Abigael Mitaart : Aku Yakin Yesus Kristus Bukan Allah Bilik » Mualaf | Kamis, 16 Agustus 2012 15:45 Penulis : Indra Widjaja Saya Abigael Mitaart (Pr), lahir di Pulau Bacan, Maluku Utara, 30 Maret 1949, dari pasangan Efraim Mitaart dan Yohana Diadon, latar belakang agama keluarga kami adalah Kristen Protestan. Ketika beragama Kristen Protestan, saya sama sekali tidak pernah membayangkan untuk memilih agama Islam sebagai iman kepercayaan saya. Hal ini dapat dilihat dari situasi keluarga kami yang sangat teguh pendiriannya pada keimanan Kristus. Bagi saya, saat itu, tidak mudah untuk hidup rukun berdampingan bersama umat Islam, karena sejak masa kanak-kanak telah ditanamkan oleh keluarga agar menganggap setiap orang Islam sebagai musuh yang wajib diperangi. Bahkan kalau perlu, seorang bayi Kristen diberikan pelajaran bagaimana caranya membuang ludah ke wajah seorang Muslim. Hal ini mereka lakukan sebagai perwujudan dari rasa kebencian kepada umat Islam. Di sanalah, saya tumbuh hingga dewasa dalam lingkungan keluarga Kristen yang sangat tidak bersahabat dengan warga muslim. Tentu, saya tidak pernah absen pergi ke gereja setiap hari Minggu. Bahkan, saya berperan dalam setiap Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Misalnya, saya selalu diminta tampil di berbagai kelompok paduan suara untuk pelayanan lagu-lagu rohani gereja. Selain itu, saya kerap mengikuti kegiatan "Aksi Natal" yang diselenggarakan oleh gereja dalam rangka pelebaran sayap tugas-tugas misionaris (kristenisasi). lhwal ketertarikan saya pada agama Islam berawal dari rasa kekecewaan kepada ajaran-ajaran Kristen dan isi Alkitab yang hanya berisikan slogan-slogan. Bahkan, menurut saya, apabila para pendeta menyampaikan khotbah di atas mimbar, mereka lebih terkesan seperti seorang penjual obat murahan. Ibarat kata pepatah, "Bagai tong kosong nyaring bunyinya." Sekalipun saya sudah menekuni pasal demi pasal, ayat demi ayat dalam Alkitab, tetapi tetap saja saya sulit memahami maksud yang terkandung mengenai isi Alkitab. Misalnya, tertulis pada Markus 15 : 34, "Di sana, pada detik-detik Yesus akan mengakhiri hidupnya di atas kayu salib, ia mulai merasa ditinggalkan oleh Allah." Lalu, siapakah Yesus Kristus sesungguhnya? Bukankah ia adalah pribadi (zat) Allah yang menjelma sebagai manusia? Lalu, mengapa ia (Yesus) berseru dengan suara nyaring dan mengatakan, "Eli..., Eli..., lama sabakhtani?" ('Tuhanku..., Tuhanku..., mengapa Engkau tinggalkan aku?'). Akhirnya saya yakin bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah, walaupun sebelumnya iman kepada Yesus Kristus sangat berarti dalam kehidupan saya. Apalagi, ketika itu, didukung dengan ayat-ayat dalam Alkitab, seperti tertulis, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia (Yesus Kristus). Sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan." (Kisah Para Rasul 4 : 12). Kemudian dilanjutkan lagi dengan Yohanes 14 : 6, "Kata Yesus kepadanya (Thomas murid Yesus), 'Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak (Allah), kalau tidak melalui Aku (Yesus)." Setelah membaca ayat ini, kemudian saya mencoba membanding-bandingkan dengan satu ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 19, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) pada sisi Allah ialah Islam." Entah mengapa, saya merasakan pikiran saya berubah. Mungkin ini suatu keajaiban yang luar biasa terjadi dalam diri saya. Karena selesai membaca ayat Al-Qur'an tersebut, saya mulai merasa yakin bahwa ayat yang tertulis dalam Surah Ali Imran ayat 19 itu bukanlah semata-mata "ayat rekayasa" dari Nabi Muhammad SAW, tetapi ayat tersebut sesungguhnya adalah firman Allah yang hidup, dan kehadiran agama Islam langsung mendapat ridha dari Allah SWT. Betapa sulitnya seorang Kristen seperti saya bisa memeluk agama Islam. Tetapi, saya yakin dengan keputusan untuk masuk agama Islam. Karena saya berkesimpulan, apabila seorang beragama Kristen kemudian memilih agama Islam, selain karena mendapat hidayah, ia juga termasuk umat pilihan Allah SWT. Alhamdulillah singkat cerita, pada 22 Desember 1973, di sebuah pulau terpencil bernama Pulau Moti di wilayah Makian, Maluku Utara, dengan disaksikan warga muslim setempat, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Tanpa terasa air mata kemenangan berlinang, sehingga suasana menjadi hening sejenak. Keharuan amat terasa saat peristiwa bersejarah dalam hidup saya itu berlangsung. Usai mengucap dua kalimat syahadat, nama saya segera saya ganti menjadi Chadidjah Mitaart Zachawerus. Keputusan saya untuk memilih Islam harus saya bayar dengan terusirnya saya dari lingkungan rumah. Pengusiran ini tidak menggoyahkan iman dan Islam saya. Karena saya yakin akan kasih sayang Allah SWT, senantiasa tetap memelihara saya dalam lindungan-Nya. "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu selain dan Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin berserah diri." (Ali Imran : 160). Alhamdulillah, pada Juni 1996, saya bersama suami, Sulaiman Zachawerus, menunaikan rukun Islam kelima, pergi haji ke Baitullah. Dari mualaf.com KotaSantri.com © 2002-2017