II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi adalah hewan ternak penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi berasal dari famili Bovidae dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos taurus (Anonim 2008b) Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak digunakan adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari Selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark), dan Droughtmaster (dari Australia). Berdasarkan kondisi dan keadaan alam Indonesia, maka jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan adalah Friesian Holstein (FH). Selain sebagai penghasil susu, sapi perah juga dapat menjadi penghasil daging dan kulit (Prihatman 2000). Ciri fisik sapi FH adalah memiliki berat badan rata-rata untuk sapi jantan 900 kg dengan tinggi rata-rata 140 cm dan berat badan rata-rata sapi betina 700 kg dengan tinggi rata-rata 135 cm. Sapi FH berwarna hitam dan putih serta memiliki dua tanduk pada jantan dan 0-2 tanduk pada betina dengan bentuk tanduk kecil dan nyaris tertutup (Anonim 2008b). Sapi FH banyak diandalkan oleh banyak peternak dan pabrik susu. Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik di dataran tinggi di atas 700 meter 16 di atas permukaan laut (dpl), pada temperatur antara 16-24 °C dan curah hujan sekitar 2000 mm/ tahun (Anonim 2008b). Gambar 1 Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH). (Sumber: Anonim 2008b). Umumnya sapi FH dipelihara secara semi intensif hingga intensif. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan dapat berupa jerami padi, daun lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan pada siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi, diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Pemberian konsentrat diberikan pada pagi dan sore hari sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain pakan, sapi harus diberi minum sebanyak 10% dari berat badan per hari (Prihatman 2000). 2.2. Escherichia coli 2.2.1. Serotipe dan Biokimia Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) pertama kali diidentifikasi oleh seorang berkebangsaan Jerman, Theobald Escherich (1885) dalam studinya mengenai sistem pencernaan (Sojka 1981). Klasifikasi E. coli menurut Anonim (2008a) adalah: 17 Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan tidak berspora dengan ukuran panjang sel 2.0–6.0 µm dan lebar 1.1–1.5 µm. Escherichia coli dapat tumbuh dengan mudah pada media umum atau media khusus pada suhu 37 °C di bawah kondisi anaerob. Escherichia coli dari feses biasanya dikultur pada media yang hanya akan menumbuhkan bakteri dari famili Enterobacteriaceae dan membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya. Sekitar 90% dari galur E. coli dapat memfermentasi laktosa. Pada uji indol, 99% E. coli menunjukkan hasil positif. Hal ini dapat dipakai untuk membedakan E. coli dari anggota Enterobacteriaceae lainnya. Escherichia coli juga memberikan hasil uji Voger Proskaver (VP) negatif, motil positif dan tidak menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Pada media selektif EMB koloni bakteri berwarna hijau metalik (Sojka 1981). Gambar 2 Escherichia coli. (Sumber: Anonim 2008a). 18 2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli Mikroba dapat menginfeksi inang karena faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi tersebut merupakan komponen dari mikroba patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada inang. Bila komponen tersebut dihilangkan akan menyebabkan mikroba kehilangan viabilitas atau kemampuan untuk hidup. Faktor virulensi tersebut dapat berupa faktor yang memperantarai kolonisasi mikroba pada inang seperti dinding sel, kapsul, vili, fimbrae, adhesin, protein pengikat maupun faktor yang merupakan produk dari mikroba yang dapat merusak sel inang berupa toksin dan enzim hidrolitik seperti enterotoksin, sitotoksin, hemolisin, dan aerobaktin (Gyles & Charles 1993). Berdasarkan karakteristik dan materi virulensinya, E. coli diklasifikasikan menjadi: - Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) Enterotoksigenik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk mengikat sel-sel enterosit di usus halus. ETEC dapat memproduksi dua jenis protein enterotoksin yaitu heat labile toxin (LT) yang merangsang adenilat siklase sel epitel sehingga terjadi hipersekresi cairan dan elektrolit tubuh, dan heat stabile toxin (ST) yang merangsang guanilat siklase sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi cGMP pada sel target dan menyebabkan terjadinya sekresi cairan dan elektrolit yang terus menerus ke lumen usus. - Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Enteropatogenik Escherichia coli menggunakan intimin sebagai adhesin untuk berikatan dengan sel usus inangnya dan bersifat invasif sehingga mampu menimbulkan respon inflamasi. - Enterohemoragik Escherichia coli (EHEC) Enterohemoragik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk berikatan dengan sel-sel inang. EHEC mampu menyebabkan diare berdarah tanpa disertai demam. EHEC dapat menyebabkan hemolitik uremia sindrom, gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia (Anonim 2008c). Seperti kebanyakan bakteri patogen pada permukaan mukosa, E. coli mengembangkan strategi infeksi berupa: (1) membentuk koloni pada suatu tempat 19 di permukaan mukosa, (2) menghindar dari sistem pertahanan tubuh inang, (3) multiplikasi dan (4) merusak sel inang. Salah satu karakter E. coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi (Sojka 1981). Seluruh galur E. coli memiliki fimbrae spesifik yang meningkatkan kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak biasa digunakan untuk kolonisasi. Jika koloni telah terbentuk, maka E. coli akan mengembangkan strategi patogeniknya, yaitu: (1) produksi enterotoksin, (2) invasi, dan (3) perlekatan intimin dengan mengadakan persinyalan membran (Sojka 1981). Escherichia coli strain K99 mempunyai struktur vili yang mampu menghasilkan perangkat mannose resisten yang adhesive pada bakteri. Komponen utama K99 merupakan adhesin dan melekat pada reseptornya, yaitu glikolipid gangliosida Neu5Gc-α(2-3)-Gal-β(1-4)Glc-β(1,1) ceramide. Strain ini mampu menempel pada mukosa usus pedet yang baru lahir, kemudian akan mencapai populasi yang sangat tinggi di dalam usus. Sintesis antigen K99 tertekan oleh beberapa komponen (alanin dan glukosa) pada media kompleks. Media yang biasanya digunakan untuk mendeteksi K99 adalah minca medium yang mengandung asam casamino, KH2PO4, Na2HPO4, glukosa, agar, dan air destilata. Strain 101 dari grup O menghasilkan K99 yang paling banyak dibandingkan dengan yang diproduksi oleh strain yang lain dari grup O (Gyles & Charles 1993). Patogenitas E. coli tidak hanya tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan endotoksin, akan tetapi juga tergantung pada daya tahan tubuh anak sapi, jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit, dan keadaan lingkungan usus yang memungkinkan mikroba untuk berkembang (Setiawan et al. 1983). 2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli Pada pedet, kejadian diare akibat E. coli atau lebih sering dikenal dengan kolibasilosis merupakan penyakit yang bersifat akut dan menular dengan gejala yang khas yaitu diare dengan feses berwarna kuning keputihan. Escherichia coli dikenal sebagai penyebab diare pada anak sapi sejak pertama kali berhasil 20 diisolasi Jansen pada tahun 1897 dari feses anak sapi yang menderita diare (Setiawan et al. 1983). Diare pada anak sapi neonatal disebabkan oleh infeksi ETEC strain K99 dan F41 berasosiasi dengan somatik antigen serogroup O-9, 20, atau 101. Prevalensi kasus diare pada anak sapi di daerah sentra pengembangan sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40%, dengan kematian pedet di bawah umur 1 bulan berkisar antara 8-19% dan dapat terjadi sepanjang tahun (Supar 2001). Mekanisme infeksi ETEC pada anak sapi dan anak babi memiliki mekanisme serupa. Enterotoksigenik E. coli akan menempel pada permukaan mukosa usus halus dengan perantaraan antigen perlekatan atau fimbrae K88, K99, F41 atau 987P. Setelah menempel, ETEC kemudian berkembang biak dan memproduksi toksin heat labile toxin (LT) atau heat stable toxin (ST). Aktifitas LT atau ST seperti halnya toksin kolera bekerja dengan menstimulasi sekresi cairan tubuh dan elektrolit secara berlebihan. Oleh karena itu, sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan absorpsi, sehingga terjadilah diare profus dan dehidrasi. Hal ini menyebabkan hewan yang terinfeksi cepat mati (Supar 2001). Pedet yang diare terus-menerus, akan memperlihatkan gejala klinis lemah, lesu, tidak mau menyusu, bulu di daerah perineal kotor oleh feses, mukosa mulut kering pucat kebiruan, turgor kulit jelek dan akhirnya pedet mati. Kematian akibat kolibasilosis dapat mencapai 20-50%, tergantung pada hebatnya serangan. Apabila disertai septikemia dan tidak mendapatkan perawatan dengan baik maka kematian dapat mencapai 90-100%. Menurunnya daya tahan tubuh pedet dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti stres karena kedinginan, higiene pakan, sanitasi kandang kurang baik, populasi terlalu padat, kurang intake pakan, atau tidak diberi kolostrum dan diberi susu berkualitas rendah (Setiawan et al. 1983). 2.2.4. Vaksin Escherichia coli Selama dua dekade terakhir antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak babi atau anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering dipakai di 21 lapangan. Disamping itu penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai feed additive juga akan meningkatkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001). Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibiotika dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibiotika, atau diganti dengan menggunakan antibiotika baru dengan harga yang lebih mahal (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit dan upaya yang efektif untuk pencegahan terhadap residu antibiotika dan resistensi bakteri (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, untuk merangsang kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu tersebut terhadap infeksi penyakit di alam (Tizard 2000). Vaksin dibagi menjadi vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat-sifat virulensinya. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah diinaktifkan (dimatikan) tetapi masih memiliki sifat imunogenitas. Vaksin dapat berisi satu jenis antigen yang disebut vaksin monovalen atau dapat pula berisi beberapa jenis antigen atau disebut vaksin polivalen. Pemberian imunisasi kepada hewan rentan dengan memberikan antibodi yang diperoleh dari hewan lain (hewan donor) yang telah diberi imunisasi secara aktif disebut dengan imunisasi pasif. Salah satu contohnya adalah melalui pemberian kolostrum induk kepada anaknya (Tizard 2000). Pencegahan kolibasilosis dengan vaksin ETEC menjadi sangat penting artinya dengan semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering dipakai pada peternakan dan tingginya residu dalam produk hasil ternak. Selain itu, pemberian vaksin dapat memberikan daya lindung optimal, dan merupakan cara yang lebih aman, layak, dan efisien (Supar 2001). 22 Komposisi vaksin ETEC untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi terdiri dari ETEC K99, F41, K99F41 tergolong dalam serogroup O-9, 20, 101. Galur antigen vaksin enteropatogenik E. coli (EPEC) untuk pengendalian disentri dapat disatukan dengan antigen ETEC. Pemakaian vaksin tidak aktif mengandung beberapa jenis antigen yang tidak bersifat negatif diantara individu komponen antigen sehingga tidak saling menghambat dalam pembentukan antibodi (Supar 2001). Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi yang sedang bunting periode kering kandang secara intramuskular atau subkutan. Vaksin serupa diinjeksikan kembali pada saat 2 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Anak sapi kemudian diberi kolostrum induk segera setelah dilahirkan karena antibodi terhadap antigen fimbrae (IgG) sangat tinggi di dalam kolostrum sampai hari ke-5 post partus. Sesudah itu konsentrasi IgG mengalami penurunan, sedangkan konsentrasi IgA meningkat (Supar 2001). 2.3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik atau physical examination (PE) merupakan suatu tindakan memeriksa keadaan hewan untuk menemukan tanda-tanda klinis suatu penyakit. Hasil pemeriksaan ini akan dicatat dalam catatan medis (rekam medis) yang akan membantu dalam penegakan diagnosa dan perencanaan perawatan. Umumnya, pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tindakan pemeriksaan status kesehatan umum seperti penghitungan frekuensi nadi dan denyut jantung, penghitungan frekuensi nafas, pengukuran temperatur tubuh, pengamatan terhadap mukosa, turgor kulit, dan keadaan penting lain kondisi hewan misalnya frekuensi rumen pada ruminansia (Kelly 1984; Anonimus 2007). 2.3.1. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh merupakan temperatur tubuh bagian dalam atau sering disebut dengan temperatur inti (Guyton & Hall 1997). Temperatur tubuh bagian dalam hewan dapat diukur dengan menggunakan termometer yang dapat mengindikasikan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas (Kelly 1984). 23 Pusat pengaturan temperatur tubuh (termoregulasi) terletak di hipotalamus. Fungsi dari pusat pengatur temperatur tubuh adalah mempertahankan agar temperatur tubuh selalu dalam keadaan normal dan konstan. Temperatur tubuh normal merupakan kondisi optimal untuk berlangsungnya semua proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh seperti berdenyutnya jantung, proses pernafasan, pencernaan dan lain-lain (SchÖnbaum & Peter 1991). Temperatur rektum dianggap dapat mewakili temperatur tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan temperatur lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Temperatur tubuh hewan diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum. Menurut Kelly (1984),temperatur rektal normal sapi perah dewasa berkisar antara 37.8-39.2 °C. Menurut Rosenberger (1979), temperatur tubuh normal sapi perah dipengaruhi oleh umur hewan, dimana temperatur hewan muda akan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa. Temperatur dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi temperatur tubuh, dimana temperatur lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan temperatur tubuh 0.5-1 °C. Aktifitas tubuh hewan seperti banyak bergerak atau setelah makan, dapat meningkatkan temperatur tubuh akibat metabolisme yang meningkat. Fungsi dan status reproduksi hewan seperti estrus, kebuntingan, dan partus juga mempengaruhi temperatur tubuh hewan. Panas tubuh dihasilkan dari hasil metabolisme yang berasal dari dalam tubuh. Energi dari pakan akan diubah dalam bentuk panas yang akan disebarkan ke lingkungan dan ke seluruh permukaan tubuh. Apabila temperatur lingkungan melebihi temperatur tubuh hewan dan hewan terpapar oleh radiasi panas, maka hewan akan berusaha melawan panas tersebut. Begitu juga jika hewan terpapar oleh sinar matahari langsung atau berada di dekat dengan benda padat yang lebih hangat dibandingkan dengan temperatur tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin (Cunningham 2002). Apabila temperatur tubuh terlalu panas, maka sistem regulasi temperatur akan mengaktifkan tiga mekanisme untuk menurunkan temperatur tersebut, dengan cara : 24 • Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh akan terjadi vasodilatasi dengan kuat. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit, sehingga panas akan dilepaskan. • Berkeringat. Peningkatan temperatur akan menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme berkeringat, sehingga panas tubuh akan dilepaskan melalui evaporasi. • Penurunan pembentukan panas. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka mekanisme pembentukan panas dalam tubuh seperti menggigil dan termogenesis kimia akan dihambat. Apabila temperatur tubuh terlalu dingin, maka sistem termoregulasi akan mengaktifkan reaksi : • Vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hal tersebut terjadi karena adanya rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Vasokonstriksi akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas ke kulit berkurang sehingga kehilangan panas dapat dicegah. • Piloereksi. Rangsangan simpatis akan menyebabkan otot erektor pili pada folikel rambut akan berkontraksi sehingga akan membentuk lapisan tebal “isolator udara” yang akan mencegah pelepasan panas dari tubuh. • Peningkatan pembentukan panas. Mekanisme tubuh yang akan meningkatkan pembentukan panas adalah menggigil, rangsangan simpatis pembentuk panas dan sekresi tiroksin. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan metabolisme basal tubuh sehingga panas akan terbentuk (SchÖnbaum & Peter 1991; Guyton & Hall 1997). Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh hewan bersentuhan. Panas juga bisa hilang melalui urin dan feses. Pemindahan panas di dalam tubuh dilakukan oleh pergerakan di dalam sistem sirkulasi, jantung dan pembuluh darah (Cunningham 2002). 25 Hipertermia terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas titik kritis temperatur tubuh hewan yang menunjukkan terjadinya kelebihan penyerapan panas atau peningkatan produksi panas dan pengurangan pengeluaran panas. Pada saat hewan mengalami hipertermia, terjadi pula peningkatan frekuensi jantung, frekuensi nafas, pulsus yang melemah, salivasi dan berkeringat. Apabila temperatur mencapai lebih dari 41 °C maka dapat terjadi dyspnea, kolaps, konvulsi, dan koma (Rosenberger 1979; Kelly 1984). Demam terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas kisaran normal (Rosenberger 1979; Kelly 1984). Demam merupakan pertanda terangsangnya sistem pertahanan tubuh akibat adanya infeksi atau benda asing yang dapat membahayakan tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit, dan protein/ substansi asing. Di dalam tubuh senyawa-senyawa tersebut akan bertindak sebagai pirogen eksogen yang kemudian akan merangsang sel-sel petahanan tubuh seperti granulosit, monosit dan makrofag untuk mengeluarkan senyawa yang disebut sebagai pirogen endogen. Pusat termoregulasi di hipotalamus sangat peka terhadap senyawa pirogen endogen ini, sehingga senyawa pirogen endogen mampu mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan set point yang akan disesuaikan tubuh (Lorenz & Larry 1987; Hellon et al. 1991). 2.3.2. Sistem Sirkulasi Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transpor darah yang terdapat di dalam tubuh yang terdiri dari jantung dan sistem pembuluh yang berperan dalam peredaran darah. Jantung merupakan suatu struktur muskular berongga yang bentuknya kerucut. Dasarnya mengarah ke dorsal atau kraniodorsal dan melekat pada struktur-struktur torasik lainnya dengan perantaraan arteri-arteri besar, vena dan kantung perikardial. Puncak atau apeks jantung mengarah ke ventral dan sepenuhnya bebas tak terikat di dalam perikardium (Frandson 1992). Jantung berfungsi sebagai pompa yang akan memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh dengan tekanan tertentu. Sedangkan pembuluh darah merupakan saluran yang mendistribusikan dan mengarahkan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikannya ke jantung. Kualitas sistem 26 kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdenyut dalam satu menit yang disebut dengan frekuensi jantung (Cunningham 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal adalah jenis hewan, karena tiap hewan memiliki frekuensi jantung normal yang berbedabeda. Ukuran tubuh hewan juga mempengaruhi frekuensi jantung. Hewan yang berbadan kecil memiliki pulsus lebih frekuen dibandingkan dengan individu dalam satu spesies namun berbadan lebih besar. Faktor berikutnya yaitu umur, dimana hewan umur muda akan memiliki pulsus yang lebih frekuen. Kondisi tubuh juga sangat mempengaruhi frekuensi pulsus. Pada hewan yang diberi exercise atau aktifitas yang banyak akan menaikkan frekuensi jantung melebihi normal (Kelly 1984). Jenis kelamin juga turut menjadi faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal. Hewan betina akan memiliki pulsus yang lebih frekuen dibandingkan dengan hewan jantan. Hewan yang sedang bunting tua akan memiliki pulsus yang frekuen, dan akan semakin meningkat pada saat partus. Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung adalah laktasi, gerak atau aktifitas tubuh, posisi hewan, terkejut, pada saat mencerna pakan atau pada saat suhu lingkungan menjadi terlalu panas atau terlalu dingin (Kelly 1984). Pengamatan terhadap frekuensi jantung dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri, atau dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah arteri coxygea di bagian sisi rektal atau di bawah ekor pada ruminansia besar seperti sapi. Frekuensi denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55–80 kali per menit, sedangkan frekuensi denyut jantung anak sapi dapat mencapai 100–120 kali per menit. Frekuensi denyut jantung sapi betina yang sedang bunting dapat meningkat hingga 15-40%, dan untuk sapi laktasi akan meningkat hingga 10% (Kelly 1984). Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi dikendalikan oleh impuls dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut saraf simpatis mencapai jantung dari dua saraf vagus, dan serabut-serabut simpatis ke jantung datang dari daerah yang disebut dua stellate ganglia dari sistem saraf simpatis. Stimulasi saraf vagus 27 cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi, dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Setelah perubahan-perubahan itu, arus darah melalui arteri koroner berkurang. Rangsangan simpatis meningkatkan aktivitas jantung, kecepatan konduksi impuls, dan arus darah koroner (Frandson 1992). Rangsangan parasimpatis memungkinkan jantung beristirahat lebih lama pada saat tubuh secara relatif tidak aktif. Namun stimulasi simpatis meningkatkan aktifitas jantung untuk mensuplai banyak darah untuk otot-otot bergaris lintang, hati, dan otak karena peningkatan aktifitas fisik atau ketika seekor hewan sedang mengalami stres (Frandson 1992). 2.3.3. Sistem Respirasi Pernafasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi O2, CO2 dan ion hidrogen dalam cairan tubuh, sehingga fungsi jaringan dapat terus berlangsung. Pengaturan fungsi pernafasan diperlukan untuk mempertahankan keadaan tersebut. Fungsi pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons yang merupakan pusat pernafasan. Di dalam substansi retikularis medulla oblongata terdapat pengaturan inspirasi dan ekspirasi yang mengatur irama dasar pernafasan. Sedangkan pusat pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang mempengaruhi kecepatan dan irama pernafasan terdapat di dalam pons (Frandson 1992). Pernafasan terjadi melalui dua proses, yakni pernafasan luar (eksterna) dan pernafasan dalam (interna). Pernafasan luar merupakan absorbsi O2 dan pembuangan CO2 dari tubuh secara keseluruhan, sedangkan pernafasan dalam merupakan pertukaran gas antara sel-sel dan medium cair (Frandson 1992). Udara atau gas yang masuk (inspirasi) dan udara yang keluar (ekspirasi) pada saluran pernafaan disebut juga volume tidal. Respiratory rate adalah jumlah inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya. Volume tidal dan respiratory rate (frekuensi pernafasan) akan menghasilkan volume pernafasan per menit (minute volume). Pernafasan yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan pernafasan yang dalam akan meningkatkan volume tidal (Frandson 1992; Ganong 2002). 28 Masuk dan keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru-paru akan mengembang, sedangkan pada masa ekspirasi paruparu akan menguncup. Pernafasan dapat dilakukan dengan sengaja dan reflektoris (spontan). Pernafasan spontan ditimbulkan oleh rangsangan yang ritmis neuromotoris yang menginervasi otot-otot pernafasan. Rangsangan ini secara keseluruhan tergantung kepada impuls-impuls syaraf otak. Pernafasan berhenti bila medulla spinalis dipotong melintang di atas nervus phrenicus (Frandson 1992; Ganong 2002). Pernafasan yang dalam dan cepat disebabkan oleh stimulasi pusat respirasi untuk meningkatkan ventilasi pulmoner dan pertukaran gas melintasi membran respirasi. Hal ini diatur secara neurogenik dan humorokimia yang melibatkan input saraf kolateral dari korteks motor otak, umpan balik dari otot dan proprioreseptor persendian seperti pada waktu latihan fisik, dan faktor humorokimia dari CO2 darah, dan konsentrasi ion H+ (Frandson 1992; Ganong 2002). Pernafasan terjadi secara pendek dan cepat bila hewan terkejut, takut atau kepanasan. Frekuensi pernafasan merupakan salah satu indikator yang tepat bagi status kesehatan hewan ternak. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran tubuh, umur hewan, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984). Pernafasan akan dipercepat bila hewan terkejut, setelah banyak bergerak atau dalam keadaan demam. Penyakit pada paru-paru, penyakit jantung, obstruksi pada jalan hawa sebelah atas dan keadaan dimana pernafasan menyebabkan kesakitan (misalnya pleuritis, peritonitis) dan pada anemia juga menyebabkan percepatan pernafasan. Sedangkan pernafasan yang diperlambat jarang terjadi. Pada beberapa penyakit otak, stenosis jalan hawa sebelah atas dan pada uremia kadang-kadang menyebabkan perlambatan pernafasan. Frekuensi nafas sapi dewasa normal adalah 10–30 kali per menit, sedangkan anak sapi dalam masa pertumbuhan memiliki frekuensi nafas normal 15–40 kali per menit (Kelly 1984). Parameter yang perlu diperhatikan dalam 29 pemeriksaan sistem pernafasan adalah kecepatan pernafasan (inspirasi/menit), tipe pernafasan, ritme atau irama dan dalamnya pernafasan (intensitas) (Ganong 2002). 30