BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) adalah salah satu komoditas unggulan hortikultura di Indonesia yang merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat berpotensi untuk dikembangkan (DBPH, 2007). Kebutuhan cabai meningkat terus-menerus pada setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton per tahun (DBPH, 2009). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih 10 ton/ha (DBPH, 2010). Pada umumnya cabai yang dibudidayakan di Indonesia ada lima jenis yaitu: Capsicum annuum (cabai merah), Capsicum frutescens (cabai rawit), Capsicum chinensis, Capsicum bacctum, dan Capsicum pubescens, dua diantaranya yaitu Capsicum annuum dan Capsicum frutescens yang memiliki potensi ekonomis cukup tinggi dan paling banyak diusahakan di Indonesia (Nawangsih et al.,1999). Tanaman cabai yang merupakan komoditas unggulan hortikultura ini memiliki produktivitas yang masih sangat rendah. Rendahnya produktivitas tanaman cabai tersebut disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi. Rendahnya produksi cabai di lapangan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah: teknik budidaya, kandungan hara dalam tanah, serangan hama dan penyakit. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan 1 2 patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen (Suryaningsih et al.,1996). Menurut Semangun (2000) salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produktivitas tanaman cabai adalah infeksi oleh virus. Jenis virus yang dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai di Indonesia, diantaranya adalah cucumber mosaic virus (CMV), chilli veinal mottle virus (ChiVMV), tobacco mosaic virus (TMV), tomato mosaic virus (ToMV), tobacco etch virus (TEV), pepper mottle virus (PeMV), tomato spotted wilt virus (TSWV), dan potato virus Y (PVY). Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh virus biasanya dapat dibedakan menjadi dua gejala khas seperti gejala kuning dan mosaik. Gejala kuning biasanya pada helai daun mengalami “vein clearing”, dimulai dari daun-daun pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping), menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Sedangkan gejala mosaik biasanya ditandai dengan warna belang antara hijau tua dan hijau muda pada daun tanaman. Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun cekung, keriting atau memanjang (Semangun, 2000). Selanjutnya dilaporkan bahwa infeksi virus secara tunggal maupun secara bersama-sama pada tanaman cabai menyebabkan penghambatan terhadap pertambahan tinggi tanaman, dan perkembangan cabang tanaman (Taufik et al., 2005). Infeksi CMV pada tanaman cabai sering menimbulkan gejala mosaik yang umumnya muncul pada pucuk daun, dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau 3 hijau tua. Sedangkan tanaman cabai yang terinfeksi Potyvirus pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya (Ong, 1995; Sulyo et al., 1995). Berdasarkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus pada tanaman cabai terdapat masalah dalam membedakan gejala mosaik yang disebabkan oleh infeksi ganda. Gejala khas serangan virus menjadi sangat penting, karena virus tidak dapat terlihat dan hanya dapat diketahui melalui efek infeksinya yang menimbulkan gejala pada tanaman inang. Namun demikian pengamatan di lapangan berdasarkan gejala saja hanya berfungsi sebagai panduan. Pengamatan gejala di lapangan tidak mampu memastikan jenis virus yang menginfeksi tanaman karena gejala serupa mungkin dapat ditunjukkan oleh beberapa virus yang berbeda dan gejala mungkin sangat bervariasi, karena virus yang sama dapat menghasilkan berbagai gejala tergantung lingkungan dan inangnya (Nurhayati, 2012) Berdasarkan kenyataan diatas infeksi virus menunjukkan gejala yang beragam pada satu tanaman dan secara umum tanaman akan mengalami kelainan dalam pertumbuhannya, mulai dari pertumbuhan daun yang tidak normal hingga tidak dapat bertambah tinggi akibat proses fotosintesis telah terganggu oleh infeksi virus. Untuk mendeteksi keberadaan CMV dan Potyvirus penyebab gejala mosik yang menginfeksi tanaman secara bersamaan sangat susah dan belum banyak penelitian yang mengungkap keberadaan asosiasi dari kedua virus ini. Dari masalah tersebut perlu dilakukan suatu penelitian untuk dapat mendeteksi 4 dua virus yang menginfeksi tanaman secara bersamaan dengan satu metode yaitu Duplex RT-PCR. 1.2 Rumusan Masalah Adapun masalah yang perlu di rumuskan dalam penelitian ini adalah : Apakah infeksi ganda oleh CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai dapat dideteksi dengan Duplex RT-PCR ? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk dapat mendeteksi infeksi ganda dari CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai dengan metode Duplex RTPCR. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini secara akademis adalah hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Virologi Tumbuhan, khususnya aplikasi metode Duplex RT-PCR untuk mempermudah deteksi dua virus yang menginfeksi satu tanaman. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutesncens L.) Tanaman cabai merupakan tanaman budidaya yang termasuk tanaman perdu dari famili terong-terongan. Tanaman cabai biasanya ditanam di pekarangan dan di kebun sebagai tanaman sayuran. Tanaman cabai berasal dari benua Amerika, yaitu dari daerah Peru. Tanaman cabai menyebar ke negaranegara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk juga Negara Indonesia. Tanaman cabai memiliki aneka ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya (Chairani, 2008). Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self – pollinated crop). Karena hal tersebut, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Klasifikasi tanaman cabai : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae (suku terung-terungan) Genus : Capsicum 5 6 : Capsicum frutescens L. Spesies Tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum yang mempunyai lebih dari 100 spesies. Capssicum frutescens L. (cabai rawit), Capssicum annum L. (cabai besar), Capssicum chinense Jacq., Capssicum pendulum Will., dan Capssicum pubescesn Ruiz dan Pauwn (Prajnanta, 2001). Tanaman cabai termasuk tanaman perdu setahun yang memiliki cabang yang banyak dan tinggi tanaman ini mencapai 50-100 cm. Tanaman cabai memiliki batang yang berbuku-buku. Tanaman cabai berdaun tunggal, bertangkai, dan letaknya berselingan. Helaian daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung meruncing, pangkal daun menyempit, tepi daun yang rata, pertulangan menyirip, panjang 5-9,5 cm, lebar 1,5-5,5 cm dan berwarna hijau. Tanaman cabai mengeluarkan bunga pada ketiak daun, mahkota bentuk bintang, bunga tunggal atau 2-3 bunga letaknya berdekatan, berwarna putih, putih kehijauan atau ungu. Buahnya tegak, kadang-kadang merunduk, berbentuk bulat telur, lurus atau bengkok, ujung meruncing, panjang 1-3 cm, lebar 2,5-12 mm, bertangkai panjang, dan rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, putih kehijauan, atau putih, buah yang masak berwarna merah terang. Bijinya banyak, bulat pipih, berdiameter 2-2,5 mm, berwarna kuning kotor. Buahnya digunakan sebagai sayuran, bumbu masak, acar, dan asinan, daun muda dapat dikukus untuk lalap (BPTP, 2005). Tanaman cabai dapat tumbuh dua sampai tiga tahun pembibitan dari proses hingga tanaman berproduksi dan cahaya merupakan suatu yang sangat penting selama pertumbuhanya. Pada intensitas cahaya optimum dalam waktu yang cukup lama, masa pembungaan tanaman akan terjadi lebih cepat dan 7 proses pematangan buahnya juga akan berlangsung lebih singkat. (Pracaya, 1994). Umur tanaman dan panen cabai ditentukan oleh jenis cabai yang ditanam dan kondisi lingkungan pada tanaman cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70-75 hari setelah tanam. Waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4-5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6-7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3-4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Nawangsih et al., 1999). Tanaman cabai akan dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai tinggi yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik. Umur tanaman cabai dapat mencapai 2-3 tahun (Nawangsih et al., 1999; Cahyono, 2003). Tanaman cabai memerlukan pH tanah berkisar antara 5,5-6,8 dengan drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18º-30º C (Cahyono, 2003). Tanaman cabai secara geografis dapat tumbuh pada ketinggian 0-1200 m di atas permukaan laut. Daerah dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terinfeksi penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600-1250 mm dengan bulan kering 3-8,5 bulan dan tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al., 1997). 2.2 Penyakit Virus Pada Tanaman Cabai Tanaman cabai yang terinfeksi virus dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Syamsidi et al., 1997). Tanaman cabai yang dibudidayakan petani dilapangan sering sekali 8 menemui masalah terinfeksi virus sehingga dapat mengakibatkan terjadinya penurunkan produksi buah cabai. Infeksi virus pada tanaman cabai pada umumnya disebabkan karena adanya vektor yang menyerang seperti, Myzus persicae (aphids), Bemisia tabaci (kutu kebul), Thrips tabaci (Pracaya, 1994). Infeksi virus pada tanaman cabai pada umumnya ialah, CMV (Cucumber mosaic virus), TMV (Tobacco mosaic virus ), TEV (Tobacco etch virus), PVY (Potato virus Y), ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TYLCV (Tomato yellow leaf curl virus) (Pracaya, 1994). Dilaporkan bahwa infeksi virus secara tunggal maupun secara bersamasama pada tanaman cabai menyebabkan penghambatan terhadap pertambahan tinggi tanaman, dan perkembangan cabang tanaman (Taufik et al., 2005). Hasil penelitian Nyana (2012) mendapatkan bahwa ada dua jenis virus utama yang menyerang tanaman cabai di Bali, yaitu dengan gejala mosaik (57,4%) yang berasosiasi dengan infeksi tiga jenis virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic virus (TMV) dari golongan Tobamovirus, Cucumber mosaic virus (CMV) dari golongan Cucumovirus atau Chili veinal motle virus (ChiVMV) dari golongan ChiVMV dan gejala kuning (9,2%) yang diinduksi oleh Pepper yellow leaf curl ivirus (PepYLCV), dari golongan Begomovirus. Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies lain. Dilaporkan lebih dari 1800 spesies tanaman dapat terinfeksi virus yang sama dengan virus yang menyerang tanaman cabai. Identifikasi virus yang menginfeksi tanaman adalah hal yang sangat penting dilakukan. Dengan hasil identifikasi tersebut, dapat digunakan sebagai panduan untuk langkah langkah pemberantasan beberapa sumber virus yang potensial, sehingga tanamn cabai maupun tanaman 9 dari spesies lain terhindar dari infeksi virus yang menyerang tanaman cabai (Edwarson dan Christie, 1997). 2.3 CMV (Cucumber mosaik virus) CMV adalah virus yang termasuk dalam kelompok Cucumovirus, bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus (CAV) (Palukaitis et al., 1997). CMV merupakan virus tanaman yang berbentuk polihedral dengan diameter 28 nm, virus ini dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 800 spesies tumbuhan, dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai jenis tanaman (Palukaitis et al., 1997). Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini bisa ditularkan hanya dalam waktu 5 detik sampai 10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kira-kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutu daun tertentu tetapi dapat ditularkan oleh spesies kutu daun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma-gulma tahunan (Agrios, 2005). Serangan CMV pada tanaman cabai menimbulkan gejala mosaik yang umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau 10 hijau tua. Bagian yang berwarna hijau muda biasanya lebih tipis, sedangkan yang berwarna hijau tua lebih tebal dari normal. Seiring dengan perkembangan daun, bentuk daun menjadi berubah (malformasi) seperti: menggulung, deformasi, menyempit, mengkerut atau berubah seperti tali sepatu (shoestring), berukuran lebih kecil dan mengalami nekrosis (membentuk cincin-cincin nekrotik). Gejala pada batang adalah batang mengalami stunt (kerdil). Sedangkan pada buah adalah buah akan mengalami distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot, bercak dan cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok (Gallitelli, 1998). Jika tanaman terinfeksi pada waktu masih muda tanaman akan terhambat pertumbuhannya dan menjadi kerdil. Tanaman yang sakit menghasilkan buah yang kecil dan sering tampak berjerawat (Semangun, 2000). Virus ini dapat menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%, bahkan jika infeksi terjadi pada fase bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100% (Duriat, 1996). 2.4 ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) ChiVMV merupakan salah satu genus virus yang banyak menimbulkan kerugian hasil pertanian dibandingkan dengan virus-virus dari genus yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies Potyvirus yang banyak, penyebaran yang mudah melalui kutu daun secara non-persistent yang sulit dikendalikan, infeksinya pada tanaman inang yang menimbulkan gejala nekrosis, klorosis, dan kerdil (Lindbo et al., 1992) Infeksi virus merupakan kendala budidaya cabai di Indonesia. Beberapa macam virus telah dilaporkan dapat menyerang kultivar cabai di Indonesia yang berasal dari genus Potyvirus yaitu, Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) dan 11 Potato Virus Y (PVY) yang dapat menginduksi gejala mosaik (Duriat et al., 1995; Suryaningsih et al., 1996). Tanaman cabai yang terinfeksi virus ChiVMV pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya. Produksi dan kualitas buah menjadi rendah karena serangan dari Potyvirus mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Ong, 1995; Sulyo et al. 1995). Gejala serangan akan terlihat paling keras pada daun yang paling muda, pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Selain itu, serangan ChiVMV akan mengganggu perkembangan bunga sebelum pembentukan buah cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belangbelang, dan hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan (Opriana, 2009). Myzus persicae, Aphis gossypii, A. craccivora, A. spiraecola, dan Hysteroneura setariae merupakan kutu daun yang dapat menjadi vektor penularan virus ChiVMV. Penularan virus ini melalui kutu daun dilakukan secara non-persistent, dimana aphids mendapat virus dengan mengisap tanaman yang terinfeksi hanya dengan waktu beberapa detik, kemudian aphids akan menularkan virus dengan cepat pada tanaman sehat, setelah itu dia akan kehilangan virus dan tidak mampu lagi menularkan virus pada tanaman yang lain (Millah, 2007). PVY adalah spesies dari genus Potyvirus yang mempunyai titik pengenceran terakhir 1 : 1000-100.000 dan titik pemanasan inaktifasi lebih kurang 500 C. Virus ini berbentuk benang-benang pendek yang panjangnya berbeda. Sitoplasma sel tanaman yang terinfeksi terdapat inklusi yang berbentuk 12 cakra, yang merupakan tanda khas dari PVY. Virus ditularkan ditularkan oleh kutu daun, Myzus persicae secara non persisten serta secara mekanis. Gejala yang timbul pada tanaman ini tidak begitu beragam. Infeksi menyebabkan gejala mosaik antar tulang daun, tulang daun berwarna gelap, sedangkan diantaranya berwarna lebih muda, gejala mosaik yang lemah ini biasanya lebih jelas pada daun-daun tua, yang terlindungi oleh daun diatasnya (Duriat dan Muharam, 2003). PVY ditularkan oleh kutu daun tetapi juga dapat tetap bertahan di dalam bibit tanaman. Penggunaan bibit tanaman yang sama selama beberapa generasi berturut-turut akan menyebabkan terjadinya penurunan hasil oleh virus tersebut. Peningkatan infeksi selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kerugian yang cukup besar. Peningkatan infeksi dapat disebabkan oleh penurunan efektivitas bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor, penggunaan benih yang tidak tahan dan teknik budidaya. Pemanasan global juga telah menyebabkan peningkatan jumlah vektor yang menyebabkan peningkatan penyebaran virus (Boonham et al., 2002). PVY menginfeksi banyak spesies tanaman yang memiliki nilai ekonomi penting, seperti: kentang (Solanum tuberosum), tembakau (Nicotiana tabacum), tomat (Solanum lycopersicum) dan cabai ( Capsicum spp.). Tingkat kerusakan tanaman ditentukan oleh strain virus, waktu infeksi dan toleransi inang. Cara yang paling umum infeksi PVY di lapangan adalah melalui kutu daun. Gulma dan tanaman lainnya dapat menjadi inang dan berfungsi sebagai tempat berkembang biak kutu daun . Myzus persicae merupakan serangga yang berperan sebagai vektor virus yang paling efektif, meskipun ada jenis kutu daun lain yang juga 13 berperan penting dalam penyebaran PVY. Penularan PVY oleh kutu daun terjadi secara non-persistent berarti replikasi virus tidak terjadi dalam vektor kutu daun. Virus melekat pada stylet dalam hitungan detik dan dapat tetap menular selama 4-17 jam. Virus masuk ke dalam sel tanaman kemudian coat protein lepas dari RNA genom. RNA virus berfungsi sebagai mRNA yang masih sedikit yang diketahui tentang terjemahannya. Hasil mRNA yang diterjemahkan menjadi polyprotein kemudian dipotong menjadi protein. Protein virus bersama dengan protein inang, berkumpul untuk membentuk kompleks replikasi. Kompleks ini membentuk RNA negatif, dengan menggunakan untai positif RNA virus sebagai template. Setelah salinan RNA diproduksi dilanjutkan dengan sintesis berbagai protein. Coat protein akan bergabung kembali untuk membentuk virus baru. Partikel-partikel virus baru yang disintesis selanjutnya diangkut melalui plasmodesmata sel tanaman yang berdekatan dibantu beberapa protein potyvirus. Distribusi virus dalam tanaman terjadi sesuai dengan hubungan sumber infeksi dan aliran hasil fotosintesis (Boonham et al., 2002). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berfikir Kebutuhan cabai meningkat terus-menerus pada setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih 10 ton/ha (DBPH, 2010). Rendahnya produksi cabai di lapangan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah teknik budidaya, kandungan hara dalam tanah, serangan hama dan penyakit. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat perhatian (Suryaningsih et al.,1996). Menurut Semangun (2000) salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produktivitas tanaman cabai adalah infeksi oleh virus. Infeksi virus biasanya menimbulkan gejala khas seperti gejala kuning dan mosaik. Gejala kuning biasanya pada helai daun mengalami “vein clearing”, dimulai dari daundaun pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping), menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Sedangkan gejala mosaik biasanya ditandai dengan warna belang antara hijau tua dan hijau muda pada daun tanaman. Kadang-kadang disertai dengan perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang). 14 15 Infeksi CMV sering menimbulkan gejala mosaik yang umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua. Sedangkan tanaman cabai yang terinfeksi Potyvirus pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis (Ong, 1995; Sulyo et al., 1995). Berdasarkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus terdapat masalah dalam membedakan gejala mosaik yang disebabkan oleh infeksi ganda. Gejala khas serangan virus menjadi sangat penting karena virus yang biasanya tidak terlihat dan hanya dapat diketahui melalui efek infeksinya pada tanaman inang. Namun demikian pengamatan di lapangan berdasarkan gejala saja hanya berfungsi sebagai panduan. Pengamatan gejala di lapangan tidak mampu memastikan jenis virus yang menginfeksi tanaman karena gejala serupa mungkin dapat ditunjukkan oleh beberapa virus yang berbeda dan gejala mungkin sangat bervariasi, karena virus yang sama dapat menghasilkan berbagai gejala tergantung lingkungan dan inangnya (Nurhayati, 2012). Untuk mendeteksi keberadaan CMV dan ChiVMV penyebab gejala mosik yang menginfeksi tanaman secara bersamaan sangat susah dan belum banyak penelitian yang mengungkap keberadaan asosiasi dari kedua virus ini. Dari masalah tersebut perlu dilakukan suatu penelitian untuk dapat mendeteksi dua virus yang menginfeksi tanaman secara bersamaan dengan satu metode yaitu Duplex RT-PCR. 16 3.2 Konsep Penelitian Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian. 3.3 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah Duplex RT-PCR dapat mendeteksi inveksi ganda oleh CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Marga Tengah, Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar pada ketinggian tempat 700 m di atas permukaan laut. Uji molekuler dengan metode Duplex RT-PCR dilakukan di Laboratorium Virologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor (IPB) setelah adanya hasil uji serologi yaitu dengan teknik ELISA yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya yang telah dikonfirmasi dalam penelitian Sukada (2014). Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Februari 2014 sampai dengan Mei 2014. 4.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanaman cabai yang terinfeksi ganda oleh virus CMV dan ChiVMV, Thermo scientific GeneJET Plant RNA Purification Mini Kit, primer, buffer Phosphate, buffer TBS-Tween, KOH, aquades, alkohol dan CaCl3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, gunting, cawan petri, mortar, pinset, timbangan, tabung reaksi, tabung gelas, mesin PCR. 4.3 Pelaksanaan Penelitian 4.3.1 Survei pengambilan sampel dilapangan Survei dilakukan untuk mengumpulkan tanaman yang bergejala khas infeksi ganda CMV dan ChiVMV. Survei dan pengambilan contoh tanaman 17 18 (sampel) cabai dilakukan di kebun petani Desa Kerta, Payangan Gianyar, Bali. Survei dilakukan untuk mengamati gejala pada tanaman cabai, mengetahui pengaruh infeksi terhadap cabai, serta variasi gejala yang muncul pada jenis tanaman cabai berbeda. Untuk verifikasi jenis virus maka dilakukan pengambilan sampel daundaun pucuk dari tanaman cabai yang telah di uji serologi dengan teknik ELISA dalam penelitian Sukada (2014), menunjukkan adanya infeksi virus CMV dan ChiVMV. Segera setelah dipetik, daun-daun pucuk cabai tersebut secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5 cm dan panjang 15 cm yang telah diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat sampai kedap udara. Bahan higroskopis ini akan menyebabkan sampel daun mengering terawetkan namun tidak mempengaruhi viabilitas maupun sifat intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya. 4.3.2 Deteksi Duplex CMV dan ChiVMV dengan RT-PCR Untuk dapat mendeteksi infeksi ganda oleh CMV dan ChiVMV yang menginfeksi tanaman cabai, dilakukan deteksi virus dengan metode Duplex RTPCR, menggunakan primer khusus yang dapat mengamplifikasi virus secara terpisah. 4.3.2.1 Ekstraksi RNA total. RNA total diekstraksi dari jaringan daun tanaman cabai bergejala klorosis dengan menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc., Chatsworth, CA., USA). Tahapannya adalah sampel daun sebanyak 0,1 g digerus menggunakan 19 mortar dan pistil steril dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambahkan 450 µl buffer RLT yang mengandung 1% merkaptoethanol, kemudian divortex. Sampel diinkubasi pada suhu 56º C selama 10 menit. Sampel dipipet, lalu dimasukkan ke dalam QIAshredder spin column ungu dan ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml, lalu disentrifuse dengan kecepatan 13000 rpm selama 2 menit. Supernatan dipipet tanpa menyentuh pelet dalam tabung koleksi, lalu dipindahkan ke dalam tabung mikro 2 ml baru. Kemudian ditambahkan 0,5 vol ethanol 96% (± 225 ml) dan dicampur dengan rata. Sampel (± 650 ml) termasuk endapan yang terbentuk ke dalam RNeasy mini colomn pink, kemudian ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml dan disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik. Cairan yang terdapat pada tabung koleksi dibuang, kemudian ditambahkan 700 ml buffer RW1 ke dalam RNeasy colomn, ditutup dengan baik dan disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik untuk mencuci colomn. RNeasy colomn dipindahkan ke dalam tabung koleksi 2 ml baru, buffer RPE dipipet sebanyak 500 µl kemudian dimasukkan ke dalam RNeasy colomn dan ditutup dengan rapat, disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 detik. Tabung koleksi digunakan kembali, ditambahkan sebanyak 500 µl buffer RPE dan disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm selama 2 menit. Untuk meyakinkan bahwa colomn telah kering, colomn dipindahkan pada tabung koleksi baru, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, 40 µl RNAse free water ditambahkan ke dalam RNeasy colomn, didiamkan 10 menit kemudian disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm selama 1 menit. Siapan RNA total ini digunakan sebagai template dalam reaksi RT-PCR. 20 4.3.2.2 Sintesis cDNA. RNA hasil ekstraksi selanjutnya ditranskripsi balik menjadi cDNA (complementary DNA) dengan menggunakan teknik Reverse Transcriptase (RT). Reaksi RT dibuat dengan total volume 10 µl yang mengandung 2 µl RNA total, 1 µl buffer RT 10X, 0,35 µl 50 mM DTT (dithiothreitol), 2 µl 10 mM dNTP (deoksiribonukleotida triphosphat), 0,35 µl M-MuLV Rev, 0,35 µl RNase inhibitor, 0,75 µl oligo (dT), dan 3,2 µl H2O. Komponen-komponen tersebut digunakan untuk satu kali reaksi RT. Reaksi RT dilakukan dalam sebuah Aucabaied Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25º C selama 5 menit, 42º C selama 60 menit, dan 70º C selama 15 menit. Siapan cDNA hasil RT ini, digunakan sebagai DNA template dalam reaksi PCR. 4.3.2.3 Amplifikasi DNA dengan PCR. Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dalam penelitian ini, dilakukan tiga cara untuk mengamplifikasi DNA CMV, ChiVMV, dan keduanya. Pertama, adalah mengunakan pasangan primer ChiVMV, kedua, digunakan pasangan primer CMV, dan ketiga, digunakan pasangan primer CMV dan ChiVMV yang dicampur untuk mengamplifikasi DNA. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan pasangan primer spesifik yang telah didesain khusus untuk mengamplifikasi masing-masing virus secara terpisah (Tabel 4.1). 21 Tabel 4.1 Nama primer yang mengamplifikasi gen coat protein masing-masing virus Nama Virus ChiVMV Primer (5’-‘3) ChiVMV F Ind AACCTGAGCGTATAGTTTCA Produk PCR Pustaka 900 bp Jan et al. (2000) ChiVMV R Ind TACGCTTCAGCAAGATTGCT CMV CMV-CP-F ATGGACAAATCTGAATCAACCAGTG CMV-CP-R TCAAACTGGGAGCACCCCAGATGTG 657 bp GenBank dengan nomor asesi FR820451 Reaksi PCR dengan total volume 25 µl, terdiri atas 1 µl masing-masing primer, 2,5 µl buffer PCR 10X + Mg2+, 0,5 µl 10 mM dNTP, 2,5 µl sucrose cresol 10X, 0,3 µl Taq DNA polymerase, 15,2 µl H2O, dan 1 µl DNA template. Amplifikasi ini dilakukan pada Aucabaied Thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA). Amplifikasi ini didahului dengan denaturasi awal pada 93,5º C selama 3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan 17 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 93,5º C selama 45 detik, penempelan primer (annealing) pada 55º C selama 45 detik, dan pemanjangan pada 72º C selama 1 menit, dan dilanjutkan kembali dengan 18 siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94º C selama 1 menit, penempelan primer (annealing) pada 47º C selama 2 menit, dan pemanjangan pada 72º C selama 2 menit. Khusus untuk siklus terakhir, ditambahkan 10 menit pada 72º C untuk tahapan sintesis, dan 22 siklus berakhir pada suhu 4ºC. Setelah dilakukan PCR, dilanjutkan dengan elektroforesis. 4.3.2.4 Elektroforesis. Pembuatan gel agarose dilakukan dengan konsentrasi 1%. Agarose sebanyak 3 g dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer 100 ml, lalu ditambahkan 30 ml buffer Tris-Acetat EDTA (TAE) 0,5x (0,045 M Tris-Acetat, 0,01 M EDTA). Kemudian campuran dipanaskan dalam microwave sampai agarose larut. Larutan agar didinginkan hingga suhu 60º C selama kurang lebih 15 menit, lalu ditambahkan 1,5 µl ethidium bromida kemudian diaduk. Sebelumnya, pencetak gel disiapkan terlebih dahulu dan ‘sisir’ gel diletakkan di bagian atas pencetak gel. Selanjutnya, larutan gel agarose dituang ke dalam cetakan. Gel didiamkan sampai mengeras (30-45 menit). Setelah mengeras, gel diambil dan diletakkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE 0,5 kali. Sebanyak 7 µl DNA hasil PCR dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis dan pada sumuran gel elektroforesis yang berada di posisi sebelah kiri dimasukkan 10 µl marker DNA (100 bp). Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 50 volt selama 60 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transluminator ultraviolet. Pita DNA yang terbentuk pada hasil elektroforesis tersebut dipotret dengan menggunakan kamera digital. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gejala Infeksi Ganda CMV dan ChiVMV pada Tanaman Cabai Rawit Hasil pengamatan di Desa Kerta, Payangan, Gianyar, Bali, tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV pada daun memperlihatkan gejala mosaik dan bentuk daun membulat pada ujungnya serta melengkung ke atas. Gejala yang terinfeksi CMV terlihat belang hijau tua dan hijau muda pada daun-daunnya, gejala ini disertai dengan perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang). Hal ini telah diverivikasi dalam hasil penelitian sebelumnya oleh Sukada (2014) pada uji serologi dengan teknik ELISA yang menunjukkan bahwa sampel yang dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa untuk gajala mosaik pada tanaman cabai berasosiasi dengan CMV, dan ChiVMV. Adanya asosiasi CMV dan ChiVMV yang menginfeksi tanaman cabai dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Tanaman cabai yang terinfeksi CMV dan ChiVMV meliputi gejala: 1. Mosaik, 2. Klorosis dan 3.Leaf cupping. 23 24 Gejala infeksi virus CMV dan ChiVMV yang tampak pada Gambar 5.1 merupakan hasil interaksi antara patogen, inang dan lingkungan. Pengaruh timbulnya penyakit sangat tergantung pada jumlah populasi patogen, kemampuan patogen untuk menimbulkan penyakit yaitu berupa kemampuan menginfeksi dan kemampuan menyerang tanaman inang, kemampuan adaptasi patogen, penyebaran, ketahanan hidup dan kemampuan replikasi patogen. Pengaruh tanaman inang terhadap timbulnya suatu penyakit tergantung dari jenis tanaman inang, kerentanan tanaman, bentuk dan tingkat pertumbuhan, struktur dan kerapatan populasi, kesehatan tanaman dan ketahanan inang. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus sangat tergantung pada kondisi inangnya, mengingat virus tidak dapat melakukan metabolisme sendiri. Sinar matahari dan suhu sering mempengaruhi perkembangan gejala yang tampak pada tanaman inang. Sinar matahari, suhu, ketersediaan air dan unsur hara yang kurang optimal dapat mengakibatkan meningkatnya penampakan gejala pada tanaman. Hal ini diakibatkan karena virus memerlukan hasil metabolisme dari tanaman inang yang aktif untuk keperluan perbanyakannya (Bos, 1994). Apabila hasil metabolisme inang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman dan keperluan virus, maka akan timbul gejala khas virus seperti kerdil, daun keriput, dan klorosis. Munculnya gejala penyakit virus pada tanaman disebabkan oleh adanya pergerakan virus ke jaringan tanaman melalui pembuluh floem dan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman bersamaan dengan peredaran hasil fotosintat (Hull 2002; Martin, 2004). Semakin cepat proses perkembangan dan penyebaran virus di dalam sel tanaman, maka gejala sistemik muncul semakin cepat dan tingkat keparahannya semakin tinggi. Keparahan gejala 25 penyakit yang muncul juga terkait dengan interaksi antara CMV dan ChiVMV dengan kultivar tanaman cabai. Walaupun demikian dalam jumlah asam nukleat virus yang cukup besar dalam tumbuhan belum tentu dapat memperlihatkan gejala. Pengaruh tersebut mungkin terjadi melalui sintesis protein baru (asing) oleh tumbuhan yang disebabkan oleh virus (enzim, hormon, dan lain-lain) yang menyebabkan metabolisme inang menjadi terganggu (Bos, 1994., Agrios, 2005). Serangga vektor mempunyai peranan penting dalam penyebaran virus terutama dari kelompok kutu daun (Aphididae: Homoptera). Spesies kutu daun yang dilaporkan dapat menularkan ChiVMV adalah A. craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan Rhopaloshipum maydis. Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara nonpersistent. Virus ini bisa ditularkan hanya dalam waktu 5 detik sampai 10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kira-kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutu daun tertentu tetapi dapat ditularkan oleh spesies kutu daun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma-gulma tahunan (Agrios, 2005). Partikel virus memperbanyak diri di dalam sel inang sehingga mengganggu proses fisiologi tanaman inang. Virus yang mampu melakukan 26 replikasi dengan cepat di dalam sel tanaman memiliki daya virulensi yang tinggi (Goodman et al., 1986). Respon tanaman terhadap infeksi virus juga menetukan bagaimana virus bereplikasi di dalam jaringan tanaman. Fraser (1998), menyatakan bahwa gejala tidak terjadi apabila tanaman imun terhadap infeksi virus. Apabila tanaman mampu untuk membatasi perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel yang lain, maka tanaman tersebut tahan terhadap infeksi virus (Matthews, 1991). 5.2 Deteksi dengan RT-PCR PCR merupakan suatu teknik amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat. Teknik ini sangat ideal untuk mengidentifikasi patogen dengan cepat dan akurat. Secara umum proses ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap yang berurutan yaitu denaturasi, annealing dan extension (Watson et al., 1992). Tujuan dari PCR ini adalah agar genom dari DNA sampel dapat teridentifikasi pada proses selanjutnya. Sampel dengan gejala CMV dan ChiVMV diambil di kawasan Desa Kerta, Payangan, yang kemudian dideteksi dengan RT-PCR menggunakan 2 primer spesifik ChiVMV dan CMV. Pada penelitian ini dengan menggunakan metode Duplex RT-PCR kemudian dilanjutkan dengan PCR berhasil menghasilkan produk dengan pita DNA berukuran sekitar 900 bp dan 657 bp sesuai dengan primer yang digunakan (Gambar 5.2). 27 1000 bp 500 bp 900 bp 657 bp 100 bp Gambar 5.2 Hasil elektroforesis sampel tanaman cabai yang terinfeksi ganda CMV dan ChiVMV dengan menggunakan metode RT-PCR dan Duplex RT-PCR. M: Marker DNA 100bp (Promega,USA). 1: Kontrol negatif (tanaman sehat). 2: Kontrol positif CMV (isolat koleksi IPB). 3: Uji sampel dengan satu primer CMV (isolat Kerta Payangan). 4: Uji sampel dengan primer Duplex CMV dan ChiVMV (isolat Kerta Payangan). 5: Kontrol positif ChiVMV (isolat koleksi IPB). 6: Uji sampel dengan primer ChiVMV (isolat Kerta Payangan). Hasil dari elektroferesis menunjukkan bahwa sampel yang diuji positif ditemukan adanya infeksi ganda ChiVMV dan CMV. Marker DNA (Promega,USA) yang digunakan dalam tahap RT-PCR ini berukuran 100 bp. Hal ini berdasarkan hasil elektroforesis dari hasil RT-PCR yang terlihat pada Gambar 5.2 dimana pita DNA ChiVMV dengan ukuran sekitar 900 bp sesuai dengan primer yang digunakan (Jan et al., 2000), dan CMV juga berhasil diamplifikasi dengan didapat pita DNA berukuran 657 bp sesuai dengan primer yang digunakan. Keparahan gejala yang muncul berkaitan dengan sistem ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dan tingkat kemampuan virus yang menginfeksi. Pada 28 Gambar 5.3 dapat dilihat bahwa secara umum gejala yang timbul pada tanaman cabai yang terinfeksi ganda (CMV bersama ChiVMV) lebih berat bila dibandingkan tanaman yang terinfeksi oleh masing-masing virus secara tunggal. 1 2 3 Gambar 5.3 Gejala tanaman cabai yang terinfeksi virus. 1 Gejala infeksi tunggal CMV. 2 Gejala infeksi tunggal ChiVMV. 3 Gejala infeksi ganda CMV dan ChiVMV. Hasil pengamatan gejala di lapangan menunjukkan bahwa tanaman cabai yang terinfeksi ganda menunjukkan gejala yang lebih parah dibandingkan dengan tanaman cabai yang terinfeksi tunggal. Perbandingan gejala tanaman cabai yang terinfeksi tunggal dan ganda dapat dilihat pada gambar 5.3. Pada daun tanaman cabai 1 menunjukkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua merupakan gejala yang sebabkan adanya infeksi CMV, sedangkan pada daun tanaman cabai 2 menunjukkan gejala belangbelang hijau gelap dan bercak-bercak hijau gelap merupakan gejala yang 29 sebabkan adanya infeksi ChiVMV. Pada kedua gambar tersebut terlihat juga adanya perkembangan generatif yang tampak dengan adanya bunga yang dapat terbentuk meskipun telah terinfeksi oleh satu jenis virus. Namun pada daun tanaman cabai 3 gejala yang tampak adalah adanya perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal, memperlihatkan gejala belangbelang hijau gelap yang polanya menyatu ke tulang daun di dekatnya dan tidak terlihatnya perkembangan generatif pada tanaman. Gejala yang tampak pada daun tanaman cabai 3 merupakan gejala yang gabungan dari infeksi ganda CMV dan ChiVMV. Hal ini disebabkan karena virus tanaman umumnya menyebabkan terngganggunya perkembangan serta fungsi sel, dengan jalan menggunakan substansi sel inang, mengganggu komponen dan proses sel, memenuhi ruangan dalam sel dan mengganggu proses metabolisme (Nurhayati, 2012). Virus tanaman merupakan parasit molekuler yang memperbanyak diri dengan memanfaatkan sel-sel inangnya untuk replikasi. Gangguan fisiologis pada tanaman pada umumnya dapat dilihat dengan munculnya gejala pada daun sebagai salah satu bagian tanaman. Terjadinya gejala mosaik, kuning dan klorosis pada tanaman akan dapat menyababkan tergangguunya proses fotosíntesis yang pada akhirnya akan berakibat terhadap pertumbuhan dan penurunan hasil (Agrios, 2005). Infeksi sinergis umumnya menyebabkan gejala yang lebih berat dibandingkan gejala akibat infeksi tunggal masing-masing virus (Walkey & Payne, 1990; Cho et al., 2000; Hull, 2002). Pada tanaman yang terinfeksi ganda terjadi interaksi antara kedua virus yang bersifat meningkatkan kemampuan salah satu atau kedua virus dalam proses perkembangan dan penyebarannya di dalam sel tanaman terinfeksi. Virus bergerak ke jaringan tanaman melalui pembuluh 30 floem dan akan tersebar ke seluruh bagian tanaman bersamaan dengan peredaran hasil fotosintat (Hull, 2002; Martin, 2004). Semakin cepat proses perkembangan dan penyebaran virus di dalam sel tanaman, maka gejala sistemik muncul semakin cepat dan tingkat keparahannya semakin tinggi. Keparahan gejala penyakit yang muncul juga terkait dengan interaksi antara CMV dan ChiVMV dengan kultivar tanaman cabai. Dalam hal ini kemampuan setiap tanaman (kultivar) berbeda tergantung pada kultivar dan umur tanaman serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit (Hull, 2002). Kosaka and Fukunishi (1997) menyatakan bahwa, tanaman mentimun yang terinfeksi Cucumber mosaic virus, Zuchini yellow mosaic virus, dan Watermelon mosaic virus secara bersama-sama menunjukkan gejala mosaik berat, nekrosis, dan distorsi daun dan buah, sehingga tanaman mengalami penurunan produksi yang nyata. Walaupun tidak selalu ditemukan korelasi antara konsentrasi virus pada tanaman terinfeksi dengan tingkat keparahan gejala tetapi gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi CMV atau ChiVMV tampaknya berkaitan dengan konsentrasi virus di dalam jaringan tanaman. Gejala pada tanaman yang terinfeksi CMV atau ChiVMV secara tunggal relatif lebih ringan dibandingkan pada tanaman yang terinfeksi CMV dan ChiVMV secara bersamasama. Infeksi CMV dan ChiVMV selain menimbulkan gejala pada tanaman cabai juga mempengaruhi produksinya (Widyastuti dan Hidayat, 2005). BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode Duplex RT-PCR dapat mendeteksi infeksi ganda dari CMV dan ChiVMV pada tanaman cabai dan merupakan metode yang tepat dan efektif untuk mendeteksi dua virus sekaligus dalam sekali reaksi PCR. 6.2 Saran Metode Duplex RT-PCR dapat diaplikasikan oleh lembaga karantina untuk mendeteksi infeksi dua virus yang menginfeksi tanaman dalam waktu yang cepat, dan mempermudah pengecekan bahan tanaman yang masuk maupun akan dikirim ke luar wilayah. 31 DAFTAR PUSTAKA [BPPT] Balai Penelitian Tanaman Pangan. 2005. Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id. (Diakses tanggal 1 juni 2014) [DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2010. Statistik Hortikultura Tahun 2010 (Angka tetap). Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta.125p [DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2007. Perkembangan luas panen sayuran tahun 1996-2005. http://www.deptan.go.id. (Diakses tanggal 1 januari 2014) [DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas Panen, RataRata Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 5th Ed. Academic Press, New York. Boonham, N., K. Walsh, S. Preston, J. North, P. Smith and I. Barker. 2002. The Detection of Tuber Necrotic Isolates of Potato Virus Y, and the Accurate Discrimination of PVYO, PVYN and PVYC Strains Using RT-PCR. J. Virol. Meth., 102: 103–112. Bos, L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Penerjemah Triharso. Gajah Mada University Press. Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai rawit dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Chairani, H. 2008. Teknik Budidaya Tanaman Jilid 2. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Cho, J. D., J. S. Kim, H. S. Choi, Y. J. La, K. S. Kim. 2000. Ultrastructural aspects of the mixed infections of watermelon mosaic potyvirus isolated from pumpkin and cucumber green mottle mosaic tobamovirus from watermelon. Plant Pathol J 16:216-221. Duriat, A. S. 1996. Management of Pepper Viruses in Indonesia: Problem and Progress. IARD J.18 (3) : 45-50. Duriat, A. S., Muharam. 2003. Pengenalan Penyakit Penting Pada Cabai dan Pengendaliannya Berdasarkan Epidemologi Terapan. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Lembang-Bandung. Duriat, A. S., Y. Sulyo, N. Gunaeni, E. Korlina. 1995. Screening of pepper cultivars for resistance to Cucumber mosaic virus (CMV) and Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop. Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC. 32 33 Edwardson, J. R., R. G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other Solanaceus Crop. University of Florida. USA. Fraser, R. S. S. 1998. The Genetic of Plant Virus Interaction Implication for Plant Breeding. Euphytica 63:175-185 Gallitelli, D. 1998. Present status of controlling Cucumber mosaic virus (CMV), In: Hadidi, A., R. K. Khetarpal, H. Koganezawa (eds,) Plant Virus Disease inokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah. Goodman, R. N., Z. Kiraly, K. R. Wood. 1986. The Biochemistry and Phyisiology of Plant Disease. Columbia: University of Missouri Press. Hull, R. 2002. Matthew’s Plant Virology. Ed. Ke-4. San Diego: Academic Press. Jan, F. J., C. Fagoaga, S. Z. Pang and D. Gonsalves. 2000. A Single Chimeric Transgene Derived from Two Distinct Viruses Confers Multi-Virus Resistance in Transgenic Plants Through Homology Dependent Gen Silencing. J. Gen. Virol. 81:2103-2109. Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A. Varma. 1998. Breeding for resistance to plant viruses. In: Hadidi, A., R.K. Khetarpal, H. Koganezawa (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press. pp: 14-32. Kosaka, Y. and T. Fukunishi. 1997. Multiple Inoculation with Three Attenuated Viruses for the Control of Cucumber Virus Disease. Plant Dis 81:733-738. Lindbo, J. A. and W. G. Dougherty. 1992. Pathogen-Derived Resistance to a Potyvirus: Immune and Resistant Phenotypes in Transgenic Tobacco Expressing Altered Forms of a Potyvirus Coat Protein Nucleotide Sequence. Molecular Plant Microbe Interactions 5. 144-153. Martin, E. M. 2004. Novel cytopathological structures induced by mixed infection of unrelated plant viruses. Phytopathology 94:111-119. Matthews, R.E.F. 1991. Plant Virology. 3rd ED. Academic press. New York. Millah, Z. 2007. “Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus”. (tesis). Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Nawangsih, A. A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty. Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurhayati. 2012. Virus Penyebab Penyakit Tanaman. Unsri Pers. Palembang 34 Nyana, D. N. 2012. “Isolasi dan Identifikasi Cucumber Mosaic Virus Lemah untuk Mengendalikan Penyakit Mosaik pada Tanaman Cabai (Capsicum spp.)”. (disertasi). Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. Ong, C. A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Opriana, E. 2009. “Metode Deteksi untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV)” (tesis). Departemen Proteksi Tanaman IPB. Palukaitis, P., M. J. Roossinck, R. G. Dietzgen, R. I. B. Francki. 1997. Cucumber mosaic virus. Adv. Virus Res. 41: 281-348. Pracaya. 1994. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta. Prajnanta, F. 2001. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4. Penebar Swadaya. Jakarta. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Universitas Gajdah Mada. Yogyakarta. 850 Hlm Subekti, D., S. H. Hidayat, E. Nurhayati, dan S. Sujiprihati. 2006. Infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai. Hayati 13: 53-57. Sukada, W. 2014. “Pengaruh Infeksi beberapa Jenis Virus Terhadap Penurunan Hasil pada Tanaman Cabai (Capsicum Frutescens L.).” (skripsi). Konsentrasi Perlindungan Tanaman Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. Sulyo, A. S. Duriat, Gunaeni, Korlina. 1995. Determination of CMV and CVMV strains in Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Suryaningsih, R . Sutarya, A. S. Duriat. 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan pengendaliannya. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p: 64-84. Suwandi, N., Nurtika, S. Sahat. 1997. Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang. pp: 3.1-3.6 Syamsidi, S. R., T. Hasdiatono., dan S. S Putra. 1997. Ketahanan cabai merah terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada umur tanaman pada saat inokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopalogi Indonesia. 35 Taufik, M., A. P. Astuti, S. H. Hidayat. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152. Walkey, D. G. A. and C. J. Payne. 1990. The reaction of two lettuce cultivars to mixed infection by beet western yellows virus, lettuce mosaic virus and cucumber mosaic virus. Plant Pathol 39:156-160. Watson, J. D., M. Gilman, J. Witkowski, and M .Zoller. 1992. Recombinant DNA (2nd ed.). New York: W. H. Freeman and Company. Widyastuti, D., S. H. Hidayat. 2005. Pengaruh Waktu Infeksi Virus Kerdil Pisang terhadap Kerentanan Tiga Kultivar Pisang. J HPT Tropika 5:42-49.