Jurnal Teologi ISSN 2579-5678 Vol. I, No. 2, Januari – Juni 2017 STT BMW MEDAN Jalan Besar Kutalimbaru, Desa Namomirik, Kec. Kutalimbaru, Kab. Deli Serdang – Sumut, 20354 Email: [email protected]; Hp. 081264067730 Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BINA MUDA WIRAWAN MEDAN Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO adalah sebuah karya ilmiah Teologi yang diterbitkan secara berkala oleh STT BMW MEDAN. Tulisan-tulisan ini merupakan wujud kontribusi pemikiran bagi STT, gereja dan kekristenan di Indonesia. Kontributor: Sri Mulyono, M.Th., Dr. Eliazer Nuban, M.Th., Dr. Freddy Teng, M.Th., Yupiter Mendrofa, M.Th., Yulius Enisman Harefa, M.Th., Rosiany Hutagalung, M.Th., Rosdiana Purba, M.Th., Pelealu Samuel G., M.Th., Alexander Tambunan, M.Th., Dr. Binahati Waruwu, M.Pd., Alexander Suranto M.Th. Para penulis dalam Jurnal ini, merefleksikan pandangan masing-masing secara unik, dan tetap dalam keyakinan yang tidak bertentangan sebagaimana diyakini oleh STT BMW MEDAN. Untuk semua jenis komunikasi yang berkaitan dengan Jurnal Teologi: BMW-GO, harap menghubungi: Yulius Enisman Harefa, M.Th. – Sekretaris Pelaksana Email: [email protected] Sekretariat Editor: STT BMW MEDAN Jalan Besar Kutalimbaru Desa Namomirik, Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang – Sumatera Utara, 20354 Email: [email protected]. HP: 081264067730 Diterbitkan oleh: STT BMW MEDAN Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO Terbit pada tahun 2017 Vol. I, No. 2, Januari – Juni 2017 Dewan Penasehat: Suranto, M.Th. (Pengurus Akademik YMRI) Pelealu Samuel G., M.Th. (Ketua LPMI STT BMW MEDAN) Pemimpin umum / penanggungjawab: Sri Mulyono, M.Th. (Ketua STT BMW MEDAN) Pimpinan Redaksi: Dr. Binahati Waruwu, M.Pd. Redaksi: Dr. Eliazer Nuban, M.Th. Dr. Freddy Teng, SE., M.Th. Yupiter Mendrofa, M.Th. Redaktur Pelaksana: Yulius Enisman Harefa, M.Th. Administrasi/Sirkulasi: Tabita Br. Sembiring, S.Th. Erni Telaumbanua, S.PAK Meldi Atur Tambunan, S.Th. ISSN 2579-5678 KATA SAMBUTAN Atas anugerah Tuhan Yesus Kristus sebagai sumber hikmat telah memberi kesempatan kepada STT BMW MEDAN untuk menerbitkan Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO volume 1, nomor 2, Januari – Juni 2017. Tiga pilar yang menjadi pijakan proses belajar mengajar tetap tertuang dalam pemikiran-pemikiran kritis pada jurnal ini. Terbitnya edisi kedua ini sebagai lanjutan atas kesadaran mengamati, meneliti, dan menganalisa hingga pada kerinduan untuk menulis yang telah dimulai dalam terbitan jurnal perdana. Dengan demikian, kehadiran Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO ini, diharapkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi dan sumbangsih ilmiah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya menyampaikan terimakasih kepada para penulis yang telah bekerja keras untuk menghasilkan tulisan-tulisan dalam jurnal ini sebagai pengembangan iklim akademis di STT BMW MEDAN. Segala masukan dan saran dari pembaca terhadap jurnal ini, kami siap menerimanya demi peningkatan kualitas Jurnal Teologi ini. Akhir kata, kiranya Tuhan membalas segala kebaikan setiap pihak yang mengambil bagian dalam pekerjaan ini. Biarlah Kristus selalu mendapat kemuliaan sebesar-besarnya dalam setiap pelayanan kita. Medan, 02 April 2017 ii ISSN 2579-5678 DAFTAR ISI Kata Sambutan ...................................................................... Daftar Isi ............................................................................... Integrasi Pelayanan Konseling dan Misi Kristen: suatu upaya Pendekatan Terapan dalam Pelayanan Sri Mulyono ............................................................... 1-36 Pengaruh Kualitas dan Pemahaman Disiplin Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus terhadap Iklim Pelayanan di Gereja Metodist Indonesia Jemaat “Gloria” Medan Freddy Teng .............................................................. 37-70 Studi Eksegesis Filipi 2:5-11 tentang Kenosis dan Hubungannya dengan Doktrin Tritunggal Yupiter Mendrofa ..................................................... 71-104 Waspadai Tanda-Tanda Akhir Zaman “666” Fiktif atau Kenyataan Eliazer Nuban ........................................................... 105-128 Spiritualitas dalam Perspektif Teologi Injili dan Penerapannya bagi Pembinaan Rohani di Pendidikan Suranto ...................................................................... 129-142 Paradigma Membangun Generasi Emas 2045 Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan Binahati Waruwu ..................................................... 143-166 Karakteristik Kemesiasan Yesus Yulius Enisman Harefa ............................................ 167-196 iii ii iv INTEGRASI PELAYANAN KONSELING DAN MISI KRISTEN: SUATU UPAYA PENDEKATAN TERAPAN DALAM PELAYANAN Oleh: Sri Mulyono ABSTRAK Manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Ia dijadikan dan hidup dalam kasih Allah serta dalam keadaan yang mengagumkan. Pun demikian dosalah yang menjadikan manusia itu jauh dari Allah, manusia mempunyai masalah dan selalu bermasalah di hadapan manusia dan Allah. Masalah itu perlu diselesaikan menurut kehendak Allah. Konseling merupakan istilah dalam penanganan masalah. Pun demikian tidak semua konseling adalah pemecahan masalah menurut kehendak Allah. Konseling yang tidak mendasarkan pada kehendak Allah adalah pemecahan masalah yang bersifat humanistik – antropologis. Konseling kristen merupakan upaya pemecahan masalah dalam kehendakNya. Konseling Kristen akan lebih ideal jika bermuara pada misi Allah yang seutuhnya. Pelayanan konseling dan misi seharusnya berjalan paralel. Praktek pelayanan konseling pada fase tertentu klien terbuka kesadarannya untuk insaf dari dosanya serta menerima Injil. Ketika hal itu terjadi maka pelayanan konseling telah menjadi jembatan bagi pelayanan misi Allah. Pun demikian sering juga terjadi ketika sedang melakukan pelayanan misi dalam bentuk percakapan penginjilan pribadi, klien menyampaikan persoalan-persoalan hidup – dan perlu upaya penanganan dan pemecahan masalahnya; kenyataan ini menjadikan pelayanan misi (melalui PI) menjadi jembatan bagi terlaksananya pelayanan konseling. Konseling bisa mengarah pada penyampaian injil atau sebaliknya penginjilan bisa mengarah pada konseling. Ketika keduanya bisa berjalan, maka pelayanan tersebut telah menjadi jembatan yang bisa saling terintegrasi. Mengintegrasikan berarti menyatukan, upaya mencapai kebulatan secara utuh. Konseling Kristen seharusnya dilakukan dalam kaitan dengan misi Allah yang seutuhnya atau sebaliknya. ISSN 2579-5678 Frasa kunci: Pelayanan konseling; Pelayanan Misi; Jembatan; Integrasi A. PENDAHULUAN Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia. Berbicara tentang manusia selalu menarik dan actual (Kejadian 1:26, 27). Terdapat gambaran utuh, karena manusia diciptakan menurut rupa dan gambarNya, dengan demikian manusia memiliki pribadi utuh dan mulia sebagaimana sifatNya. R. Laird Harris, menulis “Man was made in God’s image and likeness which is then explaned as him dominan over God’s as vicergent.”1 Sungguh mengagumkan bagi manusia yang memahami potensi dirinya di hadapan Allah. Lebih lanjut Rick Warren mengatakan “Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah – dan sebelum manusia memahaminya, kehidupan tidak akan pernah bisa dipahami2. Semua yang dijadikan Tuhan dengan keagunganNya meskipun sulit dipahami, bukan berarti tanpa arah dan tujuan. Hal ini merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep Deisme, yaitu ditegaskan setelah Allah menciptakan segala sesuatu, kemudian Ia membiarkan begitu saja tanpa ada tujuannya. Stepent Tong menegaskan dengan tegas “Ketika Tuhan menciptakan alam semesta, satu hal yang tidak dikenal oleh orang di luar kekristenan adalah bahwa alam semesta ini mempunyai tujuan. 3 Artinya, Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan; yaitu untuk Dia sendiri. Tujuan itu dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia (Roma 11:36). Dari Dia berarti, Tuhanlah sebagai sumbernya; oleh Dia artinya, Tuhanlah media untuk mencipta; dan kepada Dia artinya, Tuhan yang menerima pertanggungjawabannya. Searah dengan pengertian ini Stepen Tong mengatakan: kalau kita memahami hal ini, maka kita menyadari bahwa segala sesuatu berada dalam titik kesinambungan dimana manusia harus 1 R. Laird Harris, Theological Wordbook of the Old Testament, (Cicago: Moddy Press, 1998), 767. 2 Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2006), 18 3 Stepen Tong, Mengetahui Kehendak Allah, (Surabaya: Momentum, 1999), 29. Masih kaitan dengan hal tersebut kata tujuan diambil dari istilah Yunani “Telos, yang berarti tujuan atau makna terakhir. 2 ISSN 2579-5678 menjawab secara totalitas di hadapan Tuhan.4 Manusia harus menjadi reflector dari kemuliaan Allah yang telah menjadikannya; manusia harus memancarkan kehormatan dan kemuliaan Allah; manusia harus bisa mewakili Allah untuk menguasai dunia. Alam telah diserahkan kepada manusia oleh Allah untuk dikuasai, diusahakan dan dipelihara Kej. 2:15). Manusia yang diciptakan menurut peta dan gambar Allah itu telah gagal menempatkan diri di bawah Allah sebagaimana maksud dan tujuanNya, manusia itu berusaha menempatkan diri di atas Allah sebagaimana yang tidak dikehendaki oleh Allah. Rick Warren menegaskan: “Banyak orang berupaya memanfaatkan Allah untuk aktualisasi diri mereka sendiri, tetapi ini merupakan pemutarbalikan dan pasti gagal.5 Upaya menempatkan diri di atas Allah adalah pemutarbalikan penolakan terhadap ketentuan Allah. Lebih lanjut Rick Warren menjelaskan bahwa manusia dijadikan untuk Allah dan bukan sebaliknya, dan berarti hidup membiarkan Allah memakai manusia bagi tujuannNya. Kegagalan manusia menempatkan diri sebagaimana yang ditentukanNya telah menjadikan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia cacat dan tercela. Hal itu telah menjadikan dirinya menjadi berdosa, sehingga manusia menjadi yang dipersalahkan di hadapan Allah. Roma 3:23 tertulis: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Keberdosaan manusia telah menjadikan dirinya rusak, kecenderungan dirinya selalu menyimpang. Anthony A. Hoekema mengatakan bahwa kecemaran manusia karena dosa menjadikan natur kita yang merupakan hasil dari dosa, pada gilirannya menghasilkan dosa lebih lanjut.6 Pendapat yang sama dikemukakan Calvin: “Man’s disposition voluntarily so inclines to falsehood that he more quickly derives error from one word than truth from a wordy discourse”7 demikian juga dosa memimpin kepada berbagai persoalan berkepanjangan dalam berbagai demensi kehidupan yang harus disikapi dengan serius. Kini manusia telah menjadi hamba dosa, menjadi cemar, nilai 4 Ibid. Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2006), 18, oleh (Marthin Luther) disebut: hakekat dosa adalah manusia didalam segala sesuatu mencari kepentingannya sendiri dan bukan Allah. 6 Anthony A Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah, (Surabaya: Momentum, 2009), 256. 7 _________, Institues of the Christian Religion, Book II, Chapter II, 7. 5 3 ISSN 2579-5678 kepribadiannya menjadi merosot, terpisah dari Allah, nilai dan makna hidupnya menjadi kosong dan tak berarti. Dosa menjadikan relasi manusia dengan Allah (vertikal), maupun sesamanya (horisontal) rusak. Relasi yang rusak menjadikan tujuan Allah terhadap manusia telah menyimpang, dari memuliakan menjadi melawan Allah. Semua keteraturan tatanan yang Allah tetapkan, kini telah saling memangsa, membenci, bahkan lebih dari hal itu adalah hukuman kekal dari Allah harus ditanggung oleh manusia (Kisah. 28:27, ef. 2:2; 4:18, Matius 13:15, Roma 8:7; 5:12, 6:21). Pendapat yang serupa disampaikan oleh Geoger W Peters: dosa mendatangkan murka Allah dan menyebabkan pemisahan kekal dari Allah , yaitu kematian8. Masalah dosa harus diselesaikan, dipulihkan sehingga memulihkan kembali manusia yang terhilang di hadapan Allah. Selama bertahun-tahun bahkan sepanjang abad manusia hidup dalam pengembaraan, hidup terasing dari Allah. Apa yang dikerjakannya mencederungkan diri menentang Allah, meskipun manusia berusaha hidup baik tetapi yang keluar adalah kejahatan semata (Roma 7:19-20). Kabar baik Allah datang di tengah dunia yang bergolak dalam dosa, kabar baik itu adalah penyelesaian dosa. Kabar baik itu telah diberitahukan (Kejadian 3:15; Yesaya 9:5; Mikha 5:1). Kehadiran sang penolong itu telah disaksikan, dirasakan oleh banyak orang: Maria yang melahirkan (Matius 1:18-25; Lukas 2:1-6), para majus dari timur (Matius 2:112), Bartimeus yang buta (Mrk 10:46-52), Zakeus pemungut cukai yang korupsi (Luk. 19:1-10), Lazarus dibangkitakan dari kematian (Yoh. 11:1-44), Perempuan Samaria yang pendosa (Yoh. 4:1-42) dan banyak lagi yang lain. Karya penyelamatan itu telah digenapi: penumpahan darah telah dilaksanakan (Ibrani 9:22); kematian dan kebangkitanNya telah nyata (I Kor. 15:3,4). Jadi Pemulihan pengampunan dosa hanya ada dan akan terjadi melalui deklaratif Allah. MelaluiNya manusia berdosa dapat diselamatkan (Kisah 4:12); Dia satu-satunya jalan pendamaian yang telah ditetapkan oleh Bapa (Yoh. 14:6). Ini semua adalah bentuk deklaratif injil yang diperdengarkan, sehingga manusia menerima Juruselamat. Perlu pemecahan tuntas sehingga dunia kembali seperti maksud Allah semula. Dosa adalah sumber masalah, hal tersebut akan selesai dengan 8 Geoger W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum Mas, 2006), 18-19. 4 ISSN 2579-5678 berita injil (Missio Dei). Pemecahan masalah dalam kontek keilmuan dimaksud “konseling” kata tersebut mengandung arti membimbing, mendampingi, menuntun, dan mengarahkan; Juga adalah Misi. Konseling adalah pelayanan yang menolong jemaat yang dilakukan dalam bentuk komunikasi.9 Ada banyak upaya konseling tidak bermuara pada penyelasaian pada subsatnsi masalah konsele yang bermasalah. Begitu juga ada banyak upaya perbuatan misi yang tidak menyentuh substansi masalah setiap klien. Memang konseling tidak sama dengan pekabaran injil. Tetapi tujuan utama pelayanan konseling tidak mungkin dipisahkan dari tujuan utama pekabaran injil, yaitu kehidupan yang berkelimpahan dalam Tuhan Yesus Kristus. 10 Pelayanan konseling seharusnya selalu bermuara pada upaya deklaratif Injil; itulah idealnya. Penulis mengamati focus pelayanan konseling terkadang hanya sampai pada pemecahan masalah pragmatis, menyenangkan, membahagiakan konsele terbebas dari masalahnya saja. Pelayanan konseling tidak menyentuh dosa, padahal itulah akar masalahnya. Ada frasa (tidak semua, tetapi kebanyakan) yang terlupakan, yaitu terjadinya deklaratif Injil kepada konsele. Konseling harus bermuara pada misi. Maka Konseling telah menjadi jembatan untuk masuk dalam perbuatan misi Allah. Demikian juga upaya misi harus bermuara pada Konseling, maka pelayanan misi telah menjadi jembatan dalam pelayanan konseling. Bagaimana keduanya bisa dilakukan secara utuh dan bersinergi? Integrasi pelayanan konseling dan misi adalah dua hal yang tidak lazim; namun merupakan paralel yang semestinya dilaksanakan secara konsisten. Pelayanan konseling merupakan upaya penyelesaian masalah yang seharusnya dilaksanakan bagi setiap mereka yang dilanda berbagai demensi masalah yang berakar pada dosa. Demikian serius dosa maka perlu jalan keluar yang memadai. Substansi penyelesaiannya hanya melalui menerima, percaya kepada Yesus Kristus – menerima Injil yang menyelamatkan (Misi). Pelayanan konseling adalah upaya pemecahan masalah seseorang, sumber masalah adalah dosa karena pelanggaran kepada Allah. 9 Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22. Yakub Susabda, Pastoral Konseling Vol. 1, (Malang: Gandum Mas,), 23. 10 5 ISSN 2579-5678 B. PENGERTIAN KONSELING DAN MISI KRISTEN B.1. Konseling Kata “konseling” mengandung arti membimbing, mendampingi, menuntun, dan mengarahkan. Konseling adalah pelayanan yang menolong jemaat yang dilakukan dalam bentuk komunikasi11 Lebih lanjut Collins mengatakan pendapatnya: konseling adalah hubungan timbal balik antara dua individu, yaitu konselor yang berusaha menolong atau memimbing dan konsele yang membutuhkan pengertian untuk persoalan hidupnya. 12 Searah dengan pendapat sebelumnya, Abineno dalam bukunya memaparkan, Pastoral konseling adalah usaha yang dijalankan oleh pastor untuk membantu orang, agar ia dapat menolong dirinya dari konflik yang dialami13. Garry R Collins berpendapat bahwa konseling adalah hubungan timbal balik antara dua individu14, yaitu konselor yang berusaha menolong atau membimbing dan konsele yang membutuhkan pengertian untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya.15 Lebih lanjut Yakub Susabda memberikan definisi yang sama, yaitu Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara hamba Tuhan (Pendeta, penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konselenya (klien, orang yang minta bimbingan) dalam mana konselor berusaha membibing konselenya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conducife atmosphere) yang memungkinkan konsele itu betul-betul dapat mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia berada, sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam realsai dan tanggungjawabnya pada Tuhan 11 12 Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22. Garry R. Collins, Konseling Kristen yang Efektif, (Malang: Literatur SAAT, 1989), 3 13 Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 31. 14 Tentu timbalik yang dimaksud adalah dialok dan bukan monolog yang terjadi antara konselor dan konselenya, yang bisa melibatkan seluruh aspek kehidupan mereka masingmasing. Pun demikian kehadiran seorang konselor tidak sedang bertindak sebagai pengkotbah seperti di atas mimbar yang memberitakan firman Tuhan, nasehat, teguran mapun ajaran konselenya. Perlu disadari pula sedang berhadapan dengan seorang pribadi yang utuh, yang masing-masing memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan hidupnya. 15 Garry R Collins, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010), 13. 6 ISSN 2579-5678 dan mecoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. 16 Dapat diartikan bahwa konseling merupakan upaya yang dikerjakan oleh seorang konselor untuk menolong, menghibur, menguatkan dalam persepektif pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh seorang konsele. Karena itu konseling adalah pelayanan menolong jemaat yang dilakukan dalam bentuk komunikasi. Dalam komunikasi itu terjadi interaksi timbal balik sehingga konsele dapat menemukan jalan keluar melalui perubahan hidup dan perilaku. Interaktif yang diharapkan dapat membawa pengaruh-pengaruh tertentu, memahami, mengajak berpikir, mencari alternative solusi serta mendorong adanya sikap dan perbuatan positif. Lebih lanjut ditegaskan oleh Yakub Susabda bahwa pelayanan konseling adalah pertanggungjawaban hamba Tuhan atas kedalaman firman Tuhan. 17 Demikian dapat kita katakan bahwa peran dan peranan hamba Tuhan sebagai konselor sangat menentukan pemecahan yang diharapkan oleh konsele, tentu dengan tetap menggantungkan kuasa dari Roh Kudus yang empunya keabsolutan kuasaNya. Pun demikian tidak dapat dipungkiri juga bahwa peran itu sangat ditentukan juga oleh kemampuan hamba-hamba Tuhan dalam mengintegrasikan (mengawinkan dan mengharmonisasikan) pemikiran Theologi dan psikologi jika diperlukan. Theologi terkait dengan soal kepastian bukan asumsi, sedangkan psikologi terkait dengan analisaanalisa yang mengarah pada asumsi atau praduga-praduga tertentu. Pelayanan konseling bukan berakhir pada praduga tertentu, tetapi penyelesaian yang pasti. Maka integrasi dua keilmuan perlu dikaji; dievaluasi. Kebenaran Theologi harus menjadi acuan, sementara psikologi harus dibawah kebenaran theology. Jika ajaran Alkitab mengalami konflik dengan gagasan apapun, ajaran Alkitab akan diterima sebagai kebenaran dan gagasan lain tidak akan diterima sebagai kebenaran.18 Pelayanan konseling adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan. Hamba Tuhan akan kehilangan identitasnya jika ia menolak tugas pelayanan yang satu ini. Hal 16 Yakub Susabda, Pastoral Konseling vol. 1, (Malang: Gandum Mas), 4. Yakub Susabda Ibid, 1. 18 Larry Crabb, Koneling yang efektif dan Alkitabiah, (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 17 53 7 ISSN 2579-5678 ini dikemukakan oleh Wayne Oates yang dikutip oleh Yakub Susabda dalam bukunya Pastoral konseling volume 1, yaitu: “The pastor, regardless of his training, does not enjoy the privilege of electing whether or not he will counsel his people…. His choice is not between counseling or not counseling, but between counseling in a disciplined and skilled way and counseling in an undisciplined and unsklilled way (An introduction to Pastoral Caunseling, Nashville: Broadman Press, 1957, p vi) 19 Maka dapat direkomendasikan bahwa tugas panggilan pelayanan konseling merupakan keharusan, urgen bagi manusia (konsele) yang mengalami masalah. Pun demikian agar pelayanan konseling dilaksanakan secara maksimal, memperoleh hasil maksimal, diperlukan sikap dan kemauan bagi setiap konselor membekali diri dengan keilmuan dan ketrampilan yang memungkinkan pelayanan tersebut dilakukan dengan sebaik mungkin. Dasar Alkitabiah Pelayanan Konseling Segala bentuk kegiatan gerejawi harus dimulai dan berisi kebenaran yang bersumber pada Alkitab. Firman Tuhan yang diwahyukan melalui nabiNya, ditulis melalui ilham Roh Kudus harus menjadi dasar dalam setiap pelayanan gerjawi termasuk didalamnya pelayanan konseling. Larry Crabb mengatakan: Karena Alkitab mencakup pengungkapan Allah mengenai bagaimana Ia menangani dosa, suatu pernyataan konprehensif mengenai prinsip-prinsip ilahi bagi kehidupan, maka seorang konselor perlu mengetahui tidak ada yang lain kecuali ajaran Alkitab supaya dapat dengan efektif menangani setiap masalah yang penyebabnya bukan oraganis. 20 Implementasinya menyangkut beberapa hal yang bekaitan dengan: penugasan oleh Tuhan akan pelayanan konseling (diperintahkan); Motivasi dan oreintasi pelayanan konseling (sikap) serta tujuan yang diinginkan dari pelayanan konseling (goal). Pertama, Konseling ditugaskanoleh Allah: Beberapa ayat Alkitab yang dipaparkan di bawah ini diharapkan menjadi dasar dan acuan dalam 19 Yakub Susabda, op.cit, 11. Larry Crabb, Konseling yang Efektif dan Alkitabiah-suatu acuan untuk membantu Anda menjadi seorang konselor yang handal, (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 43. 20 8 ISSN 2579-5678 melaksanakan pelayanan konseling, yaitu: menyangkut penugasan. Tuhan sendirilah yang memberikan perintah untuk melaksanakan pelayanan konseling. Sebagai pemberi tugas Ia telah menempatkan sebagai gembala agung. Daud menegaskan pengakuannya tentang karakteristik pemberi perintah tersebut sebagai gembala yang baik; “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau bersertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa (Mazmur 23:1-6). Sebuah penegasan pengakuan kepada Tuhan yang diyakini, lahir dari pengakuan hati Daud karena pengalamannya bersama Tuhan. Demikian juga pengakuan serupa disampaikan oleh Yohanes, yaitu: “Akulah (Yesus) gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi dombadombanya” (Yohanes 10:11). Karakteristik seorang gembala yang baik ditunjukkan pada ayat (10b) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Karakteristik gembala yang tidak baik diidentikkan dengan seorang pencuri yang datang untuk mencuri dan membinasakannya (10a); identik dengan seorang upahan yang lari ketika kawanan domba yang dijaganya diserang musuh – musuhnya (ayat 11). Lebih lanjut Tulus Tu’u menegaskan bahwa Tuhan tidak henti-hentinya melanjutkan dan melimpahkan kasihNya. Yang berdosa dipanggil untuk bertobat yang tersesat dibawa pulang, yang hilang tidak dibiarkan, tetapi dicari sampai dapat.21 Demikianlah peran Tuhan sebagai gembala baik bagi umatNya. Apa yang dilakukan oleh Tuhan bukan untuk menerima balas jasa, tetapi justru memberi tanpa batas. Pemberian Tuhan bukan didasarkan karena manusia baik, tetapi justru manusia dalam kondisi tidak baik yang memang layak menerima kebaikan dariNya. Masih menurut pemaparan Tulus Tu’u mengenai peran dan kiprah Allah dalam pelayanan penggembalaan; menurutnya ada 4 kiprah yang dilakukan oleh Yesus, yaitu: 21 Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007), 10. 9 ISSN 2579-5678 Pertama, Ia tampil sebagai guru. Cara mengajar Yesus luar biasa sehingga mempesona banyak orang. Kedua, Yesus tampil sebagai pembebas. Yesus Kristus adalah Allah yang turun ke dunia untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa. Pembebasan itu merupakan pembebasan sejati (Yohanes 8:36); Ketiga, Yesus tampil sebagai penyembuh. Ada banyak sakit penyakit yang diderita manusia. Dalam pelayananNya, Yesus kerap menolong mereka. Dengan kuasaNya, Yesus menyembuhkan penderita kusta, orang lumpuh; orang buta; orang bisu dan sakit ayan; Keempat, Yesus tampil sebagai gembala. Karena Allah Bapa gembala yang baik, Yesus Kristus, putraNya pun disebut gembala yang baik. Yesus membela domba sampai titik darah penghabisan. 22 Keempat kiprah di atas telah menunjukkan betapa seriusnya perhatian Allah dalam penggembalaan terhadap para dombaNya, demikian juga keempatnya telah membawa arah pemulihan hidup manusia yang sesungguhnya. Kiprah tersebut sekaligus menjadi dasar pelayanan konseling; memberikan motivasi dalam pelaksanaan pelayanan konseling. Kedua; Konseling diperintahkan Tuhan. Inilah isi perintah itu, yaitu: “Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Jawab Petrus kepadaNya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau, kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku “(Yohanes 21:15). Pertanyaan itu disampaikan sebanyak tiga (3) kali. Kitab bahasa Inggris versi NIV memakai kata … more than these, kata These menunjuk pada arti alat untuk memancing; ikan-ikan; pekerjaan menjala ikan; dan murid-murid yang lain. Maka kemungkinan artinya mengarah pada: Pertama, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari perahu, jala dan alat-alat memancing ini? Kedua, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari engakau mengasihi murid-murid yang lain? Dan ketiga; Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari murid-murid yang lain mengasihi Aku? Sementara Wycliffe Bible Commentary: “Some understand ‘these’ to refer to the paraphernalia of fishing. If this were so, Peter could have answered without any evasion and without the use of a different word for ‘love’ than Jesus used. The very fact that Jesus probed Peter’s love in the presence of his brethren suggests that the others were involved. Peter had boasted that he would remain loyal even if the others did not (Mk 14:29)” 22 Tulus Tu’u, ibid, 12-13. 10 ISSN 2579-5678 Sebagian orang menganggap bahwa kata ‘these’ menunjuk kepada perlengkapan memancing/ menjala. Seandainya ini yang dimaksudkan, Petrus bisa menjawab tanpa menghindar dan tanpa menggunakan kata yang berbeda untuk ‘mengasihi’ dari pada kata yang digunakan oleh Yesus. Fakta bahwa Yesus memeriksa/menyelidiki kasih Petrus di depan saudara-saudaranya menunjukkan bahwa mereka terlibat. Petrus pernah membanggakan bahwa ia akan tetap setia sekalipun yang lain tidak (Mark 14:29). Penegasan kata “Gembalakanlah domba-dombaKu” merupakan perintah yang ditujukan kepada Simon Petrus supaya melakukan - disampaikan sebanyak tiga kali. Demikian juga jawaban Petrus tetap berada dalam komitmen yang sama, kesediaan yang sama, motivasi yang sama. Bagi Yesus telah nyata bahwa Petrus sungguh mengasihiNya, sehingga Ia layak memberi tugas penggembalaan dariNya. Jadi seseorang akan mampu mengasihi domba-domba gembalaannya, hanya jika ia telah mengasihi Yesus terlebih dahulu. Tulus Tu’u menegaskan: Tanpa mengasihi Kristus, mustahil kita mampu mengasihi domba-dombaNya.23 Ketiga; Sikap dan Motivasi konseling. Sikap merupakan prinsip yang tidak bisa diabaikan bagi pelaku konseling. Sikap tersebut ditegaskan dalam alkitab sebaga sumber etis pelayanan konseling. “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. (I Petrus 5:2-3) Ada beberapa kata penegasan yang seharusnya menjadi prinsip dalam penggembalaan, yaitu pertama, kata “Gembalakanlah” Alkitab versi NIV memakai kata: ‘Be shepherds’ (Jadilah gembala-gembala). Dalam versi NASB dipakai : ‘shepherd’ (Gembalakanlah).24 Penegasan yang ingin disampaikan adalah harus mau melayani, harus mau menggembalakan. Kontek surat ini ditujukan kepada orang percaya yang sedang teraniaya dan Tulus Tu’u, Ibid, 15. www.gkri_exodus. Eksoposisi I Petrus5:2-3, diunduh pada tanggal 10 Mei 2012, jam 22.00 23 24 11 ISSN 2579-5678 mengalami penderitaan. Dalam kondisi seperti ini pun juga harus melayani. Kedua, “kawanan domba Allah yang ada padamu”, teks versi KJV: ‘the flock of God which is among you’ (kawanan domba Allah yang ada di antaramu). Sementara versi RSV: ‘the flock of God that is your charge’ (kawanan domba Allah yang adalah tanggung jawabmu). Sementara versi NIV: ‘God’s flock that is under your care’ (kawanan domba Allah yang ada dalam pemeliharaanmu).25 Memperhatikan kata The flock of God, kata tersebut dalam kata Yunani dipakai kata Tou Theou, bentuk genetif yang mengarah pada arti kepemilikian. Kawanan domba itu adalah milik kepunyaan Allah dan bukan milik seseorang. Lebih lanjut Tulus Tu’u mengingatkan bahwa para pemimpin jemaat dan koselor bukanlah penguasa atas domba-domba.26 Ketiga; “Jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah. Hal ini sejajar dengan prinsip yang ditegaskan oleh Yesus; Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombaNya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan bukan pemilik domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-dobma itu (Yoh. 10:11-12). Keempat, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Kata yang dipakai dalam KJV: ‘not for filthy lucre’ (bukan untuk uang yang kotor). Menurut RSV: ‘not for shameful gain’ (bukan untuk keuntungan yang memalukan). Dalam versi NIV: ‘not greedy for money’ (bukan tamak akan uang). Begitu NASB: ‘and not for sordid gain’ (dan bukan untuk keuntungan yang kotor). Penggembalaan dengan motivasi upah tidak akan bermanfaat bagi manusia, demikian juga tidak berkenan di hadapan Allah. Penggembalaan dengan orientasi keuntungan pribadi hanya akan membawa pada ketamakan, kesombongan. Penggembalaan tidak boleh dilakukan dengan keterpaksaan, artinya tidak boleh dilaksanakan diluar kemauan sendiri atau karena terdesak oleh keadaan. Penggembalaan yang dilakukan berdasarkan motif-motif lain27, 25 Ibid. Tulus Tu’u, ibid, 17. 27 Motif lain adalah motif yang bersumber diluar hati dan semangat iman Kristen, menyimpang dari kebenaran Alkitab. Motif-motif ini hanya akan memundurkan pengabdian 26 12 ISSN 2579-5678 maka hal ini menandakan ketidaktulusan. Keiklasan motif menandai adanya iman dan kasih kepada Kristus. Seorang konselor harus meyakini bahwa Allah sangguh menolong dan memelihara hidupnya. Allah menegaskan janji pemeliharaan bagi alatnya, “Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkhota kemuliaan yang tidak dapat layu,” (1 Petrus 5:4). Sebaliknya yang tidak memelihara dombaNya dengan baik akan dimusnahkan. Keempat; Sikap yang dikecam Allah dalam konseling. Gembala yang melarikan diri, tidak memperhatikan keadaan domba-dombanya dengan baik adalah tipologi gembala yang dikecam Allah (Yoh. 10:12, 13). Allah mengecam praktek penggembalaan yang dilaksanakan di luar ketentuan prinsip yang telah ditetapkanNya. Kecaman Allah sangat keras, tegas, yaitu: Lalu datanglah firman TUHAN kepadaku; “Hai anak manusia, bernubuatlah melawan gembala-gembala Israel, bernubuatlah dan katakanlah kepada mereka, kepada gembala-gembala itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalkan oleh gembalagembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman. Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak ada, dan mereka menjadi makanan bagi segala binatang di hutan. Dombadombaku berserak dan tersesat di semua gunung dan disemua bukit yang tinggi; ya di seluruh tanah itu domba-dombaKu berserak, tanpa seorang pun yang memperhatikan atau mencarinya. Oleh sebab itu, hai gembala-gembala, dengarkanlah firman TUHAN: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH , sesungguhnya oleh karena domba-dombaKu menjadi mangsa dan menjadi makanan bagi segala binatang di hutan, lantaran yang menggembalakan tidak ada, oleh sebab gembala-gembala-Ku tidak memperhatikan domba-dombaKu, melainkan mereka itu menggembalakan dirinya sendiri, tetapi domba-dombaKu tidak digembalakannya – oleh karena itu, hai gembala-gembala, dengarlah firman ALLAH; Aku sendiri akan menjadi lawan gembala-gembala itu dan Aku akan menuntut kembali dombadombaKu dari mereka dan akan memberhentikan mereka menggembalakan domba-dombaKu. Gembala-gembala itu tidak akan terus lagi konselor, dan bukan memajukan, mendinamiskan gerak langkah pelayanan penggembalaan umat Tuhan. 13 ISSN 2579-5678 menggembalakan dirinya sendiri: Aku akan melepaskan domba-dombaKu dari mulut mereka, sehingga tidak terus lagi menjadi makanannya. (Yehezkiel 34:1-10) Kecaman yang disampaikan Tuhan melalui Nabi-Nya sungguh sangat mengerikan. Kecaman tersebut perlu disikapi dengan serius. Hal ini menandakan betapa Tuhan sangat mengasihi domba-domba gembalaanNya pada satu sisi, tetapi tegas terhadap oknum perusak, pembunuh, kepada yang mengabaikan tanggungjawab penggembalaan pada sisi yang lain. KasihNya ditunjukan dengan mengawasi, menjagai domba gembalaanNya siang dan malam. Sungguhnya tidak terlelap dan tertidur penjaga Israel (Mazmur 121:4). Tuhan melihat ke bawah dari surgaNya yang kudus, (Maz. 14:2a). KetegasanNya ditunjukkan dengan kecaman, ancaman terhadap yang mencerai beraikan. Zaman modern ditandai dengan sikap arogansi dan indivudualisme. Maka kemunduran adalah salah satu segi dari situasi itu. Kecaman Allah terhadap gembala dalam kontek ayat di atas Adalah sebuah fakta terjadi kemunduran sikap; motivasi dan prilaku penggembalaan. Perlu disadari kemunduran motivasi penggembalaan terkadang disebabkan oleh faktor-faktor internal, tetapi juga bisa disebabkan oleh faktor eksternal yang bersangkutan. Faktor dari dalam biasanya terkait dengan pemuasan keinginan diri28, Penyimpangan juga bisa terjadi karena perspektif pengajaran dan pengetahuan seseorang. Garry R Collin berpendapat bahwa apa yang kita pikir dan timbang mengenai diri kita sangat menentukan perasaan dan tingkah laku kita. Jika kita melihat melalui persepektif Tuhan, pastilah pengenalan terhadap diri kita menjadi lebih positif. 29 Jadi Penyimpangan bisa disebabkan oleh penerimaan citra diri yang salah. Persepektif diri yang tidak lengkap30. Kemudian yang merupakan faktor 28 Dalam teori tingkat kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow kebutuhan dasar manusia adalah keinginan terpenuhinya kebutuan akan makan, sandang yang merupakan kenyamanan fisikly seseorang. Kebutuhan dasar manusia (Hamba Tuhan / konselor) sering kali mampu menggeser motif dan komitmen terhadap pelayanannya. Penuis banyak menemukan kasus serupa terutama diberbagai daerah pelayanan pedalaman. 29 Garry Collin, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010), 115. 30 Manusia gambar Allah (Imago Dei) adalah kesempurnaan sifat dalam Allah, Manusia Kristen adalah manusia Kristus. Manusia yang telah dilahirbarukan melalui Roh Kudus dalam batiniahnya sehingga terlihat dalam rupa dan rasa buah Roh Kudus (Galatia 14 ISSN 2579-5678 eksternal adalah ancaman dan intimidasi yang menghambat, menyerang pribadi gembala. Lebih lanjut Garry R Collin mengatakan bahwa memang banyak orang karena sebab-sebab tertentu, misalnya kesulitan ekonomi, dan besarnya tanggung jawab dalam pekerjaannya, mengalami kesulitan untuk dapat melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan rohani.31 Sebelum kita membimbing, memperhatikan dan mengajar orang lain untuk mengasihi sesama, tentu sangat penting bagi kita untuk mengerti benar-benar pergumulan diri kita sendiri. Seorang Konselor atau gembala harus selalu ingat, bahwa kita adalah bagian dari tubuh Kristus baik secara umum maupun secara khusus. Kehadiran konselor adalah untuk memuliakanNya; kemuliaanNya; dan bertumbuh dalam iman karena Dia, membagikan kabar baik serta ikut menanggung beban sesama (dombadomba Allah). Bons Strom, mengutip perkataan JW Herfst mengatakan bahwa penggembalaan adalah”Menolong setiap orang untuk menyadari hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri. 32 Maka penting memahami diri dalam persepektif Tuhan dan pekerjaanNya di dalam dunia ini. Garry Collins memberikan ciri-ciri seorang konselor Kristen yang baik, yaitu: Pertama; Seorang konselor Kristen yang efektif tentu mempunyai kerohanian yang baik. Seseorang yang sudah menerima Kristus menjadi Tuhan dan Juruselamat, ia menyerahkan dirinya untuk mengikut Kristus, menyalibkan hawa nafsunya dan berjalan di dalam pimpinan Roh Kudus. Memiliki kehidupan yang ditandai dengan buah Roh, yaitu: Kasih, sukacita; damai sejahtera, kesabaran; kemurahan, kebaikan; kesetiaan, kelemalembutan dan penguasaan diri. Kedua; Seorang konselor Kristen harus lemah lembut (Galatia 6:1). Roh yang lemah lembut tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengatakan apa yang tidak disukai untuk didengar dan dilakukan oleh konselor. Kadang-kadang kita harus tegas, namun juga t etap lembut, sensitive, kepada mereka yang datang dengan berbagai persoalan. Ketiga; Seorang konselor Kristen harus bersedia menolong meringankan beban (Galatia 6:2). Ini tidak mudah. Sering kali sulit, tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Firman Tuhan kita harus meringankan beban satu 5:19-22). Masih terkait dengan topic Imago Dei Pilatus mengatakan “Lihatlah manusia itu” (Yohanes 19:5). 31 Garry Colin, ibid,121. 32 Bons Stroms, Apakah Penggembalaan itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1 15 ISSN 2579-5678 dengan yang lain. Ada saatnya kita menolong; ada saatnya pula kita membiarkan orang lain menolong kita. Seperti Kristus mengasihi, demikian pula kita harus saling mengasihi (Yohanes 13:35); saling meringankan beban, dengan demikian kita memenuhi hukum Kristus. Keempat; Seorang konselor Kriten harus bersifat rendah hati. Seorang konselor Kristen dapat dikenali karena kerendahan hatinya, Ia tidak menyombongkan diri, melainkan ia melihat, bahwa karena anugerah dan kebijaksanaan dari Tuhan saja ia dapat menolong orang lain. Ia menguji dirinya sendiri, tidak bermegah melihat keadaan orang lain, dan mau menanggung bebannya sendiri, bahkan mau belajar dari orang yang minta tolong kepadanya (Galatia 6:6) Kelima; Seorang konselor Kristen harus bersifat sabar. Ia tahu apa yang ditabur orang itu juga yang akan dituainya. Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan (Galatia 6:7, 8). Sangat mudah bagi konselor untuk menyerah dan putus asa bila kondisi konsele tidak bertambah baik (6:9). Keenam; Seorang konselor Kristen harus bersifat rajin berbuat baik (Galatia 6:10). Pelayanan konseling adalah bagian integral dari hidup konselor itu sendiri. Perbuatan baik dalam konseling tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pribadinya dan merupakan cermin dari kehidupan sehari-hari di luar konteks pelayanan konselingnya. Prinsip-prinsip untuk menolong orang lain ini harus dipupuk, semakin jelas dan bertumbuh dalam Tuhan. 33 Dengan demikian titik permulaan untuk semua konselor adalah hubungan mereka dengan Tuhan, yang ditandai dengan kasih (Yohanes 13:34-35). Memiliki komitmen untuk menolong dengan kasih. Memiliki citra diri yang baik; keteladanan hidup yang baik. Tujuan Pelayanan Konseling Kata tujuan dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti “Arah, Haluan (jurusan); yang dituju, yang dimaksud”.34 Kegiatan pelayanan konseling harus memiliki tujuan sebagai arah, yaitu: Pertama; Untuk pelayanan dan penyembahan. Sebab tujuan dan sasaran utama pelayanan konseling adalah menyenangkan Allah setiap saat. Hal serupa juga disampaikan Larry Crabb: Alasan dasar yang alkitabiah untuk menyelesaikan masalah pribadi anda seharusnya adalah keinginan untuk 33 34 Garry Collins, ibid, 27-29 www.Google.com, diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam 13.00 16 ISSN 2579-5678 memasuki suatu hubungan yang lebih dalam dengan Allah, untuk lebih efektif menyenangkan Dia melalui penyembahan dan pelayanan.35 Kedua; Untuk kedewasaan iman. Kolose 1:28 memberi petunjuk bahwa disain konseling Kristen adalah untuk memperkenalkan kedewasaan Kristen. Hanya orang Kristen yang dewasa yang akan masuk lebih dalam kepada sasaran akhir hidupnya, utamanya penyembahan dan pelayanan. Dengan demikian konsele akan memberi tanggapan terhadap masalah yang dihadapinya, dan selanjutnya bertumbuh ke atas ke arah Kristus (Efesus 4:15). Lebih lanjut Larry Crabb mengatakan: Sasaran dari konseling alkitabiah adalah untuk memperkenalkan kedewasaan Kristen, untuk menolong orang-orang memasuki suatu pengalaman yang lebih dalam tentang penyembahan dan suatu kehidupan pelayanan yang lebih efektif. Dalam jangkauan yang luas, kedewasaan Kristen dikembangkan dengan: a) menangani masalah yang timbul secara langsung dengan sikap konsisten dengan ajaran Alkitab; b) mengembangakn karakter ke dalam yang membentuk karakter (sikap, keyakinan, tujuan Kristus, yaitu ke atas).36 Sementara itu Tulus Tu’u memberikan uraian pendapat tentang tujuan pelayanan konseling Kristen secara mendetail sebanyak sepuluh item, yaitu untuk: Pertama; Mencari yang bergumul. Jika ada jemaat yang bergumul dengan berbagai macam problem, gereja wajib mengunjunginya. Mereka ini rentan dan rapuh terhadap godaan dan bujuk rayu kekuatan roh-roh jahat. Tidak mustahil mereka dengan sangat mudah meninggalkan iman dan kepercayaannya. Nabi Yeheskiel mengungkapkan: yang hilang akan dicari; yang tersesat akan dibawa pulang, yang luka akan dibalut, yang sakit akan dikuatkan, yang gemuk dan yang kuat akan dilindungi (Yehezkiel 34:16). Kedua; Menolong yang membutuhkan uluran tangan. Konseling adalah sebuah proses pelayanan untuk menolong konsele. Sebaliknya konselor adalah pihak yang memberi pertolongan. Konselor adalah utusan Kristus untuk menolong konseli yang terperosok. “Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu. Ya Tuhan! Tuhan, dengarlah suaruku! Biarlah telingaMu menaruh perhatian kepada suara permohonanku (Mazmur 130:1). Jadi konseling adalah proses menolong konsele yang ada dalam jurang ketidakberdayaan. Ketiga; Mendampingi dan membimbing. Mendampingi juga kegiatan untuk menolong konsele. Mendampingi terkait dengan membimbing. Pendampingan tidak berada di depan, tetapi di sisi, di samping yang didampingi. Sementara membimbing di sini dilakukan melalui respon percakapan yang interpretative 35 Larry Crabb, Konseling yang efektif dan Alkitabiah (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 16 36 Larry Crabb, ibid, 27 17 ISSN 2579-5678 yang mengajak berpikir; menuntun, mengajar, menerangkan dan membimbing. Dengan respon interpretative, maka yang didampingi akan semakin memahami sebab-sebab; akibat-akibat; hal-hal penting dari persoalannya dan ia sadar akan keberadaan dirinya. Keempat; Berusaha menemukan Solusi. Pelayanan konseling seharusnya mengajak konsele berpikir dan memikirkan problemnya secara bersama-sama dengan konselor. Peran konselor dalam hal ini adalah memberi pengarahan dan memimpin percakapan menuju satu titik yakni menemukan solusi. … Jadi peran konselor adalah memimpin percakapan untuk memberi pengarahan menuju dan menemukan solusi dalam respon action. Kelima; Memulihkan konsele yang rapuh. Musibah; kemalangan, konflik, problem; belenggu dosa merupakan kekuatan yang amat dasyat yang menggerogoti hidup manusia. Atau mungkin sebaliknya, kelihatan bahagia, baik-baik dan tak terjadi sesuatu, tetapi didalam hatinya berkecamuk kerumitan dan keruwetan. Seolah-olah nampak kokoh, tetapi sesungguhnya rapuh dan lemah. Konseling adalah proses menolong; berupaya membantu konsele memulihkan kondisinya yang rapuh itu. Menolong menemukan solusi agar mampu mengatasi kerapuhan dirinya. Kekuatan yang melimpah hanya berasal dari Allah, bukan dari kami (2 Korintus 4:7). Pada arah inilah percakapan konseling itu diarahkan. Keenam; Perubahan Sikap dan perilaku. Proses menolong dalam konseling tidak cukup hanya sampai pada harapan, sebab jika demikian percakapan itu hanya sampai pada wacana saja. Untuk itu percakapan harus diupayakan sampai pada respon action. Pada tahap ini konselor harus berusaha memotivasi agar konsele dapat mengambil langkah-langkah tertentu atau keputusan tertentu. Konseling akan menjadi indah apabila konselor berhasil membawa konsili sampai mau berbuat sesuatu demi menuntaskan problemnya. Sehingga prosesnya akan membawa dampak positif bagi perbaikan kondisi konsele. Pertobatan, keadilan dan kebenaran membuat orang memperoleh hidup sebagaimana hidup yang Tuhan kehendaki (Yeheskiel 18:27, 28) Ketujuh; Menyelesaikan Dosa melalui Kristus. Kekuatan dosa adalah kekuatan yang selalu mengakibatkan dan menghasilkan hal-hal buruk bagi hidup manusia. “Janganlah berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk lagi” (Yohanes 5:14). Dosa yang tidak diselesaikan akan menghilangkan damai sejahtera; ketentraman, ketenangan, kebahagian dalam diri seseorang. Konselor perlu menolong konsele untuk menyadari keadaan dirinya yang tidak bersih dihadapan Tuhan. Kedelapan; Pertumbuhan Iman. Konseling seharusnya mendorong terjadinya pertumbuhan iman konsele. Ia bertumbuh dalam iman yang semakin kuat dan teguh. Mengalami iman yang hayati. Iman akan bertumbuh jika ada kecintaan akan firman. (Roma 10:17). Kesembilan; Terlibat Persekutuan Jemaat. Orang yang terlibat dalam persekutuan jemaat, ia akan saling mendukung, saling mendoakan dengan sesama anggota yang lain, sehingga dapat melawan godaan bersama-sama, sebaliknya jika ia menjauhkan diri dari kawanan domba, seluruh pergumulan ia 18 ISSN 2579-5678 tanggung sendirian. Tugas konselor harus membantu dan menyadarkan konsele berjumpa dengan Kristus dalam persekutuan. Mendorong untuk mau terlibat dalam persekutuan jemaat. “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasehati, dan semakin giat melakukkannya (Ibrani 10:25). Kesepuluh; Mampu menghadapi persoalan selanjutnya. Pribadi dewasa adalah pribadi yang bijak, hati-hati berkata-kata dan bertindak, emosi cukup stabil, mampu melihat masalah secara positif. Pelayanan konseling harus mengarahkan konsele mampu mendewasakan diri. Dengan kepribadian yang dewasa diharapkan konsele semakin mampu menghadapi dan mengatasi persoalan yang mumcul diwaktu mendatang. “Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku (Filipi 4:13). 37 Prosedur dan masalah Pelayanan Konseling Prosedur Konseling Prosedur merupakan tahapan, langkah untuk menyelesaikan aktifitas; metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah.38 Pelayanan konseling perlu suatu prosedur yang menjadi tahapannya. Garry Collins membagi tahapan proses konseling menjadi empat tahap, yaitu: Pertama; Fase introduction – Understanding (Pendahuluan); Kedua; fase goal – Setting (Penetapan tujuan); yaitu Ketiga; Fase Solution – akctivity (Mengerejakan penyelesaian); Keempat, fase termination– Launching (terminasi akhir)39. Introduction - Understanding (Pendahuluan); yaitu permulaan konseling. Pada tahap ini setidaknya ada tujuan yang ingin dicapai, antara lain: bertemu dengan konsele; membangun hubungan baik serta menjelaskan persoalan yang dihadapi konsele. Fase Goal – Setting / Fase Penetapan Goal; Hanya dengan pertolongan Tuhan saja konselor dapat mulai mengerti diri konsele, hanya dengan bijaksana yang dari Tuhan konselor dapat menolong konsele yang datang kepadanya. Olehnya seorang konselor harus mampu dan mau merendahkan diri di hadapan Tuhan. Garry Collins berkata: Dengan pertolongan Tuhan dan Tulus Tu’u, op.cit., 29-39 www.Google.com, Diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam.13.00 39 Garry R Collins, op.cit. 64 37 38 19 ISSN 2579-5678 kesungguhan untuk mendengar; maka kita akan sampai pada persoalan yang sebenarnya.40 Fase Solution – Activity / Fase Mengerjakan Penyelesaian; Tugas utama seorang konselor adalah mendorong konsele untuk memulai, memberikan semangat pada mereka mencoba menyelesaikan masalah dengan banyak latihan, memberi saran. Garry menambahkan, seorang konselor Kristen harus juga memikirkan mengenai kerohanian konsele dan memberi bimbingan praktis dan realistis mengenai bagiamana Kristus dapat mengubah kehidupan seseorang.41 Terminating – Launching Phase / Fase Terminasi Akhir; Apabila konselor dan konsele sudah mengerti persoalannya, membicarakan secara rinci, mencapai beberapa tujuan, dan mulai dapat mengatasinya, tibalah saatnya untuk menghentikan konseling. Jika konselor merasa, bahwa konseling sudah harus diakhiri, akan sangat menolong jika konselor mengatakan seperti misalnya, “Saya kira kita sudah hampir mencapai tujuan dimana anda tidak lagi memerlukan bantuan saya.” Hal ini akan memberi tanda bahwa konseling telah diakhiri dengan dekat, demikian dikatakan Garry.42 Sementara Tulus Tu’u yang membagi tahapan yang merupakan prosedur dalam konseling menjadi tiga tahap saja, yaitu: Pertama; Tahap awal; Kedua; Tahap Inti, dan Ketiga; Tahap penutup.43 Tahap Awal; Tahap awal merupakan bagian yang cukup menegangkan. Bagi konsele perasaan tegang, takut akan selalu mucul. Demikian juga bagi konselor akan muncul prasangka dan situasi kevakuman. Dan ketika suasana sudah mulai nyaman, Tulus Tu’u memberi saran: Konselor secara perlahan dapat membawa percakapan pada inti masalah yang akan dibicarakan. Hal ini dapat menggunakan response probing yang mendidik, memeriksa dan menyelidiki….44 Tahap Inti; Jika tahap awal sudah bisa berjalan dengan baik, maka percakapan dilanjutkan ke tahap inti. Tahap inti merupakan upaya konselor 40 Garry Collins, Ibid, 67 Garry Collins, ibid, 79 42 Garry Collins, ibid, 71 43 Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007), 41 86-93 44 Tulus Tu’u, Ibid, 87 20 ISSN 2579-5678 untuk menggali, mencari, menemukan pokok dan akar masalah, serta akibatakibat yang dihadapi oleh konsele.45 Tahap ini oleh Tulus direkomedasikan mengembangkan model-model; 1) Response Understanding (U); 2). Supportive (S), 3) Interpretative (I); 4) dan Evaluative (E). Respon (U), menyatakan pemahaman dan pengertian, sekaligus untuk memantulkan dan menyimpulkan hal-hal penting berdasarkan jawaban konsele. Respon (S), Penting untuk memberi dukungan, peneguhan, menenangkan, menghibur dan menguatkan konsele. Respon (I), Penting untuk menuntun, membimbing, mengajar, dan menerangkan – dalam hal ini konselor mengajak konsele terlibat berpikir dalam mencari akar masalahnya. Respon (E), Penting untuk membawa konsele mencari dan menemukan langkah-langkah, solusi-solusi dan perubahan-perubahan prilaku yang perlu dan harus dilakukannya.46 B.2. Misi Menurut KBBI “Misi” adalah urusan, pekerjaan Penyiaran agama, pengutusan suatu negara ke negara lain untuk sesuatu tugas.47 Arie de Kuiper mengartikan dengan berangkat dari kata “Missiologia”, latin “missio” yang berarti pengutusan; Inggris: “Mission”, Belanda: “Missie” 48. George w.Peters mengemukakan mission merupakan istilah yang komprehensif, mencakup pelayanan gereja ke atas, ke dalam dan ke luar.49 Secara Etimologi (asal usul kata) istilah misi berasal dari bahasa latin, yaitu: Missio, artinya pengutusan. Dalam bahasa Yunani berasal dari kata evangelion yang diartikan kabar baik. Bentuk kata kerja yang dipakai evangelizo 50 yang berarti memberitakan kabar Ttulus Tu’u, Ibid, 88 Tulus Tu’u, Ibid, 89 47 WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1982), 652 48 Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 9 49 George W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum Mas, 2006), 12 50 Artinya: “to bring or announce glad tidings atau to proclaim, to declare good news of the kingdom” atau membawa kabar baik. Kabar baik atau berita keselamatan adalah berita mengenai kematian dan kebangkitan Kristus bagi orang berdosa. Yesus mati ganti orang berdosa, Ia mencurahkan darahNya untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia telah bangkit karena maut tidak berkuasa atasNya dan kuasa kegelapan yang berkuasa atas maut diri Yesus. Ia telah naik ke surga duduk di sebelah kanan Allah menjadi juru safaat bagi manusia, (Makmur Halim). 45 46 21 ISSN 2579-5678 baik.51 Kabar baik yang dimaksud adalah Injil yang berisi berita keselamatan, berita pengampunan; berita pendamaian; dan berita pengudusan bagi orang berdosa.52 Alkitab tidak memberikan definisi formal mengenai utusan Injil, pun demikian kita telah mengenal amanat Agung Yesus (Matius 28:18-20; Markus 16:14-20; Lukas 24:44-48; Yohanes 20:19-23; Kisah 1:8; 26:13-20). Menurut pengertian teknis dan tradisional utusan injil adalah seorang Kristen yang membawa kabar baik mengenai Injil Yesus Kristus, diutus dengan otoritas ilahi untuk maksud yang jelas, yaitu memberitakan Injil. Utusan Injil bukanlah orang yang diutus pergi ke luar; melainkan orang yang diutus ke luar. Dengan demikian perlu bagi setiap utusan injil memahami, mengerti serta memiliki keyakinan bahwa ia adalah yang diutus ke luar, sebab tanpa adanya perspektif itu pasti yang bersangkutan berada dalam ketegangan dan frustasi; berbagai tekanan, dan kekecewaan sebagai utusan injil. Geoger w Peters berpendapat bahwa “Kesadaran bahwa dirinya diutus akan menguatkan dia dalam menghadapi berbagai pencobaan serta kegagalankegagalan dan pasti akan memimpin dia kepada kemenangan dan keberhasilan”.53 Rasul-rasul telah menyerahkan diri mereka bagi pekabaran Injil. Bahkan Paulus berhasrat secara mendalam untuk memberitakan Injil Kristus kepada tempat dimana nama Kristus belum dikenal (Roma 15:20). Norman E Thomas lebih lanjut berpendapat: “Tidak ada partisipasi di dalam Kristus tanpa partisipasi di dalam MisiNya kepada dunia”.54 Dengan demikian kewajiban missioner gereja berasal dari Allah dalam hubungannya yang aktif dengan umatNya. Gereja yang tidak mengenali keutamaan perintah memberitakan Injil sedang memisahkan dirinya dari hubungan yang paling akrab dengan Tuhan, gagal mengidentifikasikan dirinya dengan rencana utama Allah; menyangkal berkat terbesar yang disediakan Tuhan dengan penuh anugerah bagi dunia berdosa. Misi Allah tidak pernah berubah dalam perspektif dan kedaulatan Allah, namun berubah dalam perspektif gereja pada dewasa ini. Stevri Indra Lumintang mengatakan: 51 Bambang Eko Putranto, Misi Kristen (Yogyakarata: Andi offset, 2007), 3. Makmur Halim, Model-model Penginjilan Yesus suatu penerapan masa kini (Malang: Gandum Mas, 2003), 25. 53 Ibid, 306 54 Norman E. Thomas, Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 147 52 22 ISSN 2579-5678 “Secara historis, gereja mengalami perubahan dalam pemahaman mengenai misi, dari sederhana menjadi lebih maju, dari pemahaman yang kurang memadai kepada pemahaman yang lebih lengkap, dari pemahaman yang jauh dari teks (Alkitab) menjadi lebih dekat dengan teks; dari pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks, menjadi lebih dekat dengan konteks. Pada sisi lain patut untuk dicermati dan digumuli secara serius adalah perubahan pemahaman misi dibarengi dengan pergeseran hakekat gereja dan misi itu sendiri. Perubahan ini adalah perubahan kearah kemrosotan atau penyimpangan.”55 Gereja menjadi subyek pengutusan Allah dengan memodelkan pada pengutusan Kristus ke dalam dunia. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yohanes 20:21). Ini adalah misi pengosongan diri, misi pelayanan rendah hati, di sinilah letak keabsahan yang kekal dari misi itu sendiri.56 Lebih lanjut John Sttot menyebutkan bahwa misiNya berarti inkarnasi. Dia tidak tinggal dalam rasa aman surgawiNya. Sebaliknya, Ia mengosongkan diriNya dari kemuliaanNya dan merendahkan diri untuk melayani.57 Yesus Kristus sungguh-sungguh memasuki dunia manusia, mengambil kodrat manusia, menjalani kehidupan manusia. Sekarang Dia memanggil dan mengutus orang percaya ke dunia orang lain sebagaimana Ia memasuki dunia manusia. Semua misi yang otentik adalah misi inkarnatoris. Gereja dipanggil untuk memasuki realitas sosial dan cultural orang lain. Dunia yang menindas dan kepada mereka yang tertindas. Kedalam alam pikiran mereka, bergumul dalam keterasingan manusia. Perintah yang ditugaskan Tuhan bersifat imperatif, diperintahkan dan harus dilakukan. Tuhan berjanji akan menyertai orang percaya dalam melaksanakan tugas yang ditugaskan Allah (Matius 28:20). Tuhan akan meneguhkan pemberitaan Firman dengan tanda-tanda ajaib (Markus 16:20). Lebih Lanjut George W Peters menegaskan, Gereja yang mengutamakan pekerjaan Allah akan mengetahui bahwa Allah hadir di tengah-tengah mereka dan Dia akan mempedulikan urusannya.58 55 Stevri I Lumintang, Diktat Matakuliah Misiologi Kontemporer, Batu Malang, 2. David Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 789 57 John Sttot, Ibid, 2 58 George W Peters, op.cit. 430 56 23 ISSN 2579-5678 Misi Allah adalah keseluruhan karya Allah bagi manusia dan ciptaan seutuhnya. Hadirnya tanda-tanda kerajaanNya di dunia ini. Kabar baik itulah berita shalom dari Allah. Kabar baik itu adalah firman (Teks) yang disampaikan bukan secara verbal saja, tetapi aktualisasi diri orang percaya secara utuh antara kata dan perbuatan. Ketika misi Allah dipahami sebagai tindakan aksi perbuatan baik kepada manusia yang memerlukan, maka pengertian misi itu sendiri telah menyempit. Sebaliknya pula jika misi Allah juga dipahami hanya penyampaian teks (secara verbal) saja, maka misi juga dipahami sangat terbatas dan dangkal. Jadi keduanya cenderung menggeserkan arti misi Allah yang sesungguhnya. Searah dengan pendapat ini Stevri Indra Lumintang mengatakan: Misi Allah tidak berubah, namun misi Allah mengalami perubahan oleh pemahaman gereja…… secara historis, gereja mengalami perubahan dalam pemahaman mengenai misi, dari sederhana menjadi lebih maju, dari pemahaman yang kurang memadai kepada pemahaman yang lebih lengkap, dari pemahaman yang jauh dari teks (Alkitab) menjadi lebih dekat dengan teks; dari pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks, menjadi lebih dekat dengan konteks. Pada sisi lain, patut dicermati dan digumuli secara serius adalah perubahan pembahaman misi yang dibarengi dengan pergeseran hakekat gereja dan misi itu sendiri. Perubahan ini adalah perubahan kea rah kemrosotan atau penyimpangan. …. Pada umumnya persoalan misi masa kini adalah berkenaan dengan penekanan yang berlebihan kepada salah satu wilayah studi, sehingga pengertian misi diformulasikan dalam pengertian yang sempit dan terus berubah. 59 Pergeseran misi itu sendiri disebabkan oleh penekanan wilayah studi 60, jadi secara historis perubahan itu sendiri terlihat dari pendefinisian ulang oleh gereja dalam konferensi-konferensi misi. Pengertian misi terus berubah, oleh 59 Stevri Indra Lumintang, ibid, 18-19. Wilayah studi yang dimaksud adalah antara teks (Alkitab) dan konteks. Penekanan pada wilayah studi tersebut telah membentuk dua kubu, yaitu Misi kubu oikumenekal dan misi kubu injili. Masing-masing hanya menekankan hanya salah satu wilayah studi (Kontek atau teks) Penekanan pada wilayah studi konteks merupakan kecenderungan misi kaum oikumenikal, menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demesi sosial dan kemanusiaan. Sedangkan penekanan pada studi teks adalah kecenderugnan misi kaum Injili. Mereka menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demensi spiritual, sehingga memandang misi itu sebagai penginjilan dan pertumbuhan gereja. (Stevri Indra Lumintang) 60 24 ISSN 2579-5678 karena itu misi terus direkonstruksi.61 Kajian misi yang direkonstruksi itu tak lain dirumuskan sebagai bentuk dinamika dari misi itu sendiri. Misi bukan sekedar penyampaian berita kabar baik, tetapi juga merupakan perbuatan dari berita tersebut. Dasar Alkitabiah Pelayanan Misi Tanpa Alkitab pelayanan misi tidak mungkin. Karena tanpa Alkitab kita tidak memiliki injil untuk disampaikan kepada bangsa-bangsa, tidak ada perintah untuk menyampaikan kepada mereka; tidak ada gagasan untuk memulai tugas misi, dan tidak ada harapan keberhasilan apa pun. Lebih lanjut John Sttot menegaskan: Alkitablah yang memberi kita mandat, berita, model dan kekuasaan yang kita perlukan untuk penginjilan dunia. Jadi marilah kita berusaha untuk memilikinya kembali melalui penelitian dan renungan yang tekun.62 Secara historis baik pada masa lalu maupun masa kini, memperlihatkan bahwa komitmen gereja terhadap penginjilan dunia sepadan dengan tingkat keyakinannya terhadap otoritas Alkitab. Jika orang percaya kehilangan keyakinan pada Alkitab, mereka juga kehilangan semangat penginjilan. Sebaliknya bila mereka meyakini Alkitab, mereka memiliki ketetapan hati untuk melakukan penginjilan. Alkitab harus menjadi dasar dalam pelayanan misi. Berkenaan dengan Alkitab sebagai sumber dan dasar misi Kristen, maka dapat disebut sebagai buku misi. Stevri Lumintang dalam bukunya mengutip tulisan Raymond J, Tallman sebagai berikut: Alkitab adalah suatu buku misi, dari halaman depan sampai halaman belakang. Itu memuat penyataan Allah mengenai seluruh dunia, tetapi berfokus secara khusus pada manusia sebagai mahkota ciptaan… Semua yang terjadi yang dimuat dalam Alkitab adalah bagian dari misi Allah, yaitu untuk menyatakan kemuliaan bagi diriNya sendiri melalui penggenapan tujuan penebusanNya. Hal ini dikerjakanya melalui pemilihan suatu pribadi (Abraham), suatu keluarga (Abraham, Ishak dan Yakub). Suatu bangsa (Israel), suatu suku (Yehuda), seorang pembebas (Yesus Kristus), suatu umat pilihan (Gereja) dan akhirnya oleh Allah sendiri. 63 61 Stevri I. Lumintang, ibid, 34 John Sttot, Johannes Verkuyl, Misi menurut persepektif Alkitab, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih / OMF, 2007), 20 63 Setevri Lumintang, op.cit. 138-139 62 25 ISSN 2579-5678 Alkitab yang menjadi dasar dan sebagai buku misi terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama adalah misi Allah. Berisi tentang kisah hati Allah yang missioner kepada bangsa-bangsa (Kejadian 12: 1-3; Yunus 1: 1-2; Mika 1: 2; Yesaya 49: 6; Zefanya 3:9-10; Zakaria 1:1-6; Maleakhi 3: 1-5). Hati Allah yang ingin menyampaikan kabar baik untuk menyelamatkan manusia dari dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus akan datang. Demikian juga Perjanjian Baru adalah buku misi (Injil sinoptik), kitab kisah Para Rasul, tulisan rasul-rasul lainnya. Thema Perjanjian Baru adalah misi Allah adalah menyelamatkan manusia dari dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus telah datang. 64 Menerima Alkitab sebagai sumber dan dasar misi berarti memberikan kebebasan kepada Alkitab untuk menuntun semua pemahaman dan aktivitas (aksi) misi. Lebih lanjut John Sttot memberikan alasannya mengapa Alkitab menjadi dasar pelayanan terhadap misi; Pertama, Alkitab memberi kita mandat untuk penginjilan dunia65. Keseluruhan isi Alkitab (Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama) telah memberi mandat untuk melakukan Misi Allah dalam dunia ini. Salah satu fondasi misi Kristen dalam Perjanjian Lama adalah kisah pemanggilan Abraham oleh Allah untuk mengadakan perjanjian denganNya menegaskan bahwa Abraham bukan saja akan diberkati oleh Allah, tetapi juga akan menjadi berkat bagi semua kaum dimuka bumi (Kejadian 12:1-4). Kedatangan Kristus ke dalam dunia telah mengesahkan janji-janji itu. Ia melayani kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (Matius 10:6; 15:24). Selanjutnya setelah kebangkitanNya, Ia menyatakan klaim “Segala kuasa di surga dan dibumi telah diberikan kepadaNya (Matius 28:18). Kemudian dalam segala otoritas universalNya Ia memerintahkan pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis mereka, mengajarkan segala sesuatu yang pernah Ia ajarkan (Matius 28:19). Kedua; Alkitab memberi kita berita untuk penginjilan dunia.66 Memberitakan injil berarti menyampaikan kabar baik bahwa Kristus telah 64 Bambang Eko Putranto, Misi Kristen, menjangkau jiwa menyelamatkan manusia (Yogyakarta: Andi offset, 2007), 40 65 John Sttot, op.cit, 10. 66 John Sttot, Ibid, 12. 26 ISSN 2579-5678 mati untuk dosa manusia dan dibangkitkan dari antara orang mati sesuai dengan kitab suci (I Korintus 15). Berita ini berasal dan merupakan kebenaran yang berasal dari Alkitab. Jadi hanya ada satu injil yang disepakati para rasul (I Korintus 15:11). Paulus menegaskan celakalah siapa saja (termasuk dirinya) yang memberitakan injil lain (Galatia 1:6-8). Ketiga; Alkitab memberi kita model untuk penginjilan dunia.67Kita membutuhkan model (Bagaimana menyampaikannya), disamping beritanya (materi yang disampaikan). Alkitab memberikan model penyampaian injil. Melalui Alkitab sesungguhnya Allah telah mengkomunikasikan injil itu kepada dunia. Kitab suci telah terlebih dahulu memberitakan injil kepada Abraham (Galatia 3:8). Keempat; Alkitab memberi kita kuasa untuk penginjilan dunia.68 Kebutuhan akan kuasa dalam pemberitaan injil tidak dapat dielakkan lagi, hal ini mengingat betapa lemahnya manusia bila dibandingkan dengan tugas yang dilaksanakan. Seluruh dunia berada di bawah kuasa jahat (I Yoh.5:19). Injil Allah adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (Roma 1:16). Maka ketika kita lemah kita menjadi kuat karena kuasa firmanNya (I Korintus 2:1-5; 2 Korintus 12:9-10). Strategi Pelayanan Misi Telaah kita terhadap theology misi berdasarkan informasi dari tulisan (injil Sinoptik dan tulisan Paulus) dapat ditafsirkan bahwa tulisan-tulisan mereka merupakan usaha-usaha yang secara dinamis berusaha mendefinisikan apa yang harus dilakukan oleh gereja pada zamannya. Pendefinisian misi akan bermuara pada tindakan pelayanan misi. Tindakan misi akan berkenaan dengan cara atau strategi dalam melakukan. Temuan yang dilaporkan oleh Bosch menyebutkan bahwa pendefinisian misi terus berubah, disempurnakan, sehingga tindakannyapun diharapkan semakin tepat guna sesuai dengan setiap konteks. Demikian Bosch melaporkan: Sekitar waktu konferensi Dewan Misi Internasional di Yerusalem (1928). Yerusalem menciptakan pemahaman pendekatan menyeluruh, yang menandai suatu kemajuan penting dibandingkan dengan semua definisi tentang misi yang sebelumnya. Pertemuan IMC di Whitby (1974) kemudian menggunakan istilah Kerugma dan koinonia untuk menyimpulkan pemahamannya tentang misi… 67 68 John Sttot, Ibid, 14 John Sttot, Ibid, 17 27 ISSN 2579-5678 menambahkan unsure ketiga diakonos pada konfenrensi di Willingen (1952). …. membuat rumusan sendiri yang diperluas dengan menambahkan “Kesaksian” (Marturia) sebagai konsep yang menaungi: Kesaksian ini diberikan melalui pemberitaan, persekutuan dan pelayanan (dikutip dalam Margull 1962, 175). Selama tiga decade berikutnya ungkapan ini mendominasi percakapan-percakapan misiologis sebagai gambaran yang paling tepat dan menyeluruh tentang misi. 69 Merupakan sebuah gambaran fakta bahwa misi adalah sebuah pelayanan yang berwajah banyak 70. Penulis berpendapat bahwa misi Kristen harus berdemensi banyak agar sahih dan setia pada asal- usulnya dan sifatnya. Tidak Bertentangan Alkitab: Pelayanan misi perlu strategi yang tidak bertentangan dengan kebenaran Alkitab sebagai sumber misi. …Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati “(Matius 10:16). “Cerdik seperti ular” adalah penganjuran untuk berstrategi, dan “Tulus seperti merpati” adalah penganjuran untuk berpegang pada Firman Tuhan. penggabungan kedua hal ini akan menciptakan berita injil yang kontekstual. Kabar baik – Injil adalah kabar sukacita yang mendatangkan shalom, damai sejahtera bagi manusia, maka strategi pelaynaan misi harus melalui pendekatan ini. Firman Allah (teks) harus berkuasa melakukan apa yang menjadi kebutuhan manusia (konteks), sehingga misi seutuhnya disampaikan dan dirasakan. Teks harus mendekatkan pada Konteks. Banyak kasus pelayanan misi Yesus yang dilaporkan oleh kitab Injil sinoptik dapat memberikan gambaran fakatual tentang strategi yang berhasil mendekatkan teks (Firman Allah) pada kontek (manusia) yang membutuhkan. Kepada seorang pemuda di Gadara yang kerasukan setan, Yesus memulihkan keadaannya (Lukas 8:2639). Gangguan kejiwaan pemuda tersebut dipulihkan, persekutuan keluarganya dipulihkan, ketakuatan sosial atau relasi dengan masyarakat yang ketakutan telah dinetralisir.71 Pelayanan yang Yesus lakukan telah 69 David Bosch, op.cit., 786 Banyak: memiliki demensi-demensi hakiki yang harus disentuh: kedamian, pembebasan, persekutuan dan keadilan dalam hati setiap manusia. Totalitas kebenaran kerajaan Allah. 71 Makmur Halim, loc.cit., 92-95. 70 28 ISSN 2579-5678 memberi dampak yang luar biasa bagi pemuda Gadara.72 Demikian juga kasus seperti pada perempuan pelacur di Samaria (Yohanes 4) serta Zakeus pemungut cukai (Lukas 19), keduanya adalah orang (kontek) yang bermasalah. Yesus telah mampu menghadirkan kebenaran firman (teks) yang memerdekakan keduanya. Firman itu telah menjawab kebutuhan, memulihkan kondisi real spiritual dan antropologinya. Pelayanan misi seutuhnya berhasil dilaksanakan dengan baik. Dampak misi holistik telah tercapai, yaitu rekonsiliasi relasi diri dengan diri sendiri, sesamanya dan Allah. Kontekstualisasi akan selalu up-to-date di segala konteks dan situasi sutau tempat.73 B. INTEGRASI PELAYANAN KONSELING DAN MISI KRISTEN Pengertian “Integrasi” adalah Penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh,74 dalam hal ini Integrasi yang dimaksud adalah Integrasi yang terjadi antara pelayanan Konseling dan Misi, artinya upaya pelayanan Konseling sebagai penanganan masalah dan Misi sebagai proklamir injil yang menyelamatkan manusia dari hukuman dosa secara paralel berjalan dan menimbulkan sukacita secara utuh. 72 Dampak yang dimaksud adalah: 1). secara ekonomi babi yang terjun ke jurang dan mati menyebabkan penjaga babi menjadi kehilangan pekerjaan, tetapi Yesus telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa jiwa manusia lebih berharga dari harta benda materi. 2). Secara sosial, Pemuda ini mulai dieterima kembali oleh masyarakat karena ia telah sembuh, telah mengalami perubahan dan tidak membahayakan lagi. 3). Secara etika dan budaya, Pemuda ini sudah sembuh dan menemukan identitas dirinya sehingga ia berpakaian dan dapat menghargai adat istiadat dalam masyarakat kembali. 4). Orang-orang yang melihat merasa takut karena kuasa Yesus begitu ajaib sehingga melampaui kepercayaan masyarakat kepada pagan atau berhala; 5) Dampak terhadap misi Allah, Pemuda Gadara telah dipulihkan oleh Yesus. Maka pemuda tersebut akan melaksanakan misi Allah bagi orang-orang di Gadara. (Makmur halim, 95). 73 Makmur Halim, ibid, 47. 74 WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 376 29 ISSN 2579-5678 Dasar Alkitab Integrasi Pelayanan Konseling dan Misi Dasar Perjanjian Lama Keluarga Elimelekh Dalam Krisis; Kitab Rut menceritakan realalitas kehidupan pribadi – pribadi yang terlibat. Keluarga Elimelekh mengungsi ke Moab karena di negeri tempat tinggal keluarga tersebut mengalami krisis pangan. Perjalanan sejauh 80 km ke sebelah timur Laut Mati merupakan perjuangan menguji nyali. Elimelekh dan anggota keluarganya bermaksud menghindari bahaya krisis kelaparan, namun pada akhirnya mengalami krisis yang lebih parah lagi ketika berada di negeri Moab 75. Motivasi keluarga Elimelekh meninggalkan kota Betlehem karena sedang menghindari krisis pangan. Keluarga Elimelekh sedang menghadapi masalah di kota asalnya (Betlehem) seperti kebanyakan yang lain yaitu kelaparan. Rasa lapar adalah hasrat hakiki setiap manusia dan tentu memerlukan makanan. Kepergiannya ke negeri Moab adalah upaya mengatasi masalah rasa laparnya. Tindakan ini merupakan perbuatan melawan ketentuan Tuhan, pilihan untuk pergi merupakan upaya pengandalan pada keinginan diri sendiri. Tuhan memerintahkan supaya manusia tidak mengandalkan pada kekuatan, kemampuan sendiri (Yeremia 17:5). Tuhan tidak memerintahkan bangsa Israel untuk pergi ke Moab supaya bebas dari rasa lapar. Di Betlehem 76 mereka menghindari krisis kelaparan.77 Rasa lapar telah menyebabkan menurunnya kekuatan jasmani atau fisik. Akan tetapi setelah sampai di negeri Moab justru bukan saja fisiknya yang semakin lemah, tetapi lebih dari itu fisiknya berakhir dengan kematian. Setengah dari keseluruhan anggota keluarga (Elimelekh, Mahlon dan Kilyon) meninggal di tanah Moab. Naomi dan kedua menantunya Orpa dan Rutlah yang masih tersisa. Mereka sampai di Moab yang dijumpai hanyalah kesukaran; mereka bermaksud mencari kehidupan, tapi yang mereka temukan adalah kebinasaan. Makanan yang 75 Moab adalah seorang putra Lot, buah kejahatan dari hubungan inses Lot dengan salah satu putrinya sendiri (Kejadian 19:36,37), Orang Moab pula yang telah menyewa Bileam untuk mengutuk Israel (Bilangan 22:1-8) 76 Betlehem berarti rumah roti, nama lainnya adalah Efrata - Kejadian 35:19 (Tafsiran Alkitab Masa Kini vol.1, 430) 77 Curah hujan di Palestina tidak pernah banyak, dan sering kali tidak cukup untuk menghidupkan tanaman yang baru tumbuh. Kelaparan terjadi pada masa kehidupan “Abraham (Kejadian 12:10), Daud (II Samuel 21:1); dan Elia (I Raja-raja 17:1). _____ (Wycliffe, 723). 30 ISSN 2579-5678 mereka cari, tetapi kematian yang mereka dapati.78 Elimelekh meninggal (1:3); lalu kedua anaknya menikah dengan perempuan Moab. Pernikahan demikian tidak lazim dikalangan orang Israel, bahkan sangat dilarang. “Janganlah juga engkau kawin mengawin dengan mereka; anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki” (Ulangan 7:3). Inilah klimaks dari krisis rumah tangga Elimelekh, puncak keguncangan Naomi dan kedua menantunya terlalu menyakitkan. Kepedihan itu dinyatakan oleh Naomi: “…Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutlah aku Mara, sebab yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong Tuhan memulangkan aku. Mengapakah kamu menyebutkan aku Naomi, karena TUHAN telah naik saksi menentang aku dan yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku” (Rut 1:20-21). Konseling: Upaya keluar dari Krisis. Kedua menatunya memberi respon yang berbeda, Orpa menuruti anjuran, bimbingan Naomi, ia pulang kembali ke negerinya; ke rumah ibunya. Inilah pilihannya; inilah pemecahan masalah baginya yang melegakan hati. Pilihan itu sesuai yang dianjurkan oleh Naomi ibu mertua Orpa. Pilihan Rut berbeda dengan Orpa. Keputusan Rut sungguh mengejutkan dan sangat bertolak belakang dari pilihan Orpa. Demikian berkata: “Jangan desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi , dan dimana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam; bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan disanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain daripada maut! (Rut. 1:1617). Misi: Proklamir Injil yang disampaikan. Ucapan Rut yang tertulis di atas merupakan keputusan pribadi Rut. Sebuah keputusan, pilihan yang melampui pikiran yang dinasehatkan Naomi kepadanya. Hak dan tugas Naomi hanya 78 J Sidlow Baxter. Ibid., 290. 31 ISSN 2579-5678 sampai pada anjuran, nasehat, bimbingan, tetapi pilihan dan keputusan ada pada Rut sendiri. Penulis berpendapat bahwa pilihan Rut bukan tanpa alasan, mungkin Rut melihat sisi prinsip hidup Naomi sebagai wanita memegang teguh dogmatika Spiritualitasnya. Kesaksian Naomilah yang memungkinkan Rut berbuat demikian. Memilih mengikut Naomi berarti meninggalkan ibunya, bangsanya, khemoshnya/Kamos (Dewa orang Moab – Bilangan 21:29). Artinya Rut membuang apa yang berharga di Moab dan dengan suka rela memilih untuk ikut pergi ke Yehuda dan memulai kehidupan yang baru. Frasa ini menegaskan bahwa pilihan Rut mengikut Naomi berarti mengikuti pilihan jalan hidupnya di Betlehem. Menyembah Yahwe. Integrasi ditemukan; Integrasi adalah penyatuan segenap komponen sehingga terwujud suatu kebulatan, keutuhan. Dalam hal ini paralel antara konseling dan misi telah terwujud. Yang penulis maksud adalah Naomi telah membimbing, menuntun, mengarahkan (konseling) kepada kedua menatunya (Orpa dan Rut). Hal ini merupakan upaya memecahkan masalah. Namun Rut mengalami bukan hanya yang bersifat melegakan, membahagiakan secara pragmatis, melainkan kelegaan yang bersifat dan berjangka kekal. Proklamir Injil (kabar Baik) sebagai sumber pemecahan masalah harus terjadi. Injil itulah yang menjadi pemuas; melegakan kehidupan. Dasar Perjanjian Baru Perjanjian Baru menjadi bagian penting dari keseluruhan kesaksian perbuatan Allah bagi umatNya. Penulis menganggap penting dalam mendasarkan pemikiran integrasi dalam terang Alkitab Perjanjian Baru. Penulis ingin memfokuskan pada kitab injil Yohanes, dan lebih khusus lagi ingin mengangkat tentang kisah seorang wanita Samaria yang dicatat dalam injil Yohanes pasal 4: 1-42. Perempuan Samaria; Perempuan Samaria adalah seorang yang memerlukan air untuk kebutuhan jasmaniahnya. Hal ini dikatakan pada ayat 7a, “Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air “. Terdapat hal yang ganjil karena tidak biasanya seseorang mengambil air di sumur pada 32 ISSN 2579-5678 waktu jam 12, saat kebanyakan orang tidak mengambil pada waktu tersebut. Jika kita kaitkan dengan ayat-ayat selanjutnya (16-19): Kata Yesus kepadanya: Pergilah, panggilah suamimu dan datang ke sini. Kata perempuan itu: Aku tidak mempunyai suami. Kata Yesus kepadanya: Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar. Kata perempuan itu kepadaNya: Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.” Konseling: Masalah Moral; Sejarah hidup pernikahan yang suram dari wanita itu dibongkar oleh penerobosan Yesus dan pengakuan wanita itu sendiri. Mungkin perceraian melanda beberapa kali, sebelum terjadi hubungan haram yang terakhir ini. Secara moral perempuan ini sudah buruk selama beberapa waktu.79 Hidup dalam perzinahan, dikuasai oleh nafsu kedagingan. Berbagai dampak masalah moral yang dialami yaitu; Pertama; hidupnya menjadi dipenjarakan oleh rasa bersalah dan malu (ayat 6). Kedua; Terganggu dalam pergaulannya, tidak bebas untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, setidaknya dengan sesama wanita bangsanya. Hidup perempuan Samaria hampa secara batiniah dan mengalami kesepian. Nasionalisme sebagai bangsa; Secara nasional (Kolektif bangsanya), perempuan Samaria ini menjadi bagian dari penduduk kota Samaria. Kota ini memililki masalah hubungan dengan bangsa Yahudi. Hubungan yang tidak harmonis keduanya akan berdampak secara ekonomi, keamanan dirinya secara individu maupu bangsa secara keseluruhan. Prasangka dan permusuhan antara penduduk Samaria dan Israel sudah berlangsung selama 700 tahun.80 Suatu jangka waktu yang cukup lama, hal Ini merupakan persoalan yang serius. Perempuan ini juga memiliki masalah fanatisme agama yang diwariskan secara turun-temurun. “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah” (Ayat 20). Pada Zaman Ezra mereka ditolak untuk ikut membangun bait Allah (Ezra 4), sehingga mereka membenci orang Yahudi dan pada sekitar tahun 400 SM mereka membangun Bait Allah sendiri di gunung Gerizim, kata Ebal dalam Ulangan 27:4, diganti dengan kata Gerizim. Sebuah konsep yang dibangun oleh para leluhur mereka. Ketika 79 80 _________, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 3, (Malang: Gandum Mas, 2008), 316. _________, Hand Book the Bible, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), 604 33 ISSN 2579-5678 perempuan Samaria memegang prinsip theology yang diwariskan ini, maka bukan suatu yang mengherankan apabila ia membangun fanatisme kiblat beribadahnya. Hal itu juga terlihat saat Yesus berbicara soal air yang lain, dan bukan dari sumur itu. “Adakah Engkau lebih besar daripada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya…” (4:12). Yakub adalah pembuat dan yang mewariskan sumur yang dalam itu, bagaimana mungkin Ia dapat melebihi kebesaran Yakub? Sebagaimana yang ditegaskan dibawah ini: Adalah tidak masuk akal bahwa Yesus dapat memberikan air tanpa menggunakan timba. Perbuatan demikian itu akan melebihi Yakub yang telah menggali sumur itu. Adalah sulit selalu bagi orang untuk memikirkan bahwa seseorang dapat menjad lebih besar dari seorang bapak leluhur yang dihormati dari sejak jauh pada masa lampau…. Disini terdapat penghormatan secara fanatik tentang suatu tempat suci karena hal-hal yang dikaitkan dengannya dan bukan karena banyaknya air dalam sumur itu. 81 Pelayanan konseling Yesus; Pertemuan dan percakapan perempuan Samaria dengan Tuhan Yesus di sumur Yakub memiliki arti yang mendalam bagi perempuan tersebut. Perintah Yesus kepada perempuan Samaria untuk memanggil suaminya menjadi jalan masuk bagi kesadaran perempuan Samaria, mencelikkan keberdosaannya, hidupnya berada dalam krisis. … Tepat katamu, bahwa engkau tidak bersuami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.” (17, 18). Masalah yang dapat diidentifikasi oleh Yesus selanjutnya adalah masalah fanatisme ibadah (ayat 20). Makmur Halim memberi penjelasan sebagai berikut: Orang Samaria percaya bahwa di Gunung Ebal orang dapat mengucap berkat dan menyembah Allah, sedangkan orang Yahudi percaya di Bait Allah Yerusalem orang harus menyembah Allah. Di sini Yesus menempatkan dirinya sebagai orang yang netral, tidak memihak…agar tidak mempertajam konflik. Yesu memperkenalkan penyembahan yang bersifat batiniah, yakni menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. 82 Percakapan di Sikhar tepatnya di sumur Yakub telah menghantarkan identifikasi masalah yang dialami oleh perempuan Samaria. Interaksi dua arah (Yesus VS Perempuan Samaria) telah membuka persoalan perempuan itu. 81 82 ________loc,cit. 279 Makmur Halim, lo.cit., 74 34 ISSN 2579-5678 Pelayanan Misi Yesus disampaikan; Perempuan Samaria merindukan air hidup (4:15). Air hidup berbicara soal pemberian Allah. Air dari dalam sumur harus diminum berkali-kali, tetapi air yang disediakan Kristus akan memuaskan, sehingga orang yang meminumnya tidak akan haus untuk selama-lamanya. Itulah kesegaran yang dihasilkan oleh hidup yang kekal. 83 Yesus memberitakan kabar baik bagi perempuan Samaria ini, Air hidup – hidup kekal akan menjadi bagiannya jika ia percaya dan bertobat dari keberdosaannya. “Kata Yesus kepadanya: Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. (ayat 21). Perempuan Samaria memberi respon sebagai tanggapan: “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus, apabila Ia datang, Ia akan memberitahukan segala sesuatu kepada kami. (Ayat 25). Lebih lanjut Yesus menegaskan pemberitaanNya: Akulah Dia….” (ayat 26). Integrasi dilakukan; Integrasi merupakan tindakan penyatuan agar tercapai keutuhan. Paralel pelayanan konseling dan misi oleh Yesus kepada perempuan Samaria sangat jelas terlihat. Yesus telah membimbing, menuntun, mengarahkan perempuan Samaria mengenali dirinya sebagai orang yang bermasalah, dan menyadari kesalahannya (Masalah moral, fanatisme agama). Demikian juga berita injil yang merupakan kabar baik telah ditawarkan dan disampaikan oleh Yesus kepada perempuan Samaria (ayat 21, 26). C. PENUTUP Setiap percakapan konseling seharusnya membuka kesempatan terjadinya misi Allah. Sebaliknya setiap percakapan misi (PI) seharusnya juga membuka kesempatan seseroang mendapatkan terpecahnya persoalan sampai ke akar persoalan itu sendiri, yaitu dosa. Percakapan konseling dan pelayanan Misi idealnya harus berjalan secara parallel dan terintegrasi. Jadi, pelayanan konseling akan menjadi jembatan bagi terlaksananya misi (PI) pada klien, dan 83 Sebuah paralel dapat dibuat dengan kurban yang di dalam Perjanjian Lama harus dipersembahkan berkali-kali dank urban Anak domba Allah yang dipersembahkan sekali untuk selama-lamanya. (Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3, 316) 35 ISSN 2579-5678 atau sebaliknya Misi (PI) akan dapat menghantarkan (Jembatan) pada pelayanan konseling pada klien. D. DAFTAR PUSTAKA Abineno, Ch 2005, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK Gunung Mulia Anderson, Neil T, Baumchen, 2002 Menemukan Harapan Baru, Jakarta: Harvest Publication House Bosch, David J, 2009 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia Borg, Marcus M, 2003 Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, Yesus sejarah dan Hakekat Jakarta: BPK Gunung Mulia. Iman K Brister, C.W, 1992 Pastoral Care in the Church, New York: Haper Collin Publiser Collins, Garry, R 1998 Konseling Kristen yang efektif, Malang: SAAT, Crabb, Larry. 2007 Konseling yang Efektif dan Alkitabiah, Yogyakarta: Andi Chester, Betsy Kylstra, 2010 Healing Ministry. Yogyakarta: Andi De Kuper, Arie. 1996. Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia Djiwandono Sri Esti, 2005 Konseling dan Terapi dengan Anak dan orang Tua, Jakarta: Grasindo Eko Pronoto, B, 2007, Misi Kristen Menjangkau jiwa Menyelamatkan dunia, Yogyakarta: Andi. Hoekema Anthony A, 2009 Diselamatkan oleh Anugerah, Surabaya: Momentum Halim, Makmur, 2003 Model-Model PenginjilanYesus, suatu penerapan masa Kini, Malang: Gandum Mas. Lumintang, Stevri I, 2007 Misiologia Kontemporer, Malang: YPPII Peters, George W. 2006 Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, Malang: Gandum Mas Susabda, Yakub, Pastoral Konseling vol, 1, 2, Malang: Gandum Mas. Tu’u, Tulus, 2007 Dasar-dasar Konseling Pastoral, Yogyakarata: Andi Warren, Rick, 2006 Purpose Driven Life Kehidupan yang digerakkanoleh Tuhan, Malang: Gandum Mas Wright, Norman, 2006 Konseling Krisis, Malang: Gandum Mas Yeo, Anthony, 2009 Konseling Suatu pendekatan Pemecahan Masalah, Jakarta: BPK Gunung mulia 36 PENGARUH KUALITAS DAN PEMAHAMAN DISIPLIN GEREJA BERDASARKAN TULISAN RASUL PAULUS TERHADAP IKLIM PELAYANAN DI GEREJA METHODIST INDONESIA JEMAAT “GLORIA” MEDAN Oleh: Freddy Teng ABSTRAK. Tujuan penulisan jurnal penelitian ini antara lain: pertama, untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kualitas dan pemahaman Disiplin Gereja berdasarkan tulisan Rasul Paulus terhadap iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Penelitian ini dilakukan di Gereja Methodist Indonesia Jemaat “Gloria” Medan. Populasi penelitian ini adalah para pejabat gereja di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria di Medan dengan jumlah 51 orang, sampel penelitian sebanyak 44 orang yang dipilih secara cluster sampling dan random sampling. Hasil analisis statistik inferensial parametris bahwa; 1) pengaruh langsung kualitas Disiplin gereja terhadap iklim pelayanan sebesar 0.32, 2) pengaruh langsung pemahaman Disiplin gereja terhadap iklim pelayanan sebesar 0.35, 3) pengaruh langsung kualitas terhadap pemahaman Disiplin gereja sebesar 0.78, 4) pengaruh langsung kualitas dan pemahaman Disiplin gereja secara bersama-sama terhadap iklim pelayanan sebesar 0.358. Frase kunci: Kualitas, Pemahaman Disiplin Gereja, iklim pelayanan. A. PENDAHULUAN Agama Kristen adalah agama perjanjian (kovenan). Alkitab sangat jelas bahwa Allah adalah pemulai kovenan-kovenan. ISSN 2579-5678 1 Semua kovenan ini terangkai secara integral satu dengan yang lain dan mengalir dari Kovenan Anugerah yang agung yang ditetapkan dalam Kejadian 3:15 sampai kepada Kovenan Baru di dalam Kristus.2 Tujuan pemberian kovenan oleh Allah kepada manusia adalah untuk menata kehidupan manusia di dalam dunia. Penataan hidup manusia oleh Allah adalah demi kedamaian (peace) dan kesatuan (unity) kehidupan semua ciptaan-Nya. Di dalam sebuah organisasi tentu ada sistem yang mengatur jalannya atau operasionalnya, agar tujuan organisasi tersebut dapat tercapai. Di dalam suatu organisasi terdapat sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama.3 Dalam mencapai tujuannya, selain suberdaya manusia suatu organisasi juga memiliki sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya informasi, dan sumber daya lainnya. Karena organisasi memiliki sistem, maka seluruh sumberdaya yang ada perlu di tata dan disusun dalam aturanaturan yang disebut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Demikian juga dalam suatu lembaga gereja. Gereja adalah tubuh Kristus, dengan kata lain merupakan suatu organisme.4 Suatu organisme yang terdiri dari organisasi-organisasi.5 Sebagai organisme hidup, gereja harus berkembang dan bertumbuh sebagaimana Kristus. 6 Suatu lembaga gereja juga terdiri dari sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama. Tujuan gereja di dunia adalah sesuai dengan tujuan Kristus bagi ciptaan-Nya. Tujuan yang 1 W. Garry Crampton, Verbum Dei, [terjemahan: R. BG. Steve Hendra] (Surabaya: Momentum 2004), 140. 2 Ibid, 137. 3 Erni Trisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), 4. 4 Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, (Malang: SAAT, 2007), 54. 5 Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, ...., 54. 6 Ibid. 37 ISSN 2579-5678 berfokus pada Visio-Dei (visi Allah) untuk mencapai Misio-Dei (misi Allah) di dalam dunia. Sekelompok orang tersebut (sumberdaya manusia) yaitu para pejabat gereja, memiliki karakter yang sangat berbeda-beda, motivasi yang berbeda-beda, dan latar belakang (suku, budaya, ekonomi, pendidikan, dlsb.) yang berbeda-beda pula. Selain sumber daya manusia, gereja juga memiliki berbagai sumber daya lain, seperti: sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya informasi, dan lain sebagainya. Karena lembaga gereja juga merupakan organisasi, maka lembaga gereja juga harus memiliki suatu sistem, dan lembaga gereja perlu menyusun cara-cara penyelenggaraan atau tata cara pemanfaatan keseluruhan sumber daya yang ada padanya yang terangkum di dalam “Tata Gereja” atau “Disiplin gereja” agar tujuan gereja dapat dicapai. Selain itu, gereja adalah tubuh Kristus dan sudah seharusnya menjadi satu kesatuan. Maka sebuah lembaga gereja membutuhkan tata penyelenggaraannya untuk membuat kehidupan gerejawi sepadan dengan naturnya, yaitu mencapai kesatuan, kedamaian dan melaksanakan misi Allah di dalam dunia. Tanggung jawab di dalam pencapaian tujuan gereja, berada di pundak sumber daya manusia yaitu para pejabat gereja. Banyak orang senang menjadi pekerja yang berguna di dalam gereja, namun tidak mengerti caranya karena tidak mengetahui atau mengerti tentang Disiplin gereja. Maka di dalam pelayanannya, para pejabat gereja melakukan tindakan berdasarkan cara berpikir yang lebih mementingkan tujuan dan akibat (teleologis). Cara berpikir ini lebih mempersoalkan tentang baik atau jahat berdasarkan tujuan atau akibatnya.7 Cara berpikir seperti ini terancam bahaya “tujuan menghalalkan segala cara” dan “hedonisme”.8 Ada juga pelayan gereja yang melakukan tindakan dalam pelayanannya berdasarkan pola pikir yang memerhitungkan konteks situasi dan kondisi (kontekstual). Bagi mereka, yang terpenting bukan apa yang benar atau yang 7 G. Sudarmanto, Pelayan Kristus Yang Baik, (Malang: Departemen Multimedia YPPII, 2009), 230. 8 Ibid. 38 ISSN 2579-5678 baik, tetapi yang tepat yaitu yang paling bertanggung jawab. 9 Cara berpikir ini memang sangat operatif namun bisa terjebak ke dalam bahaya etika situasi yang tanpa prinsip yang jelas (Darmaputera, 1989: 10-18). Bagi para pejabat gereja yang memahami Disiplin gereja, maka di dalam pelayanannya, mereka cenderung mengambil tindakan berdasarkan Disiplin gereja. Tindakan dengan pola pikir ini mendasarkan diri kepada prinsip, hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun (deontologis).10 Cara berpikir ini hanya menyatakan benar atau salah berdasarkan hukum atau Disiplin gereja. Cara ini memberikan pegangan secara objektif dengan jelas, tetapi bisa terjatuh ke dalam legalisme yang kaku. Melihat pemaparan di atas maka seharusnya sebuah organisasi gereja harus memiliki aturan-aturan di dalam penyelenggaraannya (Disiplin gereja) untuk mencapai tujuannya. Setiap pelayan gereja seharusnya menguasai, bukan hanya memahami aturan-aturan tersebut. Bila para pejabat gereja tidak menguasai Disiplin gereja, maka tujuan dari gereja tidak tercapai; gereja tidak memiliki tujuan yang jelas untuk berkembang dan bertumbuh; para pejabat gereja tidak memiliki patokan dalam pencapaian tujuan; para pejabat gereja tidak memiliki cara-cara penyelenggaraan gereja yang jelas. Pelayan gereja bertindak dengan keinginan dan pengertian masing-masing. Bila para pejabat gereja tidak menguasai Disiplin gereja dengan baik, malah Disiplin gereja dirasakan menjadi penghambat tugas pelayanan.11 Apabila semuanya berjalan sendiri-sendiri, maka tidak terjadi satu kesatuan lagi dari para pejabat gereja. Dengan demikian maka akan terjadi kekacauan dalam gereja yang akan berakhir dengan terjadi konflik dalam gereja – perselisihan, dan pertengkaran dari para pejabat gereja. Bila terjadi konflik dalam gereja maka pelayanan gereja menjadi stagnasi, atau malah tidak ada lagi pelayanan karena semuanya terfokus dan terjerat di dalam masalah9 Ibid. Ibid. 11 Richard M. Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 55. 10 39 ISSN 2579-5678 masalah yang timbul akibat konflik. Maka jelas semua hal-hal tersebut akan memengaruhi iklim pelayanan dari para pejabat gereja. Lebih lanjut lagi, terjadi perpisahan atau perpecahan dari lembaga gereja tersebut. Bahkan lebih ekstrim lagi akan terjadi pembunuhan. Dengan demikian gereja tidak menjadi terang dan garam di dunia, kehidupan gerejawi tidak sepadan dengan naturnya dan tentunya akan menghambat misi Allah di dalam dunia. Jemaat yang kesal dan kecewa melihat perselisihan yang terjadi akan pindah ke lembaga gereja lain, bahkan pindah kepercayaan. Masalahmasalah tersebut tentunya juga tidak bisa dihindari di dalam Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. B. KAJIAN TEORITIS 1. Kualitas Disiplin Gereja Menimbang bahwa permasalahan yang timbul dalam hubungan antara manusia selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur, demikian pula konflik yang terjadi di dalam lembaga Gereja Methodist Indonesia dikaitkan dengan Disiplin yang merupakan peraturan-peraturan bagi lembaga gereja ini; Bahwa setiap lembaga, bahkan gereja, tentu memiliki dokumen inti. Dokumen ini berfungsi sebagai pernyataan dasar untuk menetapkan visi, misi, tujuan mereka, dan nilai-nilai inti. Nilai-nilai ini akan memandu lembaga melalui perubahan waktu dan budaya. Alkitab adalah dokumen inti lembaga gereja. Alasan mengapa Kitab Suci sebagai dasar untuk menyusun sebuah Disiplin adalah karena Dia mutlak memiliki otoritas ilahi. (1 Kor. 2:10-13; 2 Tim. 3:15-17; 1 Pet. 1:10-12, 21; 2 Pet. 1:20-21, 3:2, 15-16). Sebagai wahyu khusus dari Allah, semua gereja harus menanggapi hal ini. Bila tidak ada Firman Tuhan sebagai dasar, maka gereja tidak akan menemukan nilai kebenaran dalam perumusan peraturan (Disiplin) gereja. Bila tidak ada peraturan gereja, maka dapat terjadi kekacauan dalam gereja karena setiap individunya akan melakukan tugas pelayanan hanya dengan inisiatif sendiri dan tidak ada yang mengikat mereka menjadi satu sistem. Disiplin dibuat adalah untuk mengontrol dan mengelola segala sumber daya 40 ISSN 2579-5678 agar gereja mampu untuk melayani sesuai dengan hakikat dirinya, serta dapat mewujud-nyatakan kehadirannya. Menurut Abineno, Disiplin yang berkualitas adalah peraturan-peraturan gereja yang baik dengan memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:12 1. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang secara prinsipal mengakui kedewasaan dan imamat orang-orang percaya. Itu berarti, bahwa dalam peraturan-peraturan Gereja harus diberikan tempat kepada mereka, supaya mereka dapat menunaikan tugas mereka sebagai “umat Allah”. 2. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang menolak pertentangan yang prinsipal antara “kaum rohaniwan” dan “kaum awam”. 3. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang menolak sebutan “imam” dalam arti khusus untuk pejabat-pejabat Gereja, khususnya untuk pendeta-pendeta Jemaat, sebab sebuatan itu bertentangan dengan kesaksian Perjanjian Baru. 4. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak menganggap dan memperlakukan pendeta Jemaat sebagai “hamba” Gereja, tetapi sebagai Verbi divini minister (pelayan Firman Allah). Tugasnya ialah: “merepresentir” Kristus, bukan saja terhadap dunia, tetapi juga terhadap Jemaat (Bnd. Antara lain Luk. 10:16; Gal. 1:11; 2 Kor. 5:20). Sungguhpun demikian ia tidak berdiri di atas, tetapi di dalam Jemaat, di samping anggota-anggota Gereja yang lain. 5. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang bersifat “kristokratis” bukan “aristokratis” dan bukan juga demokratis. Kristus yang memerintah dalam Gereja, bukan orang-orang tertentu dalam Gereja dan bukan juga Jemaat. 12 J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 45-47. 41 ISSN 2579-5678 6. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan tempat yang sentral kepada Firman dan Roh Allah dalam hidup dan pekerjaannya. Itu berarti, bahwa keputusankeputusan yang diambil oleh rapat kepengurusan Gereja tidak lebih banyak dipimpin oleh suara terbanyak dari anggota-anggota Jemaat yang berhak menyatakan pendapat mereka, tetapi terutama oleh Firman dan Roh Allah. Keputusan yang dihasilkan oleh suara terbanyak bila bertentangan Firman, maka keputusan tersebut harus ditolak tanpa alasan. 7. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak memberi peluang kepada pemerintah untuk turut campur tangan dalam soal-soal intern gerejawi, seperti yang terjadi di Jerman pada waktu pemerintahan Hitler, maupun dalam konflik yang terjadi pada Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria di Medan. 8. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak memberikan peluang kepada Majelis yang satu (misalnya Lay Leader) untuk memerintah dan berkuasa atas Majelis yang lain (misalnya Komisi Misi). Apalagi Majelis memerintah dan berkuasa atas Gembala Sidang. 9. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan ruang untuk hubungan dan kerja sama dengan Gereja-gereja lain, khususnya dengan Gereja-gereja yang hidup dan melayani di daerah (wilayah) dan dalam Negara yang sama. 10. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak memutlakkan Gerejanya dan yang selalu ingat akan apa yang Tuhan katakan dalam Yohanes 10:16; “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Ku tuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”. 11. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan tempat untuk pluriformitas yang legitimasi dan untuk eksperimen-eksperimen yang dapat dipertanggung42 ISSN 2579-5678 jawabkan. Itu berarti, bahwa gereja harus hati-hati bertindak terhadap anggota-anggota Jemaat yang dipengaruhi oleh ajaran yang menyimpang dari Firman Tuhan. 12. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang bukan saja mementingkan pendidikan pendeta-pendeta Jemaat, tetapi juga memperhatikan pendidikan (pembinaan) kerohanian pejabat-pejabat khususnya yang lain, terutama penatuapenatua dan diaken-diakennya. 13. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang menata nisbah atau hubungan yang baik antara anggotaanggotanya, termasuk pejabat-pejabatnya, menurut Matius 23:8-11: “Janganlah kamu sebut rabbi, karena hanya ada satu saja Rabbi kamu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya ada satu saja Bapa kamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya ada satu saja Pemimpin kamu yaitu Mesias. Barangsiapa yang paling besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan kamu”. 14. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang dengan teliti mengatur perlengkapan (pembinaan) anggota-anggota Jemaat oleh pejabat-pejabat gereja, sehingga mereka dapat menunaikan tugas mereka, baik di dalam, maupun di luar Gereja. 15. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak memberikan kesempatan kepada suatu Majelis (Misalnya Ketua Majelis) atau kepada pendeta-pendeta dan guru-guru Injil untuk memaksakan “dari atas” pejabat-pejabat gerejawi kepada suatu Jemaat yang tidak dikehendaki oleh Jemaat itu, apalagi kalau hal itu terjadi tanpa sesuatu perundingan. Sesuai dengan kovenan yang diberikan oleh Allah dalam bentuk Kitab Suci, maka kualitas sebuah Disiplin ditentukan oleh otoritas, dokumentasi, dan karakteristik fisiknya. Otoritas dalam arti memiliki kekuatan hukum, memiliki kuasa sehingga dipatuhi oleh semua insan yang ada di bawah 43 ISSN 2579-5678 payung peraturannya yang berlaku tersebut. Dalam hal dokumentasi, Disiplin harus tersedia, mudah diperoleh bahkan dimiliki oleh setiap anggota Jemaat. Allah telah memberi teladan bagi manusia, di mana Firmannya merupakan Perjanjian Allah dengan manusia. Firman Allah harus dibacakan setiap hari untuk mengingat bagaimana Perjanjian Allah (Yos. 1:8; Mzm. 1:2; dlsb). Bila anggota Jemaat tidak mengetahui Disiplin, bagaimana mereka dapat memiliki kehidupan Gerejawi yang baik. Selain hal-hal yang bersifat rohani dan otoritas, karakteristik fisik dari kitab Disiplin juga dapat mempengaruhi orang untuk mau memiliki dan membaca sehingga menjadi mengerti, dan pada gilirannya tentu akan mempengaruhi iklim pelayanan dalam gereja. Karakteristik fisik dari sebuah buku yang menentukan kualitasnya antara lain: Cetakan / disain sampul maupun isi; isinya tersusun secara sistematisasi; memakai bahasa yang dimengerti oleh komunitas pembacanya; Kualitas isi atau bobot pengetahuan yang terkandung; Peraturan-peraturan dalam Disiplin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuntjara pada tahun 2007 di Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.13 2. Pemahaman Disiplin Gereja Sumber daya manusia dari gereja adalah sumber daya yang terpenting, maka sumber daya manusia perlu bercermin untuk menata diri dan selalu berpegang pada peraturan yang berlaku agar terhindar dari berbagai masalah dalam melaksanakan pekerjaan Tuhan. Semua masalah berawal dari manusia. Peraturan yang Sempurna (Alkitab) dari Allah sekalipun tidak sepenuhnya dipatuhi oleh manusia, apalagi bila tidak ada peraturan. Maka dalam hal pemahaman Disiplin oleh semua anggota jemaat dapat disebabkan oleh karena mereka tidak pernah diberitahukan atau karena mereka hanya memahami sebagian peraturan dari 13 Kuntjara, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Ulang Konsumen, (Semarang: TESIS; Universitas Diponegoro, 2007). 44 ISSN 2579-5678 perkataan orang lain. Oleh sebab itu, pemahaman Disiplin dapat diselidiki melalui: Sumber / cara pemahaman. Ada program pengajaran Disiplin yang diadakan oleh Gereja secara berkala. Anggota jemaat juga dapat belajar sendiri dari buku Disiplin. Di beri tahu oleh Gembala Sidang. Di beri tahu oleh sesama rekan kerja. Di beri tahu oleh pelayan lama. Kualitas pemahaman. Seorang anggota jemaat yang baik, apalagi yang sudah melayani dalam tugas Kemajelisan gereja, harus memahami batasan wewenang (hak); memahami tugas (tanggung jawab); memahami batasan masa jabatan; Memahami sistem kerja gereja secara keseluruhan. 3. Iklim Pelayanan Setiap organisme hidup bergantung pada iklim untuk pertumbuhannya. Sebuah tanaman yang diberi makan, disiram dan menerima jumlah cahaya yang cukup, tetapi faktor iklim yang penting -kelembaban- tidak dipertimbangkan dan mengalami kekurangan, tidak akan mengalami pertumbuhan. Segera setelah faktor tersebut ditanggapi dengan serius, tanaman tersebut menjadi subur. Namun untuk tanaman lain (misalnya “kaktus”), jumlah cahaya dan air mungkin merupakan faktor kritis dalam pertumbuhan mereka. Pengalaman dengan tanaman tersebut menggambarkan peranan iklim dalam perkembangan kesehatan untuk setiap makhluk hidup. Gereja adalah sebuah organisme hidup, bukan sebuah organisasi. Gereja juga bertumbuh dengan sehat dalam suatu iklim yang tepat. Diagnosis gereja pada umumnya tidak memasukkan sebuah studi tentang iklim (suasana). Iklim dihasilkan oleh doa lebih daripada faktor lain, karena iklim berkaitan dengan roh gereja daripada dengan strategi program khusus. 14 Namun diagnosis cenderung memusatkan pada pertumbuhan kuantitatif dan penyusunan program. Keduanya merupakan faktor yang menentukan, tetapi tentu saja tidak keseluruhan. Setiap gereja seharusnya dievaluasi dalam arti "seperti apa 14 Ron Jenson & Jim Stevens, Dynamics of Church Growth, (U.S.A: Bakers Book House Company, 1981), 129-131. 45 ISSN 2579-5678 rasanya" menjadi anggota gereja dan apa yang oleh pendatang baru "dirasakan" ketika mereka mendekati gereja. Bagian dari alasan diagnosis sering mengabaikan iklim adalah bahwa iklim tidak dapat diprogram, meskipun penyusunan program mempengaruhi iklim. Jenson mendefinisikan iklim dalam konteks gereja sebagai kombinasi faktorfaktor yang menentukan bagaimana merasakannya sebagai bagian gereja. 15 Pada umumnya (mungkin juga kadang-kadang), telah mengunjungi gereja dalam usaha menemukan sebuah "rumah gereja", sebuah gereja di mana mereka dapat menetap dan menjadi bagiannya. Banyak orang yang telah melalui proses ini memiliki hal-hal yang spesifik yang mereka cari dalam sebuah gereja (mis. sebuah program pemuda atau khotbah yang baik). Meskipun daftar pengharapan yang spesifik ini, keputusan kembali ke sebuah gereja atau keputusan untuk bergabung akan dibuat atas dasar apa yang dirasakan benar oleh seseorang mengenai gereja ini - "Khotbah (atau hal-hal spesifik lain, seperti Sekolah Minggu) adalah baik, tetapi orang-orang tampaknya tidak terlalu ramah." Atau, "Saya tidak (atau sungguh) merasa diterima." Setiap gereja memiliki kepribadian lembaga yang tercermin dari Disiplin yang berlaku dalam gereja tersebut. Jika para bakal anggota tidak merasakan penerimaan, kehangatan, dan getaran, mereka mungkin tidak akan kembali. Banyak gereja tidak bertumbuh karena sebuah kombinasi faktorfaktor iklim menghasilkan perasaan negatif; jadi, orang-orang dipaksa dan bukannya ditarik. Iklim dapat digambarkan dengan istilah menarik. Apakah yang ada mengenai kita, sebagai sebuah gereja, yang dapat menarik orang datang kepada kita? Katakan dengan cara lain, mengapa orang-orang datang? Pertanyaan ini berlaku untuk (orang Kristen dan non Kristen, meskipun orang-orang Kristen yang taat dan setia mengunjungi sebuah gereja dengan harapan-harapan yang berbeda daripada orang-orang non Kristen. Hal ini penting karena ini merupakan inti proses pertumbuhan. Mengapa kehidupan Yesus begitu memiliki daya tarik, dan gereja-Nya sering tidak menarik dan bahkan menimbulkan penolakan? Tekanan di sini bukan pada 15 Ibid. 46 ISSN 2579-5678 penampilan. Kita tidak saja berusaha tampak baik. Tekanan adalah pada semangat gereja-Nya, keaslian dan kenyataan dari kehidupannya. Gereja menarik karena keasliannya - ketulusannya. Orang dapat merasakan denyut kehidupan di bawah permukaan bangunan-bangunan, program-program dan struktur-struktur. Mereka juga dapat merasakan jika api itu padam, jika perpecahan dan lembaga menjadi yang terutama. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh setiap anggota jemaat. Bagi anggota gereja yang terpanggil untuk melayani, baik sebagai aktivis, majelis jemaat maupun sebagai hamba Tuhan (Pendeta atau guru Injil), iklim pelayanan sangat menentukan produktivitas dan semangat mereka. Tentu semua aktivitas yang mereka lakukan ada dalam penetapan yang tersusun dalam Disiplin. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi iklim pelayanan menyangkut hak atau wewenang dan kewajiban yang harus mereka jalankan. Hak atau wewenang yang harus mereka miliki antara lain: otonomi dan fleksibilitas dalam melakukan tugas pelayanan; Gereja menaruh kepercayaan dan terbuka bagi pelayanan mereka; Semua anggota jemaat termasuk anggota majelis yang lain, aktivis, dan hamba Tuhan, memberikan simpatik dan dukungan terhadap tugas pelayanan yang ada. Sedangkan kewajiban mereka dalam mempertanggung jawabkan hak yang telah mereka terima antara lain: Jujur dan menghargai tugas maupun hasil pelayanan orang lain; Kejelasan tujuan program pelayanan; Mau mengambil pekerjaan yang memiliki risiko hilangnya waktu dan kesenangan pribadi; serta selalu memperhatikan pertumbuhan kepribadian. C. METODE PENELITIAN Karena masalah yang akan diteliti sudah jelas, maka dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan awal antara variabel terikat (dependent) dengan variabel bebas (independent), maka dalam penelitian ini penulis memakai jenis korelasional survei dengan teknik analisis jalur (path analysis design). Analisis jalur digunakan untuk menentukan mana dari sejumlah jalur yang 47 ISSN 2579-5678 menghubungkan satu variabel dengan variabel lainnya. 16 Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas Disiplin (X 1), dan pemahaman Disiplin oleh para pejabat (X2), sementara variabel terikatnya adalah iklim pelayanan (Y). 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gereja Methodist Indonesia Jemaat Gloria Medan yang beralamat di Jalan M.T. Haryono No.38, Medan. Penelitian dilakukan pada bulan April 2011 – Juni 2011. Laporan hasil penelitian yang dituangkan dalam jurnal ini dilakukan dalam bulan Juni tahun 2016. 2. Materi dan Alat Penelitian Metode pengumpulan data yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah metode angket dengan skala “Likert”. Adapun pertimbangan penulis menggunakan metode ini adalah bahwa sampel dengan responden 44 orang cukup besar jumlahnya. Selain hal tersebut, penulis juga sudah tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Dengan demikian penulis menilai bahwa metode angket lebih efisien dalam penelitian ini. 3. Prosedur Penelitian Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam pengumpulan data adalah: Pertama, penulis mengambil langkah yaitu mendata pertanyaanpertanyaan terlebih dahulu, yang berhubungan dengan objek penelitian; Kedua: sesuai dengan pokok atau objek kajian penulis, maka dalam hal ini, penulis memfokuskan pembagian kuesioner kepada para hamba Tuhan dan majelis jemaat yang sedang melayani; Ketiga: setelah penulis mendapatkan data-data, penulis dapat memberikan pengetahuan prinsip Disiplin berdasarkan tulisan Rasul Paulus secara massal kepada para pejabat gereja 16 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), 50. 48 ISSN 2579-5678 tersebut. Sehubungan dengan hal ini, penulis mendeskripsikannya dalam tulisan. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Berdasarkan perolehan data-data penelitian, maka penulis menyajikan hasil penelitian berikut ini. Melalui penelitian deskriptif ditemukan bahwa kualitas Disiplin Gereja Methodist Indonesia bagi anggota jemaat Gloria Medan hanya mencapai 34,05/56 x 100% = 60,8% dari yang diharapkan (100%). Para pekerja yang menjabat sebagai hamba Tuhan dan majelis jemaat untuk periode tahun 2010 – 2012 memahami Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005 hanya mencapai 43,36/72 x 100% = 60,2% dari yang diharapkan (100%). Iklim kerja yang ada di gereja ini (jemaat Gloria Medan) belum maksimal. Hanya mencapai 37,50/56 x 100% = 67% dari yang diharapkan (100%). Hasil penelitian statistik deskriptif ini akan penulis pertajam dengan peninjauan hasil pencapaian berdasarkan aspek dari masing-masing variabel yang diteliti. Rangkumannya adalah pada tabel berikut ini. Tabel 36 Hasil Penelitian Statistik Deskriptif terhadap Kualitas Disiplin, Pemahaman Disiplin dan Iklim Pelayanan Variabel Penelitian Aspek Otoritas Kualitas Disiplin Gereja No. Item 1, 2, 3, 4, 5 Dokumentasi 6, 7 Karakteristik 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 Skor Ideal 5x4x44 = 880 2x4x44 = 352 7x4x44 = 1232 49 Skor perolehan 158+113+121+ 120+115 = 627 Persentasi (%) 82+78 = 160 45,5 86+114+110+ 110+91+95+ 105 = 711 57,7 71 ISSN 2579-5678 Sumber / cara pemahaman Pemahaman Disiplin Gereja Iklim pelayanan Kualitas pemahaman Wewenang / hak Kewajiban. 1, 2, 3, 4, 5 6, 7, 8,9, 10,11, 12,13, 14,15, 16,17, 18 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 9, 10, 11, 12, 13, 14 5x4x44 = 880 77+110+109+ 99+86 = 481 54,7 13x4x44 = 2288 91+114+116+ 110+124+109+ 117+109+101+ 125+120+108+ 83 = 1427 62,4 8x4x44 = 1408 6x4x44 = 1056 121+99+118+ 129+112+125+ 120+92 = 916 117+141+114+ 120+135+107= 734 65,1 69,5 Rangkuman perolehan dalam penelitan asosiatif statistik adalah sebagai berikut: 1. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,32 antara kualitas Disiplin dengan iklim pelayanan Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin memengaruhi kondisi iklim pelayanan. Koefisien korelasi 0,32 menyatakan tingkat hubungan yang rendah. Walaupun korelasi ini rendah, namun berdasarkan hasil uji signifikansi dengan koefisien sebesar 2,18 dapat dinyatakan bahwa korelasi antara kualitas Disiplin dan iklim pelayanan adalah signifikan, sehingga hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi (seberapa jauh) kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 30,30 + 0,21 X. Persamaan ini menghasilkan kesimpulan bahwa: a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X = 0), maka diramalkan iklim pelayanan (Y) = 30,30. b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor, maka iklim pelayanan bertambah 0,21. 50 ISSN 2579-5678 2. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,35 antara pemahaman Disiplin dengan iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Dengan perkataan lain bahwa pemahaman Disiplin memengaruhi kondisi iklim pelayanan. Koefisien korelasi 0,35 menyatakan tingkat hubungan yang rendah. Walaupun korelasi ini rendah, namun berdasarkan hasil uji signifikasi dengan koefisien sebesar 2,44 ini maka dinyatakan bahwa korelasi antara pemahaman Disiplin dan iklim pelayanan adalah signifikan, sehingga hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi (seberapa jauh) kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 30,72 + 0,16 X. Persamaan ini menghasilkan kesimpulan bahwa: a. Dalam keadaan pemahaman Disiplin sama dengan nol (X = 0), maka diramalkan iklim pelayanan (Y) = 30,72. b. Setiap peningkatan pemahaman Disiplin bertambah 1 (satu) skor, maka iklim pelayanan bertambah 0,16. 3. Terdapat korelasi yang positif sebesar 0,78 antara kualitas Disiplin dengan pemahaman Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005. Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin memengaruhi pemahaman Disiplin. Koefisien korelasi 0,78 menyatakan tingkat hubungan yang kuat. Berdasarkan hasil uji signifikasi dengan koefisien sebesar 8,19 ini maka dinyatakan bahwa korelasi antara kualitas Disiplin dengan pemahaman Disiplin adalah signifikan, sehingga hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel diambil (GMI jemaat Gloria Medan). Prediksi (seberapa jauh) kualitas Disiplin memengaruhi iklim pelayanan didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 3,21 + 1,18 X. Persamaan ini menghasilkan kesimpulan bahwa: a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X = 0), maka diramalkan pemahaman Disiplin (Y) = 3,21. 51 ISSN 2579-5678 b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor, maka pemahaman Disiplin bertambah 1,18. Ketiga hasil penelitian asosiatif statistik di atas ini dapat dirangkumkan dalam tabel 37 dan digambarkan paradigma penelitiannya pada gambar 7 dibawah ini. Tabel 37 Rangkuman Hasil Penelitian Asosiatif Statistik Variabel yang dikorelasikan Kualitas Disiplin dengan iklim pelayanan (rYX1) Pemahaman Disiplin dengan iklim pelayanan (rYX2) Kualitas Disiplin dengan pemahaman Disiplin (rX1X2) r hitung Tingkat Hubungan r tabel Keterangan Persamaan Regresi Y’ = 30,30 + 0,21 X1 0,32 rendah 0,297 Signifikan 0,35 rendah 0,297 Signifikan Y’ = 30,72 + 0,16 X2 0,78 kuat 0,297 Signifikan Y’ = 3,21 + 1,18 X3 Hasil pengujian ke tiga hipotesis asosiatif tersebut dapat digambarkan ke dalam paradigma penelitian sebagai berikut: X rYX1=0,32. Y 0,78 X Y’=30,30+0,21X1 rYX2=0,35. Y’=30,72+0,16X2 Gambar 9 Koefisien Korelasi dan Persamaan Regresi antar Variabel 52 ISSN 2579-5678 4. Terdapat korelasi positif antara kualitas Disiplin dan pemahaman Disiplin secara bersama-sama dengan iklim pelayanan sebesar 0,358. Hubungan ini secara kualitatif dapat dinyatakan rendah17, dan besarnya lebih dari korelasi individual antara X 1 (kualitas Disiplin) dengan Y (iklim pelayanan), maupun X2 (pemahaman Disiplin) dengan Y (iklim pelayanan). Melalui uji signifikansi dengan rumus F yang menghasilkan koefisien sebesar Fh = 3,013, maka dapat dinyatakan bahwa korelasi ganda tersebut signifikan dan dapat diberlakukan dimana sampel diambil (Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan). Kesimpulan dari penelitian ini adalah: hipotesis nol yang berbunyi “Terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara variabel X1 dan X2 dengan variabel Y”, diterima. Dengan perkataan lain bahwa kualitas Disiplin dan pemahaman Disiplin secara bersama-sama memengaruhi kondisi iklim pelayanan. Prediksi (sejauh mana) iklim pelayanan dipengaruhi oleh kualitas Disiplin dan pemahaman Disiplin secara bersama-sama didasarkan pada persamaan regresi Y’ = 30,377 + 0,0702 X1 + 0,1198 X2. Persamaan ini menghasilkan kesimpulan bahwa: a. Dalam keadaan kualitas Disiplin sama dengan nol (X 1 = 0), namun pemahaman Disiplin dimaksimalkan 18 x 4 = 72 (18 jumlah butir instrumen, 4 skor tertinggi), maka diramalkan iklim pelayanan (Y) = 30,377 + 0,1198 x 72 = 39,0013. b. Setiap peningkatan kualitas Disiplin bertambah 1 (satu) skor, dengan pemahaman Disiplin yang tetap maksimal, maka diramalkan iklim pelayanan bertambah 0,0702. c. Bila kualitas Disiplin dimaksimalkan 14 x 4 = 56 (14 jumlah butir intrumen, 4 skor tertinggi), maka diramalkan iklim pelayanan (Y) = 39,0013 + 0,0702 x 56 = 42,9335. Dengan nilai Lihat tabel “Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi” pada lampiran tulisan ini. 17 53 ISSN 2579-5678 maksimal iklim pelayanan yang diharapkan adalah 14 x 4 = 56 (14 jumlah butir instrumen, 4 skor tertinggi), maka nilai 42,9335 hanya mencapai 42,9335/56 x 100% = 76,667%. Hal ini terjadi karena tingkat korelasinya yang rendah. Rangkuman perolehan dalam penelitan komparatif statistik adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian komparatif statistik terhadap persepsi kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat terhadap kualitas Disiplin, menghasilkan koefisien t hitung sebesar 1,69 yang lebih kecil dari nilai t tabel 2,0189. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa: tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan dari kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat terhadap kualitas Disiplin. Artinya, kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat memberikan penilaian yang hampir sama terhadap kualitas Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005. 2. Hasil penelitian komparatif statistik terhadap tingkat pemahaman Disiplin oleh kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat, menghasilkan koefisien t hitung sebesar 3,084 yang lebih besar dari nilai t tabel 2,0189. Dengan demikian kesimpulannya adalah: terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat terhadap pemahaman Disiplin. Artinya, kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat memiliki pemahaman yang tidak sama (berbeda) tentang Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005. Hasil penelitian komparatif statistik terhadap iklim pelayanan dari kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat, menghasilkan koefisien t hitung sebesar 2,091 yang lebih besar dari nilai t tabel 2,0189. Dengan demikian kesimpulannya adalah: terdapat perbedaan yang signifikan dari kelompok hamba Tuhan dan majelis jemaat pada iklim pelayanan mereka masingmasing. Artinya, kelompok hamba Tuhan memiliki iklim pelayanan yang tidak sama (berbeda) dari kelompok majelis jemaat di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. 54 ISSN 2579-5678 Hasil penelitian berdasarkan masing-masing ketiga variabel instrumen penelitian, dan dirinci pada masing-masing item, akan dirangkum dalam tiga tabel yang disesuaikan dengan instrumen penelitian, yaitu: tabel 32 untuk kualitas Disiplin, tabel 33 untuk pemahaman Disiplin, dan tabel 34 untuk iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Kondisi yang terjadi di gereja ini akan diwakili oleh 44 responden yang diambil dari populasi dalam gereja ini, yang akan dituangkan dalam bentuk nilai persentasi pencapaian dan deskripsi. Rumus perhitungan nilai persentasi pencapaian adalah sebagai berikut: Persentase pencapaian = ∑X / nilai tertinggi x 100% Dimana: ∑X = total nilai perolehan dalam satu item 18 nilai tertinggi = nilai tertinggi item x jumlah responden = 4 x 44 = 176. Contoh perhitungan: item no.1 dari kualitas disiplin memiliki nilai sebesar 158.19 Maka persentase pencapaian = 158 / 176 x 100% = 89,8%. Demikian pula cara perhitungan untuk item-item yang lain pada ketiga instrumen penelitian, sehingga diperoleh hasilnya dalam tabel 32, tabel 33, dan tabel 34. Penilaian deskriptif berdasarkan jumlah masing-masing item instrumen (∑X1, ∑X2, ∑Y) dibandingkan dengan nilai dari instrumen, yaitu: 4 untuk “Baik”, 3 untuk “Cukup”, 2 untuk “Kurang”, dan 1 untuk “Tidak”. Nilai ini akan dikalikan dengan total responden dalam penelitian. Jadi nilai yang akan diperoleh adalah 4 x 44 = 176 untuk “Baik”, 3 x 44 = 132 untuk “Cukup”, 2 x 44 = 88 untuk “Kurang”, dan 1 x 44 = 44 untuk “Tidak”. Penilaian deskriptif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: diambil standar atas dan standar bawah. Standar atas adalah patokan pada nilai tertinggi butir instrumen, dimana nilai perolehan harus memenuhi nilai maksimum baru dikatakan “Baik”. Sedangkan standar bawah adalah patokan pada nilai terendah butir instrumen, dimana nilai perolehan mencapai titik terendah baru dikatakan 18 Lihat tabel 3, tabel 4, dan tabel 5 pada bab III tulisan ini. Total nilai setiap item dari ketiga instrumen penelitian statistik, dapat dilihat pada tabel 3, tabel 4, dan tabel 5, di bab III hal 122-125 dari tulisan ini. 19 55 ISSN 2579-5678 “Tidak”. Penilaian deskriptif standar atas didefinisikan dalam tabel 38, dan untuk standar bawah dalam tabel 39 sebagai berikut: Tabel 38 Penilaian Deskriptif Standar Atas Bawah Total Nilai Deskripsi Tabel 39 Penilaian Deskriptif Standar Total Nilai Deskripsi Dalam pemaparan ini, penulis memakai penilaian deskriptif standar atas ∑X = 176 Baik 176 ≥ ∑X > 132 Baik dengan pertimbangan bahwa, tidak semua responden memahami instrumen 176 > ∑X ≥ 132 yang diajukan Cukup oleh penulis132 ≥ ∑X >baik. 88 Cukup penelitian statistik dengan 132 > ∑X ≥ 88 88 ≥ ∑X > 44 Kurang Kurang Kualitas Disiplin Gereja Methodist∑X Indonesia 2005 Tidak = 44 Tidak Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 3, maka hasil penelitian untuk variabel kualitas Disiplin dapat dirangkumkan dalam tabel 40 di bawah ini. 88 > ∑X ≥ 44 Tabel 40 Rangkuman Hasil Penelitian Kualitas Disiplin Berdasarkan Item No. 1 2 3 4 5 6 Pernyataan tentang kualitas Disiplin Dalam penyelenggaraan gereja saya, Disiplin dianggap penting. Disiplin 2005 memiliki wibawa atau kekuatan hukum yang kuat. Hamba Tuhan atau pun majelis jemaat di gereja saya menaati Disiplin. Disiplin dapat mengatasi konflik yang terjadi di dalam gereja Keseluruhan peraturan yang ada dalam Disiplin dapat mengatur seluruh kegiatan pelayanan di gereja. Buku Disiplin ada diberikan kepada hamba Tuhan atau pun majelis jemaat yang baru. 56 ∑X1 Persentase pencapaian (%) Deskripsi 158 89,7 cukup 113 64,2 kurang 121 68,8 kurang 120 68,2 kurang 115 65,3 kurang 82 46,6 tidak ISSN 2579-5678 7 8 9 10 11 12 13 14 Buku Disiplin dapat dibeli atau diperoleh dengan mudah atau tersedia di perpustakaan gereja. Buku Disiplin memiliki disain atau cetakan yang menarik untuk dibaca Isi buku Disiplin tersusun dengan sistematis. Bahasa yang dipakai dalam buku Disiplin dapat dimengerti. Susunan kalimat dalam buku Disiplin dapat dimengerti. Kata-kata dalam buku Disiplin tidak dapat menimbulkan banyak arti pemahaman. Isi Disiplin singkat, padat dan jelas. Disiplin menjelaskan dengan lengkap struktur organisasi gereja. 78 44,3 tidak 86 48,9 tidak 114 64,8 kurang 110 62,5 kurang 110 62,5 kurang 91 51,7 kurang 95 54 kurang 105 59,7 kurang Melalui tabel 40 diatas dapat diketahui bahwa Disiplin (Disiplin) dianggap cukup penting oleh para pekerja di Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan. Jawaban responden memberikan nilai 89,7% dari yang diharapkan. Namun otoritas (kekuatan hukum) Disiplin hanya mencapai 64,2% dari yang diharapkan, masuk dalam kategori kurang berotoritas. Otoritas Disiplin yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah bahwa Disiplin memiliki kekuatan hukum baik di dalam (interen) gereja ini, maupun saat dikaitkan pada peradilan negara. Maka tidak heran bila ketaatan oleh para pekerja terhadap Disiplin hanya mencapai 68,8%. Kenyataannya memang ada sekelompok hamba Tuhan dan anggota jemaat yang tidak senang dengan kebijakan bishop maupun keputusan konferensi tahunan, dengan perkataan lain mereka tidak mau taat pada Disiplin (walaupun memang ada kepentinggan pribadi). Mereka memisahkan diri membentuk kelompok atau organisasi Gereja Methodist di luar Gereja Methodist Indonesia. Konflik yang terjadi bahkan dibawa ke pengadilan negara, dengan memakai hukum negara, dengan demikian tidak ada lagi otoritas Disiplin. Hal ini sesuai dengan jawaban responden bahwa Disiplin kurang dapat mengatasi konflik, hanya 68,2%, dan juga kurang dapat mengatur seluruh kegiatan pelayanan di gereja, hanya 65,3%. 57 ISSN 2579-5678 Item nomor 6, 7 menyatakan bahwa buku Disiplin tidak semua pekerja memeroleh buku Disiplin (46,6%), ironisnya lagi buku Disiplin tidak tersedia untuk dimiliki secara bebas (44,3%). Responden menilai bahwa buku Disiplin tidak memiliki disain atau cetakan yang menarik untuk dibaca (48,9%). Isi buku Disiplin kurang tersusun dengan sistematis (64,8%). Hal ini nyata dalam format Disiplin yang ada pada hal 93 dan 94 di atas. Penjelasan mengenai ke-episkopalan terdapat pada bagian dua kemudian diulangi pada bagian tiga. Pada bagian tiga juga digabung aturan untuk gereja lokal dan aturan untuk keseluruhan organisasi Gereja Methodist Indonesia. Oleh karena sampel penelitian diambil dari Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan, dimana gereja ini berlatar belakang suku Tionghoa dan memakai bahasa Mandarin sebagai pengantar, maka bahasa Indonesia yang dipakai dalam buku Disiplin kurang dapat dimengerti oleh para pekerja (62,5%), terutama pekerja yang lebih senior (dalam usia). Terlepas dari bahasa Indonesia yang dipakai, menurut penilaian responden susunan kalimat dalam buku Disiplin kurang dapat dimengerti (62,5%). Demikian pula kata-kata dalam buku Disiplin masih dapat menimbulkan banyak arti pemahaman (51,7% menyatakan bahwa kata-kata yang dipakai tidak dapat menimbulkan banyak arti pemahaman. Berarti 48,3% berasumsi dapat menimbulkan banyak arti pemahaman). Misalnya: dalam persyaratan sebuah gereja lokal untuk “memunyai” tempat ibadah20. Kata “memunyai” dapat ditafsirkan dalam dua arti, yaitu: “ada” (dalam arti pinjam, sewa, numpang) atau “memiliki sendiri”. Dalam hal isi Disiplin responden memberikan penilaian kurang singkat, padat dan jelas (54%). Disiplin kurang menjelaskan dengan lengkap struktur organisasi gereja (59,7%), dalam arti Disiplin tidak memberikan struktur organisasi gereja lokal yang jelas. Semua hal ini akan memengaruhi pemahaman Disiplin oleh para pekerja, seperti hasil penelitian statistik di atas, dimana hubungan kualitas Disiplin dengan pemahaman adalah signifikan. Kondisi pemahaman Disiplin juga akan dijelaskan pada bagian berikut ini. 20 ........, Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005, (Medan: GMI,2006), 29-30. 58 ISSN 2579-5678 Pemahaman Disiplin oleh Para Pekerja Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 4 (Lampiran tabel hal 251), maka hasil penelitian untuk variabel pemahaman Disiplin dapat dirangkumkan dalam tabel 41 di bawah ini. Tabel 41 Rangkuman Hasil Penelitian Pemahaman Disiplin Berdasarkan Item No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pernyataan tentang pemahaman Disiplin Gereja mengadakan program bimbingan untuk memahami Disiplin bagi semua anggota jemaat. Saya memahami Disiplin dengan cara belajar sendiri dari buku Disiplin. Gembala Sidang memberikan pemahaman Disiplin bagi semua hamba Tuhan maupun majelis jemaat. Saya memahami Disiplin dari sesama rekan aktifis (teman sepelayanan) Hamba Tuhan senior atau pejabat majelis senior mengajarkan Disiplin bagi pejabat yang baru. Saya memahami dengan baik keseluruhan isi buku Disiplin. Melalui Disiplin, saya memahami batasan wewenang dalam jabatan. Melalui Disiplin, saya memahami dengan jelas tugas-tugas dalam jabatan. Saya mengerti sanksi-sanksi (hukumanhukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun sebagai pelayan, bila saya lalai menjalankan kewajiban. Melalui Disiplin, saya memahami kepada siapa harus bertanggung jawab di dalam melaksanakan tugas pelayanan. Saya mengerti sistem pemerintahan Episcopal Connectional. 59 ∑X2 Persentase pencapaian (%) Deskripsi 77 43,8 tidak 110 62,5 kurang 109 61,9 kurang 99 56,3 kurang 86 48,9 tidak 91 51,7 kurang 114 64,8 kurang 116 65,9 kurang 110 62,5 kurang 124 70,5 kurang 109 61,9 kurang ISSN 2579-5678 12 13 14 15 16 17 18 Saya memahami hak dan kewajiban sebagai anggota gereja Methodist yang tercantum dalam Disiplin. Saya memahami sistem kerja organisasi gereja yang sesuai dengan Disiplin. Saya dapat menjelaskan prosedur penerimaan hamba Tuhan di gereja Methodist. Saya mengerti tugas, tanggung jawab dan hak seorang pendeta. Saya mengerti tugas, tanggung jawab dan hak seorang Lay Leader. Saya dapat menjelaskan tujuan Konferensi Tahunan. Saya mengerti dan dapat menjelaskan tugas dan hak BPA. 117 66,5 kurang 109 61,9 kurang 101 57,4 kurang 125 71 kurang 120 68,2 kurang 108 61,4 kurang 83 47,2 tidak Hambatan pemahaman bahasa Indonesia oleh para pekerja yang berlatar belakang bahasa Mandarin sebenarnya dapat diatasi dengan memberikan bimbingan bagi para pekerja tentang Disiplin. Namun ternyata Gereja Methodist Indonesia jemaat Gloria Medan tidak mengadakan program bimbingan untuk memahami Disiplin bagi semua anggota jemaat (43,8%). Pada item 2 dan 4 dapat dilihat bahwa para pekerja kurang berinisiatif untuk mau memahami Disiplin, baik dengan belajar sendiri (62,5%) maupun dengan belajar dari rekan sekerja (56,3%). Pimpinan jemaat (gembala sidang) juga kurang memberikan pengertian Disiplin bagi para pekerja (61,9%). Demikian juga para pekerja senior tidak memberikan bimbingan kepada para pekerja junior mereka prihal Disiplin (48,9%). Ini dapat terjadi karena dua sebab, yaitu bahwa mereka tidak melihat signifikansi Disiplin sehingga mereka tidak memiliki inisiatif untuk mengajarkan kepada junior mereka, atau mereka sendiri tidak memahami Disiplin sehingga tidak tahu apa yang harus diberi tahukan. Hal ini terbukti bahwa para pekerja kurang memahami dengan baik keseluruhan isi buku Disiplin (51,7%). Maka tidak heran bila para pekerja kurang memahami batasan wewenang dalam jabatan (64,8%), juga kurang memahami dengan jelas tugas-tugas dalam jabatan (65,9%). Akibatnya para pekerja melaksanakan pelayanan berdasarkan inisiatif 60 ISSN 2579-5678 sendiri. Oleh sebab itu di gereja ini, bila terjadi pergantian kepengurusan akan menghasilkan kebijakan yang baru dan harus ada penyesuaian yang baru. Pertumbuhan gereja menjadi terhambat dan waktu banyak terbuang. Para responden yang merupakan hamba Tuhan dan sebagian besar majelis jemaat, boleh dikatakan mereka adalah para pemimpin gereja, masih kurang mengerti sanksi-sanksi (hukuman-hukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun sebagai pelayan, bila lalai menjalankan kewajiban (62,5%). Oleh karena struktur organisasi untuk gereja lokal tidak jelas, maka tidak heran para pekerja kurang memahami kepada siapa harus bertanggung jawab di dalam melaksanakan tugas pelayanan (70,5%). Sistem pemerintahan Episcopal Connectional yang dibangga-banggakan oleh gereja Methodist malah kurang dimengerti oleh para pekerja (61,9%). Hanya 57,4% yang dapat menjelaskan prosedur penerimaan hamba Tuhan di gereja Methodist. Responden juga kurang mengerti tugas, tanggung jawab dan hak seorang pendeta (71%) maupun seorang Lay Leader (68,2%). Mereka juga kurang dapat menjelaskan tujuan Konferensi Tahunan (61,4%), serta tidak mengerti dan tidak dapat menjelaskan tugas dan hak BPA (47,2%). Berikut ini penulis akan menguraikan bagaimana iklim pelayanan yang ada di gereja ini, terkait dengan kualitas Disiplin dan pemahamannya oleh para pekerja seperti yang telah diuraikan di atas. Iklim Pelayanan di Gereja Methodist Indonesia Jemaat Gloria Medan Melalui data hasil penelitian statistik yang telah ditabulasi pada tabel 5 (Lampiran tabel, hal 252), maka hasil penelitian untuk variabel iklim pelayanan dapat dirangkumkan dalam tabel 42 di bawah ini. Tabel 42 Rangkuman Hasil Penelitian Iklim Pelayanan Berdasarkan Item No. Pernyataan tentang iklim pelayanan di gereja 61 ∑Y Persentase pencapaian (%) Deskripsi ISSN 2579-5678 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Terdapat fleksibilitas dalam hal waktu tugas (pelayanan) dan pemakaian fasilitas-fasilitas gereja untuk mencapai tujuan gereja Terdapat kebebasan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang saya ambil. Kepengurusan (Rapat) Majelis Jemaat menyetujui serta menghargai pendapat dan inisiatif saya. Pimpinan saya sangat menaruh kepercayaan kepada saya. Kepengurusan (Rapat) Majelis Jemaat selalu memerhatikan problem yang saya hadapi. Terdapat kesetiakawanan antara sesama pekerja (sesama hamba Tuhan, sesama majelis, dan hamba Tuhan dengan majelis), serta masingmasing saling memberi bantuan. Kontribusi (pekerjaan pelayanan) saya kepada gereja mendapat tanggapan yang cukup menyenangkan. Gereja memahami kalau pekerjaan yang baik perlu diberi hadiah Tujuan setiap pekerjaan pelayanan yang saya kerjakan didefinisikan (diuraikan) dengan jelas. Saya mengetahui kalau aktivitas pelayanan saya ada kaitannya dengan tujuan gereja. Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa bebas dan tidak takut untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan atasan. Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa bebas dan tidak takut untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan anggota majelis lain dalam rapat majelis. Saya selalu menekankan untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang tinggi. Pencapaian tujuan dari setiap tugas selalu ditekankan pada pada diri saya. 121 68,8 kurang 99 56,3 kurang 118 67 kurang 129 73,3 kurang 112 63,3 kurang 125 71 kurang 120 68,2 kurang 92 52,3 kurang 117 66,5 kurang 141 80,1 cukup 114 64,8 kurang 120 68,2 kurang 135 76,7 cukup 107 60,8 kurang Dalam pelayanan memang diberikan fleksibilitas waktu tugas (pelayanan), namun untuk pemakaian fasilitas-fasilitas gereja untuk mencapai tujuan 62 ISSN 2579-5678 gereja kurang mendapatkan iklim yang baik (68,8%). Sering terjadi salah pengertian antara pengurus ruangan gedung gereja maupun mobil gereja dengan para aktifis yang akan melakukan tugas pelayanan. Gereja ini juga menerapkan birokrasi yang ketat (pelaksanaan harus sesuai keputusan rapat majelis yang memenuhi korum) sehingga bagi seorang pribadi kurang dapat kebebasan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya (56,3%). Sehingga terkesan kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat kurang menyetujui serta menghargai pendapat dan inisiatif seorang pribadi dari pekerja (67%). Banyak responden ketika diwawancara menyatakan bahwa tidak tahu siapa pimpinan mereka, namun mereka memberikan penilaian bahwa 73,3% pimpinan menaruh kepercayaan kepada mereka. Walaupun persentasi perolehan cukup tinggi, namun masih masuk dalam kategori kurang. Kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat juga kurang memerhatikan problem yang dihadapi oleh komisi di bawah pimpinan seorang anggota majelis jemaat atau pun masalah pelayanan seorang hamba Tuhan (63,3%). Dalam pelaksanaan pelayanan masih kurang terdapat kesetiakawanan antara sesama pekerja (sesama hamba Tuhan, sesama majelis, dan hamba Tuhan dengan majelis), serta masing-masing saling memberi bantuan (71%). Gereja ini kurang memberi tanggapan yang cukup menyenangkan terhadap kontribusi (pekerjaan pelayanan) dilakukan oleh pekerja (68,2%). Tidah heran bila responden menilai bahwa gereja kurang memahami kalau pekerjaan yang baik perlu diberi hadiah (52,3%). Para pekerja juga kurang menyadari (66,5%) bahwa tujuan setiap pekerjaan pelayanan yang mereka kerjakan seharusnya didefinisikan (diuraikan) dengan jelas. Walaupun demikian, para pekerja cukup mengetahui kalau aktivitas pelayanannya ada kaitannya dengan tujuan gereja (80,1%). Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa kurang bebas (tidak takut) untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan atasan pribadi (64,8%), maupun dalam rapat majelis para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) juga merasa kurang bebas (tidak takut) untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan anggota majelis lain (68,2%). 63 ISSN 2579-5678 Dalam hal pengembangan diri, para pekerja cukup menekankan untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang tinggi (76,7%), namun masih kurang dalam penekanan untuk pencapaian tujuan dari setiap tugas yang diberikan (60,8%). E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Disiplin, pemahaman-nya dan iklim pelayanan di Gereja Methodist Indonesia khususnya di jemaat Gloria Medan, masih kurang dari yang diharapkan. Kualitas Disiplin dan pemahaman cukup memengaruhi iklim pelayanan di gereja ini. Gereja Methodist Indonesia perlu untuk amandemen Disiplinnya dan mengadakan program pembinaan agar warganya memahami Disiplin. Tujuannya adalah agar kepemimpinan gereja dapat mengawasi pelaksanaan Disiplin oleh warganya, demikian pula sebaliknya. Gereja Methodist Indonesia telah memiliki sejarah yang cukup lama. Gereja ini mulai mengukir sejarahnya di Indonesia sejak 1905. Hingga tahun 2011, berarti gereja ini telah berusia 106 tahun. Gereja Methodist menyebut dirinya memakai sistem episkopal. Namun bila di lihat dari prinsip pengaturan gereja ini, sistem pemerintahannya tidak memiliki suatu sistem yang pasti. Selain dari penataan sistem pemerintahan, gereja ini memiliki penataan bagi ibadah dan upacara yang fleksibel, dan juga memiliki peraturan etika bagi anggotanya. Gereja ini belum memiliki sebuah Disiplin yang dapat mengakomodasi tuntutan dalam pelayanan. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya pemahaman akan Disiplin dari para pekerja (hamba Tuhan dan majelis jemaat) di gereja ini (khususnya jemaat Gloria Medan), sehingga kedua faktor ini menghambat iklim pelayanan yang maksimal dari gereja ini. 64 ISSN 2579-5678 2. Saran-Saran Dalam mengakhiri penulisan jural ini, penulis berkeinginan untuk memberikan suatu masukan yang dapat menjadi perhatian bagi beberapa pihak. Kontribusi yang penulis berikan ini berdasarkan pada pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya. Setelah penulis mencermati hasil dari penelitian ini, maka pembahasan berikut adalah sangat perlu untuk dimiliki oleh beberapa pihak sebagai kontributor untuk mengembangkan pelayanan secara khusus bagi profesionalisme manajemen organisasi gereja. Adapun rekomendasi tersebut perlu bagi: a. Sekolah Tinggi Teologia Pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh Sekolah-Sekolah Tinggi Teologia sebagai tambahan literatur untuk menambah pengetahuan dalam bidang Tata Gereja. b. Gereja-Gereja Pembahasan tentang Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus ini perlu dimiliki oleh gereja-gereja sebagai acuan bagi gereja untuk menyusun, memerbaharui, atau memerbaiki Tata Gereja mereka. c. Para hamba Tuhan Pokok pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh para hamba Tuhan sebagai pelayan umat percaya. Para hamba Tuhan hendaknya memiliki wawasan dan acuan dalam melayani umatNya, secara khusus dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi kelemahan Tata Gereja di tempat pelayanannya. Tulisan ini dapat membantu para hamba Tuhan untuk memahami wawasan tentang Tata Gereja. d. Gereja Methodist Indonesia Gereja ini dapat mengevaluasi dan mengidentifikasi kelemahan dari Disiplinnya dengan memahami pokok pembahasan mengenai 65 ISSN 2579-5678 Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan Rasul Paulus ini. Gereja ini dapat memerbaharui dan atau memerbaiki Disiplinnya, agar para pekerja dapat bekerja dengan sukacita dan meningkatkan mutu iklim pelayanan mereka. F. KEPUSTAKAAN .......... 2005 Full Life Study Bible, Malang: Gandum Mas. .......... 2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. .......... 2006 Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005, Medan: GMI. .......... 2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. .........., 1997 Buku Peringatan Perayaan “Ulang Tahun Gereja Methodist Indonesia jemaat ‘Gloria’ Medan ke 75”, Medan: GMI Gloria. ........... 2005 God’s Empowering Presence, Massachusetts: Hendrickson Publishers. ............ 2006 Missionary Paul Tehologian, Scotland: Christian Focus Publications. .............. 1996 Kekristenan dan Kesukubangsaan, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. .............. 2007 Manajemen Modern dalam Konteks Gereja Masa Kini, Batu: Literatur YPPII. .............. 2008 Administrasi Gereja, Batu: Literatur YPPII. Anthony, Michael J.; Estep, James Jr 2005 Management Essentials for Christian Ministries, U.S.A: B&H Publishing. Antill, L.; Harper, A T Wood. 1985 Systems Analysis, London: Heinemann. Asshiddiqie, Jimly. 2009 Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Banks, Robert 1982 Paul’s Idea of Community, Michigan: William B. Eerdmans Publishing. Barcay, William 1988 Duta Bagi Kristus, Latar Belakang Peta Perjalanan Paulus, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Barna, George 2005 The Habits of Highly Effective Churches, [terjemahan: Endyahswarawati Handoko], Malang: Gandum Mas. Berkhof, Louis 2005 Teologi Sistematika 5, Surabaya: Penerbit Momentum. 66 ISSN 2579-5678 Bruce, F. F. 2000 Paul Apostle of the Heart Set Free, Grand Rapids: Paternoster Press. Bruggen, Jakob Van 2005 Paul Pioneer For Israel’s Messiah, New Jersey: P&R Publishing. Calvin, Yohanes 2005 Institutio, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Chamblin, J. Knox 2006 Paulus dan Diri, Surabaya: Momentun. Clowney, Edmund P. 1995 The Church, Illinois: InterVarsity Press. Cowan, Steven B. 2004 Who Runs the Church?, Michigan: Zondervan. Crampton, W. Garry. 2004 Verbum Dei, Surabaya: Momentum. Dainton, Martin B. 2002 Gereja dan Bergereja, Jakarta: YKBK Daulay, Richard M. 2004 Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dever, Mark 2010 9 Tanda Gereja yang Sehat, [terjemahan: Ichwei G. Indra], Surabaya: Momentum. Dister, Nico Syukur 2004 Theologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius. Douglas, J.D. 2002 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, Jakarta: YKBK Drane, John 2009 Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK.Gunung Mulia. Dunn, James D.G. 2004 The Cambridge Companion to St. Paul, United Kingdom: Cambridge University Press. Emzir. 2009 Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Enns, Paul 2003 The Moody Handbook of Theology Vol 1, Malang: Literatur SAAT. Fatta, Hanif Al. 2007 Analisis & Perancangan Sistem Informasi, Yogyakarta: Penerbit ANDI. Fee, Gordon D. 2004 Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, Malang: Gandum Mas. Hadiwijono, Harun 2006 Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Holland, Tom 2004 Contours of Pauline Theology, Scotland: Mentor Imprint. Iskandar 2008 Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Jakarta: Gaung Persada Press. Kattu, Lamberthus. 1997 Organisasi Gereja dan Yayasan PI, Batu: Lumen Christi. Kennedy, Gerald 1958 The Methodist Way of Life, Englewood Cliff, NJ: Prentice Hall. Lamb, Jonathan. 2008 Integritas, Jakarta: Literatur Perkantas. Lawrence, Bill. 2004 Effective Pastoring, Yogyakarta: Penerbit ANDI. Lay, Agus B. 2006 Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: ANDI. 67 ISSN 2579-5678 Lumintang, Stevri I., 2010 Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan, Batu: Dept. Literatur PPII. McRay, John 2007 Paul, His Life and Teaching, Grand Rapids: Baker Academic. Nasir, Mohamad 1985 Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Octavianus, P.2007 Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah, Batu: Literatur YPPII. Packer, J. I.; Tenney, Merril C.; White, William 1993 Dunia Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas. Poerwadarminta, W. J. S. 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka. Polhill, John B. 1999 Paul & His Letters, Tennessee: Broadman & Holman Publishers. Purwanto. 2011 Statistika Untuk Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rees, David; McBain, Richard 2007 People Management, Jakarta: Kencana. Riady, Mochtar 2008 Filsafat Kuno dan Manajemen Modern, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Ridderbos, Herman 2008 Paulus Pemikiran dan Theologinya, Surabaya: Momentum. Robinson, Darrell W. 2004 Total Church Life, Bandung: YBI Ryrie, Charles C. 2003 Theologi Dasar 2, Yogyakarta: ANDI. Sahardjo, Hadi P. 2009 Psikologi Kepribadian Sosial, Batu: Institut Injil Indonesia. Sanders, J. Oswald. 2002 Kepemimpinan Rohani, Batam: Gospel Pres. Schwarz, Christian A.; Schalk, Chrisoph. 2002 Pedoman Penerapan Praktis Pertumbuhan Gereja Alamiah, Jakarta: Rekan Gereja bekerja sama dengan Metanoia Publishing. Spiegel, Murray R. 1986 Statistik, [terjemahan: I Nyoman Susila & Ellen Gunawan], Jakarta: Erlangga. Sproul, R. C. 2005 Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Literatur SAAT. Strauch, Alexander. 2008 Diaken dalam Gereja, Yogyakarta: Penerbit ANDI. Subagyo, Andreas B. 2004 Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, Bandung: Yayasan Kalam Hidup. Sudarmanto, G. 2009 Pelayan Kristus Yang Baik, Malang: Departemen Multimedia YPPII. Sugiyono. 2008 Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta. 68 ISSN 2579-5678 Sule, Erni Trisnawati.; Saefullah, Kurniawan. 2005 Pengantar Manajemen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Susabda, Yakub B. 1985 Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja, Malang: Gandum Mas. Sutanto, Hasan 2007 Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Malang: Literatur SAAT. Tambunan, Rudi M. 2008 Pedoman Penyusunan Standard Operating Proicedures, Jakarta: Maiestas Publishing. Thielman, Frank 1994 Paul & The Law, U.S.A: InterVarsity Press. Tuel, Jack M. 1989 The Organization of the United Methodist Church, USA: Nashville. Usman, Husaini; Akbar, Purnomo Setiady 2009 Pengantar Statistika, Jakarta: Bumi Aksara. Walker, Williston 1991 The Creeds and Platforms of Congregationalism, New York: Pilgrim. Walz, Edgar 2006 Bagaimana Mengelola Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Waters, Guy Prentiss 2004 Justification and the New Perspectives on Paul, New Jersey: P&R Publishing. Watson, David 1977 I Believe in the Church, Michigan: William B. Eerdmans. Welch, Robert H. 2005 Church Administration, U.S.A: Broadman & Holman Publishers. Winardi, J. 2007 Teori Organisasi & Pengorganisasian, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Wongso, Peter. 2007 Theologia Pengembalaan, Malang: SAAT. 69 ISSN 2579-5678 70 STUDI EKSEGESIS FILIPI 2:5-11 TENTANG KENOSIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN TRITUNGGAL Oleh: Yupiter Mendrofa Abstraksi Adapun yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah: kotroversi teori kenosis yang tidak dapat menyelesaikan spekulasi teologis seperti teori kenosis Gess, misalnya, ternyata merusak prinsip kesatuan Allah dalam doktrin Tritunggal (opera Trinitatis ad extra sunt indivisa). Bila mereka mau mempertahankan doktrin Allah tradisional, mereka harus kembali mengubah penjelasan dari apa yang dimaksudkan dengan kenosis itu. Ebrard dan Gore termasuk dalam tokoh-tokoh yang mencoba mereformulasikan teori kenosis. Penjelasan yang mereka berikan mungkin dapat menerangkan sifat kemanusiaan Yesus dalam inkarnasiNya tanpa merusak doktrin Tritunggal. Namun, penjelasan yang satu menimbulkan pertanyaan misteri dalam hal yang lain. Gore, misalnya, akhirnya meninggalkan satu pertanyaan yang tak terjawab mengenai hubungan antara kehidupan Logos sebagai Penunjang alam semesta dan Logos yang berinkarnasi. Dengan tidak terjawabnya pertanyaan ini oleh teori kenosis, maka teori itu telah mempengaruhi doktrin imutabilitas (tidak dapat berubahnya) Allah. Usaha teori kenosis mereformulasi doktrin dwi natur pribadi Kristus juga merusak rumusan Kristologis yang telah ditetapkan dalam Konsili Chalcedon. Kristus seperti dikemukakan dalam Alkitab adalah Kristus yang sungguh-sungguh Allah, dan sekaligus juga sungguh-sungguh manusia (unus Christus, vere Deus et vere homo). Padahal Kristus yang dikemukakan dalam teori kenosis adalah Kristus yang keallahanNya telah dikorting, bila bukan sama sekali dihilangkan. Dalam usahanya untuk memberi penekanan pada natur kemanusiaan dalam diri Yesus, teori kenosis bukan memberi penjelasan mengenai doktrin Inkarnasi, tetapi, seperti dikatakan oleh Baillie, teori kenosis hanya menyuguhkan teori teofani temporer, di mana Allah menjadi manusia untuk ISSN 2579-5678 sementara waktu. Allah meninggalkan keallahanNya untuk menjadi manusia, dan pada waktu menjadi manusia ia berhenti untuk sementara sebagai Allah. Sampai di sini kita melihat bahwa pilihan bagi teori kenosis adalah meninggalkan doktrin historis Allah Tritunggal atau merusakkan doktrin Kristologi. Karl Barth melihat dengan jelas kegagalan teori kenosis pada masa lalu. Satu-satunya jalan kalau teori kenosis mau dipertahankan adalah dengan cara meninggalkan doktrin Allah tradisional. Dan pilihan inilah yang diambil oleh Barth dengan mengemukakan bahwa Allah bukanlah Allah yang tidak dapat berubah, seperti diperkirakan oleh kebanyakan orang. Namun, mengubah sesuatu yang telah jelas dan menggantikannya dengan suatu teori yang kurang jelas, mungkin merupakan harga yang terlalu mahal untuk kita bayarkan. Ajaran Paulus ini juga mempengaruhi dogma yang diakui oleh gereja-gereja pada masa lampau dan pada masa kini. Penulis berpendapat bahwa diperlukan suatu pengamatan yang dilakukan secara teliti dan mendalam (Biblical Studies) terhadap ajaran Paulus tentang makna kenosis serta pengaruhnya yang besar bagi kekristenan. Studi eksegesis Filipi 2:5-11 tentang konsep kenosis dan hubungannya dengan doktrin tritunggal Problematika Di kalangan para teolog, Filipi 2:5-11 dikenal dengan nama: Hymne Kristologi, Nyanyian Kristologi, atau Syair Puji-pujian tentang Kristus dan mungkin masih ada nama yang lain lagi. Nama-nama seperti itu paling tidak memperlihatkan bahwa bagian surat tersebut cukup terkenal dan mempunyai tempat yang istimewa dalam penghayatan iman orang Kristen. Namun demikian bagian tersebut juga masih menimbulkan perdebatan di kalangan para teolog. Penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11 di kalangan orang Kristen sendiri masih dalam problem yang cukup sulit. Menurut penulis, hal itulah yang menyebabkan penafsiran terhadap teks Alkitab itu kurang menolong Gereja-Gereja di Indonesia dalam memahami dan menjalankan 72 ISSN 2579-5678 panggilannya dalam dunia ini. Selama ini teks itu hanya ditafsirkan secara dogmatis sehingga kurang sekali menyentuh pergumulan-pergumulan praktis yang sedang dihadapi. Untuk itu dalam tulisan ini dipandang perlu untuk menggambarkan problematikanya dan mencari solusi penafsiran yang lebih menyentuh konteks orang-orang Kristen di Indonesia. Guthrie, seorang teolog Perjanjian Baru pernah memaparkan beberapa hal yang menjadi permasalahan di sekitar penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11, sebagai berikut: Asal-usul teks Filipi 2:5-11. Menurutnya, dalam bagian ini yang dipertanyakan adalah: Apakah teks itu adalah ciptaan rasul Paulus sendiri atau sebuah teks yang berasal dari sebuah hymne yang telah dikenal dalam jemaat mula-mula, yang diambil alih dan dimasukkan oleh rasul Paulus ke dalam Surat Filipi? Jawaban terhadap pertanyaan itu bermacam-macam. Ada ahli yang mengatakan bahwa teks itu bukan berasal dari Paulus, tetapi berasal dari hymne yang telah dikenal dalam Gereja mula-mula, lalu diambil alih oleh Paulus dan dimasukkan ke dalam surat Filipi sebagai dasar bagi pastoralnya terhadap jemaat Filipi. Jawaban itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain: Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa bentuk sastra Filipi 2:511 pada mulanya bukanlah sebuah prosa seperti seperti sekarang ini, tetapi adalah sebuah hymne/puisi yang terdiri dari enam stansa, dan tiap-tiap stansa terdiri dari tiga klausa. Struktur sastra seperti itu sama dengan puisi-puisi yang dikarang dalam bahasa Aram, sebagai bahasa yang digunakan oleh jemaat mula-mula. Gaya sastra seperti itu tidak terdapat dalam surat-surat Paulus yang lain, selain dalam surat Filipi. Menurut mereka hal itu disebabkan karena teks itu bukan berasal dari Paulus sendiri yang hidup dalam budaya Helenisme. Dari hasil penelitian itu, mereka juga menyimpulkan bahwa Paulus telah menambahkan satu klausa, dalam teks yaitu, dalam Filipi 2:8: “ ...bahkan sampai mati di kayu salib” θανάτου δὲ σταυροῦ. Untuk memperkuat kesimpulan itu, mereka juga menyatakan bahwa beberapa pokok teologis yang khas Paulus seperti: penebusan melalui salib, 73 ISSN 2579-5678 kebangkitan Kristus dan misi Kristus bagi penebusan dosa manusia, kurang nampak dalam Filipi 2:5-11. Namun ada juga teolog yang membantah dan tidak sependapat dengan kesimpulan-kesimpulan di atas. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa teks itu adalah ciptaan Paulus sendiri dalam rangka jawabannya terhadap pergumulan jemaat Filipi. Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain: Bahwa sesungguhnya gaya prosa seperti itu bukan hanya dalam Filipi 2:5-11, tetapi juga dalam Kolose 1:15-20, atau dalam surat-surat yang lain, walaupun mungkin bentuknya lebih pendek dari Filipi 2:5-11. Bila, hanya untuk merespons situasi jemaat Filipi pada saat itu, maka tidak mungkin Paulus harus memaparkan semua pandangan teologisnya yang khas tentang Kristus. Mungkin, ia merasa cukup hanya dengan menciptakan prosa yang dianggap cocok dan sesuai dengan kebutuhan pastoralnya bagi jemaat Filipi. Guthrie sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk membuktikan dengan pasti pendapat mana yang benar sebab masing-masing memiliki alasan yang kuat yang tidak dapat ditolak dengan begitu saja. Namun menurutnya, yang paling penting adalah kalaupun prosa itu adalah ciptaan Paulus ataupun disadur dari sebuah hymne jemaat mula-mula, maka tentu dalam penafsirannya hymne itu harus dipahami dalam kerangka pergumulan Paulus dan jemaat Filipi pada waktu itu dan bukan dalam konteks di luar itu, baik jemaat mula-mula maupun Filsafat Yunani dan Gereja masa kini.1 Konteks Adapun yang dimaksud dengan konteks di sini dijelaskan oleh Hasan Sutanto yang menyatakan, bahwa: kata konteks berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu ‘con’ yang berarti bersama dan menjadi satu dan ‘textus’ yang berarti tersusun.”2 1 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, Hal. 391. 2 Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: SAAT, 1998), Hal. 134. 74 ISSN 2579-5678 Konteks Dekat Rasul Paulus menulis surat ini dari penjara. Jika ditulis dari penjara di Roma, tanggalnya sekitar tahun 61-63 M.3 Konteks dekat dari Filipi 2:5-11 adalah keseluruhan surat Filipi yang merupakan surat mengenai sukacita dan dorongan atau pengobar semangat di tengah keadaan yang tidak menyenangkan ataupun kurang baik. Di dalamnya, Paulus dengan bebas mengekspresikan serta menyatakan kasihnya terhadap jemaat Filipi mengingat bahwa kesaksian dan dukungan mereka yang konsisten, serta dengan penuh kasih menghimbau mereka untuk memusatkan tindakantindakan dan pemikiran mereka pada pribadi, pengejaran, dan kuasa dari Yesus Kristus. Paulus juga mencoba untuk mengoreksi suatu masalah tentang perpecahan dan persaingan, menghimbau kepada pembacanya untuk menuruti teladan Kristus di dalam kerendahan hati-Nya dan ketaatanNya. Dengan cara ini pekerjaan dari Injil itu akan berkembang pesat. Hal ini terjadi ketika orang-orang percaya mencoba untuk berdiri teguh, sehati sepikir, senantiasa bersukacita, dan berdoa di dalam segala situasi yang sedang dihadapi. Konteks Jauh Penulis menggunakan konteks jauh Filipi 2:5-11 dari surat Paulus kepada jemaat Korintus, dalam I Korintus 4:6-10, yakni ketika rasul Paulus menulis surat yang berisi tegoran karena jemaat di Korintus mulai saling menyombongkan diri dengan apa yang sudah mereka alami dan karuniakarunia rohani yang mereka peroleh di dalam Tuhan. Dalam hal ini, Dick Iverseon dan Larry Asplund menjelaskan bahwa: “Beberapa perbedaan pendapat telah melumpuhkan kehidupan dan pelayanan di gereja Korintus.”4 Paulus menasihati jemaat Korintus agar mereka jangan menyombongkan diri, tetapi Paulus menganjurkan agar jemaat Korintus mengikuti teladan dirinya (I Korintus 4:16). Paulus berani menjadikan dirinya sebagai contoh teladan bagi orang-orang Korintus karena dia telah 3 _______, Handbook To The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit. Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686. 4 Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 2003), Hal.. 59. 75 ISSN 2579-5678 mengikuti teladan Kristus (ayat 17). Hal ini juga sesuai dengan apa yang Paulus ajarkan kepada jemaat di Filipi berdasarkan Filipi 2:5-11, yang sedang diteliti oleh penulis. Pokok-pokok teologi penting dalam Filipi 2:5-11 yang menjadi perdebatan yaitu: Pre-eksistensi Kristus. Yang dipermasalahkan dalam bagian ini adalah Apakah hakekat Yesus pada masa sebelum kehidupanNya di dalam dunia ini? Jawaban atas pertanyaan itu juga berbeda-beda. Berdasarkan tafsiran mereka terhadap kata “rupa Allah” μορφῇ θεοῦ, ada ahli yang menyimpulkan bahwa hakekat Kristus adalah sama dengan Allah. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa kata itu mempunyai hubungan dengan kata “ousia” (hakekat), yakni memiliki morphe sama dengan memiliki ousia. Karena itu, jika kata “morphe” μορφῇ dihubungkan dengan kata berikutnya “setara dengan Allah” maka jelas bahwa memiliki morphe berarti memiliki keberadaan yang setara dengan Allah. Namun, di pihak lain, ada juga yang mengatakan bahwa kata “μορφῇ θεοῦ” dalam teks itu harus dipahami dalam konteks Perjanjian Lama dimana hakekat Allah dihubungkan dengan gambarNya yang dalam LXX (Septuaginta) diterjemahkan dengan kata “eikon.” Dan kata “gambar Allah” selalu dihubungkan dengan kata “kemuliaan Allah” δόξαν θεοῦ dan dalam pemahaman ini μορφῇ θεοῦ harus dipahami sebagai yang memancarkan kemuliaan Allah seperti pada Adam. Jadi dalam hal ini Kristus disaksikan sebagai Adam yang ke dua.5 Inkarnasi. Tafsiran terhadap kata “μορφῇ θεοῦ” seperti di atas, juga berpengaruh kepada penafsiran terhadap kata “ἁρπαγμὸν.” Dalam konteks Filipi 2:5-11, mereka menafsirkan kata “ἁρπαγμὸν” dapat ditafsirkan dalam dua cara dalam bahasa Yunani, bisa dalam pengertian: “Kristus tidak mempertahankan, menggenggam erat (sebagai wujud tidak rela melepaskan) apa yang telah Ia miliki yaitu kesetaraanNya dengan Allah melainkan melepaskannya (res 5 Ibid., Hal. 393. 76 ISSN 2579-5678 rapta) dan menjadi sama dengan manusia.” Atau juga dapat pula berarti: “Kristus tidak tergoda untuk merebut sesuatu yang belum Ia miliki (res rapienda), yaitu kesetaraanNya dengan Allah tetapi mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia.” Tafsiran ini sejalan dengan sifat Kristus yang rendah hati yang tidak mengutamakan kepentingan diriNya sendiri, malah berkorban bagi pihak lain dengan menjadi seorang hamba.6 Proses inkarnasi. Dalam bagian ini dipertanyakan apakah yang dikosongkan dalam proses inkarnasi itu? Ada ahli yang menafsirkan bahwa yang dikosongkan adalah hakekatNya sebagai Allah, sehingga dalam diri Yesus dari Nazaret itu, Kristus benar-benar mengambil rupa dan tampil sebagai manusia sejati dan tidak berhubungan dengan keilahianNya. Namun sebaliknya, ada juga yang menafsirkan bahwa yang ditiadakan dan ditutupi hanyalah penampilanNya, yaitu “kemuliaanNya sebagai Allah”, dengan memakai “rupa seorang hamba” dan itu hanya bersifat sementara. Dengan demikian, penampilanNya sebagai Allah dalam kemuliaaNya berganti menjadi Allah yang merendahkan diri dengan mengambil rupa seorang hamba.7 PengagunganNya. Dalam bagian ini yang dipermasalahkan adalah kata “ὑπερύψωσεν.” Sebagian ahli mengatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata “sangat meninggikan Dia” dalam artian memulihkan kembali keallahan Kristus yang ditutupi sementara, dengan memberiNya nama di atas segala nama. Tetapi ada sebagian juga yang menyatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata “lebih meninggikan Dia” dalam pengertian bahwa dari keberadaanNya yang semula hanya memancarkan kemuliaan Allah dianugerahi hakekat menjadi sebagai Allah. Sehingga pemberian “nama di atas segala nama” dapat dipandang sebagai upah perendahan diri dan 6 7 Ibid., Hal. 394. Ibid., Hal. 395. 77 ISSN 2579-5678 ketaatanNya sebagai hamba. Dengan demikian, tafsiran terhadap pokok ini sangat tergantung pada pengertian kata “rupa Allah” seperti di atas. Kapan pemuliaan itu mulai berlangsung? Apakah itu masih terjadi di akhir jaman dalam parousia atau sudah terjadi sejak saat ini? Inipun menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Ada sebagian yang mengatakan, bahwa karena kata “ἐξομολογήσηται” berbentuk futuris, maka itu baru berlangsung pada saat yang akan datang, namun ada juga yang menafsirkan hal itu itu sebagai yang sudah terjadi sejak masa lampau dan masih berlangsung sampai saat ini (aorist), karena pengakuan itu sudah berlangsung dalam jemaat Kristen di masa lalu dan masih berlangsung saat ini bahkan di masa yang akan datang.8 Dari pembahasan di atas kelihatannya bahwa dalam hal penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11, ada dua pihak yang saling bertentangan. Namun, sesungguhnya ke dua pihak itu mempunyai presuposisi yang sama terhadap Filipi 2:5-11 itu, yaitu memahaminya sebagai kesaksian yang sesungguhnya tentang hakekat Kristus, baik sebagai yang ilahi maupun yang insani. Hanya, keduanya memiliki penekanan yang berbeda terhadap salah satu dari dua segi dari hakekat itu. Pihak yang satu sangat menekankan keilahian Yesus begitu rupa sehingga cenderung mengabaikan kemanusiaanNya, sebaliknya, pihak yang lain begitu menekankan kemanusiaan Yesus sehingga cenderung mengabaikan keilahianNya. Bila itu benar, maka langsung atau tidak, pihak yang satu lebih condong kepada teori Anti Kenosis, yang menekankan keilahian Kristus dan yang lain lebih berpihak pada teori Kenosis yang menekankan kemanusiaanNya. Pemahaman dan penafsiran seperti di atas, jelas akan membuat penafsiran Filipi 2:5-11 menjadi perdebatan dogmatis yang berkepanjangan, yang akan menyebabkan teks itu akan tercabut dari konteksnya yang sesungguhnya. Karena untuk memperkuat pendapatnya orang cenderung mencari bukti-bukti dari luar konteks Filipi 2:5-11 sendiri. Di sanalah orang biasa lupa bahwa apapun pendapat mereka terhadap masalah asal-usul teks itu, entah ditulis oleh Paulus ataupun bukan Paulus, dalam penafsirannya, teks itu haruslah dihubungkan dengan makna dan kedudukannya dalam keseluruhan surat 8 Ibid., Hal. 397-399. 78 ISSN 2579-5678 Filipi. Sebab teks Filipi 2:5-11 itu bermakna bukan karena itu berasal dari Paulus ataupun bukan dari Paulus, tetapi karena teks itu telah ada dan merupakan bagian sentral dari keseluruhan surat Filipi yang ditulis dalam rangka menjawab pergumulan penulis dan pembacanya pada waktu itu. Dalam prinsip seperti itulah Filipi 2:5-11 mempunyai makna penting bagi Paulus dan jemaat Filipi di masa lalu dan karena itu juga bagi Gereja-Gereja di Indonesia pada masa kini. Di dalam ayat 5 didapati dua varian, yakni bacaan τοῦτο (naskah Alef A B C) dan bacaan Τοῦτο γὰρ (naskah Papirus46 Alef2 D F G). Bacaan pertama adalah bacaan asli. Mayoritas ahli meyakinkan bahwa γὰρ menunjukkan keaslian, tidak benar alasan dapat ditemukan untuk penghapusannya,9 dimana menurut para ahli termasuk didalam kata τοῦτο berdiri sendiri untuk mengatakan kata sambung, apakah γὰρ atau οὖν atau καὶ, (masing-masing yang ditemukan di dalam variasi kesaksian). Seperti tulisan Armand Barus bahwa didalam ayat 9 terdapat dua varian, yakni bacaan τὸ ὄνομα (naskah Papirus 46 A B C) dan bacaan ὄνομα (naskah D). Bacaan pertama dengan kata sandang adalah bacaan asli karena dua alasan: silabel terakhir dari verba ἐχαρίσατο menyebabkan dihapusnya kata sandang τὸ dan distribusi kata yang luas.10 Dalam ayat 11 terdapat dua masalah tekstual. Masalah tekstual pertam memuat dua varian, yakni bacaan ἐξομολογήσηται (mengaku) dan ἐξομολογήσεται (akan mengaku). Varian pertama dalam bentuk aoris subyuntif di dukung naskah P46 Alef B, sedang varian kedua dalam bentuk kala depan indikatif (future) didukung naskah A C D F G. Bacaan varian pertama adalah bacaan asli karena teks ada dalam suasana subyuntif. Kata kerja κάμψῃ yang mengikuti kata sambung ἵνα dalam bentuk subyuntif.11 Masalah tekstual ketiga dalam ayat sebelas memuat tiga varian bacaan naskah: κύριος Ἰησοῦς Χριστὸς (P46vid Alef A D), κύριος Ἰησοῦς (F G), Χριστὸς κύριος (K). Varian bacaan pertama adalah bacaan asli. Peniadaan 9 Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9) Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal. 10 82. 11 Ibid., 79 ISSN 2579-5678 kata Χριστὸς dalam beberapa naskah merupakan penyesuaian dengan nama Yesus pada 2:10.12 Terjemahan Teks 5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! 5 τοῦτο οὗτος This RD-ASN θεοῦ θεός of God NGSM φρονεῖτε Φρονέω Think VPAM2P ὑπάρχων ὑπάρχω existing VPAP-SNM ἐν ἐν in P ὑμῖν Σύ You RP2DP οὐχ οὐ not CLK, TN ὃ ὅς which RR-NSN καὶ καί also TE ἐν ἐν in P Χριστῷ Χριστός Christ NDSM ἁρπαγμὸν ἁρπαγμός Seizure NASM ἡγήσατο ἡγέομαι considered VAMI3S τὸ ὁ the DASN Ἰησοῦ, Ἰησοῦς Jesus NDSM εἶναι εἰμί to be VPAN 6 ὃς ὅς who RR-NSM ἴσα ἴσος equal JNPN ἐν ἐν in P θεῷ, θεός to God NDSM μορφῇ μορφή form NDSF 7 ἀλλὰ ἀλλά but CLK, CLC ἑαυτὸν ἐκένωσεν μορφὴν δούλου λαβών, ἐν ὁμοιώματι ἀνθρώπων ἑαυτοῦ κενόω μορφή δοῦλος λαμβάνω ἐν ὁμοίωμα ἄνθρωπος Himself he emptied form of slave having taken in likeness of men RF3ASM VAAI3S NASF NGSM VAAP-SNM P NDSN NGPM γενόμενος· Γίνομαι Becoming VAMP-SNM 12 καὶ καί and CLN σχήματι σχῆμα in shape NDSN εὑρεθεὶς εὑρίσκω being found VAPP-SNM ὡς ὡς as CAM Ibid., 80 ἄνθρωπος ἄνθρωπος man NNSM 8 ἐταπείνωσεν ταπεινόω he humbled VAAI3S ἑαυτὸν ἑαυτοῦ himself RF3ASM ISSN 2579-5678 Γενόμενος Γίνομαι Becoming VAMP-SNM θεὸς θεός God NNSM ὑπήκοος ὑπήκοος obedient JNSM αὐτὸν αὐτός Him RP3ASM πᾶν πᾶς all JASN ὄνομα, ὄνομα name NASN καὶ καί and CLN ἐπιγείων ἐπίγειος on earths JGPN κύριος κύριος Master NNSM Ἰησοῦς Ἰησοῦς Jesus NNSM μέχρι μέχρι until B θανάτου, θάνατος death NGSM ὑπερύψωσεν ὑπερυψόω elevated beyond VAAI3S 10 ἵνα ἵνα that CAP καὶ καί and CLN ἐν ἐν in P καὶ καί and CLN τῷ ὁ The DDSN καταχθονίων καταχθόνιος subterraneans JGPM Χριστὸς Χριστός Christ NNSM εἰς εἰς into P θανάτου θάνατος of death NGSM ἐχαρίσατο χαρίζομαι he favored VAMI3S ὀνόματι ὄνομα Name NDSN Ἰησοῦ Ἰησοῦς of Jesus NGSM 11 καὶ καί and CLN δόξαν δόξα splendor NASF δὲ δέ but CLA πᾶσα πᾶς all JNSF σταυροῦ σταυρός of cross NGSM αὐτῷ αὐτός to him RP3DSM πᾶν πᾶς all JNSN γλῶσσα γλῶσσα tongue NNSF . 9 διὸ διό Wherefore CLI τὸ ὁ the DASN γόνυ γόνυ knee NNSN ὄνομα ὄνομα name NASN κάμψῃ κάμπτω might bow VAAS3S ἐξομολογήσηται ἐξομολογέω might confess out VAMS3S καὶ καί also TE ὁ ὁ the DNSM τὸ ὁ the DASN ὑπὲρ ὑπέρ above P ἐπουρανίων ἐπουράνιος on heavens JGPM ὅτι ὅτι (") CSC θεοῦ πατρός .13 θεός πατήρ of God Father NGSM NGSM Bentuk/Struktur Komposisi Bentuk teks Filipi 2:5-11 di mata para pakar PB adalah suatu nyanyian (Hymn). Nyanyian pujian kepada Kristus. Sebagai suatu nyanyian purba tidak dapat dipastikan siapa penulisnya. Bisa terjadi salah satu dari dua kemungkinan berikut. Pertama, Paulus mengutip nyanyian yang sudah beredar luas dikalangan jemaat Kristen purba. Paulus bukanlah penulis nyanyian tersebut. Apakah nyanyian tersebut telah beredar di jemaat-jemaat asuhan Paulus sebelum terekam dalam surat Filipi tidak dapat dipastikan. Perintah Paulus untuk tidak mencari kepentingan diri sendiri, dan tidak mengutamakan diri sendiri, tentu bukan konsep yang asing bagi iman kita. Sebenarnya hal itu terletak pada inti iman kita di kayu salib. Rasul Paulus menegaskan bahwa siapa saja yang percaya kepada Kristus yang telah 13 Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M. ; Metzger, Bruce M. ; Robinson, Maurice. ; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised Edition (Interlinear With Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993; 2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald Greek Transcription, Bible Works 9) 81 ISSN 2579-5678 diselamatkan oleh karyaNya di kayu salib, sepatutnya meneladani sikap Kristus yang membawaNya pada salib. Kita patut melakukan ini, bukan untuk diselamatkan atau membuktikan bahwa kita diselamatkan tetapi dengan ucapan syukur, karena kita diselamatkan. Dengan demikian kita menjadi mitra yang lebih efektif dalam pelayanan Injil bagi orang lain. Karena gaya dan isinya, ayat 6-11 kadang-kadang ditampilkan sebagai puisi atau himne. Tidak seperti dalam Efesus 5:14, misalnya yang dituliskan Paulus: Itulah sebabnya dikatakan: Bangunlah hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu. Tidak ada petunjuk bagi kita dalam teks apakah ini puisi atau himne di kalangan Kristen mula-mula di kenal oleh jemaat dan kemudian dikutip oleh Paulus atau ditulisnya secara khusus untuk surat ini. Namun jika kalimat ini ditulis oleh orang lain dan kemudian dikutip oleh Paulus, ia pasti melakukannya karena kata-kata ini mendukung hal yang perlu dikatakannya. Ayat 6-11 dari manapun sumbernya, membantu kita memahamitindakan Juruselamat sehingga kita dapat semakin memiliki sikap mengutamakan orang lain yang perlu kita miliki. Dave Hagelberg mengutip tulisan Feinberg bahwa kesetaraan antara Filipi 2:6-11 dan Kidung Hamba (Servant Songs) dalam Yesaya 43:13-53:12 sangat menonjol. Keduanya berbicara begitu tegas tentang kerendahan hati hingga akhir hidup dan juga peninggian yang bersumber dari kehinaan itu. Hubungan ini diperkuat fakta bahwa Filipi 2:10-11 jelas diambil dari Yesaya 45:23 tidak disebut dalam Filipi 2:6-11, mungkin karena korban penebus dosa diluar pelayanan kerendahan hati kita. Jadi tidak tepat bagi Paulus untuk menulis bahwa kita hendaknya mengikuti teladan Kristus dalam hal itu. 14 Struktur komposisi mencuatkan dua tema: Kristologi dan Teologi. Dua tersebut dirangkai konjungsi διὸ καὶ (ayat 9). Tema Kristologi ayat 6-8 menunjuk kepada perbuatan Kristus. Tiga perbuatan Kristus dinyatakan oleh verba-verba ἡγήσατο (ayat 6, menganggap), ἐκένωσεν (ayat 7, mengosongkan), ἐταπείνωσεν (ayat 8, merendahkan diri). Kata kerja 14 Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008. Hal. 47-48. 82 ISSN 2579-5678 mengosongkan diri dengan mengambil keadaan hamba dan menjadi sama dengan manusia. Kata kerja mengosongkan jangan dipahami secara harfiah, tetapi harus dipahami secara kiasan. Dengan kata lain, Kristus bukan melepaskan sifat keilahianNya seperti yang diduga oleh beberapa ahli tafsir. Syair pujian ini dihubungkan dengan nyanyian hamba yang menderita dalam kitab Yesaya. Namun kita tidak perlu menghubungkan makna yang tersembunyi di balik kata mengosongkan dengan Yesaya 53:12 (“Ia telah menyerahkan diri ke dalam maut”). Kita juga tidak perlu menghubungkan ayat ini dengan kematian Kristus. Peristiwa kematian Kristus baru ditunjukkan di ayat 8 nanti. Kata kerja mengosongkan digunakan empat kali dalam surat-surat Rasul Paulus lainnya (Roma 4:14; 1 Korintus 1:17; 9:15; 2 Korintus 9:3). Kata ini selalu digunakan secara kiasan dan memiliki beberapa arti tergantung pada konteksnya, misalnya “sia-sia,” “tak berarti,” atau “mengosongkan.” Dalam konteks ini, kata mengosongkan berarti bahwa Kristus melepaskan status keilahianNya dengan mengambil rupa atau sifat seorang hamba. Kita dapat memperjelas bagian ini seperti: Ia melepaskan semua yang Ia miliki atau Ia melepaskan kedudukanNya yang tinggi itu. Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini menterjemahkannya seperti: Ia melepaskan semuanya. Kristus bukan hanya melepaskan kesempatan untuk menjadi sama dengan Allah. Dia juga melepaskan kesetaraanNya dengan Allah, yaitu status atau kedudukan, martabat dan kemuliaan ilahiNya (Yohanes 17:5). Jangan sampai terjemahan mengosongkan dirinya memberi kesan yang salah seolah-olah Yesus telah kehilangan seluruh sifat keilahianNya. Oleh karena itu, kita dapat menambahkan kata-kata “statusNya” atau “kedudukanNya yang tinggi.”15 Dan mengambil rupa seorang hamba: teks Yunaninya jelas menunjukkan bahwa tindakan mengambil rupa seorang hamba terjadi pada waktu yang bersamaan dengan perbuatan mengosongkan diriNya sendiri. Selain itu, ungkapan ini juga memperjelas bahwa pada saat Kristus melepas status atau derajat keilahianNya, Ia mengambil sifat seorang hamba. Rupa disini sama dengan kata yang di gunakan di ayat 6 (μορφῇ). Ini berarti bahwa 15 _______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi, Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2013. Hal. 55 83 ISSN 2579-5678 “sifat” atau “hakikat sama dengan μορφῇ seorang hamba” dipakai untuk dipertentangkan dengan “sifat” atau “hakikat sama dengan μορφῇ Allah.” Namun sebagai seorang hamba, Kristus bukan menyamar sebagai hamba. Namun Ia menjadi seorang hamba untuk menunjukkan bahwa Ia sungguhsungguh taat kepada kehendak Allah. Yang ingin ditunjukkan disini adalah bagaimana Kristus melepaskan statusNya yang sangat tinggi dan mengambil peranan yang sangat rendah. Supaya rupa Allah lebih jelas dibedakan dengan rupa seorang hamba, kita dapat memakai ungkapan yang serupa atau sejajar. Sebagai contoh, dalam rupa Allah diterjemahkan menjadi sama dengan Allah; mengambil rupa seorang hamba diterjemahkan menjadi: sama seperti seorang hamba. Berikut ini ada dua bagian yang perlu dijelaskan, yaitu: bagian pertama ayat 6-8 tentang perbuatan Kristus dan bagian kedua ayat 9-11 tentang perbuatan Allah. I. Perbuatan Kristus (ayat 6-8) Armand Barus mengutip tulisan O’Brien bahwa sebelumnya pada 2:1-5, Paulus memberi perintah kepada jemaat Filipi untuk menyempurnakan sukacitanya. Sukacita Paulus menjadi sempurna bila kehidupan persekutuan jemaat Filipi ditandai dengan kehadiran 7 bentuk moralitas kehidupan jemaat: 1. Memiliki satu kasih (τὴν αὐτὴν ἀγάπην ἔχοντες) 2. Memikirkan satu jiwa dan satu tujuan (σύμψυχοι, τὸ ἓν φρονοῦντες) 3. Tidak mencari kepentingan sendiri (μηδὲν κατ᾽ ἐριθείαν) 4. Tidak mencari puji-pujian yang sia-sia (μηδὲ κατὰ κενοδοξίαν) 5. Tetapi hendaklah saling rendah hati menganggap yang lai lebih utama dari dirinya sendiri (ἀλλὰ τῇ ταπεινοφροσύνῃ ἀλλήλους ἡγούμενοι ὑπερέχοντας ἑαυτῶν) 6. Tidak memperhatikan kepentingan dirinya sendiri (μὴ τὰ ἑαυτῶν ἕκαστος σκοποῦντες) 7. Memperhatikan kepentingan orang lain (ἀλλὰ [καὶ] τὰ ἑτέρων ἕκαστοι).16 16 Jurnal Teologi Reformed Indonesia. 84 ISSN 2579-5678 Tujuh moralitas inilah yang harus dikerjakan jemaat Filipi. Bila moralitas ini terjadi didalam persekutuan jemaat Filipi, maka sukacita Paulus menjadi sempurna (ayat 2). Selanjutnya Paulus memberikan perintah kedua pada ayat 5 yakni: “pikirkanlah (φρονεῖτε) ini (τοῦτο) diantara kamu yang juga (ada) didalam Kristus Yesus.” Kalimat ini eliptis karena klausa kedua tidak memiliki kata kerja. 1. Tidak Menganggap Sebagai Keuntungan Nyanyian Kristus diawali dengan kata sambung ‘yang’ (ὃς), yang merujuk kepada kata yang didepannya yaitu Kristus Yesus (ayat 5). Kata sambung ‘yang’ memberi tanda bahwa nyanyian Kristus bermula dari sini dan isi nyanyian pada ayat 6-11 adalah tentang Yesus Kristus. Meskipun nama Yesus Kristus tidak digunakan pada ayat 6-9 dan baru muncul pada ayat 10 dan 11, jelas nyanyian ayat 6-11 adalah nyanyian tentang Kristus. Dengan perkataan lain, kata sambung ‘yang’ menjadi gantungan untuk mengaitkab nyanyian Kristus (ayat 6-11) dengan ayat 1-5. Kristus Yesus dalam ayat 6 dikatakan “berada (ὑπάρχων) dalam (ἐν) μορφῇ Allah.” Partisip ὑπάρχων menegaskan bahwa Yesus berada dalam μορφῇ Allah. Tidak juga dikatakan Yesus sebagai μορφῇ Allah, namun tegas dinyatakan Yesus berada dalam μορφῇ Allah. Apa arti kata benda μορφῇ? Kata μορφῇ muncul tiga kali dalan Perjanjian Baru pada Markus 16:12; Filipi 2:6 (adalah dalam μορφῇ Allah), 2:7 (mengambil μορφῇ hamba). Armand Barus mengutip literatur Yunani klasik μορφῇ menunjuk kepada hal yang dapat dialami indera manusia. 17 Tetapi apakah Allah dapat dialami indera manusia? Tentu tidak. Ini menyebabkan kata μορφῇ ditafsirkan berbagai cara:18 a. Kemuliaan Kemuliaan adalah bentuk kelihatan kehadiran Allah seperti terekam dalam PL (Kejadian 16:10; 24:15; Imamat 9:6; Bilangan 12:8; 14:10). Penampakan dan substansi tidak memiliki pembedaan, keduanya berkaitan. 17 18 Ibid., Ibid., 85 ISSN 2579-5678 Kristus praeksistensi memiliki bentuk kelihatan yang tidak lain adalah karakteristik diriNya. Bentuk kelihatan ini adalah kemuliaan. Namun pengertian μορφῇ sebagai kemuliaan tidak dapat diterapkan pada istilah μορφῇ hamba pada ayat 7. Ini kelemahannya. 19 b. Esensi, substansi Kesejajaran penggunaan istilah seperti pada Plato dan Aristoteles, arti μορφῇ diusulkan tidak berbeda dengan kata οὐσία (essence). Dalam kaitan dengan μορφῇ Allah, maka Yesus yang ada sebelum inkarnasi (praeksistensi) bersama-sama memiliki esensi Ilahi tanpa harus diidentifikasi dengannya. Dengan perkataan lain, Yesus berada dalam μορφῇ Allah berarti Yesus berada sebelum inkarnasi dengan esensi sama dengan Allah. Tulisan Hawthorn dan Martin yang dikutip oleh Armand bahwa mereka tetap mempertahankan μορφῇ sebagai hal yang dapat dialami indera manusia. Ungkapan μορφῇ Allah menunjuk “essential nature and character of God” (natur esensial dan karakter Allah).20 Meski demikian Martin menegaskan bahwa para ahli memiliki konsensus bahwa kata μορφῇ tidak dapat lagi dipahami dalam arti filosofis yakni esensi, substansi. 21 Yesus tidak berada sebagai μορφῇ Allah tetapi berada dalam (ἐν) μορφῇ Allah. c. Gambar Dengan menggunakan Keejadian 1:26-27 dan 3:1-5 sebagai dasar, maka ungkapan ‘rupa Allah’ (εἰκὼν) dalam Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4 dan μορφῇ Allah dipandang sinonim. Adam pertama berada dalam rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26-27), demikian juga Kristus sebagai Adam kedua berada dalam gambar Allah. Kategori Adam pertama dan Adam kedua digunakan untuk memahami μορφῇ Allah.22 Pengertian sinonim (εἰκὼν) dan μορφῇ memberi dua masalah yakni: tidak dapat diterapkan pada ungkapan μορφῇ hamba; kedua menjadikan nyanyian bukan rujukan kepada 19 Ibid., Ibid., 21 Ibid., 22 Ibid., 20 86 ISSN 2579-5678 praeksistensi Kristus, hanya merujuk kepada inkarnasi, kematian dan kenaikan Kristus. d. Cara berada (mode of being) Istilah μορφῇ dipahami sebagai suatu cara berada. Pemahaman demikian dapat digunakan baik terhadap ungkapan μορφῇ Allah dan μορφῇ hamba. Namun pemahaman ini bergantung pada teks-teks gnostis. Pemahaman ini diusulkan oleh Kasemann berdasarkan gagasan Bultmann 23 yang melihat motif gnostis mempengaruhi teologi Paulus. Kelamahan lain pandangan ini adalah soal penanggalan teks gnostik yang berasal dari abad ke dua Era Kristus. e. Status, kondisi, keadaan (state) Kata μορφῇ dipahami sebagai keadaan atau kondisi. Pemahaman ini dapat digunakan baik terhadap ungkapa μορφῇ Allah dan μορφῇ hamba. Yesus dalam keadaan Allah memilih untuk menerima keadaan hamba. Istilah μορφῇ berasal sebagai kondisi merujuk kepada posisi semula Kristus berada dihadirat Allah. Penggunaan demikian ditemukan pada Tobit 1:13, “Oleh Yang Maha Tinggi dianugerahkan kepadaku kerelaan dan penghormatan (μορφὴν) dari pihak raja Salmaneser.” Kata penghormatan merupakan terjemahan kata μορφὴν menunjuk kepada kondisi atau keadaan. Perumusan istilah μορφὴ belum menemukan kesepakatan diantara para penafsir nyanyian Kristus. Bukti yang diberikan Martin dengan melihat latar PL menghasilkan pengertian μορφὴ sebagai kemuliaan, kelihatannya dapat diterima. Kekuatan pengertian μορφὴ sebagai kemuliaan adalah terikatnya kaitan bentuk luar yang kelihatan dengan esensi atau hakikat. Bagaimanakah kata μορφὴ diterjemahkan? Pilihan yang tepat adalah posisi, keadaan, kondisi. Frasa μορφὴ Allah diterjemahkan ‘keadaan Allah.’ Meski demikian ada hal yang nampaknya luput dari perhatian penafsir. Apakah terlalu berlebihan bila klausa μορφῇ θεοῦ ὑπάρχων (berada dalam keadaan Allah) disejajarkan dengan klausa τὸ εἶναι ἴσα θεῷ (berada kesetaraan dengan Allah-the being equal with God? Kata sandang τὸ (the) didepan infinitif εἶναι 23 Ibid., 87 ISSN 2579-5678 (being) berfungsi sebagai penunjuk kepada hal yang sebelumnya dikatakan yakni μορφῇ θεοῦ ὑπάρχων. Dalam pengertian demikian frasa μορφῇ θεοῦ (keadaan Allah) sejajar dengan ἴσα θεῷ (kesetaraan dengan Allah). 2. Mengosongkan DiriNya Sendiri Tindakan Yesus selanjutnya adalah mengosongkan diri. Kata sambung ἀλλὰ yang diterjemahkan ‘melainkan’ (LAI-TB) atau ‘tetapi’ pada ayat 7 memberi penjelasan lanjutan dalam bentuk kontras dengan ayat 6. Kontras kedua ayat ini tidak boleh dilemahkan seperti dilakukan tafsiran Moule dan Wright.24 Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Sebaliknya Yesus mengosongkan diriNya. Ini tindakan sukarela. Tindakan Yesus mengosongkan diri diperlihatkan melalui dua partisip: mengambil (λαβών) keadaan hamba, menjadi (γενόμενος) sama dengan manusia. Beberapa pertanyaan utama muncul seperti: Apa arti kata kerja mengosongkan? Apa arti mengambil keadaan hamba? Apa arti menjadi sama dengan manusia? Uraian selanjutnya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mengosongkan diri. Kata kerja ‘mengosongkan diri’ (κενόω) dalam Perjanjian Baru muncul 5 kali, Roma 4:14 (iman telah dikosongkan-pasif), 1 Korintus 1:17 (salib Kristus tidak dikosongkan-pasif), 9:15 (tidak seorangpun mengosongkan kemegahanku-aktif), 2 Korintus 9:3 (kemegahan kami atas kamu tidak dikosongkan-pasif), Filipi 2:7. Dalam Perjanjian Baru terlihat bahwa kata kerja ‘mengosongkan’ hanya muncul dalam surat-surat Paulus. Penggunaannya memperlihatkan bahwa kata kerja ‘mengosongkan’ memuat arti metafora ketimbang harfiah.25 Kata kerja κενούν dipahami secara metafora. Armand mengungkapkan dalam alur metafora Martin, mengutip Warren, mengartikan klausa ἑαυτὸν ἐκένωσεν sebagai “He poured out Himself” (Ia mencurahkan diriNya) sehingga artinya Yesus. 26 Arti mengosongkan bukanlah Yesus menanggalkan keallahanNya. Namun Yesus secara sukarela memberikan diriNya sepenuhnya kepada manusia berdosa. 24 Ibid., Ibid., 26 Ibid., 25 88 ISSN 2579-5678 Apa yang dikosongkan? Ini pertanyaan yang sering muncul bila kata kerja mengosongkan dipahami secara harfiah. Armand mengutip tulisan Martin mendiskusikan beberapa kemungkinan tentang apa yang dikosongkan Yesus, sebagai berikut: 1. Sifat keallahan Kristus. Pandangan yang dikenal sebagai teori Kenotis bahwa Yesus mengosongkan sifat keallahanNya pada saat inkarnasi. Sifat keallahan yang dikosongkan Yesus adalah sifat mahatahu, mahahadir dan mahakuasa, namun tetap mempertahankan atribusi kekudusan, kasih dan kebenaran. 2. Yesus menjadi miskin Ini pendapat Dibelius yang didasarkan pada Lukas 1:53; Rut 1:21 dan 2 Korintus 8:9. 3. Yesus menjadi hamba atau budak Istilah hamba pada ayat 7 dipahami secara harfiah merujuk kepada kelompok sosial terbawah dalam masyarakat kuno, yakni budak. 4. Yesus menjadi manusia Pandangan tradisional ini berpendapat bahwa praeksistensi Yesus menjadi manusia adalah momen Ia mengambil rupa hamba. 5. Yesus menaruh diriNya di bawah roh jahat (demonis). Pandangan ini diutarakan oleh E. Kasemann yang memahami istilah hamba sebagai penghambaan kepada kuasa-kuasa roh jahat. 6. Yesus mangambil peranan hamba seperti digambarkan Yesaya. Pandangan ini memahami ungkapan ‘Ia mengosongkan diri’ memiliki kesejajaran dengan ungkapan (‘ia telah menyerahkan nyawanya’) seperti terdapat pada Yesaya 53:12. Dalam pengertian ini, mengosongkan diri merujuk kepada inkarnasi. 7. Yesus menjadi penderita yang benar (E. Schweizer). Pandangan ini didasarkan pada konsep Yudaisme tentang orang benar yang harus menderita sebelum Allah meninggikannya. Yesus disebut hamba bukan karena memenuhi peranan hamba Yesaya, melainkan karena sejalan dengan gagasan Yudaisme mengenai orang benar yang menderita disebut hamba (Ebed). Dalam kemartiran Yahudi, istilah Ebed menjadi kata kunci. 8. Kemuliaan 89 ISSN 2579-5678 Martin sendiri berpendapat bahwa yang dikosongkan adalah kemuliaan Yesus. Mengosongkan diri bukan berarti menyerahkan sifat Ilahi dan menukarkannya dengan natur manusia. Dengan melihat kesejajaran antara ἐν μορφὴ θεοῦ dan μορφὴν δούλου, maka Yesus yang praeksisten menyerahkan status sebagai gambar Allah dan merendahkan diriNya dengan menerima peranan hamba. Yesus mengosongkan diriNya dengan mengambil keadaan hamba. Mengosongkan diri berarti ‘an eclipsing of His glory as the divine image (μορφὴ= εἰκόν) in order that He might come, in human flesh, as the Image of God incarnate (memudarkan kemuliaanNya sebagai gambar Allah sehingga Ia menjadi, dalm tubuh manusia, sebagai gambar Allah berinkarnasi). Bila kata kerja mengososngkan adalah sebuah ungkapan metaforis, maka kata mengosongkan tidak perlu dipahami secara harfiah. Sebagai ungkapan metaforis, ia dijelaskan oleh dua partisip, yakni mengambil keadaan hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dengan demikian pertanyaan apa yang dikosongkan tidak perlu ditanyakan karena sesungguhnya tidak ada yang dikosongkan. Mengambil keadaan hamba. Hal pertama yang penting dipahami adalah istilah hamba dalam ayat ini tidak perlu dipandang sebagai rujukan terhadap kematian Yesus. Mengapa? Karena pengertian demikian merusak tahapan kehidupan Kristus. Kematiannya baru disebutkan pada ayat 8. Urutan tahapan Kristologi kesetaraan dengan Allah kemudian hamba manusia dan selanjutnya Tuhan seperti terungkap dalam nyanyian Kristus perlu dipertahankan. Dengan demikian ungkapan mengambil keadaan hamba merujuk kepada inkarnasi Kristus ketimbang kematian. Juga ungkapan mengambil keadaan hamba tidak perlu diartikan bahwa Yesus mengambil status sosial sebagi budak ketika hidup di Palestina. Yesus mengambil keadaan hamba tidak berarti bahwa penampilan luarNya seperti seorang hamba atau budak. Istilah keadaan hamba menunjuk kepada hakikat atau natur. Dalam arti ini usulan C. F. D. Moule, diterima Bruce, Feinberg dan O’Brien yang dikutip oleh Armand Barus, bahwa latar belakang konsep perbudakan pada masa Yesus dapat dijadikan dasar pijakan untuk memahami ungkapan Yesus mengambil keadaan hamba. Natur hamba menggambarkan perampasan ekstrim hak-hak manusia bahkan hak berkaitan dengan hidup dan 90 ISSN 2579-5678 dirinya.27 Yesus bukan memperlihatkan diri sebagai seorang hamba, namun mengambil hakikat seorang hamba yang hidupnya tanpa memiliki hak dasar kemanusiaan sama sekali. Yesus dengan sukarela bebas melepas hak yang melekat padaNya. Hakikat hamba ini menampakkan wujud dalam seluruh perkataan dan perbuatanNya. Contoh yang diberikan Bruce, Hawthorne dan O’Brien adalah peristiwa ketika Yesus membasuh kaki murid-muridNya seperti terekam dalam Yohanes 13:3-5. Dalam ungkapan Yesus mengambil keadaan hamba, tidak dinyatakan secara eksplisit kepada siapa Yesus menghambakan diriNya. Namun jelas, kata kerja aktif ‘mengambil’ menyatakan tindakan Yesus bersifat sukarela, bukan paksaan. Usulan Kasemann seperti disebut diatas, bahwa Yesus menghambakan diri kepada kuasa-kuasa dunia ini tidak perlu diperhitungkan karena dasarnya lemah sekali. Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa istilah hamba dipahami, seperti tersebut diatas, dalam kategori gambaran hamba seperti uraian Yesaya ataupun gambaran hamba menderita dalam Yudaisme kelihatannya kurang tepat digunakan untuk membaca nyanyian Kristus. Secara umum mengambil keadaan hamba dipandang sebagai rujukan kepada inkarnasi Kristus. Yesus dengan sukarela menjadi manusia. Namun tidak berarti bahwa Yesus meniadakan keallahanNya ketika mengambil keadaan hamba. Mengambil keadaan hamba merupakan ungkapan untuk menggambarkan karakter Yesus dalam peniadaan hak. Yesus mengambil keadaan hamba, namun tidak kehilangan keallahanNya. Ungkapan mengambil keadaan hamba tidak berarti Yesus tidak menukar keadaan Allah dengan keadaan hamba. Sebaliknya, ungkapan tersebut justru memperlihatkan bahwa Yesus menyatakan keadaan Allah dengan keadan hamba. Menjadi sama dengan manusia. Yesus mengosongkan diri dengan mengambil keadaan hambadan menjadi sama dengan manusia. Klausa menjadi sama dengan manusia bukanlah penjelasan klausa mengambil keadaan hamba, tetapi kelanjutan penjelasan verba mengosongkan diri. Menarik untuk diamati bahwa nyanyian ini menjadikan urutan keadaan hamba mendahului manusia. Urutan logis adalah Yesus menjadi sama dengan 27 Ibid., 91 ISSN 2579-5678 manusia, barulah mengambil keadaan hamba. Urutan demikian menimbulkan pertanyaan mengapa. Dengan pengertian bahwa mengambil keadaan hamba berarti pelepasan hak. Hak melekat dalam posisi setara dengan Allah dengan sengaja dan sukarela dilepaskan Yesus. Inilah sebabnya urutan hamba ditaruh sebelum manusia. Partisip ‘menjadi’ (γενόμενος) menekankan arti “coming into a position, or a state” (datang ke suatu posisi atau keadaan). Arti ‘datang ke suatu keadaan’ menyatakan bahwa partisip ‘menjadi’ bersifat dinamis. Yesus masuk ke dalam keadaan manusia melalui kelahiran. Tetapi berbeda dengan kelahiran manusia lainnya, Yesus lahir melalui rahim seorang anak dara. Hal ini bertolak belakang dengan partisip ὑπάρχων pada ayat 6 yang bersifat statis (Yesus berada dalam μορφὴ Allah). Lebih jauh, partisip γενόμενος, seperti usulan Cerfaux, Jouon, Beare, Martin, O’Brien dipandang sebagai rujukan kepada kelahiran Yesus. Kesejajaran penggunaan demikian dijumpai pada Yohanes 8:58 (πρὶν Ἀβραὰμ γενέσθαι ἐγὼ εἰμί) dan Galatia 4:4 (γενόμενον ἐκ γυναικός). Meski partisip ‘menjadi’ digunakan dalam Galatia 4:4 dan Roma 1:3, usulan O’Brien bahwa partisip ‘mejadi’ diterjemahkan sebagai dilahirkan (was born) dipandang sebagai penyempitan makna. Penggunaan verba γίγνομαι dalam Galatia 4:4 dan Roma 1:3 dalam kaitan dengan perempuan dan Daud sehingga terjemahannya ‘dilahirkan.’ Tetapi dalam ayat 7 dikaitkan dengan manusia (ἀνθρώπων) sehingga terjemahannya ‘menjadi.’ Kata kerja ὁμοιώμα selain dalam Filipi 2:7 juga muncul pada Roma 1:23; 5:14; 6:5; 8:3. Diluar surat Paulus, kata ini hanya digunakan di Wahyu 9:7. Kata ὁμοιώμα dapat diterjemahkan sebagai ‘sama dengan’ (Roma 5:14; 6:5) atau ‘mirip dengan’ (Wahyu 9:7). Ungkapan sama dengan menegaskan “identical duplicate of the original,” sedang ungkapan mirip dengan mengungkapkan kesamaan namun “retains a sense of distinction from the original.” Apakah Yesus menjadi sama dengan manusia atau menjadi mirip dengan manusia? Bila Yesus hanya dipandang mirip dengan manusia, maka kemanusiaanNya tidaklah sejati dan sempurna. Yesus hanya terlihat seperti manusia, bukan sungguh-sungguh manusia sejati. Ini tidak dapat diterima. Sebaliknya, jika Yesus sungguh manusia, artinya Yesus mengambil bagian kemanusiaan manusia, apakah keberdosaan manusia turut diambilNya? Dalam hal ini lebih baik diterima Yesus berpartisipasi dalam kemanusiaan 92 ISSN 2579-5678 manusia sebelum Adam jatuh ke dalam dosa. Pengertian ini membawa kita semakin dalam kepada masalah apakah Yesus mampu berdosa? Pencobaan Yesus menegaskan bahwa Yesus tidak mampu berdosa karena hakikat dosa tidak melekat pada diriNya. Pilihan ὁμοιώμα sebagai sama dengan lebih baik. Yesus menjadi sama dengan manusia menegaskan identifikasi penuh dan partisipasi sempurna dengan kemanusiaan manusia. Bagaimana kata ὁμοιώμα diterjemahkan sebagai sama dengan harus dipahami? Bila dikatakan Yesus menjadi sama dengan manusia memperlihatkan bahwa Yesus adalah manusia sejati, namun tetap menyimpan keallahanNya. Ketika Yesus berkata dan berbuat, tidak hanya kemanusiaan sempurna yang tampak, namun juga termasuk juga terungkap keallahanNya. Ringkasnya, Yesus adalah kehadiran Yahweh didunia. Jadi, menjadi samanya Yesus dengan manusia merujuk kepada kelahiran dan kehidupanNya sebagai manusia. Yesus lahir sebagai manusia seperti kelahiran manusia lainnya. Yesus hidup seperti manusia lainnya, harus jalan kaki untuk menempuh jarak, mengalami lapar dan haus, merasa sedih, menangis. Meski Yesus adalah manusia sejati, kesamaanNya dengan manusia menyatakan keallahanNya. Yesus adalah kehadiran Allah di dunia. Kehadiran Allah Manusia dalam diri Yesus, bukanlah hal mistis seperti pendapat Martin. Nyanyian Kristus menegaskan bahwa Yesus sebagai Allah manusia memperlihatkan seperti diuraikan diatas, kerendahan hati sempurna yang tidak mampu diperlihatkan manusia. Pekerjaan Kristus pertama dan kedua dengan jelas memperlihatkan kerendahan hati sempurna. Meski istilah dosa tidak secara eksplisit disebut dalam nyanyian Kristus, tetapi kata ‘mati’ pada ayat 7 menunjuk kepada kehadiran dosa dalam dunia. Kesediaan sukarela Yesus untuk mati menegaskan bahwa kematianNya bukan keharusan seperti manusia lainnya. Manusia harus mati karena dosa. Yesus mati karena bersedia sukarela mati. Dalam hal ini, Yesus menjadi sama dengan manusia sepenuhnya, namun memiliki perbedaan fundamental esensial dengan manusia dalam hal kerendahan hati, ketaatan dan dosa. Yesus secara sempurna menunjukkan kerendahan dan ketaatan dan tanpa dosa. Perbuatan Yesus tidak menganggap sebagai keuntungan dan mengosongkan diri menggambarkan kerendahan hati Yesus. Dua perbuatan 93 ISSN 2579-5678 Yesus menyatakan bahwa kerendahan hati memuat beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Posisi atau status tidak dipandang sebagai keuntungan untuk menguasai orang lain. Orang yang rendah hati bersedia dengan sukarela menggunakan posisinya untuk kebaikan orang lain. 2. Orang rendah hati dengan sukarela yang bebas bersedia meniadakan hakhaknya demi untuk orang lain. Hak yang melekat tidak digunakan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Pelepasan hak ini menempatkan orang lain lebih utama ketimbang diri sendiri. 3. Rendah hati berarti kerelaan untuk mengidentifikasi diri secara sempurna dengan orang lain. Tiga hal diatas dapat dipandang sebagai anatomi kerendahan hati, yang mendapatkan gambarannya pada diri Yesus Kristus. 3. Merendahkan Diri Tindakan Kristus selanjutnya selain mengosongkan diri adalah merendahkan diri. Bagaimana Kristus merendahkan diriNya? Yesus merendahkan diri dengan cara: didapati (εὑρεθεὶς) rupa sebagai manusia (ayat 7c) dan menjadi (γενόμενος) taat sampai mati (ayat 8). Merendahkan diri. Perbuatan ketiga Yesus adalah merendahkan diri. Perbuatan ini tidak identik dengan tindakan kedua yakni mengosongkan diri. Perbuatan Yesus merendahkan diri diusulkan penafsir dipahami dengan latar belakang hamba (ebed) Yahweh seperti tergambar dalam Yesaya 53. Sebagai dasar dilihat hubungan Filipi dan Yesaya dalam penggunaan frasa ἐν τῇ ταπεινώσει (Yesaya 53:8, LXX) sejajar dengan frasa ἐταπείνωσεν ἑαυτὸν (2:8). Frasa ἐν τῇ ταπεινώσει dipahami sebagai rujukan terhadap ketaatan hamba hingga mati. Namun, bila dicermati terungkap bahwa kata ketaatan sama sekali tidak muncul pada teks hamba yang menderita dalam Yesaya. 28 Perbuatan Yesus merendahkan diri merupakan perbuatan aktif, inisiatif Yesus seperti terlihat melalui penggunaan bentuk aktif kata kerja ἐταπείνωσεν. Yesus merendahkan diri dengan sengaja dan sukarela dan bukan karena direndahkan oleh siapapun. Dalam korpus surat Paulus verba 28 Ibid., 94 ISSN 2579-5678 merendahkan muncul 4 kali (2 Korintus 11:7; 12:21; Filipi 2:8; 4:12). Apa artinya merendahkan diri? Dua cara, seperti dijelaskan partisip εὑρεθεὶς dan γενόμενος, yaitu: memperlihatkan diri secara penuh sebagai manusia, kecuali tidak memiliki natur atau tabiat dosa dan memperlihatkan ketaatan sempurna sebagai manusia. Didapati rupa sebagai manusia. Kata benda σχήματι juga digunakan dalam 1 Korintus 7:31 untuk menggambarkan dunia yang dilihat secara mata visual. Kata σχήματι diterjemahkan sebagai rupa lahiriah. Istilah rupa lahiriah disini menunjuk kepadapenampakan luar atau bentuk kelihatan oleh panca indera manusia. Armand mengutip rumusan Martin tentang ungakapan σχήματι εὑρεθεὶς menunjuk kepada “the external appearance of the incarnate Son as He showed Himself to those who saw Him in the days of his flesh.” 29 Dalam pengertian ini, manusia yang bertemu dengan Yesus ketika hidup di Palestina menyadari bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia, sama seperti mereka. Manusia yang berjumpa dengan Yesus, mendapati bahwa Ia tidak terlihat seolah-olah seperti manusia atau melebihi manusia lainnya. Menjadi taat sampai mati. Kehidupan Yesus sebagai manusia di Palestina memperlihatkan satu prinsip kehidupan yakni ketaatan. Tidak disebutkan secara eksplisit kepada siapa Yesus menaruh ketaatanNya. Apakah ketaatan yang dimakasud adalah ketaatan kepada Bapa? Yesus juga tidak taat kepada maut. Maut tidak menguasai Yesus. Yesus taat sampai mati (μέχρι). Ketaatan Yesus juga tidak diberikan kepada manusia. Yesus tidak takluk kepada kehendak manusia. Yang dapat dipastikan adalah bahwa ketaatan Yesus bersifat aktif dan sukarela. Ketaatan Yesus sampai mati memperlihatkan totalitas identifikasi dengan manusia. Manusia, akibat dosa, berada dalam penjara kematian. Kematian adalah musuh manusia yang kuat, tidak terkalahkan. Yesus datang menjemput manusia dari cengkeraman maut dan membebaskan manusia dari penjara kematian. Yesus harus masuk ke dalam dunia kematian dimana manusia terpenjara untuk membebaskan mereka yang percaya kepadaNya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa karakteristik utama kehidupan Yesus di dunia adalah ketaatan. 29 Ibid., 95 ISSN 2579-5678 Mati dikayu salib. Kematian Yesus di kayu salib memperlihatkan puncak ketaatan Yesus. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa mati di kayu salib merupakan klimaks nyanyian Kristus bagian pertama (ayat 6-8). Batas akhir ketaatan Yesus mencapai kematian penyaliban. Mati di kayu salib dipandang kematian yang paling hina dan rendah. Dalam pandangan orang Yahudi, kematian di kayu salib adalah suatu kutuk (Ulangan 21:23). Sebagai kutuk, kematian di kayu salib tidak di pandang Yahudi sebagai penderitaan atau martir. Inilah cara kematian yang dipilih Yesus, kematian terendah. Kematian di salib bukan kecelakaan sejarah atau peristiwa sejarah di luar kendali Yesus. Salib adalah pilihan karena ketaatan Yesus. Bukan tabiat dosa manusia yang membawa Yesus ke kayu salib melainkan ketaatanNya. Kematian Yesus di kayu salib bukan menyingkapkan identifikasi sempurna dengan keberdosaan manusia, tetapi menunjuk kepada ketaatan sempurna sebagai manusia. Perbuatan Yesus merendahkan diri menunjuk kepada ketaatan sempurna. Ketaatan yang tidak pernah diperlihatkan manusia setelah Adam gagal taat kepada perintah Allah. Ketaatan sempurna selalu bersifat sukarela dan aktif. Meski kematian Yesus di kayu salib memuat dimensi keselamatan, namun dalam nyanyian Kristus penekanan tertuju demonstrasi ketaatan sempurna Yesus Kristus. Fokus nyanyian pada perbuatan Kristus itu sendiri ketimbang karya Kristus bagi manusia. Ketaatan Yesus di taman Getsemani, seperti terekam dalam Markus 14:32-42, Matius 26:36-46, Lukas 22:39-46, merupakan pergumulan Yesus menghadapi kematian yang berpuncak kepada ketaatanNya. II. Perbuatan Allah (ayat 9-11) Kata sambung διὸ καὶ yang muncul pada Lukas 1:35; Kisah Para Rasul 10:29; 24:26; Roma 4:22; 15:22; 2 Korintus 1:20; 4:13; 5:9; Ibrani 11:12; 13:12 diterjemahkan itulah sebabnya (LAI-TB). Terjemahan ‘itulah sebabnya’ menjalin ayat 6-8 perbuatan Kristus dengan ayat 9-11 perbuatan Allah dalam ikatan konsekuensi logis bukan relasi kausal. Dalam alur ini merupakan kelanjutan perbuatan-perbuatan Kristus pada ayat 6-8. Pada ayat 9-11 mengubah subjek nyanyian dari Yesus kepada Allah. Pada ayat 6-8 subjek adalah Yesus, namun pada ayat 9-11 Yesus menjadi 96 ISSN 2579-5678 objek. Dalam bagian ayat 9-11 terlihat dua bentuk perbuatan Allah kepada Yesus, yakni: ὑπερύψωσεν (ayat 9, sangat meninggikan) Yesus dan ἐχαρίσατο (ayat 9, mengaruniakan) nama diatas segala nama. Armand mengutip pendapat O’Brien bahwa pekerjaan Allah bukanlah tahapan dan kedua perbuatan Allah tersebut dipandang sebagai pernyataan sejajar (the parallel assertion).30 Tetapi sama seperti pada ayat 6-8, perbuatan-perbuatan Kristus merupakan tahapan persitiwa, demikian juga dengan perbuatan Allah pada ayat 9-11. Tulisan berikut, seperti diuraikan dibawah, berpendapat bahwa perbuatan Allah merupakan suatu tahapan peristiwa. Tujuan perbuatan Allah adalah: semua lutut κάμψῃ (bertekuk) dan semua lidah ἐξομολογήσηται (mengakui). Tema kebangkitan dan kenaikan Yesus tidak disebut eksplisit karena fokus nyanyian kepada pengakuan semua makhluk bahwa Yesus adalah Tuhan. 1. Allah Sangat Meninggikan Allah sangat meninggikan (ὑπερύψωσεν) Yesus. Kata kerja ὑπερύψωσεν adalah hapax legomenon. Bagaimana memahami kata kerja hapax legomenon ὑπερύψωσεν? Pemahaman terhadap kata kerja ὑπερύψωσεν terbagi dalam dua alur pikiran: a. Kata kerja ὑπερύψωσεν dipandang sebagai kata kerja komposit yang terbentuk atas preposisi ὑπὲρ dan kata kerja ὑψόω. Dalam Kisah Para Rasul 2:33; 5:31 kata kerja ὑψόω digunakan secara figuratif sebagai rujukan terhadap kenaikan Yesus. Kata preposisi ὑπὲρ memuat makna komparatif. Dalam makna komparatif ini peninggian Kristus berarti meninggikanNya ke posisi lebih tinggi dibanding posisi sebelum inkarnasi. b. Kata kerja ὑπερύψωσεν digunakan untuk menggambarkan kontras atau makna superlatif atau elatif. Dalam alur pikiran ini, peninggian Kristus memperlihatkan keunikan Kristus dan tidak terbandingkan dengan siapapun. Makna elatif demikian terpancar dalam Mazmur 97:9 (LXX). Yesus ditinggikan mengatasi segala sesuatu, seluruh alam semesta. Tidak berarti Yesus lebih tinggi setingkat dibanding 30 Ibid., 97 ISSN 2579-5678 makhluk lainnya, melainkan Yesus tidak ada bandingannya. Keunikan Yesus mendapat penekanan melalui penggunaan kata kerja ὑπερύψωσεν. Roma 8:34; 1 Petrus 3:18-22, peristiwa kematian, kebangkitan Kristus dan kenaikan Kristus dipandang sebagai satu kesatuan. Peristiwa kebangkitan dan kenaikan Kristus adalah peristiwa bertahap, ada selang waktu diantara keduanya. Kedua peristiwa ini dirumuskan sebagai perbuatan Allah sangat meninggikan Kristus. 2. Allah Menganugerahkan Nama Allah menganugerahkan Yesus nama. Penganugerahan nama ini bukanlah tahapan kedua setelah perbuatan Allah meninggikan Yesus. Peristiwa meninggikan dan mengaruniakan terjadi pada waktu bersamaan. Namun keduanya bukanlah peristiwa sejajar. Artinya tindakan Allah mengaruniakan nama merupakan ekspresi peninggian Kristus. Perbuatan Allah sangat meninggikan Kristus terkait dengan kebangkitan dan kenaikan Yesus, memiliki muatan spasial. Namun perbuatan Allah menganugerahkan nama bersifat kosmis dan transendental, tanpa muatan spasial dan temporal. 31 Kedua perbuatan Allah berbeda, namun serempak terjadi. Apa yang dimaksud dengan nama? Maksud disini memuat arti: penyataan Allah kepada manusia yang menunjuk kepada penyataan karakter seseorang. Dalam arti ini istilah nama diberi arti khusus yakni Allah menyatakan kepada manusia. Pengaruniaan nama kepada Yesus berarti penyataan Yesus sebagai Tuhan atas alam semesta. Nama sebagai fungsi ketuhanan. Nama dapat dipahami sebagai jabatan. Yesus sebelum inkarnasi menolak untuk mengambil paksa kesetaraan dengan Allah sebagai milikNya. Ketika Yesus menyelesaikan tugas ketaatanNya, maka Allah meninggikanNya dengan jabatan setara dengan Allah. Yesus memiliki otoritas yang hanya dimiliki Allah Kata sambung ἵνα pada ayat 10 memuat makna tujuan (supaya) atau akibat (sehingga). Meski kedua muatannya tidak terlalu tajam dipisahkan, namun terjemahan supaya digunakan disini. Perbuatan Allah bertujuan 31 Ibid., 98 ISSN 2579-5678 terjadinya dua peristiwa semua lutut κάμψῃ (bertekuk) dan semua lidah ἐξομολογήσηται (mengaku). Semua lutut bertekuk (ayat 10). Ketika menghadap Allah orang Yahudi menunjukkan dua sikap, yakni berlutut atau berdiri. Bertekuk lutut atau bersujud merupakan sikap ibadah menyembah Allah (Ezra 9:5; 1 Tawarikh 29:20; 1 Esdras 8:71; 9:47; 2 Makabe 2:1; Yesaya 45:23; Mazmur 95:9 (LXX)). Juga bertekuk lutut digunakan sebagai ungkapan penaklukkan seperti terdapat pada 2 Samuel 22:40; Sirakh 33:27. Berdiri sering menjadi sikap orang Yahudi ketika berdoa kepada Allah seperti terdapat pada Lukas 18:11, 13; Yeremia 18:20; 1 Raja-raja 19:11; Ezra 9:15; Mazmur 24:3. Bertekuk lutut menggambarkan sikap menyembah dan menaklukkan diri. Sebagian manusia meghadap Tuhan dengan sikap menyembah dan sebagian manusia lainnya menghadap Tuhan dengan sikap takluk kepadaNya. Kata semua (πᾶν) di ayat 10 dan kata semua (πᾶσα) di ayat 11 merujuk kepada semua manusia dari segala tempat dan zaman dalam alur makna inklusif total. Secara khusus kata semua pada ayat 10 dan 11 dijelaskan oleh tiga ungkapan, yakni: ἐπουρανίων (langit); ἐπιγείων (bumi); καταχθονίων (bawah bumi). Semua makhluk, baik manusia, malaikat dan roh-roh jahat mengakui Yesus adalah Tuhan. Sebagian makhluk, manusia percaya dan malaikat, mengakui Yesus sebagai Tuhan yang membebaskan dengan sukacita dan sebagian makhluk, manusia tidak percaya dan roh-roh jahat, mengakui Yesus sebagai Tuhan yang mengadili dengan penuh ketaklukkan. Semua lidah mengakui (ayat 11). Armand mengutip pendapat Martin bahwa kata kerja mengaku tidak lagi diterjemahkan para ahli sebagai “to proclaim with thanks giving,” yaitu kata mengaku yang digunakan dalam konteks ibadah ketika semua malaikat, gereja dan orang mati di Sheol bersama-sama beribadah menyembah Kristus yang telah mengalahkan maut. Kata kerja mengaku sebagai arti netral.32 Terjemahan yang tepat adalah mengakui bukan mengaku seperti terjemahan LAI-TB. Menyadari bahwa pengakuan ini diutarakan oleh semua lidah, artinya semua makhluk, tentu tidak tepat bila dikatakan pengakuan demikian merupakan suatu pengakuan iman dalam suatu ibadah penyembahan kepada Kristus. Pengakuan itu 32 Ibid., 99 ISSN 2579-5678 bukanlah suatu pribadi yang sukarela diikrarkan oleh sebagian makhluk. Menyadari bahwa kata semua memuat signifikansi inklusif, maka pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan meliputi segala makhluk termasuk malaikat dan roh-roh jahat dan semua manusia dari segala zaman dan suku bangsa. Dalam konteks demikian, segala makhluk mengakui Yesus adalah Tuhan baik dalam ibadah penyembahan maupun dalam elu-eluan (acclamation) universal. Penggunaan kata kerja bertekuk lutut dan mengakui dalam bentuk aoris memberi indikasi kuat bahwa peristiwa ini terjadi sekarang bukan pada saat parousia. Semua makhluk mengakui Yesus Tuhan segera setelah peristiwa Yesus dilantik sebagai Tuhan atas alam semesta. Nyanyian Kristus menyatakan bahwa semua makhluk kelihatan dan tidak kelihatan mengakui Yesus adalah Tuhan merupakan Raja atas seluruh alam semesta. Perlu ditegaskan bahwa pengakuan semua makhluk ini tidak memiliki muatan keselamatan. Ia lebih bermuatan rekonsiliasi (pendamaian). Artinya penciptaan rusak oleh dosan dan akibatnya, maut sekarang mendapat pemulihan kembali oleh kemenangan Kristus atas maut yang menguasai hidup manusia. Istilah rekonsiliasi memiliki arti pemulihan. Kalimat terakhir memberi penjelasan terhadap pernyataan ‘bagi kemuliaan Allah, Bapa’ pada ayat 11.33 Pemulihan Yesus sebagai Tuhan atas alam semesta tidak menggeser Allah dari tahtaNya atau merusak relasi Yesus dan BapaNya. Pemulihan Yesus sebagai Tuhan atas seluruh semesta tidak lain merupakan pemulihan pemerintahan Allah sebagai Bapa atas seluruh ciptaan. Dan melalui pengakuan Kristus adalah Tuhan, maka karakter Allah sebagai Bapa tersingkap kepada seluruh semesta. Ketuhanan Yesus atas seluruh ciptaan tidak lain menjadi momen penyataan kebapaan Allah atas seluruh alam semesta. Yesus dilantik sebagai Tuhan adalah untuk kemuliaan Allah Bapa. Hubungan Allah Bapa dan semua ciptaan yang rusak oleh dosa, dipulihkan kembali melalui kenaikan Yesus. Allah sebagai Bapa atas semua ciptaan pulih kembali. 33 Ibid., 100 ISSN 2579-5678 KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian dan pembahasan terhadap topik-topik yang berkaitan dengan judul tesis ini, maka tibalah kini pada bagian kesimpulan dan saran yang akan merampungkan seluruh isi yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah ini. Berkenaan dengan judul ini dapat disimpulkan bahwa ajaran Paulus tentang kenosis merupakan ajaran yang sangat penting untuk dapat mengerti dan mengalami apa yang telah Allah lakukan. Melalui bagian ini diharapkan pembaca bisa melihat secara menyeluruh inti dari karya ilmiah ini, sehingga pemahaman terhadap keseluruhan karya ilmiah ini semakin jelas dan lengkap. Demikian juga bagian ini sekaligus akan m ejadi jawaban yang jelas bagi pembaca, terhadap rumusan masalah yang sudah dibuat pada bab pertama. Beberapa hal yang mejadi kesimpulan berdasarkan pembahasan tentang kenosis adalah sebagai berikut: Pertama, ketidaksalahan Alkitab dalam naskah aslinya dapat diyakini sepenuhnya. Meskipun ada tradisi lisan sebelum kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan, telah terbukti bahwa tidak mungkin ada konspirasi dimasa tersebut. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alkitab tidak akan pernah mencapai akhir untuk dibahas dan diteliti dalam menemukan kebenaran. Sekalipun banyak perbedaan motivasi yang mendasari berbagai aliran atau golongan yang tampak dalam, baik berupa usaha yang dilakukan untuk meneguhkan keselamatan di dalam Yesus Kristus yang diajarkan dalam Alkitab bagi mereka yang percaya/beriman kepadaNya, maupun usaha dari mereka untuk menolak kebenaran Alkitab sebagaimana yang telah dinyatakan melalui ilham Roh Kudus, ajaran Alkitab tetap menjadi suatu pembahasan yang bersemangat dan hidup yang mendatangkan manfaat bagi manusia khususnya orang percaya. Penyelidikan terhadap /pengajaran Alkitab harus dilakukan secara bertanggungjawab. Yang dimaksud dengan bertanggungjawab adalah bahwa pengajaran dalam Alkitab harus diterima sebagai ilham dari Allah melalui Roh Kudus kepada para penulis Alkitab. Sumber utama bagi penelitian ajran-ajaran Paulus adalah surat-surat Paulus sendiri yang terdapat dalam Perjanjian Baru. Kedua, fakta yang harus diakui adalah bahwa tidak satupun naskah asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru yang masih ada saat ini. Yang ada saat 101 ISSN 2579-5678 ini hanyalah salinan-salinan dari naskah asli kitab-kitab Perjanjian Baru. Paulus merupakan satu-satunya rasul yang tulisannya paling banyak tulisannya terdapat dalam Perjanjian Baru sekitar 13 surat. Hal ini adalah wajar karena memang merupakan panggilan dan pemakaian Allah yang khusus kepadanya sejak panggilan dan perjumpaan dengan Yesus menuju Damsyik. Panggilan Paulus sangat unik bila dilihat dari latar belakang kehidupannya sebagai Yahudi dan seorang Farisi turut andil dalam setiap ajaran dan pemberitaanya kepada gereja. Perjanjian Lama, penyataan Allah dan Tradisi Kristen mula-mula merupakan sumber utama bagi pengajaran Paulus. Kenosis adalah pengajaran Paulus tentang keteladanan dan kerendahan hati Tuhan. Yesus Kristus adalah penyataan Allah yang sempurna sekaligus telah ditentukan untuk menjadi obyek iman dari mereka yang percaya kepada Allah. Iman Kristen tidak dapat dipisahkan dari kematian Kristus diatas kayu salib, kebangkiatan dan kenaikanNya. Ketiga, terdapat hubungan ajaran Paulus tentang pengosongan diri dengan ajaran Tritunggal. Ajaran Paulus tentang kenosis adalah berhubungan dengan Tritunggal secara hakikat dan sustansi. Tidak ada keraguan untuk menerima dan meyakini hal ini. Kematian Kristus diatas kayu salib adalah dasar utama Allah memberi teladan dan mengajarkan kerendahan hati kepada orang-orang percaya. Keempat, evaluasi studi autographa Perjanjian Baru khususnya Filipi 2:5-11 memiliki implikasi terhadap bibliologis. Dimana evaluasi studi autographa merupakan metode evaluasi yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa Allah bersifat innerant. Untuk membuktikan infalibilitas naskah asli kitab-kitab Perjanjian Baru dapat dibuktikan. Dan juga untuk membuktikan bahwa Allah memelihara firmanNya. Terhadap ilmu hermeneutik, implikasi dari evaluasi studi autographa merupaka langkah awal yang harus dilakukan, sebelum dilakukan penafsiran. Karena melalui evaluasi studi autographa seorang penafsir akan menemukan varian yang sesuai dengan naskah aslinya, yaitu varian yang seharusnya ditafsirkan. Sedangkan implikasi teologis adalah dimana didalam membangun satu Teologi dari teks Alkitab, teks tersebut harus dipastikan sesuai dengan naskah aslinya. Dan evaluasi studi autographa Perjanjian Baru merupakan metode 102 ISSN 2579-5678 yang obyektif yang bisa digunakan untuk menemukan teks yang sesuai dengan naskah aslinya. Saran Pertama, ditunjukkan kepada para teolog, karena pada pundak para teologlah terdapat tanggungjawab yang sangat besar sehubungan dengan teologi yang benar yang harus dibagikan kepada umat-umat Allah. Para teolog yang dimaksudkan adalah baik mereka yang terlibat dalam penggembalaan jemaat, yang mengajar teologi di perguruan tinggi dan yang terlibat dalam penulisan buku-buku teologi. Supaya mereka memiliki keyakinan yang benar terhadap Alkitab sebagai sumber teologia yang benar. Dimana Alkitab bisa diyakini sepenuhnya sebagai Firman Allah tanpa salah dalam naskah aslinya dan menjadikan Alkitan sebagai sumber dari teologia yang mereka pahami. Sehubungan dengan ketiadaan naskah asli Alkitab dan ditemukannya berbagai varian teks dalam naskah-naskah yang telah ditemukan. Dalam melakukan penafsiran dan membagun satu teologi, hendaknya para teolog melakukan evaluasi studi autographa secara obyektif dan seimbang terhadap teks yang akan ditafsirkan. Karena sebelum menafsirkan satu teks atau membangun satu pemahaman teologi dari teks tersebut, maka seorang penafsir atau teolog harus memastikan bahwa teks tersebut sesuai dengan teks aslinya. Demikian juga kepada para pemula di dunia teologi yaitu mereka yang sedang duduk di sekolah-sekolah tinggi teologi. Dimana di jaman modern ini, dalam proses belajar banyak ilmu yang bisa ditimba oleh para pelajar. Termasuk dari para teolog yang memiliki paham pemistis dan skeptis terhadap Alkitab. Itu sebabnya hendaknya para pelajar yang sedang belajar di sekolah-sekolah tinggi teologi, belajarlah seluas-luasnya. Tetapi tetaplah miliki keyakinan yang kokoh terhadap Alkitab sebagai Firman Allah yang tanpa salah dalam naskah aslinya. Karena ketidaksalahan Alkitab dalam nakskah aslinya dapat diyakini sepenuhnya dan mau tidak mau pelajar yang terjun di dunia teologi pasti akan terlibat dalam penafsiran Alakitab. Dalam kegiatan penafsiran Alkitab seorang pelajar harus belajar menentukan mana varian yang akan dia tafsirkan yang sesuai dengan naskah aslinya jika teks 103 ISSN 2579-5678 tersebut mengandung varian. Dan salah satu metode yang obyektif dan seimbang yang ditawarkan dan diterapkan oleh para pelajar adalah evaluasi studi autographa Perjanjian Baru. Saran bagi setiap orang percaya adalah supaya setiap orang percaya semakin kokoh meyakini Alkitab sebagai firman Allah. Apa yang sudah dikerjakan Kristus merupakan alasan dan dasar Allah ketika membenarkan orang berdosa. Hal ini memberikan sebuah keyakinan bagi kita yang beriman kepada Yesus. Keyakinan ini bukan menjadi sekedar diketahui atau menjadi pengetahuan belaka, melainkan untuk mendorang setiap orang percaya hidup sesuai dengan rencana kekal Allah yang dinyatakan dalam firmanNya. Orang yang berada di dalam Kristus hendaklah meneladani kerendah hati Kristus dan semakin banyak orang yang datang kepadaNya karena kesaksian hidup orang percaya. DAFTAR PUSTAKA _______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi, Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2013. Hal. 55 _______, Handbook to The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit. Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686. Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M.; Metzger, Bruce M.; Robinson, Maurice.; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised Edition (Interlinear with Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993; 2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald Greek Transcription, Bible Works 9) Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal. 82. Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Andi, 2008. Hal. 47-48. Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 2003), Hal. 59. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, Hal. 391. Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: SAAT, 1998), Hal. 134. Jurnal Teologi Reformed Indonesia Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9). 104 WASPADAI TANDA-TANDA AKHIR ZAMAN “666” FIKTIF ATAU KENYATAAN Oleh: Eliazer Nuban I. Pendahuluan: Pada kehidupan sehari-hari, kita selalu menemukan tanda-tanda tertentu yang yang bisa menggambarkan suatu even tertentu. Kalau itu pernikahan ada ucapan selamat berbahagia, kalau itu kedukaan selalu ada ucapan turut berdukacita. Akhir zaman merupakan suatu topik yang selalu menyita perhatian umat Tuhan dari masa ke masa. Ada yang membicarakan dengan doktrin secara benar, tetapi ada yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan maksud-maksud tertentu. Dan Alkitab memberitahukan kepada kita tentang berbagai tanda sebelum kedatangan-Nya. Tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali umat Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena ternyata banyak yang tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka 666 dalam Wahyu 13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam pertemuan dan seminar ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini dalam tiga bagian yaitu: Tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali umat Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena ternyata banyak yang tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka 666 dalam Wahyu 13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam pertemuan dan seminar ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini dalam tiga bagian yaitu: A. Latar Belakang Kitab Wahyu B. Pengertian Dari angka 666 Dalam Wahyu 13:18 C. Berbagai isyu dan sikap gereja dalam menghadapinya D. Kesimpulan ISSN 2579-5678 A. Latar belakang Kitab Wahyu Judul Kitab ini dalam Bahasa Yunani adalah Apokalipypsis yang berarti disingkapkan, dinyatakan, atau pembukaan tudung. Contoh: berhadapan dengan makanan di meja makan. Namun kitab ini tampaknya tidak menyediakan apa yang dijadikan oleh Judulnya, namun membingukan para pembaca dengan berbagai gambar, figur, dan angka-angka yang ditemukan di dalamnya. Namun diKitab terakhir Alkitab ini, Allah mengisinkan kita untuk melihat sesuatu dari Kristus dan gereja-Nya di sorga dan di bumi, dan apa yang kita lihat sungguh menakjubkan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa seluruh Kitab Wahyu terarah kepada KOMPOSER UTAMANYA YAITU ALLAH SENDIRI. Allah adalah Sang seniman ilahi, Sang Arsitek Agung. Kitab ini disusun secara ilahi yang didalamnya Allah menyatakan pekerjaan tangan-Nya. Perhatikan n beberapa hal penting: 1. Angka-angka dalam Kitab Wahyu Ciri utama yang ditekankan dalam Kitab Wahyu adalah angka-angka dan artinya: a. Angka Satu menyatakan kesatuan yang orang Yahudi tetapkan sebagai Kredo mereka: Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa, Ulangan 6:4 b. Angka Dua adalah jumlah orang untuk menegskan kesaksian di pengadilan, Wahyu 11:3 c. Angka Tiga melukiskan Allah Tritunggal d. Angka Empat merujuk kepada ciptaan Allah seperti yang terbukti arah angin dan empat musim dalam setahun e. Angka Lima adalah angka bulat dan tidak terlalu memiliki arti simbolis, Wahyu 9:5 f. Angka Enam melambangkan iblis yang berusaha meraih kesempurnaan, tetapi selalu gagal mencapainya. Angka binatang itu adalah 666, Wahyu 13:18 g. Angka Tujuh selalu melambangkan angka kegenapan. h. Angka sepeluh berarti kepenuhan dalam sistem desimal 106 ISSN 2579-5678 i. Angka Duabelas berarti kesempurnaan, Dua belas suku Israel, Dua bels Anak yakob, dua belas murid Tuhan Yesus. j. Angka seribu merujuk kepada kumpulan orang banyak 2. Kontras-kontras Dalam Kitab Wahyu penuh dengan dua kutub yang berlawanan seperti: a. Kristus vs Iblis b. Terang vs Gelap c. Kehidupan vs Kematian d. Kasih vs Kebencian e. Sorga vs Neraka Dalam seluruh Kitab Wahyu kontras seperti ini muncul secara detail. Contoh: Yohanes menyatakan bahwa Allah Tritunggal sebagai Bapa, Anak dan Roh dibandingkan dengan titunggal iblis yakni: Iblis, Binatang Buas, dan Nabi Palsu. 3. Paralel Disepanjang Kitab Wahyu terdapat rangkaian paralel yang berjumlah tujuh. Contoh: a. Tujuh surat ke Jemaat Asia Kecil b. Tujuh Materai c. Tujuh Sangkakala d. Tujuh Cawan 4. Bahasa Kiasan Sebagaimana Kitab Nubuat dan Kitab Hikmat Perjanjian Lama, maka Kitab Wahyu juga mengandung beragam Simbol. Contoh: a. Yohanes menyebut si – Ular tua sebagai iblis dan setan, Wahyu 12:9 107 ISSN 2579-5678 b. Yohanes menjelaskan air sebagai bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum bahasa Wahyu 17:15. 5. Warna Corak Warna yang disebutkan dalam Kitab Wahyu adalah: a. Putih: Menunjukkan, kesucian, kemurnian, kemenangan, dan keadilan b. Merah: Warna Peperangan. Darah tercurah di atas bumi saat penunggang kuda merah memakai pedang besarnya, Wahyu 6:4 c. Merah ungu d. Hitam: Hitam melukiskan peperangan. Seperti yang diilustrasikan oleh harga makanan yang membubung tinggi. (Sepucuk gandum sedinar, (Upah harian seorang pekerja). Warna hitam juga melambangkan kegegalapan, ketika mata hari gagagl memberikan terangnya. e. Ungu. Ungu melambangkan kekayaan f. Warna Emas menunjukkan kesempurnaan sorgawi 6. Makhluk Yohanes memilih beberapa binatang sebagai ilustrasi suatu konsep. a. Kuda yang ditunggangi b. Anak domba yang disembeli c. Mulut singa d. Kaki Beruang e. Kekuatan anak lembuh f. Kecepatan macan tutul 108 ISSN 2579-5678 II. Arti dari angka 666 dalam Wahyu 13:18 secara harafiah William Barclay William mengomentari angka "666" dalam Wahyu 13:18 untuk mengungkapkan maknanya berhubungan dengan penjumlahan. Ia mengatakan, "Angka 666 adalah sebuah kode yang berhubungan dengan pejumlahan bilangan. Sekarang itu telah jelas dimanapun juga Kode itu berhubungan dengan jumlah bilangan. Berdasarkan pernyataan William Barclay ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah. Foy E. Wallace Wallace mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai angka latinisasi. Ia mengatakan, "bahwa ia menyetujui pendapat Irenaeus bahwa "Angka 666 adalah angka latinisasi. Yaitu L=30, A=1, T=300, E= 5, I=10, N=50, tertentu, A=1, B=2 dan seterusnya."4 Berdasarkan pernyataan Wallace ini, ia menyatakan "666" sebagai Penerapan Lahiriah Lehman Stranss Stranss mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menyetujui bahwa 666 adalah angka latinisasi. Ia mengatakan,"Angka 666 adalah angka latinisasi dan nama latin bagi kaisar Nero adalah Neron dan bila di jumlah N=50, E=6, R=500, O=60, N=50 dan jumlah seluruhnya adalah 666."5. Berdasarkan pernyataan Lehman Stranss ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah. Donald Grey Grey mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai angka latinisasi. Ia mengatakan "bahwa Vespasian (69-79AD), Titus (79-81AD), dan Domitian (81-96AD) bila di jumlah ketiga nama kaisar yang bermarga Titus ini maka berjumlah 666 Berdasarkan pernyataan Donald Grey ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah. 109 ISSN 2579-5678 III. Arti dan Makna Rohaniah Vernon J. Mcgee Mcgee mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai bilangan kuantitatif yang harus dibiarkan berdiri sendiri. Ia mengatakan"Suatu nilai kuantitatif terikat dalam bilangan tersebut dan kita harus membiarkannya berdiri sendiri. kita harus menyajikan Yesus Kristus yang membuat kita berhasil melewati periode kesengsaraan yang besar. Berdasarkan pernyataan Vernon J. Mcgee ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. Dave Hagelberg Hagelberg mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai sebuah bilangan yang melambangkan ke tidak sempurnaan. Ia mengatakan "Bilangan 666 melambangkan ke tidak sempurnaan sebagaimana bilangan 777 melambangkan kesempurnaan. Berdasarkan pernyataan Dave Hagelberg ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. James L. Belvins. James L. Belvins mengomentari bilangan "666" dalam Wahyu 13:18 sebagai bilangan simbolis untuk usaha manusia yang terbaik yang manusia dapat lakukan. Ia mengatakan "Jika nama Yesus yang sama 888 dan 777 dipertimbangkan bilangan sempurna, maka makna 666 dimaksudkan untuk menjadi bilangan simbolis untuk yang terbaik bagi usaha manusia yang manusia dapat lakukan. Berdasarkan pernyataan James L Belvins ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. A.C. Gaebelein Gaebelein mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menekankan bahwa 666 adalah bilangan manusia yang jatuh. Ia mengatakan, "Saya beranggapan bahwa kita hanya perlu mengetahui bahwa bilangan 666 adalah angka manusia yang jatuh dan karenanya berarti ketidak sempurnaan. Berdasarkan pernyataan A.C. Gaebelein ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. 110 ISSN 2579-5678 Peter Wongso Wongso mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai lambang serangan setan terhadap jemaat yang sifatnya terbatas dan tidak sempurna. Ia mengatakan "Jikalau kita meneliti pemberitaan kitab Wahyu san melihat adanya serangan setan terhadap jemaat semuanya sangat terbatas sifatnya dan tidak sempurna. Berdasarkan pernyataan Peter Wongso ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. Louis T. Talbot Talbot mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai Trinitas setan. Ia mengatakan "bahwa trinitas enam yaitu untuk tiga serangkai setan berlawanan dengan yang Trinitas tujuh yaitu tiga serangkai Tuhan. Berdasarkan pernyataan Louis T. Talbot ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. Torrance Torrance mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menekankan bahwa 666 adalah Setiap kejahatan yang sedang menanamkan tabiatnya pada setiap pribadi manusia. Ia mengatakan "bahwa makna 666 adalah setiap saat kejahatan tersembunyi didunia yang membangun patungnya dan menanam kesannya pada setiap pribadi, pikiran dan perilaku umat manusia. Berdasarkan pernyataan Torrance ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. Eldon George Ladd Ladd mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menekankan bahwa 666 hanya menonjolkan perbandingan anti Kristus dan Kristus. Ia mengatakan "bahwa bilangan nama Yesus dalam bahasa Yunani adalah 888. Kalau bilangan 888 dibandingkan dengan bilangan anti Kristus, maka kontras antara yang benar dan yang palsu yang ditonjolkan. Berdasarkan pernyataan Eldon George Ladd ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. 111 ISSN 2579-5678 IV. ANALISIS ALKITABIAH WAHYU 13:18 Kini saya akan coba menganalisis Wahyu 13:18 yang sering dikutip sebagai penjelasan siapa dan lembaga yang mana menjadi AntiKristus di akhir zaman. Pembahasan ini dibagi atas dua bagian besar, yaitu: A. Latar belakang Wahyu 13:18, B. Analisis Wahyu 13 :18. Akhirnya, sebuah rangkuman singkat. Latar Belakang Wahyu 13:18 Latar belakang Wahyu 13:18 yang erat kaitannya dengan bilangan 666 adalah bagian dari kitab Wahyu secara keseluruhan yang menceritakan adanya perperangan antara Kristus dan umat-umatnya melawan iblis dan para pengikutnya. Untuk itu kita melihat sekilas apakah latar belakang kitab Wahyu ditulis. Kitab Wahyu sebagai kitab apokaliptik Kitab Wahyu menutup Kanon dan sejarah Perjanjian baru. Kitab Wahyu termasuk kelompok susastra yang dikenal sebagai Apokaliptik. Yang khas dalam sastra Apokaliptik ialah pemikiran Allah berdaulat, yang pada akhirnya ia akan campur tangan untuk melaksanakan kehendak-Nya yang baik dan sempurna. Menurut Herberg Kitab Wahyu bahan gagasannya dipengaruhi Perjanjian Lama khususnya kitab yang bersifat apokaliptik yaitu Yehezkiel, Zakharia, Yoel, dan Daniel. Selain itu kitab Wahyu juga berisi penglihatan-penglihatan Yohanes dan pengalaman-pengalaman pribadi Yohanes.20 Kitab Wahyu adalah kitab apokaliptik yang biasanya menggunakan bahasa simbolik atau lambang, impian-impian, dan penglihatanpenglihatan.21 Kitab Wahyu Sebagai rangkuman Kesimpulan Seluruh Alkitab. Sebelum kita membaca Wahyu 13 ayat demi ayat, bahkan kata demi kata secara seksama berdasarkan Kamus ilmu keselamatan, perlu diketahui bahwa kitab Wahyu adalah yang terakhir yang berfungsi sebagai rangkuman dan kesimpulan seluruh alkitab mulai dari kejadian sampai Yudas yaitu kitab sebelum Wahyu.Dengan demikian, setiap semesta pembicaraan berdasarkan situasi dan kondisinya patut diperhatikan. Berdasarkan pemahaman ini, marilah sekarang kita membaca Wahyu 13. Wahyu 13 sebagai kerajaan ke-4. 112 ISSN 2579-5678 Binatang pertama (13:1-8) Ayat pertama mengawali ceritanya berkata: Lalu aku (yang dimaksud dengan aku adalah Yohanes yang pada saat itu sedang berada di pembuangan atau penjara pulau Patmos - lihat Wahyu 1:9). Melihat artinya Yohanes mendapat penglihatan dari Allah yang pada kamus dewasa ini film kartun. Seekor binatang keluar dari dalam laut, kata laut di ayat sama dengan yangdi Daniel 7 yang menggambarkan seluruh dunia dan bukanlah satu wilayah geografis yang banyak penduduk. Daniel 7:2-3 mendata: Pada malam hari aku mendapat penglihatan, tampak keempat angin dari langit mengguncangkan laut besar, dan empat binatang besar naik dari dalam laut, yang satu berbeda dengan yang lain, bertanduk sepuluh dan berkepala tujuh; diatas tanduk-tanduknya terdapat sepuluh mahkota dan kepalanya tertulis nama-nama hujat. Berdasarkan kamus kitab Daniel ini disebut kerajaan ke empat. Berdasarkan Daniel 7 dinamakan binatang ke-4 yang bertanduk 10+13 jawabnya bukan 8 tapi sama dengan yang di Daniel 2:43 yaitu namun menggambarkan situasi dunia yang tidak pernah akan merupakan kesatuan, seperti besi tidak bercampur dengan tanah liat itulah realita dunia di zaman muktahir ini. Berdasarkan Daniel 8 dan 11 memiliki ciri-ciri tanduk kecil yang tidak lain adalah sistem antikristus (Yesaya 14:12-13). Yang dimaksud dengan tertulis nama-nama hujat yaitu tertulis adalah mengartikan budaya yang mapan dan paten. Nama mengartikan sifat atau tabiat. Hujat tentunya berindikasi kotor, najis, memiliki niat dan motivasi palsu. Lihat saja krjadian 3:1 dimana Si Ular tua alias Iblis dan satan berbicara hujat terhadap Allah (Wahyu 12:9). Ayat kedua sampai ayat ke delapan kita melihat sebuah penampilan lambang Babilon, Media Persia, Yunani di dalam lambang Romawi di Wahyu 13:1-2 yang menjelaskan bahwa ketiga kerajaan ini akan terus tampil melalui sifat dan filsafat hidup Yunani, Media Persia, dan Babilon didalam kehidupan Romawi. Perlu ditambahkan berdasarkan 1Petrus 5:13 yang menyatakan: Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon. Yang dimaksud Babilon adalah Romawi yang memiliki sifat dan tabiat babilon alias budaya babilon yang bermula di Kejadian 10-11. Di dalam kitab Wahyu nama kota Babel ini muncul 6 kali, lihat Wahyu 14:8;16:19;17:5;18:2,10,21. Yang dimaksudkan Babel bukanlah perkara 113 ISSN 2579-5678 geografis melainkan yang hubungannya dengan Budaya, sifat, tabiat, yang berlawanan dengan sang pencipta. Berbagai pandangan juga menyetujui pandangan diatas yaitu Fowler berpendapat binatang yang pertama menggambarkan persatuan gereja-negara yang mendominasi dunia Kristen selama berabad-abad dan telah digambarkan oleh Paulus sebagai "manusia durhaka" (2Tes.2:2-4).22 Groen berpendapat iblis meniru Karya Tuhan dan menampakkan dirinya sebagai Allah. Binatang yang dimunculkan dari laut adalah mesias palsu, yang menyesatkan dunia. Ia meminta dirinya disembah dan pada akhirnya membawanya manusia untuk menyembah Iblis dan menentang Allah.23 Wongso berkomentar Mesias Palsu akan memimpin umat manusia menentang yang maha tinggi, dan berusaha membinasakan umat Allah. Namun karena usahanya memiliki keterbatasan maka itu tidak akan pernah berhasil. Sesuatu hal yang perlu dilakukan umat Allah memasyurkan Injil keselamatan keseluruh bangsa.24 Semua pandangan diatas menekankan bahwa penampilan binatang pertama memiliki tabiat babel yaitu menentang Allah. Binatang Kedua (13:11-17) Stefanovic berkomentar Yohanes sekarang berbalik perhatiannya ke binatang yang kedua yaitu binatang yang keluar dari bumi. Seperti binatang yang pertama, Yohanes juga memberi karakteristik yang umum tentang binatang yang keluar dari bumi (13:11), dan kemudian pindah ke suatu uraian tentang bagaimana aktivitasnya. 25 Selanjutnya sebagai gambaran yang lain tentang situasi planet bumi melihat film kartun seekor bintang lain keluar dari dalam bumi. Pengertian bumi disini adalah universal atau seluruh dunia sebagaimana di kejadian 1 dan 2 adalah langit dan bumi dalam arti bumi dan lingkungannya, yang mana di Wahyu 14:7 berbunyi Langit dan bumi dan laut dan semua mata air yang intinya adalah seluruh dunia atau Global atau Universal. Makna bertanduk sama seperti anak domba adalah system kekuasaan yang kelihatan seperti domba yang lemah-lembut tapi sebenarnya bersifat diplomatis. Mengapa? Karena ia penguasa yang mengandalkan diri sebagai mana tabiat naga. Arti berbicara seperti seekor naga sifatnya adalah 114 ISSN 2579-5678 licik seperti yang terjadi di kejadian 3. Wahyu 13:11-17 Yohanes berusaha menampilkan adanya pengajar-pengajar palsu yang memiliki budaya yang sama dengan kekuasaan tanduk kecil yaitu system tanduk kecil yaitu protestan murtad. Protestan sejati memiliki semboyan hidup Sola Scriptura yang artinya Alkitab adalah satu-satunya ukuran kebenaran dan kehidupan iman kristiani. Selanjutnya Pos bekomentar binatang kedua adalah nabi palsu yang membawa manusia menyembah kepada binatang pertama sekaligus kepada Iblis. Ia juga menunjukkan mujisat-mujisat. Pada saatnya semuanya dibinasakan Allah dengan segenap kuasanya bila sudah tiba waktunya. Pada dasarnya Yohanes ingin menmpilkan bahwa pengajar-pengajar palsu ini memang melakukan hal-hal yang menaljubkan dari segi lahir namun hal ini bukanlah dasar penilaian Raja Surga yang sejati. Yang menekankan pada filsafat atau budaya hidupnya apakah mereka memiliki filsafat kosong dan palsu yang menampilkan ibadah formalitas yaitu liturgi atau filsafat dan budaya sorga yang menampilkan ibadah sejati yaitu ibadah yang berdasarkan budaya hidup. Hal ini didukung oleh pendapat Rodriquez mengungkapkan pencobaan-pencobaan yang mengherankan yang kita hadapi sebelum dunia ini menuju kematian terakhir. Diharapkan, kita sudah melatih perjalanan kerohanian setiap hari besama juruselamat kita, Pemenang dalam pertentangan besar. Kesimpulan (13:9-10, 18) Berdasarkan Wahyu 13:9 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! Pernyataan Firman Allah ini adalah kata-kata Roh Kudus agar menerapkan makna Wahyu 1:3 yang berbunyi Berbahagialah ia yang membaca yang artinya adalah bahwa mereka yang mendengarkan kata -kata nubuat ini, pasti akan menuruti apa yang ada tertulis didalamnya, sebab waktunya sudah dekat. Tentunya hal ini akan berlangsung karena Aksioma yang tertulis di Ibrani 11:3 Karena iman kita mengerti. Mengapa demikian? Roma 10:17 menegaskan Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.Dan ini dapat menjadi budaya hidup umat Allah yang selalu dituntun 115 ISSN 2579-5678 Roh Kudus (Roma 8:14). Pada ayat selanjutnya Disini ditampilkan adalah himbauan Raja Surga kepada manusia yang memiliki kuasa memilih untuk ditawan atau dibunuh oleh pedang. Namun Yang penting adalah bila kita setia kepada pencipta kita akan memiliki ketabahan yang hanya dapat dibudayakan karena iman orang-orang kudus. Pada ayat 18 sebagai kesimpulan yang menekankan bahwa Enam adalah lambang orang yang selalu tidak akan sempurna seperti Tuhan adalah sempurna. Tuhan akan membinasakan yang berkeberatan untuk menerima Kristus sebagai Juruselamat. Binatang buas yang kedua datang, orang harus menolak tandanya. Hal ini juga coba ditampilkan Flower dalam komentarnya yang menyatakan bahwa usahanya yang terakhir untuk membinasakan Allah dan gerejanya, setan akan mengilhami cara yang akan diciptakan oleh kedua bintang itu untuk mengubah hukum Allah, dan menganiaya umat yang setia kepadanya Jadi yang perlu ditampilkan adalah usaha Setan untuk membinasakan umat Allah namun yang penting adalah ketabahan yang hanya dapat dibudayakan karena iman orang-orang kudus. Analisis Wahyu 13:18. Apa dan siapa "Hikmat" Mathias berkomentar Hikmat adalah sifat dan mutu Allah yang membuat Ia sanggup menciptakan dan mengendalikan segala hal (Amsal 3:19). Hal ini juga yang membuat manusia dapat berhasil (Amsal 4:5-11). Guthrie berkomentar Kristologi hikmat Paulus adalah suatu konsepsi yang dinamis, Allah membuat Yesus menjadi hikmat kita, suatu hikmat yang lebih jauh diterangkan sebagai merangkumi pembenaran, pengudusan, dan penebusan. Sadrak Kurang Wahyu 13:18 Yang penting di sini ialah hikmat maksudnya adalah Yesus Kristus sebagai jalan Kebenaran menuju hidup sejati (Yohanes 14:6; Korintus 1:24; 2:7-9; Amsal 3:13-18). Siapa Yang Bijaksana Yus Badudu berkomentar Bijaksana adalah pandai dan berbudi tinggi, tajam pikiran; Arif. Pengertian ke dua adalah Pandai menempatkan sesuatu pada 116 ISSN 2579-5678 tempatnya berkat pengalaman dan pertimbangan yang matang. Pengertian ke tiga adalah Dia dapat mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Silitonga berkomentar Yang bijaksana bersifat sorgawi dan memusatkan hidupnya pada Yesus Kristus, sedangkan yang bijaksini bersifat duniawi dan memusatkan pada diri (Matius 25:1-13). Dengan demikian, siapa yang bijaksana yaitu mengandalkan Firman Raja Sorgawi sebagai Kesaksian Yesus yang sama dengan Roh Nubuat. Hailey berkomentar Maksud yang bijaksana adalah pemahaman wahyu, dan mereka dapat menemukan arti dari banyaknya binatang buas itu didalam Alkitab. Dan sebagai kesimpulan Yang Bijaksana maka kita harus menghubungkannya dengan perkataan Daniel di Daniel 9 dan 12 Yang Bijaksana adalah orang yang mempertimbangkan Firman Tuhan (Dan 9:23) dan yang Memahaminya. Yang bijaksana juga telah ditampilkan oleh Yesus Kristus melalui perumpamaan lima gadis yang bodoh dan lima gadis yang bijaksana. Pada dasarnya semuanya menekankan siapa yang mengandalkan Firman Tuhan sebagai kesaksian Keistus yang sama dengan Roh Nubuat. Arti Menghitung Stefanovic berkomentar Yohanes tidak menghimbau pembaca di sini untuk berlatih kemampuan intelektual atau matematika ketrampilan, tetapi lebih untuk mencari perbedaan Allah dan Iblis dalam tabiat atau karakter binatang buas untuk melindungi diri mereka dari penipuan setan. Philips berkomentar menghitung yang dimaksudkan bukan mencari hitungan atau mengurai bilangan ini seperti teka-teki, tetapi memikirkan dan merenungkannya agar kita paham maksud Allah. Silitonga berkomentar menghitung disini mempertimbangkan bilangan binatang itu dengan menggunakan matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan dan bukan matematika rendahan yaitu hanya menjumlah. Dan sebagai kesimpulan menghitung maka kita akan menganalisa arti kata menghitung disini bahasa inggrisnya Count dan bahasa Yunaninya ialah psephizo, di perjanjian baru count digunakan hanya dua kali yang pertama di Lukas 14:28 yang artinya anggaran biaya atau perencanaan. Bila kita melihat diayat 31 maka kita akan melihat kata mempertimbangkan yang ada 117 ISSN 2579-5678 hubungannya dengan kata perencanaan. Dan arti Count adalah mempertimbangkan. Jadi arti Menghitung adalah mempertimbangkan. Arti Bilangan Exell berkomentar bilangan binatang di dalam ayat ini, bukanlah suatu label eksternal, suatu teka-teki ataupun matematika, tetapi amat sangat dihubungkan dengan karakter dan hidup itu binatang buas itu. Silitonga berkomentar bilangan binatang = ciri-ciri manusia (angka 6 yang sempurna adalah bilangan manusia), karena manusia dan bintang diciptakan hari ke-6. Selanjutnya bilangan anti Kristus tampil di Daniel 3 jumlahnya 66 (Patung manusia yang tingginya 60 hasta dan lebar 6 hasta), kemudian bilangan binatang = ciri-ciri antikristus di zaman akhir akan lebih hebat lagi karena angkanya ialah 666 Lewis berkomentar ungkapan" bilangan binatang buas" berartilah, bahwa bagaimanapun juga bilangan ini menjadi sangat dihubungkan dengan binatang buas, atau akan sangat menghadirkan karakter, "binatang buas" akan dikenali sesuai perilaku atau tabiatnya. Makna 666. Angka 6 ini di Kejadian 1 dan di Daniel 3 adalah 66, maka angka ini berhubungan erat dengan sifat Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13). Dan pada Wahyu 13 :18 adalah 666. Artinya angka 6 adalah ketidaksempurnaan manusia sehingga memberontak menentang Allah di Kejadian 11 melalui pembangunan menara babel. Pada kitab Daniel 3 maka kita dapat melihat penampilan 66 yang wujudnya adalah patung emas. Yang menekankan menentang rencana Yang Maha Tinggi. Dan dizaman akhir ini akan ada peningkatan menjadi 666 yang artinya kejahatan akan bertambahtambah. Hal tersebut dinyatakan oleh Yesus didalam Matius 24:37 bahwa keadaan dunia akan seperti pada zaman Nuh. Bagaimanakah keadaan manusia pada zaman Nuh? Kejadian 6: 5 yang menyatakan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan. Jadi 666 adalah kejahatan yang besar dibumi. Dari pembahasan di atas maka berikut rangkuman ringkasnya, latar belakang Wahyu 13:18 dari Wahyu 12:1-13:17 yang menekankan adanya Trinitas palsu yang terdiri dari Iblis, Mesias palsu, Nabi Palsu yang bertujuan untuk 118 ISSN 2579-5678 menentang Allah. Dalam Struktur Wahyu 13:18 maka kita akan melihat ada tiga bagian struktur yaitu Binatang Pertama, Binatang Kedua, dan Ciri-ciri binatang. Semuanya menekankan kesatuan Trinitas Iblis melaui tabiat dan perilaku Babel. Analisis dan tafsiran Wahyu 13:18 Jadi "Hikmat" disini adalah Yesus Kristus, bersama dengan Yesus kita pasti menjadi manusia ciptaan baru yang berhikmat. Makna Yang Bijaksana adalah Umat Allah mempertimbangkan dengan matang bilangan bintang itu, serta pengertiannya harus dipusatkan kepada Yesus untuk menemukan pehaman Wahyu tentang bilangan binatang tersebut. Dan makna menghitung yang dimaksudkan bukanlah menjumlah melainkan mempertimbangkan bilangan binatang itu dengan menggunakan matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan. Selanjutnya makna bilangan binatang adalah ciri-ciri binatang tersebut yang menyatakan tabiatnya yang semakin menunjukkan ketidaksempurnaan dalam segala hal, baik dalam tabiat maupun dalam setiap rencana untuk menentang Allah. Sebagai kesimpulan maka cara membaca Wahyu 13:18 adalah sebagai berikut: Melihat angka 6 ini di Kejadian 1 dan Daniel 3, maka angka ini berhubungan erat dengan sifat Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13). Inilah gambaran kekuasaan antikristus di zaman akhir sebagaimana yang dinyatakan di Wahyu 17 melalui perempuan pelacur yang duduk diatas binatang. Tandingannya perempuan murni yang di Wahyu 12yang menjadi gambaran umat Raja Surga yang setia yaitu budaya Yerusalem Baru di Wahyu21(Lihat Efesus 2:19-22). Mulai kejadian samapai Wahyu yang namanya kejahatan manusia semakin bertambah-tambah dan semakin meningkat. V. BERBAGAI ISYU YANG SEDANG TERJADI BEBERAPA DEKADE TERAKHIR INI: Waspadalah! Pada tahun 1996 dihasilkan sebuah perjanjian yang dibuat oleh "Gemplus" untuk memproduksi smartcard dengan implementasi sistem 119 ISSN 2579-5678 Mondex untuk dipakai di seluruh dunia. AT&T / Lucent Technologies membeli ijin pengoperasian Mondex di Amerika Serikat. Logo perusahaan ini memakai simbol dari Ular Naga Matahari atau Naga Merah yang adalah iblis sendiri. Lucent sendiri adalah singkatan dari Lucifer Enterprises (perusahaan milik Lucifer), yang singkatan tersebut dibantah oleh mereka, namun mereka tetap memakai nama tersebut meskipun mereka tahu arti singkatan yang dikatakan oleh banyak orang. Jika mereka adalah seorang Kristen, pastilah mereka mengganti nama Lucent jika banyak orang mengartikan singkatannya seperti di atas. Disamping itu, perusahaan ini begitu mencolok dalam memberikan nama untuk produk-produk mereka seperti: Styx (sungai di Hades), Janus (illah berwajah dua) dan Inferno. Yang dipromosikan dari Inferno adalah sebuah cerita tentang iblis di neraka, lingkaran api yang menandakan dewa kuno. Perusahaaan ini memilih untuk memindahkan kantor mereka ke Fifth Avenue 666 di Manhattan. Pada bulan Juni, 1998 (tanggal siaran pers MasterCard / Mondex) Mondex menyatakan bahwa sistem kartu Mondex adalah "satu-satunya sistem tunai elektronik di dunia untuk beroperasi dengan Teknologi Global Tunggal Yang Memungkinkan Untuk Pembayaran Lintas Batas. Hal Ini Memungkinkan hingga lima mata uang yang berbeda harus dilakukan pada kartu pada satu waktu di saku elektronik yang terpisah ". Press release juga menyatakan bahwa Mondex pada tahun 1998 telah digunakan di 23 implementasi (tes atau pilot) di seluruh dunia termasuk Australia, Kanada, Hong Kong, Kosta Rika, Filipina, Inggris dan Amerika Serikat Mondex singkatan dari Monetary and Dexter. Berdasarkan Webster’s Dictionary Encylopedia (kamus Webster), arti kata-kata tersebut adalah: Money: Segala sesuatu yang berhubungan dengan uang… Dexter: Menunjukkan lokasi yang ada di tangan kanan manusia. 120 ISSN 2579-5678 Contoh Contoh logo Mondex Lambang kartu kredit 666 Perkembangan teknologi selalu bertujuan untuk membangun kehidupan manusia namun dalam perkembangannya belum tentu teknologi itu digunakan untuk menunjang dan membangun iman kepada Tuhan Yesus. Karena itulah Tuhan menyatakan lebih dahulu akan siasat dan rencana iblis atas dunia ini. Tujuan iblis selalu sama yaitu mencuri, membunuh dan membinasakan. Ketika iblis berhasil mencuri teknologi, dia akan berusaha menggunakannya menjadi alat untuk membunuh dan membinasakan 121 ISSN 2579-5678 manusia. Waspada dan berjaga-jagalah karena hari Tuhan sudah semakin dekat, lebih dekat dari hari kemarin. "Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat". (Efesus 5:15-16) 666 Global Cashless Society Saat ini Amerika Serikat sudah mencapai 95% Cashless. Penelitian menunjukkan bawah kurang dari 5% pemakaian uang dolar kertas dan koin, dari total jumlah nilai uang yang beredar. Artinya adalah bahwa 95% dari perputaran uang masyarakat Amerika dilakukan dengan atau melalui suratsurat berharga dan kartu-kartu kredit, dan hanya 5% dari seluruh nilai transaksi yang menggunakan uang Cash untuk membeli dan menjual. Kitab Wahyu menjelaskan bahwa akan terjadi pemakaian tanda "666" yang ditempelkan dibawah kulit tangan kanan atau di dahi, agar setiap manusia yang hidup didalam kerajaan dunia Antikris akan mudah dikontrol. Dan ditahun-tahun terkahir ini para ilmuwan untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, mengembangkan teknologi "Bio-chip Micro Computer", komputer berukuran super kecil, untuk ditanamkan pada lokasi tangan kanan atau dahi manusia (penelitian menunjukkan kedua lokasi tersebut merupakan tempat yang paling ideal untuk menanaman Bio-chip). Kesimpulan Ada beberapa pendapat yang dikutip sebagai kesimpulan dalam seminar ini: Beredarnya microchip Mondex dengan tanda “666” dianggap oleh sebagian umat sebagai teknologi dari kelompok antikris, yang tujuannya untuk menguasai manusia agar tunduk dalam kekuasaan kelompok ini. Microchip mondex yang ditanamkan di dalam tubuh manusia menjadi alat untuk mengontrol terhadap para pemakainya, ini memberi keyakinan bahwa telah terjadi penggenapan terhadap Wahyu 13:16-18, seperti dikutip di awal tulisan ini. Benarkah? 122 ISSN 2579-5678 1. Pdt Sukanto Limbong Pdt. Limbong mengartikan angka 666 dalam Wahyu 13:16-18, sebagai salah satu bahasa simbol yang dipakai untuk kuasa gelap, penguasa yang bengis. Simbol ini sengaja dipakai untuk mempermudah komunikasi dan pemahaman orang percaya pada waktu itu, yang sedang mengalami tekanan yang sangat luar biasa dari musuh-musuh. Untuk itu, “Jangan jadikan Wahyu 13:18 menen-tukan nasib dari setiap angka 666 yang lain,” cetus pendeta lulusan Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumatera Utara, bidang Perjanjian Lama ini. 2. Pdt. Yuda D Mailool Pdt. Yuda berpendapat bahwa angka 666 itu memiliki fungsi sebagai alat transaksi, untuk menjual dan membeli. Artinya Angka 666 itu fungsinya seperti uang, dalam konteks saat ini. Dalam masa pemerintahan antikris, atau masa kesusahan, tidak akan ada lagi uang. Uang telah diganti dengan alat transaksi lain, yaitu angka chip 666. “Angka 666 disebut sebagai angka binatang, ini nanti setelah rapture (pengangkatan),” tambah pendeta lulusan STT Inalta, Jakarta ini meyakinkan. 3. Ev. Yuzo Adhinarta, Ev. Yuzo adalah dosen Theologi Sistematika Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII), Jakarta, menanggapi, bahwa jika antikris menggunakan angka 666 yang sudah diketahui orang banyak terlebih dahulu, maka antikris yang sedemikian pastilah kurang cerdik. Alasan Yuzo, “Penghasut yang lihai tidak akan menghasut terang-terangan, bukan? Maling berteriak maling itu banyak kali terjadi, tapi maling yang memberitahukan kapan dia akan beraksi dan tanda-tanda yang dia kenakan ketika beraksi itu adalah maling yang bodoh”. Bilangan “666” merupakan “tanda” yang diberikan oleh “binatang” (Wahyu 13:15) kepada mereka yang menyembah dan mengikutinya. Binatang ini dikatakan keluar dari dalam bumi dan bertanduk dua sama seperti anak domba. Artinya dia adalah roh antikris yang memalsukan Kristus, tampil seperti Kristus tapi tidak membawa orang kepada Kristus, melainkan untuk menyembah dirinya sendiri. 123 ISSN 2579-5678 Lambang kegagalan “Binatang” tersebut adalah roh antikris yang melawan Allah, menolak Kristus, dan menganiaya Kristus serta para pengikut-Nya, di mana pun dan kapan pun dia beraksi. Dan setiap orang yang terhasut dan menyembahnya akan diberi tanda bilangan tersebut. Dan tanda bilangan tersebut diberikan di “dahi” sebenarnya menunjukkan bahwa orang yang memiliki tanda tersebut mengikut dan menyembah sang antikris dengan pikiran, filsafat, dan alam rasionya, sedangkan di “tangan kanan” bisa diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, praktek bisnis, dan apa pun buah tangan orang yang hidupnya menyembah dan mengikut antikris. Sedangkan angka “6” itu adalah bilangan yang tidak pernah mencapai “7”. Jika “7” adalah bilangan yang melambangkan kesempurnaan di dalam Alkitab, maka “6” adalah bilangan yang melambangkan kegagalan, “miss the mark” (hamartia). Simbol “666” artinya “kegagalan demi kegagalan.” Ini adalah tanda bahwa karya si jahat tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan akan selalu gagal di dalam sejarah. Yuzo mengatakan bah-wa ada banyak tafsiran yang atraktif dan heboh berkaitan dengan bilangan “666” ini, yang ke-banyakan berusaha mengidentikkan bilangan tersebut dengan gerakan, kuasa, atau individu tertentu yang pernah hadir dalam sejarah. “Mungkin microchip Mondex adalah model terbaru dari penafsiran semacam ini. Tapi penafsiran semacam ini gagal melihat bahwa realitas antikris itu bukan hanya satu, melainkan banyak, dan bahwa setiap antikris memiliki cara yang beragam, dan tidak bisa diidentikkan dengan satu tanda saja. Jadi yang penting di sini adalah makna dari tanda tersebut, dan bukan identifikasi tanda tersebut,” ungkap direktur program master teologi STTRII ini. Jangan Pernah Menerima Chip Antikris Ini, Karna Jika Kamu Menerimanya, Kamu Akan Bahagia Sesaat Dan Akan Sengsara Selama Lamanya (Menyakitkan [Disiksa Di Neraka] Selama-Lamanya). Sementara Jika Kamu Tidak Menerimanya, Kamu Akan Sengsara Sesaat (Itu Pun Tidak Menyakitkan) Dan Kamu Akan Bahagia SelamaLamanya Di Akhirat. 124 ISSN 2579-5678 Sumber Bahan 1. Wahyu 13:18 mengatakan, "Maka inilah "hikmat". Biarlah orang yang mengeti, menghitung bilangan binatang itu; karena itulah bilangan manusia. Adapun jumlahnya itu enam ratus enam puluh enam. 2. Penerapan lahiriah yang dimaksudkan menekankan makna yang menggunakan matematika. Hal ini mencakup pernyataan yang menuduh sebuah organanisasi, nama, lembaga, dan agama sebagai pelaku 666. Salah satu penerapan yang saya dapat tampilkan bahwa 666 mewakili Vicarius Filii Dei, Arti" wakil putra Allah," gelar untuk Paus di Roma. Penerapan rohani berfokus pada penafsiran yang mengunakan hikmat sorgawi. Penerapan rohani ini berarti juga mengutamakan budaya hidup dalam arti tabiat seseorang. Menekankan bahwa anti Kristus disini bukanlah melambangkan sebuah organanisasi, nama, lembaga, dan agama sebagai penerapan 666 melainkan siapa saja dapat menjadi antikristus. Misalnya "jika nama Yesus yang sama dengan 888 dan 777 dipertimbangkan bilangan sempurna, maka makna 666 dimaksudkan untuk menjadi bilangan simbolis untuk yang terbaik bagi usaha manusia yang manusia dapat lakukan." 3. Barclay, William. The Revelation of Jhon Vol.2. (Philadelphia: The Westminster Press, 1960), 132. 4. Wallace, Foy E. The Book of Revelation. (Texas: Foy E. Wallace. Jr. Publication, 1966), 299. 5. Stranss, Lehman. The Book of the Revelation. (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1972), 257. 6. Grey, Donald. Revelation an Expositional Comentar, (Michigan: Ministry Resources Library, 1979), 249. 7. Helwig, Andreas. Antichristus Romanus, In Propiprio Suo Nomone, Numerum Illum Apovalipticum (DCLXVI) Continente Proditus. (Witteberue: Typis Cautentij Seuberlics, 1612), Sig A3V. 8. Haskel, Stephen. The Story of th Seer of Patmos. (Washington D.C: Press of South Laancester Printing Company, 1905), 235. 125 ISSN 2579-5678 9. Burkill, T.A. Misterious Revelation. (New York: Cornel Universitas Press, 1963), 170. 10. Philips, Jhon. Exploring Revelation. (Chicago: The Moody Bible Institute of Chicago, 1974), 184. 11. McGee. J. Vernon. Revelation Volume II. (California: The Bible Books, 1980), 193-194. 12. Hagelberg, Dave. Tafsiran kitab wahyu dari bahasa Yunani. (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1997), 260-261. 13. Belvins, L James. Revelation. (Atlanta: Jhon Knox Press, 1984), 65-68. 14. Gaebelein. A.C. Revelation. (New York: Publication Office "Our Hope", 1915), 84. 15. Wongso, Peter. Eksposisi Doktrin Alkitab kitab wahyu. (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), 619-621. 16. Talbot, T Louis. An Exposition On the Book of Revelation. (Michigan: William B. EERDMANS Publishing Company, 1989), 176. 17. Preiffer, F Charles. Tafsiran Alkirab Wycliffe Jilid 3. (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001), 1124-1125. 18. Ladd, Eldon George. The Revelation of Jhon. (Michigan: William B. EERDMANS Publishing Company, 1972), 187. 19. Douglas, J. D. Ensklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih GMF, 1996), 537-539. 20. Haag, Herberg. Kamus Alkitab, (Flores: Penerbit Nusa Indah - Percetakan Arnoldus, 1980), 462-464. 21. Tenney, C. Merrill. Survei Perjanjian Baru, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas,1997), 473. 22. Fowler, M. Jhon, Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa: Pertentangan Semesta antara Kristus dan Setan, (Bandung: Indonesia Publishing House, 2002), 92. 23. Groen, P D Jacob. Aku Datang Segera, (Surabaya: Momentum Christian Literature,2002), 175-184). 24. Wongso, Peter. Eksposisi Doktrin Alkitab kitab wahyu, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996),578. 126 ISSN 2579-5678 25. Stefanovic, Rangko. Revelation Of Jesus Christ, (Michigan: Andrews University Press, 2002), 413. 26. Pos, A. Tafsiran Wahyu, (Jakarta: Basan Penerbitan Kristen, 1966), 131135. 27. Rodriquez, Angel. PedomanPendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa Penuntun Guru: Nubuatan-Nubuatan Besar Apokaliptis, (Bandung: Endonesia Publishing House, 2002), 121. 28. Harlow, R. E., Revelation The Coming King, (Canada: Every day Publication Inc, 1984), 76. 29. Flower, M. Jhon, Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat Dewasa: Pertentangan Semesta antara Kristus dan Setan, (Bandung: Indonesia Publishing House, 2002), 92. 30. Mathias, Billy, Ensklopedi Alkitab Praktis, (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1992), 51. 31. Mathias, Billy, Ensiklopedi Alkitab Masa kini jilid 1, (Malang: Gandum Mas) 32. Silitonga, H. S. P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT. Prosa Media Prima, 2005), 230. 33. Badudu, J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Sinarhatapan, 1994), 183. 34. Silitonga, H. S. P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT. Prosa Media Prima, 2005), 230. 35. Hailey, Holmer, Revelation, (Michigan: Baker book house, 1979), 298. 36. Stefanovic, Rangko, Revelation of Jesus Christ, (Michigan: Andrews University Press, 2002), 413. 37. Philips, Jhon, Exploring Revolution, (Chicago: The Moody Institute of Chicago, 1974), 184. 38. Silitonga, H.S.P, Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT. Prosa Media Prima,2005), 230. 39. Ibid. 40. Exell, S. Josep, The Biblical Illustrator Vol. 12, (Michigan: Baker book House, 1970), 466. 127 ISSN 2579-5678 41. Silitonga, H.S.P., Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT. Prosa Media Prima,2005), 230. 42. Lewis, W. S., The Pulpit Comentary jilid Vol2, (New York: Funk and Wagnalls Company, 1950), 324 128 SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI INJILI DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI Oleh: Suranto1 ABSTRAK Istilah spiritualitas dalam bidang keagamaan memiliki tempat dan perhatian yang khusus, karena setiap institusi atau insan keagamaan memiliki orientasi yang sama yaitu bagaimana caranya membangun spiritualitas atau kerohanian yang baik. Oleh karena setiap aliran, mashab dan apapun namanya yang menunjukkan edentitas kelompok kegamaan memiliki kekhasan masing-masing maka begitu pula pola dan cara pengembangan spiritulitaspun memiliki kekhasan masing-masing. Teologi Injili yang adalah salah satu dari aliran itu memiliki kekhasan dalam konsep dan praktika spiritualitas. Paper ini mengungkap bagaimana konsep, dasar dan pola pengembangan spiritualitas dalam perspektif teologi Injili kemudian ditarik penerapannya bagi pembinaan rohani di pendidikan teologi. Sehingga diharapkan dapat menolong untuk memahami pada tataran konsep dan praktika bagi praktisi pendidikan teologi dalam mengembangkan kerohanian baik secara individu maupun dalam komunitas. 1 Penulis adalah pengurus bidang akademik Yayasan Misi Remaja Internasional di Indonesia dan dosen luar biasa di STT/STAK BMW di Indonesia. Menekuni bidang Pendidikan Agama Kristen secara khusus dalam bidang Pengembangan pendidikan Teologi, sedang menempuh studi konsentrasi pendidikan Kristen di program Doctoral Institut Injili Indonesia, Batu-Malang. ISSN 2579-5678 BAB 1 LATAR BELAKANG MASALAH Spiritualitas atau kerohanian merupakan topik yang menarik dan menjadi perhatian khusus bagi kalangan Gereja, hamba Tuhan dan pendidikan teologi sebagai tempat pembentukan hamba Tuhan. Kualitas rohani seseorang sekalipun beragam indikatornya menjadi bagian penting untuk dilihat sebagai pertimbangan untuk berbagai kepentingan, seperti pemilihan gembala sidang suatu gereja, pemilihan pemimpin dan sebagainya. Pendidikan teologi dan Agama Kristen (PTT/AK) memiliki kekhasan yang unik karena biasanya PTT/AK muncul dari kebutuhan sebuah atau beberapa denominasi gereja atau inisiatif seseorang atau kelompok dengan visi tertentu lalu membangun PTT/AK. Dari latar belakang tersebut maka munculah lembaga pendidikan dengan kekhasan sesuai tujuan masingmasing. Namun pada umumnya STT/AK bertujuan untuk menyiapkan orangorang yang terpanggil untuk melayani diberbagai bidang pelayanan, seperti; sebagai gembala sidang, guru, konselor, penginjjil dan sebagainya. Sehingga lulusan STT/AK pada gilirannya akan memegang peranan penting dalam melayani dan mengembangkan gereja Tuhan yaitu seputar pelayanan gerejawi atau pelayanan kristiani. Oleh karena demikian sentralnya peran alumni STT/AK bagi pelayanan maka perlu kualifikasi yang tinggi dalam semua bidang termasuk salah satunya adalah kualifikasi rohani. Para pemimpin umat sudah barang tentu diharapkan memiliki kualifikasi rohani yang tinggi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dapat menjadi teladan bagi umat, melayani dengan penuh kuasa yang dapat membawa umat bertumbuh dalam iman semakin dewasa dan semakin serupa dengan Kristus. Dengan demikian lembaga pendidikan teologi yang adalah juga merupakan pewaris pendidikan bagi para nabi, rasul, biara, seminari perlu menekankan pentingnya kehidupan rohani dan pembentukan karakter yang sistematis, terukur dan terencana. Maka kehadiran pendidikan teologi yang menekankan keteraturan sedemikian rupa diharapkan dapat tercipta spiritualitas yang sehat yang menolong seluruh pelaku pendidikan pada umumnya dan bagi mahasiswa/i khususnya untuk mencapai tujuan hidup, pendidikan dan pengabdiannya kepada Tuhan. 130 ISSN 2579-5678 Di lapangan sering dijumpai fakta yang menggambarkan sebaliknya dari harapan di atas. Komunitas yang berada dalam naungan pendidikan teologi justru sering merasa tidak bertumbuh rohaninya, terjadi suasana yang tidak kondusif, percekcokan yang tiada henti dan akhirnya munculnya perpecahan terjadi dipelbagai STT/AK di Indonesia. Bagaimanakah kehidupan rohani mahasiswa? Tentu akan sangat tergantung pada usaha pengembangan rohani lembaganya. Apakah terdapat suasana yang baik, apakah ada program yang terarah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seputar pengajaran. Misalnya: kurikulum, dosen dan staff yang mumpuni dalam kualifikasi akademik dan rohani, sarana dan prasarana, strategi dan metode mengajar dan sebagainya. Maka jika hal-hal di atas tidak terkontruksi dengan baik maka sulit akan tercipta kualitas rohani yang baik bagi mahasiswa. Tidak jarang dijumpai dimana mahasiswa semakin senior justru semakin bermasalah pula; sulit diatur, mengabaikan peraturan sekolah, malas pelayanan bahkan jatuh ke berbagai pelanggaran moral. Jika situasi di atas tidak dapat teratasi maka akan menjadi ancaman yang serius baik bagi lembaga STT/AK bersangkutan secara khusus dan bagi gereja pada umumnya. Sebab STT/AK akan memberikan lulusannya yang kurang berkualitas kepada gereja yang akan berdampak kurang baik pula bagi gereja, sisi lain STT/AK yang tidak menghasilkan produk yang baik cepat atau lambat akan kehilangan kepercayaan dari gereja dan umat. Maka perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh menemukan sebuah kontruksi pembinaan iman berupa spirirual formation yang baik. Dalam rangka usaha itulah paper ini ditulis. Yakni menemukan pikiran teologi injili tentang spiritualitas lalu diruntut benang merahnya bagaimana buah-buah pemikiran tersebut dapat diterapkan dalam pendidikan teologi. 131 ISSN 2579-5678 BAB 2 SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI INJILI Pada bagian ini akan dibahas tiga pokok penting yaitu: pengertian spiritualitas, dasar-dasar pengembangan spiritualitas dan kesimpulan dan penerapannya pada hidup masa kini khususnya bagi lembaga pendidikan teologi. Pengertian Spiritualitas Ada berbagai pengertian secara umum mengenai spiritualitas. Dilihat dari etimologinya kata spiritualitas berasal dari kata spirit, dari bahsa Latin spiritus yang berarti nafas (breath), keteguhan hati (courage), kekuatan (vigor), jiwa (soul), dan hidup (life).2 Kamus Bahasa Indonesia memberi pengertian spiritualitas berarti kejiwaan, rohani, batin, mental dan moral. 3 yaitu sesuatu yang bersifat rohani: berupa Roh, yang bertalian atau berkenaan dengan roh sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang bersifat jasmani.4 Spiritualitas Kristen memiliki penghayatan yang jelas dan kongkrit, karena mengikuti teladan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus. Sebagaimana Allah mengutus Yesus ke dalam dunia ini dan memperlengkapiNya dengan kuasa Roh Kudus untuk menyatakan kehendak dan kebenaranNya, maka hal yang sama akan dialami oleh murid-muridNya dalam tugas pelayanan mereka ke dalam dunia ini. Spiritualitas Kristen berpusat secara jelas pada Kristus, yaitu Allah yang berinkarnasi. Allah yang tidak saja transenden tetapi juga imanen. Ia bukan Allah yang abstrak dan melebur seperti dalam kepercayaan pantheisme. Tetapi Ia adalah Allah yang berpribadi yang bisa diajak berkomunikasi dan berelasi dengan manusia.5 Donald L. Alexander memandang spiritualitas Kristen sebagai tindakan hidup dalam kesalehan dan kekudusan menurut pandangan dan arah teologi masing-masing. 6 Misalnya kelompok reformed kekudusan dipandang sebagai Thomas H. Russell, A.C. Bean, dan L.B (Ed.). n Webster’s Twentieth-Century Dictionary of the English Language, New York: Publishers Guild, Inc 1938, hal. 1597. 3 Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. hal. 857. 4 Ibid 752 5 Agus M. Hardjana. Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005, hal. 63. 6 Donald L. Alexander, et al, Cristian Spirituality USA: Intervarsity Press, hal. 49 2 132 ISSN 2579-5678 hidup menjadi satu dengan Kristus, mendekat kepada Dia yang akan memberikan efek kekudusan. Simon Chan menjelaskan bahwa istilah spiritualitas lebih sering dipakai daripada istilah teologi rohani. Umumnya spiritualitas mengacu pada jenis kehidupan yang dibentuk oleh tipe teologi rohani khusus. Spiritualitas adalah realitas yang dijalani, sedangkan teologi rohani merupakan refleksi dan formalisasi realitas secara sistematis. Dalam lingkungan injili sebagaimana dinyatakan oleh Donald Bloesch bahwa istilah spiritualitas justru tidak ditemukan dalam perbendaharaan kata injili tradisional, lebih dikenal dengan istilah ‘piety’ atau ‘devotion’ yang berarti kesalehan atau ketaatan. Selengkapnya pendapat Bloesch sebagai berikut: The word “spirituality” is not often found in traditional evangelical, but is roughtly equivalent to what evangelicals have meant by “piety” and “devotion”. Spirituality must be taken to mean simply the spiritual side of man ‘s life as in dualistic asceticism. In the biblical or evangelical sense, spirituality refers to the life the whole person in relationship to the spirit of God. It concern the verticalrelation between man and God but as it impinges on the horizontal relitionship between man and his neighbor. Spirituality is the life of man in the light of his faith in God. It has to do not just with christian doctrine but with the practice of Christian life. 7 Dengan demikian spirualitas dalam tradisi Injili dipahami sebagai keseluruhan hidup seseorang baik hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya. Tidak hanya dalam tataran doktrin melainkan pada praktika hidup sehari-hari yang diwarnai dengan ketaatan pada Allah. Robert Webber sebagaimana dilansir oleh Granz mendefinisikan spritualitas sebagai berikut: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan 7 Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed. Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978. Hal.147. 133 ISSN 2579-5678 kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.8 Dasar-dasar Pengembangan Spiritualitas Injili Untuk memahami bagaimana konsep injili tentang spiritualitas dan pengembangannya perlu meruntut beberapa hal. Pertama, pengertian Evangelikal. Istilah 'evangelikal' dalam pengertian leksikal, merujuk kepada apapun juga yang tersirat dalam keyakinan bahwa Yesus adalah Mesias. Istilah Yunani untuk 'Injil' atau 'kabar baik' yaitu ευαγγελιον evangelion, dari eu- "baik" dan angelion "kabar" atau "berita". Dalam pengertiannya yang paling sempit, menjadi evangelikal berarti menjadi Kristen, artinya, didasarkan pada, dan dimotivasikan oleh, serta bertindak sesuai dengan penyebaran pesan kabar baik dari Perjanjian Baru9. Stanley J Grenz memberi devinisi Injil sebagai ‘seseorang yang olehnya kabar baik datang dimana Allah mengutusNya kepada kita yang karenannya kita ditebus yaitu Yesus Kristus10. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi inti spiritualitas Injili adalah pribadi Yesus Kristus sebagai pusat kekristenan. Kedua, pengaruh teologi Wesleyan-Armenian. Alister mencatat bahwa Kebangkitan evangelikal di Eropa berhutang budi kepada penulis Katolik Anglikan dan Romawi tinggi, terutama untuk mengajar tentang kekudusan, dan kaum Moravia. John Wesley, pendiri Methodisme dan pengikutnya menyepakati konsep teologi Arminian yang memegang bahwa Kristus telah mati untuk semua dan keselamatan yang mungkin hilang, dan menambahkan keyakinan bahwa seluruh pengudusan mungkin terjadi sebelum kematian. John Fletcher, pengganti Wesley sebagai pemimpin 8 Stanley J Grenz. Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity Press, 1984. Hal. 42. 9 Wilkipedia, Enciklopedia Bebas. Evangelikalisme. 28 okt 2015. 10 Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity Press, 1984. Hal. 21. 134 ISSN 2579-5678 gerakan membela keyakinan Methodist dari serangan Reformed dan beberapa orang lain bergabung dengan Methodis mengaku evangelis Arminianisme. Yang menjadi mayoritas pada abad delapan belas. 11 Maka penulis berpendapat bahwa sesungguhnya spritualitas Injili tidak terlepas dari tradisi moravian dan kaum pietis yang menekankan kesalehan hidup dengan disiplin rohani yang ketat. Ketiga, Dasar Teologi. McGrath E. Alister menyebutkan bahwa ciri khas teologi evangelikal atau Injili memusatkan pada empat asumsi: 1. Otoritas dan kecukupan Alkitab, 2. Keunikan penebusan melalui kematian Kristus di atas kayu salib, 3. perlunya pertobatan pribadi 4. Kebutuhan, kepatutan dan urgensi dari penginjilan.12 Sedangkan dalam hal evangelikal sebagai gerakan moderen Alister menyebutkan: 1. Evangelicalism adalah transdenominational. Hal ini tidak terbatas pada satu denominasi, juga bukan denominasi dalam dirinya sendiri. Melibatkan 'Injili Anglikan', 'evangelis Presbyterian', 'evangelis Methodist', atau bahkan 'evangelis Katolik Roma'. 2. Evangelicalism bukanlah denominasi sendiri, memiliki sebuah eklesiologi khas, tetapi sekarang telah menjadi berbagai denominasi gereja yang cukup besar. 3. Evangelicalism sendiri merupakan gerakan oikumenis. Ada hubungan alamiah antar kaum evangelikal, terlepas dari denominasi mereka, yang muncul dari komitmen bersama untuk satu keyakinan dan pandangan bersama. Berati bahwa hal-hal yang berpotensi memecah belah gereja dan pemerintah diperlakukan sebagai kepentingan sekunder. 4. Evangelicalism adalah didominasi tulisan dalam bahasa Inggeris yang berarti gerakan yang mencerminkan peran utama dimainkan 11 McGrath E, Alister. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishers Inc, 1999. Hal.185. 12 Ibid, hal. 188. 135 ISSN 2579-5678 dalam pengembangan dan konsolidasi oleh penulis di Inggris dan Amerika.13 Pendapat di atas diperkuat oleh Larsen yang menyebutkan bahwa evangelikal khas dalam hal: 1. Merupakan Protestan ortodoks. 2. Berdiri pada satu tradisi jaringan Kristen pada abad delapan belas yaitu gerakan revival yang berkiblat pada John Wesley dan Whitefield. 3. Meletakkan Alkitab sebagai yang diilhami yang memegang otoritas tertinggi dalam iman dan praktek hidup orang Kristen. 4. Menekankan pada rokonsiliasi dengan Allah melalui penebusan Yesus Kristus di salib. 5. Menekankan pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan pribadi dalam bersekutu dengan Allah, melayani Allah dan sesama, dan semua orang beriman berpartisipasi dalam penginjilan pada semua orang. 14 Dari corak teologia di atas dapat dilihat bahwa dasar konsep pengembangan spiritualitas Injili terletak pada sentralitas Alkitab, Yesus Kristus sebagai penebus, Hubungan pribadi seseorang dengan Allah dan aktivitas komunitas dan penginginjilan yang menciptakan atmosfir rohani yang mendukung perkembangan iman. Pola pengembangan Spiritualitas Injili Stanley J. Grenz dalam buku Revisioning Evangelical Theology, pada bab 2 dengan judul revisioning evangelical spirituality menguraikan pola pengembangan spiritualitas injili yang penulis ringkas sebagai berikut pada: Pertama, keseimbangan kesucian hati dan aktifitas pelayanan. Hati orang 13 Ibid, hal. 192. Timothy Larsen & Trier Daniel J. Evangelical Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Hal. 1 14 136 ISSN 2579-5678 percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia merupakan fondasi dari spiritualitas. Sehingga Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus. Kedua, mementingkan motivasi hati. Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Orang percaya dimotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama dan mewujudkan ketaatannya pada Allah. Ketiga, menekankan pengalaman rohani dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Keempat, Penekanan pada pemuridan. Hal ini dilakukan untuk meneladani Kristus juga mempengaruhi kehidupan bergereja. Orang percaya menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Setiap orang yang hadir dalam pertemuanpertemuan dimuridkan sedemikian rupa untuk diajar, didorong, dan dikuatkan agar memiliki kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Kelima, Keseimbangan antara kegiatan pribadi dan persekutuan. Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh'; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin. Disiplin pribadi tersebut diimbangi dengan usaha pengembangan rohani secara bersama-sama dalam persekutuan 137 ISSN 2579-5678 karena Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan bersemangat bagi Tuhan15. Menurut Allan Nelson spiritualitas yang baik adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan imannya dalam kehidupan setiap hari.16 Maka spiritualitas dalam iman Kristen memiliki kriteria khusus yang terpancar dalam kehidupan manusia yaitu buah-buah roh (Gal.522-23), hidup dalam pengajaran rohani (Ibr. 6:1-2), Iman yang kuat (Mat. 17:20), pengakuan akan kegagalan rohani (Mzm 51), kerendahatian dalam sikap pelayanan (Fip.2:311).17 Disiplin rohani yang dirumuskan oleh Nelson adalah dengan mempraktekkan metode Yesus bersama dengan murid-muridnya sehingga menjadi serupa dengan-Nya dan mencapai keselamatan sejati. Nelson mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan hasil alami pada saat orang percaya secara disiplin melatih hidupnya dengan menerapkan metode pemuridan Yesus, yaitu: 1). Membuat tim perjalanan, artinya membentuk komunitas tumbuh bersama, seperti halnya murid-murid Yesus yang diajar dan dikumpulkan menjadi suatu komunitas kecil 12 orang. 2). Menentukan arah serta ajaran melalui khotbah atau nasehat hamba Tuhan. 3). Menimba pengalaman dari perjalanan, yaitu bertumbuh melalui belajar aktif dari pengalaman kehidupan setiap hari. 4). Pemandu, yaitu seorang yang akan menjadi fasilitator, mentor, yang akan memimpin dalam kelompok tumbuh bersama ini, sama seperti Yesus yang menjadi guru bagi murid-muridNya. 15 Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity Press, 1984. Hal. 37-55. 16 Allan Nelson, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Yasyasan Andi, 2015. Hal. 6 17 Ibid, 13 138 ISSN 2579-5678 Menurut Morley kehidupan spiritual seseorang bisa meningkat melalui latihan rohani untuk menghasilkan kebiasaan yang baik, dan secara perlahan perbuatan yang buruk berangsur-angsur dapat dihilangkan. Disiplin rohani adalah kebiasaan sehari-hari yang perlu dilakukan setiap orang jika mereka ingin hidup lebih dekat kepada Tuhan. Disiplin rohani dapat membantu kita memutus siklus atau melepaskan suatu kebiasaan. Disiplin adalah kebiasaan rohani yang kita lakukan untuk memelihara hubungan lebih intim dengan Tuhan, khalik langit dan bumi. Kita melakukan disiplin itu karena kita ingin menyenangkan Tuhan, menjalani kehidupan yang terang dan damai, menjadi suami yang saleh, mendidik anak-anak untuk takut akan Tuhan dan karena kita ingin menjadi abdi Tuhan.18 Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk mencapai disiplin rohani ini perlu melatih diri untuk memiliki kebiasaan yang rohani yaitu: 1) Melalui perbuatan-perbuatan 2) Melalui Firman Tuhan 3) Melalui tuntunan Roh Kudus 4) Melalui kesaksian orang beriman. Simon Chan menuliskan bahwa untuk mencapai kehidupan spiritual yang tinggi diperlukan latihan-latihan yang dipraktekkan dalam kehidupan setiap hari. 19 Pertama melalui kehidupan doa, yang mampu menyatukan orang percaya dengan Kristus. Doa dipandag sebagai tindakan pertama yang menghubungkan doktrin dengan praktik, dan semua latihan yang lain sekedar merupakan perincian tindakan utama ini. Kedua latihan rohani yang berfokus kepada Allah dan diri sendiri, yaitu suatu latihan yang mengintegrasikan iman dalam kehidupan setiap hari.20 Ketiga, latihan rohani yang berfokus pada Firman Tuhan, melalui pembacaan secara rohani dan perenungan dalam meditasi mendalam untuk dimaknai sehingga dapat dipraktekkan dalam kehidupan setiap hari.21 Keempat, latihan rohani berfokus pada dunia, yang dapat ditempuh melalui kehidupan persahabatan rohani dengan sesama manusia, dalam kehidupan gotong-royong seperti dalam kehidupan masyarakat Asia. Selain itu berfokus pada meditasi dalam hubungannya 18 Patrick Morley, A Guide to Spiritual Disciplines, Malang: Gandum Mas, 2009, hal.14 19 Simon Chan, Spiritual Theology 2. Yogyakarta: Andi, 2005, Hal.7 Ibid, 31 21 Ibid, 57 20 139 ISSN 2579-5678 dengan alam, dimana alam dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan dirinya kepada seluruh dunia. (band. Maz 19:2, Am 6:6, Mat 6:28, Luk 12:27). 22 Rumusan yang hampir sama disampaikan oleh Bloesch bahwa gereja Injili mengembangkan spitualitasnya dengan menggunakan Alkitab sebagai dasar pengembangan lalu dipraktekkan dalam konteks sebagai bukti yang telah teruji dalam pengalaman iman, Jadi Pola Injili menurut Bloesch merupakan kombinasi kehidupan disiplin rohani secara pribadi dan dalam berjemaat23. BAB 3 KESIMPULAN DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Teologi Injili dengan segala kekhasannya telah hadir dan menjadi salah satu kanal teologi yang menjadi bagian dari gereja yang am. Keberadaan teologi injili tersebut telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. 2). Konsep Spiritualitas dalam perspektif teologi Injili dan pengembangannya tidak dapat terlepas dari sejarah keberadaannya. Faktor-faktor yang mendukung lahirnya teologi injili mewarnai konsep dan pola pengembangan spiritualitas di lingkungan gereja Injili. 3). Pola pengembangan spiritualitas Injili menekankan sikap hati atau motivasi atau kesucian hati yang penuh kasih terhadap Allah, dimana sumber perkembangan rohani adalah Alkitab dan karya Roh Kudus dengan disiplin rohani pribadi setiap hari dengan disertai keseimbangan untuk berkomunitas. 4). Seyogyanya teologi ini dapat membawa gereja injili menjadi gereja yang inklusif hadir pada setiap persoalan manusia dan alam semesta lalu menjadi bagian dari solusinya. Dalam usaha menerapkan topik ini penulis merujuk pada latarbelakang masalah dan tujuan penulisan yaitu untuk diterapkan dalam 22 Ibid, 91 Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed. Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978. Hal.150. 23 140 ISSN 2579-5678 lingkungan pendidikan teologi. Maka dengan melansir pendapat B.S Sidjabat bahwa: Pendidikan teologi membutuhkan pembaruan (renewal) terus-menerus. Tidak ada pendidikan teologi yang senantiasa bagus di sepanjang perjalanannya. Dalam hal apa sajakah pendidikan teologi itu membutuhkan pembaharuan? Jawabnya dalam banyak hal termasuk pemahaman pendidikan teologi itu sendiri, mengenai dasar teologis kehadirannya dan tugasnya, dalam segi pengenalan terhadap konteks, tentang kebutuhan gereja, dalam hal pendekatan dan strateginya serta dalam kehidupan komunitasnya. Pembaharuan tercapai apabila evaluasi secara kontinu diadakan oleh lembaga pendidikan bersangkutan. 24 Evaluasi tersebut termasuk dalam kaitan pengembangan spiritualitas dalam lingkungan pendidikan teologi yang perlu dilihat dengan cermat tentang program dan pelaksanaan serta hasilnya. Agar pola pengembangan spiritualitas khas injili dapat diterapkan dalam konteks kekinian sehingga diharapkan dapat mengasilkan lulusan yang memiliki kerohanian, mental, karakter dan pengetahuan serta ketrampilan yang bagus agar dapat menjawab kebutuhan umat. Daftar Pustaka LAI, ALKITAB Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Alister, McGrath E. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought. Malden, Massachusetts 02148, USA: Blackwell Publishers Inc, 1999. Alexander, Donald L., et al, Cristian Spirituality. USA: Intervarsity Press, tt Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. 24 Binser Samuel Sidjabat. Panggilan pendidikan Teologi di Indonesia. Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 2003. Hal. 42. 141 ISSN 2579-5678 Bloesch, Donald. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed. Robert Webber & Donald Bloesch. NasvileNewyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978 Chan, Simon, Spiritual Theology, Yogyakarta: Andi, 2005 Grenz, Stanley J. Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity Press, 1984 Lord, Andrew, Spirit-Shaped Mission, USA: Paternoster, 2009 Larsen, Timothy & Trier Daniel J. Evangelical Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Livingston, James C. Modern Christian Thought. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, 2000 Morley, Patrick A., Guide to Spiritual Disciplines, Malang: Gandum Mas, 2009 Nelson, Allan, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Yas. Andi, 2015 Russell, Thomas H., A.C. Bean, dan L.B (editor). Vaughan Webster’s Twentieth-Century Dictionary of the English Language, New York: Publishers Guild, Inc 1938, 1597 Sidjabat, Binser Samuel. Panggilan pendidikan Teologi di Indonesia. Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 2003 142 PARADIGMA MEMBANGUN GENERASI EMAS 2045 KAJIAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN Oleh: Binahati Waruwu Abstrak: Cita-cita bangsa Indonesia mewujudkan sumber daya manusia yang cerdas dan mampu bersaing dalam era global, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum menghasilkan outcome yang cerdas secara spritual, emosional, dan intelektual. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya keterampilan dan intelektualitas generasi bangsa, serta krisisnya karakter. Menyadari hal itu, bersamaan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan generasi emas 2045 sebagai jawaban atas berbagai ketertinggalan dimaksud. Generasi emas adalah generasi yang tidak hanya sekedar intelek dan jenius tetapi memiliki karakter yang pancasilais, yakni generasi yang berketuhanan, berkemanusiaan, mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa, merakyat dan mengedepankan musyawarah/mufakat serta adil dalam berpikir dan bertindak. Kata Kunci: cerdas spritual, emosional, intelektual, generasi emas, karakter, pancasilais. ISSN 2579-5678 A. PENDAHULUAN Secara historis kebangkitan bangsa Indonesia dimulai dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini merupakan awal bagi bangsa Indonesia untuk memulai peradabannya sendiri dalam konteks Indonesia yang utuh, tidak terpisah-pisah sebagaimana pra kemerdekaan. Peradaban itu sendiri tentu bermula dari proses pembelajaran seluruh bangsa untuk memahami bahwa pendidikan adalah hal utama dalam membentuk manusia yang handal dan kualitas. Sejak awal para pendiri bangsa ini, menyadari bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah penting, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan hal di atas, pemerintah mengeluarkan UU no 12 tahun 1954, UU No. 2 1989, dan UU No 20 tahun 2003, yang semuanya mengatur tentang upaya peningkatan pendidikan di Indonesia agar menjadi bangsa yang mampu berkompetitif secara global. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, mulai dari pergantian UU serta perubahan kurikulum yang dianggap menjadi solusi terhadap perbaikan pendidikan di Indonesia, belum membuahkan hasil yang maksimal dan menggembirakan. Kenyataannya bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia yang masih berada di bawah ratarata dunia, hingga tahun 2013. Di sisi lain, rendahnya kemampuan putra-putri bangsa Indonesia dalam setiap even olimpiade sains, matematika di tingkat internasional merupakan indikasi bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu bersaing secara global. Selain dari sisi kognitif di atas, skill (psikomotor) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga masih rendah. Hal ini terlihat dari kemampuan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang umumnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah sikap (afektif) yang dimiliki. Meningkatnya tawuran antar pelajar, geng motor, pelecehan seksual, penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seks bebas, perilaku seks menyimpang, 144 ISSN 2579-5678 meningkatnya kriminalitas anak adalah fakta-fakta bahwa pendidikan telah gagal dalam membentuk karakter anak bangsa ini. Dalam skala yang lebih besar, rendahnya karakter ini terlihat juga dikalangan masyarakat, pendidik dan para pejabat. Masyarakat sekarang tidak segansegan saling membunuh, bertindak anarkis hanya karena alasan perbedaan pandangan. Demikian juga dengan moralitas pendidik yang semakin krisis, misalnya: pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Dan tidak dapat dihitung lagi berapa banyak pejabat yang terlibat kasus korupsi, pelanggaran HAM, pembunuhan, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini mengindikasikan sekaligus mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia, baik sikap, psikomotor, dan juga kognitif masih belum memenuhi harapan. Kesenjangan antara keinginan untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat dengan kenyataan-kenyataan di atas menimbulkan permasalahan dalam manajemen pendidikan di Indonesia, baik dalam skala makro dan mikro. Maka seiring dengan usia kemerdekaan yang semakin meningkat, diperlukan strategi nyata agar kualitas pendidikan dalam berbagai aspek dapat diperbaiki. Sejak tahun 2012, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, telah mencanangkan “generasi emas” (golden generation) pada tahun 2045. Istilah ini, berkenaan dengan perayaaan ulang tahun emas kemerdekaan RI. Tahun 2045 adalah kebangkitan kedua bagi bangsa Indonesia dalam melahirkan generasi yang berkualitas dari sisi intelektualitas dan panutan dalam hal karakter. Mencermati hakikat generasi emas 2045 yang dicita-citakan oleh pendidikan di Indonesia tentu bukanlah hal mudah. Menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Sunaryo bahwa: “peran pendidikan dalam mempersiapkan generasi emas 2045 sangatlah penting dan gambaran sosok manusia Indonesia generasi 2045 harus menjadi pijakan dan cantolan upaya pendidikan, dan pendidikan akan memainkan peran baru dalam perspektif pengembangan sosok generasi 2045” (Kabar UPI, 2012). Generasi emas yang dimaksudkan adalah generasi yang 145 ISSN 2579-5678 kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Dengan generasi emas itulah, dibangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan Indonesia 2045 (Mendikbud, 2014). Konsep generasi emas harus diletakkan dengan baik, serta upaya pencapaiannya harus benar-benar dipikirkan dengan matang. Dalam konteks pendidikan Indonesia, generasi emas adalah generasi yang tidak hanya sekedar intelek dan jenius tetapi memiliki karakter yang pancasilais, yakni generasi yang berketuhanan, berkemanusiaan, mengutamakan persatuan dan keutuhan bangsa, merakyat dan mengedepankan musyawarah/mufakat serta adil dalam berpikir dan bertindak. Oleh sebab itu, makalah ini akan mengkaji Paradigma Membangun Generasi Emas 2045 dalam Perspektif Filsafat Ilmu Pendidikan, untuk memahami bahwa peran pendidikan dalam menciptakan generasi emas harus dilihat secara holistik. B. ESENSI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN Kemampuan manusia untuk bernalar dan berkomunikasi menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang mampu mengembangkan pengetahuannya dari waktu ke waktu seiring dengan tuntutan berbagai kebutuhan atas kehidupan manusia itu sendiri. Kemampuan itu juga, telah menjadikan manusia menjadi makhluk serakah terhadap alam semesta sehingga meninggalkan hakikat dirinya sebagai penjaga alam semesta dan berlindung di balik kemunafikannya. Hal tersebut mengakibatkan pengetahuan manusia tidak dipergunakan untuk kemaslahatan orang banyak, tetapi justru menjadikan manusia menjadi makhluk buas, ego, pecinta teknologi dan kehilangan jati dirinya sebagai “homo image dei”. Keterpurukan kehidupan manusia itu berawal dari lemahnya kesadaran manusia sebagai makhluk terdidik (animal educandum). Kehadiran filsafat ilmu pendidikan sesungguhnya, berguna untuk 146 ISSN 2579-5678 meluruskan kembali makna pendidikan yang tidak semata-mata untuk mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi kehilangan karakter (afektif) serta rasa (emosi) sebagaimana tujuan pendidikan yang holistik. Dalam perilaku sehari-hari menurut Suhartono (2006:54-55), pengetahuan (ilmu) berubah menjadi moral, dan kemudian menjadi etika kehidupan, sedemikian rupa sehingga hakikat perilaku tersebut berupa kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan kelangsungan dan perkembangan hidup dan kehidupan ini sepenuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak hanya sebatas memperoleh ilmu, tetapi bagaimana ilmu tersebut tercermin lewat moral dan etika dalam kehidupan. Demikian halnya dengan generasi emas yang dicita-citakan, kepada mereka tidak cukup hanya diberi ilmu, tetapi bagaimana agar ilmu yang dimiliki oleh generasi emas tersebut terlihat dari moral dan etika kehidupan kesehariannya. Pendidikan memanusiakan manusia. Segala situasi dalam hidup yang memengaruhi pertumbuhan seseorang merupakan pendidikan, termasuk pengalaman belajar. Pengalaman itu tidak hanya berlangsung dalam satuan pendidikan, tetapi juga berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan seseorang. Artinya alam di mana seseorang berada, mendidik manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Kesalahan dalam pembentukan itu menyebabkan manusia tidak benar-benar menjadi manusia. Oleh sebab itu menurut Mudyahardjo (2006:46), pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Pendidikan dalam pengertian Freire (2007) adalah pembebasan. Pembebasan ini tentunya dalam hal kemelaratan, kesengsaraan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan. Dalam pengertian ini, tanggung jawab pendidikan tidak hanya dipikul oleh sekolah dan perguruan tinggi, tetapi semua orang yang memahami bahwa manusia harus menerima kebebasan di atas. Maka formulasi pendidikan itu sendiri, tidak hanya 147 ISSN 2579-5678 sebatas “transfer of knowledge”, tetapi lebih dari itu, yakni memberi kesadaran bahwa karakter (sikap, moral dan etika) di atas segalanya. Pendidikan harus dibangun di atas pondasi dan kerangka yang kuat. Pembangunan generasi emas yang dimaksudkan sesungguhnya tidak hanya sebatas menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual (berilmu), tetapi juga harus cerdas secara emosional dan spritual. Pendidikan di Indonesia belum berhasil menghasilkan SDM untuk siap mengabdi bahkan berkorban membangun bangsa yang besar, maju, jaya dan bermartabat (Manullang, 2013). Proses memanusiakan manusia, merupakan upaya pendidikan dalam memberhasilkan generasi emas yang memiliki intelektualitas tinggi, tetapi berkarakter mulia. Pola pembangunan karakter melalui IESQ sebagaimana dikemukakan oleh Manullang (2013), adalah hal yang tak dapat dipungkiri dan semestinya dilaksanakan. Spritual (agama) merupakan pembimbing moral individu dalam bertindak sebagai manusia yang berakhlak mulia. Oleh sebab itu Albert Einstein mengemukakan bahwa ilmu tanpa agama adalah buta (Suriasumantri, 2005). Secara filosofis, pendidikan seharusnya mengembangkan potensi spritual, intelektual, dan moral (Suhartono, 2006:69). Pendidikan yang baik harus masuk dalam ranah spritual agar tidak tercipta generasi emas yang handal secara intelektual, tetapi hambar dari sisi mentalitas. Rusaknya mental dilatarbelakangi oleh kurangnya perhatian pada pendidikan yang berorintesi karakter. Padahal akhir dari pendidikan adalah karakter. Krisis karakter menjadi faktor dominan penghambat pencapaian tujuan pendidikan yang memerdekakan secara politis, ekonomi dan budaya sesuai dengan konsep pendidikan menurut Kihajar Dewantara. Hal ini akan bermuara pada tingginya kesenjangan antara kaya-miskin, modern (teknologis)-tradisional, dan lambat laun ini akan bermuara pada kehancuran peradaban yang dicita-citakan oleh pendidikan itu sendiri. Secara ontologi, pendidikan adalah persoalan tentang hakikat keberadaannya. Pendidikan selalu dekat dengan eksistensi kehidupan 148 ISSN 2579-5678 manusia dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Dengan demikian, tanpa pendidikan kehidupan manusia itu sendiri tidak dapat berlangsung. Pendidikan memberi acuan kemana tujuan kehidupan manusia diarahkan. Oleh sebab masalah pendidikan adalah manusia, Suhartono (2006) mengemukakan maka persoalan pokoknya adalah bagaimana menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam diri manusia. Tugas pendidikan adalah membimbing potensi spiritual, emosional, intelektualitas individu. Ketiga potensi ini merupakan potensi kreatif, dinamis dan khas yang dimiliki setiap manusia. Pendidikan yang baik, memberi bimbingan, kesempatan dan ruang kepada setiap individu dalam mengembangkannya, sehingga individu tersebut tumbuh dalam rasa percaya diri yang tinggi tentang intelektualitasnya, dibawah bimbingan agama dan keselarasan emosi yang baik. Secara etimologis, filsafat pendidikan adalah cinta akan keindahan dan kearifan terhadap pendidikan. Kearifan terhadap pendidikan akan mewujudkan kehidupan yang adil dan harmonis. Jauh dari keserakahan dan kemunafikan. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan kehidupan yang lebih dinamis dan berkesinambungan. Sebaliknya, rusaknya pendidikan merupakan pemicu degradasi moral, rendahnya kualitas dan esensi kehidupan, hilangnya jati diri sebagai manusia, munculnya perilaku kebinatangan manusia, hilangnya jati diri bangsa dan sebagainya. Oleh sebab itu pendidikan, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan, tetapi pendidikan yang dimaknai dengan kehidupan yang penuh keindahan, keserasian, keselaran antara intelektualitas, moral dan karakter. C. FILSAFAT PENDIDIKAN INDONESIA Setiap bangsa memiliki landasan filosofis masing-masing. Demikian halnya dengan Pancasila yang menjadi pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Maka seluruh eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, selayaknya berdiri kokoh di atas landasan 149 ISSN 2579-5678 pancasila. Pendidikan di Indonesia juga harus dibangun dan dikembangkan sesuai dengan landasan filosofis bangsa yakni pancasila. Jadi, pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang pancasilais. Memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal yang sedang dihadapi, mengharuskan bangsa Indonesia untuk lebih memperkuat jati diri, identitas, dan karakter sebagai bangsa Indonesia. Pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif harus dilakukan tanpa melupakan jati diri sebagai bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan dan adil. Menyiapkan generasi emas Indonesia, berarti menyiapkan pendidikan bernuansa pancasila (pancasila orinted). Penyiapan sumber daya manusia yang berkarakter dan berkualitas adalah syarat mutlaknya, serta pendidikan karakter sebagai salah satu kuncinya. Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai transendensi dan nilai keagamaan yang kuat, yang pada gilirannya menumbuhkan sifat kasih sayang dan toleran, saling menghargai dan menghormati (karena merasa sesama makhluk) dan menjauhkan diri dari perilaku destruktif dan anarkistis. Salah satu sebab mendasar, keterpurukan bangsa ini, khususnya dalam hal rendahnya daya saing bangsa, adalah mayoritas dari bangsa ini telah kehilangan karakter atau jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Spirit ke-Indonesia-an yang seharusnya melekat erat dan kemudian melahirkan generasi, masyarakat, rakyat, dan warga negara yang berkarakter telah terdegradasi secara pelan namun pasti (Arif, 2012). Jawaban atas semuanya itu adalah penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa, tidak dengan mengadopsi falsafah negara lain. Karakter bangsa, adalah kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi perihal penyebab keterpurukan bangsa Indonesia di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk menyatakan secara ekstrim bahwa karakter bangsa kita sedang berada di titik kritis. Sebagaimana dikemukakan oleh Manullang (2013), bahwa karakter 150 ISSN 2579-5678 adalah masalah utama dari manusia berkualitas. Jika karakter hilang, maka semuanya akan sirna karena karakter adalah roh kehidupan. Menurut Tilaar (2012) karakter atau watak bangsa Indonesia adalah suatu konstruksi budaya tentang sikap hidup, cara berpikir dan bertindak dari setiap individu bangsa Indonesia yang multikultural yang terpancar dari nilai-nilai budaya dan ideologi nasional Indonesia yaitu Pancasila (dalam menghadapi perubahan global)”. Dalam pandangan tersebut, menciptakan generasi emas 2045 harus dilakukan dengan penyelenggaraan pendidikan yang dikonstruksi berdasar atas nilai-nilai Pancasila. Generasi inilah yang akan menjadi generasi yang memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan dalam menghadapi perubahan dan persaingan global. Menyadari bahwa pancasila menjadi sumber konstruksi pendidikan di Indonesia, maka nilai-nilai pancasila harus masuk dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam manajemen pendidikan di Indonesia. Demikian halnya dengan mata pelajaran lain seperti sains dan seni sebagai pembentuk dan pengembang potensi intelektualitas, harus dibangun atas dasar karakter pancasila, selain pancasila juga merupakan mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan. Membangun karakter bangsa bukanlah hal mudah. Pembangunan karakter bangsa ini harus dilakukan dengan strategi yang tepat dan dilakukan secara sistematik, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, tetapi dengan melibatkan berbagai komponen, yakni instansi pemerintah baik vertikal dan horizontal, keluarga, sekolah, masyarakat, berbagai organisasi, para tokoh dan media. Maka memaknai generasi emas, seharusnya tidak hanya sebatas kurikulum, meski itupun tidak kalah penting. Tetapi pancasila sebagai pandangan hidup bangsa harus menjadi landasan berpikir, bertindak bagi setiap warga negara. Pertama, memahami sikap berketuhanan, memberi pedoman bagi generasi bangsa ini menjadi generasi emas yang memiliki tingkat spritual 151 ISSN 2579-5678 yang tinggi. Melalui itu, generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang mengenal bahwa kebenaran yang paling mendasar adalah kebenaran yang dari Tuhan. Apapun tindakan yang dilakukan, maka akan didasari atas keyakinan bahwa pekerjaan, harta, ilmu yang dimilikinya dipergunakan untuk keberlangsungan hidup antar umat manusia. Artinya, ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, meningkatnya kerukunan antar umat beragama sehingga menghindarkan diri dari kesombongan spritual, sikap intoleransi umat beragama, jauh dari sifat anarkis, korupsi dan sebagainya. Peran para pemuka agama sangat dominan, untuk memberi pengertian kepada individu, agar tidak menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Di sisi lain pemuka agama semestinya memastikan bahwa setiap pemeluk agama, mendalami dengan baik makna agama yang dianutnya. Hal ini akan menghindarkan generasi emas dari konflik SARA (Suku, Agama, dan Ras). Tidak kalah penting juga peran orang tua, untuk mendidik anaknya untuk taat beragama, dengan memberi pedoman yang baik kepada anak-anaknya dalam hal beribadah, mengasihi sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Orang tua mengajar anak untuk tidak bermusuhan, tidak membenci, tidak iri hati, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan oleh guru agama dan guru mata pelajaran pancasila di setiap jenjang pendidikan. Dengan demikian akan tercipta generasi emas yang takwa kepada Tuhan yang maha esa. Kedua, sikap kemanusiaan mendorong manusia untuk saling menghargai satu dengan yang lain. Lahirnya kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, oleh sebab itu tidak ada manusia yang hebat dibanding dengan lainnya. Menjunjung tinggi nilai kemansuaiaan sehingga menghilangkan perbedaan antara kaya dan miskin. Setiap komponen bangsa harus menunjukkan sikap tenggang rasa satu dengan lain. Dari sana, akan tercipta kehidupan yang harmonis dan dinamis antar umat manusia. Perbedaan pendapat adalah lumrah, tetapi jangan menjadi pemicu perpecahan, saling menghina, saling merendahkan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Tanpa disadari bahwa generasi saat ini 152 ISSN 2579-5678 (mereka yang akan menjadi generasi emas) telah belajar dan terdidik dengan sifat yang saling merendahkan, tidak menghargai. Bagaimana mungkin Indonesia akan menghasilkan generasi emas pada 2045, jika saat ini mereka diajar untuk tidak berkemanusiaan. Hal-hal semacam ini tidak sepenuhnya diajar di jenjang pendidikan formal. Maka dibutuhkan peran para elit, figur publik, pejabat, enterpreuner, pengusaha untuk menanamkan karakter pancasila pada setiap sikap, ucapan, tindakan dan perbuatannya. Ketiga, sikap persatuan dan kesatuan. Mendidik generasi emas dengan konsep ini harus dimulai dengan sikap para pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan kelompok, partai politik, golongan. Budaya mendahulukan kepentingan bersama, bangsa dan negara harus ditunjukkan, agar generasi sekarang ini belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi bangga menjadi bangsa Indonesia, sehingga berbuat juga untuk kejayaan Indonesia. Keempat, sikap kerakyatan berdasar pada musyawarah dan mufakat. Salah satu aspek penting menciptakan generasi emas adalah membelajarkan mereka cara bermusyawarah dan mufakat. Peran orang tua, sangat dominan dalam hal ini, selain media sosial dan media elektronik. Strategi yang tepat, adalah media massa harus memperbanyak informasi yang mendidik tentang pentingnya musyawarah dan mufakat. Tidak dengan memberi informasi dan mempertontonkan sikap “saling rebut” para pejabat. Demikian halnya dengan orang tua yang membimbing sikap demokratis yang mendidik kepada anak-anaknya dalam memilih dan menekuni potensi bakat yang ada dalam dirinya. Dan yang terakhir adalah tentang karakter keadilan. Ini menjadi bagian dari tugas para penegak hukum. Generasi sekarang akan menjadi generasi emas yang adil, apabila mereka mendengar, membaca, dan melihat bahwa hukum ditegakkan dengan baik dan benar. Yang benar tetap benar, dan yang salah tetap salah. Demikian halnya dengan peran keluarga. Orang tua dapat mengajarkan tentang keadilan bagi anakanaknya, tidak diskriminatif. Dalam pengertian orang tua harus memberi 153 ISSN 2579-5678 perhatian yang sama kepada anak-anaknya. Peran pemerintah juga cukup dominan, terutama kepada mereka yang terpinggirkan, anak jalanan, anak cacat. Mereka juga harus mendapat pendidikan yang layak, sehingga generasi emas 2045, bukan hanya bagi mereka yang memiliki kesempatan lebih besar untuk mengenyam pendidikan tetapi meliputi semua anak-anak negeri ini, baik miskin, kaya, cacat, normal, dan anakanak jalanan. D. SOSIALISASI PANCASILA MENUJU GENERASI EMAS 2045 1. Wider Sense – Life is education, and education is life Sistem pendidikan masa depan bangsa Indonesia adalah pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini menjadi generasi emas Indonesia 2045. Generasi ini akan menjadi generasi penduduk warga dunia yang bersifat transkultural, namun harus tetap hidup dan berkembang dalam jati diri dan budaya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Demikian dikatakan oleh Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. saat menyampaikan makalah utama dalam Konperensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta, di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta (Kabar UPI, 2012). Istilah generasi emas menjadi sangat ramai dibicarakan setelah pidato Hardiknas tahun 2012 oleh Mendikbud M. Nuh, kendati konsep tersebut telah disampaikan Mendikbud pada saat Rembuk Nasional Pendidikan tahun 2011. Namun, permasalahan yang serius adalah bagaimana konsep tentang pencapaian generasi emas 2045 tersebut. Diklaim bahwa Kurikulum 2013 akan menjadi jawaban terhadap permasalahan tersebut. Namun, apakah itu cukup? Sebagaimana dikemukakan dari awal bahwa pendidikan tidak boleh dimaknai dalam arti sempit semata. Pendidikan berkenaan dengan segala aspek dan sendi 154 ISSN 2579-5678 kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka konsep generasi emas 2045, seharusnya menjadi isu nasional yang harus direspon secara bersama, agar generasi tersebut tidak hanya mampu secara intelektual, tetapi menyadari bahwa berkarakter dan berbudaya pancasila adalah hal yang lebih mendasar. Pendidikan dalam arti luas adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan (Suhartono, 2006). Pendidikan berlangsung di segala macam bentuk lingkungan kehidupan di mana manusia itu berdiam, bergaul yang mendorong tumbuhkembangnya potensi cipta, rasa dan karsa yang dimiliki individu. Lewat proses interaksi dengan kehidupan, individu mengembangkan potensinya sehingga menjadi dewasa, cerdas dan matang. Dengan demikian maka pendidikan itu sendiri mendewasakan seseorang secara fisik, cerdas secara intelek, emosi dan spritual serta matang dalam berperilaku sosial kemasyarakatan, bangsa dan negara. Pendidikan tidak hanya berlangsung dalam jalur formal dan non formal, tetapi meliputi berbagai aspek. Mulai dari penyelenggaraan pemerintah, pergaulan lintas negara, transaksi ekonomi, interaksi sosial antar lembaga, antar kelompok, antar individu, sikap toleransi beragama, sikap dalam berdemokrasi, berpolitik, berkomunikasi, dan sebagainya. Karena dari sanalah individu belajar tentang kehidupan, dan itu akan memengaruhi pikiran (thought), tindakan (act), kebiasaan (habit), dan karakternya (character). Mendalami bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang berkualitas dilandasi oleh karakter, dan karakter itu sendiri adalah amanah pancasila bagi bangsa Indonesia, maka esensi pancasila itu harus menembus hingga ke segala aspek penyelenggaraan pemerintahan. Pendidikan yang berkarakter perlu dipahami secara meluas, agar pancasila itu sendiri menjadi napas bagi seluruh bangsa Indonesia dalam berpikir dan bertindak. Baik yang 155 ISSN 2579-5678 bekerja di birokrasi, guru, BUMN, BUMD, korporasi dan lembaga swasta lainnya. Tanpa itu mustahil generasi emas 2045 dapat dicapai. Memperbaiki generasi saat ini menjadi generasi emas, harus dimulai dengan memperbaiki karakter generasi usia produktif sekarang ini. Generasi tersebut termasuk pendidik, orang tua, pengusaha, para pejabat di berbagai sektor. Suatu yang sangat naif jika dikatakan akan terwujud generasi emas 2045, jika generasi produktif saat ini rusak. Pendidik, orang tua, para pejabat, pengusaha, rohaniwan adalah guru kehidupan bagi generasi emas. Karakter koruptor, predaktor seksual, penjahat perbankan, politikus busuk tidak akan berbuah dengan emas. Bahkan sebaliknya akan melahirkan generasi yang sakit secara fisik, psikis, mental dan rohani. Dunia usaha dan dunia industri harus turut ambil bagian dalam hal ini sebagai wujud tanggung jawab sosial yang dipikulnya. Semuanya harus terlibat dalam pencapaian generasi emas berkarakter. Pendidikan karakter adalah transformasi nilai Pancasila, yang berlangsung terus sepanjang zaman (Manullang dan Prayitno, 2010). Kemampuan bersaing persaingan secara global sangat ditentukan oleh persiapan generasi emas yang unggul dan berkualitas, yakni SDM yang mampu menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, cakap, cerdas dan kreatif, kepribadian yang bermoral, dan keterampilan hidup (life skills). Artinya kemampuan bersaing itu sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa Indonesia untuk menyiapkan SDM yang adaptif, mampu menerima, menyesuaikan, mengembangkan, menentukan, menciptakan, dan mengantisipasi kebutuhan atau arus perubahan lingkungannya. 2. Narrower Sense – School System Kebijakan pendidikan yang mengarah kepada kualitas pendidikan di sekolah menurut Amagi (UNESCO, 1996) terdiri dari tiga aspek: (1) peningkatan kualitas guru (upgrading the quality of teachers); (2) disain dan pengembangan kurikulum dan materi terkait 156 ISSN 2579-5678 (the design and development of the curriculum and related matters); (3) pengembangan manajemen sekolah (the improvement of school management). Sedangkan untuk memajukan pendidikan di Indonesia, pemerintah telah menetapkan peraturan No 19 Tahun 2005 tentang delapan standar nasional pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam rangka mewujudkan generasi emas 2045 yang berkarakter pancasila, maka esensi pancasila harus masuk dalam standar nasional pendidikan di atas. Beberapa langkah sosialisasi yang dapat dilaksanakan yakni sebagai berikut. a. Standar Kompetensi Lulusan Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, yang meliputi kompetensi seluruh mata pelajaran, kompetensi kelompok mata pelajaran, dan kompetensi mata pelajaran atau mata kuliah. Standar kompetensi lulusan berlaku juga untuk Pendidikan Kesetaraan (Paket A setara SD, Paket B setara SMP/MTs dan Paket C setara SMA/MA. Mengingat bahwa standar kompetensi lulusan digunakan untuk penilaian kelulusan peserta didik pada jenjang satu jenjang pendidikan maka sebelum yang bersangkutan menamatkan pendidikannya, maka harus dipastikan bahwa salah satu kompetensi yang dimilikinya adalah kompetensi sipritual. Kompetensi spritual ini yang akan menjadikannya memiliki karakter yang baik. Standar isi adalah berhubungan dengan kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum dan kalender pendidikan. Tapi yang lebih penting dalam hal ini adalah kurikulum. Pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan kurikulum sebagai jawaban atas perkembangan dan relevansi dengan tuntutan persaingan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kendatipun kurikulum terus disesuaikan, tapi esensinya adalah bagaimana upaya untuk menciptakan pembelajaran yang 157 ISSN 2579-5678 berkualitas. Struktur kurikulum yang disusun hendaknya mengandung nilai karakter bangsa. Oleh sebab itu, sudah saatnya pendidikan agama dan budi pekerti mendapat porsi beban belajar yang lebih banyak dari sebelumnya. Di sisi lain, muatan ekstrakurikuler perlu dirancang sedemikian rupa agar siswa dilibatkan dalam hal-hal yang religi, misalnya perayaan hari besar keagamaan, kegiatan sosial, pembersihan rubah ibadah, ibadah akhir bulan, dan sebagainya. Tanggung jawab sekolah dan perguruan tinggi sebagai tempat berlangsungnya pendidikan dalam arti sempit adalah menyiapkan ruang bagi perkembangan peserta didik terutama potensi spritual sebagai pemandu potensi lainnya. Maka sepantasnya disiapkan kurikulum, strategi, dan pendekatan yang bernuansa pembangunan karakter mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Keseimbangan antara sikap, keterampilan, pengetahuan untuk membangun soft skill dan hard skill menurut Bruner (1960) adalah sebagai berikut: (Sumber: Depdikbud, 2012) Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka sikap (pada level tertinggi adalah karakter) semakin sempit, sedangkan keterampilan dan pengetahuan semakin besar. Bagi negara-negara yang sudah maju 158 ISSN 2579-5678 barangkali ini sangat relevan. Untuk pendidikan di Indonesia, perlu kehati-hatian dalam mengadopsinya. Penyakit bangsa ini adalah masalah karakter. Maka pencapaian tujuan pendidikan, utamanya diukur dengan sikap dan karakter, menyusul keterampilan dan pengetahuan. Maka konsep “generasi emas”, seharusnya tidak dibatasi pada generasi intelek tetapi generasi yang berkarakter pancasila. b. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan harus benar-benar memiliki karakter pancasilais agar dapat menjadi anutan dan contoh bagi siswa-siswanya. Dibutuhkan pendidik yang kompeten dari sisi keilmuwan, tetapi juga kaya akan metode didaktik, serta memiliki karakter yang baik. Maka perguruan LPTK menjadi faktor dominan untuk menghasilkan guru yang handal. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Sunaryo bahwa: “Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) perlu menyiapkan pendidikan tenaga pendidik untuk menyiapkan generasi 2045 itu, dan manajemen ketenagaan pendidik yang profesional. Dalam konteks penyiapan generasi 2045, peran pendidik sangatlah penting dan masa depan bangsa ada di pundak pendidik atau guru” (Kabar UPI, 2012). Pendidik dan tenaga kependidikan harus memiliki karakter yang baik, karena mereka merupakan lini terdepan yang berhadapan secara langsung kepada peserta didik. Mewujudkan generasi emas, harus dimulai dengan memperbaiki karakter pendidik dan tenaga kependidikan. Selain kompetensi profesional dan kompetensi sosial, kompetensi kepribadian harus dimiliki oleh guru. Nilai-nilai karakter pancasila bisa disosialisasikan kepada guru pada saat pelatihan, ataupun dalam melaksanakan pekerjaan sehari-harinya. 159 ISSN 2579-5678 c. Standar Proses. Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Untuk menghasilkan generasi emas 2045, setiap satuan pendidikan menyiapkan proses yang baik agar potensi peserta didik berkembang dengan baik, terutama potensi spritual. Sosialisasi nilai-nilai pancasila dapat dilakukan dalam proses pembelajaran. Misalnya, untuk meningkatkan ketakwaan peserta didik, guru memulai pembelajaran dan mengakhiri dengan berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Nilai sila kedua dari pancasila dapat juga dilakukan dengan menghargai perbedaan pendapat pada saat diskusi dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Antar guru dan tenaga kependidikan juga menerapkan nilai-nilai pancasila dalam setiap pertemuan, rapat. Mengutamakan kepentingan bersama dan musyawarah merupakan wujud dari nilai-nilai pancasila, yakni sila ketiga dan sila keempat. Hal yang sama dengan sila kelima dari pancasila, karakter generasi emas dapat dibentuk dengan memberikan tugas secara adil. Nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: (1), kereligiusan, (2) kejujuran, (3) kecerdasan, (4) ketangguhan, (5) kedemokratisan. d. Standar Pengelolaan. Standar pengelolaan meliputi kurikulum, kalender pendidikan/ akademik, struktur organisasi sekolah/madrasah, 160 ISSN 2579-5678 pembagian tugas di antara guru, pembagian tugas di antara tenaga kependidikan, peraturan akademik, tata tertib sekolah/madrasah, kode etik sekolah/madrasah, biaya operasional sekolah/madrasah. Standar-standar tersebut harus dikelola dengan baik oleh pihak sekolah. Kepala sekolah menerapkan prinsip keadilan dalam pembagian tugas. Sehingga tidak ada guru yang merasakan diskriminasi. Untuk menciptakan generasi emas, maka kepala sekolah sebagai manajer di sekolah harus memiliki acuan-acuan yang tepat dan adil dalam menerapkan disiplin di sekolah. Para guru juga menempatkan posisinya sebagai guru, dan menghargai kepala sekolah sebagai pemimpin. Komunikasi yang baik, akan mendorong terciptanya sikap etis siswa terhadap teman dan guru, sesama guru, dan antara guru dengan kepala sekolah. Etika-etika yang berlangsung di sekolah dapat ditrasnformasi dalam mengelola pendidikan, dan itu akan menjadi pelajaran bagi peserta didik untuk bisa diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat. Jadi, intinya bahwa, karakter pancasila harus benar-benar menjadi pedoman dalam mengelola pendidikan di Indonesia, dan itu menjadi salah satu variabel penting dalam rangka mewujudkan generasi emas 2045. e. Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Berbagai kebijakan dan implementasi pendidikan di Indonesia menurut Manulllang (2013) baik oleh pemerintah di pusat, di daerah sampai di satuan pendidikan sungguh sangat jauh dari upaya pembentukan 161 ISSN 2579-5678 karakter yang diharapkan. Kebijakan, implementasi dan evaluasi mestinya tetap mengacu pada output karakter yang diharapkan. Artinya, kebijakan berkarakter, implementasi berkarakter dan evaluasi juga harus berkarakter. Pengerdilan konsep pendidikan karakter dalam kebijakan dan implementasi merupakan ancaman bagi eksistensi NKRI. Oleh sebab itu, sesungguhnya evaluasi yang dilakukan oleh guru dan satuan pendidikan harus benar-benar objektif. Penilaian tidak hanya terbatas pada kognitif semata, tetapi secara holitistik yakni menyangkut koginitif, psikomotor dan afektif. Dalam konteks ini, sebaiknya penentuan ranking/peringkat termasuk kelulusan harus didasarkan pada hal di atas. Apabila itu dapat diterapkan, maka Ujian Nasional termasuk Seleksi Masuk Perguruan Tinggi hanya merupakan salah satu dari syarat kelulusan. Barangkali sistem seleksi dan ujian selama ini (yang cenderung hanya tes kognitif) menjadi salah satu faktor, rusaknya karakter generasi bangsa. f. Standar Sarana Prasarana. Sarana prasanana berkenaan dengan berbagai fasilitas yang digunakan di sekolah dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik. Dalam Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana mulai dari jenjang SD hingga SMA/SMK/MA sesungguhnya telah tercantum berbagai fasilitas tersebut. Tetapi standar tersebut belum dipenuhi dengan baik. Misalnya saja tempat ibadah di setiap sekolah. Sebagian besar sekolah belum memilikinya, padahal tempat ibadah merupakan sarana dalam mengembangkan potensi spritual peserta didik. Untuk mewujudkan genarasi emas yang berkarakter, maka pemerintah pusat dan daerah harus mencukupi hal ini. Dan fasilitas 162 ISSN 2579-5678 tersebut harus dapat dipergunakan dengan baik oleh sekolah dalam rangka membimbing karakter siswa. g. Standar Pembiayaan Pendidikan Pembiayaan pendidikan menjadi objek yang sering menjadi perhatian. Sebab banyak yang berpendapat bahwa tanpa anggaran yang besar mustahil sekolah dapat menghasilkan keluaran yang berkualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan sangat penting untuk mengelola pendidikan mulai dari pusat hingga ke jenjang satuan pendidikan. Tetapi faktanya, banyak sekolah yang menyalahgunakan keuangan tersebut dan ujungnya masuk penjara. Oleh sebab itu dalam mengelola keuangan sekolah harus benarbenar memegang prinsip akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan). Pembiayaan merupakan salah satu komponen strategis dalam penyelenggaraan pendidikan, yang memberi dampak multi dimensional terhadap input, proses, output dan outcomes pendidikan. Secara teoritis, konsep pembiayaan pendidikan mempunyai kesamaan dengan bidang lain, dimana lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang lulusannya. E. PENUTUP Membangun generasi emas 2045 perlu dilakukan secara holistik. Pendidikan harus dikelola dengan tujuan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dari sisi spritual, emosional dan intelektualitas. SDM yang cerdas secara spritual, akan memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik akan melahirkan generasi yang menciptakan suasana kedinamisan dan keharmonisan alam beserta dengan kehidupan yang berlangsung di dalamnya. 163 ISSN 2579-5678 Mewujudkan generasi emas 2045, tidak cukup hanya terbeban kepada sekolah dan perguruan tinggi. Tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa dan negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh sebab itu dibutuhkan pola pendidikan terpadu. Spirit pendidikan yang berkarakter perlu ditumbuhkembangkan di manapun, secara khusus di setiap lembaga sosial kemasyarakatan, dan keneragaraan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis moral, krisis itu bahkan sudah mengakar dalam setiap aspek kehidupan. Jadi, tidak heran jika pendidikan itu sendiri rusak, karena setiap aspek kehidupan telah krisis. Maka spirit pendidikan karakter perlu ditanamkan ke dalam diri setiap penguasa mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selanjutnya setiap satuan pendidikan bertanggung jawab dalam mempersiapkan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya, dan itu menjadi beban moral bagi guru untuk mewujudkannya. Untuk mencapai generasi emas 2045 dalam perspektif filsafat ilmu pendidikan, maka ada beberapa yang perlu dilakukan. Pertama, reformulasi dan reorientasi tujuan pendidikan dari ukuran intelektual menjadi ukuran afektif yang berujung pada karakter. Kedua, perbaikan pada sistem birokrasi terutama pendidikan dan juga birokrasi lainnya. Ketiga, secara praktis teknis perlu perbaikan dan pembenahan pada kurikulum, sarana prasarana, pengelolaan, penilaian. F. REFERENSI Arif, M, A. (2012). Education for Generation: Grand Disain Pendidikan Menuju Kebangkitan Generasi Emas Indonesia. Sulawesi Tengah: EnDeCe Press. Freire, P. (2007). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 164 ISSN 2579-5678 Kabar UPI. (2012). Prof. Sunaryo: Pendidikan Harus Antarkan Generasi Emas 2045. Diakses tanggal 16 Mei 2014. Kemendikbud. 2012. Dokumen Kurikulum 2013. Kompas. Com. (2014). Pendidikan Berkualitas Untuk Generasi Emas. Diakses tanggal 16 Mei 2014. Manullang, B., dan Prayitno. (2010). Ringkasan Eksekutif: Pendidikan Karakter Dalam Pembangunan Bangsa. Program Pascasarjana LPTK Seluruh Indonesia. Manullang, B. (2013). Grand Disain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III (1), 2013 Mudyahardjo, R. (2006). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya Mendikbud. (2014). Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Peringatan Hardiknas Tahun 2014. Suhartono, S. (2006). Filsafat Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz Suryasumantri, Y. (2005). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tilaar. (2012). Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045. Makalah. Disampaikan pada Konapsi VII di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 31 Oktober – 3 Nopember 2012. UNESCO. (1998). Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first Century. Perancis: Universitaires de France. 165 ISSN 2579-5678 166 KARAKTERISTIK KEMESIASAN YESUS Oleh: Yulius Enisman Harefa Abstrak Kemesiasan Yesus merupakan legitimasi dalam Perjanjian Lama karena Ia menunjukkan hubungan yang selaras antara nubuatan para nabi dan kebutuhan umat-Nya. Tidak ada perbedaan karakteristik mesias dalam nubuatan dengan karakteristik mesias yang ditampilkan-Nya, meskipun pada saat itu masih dalam dilematis pandangan kemesiasan-Nya. Sejak Yesus tampil hingga pada pandangan para teolog sekarang ini, belum memiliki keseragaman terhadap karakteristik kemesiasan-Nya. Masih terdapat pemahaman bahwa karakteristik kemesiasaan Yesus yang ditampilkannya hanya secara rohani saja, dan tidak berfungsi pada aspek kebutuhan lainnya. Hal ini disebabkan karena pemahaman tentang pengharapan mesianik umat dengan apa yang ditampilkan oleh Yesus tidak koheren. Memahami hal itu sangat mempengaruhi pada standar teologi yang dibangun. Karakteristik kemesiasan Yesus yang dimaksudkan adalah dimana karakteristik atau sifat mesias yang dinubuatkan sama seperti yang ditampilkan oleh Yesus. Polemik yang terjadi dikalangan orang Yahudi dan juga kepada para teolog saat ini perlu diberi pencerahan kembali. Kata kunci: Karakteristik, Mesias, Holistik, Yesus A. Pendahuluan Setelah sekian lama orang Yahudi menantikan Sang Mesias yang telah dinubuatkan oleh para nabi, akhirnya nubuatan itu tergenapi di dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah penggenapan dari Perjanjian Lama. Sentralitas kepada Yesus memberikan pengaruh terhadap ISSN 2579-5678 “sejarah, Kitab Suci dan misi.”1 Pengaruh Yesus yang dimaksudkan adalah: Yesus adalah pusat dari sejarah di mana hampir sepertiga umat manusia mengaku mengikut Dia; Yesus adalah fokus Kitab Suci (Yoh. 5:39); dan Yesus adalah inti dari misi sehingga orang Kristen berani menyeberangi daratan dan lautan, benua dan budaya demi untuk misi. Yesus sering mendasarkan perkataan-Nya pada Kitab Suci. Bahkan, “Perjanjian Baru berkolaborasi dengan Perjanjian Lama, memberi kesaksian bagi pemulihan yang agung dan mulia di dalam Yesus Kristus.”2 Identitas ini membuktikan bahwa Yesus adalah Sang Mesias yang telah dinubuatkan itu. Orang Yahudi seharusnya bersukacita dan menerima Dia seperti pengharapan mereka sejak semula. Pengharapan mesianik bagi orang Yahudi memiliki paradoks dengan kemesiasan yang ditampilkan oleh Yesus sendiri. Yesus menjadi sasaran kebencian para pemuka agama Yahudi. Harapan-harapan mesianik yang ditujukkan kepada Yesus semakin kandas. Hal ini terjadi karena Yesus tidak merealisasikan seperti yang mereka harapkan. Selama lebih dari tujuh ratus tahun Israel ditindas oleh kuk asing, tapi kini rakyat memimpikan bahwa akan datang Sang Mesias yang akan campur tangan untuk menghancurkan musuh-musuh mereka, dan membebaskan mereka dari penjajahan. Karakteristik mesias yang diharapkan lebih kepada politik, dan mesias yang akan datang tersebut akan membebaskan mereka dari jajahan Romawi melalui perlawanan dan perang.3 Tetapi Yesus justru tidak menggangu pemerintahan Romawi. Kebencian mereka terhadap Yesus mencapai klimaks ketika Yesus dibunuh. Kebanyakan pemuka agama Yahudi terganggu oleh pelayanan Yesus, mereka merasa takut karena secara politik takut ruang gerak mereka diperkecil oleh kekuasaan Romawi akibat gerakan yang muncul 1 John Stott, Kristus Yang Tiada Tara, (Surabaya: Momentum, 2013), 1-2. (Selanjutnya disebut: Stott, Kristus Yang Tiada Tara). 2 Willem VanGemeren, Progres Penebusan, (Surabaya: Momentum, 2016), 360. (Selanjutnya disebut: VanGemeren, Progres Penebusan). 3 Ibid., 377. 168 ISSN 2579-5678 di kalangan Yahudi oleh Yesus. Dalam terang harapan mesianik orang Yahudi, kompleksitas konsep tentang mesias terjadi karena adanya beragam kelompok yang sudah muncul di tengah-tengah orang Yahudi. Antara apa yang idealnya dengan apa yang direalitakan oleh Yesus bagi pandangan orang Yahudi sangat berbeda, tetapi dalam terang ilahi adalah koheren. Bahkan dalam pandangan para teolog juga menilai karakteristik kemesiasan Yesus berbeda dengan yang diharapkan. Donald Guthrie berpendapat bahwa “Yesus menganggap diri-Nya sebagai mesias yaitu kesadaran bahwa Dialah wakil Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dalam arti rohani dan bukan arti nasional [politik].” 4 Demikian juga pendapat Tandiassa bahwa “pemahaman orang-orang Yahudi tentang mesias didasarkan atas kebutuhan akan kemerdekaan, sehingga sosok mesias yang diharapkan adalah pahlawan politik.”5 Maka, karakteristik mesias yang akan datang adalah pahlawan politik. Seharusnya karakteristik pengharapan mesianik orang Yahudi sejalan dengan jalan yang ditempuh oleh Yesus karena pengharapan mesianik tersebut berasal dari nubuatan para nabi, dan nubuatan nabi merupakan pesan Allah yang kudus. Karakteristik kemesiasan Yesus adalah sama dan tidak ada perbedaan dari apa yang dinubuatkan. Demikian juga Yesus harus menampilkan sesuai dengan apa yang dinubuatkan karena apa yang dilakukan oleh Yesus adalah penggenapan dari nubuatan para nabi dan karena Yesus adalah Allah sendiri. Dalam persepsi inilah karakteristik kemesiasan Yesus menjadi polemik bagi masyarakat Yahudi dan juga bagi para teolog sekarang ini. Dengan kata lain apakah karakteristik kemesiasan Yesus sebenarnya berperan dalam hal rohani atau politik, atau holistik. 4 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 272. 5 S. Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Moriel, 2010), 68. (Selanjutnya disebut: Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru). 169 ISSN 2579-5678 B. Pembahasan Kata “karakteristik” dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar karakter yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain; tabiat, watak. 6 Jadi, karakteristik adalah ciri-ciri khusus. Dalam hubungannya dengan mesias, maka mesias yang dinubuatkan itu memiliki ciri-ciri yang khusus. Semenjak kerajaan Israel pecah sampai pada masa Yesus, umat Yahudi telah memiliki konsep tentang mesias. Sebutan mesias7 berakar dari pengertian Yahudi mengenai seorang tokoh di masa depan yang datang untuk membawa keselamatan bagi umat Yahudi. Seorang tokoh yang diidam-idamkan itu akan datang dari keturunan Daud. Melalui raja keturunan Daud ini akan membawa era supremasi dan kedamaian Yahudi. Istilah mesias berasal dari kata “masyiah”8 yang berarti “yang diurapi atau diminyaki.” Menurut tradisi bangsa Israel, pengurapan sangat penting bagi seseorang yang dilantik menjadi raja dengan cara pembaluran minyak di kepala oleh pemuka agama (seperti Daud diurapi oleh Samuel). France mengatakan bahwa Perjanjian Lama belum memakai istilah mesias (orang yang diurapi oleh Allah) dengan arti sebagai tokoh yang dipakai Allah untuk melaksanakan karya keselamatan, tetapi pada abad-abad menjelang kedatangan Yesus istilah mesias menyempit menjadi orang yang dipilih Allah dalam memimpin bangsa Yahudi menuju kejayaan. 9 Istilah mesias dapat dipahami dalam dua arti, yakni: pertama, mesias dalam arti masyakh, yaitu pengurapan oleh minyak. Arti kata mesias diambil dari bahasa Aram mesyiha, yang dialek dari bahasa Ibrani masyiah, yang berarti yang diurapi. Di dalam Septuaginta, kedua kata ini diterjemahkan ho kristos (χριστος) dalam bahasa Yunani, dari kata kerja 6 --------, (Karakteristik), KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 209. --------, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2007), 57. 8 S.M. Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 4. (Selanjutnya disebut: Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama). 9 R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang disalibkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 22. 7 170 ISSN 2579-5678 χριω - khriô artinya mengurapi. Istilah ini ditujukan kepada orang-orang yang menerima tugas dan jabatan sebagai imam (Kel. 30:30; Im. 4:5), nabi (1Raj. 19:16), dan raja (1Sam. 16:6; 2Sam. 1:14), bahkan raja kafir, yaitu raja Koresh memperoleh pengurapan dalam melakukan tugas khusus, namun ia tidak dijuluki sebagai mesias meskipun Allah mengurapinya (Yes. 45:1) untuk melakukan pembebasan atas bangsa Yahudi dari pembuangan. Kedua, meshiakh, yaitu yang diurapi. Istilah ini ditujukan kepada seseorang yang akan tampil, tidak hanya seorang yang diurapi, melainkan orang tertentu yang diurapi, orang yang akan melaksanakan kehendak Allah secara istimewa. Istilah ini jarang muncul dalam Perjanjian Lama (Dan. 9:25-26). Para nabi Perjanjian Lama, melalui pesan mereka yang dipenuhi Roh, memberi harapan akan pemulihan dan akan pelayanan raja keturunan Daud (1Sam. 7:16). Di kemudian hari, nubuatan ini menjadi nubuat akan kedatangan mesias. Namun, Mesias yang dijanjikan bukanlah raja-raja Israel yang sudah ada ataupun raja Koresh yang disebut sebagai orang yang diurapi Allah. Mesias yang dinubuatkan oleh para nabi, yaitu seorang yang lahir dari kalangan Israel sendiri yang kebesaran-Nya melebihi Daud, di mana Daud menyebut Dia adalah Tuannya (Mzm. 110:1). Oleh sebab itu, pengharapan mesianik Yahudi berpusat akan didirikannya pemerintahan atau Kerajaan Allah, dan pengharapan ini sering dihubungkan dengan datangnya seorang tokoh yang mewakili Allah untuk menjalankan pemerintahan-Nya. Tokoh seperti itu tentulah raja, yang diurapi oleh Allah dan berasal dari dinasti Daud. Istilah Yang Diurapi biasanya ditetapkan untuk raja, imam, atau nabi.10 Di dalam Perjanjian Lama, pengurapan dihubungkan dengan tiga macam orang. Pertama, dihubungkan dengan nabi. Elia diperintah agar mengurapi Elisa sebagai nabi, menggantikan kedudukan dan peranannya (1Raj. 19:16). Kedua, dihubungkan dengan imam. Allah memerintahkan imam-imam diurapi dan disucikan sehingga pantas menjadi pelayan 10 Darmawijaya, Gelar-Gelar Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 79-80. 171 ISSN 2579-5678 bagi-Nya (Kel. 28:41). Ketiga, dihubungkan dengan raja. Atas perintah Allah, Samuel mengurapi Daud di hadapan saudara-saudaranya, karena Daud adalah orang pilihan Allah (1Sam. 16:12.13). Tiga peran yang juga menjadi ciri tugas perutusan Yesus. Bertolak dari latar belakang mesias tadi, maka kata Kristus adalah persamaan dari kata mesias. Dalam bahasa Yunani mesias adalah kristos, sehingga nama Yesus Kristus sungguh berarti Yesus Sang Mesias, atau Yesus yang Diurapi. 1. Karakteristik Mesias Dalam Nubuatan Para nabi menubuatkan Sang Mesias yang akan memulihkan kembali bangsa Israel seperti yang idealnya. Masing-masing nabi menyatakan karakteristik Mesias menurut kehendak Allah. Pada hakekatnya Allah memulihkan manusia bukan berdasarkan kebutuhan manusia melainkan kebutuhan Allah sendiri. Namun, dalam pengharapan Mesias ini, kecenderungan bangsa Israel mengharapkan berdasarkan kebutuhan mereka tanpa melihat bahwa kebutuhan Allah yang lebih utama. Pribadi Mesias yang akan datang adalah hanya satu pribadi, namun dalam menyampaikannya kepada umat dengan karakteristik yang holistik. Masing-masing nabi menyatakan karakteristik Mesias tersebut dalam situasi yang berbeda, namun semuanya tergenapi hanya di dalam Yesus saja. a. Mesias Yang Nasionalis Konsep nasionalis di Israel telah muncul sejak zaman Musa. Ideal dari nasionalis yang dimaksudkan adalah theokrasi nasional Israel. Namun, visi theokrasi dalam Perjanjian Lama tidak terfokus pada Israel saja. Dalam konsep theokrasi nasionalis tersebut sangat erat terkait dengan realitas geografis dan politik.11 Tanah Kanaan adalah tanah pusaka, Yerusalem adalah istana raja 11 Richard L. Pratt, Ia Berikan Kita Kisah-Nya, (Surabaya: Momentum, 2013), 391. 172 ISSN 2579-5678 pilihan Allah, bait suci adalah tempat ibadah. Dengan meningkatnya pewahyuan, semakin jelas bahwa perluasan kerajaan ke seluruh dunia pada akhirnya tercapai melalui intervensi Mesias yang penuh keagungan. Nasionalis Israel yang ideal telah pudar pada akhir pemerintahan Salomo. Tetapi sebelumnya, pemerintahan Daud merupakan pemerintahan ideal yang berkenan di hati Allah sehingga Daud dipuji karena ia memerintah atas Israel dengan menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh bangsa.12 Era Daud merupakan era kedamaian, keadilan, kebenaran dan kehadiran Allah. Allah mengkehendaki pemerintahan tersebut. Daud orang yang diperkenankan Allah, gambaran dari Mesias. Karakter Daud diberikan untuk memahami Mesias seperti apa yang akan Allah utus ke bumi. Melalui nabi Natan, Allah memberitahukan jika kerajaan ini kokoh selama-lamanya (2Sam. 7:16). Nubuat nabi Natan ini merupakan cikal bakal pengharapan mesianik yang akan memerintah kerajaan Daud di kemudian hari. Janji tentang anak Daud yang memerintah kerajaan ini merupakan makna baru bagi generasi selanjutnya, yaitu seorang Mesias dari keturunan Daud. Setelah pecahnya kerajaan Israel menjadi dua kerajaan, akhirnya monarkhi theokrasi tidak ideal lagi. Perpecahan ini telah berdampak buruk bagi kesatuan ibadah dan kesetiaan Israel kepada Allah. Walter mengatakan bahwa “perpecahan kerajaan setelah masa-masa Daud dan Salomo merupakan yang pertama dari rangkaian krisis yang akan dihadapi Israel sebagai akibat pengaruh dosa yang bersifat menghancurkan.”13 Bangsa Israel akhirnya mengadopsi sinkritisme penyataan dan religi yang tidak sehat. 12 VanGemeren, Progres Penebusan, 227. Walter C. Kaiser, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 237. (Selanjutnya disebut: Walter, Teologi Perjanjian Lama). 13 173 ISSN 2579-5678 Barth menjelaskan timbulnya sinkritisme bagi bangsa Israel yaitu “Orang-orang Israel mengikuti ibadah atau cara beribadah orang Kanaan. Ketika kemarau berkepanjangan, kepercayaan akan berkat Tuhan diuji dan jika tetangga mengadakan upacara kepercayaan untuk mendatangkan hujan, orang Israel bertanya dalam hati apakah tidak sebaiknya kita ikut juga. Orang itu tidak bermaksud meninggalkan Tuhan, tetapi menambah berkat dari sumber lain.”14 Konsep “realpolitik dan vox populi” terbentuk dalam kehidupan bangsa Israel sehingga meremehkan natur esensial dari penyataan Allah sendiri. Realpolitik atau politik kekuasaan adalah penerapan pragmatisme dari suatu teknik yang dengannya seseorang atau sekelompok orang dapat mempertahankan kehidupan sedangkan vox populi adalah suara rakyat.15 Tujuan dari konsep ini dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan tertentu. Akibat dari konsep ini adalah bangsa Yahudi tidak bersandar lagi kepada Allah YHWH tetapi telah bercampur dengan penyembahan berhala. Dosa semakin berkembang di tengah-tengah umat Allah. Para raja, tua-tua, bahkan pemimpin rohani serta masyarakat cenderung melakukan kejahatan. Akhirnya Allah marah kepada mereka dan menghukum mereka. Allah tidak menginginkan umat-Nya hidup dalam perzinahan. Allah menubuatkan penghukuman kepada mereka apabila tidak bertobat. Dalam nubuatan nabi menyerukan tentang Mesias yang sangat nasionalis dan memperhatikan umat-Nya sendiri. Nabi Hosea, Yoel dan Amos yang mengharapkan “pemulihan nasionalis”16 itu. Dengan kata lain, konsep 14 Cristoph Barth, Marie Claire Barth, Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 47 (Selanjutnya disebut: Barth, Teologi Perjanjian Lama 2). 15 Willem VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, (Surabaya: Momentum, 2011), 14. (Selanjutnya disebut: VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi). 16 Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, (Surabaya: Momentum, 2014), 116. 174 ISSN 2579-5678 pengharapan tersebut lebih mengarah kepada politis, duniawi dan nasionalistis sifatnya. 17 Melalui nubuatan mereka, Mesias yang akan datang itu berkarakteristik nasionalis. b. Mesias Yang Religius Religi (agama) adalah “suatu sistem kepercayaan dan moralitas yang memberikan kepada manusia suatu makna yang mengarahkan manusia bagaimana mereka bisa hidup dalam damai dengan lingkungan mereka.”18 Jakob juga berpendapat bahwa agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan tafsir Alkitab yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.19 Allah mengharapkan umat-Nya menyembah Dia saja. Di gunung Sinai Allah memberikan aturan-aturan peribadahan kepada-Nya agar dalam peribadahan pun umat-Nya tetap kudus dan tidak seperti peribadahan bangsa-bangsa lain. Maka, religi yang dimaksudkan harus ada kaitannya dengan iman, karena konsep agama tidak boleh terlepas dari iman. Religi yang berhubungan dengan iman adalah suatu hubungan manusia dengan Allah. Bangsa Israel telah diberikan aturan-aturan untuk ditaati dan dilakukan. Tetapi, dalam perjalanan waktu, bangsa Israel akhirnya menyembah ilah-ilah lain sehingga makna religi yang sesunggunya menjadi pudar. Religi yang dilakukan lebih kepada “bentuk animisme, politheisme, monotheisme, moralisme, atau bahkan sekularisme.”20 Peribadahan umat Allah telah tercemar hingga pada akhirnya Allah tidak berkenan kepada 17 David Iman Santoso, Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya, (Malang: SAAT, 2009), 34. (Selanjutnya disebut: Santoso, Theologi Matius). 18 VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 7-8. 19 Tom Jacobs, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 14. (Selanjutnya disebut: Jacobs, Paham Allah). 20 VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 12. 175 ISSN 2579-5678 peribadahan mereka. Para pemimpin agama yang cenderung melakukan kejahatan di mata Tuhan. Ketika kerajaan utara berpisah dengan Yehuda, Yerobeam melarang rakyatnya untuk berziarah ke Yerusalem untuk beribadah di sana. Ia tidak setuju kalau rakyatnya menjadikan Yerusalem sebagai pusat peribadahan mereka. Akhirnya Yerobeam memilih kota Betel dan Dan sebagai pusat peribadahan. Kemudian ia mendirikan patungpatung anak lembu yang terbuat dari emas (1Raj. 12:26-33). Awalnya patung-patung tersebut tidak dimasukkan sebagai lambang dari Allah, tetapi sebagai pengalas bagi takhta-Nya. Patung-patung ini mungkin mempunyai makna yang sama seperti dua patung Kerubim yang terbuat dai emas dan yang terdapat dalam Bait Allah (1Raj. 6:23). Akan tetapi masyarakat menghubungkannya dengan kultus kesuburan yang tersebar secara luas di Palestina pada masa itu. Yerobeam pada akhirnya ditolak sebagai raja oleh nabi Ahia karena kesalahannya. Kesalahan Yerobeam ialah karena membuat patung-patung anak lembu emas ini sehingga rakyatnya memuja patung-patung tersebut. Demikian juga di kerajaan selatan. Ketika keluarga Omri dan kerajaan Yehuda menciptakan kedamaian, akhirnya putri Ahab, yakni Atalya, dinikahkan dengan putra Yosayat, Yoram. Akan tetapi Atalya mempengaruhi suaminya agar mengizinkan ibadah kepada para baal dilaksanakan di Yerusalem. Akibat dari perbuatan mereka akhirnya Allah mengasingkan mereka ke pembuangan. Setelah masa pembuangan, orang-orang Yehuda yang tinggal di Yerusalem berada dalam kondisi miskin tanpa pemimpin, dan memiliki sedikit sekali sumber daya. 21 Atas keputusan Koresh, bangsa Yehuda kembali ke Yerusalem. Mereka mula-mula membangun Bait Allah di bawah kepemimpinan 21 Harry Mowvley, Penuntun Ke Dalam Nubuat Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 49. 176 ISSN 2579-5678 Zerubabel. Perkakas Bait Allah yang telah diangkut ke Babel kembali dibawa ke Yerusalem (2Raj. 25:8-11). Pembangunan Bait Allah dimulai di bawah pengawasan Shesbazar (Ez. 1:8). Pembangunan ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Dari pihak bangsa Yehuda sendiri mereka tidak terlalu antusias untuk membangun. Mereka lebih mementingkan pembangunan rumah mereka sendiri-sendiri (Hag. 1:1-11). Pada masa ini nubuatan tentang mesias dari para nabi memiliki perbedaan. Nabi Hagai mengharapkan seorang mesias pilihan Allah (Hag. 2:21-24), sedangkan nabi Zakharia menunjuk pada dua orang mesias (Za. 4:1-14).22 Dalam pengharapan mesias sebagai raja menunjuk kepada Zerubabel,23 sedangkan mesias sebagai imam, nabi Zakharia menunjuk kepada imam Yosua. Dalam kemerosotan akhlak umat Allah, akhirnya nabi menyuarakan kembali agar umat kembali beribadah kepada Allah dengan sempurna. Nabi menubuatkan Sang Mesias yang memiliki karakteristik yang religius. “Nabi Yehezkiel mengharapkan pemulihan religius”24 dari Sang Mesias yang akan datang. Kehadiran Yesus di tengah-tengah kemerosotan ini memberikan pandangan baru tentang konsep religius yang sejati. Tidak dapat dipungkiri bahwa Yesus sangat religius sewaktu menjadi manusia. Seringkali Alkitab menjelaskan bahwa Yesus melakukan sesuatu seperti yang Bapa kehendaki. Hubungan Yesus dengan Bapa sangat erat dan sulit dipisahkan. Yesus adalah seorang yang religius yang dikehendaki oleh Allah sendiri. c. Mesias Yang Moralis dan Sosial Gambar Allah di dalam manusia terletak pada karunia yang dicurahkan oleh Allah kepada ciptaan-Nya, yang dipilihnya untuk 22 Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, 136. Ibid., 144. 24 Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117. 23 177 ISSN 2579-5678 menguasai bumi serta menikmati persekutuannya antara satu dengan yang lain. Martabat manusia diekspresikan di dalam hubungan mereka dengan Sang Pencipta dan dengan dunia ciptaan. Manusia di dalam totalitas tubuh dan roh mereka, merefleksikan gambar Allah dalam seluruh eksistensi mereka yang kreatif. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia mengalami keterpisahan hubungan dengan Allah. manusia tersebut makin lama makin berbuat dosa. Ketidak-adilan yang dilakukan manusia di hadapan Allah membuat Ia murka. Allah memakai berbagai cara untuk menghukum manusia yang berdosa. Kejayaan umat Allah sempat mencapai puncak kejayaannya seperti masa pemerintahan Daud. Namun, kejayaan tersebut hanyalah semu. Kejayaan tersebut diperoleh atas hasil korupsi. Masyarakat miskin semakin melarat, sedangkan mereka yang berada dalam kedudukan yang tinggi semakin makmur. Akhirnya tercipta polarisasi sosial masyarakat pada kedua kerajaan tersebut. Konteks umat Israel berhadapan dengan pengharapan mesianik adalah berbagai penindasan di dalam negeri dan dari bangsabangsa lain. Ketika bangsa Israel berhasil ditaklukkan oleh bangsa lain, mereka dijajah dan ditindas. Demikian juga di dalam negeri, umat Israel menghadapi penindasan dari para pemimpin atau penguasa yang korup dan lalim. Raja-raja menjalankan pemerintahan sesuai keinginan dan demi keuntungannya sendiri, sehingga rakyat atau umat mengalami penderitaan. Penderitaan yang dialami umat Israel, yakni munculnya polarisasi sosial yang membuahkan struktur masyarakat yang diskriminatif dan menindas. Hal ini tidak sesuai dengan makna lingkaran keluarga Allah yang semestinya hidup dalam kasih, damai, adil dan sejahtera. Secara rohani, baik umat maupun para pemimpin agama tidak berfungsi sesuai tugasnya. Maksudnya, para imam melakukan korupsi dan kolusi dengan penguasa demi kepentingan mereka, sehingga pada abad ke-2 s.M., golongan Qumran 178 ISSN 2579-5678 menentang para imam dan memberikan pengharapan mesianik kepada sosok pribadi dari keturunan imam (Zadok). Nabi Maleakhi menegur serta memperingatkan umat Israel karena kerusakan moral dan sosial mereka.25 Bertolak dari masalah yang dihadapi umat, pengharapan ditujukan kepada Sang Mesias yang memulihkan hubungan yang sejati antara sesama. Para pemimpin hendak memperhatikan kehidupan sosial masyarakat bawah. Moral umat Allah tidak menunjukkan pada arogansi lagi tetapi mengayomi mereka dan menjadi berkat bagi semua orang. Harapan ini ditujukan kepada Dia yang akan datang sebagai Mesias dan memulihkan moral dan sosial umat Allah. d. Mesias Penghapus Dosa Alkitab memaparkan, bahwa umat Allah dijajah, dihukum, miskin, dan tertindas lebih disebabkan karena dosa; baik dosa dalam pribadi maupun kuasa-kuasa struktural yang menindas. Artinya, bahwa baik permasalahan jasmani maupun permasalahan rohani timbul karena dosa. Perbuatan dosa atau dosa dalam perbuatan tidak hanya merasuk bangsa Israel, tetapi manusia seluruhnya. Tindakan polarisasi sosial, penindasan, kejahatan, kearogansian merupakan hal-hal yang diakibatkan dosa. Inilah yang dipersoalkan sekaligus menjadi perhatian Allah. Allah mengasihi manusia, secara khusus umat-Nya, baik ia sebagai pelaku, maupun sebagai korban. Bagi mereka yang berstatus pelaku, Allah mengasihi mereka lewat teguran dan hukuman. Allah menegur mereka bukan berarti membenci orangnya, melainkan untuk mengubah sifat manusia tersebut agar kembali pada hakekat manusia yang sebenarnya. Demikian juga bagi mereka yang menjadi korban dari penindasan dan perbudakan, 25 Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117. 179 ISSN 2579-5678 Allah memberikan penghiburan dan harapan hidup sehingga mereka merasakan kepedulian yang adil. Dalam Injil, Yesus memproklamirkan bahwa waktunya telah genap: “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15). Artinya, Allah sudah dekat; Allah datang untuk melepaskan kaum-Nya yang menderita. Jadi, tujuan Allah mengutus pembebas di dalam dunia untuk membebaskan manusia dari segala kuasa-kuasa jahat dan dosa, serta mempersembahkan kepada kehendak Bapa dalam ruang lingkup kerajaan Allah, sekaligus menghancurkan bentukbentuk kuasa yang menindas manusia dan melawan Allah. Sang Mesias yang akan datang adalah yang menghapus dosa manusia. Melalui nabi Yesaya dan Mikha sangat jelas dalam menubuatkan Sang Mesias yang menyelamatkan manusia.26 Hanya melalui Dia lah keselamatan dapat terjadi di dunia ini (Kis. 4:12). 2. Perkembangan Pengharapan Mesianik Pada Zaman Yesus Pada masa Perjanjian Baru keadaan bangsa Yahudi sangat menderita, terutama bagi kaum atau orang-rang yang dipinggirkan (marginal), baik politik, sosial, ekonomi maupun agama. Kenyataan ini membuat mereka kembali mengharapkan mesias yang akan membebaskan mereka dari penderitaan.27 Ada beberapa kelompok Yudaisme yang terbentuk dalam menantikan kedatangan mesias kelompok-kelompok tersebut, antara lain: a. Kelompok Farisi Istilah Farisi artinya yang terpisah, dan itu mencirikan orang-orang Farisi. Mereka terdiri dari imam-imam (yang tingkatnya lebih rendah), para tukang, para petani, dan para 26 27 Ibid. Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, 67. 180 ISSN 2579-5678 pedagang.28 Mereka berusaha untuk mengikut Hukum Taurat sebaik mungkin, tetapi bukan Hukum Taurat saja, melainkan adat istiadat nenek moyang. Mereka memisahkan diri dari hal-hal duniawi. Mereka mempertahankan ketahiran dalam kehidupan sehari-hari.29 Mereka membenarkan diri karena melakukan Hukum Taurat. Mereka menganggap bahwa mereka orang Yahudi yang terbaik. Kalau mereka tidak pergi ke sorga, tidak ada orang Yahudi lain yang bisa ke sana. Mereka mengharapkan kebenaran dan keselamatan oleh karena mereka keturunan dari Abraham dan melakukan Hukum Taurat serta tradisi nenek moyang. Orangorang Farisi tidak senang dengan pemerintah Roma dan ingin menjadi merdeka. Golongan ini kecil, tetapi mempunyai pengaruh besar dalam agama Yahudi. Kebanyakan dari rabi-rabi dan juga anggota-anggota Mahkamah Agama adalah orang Farisi. Maka, mereka menantikan Sang Mesias yang akan melakukan perlawan kepada pemerintahan Romawi dan memimpin mereka dalam pemerintahan-Nya yang baru. b. Kelompok Saduki Golongan Saduki pada umumnya, terdiri dari kaum ningrat. Mereka mempunyai tanah banyak. Kebanyakan orang kaya termasuk dalam golongan ini. Imam Besar juga dipilih dan ditetapkan oleh golongan ini. Oleh karena kebanyakan golongan adalah orang kaya, mereka senang dengan pemerintah Roma dan tidak mau ada peperangan untuk menjadi merdeka, sebab peperangan pasti membahayakan kedudukan mereka. Mereka juga mempunyai pengaruh besar dalam agama Yahudi dan banyak juga 28 H. Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ± 330 s.M., (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 97. (Selanjutnya disebut: Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba). 29 Joel B. Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, (Jakarta: PPA, 2005), 50. (Selanjutnya disebut: Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul). 181 ISSN 2579-5678 yang menjadi anggota Mahkamah Agama. Perbedaan antara kaum Farisi dan Saduki salah satunya pada pemahaman mengenai kebangkitan.30 Namun, mereka menantikan Sang Mesias yang sangat idealis, dimana Ia akan memimpin agama Yahudi ke dalam peribadahan yang sejati. c. Kelompok Herodian Golongan ini senang dengan pemerintah Herodes dan menyokongnya. Raja Herodes Agung dan keturunannya, yang ditetapkan sebagai kepala-kepala pemerintah Roma di Israel, menerima adat istiadat dan kebudayaan Roma. Mereka juga tidak mau menjadi merdeka, tetapi menerima Kerajaan Roma di tanah Israel. Semua orang Yahudi lain, yang ingin menjadi merdeka, membenci orang-orang Herodian, karena mereka menyokong pemerintah Herodes dan menerima adat istiadat orang Roma. Bagi kelompok ini menganggap bahwa Sang Mesias itu telah datang dan Ia lah Herodes yang memberikan kesejahteraan bagi kelompok mereka. Sang Mesias dipahami secara liberal. d. Kelompok Ahli Taurat Ahli Taurat adalah ahli kitab yang mempunyai ahli untuk menyalin Kitab Suci. Oleh karena mesin cetak belum diciptakan, hanya ada satu cara untuk memperbanyakkan buku, yaitu, orang harus menyalinnya dengan tangan. Oleh karena Kitab Suci orang Yahudi begitu penting, yaitu wahyu dari Allah sendiri, penyalinan Kitab Suci itu tidak diserahkan kepada orang sembarangan. Ahli kitab mempunyai cara khusus, sampai menghitung kata-kata per garis, untuk memastikan bahwa Kitab Suci itu tidak salah disalin. Oleh karena mereka yang menyalin Kitab Suci, maka merekalah yang tahu Kitab Suci lebih baik dari pada orang-orang lain. 30 Ibid., 51. 182 ISSN 2579-5678 Mereka jugalah yang menjadi guru untuk membaca dan mengajar Kitab Suci kepada masyarakat. Di samping itu ahli Taurat juga mempunyai tugas dalam pengadilan orang Yahudi sebagai ahli hukum. Kebanyakan ahli Taurat berasal dari golongan Farisi tetapi juga ada yang berasal dari golongan Saduki. Mereka sangat disiplin dalam Hukum Taurat. Dalam pengharapan Sang Mesias lebih kepada Dia yang akan datang seperti Musa yang membawa pedang untuk membebaskan mereka dari perbudakan. Musa telah membebaskan nenek moyang mereka dari perbudakan Mesir, maka Sang Mesias yang akan datang juga seorang pahlawan yang datang dengan membawa pedang di tangan-Nya. e. Kelompok Eseni Golongan Eseni adalah orang Yahudi yang memisahkan diri dari masyarakat Yahudi lainnya. Tempat mereka ada di guagua. Mereka ini adalah orang-orang yang berada di Qumran. Golongan Eseni ini mempertahankan kesucian ibadah. Golongan ini tidak mengenal perbudakan dan pantang mengucapkan sumpah.31 Komunitas mereka pada dasarnya adalah sebuah komunitas eskatologis – terpisah sebagai umat perjanjian yang tersisa bagi Allah, serta besiap-siap untuk peperangan terakhir melawan kerajaan kegelapan.32 Karena mereka adalah para imam yang telah mengasingkan diri, maka mereka sangat mengharapakan Sang Mesias yang berperan dalam Bait Allah. Ia adalah Imam dan juga keturunan imam. f. Kelompok Zelot33 Kelompok Zelot adalah kelompok orang-orang fanatik dalam kehidupan tradisi Yahudi yang menghendaki pembebasan 31 Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba,101. Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, 51. 33 Ibid., 52. 32 183 ISSN 2579-5678 bangsa dari penjajahan Romawi, tetapi juga fanatik terhadap pelaksanaaan hidup tradisi sendiri. Orang-orang Zelot sangat menentang kebudayaan Helenisme. Mereka juga berusaha untuk memurnikan bangsa Yahudi dari pengaruh serta penguasa asing. Orang ini giat dalam membentuk kehidupan beradat, bangsa dan beragama. Sikap fanatik mereka didasarkan atas keyakinan bahwa kuasa Allah saja yang penting dan tidak ada kuasa lain yang bisa dijadikan tumpuan hidup. Kaum Zelot tidak mau mengakui kuasa manusia.34 Dalam pengharapan mesianiknya, mereka menantikan Sang Mesias dari keturunan raja Daud yang akan menentang segala kebudayaan luar dan pengaruh-pengaruh asing. g. Kelompok Sicarii35 Kelompok Sicarii muncul pada pemerintahan Yudas Makabeus. Gerakan ini muncul karena kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan rohani di Galilea yang menindas rakyat. Nama Sicarii berasala dari kata latin sicae yang artinya pisau belati. Sesuai dengan namanya maka mereka menggunakan pisau belati dalam melakukan peperangan. Gerakan Sicarii ini bersifat politis dan mesianik juga. Kelompok ini bekeinginan memulihkan kejayaan Daud seperti yang dijanjikan Kitab Suci. Para pemimpin berlagak seperti mesias-mesias yang siap membebaskan umatnya dengan pertolongan Tuhan. Intinya, setiap ada gerakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Romawi, seringkali tokoh utamanya diyakini sebagai mesias. Ketika Yesus hadir ditengah-tengah mereka (Mat. 21:4-9; Luk. 19:45), sebagian orang menganggap bahwa Dialah mesias yang dijanjikan tersebut. Biasanya yang mengakui ini adalah orang-orang yang 34 Darmawijaya, Para Rasul Yesus: Kisah Kelompok Dua Belas, (Yogyakarta, Andi, 2011), 70. 35 Joseph A. Grassi, Perwujudan Ekaristi: Keadilan dalam Kehidupan Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 24-15. 184 ISSN 2579-5678 terpinggirkan. Yesus lebih dekat dengan orang-orang yang dipinggirkan dari pada para pemimpin agama. Apalagi Yesus sering mengecam mereka sebagai orang yang fanatik. Dalam situasi ini, orang-orang yang selama ini saling bermusuhan (di kalangan elit-elit agama) bersama-sama mencari kesalahan Yesus bahkan ingin menyalibkan Dia. Pada dasarnya orang Yahudi dan Roma tidak pernah bersama. Walaupun umat Yahudi selalu mengikuti kehendak pemerintahan Roma, namun dalam hati mereka ingin memberontak untuk bebas. Tetapi dalam menghadapi Yesus, kedua bangsa ini bekerja sama. Di sisi lain orang orang Roma tidak mau ada gerakan pemberontak yang ingin melawan mereka. Bahkan orang-orang yang pernah merasakan mujizat dan menganggap Ia adalah mesias, semuanya berubah ketika mereka melihat Yesus tidak mengarah (gerakan) politik, saat memasuki Yerusalem. Dengan latar ini, mesias tetap mereka nantikan. 3. Pribadi Mesias dalam Nubuatan Nabi Para nabi menubuatkan mesias yang akan memulihkan kembali bangsa Israel seperti yang idealnya. Dalam nubuatan tersebut ditemukan beberapa sebutan mesias, yakni: a. Anak Daud Ungkapan mesias sebagai anak Daud terdapat dalam nubuat nabi Natan kepada raja Daud mengenai janji kerajaan yang kokoh selama-lamanya (2Sam. 7:14). Janji ini merupakan dasar dari nubuat para nabi selanjutnya yang berhubungan dengan kerajaan mesias. Kerajaan mesias akan hadir di tengah-tengah mereka untuk memulihkan bangsa tersebut. “Mesias itu disebut Daud (Yer. 30:9; Yeh. 34:23-24; 37:24; Hos. 3:5), sesuai dengan cara Ibrani yang menggunakan nama nenek moyangnya sebagai 185 ISSN 2579-5678 sebutan untuk keturunan-keturunannya.”36 Mesias yang datang menjadi raja dari keturunan Daud akan berperan dalam bidang politik.37 Hubungan mesias dengan Daud sehingga bentuk harapannya berasal dari keturunan Daud, adalah: pertama, secara garis keturunan mesias yang akan datang itu berasal dari keturunan Daud. Hal ini terjadi karena nubuat nabi Natan tentang mesias ditujukan kepada keturunan Daud, dalam konteks pemerintahan, masa pemerintahan Daudlah yang menjadi tolak ukur dan cita-cita mengakui pemerintahan yang ideal. Dalam terang inilah mesias disebut sebagai anak Daud. b. Anak Manusia Istilah anak manusia dalam Perjanjian Lama dihubungkan dengan tradisi Yudaisme, khususnya kitab Apokaliptik.38 Istilah anak manusia mengacu pada kata adam, yang artinya anak, atau kata eno’s yang berarti kolektif manusia.39 Setiap manusia bagi orang Yahudi disebut anak Adam dan sejumlah manusia disebut anak Adam. Menurut Alan Richardson, “anak ben adam sinonim dari kata anak ben enos yang merupakan bahasa Semitik yang biasanya digunakan sebagai jabatan nabi.”40 Dalam kitab Henokh, perumpamaan anak manusia disebutkan sebagai makhluk surgawi atau tokoh supranatural yang memerintah atas suatu kerajaan yang universal dimana terdapat pelaksana keselamatan dan penghakiman. 36 Ibid., 284. Ibid., 285. 38 David L. Baker, Satu Alkitab, dua perjanjian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 37 25. 39 Harun Martin, Inilah Injil Yesus Kristus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 182. Alan Richardson, An Introduction the Theology of The New Testament, (London: SCM Press LTD, 1961), 128. 40 186 ISSN 2579-5678 c. Anak Allah Istilah anak Allah merupakan ungkapan mesias yang paling penting dalam pengharapan Yahudi. Namun sangat perlu untuk menyelidiki dengan teliti penggunaan sapaan yang begitu mulia ini dari fakta historis dalam kebudayaan Yahudi. Dilihat dari penggunaan gelar ini dalam Perjanjian Lama, gelar ini tampil dalam cara yang bervariasi di kalangan Yahudi. Pemikiran Yahudi tentang anak Allah mengacu pada beberapa pengertian, yaitu: setiap orang Israel; menunjukkan kepada seorang Yahudi yang baik atau suci; menunjukkan kepada Raja Israel secara khusus keturunan Daud (Mzm. 132:11; Yer. 23:5-6; 33:15-16). Dalam arti khusus Raja Israel sebagai umat pilihan Allah adalah Anak Allah. Keturunan Daud menunjuk pada keturunan yang lebih agung, yang akan menjadi raja kemudian. Perjanjian Lama memberikan suatu gagasan tentang Raja yang diurapi, dimana Raja yang diurapi berdasarkan jabatannya itu, disebut Anak Allah. Nubuatan Nabi adalah firman Allah. sesuai dengan arti kata nabi, yakni penyambung lidah, maka jelas bahwa nabi adalah seseorang yang dipakai Allah secara khusus untuk menyampaikan kehendak-Nya.41 Allah menubuatkan mesias pertama sekali melalui nabi Natan. Dalam nubuatan tersebut tidak dijelaskan siapakah dia, dari mana asalnya, dan bagaimana peranannya. Gambaran mesias yang disampaikan oleh nabi sulit dipahami oleh manusia (umat Israel) karena konsep mesias yang disampaikan oleh nabi adalah konsep dari Allah. Rothlisberger mengatakan bahwa gambaran mesias dari nabi-nabi sulit dibayangkan oleh akal manusia karena nubuat tersebut melampaui perkataan dan pengertian manusia.42 Dalam nubuatan para nabi ditekankan bahwa mesias tersebut adalah pembebas. Makna pembebas dari 41 Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, 268. H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api: Para Nabi Israel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 136. 42 187 ISSN 2579-5678 nubuatan para nabi tidak hanya mengarah pada satu aspek kehidupan manusia saja, melainkan berperan dalam seluruh aspek berdasarkan kehendak Allah. Kehendak Allah adalah keseluruhan kebutuhan manusia dari yang paling mendasar hingga kebutuhan lainnya.43 Dengan kata lain, nubuatan mesias lebih ditekankan pada konsep Allah, bukan pada situasi riil yang sedang dihadapi oleh umat sebagai yang utama, meskipun kebutuhan umat adalah konteks nubuatan nabi. Artinya, Mesias yang dinubuatkan para nabi jauh melampaui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Israel. Istilah yang digambarkan oleh nabi tentang mesias adalah: 1) Tunas yang keluar dari tunggu Isai (Yes. 11:1-3a) Kerajaan Israel yang dahulu menyerupai pohon besar, kini menjadi tunggul yang tidak berarti, tetapi justru dari tunggul itu Tuhan akan menimbulkan sebuah tunas. Ia dipelihara Roh Tuhan, akan menjadi lebih besar, dan jauh melebihi segala raja yang dahulu memelihara bangsa Israel.44 2) Raja dan penolong Nabi Zakharia menubuatkan mesias sebagai raja dan penolong, tetapi tidak persis identik dengan yang dipahami oleh umat Israel. Ia bukan sebagai raja yang tinggi hati, melainkan lemah lembut dan rendah hati (mengendarai keledai). Ia membawa damai baik untuk umat Israel maupun untuk segala bangsa di seluruh dunia (Zak. 9:9-10).45 43 W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 192. 44 Walter, Teologi Perjanjian Lama, 264. 45 Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api, 136-137. 188 ISSN 2579-5678 3) Hamba Tuhan Yesaya memakai istilah hamba Tuhan dalam nubuatannya untuk menjelaskan ciri-ciri atau tugas sang mesias yang akan datang (Yes. 49:1-3). Hamba Tuhan itu adalah oknum mesis dari keturunan Daud pada waktu itu. Daud baru yang terakhir yang akan datang itu dikenal sebagai keturunan yang maha kudus, taruk dan sebagainya.46 Penderitaan yang dialami oleh hamba tersebut demi orang lain akan menghasilkan pendamaian antara Allah dan manusia (Yes. 53:1-9); walaupun Ia akan tunduk terhadap penderitaan, kematian, dan penguburan, sesudah itu Ia akan ditinggikan dan diberi penghargaan yang berkelimpahan (Yes. 53:10-12). 4) Gembala yang baik Gambaran tentang gembala yang baik tersebut menunjuk pada sang penguasa yang penuh kebaikan, yang bisa diandalkan dalam memegang peran pemimpin. Ia juga adalah gembala yang lemah lembut. Ia membebaskan para kawanan dari segala macam persoalan dan penderitaan. Sebagai gembala ia harus mengurus domba-domba-Nya dengan benar dan setia.47 Berdasarkan data di atas maka peranan mesias yang dinubuatkan para nabi tidak terfokus pada satu aspek kehidupan saja. Nubuatan para nabi mengarahkan fokus mereka pada rencana dan kerajaan Allah yang meliputi seluruh dunia.48 46 Walter, Teologi Perjanjian Lama, 276. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, 78. 48 Walter, Teologi Perjanjian Lama, 233. 47 189 ISSN 2579-5678 4. Karakteristik Pengharapan Mesianik vs Karakteristik Kemesiasan Yesus Israel dari abad ke abad mengharapkan sosok mesias yang berperan pada masalah yang sedang dihadapi pada saat itu. Fakta sejarah menunjukkan bahwa konsep umat terhadap mesias tersebut, yaitu mesias yang akan membebaskan mereka dari suatu himpitan dan mengalahkan musuh-musuhnya, baik musuh dari dalam negaranya sendiri maupun musuh dari luar. Pengharapan mereka tidak mempunyai gambaran yang jelas bagaimana rupa dan pekerjaan mesias yang dinantikan. Namun pengharapan tersebut berkisar disekeliling nubuat-nubuat tentang raja dari keturunan Daud yang akan membawa kemenangan kepada mereka. Nabi tidak memberikan konsep mesias sebagai penunjukan orang yang pasti, melainkan mesias berdasarkan konsep Allah. Selain itu, misi utama nubuatan nabi adalah menuntut keadilan Allah disuarakan. Jika patokannya keadilan Allah, maka mesias yang akan datang tersebut berasal dari Allah. Dengan demikan jelas bahwa mesias yang akan datang tersebut tidak hanya berasal dari keturunan Daud, tetapi terutama Ia dari Allah dan diutus oleh Allah. pengharapan mesianik dalam Perjanjian Lama mengandung ketegangan. Maksudnya, mesias dalam pemahaman umat sangat bersifat eksklusif. Mesias tersebut bertindak, berperan dan berkarya hanya untuk kebutuhan Israel saja, sedangkan dalam nubuatan nabi mesias itu bersifat inklusif, yakni berperan dan bertindak meliputi seluruh manusia. Jadi, perbedaan mesias yang diharapkan umat dan mesias nubuatan, justru membuka pintu kepada Yesus sebagai pemenuhnya. Seandainya nabi memberikan peranan seperti yang dipahami umat, maka nubuatan tersebut tidak ada kaitannya lagi dengan Yesus, karena peristiwa tersebut telah terjadi pada saat itu. Namun, kebenaran ini perlu dibuktikan melalui penyelidikan tentang kemesiasan dalam Injil dan penafsiran Yesus sendiri. Maka, karakteristik kemesiasan Yesus 190 ISSN 2579-5678 yang ditampilkan-Nya adalah holistik. Yesus memenuhi seluruh aspek kebutuhan manusia. 5. Karakteristik Yang Holistik Yesus adalah Sang Mesias yang telah dinubuatkan oleh para nabi. Tidak ada perbedaan antara nubuatan dengan realita Yesus di dunia ini. Semua ajaran Yesus mengarah kepada kerajaan Allah yang kekal. Yesus menyampaikan pemahaman yang multifaset tentang kerajaan Allah yang telah berlangsung, sedang berlangsung dan akan datang, rohani dan politis, bumiah dan sorgawi. Kerajaan Allah sudah merupakan realitas di dalam Perjanjian Lama. Di sana Allah menyatakan diri-Nya sebagai Sang Raja agung atas seluruh ciptaanNya. Ia terus menopang dan memberkati secara berlimpah seluruh riil pemerintahan-Nya dengan makanan, minuman, keindahan, dan berkat prokreasi. Ia sungguh adalah Sang Raja dan Pencipta. Istilah raja identik dengan kerajaan. Kerajaan yang dipimpin oleh raja yang akan datang dalam pemahaman orang Yahudi semakin berkembang. Matius sering menggunakan istilah kerajaaan Sorga (Allah) untuk menyajikan bahwa mesias tersebut sangat berperan sebagai raja. Santoso kembali mengatakan bahwa dengan banyaknya Matius menggunakan istilah kerajaan Sorga dalam kitabnya memberi kesan bahwa di dalam menyajikan Yesus sebagai mesias, ia juga menyajikan-Nya [Yesus] sebagai raja.49 Ia juga adalah Penebus, yang menyatakan diri-Nya sebagai Pahlawan Perang Ilahi,50 yang pemerintahan-Nya meluas ke seluruh bangsa di dalam keselamatan dan penghakiman. Pengindentikan Yesus yang erat dengan kerajaan dan juga penekanan-Nya pada kerajaan telah memberi kesan bahwa kerajaan itu baru. Yesus melintasi ras dan bangsa dan menjadi garam dan terang dunia. Yesus banyak melakukan mujizat, namun kadang 49 50 Santoso, Theologi Matius, 33. VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 237. 191 ISSN 2579-5678 Dia melarang untuk mempublikasikannya agar konsep mesianik yang dibawa-Nya tidak dipahami keliru. Yesus tidak menghendaki mereka menempatkan-Nya ke dalam peran revolusioner politik mereka, melainkan Yesus melakukan kehendak Allah yang universal. Karakteristik Yesus sangat holistik karena Dia datang untuk penggenapan nubuatan51. Dalam kontinuitas karakteristik Mesias, maka kehadiran Yesus sangat nasionalis sesuai nubuatan yang dipesankan oleh Allah melalui para nabi. Yohanes sendiri dalam suratnya berkata: Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan olehNya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:10-11). Kata “dunia” dan “milik kepunyaanNya” menujukkan kepada tempat. Dunia sangat diperhatikan oleh Allah, meskipun manusia tidak terlalu memperhatikan dunia. Dunia di sini berbicara kepada seluruh manusia di dunia ini. Allah sangat nasionalis sehingga dunia yang kepunyaan-Nya ini diperhatikan-Nya. Secara khusus kepada milik kepunyaan-Nya adalah Yahudi. Yudaisme diartikan sebagai “agama Yahudi”, yang baru dipakai mulai Abad Pertengahan ketika orang Yahudi mulai membandingkan dirinya dengan Islam dan agama Kristen. Dalam Perjanjian Lama agama Yahudi selalu berkaitan dengan bangsa dan tanah. Tetapi dengan imperialisme Romawi, bangsa Israel kehilangan otonomi negaranya sehingga Yudaisme memiliki arti yang sempit yakni sebagai agama Yahudi. Jadi, Yudaisme dalam arti agama Yahudi sudah muncul pada periode hellenisme tahun 400-200 sM.52 Namun, orang Yahudi sendiri tidak menerima-Nya, pada hal Ia datang untuk milik kepunyaan-Nya. Sifat nasionalis-Nya begitu dalam meskipun milik kepunyaan-Nya tidak menerima Dia. Ia tidak memandang ras atau kebangsaan, derajat, sosial, jenis kelamin atau usia, tetapi Ia sangat empati dan simpati kepada semua orang. Hubungan sosial dan moral yang baik ditujukkan oleh Yesus kepada mereka. Yesus justru memiliki bela rasa kepada mereka yang miskin 51 52 Stott, Kristus Yang Tiada Tara, 10. Jacobs, Paham Allah,135. 192 ISSN 2579-5678 dan tertindas. Yesus tidak melihat status, tetapi Ia sangat empati kepada semua orang. Bela rasa adalah suatu sifat pokok Allah dan sifat moral utama dari suatu kehidupan yang berpusat kepada Allah.53 Rasa solidaritas-Nya sangat kental sehingga sebagian masyarakat mengharapkan Dia menjadi raja mereka. Berulang kali Lukas mengatakan bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga (Luk. 24:46). “Rencana keselamatan Allah sedang dilaksanakan dalam diri Yesus.” 54 Yesus melaksanakanNya sebagai tuntutan atas kedatangan-Nya di dalam dunia ini. Ia harus melaksanan peranan-Nya sebagai Hamba Allah. Stefen Leks mengatakan bahwa selaku hamba, Ia harus mewujudkan Rencana Bapa, Ia harus taat, biarpun kelak akan menghadapi penderitaan.55 Lukas menitikberatkan bahwa Yesus memperhatikan orang-orang lemah, miskin, dan sesat (Luk. 6:20-21, 24-25; 19:10).56 Dari pengertian di atas jelas bahwa kebutuhan orang banyak terjawab dalam tindakan Yesus kepada mereka. Yesus memperhatikan mereka tidak seperti para pemimpin Yahudi lainnya. Polaritas-polaritas yang berkembang di kalangan Yahudi menjadikan orang yang miskin dan berdosa (berdasarkan ukuran Yahudi) terasingkan. Dalam kedatangan Yesus di tengah-tengah mereka menjadikan mereka sangat berharga. Dalam Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku” menunjukkan bahwa peranan mesias sebagai utusan Allah untuk memberikan pembebasan bagi mereka yang susah karena utang.57 Dari peristiwa tersebut 53 Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 51. 54 Tom Jacobs, Lukas: Pelukis hidup Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 19. 55 Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 127. (Selanjutnya disebut: Leks, Tafsiran Injil Lukas). 56 B.J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9. 57 Leks, Tafsir Injil Lukas, 145-146. 193 ISSN 2579-5678 menunjukkan bahwa Yesus sangat berperan dalam keselamatan yaitu menghapus dosa manusia. C. Penutup Akar dari permasalahan manusia dan kemanusiaan adalah dosa dan kejahatan. Manusia mengalami penindasan, perbudakan, ketidak adilan, penghinaan dan segala bentuknya, adalah karena dosa. Hal ini dialami manusia dari abad ke abad, dari sejarah Israel hingga sejarah manusia modern ini. Karena itu, kebutuhan manusia yang mendasar adalah bebas dari dosa. Dari latar belakang inilah Allah mengurapi Yesus untuk membebaskan manusia secara utuh dari dosa. Di sinilah letak sifat, isi dan tujuan kemesiasan dan pengharapan mesianik. Kemesiasan Yesus bertolak dari nubuatan para nabi mengarah kepada konsep Allah. konsep Allah tersebut akan membebaskan umat-Nya (inklusif) dari seluruh permasalahan. Permasalahan tersebut yang menjadi kebutuhan manusia. Allah mengetahui segala kebutuhan manusia, terutama kebutuhan yang paling mendasar karena Ia adalah pencipta. Oleh sebab itu, dalam nubuatan nabi, ternyata pembebas yang dinubuatkan tersebut akan berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Injil menyaksikan kemesiasan Yesus secara keseluruhan. Artinya, Yesus yang telah hadir di dunia ini, adalah mesias yang sebenarnya. Kerajaan Allah yang diwartakan dalam kehidupan-Nya menyaksikan kemesiasan-Nya yang sesungguhnya. Yesus berinteraksi kepada umatNya, terutama bagi mereka yang dianggap miskin oleh pemimpin agama. Yesus menunjukkan bela rasa bagi mereka yang membutuhkan. Seluruh tindakan Yesus yang di nyatakan-Nya merupakan konsep kerajaan Allah yang sesungguhnya. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kemesiasan Yesus bersifat holistik. Artinya, Yesus tidak berperan dalam 194 ISSN 2579-5678 satu aspek permasalahan manusia saja, melainkan keseluruhan permasalahan manusia tersebut. Akhirnya, yang mengatakan permasalahan yang dihadapi manusia adalah hati, atau hidup yang telah dikuasai oleh dosa dan peranan Sang Pembebas, yakni membebaskan manusia dalam keutuhan dan keseluruhan hidup yang dikuasai oleh dosa dibenarkan kitab suci sendiri bahwa karakteristik kemesiasan Yesus adalah holistik. Artinya, permasalahan manusia yang disebabkan baik nasionalis, moral dan sosial, dan agama (rohani) yang akarnya karena dosa, Yesus memeranginya. Yesus tidak berperan hanya kepada satu aspek saja, ataupun kepada aspek sosial ekonomi atau agama, melainkan semua aspek tersebut. Inilah yang disebut “Yesus adalah Mesias yang Holistik”. Daftar Pustaka _____, Alkitab. Jakarta: LAI, 2010. _____, KBBI. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. _____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: YKBK, 2007. B.J. Boland. Tafsiran Alkitab: Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Baker, David L. Satu Alkitab, dua perjanjian. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Barth, Cristoph., Marie Claire Barth, Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Borg, Marcus J. Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Darmawijaya. Gelar-Gelar Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Darmawijaya. Para Rasul Yesus: Kisah Kelompok Dua Belas. Yogyakarta, Andi, 2011. France, R.T. Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang disalibkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. 195 ISSN 2579-5678 Grassi, Joseph A. Perwujudan Ekaristi: Keadilan dalam Kehidupan Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Green, Joel B. Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul. Jakarta: PPA, 2005. Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Jagersma, H. Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari ± 330 s.M. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Martin, Harun. Inilah Injil Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Mowvley, Harry. Penuntun Ke Dalam Nubuat Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Obadja, Jeane Ch. Survei Ringkas Perjanjian Lama. Surabaya: Momentum, 2014. Richard L. Pratt. Ia Berikan Kita Kisah-Nya. Surabaya: Momentum, 2013. Richardson, Alan. An Introduction the Theology of the New Testament. London: SCM Press LTD, 1961. Rothlisberger, H. Firman-Ku Seperti Api: Para Nabi Israel. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. Santoso, David Iman. Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya. Malang: SAAT, 2009. Siahaan, S.M. Pengharapan dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Stott, John. Kristus Yang Tiada Tara. Surabaya: Momentum. Tandiassa, S. Teologia Perjanjian Baru. Yogyakarta: Moriel, 2010. Tom Jacobs. Lukas: Pelukis hidup Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Tom Jacobs. Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2015. VanGemeren, Willem. Penginterpretasian Kitab Para Nabi. Surabaya: Momentum, 2011. VanGemeren, Willem. Progres Penebusan. Surabaya: Momentum. Walter C. Kaiser. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004. 196 ISSN 2579-5678 BIODATA PENULIS Sri Mulyono, memperoleh gelar Magister Teologi dari Institute Injili Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai Ketua STT BMW Medan. Freddy Teng, memperoleh gelar Doktor Teologi dari Institute Injili Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai wakil ketua bidang Administrasi (Waket II) di STT BMW MEDAN. Yupiter Mendrofa, memperoleh gelar Magister Teologi dari STT Injili Indonesia Medan. Saat ini menjabat sebagai wakil ketua bidang Kemahasiswaan (Waket III) di STT BMW MEDAN. Eliazer Nuban, memperoleh gelar Doktor Teologi dari Institute Injili Indonesia Batu Malang (“I3”). Saat ini menjabat sebagai wakil ketua bidang Akademik (Waket I) di STT BMW MEDAN. Suranto, memperoleh gelar Magister Pendidikan Agama Kristen dari STT Tiranus Bandung. Saat ini menjadi dosen luar biasa di STT BMW Medan dan menjabat sebagai koordinator bidang akademik di Yayasan Misi Remaja Internasional. Binahati Waruwu, memperoleh gelar Doktor Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Medan (UNIMED). Saat ini menjabat sebagai ketua penelitian di STT BMW MEDAN. Yulius Enisman Harefa, memperoleh gelar Magister Teologi dari STT Injili Indonesia Medan. Saat ini menjabat sebagai ketua prodi di STT BMW MEDAN. 197