PRESENTASI KASUS ANESTESI DAN FARMAKOLOGI Disusun Oleh : Arief Kurniawan Dina Faizah Ikrar Syahmar Fahrul Thamrin M. Iqbal Maulana Nabella Qisthina Vania Tryanni Narasumber: dr. Rudyanto Sedono Sp.An(K) dr. Vivian Soetikno SpFK MODUL PRAKTIK KLINIK KEDOKTERAN EMEGENSI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS 1. Survei Primer a. Pediatric Assesment Triangle (PAT) Appearance and airway : Anak menangis dengan suara yang tidak biasa, dankkontak tidak adekuat Work of breathing : Terjadi peningkatan usaha nafas , nafas cuping hidung (+) retraksi sternal dan intercostalis (+), suara nafas tambahan (-) Circulation to skin : Nadi lemah, akral dingin, CTR >2 b. Evaluasi Tanda Vital TD : NA N : 130x/menit RR : 46x/menit T :41.8 c. Penilaian Jalan Nafas Adanya ancaman jalan nafas, karena adanya penurunan kesadaran d. Penilaian Pernafasan Nafas spontan, 46x/menit, saturasi 40% e. Penilaian Sirkulasi Frekuensi 130x/menit, lemah, CTR > 3s,akral dingin f. Penilaian Disabilitas GCS E3V1M3 g. Penilaian Eksposur Tidak ada pajanan yang menyebabkan kemungkinan ancaman nyawa 2. Evaluasi Masalah Pada anak ini terdapat ancaman masalah pada saluran nafas, penrafasn, sirkulasi, serta kesadaran. 3. Tatalaksana Awal a. Airway : Pasang ETT b. Breathing : Gunakkan ventilasi mekanik c. Circulation : Resusitasi cairan 20ml/kgBB bolus d. Disability: Amankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi 4. Survei Sekunder a. Identitas Nama : An. IB Usia : 1 tahun Jenis Kelamin : Laki laki Alamat : Klender b. Anamnesis Dilakukan dengan Ibu pasien 2 Keluhan Utama Batuk dan demam yang memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang Batuk dan demam dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan terus menerus, tidak terlalu tinggi namun tidak diukur. Batuk jarang, dahak sulit dikeluarkan, warna jernih. Sesak nafas tidak ada. BAB, BAK, aktifitas dan nafsu makan tidak ada masalah. Ibu pasien sudah membawa ke dokter klinik dan diberikan puyer, namun tidak ada perbaikan. 2 Hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam tinggi hingga 41C, terus menerus, dan batuk batuk menjadi makin sering. Pasien juga jadi sering BAB, dengan frekuensi > 7x/hari, konsistensi cair (+), tidak ada darah/lendir, kurang lebih ½ gelas aqua, tidak ada muntah. Pasien masih mau makan/minum. 5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien terlihat sesak, kontak kurang, akral dingin, BAK terakhir 1 jam SMRS. Riwayat Penyakit Dahulu VSD diketahui juni 2013, dan telah dilakukan operasi pada tahun 2013 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama Riwayat Imunisasi Imunisasi dasar lengkap Riwayat kehamilan dan melahirkan Selama hamil biasa, tidak ada masalah yang serius. Merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, lahir SC dengan indikasi sungsang dengan berat 2450g dan langsung menangis, skor APGAR lupa. Riwayat Gizi Sudah dapat makan bubu susu 3xsehari dan minum susu formual 3x100ml Riwayat perkembangan Terakhir pasien baru dapat tengkurap, berguling dan bicara aaa.. uuu.. 5. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Letargi, E3V1M3, tampak sakit berat b. Pemeriksaan Antopometri Berat badan : 7.5 kg Panjang : 70 cm c. Mata : Air mata tidak keluar, cekung d. Mulut : Mukosa lembab e. Jantung : BJ1, BJ 2 normal, murmur (-), gallop (-) f. Paru : Vesikuler +/+, ronkho basah kasar +/+, wheezing -/-, terdapat retraksi suprasternal dan intercostals g. Abdomen : BU (+) normal, hepar, lien tidak teraba, turgor turun h. Ektremitas: Teraba dingin, CTR > 3s 3 6. Pemeriksaan penunjang a. Lab tanggal 5 maret 2014 a. Hb : 12.1 b. Hct : 35.6 c. Leukosit : 6.550 (0.3/0.6/64.5/22.1/12.5) d. Trombosit : 30.000 b. Laboratorium tanggal 6 Maret 2014 a. Ph :7.197 b. PCo2 : 7.3 c. PO2 : 89 d. Sat O2 : 95 e. HCO3 : 2.9 f. Na : 14 g. K :3.8 h. Cl : 11 i. Procalcitonin : 10.38 Kesan : Asidosis metabolic dan sepsis berat c. Foto thorax Tampak infiltrate di perihilar dan pericardial kanan serta lapangan atas paru kiri, serta terpasng ETT dengan ujung distal setinggi Th 3-4, 2 korpus diatas Karina. Kesan : Bronkopneumonia 7. Daftar Masalah a. Syok sepsis b. Pneumoniae komunitas c. Diare akut tanpa dehidrasi dd dehidrasi berat d. Post VSD clousure 8. Pengkajian a. Survei Primer a. Airway Dipikirkan atas dasar suara menangis yang abnormal, kontak yang tidak adekuat dan penurunan kesadaran. Ditatalaksana dengan menjaga patensi jalan nafas menggunakkan ETT. b. Breathing Dipikirkan adanya masalah breathing karena peningkatan frekuensi nafas, dan adanya penggunaan otot bantu nafas, disertai saturasi yang sangat rendah. Tatalaksana dengan ventilasi mekanik c. Circulation Dipikirkan atas dasar nadi yang lemah, akral yang dingin, dan CTR > 2”. Ditatalaksana dengan loading cairan 20cc/kgbb 4 b. Survei Sekunder a. Syok sepsis i. Atas dasar 1. Anamnesis : Adanya riwayat demam 5 hari SMRS, disertai batuk batuk berdahak sulit dikelurkan. 2. Pemeriksaan fisik: Didapatkan penurunan kesadaran, peningkatakan usaha nafas, dan masalah pada sirkulasi. 3. Pemeriksaan penunjang: Procalcitonin 10.38 ii. Rencana diagnosis 1. Kultur darah iii. Rencana tatalaksan 1. RL 30ml/jam 2. Dobutamine 15mcg/kg/menit 3. Cefotaxime 4x375mg IV b. Pneumonia komunitas i. Atas dasar 1. Anamnesis : Adanya riwayat demam 5 hari SMRS, disertai batuk batuk berdahak sulit dikelurkan. 2. Pemeriksaan fisik: Ronkhi basah kasar 3. Pemeriksaan penunjang: Procalcitonin 10.38, photo thorax menunjukkan gambaran bronkopneuminaia ii. Rencana diagnosis: iii. Rencana tatalaksan 1. IVFD N5+KCL 30ml/jam 2. Cefotaxime 4x375mg IV c. Diare akut tanpa dehidrasi i. Atas dasar 1. Anamnesis : Adanya riwayat diare 1 hari SMRS 2. Pemeriksaan fisik: 3. Pemeriksaan penunjang: ii. Rencana diagnosis 1. Pemeriksaan feces lengkap 2. Elektrolit iii. Rencana tatalaksan 1. IVFD N5+KCL 30ml/jam d. Post VSD clousure : Tidak ada masalah 9. Kesimpulan Umum Anak usia 1 tahun dengan syok sepsis ec. pneumonia komunitas dd diare 10. Prognosis a. Ad vitam : Malam b. Ad functionam : Dubia at malam c. Ad sanactionam : Dubia 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pediatric Assessment 1,2 Survei primer pada anak menggunakkan sistem yang disebut sebagai PAT (Pediatric Assessment triage) yang terdiri dari 3 bagian yaitu: Airway and appearance : dilihat dari ada tidaknya tangisan/ bicara dan bunyi tangisan, respon terhdapa orangan tua, dan keadaan otot. Dalam keadaan normal, biasanya anak akan menangis atau bersuara, merespon terhadap orang tua dan lingkungan, serta aktif bergerak. Masalah pada jalan nafas dapat ditangani dengan maneuver manual, head tilt, chin lift dan jaw thrust. Pada bayi dapat dipikirkan untuk suction. Alternatif lainnya adalah pemasangan alat OPA atau NPA. Pemakain OPA dilakukan pada anak yang tidak memiliki gag refleks (penurunan kesadaran) sedangkan NPA dapat dipakai pada anak dengan gag refleks. Keduanya harus dilakukan pengukuran yang tepat. OPA yang terlalu kecil akan menekan lidah dan menyebabkan obstruksi, yang terlalu besar juga dapat menyebabkan obstruksi. NPA yang terlalu kecil tidak akan membuka jalan nafas, sedangkan yang terlalu besar akan mengganggu jalan nafas. Pilihan lainya adalah dengan menggunakkan advanced airway, seperti ETT. ETT dipakai apabila anak tidak dapat mempertahankan jalan nafas, saat BVM tidak efektif, dan ada tanda tanda hypoxemia serta hypoxia. Work of breathing5,6 : Dilihat dari usaha nafas, seperti ada tidaknya nafas cuping hidung, retraksi sternal, dan penggunaan otot bantu nafas, atau sebaliknya berupa penurunan usaha untuk bernafas. Dinilai juga dari bunyi nafas, serta kecepatan pernafasan (Tabel 1). Pada anak-anak, target saturasinya adalah 94% sehingga apabila dibawah itu harus diberikan oksigen 100%. Selain oksigen, bisa juga dibantu dengan BVM yang juga efektif untuk waktu singkat sebelum penggunaan ETT. BVM harus diberikan dengan ukuran yang tepat, dan harus serapat mungkin dengan wajah untuk meningkatkan efektifitas dari ventilasi. Pemberian ventilasi harus sebatas volume tidal. Ventilasi yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak, barotraumas, air trapping dan obstruksi saluran nafas. Selain itu, perlu diperhatikan adanya inflasi gaster yang dapat dicegah dengan: Mencegah kelebIhan ventilasi dengan memberikan ventilasi dnegan tidal volume dan hanya mengembangkan dada, diberikan dalam waktu 1 detik. Memberikan penekanan pada cricoids Penggunaan NGT 6 Circulation to skin5,6 : Dilihat dari warna kulit, ada tidaknya pucat, sianosis,serta perdarahan aktif. Dilihat juga dari kekuatan nadi, frekuensi, serat CTR. Nadi dan tensi juga dibedakan berdasarkan usia (Tabel 1). Tabel 1. Frekuensi normal pernapasan, nadi, dan tekanan darah anak Salah satu cara menangani masalah sirkulasi adalah dengan resusitasi cairan. Biasanya diberikan cairan bolus 10-20ml/kg, baik kristaloid maupun albumin dalam 5-10 menit. Perlu juga diperhatikan status gizi anak, apabila status gizi buruk maka dapat terjadi volume overload dan akan meningkatkan mortalitas. Akses yang dipakai tidka harus intravena karena pada umumnya akan sulit didapatkan. Pilihannya lainya adalah intraoseus. PAT digunakan untuk mengukur dari ABC anak, sedangkan tingkat kesadaran tetap diukur menggunakkan GCS namun dengan parameter yang berbeda yaitu: Eye • Spontan 4 • Suara 3 • Nyeri 2 • Tidak respon 1 Verbal • bersuara biasa 5 • Menangis teritasi 4 • Menangis terhadap nyeri 3 • mengeran terhadap nyeri 2 • Tidak respon 1 Motor • Spontan 6 • Menjauh dari sentuhan 5 • Menjauhi nyeri 4 • Fleksi abnormal 3 • Ekstensi abnormal 2 • Tidak respon 1 7 Jika ditemukan kondisi abnormal (Tabel 2), dilakukan penanganan sesuai Tabel 2, Tabel 3, dan Gambar 1. 3 Tabel 2. Pediatric CUPS 3 Tabel 3. Pediatric Respiratory/Cardiac Arrest Treatment 3 Gambar 2. Resusitasi neonatus 3 Tabel 4. Pediatric ALS Guideline 3 B. Syok Sepsis Syok 4,5 Shock adalah keadaan akibat kurangnaya aliran darah dan oksigen ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Shock memiliki tahapan mulai kompensasi (takikarida, vasokontriksi) sedangkan tahap dekompensasi terjadi akibat mekanisem tersebut gagal dan menyebabkan terjadinya hipotensi. Shock pada anak terbanyaka adalah shock hypovolemic, shock tipe lainnya seperti cardiogenic, distributive dan obstruksi lebih jarang terjadi. Tanda dari shock antara lain takikardi, akral dingin dan pucat, CTR >2 s, nadi yang teraba lemah, dengan atau tanpa penurunan sistolik. Saat mekanisme kompensasi gagal maka akan menyebabkan gangguan organ dan menimbulkan tanda seperti penurunan kesadaran,penurunan urin, metabolik asidosis, takipne. Sepsis7,8 Sepsis adalah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh bakteri , virus maupun jamur. Sepsis hebat adalah sepsis yang disertai dengan hypoperfusi organ, disfusingi, ARDS atau AKI. Sedangkan shock sepsi asalah sepsis dengan hipotensi dan tanda hipoperfusi yang lebih jelas. Manifestasi klinis7,8 Manifestasi sepsis pada anak antara lain: Suhu > 38.5 atau < 36 Nadi > 2 standart deviasi normal, atau bradikarid pada anak dibawah 1 tahun Pernafasan meningkat lebih dari 2 std deviasi normal, atau PCO2 < 32 mmHg Leukosit > 12.000, <4.000 atau leukosit batang > 10% Hiperglycemua, perubahan status mental, peningkatan CRT Terdapat 2 gambaran klinis yang dapat muncul yaitu Cold shock : Dimana CRT > 3s, penurunan kekuatan nadi perifer, akral dingin, biasanya berkatitan dengan sepsi dari komunitas. Pada keadaan ini CO rendah, dengan SVR yang tinggi. Shock tipe ini terjadi pada 2/3 anak-anak. 9 Warm shock : CRT baik, nadi perifer teraba kuat, dan hangat pada akral biasa terjadi pada infeksi kateter vena sentral. Pada keadaan ini terjadi peningkatan CO dengan penuruan SVR. Tatalaksana7,8 Tatalaksana ABC Antibiotik Antibiotik harus diberikan dalma 1 jam setelah sepsis teridentifikasi, dan setelah sedan kultur telah diambil. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotic dengan spectrum luas, dan disesuaikan dengan perkiraan dari sumber infeksi. Pada sepsis neonatal early onset (dibawah 72 jam) biasanya akibat bakteri yang ada di jalan lahir ibu sehingga biasnaya diberrika ampicilin dan gentamicin. Sedangkan yang late onset (>72 jam) biasanya akibat bakteri di lingkungan post natal, dan tetap biasnaya diberikan ampicilin dan gentamicin. Namun apabila curiga ada meningitis, maka diberikan cefotaxime. Pada anak anak biasanya penyebabnya adalah staphylococcus, streptococcus, pseudomonas, meninggococcus. Namun biasanya diberikan antibiotic yang poten baik terhadap bakteri gram positif maupun gram negative. Inotropik Pilihan utamanya adalah penggunaan dopamine, dengan dosing 515mcg/kg/menit, kemudian pilihan inotropik tambahan ditentukan dari tampilan klinis pasien: • Cold shock ditambahkann noradrenaline 0.05-1mcg/kg/min atau dobutamine 5-20mcg/kg/min • Warm shock noradrenaline 0,01-1mcg/kg/min End Goal directed therapy Pada jam pertama, target utamanya adalah normalisasi dari HR, CTR <2’, dengan denyut normal, akral hangat,urin >1ml/kg/jam, perbaikan status mental. 10 Terapi tambahan • Steroid dipakai pada anak anak dengan yang resisten terhadap katekolamin dan dispek dari adrenal insufficiency • Pencegahan stress ulcer dapat digunakkan PPI , H2RA ataupun sulcraflate. Tujuan adalah untuk menghindari stress ulcer dan mencegah VAP. Pada neonatus tidak lagi dieberikan H2RA karena dapat meningkatkan kemungkinan untuk infeksi dan necrotizing enterocolitis. C. Ventilasi mekanik pada bayi 6 Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat efektif . Jalan nafas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan dan penggunaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup ekspirasi. Indikasi Proteksi jalan nafas Tanda hipoksemia Hilangnya refleks pernafasan ( cedera cerebrovascular, kelebihan dosis obat) 11 Obstruksi jalan nafas besar ( epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara) baik secara anatomis maupun fungsional. Perdarahan faring ( luka tusuk, luka tembak pada leher) Tindakan profilaksis ( pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit lain atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses transportasi pasien) Optimalisasi jalan nafas Saluran untuk pelaksanaan pulmanary toilet darurat (sebagai contoh : penghisapan atau bronchoscopy untuk aspirasi akut atau pun trakheitis bakterialis berat) tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada jalan nafas ( respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan penyakit membran hyalin)( Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP). Ventilasi mekanik, misalnya pada kegagalan pernafasan pada keadaan • Pulmonar : penyakit asama, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia. (”Work of breathing” berlebihan) • Penyakit jantung atau edema pulmoner • Neurologi : berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol pernafasan dari susunan saraf pusat) • Mekanik : disfungsi paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit neuromuskuler • Hiperventilasi therapeutik untuk pasien – pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Laringoskop Ada 2 jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu laringoskop berdaun lurus ( Miller) dan lengkung (MacIntosh). Gambar 2. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah , kemudian membuka dan melihat daerah laring.Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis , kemudian mengangkat seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula kemudian mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang. Keuntungan bila diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita suara dengan lebih jelas. Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah mengurangi rangsang epiglotis yang dapat berakibat spasme laring. Karena bentuk anatomis jalan nafas neonatus , laringoskop berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus. 12 Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan selalu disediakan lampu dan batu batere cadangan. Sebelum digunakan, laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan dengan daun yang akan dipilih. Pipa Endotrakeal Pipa ET yang paling banyak digunakan untuk resusitasi adalah pipa plastik lengkung dengan kedua ujung yang terbuka. Pada bagian proksimalnya, pipa ET dihubungkan dengan adaptor yang berdiameter 15 mm, sesuai daengan adaptor balon resusitasi. Terdapat juga adapator dengan baku lain, yaitu 8,5 mm. Karena itu pada tas resusitasi, adaptor ini harus diseragamkan. Bagian distal pipa terdapat garis yang menunjukkan lokasi yang tepat setinggi pita suara agar posisi pipa setelah terpasang tepat pada trakea. Ada pula pipa ET yang memiliki lubang pada sisinya, dikenal dengan istilah Murphy eye. Lubang ini dirancang sebagai penyelamat bila terjadi obstruksi pada ujung pipa. Untuk anak di bawah usia 8 – 10 tahun atau lebih, biasanya tidak digunakan pipa yang menggunakan cuff ( balon) untuk mencegah edema setinggi rawan krikoid. Pipa karet merah tidak banyak lagi digunakan karena lebih sering menyebabkan edema. Pemilihan ukuran pipa yang tepat dapat diperkirakan dengan cara : Diameter (dalam mm) = (usia /4) + 4 Panjang (cm) = (usia /2) + 12 (pipa oral) = (usia /2) + 15 (pipa nasal) Rumus di atas dapat berlaku untuk usia di atas 1 tahun. Neonatus umumnya menggunakan pipa berukuran 3 – 3,5 mm, kecuali bayi prematur yang mungkin memerlukan pipa berdiameter 2,5 mm. Cara lain untuk memperkirakan diameter pipa 13 adalah dengan membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau diameter yang tepat dengan liang hidung. Pemilihan diameter yang tepat dapat diketahui bila dalam penggunaannya terjadi kebocoran udara melaui tepi pipa pada tekanan di atas 20 -30 cm H2O. Bila digunakan pipa dengan cuff, pengisian udara ke dalam cuff, juga harus dapat menghasilkan kebocoran udara melalui tepi cuff pada tekanan di atas 20 -30 cm H2O Tehnik pemasangan ETT pada bayi Memilih dan menyiapkan pipa ET. Pipa ET sekali pakai ( disposable) ukuran disesuaikan dengan berat badan bayi. Tabel 4. Perbandingan berat badan bayi dengan ukuran pipa ET yang dibutuhkan Pipa ET dipotong secara diagonal pada angka 13, sambungkan dengan sambungan yang sesuai. Agar pipa lebih kaku dan mudah dilegkungkan, masukkan stilet yang ujungnya tidak melebihi panjang pipa ET. Menyiapkan laringoskop • Pilih laringoskop dengan lidah / daun lurus, no. 1 ( cukup bulan) dan 0 ( kurang bulan). • Pasang daun laringoskop pada pegangannya. • Hidupkan lampu laringoskop, periksa lampu dan batere-nya Menyiapkan perlengkapan lain • Alat dan kateter penghisap no 10 F. • Balon dan sungkup , sumber oksigen 100 %, stetoskop, plester. Posisi bayi • Kepala sedikit ekstensi / tengadah • Untuk anak di atas 2 tahun, posisi optimal dapat dicapai dengan meletakkan ganjal pada kepala anak, kemudian melakukan sniffing position. Pada bayi hal ini tidak perlu dilakukan karena oksiput bayi yang prominen . Pada trauma leher , intubasi harus dilakukan dalam posisi netral. 14 Gambar 3. A. Sudut antara oral (O), faringeal (P) dan trakea (T) pada anak berusia 2 tahun bila anak terbaring datar. B. Dengan meletakkan ganjal pada oksiput, sumbu p dan t menjadi hampir segaris. C. Dengan mengekstensikan sendi atlanto-oksipital, ketiga sumbu hampir segaris. Menyiapkan pemasukan laringoskop. • Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi. • Nyalakan lampu laringoskop • Pegang laringoskop dengan ibu jari dan ketiga jari tangan kiri ( normal atau pun kidal ), arahkan daun laringoskop ke sisi berlawanan dengan penolong. • Pegang kepala bayi dengan tangan kanan. • Memasukkan daun laringoskop • masukkan daun laringoskop antara palatum dan lidah • ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah secara perlahan ke pangkal lidah sampai vallecula ( lekuk antara pangkal lidah dan epiglotis) Melihat glottis Angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh laringoskop ke arah batang laringoskop menunjuk, lidah akan terjulur sedikit sehingga terlihat faring. • Menentukan letak dan posisi daun laringsokop: Tabel 5. Tanda penunjuk tampilan laring melalui laringoskop apabila terpasang dengan benar, kurang dalam, dan terlalu dalam • Penekanan di daerah laring akan memperlihatkan glottis, dengan 15 • menggunakan jari ke -4 dan ke-5 tangan kiri . atau dilakukan asisten dengan telunjuk Batasan waku 20 detik ,tindakan dibatasi 20 detik untuk mencegah hipoksia. Sambil menunggu, bayi diberikan VTP dengan oksigen 100 %. Gambar 5. Tampilan liang glottis melalui laringoskop Memasukkan pipa ET Glottis dan pita suara harus terlihat. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, dimasukkan dari sebelah kanan mulut. Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka. Jika dalam 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan, sementara lakukan VTP. Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas garis tanda pita suara, ujung pipa pada pertengahan pita suara dan karina.Hindari mengenai pita suara, dapat mengakibatkan spasme. Mengeluarkan laringoskop. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada muka bayi, tekan ibir. Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa mengganggu atau menggeser. Cabut stilet dari pipa ET Memastikan letak pipa ET • Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan pipa ke balon resusitasi dan lakukan ventilasi sambil mengamati dada dan perut bayi. • Jika letak ET benar akan terlihat : ♦ dada mengembang ♦ perut tidak mengembung ♦ Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada atas kiri dan kanan. Jika letak ET benar : • udara masuk ke kedua sisi dada • suara nafas kiri = kanan Pipa ET tepat di tengah trakea : • kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi • suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada • tidak terdengar suara di lambung Pipa Et terletak di bronkus • suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru • suara nafas terdengar tidak sama keras 16 • tidak terdengar suara di lambung • perut tidak kembung pipa ET terletak di esofagus • tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas • terdengar suara udara masuk lambung • perut tampak gembung Komplikasi Pipa ET masuk ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan hipoksia. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi. Gigi patah. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa. Kerusakan pita suara Perforasi pada faring dan esofagus Muntah dan aspirasi Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi hipertensi, takikardi, dan aritmia. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke bronkus kanan. Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan auskultasi bilateral. D. Tatalaksana Cairan pada Anak 7 Penatalaksaan cairan pada pasien anak sanagat penting. Mortalitas dan morbiditas akibat kekurangan cairan tubuh sangat ditentukan oleh ketepatan dalam penatalaksanaan terapi cairan ini. Dalam pemberian cairan pada anak dengan syok, salah satu hal yang penting diperhatikan adalah penentuan gizi pada pasien, termasuk ke gizi buruk atau tidak. Penggolongan ini akan menentukan jenis dan jumlah cairan yang diberikan pada pasien. Adapun tatalaksana pemberian cairan infus pada pasien sebagai berikut: • Tatalaksana pemberian cairan infus pada anak syok tanpa gizi buruk Pada anak dengan gizi buruk, volume dan kecepatan pemberian cairan berbeda. Oleh karena itu, cek apakah anak tidak dalam keadaan gizi buruk. Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat, sesuai indikasi) Masukkan larutan Kristaloid (RL/NS) 17 Alirkan cairan infus 20 ml/kgBB secepat mungkin. Evaluasi syok setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan o Jika tidak ada perbaikan, ulangi 20 ml/kgBB aliran secepat mungkin Evaluasi syok setelah pemberian kedua o Jika tidak ada perbaikan, ulangi 20 ml/kgBB aliran secepat mungkin Evaluasi syok setelah pemberian ketiga o Jika tidak ada perbaikan, periksa apakah ada perdarahan nyata yang berarti: Bila ada perdarahan, berikan transfusi darah 20 ml/kgBB aliran secepat mungkin Bila tidak ada perdarahan, pertimbangkan penyebab lain selain hipovolemik • Tatalaksana pemberian cairan infus pada anak syok dengan gizi buruk Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis atau tidak sadar. Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda syok Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus diberikan Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat) Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrosa 5% (RLD 5%) atau Ringer Laktat atau Garam Normal. Bila gula darah tinggi, berikan Ringer Laktat (tanpa dekstrosa) atau Garam Normal. Alirkan cairan infus 10 ml/kg selama 30 menit Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali pemberian cairan dan setiap 5 – 10 menit Jika ada perbaikan, tetapi belum adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill > 3 detik): o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kgBB selama 30 menit. o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan. Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill < 2 detik: o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT, 10 ml/kg/jam hingga 10 jam; o Mulai berikan anak makanan Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan rumatan 4 ml/kg/jam dan pertimbangkan penyebab lain selain hipovolemik o Transfusi darah 10 ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata yang signifikan) 18 Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak meningkat 5 kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus karena cairan infuse dapat memperburuk kondisi anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam. • Tatalaksana dehidrasi berat pada keadaan gawat darurat setelah penatalaksanaan syok Jika anak mengalami syok, terapi cairan yang diberikan sesuai dengan kondisi diatas. Setelah syok tertangani (denyut nadi anak melambat atau capillary refill membaik), perlu diberikan rehidrasi yang baik ke anak sebagai berikut: Berikan 70 ml/kgBB Larutan Ringer Laktat/Garam Normal selama 5 jam pada bayi (umur < 12 bulan) dan selama 2 ½ jam pada anak (umur 12 bulan hingga 5 tahun) Nilai kembali anak setiap 1–2 jam; jika status hidrasi tidak mengalami perbaikan, berikan tetesan infus lebih cepat. Berikan juga larutan oralit (sekitar 5 ml/kgBB/jam) segera setelah anak dapat minum; pemberian ini umumnya dilakukan setelah 3–4 jam (pada bayi) atau 1–2 jam (pada anak). Lakukan penilaian kembali setelah 6 jam (bayi) dan setelah 3 jam (anak). Klasifikasikan derajat dehidrasinya, kemudian pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika memungkinkan, observasi anak sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk memastikan ibunya dapat meneruskan hidrasi dengan memberikan anak larutan oralit melalui mulut Ketika memberikan cairan infuse untuk anak syok, pemberian cairan infuse tersebut berbeda dengan anak yang dalam kondisi gizi baik. Syok yang terjadi karena dehidrasi dan sepsis dapat terjadi bersamaan dan hal ini sulit dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan dehidrasi memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infuse, sedangkan anak yang mengalami syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan memberikan reaksi. 19 Pemberian cairan pada anak ini harus menghindari adanya overhidrasi dengan memantau keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan selain memantau tanda vital dan kondisi klinis anak. c. Pneumoniae pada anak 89 Pneumonia ialah peradangan akut pada parenkim paru yang umumnya disebbakan oleh suatu infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme selain M.tuberculosis. Secara umum dibedakan menjadi empat berdasarkan etiologinya yaitu: Pneumonia komuniti Nasocomial peumonia Pneumonia opportunistic Pneumonia aspirasi Pneumonia aspirasi merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada anak merupakan infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh terhirupnya bahan-bahan tertentu ke dalam saluran pernapasan. Kondisi ini dapat idakibatkan oleh kondisikondisi tertentu misalnya gangguan neuromuskular, gangguan menelan, supresi refleks batuk maupun refleks menelan, penurunan kesadaran, penurunan kesadaran, anastesi,dan stroke. Aspirat yang masuk ke dalam paru dapat berupa cairan, benda asing,dan aspirat infeksius. Patofisiologi Pneumonia terbagi dalam empat proses yaitu: Stadium engorgment: dinding alveoli mengalami kongesti Stadium hepatisasi merah: kapiler yang telah mengalami kongesti disertai diapedesis dari sel-sel eritrosit. Stadium hepatisasi kelabu: Alveoli dipenuhi eksudat dan terjadi peningkatan leukosit dan terjadi proses fogosistosis Stadium resolusi: Apabila tubuh berhasil mengalahkan mikrooganisme dan tidak ditemukan adanya kerusakan alveoli yang bermakna. Pneumonia terbagi menjadi pneumonia ringan dan berat. Pneumonia ringan ditandai dengan batuk, kesulitan bernapas, dan hanya terdapat nafas cepat saja. Sedangkan pneumonia berat ditandai dengan batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal satu dari 4 hal berikut: Kepala terangguk-angguk karena kesulitan bernapas Pernapasan cuping hidung Retraksi dinding dada Foto toraks menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat, konsolidasi, dll). Selain itu, dapat pula ditemukan tanda-tanda berikut: Napas cepat Suara merintih (grunting) pada bayi muda Pada auskultasi akan terdengar: Ronkhi, Suara pernapasan menurun Suara pernapasan bronkhial Karena adanya perbedaan dan berbeda-bedanya prognosis pneumonia pada anak, mak perlu diperhatilkan adanya indikasi perawatan di rumah sakit bagi pasien pneumonia. Indikasi perawatan bagi pasien pneumoni antara lain ialah: 20 Bayi berusia ≤ 3 bulan apapun derajat keparahan pneumonianya Demam > 38,50C dengan muntah atau tidak mau makan Takipnea dengan atau tanpa sianosis Gagal pada terapi antibiotik sebelumnya Pneumonia berulang Pasien dengan gangguan fungsi imun maupun penyakit paru kronis. Tatalaksana diberikan sesuai dengan meberikan tatalaksana suporrtif dan tatalaksana antibiotik. Terapi suportif yang dimaksudkan adalah pemberian terapi O2 , pemberian pengencer dahak, maupun pemeberian bronkodilator jika terjadi bronkospasme. Selain itu perlu juga diberikan terapi antibiotik, berdasarkan panduan pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak, untuk kasu community based diberikan ampisilin 100mg/kg/hari dalam 4 kali pemberian dan ditambah dengan kloramfenikl 75mg/kg/hari dalam 4 kali pemberian E. Farmakologi DOPAMIN 1011 Dopamin adalah neurotransmitter sentral yang memiliki efek farmakologis penting. Di perifer, dopamine disintesis oleh sel epitel tubulus proksimal dan diduga digunakan untuk mengeluarkan efek natriuetik dan diuretic lokal. Dopamine merupakan substrat MAO dan COMT, sehingga tidak efektif diadministrasikan secara oral. Dalam konsentrasi rendah, dopamine berinteraksi dengan reseptor vascular D1 (terutama di renal, mesenterika, dan coroner), menghasilkan efek vasodilasi dengan mengaktivasi enzim adenilil siklase dan meningkatkan konsentrasi cAMP intraselular. Pemberian infus dopamine dosis rendah dapat membantu memperbaiki laju filtrasi glomerulus, aliran darah renal, dan ekskresi natrium. Karena itu, dopamine memiliki efek yang tepat dalam manajemen low cardiac output yang diasosiasikan dengan gangguan fungsi ginjal (seperti gagal jantung kongestif berat). Obat ini juga memiliki manfaat yang baik dalam penanganan syok kardiogenik dan sepsis. Dalam konsentrasi yang lebih tinggi, dopamine bekerja pada reseptor β1 adrenergik, memberikan efek inotropic positif pada jantung sekaligus memicu pelepasan norepinefrin dari ujung saraf. Dopamine biasanya memengaruhi tekanan darah sistolik dan tidak memiliki makna dalam diastolik.resistensi perifer tidak dipengaruhi oleh dopamine dosis rendah maupun sedang. Dalam dosis tinggi, dopamine mengaktivasi reseptor α1 yang memicu vasokonstriksi. Dopamine diberikan secara intravena (diutamakan vena besar untuk mencegah infiltrasi perivascular) dengan kecepatan awal 2-5 μg/kg permenit dan dapat ditingkatkan hingga 20-50 μg/kg permenit dengan observasi kondisi klinis pasien. Jika terjadi penurunan produksi urin, takikardi, atau aritmia, pemberian dopamine harus diperlambat atau dihentikan. Durasi kerjanya singkat sehingga laju administrasinya dapat digunakan untuk mengatur efek yang dihasilkan. NOREPINEFRIN Norepinefrin adalah mediator kimia utama yang dihasilkan oleh saraf simpatis postganglion mamalia. Perbedaan mendasarnya dengan epinefrin terletak pada tidak adanya gugus metil dalam asam aminonya. Akan tetapi, keduanya memiliki efek yang hampir sama, yaitu sebagai agonis langsung pada sel efektor dengan kemampuan berbeda dalam menstimulasi reseptor α 21 (norepinefrin) dan β2 (epinefrin), tetapi dengan kemampuan yang hampir sama dalam menstimulasi reseptor β1. Pemberian norepinefrin berakibat pada peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic akibat efek peningkatan resistensi perifer. Peningkatan ini terjadi pada hampir seluruh pembuluh darah, termasuk pada pembuluh darah ginjal dan mesenterika. Laju coroner biasanya meningkat karena aktivitas stimulasi reseptor β2 yang tidak biasa pada pembuluh darah tersebut. pemberian dosis kecil norepinefrin biasanya belum memberikan efek karena pembuluh darah otot rangka telah mengalami vasokonstriksi terlebih dahulu. Tidak efektif diberikan oral dan diabsorbsi buruk pada pemberian subkutan. Norepinefrin secara cepat diinaktivasi oleh enzim-enzim dalam tubuh. DOBUTAMIN Dobutamin merefleksikan dopamine dalam strukturnya, tetapi memiliki sustituen kimia besar dalam gugus aminonya. Efek farmakologinya terutama dengan interaksi pada reseptor α dan β dan tidak berkaitan dengan pelepasan norepinefrin atau sekresinya oleh reseptor dopaminergik. Dobutamin memiliki efek farmakologis yang rumit karena struktur rasematnya. Isomer (-) merupakan agonis poten pada reseptor α1, sementara isomer (+) justru sebaliknya. Efek kedua isomer ini dimediasi oleh reseptor β. Kedua isomer tersebut merupakan agonis penuh reseptor β dimana isomer (+) memiliki tingkat kepotenan yang lebih tinggi. Efek kardiovaskularnya dobutamin melibatkan komposisi farmakologi dalam campuran rasematnya. Walau masih belum dimengerti sepenuhnya, dobutamin relative lebih memiliki efek inotropic dibanding kronotropik. Kemungkinan lain, reseptor α1 jantung juga dapat memberikan efek inotropic. Dobutamin diindikasikan pada penanganan dekompensasi jantung dalam jangka yang pendek, khususnya setelah operasi jantung, gagal jantung kongestif, atau infark miokard akut. Dobutamin memiliki waktu paruh 2 menit dengan onset kerja cepat. Dobutamin biasa diberikan dengan kecepatan 2.5-10 μg/kg permenit untuk menghasilkan efek peningkatan curah jantungnya. Dalam pemberian dobutamin, sangat penting melihat kondisi klinis dan keadaan hemodinamik pasien. Pada beberapa pasien, tekanan darah dan denyut jantung dapat meningkat signifikan dalam pemberian infus, sehingga pemberiannya harus dikurangi. Peningkatan respon ventricular dapat terjadi akibat efek dobutamin dalam memperbaiki konduksi atrioventrikular. Peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung dapat berisiko menyebabkan infark. Terapat bukti-bukti yang menunjukkan toleransi dalam pemberian angka panjang. EPINEFRIN Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik, bekerja di semua reseptor adrenergik yakni alfa1, alfa 2, beta 1, beta 2. Farmakodinamik: Pembuluh darah Efek terutama ada arteriol kecil dan sfingter prekapiler. Dominasi reseptor alfa di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Epinefrin dalam dosis terapi mempengaruhi tekana darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebesar 40%. Arteri koroner :Epinefrin meningkatkan aliran darah koroner 22 Jantung :Epinefrin mengaktivasi reseptor beta 1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epinefrin memiliki efek inotropik dan kromotropik. Tekanan darah :Denyut jantung, curah jantung, curah sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi langsung pada jantung dan peningkatan alir balik vena. Saluran cerna :Epinefrin menimbulkan relaksasi otot polis melalui reseptor alfa dan beta, menurunkan tonus dan motilitas usus dan lambung. Pernafasan :Epineferin melalui reseptor beta 2 merelaksasi otot bronkus dan menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast. Selain itu epinefrin juga mengurangi selresi bronkus dan kongesti mukosa melalui resptor alfa 1. SSP :Pada dosis terapi, epinefrin tida mempunyai efek stimulasi yang kuat karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk SSP. Proses metabolik :Epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hari dan otot rangka melalui reseptor beta 2, menghambat sekresi insulin, meningkatkan sekresi glukagon, dan meningkatkan aktivitas lipase trigliserida. Mata :Epinefrin menurunkan TIO yang normal maupun pada pasien glaukoma sudut lebar. Otot rangka :Epinefrin merangsang otot rangka secara tidak langsung, yakni dengan aktivasi reseptor alfa pada ujung saraf somatis Farmakokinetik Absorbsi Pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena dirusak sebagian oleh enzim COMT dan MAO. Penyuntikan subkutan, absorbsi lambat karena vasokonstriksi lokal. Biotransformasi dan ekskresi Degradasi epinefrin di hati dan diekskresi di urin. Dosis epinefrin yang yang besar ataupun penyuntikan IV cepat tidak sengaja dapat menimbulkan perdarahan otak. Selain itu epinefrin juga dapat menimbulkan aritmia ventrikel, seperti fibrilasi ventrikel yeria,a bila epinefrin diberikan sewaktu anastesia dengan hidrokarbon berhalogenKontraindikasi: pasien yang mendapat beta bloker non selektif. Epinefrin dimanfaatkan di dunia klinik berdasarkan efek terhadap pembuluh darah, jantung dan otot polos bronkus. Utamanya digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas. Epinefrin adalah obat terpilih untuk syok anafilaktik karea bekerja cepat sebagai vasokonstriktor dan bronkodilator. Epinefrin dapat digunakan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal, merangsang jantung pada henti jantung, dan menghentikan perdarahan kapiler. CEFOTAXIME Cefotaxime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spektrum luas melawan bakteri gram positif dan negatif. Kerja antibitik ini adalah menghambat sintesis dinding sel dengan berikatan pada satu atau lebih penicilin binding protein. Obat ini digunakan pada infeksi saluran napas, kulit, tulang, sendi, dan sistem urogenital, meninges, dan aliran darah. Waktu paruh plasma sekitar 1 jam dan diberikan tiap 6 sampai 12 jam.Distribusi secara luas di jaringan dan cairan tubuh termasuk aqueous humor, cairan prostat, tulang. Metabolisme di hati sebagian dan diekskresi di urin Sediaan: bubuk obat suntik 1g, 2g, 10g.Dosis intravena dewasa: 1-2g/6-12jam Dosis intravena anak: 50-200mg/kgBB/h dalam 4-6 dosis.Dosis intravena neonatus: 100mg/kgBB/h dalam 2 dosis 23 BAB III PEMBAHASAN Pada suvei primer pertama dilakukan pemantauan PAT. Dari segi penampilan, tampak tonus otot menurun anak lebih banyak diam dan tidak bergerak, kontak tidak adekuat, pasien sulit ditenangkan dan tidak menagis, tidak tampak air mata. Kemudia dari penilaian nafas, terjadi peningkatan frekuensi nafas yaitu 46x/menit dengan standart 2440x/menit untuk anak usia 1-3 tahun. Kemudian saturasi dengan pengukuran pulseoximetry pun sangat rendah yaoti 40% dengan target 94%. Selain frekuensi naik, juga terlihat peningakatan usaha pernafasan dengan adnaya nafas cuping hidung dan retraksi supraklavikula. Kemudian dari sirkulasi didapatkan bahwa pasien memiliki akral dingin, dengan nadi lemah, dan CTR >3s. Dilihat dari PAT ini, kasus ini adalah kasus true emergency dengan permasalahan SSP, pernafasan dan sirkulasi. Kemudian saat diberikan rangsang pasien baru memberi respon saat diberi rangsang nyeri, kira kira GCS 8. Saat dilakukan pengukuran GCS sebenarnya GCS didapatkan E3M1V3. Dari survey primer ini, artinya pasien memiliki masalah pada sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. Masalah pada sistem sirkulasi ini dapat dikatagorikan kedalam syok. Karena terdapat takikardi, takipnea, akral dingin dengan CTR>3. Selain itu juga terdapat manifestasi hipoksemia berupa penurunan kesadaran, sedangkan urin belum dapat dinilai. Karena akral dingin ini juga, dimasukkan kedalam katagori cold shock. Tatalaksana awalnya adalah menggunakkan simple mask 6l/menit kemudian dilakukan pemantauan dengan pulse oximetry berkelanjutan. Dievaluasi kembali setelah 5 menit. Selagi itu siapkan alat intubasi karena ada suspek masalah di paru , ada tanda hipoksemia berupa penurunan kesadaran, dan ancama obstruksi pernfasan berupa penurunan kesadaran . Setelah 5 menit didapatkan saturasi 50%, dengan frekuensi 16x/menit sehingga diputuskan untuk dilakukan intubasi. Sebelumnya pasang monitor lengkap. Sebelum intubasi, diusahakan menggunakkan BVM sembari menunggu persiapan intubasi . Siapkan ETT dengan ukuran 4.00 mm tanpa cuff, sediakan 1 ukuran diatas dan 1 ukuran dibawah, gunakkan stylet. Siapakan laringoskop dengan daun lurus (miller) dengan no.1. Pada pasien tidak diberikan obat induksi, atau pelumpuh otot. Karena pasien dalam keadaan tidak sadar, dan sulit untuk mencari akses vena. ETT dipasang, kemudian 24 kedua dada mengembang bersamaan, dengan suara nafas yang sama. ETT disambungkan dengan ventilasi mekanik manual karena keterbatasan alat. Masalah sirkulasi diatasi dengan loading cairan, diberikan 20ml/kgBB secepatnya. Artinya diberikan 150ml secepatnya. Pilihan jalur adalah Intravena ataupun intraoseus. Pada pasien dilakukan lewat intraoseus karena akses vena sulit didapatkan.Setelah dibolus pasien memberikan respon dengan penurunan nadi, tekanan darah mulai terukur. Hal ini menunjukkan memang pasien tersebut membutuhkan tambahan cairan. Setelah itu diteruskan loading 60ml/kgbb selama 2 jam. Artinya diberika 225 ml/jam. Selagi loading cairan, lakukan monitoring ketat. Perhatikan ada tidaknya ronkhi, hepatomegaly dan tanda tanda dari overload. Setelah itu dilanjutkan dengan maintannce 30ml/jam. Terapi selanjutnya adalah dengan penggunaan inotropik, karena akral masih dingin dan CRT >2 s, tekanan darah sendiri sudah 95/55mmHg dengan target tekanan darah > 70mmHg . Pilihannya disini adalah dobutamin. Beberapa sumber mengatakan bahwa pilihan pertama pada shock sepsis anak adalah antara dobutamin dan dopamine. Namun karena HR pasien yang telah mencapai 180x/menit ditakutkan pemberian dopamine menyebabkan efek takikardi. Selain itu akral pasien dingin, artinya terjadi vasokontriksi perifer, sedangkan dopamine meningkatkan efek ini. Sehingga pilihannya jatuh ke dobutamin. Pemberian dobutamin dilakukan via akses sentral dan di titrasi. Dosis amannya adalah 10mcg/kgbb/min-20mcg/kgbb/min. Diberikan mulai dari dosis paling kecil, artinya diberikan 75mcg/min. Selagi terus dimonitor, dan dievaluasi setiap 15 menit. Karena memberikan respon yang baik maka tidak inotropik atau steroid. Untuk pemeriksaan penunjang, perlu dilakukan pemeriksaan AGD karena sempat terjadi shock, dan hiperventilasi. Dari hasil anamnesis, ibu pasien mengeluh adanya batuk selama 5 hari disertai demam, namun pada 1 hari SMRS tiba tiba demam meninggi. Keluhan lainya adalah adanya diare kurang lebih frekuensi 5x, muntah (-). Dari hasil PAT didapatkan adanya tanda tanda syok, kemudian syok ini merespon terhadap carian. Sehingga dipikirkan syok hipovolemik dd syok sepsis. Syok hipovolemik didukung dengan tidak adanya air mata, namun mukosa pasien masih lembab dan berdasarkan pengakuan ibu pasien, pasien masih mau minum. Syok sepsis dipikirkan karena ada tanda infeksi fokal, ada demam tinggi diatas 38.5C. Untuk memastikan dilakukan pemeriksaan berupa darah lengkap, elektrolit, 25 procalcitonin, AGD dan kultur darah. Syok hipovolemik dapat dipastikan dengan penurunan dari tekanan vena sentral. namun sifatnya infasif. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa leukosit tidak meninggi (6450) dan jumlah leukosit batang tidak diketahui. Sehingga tidak memenuhi kriteria SIRS. Namun dari hasil elektrolit tidak ada gangguan, artinya kemungkinan syok hipovolemik semakin kecil. Dari hasil procalcitonin didapatkan nilai 10.38 dengan nilai normal 0.1, yang menandakan adanya sepsis berat. Untuk mencari etiologi sepsis ini,dilakukan kultur darah. Untuk tatalaksana intinya adalah menstabilkan airway, breathing dan circulation. Sehingga tatalaksana sama dengan tatalkasan awal. Ditambahkan dengan masuknya antibiotik. Pneumoniae komunitas ditegakakkan dari adanya batuk dan demam selama 5 hari SMRS ditambah dengan adanya ronkhi pada lapangan paru. Dari hasil foto thorax juga didapatkan adnaya gambaran bronkopneumaie. Untuk penegakkan diagnosis seharusnya dilakukan pemeriksaan kultur dahak, namun tidak memungkinkan sehingga tidak perlu dilakukan. Untuk diare, karena baru terjadi 1 hari maka disebut sebagai diare akut. Kemudian frekuensi yang tidak terlalu banyak, dan tanpa disertai muntah mungkin tidak menyebabkan dehidrasi. Untuk status hidrasi anak sendiri sulit untuk dinilai. Tatalaksana sendiri adalah resusitasi cairan yang juga turut diberikan untuk tatalaksan shock itu sendiri. Untuk elektrolit masih dalam batas normal sehingga belum perlu dilakukan koreksi. Untuk pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan pemeriksaan feces lengkap untuk penentuan mikroorganisme. Syok sepsis biasnaya memiliki asal infeksi, pada pasien ini terdapat 2 fokal infeksi yaitu dari paru dan gastrointestinal. Sehingga antibiotik yang dipilih juga harus memiliki spectrum yang luas.Pad apasien ini dipilih cefotaxime 4x375mg yang memiliki poten terhadap bakteri gram positif dan gram negative. Dosisnya untuk anak adalah 50200mg/kgBB/ hari yang dibagi kedalam 4-6 dosis. Sehingga dosis yang diberikan sudah tepat. Post VSD closure diketahui dari anamnesis, namun pada pemeriksaan tidak didapatkan adanya tanda masalah jantung seperti overload, adanya murmur, dan pada photo thorax tidak menunjukkan adanya kardiomegali. 26 DAFTAR PUSTAKA 1 New York states emergency medical services. Pediatric assessment. http://www.health.ny.gov/professionals/ems/pdf/pediatricreferencecard-04.pdf 2 AHA. Part 14: Pediatriv ACLS 2010. Circulation 2010;122;S876-S908 3 New York State’s Emergency Services for Children program, HRSA, USDHHS in cooperation with NHTSA. 2012. 4 Fuller ED, Liversedge T. Managemene of Pediatric sepsi. In world anasthesi tutorial week 278. available at www.totw.anastehsiologist.org 5 Frankel LR. Kache S. Shock. in:Kliegmann RM (ed). Nelson textbook of pediatrics.18th; USA; Saunder elseveier;2007 6 Kumpulan Materi pelatihan resusitasi Pediatrik Tahap Lanjut. Unit Kerja Koordinasi Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak Indonesia.Semarang.2001 7 Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2007 8 Omar A, Zainudin NM, Azis BBA, Rasid MA, Nuraini NK. Clinical practice guidelines on pneumonia and respiratory tract infections in children. Pg:21-28 9 Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta:Badan Penerbit FKUI;2007 10 Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdum Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007 11 Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. Ed 10. USA: McGraw-Hill. 2006. 27