tinjauan terhadap arbitrase syariah sebagai alternatif - journal-ums

advertisement
TINJAUAN TERHADAP ARBITRASE SYARIAH SEBAGAI
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERBANKAN
SYARIAH
Andria Luhur Prakoso
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected]
P
Abstrak
erkembangan dunia bisnis yang semakin pesat dalam era globalisasi mengakibatkan
meningkatnya sengketa yang terjadi diantara pelaku bisnis. Upaya untuk menyelesaikan
sengketa tersebut dapat dilakukan melaui dua cara yaitu jalur litigasi dan non litigasi.
Undang undang perbankan syariah mengatur juga bahwa penyelesaian sengketa antara pihak
bank dan nasabah dapat diselesaikan secara litigasi dan non litigasi. Untuk non litigasi dapat
mengunakan model Arbitrase Syariah yang di Indonesia dijalankan oleh BASYARNAS.
Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimanakah kedudukan dan kewenangan Arbitrase
Syariah sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah serta bagaimanakah
kendala dalam pelaksanaan arbitrase syariah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif, dengan tujuan untuk memecahkan isu hukum dan memberikan
gambaran preskripsi mengenai apa yang seyogyanya. Hasil pembahasan menunjukan bahwa
Arbitrase Syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara kelembagaan
dilakukan oleh BASYARNAS dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah yang secara
konstitusional berdasarkan Pasal 29 UUD NRI 1945 dan asas kebebasan berkontrak Pasal
1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dapat dijalankan dan tidak bertentangan dengan
hukum positif di Indonesia.Kendala dalam pelaksanaan arbitrase syariah khususnya dalam
hal pelaksanaan / eksekusi putusannya karena harus dimohonkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat dengan adanya kemungkinan untuk ditolak apabila dianggap oleh hakim
melanggar ketentuan-ketentuan yang ada pada UUAAPS.
Kata Kunci: Arbitrase Syariah, Perbankan Syariah, Penyelesaian Sengketa
Pendahuluan
Penyelesaian sengketa dalam sistem hukum di Indonesia dapat diselesaikan secara litigasi
dan non litigasi. Perkembangan dalam bidang bisnis, para pelaku usaha lebih memilih untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka dengan pranata penyelesaian sengketa
non litigasi. Berbagai hal yang melatarbelakangani kecenderungan tersebut antara lain
disebabkan oleh berbagai kelemahan dari pengadilan sebagai penyelenggara pranata litigasi
mulai dari lamanya proses, sifat pemeriksaan yang terbuka, dan kemampuan generalis dari para
hakim. Sedangkan para pengusaha lebih memilih pranata non litigasi karena cepatnya proses
penyelesaian, kompetensi pihak yang berperan sebagai penengah dan lain-lain.
Perkembangan pranata penyelesaian sengketa non litigasi di Indonesia ditandai dengan
lahirnya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UUAAPS) yang didalamnya menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dapat diselesaikan dengan cara konsultasi,negosiasi, mediasi, konsolidasi, penilaian
ahli, dan Arbitrase.
Penyelesaian secara Arbitrase lebih banyak dibahas dalam undang undang ini sehingga
menjadikan undang undang ini sebagai umbrella act aturan tentang arbitrase. Bahwa arbitrase
dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan termasuk juga perbankan
Tujuan Terhadap Arbitrase...-Andria Luhur Prakoso
59
menjadikan lembaga arbitrase semakin berkembang di berbagai sektor termasuk di bidang
perbankan syariah. Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan
hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun
2004.2 Di tahun 2002, Bank Indonesia memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha
Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan
Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.3 Terhitung sejak
tanggal 16 Juli tahun 2008, industri perbankan syariah Indonesia secara resmi memasuki era
baru sehingga Indonesia telah resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu Undang-undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pada prinsipnya undang undang perbankan syariah mengatur juga bahwa penyelesaian
sengketa antara pihak bank dan nasabah dapat diselesaikan secara litigasi dan non litigasi. Untuk
non litigasi dapat mengunakan model Arbitrase namun tentunya dalam teknis pelaksanaannya
tidak dapat hanya berpedoman pada UUAAPS tahun 1999 sehingga diperlukan kajian
mendalam mengenai konsepsi, prinsip-prinsip, dan juga teknis penerapan arbitrase syariah
untuk menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menfokuskan pembahasan tulisan ini pada
dua pokok permasalahan tentang bagaimanakah kedudukan dan kewenangan Arbitrase Syariah
sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah serta bagaimanakah kendala dalam
pelaksanaan arbitrase syariah di Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini berdasarkan bidang kajiannya adalah termasuk penelitian hukum normatif,
dengan tujuan untuk memecahkan isu hukum dan memberikan gambaran preskripsi mengenai
apa yang seyogyanya. Sumber-sumber penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian
ini berupa : (1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang undangan yang mengatur
mengenai arbitrase di Indonesia yaitu Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, (3) Bahan bahan non hukum, yaitu
bahan di luar bidang ilmu hukum yang penulis gunakan untuk memperkaya wawasan dan
membantu dalam memahami persoalan hukum dalam penelitian ini sepanjang relevan dengan
bidang penelitian.
Untuk analisis terhadap hasil penelitian, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
pendekaran undang-undang (statutory approach) yaitu melakukan kajian terhadap ketentuan
perundangan yang relevan dengan isu yang dibahas.
Pembahasan
1. Kedudukan Arbitrase Syariah dalam Sistem Hukum Indonesia
a. Konsepsi Arbitrase Syariah di Indonesia
Pengertian Arbitrase menurut Black ‘s law Dictionary yaitu “ Arbitration, a process
of dispute resolution in which a neutral third party (arbitrator) renders a decision after
a hearing at which both parties have an opportunity to be heard. Where arbitration is
voluntary, the disputing parties select the arbitrator who has the power to render a binding
decision.”102 Sedangkan Kamus Hukum Ekonomi memberikan pengertian bahwa arbitrase
adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas
102 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, dalam Muhammad Arifin , Arbitrase Syariah sebagai Forum
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016,) 230
60
Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017
persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum
mengikat.103
Arbitrase dalam studi hukum Islam (fiqh) dikenal dengan istilah tahkim. Secara
literal, tahkim berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai sehingga dapat diartikan
menjadikan seseorang sebagai penengah suatu sengketa.104 Fathurrahman Djamil
mengartikan tahkim sebagai pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru
damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang
mereka perselisihkan secara damai.105
Apabila dikaitkan dan dibungkan dari berbagai perspektif mengenai pengertian diatas
dapat ditemukan benang merah keterkaitan antara tahkim dan arbitrase yang merupakan
pranata penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang dapat ditunjuk sendiri
oleh para pihak.
Selain itu, ditemukan beberapa unsur arbitrase dalam hukum Islam (tahkim) yaitu
:106 (1) Bahwa cara penyelesaian atau mengakhiri sengketa melalui hakam (arbiter) di luar
hakim negara (qadha); (2) Bahwa penunjukan hakam (wasit) dilakukan secara sukarela oleh
atau atas persetujuan dan pilihan kedua belah pihak; (3) Bahwa para pihak akan menaati
putusan penyelesaian oleh hakam; (4) Penyelesaian sengketa dilakukan dengan penerapan
hukum syara’; (5) Tujuan penyelesaian dilakukan dengan cara damai; (6) Putusan yang
diberikan hakam bersifat final dan mengikat (final and Binding).
Berbagai unsur diatas semakin menambah keidentikan antara konsep arbitrase dan
konsep tahkim yang mana dapat dikategorikan sebagai penyelesaian sengketa di luar
pengadilan negara dengan wasit atau pihak ketiga dan sifat putusannya final dan mengikat
tanpa adanya upaya hukum lagi.
Arbitrase di Indonesia tunduk pada pedoman-pedoman yang digariskan dalam
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dimana Pasal 5 UUAAPS menerangkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan
hanya sengketa di bidang perdagangan dan terhadapnya dapat diupayakan perdamaian.107
Mengenai arbitrase syariah, di Indonesia memang belum ada aturan khusus yang mengatur
sehingga secara prinsip juga harus tetap tunduk pada pedoman-pedoman dalam UUAAPS
sebagai umbrella act di bidang arbitrase. Untuk kelembagaannya, dalam UUAAPS dapat
dibentuk lembaga arbitrase adhoc yang dibentuk khusus untuk penyelesaian perkara-perkara
tertentu dan lembaga arbitrase institusional yang sudah eksis terbentuk sehingga secara
praktek muncul berbagai jenis lembaga arbitrase yang berkutat khusus di berbagai bidangbidang tertentu misalnya bidang pasar modal, hubungan industrial, lingkungan hidup, dll
termasuk juga di bidang syariah. Kesemuanya itu secara normatif tidak melanggar aturan
yang ada di UUAAPS.
Arbitrase syariah di Indonesia dapat dikatakan sebagai perkembangan dari tahkim
yang telah ada atau dikenal dalam hukum Islam. Keberadaan arbitrase syariah memang
hanya dikhususkan untuk penyelesaian sengketa di bidang muamalah yang dilakukan
secara syariah. Sehingga arbitrase syariah hanya menangani dan menyelesaikan sengketa
103 A.F. Elly erawaty dan J.S.Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, (Jakarta : Proyek ELIPS, 1996), 5
104 Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), 98
105 Fathurrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, dalam Satria Effendi M.Zein,et.al, Arbi-
trase Islam di Indonesia, (Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994), 31
106 Muhammad Arifin , Arbitrase Syariah, 231
107 Pasal 5 UUAAPS menyatakan :(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Tujuan Terhadap Arbitrase...-Andria Luhur Prakoso
61
yang muncul atas akad108 yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Meskipun
sifatnya hanya sektoral, arbitrase syariah tetap merupakan bagian dari arbitrase nasional
di Indonesia.
b. Prinsip Syariah dalam hukum positif Indonesia
Hukum yang berlaku di Indonesia untuk mengatur masalah keperdataan sampai saat
ini bersifat pluralisme dalam arti ada tiga sumber hukum yang berlaku dan dapat dipilih oleh
penduduk Indonesia yaitu Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum kodifikasi peninggalan
Belanda. Hukum Adat tumbuh dan berkembang seiring dengan adanya peradapan dan
menjadi sumber hukum tertua yang tumbuh di masyarakat, Hukum Islam tumbuh seiring
dengan persebaran agama Islam di Indonesia dan ada pendapat yang menyatakan bahwa
ketika seseorang yang memeluk agama Islam maka secara prinsip juga mengakui keberadaan
dan keberlakuan hukum Islam. Sedangkan hukum peninggalan Belanda tumbuh seiring
kolonialisme dan beberapa aturan masih diterapkan untuk mencegah adanya kekosongan
hukum di Indonesia.
Eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional dapat teraktualisasi dalam empat
bentuk yaitu :109 (1) Sebagai bagian integral dari hukum nasional; (2) Diakui kemandirian,
kekuatan, dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional;
(3) Berfungsi sebagai penyaring bagi materi hukum nasional; (4) Menjadi bahan dan unsur
utama bagi pembentukan hukum nasional.
Menurut Hazairin110, keberadaan hukum Islam secara konstitusional diakui dalam
Konstitusi Indonesia yaitu ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945111 yang merupakan penjabaran
normatif dari Sila Kesatu Pancasila. Sehingga untuk penduduk Indonesia yang beragama
Islam ketentuan ini memberi kebebasan untuk beribadah dan negara harus memperhatikan
keberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya melalui peraturan perundang-undangan serta
melindungi penganut agama Islam dari hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syariah
bagi umat Islam.
Berkaitan dengan perkembangan kegiatan ekonomi syariah saat ini maka ada dua
kecenderungan perkembangan hukum Islam di Indonesia yaitu :112 (1) Hukum Islam
mengalami pergeseran orientasi yang fokus kepada persoalan ibadah (hablum minallah)
bergeser menjadi persoalan muamalah ( hablum minannas); (2) Perkembangan dari
Hukum Islam itu sendiri yang awalnya dalam perdebatan hukum hanya mengacu pada
mazhab yang dipegang selama ini yakni mazhab Syafi’i, dalam perkembangannya juga
telah menjadikan mazhab lain seperti Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah bahkan pikiranpikiran diluar mazhab tersebut yang masih dianggap sejalan dan tidak bertentangan dengan
prinsip Islam
Untuk kegiatan ekonomi syariah termasuk di dalamnya perbankan dan kegiatan
muamalah lainnya seperti perdagangan, sebagian memerlukan campur tangan atau
kekuasaan negara untuk mengatur meskipun sebagian juga tidak. Sedangkan untuk
108 Istilah akad dalam bahasa arab disebut sebagai “perjanjian” dalam hukum positif Indonesia. Syamsul Anwar
109
110
111
112
62
menyebut bahwa akad sebagai pertemuan ijab kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad
dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2007), 68.
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), 71
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), 33 -34
Pasal 29 UUD NRI 1945 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.
Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara : Studi Kasus Hukum Keluarga
dan Pengkodifikasiannya, (Bandung : Mizan, 1993), 15
Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017
kegiatan ibadah antara manusia dan Tuhan secara vertikal tidak memerlukan campur
tangan kekuasaan negara.113
Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagai lex generalis dalam kaitan dengan
peraturan di bidang keperdataan memberi peluang kepada setiap penduduk Indonesia untuk
memilih atau menundukkan diri baik dalam aturan hukum adat, hukum kolonial Belanda,
maupun hukum Islam meskipun yang bersangkutan penganut agama Islam ataupun bukan.
Termasuk juga dalam lalu lintas kegiatan di bidang perbankan syariah. Asas kebebasan
berkontrak yang berlaku berdasarkan Pasal 1338114 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata menjadi dasar dapat dijalankannya arbitrase syariah sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah. Sehingga secara konstitusional
berdasarkan Pasal 29 UUD NRI 1945 maka prinsip syariah dapat dijalankan di Indonesia
dan juga berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata.
c. Kedudukan dan Kewenangan Arbitrase Syariah dalam Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah
Secara umum, aturan pokok mengenai arbitrase terdapat dalam Undang Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS).
Undang undang tersebut lahir didasarkan pada Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah
dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 1999. Pasal 3 Undang Undang Kekuasaan
Kehakiman Tahun 1970 menyebutkan “Penyelesaian perkara di luar pengadilan,atas dasar
perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan.” Selanjutnya wujud formal
dari ketentuan pasal itu diwujudkan melalui UUAAPS. Perkembangan undang undang
tentang kekuasaan kehakiman sampai dengan saat ini melalui Undang Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman115 pun tetap mengakui lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (salah satunya arbitrase) bahkan lebih rinci dibanding undang
undang kekuasaan kehakiman sebelumnya. Keberadaan UUAAPS menjadi penting sebagai
umbrella act untuk keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah.
UUAAPS menjadi pedoman dalam pelaksaanaan penyelesaian sengketa secara
arbitrase di Indonesia, baik lembaga arbitrase adhoc yang baru dibentuk ketika ada
permasalahan maupun lembaga arbitrase konstitusional yang telah eksis seperti BANI
dan BASYARNAS. Pasal 3 UUAAPS116 secara tegas menjelaskan mengenai kompetensi
absolut yang dimiliki oleh pranata arbitrase ini. Sehingga apabila para pihak yang terlibat
sengketa di bidang perdata termasuk perbankan syariah dan para pihak tersebut telah
bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase
maka Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama menjadi tidak lagi wenang untuk
memeriksa apabila memutus sengketa tersebut.
113 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakata : Universitas Yarsi, 1999), 56
114 Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang ber-
laku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
115 Pasal 38 ayat(1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman. (2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelidikan dan penyidikan; b. penuntutan; c. pelaksanaan
putusan; d. pemberian jasa hukum; dan e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan. (3) Ketentuan mengenai
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
116 Pasal 3 UUAAPS menyatakan : “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Tujuan Terhadap Arbitrase...-Andria Luhur Prakoso
63
Perjanjian Arbitrase117 yang dimaksud Pasal 3 UUAAPS baik yang berupa Pactum de
Compromitendo maupun Acta Compromis harus dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
terlibat dalam kontrak bisnis tersebut. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa di
bidang perbankan syariah maka apabila dalam akad yang dibuat antara nasabah dan pihak
bank di dalamnya ada klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan maka
memilih arbitrase syariah sebagai lembaga penyelesainya maka pengadilan agama tidak
lagi berwenang untuk mengadili.
Selanjutnya regulasi di bidang perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah juga memberikan legalitas terhadap pelaksanaan arbitrase
sebagai alternatif penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan
pihak bank. Pasal 55 Undang Undang Perbankan Syariah118 menerangkan bahwa sengketa
di lingkungan perbankan syariah dapat diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama atau dapat dilakukan dengan mekanisme lain dicantumkan secara tegas
dalam akad dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Jadi arbitrase
syariah berwenang dan bahkan memiliki kompetensi absolut dalam menyelesaikan
sengketa di perbankan syariah apabila para pihak yang terlibat menyatakan kesepakatan
secara tertulis dan tegas untuk menggunakan arbitrase dalam akad yang mengikat para
pihak tersebut.
d. Kelembagaan Arbitrase Syariah di Indonesia
Pada tahun 1993 dibentuk BadanArbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang
bernama BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) sebagai salah satu upaya
untuk melakukan penyelesaian sengketa di bidang mu’amalat khususnya perekonomian
syariah. Berdirinya BAMUI ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap permasalahan
hukum yang mungkin timbul akibat penerapan hukum mu’amalah oleh lembaga keuangan
syariah yang pada waktu itu telah berdiri. Kemudian selain berpedoman pada UUAAPS,
validitas arbitrase syariah juga diperkukuh melalui Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia). Pendirian BASYARNAS merupakan bentuk hakam
yang dilembagakan secara permanen. Sebagai lembaga permanen, BASYARNAS memiliki
peraturan prosedur yang dijadikan pedoman beracara untuk menyelesaikan sengketa yang
diputus. Sesuai keputusan MUI nomor Kep.09/MUI/XII/2003, BASYARNAS merupakan
lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia yang merupakan perangkat
organisasi MUI yang pengurusnya diangkat dan diberhentikan oleh MUI namun demikian
dalam menjalankan tugasnya BASYARNAS tetap bersifat otonom dan independen.119
Keberadaan BASYARNAS di Indonesia semakin mempertegas pengakuan prinsip
syariah dalam dalam sistem hukum Indonesia. BASYARNAS yang ada saat ini merupakan
lembaga arbitrase institusional yang sah berdasarkan payung hukum arbitrase yaitu
UUAAPS 1999 yang berimplikasi terhadap kemajuan hukum Islam di Indonesia dalam
artian para pihak yang menginginkan putusan atas suatu sengketa ataupun pendapat
mengikat (binding opinion) dari sebuah lembaga arbitrase nasional yang sah dapat memilih
BASYARNAS sebagai lembaganya.
117 Pasal 1 ayat 3 UUAAPS “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang ter-
cantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”
118 Pasal 55 UU Perbankan Syariah menyebutkan ; (1)Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
isi Akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
119 Muhammad Arifin , Arbitrase Syariah 315
64
Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017
2. Kendala dalam Pelaksanaan Arbitrase Syariah di Indonesia
Pelaksanaan arbitrase syariah di Indonesia secara prinsip dilakasanakan oleh BASYARNAS
sebagai satu-satunya lembaga arbitrase institusional yang menyelesaikan sengketa di bidang
ekonomi syariah. Berkaitan dengan kendala dalam pelaksanaan arbitrase syariah dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai kendala dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase syariah.
Sebagai lembaga penyelesaian sengketa, pada dasarnya arbitrase dapat disejajarkan dengan
lembaga peradilan karena putusan yang dihasilkan sifatnya final dan mengikat. Namun salah
satu kelemahan mendasar dari arbitrase adalah tidak memiliki alat kelengkapan sendiri untuk
melakukan eksekusi atas putusan yang dihasilkan sehingga untuk dapat melakukan eksekusi
terhadap putusan arbiter diperlukan campur tangan pengadilan negeri.
Secara umum pedoman yang ada pada UUAAPS menyatakan apabila ternyata tidak
ada itikad baik dari salah salah pihak untuk menjalankan putusan arbitrase dengan sukarela
maka diperlukan upaya paksa. Untuk dapat dilaksanakan secara paksa maka putusan arbitrase
tersebut harus dideponir120 dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan diucapkan dan apabila lewat
jangka waktu ini maka menyebabkan putusan tidak dapat dimohonkan penetapan eksekusi.121
Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 61 jo. Pasal 61 ayat (1) UUAAPS dijelaskan apabila dalam
jangka waktu 30 hari setelah pencatatan dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan
negeri ternyata belum dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak maka salah satu pihak
dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan perintah
pelaksanaan eksekusi secara paksa sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Sebagaimana diketahui bahwa putusan arbitrase
bersifat mandiri, final, dan mengikat maka Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
memeriksa alasan atas pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tetapi kewenangan Ketua
Pengadilan Negeri terbatas pada pemeriksaan secara formal dan terbatas pada ketentuan Pasal
62 ayat (2) UUAAPS.122 Kemudian terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri yang menolak
mengeluarkan penetapan eksekusi diatas maka tidak terbuka upaya hukum apapun.
Di bidang hukum syariah,dengan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 memberikan perluasan kewenangan kepada
Pengadilan Agama. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawaninan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah. Pengadilan Agama juga berwenang untuk
120 Rahmadi Usman,Op. Cit, hlm. 185 menjelaskan bahwa tindakan deponir tersebut berupa penyerahan lembar
asli atau salinan otentik dari putusan kemudian dilakukan pencatatan dan penandatanganan bersama pada
bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya kemudian
catatan tersebut adalah sah sebagai akta pendaftaran putusan arbitrase nasional.
121 Lihat ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan (4) UUAAPS
122 Pasal 62 ayat (2) UUAAPS menyatakan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lihat juga
ketentuan Pasal 4 dan 5 UUAAPS sebagai berikut : Pasal 4 ayat (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui
bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak
jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para
pihak.(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib
disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5 ayat (1) Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian.
Tujuan Terhadap Arbitrase...-Andria Luhur Prakoso
65
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah.123 Kewenangan
Pengadilan Agama ini juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No.
93/PUU-X/2012 yang menghapuskan penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sehingga menjadikan Pengadilan Agama satu-satunya
lembaga Peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Terkait dengan kompetensi pengadilan mana yang berwenang untuk mengabulkan
permohonan untuk eksekusi putusan arbitrase, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat
Edaran No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Angka 4 surat
edaran ini secara tegas menyatakan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak
dilaksanakan secara sukarela, maka berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa,
Ketua Pengadilan Agamalah yang berwenang memerintakan pelaksanaan putusan Badan
Arbitrase Syariah. Sayangnya, berlakunya SEMA ini tidak bertahan lama. Dengan direvisinya
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa
eksekusi putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariah, dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Umum. Kemudian berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA
No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. Sehingga meskipun secara yuridis
untuk sengketa ekonomi syariah saat ini sudah menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan
Agama namun untuk permohonan eksekusi terhadap putusan arbitrase syariah tetap harus
dimohonkan kepada Pengadilan Negeri.
Ketua Pengadilan Negeri berpedoman pada Pasal 62 UUAAPS dalam mempertimbangkan
apakah mengabulkan permohonan atas putusan arbitrase tersebut atau tidak. Terhadap putusan
arbitrase nasional yang ditolak permohonannya maka tidak terbuka upaya hukum apapun
sehingga putusan arbitrase hanya semacam kemenangan diatas kertas saja. Campur tangan
pengadilan dalam penentuan dikabulkan atau tidaknya permohonan eksekusi ini seakan
menempatkan posisi lembaga arbitrase sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa non
litigasi berada di bawah lembaga litigasi/ pengadilan.
Kesimpulan
Arbitrase syariah sebagai bentuk khusus dari Arbitrase yang berlaku di Indonesia secara
umum tetap berpedoman pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase Syariah dalam menyeleksaikan sengketa
perbankan syariah secara kelembagaan dilakukan oleh BASYARNAS dengan menggunakan
prinsip-prinsip syariah yang secara konstitusional berdasarkan Pasal 29 UUD NRI 1945 dan
asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dapat dijalankan
dan tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
Kendala dalam pelaksanaan arbitrase syariah khususnya dalam hal pelaksanaan / eksekusi
putusannya karena harus dimohonkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan adanya
kemungkinan untuk ditolak apabila dianggap oleh hakim melanggar ketentuan-ketentuan yang
ada pada UUAAPS. Secara kelembagaan, campur tangan pengadilan dalam eksekusi putusan
arbitrase syariah seakan menempatkan posisi arbitrase syariah di bawah pengadilan negeri.
123 Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 : “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah.”
66
Jurisprudence, Vol. 7 No. 1 Juni 2017
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul 2007. Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Arifin, Muhammad .2016. Arbitrase Syariah sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Erawaty, A.F. Elly dan J.S.Badudu. 1996. Kamus Hukum Ekonomi. Jakarta : Proyek ELIPS.
Hazairin. 1990. Demokrasi Pancasila. Jakarta : Rineka Cipta.
Ka’bah, Rifyal .1999. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Universitas Yarsi.
M.Zein, Satria Effendi. et.al. 1994. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta : Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia.
Mardani. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
Tebba, Sudirman. 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara : Studi Kasus
Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung : Mizan.
Usman, Rahmadi. 2013. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Tujuan Terhadap Arbitrase...-Andria Luhur Prakoso
67
Download