7 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pendahuluan

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pendahuluan
Gerakan masyarakat sipil (MS) dalam kaitannya dengan gerakan oposisi di
Indonesia menjadi ciri khas dari pertumbuhan gerakan sosial.
Keberadaannya
diindentikkan dengan gerakan protes anti rezim, khususnya Orde Baru. Dengan sendirinya
membahas pertumbuhan MS tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang gerakan
sosial. Kemunculan gerakan sosial dapat dilihat sebagai unsur utama masyarakat sipil.
Konsep ini didefinisikan sebagai masyarakat yang sadar akan hak-haknya sebagai warga
negara, dan berdaya menentukan masa depannya sendiri, serta gerakan yang berani
berjuang melawan praktek-praktek penindasan dan ketidak–adilan yang datang dari
negara1.
MS adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan
kesukarelaan
(voluntary),
keswasembadaan
(self
generating),
keswadayaan
(self
supporting), kemandirian yang tinggi terhadap negara. Alfred Stepan memberikan definisi
sebagai arena tempat berbagai gerakan sosial serta organisasi sipil dari semua kelas2.
Dengan sendirinya membahas tentang gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan gerakan
sosial, merupakan sebuah keniscayaan dalam studi terhadap gerakan protes di Indonesia.
2.2. Teori Gerakan Sosial
Di atas sudah disampaikan bahwa membahas gerakan MS tanpa mengkaitkan dengan
gerakan sosial merupakan sebuah keniscayaan dalam lapangan studi sosial. Gerakan sosial
merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Diano & Porta, 2006).
Sebagai bentuk aktivisme yang khas,
didefinisikan sebagai ’sebentuk aksi kolektif’
dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu,
1
Bonie Setiawan , Organisasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil .Prisma No. 7/1996
Alfred Stepan [1996] Militer dan Demokratisasi ; Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain , Grafiti
Press, Jakarta
2
7
dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang
diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan
dalam koalisi dan kampanye bersama3. Ciri lain dalam gerakan sosial adalah tujuannya
yang bukan untuk mencapai kekuasaan, sekalipun dalam beberapa hal gerakan sosial
ditujukan untuk mengganti rezim rezim yang berkuasa. Ini berbeda dengan gerakan politik
yang umumnya ditujukan untuk merebut kekuasaan baik yang dilakukan dengan cara
damai atau lewat kekerasan. Ikatan gerakan sosial adalah pada cita-citanya tentang
perubahan. Selain definisi yang diberikan Diani dan Porta (2006), McCarthy & Zald
(2003) mendefinisikan gerakan sosial sebagai seperangkat opini dan kepercayaan (opinion
and belieft) dalam suatu kelompok masyarakat
yang mencerminkan preferensi bagi
perubahan pada sebagian elemen struktur sosial dan atau distribusi kemanfaatan dalam
tatanan masyarakat yang lebih luas4. Tilly dan Wood (1999) mendefinisikan sebagai
’perlawanan yang terus menerus atas nama kelompok yang dirugikan terhadap pemegang
kekuasaan melalui berbagai ragam protes publik, termasuk tindakan-tindakan di luar jalur
partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan, untuk menunjukkan
bahwa kelompok tersebut solid, berkomitmen, serta mewakili jumlah yang significant 5.
Protes ini bisa berlangsung panjang, naik turun, koalisi tidak harus permanen, dan kadang
kala berlangsung ketegangan antar pelaku gerakan sosial. Namun demikian ikatan sosial
politiknya bisa terus berlangsung sampai tujuan gerakan tercapai.
Dalam definisi tersebut, gerakan sosial tidak hanya melibatkan aksi kolektif terhadap
suatu masalah bersama namun juga dengan jelas mengidentifikasi target aksi tersebut dan
mengartikulasikan dalam konteks sosial maupun politik tertentu. Aksi kolektif bisa
berasosiasi dengan gerakan sosial selama dianggap sebagai perlawanan terhadap perilaku
atau legitimasi aktor politik maupun sosial tertentu dan tidak ditujukan bagi masalahmasalah yang tidak disebabkan secara langsung oleh manusia.
3
Donatella Della Porta and Mario Diani [2006] Social Movements and Introduction (second editions) ,
Blackwell Publishing, USA
4
Mayer N Zald & John D Mc Carthy [2003] , Social Movement in an Organizational Society, Transaction
Publishers, New Jersey
5
Charles Tilly,Lesley J. Wood [2009] Social movements, 1768-2008, Paradigm Publishers, USA
8
Gerakan sosial tidak dapat direpresentasikan oleh suatu organisasi tertentu. Oleh
karenanya pelaku gerakan sosial tidak tunggal. Gerakan sosial direpresentasikan oleh citacita yang akan diusung, oleh karena itu gerakan sosial memiliki ciri inklusif, tidak
didominasi dan direpresentasikan oleh satu atau dua organisasi. Karena ciri yang inklusif
dimana setiap pihak yang setuju dengan cita-cita gerakan dapat terlibat dalam gerakan,
maka sebuah gerakan sosial sesungguhnya merupakan pertukaran berbagai pihak yang
bersedia bekerja untuk perubahan. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan
pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara
beragam aktor individu maupun kelembagaan mandiri. Strategi, koordinasi dan pengaturan
peran dalam aksi kolektif ditentukan dari negosiasi yang terus menerus diantara aktor-aktor
yang terlibat diikat oleh identitas kolektif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Habermas,
Offe
maupun Melucci, gerakan sosial adalah ”ruang antara” yang menjembatani
masyarakat sipil dan negara (Canel, 1997). Gerakan sosial adalah ruang antara pasifisme
publik dengan pembusukan negara (abuse of power) . Dengan sendirinya gerakan sosial
mengambil tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh
negara seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang lebih luas dan
lain sebagainya. Melalui ruang tersebut gerakan sosial mampu mempolitisasi civil society
tanpa harus mereproduksi kontrol, regulasi, dan intervensi seperti yang dilakukan oleh
negara6. Dalam pandangan Canel (1997), proses politisasi dalam ruang antara telah
memampukan gerakan sosial untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat
secara keseluruhan dan kepada aktor politik di luar MS.
Pengertian umum gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang
dilakukan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program
terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk
melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial umumnya lahir
dari situasi yang dianggap tidak adil sehingga diperlukan sejumlah tindakan untuk
merubahnya. Gerakan sosial secara sederhana dimaknai sebagai gerakan yang lahir dari
6
E. Canel, New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The Need Integrati, dalam M
Kauffman dan HD Alfonso (Ed) [1997] , Community Power and Grassroots Democracy; The
Transformation of Social Life, Zed Book
9
dan atas prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan institusi, kebijakan atau struktur
kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan sosial memandang bahwa ketiga hal diatas tidak
sesuai dengan kehendak mayoritas. Gerakan sosial merupakan upaya kolektif untuk
mengejar kepentingan bersama diluar lingkup lembaga –lembaga yang sudah mapan.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan mengenai ciri
pokok gerakan sosial dengan membandingkan orientasi pokoknya, pertama, gerakan sosial
melibatkan tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan
perubahan di dalam arasemen-arasemen kelembagaan. Tantangan ini bisa berpusat pada
kebijakan publik atau ditujukan untuk mengawali perubahan yang lebih luas dalam struktur
lembaga sosial politik, kesejahteraan, atau berkaitan dengan hak-hak warga negara. Kedua,
gerakan sosial biasanya memiliki corak politik. Ini terutama berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai oleh gerakan sosial, yang secara spesifik biasanya berkaitan dengan
distribusi kekuasaan. Secara singkat gerakan sosial memiliki ciri yaitu (1) lahirnya
kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara independen, (2)
bertambahnya jumlah (dan peserta) aksi protes yang mendukung gerakan dan umumnya
berlangsung secara cepat, (3) kebangkitan opini, (4) seluruh kekuatan ditujukan kepada
lembaga sentral (5) gerakan sosial merupakan usaha untuk melahirkan perubahan struktur
pada lembaga-lembaga sentral.
Gidden (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk
mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui
tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan7.
Pengertian yang sama diutarakan Tarrow (1998) yang menempatkan gerakan sosial sebagai
politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa --- yang bergabung dalam kelompok
masyarakat yang lebih berpengaruh – menggalang kekuatan untuk melawan elit ,
pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh
jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi,
maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak
lawan, dan hasilnya adalah gerakan social. Menurut Tarrow (1998), tindakan yang
7
Anthony Giddens and Philip W Sutton [2010] Sociology : Introductory Reading (3rd Edition) , Polity Press,
UK
10
mendasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan. Tindakan kolektif bisa
mengambil banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan
ataupun cepat bubar, membosankan atau dramatis. Umumnya tindakan kolektif
berlangsung dalam institusi ketika orang yang bergabung di dalamnya bertindak untuk
mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu
dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk
mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau
pihak-pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari
gerakan social , karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang
dimiliki oleh orang-orang yang berada diluar struktur8. Pada dataran teoritis, hal itulah
yang telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan social, seperti teori tindakan kolektif
(collective action /behavior), teori ‘nilai tambah’ (value added), teori mobilisasi sumber
daya (resource mobilization), teori proses politik (political process), dan teori gerakan
social baru (new social movement).
Gejolak sosial menurut Smelser, dinamakan collective behavior, adalah mobilisasi
atas dasar suatu belief , keyakinan, yang mendefinisikan kembali gerakan sosial. Dalam
pandangan Smelser(1962), gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah
determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai
berikut : (1) kekondusifan struktural (structural conduciveness), yaitu kondusif atau
tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial, (2) ketegangan
struktural yang timbul , misalnya berupa ancaman atau deprivasi ekonomi, (3) penyebaran
keyakinan yang dianut, (4) faktor pencetus berupa sesuatu yang dramatik. Krisis keuangan
misalnya, dapat diartikan sebagai deprivasi ekonomi yang melahirkan ketegangan
struktural dan dapat pula menjadi faktor pencetus terjadinya gejolak sosial. Setelak gejolak
sosial muncul sebagai akibat berbagai faktor diatas, (5) mobilisasi untuk mengadakan aksi
berkembang menjadi gerakan sosial. Situasi dapat dimulai dengan agitasi untuk reform. (6)
pengorganisasian kontrol sosial yang mencegah, mengganggu, membelokkan , merintangi
gejolak tersebut.
8
Sidney Tarrow [1998] Power in Movement: Social Movements, Collective Action, and Politics, 2nd ed.:
Cambridge University Press , Cambridge, UK
11
Menurut Gamson (1992), sebuah kerangka aksi kolektif adalah ”seperangkat
keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada tindakan, yang memberi aspirasi dan
melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye gerakan sosial”. Gamson membedakan tiga
komponen kerangka aksi kolektif (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen identitas, dan (3)
faktor agensi. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran moral yang berhubungan dengan
kekecewaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pemberian fasilitas kepada sekelompok orang,
dan lain sebagainya. Kegusaran moral ini seringkali berhubungan dengan ketidaksetaraan
yang tidak memiliki legitimasi –yaitu perlakuan yang tidak simbang terhadap individu
atau kelompok yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan (Folger, 1986; Major, 1994) .
Pengindentifikasian
”mereka”
(penguasa,
kelompok
elite)
yang
dianggap
bertanggungjawab atas sebuah situasi negatif menyiratkan adanya ”kita” sebagai lawannya.
Rasa ketidakadilan atau rasa berindentitas merupakan kondisi yang diperlukan untuk
berpartisipasi dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan
penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong orang
untuk melibatkan diri dalam lapangan aksi kolektif. Individu harus menjadi yakin bahwa
mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka.
Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan sosial terletak pada tujuan gerakan
social diterima oleh seluruh aktor gerakan (Gamson, 1996) keberhasilan gerakan sosial
terletak pada bagaimana aktor-aktor gerakan memformulasikan tujuannya sehingga
diterima secara luas. Keberhasilan gerakan sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana
khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau tujuan
bersama. Gerakan sosial bukan hanya membutuhkan bingkai bagaimana setiap aktor harus
bertindak, melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Keberhasilan dari suatu
gerakan sosial tergantung pada bagaimana keberhasilan kelompok dalam mendefinisikan
frame/bingkai atas apa apa yang harus dilakukan bersama (David A. Snow, 1986). Gamson
menyimpulkan bahwa wacana media adalah sumber informasi penting yang dapat diambil
orang ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang mereka bicarakan.
Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang luas dari para pendukungnya. Menurut
Klandermans (2005) terdapat empat langkah menuju partisipasi dalam gerakan sosial. (1)
12
potensi mobilisasi. Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus
mendapatkan simpati dari beberapa kelompok. Seperti yang telah kita ketahui potensi
mobilisasi mengacu kepada para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat
dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial, termasuk di dalamnya adalah
semua orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada
kelompok-kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan.
Bahkan orang-orang yang tidak mendapatkan mafaat langsung dari gerakan sosial pu dapat
bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk dimobilisasi. (2)
Jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun besar potensi mobilisasi sebuah
gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki jaringan perekruitan untuk aksi, maka
gerakan tidak akan efektif. Untuk membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu
gerakan harus mempu menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan
menjalin hubungan dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada, selain itu
gerakan harus mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional.
(Wilson dan Orum, 1976; Farree dan Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial
menentukan upaya-upaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin
erat hubungannya dengan organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan lain, maka semakin
banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam & Pulsen, 1993). (3)
Motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi motivasi, suatu gerakan harus
mempengaruhi keuntungan dan kerugian jika seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika
keutungan yang diperoleh dalam gerakan sosial lebih besar dari kerugian, kemungkinan
untuk berpartisipasi juga semakin besar. Partisipasi dalam gerakan sosial berupa
keterlibatan kongkret dan spesifik
seperti mengikuti rapat umum atau demonstrasi,
menyumbangkan sejumlah uang, bergabung dalam barisan pemogokan, dan lain
sebagainya. Kita tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi
dalam sebuah gerakan yang spesifik, kemudian akan ikut berpartisipasi dengan gerakan
lain. (4) Penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan kesediaan untuk berpartisipasi,
tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan itu hanya akan berubah menjadi partisipasi sejauh
niat itu dapat dilaksanakan. Tetapi penghalang dapat diatasi bila orang benar-benar
13
termotivasi dalam gerakan. Dengan demikian seseorang akan berpartisipasi atau tidak
tergantung pada bagaimana cara dia merespon penghalangnya. Jadi gerakan sosial di tahap
akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan
atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang. Kladermans (2005)
memberikan gambaran sebagai berikut mengenai keputusan apakah seseorang akan
melibatkan diri (berpartisipasi) dalam gerakan atau tidak .
Tidak bersimpati
terhadap gerakan
Bersimpati
terhadap gerakan
Tidak menjadi
target
mobilisasi
Menjadi target
mobilisasi
Tidak
termotivasi
untuk
berpartisipasi
Termotivasi
untuk
berpartisipasi
Tidak
berpartisipasi
Berpartisipasi
Gambar 1. Langkah-Langkah Menuju Partisipasi Gerakan
Seorang berpartisipasi dalam suatu gerakan berarti terlibat dalam sebuah kegiatan
seperti mogok, demontrasi, menghadiri pertemuan, dan lain sebagainya. Dengan demikian
setiap orang atau kelompok dalam sebuah gerakan dapat mengambil keputusan untuk
berpartisipasi terus atau menghentikan partisipasinya. Model ini mengkombinasikan teori
nilai harapan dan teori aksi kolektif (Klandermans, 2005). Menurut teori nilai harapan ,
perilaku individu atau kelompok merupakan fungsi nilai dari hasil yang diharapkan.
Semakin besar kemungkinan suatu perilaku untuk menghasilkan hasil yang spesifik , dan
semakin tinggi
penilaian terhadap hasil tersebut, maka kemungkinan besar juga
kemungkinan untuk terlibat dalam gerakan sosial.
Dalam gerakan sosial, inti teori aksi kolektif adalah perbedaaan antara insentif
kolektif dan insentif selektif (Oliver, 1980). Insentif kolektif dihubungkan dengan
pencapaian tujuan kolektif. Sebaliknya insentif selektif hanya mempengaruhi orang-orang
yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif. Untuk melibatkan diri dalam suatu gerakan
sosial membutuhkan ketersediaan insentif kolektif maupun selektif. Hanya sebagian kecil
14
orang yang mau berpatisipasi hanya untuk alasan mendapatkan insentif selektif semata.
Pun, banyak kelompok atau orang tidak siap untuk berpartisipasi di dalam suatu kegiatan
yang tidak menyediakan apapun selain insentif kolektif, meskipun bersimpati terhadap
tujuan gerakan sosial. Oleh karena itu, sebuah kampanye yang bertujuan meyakinkan
orang untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan sosial tidak hanya menekankan nilai
tentang tujuan aksi tersebut dan mengontrol insentif selektif, kampanye juga harus mampu
meyakinkan para aktor bahwa cukup banyak yang terlibat dalam gerakan sosial. Disinilah
relevansi teori Gamson mengenai framing dimana media memiliki peran dalam
menebarkan keyakinan mengenai tujuan gerakan.
2.3. Kedatangan Konsep Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil (MS) tidak memiliki definisi tunggal. Ilmuwan sosial memiliki
pandangan dan definisi yang berbeda-beda tergantung konteks analisisnya. MS dapat
diletakkan sebagai antitesa dari kecenderungan ke arah segala sesuatu yang berorientasi
pada kemiliteran. Bagi ilmuwan yang berkiblat pada konteks historis perkembangan Islam,
MS menjadi padanan masyarakat madani9. Kalau kita menggunakan mesin pencari di
internet (google) dengan keyword masyarakat sipil akan menemukan 870.000 hasil
pencarian, dengan keyword civil society 51.000.000 hasil pencarian, dengan keyword
masyarakat madani 207.000 hasil pencarian. Ini menunjukkan betapa populernya kata
tersebut dalam khasanah bahasa.
Masyarakat Sipil (MS) merupakan konsep lama dalam pemikiran sosial politik yang
bangkit kembali pada abad 20, terutama di Eropa Timur yang menjadi lahan subur
pertumbuhan negara otoriter pasca PD II (meski di Eropa Barat, konsep tersebut juga
berkembang). Konsep tersebut secara tradisional merupakan perkembangan dari istilah
Romawi societas civilis, atau istilah Yunani koinonia politike. Istilah ini sinonim dengan
masyarakat politik10.
9
Bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan
Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan
“civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival
Istiqlal, 26 September 1995. Lihat juga Sufyanto [2001], Masyarakat Tamaddun : Kritik Hermeneutis
Masyarakat Madani Nurcholis Madjid, Pustaka Pelajar, Jogjakarta
10
Adam & Jessica Kuper [2000] op cit hal 113, Aristoteles [2007] op cit hal 107-111
15
MS merupakan arena bagi warga negara yang aktif secara politik. Istilah tersebut
juga berkonotasi bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya
adalah bagian dari
masyarakat yang beradab yang mendasarkan hubungan–hubungannya pada suatu sistem
hukum, bukannya pada tatanan hukum yang otokratis dan korup. Adalah Hegel yang
mampu mengembangkan makna modern dari MS. Buku Philosophy of Right yang pertama
kali terbit tahun 1821 (dan diterbitkan ulang tahun 1958), memberikan definisi MS adalah
wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan
kewarganegaraan11.
Nafas baru ditiupkan dalam definisi tersebut oleh serangkaian perubahan bertahap di
Eropa tengah dan timur pada akhir tahun 1970-1980-an. Para pembangkang di kawasan
tersebut menjadikan konsep MS untuk menentang rezim otoriter menjelang tumbangnya
komunisme di kawasan
tersebut. Konsep tersebut dianggap jalan alternatif bagi
munculnya kekuatan warga negara yang tidak terkooptasi oleh negara, menjunjung tinggi
kebebasan, dan berada dalam rute anti kekerasan sebagai prinsip perlawanan. Solidaritas
internasional segera terbentuk sejalan dengan menguatnya probality pengaruh yang
diperoleh oleh golongan tersebut12.
Para teoritisi sosial memberikan penjelasan yang berbeda-beda sekalipun menunjuk
pada objek yang sama. Dari sudut disiplin ilmu pengetahuan, masing-masing memiliki
definisi yang berbeda untuk menunjuk sejumlah ciri : sipil (non militer), di luar domain
negara, berbasis pada kelas menengah (middle class), mengusung tema atau isu tertentu,
membentuk jaringan yang tangguh pada kepentingan tertentu, berwatak non violence,
untuk sementara digolongkan sebagai organisasi nirlaba. Ciri yang berbeda namun
memiliki karakteristik sama juga diberikan dalam definisi ini yakni, masyarakat yang
memiliki ruang publik bebas (free public sphere), demokratis, memiliki toleransi,
menghargai pluralisme, memiliki spirit keadilan sosial (social justice), dan menjunjung
tinggi supremasi hukum.
Hikam (1996) memberikan ciri yang lebih spesifik mengenai MS yakni pertama,
memiliki kesukarelaan dalam bekerja untuk mewujudkan komunitasnya menjadi lebih
baik. Dalam pengertian ini juga dibarengi dengan komitmen yang tinggi untuk
11
12
Hegel [1958] Phylosopy of Right, trans. TW Knox, Oxford.
Markoff [2002] op cit 188-189
16
mewujudkan cita-cita yang dituju. Kedua, keswasembadaan, setiap anggota mempunyai
harga diri yang tinggi, mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau
lembaga-lembaga negara atau organisasi lainnya. Ketiga, kemandirian yang cukup tinggi
dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika
berhadapan dengan negara. Keempat, keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati
bersama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan
negara kekuasaan13. Ilmuwan Islam Madjid (1999) memberikan ciri yang berbeda tentang
konsep ini yakni, Semangat egalitarianisme atau kesetaraan, penghargaan kepada orang
berdasarkan prestasi, bukan prestise, keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat,
penentuan kepemimpinan melalui pemilihan14.
Adam Seligman memberikan dua istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis.
Dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat
civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang
pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan.
Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang
menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Dengan kata lain bicara civil society
sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan objek kajian dalam dunia
politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts). Sedangkan yang kedua,
civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan.
Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada
kombinasi antara konsep Durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber
tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Persons tentang
karisma Weber dan individualism Durkheim15. Batasan-batasan tersebut dapat saja
menyempit atau meluas tergantung pada telaah yang digunakan, pakar politik akan
memberikan definisi sebagai ”agen” demokratisasi di negara dunia ketiga, pakar sosiologi
melihat sebagai kekuatan yang dapat menjadi mesin penggerak perubahan, bahkan dalam
13
Muhammad AS Hikam [1996], Demokrasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES, Jakarta
Nurcholis Madjid [1999] Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta , hal 167-168.
Nurcholis Madjid juga menyamakan masyarakat sipil dengan masyarakat madani (madinah) sebuah keadaan
masyarakat yang memiliki ciri-ciri tersebut sebagaimana madinah dibawah Muhammad A.S melalui piagam
Madinah.
15
A. Qodri Abdillah Azizy [2000] Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif),
dalam Ismail dan Mukti, Pustaka Pelajar, Jogjakarta,
14
17
konteks politik negara seringkali diletakkan secara dikotomi sipil – militer atau kekuatan
oposan penyeimbang antara pasar dan negara16.
Di berbagai belahan dunia, keberadaan masyarakat sipil tidak dapat dilepaskan dari
organisasi yang menjadi basis pemikiran dan sekaligus penekan, namun tidak berorientasi
terhadap kekuasaan. Organisasi ini ditempatkan diluar struktur dan kepentingan kekuasaan
dominan. Oleh karenanya organisasi ini sering ditempatkan sebagai simbol oposan yang
terlepas dari kooptasi kekuasaan resmi. Label oposan ini kemudian menjadi ciri utama
dengan nama non goverment organizations (NGO’s) atau organisasi non pemerintah
(Ornop), sebuah istilah yang mengandung makna oposisi. Penggunaan istilah tersebut juga
kemudian berkembang menjadi LSM yang kemudian dilegalisasi melalui sejumlah
regulasi17. Sekalipun istilah ini memancing perdebatan, namun nampaknya
”untuk
16
Saragih (2004) merangkum secara sangat singkat mengenai berbagai defenisi MS dalam pandangan
berbagai pakar. Definisi tersebut tentu belum tercantum seluruhnya. Giddens (2000) menyebutnya sebagai
“jalan ketiga” yang tujuannya adalah membantu para anggota masyarakat merintis jalan mereka melalui
revolusi utama : globalisasi, transformasi dalam kebijakan publik personal, dan hubungan dengan lingkungan
alam dengan nilai-nilai persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak
ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme, konservatisme filosofis.
Suwondo (2005) memberikan analisis mengenai perkembangan Civil Society di Indonesia dengan berbagai
latar belakang kepentingannya. lihat Antony Giddens [2000] Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial,
Gramedia, Jakarta hal 74-76; Tumpal Saragih [2004] Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Cipruy,
Jakarta hal 45-48; Kutut Suwondo [2003] Civil Society di Aras Lokal, Pustaka Pelajar-Percik, Yogyakarta
hal 11-39; Dieter Nohlen, edt [1994] Kamus Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, hal. 411-414; Adam &
Jessica Kuper [2000] Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Pers Jakarta hal 113- 115; Fakih (2004) op cit
hal 37-58.
17
Ornop dan LSM sesungguhnya memiliki sejarah dan konteks yang berbeda. Istilah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di
Ungaran, Jawa Tengah 1978. Bambang Ismawan (Ketua Yayasan Bina Swadaya) berkonsultasi dengan Prof.
Dr. Sayogyo minta pendapat tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok,
lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya
pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah. Di kalangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian
dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non
Pemerintah (disingkat ORNOP). Bambang merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena
pengertian organisasi non pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan
organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain,
padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan.
Kedua, dalam sejarah pergerakan, kita mengenal istilah ''Nonkooperatif" dan "Cooperatif". Pada waktu
pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co"
dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan sebagai
kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari
kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat
yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah. Dalam mencari istilah Indonesia bagi
NGO, Bambang Ismawan kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama
International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO),
masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang
yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan
18
sementara” publik sepakat bahwa masyarakat sipil sebagai kekuatan di luar negara yang
tumbuh dari prakarsa kelompok-kelompok sipil18.
Istilah civil society atau masyarakat sipil (MS) oleh sebagaian kalangan disepakati
mempunyai kesamaan dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society
dan masyarakat madani, jelas berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society
merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa, sedangkan masyarakat madani merujuk pada
sejarah Islam di awal penyebarannya dimana pertumbuhan dan solidaritas dibuktikan
dengan Piagam Madinah, yang merupakan kesepakatan untuk menjamin pluralitas
kehidupan warga negara. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat
bahwa konsep umum masyarakat madani dan civil society mempunyai kesamaan.
Keduanya sering digunakan secara bergantian untuk memberikan definisi tentang sebuah
konteks masyarakat yang menjunjung hak-hak sipil politik dalam sebuah kekuasaan.
Secara bahasa civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas, yang digunakan oleh
Cicero (106-43 SM), yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan
masyarakat19.
Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal
pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan yang memulainya adalah Adam
Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, dugaan
istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) untuk SHO. Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan
Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah
organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara
sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh
organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya, lihat Bambang
Ismawan, Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan; Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat,
Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003. Baca juga Sartono Kartodirdjo, Lembaga Swadaya
Masyarakat; Tinjauan Singkat, Prisma No. 1 Tahun XVII, Januari 1988 dan Kartjono, Demokratisasi di
Tingkat “Grassroots” ; Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 6 Tahun XVII, 1988.
18
Posisi ini sesungguhnya memicu perdebatan krusial, khususnya berkaitan dengan konsepsi sosiologis dan
politik yang diberikan. Perdebatan pertama telah dilontarkan oleh George J. Aditjandro dalam artikelnya di
Suara Merdeka tanggal 4 Januari 1993, bahwa istilah LSM dimaksudkan untuk pembonsaian makna oposisi.
Kedua, kata “swadaya” telah menimbulkan kontroversi, dimana secara faktual lembaga ini memiliki
ketergantungan dibidang pendanaan. Ketiga, seringkali lembaga ini dipandang sebagai representasi rakyat,
khususnya di dalam kepentingan negara menyusun berbagai kebijakan pembangunan. Padahal secara faktual
ikatan politik kebawah (rakyat) sangat longgar dan absurd. Satu-satunya kemampuan yang tinggi dimiliki
oleh lembaga jenis ini adalah jaringan yang luas dan kapasitasnya sebagai intelektual kelas menengah yang
dedikatif.
19
Adam & Jessica Kuper (2000) op cit hal 114
19
terhadap munculnya MS sangat berkaitan dengan kemunculan pasar ekonomi modern. MS
juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian
terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian
kerja (division of labor) yang kompleks. Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad
pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena MS dan negara20. MS dinilai
merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan
negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara. Dalam pengertian ini,
negara dipandang memiliki kepentingan yang berbeda dengan cita-cita MS. Negara
memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan se-absolut mungkin melalui
penegasian pluralisme gagasan dan kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk
itulah keberadaan MS selalu diletakkan dalam sumbu yang berseberangan dengan otoritas
negara. Selain kritis terhadap negara, civil society mempunyai kemandirian dalam banyak
hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku,
tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap
dalam jaringan-jaringan politik resmi, untuk itulah non partisan menjadi jargon MS. Di
dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere),
tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat
(Hikam, 1999: 3). Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah
kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM)
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang
didalamnya ada kelompok keagamaan, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu
pada pengertian ini, tampaknya civil society juga merupakan kelas menengah. Kelas
menengah oleh Hikam (1999) di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan
kelompok-kelompok pro demokrasi.
Di Indonesia konsep yang tumbuh sebelum MS menjadi definisi yang umum
digunakan, adalah fenomena yang disebut dengan LSM/LPSM. Tidak ada yang bisa
menjelaskan secara pasti, kapan sejarah MS mulai tumbuh di Indonesia. Sebagian kalangan
menunjuk Soetomo dan Budi Oetomo sebagai tonggak lahirnya LSM/LPSM di Indonesia.
Tetapi pilihan penunjukkan Soetomo lebih didasarkan pada nilai-nilai yang dipandang
identik dengan keberadaan LSM/LPSM yang lahir setelah tahun 1970-an, bukan akibat20
Muhammad AS Hikam (1999) op cit hal 150-155
20
akibat yang ditimbulkan sebagai gerakan oposisi atas ideologi dan bentuk kekuasaan21.
Perkembangan berikutnya di Indonesia (dan dunia internasional) adalah dihembuskannya
nafas oposisi dalam definisi dan metode gerakan, sehingga istilah LSM/LPSM digunakan
secara bergantian dengan organisasi non pemerintah (ornop/non governance organization).
Billah, et al (1984) memberikan definisi sebagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat
sendiri untuk mengisi kebutuhannya atau memecahkan berbagai masalah sosial ekonomi
yang dihadapinya, seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan dan diabaikan dalam
pembangunan. Pelakunya adalah para relawan yang terikat dengan motivasi, minat dan
kepedulian yang sama22. Definisi agak moderat bila dibandingkan pada perkembangan
berikutnya yang mampu melakukan counter pendekatan terhadap apa yang dilakukan oleh
negara.
Apakah MS dapat menjadi bagian dari gerakan sosial? Gerakan sosial(social
movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang
merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu
yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan,
menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Ada tiga unsur yang penting
untuk digarisbawahi dalam melihat hubungan antara MS dengan gerakan sosial, yakni (1)
reformasi jika dilihat dari lingkup gerakannya, (2) Damai jika dilihat dari metode kerjanya,
(3) gerakan baru jika dilihat dari determinannya.
Gerakan
MS
tidak
merubah
tatanan
secara
radikal.
Gerakan
umumnya
mendedikasikan perubahan hanya pada sistem politik, biasanya menyangkut aturan
perundangan tertentu, seperti gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan ke arah sistem
politik yang lebih demokratis, gerakan buruh yang menginginkan perbaikan upah, gerakan
perempuan yang ingin disamakan hak politiknya dengan laki-laki, dan lain sebagainya. Ini
berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal yang lebih menekankan perubahan pada
sistem nilai. Sekalipun kadang-kadang diantara keduanya tampak sulit diukur batasbatasnya, namun tujuan akhir dari gerakan nampaknya dapat menjadi pembeda dari
keduanya (DiRenzo, 1990). Dalam mencapai tujuannya, salah satu ciri dari gerakan MS
adalah penggunaan cara-cara damai dalam setiap pendekatannya. Mobilisasi aksi,
21
Lihat M. Dawan Rahardjo, Dokter Soetomo: Pelopor LPSM?, Prisma No. 7 Tahun XVII/1988; Sartono
Kartodirdjo, Lembaga Swadaya Masyarakat, Prisma No. 1 Tahun XVII Januari 1988.
22
MM Bilah, dkk [1984] A Bird’s Eye View of Non Governance Organisation in Indonesia, Indhira.
21
pembentukan opini, sampai dengan pembangkangan sipil merupakan cara-cara yang biasa
digunakan dalam gerakan MS. Sekalipun kadang-kadang dihadang dengan kekerasan,
gerakan MS tetap mengedepankan cara dapai untuk mencapai tujuannya.
Dalam keseluruhan ciri tersebut, umuya gerakan MS yang tumbuh pada pertengahan
abad 20 digolongkan sebagai gerakan sosial baru.
Epstein sebagaimana dikutip
Fakih(1996) mengatakan bahwa perbedaan gerakan sosial baru dan gerakan sosial lama
adalah pada analisis yang bersifat non kelas karena gerakan ini umumnya dipelopori oleh
orang-orang yang berasal dari kelas menengah. Ini berbeda dengan gerakan sosial lama
yang umumnya bertumpu pada kelompok ploretar. Penjelsan diatas menurut Fakih,
dipegaruhi oleh Antonio Gramci dan teoritisi golongan kiri baru yang menyatakan bahwa
buruh bukan lagi menjadi tulang punggung gerakan sosial pada paruh abad 20.
Model gerakan ini tidak didasarkan pada konsepsi kelas, tetapi pada solidaritas
universal yang luas. Konsepsi perlawanannya tidak harus menyentuh kekuasaan, sekalipun
kapitalisme tetap menjadi common issues. Gerakan ini berada diluar domain negara,
sekalipun kadang-kadang paradoks dengan cita-cita perubahan. Perlawanan dilakukan
secara masif dengan prioritas lokal sembari membentuk jaringan-jaringan yang lebih luas.
Pendekatan konfrontasi menjadi ciri terdekat dari gerakan sosial baru (GSB)23. Singh
(2001) memberikan empat ciri dari gerakan sosial baru (GSB), pertama kebanyakan model
gerakan jenis ini menaruh konsepsi ideologis pada kelas menengah yang terdidik dan
berada diluar kekuasaan. Negara telah berada dalam satu panggung dengan kapitalisme,
dan memaksa kaum miskin menonton sebuah konser liberalisasi yang memarginalkan
mereka. Tugas GSB adalah membubarkan aksi panggung liberalisasi dengan membangun
kesadaran perlawanan semasif mungkin. Kedua, sekalipun gerakan ini mengadopsi
perlawanan radikal, sebagaimana kaum marxis bekerja, namun model lebih luas dari
sekedar hubungan kelas. Masalah yang dibawa lebih luas dari sekedar ketegangan antar
kelas, tetapi bisa ketegangan antar komunitas, dengan tema yang lebih luas seperti ekologi,
gender, anti perang, anti rasisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu antar isu yang
berdekatan dapat bekerja membangun kolaborasi-kolaborasi temporer atau permanen,
sejauh bisa dipertemukan dalam payung kepentingan. Ketiga, sebagaimana yang
disampaikan diatas, gerakan ini tidak menggunakan partai sebagai jalur pendekatan
23
Robert H. Lauer [2003] Perspektif Tentang Perubahan Sosial,Rineka Cipta, Jakarta
22
(kecuali di beberapa tempat) tetapi memilih bersikap oposisional terhadap kekuatan
dominan. Keempat, tujuan-tujuan yang ingin dicapai lebih plural, dengan keyakinan bahwa
para korban harus diselamatkan dari ancaman destruktif apapun. Kadang-kadang gerakan
sosial dapat sedemikian luwesnya mengikuti konsep-konsep yang selalu terbuka terhadap
pembaruan, dan dapat bekerjasama dengan siapapun sepanjang berada dalam satu barisan
kepentingan.
Gerakan sosial baru (GSB) meletakkan posisinya sebagai benteng bagi
pembentukan perlawanan yang lebih luas dari kekuasaan dominan.24.
Tiga konsepsi diatas mengenai LSM, Ornop dan gerakan sosial baru (GSB), dapat
kita rumuskan mengenai perbedaan diantara ketiganya dan sekaligus persamaannya.
Persamaan yang paling dekat adalah ketiganya bukan bagian dari kepentingan politik
kekuasaan negara (state). Non partisan adalah metode umum yang dipakai dan sekaligus
menjadi jargon utamanya. Perbedaannya adalah pada metode yang dilakukan, mulai yang
moderat, reformis sampai dengan transformatif 25.
Berbeda dengan sejumlah definisi diatas, sejumlah kalangan melihat bahwa gerakan
MS merupakan proses yang kontinuum menuju sebuah ciri yang lebih solid sebagai
organisasi yang mengarah pada kekuasaan. Darmawan (2007) memberikan tiga ciri dari
gerakan MS, yakni ; (1) gagasan pokok yang diusung sebagai keprihatinan kolektif dari
akar rumput sampai dengan kelas diatasnya. (2) terdapat aksi kolektif yang tidak harus
radikal, namun diletakkan dalam menjawab berbagai tantangan status quo yang
berlangsung. (3) terdapat gagasan mengenai perubahan sosial yang diperjuangkan secara
bersama-sama. Konseptualisasi gagasan ini yang kelak melahirkan perspektif baru dalam
studi pembangunan yang berlabelkan ”pemberdayaan”, ”partisipasi” dan ”kekuatan dari
bawah26.
Dengan analisa yang lebih menekankan pada dialektika metode, Darmawan (2007)
memberikan penafsiran mengenai sebuah transformasi gerakan MS dari sebuah organisasi
sosial menjadi partai politik. Dimulai tahun 1960/1970an, organisasi MS menjadi embrio
sebagai kekuatan yang mengusung ide-ide perubahan secara radikal. Pendekatan yang
diletakkan pada anomic behavior, memusatkan perhatian pada radikalisme yang tumbuh
24
Lihat Mansour Fakih , Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society, dalam Wacana Edisi
11 Tahun III 2002
25
Mansour Fakih [2004] op cit
26
Arya Hadi Dharmawan [2007] Teori-Teori Gerakan Sosial: Perspektif Marxian, Developmentalisme, dan
Demokratisme, makalah tidak diterbitkan.
23
dari dalam masyarakat. Perubahan kemudian berlangsung pada tahun 1980/1990an yang
mulai memasuki ranah sosial politik sebagai medan baru bagi upaya mendorong perubahan
sosial. MS dinilai ”mengisi ruang kosong” yang selama ini tidak pernah dihuni (sulit
dijangkau) oleh organisasi formal seperti partai politik, birokrasi, maupun organisasi sosial
kemasyarakatan. Organisasi MS muncul sebagai kelembagaan antara yang menjembatani
partai politik dan kelembagaan asli lokal dalam mengusung ide perubahan. Secara skematis
digambarkan sebagai berikut ;
Organisasi sosial
Social Movement
organization
Non Governmental
organization
Partai politik
Gambar 2. Kontinuum Organisasi MS dalam Civil Society
Darmawan (2007) melakukan analisa berdasarkan perkembangan gerakan MS di
negara-negara dunia pertama yang sudah pencapai kematangan politik seperti Partai Hijau
di Jerman, ataupun Akbayan di Filipina. Gerakan MS di negara tersebut telah memasuki
tahap baru, yakni konsolidasi kekuasaan, dan menjadi kekuatan alternatif ditengah-tengah
partai konservatif yang melingkarinya. Melalui pertarungan politik, gerakan MS tumbuh
menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam parlemen, dan mampu merumuskan
kebijakan yang melindungi kepentingan kelompok marginal atau platform politiknya yang
universal. Namun di berbagai belahan dunia, gerakan sosial sektoral juga mampu
memasuki jantung kekuasaan, sekalipun membutuhkan waktu panjang. Partai-partai
sektoral yang tumbuh sebagai kekuatan dominan pada awalnya dibentuk sebagai respon
atas ketidakpuasan kebijakan yang menyingkirkan kaum minoritas. Setelah berjuang
selama puluhan tahun, kelompok tersebut mendapat simpati untuk memegang kekuasaan
melalui cara-cara damai27. Fenomena tersebut di Indonesia barangkali akan diwakili oleh
WALHI, sebuah ornop lingkungan, yang sedang mengembangkan perdebatan mengenai
sayap politik sebagai alternatif gerakan ekologi.
27
Markoff (2002) op cit hal 166-180
24
Analisa tersebut tentu saja mengesampingkan konteks lokal di Indonesia, bahwa
tidak semua gerakan MS tumbuh menjadi embrio partai politik. Terdapat banyak fakta
bahwa MS lebih memilih menjadi kekuatan diluar kekuasaan politik sambil tetap
mempertahankan cirinya sebagai aktor penggerak perubahan. Ide-ide untuk masuk dalam
konstetasi politik cukup diwakili oleh individu-individu yang hijrah kedalam partai.
Gerakan MS tetap menjadi pilihan atas sejumlah realitas politik yang berkembang, dan
tidak ada seorang analis politik yang dapat memprediksi sampai kapan kelompok ini akan
tetap berada di jalur politiknya yang non partisan.
2.4. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengambil tema Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta 1998-2004
dengan fokus kajian pada gejala-gejala yang melingkupinya. MS merupakan salah satu
bentuk aktivisme gerakan sosial yang khas. Selama pemerintahan orde baru berlangsung,
telah tumbuh kekuatan oposisi yang dipelopori kelas menengah. Wujud aktivisme gerakan
MS berbeda-beda mulai dari pemberdayaan ekonomi alternatif, pembelaan terhadap kasus
struktural yang melibatkan kekuasaan sampai dengan protes terbuka terhadap kebijakan
yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi. Gerakan protes anti rezim sepanjang sejarah
pemerintahan Orde Baru termasuk dalam kategori ini baik yang dilakukan secara terbuka
ataupun tersembunyi. Gelombang protes meliputi periode sepanjang 32 tahun yang
dianggap sebagai situasi yang otoriter sebagai keadaan yang diletakkan secara kontradiktif
dengan demokrasi sebagai cita-cita MS28. Krisis ekonomi menjadi faktor pencetus yang
memperbesar protes terhadap rezim yang kemudian diikuti dengan kejatuhan Presiden
Soeharto. Berbeda dengan kemunculan gerakan protes menjelang kejatuhan Presiden
Soeharto, gerakan pasca Presiden Soeharto mengalami penuruan secara kuantitatif.
Umumnya gerakan hanya diikuti oleh sedikit saja mereka yang menyetujui tujuan gerakan,
dan biasanya dari kalangan kelas menengah. Tujuan yang diusung juga terurai dalam
berbagai macam.
28
Lihat Andreas Uhlin [1998] Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia,
Mizan, Bandung; Edward Aspinall [1993] Student Dissent in Indonesia in the 1980s, Working Paper
79, Monas University; Australia
25
Menurut Nan Lin (1992) ada dua faktor mendasar yang mempengaruhi gerakan
sosial, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang berasal
dari dalam lingkungan gerakan itu sendiri seperti ikatan terhadap tujuan yang hendak
dicapai, kerelawanan, fleksibilitas, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal adalah
faktor yang berpengaruh terhadap kondisi gerakan, misalnya tekanan politik, situasi
internasional, situasi lokal, dan lain sebagainya.
Perubahan politik akan berpengaruh terhadap situasi gerakan sosial, khususnya
berkaitan dengan platform, strategi, dan metode gerakan. Pasca Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya, situasi politik mengalami fase demokratisasi yang
ditandai dengan partisipasi yang kuat dari warga negara dalam kehidupan sosial politik,
mulai dari tingkat lokal sampai dengan nasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah
politik nasional, pemilu diselenggarakan secara multi partai yang memingkinkan kalangan
oposisi yang dahulu menolak pemilu dapat mengambil bagian dalam proses kompetisi
kekuasaan. Untuk itu gerakan MS juga mengalami perubahan dalam pendekatan dan
platform politiknya. Gerakan MS tidak berada lagi dalam jalur oposisional sebagaimana
ketika Orde Baru masih berkuasa, namun sebagian diantaranya ikut mengembil bagian
dalam konstetasi kekuasaan. Tidak seluruhnya dapat menjapai platformnya dengan baik
karena berbagai hal, khususnya berkaitan dengan memotivasi orang untuk terlibat sehingga
memperbesar daya tekan melalui kontruksi tujuan yang jelas dan diterima oleh publik.
Menurut Gamson (1996), keberhasilan gerakan sangat tergantung pada bagaimana elemen
pendukung mampu mengkontruksikan tujuannya untuk diterima oleh pendukungnya
sehingga faksionalisasi dapat ditekan. Fokus studi ini diletakkan pada perubahan gerakan
MS yang berlangsung setelah Orde Baru jatuh dengan membandingkan berbagai
pendekatan, platform dan aktor dari gerakan MS di Yogyakarta pada era Orde Baru masih
kukuh.
2.5. Hipotesis Pengarah
Dari uraian di atas disusun dua hipotesis pengarah dalam penelitian ini, yakni ;
1. Perubahan iklim politik yang lebih demokratis di Indonesia pasca Orde Baru telah
mendorong perubahan strategi dan platform gerakan masyarakat sipil di
Yogyakarta.
26
2. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan bentuk strategi dan platform gerakan
MS adalah dari dalam dan dari luar gerakan MS. Faktor dari luar adalah situasi
politik lokal, nasional, bahkan internasional. Sedangkan faktor dalam dalam adalah
hubungan kelembagaan, kapasitas organisasi, dan tingkat koordinasi gerakan.
2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gerakan Masyarakat
Sipil di Yogyakarta
1998-2004
Iklim Politik yang
Berubah ke arah
demokratisasi
Perubahan
Pendekatan Yang
Meliputi pilihan strategi
gerakan
Faktor Yang
Berpengaruh terhadap
Gerakan MS di
Yogyakarta
Perubahan platform
gerakan masyarakat
sipil
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Riset
27
Download