contents 48 38 Âcariya Mun 4 Tiratana Salah satu fondasi terpenting dalam Buddhisme. Sudah saatnya kita belajar kembali tentang nilainilai mulia Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memahami apa sebenarnya makna perlindungan kepada Tiratana. Seorang sosok pejuang spiritual zaman modern dari Thailand. Sepak terjang beliau sungguh memberikan inspirasi bagi usaha pencapaian tujuan tertinggi umat Buddha, di tengah hilangnya kepercayaan sebagian orang terhadap Magga, Phala, dan Nibbâna. LIPUTAN 57 Sejuta Pelita Sejuta Harapan PANDEGILING NEWS 59 Sebulan Dalam Dhamma 2007 NEWS ON 24 33 The Way of Loving Kindness oleh Ajahn Brahm Aku Melihat Aku Sedang Melihat Aku oleh YM Saddhâviro Thera KISAH 60 Blackie Sang Nenek RESENSI BUKU 64 65 Petavatthu | Cerita-cerita Makhluk Peta Sebatang Pohon di Tengah Hutan FILM BAGUS 67 Driving Miss Daisy DO YOU KNOW 69 71 Mengapa Kita Harus Memaafkan? Transfer Factor ABHIDHAMMA COURSE 75 49 Angkor Wat Keeksotisan Angkor Wat telah diakui oleh dunia, bahkan negara Kamboja sampai menaruh gambar bangunan ini pada bendera nasionalnya. Angkor Wat tidak hanya memukau dari segi arsitekturnya, namun juga menyimpan nilai religi dan historis yang tinggi. Citta STRIP 85 Xiao Bai dan Seekor Kura-kura TALK 87 Damai Dalam Dhamma AGENDA dawai 48 Ajaran ti ratana Agama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha). Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah timbul berbagai mazhab dan sekte, yang saling berbeda dalam cara masing-masing menafsirkan segi-segi tertentu dari ajaran Sang Buddha, juga dalam ritualnya. Akan tetapi, sekalipun terdapat perbedaan di antara mazhab dan sekte-sekte agama Buddha, namun semuanya memiliki landasan-landasan dasar pokok dan tujuan yang sama, yang bersumber pada ajaran Sang Buddha Gotama. Perbedaan yang terdapat adalah dalam titik berat dan penekanan, tafsiran serta pengembangan falsafah dari pada landasan-landasan pokok tersebut. Salah satu landasan pokok terpenting yang terdapat dalam semua sekte dan mazhab tersebut adalah TIRATANA. 04 | sept–nov 2007 apa itu tiratana? Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata/mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tira-tana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang sangat penting untuk dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha. Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga Ratana, yaitu: Buddha Ratana, Dhamma Ratana, dan Sangha Ratana. buddha ratana Buddha Ratana mengacu kepada Sang Buddha. Sang Buddha adalah perwujudan dari seluruh kebajikan-kebajikan yang agung. Di dalam Buddha terdapat perwujudan dari moralitas tertinggi (Sîla), konsentrasi paling mendalam (Samadhi), dan kebijaksanaan mendalam (Pañña). Sifat-sifat mulia yang tidak dapat dilampaui dan tiada bandingannya dalam sejarah manusia. sept–nov 2007 | 05 Setiap insan Buddhis di seluruh dunia membabarkan dan merenungkan sembilan kebajikan agung dari seorang Buddha dalam latihan puja bakti mereka sehari-hari. Meskipun Sang Buddha memiliki berbagai kemuliaan yang lain, di sini hanya digambarkan sembilan sifat agung Sang Buddha. Di sekolah-sekolah Buddhis yang lain, para pengikut telah memperkenalkan Buddha-Buddha yang beragam dengan menyebutkan beberapa sifat agung dari Sang Buddha. Bagaimanapun juga, cara apapun yang dipergunakan untuk memperkenalkan Sang Buddha, adalah sebuah fakta bahwa sejarah para Buddha telah muncul di dunia ini dari waktu ke waktu, diilhami dengan kebajikankebajikan dan penerangan yang sama. Oleh karena itu, seharusnya tiada perbedaan menghormat pada tiap-tiap Buddha, jika Buddha yang dimaksud adalah seorang Buddha yang sesungguhnya. Konsekuensinya, seharusnya tidak perlu ada perselisihan berkaitan dengan Buddha yang mana yang lebih berkuasa ataupun lebih hebat dibandingkan Buddha yang lain. Arti Buddha (dalam Khuddaka Nikaya) adalah: 1. Dia Sang Penemu (Bujjhita) Kebenaran 2. Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna 3. Ia yang memberikan penerangan (Bodhita) dari generasi ke generasi 4. Ia yang telah mencapai kesempurnaan melalui 'penembusan', sempurna penglihatanNya, dan mencapai kesempurnaan tanpa bantuan siapapun. Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/265, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sang Buddha, atau disebut Buddhaguna. Ada sembilan Buddhaguna, yaitu sebagai berikut. 1. Araham Manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin. 2. Sammâsambuddho Manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan usaha sendiri. 3. Vijjâcaranasampanno Mempunyai penglihatan jernih yang sempurna dan tindak-tanduk bajik yang juga sempurna. 06 | sept–nov 2007 4. Sugato Bertindak benar, berbicara benar. 5. Lokavidû Mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam. 6. Anuttaro purisadammasârathi Pembimbing umat manusia yang tiada bandingnya bagi mereka yang tidak dapat ditundukkan. 7. Satthâ devamanussânam Guru para dewa dan manusia. 8. Buddho Yang sadar dan menunjukkan jalan menuju kesadaran. 9. Bhagavâ Yang patut dimuliakan (dijunjung). Araham Sang Buddha digambarkan sebagai seorang Arahat dalam 5 aspek, yakni: 1. Beliau yang telah terlepas dari semua kekotoran batin. 2. Beliau yang telah mengalahkan semua musuh berkaitan dengan pelenyapan kekotoran batin. 3. Beliau yang telah menghancurkan ruji-ruji roda kelahiran. 4. Beliau patut menerima persembahan dan penghormatan. 5. Beliau tidak menyembunyikan rahasia apapun dalam karakterNya ataupun ajaranNya. Sang Buddha adalah figur terbesar dalam sejarah manusia, dengan kehidupan sempurna, mutlak, tanpa cela, dan tanpa noda. Di kaki pohon Bodhi, Beliau mengalahkan semua kejahatan dan mengakhiri semua penderitaan dengan pencapaian Nibbâna. Beliau adalah guru bagi para dewa dan manusia yang begitu patut menerima semua penghormatan. Ajaran-ajaran Beliau tidak menyimpan misteri atau rahasia, dan sama seperti sebuah buku yang terbuka bagi semuanya untuk datang dan melihat. sept–nov 2007 | 07 Sammâsambuddho Sang Buddha disebut demikian, karena Beliau memahami keberadaan dunia dalam perspektifNya yang sesuai dan menemukan Empat Kebenaran Mulia melalui pemahaman Beliau sendiri. Lahir sebagai pangeran, Beliau meninggalkan keduniawian dan berusaha keras selama 6 tahun untuk mencari penerangan. Selama periode itu, Beliau telah mendatangi seluruh guru ternama dan mencoba segala cara yang yang diajarkan mereka. Setelah mencapai pencapaian yang bahkan setara dengan guruNya, beliau tetap tidak dapat menemukan tujuan penerangan yang sukar dipahami. Akhirnya, berdasarkan penelitianNya dengan pemahaman rasional dan menempuh Jalan Tengah, Beliau menemukan solusi akhir dari permasalahan universal dari ketidakpuasan, perselisihan, dan kekecewaan (dukkha). Beliau menemukan Hukum Saling Ketergantungan—Hukum Sebab Akibat yang dinilai Beliau sebagai realita dunia, dengan demikian menjadi Yang Tertinggi yang telah tercerahkan. Vijjâcaranasampanno Istilah ini berarti bahwa Sang Buddha yang terberkahi dengan penglihatan yang jernih sempurna dan perbuatan bajik yang patut diteladani. Ini memiliki dua aspek signifikan seperti yang telah ditunjukkan dalam pengetahuan beruas tiga dan kebijaksanaan beruas delapan. Ketiga ruas pengetahuan dituliskan sebagai berikut: 1. Pertama-tama, Sang Buddha dapat mengingat kelahiran di masa lampauNya dan menelusuri kembali keberadaan Nya, sama seperti halnya menelusuri kembali keberadaan makhluk lain. 2. Kedua, terpisah dari kemampuan untuk menceritakan masa lalu, Beliau memiliki keunikan tinjauan ke masa depan, yaitu kemampuan untuk melihat masa depan dan membayangkan keseluruhan jagad raya pada setiap momen. 3. Ketiga, Beliau memiliki pengetahuan menembus ke dalam mengenai ke-Arahat-an. Pada kebijaksanaan beruas delapan, tertulis Sang Buddha memiliki keunikan berkah penglihatan, kekuatan adi daya untuk melakukan hal-hal di luar kemampuan normal, 08 | sept–nov 2007 telinga supranatural, kekuatan untuk membaca pikiran orang lain, berbagai kekuatan fisik, kemampuan untuk mengingat kembali berbagai kelahiran masa lampau, mata supranatural, dan pengetahuan yang hebat mengenai kehidupan suci yang tenang. Mengenai kata “carana” atau tindakan bajik, aspek ini dibagi menjadi 15 kategori yang berbeda atau jenis kebajikan-kebajikan yang diilhami sepenuhnya di dalam Sang Buddha. Kebajikan-kebajikan tambahan ini diklasifikasikan sebagai: 1. Menjaga perbuatan dan kata-kata, 2. Menjaga penyerapan pengaruh indera, 3. Makan makanan secukupnya, 4. Menghindari tidur yang berlebihan, 5. Menjaga kejernihan penglihatan sejernih kristal dalam keyakinan, 6. Mewujudkan rasa takut dalam melakukan perbuatan jahat, 7. Haus akan pengetahuan, energi, perhatian penuh, dan pemahaman—empat kecenderungan yang berkaitan dengan lingkup material, 8. Pañña, direfleksikan sebagai kebijaksanaan, 9. Karuna, direfleksikan sebagai belas kasih yang menganugerahi Beliau rasa kasih untuk melayani umat manusia, 10. Menyadari apa yang baik dan tidak baik bagi semua makhluk melalui kebijaksanaanNya, 11. Menuntun pengikutNya menjauhi kejahatan dan kesengsaraan melalui belas kasihNya, 12. Memancarkan tingkatan tertinggi toleransi bagi persaudaraan dan sifat-sifat luhur kepada semua makhluk. Sugato Sang Buddha juga disebut Sugato, yang berarti bahwa jalan Beliau adalah baik, tujuanNya sempurna, dan katakata serta metode yang digunakan untuk menunjukkan jalan adalah tidak berbahaya dan tanpa kesalahan. Jalan Sang Buddha untuk pencapaian kebahagiaan adalah benar dan suci, tidak berbelok, langsung, dan pasti. Kata-kata Beliau maha mulia dan sempurna. Banyak para ahli sejarah terkenal dan para ahli ilmu pengetahuan terkemuka telah memberi komentar bahwa satu-satunya agama yang masih sept–nov 2007 | 09 tidak tertandingi oleh ilmu pengetahuan dan para pemikir bebas adalah kata-kata Sang Buddha. Lokavidû Istilah ini digunakan pada Sang Buddha sebagai seorang dengan pengetahuan dunia yang sangat hebat (exquisite). Sang Buddha telah mengalami, mengetahui, dan menembus ke dalam seluruh aspek kehidupan duniawi, secara fisik maupun spiritual. Beliau adalah yang pertama kali mengamati bahwa ada ribuan sistem di jagad raya. Beliau juga yang pertama kali menyatakan bahwa duniawi itu tidak ada melainkan hanya konseptual. Dalam kata-kata Beliau, adalah tidak bermakna untuk memikirkan pada asal dan akhir dunia atau alam semesta. Beliau berpandangan bahwa asal mula dunia, tenggelamnya dunia, dan jalan menuju tenggelamnya dunia dapat ditemukan di dalam ukuran—sepanjang tubuh manusia—dengan persepsi dan kesadarannya. Anuttaro purisadammasârathi Anuttaro berarti tiada tandingannya dan tiada tara (matchless and unsurpassed). Purisadamma menunjuk pada individual-individual yang mendapat berkah Dhamma, sementara Sârathi berarti pemimpin. Ketiga istilah ini digabungkan bersama, secara tidak langsung menunjukkan pemimpin tak tertandingi yang mampu menuntun orangorang pembangkang menuju pada Jalan Kebenaran. Di antara mereka yang telah diajak mengikuti jalan Dhamma dan menghindari kejahatan adalah pembunuh ternama Angulimala, Alavaka dan Nalagiri, ratusan perampok, kanibal, dan pembangkang seperti Saccake. Mereka semuanya dibawa menuju relung Dhamma, dan banyak di antaranya bahkan mencapai ke-bodhisattâ-an dalam kehidupan mereka. Bahkan Devadata, “musuh” Sang Buddha, telah disadarkan kembali oleh Sang Buddha dengan rasa kasih Beliau yang besar. Satthâ devamanussânam Sang Buddha adalah Guru para dewa dan manusia. Ada pun ‘deva’ yang digunakan dalam konteks ini menunjuk pada makhluk yang dengan kamma baik mereka sendiri, 10 | sept–nov 2007 telah melampaui tingkatan manusia yang bukan merupakan tingkatan akhir dari evolusi biologi. Deva dalam konteks Buddhis tidak memiliki hubungan dengan dongeng teologi tradisional kuno. Sang Buddha merupakan guru yang luar biasa, yang fleksibel dan mampu memikirkan teknik yang berbeda-beda sesuai kemampuan dan mentalitas dari deva dan manusia. Beliau mengajarkan setiap orang ke jalan hidup yang benar. Sang Buddha benar-benar seorang Guru yang universal. Buddho Buddho berarti Guru Besar (Master), Yang Maha Tahu, memiliki kekuatan luar biasa untuk meyakinkan yang lain akan penemuan besar Beliau, melalui seni yang hebat sekali dalam mengajarkan Dhamma kepada makhluk lain. Teknik Beliau tidak dapat ditandingi guru yang lain. Istilah Buddho memiliki pengertian sekunder yang diterjemahkan sebagai 'Sadar' karena keadaan umum seseorang terus menerus dalam keadaan tidak sadar. Sang Buddha adalah yang pertama kali 'Sadar' dan melepaskan diri dari keadaan tidak sadar. Sesudah itu, Beliau meyakinkan yang lain untuk sadar dan menjauhi sifat samsara kemalasan, yakni keadaan tidur atau tidak sadar. Bhagavâ Dari semua istilah yang digunakan untuk melukiskan Sang Buddha, kata-kata 'Buddho' dan 'Bhagavâ' sering digunakan secara terpisah, ataupun bersama-sama sebagai 'Buddho Bhagavâ' yang berarti 'Yang Terberkahi'. Rasa kagum dan hormat yang sudah sepantasnya, Terberkahi adalah nama Beliau. Oleh karena itu, kata 'Bhagavâ' memiliki bermacam-macam arti sesuai yang disarankan oleh beberapa komentator. Sang Buddha diistilahkan 'Bhagavâ' atau 'Yang Terberkahi' karena Beliau adalah yang paling berbahagia dan paling beruntung diantara manusia karena telah mengalahkan semua kejahatan, mampu menguraikan secara terperinci Dhamma tertinggi dan terberkahi dengan kemampuan intelektual supernormal, dan super manusiawi. sept–nov 2007 | 11 Tingkat Kebuddhaan Tingkat kebuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan sempurna. Menurut tingkat pencapaiannya, Buddha dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: Sammâ Sambuddha 1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usaha Nya sendiri, tanpa bantuan makhluk lain. 2. Mampu mengajarkan ajaran yang Ia peroleh (Dhamma) kepada makhluk lain. 3. Yang diajar tersebut bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti diriNya. Pacceka Buddha 1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usaha Nya sendiri, tanpa bantuan makhluk lain. 2. Tidak mengajarkan ajaran yang Ia peroleh kepada makhluk lain secara meluas. 3. Yang diajar tersebut belum mampu mencapai tingkattingkat kesucian seperti diriNya. Savaka Buddha 1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan karena mendengarkan dan melaksanakan ajaran dari SammaSambuddha. 2. Mampu mengajarkan ajaran yang Ia peroleh kepada makhluk lain. 3. Yang diajar bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti diriNya. 12 | sept–nov 2007 Prinsip Dasar Ajaran Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar ajaran, yaitu seperti yang tercantum di dalam Dhammapada 183 sebagai berikut. Sabbapâpassa akaranam Tidak melakukan segala bentuk kejahatan. Kusalasupasampadâ Senantiasa mengembangkan kebajikan. Sacittapariyodapanam Membersihkan batin atau pikiran. Etam buddhâna sâsanam Inilah ajaran para Buddha. Ajaran Sang Buddha memberikan bimbingan kepada kita untuk membebaskan batin dari kemelekatan kepada hal yang selalu berubah (anicca), yang menimbulkan ketidakpuasan (dukkha); karena semuanya itu tidak mempunyai inti yang kekal, tanpa kepemilikan (anatta). Usaha pembebasan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan pengertian masing-masing individu. Jadi, ajaran Buddha bukan merupakan paksaan untuk dilaksanakan. Sang Buddha hanya penunjuk jalan pembebasan, sedangkan untuk mencapai tujuan itu tergantung pada upaya masing-masing. Bagi mereka yang tidak raguragu lagi dan dengan sema-ngat yang teguh melaksanakan petunjukNya itu, pasti akan lebih cepat sampai dibandingkan dengan mereka yang masih ragu-ragu dan kurang semangat. Adalah bijaksana bila sebagai umat Buddha, setelah terlahir sebagai manusia tidak tenggelam di dalam kepuasan sang 'aku'. Di dunia ini kita telah diberi warisan yang sangat berharga oleh para bijaksana. Sungguh bahagia bagi manusia yang bisa menerima ajaran Buddha yang telah dibabarkan di hadapan kita. sept–nov 2007 | 13 Mengapa? Karena hadirnya seorang Buddha di alam kehidupan ini adalah sangat jarang. Di dalam Dhammapada 182 disebutkan demikian: Kiccho manussapatilâbho Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia. Kiccho maccâna jîvitam Sungguh sulit kehidupan sebagai manusia. Kiccho saddhammasavanam Sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar. Kiccho buddhânamuppâdo Sungguh sulit munculnya seorang Buddha. Jadi, manfaatkanlah kehidupan kita sebagai manusia sekarang ini untuk lebih giat lagi mempelajari Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan kepada manusia dan bahkan juga kepada para dewa, adalah demi keuntungan manusia dan para dewa itu sendiri guna mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbâna). 14 | sept–nov 2007 dhamma ratana Dhamma berarti kebenaran, kesunyataan, atau bisa juga dikatakan sebagai ajaran Sang Buddha. Istilah Dhamma ini mempunyai arti yang sangat luas, yaitu mencakup tidak hanya segala sesuatu yang bersyarat saja, tetapi juga mencakup yang tidak bersyarat/ yang mutlak. Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan dalam penjelasan berikut. ini. Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/266, disebutkan tentang sifat Dhamma, atau Dhammaguna. Ada 6 Dhammaguna, yakni sebagai berikut. 1. Svâkkhâto bhagavatâ dhammo Dhamma Ajaran Sang Bhagava telah sempurna dibabarkan. 2. Sanditthiko Berada sangat dekat (kesunyataan yang dapat dilihat dan dilaksanakan dengan kekuatan sendiri). 3. Akâliko Tak ada jeda waktu atau tak lapuk oleh waktu. 4. Ehipassiko Mengundang untuk dibuktikan. 5. Opanayiko Menuntun ke dalam batin (dapat dipraktekkan). 6. Paccattam veditabbo viññûhi Dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masingmasing. Dhamma terbagi menjadi dua bagian, yaitu Paramattha Dhamma dan Paññatti Dhamma. 1. Paramattha Dhamma Kenyataan tertinggi, ada empat, yaitu Citta (kesadaran), Cetasika (faktor batin), Rûpa (materi), dan Nibbâna. 2. Pannatti Dhamma Sebutan, konsep, untuk dijadikan panggilan atau sebutan sesuai dengan keinginan manusia. sept–nov 2007 | 15 Paramattha Dhamma terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu Sankhata Dhamma dan Asankhata Dhamma. 1. Sankhata Dhamma, berarti keadaan yang bersyarat, yaitu: - tertampak dilahirkan/timbulnya (uppado paññâyati) - tertampak padamnya (vayo paññâyati) - Selama masih ada, tertampak perubahan-perubahannya (thitassa aññathattan paññâyati). 2. Asankhata Dhamma, berarti sesuatu yang tidak bersyarat, yaitu: - tidak dilahirkan (na uppado paññâyati) - tidak termusnah (na vayo paññâyati) - ada dan tidak berubah (na thitassa aññathattan paññâyati) Nibbâna disebut Asankhata Dhamma. Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma tersebut, maka kita harus melaksanakan dengan tiga tahap, yaitu: 1. Pariyatti Dhamma Mempelajari Dhamma secara teori, dalam hal ini, yaitu mempelajari dengan tekun Kitab Suci Tipitaka. 2. Patipatti Dhamma Melaksanakan (memraktekkan) Dhamma tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. 3. Pativedha Dhamma Hasil (penembusan), yaitu hasil menganalisa dan merealisasi kejadian-kejadian hidup melalui meditasi pandangan terang (vipassanâ) hingga merealisasi Kebebasan Mutlak. Dhamma akan melindungi mereka yang memraktekkan Dhamma. Praktek Dhamma akan membawa kebahagiaan. Barang siapa mengikuti Dhamma, maka tidak akan jatuh ke alam penderitaan. 16 | sept–nov 2007 sangha ratana Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu: 1. Sammuti Sangha Persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian. 2. Ariya Sangha Persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian. Pengertian “Sangha” di dalam Sangha Ratana ini, berarti kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di dalam ajaran Agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci, yang disebut dengan istilah Ariya Puggala. sept–nov 2007 | 17 Ariya Puggala ini ada 4 tingkat, yaitu: 1. Sotâpanna Orang suci tingkat pertama (sotâpatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi. 2. Sakadâgâmi Orang suci tingkat kedua (sakadâgâmi-phala) yang akan terlahir sekali lagi (di alam nafsu). 3. Anâgâmi Orang suci tingkat ketiga (anâgâmi-phala) yang tidak akan terlahir lagi (di alam nafsu). 4. Arahat Orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian. Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi kekotoran batin (kilesa)nya, yang telah berhasil mereka basmi. Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu sebagai berikut. 1. Supatipanno Bertindak/berkelakuan baik 2. Ujupatipanno Bertindak jujur / lurus 3. Ñayapatipanno Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbâna) 4. Sâmîcipatipanno Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya. 5. Âhuneyyo Patut menerima pemberian/persembahan. 6. Pâhuneyyo Patut menerima (diberikan) tempat bernaung. 7. Dakkhineyyo Patut menerima persembahan/dana. 8. Añjalikaranîyo Patut menerima penghormatan (patut dihormati). 9. Anuttaram puññakhettam lokassâ Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta. 18 | sept–nov 2007 Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha. Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma. Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya. Berlindung Kepada Tiratana Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam satu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama TISARANA (Tiga Perlindungan), yang berbunyi: Buddham saranam gacchâmi Aku berlindung kepada Buddha Dhammam saranam gacchâmi Aku berlindung kepada Dhamma Sangham saranam gacchâmi Aku berlindung kepada Sangha. sept–nov 2007 | 19 Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha Gotama sendiri (bukan oleh para siswa-Nya atau oleh makhluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh Arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Sang Buddha Gotama bersabda: "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi samanerâ dan bhikkhu) hendaknya: setelah mencukur rambut kepala dan mengenakan jubah kuning... bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua belah tangan di depan dada, dan berkata: AKU BERLINDUNG KEPADA BUDDHA, AKU BERLINDUNG KEPADA DHAMMA, AKU BERLINDUNG KEPADA SANGHA". (Vinaya Pitaka I. 22) Sang Buddha Gotama menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanerâ dan bhikkhu, tetapi juga umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam atau pun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinan dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Tampak betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma, dan Sangha. Bagi umat Buddha "berlindung kepada Tiratana" merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti "syahadat" bagi umat Islam dan "credo" bagi umat Kristen. Tisarana adalah ungkapan keyakinan (saddhâ) bagi umat Buddha. Saddhâ yang diungkapkan dengan kata "berlindung" itu mempunyai tiga aspek: Aspek Kemauan Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddhâ dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, "menunggu berkah dari atas". 20 | sept–nov 2007 Aspek Pengertian Ini mencakup pengertian akan perlunya Perlindungan, yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua makhluk dalam samsâra ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri. Aspek Perasaan Yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan keyakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya, dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan. Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa "berlindung" dalam agama Buddha berarti: "Suatu tindakan yang sadar yang bertujuan untuk mencapai pembebasan, yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan". Atau secara singkat: "Suatu tindakan sadar dari pada keyakinan, pengertian dan pengabdian". Ketiga aspek dari pada "berlindung" ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek pengertian dan aspek perasaan dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama. Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan katakata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan di luar tanpa bertindak untuk mencapainya. sept–nov 2007 | 21 Tindakan pertama ke arah keselamatan dan kebebasan ialah dengan "berlindung" secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian. BUDDHA, sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha Gotama. "Seperti Sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin." (Ariyapariyesana Sutta, Majjhima Nikaya) Sebagai Perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Pertapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi daripada Bodhi (Kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara). DHAMMA, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin manusia biasa yang masih berada dalam alam keduniaan (lokiya), melainkan "Empat Tingkat Kesucian (Sotâpanna, Sakâdâgami, Anâgâmi, dan Arahat) beserta Nibbâna" yang dicapai pada akhir jalan. SANGHA, sebagai perlindungan ketiga, bukan berarti kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu Sangha), melainkan Pasamuan Para Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat Kesucian (Ariya Sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu. 22 | sept–nov 2007 Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, pengejawan-tahan dari Tuhan yang mahaesa dalam alam semesta ini, yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha di dunia ini. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua makhluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh Sang Buddha. sumber 1. –www.buddhistonline.com/dsgb 2. Great Virtues of The Buddha oleh Dr. K. Sri Dhammananda 3. Pokok Dasar Agama Buddha WALUBI 4. miscellaneous from web sept–nov 2007 | 23 dawai 48 News On OLEH AJAHN SUMEDHO the way of loving-kindness mettâ (bhs. pali), atau cinta kasih, atau belas kasih, adalah sebuah kemampuan yang berarti bahwa kita dapat menggunakannya untuk mendekati hal-hal yang mengganggu atau tidak menyenangkan yang kita temukan di dalam diri kita atau di sekitar kita. Ketika pertama kali saya datang ke Inggris, saya bertanya kepada orang-orang, "Apakah Anda memraktekkan mettâ?", dan mereka berkata, "Oh, saya tidak mampu!". Kemudian saya bertanya, "Jadi, menurut Anda apa itu mettâ?". Dan mereka menjawab, "Itu adalah semacam cara yang bijak untuk menetralkan hal-hal yang menjengkelkan atau membahayakan kita, sangat sulit bertahan pada cara ideal demikian yang berusaha menyayangi orang-orang atau hal-hal seperti itu. 24 | sept–nov 2007 Mencintai dan Menyukai Seperti pada umumnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, kata 'mencintai' (loving) kurang lebih memiliki arti yang sama dengan kata 'menyukai' (liking). Kita mengatakan bahwa kita mencintai banyak hal–kita cinta makanan ini, kita cinta minuman itu, kita saling mencintai; sebenarnya, apa yang kita maksud adalah kita menyukai hal-hal itu, kita tertarik kepada mereka. Mettâ mirip dengan kasih dalam kepercayaan umat Nasrani, walaupun kadang persepsi mengenai kasih ini juga dapat menjadi sangat idealis. Kasih umat Nasrani cenderung datang dari gagasan bagaimana Anda dapat mencintai semua pihak. Anda mungkin mencoba untuk meyakinkan diri Anda bahwa Anda lebih menyayangi musuh Anda daripada Anda menyayangi diri sendiri. Dapatkah Anda membayangkan menghabiskan satu jam hanya untuk berpikir tentang seberapa dalam Anda mencintai diri Anda? Saya menyadari bahwa mereka sama sekali tidak mengerti tentang mettâ. Mettâ bukanlah sebuah pernyataan idealis tentang perasaan/pikiran. Kita dapat merasakan cinta kepada semua orang selama tidak ada yang mengganggu atau menyinggung kita. Kita diberitahu bahwa, "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri" dan "Cintai musuh-musuhmu". Coba renungkan apa artinya. Haruskah Anda menyukai musuh-musuh Anda? Apakah Anda ingin selalu berada di dekat mereka? Sebenarnya, "cinta" tidak sama artinya dengan sesuatu seperti "suka" dalam semua situasi. Dalam hubungan ini, kata "cinta" adalah kata yang sangat sering digunakan dalam bahasa Inggris. Mettâ tidak berarti menyukai segala-galanya. Mettâ berarti suatu sikap yang tidak berdiam pada keadaan yang tidak menyenangkan atau menyalahkan semua situasi di dalam atau di luar diri seseorang. Dengan memahami mettâ, seseorang tidak membutakan dirinya dengan sesuatu yang seolah tampak ideal. Justru, seseorang dapat menyaksikan keadaan-keadaan tidak menyenang- sept–nov 2007 | 25 Dengan memahami mettâ, seseorang tidak membutakan dirinya dengan sesuatu yang seolah tampak ideal. kan dalam suatu situasi, hal, orang, atau di dalam dirinya sendiri tanpa berusaha menciptakan segala sesuatu di sekitarnya. Sederhananya, Anda dapat berhenti berpikir, "Saya benci itu, Saya tidak menginginkan hal itu". Itulah yang saya maksudkan sebagai mettâ. Baru-baru ini seseorang mendatangi saya dan berkata "Saya kesulitan merasakan mettâ untuk orang tertentu. Terkadang saya ingin memukulnya; terkadang saya merasa ingin membunuhnya. Saya tidak bisa menebar mettâ untuk orang yang seperti itu dan hal itu membuat saya gila!". Saya berkata, "Tetapi kamu belum memukulnya, kamu juga tidak membunuhnya, bukan?". Dia menjawab, "Tidak". Saya berkata, “Maka kamu sedang memraktekkan mettâ". Mettâ adalah sesederhana itu. 26 | sept–nov 2007 Mettâ dan Moralitas Dalam Buddha Dhamma, sangat jelas bahwa moralitas bersumber pada tindakan dan ucapan yang benar secara jasmaniah. Sekarang kita akui bahwa kita tidak selalu dapat mengontrol apa yang akan ada dalam pikiran kita. Kita tidak bisa mengatakan, "Saya hanya akan mempunyai pikiran-pikiran yang baik, pikiran menyayangi terhadap semua orang." Kita hanya bisa mencoba untuk tidak mempunyai pikiran-pikiran buruk atau merasa marah, cemburu, iri hati, dan kuatir. Tetapi hal ini berbeda dengan tindakan dan ucapan secara fisik. Kita bisa berjanji saat ini untuk tidak membunuh siapapun. Kita bisa mengambil lima sila. Kita bisa juga berjanji untuk berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan, karena itu ketika kita sedang memikirkan sesuatu yang tidak baik dan mengerikan, kita tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu kepada orang-orang. Andaikan saya berpikir seperti pikiran-pikiran orang gila sekarang: Saya bisa saja menahan diri dari mengekspresikan hal itu kepada Anda. Itu adalah mettâ. Proses berpikir dan merasakan berjalan terus; saya mengenalinya, tetapi saya menolak untuk bereaksi pada hal-hal tersebut secara fisik atau verbal. Kita mulai menyadari pikiran itu seperti sebuah cermin yang merefleksikan segala sesuatu. Seperti sebuah cermin, pikiran tidak dirusak oleh hal-hal yang merefleksikannya. Sebuah cermin bisa menggambarkan hal-hal yang sangat buruk, yang sangat jahat dari seluruh dunia dan masih tetap tidak bernoda, walaupun pantulannya sangatlah mengerikan. Pikiran seperti halnya cermin itu; pikiran itu sendiri bersih (murni). Tidak ada sesuatu yang salah dengan pikiran, tetapi refleksi dari pikiran bisa menjadi sangat kotor atau buruk atau jahat, atau juga bisa menjadi sangat indah. Jika kita mencoba untuk menghukum si cermin, kita merusak atau meretakkan cermin itu, kita akan gila maka kita benar-benar telah tertipu. Tetapi, jika kita mau, kita bisa mengenali bahwa bayangan dalam cermin itu sebenarnya seperti itulah adanya. sept–nov 2007 | 27 Pengenalan ini adalah sebuah kemahiran dalam berhubungan dengan pikiran dan perasaan yang mungkin sangat tidak menyenangkan bagi kita. Tidaklah sulit bagi saya untuk merasakan kebaikan terhadap hal-hal yang saya suka, seperti anak kucing dan anak anjing, anak-anak kecil yang lucu, serta orang-orang menyenangkan yang mengatakan hal-hal yang baik, cuaca yang cerah, dan sebagainya. Saya tidak mempunyai masalah dengan halhal ini. Tetapi apa yang harus saya lakukan ketika orangorang dan hal-hal tersebut menjadi buruk dan curang? Saya bisa berdiam pada keburukan tersebut dan berpikir, "Saya tidak bisa berhadapan dengan orang itu; saya membencinya. Orang yang seperti itu tidak sepantasnya dibiarkan hidup. Saya berharap dia segera mati." Saya bisa melakukan itu, bukan? Itu adalah hal termudah yang bisa dilakukan. Tetapi berdiam pada perasaan yang tidak disukai seperti itu tidaklah mendukung kedamaian pikiran. Melihat yang Tidak Disukai Dalam Diri Sendiri Kita selalu memulai latihan mettâ dengan diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita berkata, "Aham sukhito homi", yang berarti "Semoga saya damai, semoga saya berbahagia". Mungkin kita merasa tenteram dengan diri kita sendiri ketika segalanya berjalan baik, tetapi ketika terjadi hal tidak baik, kita cenderung mencoba untuk menghancurkan apa yang tidak kita sukai dalam diri kita. Orang-orang datang pada saya sepanjang waktu, bertanya, "Bagaimana saya menghindari kemarahan? Bagaimana saya menghindari iri hati? Bagaimana saya menghindari ketamakan dan nafsu keinginan? Bagaimana saya menghindari rasa kuatir? Bagaimana saya menghindari segala hal itu? Saya bisa saja pergi ke psikiatri; dia mungkin dapat menolong saya menghindari hal-hal itu?" Atau terkadang kita melatih meditasi untuk membuang 28 | sept–nov 2007 atau melepas semua hal-hal yang mengerikan ini, jadi kita bisa mencapai keadaan pikiran yang penuh kebahagiaan dan penglihatan bodhisattâ. Kita berharap tidak akan pernah memiliki perasaan-perasaan negatif lagi. Di satu sisi, ada harapan dan kerinduan untuk menjadi bahagia. Di sisi lain, ada kebencian dan reaksi dari kemuakan dan keengganan terhadap kekejaman kita, keadaan batin yang tidak menyenangkan. Saya melihat bahwa orang-orang di Inggris sangat kritis, sangat meremehkan. Kemudian ketika saya bertanya, "Apakah Anda memraktekkan mettâ?" orang-orang yang suka meremehkan diri mereka sendiri, yang benarbenar perlu melatih mettâ, adalah orang-orang yang berkata bahwa mereka tidak bisa. Kemampuan mengritik diri sendiri kedengarannya seperti benar-benar orang yang sangat jujur, bukan? Kita mempunyai pikiran cerdas yang kritis, jadi kita berpikir tentang diri kita dengan cara yang negatif. Kita mengritik diri sendiri karena banyak hal yang telah kita lakukan di masa lalu yang muncul dalam ingatan saat ini, kecenderungan-kecenderungan, atau kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal itu tidak bertahan pada apa yang kita harapkan dari mereka. Demikian juga, kita tidak bertahan pada apa yang kita pikir seharusnya dapat kita lakukan. Kemudian, karena kita bisa menjadi sangat kritis dan meremehkan, kita juga cenderung merancang pendapat negatif kita pada yang lain. Saya ingat diri saya selalu menjadi kecewa dengan orang-orang karena mereka tidak bisa bertahan pada standar-standar saya, pada jalan yang saya pikir seharusnya mereka lakukan. Saya melihat seseorang dan berpikir, "Oh, ini dia, ini orangnya, seorang yang benar-benar baik, berhati dermawan, seorang penyayang. Akhirnya, saya menemukannya." Kemudian saya mendapatinya bahwa dia marah, cemburu, iri hati, menakutkan, posesif, atau rakus. Dan saya berpikir kembali, "Oh, kamu telah mengecewakan saya. Saya akan mencari seseorang yang lain sekarang. Saya akan menemukan seseorang yang bisa bertahan pada standar-standar saya." Tetapi kemudian, ketika saya benar-benar melihat diri sept–nov 2007 | 29 Mettâ adalah kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. sendiri, saya bertanya, "Seberapa baik saya dapat bertahan pada standar-standar ini?" Kemudian saya dapat melihat bahwa terdapat kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang sama pada saya juga. Ketika saya mencoba menjadi seorang bhikkhu yang baik, saya mati-matian mencoba bertahan pada sesuatu yang ideal. Saya dapat melakukan itu sampai tahap tertentu. Melewati kehidupan di mana kita hidup sebagai bhikkhu dan pembatasan-pembatasan pada kehidupan itu, kita bertahan dari melibatkan diri kita sendiri dalam aktivitas kamma yang berat. Akan tetapi, kita masih harus menghadapi ketakutan emosional yang menekan dan hasrat-hasrat dari pikiran kita benar-benar tidak bisa menjauh dari apapun dari kehidupan ini. Sebagai bhikkhu, kita juga harus mau mengikuti bahkan jika itu hal-hal yang tidak menyenangkan, sesuatu yang mengerikan untuk mencapai kondisi yang sadar, dan kita harus menghadapi hal-hal ini dalam meditasi, kita mengikuti sesuatu di mana kita bergerak menjauh atau menolak untuk menuruti kondisi sadar. Agar dapat melakukan ini, kita harus membangun mettâ, suatu bentuk perilaku kesabaran dan kebaikan hati terhadap segala ketakutan dan keragu-raguan yang menekan, dan terhadap kemarahan kita sendiri. 30 | sept–nov 2007 Ketika saya baru saja ditahbiskan, saya berpikir diri saya sebagai orang alami yang sangat baik yang tidak marah-marah dan tidak membenci orang. Tetapi setelah pentahbisan saat saya mulai bermeditasi, saya mulai merasakan setumpuk kebencian yang menjalar ke semua orang, dan saya berpikir, "Meditasi ini membuat saya menjadi iblis!" Saya berpikir, "Saya akan pergi dan bermeditasi, tinggal di hutan sendirian, menjadi sangat tenang dan bisa berhubungan dengan makhluk-makhluk surga dan tinggal dalam suatu keadaan berbahagia yang tinggi." Justru, saat saya pertama kali mulai bermeditasi sebagai seorang bhikkhu, dua bulan pertama tidak ada apa-apa malahan batin dipenuhi hal-hal yang tidak disukai. Saya membenci setiap orang setiap kali saya memikirkannya. Saya bahkan membenci orang-orang yang saya cintai, dan saya membenci diri saya sendiri. Saya mulai melihat bahwa ini adalah sisi lain dari diri saya sendiri yang telah menekan, memaksa keluar dari kesadaran saya, dengan bayangan ideal tentang diri saya sendiri dimana saya telah mencoba berpegang padanya. Saya tidak pernah membiarkan kebencian yang nyata, hal yang tidak disuka, kekecewaan, atau keputusasaan untuk kemudian menjadi sepenuhnya sadar; saya selalu bereaksi terhadapnya. Sebelum saya ditahbiskan, saya mengalami keletihan dan keputusasaan dalam menghadapi situasi-situasi sosial yang timbul karena saya terbiasa berada di lingkungan yang mudah tersenyum dan ucapan-ucapan yang menyenangkan. Di dalam meditasi ketika saya tidak lagi dapat bertahan untuk menghentikannya, semua perasaan yang menekan ini mulai timbul lagi dalam kesadaran. Ada cara bertahan terhadap mereka tentunya, karena itu adalah cara yang selalu saya lakukan dengan kondisi-kondisi itu: "Bagaimana saya dapat menghindari mereka? Bagaimana saya dapat menghentikan mereka? Oh, saya tidak seharusnya merasakan hal seperti ini; ini memuakkan! Setelah semua yang mereka lakukan pada saya, saya masih membencinya." Perasaan-perasaan ini membuat saya membenci diri saya sendiri. Jadi daripada mencoba menghentikan mereka, saya belajar untuk menerima mereka. Dan cara itu hanyalah melalui penerimaan (acceptance) di mana pikiran-pikiran itu dapat terhalau melalui sejenis perasaan haru (kind of catharsis) yang mana semua kenegatifan telah dimanifestasikan, dan juga telah berlalu. sept–nov 2007 | 31 Renungan tentang Mettâ Mettâ memiliki banyak arti, di antaranya kasih, sikap bersahabat, itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap tanpa-kekerasan. Para komentator kitab suci Pali menjelaskan istilah mettâ sebagai, dambaan yang kuat akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain (parahita parasukhakamana). Intinya, mettâ adalah tindakan kasih yang dibedakan dari keramahtamahan sebagai kedok kepentingan pribadi. Dengan mettâ kita menolak setiap bentuk kekerasan, kebencian, sakit hati, dan permusuhan. Sebaliknya kita lalu mengembangkan sikap-batin yang bersahabat, murah hati, mudah mengerti dan dimengerti, serta selalu menghendaki kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk lain. Mettâ yang sejati, bersih dari kepentingan pribadi. Ia tumbuh di dalam hati yang hangat oleh kasih, simpati, dan persahabatan, yang dapat dikembangkan tanpa batas, melampaui segala rintangan sosial, agama, ras, ekonomi, dan politik. Mettâ adalah kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. Mettâ menjadikan kita sumber rasa aman dan tentram bagi makhluk lain. Mementingkan diri sendiri adalah dorongan batin paling primitif dalam diri manusia. Jika dorongan ini diubah menjadi kehendak luhur untuk memperhatikan kepentingan dan kebahagiaan makhluk lain, maka bukan hanya dorongan primitif itu terlampaui olehnya, tetapi batin menjadi universal, di mana tiada lagi perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan makhluk lain. Mettâ adalah sikap melindungi dan kesabaran yang luar biasa dari seorang ibu yang menjalani segala kesulitan demi kebaikan anaknya. Mettâ juga mencakup sikap ingin memberi yang terbaik dari seorang sahabat. Jika kualitas-kualitas mettâ ini diperkuat dengan meditasi mettâ-bhâvanâ—meditasi dengan objek kasih universal—hasilnya adalah suatu kekuatan batin yang menakjubkan, yang akan menjaga, melindungi, dan berfaedah bagi diri sendiri dan bagi makhluk lain. sumber The Mind and The Way Buddhist Reflection on Life Edited versions of talk by Ajahn Sumedho 32 | sept–nov 2007 dawai 48 News On OLEH YM SADDHÃVIRO THERA Setiap orang ingin hidup tenang, dan setiap orang juga mempunyai benih ketenangan. Walaupun benih ketenangan dan keinginan untuk hidup tenang ada pada setiap orang, namun ketenangan hidup, tidak semua orang bisa memperolehnya. Di mana letak kesalahannya jika tidak tenang? Dan bagaimana cara untuk memperoleh ketenangan? Cara Memperoleh Ketenangan obyek—pikiran—kesadaran Obyek diperlukan untuk melatih mengonsentrasikan pikiran, maka dalam latihan ketenangan pikiran, obyek merupakan bagian terpenting. Oleh karenanya, latihan ketenangan pikiran tanpa menggunakan obyek, sama dengan halnya menyuruh orang lagi kehujanan maupun kepanasan untuk berteduh, tetapi tidak ada tempat berteduhnya. sept–nov 2007 | 33 Pikiran adalah sasaran yang harus dicapai dalam latihan ketenangan. Jika selama latihan, tanpa ada proses untuk melatih mengarahkan pikiran ke arah ketenangan, maka cara latihan semacam itu tidak benar. Jadi selemah apapun, hendaknya usaha terus-menerus harus dilakukan untuk menenangkan pikiran pada obyek, agar pikiran bisa mencapai ketenangan. Kesadaran berfungsi untuk mengarahkan dan mengontrol pikiran, agar pikiran bisa mencapai ketenangan. Sewaktu pikiran lari dari obyek, kesadaran mengarahkan kembali pada obyek. Apabila pikiran terkonsentrasi pada obyek, kesadaran mampu mengontrol pikiran. Dalam proses kesadaran mampu mengarahkan dan mengontrol pikiran, maka pada saat itu juga terjadi pengembangan kesadaran. Dua Sisi Berlarinya Pikiran masa lalu—masa yang akan datang Jika pikiran sewaktu dilatih konsentrasi, tetapi pikiran lari ke masa lalu, berarti pikiran melekat pada pengalaman yang pernah dialami. Maka cirinya, pikiran akan muncul citra rasa masa lalu. Hal itu bisa satu jam yang lalu, satu minggu yang lalu, satu bulan yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan bisa satu kelahiran yang lalu. Kita ingat atau tidak ingat, di kelahiran masa lalu, tidak peduli. Namun pikiran yang melekat pada pengalaman hidup, akan membawa larinya pikiran ke masa lalu. Maka seindah apapun kesan di masa lalu, tidak perlu diikuti, supaya pikiran bisa dilatih untuk tenang. Apabila pikiran tidak lari ke masa lalu, pikiran akan lari ke masa yang akan datang. Masa yang akan datang yang belum terjadi, menjadi lamunan, khayalan, keinginan atau cita-cita. Meliputi hal yang baik dan buruk, jika itu berakar pada masa yang akan datang, yang belum terjadi, maka akan membawa larinya pikiran. 34 | sept–nov 2007 Lima Rintangan Batin Kâmacchanda Byâpâda Thinamiddha Uddhacca-kukkucca Vicikicchâ Nafsu obyek keinginan indria Ingin menyakiti orang lain Kelambanan dan kemalasan (batin) Kekacauan dan kekhawatiran Keragu-raguan Lima Faktor yang Membantu Konsentrasi 1. Memulai latihan dengan keadaan fisik maupun mental yang rileks 2. Sertakan rasa senang akan latihan 3. Yakinkan diri sendiri selagi latihan meditasi, bahwa dirinya bisa meditasi 4. Selalu menyertakan sadar dan perhatian dalam latihan 5. Mengevaluasi untuk mendapatkan kemajuan dan mengetahui rintangan. Dalam proses latihan meditasi ketenangan, harus mengenali mana yang menjadi rintangan meditasi dan yang menjadi pendukung meditasi sehingga bisa lebih efektif dalam latihan untuk menuju kemajuan. Bukan hanya energi latihan dikuras karena dimainkan kekotoran batin, dengan pikiran yang terus lari dan berlari yang pada akhirnya hanya terasa kelelahan, dan menimbulkan kejenuhan latihan. Ada tiga hal berkaitan dengan meditasi yang perlu dimengerti : 1. Cerita meditasi, dengan menguraikan dan dan mendengar pemaparan yang amat menarik, tapi tidak melihatnya sendiri. Ini jenis yang pertama tentang meditasi, dalam bentuk cerita. 2. Melatih meditasi, bisa duduk sampai beberapa jam, tapi pikiran belum juga memperoleh ketenangan, maka jenis ini baru dikategorikan latihan meditasi. 3. Bermeditasi, karena bisa menenangkan pikiran dan menda patkan buahnya dari pikiran yang tenang. Maka jenis ketiga ini baru dikategorisasikan meditasi. sept–nov 2007 | 35 Setelah melatih meditasi dan kemudian mengenali sifat dari pikiran itu yaitu gesit dan lincah, disebabkan adanya kekotoran batin. Maka upaya mengikis kekotoran batin dan tidak membuat kekotoran batin baru, akan membuat pikiran menjadi mudah dikendalikan untuk mencapai ketenangan. Dan pada saat melatih sampai tahapan kekotoran batin mengendap, pikiran menjadi tenang, kesadaran pun berkembang. Inilah yang dinamakan proses latihan meditasi yang telah terjadi. Cirinya meditasi mengembangkan ketenangan pikiran (samatha bhâvanâ) adalah di mana kesadaran yang tumbuh berkembang, mampu untuk mengendalikan atau intervensi pikiran, sehingga pikiran tidak berhamburan ke masa lalu karena kemelekatan, dan tidak lari ke masa yang akan datang karena khayalan. Pada tahapan dan kondisi batin tenang, maka hal itu bisa sebagai dasar munculnya kemampuan batin. Dan juga sebagai dasar untuk memulai latihan memahami hidup sebagai mana adanya atau mengembangkan pandangan terang (vipassanâ bhâvanâ). Mengapa dianjurkan samatha bhâvanâ terlebih dahulu, sebelum vipassanâ bhâvanâ? Hal ini karena untuk memudahkan mencapai tujuan latihan, dengan melalui tahapan berlatih. Karena dalam keadaan pikiran yang belum tenang, akan sangat sulit untuk mengetahui apa adanya hidup ini atau memahami kebenaran hidup ini. Pasti pikiran akan terus membuat pembenaran, bukan kebenaran, sebab ciri pikiran yang masih dikuasai kekotoran batin cirinya tidak tahu yang benar sebagai kebenaran. Hal ini bisa kita pahami sebagai halnya apa yang ada di dalam danau, tentu kita akan kesulitan mengetahuinya. Setelah pikiran tenang, kesadaran sebagai dasar latihan untuk menyadari segala sesuatu yang muncul dan berkembang dan berlalu, yang berkaitan dengan faktor batin (nama) dan faktor badan (rûpa). Jika rasa sakit ini muncul sewaktu latihan meditasi, hendaknya sadar akan rasa sakit itu berkembang; jika rasa sakit itu tetap sakit yang terasa, hendaknya sadar rasa sakit itu bertahan; jika rasa sakit itu pada akhirnya berlalu, hendaknya sadar akan rasa sakit itu berlalu. Begitu hendaknya kesadaran itu menyadari, tanpa ada upaya intervensi pun, karena fungsi dari kesadaran dalam pelaksanaan vipassanâ bhâvanâ hanya menyadari. Ini baru satu contoh kerjanya 36 | sept–nov 2007 kesadaran terhadap perasaan, sedangkan kesadaran akan berfungsi kepada semua faktor nama dan rupa sebagai objek kesadaran. Kesadaran akan segala sesuatu obyek nama dan rupa yang terus mengalami perubahan (anicca), kesadaran juga menyadari adanya bahwa segala sesuatu tidak memuaskan (dukkha), dan pada tahapan berikutnya kesadaran juga menyadari yang berubah (anicca) maupun tidak memuaskan (dukkha) itu jelas tanpa inti (anatta). Kesadaran yang mampu menembus kebenaran anicca, dukkha, dan anatta, adalah kesadaran sebagai dasar memunculkan pandangan benar. Pada saat pandangan benar muncul, dalam proses latihan penyadaran akan anicca, dukkha, dan anatta, menggunakan obyek nama dan rupa, maka belenggu pandangan salah tentang atta terputus, keragu-raguan tentang kebenaran lenyap, praktik tahayul juga tidak ada lagi. Orang dinyatakan masuk arus pertama Sotâpanna. Latihan vipassanâ bhâvanâ telah dijalani dan mengantarkan pada pemahaman tentang kebenaran akan kehidupan. Jadi cirinya latihan vipassanâ bhâvanâ, kesadaran bukan berperan sebagai intervensi seperti pada latihan samatha, mela-inkan kesadaran hanya menyadari proses untuk mengetahui apa adanya, sehingga tidak akan melekati proses hidup. Karena tidak melekat pada proses hidup, maka akan terbebas dari proses kelahiran kembali. Seperti yang diuraikan oleh YM Saddhaviro Thera dalam acara SADDHA EXTENDED, PATRIA PC Surabaya, 29 Juni 2007, di Wihara Buddha Kirti Surabaya. sept–nov 2007 | 37 dawai 48 âcariya mun bhûridatta thera 38 | sept–nov 2007 Orang Bijak TEGUH Secara konstan menekankan pada kepentingan tertinggi, Âcariya Mun selalu menegaskan bahwa hati adalah yang paling penting di dunia ini. yang mulia âcariya mun bhûridatta thera adalah seorang tokoh terkemuka dalam Buddhisme Thai jaman sekarang. Beliau dipuja dan dihormati di mana-mana selama masa hidup beliau untuk keberanian dan keteguhan hati yang luar biasa yang telah beliau tunjukkan di dalam menjalankan kehidupan pertapa dan kedisiplinan beliau yang tanpa kompromi dalam mengajar murid-muridnya. Selama kurun waktu 50 tahun sejak beliau wafat, beliau dianggap seorang sosok agung dalam kalangan Buddhis dan keberadaan beliau yang sangat berpengaruh masih membekas, di mana hidup dan ajaran-ajaran beliau telah menyamai pencarian mulia Sang Buddha untuk transformasi diri. Banyak warga Thai menyatakan pandangan mereka bahwa mereka telah hilang kepercayaan terhadap magga, phala, dan Nibbâna yang dinyatakan masih relevan hingga saat ini, akan tetapi dengan membaca biografi Âcariya Mun, mereka menyadari bahwa cerita tentang hasil-hasil yang telah dicapai, bukanlah hanya potongan-potongan cerita kuno yang telah mati dan mengering—melainkan peninggalan luar biasa dari sosok yang hidup, bercahaya, yang dapat digunakan oleh siapa saja yang berkemauan dan dapat mengupayakan usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapainya. Mereka telah memahami bahwa bhikkhu Buddhis dengan jubah khusus dan kehidupannya sebagai bhikkhu bukanlah hanya figur ke-bhikkhu-an yang mewakili Buddha, Dhamma, dan Sangha. Beberapa dari mereka tentu saja telah terbukti hidup benar sesuai dalam ajaran Buddha. sept–nov 2007 | 39 Âcariya Mun lahir di dalam keluarga Buddhis tradisional pada hari Kamis, 20 Januari BE 2413 (1870), di tahun kambing. Tempat kelahiran beliau di desa Ban Khambong di daerah Khongjiam, perkampungan Khambong, provinsi Ubon Ratchathani. Ayah beliau bernama Nai Khamduang, Ibu beliau bernama Nang Jan dan nama keluarga beliau Kaenkaew. Beliau adalah putra sulung dari delapan bersaudara, meskipun hanya dua orang dari mereka yang masih hidup di saat beliau wafat. Seorang anak kecil jangkung dengan kulit kuning langsat, beliau adalah anak yang cekatan, energik, pandai dan banyak akal. Pada usia 15 tahun, beliau ditahbiskan sebagai 1sâmanera di wihara desanya. Beliau sangat bersemangat untuk belajar Dhamma, mampu mengingat teks-teks dengan kecepatan yang luar biasa. Seorang samanera muda dengan karakter yang ramah, beliau tidak pernah menyulitkan guru-guru ataupun para pengikut beliau. Dua tahun di dalam kehidupan baru beliau, sang ayah meminta beliau untuk melepas jubah dan beliau dibutuhkan untuk kembali ke kehidupan perumah tangga dengan tujuan membantu di rumah. Bagaimanapun juga kesenangan beliau akan kehidupan bhikkhu begitu jelas sehingga beliau yakin akan ditahbiskan lagi suatu hari nanti. Kenangan indah akan kehidupan dalam jubah bhikkhu tidak pernah pudar. Maka, beliau memutuskan untuk memasuki kehidupan bhikkhu lagi secepat mungkin. Keinginan kuat ini telah muncul, tanpa keraguan, pada kekuatan keyakinan yang gigih, disebut sebagai 2saddhâ, yang merupakan bagian pelengkap dari karakter beliau. 1 Seseorang yang telah ditahbiskan awal dalam melepaskan hidup berkeluarga serta melaksanakan 10 sila. Usia minimal untuk penahbisan sâmanera adalah tujuh tahun dan setelah mencapai usia dua puluh tahun dapat ditahbiskan menjadi bhikkhu. Upacara penahbisan sâmanera disebut pabbaja. 2 Keyakinan. Seorang umat Buddha dikatakan memiliki keyakinan apabila ia meyakini Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha. Di dalam Majjhima Nikaya 47 dinyatakan bahwa keyakinan seyogyanya berakar dari pengertian yang benar. Umat Buddha diminta untuk menyelidiki dan melakukan pengujian terhadap obyek keyakinannya. 40 | sept–nov 2007 UNIK Âcariya Mun memiliki kemampuan unik untuk berkomunikasi secara langsung dengan makhluk bukan manusia dari banyak keberadaan alam yang berbeda. Saat beliau mencapai usia 22, beliau merasakan desakan untuk ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu, maka untuk tujuan itu, beliau berpamit kepada orang tua beliau. Tak ingin melarang aspirasi beliau dan juga memiliki harapan bahwa putra mereka akan ditahbiskan lagi suatu hari, mereka memberikan izin. Dengan semangat dan dukungan penuh sampai akhir, mereka menyediakan keperluan dasar lengkap seorang bhikkhu kepada beliau. Pada tanggal 12 Juni BE 2436 (1893), beliau menerima penahbisan bhikkhu di Wihara Wat Liap di kota propinsi Ubon Ratchathani. 3 Upajjhâya beliau adalah Yang Mulia Phra Ariyakawi, kammavâcariya beliau adalah Phra Khru Sitha; dan anusâsanâcariya beliau adalah Phra Khru Prajuk Ubonkhun. Beliau diberi nama bhikkhu 4“Bhûridatta”. Setelah penahbisan, beliau tinggal di Wat Liap di tempat pelatihan meditasi 5vipassanâ Âcariya Sao Kantasilo. 3 Upajjhâya (Upâdhyâya): guru pembimbing 4 Nama Bhûridatta ditemukan dalam salah satu kelahiran Buddha sebelumnya, pada 10 kelahiran yang terakhir saat menyempurnakan 10 pâramî. Pada kelahiran yang ke-5 hingga kelahiran yang terakhir Bodhisattâ terakhir sebagai Nâga Besar, atau Raja Naga, dengan nama Bhûridatta (yang berarti: Yang Diberkahi Bumi). Jenuh dengan kehidupan di bawah tanah, dia muncul ke permukaan bumi dimana akhirnya dia ditangkap oleh seorang pawang ular yang melihat kesempatan itu untuk menjadi kaya dan terkenal dengan memaksa naga yang agung memperlihatkan kesaktiannya di hadapan anggota kerajaan. Walaupun dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membinasakan pawang ular dalam waktu singkat, Naga Bhûridatta, yang dianugerahi kebaikan moral di atas segalanya, mengendalikan dirinya, melakukan apa yang “diajarkan” gurunya, dan menahan penghinaan. Dengan cara ini, dia mengembangkan Khanti Pâramî (Kebajikan Moral Kesabaran) untuk memenuhi kesempurnaannya. Menghubungkan dengan cerita Bodhisattâ itu membuat nama Bhûridatta dipandang sangat bagus dan tepat, yang mungkin karena alasan itulah guru pembimbing Âcariya Mun memilihnya. Kata bhûri dapat disamakan dengan paññâ (kebijaksanaan), menurut Kitab Komentar Pâli. Karena itu, Bhûridatta dapat diartikan “Yang Diberkahi oleh Kebijaksanaan”. 5 Pengembangan Pandangan Terang, merupakan meditasi dalam agama Buddha yang membimbing seseorang untuk mencapai Penerangan Sempurna. Obyek Vipassanâ Bhâvanâ adalah Nâma (batin) dan Rûpa (jasmani) atau Panca Khanda (lima kelompok kehidupan), sehingga akan tertampak bahwa makhluk itu dicengkeram oleh anicca (selalu berubah), dukkha (penderitaan), dan anatta (tanpa inti/aku yang kekal). sept–nov 2007 | 41 Tujuan mulia dari kebebasan spiritual harus dicapai dengan jalan yang sesuai yaitu Jalan Tengah seperti yang diajarkan Sang Tathagatha, Buddha Gotama. Meskipun Sang Buddha melarang penggunaan rasa malu diri sebagai jalan untuk mencapai penerangan, namun demikian Beliau mengizinkan dan mendukung praktek pertapa khusus tersebut, yang dikenal sebagai Dhutanga, di mana secara efektif harmonis dengan usaha-usaha mulia ini. Jalan Tengah yang sesungguhnya bukanlah jalan mulus dengan sedikit rintangan, dapat dinegosiasi dengan kompromi yang mudah, atau jalan tengah yang menyenangkan; tetapi lebih dari itu, merupakan jalan praktek yang paling efektif melawan kekotoran batin yang menghalangi kemajuan dengan cara menahan setiap langkah di jalan tersebut. Jalan spiritual seringkali sukar, penuh penderitaan dan tidak menyenangkan. Sementara batin menghalangi kesuksesan dengan hebatnya dan bahkan menakut-nakuti. Jadi, para pejuang spiritual memerlukan “perlawanan” (baca: usaha atau daya upaya) yang keras untuk mencabut akar-akar kemalasan, kecanduan, rasa bangga diri dan mementingkan diri, sehingga Sang Buddha mendorong para bhikkhu yang benar-benar tekun dalam pelepasan hati mereka dari perwujudan halus kekotoran batin yang tersembunyi dan membahaya42 | sept–nov 2007 kan, untuk berlatih dhutanga. Praktek pertapaan semacam ini diciptakan secara khusus untuk mengembangkan kesederhanaan, kerendahan hati, menahan diri, kewaspadaan, dan introspeksi dalam kehidupan sehari-hari seorang bhikkhu, dan Sang Buddha dikenal memuji para bhikkhu yang menjalankan praktek mereka. Untuk alasan ini, cara hidup seorang bhikkhu Buddhis dikenal sebagai cara hidup seorang pengembara tanpa rumah yang telah meninggalkan keduniawian dan meninggalkan rumah tangga, mengenakan jubah terbuat dari kain yang telah dibuang, bergantung pada sedekah untuk kehidupan, dan tinggal di hutan. Ini cara ideal seorang bhikkhu hutan mengembara untuk bersungguh-sungguh dalam pencarian spiritual tradisional Sang Buddha yang dilambangkan dengan jalan hidup Dhutanga Kammatthâna. Seperti dhutanga, kammatthâna adalah istilah yang menunjukkan orientasi khusus yang diberikan oleh para bhikkhu Buddhis yang mengabdi untuk mempertahankan cara hidup meditatif yang keras. Kammatthâna (lit. ”dasar kerja”) menunjuk pada sebuah pendekatan praktek meditasi yang secara langsung menumbangkan segala aspek keserakahan, kebencian dan delusi dari hati dan kemudian merobohkan semua jembatan yang menghubung- kan pikiran pada lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang. Kammatthâna dengan penekananan pada pengembangan meditatif dan dhutanga dengan penekanan pada jalan hidup pertapa mendukung pada meditasi intensif, saling dipuji secara sempurna dalam usaha mulia untuk mengatasi lingkaran tumimbal lahir. Keduanya bersama dengan disiplin kode monastik adalah batu peletakan pertama pada berdirinya bangunan pelatihan bhikkhu. Catatan dan semangat meditasi kehidupan pertapaan ini didapati tertanam dalam kehidupan dan ajaran Âcariya Mun. Sejak hari pertama beliau ditahbiskan hingga hari beliau wafat, seluruh jalan hidup beliau dan contoh yang telah beliau berikan bagi para murid beliau ditunjukkan pada prinsip-prinsip yang tergabung dalam praktek ini. Beliau dihargai dengan menghidupkan kembali, membuat lebih hidup dan pada akhirnya memopulerkan tradisi dhutanga kammatthâna di Thailand. Melalui upaya sepanjang hidupnya, para bhikkhu dhutanga (atau para bhikkhu kammatthâna, keduanya dapat digunakan bergantian) dan model praktek yang mereka sertakan, menjadi dan masih tetap merupakan ciri khas menonjol gambaran Buddhis di sana. Âcariya Mun secara khusus dianugerahi sebagai seorang motivator dan guru. Banyak para bhikkhu yang dilatih secara langsung di bawah asuhan beliau menjadi terkenal dengan pencapaian spiritual mereka sendiri, menjadi guru-guru terkenal dengan kebenaran mereka sendiri. Mereka telah menyampaikan metode pengajaran khusus beliau kepada murid-murid mereka dalam garis silsilah yang berlanjut hingga saat ini. Sebagai hasilnya, cara pelatihan dhutanga kammatthâna secara berangsur-angsur menyebar di seluruh negeri, seiring dengan reputasi agung Âcariya Mun. Sambutan seluruh negara ini mulai meluas selama tahun-tahun terakhir dalam hidup beliau dan terus bertambah setelah wafatnya beliau sehingga beliau dianggap sebagai seorang suci nasional hampir dengan kesepakatan bulat. Pada dasawarsa baru-baru ini, beliau sudah dikenal hingga melampaui batas tanah air beliau, sebagai salah satu tokoh religius yang benarbenar hebat di abad ke-20. Kehidupan Âcariya Mun melambangkan ideal Buddhis bhikkhu pengembara yang bertujuan untuk peninggalan keduniawian dan keheningan, berjalan seorang diri melewati hutan dan gunung untuk mencari tempat terpencil yang menawarkan ketenangan tubuh dan pikiran, lingkungan yang hening untuk praktek meditasi dengan tujuan mengatasi semua penderitaan. Kehidupan beliau merupakan sebuah kehidupan yang hidup sepenuhnya di alam luar sept–nov 2007 | 43 bergantung pada elemen-elemen belas kasih dan cuaca alam. Dalam lingkungan semacam ini, seorang bhikkhu dhutanga mengembangkan sikap menghargai alam. Kehidupan sehari-harinya penuh dengan hutan dan gunung, sungai dan sungai kecil, gua, batu karang terjal yang bergantungan, dan binatang buas besar dan kecil. Beliau berpindahpindah dari tempat ke tempat dengan berjalan seorang diri sepanjang jalan setapak hutan belantara di daerah perbatasan terpencil di mana populasinya jarang dan komunitas desa terpisah jauh. Karena mata pencaharian beliau tergantung pada sedekah makanan yang beliau kumpulkan dari perkampungan kecil, seorang bhikkhu dhutanga tidak pernah mengetahui berasal dari mana makanan berikutnya, atau apakah akan memperoleh makanan. Di samping kesukaran dan keadaan yang berubah-ubah, hutan merupakan sebuah rumah bagi bhikkhu pengembara, hutan adalah tempat untuk belajar, hutan adalah tempat untuk berlatih, dan tempat perlindungan; dan hidup di sana menawarkan keamanan agar dia tetap waspada dan setia pada prinsipprinsip ajaran Sang Buddha. Hidup dan berlatih tanpa pendidikan secara relatif di pedalaman liar terbelakang yang merupakan sebagian besar daratan Thailand pada peralihan abad ke-20, seorang bhikkhu dhutanga 44 | sept–nov 2007 seperti Âcariya Mun mendapati dirinya berkelana melintasi abad —dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan keadaan pada zaman Sang Buddha 2500 tahun yang lalu. Adalah bermanfaat untuk dipahami, latar belakang sementara dan budaya cara hidup mengembara Âcariya Mun. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 Thailand merupakan sebuah persekutuan kerajaankerajaan yang terpecah-pecah di mana sebagian besar tidak dapat dikuasai oleh kekuasaan pusat karena hampir seluruh wilayahnya padat oleh hutan, dan jalan beraspal hampir tidak ada. Selama periode tersebut, 80% benua Thailand dipenuhi oleh hutan liar di mana hampir seluruh kayu pohon bertumbuh (berganti daun setiap tahun) dan subtropis tebal belukar. Kehidupan penduduk di wilayah pedalaman didukung dengan bertani dan berburu binatang buas. Padat oleh harimau dan gajah-gajah, hutan luas dianggap tempat yang berbahaya dan menakutkan, sehingga penduduk berkumpul bersama dalam komunitas desa yang menyediakan keamanan dan persahabatan (sosialisasi). Di wilayah perbatasan yang lebih terpencil, seperti perkampungan, satu tempat dengan yang lain sering berjarak satu hari perjalanan, mengikuti jalan kecil melintasi hutan-hutan. Hutan dan irama alam mendefini- sikan ciri-ciri cerita dongeng dan budaya bagi orang-orang yang tangguh. Bagi para penduduk yang tinggal dalam komunitas terisolasi, hamparan hutan belantara merupakan tempat terlarang, wilayah tidak ramah di mana binatang buas berkeliaran dengan bebas dan jin berhati dengki dikatakan dapat merasuki atau memengaruhi. Harimau-harimau Bengal yang besar berasal dari bagian dunia yang sangat menakutkan. Makhluk-makhluk seperti ini tidak hanya menguasai hutan-hutan, tetapi sepertinya juga menguasai ketakutan dan khayalan-khayalan penduduk setempat dan para bhikkhu. Ketakutan populer akan wilayah hutan yang tak dapat ditembus mengarahkan mereka pada tempattempat terisolasi dan sunyi dimana tidak ada seorang pun yang berani bepergian seorang diri. Di lingkungan hutan belantara terpencil inilah Âcariya Mun dan para bhikkhu dhutanga tinggal dan mengembara, berlatih jalan kehidupan pertapa. Praktek meditasi mereka dan mental yang tabah yang ditanamkan di dalam diri mereka merupakan satusatunya pertahanan mereka menghadapi kesukaran dan potensial bahaya yang mereka hadapi setiap harinya. Hujan dan gunung terbukti merupakan lahan berlatih bagi bhikkhu seperti ini, yang melihat diri mereka sendiri sebagai pejuang spiritual bertempur dengan kekotoran batin me- reka sendiri demi kemenangan akhir. Cerita riwayat hidup Âcariya Mun adalah potret hidup seorang pejuang spiritual sempurna tiada taranya di zaman modern. Beliau merupakan sosok yang bersungguh-sungguh berlatih di jalan Sang Buddha menuju kebebasan dengan kesempurnaan, di mana beliau meninggalkan mereka yang mengetahui dan memuja beliau tanpa ragu bahwa beliau benarbenar seorang murid yang mulia. Sebuah cerita indah dari awal hingga akhir, kehidupan beliau mengingatkan pada cerita terkenal sejarah para murid besar Sang Buddha di teks-teks kuno. Seperti mereka, hidup beliau menunjukkan pada kita bahwa jalan spiritual ideal yang telah diajarkan Sang Buddha ternyata dapat juga dicapai oleh manusia nyata yang berjuang melawan sept–nov 2007 | 45 rintangan fundamental yang sama, di mana kita menemukannya di dalam diri kita sendiri. Jadi kita merasakan bahwa jalan Sang Buddha di masa lampau demi menuju kebebasan spiritual ternyata seluruhnya relevan dengan saat ini, seperti halnya 2500 tahun yang lalu. Âcariya Mun memiliki kemampuan unik untuk berkomunikasi secara langsung dengan makhluk bukan manusia dari banyak keberadaan alam yang berbeda. Beliau secara berlanjut berhubungan dengan makhluk dari alam lebih tinggi dan lebih rendah dari alam-alam surgawi, roh dari alam bumi, näga-näga, yakkhayakkha, jenis-jenis hantu dan bahkan penghuni alam-alam neraka—semuanya yang tidak tampak oleh mata manusia dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia tetapi secara jelas diketahui dengan kemampuan kekuatan batin penglihatan 46 | sept–nov 2007 dan pendengaran (divine sight and divine hearing). Pandangan dunia menyeluruh yang mendasari ilmu semesta Buddhis sangat berbeda dari pandangan semesta fisik kasar yang diberikan kepada kita oleh ilmu pengetahuan jaman ini. Dalam gambaran Buddhis tradisional, alam semesta dihuni tidak hanya oleh makhluk fisik kasar yang meliputi manusia, hewan dunia, tetapi juga oleh berbagai golongan non-fisik, makhluk spiritual yang disebut deva, yang memiliki berbagai macam tingkatan, dan dengan berbagai golongan makhluk lebih rendah yang hidup di dalam bagian keberadaan alam manusia (sub-human realms of existence). Hanya dunia manusia dan hewan yang dibedakan oleh kemampuan indera manusia normal. Yang lainnya tinggal di sebuah dimensi spiritual yang ada di luar wilayah konsep ruang dan waktu manusia, dan oleh karena itu melampaui lapisan materi semesta seperti yang kita rasakan. Merupakan kehebatan Âcariya Mun, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan berbagai golongan makhluk hidup yang menjadikan beliau seorang guru yang sangat penting di seluruh semesta. Mengetahui bahwa makhluk-makhluk hidup di seluruh alam perasaan (sentient universe), berbagi warisan bersama dari kelahiran yang berulang, dan keinginan bersama untuk menghindari penderitaan dan memperoleh kebahagiaan, seorang guru besar menyadari kebutuhan mereka bersama untuk memahami jalan Dhamma dengan tujuan memenuhi potensi spiritual dan mencapai kebahagiaan abadi. Dengan mata kebijaksanaan, beliau tidak membuat perbedaan yang mendasar antara hati manusia dan hati para deva, tetapi menyelaraskan ajaran beliau untuk disesuaikan dengan keadaan khusus dan tingkatan pengertian mereka. Meskipun inti pesannya sama, media komunikasinya berbeda. Beliau berkomunikasi dengan manusia melalui media ucapan lisan, sementara beliau menggunakan komunikasi non-lisan, telepati dengan segala golongan makhluk non manusia. Untuk menghargai kemampuan luar biasa Âcariya Mun, kita harus siap untuk menerima bahwa dunia yang kita rasakan melalui indera hanya merupakan sebagian kecil dari kenyataan yang berdasarkan pengalaman, bahwa ada dunia spiritual deva dan brahma yang melampaui batasan kemampuan indera kita. Sebagai kebenaran, semesta bagi orang yang bijaksana jauh lebih luas daripada yang dirasakan oleh ratarata orang. Orang bijak dapat mengetahui dan memahami dimensi kenyataan di mana yang lain tidak akan menyangka keberadaannya, dan pengetahuan mereka akan prinsipprinsip yang mendasari semua kebe- radaan memberikan mereka pengetahuan yang mendalam pada fenomena dunia yang menentang batasan konvensional. Kekuatan perasaan sempurna dari Âcariya Mun menghubungkan berbagai macam fenomena eksternal yang tak terbatas, dan di dalam tradisi Buddhis yang terbaik, beliau menghabiskan amat banyak waktu dan energi berkaitan dalam pengajaran Dhamma bagi mereka. Makhluk-makhluk seperti ini merupakan bagian dari keberadaan dunia personal seperti hewan buas di hutan dan para bhikkhu yang beliau latih begitu tiada letih-letihnya. Dengan kebajikan dari keahlian beliau yang tiada bandingnya dalam hal ini, beliau selalu merasakan sebuah kewajiban khusus pada kesejahteraan spiritual mereka. Semacam fenomena yang oleh Âcariya Mun disebut “misteri hati”, bagi mereka makhluk sadar, hidup tinggal di dimensi spiritual yang sama nyatanya dengan yang kita tinggali, meskipun lapisan tersebut terletak di luar alam konsep keberadaan manusia. Kata ”hati” dan “pikiran” digunakan saling bertukar dalam bahasa daerah Thai. “Hati” sering merujuk pada istilah, sedangkan “pikiran” cenderung tidak mengikutsertakan dimensi emosional dan spiritual yang berhubungan dengan hati. Hati adalah mengetahui secara alami yang penting yang membentuk sept–nov 2007 | 47 fondasi dasar dari seluruh kemampuan merasakan alam semesta. Ini adalah kesadaran mendasar yang mendasari seluruh keberadaan yang sadar dan yang sangat dasar dari semua proses mental dan emosional. Hati membentuk inti di dalam tubuh dari semua makhluk hidup. Hati adalah pusat, unsur, inti utama di dalam tubuh. Secara konstan menekankan pada kepentingan tertinggi, Âcariya Mun selalu menegaskan bahwa hati adalah yang paling penting di dunia ini. Untuk alasan inilah, cerita kehidupan Âcariya Mun dan ajaran beliau adalah sebuah cerita tentang perjuangan hati untuk spiritual yang luar biasa dan sebuah pengungkapan misteri yang tak terkatakan dari intisari murni hati. Istilah Pâli, “citta” adalah sebuah kata yang sering digunakan Âcariya Mun saat menunjuk pada pengetahuan alami yang penting ini, seringkali dikenal sebagai hati dan pikiran. Seperti layaknya begitu banyak kata-kata dalam kamus Buddhis, ini adalah istilah teknis yang sangat penting digunakan khususnya dalam ilmu teori dan praktek Buddhis. (~) the relics Berikut ini adalah pecahan atau sisa-sisa tulang dari hasil kremasi tubuh jasmani Âcariya Mun yang mana telah bertransformasi menjadi semacam kristal relik dalam berbagai macam corak/warna yang tembus cahaya dan memiliki opasitas atau ketajaman warna yang berbeda-beda (dikatakan juga, relik beliau hampir menyerupai relik Sang Buddha). sumber Venerable Âcariya Mun Bhûridatta Thera - A Spiritual Biography By Âcariya Mahâ Boowa Ñânasampanno – http://www.forestdhammabooks.com/ 48 | sept–nov 2007 dawai 48 Jalan Jalan angkor wat Ada dua kompleks candi besar di Asia Tenggara. Satu terdapat di Bagan, Myanmar, dan satunya lagi di Angkor, Kamboja. Kompleks candi di Angkor yang sangat terkenal ini dinamai Angkor Wat (atau Angkor Vat). Meskipun Angkor Wat lebih dikenal sebagai situs Hinduisme, namun nuansa Buddhis di sana juga turut memperkenalkan dan menyedot banyak orang untuk datang berkunjung menikmati keanggunannya. sept–nov 2007 | 49 angkor wat dibangun pada masa pemerintahan Khmer pada rentang tahun 802 hingga 1220 Masehi. Candi ini dibangun untuk Raja Suryawarman II sebagai ibukota kerajaan pada masa itu. Candi terbesar dan yang paling terawat di kompleks ini telah menjadi pusat keagamaan Hindu dan Buddha yang sangat mencolok karena nuansa yang menjadi dasar pembangunan Angkor Wat. Candi ini adalah representasi gaya klasik arsitektur Khmer yang dikenal memiliki nilai intelektual yang tinggi. Angkor Wat juga merupakan simbol negara Kamboja, tampak dari bendera nasionalnya yang menggunakan gambar sketsa Angkor Wat. Selain itu, Angkor Wat juga menjadi daya tarik wisata utama di Kamboja. Angkor Wat menggabungkan dua plan dasar dari arsitektur Khmer, yaitu candi gunung dan candi teras (tangga). Kompleks candi ini didesain untuk merepresentasikan Gunung Meru, yang dikenal sebagai tempat tinggal para dewa dalam Hinduisme dan Buddhisme. Di sekeliling kompleks dibangun parit yang dipagari oleh tembok sepanjang 3,6 kilometer. Di dalamnya terdapat tiga candi teras berbentuk persegi yang saling bertum-puk satu dengan yang lain dan di tengahnya berdiri sebuah menara yang dikelilingi empat menara serupa yang lebih kecil. Angkor Wat diakui karena kebesaran dan harmoni arsitekturnya, seni pahatnya, dan sosok dewa-dewa yang menghiasi sebagian besar dinding-dinding di sana. 50 | sept–nov 2007 Angkor Wat dilihat dari ketinggian Sejarah A N G KO R WAT D I P E TA Angkor Wat terletak pada posisi paling selatan di antara candi-candi lainnya yang ada di Angkor. KLASIK Gambar Angkor Wat yang diambil pada tahun 1866 oleh Emile Gsell Sebenarnya Angkor Wat dibangun sebagai persembahan kepada Dewa Wisnu (dewa paling terhormat dalam Hinduisme) dan juga sebagai ibukota sekaligus istana kerajaan. Dari semua catatan naskah kuno dan sumbersumber lainnya, tidak ditemukan nama asli dari bangunan ini. Namun pernah disebutkan bahwa nama asli Angkor Wat adalah Vrah Vishnulok. Angkor Wat terletak sekitar 5,5 km di sebelah utara kota modern Siem Reap, dan di sebelah selatan Baphuon (ibukota terdahulu). Pembangunan Angkor Wat sepertinya selesai pada masa sekitar kematian Raja Suryawarman II, namun ada beberapa gambar relif yang belum terselesaikan. Pada tahun 1177, Angkor Wat dirampok dan dirusak oleh tentara Chams, musuh tradisional kerajaan Khmer. Namun kemudian, kerajaan dapat diperbaiki kembali oleh raja baru, Jayawarman VII, yang juga membangun ibukota baru dan candi nasional Angkor Thom dan Bayon, beberapa kilometer di sebelah utara Angkor Wat. Pada abad ke-14 atau ke-15, Angkor Wat diorientasikan sebagai candi Buddha Theravâda, dan masih berlanjut sampai sekarang. Tidak seperti candicandi lainnya di Angkor, Angkor Wat pernah hampir terabaikan pada abad ke-16, namun tidak pernah benarbenar dilupakan, karena itu, Angkor Wat masih ada hingga saat ini. Pada zaman dulu, bangunan ini dikenal dengan nama Preah Pisnulok. Nama sept–nov 2007 | 51 SAKRAL Bendera nasional Kamboja yang memuat gambar Angkor Wat 'Angkor Wat' mulai digunakan pada abad ke-16, yang berarti 'Candi Negara'. Kata angkor, dari bahasa daerah nakor, berasal dari bahasa Sansekerta nagara (negara), sedangkan kata wat adalah kata dari bahasa Khmer yang artinya candi. Salah satu pengunjung pertama dari Barat ke Angkor Wat adalah Antonio da Magdalena, pada tahun 1586. Biarawan berkebangsaan Portugal ini mengatakan bahwa Angkor Wat adalah sebuah bangunan yang menakjubkan, yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, dan bangunan ini tidak ada duanya di dunia. Seorang penjelajah Prancis bernama Henri Mouhot yang berjasa memopulerkan Angkor Wat di dunia Barat lewat catatan perjalanannya pada pertengahan abad ke-19. Mouhot sempat tidak percaya bahwa orang Khmer mampu membuat bangunan seperti Angkor Wat. Angkor Wat pun memerlukan perbaikan di sana sini, terutama memindahkan gundukan tanah dan tanaman yang mengganggu yang memenuhi bangunan itu. Pada abad ke-20, proses restorasi Angkor Wat terganggu oleh perang sipil dan kemudian Khmer Merah mengambil alih pemerintahan Kamboja pada tahun 1970-an. Pada masa itu, kerusakan yang dialami Angkor Wat relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan situs-situs lainnya di Angkor. Pada bulan Januari 2003, sempat terjadi kericuhan yang disebabkan oleh beredarnya rumor seorang aktris Thailand mengklaim bahwa Angkor Wat adalah kepunyaan Thailand. 52 | sept–nov 2007 D E N A H A N G KO R WAT Arsitektur Angkor Wat adalah sebuah contoh paling awal gaya arsitektur Khmer—gaya Angkor Wat. Pada masa pembangunannya, para arsitek Angkor Wat sudah yakin untuk menggunakan batu pasir (daripada batu bata) sebagai materi utama bangunan. Desain Angkor Wat dipuji di antara yang lain karena harmonisasinya, yang sering dibandingkan dengan arsitektur bangunan Romawi dan Yunani kuno. Menurut Maurice Glaizer, seorang konservator Angkor Wat di pertengahan abad 20, Angkor Wat mencapai sebuah kesempurnaan klasik karena proses pengerjaan yang mengagumkan dari penyusunan elemenelemennya dan ketepatan penataan proporsi bangunannya. Itu semua merupakan gabungan dari kekuatan, kesatuan, dan corak budaya. Secara arsitektural, karakteristik elemen dari bangunan candi terdiri dari ogival (sebuah struktur kubah dengan dua kerangka diagonal yang saling menyilang pada bagian tengahnya), menara yang berbentuk seperti kuncup bunga teratai, teras-teras sebagai tempat berjalan, terasteras dengan struktur menyilang yang menghubungkan tanah berpagar, yang dapat ditemukan di sepanjang kerangka utama kompleks. Sebagian besar area di sana terbuat dari bongkahan batu pasir. Pada umumnya, elemen dekoratif dari candi adalah relif bergambar sosok dewa-dewa. Patung-patung yang terdapat di sana sangat dijaga, tampak lebih indah dibanding pada saat awal perbaikan candi. sept–nov 2007 | 53 Struktur Angkor Wat adalah sebuah kombinasi unik dari candi gunung—desain standar untuk candi kerajaan, stuktur teras yang bertangga dan konsentris. Angkor Wat merepresentasikan Gunung Meru, tempat tinggal para dewa, dengan menara-menara di tengah kompleks menyimbolkan lima puncak gunung, dan tembok-tembok serta parit di sekelilingnya melambangkan pegunungan dan samudera. Tidak seperti candi-candi yang lainnya di Angkor, candi Angkor Wat menghadap ke arah barat, bukan ke timur. Hal ini menguatkan pendapat bahwa Angkor Wat dulunya dibangun oleh Suryawarman sebagai candi untuk pemakaman beliau, selain adanya bukti gambar relif di sana yang dibuat dengan urutan terbalik. Dalam kepercayaan Hindu, ritual pemakaman dilakukan dalam urutan yang berkebalikan dengan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh kaum Brahmana. KERANGKA MODEL A N G KO R WAT Tidak seperti candi-candi yang lainnya di Angkor, candi Angkor Wat menghadap ke arah barat, bukan ke timur. 54 | sept–nov 2007 Pagar Luar Angkor Wat dikelilingi oleh tembok yang tingginya 4,5 meter dan parit besar yang lebarnya 190 meter. Jalan utama memasuki kompleks candi adalah melalui sebuah jalan yang terbuat dari batu yang melintasi parit. Jalan ini dibangun menggantikan jembatan dari kayu yang merupakan jalan masuk pada masa awal berdirinya Angkor Wat dulu. Tembok yang mengelilingi kompleks candi menutupi area seluas 820 ribu meter persegi. Sebagian besar dari area tersebut sekarang tertutupi oleh hutan. Kumpulan candi terletak pada bagian pusat kompleks. Bangunan candi berdiri pada struktur yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Struktur ini terdiri dari tiga buah teras yang bertumpuk, dan tepat di tengahnya berdiri menara pusat. Pada tepi tiap teras mempunyai bangunan menyerupai piramida, dan pada dua teras teratas terdapat menara-menara pada tiap sudutnya. Pada tiap sudut teras terluar terdapat bangunan seperti paviliun yang di bagian dinding-dindingnya memuat relif-relif bergambar cerita mitologi Hindu. Pada bagian barat dari teras terbawah yang berhubungan dengan pagar dalam, terdapat struktur bangunan berbentuk seperti salib, yang dikenal dengan nama Preah Poan (Ruang Seribu Buddha). Pada dinding-dindingnya dapat ditemukan gambar-gambar Buddha. Gambar-gambar ini dibuat oleh para peziarah selama berabad-abad, namun sebagian telah dihapus sekarang. Dalam bangunan ini juga ditemukan banyak naskah kuno yang berisi catatan para peziarah, yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Khmer, dan ada juga yang ditulis dalam bahasa Myanmar dan Jepang. Di sebelah selatan dan utara bangunan ini terdapat perpustakaan. Menara pusat Angkor Wat memiliki tinggi 43 meter di atas permukaan tanah dan bagian yang terdapat di dalam tanah panjangnya 65 meter. Menara ini awalnya merupakan tempat suci yang memuat patung Dewa Wisnu, dengan keempat sisinya yang terbuka. Namun keempat sisi ini kemudian ditutupi oleh tembok ketika Angkor Wat diubah menjadi candi Buddhis. Sekarang pada dinding-dinding tersebut terdapat relif Buddha dalam posisi berdiri. Pada tahun 1934, seorang konservator yang bernama George Trouvé menggali terowongan di bawah menara pusat, mengisinya dengan pasir dan air, dan tanpa sengaja menemukan lembaran emas di sana, dua meter di atas bagian dasar tanah. sept–nov 2007 | 55 Angkor Wat Sekarang Sejak 1990, Angkor Wat telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam hal usaha konservasi dan peningkatan kuantitas turis. Pada tahun 1992 berdiri Angkor World Heritage Site, sebuah organisasi yang mengumpulkan dana untuk mendukung pemerintah Kamboja melindungi Angkor Wat. Ada juga GACP (German Apsara Conservation Project) yang bekerja melindungi relif-relif yang menghiasi dinding-dinding candi, dari kerusakan. Organisasi ini menemukan bahwa sekitar 20% dari relif di Angkor Wat dalam keadaan rusak yang sangat parah, kebanyakan disebabkan oleh erosi alam, namun sebagian juga terjadi pada saat proses restorasi awal. Beberapa usaha juga dilakukan untuk memperbaiki bagianbagian yang runtuh dan mencegah keruntuhan di kemudian hari, misalnya pada bagian depan dari tingkat atas candi telah dibangunkan penopang di bawahnya sejak 2002. Beberapa tenaga ahli dari Jepang menyelesaikan restorasi pada perpustakaan utara di luar pagar utama pada 2005. Angkor Wat telah menjelma menjadi tujuan utama dari wisatawan dari seluruh dunia, meski promosi mengenai bangunan ini sangat minim, namun pada 2004, Kamboja mengklaim bahwa Angkor Wat telah menerima kunjungan lebih dari satu juta wisatawan internasional. Turisme juga ikut andil menyumbang dana bagi pemeliharaan Angkor Wat—sekitar 28% dari penjualan tiket masuk dialokasikan untuk dana konservasi candi—meski sebagian besar dana masih disokong oleh pihak asing. Hmm, Candi Borobudur pun seharusnya bisa seperti Angkor Wat, jika saja kita semua mau peduli... sumber 1. –http://en.wikipedia.org/wiki/Angkor_Wat 2. –http://www.sacredsites.com/asia/cambodia/angkor_wat 56 | sept–nov 2007 dawai 48 Liputan sejuta pelita sejuta harapan untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu tiga tahun, event Sejuta Pelita Sejuta Harapan (SPSH) kembali digelar oleh umat Buddhayana Indonesia. Kegiatan berskala nasional ini dihelat sebagai bentuk usaha memperkenalkan budaya Buddhisme, sekaligus dalam rangka memperingati hari suci Asadha 2551 BE. Namun tujuan utama SPSH adalah memanjatkan doa bersama bagi keselamatan dan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. Suatu bentuk kesadaran yang wajar mengingat kondisi negara ini yang masih belum stabil di tengah bertubi-tubinya bencana yang terjadi tahun ini. Satu hal yang istimewa, SPSH digelar di Tugu Pahlawan Surabaya, sebuah tempat yang memiliki nilai historis tinggi dan telah menjadi kebanggaan bagi warga Surabaya. Pemilihan tempat ini tentu saja menambah semarak SPSH. Sesuai dengan nama kegiatan ini, SPSH merupakan sebuah semi-festival yang menggunakan pelita sebagai pertunjukan utamanya. Pelita adalah simbol penerangan yang memberi jalan bagi kebaikan dan kedamaian. Pelita yang dipakai berupa sumbu berbahan bakar minyak tanah yang ditempatkan dalam sept–nov 2007 | 57 botol kaca. Karena keterbatasan area di Tugu Pahlawan, maka pelita yang disediakan hanya berjumlah sekitar 20.000 buah. Sekadar info, pada penyelenggaraan SPSH yang pertama di Candi Borobudur, pelita yang digunakan konon mencapai satu juta buah. Untuk menyiapkan pelita sebanyak ini, tentu saja diperlukan tenaga sukarelawan dalam jumlah yang besar. Pihak panitia kemudian mengajak para pemuda pemudi Buddhis yang sebagian besar adalah mahasiswa, untuk menjadi sukarelawan. Kebanyakan dari para sukarelawan mengaku bahwa mereka sangat senang dapat menjadi bagian dari SPSH, apalagi event ini berskala nasional dan mem-punyai misi memromosikan Buddhisme. Puncak acara SPSH berlangsung sekitar pukul 8 malam. Satu persatu pelita mulai dinyalakan oleh para sukarelawan. Sebagian pelita ditempatkan di sela-sela tempat duduk para undangan, sebagian lagi dideretkan di pinggir area acara, dan yang paling banyak adalah pelita yang ada di dekat panggung utama. Pelita-pelita itu tampak indah karena ditata sedemikian rupa membentuk tulisan-tulisan dan simbol-simbol. Setelah seluruh pelita menyala, para pemuka agama dari lima agama bergantian memanjatkan doa dengan cara mereka masing-masing, yang kesemuanya ditujukan bagi keselamatan bangsa. Suasana pada saat itu terasa tenang dan damai. Para undangan pun ikut larut dalam kesungguhan dan kekhidmatan doa. Ritual pradaksina menjadi penutup rangkaian acara SPSH. Ritual ini mengajak seluruh umat berjalan mengelilingi rupang (patung) Sang Buddha yang ada di panggung sebanyak tiga kali, sembari merenung-kan kebajikan dan keluhuran Beliau. SPSH tampak menjadi ajang reuni bagi para tokoh Buddhis Surabaya dan nasional, serta para pemuda pemudi Buddhis dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya. Di SPSH, masyarakat Buddhis seolah-olah ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa rukun, kompak, dan bersatu padu. Sebuah kenyataan yang menyejukkan dan semoga ini hanyalah awal dari masa depan cerah kiprah Buddhisme di tanah air. Sampai jumpa lagi dalam event akbar berikutnya. (~) 58 | sept–nov 2007 dawai 48 Pandegiling News sebulan dalam dhamma 2007 sebulan dalam dhamma (sdd) adalah kegiatan tahunan yang diadakan oleh Vihara Dhammadipa Surabaya untuk menyambut Trisuci Waisak. Kegiatan seperti ini juga dilakukan oleh wihara-wihara lainnya di seluruh Indonesia, dan biasanya setiap wihara mempunyai cara tersendiri dalam mengemas kegiatan semacam ini. Vihara Dhammadipa meneruskan tradisi SDD sejak tahun 2002 dengan mengadakan Sebulan Dalam Dhamma ke-6 tahun 2007 selama sebulan penuh dari tanggal 1 Mei hingga 31 Mei yang lalu. SDD kali ini diisi oleh para pembicara yang sebagian besar terdiri dari anggota Sangha seperti YM Abhayanando, YM Sucirano, YM Sukhito, YM Candakaro, YM Sujano, YM Dhammiko, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga beberapa pandita dan upacarika yang turut berpartisipasi dalam SDD keenam ini. Mengacu pada tema Waisak yang lalu, yaitu 'Kehadiran Buddha Sebagai Sumber Ketegaran dan Kepedulian', secara garis besar topik setiap Dhammadesana mengajak kita semua untuk terus mengembangkan kesadaran dalam hidup sehari-hari demi meningkatkan kepekaan kita terhadap fenomena sosial di sekeliling kita. SDD diadakan setiap malam, kecuali hari Minggu diadakan pada pagi hari. Selain membacakan paritta dan mendengarkan Dhammadesana, para umat juga diberi kesempatan untuk melakukan latihan delapan sila (Atthasîla) selama sebulan penuh. (~) sept–nov 2007 | 59 dawai 48 Kisah Blackie Sang Nenek pada suatu waktu di zaman dahulu kala, ketika raja Brahmadatta berkuasa di Benares, hiduplah seorang wanita tua yang mempunyai seekor anak sapi dengan tubuh berwarna gelap. Sesungguhnya, warna anak sapi itu adalah hitam dengan sebuah bintik besar putih. Anak sapi itu ternyata adalah seorang Bodhisattâ–calon Buddha. Si wanita tua tersebut merawat dan membesarkan anak sapi itu sama seperti beliau merawat anak kandungnya sendiri. Beliau memberinya makanan nasi dan bubur dari bahanbahan terbaik. Beliau sering mengelus kepada dan leher si anak sapi, dan kemudian anak sapi itu menjilati tangan beliau. Mereka berdua menjadi kian akrab, dan orang-orang mulai memanggil si anak sapi dengan nama "Blackie Sang Nenek". 60 | sept–nov 2007 Bahkan setelah si anak sapi tumbuh menjadi seekor banteng besar yang kuat, Blackie masih bersikap sangat jinak dan kalem. Anak-anak di desa sangat senang bermain bersama Blackie. Mereka kerapkali bergelantungan di leher, telinga, dan tanduk Blackie. Mereka juga bahkan suka memegang ekornya dan menaiki punggungnya dan kemudian menunggangi Blackie. Blackie sangat menyukai anak-anak sehingga dia tidak pernah protes ataupun mengeluh. Sapi yang ramah ini berpikir, "Nenek yang baik, yang telah membesarkanku, sudah seperti ibuku sendiri. Beliau merawatku seperti anaknya sendiri. Beliau hidup miskin dan kesusahan, tapi terlalu sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Beliau tidak tega menyuruhku bekerja. Karena aku juga menyayangi beliau, aku berharap bisa meringankan beban beliau dari kemiskinan." Maka kemudian, Blackie mulai mencari pekerjaan. Suatu hari, sebuah rombongan yang terdiri dari 500 kereta gerobak datang ke desa. Rombongan itu terhenti di sebuah tepi sungai. Mereka tampaknya sangat kesulitan menyeberangi sungai itu. Banteng-banteng yang menariki gerobak tidak mampu menarik gerobak melewati sungai. Pemimpin rombongan kemudian memindahkan ke-500 ekor pasang banteng ke satu gerobak untuk ditarik. Namun karena medan sungai tersebut sangat berat, bahkan 500 ekor pasang sapi pun tidak mampu menari satu gerobak. Dihadapi oleh masalah ini, si pemimpin mulai berusaha mencari banteng-banteng lain. Si pemimpin kebetulan terkenal pandai memilih banteng berkualitas. Pada saat memeriksa kawanan gembala di sekitar desa, dia menemukan Blackie. Saat itu juga dia berpikir, "Banteng yang bersahaja ini kelihatannya punya kekuatan dan potensi untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi sungai." Kemudian si pemimpin berbicara kepada penduduk yang ada di dekat sana, "Siapa yang memiliki banteng hitam ini? Saya ingin memakainya untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi sungai, dan saya akan membayar pemiliknya untuk jasa banteng itu." Penduduk di sana berkata,"Baiklah, silakan bawa banteng itu. Pemiliknya sedang tidak ada di tempat." sept–nov 2007 | 61 Maka dari itu, si pemimpin mengikatkan sebuah tali ke hidung Blackie. Namun ketika ia menariknya, ia tidak dapat menggerakkan Blackie! Blackie berpikir, "Hanya jika orang ini mengatakan apa yang akan ia bayar untuk kerjaku, baru aku akan bergerak." Karena sudah terbiasa dengan perangai banteng, si pemimpin dengan cepat dapat mengerti kenapa Blackie tidak mau ditarik. Maka kemudian dia berkata, "Banteng yang baik, setelah kamu menarik 500 gerobakku menyeberangi sungai, saya akan membayarmu dua koin emas untuk setiap gerobak–tidak hanya satu, tapi dua koin!" Mendengar itu, Blackie segera berjalan ke arah sungai bersama si pemimpin. Kemudian si pemimpin mengikatkan Blackie ke gerobak pertama. Ia mulai mengatur penyeberangan gerobak-gerobak-nya, yang tidak mampu dilakukan seribu banteng sebelumnya. Apa yang terjadi kemudian, Blackie mampu menarik semua gerobak menyeberangi sungai satu persatu, tanpa jeda, dan tanpa perlambatan sedikit pun! Pada saat semua gerobak sudah menyeberang, si pemimpin menyiapkan bayaran hanya satu koin emas untuk satu gerobak, total 500 koin emas. Kemudian ia menggantungkan kantung yang berisi koin-koin emas ke leher Blackie. Blackie langsung berpikir, "Laki-laki ini menjanjikan dua koin emas per gerobak, tapi ia hanya memberiku separuhnya saja. Aku tidak akan membiarkannya pergi." Kemudian Blackie pergi ke depan kumpulan gerobak, dan menutupi jalan mereka. Si pemimpin mencoba mendorong Blackie untuk minggir, namun Blackie tidak bergerak. Ia mencoba mengambil jalan ke samping. Namun banteng-banteng yang lain sudah melihat betapa kuatnya si Blackie, jadi mereka juga tidak mau bergerak. Si pemimpin berpikir, "Tidak diragukan lagi, banteng ini sangat cerdas. Ia bisa tahu kalau aku hanya membayarnya separuh dari janjiku." Maka si pemimpin menyiapkan kantung baru berisi seribu koin emas penuh, dan menggantungkannya ke leher Blackie. 62 | sept–nov 2007 Setelah meninggalkan rombongan gerobak dan menyeberangi sungai kembali, Blackie pergi menemui si Nenek, 'ibunya'. Sepanjang perjalanan pulang, anak-anak di desa mencoba menjamah kantung koin di leher Blackie, namun Blackie dapat lolos. Ketika si Nenek melihat kantung besar di leher Blackie, beliau terkejut. Anak-anak menceritakan tentang semua yang telah terjadi di sungai. Kemudian beliau membuka kantung itu dan menemukan seribu koin emas di dalamnya. Si Nenek melihat wajah kelelahan 'anaknya'. Beliau berkata, "Oh anakku, apakah kau berpikir saya berharap hidup dari emas yang kau terima? Mengapa kau berharap untuk bekerja begitu keras dan menderita karenanya? Tidak peduli sesulit apa pun nanti keadaanku, saya akan selalu memperhatikan dan menjagamu." Kemudian wanita tua yang baik itu memandikan banteng kesayangannya dan memijat punggungnya dengan minyak. Beliau memberinya makanan yang baik dan menjaganya, sampai akhir hidup mereka yang bahagia. (~) sumber Grandma's Blackie Buddhist Tales for Young and Old –http://www.buddhanet.net sept–nov 2007 | 63 dawai 48 Resensi Buku 1 petavatthu 2 Cerita-cerita Makhluk Peta 3 adalah hal yang sangat baik untuk dapat memiliki cinta kasih dalam diri; kualitas terbaik yang bisa kita bagikan tidak hanya kepada manusia saja, tapi juga kepada makhluk-makhluk lainnya yang tak tampak yang berada di seluruh semesta, terutama kepada para makhluk yang terlahir di alam Peta. Membaca buku Petavatthu ini, yang juga merupakan salah satu bagian dari Kitab Suci Agama Buddha, yaitu Khudakka Nikaya (Sutta Pitaka, Tipitaka), kita dapat mengetahui dan merenungkan mengapa ada yang terlahir sebagai makhluk Peta; perbuatan seperti apa yang membawa mereka ke alam itu, dan bagaimana pula kita dapat membantu mereka agar terlahir di alam yang lebih bahagia—bagaimana memanfaatkan pengetahuan Dhamma untuk dapat mengasihi mereka. Dengan memancarkan cinta kasih seperti yang telah Guru Agung kita ajarkan, sesungguhnya sangat besar artinya bagi para makhluk Peta tersebut, karena mereka dapat menikmati jasa-jasa kebajikan yang ditujukan bagi mereka; penderitaan hebat yang mereka alami sedikit demi sedikit dapat berubah menjadi kebahagiaan karena menikmati jasa kebajikan tersebut. Buku yang terbagi menjadi 3 seri dengan judul asli Peta Stories ini: Petavatthu I-III, adalah buku yang layak kita miliki dan kita baca hingga tuntas, agar kewaspadaan kita meningkat terhadap apa yang kita perbuat melalui badan jasmani dan pikiran dalam kehidupan saat ini sehingga tidak terlahir di alam-alam tingkat rendah. (~) 64 | sept–nov 2007 dawai 48 Resensi Buku sebatang pohon di tengah hutan "Orang-orang sering bertanya tentang latihan saya. Bagaimana saya mempersiapkan pikiran saya untuk bermeditasi? Tidak ada sesuatu yang khusus, saya hanya mempertahankannya pada tempat yang selayaknya. Mereka bertanya, 'Kalau demikian, apakah Anda seorang Arahat?' Apakah saya mengetahui? Saya bagaikan sebatang pohon di tengah hutan, yang penuh dengan daun, bunga, dan buah. Burung-burung beterbangan datang dan bersarang, dan hewan-hewan berlindung di antara kerimbunannya. Walaupun demikian, pohon itu sendiri tidak mengetahuinya. Pohon tersebut hanya mengikuti jalur alaminya. Pohon itu bertindak sebagai pohon, apa adanya." Kemahiran Ajahn Chah dalam menyampaikan Dhamma Sang Buddha tidak perlu diragukan lagi. Ajahn Chah memiliki kemampuan yang terdengar aneh untuk menangkap Dhamma tanpa kata dan mengalihkannya kepada umatnya dalam perumpamaan yang segar, mudah diikuti, terkadang lucu, kadang puitis, tetapi selalu mendapat tempat di hati, tempatnya bergema atau memberikan inspirasi yang paling mendalam. Bagi beliau, ajaran-ajaran Sang Buddha (Dhamma) adalah tanpa bentuk, dan cara terbaik untuk memahaminya adalah melalui perumpamaan-perumpamaan. Ven. Ajahn Chah (Tan Chao Khun Bohinyana Mahâthera) adalah seorang guru meditasi yang sangat terkenal di Thailand. Beliau telah meninggal dunia pada tanggal 16 Januari 1992 dalam usia 73 tahun. Apa yang beliau sampaikan, kebenaran yang merupakan hasil meditasi, telah memberikan kegembiraan bagi banyak orang yang mau dan dapat menghayatinya. Buku ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya koleksi buku yang ditulis oleh Ajahn Chah, yang telah dicetak berulang kali dan dihadirkan ke hadapan kita untuk membuka penglihatan kita akan Dhamma. (~) sept–nov 2007 | 65 dawai 48 Rekomendasi dasar pandangan agama buddha Kamma Kembali kami hadirkan Dasar Pandangan Agama Buddha sebagai buku rekomendasi kali ini. Hal ini karena tak sedikit dari kita yang masih belum mengenal ajaran Guru Agung yang dijunjungnya secara lebih mendalam. Buku ini menawarkan sisi intelektual, etika, kejiwaan, dan realisasi ajaran Buddha dalam bahasa yang mudah dimengerti, namun mengandung arti yang dalam dan relevan hingga saat ini. Untuk memperolehnya, Anda dapat menghubungi Bursa Dhammadipa, seharga Rp 30.000. Untuk pembelian seharga Rp 100.000, Anda berkesempatan memiliki 4 (empat) buku. 66 | sept–nov 2007 "Bila seseorang berkata, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang diperolehnya, maka bila hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah berarti sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan. Tapi bila seorang berkata, bahwa bila seorang berbuat demi apa yang akan diperolehnya, lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti, sebab ada kesempatan untuk menghancurkan penderitaan." Jadi, hukum kamma adalah sesuatu yang menyangkut kecenderungan, bukan suatu konsekuensi yang tak dapat diubah serta tak dapat dielakkan. bergairah (adhitana), senantiasa bertekad (tibbacchanda), dan mempunyai cita-cita yang kuat untuk mencapai Nibbana (chandajato anakkate). Jalan Mulia Beruas Delapan Sang Buddha mengajarkan menghindari 2 jalan ekstrim, jalan “pemuasan-diri” dan jalan “pemusnahan-diri”. Seorang buddhis hendaknya melaksanakan Jalan dengan moderat (mattaññuta), luwes (mudu) dan disertai kemauan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang lain. Dalam setiap aspek kehidupan dan pelaksanaannya, seorang buddhis hendaknya menjadi seorang yang mengambil jalan tengah yang bahagia. Kelahiran Kembali Henry Ford: "...Sewaktu saya menemukan paham reinkarnasi, rasanya seakan saya menemukan suatu rencana alam-semesta. Saya sadar bahwa selalu ada kesempatan untuk melaksanakan ide-ide saya... Dengan mengetahui adanya reinkarnasi, membawa ketenangan batiniah bagi saya..." Jalan Berunsur Delapan menuntun ke Nibbâna Empat Kebenaran Mulia Inti dari seluruh ajaran Sang Buddha adalah Empat Kebenaran Mulia. Penderitaan bukan suatu paham; itu adalah kenyataan. Ia juga bukan sesuatu yang diterima keberadaannya hanya karena terdapat dalam kitab suci, tapi sesuatu yang kita ketahui lewat pengalaman sendiri. Sang Buddha mengajarkan perbedaan antara keinginan yang tumbuh dari ketidaktahuan dan keinginan yang timbul atas dasar pengertian. Beliau sering berkata, bahwa kita seharusnya senantiasa Mereka yang menjalani Jalan hendaknya menghindari hal yang ekstrem Dana dapat dikirimkan via rekening: BCA Margorejo Surabaya A/n Yulianti acc. no. 5600-120-818 Bukti transfer dapat dikirim via fax. ke no. 031.532 0587 dawai 48 Film Bagus driving miss daisy mrs. ("miss) daisy werthan adalah seorang janda berusia 72 tahun yang tinggal bersama pembantunya yang setia bernama Idella yang setiap hari menyiapkan makanan dan melayani Miss Daisy. Pada suatu hari Miss Daisy mengalami kecelakaan kecil saat ingin berpergian dengan mengendarai mobil. Miss Daisy memang sudah terbiasa pergi mengendarai mobil sendiri. Setelah kecelakaan itu, anaknya, Boolie meminta Miss Daisy untuk mempekerjakan seorang supir. Namun dasar keras kepala, Miss Daisy menolak mentahmentah keinginan anaknya itu. Secara kebetulan, di pabrik milik Boolie ada seorang pria paruh baya yang ramah bernama Hoke yang telah berpengalaman menjadi supir selama puluhan tahun. Boolie pun langsung setuju mempekerjakan Hoke, dengan perjanjian bahwa Miss Daisy tidak berwenang untuk memecat Hoke karena Boolie-lah yang membayar Hoke. Pada awalnya Miss Daisy menolak untuk diantar Hoke. Dia lebih memilih berjalan kaki ke supermarket untuk berbelanja. Namun karena Hoke terus mengikuti Miss Daisy di sepanjang jalan, akhirnya Miss Daisy masuk ke dalam mobil. Miss Daisy sebenarnya tidak mau orang-orang berpikiran bahwa ia adalah orang kaya yang mampu membayar seorang supir untuk bepergian. Pada suatu hari, Miss Daisy mendapati ikan kaleng di dapurnya lenyap. Ia pun langsung mengatakan kepada anaknya bahwa Hoke telah mencuri. Ketika Hoke muncul, sebelum Miss Daisy sempat berkata-kata, Hoke mengatakan bahwa ia mengambil ikan kaleng di dapur karena makanan yang diberikan oleh Miss Daisy sudah rusak. sept–nov 2007 | 67 Driving Miss Daisy (1989) starring written by directed by running time 68 Morgan Freeman Jessica Tandy Dan Aykroyd Esther Rolle Alfred Uhry Bruce Beresford 99 min. | sept–nov 2007 Kemudian Hoke berkata bahwa ia pergi ke supermarket untuk membeli ikan kaleng untuk mengganti ikan kaleng yang telah ia makan, dengan uangnya sendiri. Miss Daisy sangat terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa. Miss Daisy mulai menerima Hoke karena mau tidak mau ia memerlukan seorang supir untuk mengantarnya bepergian, mengingat Miss Daisy tidak diizinkan mengendarai mobil oleh anaknya. Seiring waktu, Miss Daisy semakin mengenal Hoke dan karena keramahan Hoke, ia mulai menaruh simpati pada Hoke. Miss Daisy mengetahui bahwa Hoke tidak bisa membaca, maka ia mengajari Hoke membaca. Ketika saatnya tiba untuk membeli mobil baru, Hoke membeli mobil Miss Daisy yang lama untuk dijadikan mobil pribadinya. Suatu hari, Miss Daisy meminta Hoke untuk mengantarnya ke pesta ulang tahun saudaranya di luar kota. Dalam perjalanan, Hoke mengaku bahwa itu pertama kalinya ia bepergian ke luar kota. Selama perjalanan itu juga, Miss Daisy menyadari adanya perbedaan perlakuan orang-orang terhadapnya, karena ia bersama Hoke. Miss Daisy melihat sendiri bagaimana orang-orang melakukan diskriminasi terhadap Hoke karena Hoke adalah orang kulit hitam. Miss Daisy juga sangat terkesan oleh berbagai macam kemampuan yang dipunyai Hoke. Pada saat terjadi badai, Hoke dengan sigap membantu dan menjaga Miss Daisy. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita petik dari film ini, bahwa bagaimana pun perlakuan orangorang terhadap kita, selama kita tetap memberikan kebaikan dan ketulusan, suatu saat nanti mereka pasti akan tersentuh dan membalas apa yang telah kita berikan. Pada akhir film, setelah beberapa tahun kemudian, Miss Daisy dan Hoke tetap menjalin persahabatan, dan Hoke masih tetap setia menjaga Miss Daisy. (~) dawai 48 Do You Know mengapa kita harus memaafkan? Ketika kita disakiti, menderita, dihina dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan lainnya dari orang lain, kita akan merasa sedih, marah, sakit hati, dan segala macam perasaan yang tidak menyenangkan dalam diri kita. Dan tentunya hal ini tidak begitu mudah dilupakan bukan? dalam mengalami kondisi seperti ini nasehat bijaksana yang dianjurkan kepada kita adalah memaafkan perbuatan orang tersebut. Tetapi rasanya sangat sulit sekali melakukannya bukan? Rasanya tidak rela bila melihat sang pelaku bisa melenggang dari kesalahan tanpa dibalas. Ah… berat rasanya dada ini bila mengingat kembali kejadian tidak menyenangkan tersebut. Meskipun kita dalam ucapan mengatakan maaf tetapi terkadang rasa dendam masih membekas dalam pikiran kita, susah untuk dihapuskan, sudah menjadi noda yang melekat dalam ingatan kita. Tahukah Anda mengapa kita harus memaafkan semua perbuatan tidak menyenangkan yang kita alami? Sebenarnya memaafkan adalah untuk kebaikan kita sendiri, untuk kebahagiaan kita sendiri kawan. Cobalah kita melihat secara lebih obyektif apa yang terjadi saat seseorang membuat kita merasa tidak senang dan merasa disakiti? Segala macam kondisi yang tidak menyenangkan akan membuat diri kita menderita bukan? Ini adalah fakta bahwa kejadian tersebut membuat kita menderita. Bila saat itu kita menderita mungkin masih bisa diterima akal sehat, karena kita masih sept–nov 2007 | 69 sedang mengalaminya. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Dalam kurun waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian ketika kita teringat kembali akan kejadian tersebut atau melihat orang yang melakukan hal tersebut maka muncul penderitaan yang sama dengan kejadian saat lampau itu. Marilah kita lihat secara obyektif. Pada saat kita bertemu dengan orang yang menyakiti kita dan saat ingatan tentang kejadian tersebut muncul dalam pikiran kita, maka rasa sakit dan semua penderitaan akan muncul kembali dalam diri kita. Melihat kejadian ini kita hendaknya menyadari dan melihat secara obyektif kejanggalan yang terjadi. Bukankah realita saat itu kita tidak sedang disakiti oleh orang tersebut? Tetapi kenapa kita bisa merasakan penderitaan yang seharusnya tidak terjadi saat itu? Ini adalah sebuah fakta bahwa pikiran kita mampu menghadirkan ilusi dari ingatan dan persepsi masa lampau menjadi sekanakan nyata dan masih berlangsung, padahal kejadian itu sudah berlalu. Dengan ini bisa kita simpulkan bahwa yang menyakiti diri kita saat ini adalah pikiran kita sendiri yang penuh dengan dendam dan kebencian, bukan? Bila kita sudah menyadari hal ini, lalu mengapa kita masih harus menyimpan dendam dan kebencian tersebut dalam diri kita sendiri secara terus menerus? Memaafkan adalah cara di mana kita bisa melepaskan cengkeraman pikiran yang penuh kebencian dan dendam tersebut. Merelakannya untuk lepas dan dibuang dari pikiran kita. Bila kita meman70 | sept–nov 2007 dang memaafkan sebagai cara merelakan hal negatif yang membuat kita menderita, maka tentunya akan lebih mudah dibandingkan kita berpikir bahwa memaafkan adalah memberi kesempatan orang yang berbuat untuk terhindar dari pembalasan. Dengan pendekatan pola pikir yang kedua, pasti kita tidak rela bukan? Inilah mengapa terkadang kita sangat sulit memaafkan kesalahan orang lain. Karena kita memiliki pandangan salah terhadap kata “memaafkan”. Bila kita menyayangi diri kita maka kita tidak akan membiarkan hal sekecil apapun menyebabkan diri ini menjadi menderita. Jadi dengan memaafkan sebenarnya kita membersihkan pikiran kita dari cengkeraman kebencian (dosa) yang membuat diri ini menderita. Dengan melihat realita secara obyektif maka kita akan melihat kehidupan ini secara apa adanya. Bila kita bisa melihat semuanya secara apa adanya maka tidak akan ada rasa puas dan tidak puas tetapi yang ada hanyalah pemahaman dalam kebijaksanaan. Marilah kita mulai melatih diri untuk hidup trampil dalam menghadirkan kebahagiaan di dalam kehidupan ini. Semoga berbahagia. (~) dawai 48 Do You Know transfer factor Apakah Anda tahu, kenapa dalam satu keluarga yang pola hidup, pola makan dan lingkungannya sama, namun bisa ada yang mudah sakit sementara yang lain tidak? Ada yang mudah kena penyakit seperti flu atau demam dan cepat sembuh, tapi ada pula yang lama sembuhnya. Apakah penyebabnya ? kesehatan kita dipengaruhi langsung oleh sistem imun. Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit yang terdiri lebih dari triliyunan sel-sel NK (1Natural Killer), yang jumlah berat totalnya kira-kira 1 kg (2,2 pons). Ada tiga fungsi penting di sistem imun: Pertama, kemampuannya untuk mengenali benda-benda asing seperti bakteri, virus, parasit, dll. Kedua, bisa bertindak secara khusus untuk menghadapi serangan masingmasing benda asing itu; dan Ketiga, sistem imun mengingat penyerang-penyerang asing itu dan dengan cepat menolak serangan ulang di masa depan. Sistem imun yang seimbang dan sehat adalah penting untuk kemampuan tubuh dalam melawan penyakit. 1 Sel NK (Natural Killer) adalah sel imun yang bertanggung jawab mencari dan memusnahkan sel-sel “jahat” asing yang tidak dikenali oleh tubuh, termasuk sel kanker dan sel yang terinfeksi serangan virus, bakteri, dll. Jika seseorang memiliki aktivitas sel NK kurang dari 20% maka akan beresiko mudah terserang penyakit atau kurang kekebalan tubuh dalam upaya sembuh dari penyakit. Dari penelitian, TF yang diekstrak dari kolostrum mampu meningkatkan aktivitas sel NK sebanyak 103%. Dan campuran TF dengan bahan-bahan alami lain yang berada pada 6 tingkat pertama daftar bahan awal induk mampu meningkatkan sel-sel NK menjadi 283%–437%. Perlu diingat, TF sendiri bukan obat, namun TF akan melatih/mendidik dan merangsang sistem kekebalan tubuh seseorang untuk melawan dan mengatasi penyakit tersebut. sept–nov 2007 | 71 Saat ini, begitu banyak faktor yang bisa memperlemah daya tahan tubuh (sistem imun). Antibiotik sudah tidak berfungsi karena sudah banyak kuman yang kebal terhadapnya. Belum lagi masalah polusi udara dan air, gizi buruk dan campuran-campuran bahan kimia dalam makanan, juga karena stress dan faktor usia, yang akan semakin memperburuk daya tahan tubuh (sistem imun) terhadap penyakit. Untungnya, penelitian terkini telah membuka tabir sesuatu yang alami yang bisa meningkatkan kemampuan melawan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup seseorang. Transfer Factor adalah nama yang diberikan untuk sesuatu yang baru itu. Itu ditemukan di dalam 2kolostrum (susu awal induk) dan sumber-sumber lainnya dan itu cara yang alami untuk memperkuat sistem imun kita dalam melawan penyakit. Apa itu Transfer Factor ? Transfer Factor adalah penemuan ilmiah yang menggembirakan pada dekade ini. Transfer Factor adalah molekul-molekul kecil pembawa pesan imun yang diproduksi organisme tingkat tinggi. Peranan mereka adalah untuk mengirim tanda pengenal imun antara sel-sel NK (Natural Killer) dan kemudian mendidik sel-sel NK yang masih lugu untuk menge- nali bahaya dari musuh-musuhnya (kuman-kuman). Di lingkungan yang 'keras' dan 'bermusuhan' seorang bayi yang ma-sih lemah dan sendirian, diserang mikroorganisme penganggu dengan cepat dan menghancurkan kehidu-pannya. Alam telah menyediakan sistem imun lugu yang bisa belajar dengan cepat. Saat melahirkan bayi, ibunya telah menyiapkan imunisasi alami yang canggih untuk bayinya yang ada dalam susu awal yang diproduksinya. Transfer Factor adalah kunci utama pada proses ini. Molekul-molekul TF yang sangat kecil ini mengandung inti dari pembawa pesan imun. Transfer Factor tidak menimbulkan alergi dan tidak hanya untuk spesies tertentu. Maksudnya, TF yang diproduksi dari susu kolostrum sapi juga efektif untuk manusia, juga untuk sapi-sapi/ makhluk-makhluk yang lainnya. Kemampuan yang menggembirakan ini bisa menjadi titik awal revolusi di dunia pengobatan dan telah dikemukakan dalam pernyataan berikut ini: "Transfer Factor punya peranan penting dalam dunia pengobatan, bisa membantu pengobatan mulai dari AIDS sampai virus Ebola, atau dari kuman-kuman baru maupun lama seperti kuman TBC." 2 Kolostrum merupakan susu dari induk/ibu yang diproduksi pada masa 1–3 hari setelah melahirkan, karena itu digunakan istilah susu awal, karena diproduksi pada awal-awal setelah melahirkan. 72 | sept–nov 2007 Fungsi Transfer Factor Transfer Factor mempunyai tiga fungsi utama yaitu: 1. MENGHANTAR INFORMASI pada sel-sel imun kita untuk dapat mengenali macam-macam virus, bakteri, parasit serta sel-sel "rusak" seperti 3fibroid, tumor dan sel kanker. 2. MERANGSANG sistem imun untuk menyerang musuh-musuh serta mengingat bentuknya agar tindakan dapat diambil dengan lebih cepat pada serangan balik di masa depan. 3. MENENANGKAN sistem imun untuk kembali kepada status "standby" (berjaga-jaga) apabila musuh-musuh telah berhasil diatasi. Fungsi ketiga ini yang tidak terdapat pada produk-produk untuk kekebalan tubuh lainnya. Sejarah Penemuan Transfer Factor Pada tahun 1949, Dr. H. Sherwood Lawrence, saat meneliti penyakit TBC (Tuberculosis) telah menemukan "molekul informasi" yang terkandung dalam sel darah putih manusia (sistem imunnya). Beliau menemukan bahwa molekul itu bisa dipindahkan dari satu orang ke orang yang lain (yang bisa memberikan kepada pene-rimanya, 'kekebalan' dari penyakit TBC). Beliau menamakan molekul itu "Transfer Factor" (TF). Pene-litian lebih lanjut menemukan bahwa TF juga terdapat di dalam kolostrum (susu awal) sapi dan kuning telur ayam. Mengapa kolostrum sapi? Itu karena sapi bisa menghasilkan susu yang banyak pada awal menyusui. Wa-laupun TF ini terbuat dari kolos-trum sapi, tapi ia tidak mengan-dung susu sapi, ia juga tidak mengandung 4kasein dan imuno-globulin yang bisa menimbulkan alergi. Jika dibandingkan, kalau kita mengonsumsi 45.000 mg kolostrum sebanding dengan hanya mengonsumsi 600 mg TF. Selama 50 tahun setelah penemuan itu, banyak para ilmuwan dan dokter yang melakukan penelitian tentang TF itu. Lebih dari 3.500 laporan ilmiah telah diterbitkan dengan pengeluaran lebih dari US$ 40 juta untuk penelitian-penelitian itu. Pada tahun 1989, Dr. Gary Wilson dan Dr. Greg Paddock telah berhasil menciptakan teknologi untuk memisahkan TF dari kolostrum susu lembu. Melalui teknik pemisahan ini, TF tulen dapat dikumpulkan, dikeringkan dan dijadikan kapsul 3 Fibroid: jaringan sel tubuh yang mengalami kerusakan atau perubahan bentuk. 4 Kasein dan imunoglobulin: ini memang berguna juga untuk kekebalan tubuh, tapi fungsinya hanya spesifik untuk species yang sama, dari sapi untuk sapi, dsb. Jika digunakan pada manusia bisa menimbulkan alergi, yang sering disebut alergi susu. sept–nov 2007 | 73 untuk kegunaan manusia. Pada tahun 2002, proses pengekstrakan TF dari kolostrum sapi dan kuning telur ayam telah dipatenkan oleh perusahaan 4Life Research dan produk-produknya telah digunakan di 60 negara di dunia. Pada penderita kanker, TF mampu meningkatkan fungsi sel-sel NK yang berperan memerangi sel-sel kanker. Dr. Darryl See, seorang peneliti dari University of California dan pakar kesehatan dunia dari WHO, mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap 20 pasien pengindap kanker stadium 3 dan 4, menunjukkan 16 pasien mengalami pemulihan dan dalam kondisi stabil setelah menjalani terapi TF ini. Pembuktian keampuhan TF juga dilakukan di Rusia lewat serangkaian riset yang terkait dengan penyakit infeksi HIV, hepatitis B, hepatitis C, herpes, kanker lambung, 5clamidiosis urogenital,osteomyelitis, opisthorchiasis, psoriasis, dermatitis atopik dan busuk usus besar, dengan hasil riset yang sangat menggembirakan. Untuk di Indonesia, sudah ada cukup banyak juga dokter yang menggunakan terapi TF ini. Beberapa yang penulis ketahui sudah menggunakan produk-produk TF ini, antara lain di Semarang, Dr. Amanullah, seorang ahli bedah, dan Prof. Dr. Edi Darmana, MSc., Phd, seorang ahli imunologi dan parasitologi dari Undip. Terapi TF ini pun bisa dilakukan orang awam, karena produknya benar-benar aman tan-pa efek sampingan. Biasanya yang sering timbul adalah apa yang disebut healing crisis (proses penyembuhan), karena tubuh sedang menyesuaikan diri untuk kesembuhan dari penyakit yang diderita. Dari penelitian sejauh ini tidak ada efek negatif dari penggunaan terapi TF. Demikian pula kendala dalam perolehan bahan baku kolostrum juga tidak ada, karena produknya diambil dari susu sapi yang melimpah jumlahnya dan semuanya itu diproses di Amerika, sehingga produk TF yang dihasilkan sudah dalam bentuk jadi, yaitu berbentuk kapsul, tablet kunyah, atau serbuk/bubuk yang siap dikonsumsi siapa saja mulai dari bayi baru lahir sampai orang tua, sepanjang orang itu tidak punya masalah dengan cangkok organ tubuh. Khusus bagi orang yang telah ada kasus cangkok organ tubuh sangat dianjurkan untuk tidak mengonsumsinya, alasannya karena organ tubuh yang dicangkokkan itu tidak sama sel-selnya dengan sel-sel tubuhnya. Jika dikonsumsi maka akan dikira musuh dan akan diserang oleh sel-sel NK-nya sendiri. OLEH KUNTJORO SUHARLI [email protected] 5 Clamidiosis urogenital, Osteomyelitis, Opisthorchiasis, Psoriasis, Dermatitis atopik: istilah-istilah ini merupakan nama-nama penyakit dalam ilmu kedokteran, untuk penjelasan lebih lanjut ada baiknya jika melihat kamus kedokteran, karena tidak mungkin dijelaskan secara ringkas. 74 | sept–nov 2007 dawai 48 Abhidhamma Course Mulai edisi ini, Dawai akan menyajikan ulasan mengenai Abhidhamma, salah satu bagian pokok dari Tipitaka yang menjabarkan fenomena bekerjanya pikiran secara sangat detail dan mendalam. Ulasan ini ditulis oleh Bapak SASMITA, seorang upasaka yang sekarang aktif mempelajari dan mengajar Abhidhamma di Vihara Dhammadipa Surabaya Anda yang mungkin ingin belajar atau bertanya lebih jauh mengenai Abhidhamma, silakan hadir pada acara diskusi Dhamma reguler, di Vihara Dhammadipa Surabaya setiap hari Jumat, pukul 7 malam. Agama Buddha atau Buddha Dhamma adalah suatu ajaran keagamaan yang perlu dipelajari dengan seksama oleh para penganutnya, karena berbeda dengan ajaran-ajaran agama yang lain, yang mengutamakan doktrin kepasrahan kepada yang maha mutlak. Buddha Dhamma merupakan jalan yang harus ditempuh oleh semua penganutnya, agar bisa mencapai tujuan akhir dari perjalanan hidup ini yaitu Nibbâna. Mengingat masih banyaknya pemeluk Agama Buddha di Indonesia yang kurang menguasai bahasa Inggris, maka masih banyak ajaran-ajaran Sang Buddha yang belum bisa dipelajari. Walaupun demikian, kita semua para penganut Buddha Dhamma di Indonesia, bersyukur dan berterima kasih kepada Romo Pandita PANJIKA dan para tokoh Buddhis yang lain atas buku-buku yang pernah ditulisnya, sebab sudah sangat membantu, minimal agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih baik, sesuai dengan Dhamma ajaran Sang Buddha. Bila manusia berada di dalam Dhamma, ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan akibat dari ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha), serta akan mencapai Nibbâna yang merupakan akhir dari semua penderitaan. Nibbâna hanya dapat dicapai dengan meningkatkan pengembangan batin. Pengembangan batin hanya dapat dicapai dengan jalan meningkatkan kebajikan, yaitu melakukan semua perbuatan yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, melalui ucapan, jasmani, dan pikiran sehingga padamnya api keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Abhidhamma akan menguraikan semua ini dengan sangat terperinci. sept–nov 2007 | 75 Sebelum kita mempelajari Abhidhamma, sebaiknya para penganut Buddha Dhamma, mengetahui pokokpokok dasar Agama Buddha terlebih dahulu, seperti: — Panca-Khanda (Lima Kelompok Kehidupan) yang terdiri dari : - Rûpa-Khanda (kelompok jasmani) - Vedana-Khanda (kelompok perasaan) - Sañña-Khanda (kelompok pencerapan) - Sankhara-Khanda (kelompok bentuk-bentuk pikiran) - Viññana-Khanda (kelompok kesadaran) Pengertian makhluk menurut Buddha Dhamma adalah panca-khanda (lima kelompok kehidupan). — Tiratana (Tiga Mustika) yang terdiri dari: - Buddha Ratana (Mustika Buddha) - Dhamma Ratana (Mustika Dhamma) - Sangha Ratana (Mustika Sangha) — Cattari Ariyasaccani (Empat Kesunyataan Mulia) - Dukkha Ariyasacca (Kebenaran Mulia tentang derita) - Dukkha Samudaya Ariyasacca 76 | sept–nov 2007 (Kebenaran Mulia tentang asal mula timbulnya derita) - Dukkha Nirodha Ariyasacca (Kebenaran Mulia tentang berhentinya derita) - Dukkha Nirodha Gaminipatipada Ariyasacca (Kebenaran Mulia tentang jalan menuju berhentinya derita). — Tilakkhana (Tiga Corak Umum) - Anicca-Lakkhana (corak berubah-ubah/tidak kekal) - Dukkha-Lakkhana (corak penderitaan) - Anatta-Lakkhana (corak tanpa aku/inti yang kekal) — Kamma dan Patisandhi/Punnabhava (Hukum Lahir) Kamma dan Tumimbal — Paticcasamuppada (Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan) — Nibbâna (Kebahagiaan Tertinggi) Setelah kita memahami pokok-pokok dasar Agama Buddha seperti di atas maka untuk mempelajari Dhamma dan Abhidhamma akan terasa lebih mudah. Dhamma bukanlah merupakan suatu teori yang bersifat spekulasi. Semua ini merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus di alam semesta ini, yang tidak pernah disadari oleh semua makhluk, tapi telah berhasil dilihat dengan jelas oleh Sang Buddha pada saat Beliau mencapai penerangan sempurna dan semua ini dapat dibuktikan oleh siapa saja. Sedangkan Abhidhamma Pitaka merupakan pelajaran mengenai Citta (kesadaran/pikiran), Cetasika (bentuk-bentuk batin), Rûpa (materi), dan Nibbâna (kebahagiaan tertinggi). Oleh karena itu, Abhidhamma juga bisa disebut sebagai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha Dhamma. Dhamma Dhamma berarti kesunyataan mutlak atau hukum abadi. Dhamma tidak hanya ada di dalam hati sanubari atau pikiran manusia saja tapi Dhamma berada di seluruh alam semesta ini. Semua fenomena yang terjadi di seluruh alam semesta ini baik yang menyenangkan, yang tidak menyenangkan maupun yang netral, semuanya adalah Dhamma dan terjadi karena Dhamma. Dhamma terdiri dari 2 macam, yaitu: 1. Paramattha Dhamma yaitu kesunyataan tertinggi mengenai citta (kesadaran/pikiran), cetasika (bentuk-bentuk pikiran), rûpa (materi), dan Nibbâna (kebahagiaan tertinggi). 2. Paññati Dhamma yaitu sesuatu yang diberi sebutan/nama atas kesepakatan bersama sekedar untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Paramattha Dhamma terdiri dari 2 macam Dhamma, yaitu: 1. Sankhata Dhamma (keadaan yang bersyarat), yaitu: - tampak munculnya - tampak lenyapnya - selama masih ada tampak pula perubahan-perubahannya. Citta, cetasika, dan rûpa merupakan Sankhata Dhamma. 2. Asankhata Dhamma (keadaan yang tidak bersyarat), yaitu: - tidak dilahirkan - tidak musnah - ada dan tidak berubah Nibbâna merupakan Asankhata Dhamma. Citta Yang disebut citta (kesadaran/ pikiran) adalah sesuatu yang dapat mengetahui obyek, dapat menerima obyek, dapat mengingat obyek dan merupakan alat untuk berpikir. Citta (kesadaran/pikiran) adalah Sankhata Dhamma (keadaan yang bersyarat), yaitu tertampak munculnya, tertampak lenyapnya dan selama masih sept–nov 2007 | 77 ada tertampak pula perubahan-perubahannya. Kesadaran/pikiran itu juga dicengkeram oleh Tilakkhana (tiga corak umum), yaitu: 1. Anicca-Lakkhana Kesadaran/pikiran itu tidak kekal, tidak tetap, tidak kuat/tidak dapat bertahan untuk selamanya. 2. Dukkha-Lakkhana Karena kesadaran/pikiran itu tidak dapat bertahan, selalu muncul dan padam, sehingga menimbulkan dukkha. 3. Anatta-Lakkhana Kesadaran/pikiran itu tidak mempunyai inti/pribadi yang kekal, ada pada saat muncul, tapi pada saat lenyap tidak tertampak bekas-bekasnya kalau pernah ada. Jumlah Citta Bila dilihat dari sifat atau keadaannya yang mana citta (kesadaran/ pikiran) itu merupakan sesuatu yang dapat mengetahui obyek saja maka citta itu hanya satu. Akan tetapi, bila ditinjau dari keadaan yang diketahui dan bagian yang diketahui, maka citta itu menjadi banyak. Yaitu, mengetahui dalam hal nafsu keinginan (kâma) yang baik maupun yang tidak baik/jahat, mengetahui dalam hal ketenangan batin baik yang bermateri (Rûpa Jhâna) mau pun yang tidak bermateri (Arûpa Jhâna) dan mengetahui dalam hal Nibbâna maka jumlah citta bila dihitung secara terperinci menjadi 78 | sept–nov 2007 89 atau 121 (biasa ditulis 89-121) macam/bulatan yang terdiri dari 4 macam kategori/kelompok, yaitu: 1. Kâmavacara Citta berjumlah 54 bulatan 2. Rûpâvacara Citta berjumlah 15 bulatan 3. Arûpâvacara Citta berjumlah 12 bulatan 4. Lokuttara Citta berjumlah 8–40 bulatan (baca: 8 atau 40) Jumlah keseluruhan citta: 89–121 bulatan Istilah kâmâvacara citta bila dipisahkan merupakan gabungan dari 3 suku kata yaitu kâma, avacara, dan citta. 1. Kâma berarti kesenangan dan kemelekatan hati terhadap 6 obyek baik yang bermanfaat mau pun yang jahat melalui 6 indriya yaitu: - Obyek warna/bentuk (rûpârammana) yang dicerap oleh indriya mata dan menimbulkan kesadaran penglihatan. - Obyek suara (saddârammana) yang dicerap oleh indriya telinga dan menimbulkan kesadaran mendengar. - Obyek bau (gandhârammana) yang dicerap oleh indriya hidung dan menimbulkan kesadaran mencium. - Obyek rasa (rasârammana) yang dicerap oleh indriya lidah dan menimbulkan kesadaran mencicip. – Obyek sentuhan (photthabbârammana) yang dicerap oleh indriya badan dan menimbulkan kesadaran rasa sentuhan. – Obyek hati (dhammârammana) yang dicerap oleh indriya pikiran dan menimbulkan kesadaran batin. 2. Avacara yang berarti berkelana atau berdiam/berada. 3. Citta yang berarti kesadaran/ pikiran. Jadi Kâmâvacara Citta adalah kesadaran/pikiran yang berkelana/berada di Kâmâ Bhumi atau Kâmâ Loka 11 yang mencengkeram/dimiliki oleh semua makhluknya. Semua makhluk yang berada atau terlahir di Kâmâ Loka 11 batinnya masih senang dengan hal-hal yang bermanfaat, mau pun hal-hal yang tidak bermanfaat. Kâmâvacara Citta 54 terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Akusala Citta berjumlah 12 bulatan 2. Ahetuka Citta berjumlah 18 bulatan 3. Kâmâvacara Sobhana Citta berjumlah 24 bulatan Jumlah Kâmâvacara Citta 54 bulatan Akusala Citta 12 Citta (kesadaran/pikiran) sebenarnya bersifat netral (bukan baik pun bukan tidak baik). Karena sifat alaminya, bahwa citta selalu berse- kutu dengan cetasika (bentuk-bentuk batin), maka citta kemudi-an menjadi ada yang baik dan ada pula yang tidak baik/jahat. Sebagai ilustrasi dari pengertian di atas, ibarat air putih di dalam gelas, bila kita beri tinta berwarna merah, maka air putih itu akan berubah menjadi sesuai dengan warna tinta yang kita masukkan. Demikian pula yang terjadi dengan citta yang asalnya netral itu, bila bersekutu dengan cetasika, maka citta itu akan berubah menjadi ada yang baik (bermanfaat) maupun yang tidak baik/merugikan sesuai dengan cetasika yang memengaruhinya. Berarti cetasika-lah yang menjadi penentu dalam pemberian makna pada obyek yang masuk melalui indriya kita. Setelah terjadi pemberian makna pada obyek yang masuk, maka akan terjadi tindakan sebagai reaksi. Akusala Citta bersekutu dengan Dhamma 3 bagian/macam, yaitu: 1. Bersekutu dengan vedanâ (perasaan) 2. Bersekutu dengan ditthi (pandangan) 3. Bersekutu dengan sankhâra (wujud) keterangan 1. Vedanâ (perasaan) seluruhnya ada 5 macam, yaitu: – Sukha vedanâ perasaan senang dari jasmani – Dukkha vedanâ perasaan derita dari jasmani – Somanassa vedanâ perasaan senang dari batin sept–nov 2007 | 79 – Domanassa vedanâ perasaan derita dari batin – Upekkha vedanâ perasaan seimbang yaitu bukan senang pun bukan derita 2. Ditthi (pandangan/pendapat) Karena ditthi yang dimaksud di sini bersekutu dengan Akusala Citta (kesadaran/pikiran yang tidak baik/jahat), maka ditthi tersebut merupakan pandangan yang tidak baik/salah. 3. Sankhâra (wujud) ada 2 macam, yaitu: – Asankhârika (tanpa ajakan) munculnya citta tanpa ajakan – Sasankhârika (dengan ajakan) munculnya citta karena ajakan Akusala Citta (kesadaran/pikiran) yang tidak baik semuanya berjumlah 12 bulatan dan terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Lobhamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran tamak) berjumlah 8 bulatan. 2. Dosamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran benci) berjumlah 2 bulatan. 3. Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh) berjumlah 2 bulatan. Jumlah Akusala Citta 12 bulatan. perincian Lobhamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran tamak), timbul karena citta bersekutu dengan Akusala Cetasika (bentuk-betuk batin) yang ja80 | sept–nov 2007 hat dan Lobha Cetasika sebagai pemimpin, sehingga kesadaran/pikiran mempunyai kesenangan dan kemelekatan terhadap berbagai macam obyek sebagai awal dari suatu kebiasaan/kecenderungan. Akusala Citta bila masing-masing dihubungkan dengan Dhamma 3 macam, yaitu vedanâ, ditthi, dan sankhâra, maka akan terbentuk sebagai berikut. Hubungan Lobhamula Citta (asal mula ketamakan) dengan vedanâ (perasaan) Mengingat ketamakan itu muncul bukan dari jasmani dan tidak mengandung unsur derita, maka lobha hanya disertai Somanassa dan Upekkha Vedana saja. Maka Lobhamula Citta sekarang menjadi 2 citta, yaitu: Somanassasahagatam (dengan kesenangan) dan Upekkhâsahagatam (dengan sedikit kesenangan). Hubungan Lobhamula Citta (asal mula ketamakan) dengan ditthi (pandangan) – Bagi mereka yang tidak pernah belajar Dhamma atau yang tidak mengenal etika, biasanya banyak tindakannya yang bermula dari pikiran yang bersekutu dengan pandangan salah, di antaranya: merugikan orang lain, tidak tahu malu, tidak menyadari bahwa tindakannya tidak pantas untuk dilakukan, dsb. Dalam Abhidhamma hal ini disebut ditthigatasampayuttam (bersekutu dengan pandangan salah). – Bagi mereka yang mengenal Dhamma dan mempunyai etika yang baik, biasanya tindakannya tidak merugikan orang lain dan tindak-tanduknya tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat merugikan. Dalam Abhidhamma hal ini disebut ditthigatavipayuttam (tidak bersekutu dengan pandangan salah). Dengan demikian, maka Lobhamula Citta sekarang menjadi 4 bulatan yaitu: Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam, Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam, Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam, dan Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam. Hubungan Lobhamula Citta (asal mula ketamakan) dengan sankhâra (wujud) – Banyak di antara kita yang mempunyai kebiasaan yang telah menjadi kegemaran seperti mempercantik diri, menimbun harta, gila kekuasaan, dsb. Munculnya semua pikiran itu bukan karena dorongan dari luar, tapi justru dari diri sendiri karena sudah menjadi watak baru kita. Dalam Abhidhamma ini disebut asankharika (tanpa ajakan). – Apabila munculnya keinginan setelah kita melihat sesuatu, dalam Abhidhamma disebut Sasankharika (dengan ajakan). Lobhamula Citta setelah bersekutu dengan sankhâra (wujud) sekarang jumlahnya menjadi 8 bulatan, yaitu: 1. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam asankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul tanpa ajakan disertai kesenangan bersekutu dengan pandangan salah. 2. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam Kesadaran/pikiran yang timbul dengan ajakan disertai kesenangan bersekutu dengan pandangan salah. 3. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam asankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul tanpa ajakan disertai kesenangan tidak bersekutu dengan pandangan salah. 4. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam sasankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul dengan ajakan disertai kesenangan tidak bersekutu dengan pandangan salah. 5. Upekkhâsahagatam ditthigatasampayuttam asankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul tanpa ajakan disertai masa bodoh bersekutu dengan pandangan salah. 6. Upekkhâsahagatam ditthigatasampayuttam sasankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul dengan ajakan disertai masa bodoh bersekutu dengan pandangan salah. 7. Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam asankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul tanpa ajakan disertai masa bodoh tidak bersekutu dengan pandangan salah. sept–nov 2007 | 81 8. Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam sasankhârikam Kesadaran/pikiran yang timbul dengan ajakan disertai masa bodoh tidak bersekutu dengan pandangan salah. Dosamula Citta 2 Dosamula Citta adalah kesadaran/ pikiran yang mempunyai kemarahan sebagai sebab utama. Semua itu terjadi karena kesadaran/pikiran menyentuh obyek yang tidak disenangi. Dosamula Citta timbul, karena citta bersekutu dengan Akusala Cetasika dan Dosa Cetasika sebagai pemimpin. Dosa secara harfiah berarti benci. Tetapi secara psychology, berarti telah terjadi konflik/pertentangan batin, karena ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dosamula Citta bila dihubungkan dengan Dhamma 3 macam seperti pada Lobhamula Citta, maka akan terjadi seperti berikut. Bila dihubungkan dengan vedana Karena Dosamula Citta merupakan derita dari batin, maka vedana yang menyertai hanya Domanassasahagatam (ketidaksenangan). Bila dihubungkan dengan ditthi Berhubung Dosamula Citta mempunyai obyek yang tidak disenangi, maka ditthi (pandangan) tidak muncul. Sebagai gantinya patigha (dendam) yang akan muncul. Hal ini disebabkan karena sudah menjadi kebutuhan 82 | sept–nov 2007 dari semua makhluk untuk merasa bahagia. Dan seperti yang telah kita ketahui, bahwa munculnya kebahagiaan adalah pada saat obyek yang datang sesuai dengan yang kita sukai. Apabila ternyata obyek yang disadari melalui indriya bukan seperti yang diharapkan, maka muncullah domanassa (ketidaksenangan). Saat ketidaksenangan terjadi, muncul respon menghindar atau melawan. Kedua macam respon inilah yang disebut patigha (dendam). Karena Abhidhamma menyebutkan bahwa dosa selalu bersekutu dengan patigha. Jadi tidak ada istilah patighavippayuttam (tidak bersekutu dengan dendam). Maka Dosamula Citta sampai disini jumlahnya tetap satu, yaitu: Domanassasahagatam patighasampayuttam (ketidaksenangan bersekutu dengan dendam). Bila dihubungkan dengan sankhara Pada saat citta (kesadaran/pikiran) muncul bukan karena pengaruh obyek dari luar, ini disebut tanpa ajakan (asankhârika). Sebagai contoh, suatu saat tanpa sebab yang jelas suasana hati rasanya ingin marah, merasa tidak nyaman dan pikiran tidak dapat berfungsi sebagaimana adanya. Bila munculnya citta karena pengaruh obyek dari luar disebut sasankhârika (dengan ajakan). Dosamula Citta sekarang menjadi dua bulatan, yaitu ada yang asankhârika juga ada yang sasankhârika, lengkapnya sebagai berikut. 1. Domanassasahagatam patighasampayuttam asankharikam Kesadaran/pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai ketidaksenangan bersekutu dengan dendam. 2. Domanassasahagatam patighasampayuttam sasankharikam Kesadaran/pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai ketidaksenangan bersekutu dengan dendam. Mohamula Citta 2 Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh) secara etika berarti kesadaran/pikiran yang mempunyai kebodohan, kegelapan, sehingga tidak mampu untuk mengetahui segala sesuatu dengan sewajarnya, tetapi secara psychology berarti kesadaran/pikiran tidak bisa menetap pada satu obyek. Kesadaran/pikiran selalu gelisah dan terombang-ambing dengan keadaaan. Dalam mengerjakan segala sesuatu asal dikerjakan saja, tidak pernah memikirkan akibatnya. Mohamula Citta bila dihubungkan dengan Dhamma 3 macam seperti pada Lobhamula Citta dan Dosamula Citta akan terjadi seperti berikut ini. Bila dihubungkan dengan vedanâ Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh) pada saat muncul tidak mengandung unsur kesenangan maupun derita baik dari jasmani maupun batin. Jadi vedanâ yang mengiringi Mohamula Citta hanya masa bodoh, yaitu Upekkhasahagatam ngan masa bodoh). (de- Bila dihubungkan dengan ditthi Karena tidak mempunyai keeratan dengan obyek, maka Mohamula Citta tidak bersekutu dengan pandangan dan dendam. Oleh karena itu ditthi dan patigha tidak bisa muncul. Sebagai gantinya yang muncul adalah Vicikicchâ (keragu-raguan) dan Uddhacca (kegelisahan). Bunyi/ nama Mohamula Citta menjadi: 1. Upekkhasahagatam vicikicchasampayuttam Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan keragu-raguan. 2. Upekkhasahagatam uddhaccasampayuttam Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan kegelisahan. Bila dihubungkan dengan ditthi Karena mempunyai sifat ketidaktahuan, maka Mohamula Citta tidak mempunyai keeratan dan ketertarikan terhadap obyek. Mohamula Citta munculnya dari dalam diri sendiri masing-masing makhluk yang belum mencapai tingkat kesucian sempurna (Arahatta). Dalam Abhidhamma ini disebut asankharika (tanpa ajakan). Karena Mohamula Citta jumlahnya hanya dua bulatan dan kedua-duanya muncul tanpa ajakan (asankhârika) maka sebutan asankhârika tidak perlu dicantumkan untuk membedakan sept–nov 2007 | 83 yang satu dengan yang lain seperti pada Lobhamula Citta dan Dosamula Citta. Jadi bunyi selengkapnya Mohamula Citta adalah sebagai berikut. 1. Upekkhasahagatam vicikicchasampayuttam Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan keragu-raguan. 2. Upekkhasahagatam uddhaccasampayuttam Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan kegelisahan. (~) anniversary agustus 1 lidya 3 luciana 8 milionita gunawan 10 sally 11 elok abati, michael 12 henky sandrayana 13 fransisca (lang lang) 15 dewi cahyadi 16 anang, bobby, suparno 20 budi yuwono 21 yanto 23 sugiono 24 yulian 25 henky sumanggalo 27 edward 28 t. selvi 31 yanee september 2 devi 3 tan dhian kiat 4 caroline tanjaya 5 lia sumarti 7 junny 8 selvia 9 donny erna, rudy tjan 14 setiadi 18 hansen 19 tonny 23 kevin w. 24 yulian 25 fredy s. 29 anthony muliadi oktober 3 henry 4 robert 5 chung sien 6 indarsono 10 linda oktaviana 12 eki 16 albert 17 victor 18 agus wibowo 21 lian 23 monica 27 herryanto, budiyanto 28 vivi, ronny gunawan, wira 29 luly susilo 30 ani effendi november 1 linda 3 alfian 7 merry 9 hendro 10 irwan. asiong 16 ika 18 hari bagus 21 nova 23 hendry 25 herlik w. 84 | sept–nov 2007 dawai 48 Strip xiao bai & seekor kura-kura Suatu hari, seekor kura-kura kecil berjalan perlahan di atas tanah. Tiba-tiba datang seorang anak bernama Xiao Bai Wah... Ada binatang lucu! Bawa pulang ahh... Xiao Bai berusaha mengeluarkan kura-kura malang tersebut. Lho?! Koq dia masuk? sept–nov 2007 | 85 Xiao Bai akhirnya bosan, lalu... Huh! Sebal! Tidak mau keluar! Biar tenggelam saja sana! Biar tau rasa!! Ooh.. Tak lama kemudian... Ternyata biar dia keluar,tak harus dengan cara kasar ya... Xiao Bai pun gembira melihat si kura-kura berenang dengan riangnya... Maaf ya? Mulai sekarang kita berteman ya... Perbedaan antara kebijaksanaan dengan kebodohan hanyalah masalah pemikiran. Seorang yang bodoh terikat kepada hal-hal yang ia lihat dengan matanya. Seorang yang bijaksana akan mengarah pada pencarian jalan kesunyataan. Jika Xiao Bai menggunakan waktunya untuk mempelajari sifat alamiah kurakura, ia tidak akan menghabiskan energinya untuk memaksa kura-kura kecil untuk keluar dari tempurungnya. Cerita dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 079 tahun 2000. Ilustrasi oleh Veranica. 86 | sept–nov 2007 dawai 48 Talk Damai Dalam Dhamma hari ini kita sudah dan masih menjadi umat buddha. tak terhitung mungkin perjalanan waktu sampai kita menjadi seperti pada hari ini. Entah itu, Anda, saya, atau kita semua menjadi lebih baik atau lebih buruk; telah memraktekkan ajaran dengan sungguh-sungguh atau belum, waktu tetap terus berjalan. Terlepas dari kuantitasnya, adalah lebih baik memperhatikan kualitas waktu-waktu yang telah kita lewatkan. Sudahkah hari ini kita lalui dengan berbahagia? Apakah Dhamma telah dijadikan pedoman bertindak, berucap, dan berpikir pada hari ini? Benarkah Dhamma yang didengar, dibaca, dan dipraktekkan itu telah bermanfaat pada diri sendiri? Sejauh manakah terjadi perubahan cara pandang kita yang keliru dalam tindakan dan ucapan sehari-hari? Dan yang lebih mengesankan dari semuanya adalah pengaruh dari praktek nyata yang bersumberkan pada Buddha Dhamma terhadap orang-orang di sekitar kita. Inspirasi kebajikan dan moral dari tindakan nyata selalu memiliki energi positif luar biasa yang dapat berpindah-pindah namun tidak akan pernah habis. Mungkin kita telah berjalan melalui lika-liku panjang dan sulit sampai kita berhasil mengetahui Dhamma yang semula tak tampak oleh kita, dikarenakan kebodohan dan nafsu keinginan kotor yang tebal, hingga kemudian kita bisa merasakan Dhamma di mana-mana, di sekitar kita bahkan sampai ke pori-pori kulit; Dhamma pun telah merasuk di hati. Walau pun hal itu mungkin diketahui sedikit demi sedikit, pengetahuan kita setidaknya telah bertambah hari demi hari. Karena keindahan Dhamma mampu mengubah yang keras, kaku, dingin menjadi lunak, lembut, dan hangat; yang tidak mengenakkan menjadi berasa, nikmat, dan berfaedah; yang lemah dan rapuh menjadi kuat dan fleksibel. Sungguh tidak ada yang dapat menyamai rasa Dhamma! Bagaimana Dhamma bisa dimengerti dan dilihat, padahal ia tiada bentuk, tidak kasat mata? Adalah hal yang nyata melalui pengalaman, seseorang bisa merasakan kebenaran kata-kata Sang Buddha. Kita semua melalui hidup hingga detik ini dengan ribuan pengalaman, kesan-kesan, dan konsep tentang ini dan itu. Kita memiliki sistem imun untuk mendeteksi bibitbibit penyakit yang masuk ke tubuh. Sistem imun ini adalah sept–nov 2007 | 87 filter tubuh terhadap penyakit. Bila kesan dan konsep diibaratkan daun teh dalam sepanci air, pengalaman atau pelajaran yang diperoleh sebagai air teh yang kita minum, maka Dhamma adalah penyaringnya. Sebelum membiarkan sesuatu yang baru atau asing (konsep, ajakan, cara pandang suatu pihak) memasuki pemikiran kita, hendaknya kita meneliti satu per satu terlebih dahulu dengan mengikuti formula yang ditemukan Guru Agung kita, Buddha Gotama. Agar yang masuk ke tubuh kita—batin kita, hanyalah hal-hal bermanfaat yang bersifat menyembuhkan batin dari dukkha. Hidup adalah demikian adanya; terkadang kita berhenti sejenak karena lelah, karena lemahnya diri kita menghadapi realita, masuk dalam pergaulan salah, pengaruh duniawi yang menggiurkan; kita melupakan moralitas buddhis demi hal-hal yang serba instan itu. Begitu mudahkah diri kita terbawa arus duniawi yang sebenarnya tak bersahabat untuk batin kita yang membutuhkan kedamaian? Mungkinkah kita telah 'menukar' Dhamma untuk hal-hal yang tak kekal, tak memuaskan, dan tak berbekas seperti itu? Di waktu yang lain, kita melaju demikian kencang, kita tenggelam dalam kesibukan mencari kepuasan dari pelayanan, pada hal-hal di luar diri; kita keras dengan kehidupan, dengan segala sesuatu yang menghalangi jalan kita, demi meraih sesuatu yang kita harapkan baik bagi orang lain dan berhasil baik pula untuk diri kita, tapi kita lalai mengamati batin (hati); ia ternyata telah berubah menjadi keras, mudah marah, tidak bersabar, tiada lagi memancarkan metta. Kita dikuasai kebencian, keegoan, iri hati, keserakahan, ketidaktahuan; lengah dalam kenyamanan hidup, kekuasaan, kesibukan mencari harta dan kepandaian duniawi; kita lemah, tidak ada kedamaian dalam diri; tidak punya pijakan saat masalah-masalah datang justru dari hal-hal yang kita kejar itu. Kita tidak melihat Dhamma pada setiap momen kehidupan kita. Tidak ada yang salah dari mengejar sesuatu yang duniawi selama batin (hati) ini dapat kita rawat, terkendali dengan baik sehingga kedamaian selalu ada di relung hati, kokoh keberadaannya, yang bersandar pada pengertian sejati terhadap Dhamma. Melangkahlah dengan hati-hati pada jalan hidup kita, agar kualitas terbaik dapat kita beri untuk diri sendiri dan orang lain. Ketika kita sedang duduk mengerjakan sesuatu hal, larut dalam kesibukan, makin dalam... kemudian sesuatu terjadi, gangguan kecil saja tapi tiba-tiba amarah kita meledak. Padahal tadinya kondisi batin baik-baik saja. Apa sebabnya? Pikiran kita dipenuhi hal-hal akan masa berikutnya. Kita tidak bisa memisahkan yang lalu, yang kini, dan yang akan datang. Kita melekati yang lalu dengan menjadi marah, melepas kesadaran saat ini dengan menjadi marah, dan mengabaikan kedamaian 88 | sept–nov 2007 yang seharusnya bisa kita pertahankan dengan menjadi marah. Kita kehilangan tiga momen sekaligus karena hal sepele. Jika hal sepele saja sudah membuat kita terpedaya, maka hal-hal sulit berikutnya yang mungkin datang pada kita tak mungkin bisa kita lewati dengan ketenang-seimbangan. Betapa menderitanya kita! Menyadari gerak pikiran yang cepat itu sulit jika tidak melatihnya dalam kewaspadaan penuh. Latihan kesadaran ini meditasi ini, adalah penting, sangat penting; agar kita dapat mengenali diri kita, potensi dan bahaya laten yang ada dalam diri sendiri; serta membawa kita pada kedamaian batin. Ketika dapat mengenali dengan baik inilah, kita akan bisa mengatasi persoalan-persoalan batin juga fisik (nama dan rupa) dalam kehidupan ini dengan tangkas, tenang, dan seimbang. Mungkin tidak semua persoalan fisik dapat selesai saat itu juga, tapi batin yang damai mampu memberi kita solusi yang cukup untuk menyelesaikan masalah. Bahkan tak jarang solusi itu memberi kita rasa aman dan damai untuk jangka panjang. Keyakinan terhadap Tiratana akan menjadi semakin kokoh. Kita juga mampu menerima hal-hal yang baik (untung, pujian) dan buruk (rugi, celaan) dengan pengertian yang benar. Sikap menerima mungkin terdengar seperti sesuatu yang pasif karena kita terbiasa untuk selalu bereaksi terhadap segala sesuatu dengan tindakan berwujud (membalas). Dalam meditasi Vipassanâ, kita mengamati obyek-obyek yang datang, bertahan, dan pergi. Kita hanya duduk mengamati saja. Sikap penerimaan yang dimaksud pun sama dengan ini (mengamati). Reaksi kita akan ditentukan oleh sikap menerima yang apa adanya, yang disadari. Kesadaran yang baik menuntun pengetahuan dan pikiran kita menjadi terbuka untuk melihat hal-hal secara alami; dengan sendirinya kita melihat kebenaran sehingga dapat bereaksi secara bijak terhadap hal-hal tidak menyenangkan yang lewat dalam kehidupan kita. Kebijaksanaan menjadi tumbuh dan berkembang untuk mempertahankan diri, setia, dan konsisten pada Jalan Sejati yang telah ditunjukkan Sang Buddha. Ketika berhasil melalui hal-hal sulit dalam hidup ini dengan latihan penaklukkan diri, buah yang kita rasakan adalah kebahagiaan dan kedamaian untuk waktu yang cukup lama; karena kita akan mengingatnya sedemikian rupa setiap saat, selalu bersyukur karena dapat mengenal Dhamma di kehidupan ini. Dan dalam kedamaian hasil penilikan batin dan pemraktekkan Dhamma ini, kita akan selalu dapat melihat Guru Agung junjungan kita, Buddha Gotama, kemana pun kita melangkah. NH sept–nov 2007 | 89 dawai 48 Agenda reguler puja bakti minggu, pk. 9–11 pagi sekolah minggu minggu, pk. 9–11 pagi obrol santai rabu, mulai pk. 7 malam latihan meditasi kamis, pk. 7–9 malam latihan baca paritta jumat, pk. 7–7.30 malam diskusi dhamma jumat, pk. 7.30 – 9.30 malam olahraga pagi minggu, pk.5-7 pagi bursa wihara minggu, pk. 11–1 siang spesial kathina puja 2551 4 november 2007 vipassanâ bhâvanâ pembimbing Sayadaw U Rajinda 5 November – 18 November 2007 di Brahmavihâra Ârâma Singaraja kontak Bapak Dhammajoti 0362-92954 08164733609 dawai 48 Laporan Keuangan 90 Dawai 47 Biaya pencetakan 1000eksp Biaya pendistribusian Biaya perlengkapan Sisa saldo 4.650.000 338.000 537.000 532.000 Dawai 48 (estimasi) Dana dari para donatur Biaya pencetakkan 1000eksp Saldo (per 25 agustus 2007) 5.335.000 4.650.000 685.000 | sept–nov 2007