Bab V Penutup A. Kesimpulan Penelitian ini bermaksud untuk memperkuat teori Bourdieu mengenai keterkaitan antara modal dengan strategi dominasi kekuasaan. Apabila dalam sebuah ranah terjadi kompetisi antar pemain untuk memenangkan pertandingan, maka diperlukan penggunaan strategi. Strategi yang dipakai ini tergantung dari volume dan komposisi modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Strategi berperan sebagai maneuver para pemain untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena pertarungan. Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoritas, modal dan akses atas posisi-posisi kekuasaan terkait dengan strategi yang para pelaku gunakan. Untuk memperoleh kemenangan dalam kontestasi Pemilihan Bupati Kabupaten Pasuruan 2013, Gus Irsyad dan Anwar Sadad mengonversikan modal ekonomi, budaya dan sosial menjadi modal simbolik. Modal inilah kemudian yang dapat saling dipertaruhkan untuk saling mendominasi antar aktor, dengan menggunakan strategi dominasi kekuasaan. Gus Irsyad yang lebih mendominasi baik dalam kedudukannya di partai, birokrasi dan ormas NU, lebih memilih strategi mempertahankan kekuasaannya. Gus Irsyad mengoptimalkan kekuatan PKB dan dukungan para kiai di Kabupaten Pasuruan sebagai bentuk strategi pertahanannya. Sedangkan di sisi lain, Anwar Sadad menggunakan strategi subversi yang berusaha mematahkan pandangan masyarakat bahwa santri harus tunduk pada perkataan para kiai. Anwar Sadad mencoba mencari celah untuk masuk dan mendapat dukungan dari komunitas pesantren di Kabupaten Pasuruan. Dari kedua strategi tersebut, ternyata strategi yang digunakan oleh Gus Irsyad yang lebih efektif untuk memperoleh kemenangan dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Pasuruan 2013. Implikasi strategi Gus Irsyad dapat dilihat dari tingkat keberhasilannya dalam meraih suara di basis massa tertentu. Tolok ukurnya adalah perolehan suara di Kabupaten Pasuruan, dimana Gus Irsyad memperoleh 41,47% (309.416 suara). Penggalangan dukungan para kiai di Kabupaten Pasuruan ternyata mengantarkan Gus Irsyad memenangkan Pemilihan Bupati Kabupaten Pasuruan 2013. Hal ini dikarenakan di dalam masyarakat Kabupaten Pasuruan yang sebagian besar adalah nahdliyin, kiai masih dianggap sebagai sosok yang berpengaruh kepada para santri, baik itu terhadap tindakan keagamaan, sosial, budaya, maupun politik. Oleh karena itu, penggalangan massa NU dari kalangan kiai mempengaruhi suara politik para santrinya. Pola hubungan kiai terhadap santrinya tersebut menggambarkan bahwa hubungan patron-klien di dalam masyarkat NU Kabupaten Pasuruan masih berlaku. Dalam ranah praktis sosial-politik posisi kiai berbeda dengan santri. Kiai sebagai masyarakat dominan sering merekonstruksi posisinya di atas masyarakat lain (santri). Inilah sikap elitis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Konstruk sosial yang dibangun atau secara alami melekat pada sosok kiai, menempatkan kiai pada bargaining position (posisi tawar) kuat. Lebih lanjut, penulis menemukan bahwa salah satu faktor kekalahan Anwar Sadad disebabkan karena seringnya berpindah partai. Walaupun dia berpindah ke partai yang ideologinya hampir sama, akan tetapi membuat loyalitasnya dipertanyakan. Hal ini membuat kepercayaan massa NU padanya menjadi berkurang sehingga jaringan yang sudah di bangun selama ini menjadi terputus. Kondisi ini menunjukkan bahwa Anwar Sadad kehilangan apa yang berharga dalam sebuah ranah (nomos), yaitu loyalitas dalam ormas NU di Kabupaten Pasuruan. Menurut Fukuyama, trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.1 Apabila rasa percaya itu telah hilang, maka modal sosial berupa jaringan massa NU yang dimiliki Anwar Sadad otomatis juga ikut hilang. Hilangnya jaringan massa NU Anwar Sadad akhirnya mempengaruhi jumlah suara yang diperoleh dalam Pilgub Kabupaten Pasuruan 2013. 1 Fukuyama, loc.cit. B. Refleksi Teori Teori modal milik Bourdieu sangat erat kaitannya antara pengertian sosiologis dan relasi sosial yang terjadi di masyarakat. Modal tidak hanya dilihat sebagai hal-hal yang bersifat material, akan tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti relasi sosial, kekuasaan, posisi, dan sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki material, namun dia memiliki jaringan sosial yang kuat, posisi bagus, pendidikan yang legitimate, dan mendapat pengakuan dari masyarakat, maka sebenarnya dia memiliki potensi modal yang baik yang bisa dipertukarkan oleh agen yang memilikinya. Modal simbolik merupakan kekayaan simbolik yang menganugerahkan otoritas dan kharisma kepada empunya. Tentu saja untuk memperoleh anugerah modal simbolik ini tidak mudah. Upaya untuk memperoleh modal simbolik ini dapat dilakukan dengan cara mengakses dan memobilisasi simbol dan sumber-sumber kultur yang bersifat simbolik. Misalnya melalui cara Gus Irsyad dengan mengakses, bersosialisasi, dan memobilisasi ikon-ikon budaya komunitas NU dan para kiai dalam berbagai kesempatan. Lebih lanjut, Bourdieu juga mengaitkan antara modal simbolik dengan kekuasaan simbolik (symbolic power). Kekuasaan simbolik ini dapat dilihat sebagai kemampuan menggunakan berbagai macam bentuk simbol untuk mempengaruhi jalannya suatu peristiwa Sejalan dengan pemikiran Bourdieu, modal menjadi modal utama sejauh mana calon kandidat mampu membangun hubungan politik dengan para pemilih. Secara umum hubungan politik ini berangkat dari jaringan sosial yang telah melekat pada relasi-relasi sosial dan mutual trust (kepercayaan) yang telah terbangun diantara keduanya. Di mana hubungan yang sebelumnya hanya bersifat biasa-biasa dengan didasarkan pada relasi dan kepercayaan, kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membangun hubungan politik (dalam konteks mendapatkan dukungan suara dari para pemilih dalam proses Pemilu). Hubungan antara kiai dan santri yang awalnya adalah hubungan kepercayaan dimanfaatkan lebih untuk mengarahkan aspirasi politik para santri. Struktur kiai dan santri yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini sedikit banyak telah menjadi sistem sosial kuat yang tidak dapat terbantahkan. Menurut Dhofier, sistem sosial tersebut pada dasarnya merupakan pelembagaan tradisi yang membentuk struktur khas. Basis massa komunitas kiai dan santri bertumpu pada pesantren di mana kiai menempati posisi sentral dalam perikehidupan sosialnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan kiai di kalangan masyarakat santri mengakar secara kultural.2 2 Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. LP3ES, Jakarta, hlm. 35.