AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128

advertisement
68
EVALUASI KETAHANAN PADI GOGO LOKAL TERHADAP PENYAKIT BLAS
(Pyricularia oryzae) DI LAPANG
Oleh: Muhammad Taufik-1)
ABSTRACT
This study aimed to know upland rice cultivars response to blast disease (Pyrricularia oryzae) in
Southeast Sulawesi. This research was arranged in a randomized block design, with 6 local rice cultivars
(pae Endokadia, pae Kori, pae Balaka, pae Enggalaru, pae Loiyo, pae Wulo), with 4 (four) replications,
and 24 experimetal units. The treatments were cultivars Kori, Bakala, Endokadia, Wulo dan Loiyo.
Variables that have been observed was disease severity of blast. The results showed that the local rice
cultivars (Bakala dan Enggalaru) were catagorized as resistance at vegetative phase and generative phase
for blast disease. Local rice (Loiyo) was categorized susceptible at vegetative phase and generative phase
for blast disease.
Key words: rice cultivars, Oryza sativa L., Pyricularia oryzae.
PENDAHULUAN
Padi (Oryza sativa L.) termasuk padi
gogo adalah salah satu tanaman pangan yang
cukup penting bagi masyarakat Indonesia. Hal
ini disebabkan sebagian besar penduduk
Indonesia mengkonsumsi beras. Sebagai
pensuplai karbohidrat utama maka padi,
termasuk padi gogo sangat diharapkan dapat
menjadi pemasok pendamping bagi padi sawah.
Namun disayangkan perhatian terhadap padi
gogo oleh pemerintah, peneliti dan termasuk
masyarakat sendiri masih sangat rendah. Disisi
lain potensi peningkatan produksi padi gogo
cukup menjanjikan khususnya di Sulawesi
Tenggara yang memiliki lahan kering yang
cukup luas. Menurut data BPS (2009) bahwa
luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara
diperkirakan sebesar 38.140 km2 atau seluas
3.814.000 ha, sedangkan luas wilayah perairan
11.000.000 ha. Luasan wilayah tersebut
terdistribusi di delapan wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Konawe
Selatan, Kolaka, Kolaka utara, Bombana dan
Wakatobi serta dua kota yaitu Kota Kendari dan
Kota Bau-Bau. Potensi lahan kering yang
demikian luas adalah kekuatan yang dapat
dimanfaatkan untuk aktifitas pertanian dalam
arti luas, termasuk penanaman padi gogo yang
1
dapat menjaga ketahanan dan kerawanan
pangan khususnya beras di tingkat lokal.
Kebutuhan akan beras yang demikian
tinggi menyebabkan pasokan beras ke sentrasentra penjualan harus selalu terjaga. Tetapi
pasokan beras selalu mengalami fluktuasi atau
adanya kendala-kendala produksi di pusat-pusat
penghasil beras. Berbagai kendala terjadinya
dinamika produksi beras diantaranya adalah
anomali iklim seperti curah hujan yang tidak
menentu dan penyakit tanaman padi seperti blas
(Pyricularia oryzae).
Penyakit blas adalah penyakit penting
pada padi gogo di mana tanaman tersebut
ditanam. Menurut catatan Amir et al. (1993)
bahwa penyakit blas endemik di Lampung,
Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat,
Sulawesi Tengah, dan Jawa Barat bagian selatan
(Sukabumi dan Garut). Sementara hasil
observasi lapangan oleh Taufik (2009 data
tidak dipublikasi) di Kecamatan Palangga,
Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara
infeksi penyakit blas telah ditemukan
menginfeksi beberapa varietas padi gogo seperti
Situpatenggang, Towuti, dan beberapa galur
padi gogo dengan tingkat keparahan penyakit
yang cukup tinggi bahkan beberapa varietas
mengalami fuso.
) Staf Pengajar Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas
Pertanian
Haluoleo,
Kendari.
AGRIPLUS,
Volume 21
Nomor
: 01 Universitas
Januari 2011,
ISSN
0854-0128
68
69
Penyakit blas disebabkan oleh infeksi
patogen P. oryzae. Gejala penyakit berupa
bercak kelabu dengan tepi coklat berbentuk
belah ketupat dengan bagian ujung runcing (Ou,
1984) (Gambar 1 A). Selain itu ciri khas konidia
dengan terbagi atas tiga ruas (Gambar 1 B).
Bagian tanaman yang umum diserang adalah
daun, pangkal malai, cabang dan buku malai.
Infeksi patogen dapat terjadi pada daun dan
menyebabkan blas pada daun. Sementara infeksi
patogen pada tangkai malai dapat menyebabkan
blas leher. Blas leher sangat berbahaya karena
dapat mengakibatkan kehampaan biji (Basyir et
al., 1995). Hasil penelitian Amir (2001) telah
melaporkan bahwa infeksi patogen P. oryzae
Cav. dapat mengakibatkan kehilangan hasil
yang mencapai 50-90% pada kultivar rentan
atau dapat menggagalkan panen.
Selama ini pengendalian yang
dilakukan oleh petani antara lain dengan
A
penggunaan fungisida yang berlebihan akan
memberikan
pengaruh negatif
terhadap
lingkungan dan manusia. Tidak hanya
berdampak negatif terhadap lingkungan tetapi
juga dapat memicu munculnya ras-ras baru
patogen dan menurut Semangun (1991)
cendawan P. oryzae mudah membentuk ras-ras
baru sehingga cenderung resisten terhadap
fungisida. Untuk itu salah satu cara
pengendalian yang efektif adalah penggunaan
varietas atau kultivar tahan. Penggunaan
kultivar akan memberikan respon positif
terhadap lingkungan dan kultivar tahan lebih
mudah digunakan oleh petani dan tidak perlu
dilakukan bimbingan khusus (Lubis et al.,
1999). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini
adalah
mengevaluasi
tingkat
ketahanan
beberapa kultivar lokal terhadap penyakit blas
(P. oryzae) di lapang.
B
Gambar 1. Gejala khas penyakit blas (P. oryzae) (A) dan segmentasi konidia (B)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
November 2009 – April 2010 dan bertempat di
Desa Puriala, Kecamatan Puriala, Kabupaten
Konawe.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kamera, timbangan analitik (ohaus
adventurer), pengukur intensitas cahaya (pocket
light meter), alat pengukur kelembaban, traktor,
parang, handsprayer, tali, mistar, meteran,
kantong plastik, kayu sebagai tugal, cangkul,
alat pengukur curah hujan dan alat tulis menulis.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah benih kultivar padi gogo lokal yang
diperoleh dari Desa Wolasi Kabupaten Konawe
Selatan, pupuk kandang, pupuk Urea, pupuk
TSP, pupuk KCL, insektisida (Sipermatrhin 50
g l-1), insektisida karbofuran (Deltametrin 25 g l1
) dan insektisida (Dimehipo 410 g l-1 (400 SL)).
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
70
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) yang terdiri atas enam
perlakuan kultivar, yaitu Pae Kori, Pae
Enggalaru, Pae Wulo, Pae Endokadia, Pae
Bakala dan Pae Loiyo. Setiap perlakuan diulang
sebanyak 4 (empat) kali sehingga diperoleh 24
petak percobaan. Ukuran petak percobaan
adalah 4 m x 5 m. Penempatan setiap unit
percobaan dalam setiap kelompok dilakukan
secara acak.
Metode Penelitian
Persiapan
Lahan
Penelitian.
Pengolahan lahan dilakukan sebanyak tiga kali,
antara lain: pengolahan pertama dilakukan
dengan menggunakan parang dan traktor yang
bertujuan
untuk
membersihkan
gulma,
membongkar atau membalik tanah dan
memperbaiki tata ruang udara tanah.
Pengolahan kedua dengan menggunakan
cangkul yang bertujuan menghancurkan
bongkahan-bongkahan tanah. Pengolahan yang
ketiga yaitu menggunakan traktor yang
bertujuan untuk menghaluskan bongkahanbongkahan tanah dan membersihkan gulma
yang tumbuh baru dan meratakan permukaan
tanah. Setelah itu di buat petak-petak atau
bedengan percobaan sebanyak 24 petak,
masing-masing petak berukuran 4 m x 5,25 m
dengan jarak antar petak 0,5 m dan jarak antar
kelompok 1 m.
Penanaman. Sebelum penanaman
benih terlebih dahulu direndam dengan
menggunakan zat pengatur tumbuh selama 10
menit selanjutnya diinkubasi selama semalam.
Keesokan harinya benih siap ditanam. Setiap
lubang yang sudah ditugal ditanami 3 – 5 bulir
benih padi gogo. Setiap petak terdiri atas 350
lubang dengan kedalaman 2 – 5 cm dengan
jarak tanam antara per rumpun 15 cm dan antara
baris tanaman 40 cm.
Pemupukan. Pupuk yang digunakan pada
penelitian ini adalah pupuk urea, SP-36 dan KCl
berdasarkan petunjuk teknis Badan Litbang
Pertanian (2009). Pupuk diaplikasi pada minggu
ke-3, 6 dan 9 setelah tanam dengan cara
menarik garis antara baris dengan menggunakan
cangkul di antara setiap baris tanaman.
Penyulaman
dan
Pemeliharaan.
Penyulaman dilakukan satu minggu setelah
tanam, bila tanaman memperlihatkan tanda
pertumbuhan yang terhambat atau maka
tanaman tersebut diganti dengan tanaman
sulaman. Penyulaman ini dilakukan 1 minggu
setelah tanam. Pemeliharaan dilakukan dengan
cara menjaga tanaman dari infestasi gulma dan
serangan hama pengganggu yang lain, termasuk
hama burung dengan menggunakan insektisida
yang telah disebutkan sebelumnya.
Pengamatan
Variabel yang diamati adalah tingkat
keparahan penyakit blas. Pengamatan intensitas
keparahan penyakit pada tanaman dilakukan
dengan cara mengamati adanya gejala khas dari
penyakit blas yaitu gejala belah ketupat pada
permukaan daun padi. Pengamatan dilakukan
setiap minggu setelah tanam sampai tanaman
siap dipanen namun analisis tingkat keparahan
dilakukan pada akhir pengamatan vegetatif dan
generatif. Tingkat keparahanan penyakit
dihitung dengan rumus:
Keterangan : I = Intensitas serangan penyakit
(%); ni = Jumlah tanaman yang terserang; vi =
Nilai skala yang terserang; N = Jumlah seluruh
daun yang diamati; Z = Skala tertinggi dari
kategori skala serangan.
Skoring dan pengelompokkan tingkat
keparahan penyakit blas pada tanaman padi
gogo seperti yang ada pada Tabel 1.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
71
Tabel 1. Skoring gejala penyakit blas dan pengelompokan tipe ketahanan tanaman
Skor Kategori infeksi pathogen
1
1-5% infeksi blas pada luas daun
2
6-11% infeksi blas dari luas permukaan daun
3
>12% - ≤25% infeksi blas dari luas permukaan daun
4
>26% - ≤75% infeksi blas dari luas permukaan daun
5
>76% - 100% infeksi blas dari luas permukaan daun
Sumber: (Anonim, 2005)
Analisis Data
Hasil pengamatan dari pertumbuhan
vegetatif dan generatif dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT)
pada taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekapitulasi sidik ragam terhadap studi
keparahan penyakit blas pada kultivar padi gogo
(O. sativa L) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi sidik ragam tingkat
ketahanan padi gogo (O. sativa L.)
terhadap penyakit blas (P. oryzae)
Peubah yang diamati
Tingkat Keparahan Penyakit
a. Pada Fase Vegetatif
b. Pada Fase Generatif
Hasil uji F
**
**
Keterangan : tn = berpengaruh tidak nyata
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata
A
Tingkat ketahanan
Tanaman
Tahan
Agak tahan
Sedang
Berat
Puso
Hasil sidik ragam memperlihatkan
pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat
keparahan penyakit blas pada fase vegetatif dan
fase generatif pada tanaman padi gogo (O.
sativa L.). Rerata pengamatan tingkat keparahan
penyakit blas pada fase vegetatif dan fase
generatif pada pertanaman padi gogo (O. sativa
L.) disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan pada
Tabel 1, rata-rata tingkat keparahan penyakit
blas pada fase vegetatif
menunjukkan
perbedaan yang beragam. Fase vegetatif,
kultivar Bakala memiliki respon ketahanan yang
paling tinggi dengan tingkat keparahan penyakit
blas yang paling rendah yaitu 5,78% yang
berbeda tidak nyata dengan kultivar Enggalaru.
Pengamatan gejala menunjukkan bahwa kultivar
Enggalaru bebas dari gejala khas blas, namun
jika kultivar atau varietas rentan terhadap
penyakit blas akan menunjukkan gejala khas
blas (Gambar 2). Sementara kultivar Loiyo
menunjukkan respon ketahanan yang paling
rendah dengan tingkat keparahan penyakit
(11,05%) yang berbeda nyata dengan kultivar
lainnya.
B
Gambar 2. Penampilan kultivar Enggalaru yang tidak menunjukkan adanya gejala blas (A) dan varietas
yang rentan terhadap penyakit blas (B)
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
72
Pada fase generatif respon ketahanan
tanaman padi gogo juga berbeda-beda namun
ada kecenderungan bahwa kultivar yang tahan
atau rentan pada fase vegetatif juga cenderung
lebih tahan atau rentan pada tingkat generatif.
Untuk pengamatan tingkat keparahan penyakit
blas pada fase generatif menunjukkan bahwa
kultivar Loiyo lebih rentan dengan tingkat
keparahan penyakit blas paling tinggi (27,38%)
dibandingkan
dengan
kultivar
lainnya.
Sebaliknya tingkat keparahan penyakit blas
pada fase generatif yang paling rendah adalah
kultivar Bakala (14,47%) yang berbeda nyata
dengan kultivar lainnya kecuali dengan kultivar
Enggalaru.
Tabel 2. Rerata tingkat keparahan penyakit blas pada fase vegetatif dan fase generatif pada beberapa
kultivar padi gogo (O. sativa L.)
Rata-rata tingkat keparahan penyakit pada fase (%)
Vegetatif
Generatif
Kultivar Kori
8,53 b
22,02 b
c
Kultivar Enggalaru
6,55
16,74 cd
c
Kultivar Bakala
5,78
14,47 d
Kultivar Endokadia
8,08 b
20,49 bc
b
Kultivar Wulo
8,59
24,34 ab
a
Kultivar Loiyo
11,05
27,38 a
2=
1,11
3,75
3=
1,17
3,93
DMRT
4=
1,20
4,05
5%
5=
1,22
4,12
6=
1,24
4,18
Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang tidak sama berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Perlakuan
Setiap tanaman memiliki respon
ketahanan yang berbeda-berbeda terhadap
infeksi pathogen. Perbedaan respon ketahanan
mungkin disebabkan oleh perbedaan morfologi
atau genetik tanaman atau mungkin adanya
perbedaan konten bahan kimia atau sekunder
metabolit yang dimiliki oleh setiap tanaman.
Tanaman yang memiliki morfologi yang sulit
dipenetrasi oleh patogen karena ketebalan
dinding sel atau kemampuan membentuk
struktur-struktur pertahanan seperti papilla, atau
kalosa maka tanaman tersebut mampu melawan
penetrasi patoogen. Hasil penelitian Taufik et
al., (2005) menunjukkan bahwa kultivar cabai
yang berbeda secara morofologi juga memeiliki
respon ketahanan terhadap patogen virus.
Varietas cabai Jatilaba, Tit Segitiga, dan Tit
Bulat toleran terhadap infeksi cucumber mosaic
virus dan chilli veinal mottle virus. Sementara
Cilibangi 5 toleran terhadap kedua patogen
tersebut. Kultivar Atau tanaman yang mampu
mengekspresikan sekunder metabolit seperti
asam salisilat, fenolik atau fitoaleksin maka
tanaman tersebut mampu menghambat infeksi
patogen di dalam jaringan tanaman sehingga
tanaman tersebut juga dikategorikan tahan
terhadap suatu patogen. Hal yang sama telah
dilaporkan oleh Taufik et al., (2005 dan 2010)
bahwa tanaman cabai yang mengakumulasi
asam salisilat cenderung lebih tahan terhadap
infeksi patogen virus. Menurut Oku (1994)
menyatakan bahwa tanaman yang memiliki
respon tahan dapat menghasilkan metabolit
sekunder seperti fenol, quinon, kitinase dan
fitoaleksin yang bersifat toksin terhadap
patogen.
Dalam pertumbuhannya, tumbuhan
seringkali mengalami gangguan dari berbagai
patogen penyebab penyakit baik dari kelompok
jamur, bakteri, virus, nematoda, dan fitoplasma.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
73
Secara umum tumbuhan dapat bertahan dari
infeksi patogen dengan kombinasi sifat
pertahanan diri yang dimilikinya, yaitu (1) sifatsifat struktural yang berfungsi sebagai
penghalang fisik dan menghambat patogen yang
akan masuk dan berkembang di dalam
tumbuhan, dan (2) reaksi-reaksi biokimia yang
terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang
menghasilkan zat beracun bagi patogen atau
menciptakan kondisi yang menghambat
pertumbuhan patogen. Kombinasi antara sifat
struktural dan reaksi biokimia yang digunakan
untuk pertahanan bagi tumbuhan berbeda antara
setiap sistem kombinasi inang – patogen
(Goodman et al., 1986). Di dalam proses infeksi
tersebut suatu varietas tumbuhan mungkin tidak
dapat diinfeksi oleh patogen jika permukaan
selnya tidak mempunyai faktor pengenalspesifik (specific recognition factor) yang dapat
dikenali oleh patogen (Agrios, 2005). Oleh
karena itu diduga kultivar Bakala dan Enggalaru
mungkin memiliki sistem pertahanan struktural
atau biokimia yang berbeda dengan kultivar
Loiyo yang rentan. Namun belum diketahui
mekanisme
ketahanan
yang
berhasil
menghambat perkembangan patogen P. Oryzae
pada kultivar Bakala.
Sementara
pada
kultivar
Loiyo
dikelompokkan ke dalam kultivar yang rentan
mungkin disebabkan memiliki jumlah anakan
yang banyak dibandingkan dengan kultivar
lainnya (data tidak ditampilkan). Banyaknya
jumlah
anakan
tersebut
menyebabkan
kelembapan mikro disetiap rumpun cukup
tinggi, sehingga kultivar tersebut lebih rentan
terhadap penyakit blas dibandingkan kultivar
lainnya. Hal ini terlihat dari tingkat keparahan
penyakit blas yang juga paling tinggi baik fase
vegetatif (11,05%) maupun fase generatif
(27,38%) pada kultivar tersebut. Hal lain yang
mendukung adalah tingkat kelembapan makro
juga cukup tinggi yaitu rata-rata kelembapan
selama terjadinya penginfeksian pada pagi hari
96,52%, siang hari 68,67% dan sore hari
76,19% dengan rerata suhu pada pagi hari
34,71oC, siang hari 38,38 oC dan sore hari 29,67
o
C. Pengaruh kelembapan dan suhu terhadap
kemampuan infeksi patogen telah dijelaskan
oleh Agrios (2005) bahwa kelembapan yang
tinggi dengan suhu yang rendah menyebabkan
patogen lebih mudah menginfeksi tanaman.
Selain itu dengan berdasarkan pada
data tingkat keparahan penyakit menunjukkan
bahwa infeksi patogen cenderung terjadi ketika
tanaman mulai memasuki fase akhir generatif.
Infeksi yang terjadi pada akhir fase generatif
memberikan gambaran bahwa kerugian karena
infeksi patogen pada fase akhir pertumbuhan
tanaman tidak akan signifikan mengurangi hasil
tanaman. Namun jika infeksi terjadi pada saat
tanaman masih dalam fase vegetatif (muda)
maka akan signifikan mengurangi hasil
tanaman. Seperti yang telah dilaporkan oleh
Semangun, (1991) bahwa umur tanaman 55 hari
setelah tanam adalah masa yang cukup rentan
terhadap infeksi P. oryzae.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakit blas (P.oryzae) maka respon ketahanan
padi gogo lokal dapat dikelompokkan sebagai
berikut: kultivar Bakala dan Enggalaru adalah
kultivar yang tahan terhadap penyakit blas baik
pada fase vegetatif maupun generatif,
sedangkan kultivar Loiyo adalah kultivar yang
paling rentan terhadap penyakit blas baik pada
fase vegetatif maupun generatif.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, 2005. Plant Pathology. Fifth Edition
Elsevier Academic Press, New York.
Amir, M., 2001. Strategi pengendalian Penyakit
Blas (Pyricularia oryzae) di Lahan
Kering. Balitpa. Sukamandi
Amir, M., B. Kustianto, dan E. Lubis, 1993.
Pewarisan Ketahanan Terhadap Blas
Daun (Pyricularia oryzae) Isolat 26
Pada Beberapa Kultivar Padi. Risalah
Kongres Nasional XII dan Seminar
Ilmiah PFI. Yogyakarta, 6 – 8
September.
Anonim, 2005. Pedoman Pengamatan dan
Pelaporan. Perlindungan Tanaman
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
74
Pangan, (online). (http://www.deptan.
go.id/ditlin-tp) Diakses pada tanggal 29
Januari 2011.
Basyir, A., Punarto, Suyanto, dan Supriyatin,
1995. Padi Gogo. Balittan. Malang.
Goodman, 1986. Perluasan Padi Gogo Sebagai
Pilihan Untuk Mendukung Ketahanan
Pangan Nasional. Iptek Tanaman
Pangan Vol.2 No.1 : 26 – 40.
Lubis, E., Suwarno, dan M. Bustamam. 1999.
Genetika ketahanan Beberapa varietas
Lokal Padi Gogo Terhadap Penyakit
Blas. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan
18(2):7-11.
Oku, H., 1994. Plant Pathogenensis and
Diseases Control. Lewis Publishers.
Ou S.H., 1989. A Handbook of Rice Diseases in
the Tropics. 3rd ed.International Rice
Research
Institute,
Los
Banos,
Philippines. p. 17-25.
Semangun, H., 1991. Penyakit-Penyakit
Tanaman Pangan di Indonesia. UGM
Press. Yogyakarta.
Taufik M, Astuti AP, Hidayat, SH. 2005. Survei
Infeksi Cucumber Mosaic Virus dan
Chilli Vein Mottle Virus pada Tanaman
Cabai dan Seleksi Ketahanan Beberapa
Kultivar Cabai. Jurnal Agrikultura,
volume 16 nomor 3: 146-152.
Taufik, M., A. Rahman, A. Wahab, dan S.H.
Hidayat, 2010. Mekanisme Ketahanan
Terinduksi Oleh PGPR Pada Tanaman
Cabai
Terinfeksi
CMV.
Jurnal
Hortikultura Vol. 20 (3): 298-307.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
Download