Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana UPAYA PENCEGAHAN PENGULANGAN KEJAHATAN DAN PEMBINAAN NARA PIDANA Said Munawar Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstrak Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta juga merupakan pelaksanaan dan bagian yang tidak terpisahkan dari falsafah Pancasila. Dalam pelaksanaannya dari sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Kata kunci: Pencegahan, kejahatan, narapidana PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini Termaktub dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (recht staat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat)”. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan kertertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hukum yang diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman, dan tertib, demikian juga hukum pidana yang merupakan salah satu hukum yang dibuat oleh manusia mempunyai dua fungsi yaitu: 1. Fungsi secara umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum lainnya yakni mengatur hidup dan kehidupan kemasyarakatan dan menyelenggarakan tata hidup didalam masyarakat. 2. Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana Pidana penjara itu adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk mentaati semua peraturan dari tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di Indonesia dikenal sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP itu terdapat ketentuan pasal mengenai sanksi pidana yaitu Pasal 10 KUHP, yang berbunyi bahwa Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok : 1. Pidana mati 2. pidana penjara, 89 Jurnal PRANATA, Edisi September 2016 3. kurungan 4. denda, 5. pidana tutupan (UU Nomor : 20 Tahun 1946) b. Pidana tambahan : 1. pencabutan hak-hak tertentu, 2. perampasan barang tertentu, 3. pengumuman putusan hakim. Narapidana adalah manusia yang memiliki spesifikasi tertentu, secara umum Narapidana adalah manusia biasa seperti kita semua, namun kita tidak dapat begitu saja menyamakan begitu saja. Dalam konsep pemasyarakatan baru Narapidana bukan saja sebagai obyek melainkan juga sebagai sebagai subyek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenai pidana, sehingga tidak harus diberantas. Bagaimanapun juga Narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjadi pidana. Sistem pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana, hilangnya kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilangnya kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu telah merupakan refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno koreksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat di katakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena sistem pemasyarakatan itu sendiri dengan konsisten dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Konsepsi pemasyarakatan ini, bukan semata-mata merumuskan tujuan dari penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu metodologi dalam bidang “treathment of offenders”. Sistem Pemasyarakatan bersifat 90 multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada ditengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat, sistem pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidan penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilangnya kemerdekaan. Istilah “Pemasyarakatan” secara resmi menggantikan istilah kepenjaraan sejak tanggal 27 April1964 melalui amanat tertulis Presiden Soekarno dibacakan pada konferensi Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang Bandung. Amanat ini dimaksudkan dalam rangka “retooling” dan “reshaping” dari sistem kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide Pengayoman sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila. Selanjutnya ide Pemasyarakatan dicetuskan oleh Dr. Saharjo, SH tepatnya pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa dibidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia. TUJUAN PENGHUKUMAN A pabila berbic a ra m engena i penghukuman , maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut : Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah/ negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah/negara Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu. Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusiamanusia yang juga mempunyai hak hidup, hak k emerde k aan b ahk an mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan : a. teori absolut atau teori pembalasan b. teori relatif atau teori tujuan c. teori gabungan Teori absolut To k oh - to k oh yan g te r ke n a l yan g mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat muthlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu : 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif 2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi 3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil. Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psikologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu: 1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme. 3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas. Teori relatif atau teori tujuan Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman 91 Jurnal PRANATA, Edisi September 2016 sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi kejahatan atau pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan. Teori Gabungan Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada. PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) Recidive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis adalah pada Recidive sudah ada putusan pengadilan berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde” sedangkan Concursus Realis terdakwa melakukan perbuatan pidana dan antara perbuatan satu dengan yang lain belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau 92 “inkracht van gewijsde”,. Recidive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem Recidive antara lain: Sistem Recidive Umum Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivnya. Sistem Recidive Khusus Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulanagan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula. MENURUT KUHP Dalam KUHP ketentuan mengenai Recidive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk kedalam Recidive khusus. PEMBAHASAN Dr.Sahardjodalampidatopenganugerahan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum, pada tahun 1963 oleh Unversitas Indonesia, telah menggunakan istilah “narapidana”, bagi mereka yang telah dijatuhi pidana “kehilangan kemerdekaan”. Sebelum itu, pada tahun 1961, Mr. R.A. Koes noen telah menulis sebuah buku dibawah judul “Politik Penjara Nasional” dan pada halaman 9 dari bukunya itu dikemukakan : “ pidana penjara adalah pidana pencabutan Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana kemerdekaan. Menurut asal-usul kata penjara berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat. Menurut politik penjara sekarang yang bertujuan memperbaiki nara pidana tidak sesuai lagi,karena tidak dapat seorang nara pidana menjadi baik karena dibikin tobat. Menurut pengalaman pun tidak dapat seorang betul-betul menjadi tobat. (R. Achmad S. Soema Dipraja dan Romli Atmasasmita, 1979) Drs. Ac Sanoesi HAS (Drs. Ac Sanoesi HAS, 1976) menyatakan : “Istilah narapidana adalah sebagai pengganti istilah orang hukuman atau hukuman dan dipopulerkan oleh Koesnoen”. Tujuan pidana yang berkembang dari dulu sampai saat ini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. (Andi Hamzah, 1993) Tujuan yang juga dipandang kuno adalah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balans antara yang hak dan batil. Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang ialah vareasi dari bentuk-bentuk : ajaran penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi penjahat; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang tersebut terakhir yang paling modern dan populer dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Ketika berbicara tentang kejahatan, maka seringnya yang pertama muncul dalam benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita biasa menyebut mereka penjahat, kriminal, atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada dndakan penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai “obat manjur” untuk “menyembuhkan” baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang ”diidap” pelaku kejahatan. Perlakuan (treatment) terhadap nara pidana dengan system pemasyarakatan. Pokok-pokok Pemasyarakatan : 1. Konsepsi pemasyarakatan dinyatakan pertama kali pada tahun 1963 oleh Dr. Sahardjo, SH. Disaat beliau menerima gelar Doctor Honoris Causa (pidato Beringin Pengayoman) 2. Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para narapidana yang “tersesat jalan” dan member bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat. 3. Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang dengan ke putusa n h aki m un tuk men j alan i pidananya ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan, maka istilah Penjara dirubah menjadi Lembaga Pemsayaratan. 4. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi 93 Jurnal PRANATA, Edisi September 2016 serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat. Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam semua segi kehidupannya dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat diluar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lama pidananya yang wajib dijalani. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dari lembaga pemasyaratan benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik . (Soedjono Dirdjosisworo, 1984). Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction' menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. Pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan 94 seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk” dan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Kita melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. Juga kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara. Yang dimaksud disini adalah, penjara telah mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar melalui sikap para petugas penjara terhadap para terpidana yang selalu diiringi rasa was-was, mereka merasa setiap saat dalam keadaan bahaya karena mereka dikelilingi oleh penjahat yang dicurigai setiap saat memberontak. Selain itu jenis keterampilan atau pekerjaan yang ada sangat terbatas dengan upah yang tidak memadai. Ironisnya, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalahmasalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana "kerusakan" yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah "rusak" dapat dikembalikan ke keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif ini dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat di restorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Konsep Sistem P emasy arakatan dalam instrumen nasional tentang reaksi negara terhadap orang yang telah divonis melanggar hukum, yang diilhami oleh 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana termuat dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977. 10 Prinsip Pemasyarakatan : 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan dan yang menunjang usaha peningkatan produksi. 7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. 8. Narapidana dan anak didik sebagai orangorang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. 9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialami. 10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan. Dari uraian 10 prinsip pemasyarakatan diatas, pemikiran dan tujuan Sahardjo menetapkan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara : 1. Sebagai upaya mengatasi kecenderungan buruk yang terjadi di penjara pada masa colonial belanda, dimana pada masa kini, walaupun penjara sudah modern, manun pelaksanaannya banyak menimbulkan efek negative dari pelaksanaan hukuman, disamping itu juga perlakuan terhadap narapidana yang cenderung mengabaikan hak-haknya. 2. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu cara untuk membimbing terpidana untuk bertobat d e n ga n j a l a n m e nd i d i k. D a l a m h a l ini,bimbingan dan didikandiarahkan untuk membentuk kesadaran hukum maupun kesadaran masyarakat. 3. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu proses, dimana metodenya adalah system pemasyarakatan. Dalam hal ini system pemasyarakatan dijadikan suatu pedoman maupun arah pembinaan yang harus dipedomani oleh petuga maupun narapidana pada saat menjalani pidana. 4. Disamping bertujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat, pemasyarakatan juga bertujuan agar narapidana tidak terasing dari lingkungan sosialnya yang dilakukan melalui asimilasi. Dalam pada itu juga ada keterkaitan emosi yang 95 Jurnal PRANATA, Edisi September 2016 hendak dicapai dari keterlibatan mayarakat dalam proses penerimaan kembali. Oleh karena itu, masyarakat menjadi salah satu unsure yang sangat berpengaruh dalam proses pemulihan hubungan sosial, disini masyarakat atau keluarga yang dirugikan setidak-tidaknya dapat mempercayai proses pembinaan dan didikan yang dijalani oleh narapidana. Berdasarkan 10 prinsip pemasyarakatan salah satunya menyebutkan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada narapidana bukan sekedar pengisi waktu, tetapi harus sesuai dengan pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat. Artinya pemberian pembinaan kerja pada narapidana harus sesuai dengan pekerjaan yang ada dimasyarakat, bukan hanya sekedar untuk mengisi waktu luang selama menjalani masa tahanan di dalam lembaga pemasyarakatan. D a la m un d an g-unda ng te n tang penghukuman dalam siste m peradilan Indonesia tidak diatur secara detail perihal perlakuan minimal yang diberikan oleh negara. Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan terhadap Narapidana menganut f i l o s o f i pe n gh uku m an ya n g d iwa rn ai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesakitan dan karenanya harus disembuhkan. Hak-hak narapidana atau orang-orang yang dipenjara sebagaimana tercantum dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan te rh ada p Nar apidana , r e solus i 663 C (XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian besar juga diatur dalam instrumen-instrumen nasional. Hak-hak korban salah pemidanaan dan korban penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, hal mana secara jelas dan detail diatur dalam instrumen-instrumen 96 internasional tidak diatur dengan jelas dalam instrument nasional, kecuali dalam Konvensi. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara aneka penghukuman terhadap narapidana yang melakukan berbagai pelanggaran disiplin lembaga (melakukan pelanggaran atas aturan dan tata tertib lembaga penahanan/ penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat hukuman tutupan maupun hukuman untuk menghentikan atau menunda hak tertentu untuk jangka waktu tertentu bagi narapidana yang dianggap melakukan pelanggaran hukuman disiplin. Padahal dalam instrumeninstrumen internasional, bentuk hukuman yang demikian ini dilarang. Mengenai kelengkapan keamanan yang standar bagi petugas lembaga penahanan atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas kesehariannya, perlu sangat selektif dalam penggunaan senjata api. Dalam instrumen nasional, penggunaan senjata api justru dinyatakan secara eksplisit sebagai satu kondisi yang umum/biasa. Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana. Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perilaku patuh “hukum” (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlahnara pidana. Hukum pidana bekerja sebagai pranata yang mengatur masyarakat, dan mempunyai tugas untuk menentukan garis batas antara perbuatan yang dikualifikasi sesuai dengan hukum pidana dan perbuatan yang di-diskualifikasi melawan hukum pidana. Terhadap perbuatan yang melawan hukum pidana diberikan ancaman pidana, dan oleh sebab itu berdasarkan kewenangan alat Negara penegak hukum dapat diajukan tuntutan hukum dan keputusan menurut cara-cara tertentu sesuai dengan ancaman pidana yang berlaku. Seseorang (si pelanggar) yang dijatuhi putusan pidana penjara berkedudukan sebagai narapidana. (Bambang Poernomo, 1986). Proses pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang mempunyai bahan masukan dan menghendaki hasil keluaran, dalam kegiatannya dinamakan input-output. Kegiatan sistem input-output yang bergerak didalam lingkungan fenomena kehidupan manusia, akan mendapat pengaruh lingkungan sehingga proses yang terjadi digolongkan pada system terbuka. (Winardi, 1980) Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakan masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, Situasi program pembinaan ketrampilan kerja/latihan kerja yang sekarang ini berjalan di dalam dan luar lembaga, Dengan mencari hasil signifikansi program tersebut untuk menjadi faktor penghalang seorang mantan penghuni penjara kembali ke dalam penjara. Dan akan dianalisa seberapa besar signifikansi program pembinaan tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai restorative justice system. Dengan munculnya peace making criminology yang menawarkan suatu pilihan tentang bentuk penghukuman yang bersifat non-violence dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan, melibatkan partisipasi aktif korban, bersatu untuk mengintegrasikan pelaku ke dalam masyarakat, melalui suatu mekanisme mediasi, yang kemudian dikenal dengan restorative justice. Restorative justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Dilihat dengan kaca mata restorative justice, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati. Metode dan strategi pemasyarakatan digambarkan mulai tahap maksimum sekuriti diisi dengan orientasi/observasi, tahap medium sekuriti setelah 1/3 – ½ masa pidana diisi dengan asimilasi pembinaan dengan berbagai program, dan tahap minimum sekuriti setelah lewat ½ masa pidana diisi dengan integrasi program dual purpose/multi purpose. Program asimilasi dan integrasi itu memasuki pembinaan pendekatan keluarga sebagai bagian dari masyarakat dengan pola kekeluargaan. Pendekatan ini mulai dari sikap para petugas sebagai orang tua yang berkemampuan mempengaruhi perilaku orang yang dibina, sikap masyarakat luar untuk berperan serta dalam program pembinaan dan hubungan dekat dengan keluarga atau sahabat yang berperan untuk menerima terpidana dapat menjadi mata rantai untuk mengisi system pemasyarakata. (Bambang Poernomo, Jilid I). Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar 97 Jurnal PRANATA, Edisi September 2016 hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pem as yarakatan. Walaupun terpid ana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hakhak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya 98 atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan sebagai sarana kegiatan pembinaan, antara lain: Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembinaan WBP. Salah satu bentuk peran serta masyarakat ini diwujudkan melalui program kemitraan dalam bentuk berbagai kerjasama antara lapas/bapas dengan masyarakat, baik perorangan maupun kelompok. Peran Serta Masyarakat Pembimbingan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan yang Mahaesa, intelektual, sikap, dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. P e m b i n a a n Te r h a d a p Wa r g a B i n a a n Pemasyarakatan (WBP) 1. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP 31/99) A. Bagi Tahanan B. Bagi narapidana Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di Said Munawar: Upaya Pencegahan Pengulangan Kejahatan dan Pembinaan Nara Pidana luar lapas oleh balai pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. 2. Pembinaan Tahap Lanjutan (Pasal 9 (2) a PP 31/99) Tahap Pertama, waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. 3. Pembebasan tahap akhir (Pasal 9 (3) PP 31/99) Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini, narapidana sudah memasuki tahap asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dengan pengawasan minimum security. KESIMPULAN Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pengayoman serta pemasyarakatan narapidana, dengan tujuan membina narapidana menjadi lebih baik. Pembinaan terhadap narapidana tidak hanya dilakukan sesaat atau instant, akan tetapi dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA 1. An di H amzah , 1993 , Sis t e m Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya Paramita. 2. Bambang Poernomo, Bahan Kuliah Penologi Jilid I. 3. , 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta. 4. Drs. Ac Sanoesi HAS, 1976, Pengantar Penologi ( Ilm u Penget ahua n Tent ang Pemasyarakatan khusus Pidana, Menara Medan Liberty, Yogyakarta. 5. R. Achmad S.Soema di Praja dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta. 6. Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan), PT. Amico, Bandung. 7. Winardi, 1980, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisa Sistem, PT. Karya Nusantara. 99