Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 WACANA CIVIL SOCIETY DALAM MEMBENTUK ALAM DEMOKRASI DI INDONESIA Oleh: Neneng Afwah ABSTRAK konsep Civil Society dipahami dari perspektif-perspektif yang berbeda-beda di kalangan intelektual Indonesia. Ada orang-orang yang menggunakan pemahaman Hegelian, Gramscian, dan Tocquevellian tentang istilah ini. Kalngan yang menggunakan pendekatan Hegelian tentang civil society menekankan pentingnya kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil society yang kuat. Sementara itu, pendekatan Gramscian telah diterapkan sebagian besar oleh para aktivis LSM yang bertujuan utama memperkuat civil society sebagai alat untuk menghadapi hegemoni ideology Negara. Civil society adalah sebuah arena tempat para intelektual organic dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung proyek hegemoni tandingan. Pada akhirnya, orang-orang yang menerapkan pemahaman Tocquevellin tentang civil society menekankan penguatan organisasi-organisasi independen dalam masyarakat dan pencangkokan budaya sivik (civil culture ) untuk membangun jiwa demokrasi. Kata kunci: civil society, pembangunan, hegemoni, ideology. I. PENDAHULUAN II. PEMBAHASAN Salah satu wacana yang pernah muncul yang paling hangat diperbincangkan dalam politik di Indonesia adalah munculnya kembali pemberdayaan civil society sebagai sebuah pendekatan yang intensif dalam mendorong transisi menuju demokrasi. Di Indonesia wacana ini mendapat momentumnya pada 1990 –an, lebih disebabkan oleh kuatnya tekanan Orde Baru pada tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Para ahli ilmu sosial, tokoh intelektual, pejuang demokrasi, dan cendekiawan, tampaknya kesulitan mencari formula yang tepat untuk memaknai suatu perjuangan menuju perubahan yang dicita-citakan. Dalam keadaan galau dan gamang itu bangsa Indonesia berpaling pada civil society yang dijadikan primadona untuk memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat kita yang nyaris lumpuh. Bahkan setelah alam demokrasi terwujud di bumi pertiwi ini, setelah gerakan reformasi 1998, tidak lantas menjadikan wacana ini hilang. a. Wacana society intelektual tentang civil Tentang konsep Civil Society dipahami dari perspektif-perspektif yang berbeda-beda di kalangan intelektual Indonesia. Ada orangorang yang menggunakan pemahaman Hegelian, Gramscian, dan Tocquevellian tentang istilah ini.1 Kalngan yang menggunakan pendekatan Hegelian tentang civil society menekankan pentingnya kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil society yang kuat. Sementara itu, pendekatan Gramscian telah diterapkan sebagian besar oleh para aktivis LSM yang bertujuan utama memperkuat civil society sebagai alat untuk menghadapi 1 Muhammad AS. Hikam, “ Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol. 1, No. 2, 1999, h. 39. 86 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 hegemoni ideology Negara. Civil society adalah sebuah arena tempat para intelektual organic dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung proyek hegemoni tandingan. Pada akhirnya, orangorang yang menerapkan pemahaman Tocquevellin tentang civil society menekankan penguatan organisasiorganisasi independen dalam masyarakat dan pencangkokan budaya sivik (civil culture ) untuk membangun jiwa demokrasi.2 mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kebutuhannya. Pemikiran sepewrti ini dilontarkan oleh Thomas paine.5 Ketiga, pemikiran yang menyatakan civil society srbagai sebuah elemen ideology kelas dominan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Hegel, Marx, dan gramsci.6 Keempat, pemikiran yang memandang civil society sebagai kekuatan penyeimbang bagi kekuatan negara. Tokoh pemikiran ini adalah Tocquevilla.7 Sedangkan konsep civil society dalam pandanga AS Hikam sendiri dapat di runut akar pemikiran .3 Pertama, pemikiran yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan. Pemikiran ini memandang civil society relative sama dan sebangun dengan Negara (state). Civil society bukanlah entitas sosialpolitik yang berbeda dengan negara, melainkan negara itu sendiri. Pemahaman seperti ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh semisal Aristoteles dengan konsep koinonia politike, Cicero dengan societies civilis, dan Thomas Hobbes serta John Locke yang keduanya memandang civil society sebagai tahapan evolusi dari natural society, dalam rangka meredam konflik (Hobbes) dan perwujudan kebebasan (Locke ).4 Dari keempat konsep civil society di atas, masih menurut Hikam, pendekatan Gramscian dan Tocquevillan kiranya merupakan rujukan utama bagi para pakar dan aktivis, di samping pemikiran Hannah Arendt, Habermas menyumbangkan pemikiran politik tentang peran ruang public bebas (the free public sphere) dan kewarganegaraan (citizenship), sementara Taylor dan Bell memberikan kontribusi pemikiran bagi pluralism dan peran komunitaskomunitas kecil bagi pertumbuhan civil society di Amerika.8 Demikianlah, wacana dan konsep civil society terus mengalami perkembangan dan pergeseran makna. Dalam kaitan ini, Arif Budiman mengatakan bahwa, “Konsep tentang civil society itu sendirimengandung masalah, dalam arti pengertian dan interpretasi mengenai konsep ini berubah dari waktu ke waktu .“9 Namun yang jelas, menurut Hikam, yang menjadi dimensi esensial bagi Kedua, pemikiran yang menganggap civil society sebagai antitesis terhadap negara. Civil society harus dipisahkan dari negara. Negara di sini harus dibatasi, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan yang buruk (necessary evil ) belaka. Sementara civil society adalah ruang di 5 Ibid. h. 46. ibid. h. 47. 7 Ibid. 8 ibid. h.48. 9 Dikutip dari M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: sebuah Penjajakan awal”, Jurnal pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, 1999, h. 14. 6 2 Ibid, 40. Lihat Muhammad AS. Hikam, ”Civil Society dan Masyarakat Indonesia,” Postra, No. 02/Desember 2002, h. 43-54. 4 Ibid., h. 45-46. 3 87 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 civil society adalah kuatnya posisi masyarakat ketika berhadapan dengan negara,10atau denagan kata lain, terdapat hubungan kemitraan dan kesetaraan antara masyarakat dan negara. menambahkan bahwa yang ingin dibangun civil society adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar.15 Dari beberapa karakteristik ini, demokrasi merupakan ciri utamanya, artinya dalam civil society mesti ada demokrasi. Dalam konteks Indonesia, wacana civil society sering diungkapkan dengan istilah yang berbeda. Nurcholish Madjid,ardi Azra, dan Mulyadhi Kartanegara misaln6ya menggunakan terma “masyarakat madani” untuk menyebut istilah civil society.11 Adapumn mansour Fakih lebih suka menggunakan “masyarakat sipil” sebagai istilah yang lebih mengena bagi terjemahan civil society. Sementara M. Ryas Rasyid menggunakan terma “masyarakat kewargaan” bagi istilah civil society.12 Tampaknya pendapat AS. Hikam lebih mengena, untuk membiarkan istilah civil society untuk tidak diterjemahkan. Hal ini karena _seperti halnya konsep demokrasi_ konsep civil society juga berasal dari Barat, maka biarkanlah civil society tetap disebut civil society.13 b. Civil society Indonesia. dan Demokrasi di Popularitas gerakan civil society pada masa Orde Baru di Indonesia berhutang budi pada gerakan demokrasi di luar negeri, khususnya negara-negara pasca totalitarian di Eropa Timur dan Eropa Tengah, dan dinamika internal politik Indonesia pada 1980-an. Gerakan demokrasi di cekoslowakia, Polandia, jerman Timur, dan belakangan, rusia telah mempengaruhi banyak aktivis pro demokrasi di Indonesia untuk mencari sebuah paradigm baru yang lebih relevan untuk perjuangan politik mereka. Perjuangan para aktivis prodemokrasi di negara-negara bekas komunis itu, seperti Havel dan Michnik, telah menarik perhatian para pemimpin, aktivis dan intelektual prodemokrasi di Indonesia. Usaha-usaha mereka untuk menghidupkan kembali dorongan-dorongan demokrasi melalui penemuan kembali ide civil dociety pada akhirnya mengilhami beberapa aktivis dan intelektual prodemokrasi Indonesia untuk mengembangkan suatu pendekatan serupa bagi tujuan serupa. Di sini civil society sebagai gerakan memposisikan diri sebagai anti tesis dari negara yang despotis. Sebagai sebuah teori atau konsep, civil society memiliki beberapa karakteristik atau indicator yang melekat padanya. Kartanegara menyebutkan bahwa dalam civil society paling tidak ada empat citacita, yaitu inklusivisme, egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.14 Sementara itu, Nordholt 10 Muhammad AS. Hikam, “Wacana Intelektual,”, h.41 11 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2006), h.203. 12 Ibid. 13 Maskuri Abdullah, “Islam dan Masyarakat Madani”, dalam http:/kompas.com/kompas%2Dcetak/9902/27/opini /isla04.htm. 14 Mulyadi Kartanegara, “Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam,” JurnalMedia Inovasi, No. 1 th. XII/2002. Lebih dari tiga decade lalu, dimana negara sebagai actor politik 15 N.S. Nordholt, “Civil Society di Era Kegelisahan,”, Basis, No. 3-4, Maret 1999, h. 16. 88 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 yang kuat dan dominan yang didalamnya cabang eksekutif merupakan pusat kekuasaan, yang kemudian dikenal dengan rezim orde baru. Rezim ini mengembangkan institusi kekuasaan sebagai tempat keputusan-keputusan politik, ekonomi, dan sosial yang pada akhirnya dirumuskan, diputuskan, dan dilaksanakan. Mirip dengan apa yang terjadi di beberapa negara kapitalis pinggiran di Amerika latin. Keberadaan sebuah negara yang kuat diyakini sebagai sine qua non untuk memfasilitasi dan memelihara proses pembangunan ekonomi dalam ketiadaan agen-agen lain dalam masyarakat. Pandangan ini sebagian besar berasal dari kegagalan rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1966) untuk mendirikan sebuah kekuasaan yang menyatu dan kuat pada tingkat pusat. Dengan demikian menurut arsitek Orde baru, memperkuat negara dan pemerintah pusatakan mengarah, walaupun perlahan, kepada rasa persatuan, legitimasidan kekuasaan yang lebih besar. 16 legitimasi, dan meminggirkan para pembangkang.”17 Pada tingkat institusional, gagasan negara yang kuat telah diterapkan melalui susunan korporatis pada organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok sosial dan politik dalam masyarakat dan depolitisasi politik, dengan target utama rakyat pedesaan. Strategi korporatis ini dimaksudkan untuk mengendalikan kelompok-kelompok yang kepentingan-kepentingannya berpengaruh besar terhadap susunansusunan politik, organisasi-organisasi sosial, kelompok-kelompok keagamaan, organisasi-organisasi pemuda, dan sebagainya.18 dengan menenetukan susunan korporasi keterlibatan maupun ketakterlibatan kelompok-kelompok kepentingan utama dapat dilaksanakan secara sistematis dengan menjadikan kelompok-kelompok itu sebagai sumber-sumber potensialbagi legitimasi dan keberadaan negara. Sementara itu, politik depolitisasi massa, yang diteruskan dengan giat sejak awal 1970-an, bertujuan melepaskan dan mengasingkan masyarakat akar rumput dari proses-proses politik yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan melalui apa yang disebut kebijakan “massa mengambang” yang mendasari asumsi bahwa rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia akan lebih baik secara politis jika mereka tidak tersentuh oleh partai-partai politik. Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut telah berhasil melenyapkan Gagasan negara yang kuat, dengan demikian, telah dikembangkan secara sistematis oleh elite penguasa Orde Baru sejak awal 1970-an melalui strategi-strategi diskursif dan pembangunan institusional. Yang utama di anatar strategi-strategi diskursif itu adalah gagasan diskontinuitas dan konstitusionalisme historis yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis yang menjadikan pijakan dibangunnya hegemoni rezim yang berkuasa, tetapi juga sebagai pembenaran abash untuk “memaksa secara fisik, menghilangkan 17 M. dawam Rahardjo, “Transformation of the State in the Context of Transnationalism”, Prisma, 34 (1984),h. 12-32 18 Muhammad AS. Hikam, Wacana intelektual tentang Civil Society di Indonesia”, 36. 16 Baca Ali Moertopo, Some basic Thoughts on Acceleration and Modernization of 25 yars’ development, (Jakarta: CSIS, 1973) 89 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 peranan politik lapisan akar rumput di Indonesia yang pernah marak, meski agak tidak sempurna, selama periode antara 1940-an hingga wal 1960-an. kebijakannya yang bersifat membatasi, Pada awalnya, gagasangagasan debirokratisasi dan keterbukaan diperkenalkan dalam wacana public, yang berusaha menyamai kecenderungan global glasnost dan prestroika. selain itu, struktur pasar global yang berubah juga memerlukan beberpa perubahan dalam kebijakan-kebijakan industry, termasuk memperkenalkan standarr upah minimum regional bagi para pekerja. selanjutnya, konflik internal yang nyata dalam faksi-faksi elite yang berkuasa, termasuk dalam militer, telah menimbulkan keterbukaan politik yang membuka jalan bagi meningkatnya keinginan untuk 19 perbaikan yang demokratis. Dengan keterbukaan politik sebagai latar belakang selama akhir 1980-an dan awal 1990-an, Indonesia menyaksikan daya dorong demokratis yang tumbuh dalam masyarakat dan bentuk-bentuknya yang beragam. yang terpenting diantaranya adalah munculnya kegiatan-kegiatan prodemonstrasi yang dipimpin oleh para intelektual, aktivis LSM, pemimpin politik terkemuka, mahasiswa, pemimpin keagamaan, dan lain-lain. Terdapat pula rasa harapan yang tumbuh bahwa demokratisasi akan mulai mekar sebagaimana terlihat dalam kekuatan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada waktu itu dipimpin K.H. Abdurrahman Wahid, popularitas PDI di bawah kepemimpinan Megawati, kebangkitan aktivisme para buruh, dan kembalinya keterlibatan mdalam perjuangan demokrasi baik di dalam maupun di luar kampus. pada umumnya, Orede Baru telah benar-benar berhasil dalam menerapkan strategi-strategi di atas sebagaimana terbukti dalam hampir tidak adanya kekuatan oposisi yang berasal dari masyarakat. Negara telah mempertahankankekuasaan berlebihan yang mencegah perkembangan civil society yang kuat dan otonom yang diperlukan sebagai basis untuk menumbuhkan demokratisasi. Usaha-usaha untuk membangkitkan kelompok oposisi relative tidak berhasil dan strategi “carrot and stick” negara sangat kuat. banyak pemimpin atau tokoh berpengaruh di masyarakat (baik sipil maupun militer)v telah terkooptasi oleh negara dan terbelikan. Untuk orang-orang yang menentang kooptasi semacam itu, negara akan menghukum mereka dengan proses penggunaan kekerasan yang tidak jarang terjadi. tindakan keras terhadap protes-protes mahasiswa pada 1970-an, terhadap kelompokkelompokm radikal Islam pada awal 1980-an, dan terhadap gerakangerakan demokrasi dalam apa disebut dengan peristiwa 27 Juli 1966, adalah beberapa contoh saja. Bagaimanapun, sejak akhir 1980-an angin perubahan telah mulai bertiup sekalipun dengan laju yang relatif perlahan. Beberapa faktor telah memberikan kepada hal itu. yang terpenting diantara faktor-faktor itu adalah dinamika perkembangan kapitalis dan menurunnya daya rekat internal di antara faksi-faksi elite yang berkuasa, yang pada akhirnya, menekan negara untuk mengendurkan beberapa Demikian juga dengan atmosfir perubahan politik sebagai latar belakang wacana civil society mulai muncul di antara para 19 Muhammad AS. Hikam, “ Wacana Intelektual tentang Civil Society di indonesia”, 38. 90 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 intelektual Indonesia. pada asalnya, wacana itu terbatas pada sekelompok kecil orang yang terdiri atas para sarjana, para aktivis LSM, dan para mahasiswa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, gerakan para intelektual itu terilhami oleh peristiwa-peristiwa politik di blok Soviet tempat gelombang gerakan demokrasi berhasil menjatuhkan rezim-rezim totalitarian dengan cara yang relative damai. Mereka juga melihat bahwa ide civil society adalah sentral dalam gerakan-gerakan itu sebagaimana ditunjukkan dalam karya-karya Vaclav Havel, Vaclav Benda, Adam Michnik dan pemimpin-pemimpin pro demokrasi lain di Eropa Timur dan Tengah. Perjuangan-perjuangan mereka melawan negara yang kuat telah mengilhami dan memotivasi mereka menjalankan pendekatanpendekatan serupa dalam perjuangan demokrasi. III. KESIMPULAN Diskusi di atas adalah sebuah garis besar sementara dari wacana intelektual tentang civil society di Indonesia. Wacana ini mempertahankan bahwa intelektualintelektuak Indonesia telah berusaha menyajikan gagasan-gagasan pemberdayaan civil society sebagai dasar bagi proses-proses demokratisasi mengikuti rezim-rezim totalitarian di Eropa Tengan dan Timur dan kecenderungan global demokratisasi belakangan ini. Sebagaimana biasanya, melalui forum-forum umum maupun media massa, wacana tentang civil society telah menarik perhatian banyak pengamat di Indonesia. Tentu saja sejak 1990 penerbitan-penerbitan dan diskusi-diskusi umum yang mencurahkan diri pad aide civil society meningkat. Meski tiadanya perkembangan selanjutnya gerakan demokrasi di Indonesia setelah 1994, wacana tentang civil society tidak berkurang, terutama di kalangan orang-orang yang tetap percaya bahwa gagasan pemberdayaan civil society adalah suatu strategi yang tepat bagi demokratisasi dalam jangka panjang. ini terbukti bahwa wacana civil society telah melepaskan Indonesia dari cengkraman rezim otoritarian, Orde Baru, dan mengantarkan Indonesia menuju Orde yang lebih terbuka dan demokratis yaitu Orde Reformasi. 91 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 8 Nomor 2 Desember 2012 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Maskuri. “Islam dan Masyarakat Madani”, dalam http:/kompas.com/kompas%2Dcetak/ 9902/27/opini/isla04.htm. Hikam, Muhammad AS. Hikam. “ Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol. 1, No. 2, 1999. _______________________ . ”Civil Society dan Masyarakat Indonesia,” Postra, No. 02/Desember 2002.. Kartanegara, Mulyadi. “Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam,” JurnalMedia Inovasi, No. 1 th. XII/2002. Rahardjo, M. Dawam, “Masyarakat Madani di Indonesia: sebuah Penjajakan awal”, Jurnal pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, 1999. ________________. “Transformation of the State in the Context of Transnationalism”, Prisma, 34 (1984). Suharto, Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2006). Moertopo, Ali. Some basic Thoughts on Acceleration and Modernization of 25 yars’ development, (Jakarta: CSIS, 1973). . Nordholt, N.S..“Civil Society di Era Kegelisahan,”, Basis, No. 3-4, Maret 1999. 92