Jurnal Hukum PRANATA Vol 1 No 1.1.1

advertisement
Said Munawar: Upaya
Pencegahan Pengulangan Kejahatan
dan Pembinaan Nara Pidana
UPAYA PENCEGAHAN
PENGULANGAN
KEJAHATAN
DAN PEMBINAAN NARA PIDANA
Said Munawar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Abstrak
Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta juga merupakan
pelaksanaan dan bagian yang tidak terpisahkan dari falsafah Pancasila. Dalam pelaksanaannya dari sistem
pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama
dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang
telah selesai menjalani pidananya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan
sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya
kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.
Kata kunci: Pencegahan, kejahatan, narapidana
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini
Termaktub dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan
bahwa “Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (recht staat) tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machstaat)”. Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
diamanatkan kepada seluruh bangsa Indonesia
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan kertertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Hukum yang diciptakan oleh manusia
mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan
yang teratur, aman, dan tertib, demikian juga
hukum pidana yang merupakan salah satu
hukum yang dibuat oleh manusia mempunyai
dua fungsi yaitu:
1. Fungsi secara umum dari hukum pidana
sama dengan fungsi hukum lainnya
yakni mengatur hidup dan kehidupan
kemasyarakatan dan menyelenggarakan
tata hidup didalam masyarakat.
2. Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah
melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak memperkosanya
dengan sanksi berupa pidana
Pidana penjara itu adalah suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam
sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan
mewajibkan orang untuk mentaati semua
peraturan dari tata tertib yang berlaku di
dalam Lembaga Pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata
tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut. Secara yuridis formal,
masalah pemberian sanksi pidana di
Indonesia dikenal sejak berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam KUHP itu terdapat ketentuan pasal
mengenai sanksi pidana yaitu Pasal 10 KUHP,
yang berbunyi bahwa Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok :
1. Pidana mati
2. pidana penjara,
89
Jurnal PRANATA, Edisi September 2016
3. kurungan
4. denda,
5. pidana tutupan (UU Nomor : 20 Tahun
1946)
b. Pidana tambahan :
1. pencabutan hak-hak tertentu,
2. perampasan barang tertentu,
3. pengumuman putusan hakim.
Narapidana adalah manusia yang
memiliki spesifikasi tertentu, secara umum
Narapidana adalah manusia biasa seperti
kita semua, namun kita tidak dapat begitu
saja menyamakan begitu saja. Dalam konsep
pemasyarakatan baru Narapidana bukan saja
sebagai obyek melainkan juga sebagai sebagai
subyek yang tidak berbeda dengan manusia
lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenai
pidana, sehingga tidak harus diberantas.
Bagaimanapun juga Narapidana adalah
manusia yang memiliki potensi yang dapat
dikembangkan untuk menjadi lebih produktif,
untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjadi
pidana.
Sistem pemasyarakatan erat kaitannya
dengan pelaksanaan pidana, hilangnya
kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan penjatuhan pidana.
Pelaksanaan sistem hilangnya kemerdekaan
yang berlangsung selama kurun waktu tertentu
telah merupakan refleksi historis dalam
perkembangan falsafah Peno koreksional
dari masa ke masa. Secara singkat dapat di
katakan sejarah Pemasyarakatan memuat
value oriented atau value centered, karena
sistem pemasyarakatan itu sendiri dengan
konsisten dengan sistem nilai yang berlaku di
masyarakat.
Konsepsi pemasyarakatan ini, bukan
semata-mata merumuskan tujuan dari penjara,
melainkan suatu sistem pembinaan, suatu
metodologi dalam bidang “treathment of
offenders”. Sistem Pemasyarakatan bersifat
90
multilateral oriented, dengan pendekatan yang
berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik
pada individu yang bersangkutan maupun
yang ada ditengah masyarakat, sebagai
suatu keseluruhan. Secara singkat, sistem
pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya
pidan penjara yang merupakan bagian dari
pidana pokok dalam sistem pidana hilangnya
kemerdekaan.
Istilah “Pemasyarakatan” secara resmi
menggantikan istilah kepenjaraan sejak
tanggal 27 April1964 melalui amanat tertulis
Presiden Soekarno dibacakan pada konferensi
Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang
Bandung. Amanat ini dimaksudkan dalam
rangka “retooling” dan “reshaping” dari sistem
kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan
adanya ide Pengayoman sebagai konsepsi
hukum nasional yang berkepribadian Pancasila.
Selanjutnya ide Pemasyarakatan dicetuskan
oleh Dr. Saharjo, SH tepatnya pada tanggal 5
Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar
Doctor Honoris Causa dibidang ilmu hukum
oleh Universitas Indonesia.
TUJUAN PENGHUKUMAN
A pabila berbic a ra m engena i
penghukuman , maka pertanyaan yang
kerapkali muncul adalah apakah tujuan
hukuman itu dan siapakah yang berhak
menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah
disepakati bahwa yang berhak menghukum
(hak puniendi) adalah di dalam tangan negara
(pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan
hukuman selalu dihadapkan pada suatu
paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa
dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin
kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi
manusia tidak disinggung dan tetap dihormati.
Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah/
negara menjatuhkan hukuman, dan karena
menjatuhkan hukuman itu maka pribadi
manusia tersebut oleh pemerintah/negara
Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana
sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan
dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah
negara membela dan melindungi pribadi
manusia terhadap serangan siapapun juga,
sedangkan dipihak lain pemerintah negara
menyerang pribadi manusia yang hendak
dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan
alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena
menghukum itu dilakukan terhadap manusiamanusia yang juga mempunyai hak hidup,
hak k emerde k aan b ahk an mempunyai
hak pembelaan dari negara itu juga yang
menghukumnya. Maka oleh karena itu
muncullah berbagai teori hukuman, yang
pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga
golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
Teori absolut
To k oh - to k oh yan g te r ke n a l yan g
mengemukakan teori pembalasan ini antara lain
adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan
bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi
daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab
melakukan kejahatan, maka akibatnya harus
dihukum. Hukuman itu bersifat muthlak
bagi yang melakukan kejahatan. Semua
perbuatan yang temyata berlawanan dengan
keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah
hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat,
bukanlah hal yang menjadi pertimbangan,
tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk
menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak
menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi
dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela
sebagai suatu perbuatan yang bertentangan
dengan etika, yaitu bertentangan dengan
kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan
apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud
prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan
beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat
tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya
Pengantar Psikologi Kriminil menyatakan
bahwa ia menolak teori absolut atau teori
pembalasan itu yang dikemukakan dalam
bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur,
yaitu:
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi,
memberikan pemuasan emosionil kepada
pemegang kekuasaan dan merangsang
ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil.
Oleh karena itu kepada para penonjol
teori pembalasan itu, dapatlah diterka
bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis.
Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih
condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah
hukuman itu sendiri. Dengan dernikian
teori itu mengalami suatu jalan buntu,
oleh karena tujuannya hanya sampai pada
hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan
yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan
disertai nafsu membalas.
Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat
hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena
itu tidak mengakui bahwa hukuman itu
sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman,
melainkan hukuman itu adalah suatu cara
untuk mencapai tujuan yang lain daripada
penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan
demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk
melindungi ketertiban. Para pengajar teori
relatif itu menunjukkan tujuan hukuman
91
Jurnal PRANATA, Edisi September 2016
sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar
umumnya orang tidak melakukan pelanggaran
bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak
mengulangi kejahatan atau pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu
mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum
dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi
umum, orang akan menahan diri untuk tidak
melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi
khusus para penganjurnya menitikberatkan
bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah
orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi
mereka yang hendak melakukan peianggaran
akan mengurungkan maksudnya sehingga
pelanggaran tidak dilaksanakan.
Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman
hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan
dan mempertahankan ketertiban masyarakat,
yang diterapkan secara kombinasi dengan
menitikberatkan pada saiah satu unsurnya
tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun
pada semua unsur yang telah ada.
PENGULANGAN TINDAK PIDANA
(RECIDIVE)
Recidive atau pengulangan terjadi
apabila seseorang yang melakukan suatu
tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau “inkracht van
gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana
lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis
adalah pada Recidive sudah ada putusan
pengadilan berupa pemidanaan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atau
“inkracht van gewijsde” sedangkan Concursus
Realis terdakwa melakukan perbuatan pidana
dan antara perbuatan satu dengan yang lain
belum ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atau
92
“inkracht van gewijsde”,. Recidive merupakan
alasan untuk memperberat pidana yang akan
dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal
ada dua sistem Recidive antara lain:
Sistem Recidive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan
terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis
tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam
residivnya.
Sistem Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis
pengulanagan merupakan alasan pemberatan
pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
MENURUT KUHP
Dalam KUHP ketentuan mengenai
Recidive tidak diatur secara umum tetapi
diatur secara khusus untuk kelompok tindak
pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun
pelanggaran. Disamping itu di dalam KUHP
juga memberikan syarat tenggang waktu
pengulangan yang tertentu. Jadi dengan
demikian KUHP termasuk kedalam Recidive
khusus.
PEMBAHASAN
Dr.Sahardjodalampidatopenganugerahan
gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum,
pada tahun 1963 oleh Unversitas Indonesia,
telah menggunakan istilah “narapidana”, bagi
mereka yang telah dijatuhi pidana “kehilangan
kemerdekaan”. Sebelum itu, pada tahun 1961,
Mr. R.A. Koes noen telah menulis sebuah buku
dibawah judul “Politik Penjara Nasional” dan
pada halaman 9 dari bukunya itu dikemukakan
: “ pidana penjara adalah pidana pencabutan
Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana
kemerdekaan. Menurut asal-usul kata penjara
berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat.
Menurut politik penjara sekarang yang
bertujuan memperbaiki nara pidana tidak
sesuai lagi,karena tidak dapat seorang nara
pidana menjadi baik karena dibikin tobat.
Menurut pengalaman pun tidak dapat seorang
betul-betul menjadi tobat. (R. Achmad S. Soema
Dipraja dan Romli Atmasasmita, 1979)
Drs. Ac Sanoesi HAS (Drs. Ac Sanoesi
HAS, 1976) menyatakan :
“Istilah narapidana adalah sebagai pengganti
istilah orang hukuman atau hukuman dan
dipopulerkan oleh Koesnoen”.
Tujuan pidana yang berkembang dari
dulu sampai saat ini telah menjurus ke
arah yang lebih rasional. Yang paling tua
adalah pembalasan (revenge) atau untuk
tujuan memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang
dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan.
Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang
masih terasa pengaruhnya pada zaman modern
ini. (Andi Hamzah, 1993)
Tujuan yang juga dipandang kuno adalah
penghapusan dosa (expiation) atau retribusi
(retribution), yaitu melepaskan pelanggar
hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan
balans antara yang hak dan batil.
Yang dipandang tujuan yang berlaku
sekarang ialah vareasi dari bentuk-bentuk :
ajaran penjeraan (deterrent), baik ditujukan
kepada pelanggar hukum sendiri maupun
kepada mereka yang mempunyai potensi
penjahat; perlindungan kepada masyarakat
dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi)
kepada penjahat. Yang tersebut terakhir
yang paling modern dan populer dewasa ini.
Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi
pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain
yang bukan bersifat pidana dalam membina
pelanggar hukum.
Ketika berbicara tentang kejahatan,
maka seringnya yang pertama muncul dalam
benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita
biasa menyebut mereka penjahat, kriminal,
atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat,
dan masih banyak lagi. Masyarakat sudah
terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku
sebagai satu-satunya faktor dalam gejala
kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila
upaya penanganan kejahatan masih terfokus
hanya pada dndakan penghukuman terhadap
pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku
masih dianggap sebagai “obat manjur” untuk
“menyembuhkan” baik luka atau derita korban
maupun kelainan perilaku yang ”diidap”
pelaku kejahatan.
Perlakuan (treatment) terhadap nara
pidana dengan system pemasyarakatan.
Pokok-pokok Pemasyarakatan :
1. Konsepsi pemasyarakatan dinyatakan
pertama kali pada tahun 1963 oleh Dr.
Sahardjo, SH. Disaat beliau menerima gelar
Doctor Honoris Causa (pidato Beringin
Pengayoman)
2. Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan
dalam perlakuan terhadap narapidana
yang bersifat mengayomi masyarakat dari
gangguan kejahatan sekaligus mengayomi
para narapidana yang “tersesat jalan” dan
member bekal hidup bagi narapidana
setelah kembali ke dalam masyarakat.
3. Pemasyarakatan adalah suatu proses
pembinaan terpidana yang dengan
ke putusa n h aki m un tuk men j alan i
pidananya ditempatkan dalam Lembaga
Pemasyarakatan, maka istilah Penjara
dirubah menjadi Lembaga Pemsayaratan.
4. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses
pembinaan terpidana yang didasarkan atas
azas Pancasila dan memandang terpidana
sebagai makhluk Tuhan, individu dan
anggota masyarakat sekaligus. Dalam
membina terpidana diperkembangkan
hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi
93
Jurnal PRANATA, Edisi September 2016
serta kemasyarakatannya dan dalam
penyelenggaraannya mengikutsertakan
secara langsung dan tidak melepaskan
hubungannya dengan masyarakat. Wujud
serta cara pembinaan terpidana dalam
semua segi kehidupannya dan pembatasan
kebebasan bergerak serta pergaulannya
dengan masyarakat diluar lembaga
disesuaikan dengan kemajuan sikap dan
tingkah lakunya serta lama pidananya
yang wajib dijalani. Dengan demikian
diharapkan terpidana pada waktu lepas
dari lembaga pemasyaratan benar-benar
telah siap hidup bermasyarakat kembali
dengan baik . (Soedjono Dirdjosisworo,
1984).
Herbert L. Packer dalam bukunya 'The
Umits of The Criminal Sanction' menyebutkan
bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan
penjamin yang utama atau terbaik dan suatu
ketika merupakan pengancam yang utama dari
kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana
merupakan penjamin apabila dipergunakan
secara hemat, cermat, dan manusiawi.
Sementara sebaliknya, bisa merupakan
ancaman jika digunakan secara sembarangan
dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan
kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan
yang menyebabkan viktimisasi terhadap para
terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan
pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada
bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan
bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah
sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi
lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara
di Lembaga Pemasyarakatan.
Ini menjadi salah satu faktor dominan
munculnya seseorang bekas narapidana
melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut
dengan residivis. Pengintegrasian kembali
narapidana ke dalam masyarakat harus
dilakukan lewat tahapan self realisation process.
Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan
94
seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan
dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya
latar belakang budayanya, kelembagaannya
dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal.
Penjara yang telah melakukan segala usaha
untuk merabilitasi penjahat tidaklah lebih
berhasil dari pada penjara yang membiarkan
penghuninya “melapuk” dan bahwa rehabilitasi
adalah kebohongan yang diagung-agungkan.
Kita melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa
penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup
yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup
di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari
penjara. Juga kenyataan adanya kekerasan
dalam penjara yang merendahkan martabat
manusia di penjara. Yang dimaksud disini
adalah, penjara telah mengasingkan penjahat
dari cara hidup yang wajar melalui sikap para
petugas penjara terhadap para terpidana yang
selalu diiringi rasa was-was, mereka merasa
setiap saat dalam keadaan bahaya karena mereka
dikelilingi oleh penjahat yang dicurigai setiap
saat memberontak. Selain itu jenis keterampilan
atau pekerjaan yang ada sangat terbatas dengan
upah yang tidak memadai. Ironisnya, hampir
seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh
Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu
berakhir di penjara. Padahal penjara bukan
solusi terbaik dalam menyelesaikan masalahmasalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan
di mana "kerusakan" yang ditimbulkan oleh
tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi
sehingga kondisi yang telah "rusak" dapat
dikembalikan ke keadaan semula, di mana
dalam keadilan restoratif ini dimungkinkan
adanya penghilangan stigma dari individu
pelaku.
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang
dianggap dapat di restorasi kembali, dikenal
suatu paradigma penghukuman yang disebut
sebagai restorative justice, di mana pelaku
di dorong untuk memperbaiki kerugian
Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana
yang telah ditimbulkannya kepada korban,
keluarganya dan juga masyarakat.
Konsep Sistem P emasy arakatan
dalam instrumen nasional tentang reaksi
negara terhadap orang yang telah divonis
melanggar hukum, yang diilhami oleh 10
Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo,
memperlihatkan kecenderungan nilai dan
pendekatan yang hampir sama dengan
nilai dan pendekatan yang terdapat dalam
instrumen internasional tentang perlakuan
terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana
termuat dalam Peraturan-peraturan Standar
Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi
Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663
C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977.
10 Prinsip Pemasyarakatan :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar
mereka dapat menjalankan peranannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan
berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas
dendam dari negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan
supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang
lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum
dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak,
para narapidana dan anak didik harus
dikenalkan dengan masyarakat dan tidak
boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana
dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar
mengisi waktu, atau kepentingan negara
sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan
harus satu dengan pekerjaan dan yang
menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan
kepada narapidana dan anak didik harus
berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orangorang yang tersesat adalah manusia,
dan mereka harus diperlakukan sebagai
manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi
pidana kehilangan kemerdekaan sebagai
satu-satunya derita yang dialami.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana
yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,
korektif, dan edukatif dalam sistem
pemasyarakatan.
Dari uraian 10 prinsip pemasyarakatan
diatas, pemikiran dan tujuan Sahardjo
menetapkan pemasyarakatan sebagai tujuan
pidana penjara :
1. Sebagai upaya mengatasi kecenderungan
buruk yang terjadi di penjara pada masa
colonial belanda, dimana pada masa kini,
walaupun penjara sudah modern, manun
pelaksanaannya banyak menimbulkan
efek negative dari pelaksanaan hukuman,
disamping itu juga perlakuan terhadap
narapidana yang cenderung mengabaikan
hak-haknya.
2. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana
penjara adalah suatu cara untuk
membimbing terpidana untuk bertobat
d e n ga n j a l a n m e nd i d i k. D a l a m h a l
ini,bimbingan dan didikandiarahkan untuk
membentuk kesadaran hukum maupun
kesadaran masyarakat.
3. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana
penjara adalah suatu proses, dimana
metodenya adalah system pemasyarakatan.
Dalam hal ini system pemasyarakatan
dijadikan suatu pedoman maupun arah
pembinaan yang harus dipedomani oleh
petuga maupun narapidana pada saat
menjalani pidana.
4. Disamping bertujuan mengembalikan
narapidana ke masyarakat, pemasyarakatan
juga bertujuan agar narapidana tidak
terasing dari lingkungan sosialnya yang
dilakukan melalui asimilasi. Dalam pada
itu juga ada keterkaitan emosi yang
95
Jurnal PRANATA, Edisi September 2016
hendak dicapai dari keterlibatan mayarakat
dalam proses penerimaan kembali. Oleh
karena itu, masyarakat menjadi salah satu
unsure yang sangat berpengaruh dalam
proses pemulihan hubungan sosial, disini
masyarakat atau keluarga yang dirugikan
setidak-tidaknya dapat mempercayai proses
pembinaan dan didikan yang dijalani oleh
narapidana.
Berdasarkan 10 prinsip pemasyarakatan
salah satunya menyebutkan bahwa pekerjaan
yang diberikan kepada narapidana bukan
sekedar pengisi waktu, tetapi harus sesuai
dengan pekerjaan yang terdapat dalam
masyarakat. Artinya pemberian pembinaan
kerja pada narapidana harus sesuai dengan
pekerjaan yang ada dimasyarakat, bukan hanya
sekedar untuk mengisi waktu luang selama
menjalani masa tahanan di dalam lembaga
pemasyarakatan.
D a la m un d an g-unda ng te n tang
penghukuman dalam siste m peradilan
Indonesia tidak diatur secara detail perihal
perlakuan minimal yang diberikan oleh negara.
Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun
Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi
Perlakuan terhadap Narapidana menganut
f i l o s o f i pe n gh uku m an ya n g d iwa rn ai
pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan
yang menganggap pelaku pelanggar hukum
sebagai pesakitan dan karenanya harus
disembuhkan.
Hak-hak narapidana atau orang-orang
yang dipenjara sebagaimana tercantum dalam
Peraturan-peraturan Standar Minimum
(Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan
te rh ada p Nar apidana , r e solus i 663 C
(XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian
besar juga diatur dalam instrumen-instrumen
nasional. Hak-hak korban salah pemidanaan
dan korban penganiayaan yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang, hal mana secara jelas
dan detail diatur dalam instrumen-instrumen
96
internasional tidak diatur dengan jelas dalam
instrument nasional, kecuali dalam Konvensi.
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara
aneka penghukuman terhadap narapidana
yang melakukan berbagai pelanggaran
disiplin lembaga (melakukan pelanggaran
atas aturan dan tata tertib lembaga penahanan/
penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat
hukuman tutupan maupun hukuman untuk
menghentikan atau menunda hak tertentu
untuk jangka waktu tertentu bagi narapidana
yang dianggap melakukan pelanggaran
hukuman disiplin. Padahal dalam instrumeninstrumen internasional, bentuk hukuman
yang demikian ini dilarang.
Mengenai kelengkapan keamanan yang
standar bagi petugas lembaga penahanan
atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas
kesehariannya, perlu sangat selektif dalam
penggunaan senjata api. Dalam instrumen
nasional, penggunaan senjata api justru
dinyatakan secara eksplisit sebagai satu
kondisi yang umum/biasa. Dalam kegiatan
pengenalan lingkungan bagi narapidana
yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan,
yang pada saat itu diberikan pengenalan
fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan
pengenalan atas peraturan-peraturan yang
eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana,
juga tentang hak dan kewajiban narapidana.
Bila dalam instrumen internasional,
informasi-informasi tersebut wajib diberikan
oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam
instrumen nasional pemberian pengenalan
lingkungan ini diberikan oleh kepala blok.
Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya
dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa
hukuman dan perilaku patuh “hukum”
(sesungguhnya hanya patuh kepada petugas)
serta memiliki kewibawaan atas narapidana
lain, pihak yang diberikan tanggung jawab
oleh petugas yang berwenang dalam lembaga
sebagai penyambung lidah petugas, dan
Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana
menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan
keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas
beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlahnara
pidana.
Hukum pidana bekerja sebagai pranata
yang mengatur masyarakat, dan mempunyai
tugas untuk menentukan garis batas
antara perbuatan yang dikualifikasi sesuai
dengan hukum pidana dan perbuatan yang
di-diskualifikasi melawan hukum pidana.
Terhadap perbuatan yang melawan hukum
pidana diberikan ancaman pidana, dan oleh
sebab itu berdasarkan kewenangan alat Negara
penegak hukum dapat diajukan tuntutan
hukum dan keputusan menurut cara-cara
tertentu sesuai dengan ancaman pidana yang
berlaku. Seseorang (si pelanggar) yang dijatuhi
putusan pidana penjara berkedudukan sebagai
narapidana. (Bambang Poernomo, 1986).
Proses pembaharuan pelaksanaan pidana
penjara yang mempunyai bahan masukan
dan menghendaki hasil keluaran, dalam
kegiatannya dinamakan input-output. Kegiatan
sistem input-output yang bergerak didalam
lingkungan fenomena kehidupan manusia,
akan mendapat pengaruh lingkungan sehingga
proses yang terjadi digolongkan pada system
terbuka. (Winardi, 1980)
Berkaitan dengan kejahatan yang
kerusakan masih bisa diperbaiki, pada
dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi
pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat
rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan
para pelaku kejahatan akan menjadi lebih
baik dibanding sebelum mereka masuk
kedalam institusi penjara, Situasi program
pembinaan ketrampilan kerja/latihan kerja
yang sekarang ini berjalan di dalam dan luar
lembaga, Dengan mencari hasil signifikansi
program tersebut untuk menjadi faktor
penghalang seorang mantan penghuni
penjara kembali ke dalam penjara. Dan
akan dianalisa seberapa besar signifikansi
program pembinaan tersebut telah sesuai
dengan nilai-nilai restorative justice system.
Dengan munculnya peace making criminology
yang menawarkan suatu pilihan tentang
bentuk penghukuman yang bersifat non-violence
dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan,
melibatkan partisipasi aktif korban, bersatu
untuk mengintegrasikan pelaku ke dalam
masyarakat, melalui suatu mekanisme mediasi,
yang kemudian dikenal dengan restorative
justice. Restorative justice adalah suatu proses
dimana semua pihak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah bagaimana menangani
akibatnya di masa yang akan datang.
Dilihat dengan kaca mata restorative justice,
tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap
manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat
segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan
melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat
dalam mencari solusi untuk memperbaiki,
rekonsiliasi, dan menentramkan hati.
Metode dan strategi pemasyarakatan
digambarkan mulai tahap maksimum sekuriti
diisi dengan orientasi/observasi, tahap medium
sekuriti setelah 1/3 – ½ masa pidana diisi
dengan asimilasi pembinaan dengan berbagai
program, dan tahap minimum sekuriti
setelah lewat ½ masa pidana diisi dengan
integrasi program dual purpose/multi purpose.
Program asimilasi dan integrasi itu memasuki
pembinaan pendekatan keluarga sebagai bagian
dari masyarakat dengan pola kekeluargaan.
Pendekatan ini mulai dari sikap para petugas
sebagai orang tua yang berkemampuan
mempengaruhi perilaku orang yang dibina,
sikap masyarakat luar untuk berperan serta
dalam program pembinaan dan hubungan
dekat dengan keluarga atau sahabat yang
berperan untuk menerima terpidana dapat
menjadi mata rantai untuk mengisi system
pemasyarakata. (Bambang Poernomo, Jilid I).
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu
sistem pembinaan terhadap para pelanggar
97
Jurnal PRANATA, Edisi September 2016
hukum dan sebagai suatu pengejawantahan
keadilan yang bertujuan untuk mencapai
reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan
hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan
dengan masyarakat.
Selanjutnya pembinaan diharapkan
agar mereka mampu memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana yang pernah
dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan
sekedar untuk menghukum atau menjaga
narapidana tetapi mencakup proses pembinaan
agar warga binaan menyadari kesalahan dan
memperbaiki diri serta tidak mengulangi
tindak pidana yang pernah dilakukan.
Selanjutnya pembinaan diharapkan
agar mereka mampu memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana yang pernah
dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan
sekedar untuk menghukum atau menjaga
narapidana tetapi mencakup proses pembinaan
agar warga binaan menyadari kesalahan dan
memperbaiki diri serta tidak mengulangi
tindak pidana yang pernah dilakukan.
Departemen Hukum dan HAM sebagai
payung sistem pemasyarakatan Indonesia,
menyelenggarakan sistem pemasyarakatan
agar narapidana dapat memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana, sehingga
narapidana dapat diterima kembali dalam
lingkungan masyarakatnya, kembali aktif
berperan dalam pembangunan serta hidup
secara wajar sebagai seorang warga negara.
Saat seorang narapidana menjalani
vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan,
maka hak-haknya sebagai warga negara
akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995,
narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pem as yarakatan. Walaupun terpid ana
kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hakhak narapidana yang tetap dilindungi dalam
sistem pemasyarakatan Indonesia.
Setelah proses pembinaan telah berjalan
selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya
98
atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka
pembinaan dalam tahap ini memasuki
pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap
akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan program integrasi yang dimulai
sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan
selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi
narapidana yang memenuhi syarat diberikan
cuti menjelang bebas atau pembebasan
bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas
oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang
kemudian disebut pembimbingan Klien
Pemasyarakatan.
Bentuk-bentuk kemitraan yang
dilakukan sebagai sarana kegiatan pembinaan,
antara lain:
Peran serta masyarakat harus dipandang
sebagai aspek integral dari upaya pembinaan,
sehingga dukungan masyarakat sangat
diperlukan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan dalam pembinaan WBP. Salah satu
bentuk peran serta masyarakat ini diwujudkan
melalui program kemitraan dalam bentuk
berbagai kerjasama antara lapas/bapas
dengan masyarakat, baik perorangan maupun
kelompok.
Peran Serta Masyarakat
Pembimbingan adalah pemberian tuntutan
untuk meningkatkan kualitas ketakwaan
terhadap Tuhan yang Mahaesa, intelektual,
sikap, dan perilaku profesional, kesehatan
jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.
P e m b i n a a n Te r h a d a p Wa r g a B i n a a n
Pemasyarakatan (WBP)
1. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP
31/99)
A. Bagi Tahanan
B. Bagi narapidana
Pembinaan pada tahap ini terdapat
narapidana yang memenuhi syarat diberikan
cuti menjelang bebas atau pembebasan
bersyarat dan pembinaannya dilakukan di
Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana
luar lapas oleh balai pemasyarakatan (bapas)
yang kemudian disebut pembimbingan
klien pemasyarakatan.
2. Pembinaan Tahap Lanjutan (Pasal 9 (2) a
PP 31/99)
Tahap Pertama, waktunya dimulai sejak
berakhirnya tahap awal sampai dengan
1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini
pembinaan masih dilaksanakan di dalam
lapas dan pengawasannya sudah memasuki
tahap medium security.
3. Pembebasan tahap akhir (Pasal 9 (3) PP
31/99)
Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya
masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3
masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan
kepada narapidana memasuki tahap
minimum security. Dalam tahap lanjutan
ini, narapidana sudah memasuki tahap
asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan
cuti menjelang bebas atau pembebasan
bersyarat dengan pengawasan minimum
security.
KESIMPULAN
Lembaga Pemasyarakatan merupakan
tempat untuk melaksanakan pengayoman
serta pemasyarakatan narapidana, dengan
tujuan membina narapidana menjadi lebih
baik. Pembinaan terhadap narapidana tidak
hanya dilakukan sesaat atau instant, akan
tetapi dilaksanakan secara kontinyu dan
berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. An di H amzah , 1993 , Sis t e m Pidana
dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya
Paramita.
2. Bambang Poernomo, Bahan Kuliah Penologi
Jilid I.
3.
, 1986, Pelaksanaan Pidana
Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty, Yogyakarta.
4. Drs. Ac Sanoesi HAS, 1976, Pengantar
Penologi ( Ilm u Penget ahua n Tent ang
Pemasyarakatan khusus Pidana, Menara
Medan Liberty, Yogyakarta.
5. R. Achmad S.Soema di Praja dan Romli
Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan
di Indonesia, Bina Cipta.
6. Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah dan
Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan), PT.
Amico, Bandung.
7. Winardi, 1980, Pengantar Tentang Teori Sistem
dan Analisa Sistem, PT. Karya Nusantara.
99
Download