Capsicum frutescens L.

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) adalah salah satu komoditas
unggulan hortikultura di Indonesia yang merupakan salah satu jenis sayuran yang
sangat berpotensi untuk dikembangkan (DBPH, 2007). Kebutuhan cabai
meningkat terus-menerus pada setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai.
Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional
sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton
per tahun (DBPH, 2009). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35
ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih 10 ton/ha (DBPH,
2010).
Pada umumnya cabai yang dibudidayakan di Indonesia ada lima jenis
yaitu: Capsicum annuum (cabai merah), Capsicum frutescens (cabai rawit),
Capsicum chinensis, Capsicum bacctum, dan Capsicum pubescens, dua
diantaranya yaitu Capsicum annuum dan Capsicum frutescens yang memiliki
potensi ekonomis cukup tinggi dan paling banyak diusahakan di Indonesia
(Nawangsih et al.,1999). Tanaman cabai yang merupakan komoditas unggulan
hortikultura ini memiliki produktivitas yang masih sangat rendah. Rendahnya
produktivitas tanaman cabai tersebut disebabkan oleh banyaknya faktor yang
mempengaruhi. Rendahnya produksi cabai di lapangan disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah: teknik budidaya, kandungan hara dalam tanah,
serangan hama dan penyakit. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan
1
2
patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen
(Suryaningsih et al.,1996).
Menurut Semangun (2000) salah satu faktor yang mempengaruhi
rendahnya produktivitas tanaman cabai adalah infeksi oleh virus. Jenis virus yang
dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia, diantaranya adalah
cucumber mosaic virus (CMV), chilli veinal mottle virus (ChiVMV), tobacco
mosaic virus (TMV), tomato mosaic virus (ToMV), tobacco etch virus (TEV),
pepper mottle virus (PeMV), tomato spotted wilt virus (TSWV), dan potato virus
Y (PVY).
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh virus biasanya dapat dibedakan
menjadi dua gejala khas seperti gejala kuning dan mosaik.
Gejala kuning
biasanya pada helai daun mengalami “vein clearing”, dimulai dari daun-daun
pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan
daun menggulung ke atas (cupping), menyebabkan daun-daun mengecil dan
berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Sedangkan gejala
mosaik biasanya ditandai dengan warna belang antara hijau tua dan hijau muda
pada daun tanaman. Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun
cekung, keriting atau memanjang (Semangun, 2000). Selanjutnya dilaporkan
bahwa infeksi virus secara tunggal maupun secara bersama-sama pada tanaman
cabai menyebabkan penghambatan terhadap pertambahan tinggi tanaman, dan
perkembangan cabang tanaman (Taufik et al., 2005).
Infeksi CMV pada tanaman cabai sering menimbulkan gejala mosaik yang
umumnya muncul pada pucuk daun, dimana daun muda memperlihatkan
perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau
3
hijau tua. Sedangkan tanaman cabai yang terinfeksi Potyvirus pada daunnya akan
memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan
kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya (Ong,
1995; Sulyo et al., 1995).
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus pada tanaman
cabai terdapat masalah dalam membedakan gejala mosaik yang disebabkan oleh
infeksi ganda. Gejala khas serangan virus menjadi sangat penting, karena virus
tidak dapat terlihat dan hanya dapat diketahui melalui efek infeksinya yang
menimbulkan gejala pada tanaman inang. Namun demikian pengamatan di
lapangan berdasarkan gejala saja hanya berfungsi sebagai panduan. Pengamatan
gejala di lapangan tidak mampu memastikan jenis virus yang menginfeksi
tanaman karena gejala serupa mungkin dapat ditunjukkan oleh beberapa virus
yang berbeda dan gejala mungkin sangat bervariasi, karena virus yang sama dapat
menghasilkan berbagai gejala tergantung lingkungan dan inangnya (Nurhayati,
2012)
Berdasarkan kenyataan diatas infeksi virus menunjukkan gejala yang
beragam pada satu tanaman dan secara umum tanaman akan mengalami kelainan
dalam pertumbuhannya, mulai dari pertumbuhan daun yang tidak normal hingga
tidak dapat bertambah tinggi akibat proses fotosintesis telah terganggu oleh
infeksi virus. Untuk mendeteksi keberadaan CMV dan Potyvirus penyebab gejala
mosik yang menginfeksi tanaman secara bersamaan sangat susah dan belum
banyak penelitian yang mengungkap keberadaan asosiasi dari kedua virus ini.
Dari masalah tersebut perlu dilakukan suatu penelitian untuk dapat mendeteksi
4
dua virus yang menginfeksi tanaman secara bersamaan dengan satu metode yaitu
Duplex RT-PCR.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang perlu di rumuskan dalam penelitian ini adalah :
Apakah infeksi ganda oleh CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai dapat
dideteksi dengan Duplex RT-PCR ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk dapat mendeteksi infeksi
ganda dari CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai dengan metode Duplex RTPCR.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini secara akademis adalah hasil
penelitian ini akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Virologi
Tumbuhan, khususnya aplikasi metode Duplex RT-PCR untuk mempermudah
deteksi dua virus yang menginfeksi satu tanaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutesncens L.)
Tanaman cabai merupakan tanaman budidaya yang termasuk tanaman
perdu dari famili terong-terongan. Tanaman cabai biasanya ditanam di
pekarangan dan di kebun sebagai tanaman sayuran. Tanaman cabai berasal dari
benua Amerika, yaitu dari daerah Peru. Tanaman cabai menyebar ke negaranegara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk juga Negara Indonesia.
Tanaman cabai memiliki aneka ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya
(Chairani, 2008). Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri
(self – pollinated crop). Karena hal tersebut, persilangan antar varietas secara
alami sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai
baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003).
Klasifikasi tanaman cabai :
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus
: Capsicum
5
6
: Capsicum frutescens L.
Spesies
Tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum yang mempunyai lebih
dari 100 spesies. Capssicum frutescens L. (cabai rawit), Capssicum annum L.
(cabai besar), Capssicum chinense Jacq., Capssicum pendulum Will., dan
Capssicum pubescesn Ruiz dan Pauwn (Prajnanta, 2001).
Tanaman cabai termasuk tanaman perdu setahun yang memiliki cabang
yang banyak dan tinggi tanaman ini mencapai 50-100 cm. Tanaman cabai
memiliki batang yang berbuku-buku. Tanaman cabai berdaun tunggal, bertangkai,
dan letaknya berselingan. Helaian daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung
meruncing, pangkal daun menyempit, tepi daun yang rata, pertulangan menyirip,
panjang 5-9,5 cm, lebar 1,5-5,5 cm dan berwarna hijau. Tanaman cabai
mengeluarkan bunga pada ketiak daun, mahkota bentuk bintang, bunga tunggal
atau 2-3 bunga letaknya berdekatan, berwarna putih, putih kehijauan atau ungu.
Buahnya tegak, kadang-kadang merunduk, berbentuk bulat telur, lurus atau
bengkok, ujung meruncing, panjang 1-3 cm, lebar 2,5-12 mm, bertangkai
panjang, dan rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, putih kehijauan, atau
putih, buah yang masak berwarna merah terang. Bijinya banyak, bulat pipih,
berdiameter 2-2,5 mm, berwarna kuning kotor. Buahnya digunakan sebagai
sayuran, bumbu masak, acar, dan asinan, daun muda dapat dikukus untuk lalap
(BPTP, 2005).
Tanaman cabai dapat tumbuh dua sampai tiga tahun
pembibitan
dari proses
hingga tanaman berproduksi dan cahaya merupakan suatu yang
sangat penting selama pertumbuhanya. Pada intensitas cahaya optimum dalam
waktu yang cukup lama, masa pembungaan tanaman akan terjadi lebih cepat dan
7
proses pematangan buahnya juga akan berlangsung lebih singkat. (Pracaya,
1994). Umur tanaman dan panen cabai ditentukan oleh jenis cabai yang ditanam
dan kondisi lingkungan pada tanaman cabai. Tanaman cabai besar dan keriting
yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70-75
hari setelah tanam. Waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4-5
bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman
berumur 6-7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3-4 hari sekali atau paling
lama satu minggu sekali (Nawangsih et al., 1999).
Tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah
sampai tinggi yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik. Umur tanaman
cabai dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al., 1999; Cahyono, 2003).
Tanaman cabai memerlukan pH tanah berkisar antara 5,5-6,8 dengan drainase
baik dan cukup tersedia unsur hara bagi pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum
bagi pertumbuhannya adalah 18º-30º C (Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara
geografis dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut.
Daerah dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai
mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata
curah hujan tahunannya antara 600-1250 mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan
dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al., 1997).
2.2 Penyakit Virus Pada Tanaman Cabai
Tanaman cabai yang terinfeksi virus dapat menurunkan pertumbuhan dan
produksi tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Syamsidi et al.,
1997). Tanaman cabai yang dibudidayakan petani dilapangan sering sekali
8
menemui masalah terinfeksi virus sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
penurunkan produksi buah cabai. Infeksi virus pada tanaman cabai pada
umumnya disebabkan karena adanya vektor yang menyerang seperti, Myzus
persicae (aphids), Bemisia tabaci (kutu kebul), Thrips tabaci (Pracaya, 1994).
Infeksi virus pada tanaman cabai pada umumnya ialah, CMV (Cucumber mosaic
virus), TMV (Tobacco mosaic virus ), TEV (Tobacco etch virus), PVY (Potato
virus Y), ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TYLCV (Tomato yellow leaf
curl virus) (Pracaya, 1994).
Dilaporkan bahwa infeksi virus secara tunggal maupun secara bersamasama pada tanaman cabai menyebabkan penghambatan terhadap pertambahan
tinggi tanaman, dan perkembangan cabang tanaman (Taufik et al., 2005). Hasil
penelitian Nyana (2012) mendapatkan bahwa ada dua jenis virus utama yang
menyerang tanaman cabai di Bali, yaitu dengan gejala mosaik (57,4%) yang
berasosiasi dengan infeksi tiga jenis virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic
virus (TMV) dari golongan Tobamovirus, Cucumber mosaic virus (CMV) dari
golongan Cucumovirus atau Chili veinal motle virus (ChiVMV) dari golongan
ChiVMV dan gejala kuning (9,2%) yang diinduksi oleh Pepper yellow leaf curl
ivirus (PepYLCV), dari golongan Begomovirus.
Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies
lain. Dilaporkan lebih dari 1800 spesies tanaman dapat terinfeksi virus yang sama
dengan virus yang menyerang tanaman cabai. Identifikasi virus yang menginfeksi
tanaman adalah hal yang sangat penting dilakukan. Dengan hasil identifikasi
tersebut, dapat digunakan sebagai panduan untuk langkah langkah pemberantasan
beberapa sumber virus yang potensial, sehingga tanamn cabai maupun tanaman
9
dari spesies lain terhindar dari infeksi virus yang menyerang tanaman cabai
(Edwarson dan Christie, 1997).
2.3 CMV (Cucumber mosaik virus)
CMV adalah virus yang termasuk dalam kelompok Cucumovirus,
bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus
(CAV) (Palukaitis et al., 1997). CMV merupakan virus tanaman yang berbentuk
polihedral dengan diameter 28 nm, virus ini dilaporkan dapat menginfeksi lebih
dari 800 spesies tumbuhan, dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai
jenis tanaman (Palukaitis et al., 1997).
Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid,
khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini
bisa ditularkan hanya dalam waktu 5 detik sampai 10 detik dan ditranslokasikan
dalam waktu kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan
menurun kira-kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu,
beberapa isolat dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies
kutu daun tertentu tetapi dapat ditularkan oleh spesies kutu daun yang lain.
Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi
sumber virus bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah
subtropis CMV dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma-gulma
tahunan (Agrios, 2005).
Serangan CMV pada tanaman cabai menimbulkan gejala mosaik yang
umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan
perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau
10
hijau tua. Bagian yang berwarna hijau muda biasanya lebih tipis, sedangkan yang
berwarna hijau tua lebih tebal dari normal. Seiring dengan perkembangan daun,
bentuk daun menjadi berubah (malformasi) seperti: menggulung, deformasi,
menyempit, mengkerut atau berubah seperti tali sepatu (shoestring), berukuran
lebih kecil dan mengalami nekrosis (membentuk cincin-cincin nekrotik). Gejala
pada batang adalah batang mengalami stunt (kerdil). Sedangkan pada buah adalah
buah akan mengalami distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot,
bercak dan cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok (Gallitelli, 1998).
Jika tanaman terinfeksi pada waktu masih muda tanaman akan terhambat
pertumbuhannya dan menjadi kerdil. Tanaman yang sakit menghasilkan buah
yang kecil dan sering tampak berjerawat (Semangun, 2000). Virus ini dapat
menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%, bahkan jika infeksi terjadi pada
fase bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100% (Duriat, 1996).
2.4 ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus)
ChiVMV merupakan salah satu genus virus yang banyak menimbulkan
kerugian hasil pertanian dibandingkan dengan virus-virus dari genus yang
lainnya. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies Potyvirus yang banyak,
penyebaran yang mudah melalui kutu daun secara non-persistent yang sulit
dikendalikan, infeksinya pada tanaman inang yang menimbulkan gejala nekrosis,
klorosis, dan kerdil (Lindbo et al., 1992)
Infeksi virus merupakan kendala budidaya cabai di Indonesia. Beberapa
macam virus telah dilaporkan dapat menyerang kultivar cabai di Indonesia yang
berasal dari genus Potyvirus yaitu, Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) dan
11
Potato Virus Y (PVY) yang dapat menginduksi gejala mosaik (Duriat et al., 1995;
Suryaningsih et al., 1996).
Tanaman cabai yang terinfeksi virus ChiVMV pada daunnya akan
memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan
kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya. Produksi
dan kualitas buah menjadi rendah karena serangan dari Potyvirus mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Ong, 1995; Sulyo et al. 1995). Gejala
serangan akan terlihat paling keras pada daun yang paling muda, pertumbuhannya
akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang.
Selain itu, serangan ChiVMV akan mengganggu perkembangan bunga sebelum
pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belangbelang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan
(Opriana, 2009).
Myzus persicae, Aphis gossypii, A. craccivora, A. spiraecola, dan
Hysteroneura setariae merupakan kutu daun yang dapat menjadi vektor
penularan virus ChiVMV. Penularan virus ini melalui kutu daun dilakukan secara
non-persistent, dimana aphids mendapat virus dengan mengisap tanaman yang
terinfeksi hanya dengan waktu beberapa detik, kemudian aphids akan menularkan
virus dengan cepat pada tanaman sehat, setelah itu dia akan kehilangan virus dan
tidak mampu lagi menularkan virus pada tanaman yang lain (Millah, 2007).
PVY adalah spesies dari genus Potyvirus yang mempunyai titik
pengenceran terakhir 1 : 1000-100.000 dan titik pemanasan inaktifasi lebih
kurang 500 C. Virus ini berbentuk benang-benang pendek yang panjangnya
berbeda. Sitoplasma sel tanaman yang terinfeksi terdapat inklusi yang berbentuk
12
cakra, yang merupakan tanda khas dari PVY. Virus ditularkan ditularkan oleh
kutu daun, Myzus persicae secara non persisten serta secara mekanis. Gejala yang
timbul pada tanaman ini tidak begitu beragam. Infeksi menyebabkan gejala
mosaik antar tulang daun, tulang daun berwarna gelap, sedangkan diantaranya
berwarna lebih muda, gejala mosaik yang lemah ini biasanya lebih jelas pada
daun-daun tua, yang terlindungi oleh daun diatasnya (Duriat dan Muharam,
2003).
PVY ditularkan oleh kutu daun tetapi juga dapat tetap bertahan di dalam
bibit tanaman. Penggunaan bibit tanaman yang sama selama beberapa generasi
berturut-turut akan menyebabkan terjadinya penurunan hasil oleh virus tersebut.
Peningkatan infeksi selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kerugian
yang cukup besar. Peningkatan infeksi dapat disebabkan oleh penurunan
efektivitas bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor, penggunaan
benih yang tidak tahan dan teknik budidaya. Pemanasan global juga telah
menyebabkan peningkatan jumlah vektor yang menyebabkan peningkatan
penyebaran virus (Boonham et al., 2002).
PVY menginfeksi banyak spesies tanaman yang memiliki nilai ekonomi
penting, seperti: kentang (Solanum tuberosum), tembakau (Nicotiana tabacum),
tomat (Solanum lycopersicum) dan cabai ( Capsicum spp.). Tingkat kerusakan
tanaman ditentukan oleh strain virus, waktu infeksi dan toleransi inang. Cara
yang paling umum infeksi PVY di lapangan adalah melalui kutu daun. Gulma dan
tanaman lainnya dapat menjadi inang dan berfungsi sebagai tempat berkembang
biak kutu daun . Myzus persicae merupakan serangga yang berperan sebagai
vektor virus yang paling efektif, meskipun ada jenis kutu daun lain yang juga
13
berperan penting dalam penyebaran PVY. Penularan PVY oleh kutu daun terjadi
secara non-persistent berarti replikasi virus tidak terjadi dalam vektor kutu daun.
Virus melekat pada stylet dalam hitungan detik dan dapat tetap menular selama
4-17 jam. Virus masuk ke dalam sel tanaman kemudian coat protein lepas dari
RNA genom. RNA virus berfungsi sebagai mRNA yang masih sedikit yang
diketahui tentang terjemahannya. Hasil mRNA yang diterjemahkan menjadi
polyprotein kemudian dipotong menjadi protein. Protein virus bersama dengan
protein inang, berkumpul untuk membentuk kompleks replikasi. Kompleks ini
membentuk RNA negatif, dengan menggunakan untai positif RNA virus sebagai
template. Setelah salinan RNA diproduksi dilanjutkan dengan sintesis berbagai
protein. Coat protein akan bergabung kembali untuk membentuk virus
baru. Partikel-partikel virus baru yang disintesis selanjutnya diangkut melalui
plasmodesmata sel tanaman yang berdekatan dibantu beberapa protein potyvirus.
Distribusi virus dalam tanaman terjadi sesuai dengan hubungan sumber infeksi
dan aliran hasil fotosintesis (Boonham et al., 2002).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir
Kebutuhan cabai meningkat terus-menerus pada setiap tahun sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang
membutuhkan bahan baku cabai. Rataan produksi cabai nasional baru mencapai
4,35 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih 10 ton/ha
(DBPH, 2010). Rendahnya produksi cabai di lapangan disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah teknik budidaya, kandungan hara dalam tanah,
serangan hama dan penyakit. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan
patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen,
maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat
perhatian (Suryaningsih et al.,1996).
Menurut Semangun (2000) salah satu faktor yang mempengaruhi
rendahnya produktivitas tanaman cabai adalah infeksi oleh virus.
Infeksi
virus
biasanya menimbulkan gejala khas seperti gejala kuning dan mosaik. Gejala
kuning biasanya pada helai daun mengalami “vein clearing”, dimulai dari daundaun pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal
dan daun menggulung ke atas (cupping), menyebabkan daun-daun mengecil dan
berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Sedangkan gejala
mosaik biasanya ditandai dengan warna belang antara hijau tua dan hijau muda
pada daun tanaman. Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun
(cekung, keriting atau memanjang).
14
15
Infeksi CMV sering menimbulkan gejala mosaik yang umumnya muncul
pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang
hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua. Sedangkan
tanaman cabai yang terinfeksi Potyvirus pada daunnya akan memperlihatkan
gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang
pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan
nekrosis (Ong, 1995; Sulyo et al., 1995).
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus terdapat masalah
dalam membedakan gejala mosaik yang disebabkan oleh infeksi ganda. Gejala
khas serangan virus menjadi sangat penting karena virus yang biasanya tidak
terlihat dan hanya dapat diketahui melalui efek infeksinya pada tanaman inang.
Namun demikian pengamatan di lapangan berdasarkan gejala saja hanya
berfungsi sebagai panduan. Pengamatan gejala di lapangan tidak mampu
memastikan jenis virus yang menginfeksi tanaman karena gejala serupa mungkin
dapat ditunjukkan oleh beberapa virus yang berbeda dan gejala mungkin sangat
bervariasi, karena virus yang sama dapat menghasilkan berbagai gejala
tergantung lingkungan dan inangnya (Nurhayati, 2012).
Untuk mendeteksi keberadaan CMV dan ChiVMV penyebab gejala mosik
yang menginfeksi tanaman secara bersamaan sangat susah dan belum banyak
penelitian yang mengungkap keberadaan asosiasi dari kedua virus ini. Dari
masalah tersebut perlu dilakukan suatu penelitian untuk dapat mendeteksi dua
virus yang menginfeksi tanaman secara bersamaan dengan satu metode yaitu
Duplex RT-PCR.
16
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian.
3.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Duplex RT-PCR dapat mendeteksi
inveksi ganda oleh CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Marga Tengah, Desa Kerta,
Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar pada ketinggian tempat 700 m di atas
permukaan laut. Uji molekuler dengan metode Duplex RT-PCR dilakukan di
Laboratorium Virologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Institut Pertanian
Bogor (IPB) setelah adanya hasil uji serologi yaitu dengan teknik ELISA yang
telah dilakukan pada penelitian sebelumnya yang telah dikonfirmasi dalam
penelitian Sukada (2014). Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan
Februari 2014 sampai dengan Mei 2014.
4.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanaman cabai
yang terinfeksi ganda oleh virus CMV dan ChiVMV, Thermo scientific GeneJET
Plant RNA Purification Mini Kit, primer, buffer Phosphate, buffer TBS-Tween,
KOH, aquades, alkohol dan CaCl3.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, gunting, cawan petri,
mortar, pinset, timbangan, tabung reaksi, tabung gelas, mesin PCR.
4.3 Pelaksanaan Penelitian
4.3.1 Survei pengambilan sampel dilapangan
Survei dilakukan untuk mengumpulkan tanaman yang bergejala khas
infeksi ganda CMV dan ChiVMV. Survei dan pengambilan contoh tanaman
17
18
(sampel) cabai dilakukan di kebun petani Desa Kerta, Payangan Gianyar, Bali.
Survei dilakukan untuk mengamati gejala pada tanaman cabai, mengetahui
pengaruh infeksi terhadap cabai, serta variasi gejala yang muncul pada jenis
tanaman cabai berbeda.
Untuk verifikasi jenis virus maka dilakukan pengambilan sampel daundaun pucuk dari tanaman cabai yang telah di uji serologi dengan teknik ELISA
dalam penelitian Sukada (2014), menunjukkan adanya infeksi virus CMV dan
ChiVMV. Segera setelah dipetik, daun-daun pucuk cabai tersebut secara terpisah
dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5 cm dan panjang 15 cm yang
telah diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat
sampai kedap udara. Bahan higroskopis ini akan menyebabkan sampel daun
mengering terawetkan namun tidak mempengaruhi viabilitas maupun sifat
intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya.
4.3.2 Deteksi Duplex CMV dan ChiVMV dengan RT-PCR
Untuk dapat mendeteksi infeksi ganda oleh CMV dan ChiVMV yang
menginfeksi tanaman cabai, dilakukan deteksi virus dengan metode Duplex RTPCR, menggunakan primer khusus yang dapat mengamplifikasi virus secara
terpisah.
4.3.2.1 Ekstraksi RNA total.
RNA total diekstraksi dari jaringan daun tanaman cabai bergejala klorosis
dengan menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc., Chatsworth, CA.,
USA). Tahapannya adalah sampel daun sebanyak 0,1 g digerus menggunakan
19
mortar dan pistil steril dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan dimasukkan
ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambahkan 450 µl buffer RLT yang
mengandung 1% merkaptoethanol, kemudian divortex. Sampel diinkubasi pada
suhu 56º C selama 10 menit. Sampel dipipet, lalu dimasukkan ke
dalam QIAshredder spin column ungu dan ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml,
lalu disentrifuse dengan kecepatan 13000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipipet
tanpa menyentuh pelet dalam tabung koleksi, lalu dipindahkan ke dalam tabung
mikro 2 ml baru. Kemudian ditambahkan 0,5 vol ethanol 96% (± 225 ml) dan
dicampur dengan rata. Sampel (± 650 ml) termasuk endapan yang terbentuk ke
dalam RNeasy mini colomn pink, kemudian ditempatkan pada tabung koleksi 2
ml dan disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik. Cairan yang
terdapat pada tabung koleksi dibuang, kemudian ditambahkan 700 ml buffer
RW1 ke dalam RNeasy colomn, ditutup dengan baik dan disentrifuse dengan
kecepatan 10000 rpm selama 15 detik untuk mencuci colomn.
RNeasy
colomn dipindahkan ke dalam tabung koleksi 2 ml baru, buffer RPE dipipet
sebanyak 500 µl kemudian dimasukkan ke dalam RNeasy colomn dan ditutup
dengan rapat, disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik. Tabung
koleksi digunakan kembali, ditambahkan sebanyak 500 µl buffer RPE dan
disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm selama 2 menit. Untuk meyakinkan
bahwa colomn telah kering, colomn dipindahkan pada tabung koleksi baru,
kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya,
40 µl RNAse free water ditambahkan ke dalam RNeasy colomn, didiamkan 10
menit kemudian disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm selama 1 menit. Siapan
RNA total ini digunakan sebagai template dalam reaksi RT-PCR.
20
4.3.2.2 Sintesis cDNA.
RNA hasil ekstraksi selanjutnya ditranskripsi balik menjadi cDNA
(complementary DNA) dengan menggunakan teknik Reverse Transcriptase (RT).
Reaksi RT dibuat dengan total volume 10 µl yang mengandung 2 µl RNA total,
1 µl buffer RT 10X, 0,35 µl 50 mM DTT (dithiothreitol), 2 µl 10 mM dNTP
(deoksiribonukleotida triphosphat), 0,35 µl M-MuLV Rev, 0,35 µl RNase
inhibitor, 0,75 µl oligo (dT), dan 3,2 µl H2O. Komponen-komponen tersebut
digunakan untuk satu
kali
reaksi
RT. Reaksi
RT dilakukan
dalam
sebuah Aucabaied Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied
Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25º C selama 5
menit, 42º C selama 60 menit, dan 70º C selama 15 menit. Siapan cDNA hasil RT
ini, digunakan sebagai DNA template dalam reaksi PCR.
4.3.2.3 Amplifikasi DNA dengan PCR.
Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Dalam penelitian ini, dilakukan tiga cara untuk mengamplifikasi
DNA CMV, ChiVMV, dan keduanya. Pertama, adalah mengunakan pasangan
primer ChiVMV, kedua, digunakan pasangan primer CMV, dan ketiga,
digunakan pasangan primer CMV dan ChiVMV yang dicampur untuk
mengamplifikasi DNA.
Amplifikasi
DNA
dilakukan
dengan
menggunakan pasangan primer spesifik yang telah didesain khusus untuk
mengamplifikasi masing-masing virus secara terpisah (Tabel 4.1).
21
Tabel 4.1
Nama primer yang mengamplifikasi gen coat protein masing-masing virus
Nama
Virus
ChiVMV
Primer (5’-‘3)
ChiVMV F Ind
AACCTGAGCGTATAGTTTCA
Produk
PCR
Pustaka
900 bp
Jan et al.
(2000)
ChiVMV R Ind
TACGCTTCAGCAAGATTGCT
CMV
CMV-CP-F
ATGGACAAATCTGAATCAACCAGTG
CMV-CP-R
TCAAACTGGGAGCACCCCAGATGTG
657 bp
GenBank
dengan
nomor
asesi
FR820451
Reaksi PCR dengan total volume 25 µl, terdiri atas 1 µl masing-masing
primer, 2,5 µl buffer PCR 10X + Mg2+, 0,5 µl 10 mM dNTP, 2,5 µl sucrose
cresol 10X, 0,3 µl Taq DNA polymerase, 15,2 µl H2O, dan 1 µl DNA template.
Amplifikasi ini dilakukan pada Aucabaied Thermal cycler (Gene Amp PCR
System 9700; PE Applied Biosystem, USA). Amplifikasi ini didahului dengan
denaturasi awal pada 93,5º C selama 3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan 17
siklus yang terdiri dari denaturasi pada 93,5º C selama 45 detik, penempelan
primer (annealing) pada 55º C selama 45 detik, dan pemanjangan pada 72º C
selama 1 menit, dan dilanjutkan kembali dengan 18 siklus yang terdiri dari
denaturasi pada 94º C selama 1 menit, penempelan primer (annealing) pada 47º C
selama 2 menit, dan pemanjangan pada 72º C selama 2 menit. Khusus untuk
siklus terakhir, ditambahkan 10 menit pada 72º C untuk tahapan sintesis, dan
22
siklus berakhir pada suhu 4ºC. Setelah dilakukan PCR, dilanjutkan dengan
elektroforesis.
4.3.2.4 Elektroforesis.
Pembuatan gel agarose dilakukan dengan konsentrasi 1%. Agarose
sebanyak 3 g dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer 100 ml, lalu ditambahkan
30 ml buffer Tris-Acetat EDTA (TAE) 0,5x (0,045 M Tris-Acetat, 0,01 M
EDTA). Kemudian campuran dipanaskan dalam microwave sampai agarose larut.
Larutan agar didinginkan hingga suhu 60º C selama kurang lebih 15 menit, lalu
ditambahkan 1,5 µl ethidium bromida kemudian diaduk. Sebelumnya, pencetak
gel disiapkan terlebih dahulu dan ‘sisir’ gel diletakkan di bagian atas pencetak
gel. Selanjutnya, larutan gel agarose dituang ke dalam cetakan. Gel didiamkan
sampai mengeras (30-45 menit). Setelah mengeras, gel diambil dan diletakkan ke
dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE 0,5 kali. Sebanyak 7 µl DNA
hasil PCR dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis dan pada sumuran gel
elektroforesis yang berada di posisi sebelah kiri dimasukkan 10 µl marker DNA
(100 bp). Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 50 volt selama 60 menit.
Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator ultraviolet. Pita DNA
yang terbentuk pada hasil elektroforesis tersebut dipotret dengan menggunakan
kamera digital.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gejala Infeksi Ganda CMV dan ChiVMV pada Tanaman Cabai Rawit
Hasil pengamatan di Desa Kerta, Payangan, Gianyar, Bali, tanaman cabai
yang terinfeksi ChiVMV pada daun memperlihatkan gejala mosaik dan bentuk
daun membulat pada ujungnya serta melengkung ke atas. Gejala yang terinfeksi
CMV terlihat belang hijau tua dan hijau muda pada daun-daunnya, gejala ini
disertai dengan perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang). Hal
ini telah diverivikasi dalam hasil penelitian sebelumnya oleh Sukada (2014) pada
uji serologi dengan teknik ELISA yang menunjukkan bahwa sampel yang
dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa untuk gajala
mosaik pada tanaman cabai berasosiasi dengan CMV, dan ChiVMV. Adanya
asosiasi CMV dan ChiVMV yang menginfeksi tanaman cabai dapat dilihat pada
Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Tanaman cabai yang terinfeksi CMV dan ChiVMV meliputi gejala:
1. Mosaik, 2. Klorosis dan 3.Leaf cupping.
23
24
Gejala infeksi virus CMV dan ChiVMV yang tampak pada Gambar 5.1
merupakan hasil interaksi antara patogen, inang dan lingkungan. Pengaruh
timbulnya penyakit sangat tergantung pada jumlah populasi patogen, kemampuan
patogen untuk menimbulkan penyakit yaitu berupa kemampuan menginfeksi dan
kemampuan
menyerang
tanaman
inang,
kemampuan
adaptasi
patogen,
penyebaran, ketahanan hidup dan kemampuan replikasi patogen. Pengaruh
tanaman inang terhadap timbulnya suatu penyakit tergantung dari jenis tanaman
inang, kerentanan tanaman, bentuk dan tingkat pertumbuhan, struktur dan
kerapatan populasi, kesehatan tanaman dan ketahanan inang. Pengaruh keadaan
lingkungan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus sangat tergantung pada
kondisi inangnya, mengingat virus tidak dapat melakukan metabolisme sendiri.
Sinar matahari dan suhu sering mempengaruhi perkembangan gejala yang tampak
pada tanaman inang. Sinar matahari, suhu, ketersediaan air dan unsur hara yang
kurang optimal dapat mengakibatkan meningkatnya penampakan gejala pada
tanaman. Hal ini diakibatkan karena virus memerlukan hasil metabolisme dari
tanaman inang yang aktif untuk keperluan perbanyakannya (Bos, 1994). Apabila
hasil metabolisme inang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan
tanaman dan keperluan virus, maka akan timbul gejala khas virus seperti kerdil,
daun keriput, dan klorosis. Munculnya gejala penyakit virus pada tanaman
disebabkan oleh adanya pergerakan virus ke jaringan tanaman melalui pembuluh
floem dan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman bersamaan dengan peredaran
hasil fotosintat (Hull 2002; Martin, 2004). Semakin cepat proses perkembangan
dan penyebaran virus di dalam sel tanaman, maka gejala sistemik muncul
semakin cepat dan tingkat keparahannya semakin tinggi. Keparahan gejala
25
penyakit yang muncul juga terkait dengan interaksi antara CMV dan ChiVMV
dengan kultivar tanaman cabai.
Walaupun demikian dalam jumlah asam nukleat virus yang cukup besar
dalam tumbuhan belum tentu dapat memperlihatkan gejala. Pengaruh tersebut
mungkin terjadi melalui sintesis protein baru (asing) oleh tumbuhan yang
disebabkan oleh virus (enzim, hormon, dan lain-lain) yang menyebabkan
metabolisme inang menjadi terganggu (Bos, 1994., Agrios, 2005).
Serangga vektor mempunyai peranan penting dalam penyebaran virus
terutama dari kelompok kutu daun (Aphididae: Homoptera). Spesies kutu daun
yang dilaporkan dapat menularkan ChiVMV adalah A. craccivora, A. gossypii,
A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan
Rhopaloshipum maydis. Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60
spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara nonpersistent. Virus ini bisa ditularkan hanya dalam waktu 5 detik sampai 10 detik
dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari satu menit. Kemampuan CMV
untuk ditranslokasikan menurun kira-kira setelah 2 menit dan biasanya hilang
dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan kemampuannya untuk
ditularkan oleh spesies kutu daun tertentu tetapi dapat ditularkan oleh spesies
kutu daun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang CMV, oleh
karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et
al., 1998). Pada daerah subtropis CMV dapat melewati musim dingin dan
bertahan pada gulma-gulma tahunan (Agrios, 2005).
Partikel virus memperbanyak diri di dalam sel inang sehingga
mengganggu proses fisiologi tanaman inang. Virus yang mampu melakukan
26
replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman memiliki daya virulensi yang tinggi
(Goodman et al., 1986). Respon tanaman terhadap infeksi virus juga menetukan
bagaimana virus bereplikasi di dalam jaringan tanaman. Fraser (1998),
menyatakan bahwa gejala tidak terjadi apabila tanaman imun terhadap infeksi
virus. Apabila tanaman mampu untuk membatasi perkembangan virus dalam sel
tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain, maka tanaman
tersebut tahan terhadap infeksi virus (Matthews, 1991).
5.2 Deteksi dengan RT-PCR
PCR merupakan suatu teknik amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana
terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara
eksponensial dalam waktu yang relatif singkat. Teknik ini sangat ideal untuk
mengidentifikasi patogen dengan cepat dan akurat. Secara umum proses ini dapat
dikelompokkan dalam tiga tahap yang berurutan yaitu denaturasi, annealing dan
extension (Watson et al., 1992). Tujuan dari PCR ini adalah agar genom dari
DNA sampel dapat teridentifikasi pada proses selanjutnya.
Sampel dengan gejala CMV dan ChiVMV diambil di kawasan Desa
Kerta, Payangan, yang kemudian dideteksi dengan RT-PCR menggunakan 2
primer spesifik ChiVMV dan CMV. Pada penelitian ini dengan menggunakan
metode
Duplex
RT-PCR
kemudian
dilanjutkan
dengan
PCR
berhasil
menghasilkan produk dengan pita DNA berukuran sekitar 900 bp dan 657 bp
sesuai dengan primer yang digunakan (Gambar 5.2).
27
1000 bp
500 bp
900 bp
657 bp
100 bp
Gambar 5.2 Hasil elektroforesis sampel tanaman cabai yang terinfeksi ganda
CMV dan ChiVMV dengan menggunakan metode RT-PCR dan
Duplex RT-PCR. M: Marker DNA 100bp (Promega,USA). 1:
Kontrol negatif (tanaman sehat). 2: Kontrol positif CMV (isolat
koleksi IPB). 3: Uji sampel dengan satu primer CMV (isolat Kerta
Payangan). 4: Uji sampel dengan primer Duplex CMV dan
ChiVMV (isolat Kerta Payangan). 5: Kontrol positif ChiVMV
(isolat koleksi IPB). 6: Uji sampel dengan primer ChiVMV (isolat
Kerta Payangan).
Hasil dari elektroferesis menunjukkan bahwa sampel yang diuji positif
ditemukan adanya infeksi ganda ChiVMV dan CMV. Marker DNA
(Promega,USA) yang digunakan dalam tahap RT-PCR ini berukuran 100 bp. Hal
ini berdasarkan hasil elektroforesis dari hasil RT-PCR yang terlihat pada Gambar
5.2 dimana pita DNA ChiVMV dengan ukuran sekitar 900 bp sesuai dengan
primer yang digunakan (Jan et al., 2000), dan CMV juga berhasil diamplifikasi
dengan didapat pita DNA berukuran 657 bp sesuai dengan primer yang
digunakan.
Keparahan gejala yang muncul berkaitan dengan sistem ketahanan yang
dimiliki oleh tanaman dan tingkat kemampuan virus yang menginfeksi. Pada
28
Gambar 5.3 dapat dilihat bahwa secara umum gejala yang timbul pada tanaman
cabai yang terinfeksi ganda (CMV bersama ChiVMV) lebih berat bila
dibandingkan tanaman yang terinfeksi oleh masing-masing virus secara tunggal.
1
2
3
Gambar 5.3 Gejala tanaman cabai yang terinfeksi virus. 1 Gejala infeksi tunggal
CMV. 2 Gejala infeksi tunggal ChiVMV. 3 Gejala infeksi ganda
CMV dan ChiVMV.
Hasil pengamatan gejala di lapangan menunjukkan bahwa tanaman cabai
yang terinfeksi ganda menunjukkan gejala yang lebih parah dibandingkan dengan
tanaman cabai yang terinfeksi tunggal. Perbandingan gejala tanaman cabai yang
terinfeksi tunggal dan ganda dapat dilihat pada gambar 5.3. Pada daun tanaman
cabai 1 menunjukkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara
warna hijau normal atau hijau tua merupakan gejala yang sebabkan adanya
infeksi CMV, sedangkan pada daun tanaman cabai 2 menunjukkan gejala belangbelang hijau gelap dan bercak-bercak hijau gelap merupakan gejala yang
29
sebabkan adanya infeksi ChiVMV. Pada kedua gambar tersebut terlihat juga
adanya perkembangan generatif yang tampak dengan adanya bunga yang dapat
terbentuk meskipun telah terinfeksi oleh satu jenis virus. Namun pada daun
tanaman cabai 3 gejala yang tampak adalah adanya perubahan warna belang hijau
muda kekuningan diantara warna hijau normal, memperlihatkan gejala belangbelang hijau gelap yang polanya menyatu ke tulang daun di dekatnya dan tidak
terlihatnya perkembangan generatif pada tanaman. Gejala yang tampak pada daun
tanaman cabai 3 merupakan gejala yang gabungan dari infeksi ganda CMV dan
ChiVMV. Hal ini disebabkan karena virus tanaman umumnya menyebabkan
terngganggunya perkembangan serta fungsi sel, dengan jalan menggunakan
substansi sel inang, mengganggu komponen dan proses sel, memenuhi ruangan
dalam sel dan mengganggu proses metabolisme (Nurhayati, 2012). Virus tanaman
merupakan parasit molekuler yang memperbanyak diri dengan memanfaatkan
sel-sel inangnya untuk replikasi. Gangguan fisiologis pada tanaman pada
umumnya dapat dilihat dengan munculnya gejala pada daun sebagai salah satu
bagian tanaman. Terjadinya gejala mosaik, kuning dan klorosis pada tanaman
akan dapat menyababkan tergangguunya proses fotosíntesis yang pada akhirnya
akan berakibat terhadap pertumbuhan dan penurunan hasil (Agrios, 2005).
Infeksi sinergis umumnya menyebabkan gejala yang lebih berat
dibandingkan gejala akibat infeksi tunggal masing-masing virus (Walkey &
Payne, 1990; Cho et al., 2000; Hull, 2002). Pada tanaman yang terinfeksi ganda
terjadi interaksi antara kedua virus yang bersifat meningkatkan kemampuan salah
satu atau kedua virus dalam proses perkembangan dan penyebarannya di dalam
sel tanaman terinfeksi. Virus bergerak ke jaringan tanaman melalui pembuluh
30
floem dan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman bersamaan dengan peredaran
hasil fotosintat (Hull, 2002; Martin, 2004). Semakin cepat proses perkembangan
dan penyebaran virus di dalam sel tanaman, maka gejala sistemik muncul
semakin cepat dan tingkat keparahannya semakin tinggi. Keparahan gejala
penyakit yang muncul juga terkait dengan interaksi antara CMV dan ChiVMV
dengan kultivar tanaman cabai. Dalam hal ini kemampuan setiap tanaman
(kultivar) berbeda tergantung pada kultivar dan umur tanaman serta kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit (Hull, 2002).
Kosaka and Fukunishi (1997) menyatakan bahwa, tanaman mentimun
yang terinfeksi Cucumber mosaic virus, Zuchini yellow mosaic virus, dan
Watermelon mosaic virus secara bersama-sama menunjukkan gejala mosaik
berat, nekrosis, dan distorsi daun dan buah, sehingga tanaman mengalami
penurunan produksi yang nyata. Walaupun tidak selalu ditemukan korelasi antara
konsentrasi virus pada tanaman terinfeksi dengan tingkat keparahan gejala tetapi
gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi CMV atau ChiVMV tampaknya
berkaitan dengan konsentrasi virus di dalam jaringan tanaman. Gejala pada
tanaman yang terinfeksi CMV atau ChiVMV secara tunggal relatif lebih ringan
dibandingkan pada tanaman yang terinfeksi CMV dan ChiVMV secara bersamasama. Infeksi CMV dan ChiVMV selain menimbulkan gejala pada tanaman cabai
juga mempengaruhi produksinya (Widyastuti dan Hidayat, 2005).
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode
Duplex RT-PCR dapat mendeteksi infeksi ganda dari CMV dan ChiVMV pada
tanaman cabai dan merupakan metode yang tepat dan efektif untuk mendeteksi
dua virus sekaligus dalam sekali reaksi PCR.
6.2 Saran
Metode Duplex RT-PCR dapat diaplikasikan oleh lembaga karantina
untuk mendeteksi infeksi dua virus yang menginfeksi tanaman dalam waktu yang
cepat, dan mempermudah pengecekan bahan tanaman yang masuk maupun akan
dikirim ke luar wilayah.
31
DAFTAR PUSTAKA
[BPPT] Balai Penelitian Tanaman Pangan. 2005. Tanaman Obat Indonesia.
http://www.iptek.net.id. (Diakses tanggal 1 juni 2014)
[DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2010. Statistik
Hortikultura Tahun 2010 (Angka tetap). Direktorat Jenderal Hortikultura,
Departemen Pertanian, Jakarta.125p
[DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2007. Perkembangan
luas panen sayuran tahun 1996-2005. http://www.deptan.go.id. (Diakses
tanggal 1 januari 2014)
[DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas Panen, RataRata Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 5th Ed. Academic Press, New York.
Boonham, N., K. Walsh, S. Preston, J. North, P. Smith and I. Barker. 2002. The
Detection of Tuber Necrotic Isolates of Potato Virus Y, and the Accurate
Discrimination of PVYO, PVYN and PVYC Strains Using RT-PCR. J. Virol.
Meth., 102: 103–112.
Bos, L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Penerjemah Triharso. Gajah Mada
University Press.
Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai rawit dan Analisis Usaha Tani.
Kanisius. Yogyakarta.
Chairani, H. 2008. Teknik Budidaya Tanaman Jilid 2. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Cho, J. D., J. S. Kim, H. S. Choi, Y. J. La, K. S. Kim. 2000. Ultrastructural
aspects of the mixed infections of watermelon mosaic potyvirus isolated
from pumpkin and cucumber green mottle mosaic tobamovirus from
watermelon. Plant Pathol J 16:216-221.
Duriat, A. S. 1996. Management of Pepper Viruses in Indonesia: Problem and
Progress. IARD J.18 (3) : 45-50.
Duriat, A. S., Muharam. 2003. Pengenalan Penyakit Penting Pada Cabai dan
Pengendaliannya Berdasarkan Epidemologi Terapan. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung.
Duriat, A. S., Y. Sulyo, N. Gunaeni, E. Korlina. 1995. Screening of pepper
cultivars for resistance to Cucumber mosaic virus (CMV) and Chilli veinal
mottle virus (ChiVMV) in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm
Workshop. Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC.
32
33
Edwardson, J. R., R. G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other
Solanaceus Crop. University of Florida. USA.
Fraser, R. S. S. 1998. The Genetic of Plant Virus Interaction Implication for Plant
Breeding. Euphytica 63:175-185
Gallitelli, D. 1998. Present status of controlling Cucumber mosaic virus (CMV),
In: Hadidi, A., R. K. Khetarpal, H. Koganezawa (eds,) Plant Virus Disease
inokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah.
Goodman, R. N., Z. Kiraly, K. R. Wood. 1986. The Biochemistry and Phyisiology
of Plant Disease. Columbia: University of Missouri Press.
Hull, R. 2002. Matthew’s Plant Virology. Ed. Ke-4. San Diego: Academic Press.
Jan, F. J., C. Fagoaga, S. Z. Pang and D. Gonsalves. 2000. A Single Chimeric
Transgene Derived from Two Distinct Viruses Confers Multi-Virus
Resistance in Transgenic Plants Through Homology Dependent Gen
Silencing. J. Gen. Virol. 81:2103-2109.
Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A.
Varma. 1998. Breeding for resistance to plant viruses. In: Hadidi, A., R.K.
Khetarpal, H. Koganezawa (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press.
pp: 14-32.
Kosaka, Y. and T. Fukunishi. 1997. Multiple Inoculation with Three Attenuated
Viruses for the Control of Cucumber Virus Disease. Plant Dis 81:733-738.
Lindbo, J. A. and W. G. Dougherty. 1992. Pathogen-Derived Resistance to a
Potyvirus: Immune and Resistant Phenotypes in Transgenic Tobacco
Expressing Altered Forms of a Potyvirus Coat Protein Nucleotide
Sequence. Molecular Plant Microbe Interactions 5. 144-153.
Martin, E. M. 2004. Novel cytopathological structures induced by mixed
infection of unrelated plant viruses. Phytopathology 94:111-119.
Matthews, R.E.F. 1991. Plant Virology. 3rd ED. Academic press. New York.
Millah, Z. 2007. “Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap
Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus”. (tesis). Departemen Agronomi dan
Hortikultura. IPB.
Nawangsih, A. A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty.
Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nurhayati. 2012. Virus Penyebab Penyakit Tanaman. Unsri Pers. Palembang
34
Nyana, D. N. 2012. “Isolasi dan Identifikasi Cucumber Mosaic Virus Lemah
untuk Mengendalikan Penyakit Mosaik pada Tanaman Cabai (Capsicum
spp.)”. (disertasi). Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Denpasar.
Ong, C. A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the
AVNET II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Opriana, E. 2009. “Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa
Genotipe Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV)”
(tesis). Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Palukaitis, P., M. J. Roossinck, R. G. Dietzgen, R. I. B. Francki. 1997. Cucumber
mosaic virus. Adv. Virus Res. 41: 281-348.
Pracaya. 1994. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta.
Prajnanta, F. 2001. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Universitas Gajdah Mada. Yogyakarta. 850 Hlm
Subekti, D., S. H. Hidayat, E. Nurhayati, dan S. Sujiprihati. 2006. Infeksi
Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman cabai. Hayati 13: 53-57.
Sukada, W. 2014. “Pengaruh Infeksi beberapa Jenis Virus Terhadap Penurunan
Hasil pada Tanaman Cabai (Capsicum Frutescens L.).” (skripsi).
Konsentrasi Perlindungan Tanaman Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Sulyo, A. S. Duriat, Gunaeni, Korlina. 1995. Determination of CMV and CVMV
strains in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop
Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Suryaningsih, R . Sutarya, A. S. Duriat. 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan
pengendaliannya. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. p: 64-84.
Suwandi, N., Nurtika, S. Sahat. 1997. Bercocok tanam sayuran dataran rendah.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang. pp:
3.1-3.6
Syamsidi, S. R., T. Hasdiatono., dan S. S Putra. 1997. Ketahanan cabai merah
terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada umur tanaman pada saat
inokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah.
Perhimpunan Fitopalogi Indonesia.
35
Taufik, M., A. P. Astuti, S. H. Hidayat. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic
virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi
ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152.
Walkey, D. G. A. and C. J. Payne. 1990. The reaction of two lettuce cultivars to
mixed infection by beet western yellows virus, lettuce mosaic virus and
cucumber mosaic virus. Plant Pathol 39:156-160.
Watson, J. D., M. Gilman, J. Witkowski, and M .Zoller. 1992. Recombinant
DNA (2nd ed.). New York: W. H. Freeman and Company.
Widyastuti, D., S. H. Hidayat. 2005. Pengaruh Waktu Infeksi Virus Kerdil Pisang
terhadap Kerentanan Tiga Kultivar Pisang. J HPT Tropika 5:42-49.
Download