BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pendahuluan Gerakan masyarakat sipil (MS) dalam kaitannya dengan gerakan oposisi di Indonesia menjadi ciri khas dari pertumbuhan gerakan sosial. Keberadaannya diindentikkan dengan gerakan protes anti rezim, khususnya Orde Baru. Dengan sendirinya membahas pertumbuhan MS tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang gerakan sosial. Kemunculan gerakan sosial dapat dilihat sebagai unsur utama masyarakat sipil. Konsep ini didefinisikan sebagai masyarakat yang sadar akan hak-haknya sebagai warga negara, dan berdaya menentukan masa depannya sendiri, serta gerakan yang berani berjuang melawan praktek-praktek penindasan dan ketidak–adilan yang datang dari negara1. MS adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian yang tinggi terhadap negara. Alfred Stepan memberikan definisi sebagai arena tempat berbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua kelas2. Dengan sendirinya membahas tentang gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan gerakan sosial, merupakan sebuah keniscayaan dalam studi terhadap gerakan protes di Indonesia. 2.2. Teori Gerakan Sosial Di atas sudah disampaikan bahwa membahas gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan gerakan sosial merupakan sebuah keniscayaan dalam lapangan studi sosial. Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Diano & Porta, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas, didefinisikan sebagai ’sebentuk aksi kolektif’ dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, 1 Bonie Setiawan , Organisasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil .Prisma No. 7/1996 Alfred Stepan [1996] Militer dan Demokratisasi ; Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain , Grafiti Press, Jakarta 2 7 dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama3. Ciri lain dalam gerakan sosial adalah tujuannya yang bukan untuk mencapai kekuasaan, sekalipun dalam beberapa hal gerakan sosial ditujukan untuk mengganti rezim rezim yang berkuasa. Ini berbeda dengan gerakan politik yang umumnya ditujukan untuk merebut kekuasaan baik yang dilakukan dengan cara damai atau lewat kekerasan. Ikatan gerakan sosial adalah pada cita-citanya tentang perubahan. Selain definisi yang diberikan Diani dan Porta (2006), McCarthy & Zald (2003) mendefinisikan gerakan sosial sebagai seperangkat opini dan kepercayaan (opinion and belieft) dalam suatu kelompok masyarakat yang mencerminkan preferensi bagi perubahan pada sebagian elemen struktur sosial dan atau distribusi kemanfaatan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas4. Tilly dan Wood (1999) mendefinisikan sebagai ’perlawanan yang terus menerus atas nama kelompok yang dirugikan terhadap pemegang kekuasaan melalui berbagai ragam protes publik, termasuk tindakan-tindakan di luar jalur partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan, untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut solid, berkomitmen, serta mewakili jumlah yang significant 5. Protes ini bisa berlangsung panjang, naik turun, koalisi tidak harus permanen, dan kadang kala berlangsung ketegangan antar pelaku gerakan sosial. Namun demikian ikatan sosial politiknya bisa terus berlangsung sampai tujuan gerakan tercapai. Dalam definisi tersebut, gerakan sosial tidak hanya melibatkan aksi kolektif terhadap suatu masalah bersama namun juga dengan jelas mengidentifikasi target aksi tersebut dan mengartikulasikan dalam konteks sosial maupun politik tertentu. Aksi kolektif bisa berasosiasi dengan gerakan sosial selama dianggap sebagai perlawanan terhadap perilaku atau legitimasi aktor politik maupun sosial tertentu dan tidak ditujukan bagi masalahmasalah yang tidak disebabkan secara langsung oleh manusia. 3 Donatella Della Porta and Mario Diani [2006] Social Movements and Introduction (second editions) , Blackwell Publishing, USA 4 Mayer N Zald & John D Mc Carthy [2003] , Social Movement in an Organizational Society, Transaction Publishers, New Jersey 5 Charles Tilly,Lesley J. Wood [2009] Social movements, 1768-2008, Paradigm Publishers, USA 8 Gerakan sosial tidak dapat direpresentasikan oleh suatu organisasi tertentu. Oleh karenanya pelaku gerakan sosial tidak tunggal. Gerakan sosial direpresentasikan oleh citacita yang akan diusung, oleh karena itu gerakan sosial memiliki ciri inklusif, tidak didominasi dan direpresentasikan oleh satu atau dua organisasi. Karena ciri yang inklusif dimana setiap pihak yang setuju dengan cita-cita gerakan dapat terlibat dalam gerakan, maka sebuah gerakan sosial sesungguhnya merupakan pertukaran berbagai pihak yang bersedia bekerja untuk perubahan. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam aktor individu maupun kelembagaan mandiri. Strategi, koordinasi dan pengaturan peran dalam aksi kolektif ditentukan dari negosiasi yang terus menerus diantara aktor-aktor yang terlibat diikat oleh identitas kolektif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Habermas, Offe maupun Melucci, gerakan sosial adalah ”ruang antara” yang menjembatani masyarakat sipil dan negara (Canel, 1997). Gerakan sosial adalah ruang antara pasifisme publik dengan pembusukan negara (abuse of power) . Dengan sendirinya gerakan sosial mengambil tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh negara seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang lebih luas dan lain sebagainya. Melalui ruang tersebut gerakan sosial mampu mempolitisasi civil society tanpa harus mereproduksi kontrol, regulasi, dan intervensi seperti yang dilakukan oleh negara6. Dalam pandangan Canel (1997), proses politisasi dalam ruang antara telah memampukan gerakan sosial untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat secara keseluruhan dan kepada aktor politik di luar MS. Pengertian umum gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial umumnya lahir dari situasi yang dianggap tidak adil sehingga diperlukan sejumlah tindakan untuk merubahnya. Gerakan sosial secara sederhana dimaknai sebagai gerakan yang lahir dari 6 E. Canel, New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The Need Integrati, dalam M Kauffman dan HD Alfonso (Ed) [1997] , Community Power and Grassroots Democracy; The Transformation of Social Life, Zed Book 9 dan atas prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan institusi, kebijakan atau struktur kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan sosial memandang bahwa ketiga hal diatas tidak sesuai dengan kehendak mayoritas. Gerakan sosial merupakan upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama diluar lingkup lembaga –lembaga yang sudah mapan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan mengenai ciri pokok gerakan sosial dengan membandingkan orientasi pokoknya, pertama, gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam arasemen-arasemen kelembagaan. Tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan publik atau ditujukan untuk mengawali perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga sosial politik, kesejahteraan, atau berkaitan dengan hak-hak warga negara. Kedua, gerakan sosial biasanya memiliki corak politik. Ini terutama berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan sosial, yang secara spesifik biasanya berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Secara singkat gerakan sosial memiliki ciri yaitu (1) lahirnya kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, (2) bertambahnya jumlah (dan peserta) aksi protes yang mendukung gerakan dan umumnya berlangsung secara cepat, (3) kebangkitan opini, (4) seluruh kekuatan ditujukan kepada lembaga sentral (5) gerakan sosial merupakan usaha untuk melahirkan perubahan struktur pada lembaga-lembaga sentral. Gidden (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan7. Pengertian yang sama diutarakan Tarrow (1998) yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa --- yang bergabung dalam kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh – menggalang kekuatan untuk melawan elit , pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan social. Menurut Tarrow (1998), tindakan yang 7 Anthony Giddens and Philip W Sutton [2010] Sociology : Introductory Reading (3rd Edition) , Polity Press, UK 10 mendasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan. Tindakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan ataupun cepat bubar, membosankan atau dramatis. Umumnya tindakan kolektif berlangsung dalam institusi ketika orang yang bergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan social , karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang yang berada diluar struktur8. Pada dataran teoritis, hal itulah yang telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan social, seperti teori tindakan kolektif (collective action /behavior), teori ‘nilai tambah’ (value added), teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization), teori proses politik (political process), dan teori gerakan social baru (new social movement). Gejolak sosial menurut Smelser, dinamakan collective behavior, adalah mobilisasi atas dasar suatu belief , keyakinan, yang mendefinisikan kembali gerakan sosial. Dalam pandangan Smelser(1962), gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut : (1) kekondusifan struktural (structural conduciveness), yaitu kondusif atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial, (2) ketegangan struktural yang timbul , misalnya berupa ancaman atau deprivasi ekonomi, (3) penyebaran keyakinan yang dianut, (4) faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Krisis keuangan misalnya, dapat diartikan sebagai deprivasi ekonomi yang melahirkan ketegangan struktural dan dapat pula menjadi faktor pencetus terjadinya gejolak sosial. Setelak gejolak sosial muncul sebagai akibat berbagai faktor diatas, (5) mobilisasi untuk mengadakan aksi berkembang menjadi gerakan sosial. Situasi dapat dimulai dengan agitasi untuk reform. (6) pengorganisasian kontrol sosial yang mencegah, mengganggu, membelokkan , merintangi gejolak tersebut. 8 Sidney Tarrow [1998] Power in Movement: Social Movements, Collective Action, and Politics, 2nd ed.: Cambridge University Press , Cambridge, UK 11 Menurut Gamson (1992), sebuah kerangka aksi kolektif adalah ”seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada tindakan, yang memberi aspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye gerakan sosial”. Gamson membedakan tiga komponen kerangka aksi kolektif (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen identitas, dan (3) faktor agensi. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran moral yang berhubungan dengan kekecewaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pemberian fasilitas kepada sekelompok orang, dan lain sebagainya. Kegusaran moral ini seringkali berhubungan dengan ketidaksetaraan yang tidak memiliki legitimasi –yaitu perlakuan yang tidak simbang terhadap individu atau kelompok yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan (Folger, 1986; Major, 1994) . Pengindentifikasian ”mereka” (penguasa, kelompok elite) yang dianggap bertanggungjawab atas sebuah situasi negatif menyiratkan adanya ”kita” sebagai lawannya. Rasa ketidakadilan atau rasa berindentitas merupakan kondisi yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong orang untuk melibatkan diri dalam lapangan aksi kolektif. Individu harus menjadi yakin bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka. Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan sosial terletak pada tujuan gerakan social diterima oleh seluruh aktor gerakan (Gamson, 1996) keberhasilan gerakan sosial terletak pada bagaimana aktor-aktor gerakan memformulasikan tujuannya sehingga diterima secara luas. Keberhasilan gerakan sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau tujuan bersama. Gerakan sosial bukan hanya membutuhkan bingkai bagaimana setiap aktor harus bertindak, melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Keberhasilan dari suatu gerakan sosial tergantung pada bagaimana keberhasilan kelompok dalam mendefinisikan frame/bingkai atas apa apa yang harus dilakukan bersama (David A. Snow, 1986). Gamson menyimpulkan bahwa wacana media adalah sumber informasi penting yang dapat diambil orang ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan. Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang luas dari para pendukungnya. Menurut Klandermans (2005) terdapat empat langkah menuju partisipasi dalam gerakan sosial. (1) 12 potensi mobilisasi. Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari beberapa kelompok. Seperti yang telah kita ketahui potensi mobilisasi mengacu kepada para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial, termasuk di dalamnya adalah semua orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan orang-orang yang tidak mendapatkan mafaat langsung dari gerakan sosial pu dapat bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk dimobilisasi. (2) Jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki jaringan perekruitan untuk aksi, maka gerakan tidak akan efektif. Untuk membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu gerakan harus mempu menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan menjalin hubungan dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada, selain itu gerakan harus mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional. (Wilson dan Orum, 1976; Farree dan Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial menentukan upaya-upaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin erat hubungannya dengan organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan lain, maka semakin banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam & Pulsen, 1993). (3) Motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi motivasi, suatu gerakan harus mempengaruhi keuntungan dan kerugian jika seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika keutungan yang diperoleh dalam gerakan sosial lebih besar dari kerugian, kemungkinan untuk berpartisipasi juga semakin besar. Partisipasi dalam gerakan sosial berupa keterlibatan kongkret dan spesifik seperti mengikuti rapat umum atau demonstrasi, menyumbangkan sejumlah uang, bergabung dalam barisan pemogokan, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi dalam sebuah gerakan yang spesifik, kemudian akan ikut berpartisipasi dengan gerakan lain. (4) Penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan itu hanya akan berubah menjadi partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Tetapi penghalang dapat diatasi bila orang benar-benar 13 termotivasi dalam gerakan. Dengan demikian seseorang akan berpartisipasi atau tidak tergantung pada bagaimana cara dia merespon penghalangnya. Jadi gerakan sosial di tahap akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang. Kladermans (2005) memberikan gambaran sebagai berikut mengenai keputusan apakah seseorang akan melibatkan diri (berpartisipasi) dalam gerakan atau tidak . Tidak bersimpati terhadap gerakan Bersimpati terhadap gerakan Tidak menjadi target mobilisasi Menjadi target mobilisasi Tidak termotivasi untuk berpartisipasi Termotivasi untuk berpartisipasi Tidak berpartisipasi Berpartisipasi Gambar 1. Langkah-Langkah Menuju Partisipasi Gerakan Seorang berpartisipasi dalam suatu gerakan berarti terlibat dalam sebuah kegiatan seperti mogok, demontrasi, menghadiri pertemuan, dan lain sebagainya. Dengan demikian setiap orang atau kelompok dalam sebuah gerakan dapat mengambil keputusan untuk berpartisipasi terus atau menghentikan partisipasinya. Model ini mengkombinasikan teori nilai harapan dan teori aksi kolektif (Klandermans, 2005). Menurut teori nilai harapan , perilaku individu atau kelompok merupakan fungsi nilai dari hasil yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan suatu perilaku untuk menghasilkan hasil yang spesifik , dan semakin tinggi penilaian terhadap hasil tersebut, maka kemungkinan besar juga kemungkinan untuk terlibat dalam gerakan sosial. Dalam gerakan sosial, inti teori aksi kolektif adalah perbedaaan antara insentif kolektif dan insentif selektif (Oliver, 1980). Insentif kolektif dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Sebaliknya insentif selektif hanya mempengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif. Untuk melibatkan diri dalam suatu gerakan sosial membutuhkan ketersediaan insentif kolektif maupun selektif. Hanya sebagian kecil 14 orang yang mau berpatisipasi hanya untuk alasan mendapatkan insentif selektif semata. Pun, banyak kelompok atau orang tidak siap untuk berpartisipasi di dalam suatu kegiatan yang tidak menyediakan apapun selain insentif kolektif, meskipun bersimpati terhadap tujuan gerakan sosial. Oleh karena itu, sebuah kampanye yang bertujuan meyakinkan orang untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan sosial tidak hanya menekankan nilai tentang tujuan aksi tersebut dan mengontrol insentif selektif, kampanye juga harus mampu meyakinkan para aktor bahwa cukup banyak yang terlibat dalam gerakan sosial. Disinilah relevansi teori Gamson mengenai framing dimana media memiliki peran dalam menebarkan keyakinan mengenai tujuan gerakan. 2.3. Kedatangan Konsep Masyarakat Sipil Masyarakat sipil (MS) tidak memiliki definisi tunggal. Ilmuwan sosial memiliki pandangan dan definisi yang berbeda-beda tergantung konteks analisisnya. MS dapat diletakkan sebagai antitesa dari kecenderungan ke arah segala sesuatu yang berorientasi pada kemiliteran. Bagi ilmuwan yang berkiblat pada konteks historis perkembangan Islam, MS menjadi padanan masyarakat madani9. Kalau kita menggunakan mesin pencari di internet (google) dengan keyword masyarakat sipil akan menemukan 870.000 hasil pencarian, dengan keyword civil society 51.000.000 hasil pencarian, dengan keyword masyarakat madani 207.000 hasil pencarian. Ini menunjukkan betapa populernya kata tersebut dalam khasanah bahasa. Masyarakat Sipil (MS) merupakan konsep lama dalam pemikiran sosial politik yang bangkit kembali pada abad 20, terutama di Eropa Timur yang menjadi lahan subur pertumbuhan negara otoriter pasca PD II (meski di Eropa Barat, konsep tersebut juga berkembang). Konsep tersebut secara tradisional merupakan perkembangan dari istilah Romawi societas civilis, atau istilah Yunani koinonia politike. Istilah ini sinonim dengan masyarakat politik10. 9 Bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan “civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 September 1995. Lihat juga Sufyanto [2001], Masyarakat Tamaddun : Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Pustaka Pelajar, Jogjakarta 10 Adam & Jessica Kuper [2000] op cit hal 113, Aristoteles [2007] op cit hal 107-111 15 MS merupakan arena bagi warga negara yang aktif secara politik. Istilah tersebut juga berkonotasi bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah bagian dari masyarakat yang beradab yang mendasarkan hubungan–hubungannya pada suatu sistem hukum, bukannya pada tatanan hukum yang otokratis dan korup. Adalah Hegel yang mampu mengembangkan makna modern dari MS. Buku Philosophy of Right yang pertama kali terbit tahun 1821 (dan diterbitkan ulang tahun 1958), memberikan definisi MS adalah wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan11. Nafas baru ditiupkan dalam definisi tersebut oleh serangkaian perubahan bertahap di Eropa tengah dan timur pada akhir tahun 1970-1980-an. Para pembangkang di kawasan tersebut menjadikan konsep MS untuk menentang rezim otoriter menjelang tumbangnya komunisme di kawasan tersebut. Konsep tersebut dianggap jalan alternatif bagi munculnya kekuatan warga negara yang tidak terkooptasi oleh negara, menjunjung tinggi kebebasan, dan berada dalam rute anti kekerasan sebagai prinsip perlawanan. Solidaritas internasional segera terbentuk sejalan dengan menguatnya probality pengaruh yang diperoleh oleh golongan tersebut12. Para teoritisi sosial memberikan penjelasan yang berbeda-beda sekalipun menunjuk pada objek yang sama. Dari sudut disiplin ilmu pengetahuan, masing-masing memiliki definisi yang berbeda untuk menunjuk sejumlah ciri : sipil (non militer), di luar domain negara, berbasis pada kelas menengah (middle class), mengusung tema atau isu tertentu, membentuk jaringan yang tangguh pada kepentingan tertentu, berwatak non violence, untuk sementara digolongkan sebagai organisasi nirlaba. Ciri yang berbeda namun memiliki karakteristik sama juga diberikan dalam definisi ini yakni, masyarakat yang memiliki ruang publik bebas (free public sphere), demokratis, memiliki toleransi, menghargai pluralisme, memiliki spirit keadilan sosial (social justice), dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Hikam (1996) memberikan ciri yang lebih spesifik mengenai MS yakni pertama, memiliki kesukarelaan dalam bekerja untuk mewujudkan komunitasnya menjadi lebih baik. Dalam pengertian ini juga dibarengi dengan komitmen yang tinggi untuk 11 12 Hegel [1958] Phylosopy of Right, trans. TW Knox, Oxford. Markoff [2002] op cit 188-189 16 mewujudkan cita-cita yang dituju. Kedua, keswasembadaan, setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-lembaga negara atau organisasi lainnya. Ketiga, kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara. Keempat, keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan13. Ilmuwan Islam Madjid (1999) memberikan ciri yang berbeda tentang konsep ini yakni, Semangat egalitarianisme atau kesetaraan, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise, keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat, penentuan kepemimpinan melalui pemilihan14. Adam Seligman memberikan dua istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan objek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts). Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep Durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Persons tentang karisma Weber dan individualism Durkheim15. Batasan-batasan tersebut dapat saja menyempit atau meluas tergantung pada telaah yang digunakan, pakar politik akan memberikan definisi sebagai ”agen” demokratisasi di negara dunia ketiga, pakar sosiologi melihat sebagai kekuatan yang dapat menjadi mesin penggerak perubahan, bahkan dalam 13 Muhammad AS Hikam [1996], Demokrasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES, Jakarta Nurcholis Madjid [1999] Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta , hal 167-168. Nurcholis Madjid juga menyamakan masyarakat sipil dengan masyarakat madani (madinah) sebuah keadaan masyarakat yang memiliki ciri-ciri tersebut sebagaimana madinah dibawah Muhammad A.S melalui piagam Madinah. 15 A. Qodri Abdillah Azizy [2000] Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 14 17 konteks politik negara seringkali diletakkan secara dikotomi sipil – militer atau kekuatan oposan penyeimbang antara pasar dan negara16. Di berbagai belahan dunia, keberadaan masyarakat sipil tidak dapat dilepaskan dari organisasi yang menjadi basis pemikiran dan sekaligus penekan, namun tidak berorientasi terhadap kekuasaan. Organisasi ini ditempatkan diluar struktur dan kepentingan kekuasaan dominan. Oleh karenanya organisasi ini sering ditempatkan sebagai simbol oposan yang terlepas dari kooptasi kekuasaan resmi. Label oposan ini kemudian menjadi ciri utama dengan nama non goverment organizations (NGO’s) atau organisasi non pemerintah (Ornop), sebuah istilah yang mengandung makna oposisi. Penggunaan istilah tersebut juga kemudian berkembang menjadi LSM yang kemudian dilegalisasi melalui sejumlah regulasi17. Sekalipun istilah ini memancing perdebatan, namun nampaknya ”untuk 16 Saragih (2004) merangkum secara sangat singkat mengenai berbagai defenisi MS dalam pandangan berbagai pakar. Definisi tersebut tentu belum tercantum seluruhnya. Giddens (2000) menyebutnya sebagai “jalan ketiga” yang tujuannya adalah membantu para anggota masyarakat merintis jalan mereka melalui revolusi utama : globalisasi, transformasi dalam kebijakan publik personal, dan hubungan dengan lingkungan alam dengan nilai-nilai persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme, konservatisme filosofis. Suwondo (2005) memberikan analisis mengenai perkembangan Civil Society di Indonesia dengan berbagai latar belakang kepentingannya. lihat Antony Giddens [2000] Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia, Jakarta hal 74-76; Tumpal Saragih [2004] Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Cipruy, Jakarta hal 45-48; Kutut Suwondo [2003] Civil Society di Aras Lokal, Pustaka Pelajar-Percik, Yogyakarta hal 11-39; Dieter Nohlen, edt [1994] Kamus Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, hal. 411-414; Adam & Jessica Kuper [2000] Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Pers Jakarta hal 113- 115; Fakih (2004) op cit hal 37-58. 17 Ornop dan LSM sesungguhnya memiliki sejarah dan konteks yang berbeda. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Bambang Ismawan (Ketua Yayasan Bina Swadaya) berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah. Di kalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Bambang merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi non pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain, padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan. Kedua, dalam sejarah pergerakan, kita mengenal istilah ''Nonkooperatif" dan "Cooperatif". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah. Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, Bambang Ismawan kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan 18 sementara” publik sepakat bahwa masyarakat sipil sebagai kekuatan di luar negara yang tumbuh dari prakarsa kelompok-kelompok sipil18. Istilah civil society atau masyarakat sipil (MS) oleh sebagaian kalangan disepakati mempunyai kesamaan dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society dan masyarakat madani, jelas berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa, sedangkan masyarakat madani merujuk pada sejarah Islam di awal penyebarannya dimana pertumbuhan dan solidaritas dibuktikan dengan Piagam Madinah, yang merupakan kesepakatan untuk menjamin pluralitas kehidupan warga negara. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat bahwa konsep umum masyarakat madani dan civil society mempunyai kesamaan. Keduanya sering digunakan secara bergantian untuk memberikan definisi tentang sebuah konteks masyarakat yang menjunjung hak-hak sipil politik dalam sebuah kekuasaan. Secara bahasa civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas, yang digunakan oleh Cicero (106-43 SM), yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat19. Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan yang memulainya adalah Adam Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, dugaan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya, lihat Bambang Ismawan, Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan; Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003. Baca juga Sartono Kartodirdjo, Lembaga Swadaya Masyarakat; Tinjauan Singkat, Prisma No. 1 Tahun XVII, Januari 1988 dan Kartjono, Demokratisasi di Tingkat “Grassroots” ; Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 6 Tahun XVII, 1988. 18 Posisi ini sesungguhnya memicu perdebatan krusial, khususnya berkaitan dengan konsepsi sosiologis dan politik yang diberikan. Perdebatan pertama telah dilontarkan oleh George J. Aditjandro dalam artikelnya di Suara Merdeka tanggal 4 Januari 1993, bahwa istilah LSM dimaksudkan untuk pembonsaian makna oposisi. Kedua, kata “swadaya” telah menimbulkan kontroversi, dimana secara faktual lembaga ini memiliki ketergantungan dibidang pendanaan. Ketiga, seringkali lembaga ini dipandang sebagai representasi rakyat, khususnya di dalam kepentingan negara menyusun berbagai kebijakan pembangunan. Padahal secara faktual ikatan politik kebawah (rakyat) sangat longgar dan absurd. Satu-satunya kemampuan yang tinggi dimiliki oleh lembaga jenis ini adalah jaringan yang luas dan kapasitasnya sebagai intelektual kelas menengah yang dedikatif. 19 Adam & Jessica Kuper (2000) op cit hal 114 19 terhadap munculnya MS sangat berkaitan dengan kemunculan pasar ekonomi modern. MS juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian kerja (division of labor) yang kompleks. Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena MS dan negara20. MS dinilai merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara. Dalam pengertian ini, negara dipandang memiliki kepentingan yang berbeda dengan cita-cita MS. Negara memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan se-absolut mungkin melalui penegasian pluralisme gagasan dan kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itulah keberadaan MS selalu diletakkan dalam sumbu yang berseberangan dengan otoritas negara. Selain kritis terhadap negara, civil society mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi, untuk itulah non partisan menjadi jargon MS. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1999: 3). Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi. Di Indonesia konsep yang tumbuh sebelum MS menjadi definisi yang umum digunakan, adalah fenomena yang disebut dengan LSM/LPSM. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti, kapan sejarah MS mulai tumbuh di Indonesia. Sebagian kalangan menunjuk Soetomo dan Budi Oetomo sebagai tonggak lahirnya LSM/LPSM di Indonesia. Tetapi pilihan penunjukkan Soetomo lebih didasarkan pada nilai-nilai yang dipandang identik dengan keberadaan LSM/LPSM yang lahir setelah tahun 1970-an, bukan akibat20 Muhammad AS Hikam (1999) op cit hal 150-155 20 akibat yang ditimbulkan sebagai gerakan oposisi atas ideologi dan bentuk kekuasaan21. Perkembangan berikutnya di Indonesia (dan dunia internasional) adalah dihembuskannya nafas oposisi dalam definisi dan metode gerakan, sehingga istilah LSM/LPSM digunakan secara bergantian dengan organisasi non pemerintah (ornop/non governance organization). Billah, et al (1984) memberikan definisi sebagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat sendiri untuk mengisi kebutuhannya atau memecahkan berbagai masalah sosial ekonomi yang dihadapinya, seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan dan diabaikan dalam pembangunan. Pelakunya adalah para relawan yang terikat dengan motivasi, minat dan kepedulian yang sama22. Definisi agak moderat bila dibandingkan pada perkembangan berikutnya yang mampu melakukan counter pendekatan terhadap apa yang dilakukan oleh negara. Apakah MS dapat menjadi bagian dari gerakan sosial? Gerakan sosial(social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Ada tiga unsur yang penting untuk digarisbawahi dalam melihat hubungan antara MS dengan gerakan sosial, yakni (1) reformasi jika dilihat dari lingkup gerakannya, (2) Damai jika dilihat dari metode kerjanya, (3) gerakan baru jika dilihat dari determinannya. Gerakan MS tidak merubah tatanan secara radikal. Gerakan umumnya mendedikasikan perubahan hanya pada sistem politik, biasanya menyangkut aturan perundangan tertentu, seperti gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan ke arah sistem politik yang lebih demokratis, gerakan buruh yang menginginkan perbaikan upah, gerakan perempuan yang ingin disamakan hak politiknya dengan laki-laki, dan lain sebagainya. Ini berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal yang lebih menekankan perubahan pada sistem nilai. Sekalipun kadang-kadang diantara keduanya tampak sulit diukur batasbatasnya, namun tujuan akhir dari gerakan nampaknya dapat menjadi pembeda dari keduanya (DiRenzo, 1990). Dalam mencapai tujuannya, salah satu ciri dari gerakan MS adalah penggunaan cara-cara damai dalam setiap pendekatannya. Mobilisasi aksi, 21 Lihat M. Dawan Rahardjo, Dokter Soetomo: Pelopor LPSM?, Prisma No. 7 Tahun XVII/1988; Sartono Kartodirdjo, Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 1 Tahun XVII Januari 1988. 22 MM Bilah, dkk [1984] A Bird’s Eye View of Non Governance Organisation in Indonesia, Indhira. 21 pembentukan opini, sampai dengan pembangkangan sipil merupakan cara-cara yang biasa digunakan dalam gerakan MS. Sekalipun kadang-kadang dihadang dengan kekerasan, gerakan MS tetap mengedepankan cara dapai untuk mencapai tujuannya. Dalam keseluruhan ciri tersebut, umuya gerakan MS yang tumbuh pada pertengahan abad 20 digolongkan sebagai gerakan sosial baru. Epstein sebagaimana dikutip Fakih(1996) mengatakan bahwa perbedaan gerakan sosial baru dan gerakan sosial lama adalah pada analisis yang bersifat non kelas karena gerakan ini umumnya dipelopori oleh orang-orang yang berasal dari kelas menengah. Ini berbeda dengan gerakan sosial lama yang umumnya bertumpu pada kelompok ploretar. Penjelsan diatas menurut Fakih, dipegaruhi oleh Antonio Gramci dan teoritisi golongan kiri baru yang menyatakan bahwa buruh bukan lagi menjadi tulang punggung gerakan sosial pada paruh abad 20. Model gerakan ini tidak didasarkan pada konsepsi kelas, tetapi pada solidaritas universal yang luas. Konsepsi perlawanannya tidak harus menyentuh kekuasaan, sekalipun kapitalisme tetap menjadi common issues. Gerakan ini berada diluar domain negara, sekalipun kadang-kadang paradoks dengan cita-cita perubahan. Perlawanan dilakukan secara masif dengan prioritas lokal sembari membentuk jaringan-jaringan yang lebih luas. Pendekatan konfrontasi menjadi ciri terdekat dari gerakan sosial baru (GSB)23. Singh (2001) memberikan empat ciri dari gerakan sosial baru (GSB), pertama kebanyakan model gerakan jenis ini menaruh konsepsi ideologis pada kelas menengah yang terdidik dan berada diluar kekuasaan. Negara telah berada dalam satu panggung dengan kapitalisme, dan memaksa kaum miskin menonton sebuah konser liberalisasi yang memarginalkan mereka. Tugas GSB adalah membubarkan aksi panggung liberalisasi dengan membangun kesadaran perlawanan semasif mungkin. Kedua, sekalipun gerakan ini mengadopsi perlawanan radikal, sebagaimana kaum marxis bekerja, namun model lebih luas dari sekedar hubungan kelas. Masalah yang dibawa lebih luas dari sekedar ketegangan antar kelas, tetapi bisa ketegangan antar komunitas, dengan tema yang lebih luas seperti ekologi, gender, anti perang, anti rasisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu antar isu yang berdekatan dapat bekerja membangun kolaborasi-kolaborasi temporer atau permanen, sejauh bisa dipertemukan dalam payung kepentingan. Ketiga, sebagaimana yang disampaikan diatas, gerakan ini tidak menggunakan partai sebagai jalur pendekatan 23 Robert H. Lauer [2003] Perspektif Tentang Perubahan Sosial,Rineka Cipta, Jakarta 22 (kecuali di beberapa tempat) tetapi memilih bersikap oposisional terhadap kekuatan dominan. Keempat, tujuan-tujuan yang ingin dicapai lebih plural, dengan keyakinan bahwa para korban harus diselamatkan dari ancaman destruktif apapun. Kadang-kadang gerakan sosial dapat sedemikian luwesnya mengikuti konsep-konsep yang selalu terbuka terhadap pembaruan, dan dapat bekerjasama dengan siapapun sepanjang berada dalam satu barisan kepentingan. Gerakan sosial baru (GSB) meletakkan posisinya sebagai benteng bagi pembentukan perlawanan yang lebih luas dari kekuasaan dominan.24. Tiga konsepsi diatas mengenai LSM, Ornop dan gerakan sosial baru (GSB), dapat kita rumuskan mengenai perbedaan diantara ketiganya dan sekaligus persamaannya. Persamaan yang paling dekat adalah ketiganya bukan bagian dari kepentingan politik kekuasaan negara (state). Non partisan adalah metode umum yang dipakai dan sekaligus menjadi jargon utamanya. Perbedaannya adalah pada metode yang dilakukan, mulai yang moderat, reformis sampai dengan transformatif 25. Berbeda dengan sejumlah definisi diatas, sejumlah kalangan melihat bahwa gerakan MS merupakan proses yang kontinuum menuju sebuah ciri yang lebih solid sebagai organisasi yang mengarah pada kekuasaan. Darmawan (2007) memberikan tiga ciri dari gerakan MS, yakni ; (1) gagasan pokok yang diusung sebagai keprihatinan kolektif dari akar rumput sampai dengan kelas diatasnya. (2) terdapat aksi kolektif yang tidak harus radikal, namun diletakkan dalam menjawab berbagai tantangan status quo yang berlangsung. (3) terdapat gagasan mengenai perubahan sosial yang diperjuangkan secara bersama-sama. Konseptualisasi gagasan ini yang kelak melahirkan perspektif baru dalam studi pembangunan yang berlabelkan ”pemberdayaan”, ”partisipasi” dan ”kekuatan dari bawah26. Dengan analisa yang lebih menekankan pada dialektika metode, Darmawan (2007) memberikan penafsiran mengenai sebuah transformasi gerakan MS dari sebuah organisasi sosial menjadi partai politik. Dimulai tahun 1960/1970an, organisasi MS menjadi embrio sebagai kekuatan yang mengusung ide-ide perubahan secara radikal. Pendekatan yang diletakkan pada anomic behavior, memusatkan perhatian pada radikalisme yang tumbuh 24 Lihat Mansour Fakih , Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society, dalam Wacana Edisi 11 Tahun III 2002 25 Mansour Fakih [2004] op cit 26 Arya Hadi Dharmawan [2007] Teori-Teori Gerakan Sosial: Perspektif Marxian, Developmentalisme, dan Demokratisme, makalah tidak diterbitkan. 23 dari dalam masyarakat. Perubahan kemudian berlangsung pada tahun 1980/1990an yang mulai memasuki ranah sosial politik sebagai medan baru bagi upaya mendorong perubahan sosial. MS dinilai ”mengisi ruang kosong” yang selama ini tidak pernah dihuni (sulit dijangkau) oleh organisasi formal seperti partai politik, birokrasi, maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Organisasi MS muncul sebagai kelembagaan antara yang menjembatani partai politik dan kelembagaan asli lokal dalam mengusung ide perubahan. Secara skematis digambarkan sebagai berikut ; Organisasi sosial Social Movement organization Non Governmental organization Partai politik Gambar 2. Kontinuum Organisasi MS dalam Civil Society Darmawan (2007) melakukan analisa berdasarkan perkembangan gerakan MS di negara-negara dunia pertama yang sudah pencapai kematangan politik seperti Partai Hijau di Jerman, ataupun Akbayan di Filipina. Gerakan MS di negara tersebut telah memasuki tahap baru, yakni konsolidasi kekuasaan, dan menjadi kekuatan alternatif ditengah-tengah partai konservatif yang melingkarinya. Melalui pertarungan politik, gerakan MS tumbuh menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam parlemen, dan mampu merumuskan kebijakan yang melindungi kepentingan kelompok marginal atau platform politiknya yang universal. Namun di berbagai belahan dunia, gerakan sosial sektoral juga mampu memasuki jantung kekuasaan, sekalipun membutuhkan waktu panjang. Partai-partai sektoral yang tumbuh sebagai kekuatan dominan pada awalnya dibentuk sebagai respon atas ketidakpuasan kebijakan yang menyingkirkan kaum minoritas. Setelah berjuang selama puluhan tahun, kelompok tersebut mendapat simpati untuk memegang kekuasaan melalui cara-cara damai27. Fenomena tersebut di Indonesia barangkali akan diwakili oleh WALHI, sebuah ornop lingkungan, yang sedang mengembangkan perdebatan mengenai sayap politik sebagai alternatif gerakan ekologi. 27 Markoff (2002) op cit hal 166-180 24 Analisa tersebut tentu saja mengesampingkan konteks lokal di Indonesia, bahwa tidak semua gerakan MS tumbuh menjadi embrio partai politik. Terdapat banyak fakta bahwa MS lebih memilih menjadi kekuatan diluar kekuasaan politik sambil tetap mempertahankan cirinya sebagai aktor penggerak perubahan. Ide-ide untuk masuk dalam konstetasi politik cukup diwakili oleh individu-individu yang hijrah kedalam partai. Gerakan MS tetap menjadi pilihan atas sejumlah realitas politik yang berkembang, dan tidak ada seorang analis politik yang dapat memprediksi sampai kapan kelompok ini akan tetap berada di jalur politiknya yang non partisan. 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengambil tema Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004 dengan fokus kajian pada gejala-gejala yang melingkupinya. MS merupakan salah satu bentuk aktivisme gerakan sosial yang khas. Selama pemerintahan orde baru berlangsung, telah tumbuh kekuatan oposisi yang dipelopori kelas menengah. Wujud aktivisme gerakan MS berbeda-beda mulai dari pemberdayaan ekonomi alternatif, pembelaan terhadap kasus struktural yang melibatkan kekuasaan sampai dengan protes terbuka terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. Gerakan protes anti rezim sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru termasuk dalam kategori ini baik yang dilakukan secara terbuka ataupun tersembunyi. Gelombang protes meliputi periode sepanjang 32 tahun yang dianggap sebagai situasi yang otoriter sebagai keadaan yang diletakkan secara kontradiktif dengan demokrasi sebagai cita-cita MS28. Krisis ekonomi menjadi faktor pencetus yang memperbesar protes terhadap rezim yang kemudian diikuti dengan kejatuhan Presiden Soeharto. Berbeda dengan kemunculan gerakan protes menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, gerakan pasca Presiden Soeharto mengalami penuruan secara kuantitatif. Umumnya gerakan hanya diikuti oleh sedikit saja mereka yang menyetujui tujuan gerakan, dan biasanya dari kalangan kelas menengah. Tujuan yang diusung juga terurai dalam berbagai macam. 28 Lihat Andreas Uhlin [1998] Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung; Edward Aspinall [1993] Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper 79, Monas University; Australia 25 Menurut Nan Lin (1992) ada dua faktor mendasar yang mempengaruhi gerakan sosial, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam lingkungan gerakan itu sendiri seperti ikatan terhadap tujuan yang hendak dicapai, kerelawanan, fleksibilitas, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berpengaruh terhadap kondisi gerakan, misalnya tekanan politik, situasi internasional, situasi lokal, dan lain sebagainya. Perubahan politik akan berpengaruh terhadap situasi gerakan sosial, khususnya berkaitan dengan platform, strategi, dan metode gerakan. Pasca Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, situasi politik mengalami fase demokratisasi yang ditandai dengan partisipasi yang kuat dari warga negara dalam kehidupan sosial politik, mulai dari tingkat lokal sampai dengan nasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik nasional, pemilu diselenggarakan secara multi partai yang memingkinkan kalangan oposisi yang dahulu menolak pemilu dapat mengambil bagian dalam proses kompetisi kekuasaan. Untuk itu gerakan MS juga mengalami perubahan dalam pendekatan dan platform politiknya. Gerakan MS tidak berada lagi dalam jalur oposisional sebagaimana ketika Orde Baru masih berkuasa, namun sebagian diantaranya ikut mengembil bagian dalam konstetasi kekuasaan. Tidak seluruhnya dapat menjapai platformnya dengan baik karena berbagai hal, khususnya berkaitan dengan memotivasi orang untuk terlibat sehingga memperbesar daya tekan melalui kontruksi tujuan yang jelas dan diterima oleh publik. Menurut Gamson (1996), keberhasilan gerakan sangat tergantung pada bagaimana elemen pendukung mampu mengkontruksikan tujuannya untuk diterima oleh pendukungnya sehingga faksionalisasi dapat ditekan. Fokus studi ini diletakkan pada perubahan gerakan MS yang berlangsung setelah Orde Baru jatuh dengan membandingkan berbagai pendekatan, platform dan aktor dari gerakan MS di Yogyakarta pada era Orde Baru masih kukuh. 2.5. Hipotesis Pengarah Dari uraian di atas disusun dua hipotesis pengarah dalam penelitian ini, yakni ; 1. Perubahan iklim politik yang lebih demokratis di Indonesia pasca Orde Baru telah mendorong perubahan strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta. 26 2. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan bentuk strategi dan platform gerakan MS adalah dari dalam dan dari luar gerakan MS. Faktor dari luar adalah situasi politik lokal, nasional, bahkan internasional. Sedangkan faktor dalam dalam adalah hubungan kelembagaan, kapasitas organisasi, dan tingkat koordinasi gerakan. 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004 Iklim Politik yang Berubah ke arah demokratisasi Perubahan Pendekatan Yang Meliputi pilihan strategi gerakan Faktor Yang Berpengaruh terhadap Gerakan MS di Yogyakarta Perubahan platform gerakan masyarakat sipil Gambar 3. Kerangka Pemikiran Riset 27