Jurnal Teologi Vol. I, No. 2, Januari – Juni 2017

advertisement
Jurnal Teologi
ISSN 2579-5678
Vol. I, No. 2, Januari – Juni 2017
STT BMW MEDAN
Jalan Besar Kutalimbaru, Desa Namomirik,
Kec. Kutalimbaru, Kab. Deli Serdang – Sumut, 20354
Email: [email protected]; Hp. 081264067730
Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BINA MUDA WIRAWAN MEDAN
Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO adalah sebuah karya ilmiah Teologi yang
diterbitkan secara berkala oleh STT BMW MEDAN.
Tulisan-tulisan ini merupakan wujud kontribusi pemikiran bagi STT,
gereja dan kekristenan di Indonesia.
Kontributor:
Sri Mulyono, M.Th., Dr. Eliazer Nuban, M.Th., Dr. Freddy Teng, M.Th.,
Yupiter Mendrofa, M.Th., Yulius Enisman Harefa, M.Th.,
Rosiany Hutagalung, M.Th., Rosdiana Purba, M.Th.,
Pelealu Samuel G., M.Th., Alexander Tambunan, M.Th.,
Dr. Binahati Waruwu, M.Pd., Alexander Suranto M.Th.
Para penulis dalam Jurnal ini, merefleksikan pandangan masing-masing
secara unik, dan tetap dalam keyakinan yang tidak bertentangan
sebagaimana diyakini oleh STT BMW MEDAN.
Untuk semua jenis komunikasi yang berkaitan dengan Jurnal Teologi:
BMW-GO, harap menghubungi:
Yulius Enisman Harefa, M.Th. – Sekretaris Pelaksana
Email: [email protected]
Sekretariat Editor:
STT BMW MEDAN
Jalan Besar Kutalimbaru
Desa Namomirik, Kecamatan Kutalimbaru
Kabupaten Deli Serdang – Sumatera Utara, 20354
Email: [email protected]. HP: 081264067730
Diterbitkan oleh:
STT BMW MEDAN
Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO
Terbit pada tahun 2017
Vol. I, No. 2, Januari – Juni 2017
Dewan Penasehat:
Suranto, M.Th. (Pengurus Akademik YMRI)
Pelealu Samuel G., M.Th. (Ketua LPMI STT BMW MEDAN)
Pemimpin umum / penanggungjawab:
Sri Mulyono, M.Th. (Ketua STT BMW MEDAN)
Pimpinan Redaksi:
Dr. Binahati Waruwu, M.Pd.
Redaksi:
Dr. Eliazer Nuban, M.Th.
Dr. Freddy Teng, SE., M.Th.
Yupiter Mendrofa, M.Th.
Redaktur Pelaksana:
Yulius Enisman Harefa, M.Th.
Administrasi/Sirkulasi:
Tabita Br. Sembiring, S.Th.
Erni Telaumbanua, S.PAK
Meldi Atur Tambunan, S.Th.
ISSN 2579-5678
KATA SAMBUTAN
Atas anugerah Tuhan Yesus Kristus sebagai sumber hikmat telah
memberi kesempatan kepada STT BMW MEDAN untuk menerbitkan Jurnal
Teologi: Jurnal BMW-GO volume 1, nomor 2, Januari – Juni 2017. Tiga pilar
yang menjadi pijakan proses belajar mengajar tetap tertuang dalam
pemikiran-pemikiran kritis pada jurnal ini.
Terbitnya edisi kedua ini sebagai lanjutan atas kesadaran mengamati,
meneliti, dan menganalisa hingga pada kerinduan untuk menulis yang telah
dimulai dalam terbitan jurnal perdana. Dengan demikian, kehadiran Jurnal
Teologi: Jurnal BMW-GO ini, diharapkan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi dan sumbangsih ilmiah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya menyampaikan terimakasih kepada para penulis yang telah
bekerja keras untuk menghasilkan tulisan-tulisan dalam jurnal ini sebagai
pengembangan iklim akademis di STT BMW MEDAN. Segala masukan dan
saran dari pembaca terhadap jurnal ini, kami siap menerimanya demi
peningkatan kualitas Jurnal Teologi ini.
Akhir kata, kiranya Tuhan membalas segala kebaikan setiap pihak
yang mengambil bagian dalam pekerjaan ini. Biarlah Kristus selalu mendapat
kemuliaan sebesar-besarnya dalam setiap pelayanan kita.
Medan, 02 April 2017
ii
ISSN 2579-5678
DAFTAR ISI
Kata Sambutan ......................................................................
Daftar Isi ...............................................................................
Integrasi Pelayanan Konseling dan Misi Kristen:
suatu upaya Pendekatan Terapan dalam Pelayanan
Sri Mulyono ...............................................................
1-36
Pengaruh Kualitas dan Pemahaman Disiplin Gereja
Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus terhadap Iklim
Pelayanan di Gereja Metodist Indonesia Jemaat
“Gloria” Medan
Freddy Teng ..............................................................
37-70
Studi Eksegesis Filipi 2:5-11 tentang Kenosis dan
Hubungannya dengan Doktrin Tritunggal
Yupiter Mendrofa .....................................................
71-104
Waspadai Tanda-Tanda Akhir Zaman “666” Fiktif
atau Kenyataan
Eliazer Nuban ...........................................................
105-128
Spiritualitas dalam Perspektif Teologi Injili dan
Penerapannya bagi Pembinaan Rohani di Pendidikan
Suranto ......................................................................
129-142
Paradigma Membangun Generasi Emas 2045 Kajian
Filsafat Ilmu Pendidikan
Binahati Waruwu .....................................................
143-166
Karakteristik Kemesiasan Yesus
Yulius Enisman Harefa ............................................
167-196
iii
ii
iv
INTEGRASI PELAYANAN KONSELING DAN MISI
KRISTEN: SUATU UPAYA PENDEKATAN TERAPAN
DALAM PELAYANAN
Oleh: Sri Mulyono
ABSTRAK
Manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Ia dijadikan dan
hidup dalam kasih Allah serta dalam keadaan yang mengagumkan. Pun
demikian dosalah yang menjadikan manusia itu jauh dari Allah, manusia
mempunyai masalah dan selalu bermasalah di hadapan manusia dan Allah.
Masalah itu perlu diselesaikan menurut kehendak Allah. Konseling
merupakan istilah dalam penanganan masalah. Pun demikian tidak semua
konseling adalah pemecahan masalah menurut kehendak Allah. Konseling
yang tidak mendasarkan pada kehendak Allah adalah pemecahan masalah
yang bersifat humanistik – antropologis. Konseling kristen merupakan upaya
pemecahan masalah dalam kehendakNya. Konseling Kristen akan lebih ideal
jika bermuara pada misi Allah yang seutuhnya. Pelayanan konseling dan misi
seharusnya berjalan paralel. Praktek pelayanan konseling pada fase tertentu
klien terbuka kesadarannya untuk insaf dari dosanya serta menerima Injil.
Ketika hal itu terjadi maka pelayanan konseling telah menjadi jembatan bagi
pelayanan misi Allah. Pun demikian sering juga terjadi ketika sedang
melakukan pelayanan misi dalam bentuk percakapan penginjilan pribadi,
klien menyampaikan persoalan-persoalan hidup – dan perlu upaya
penanganan dan pemecahan masalahnya; kenyataan ini menjadikan
pelayanan misi (melalui PI) menjadi jembatan bagi terlaksananya pelayanan
konseling. Konseling bisa mengarah pada penyampaian injil atau sebaliknya
penginjilan bisa mengarah pada konseling. Ketika keduanya bisa berjalan,
maka pelayanan tersebut telah menjadi jembatan yang bisa saling terintegrasi.
Mengintegrasikan berarti menyatukan, upaya mencapai kebulatan secara
utuh. Konseling Kristen seharusnya dilakukan dalam kaitan dengan misi
Allah yang seutuhnya atau sebaliknya.
ISSN 2579-5678
Frasa kunci: Pelayanan konseling; Pelayanan Misi; Jembatan; Integrasi
A. PENDAHULUAN
Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia.
Berbicara tentang manusia selalu menarik dan actual (Kejadian 1:26, 27).
Terdapat gambaran utuh, karena manusia diciptakan menurut rupa dan
gambarNya, dengan demikian manusia memiliki pribadi utuh dan mulia
sebagaimana sifatNya. R. Laird Harris, menulis “Man was made in God’s
image and likeness which is then explaned as him dominan over God’s as
vicergent.”1 Sungguh mengagumkan bagi manusia yang memahami potensi
dirinya di hadapan Allah. Lebih lanjut Rick Warren mengatakan “Manusia
diciptakan oleh Allah dan untuk Allah – dan sebelum manusia memahaminya,
kehidupan tidak akan pernah bisa dipahami2. Semua yang dijadikan Tuhan
dengan keagunganNya meskipun sulit dipahami, bukan berarti tanpa arah dan
tujuan. Hal ini merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep
Deisme, yaitu ditegaskan setelah Allah menciptakan segala sesuatu,
kemudian Ia membiarkan begitu saja tanpa ada tujuannya. Stepent Tong
menegaskan dengan tegas “Ketika Tuhan menciptakan alam semesta, satu hal
yang tidak dikenal oleh orang di luar kekristenan adalah bahwa alam semesta
ini mempunyai tujuan. 3 Artinya, Allah menciptakan segala sesuatu dengan
tujuan; yaitu untuk Dia sendiri. Tujuan itu dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia
(Roma 11:36). Dari Dia berarti, Tuhanlah sebagai sumbernya; oleh Dia
artinya, Tuhanlah media untuk mencipta; dan kepada Dia artinya, Tuhan yang
menerima pertanggungjawabannya. Searah dengan pengertian ini Stepen
Tong mengatakan: kalau kita memahami hal ini, maka kita menyadari bahwa
segala sesuatu berada dalam titik kesinambungan dimana manusia harus
1
R. Laird Harris, Theological Wordbook of the Old Testament, (Cicago: Moddy Press,
1998), 767.
2
Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan
(Malang: Gandum Mas, 2006), 18
3
Stepen Tong, Mengetahui Kehendak Allah, (Surabaya: Momentum, 1999), 29.
Masih kaitan dengan hal tersebut kata tujuan diambil dari istilah Yunani “Telos, yang berarti
tujuan atau makna terakhir.
2
ISSN 2579-5678
menjawab secara totalitas di hadapan Tuhan.4 Manusia harus menjadi
reflector dari kemuliaan Allah yang telah menjadikannya; manusia harus
memancarkan kehormatan dan kemuliaan Allah; manusia harus bisa
mewakili Allah untuk menguasai dunia. Alam telah diserahkan kepada
manusia oleh Allah untuk dikuasai, diusahakan dan dipelihara Kej. 2:15).
Manusia yang diciptakan menurut peta dan gambar Allah itu telah
gagal menempatkan diri di bawah Allah sebagaimana maksud dan tujuanNya,
manusia itu berusaha menempatkan diri di atas Allah sebagaimana yang tidak
dikehendaki oleh Allah. Rick Warren menegaskan: “Banyak orang berupaya
memanfaatkan Allah untuk aktualisasi diri mereka sendiri, tetapi ini
merupakan pemutarbalikan dan pasti gagal.5 Upaya menempatkan diri di atas
Allah adalah pemutarbalikan penolakan terhadap ketentuan Allah. Lebih
lanjut Rick Warren menjelaskan bahwa manusia dijadikan untuk Allah dan
bukan sebaliknya, dan berarti hidup membiarkan Allah memakai manusia
bagi tujuannNya. Kegagalan manusia menempatkan diri sebagaimana yang
ditentukanNya telah menjadikan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia
cacat dan tercela. Hal itu telah menjadikan dirinya menjadi berdosa, sehingga
manusia menjadi yang dipersalahkan di hadapan Allah. Roma 3:23 tertulis:
“Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah.” Keberdosaan manusia telah menjadikan dirinya rusak, kecenderungan
dirinya selalu menyimpang. Anthony A. Hoekema mengatakan bahwa
kecemaran manusia karena dosa menjadikan natur kita yang merupakan hasil
dari dosa, pada gilirannya menghasilkan dosa lebih lanjut.6 Pendapat yang
sama dikemukakan Calvin: “Man’s disposition voluntarily so inclines to
falsehood that he more quickly derives error from one word than truth from a
wordy discourse”7 demikian juga dosa memimpin kepada berbagai persoalan
berkepanjangan dalam berbagai demensi kehidupan yang harus disikapi
dengan serius. Kini manusia telah menjadi hamba dosa, menjadi cemar, nilai
4
Ibid.
Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan
(Malang: Gandum Mas, 2006), 18, oleh (Marthin Luther) disebut: hakekat dosa adalah
manusia didalam segala sesuatu mencari kepentingannya sendiri dan bukan Allah.
6
Anthony A Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah, (Surabaya: Momentum, 2009),
256.
7
_________, Institues of the Christian Religion, Book II, Chapter II, 7.
5
3
ISSN 2579-5678
kepribadiannya menjadi merosot, terpisah dari Allah, nilai dan makna
hidupnya menjadi kosong dan tak berarti. Dosa menjadikan relasi manusia
dengan Allah (vertikal), maupun sesamanya (horisontal) rusak. Relasi yang
rusak menjadikan tujuan Allah terhadap manusia telah menyimpang, dari
memuliakan menjadi melawan Allah. Semua keteraturan tatanan yang Allah
tetapkan, kini telah saling memangsa, membenci, bahkan lebih dari hal itu
adalah hukuman kekal dari Allah harus ditanggung oleh manusia (Kisah.
28:27, ef. 2:2; 4:18, Matius 13:15, Roma 8:7; 5:12, 6:21). Pendapat yang
serupa disampaikan oleh Geoger W Peters: dosa mendatangkan murka Allah
dan menyebabkan pemisahan kekal dari Allah , yaitu kematian8. Masalah
dosa harus diselesaikan, dipulihkan sehingga memulihkan kembali manusia
yang terhilang di hadapan Allah. Selama bertahun-tahun bahkan sepanjang
abad manusia hidup dalam pengembaraan, hidup terasing dari Allah. Apa
yang dikerjakannya mencederungkan diri menentang Allah, meskipun
manusia berusaha hidup baik tetapi yang keluar adalah kejahatan semata
(Roma 7:19-20). Kabar baik Allah datang di tengah dunia yang bergolak
dalam dosa, kabar baik itu adalah penyelesaian dosa. Kabar baik itu telah
diberitahukan (Kejadian 3:15; Yesaya 9:5; Mikha 5:1). Kehadiran sang
penolong itu telah disaksikan, dirasakan oleh banyak orang: Maria yang
melahirkan (Matius 1:18-25; Lukas 2:1-6), para majus dari timur (Matius 2:112), Bartimeus yang buta (Mrk 10:46-52), Zakeus pemungut cukai yang
korupsi (Luk. 19:1-10), Lazarus dibangkitakan dari kematian (Yoh. 11:1-44),
Perempuan Samaria yang pendosa (Yoh. 4:1-42) dan banyak lagi yang lain.
Karya penyelamatan itu telah digenapi: penumpahan darah telah dilaksanakan
(Ibrani 9:22); kematian dan kebangkitanNya telah nyata (I Kor. 15:3,4). Jadi
Pemulihan pengampunan dosa hanya ada dan akan terjadi melalui deklaratif
Allah. MelaluiNya manusia berdosa dapat diselamatkan (Kisah 4:12); Dia
satu-satunya jalan pendamaian yang telah ditetapkan oleh Bapa (Yoh. 14:6).
Ini semua adalah bentuk deklaratif injil yang diperdengarkan, sehingga
manusia menerima Juruselamat.
Perlu pemecahan tuntas sehingga dunia kembali seperti maksud
Allah semula. Dosa adalah sumber masalah, hal tersebut akan selesai dengan
8
Geoger W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum
Mas, 2006), 18-19.
4
ISSN 2579-5678
berita injil (Missio Dei). Pemecahan masalah dalam kontek keilmuan
dimaksud “konseling” kata tersebut mengandung arti membimbing,
mendampingi, menuntun, dan mengarahkan; Juga adalah Misi. Konseling
adalah pelayanan yang menolong jemaat yang dilakukan dalam bentuk
komunikasi.9 Ada banyak upaya konseling tidak bermuara pada penyelasaian
pada subsatnsi masalah konsele yang bermasalah. Begitu juga ada banyak
upaya perbuatan misi yang tidak menyentuh substansi masalah setiap klien.
Memang konseling tidak sama dengan pekabaran injil. Tetapi tujuan utama
pelayanan konseling tidak mungkin dipisahkan dari tujuan utama pekabaran
injil, yaitu kehidupan yang berkelimpahan dalam Tuhan Yesus Kristus. 10
Pelayanan konseling seharusnya selalu bermuara pada upaya deklaratif Injil;
itulah idealnya. Penulis mengamati focus pelayanan konseling terkadang
hanya sampai pada pemecahan masalah pragmatis, menyenangkan,
membahagiakan konsele terbebas dari masalahnya saja. Pelayanan konseling
tidak menyentuh dosa, padahal itulah akar masalahnya. Ada frasa (tidak
semua, tetapi kebanyakan) yang terlupakan, yaitu terjadinya deklaratif Injil
kepada konsele. Konseling harus bermuara pada misi. Maka Konseling telah
menjadi jembatan untuk masuk dalam perbuatan misi Allah. Demikian juga
upaya misi harus bermuara pada Konseling, maka pelayanan misi telah
menjadi jembatan dalam pelayanan konseling.
Bagaimana keduanya bisa dilakukan secara utuh dan bersinergi?
Integrasi pelayanan konseling dan misi adalah dua hal yang tidak lazim;
namun merupakan paralel yang semestinya dilaksanakan secara konsisten.
Pelayanan konseling merupakan upaya penyelesaian masalah yang
seharusnya dilaksanakan bagi setiap mereka yang dilanda berbagai demensi
masalah yang berakar pada dosa. Demikian serius dosa maka perlu jalan
keluar yang memadai. Substansi penyelesaiannya hanya melalui menerima,
percaya kepada Yesus Kristus – menerima Injil yang menyelamatkan (Misi).
Pelayanan konseling adalah upaya pemecahan masalah seseorang, sumber
masalah adalah dosa karena pelanggaran kepada Allah.
9
Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22.
Yakub Susabda, Pastoral Konseling Vol. 1, (Malang: Gandum Mas,), 23.
10
5
ISSN 2579-5678
B. PENGERTIAN KONSELING DAN MISI KRISTEN
B.1. Konseling
Kata “konseling” mengandung arti membimbing, mendampingi,
menuntun, dan mengarahkan. Konseling adalah pelayanan yang menolong
jemaat yang dilakukan dalam bentuk komunikasi11 Lebih lanjut Collins
mengatakan pendapatnya: konseling adalah hubungan timbal balik antara
dua individu, yaitu konselor yang berusaha menolong atau memimbing dan
konsele yang membutuhkan pengertian untuk persoalan hidupnya. 12 Searah
dengan pendapat sebelumnya, Abineno dalam bukunya memaparkan,
Pastoral konseling adalah usaha yang dijalankan oleh pastor untuk membantu
orang, agar ia dapat menolong dirinya dari konflik yang dialami13. Garry R
Collins berpendapat bahwa konseling adalah hubungan timbal balik antara
dua individu14, yaitu konselor yang berusaha menolong atau membimbing
dan konsele yang membutuhkan pengertian untuk mengatasi persoalan yang
dihadapinya.15 Lebih lanjut Yakub Susabda memberikan definisi yang sama,
yaitu
Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara hamba Tuhan
(Pendeta, penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konselenya (klien, orang
yang minta bimbingan) dalam mana konselor berusaha membibing
konselenya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal
(conducife atmosphere) yang memungkinkan konsele itu betul-betul dapat
mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri,
persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia berada, sehingga ia mampu
melihat tujuan hidupnya dalam realsai dan tanggungjawabnya pada Tuhan
11
12
Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22.
Garry R. Collins, Konseling Kristen yang Efektif, (Malang: Literatur SAAT, 1989),
3
13
Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), 31.
14
Tentu timbalik yang dimaksud adalah dialok dan bukan monolog yang terjadi antara
konselor dan konselenya, yang bisa melibatkan seluruh aspek kehidupan mereka masingmasing. Pun demikian kehadiran seorang konselor tidak sedang bertindak sebagai
pengkotbah seperti di atas mimbar yang memberitakan firman Tuhan, nasehat, teguran
mapun ajaran konselenya. Perlu disadari pula sedang berhadapan dengan seorang pribadi
yang utuh, yang masing-masing memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan hidupnya.
15
Garry R Collins, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010),
13.
6
ISSN 2579-5678
dan mecoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan
seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. 16
Dapat diartikan bahwa konseling merupakan upaya yang
dikerjakan oleh seorang konselor untuk menolong, menghibur, menguatkan
dalam persepektif pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh seorang
konsele. Karena itu konseling adalah pelayanan menolong jemaat yang
dilakukan dalam bentuk komunikasi. Dalam komunikasi itu terjadi interaksi
timbal balik sehingga konsele dapat menemukan jalan keluar melalui
perubahan hidup dan perilaku. Interaktif yang diharapkan dapat membawa
pengaruh-pengaruh tertentu, memahami, mengajak berpikir, mencari
alternative solusi serta mendorong adanya sikap dan perbuatan positif. Lebih
lanjut ditegaskan oleh Yakub Susabda bahwa pelayanan konseling adalah
pertanggungjawaban hamba Tuhan atas kedalaman firman Tuhan. 17
Demikian dapat kita katakan bahwa peran dan peranan hamba
Tuhan sebagai konselor sangat menentukan pemecahan yang diharapkan
oleh konsele, tentu dengan tetap menggantungkan kuasa dari Roh Kudus
yang empunya keabsolutan kuasaNya. Pun demikian tidak dapat dipungkiri
juga bahwa peran itu sangat ditentukan juga oleh kemampuan hamba-hamba
Tuhan dalam mengintegrasikan (mengawinkan dan mengharmonisasikan)
pemikiran Theologi dan psikologi jika diperlukan. Theologi terkait dengan
soal kepastian bukan asumsi, sedangkan psikologi terkait dengan analisaanalisa yang mengarah pada asumsi atau praduga-praduga tertentu.
Pelayanan konseling bukan berakhir pada praduga tertentu, tetapi
penyelesaian yang pasti. Maka integrasi dua keilmuan perlu dikaji;
dievaluasi. Kebenaran Theologi harus menjadi acuan, sementara psikologi
harus dibawah kebenaran theology. Jika ajaran Alkitab mengalami konflik
dengan gagasan apapun, ajaran Alkitab akan diterima sebagai kebenaran dan
gagasan lain tidak akan diterima sebagai kebenaran.18 Pelayanan konseling
adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan. Hamba Tuhan akan
kehilangan identitasnya jika ia menolak tugas pelayanan yang satu ini. Hal
16
Yakub Susabda, Pastoral Konseling vol. 1, (Malang: Gandum Mas), 4.
Yakub Susabda Ibid, 1.
18
Larry Crabb, Koneling yang efektif dan Alkitabiah, (Bandung: Kalam Hidup, 2011),
17
53
7
ISSN 2579-5678
ini dikemukakan oleh Wayne Oates yang dikutip oleh Yakub Susabda dalam
bukunya Pastoral konseling volume 1, yaitu:
“The pastor, regardless of his training, does not enjoy the privilege of electing
whether or not he will counsel his people…. His choice is not between
counseling or not counseling, but between counseling in a disciplined and
skilled way and counseling in an undisciplined and unsklilled way (An
introduction to Pastoral Caunseling, Nashville: Broadman Press, 1957, p vi) 19
Maka dapat direkomendasikan bahwa tugas panggilan pelayanan
konseling merupakan keharusan, urgen bagi manusia (konsele) yang
mengalami masalah. Pun demikian agar pelayanan konseling dilaksanakan
secara maksimal, memperoleh hasil maksimal, diperlukan sikap dan
kemauan bagi setiap konselor membekali diri dengan keilmuan dan
ketrampilan yang memungkinkan pelayanan tersebut dilakukan dengan
sebaik mungkin.
Dasar Alkitabiah Pelayanan Konseling
Segala bentuk kegiatan gerejawi harus dimulai dan berisi kebenaran
yang bersumber pada Alkitab. Firman Tuhan yang diwahyukan melalui
nabiNya, ditulis melalui ilham Roh Kudus harus menjadi dasar dalam setiap
pelayanan gerjawi termasuk didalamnya pelayanan konseling. Larry Crabb
mengatakan: Karena Alkitab mencakup pengungkapan Allah mengenai
bagaimana Ia menangani dosa, suatu pernyataan konprehensif mengenai
prinsip-prinsip ilahi bagi kehidupan, maka seorang konselor perlu
mengetahui tidak ada yang lain kecuali ajaran Alkitab supaya dapat dengan
efektif menangani setiap masalah yang penyebabnya bukan oraganis. 20
Implementasinya menyangkut beberapa hal yang bekaitan dengan: penugasan
oleh Tuhan akan pelayanan konseling (diperintahkan); Motivasi dan oreintasi
pelayanan konseling (sikap) serta tujuan yang diinginkan dari pelayanan
konseling (goal).
Pertama, Konseling ditugaskanoleh Allah: Beberapa ayat Alkitab yang
dipaparkan di bawah ini diharapkan menjadi dasar dan acuan dalam
19
Yakub Susabda, op.cit, 11.
Larry Crabb, Konseling yang Efektif dan Alkitabiah-suatu acuan untuk membantu
Anda menjadi seorang konselor yang handal, (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 43.
20
8
ISSN 2579-5678
melaksanakan pelayanan konseling, yaitu: menyangkut penugasan. Tuhan
sendirilah yang memberikan perintah untuk melaksanakan pelayanan
konseling. Sebagai pemberi tugas Ia telah menempatkan sebagai gembala
agung. Daud menegaskan pengakuannya tentang karakteristik pemberi
perintah tersebut sebagai gembala yang baik;
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di
padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia
menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena
namaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut
bahaya, sebab Engkau bersertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang
menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku;
Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku
akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa (Mazmur 23:1-6).
Sebuah penegasan pengakuan kepada Tuhan yang diyakini, lahir dari
pengakuan hati Daud karena pengalamannya bersama Tuhan. Demikian juga
pengakuan serupa disampaikan oleh Yohanes, yaitu: “Akulah (Yesus)
gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi dombadombanya” (Yohanes 10:11). Karakteristik seorang gembala yang baik
ditunjukkan pada ayat (10b) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup
dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Karakteristik gembala yang
tidak baik diidentikkan dengan seorang pencuri yang datang untuk mencuri
dan membinasakannya (10a); identik dengan seorang upahan yang lari ketika
kawanan domba yang dijaganya diserang musuh – musuhnya (ayat 11).
Lebih lanjut Tulus Tu’u menegaskan bahwa Tuhan tidak henti-hentinya
melanjutkan dan melimpahkan kasihNya. Yang berdosa dipanggil untuk
bertobat yang tersesat dibawa pulang, yang hilang tidak dibiarkan, tetapi
dicari sampai dapat.21 Demikianlah peran Tuhan sebagai gembala baik bagi
umatNya. Apa yang dilakukan oleh Tuhan bukan untuk menerima balas jasa,
tetapi justru memberi tanpa batas. Pemberian Tuhan bukan didasarkan karena
manusia baik, tetapi justru manusia dalam kondisi tidak baik yang memang
layak menerima kebaikan dariNya. Masih menurut pemaparan Tulus Tu’u
mengenai peran dan kiprah Allah dalam pelayanan penggembalaan;
menurutnya ada 4 kiprah yang dilakukan oleh Yesus, yaitu:
21
Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007),
10.
9
ISSN 2579-5678
Pertama, Ia tampil sebagai guru. Cara mengajar Yesus luar biasa sehingga
mempesona banyak orang. Kedua, Yesus tampil sebagai pembebas. Yesus
Kristus adalah Allah yang turun ke dunia untuk membebaskan manusia
dari belenggu dosa. Pembebasan itu merupakan pembebasan sejati
(Yohanes 8:36); Ketiga, Yesus tampil sebagai penyembuh. Ada banyak
sakit penyakit yang diderita manusia. Dalam pelayananNya, Yesus kerap
menolong mereka. Dengan kuasaNya, Yesus menyembuhkan penderita
kusta, orang lumpuh; orang buta; orang bisu dan sakit ayan; Keempat,
Yesus tampil sebagai gembala. Karena Allah Bapa gembala yang baik,
Yesus Kristus, putraNya pun disebut gembala yang baik. Yesus membela
domba sampai titik darah penghabisan. 22
Keempat kiprah di atas telah menunjukkan betapa seriusnya perhatian Allah
dalam penggembalaan terhadap para dombaNya, demikian juga keempatnya
telah membawa arah pemulihan hidup manusia yang sesungguhnya. Kiprah
tersebut sekaligus menjadi dasar pelayanan konseling; memberikan motivasi
dalam pelaksanaan pelayanan konseling.
Kedua; Konseling diperintahkan Tuhan. Inilah isi perintah itu, yaitu:
“Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Jawab
Petrus kepadaNya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi
Engkau, kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku
“(Yohanes 21:15). Pertanyaan itu disampaikan sebanyak tiga (3) kali. Kitab
bahasa Inggris versi NIV memakai kata … more than these, kata These
menunjuk pada arti alat untuk memancing; ikan-ikan; pekerjaan menjala
ikan; dan murid-murid yang lain. Maka kemungkinan artinya mengarah
pada: Pertama, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari perahu, jala dan
alat-alat memancing ini? Kedua, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari
engakau mengasihi murid-murid yang lain? Dan ketiga; Apakah engkau
mengasihi Aku lebih dari murid-murid yang lain mengasihi Aku? Sementara
Wycliffe Bible Commentary:
“Some understand ‘these’ to refer to the paraphernalia of fishing. If this
were so, Peter could have answered without any evasion and without the
use of a different word for ‘love’ than Jesus used. The very fact that Jesus
probed Peter’s love in the presence of his brethren suggests that the
others were involved. Peter had boasted that he would remain loyal even
if the others did not (Mk 14:29)”
22
Tulus Tu’u, ibid, 12-13.
10
ISSN 2579-5678
Sebagian orang menganggap bahwa kata ‘these’ menunjuk kepada
perlengkapan memancing/ menjala. Seandainya ini yang dimaksudkan, Petrus
bisa menjawab tanpa menghindar dan tanpa menggunakan kata yang berbeda
untuk ‘mengasihi’ dari pada kata yang digunakan oleh Yesus. Fakta bahwa
Yesus memeriksa/menyelidiki kasih Petrus di depan saudara-saudaranya
menunjukkan bahwa mereka terlibat. Petrus pernah membanggakan bahwa ia
akan tetap setia sekalipun yang lain tidak (Mark 14:29).
Penegasan kata “Gembalakanlah domba-dombaKu” merupakan perintah
yang ditujukan kepada Simon Petrus supaya melakukan - disampaikan
sebanyak tiga kali. Demikian juga jawaban Petrus tetap berada dalam
komitmen yang sama, kesediaan yang sama, motivasi yang sama. Bagi Yesus
telah nyata bahwa Petrus sungguh mengasihiNya, sehingga Ia layak memberi
tugas penggembalaan dariNya. Jadi seseorang akan mampu mengasihi
domba-domba gembalaannya, hanya jika ia telah mengasihi Yesus terlebih
dahulu. Tulus Tu’u menegaskan: Tanpa mengasihi Kristus, mustahil kita
mampu mengasihi domba-dombaNya.23
Ketiga; Sikap dan Motivasi konseling. Sikap merupakan prinsip yang tidak
bisa diabaikan bagi pelaku konseling. Sikap tersebut ditegaskan dalam
alkitab sebaga sumber etis pelayanan konseling.
“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan
paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan
karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah
kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang
dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi
kawanan domba itu. (I Petrus 5:2-3)
Ada beberapa kata penegasan yang seharusnya menjadi prinsip dalam
penggembalaan, yaitu pertama, kata “Gembalakanlah” Alkitab versi NIV
memakai kata: ‘Be shepherds’ (Jadilah gembala-gembala). Dalam versi
NASB dipakai : ‘shepherd’ (Gembalakanlah).24 Penegasan yang ingin
disampaikan adalah harus mau melayani, harus mau menggembalakan.
Kontek surat ini ditujukan kepada orang percaya yang sedang teraniaya dan
Tulus Tu’u, Ibid, 15.
www.gkri_exodus. Eksoposisi I Petrus5:2-3, diunduh pada tanggal 10 Mei 2012,
jam 22.00
23
24
11
ISSN 2579-5678
mengalami penderitaan. Dalam kondisi seperti ini pun juga harus melayani.
Kedua, “kawanan domba Allah yang ada padamu”, teks versi KJV: ‘the flock
of God which is among you’ (kawanan domba Allah yang ada di antaramu).
Sementara versi RSV: ‘the flock of God that is your charge’ (kawanan domba
Allah yang adalah tanggung jawabmu). Sementara versi NIV: ‘God’s flock
that is under your care’ (kawanan domba Allah yang ada dalam
pemeliharaanmu).25 Memperhatikan kata The flock of God, kata tersebut
dalam kata Yunani dipakai kata Tou Theou, bentuk genetif yang mengarah
pada arti kepemilikian. Kawanan domba itu adalah milik kepunyaan Allah
dan bukan milik seseorang. Lebih lanjut Tulus Tu’u mengingatkan bahwa
para pemimpin jemaat dan koselor bukanlah penguasa atas domba-domba.26
Ketiga; “Jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan
kehendak Allah. Hal ini sejajar dengan prinsip yang ditegaskan oleh Yesus;
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi
domba-dombaNya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan
bukan pemilik domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak
memperhatikan domba-dobma itu (Yoh. 10:11-12). Keempat, dan jangan
karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Kata yang
dipakai dalam KJV: ‘not for filthy lucre’ (bukan untuk uang yang kotor).
Menurut RSV: ‘not for shameful gain’ (bukan untuk keuntungan yang
memalukan). Dalam versi NIV: ‘not greedy for money’ (bukan tamak akan
uang). Begitu NASB: ‘and not for sordid gain’ (dan bukan untuk keuntungan
yang kotor). Penggembalaan dengan motivasi upah tidak akan bermanfaat
bagi manusia, demikian juga tidak berkenan di hadapan Allah.
Penggembalaan dengan orientasi keuntungan pribadi hanya akan membawa
pada ketamakan, kesombongan.
Penggembalaan tidak boleh dilakukan dengan keterpaksaan, artinya
tidak boleh dilaksanakan diluar kemauan sendiri atau karena terdesak oleh
keadaan. Penggembalaan yang dilakukan berdasarkan motif-motif lain27,
25
Ibid.
Tulus Tu’u, ibid, 17.
27
Motif lain adalah motif yang bersumber diluar hati dan semangat iman Kristen,
menyimpang dari kebenaran Alkitab. Motif-motif ini hanya akan memundurkan pengabdian
26
12
ISSN 2579-5678
maka hal ini menandakan ketidaktulusan. Keiklasan motif menandai adanya
iman dan kasih kepada Kristus. Seorang konselor harus meyakini bahwa
Allah sangguh menolong dan memelihara hidupnya. Allah menegaskan janji
pemeliharaan bagi alatnya, “Maka kamu, apabila Gembala Agung datang,
kamu akan menerima mahkhota kemuliaan yang tidak dapat layu,” (1 Petrus
5:4). Sebaliknya yang tidak memelihara dombaNya dengan baik akan
dimusnahkan.
Keempat; Sikap yang dikecam Allah dalam konseling. Gembala yang
melarikan diri, tidak memperhatikan keadaan domba-dombanya dengan baik
adalah tipologi gembala yang dikecam Allah (Yoh. 10:12, 13). Allah
mengecam praktek penggembalaan yang dilaksanakan di luar ketentuan
prinsip yang telah ditetapkanNya. Kecaman Allah sangat keras, tegas, yaitu:
Lalu datanglah firman TUHAN kepadaku; “Hai anak manusia, bernubuatlah
melawan gembala-gembala Israel, bernubuatlah dan katakanlah kepada
mereka, kepada gembala-gembala itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH:
Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri!
Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalkan oleh gembalagembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian,
yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu
gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati,
yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang
hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan
dan kekejaman. Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak
ada, dan mereka menjadi makanan bagi segala binatang di hutan. Dombadombaku berserak dan tersesat di semua gunung dan disemua bukit yang
tinggi; ya di seluruh tanah itu domba-dombaKu berserak, tanpa seorang pun
yang memperhatikan atau mencarinya. Oleh sebab itu, hai gembala-gembala,
dengarkanlah firman TUHAN: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman
Tuhan ALLAH , sesungguhnya oleh karena domba-dombaKu menjadi
mangsa dan menjadi makanan bagi segala binatang di hutan, lantaran yang
menggembalakan tidak ada, oleh sebab gembala-gembala-Ku tidak
memperhatikan domba-dombaKu, melainkan mereka itu menggembalakan
dirinya sendiri, tetapi domba-dombaKu tidak digembalakannya – oleh karena
itu, hai gembala-gembala, dengarlah firman ALLAH; Aku sendiri akan
menjadi lawan gembala-gembala itu dan Aku akan menuntut kembali dombadombaKu dari mereka dan akan memberhentikan mereka menggembalakan
domba-dombaKu. Gembala-gembala itu tidak akan terus lagi
konselor, dan bukan memajukan, mendinamiskan gerak langkah pelayanan penggembalaan
umat Tuhan.
13
ISSN 2579-5678
menggembalakan dirinya sendiri: Aku akan melepaskan domba-dombaKu
dari mulut mereka, sehingga tidak terus lagi menjadi makanannya. (Yehezkiel
34:1-10)
Kecaman yang disampaikan Tuhan melalui Nabi-Nya sungguh sangat
mengerikan. Kecaman tersebut perlu disikapi dengan serius. Hal ini
menandakan betapa Tuhan sangat mengasihi domba-domba gembalaanNya
pada satu sisi, tetapi tegas terhadap oknum perusak, pembunuh, kepada yang
mengabaikan tanggungjawab penggembalaan pada sisi yang lain. KasihNya
ditunjukan dengan mengawasi, menjagai domba gembalaanNya siang dan
malam. Sungguhnya tidak terlelap dan tertidur penjaga Israel (Mazmur
121:4). Tuhan melihat ke bawah dari surgaNya yang kudus, (Maz. 14:2a).
KetegasanNya ditunjukkan dengan kecaman, ancaman terhadap yang
mencerai beraikan. Zaman modern ditandai dengan sikap arogansi dan
indivudualisme. Maka kemunduran adalah salah satu segi dari situasi itu.
Kecaman Allah terhadap gembala dalam kontek ayat di atas Adalah sebuah
fakta terjadi kemunduran sikap; motivasi dan prilaku penggembalaan. Perlu
disadari kemunduran motivasi penggembalaan terkadang disebabkan oleh
faktor-faktor internal, tetapi juga bisa disebabkan oleh faktor eksternal yang
bersangkutan. Faktor dari dalam biasanya terkait dengan pemuasan
keinginan diri28, Penyimpangan juga bisa terjadi karena perspektif
pengajaran dan pengetahuan seseorang. Garry R Collin berpendapat bahwa
apa yang kita pikir dan timbang mengenai diri kita sangat menentukan
perasaan dan tingkah laku kita. Jika kita melihat melalui persepektif Tuhan,
pastilah pengenalan terhadap diri kita menjadi lebih positif. 29 Jadi
Penyimpangan bisa disebabkan oleh penerimaan citra diri yang salah.
Persepektif diri yang tidak lengkap30. Kemudian yang merupakan faktor
28
Dalam teori tingkat kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow kebutuhan dasar
manusia adalah keinginan terpenuhinya kebutuan akan makan, sandang yang merupakan
kenyamanan fisikly seseorang. Kebutuhan dasar manusia (Hamba Tuhan / konselor) sering
kali mampu menggeser motif dan komitmen terhadap pelayanannya. Penuis banyak
menemukan kasus serupa terutama diberbagai daerah pelayanan pedalaman.
29
Garry Collin, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010), 115.
30
Manusia gambar Allah (Imago Dei) adalah kesempurnaan sifat dalam Allah,
Manusia Kristen adalah manusia Kristus. Manusia yang telah dilahirbarukan melalui Roh
Kudus dalam batiniahnya sehingga terlihat dalam rupa dan rasa buah Roh Kudus (Galatia
14
ISSN 2579-5678
eksternal adalah ancaman dan intimidasi yang menghambat, menyerang
pribadi gembala. Lebih lanjut Garry R Collin mengatakan bahwa memang
banyak orang karena sebab-sebab tertentu, misalnya kesulitan ekonomi, dan
besarnya tanggung jawab dalam pekerjaannya, mengalami kesulitan untuk
dapat melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan rohani.31
Sebelum kita membimbing, memperhatikan dan mengajar orang lain
untuk mengasihi sesama, tentu sangat penting bagi kita untuk mengerti
benar-benar pergumulan diri kita sendiri. Seorang Konselor atau gembala
harus selalu ingat, bahwa kita adalah bagian dari tubuh Kristus baik secara
umum maupun secara khusus. Kehadiran konselor adalah untuk
memuliakanNya; kemuliaanNya; dan bertumbuh dalam iman karena Dia,
membagikan kabar baik serta ikut menanggung beban sesama (dombadomba Allah). Bons Strom, mengutip perkataan JW Herfst mengatakan
bahwa penggembalaan adalah”Menolong setiap orang untuk menyadari
hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya
kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri. 32 Maka penting
memahami diri dalam persepektif Tuhan dan pekerjaanNya di dalam dunia
ini. Garry Collins memberikan ciri-ciri seorang konselor Kristen yang baik,
yaitu:
Pertama; Seorang konselor Kristen yang efektif tentu mempunyai kerohanian
yang baik. Seseorang yang sudah menerima Kristus menjadi Tuhan dan
Juruselamat, ia menyerahkan dirinya untuk mengikut Kristus, menyalibkan
hawa nafsunya dan berjalan di dalam pimpinan Roh Kudus. Memiliki
kehidupan yang ditandai dengan buah Roh, yaitu: Kasih, sukacita; damai
sejahtera, kesabaran; kemurahan, kebaikan; kesetiaan, kelemalembutan dan
penguasaan diri.
Kedua; Seorang konselor Kristen harus lemah lembut (Galatia 6:1). Roh yang
lemah lembut tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengatakan apa yang tidak
disukai untuk didengar dan dilakukan oleh konselor. Kadang-kadang kita
harus tegas, namun juga t etap lembut, sensitive, kepada mereka yang datang
dengan berbagai persoalan.
Ketiga; Seorang konselor Kristen harus bersedia menolong meringankan
beban (Galatia 6:2). Ini tidak mudah. Sering kali sulit, tidak menyenangkan,
bahkan menyakitkan. Firman Tuhan kita harus meringankan beban satu
5:19-22). Masih terkait dengan topic Imago Dei Pilatus mengatakan “Lihatlah manusia itu”
(Yohanes 19:5).
31
Garry Colin, ibid,121.
32
Bons Stroms, Apakah Penggembalaan itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1
15
ISSN 2579-5678
dengan yang lain. Ada saatnya kita menolong; ada saatnya pula kita
membiarkan orang lain menolong kita. Seperti Kristus mengasihi, demikian
pula kita harus saling mengasihi (Yohanes 13:35); saling meringankan beban,
dengan demikian kita memenuhi hukum Kristus.
Keempat; Seorang konselor Kriten harus bersifat rendah hati. Seorang
konselor Kristen dapat dikenali karena kerendahan hatinya, Ia tidak
menyombongkan diri, melainkan ia melihat, bahwa karena anugerah dan
kebijaksanaan dari Tuhan saja ia dapat menolong orang lain. Ia menguji
dirinya sendiri, tidak bermegah melihat keadaan orang lain, dan mau
menanggung bebannya sendiri, bahkan mau belajar dari orang yang minta
tolong kepadanya (Galatia 6:6)
Kelima; Seorang konselor Kristen harus bersifat sabar. Ia tahu apa yang
ditabur orang itu juga yang akan dituainya. Allah tidak membiarkan diriNya
dipermainkan (Galatia 6:7, 8). Sangat mudah bagi konselor untuk menyerah
dan putus asa bila kondisi konsele tidak bertambah baik (6:9).
Keenam; Seorang konselor Kristen harus bersifat rajin berbuat baik (Galatia
6:10). Pelayanan konseling adalah bagian integral dari hidup konselor itu
sendiri. Perbuatan baik dalam konseling tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
pribadinya dan merupakan cermin dari kehidupan sehari-hari di luar konteks
pelayanan konselingnya. Prinsip-prinsip untuk menolong orang lain ini harus
dipupuk, semakin jelas dan bertumbuh dalam Tuhan. 33
Dengan demikian titik permulaan untuk semua konselor adalah hubungan
mereka dengan Tuhan, yang ditandai dengan kasih (Yohanes 13:34-35).
Memiliki komitmen untuk menolong dengan kasih. Memiliki citra diri yang
baik; keteladanan hidup yang baik.
Tujuan Pelayanan Konseling
Kata tujuan dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti “Arah,
Haluan (jurusan); yang dituju, yang dimaksud”.34 Kegiatan pelayanan
konseling harus memiliki tujuan sebagai arah, yaitu:
Pertama; Untuk pelayanan dan penyembahan. Sebab tujuan dan sasaran
utama pelayanan konseling adalah menyenangkan Allah setiap saat. Hal
serupa juga disampaikan Larry Crabb: Alasan dasar yang alkitabiah untuk
menyelesaikan masalah pribadi anda seharusnya adalah keinginan untuk
33
34
Garry Collins, ibid, 27-29
www.Google.com, diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam 13.00
16
ISSN 2579-5678
memasuki suatu hubungan yang lebih dalam dengan Allah, untuk lebih efektif
menyenangkan Dia melalui penyembahan dan pelayanan.35
Kedua; Untuk kedewasaan iman. Kolose 1:28 memberi petunjuk bahwa
disain konseling Kristen adalah untuk memperkenalkan kedewasaan Kristen.
Hanya orang Kristen yang dewasa yang akan masuk lebih dalam kepada
sasaran akhir hidupnya, utamanya penyembahan dan pelayanan. Dengan
demikian konsele akan memberi tanggapan terhadap masalah yang
dihadapinya, dan selanjutnya bertumbuh ke atas ke arah Kristus (Efesus
4:15). Lebih lanjut Larry Crabb mengatakan:
Sasaran dari konseling alkitabiah adalah untuk memperkenalkan kedewasaan
Kristen, untuk menolong orang-orang memasuki suatu pengalaman yang lebih
dalam tentang penyembahan dan suatu kehidupan pelayanan yang lebih efektif.
Dalam jangkauan yang luas, kedewasaan Kristen dikembangkan dengan: a)
menangani masalah yang timbul secara langsung dengan sikap konsisten dengan
ajaran Alkitab; b) mengembangakn karakter ke dalam yang membentuk karakter
(sikap, keyakinan, tujuan Kristus, yaitu ke atas).36
Sementara itu Tulus Tu’u memberikan uraian pendapat tentang tujuan
pelayanan konseling Kristen secara mendetail sebanyak sepuluh item,
yaitu untuk:
Pertama; Mencari yang bergumul. Jika ada jemaat yang bergumul dengan
berbagai macam problem, gereja wajib mengunjunginya. Mereka ini rentan dan
rapuh terhadap godaan dan bujuk rayu kekuatan roh-roh jahat. Tidak mustahil
mereka dengan sangat mudah meninggalkan iman dan kepercayaannya. Nabi
Yeheskiel mengungkapkan: yang hilang akan dicari; yang tersesat akan dibawa
pulang, yang luka akan dibalut, yang sakit akan dikuatkan, yang gemuk dan
yang kuat akan dilindungi (Yehezkiel 34:16).
Kedua; Menolong yang membutuhkan uluran tangan. Konseling adalah sebuah
proses pelayanan untuk menolong konsele. Sebaliknya konselor adalah pihak
yang memberi pertolongan. Konselor adalah utusan Kristus untuk menolong
konseli yang terperosok. “Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu. Ya
Tuhan! Tuhan, dengarlah suaruku! Biarlah telingaMu menaruh perhatian
kepada suara permohonanku (Mazmur 130:1). Jadi konseling adalah proses
menolong konsele yang ada dalam jurang ketidakberdayaan.
Ketiga; Mendampingi dan membimbing. Mendampingi juga kegiatan untuk
menolong konsele. Mendampingi terkait dengan membimbing. Pendampingan
tidak berada di depan, tetapi di sisi, di samping yang didampingi. Sementara
membimbing di sini dilakukan melalui respon percakapan yang interpretative
35
Larry Crabb, Konseling yang efektif dan Alkitabiah (Bandung: Kalam Hidup, 2011),
16
36
Larry Crabb, ibid, 27
17
ISSN 2579-5678
yang mengajak berpikir; menuntun, mengajar, menerangkan dan membimbing.
Dengan respon interpretative, maka yang didampingi akan semakin memahami
sebab-sebab; akibat-akibat; hal-hal penting dari persoalannya dan ia sadar akan
keberadaan dirinya.
Keempat; Berusaha menemukan Solusi. Pelayanan konseling seharusnya
mengajak konsele berpikir dan memikirkan problemnya secara bersama-sama
dengan konselor. Peran konselor dalam hal ini adalah memberi pengarahan dan
memimpin percakapan menuju satu titik yakni menemukan solusi. … Jadi peran
konselor adalah memimpin percakapan untuk memberi pengarahan menuju dan
menemukan solusi dalam respon action.
Kelima; Memulihkan konsele yang rapuh. Musibah; kemalangan, konflik,
problem; belenggu dosa merupakan kekuatan yang amat dasyat yang
menggerogoti hidup manusia. Atau mungkin sebaliknya, kelihatan bahagia,
baik-baik dan tak terjadi sesuatu, tetapi didalam hatinya berkecamuk kerumitan
dan keruwetan. Seolah-olah nampak kokoh, tetapi sesungguhnya rapuh dan
lemah. Konseling adalah proses menolong; berupaya membantu konsele
memulihkan kondisinya yang rapuh itu. Menolong menemukan solusi agar
mampu mengatasi kerapuhan dirinya. Kekuatan yang melimpah hanya berasal
dari Allah, bukan dari kami (2 Korintus 4:7). Pada arah inilah percakapan
konseling itu diarahkan.
Keenam; Perubahan Sikap dan perilaku. Proses menolong dalam konseling
tidak cukup hanya sampai pada harapan, sebab jika demikian percakapan itu
hanya sampai pada wacana saja. Untuk itu percakapan harus diupayakan sampai
pada respon action. Pada tahap ini konselor harus berusaha memotivasi agar
konsele dapat mengambil langkah-langkah tertentu atau keputusan tertentu.
Konseling akan menjadi indah apabila konselor berhasil membawa konsili
sampai mau berbuat sesuatu demi menuntaskan problemnya. Sehingga
prosesnya akan membawa dampak positif bagi perbaikan kondisi konsele.
Pertobatan, keadilan dan kebenaran membuat orang memperoleh hidup
sebagaimana hidup yang Tuhan kehendaki (Yeheskiel 18:27, 28)
Ketujuh; Menyelesaikan Dosa melalui Kristus. Kekuatan dosa adalah kekuatan
yang selalu mengakibatkan dan menghasilkan hal-hal buruk bagi hidup
manusia. “Janganlah berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih
buruk lagi” (Yohanes 5:14). Dosa yang tidak diselesaikan akan menghilangkan
damai sejahtera; ketentraman, ketenangan, kebahagian dalam diri seseorang.
Konselor perlu menolong konsele untuk menyadari keadaan dirinya yang tidak
bersih dihadapan Tuhan.
Kedelapan; Pertumbuhan Iman. Konseling seharusnya mendorong terjadinya
pertumbuhan iman konsele. Ia bertumbuh dalam iman yang semakin kuat dan
teguh. Mengalami iman yang hayati. Iman akan bertumbuh jika ada kecintaan
akan firman. (Roma 10:17).
Kesembilan; Terlibat Persekutuan Jemaat. Orang yang terlibat dalam
persekutuan jemaat, ia akan saling mendukung, saling mendoakan dengan
sesama anggota yang lain, sehingga dapat melawan godaan bersama-sama,
sebaliknya jika ia menjauhkan diri dari kawanan domba, seluruh pergumulan ia
18
ISSN 2579-5678
tanggung sendirian. Tugas konselor harus membantu dan menyadarkan konsele
berjumpa dengan Kristus dalam persekutuan. Mendorong untuk mau terlibat
dalam persekutuan jemaat. “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah
kita saling menasehati, dan semakin giat melakukkannya (Ibrani 10:25).
Kesepuluh; Mampu menghadapi persoalan selanjutnya. Pribadi dewasa adalah
pribadi yang bijak, hati-hati berkata-kata dan bertindak, emosi cukup stabil,
mampu melihat masalah secara positif. Pelayanan konseling harus mengarahkan
konsele mampu mendewasakan diri. Dengan kepribadian yang dewasa
diharapkan konsele semakin mampu menghadapi dan mengatasi persoalan yang
mumcul diwaktu mendatang. “Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia
yang memberikan kekuatan kepadaku (Filipi 4:13). 37
Prosedur dan masalah Pelayanan Konseling
Prosedur Konseling
Prosedur merupakan tahapan, langkah untuk menyelesaikan aktifitas;
metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu
masalah.38 Pelayanan konseling perlu suatu prosedur yang menjadi
tahapannya. Garry Collins membagi tahapan proses konseling menjadi empat
tahap, yaitu: Pertama; Fase introduction – Understanding (Pendahuluan);
Kedua; fase goal – Setting (Penetapan tujuan); yaitu Ketiga; Fase Solution –
akctivity (Mengerejakan penyelesaian); Keempat, fase termination–
Launching (terminasi akhir)39.
Introduction - Understanding (Pendahuluan); yaitu permulaan konseling.
Pada tahap ini setidaknya ada tujuan yang ingin dicapai, antara lain: bertemu
dengan konsele; membangun hubungan baik serta menjelaskan persoalan
yang dihadapi konsele.
Fase Goal – Setting / Fase Penetapan Goal; Hanya dengan pertolongan
Tuhan saja konselor dapat mulai mengerti diri konsele, hanya dengan
bijaksana yang dari Tuhan konselor dapat menolong konsele yang datang
kepadanya. Olehnya seorang konselor harus mampu dan mau merendahkan
diri di hadapan Tuhan. Garry Collins berkata: Dengan pertolongan Tuhan dan
Tulus Tu’u, op.cit., 29-39
www.Google.com, Diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam.13.00
39
Garry R Collins, op.cit. 64
37
38
19
ISSN 2579-5678
kesungguhan untuk mendengar; maka kita akan sampai pada persoalan yang
sebenarnya.40
Fase Solution – Activity / Fase Mengerjakan Penyelesaian; Tugas utama
seorang konselor adalah mendorong konsele untuk memulai, memberikan
semangat pada mereka mencoba menyelesaikan masalah dengan banyak
latihan, memberi saran. Garry menambahkan, seorang konselor Kristen harus
juga memikirkan mengenai kerohanian konsele dan memberi bimbingan
praktis dan realistis mengenai bagiamana Kristus dapat mengubah kehidupan
seseorang.41
Terminating – Launching Phase / Fase Terminasi Akhir; Apabila
konselor dan konsele sudah mengerti persoalannya, membicarakan secara
rinci, mencapai beberapa tujuan, dan mulai dapat mengatasinya, tibalah
saatnya untuk menghentikan konseling. Jika konselor merasa, bahwa
konseling sudah harus diakhiri, akan sangat menolong jika konselor
mengatakan seperti misalnya, “Saya kira kita sudah hampir mencapai tujuan
dimana anda tidak lagi memerlukan bantuan saya.” Hal ini akan memberi
tanda bahwa konseling telah diakhiri dengan dekat, demikian dikatakan
Garry.42 Sementara Tulus Tu’u yang membagi tahapan yang merupakan
prosedur dalam konseling menjadi tiga tahap saja, yaitu: Pertama; Tahap
awal; Kedua; Tahap Inti, dan Ketiga; Tahap penutup.43
Tahap Awal; Tahap awal merupakan bagian yang cukup menegangkan. Bagi
konsele perasaan tegang, takut akan selalu mucul. Demikian juga bagi
konselor akan muncul prasangka dan situasi kevakuman. Dan ketika suasana
sudah mulai nyaman, Tulus Tu’u memberi saran: Konselor secara perlahan
dapat membawa percakapan pada inti masalah yang akan dibicarakan. Hal ini
dapat menggunakan response probing yang mendidik, memeriksa dan
menyelidiki….44
Tahap Inti; Jika tahap awal sudah bisa berjalan dengan baik, maka
percakapan dilanjutkan ke tahap inti. Tahap inti merupakan upaya konselor
40
Garry Collins, Ibid, 67
Garry Collins, ibid, 79
42
Garry Collins, ibid, 71
43
Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007),
41
86-93
44
Tulus Tu’u, Ibid, 87
20
ISSN 2579-5678
untuk menggali, mencari, menemukan pokok dan akar masalah, serta akibatakibat yang dihadapi oleh konsele.45 Tahap ini oleh Tulus direkomedasikan
mengembangkan model-model; 1) Response Understanding (U); 2).
Supportive (S), 3) Interpretative (I); 4) dan Evaluative (E). Respon (U),
menyatakan pemahaman dan pengertian, sekaligus untuk memantulkan dan
menyimpulkan hal-hal penting berdasarkan jawaban konsele. Respon (S),
Penting untuk memberi dukungan, peneguhan, menenangkan, menghibur dan
menguatkan konsele. Respon (I), Penting untuk menuntun, membimbing,
mengajar, dan menerangkan – dalam hal ini konselor mengajak konsele
terlibat berpikir dalam mencari akar masalahnya. Respon (E), Penting untuk
membawa konsele mencari dan menemukan langkah-langkah, solusi-solusi
dan perubahan-perubahan prilaku yang perlu dan harus dilakukannya.46
B.2. Misi
Menurut KBBI “Misi” adalah urusan, pekerjaan Penyiaran agama,
pengutusan suatu negara ke negara lain untuk sesuatu tugas.47 Arie de Kuiper
mengartikan dengan berangkat dari kata “Missiologia”, latin “missio” yang
berarti pengutusan; Inggris: “Mission”, Belanda: “Missie” 48. George w.Peters
mengemukakan mission merupakan istilah yang komprehensif, mencakup
pelayanan gereja ke atas, ke dalam dan ke luar.49 Secara Etimologi (asal usul
kata) istilah misi berasal dari bahasa latin, yaitu: Missio, artinya pengutusan.
Dalam bahasa Yunani berasal dari kata evangelion yang diartikan kabar baik.
Bentuk kata kerja yang dipakai evangelizo 50 yang berarti memberitakan kabar
Ttulus Tu’u, Ibid, 88
Tulus Tu’u, Ibid, 89
47
WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1982), 652
48
Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 9
49
George W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum
Mas, 2006), 12
50
Artinya: “to bring or announce glad tidings atau to proclaim, to declare good news
of the kingdom” atau membawa kabar baik. Kabar baik atau berita keselamatan adalah berita
mengenai kematian dan kebangkitan Kristus bagi orang berdosa. Yesus mati ganti orang
berdosa, Ia mencurahkan darahNya untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia telah bangkit
karena maut tidak berkuasa atasNya dan kuasa kegelapan yang berkuasa atas maut diri Yesus.
Ia telah naik ke surga duduk di sebelah kanan Allah menjadi juru safaat bagi manusia,
(Makmur Halim).
45
46
21
ISSN 2579-5678
baik.51 Kabar baik yang dimaksud adalah Injil yang berisi berita keselamatan,
berita pengampunan; berita pendamaian; dan berita pengudusan bagi orang
berdosa.52 Alkitab tidak memberikan definisi formal mengenai utusan Injil,
pun demikian kita telah mengenal amanat Agung Yesus (Matius 28:18-20;
Markus 16:14-20; Lukas 24:44-48; Yohanes 20:19-23; Kisah 1:8; 26:13-20).
Menurut pengertian teknis dan tradisional utusan injil adalah seorang Kristen
yang membawa kabar baik mengenai Injil Yesus Kristus, diutus dengan
otoritas ilahi untuk maksud yang jelas, yaitu memberitakan Injil. Utusan Injil
bukanlah orang yang diutus pergi ke luar; melainkan orang yang diutus ke
luar. Dengan demikian perlu bagi setiap utusan injil memahami, mengerti
serta memiliki keyakinan bahwa ia adalah yang diutus ke luar, sebab tanpa
adanya perspektif itu pasti yang bersangkutan berada dalam ketegangan dan
frustasi; berbagai tekanan, dan kekecewaan sebagai utusan injil. Geoger w
Peters berpendapat bahwa “Kesadaran bahwa dirinya diutus akan
menguatkan dia dalam menghadapi berbagai pencobaan serta kegagalankegagalan dan pasti akan memimpin dia kepada kemenangan dan
keberhasilan”.53 Rasul-rasul telah menyerahkan diri mereka bagi pekabaran
Injil. Bahkan Paulus berhasrat secara mendalam untuk memberitakan Injil
Kristus kepada tempat dimana nama Kristus belum dikenal (Roma 15:20).
Norman E Thomas lebih lanjut berpendapat: “Tidak ada partisipasi di dalam
Kristus tanpa partisipasi di dalam MisiNya kepada dunia”.54 Dengan
demikian kewajiban missioner gereja berasal dari Allah dalam hubungannya
yang aktif dengan umatNya. Gereja yang tidak mengenali keutamaan perintah
memberitakan Injil sedang memisahkan dirinya dari hubungan yang paling
akrab dengan Tuhan, gagal mengidentifikasikan dirinya dengan rencana
utama Allah; menyangkal berkat terbesar yang disediakan Tuhan dengan
penuh anugerah bagi dunia berdosa. Misi Allah tidak pernah berubah dalam
perspektif dan kedaulatan Allah, namun berubah dalam perspektif gereja pada
dewasa ini. Stevri Indra Lumintang mengatakan:
51
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen (Yogyakarata: Andi offset, 2007), 3.
Makmur Halim, Model-model Penginjilan Yesus suatu penerapan masa kini
(Malang: Gandum Mas, 2003), 25.
53
Ibid, 306
54
Norman E. Thomas, Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 147
52
22
ISSN 2579-5678
“Secara historis, gereja mengalami perubahan dalam pemahaman mengenai
misi, dari sederhana menjadi lebih maju, dari pemahaman yang kurang
memadai kepada pemahaman yang lebih lengkap, dari pemahaman yang
jauh dari teks (Alkitab) menjadi lebih dekat dengan teks; dari pemahaman
yang tidak sesuai dengan konteks, menjadi lebih dekat dengan konteks. Pada
sisi lain patut untuk dicermati dan digumuli secara serius adalah perubahan
pemahaman misi dibarengi dengan pergeseran hakekat gereja dan misi itu
sendiri. Perubahan ini adalah perubahan kearah kemrosotan atau
penyimpangan.”55
Gereja menjadi subyek pengutusan Allah dengan memodelkan pada
pengutusan Kristus ke dalam dunia. “Sama seperti Bapa mengutus Aku,
demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yohanes 20:21). Ini adalah
misi pengosongan diri, misi pelayanan rendah hati, di sinilah letak keabsahan
yang kekal dari misi itu sendiri.56 Lebih lanjut John Sttot menyebutkan bahwa
misiNya berarti inkarnasi. Dia tidak tinggal dalam rasa aman surgawiNya.
Sebaliknya, Ia mengosongkan diriNya dari kemuliaanNya dan merendahkan
diri untuk melayani.57 Yesus Kristus sungguh-sungguh memasuki dunia
manusia, mengambil kodrat manusia, menjalani kehidupan manusia.
Sekarang Dia memanggil dan mengutus orang percaya ke dunia orang lain
sebagaimana Ia memasuki dunia manusia. Semua misi yang otentik adalah
misi inkarnatoris. Gereja dipanggil untuk memasuki realitas sosial dan
cultural orang lain. Dunia yang menindas dan kepada mereka yang tertindas.
Kedalam alam pikiran mereka, bergumul dalam keterasingan manusia.
Perintah yang ditugaskan Tuhan bersifat imperatif, diperintahkan dan harus
dilakukan. Tuhan berjanji akan menyertai orang percaya dalam melaksanakan
tugas yang ditugaskan Allah (Matius 28:20). Tuhan akan meneguhkan
pemberitaan Firman dengan tanda-tanda ajaib (Markus 16:20). Lebih Lanjut
George W Peters menegaskan, Gereja yang mengutamakan pekerjaan Allah
akan mengetahui bahwa Allah hadir di tengah-tengah mereka dan Dia akan
mempedulikan urusannya.58
55
Stevri I Lumintang, Diktat Matakuliah Misiologi Kontemporer, Batu Malang, 2.
David Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 789
57
John Sttot, Ibid, 2
58
George W Peters, op.cit. 430
56
23
ISSN 2579-5678
Misi Allah adalah keseluruhan karya Allah bagi manusia dan ciptaan
seutuhnya. Hadirnya tanda-tanda kerajaanNya di dunia ini. Kabar baik itulah
berita shalom dari Allah. Kabar baik itu adalah firman (Teks) yang
disampaikan bukan secara verbal saja, tetapi aktualisasi diri orang percaya
secara utuh antara kata dan perbuatan. Ketika misi Allah dipahami sebagai
tindakan aksi perbuatan baik kepada manusia yang memerlukan, maka
pengertian misi itu sendiri telah menyempit. Sebaliknya pula jika misi Allah
juga dipahami hanya penyampaian teks (secara verbal) saja, maka misi juga
dipahami sangat terbatas dan dangkal. Jadi keduanya cenderung
menggeserkan arti misi Allah yang sesungguhnya. Searah dengan pendapat
ini Stevri Indra Lumintang mengatakan:
Misi Allah tidak berubah, namun misi Allah mengalami perubahan oleh
pemahaman gereja…… secara historis, gereja mengalami perubahan dalam
pemahaman mengenai misi, dari sederhana menjadi lebih maju, dari
pemahaman yang kurang memadai kepada pemahaman yang lebih lengkap,
dari pemahaman yang jauh dari teks (Alkitab) menjadi lebih dekat dengan
teks; dari pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks, menjadi lebih dekat
dengan konteks. Pada sisi lain, patut dicermati dan digumuli secara serius
adalah perubahan pembahaman misi yang dibarengi dengan pergeseran
hakekat gereja dan misi itu sendiri. Perubahan ini adalah perubahan kea rah
kemrosotan atau penyimpangan.
…. Pada umumnya persoalan misi masa kini adalah berkenaan dengan
penekanan yang berlebihan kepada salah satu wilayah studi, sehingga
pengertian misi diformulasikan dalam pengertian yang sempit dan terus
berubah. 59
Pergeseran misi itu sendiri disebabkan oleh penekanan wilayah studi 60, jadi
secara historis perubahan itu sendiri terlihat dari pendefinisian ulang oleh
gereja dalam konferensi-konferensi misi. Pengertian misi terus berubah, oleh
59
Stevri Indra Lumintang, ibid, 18-19.
Wilayah studi yang dimaksud adalah antara teks (Alkitab) dan konteks. Penekanan
pada wilayah studi tersebut telah membentuk dua kubu, yaitu Misi kubu oikumenekal dan
misi kubu injili. Masing-masing hanya menekankan hanya salah satu wilayah studi (Kontek
atau teks) Penekanan pada wilayah studi konteks merupakan kecenderungan misi kaum
oikumenikal, menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demesi sosial dan
kemanusiaan. Sedangkan penekanan pada studi teks adalah kecenderugnan misi kaum Injili.
Mereka menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demensi spiritual, sehingga
memandang misi itu sebagai penginjilan dan pertumbuhan gereja. (Stevri Indra Lumintang)
60
24
ISSN 2579-5678
karena itu misi terus direkonstruksi.61 Kajian misi yang direkonstruksi itu tak
lain dirumuskan sebagai bentuk dinamika dari misi itu sendiri. Misi bukan
sekedar penyampaian berita kabar baik, tetapi juga merupakan perbuatan dari
berita tersebut.
Dasar Alkitabiah Pelayanan Misi
Tanpa Alkitab pelayanan misi tidak mungkin. Karena tanpa Alkitab
kita tidak memiliki injil untuk disampaikan kepada bangsa-bangsa, tidak ada
perintah untuk menyampaikan kepada mereka; tidak ada gagasan untuk
memulai tugas misi, dan tidak ada harapan keberhasilan apa pun. Lebih lanjut
John Sttot menegaskan: Alkitablah yang memberi kita mandat, berita, model
dan kekuasaan yang kita perlukan untuk penginjilan dunia. Jadi marilah kita
berusaha untuk memilikinya kembali melalui penelitian dan renungan yang
tekun.62 Secara historis baik pada masa lalu maupun masa kini,
memperlihatkan bahwa komitmen gereja terhadap penginjilan dunia sepadan
dengan tingkat keyakinannya terhadap otoritas Alkitab. Jika orang percaya
kehilangan keyakinan pada Alkitab, mereka juga kehilangan semangat
penginjilan. Sebaliknya bila mereka meyakini Alkitab, mereka memiliki
ketetapan hati untuk melakukan penginjilan. Alkitab harus menjadi dasar
dalam pelayanan misi. Berkenaan dengan Alkitab sebagai sumber dan dasar
misi Kristen, maka dapat disebut sebagai buku misi. Stevri Lumintang dalam
bukunya mengutip tulisan Raymond J, Tallman sebagai berikut:
Alkitab adalah suatu buku misi, dari halaman depan sampai halaman
belakang. Itu memuat penyataan Allah mengenai seluruh dunia, tetapi
berfokus secara khusus pada manusia sebagai mahkota ciptaan… Semua
yang terjadi yang dimuat dalam Alkitab adalah bagian dari misi Allah, yaitu
untuk menyatakan kemuliaan bagi diriNya sendiri melalui penggenapan
tujuan penebusanNya. Hal ini dikerjakanya melalui pemilihan suatu pribadi
(Abraham), suatu keluarga (Abraham, Ishak dan Yakub). Suatu bangsa
(Israel), suatu suku (Yehuda), seorang pembebas (Yesus Kristus), suatu
umat pilihan (Gereja) dan akhirnya oleh Allah sendiri. 63
61
Stevri I. Lumintang, ibid, 34
John Sttot, Johannes Verkuyl, Misi menurut persepektif Alkitab, (Jakarta: Yayasan
Bina Kasih / OMF, 2007), 20
63
Setevri Lumintang, op.cit. 138-139
62
25
ISSN 2579-5678
Alkitab yang menjadi dasar dan sebagai buku misi terdiri dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama adalah misi Allah. Berisi tentang
kisah hati Allah yang missioner kepada bangsa-bangsa (Kejadian 12: 1-3;
Yunus 1: 1-2; Mika 1: 2; Yesaya 49: 6; Zefanya 3:9-10; Zakaria 1:1-6;
Maleakhi 3: 1-5). Hati Allah yang ingin menyampaikan kabar baik untuk
menyelamatkan manusia dari dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus akan
datang. Demikian juga Perjanjian Baru adalah buku misi (Injil sinoptik),
kitab kisah Para Rasul, tulisan rasul-rasul lainnya. Thema Perjanjian Baru
adalah misi Allah adalah menyelamatkan manusia dari dosa melalui
pengorbanan Yesus Kristus telah datang. 64 Menerima Alkitab sebagai
sumber dan dasar misi berarti memberikan kebebasan kepada Alkitab untuk
menuntun semua pemahaman dan aktivitas (aksi) misi. Lebih lanjut John
Sttot memberikan alasannya mengapa Alkitab menjadi dasar pelayanan
terhadap misi; Pertama, Alkitab memberi kita mandat untuk penginjilan
dunia65. Keseluruhan isi Alkitab (Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama) telah
memberi mandat untuk melakukan Misi Allah dalam dunia ini. Salah satu
fondasi misi Kristen dalam Perjanjian Lama adalah kisah pemanggilan
Abraham oleh Allah untuk mengadakan perjanjian denganNya menegaskan
bahwa Abraham bukan saja akan diberkati oleh Allah, tetapi juga akan
menjadi berkat bagi semua kaum dimuka bumi (Kejadian 12:1-4).
Kedatangan Kristus ke dalam dunia telah mengesahkan janji-janji itu. Ia
melayani kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (Matius 10:6;
15:24). Selanjutnya setelah kebangkitanNya, Ia menyatakan klaim “Segala
kuasa di surga dan dibumi telah diberikan kepadaNya (Matius 28:18).
Kemudian dalam segala otoritas universalNya Ia memerintahkan
pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis
mereka, mengajarkan segala sesuatu yang pernah Ia ajarkan (Matius 28:19).
Kedua; Alkitab memberi kita berita untuk penginjilan dunia.66
Memberitakan injil berarti menyampaikan kabar baik bahwa Kristus telah
64
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen, menjangkau jiwa menyelamatkan manusia
(Yogyakarta: Andi offset, 2007), 40
65
John Sttot, op.cit, 10.
66
John Sttot, Ibid, 12.
26
ISSN 2579-5678
mati untuk dosa manusia dan dibangkitkan dari antara orang mati sesuai
dengan kitab suci (I Korintus 15). Berita ini berasal dan merupakan
kebenaran yang berasal dari Alkitab. Jadi hanya ada satu injil yang disepakati
para rasul (I Korintus 15:11). Paulus menegaskan celakalah siapa saja
(termasuk dirinya) yang memberitakan injil lain (Galatia 1:6-8). Ketiga;
Alkitab memberi kita model untuk penginjilan dunia.67Kita membutuhkan
model (Bagaimana menyampaikannya), disamping beritanya (materi yang
disampaikan). Alkitab memberikan model penyampaian injil. Melalui
Alkitab sesungguhnya Allah telah mengkomunikasikan injil itu kepada
dunia. Kitab suci telah terlebih dahulu memberitakan injil kepada Abraham
(Galatia 3:8). Keempat; Alkitab memberi kita kuasa untuk penginjilan
dunia.68 Kebutuhan akan kuasa dalam pemberitaan injil tidak dapat dielakkan
lagi, hal ini mengingat betapa lemahnya manusia bila dibandingkan dengan
tugas yang dilaksanakan. Seluruh dunia berada di bawah kuasa jahat (I
Yoh.5:19). Injil Allah adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (Roma
1:16). Maka ketika kita lemah kita menjadi kuat karena kuasa firmanNya (I
Korintus 2:1-5; 2 Korintus 12:9-10).
Strategi Pelayanan Misi
Telaah kita terhadap theology misi berdasarkan informasi dari tulisan
(injil Sinoptik dan tulisan Paulus) dapat ditafsirkan bahwa tulisan-tulisan
mereka merupakan usaha-usaha yang secara dinamis berusaha
mendefinisikan apa yang harus dilakukan oleh gereja pada zamannya.
Pendefinisian misi akan bermuara pada tindakan pelayanan misi. Tindakan
misi akan berkenaan dengan cara atau strategi dalam melakukan. Temuan
yang dilaporkan oleh Bosch menyebutkan bahwa pendefinisian misi terus
berubah, disempurnakan, sehingga tindakannyapun diharapkan semakin tepat
guna sesuai dengan setiap konteks. Demikian Bosch melaporkan:
Sekitar waktu konferensi Dewan Misi Internasional di Yerusalem (1928).
Yerusalem menciptakan pemahaman pendekatan menyeluruh, yang menandai
suatu kemajuan penting dibandingkan dengan semua definisi tentang misi yang
sebelumnya. Pertemuan IMC di Whitby (1974) kemudian menggunakan istilah
Kerugma dan koinonia untuk menyimpulkan pemahamannya tentang misi…
67
68
John Sttot, Ibid, 14
John Sttot, Ibid, 17
27
ISSN 2579-5678
menambahkan unsure ketiga diakonos pada konfenrensi di Willingen (1952).
…. membuat rumusan sendiri yang diperluas dengan menambahkan
“Kesaksian” (Marturia) sebagai konsep yang menaungi: Kesaksian ini
diberikan melalui pemberitaan, persekutuan dan pelayanan (dikutip dalam
Margull 1962, 175). Selama tiga decade berikutnya ungkapan ini mendominasi
percakapan-percakapan misiologis sebagai gambaran yang paling tepat dan
menyeluruh tentang misi. 69
Merupakan sebuah gambaran fakta bahwa misi adalah sebuah pelayanan
yang berwajah banyak 70. Penulis berpendapat bahwa misi Kristen harus
berdemensi banyak agar sahih dan setia pada asal- usulnya dan sifatnya.
Tidak Bertentangan Alkitab: Pelayanan misi perlu strategi yang tidak
bertentangan dengan kebenaran Alkitab sebagai sumber misi. …Sebab itu
hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati “(Matius 10:16).
“Cerdik seperti ular” adalah penganjuran untuk berstrategi, dan “Tulus
seperti merpati” adalah penganjuran untuk berpegang pada Firman Tuhan.
penggabungan kedua hal ini akan menciptakan berita injil yang kontekstual.
Kabar baik – Injil adalah kabar sukacita yang mendatangkan shalom, damai
sejahtera bagi manusia, maka strategi pelaynaan misi harus melalui
pendekatan ini. Firman Allah (teks) harus berkuasa melakukan apa yang
menjadi kebutuhan manusia (konteks), sehingga misi seutuhnya disampaikan
dan dirasakan.
Teks harus mendekatkan pada Konteks. Banyak kasus pelayanan misi
Yesus yang dilaporkan oleh kitab Injil sinoptik dapat memberikan gambaran
fakatual tentang strategi yang berhasil mendekatkan teks (Firman Allah)
pada kontek (manusia) yang membutuhkan. Kepada seorang pemuda di
Gadara yang kerasukan setan, Yesus memulihkan keadaannya (Lukas 8:2639). Gangguan kejiwaan pemuda tersebut dipulihkan, persekutuan
keluarganya dipulihkan, ketakuatan sosial atau relasi dengan masyarakat
yang ketakutan telah dinetralisir.71 Pelayanan yang Yesus lakukan telah
69
David Bosch, op.cit., 786
Banyak: memiliki demensi-demensi hakiki yang harus disentuh: kedamian,
pembebasan, persekutuan dan keadilan dalam hati setiap manusia. Totalitas kebenaran
kerajaan Allah.
71
Makmur Halim, loc.cit., 92-95.
70
28
ISSN 2579-5678
memberi dampak yang luar biasa bagi pemuda Gadara.72 Demikian juga
kasus seperti pada perempuan pelacur di Samaria (Yohanes 4) serta Zakeus
pemungut cukai (Lukas 19), keduanya adalah orang (kontek) yang
bermasalah. Yesus telah mampu menghadirkan kebenaran firman (teks) yang
memerdekakan keduanya. Firman itu telah menjawab kebutuhan,
memulihkan kondisi real spiritual dan antropologinya. Pelayanan misi
seutuhnya berhasil dilaksanakan dengan baik. Dampak misi holistik telah
tercapai, yaitu rekonsiliasi relasi diri dengan diri sendiri, sesamanya dan
Allah. Kontekstualisasi akan selalu up-to-date di segala konteks dan situasi
sutau tempat.73
B. INTEGRASI PELAYANAN KONSELING DAN MISI
KRISTEN
Pengertian “Integrasi” adalah Penyatuan supaya menjadi suatu
kebulatan atau menjadi utuh,74 dalam hal ini Integrasi yang dimaksud adalah
Integrasi yang terjadi antara pelayanan Konseling dan Misi, artinya upaya
pelayanan Konseling sebagai penanganan masalah dan Misi sebagai
proklamir injil yang menyelamatkan manusia dari hukuman dosa secara
paralel berjalan dan menimbulkan sukacita secara utuh.
72
Dampak yang dimaksud adalah: 1). secara ekonomi babi yang terjun ke jurang dan
mati menyebabkan penjaga babi menjadi kehilangan pekerjaan, tetapi Yesus telah
menunjukkan kepada masyarakat bahwa jiwa manusia lebih berharga dari harta benda materi.
2). Secara sosial, Pemuda ini mulai dieterima kembali oleh masyarakat karena ia telah
sembuh, telah mengalami perubahan dan tidak membahayakan lagi. 3). Secara etika dan
budaya, Pemuda ini sudah sembuh dan menemukan identitas dirinya sehingga ia berpakaian
dan dapat menghargai adat istiadat dalam masyarakat kembali. 4). Orang-orang yang melihat
merasa takut karena kuasa Yesus begitu ajaib sehingga melampaui kepercayaan masyarakat
kepada pagan atau berhala; 5) Dampak terhadap misi Allah, Pemuda Gadara telah dipulihkan
oleh Yesus. Maka pemuda tersebut akan melaksanakan misi Allah bagi orang-orang di
Gadara. (Makmur halim, 95).
73
Makmur Halim, ibid, 47.
74
WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1982), 376
29
ISSN 2579-5678
Dasar Alkitab Integrasi Pelayanan Konseling dan Misi
Dasar Perjanjian Lama
Keluarga Elimelekh Dalam Krisis; Kitab Rut menceritakan realalitas
kehidupan pribadi – pribadi yang terlibat. Keluarga Elimelekh mengungsi ke
Moab karena di negeri tempat tinggal keluarga tersebut mengalami krisis
pangan. Perjalanan sejauh 80 km ke sebelah timur Laut Mati merupakan
perjuangan menguji nyali. Elimelekh dan anggota keluarganya bermaksud
menghindari bahaya krisis kelaparan, namun pada akhirnya mengalami krisis
yang lebih parah lagi ketika berada di negeri Moab 75. Motivasi keluarga
Elimelekh meninggalkan kota Betlehem karena sedang menghindari krisis
pangan. Keluarga Elimelekh sedang menghadapi masalah di kota asalnya
(Betlehem) seperti kebanyakan yang lain yaitu kelaparan. Rasa lapar adalah
hasrat hakiki setiap manusia dan tentu memerlukan makanan. Kepergiannya
ke negeri Moab adalah upaya mengatasi masalah rasa laparnya. Tindakan ini
merupakan perbuatan melawan ketentuan Tuhan, pilihan untuk pergi
merupakan upaya pengandalan pada keinginan diri sendiri. Tuhan
memerintahkan supaya manusia tidak mengandalkan pada kekuatan,
kemampuan sendiri (Yeremia 17:5). Tuhan tidak memerintahkan bangsa
Israel untuk pergi ke Moab supaya bebas dari rasa lapar. Di Betlehem 76
mereka menghindari krisis kelaparan.77 Rasa lapar telah menyebabkan
menurunnya kekuatan jasmani atau fisik. Akan tetapi setelah sampai di
negeri Moab justru bukan saja fisiknya yang semakin lemah, tetapi lebih dari
itu fisiknya berakhir dengan kematian. Setengah dari keseluruhan anggota
keluarga (Elimelekh, Mahlon dan Kilyon) meninggal di tanah Moab. Naomi
dan kedua menantunya Orpa dan Rutlah yang masih tersisa. Mereka sampai
di Moab yang dijumpai hanyalah kesukaran; mereka bermaksud mencari
kehidupan, tapi yang mereka temukan adalah kebinasaan. Makanan yang
75
Moab adalah seorang putra Lot, buah kejahatan dari hubungan inses Lot dengan
salah satu putrinya sendiri (Kejadian 19:36,37), Orang Moab pula yang telah menyewa
Bileam untuk mengutuk Israel (Bilangan 22:1-8)
76
Betlehem berarti rumah roti, nama lainnya adalah Efrata - Kejadian 35:19 (Tafsiran
Alkitab Masa Kini vol.1, 430)
77
Curah hujan di Palestina tidak pernah banyak, dan sering kali tidak cukup untuk
menghidupkan tanaman yang baru tumbuh. Kelaparan terjadi pada masa kehidupan
“Abraham (Kejadian 12:10), Daud (II Samuel 21:1); dan Elia (I Raja-raja 17:1). _____
(Wycliffe, 723).
30
ISSN 2579-5678
mereka cari, tetapi kematian yang mereka dapati.78 Elimelekh meninggal
(1:3); lalu kedua anaknya menikah dengan perempuan Moab. Pernikahan
demikian tidak lazim dikalangan orang Israel, bahkan sangat dilarang.
“Janganlah juga engkau kawin mengawin dengan mereka; anakmu
perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun
anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki” (Ulangan
7:3). Inilah klimaks dari krisis rumah tangga Elimelekh, puncak
keguncangan Naomi dan kedua menantunya terlalu menyakitkan. Kepedihan
itu dinyatakan oleh Naomi:
“…Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutlah aku Mara, sebab yang Mahakuasa
telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Dengan tangan yang penuh aku
pergi, tetapi dengan tangan yang kosong Tuhan memulangkan aku.
Mengapakah kamu menyebutkan aku Naomi, karena TUHAN telah naik saksi
menentang aku dan yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka
kepadaku” (Rut 1:20-21).
Konseling: Upaya keluar dari Krisis. Kedua menatunya memberi respon
yang berbeda, Orpa menuruti anjuran, bimbingan Naomi, ia pulang kembali
ke negerinya; ke rumah ibunya. Inilah pilihannya; inilah pemecahan masalah
baginya yang melegakan hati. Pilihan itu sesuai yang dianjurkan oleh Naomi
ibu mertua Orpa. Pilihan Rut berbeda dengan Orpa. Keputusan Rut sungguh
mengejutkan dan sangat bertolak belakang dari pilihan Orpa. Demikian
berkata:
“Jangan desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak
mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi
, dan dimana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam;
bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati,
aku pun mati di sana, dan disanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya
TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu
apa pun memisahkan aku dari engkau, selain daripada maut! (Rut. 1:1617).
Misi: Proklamir Injil yang disampaikan. Ucapan Rut yang tertulis di atas
merupakan keputusan pribadi Rut. Sebuah keputusan, pilihan yang melampui
pikiran yang dinasehatkan Naomi kepadanya. Hak dan tugas Naomi hanya
78
J Sidlow Baxter. Ibid., 290.
31
ISSN 2579-5678
sampai pada anjuran, nasehat, bimbingan, tetapi pilihan dan keputusan ada
pada Rut sendiri. Penulis berpendapat bahwa pilihan Rut bukan tanpa alasan,
mungkin Rut melihat sisi prinsip hidup Naomi sebagai wanita memegang
teguh dogmatika Spiritualitasnya. Kesaksian Naomilah yang memungkinkan
Rut berbuat demikian. Memilih mengikut Naomi berarti meninggalkan
ibunya, bangsanya, khemoshnya/Kamos (Dewa orang Moab – Bilangan
21:29). Artinya Rut membuang apa yang berharga di Moab dan dengan suka
rela memilih untuk ikut pergi ke Yehuda dan memulai kehidupan yang baru.
Frasa ini menegaskan bahwa pilihan Rut mengikut Naomi berarti mengikuti
pilihan jalan hidupnya di Betlehem. Menyembah Yahwe.
Integrasi ditemukan; Integrasi adalah penyatuan segenap komponen
sehingga terwujud suatu kebulatan, keutuhan. Dalam hal ini paralel antara
konseling dan misi telah terwujud. Yang penulis maksud adalah Naomi telah
membimbing, menuntun, mengarahkan (konseling) kepada kedua
menatunya (Orpa dan Rut). Hal ini merupakan upaya memecahkan masalah.
Namun Rut mengalami bukan hanya yang bersifat melegakan,
membahagiakan secara pragmatis, melainkan kelegaan yang bersifat dan
berjangka kekal. Proklamir Injil (kabar Baik) sebagai sumber pemecahan
masalah harus terjadi. Injil itulah yang menjadi pemuas; melegakan
kehidupan.
Dasar Perjanjian Baru
Perjanjian Baru menjadi bagian penting dari keseluruhan kesaksian
perbuatan Allah bagi umatNya. Penulis menganggap penting dalam
mendasarkan pemikiran integrasi dalam terang Alkitab Perjanjian Baru.
Penulis ingin memfokuskan pada kitab injil Yohanes, dan lebih khusus lagi
ingin mengangkat tentang kisah seorang wanita Samaria yang dicatat dalam
injil Yohanes pasal 4: 1-42.
Perempuan Samaria; Perempuan Samaria adalah seorang yang memerlukan
air untuk kebutuhan jasmaniahnya. Hal ini dikatakan pada ayat 7a, “Maka
datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air “. Terdapat hal
yang ganjil karena tidak biasanya seseorang mengambil air di sumur pada
32
ISSN 2579-5678
waktu jam 12, saat kebanyakan orang tidak mengambil pada waktu tersebut.
Jika kita kaitkan dengan ayat-ayat selanjutnya (16-19):
Kata Yesus kepadanya: Pergilah, panggilah suamimu dan datang ke sini. Kata
perempuan itu: Aku tidak mempunyai suami. Kata Yesus kepadanya: Tepat
katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah
mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.
Dalam hal ini engkau berkata benar. Kata perempuan itu kepadaNya: Tuhan,
nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.”
Konseling: Masalah Moral; Sejarah hidup pernikahan yang suram dari
wanita itu dibongkar oleh penerobosan Yesus dan pengakuan wanita itu
sendiri. Mungkin perceraian melanda beberapa kali, sebelum terjadi
hubungan haram yang terakhir ini. Secara moral perempuan ini sudah buruk
selama beberapa waktu.79 Hidup dalam perzinahan, dikuasai oleh nafsu
kedagingan. Berbagai dampak masalah moral yang dialami yaitu; Pertama;
hidupnya menjadi dipenjarakan oleh rasa bersalah dan malu (ayat 6). Kedua;
Terganggu dalam pergaulannya, tidak bebas untuk bergaul dan berinteraksi
dengan orang lain, setidaknya dengan sesama wanita bangsanya. Hidup
perempuan Samaria hampa secara batiniah dan mengalami kesepian.
Nasionalisme sebagai bangsa; Secara nasional (Kolektif bangsanya),
perempuan Samaria ini menjadi bagian dari penduduk kota Samaria. Kota ini
memililki masalah hubungan dengan bangsa Yahudi. Hubungan yang tidak
harmonis keduanya akan berdampak secara ekonomi, keamanan dirinya
secara individu maupu bangsa secara keseluruhan. Prasangka dan
permusuhan antara penduduk Samaria dan Israel sudah berlangsung selama
700 tahun.80 Suatu jangka waktu yang cukup lama, hal Ini merupakan
persoalan yang serius. Perempuan ini juga memiliki masalah fanatisme
agama yang diwariskan secara turun-temurun. “Nenek moyang kami
menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah
tempat orang menyembah” (Ayat 20). Pada Zaman Ezra mereka ditolak untuk
ikut membangun bait Allah (Ezra 4), sehingga mereka membenci orang
Yahudi dan pada sekitar tahun 400 SM mereka membangun Bait Allah sendiri
di gunung Gerizim, kata Ebal dalam Ulangan 27:4, diganti dengan kata
Gerizim. Sebuah konsep yang dibangun oleh para leluhur mereka. Ketika
79
80
_________, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 3, (Malang: Gandum Mas, 2008), 316.
_________, Hand Book the Bible, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), 604
33
ISSN 2579-5678
perempuan Samaria memegang prinsip theology yang diwariskan ini, maka
bukan suatu yang mengherankan apabila ia membangun fanatisme kiblat
beribadahnya. Hal itu juga terlihat saat Yesus berbicara soal air yang lain, dan
bukan dari sumur itu. “Adakah Engkau lebih besar daripada bapa kami
Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum
sendiri dari dalamnya…” (4:12). Yakub adalah pembuat dan yang
mewariskan sumur yang dalam itu, bagaimana mungkin Ia dapat melebihi
kebesaran Yakub? Sebagaimana yang ditegaskan dibawah ini:
Adalah tidak masuk akal bahwa Yesus dapat memberikan air tanpa
menggunakan timba. Perbuatan demikian itu akan melebihi Yakub yang
telah menggali sumur itu. Adalah sulit selalu bagi orang untuk memikirkan
bahwa seseorang dapat menjad lebih besar dari seorang bapak leluhur yang
dihormati dari sejak jauh pada masa lampau…. Disini terdapat
penghormatan secara fanatik tentang suatu tempat suci karena hal-hal yang
dikaitkan dengannya dan bukan karena banyaknya air dalam sumur itu. 81
Pelayanan konseling Yesus; Pertemuan dan percakapan perempuan Samaria
dengan Tuhan Yesus di sumur Yakub memiliki arti yang mendalam bagi
perempuan tersebut. Perintah Yesus kepada perempuan Samaria untuk
memanggil suaminya menjadi jalan masuk bagi kesadaran perempuan
Samaria, mencelikkan keberdosaannya, hidupnya berada dalam krisis. …
Tepat katamu, bahwa engkau tidak bersuami, sebab engkau sudah mempunyai
lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.” (17, 18).
Masalah yang dapat diidentifikasi oleh Yesus selanjutnya adalah masalah
fanatisme ibadah (ayat 20). Makmur Halim memberi penjelasan sebagai
berikut:
Orang Samaria percaya bahwa di Gunung Ebal orang dapat mengucap berkat
dan menyembah Allah, sedangkan orang Yahudi percaya di Bait Allah
Yerusalem orang harus menyembah Allah. Di sini Yesus menempatkan
dirinya sebagai orang yang netral, tidak memihak…agar tidak mempertajam
konflik. Yesu memperkenalkan penyembahan yang bersifat batiniah, yakni
menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. 82
Percakapan di Sikhar tepatnya di sumur Yakub telah menghantarkan
identifikasi masalah yang dialami oleh perempuan Samaria. Interaksi dua
arah (Yesus VS Perempuan Samaria) telah membuka persoalan perempuan
itu.
81
82
________loc,cit. 279
Makmur Halim, lo.cit., 74
34
ISSN 2579-5678
Pelayanan Misi Yesus disampaikan; Perempuan Samaria merindukan air
hidup (4:15). Air hidup berbicara soal pemberian Allah. Air dari dalam sumur
harus diminum berkali-kali, tetapi air yang disediakan Kristus akan
memuaskan, sehingga orang yang meminumnya tidak akan haus untuk
selama-lamanya. Itulah kesegaran yang dihasilkan oleh hidup yang kekal. 83
Yesus memberitakan kabar baik bagi perempuan Samaria ini, Air hidup –
hidup kekal akan menjadi bagiannya jika ia percaya dan bertobat dari
keberdosaannya. “Kata Yesus kepadanya: Percayalah kepadaKu, hai
perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah di gunung ini
dan bukan juga di Yerusalem. (ayat 21). Perempuan Samaria memberi
respon sebagai tanggapan: “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang
disebut juga Kristus, apabila Ia datang, Ia akan memberitahukan segala
sesuatu kepada kami. (Ayat 25). Lebih lanjut Yesus menegaskan
pemberitaanNya: Akulah Dia….” (ayat 26).
Integrasi dilakukan; Integrasi merupakan tindakan penyatuan agar tercapai
keutuhan. Paralel pelayanan konseling dan misi oleh Yesus kepada
perempuan Samaria sangat jelas terlihat. Yesus telah membimbing,
menuntun, mengarahkan perempuan Samaria mengenali dirinya sebagai
orang yang bermasalah, dan menyadari kesalahannya (Masalah moral,
fanatisme agama). Demikian juga berita injil yang merupakan kabar baik
telah ditawarkan dan disampaikan oleh Yesus kepada perempuan Samaria
(ayat 21, 26).
C. PENUTUP
Setiap percakapan konseling seharusnya membuka kesempatan terjadinya
misi Allah. Sebaliknya setiap percakapan misi (PI) seharusnya juga membuka
kesempatan seseroang mendapatkan terpecahnya persoalan sampai ke akar
persoalan itu sendiri, yaitu dosa. Percakapan konseling dan pelayanan Misi
idealnya harus berjalan secara parallel dan terintegrasi. Jadi, pelayanan
konseling akan menjadi jembatan bagi terlaksananya misi (PI) pada klien, dan
83
Sebuah paralel dapat dibuat dengan kurban yang di dalam Perjanjian Lama harus
dipersembahkan berkali-kali dank urban Anak domba Allah yang dipersembahkan sekali
untuk selama-lamanya. (Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3, 316)
35
ISSN 2579-5678
atau sebaliknya Misi (PI) akan dapat menghantarkan (Jembatan) pada
pelayanan konseling pada klien.
D. DAFTAR PUSTAKA
Abineno, Ch 2005, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Anderson, Neil T, Baumchen, 2002 Menemukan Harapan Baru, Jakarta: Harvest
Publication House
Bosch, David J, 2009 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Borg, Marcus M, 2003 Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, Yesus sejarah dan
Hakekat Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Iman K Brister, C.W, 1992 Pastoral Care in the Church, New York: Haper
Collin Publiser
Collins, Garry, R 1998 Konseling Kristen yang efektif, Malang: SAAT,
Crabb, Larry. 2007 Konseling yang Efektif dan Alkitabiah, Yogyakarta: Andi
Chester, Betsy Kylstra, 2010
Healing Ministry. Yogyakarta: Andi
De Kuper, Arie. 1996. Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Djiwandono Sri Esti, 2005
Konseling dan Terapi dengan Anak dan orang Tua,
Jakarta: Grasindo
Eko Pronoto, B, 2007, Misi Kristen Menjangkau jiwa Menyelamatkan dunia,
Yogyakarta: Andi.
Hoekema Anthony A, 2009
Diselamatkan
oleh
Anugerah,
Surabaya:
Momentum
Halim, Makmur, 2003 Model-Model PenginjilanYesus, suatu penerapan masa Kini,
Malang: Gandum Mas.
Lumintang, Stevri I,
2007 Misiologia Kontemporer, Malang: YPPII
Peters, George W. 2006 Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, Malang:
Gandum Mas
Susabda, Yakub, Pastoral Konseling vol, 1, 2, Malang: Gandum Mas.
Tu’u, Tulus, 2007 Dasar-dasar Konseling Pastoral, Yogyakarata: Andi
Warren, Rick, 2006 Purpose Driven Life Kehidupan yang digerakkanoleh Tuhan,
Malang: Gandum Mas
Wright, Norman, 2006 Konseling Krisis, Malang: Gandum Mas
Yeo, Anthony, 2009 Konseling Suatu pendekatan Pemecahan Masalah, Jakarta:
BPK Gunung mulia
36
PENGARUH KUALITAS DAN PEMAHAMAN DISIPLIN
GEREJA BERDASARKAN TULISAN RASUL PAULUS
TERHADAP IKLIM PELAYANAN DI GEREJA METHODIST
INDONESIA JEMAAT “GLORIA” MEDAN
Oleh: Freddy Teng
ABSTRAK. Tujuan penulisan jurnal penelitian ini antara lain: pertama,
untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kualitas dan pemahaman Disiplin
Gereja berdasarkan tulisan Rasul Paulus terhadap iklim pelayanan di Gereja
Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Penelitian ini dilakukan di Gereja
Methodist Indonesia Jemaat “Gloria” Medan. Populasi penelitian ini adalah
para pejabat gereja di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria di Medan
dengan jumlah 51 orang, sampel penelitian sebanyak 44 orang yang dipilih
secara cluster sampling dan random sampling. Hasil analisis statistik
inferensial parametris bahwa; 1) pengaruh langsung kualitas Disiplin gereja
terhadap iklim pelayanan sebesar 0.32, 2) pengaruh langsung pemahaman
Disiplin gereja terhadap iklim pelayanan sebesar 0.35, 3) pengaruh langsung
kualitas terhadap pemahaman Disiplin gereja sebesar 0.78, 4) pengaruh
langsung kualitas dan pemahaman Disiplin gereja secara bersama-sama
terhadap iklim pelayanan sebesar 0.358.
Frase kunci: Kualitas, Pemahaman Disiplin Gereja, iklim pelayanan.
A. PENDAHULUAN
Agama Kristen adalah agama perjanjian (kovenan). Alkitab sangat jelas
bahwa Allah adalah pemulai kovenan-kovenan.
ISSN 2579-5678
1
Semua kovenan ini terangkai secara integral satu dengan yang lain dan
mengalir dari Kovenan Anugerah yang agung yang ditetapkan dalam
Kejadian 3:15 sampai kepada Kovenan Baru di dalam Kristus.2 Tujuan
pemberian kovenan oleh Allah kepada manusia adalah untuk menata
kehidupan manusia di dalam dunia. Penataan hidup manusia oleh Allah
adalah demi kedamaian (peace) dan kesatuan (unity) kehidupan semua
ciptaan-Nya.
Di dalam sebuah organisasi tentu ada sistem yang mengatur jalannya atau
operasionalnya, agar tujuan organisasi tersebut dapat tercapai. Di dalam suatu
organisasi terdapat sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan
berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama.3 Dalam
mencapai tujuannya, selain suberdaya manusia suatu organisasi juga
memiliki sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya
informasi, dan sumber daya lainnya. Karena organisasi memiliki sistem,
maka seluruh sumberdaya yang ada perlu di tata dan disusun dalam aturanaturan yang disebut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
organisasi.
Demikian juga dalam suatu lembaga gereja. Gereja adalah tubuh Kristus,
dengan kata lain merupakan suatu organisme.4 Suatu organisme yang terdiri
dari organisasi-organisasi.5 Sebagai organisme hidup, gereja harus
berkembang dan bertumbuh sebagaimana Kristus. 6 Suatu lembaga gereja juga
terdiri dari sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan berupaya
untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama. Tujuan gereja di
dunia adalah sesuai dengan tujuan Kristus bagi ciptaan-Nya. Tujuan yang
1
W. Garry Crampton, Verbum Dei, [terjemahan: R. BG. Steve Hendra] (Surabaya:
Momentum 2004), 140.
2
Ibid, 137.
3
Erni Trisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), 4.
4
Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, (Malang: SAAT, 2007), 54.
5
Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, ...., 54.
6
Ibid.
37
ISSN 2579-5678
berfokus pada Visio-Dei (visi Allah) untuk mencapai Misio-Dei (misi Allah)
di dalam dunia. Sekelompok orang tersebut (sumberdaya manusia) yaitu para
pejabat gereja, memiliki karakter yang sangat berbeda-beda, motivasi yang
berbeda-beda, dan latar belakang (suku, budaya, ekonomi, pendidikan, dlsb.)
yang berbeda-beda pula.
Selain sumber daya manusia, gereja juga memiliki berbagai sumber daya lain,
seperti: sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya
informasi, dan lain sebagainya. Karena lembaga gereja juga merupakan
organisasi, maka lembaga gereja juga harus memiliki suatu sistem, dan
lembaga gereja perlu menyusun cara-cara penyelenggaraan atau tata cara
pemanfaatan keseluruhan sumber daya yang ada padanya yang terangkum di
dalam “Tata Gereja” atau “Disiplin gereja” agar tujuan gereja dapat dicapai.
Selain itu, gereja adalah tubuh Kristus dan sudah seharusnya menjadi satu
kesatuan. Maka sebuah lembaga gereja membutuhkan tata
penyelenggaraannya untuk membuat kehidupan gerejawi sepadan dengan
naturnya, yaitu mencapai kesatuan, kedamaian dan melaksanakan misi Allah
di dalam dunia.
Tanggung jawab di dalam pencapaian tujuan gereja, berada di pundak sumber
daya manusia yaitu para pejabat gereja. Banyak orang senang menjadi pekerja
yang berguna di dalam gereja, namun tidak mengerti caranya karena tidak
mengetahui atau mengerti tentang Disiplin gereja. Maka di dalam
pelayanannya, para pejabat gereja melakukan tindakan berdasarkan cara
berpikir yang lebih mementingkan tujuan dan akibat (teleologis). Cara
berpikir ini lebih mempersoalkan tentang baik atau jahat berdasarkan tujuan
atau akibatnya.7 Cara berpikir seperti ini terancam bahaya “tujuan
menghalalkan segala cara” dan “hedonisme”.8
Ada juga pelayan gereja yang melakukan tindakan dalam pelayanannya
berdasarkan pola pikir yang memerhitungkan konteks situasi dan kondisi
(kontekstual). Bagi mereka, yang terpenting bukan apa yang benar atau yang
7
G. Sudarmanto, Pelayan Kristus Yang Baik, (Malang: Departemen Multimedia
YPPII, 2009), 230.
8
Ibid.
38
ISSN 2579-5678
baik, tetapi yang tepat yaitu yang paling bertanggung jawab. 9 Cara berpikir
ini memang sangat operatif namun bisa terjebak ke dalam bahaya etika situasi
yang tanpa prinsip yang jelas (Darmaputera, 1989: 10-18).
Bagi para pejabat gereja yang memahami Disiplin gereja, maka di dalam
pelayanannya, mereka cenderung mengambil tindakan berdasarkan Disiplin
gereja. Tindakan dengan pola pikir ini mendasarkan diri kepada prinsip,
hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan
kondisi apapun (deontologis).10 Cara berpikir ini hanya menyatakan benar
atau salah berdasarkan hukum atau Disiplin gereja. Cara ini memberikan
pegangan secara objektif dengan jelas, tetapi bisa terjatuh ke dalam legalisme
yang kaku.
Melihat pemaparan di atas maka seharusnya sebuah organisasi gereja harus
memiliki aturan-aturan di dalam penyelenggaraannya (Disiplin gereja) untuk
mencapai tujuannya. Setiap pelayan gereja seharusnya menguasai, bukan
hanya memahami aturan-aturan tersebut. Bila para pejabat gereja tidak
menguasai Disiplin gereja, maka tujuan dari gereja tidak tercapai; gereja tidak
memiliki tujuan yang jelas untuk berkembang dan bertumbuh; para pejabat
gereja tidak memiliki patokan dalam pencapaian tujuan; para pejabat gereja
tidak memiliki cara-cara penyelenggaraan gereja yang jelas. Pelayan gereja
bertindak dengan keinginan dan pengertian masing-masing. Bila para pejabat
gereja tidak menguasai Disiplin gereja dengan baik, malah Disiplin gereja
dirasakan menjadi penghambat tugas pelayanan.11
Apabila semuanya berjalan sendiri-sendiri, maka tidak terjadi satu kesatuan
lagi dari para pejabat gereja. Dengan demikian maka akan terjadi kekacauan
dalam gereja yang akan berakhir dengan terjadi konflik dalam gereja –
perselisihan, dan pertengkaran dari para pejabat gereja. Bila terjadi konflik
dalam gereja maka pelayanan gereja menjadi stagnasi, atau malah tidak ada
lagi pelayanan karena semuanya terfokus dan terjerat di dalam masalah9
Ibid.
Ibid.
11
Richard M. Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004), 55.
10
39
ISSN 2579-5678
masalah yang timbul akibat konflik. Maka jelas semua hal-hal tersebut akan
memengaruhi iklim pelayanan dari para pejabat gereja.
Lebih lanjut lagi, terjadi perpisahan atau perpecahan dari lembaga gereja
tersebut. Bahkan lebih ekstrim lagi akan terjadi pembunuhan. Dengan
demikian gereja tidak menjadi terang dan garam di dunia, kehidupan gerejawi
tidak sepadan dengan naturnya dan tentunya akan menghambat misi Allah di
dalam dunia. Jemaat yang kesal dan kecewa melihat perselisihan yang terjadi
akan pindah ke lembaga gereja lain, bahkan pindah kepercayaan. Masalahmasalah tersebut tentunya juga tidak bisa dihindari di dalam Gereja Methodist
Indonesia jemaat Gloria Medan.
B. KAJIAN TEORITIS
1. Kualitas Disiplin Gereja
Menimbang bahwa permasalahan yang timbul dalam hubungan antara
manusia selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur, demikian pula
konflik yang terjadi di dalam lembaga Gereja Methodist Indonesia dikaitkan
dengan Disiplin yang merupakan peraturan-peraturan bagi lembaga gereja
ini; Bahwa setiap lembaga, bahkan gereja, tentu memiliki dokumen inti.
Dokumen ini berfungsi sebagai pernyataan dasar untuk menetapkan visi,
misi, tujuan mereka, dan nilai-nilai inti. Nilai-nilai ini akan memandu
lembaga melalui perubahan waktu dan budaya. Alkitab adalah dokumen inti
lembaga gereja. Alasan mengapa Kitab Suci sebagai dasar untuk menyusun
sebuah Disiplin adalah karena Dia mutlak memiliki otoritas ilahi. (1 Kor.
2:10-13; 2 Tim. 3:15-17; 1 Pet. 1:10-12, 21; 2 Pet. 1:20-21, 3:2, 15-16).
Sebagai wahyu khusus dari Allah, semua gereja harus menanggapi hal ini.
Bila tidak ada Firman Tuhan sebagai dasar, maka gereja tidak akan
menemukan nilai kebenaran dalam perumusan peraturan (Disiplin) gereja.
Bila tidak ada peraturan gereja, maka dapat terjadi kekacauan dalam gereja
karena setiap individunya akan melakukan tugas pelayanan hanya dengan
inisiatif sendiri dan tidak ada yang mengikat mereka menjadi satu sistem.
Disiplin dibuat adalah untuk mengontrol dan mengelola segala sumber daya
40
ISSN 2579-5678
agar gereja mampu untuk melayani sesuai dengan hakikat dirinya, serta dapat
mewujud-nyatakan kehadirannya.
Menurut Abineno, Disiplin yang berkualitas adalah peraturan-peraturan
gereja yang baik dengan memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:12
1. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang secara prinsipal mengakui kedewasaan dan imamat
orang-orang percaya. Itu berarti, bahwa dalam peraturan-peraturan
Gereja harus diberikan tempat kepada mereka, supaya mereka dapat
menunaikan tugas mereka sebagai “umat Allah”.
2. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang menolak pertentangan yang prinsipal antara “kaum
rohaniwan” dan “kaum awam”.
3. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang menolak sebutan “imam” dalam arti khusus untuk
pejabat-pejabat Gereja, khususnya untuk pendeta-pendeta Jemaat,
sebab sebuatan itu bertentangan dengan kesaksian Perjanjian Baru.
4. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak menganggap dan memperlakukan pendeta Jemaat
sebagai “hamba” Gereja, tetapi sebagai Verbi divini minister (pelayan
Firman Allah). Tugasnya ialah: “merepresentir” Kristus, bukan saja
terhadap dunia, tetapi juga terhadap Jemaat (Bnd. Antara lain Luk.
10:16; Gal. 1:11; 2 Kor. 5:20). Sungguhpun demikian ia tidak berdiri
di atas, tetapi di dalam Jemaat, di samping anggota-anggota Gereja
yang lain.
5. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang bersifat “kristokratis” bukan “aristokratis” dan bukan
juga demokratis. Kristus yang memerintah dalam Gereja, bukan
orang-orang tertentu dalam Gereja dan bukan juga Jemaat.
12
J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 45-47.
41
ISSN 2579-5678
6. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang memberikan tempat yang sentral kepada Firman dan Roh
Allah dalam hidup dan pekerjaannya. Itu berarti, bahwa keputusankeputusan yang diambil oleh rapat kepengurusan Gereja tidak lebih
banyak dipimpin oleh suara terbanyak dari anggota-anggota Jemaat
yang berhak menyatakan pendapat mereka, tetapi terutama oleh
Firman dan Roh Allah. Keputusan yang dihasilkan oleh suara
terbanyak bila bertentangan Firman, maka keputusan tersebut harus
ditolak tanpa alasan.
7. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak memberi peluang kepada pemerintah untuk turut
campur tangan dalam soal-soal intern gerejawi, seperti yang terjadi di
Jerman pada waktu pemerintahan Hitler, maupun dalam konflik yang
terjadi pada Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria di Medan.
8. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak memberikan peluang kepada Majelis yang satu
(misalnya Lay Leader) untuk memerintah dan berkuasa atas Majelis
yang lain (misalnya Komisi Misi). Apalagi Majelis memerintah dan
berkuasa atas Gembala Sidang.
9. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang memberikan ruang untuk hubungan dan kerja sama
dengan Gereja-gereja lain, khususnya dengan Gereja-gereja yang
hidup dan melayani di daerah (wilayah) dan dalam Negara yang sama.
10. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak memutlakkan Gerejanya dan yang selalu ingat akan
apa yang Tuhan katakan dalam Yohanes 10:16; “Ada lagi pada-Ku
domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu
harus Ku tuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan
mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”.
11. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang memberikan tempat untuk pluriformitas yang legitimasi
dan untuk eksperimen-eksperimen yang dapat dipertanggung42
ISSN 2579-5678
jawabkan. Itu berarti, bahwa gereja harus hati-hati bertindak terhadap
anggota-anggota Jemaat yang dipengaruhi oleh ajaran yang
menyimpang dari Firman Tuhan.
12. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang bukan saja mementingkan pendidikan pendeta-pendeta
Jemaat, tetapi juga memperhatikan pendidikan (pembinaan)
kerohanian pejabat-pejabat khususnya yang lain, terutama penatuapenatua dan diaken-diakennya.
13. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang menata nisbah atau hubungan yang baik antara anggotaanggotanya, termasuk pejabat-pejabatnya, menurut Matius 23:8-11:
“Janganlah kamu sebut rabbi, karena hanya ada satu saja Rabbi kamu
dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa
pun bapa di bumi ini, karena hanya ada satu saja Bapa kamu, yaitu
Dia yang di surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena
hanya ada satu saja Pemimpin kamu yaitu Mesias. Barangsiapa yang
paling besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan kamu”.
14. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang dengan teliti mengatur perlengkapan (pembinaan)
anggota-anggota Jemaat oleh pejabat-pejabat gereja, sehingga mereka
dapat menunaikan tugas mereka, baik di dalam, maupun di luar
Gereja.
15. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak memberikan kesempatan kepada suatu Majelis
(Misalnya Ketua Majelis) atau kepada pendeta-pendeta dan guru-guru
Injil untuk memaksakan “dari atas” pejabat-pejabat gerejawi kepada
suatu Jemaat yang tidak dikehendaki oleh Jemaat itu, apalagi kalau
hal itu terjadi tanpa sesuatu perundingan.
Sesuai dengan kovenan yang diberikan oleh Allah dalam bentuk Kitab Suci,
maka kualitas sebuah Disiplin ditentukan oleh otoritas, dokumentasi, dan
karakteristik fisiknya. Otoritas dalam arti memiliki kekuatan hukum,
memiliki kuasa sehingga dipatuhi oleh semua insan yang ada di bawah
43
ISSN 2579-5678
payung peraturannya yang berlaku tersebut. Dalam hal dokumentasi, Disiplin
harus tersedia, mudah diperoleh bahkan dimiliki oleh setiap anggota Jemaat.
Allah telah memberi teladan bagi manusia, di mana Firmannya merupakan
Perjanjian Allah dengan manusia. Firman Allah harus dibacakan setiap hari
untuk mengingat bagaimana Perjanjian Allah (Yos. 1:8; Mzm. 1:2; dlsb). Bila
anggota Jemaat tidak mengetahui Disiplin, bagaimana mereka dapat memiliki
kehidupan Gerejawi yang baik.
Selain hal-hal yang bersifat rohani dan otoritas, karakteristik fisik dari kitab
Disiplin juga dapat mempengaruhi orang untuk mau memiliki dan membaca
sehingga menjadi mengerti, dan pada gilirannya tentu akan mempengaruhi
iklim pelayanan dalam gereja. Karakteristik fisik dari sebuah buku yang
menentukan kualitasnya antara lain: Cetakan / disain sampul maupun isi;
isinya tersusun secara sistematisasi; memakai bahasa yang dimengerti oleh
komunitas pembacanya; Kualitas isi atau bobot pengetahuan yang
terkandung; Peraturan-peraturan dalam Disiplin. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kuntjara pada tahun 2007 di Program Studi
Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.13
2. Pemahaman Disiplin Gereja
Sumber daya manusia dari gereja adalah sumber daya yang terpenting, maka
sumber daya manusia perlu bercermin untuk menata diri dan selalu berpegang
pada peraturan yang berlaku agar terhindar dari berbagai masalah dalam
melaksanakan pekerjaan Tuhan.
Semua masalah berawal dari manusia. Peraturan yang Sempurna (Alkitab)
dari Allah sekalipun tidak sepenuhnya dipatuhi oleh manusia, apalagi bila
tidak ada peraturan. Maka dalam hal pemahaman Disiplin oleh semua
anggota jemaat dapat disebabkan oleh karena mereka tidak pernah
diberitahukan atau karena mereka hanya memahami sebagian peraturan dari
13
Kuntjara, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Ulang Konsumen,
(Semarang: TESIS; Universitas Diponegoro, 2007).
44
ISSN 2579-5678
perkataan orang lain. Oleh sebab itu, pemahaman Disiplin dapat diselidiki
melalui:
Sumber / cara pemahaman. Ada program pengajaran Disiplin yang diadakan
oleh Gereja secara berkala. Anggota jemaat juga dapat belajar sendiri dari
buku Disiplin. Di beri tahu oleh Gembala Sidang. Di beri tahu oleh sesama
rekan kerja. Di beri tahu oleh pelayan lama.
Kualitas pemahaman. Seorang anggota jemaat yang baik, apalagi yang sudah
melayani dalam tugas Kemajelisan gereja, harus memahami batasan
wewenang (hak); memahami tugas (tanggung jawab); memahami batasan
masa jabatan; Memahami sistem kerja gereja secara keseluruhan.
3. Iklim Pelayanan
Setiap organisme hidup bergantung pada iklim untuk pertumbuhannya.
Sebuah tanaman yang diberi makan, disiram dan menerima jumlah cahaya
yang cukup, tetapi faktor iklim yang penting -kelembaban- tidak
dipertimbangkan dan mengalami kekurangan, tidak akan mengalami
pertumbuhan. Segera setelah faktor tersebut ditanggapi dengan serius,
tanaman tersebut menjadi subur. Namun untuk tanaman lain (misalnya
“kaktus”), jumlah cahaya dan air mungkin merupakan faktor kritis dalam
pertumbuhan mereka. Pengalaman dengan tanaman tersebut menggambarkan
peranan iklim dalam perkembangan kesehatan untuk setiap makhluk hidup.
Gereja adalah sebuah organisme hidup, bukan sebuah organisasi. Gereja juga
bertumbuh dengan sehat dalam suatu iklim yang tepat. Diagnosis gereja pada
umumnya tidak memasukkan sebuah studi tentang iklim (suasana). Iklim
dihasilkan oleh doa lebih daripada faktor lain, karena iklim berkaitan dengan
roh gereja daripada dengan strategi program khusus. 14 Namun diagnosis
cenderung memusatkan pada pertumbuhan kuantitatif dan penyusunan
program. Keduanya merupakan faktor yang menentukan, tetapi tentu saja
tidak keseluruhan. Setiap gereja seharusnya dievaluasi dalam arti "seperti apa
14
Ron Jenson & Jim Stevens, Dynamics of Church Growth, (U.S.A: Bakers Book
House Company, 1981), 129-131.
45
ISSN 2579-5678
rasanya" menjadi anggota gereja dan apa yang oleh pendatang baru
"dirasakan" ketika mereka mendekati gereja. Bagian dari alasan diagnosis
sering mengabaikan iklim adalah bahwa iklim tidak dapat diprogram,
meskipun penyusunan program mempengaruhi iklim.
Jenson mendefinisikan iklim dalam konteks gereja sebagai kombinasi faktorfaktor yang menentukan bagaimana merasakannya sebagai bagian gereja. 15
Pada umumnya (mungkin juga kadang-kadang), telah mengunjungi gereja
dalam usaha menemukan sebuah "rumah gereja", sebuah gereja di mana
mereka dapat menetap dan menjadi bagiannya. Banyak orang yang telah
melalui proses ini memiliki hal-hal yang spesifik yang mereka cari dalam
sebuah gereja (mis. sebuah program pemuda atau khotbah yang baik).
Meskipun daftar pengharapan yang spesifik ini, keputusan kembali ke sebuah
gereja atau keputusan untuk bergabung akan dibuat atas dasar apa yang
dirasakan benar oleh seseorang mengenai gereja ini - "Khotbah (atau hal-hal
spesifik lain, seperti Sekolah Minggu) adalah baik, tetapi orang-orang
tampaknya tidak terlalu ramah." Atau, "Saya tidak (atau sungguh) merasa
diterima." Setiap gereja memiliki kepribadian lembaga yang tercermin dari
Disiplin yang berlaku dalam gereja tersebut. Jika para bakal anggota tidak
merasakan penerimaan, kehangatan, dan getaran, mereka mungkin tidak akan
kembali. Banyak gereja tidak bertumbuh karena sebuah kombinasi faktorfaktor iklim menghasilkan perasaan negatif; jadi, orang-orang dipaksa dan
bukannya ditarik. Iklim dapat digambarkan dengan istilah menarik. Apakah
yang ada mengenai kita, sebagai sebuah gereja, yang dapat menarik orang
datang kepada kita? Katakan dengan cara lain, mengapa orang-orang datang?
Pertanyaan ini berlaku untuk (orang Kristen dan non Kristen, meskipun
orang-orang Kristen yang taat dan setia mengunjungi sebuah gereja dengan
harapan-harapan yang berbeda daripada orang-orang non Kristen.
Hal ini penting karena ini merupakan inti proses pertumbuhan. Mengapa
kehidupan Yesus begitu memiliki daya tarik, dan gereja-Nya sering tidak
menarik dan bahkan menimbulkan penolakan? Tekanan di sini bukan pada
15
Ibid.
46
ISSN 2579-5678
penampilan. Kita tidak saja berusaha tampak baik. Tekanan adalah pada
semangat gereja-Nya, keaslian dan kenyataan dari kehidupannya. Gereja
menarik karena keasliannya - ketulusannya. Orang dapat merasakan denyut
kehidupan di bawah permukaan bangunan-bangunan, program-program dan
struktur-struktur. Mereka juga dapat merasakan jika api itu padam, jika
perpecahan dan lembaga menjadi yang terutama. Hal ini tentu tidak
diinginkan oleh setiap anggota jemaat.
Bagi anggota gereja yang terpanggil untuk melayani, baik sebagai aktivis,
majelis jemaat maupun sebagai hamba Tuhan (Pendeta atau guru Injil), iklim
pelayanan sangat menentukan produktivitas dan semangat mereka. Tentu
semua aktivitas yang mereka lakukan ada dalam penetapan yang tersusun
dalam Disiplin. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi iklim pelayanan
menyangkut hak atau wewenang dan kewajiban yang harus mereka jalankan.
Hak atau wewenang yang harus mereka miliki antara lain: otonomi dan
fleksibilitas dalam melakukan tugas pelayanan; Gereja menaruh kepercayaan
dan terbuka bagi pelayanan mereka; Semua anggota jemaat termasuk anggota
majelis yang lain, aktivis, dan hamba Tuhan, memberikan simpatik dan
dukungan terhadap tugas pelayanan yang ada. Sedangkan kewajiban mereka
dalam mempertanggung jawabkan hak yang telah mereka terima antara lain:
Jujur dan menghargai tugas maupun hasil pelayanan orang lain; Kejelasan
tujuan program pelayanan; Mau mengambil pekerjaan yang memiliki risiko
hilangnya waktu dan kesenangan pribadi; serta selalu memperhatikan
pertumbuhan kepribadian.
C. METODE PENELITIAN
Karena masalah yang akan diteliti sudah jelas, maka dalam penelitian ini
penulis memakai pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki hubungan awal antara variabel terikat (dependent) dengan
variabel bebas (independent), maka dalam penelitian ini penulis memakai
jenis korelasional survei dengan teknik analisis jalur (path analysis design).
Analisis jalur digunakan untuk menentukan mana dari sejumlah jalur yang
47
ISSN 2579-5678
menghubungkan satu variabel dengan variabel lainnya. 16 Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah kualitas Disiplin (X 1), dan pemahaman Disiplin
oleh para pejabat (X2), sementara variabel terikatnya adalah iklim pelayanan
(Y).
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Gereja Methodist Indonesia Jemaat Gloria Medan
yang beralamat di Jalan M.T. Haryono No.38, Medan. Penelitian dilakukan
pada bulan April 2011 – Juni 2011. Laporan hasil penelitian yang dituangkan
dalam jurnal ini dilakukan dalam bulan Juni tahun 2016.
2. Materi dan Alat Penelitian
Metode pengumpulan data yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah
metode angket dengan skala “Likert”. Adapun pertimbangan penulis
menggunakan metode ini adalah bahwa sampel dengan responden 44 orang
cukup besar jumlahnya. Selain hal tersebut, penulis juga sudah tahu dengan
pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari
responden. Dengan demikian penulis menilai bahwa metode angket lebih
efisien dalam penelitian ini.
3. Prosedur Penelitian
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam pengumpulan data
adalah: Pertama, penulis mengambil langkah yaitu mendata pertanyaanpertanyaan terlebih dahulu, yang berhubungan dengan objek penelitian;
Kedua: sesuai dengan pokok atau objek kajian penulis, maka dalam hal ini,
penulis memfokuskan pembagian kuesioner kepada para hamba Tuhan dan
majelis jemaat yang sedang melayani; Ketiga: setelah penulis mendapatkan
data-data, penulis dapat memberikan pengetahuan prinsip Disiplin
berdasarkan tulisan Rasul Paulus secara massal kepada para pejabat gereja
16
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009),
50.
48
ISSN 2579-5678
tersebut. Sehubungan dengan hal ini, penulis mendeskripsikannya dalam
tulisan.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
Berdasarkan perolehan data-data penelitian, maka penulis menyajikan hasil
penelitian berikut ini. Melalui penelitian deskriptif ditemukan bahwa kualitas
Disiplin Gereja Methodist Indonesia bagi anggota jemaat Gloria Medan
hanya mencapai 34,05/56 x 100% = 60,8% dari yang diharapkan (100%).
Para pekerja yang menjabat sebagai hamba Tuhan dan majelis jemaat untuk
periode tahun 2010 – 2012 memahami Disiplin Gereja Methodist Indonesia
2005 hanya mencapai 43,36/72 x 100% = 60,2% dari yang diharapkan
(100%). Iklim kerja yang ada di gereja ini (jemaat Gloria Medan) belum
maksimal. Hanya mencapai 37,50/56 x 100% = 67% dari yang diharapkan
(100%).
Hasil penelitian statistik deskriptif ini akan penulis pertajam dengan
peninjauan hasil pencapaian berdasarkan aspek dari masing-masing variabel
yang diteliti. Rangkumannya adalah pada tabel berikut ini.
Tabel 36
Hasil Penelitian Statistik Deskriptif terhadap Kualitas Disiplin,
Pemahaman Disiplin dan Iklim Pelayanan
Variabel
Penelitian
Aspek
Otoritas
Kualitas
Disiplin
Gereja
No.
Item
1, 2, 3,
4, 5
Dokumentasi
6, 7
Karakteristik
8, 9,
10, 11,
12, 13,
14
Skor
Ideal
5x4x44 =
880
2x4x44 =
352
7x4x44
= 1232
49
Skor
perolehan
158+113+121+
120+115 = 627
Persentasi
(%)
82+78 = 160
45,5
86+114+110+
110+91+95+
105 = 711
57,7
71
ISSN 2579-5678
Sumber / cara
pemahaman
Pemahaman
Disiplin
Gereja
Iklim
pelayanan
Kualitas
pemahaman
Wewenang /
hak
Kewajiban.
1, 2, 3,
4, 5
6, 7, 8,9,
10,11,
12,13,
14,15,
16,17,
18
1, 2, 3,
4, 5, 6,
7, 8
9, 10,
11, 12,
13, 14
5x4x44 =
880
77+110+109+
99+86 = 481
54,7
13x4x44
= 2288
91+114+116+
110+124+109+
117+109+101+
125+120+108+
83 = 1427
62,4
8x4x44
= 1408
6x4x44
= 1056
121+99+118+
129+112+125+
120+92 = 916
117+141+114+
120+135+107=
734
65,1
69,5
Rangkuman perolehan dalam penelitan asosiatif statistik adalah sebagai
berikut:
1. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,32 antara kualitas Disiplin
dengan iklim pelayanan Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria
Medan. Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin
memengaruhi kondisi iklim pelayanan. Koefisien korelasi 0,32
menyatakan tingkat hubungan yang rendah. Walaupun korelasi ini
rendah, namun berdasarkan hasil uji signifikansi dengan koefisien
sebesar 2,18 dapat dinyatakan bahwa korelasi antara kualitas
Disiplin dan iklim pelayanan adalah signifikan, sehingga hasil
penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel
diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi (seberapa jauh)
kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan didasarkan pada
persamaan regresi Y’ = 30,30 + 0,21 X. Persamaan ini
menghasilkan kesimpulan bahwa:
a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X = 0), maka
diramalkan iklim pelayanan (Y) = 30,30.
b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor,
maka iklim pelayanan bertambah 0,21.
50
ISSN 2579-5678
2. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,35 antara pemahaman
Disiplin dengan iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia
jemaat Gloria Medan. Dengan perkataan lain bahwa pemahaman
Disiplin memengaruhi kondisi iklim pelayanan. Koefisien korelasi
0,35 menyatakan tingkat hubungan yang rendah. Walaupun korelasi
ini rendah, namun berdasarkan hasil uji signifikasi dengan koefisien
sebesar 2,44 ini maka dinyatakan bahwa korelasi antara pemahaman
Disiplin dan iklim pelayanan adalah signifikan, sehingga hasil
penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel
diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi (seberapa jauh)
kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan didasarkan pada
persamaan regresi Y’ = 30,72 + 0,16 X. Persamaan ini
menghasilkan kesimpulan bahwa:
a. Dalam keadaan pemahaman Disiplin sama dengan nol (X = 0),
maka diramalkan iklim pelayanan (Y) = 30,72.
b. Setiap peningkatan pemahaman Disiplin bertambah 1 (satu)
skor, maka iklim pelayanan bertambah 0,16.
3. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,78 antara kualitas Disiplin
dengan pemahaman Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005.
Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin memengaruhi
pemahaman Disiplin. Koefisien korelasi 0,78 menyatakan tingkat
hubungan yang kuat. Berdasarkan hasil uji signifikasi dengan
koefisien sebesar 8,19 ini maka dinyatakan bahwa korelasi antara
kualitas Disiplin dengan pemahaman Disiplin adalah signifikan,
sehingga hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi
dimana sampel diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi
(seberapa jauh) kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan
didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 3,21 + 1,18 X. Persamaan
ini menghasilkan kesimpulan bahwa:
a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X = 0), maka
diramalkan pemahaman Disiplin (Y) = 3,21.
51
ISSN 2579-5678
b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor,
maka pemahaman Disiplin bertambah 1,18.
Ketiga hasil penelitian asosiatif statistik di atas ini dapat dirangkumkan dalam
tabel 37 dan digambarkan paradigma penelitiannya pada gambar 7 dibawah
ini.
Tabel 37
Rangkuman Hasil Penelitian Asosiatif Statistik
Variabel yang
dikorelasikan
Kualitas Disiplin dengan
iklim pelayanan (rYX1)
Pemahaman
Disiplin
dengan iklim pelayanan
(rYX2)
Kualitas Disiplin dengan
pemahaman
Disiplin
(rX1X2)
r
hitung
Tingkat
Hubungan
r
tabel
Keterangan
Persamaan
Regresi
Y’ = 30,30 +
0,21 X1
0,32
rendah
0,297
Signifikan
0,35
rendah
0,297
Signifikan
Y’ = 30,72 +
0,16 X2
0,78
kuat
0,297
Signifikan
Y’ = 3,21 +
1,18 X3
Hasil pengujian ke tiga hipotesis asosiatif tersebut dapat digambarkan ke
dalam paradigma penelitian sebagai berikut:
X
rYX1=0,32.
Y
0,78
X
Y’=30,30+0,21X1
rYX2=0,35.
Y’=30,72+0,16X2
Gambar 9
Koefisien Korelasi dan Persamaan Regresi antar Variabel
52
ISSN 2579-5678
4. Terdapat korelasi positif antara kualitas Disiplin dan pemahaman
Disiplin secara bersama-sama dengan iklim pelayanan sebesar
0,358. Hubungan ini secara kualitatif dapat dinyatakan rendah17,
dan besarnya lebih dari korelasi individual antara X 1 (kualitas
Disiplin) dengan Y (iklim pelayanan), maupun X2 (pemahaman
Disiplin) dengan Y (iklim pelayanan). Melalui uji signifikansi
dengan rumus F yang menghasilkan koefisien sebesar Fh = 3,013,
maka dapat dinyatakan bahwa korelasi ganda tersebut signifikan
dan dapat diberlakukan dimana sampel diambil (Gereja Methodist
Indonesia jemaat Gloria Medan). Kesimpulan dari penelitian ini
adalah: hipotesis nol yang berbunyi “Terdapat hubungan fungsional
yang signifikan antara variabel X1 dan X2 dengan variabel Y”,
diterima. Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin dan
pemahaman Disiplin secara bersama-sama memengaruhi kondisi
iklim pelayanan. Prediksi (sejauh mana) iklim pelayanan
dipengaruhi oleh kualitas Disiplin dan pemahaman Disiplin secara
bersama-sama didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 30,377 +
0,0702 X1 + 0,1198 X2. Persamaan ini menghasilkan kesimpulan
bahwa:
a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X 1 = 0),
namun pemahaman Disiplin dimaksimalkan 18 x 4 = 72 (18
jumlah butir instrumen, 4 skor tertinggi), maka diramalkan iklim
pelayanan (Y) = 30,377 + 0,1198 x 72 = 39,0013.
b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor,
dengan pemahaman Disiplin yang tetap maksimal, maka
diramalkan iklim pelayanan bertambah 0,0702.
c. Bila kualitas Disiplin dimaksimalkan 14 x 4 = 56 (14 jumlah
butir intrumen, 4 skor tertinggi), maka diramalkan iklim
pelayanan (Y) = 39,0013 + 0,0702 x 56 = 42,9335. Dengan nilai
Lihat tabel “Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi” pada
lampiran tulisan ini.
17
53
ISSN 2579-5678
maksimal iklim pelayanan yang diharapkan adalah 14 x 4 = 56
(14 jumlah butir instrumen, 4 skor tertinggi), maka nilai 42,9335
hanya mencapai 42,9335/56 x 100% = 76,667%. Hal ini terjadi
karena tingkat korelasinya yang rendah.
Rangkuman perolehan dalam penelitan komparatif statistik adalah sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian komparatif statistik terhadap persepsi kelompok
hamba Tuhan dan majelis jemaat terhadap kualitas Disiplin,
menghasilkan koefisien t hitung sebesar 1,69 yang lebih kecil dari
nilai t tabel 2,0189. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa: tidak
terdapat perbedaan persepsi yang signifikan dari kelompok hamba
Tuhan dan majelis jemaat terhadap kualitas Disiplin. Artinya,
kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat memberikan penilaian
yang hampir sama terhadap kualitas Disiplin Gereja Methodist
Indonesia 2005.
2. Hasil penelitian komparatif statistik terhadap tingkat pemahaman
Disiplin oleh kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat,
menghasilkan koefisien t hitung sebesar 3,084 yang lebih besar dari
nilai t tabel 2,0189. Dengan demikian kesimpulannya adalah:
terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok hamba Tuhan
dan majelis jemaat terhadap pemahaman Disiplin. Artinya,
kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat memiliki pemahaman
yang tidak sama (berbeda) tentang Disiplin Gereja Methodist
Indonesia 2005.
Hasil penelitian komparatif statistik terhadap iklim pelayanan dari kelompok
hamba Tuhan dan majelis jemaat, menghasilkan koefisien t hitung sebesar
2,091 yang lebih besar dari nilai t tabel 2,0189. Dengan demikian
kesimpulannya adalah: terdapat perbedaan yang signifikan dari kelompok
hamba Tuhan dan majelis jemaat pada iklim pelayanan mereka masingmasing. Artinya, kelompok hamba Tuhan memiliki iklim pelayanan yang
tidak sama (berbeda) dari kelompok majelis jemaat di Gereja Methodist
Indonesia jemaat Gloria Medan.
54
ISSN 2579-5678
Hasil penelitian berdasarkan masing-masing ketiga variabel instrumen
penelitian, dan dirinci pada masing-masing item, akan dirangkum dalam tiga
tabel yang disesuaikan dengan instrumen penelitian, yaitu: tabel 32 untuk
kualitas Disiplin, tabel 33 untuk pemahaman Disiplin, dan tabel 34 untuk
iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Kondisi
yang terjadi di gereja ini akan diwakili oleh 44 responden yang diambil dari
populasi dalam gereja ini, yang akan dituangkan dalam bentuk nilai persentasi
pencapaian dan deskripsi. Rumus perhitungan nilai persentasi pencapaian
adalah sebagai berikut:
Persentase pencapaian = ∑X / nilai tertinggi x 100%
Dimana:
∑X = total nilai perolehan dalam satu item 18
nilai tertinggi = nilai tertinggi item x jumlah responden = 4 x 44 = 176.
Contoh perhitungan: item no.1 dari kualitas disiplin memiliki nilai sebesar
158.19 Maka persentase pencapaian = 158 / 176 x 100% = 89,8%. Demikian
pula cara perhitungan untuk item-item yang lain pada ketiga instrumen
penelitian, sehingga diperoleh hasilnya dalam tabel 32, tabel 33, dan tabel 34.
Penilaian deskriptif berdasarkan jumlah masing-masing item instrumen
(∑X1, ∑X2, ∑Y) dibandingkan dengan nilai dari instrumen, yaitu: 4 untuk
“Baik”, 3 untuk “Cukup”, 2 untuk “Kurang”, dan 1 untuk “Tidak”. Nilai ini
akan dikalikan dengan total responden dalam penelitian. Jadi nilai yang akan
diperoleh adalah 4 x 44 = 176 untuk “Baik”, 3 x 44 = 132 untuk “Cukup”, 2
x 44 = 88 untuk “Kurang”, dan 1 x 44 = 44 untuk “Tidak”. Penilaian deskriptif
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: diambil standar atas dan standar
bawah. Standar atas adalah patokan pada nilai tertinggi butir instrumen,
dimana nilai perolehan harus memenuhi nilai maksimum baru dikatakan
“Baik”. Sedangkan standar bawah adalah patokan pada nilai terendah butir
instrumen, dimana nilai perolehan mencapai titik terendah baru dikatakan
18
Lihat tabel 3, tabel 4, dan tabel 5 pada bab III tulisan ini.
Total nilai setiap item dari ketiga instrumen penelitian statistik, dapat dilihat pada
tabel 3, tabel 4, dan tabel 5, di bab III hal 122-125 dari tulisan ini.
19
55
ISSN 2579-5678
“Tidak”. Penilaian deskriptif standar atas didefinisikan dalam tabel 38, dan
untuk standar bawah dalam tabel 39 sebagai berikut:
Tabel 38
Penilaian Deskriptif Standar Atas
Bawah
Total Nilai
Deskripsi
Tabel 39
Penilaian Deskriptif Standar
Total Nilai
Deskripsi
Dalam pemaparan ini, penulis memakai penilaian deskriptif standar atas
∑X = 176
Baik
176 ≥ ∑X > 132
Baik
dengan pertimbangan bahwa, tidak semua responden memahami instrumen
176 > ∑X
≥ 132 yang diajukan
Cukup oleh penulis132
≥ ∑X >baik.
88
Cukup
penelitian
statistik
dengan
132 > ∑X ≥ 88
88 ≥ ∑X > 44
Kurang
Kurang
Kualitas Disiplin Gereja Methodist∑X
Indonesia
2005 Tidak
= 44
Tidak
Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 3, maka
hasil penelitian untuk variabel kualitas Disiplin dapat dirangkumkan dalam
tabel 40 di bawah ini.
88 > ∑X ≥ 44
Tabel 40
Rangkuman Hasil Penelitian Kualitas Disiplin Berdasarkan Item
No.
1
2
3
4
5
6
Pernyataan tentang kualitas Disiplin
Dalam penyelenggaraan gereja saya, Disiplin
dianggap penting.
Disiplin 2005 memiliki wibawa atau kekuatan
hukum yang kuat.
Hamba Tuhan atau pun majelis jemaat di gereja
saya menaati Disiplin.
Disiplin dapat mengatasi konflik yang terjadi di
dalam gereja
Keseluruhan peraturan yang ada dalam Disiplin
dapat mengatur seluruh kegiatan pelayanan di
gereja.
Buku Disiplin ada diberikan kepada hamba
Tuhan atau pun majelis jemaat yang baru.
56
∑X1
Persentase
pencapaian
(%)
Deskripsi
158
89,7
cukup
113
64,2
kurang
121
68,8
kurang
120
68,2
kurang
115
65,3
kurang
82
46,6
tidak
ISSN 2579-5678
7
8
9
10
11
12
13
14
Buku Disiplin dapat dibeli atau diperoleh
dengan mudah atau tersedia di perpustakaan
gereja.
Buku Disiplin memiliki disain atau cetakan yang
menarik untuk dibaca
Isi buku Disiplin tersusun dengan sistematis.
Bahasa yang dipakai dalam buku Disiplin dapat
dimengerti.
Susunan kalimat dalam buku Disiplin dapat
dimengerti.
Kata-kata dalam buku Disiplin tidak dapat
menimbulkan banyak arti pemahaman.
Isi Disiplin singkat, padat dan jelas.
Disiplin menjelaskan dengan lengkap struktur
organisasi gereja.
78
44,3
tidak
86
48,9
tidak
114
64,8
kurang
110
62,5
kurang
110
62,5
kurang
91
51,7
kurang
95
54
kurang
105
59,7
kurang
Melalui tabel 40 diatas dapat diketahui bahwa Disiplin (Disiplin) dianggap
cukup penting oleh para pekerja di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria
Medan. Jawaban responden memberikan nilai 89,7% dari yang diharapkan.
Namun otoritas (kekuatan hukum) Disiplin hanya mencapai 64,2% dari yang
diharapkan, masuk dalam kategori kurang berotoritas. Otoritas Disiplin yang
penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah bahwa Disiplin memiliki
kekuatan hukum baik di dalam (interen) gereja ini, maupun saat dikaitkan
pada peradilan negara. Maka tidak heran bila ketaatan oleh para pekerja
terhadap Disiplin hanya mencapai 68,8%. Kenyataannya memang ada
sekelompok hamba Tuhan dan anggota jemaat yang tidak senang dengan
kebijakan bishop maupun keputusan konferensi tahunan, dengan perkataan
lain mereka tidak mau taat pada Disiplin (walaupun memang ada
kepentinggan pribadi). Mereka memisahkan diri membentuk kelompok atau
organisasi Gereja Methodist di luar Gereja Methodist Indonesia. Konflik yang
terjadi bahkan dibawa ke pengadilan negara, dengan memakai hukum negara,
dengan demikian tidak ada lagi otoritas Disiplin. Hal ini sesuai dengan
jawaban responden bahwa Disiplin kurang dapat mengatasi konflik, hanya
68,2%, dan juga kurang dapat mengatur seluruh kegiatan pelayanan di gereja,
hanya 65,3%.
57
ISSN 2579-5678
Item nomor 6, 7 menyatakan bahwa buku Disiplin tidak semua pekerja
memeroleh buku Disiplin (46,6%), ironisnya lagi buku Disiplin tidak tersedia
untuk dimiliki secara bebas (44,3%).
Responden menilai bahwa buku Disiplin tidak memiliki disain atau cetakan
yang menarik untuk dibaca (48,9%). Isi buku Disiplin kurang tersusun dengan
sistematis (64,8%). Hal ini nyata dalam format Disiplin yang ada pada hal 93
dan 94 di atas. Penjelasan mengenai ke-episkopalan terdapat pada bagian dua
kemudian diulangi pada bagian tiga. Pada bagian tiga juga digabung aturan
untuk gereja lokal dan aturan untuk keseluruhan organisasi Gereja Methodist
Indonesia. Oleh karena sampel penelitian diambil dari Gereja Methodist
Indonesia jemaat Gloria Medan, dimana gereja ini berlatar belakang suku
Tionghoa dan memakai bahasa Mandarin sebagai pengantar, maka bahasa
Indonesia yang dipakai dalam buku Disiplin kurang dapat dimengerti oleh
para pekerja (62,5%), terutama pekerja yang lebih senior (dalam usia).
Terlepas dari bahasa Indonesia yang dipakai, menurut penilaian responden
susunan kalimat dalam buku Disiplin kurang dapat dimengerti (62,5%).
Demikian pula kata-kata dalam buku Disiplin masih dapat menimbulkan
banyak arti pemahaman (51,7% menyatakan bahwa kata-kata yang dipakai
tidak dapat menimbulkan banyak arti pemahaman. Berarti 48,3% berasumsi
dapat menimbulkan banyak arti pemahaman). Misalnya: dalam persyaratan
sebuah gereja lokal untuk “memunyai” tempat ibadah20. Kata “memunyai”
dapat ditafsirkan dalam dua arti, yaitu: “ada” (dalam arti pinjam, sewa,
numpang) atau “memiliki sendiri”. Dalam hal isi Disiplin responden
memberikan penilaian kurang singkat, padat dan jelas (54%). Disiplin kurang
menjelaskan dengan lengkap struktur organisasi gereja (59,7%), dalam arti
Disiplin tidak memberikan struktur organisasi gereja lokal yang jelas.
Semua hal ini akan memengaruhi pemahaman Disiplin oleh para pekerja,
seperti hasil penelitian statistik di atas, dimana hubungan kualitas Disiplin
dengan pemahaman adalah signifikan. Kondisi pemahaman Disiplin juga
akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
20
........, Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005, (Medan: GMI,2006), 29-30.
58
ISSN 2579-5678
Pemahaman Disiplin oleh Para Pekerja
Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 4
(Lampiran tabel hal 251), maka hasil penelitian untuk variabel pemahaman
Disiplin dapat dirangkumkan dalam tabel 41 di bawah ini.
Tabel 41
Rangkuman Hasil Penelitian Pemahaman Disiplin Berdasarkan Item
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pernyataan tentang pemahaman Disiplin
Gereja mengadakan program bimbingan untuk
memahami Disiplin bagi semua anggota jemaat.
Saya memahami Disiplin dengan cara belajar
sendiri dari buku Disiplin.
Gembala Sidang memberikan pemahaman
Disiplin bagi semua hamba Tuhan maupun
majelis jemaat.
Saya memahami Disiplin dari sesama rekan
aktifis (teman sepelayanan)
Hamba Tuhan senior atau pejabat majelis senior
mengajarkan Disiplin bagi pejabat yang baru.
Saya memahami dengan baik keseluruhan isi
buku Disiplin.
Melalui Disiplin, saya memahami batasan
wewenang dalam jabatan.
Melalui Disiplin, saya memahami dengan jelas
tugas-tugas dalam jabatan.
Saya mengerti sanksi-sanksi (hukumanhukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun
sebagai pelayan, bila saya lalai menjalankan
kewajiban.
Melalui Disiplin, saya memahami kepada siapa
harus
bertanggung
jawab
di
dalam
melaksanakan tugas pelayanan.
Saya mengerti sistem pemerintahan Episcopal
Connectional.
59
∑X2
Persentase
pencapaian
(%)
Deskripsi
77
43,8
tidak
110
62,5
kurang
109
61,9
kurang
99
56,3
kurang
86
48,9
tidak
91
51,7
kurang
114
64,8
kurang
116
65,9
kurang
110
62,5
kurang
124
70,5
kurang
109
61,9
kurang
ISSN 2579-5678
12
13
14
15
16
17
18
Saya memahami hak dan kewajiban sebagai
anggota gereja Methodist yang tercantum dalam
Disiplin.
Saya memahami sistem kerja organisasi gereja
yang sesuai dengan Disiplin.
Saya dapat menjelaskan prosedur penerimaan
hamba Tuhan di gereja Methodist.
Saya mengerti tugas, tanggung jawab dan hak
seorang pendeta.
Saya mengerti tugas, tanggung jawab dan hak
seorang Lay Leader.
Saya dapat menjelaskan tujuan Konferensi
Tahunan.
Saya mengerti dan dapat menjelaskan tugas dan
hak BPA.
117
66,5
kurang
109
61,9
kurang
101
57,4
kurang
125
71
kurang
120
68,2
kurang
108
61,4
kurang
83
47,2
tidak
Hambatan pemahaman bahasa Indonesia oleh para pekerja yang berlatar
belakang bahasa Mandarin sebenarnya dapat diatasi dengan memberikan
bimbingan bagi para pekerja tentang Disiplin. Namun ternyata Gereja
Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan tidak mengadakan program
bimbingan untuk memahami Disiplin bagi semua anggota jemaat (43,8%).
Pada item 2 dan 4 dapat dilihat bahwa para pekerja kurang berinisiatif untuk
mau memahami Disiplin, baik dengan belajar sendiri (62,5%) maupun
dengan belajar dari rekan sekerja (56,3%). Pimpinan jemaat (gembala sidang)
juga kurang memberikan pengertian Disiplin bagi para pekerja (61,9%).
Demikian juga para pekerja senior tidak memberikan bimbingan kepada para
pekerja junior mereka prihal Disiplin (48,9%). Ini dapat terjadi karena dua
sebab, yaitu bahwa mereka tidak melihat signifikansi Disiplin sehingga
mereka tidak memiliki inisiatif untuk mengajarkan kepada junior mereka,
atau mereka sendiri tidak memahami Disiplin sehingga tidak tahu apa yang
harus diberi tahukan. Hal ini terbukti bahwa para pekerja kurang memahami
dengan baik keseluruhan isi buku Disiplin (51,7%). Maka tidak heran bila
para pekerja kurang memahami batasan wewenang dalam jabatan (64,8%),
juga kurang memahami dengan jelas tugas-tugas dalam jabatan (65,9%).
Akibatnya para pekerja melaksanakan pelayanan berdasarkan inisiatif
60
ISSN 2579-5678
sendiri. Oleh sebab itu di gereja ini, bila terjadi pergantian kepengurusan akan
menghasilkan kebijakan yang baru dan harus ada penyesuaian yang baru.
Pertumbuhan gereja menjadi terhambat dan waktu banyak terbuang. Para
responden yang merupakan hamba Tuhan dan sebagian besar majelis jemaat,
boleh dikatakan mereka adalah para pemimpin gereja, masih kurang mengerti
sanksi-sanksi (hukuman-hukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun
sebagai pelayan, bila lalai menjalankan kewajiban (62,5%).
Oleh karena struktur organisasi untuk gereja lokal tidak jelas, maka tidak
heran para pekerja kurang memahami kepada siapa harus bertanggung jawab
di dalam melaksanakan tugas pelayanan (70,5%). Sistem pemerintahan
Episcopal Connectional yang dibangga-banggakan oleh gereja Methodist
malah kurang dimengerti oleh para pekerja (61,9%). Hanya 57,4% yang dapat
menjelaskan prosedur penerimaan hamba Tuhan di gereja Methodist.
Responden juga kurang mengerti tugas, tanggung jawab dan hak seorang
pendeta (71%) maupun seorang Lay Leader (68,2%). Mereka juga kurang
dapat menjelaskan tujuan Konferensi Tahunan (61,4%), serta tidak mengerti
dan tidak dapat menjelaskan tugas dan hak BPA (47,2%).
Berikut ini penulis akan menguraikan bagaimana iklim pelayanan yang ada
di gereja ini, terkait dengan kualitas Disiplin dan pemahamannya oleh para
pekerja seperti yang telah diuraikan di atas.
Iklim Pelayanan di Gereja Methodist Indonesia Jemaat Gloria Medan
Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 5
(Lampiran tabel, hal 252), maka hasil penelitian untuk variabel iklim
pelayanan dapat dirangkumkan dalam tabel 42 di bawah ini.
Tabel 42
Rangkuman Hasil Penelitian Iklim Pelayanan Berdasarkan Item
No.
Pernyataan tentang iklim pelayanan di gereja
61
∑Y
Persentase
pencapaian
(%)
Deskripsi
ISSN 2579-5678
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Terdapat fleksibilitas dalam hal waktu tugas
(pelayanan) dan pemakaian fasilitas-fasilitas
gereja untuk mencapai tujuan gereja
Terdapat kebebasan dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan yang saya ambil.
Kepengurusan
(Rapat)
Majelis
Jemaat
menyetujui serta menghargai pendapat dan
inisiatif saya.
Pimpinan saya sangat menaruh kepercayaan
kepada saya.
Kepengurusan (Rapat) Majelis Jemaat selalu
memerhatikan problem yang saya hadapi.
Terdapat kesetiakawanan antara sesama pekerja
(sesama hamba Tuhan, sesama majelis, dan
hamba Tuhan dengan majelis), serta masingmasing saling memberi bantuan.
Kontribusi (pekerjaan pelayanan) saya kepada
gereja mendapat tanggapan yang cukup
menyenangkan.
Gereja memahami kalau pekerjaan yang baik
perlu diberi hadiah
Tujuan setiap pekerjaan pelayanan yang saya
kerjakan didefinisikan (diuraikan) dengan jelas.
Saya mengetahui kalau aktivitas pelayanan saya
ada kaitannya dengan tujuan gereja.
Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa
bebas dan tidak takut untuk tidak menyetujui
pendapat dan tindakan atasan.
Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa
bebas dan tidak takut untuk tidak menyetujui
pendapat dan tindakan anggota majelis lain
dalam rapat majelis.
Saya selalu menekankan untuk dapat
melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang
tinggi.
Pencapaian tujuan dari setiap tugas selalu
ditekankan pada pada diri saya.
121
68,8
kurang
99
56,3
kurang
118
67
kurang
129
73,3
kurang
112
63,3
kurang
125
71
kurang
120
68,2
kurang
92
52,3
kurang
117
66,5
kurang
141
80,1
cukup
114
64,8
kurang
120
68,2
kurang
135
76,7
cukup
107
60,8
kurang
Dalam pelayanan memang diberikan fleksibilitas waktu tugas (pelayanan),
namun untuk pemakaian fasilitas-fasilitas gereja untuk mencapai tujuan
62
ISSN 2579-5678
gereja kurang mendapatkan iklim yang baik (68,8%). Sering terjadi salah
pengertian antara pengurus ruangan gedung gereja maupun mobil gereja
dengan para aktifis yang akan melakukan tugas pelayanan. Gereja ini juga
menerapkan birokrasi yang ketat (pelaksanaan harus sesuai keputusan rapat
majelis yang memenuhi korum) sehingga bagi seorang pribadi kurang dapat
kebebasan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya
(56,3%). Sehingga terkesan kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat kurang
menyetujui serta menghargai pendapat dan inisiatif seorang pribadi dari
pekerja (67%).
Banyak responden ketika diwawancara menyatakan bahwa tidak tahu siapa
pimpinan mereka, namun mereka memberikan penilaian bahwa 73,3%
pimpinan menaruh kepercayaan kepada mereka. Walaupun persentasi
perolehan cukup tinggi, namun masih masuk dalam kategori kurang.
Kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat juga kurang memerhatikan problem
yang dihadapi oleh komisi di bawah pimpinan seorang anggota majelis jemaat
atau pun masalah pelayanan seorang hamba Tuhan (63,3%). Dalam
pelaksanaan pelayanan masih kurang terdapat kesetiakawanan antara sesama
pekerja (sesama hamba Tuhan, sesama majelis, dan hamba Tuhan dengan
majelis), serta masing-masing saling memberi bantuan (71%).
Gereja ini kurang memberi tanggapan yang cukup menyenangkan terhadap
kontribusi (pekerjaan pelayanan) dilakukan oleh pekerja (68,2%). Tidah
heran bila responden menilai bahwa gereja kurang memahami kalau
pekerjaan yang baik perlu diberi hadiah (52,3%). Para pekerja juga kurang
menyadari (66,5%) bahwa tujuan setiap pekerjaan pelayanan yang mereka
kerjakan seharusnya didefinisikan (diuraikan) dengan jelas. Walaupun
demikian, para pekerja cukup mengetahui kalau aktivitas pelayanannya ada
kaitannya dengan tujuan gereja (80,1%).
Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa kurang bebas (tidak takut)
untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan atasan pribadi (64,8%),
maupun dalam rapat majelis para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) juga
merasa kurang bebas (tidak takut) untuk tidak menyetujui pendapat dan
tindakan anggota majelis lain (68,2%).
63
ISSN 2579-5678
Dalam hal pengembangan diri, para pekerja cukup menekankan untuk dapat
melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang tinggi (76,7%), namun masih
kurang dalam penekanan untuk pencapaian tujuan dari setiap tugas yang
diberikan (60,8%).
E. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Disiplin, pemahaman-nya dan
iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia khususnya di jemaat Gloria
Medan, masih kurang dari yang diharapkan. Kualitas Disiplin dan
pemahaman cukup memengaruhi iklim pelayanan di gereja ini. Gereja
Methodist Indonesia perlu untuk amandemen Disiplinnya dan mengadakan
program pembinaan agar warganya memahami Disiplin. Tujuannya adalah
agar kepemimpinan gereja dapat mengawasi pelaksanaan Disiplin oleh
warganya, demikian pula sebaliknya.
Gereja Methodist Indonesia telah memiliki sejarah yang cukup lama. Gereja
ini mulai mengukir sejarahnya di Indonesia sejak 1905. Hingga tahun 2011,
berarti gereja ini telah berusia 106 tahun. Gereja Methodist menyebut dirinya
memakai sistem episkopal. Namun bila di lihat dari prinsip pengaturan gereja
ini, sistem pemerintahannya tidak memiliki suatu sistem yang pasti. Selain
dari penataan sistem pemerintahan, gereja ini memiliki penataan bagi ibadah
dan upacara yang fleksibel, dan juga memiliki peraturan etika bagi
anggotanya.
Gereja ini belum memiliki sebuah Disiplin yang dapat mengakomodasi
tuntutan dalam pelayanan. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya
pemahaman akan Disiplin dari para pekerja (hamba Tuhan dan majelis
jemaat) di gereja ini (khususnya jemaat Gloria Medan), sehingga kedua faktor
ini menghambat iklim pelayanan yang maksimal dari gereja ini.
64
ISSN 2579-5678
2. Saran-Saran
Dalam mengakhiri penulisan jural ini, penulis berkeinginan untuk
memberikan suatu masukan yang dapat menjadi perhatian bagi beberapa
pihak. Kontribusi yang penulis berikan ini berdasarkan pada pembahasan
yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya. Setelah penulis
mencermati hasil dari penelitian ini, maka pembahasan berikut adalah sangat
perlu untuk dimiliki oleh beberapa pihak sebagai kontributor untuk
mengembangkan pelayanan secara khusus bagi profesionalisme manajemen
organisasi gereja. Adapun rekomendasi tersebut perlu bagi:
a. Sekolah Tinggi Teologia
Pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan
Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh Sekolah-Sekolah
Tinggi Teologia sebagai tambahan literatur untuk menambah
pengetahuan dalam bidang Tata Gereja.
b. Gereja-Gereja
Pembahasan tentang Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan
Rasul Paulus ini perlu dimiliki oleh gereja-gereja sebagai acuan
bagi gereja untuk menyusun, memerbaharui, atau memerbaiki Tata
Gereja mereka.
c. Para hamba Tuhan
Pokok pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan
Tulisan Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh para hamba
Tuhan sebagai pelayan umat percaya. Para hamba Tuhan
hendaknya memiliki wawasan dan acuan dalam melayani umatNya, secara khusus dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi
kelemahan Tata Gereja di tempat pelayanannya. Tulisan ini dapat
membantu para hamba Tuhan untuk memahami wawasan tentang
Tata Gereja.
d. Gereja Methodist Indonesia
Gereja ini dapat mengevaluasi dan mengidentifikasi kelemahan dari
Disiplinnya dengan memahami pokok pembahasan mengenai
65
ISSN 2579-5678
Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus ini. Gereja
ini dapat memerbaharui dan atau memerbaiki Disiplinnya, agar para
pekerja dapat bekerja dengan sukacita dan meningkatkan mutu
iklim pelayanan mereka.
F. KEPUSTAKAAN
.......... 2005 Full Life Study Bible, Malang: Gandum Mas.
.......... 2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
.......... 2006 Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005, Medan: GMI.
.......... 2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat), Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
.........., 1997 Buku Peringatan Perayaan “Ulang Tahun Gereja Methodist Indonesia
jemaat ‘Gloria’ Medan ke 75”, Medan: GMI Gloria.
........... 2005 God’s Empowering Presence, Massachusetts: Hendrickson Publishers.
............ 2006 Missionary Paul Tehologian, Scotland: Christian Focus Publications.
.............. 1996 Kekristenan dan Kesukubangsaan, Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen.
.............. 2007 Manajemen Modern dalam Konteks Gereja Masa Kini, Batu:
Literatur YPPII.
.............. 2008 Administrasi Gereja, Batu: Literatur YPPII.
Anthony, Michael J.; Estep, James Jr 2005
Management
Essentials
for
Christian Ministries, U.S.A: B&H Publishing.
Antill, L.; Harper, A T Wood. 1985 Systems Analysis, London: Heinemann.
Asshiddiqie, Jimly. 2009 Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Banks, Robert 1982 Paul’s Idea of Community, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing.
Barcay, William 1988 Duta Bagi Kristus, Latar Belakang Peta Perjalanan Paulus,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barna, George 2005 The Habits of Highly Effective Churches, [terjemahan:
Endyahswarawati Handoko], Malang: Gandum Mas.
Berkhof, Louis 2005 Teologi Sistematika 5, Surabaya: Penerbit Momentum.
66
ISSN 2579-5678
Bruce, F. F. 2000 Paul Apostle of the Heart Set Free, Grand Rapids: Paternoster
Press.
Bruggen, Jakob Van 2005 Paul Pioneer For Israel’s Messiah, New Jersey: P&R
Publishing.
Calvin, Yohanes 2005 Institutio, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Chamblin, J. Knox 2006 Paulus dan Diri, Surabaya: Momentun.
Clowney, Edmund P. 1995 The Church, Illinois: InterVarsity Press.
Cowan, Steven B. 2004 Who Runs the Church?, Michigan: Zondervan.
Crampton, W. Garry. 2004 Verbum Dei, Surabaya: Momentum.
Dainton, Martin B. 2002 Gereja dan Bergereja, Jakarta: YKBK
Daulay, Richard M. 2004 Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Dever, Mark 2010 9 Tanda Gereja yang Sehat, [terjemahan: Ichwei G. Indra],
Surabaya: Momentum.
Dister, Nico Syukur 2004 Theologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius.
Douglas, J.D. 2002
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, Jakarta: YKBK
Drane, John 2009 Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Dunn, James D.G. 2004 The Cambridge Companion to St. Paul, United Kingdom:
Cambridge University Press.
Emzir. 2009 Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Enns, Paul 2003 The Moody Handbook of Theology Vol 1, Malang: Literatur SAAT.
Fatta, Hanif Al. 2007 Analisis & Perancangan Sistem Informasi, Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Fee, Gordon D. 2004 Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, Malang: Gandum Mas.
Hadiwijono, Harun 2006 Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Holland, Tom 2004 Contours of Pauline Theology, Scotland: Mentor Imprint.
Iskandar 2008 Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Jakarta: Gaung
Persada Press.
Kattu, Lamberthus. 1997 Organisasi Gereja dan Yayasan PI, Batu: Lumen Christi.
Kennedy, Gerald 1958 The Methodist Way of Life, Englewood Cliff, NJ: Prentice
Hall.
Lamb, Jonathan. 2008 Integritas, Jakarta: Literatur Perkantas.
Lawrence, Bill. 2004 Effective Pastoring, Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Lay, Agus B. 2006 Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: ANDI.
67
ISSN 2579-5678
Lumintang, Stevri I., 2010 Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan, Batu:
Dept. Literatur PPII.
McRay, John 2007 Paul, His Life and Teaching, Grand Rapids: Baker Academic.
Nasir, Mohamad 1985 Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Octavianus, P.2007 Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah, Batu:
Literatur YPPII.
Packer, J. I.; Tenney, Merril C.; White, William 1993 Dunia Perjanjian Baru,
Malang: Gandum Mas.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Polhill, John B. 1999 Paul & His Letters, Tennessee: Broadman & Holman
Publishers.
Purwanto. 2011 Statistika Untuk Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rees, David; McBain, Richard 2007
People Management, Jakarta: Kencana.
Riady, Mochtar 2008 Filsafat Kuno dan Manajemen Modern, Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Ridderbos, Herman 2008 Paulus Pemikiran dan Theologinya, Surabaya:
Momentum.
Robinson, Darrell W. 2004 Total Church Life, Bandung: YBI
Ryrie, Charles C. 2003 Theologi Dasar 2, Yogyakarta: ANDI.
Sahardjo, Hadi P. 2009 Psikologi Kepribadian Sosial, Batu: Institut Injil Indonesia.
Sanders, J. Oswald. 2002 Kepemimpinan Rohani, Batam: Gospel Pres.
Schwarz, Christian A.; Schalk, Chrisoph. 2002 Pedoman Penerapan Praktis
Pertumbuhan Gereja Alamiah, Jakarta: Rekan Gereja bekerja sama dengan
Metanoia Publishing.
Spiegel, Murray R. 1986 Statistik, [terjemahan: I Nyoman Susila & Ellen Gunawan],
Jakarta: Erlangga.
Sproul, R. C. 2005 Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Literatur
SAAT.
Strauch, Alexander. 2008 Diaken dalam Gereja, Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Subagyo, Andreas B. 2004 Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup.
Sudarmanto, G. 2009 Pelayan Kristus Yang Baik, Malang: Departemen
Multimedia YPPII.
Sugiyono. 2008 Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
68
ISSN 2579-5678
Sule, Erni Trisnawati.; Saefullah, Kurniawan. 2005
Pengantar Manajemen,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Susabda, Yakub B. 1985 Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi
Gereja, Malang: Gandum Mas.
Sutanto, Hasan 2007
Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab,
Malang: Literatur SAAT.
Tambunan, Rudi M. 2008 Pedoman Penyusunan Standard Operating Proicedures,
Jakarta: Maiestas Publishing.
Thielman, Frank 1994 Paul & The Law, U.S.A: InterVarsity Press.
Tuel, Jack M. 1989 The Organization of the United Methodist Church, USA:
Nashville.
Usman, Husaini; Akbar, Purnomo Setiady 2009 Pengantar Statistika, Jakarta: Bumi
Aksara.
Walker, Williston 1991 The Creeds and Platforms of Congregationalism, New
York: Pilgrim.
Walz, Edgar 2006 Bagaimana Mengelola Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Waters, Guy Prentiss 2004 Justification and the New Perspectives on Paul, New
Jersey: P&R Publishing.
Watson, David 1977
I Believe in the Church, Michigan: William B. Eerdmans.
Welch, Robert H. 2005 Church Administration, U.S.A: Broadman & Holman
Publishers.
Winardi, J. 2007 Teori Organisasi & Pengorganisasian, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Wongso, Peter. 2007 Theologia Pengembalaan, Malang: SAAT.
69
ISSN 2579-5678
70
STUDI EKSEGESIS FILIPI 2:5-11
TENTANG KENOSIS DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DOKTRIN TRITUNGGAL
Oleh: Yupiter Mendrofa
Abstraksi
Adapun yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah: kotroversi
teori kenosis yang tidak dapat menyelesaikan spekulasi teologis seperti teori
kenosis Gess, misalnya, ternyata merusak prinsip kesatuan Allah dalam
doktrin Tritunggal (opera Trinitatis ad extra sunt indivisa). Bila mereka mau
mempertahankan doktrin Allah tradisional, mereka harus kembali mengubah
penjelasan dari apa yang dimaksudkan dengan kenosis itu. Ebrard dan Gore
termasuk dalam tokoh-tokoh yang mencoba mereformulasikan teori kenosis.
Penjelasan yang mereka berikan mungkin dapat menerangkan sifat
kemanusiaan Yesus dalam inkarnasiNya tanpa merusak doktrin Tritunggal.
Namun, penjelasan yang satu menimbulkan pertanyaan misteri dalam hal
yang lain. Gore, misalnya, akhirnya meninggalkan satu pertanyaan yang tak
terjawab mengenai hubungan antara kehidupan Logos sebagai Penunjang
alam semesta dan Logos yang berinkarnasi. Dengan tidak terjawabnya
pertanyaan ini oleh teori kenosis, maka teori itu telah mempengaruhi doktrin
imutabilitas (tidak dapat berubahnya) Allah. Usaha teori kenosis
mereformulasi doktrin dwi natur pribadi Kristus juga merusak rumusan
Kristologis yang telah ditetapkan dalam Konsili Chalcedon. Kristus seperti
dikemukakan dalam Alkitab adalah Kristus yang sungguh-sungguh Allah,
dan sekaligus juga sungguh-sungguh manusia (unus Christus, vere Deus et
vere homo). Padahal Kristus yang dikemukakan dalam teori kenosis adalah
Kristus yang keallahanNya telah dikorting, bila bukan sama sekali
dihilangkan.
Dalam usahanya untuk memberi penekanan pada natur kemanusiaan
dalam diri Yesus, teori kenosis bukan memberi penjelasan mengenai doktrin
Inkarnasi, tetapi, seperti dikatakan oleh Baillie, teori kenosis hanya
menyuguhkan teori teofani temporer, di mana Allah menjadi manusia untuk
ISSN 2579-5678
sementara waktu. Allah meninggalkan keallahanNya untuk menjadi manusia,
dan pada waktu menjadi manusia ia berhenti untuk sementara sebagai Allah.
Sampai di sini kita melihat bahwa pilihan bagi teori kenosis adalah
meninggalkan doktrin historis Allah Tritunggal atau merusakkan doktrin
Kristologi. Karl Barth melihat dengan jelas kegagalan teori kenosis pada
masa lalu. Satu-satunya jalan kalau teori kenosis mau dipertahankan adalah
dengan cara meninggalkan doktrin Allah tradisional. Dan pilihan inilah yang
diambil oleh Barth dengan mengemukakan bahwa Allah bukanlah Allah yang
tidak dapat berubah, seperti diperkirakan oleh kebanyakan orang. Namun,
mengubah sesuatu yang telah jelas dan menggantikannya dengan suatu teori
yang kurang jelas, mungkin merupakan harga yang terlalu mahal untuk kita
bayarkan. Ajaran Paulus ini juga mempengaruhi dogma yang diakui oleh
gereja-gereja pada masa lampau dan pada masa kini. Penulis berpendapat
bahwa diperlukan suatu pengamatan yang dilakukan secara teliti dan
mendalam (Biblical Studies) terhadap ajaran Paulus tentang makna kenosis
serta pengaruhnya yang besar bagi kekristenan.
Studi eksegesis Filipi 2:5-11 tentang konsep kenosis
dan hubungannya dengan doktrin tritunggal
Problematika
Di kalangan para teolog, Filipi 2:5-11 dikenal dengan nama: Hymne
Kristologi, Nyanyian Kristologi, atau Syair Puji-pujian tentang Kristus dan
mungkin masih ada nama yang lain lagi. Nama-nama seperti itu paling tidak
memperlihatkan bahwa bagian surat tersebut cukup terkenal dan mempunyai
tempat yang istimewa dalam penghayatan iman orang Kristen. Namun
demikian bagian tersebut juga masih menimbulkan perdebatan di kalangan
para teolog.
Penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11 di kalangan orang
Kristen sendiri masih dalam problem yang cukup sulit. Menurut penulis, hal
itulah yang menyebabkan penafsiran terhadap teks Alkitab itu kurang
menolong Gereja-Gereja di Indonesia dalam memahami dan menjalankan
72
ISSN 2579-5678
panggilannya dalam dunia ini. Selama ini teks itu hanya ditafsirkan secara
dogmatis sehingga kurang sekali menyentuh pergumulan-pergumulan praktis
yang sedang dihadapi. Untuk itu dalam tulisan ini dipandang perlu untuk
menggambarkan problematikanya dan mencari solusi penafsiran yang lebih
menyentuh konteks orang-orang Kristen di Indonesia.
Guthrie, seorang teolog Perjanjian Baru pernah memaparkan
beberapa hal yang menjadi permasalahan di sekitar penafsiran dan
pemahaman terhadap Filipi 2:5-11, sebagai berikut:
Asal-usul teks Filipi 2:5-11.
Menurutnya, dalam bagian ini yang dipertanyakan adalah: Apakah
teks itu adalah ciptaan rasul Paulus sendiri atau sebuah teks yang berasal dari
sebuah hymne yang telah dikenal dalam jemaat mula-mula, yang diambil alih
dan dimasukkan oleh rasul Paulus ke dalam Surat Filipi? Jawaban terhadap
pertanyaan itu bermacam-macam.
Ada ahli yang mengatakan bahwa teks itu bukan berasal dari Paulus,
tetapi berasal dari hymne yang telah dikenal dalam Gereja mula-mula, lalu
diambil alih oleh Paulus dan dimasukkan ke dalam surat Filipi sebagai dasar
bagi pastoralnya terhadap jemaat Filipi.
Jawaban itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain:
Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa bentuk sastra Filipi 2:511 pada mulanya bukanlah sebuah prosa seperti seperti sekarang ini, tetapi
adalah sebuah hymne/puisi yang terdiri dari enam stansa, dan tiap-tiap stansa
terdiri dari tiga klausa. Struktur sastra seperti itu sama dengan puisi-puisi
yang dikarang dalam bahasa Aram, sebagai bahasa yang digunakan oleh
jemaat mula-mula. Gaya sastra seperti itu tidak terdapat dalam surat-surat
Paulus yang lain, selain dalam surat Filipi. Menurut mereka hal itu
disebabkan karena teks itu bukan berasal dari Paulus sendiri yang hidup
dalam budaya Helenisme.
Dari hasil penelitian itu, mereka juga menyimpulkan bahwa Paulus
telah menambahkan satu klausa, dalam teks yaitu, dalam Filipi 2:8: “
...bahkan sampai mati di kayu salib” θανάτου δὲ σταυροῦ.
Untuk memperkuat kesimpulan itu, mereka juga menyatakan bahwa
beberapa pokok teologis yang khas Paulus seperti: penebusan melalui salib,
73
ISSN 2579-5678
kebangkitan Kristus dan misi Kristus bagi penebusan dosa manusia, kurang
nampak dalam Filipi 2:5-11.
Namun ada juga teolog yang membantah dan tidak sependapat dengan
kesimpulan-kesimpulan di atas. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa teks
itu adalah ciptaan Paulus sendiri dalam rangka jawabannya terhadap
pergumulan jemaat Filipi. Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa alasan
antara lain:
Bahwa sesungguhnya gaya prosa seperti itu bukan hanya dalam Filipi
2:5-11, tetapi juga dalam Kolose 1:15-20, atau dalam surat-surat yang lain,
walaupun mungkin bentuknya lebih pendek dari Filipi 2:5-11.
Bila, hanya untuk merespons situasi jemaat Filipi pada saat itu, maka
tidak mungkin Paulus harus memaparkan semua pandangan teologisnya yang
khas tentang Kristus. Mungkin, ia merasa cukup hanya dengan menciptakan
prosa yang dianggap cocok dan sesuai dengan kebutuhan pastoralnya bagi
jemaat Filipi. Guthrie sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk
membuktikan dengan pasti pendapat mana yang benar sebab masing-masing
memiliki alasan yang kuat yang tidak dapat ditolak dengan begitu saja.
Namun menurutnya, yang paling penting adalah kalaupun prosa itu adalah
ciptaan Paulus ataupun disadur dari sebuah hymne jemaat mula-mula, maka
tentu dalam penafsirannya hymne itu harus dipahami dalam kerangka
pergumulan Paulus dan jemaat Filipi pada waktu itu dan bukan dalam konteks
di luar itu, baik jemaat mula-mula maupun Filsafat Yunani dan Gereja masa
kini.1
Konteks
Adapun yang dimaksud dengan konteks di sini dijelaskan oleh Hasan
Sutanto yang menyatakan, bahwa: kata konteks berasal dari dua kata bahasa
Latin, yaitu ‘con’ yang berarti bersama dan menjadi satu dan ‘textus’ yang
berarti tersusun.”2
1
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992,
Hal. 391.
2
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang:
SAAT, 1998), Hal. 134.
74
ISSN 2579-5678
Konteks Dekat
Rasul Paulus menulis surat ini dari penjara. Jika ditulis dari penjara di
Roma, tanggalnya sekitar tahun 61-63 M.3 Konteks dekat dari Filipi 2:5-11
adalah keseluruhan surat Filipi yang merupakan surat mengenai sukacita dan
dorongan atau pengobar semangat di tengah keadaan yang tidak
menyenangkan ataupun kurang baik. Di dalamnya, Paulus dengan bebas
mengekspresikan serta menyatakan kasihnya terhadap jemaat Filipi
mengingat bahwa kesaksian dan dukungan mereka yang konsisten, serta
dengan penuh kasih menghimbau mereka untuk memusatkan tindakantindakan dan pemikiran mereka pada pribadi, pengejaran, dan kuasa dari
Yesus Kristus. Paulus juga mencoba untuk mengoreksi suatu masalah
tentang perpecahan dan persaingan, menghimbau kepada pembacanya untuk
menuruti teladan Kristus di dalam kerendahan hati-Nya dan ketaatanNya. Dengan cara ini pekerjaan dari Injil itu akan berkembang pesat. Hal ini
terjadi ketika orang-orang percaya mencoba untuk berdiri teguh, sehati
sepikir, senantiasa bersukacita, dan berdoa di dalam segala situasi yang
sedang dihadapi.
Konteks Jauh
Penulis menggunakan konteks jauh Filipi 2:5-11 dari surat Paulus
kepada jemaat Korintus, dalam I Korintus 4:6-10, yakni ketika rasul Paulus
menulis surat yang berisi tegoran karena jemaat di Korintus mulai saling
menyombongkan diri dengan apa yang sudah mereka alami dan karuniakarunia rohani yang mereka peroleh di dalam Tuhan. Dalam hal ini, Dick
Iverseon dan Larry Asplund menjelaskan bahwa: “Beberapa perbedaan
pendapat telah melumpuhkan kehidupan dan pelayanan di gereja
Korintus.”4 Paulus menasihati jemaat Korintus agar mereka jangan
menyombongkan diri, tetapi Paulus menganjurkan agar jemaat Korintus
mengikuti teladan dirinya (I Korintus 4:16). Paulus berani menjadikan
dirinya sebagai contoh teladan bagi orang-orang Korintus karena dia telah
3
_______, Handbook To The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit.
Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686.
4
Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang:
Gandum Mas, 2003), Hal.. 59.
75
ISSN 2579-5678
mengikuti teladan Kristus (ayat 17). Hal ini juga sesuai dengan apa yang
Paulus ajarkan kepada jemaat di Filipi berdasarkan Filipi 2:5-11, yang sedang
diteliti oleh penulis.
Pokok-pokok teologi penting dalam Filipi 2:5-11 yang menjadi
perdebatan yaitu:
Pre-eksistensi Kristus.
Yang dipermasalahkan dalam bagian ini adalah Apakah hakekat
Yesus pada masa sebelum kehidupanNya di dalam dunia ini? Jawaban atas
pertanyaan itu juga berbeda-beda. Berdasarkan tafsiran mereka terhadap kata
“rupa Allah” μορφῇ θεοῦ, ada ahli yang menyimpulkan bahwa hakekat
Kristus adalah sama dengan Allah. Hal itu didasarkan pada pemahaman
bahwa kata itu mempunyai hubungan dengan kata “ousia” (hakekat), yakni
memiliki morphe sama dengan memiliki ousia. Karena itu, jika kata
“morphe” μορφῇ dihubungkan dengan kata berikutnya “setara dengan Allah”
maka jelas bahwa memiliki morphe berarti memiliki keberadaan yang setara
dengan Allah. Namun, di pihak lain, ada juga yang mengatakan bahwa kata
“μορφῇ θεοῦ” dalam teks itu harus dipahami dalam konteks Perjanjian Lama
dimana hakekat Allah dihubungkan dengan gambarNya yang dalam LXX
(Septuaginta) diterjemahkan dengan kata “eikon.” Dan kata “gambar Allah”
selalu dihubungkan dengan kata “kemuliaan Allah” δόξαν θεοῦ dan dalam
pemahaman ini μορφῇ θεοῦ harus dipahami sebagai yang memancarkan
kemuliaan Allah seperti pada Adam. Jadi dalam hal ini Kristus disaksikan
sebagai Adam yang ke dua.5
Inkarnasi.
Tafsiran terhadap kata “μορφῇ θεοῦ” seperti di atas, juga berpengaruh
kepada penafsiran terhadap kata “ἁρπαγμὸν.” Dalam konteks Filipi 2:5-11,
mereka menafsirkan kata “ἁρπαγμὸν” dapat ditafsirkan dalam dua cara dalam
bahasa Yunani, bisa dalam pengertian: “Kristus tidak mempertahankan,
menggenggam erat (sebagai wujud tidak rela melepaskan) apa yang telah Ia
miliki yaitu kesetaraanNya dengan Allah melainkan melepaskannya (res
5
Ibid., Hal. 393.
76
ISSN 2579-5678
rapta) dan menjadi sama dengan manusia.” Atau juga dapat pula berarti:
“Kristus tidak tergoda untuk merebut sesuatu yang belum Ia miliki (res
rapienda), yaitu kesetaraanNya dengan Allah tetapi mengosongkan diriNya
sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan
manusia.” Tafsiran ini sejalan dengan sifat Kristus yang rendah hati yang
tidak mengutamakan kepentingan diriNya sendiri, malah berkorban bagi
pihak lain dengan menjadi seorang hamba.6
Proses inkarnasi.
Dalam bagian ini dipertanyakan apakah yang dikosongkan dalam
proses inkarnasi itu? Ada ahli yang menafsirkan bahwa yang dikosongkan
adalah hakekatNya sebagai Allah, sehingga dalam diri Yesus dari Nazaret itu,
Kristus benar-benar mengambil rupa dan tampil sebagai manusia sejati dan
tidak berhubungan dengan keilahianNya. Namun sebaliknya, ada juga yang
menafsirkan bahwa yang ditiadakan dan ditutupi hanyalah penampilanNya,
yaitu “kemuliaanNya sebagai Allah”, dengan memakai “rupa seorang hamba”
dan itu hanya bersifat sementara. Dengan demikian, penampilanNya sebagai
Allah dalam kemuliaaNya berganti menjadi Allah yang merendahkan diri
dengan mengambil rupa seorang hamba.7
PengagunganNya.
Dalam bagian ini yang dipermasalahkan adalah kata “ὑπερύψωσεν.”
Sebagian ahli mengatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata
“sangat meninggikan Dia” dalam artian memulihkan kembali keallahan
Kristus yang ditutupi sementara, dengan memberiNya nama di atas segala
nama. Tetapi ada sebagian juga yang menyatakan bahwa kata itu harus
ditafsirkan dengan kata “lebih meninggikan Dia” dalam pengertian bahwa
dari keberadaanNya yang semula hanya memancarkan kemuliaan Allah
dianugerahi hakekat menjadi sebagai Allah. Sehingga pemberian “nama di
atas segala nama” dapat dipandang sebagai upah perendahan diri dan
6
7
Ibid., Hal. 394.
Ibid., Hal. 395.
77
ISSN 2579-5678
ketaatanNya sebagai hamba. Dengan demikian, tafsiran terhadap pokok ini
sangat tergantung pada pengertian kata “rupa Allah” seperti di atas.
Kapan pemuliaan itu mulai berlangsung? Apakah itu masih terjadi di
akhir jaman dalam parousia atau sudah terjadi sejak saat ini? Inipun
menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Ada sebagian yang mengatakan,
bahwa karena kata “ἐξομολογήσηται” berbentuk futuris, maka itu baru
berlangsung pada saat yang akan datang, namun ada juga yang menafsirkan
hal itu itu sebagai yang sudah terjadi sejak masa lampau dan masih
berlangsung sampai saat ini (aorist), karena pengakuan itu sudah berlangsung
dalam jemaat Kristen di masa lalu dan masih berlangsung saat ini bahkan di
masa yang akan datang.8
Dari pembahasan di atas kelihatannya bahwa dalam hal penafsiran
dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11, ada dua pihak yang saling
bertentangan. Namun, sesungguhnya ke dua pihak itu mempunyai presuposisi
yang sama terhadap Filipi 2:5-11 itu, yaitu memahaminya sebagai kesaksian
yang sesungguhnya tentang hakekat Kristus, baik sebagai yang ilahi maupun
yang insani. Hanya, keduanya memiliki penekanan yang berbeda terhadap
salah satu dari dua segi dari hakekat itu. Pihak yang satu sangat menekankan
keilahian Yesus begitu rupa sehingga cenderung mengabaikan
kemanusiaanNya, sebaliknya, pihak yang lain begitu menekankan
kemanusiaan Yesus sehingga cenderung mengabaikan keilahianNya. Bila itu
benar, maka langsung atau tidak, pihak yang satu lebih condong kepada teori
Anti Kenosis, yang menekankan keilahian Kristus dan yang lain lebih
berpihak pada teori Kenosis yang menekankan kemanusiaanNya.
Pemahaman dan penafsiran seperti di atas, jelas akan membuat penafsiran
Filipi 2:5-11 menjadi perdebatan dogmatis yang berkepanjangan, yang akan
menyebabkan teks itu akan tercabut dari konteksnya yang sesungguhnya.
Karena untuk memperkuat pendapatnya orang cenderung mencari bukti-bukti
dari luar konteks Filipi 2:5-11 sendiri. Di sanalah orang biasa lupa bahwa
apapun pendapat mereka terhadap masalah asal-usul teks itu, entah ditulis
oleh Paulus ataupun bukan Paulus, dalam penafsirannya, teks itu haruslah
dihubungkan dengan makna dan kedudukannya dalam keseluruhan surat
8
Ibid., Hal. 397-399.
78
ISSN 2579-5678
Filipi. Sebab teks Filipi 2:5-11 itu bermakna bukan karena itu berasal dari
Paulus ataupun bukan dari Paulus, tetapi karena teks itu telah ada dan
merupakan bagian sentral dari keseluruhan surat Filipi yang ditulis dalam
rangka menjawab pergumulan penulis dan pembacanya pada waktu itu.
Dalam prinsip seperti itulah Filipi 2:5-11 mempunyai makna penting bagi
Paulus dan jemaat Filipi di masa lalu dan karena itu juga bagi Gereja-Gereja
di Indonesia pada masa kini.
Di dalam ayat 5 didapati dua varian, yakni bacaan τοῦτο (naskah Alef
A B C) dan bacaan Τοῦτο γὰρ (naskah Papirus46 Alef2 D F G). Bacaan
pertama adalah bacaan asli. Mayoritas ahli meyakinkan bahwa γὰρ
menunjukkan keaslian, tidak benar alasan dapat ditemukan untuk
penghapusannya,9 dimana menurut para ahli termasuk didalam kata τοῦτο
berdiri sendiri untuk mengatakan kata sambung, apakah γὰρ atau οὖν atau
καὶ, (masing-masing yang ditemukan di dalam variasi kesaksian).
Seperti tulisan Armand Barus bahwa didalam ayat 9 terdapat dua
varian, yakni bacaan τὸ ὄνομα (naskah Papirus 46 A B C) dan bacaan ὄνομα
(naskah D). Bacaan pertama dengan kata sandang adalah bacaan asli karena
dua alasan: silabel terakhir dari verba ἐχαρίσατο menyebabkan dihapusnya
kata sandang τὸ dan distribusi kata yang luas.10
Dalam ayat 11 terdapat dua masalah tekstual. Masalah tekstual pertam
memuat dua varian, yakni bacaan ἐξομολογήσηται (mengaku) dan
ἐξομολογήσεται (akan mengaku). Varian pertama dalam bentuk aoris
subyuntif di dukung naskah P46 Alef B, sedang varian kedua dalam bentuk
kala depan indikatif (future) didukung naskah A C D F G. Bacaan varian
pertama adalah bacaan asli karena teks ada dalam suasana subyuntif. Kata
kerja κάμψῃ yang mengikuti kata sambung ἵνα dalam bentuk subyuntif.11
Masalah tekstual ketiga dalam ayat sebelas memuat tiga varian bacaan
naskah: κύριος Ἰησοῦς Χριστὸς (P46vid Alef A D), κύριος Ἰησοῦς (F G),
Χριστὸς κύριος (K). Varian bacaan pertama adalah bacaan asli. Peniadaan
9
Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9)
Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal.
10
82.
11
Ibid.,
79
ISSN 2579-5678
kata Χριστὸς dalam beberapa naskah merupakan penyesuaian dengan nama
Yesus pada 2:10.12
Terjemahan Teks
5
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
6
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
7
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa
seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
8
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan
taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
9
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama,
10
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan
yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
11
dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan
Allah, Bapa!
5 τοῦτο
οὗτος
This
RD-ASN
θεοῦ
θεός
of God
NGSM
φρονεῖτε
Φρονέω
Think
VPAM2P
ὑπάρχων
ὑπάρχω
existing
VPAP-SNM
ἐν
ἐν
in
P
ὑμῖν
Σύ
You
RP2DP
οὐχ
οὐ
not
CLK, TN
ὃ
ὅς
which
RR-NSN
καὶ
καί
also
TE
ἐν
ἐν
in
P
Χριστῷ
Χριστός
Christ
NDSM
ἁρπαγμὸν
ἁρπαγμός
Seizure
NASM
ἡγήσατο
ἡγέομαι
considered
VAMI3S
τὸ
ὁ
the
DASN
Ἰησοῦ,
Ἰησοῦς
Jesus
NDSM
εἶναι
εἰμί
to be
VPAN
6 ὃς
ὅς
who
RR-NSM
ἴσα
ἴσος
equal
JNPN
ἐν
ἐν
in
P
θεῷ,
θεός
to God
NDSM
μορφῇ
μορφή
form
NDSF
7 ἀλλὰ
ἀλλά
but
CLK, CLC
ἑαυτὸν ἐκένωσεν μορφὴν δούλου λαβών,
ἐν ὁμοιώματι ἀνθρώπων
ἑαυτοῦ κενόω
μορφή δοῦλος λαμβάνω
ἐν ὁμοίωμα ἄνθρωπος
Himself he emptied form of slave having taken in likeness of men
RF3ASM VAAI3S NASF NGSM VAAP-SNM P NDSN
NGPM
γενόμενος·
Γίνομαι
Becoming
VAMP-SNM
12
καὶ
καί
and
CLN
σχήματι
σχῆμα
in shape
NDSN
εὑρεθεὶς
εὑρίσκω
being found
VAPP-SNM
ὡς
ὡς
as
CAM
Ibid.,
80
ἄνθρωπος
ἄνθρωπος
man
NNSM
8 ἐταπείνωσεν
ταπεινόω
he humbled
VAAI3S
ἑαυτὸν
ἑαυτοῦ
himself
RF3ASM
ISSN 2579-5678
Γενόμενος
Γίνομαι
Becoming
VAMP-SNM
θεὸς
θεός
God
NNSM
ὑπήκοος
ὑπήκοος
obedient
JNSM
αὐτὸν
αὐτός
Him
RP3ASM
πᾶν
πᾶς
all
JASN
ὄνομα,
ὄνομα
name
NASN
καὶ
καί
and
CLN
ἐπιγείων
ἐπίγειος
on earths
JGPN
κύριος
κύριος
Master
NNSM
Ἰησοῦς
Ἰησοῦς
Jesus
NNSM
μέχρι
μέχρι
until
B
θανάτου,
θάνατος
death
NGSM
ὑπερύψωσεν
ὑπερυψόω
elevated beyond
VAAI3S
10 ἵνα
ἵνα
that
CAP
καὶ
καί
and
CLN
ἐν
ἐν
in
P
καὶ
καί
and
CLN
τῷ
ὁ
The
DDSN
καταχθονίων
καταχθόνιος
subterraneans
JGPM
Χριστὸς
Χριστός
Christ
NNSM
εἰς
εἰς
into
P
θανάτου
θάνατος
of death
NGSM
ἐχαρίσατο
χαρίζομαι
he favored
VAMI3S
ὀνόματι
ὄνομα
Name
NDSN
Ἰησοῦ
Ἰησοῦς
of Jesus
NGSM
11 καὶ
καί
and
CLN
δόξαν
δόξα
splendor
NASF
δὲ
δέ
but
CLA
πᾶσα
πᾶς
all
JNSF
σταυροῦ
σταυρός
of cross
NGSM
αὐτῷ
αὐτός
to him
RP3DSM
πᾶν
πᾶς
all
JNSN
γλῶσσα
γλῶσσα
tongue
NNSF
. 9 διὸ
διό
Wherefore
CLI
τὸ
ὁ
the
DASN
γόνυ
γόνυ
knee
NNSN
ὄνομα
ὄνομα
name
NASN
κάμψῃ
κάμπτω
might bow
VAAS3S
ἐξομολογήσηται
ἐξομολογέω
might confess out
VAMS3S
καὶ
καί
also
TE
ὁ
ὁ
the
DNSM
τὸ
ὁ
the
DASN
ὑπὲρ
ὑπέρ
above
P
ἐπουρανίων
ἐπουράνιος
on heavens
JGPM
ὅτι
ὅτι
(")
CSC
θεοῦ πατρός .13
θεός πατήρ
of God Father
NGSM NGSM
Bentuk/Struktur Komposisi
Bentuk teks Filipi 2:5-11 di mata para pakar PB adalah suatu nyanyian
(Hymn). Nyanyian pujian kepada Kristus. Sebagai suatu nyanyian purba tidak
dapat dipastikan siapa penulisnya. Bisa terjadi salah satu dari dua
kemungkinan berikut. Pertama, Paulus mengutip nyanyian yang sudah
beredar luas dikalangan jemaat Kristen purba. Paulus bukanlah penulis
nyanyian tersebut. Apakah nyanyian tersebut telah beredar di jemaat-jemaat
asuhan Paulus sebelum terekam dalam surat Filipi tidak dapat dipastikan.
Perintah Paulus untuk tidak mencari kepentingan diri sendiri, dan
tidak mengutamakan diri sendiri, tentu bukan konsep yang asing bagi iman
kita. Sebenarnya hal itu terletak pada inti iman kita di kayu salib. Rasul Paulus
menegaskan bahwa siapa saja yang percaya kepada Kristus yang telah
13
Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M. ; Metzger, Bruce M. ; Robinson,
Maurice. ; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised Edition (Interlinear
With Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993; 2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald
Greek Transcription, Bible Works 9)
81
ISSN 2579-5678
diselamatkan oleh karyaNya di kayu salib, sepatutnya meneladani sikap
Kristus yang membawaNya pada salib. Kita patut melakukan ini, bukan untuk
diselamatkan atau membuktikan bahwa kita diselamatkan tetapi dengan
ucapan syukur, karena kita diselamatkan. Dengan demikian kita menjadi
mitra yang lebih efektif dalam pelayanan Injil bagi orang lain.
Karena gaya dan isinya, ayat 6-11 kadang-kadang ditampilkan
sebagai puisi atau himne. Tidak seperti dalam Efesus 5:14, misalnya yang
dituliskan Paulus: Itulah sebabnya dikatakan: Bangunlah hai kamu yang tidur
dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.
Tidak ada petunjuk bagi kita dalam teks apakah ini puisi atau himne di
kalangan Kristen mula-mula di kenal oleh jemaat dan kemudian dikutip oleh
Paulus atau ditulisnya secara khusus untuk surat ini. Namun jika kalimat ini
ditulis oleh orang lain dan kemudian dikutip oleh Paulus, ia pasti
melakukannya karena kata-kata ini mendukung hal yang perlu dikatakannya.
Ayat 6-11 dari manapun sumbernya, membantu kita memahamitindakan
Juruselamat sehingga kita dapat semakin memiliki sikap mengutamakan
orang lain yang perlu kita miliki.
Dave Hagelberg mengutip tulisan Feinberg bahwa kesetaraan antara
Filipi 2:6-11 dan Kidung Hamba (Servant Songs) dalam Yesaya 43:13-53:12
sangat menonjol. Keduanya berbicara begitu tegas tentang kerendahan hati
hingga akhir hidup dan juga peninggian yang bersumber dari kehinaan itu.
Hubungan ini diperkuat fakta bahwa Filipi 2:10-11 jelas diambil dari Yesaya
45:23 tidak disebut dalam Filipi 2:6-11, mungkin karena korban penebus dosa
diluar pelayanan kerendahan hati kita. Jadi tidak tepat bagi Paulus untuk
menulis bahwa kita hendaknya mengikuti teladan Kristus dalam hal itu. 14
Struktur komposisi mencuatkan dua tema: Kristologi dan Teologi.
Dua tersebut dirangkai konjungsi διὸ καὶ (ayat 9). Tema Kristologi ayat 6-8
menunjuk kepada perbuatan Kristus. Tiga perbuatan Kristus dinyatakan oleh
verba-verba ἡγήσατο (ayat 6, menganggap), ἐκένωσεν (ayat 7,
mengosongkan), ἐταπείνωσεν (ayat 8, merendahkan diri). Kata kerja
14
Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008. Hal.
47-48.
82
ISSN 2579-5678
mengosongkan diri dengan mengambil keadaan hamba dan menjadi sama
dengan manusia.
Kata kerja mengosongkan jangan dipahami secara harfiah, tetapi
harus dipahami secara kiasan. Dengan kata lain, Kristus bukan melepaskan
sifat keilahianNya seperti yang diduga oleh beberapa ahli tafsir. Syair pujian
ini dihubungkan dengan nyanyian hamba yang menderita dalam kitab
Yesaya. Namun kita tidak perlu menghubungkan makna yang tersembunyi di
balik kata mengosongkan dengan Yesaya 53:12 (“Ia telah menyerahkan diri
ke dalam maut”). Kita juga tidak perlu menghubungkan ayat ini dengan
kematian Kristus. Peristiwa kematian Kristus baru ditunjukkan di ayat 8 nanti.
Kata kerja mengosongkan digunakan empat kali dalam surat-surat Rasul
Paulus lainnya (Roma 4:14; 1 Korintus 1:17; 9:15; 2 Korintus 9:3). Kata ini
selalu digunakan secara kiasan dan memiliki beberapa arti tergantung pada
konteksnya, misalnya “sia-sia,” “tak berarti,” atau “mengosongkan.” Dalam
konteks ini, kata mengosongkan berarti bahwa Kristus melepaskan status
keilahianNya dengan mengambil rupa atau sifat seorang hamba. Kita dapat
memperjelas bagian ini seperti: Ia melepaskan semua yang Ia miliki atau Ia
melepaskan kedudukanNya yang tinggi itu. Alkitab dalam Bahasa Indonesia
Masa Kini menterjemahkannya seperti: Ia melepaskan semuanya. Kristus
bukan hanya melepaskan kesempatan untuk menjadi sama dengan Allah. Dia
juga melepaskan kesetaraanNya dengan Allah, yaitu status atau kedudukan,
martabat dan kemuliaan ilahiNya (Yohanes 17:5). Jangan sampai terjemahan
mengosongkan dirinya memberi kesan yang salah seolah-olah Yesus telah
kehilangan seluruh sifat keilahianNya. Oleh karena itu, kita dapat
menambahkan kata-kata “statusNya” atau “kedudukanNya yang tinggi.”15
Dan mengambil rupa seorang hamba: teks Yunaninya jelas
menunjukkan bahwa tindakan mengambil rupa seorang hamba terjadi pada
waktu yang bersamaan dengan perbuatan mengosongkan diriNya sendiri.
Selain itu, ungkapan ini juga memperjelas bahwa pada saat Kristus melepas
status atau derajat keilahianNya, Ia mengambil sifat seorang hamba. Rupa
disini sama dengan kata yang di gunakan di ayat 6 (μορφῇ). Ini berarti bahwa
15
_______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi,
Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia,
2013. Hal. 55
83
ISSN 2579-5678
“sifat” atau “hakikat sama dengan μορφῇ seorang hamba” dipakai untuk
dipertentangkan dengan “sifat” atau “hakikat sama dengan μορφῇ Allah.”
Namun sebagai seorang hamba, Kristus bukan menyamar sebagai hamba.
Namun Ia menjadi seorang hamba untuk menunjukkan bahwa Ia sungguhsungguh taat kepada kehendak Allah. Yang ingin ditunjukkan disini adalah
bagaimana Kristus melepaskan statusNya yang sangat tinggi dan mengambil
peranan yang sangat rendah. Supaya rupa Allah lebih jelas dibedakan dengan
rupa seorang hamba, kita dapat memakai ungkapan yang serupa atau sejajar.
Sebagai contoh, dalam rupa Allah diterjemahkan menjadi sama dengan Allah;
mengambil rupa seorang hamba diterjemahkan menjadi: sama seperti seorang
hamba.
Berikut ini ada dua bagian yang perlu dijelaskan, yaitu: bagian
pertama ayat 6-8 tentang perbuatan Kristus dan bagian kedua ayat 9-11
tentang perbuatan Allah.
I.
Perbuatan Kristus (ayat 6-8)
Armand Barus mengutip tulisan O’Brien bahwa sebelumnya pada
2:1-5, Paulus memberi perintah kepada jemaat Filipi untuk menyempurnakan
sukacitanya. Sukacita Paulus menjadi sempurna bila kehidupan persekutuan
jemaat Filipi ditandai dengan kehadiran 7 bentuk moralitas kehidupan jemaat:
1. Memiliki satu kasih (τὴν αὐτὴν ἀγάπην ἔχοντες)
2. Memikirkan satu jiwa dan satu tujuan (σύμψυχοι, τὸ ἓν φρονοῦντες)
3. Tidak mencari kepentingan sendiri (μηδὲν κατ᾽ ἐριθείαν)
4. Tidak mencari puji-pujian yang sia-sia (μηδὲ κατὰ κενοδοξίαν)
5. Tetapi hendaklah saling rendah hati menganggap yang lai lebih utama dari
dirinya sendiri (ἀλλὰ τῇ ταπεινοφροσύνῃ ἀλλήλους ἡγούμενοι
ὑπερέχοντας ἑαυτῶν)
6. Tidak memperhatikan kepentingan dirinya sendiri (μὴ τὰ ἑαυτῶν ἕκαστος
σκοποῦντες)
7. Memperhatikan kepentingan orang lain (ἀλλὰ [καὶ] τὰ ἑτέρων ἕκαστοι).16
16
Jurnal Teologi Reformed Indonesia.
84
ISSN 2579-5678
Tujuh moralitas inilah yang harus dikerjakan jemaat Filipi. Bila
moralitas ini terjadi didalam persekutuan jemaat Filipi, maka sukacita Paulus
menjadi sempurna (ayat 2). Selanjutnya Paulus memberikan perintah kedua
pada ayat 5 yakni: “pikirkanlah (φρονεῖτε) ini (τοῦτο) diantara kamu yang
juga (ada) didalam Kristus Yesus.” Kalimat ini eliptis karena klausa kedua
tidak memiliki kata kerja.
1. Tidak Menganggap Sebagai Keuntungan
Nyanyian Kristus diawali dengan kata sambung ‘yang’ (ὃς), yang
merujuk kepada kata yang didepannya yaitu Kristus Yesus (ayat 5). Kata
sambung ‘yang’ memberi tanda bahwa nyanyian Kristus bermula dari sini
dan isi nyanyian pada ayat 6-11 adalah tentang Yesus Kristus. Meskipun
nama Yesus Kristus tidak digunakan pada ayat 6-9 dan baru muncul pada ayat
10 dan 11, jelas nyanyian ayat 6-11 adalah nyanyian tentang Kristus. Dengan
perkataan lain, kata sambung ‘yang’ menjadi gantungan untuk mengaitkab
nyanyian Kristus (ayat 6-11) dengan ayat 1-5.
Kristus Yesus dalam ayat 6 dikatakan “berada (ὑπάρχων) dalam (ἐν)
μορφῇ Allah.” Partisip ὑπάρχων menegaskan bahwa Yesus berada dalam
μορφῇ Allah. Tidak juga dikatakan Yesus sebagai μορφῇ Allah, namun tegas
dinyatakan Yesus berada dalam μορφῇ Allah. Apa arti kata benda μορφῇ?
Kata μορφῇ muncul tiga kali dalan Perjanjian Baru pada Markus 16:12; Filipi
2:6 (adalah dalam μορφῇ Allah), 2:7 (mengambil μορφῇ hamba).
Armand Barus mengutip literatur Yunani klasik μορφῇ menunjuk
kepada hal yang dapat dialami indera manusia. 17 Tetapi apakah Allah dapat
dialami indera manusia? Tentu tidak. Ini menyebabkan kata μορφῇ
ditafsirkan berbagai cara:18
a. Kemuliaan
Kemuliaan adalah bentuk kelihatan kehadiran Allah seperti terekam
dalam PL (Kejadian 16:10; 24:15; Imamat 9:6; Bilangan 12:8; 14:10).
Penampakan dan substansi tidak memiliki pembedaan, keduanya berkaitan.
17
18
Ibid.,
Ibid.,
85
ISSN 2579-5678
Kristus praeksistensi memiliki bentuk kelihatan yang tidak lain adalah
karakteristik diriNya. Bentuk kelihatan ini adalah kemuliaan. Namun
pengertian μορφῇ sebagai kemuliaan tidak dapat diterapkan pada istilah
μορφῇ hamba pada ayat 7. Ini kelemahannya. 19
b. Esensi, substansi
Kesejajaran penggunaan istilah seperti pada Plato dan Aristoteles, arti
μορφῇ diusulkan tidak berbeda dengan kata οὐσία (essence). Dalam kaitan
dengan μορφῇ Allah, maka Yesus yang ada sebelum inkarnasi (praeksistensi)
bersama-sama memiliki esensi Ilahi tanpa harus diidentifikasi dengannya.
Dengan perkataan lain, Yesus berada dalam μορφῇ Allah berarti Yesus
berada sebelum inkarnasi dengan esensi sama dengan Allah. Tulisan
Hawthorn dan Martin yang dikutip oleh Armand bahwa mereka tetap
mempertahankan μορφῇ sebagai hal yang dapat dialami indera manusia.
Ungkapan μορφῇ Allah menunjuk “essential nature and character of God”
(natur esensial dan karakter Allah).20 Meski demikian Martin menegaskan
bahwa para ahli memiliki konsensus bahwa kata μορφῇ tidak dapat lagi
dipahami dalam arti filosofis yakni esensi, substansi. 21 Yesus tidak berada
sebagai μορφῇ Allah tetapi berada dalam (ἐν) μορφῇ Allah.
c. Gambar
Dengan menggunakan Keejadian 1:26-27 dan 3:1-5 sebagai dasar,
maka ungkapan ‘rupa Allah’ (εἰκὼν) dalam Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4 dan
μορφῇ Allah dipandang sinonim. Adam pertama berada dalam rupa dan
gambar Allah (Kejadian 1:26-27), demikian juga Kristus sebagai Adam kedua
berada dalam gambar Allah. Kategori Adam pertama dan Adam kedua
digunakan untuk memahami μορφῇ Allah.22 Pengertian sinonim (εἰκὼν) dan
μορφῇ memberi dua masalah yakni: tidak dapat diterapkan pada ungkapan
μορφῇ hamba; kedua menjadikan nyanyian bukan rujukan kepada
19
Ibid.,
Ibid.,
21
Ibid.,
22
Ibid.,
20
86
ISSN 2579-5678
praeksistensi Kristus, hanya merujuk kepada inkarnasi, kematian dan
kenaikan Kristus.
d. Cara berada (mode of being)
Istilah μορφῇ dipahami sebagai suatu cara berada. Pemahaman
demikian dapat digunakan baik terhadap ungkapan μορφῇ Allah dan μορφῇ
hamba. Namun pemahaman ini bergantung pada teks-teks gnostis.
Pemahaman ini diusulkan oleh Kasemann berdasarkan gagasan Bultmann 23
yang melihat motif gnostis mempengaruhi teologi Paulus. Kelamahan lain
pandangan ini adalah soal penanggalan teks gnostik yang berasal dari abad ke
dua Era Kristus.
e. Status, kondisi, keadaan (state)
Kata μορφῇ dipahami sebagai keadaan atau kondisi. Pemahaman ini
dapat digunakan baik terhadap ungkapa μορφῇ Allah dan μορφῇ hamba.
Yesus dalam keadaan Allah memilih untuk menerima keadaan hamba. Istilah
μορφῇ berasal sebagai kondisi merujuk kepada posisi semula Kristus berada
dihadirat Allah. Penggunaan demikian ditemukan pada Tobit 1:13, “Oleh
Yang Maha Tinggi dianugerahkan kepadaku kerelaan dan penghormatan
(μορφὴν) dari pihak raja Salmaneser.” Kata penghormatan merupakan
terjemahan kata μορφὴν menunjuk kepada kondisi atau keadaan.
Perumusan istilah μορφὴ belum menemukan kesepakatan diantara
para penafsir nyanyian Kristus. Bukti yang diberikan Martin dengan melihat
latar PL menghasilkan pengertian μορφὴ sebagai kemuliaan, kelihatannya
dapat diterima. Kekuatan pengertian μορφὴ sebagai kemuliaan adalah
terikatnya kaitan bentuk luar yang kelihatan dengan esensi atau hakikat.
Bagaimanakah kata μορφὴ diterjemahkan? Pilihan yang tepat adalah posisi,
keadaan, kondisi. Frasa μορφὴ Allah diterjemahkan ‘keadaan Allah.’ Meski
demikian ada hal yang nampaknya luput dari perhatian penafsir. Apakah
terlalu berlebihan bila klausa μορφῇ θεοῦ ὑπάρχων (berada dalam keadaan
Allah) disejajarkan dengan klausa τὸ εἶναι ἴσα θεῷ (berada kesetaraan dengan
Allah-the being equal with God? Kata sandang τὸ (the) didepan infinitif εἶναι
23
Ibid.,
87
ISSN 2579-5678
(being) berfungsi sebagai penunjuk kepada hal yang sebelumnya dikatakan
yakni μορφῇ θεοῦ ὑπάρχων. Dalam pengertian demikian frasa μορφῇ θεοῦ
(keadaan Allah) sejajar dengan ἴσα θεῷ (kesetaraan dengan Allah).
2. Mengosongkan DiriNya Sendiri
Tindakan Yesus selanjutnya adalah mengosongkan diri. Kata
sambung ἀλλὰ yang diterjemahkan ‘melainkan’ (LAI-TB) atau ‘tetapi’ pada
ayat 7 memberi penjelasan lanjutan dalam bentuk kontras dengan ayat 6.
Kontras kedua ayat ini tidak boleh dilemahkan seperti dilakukan tafsiran
Moule dan Wright.24 Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
sebagai milik yang harus dipertahankan. Sebaliknya Yesus mengosongkan
diriNya. Ini tindakan sukarela. Tindakan Yesus mengosongkan diri
diperlihatkan melalui dua partisip: mengambil (λαβών) keadaan hamba,
menjadi (γενόμενος) sama dengan manusia. Beberapa pertanyaan utama
muncul seperti: Apa arti kata kerja mengosongkan? Apa arti mengambil
keadaan hamba? Apa arti menjadi sama dengan manusia? Uraian selanjutnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Mengosongkan diri. Kata kerja ‘mengosongkan diri’ (κενόω) dalam
Perjanjian Baru muncul 5 kali, Roma 4:14 (iman telah dikosongkan-pasif), 1
Korintus 1:17 (salib Kristus tidak dikosongkan-pasif), 9:15 (tidak seorangpun
mengosongkan kemegahanku-aktif), 2 Korintus 9:3 (kemegahan kami atas
kamu tidak dikosongkan-pasif), Filipi 2:7. Dalam Perjanjian Baru terlihat
bahwa kata kerja ‘mengosongkan’ hanya muncul dalam surat-surat Paulus.
Penggunaannya memperlihatkan bahwa kata kerja ‘mengosongkan’ memuat
arti metafora ketimbang harfiah.25 Kata kerja κενούν dipahami secara
metafora. Armand mengungkapkan dalam alur metafora Martin, mengutip
Warren, mengartikan klausa ἑαυτὸν ἐκένωσεν sebagai “He poured out
Himself” (Ia mencurahkan diriNya) sehingga artinya Yesus. 26 Arti
mengosongkan bukanlah Yesus menanggalkan keallahanNya. Namun Yesus
secara sukarela memberikan diriNya sepenuhnya kepada manusia berdosa.
24
Ibid.,
Ibid.,
26
Ibid.,
25
88
ISSN 2579-5678
Apa yang dikosongkan? Ini pertanyaan yang sering muncul bila kata
kerja mengosongkan dipahami secara harfiah. Armand mengutip tulisan
Martin mendiskusikan beberapa kemungkinan tentang apa yang dikosongkan
Yesus, sebagai berikut:
1. Sifat keallahan Kristus.
Pandangan yang dikenal sebagai teori Kenotis bahwa Yesus
mengosongkan sifat keallahanNya pada saat inkarnasi. Sifat keallahan yang
dikosongkan Yesus adalah sifat mahatahu, mahahadir dan mahakuasa, namun
tetap mempertahankan atribusi kekudusan, kasih dan kebenaran.
2. Yesus menjadi miskin
Ini pendapat Dibelius yang didasarkan pada Lukas 1:53; Rut 1:21 dan
2 Korintus 8:9.
3. Yesus menjadi hamba atau budak
Istilah hamba pada ayat 7 dipahami secara harfiah merujuk kepada
kelompok sosial terbawah dalam masyarakat kuno, yakni budak.
4. Yesus menjadi manusia
Pandangan tradisional ini berpendapat bahwa praeksistensi Yesus
menjadi manusia adalah momen Ia mengambil rupa hamba.
5. Yesus menaruh diriNya di bawah roh jahat (demonis).
Pandangan ini diutarakan oleh E. Kasemann yang memahami istilah
hamba sebagai penghambaan kepada kuasa-kuasa roh jahat.
6. Yesus mangambil peranan hamba seperti digambarkan Yesaya.
Pandangan ini memahami ungkapan ‘Ia mengosongkan diri’ memiliki
kesejajaran dengan ungkapan (‘ia telah menyerahkan nyawanya’) seperti
terdapat pada Yesaya 53:12. Dalam pengertian ini, mengosongkan diri
merujuk kepada inkarnasi.
7. Yesus menjadi penderita yang benar (E. Schweizer).
Pandangan ini didasarkan pada konsep Yudaisme tentang orang benar
yang harus menderita sebelum Allah meninggikannya. Yesus disebut hamba
bukan karena memenuhi peranan hamba Yesaya, melainkan karena sejalan
dengan gagasan Yudaisme mengenai orang benar yang menderita disebut
hamba (Ebed). Dalam kemartiran Yahudi, istilah Ebed menjadi kata kunci.
8. Kemuliaan
89
ISSN 2579-5678
Martin sendiri berpendapat bahwa yang dikosongkan adalah
kemuliaan Yesus. Mengosongkan diri bukan berarti menyerahkan sifat Ilahi
dan menukarkannya dengan natur manusia. Dengan melihat kesejajaran
antara ἐν μορφὴ θεοῦ dan μορφὴν δούλου, maka Yesus yang praeksisten
menyerahkan status sebagai gambar Allah dan merendahkan diriNya dengan
menerima peranan hamba. Yesus mengosongkan diriNya dengan mengambil
keadaan hamba. Mengosongkan diri berarti ‘an eclipsing of His glory as the
divine image (μορφὴ= εἰκόν) in order that He might come, in human flesh, as
the Image of God incarnate (memudarkan kemuliaanNya sebagai gambar
Allah sehingga Ia menjadi, dalm tubuh manusia, sebagai gambar Allah
berinkarnasi).
Bila kata kerja mengososngkan adalah sebuah ungkapan metaforis,
maka kata mengosongkan tidak perlu dipahami secara harfiah. Sebagai
ungkapan metaforis, ia dijelaskan oleh dua partisip, yakni mengambil
keadaan hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dengan demikian
pertanyaan apa yang dikosongkan tidak perlu ditanyakan karena
sesungguhnya tidak ada yang dikosongkan.
Mengambil keadaan hamba. Hal pertama yang penting dipahami
adalah istilah hamba dalam ayat ini tidak perlu dipandang sebagai rujukan
terhadap kematian Yesus. Mengapa? Karena pengertian demikian merusak
tahapan kehidupan Kristus. Kematiannya baru disebutkan pada ayat 8. Urutan
tahapan Kristologi kesetaraan dengan Allah kemudian hamba manusia dan
selanjutnya Tuhan seperti terungkap dalam nyanyian Kristus perlu
dipertahankan. Dengan demikian ungkapan mengambil keadaan hamba
merujuk kepada inkarnasi Kristus ketimbang kematian. Juga ungkapan
mengambil keadaan hamba tidak perlu diartikan bahwa Yesus mengambil
status sosial sebagi budak ketika hidup di Palestina. Yesus mengambil
keadaan hamba tidak berarti bahwa penampilan luarNya seperti seorang
hamba atau budak. Istilah keadaan hamba menunjuk kepada hakikat atau
natur. Dalam arti ini usulan C. F. D. Moule, diterima Bruce, Feinberg dan
O’Brien yang dikutip oleh Armand Barus, bahwa latar belakang konsep
perbudakan pada masa Yesus dapat dijadikan dasar pijakan untuk memahami
ungkapan Yesus mengambil keadaan hamba. Natur hamba menggambarkan
perampasan ekstrim hak-hak manusia bahkan hak berkaitan dengan hidup dan
90
ISSN 2579-5678
dirinya.27 Yesus bukan memperlihatkan diri sebagai seorang hamba, namun
mengambil hakikat seorang hamba yang hidupnya tanpa memiliki hak dasar
kemanusiaan sama sekali. Yesus dengan sukarela bebas melepas hak yang
melekat padaNya. Hakikat hamba ini menampakkan wujud dalam seluruh
perkataan dan perbuatanNya. Contoh yang diberikan Bruce, Hawthorne dan
O’Brien adalah peristiwa ketika Yesus membasuh kaki murid-muridNya
seperti terekam dalam Yohanes 13:3-5.
Dalam ungkapan Yesus mengambil keadaan hamba, tidak dinyatakan
secara eksplisit kepada siapa Yesus menghambakan diriNya. Namun jelas,
kata kerja aktif ‘mengambil’ menyatakan tindakan Yesus bersifat sukarela,
bukan paksaan. Usulan Kasemann seperti disebut diatas, bahwa Yesus
menghambakan diri kepada kuasa-kuasa dunia ini tidak perlu diperhitungkan
karena dasarnya lemah sekali. Demikian juga pendapat yang mengatakan
bahwa istilah hamba dipahami, seperti tersebut diatas, dalam kategori
gambaran hamba seperti uraian Yesaya ataupun gambaran hamba menderita
dalam Yudaisme kelihatannya kurang tepat digunakan untuk membaca
nyanyian Kristus. Secara umum mengambil keadaan hamba dipandang
sebagai rujukan kepada inkarnasi Kristus. Yesus dengan sukarela menjadi
manusia. Namun tidak berarti bahwa Yesus meniadakan keallahanNya ketika
mengambil keadaan hamba. Mengambil keadaan hamba merupakan
ungkapan untuk menggambarkan karakter Yesus dalam peniadaan hak. Yesus
mengambil keadaan hamba, namun tidak kehilangan keallahanNya.
Ungkapan mengambil keadaan hamba tidak berarti Yesus tidak menukar
keadaan Allah dengan keadaan hamba. Sebaliknya, ungkapan tersebut justru
memperlihatkan bahwa Yesus menyatakan keadaan Allah dengan keadan
hamba.
Menjadi sama dengan manusia. Yesus mengosongkan diri dengan
mengambil keadaan hambadan menjadi sama dengan manusia. Klausa
menjadi sama dengan manusia bukanlah penjelasan klausa mengambil
keadaan hamba, tetapi kelanjutan penjelasan verba mengosongkan diri.
Menarik untuk diamati bahwa nyanyian ini menjadikan urutan keadaan
hamba mendahului manusia. Urutan logis adalah Yesus menjadi sama dengan
27
Ibid.,
91
ISSN 2579-5678
manusia, barulah mengambil keadaan hamba. Urutan demikian menimbulkan
pertanyaan mengapa. Dengan pengertian bahwa mengambil keadaan hamba
berarti pelepasan hak. Hak melekat dalam posisi setara dengan Allah dengan
sengaja dan sukarela dilepaskan Yesus. Inilah sebabnya urutan hamba ditaruh
sebelum manusia.
Partisip ‘menjadi’ (γενόμενος) menekankan arti “coming into a
position, or a state” (datang ke suatu posisi atau keadaan). Arti ‘datang ke
suatu keadaan’ menyatakan bahwa partisip ‘menjadi’ bersifat dinamis. Yesus
masuk ke dalam keadaan manusia melalui kelahiran. Tetapi berbeda dengan
kelahiran manusia lainnya, Yesus lahir melalui rahim seorang anak dara. Hal
ini bertolak belakang dengan partisip ὑπάρχων pada ayat 6 yang bersifat statis
(Yesus berada dalam μορφὴ Allah). Lebih jauh, partisip γενόμενος, seperti
usulan Cerfaux, Jouon, Beare, Martin, O’Brien dipandang sebagai rujukan
kepada kelahiran Yesus. Kesejajaran penggunaan demikian dijumpai pada
Yohanes 8:58 (πρὶν Ἀβραὰμ γενέσθαι ἐγὼ εἰμί) dan Galatia 4:4 (γενόμενον
ἐκ γυναικός). Meski partisip ‘menjadi’ digunakan dalam Galatia 4:4 dan
Roma 1:3, usulan O’Brien bahwa partisip ‘mejadi’ diterjemahkan sebagai
dilahirkan (was born) dipandang sebagai penyempitan makna. Penggunaan
verba γίγνομαι dalam Galatia 4:4 dan Roma 1:3 dalam kaitan dengan
perempuan dan Daud sehingga terjemahannya ‘dilahirkan.’ Tetapi dalam ayat
7 dikaitkan dengan manusia (ἀνθρώπων) sehingga terjemahannya ‘menjadi.’
Kata kerja ὁμοιώμα selain dalam Filipi 2:7 juga muncul pada Roma
1:23; 5:14; 6:5; 8:3. Diluar surat Paulus, kata ini hanya digunakan di Wahyu
9:7. Kata ὁμοιώμα dapat diterjemahkan sebagai ‘sama dengan’ (Roma 5:14;
6:5) atau ‘mirip dengan’ (Wahyu 9:7). Ungkapan sama dengan menegaskan
“identical duplicate of the original,” sedang ungkapan mirip dengan
mengungkapkan kesamaan namun “retains a sense of distinction from the
original.” Apakah Yesus menjadi sama dengan manusia atau menjadi mirip
dengan manusia? Bila Yesus hanya dipandang mirip dengan manusia, maka
kemanusiaanNya tidaklah sejati dan sempurna. Yesus hanya terlihat seperti
manusia, bukan sungguh-sungguh manusia sejati. Ini tidak dapat diterima.
Sebaliknya, jika Yesus sungguh manusia, artinya Yesus mengambil bagian
kemanusiaan manusia, apakah keberdosaan manusia turut diambilNya?
Dalam hal ini lebih baik diterima Yesus berpartisipasi dalam kemanusiaan
92
ISSN 2579-5678
manusia sebelum Adam jatuh ke dalam dosa. Pengertian ini membawa kita
semakin dalam kepada masalah apakah Yesus mampu berdosa? Pencobaan
Yesus menegaskan bahwa Yesus tidak mampu berdosa karena hakikat dosa
tidak melekat pada diriNya. Pilihan ὁμοιώμα sebagai sama dengan lebih baik.
Yesus menjadi sama dengan manusia menegaskan identifikasi penuh dan
partisipasi sempurna dengan kemanusiaan manusia. Bagaimana kata ὁμοιώμα
diterjemahkan sebagai sama dengan harus dipahami? Bila dikatakan Yesus
menjadi sama dengan manusia memperlihatkan bahwa Yesus adalah manusia
sejati, namun tetap menyimpan keallahanNya. Ketika Yesus berkata dan
berbuat, tidak hanya kemanusiaan sempurna yang tampak, namun juga
termasuk juga terungkap keallahanNya. Ringkasnya, Yesus adalah kehadiran
Yahweh didunia.
Jadi, menjadi samanya Yesus dengan manusia merujuk kepada
kelahiran dan kehidupanNya sebagai manusia. Yesus lahir sebagai manusia
seperti kelahiran manusia lainnya. Yesus hidup seperti manusia lainnya, harus
jalan kaki untuk menempuh jarak, mengalami lapar dan haus, merasa sedih,
menangis. Meski Yesus adalah manusia sejati, kesamaanNya dengan manusia
menyatakan keallahanNya. Yesus adalah kehadiran Allah di dunia. Kehadiran
Allah Manusia dalam diri Yesus, bukanlah hal mistis seperti pendapat Martin.
Nyanyian Kristus menegaskan bahwa Yesus sebagai Allah manusia
memperlihatkan seperti diuraikan diatas, kerendahan hati sempurna yang
tidak mampu diperlihatkan manusia. Pekerjaan Kristus pertama dan kedua
dengan jelas memperlihatkan kerendahan hati sempurna. Meski istilah dosa
tidak secara eksplisit disebut dalam nyanyian Kristus, tetapi kata ‘mati’ pada
ayat 7 menunjuk kepada kehadiran dosa dalam dunia. Kesediaan sukarela
Yesus untuk mati menegaskan bahwa kematianNya bukan keharusan seperti
manusia lainnya. Manusia harus mati karena dosa. Yesus mati karena
bersedia sukarela mati. Dalam hal ini, Yesus menjadi sama dengan manusia
sepenuhnya, namun memiliki perbedaan fundamental esensial dengan
manusia dalam hal kerendahan hati, ketaatan dan dosa. Yesus secara
sempurna menunjukkan kerendahan dan ketaatan dan tanpa dosa.
Perbuatan Yesus tidak menganggap sebagai keuntungan dan
mengosongkan diri menggambarkan kerendahan hati Yesus. Dua perbuatan
93
ISSN 2579-5678
Yesus menyatakan bahwa kerendahan hati memuat beberapa pengertian
sebagai berikut:
1. Posisi atau status tidak dipandang sebagai keuntungan untuk menguasai
orang lain. Orang yang rendah hati bersedia dengan sukarela
menggunakan posisinya untuk kebaikan orang lain.
2. Orang rendah hati dengan sukarela yang bebas bersedia meniadakan hakhaknya demi untuk orang lain. Hak yang melekat tidak digunakan untuk
kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Pelepasan hak ini
menempatkan orang lain lebih utama ketimbang diri sendiri.
3. Rendah hati berarti kerelaan untuk mengidentifikasi diri secara sempurna
dengan orang lain.
Tiga hal diatas dapat dipandang sebagai anatomi kerendahan hati,
yang mendapatkan gambarannya pada diri Yesus Kristus.
3. Merendahkan Diri
Tindakan Kristus selanjutnya selain mengosongkan diri adalah
merendahkan diri. Bagaimana Kristus merendahkan diriNya? Yesus
merendahkan diri dengan cara: didapati (εὑρεθεὶς) rupa sebagai manusia (ayat
7c) dan menjadi (γενόμενος) taat sampai mati (ayat 8).
Merendahkan diri. Perbuatan ketiga Yesus adalah merendahkan diri.
Perbuatan ini tidak identik dengan tindakan kedua yakni mengosongkan diri.
Perbuatan Yesus merendahkan diri diusulkan penafsir dipahami dengan latar
belakang hamba (ebed) Yahweh seperti tergambar dalam Yesaya 53. Sebagai
dasar dilihat hubungan Filipi dan Yesaya dalam penggunaan frasa ἐν τῇ
ταπεινώσει (Yesaya 53:8, LXX) sejajar dengan frasa ἐταπείνωσεν ἑαυτὸν
(2:8). Frasa ἐν τῇ ταπεινώσει dipahami sebagai rujukan terhadap ketaatan
hamba hingga mati. Namun, bila dicermati terungkap bahwa kata ketaatan
sama sekali tidak muncul pada teks hamba yang menderita dalam Yesaya. 28
Perbuatan Yesus merendahkan diri merupakan perbuatan aktif,
inisiatif Yesus seperti terlihat melalui penggunaan bentuk aktif kata kerja
ἐταπείνωσεν. Yesus merendahkan diri dengan sengaja dan sukarela dan
bukan karena direndahkan oleh siapapun. Dalam korpus surat Paulus verba
28
Ibid.,
94
ISSN 2579-5678
merendahkan muncul 4 kali (2 Korintus 11:7; 12:21; Filipi 2:8; 4:12). Apa
artinya merendahkan diri? Dua cara, seperti dijelaskan partisip εὑρεθεὶς dan
γενόμενος, yaitu: memperlihatkan diri secara penuh sebagai manusia, kecuali
tidak memiliki natur atau tabiat dosa dan memperlihatkan ketaatan sempurna
sebagai manusia.
Didapati rupa sebagai manusia. Kata benda σχήματι juga digunakan
dalam 1 Korintus 7:31 untuk menggambarkan dunia yang dilihat secara mata
visual. Kata σχήματι diterjemahkan sebagai rupa lahiriah. Istilah rupa lahiriah
disini menunjuk kepadapenampakan luar atau bentuk kelihatan oleh panca
indera manusia. Armand mengutip rumusan Martin tentang ungakapan
σχήματι εὑρεθεὶς menunjuk kepada “the external appearance of the incarnate
Son as He showed Himself to those who saw Him in the days of his flesh.” 29
Dalam pengertian ini, manusia yang bertemu dengan Yesus ketika hidup di
Palestina menyadari bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia, sama seperti
mereka. Manusia yang berjumpa dengan Yesus, mendapati bahwa Ia tidak
terlihat seolah-olah seperti manusia atau melebihi manusia lainnya.
Menjadi taat sampai mati. Kehidupan Yesus sebagai manusia di
Palestina memperlihatkan satu prinsip kehidupan yakni ketaatan. Tidak
disebutkan secara eksplisit kepada siapa Yesus menaruh ketaatanNya.
Apakah ketaatan yang dimakasud adalah ketaatan kepada Bapa? Yesus juga
tidak taat kepada maut. Maut tidak menguasai Yesus. Yesus taat sampai mati
(μέχρι). Ketaatan Yesus juga tidak diberikan kepada manusia. Yesus tidak
takluk kepada kehendak manusia. Yang dapat dipastikan adalah bahwa
ketaatan Yesus bersifat aktif dan sukarela. Ketaatan Yesus sampai mati
memperlihatkan totalitas identifikasi dengan manusia. Manusia, akibat dosa,
berada dalam penjara kematian. Kematian adalah musuh manusia yang kuat,
tidak terkalahkan. Yesus datang menjemput manusia dari cengkeraman maut
dan membebaskan manusia dari penjara kematian. Yesus harus masuk ke
dalam dunia kematian dimana manusia terpenjara untuk membebaskan
mereka yang percaya kepadaNya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
karakteristik utama kehidupan Yesus di dunia adalah ketaatan.
29
Ibid.,
95
ISSN 2579-5678
Mati dikayu salib. Kematian Yesus di kayu salib memperlihatkan
puncak ketaatan Yesus. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa mati di kayu
salib merupakan klimaks nyanyian Kristus bagian pertama (ayat 6-8). Batas
akhir ketaatan Yesus mencapai kematian penyaliban. Mati di kayu salib
dipandang kematian yang paling hina dan rendah. Dalam pandangan orang
Yahudi, kematian di kayu salib adalah suatu kutuk (Ulangan 21:23). Sebagai
kutuk, kematian di kayu salib tidak di pandang Yahudi sebagai penderitaan
atau martir. Inilah cara kematian yang dipilih Yesus, kematian terendah.
Kematian di salib bukan kecelakaan sejarah atau peristiwa sejarah di luar
kendali Yesus. Salib adalah pilihan karena ketaatan Yesus. Bukan tabiat dosa
manusia yang membawa Yesus ke kayu salib melainkan ketaatanNya.
Kematian Yesus di kayu salib bukan menyingkapkan identifikasi sempurna
dengan keberdosaan manusia, tetapi menunjuk kepada ketaatan sempurna
sebagai manusia. Perbuatan Yesus merendahkan diri menunjuk kepada
ketaatan sempurna. Ketaatan yang tidak pernah diperlihatkan manusia setelah
Adam gagal taat kepada perintah Allah. Ketaatan sempurna selalu bersifat
sukarela dan aktif. Meski kematian Yesus di kayu salib memuat dimensi
keselamatan, namun dalam nyanyian Kristus penekanan tertuju demonstrasi
ketaatan sempurna Yesus Kristus. Fokus nyanyian pada perbuatan Kristus itu
sendiri ketimbang karya Kristus bagi manusia. Ketaatan Yesus di taman
Getsemani, seperti terekam dalam Markus 14:32-42, Matius 26:36-46, Lukas
22:39-46, merupakan pergumulan Yesus menghadapi kematian yang
berpuncak kepada ketaatanNya.
II.
Perbuatan Allah (ayat 9-11)
Kata sambung διὸ καὶ yang muncul pada Lukas 1:35; Kisah Para
Rasul 10:29; 24:26; Roma 4:22; 15:22; 2 Korintus 1:20; 4:13; 5:9; Ibrani
11:12; 13:12 diterjemahkan itulah sebabnya (LAI-TB). Terjemahan ‘itulah
sebabnya’ menjalin ayat 6-8 perbuatan Kristus dengan ayat 9-11 perbuatan
Allah dalam ikatan konsekuensi logis bukan relasi kausal. Dalam alur ini
merupakan kelanjutan perbuatan-perbuatan Kristus pada ayat 6-8.
Pada ayat 9-11 mengubah subjek nyanyian dari Yesus kepada Allah.
Pada ayat 6-8 subjek adalah Yesus, namun pada ayat 9-11 Yesus menjadi
96
ISSN 2579-5678
objek. Dalam bagian ayat 9-11 terlihat dua bentuk perbuatan Allah kepada
Yesus, yakni: ὑπερύψωσεν (ayat 9, sangat meninggikan) Yesus dan
ἐχαρίσατο (ayat 9, mengaruniakan) nama diatas segala nama. Armand
mengutip pendapat O’Brien bahwa pekerjaan Allah bukanlah tahapan dan
kedua perbuatan Allah tersebut dipandang sebagai pernyataan sejajar (the
parallel assertion).30 Tetapi sama seperti pada ayat 6-8, perbuatan-perbuatan
Kristus merupakan tahapan persitiwa, demikian juga dengan perbuatan Allah
pada ayat 9-11. Tulisan berikut, seperti diuraikan dibawah, berpendapat
bahwa perbuatan Allah merupakan suatu tahapan peristiwa. Tujuan perbuatan
Allah adalah: semua lutut κάμψῃ (bertekuk) dan semua lidah ἐξομολογήσηται
(mengakui). Tema kebangkitan dan kenaikan Yesus tidak disebut eksplisit
karena fokus nyanyian kepada pengakuan semua makhluk bahwa Yesus
adalah Tuhan.
1. Allah Sangat Meninggikan
Allah sangat meninggikan (ὑπερύψωσεν) Yesus. Kata kerja
ὑπερύψωσεν adalah hapax legomenon. Bagaimana memahami kata kerja
hapax legomenon ὑπερύψωσεν? Pemahaman terhadap kata kerja
ὑπερύψωσεν terbagi dalam dua alur pikiran:
a. Kata kerja ὑπερύψωσεν dipandang sebagai kata kerja komposit yang
terbentuk atas preposisi ὑπὲρ dan kata kerja ὑψόω. Dalam Kisah Para
Rasul 2:33; 5:31 kata kerja ὑψόω digunakan secara figuratif sebagai
rujukan terhadap kenaikan Yesus. Kata preposisi ὑπὲρ memuat makna
komparatif. Dalam makna komparatif ini peninggian Kristus berarti
meninggikanNya ke posisi lebih tinggi dibanding posisi sebelum
inkarnasi.
b. Kata kerja ὑπερύψωσεν digunakan untuk menggambarkan kontras
atau makna superlatif atau elatif. Dalam alur pikiran ini, peninggian
Kristus memperlihatkan keunikan Kristus dan tidak terbandingkan
dengan siapapun. Makna elatif demikian terpancar dalam Mazmur
97:9 (LXX). Yesus ditinggikan mengatasi segala sesuatu, seluruh
alam semesta. Tidak berarti Yesus lebih tinggi setingkat dibanding
30
Ibid.,
97
ISSN 2579-5678
makhluk lainnya, melainkan Yesus tidak ada bandingannya.
Keunikan Yesus mendapat penekanan melalui penggunaan kata kerja
ὑπερύψωσεν.
Roma 8:34; 1 Petrus 3:18-22, peristiwa kematian, kebangkitan Kristus
dan kenaikan Kristus dipandang sebagai satu kesatuan. Peristiwa kebangkitan
dan kenaikan Kristus adalah peristiwa bertahap, ada selang waktu diantara
keduanya. Kedua peristiwa ini dirumuskan sebagai perbuatan Allah sangat
meninggikan Kristus.
2. Allah Menganugerahkan Nama
Allah menganugerahkan Yesus nama. Penganugerahan nama ini
bukanlah tahapan kedua setelah perbuatan Allah meninggikan Yesus.
Peristiwa meninggikan dan mengaruniakan terjadi pada waktu bersamaan.
Namun keduanya bukanlah peristiwa sejajar. Artinya tindakan Allah
mengaruniakan nama merupakan ekspresi peninggian Kristus. Perbuatan
Allah sangat meninggikan Kristus terkait dengan kebangkitan dan kenaikan
Yesus, memiliki muatan spasial. Namun perbuatan Allah menganugerahkan
nama bersifat kosmis dan transendental, tanpa muatan spasial dan temporal. 31
Kedua perbuatan Allah berbeda, namun serempak terjadi. Apa yang
dimaksud dengan nama? Maksud disini memuat arti: penyataan Allah kepada
manusia yang menunjuk kepada penyataan karakter seseorang. Dalam arti ini
istilah nama diberi arti khusus yakni Allah menyatakan kepada manusia.
Pengaruniaan nama kepada Yesus berarti penyataan Yesus sebagai Tuhan
atas alam semesta. Nama sebagai fungsi ketuhanan. Nama dapat dipahami
sebagai jabatan. Yesus sebelum inkarnasi menolak untuk mengambil paksa
kesetaraan dengan Allah sebagai milikNya. Ketika Yesus menyelesaikan
tugas ketaatanNya, maka Allah meninggikanNya dengan jabatan setara
dengan Allah. Yesus memiliki otoritas yang hanya dimiliki Allah
Kata sambung ἵνα pada ayat 10 memuat makna tujuan (supaya) atau
akibat (sehingga). Meski kedua muatannya tidak terlalu tajam dipisahkan,
namun terjemahan supaya digunakan disini. Perbuatan Allah bertujuan
31
Ibid.,
98
ISSN 2579-5678
terjadinya dua peristiwa semua lutut κάμψῃ (bertekuk) dan semua lidah
ἐξομολογήσηται (mengaku).
Semua lutut bertekuk (ayat 10). Ketika menghadap Allah orang
Yahudi menunjukkan dua sikap, yakni berlutut atau berdiri. Bertekuk lutut
atau bersujud merupakan sikap ibadah menyembah Allah (Ezra 9:5; 1
Tawarikh 29:20; 1 Esdras 8:71; 9:47; 2 Makabe 2:1; Yesaya 45:23; Mazmur
95:9 (LXX)). Juga bertekuk lutut digunakan sebagai ungkapan penaklukkan
seperti terdapat pada 2 Samuel 22:40; Sirakh 33:27. Berdiri sering menjadi
sikap orang Yahudi ketika berdoa kepada Allah seperti terdapat pada Lukas
18:11, 13; Yeremia 18:20; 1 Raja-raja 19:11; Ezra 9:15; Mazmur 24:3.
Bertekuk lutut menggambarkan sikap menyembah dan menaklukkan diri.
Sebagian manusia meghadap Tuhan dengan sikap menyembah dan sebagian
manusia lainnya menghadap Tuhan dengan sikap takluk kepadaNya.
Kata semua (πᾶν) di ayat 10 dan kata semua (πᾶσα) di ayat 11 merujuk
kepada semua manusia dari segala tempat dan zaman dalam alur makna
inklusif total. Secara khusus kata semua pada ayat 10 dan 11 dijelaskan oleh
tiga ungkapan, yakni: ἐπουρανίων (langit); ἐπιγείων (bumi); καταχθονίων
(bawah bumi). Semua makhluk, baik manusia, malaikat dan roh-roh jahat
mengakui Yesus adalah Tuhan. Sebagian makhluk, manusia percaya dan
malaikat, mengakui Yesus sebagai Tuhan yang membebaskan dengan
sukacita dan sebagian makhluk, manusia tidak percaya dan roh-roh jahat,
mengakui Yesus sebagai Tuhan yang mengadili dengan penuh ketaklukkan.
Semua lidah mengakui (ayat 11). Armand mengutip pendapat Martin
bahwa kata kerja mengaku tidak lagi diterjemahkan para ahli sebagai “to
proclaim with thanks giving,” yaitu kata mengaku yang digunakan dalam
konteks ibadah ketika semua malaikat, gereja dan orang mati di Sheol
bersama-sama beribadah menyembah Kristus yang telah mengalahkan maut.
Kata kerja mengaku sebagai arti netral.32 Terjemahan yang tepat adalah
mengakui bukan mengaku seperti terjemahan LAI-TB. Menyadari bahwa
pengakuan ini diutarakan oleh semua lidah, artinya semua makhluk, tentu
tidak tepat bila dikatakan pengakuan demikian merupakan suatu pengakuan
iman dalam suatu ibadah penyembahan kepada Kristus. Pengakuan itu
32
Ibid.,
99
ISSN 2579-5678
bukanlah suatu pribadi yang sukarela diikrarkan oleh sebagian makhluk.
Menyadari bahwa kata semua memuat signifikansi inklusif, maka pengakuan
bahwa Yesus adalah Tuhan meliputi segala makhluk termasuk malaikat dan
roh-roh jahat dan semua manusia dari segala zaman dan suku bangsa. Dalam
konteks demikian, segala makhluk mengakui Yesus adalah Tuhan baik dalam
ibadah penyembahan maupun dalam elu-eluan (acclamation) universal.
Penggunaan kata kerja bertekuk lutut dan mengakui dalam bentuk aoris
memberi indikasi kuat bahwa peristiwa ini terjadi sekarang bukan pada saat
parousia. Semua makhluk mengakui Yesus Tuhan segera setelah peristiwa
Yesus dilantik sebagai Tuhan atas alam semesta.
Nyanyian Kristus menyatakan bahwa semua makhluk kelihatan dan
tidak kelihatan mengakui Yesus adalah Tuhan merupakan Raja atas seluruh
alam semesta. Perlu ditegaskan bahwa pengakuan semua makhluk ini tidak
memiliki muatan keselamatan. Ia lebih bermuatan rekonsiliasi (pendamaian).
Artinya penciptaan rusak oleh dosan dan akibatnya, maut sekarang mendapat
pemulihan kembali oleh kemenangan Kristus atas maut yang menguasai
hidup manusia. Istilah rekonsiliasi memiliki arti pemulihan.
Kalimat terakhir memberi penjelasan terhadap pernyataan ‘bagi
kemuliaan Allah, Bapa’ pada ayat 11.33 Pemulihan Yesus sebagai Tuhan atas
alam semesta tidak menggeser Allah dari tahtaNya atau merusak relasi Yesus
dan BapaNya. Pemulihan Yesus sebagai Tuhan atas seluruh semesta tidak
lain merupakan pemulihan pemerintahan Allah sebagai Bapa atas seluruh
ciptaan. Dan melalui pengakuan Kristus adalah Tuhan, maka karakter Allah
sebagai Bapa tersingkap kepada seluruh semesta. Ketuhanan Yesus atas
seluruh ciptaan tidak lain menjadi momen penyataan kebapaan Allah atas
seluruh alam semesta. Yesus dilantik sebagai Tuhan adalah untuk kemuliaan
Allah Bapa. Hubungan Allah Bapa dan semua ciptaan yang rusak oleh dosa,
dipulihkan kembali melalui kenaikan Yesus. Allah sebagai Bapa atas semua
ciptaan pulih kembali.
33
Ibid.,
100
ISSN 2579-5678
KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian dan pembahasan terhadap topik-topik
yang berkaitan dengan judul tesis ini, maka tibalah kini pada bagian
kesimpulan dan saran yang akan merampungkan seluruh isi yang merupakan
hasil dari penelitian ilmiah ini. Berkenaan dengan judul ini dapat disimpulkan
bahwa ajaran Paulus tentang kenosis merupakan ajaran yang sangat penting
untuk dapat mengerti dan mengalami apa yang telah Allah lakukan. Melalui
bagian ini diharapkan pembaca bisa melihat secara menyeluruh inti dari karya
ilmiah ini, sehingga pemahaman terhadap keseluruhan karya ilmiah ini
semakin jelas dan lengkap. Demikian juga bagian ini sekaligus akan m ejadi
jawaban yang jelas bagi pembaca, terhadap rumusan masalah yang sudah
dibuat pada bab pertama. Beberapa hal yang mejadi kesimpulan berdasarkan
pembahasan tentang kenosis adalah sebagai berikut:
Pertama, ketidaksalahan Alkitab dalam naskah aslinya dapat diyakini
sepenuhnya. Meskipun ada tradisi lisan sebelum kitab-kitab Perjanjian Baru
dituliskan, telah terbukti bahwa tidak mungkin ada konspirasi dimasa
tersebut. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alkitab tidak akan pernah
mencapai akhir untuk dibahas dan diteliti dalam menemukan kebenaran.
Sekalipun banyak perbedaan motivasi yang mendasari berbagai aliran atau
golongan yang tampak dalam, baik berupa usaha yang dilakukan untuk
meneguhkan keselamatan di dalam Yesus Kristus yang diajarkan dalam
Alkitab bagi mereka yang percaya/beriman kepadaNya, maupun usaha dari
mereka untuk menolak kebenaran Alkitab sebagaimana yang telah dinyatakan
melalui ilham Roh Kudus, ajaran Alkitab tetap menjadi suatu pembahasan
yang bersemangat dan hidup yang mendatangkan manfaat bagi manusia
khususnya orang percaya. Penyelidikan terhadap /pengajaran Alkitab harus
dilakukan
secara
bertanggungjawab.
Yang
dimaksud
dengan
bertanggungjawab adalah bahwa pengajaran dalam Alkitab harus diterima
sebagai ilham dari Allah melalui Roh Kudus kepada para penulis Alkitab.
Sumber utama bagi penelitian ajran-ajaran Paulus adalah surat-surat Paulus
sendiri yang terdapat dalam Perjanjian Baru.
Kedua, fakta yang harus diakui adalah bahwa tidak satupun naskah
asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru yang masih ada saat ini. Yang ada saat
101
ISSN 2579-5678
ini hanyalah salinan-salinan dari naskah asli kitab-kitab Perjanjian Baru.
Paulus merupakan satu-satunya rasul yang tulisannya paling banyak
tulisannya terdapat dalam Perjanjian Baru sekitar 13 surat. Hal ini adalah
wajar karena memang merupakan panggilan dan pemakaian Allah yang
khusus kepadanya sejak panggilan dan perjumpaan dengan Yesus menuju
Damsyik. Panggilan Paulus sangat unik bila dilihat dari latar belakang
kehidupannya sebagai Yahudi dan seorang Farisi turut andil dalam setiap
ajaran dan pemberitaanya kepada gereja. Perjanjian Lama, penyataan Allah
dan Tradisi Kristen mula-mula merupakan sumber utama bagi pengajaran
Paulus.
Kenosis adalah pengajaran Paulus tentang keteladanan dan
kerendahan hati Tuhan. Yesus Kristus adalah penyataan Allah yang sempurna
sekaligus telah ditentukan untuk menjadi obyek iman dari mereka yang
percaya kepada Allah. Iman Kristen tidak dapat dipisahkan dari kematian
Kristus diatas kayu salib, kebangkiatan dan kenaikanNya.
Ketiga, terdapat hubungan ajaran Paulus tentang pengosongan diri
dengan ajaran Tritunggal. Ajaran Paulus tentang kenosis adalah berhubungan
dengan Tritunggal secara hakikat dan sustansi. Tidak ada keraguan untuk
menerima dan meyakini hal ini. Kematian Kristus diatas kayu salib adalah
dasar utama Allah memberi teladan dan mengajarkan kerendahan hati kepada
orang-orang percaya.
Keempat, evaluasi studi autographa Perjanjian Baru khususnya Filipi
2:5-11 memiliki implikasi terhadap bibliologis. Dimana evaluasi studi
autographa merupakan metode evaluasi yang bisa digunakan untuk
membuktikan bahwa Allah bersifat innerant. Untuk membuktikan
infalibilitas naskah asli kitab-kitab Perjanjian Baru dapat dibuktikan. Dan
juga untuk membuktikan bahwa Allah memelihara firmanNya. Terhadap
ilmu hermeneutik, implikasi dari evaluasi studi autographa merupaka langkah
awal yang harus dilakukan, sebelum dilakukan penafsiran. Karena melalui
evaluasi studi autographa seorang penafsir akan menemukan varian yang
sesuai dengan naskah aslinya, yaitu varian yang seharusnya ditafsirkan.
Sedangkan implikasi teologis adalah dimana didalam membangun satu
Teologi dari teks Alkitab, teks tersebut harus dipastikan sesuai dengan naskah
aslinya. Dan evaluasi studi autographa Perjanjian Baru merupakan metode
102
ISSN 2579-5678
yang obyektif yang bisa digunakan untuk menemukan teks yang sesuai
dengan naskah aslinya.
Saran
Pertama, ditunjukkan kepada para teolog, karena pada pundak para
teologlah terdapat tanggungjawab yang sangat besar sehubungan dengan
teologi yang benar yang harus dibagikan kepada umat-umat Allah. Para
teolog yang dimaksudkan adalah baik mereka yang terlibat dalam
penggembalaan jemaat, yang mengajar teologi di perguruan tinggi dan yang
terlibat dalam penulisan buku-buku teologi. Supaya mereka memiliki
keyakinan yang benar terhadap Alkitab sebagai sumber teologia yang benar.
Dimana Alkitab bisa diyakini sepenuhnya sebagai Firman Allah tanpa salah
dalam naskah aslinya dan menjadikan Alkitan sebagai sumber dari teologia
yang mereka pahami.
Sehubungan dengan ketiadaan naskah asli Alkitab dan ditemukannya
berbagai varian teks dalam naskah-naskah yang telah ditemukan. Dalam
melakukan penafsiran dan membagun satu teologi, hendaknya para teolog
melakukan evaluasi studi autographa secara obyektif dan seimbang terhadap
teks yang akan ditafsirkan. Karena sebelum menafsirkan satu teks atau
membangun satu pemahaman teologi dari teks tersebut, maka seorang
penafsir atau teolog harus memastikan bahwa teks tersebut sesuai dengan teks
aslinya.
Demikian juga kepada para pemula di dunia teologi yaitu mereka yang
sedang duduk di sekolah-sekolah tinggi teologi. Dimana di jaman modern ini,
dalam proses belajar banyak ilmu yang bisa ditimba oleh para pelajar.
Termasuk dari para teolog yang memiliki paham pemistis dan skeptis
terhadap Alkitab. Itu sebabnya hendaknya para pelajar yang sedang belajar di
sekolah-sekolah tinggi teologi, belajarlah seluas-luasnya. Tetapi tetaplah
miliki keyakinan yang kokoh terhadap Alkitab sebagai Firman Allah yang
tanpa salah dalam naskah aslinya. Karena ketidaksalahan Alkitab dalam
nakskah aslinya dapat diyakini sepenuhnya dan mau tidak mau pelajar yang
terjun di dunia teologi pasti akan terlibat dalam penafsiran Alakitab. Dalam
kegiatan penafsiran Alkitab seorang pelajar harus belajar menentukan mana
varian yang akan dia tafsirkan yang sesuai dengan naskah aslinya jika teks
103
ISSN 2579-5678
tersebut mengandung varian. Dan salah satu metode yang obyektif dan
seimbang yang ditawarkan dan diterapkan oleh para pelajar adalah evaluasi
studi autographa Perjanjian Baru.
Saran bagi setiap orang percaya adalah supaya setiap orang percaya
semakin kokoh meyakini Alkitab sebagai firman Allah. Apa yang sudah
dikerjakan Kristus merupakan alasan dan dasar Allah ketika membenarkan
orang berdosa. Hal ini memberikan sebuah keyakinan bagi kita yang beriman
kepada Yesus. Keyakinan ini bukan menjadi sekedar diketahui atau menjadi
pengetahuan belaka, melainkan untuk mendorang setiap orang percaya hidup
sesuai dengan rencana kekal Allah yang dinyatakan dalam firmanNya. Orang
yang berada di dalam Kristus hendaklah meneladani kerendah hati Kristus
dan semakin banyak orang yang datang kepadaNya karena kesaksian hidup
orang percaya.
DAFTAR PUSTAKA
_______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi,
Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya
Indonesia, 2013. Hal. 55
_______, Handbook to The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit.
Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686.
Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M.; Metzger, Bruce M.; Robinson,
Maurice.; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised
Edition (Interlinear with Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993;
2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald Greek Transcription, Bible Works 9)
Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal. 82.
Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Andi, 2008. Hal. 47-48.
Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang: Gandum
Mas, 2003), Hal. 59.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, Hal.
391.
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang:
SAAT, 1998), Hal. 134.
Jurnal Teologi Reformed Indonesia
Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9).
104
WASPADAI TANDA-TANDA AKHIR ZAMAN
“666” FIKTIF ATAU KENYATAAN
Oleh: Eliazer Nuban
I.
Pendahuluan:
Pada kehidupan sehari-hari, kita selalu menemukan tanda-tanda
tertentu yang yang bisa menggambarkan suatu even tertentu. Kalau itu
pernikahan ada ucapan selamat berbahagia, kalau itu kedukaan selalu ada
ucapan turut berdukacita.
Akhir zaman merupakan suatu topik yang selalu menyita perhatian
umat Tuhan dari masa ke masa. Ada yang membicarakan dengan doktrin
secara benar, tetapi ada yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
dengan maksud-maksud tertentu. Dan Alkitab memberitahukan kepada kita
tentang berbagai tanda sebelum kedatangan-Nya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa seringkali umat Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena
ternyata banyak yang tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka
666 dalam Wahyu 13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam
pertemuan dan seminar ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini
dalam tiga bagian yaitu: Tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali umat
Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena ternyata banyak yang
tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka 666 dalam Wahyu
13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam pertemuan dan seminar
ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini dalam tiga bagian yaitu:
A. Latar Belakang Kitab Wahyu
B. Pengertian Dari angka 666 Dalam Wahyu 13:18
C. Berbagai isyu dan sikap gereja dalam menghadapinya
D. Kesimpulan
ISSN 2579-5678
A. Latar belakang Kitab Wahyu
Judul Kitab ini dalam Bahasa Yunani adalah Apokalipypsis yang berarti
disingkapkan, dinyatakan, atau pembukaan tudung. Contoh: berhadapan
dengan makanan di meja makan. Namun kitab ini tampaknya tidak
menyediakan apa yang dijadikan oleh Judulnya, namun membingukan para
pembaca dengan berbagai gambar, figur, dan angka-angka yang ditemukan di
dalamnya. Namun diKitab terakhir Alkitab ini, Allah mengisinkan kita untuk
melihat sesuatu dari Kristus dan gereja-Nya di sorga dan di bumi, dan apa
yang kita lihat sungguh menakjubkan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa
seluruh Kitab Wahyu terarah kepada KOMPOSER UTAMANYA YAITU
ALLAH SENDIRI. Allah adalah Sang seniman ilahi, Sang Arsitek Agung.
Kitab ini disusun secara ilahi yang didalamnya Allah menyatakan pekerjaan
tangan-Nya. Perhatikan n beberapa hal penting:
1. Angka-angka dalam Kitab Wahyu
Ciri utama yang ditekankan dalam Kitab Wahyu adalah angka-angka
dan artinya:
a. Angka Satu menyatakan kesatuan yang orang Yahudi tetapkan
sebagai Kredo mereka: Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu
Allah kita, Tuhan itu Esa, Ulangan 6:4
b. Angka Dua adalah jumlah orang untuk menegskan kesaksian di
pengadilan, Wahyu 11:3
c. Angka Tiga melukiskan Allah Tritunggal
d. Angka Empat merujuk kepada ciptaan Allah seperti yang terbukti
arah angin dan empat musim dalam setahun
e. Angka Lima adalah angka bulat dan tidak terlalu memiliki arti
simbolis, Wahyu 9:5
f. Angka Enam melambangkan iblis yang berusaha meraih
kesempurnaan, tetapi selalu gagal mencapainya. Angka binatang
itu adalah 666, Wahyu 13:18
g. Angka Tujuh selalu melambangkan angka kegenapan.
h. Angka sepeluh berarti kepenuhan dalam sistem desimal
106
ISSN 2579-5678
i. Angka Duabelas berarti kesempurnaan, Dua belas suku Israel,
Dua bels Anak yakob, dua belas murid Tuhan Yesus.
j. Angka seribu merujuk kepada kumpulan orang banyak
2. Kontras-kontras
Dalam Kitab Wahyu penuh dengan dua kutub yang berlawanan
seperti:
a. Kristus vs Iblis
b. Terang vs Gelap
c. Kehidupan vs Kematian
d. Kasih vs Kebencian
e. Sorga vs Neraka
Dalam seluruh Kitab Wahyu kontras seperti ini muncul secara
detail. Contoh:
Yohanes menyatakan bahwa Allah Tritunggal sebagai Bapa, Anak
dan Roh dibandingkan dengan titunggal iblis yakni: Iblis,
Binatang Buas, dan Nabi Palsu.
3. Paralel
Disepanjang Kitab Wahyu terdapat rangkaian paralel yang berjumlah
tujuh. Contoh:
a. Tujuh surat ke Jemaat Asia Kecil
b. Tujuh Materai
c. Tujuh Sangkakala
d. Tujuh Cawan
4. Bahasa Kiasan
Sebagaimana Kitab Nubuat dan Kitab Hikmat Perjanjian Lama, maka
Kitab Wahyu juga mengandung beragam Simbol. Contoh:
a. Yohanes menyebut si – Ular tua sebagai iblis dan setan, Wahyu
12:9
107
ISSN 2579-5678
b. Yohanes menjelaskan air sebagai bangsa-bangsa dan rakyat
banyak dan kaum bahasa Wahyu 17:15.
5. Warna
Corak Warna yang disebutkan dalam Kitab Wahyu adalah:
a. Putih: Menunjukkan, kesucian, kemurnian, kemenangan, dan
keadilan
b. Merah: Warna Peperangan. Darah tercurah di atas bumi saat
penunggang kuda merah memakai pedang besarnya, Wahyu 6:4
c. Merah ungu
d. Hitam: Hitam melukiskan peperangan.
Seperti yang
diilustrasikan oleh harga makanan yang membubung tinggi.
(Sepucuk gandum sedinar, (Upah harian seorang pekerja). Warna
hitam juga melambangkan kegegalapan, ketika mata hari gagagl
memberikan terangnya.
e. Ungu. Ungu melambangkan kekayaan
f. Warna Emas menunjukkan kesempurnaan sorgawi
6. Makhluk
Yohanes memilih beberapa binatang sebagai ilustrasi suatu konsep.
a. Kuda yang ditunggangi
b. Anak domba yang disembeli
c. Mulut singa
d. Kaki Beruang
e. Kekuatan anak lembuh
f. Kecepatan macan tutul
108
ISSN 2579-5678
II.
Arti dari angka 666 dalam Wahyu 13:18 secara harafiah
William Barclay
William mengomentari angka "666" dalam Wahyu 13:18 untuk
mengungkapkan maknanya berhubungan dengan penjumlahan. Ia
mengatakan, "Angka 666 adalah sebuah kode yang berhubungan dengan
pejumlahan bilangan. Sekarang itu telah jelas dimanapun juga Kode itu
berhubungan dengan jumlah bilangan. Berdasarkan pernyataan William
Barclay ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah.
Foy E. Wallace
Wallace mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
angka latinisasi. Ia mengatakan, "bahwa ia menyetujui pendapat Irenaeus
bahwa "Angka 666 adalah angka latinisasi. Yaitu L=30, A=1, T=300, E= 5,
I=10, N=50, tertentu, A=1, B=2 dan seterusnya."4 Berdasarkan pernyataan
Wallace ini, ia menyatakan "666" sebagai Penerapan Lahiriah
Lehman Stranss
Stranss mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menyetujui
bahwa 666 adalah angka latinisasi. Ia mengatakan,"Angka 666 adalah angka
latinisasi dan nama latin bagi kaisar Nero adalah Neron dan bila di jumlah
N=50, E=6, R=500, O=60, N=50 dan jumlah seluruhnya adalah 666."5.
Berdasarkan pernyataan Lehman Stranss ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan lahiriah.
Donald Grey
Grey mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai angka
latinisasi. Ia mengatakan "bahwa Vespasian (69-79AD), Titus (79-81AD),
dan Domitian (81-96AD) bila di jumlah ketiga nama kaisar yang bermarga
Titus ini maka berjumlah 666 Berdasarkan pernyataan Donald Grey ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah.
109
ISSN 2579-5678
III.
Arti dan Makna Rohaniah
Vernon J. Mcgee
Mcgee mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
bilangan kuantitatif yang harus dibiarkan berdiri sendiri. Ia
mengatakan"Suatu nilai kuantitatif terikat dalam bilangan tersebut dan kita
harus membiarkannya berdiri sendiri. kita harus menyajikan Yesus Kristus
yang membuat kita berhasil melewati periode kesengsaraan yang besar.
Berdasarkan pernyataan Vernon J. Mcgee ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
Dave Hagelberg
Hagelberg mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
sebuah bilangan yang melambangkan ke tidak sempurnaan. Ia mengatakan
"Bilangan 666 melambangkan ke tidak sempurnaan sebagaimana bilangan
777 melambangkan kesempurnaan. Berdasarkan pernyataan Dave Hagelberg
ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. James L. Belvins.
James L. Belvins mengomentari bilangan "666" dalam Wahyu 13:18
sebagai bilangan simbolis untuk usaha manusia yang terbaik yang manusia
dapat lakukan. Ia mengatakan "Jika nama Yesus yang sama 888 dan 777
dipertimbangkan bilangan sempurna, maka makna 666 dimaksudkan untuk
menjadi bilangan simbolis untuk yang terbaik bagi usaha manusia yang
manusia dapat lakukan. Berdasarkan pernyataan James L Belvins ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah.
A.C. Gaebelein
Gaebelein mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan
menekankan bahwa 666 adalah bilangan manusia yang jatuh. Ia mengatakan,
"Saya beranggapan bahwa kita hanya perlu mengetahui bahwa bilangan 666
adalah angka manusia yang jatuh dan karenanya berarti ketidak sempurnaan.
Berdasarkan pernyataan A.C. Gaebelein ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
110
ISSN 2579-5678
Peter Wongso
Wongso mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
lambang serangan setan terhadap jemaat yang sifatnya terbatas dan tidak
sempurna. Ia mengatakan "Jikalau kita meneliti pemberitaan kitab Wahyu san
melihat adanya serangan setan terhadap jemaat semuanya sangat terbatas
sifatnya dan tidak sempurna. Berdasarkan pernyataan Peter Wongso ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah.
Louis T. Talbot
Talbot mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai Trinitas setan.
Ia mengatakan "bahwa trinitas enam yaitu untuk tiga serangkai setan
berlawanan dengan yang Trinitas tujuh yaitu tiga serangkai Tuhan.
Berdasarkan pernyataan Louis T. Talbot ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
Torrance
Torrance mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan
menekankan bahwa 666 adalah Setiap kejahatan yang sedang menanamkan
tabiatnya pada setiap pribadi manusia. Ia mengatakan "bahwa makna 666
adalah setiap saat kejahatan tersembunyi didunia yang membangun
patungnya dan menanam kesannya pada setiap pribadi, pikiran dan perilaku
umat manusia. Berdasarkan pernyataan Torrance ini, ia menyatakan "666"
sebagai penerapan rohaniah.
Eldon George Ladd
Ladd mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan
menekankan bahwa 666 hanya menonjolkan perbandingan anti Kristus dan
Kristus. Ia mengatakan "bahwa bilangan nama Yesus dalam bahasa Yunani
adalah 888. Kalau bilangan 888 dibandingkan dengan bilangan anti Kristus,
maka kontras antara yang benar dan yang palsu yang ditonjolkan.
Berdasarkan pernyataan Eldon George Ladd ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
111
ISSN 2579-5678
IV.
ANALISIS ALKITABIAH WAHYU 13:18
Kini saya akan coba menganalisis Wahyu 13:18 yang sering dikutip
sebagai penjelasan siapa dan lembaga yang mana menjadi AntiKristus di
akhir zaman. Pembahasan ini dibagi atas dua bagian besar, yaitu: A. Latar
belakang Wahyu 13:18, B. Analisis Wahyu 13 :18. Akhirnya, sebuah
rangkuman singkat.
Latar Belakang Wahyu 13:18
Latar belakang Wahyu 13:18 yang erat kaitannya dengan bilangan
666 adalah bagian dari kitab Wahyu secara keseluruhan yang menceritakan
adanya perperangan antara Kristus dan umat-umatnya melawan iblis dan para
pengikutnya. Untuk itu kita melihat sekilas apakah latar belakang kitab
Wahyu ditulis.
Kitab Wahyu sebagai kitab apokaliptik
Kitab Wahyu menutup Kanon dan sejarah Perjanjian baru. Kitab
Wahyu termasuk kelompok susastra yang dikenal sebagai Apokaliptik. Yang
khas dalam sastra Apokaliptik ialah pemikiran Allah berdaulat, yang pada
akhirnya ia akan campur tangan untuk melaksanakan kehendak-Nya yang
baik dan sempurna. Menurut Herberg Kitab Wahyu bahan gagasannya
dipengaruhi Perjanjian Lama khususnya kitab yang bersifat apokaliptik yaitu
Yehezkiel, Zakharia, Yoel, dan Daniel. Selain itu kitab Wahyu juga berisi
penglihatan-penglihatan Yohanes dan pengalaman-pengalaman pribadi
Yohanes.20
Kitab Wahyu adalah kitab apokaliptik yang biasanya menggunakan
bahasa simbolik atau lambang, impian-impian, dan penglihatanpenglihatan.21 Kitab Wahyu Sebagai rangkuman Kesimpulan Seluruh
Alkitab. Sebelum kita membaca Wahyu 13 ayat demi ayat, bahkan kata demi
kata secara seksama berdasarkan Kamus ilmu keselamatan, perlu diketahui
bahwa kitab Wahyu adalah yang terakhir yang berfungsi sebagai rangkuman
dan kesimpulan seluruh alkitab mulai dari kejadian sampai Yudas yaitu kitab
sebelum Wahyu.Dengan demikian, setiap semesta pembicaraan berdasarkan
situasi dan kondisinya patut diperhatikan. Berdasarkan pemahaman ini,
marilah sekarang kita membaca Wahyu 13. Wahyu 13 sebagai kerajaan ke-4.
112
ISSN 2579-5678
Binatang pertama (13:1-8)
Ayat pertama mengawali ceritanya berkata: Lalu aku (yang dimaksud
dengan aku adalah Yohanes yang pada saat itu sedang berada di pembuangan
atau penjara pulau Patmos - lihat Wahyu 1:9). Melihat artinya Yohanes
mendapat penglihatan dari Allah yang pada kamus dewasa ini film kartun.
Seekor binatang keluar dari dalam laut, kata laut di ayat sama dengan yangdi
Daniel 7 yang menggambarkan seluruh dunia dan bukanlah satu wilayah
geografis yang banyak penduduk. Daniel 7:2-3 mendata: Pada malam hari
aku mendapat penglihatan, tampak keempat angin dari langit
mengguncangkan laut besar, dan empat binatang besar naik dari dalam laut,
yang satu berbeda dengan yang lain, bertanduk sepuluh dan berkepala tujuh;
diatas tanduk-tanduknya terdapat sepuluh mahkota dan kepalanya tertulis
nama-nama hujat. Berdasarkan kamus kitab Daniel ini disebut kerajaan ke
empat. Berdasarkan Daniel 7 dinamakan binatang ke-4 yang bertanduk 10+13 jawabnya bukan 8 tapi sama dengan yang di Daniel 2:43 yaitu namun
menggambarkan situasi dunia yang tidak pernah akan merupakan kesatuan,
seperti besi tidak bercampur dengan tanah liat itulah realita dunia di zaman
muktahir ini. Berdasarkan Daniel 8 dan 11 memiliki ciri-ciri tanduk kecil
yang tidak lain adalah sistem antikristus (Yesaya 14:12-13). Yang dimaksud
dengan tertulis nama-nama hujat yaitu tertulis adalah mengartikan budaya
yang mapan dan paten. Nama mengartikan sifat atau tabiat. Hujat tentunya
berindikasi kotor, najis, memiliki niat dan motivasi palsu. Lihat saja krjadian
3:1 dimana Si Ular tua alias Iblis dan satan berbicara hujat terhadap Allah
(Wahyu 12:9). Ayat kedua sampai ayat ke delapan kita melihat sebuah
penampilan lambang Babilon, Media Persia, Yunani di dalam lambang
Romawi di Wahyu 13:1-2 yang menjelaskan bahwa ketiga kerajaan ini akan
terus tampil melalui sifat dan filsafat hidup Yunani, Media Persia, dan
Babilon didalam kehidupan Romawi.
Perlu ditambahkan berdasarkan 1Petrus 5:13 yang menyatakan:
Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon.
Yang dimaksud Babilon adalah Romawi yang memiliki sifat dan tabiat
babilon alias budaya babilon yang bermula di Kejadian 10-11. Di dalam kitab
Wahyu nama kota Babel ini muncul 6 kali, lihat Wahyu
14:8;16:19;17:5;18:2,10,21. Yang dimaksudkan Babel bukanlah perkara
113
ISSN 2579-5678
geografis melainkan yang hubungannya dengan Budaya, sifat, tabiat, yang
berlawanan dengan sang pencipta.
Berbagai pandangan juga menyetujui pandangan diatas yaitu Fowler
berpendapat binatang yang pertama menggambarkan persatuan gereja-negara
yang mendominasi dunia Kristen selama berabad-abad dan telah
digambarkan oleh Paulus sebagai "manusia durhaka" (2Tes.2:2-4).22
Groen berpendapat iblis meniru Karya Tuhan dan menampakkan
dirinya sebagai Allah. Binatang yang dimunculkan dari laut adalah mesias
palsu, yang menyesatkan dunia. Ia meminta dirinya disembah dan pada
akhirnya membawanya manusia untuk menyembah Iblis dan menentang
Allah.23
Wongso berkomentar Mesias Palsu akan memimpin umat manusia
menentang yang maha tinggi, dan berusaha membinasakan umat Allah.
Namun karena usahanya memiliki keterbatasan maka itu tidak akan pernah
berhasil. Sesuatu hal yang perlu dilakukan umat Allah memasyurkan Injil
keselamatan keseluruh bangsa.24 Semua pandangan diatas menekankan
bahwa penampilan binatang pertama memiliki tabiat babel yaitu menentang
Allah.
Binatang Kedua (13:11-17)
Stefanovic berkomentar Yohanes sekarang berbalik perhatiannya ke
binatang yang kedua yaitu binatang yang keluar dari bumi. Seperti binatang
yang pertama, Yohanes juga memberi karakteristik yang umum tentang
binatang yang keluar dari bumi (13:11), dan kemudian pindah ke suatu uraian
tentang bagaimana aktivitasnya. 25 Selanjutnya sebagai gambaran yang lain
tentang situasi planet bumi melihat film kartun seekor bintang lain keluar dari
dalam bumi. Pengertian bumi disini adalah universal atau seluruh dunia
sebagaimana di kejadian 1 dan 2 adalah langit dan bumi dalam arti bumi dan
lingkungannya, yang mana di Wahyu 14:7 berbunyi Langit dan bumi dan laut
dan semua mata air yang intinya adalah seluruh dunia atau Global atau
Universal. Makna bertanduk sama seperti anak domba adalah system
kekuasaan yang kelihatan seperti domba yang lemah-lembut tapi sebenarnya
bersifat diplomatis. Mengapa? Karena ia penguasa yang mengandalkan diri
sebagai mana tabiat naga. Arti berbicara seperti seekor naga sifatnya adalah
114
ISSN 2579-5678
licik seperti yang terjadi di kejadian 3. Wahyu 13:11-17 Yohanes berusaha
menampilkan adanya pengajar-pengajar palsu yang memiliki budaya yang
sama dengan kekuasaan tanduk kecil yaitu system tanduk kecil yaitu
protestan murtad. Protestan sejati memiliki semboyan hidup Sola Scriptura
yang artinya Alkitab adalah satu-satunya ukuran kebenaran dan kehidupan
iman kristiani.
Selanjutnya Pos bekomentar binatang kedua adalah nabi palsu yang
membawa manusia menyembah kepada binatang pertama sekaligus kepada
Iblis. Ia juga menunjukkan mujisat-mujisat. Pada saatnya semuanya
dibinasakan Allah dengan segenap kuasanya bila sudah tiba waktunya. Pada
dasarnya Yohanes ingin menmpilkan bahwa pengajar-pengajar palsu ini
memang melakukan hal-hal yang menaljubkan dari segi lahir namun hal ini
bukanlah dasar penilaian Raja Surga yang sejati. Yang menekankan pada
filsafat atau budaya hidupnya apakah mereka memiliki filsafat kosong dan
palsu yang menampilkan ibadah formalitas yaitu liturgi atau filsafat dan
budaya sorga yang menampilkan ibadah sejati yaitu ibadah yang berdasarkan
budaya hidup. Hal ini didukung oleh pendapat Rodriquez mengungkapkan
pencobaan-pencobaan yang mengherankan yang kita hadapi sebelum dunia
ini menuju kematian terakhir. Diharapkan, kita sudah melatih perjalanan
kerohanian setiap hari besama juruselamat kita, Pemenang dalam
pertentangan besar.
Kesimpulan (13:9-10, 18)
Berdasarkan Wahyu 13:9 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!
Pernyataan Firman Allah ini adalah kata-kata Roh Kudus agar menerapkan
makna Wahyu 1:3 yang berbunyi Berbahagialah ia yang membaca yang
artinya adalah bahwa mereka yang mendengarkan kata -kata nubuat ini, pasti
akan menuruti apa yang ada tertulis didalamnya, sebab waktunya sudah dekat.
Tentunya hal ini akan berlangsung karena Aksioma yang tertulis di Ibrani
11:3 Karena iman kita mengerti. Mengapa demikian? Roma 10:17
menegaskan Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman
Kristus.Dan ini dapat menjadi budaya hidup umat Allah yang selalu dituntun
115
ISSN 2579-5678
Roh Kudus (Roma 8:14). Pada ayat selanjutnya Disini ditampilkan adalah
himbauan Raja Surga kepada manusia yang memiliki kuasa memilih untuk
ditawan atau dibunuh oleh pedang. Namun Yang penting adalah bila kita setia
kepada pencipta kita akan memiliki ketabahan yang hanya dapat dibudayakan
karena iman orang-orang kudus.
Pada ayat 18 sebagai kesimpulan yang menekankan bahwa Enam adalah
lambang orang yang selalu tidak akan sempurna seperti Tuhan adalah
sempurna. Tuhan akan membinasakan yang berkeberatan untuk menerima
Kristus sebagai Juruselamat. Binatang buas yang kedua datang, orang harus
menolak tandanya.
Hal ini juga coba ditampilkan Flower dalam komentarnya yang menyatakan
bahwa usahanya yang terakhir untuk membinasakan Allah dan gerejanya,
setan akan mengilhami cara yang akan diciptakan oleh kedua bintang itu
untuk mengubah hukum Allah, dan menganiaya umat yang setia kepadanya
Jadi yang perlu ditampilkan adalah usaha Setan untuk membinasakan umat
Allah namun yang penting adalah ketabahan yang hanya dapat dibudayakan
karena iman orang-orang kudus.
Analisis Wahyu 13:18. Apa dan siapa "Hikmat"
Mathias berkomentar Hikmat adalah sifat dan mutu Allah yang
membuat Ia sanggup menciptakan dan mengendalikan segala hal (Amsal
3:19). Hal ini juga yang membuat manusia dapat berhasil (Amsal 4:5-11).
Guthrie berkomentar Kristologi hikmat Paulus adalah suatu konsepsi yang
dinamis, Allah membuat Yesus menjadi hikmat kita, suatu hikmat yang lebih
jauh diterangkan sebagai merangkumi pembenaran, pengudusan, dan
penebusan.
Sadrak Kurang Wahyu 13:18 Yang penting di sini ialah hikmat maksudnya
adalah Yesus Kristus sebagai jalan Kebenaran menuju hidup sejati (Yohanes
14:6; Korintus 1:24; 2:7-9; Amsal 3:13-18).
Siapa Yang Bijaksana
Yus Badudu berkomentar Bijaksana adalah pandai dan berbudi tinggi, tajam
pikiran; Arif. Pengertian ke dua adalah Pandai menempatkan sesuatu pada
116
ISSN 2579-5678
tempatnya berkat pengalaman dan pertimbangan yang matang. Pengertian ke
tiga adalah Dia dapat mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.
Silitonga berkomentar Yang bijaksana bersifat sorgawi dan
memusatkan hidupnya pada Yesus Kristus, sedangkan yang bijaksini bersifat
duniawi dan memusatkan pada diri (Matius 25:1-13). Dengan demikian, siapa
yang bijaksana yaitu mengandalkan Firman Raja Sorgawi sebagai Kesaksian
Yesus yang sama dengan Roh Nubuat.
Hailey berkomentar Maksud yang bijaksana adalah pemahaman wahyu, dan
mereka dapat menemukan arti dari banyaknya binatang buas itu didalam
Alkitab.
Dan sebagai kesimpulan Yang Bijaksana maka kita harus
menghubungkannya dengan perkataan Daniel di Daniel 9 dan 12 Yang
Bijaksana adalah orang yang mempertimbangkan Firman Tuhan (Dan 9:23)
dan yang Memahaminya. Yang bijaksana juga telah ditampilkan oleh Yesus
Kristus melalui perumpamaan lima gadis yang bodoh dan lima gadis yang
bijaksana. Pada dasarnya semuanya menekankan siapa yang mengandalkan
Firman Tuhan sebagai kesaksian Keistus yang sama dengan Roh Nubuat.
Arti Menghitung
Stefanovic berkomentar Yohanes tidak menghimbau pembaca di sini
untuk berlatih kemampuan intelektual atau matematika ketrampilan, tetapi
lebih untuk mencari perbedaan Allah dan Iblis dalam tabiat atau karakter
binatang buas untuk melindungi diri mereka dari penipuan setan.
Philips berkomentar menghitung yang dimaksudkan bukan mencari hitungan
atau mengurai bilangan ini seperti teka-teki, tetapi memikirkan dan
merenungkannya agar kita paham maksud Allah.
Silitonga berkomentar menghitung disini mempertimbangkan bilangan
binatang itu dengan menggunakan matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan
dan bukan matematika rendahan yaitu hanya menjumlah.
Dan sebagai kesimpulan menghitung maka kita akan menganalisa arti kata
menghitung disini bahasa inggrisnya Count dan bahasa Yunaninya ialah
psephizo, di perjanjian baru count digunakan hanya dua kali yang pertama di
Lukas 14:28 yang artinya anggaran biaya atau perencanaan. Bila kita melihat
diayat 31 maka kita akan melihat kata mempertimbangkan yang ada
117
ISSN 2579-5678
hubungannya dengan kata perencanaan. Dan arti Count adalah
mempertimbangkan. Jadi arti Menghitung adalah mempertimbangkan.
Arti Bilangan
Exell berkomentar bilangan binatang di dalam ayat ini, bukanlah suatu
label eksternal, suatu teka-teki ataupun matematika, tetapi amat sangat
dihubungkan dengan karakter dan hidup itu binatang buas itu.
Silitonga berkomentar bilangan binatang = ciri-ciri manusia (angka 6 yang
sempurna adalah bilangan manusia), karena manusia dan bintang diciptakan
hari ke-6. Selanjutnya bilangan anti Kristus tampil di Daniel 3 jumlahnya 66
(Patung manusia yang tingginya 60 hasta dan lebar 6 hasta), kemudian
bilangan binatang = ciri-ciri antikristus di zaman akhir akan lebih hebat lagi
karena angkanya ialah 666
Lewis berkomentar ungkapan" bilangan binatang buas" berartilah,
bahwa bagaimanapun juga bilangan ini menjadi sangat dihubungkan dengan
binatang buas, atau akan sangat menghadirkan karakter, "binatang buas" akan
dikenali sesuai perilaku atau tabiatnya. Makna 666. Angka 6 ini di Kejadian
1 dan di Daniel 3 adalah 66, maka angka ini berhubungan erat dengan sifat
Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13).
Dan pada Wahyu 13 :18 adalah 666. Artinya angka 6 adalah
ketidaksempurnaan manusia sehingga memberontak menentang Allah di
Kejadian 11 melalui pembangunan menara babel. Pada kitab Daniel 3 maka
kita dapat melihat penampilan 66 yang wujudnya adalah patung emas. Yang
menekankan menentang rencana Yang Maha Tinggi. Dan dizaman akhir ini
akan ada peningkatan menjadi 666 yang artinya kejahatan akan bertambahtambah.
Hal tersebut dinyatakan oleh Yesus didalam Matius 24:37 bahwa
keadaan dunia akan seperti pada zaman Nuh. Bagaimanakah keadaan
manusia pada zaman Nuh? Kejadian 6: 5 yang menyatakan bahwa kejahatan
manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan. Jadi 666 adalah kejahatan yang besar dibumi.
Dari pembahasan di atas maka berikut rangkuman ringkasnya, latar belakang
Wahyu 13:18 dari Wahyu 12:1-13:17 yang menekankan adanya Trinitas
palsu yang terdiri dari Iblis, Mesias palsu, Nabi Palsu yang bertujuan untuk
118
ISSN 2579-5678
menentang Allah. Dalam Struktur Wahyu 13:18 maka kita akan melihat ada
tiga bagian struktur yaitu Binatang Pertama, Binatang Kedua, dan Ciri-ciri
binatang. Semuanya menekankan kesatuan Trinitas Iblis melaui tabiat dan
perilaku Babel.
Analisis dan tafsiran Wahyu 13:18 Jadi "Hikmat" disini adalah Yesus
Kristus, bersama dengan Yesus kita pasti menjadi manusia ciptaan baru yang
berhikmat.
Makna Yang Bijaksana adalah Umat Allah mempertimbangkan dengan
matang bilangan bintang itu, serta pengertiannya harus dipusatkan kepada
Yesus untuk menemukan pehaman Wahyu tentang bilangan binatang
tersebut. Dan makna menghitung yang dimaksudkan bukanlah menjumlah
melainkan mempertimbangkan bilangan binatang itu dengan menggunakan
matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan. Selanjutnya makna bilangan
binatang adalah ciri-ciri binatang tersebut yang menyatakan tabiatnya yang
semakin menunjukkan ketidaksempurnaan dalam segala hal, baik dalam
tabiat maupun dalam setiap rencana untuk menentang Allah.
Sebagai kesimpulan maka cara membaca Wahyu 13:18 adalah sebagai
berikut: Melihat angka 6 ini di Kejadian 1 dan Daniel 3, maka angka ini
berhubungan erat dengan sifat Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku
Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13). Inilah gambaran kekuasaan antikristus di
zaman akhir sebagaimana yang dinyatakan di Wahyu 17 melalui perempuan
pelacur yang duduk diatas binatang. Tandingannya perempuan murni yang di
Wahyu 12yang menjadi gambaran umat Raja Surga yang setia yaitu budaya
Yerusalem Baru di Wahyu21(Lihat Efesus 2:19-22). Mulai kejadian samapai
Wahyu yang namanya kejahatan manusia semakin bertambah-tambah dan
semakin meningkat.
V.
BERBAGAI ISYU YANG SEDANG TERJADI BEBERAPA
DEKADE TERAKHIR INI:
Waspadalah!
Pada tahun 1996 dihasilkan sebuah perjanjian yang dibuat oleh
"Gemplus" untuk memproduksi smartcard dengan implementasi sistem
119
ISSN 2579-5678
Mondex untuk dipakai di seluruh dunia. AT&T / Lucent Technologies
membeli ijin pengoperasian
Mondex di Amerika Serikat. Logo perusahaan ini memakai simbol dari Ular
Naga Matahari atau Naga Merah yang adalah iblis sendiri. Lucent sendiri
adalah singkatan dari Lucifer Enterprises (perusahaan milik Lucifer), yang
singkatan tersebut dibantah oleh mereka, namun mereka tetap memakai nama
tersebut meskipun mereka tahu arti singkatan yang dikatakan oleh banyak
orang. Jika mereka adalah seorang Kristen, pastilah mereka mengganti nama
Lucent jika banyak orang mengartikan singkatannya seperti di atas.
Disamping itu, perusahaan ini begitu mencolok dalam memberikan nama
untuk produk-produk mereka seperti: Styx (sungai di Hades), Janus (illah
berwajah dua) dan Inferno. Yang dipromosikan dari Inferno adalah sebuah
cerita tentang iblis di neraka, lingkaran api yang menandakan dewa kuno.
Perusahaaan ini memilih untuk memindahkan kantor mereka ke Fifth Avenue
666 di Manhattan.
Pada bulan Juni, 1998 (tanggal siaran pers MasterCard / Mondex)
Mondex menyatakan bahwa sistem kartu Mondex adalah "satu-satunya
sistem tunai elektronik di dunia untuk beroperasi dengan Teknologi Global
Tunggal Yang Memungkinkan Untuk Pembayaran Lintas Batas. Hal Ini
Memungkinkan hingga lima mata uang yang berbeda harus dilakukan pada
kartu pada satu waktu di saku elektronik yang terpisah ". Press release juga
menyatakan bahwa Mondex pada tahun 1998 telah digunakan di 23
implementasi (tes atau pilot) di seluruh dunia termasuk Australia, Kanada,
Hong Kong, Kosta Rika, Filipina, Inggris dan Amerika Serikat
Mondex singkatan dari Monetary and Dexter. Berdasarkan Webster’s
Dictionary Encylopedia (kamus Webster), arti kata-kata tersebut adalah:
Money: Segala sesuatu yang berhubungan dengan uang… Dexter:
Menunjukkan lokasi yang ada di tangan kanan manusia.
120
ISSN 2579-5678
Contoh
Contoh logo Mondex
Lambang kartu kredit 666
Perkembangan teknologi selalu bertujuan untuk membangun kehidupan
manusia namun dalam perkembangannya belum tentu teknologi itu
digunakan untuk menunjang dan membangun iman kepada Tuhan Yesus.
Karena itulah Tuhan menyatakan lebih dahulu akan siasat dan rencana iblis
atas dunia ini. Tujuan iblis selalu sama yaitu mencuri, membunuh dan
membinasakan. Ketika iblis berhasil mencuri teknologi, dia akan berusaha
menggunakannya menjadi alat untuk membunuh dan membinasakan
121
ISSN 2579-5678
manusia. Waspada dan berjaga-jagalah karena hari Tuhan sudah semakin
dekat, lebih dekat dari hari kemarin. "Karena itu, perhatikanlah dengan
seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti
orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah
jahat". (Efesus 5:15-16)
666 Global Cashless Society
Saat ini Amerika Serikat sudah mencapai 95% Cashless. Penelitian
menunjukkan bawah kurang dari 5% pemakaian uang dolar kertas dan koin,
dari total jumlah nilai uang yang beredar. Artinya adalah bahwa 95% dari
perputaran uang masyarakat Amerika dilakukan dengan atau melalui suratsurat berharga dan kartu-kartu kredit, dan hanya 5% dari seluruh nilai
transaksi yang menggunakan uang Cash untuk membeli dan menjual. Kitab
Wahyu menjelaskan bahwa akan terjadi pemakaian tanda "666" yang
ditempelkan dibawah kulit tangan kanan atau di dahi, agar setiap manusia
yang hidup didalam kerajaan dunia Antikris akan mudah dikontrol. Dan
ditahun-tahun terkahir ini para ilmuwan untuk pertama kalinya dalam sejarah
manusia, mengembangkan teknologi "Bio-chip Micro Computer", komputer
berukuran super kecil, untuk ditanamkan pada lokasi tangan kanan atau dahi
manusia (penelitian menunjukkan kedua lokasi tersebut merupakan tempat
yang paling ideal untuk menanaman Bio-chip).
Kesimpulan
Ada beberapa pendapat yang dikutip sebagai kesimpulan dalam seminar ini:
Beredarnya microchip Mondex dengan tanda “666” dianggap oleh
sebagian umat sebagai teknologi dari kelompok antikris, yang tujuannya
untuk menguasai manusia agar tunduk dalam kekuasaan kelompok ini.
Microchip mondex yang ditanamkan di dalam tubuh manusia menjadi alat
untuk mengontrol terhadap para pemakainya, ini memberi keyakinan bahwa
telah terjadi penggenapan terhadap Wahyu 13:16-18, seperti dikutip di awal
tulisan ini. Benarkah?
122
ISSN 2579-5678
1. Pdt Sukanto Limbong
Pdt. Limbong mengartikan angka 666 dalam Wahyu 13:16-18, sebagai
salah satu bahasa simbol yang dipakai untuk kuasa gelap, penguasa yang
bengis. Simbol ini sengaja dipakai untuk mempermudah komunikasi dan
pemahaman orang percaya pada waktu itu, yang sedang mengalami tekanan
yang sangat luar biasa dari musuh-musuh. Untuk itu, “Jangan jadikan Wahyu
13:18 menen-tukan nasib dari setiap angka 666 yang lain,” cetus pendeta
lulusan Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Nommensen, Pematang
Siantar, Sumatera Utara, bidang Perjanjian Lama ini.
2. Pdt. Yuda D Mailool
Pdt. Yuda berpendapat bahwa angka 666 itu memiliki fungsi sebagai alat
transaksi, untuk menjual dan membeli. Artinya Angka 666 itu fungsinya
seperti uang, dalam konteks saat ini. Dalam masa pemerintahan antikris, atau
masa kesusahan, tidak akan ada lagi uang. Uang telah diganti dengan alat
transaksi lain, yaitu angka chip 666. “Angka 666 disebut sebagai angka
binatang, ini nanti setelah rapture (pengangkatan),” tambah pendeta lulusan
STT Inalta, Jakarta ini meyakinkan.
3. Ev. Yuzo Adhinarta,
Ev. Yuzo adalah dosen Theologi Sistematika Sekolah Tinggi Theologi
Reformed Injili Indonesia (STTRII), Jakarta, menanggapi, bahwa jika antikris
menggunakan angka 666 yang sudah diketahui orang banyak terlebih dahulu,
maka antikris yang sedemikian pastilah kurang cerdik. Alasan Yuzo,
“Penghasut yang lihai tidak akan menghasut terang-terangan, bukan? Maling
berteriak maling itu banyak kali terjadi, tapi maling yang memberitahukan
kapan dia akan beraksi dan tanda-tanda yang dia kenakan ketika beraksi itu
adalah maling yang bodoh”. Bilangan “666” merupakan “tanda” yang
diberikan oleh “binatang” (Wahyu 13:15) kepada mereka yang menyembah
dan mengikutinya. Binatang ini dikatakan keluar dari dalam bumi dan
bertanduk dua sama seperti anak domba. Artinya dia adalah roh antikris yang
memalsukan Kristus, tampil seperti Kristus tapi tidak membawa orang kepada
Kristus, melainkan untuk menyembah dirinya sendiri.
123
ISSN 2579-5678
Lambang kegagalan
“Binatang” tersebut adalah roh antikris yang melawan Allah, menolak
Kristus, dan menganiaya Kristus serta para pengikut-Nya, di mana pun dan
kapan pun dia beraksi. Dan setiap orang yang terhasut dan menyembahnya
akan diberi tanda bilangan tersebut. Dan tanda bilangan tersebut diberikan di
“dahi” sebenarnya menunjukkan bahwa orang yang memiliki tanda tersebut
mengikut dan menyembah sang antikris dengan pikiran, filsafat, dan alam
rasionya, sedangkan di “tangan kanan” bisa diartikan sebagai tingkah laku,
perbuatan, praktek bisnis, dan apa pun buah tangan orang yang hidupnya
menyembah dan mengikut antikris. Sedangkan angka “6” itu adalah bilangan
yang tidak pernah mencapai “7”. Jika “7” adalah bilangan yang
melambangkan kesempurnaan di dalam Alkitab, maka “6” adalah bilangan
yang melambangkan kegagalan, “miss the mark” (hamartia). Simbol “666”
artinya “kegagalan demi kegagalan.” Ini adalah tanda bahwa karya si jahat
tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan akan selalu gagal di dalam
sejarah. Yuzo mengatakan bah-wa ada banyak tafsiran yang atraktif dan
heboh berkaitan dengan bilangan “666” ini, yang ke-banyakan berusaha
mengidentikkan bilangan tersebut dengan gerakan, kuasa, atau individu
tertentu yang pernah hadir dalam sejarah. “Mungkin microchip Mondex
adalah model terbaru dari penafsiran semacam ini. Tapi penafsiran semacam
ini gagal melihat bahwa realitas antikris itu bukan hanya satu, melainkan
banyak, dan bahwa setiap antikris memiliki cara yang beragam, dan tidak bisa
diidentikkan dengan satu tanda saja. Jadi yang penting di sini adalah makna
dari tanda tersebut, dan bukan identifikasi tanda tersebut,” ungkap direktur
program master teologi STTRII ini.
Jangan Pernah Menerima Chip Antikris Ini, Karna Jika Kamu
Menerimanya, Kamu Akan Bahagia Sesaat Dan Akan Sengsara Selama
Lamanya (Menyakitkan [Disiksa Di Neraka] Selama-Lamanya).
Sementara Jika Kamu Tidak Menerimanya, Kamu Akan Sengsara
Sesaat (Itu Pun Tidak Menyakitkan) Dan Kamu Akan Bahagia SelamaLamanya Di Akhirat.
124
ISSN 2579-5678
Sumber Bahan
1. Wahyu 13:18 mengatakan, "Maka inilah "hikmat". Biarlah orang yang
mengeti, menghitung bilangan binatang itu; karena itulah bilangan
manusia. Adapun jumlahnya itu enam ratus enam puluh enam.
2. Penerapan lahiriah yang dimaksudkan menekankan makna yang
menggunakan matematika. Hal ini mencakup pernyataan yang menuduh
sebuah organanisasi, nama, lembaga, dan agama sebagai pelaku 666.
Salah satu penerapan yang saya dapat tampilkan bahwa 666 mewakili
Vicarius Filii Dei, Arti" wakil putra Allah," gelar untuk Paus di Roma.
Penerapan rohani berfokus pada penafsiran yang mengunakan hikmat
sorgawi. Penerapan rohani ini berarti juga mengutamakan budaya hidup
dalam arti tabiat seseorang. Menekankan bahwa anti Kristus disini
bukanlah melambangkan sebuah organanisasi, nama, lembaga, dan
agama sebagai penerapan 666 melainkan siapa saja dapat menjadi
antikristus. Misalnya "jika nama Yesus yang sama dengan 888 dan 777
dipertimbangkan bilangan sempurna, maka makna 666 dimaksudkan
untuk menjadi bilangan simbolis untuk yang terbaik bagi usaha manusia
yang manusia dapat lakukan."
3. Barclay, William. The Revelation of Jhon Vol.2. (Philadelphia: The
Westminster Press, 1960), 132.
4. Wallace, Foy E. The Book of Revelation. (Texas: Foy E. Wallace. Jr.
Publication, 1966), 299.
5. Stranss, Lehman. The Book of the Revelation. (New Jersey: Loizeaux
Brothers, 1972), 257.
6. Grey, Donald. Revelation an Expositional Comentar, (Michigan: Ministry
Resources Library, 1979), 249.
7. Helwig, Andreas. Antichristus Romanus, In Propiprio Suo Nomone,
Numerum Illum Apovalipticum (DCLXVI) Continente Proditus.
(Witteberue: Typis Cautentij Seuberlics, 1612), Sig A3V.
8. Haskel, Stephen. The Story of th Seer of Patmos. (Washington D.C: Press
of South Laancester Printing Company, 1905), 235.
125
ISSN 2579-5678
9. Burkill, T.A. Misterious Revelation. (New York: Cornel Universitas
Press, 1963), 170.
10. Philips, Jhon. Exploring Revelation. (Chicago: The Moody Bible Institute
of Chicago, 1974), 184.
11. McGee. J. Vernon. Revelation Volume II. (California: The Bible Books,
1980), 193-194.
12. Hagelberg, Dave. Tafsiran kitab wahyu dari bahasa Yunani. (Yogyakarta:
Yayasan Andi, 1997), 260-261.
13. Belvins, L James. Revelation. (Atlanta: Jhon Knox Press, 1984), 65-68.
14. Gaebelein. A.C. Revelation. (New York: Publication Office "Our Hope",
1915), 84.
15. Wongso, Peter. Eksposisi Doktrin Alkitab kitab wahyu. (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), 619-621.
16. Talbot, T Louis. An Exposition On the Book of Revelation. (Michigan:
William B. EERDMANS Publishing Company, 1989), 176.
17. Preiffer, F Charles. Tafsiran Alkirab Wycliffe Jilid 3. (Malang: Yayasan
Penerbit Gandum Mas, 2001), 1124-1125.
18. Ladd, Eldon George. The Revelation of Jhon. (Michigan: William B.
EERDMANS Publishing Company, 1972), 187.
19. Douglas, J. D. Ensklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih GMF, 1996), 537-539.
20. Haag, Herberg. Kamus Alkitab, (Flores: Penerbit Nusa Indah - Percetakan
Arnoldus, 1980), 462-464.
21. Tenney, C. Merrill. Survei Perjanjian Baru, (Malang: Yayasan Penerbit
Gandum Mas,1997), 473.
22. Fowler, M. Jhon, Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa:
Pertentangan Semesta antara Kristus dan Setan, (Bandung: Indonesia
Publishing House, 2002), 92.
23. Groen, P D Jacob. Aku Datang Segera, (Surabaya: Momentum Christian
Literature,2002), 175-184).
24. Wongso, Peter. Eksposisi Doktrin Alkitab kitab wahyu, (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996),578.
126
ISSN 2579-5678
25. Stefanovic, Rangko. Revelation Of Jesus Christ, (Michigan: Andrews
University Press, 2002), 413.
26. Pos, A. Tafsiran Wahyu, (Jakarta: Basan Penerbitan Kristen, 1966), 131135.
27. Rodriquez, Angel. PedomanPendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa
Penuntun Guru: Nubuatan-Nubuatan Besar Apokaliptis, (Bandung:
Endonesia Publishing House, 2002), 121.
28. Harlow, R. E., Revelation The Coming King, (Canada: Every day
Publication Inc, 1984), 76.
29. Flower, M. Jhon, Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa:
Pertentangan Semesta antara Kristus dan Setan, (Bandung: Indonesia
Publishing House, 2002), 92.
30. Mathias, Billy, Ensklopedi Alkitab Praktis, (Bandung: Lembaga Literatur
Babtis, 1992), 51.
31. Mathias, Billy, Ensiklopedi Alkitab Masa kini jilid 1, (Malang: Gandum
Mas)
32. Silitonga, H. S. P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT.
Prosa Media Prima, 2005), 230.
33. Badudu, J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan
Sinarhatapan, 1994), 183.
34. Silitonga, H. S. P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT.
Prosa Media Prima, 2005), 230.
35. Hailey, Holmer, Revelation, (Michigan: Baker book house, 1979), 298.
36. Stefanovic, Rangko, Revelation of Jesus Christ, (Michigan: Andrews
University Press, 2002), 413.
37. Philips, Jhon, Exploring Revolution, (Chicago: The Moody Institute of
Chicago, 1974), 184.
38. Silitonga, H.S.P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT.
Prosa Media Prima,2005), 230.
39. Ibid.
40. Exell, S. Josep, The Biblical Illustrator Vol. 12, (Michigan: Baker book
House, 1970), 466.
127
ISSN 2579-5678
41. Silitonga, H.S.P., Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT.
Prosa Media Prima,2005), 230.
42. Lewis, W. S., The Pulpit Comentary jilid Vol2, (New York: Funk and
Wagnalls Company, 1950), 324
128
SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI
INJILI DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN
ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI
Oleh: Suranto1
ABSTRAK
Istilah spiritualitas dalam bidang keagamaan memiliki tempat dan
perhatian yang khusus, karena setiap institusi atau insan keagamaan memiliki
orientasi yang sama yaitu bagaimana caranya membangun spiritualitas atau
kerohanian yang baik. Oleh karena setiap aliran, mashab dan apapun namanya
yang menunjukkan edentitas kelompok kegamaan memiliki kekhasan
masing-masing maka begitu pula pola dan cara pengembangan spiritulitaspun
memiliki kekhasan masing-masing. Teologi Injili yang adalah salah satu dari
aliran itu memiliki kekhasan dalam konsep dan praktika spiritualitas.
Paper ini mengungkap bagaimana konsep, dasar dan pola
pengembangan spiritualitas dalam perspektif teologi Injili kemudian ditarik
penerapannya bagi pembinaan rohani di pendidikan teologi. Sehingga
diharapkan dapat menolong untuk memahami pada tataran konsep dan
praktika bagi praktisi pendidikan teologi dalam mengembangkan kerohanian
baik secara individu maupun dalam komunitas.
1
Penulis adalah pengurus bidang akademik Yayasan Misi Remaja Internasional di
Indonesia dan dosen luar biasa di STT/STAK BMW di Indonesia. Menekuni bidang
Pendidikan Agama Kristen secara khusus dalam bidang Pengembangan pendidikan Teologi,
sedang menempuh studi konsentrasi pendidikan Kristen di program Doctoral Institut Injili
Indonesia, Batu-Malang.
ISSN 2579-5678
BAB 1
LATAR BELAKANG MASALAH
Spiritualitas atau kerohanian merupakan topik yang menarik dan
menjadi perhatian khusus bagi kalangan Gereja, hamba Tuhan dan
pendidikan teologi sebagai tempat pembentukan hamba Tuhan. Kualitas
rohani seseorang sekalipun beragam indikatornya menjadi bagian penting
untuk dilihat sebagai pertimbangan untuk berbagai kepentingan, seperti
pemilihan gembala sidang suatu gereja, pemilihan pemimpin dan sebagainya.
Pendidikan teologi dan Agama Kristen (PTT/AK) memiliki kekhasan
yang unik karena biasanya PTT/AK muncul dari kebutuhan sebuah atau
beberapa denominasi gereja atau inisiatif seseorang atau kelompok dengan
visi tertentu lalu membangun PTT/AK. Dari latar belakang tersebut maka
munculah lembaga pendidikan dengan kekhasan sesuai tujuan masingmasing. Namun pada umumnya STT/AK bertujuan untuk menyiapkan orangorang yang terpanggil untuk melayani diberbagai bidang pelayanan, seperti;
sebagai gembala sidang, guru, konselor, penginjjil dan sebagainya. Sehingga
lulusan STT/AK pada gilirannya akan memegang peranan penting dalam
melayani dan mengembangkan gereja Tuhan yaitu seputar pelayanan
gerejawi atau pelayanan kristiani. Oleh karena demikian sentralnya peran
alumni STT/AK bagi pelayanan maka perlu kualifikasi yang tinggi dalam
semua bidang termasuk salah satunya adalah kualifikasi rohani. Para
pemimpin umat sudah barang tentu diharapkan memiliki kualifikasi rohani
yang tinggi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dapat menjadi
teladan bagi umat, melayani dengan penuh kuasa yang dapat membawa umat
bertumbuh dalam iman semakin dewasa dan semakin serupa dengan Kristus.
Dengan demikian lembaga pendidikan teologi yang adalah juga
merupakan pewaris pendidikan bagi para nabi, rasul, biara, seminari perlu
menekankan pentingnya kehidupan rohani dan pembentukan karakter yang
sistematis, terukur dan terencana. Maka kehadiran pendidikan teologi yang
menekankan keteraturan sedemikian rupa diharapkan dapat tercipta
spiritualitas yang sehat yang menolong seluruh pelaku pendidikan pada
umumnya dan bagi mahasiswa/i khususnya untuk mencapai tujuan hidup,
pendidikan dan pengabdiannya kepada Tuhan.
130
ISSN 2579-5678
Di lapangan sering dijumpai fakta yang menggambarkan sebaliknya
dari harapan di atas. Komunitas yang berada dalam naungan pendidikan
teologi justru sering merasa tidak bertumbuh rohaninya, terjadi suasana yang
tidak kondusif, percekcokan yang tiada henti dan akhirnya munculnya
perpecahan terjadi dipelbagai STT/AK di Indonesia. Bagaimanakah
kehidupan rohani mahasiswa? Tentu akan sangat tergantung pada usaha
pengembangan rohani lembaganya. Apakah terdapat suasana yang baik,
apakah ada program yang terarah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seputar pengajaran. Misalnya: kurikulum, dosen dan staff yang mumpuni
dalam kualifikasi akademik dan rohani, sarana dan prasarana, strategi dan
metode mengajar dan sebagainya. Maka jika hal-hal di atas tidak terkontruksi
dengan baik maka sulit akan tercipta kualitas rohani yang baik bagi
mahasiswa. Tidak jarang dijumpai dimana mahasiswa semakin senior justru
semakin bermasalah pula; sulit diatur, mengabaikan peraturan sekolah, malas
pelayanan bahkan jatuh ke berbagai pelanggaran moral.
Jika situasi di atas tidak dapat teratasi maka akan menjadi ancaman
yang serius baik bagi lembaga STT/AK bersangkutan secara khusus dan bagi
gereja pada umumnya. Sebab STT/AK akan memberikan lulusannya yang
kurang berkualitas kepada gereja yang akan berdampak kurang baik pula bagi
gereja, sisi lain STT/AK yang tidak menghasilkan produk yang baik cepat
atau lambat akan kehilangan kepercayaan dari gereja dan umat. Maka perlu
diupayakan dengan sungguh-sungguh menemukan sebuah kontruksi
pembinaan iman berupa spirirual formation yang baik.
Dalam rangka usaha itulah paper ini ditulis. Yakni menemukan
pikiran teologi injili tentang spiritualitas lalu diruntut benang merahnya
bagaimana buah-buah pemikiran tersebut dapat diterapkan dalam pendidikan
teologi.
131
ISSN 2579-5678
BAB 2
SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI INJILI
Pada bagian ini akan dibahas tiga pokok penting yaitu: pengertian
spiritualitas, dasar-dasar pengembangan spiritualitas dan kesimpulan dan
penerapannya pada hidup masa kini khususnya bagi lembaga pendidikan
teologi.
Pengertian Spiritualitas
Ada berbagai pengertian secara umum mengenai spiritualitas. Dilihat
dari etimologinya kata spiritualitas berasal dari kata spirit, dari bahsa Latin
spiritus yang berarti nafas (breath), keteguhan hati (courage), kekuatan
(vigor), jiwa (soul), dan hidup (life).2 Kamus Bahasa Indonesia memberi
pengertian spiritualitas berarti kejiwaan, rohani, batin, mental dan moral. 3
yaitu sesuatu yang bersifat rohani: berupa Roh, yang bertalian atau berkenaan
dengan roh sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang bersifat jasmani.4
Spiritualitas Kristen memiliki penghayatan yang jelas dan kongkrit,
karena mengikuti teladan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus.
Sebagaimana Allah mengutus Yesus ke dalam dunia ini dan
memperlengkapiNya dengan kuasa Roh Kudus untuk menyatakan kehendak
dan kebenaranNya, maka hal yang sama akan dialami oleh murid-muridNya
dalam tugas pelayanan mereka ke dalam dunia ini. Spiritualitas Kristen
berpusat secara jelas pada Kristus, yaitu Allah yang berinkarnasi. Allah yang
tidak saja transenden tetapi juga imanen. Ia bukan Allah yang abstrak dan
melebur seperti dalam kepercayaan pantheisme. Tetapi Ia adalah Allah yang
berpribadi yang bisa diajak berkomunikasi dan berelasi dengan manusia.5
Donald L. Alexander memandang spiritualitas Kristen sebagai tindakan
hidup dalam kesalehan dan kekudusan menurut pandangan dan arah teologi
masing-masing. 6 Misalnya kelompok reformed kekudusan dipandang sebagai
Thomas H. Russell, A.C. Bean, dan L.B (Ed.). n Webster’s Twentieth-Century
Dictionary of the English Language, New York: Publishers Guild, Inc 1938, hal. 1597.
3
Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. hal. 857.
4
Ibid 752
5
Agus M. Hardjana. Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2005, hal. 63.
6
Donald L. Alexander, et al, Cristian Spirituality USA: Intervarsity Press, hal. 49
2
132
ISSN 2579-5678
hidup menjadi satu dengan Kristus, mendekat kepada Dia yang akan
memberikan efek kekudusan. Simon Chan menjelaskan bahwa istilah
spiritualitas lebih sering dipakai daripada istilah teologi rohani. Umumnya
spiritualitas mengacu pada jenis kehidupan yang dibentuk oleh tipe teologi
rohani khusus. Spiritualitas adalah realitas yang dijalani, sedangkan teologi
rohani merupakan refleksi dan formalisasi realitas secara sistematis.
Dalam lingkungan injili sebagaimana dinyatakan oleh Donald Bloesch
bahwa istilah spiritualitas justru tidak ditemukan dalam perbendaharaan kata
injili tradisional, lebih dikenal dengan istilah ‘piety’ atau ‘devotion’ yang
berarti kesalehan atau ketaatan. Selengkapnya pendapat Bloesch sebagai
berikut:
The word “spirituality” is not often found in traditional evangelical, but is
roughtly equivalent to what evangelicals have meant by “piety” and “devotion”.
Spirituality must be taken to mean simply the spiritual side of man ‘s life as in
dualistic asceticism. In the biblical or evangelical sense, spirituality refers to the
life the whole person in relationship to the spirit of God. It concern the
verticalrelation between man and God but as it impinges on the horizontal
relitionship between man and his neighbor. Spirituality is the life of man in the
light of his faith in God. It has to do not just with christian doctrine but with the
practice of Christian life. 7
Dengan demikian spirualitas dalam tradisi Injili dipahami sebagai
keseluruhan hidup seseorang baik hubungan dengan Tuhan maupun dengan
sesamanya. Tidak hanya dalam tataran doktrin melainkan pada praktika hidup
sehari-hari yang diwarnai dengan ketaatan pada Allah.
Robert Webber sebagaimana dilansir oleh Granz mendefinisikan
spritualitas sebagai berikut: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan
sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari
bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan
sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini
dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah
kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan misi kita di
dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan
7
Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed.
Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978.
Hal.147.
133
ISSN 2579-5678
kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan
mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan
seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan
Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh
Kudus.8
Dasar-dasar Pengembangan Spiritualitas Injili
Untuk memahami bagaimana konsep injili tentang spiritualitas dan
pengembangannya perlu meruntut beberapa hal. Pertama, pengertian
Evangelikal. Istilah 'evangelikal' dalam pengertian leksikal, merujuk kepada
apapun juga yang tersirat dalam keyakinan bahwa Yesus adalah Mesias.
Istilah Yunani untuk 'Injil' atau 'kabar baik' yaitu ευαγγελιον evangelion, dari
eu- "baik" dan angelion "kabar" atau "berita". Dalam pengertiannya yang
paling sempit, menjadi evangelikal berarti menjadi Kristen, artinya,
didasarkan pada, dan dimotivasikan oleh, serta bertindak sesuai dengan
penyebaran pesan kabar baik dari Perjanjian Baru9. Stanley J Grenz memberi
devinisi Injil sebagai ‘seseorang yang olehnya kabar baik datang dimana
Allah mengutusNya kepada kita yang karenannya kita ditebus yaitu Yesus
Kristus10. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi inti
spiritualitas Injili adalah pribadi Yesus Kristus sebagai pusat kekristenan.
Kedua, pengaruh teologi Wesleyan-Armenian. Alister mencatat
bahwa Kebangkitan evangelikal di Eropa berhutang budi kepada penulis
Katolik Anglikan dan Romawi tinggi, terutama untuk mengajar tentang
kekudusan, dan kaum Moravia. John Wesley, pendiri Methodisme dan
pengikutnya menyepakati konsep teologi Arminian yang memegang bahwa
Kristus telah mati untuk semua dan keselamatan yang mungkin hilang, dan
menambahkan keyakinan bahwa seluruh pengudusan mungkin terjadi
sebelum kematian. John Fletcher, pengganti Wesley sebagai pemimpin
8
Stanley J Grenz. Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 42.
9
Wilkipedia, Enciklopedia Bebas. Evangelikalisme. 28 okt 2015.
10
Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 21.
134
ISSN 2579-5678
gerakan membela keyakinan Methodist dari serangan Reformed dan beberapa
orang lain bergabung dengan Methodis mengaku evangelis Arminianisme.
Yang menjadi mayoritas pada abad delapan belas. 11 Maka penulis
berpendapat bahwa sesungguhnya spritualitas Injili tidak terlepas dari tradisi
moravian dan kaum pietis yang menekankan kesalehan hidup dengan disiplin
rohani yang ketat.
Ketiga, Dasar Teologi. McGrath E. Alister menyebutkan bahwa ciri
khas teologi evangelikal atau Injili memusatkan pada empat asumsi:
1. Otoritas dan kecukupan Alkitab,
2. Keunikan penebusan melalui kematian Kristus di atas kayu salib,
3. perlunya pertobatan pribadi
4. Kebutuhan, kepatutan dan urgensi dari penginjilan.12
Sedangkan dalam hal evangelikal sebagai gerakan moderen Alister
menyebutkan:
1. Evangelicalism adalah transdenominational. Hal ini tidak terbatas
pada satu denominasi, juga bukan denominasi dalam dirinya sendiri.
Melibatkan 'Injili Anglikan', 'evangelis Presbyterian', 'evangelis
Methodist', atau bahkan 'evangelis Katolik Roma'.
2. Evangelicalism bukanlah denominasi sendiri, memiliki sebuah
eklesiologi khas, tetapi sekarang telah menjadi berbagai denominasi
gereja yang cukup besar.
3. Evangelicalism sendiri merupakan gerakan oikumenis. Ada hubungan
alamiah antar kaum evangelikal, terlepas dari denominasi mereka,
yang muncul dari komitmen bersama untuk satu keyakinan dan
pandangan bersama. Berati bahwa hal-hal yang berpotensi memecah
belah gereja dan pemerintah diperlakukan sebagai kepentingan
sekunder.
4. Evangelicalism adalah didominasi tulisan dalam bahasa Inggeris
yang berarti gerakan yang mencerminkan peran utama dimainkan
11
McGrath E, Alister. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought
Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishers Inc, 1999. Hal.185.
12
Ibid, hal. 188.
135
ISSN 2579-5678
dalam pengembangan dan konsolidasi oleh penulis di Inggris dan
Amerika.13
Pendapat di atas diperkuat oleh Larsen yang menyebutkan bahwa
evangelikal khas dalam hal:
1. Merupakan Protestan ortodoks.
2. Berdiri pada satu tradisi jaringan Kristen pada abad delapan belas
yaitu gerakan revival yang berkiblat pada John Wesley dan
Whitefield.
3. Meletakkan Alkitab sebagai yang diilhami yang memegang otoritas
tertinggi dalam iman dan praktek hidup orang Kristen.
4. Menekankan pada rokonsiliasi dengan Allah melalui penebusan
Yesus Kristus di salib.
5. Menekankan pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan pribadi dalam
bersekutu dengan Allah, melayani Allah dan sesama, dan semua orang
beriman berpartisipasi dalam penginjilan pada semua orang. 14
Dari corak teologia di atas dapat dilihat bahwa dasar konsep pengembangan
spiritualitas Injili terletak pada sentralitas Alkitab, Yesus Kristus sebagai
penebus, Hubungan pribadi seseorang dengan Allah dan aktivitas komunitas
dan penginginjilan yang menciptakan atmosfir rohani yang mendukung
perkembangan iman.
Pola pengembangan Spiritualitas Injili
Stanley J. Grenz dalam buku Revisioning Evangelical Theology, pada
bab 2 dengan judul revisioning evangelical spirituality menguraikan pola
pengembangan spiritualitas injili yang penulis ringkas sebagai berikut pada:
Pertama, keseimbangan kesucian hati dan aktifitas pelayanan. Hati orang
13
Ibid, hal. 192.
Timothy Larsen & Trier Daniel J. Evangelical Theology. Cambridge: Cambridge
University Press, 2007. Hal. 1
14
136
ISSN 2579-5678
percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini
lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau
menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi
yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam
dari manusia merupakan fondasi dari spiritualitas. Sehingga Injili lebih
tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan
mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal
tentang Yesus. Kedua, mementingkan motivasi hati. Kaum Injili tidak datang
ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena
dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya.
Orang percaya dimotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk
menghadiri ibadah bersama dan mewujudkan ketaatannya pada Allah.
Ketiga, menekankan pengalaman rohani dalam hidup orang percaya.
Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi
lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata
dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir
baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya
bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru
ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan
pertumbuhan dalam kesucian. Keempat, Penekanan pada pemuridan. Hal ini
dilakukan untuk meneladani Kristus juga mempengaruhi kehidupan
bergereja. Orang percaya menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu
ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston
menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi
merupakan gaya hidup (life style). Setiap orang yang hadir dalam pertemuanpertemuan dimuridkan sedemikian rupa untuk diajar, didorong, dan
dikuatkan agar memiliki kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Kelima, Keseimbangan antara kegiatan pribadi dan persekutuan. Karena
spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan
disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam
membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh';
bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah
menghadiri kebaktian secara rutin. Disiplin pribadi tersebut diimbangi
dengan usaha pengembangan rohani secara bersama-sama dalam persekutuan
137
ISSN 2579-5678
karena Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus
dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh
secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan
saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api
dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin.
Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas
orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi
ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan
demikian akan terus hidup dan bersemangat bagi Tuhan15.
Menurut Allan Nelson spiritualitas yang baik adalah kemampuan
seseorang untuk mewujudkan imannya dalam kehidupan setiap hari.16 Maka
spiritualitas dalam iman Kristen memiliki kriteria khusus yang terpancar
dalam kehidupan manusia yaitu buah-buah roh (Gal.522-23), hidup dalam
pengajaran rohani (Ibr. 6:1-2), Iman yang kuat (Mat. 17:20), pengakuan akan
kegagalan rohani (Mzm 51), kerendahatian dalam sikap pelayanan (Fip.2:311).17 Disiplin rohani yang dirumuskan oleh Nelson adalah dengan
mempraktekkan metode Yesus bersama dengan murid-muridnya sehingga
menjadi serupa dengan-Nya dan mencapai keselamatan sejati. Nelson
mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan hasil alami pada saat
orang percaya secara disiplin melatih hidupnya dengan menerapkan metode
pemuridan Yesus, yaitu: 1). Membuat tim perjalanan, artinya membentuk
komunitas tumbuh bersama, seperti halnya murid-murid Yesus yang diajar
dan dikumpulkan menjadi suatu komunitas kecil 12 orang. 2). Menentukan
arah serta ajaran melalui khotbah atau nasehat hamba Tuhan. 3). Menimba
pengalaman dari perjalanan, yaitu bertumbuh melalui belajar aktif dari
pengalaman kehidupan setiap hari. 4). Pemandu, yaitu seorang yang akan
menjadi fasilitator, mentor, yang akan memimpin dalam kelompok tumbuh
bersama ini, sama seperti Yesus yang menjadi guru bagi murid-muridNya.
15
Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 37-55.
16
Allan Nelson, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Yasyasan Andi, 2015. Hal. 6
17
Ibid, 13
138
ISSN 2579-5678
Menurut Morley kehidupan spiritual seseorang bisa meningkat melalui
latihan rohani untuk menghasilkan kebiasaan yang baik, dan secara perlahan
perbuatan yang buruk berangsur-angsur dapat dihilangkan. Disiplin rohani
adalah kebiasaan sehari-hari yang perlu dilakukan setiap orang jika mereka
ingin hidup lebih dekat kepada Tuhan. Disiplin rohani dapat membantu kita
memutus siklus atau melepaskan suatu kebiasaan. Disiplin adalah kebiasaan
rohani yang kita lakukan untuk memelihara hubungan lebih intim dengan
Tuhan, khalik langit dan bumi. Kita melakukan disiplin itu karena kita ingin
menyenangkan Tuhan, menjalani kehidupan yang terang dan damai, menjadi
suami yang saleh, mendidik anak-anak untuk takut akan Tuhan dan karena
kita ingin menjadi abdi Tuhan.18 Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk
mencapai disiplin rohani ini perlu melatih diri untuk memiliki kebiasaan yang
rohani yaitu: 1) Melalui perbuatan-perbuatan 2) Melalui Firman Tuhan 3)
Melalui tuntunan Roh Kudus 4) Melalui kesaksian orang beriman.
Simon Chan menuliskan bahwa untuk mencapai kehidupan spiritual
yang tinggi diperlukan latihan-latihan yang dipraktekkan dalam kehidupan
setiap hari. 19 Pertama melalui kehidupan doa, yang mampu menyatukan
orang percaya dengan Kristus. Doa dipandag sebagai tindakan pertama yang
menghubungkan doktrin dengan praktik, dan semua latihan yang lain sekedar
merupakan perincian tindakan utama ini. Kedua latihan rohani yang berfokus
kepada Allah dan diri sendiri, yaitu suatu latihan yang mengintegrasikan iman
dalam kehidupan setiap hari.20 Ketiga, latihan rohani yang berfokus pada
Firman Tuhan, melalui pembacaan secara rohani dan perenungan dalam
meditasi mendalam untuk dimaknai sehingga dapat dipraktekkan dalam
kehidupan setiap hari.21 Keempat, latihan rohani berfokus pada dunia, yang
dapat ditempuh melalui kehidupan persahabatan rohani dengan sesama
manusia, dalam kehidupan gotong-royong seperti dalam kehidupan
masyarakat Asia. Selain itu berfokus pada meditasi dalam hubungannya
18
Patrick Morley, A Guide to Spiritual Disciplines, Malang: Gandum Mas, 2009,
hal.14
19
Simon Chan, Spiritual Theology 2. Yogyakarta: Andi, 2005, Hal.7
Ibid, 31
21
Ibid, 57
20
139
ISSN 2579-5678
dengan alam, dimana alam dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan dirinya
kepada seluruh dunia. (band. Maz 19:2, Am 6:6, Mat 6:28, Luk 12:27). 22
Rumusan yang hampir sama disampaikan oleh Bloesch bahwa gereja
Injili mengembangkan spitualitasnya dengan menggunakan Alkitab sebagai
dasar pengembangan lalu dipraktekkan dalam konteks sebagai bukti yang
telah teruji dalam pengalaman iman, Jadi Pola Injili menurut Bloesch
merupakan kombinasi kehidupan disiplin rohani secara pribadi dan dalam
berjemaat23.
BAB 3
KESIMPULAN DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN
ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1).
Teologi Injili dengan segala kekhasannya telah hadir dan menjadi salah satu
kanal teologi yang menjadi bagian dari gereja yang am. Keberadaan teologi
injili tersebut telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. 2).
Konsep Spiritualitas dalam perspektif teologi Injili dan pengembangannya
tidak dapat terlepas dari sejarah keberadaannya. Faktor-faktor yang
mendukung lahirnya teologi injili mewarnai konsep dan pola pengembangan
spiritualitas di lingkungan gereja Injili. 3). Pola pengembangan spiritualitas
Injili menekankan sikap hati atau motivasi atau kesucian hati yang penuh
kasih terhadap Allah, dimana sumber perkembangan rohani adalah Alkitab
dan karya Roh Kudus dengan disiplin rohani pribadi setiap hari dengan
disertai keseimbangan untuk berkomunitas. 4). Seyogyanya teologi ini dapat
membawa gereja injili menjadi gereja yang inklusif hadir pada setiap
persoalan manusia dan alam semesta lalu menjadi bagian dari solusinya.
Dalam usaha menerapkan topik ini penulis merujuk pada latarbelakang masalah dan tujuan penulisan yaitu untuk diterapkan dalam
22
Ibid, 91
Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed.
Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978.
Hal.150.
23
140
ISSN 2579-5678
lingkungan pendidikan teologi. Maka dengan melansir pendapat B.S Sidjabat
bahwa:
Pendidikan teologi membutuhkan pembaruan (renewal) terus-menerus.
Tidak ada pendidikan teologi yang senantiasa bagus di sepanjang
perjalanannya. Dalam hal apa sajakah pendidikan teologi itu membutuhkan
pembaharuan? Jawabnya dalam banyak hal termasuk pemahaman
pendidikan teologi itu sendiri, mengenai dasar teologis kehadirannya dan
tugasnya, dalam segi pengenalan terhadap konteks, tentang kebutuhan
gereja, dalam hal pendekatan dan strateginya serta dalam kehidupan
komunitasnya. Pembaharuan tercapai apabila evaluasi secara kontinu
diadakan oleh lembaga pendidikan bersangkutan. 24
Evaluasi tersebut termasuk dalam kaitan pengembangan spiritualitas dalam
lingkungan pendidikan teologi yang perlu dilihat dengan cermat tentang
program dan pelaksanaan serta hasilnya. Agar pola pengembangan
spiritualitas khas injili dapat diterapkan dalam konteks kekinian sehingga
diharapkan dapat mengasilkan lulusan yang memiliki kerohanian, mental,
karakter dan pengetahuan serta ketrampilan yang bagus agar dapat menjawab
kebutuhan umat.
Daftar Pustaka
LAI, ALKITAB
Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Alister, McGrath E. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian
Thought. Malden, Massachusetts 02148, USA: Blackwell Publishers
Inc, 1999.
Alexander, Donald L., et al, Cristian Spirituality. USA: Intervarsity Press, tt
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995.
24
Binser Samuel Sidjabat. Panggilan pendidikan Teologi di Indonesia. Bandung:
Institut Alkitab Tiranus, 2003. Hal. 42.
141
ISSN 2579-5678
Bloesch, Donald. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox
Evangelicals. Ed. Robert Webber & Donald Bloesch. NasvileNewyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978
Chan, Simon, Spiritual Theology, Yogyakarta: Andi, 2005
Grenz, Stanley J. Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove:
Univercity Press, 1984
Lord, Andrew, Spirit-Shaped Mission, USA: Paternoster, 2009
Larsen, Timothy & Trier Daniel J. Evangelical Theology. Cambridge:
Cambridge University Press, 2007.
Livingston, James C. Modern Christian Thought. Upper Saddle River, New
Jersey: Prentice Hall, 2000
Morley, Patrick A., Guide to Spiritual Disciplines, Malang: Gandum Mas,
2009
Nelson, Allan, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Yas. Andi, 2015
Russell, Thomas H., A.C. Bean, dan L.B (editor). Vaughan Webster’s
Twentieth-Century Dictionary of the English Language, New York:
Publishers Guild, Inc 1938, 1597
Sidjabat, Binser Samuel. Panggilan pendidikan Teologi di Indonesia.
Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 2003
142
PARADIGMA MEMBANGUN GENERASI EMAS 2045
KAJIAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
Oleh: Binahati Waruwu
Abstrak: Cita-cita bangsa Indonesia mewujudkan sumber daya manusia
yang cerdas dan mampu bersaing dalam era global, hingga saat ini masih jauh
dari harapan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum
menghasilkan outcome yang cerdas secara spritual, emosional, dan
intelektual. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya keterampilan dan
intelektualitas generasi bangsa, serta krisisnya karakter. Menyadari hal itu,
bersamaan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan RI, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan generasi emas 2045 sebagai
jawaban atas berbagai ketertinggalan dimaksud. Generasi emas adalah
generasi yang tidak hanya sekedar intelek dan jenius tetapi memiliki karakter
yang pancasilais, yakni generasi yang berketuhanan, berkemanusiaan,
mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa, merakyat dan
mengedepankan musyawarah/mufakat serta adil dalam berpikir dan
bertindak.
Kata Kunci: cerdas spritual, emosional, intelektual, generasi emas, karakter,
pancasilais.
ISSN 2579-5678
A. PENDAHULUAN
Secara historis kebangkitan bangsa Indonesia dimulai dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan
Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini merupakan awal bagi bangsa
Indonesia untuk memulai peradabannya sendiri dalam konteks Indonesia
yang utuh, tidak terpisah-pisah sebagaimana pra kemerdekaan.
Peradaban itu sendiri tentu bermula dari proses pembelajaran seluruh
bangsa untuk memahami bahwa pendidikan adalah hal utama dalam
membentuk manusia yang handal dan kualitas. Sejak awal para pendiri
bangsa ini, menyadari bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
penting, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan hal di atas, pemerintah mengeluarkan UU no
12 tahun 1954, UU No. 2 1989, dan UU No 20 tahun 2003, yang
semuanya mengatur tentang upaya peningkatan pendidikan di Indonesia
agar menjadi bangsa yang mampu berkompetitif secara global. Berbagai
upaya yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, mulai dari pergantian UU
serta perubahan kurikulum yang dianggap menjadi solusi terhadap
perbaikan pendidikan di Indonesia, belum membuahkan hasil yang
maksimal dan menggembirakan. Kenyataannya bahwa pendidikan di
Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari Indeks
Pembangunan Manusia di Indonesia yang masih berada di bawah ratarata dunia, hingga tahun 2013.
Di sisi lain, rendahnya kemampuan putra-putri bangsa Indonesia
dalam setiap even olimpiade sains, matematika di tingkat internasional
merupakan indikasi bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu
bersaing secara global. Selain dari sisi kognitif di atas, skill (psikomotor)
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga masih rendah. Hal ini terlihat
dari kemampuan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang
umumnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan yang lebih
memprihatinkan lagi adalah sikap (afektif) yang dimiliki. Meningkatnya
tawuran antar pelajar, geng motor, pelecehan seksual, penyalahgunaan
narkoba di kalangan pelajar, seks bebas, perilaku seks menyimpang,
144
ISSN 2579-5678
meningkatnya kriminalitas anak adalah fakta-fakta bahwa pendidikan
telah gagal dalam membentuk karakter anak bangsa ini. Dalam skala
yang lebih besar, rendahnya karakter ini terlihat juga dikalangan
masyarakat, pendidik dan para pejabat. Masyarakat sekarang tidak segansegan saling membunuh, bertindak anarkis hanya karena alasan
perbedaan pandangan. Demikian juga dengan moralitas pendidik yang
semakin krisis, misalnya: pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru
terhadap siswa. Dan tidak dapat dihitung lagi berapa banyak pejabat yang
terlibat kasus korupsi, pelanggaran HAM, pembunuhan, dan lain
sebagainya. Kesemuanya ini mengindikasikan sekaligus mengisyaratkan
bahwa tujuan pendidikan di Indonesia, baik sikap, psikomotor, dan juga
kognitif masih belum memenuhi harapan.
Kesenjangan antara keinginan untuk menjadi bangsa yang besar
dan bermartabat dengan kenyataan-kenyataan di atas menimbulkan
permasalahan dalam manajemen pendidikan di Indonesia, baik dalam
skala makro dan mikro. Maka seiring dengan usia kemerdekaan yang
semakin meningkat, diperlukan strategi nyata agar kualitas pendidikan
dalam berbagai aspek dapat diperbaiki. Sejak tahun 2012, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, telah mencanangkan
“generasi emas” (golden generation) pada tahun 2045. Istilah ini,
berkenaan dengan perayaaan ulang tahun emas kemerdekaan RI. Tahun
2045 adalah kebangkitan kedua bagi bangsa Indonesia dalam melahirkan
generasi yang berkualitas dari sisi intelektualitas dan panutan dalam hal
karakter.
Mencermati hakikat generasi emas 2045 yang dicita-citakan oleh
pendidikan di Indonesia tentu bukanlah hal mudah. Menurut Rektor
Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Sunaryo bahwa: “peran
pendidikan dalam mempersiapkan generasi emas 2045 sangatlah penting
dan gambaran sosok manusia Indonesia generasi 2045 harus menjadi
pijakan dan cantolan upaya pendidikan, dan pendidikan akan memainkan
peran baru dalam perspektif pengembangan sosok generasi 2045” (Kabar
UPI, 2012). Generasi emas yang dimaksudkan adalah generasi yang
145
ISSN 2579-5678
kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta
cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Dengan generasi emas
itulah, dibangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan
Indonesia 2045 (Mendikbud, 2014).
Konsep generasi emas harus diletakkan dengan baik, serta upaya
pencapaiannya harus benar-benar dipikirkan dengan matang. Dalam
konteks pendidikan Indonesia, generasi emas adalah generasi yang tidak
hanya sekedar intelek dan jenius tetapi memiliki karakter yang
pancasilais, yakni generasi yang berketuhanan, berkemanusiaan,
mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa, merakyat dan
mengedepankan musyawarah/mufakat serta adil dalam berpikir dan
bertindak. Oleh sebab itu, makalah ini akan mengkaji Paradigma
Membangun Generasi Emas 2045 dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Pendidikan, untuk memahami bahwa peran pendidikan dalam
menciptakan generasi emas harus dilihat secara holistik.
B. ESENSI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
Kemampuan manusia untuk bernalar dan berkomunikasi
menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang
mampu mengembangkan pengetahuannya dari waktu ke waktu seiring
dengan tuntutan berbagai kebutuhan atas kehidupan manusia itu sendiri.
Kemampuan itu juga, telah menjadikan manusia menjadi makhluk
serakah terhadap alam semesta sehingga meninggalkan hakikat dirinya
sebagai penjaga alam semesta dan berlindung di balik kemunafikannya.
Hal tersebut mengakibatkan pengetahuan manusia tidak dipergunakan
untuk kemaslahatan orang banyak, tetapi justru menjadikan manusia
menjadi makhluk buas, ego, pecinta teknologi dan kehilangan jati dirinya
sebagai “homo image dei”.
Keterpurukan kehidupan manusia itu berawal dari lemahnya
kesadaran manusia sebagai makhluk terdidik (animal educandum).
Kehadiran filsafat ilmu pendidikan sesungguhnya, berguna untuk
146
ISSN 2579-5678
meluruskan kembali makna pendidikan yang tidak semata-mata untuk
mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi kehilangan
karakter (afektif) serta rasa (emosi) sebagaimana tujuan pendidikan yang
holistik.
Dalam perilaku sehari-hari menurut Suhartono (2006:54-55),
pengetahuan (ilmu) berubah menjadi moral, dan kemudian menjadi etika
kehidupan, sedemikian rupa sehingga hakikat perilaku tersebut berupa
kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan kelangsungan dan
perkembangan hidup dan kehidupan ini sepenuhnya. Dengan demikian,
tujuan pendidikan tidak hanya sebatas memperoleh ilmu, tetapi
bagaimana ilmu tersebut tercermin lewat moral dan etika dalam
kehidupan. Demikian halnya dengan generasi emas yang dicita-citakan,
kepada mereka tidak cukup hanya diberi ilmu, tetapi bagaimana agar
ilmu yang dimiliki oleh generasi emas tersebut terlihat dari moral dan
etika kehidupan kesehariannya.
Pendidikan memanusiakan manusia. Segala situasi dalam hidup
yang memengaruhi pertumbuhan seseorang merupakan pendidikan,
termasuk pengalaman belajar. Pengalaman itu tidak hanya berlangsung
dalam satuan pendidikan, tetapi juga berlangsung dalam berbagai aspek
kehidupan seseorang. Artinya alam di mana seseorang berada, mendidik
manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Kesalahan dalam
pembentukan itu menyebabkan manusia tidak benar-benar menjadi
manusia. Oleh sebab itu menurut Mudyahardjo (2006:46), pendidikan
dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap
orang sepanjang hidupnya.
Pendidikan dalam pengertian Freire (2007) adalah pembebasan.
Pembebasan ini tentunya dalam hal kemelaratan, kesengsaraan,
ketidaktahuan, dan keterbelakangan. Dalam pengertian ini, tanggung
jawab pendidikan tidak hanya dipikul oleh sekolah dan perguruan tinggi,
tetapi semua orang yang memahami bahwa manusia harus menerima
kebebasan di atas. Maka formulasi pendidikan itu sendiri, tidak hanya
147
ISSN 2579-5678
sebatas “transfer of knowledge”, tetapi lebih dari itu, yakni memberi
kesadaran bahwa karakter (sikap, moral dan etika) di atas segalanya.
Pendidikan harus dibangun di atas pondasi dan kerangka yang kuat.
Pembangunan generasi emas yang dimaksudkan sesungguhnya tidak
hanya sebatas menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual
(berilmu), tetapi juga harus cerdas secara emosional dan spritual.
Pendidikan di Indonesia belum berhasil menghasilkan SDM untuk siap
mengabdi bahkan berkorban membangun bangsa yang besar, maju, jaya
dan bermartabat (Manullang, 2013).
Proses memanusiakan manusia, merupakan upaya pendidikan
dalam memberhasilkan generasi emas yang memiliki intelektualitas
tinggi, tetapi berkarakter mulia. Pola pembangunan karakter melalui
IESQ sebagaimana dikemukakan oleh Manullang (2013), adalah hal
yang tak dapat dipungkiri dan semestinya dilaksanakan. Spritual (agama)
merupakan pembimbing moral individu dalam bertindak sebagai
manusia yang berakhlak mulia. Oleh sebab itu Albert Einstein
mengemukakan bahwa ilmu tanpa agama adalah buta (Suriasumantri,
2005). Secara filosofis, pendidikan seharusnya mengembangkan potensi
spritual, intelektual, dan moral (Suhartono, 2006:69).
Pendidikan yang baik harus masuk dalam ranah spritual agar tidak
tercipta generasi emas yang handal secara intelektual, tetapi hambar dari
sisi mentalitas. Rusaknya mental dilatarbelakangi oleh kurangnya
perhatian pada pendidikan yang berorintesi karakter. Padahal akhir dari
pendidikan adalah karakter. Krisis karakter menjadi faktor dominan
penghambat pencapaian tujuan pendidikan yang memerdekakan secara
politis, ekonomi dan budaya sesuai dengan konsep pendidikan menurut
Kihajar Dewantara. Hal ini akan bermuara pada tingginya kesenjangan
antara kaya-miskin, modern (teknologis)-tradisional, dan lambat laun ini
akan bermuara pada kehancuran peradaban yang dicita-citakan oleh
pendidikan itu sendiri.
Secara ontologi, pendidikan adalah persoalan tentang hakikat
keberadaannya. Pendidikan selalu dekat dengan eksistensi kehidupan
148
ISSN 2579-5678
manusia dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Dengan demikian, tanpa
pendidikan kehidupan manusia itu sendiri tidak dapat berlangsung.
Pendidikan memberi acuan kemana tujuan kehidupan manusia
diarahkan. Oleh sebab masalah pendidikan adalah manusia, Suhartono
(2006) mengemukakan maka persoalan pokoknya adalah bagaimana
menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam diri manusia.
Tugas pendidikan adalah membimbing potensi spiritual,
emosional, intelektualitas individu. Ketiga potensi ini merupakan potensi
kreatif, dinamis dan khas yang dimiliki setiap manusia. Pendidikan yang
baik, memberi bimbingan, kesempatan dan ruang kepada setiap individu
dalam mengembangkannya, sehingga individu tersebut tumbuh dalam
rasa percaya diri yang tinggi tentang intelektualitasnya, dibawah
bimbingan agama dan keselarasan emosi yang baik.
Secara etimologis, filsafat pendidikan adalah cinta akan keindahan
dan kearifan terhadap pendidikan. Kearifan terhadap pendidikan akan
mewujudkan kehidupan yang adil dan harmonis. Jauh dari keserakahan
dan kemunafikan. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan
kehidupan yang lebih dinamis dan berkesinambungan. Sebaliknya,
rusaknya pendidikan merupakan pemicu degradasi moral, rendahnya
kualitas dan esensi kehidupan, hilangnya jati diri sebagai manusia,
munculnya perilaku kebinatangan manusia, hilangnya jati diri bangsa
dan sebagainya. Oleh sebab itu pendidikan, tidak hanya sekedar transfer
pengetahuan, tetapi pendidikan yang dimaknai dengan kehidupan yang
penuh keindahan, keserasian, keselaran antara intelektualitas, moral dan
karakter.
C. FILSAFAT PENDIDIKAN INDONESIA
Setiap bangsa memiliki landasan filosofis masing-masing.
Demikian halnya dengan Pancasila yang menjadi pandangan hidup (way
of life) bangsa Indonesia. Maka seluruh eksistensi kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia, selayaknya berdiri kokoh di atas landasan
149
ISSN 2579-5678
pancasila. Pendidikan di Indonesia juga harus dibangun dan
dikembangkan sesuai dengan landasan filosofis bangsa yakni pancasila.
Jadi, pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang pancasilais.
Memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal
yang sedang dihadapi, mengharuskan bangsa Indonesia untuk lebih
memperkuat jati diri, identitas, dan karakter sebagai bangsa Indonesia.
Pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif harus
dilakukan tanpa melupakan jati diri sebagai bangsa yang berketuhanan,
berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan dan adil.
Menyiapkan generasi emas Indonesia, berarti menyiapkan
pendidikan bernuansa pancasila (pancasila orinted). Penyiapan sumber
daya manusia yang berkarakter dan berkualitas adalah syarat mutlaknya,
serta pendidikan karakter sebagai salah satu kuncinya. Kesadaran sebagai
makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai
transendensi dan nilai keagamaan yang kuat, yang pada gilirannya
menumbuhkan sifat kasih sayang dan toleran, saling menghargai dan
menghormati (karena merasa sesama makhluk) dan menjauhkan diri dari
perilaku destruktif dan anarkistis. Salah satu sebab mendasar,
keterpurukan bangsa ini, khususnya dalam hal rendahnya daya saing
bangsa, adalah mayoritas dari bangsa ini telah kehilangan karakter atau
jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Spirit ke-Indonesia-an yang
seharusnya melekat erat dan kemudian melahirkan generasi, masyarakat,
rakyat, dan warga negara yang berkarakter telah terdegradasi secara
pelan namun pasti (Arif, 2012).
Jawaban atas semuanya itu adalah penyelenggaraan pendidikan
yang sesuai dengan karakter bangsa, tidak dengan mengadopsi falsafah
negara lain. Karakter bangsa, adalah kata yang selalu muncul dan
seringkali menjadi penutup diskusi perihal penyebab keterpurukan
bangsa Indonesia di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk menyatakan
secara ekstrim bahwa karakter bangsa kita sedang berada di titik kritis.
Sebagaimana dikemukakan oleh Manullang (2013), bahwa karakter
150
ISSN 2579-5678
adalah masalah utama dari manusia berkualitas. Jika karakter hilang,
maka semuanya akan sirna karena karakter adalah roh kehidupan.
Menurut Tilaar (2012) karakter atau watak bangsa Indonesia
adalah suatu konstruksi budaya tentang sikap hidup, cara berpikir dan
bertindak dari setiap individu bangsa Indonesia yang multikultural yang
terpancar dari nilai-nilai budaya dan ideologi nasional Indonesia yaitu
Pancasila (dalam menghadapi perubahan global)”. Dalam pandangan
tersebut, menciptakan generasi emas 2045 harus dilakukan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang dikonstruksi berdasar atas nilai-nilai
Pancasila. Generasi inilah yang akan menjadi generasi yang memiliki
sumber daya manusia yang dapat diandalkan dalam menghadapi
perubahan dan persaingan global.
Menyadari bahwa pancasila menjadi sumber konstruksi pendidikan
di Indonesia, maka nilai-nilai pancasila harus masuk dalam segala lini
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam manajemen
pendidikan di Indonesia. Demikian halnya dengan mata pelajaran lain
seperti sains dan seni sebagai pembentuk dan pengembang potensi
intelektualitas, harus dibangun atas dasar karakter pancasila, selain
pancasila juga merupakan mata pelajaran wajib pada setiap jenjang
pendidikan. Membangun karakter bangsa bukanlah hal mudah.
Pembangunan karakter bangsa ini harus dilakukan dengan strategi yang
tepat dan dilakukan secara sistematik, tidak hanya menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, tetapi dengan
melibatkan berbagai komponen, yakni instansi pemerintah baik vertikal
dan horizontal, keluarga, sekolah, masyarakat, berbagai organisasi, para
tokoh dan media.
Maka memaknai generasi emas, seharusnya tidak hanya sebatas
kurikulum, meski itupun tidak kalah penting. Tetapi pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa harus menjadi landasan berpikir, bertindak bagi
setiap warga negara.
Pertama, memahami sikap berketuhanan, memberi pedoman bagi
generasi bangsa ini menjadi generasi emas yang memiliki tingkat spritual
151
ISSN 2579-5678
yang tinggi. Melalui itu, generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang
mengenal bahwa kebenaran yang paling mendasar adalah kebenaran
yang dari Tuhan. Apapun tindakan yang dilakukan, maka akan didasari
atas keyakinan bahwa pekerjaan, harta, ilmu yang dimilikinya
dipergunakan untuk keberlangsungan hidup antar umat manusia.
Artinya, ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
meningkatnya kerukunan antar umat beragama sehingga menghindarkan
diri dari kesombongan spritual, sikap intoleransi umat beragama, jauh
dari sifat anarkis, korupsi dan sebagainya. Peran para pemuka agama
sangat dominan, untuk memberi pengertian kepada individu, agar tidak
menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Di sisi lain pemuka
agama semestinya memastikan bahwa setiap pemeluk agama, mendalami
dengan baik makna agama yang dianutnya. Hal ini akan menghindarkan
generasi emas dari konflik SARA (Suku, Agama, dan Ras). Tidak kalah
penting juga peran orang tua, untuk mendidik anaknya untuk taat
beragama, dengan memberi pedoman yang baik kepada anak-anaknya
dalam hal beribadah, mengasihi sesama manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Orang tua mengajar anak untuk tidak bermusuhan, tidak
membenci, tidak iri hati, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh guru agama dan guru mata pelajaran pancasila di setiap
jenjang pendidikan. Dengan demikian akan tercipta generasi emas yang
takwa kepada Tuhan yang maha esa.
Kedua, sikap kemanusiaan mendorong manusia untuk saling
menghargai satu dengan yang lain. Lahirnya kesadaran bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan, oleh sebab itu tidak ada manusia yang
hebat dibanding dengan lainnya. Menjunjung tinggi nilai kemansuaiaan
sehingga menghilangkan perbedaan antara kaya dan miskin. Setiap
komponen bangsa harus menunjukkan sikap tenggang rasa satu dengan
lain. Dari sana, akan tercipta kehidupan yang harmonis dan dinamis antar
umat manusia. Perbedaan pendapat adalah lumrah, tetapi jangan menjadi
pemicu perpecahan, saling menghina, saling merendahkan seperti yang
terjadi di Indonesia saat ini. Tanpa disadari bahwa generasi saat ini
152
ISSN 2579-5678
(mereka yang akan menjadi generasi emas) telah belajar dan terdidik
dengan sifat yang saling merendahkan, tidak menghargai. Bagaimana
mungkin Indonesia akan menghasilkan generasi emas pada 2045, jika
saat ini mereka diajar untuk tidak berkemanusiaan. Hal-hal semacam ini
tidak sepenuhnya diajar di jenjang pendidikan formal. Maka dibutuhkan
peran para elit, figur publik, pejabat, enterpreuner, pengusaha untuk
menanamkan karakter pancasila pada setiap sikap, ucapan, tindakan dan
perbuatannya.
Ketiga, sikap persatuan dan kesatuan. Mendidik generasi emas
dengan konsep ini harus dimulai dengan sikap para pemimpin yang tidak
mengutamakan kepentingan kelompok, partai politik, golongan. Budaya
mendahulukan kepentingan bersama, bangsa dan negara harus
ditunjukkan, agar generasi sekarang ini belajar untuk tidak
mementingkan diri sendiri. Tetapi bangga menjadi bangsa Indonesia,
sehingga berbuat juga untuk kejayaan Indonesia.
Keempat, sikap kerakyatan berdasar pada musyawarah dan
mufakat. Salah satu aspek penting menciptakan generasi emas adalah
membelajarkan mereka cara bermusyawarah dan mufakat. Peran orang
tua, sangat dominan dalam hal ini, selain media sosial dan media
elektronik. Strategi yang tepat, adalah media massa harus memperbanyak
informasi yang mendidik tentang pentingnya musyawarah dan mufakat.
Tidak dengan memberi informasi dan mempertontonkan sikap “saling
rebut” para pejabat. Demikian halnya dengan orang tua yang
membimbing sikap demokratis yang mendidik kepada anak-anaknya
dalam memilih dan menekuni potensi bakat yang ada dalam dirinya.
Dan yang terakhir adalah tentang karakter keadilan. Ini menjadi
bagian dari tugas para penegak hukum. Generasi sekarang akan menjadi
generasi emas yang adil, apabila mereka mendengar, membaca, dan
melihat bahwa hukum ditegakkan dengan baik dan benar. Yang benar
tetap benar, dan yang salah tetap salah. Demikian halnya dengan peran
keluarga. Orang tua dapat mengajarkan tentang keadilan bagi anakanaknya, tidak diskriminatif. Dalam pengertian orang tua harus memberi
153
ISSN 2579-5678
perhatian yang sama kepada anak-anaknya. Peran pemerintah juga cukup
dominan, terutama kepada mereka yang terpinggirkan, anak jalanan,
anak cacat. Mereka juga harus mendapat pendidikan yang layak,
sehingga generasi emas 2045, bukan hanya bagi mereka yang memiliki
kesempatan lebih besar untuk mengenyam pendidikan tetapi meliputi
semua anak-anak negeri ini, baik miskin, kaya, cacat, normal, dan anakanak jalanan.
D. SOSIALISASI PANCASILA MENUJU GENERASI EMAS 2045
1. Wider Sense – Life is education, and education is life
Sistem pendidikan masa depan bangsa Indonesia adalah
pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini menjadi generasi
emas Indonesia 2045. Generasi ini akan menjadi generasi penduduk
warga dunia yang bersifat transkultural, namun harus tetap hidup dan
berkembang dalam jati diri dan budaya Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang bermartabat. Demikian dikatakan oleh Ketua Asosiasi
Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI)
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. saat menyampaikan makalah
utama dalam Konperensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi)
VII yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta, di Royal
Ambarrukmo, Yogyakarta (Kabar UPI, 2012). Istilah generasi emas
menjadi sangat ramai dibicarakan setelah pidato Hardiknas tahun
2012 oleh Mendikbud M. Nuh, kendati konsep tersebut telah
disampaikan Mendikbud pada saat Rembuk Nasional Pendidikan
tahun 2011.
Namun, permasalahan yang serius adalah bagaimana konsep
tentang pencapaian generasi emas 2045 tersebut. Diklaim bahwa
Kurikulum 2013 akan menjadi jawaban terhadap permasalahan
tersebut. Namun, apakah itu cukup? Sebagaimana dikemukakan dari
awal bahwa pendidikan tidak boleh dimaknai dalam arti sempit
semata. Pendidikan berkenaan dengan segala aspek dan sendi
154
ISSN 2579-5678
kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka konsep generasi emas
2045, seharusnya menjadi isu nasional yang harus direspon secara
bersama, agar generasi tersebut tidak hanya mampu secara intelektual,
tetapi menyadari bahwa berkarakter dan berbudaya pancasila adalah
hal yang lebih mendasar.
Pendidikan dalam arti luas adalah segala kegiatan pembelajaran
yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan
kehidupan (Suhartono, 2006). Pendidikan berlangsung di segala
macam bentuk lingkungan kehidupan di mana manusia itu berdiam,
bergaul yang mendorong tumbuhkembangnya potensi cipta, rasa dan
karsa yang dimiliki individu. Lewat proses interaksi dengan
kehidupan, individu mengembangkan potensinya sehingga menjadi
dewasa, cerdas dan matang.
Dengan demikian maka pendidikan itu sendiri mendewasakan
seseorang secara fisik, cerdas secara intelek, emosi dan spritual serta
matang dalam berperilaku sosial kemasyarakatan, bangsa dan negara.
Pendidikan tidak hanya berlangsung dalam jalur formal dan non
formal, tetapi meliputi berbagai aspek. Mulai dari penyelenggaraan
pemerintah, pergaulan lintas negara, transaksi ekonomi, interaksi
sosial antar lembaga, antar kelompok, antar individu, sikap toleransi
beragama, sikap dalam berdemokrasi, berpolitik, berkomunikasi, dan
sebagainya. Karena dari sanalah individu belajar tentang kehidupan,
dan itu akan memengaruhi pikiran (thought), tindakan (act), kebiasaan
(habit), dan karakternya (character).
Mendalami bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri,
kehidupan yang berkualitas dilandasi oleh karakter, dan karakter itu
sendiri adalah amanah pancasila bagi bangsa Indonesia, maka esensi
pancasila itu harus menembus hingga ke segala aspek
penyelenggaraan pemerintahan. Pendidikan yang berkarakter perlu
dipahami secara meluas, agar pancasila itu sendiri menjadi napas bagi
seluruh bangsa Indonesia dalam berpikir dan bertindak. Baik yang
155
ISSN 2579-5678
bekerja di birokrasi, guru, BUMN, BUMD, korporasi dan lembaga
swasta lainnya. Tanpa itu mustahil generasi emas 2045 dapat dicapai.
Memperbaiki generasi saat ini menjadi generasi emas, harus
dimulai dengan memperbaiki karakter generasi usia produktif
sekarang ini. Generasi tersebut termasuk pendidik, orang tua,
pengusaha, para pejabat di berbagai sektor. Suatu yang sangat naif jika
dikatakan akan terwujud generasi emas 2045, jika generasi produktif
saat ini rusak. Pendidik, orang tua, para pejabat, pengusaha,
rohaniwan adalah guru kehidupan bagi generasi emas. Karakter
koruptor, predaktor seksual, penjahat perbankan, politikus busuk tidak
akan berbuah dengan emas. Bahkan sebaliknya akan melahirkan
generasi yang sakit secara fisik, psikis, mental dan rohani. Dunia
usaha dan dunia industri harus turut ambil bagian dalam hal ini
sebagai wujud tanggung jawab sosial yang dipikulnya. Semuanya
harus terlibat dalam pencapaian generasi emas berkarakter.
Pendidikan karakter adalah transformasi nilai Pancasila, yang
berlangsung terus sepanjang zaman (Manullang dan Prayitno, 2010).
Kemampuan bersaing persaingan secara global sangat
ditentukan oleh persiapan generasi emas yang unggul dan berkualitas,
yakni SDM yang mampu menguasai dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, cakap, cerdas dan kreatif, kepribadian
yang bermoral, dan keterampilan hidup (life skills). Artinya
kemampuan bersaing itu sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa
Indonesia untuk menyiapkan SDM yang adaptif, mampu menerima,
menyesuaikan, mengembangkan, menentukan, menciptakan, dan
mengantisipasi kebutuhan atau arus perubahan lingkungannya.
2. Narrower Sense – School System
Kebijakan pendidikan yang mengarah kepada kualitas
pendidikan di sekolah menurut Amagi (UNESCO, 1996) terdiri dari
tiga aspek: (1) peningkatan kualitas guru (upgrading the quality of
teachers); (2) disain dan pengembangan kurikulum dan materi terkait
156
ISSN 2579-5678
(the design and development of the curriculum and related matters);
(3) pengembangan manajemen sekolah (the improvement of school
management). Sedangkan untuk memajukan pendidikan di Indonesia,
pemerintah telah menetapkan peraturan No 19 Tahun 2005 tentang
delapan standar nasional pendidikan sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam rangka
mewujudkan generasi emas 2045 yang berkarakter pancasila, maka
esensi pancasila harus masuk dalam standar nasional pendidikan di
atas. Beberapa langkah sosialisasi yang dapat dilaksanakan yakni
sebagai berikut.
a. Standar Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman
penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan, yang meliputi kompetensi seluruh mata pelajaran,
kompetensi kelompok mata pelajaran, dan kompetensi mata
pelajaran atau mata kuliah. Standar kompetensi lulusan berlaku
juga untuk Pendidikan Kesetaraan (Paket A setara SD, Paket B
setara SMP/MTs dan Paket C setara SMA/MA.
Mengingat bahwa standar kompetensi lulusan digunakan
untuk penilaian kelulusan peserta didik pada jenjang satu jenjang
pendidikan maka sebelum yang bersangkutan menamatkan
pendidikannya, maka harus dipastikan bahwa salah satu
kompetensi yang dimilikinya adalah kompetensi sipritual.
Kompetensi spritual ini yang akan menjadikannya memiliki
karakter yang baik. Standar isi adalah berhubungan dengan
kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum
dan kalender pendidikan. Tapi yang lebih penting dalam hal ini
adalah kurikulum. Pendidikan di Indonesia terus mengalami
perubahan kurikulum sebagai jawaban atas perkembangan dan
relevansi dengan tuntutan persaingan terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Kendatipun kurikulum terus disesuaikan, tapi esensinya
adalah bagaimana upaya untuk menciptakan pembelajaran yang
157
ISSN 2579-5678
berkualitas. Struktur kurikulum yang disusun hendaknya
mengandung nilai karakter bangsa. Oleh sebab itu, sudah saatnya
pendidikan agama dan budi pekerti mendapat porsi beban belajar
yang lebih banyak dari sebelumnya. Di sisi lain, muatan
ekstrakurikuler perlu dirancang sedemikian rupa agar siswa
dilibatkan dalam hal-hal yang religi, misalnya perayaan hari besar
keagamaan, kegiatan sosial, pembersihan rubah ibadah, ibadah
akhir bulan, dan sebagainya.
Tanggung jawab sekolah dan perguruan tinggi sebagai
tempat berlangsungnya pendidikan dalam arti sempit adalah
menyiapkan ruang bagi perkembangan peserta didik terutama
potensi spritual sebagai pemandu potensi lainnya. Maka
sepantasnya disiapkan kurikulum, strategi, dan pendekatan yang
bernuansa pembangunan karakter mulai dari pendidikan usia dini
hingga perguruan tinggi. Keseimbangan antara sikap,
keterampilan, pengetahuan untuk membangun soft skill dan hard
skill menurut Bruner (1960) adalah sebagai berikut:
(Sumber: Depdikbud, 2012)
Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikan, maka sikap (pada level tertinggi adalah
karakter) semakin sempit, sedangkan keterampilan dan
pengetahuan semakin besar. Bagi negara-negara yang sudah maju
158
ISSN 2579-5678
barangkali ini sangat relevan. Untuk pendidikan di Indonesia, perlu
kehati-hatian dalam mengadopsinya. Penyakit bangsa ini adalah
masalah karakter. Maka pencapaian tujuan pendidikan, utamanya
diukur dengan sikap dan karakter, menyusul keterampilan dan
pengetahuan. Maka konsep “generasi emas”, seharusnya tidak
dibatasi pada generasi intelek tetapi generasi yang berkarakter
pancasila.
b. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Pendidik dan tenaga kependidikan harus benar-benar
memiliki karakter pancasilais agar dapat menjadi anutan dan
contoh bagi siswa-siswanya. Dibutuhkan pendidik yang kompeten
dari sisi keilmuwan, tetapi juga kaya akan metode didaktik, serta
memiliki karakter yang baik. Maka perguruan LPTK menjadi
faktor dominan untuk menghasilkan guru yang handal.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Sunaryo bahwa: “Lembaga
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) perlu menyiapkan
pendidikan tenaga pendidik untuk menyiapkan generasi 2045 itu,
dan manajemen ketenagaan pendidik yang profesional. Dalam
konteks penyiapan generasi 2045, peran pendidik sangatlah
penting dan masa depan bangsa ada di pundak pendidik atau guru”
(Kabar UPI, 2012).
Pendidik dan tenaga kependidikan harus memiliki karakter
yang baik, karena mereka merupakan lini terdepan yang
berhadapan secara langsung kepada peserta didik. Mewujudkan
generasi emas, harus dimulai dengan memperbaiki karakter
pendidik dan tenaga kependidikan. Selain kompetensi profesional
dan kompetensi sosial, kompetensi kepribadian harus dimiliki oleh
guru. Nilai-nilai karakter pancasila bisa disosialisasikan kepada
guru pada saat pelatihan, ataupun dalam melaksanakan pekerjaan
sehari-harinya.
159
ISSN 2579-5678
c. Standar Proses.
Proses
Pembelajaran
pada
satuan
pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan
melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi
lulusan.
Untuk menghasilkan generasi emas 2045, setiap satuan
pendidikan menyiapkan proses yang baik agar potensi peserta didik
berkembang dengan baik, terutama potensi spritual. Sosialisasi
nilai-nilai pancasila dapat dilakukan dalam proses pembelajaran.
Misalnya, untuk meningkatkan ketakwaan peserta didik, guru
memulai pembelajaran dan mengakhiri dengan berdoa sesuai
dengan kepercayaan masing-masing. Nilai sila kedua dari
pancasila dapat juga dilakukan dengan menghargai perbedaan
pendapat pada saat diskusi dalam Kegiatan Belajar Mengajar.
Antar guru dan tenaga kependidikan juga menerapkan nilai-nilai
pancasila dalam setiap pertemuan, rapat. Mengutamakan
kepentingan bersama dan musyawarah merupakan wujud dari
nilai-nilai pancasila, yakni sila ketiga dan sila keempat. Hal yang
sama dengan sila kelima dari pancasila, karakter generasi emas
dapat dibentuk dengan memberikan tugas secara adil.
Nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di
sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: (1),
kereligiusan, (2) kejujuran, (3) kecerdasan, (4) ketangguhan, (5)
kedemokratisan.
d. Standar Pengelolaan.
Standar pengelolaan meliputi kurikulum, kalender
pendidikan/ akademik, struktur organisasi sekolah/madrasah,
160
ISSN 2579-5678
pembagian tugas di antara guru, pembagian tugas di antara tenaga
kependidikan, peraturan akademik, tata tertib sekolah/madrasah,
kode etik sekolah/madrasah, biaya operasional sekolah/madrasah.
Standar-standar tersebut harus dikelola dengan baik oleh pihak
sekolah. Kepala sekolah menerapkan prinsip keadilan dalam
pembagian tugas. Sehingga tidak ada guru yang merasakan
diskriminasi.
Untuk menciptakan generasi emas, maka kepala sekolah
sebagai manajer di sekolah harus memiliki acuan-acuan yang tepat
dan adil dalam menerapkan disiplin di sekolah. Para guru juga
menempatkan posisinya sebagai guru, dan menghargai kepala
sekolah sebagai pemimpin. Komunikasi yang baik, akan
mendorong terciptanya sikap etis siswa terhadap teman dan guru,
sesama guru, dan antara guru dengan kepala sekolah. Etika-etika
yang berlangsung di sekolah dapat ditrasnformasi dalam mengelola
pendidikan, dan itu akan menjadi pelajaran bagi peserta didik untuk
bisa diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat. Jadi, intinya
bahwa, karakter pancasila harus benar-benar menjadi pedoman
dalam mengelola pendidikan di Indonesia, dan itu menjadi salah
satu variabel penting dalam rangka mewujudkan generasi emas
2045.
e. Standar Penilaian Pendidikan.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Berbagai
kebijakan dan implementasi pendidikan di Indonesia menurut
Manulllang (2013) baik oleh pemerintah di pusat, di daerah sampai
di satuan pendidikan sungguh sangat jauh dari upaya pembentukan
161
ISSN 2579-5678
karakter yang diharapkan. Kebijakan, implementasi dan evaluasi
mestinya tetap mengacu pada output karakter yang diharapkan.
Artinya, kebijakan berkarakter, implementasi berkarakter dan
evaluasi juga harus berkarakter. Pengerdilan konsep pendidikan
karakter dalam kebijakan dan implementasi merupakan ancaman
bagi eksistensi NKRI.
Oleh sebab itu, sesungguhnya evaluasi yang dilakukan oleh
guru dan satuan pendidikan harus benar-benar objektif. Penilaian
tidak hanya terbatas pada kognitif semata, tetapi secara holitistik
yakni menyangkut koginitif, psikomotor dan afektif. Dalam
konteks ini, sebaiknya penentuan ranking/peringkat termasuk
kelulusan harus didasarkan pada hal di atas. Apabila itu dapat
diterapkan, maka Ujian Nasional termasuk Seleksi Masuk
Perguruan Tinggi hanya merupakan salah satu dari syarat
kelulusan. Barangkali sistem seleksi dan ujian selama ini (yang
cenderung hanya tes kognitif) menjadi salah satu faktor, rusaknya
karakter generasi bangsa.
f. Standar Sarana Prasarana.
Sarana prasanana berkenaan dengan berbagai fasilitas yang
digunakan di sekolah dalam rangka mengembangkan potensi
peserta didik. Dalam Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang
standar sarana dan prasarana mulai dari jenjang SD hingga
SMA/SMK/MA sesungguhnya telah tercantum berbagai fasilitas
tersebut. Tetapi standar tersebut belum dipenuhi dengan baik.
Misalnya saja tempat ibadah di setiap sekolah. Sebagian besar
sekolah belum memilikinya, padahal tempat ibadah merupakan
sarana dalam mengembangkan potensi spritual peserta didik.
Untuk mewujudkan genarasi emas yang berkarakter, maka
pemerintah pusat dan daerah harus mencukupi hal ini. Dan fasilitas
162
ISSN 2579-5678
tersebut harus dapat dipergunakan dengan baik oleh sekolah dalam
rangka membimbing karakter siswa.
g. Standar Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan pendidikan menjadi objek yang sering menjadi
perhatian. Sebab banyak yang berpendapat bahwa tanpa anggaran
yang besar mustahil sekolah dapat menghasilkan keluaran yang
berkualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan sangat
penting untuk mengelola pendidikan mulai dari pusat hingga ke
jenjang satuan pendidikan. Tetapi faktanya, banyak sekolah yang
menyalahgunakan keuangan tersebut dan ujungnya masuk penjara.
Oleh sebab itu dalam mengelola keuangan sekolah harus benarbenar
memegang
prinsip
akuntabilitas
(dapat
dipertanggungjawabkan).
Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam
penyelenggaraan pendidikan, yang memberi dampak multi
dimensional terhadap
input,
proses, output dan
outcomes
pendidikan. Secara teoritis, konsep pembiayaan pendidikan
mempunyai kesamaan dengan bidang lain, dimana lembaga
pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan yang
menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang lulusannya.
E. PENUTUP
Membangun generasi emas 2045 perlu dilakukan secara holistik.
Pendidikan harus dikelola dengan tujuan menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas dari sisi spritual, emosional dan intelektualitas.
SDM yang cerdas secara spritual, akan memiliki karakter yang baik.
Karakter yang baik akan melahirkan generasi yang menciptakan suasana
kedinamisan dan keharmonisan alam beserta dengan kehidupan yang
berlangsung di dalamnya.
163
ISSN 2579-5678
Mewujudkan generasi emas 2045, tidak cukup hanya terbeban
kepada sekolah dan perguruan tinggi. Tetapi melibatkan seluruh
komponen bangsa dan negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Oleh sebab itu dibutuhkan pola pendidikan terpadu. Spirit pendidikan
yang berkarakter perlu ditumbuhkembangkan di manapun, secara khusus
di setiap lembaga sosial kemasyarakatan, dan keneragaraan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia saat ini
sedang mengalami krisis moral, krisis itu bahkan sudah mengakar dalam
setiap aspek kehidupan. Jadi, tidak heran jika pendidikan itu sendiri
rusak, karena setiap aspek kehidupan telah krisis. Maka spirit pendidikan
karakter perlu ditanamkan ke dalam diri setiap penguasa mulai dari
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selanjutnya setiap satuan pendidikan
bertanggung jawab dalam mempersiapkan ruang bagi peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya, dan itu menjadi beban moral bagi guru
untuk mewujudkannya.
Untuk mencapai generasi emas 2045 dalam perspektif filsafat ilmu
pendidikan, maka ada beberapa yang perlu dilakukan. Pertama,
reformulasi dan reorientasi tujuan pendidikan dari ukuran intelektual
menjadi ukuran afektif yang berujung pada karakter. Kedua, perbaikan
pada sistem birokrasi terutama pendidikan dan juga birokrasi lainnya.
Ketiga, secara praktis teknis perlu perbaikan dan pembenahan pada
kurikulum, sarana prasarana, pengelolaan, penilaian.
F. REFERENSI
Arif, M, A. (2012). Education for Generation: Grand Disain Pendidikan
Menuju Kebangkitan Generasi Emas Indonesia. Sulawesi Tengah:
EnDeCe Press.
Freire, P. (2007). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan.Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
164
ISSN 2579-5678
Kabar UPI. (2012). Prof. Sunaryo: Pendidikan Harus Antarkan Generasi
Emas 2045. Diakses tanggal 16 Mei 2014.
Kemendikbud. 2012. Dokumen Kurikulum 2013.
Kompas. Com. (2014). Pendidikan Berkualitas Untuk Generasi Emas.
Diakses tanggal 16 Mei 2014.
Manullang, B., dan Prayitno. (2010). Ringkasan Eksekutif: Pendidikan
Karakter Dalam Pembangunan Bangsa. Program Pascasarjana
LPTK Seluruh Indonesia.
Manullang, B. (2013). Grand Disain Pendidikan Karakter Generasi Emas
2045. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III (1), 2013
Mudyahardjo, R. (2006). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar.
Bandung: Rosdakarya
Mendikbud. (2014). Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam
Peringatan Hardiknas Tahun 2014.
Suhartono, S. (2006). Filsafat Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz
Suryasumantri, Y. (2005). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tilaar. (2012). Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045.
Makalah. Disampaikan pada Konapsi VII di Universitas Negeri
Yogyakarta, tanggal 31 Oktober – 3 Nopember 2012.
UNESCO. (1998). Report to UNESCO of the International Commission
on Education for the Twenty-first Century. Perancis: Universitaires
de France.
165
ISSN 2579-5678
166
KARAKTERISTIK KEMESIASAN YESUS
Oleh: Yulius Enisman Harefa
Abstrak
Kemesiasan Yesus merupakan legitimasi dalam Perjanjian Lama
karena Ia menunjukkan hubungan yang selaras antara nubuatan para nabi dan
kebutuhan umat-Nya. Tidak ada perbedaan karakteristik mesias dalam
nubuatan dengan karakteristik mesias yang ditampilkan-Nya, meskipun pada
saat itu masih dalam dilematis pandangan kemesiasan-Nya. Sejak Yesus
tampil hingga pada pandangan para teolog sekarang ini, belum memiliki
keseragaman terhadap karakteristik kemesiasan-Nya. Masih terdapat
pemahaman bahwa karakteristik kemesiasaan Yesus yang ditampilkannya
hanya secara rohani saja, dan tidak berfungsi pada aspek kebutuhan lainnya.
Hal ini disebabkan karena pemahaman tentang pengharapan mesianik umat
dengan apa yang ditampilkan oleh Yesus tidak koheren. Memahami hal itu
sangat mempengaruhi pada standar teologi yang dibangun. Karakteristik
kemesiasan Yesus yang dimaksudkan adalah dimana karakteristik atau sifat
mesias yang dinubuatkan sama seperti yang ditampilkan oleh Yesus. Polemik
yang terjadi dikalangan orang Yahudi dan juga kepada para teolog saat ini
perlu diberi pencerahan kembali.
Kata kunci: Karakteristik, Mesias, Holistik, Yesus
A. Pendahuluan
Setelah sekian lama orang Yahudi menantikan Sang Mesias yang
telah dinubuatkan oleh para nabi, akhirnya nubuatan itu tergenapi di
dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah penggenapan dari Perjanjian
Lama. Sentralitas kepada Yesus memberikan pengaruh terhadap
ISSN 2579-5678
“sejarah, Kitab Suci dan misi.”1 Pengaruh Yesus yang dimaksudkan
adalah: Yesus adalah pusat dari sejarah di mana hampir sepertiga umat
manusia mengaku mengikut Dia; Yesus adalah fokus Kitab Suci (Yoh.
5:39); dan Yesus adalah inti dari misi sehingga orang Kristen berani
menyeberangi daratan dan lautan, benua dan budaya demi untuk misi.
Yesus sering mendasarkan perkataan-Nya pada Kitab Suci. Bahkan,
“Perjanjian Baru berkolaborasi dengan Perjanjian Lama, memberi
kesaksian bagi pemulihan yang agung dan mulia di dalam Yesus
Kristus.”2 Identitas ini membuktikan bahwa Yesus adalah Sang Mesias
yang telah dinubuatkan itu. Orang Yahudi seharusnya bersukacita dan
menerima Dia seperti pengharapan mereka sejak semula.
Pengharapan mesianik bagi orang Yahudi memiliki paradoks
dengan kemesiasan yang ditampilkan oleh Yesus sendiri. Yesus menjadi
sasaran kebencian para pemuka agama Yahudi. Harapan-harapan
mesianik yang ditujukkan kepada Yesus semakin kandas. Hal ini terjadi
karena Yesus tidak merealisasikan seperti yang mereka harapkan.
Selama lebih dari tujuh ratus tahun Israel ditindas oleh kuk asing, tapi
kini rakyat memimpikan bahwa akan datang Sang Mesias yang akan
campur tangan untuk menghancurkan musuh-musuh mereka, dan
membebaskan mereka dari penjajahan. Karakteristik mesias yang
diharapkan lebih kepada politik, dan mesias yang akan datang tersebut
akan membebaskan mereka dari jajahan Romawi melalui perlawanan dan
perang.3 Tetapi Yesus justru tidak menggangu pemerintahan Romawi.
Kebencian mereka terhadap Yesus mencapai klimaks ketika Yesus
dibunuh. Kebanyakan pemuka agama Yahudi terganggu oleh pelayanan
Yesus, mereka merasa takut karena secara politik takut ruang gerak
mereka diperkecil oleh kekuasaan Romawi akibat gerakan yang muncul
1
John Stott, Kristus Yang Tiada Tara, (Surabaya: Momentum, 2013), 1-2.
(Selanjutnya disebut: Stott, Kristus Yang Tiada Tara).
2
Willem VanGemeren, Progres Penebusan, (Surabaya: Momentum, 2016), 360.
(Selanjutnya disebut: VanGemeren, Progres Penebusan).
3
Ibid., 377.
168
ISSN 2579-5678
di kalangan Yahudi oleh Yesus. Dalam terang harapan mesianik orang
Yahudi, kompleksitas konsep tentang mesias terjadi karena adanya
beragam kelompok yang sudah muncul di tengah-tengah orang Yahudi.
Antara apa yang idealnya dengan apa yang direalitakan oleh Yesus bagi
pandangan orang Yahudi sangat berbeda, tetapi dalam terang ilahi adalah
koheren. Bahkan dalam pandangan para teolog juga menilai karakteristik
kemesiasan Yesus berbeda dengan yang diharapkan. Donald Guthrie
berpendapat bahwa “Yesus menganggap diri-Nya sebagai mesias yaitu
kesadaran bahwa Dialah wakil Allah untuk menyelamatkan umat-Nya
dalam arti rohani dan bukan arti nasional [politik].” 4 Demikian juga
pendapat Tandiassa bahwa “pemahaman orang-orang Yahudi tentang
mesias didasarkan atas kebutuhan akan kemerdekaan, sehingga sosok
mesias yang diharapkan adalah pahlawan politik.”5 Maka, karakteristik
mesias yang akan datang adalah pahlawan politik.
Seharusnya karakteristik pengharapan mesianik orang Yahudi
sejalan dengan jalan yang ditempuh oleh Yesus karena pengharapan
mesianik tersebut berasal dari nubuatan para nabi, dan nubuatan nabi
merupakan pesan Allah yang kudus. Karakteristik kemesiasan Yesus
adalah sama dan tidak ada perbedaan dari apa yang dinubuatkan.
Demikian juga Yesus harus menampilkan sesuai dengan apa yang
dinubuatkan karena apa yang dilakukan oleh Yesus adalah penggenapan
dari nubuatan para nabi dan karena Yesus adalah Allah sendiri.
Dalam persepsi inilah karakteristik kemesiasan Yesus menjadi
polemik bagi masyarakat Yahudi dan juga bagi para teolog sekarang ini.
Dengan kata lain apakah karakteristik kemesiasan Yesus sebenarnya
berperan dalam hal rohani atau politik, atau holistik.
4
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),
272.
5
S. Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Moriel, 2010), 68.
(Selanjutnya disebut: Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru).
169
ISSN 2579-5678
B. Pembahasan
Kata “karakteristik” dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari
kata dasar karakter yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seorang dari yang lain; tabiat, watak. 6 Jadi,
karakteristik adalah ciri-ciri khusus. Dalam hubungannya dengan mesias,
maka mesias yang dinubuatkan itu memiliki ciri-ciri yang khusus.
Semenjak kerajaan Israel pecah sampai pada masa Yesus, umat
Yahudi telah memiliki konsep tentang mesias. Sebutan mesias7 berakar
dari pengertian Yahudi mengenai seorang tokoh di masa depan yang
datang untuk membawa keselamatan bagi umat Yahudi. Seorang tokoh
yang diidam-idamkan itu akan datang dari keturunan Daud. Melalui raja
keturunan Daud ini akan membawa era supremasi dan kedamaian
Yahudi.
Istilah mesias berasal dari kata “masyiah”8 yang berarti “yang
diurapi atau diminyaki.” Menurut tradisi bangsa Israel, pengurapan
sangat penting bagi seseorang yang dilantik menjadi raja dengan cara
pembaluran minyak di kepala oleh pemuka agama (seperti Daud diurapi
oleh Samuel).
France mengatakan bahwa Perjanjian Lama belum memakai istilah
mesias (orang yang diurapi oleh Allah) dengan arti sebagai tokoh yang
dipakai Allah untuk melaksanakan karya keselamatan, tetapi pada abad-abad
menjelang kedatangan Yesus istilah mesias menyempit menjadi orang yang
dipilih Allah dalam memimpin bangsa Yahudi menuju kejayaan. 9
Istilah mesias dapat dipahami dalam dua arti, yakni: pertama,
mesias dalam arti masyakh, yaitu pengurapan oleh minyak. Arti kata
mesias diambil dari bahasa Aram mesyiha, yang dialek dari bahasa Ibrani
masyiah, yang berarti yang diurapi. Di dalam Septuaginta, kedua kata ini
diterjemahkan ho kristos (χριστος) dalam bahasa Yunani, dari kata kerja
6
--------, (Karakteristik), KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 209.
--------, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2007), 57.
8
S.M. Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), 4. (Selanjutnya disebut: Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama).
9
R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang disalibkan, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 22.
7
170
ISSN 2579-5678
χριω - khriô artinya mengurapi. Istilah ini ditujukan kepada orang-orang
yang menerima tugas dan jabatan sebagai imam (Kel. 30:30; Im. 4:5),
nabi (1Raj. 19:16), dan raja (1Sam. 16:6; 2Sam. 1:14), bahkan raja kafir,
yaitu raja Koresh memperoleh pengurapan dalam melakukan tugas
khusus, namun ia tidak dijuluki sebagai mesias meskipun Allah
mengurapinya (Yes. 45:1) untuk melakukan pembebasan atas bangsa
Yahudi dari pembuangan. Kedua, meshiakh, yaitu yang diurapi. Istilah
ini ditujukan kepada seseorang yang akan tampil, tidak hanya seorang
yang diurapi, melainkan orang tertentu yang diurapi, orang yang akan
melaksanakan kehendak Allah secara istimewa. Istilah ini jarang muncul
dalam Perjanjian Lama (Dan. 9:25-26).
Para nabi Perjanjian Lama, melalui pesan mereka yang dipenuhi
Roh, memberi harapan akan pemulihan dan akan pelayanan raja
keturunan Daud (1Sam. 7:16). Di kemudian hari, nubuatan ini menjadi
nubuat akan kedatangan mesias. Namun, Mesias yang dijanjikan
bukanlah raja-raja Israel yang sudah ada ataupun raja Koresh yang
disebut sebagai orang yang diurapi Allah. Mesias yang dinubuatkan oleh
para nabi, yaitu seorang yang lahir dari kalangan Israel sendiri yang
kebesaran-Nya melebihi Daud, di mana Daud menyebut Dia adalah
Tuannya (Mzm. 110:1). Oleh sebab itu, pengharapan mesianik Yahudi
berpusat akan didirikannya pemerintahan atau Kerajaan Allah, dan
pengharapan ini sering dihubungkan dengan datangnya seorang tokoh
yang mewakili Allah untuk menjalankan pemerintahan-Nya. Tokoh
seperti itu tentulah raja, yang diurapi oleh Allah dan berasal dari dinasti
Daud. Istilah Yang Diurapi biasanya ditetapkan untuk raja, imam, atau
nabi.10 Di dalam Perjanjian Lama, pengurapan dihubungkan dengan tiga
macam orang. Pertama, dihubungkan dengan nabi. Elia diperintah agar
mengurapi Elisa sebagai nabi, menggantikan kedudukan dan peranannya
(1Raj. 19:16). Kedua, dihubungkan dengan imam. Allah memerintahkan
imam-imam diurapi dan disucikan sehingga pantas menjadi pelayan
10
Darmawijaya, Gelar-Gelar Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 79-80.
171
ISSN 2579-5678
bagi-Nya (Kel. 28:41). Ketiga, dihubungkan dengan raja. Atas perintah
Allah, Samuel mengurapi Daud di hadapan saudara-saudaranya, karena
Daud adalah orang pilihan Allah (1Sam. 16:12.13). Tiga peran yang juga
menjadi ciri tugas perutusan Yesus.
Bertolak dari latar belakang mesias tadi, maka kata Kristus adalah
persamaan dari kata mesias. Dalam bahasa Yunani mesias adalah kristos,
sehingga nama Yesus Kristus sungguh berarti Yesus Sang Mesias, atau
Yesus yang Diurapi.
1. Karakteristik Mesias Dalam Nubuatan
Para nabi menubuatkan Sang Mesias yang akan memulihkan
kembali bangsa Israel seperti yang idealnya. Masing-masing nabi
menyatakan karakteristik Mesias menurut kehendak Allah. Pada
hakekatnya Allah memulihkan manusia bukan berdasarkan kebutuhan
manusia melainkan kebutuhan Allah sendiri. Namun, dalam
pengharapan Mesias ini, kecenderungan bangsa Israel mengharapkan
berdasarkan kebutuhan mereka tanpa melihat bahwa kebutuhan Allah
yang lebih utama. Pribadi Mesias yang akan datang adalah hanya satu
pribadi, namun dalam menyampaikannya kepada umat dengan
karakteristik yang holistik. Masing-masing nabi menyatakan
karakteristik Mesias tersebut dalam situasi yang berbeda, namun
semuanya tergenapi hanya di dalam Yesus saja.
a. Mesias Yang Nasionalis
Konsep nasionalis di Israel telah muncul sejak zaman
Musa. Ideal dari nasionalis yang dimaksudkan adalah theokrasi
nasional Israel. Namun, visi theokrasi dalam Perjanjian Lama
tidak terfokus pada Israel saja. Dalam konsep theokrasi nasionalis
tersebut sangat erat terkait dengan realitas geografis dan politik.11
Tanah Kanaan adalah tanah pusaka, Yerusalem adalah istana raja
11
Richard L. Pratt, Ia Berikan Kita Kisah-Nya, (Surabaya: Momentum, 2013), 391.
172
ISSN 2579-5678
pilihan Allah, bait suci adalah tempat ibadah. Dengan
meningkatnya pewahyuan, semakin jelas bahwa perluasan
kerajaan ke seluruh dunia pada akhirnya tercapai melalui
intervensi Mesias yang penuh keagungan. Nasionalis Israel yang
ideal telah pudar pada akhir pemerintahan Salomo. Tetapi
sebelumnya, pemerintahan Daud merupakan pemerintahan ideal
yang berkenan di hati Allah sehingga Daud dipuji karena ia
memerintah atas Israel dengan menegakkan keadilan dan
kebenaran bagi seluruh bangsa.12 Era Daud merupakan era
kedamaian, keadilan, kebenaran dan kehadiran Allah. Allah
mengkehendaki pemerintahan tersebut. Daud orang yang
diperkenankan Allah, gambaran dari Mesias. Karakter Daud
diberikan untuk memahami Mesias seperti apa yang akan Allah
utus ke bumi. Melalui nabi Natan, Allah memberitahukan jika
kerajaan ini kokoh selama-lamanya (2Sam. 7:16). Nubuat nabi
Natan ini merupakan cikal bakal pengharapan mesianik yang akan
memerintah kerajaan Daud di kemudian hari. Janji tentang anak
Daud yang memerintah kerajaan ini merupakan makna baru bagi
generasi selanjutnya, yaitu seorang Mesias dari keturunan Daud.
Setelah pecahnya kerajaan Israel menjadi dua kerajaan, akhirnya
monarkhi theokrasi tidak ideal lagi. Perpecahan ini telah
berdampak buruk bagi kesatuan ibadah dan kesetiaan Israel
kepada Allah. Walter mengatakan bahwa “perpecahan kerajaan
setelah masa-masa Daud dan Salomo merupakan yang pertama
dari rangkaian krisis yang akan dihadapi Israel sebagai akibat
pengaruh dosa yang bersifat menghancurkan.”13 Bangsa Israel
akhirnya mengadopsi sinkritisme penyataan dan religi yang tidak
sehat.
12
VanGemeren, Progres Penebusan, 227.
Walter C. Kaiser, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 237.
(Selanjutnya disebut: Walter, Teologi Perjanjian Lama).
13
173
ISSN 2579-5678
Barth menjelaskan timbulnya sinkritisme bagi bangsa Israel
yaitu “Orang-orang Israel mengikuti ibadah atau cara beribadah
orang Kanaan. Ketika kemarau berkepanjangan, kepercayaan akan
berkat Tuhan diuji dan jika tetangga mengadakan upacara
kepercayaan untuk mendatangkan hujan, orang Israel bertanya
dalam hati apakah tidak sebaiknya kita ikut juga. Orang itu tidak
bermaksud meninggalkan Tuhan, tetapi menambah berkat dari
sumber lain.”14
Konsep “realpolitik dan vox populi” terbentuk dalam
kehidupan bangsa Israel sehingga meremehkan natur esensial dari
penyataan Allah sendiri. Realpolitik atau politik kekuasaan adalah
penerapan pragmatisme dari suatu teknik yang dengannya
seseorang atau sekelompok orang dapat mempertahankan
kehidupan sedangkan vox populi adalah suara rakyat.15
Tujuan dari konsep ini dengan menghalalkan segala cara
demi mencapai tujuan tertentu. Akibat dari konsep ini adalah
bangsa Yahudi tidak bersandar lagi kepada Allah YHWH tetapi
telah bercampur dengan penyembahan berhala. Dosa semakin
berkembang di tengah-tengah umat Allah. Para raja, tua-tua,
bahkan pemimpin rohani serta masyarakat cenderung melakukan
kejahatan. Akhirnya Allah marah kepada mereka dan menghukum
mereka.
Allah tidak menginginkan umat-Nya hidup dalam
perzinahan. Allah menubuatkan penghukuman kepada mereka
apabila tidak bertobat. Dalam nubuatan nabi menyerukan tentang
Mesias yang sangat nasionalis dan memperhatikan umat-Nya
sendiri. Nabi Hosea, Yoel dan Amos yang mengharapkan
“pemulihan nasionalis”16 itu. Dengan kata lain, konsep
14
Cristoph Barth, Marie Claire Barth, Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 47 (Selanjutnya disebut: Barth, Teologi Perjanjian Lama 2).
15
Willem VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, (Surabaya:
Momentum, 2011), 14. (Selanjutnya disebut: VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para
Nabi).
16
Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, (Surabaya: Momentum, 2014),
116.
174
ISSN 2579-5678
pengharapan tersebut lebih mengarah kepada politis, duniawi dan
nasionalistis sifatnya. 17 Melalui nubuatan mereka, Mesias yang
akan datang itu berkarakteristik nasionalis.
b. Mesias Yang Religius
Religi (agama) adalah “suatu sistem kepercayaan dan
moralitas yang memberikan kepada manusia suatu makna yang
mengarahkan manusia bagaimana mereka bisa hidup dalam damai
dengan lingkungan mereka.”18
Jakob juga berpendapat bahwa agama lebih menunjuk
kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia
Atas dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
hukum-hukumnya, serta keseluruhan tafsir Alkitab yang
melingkupi segi-segi kemasyarakatan.19
Allah mengharapkan umat-Nya menyembah Dia saja. Di
gunung Sinai Allah memberikan aturan-aturan peribadahan
kepada-Nya agar dalam peribadahan pun umat-Nya tetap kudus
dan tidak seperti peribadahan bangsa-bangsa lain. Maka, religi
yang dimaksudkan harus ada kaitannya dengan iman, karena
konsep agama tidak boleh terlepas dari iman. Religi yang
berhubungan dengan iman adalah suatu hubungan manusia
dengan Allah. Bangsa Israel telah diberikan aturan-aturan untuk
ditaati dan dilakukan. Tetapi, dalam perjalanan waktu, bangsa
Israel akhirnya menyembah ilah-ilah lain sehingga makna religi
yang sesunggunya menjadi pudar. Religi yang dilakukan lebih
kepada “bentuk animisme, politheisme, monotheisme, moralisme,
atau bahkan sekularisme.”20 Peribadahan umat Allah telah
tercemar hingga pada akhirnya Allah tidak berkenan kepada
17
David Iman Santoso, Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya, (Malang: SAAT,
2009), 34. (Selanjutnya disebut: Santoso, Theologi Matius).
18
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 7-8.
19
Tom Jacobs, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2015), 14. (Selanjutnya disebut: Jacobs, Paham Allah).
20
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 12.
175
ISSN 2579-5678
peribadahan mereka. Para pemimpin agama yang cenderung
melakukan kejahatan di mata Tuhan. Ketika kerajaan utara
berpisah dengan Yehuda, Yerobeam melarang rakyatnya untuk
berziarah ke Yerusalem untuk beribadah di sana. Ia tidak setuju
kalau rakyatnya menjadikan Yerusalem sebagai pusat
peribadahan mereka. Akhirnya Yerobeam memilih kota Betel dan
Dan sebagai pusat peribadahan. Kemudian ia mendirikan patungpatung anak lembu yang terbuat dari emas (1Raj. 12:26-33).
Awalnya patung-patung tersebut tidak dimasukkan sebagai
lambang dari Allah, tetapi sebagai pengalas bagi takhta-Nya.
Patung-patung ini mungkin mempunyai makna yang sama seperti
dua patung Kerubim yang terbuat dai emas dan yang terdapat
dalam Bait Allah (1Raj. 6:23). Akan tetapi masyarakat
menghubungkannya dengan kultus kesuburan yang tersebar
secara luas di Palestina pada masa itu. Yerobeam pada akhirnya
ditolak sebagai raja oleh nabi Ahia karena kesalahannya.
Kesalahan Yerobeam ialah karena membuat patung-patung anak
lembu emas ini sehingga rakyatnya memuja patung-patung
tersebut. Demikian juga di kerajaan selatan. Ketika keluarga Omri
dan kerajaan Yehuda menciptakan kedamaian, akhirnya putri
Ahab, yakni Atalya, dinikahkan dengan putra Yosayat, Yoram.
Akan tetapi Atalya mempengaruhi suaminya agar mengizinkan
ibadah kepada para baal dilaksanakan di Yerusalem. Akibat dari
perbuatan mereka akhirnya Allah mengasingkan mereka ke
pembuangan. Setelah masa pembuangan, orang-orang Yehuda
yang tinggal di Yerusalem berada dalam kondisi miskin tanpa
pemimpin, dan memiliki sedikit sekali sumber daya. 21 Atas
keputusan Koresh, bangsa Yehuda kembali ke Yerusalem. Mereka
mula-mula membangun Bait Allah di bawah kepemimpinan
21
Harry Mowvley, Penuntun Ke Dalam Nubuat Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 49.
176
ISSN 2579-5678
Zerubabel. Perkakas Bait Allah yang telah diangkut ke Babel
kembali dibawa ke Yerusalem (2Raj. 25:8-11). Pembangunan Bait
Allah dimulai di bawah pengawasan Shesbazar (Ez. 1:8).
Pembangunan ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Dari
pihak bangsa Yehuda sendiri mereka tidak terlalu antusias untuk
membangun. Mereka lebih mementingkan pembangunan rumah
mereka sendiri-sendiri (Hag. 1:1-11). Pada masa ini nubuatan
tentang mesias dari para nabi memiliki perbedaan. Nabi Hagai
mengharapkan seorang mesias pilihan Allah (Hag. 2:21-24),
sedangkan nabi Zakharia menunjuk pada dua orang mesias (Za.
4:1-14).22 Dalam pengharapan mesias sebagai raja menunjuk
kepada Zerubabel,23 sedangkan mesias sebagai imam, nabi
Zakharia menunjuk kepada imam Yosua.
Dalam kemerosotan akhlak umat Allah, akhirnya nabi
menyuarakan kembali agar umat kembali beribadah kepada Allah
dengan sempurna. Nabi menubuatkan Sang Mesias yang memiliki
karakteristik yang religius. “Nabi Yehezkiel mengharapkan
pemulihan religius”24 dari Sang Mesias yang akan datang.
Kehadiran Yesus di tengah-tengah kemerosotan ini memberikan
pandangan baru tentang konsep religius yang sejati. Tidak dapat
dipungkiri bahwa Yesus sangat religius sewaktu menjadi manusia.
Seringkali Alkitab menjelaskan bahwa Yesus melakukan sesuatu
seperti yang Bapa kehendaki. Hubungan Yesus dengan Bapa
sangat erat dan sulit dipisahkan. Yesus adalah seorang yang
religius yang dikehendaki oleh Allah sendiri.
c. Mesias Yang Moralis dan Sosial
Gambar Allah di dalam manusia terletak pada karunia yang
dicurahkan oleh Allah kepada ciptaan-Nya, yang dipilihnya untuk
22
Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, 136.
Ibid., 144.
24
Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117.
23
177
ISSN 2579-5678
menguasai bumi serta menikmati persekutuannya antara satu
dengan yang lain. Martabat manusia diekspresikan di dalam
hubungan mereka dengan Sang Pencipta dan dengan dunia
ciptaan. Manusia di dalam totalitas tubuh dan roh mereka,
merefleksikan gambar Allah dalam seluruh eksistensi mereka
yang kreatif. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia mengalami
keterpisahan hubungan dengan Allah. manusia tersebut makin
lama makin berbuat dosa. Ketidak-adilan yang dilakukan manusia
di hadapan Allah membuat Ia murka. Allah memakai berbagai
cara untuk menghukum manusia yang berdosa. Kejayaan umat
Allah sempat mencapai puncak kejayaannya seperti masa
pemerintahan Daud. Namun, kejayaan tersebut hanyalah semu.
Kejayaan tersebut diperoleh atas hasil korupsi. Masyarakat miskin
semakin melarat, sedangkan mereka yang berada dalam
kedudukan yang tinggi semakin makmur. Akhirnya tercipta
polarisasi sosial masyarakat pada kedua kerajaan tersebut.
Konteks umat Israel berhadapan dengan pengharapan mesianik
adalah berbagai penindasan di dalam negeri dan dari bangsabangsa lain. Ketika bangsa Israel berhasil ditaklukkan oleh bangsa
lain, mereka dijajah dan ditindas. Demikian juga di dalam negeri,
umat Israel menghadapi penindasan dari para pemimpin atau
penguasa yang korup dan lalim. Raja-raja menjalankan
pemerintahan sesuai keinginan dan demi keuntungannya sendiri,
sehingga rakyat atau umat mengalami penderitaan. Penderitaan
yang dialami umat Israel, yakni munculnya polarisasi sosial yang
membuahkan struktur masyarakat yang diskriminatif dan
menindas. Hal ini tidak sesuai dengan makna lingkaran keluarga
Allah yang semestinya hidup dalam kasih, damai, adil dan
sejahtera. Secara rohani, baik umat maupun para pemimpin agama
tidak berfungsi sesuai tugasnya. Maksudnya, para imam
melakukan korupsi dan kolusi dengan penguasa demi kepentingan
mereka, sehingga pada abad ke-2 s.M., golongan Qumran
178
ISSN 2579-5678
menentang para imam dan memberikan pengharapan mesianik
kepada sosok pribadi dari keturunan imam (Zadok). Nabi
Maleakhi menegur serta memperingatkan umat Israel karena
kerusakan moral dan sosial mereka.25
Bertolak dari masalah yang dihadapi umat, pengharapan
ditujukan kepada Sang Mesias yang memulihkan hubungan yang
sejati antara sesama. Para pemimpin hendak memperhatikan
kehidupan sosial masyarakat bawah. Moral umat Allah tidak
menunjukkan pada arogansi lagi tetapi mengayomi mereka dan
menjadi berkat bagi semua orang. Harapan ini ditujukan kepada
Dia yang akan datang sebagai Mesias dan memulihkan moral dan
sosial umat Allah.
d. Mesias Penghapus Dosa
Alkitab memaparkan, bahwa umat Allah dijajah, dihukum,
miskin, dan tertindas lebih disebabkan karena dosa; baik dosa
dalam pribadi maupun kuasa-kuasa struktural yang menindas.
Artinya, bahwa baik permasalahan jasmani maupun permasalahan
rohani timbul karena dosa. Perbuatan dosa atau dosa dalam
perbuatan tidak hanya merasuk bangsa Israel, tetapi manusia
seluruhnya. Tindakan polarisasi sosial, penindasan, kejahatan,
kearogansian merupakan hal-hal yang diakibatkan dosa. Inilah
yang dipersoalkan sekaligus menjadi perhatian Allah. Allah
mengasihi manusia, secara khusus umat-Nya, baik ia sebagai
pelaku, maupun sebagai korban. Bagi mereka yang berstatus
pelaku, Allah mengasihi mereka lewat teguran dan hukuman.
Allah menegur mereka bukan berarti membenci orangnya,
melainkan untuk mengubah sifat manusia tersebut agar kembali
pada hakekat manusia yang sebenarnya. Demikian juga bagi
mereka yang menjadi korban dari penindasan dan perbudakan,
25
Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117.
179
ISSN 2579-5678
Allah memberikan penghiburan dan harapan hidup sehingga
mereka merasakan kepedulian yang adil. Dalam Injil, Yesus
memproklamirkan bahwa waktunya telah genap: “Kerajaan Allah
sudah dekat” (Mrk. 1:15). Artinya, Allah sudah dekat; Allah
datang untuk melepaskan kaum-Nya yang menderita.
Jadi, tujuan Allah mengutus pembebas di dalam dunia
untuk membebaskan manusia dari segala kuasa-kuasa jahat dan
dosa, serta mempersembahkan kepada kehendak Bapa dalam
ruang lingkup kerajaan Allah, sekaligus menghancurkan bentukbentuk kuasa yang menindas manusia dan melawan Allah. Sang
Mesias yang akan datang adalah yang menghapus dosa manusia.
Melalui nabi Yesaya dan Mikha sangat jelas dalam menubuatkan
Sang Mesias yang menyelamatkan manusia.26 Hanya melalui Dia
lah keselamatan dapat terjadi di dunia ini (Kis. 4:12).
2. Perkembangan Pengharapan Mesianik Pada Zaman Yesus
Pada masa Perjanjian Baru keadaan bangsa Yahudi sangat
menderita, terutama bagi kaum atau orang-rang yang dipinggirkan
(marginal), baik politik, sosial, ekonomi maupun agama. Kenyataan
ini membuat mereka kembali mengharapkan mesias yang akan
membebaskan mereka dari penderitaan.27 Ada beberapa kelompok
Yudaisme yang terbentuk dalam menantikan kedatangan mesias
kelompok-kelompok tersebut, antara lain:
a. Kelompok Farisi
Istilah Farisi artinya yang terpisah, dan itu mencirikan
orang-orang Farisi. Mereka terdiri dari imam-imam (yang
tingkatnya lebih rendah), para tukang, para petani, dan para
26
27
Ibid.
Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, 67.
180
ISSN 2579-5678
pedagang.28 Mereka berusaha untuk mengikut Hukum Taurat
sebaik mungkin, tetapi bukan Hukum Taurat saja, melainkan adat
istiadat nenek moyang. Mereka memisahkan diri dari hal-hal
duniawi. Mereka mempertahankan ketahiran dalam kehidupan
sehari-hari.29 Mereka membenarkan diri karena melakukan
Hukum Taurat. Mereka menganggap bahwa mereka orang Yahudi
yang terbaik. Kalau mereka tidak pergi ke sorga, tidak ada orang
Yahudi lain yang bisa ke sana. Mereka mengharapkan kebenaran
dan keselamatan oleh karena mereka keturunan dari Abraham dan
melakukan Hukum Taurat serta tradisi nenek moyang. Orangorang Farisi tidak senang dengan pemerintah Roma dan ingin
menjadi merdeka. Golongan ini kecil, tetapi mempunyai pengaruh
besar dalam agama Yahudi. Kebanyakan dari rabi-rabi dan juga
anggota-anggota Mahkamah Agama adalah orang Farisi. Maka,
mereka menantikan Sang Mesias yang akan melakukan perlawan
kepada pemerintahan Romawi dan memimpin mereka dalam
pemerintahan-Nya yang baru.
b. Kelompok Saduki
Golongan Saduki pada umumnya, terdiri dari kaum ningrat.
Mereka mempunyai tanah banyak. Kebanyakan orang kaya
termasuk dalam golongan ini. Imam Besar juga dipilih dan
ditetapkan oleh golongan ini. Oleh karena kebanyakan golongan
adalah orang kaya, mereka senang dengan pemerintah Roma dan
tidak mau ada peperangan untuk menjadi merdeka, sebab
peperangan pasti membahayakan kedudukan mereka. Mereka juga
mempunyai pengaruh besar dalam agama Yahudi dan banyak juga
28
H. Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ±
330 s.M., (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 97. (Selanjutnya disebut: Jagersma, Dari
Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba).
29
Joel B. Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, (Jakarta: PPA, 2005),
50. (Selanjutnya disebut: Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul).
181
ISSN 2579-5678
yang menjadi anggota Mahkamah Agama. Perbedaan antara kaum
Farisi dan Saduki salah satunya pada pemahaman mengenai
kebangkitan.30 Namun, mereka menantikan Sang Mesias yang
sangat idealis, dimana Ia akan memimpin agama Yahudi ke dalam
peribadahan yang sejati.
c. Kelompok Herodian
Golongan ini senang dengan pemerintah Herodes dan
menyokongnya. Raja Herodes Agung dan keturunannya, yang
ditetapkan sebagai kepala-kepala pemerintah Roma di Israel,
menerima adat istiadat dan kebudayaan Roma. Mereka juga tidak
mau menjadi merdeka, tetapi menerima Kerajaan Roma di tanah
Israel. Semua orang Yahudi lain, yang ingin menjadi merdeka,
membenci orang-orang Herodian, karena mereka menyokong
pemerintah Herodes dan menerima adat istiadat orang Roma. Bagi
kelompok ini menganggap bahwa Sang Mesias itu telah datang
dan Ia lah Herodes yang memberikan kesejahteraan bagi
kelompok mereka. Sang Mesias dipahami secara liberal.
d. Kelompok Ahli Taurat
Ahli Taurat adalah ahli kitab yang mempunyai ahli untuk
menyalin Kitab Suci. Oleh karena mesin cetak belum diciptakan,
hanya ada satu cara untuk memperbanyakkan buku, yaitu, orang
harus menyalinnya dengan tangan. Oleh karena Kitab Suci orang
Yahudi begitu penting, yaitu wahyu dari Allah sendiri, penyalinan
Kitab Suci itu tidak diserahkan kepada orang sembarangan. Ahli
kitab mempunyai cara khusus, sampai menghitung kata-kata per
garis, untuk memastikan bahwa Kitab Suci itu tidak salah disalin.
Oleh karena mereka yang menyalin Kitab Suci, maka merekalah
yang tahu Kitab Suci lebih baik dari pada orang-orang lain.
30
Ibid., 51.
182
ISSN 2579-5678
Mereka jugalah yang menjadi guru untuk membaca dan mengajar
Kitab Suci kepada masyarakat. Di samping itu ahli Taurat juga
mempunyai tugas dalam pengadilan orang Yahudi sebagai ahli
hukum. Kebanyakan ahli Taurat berasal dari golongan Farisi tetapi
juga ada yang berasal dari golongan Saduki. Mereka sangat
disiplin dalam Hukum Taurat. Dalam pengharapan Sang Mesias
lebih kepada Dia yang akan datang seperti Musa yang membawa
pedang untuk membebaskan mereka dari perbudakan. Musa telah
membebaskan nenek moyang mereka dari perbudakan Mesir,
maka Sang Mesias yang akan datang juga seorang pahlawan yang
datang dengan membawa pedang di tangan-Nya.
e. Kelompok Eseni
Golongan Eseni adalah orang Yahudi yang memisahkan
diri dari masyarakat Yahudi lainnya. Tempat mereka ada di guagua. Mereka ini adalah orang-orang yang berada di Qumran.
Golongan Eseni ini mempertahankan kesucian ibadah. Golongan
ini tidak mengenal perbudakan dan pantang mengucapkan
sumpah.31 Komunitas mereka pada dasarnya adalah sebuah
komunitas eskatologis – terpisah sebagai umat perjanjian yang
tersisa bagi Allah, serta besiap-siap untuk peperangan terakhir
melawan kerajaan kegelapan.32 Karena mereka adalah para imam
yang telah mengasingkan diri, maka mereka sangat
mengharapakan Sang Mesias yang berperan dalam Bait Allah. Ia
adalah Imam dan juga keturunan imam.
f. Kelompok Zelot33
Kelompok Zelot adalah kelompok orang-orang fanatik
dalam kehidupan tradisi Yahudi yang menghendaki pembebasan
31
Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba,101.
Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, 51.
33
Ibid., 52.
32
183
ISSN 2579-5678
bangsa dari penjajahan Romawi, tetapi juga fanatik terhadap
pelaksanaaan hidup tradisi sendiri. Orang-orang Zelot sangat
menentang kebudayaan Helenisme. Mereka juga berusaha untuk
memurnikan bangsa Yahudi dari pengaruh serta penguasa asing.
Orang ini giat dalam membentuk kehidupan beradat, bangsa dan
beragama. Sikap fanatik mereka didasarkan atas keyakinan bahwa
kuasa Allah saja yang penting dan tidak ada kuasa lain yang bisa
dijadikan tumpuan hidup. Kaum Zelot tidak mau mengakui kuasa
manusia.34 Dalam pengharapan mesianiknya, mereka menantikan
Sang Mesias dari keturunan raja Daud yang akan menentang
segala kebudayaan luar dan pengaruh-pengaruh asing.
g. Kelompok Sicarii35
Kelompok Sicarii muncul pada pemerintahan Yudas
Makabeus. Gerakan ini muncul karena kekuatan sosial, politik,
ekonomi, dan rohani di Galilea yang menindas rakyat. Nama
Sicarii berasala dari kata latin sicae yang artinya pisau belati.
Sesuai dengan namanya maka mereka menggunakan pisau belati
dalam melakukan peperangan. Gerakan Sicarii ini bersifat politis
dan mesianik juga. Kelompok ini bekeinginan memulihkan
kejayaan Daud seperti yang dijanjikan Kitab Suci. Para pemimpin
berlagak seperti mesias-mesias yang siap membebaskan umatnya
dengan pertolongan Tuhan. Intinya, setiap ada gerakan
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Romawi, seringkali
tokoh utamanya diyakini sebagai mesias. Ketika Yesus hadir
ditengah-tengah mereka (Mat. 21:4-9; Luk. 19:45), sebagian
orang menganggap bahwa Dialah mesias yang dijanjikan tersebut.
Biasanya yang mengakui ini adalah orang-orang yang
34
Darmawijaya, Para Rasul Yesus: Kisah Kelompok Dua Belas, (Yogyakarta, Andi,
2011), 70.
35
Joseph A. Grassi, Perwujudan Ekaristi: Keadilan dalam Kehidupan Sosial,
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), 24-15.
184
ISSN 2579-5678
terpinggirkan. Yesus lebih dekat dengan orang-orang yang
dipinggirkan dari pada para pemimpin agama. Apalagi Yesus
sering mengecam mereka sebagai orang yang fanatik. Dalam
situasi ini, orang-orang yang selama ini saling bermusuhan (di
kalangan elit-elit agama) bersama-sama mencari kesalahan Yesus
bahkan ingin menyalibkan Dia.
Pada dasarnya orang Yahudi dan Roma tidak pernah
bersama. Walaupun umat Yahudi selalu mengikuti kehendak
pemerintahan Roma, namun dalam hati mereka ingin
memberontak untuk bebas. Tetapi dalam menghadapi Yesus,
kedua bangsa ini bekerja sama. Di sisi lain orang orang Roma
tidak mau ada gerakan pemberontak yang ingin melawan mereka.
Bahkan orang-orang yang pernah merasakan mujizat dan
menganggap Ia adalah mesias, semuanya berubah ketika mereka
melihat Yesus tidak mengarah (gerakan) politik, saat memasuki
Yerusalem. Dengan latar ini, mesias tetap mereka nantikan.
3. Pribadi Mesias dalam Nubuatan Nabi
Para nabi menubuatkan mesias yang akan memulihkan
kembali bangsa Israel seperti yang idealnya. Dalam nubuatan tersebut
ditemukan beberapa sebutan mesias, yakni:
a. Anak Daud
Ungkapan mesias sebagai anak Daud terdapat dalam
nubuat nabi Natan kepada raja Daud mengenai janji kerajaan yang
kokoh selama-lamanya (2Sam. 7:14). Janji ini merupakan dasar
dari nubuat para nabi selanjutnya yang berhubungan dengan
kerajaan mesias. Kerajaan mesias akan hadir di tengah-tengah
mereka untuk memulihkan bangsa tersebut. “Mesias itu disebut
Daud (Yer. 30:9; Yeh. 34:23-24; 37:24; Hos. 3:5), sesuai dengan
cara Ibrani yang menggunakan nama nenek moyangnya sebagai
185
ISSN 2579-5678
sebutan untuk keturunan-keturunannya.”36 Mesias yang datang
menjadi raja dari keturunan Daud akan berperan dalam bidang
politik.37 Hubungan mesias dengan Daud sehingga bentuk
harapannya berasal dari keturunan Daud, adalah: pertama, secara
garis keturunan mesias yang akan datang itu berasal dari
keturunan Daud. Hal ini terjadi karena nubuat nabi Natan tentang
mesias ditujukan kepada keturunan Daud, dalam konteks
pemerintahan, masa pemerintahan Daudlah yang menjadi tolak
ukur dan cita-cita mengakui pemerintahan yang ideal. Dalam
terang inilah mesias disebut sebagai anak Daud.
b. Anak Manusia
Istilah anak manusia dalam Perjanjian Lama dihubungkan
dengan tradisi Yudaisme, khususnya kitab Apokaliptik.38 Istilah
anak manusia mengacu pada kata adam, yang artinya anak, atau
kata eno’s yang berarti kolektif manusia.39 Setiap manusia bagi
orang Yahudi disebut anak Adam dan sejumlah manusia disebut
anak Adam. Menurut Alan Richardson, “anak ben adam sinonim
dari kata anak ben enos yang merupakan bahasa Semitik yang
biasanya digunakan sebagai jabatan nabi.”40 Dalam kitab Henokh,
perumpamaan anak manusia disebutkan sebagai makhluk surgawi
atau tokoh supranatural yang memerintah atas suatu kerajaan yang
universal dimana terdapat pelaksana keselamatan dan
penghakiman.
36
Ibid., 284.
Ibid., 285.
38
David L. Baker, Satu Alkitab, dua perjanjian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
37
25.
39
Harun Martin, Inilah Injil Yesus Kristus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 182.
Alan Richardson, An Introduction the Theology of The New Testament, (London:
SCM Press LTD, 1961), 128.
40
186
ISSN 2579-5678
c. Anak Allah
Istilah anak Allah merupakan ungkapan mesias yang paling
penting dalam pengharapan Yahudi. Namun sangat perlu untuk
menyelidiki dengan teliti penggunaan sapaan yang begitu mulia
ini dari fakta historis dalam kebudayaan Yahudi. Dilihat dari
penggunaan gelar ini dalam Perjanjian Lama, gelar ini tampil
dalam cara yang bervariasi di kalangan Yahudi. Pemikiran Yahudi
tentang anak Allah mengacu pada beberapa pengertian, yaitu:
setiap orang Israel; menunjukkan kepada seorang Yahudi yang
baik atau suci; menunjukkan kepada Raja Israel secara khusus
keturunan Daud (Mzm. 132:11; Yer. 23:5-6; 33:15-16). Dalam arti
khusus Raja Israel sebagai umat pilihan Allah adalah Anak Allah.
Keturunan Daud menunjuk pada keturunan yang lebih agung,
yang akan menjadi raja kemudian. Perjanjian Lama memberikan
suatu gagasan tentang Raja yang diurapi, dimana Raja yang
diurapi berdasarkan jabatannya itu, disebut Anak Allah.
Nubuatan Nabi adalah firman Allah. sesuai dengan arti kata
nabi, yakni penyambung lidah, maka jelas bahwa nabi adalah
seseorang yang dipakai Allah secara khusus untuk menyampaikan
kehendak-Nya.41 Allah menubuatkan mesias pertama sekali
melalui nabi Natan. Dalam nubuatan tersebut tidak dijelaskan
siapakah dia, dari mana asalnya, dan bagaimana peranannya.
Gambaran mesias yang disampaikan oleh nabi sulit dipahami oleh
manusia (umat Israel) karena konsep mesias yang disampaikan
oleh nabi adalah konsep dari Allah. Rothlisberger mengatakan
bahwa gambaran mesias dari nabi-nabi sulit dibayangkan oleh
akal manusia karena nubuat tersebut melampaui perkataan dan
pengertian manusia.42 Dalam nubuatan para nabi ditekankan
bahwa mesias tersebut adalah pembebas. Makna pembebas dari
41
Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, 268.
H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api: Para Nabi Israel, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), 136.
42
187
ISSN 2579-5678
nubuatan para nabi tidak hanya mengarah pada satu aspek
kehidupan manusia saja, melainkan berperan dalam seluruh aspek
berdasarkan kehendak Allah. Kehendak Allah adalah keseluruhan
kebutuhan manusia dari yang paling mendasar hingga kebutuhan
lainnya.43 Dengan kata lain, nubuatan mesias lebih ditekankan
pada konsep Allah, bukan pada situasi riil yang sedang dihadapi
oleh umat sebagai yang utama, meskipun kebutuhan umat adalah
konteks nubuatan nabi. Artinya, Mesias yang dinubuatkan para
nabi jauh melampaui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
umat Israel. Istilah yang digambarkan oleh nabi tentang mesias
adalah:
1) Tunas yang keluar dari tunggu Isai (Yes. 11:1-3a)
Kerajaan Israel yang dahulu menyerupai pohon besar, kini
menjadi tunggul yang tidak berarti, tetapi justru dari tunggul itu
Tuhan akan menimbulkan sebuah tunas. Ia dipelihara Roh
Tuhan, akan menjadi lebih besar, dan jauh melebihi segala raja
yang dahulu memelihara bangsa Israel.44
2) Raja dan penolong
Nabi Zakharia menubuatkan mesias sebagai raja dan penolong,
tetapi tidak persis identik dengan yang dipahami oleh umat
Israel. Ia bukan sebagai raja yang tinggi hati, melainkan lemah
lembut dan rendah hati (mengendarai keledai). Ia membawa
damai baik untuk umat Israel maupun untuk segala bangsa di
seluruh dunia (Zak. 9:9-10).45
43
W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007), 192.
44
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 264.
45
Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api, 136-137.
188
ISSN 2579-5678
3) Hamba Tuhan
Yesaya memakai istilah hamba Tuhan dalam nubuatannya
untuk menjelaskan ciri-ciri atau tugas sang mesias yang akan
datang (Yes. 49:1-3). Hamba Tuhan itu adalah oknum mesis
dari keturunan Daud pada waktu itu. Daud baru yang terakhir
yang akan datang itu dikenal sebagai keturunan yang maha
kudus, taruk dan sebagainya.46 Penderitaan yang dialami oleh
hamba tersebut demi orang lain akan menghasilkan
pendamaian antara Allah dan manusia (Yes. 53:1-9); walaupun
Ia akan tunduk terhadap penderitaan, kematian, dan
penguburan, sesudah itu Ia akan ditinggikan dan diberi
penghargaan yang berkelimpahan (Yes. 53:10-12).
4) Gembala yang baik
Gambaran tentang gembala yang baik tersebut menunjuk pada
sang penguasa yang penuh kebaikan, yang bisa diandalkan
dalam memegang peran pemimpin. Ia juga adalah gembala
yang lemah lembut. Ia membebaskan para kawanan dari segala
macam persoalan dan penderitaan. Sebagai gembala ia harus
mengurus domba-domba-Nya dengan benar dan setia.47
Berdasarkan data di atas maka peranan mesias yang
dinubuatkan para nabi tidak terfokus pada satu aspek kehidupan
saja. Nubuatan para nabi mengarahkan fokus mereka pada rencana
dan kerajaan Allah yang meliputi seluruh dunia.48
46
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 276.
Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, 78.
48
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 233.
47
189
ISSN 2579-5678
4. Karakteristik Pengharapan Mesianik vs Karakteristik
Kemesiasan Yesus
Israel dari abad ke abad mengharapkan sosok mesias yang
berperan pada masalah yang sedang dihadapi pada saat itu. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa konsep umat terhadap mesias tersebut,
yaitu mesias yang akan membebaskan mereka dari suatu himpitan dan
mengalahkan musuh-musuhnya, baik musuh dari dalam negaranya
sendiri maupun musuh dari luar. Pengharapan mereka tidak
mempunyai gambaran yang jelas bagaimana rupa dan pekerjaan
mesias yang dinantikan. Namun pengharapan tersebut berkisar
disekeliling nubuat-nubuat tentang raja dari keturunan Daud yang
akan membawa kemenangan kepada mereka. Nabi tidak memberikan
konsep mesias sebagai penunjukan orang yang pasti, melainkan
mesias berdasarkan konsep Allah. Selain itu, misi utama nubuatan
nabi adalah menuntut keadilan Allah disuarakan. Jika patokannya
keadilan Allah, maka mesias yang akan datang tersebut berasal dari
Allah.
Dengan demikan jelas bahwa mesias yang akan datang
tersebut tidak hanya berasal dari keturunan Daud, tetapi terutama Ia
dari Allah dan diutus oleh Allah. pengharapan mesianik dalam
Perjanjian Lama mengandung ketegangan. Maksudnya, mesias dalam
pemahaman umat sangat bersifat eksklusif. Mesias tersebut bertindak,
berperan dan berkarya hanya untuk kebutuhan Israel saja, sedangkan
dalam nubuatan nabi mesias itu bersifat inklusif, yakni berperan dan
bertindak meliputi seluruh manusia.
Jadi, perbedaan mesias yang diharapkan umat dan mesias
nubuatan, justru membuka pintu kepada Yesus sebagai pemenuhnya.
Seandainya nabi memberikan peranan seperti yang dipahami umat,
maka nubuatan tersebut tidak ada kaitannya lagi dengan Yesus, karena
peristiwa tersebut telah terjadi pada saat itu. Namun, kebenaran ini
perlu dibuktikan melalui penyelidikan tentang kemesiasan dalam Injil
dan penafsiran Yesus sendiri. Maka, karakteristik kemesiasan Yesus
190
ISSN 2579-5678
yang ditampilkan-Nya adalah holistik. Yesus memenuhi seluruh
aspek kebutuhan manusia.
5. Karakteristik Yang Holistik
Yesus adalah Sang Mesias yang telah dinubuatkan oleh para
nabi. Tidak ada perbedaan antara nubuatan dengan realita Yesus di
dunia ini. Semua ajaran Yesus mengarah kepada kerajaan Allah yang
kekal. Yesus menyampaikan pemahaman yang multifaset tentang
kerajaan Allah yang telah berlangsung, sedang berlangsung dan akan
datang, rohani dan politis, bumiah dan sorgawi. Kerajaan Allah sudah
merupakan realitas di dalam Perjanjian Lama. Di sana Allah
menyatakan diri-Nya sebagai Sang Raja agung atas seluruh ciptaanNya. Ia terus menopang dan memberkati secara berlimpah seluruh riil
pemerintahan-Nya dengan makanan, minuman, keindahan, dan berkat
prokreasi. Ia sungguh adalah Sang Raja dan Pencipta. Istilah raja
identik dengan kerajaan. Kerajaan yang dipimpin oleh raja yang akan
datang dalam pemahaman orang Yahudi semakin berkembang.
Matius sering menggunakan istilah kerajaaan Sorga (Allah) untuk
menyajikan bahwa mesias tersebut sangat berperan sebagai raja.
Santoso kembali mengatakan bahwa dengan banyaknya Matius
menggunakan istilah kerajaan Sorga dalam kitabnya memberi kesan
bahwa di dalam menyajikan Yesus sebagai mesias, ia juga
menyajikan-Nya [Yesus] sebagai raja.49 Ia juga adalah Penebus, yang
menyatakan diri-Nya sebagai Pahlawan Perang Ilahi,50 yang
pemerintahan-Nya meluas ke seluruh bangsa di dalam keselamatan
dan penghakiman. Pengindentikan Yesus yang erat dengan kerajaan
dan juga penekanan-Nya pada kerajaan telah memberi kesan bahwa
kerajaan itu baru. Yesus melintasi ras dan bangsa dan menjadi garam
dan terang dunia. Yesus banyak melakukan mujizat, namun kadang
49
50
Santoso, Theologi Matius, 33.
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 237.
191
ISSN 2579-5678
Dia melarang untuk mempublikasikannya agar konsep mesianik yang
dibawa-Nya tidak dipahami keliru. Yesus tidak menghendaki mereka
menempatkan-Nya ke dalam peran revolusioner politik mereka,
melainkan Yesus melakukan kehendak Allah yang universal.
Karakteristik Yesus sangat holistik karena Dia datang untuk
penggenapan nubuatan51. Dalam kontinuitas karakteristik Mesias,
maka kehadiran Yesus sangat nasionalis sesuai nubuatan yang
dipesankan oleh Allah melalui para nabi. Yohanes sendiri dalam
suratnya berkata: Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan olehNya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik
kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak
menerima-Nya” (Yoh. 1:10-11). Kata “dunia” dan “milik kepunyaanNya” menujukkan kepada tempat. Dunia sangat diperhatikan oleh
Allah, meskipun manusia tidak terlalu memperhatikan dunia. Dunia
di sini berbicara kepada seluruh manusia di dunia ini. Allah sangat
nasionalis sehingga dunia yang kepunyaan-Nya ini diperhatikan-Nya.
Secara khusus kepada milik kepunyaan-Nya adalah Yahudi.
Yudaisme diartikan sebagai “agama Yahudi”, yang baru dipakai
mulai Abad Pertengahan ketika orang Yahudi mulai membandingkan
dirinya dengan Islam dan agama Kristen. Dalam Perjanjian Lama agama
Yahudi selalu berkaitan dengan bangsa dan tanah. Tetapi dengan
imperialisme Romawi, bangsa Israel kehilangan otonomi negaranya
sehingga Yudaisme memiliki arti yang sempit yakni sebagai agama
Yahudi. Jadi, Yudaisme dalam arti agama Yahudi sudah muncul pada
periode hellenisme tahun 400-200 sM.52
Namun, orang Yahudi sendiri tidak menerima-Nya, pada hal
Ia datang untuk milik kepunyaan-Nya. Sifat nasionalis-Nya begitu
dalam meskipun milik kepunyaan-Nya tidak menerima Dia. Ia tidak
memandang ras atau kebangsaan, derajat, sosial, jenis kelamin atau
usia, tetapi Ia sangat empati dan simpati kepada semua orang.
Hubungan sosial dan moral yang baik ditujukkan oleh Yesus kepada
mereka. Yesus justru memiliki bela rasa kepada mereka yang miskin
51
52
Stott, Kristus Yang Tiada Tara, 10.
Jacobs, Paham Allah,135.
192
ISSN 2579-5678
dan tertindas. Yesus tidak melihat status, tetapi Ia sangat empati
kepada semua orang. Bela rasa adalah suatu sifat pokok Allah dan
sifat moral utama dari suatu kehidupan yang berpusat kepada Allah.53
Rasa solidaritas-Nya sangat kental sehingga sebagian masyarakat
mengharapkan Dia menjadi raja mereka. Berulang kali Lukas
mengatakan bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara
orang mati pada hari yang ketiga (Luk. 24:46). “Rencana keselamatan
Allah sedang dilaksanakan dalam diri Yesus.” 54 Yesus melaksanakanNya sebagai tuntutan atas kedatangan-Nya di dalam dunia ini. Ia harus
melaksanan peranan-Nya sebagai Hamba Allah. Stefen Leks
mengatakan bahwa selaku hamba, Ia harus mewujudkan Rencana
Bapa, Ia harus taat, biarpun kelak akan menghadapi penderitaan.55
Lukas menitikberatkan bahwa Yesus memperhatikan orang-orang
lemah, miskin, dan sesat (Luk. 6:20-21, 24-25; 19:10).56 Dari
pengertian di atas jelas bahwa kebutuhan orang banyak terjawab
dalam tindakan Yesus kepada mereka. Yesus memperhatikan mereka
tidak seperti para pemimpin Yahudi lainnya. Polaritas-polaritas yang
berkembang di kalangan Yahudi menjadikan orang yang miskin dan
berdosa (berdasarkan ukuran Yahudi) terasingkan. Dalam kedatangan
Yesus di tengah-tengah mereka menjadikan mereka sangat berharga.
Dalam Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin; dan Ia telah mengutus Aku” menunjukkan bahwa peranan
mesias sebagai utusan Allah untuk memberikan pembebasan bagi
mereka yang susah karena utang.57 Dari peristiwa tersebut
53
Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), 51.
54
Tom Jacobs, Lukas: Pelukis hidup Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 19.
55
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 127. (Selanjutnya
disebut: Leks, Tafsiran Injil Lukas).
56
B.J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9.
57
Leks, Tafsir Injil Lukas, 145-146.
193
ISSN 2579-5678
menunjukkan bahwa Yesus sangat berperan dalam keselamatan yaitu
menghapus dosa manusia.
C. Penutup
Akar dari permasalahan manusia dan kemanusiaan adalah dosa dan
kejahatan. Manusia mengalami penindasan, perbudakan, ketidak adilan,
penghinaan dan segala bentuknya, adalah karena dosa. Hal ini dialami
manusia dari abad ke abad, dari sejarah Israel hingga sejarah manusia
modern ini.
Karena itu, kebutuhan manusia yang mendasar adalah bebas dari
dosa. Dari latar belakang inilah Allah mengurapi Yesus untuk
membebaskan manusia secara utuh dari dosa. Di sinilah letak sifat, isi dan
tujuan kemesiasan dan pengharapan mesianik. Kemesiasan Yesus
bertolak dari nubuatan para nabi mengarah kepada konsep Allah. konsep
Allah tersebut akan membebaskan umat-Nya (inklusif) dari seluruh
permasalahan. Permasalahan tersebut yang menjadi kebutuhan manusia.
Allah mengetahui segala kebutuhan manusia, terutama kebutuhan yang
paling mendasar karena Ia adalah pencipta. Oleh sebab itu, dalam
nubuatan nabi, ternyata pembebas yang dinubuatkan tersebut akan
berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Injil menyaksikan kemesiasan Yesus secara keseluruhan. Artinya,
Yesus yang telah hadir di dunia ini, adalah mesias yang sebenarnya.
Kerajaan Allah yang diwartakan dalam kehidupan-Nya menyaksikan
kemesiasan-Nya yang sesungguhnya. Yesus berinteraksi kepada umatNya, terutama bagi mereka yang dianggap miskin oleh pemimpin agama.
Yesus menunjukkan bela rasa bagi mereka yang membutuhkan. Seluruh
tindakan Yesus yang di nyatakan-Nya merupakan konsep kerajaan Allah
yang sesungguhnya.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
kemesiasan Yesus bersifat holistik. Artinya, Yesus tidak berperan dalam
194
ISSN 2579-5678
satu aspek permasalahan manusia saja, melainkan keseluruhan
permasalahan manusia tersebut.
Akhirnya, yang mengatakan permasalahan yang dihadapi manusia
adalah hati, atau hidup yang telah dikuasai oleh dosa dan peranan Sang
Pembebas, yakni membebaskan manusia dalam keutuhan dan
keseluruhan hidup yang dikuasai oleh dosa dibenarkan kitab suci sendiri
bahwa karakteristik kemesiasan Yesus adalah holistik. Artinya,
permasalahan manusia yang disebabkan baik nasionalis, moral dan sosial,
dan agama (rohani) yang akarnya karena dosa, Yesus memeranginya.
Yesus tidak berperan hanya kepada satu aspek saja, ataupun kepada aspek
sosial ekonomi atau agama, melainkan semua aspek tersebut. Inilah yang
disebut “Yesus adalah Mesias yang Holistik”.
Daftar Pustaka
_____, Alkitab. Jakarta: LAI, 2010.
_____, KBBI. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
_____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: YKBK, 2007.
B.J. Boland. Tafsiran Alkitab: Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Baker, David L. Satu Alkitab, dua perjanjian. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010.
Barth, Cristoph., Marie Claire Barth, Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Borg, Marcus J. Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003.
Darmawijaya. Gelar-Gelar Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Darmawijaya. Para Rasul Yesus: Kisah Kelompok Dua Belas. Yogyakarta,
Andi, 2011.
France, R.T. Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang disalibkan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009.
195
ISSN 2579-5678
Grassi, Joseph A. Perwujudan Ekaristi: Keadilan dalam Kehidupan Sosial.
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Green, Joel B. Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul. Jakarta: PPA,
2005.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008.
Jagersma, H. Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel
dari ± 330 s.M. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Martin, Harun. Inilah Injil Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Mowvley, Harry. Penuntun Ke Dalam Nubuat Perjanjian Lama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006.
Obadja, Jeane Ch. Survei Ringkas Perjanjian Lama. Surabaya: Momentum,
2014.
Richard L. Pratt. Ia Berikan Kita Kisah-Nya. Surabaya: Momentum, 2013.
Richardson, Alan. An Introduction the Theology of the New Testament.
London: SCM Press LTD, 1961.
Rothlisberger, H. Firman-Ku Seperti Api: Para Nabi Israel. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002.
Santoso, David Iman. Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya. Malang:
SAAT, 2009.
Siahaan, S.M. Pengharapan dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008.
Stott, John. Kristus Yang Tiada Tara. Surabaya: Momentum.
Tandiassa, S. Teologia Perjanjian Baru. Yogyakarta: Moriel, 2010.
Tom Jacobs. Lukas: Pelukis hidup Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Tom Jacobs. Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi.
Yogyakarta: Kanisius, 2015.
VanGemeren, Willem. Penginterpretasian Kitab Para Nabi. Surabaya:
Momentum, 2011.
VanGemeren, Willem. Progres Penebusan. Surabaya: Momentum.
Walter C. Kaiser. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004.
196
ISSN 2579-5678
BIODATA PENULIS
Sri Mulyono, memperoleh gelar Magister Teologi dari Institute Injili
Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai Ketua STT
BMW Medan.
Freddy Teng, memperoleh gelar Doktor Teologi dari Institute Injili
Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai wakil ketua
bidang Administrasi (Waket II) di STT BMW MEDAN.
Yupiter Mendrofa, memperoleh gelar Magister Teologi dari STT Injili
Indonesia Medan. Saat ini menjabat sebagai wakil ketua bidang
Kemahasiswaan (Waket III) di STT BMW MEDAN.
Eliazer Nuban, memperoleh gelar Doktor Teologi dari Institute Injili
Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai wakil ketua
bidang Akademik (Waket I) di STT BMW MEDAN.
Suranto, memperoleh gelar Magister Pendidikan Agama Kristen dari STT
Tiranus Bandung. Saat ini menjadi dosen luar biasa di STT BMW
Medan dan menjabat sebagai koordinator bidang akademik di Yayasan
Misi Remaja Internasional.
Binahati Waruwu, memperoleh gelar Doktor Manajemen Pendidikan dari
Universitas Negeri Medan (UNIMED). Saat ini menjabat sebagai ketua
penelitian di STT BMW MEDAN.
Yulius Enisman Harefa, memperoleh gelar Magister Teologi dari STT Injili
Indonesia Medan. Saat ini menjabat sebagai ketua prodi di STT BMW
MEDAN.
197
Download