68 EVALUASI KETAHANAN PADI GOGO LOKAL TERHADAP PENYAKIT BLAS (Pyricularia oryzae) DI LAPANG Oleh: Muhammad Taufik-1) ABSTRACT This study aimed to know upland rice cultivars response to blast disease (Pyrricularia oryzae) in Southeast Sulawesi. This research was arranged in a randomized block design, with 6 local rice cultivars (pae Endokadia, pae Kori, pae Balaka, pae Enggalaru, pae Loiyo, pae Wulo), with 4 (four) replications, and 24 experimetal units. The treatments were cultivars Kori, Bakala, Endokadia, Wulo dan Loiyo. Variables that have been observed was disease severity of blast. The results showed that the local rice cultivars (Bakala dan Enggalaru) were catagorized as resistance at vegetative phase and generative phase for blast disease. Local rice (Loiyo) was categorized susceptible at vegetative phase and generative phase for blast disease. Key words: rice cultivars, Oryza sativa L., Pyricularia oryzae. PENDAHULUAN Padi (Oryza sativa L.) termasuk padi gogo adalah salah satu tanaman pangan yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Sebagai pensuplai karbohidrat utama maka padi, termasuk padi gogo sangat diharapkan dapat menjadi pemasok pendamping bagi padi sawah. Namun disayangkan perhatian terhadap padi gogo oleh pemerintah, peneliti dan termasuk masyarakat sendiri masih sangat rendah. Disisi lain potensi peningkatan produksi padi gogo cukup menjanjikan khususnya di Sulawesi Tenggara yang memiliki lahan kering yang cukup luas. Menurut data BPS (2009) bahwa luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara diperkirakan sebesar 38.140 km2 atau seluas 3.814.000 ha, sedangkan luas wilayah perairan 11.000.000 ha. Luasan wilayah tersebut terdistribusi di delapan wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka utara, Bombana dan Wakatobi serta dua kota yaitu Kota Kendari dan Kota Bau-Bau. Potensi lahan kering yang demikian luas adalah kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk aktifitas pertanian dalam arti luas, termasuk penanaman padi gogo yang 1 dapat menjaga ketahanan dan kerawanan pangan khususnya beras di tingkat lokal. Kebutuhan akan beras yang demikian tinggi menyebabkan pasokan beras ke sentrasentra penjualan harus selalu terjaga. Tetapi pasokan beras selalu mengalami fluktuasi atau adanya kendala-kendala produksi di pusat-pusat penghasil beras. Berbagai kendala terjadinya dinamika produksi beras diantaranya adalah anomali iklim seperti curah hujan yang tidak menentu dan penyakit tanaman padi seperti blas (Pyricularia oryzae). Penyakit blas adalah penyakit penting pada padi gogo di mana tanaman tersebut ditanam. Menurut catatan Amir et al. (1993) bahwa penyakit blas endemik di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Jawa Barat bagian selatan (Sukabumi dan Garut). Sementara hasil observasi lapangan oleh Taufik (2009 data tidak dipublikasi) di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara infeksi penyakit blas telah ditemukan menginfeksi beberapa varietas padi gogo seperti Situpatenggang, Towuti, dan beberapa galur padi gogo dengan tingkat keparahan penyakit yang cukup tinggi bahkan beberapa varietas mengalami fuso. ) Staf Pengajar Pada Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Haluoleo, Kendari. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Universitas Januari 2011, ISSN 0854-0128 68 69 Penyakit blas disebabkan oleh infeksi patogen P. oryzae. Gejala penyakit berupa bercak kelabu dengan tepi coklat berbentuk belah ketupat dengan bagian ujung runcing (Ou, 1984) (Gambar 1 A). Selain itu ciri khas konidia dengan terbagi atas tiga ruas (Gambar 1 B). Bagian tanaman yang umum diserang adalah daun, pangkal malai, cabang dan buku malai. Infeksi patogen dapat terjadi pada daun dan menyebabkan blas pada daun. Sementara infeksi patogen pada tangkai malai dapat menyebabkan blas leher. Blas leher sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kehampaan biji (Basyir et al., 1995). Hasil penelitian Amir (2001) telah melaporkan bahwa infeksi patogen P. oryzae Cav. dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang mencapai 50-90% pada kultivar rentan atau dapat menggagalkan panen. Selama ini pengendalian yang dilakukan oleh petani antara lain dengan A penggunaan fungisida yang berlebihan akan memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan manusia. Tidak hanya berdampak negatif terhadap lingkungan tetapi juga dapat memicu munculnya ras-ras baru patogen dan menurut Semangun (1991) cendawan P. oryzae mudah membentuk ras-ras baru sehingga cenderung resisten terhadap fungisida. Untuk itu salah satu cara pengendalian yang efektif adalah penggunaan varietas atau kultivar tahan. Penggunaan kultivar akan memberikan respon positif terhadap lingkungan dan kultivar tahan lebih mudah digunakan oleh petani dan tidak perlu dilakukan bimbingan khusus (Lubis et al., 1999). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi tingkat ketahanan beberapa kultivar lokal terhadap penyakit blas (P. oryzae) di lapang. B Gambar 1. Gejala khas penyakit blas (P. oryzae) (A) dan segmentasi konidia (B) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 – April 2010 dan bertempat di Desa Puriala, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, timbangan analitik (ohaus adventurer), pengukur intensitas cahaya (pocket light meter), alat pengukur kelembaban, traktor, parang, handsprayer, tali, mistar, meteran, kantong plastik, kayu sebagai tugal, cangkul, alat pengukur curah hujan dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kultivar padi gogo lokal yang diperoleh dari Desa Wolasi Kabupaten Konawe Selatan, pupuk kandang, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, insektisida (Sipermatrhin 50 g l-1), insektisida karbofuran (Deltametrin 25 g l1 ) dan insektisida (Dimehipo 410 g l-1 (400 SL)). AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128 70 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri atas enam perlakuan kultivar, yaitu Pae Kori, Pae Enggalaru, Pae Wulo, Pae Endokadia, Pae Bakala dan Pae Loiyo. Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 (empat) kali sehingga diperoleh 24 petak percobaan. Ukuran petak percobaan adalah 4 m x 5 m. Penempatan setiap unit percobaan dalam setiap kelompok dilakukan secara acak. Metode Penelitian Persiapan Lahan Penelitian. Pengolahan lahan dilakukan sebanyak tiga kali, antara lain: pengolahan pertama dilakukan dengan menggunakan parang dan traktor yang bertujuan untuk membersihkan gulma, membongkar atau membalik tanah dan memperbaiki tata ruang udara tanah. Pengolahan kedua dengan menggunakan cangkul yang bertujuan menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah. Pengolahan yang ketiga yaitu menggunakan traktor yang bertujuan untuk menghaluskan bongkahanbongkahan tanah dan membersihkan gulma yang tumbuh baru dan meratakan permukaan tanah. Setelah itu di buat petak-petak atau bedengan percobaan sebanyak 24 petak, masing-masing petak berukuran 4 m x 5,25 m dengan jarak antar petak 0,5 m dan jarak antar kelompok 1 m. Penanaman. Sebelum penanaman benih terlebih dahulu direndam dengan menggunakan zat pengatur tumbuh selama 10 menit selanjutnya diinkubasi selama semalam. Keesokan harinya benih siap ditanam. Setiap lubang yang sudah ditugal ditanami 3 – 5 bulir benih padi gogo. Setiap petak terdiri atas 350 lubang dengan kedalaman 2 – 5 cm dengan jarak tanam antara per rumpun 15 cm dan antara baris tanaman 40 cm. Pemupukan. Pupuk yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk urea, SP-36 dan KCl berdasarkan petunjuk teknis Badan Litbang Pertanian (2009). Pupuk diaplikasi pada minggu ke-3, 6 dan 9 setelah tanam dengan cara menarik garis antara baris dengan menggunakan cangkul di antara setiap baris tanaman. Penyulaman dan Pemeliharaan. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam, bila tanaman memperlihatkan tanda pertumbuhan yang terhambat atau maka tanaman tersebut diganti dengan tanaman sulaman. Penyulaman ini dilakukan 1 minggu setelah tanam. Pemeliharaan dilakukan dengan cara menjaga tanaman dari infestasi gulma dan serangan hama pengganggu yang lain, termasuk hama burung dengan menggunakan insektisida yang telah disebutkan sebelumnya. Pengamatan Variabel yang diamati adalah tingkat keparahan penyakit blas. Pengamatan intensitas keparahan penyakit pada tanaman dilakukan dengan cara mengamati adanya gejala khas dari penyakit blas yaitu gejala belah ketupat pada permukaan daun padi. Pengamatan dilakukan setiap minggu setelah tanam sampai tanaman siap dipanen namun analisis tingkat keparahan dilakukan pada akhir pengamatan vegetatif dan generatif. Tingkat keparahanan penyakit dihitung dengan rumus: Keterangan : I = Intensitas serangan penyakit (%); ni = Jumlah tanaman yang terserang; vi = Nilai skala yang terserang; N = Jumlah seluruh daun yang diamati; Z = Skala tertinggi dari kategori skala serangan. Skoring dan pengelompokkan tingkat keparahan penyakit blas pada tanaman padi gogo seperti yang ada pada Tabel 1. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128 71 Tabel 1. Skoring gejala penyakit blas dan pengelompokan tipe ketahanan tanaman Skor Kategori infeksi pathogen 1 1-5% infeksi blas pada luas daun 2 6-11% infeksi blas dari luas permukaan daun 3 >12% - ≤25% infeksi blas dari luas permukaan daun 4 >26% - ≤75% infeksi blas dari luas permukaan daun 5 >76% - 100% infeksi blas dari luas permukaan daun Sumber: (Anonim, 2005) Analisis Data Hasil pengamatan dari pertumbuhan vegetatif dan generatif dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi sidik ragam terhadap studi keparahan penyakit blas pada kultivar padi gogo (O. sativa L) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rekapitulasi sidik ragam tingkat ketahanan padi gogo (O. sativa L.) terhadap penyakit blas (P. oryzae) Peubah yang diamati Tingkat Keparahan Penyakit a. Pada Fase Vegetatif b. Pada Fase Generatif Hasil uji F ** ** Keterangan : tn = berpengaruh tidak nyata * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata A Tingkat ketahanan Tanaman Tahan Agak tahan Sedang Berat Puso Hasil sidik ragam memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat keparahan penyakit blas pada fase vegetatif dan fase generatif pada tanaman padi gogo (O. sativa L.). Rerata pengamatan tingkat keparahan penyakit blas pada fase vegetatif dan fase generatif pada pertanaman padi gogo (O. sativa L.) disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan pada Tabel 1, rata-rata tingkat keparahan penyakit blas pada fase vegetatif menunjukkan perbedaan yang beragam. Fase vegetatif, kultivar Bakala memiliki respon ketahanan yang paling tinggi dengan tingkat keparahan penyakit blas yang paling rendah yaitu 5,78% yang berbeda tidak nyata dengan kultivar Enggalaru. Pengamatan gejala menunjukkan bahwa kultivar Enggalaru bebas dari gejala khas blas, namun jika kultivar atau varietas rentan terhadap penyakit blas akan menunjukkan gejala khas blas (Gambar 2). Sementara kultivar Loiyo menunjukkan respon ketahanan yang paling rendah dengan tingkat keparahan penyakit (11,05%) yang berbeda nyata dengan kultivar lainnya. B Gambar 2. Penampilan kultivar Enggalaru yang tidak menunjukkan adanya gejala blas (A) dan varietas yang rentan terhadap penyakit blas (B) AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128 72 Pada fase generatif respon ketahanan tanaman padi gogo juga berbeda-beda namun ada kecenderungan bahwa kultivar yang tahan atau rentan pada fase vegetatif juga cenderung lebih tahan atau rentan pada tingkat generatif. Untuk pengamatan tingkat keparahan penyakit blas pada fase generatif menunjukkan bahwa kultivar Loiyo lebih rentan dengan tingkat keparahan penyakit blas paling tinggi (27,38%) dibandingkan dengan kultivar lainnya. Sebaliknya tingkat keparahan penyakit blas pada fase generatif yang paling rendah adalah kultivar Bakala (14,47%) yang berbeda nyata dengan kultivar lainnya kecuali dengan kultivar Enggalaru. Tabel 2. Rerata tingkat keparahan penyakit blas pada fase vegetatif dan fase generatif pada beberapa kultivar padi gogo (O. sativa L.) Rata-rata tingkat keparahan penyakit pada fase (%) Vegetatif Generatif Kultivar Kori 8,53 b 22,02 b c Kultivar Enggalaru 6,55 16,74 cd c Kultivar Bakala 5,78 14,47 d Kultivar Endokadia 8,08 b 20,49 bc b Kultivar Wulo 8,59 24,34 ab a Kultivar Loiyo 11,05 27,38 a 2= 1,11 3,75 3= 1,17 3,93 DMRT 4= 1,20 4,05 5% 5= 1,22 4,12 6= 1,24 4,18 Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang tidak sama berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kepercayaan 95% Perlakuan Setiap tanaman memiliki respon ketahanan yang berbeda-berbeda terhadap infeksi pathogen. Perbedaan respon ketahanan mungkin disebabkan oleh perbedaan morfologi atau genetik tanaman atau mungkin adanya perbedaan konten bahan kimia atau sekunder metabolit yang dimiliki oleh setiap tanaman. Tanaman yang memiliki morfologi yang sulit dipenetrasi oleh patogen karena ketebalan dinding sel atau kemampuan membentuk struktur-struktur pertahanan seperti papilla, atau kalosa maka tanaman tersebut mampu melawan penetrasi patoogen. Hasil penelitian Taufik et al., (2005) menunjukkan bahwa kultivar cabai yang berbeda secara morofologi juga memeiliki respon ketahanan terhadap patogen virus. Varietas cabai Jatilaba, Tit Segitiga, dan Tit Bulat toleran terhadap infeksi cucumber mosaic virus dan chilli veinal mottle virus. Sementara Cilibangi 5 toleran terhadap kedua patogen tersebut. Kultivar Atau tanaman yang mampu mengekspresikan sekunder metabolit seperti asam salisilat, fenolik atau fitoaleksin maka tanaman tersebut mampu menghambat infeksi patogen di dalam jaringan tanaman sehingga tanaman tersebut juga dikategorikan tahan terhadap suatu patogen. Hal yang sama telah dilaporkan oleh Taufik et al., (2005 dan 2010) bahwa tanaman cabai yang mengakumulasi asam salisilat cenderung lebih tahan terhadap infeksi patogen virus. Menurut Oku (1994) menyatakan bahwa tanaman yang memiliki respon tahan dapat menghasilkan metabolit sekunder seperti fenol, quinon, kitinase dan fitoaleksin yang bersifat toksin terhadap patogen. Dalam pertumbuhannya, tumbuhan seringkali mengalami gangguan dari berbagai patogen penyebab penyakit baik dari kelompok jamur, bakteri, virus, nematoda, dan fitoplasma. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128 73 Secara umum tumbuhan dapat bertahan dari infeksi patogen dengan kombinasi sifat pertahanan diri yang dimilikinya, yaitu (1) sifatsifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen yang akan masuk dan berkembang di dalam tumbuhan, dan (2) reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tumbuhan berbeda antara setiap sistem kombinasi inang – patogen (Goodman et al., 1986). Di dalam proses infeksi tersebut suatu varietas tumbuhan mungkin tidak dapat diinfeksi oleh patogen jika permukaan selnya tidak mempunyai faktor pengenalspesifik (specific recognition factor) yang dapat dikenali oleh patogen (Agrios, 2005). Oleh karena itu diduga kultivar Bakala dan Enggalaru mungkin memiliki sistem pertahanan struktural atau biokimia yang berbeda dengan kultivar Loiyo yang rentan. Namun belum diketahui mekanisme ketahanan yang berhasil menghambat perkembangan patogen P. Oryzae pada kultivar Bakala. Sementara pada kultivar Loiyo dikelompokkan ke dalam kultivar yang rentan mungkin disebabkan memiliki jumlah anakan yang banyak dibandingkan dengan kultivar lainnya (data tidak ditampilkan). Banyaknya jumlah anakan tersebut menyebabkan kelembapan mikro disetiap rumpun cukup tinggi, sehingga kultivar tersebut lebih rentan terhadap penyakit blas dibandingkan kultivar lainnya. Hal ini terlihat dari tingkat keparahan penyakit blas yang juga paling tinggi baik fase vegetatif (11,05%) maupun fase generatif (27,38%) pada kultivar tersebut. Hal lain yang mendukung adalah tingkat kelembapan makro juga cukup tinggi yaitu rata-rata kelembapan selama terjadinya penginfeksian pada pagi hari 96,52%, siang hari 68,67% dan sore hari 76,19% dengan rerata suhu pada pagi hari 34,71oC, siang hari 38,38 oC dan sore hari 29,67 o C. Pengaruh kelembapan dan suhu terhadap kemampuan infeksi patogen telah dijelaskan oleh Agrios (2005) bahwa kelembapan yang tinggi dengan suhu yang rendah menyebabkan patogen lebih mudah menginfeksi tanaman. Selain itu dengan berdasarkan pada data tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa infeksi patogen cenderung terjadi ketika tanaman mulai memasuki fase akhir generatif. Infeksi yang terjadi pada akhir fase generatif memberikan gambaran bahwa kerugian karena infeksi patogen pada fase akhir pertumbuhan tanaman tidak akan signifikan mengurangi hasil tanaman. Namun jika infeksi terjadi pada saat tanaman masih dalam fase vegetatif (muda) maka akan signifikan mengurangi hasil tanaman. Seperti yang telah dilaporkan oleh Semangun, (1991) bahwa umur tanaman 55 hari setelah tanam adalah masa yang cukup rentan terhadap infeksi P. oryzae. KESIMPULAN Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit blas (P.oryzae) maka respon ketahanan padi gogo lokal dapat dikelompokkan sebagai berikut: kultivar Bakala dan Enggalaru adalah kultivar yang tahan terhadap penyakit blas baik pada fase vegetatif maupun generatif, sedangkan kultivar Loiyo adalah kultivar yang paling rentan terhadap penyakit blas baik pada fase vegetatif maupun generatif. DAFTAR PUSTAKA Agrios, 2005. Plant Pathology. Fifth Edition Elsevier Academic Press, New York. Amir, M., 2001. Strategi pengendalian Penyakit Blas (Pyricularia oryzae) di Lahan Kering. Balitpa. Sukamandi Amir, M., B. Kustianto, dan E. Lubis, 1993. Pewarisan Ketahanan Terhadap Blas Daun (Pyricularia oryzae) Isolat 26 Pada Beberapa Kultivar Padi. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6 – 8 September. Anonim, 2005. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan. Perlindungan Tanaman AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128 74 Pangan, (online). (http://www.deptan. go.id/ditlin-tp) Diakses pada tanggal 29 Januari 2011. Basyir, A., Punarto, Suyanto, dan Supriyatin, 1995. Padi Gogo. Balittan. Malang. Goodman, 1986. Perluasan Padi Gogo Sebagai Pilihan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Iptek Tanaman Pangan Vol.2 No.1 : 26 – 40. Lubis, E., Suwarno, dan M. Bustamam. 1999. Genetika ketahanan Beberapa varietas Lokal Padi Gogo Terhadap Penyakit Blas. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 18(2):7-11. Oku, H., 1994. Plant Pathogenensis and Diseases Control. Lewis Publishers. Ou S.H., 1989. A Handbook of Rice Diseases in the Tropics. 3rd ed.International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25. Semangun, H., 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. UGM Press. Yogyakarta. Taufik M, Astuti AP, Hidayat, SH. 2005. Survei Infeksi Cucumber Mosaic Virus dan Chilli Vein Mottle Virus pada Tanaman Cabai dan Seleksi Ketahanan Beberapa Kultivar Cabai. Jurnal Agrikultura, volume 16 nomor 3: 146-152. Taufik, M., A. Rahman, A. Wahab, dan S.H. Hidayat, 2010. Mekanisme Ketahanan Terinduksi Oleh PGPR Pada Tanaman Cabai Terinfeksi CMV. Jurnal Hortikultura Vol. 20 (3): 298-307. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128