisiklin dan minosiklin tidak didapatkan resistensi.7 Pada satu pasien dapat ditemukan resistensi antibiotik yang berbeda dengan BP yang berbeda. Hal ini disebabkan masing-masing lesi AV dapat diumpamakan sebagai infeksi folikel yang terpisah. Satu lesi dapat mengandung galur P. acnes yang resisten, sementara lesi yang lain mengandung galur yang sensitif.10 Resistensi P. acnes tertinggi didapatkan pada klindamisin diikuti eritromisin. Resistensi P. acnes pertama kali ditemukan terhadap eritromisin dan klindamisin pada tahun 1979.21 Tang dkk. (2012)22 Moon dkk. (2012),23 serta Luk dkk. (2011)24 menyebutkan bahwa resistensi terhadap klindamisin adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan antibiotik lain, diikuti oleh eritromisin. Moon dkk. (2012)23 menyatakan bahwa klindamisin topikal merupakan obat over the counter (OTC) yang paling sering digunakan untuk mengobati AV sehingga MDVI resistensinya ditemukan paling tinggi. Tetrasiklin dan minosiklin jarang diberikan sebagai terapi antibiotik AV, tetapi resistensi kemungkinan dapat disebabkan adanya resistensi silang dengan doksisiklin.24,25 Pada penelitian ini, doksisiklin merupakan antibiotik yang angka resistensinya paling rendah (<10%). Doksisiklin merupakan antibiotik pilihan utama untuk terapi AV karena berbagai penelitian menyebutkan angka resistensi yang masih rendah.21-24 Berdasarkan IAEM, doksisiklin merupakan terapi oral lini pertama untuk AV derajat sedang dan berat sehingga di RSUP Dr. Hasan Sadikin doksisiklin diberikan kepada sebagian besar pasien AV yang membutuhkan antibiotik. Hal ini kemungkinan menjadi penyebab mulai timbulnya resistensi terhadap doksisiklin. Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 125 -128 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. PENUTUP Tidak terdapat perbedaan tingkat kepositivan kultur P. acnes dari permukaan lesi kulit, komedo tertutup, dan pustul. Hasil uji kepekaan P. acnes dari ketiga BP tersebut juga didapatkan serupa. Berdasarkan hasil tersebut, ketiga BP sama baiknya dalam mengisolasi P. acnes dari lesi AV dan dalam menilai resistensi. Doksisiklin masih dapat digunakan sebagai pilihan utama terapi antibiotik pada pasien AV, sedangkan tetrasiklin dan minosiklin dapat digunakan sebagai terapi alternatif. Klindamisin dan eritromisin sebaiknya dipertimbangkan kembali penggunaannya karena memiliki angka resistensi yang lebih tinggi. 17. 18. 19. 20. 21. 22. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Layton AM. Disorders of sebaceous glands. Dalam: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. New-Jersey: Willey-Blackwell; 2010. h.42.188. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM. Acne vulgaris and acneiform eruptions. Dalam: Goldsmith AL, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h.897-917. Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia. Indonesian acne expert meeting 2012. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Dreno B, Bettoli V, Ochsendorf F, dkk. European recommendations on the use of oral antibiotics for acne. Eur J Dermatol. 2004;14:391-9. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Panduan Praktik Klinik. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. RS DR. Hasan Sadikin FK Universitas Padjadjaran. Bandung. 2013. Soedarwoto AD. Resistensi Propionibacterium acnes terhadap berbagai antibiotika. Bandung: Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Universitas Padjadjaran; 1986. Nurwulan F. Kepekaan Propionibacterium acnes terhadap beberapa antibiotik pada penderita akne vulgaris. Bandung: Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Universitas Padjadjaran; 2006. Alexeyev OA, Jahns A. Sampling and detection of skin Propionibacterium acnes: current status. Anaerobe. 2012;18:479-83. Cove JH, Holland KT, Cunliffe WJ. Effects of oxygen concentration on biomass production, maximum spesific growth rate and 23. 24. 25. extracellular enzyme production by three species of cutaneous Propionibacteria grown in continuous culture. J Gen Microbiol. 1983;129:3327-34. Eady AE Cove JH, Layton AM. Is antibiotic resistance in cutaneous propionibacteria clinically relevant? Am J Clin Dermatol. 2003;4:81331. Shaheen B, Gonzales M. A microbial aetiology of acne: what is the evidence? Br J Dermatol.2011;165:474-85. Zouboulis CC, Piquerro-Martin J. Update and future of systemic acne treatment. Dermatol. 2003;206:37-53. Burkhart CN, Burkhart CG. Microbiology's principle of biofilms as a major factor in the pathogenesis of acne vulgaris. Int J Dermatol. 2003;42:925-27. Webster GF. Overview of the pathogenesis of Acne. Dalam: Webster GF, penyunting. Acne and its therapy. New York: Informa Healthcare; 2007. Miura Y, Ishige I, Soejima N, Suzuki Y, Uchida K, Kawana S, dkk. Quantitative PCR of Propionibacterium acnes DNA in samples aspirated from sebaceous follicles on the normal skin of subjects with or without acne. J Med Dent Sci. 2010; 57:65-74. Coates P, Vyakarnm S, Eady EA, Jones CE, Cove JH, Cunliffe WJ dkk. Prevalence of antibiotic-resistant propionibacteria on the skin of acne patients: 10-year surveillance data and snapshot distribution study. Br J Dermatol. 2002;146: 840-48. Grice EA, Segre JA. The skin microbiome. Nature. 2011;9:244-53. Ross JI, Snelling AM, Carnegie E, Coates P, Cunliffe WJ, Bettoli V, dkk. Clinical and laboratory investigations antibiotic-resistant acne: lessons from Europe. Br J Dermatol. 2003;148:467-78. Zandi S, Vares B, Abdollahi H. Determination of microbial agents of acne vulgaris and Propionibacterium acnes antibiotic resistance in patients referred to dermatology clinics in Kerman, Iran. Jundishapur J Microbiol. 2011;4:17-22. Toyne H, Webber C, Collignon P, Dwan K, Kljakovic M. Propionibacterium acnes (P. acnes) resistance and antibiotic use in patients attending Australian general practice. Aus J Dermatol. 2012;53:106-11. Eady EA, Jones C, Tipper JL, Cove JH, Cunliffe WJ, Layton AM dkk. Antibiotic resistant propionibacteria in acne: need for policies to modify antibiotic usage. Br Med J. 1993;306:555-6. Tang JJ, Heng A, Chan LC, Tang MM, Rhosidah B. Antibiotic sensitivity of propionibacterium acnes isolated from patients with acne vulgaris in Hospital Kuala Lumpur, Malaysia. Mal J Dermatol. 2012;28:1-8. Moon SH, Roh HS, Kim YH, Kim JE, Ko JY. Antibiotic resistance of microbial strains isolated from Korean acne patients. J Dermatol.2012; 39:833-7. Luk NMT, Hui M, Lee CS, Fu LH, Liu ZH, Lam LY, dkk. Antibioticresistant Propionibacterium acnes among acne patients in a regional skin centre in Hong Kong. JEADV. 2011;27:31-6. Eady EA, Gloor M, Leyden JJ. Propionibacterium acnes resistance: a worldwide problem. Dermatol. 2003;206:54-6. 19 Artikel Asli INSIDENS PENYAKIT KULIT DI DIVISI DERMATOLOGI GERIATRI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2008-2013 Lili Legiawati, Shannaz Nadia Yusharyahya, Sri Adi Sularsito, Nessya Dwi Setyorini Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK. Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangkunkusumo Jakarta ABSTRAK Jumlah penduduk usia lanjut diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Hal tersebut berakibat pada semakin banyaknya masalah kesehatan yang timbul pada populasi tesebut. Saat ini belum terdapat data insidensi penyakit kulit di Divisi Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui insidensi penyakit kulit di divisi Dermatologi Geriatri poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2008-2013. Metode penelitian retrospektif menggunakan catatan rekam medik pasien kunjungan poliklinik. Seluruh pasien berusia 60 tahun atau lebih dengan kelainan kulit dimasukkan dalam penelitian. Terdapat 2343 pasien, laki-laki 43,5% dan wanita 56,5%. Kategori umur terbanyak adalah usia 60-65 tahun (53,1%). Sepuluh kasus terbanyak adalah dermatitis (28,85%), diikuti tumor kulit (17,50%), kelainan kosmetik (12,46%), penyakit infeksi (10,50%), xerosis cutis (6,27%), pruritus (5,42%), kelainan apendiks kulit (4,95%), dermatosis eritroskuamosa (4,27%), alergi dan erupsi obat alergik (4,05%), dan ulkus (1,71%). Dermatitis kontak iritan merupakan kasus dermatitis terbanyak (26,18% dari seluruh kasus dermatitis). Riwayat penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi (22,34%). Penelitian ini menggambarkan insidensi penyakit kulit pasien di divisi Dermatologi Geriatri poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008-2013. Pola lima penyakit terbanyak hampir sama dari tahun ke tahun, yaitu dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit infeksi, dan xerosis cutis. Kata kunci: insidens, dermatologi geriatri INCIDENCE SKIN DISEASE IN GERIATRIC DERMATOLOGY DIVISION DERMATOVENEREOLOGY OUT PATIENT CLINIC DR. CIPTO MANGUNKUSUMO GENERAL HOSPITAL YEAR 2008-2013 ABSTRACT It is estimated that geriatric population will be doubled in 2025. That increased number of population will result in more health problems occurred in elderly. Until now, there are no incidence data of dermatological problem in Geriatric Dermatology Division in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Purpose to understand the incidence of dermatological conditions at geriatric dermatology division, dermatovenerology out patient clinic in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2008-2013. Methods this is a retrospective study using outpatients medical records. All patients which were 60 years old or more with dermatological problems who were consulted to the clinic in the period of six years (2008–2013) were enrolled in this study. There were 2343 subjects enrolled, male 43,5% and female 56,5%. Most patients were in 60-65 years old group (53,1%). The most cases were dermatitis (28,85%), followed by skin tumor (17,50%), cosmetic disorders (12,46%), infectious disease (10,50%), xerosis cutis (6,27%), pruritus (5,42%), appendages disorder (4,95%), eritrosquamous dermatosis (4,27%), allergic condition and eruption (4,05%), and ulcer (1,71%). Irritative contact dermatitis was the most dermatitis case (26,18% of all dermatitis case).The most comorbidity found in the subjects was hypertension (22,34%). This study depicted the incidence of dermatological conditions of patients at geriatric dermatology division dermatovenerology out patient clinic in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2008-2013. The 5 most skin diseases were almost the same year by year, they were dermatitis, skin tumor, cosmetic disorder, infectious disease, and xerosis cutis. Key words: incidence, geriatric dermatology Korespondensi: Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp. 021-31935383 Email: [email protected] 20 L. Legiawati, dkk PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia, jumlah populasi penduduk usia lanjut pun meningkat. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk usia lanjut terbanyak di dunia, yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada tahun 2010 atau 9,6% dari jumlah penduduk. Menurut data Kementrian Kesehatan, tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan usia harapan hidup dari 70,6 tahun pada 2010 menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur usia penduduk. Menurut proyeksi Bappenas, jumlah penduduk usia lanjut 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18,1 juta jiwa pada 2010 menjadi dua kali lipat, yakni 36 juta jiwa pada 2025.1 Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut dapat berakibat pada semakin banyaknya masalah kesehatan yang timbul pada populasi tersebut. Adanya perubahan degeneratif dan metabolik yang terjadi pada berbagai lapisan kulit selama proses penuaan mengakibatkan pasien usia lanjut lebih rentan terhadap bermacam kondisi. Penyakit sistemik, faktor kebersihan diri, status sosial ekonomi, iklim dan cuaca, warna kulit, jenis kelamin, nutrisi, budaya, dan beberapa kebiasaan, misalnya merokok dan minum minuman beralkohol juga berperan terhadap kondisi kulit pasien usia lanjut. Berbeda dengan pasien muda, stres fisis atau psikososial yang relatif ringan dapat memicu timbulnya penyakit akut pada pasien geriatri.2 Diagnosis dan penanganan penyakit kulit pada pasien usia lanjut merupakan tantangan tersendiri bagi para klinisi. Seringkali pasien geriatri datang dengan beberapa masalah kesehatan (multipatologi). Pada pasien geriatri umumnya telah terjadi berbagai penyakit kronis, fungsi organ-organ yang menurun, dan penurunan status fungsional (disabilities). Banyaknya obat yang dikonsumsi oleh pasien justru membahayakan tubuh mereka karena berbagai fungsi organ yang telah mengalami penurunan. Selain itu manifestasi klinis penyakit kulit pada pasien geriatri dapat berbeda atau tidak khas seperti pada pasien muda.3 Penyakit kulit pada populasi usia lanjut bervariasi antar negara. Penelitian yang dilakukan pada 4009 pasien geriatri di Turki pada tahun 2005 menunjukkan bahwa dermatitis adalah penyakit yang paling sering ditemukan, diikuti oleh infeksi jamur, pruritus, infeksi bakteri, dan infeksi virus. Di Singapura pada tahun 1990, xerosis kutis dan dermatosis asteatotik adalah penyakit yang paling sering, diikuti oleh skabies, infeksi bakteri, dan dermatitis eksem. Di Taiwan pada tahun 2001, penyakit kulit pada pasien geriatri yang paling sering ditemukan adalah Insidens penyakit kulit geriatri eksem, diikuti oleh infeksi jamur, xerosis, tumor jinak, dan infeksi virus.2 Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian deskriptif mengenai pola kunjungan penyakit kulit dan kelamin pada pasien geriatri di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui insidens penyakit kulit dan kelamin di divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama tahun 2008-2013. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi sarana pelayanan kesehatan dalam mengurangi angka morbiditas penyakit kulit dan kelamin pada pasien geriatri. Data dan informasi dari penelitian ini dapat pula digunakan untuk membantu penelitian lebih lanjut. METODE Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bagian Rekam Medis RSUPN Cipto Mangunkusumo. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Subjek penelitian adalah seluruh pasien Dermatovenereologi yang berusia di atas atau sama dengan 60 tahun dengan kelainan kulit dan/atau kelamin yang berobat atau yang dikonsulkan ke divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam kurun waktu enam tahun (Januari 2008- Desember 2013). Data penelitian dikumpulkan dari dokumen rekam medis dan dicatat dalam formulir penelitian. Kemudian data yang telah rampung disusun dalam bentuk tabel dan diolah menggunakan IBM SPSS Statistic v20. Analisis dilakukan menggunakan analisis deskriptif dengan membuat tabel, diagram batang, dan diagram cakram yang mencakup frekuensi dan persentase sampel berdasarkan tahun kunjungan, jenis kelamin, dan kelompok umur. HASIL Variabel demografis yang didata pada 2343 pasien di divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM adalah distribusi tahun kunjungan, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Tabel 1 berikut menunjukkan data sosiodemografis subyek penelitian. 21 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26 MDVI Tabel 1. Data sosiodemografis pada pasien geriatri yang menjadi subjek penelitian penyakit kulit di poliklinik dermatologi Geriatric FKUI/RSCM 2008-2013 Frekuensi (n) Persen (%) Jumlah pasien 2343 100.0 Tahun kunjungan 2008 381 16.3 2009 360 15.4 2010 466 19.9 2011 439 18.7 2012 362 15.5 2013 335 14.3 Jenis kelamin Perempuan 1324 56.5 Laki-laki 1019 43.5 Umur 60-65 tahun 1243 53.1 66-70 tahun 551 23.5 71-75 tahun 276 11.8 76-80 tahun 183 7.8 >80 tahun 90 3.8 Pendidikan Tidak diketahui 1363 58.2 SD/SMP/SMA 609 26.0 D3/S1/S2/S3 312 13.3 Tidak sekolah 59 2.5 Pekerjaan Ibu rumah tangga 820 35.0 Tidak bekerja/pensiunan 734 31.3 Tidak diketahui 381 16.3 Pegawai swasta/wiraswasta 286 12.2 Dosen/guru 57 2.4 Pegawai negeri sipil (PNS) 29 1.2 Lain-lain (petani, berkebun, buruh, supir, pendeta) 24 1.0 Bidan/dokter/petugas kesehatan 12 0.5 Jumlah kasus yang didapatkan di divisi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Januari 2008 sampai Desember 2013 adalah sebanyak 18 kelompok diagnosis, yang terdiri atas 2343 kasus. Delapan belas kelompok diagnosis tersebut adalah dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit infeksi, xerosis kutis, pruritus, kelainan apendiks kulit, dermatosis eritroskuamosa, alergi dan erupsi obat alergik, ulkus, infeksi menular seksual, inflamasi, gigitan serangga, kelainan metabolik, penyakit jaringan ikat, gangguan vaskular, dermatosis Gambar 1. 22 Diagram jumlah subjek pada tiap kelompok diagnosis penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri RSCM 2008-2013 vesikobulosa, dan kelompok lain-lain. Dari delapan belas kelompok tersebut didapatkan sepuluh kelompok diagnosis terbanyak, yaitu dermatitis (676 kasus; 28,85%), tumor kulit (410 kasus; 17,5%), kosmetik (292 kasus; 12,46%), infeksi (246 kasus; 10,5%), xerosis kutis (147 kasus; 6,27%), pruritus (127 kasus; 5,42%), kelainan adneksa kulit (116 kasus; 4,95%), dermatosis eritroskuamosa (100 kasus; 4,27%), alergi dan erupsi obat alergik (95 kasus; 4,05%), dan ulkus (40 kasus; 1,71%). Kasus lain selain sepuluh kelompok diagnosis tersebut berjumlah total 94 kasus (4,01%). Dari tiap kelompok diagnosis, didata lima diagnosis terbanyak (tabel 2). Gambar 2. Diagram cakram persentase tiap-tiap kelompok diagnosis penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri RSCM 2008-2013 L. Legiawati, dkk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Insidens penyakit kulit geriatri Tabel 2. Lima Diagnosis Terbanyak dari Tiap Kelompok Diagnosis penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri FKUI/RSCM 2008-2013 Kelompok diagnosis Diagnosis Frekuensi Dermatitis Tumor kulit Kosmetik Infeksi Xerosis Cutis Pruritus Kelainan adneksa kulit Dermatosis eritroskuamosa Alergi & Erupsi obat alergik Ulkus Dermatitis kontak iritan 177 Liken simpleks kronik/Neurodermatitis 154 Dermatitis seboroik 136 Dermatitis atopi 47 Dermatitis numularis 47 Keratosis seboroik 222 Fibroma mole 31 Kista 24 Hiperplasia sebasea 14 Kalus 14 Hiperpigmentasi pascainflamasi 61 Melasma 51 Lentigo senilis 33 Vitiligo 31 Aging skin 29 Kandidosis kutis 39 Verucca vulgaris/filiformis 32 Infeksi sekunder 31 Tinea (fasialis, corporism cruris, pedis, manus) 26 Morbus hansen 24 Xerosis cutis Pruritus ec xerosis kutis 147 79 Pruritus senilis 23 Pruritus ec systemic diseases 9 Pruritus vulva 5 Pruritus skrotalis 3 Miliaria 52 Onikomikosis 33 Paronikia 13 Alopecia 9 Onikodistrofi 4 Psoriasis (-gutata, -inversa, -vulgaris, -skalp, sebo-) 51 Eritroderma 26 Pitiriasis sika 7 Pitiriasis rosea 6 Psoriasis pustulosa generalisata 3 Urtikaria 39 Erupsi obat alergik 36 Angioedema 16 HyperIgE 3 Sindrom Stevens Johnson 1 Ulkus 40 23 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26 MDVI Data menunjukkan terdapat 10 kelompok diagnosis terbanyak dengan pola yang kurang lebih serupa setiap tahunnya. Tabel 3, 4, dan 5 menunjukkan sepuluh kelompok diagnosis terbanyak berdasarkan kunjungan, kelompok umur, dan jenis kelamin. Tabel 3. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Tahun Kunjungan pada 2008-2013 Frekuensi (n) No Kelompok Diagnosis Total 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Dermatitis 118 108 144 115 96 95 676 2 Tumor kulit 79 63 80 84 62 42 410 3 Kosmetik 50 56 60 51 43 32 292 4 Infeksi 27 39 57 45 38 40 246 5 Xerosis cutis 21 22 24 26 35 19 147 6 Pruritus 15 9 32 22 21 28 127 7 Kelainan adneksa kulit 18 19 23 22 20 14 116 8 Dermatosis eritroskuamosa 15 17 13 23 14 18 100 9 Alergi & erupsi obat alergik 11 11 17 18 15 23 95 10 Ulkus 8 7 6 9 4 6 40 11 Lain-lain 19 9 10 24 14 18 94 Total 381 360 466 439 362 335 2343 Tabel 4. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Umur pada Tahun 2008-2013 Umur No Kelompok Diagnosis Total 60-65 tahun 66-70 tahun 71-75 tahun 76-80 tahun >80 tahun 1 Dermatitis 359 162 77 48 30 676 2 Tumor kulit 212 105 60 25 8 410 3 Kosmetik 193 51 26 21 1 292 4 Infeksi 119 66 29 19 13 246 5 Xerosis cutis 73 29 18 14 13 147 6 Pruritus 45 34 15 20 13 127 7 Kelainan adneksa kulit 66 29 8 10 3 116 8 Dermatosis eritroskuamosa 48 24 19 4 5 100 9 Alergi & erupsi obat alergik 57 20 10 7 1 95 10 Ulkus 23 7 5 4 1 40 11 Lain-lain Total 48 24 9 11 2 94 1243 551 276 183 90 2343 Tabel 5. Jumlah Kasus Terbanyak Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tahun 2008-2013 Jenis Kelamin No 24 Kelompok Diagnosis Total 1 Dermatitis Laki-laki 348 2 Tumor kulit 144 266 410 3 Kosmetik 63 229 292 4 Infeksi 139 107 246 5 Xerosis cutis 78 69 147 6 Pruritus 52 75 127 7 Kelainan adneksa kulit 28 88 116 8 Dermatosis eritroskuamosa 56 44 100 9 Alergi & erupsi obat alergik 41 54 95 10 Ulkus 24 16 40 11 Lain-lain 46 48 94 1019 1324 2343 Total Perempuan 328 676 tahun L. Legiawati, dkk Insidens penyakit kulit geriatri Pada subjek penelitian, didapatkan pula data komorbiditas. Tabel 6 merupakan data sepuluh riwayat penyakit aHipertensi menempati komorbiditas terbanyak, yaitu didapatkan pada 462 subjek Tabel 6 Komordibitas pada subjek penelitian penyakit kulit di poliklinik dermatologi geriatri FKUI/RSCM 2008-2013 No Riwayat Penyakit Penyerta Jumlah 1 Hipertensi 462 2 Tidak Ada 423 3 Atopi 366 4 Diabetes melitus 257 5 Dislipidemia 201 6 Gangguan jantung 125 7 Gangguan muskuloskeletal 92 8 Gangguan gastrointestinal 92 9 Hiperurisemia 84 10 Penyakit ginjal & saluran kemih 76 DISKUSI Terdapat 2343 diagnosis kulit pada geriatri yang terdata di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin selama periode enam tahun, yaitu dari Januari 2008 sampai Desember 2013. Seluruh pasien usia 60 tahun atau lebih dengan kelainan kulit dimasukkan dalam penelitian. Tahun 2010 merupakan tahun dengan kunjungan pasien geriatri dengan diagnosis kelainan kulit terbanyak (19,9%). Dominasi pasien adalah jenis kelamin perempuan dengan rasio perempuan : laki-laki sebesar 1,3:1. Kelainan kulit mayoritas dialami oleh kelompok umur 60-65 tahun (53,1%). Kasus tersebut dialami terbanyak pada kelompok ibu rumah tangga dan pensiunan/tidak bekerja (35,0% dan 31,3%), serta pada kelompok pendidikan dasar sampai menengah (26,0%). Sepuluh kasus terbanyak adalah dermatitis (28,85%), diikuti tumor kulit (17,50%), kelainan kosmetik (12,46%), penyakit infeksi (10,50%), xerosis cutis (6,27%), pruritus (5,42%), kelainan apendiks kulit (4,95%), dermatosis eritroskuamosa (4,27%), alergi dan erupsi obat alergik (4,05%), serta ulkus (1,71%). Dermatitis kontak iritan, neurodermatitis, dan dermatitis seboroik merupakan tiga kasus dermatitis terbanyak (26,18%; 22,778%; dan 20,12% dari seluruh kasus dermatitis). Keratosis seboroik merupakan kasus tumor kulit terbanyak (54.15% dari seluruh kasus tumor kulit). Pada kelompok kosmetik, hiperpigmentasi pascainflamasi (20,89% dari keluhan kosmetik) dan melasma (17,47% dari keluhan kosmetik) merupakan dua diagnosis terbanyak. Sedangkan, pada kelompok infeksi, diagnosis kandidosis kutis, veruka, dan infeksi sekunder merupakan tiga penyakit terbanyak (15,85%; 13,01%; dan 12,6% dari seluruh kasus infeksi kulit). Infeksi jamur yang merupakan infeksi terbanyak tersebut mungkin pengaruh dari faktor iklim tropis dan higienitas pasien. Pola lima penyakit terbanyak hampir sama dari tahun ke tahun, yaitu dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit infeksi, dan xerosis cutis. Demikian pula kelima penyakit tersebut juga menempati lima penyakit terbanyak pada setiap kelompok umur, akan tetapi persentase pruritus dalam tiap kelompok umur meningkat dengan bertambahnya usia (3,62% pada kelompok 60-65 tahun; 6,17% pada kelompok 66-70 tahun; 5,43% pada kelompok 71-75 tahun; 10,93% pada kelompok 76-80 tahun; 14,44% pada kelompok >80 tahun). Pola lima penyakit terbanyak pada perempuan adalah dermatitis (328/1324), tumor kulit (266/1324), kosmetik (229/1324), infeksi (107/1324), dan kelainan apendiks kulit (88/1324). Sedangkan, pada laki-laki adalah dermatitis (348/1019), tumor kulit (144/1019), infeksi (139/1019), xerosis cutis (78/1019), dan kosmetik (63/1019). Riwayat penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi, yaitu sebanyak 462% pasien mengalaminya. Sedangkan, 423% pasien tidak memiliki riwayat penyakit penyerta apapun. Selain itu, terdapat riwayat penyakit atopi, diabetes mellitus, dislipidemia, gangguan jantung, gangguan muskuloskeletal, gangguan gastrointestinal, hiperurisemia, serta penyakit ginjal dan saluran kemih sebagai sepuluh riwayat penyakit penyerta terbanyak pada subyek. Sebuah studi di Taiwan oleh Liao YH (2001)4 pada pasien lanjut usia yang berkunjung ke poliklinik Dermatologi National Taiwan University Hospital pada 1993-1999 menunjukkan bahwa kelainan kulit terbanyak adalah dermatitis (58,7%), infeksi jamur (38,0%), pruritus (14,2%), tumor jinak (12,8%), dan infeksi virus (12,3%). Studi lain yang dilakukan oleh Smith DR dkk (2002)5 di panti jompo di Taiwan selatan antara November 1999 sampai Februari 2000 menunjukkan lebih dari setengah pasien mengalami infeksi jamur (61,6%) dan xerosis (58,3%), sedangkan penyakit kulit pruritik lain, seperti dermatitis dan scabies menempati persentase 7,3% dan 3,3%. Studi yang dilaksanakan di Tunisia oleh Souissi A et al (2006)6 pada 1518 pasien geriatri di klinik kulit selama satu tahun (Juni 1999 s/d. Juli 2000) menunjukkan bahwa infeksi jamur merupakan penyakit kulit terbanyak (16,9%), diikuti oleh tumor (12,8% di mana 63,3%-nya adalah tumor jinak), dermatitis (11,9%), anomali keratinisasi (8,7%), infeksi bakteri (8,7%), infeksi viral (6,8%), dan pruritus (6,4%). Studi di Kroasia oleh Cvitanović H dkk (2010)7 pada 3200 pasien geriatri mendapatkan hasil berupa diagnosis terbanyak adalah 25 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 20 - 26 MDVI keratosis aktinik (22,38%), dermatitis seboroik (18,98%), dermatitis numularis (9,37%), dermatitis kontak alergik dan iritan (7,3%), mikosis (6,81%), psoriasis (6,20%), veruka vulgaris (4,74%), fibroma (3,28%), nevus (1,09%), dan akne (0,12%). Sebuah studi multisenter di Jepang oleh (Furue M dkk, (2011)8, yang melibatkan 69 rumah sakit universitas, 45 rumah sakit distrik, dan 56 klinik swasta, menunjukan bahwa kelainan kulit terbanyak pada populasi geriatri adalah eksema, dermatitis atopik, tinea pedis, Uritkaria/angioedema, tinea unguium, kutil virus, psoriasis, dermatitis kontak akne, dermatitis seboroik, eksema tangan, tumor jinak kulit, alopesia areata, herpes zoster/postherpetic neuralgia, ulkus nondiabetikum, prurigo, kista epidermal, ain di Nepal oleh Thapa DP, dkk (2012)9 pada 6442 pasvitiligo vulgaris, keratosis seboroik, dan erupsi obat/toksikoderma. Studi lain di Nepal oleh Thapa DP, dkk (2012)9 pada 6442 pasien geriatric pada 2010-April 2011 menunjukan dermatosis terbanyak adalah dermatitis 35,8%, infeksi jamur 13,6%, infeksi virus 7%, pruritus 7,3%, skabies dan fotodermatitis masing-masing 4,5%, kelainan papuloskuamosa 3,3%, infeksi bakteri dan iktiosis masing-masing 2,1%, vesikobulosa 1,8%, tumor dan kelainan pigmentasi 0.6%. Studi di Siena, Italia oleh Rubegni P, dkk (2012)10 pada total 2100 pasien geriatri sejak Januari 2003 s/d. Desember 2009 menunjukkan penyakit kulit terbanyak adalah pruritus “sine material” (18,9%), diikuti oleh tumor jinak (13,5%), tumor ganas (13,2%), dan keratosis aktinik (9,1%). SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menggambarkan insidens penyakit kulit di Divisi Dermatologi Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM tahun 2008-2013. Pola lima penyakit terbanyak hampir sama dari tahun ke tahun, yaitu dermatitis, tumor kulit, kelainan kosmetik, penyakit infeksi, dan xerosis cutis. Diagnosis dan terapi penyakit kulit pada geriatri merupakan tantangan tersendiri bagi klinisi. Tidak jarang, pasien datang dengan multikomorbiditas yang dapat mempengaruhi kondisi kulit. Data yang didapat dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan asupan bagi sarana pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan tata laksana pasien lebih baik. Selain itu, data penelitian ini dapat pula digunakan untuk penelitian lebih lanjut mengenai Dermatologi Geriatri. 26 DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik. Data statistik Indonesia. 2013. Diunduh dari http://www.bps.go.id. 31 Desember 2013. 2. Jafferany N, Huynh TV, Silverman MA, Zaidi Z. Geriatric dermatoses: a clinical review of skin diseases in an aging population. Int J Dermatol. 2012;51;509-22. 3. Farage MA, Miller KW, Berardesca E, Maibach HI. Clinical dermatitis versus allergic contact dermatitis. Dalam: Chew AL, Maibach HI, penyunting. Irritant dermatitis. New York: Springer; 2006;2.h.11-17 4. Liao YH, Chen KH, Tseng MP, Sun CC. Pattern of skin diseases in a geriatric patient group in Taiwan: a 7-year survey from the outpatient clinic of a university medical center. Dermatology. 2001;203(4):308-13. 5. Smith DR, Sheu HM, Hsieh FS, Lee YL, Chang SJ, Guo YL. Prevalence of skin disease among nursing home patients in southern Taiwan. Int J Dermatol. 2002 Nov;41(11):754-9. 6. Souissi A, Zeglaoui F, El Fekih N, Fazaa B, Zouari B, Kamoun MR. Skin diseases in the elderly: a multicentre Tunisian study. Ann Dermatol Venereol. 2006;133(3):231-4. 7. Cvitanović H, Knezević E, Kuljanac I, Jancić E. Skin disease in a geriatric patients group in outpatient dermatologic clinic Karlovac, Croatia. Coll Antropol. 2010;34 Suppl 2:247-51. 8. Furue M, Yamazaki S, Jimbow K, Tsuchida T, Amagai M, Tanaka T, dkk. Prevalence of dermatological disorders in Japan: a nationwide, cross-sectional, seasonal, multicenter, hospital-based study. J Dermatol. 2011;38(4):310-20. doi: 10.1111/j.1346-8138.2011.01209. 9. Thapa DP, Jha AK, Kharel C, Shrestha S. Dermatological problems in geriatric patients: a hospital based study. Nepal Med Coll J. 2012;14(3):193-5. 10. Rubegni P, Poggiali S, Nami N, Rubegni M, Fimiani M. Skin diseases in geriatric patients: our experience from a public skin outpatient clinic in Siena. G Ital Dermatol Venereol. 2012;147(6):631-6. Laporan Kasus SATU KASUS PORT WINE STAIN DENGAN STURGE WEBER SYNDROME Thigita A. Pandaleke, Pieter L. Suling Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi / RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado ABSTRAK Seorang perempuan usia 35 tahun datang dengan port wine stain dan Sturge Weber Syndrome pada wajah sejak lahir. Terdapat bercak merah dan benjolan pada wajah, tangan, serta badan sejak lahir yang awalnya hanya kecil kemudian beberapa bertambah besar, sedangkan lainnya menetap tidak gatal dan tidak nyeri, namun beberapa berdarah bila disentuh. Sejak tahun 2000 dua buah benjolan di kepala berukuran kurang lebih sebesar biji kacang, tidak bertambah besar namun mudah berdarah terutama saat terkena sisir. Bercak berwarna merah cerah, yang kemudian menjadi warna merah tua terutama di wajah. Tidak teraba hangat pada perabaan, tidak gatal, dan tidak nyeri. Riwayat operasi gusi 10 tahun yang lalu akibat sering terjadi pembengkakan dan perdarahan di gusi. Riwayat sakit kepala yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tampak tumor multipel ukuran 0,5-1cm, sewarna kulit, permukaan licin, mobile. Tampak pula makula eritem, batas jelas, ukuran plakat, berbentuk pulau, suhu normal pada perabaan (port wine stain (+)). Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini belum ada penanganan khusus karena belum didapatkan adanya keterlibatan pada organ lain, masih perlu dilakukan observasi lebih lanjut. Kata kunci: port wine stain, Sturge Weber Syndrome PORT WINE STAIN WITH STRUGE WEBER SYNDROME : A CASE REPORT ABSTRACT A woman aged 35 years old was came with ports wine stain and Sturge Weber syndrome on the face since birth. Since she was born there are red spots and bumps on the face, hands, and body that initially only small then some grow others remain. The bumps are not itchy and painful, but some bleed when touched. In 2000 there is bumps on the head approximately like beans, did not increase in size but bleed easily, especially when exposed to comb. Bright red patches, over time partly be a deep red color, especially in the face. Not felt warm on touch, not itchy, and no pain. Ten years ago she had a surgery on her gum, due to frequent swelling and bleeding in the gums. History of intermittent headache since 3 years ago. There is multiple tumor, macule erythema (port wine stain (+)) at physical examination. The diagnosis in this case is based on history, physical examination and investigations. In this case no special handling because it has not obtained any further involvement in other organs, but stil needs to be further observation. Keywords: port wine stain, Sturge Weber Syndrome Korespondensi: Jl. Raya Tanawangko – Manado Telp: Telp : 0431-838287 Email: [email protected] 27 MDVI PENDAHULUAN Malformasi kapiler adalah kelainan kongenital dari pembuluh darah kapiler.1 Dikenal juga dengan istilah port wine stain, angel’s kiss, salmon patches, atau nevus flammeus neonatorum.1,2 Merupakan jenis yang paling umum terjadi pada malformasi vaskuler.2 Malformasi kapiler tersebar secara sporadik, meskipun pada beberapa kasus ditemukan adanya pola pewarisan.3,4 Insidens terjadinya malformasi kapiler biasanya pada bayi baru lahir, di Amerika Serikat sebesar 0,3-0,5%, dan 0,1-2% pasien dari populasi di dunia.1,3 Sering terjadi pada bayi yang berkulit putih 42% dibandingkan kulit hitam 31%.1 Etiologi malformasi kapiler belum diketahui pasti. Diduga kelainan ini terjadi pada minggu ke-4 sampai ke10 kehamilan. Dalam kombinasi dengan malformasi vaskular lainnya, malformasi kapiler bisa merupakan suatu sindrom yang terdiri atas Sturge Weber Syndrome (SWS), Phakomatosis pigmentovascularis (PPV), dan Klippel-Trenaunay (KT).1 Sturge Weber Syndrome (SWS) adalah suatu kelainan neurokutaneus kongenital yang bukan merupakan suatu penyakit genetik.2 Dikenal juga dengan nama encephalotrigeminal angiomatosis atau craniofacial angiomatosis.1,3 Insidens SWS jarang, diperkirakan 1 per 50.000 kelahiran.1,2,4-7 Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan neurologis, histopatologis, serta pemeriksaan ofthalmologis.2,3 Pengobatan SWS bertujuan untuk mengontrol adanya kelainan neurologis akibat defek di jaringan otak serta bila ada kelainan di mata. Untuk kepentingan kosmetik terhadap penanganan PWS telah dicoba berbagai modalitas seperti terapi konservatif, elektrokoagulasi, tato, dermabrasi, cryosurgery dan laser. Pencegahan terhadap komplikasi menjadi perhatian terpenting untuk kelainan ini terutama kelainan di mata dan otak yang dapat menyebabkan kematian.2,3 Berikut ini akan dilaporkan satu kasus port wine stain dengan Sturge Weber Syndrome yang merupakan kasus pertama yang dijumpai di bagian kami. Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32 di kepala kurang lebih 2 buah sebesar biji kacang, yang kemudian bertambah beberapa buah, benjolan tidak bertambah besar namun mudah berdarah terutama saat terkena sisir. Bercak merah pada wajah, badan, kedua lengan dan kedua tungkai dialami sejak lahir. Ukuran bercak bertambah besar seiring bertambahnya usia, dan hampir memenuhi seluruh wajah, badan, lengan dan tungkai. Awalnya berwarna merah cerah, lama kelamaan sebagian menjadi warna merah tua terutama di wajah. Tidak teraba hangat pada perabaan, tidak gatal, dan tidak nyeri. Riwayat operasi gusi 10 tahun yang lalu akibat sering terjadi pembengkakan dan perdarahan gusi. Riwayat sakit kepala yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan panas tinggi dan kejang, gangguan keseimbangan, keram-keram pada satu sisi tubuh disangkal. Alergi makanan, alergi obat-obatan maupun riwayat atopi pada penderita dan keluarga disangkal. Pemeriksaan fisis menunjukkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis. Kedua konjungtiva tidak anemis. Pada jantung, paru-paru, dan hati tidak ditemukan kelainan. Pada regio fasialis, parietalis et occipitalis tampak tumor multipel ukuran bervariasi Ø 0,5-1cm, sewarna kulit, permukaan licin, mobile (Gambar 1). Gambar 1. LAPORAN KASUS Perempuan usia 35 tahun, petani, bangsa Indonesia, suku Minahasa datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. dr .R.D Kandou Manado tanggal 22 mei 2014, dengan keluhan benjolan pada wajah, tangan dan kepala. Sejak lahir terdapat benjolan pada wajah dan tangan sejak lahir awalnya hanya kecil seperti jerawat, beberapa benjolan bertambah besar yang lainnya tetap. Benjolan tersebut tidak gatal dan tidak nyeri, namun beberapa berdarah bila disentuh. Sejak tahun 2000 timbul benjolan 28 Regio fasialis, parietalis et occipitalis tampak tumor multipel ukuran bervariasi Ø 0,5-1cm, sewarna kulit, permukaan licin, mobile yang secara klinis sesuai dengan sturge weber syndrome. Regio fasialis et coli anterior, abdominalis, thorakalis anterior et posterior, antebrachii et brachii D/S, kruris D/S tampak makula eritem, batas jelas, ukuran plakat (hampir seluruh regio fasialis), berbentuk pulau, suhu normal pada perabaan (port wine stain (+)), pada regio oralis tampak asimetris dan edema. (Gambar 2). TA. Pandaleke & PL. Suling Port wine stain dengan Sturge Weber Syndrome Gambar 2. Regio fasialis et coli anterior, abdominalis, thorakalis anterior et posterior, antebrachii et brachii D/S, kruris D/S tampak port wine stain Pada kasus ini didiagnosis Sturge Weber Syndrome bentuk II (angioma fasial /PWS, dengan atau tanpa glaukoma, tanpa kelinan intrakranial) dan didiagnosis banding dengan Sturge Weber Syndrome bentuk I (angioma fasial/PWS dan angioma leptomeningen, dari glaukoma), dan bentuk III (angioma leptomeningen tanpa glaukoma). Hasil pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan semuanya dalam batas normal. Hasil konsul dari bagian mata didapatkan adanya Blepharitis dan episkleritis pada okuli dekstra dan sinistra (Gambar 3). Hasil konsul bagian saraf didiagnosis dengan Sturge Weber syndrome. Pemeriksaan brain CT-scan tidak terdapat adanya kelainan. Gambar 3. Blefaritis dan episkleritis ODS Gambaran histopatologis lesi tumor kulit, pada subepidermal tampak banyak pembuluh darah kapiler yang berdilatasi, stroma diantaranya terdiri atas jaringan ikat fibrous dan kolagen. Tidak ditemukan tanda keganasan. Gambaran histopatologis ini mendukung diagnosis port wine stains, struge weber syndrome Gambar 4). Gambar 4. Tampak jaringan kulit dilapisi epidermis. Subepidermal di dalam dermis tampak banyak pembuluh darah kapiler yang melebar. 29 MDVI Belum ada penatalaksanaan khusus pada kasus ini, namun pencegahan komplikasi sangat penting, sehingga pasien dianjurkan untuk kontrol setiap 1 bulan sekali. PEMBAHASAN Malformasi vaskular merupakan suatu kelainan perkembangan pembuluh darah yang terjadi pada kehamilan minggu ke-4 sampai ke-10. Secara rheologically malformasi vaskular terdiri atas slow-flow dan fast-flow. Port-wine stain (PWS) atau malformasi kapiler termasuk dalam malformasi vaskular slow-flow dengan insidens 0,3%.1 Port wine stain berlokasi di semua tempat termasuk mukosa, terutama di wajah dan leher ± 81%, ditandai dengan perubahan warna kulit merah muda sampai merah anggur, dengan bentuk geografik tertentu dan tersebar dermatomal, tidak nyeri, tidak pernah berdarah spontan dan tidak hangat pada perabaan. Port wine stain berkembang secara normal sesuai perkembangan endotel normal dan ukurannya sesuai ukuran tubuh.1,2 Dalam kombinasi dengan malformasi vaskular lainnya, malformasi kapiler bisa merupakan suatu sindrom yang terdiri atas Sturge Weber Syndrome, phakomatosis pigmentovascularis (PPV), dan KlippelTrenaunay (KT).1 Sturge Weber Syndrome merupakan sindrom neuro-okulokutaneus yang ditandai dengan angioma kutaneus yaitu malformasi kapiler atau PWS ipsilateral pada wajah pada persarafan nervus trigeminus cabang oftalmik (V1) dan cabang maksilaris (V2), malformasi vaskular atau angioma leptomeningen dan korteks serebri ipsilateral serta angioma pada koroid.3,8,9 Sturge Weber syndrome dapat ditemukan lengkap yaitu adanya PWS, kelainan susunan saraf pusat dan kelainan mata, tetapi dapat juga tidak lengkap.9 Manifestasi klinis yang terpenting yaitu terdapatnya PWS pada wajah terutama pada persarafan nervus trigeminus cabang oftalmik (V1) dan cabang maksilaris (V2).6 Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Port wine stain merupakan bagian dari malformasi vaskular atau angioma vaskular yang merupakan kelainan perkembangan dari pembuluh darah, ditandai dengan perubahan warna kulit merah muda sampai keunguan, dengan bentuk geografik tertentu dan tersebar dermatomal, berkembang secara normal dan ukurannya sesuai ukuran tubuh.1,2 Kasus ini terdapat bercak merah pada wajah, badan, kedua lengan dan tungkai yang dialami sejak lahir, bertambah besar seiring bertambahnya usia dan terdapat pada hampir seluruh tubuh. Awalnya bercak berwarna merah cerah yang lama kelamaan sebagian menjadi merah tua seperti anggur. Terdapat beberapa benjolan diatas bercak di wajah dan lengan, sewarna kulit, awalnya hanya kecil kemudian beberapa 30 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32 bertambah besar. Terdapat benjolan serupa di kepala. Benjolan tersebut mudah berdarah bila terkena sisir ataupun disentuh. Port wine stain ditandai dengan lesi kongenital homogen biasanya unilateral 86% dapat bilateral 14%.1,9 Lesi flat tidak nyeri, tidak mudah berdarah, tidak teraba hangat pada perabaan. Lima puluh persen berlokasi di wajah terutama pada distribusi nervus trigeminus.1 Manifestasi klinis SWS adalah PWS kurang lebih 8% 33%, yang tersebar di kulit kepala, wajah, leher, dan semua tempat termasuk mukosa.3,9,10 Menurut Tallman (1991) hanya PWS yang tersebar di daerah persarafan nervus trigeminus cabang 1 dan 2 yang menyebabkan SWS. Pada wajah, leher, badan, lengan dan tungkai pasien didapatkan adanya makula eritem, batas jelas ukuran numular sampai plakat, berbentuk pulau, suhu normal pada perabaan. Manifestasi oral terdapat pada 38% kasus, berupa hemangioma pada bibir, mukosa mulut, lidah, gusi, dan palatum. Makroglosia dan hipertrofi tulang maksila didapatkan pada beberapa pasien sehingga wajah tampak asimetris.6 Kasus ini tampak bibir membengkak, asimetris, berwarna merah keunguan, gusi dan lidah yang membengkak serta pertumbuhan gigi yang berlebihan. Riwayat dioperasi 10 tahun yang lalu akibat pembengkakan dan perdarahan pada gusi. Gorlin dan Pinborg (1964) pada 111 kasus SWS, 38% memiliki manifestasi oral, dimana paling sering terkena bibir, gigi, palatum, serta dasar mulut yang berwarna merah.11 Pasien dikonsulkan ke bagian Neurologis karena adanya keluhan nyeri kepala yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu serta tampak adanya hemiparesis pada sisi wajah sebelah kanan. Dari bagian Neurologis pasien didiagnosis sebagai SWS dan direncanakan untuk dilakukan CT-scan kepala. Gejala neurologis yang dapat terjadi yaitu hemiparesis dan hemiplegi (± 25%-56%), gangguan pertumbuhan dan keterbelakangan mental (± 50%-75%), nyeri kepala (± 44% - 62%), dan hipertrofi jaringan lunak (± 30%).9 Kejang atau epilepsi merupakan gejala neurologis yang paling sering timbul (lebih kurang 75%-90%), terjadi akibat iritasi kortikal oleh angioma leptomeningen sehingga terjadi hipoksia, iskemia dan gliosis.1,9 Kejang dapat dicetuskan oleh demam, kejang bersifat generalisata atau spasme tonik klonik, bangkitan kejang dapat menyebabkan hemiplegi persisten.9,12 Pada kasus ini tidak ditemukan kelainan neurologis berupa kejang, sejak kecil hingga sekarang. Pasien dikonsulkan ke bagian Mata untuk melihat ada tidaknya keterlibatan organ mata seperti glaukoma. Pada kasus ini tidak ditemukan adanya glaukoma. Tallman (1991) melaporkan 310 pasien, ± 91% dengan PWS yang tersebar di mata dan di atas mata berhubungan dengan kelainan neurologis atau susunan saraf pusat dan TA. Pandaleke & PL. Suling glaukoma.9 Glaukoma merupakan kelainan mata yang paling sering ditemui pada SWS yaitu jumlah 30%-71%. 9,12 Buftalmos serta kehilangan penglihatan juga sering ditemukan pada SWS.2,8 Pada kasus ini pemeriksaan radiologis yang dilakukan yaitu CT-scan kepala untuk mengetahui ada tidaknya keterlibatan intrakranial. Hasil CT-scan didapatkan hasil normal. Selain itu pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan adanya kelainan. Pada SWS beragam pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk membantu diagnosis di samping gejala klinis yang khas.13 Pemeriksaan foto polos kepala menunjukkan gambaran kalsifikasi tram-line atau tram track yang merupakan patognomonis SWS yaitu kalsifikasi girus subkortikal yang paling banyak terletak di regio parietal dan oksipital.13,14 CT-scan (Computed Tomography) lebih sensitif dibandingkan foto polos kepala, dengan gambaran kalsifikasi tram-line atau tram-track yang lebih jelas.8,14 Selain itu CT-scan dapat memberikan gambaran atrofi kortikal, pembesaran pleksus koroid dan kerusakan bloodbrain barrier selama terjadinya kejang.8,10,13,14 Elavarasu dkk (2013) di India, melaporkan seorang wanita umur 43 tahun dengan SWS dimana pada pemeriksaan CT-scan tidak didapatkan adanya gambaran kalsifikasi.15 Pada SWS pemeriksaan darah biasanya tidak menunjukkan kelainan, kecuali bila terdapat penyakit penyerta.9,13 Pada kasus ini pemeriksaan histopatologis didapatkan jaringan kulit dilapisi epidermis, subepidermal tampak banyak pembuluh darah kapiler yang berdilatasi, stroma di antaranya terdiri atas jarigan ikat fibrous dan kolagen. Tidak ditemukan tanda keganasan. Pemeriksaan histopatologi PWS didapatkan adanya dilatasi kapiler normal pada papila dan retikular dermis bagian atas dengan jumlah kapiler meningkat.8,10 Kasus ini didiagnosis sebagai SWS bentuk II, Roach dan Scale pada tahun 1992 mengklasifikasikan SWS dalam tiga bentuk yaitu: Bentuk I (Angioma fasial/PWS dan angioma leptomeningen, dengan atau tanpa glaukoma); Bentuk II (Angioma fasial/PWS, dengan atau tanpa glaukoma, tidak ada penyakit intrakranial) ; Bentuk III (Angioma leptomeningen tanpa glaukoma).6 Enjolras dkk (1985), pada penelitian retrospektif 106 pasien PWS hanya remaja dijumpai 12 pasien SWS dan 4 pasien dengan glaukoma tanpa angioma.9 Terapi spesifik pada kasus ini untuk kelainan kulit dan vaskuler belum dilakukan. Penanganan PWS dengan SWS saat ini belum ada yang spesifik. Pengobatan ditujukan untuk kelainan neurologis, mata dan kosmetik.9,16 Pemberian antikonvulsan dilakukan bila terdapat kejang, terapi simptomatik dan profilaktik bila terdapat sakit kepala, penanganan glaukoma untuk mengurangi tekanan intraokular, serta laser untuk penanganan kosmetik.9 Pulsed dye laser (PDL) Port wine stain dengan Sturge Weber Syndrome merupakan terapi baku emas untuk PWS. Laser dengan panjang gelombang spesifik 585 nm, durasi pendek 1,5 10 ms memberikan hasil baik.2,17 Pada pasien ini tidak didapatkan adanya keterlibatan organ lain, baik mata maupun saraf, hanya tampak adanya pertumbuhan gigi yang berlebihan serta gusi yang tampak membengkak, namun sudah pernah dilakukan operasi sejak 10 tahun yang lalu. Pencegahan komplikasi pada SWS sangat penting, terutama bila terdapat gejala gangguan vaskuler otak berupa kejang, hemiparese atau hemiplegi, gangguan pertumbuhan fisik termasuk gangguan pertumbuhan mandibula dan maksila serta pertumbuhan mental. Pencegahan ini harus dilakukan segera setelah lahir dan dilanjutkan sampai akhir pubertas.9,12,18 Pemeriksaan mata dilakukan sebulan sekali untuk mengontrol glaukoma dan efek yang ditimbulkannya yaitu kerusakan saraf optikus sampai kebutaan.12,18 Prognosis pada kasus ini quo ad vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanationam dubia. Mengingat masih perlu untuk terus dilakukan observasi untuk melihat keterlibatan lebih lanjut pada gangguan vaskuler otak, maupun glukoma untuk mencegah kerusakan saraf optikus yang lebih lanjut berupa kebutaan. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Boon LM, Vikkula M. Vascular malformations. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2012.h.207785. Antaya RJ. Capillary malformation. Disitasi Februari 2014. Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/1084479overview#a0101 Enjolras O, Mulliken JB. Vascular malformations. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting. Textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Science Ltd; 2000: 975-95. Galbraith S. Capillary malformations (port wine stains): clinical features, diagnosis, and associated syndromes. Disitasi April 2015. Tersedia di: http://www.uptodate.com/contents/capillarymalformations-port-wine-stains-clinical-featuresdiagnosis-and-associated-syndromes Govori V, Gjikolli B, Ajvazi H, Morina N. Management of patient with Sturge weber syndrome: a case report. Cases journal. 2009; 2(9394): 1-6 31 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 27 - 32 MDVI 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 32 Neto FXP, Junior MAV, Ximenes LS, Jacob CCS, Junior AGR, Palbeta ACP. Clinical features of Struge Weber Syndrome. Intl Arch Otorbinolaryngol. 2008; 12(1): 565-70 Purkait R, Samanta T, Sinhamahapatra T, Chatterjee M. Overlap of Struge Weber syndrome and Klippel Trenaunay syndrome. Indian J Dermatol. 2011; 56(6); 755-7 Robaee AL, Banka N, Alfadley A. Phakomatosis pigmentovaskularis type IIb associated with Sturge Weber syndrome. Pediatric Dermatol. 2004 21; 6: 642-5. Takeoka M. Sturge Weber syndrome. Disitasi Mei 1913. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com Hall BD, Cadle RG, Cornelius SMM, Bay CA. Clinical report: Phakomatosis pigmentovaskularis: Implication for severity with special reference to mongolian spots associated with Sturge Weber syndromes. Am J Med Genetics part A. 2007: 3047-53. Kalakonda B, Pradeep K, Mishra A, Reddy K, Muralikrishna T, Lakshmi V, dkk. Periodontal management of Sturge Weber syndrome. Case report in dentistry. 2013;1-4 Maton B, Krsek P, Jayakar P, Reshick T, Koehn M, Morrison G, dkk. Medically intractable epilepsy in Sturge – Weber syndrome is associated with cortical malformation; implication for surgical therapy. Int League Against Epilepsy. 2010; 51(2):257-67. Khan AN. Imaging in Sturge Weber syndrome. eMedicine radiologist; 2010. Disitasi: Juli 2013. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com Wong SW, Kyaw L, Ong LC, Zulfiqar AM. SturgeWeber syndrome without facial nevus: an unusual cause of neonatal seizures. J Paed Child Health. 2010; 1-4 Elvarasu S, Kumaran TS, Kumar PKS. Periodontal management of gingival enlargement associated with Sturge Weber syndrome. J Indian Periodontal. 2013; 17: 235-8 Perez DEC, Neto JSP, Graner E, Lopes MA. Struge Weber syndrome in a 6-year-old girl. Int J Pediatric Dentistry. 2005;15:131-5 Mariwalla K, Dover JS. The use of lasers in the pediatric population. Dalam: Dover JS, Alam M, penyunting. Advances in dermatologic surgery. 2010: 1-5. Monte ADM. Sturge Weber syndrome. eMedicine ophthalmology, pediatrics and communicable diseases; 2010. Disitasi: Februari 2005. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com Laporan Kasus NEVUS KONGENITAL MELANOSITIK SEDANG DITERAPI DENGAN BEDAH EKSISI DAN ISLAND PEDICLE FLAP Dhini Indah Nugriaty, Arif Widiatmoko, Diah Prabawati Retnani, Yuli Megasasi, Yasmina Diah Kumala Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Brawijaya/RSUP dr. Saiful Anwar - Malang ABSTRAK Salah satu ciri dari nevus kongenital melanositik (Congenital melanocytic nevus /CMN) adalah risiko transformasi menjadi melanoma. Terapi biasanya dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya melanoma atau alasan kosmetik. Dilaporkan suatu kasus pada perempuan berusia 17 tahun dengan keluhan utama benjolan yang terasa nyeri pada leher kiri atas sejak 3 tahun yang lalu yang bertambah parah. Benjolan pertama kali muncul ketika lahir dan berkembang perlahan. Pemeriksaan dermatologis pada submandibula sinistra, terdapat plak hiperpigmentasi, padat, batas tegas, ukuran 1.2x1.6 x0.75 cm, coklat kehitaman, simetris, dan permukaan verukosa. Dilakukan terapi dengan bedah eksisi, dan island pedicle flap, konseling serta terapi farmakologik. Pemeriksaan histopatologis pada dermis didapatkan proliferasi sel, dengan nukleus bulat-oval, pleomorfik ringan, beberapa atipikal, melanin tersusun dalam sarang pada dermis superfisial, dengan kecurigaan displastik pada nevus campuran. Pemeriksaan imunohistokimia antiKi67 didapatkan lesi melanositik jinak. Tujuh minggu pasca eksisi, didapatkan sedikit makula eritematosa tanpa tanda jaringan parut hipertrofik. Bedah eksisi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada CMN. The island pedicle flap digunakan pada defek kecil sampai sedang pada lokasi yang mempunyai sumber perekrutan jaringan yang baik. Serial follow up direkomendasikan pada nevus yang telah diangkat. Kata kunci: nevus, island pedicle flap MEDIUM CONGENITAL MELANOCYTIC NEVUS TREATED WITH EXCISION SURGERY AND ISLAND PEDICLE FLAP ABSTRACT The most significant feature of a congenital melanocytic nevus (CMN) is the associated risk for transformation into melanoma. Treatment is undertaken to reduce the risk of melanoma or cosmetic reasons. It was reported A-17 year old female came with the chief complaint of a tender bump in left upper neck since 3 years ago and get worsen. The bump appeared when she was born and slowly developed. Dermatological examination of submandible sinistra, there was single hyperpigmented plaque, solid, well defined, 1.2x1.6 x0.75 cm, dark brown black, symmetrical, and verrucous. An excisional surgery, island pedicle flap, counselling and pharmacological therapies were given. Histopathological examination revealed cell proliferation, round-oval nucleus, mild pleomorphic, several atypical, melanin arranged in the nests in dermoepidermal junction and superficial dermis, suggested compound nevus and suspect of dysplastic. AntiKi67 immunohistochemistry revealed benign melanocytic lesion. After 7 weeks, slight erythematous macule without signs of hyperthropy scar observed. Excision recommended as the first-line treatment for CMN. The island pedicle flap used in small to medium size defect in location where its provide a good source of tissue recruitment. A series of follow up recommended after removal. Keywords: congenital melanocytic nevus, dysplastic,excissional surgery, island pedicle flap Korespondensi: Jl. Letjen. Suprapto no 2 Malang Telp/fax: 0341-340991, 0813-8306-1589 email:[email protected] 33 MDVI PENDAHULUAN Nevus melanositik merupakan proliferasi jinak normal dari melanosit yang secara garis besar dibedakan menjadi nevus melanositik kongenital dan nevus melanositik didapat.1-3 Nevus melanositik kongenital atau Congenital melanocytic nevus (CMN) adalah nevus melanositik yang muncul sejak lahir atau pada tahun pertama kehidupan.1-3 Lesi dapat kecil atau menutupi sebagian besar permukaan tubuh.1,3 Biasanya berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit sekelilingnya, terdapat rugose atau permukaan halus yang meninggi, dapat disertai rambut yang tebal, panjang dan gelap.1,2 Klasifikasi nevus melanositik kongenital dibagi berdasarkan ukurannya; kecil (<1,5 cm), sedang (1,5–19 cm), dan besar (>20 cm).1,3 Nevus displastik (dysplastic nevus/DN) atau atipikal, digunakan pada lesi melanositik neoplasia atau hiperplasia yang memiliki variasi histologi dari pola yang biasa atau terjadinya peningkatan risiko terhadap keganasan.2,7 Nevus displastik atau atipikal pertama kali ditemukan pada keluarga yang memiliki kerentanan terhadap melanoma.2,7-12 Nomenklatur lain yang berhubungan dengan lesi ini, di antaranya B–K moles, Clark’s nevus, dan nevus with architectural disorder (NAD).8-12 Hingga saat ini DN dikenal sebagai salah satu faktor risiko melanoma, dengan risiko relatif bervariasi antara 3.9% dan 8.8%. 2,7-12 Secara umum terdapat beberapa perbedaan antara bentuk klinis CMN yang sedang berkembang dan DN. Ciri klinis CMN yang sedang berkembang adalah: bentuk yang halus dan reguler, berbatas tegas, diameter lebih dari 1,5 cm dan cenderung kurang berambut;1,2,4 Sedangkan pada DN: bentuk lesi rata atau mempunyai flat shoulders, beberapa asimetri dan mempunyai warna yang bervariasi dalam satu lesi,7 walaupun sebagian DN cenderung mengalami regresi.2,7 Terapi bedah tidak selalu dapat menurunkan risiko CMN atau DN untuk berkembang menjadi melanoma namun, apabila terdapat kecurigaan maka seluruh lesi harus dieksisi dengan margin yang baik untuk mendapatkan hasil yang secara kosmetik baik.1,3,13,14 Upaya utama pencegahan pada CMN atau DN adalah mengurangi pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), dengan perilaku perlin-dungan terhadap pajanan sinar UV sedini mungkin.2,5,7 LAPORAN KASUS Seorang perempuan berumur 17 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin dengan keluhan utama benjolan pada leher kiri atas yang terasa nyeri sejak 3 tahun yang lalu yang bertambah parah. Benjolan muncul sejak pasien lahir, berukuran kecil dengan permukaan rata, perlahan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tubuh pasien. 34 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38 Benjolan tidak gatal dan tidak nyeri. Pasien memiliki sejumlah tahi lalat pada badannya. Tidak ada riwayat penurunan berat badan secara cepat dalam waktu singkat. Tidak didapatkan riwayat keganasan pada pasien ataupun keluarga, termasuk keganasan pada kulit dan pankreas. Pasien belum pernah berobat ke dokter sebelumnya untuk keluhan benjolan tersebut. Tidak ada riwayat kejang ataupun hidrosefalus. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82 x/menit, pernapasan 16x/menit, dan temperatur aksila 36oC. Pemeriksaan fisik lainnya tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan dermatologik, pada submandibula sinistra (Gb 1-2), didapatkan plak hiperpigmentasi, tunggal, padat, batas tegas, ukuran 1,2 cm x 1,6 cm x 0,75 cm, coklat kehitaman, simetris, permukaan verukosa, tanpa flat shoulder pada kedua sisinya. Gambar 1-2 Gambar 1-2 ( ) plak hiperpigmentasi, tunggal, padat, batas tegas, ukuran 1.2 cm x 1.6 cm x 0.75 cm, coklat kehitaman, simetris, permukaan verukosa, tanpa flat shoulder pada kedua sisinya Diagnosis banding awal adalah nevus melanositik kongenital, nevus verukosa, dan nevus melanositik atipikal. Pasien direncanakan untuk dilakukan bedah eksisi, island pedicle flap untuk memperbaiki defek akibat tindakan bedah dan dilakukan pemeriksaan histopatologik. Indikasi dilakukannya bedah eksisi pada pasien ini adalah karena alasan estetik. Tidak ada riwayat diabetes melitus, alergi obat, penyakit pembekuan darah, luka yang sulit sembuh serta keloid. Informasi mengenai prosedur lengkap diberikan pada pasien dan orangtuanya, serta dimintakan persetujuan tindak medik. Setelah tindakan aseptik dan penyuntikan anestesi lokal, dilakukan bedah eksisi untuk mengangkat seluruh lesi (gambar 3). Dibuat garis segitiga diluar lesi sebagai penanda island pedicle flap (gambar 4). Dilakukan eksisi pada tepi penanda segitiga, dan juga dilakukan undermine secukupnya sehingga tersisa pedicle berbentuk se- DI. Nugriaty, dkk Terapi nevus kongenital melanositik sedang dengan eksisi dan island pedicle flap perti pulau pada pusat flap. Kemudian dilakukan penjahitan pada lesi yang dieksisi sampai tepi pedicle sehingga terbentuk mirip huruf Y (gambar 5). Pasien diberikan sefadroksil 500 mg dua kali sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari, dan salep mupirosin. Pasien diminta kontrol dua minggu setelah dilakukan bedah eksisi untuk pengangkatan jahitan dan evaluasi penyembuhan luka. Hasil pemeriksaan histopatologik didapatkan hiperkeratosis, dengan pertumbuhan verukosa pada lapisan epidermis (gambar 6). Pada lapisan dermis ditemukan proliferasi sel, nukleus bulat-oval (gambar 7), pleomorfik ringan (gambar 8), beberapa atipikal, sebagian kromatin halus sebagian kasar, sitoplasma mengandung pigmen melanin yang tersusun pada sarang pada kait dermo-epidermal (gambar 9) dan dermis atas (gambar 10), dengan kecurigaan DN pada nevus melanositik campuran. Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia anti Ki67 untuk membedakan proliferasi pada sel nevus. Pemeriksaan antiKi67 menunjukkan proliferasi sel yang rendah (kurang dari 1%) dengan kesimpulan lesi melanositik jinak. Gambar 3-5. Prosedur bedah eksisi dan island pedicle flap 35 MDVI 36 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38 DI. Nugriaty, dkk Terapi nevus kongenital melanositik sedang dengan eksisi dan island pedicle flap Pasien diminta kontrol ke Poliklinik Kulit untuk pengangkatan jahitan dan evaluasi penyembuhan luka dua minggu kemudian. Penutupan luka baik dan ditemukan sedikit krusta pada tepi luka (gambar 11-12). Setelah pengangkatan jahitan, didapatkan makula eritematosa di sekitar luka. Pasien diminta untuk melanjutkan terapi dan kontrol ke Poliklinik Kulit dua minggu setelah kontrol pertama, atau satu bulan pasca operasi. Setelah enam minggu, pasien datang kembali ke Poliklinik Kulit dan didapatkan sedikit makula eritematosa, makula hiperpigmentasi serta jaringan parut atrofik minimal (gambar 13-14). PEMBAHASAN Salah satu ciri CMN adalah risiko transformasi menjadi melanoma.1-3 Lesi yang berukuran lebih kecil mempunyai faktor risiko yang lebih kecil dibandingkan CMN yang lebih besar.3 Risiko transformasi pada nevus yang berukuran lebih kecil adalah antara 0% dan 4.0%, sementara yang berukuran lebih besar adalah antara 4,5% dan 10%. 2,3 Castilla dkk. pada satu studi di tahun 1981, melaporkan bahwa satu nevus dengan diameter kira-kira 10 cm dapat di identifikasi pada 20 445 subyek dari total subyek 500 000 balita di Amerika Selatan.2 Pasien ini datang dengan keluhan utama benjolan pada leher kiri atas yang dirasakan nyeri sejak 3 tahun yang lalu dan bertambah parah. Benjolan muncul sejak pasien lahir, berukuran kecil dengan permukaan rata, perlahan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tubuh pasien hingga pasien berusia 17 tahun. Benjolan tidak gatal dan tidak nyeri. Tidak didapatkan riwayat melanoma, keganasan pada kulit atau keganasan lainnya pada pasien dan keluarga. Tidak ada riwayat kejang dan hidrosefalus. Dari pemeriksaan dermatologik pada submandibula sinistra, didapatkan plak hiperpigmentasi, padat, berbatas tegas, ukuran diameter 1,2 cm x 1,6 cm x 0,75 cm, berwarna coklat tua dan hitam, simetrik, permukaan verukosa, tanpa flat shoulder pada sisinya. Satu-satunya ciri yang sesuai dengan DN yang ditemukan pada pasien ini adalah ukuran diameter lesi 1,5 cm , sedangkan ciri lesi lainnya termasuk lesi yang simetrik, batas tegas dan bentuk lesi regular lebih sesuai dengan CMN. Berdasarkan hal tersebut, secara klinis pasien didiagnosa sebagai nevus kongenital melanositik berukuran sedang. Pada pasien ini, pemeriksaan histopatologik pada bagian dermis menunjukkan proliferasi sel dengan nukleus bulatoval, pleomorfik ringan, beberapa atipikal dengan derajat yang bervariasi, dengan beberapa kromatin halus sedangkan beberapa kasar. Sitoplasma mengandung pigmen melanin yang tersusun berbentuk sarang pada kait dermo-epidermal dan dermis superfisial. Menurut parameter dari kromatin dan sitoplasma, kasus ini sesuai dengan kriteria diagnosis DN, walaupun derajat keparahan tidak dapat diklasifikasikan. Namun, adanya temuan pigmen melanin yang tersusun dalam sarang pada kait dermo-epidermal dan dermis superfisial, sesuai dengan nevus melanositik campuran yang biasa ditemukan pada CMN. Hasil pemeriksaan histopatologik menyebutkan kecurigaan terhadap adanya DN, tetapi hasil pemeriksaan imunohistokimia anti Ki67 menunjukkan proliferasi sel yang rendah, sehingga disimpulkan merupakan nevus melanositik jinak. Pada pasien ini, walaupun secara klinis bentuknya seperti nevus melanositik biasa, karena alasan estetik maka dilakukan eksisi seluruh lesi dan koreksi dengan menggunakan island pedicle flap, serta ditambahkan margin 2 mm, sesuai dengan literatur. Pada pasien ini, dipilih the island pedicle flap karena ukuran lesi (1,6 cm x 1,2 x 0,75 cm) , lokasi dari defek yaitu pada submandibula sehingga mempunyai sumber untuk pengambilan jaringan, dan disesuaikan dengan estetika. The island pedicle flap mempunyai suplai vaskular dibandingkan classic advancement flap, dengan pasokan darah berasal dari dasar flap dan harus menjangkau seluruh panjang dari flap sampai ke tepi.11 Tipe flap ini akan memberikan panjang tambahan jaringan yang diperkirakan sama ukurannya dengan defek dan meminimalisir distorsi lokal.11 Penyembuhan bekas luka eksisi dan flap pada pasien ini cukup baik. Hal tersebut dilihat dari didapatnya makula eritematosa di sekitar luka dua minggu pasca eksisi dan berkurang setelah enam minggu serta dengan jaringan parut hipertropik minimal. Dengan diagnosis ini, aspek yang penting untuk diperhatikan adalah edukasi pasien tentang adanya risiko keganasan dan apa saja yang harus dipantau secara berkala.1,2 Pasien harus diajarkan bagaimana memeriksa diri sendiri dengan bantuan dari foto dan melakukan follow-up jangka pendek yang dapat mendeteksi dan memastikan bahwa nevus stabil.1,2 Konseling untuk pasien CMN yang telah dilakukan pengangkatan termasuk bagaimana melindungi kulit dari pajanan sinar matahari dan penghindaran sunburn, baik untuk pasien maupun keluarga pasien.2,7 Hal tersebut termasuk penghindaran matahari pada siang hari, berjalan di tempat yang teduh, bila beraktifitas di luar ruangan memilih pada pagi hari atau sore hari, penggunaan pakaian protektif misalnya baju lengan panjang, rok atau celana panjang, dan juga tabir surya.2 Karena pasien merupakan pelajar SMA tanpa adanya aktifitas tambahan di luar ruangan, pajanan sinar matahari terhadap pasien relatif tidak banyak. Meskipun demikian, pada pasien dan keluarganya perlu dilakukan konseling menyeluruh mengenai perlindungan terhadap pajanan sinar matahari dan dianjurkan kontrol secara berkala untuk nevus lainnya. 37 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 33 - 38 MDVI DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 38 Grichnik JM, Rhodes AR, Sober A J, Benign Neoplasias and Hyperplasias of Melanocytes. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h. 1377-82. Bishop JA. Lentigos, Melanocytic Nevi and Melanoma. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: WilleyBlackwell; 2010.h. 54.10-54.9. Lyon VB. Congenital Melanocytic Nevi. Pediatr Clin N Am. 2010; 57: 1155–76. Barnhill RL. Tumors of the Melanocytes. Dalam: Barnhill RL, Crowson MA, Magro CM, Piepkorn MW, penyunting. Dermatopathology. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2010.h. 615-81 Weedon D. Lentigenes, Nevi and Melanomas. Dalam: Weedon D. Weedon’s Skin Pathology. Edisi ke-3. China: Churchill Livingstone Elsevier; 2010.h.713-34. Elder DE, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X, Benign Pigmented Lessions and Malignant Melanoma. Dalam: Elder DE, Johnson BL, Elenitsas R, Murphy GF, penyunting. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-9. New York: Lippincot Williams and Wilkins; 2005.h.713-44. Grichnik JM, Tucker MA. Atypical (Dysplastic) Melanocytic Nevi. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h. 1410-6. Arumi-Uria M. Dysplastic nevus: the eye of thehurricane. J Cutan Pathol. 2008; 35 (Suppl. 2): 16–9. Culpepper KS, Granter SR, McKee PH. My approach to atypical melanocytic lesions. J Clin Pathol 2004; 57: 1121–31. Sheehan JM, Kingsley M, Rohrer TE, Excisional Surgery and Repair, Flaps, and Grafts. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h. 2921-49. Ibrahimi O A, Alikhan A, Eisen DB. Congenital melanocytic nevi: Where are we now? J Am Acad Dermatol. 2012; 67: 515.e1-13. Bader RS. The Island Pedicle Flap: A Valuable Tool for the Repair of Small- to Medium-Sized Surgical Defects on the Extremities. Cosm Dermatol. 2007; 20(7): 446-8. 13. 14. 15. Lee KK, Swanson NA, Lee HN, Overview of flaps. Dalam: Color Atlas Of Cutaneus Excision And Repairs. Edisi ke-1. Cambridge: Cambridge University Press; 2008.h 33-48. Patel KG, Sykes J M. Concepts in local flap design and classification. Operative Techniques in Otolaryngology. 2011; 22: 13-23 Prieto VG,Shea CR. Immunohistochemistry of Melanocytic Proliferations. Arch Pathol Lab Med. 2011; 135: 853–9 Tinjauan Pustaka DERMATITIS KONTAK OKUPASIONAL PADA PENATA RAMBUT Affendi Purbananto, Sri Awalia Febriana, Dwi Retno Adi Winarni Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Gadjah Mada/RSUP dr. Sardjito Yogyakarta ABSTRAK Penata rambut adalah salah satu profesi yang rentan mengalami dermatitis kontak, terutama karena sering terpajan langsung dengan bahan kimia terkandung dalam berbagai produk maupun alat yang digunakan saat bekerja. Bahan bersifat iritan atau alergen pada produk pewarna rambut adalah p-phenylenediamine, p-methylaminophenol; dan hidrogen peroksida; pada pengeriting rambut adalah ammonium thioglycolate dan glyceryl monothioglycolate; pada pelurus rambut adalah formaldehid dan sodium hidroksida. Bermacam produk, misalnya sampo, pelembab (kondisioner), spray, gel, dan wax rambut juga dapat mengandung bahan bersifat iritan maupun alergen. Peralatan bekerja, misalnya gunting, biasanya mengandung nikel yang dapat menimbulkan dermatitis kontak, demikian pula sarung tangan lateks. Pencegahan dermatitis kontak pada penata rambut dapat dilakukan dengan menghindari atau mengganti produk perawatan rambut yang diduga sebagai penyebab. Selain itu, penggunaan alat pelindung, misalnya sarung tangan dan baju pelindung juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara kulit dengan berbagai bahan tersebut. Kata kunci: dermatitis kontak okupasional, penata rambut, alergen, iritan OCCUPATIONAL CONTACT DERMATITIS ON HAIRDRESSER ABSTRACT Hairdresser is one profession which is susceptible to contact dermatitis mainly, due to directly exposed to chemicals contained in various products or tools used when working. Materials that are irritants or allergensin hair dye products are p-phenylenediamine, p-methylaminophenol, and hydrogen peroxide; in hair curlers are ammonium thioglycolate and glyceryl monothioglycolate; in hair straightener are formaldehyde and sodium hydroxide. Products such as shampoo, conditioner, spray, gel, and hair wax may also contain irritants or allergens. Nickel contained in equipment works like scissors can also cause contact dermatitis, similarly with gloves that contain latex. Prevention of contact dermatitis in hairdressers can be done by avoiding or replacing hair care products are suspected as the cause. In addition, the use of protective equipments, such as gloves and protective clothing, is also very important to prevent direct skin contact with these materials. Keywords: occupational contact dermatitis, hairdresser, allergen, irritant Korespondensi: Gedung Radioputro Lantai 3, Jl. Farmako 1, Sekip, Sleman, Yogyakarta Telpon/Fax 0274-560700 Email: [email protected] 39 MDVI PENDAHULUAN Dermatitis kontak okupasional (DKO) adalah penyakit kulit non infeksius yang disebabkan atau diperburuk oleh pekerjaan seseorang karena kontak dengan bahan yang digunakan. DKO tidak menular dari satu individu ke individu lainnya, dan biasanya banyak terjadi di negara industri. Salah satu profesi yang rentan terkena DKO adalah penata rambut. Berdasarkan bahan yang sering digunakan penata rambut, bentuk DKO yang dialami berupa dermatitis kontak, baik iritan maupun alergi.1 Hal ini terjadi karena seorang penata rambut sering terpajan langsung dengan berbagai bahan kimia terkandung dalam produk yang digunakan, misalnya sampo, cairan pengeriting rambut, cat rambut, dan bahan pelurus rambut, ataupun kontak langsung dengan peralatan yang digunakan, misalnya gunting atau sarung tangan.2,3 Berdasarkan data epidemiologi, prevalensi DKO berkisar antara 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja per tahun.4 Penelitian terhadap 405 responden penata rambut dan ahli kosmetik nasional di Amerika Serikat ditemukan lebih dari 50% mengalami dermatitis kontak. Sebanyak 203 penata rambut yang mengalami dermatitis kontak, 62 di antaranya datang memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit dan 20 orang di antaranya mengalami dermatitis kronis.5 Meskipun DKO tidak memerlukan rawat inap, bersifat ringan, dan sering dianggap tidak berisiko, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial harus diperhitungkan.6 Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat membantu dalam mengenali berbagai bahan potensial menyebabkan DKO pada penata rambut, sehingga berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan kulit para penata rambut. EPIDEMIOLOGI Berbagai produk perawatan rambut telah banyak dilaporkan memiliki efek samping terhadap kulit. Keluhan yang sering dilaporkan adalah dermatitis kontak akibat reaksi alergi maupun iritasi.7,8 Dermatitis kontak iritan (DKI) terjadi sekitar 80% dari semua kasus DKO, sedangkan dermatitis kontak alergi (DKA) hanya berkisar 20%.1 Bagian tubuh yang terlibat biasanya adalah tangan dan lengan bawah.9 Sebuah penelitian di Italia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 60% dari 42.839 pasien dengan dermatitis kontak berprofesi sebagai penata rambut, merupakan satu dari lima pekerjaan yang memiliki angka kejadian tertinggi.7 Berdasarkan penelitian oleh Khumalo, dkk. (2005) pada 261 penata rambut yang mengalami dermatitis kontak di Eropa pada tahun 2005, 49 pasien di antaranya dilakukan uji tempel. Hasil uji tempel tersebut menunjukkan reaksi positif 1 pada 27 pasien dan 22 40 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44 pasien bereaksi positif lebih dari positif terhadap berbagai bahan kimia yang digunakan oleh penata rambut. Sembilan belas (7,3%) di antaranya positif alergi terhadap paraphenylenediamine (PPD) yang merupakan komponen pada pewarna rambut.7 Penelitian Lind, dkk. (2005) menyatakan bahwa selain PPD, kandungan dalam pewarna rambut lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi adalah toluene-2,5-diamine (TDA) atau sulfatnya, toluene-2,5diaminesulphate (TDS). PPD dan TDA (atau TDS) merupakan bahan yang paling berperan dalam reaksi alergi. Uji tempel yang dilakukan pada penata rambut, 1758% menunjukkan reaksi positif terhadap PPD dan 1425% terhadap TDA atau TDS.10 Dermatitis kontak umumnya terjadi pada 6 minggu pertama setelah memulai pekerjaan sebagai penata rambut. Sebuah studi potong lintang menunjukkan prevalensi dermatosis pada penata rambut berkisar antara 16,9% hingga 38,2%. Studi lain di kota Tainan, Taiwan, menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi terhadap DKI (83%) dan DKA (44%).7 ETIOLOGI Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan terjadi bila kulit terkena iritan ringan berulang-ulang dalam kurun waktu lama atau iritan kuat yang akan menyebabkan kerusakan kulit seketika, misalnya bahan yang mengandung asam atau basa.1 Penggunaan sampo dapat menghilangkan lipid dan kelembaban alami kulit tangan penata rambut. Produk hair finishing, hidrogen peroksida, dan amonia pada bahan pewarna rambut, serta iritan persulfate dan thioglycolates pada bahan bleaches dan cairan pengeriting rambut permanen juga berefek sama.11 DKI akan menyebabkan kulit menjadi kemerahan dan meradang yang tingkat keparahannya bergantung pada beberapa hal. Hal tersebut antara lain faktor individu berupa riwayat alergi atau riwayat dermatitis kontak sebelumnya, bagian tubuh yang terkena, serta kondisi lingkungan pekerjaan seperti cuaca panas dan kelembaban yang rendah akan menyebabkan kulit menjadi kering sehingga mempermudah terjadi friksi dengan peralatan yang digunakan.1 Dermatitis Kontak Alergi Dermatitis kontak alergi merupakan keadaan dimana individu tersensitasi dengan bahan yang disebut dengan alergen.1 Alergen yang paling sering ditemukan pada penata rambut adalah paraphenylenediamine dan oksidatif pewarna rambut, salts of thioglycolic acid pada pewarna rambut permanen yang dapat ditemukan pada rambut beberapa minggu setelah aplikasi. Resorsinol and A. Purbananto, dkk Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut pyrogallol pada bahan oksidatif pewarna rambut, sampo, dan bahan karet sarung tangan juga merupakan penyebab DKA pada penata rambut. Beberapa kasus di lingkungan kerja penata rambut juga ditemukan kejadian alergi terhadap nikel. Krim pengeriting rambut permanen yang mengandung ammonium thioglycolate juga dapat menyebabkan keluarnya nikel dari alat piñata rambut, misalnya gunting.2 DKA akan melibatkan sistem imun tubuh. Sel imun tubuh akan bereaksi dengan bahan yang masuk ke dalam tubuh. Bahan asing dari luar tubuh tersebut dapat berupa bahan kimia kuat yang terserap ke dalam kulit dan menimbulkan respons alergi seperti ruam. Ruam akan muncul sekitar 24 hingga 96 jam setelah kontak. Derajat keparahan reaksi tersebut bergantung pada berapa lama dan bagaimana kontak dengan alergen, jenis kelainan kulit, suhu dan kelembaban di tempat kerja apakah cenderung menyebabkan berkeringat atau kulit kering atau kulit pecah-pecah, dan faktor lainnya seperti usia dan riwayat DKA pada keluarga.1 PATOFISIOLOGI Dermatitis kontak iritan merupakan kondisi kerusakan kulit langsung yang disebabkan oleh bahan Tabel 1. Manifestasi klinis dermatitis kontak okupasional1 Dermatitis Kontak Alergi Kemerahan kulit Kering, bercak berskuama Bula membasah Sensasi terbakar atau gatal Bengkak pada mata Gatal Kulit menghitam/pecah-pecah Reaksi akan meluas hingga area sekitar kontak BAHAN IRITAN DAN PERAWATAN RAMBUT ALERGEN iritan. Bahan iritan tersebut akan merusak sel jika terkena dalam waktu dan konsentrasi tertentu. Dalam hal ini proses imunologis tidak terlibat dan tanpa didahului sensitasi terlebih dahulu. Iritan akan merusak dengan cara menghancurkan atau memindahkan lipid dan mengubah kapasitas pengikatan air, sehingga akan memicu kerusakan sel epidermis.1 Dermatitis kontak alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV yang hanya mengenai individu yang terpapar sensitizer sebelumnya. Dua fase dalam hipersensitivitas tipe IV adalah induksi dan elisitasi. Selama proses fase induksi, alergen atau hapten akan penetrasi ke epidermis dengan melibatkan antigenpresenting cell (APC). Proses antigen ini dipengaruhi oleh limfosit T. Fase elisitasi muncul ketika individu tersensitasi oleh antigen kembali. Antigen penetrasi ke epidermis dan diekspresikan oleh APC. Proses antigen dipengaruhi oleh limfosit T efektor yang bersirkulasi, sehingga menghasilkan limfokin yang akan memerantarai respons inflamasi yang merupakan karakteristik dari DKA.1 MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis antar individu akan berbeda bergantung pada pajanan bahan yang kontak dengannya.1 (Tabel 1) Dermatitis Kontak Iritan Kulit bengkak ringan Kulit terasa kaku Kulit kering pecah-pecah Bula/vesikel Reaksi lokalisata (terbatas pada area kontak) PADA Perawatan rambut dapat dilakukan dengan berbagai cara, dapat berupa pewarnaan rambut, pengeritingan rambut, pelurusan rambut, atau hanya menata rambut dengan menggunakan gel, spray, atau wax.2 Berikut adalah beberapa bahan dan alat yang sering menjadi bahan iritan dan alergen pada penata rambut: Pewarna rambut permanen. Pewarna rambut permanen terdiri atas 2 komponen utama, yaitu krim pewarna dan bahan oksidasi atau developer.12 Pewarna (krim pewarna). Pewarna terbagi atas 3 komposisi berdasarkan reaksi kimiawinya, yakni prekursor, couplers, dan direct dyes. Prekusor meliputi senyawa dengan gugus para-, misalnya p-phenylenediamine. Bila prekursor bertemu dengan bahan oksidasi (developer) maka akan teroksidasi dan segera bereaksi dengan couplers. Couplers meliputi senyawa dengan gugus meta, misalnya m- phenylenediamine.13 Senyawa p-phenylenediamine; merupakan komponen pewarna rambut yang paling banyak dilaporkan menyebabkan dermatitis kontak. Hampir semua merek pewarna mengandung komponen PPD tersebut. PPD sendiri dapat berekasi silang dengan benzokain, ester PABA, dan azo dyes khususnya disperse yellow 3 (DY3) dan disperse orange 1 (DO1).14 Senyawa p-methylaminophenol; termasuk komponen pewarna rambut yang sering menyebabkan dermatitis kontak, biasanya akan memperburuk keadaan pada indi 41 MDVI du yang juga sensitif dengan PPD.14 Bahan oksidasi (developer cream) Hidrogen peroksida. Merupakan bahan terpenting yang selalu ada pada sebagian besar pewarna rambut, namun diklasifikasikan sebagai bahan oksidasi. Terkadang ammonium hidroksida ditambahkan di dalam pewarna rambut untuk mengaktivasi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida juga terdapat pada produk pengeriting rambut sebagai bahan neutralizing. Biasanya hidrogen peroksida lebih sering menyebabkan DKI dibandingkan dengan DKA karena sifatnya yang iritatif.12,14 Pengeriting Rambut Glyceryl monothioglycolate. Merupakan komponen dalam pengeriting rambut yang paling sering menyebabkan dermatitis kontak.14 Ammonium thioglycolate. Merupakan bahan utama di dalam pengeriting rambut permanen dan merupakan penyebab dermatitis kontak terbanyak kedua pada pengeriting rambut setelah glyceryl monothioglycolate.14 Pelurus Rambut Formaldehid. Sumber atau produk yang mengandung formaldehid sangat banyak. Selain terdapat pada komponen pelurus rambut, formaldehid biasanya terdapat pada produk kosmetik lainnya, yaitu sabun mandi, sampo, pewarna kuku, disinfektan, deodoran, cairan kumur, pemoles mobil, pembersih kloset, plastik, pengawet kosmetik, dan obat-obatan. Selain dapat menyebabkan dermatitis kontak, formaldehid juga dapat menyebabkan urtikaria kontak.14,15 Sodium hidroksida. Sodium hidroksida atau natrium hidroksida adalah sejenis logam kaustik yang terbentuk dari oksida basa. Sodium oksida larut dalam air. Sodium hidroksida membentuk larutan alkalis yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Sodium hidroksida digunakan di berbagai macam bidang industri, sering digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen, serta di laboratorium kimia. Karena sifatnya yang basa, sodium hidroksida digunakan pada pencampuran komponen pelurus rambut.14 Pencuci (sampo), pelembab (kondisioner), spray, gel, dan wax rambut Tensides (concamidopropyl betaine). Concamidopropyl betaine digunakan sebagai pembentuk busa pada sampo, dapat berfungsi pula sebagai surfaktan pada produk sabun tangan. Concamidopropyl betaine juga digunakan dalam kosmetik sebagai bahan pengemulsi dan pengental, sehingga dapat mengurangi iritasi. Pada kondisioner rambut berfungsi sebagai bahan antistatik sehingga tidak mengiritasi kulit kepala. Beberapa penelitian 42 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44 menunjukkan concamidopropyl betaine justru bersifat alergen. Concamidopropyl betaine juga memiliki sifat antiseptik.14 Bahan pengawet Methyldibromo Methyldibromo glutaronitrile. glutaronitrile umumnya digunakan sebagai pengawet. Kontak dengan bahan kimia tersebut dapat menyebabkan alergi dan beberapa dilaporkan positif pada uji tempel.14,15 Methylchloroisothiazolinone. Methylchloroisothiazolinone, selain sebagai pengawet pada produk kosmetik, juga dapat berfungsi sebagai antibakterial yang efektif terhadap bakteri Gram positif dan negatif, serta sebagai antifungal. Pada konsentrasi yang tinggi, methyl chleroisothiazolinone dapat menjadi iritan pada kulit. Beberapa laporan juga menyatakan dapat menyebabkan kontak alergi pada beberapa individu.14,15 Parabens. Parabens banyak digunakan sebagai pengawet pada kosmetik, farmasi, dan beberapa makanan. Kosmetik yang mengandung parabens berupa sampo, cat rambut, produk perawatan rambut, krim perawatan kulit, maskara, lipstik, alas bedak, eye shadow, eye liner, dan pemerah pipi.14 Parfum Hydroxylsohexyl 3-cyclohexene carboxaldehyde. Hydroxylsohexyl 3-cyclohexene carboxaldehyde merupakan pewangi sintetik yang terdapat dalam sabun dan deodoran. Seringkali menyebabkan kontak alergik dengan prevalensi 2-3%.14 Cinnamaldehyde. Cinnamaldehyde merupakan pewangi yang ditambahkan pada beberapa produk kosmetik. Cinnamaldehyde tersebut dapat ditemukan secara alami dalam minyak esensial chamomile, namun jarang sekali menyebabkan kontak alergik.14 Alat Kerja Gunting, jepit rambut, rol rambut. Nikel. Penelitian yang dilakukan Wahhberg (2008) pada 35 penata rambut, mendapatkan hasil 29 orang positif pada uji tempel standar yang dilakukan, dan 14 di antaranya positif terhadap nikel. Prevalensi alergi yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh kekerapan penggunaan alat yang mengandung nikel, misalnya gunting, jepit, rol, dan alat pengeriting rambut.5 Sarung Tangan. Lateks; Lateks merupakan emulsi kompleks yang mengandung emulsi, protein, alkaloid, pati, gula, terpena, minyak, tannin, dan resin.14 Mercaptobenzothiazoles. Terdapat pada berbagai produk yang terbuat dari karet alami. Selain sarung tangan, A. Purbananto, dkk mercaptobenzothiazoles dapat ditemukan pada ear plug, sepatu karet, apron, masker, dan baju renang. Mercapto Tabel 2. Bahan iritan dan alergen dalam berbagai produk perawatan rambut5, 12-15 Jenis Bahan/Alat Komponen Krim pewarna: p-phenylenediamine p-methylaminophenol 2-methyl-5-hydroxyethylaminophenol m-phenylendiamine Pewarna rambut Bahan Oksidasi: Hydrogen peroxide Hydrochinone p-dihydroxybenzol Kalium persulfat Natrium persulfate Pengeriting Ammonium thioglycolate rambut Glyceryl monothioglycolate permanen Cysteaminehydrochloride Formaldehid Sodium hydroxide Pelurus Rambut Potassium hydroxide Lithium hydroxide Tensides (concamidopropyl betaine), Bahan pengawet (methyldibromo Sampo, Glutaronitrile, parabens kondisioner, methylchloroisothiazolinone), hair spray, hair gel,hair wax Parfum (cinnamal, eugenol, hydroxylsohexyl 3-cyclohexene carboxaldehyde) Kontak dengan Gunting (nikel) alat kerja Sarung tangan (latex, mercaptobenzothiazoles, thiurames, Pelindung kulit dithiocarbamates, phthalates, formaldehyde) enzothiazoles dilaporkan sering menyebabkan DKA.14 Bahan iritan dan alergen yang terkandung dalam berbagai produk perawatan rambut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. DIAGNOSIS Diagnosis DKI pada dasarnya diketahui berdasarkan riwayat paparan terhadap bahan yang berpotensi sebagai iritan seperti tercantum pada Tabel 2. Manifestasi klinis dan lokasi distribusinya juga dapat mengarahkan kita untuk mendiagnosis DKI. Kelainan kulit yang timbul biasanya dapat menghilang setelah menjauhkan diri dari bahan iritan, dan jika perlu dapat diberikan pengobatan khusus. DKI pada beberapa kasus juga dapat merupakan efek kumulatif dari iritan yang multipel.1 Pada DKA lebih mudah untuk mengenalinya dan tidak diperlukan tes spesifik. Kelainan kulit akan hilang (walaupun tidak selalu) sepenuhnya bila kontak dengan alergen pada Tabel 2 dapat dihindari. Tes tempel dapat dilakukan untuk mengonfirmasi DKA dan Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut mengidentifikasi alergen penyebab. koeksistensi dengan DKI dapat juga terjadi.1 Iritan Sensitizer + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Terkadang + + + + + + + + + + + + PENATALAKSANAAN Pencegahan Gejala DKO berkurang bila pasien beristirahat dari pekerjaannya. Kekambuhan saat pasien bekerja kembali sangat bervariasi, berkisar antara 35-80%.16,17 Prevalensi DKO dapat diturunkan melalui pencegahan yang sempurna, antara lain: 1) pemahaman tentang lingkungan kerja dan berbagai bahan yang mungkin menyebabkan DKO, sehingga dapat menghindari kontak langsung dengan bahan tersebut; 2) penggunaan alat pelindung diri, misalnya baju pelindung dan sarung tangan, bertujuan menghindari kontak langsung antara kulit dengan bahan bersifat iritan atau allergen;1,18 3) melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima, pekerja kemudian ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan terhadap dirinya sesuai hasil uji tempel; 4) pemeriksaan kesehatan berkala bertujuan untuk mengetahui dengan cepat dan tepat apakah pekerja terkena penyakit kulit akibat kerja; 5) kerjasama antara dokter, ahli kimia, dan ahli dalam bidang tenaga kerja untuk mengatur alat kerja, cara kerja, atau memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan untuk mencegah kontaminasi pada kulit.1 Pengobatan 43 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 39 - 44 MDVI Tatalaksana utama ialah menghindari pajanan bahan atau alat yang dicurigai, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Dengan menghindari penyebab, DKO akan sembuh sendiri tanpa pengobatan topikal dan mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan kronik dapat diberikan kortikosteroid lebih kuat.17,19 6. PROGNOSIS Prognosis pada DKO akut cukup baik, terutama pada penata rambut yang menjalankan rencana terapi dengan kooperatif. Kekambuhan dapat muncul apabila terpajan iritan atau alergen kembali. Bila bahan iritan tidak dapat dihindari dengan sempurna, maka prognosis menjadi kurang baik. Keadaan tersebut sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor.17 Prognosis pada DKA umumnya baik, sejauh bahan kontak dapat dihindari. Prognosis menjadi kurang baik dan kronik bila terjadi bersamaan dengan faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari.17,18 10. KESIMPULAN Dermatitis kontak okupasional pada penata rambut muncul ketika terjadi kontak dengan bahan dan alat yang bersifat allergen atau iritan pada saat bekerja. Penggunaan masker, sarung tangan plastik, dan baju pelindung pada saat bekerja dapat mencegah kontak kulit langsung dengan bahan tersebut. Pemeriksaan kesehatan berkala dan edukasi yang baik oleh dokter dapat mengurangi angka kejadian DKO tersebut. 7. 8. 9. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. DAFTAR PUSTAKA 1. Krishnan S, Darmada IGK, Rusyati LMM. Occupational contact dermatitis. J Udayana. 2013; 1: 17 2. Schwensen JF, Johansen JD, Veien NK, Funding AT, Avnstorp C, Osterballe M, dkk. Occupational contact dermatitis in hairdressers: an analysis of patch test data from the Danish Contact Dermatitis Group, 2002–2011. Contact Dermatitis. 2013; 70: 233–237 3. Kezic S, Visser MJ, Verberk MM. Individual susceptibility to occupational contact dermatitis. Industrial Health. 2009; 47: 469-78 4. Tanja Korfitsen Carøe, Niels Ebbehøj, Tove Agner. A survey of exposures related to recognized occupational contact dermatitis in Denmark in 2010. Contact Dermatitis. 2013; 70: 56–62 5. Putra IB. Penyakit kulit akibat kerja karena kosmetik. USU Repository. 2008; 1: 1-8 44 18. 19. Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D, Wilkinson M. U.K. standards of care for occupational contact dermatitis and occupational contact urticarial. Br J Dermatol. 2013; 168: 1167–75 Khumalo NP, Jessop S, Ehrlich R. Prevalence of cutaneous adverse effects of hairdressing. Arch Dermatol. 2006; 142: 377-83 Heidi Søsted. Occupational Contact Dermatitis: Hairdressers. Contact Dermatitis. 2010; 45: 865-71 Koch P. Occupational contact dermatitis: recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2001; 2(6): 353-65 Lind ML. Dermatitis in hairdressers as a problem in chemical control. Ann Occup Hyg. 2005; 49(6): 457-59 Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.h.129-53 Nohynek GJ, Skare JA, Meuling WJ, Wehmeyer KR, de Bie AT, Vaes WH, dkk. Human systemic exposure to [14 1 c]-paraphenylenediamine-2 containing oxidative hair dyes: absorption, kinetics, 3 metabolism, excretion and safety assessment. Food Chemic. 2015; 1; 1-32 Bowling JC, Scarisbrick J, Warin AP. Allergic contact dermatitis from trideceth-2-carboxamide monoethanolamine (MEA) in hair dye. Contact dermatitis. 2002; 47: 116-7 Coz CJ, Lepoittevin JP. Allergens: chemical structures, sources and references. Berlin: Springer Berlin Heidelberg; 2007: 1-254 Rietschel RL, Fowler JF. Preservative and vehicles in cosmetics and toiletries. Fisher’s Contact Dermatitis. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.h. 303-4 Brown T. Strategies for Prevention: occupational contact dermatitis. Occupat Med. 2004; 54(7): 450-7 Taylor JS, Sood A. Occupational skin disease. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2008.h.2067-80 Mari CT, Kathryn AZ. Allergic contact dermatitis. Dalam: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw Hill; 2012.h. 152-65 Sosted H, Agner T, Andersen KE, Menne T. 55 cases of allergic reactions to hair dye: a descriptive, consumer complaint-based study. Contact dermatitis. 2002; 47: 299-303 Tinjauan Pustaka PEMERIKSAAN GENETIK ANTENATAL PADA GENODERMATOSIS Frien Refla Syarif, Sri Lestari Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Andalas/RSUP dr.M.Djamil Padang ABSTRAK Pemeriksaan genetik antenatal telah berkembang dengan pesat dalam genodermatosis. Genodermatosis merupakan penyakit yang diturunkan dalam hal struktur dan fungsi kulit mencakup berbagai penyakit kulit turunan yang mungkin terkait dengan risiko mortalitas yang bermakna dan morbiditas jangka panjang. Terdapat kemajuan yang pesat dalam metode untuk pemeriksaan antenatal sejak 1980-an. Di masa lalu, pilihan untuk diagnosis antenatal pada penyakit ini terbatas pada biopsi kulit fetus, tetapi saat ini kemajuan genetika molekuler telah berkembang dan sangat mempengaruhi diagnosis prenatal bidang dermatologi. Pertemuan antara ilmu genetika dan dermatologi telah semakin luas dengan dapat diidentifikasinya kelainan gen yang diturunkan hingga meningkatkan penemuan spektrum fenotip dan integrasi data molekuler dan klinis. Selain itu, diagnosis prenatal memberikan orangtua pilihan terapi pada waktu yang lebih cepat. Di Indonesia perkembangan ilmu genetik dan clinical genetic (genetik klinis) sudah berkembang cukup pesat. Konseling genetik sebagai sebuah ilmu dan konselor genetik sebagai sebuah profesi telah berkembang pesat di negara maju demikian juga di beberapa negara berkembang. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, hal ini tentunya merupakan tantangan yang terkait dengan kesehatan untuk memberikan layanan ini. Kata kunci: pemeriksaan genetik antenatal, genodermatosis ANTENATAL GENETIC EXAMINATION IN GENODERMATOSES ABSTRACT Antenatal genetic exmination has been developing progress in genodermatoses. Genodermatoses refer to inherited disease of skin structure and function. It encompasses a range of inheritable skin diseases that may be associated with significant mortality rate and long-term morbidity. There have been major advances in methods for antenatal testing since 1980s. In the past, options for antenatal diagnosis of these diseases were limited to fetal skin biopsy but presently the progress of molecular genetics led to a revolution which also had affected the dermatology field profoundly. The interface between genetics and dermatology has broadened with the identification of the heritable disorders, improve recognition of phenotypic spectrums and integration of molecular and clinical data. Furthermore, prenatal diagnosis gives parents the therapeutic option at the earliest possible time. In Indonesia, the development of genetic science and clinical genetics (genetic clinic) has been growing quite rapidly. Genetic counseling as a science and as a profession genetic counselor has been growing rapidly in developed countries as well as in some developing countries. Since Indonesia is the fourth most populous country in the world, it is certainly a challenge related to health to provide this service. Keywords: antenatal genetic examination, genodermatoses Korespondensi: Jl. Perintis Kemerdekaan – Padang Telp/fax: 0751-810256 Email: [email protected] 45 MDVI PENDAHULUAN Diagnosis genodermatosis di masa lampau sulit ditegakkan dengan begitu banyaknya sistem klasifikasi dan nomenklatur yang tidak konsisten. Sejak dasar genodermatosis telah ditentukan, integrasi molekuler dan data klinis dapat membantu untuk mempermudah mengelompokkan penyakit dan mengeliminasi terminologi yang tidak diperlukan.1,2 Genodermatosis meliputi berbagai penyakit kulit turunan yang berhubungan erat dengan kekerapan mortalitas dan morbiditas jangka panjang.3 Pada saat mengevaluasi pasien yang dicurigai berpenyakit genodermatosis, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendapatkan riwayat genodermatosis melalui anamnesis sedikitnya dari 3 generasi dan memeriksa status dermatologikus termasuk rambut, kuku, dan mukosa oral/gigi. Ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan riwayat pada keluarga (terutama orangtua dan saudara sedarah) yang memiliki kelainan yang sama sehingga dapat menegakkan pola penurunan genetik pada keluarga. Hasil pemeriksaan laboratoris, radiografi, dan histologis sebelumnya juga harus dikumpulkan.4 Dahulu diagnosis prenatal untuk berbagai kondisi ini dilakukan hanya dengan biopsi kulit fetus.3 Eritroderma iktiosiformis kongenital bulosa dan junctional EB merupakan kondisi pasien yang sukses pertama kali didiagnosis menggunakan teknik ini.5 Biopsi kulit fetus dimulai sejak tahun 1987 pada saat ditemukannya delesi gen steroid sulfatase yang mengakibatkan terjadinya iktiosis x-linked recessive.6 Dua puluh lima tahun terakhir terdapat kemajuan yang bermakna dalam menjelaskan dasar genetik gangguan kelainan kulit.6 Penelitian pada mutasi gen manusia kemudian berkembang pada tahun 2003.7,8 Sejak tahun 2000 terdapat kemajuan pesat berbagai penelitian yang menemukan lebih dari 1000 gen bertanggungjawab terhadap fenotip manusia dan mencapai 300 gen yang berhubungan dengan abnormalitas pada kulit.9-12 Sebelum dilakukan diagnostik molekuler pada pasien genodermatosis, keuntungan dan kerugian pemeriksaan ini harus dipertimbangkan dan dibicarakan dengan pasien dan/atau keluarga pasien. Efek hasil pemeriksaan terhadap pasien yang diperiksa atau anggota keluarga harus dijelaskan kepada pasien dan keluarga. Konfirmasi diagnosis yang dicurigai penting pada saat hasil pemeriksaan karena dapat mempengaruhi prognosis, monitoring dan/atau terapi.4,13,14 Masalah medis selama kehamilan dan kelahiran dapat diantisipasi dan diterapi tepat waktu, misalnya proses persalinan yang tidak maju (kala dua memanjang) bila ibu mengandung bayi dengan iktiosis x-linked. Oleh sebab itu, diagnosis prenatal memberikan pilihan abortus terapeutik terhadap bayi yang dikandung15 dengan 46 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53 pertimbangan risk and benefit, serta etika, moral, dan legalitas.31 Alasan lain untuk melakukan pemeriksaan antenatal adalah terdapatnya faktor risiko pada anggota keluarga yang tidak memiliki kelainan klinis genodermatosis atau untuk menentukan anggota keluarga mana yang carrier (pada kelainan resesif).4,13,14 Sebelum melakukan analisis genetik diperlukan konseling dan informed consent terhadap pasien dan keluarga. Dijelaskan juga kemungkinan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila terdapat perubahan genetik yang tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode pemeriksaan yang akan dilakukan, mosaicism, genetic (locus) heterogeneity dan kesalahan laboratoris.4 Keterbatasan pemeriksaan, termasuk mahalnya harga pemeriksaan, terdapat potensi kesalahan diagnostik dan implantansi pada embrio serta rasio kehamilan menjadi lebih rendah pada pasien yang melakukan prenatal/implantation genetic diagnosis (PGD) dibandingkan dengan pasien yang sedang menjalani fertilisasi invitro.4,16 Di Indonesia perkembangan ilmu genetik dan clinical genetic (genetik klinis) sudah berkembang cukup pesat. Konseling genetik sebagai sebuah ilmu dan konselor genetik sebagai sebuah profesi telah berkembang pesat di negara-negara maju demikian juga di beberapa negara berkembang. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, hal ini tentunya merupakan tantangan yang terkait dengan kesehatan untuk memberikan layanan ini.17 Rumah Sakit Harapan Kita dan Eijkman Institute di Jakarta, RS Telogorejo dan Universitas Diponegoro di Semarang, Inter-University Center (IUC) Bioteknologi di Bandung menyediakan pelayanan diagnostik sitogenetik di Indonesia.18 Makalah ini membahas tentang indikasi, kontraindikasi, aspek etika, dan teknik pemeriksaan genetik yang dapat dilakukan untuk mebantu menegakkan diagnosis pasti antenatal pada genodermatosis. PEMERIKSAAN ANTENATAL Definisi pemeriksaan antenatal Pemeriksaan antenatal adalah program peduli kesehatan kandungan yang bertujuan mengoptimalkan kesehatan ibu dan anak melalui monitoring reguler pada kehamilan.19 World Health Organization (WHO) mendefinisikan pemeriksaan antenatal sebagai pemeriksaan selama kehamilan oleh dokter atau tenaga medis yang ahli.20 Konseling genetik dan diagnosis prenatal Konseling genetik merupakan satu proses komunikasi efektif dokter-pasien atau keluarga pasien untuk mendapat penjelasan penyakit, prognosis, risiko kejadian, FR. Syarif & S. Lestari pola penurunan genetik, pencegahan, dan tatalaksana penyakit sebelum orangtua pasien memilih terapi. Konseling genetik penting pada praktik dermatologi dan diagnosis prenatal, terutama dilakukan pada penyakit genodermatosis yang berat.21 Diagnosis prenatal dilakukan untuk memprediksi kelainan genetik pada anak yang belum lahir menggunakan metode invasif dan non-invasif.22 Sebelum adanya metode pemeriksaan non-invasif berbasis DNA, diagnosis prenatal pada genodermatosis menggunakan analisis ultrastruktural dan imunohistokimia dengan biopsi kulit fetus yang diperoleh pada usia gestasi 18 dan 22 minggu. Kelainan genetik herediter yang terdapat pada anggota keluarga atau carrier harus diidentifikasi sebelum dilakukan pemeriksaan.23,24 Pemeriksaan diagnostik prenatal untuk genodermatosis dilakukan pada rerata usia gestasi 19 minggu. Pada saat mutasi genetik telah teridentifikasi dalam suatu keluarga, pemeriksaan ini harus dilakukan.21 Indikasi dan kontraindikasi diagnosis prenatal Hal terpenting pada diagnosis prenatal genodermatosis adalah memperoleh informasi rinci tentang riwayat kesehatan 3 generasi sebelumnya pada seorang pasien dengan tujuan untuk menilai risiko kejadian penyakit.25 Indikasi medis yang diperlukan untuk pemeriksaan genetik pada genodermatosis adalah adalah terdapatnya faktor risiko pada anggota keluarga yang tidak memiliki kelainan genodermatosis atau untuk menentukan anggota keluarga mana yang carrier (kelainan resesif). Pre-natal/implantation genetic diagnosis dilakukan pada orangtua yang memiliki anak dengan kecurigaan genetik yang diturunkan secara resesif autosomal (RA), dominan autosomal (DA) dan ibu yang dicurigai carrier atau pasien dengan kelainan xlinked.4,13,14 Infeksi serviks aktif, misalnya klamidia atau herpes, infeksi vaginal, perdarahan vagina atau vaginal spotting, uterus anteversi atau retroversi yang ekstrim merupakan indikasikontra dalam pemeriksaan antenatal invasif.26 Sedangkan kehamilan kembar saat ini menjadi kontra indikasi untuk pemeriksaan antenatal noninvasif dengan teknik pemisahan sel fetus dari darah ibu.27 Aspek etika diagnosis prenatal Bahan pemeriksaan untuk diagnosis prenatal dan genetik medik awalnya diambil dari cairan amnion (amniosintesis).21 Namun, akibat tindakan tersebut terdapat kecenderungan terminasi kehamilan.21,28 Terminasi kehamilan masih menjadi perdebatan dalam bidang moral, etik, dan legalitas.29 Oleh karena alasan ini, pemeriksaan diagnosis prenatal harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan informed consent.21,30 Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis Terminasi dapat dilakukan kapan saja selama masa gestasi apabila terdapat risiko tinggi, batasan usia aborsi adalah usia kehamilan kurang dari 24 minggu, namun batasan ini tidak dipakai pada kasus apabila bayi yang akan lahir akan menderita abnormalitas fisik maupun mental atau akan menderita cacat yang berat.28 Keputusan untuk melakukan terminasi tiap individu berbeda, dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk nilai agama, etika, dan hukum, indikasi medis. Beberapa genodermatoses menyebabkan morbiditas yang bermakna, umpamanya Harlequin ichthyosis dan beberapa bentuk epidermolisis bulosa. Banyak genodermatosis lainnya hanya mengakibatkan masalah kosmetik namun tidak berpengaruh pada harapan hidup. Hingga saat ini belum ada panduan PGD yang jelas dan setiap kasus harus dipertimbangkan secara individual.31 Teknik diagnostik prenatal Teknik yang digunakan dalam diagnostik prenatal meliputi beberapa teknik yang dilakukan untuk melihat defek kelahiran dan kondisi genetik termasuk prosedur invasif baku, yaitu amniosintesis, chorionic villus sampling (CVS) dan kordosintesis, fetoskopi dan biopsi kulit fetus maupun prosedur noninvasif seperti ultrasonografi, pemisahan sel fetus dari darah ibu dan teknik gen molekuler.32 Teknik diagnostik prenatal harus dibedakan dengan metode screening prenatal. Screening prenatal, misalnya serum screening dan ultrasonografi rutin dilakukan namun tidak untuk menegakkan diagnosis.32,32 Pemeriksaan genetik antenatal untuk genodermatosis terus berkembang dan di masa depan metode noninvasif diyakini mudah tersedia. Pemanfaatan diagnosis genetik prenatal untuk gangguan kulit yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, tetapi dengan fenotip lebih ringan, menimbulkan tantangan baru bagi penyedia layanan kesehatan. Skema ringkas metode diagnosis prenatal ditunjukkan pada gambar. 1.31 Gambar 1. Pemilihan teknik pemeriksaan antenatal. 47 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53 MDVI PEMERIKSAAN GENODERMATOSIS ANTENATAL PADA Teknik pemeriksaan antenatal Kelainan kongenital merupakan penyebab 20-25% kematian perinatal.34 Pemeriksaan klinis sangat penting dalam menegakkan diagnosis kerja pada beberapa kelainan genetik termasuk genodermatosis.3 Teknik pemeriksaan antenatal sangat membantu dalam penemuan Tabel.1 Teknik yang tersedia untuk diagnosis prenatal pada genodermatosis Teknik Waktu gestasi Biopsi kulit fetus 15 – 27 minggu (waktu yang tepat bergantung pada penyakit) risiko kelainan genetik dan pada ibu yang merencanakan kehamilan.3,35 Pemeriksaan antenatal tidak hanya kehamilan.3,35 Pemeriksaan antenatal tidak hanya digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis pada genodermatosis, namun juga diperlukan untuk tatalaksana.3 Teknik ini merupakan teknik lanjut untuk memperoleh penegakan kemungkinan diagnosis sejak masa gestasi menggunakan berbagai teknik.34,36 Teknik diagnosis prenatal yang dapat digunakan di bidang dermatologi tertera dalam tabel di bawah ini.15 - Risiko dan kerugian Dilakukan pada waktu akhir gestasi Dapat tidak memastikan diagnosis Fetal scarring Fetal loss (1-3%) Infeksi Kebocoran amnion - Fetal loss (0.5%) Kebocoran amnion Vaginal spotting/bleeding Infeksi Fetal loss (1%) - Dapat mengenai anggota tubuh fetus Vaginal spotting/bleeding Meningkatkan insiden hemangioma infantil Kebocoran amnion Keuntungan - Digunakan apabila gen penyebab tidak dapat ditemukan, mutasi spesifik tidak dapat diidentifikasi atau analisis keterkaitan gen tidak tersedia - Telah banyak dilakukan Amniosintesis 15 – 20 minggu Chrionic villus sampling (CVS) 10 – 12 minggu Diagnosis genetik preimplantasi Sebelum implantasi blastosis - Kriteria diagnosis tidak terlalu khas pada kasus genodermatosis - Bentuk genodermatosis tidak tampak hingga akhir masa gestasi Ultrasonografi Pada masa kehamilan namun detail fetus dapat divisualisai dengan lebih baik setelah 18 – 20 minggu Maternal serum screening (pemisahan sel fetus dari darah ibu) - Mahal - Terbatas dilakukan karena memerlukan uji prenatal tambahan untuk konfirmasi - Rasio kehamilan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan in vitro fertilization - Memerlukan uji prenatal tambahan untuk konfirmasi 15 – 20 minggu - Telah banyak dilakukan - Dilakukan pada awal kehamilan - Mengeliminasi terminasi pada fetus yang menderita genodermatosis - Menguntungkan bagi pasutri yang memiliki kesulitan memiliki anak - Dapat mendeteksi abnormalitas pada genodermatosis tanpa adanya riwayat keluarga - Noninvasif - Iktiosis x-linked berhubungan dengan rendahnya kadar estradiol unconjugated - Noninvasif TEKNIK NONINVASIF Ultrasonografi Kondisi genetik dapat didiagnosis dengan menggunakan teknik visualisasi fetal langsung terhadap fetus menggunakan ultrasound yang merupakan gelombang suara frekuensi tinggi yang dipantulkan dari densitas jaringan fetus di uterus.37 Ultrasonografi merupakan metode konvensional dalam diagnosis prenatal yang sering digunakan. Tanda beberapa genodermatosis dapat diperoleh menggunakan ultrasonografi terutama pada kasus 48 de novo.31 Sedangkan pemeriksaan histopatologi penting pada kelainan kulit yang diturunkan, namun banyak di antaranya yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan ini.38 Ultrasonografi yang digunakan untuk diagnosis prenatal hanya dapat dilakukan setelah usia gestasi 18 minggu.31,37 Kelainan kulit yang dapat didiagnosis menggunakan metode ini antara lain epidemolisis bulosa (EB), iktiosis Harlequin, displasia ektodermal hipohidrotik, displasia kondroektodermal, nevus sebasea linear, cutis verticis gyrata, dan tuberous sclerosis.37,39-41 FR. Syarif & S. Lestari Snowflake sign (partikel echogenic multipel pada cairan amnion) yang terdapat pada kavitas amnion merupakan petanda pengelupasan kulit fetus untuk beberapa kelainan termasuk junctional EB dengan atresia pilorik dan iktiosis Harlequin.42,43 Snowflake sign juga ditemukan pada aplasia cutis congenita.44 Epidermolisis bulosa. Salah satu tanda kemungkinan diagnosis epidermolisis bullosa (EB) adalah terdapatnya atresia pilorik pada fetus yang dapat dilihat menggunakan ultrasonografi, dan tanda lainnya adalah stenosis ureteral, artrogriposis, deformitas hidung atau telinga.42 Diagnosis prenatal junctional EB dengan atresia pilorik dapat teridentifikasi dengan tampilan nonkutan misalnya dilatasi gaster dan polihidramnion.45 Iktiosis Harlequin. Kecurigaan terhadap diagnosis iktiosis Harlequin dapat ditegakkan apabila ditemukan bentuk wajah dismorfik, ekstremitas abnormal, kontraktur sendi yang luas, deformitas fleksor pada jari-jari fetus, keterbatasan pertumbuhan janin dan adanya partikel hiperekhogenik dalam cairan amnion.46-48 Dismorfik fasial dapat terlihat lebih jelas dengan menggunakan ultrasonografi tiga dimensi.49 Aplasia cutis congenital. Terlihat lesi cystic yang halus terdapat pada skalp tanpa adanya kelainan serebral. Placental infarcts, amniotic bands, fetus papyraceous juga berhubungan dengan penyakit ini. Untuk menegakkan diagnosis prenatal penyakit ini harus didapatkan riwayat keluarga dengan pola penurunan penyakit dominan autosomal dan riwayat infeksi pada kehamilan sebelumnya.50 Displasia ektodermal hipohidrotik. Pada dysplasia hipohidrotik dapat ditemukan facial cleft, cyclopia, dan kelainan orbita. Defek fasial pada fetus akan lebih jelas bila dilakukan ultrasonografi pada usia kehamilan 24 minggu, namun dapat dilakukan lebih awal bila menggunakan ultrasonografi tiga dimensi (3-D).37 Displasia kondroektodermal. Terdapat defek pada jantung yang dapat dilihat menggunakan USG, defek berupa atrium and endocardial cushion..51 Nevus sebasea linear. Akan nampak massa jaringan lunak pada garis tengah tubuh fetus diikuti dengan terdapatnya makrosefali dan polihidramnion.39 Dapat juga terlihat berupa skin tag-like lesion pada tempat predileksi nevus sebasea linear.52 Cutis verticis gyrate. Pada daerah kepala fetus akan tampak cairan antara skalp dengan tulang kranium yang akan menghilang pada usia kehamilan 20 minggu.40 Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis Tuberous sclerosis. Penemuan cardiac rhabdomyoma merupakan salah satu tanda tuberous sclerosis namun apabila hanya terdapat satu cardiac rhabdomyoma maka diagnosis tuberous sclerosis menjadi meragukan. Terdapatnya tumor yang multipel dapat menguatkan kecurigaan diagnosis tuberous sclerosis.43,53 Pemisahan sel fetus dari darah ibu. Inti sel fetus (eritroblas) yang bersirkulasi dalam darah maternal yang berjumlah sangat banyak dapat digunakan untuk pemeriksaan ekstraksi DNA.54,55 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada trimester pertama kehamilan. Tidak terdapat risiko infeksi maternal atau abortus. Sel fetus dapat diisolasi dari darah maternal menggunakan flow cytometry, antibodi monoklonal atau polymerase chain reaction (PCR).54 Iktiosis x-linked merupakan penyebab utama nilai yang sangat rendah dari unconjugated estradiol yang merupakan salah satu marker pada genodermatosis ini. Pada kondisi ini terdapat insufisiensi steroid sulfatasi plasenta yang merupakan tanda kecurigaan iktiosis xlinked. Oleh karena itu amniosintesis atau chorionic villus sampling harus dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan diagnosis ini.56 TEKNIK INVASIF Diagnosis prenatal merupakan sinonim pemeriksaan antenatal invasif dan evaluasi kromosom.57 Indikasi untuk pemeriksaan antenatal menggunakan teknik invasif adalah terdapatnya peningkatan risiko terjadinya kelainan genetik pada fetus.58 Amniosintesis Teknik ini umumnya digunakan prosedur invasif untuk diagnosis prenatal pada trimester kedua kehamilan.31 Prosedur ini dilakukan dengan cara insersi jarum 20-22 gauge melalui kulit abdomen ibu dan uterus menuju ke dalam kantung amnion, kemudian dilakukan aspirasi cairan amnion (tidak lebih dari 20-30 ml) yang berisi sel fetus. Prosedur ini umumnya dilakukan pada usia gestasi 16 minggu, dapat dilakukan antara minggu 914 yang disebut dengan early amniocentesis, namun cairan amnion masih sedikit dan biasanya dilakukan untuk penelitian sitogenik. Pemeriksaan ini biasanya dituntun menggunakan ultrasound.59 Amniosintesis merupakan prosedur yang relatif aman. Frekuensi kejadian chorioamnionitis yang disebabkan oleh amniosintesis sekitar 0.1%, namun pernah dilaporkan terjadinya septikemia maternal dengan edem pulmonal, gagal ginjal dan dissemintaed intravascular coagulation (DIC).60 49 MDVI Kebocoran cairan amnion merupakan komplikasi relatif (1-2%) yang terjadi oleh sebab amniosintesis, namun biasanya membaik dalam waktu 48-72 jam. Komplikasi lain adalah transient vaginal spotting yang biasanya terjadi pada ibu hamil berusia di atas 40 tahun.61 Iktiosis kongenital dapat dinilai menggunakan amniosintesis dengan ditemukannya peningkatan echogenicity pada cairan amnion dan penebalan kulit fetus.62 Cairan amnion yang keruh ditemukan pada pemeriksaan dengan amniosintesis pada Iktiosis Harlequin.63 Chorionic villus sampling (CVS) Chorionic villus sampling berbeda dengan amniosintesis. Pada amniosintesis, cairan amnion yang diaspirasi, sedangkan pada CVS jaringan plasenta yang diaspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan ultrasound baik melalui transabdominal maupun trasnvaginal/transservikal.64 Keuntungan dari CVS dan amniosintesis adalah keduanya dapat dilakukan pada masa awal kehamilan sejak usia gestasi 6 minggu. Namun pada beberapa center menunda prosedur CVS hingga 10 minggu usia gestasi karena terdapat kemungkinan fetal loss (1%). Chorionic villus sampling umumnya dilakukan pada usia gestasi 10-12 minggu.64 Indikasi untuk prosedur CVS adalah sama dengan indikasi pada prosedur amniosintesis dengan tambahan terdapatnya diagnosis kelainan genetik secara biokimia dan molekuler pada ibu.65 Chorionic villus sampling dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis prenatal pada junctional epidermolysis bullosa dan dystrophic epidermolysis bullosa.66 Komplikasi prosedur ini antara lain adalah perdarahan vaginal yang umumnya terjadi sebanyak 7-10% pasien yang diambil sampel CVS melalui transservikal namun tidak mengganggu kelahiran. Komplikasi lain adalah chorioamnionitis dan ruptur membran korion yang disebabkan oleh trauma mekanik ataupun kimia terhadap korion (0.3%).65 Junctional epidermolysis bullosa. Akan ditemukan mutasi pada gen LAMA3, LAMB3, LAMC2, ITGB4, BPAG2/COL17A1, dengan rata-rata protein yang terlibat adalah laminin 5.3 Dystrophic epidermolysis bullosa. Pada penyakit ini akan ditemukan mutasi pada gen COL7A1, dengan protein yang terlibat adalah kolagen tipe VII.3 Fetoskopi dan biopsi kulit fetus (fetal skin biopsy) Fetoskopi dilakukan menggunakan anestesi sedatif dengan memasukkan endoskopi fiberoptic ke uterus pada usia kehamilan 16-20 minggu. Indikasi utama dilakukannya fetoskopi adalah untuk melihat isi uterus, fetal blood sampling (biasanya berasal dari umbilical cord) dan biopsi jaringan fetus. Fetoskopi memiliki keterbatasan untuk melihat kelainan genodermatosis.3 50 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53 Biopsi kulit fetus awalnya mewakili pemeriksaan antenatal untuk genodermatosis, namun saat ini telah tergantikan oleh metode berbasis DNA. Biopsi kulit fetus pertama kali dilakukan pada tahun 1980-an untuk mendiagnosis congenital bullous ichtyosiform erythroderma dan Herlitz junctional epidemolysis bullosa.5 Indikasi dilakukannya prosedur ini adalah apabila gen penyebab kelainan genodermatosis tidak diketahui, namun pada diagnosis prenatal menunjukkan kemungkinan adanya genodermatosis.3 Indikasi lain dilakukannya biopsi kulit fetus adalah kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya iktiosis pada fetus terutama iktiosis Harlequin. Biopsi umumnya dilakukan pada usia kehamilan 22 minggu karena kelainan struktur biasanya muncul pada usia kehamilan tersebut. Pada usia kehamilan 19 minggu sudah dapat diperiksa keratinized hair canals dan sel pada cairan amnion.67 Biopsi kulit fetus juga dapat digunakan untuk menegakkan albinisme okulokutaneus yang dilakukan pada trimester kedua kehamilan.68,69 Kelemahan biopsi kulit fetus antara lain adalah sampling error, sampel untuk analisis yang tidak memadai, kesulitan dalam menginterpretasikan morfologi dan imunohistokimia. Kelemahan tersebut sangat bergantung pada pengalaman ahli kandungan dan patologi anatomi. Artefak yang mungkin didapat pada saat melakukan biopsi dapat menyerupai kelainan patologis. Namun, secara keseluruhan, biopsi kulit fetus memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah fetal loss (kurang dari 1%) dan abortus spontan.3 Diagnosis genetik pre-implantasi Diagnosis genetik preimplantasi atau prenatal/implantation genetic diagnosis (PGD) merupakan salah satu metode yang dapat memberikan informasi mengenai keterlibatan genetik pada embrio di masa awal kehamilan.70 Diagnosis genetik preimplantasi dikembangkan untuk menghindari aborsi pada pemeriksaan antenatal untuk genodermatosis.71 Prosedur ini dilakukan dengan cara menghilangkan satu sel dari embrio secara invitro untuk menegakkan diagnosis prenatal pada kelainan genodermatosis yang berulang, berat dan dapat diturunkan, dengan demikian dapat menghindari implantasi pada embrio yang terkena.72 Aplikasi klinis diagnosis genetik preimplantasi dilakukan apabila terdapat risiko pada embrio untuk kelainan resesif autosomal, ectodermal dysplasia-skin fragility syndrome dan dystrophic epidermolysis bullosa.73 Terdapat tiga teknik untuk melakukan biopsi pada embrio, yaitu polar body biopsy, cleavage stage biopsy FR. Syarif & S. Lestari dan trophectoderm biopsy, dan diagnosis harus ditegakkan dalam 12-48 jam agar reimplantasi embrio dapat dilakukan.70,74 Teknik cleavage stage biopsy paling sering dilakukan namun memiliki keterbatasan, yaitu dapat merusak embrio dan dapat terjadi misdiagnosis oleh karena adanya cellular mosaicism. Risiko terjadinya kesalahan diagnosis adalah sebanyak 2% pada kondisi autosomal resesif dan 11% pada autosomal dominan.74 Amniosintesis atau CVS direkomendasikan untuk mengkonfirmasi diagnosis.75 SIMPULAN Ketidaktersediaan tatalaksana khusus terhadap pasien dengan genodermatosis, pemeriksaan antenatal pada saat kehamilan dapat dilakukan terutama apabila terdapat risiko penyakit yang rekuren terjadi pada anggota keluarga. Sebelum pemeriksaan antenatal pada pasien yang diduga dengan genodermatosis, informasi detail tentang riwayat kesehatan pada 3 generasi sebelumnya penting untuk ditanyakan. Indikasi medis pemeriksaan genetik pada genodermatosis adalah terdapatnya faktor risiko pada anggota keluarga yang tidak memiliki kelainan genodermatosis atau untuk menentukan anggota keluarga mana yang carrier (kelainan resesif), orang tua yang memiliki anak dengan kondisi RA, pasien yang memiliki kelainan DA, dan ibu yang carrier atau pasien dengan kelainan x-linked. Prinsip pemeriksaan genetik antenatal adalah terdeteksinya mutasi genetik dan tandatanda khas DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. Fine JD, Eady RA, Bauer EA. The classification of inherited epidermolysis bullosa (EB): report of the third international consensus meeting on diagnosis and classification of EB. J Am Acad Dermatol. 2008; 58: 931-50. Oji V, Tadini G, Akiyama M. Revised nomenclature and classification of inherited ichtyoses: results of the first ichtyosis consensus conference. 2010; 63: 607-41. Fassihi H, Eady RA, Mellerio JS, Ashton GH, Dopping HPJ, Denyer JE, dkk. Prenatal diagnosis for severe inherited skin disorder: 25 years’ experience. Br J Dermatol. 2006; 154: 106-13. Schaffer JV. Molecular diagnostic in genodermatoses. Cutan Med Surg. 2012; 211-20. Rodeck CH, Eady RA, Gosden CM. Prenatal diagnosis of epidermolysis bullosa letalis. Lancet. 1980; i: 949-52. Bonifas JM, Morley BJ, Oakey RE. Cloning of a cDNA for steroid sulfatase: frequency occurence of gene deletions in patients with recessive x Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. chromosome-linked ichtyosis. Proc Natl Acad Sci. 1987; 84:9248-51. International HapMap Consortium. A haplotype map of the human genome. Nature. 2005; 437:1299-320. 1000 Genomes Project Consortium. A map of human genome vriation from population-scale sequencing. Nature. 2010; 467; 1061-73. Antonarakis SE, McKusickVA. OMIM passes the 1000-disease-gene mark. Nat Genet. 2000;25:11. Bale SJ. The morbid anatomy of the dermatologic genome: an update for the third millenium. J Cutan Med Surg. 2001;5:117-25. Lander ES. Initial impact of the sequencing of the human genome. Nature. 2011;470:187-97. Feramisco JD, Sadreyef RI, Murray ML. Phenotypic and genotypic analyses of genetic skin disease through the online Mendelian inheritance in man (OMIM) database. J Invest Dermatol. 2009;129:2628-36. Rantanen E, Hietala M, Kristoffersson U. What is ideal genetic counseling? A survey of current international guidelines. Eur J Hum Genet. 2008;16:445-52. Laukaitis CM. Genetics for the general internist. Am J Med. 2012; 125:7-13. Luu M, Francis JLC, Glick SA. Prenatal diagnosis of genodermatoses: Current scope and future capabilities. Int J Dermatol. 2010;49:353-61. Sengupta SB, Delhanty JD. Preimplantation genetic diagnosis: Recent triumphs and remaining challenges. Expert Rev Mol Diagn. 2012;12:58592. Rujito L, Ghozali PA. Menggagas pengembangan layanan konseling genetik di unit pelayanan kesehatan: Sebuah kajian awal. Maj Kedokt Indon. 2010; 60(9): 426-30. World Health Organization. Identifying regional priorities in the area of human genetics in SEAR: Report of an intercountry consultation. WHO Regional Office for South-East Asia.2003:1-26. Ministry of Health and Population. Basic essential obstetric care: Protocols for physicians. Standards of Practice for Integrated MCH/RH Services. 2005; p. 173. Rooney C. Antenatal care and maternal health: How effective is it? A review of the evidence. Maternal Health and Safe Motherhood Programme Division of Family Health World Health Organization Geneva. 1991: 6-14. Nishie W. Humanization of autoantigen. Nat Met. 2007; 13: 378-83. Winnacker EL. Predictive genetic diagnosis. Senate Commission on Genetic Research. 2003; p. 1-65. 51 MDVI 23. Schaffer JV. Molecular diagnostic in genodermatosis. Semin Cutan Med Surg. 2012; 31: 211-20. 24. Kulkarni ML, Vengalath S. Prenatal diagnosis of genetic disorders. Indian J Pediatrics. 1995; 32:1229-38. 25. Michaels HS, Nazareth SB, Tambini L. Prenatal genetic counseling. Dalam: Evans MI, Johnson MP, Yaron Y, Drugan A, penyunting. Prenatal diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company; 2006.h.71-8. 26. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). Clinical management guidelines for Obstetrician-Gynecologists: Prenatal diagnosis of fetal chromosomal abnormalities. Obstet Gynecol. 2001; 97(5 Pt 1): suppl 1-12. 27. Shea J, Diamandis E, Hoffman B, Lo YMD, Canick J, Boom DVD. A new era in prenatal diagnosis: The use of cell-free fetal DNA in maternal circulation for detection of chromosomal aneuploidies. Clin Chem. 2013; 59: 1151 – 9. 28. Gare M, Gosme-Seguret S, Kaminski M, Cuttini M. Ethical decision-making in prenatal diagnosis and termination of pregnancy: a qualitative survey among physicians and midwives. Prenatal Diag. 2002; 22: 811-7. 29. Newson AJ. Ethical aspects arising from noninvasive fetal diagnosis. Semin Fetal Neonatal Med. 2008; 13: 103-8. 30. Veach P McCarthy, Bartels DM, LeRoy BS. Ethical and professional challenges posed by patients with genetic concerns. A report of focus group discussions with genetic counselors, physicians, and nurses. J Genetic Counselling. 2001;10:97-119. 31. Ramot Y. Intrauterine diagnosis of genodermatoses. Curr Derm Rep. 2013;2:243-8. 32. Greb A, Wegner J. Counseling for abnormalities. Dalam: Evans MI, Johnson MP, Yaron Y, Drugan A, penyunting. Prenatal diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company; 2006.h.529-36. 33. Crombleholme TM, D’Alton M, Cendron M, Alman B, Goldberg MD, Klauber GT, dkk. Prenatal diagnosis and the pediatric surgeon: the impact of prenatal consultation on perinatal management. J Pediatric Surg. 1996;31:156-63. 34. Marino T, Ramus RM. Prenatal diagnosis for congenital malformations and genetic disorders. Drugs, Diseases & Procedures. 2012;68:1-4. 35. Holbrook KA, Smith LT, Elias S. Prenatal diagnosis of genetic skin disease using fetal skin biopsy samples. Arch Dermatol.1993;129:1437-54. 36. Ashton GH, Bady RA, McGrath JA. Prenatal diagnosis for inherited skin diseases. Clin Dermatol. 2000; 18: 643-8. 52 Pengaruh fototerapi narrowband UV- B terhadap Vol. 44 No. 1 Tahun 2017; 45 - 53 37. Sepulveda W, Sandoval R, Carstens E, Gutierrez J, Vasquez P. Hypohidrotic ectodermal dysplasia: prenatal diagnosis by three-dimensional ultrasonography. J Ultrasound Med. 2003; 22: 7315. 38. Dolan CR, Smith LT, Sybert VP. Prenatal detection of epidermolysis bullosa letalis with pyloric atresia in a fetus by abnormal ultrasound and elevated alphafetoprotein. Am J Med Genet. 1993; 47: 395400. 39. Neis AE, Johansen KL, Harms RW, Watson WJ, Brost BC. Sonographic characteristics of linear nevus sebaceous sequence. Ultrasound Obstet Gynecol. 2006; 27: 323-4. 40. Nas T, Biri A, Gursoy R, Biberoglu K, Oztas M. Prenatal ultrasonographic appearance of isolated cutis verticis gyrata. Ultrasoung Obstet Gynecol. 2005; 26: 97-8. 41. Lee KA, Williams B, Roza K, Ferguson H, David K, Eddleman K, dkk. PTPN11 analysis for the prenatal diagnosis of Noonan syndrome in fetuses with abnormal ultrasound findings. Clin Genet. 2009; 75: 190-4. 42. Achiron R, Hamiel PO, Engelberg S, Barkai G, Reichman B, Mashiach S. Aplasia cutis congenita associated with epidermolysis bullosa and pyloric atresia: the diagnostic role of prenatal ultrasonography. Prenat Diagn. 1992;12:765-71. 43. Bongain A, Benoit B, Ejnes L, Lambert JC, Gillet JY. Harlequin fetus: three-dimensional sonogrphic findings and new diagnostic approach. Ultrasound Obstet Gynecol. 2002; 20: 82-5. 44. Meizner I, Carmi R. The snowflake sign. A sonographic marker for prenatal detection of fetal skin denudation. J Ultrasound Med. 1990;9:607-9. 45. Azarian M, Dreux S, Vuillard E, Meneguzzi G, Haber S, Guimiot F, dkk. Prenatal diagnosis of inherited epidermolysis bullosa in a patient with no family history: a case report and literature review. Prenatal Diag. 2006;26:57-9. 46. Holden S, Ahuja S, Stuart AO, Firth HV, Lees C. Prenatal diagnosis of harlequin ichtyosis presenting as distal arthrogryposis using three-dimensional ultrasound. Prenatal Diag. 2007;27:566-7. 47. Berg C, Geipel A, Kohl M, Krokowski M, Baschat AA, Germer U, dkk. Prenatal sonographic features of Harlequin ichtyosis. Arch Gynecol Obstet. 2003;268:48-51. 48. Tourette C, Tron E, Mallet S, Levy-Mozziconacci A, Bonnefont JP, D’Ercole C, dkk. Threedimensional ultrasound prenatal diagnosis of congenital ichtyosis: contribution of molecular biology. Prenat Diagn. 2012; 32: 498-500. 49. Vohra N, Rochelson B, Smith LM. Threedimensional sonographic findings in congenital FR. Syarif & S. Lestari 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. (Harlequin) ichtyosis. J Ultrasound Med. 2003;22:737-9. Jelin AC, Glenn OA. Membranous aplasia cutis congenital. A recognizable lesion on prenatal sonography. J Ultrasound Med. 2009;28:1393 – 6. Hayrullah ALP, Fatih SAP, Altin H, Karatas Z, Baysal T, Karaaslan S. Ellis-van Creveld syndrome (chondroectodermal dysplasia) a case report: Association of common atrium and persistent left superior vena cava. Turkish J Pediatric Disease. 2013;2:89 – 93. Lien SH, Hsu ML, Yuh YS, Lee CM, Chen CC, Chang PY, dkk. Prenatal three dimensional ultrasound detection of linear nevus sebaceous syndrome. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F315. Chen CP, Su YN, Hung CC, Lee CN, Hsieh FJ, Chang TY, dkk. Molecular genetic analysis of the TSC genes in two families with prenatally diagnosed rhabdomyomas. Prenat Diagn. 2005;25:176-8. Yeoh SC, Sargent I, Redman C. Fetal cells in maternal blood and their use in non invasive prenatal diagnosis. Progress Obstet Gynecol. 1993;14:51-63. Hahn S, Holzgreve W. Prenatal diagnosis using fetal cells from maternal blood. Evans MI, Johnson MP, Yaron Y, Drugan A, penyunting. Prenatal diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company; 2006.h.505-12. Luu M, Cantatore FJL, Glick SA. Prenatal diagnosis of genodermatosis: current scope and future capabilities. Int J Dermatol. 2010;49:353-61. Trajkovic SP, Antic V, Kopitovic V. Invasive prenatal diagnosis. Dalam: Choy R, penyunting. Prenatal diagnosis – morphology scan and invasive methods. Croatia: Intech; 2012.h.1-26. Shulman LP, Simpson JL, Elias S. Invasive prenatal genetic technique. Glob Libr Women’s Med. 2008;10:1-15. Mujezinovic F, Alfirevic Z. Technique modifications for reducing the risksfro amniocentesis or chorionic villus sampling. Cochrane Database Syst Rev. 2012;8:CD008678. Hamoda H, Chamberlain PF. Clostridium welchii infection following amniocentesis: A case report and review of the literature. Prenat Diagn. 2002;22:783-5. Borgida AF, Mills AA, Feldman DM. Outcome of pregnancies complicated by ruptured membranes after genetic amniocentesis. Am J Obstet Gynecol. 2000;183;937-9. Phadnist SV, Griffin DR, Eady RA, Rodecks CH, Chitty LS. Prenatal diagnosis and management strategies in a family with a rare type of congenital Pemeriksaan genetik antenatal pada genodermatosis 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. ichtyosis. Ultrasound Obstet Gynecol. 2007;30:90712. Suzumori K, Kanazaki T. Prenatal diagnosis of harlequin ichtyosis by fetal skin biosy; report of two cases. Prenat Diagn. 1991;11:451-7. Mujezinovic F, Alfirevic Z. Procedure-related complications of amniocentesis and chorionic villus sampling: A systematic review. Obstet Gynecol 2007;110:687-94. Evans MI, Rosner G, Yaron Y, Wapner R. Chorionic villus sampling. Evans MI, Johnson MP, Yaron Y, Drugan A, editors. Prenatal diagnosis. Mexico: McGraw-Hills Company; 2006:p.433-42. McMillan JR, Long HA, Akiyama M, Shimizu H, Kimble RM. Epidemolysis bullosa (EB) – diagnosis and therapy. Wound Practice and Research. 2009;7:62-70. Akiyama M, Suzumori K, Shimizu H. Prenatal diagnosis of harlequin ichtyosis by the examination of keratinized hair canals and amniotic fluid cells at 19 weeks’ estimated gestational age. Prenatal Diag. 1999; 19:167-71. Shimizu H, Niizeki H, Suzumori K. Prenatal diagnosis of oculocutaneous albinism by analysis of the fetal tyrosinase gene. J Invest Dermatol.1994;103:104-6. Ashton GHS, Eady RAJ, McGrath JA. Prenatal diagnosis for inherited skin diseases. Clin Dermatol.2000; 18:643–8. Braude P, Pickering S, Flinter F, Ogilvie CM. Preimplantation genetic diagnosis. Nat Rev Genet. 2002;3: 941-55. Thorp JM, Hartmann KE, Shadigian E. Long-term physical and psychological health consequences of induced abortion: Review of the evidence. Obstet Gynecol Surv.2003;58:67-79. Ogilvie CM, Braude PR, Scriven PN. Preimplantation genetic diagnosis – an overview. J Histochem Cytochem.2005;53:255-60. Fassihi H, Grace J, Lashwood A. Preimplantation genetic diagnosis of skin fragility-ectodermal dysplasia syndrome. Br J Dermatol. 2006;154:54650. Lewis CM, Pinel T, Whittaker JC, Handyside AH. Controlling misdiagnosis errors in preimplantation genetic diagnosis: A com[rehensive model encompassing extrinsic and intrinsic sources of error. Hum Reprod.2001;16:43-50. Brezina PR, Brezina DS, Kearns WG. Preimplantation genetic testing. BMJ. 2012;345:5968. 53