cabai - ETD UGM

advertisement
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Capsicum (cabai) tidak hanya berguna sebagai bumbu untuk memasak, tetapi
pemanfatannya begitu meluas dengan melebarnya cakrawala pandangan masyarakat
masa kini karena tanaman ini mempunyai keanekaragaman jenis yang besar, sehingga
pemanfatannya dapat beragam termasuk untuk bahan baku industri. Meskipun cabai
bukan merupakan tanaman ekonomi utama, tetapi sudah diakui beberapa negara
termasuk Indonesia bahwa tanaman ini merupakan salah satu tanaman rempah-rempah
(Djarwaningsih, 2005).
Dalam budidaya cabai terdapat berbagai masalah yang dihadapi petani,
khususnya di daerah sentra produksi cabai merah. Permasalahan tersebut meliputi
belum terwujudnya ragam, kuantitas, kualitas, dan kesinambungan pasokan yang
sesuai dengan permintaan pasar dan preferensi konsumen. Permasalahan OPT sangat
berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi. Penyakit daun keriting kuning
karena Begomovirus merupakan salah satu penyakit penting yang menyerang tanaman
cabai merah (Duriat et al., 2007).
Akibat serangan Begomovirus, produksi cabai menurun hingga jauh dari
produksi normal, yang kemudian berdampak melonjaknya harga cabai di pasaran
dengan kisaran antara Rp 25.000 – 40.000/kg, bahkan di Jakarta pada tahun 2010
mencapai Rp.80.000,-/kg. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh Begomovirus pada
tanaman cabai dapat mencapai antara 20 – 100 %. Pada cabai kultivar TM 999 di
Sleman pada awal tahun 2003 kejadian penyakit mencapai 70-100 %. Pada tahun 2007
kerugian di 14 provinsi daerah sentra cabai mencapai Rp 20 Miliyar 1ebih, dan akhir
2009 lahan cabai di Kediri, Provinsi Jawa Timur terserang 650 ha dengan kerugian
petani Rp 16 Milyar lebih. Pengamatan di daerah Kulon Progo dan Kopeng diketahui
kejadian penyakit daun keriting kuning pada cabai besar mencapai 70-100% dengan
gejala yang timbul sangat parah, yaitu daun menguning dan tanaman kerdil. Penyakit
daun keriting kuning berdasarkan penyebarannya di Kabupaten Lampung Barat
menunjukkan bahwa serangan Begomovirus dapat mencapai 100% dengan serangan
yang dapat dilihat dari beberapa gejalanya, yaitu daun menjadi lebih kecil daripada
1
ukuran daun normal, warna daun menjadi kekuningan, dan tanaman mengalami
pengerdilan (Anonim, 2012; Sulandari et al., 2006; Sulandari et al., 2003).
Penyebaran penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai tidak terlepas
dari penyebabnya yaitu Begomovirus yang berkaitan dengan jumlah populasi kutu
kebul yang merupakan serangga vektor dari virus ini. Peningkatan jumlah populasi
kutu kebul akan meningkatkan kejadian penyakit daun keriting kuning (Sudiono dan
Purnomo, 2009).
Serangan virus dapat dicegah dengan beberapa teknik budidaya tertentu. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan terjadinya penyakit daun
keriting kuning adalah dengan menyelamatkan bibit tanaman yaitu dengan
menggunakan sungkup saat melakukan persemaian. Hal ini bertujuan agar dapat
menghalangi vektor penular dan penyebar Begomovirus yang akan menyerang pada
saat persemaian sehingga dari hasil persemaian didapatkan bibit yang sehat.
Kebiasaan penggunaan pestisida untuk mengendalikan vektor di lapangan dapat
mencemari lingkungan. Selian itu, resistensi pestisida telah menjadi masalah di semua
kelompok serangga yang berfungsi sebagai vektor penyebab penyakit. Oleh karena itu,
pada sistem pertanian sekarang diperkenalkan sistem PHT (Pengendalian Hama
Terpadu) yaitu suatu sistem yang mengggunakan berbagai cara agar populasi hama/
penyakit tetap berada dalam ambang toleransi. PHT sebagai konsep dan kebijakan
pemerintah dalam setiap program perlindungan tanaman, merupakan konsep yang tepat
untuk memperbaiki keadaan dan kehidupan petani cabai sehingga sumberdaya yang
dimiliki dapat mereka manfaatkan secara optimal (Brogdon and Janet, 1998; Arneti et
al. 2009).
Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan
mengendalikan atau mengurangi jumlah vektor pada suatu populasi pertanaman serta
memberikan sistem pertahanan pada tanaman agar tidak rentan terhadap patogen
penyebab penyakit. Pengendalian terpadu pada penyakit yang disebabkan oleh virus
dapat dilakukan dengan penanaman tanaman penghalang serta penggunaan agensia
hayati yang dapat mengoptimalkan dari pengendalian yang dilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi terjadinya kehilangan hasil baik secara kualitas maupun kuantitas.
2
Childers (2002) cit. Septiansyah (2010), penggunaan Horticultural Mineral Oil
(HMO) cukup efektif dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Crinivirus
dan Begomovirus tertular kutu kebul. Dilihat dari aspek ekologis HMO tidak
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak memberikan mekanisme
resisten terhadap serangga hama. Penelitian Widianto (2014), infeksi Jamur Mikoriza
Arbuskular (JMA) pada akar akan membantu memacu tanaman dalam penyerapan
unsur hara, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat dan lebih sehat
dibandingkan dengan tanaman tidak bermikoriza.
2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan tanaman
penghalang Kacang Panjang (Vigna radiata) terhadap kejadian penyakit akibat
Begomovirus serta mengetahui pengaruh penggunaan agensia hayati mikoriza dan
HMO dengan tanaman penghalang V. radiata terhadap kejadian penyakit akibat
Begomovirus pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil cabai merah
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kombinasi
yang efektif untuk pengendalian Begomovirus pada tanaman cabai serta dapat
diterapkan di petani cabai sehingga mengurangi penggunaan pestisida serta dampak
pestisida terhadap lingkungan.
3
Download