Resume Ruang Gerak Manajemen Hutan

advertisement
47
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Modal Sosial Dalam Pengelolaan Dukuh
Modal sosial dalam pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu modal sosial kognitif dan modal sosial struktural. Modal sosial
kognitif yang dikaji meliputi kepercayaan (trust), kerjasama (cooperation), dan
solidaritas (solidarity). Modal sosial struktural yang dikaji meliputi aturan (rules),
peranan (roles), dan jejaring (networks).
5.1.1 Modal Sosial Kognitif
Modal sosial kognitif warga dalam pengelolaan dukuh datang dari proses
mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan
ideologi warga komunitas dukuh. Kepercayaan (trust), kerjasama (cooperation),
dan solidaritas (solidarity) warga komunitas dukuh didasari oleh norma, nilai,
sikap, dan keyakinan yang diorientasikan dalam bentuk tindakan (action)
sehingga memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi
manfaat dan mendukung tindakan kolektif yang saling menguntungkan dalam
pengelolaan dukuh.
5.1.1.1 Kepercayaan (trust)
Untuk mengetahui tingkat kepercayaan warga komunitas pengelola dukuh,
ada tiga aspek yang ditinjau. Pertama, tingkat kepercayaan warga terhadap
pengetahuan warga yang lain tentang adanya manfaat dukuh. Kedua, tingkat
kepercayaan warga terhadap pengetahuan warga yang lain tentang fungsi aturanaturan yang ada dalam mendukung pengelolaan dukuh secara lestari. Ketiga,
tingkat kepercayaan warga terhadap kemampuan kerjasama dan hubungan sosial
seluruh warga untuk mengelola dan melestarikan dukuh.
48
Secara ringkas distribusi responden menurut tingkat kepercayaan terhadap
pengetahuan warga tentang manfaat dukuh, fungsi aturan, kepatuhan dan
kemampuan orang lain, kemampuan kerjasama, fungsi hubungan sosial, serta
kesediaan untuk menguatkan hubungan sosial disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Distribusi responden menurut tingkat kepercayaan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tingkat Kepercayaan
Komunitas Dukuh
Komunitas Dukuh
Kepercayaan
Mandiangin Barat
Bi‟ih
Responden Terhadap
Tidak RaguTidak RaguPercaya
Percaya
Percaya Ragu
Percaya Ragu
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Pengetahuan warga
0
0
100
0
0
100
akan manfaat dukuh
Pengetahuan warga
6,7
73,3
20,0
3,3
70
26,7
akan fungsi aturan
formal
Pengetahuan warga
0
13,3
86,7
0
3,3
96,7
akan fungsi aturan
adat
Kemampuan warga
0
13,3
86,7
0
6,7
93,3
melestarikan dukuh
Kemampuan
0
13,3
86,7
0
3,3
96,7
kerjasama warga
Pengetahuan warga
0
0
100
0
0
100
akan fungsi hubungan
sosial
Kesediaan
warga
0
13,3
86,7
0
3,3
96,7
untuk
menguatkan
hubungan sosial
Warga komunitas dukuh, baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki pengetahuan tentang manfaat
dukuh dan seluruh warga percaya bahwa warga yang lain juga mengetahui dukuh
memberikan manfaat yang besar kepada warga masyarakat. Pada Tabel 16 dapat
dilihat bahwa seluruh warga percaya tentang pengetahuan warga yang lain akan
manfaat dukuh bagi kehidupan mereka, apabila dukuh tidak ada maka
keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan dan keyakinan tersebut
didasarkan serta dikuatkan oleh pengalaman hidup mereka yang selama ini sudah
merasakan manfaat dari keberadaan dukuh. Manfaat yang dirasakan oleh warga
terhadap keberadaan dukuh tersebut mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya. Secara ekologi, keberadaan dukuh sangat berperan terhadap kelestarian
hutan sebagai penyangga kehidupan, seperti pencegahan banjir, erosi, longsor,
49
dan kekeringan, serta mencegah dari berbagai bencana alam lainnya. Secara
ekonomi, masyarakat telah merasakan manfaat yang cukup besar dari hasil panen
dukuh yang mampu memberikan kontribusi 20-30% terhadap pendapatan total
rumah tangga mereka. Adapun secara sosial budaya, keberadaan dukuh dirasakan
oleh masyarakat dapat mempererat kerjasama, solidaritas, kekeluargaan dan
hubungan persaudaraan sesama komunitas dukuh maupun dengan warga
masyarakat yang bukan komunitas dukuh.
Warga juga percaya bahwa aturan-aturan yang ada, terutama yang tidak
tertulis dapat berfungsi untuk menjaga kelestarian dukuh, namun tingkat
kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis dan formal (peraturan
perundang-undangan) baik UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan
Menteri Kehutanan tentang Hutan Rakyat atau tentang Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK), maupun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Hutan Rakyat, hanya
sebagian kecil warga yang percaya bahwa warga tahu dan memahami aturanaturan tertulis yang ada efektif dapat menjaga kelestarian dukuh, sebagian besar
warga ragu-ragu. Sedangkan terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai yang tidak
tertulis (norma-norma) sebagian besar warga pada kedua komunitas Dukuh
percaya bahwa warga tahu dan memahami aturan tersebut dan dapat efektif
berfungsi untuk mengelola dukuh secara lestari.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengetahuan warga tentang
fungsi aturan tidak tertulis (norma-norma) untuk mengelola dukuh secara lestari
lebih tinggi daripada kepercayaan terhadap pengetahuan warga tentang aturan
tertulis dan formal (peraturan perundang-undangan). Hal ini karena aturan tidak
tertulis sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat.
Sedangkan aturan tertulis dan formal disusun oleh pemerintah dan belum
terinternalisasi sebagai norma-norma yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan
pedoman bertindak warganya, bahkan belum terbukti dapat berfungsi untuk
mengelola dan melestarikan dukuh dengan baik. Aturan tidak tertulis (normanorma) yang berlaku pada Komunitas Dukuh tersebut adalah berupa cara (usage),
kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) yang merupakan kearifan lokal
yang sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat.
50
Norma-norma (norms) berupa aturan-aturan adat yang merupakan kearifan
lokal dan berlaku dalam pengelolaan dukuh diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Tanaman Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval) adalah tanda batas hak
kepemilikan lahan (dukuh);
-
Pewarisan lahan (dukuh) dilakukan dengan cara islah atau faraid;
-
Tidak boleh menjual dukuh warisan;
-
Di dalam dukuh dibuat lampau (pondok kecil untuk tempat beristirahat saat
pemeliharaan atau kegiatan pengawasan tanaman);
-
Tidak boleh menggunakan pupuk anorganik untuk pemeliharaan tanaman di
dalam dukuh;
-
Membungkus buah cempedak yang masih muda dengan plastik;
-
Menabur garam di sekeliling pohon durian setelah musim panen selesai;
-
Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja
dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman (penyiangan, pendangiran &
pemupukan);
-
Memetik buah langsat dengan galah (alat pemetik buah terbuat dari
kayu/bambu);
-
Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai (tangga dari bambu);
-
Memanen buah durian tidak boleh memetiknya langsung dari pohon tetapi
harus menunggu buahnya jatuh;
-
Pengangkutan buah dari dukuh ke rumah dengan menggunakan ladung;
-
Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja
dalam kegiatan pemanenan (pemetikan dan pengangkutan buah);
-
Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai pembeli
perantara (tengkulak) dalam pemasaran hasil dukuh.
Norma-norma (norms) yang berlaku tersebut merupakan aturan-aturan
adat berupa cara (usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) dalam
pengelolaan dukuh, sejak pengelolaan lahan, budidaya/pemeliharaan, pemanenan,
hingga pemasaran hasil dukuh. Aturan-aturan adat (norma-norma) tersebut
meskipun tidak tertulis tetapi telah berlaku secara turun temurun dan
terinternalisasi dalam masyarakat sebagai norma-norma yang diakui, dipatuhi, dan
dijadikan pedoman bertindak warganya hingga sekarang.
51
Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah atau dikuatkan
oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut, sehingga penting pula untuk
meninjau tingkat kepercayaan warga terhadap kepatuhan warga lain dalam
melaksanakan aturan. Pada warga komunitas dukuh, sebagian besar warga
percaya bahwa anggota komunitas yang lain dapat mematuhi aturan dan mampu
menjaga kelestarian dukuh dan hanya sebagian kecil yang ragu-ragu. Tingkat
kepercayaan warga bahwa anggota komunitas yang lain dapat mematuhi aturan
dan mampu menjaga kelestarian dukuh diperkuat oleh tingkat kepercayaannya
bahwa warga komunitas dapat bekerjasama dalam menjaga kelestarian dukuh.
Hampir seluruh warga pada komunitas dukuh percaya bahwa warga komunitas
dapat bekerjasama dalam pengelolaan dukuh. Warga juga percaya bahwa
hubungan sosial yang terjalin dapat memudahkan pekerjaan. Sebagian besar
warga percaya bahwa warga komunitas bersedia untuk menguatkan hubungan
sosial yang terbangun dalam komunitas, hanya sebagian kecil yang masih raguragu. Meskipun tingkat kepercayaan responden pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat bahwa anggota masyarakat yang lain dapat mematuhi aturan
dan mampu menjaga kelestarian dukuh lebih rendah dari pada Komunitas Dukuh
Bi‟ih, tetapi pada kedua komunitas tersebut relatif sama dalam hal tingkat
kepercayaan responden terhadap kerjasama, fungsi hubungan sosial, dan
kesediaan menguatkan hubungan sosial. Adapun warga yang masih ragu-ragu
terhadap kemauan dan kemampuan warga lain dalam menjaga kelestarian dukuh,
adalah karena belum terlalu mengenal dengan baik pada warga lain tersebut.
Tingkat kepercayaan (trust) antar sesama warga komunitas dukuh
tergolong tinggi, hal ini karena dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai
(values), sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang bersumber dari nilai-nilai
ajaran islam yang mereka anut yang melekat kuat dan sudah berlaku secara turun
temurun serta terinternalisasi dalam masyarakat sebagai norma-norma yang
diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya. Selain itu, adanya
hubungan famili berupa ikatan darah (seketurunan) pada sebagian besar warganya
dan mereka saling mengenal serta berhubungan dengan baik satu sama lain,
semakin memperkuat ikatan kekeluargaan di antara mereka sehingga menjadi
faktor pendukung tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi di antara warga.
52
Nilai-nilai (values) yang melekat pada warga Komunitas Dukuh yang
mendukung terciptanya tingkat kepercayaan yang tinggi antar sesama warga pada
dasarnya bersumber dari ajaran islam yang dianut oleh para warganya. Nilai-nilai
(values) yang melekat kuat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Berprasangka baik dan tidak berprasangka buruk kepada orang lain;
Nilai-nilai ajaran islam sebagai agama yang dianut oleh seluruh warga
masyarakat sangat mempengaruhi seluruh sendi kehidupan warga masyarakat
pada komunitas dukuh selama ini. Nilai-nilai luhur berupa prasangka baik
terhadap orang lain telah menjiwai para warganya dan masih tertanam di dalam
jiwa dan pikiran mereka hingga sekarang. Warga masyarakat memegang teguh
sifat prasangka baik tersebut kepada warga masyarakat lainnya karena sesuai
dengan perintah dalam ajaran agama islam yang mereka yakini bahwa
berprasangka buruk terhadap orang lain adalah perbuatan yang tidak baik,
membuat hati gelisah dan bahkan mendapat dosa. Dalam kegiatan pengelolaan
dukuh selama ini warga saling berprasangka baik tanpa adanya prasangka buruk
atau kekhawatiran terhadap adanya orang atau warga lain yang akan mencuri,
merusak atau mengganggu dukuh hak miliknya.
b) Berbuat jujur dan saling percaya kepada sesama manusia;
Warga komunitas dukuh hingga sekarang masih memegang teguh nilainilai kejujuran dan saling percaya antar sesama warga. Nilai-nilai yang bersumber
dari ajaran islam tersebut diajarkan oleh nenek moyang mereka hingga generasi
yang paling muda sekarang. Setiap warga dalam berbicara, bersikap & bertindak
dilandasi oleh sikap yang jujur karena mereka yakin berbohong adalah perbuatan
dosa yang dilarang dalam agama. Setiap warga juga saling percaya atas apa yang
disampaikan oleh warga yang lain, karena rasa curiga atau tidak percaya terhadap
orang lain menurut warga merupakan perbuatan yang kurang baik yang juga
dilarang dalam ajaran agama. Dalam kegiatan pengelolaan dukuh warga juga
selalu mempraktikan nilai-nilai kejujuran dan saling percaya di antara sesama
mereka, seperti saling mengamankan dan memberitahukan adanya buah durian
warga lain yang jatuh ke lantai dukuh mereka, bahkan dengan rela dan senang hati
menyerahkan buah tersebut kepada sang pemiliknya.
53
c) Saling menghormati, menghargai dan menyayangi antar sesama;
Pada warga komunitas dukuh telah tertanam nilai-nilai kehidupan berupa
saling menghormati antar sesama warga. Dalam kehidupan sehari-hari nampak
terlihat setiap orang muda sangat menghormati orang yang lebih tua, yang tua
menyayangi orang yang lebih muda, sedangkan yang sebaya saling menghargai di
antara mereka. Nilai-nilai saling menghormati tersebut jika tidak dilaksanakan
oleh warga maka akan mendapat cela, bahkan orang muda yang tidak
menghormati orang yang lebih tua diyakini oleh warga akan mendapat kualat
(kutukan) didalam hidupnya. Dalam pengelolaan dukuh nampak warga sangat
memegang teguh nilai-nilai ini di antaranya terlihat keberadaan tetuha (tokoh
adat) dan penghulu (tokoh agama) yang sangat dihormati dan disegani oleh warga
dalam setiap sikap dan tindakannya. Apapun pendapat atau nasehat yang
disampaikan oleh tetuha dan penghulu dalam setiap permasalahan pengelolaan
dukuh maka warga komunitas sangat menghormatinya dan antar sesama warga
juga saling menghargai dan menerimanya, seperti permasalahan tentang letak
batas hak kepemilikan lahan (dukuh), permasalahan hak warisan, dan lain-lain.
d) Menjaga hubungan baik & mempererat silaturrahmi antar warga;
Nilai-nilai lain yang masih berlaku pada warga komunitas dukuh adalah
berupa kewajiban untuk menjaga hubungan baik dan mempererat tali silaturrahmi
di antara mereka. Warga ditanamkan nilai-nilai untuk selalu berbuat baik diantara
sesama agar hubungan kekeluargaan di antara mereka terjalin semakin kuat.
Hubungan baik dan kekeluargaan yang terjalin erat diyakini oleh warga akan
membawa keberkahan di dalam hidup mereka. Hingga sekarang warga komunitas
dukuh selalu menjalin hubungan baik, saling silaturrahmi, saling membantu,
tolong-menolong, bahkan saling mengunjungi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kegiatan pengelolaan dukuh, warga komunitas juga selalu menjaga
hubungan baik seperti saling mendukung dalam kegiatan pemeliharaan dan
pengamanan tanaman, pemanenan dan pengangkutan buah, bahkan saling
koordinasi dalam pemasaran hasil buah kepada siapa dan berapa harganya. Semua
itu mereka lakukan tidak terlepas dari i‟tikad dari warga komunitas untuk menjaga
hubungan baik dan mempererat silaturrahmi di antara mereka.
54
e) Menjaga dan memelihara lingkungan beserta alam sekitarnya;
Warga komunitas dukuh juga memiliki nilai-nilai yang telah ditanamkan
oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala yaitu bahwa memelihara lingkungan
dan alam sekitarnya seperti hutan, dukuh, kebun, ladang, dan sawah merupakan
pekerjaan mulia dan kewajiban seluruh warga. Warga percaya bahwa alam dan
lingkungannya tersebut diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mereka jaga,
pelihara, dan kelola dengan baik. Warga juga meyakini bahwa jika alam dan
lingkungan mereka tersebut dikelola dengan baik maka mereka akan banyak
mendapat rejeki dan hidup sejahtera, tetapi sebaliknya jika tidak dijaga dan
dipelihara dengan baik maka akan menimbulkan bencana dan membawa sengsara
bagi mereka. Nilai-nilai yang tertanam dan melekat kuat tersebut merupakan salah
satu faktor pendorong sehingga warga komunitas dukuh tetap menjaga,
memelihara, dan mengelola dengan baik keberadaan dukuh yang telah
dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa agar tetap lestari dan tetap dapat
dinikmati oleh anak cucu mereka kelak.
Nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian
warga komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada
dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh
warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan
(beliefs) yang melekat pada warganya. Keyakinan (beliefs) yang juga bersumber
dari ajaran agama islam telah mengakar kuat pada warga sehingga semakin
mendukung dan memperkuat nilai-nilai yang melekat pada warga komunitas
dukuh selama ini. Keyakinan (beliefs) yang telah mengakar kuat pada warga
komunitas dukuh tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Setiap perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa;
Bersumber dari ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh warga,
mereka meyakini bahwa setiap perbuatan apapun yang mereka lakukan selalu
diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Masyarakat meyakini bahwa Tuhan
Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT adalah Maha Mengetahui dan Maha Melihat,
di mana tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang tersembunyi atau tidak
55
diketahui olehNya. Atas dasar keyakinan tersebut warga komunitas dukuh tidak
berani melakukan hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama, seperti mencuri,
berbohong, dan perbuatan terlarang lainnya, baik dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari maupun khusus dalam kegiatan pengelolaan dukuh.
b) Setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu
pula sebaliknya;
Warga komunitas dukuh juga meyakini bahwa setiap kebaikan yang
dilakukan dengan tulus dan ikhlas pasti akan mendatangkan kebaikan pula dan
begitu pula sebaliknya setiap keburukan yang dilakukan akan mendatangkan
keburukan pula bagi pelakunya pada masa yang akan datang. Resiprositas
(pembalasan) kebaikan dan keburukan tersebut diyakini warga berasal dari Tuhan
Yang Maha Kuasa, bisa melalui orang yang telah kita beri kebaikan/keburukan
pada waktu yang lalu maupun melalui orang lain yang tidak ada sangkut pautnya
dengan kita. Dalam hal keberadaan dukuh, warga yakin jika mereka turut menjaga
dan tidak merusak atau mengganggu dukuh milik orang lain, maka dukuh mereka
juga tidak akan diganggu atau dirusak oleh orang lain. Atas dasar keyakinan
tersebut warga berusaha untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari
perbuatan buruk dalam kehidupan mereka sehari-hari dan dalam menjaga dukuh
mereka tentunya.
c)
Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan diganjar
pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa;
Keyakinan mendasar yang juga melekat kuat pada warga komunitas dukuh
adalah bahwa setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan
diganjar pahala dan setiap perbuatan buruk akan diganjar dosa oleh Allah SWT.
Warga yakin bahwa pahala dan dosa akan ditimbang di akherat kelak, di mana
yang lebih berat timbangan pahalanya akan masuk sorga, sedangkan yang lebih
berat timbangan dosanya akan masuk neraka. Ajaran agama islam yang mereka
yakini tersebut telah mereka pegang kuat sebagai pedoman hidup sejak dahulu
hingga sekarang. Terkait dengan keberadaan dukuh orang lain maka warga yakin
akan mendapat pahala jika tidak mengganggu dan merusaknya, serta turut
menjaga dan mengamankannya.
56
d) Setiap kejadian adalah taqdir (ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa;
Warga komunitas dukuh memegang teguh keyakinan bahwa setiap
kejadian apapun merupakan taqdir (ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Warga meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah ditetapkan oleh Yang
Maha Kuasa sehingga kehidupan di dunia ini hanya menjalani taqdirnya saja,
meskipun demikian manusia tetap wajib menjalankan usaha dan ikhtiar sesuai
dengan ajaran agama. Atas dasar keyakinan tersebut warga komunitas dukuh tidak
terlalu berambisi dalam menjalani kehidupan di dunia ini, warga merasa cukup
dengan apa yang ada dan sudah berbahagia dengan kehidupan yang sederhana.
Nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada warga
telah menumbuhkan sikap (attitudes) dalam kehidupan sehari-hari warga
komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak pada warga komunitas dukuh
selama ini diantaranya adalah adanya sikap saling percaya antar warga, hormatmenghormati, sikap kekeluargaan yang tinggi, perbuatan yang dilaksanakan
dengan tulus, jujur, ikhlas, empati, suka menolong, gaya hidup sederhana, serta
kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.
Kepercayaan (trust) pada warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih yang dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai
(values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) telah membuat hubungan sosial
dalam kegiatan pengelolaan dukuh semakin kuat, sehingga mendukung
keberadaan dukuh yang akan terus terpelihara. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suharjito dan Saputro (2008) di
Kampung Ciburial Desa Mekarsari dan Kampung Cibedug Desa Citorek
Kabupaten Lebak Banten, yang menemukan bahwa tingkat kepercayaan (trust)
warga masyarakat yang kuat di landasi oleh norma, nilai, sikap dan keyakinan
yang membuat hubungan sosial dan kerjasama mereka efektif sehingga mampu
mendukung terpeliharanya upaya-upaya untuk terus menjaga kelestarian hutan
yang ada.
57
5.1.1.2 Kerjasama (cooperation)
Ada dua tingkat kerjasama warga komunitas yang ditinjau.
kerjasama
dalam
berbagai
kegiatan
lingkungan/kemasyarakatan,
Pertama,
seperti
pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll.
Kedua, kerjasama dalam kegiatan pengelolaan dukuh, seperti pemeliharaan,
pengawasan, serta pemanenan dan pemasaran hasil dukuh.
Pada masyarakat warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan warga
Komunitas Dukuh Bi‟ih tradisi kerjasama (gotong-royong/kerja bakti) di kedua
komunitas masih terjalin sangat kuat, baik kerjasama dalam berbagai kegiatan
lingkungan/kemasyarakatan, seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid,
perbaikan jalan, jembatan, dll, maupun kerjasama dalam kegiatan pengelolaan
dukuh, seperti pemeliharaan, pengawasan, pemanenan dan pemasaran hasil dukuh.
Adapun distribusi responden menurut tingkat kerjasama dalam kegiatan
lingkungan dan pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih, dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Distribusi responden menurut tingkat kerjasama
No.
Jenis Kerjasama
1.
2.
Kegiatan lingkungan
Kegiatan pengelolaan dukuh
Tingkat Kerjasama
Komunitas Dukuh
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
Tidak
Tidak
Jarang Sering
Jarang Sering
pernah
pernah
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
0
10
90
0
0
100
0
33,3
66,7
0
0
100
Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dalam
kegiatan lingkungan/kemasyarakatan sebagaimana Tabel 17 termasuk kategori
tinggi, di mana sebanyak 90% warga sering terlibat dan selalu aktif dalam
berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti seperti pembersihan lingkungan,
pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll. Hanya sebagian kecil warga
(10%) yang jarang aktif dalam berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti,
itupun hanya dikarenakan keterbatasan kondisi mereka yang sudah berusia lanjut
dan sudah tidak memiliki suami (janda tua) serta tidak memiliki anggota keluarga
yang bisa dilibatkan (mewakili) dalam kegiatan gotong royong dan kerja bakti
58
tersebut. Adapun tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Bi‟ih dalam kegiatan
lingkungan/kemasyarakatan lebih tinggi dibanding Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat, di mana seluruh warga Komunitas Dukuh Bi‟ih selalu terlibat dan aktif
dalam berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti seperti pembersihan
lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll.
Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dalam
kegiatan pengelolaan dukuh cukup tinggi, sebagian besar warga selalu melakukan
kerjasama dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan pengelolaan
dukuh. Sebagian kecil warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tergolong
jarang melakukan kerjasama dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan
pengelolaan dukuh, hal ini terjadi karena sebagian responden tersebut merasa
mampu untuk melakukan kegiatan pengelolaan dukuh tersebut secara sendiri
(sekeluarga saja) sehingga hanya kadang-kadang saja melakukan kerjasama
dengan anggota komunitas yang lain (hanya kegiatan tertentu dan sewaktu-waktu
saja). Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Bi‟ih dalam kegiatan
pengelolaan dukuh lebih tinggi dibanding warga Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat, dimana seluruh warga Komunitas Dukuh Bi‟ih selalu melakukan kerjasama
dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan pengelolaan dukuh.
Bentuk kerjasama yang dilakukan warga komunitas dalam pengelolaan
dukuh meliputi berbagai kegiatan mulai pengelolaan lahan, kegiatan budidaya,
pemanenan hingga pemasaran hasil dukuh. Dalam pengelolaan lahan warga selalu
melakukan koordinasi dan kerjasama dalam penetapan tata batas lahan yang
ditandai dengan penanaman jenis Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval)
pada masing-masing batas dukuh yang telah disepakati, begitu juga pada saat
membuat lampau mereka selalu bekerjasama dan saling membantu. Adapun
dalam kegiatan budidaya, warga selalu melakukan kerjasama dalam kegiatan
pemeliharaan tanaman sejak pemupukan, penyiangan dan pendangiran, hingga
kegiatan pengawasan dan pengamanan dari gangguan binatang atau bahaya
kebakaran. Begitu pula pada saat pemanenan buah, warga bekerjasama dan saling
membantu dalam pemungutan buah durian yang jatuh, pemetikan buah langsat,
hingga pengangkutan. Selanjutnya warga juga selalu bekerjasama dan
59
berkoordinasi dalam pemasaran terutama dalam menentukan harga jual buah
kepada tengkulak.
Tradisi kerjasama (cooperation) dan gotong-royong baik dalam kegiatan
lingkungan/kemasyarakatan sehari-hari maupun dalam kegiatan pengelolaan
dukuh pada warga Komunitas Dukuh dilandasi oleh nilai-nilai (values), sikap
(attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang bersumber dari nilai-nilai ajaran islam
yang mereka anut yang melekat kuat dan sudah berlaku secara turun temurun.
Selain itu, adanya hubungan famili berupa ikatan darah (seketurunan) pada
sebagian besar warganya dan mereka saling mengenal serta berhubungan dengan
baik satu sama lain, semakin memperkuat ikatan kekeluargaan di antara mereka
sehingga menjadi faktor pendukung tingkat kerjasama (cooperation) yang tinggi
di antara warga.
Nilai-nilai (values) yang melekat pada warga komunitas dukuh yang
mendukung terciptanya tingkat kerjasama (cooperation) yang tinggi antar sesama
warga pada dasarnya bersumber dari ajaran islam yang dianut oleh para warganya.
Nilai-nilai (values) yang melekat kuat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Saling kerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan;
Nilai-nilai luhur berupa kerjasama, gotong royong dan tolong-menolong
telah dimiliki warga komunitas dukuh dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman
nenek moyang dahulu kala hingga sekarang. Warga masyarakat memegang teguh
kebiasaan kerjasama, gotong royong dan tolong-menolong karena selalu
dianjurkan oleh orang tua mereka dan sesuai dengan perintah dalam ajaran agama
islam yang mereka yakini. Warga sadar bahwa dengan bekerjasama maka masingmasing akan mendapat kemudahan dalam menyelesaikan setiap kegiatan atau
permasalahan dalam kehidupan sosial mereka, selain itu dengan kerjasama
masyarakat juga tidak merasa hidup sendirian tetapi memiliki banyak teman yang
dapat saling membantu.
Nilai-nilai kerjasama, gotong royong dan tolong-
menolong untuk kebaikan ini terus dipertahankan warga komunitas dukuh, baik
dalam kehidupan sehari-hari seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid,
perbaikan jalan, jembatan, dll, maupun dalam kegiatan pengelolaan dukuh, seperti
60
pada saat pemeliharaan tanaman, pengawasan (menjaga dari kebakaran, gangguan
binatang dan atau pencurian), pemanenan serta koordinasi pemasaran hasil dukuh.
b) Mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau
keluarga;
Nilai-nilai kehidupan yang juga masih berlaku hingga sekarang pada
warga komunitas dukuh adalah berupa kewajiban untuk menjaga kepentingan
umum (bersama) dan lebih mendahulukannya daripada kepentingan pribadi atau
keluarga. Menjaga dan memelihara kepentingan umum lebih didahulukan
daripada kepentingan pribadi atau keluarga karena menyangkut hajat hidup orang
banyak dan kepentingan bersama. Fasilitas-fasilitas untuk kepentingan umum
seperti mesjid, jembatan, jalan, pekuburan selalu dijaga dan dipelihara oleh setiap
warga dan secara rutin dilakukan gotong royong untuk membersihkan dan atau
memperbaikinya.
c) Hormat dan taat terhadap perintah/nasihat tetuha (tokoh masyarakat);
Warga komunitas dukuh juga memiliki nilai-nilai yang berlaku sejak
dahulu yaitu berupa kewajiban warga untuk menghormati, patuh dan taat terhadap
segala perintah/nasihat yang disampaikan oleh tetuha (tokoh masyarakat). Apapun
yang disampaikan oleh tetuha tersebut selama tidak bertentangan dengan syariat
islam maka wajib untuk diikuti dan dilaksanakan oleh semua warga. Kepatuhan
warga terhadap perintah/nasihat tetuha ini semakin menguatkan hubungan sosial
di antara sesama warga yang terjalin dengan baik.
Nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian
warga komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada
dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh
warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan
(beliefs) yang melekat pada warganya, seperti adanya keyakinan bahwa setiap
perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; setiap
kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu pula
sebaliknya; setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan
61
diganjar pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; Setiap kejadian adalah taqdir
(ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan lain-lain.
Nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada warga
telah menumbuhkan sikap (attitudes) dalam kehidupan sehari-hari warga
komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak pada warga komunitas dukuh
selama ini diantaranya adalah adanya sikap kekeluargaan yang tinggi, tolongmenolong, gotong royong, kerjasama, saling membantu, mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarga, menghormati dan
patuh terhadap nasihat tetuha serta kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan
alam sekitarnya. Kerjasama (cooperation) pada warga komunitas dukuh yang
dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan
keyakinan (beliefs) membuat hubungan sosial di antara warga semakin baik dan
efektif sehingga semakin mendukung upaya-upaya dalam rangka pengelolaan
dukuh yang semakin baik dan lestari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Uphoff (2000) yang
melakukan studi kasus di Srilanka, yang menunjukkan bagaimana unsur modal
sosial berupa kerjasama dapat menghasilkan keuntungan material secara
substantif. Organisasi petani yang dibentuk dari proyek bantuan pada awal 1980an
ternyata dapat menghasilkan panen padi diluar perkiraan pada saat terjadi
kelangkaan air (1997) padahal insinyur dari pemerintah Srilanka telah
menggambarkan bahwa tidak akan ada padi yang mungkin bisa tumbuh. Namun
secara cepat dapat berubah menjadi sistem yang paling efisien dan dikelola dalam
bentuk kerjasama, setelah didekati sengan suatu rencana yang efektif untuk
melibatkan petani dalam manajemen sistem bersama. Efisiensi penggunaan air
meningkat dua kali lipat dalam dua tahun, bahkan sebelum perbaikan fisik selesai.
Dengan kerjasama yang efektif, khususnya dalam hal berbagi air yang langka itu,
petani justru mendapatkan hasil yang lebih baik daripada panen normal/biasanya,
yakni dengan jumlah senilai $ 20 juta. Setengah keberhasilannya adalah karena
telah menghidupkan kerjasama dan hubungan sosial baru dengan mengaktifkan
norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan
(beliefs) tertentu sebagai bentuk modal sosial kognitif.
62
5.1.1.3 Solidaritas (solidarity)
Ada tiga tingkat solidaritas warga komunitas dukuh yang ditinjau.
Pertama, solidaritas berupa pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh
sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan,
pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh). Kedua, solidaritas berupa
membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada
tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh.
membantu/menolong
tetangga/warga
yang
Ketiga, solidaritas berupa
sedang
membangun
rumah,
melaksanakan hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran, dll), atau yang
sedang terkena musibah. Adapun distribusi responden menurut tingkat solidaritas
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Bi‟ih disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Distribusi responden menurut tingkat solidaritas
No.
Bentuk Solidaritas
1.
Pelibatan warga sebagai
tenaga kerja/mitra
Membagikan buah hasil
panen kepada tetangga
Membantu warga yang
hajatan atau terkena
musibah
2.
3.
Tingkat Solidaritas
Komunitas Dukuh
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
Tidak
Tidak
Jarang Sering
Jarang Sering
pernah
pernah
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
6,7
20
73,3
0
0
100
0
6,7
93,3
0
0
100
0
6,7
93,3
0
0
100
Pada komunitas dukuh tingkat solidaritas anggota komunitasnya terhadap
warga di luar komunitas maupun terhadap sesama anggota komunitasnya
tergolong tinggi. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa tingkat solidaritas warga
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih terhadap warga
di luar komunitasnya cukup tinggi dengan seringnya melibatkan tetangga/warga
yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan
dukuh. Warga yang selalu melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh
sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh beralasan bahwa
mereka ingin membantu memberikan tambahan penghasilan serta mempererat
hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan rasa kesetiakawanan, selain itu mereka
yakin bahwa dengan membantu orang lain maka urusan hidup mereka juga akan
63
dibantu oleh Allah SWT. Adanya warga yang jarang atau tidak pernah melibatkan
tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam
kegiatan pengelolaan dukuh lebih dikarenakan untuk penghematan biaya produksi
karena tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga mereka sendiri dirasa
cukup untuk mengelola dukuh tersebut, dimana rata-rata mereka memiliki jumlah
anggota keluarga lebih dari tiga orang dengan rata-rata luas kepemilikan dukuh
yang dikelola cukup kecil yaitu hanya 0,2 ha.
Tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh umumnya dipekerjakan dalam
kegiatan pemeliharaan dan pemanenan buah, bahkan jika warga yang tidak
memiliki dukuh tersebut memiliki modal yang cukup maka mereka akan dijadikan
mitra sebagai pedagang perantara (tengkulak), dan tentunya mereka akan
memperoleh keuntungan yang cukup besar sampai 40% dari keuntungan pemilik
dukuh. Pemilik dukuh sebenarnya dapat saja tidak menggunakan tenaga kerja
tambahan dalam kegiatan pemeliharaan tanaman tetapi hal tersebut tetap
dilakukan karena didorong oleh keinginan untuk berbagi rejeki serta mempererat
hubungan kekeluargaan sebagai wujud solidaritas sebagai sesama warga.
Selain pelibatan sebagai tenaga kerja/mitra, solidaritas warga komunitas
pemilik dukuh kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh juga
diwujudkan dalam bentuk membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan
hasil panen dukuh. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, sebagian besar
warga selalu melakukannya pada setiap kali panen, dan hanya sebagian kecil
warga yang jarang/kadang-kadang saja melakukannya (hanya pada panen besar
saja). Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh warga (100%) selalu
membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada
tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh pada setiap kali panen. Alasan warga
membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada
tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh pada setiap kali panen adalah karena
adanya keyakinan pada diri mereka bahwa semakin sering berbagi dan memberi
kepada sesama dengan ikhlas tanpa pamrih maka rejeki mereka juga akan
semakin banyak dan mendapat berkah dari Allah SWT. Adapun warga yang
jarang melakukan hal seperti tersebut di atas (berbagi hanya pada panen-panen
tertentu saja) adalah karena luas dukuh mereka yang tidak terlalu besar dan
64
produktivitasnya juga tidak terlalu tinggi, sedangkan jumlah anggota keluarga dan
kebutuhan hidup mereka cukup tinggi, sehingga tidak pada setiap kali musim
panen mereka membagikannya secara cuma-cuma kepada tetangga/warga yang
tidak memiliki dukuh tetapi hanya pada saat panen berlimpah saja.
Solidaritas warga komunitas pemilik dukuh kepada warga masyarakat
lainnya (baik sesama komunitas dukuh maupun bukan komunitas dukuh) dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari juga tinggi. Pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat, sebagian besar warga selalu membantu tetangga yang sedang
membangun rumah, melaksanakan hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran,
dll), atau yang sedang terkena musibah, dan hanya sebagian kecil warga yang
jarang/kadang-kadang saja melakukannya. Pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh
warga selalu membantu tetangga yang sedang membangun rumah, melaksanakan
hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran, dll), atau yang sedang terkena
musibah. Alasan warga selalu membantu tetangga yang sedang melaksanakan
hajatan atau yang sedang terkena musibah tersebut adalah karena didasari oleh
rasa empati, belas kasihan, serta adanya keyakinan bahwa jika mereka berbuat
baik atau menolong orang lain dengan penuh ketulusan maka suatu saat ketika
mereka mengalami kesulitan maka mereka juga pasti akan mendapat pertolongan
dari Yang Maha Kuasa, baik melalui orang yang pernah mereka tolong tersebut
maupun melalui orang lain. Adapun alasan warga yang jarang (kadang-kadang)
saja dapat membantu tetangga yang sedang melaksanakan hajatan atau yang
sedang terkena musibah tersebut adalah karena kendala kesibukan pekerjaan
sebagai sopir yang lebih sering berada di luar desa, sehingga hanya pada acara
atau hajatan tertentu saja yang bisa dia bantu.
Tingkat solidaritas (solidarity) antar sesama warga komunitas dukuh
tergolong tinggi, hal ini karena dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai
(values), sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada setiap
individu warga pada kedua komunitas tersebut dan sudah berlaku secara turun
temurun serta terinternalisasi dalam masyarakat. Nilai-nilai (values) yang melekat
pada warga komunitas dukuh yang mendukung terciptanya tingkat solidaritas
yang tinggi antar sesama warga tersebut pada dasarnya bersumber dari ajaran
65
islam yang dianut oleh para warganya. Nilai-nilai (values) yang melekat kuat
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah;
Pada warga komunitas dukuh telah ditanamkan nilai-nilai kehidupan oleh
para leluhurnya sejak dahulu bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada
tangan di bawah (meminta).
Nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari ajaran
agama islam tersebut melekat kuat pada warga komunitas dukuh sehingga pada
setiap kali musim panen buah, warga yang memiliki dukuh selalu membagikan
sebagian hasil panen buahnya kepada tetangga/warga lain yang tidak memiliki
dukuh. Sejak dahulu hingga sekarang, nilai-nilai kebaikan tersebut masih hidup di
tengah-tengah masyarakat warga komunitas dukuh.
b) Memberi sesuatu kepada orang lain harus yang berkualitas baik dan ikhlas
tanpa pamrih;
Nilai-nilai (values) yang juga masih berlaku pada warga komunitas dukuh
hingga sekarang adalah bahwa memberi sesuatu kepada orang lain haruslah
berupa benda atau barang yang berkualitas baik atau paling tidak yang masih bisa
dimanfaatkan, serta dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih sebagaimana yang
dianjurkan di dalam ajaran agama. Warga tidak dibenarkan memberi sesuatu yang
tidak baik kepada orang lain karena akan menurunkan harkat dan martabatnya,
termasuk diantaranya memberi buah-buahan hasil dari dukuh haruslah buah yang
baik.
c) Membalas setiap kebaikan dari orang lain dengan kebaikan pula;
Warga masyarakat di Kecamatan Karang Intan memegang teguh nilai-nilai
(values) dalam kehidupan bahwa setiap kebaikan yang diterima dari orang lain
harus dibalas dengan kebaikan pula. Nilai-nilai tersebut telah berlaku turuntemurun dan terinternalisasi dalam masyarakat. Setiap pemberian sesuatu
benda/barang dari tetangga atau warga yang lainnya biasanya selalu dibalas
dengan pemberian benda/barang lainnya pula kepada tetangga/warga lain tersebut.
Jika tidak bisa dengan bentuk barang maka balasan kebaikan tersebut biasanya
dalam bentuk tenaga, pertolongan atau bentuk perhatian lainnya. Demikian pula
66
halnya dengan pemberian buah-buahan hasil panen dukuh dari warga komunitas
dukuh kepada warga di luar komunitas dukuh, maka warga di luar komunitas
dukuh membalasnya dengan memberikan perhatian dan turut menjaga serta
mendukung upaya-upaya pelestarian dukuh tersebut. Warga di luar komunitas
dukuh turut merasa memiliki atas keberadaan dukuh tersebut, sehingga merasa
ikut bertanggung jawab dalam menjaga dukuh tersebut dari kebakaran, pencurian,
gangguan binatang, dan dari berbagai faktor perusak lainnya.
Nilai-nilai solidaritas yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian warga
komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada
dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh
warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan
(beliefs) yang melekat pada warganya, seperti adanya keyakinan bahwa setiap
perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; semakin
banyak memberi maka akan semakin banyak rejeki, setiap kebaikan akan
mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu pula sebaliknya; setiap
perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan diganjar pahala oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa; Orang yang selalu berbuat baik akan lebih berat
timbangan pahalanya sehingga akan masuk surga, dan lain-lain.
Solidaritas sebagai tujuan berhubungan dengan orang lain di luar
komunitas dukuh tersebut merupakan norma yang membantu warga di luar
komunitas dukuh untuk mendapatkan manfaat dari kelompok yang lebih besar
(warga komunitas dukuh) dan merupakan kebajikan serta kesetiaan mereka
kepada semua warga dalam masyarakat. Solidaritas menjadikan kerjasama dan
kemurahan hati, menumbuhkan rasa saling menjaga dan memiliki sehingga
keberadaan dukuh tetap terjaga dan lestari.
Jika dikaitkan dengan teori Durkheim (1982) sebagaimana yang dijelaskan
oleh Jones (2009), maka bentuk solidaritas yang terjadi pada komunitas dukuh
adalah termasuk solidaritas mekanik. Dikategorikan solidaritas mekanik karena
warga pada komunitas dukuh tersebut termasuk kelompok masyarakat tradisional
(pra-modern), di mana mereka hidup dengan cara yang hampir sama antara yang
satu dengan yang lain, solidaritas dicapai secara kurang lebih otomatis. Durkheim
menjelaskan bahwa bentuk solidaritas mekanik ini adalah hasil dari pembagian
67
kerja warga masyarakat yang sederhana. Sangat sedikit peranan untuk dimainkan
dan cara hidup mereka pun kurang bervariasi karena kebutuhan para warga
masyarakat untuk memandang dunia juga kurang lebih sama. Mereka memiliki
bersama aturan-aturan kolektif yang mengatur bagaimana berperilaku yang
dipenuhi tanpa kesukaran yang berarti. Lebih lanjut Durkheim menjelaskan
bahwa, berbeda dengan masyarakat tradisional pada masyarakat modern
solidaritas yang terjadi adalah solidaritas organik. Suatu masyarakat modern
memiliki pembagian kerja yang sangat kompleks dengan beragam peranan dan
cara untuk hidup sehingga solidaritas sosial menjadi jauh lebih sukar dicapai.
Solidaritas yang didasari oleh nilai-nilai dan keyakinan yang kuat yang
telah melekat pada warga komunitas dukuh menumbuhkan sikap (attitudes) dalam
kehidupan sehari-hari warga komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak
pada warga komunitas dukuh selama ini diantaranya adalah adanya sikap
kekeluargaan yang tinggi, sikap empati, kedermawanan, tolong-menolong, gotong
royong, kerjasama, saling membantu, rasa saling memiliki, tanggung jawab
bersama, serta kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan alam sekitarnya. Sikap
solidaritas warga komunitas dukuh telah mendorong tumbuhnya rasa memiliki
dan tanggung jawab komunal antara pemilik dukuh dengan masyarakat yang tidak
memiliki dukuh sehingga semakin menguatkan kerjasama mereka dalam menjaga
dan memelihara dukuh untuk kepentingan bersama.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Uphoff (2000) yang
menemukan bahwa solidaritas yang dibangun dengan membangkitkan kembali
nilai-nilai keadilan dan altruisme yang ada dalam pikiran kognitif petani melalui
sebuah tradisi yang bernama “Shramadana” dimana tradisi ini juga dapat
ditemukan di Nepal, India dan negara-negara Asia Selatan lainnya terbukti
mampu dan berhasil untuk merehabilitasi dan memelihara saluran irigasi yang
ada. Kebiasaan ini mewajibkan masyarakat di Srilanka untuk berpartisipasi dalam
kelompok kerja sukarela (kerja bhakti) untuk menghasilkan berbagai hal-hal yang
baik bagi komunitas, seperti membersihkan jalan, membangun candi, dan
mengecat atau membuat atap sekolah. Seseorang yang berpartisipasi dalam tradisi
ini percaya bahwa mereka akan mendapatkan “merit” (pahala) yang akan
menguntungkan mereka baik di masa sekarang maupun masa mendatang.
68
Secara ringkas ikhtisar sumber-sumber modal sosial kognitif pada
komunitas dukuh dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19
Ikhtisar sumber-sumber modal sosial kognitif pada komunitas dukuh
Faktor-faktor
Dinamis
Kepercayaan
(trust)
Nilai-nilai
(values)
-
-
-
-
Kerjasama
(cooperation)
-
-
-
Solidaritas
(solidarity)
-
-
-
Sumber-Sumber Kognitif
Sikap
(attitudes)
Berprasangka baik dan
tidak berprasangka buruk
kepada orang lain;
Berbuat jujur dan saling
percaya kepada manusia;
Saling menghormati,
menghargai dan
menyayangi antar sesama;
Menjaga hubungan baik
dan mempererat
silaturrahmi antar warga;
Menjaga dan memelihara
lingkungan beserta alam
sekitarnya.
-
Saling kerjasama dan
tolong menolong dalam
kebaikan;
Mendahulukan
kepentingan umum
daripada kepentingan
pribadi/keluarga;
Hormat dan taat terhadap
perintah dan nasihat
tetuha (tokoh
masyarakat).
-
Tangan di atas lebih baik
daripada tangan di
bawah;
Memberi sesuatu kepada
orang lain harus yang
berkualitas baik dan
ikhlas tanpa pamrih;
Membalas setiap
kebaikan dari orang lain
dengan kebaikan pula.
-
-
-
-
Terbuka;
Jujur;
Lugu/Polos;
Tulus Ikhlas;
Saling percaya;
Saling
menghormati;
Saling
menghargai;
Saling
menyayangi;
Kekeluargaan;
Kesederhanaan;
Tolong
menolong;
Gotong royong;
Kerjasama;
Empati;
Murah hati/
Dermawan;
Peduli terhadap
sesama & alam
sekitarnya;
Hormat & taat
kepada tetuha;
Mengutamakan
kepentingan
umum;
Tanggung
jawab bersama;
Keyakinan
(beliefs)
- Setiap perbuatan
manusia diketahui
oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa;
- Setiap perbuatan
baik akan
mendatangkan
kebaikan pula;
- Setiap perbuatan
buruk akan
mendatangkan
keburukan pula;
- Setiap perbuatan
baik akan
mendapat pahala;
- Setiap perbuatan
buruk akan
mendapat dosa;
- Orang yang lebih
banyak pahalanya
akan masuk surga;
- Orang yang lebih
banyak dosanya
akan masuk
neraka;
- Semakin banyak
memberi semakin
banyak rejeki;
- Semakin banyak
membantu orang
lain maka urusan
kita juga akan
semakin
dimudahkan oleh
Tuhan Yang Maha
Kuasa;
- Setiap kejadian
adalah taqdir dari
Tuhan Yang Maha
Kuasa.
69
5.1.2 Modal Sosial Struktural
Modal sosial struktural dalam pengelolaan dukuh berkaitan dengan
beragam bentuk organisasi sosial, khususnya aturan (rules), peranan (roles), serta
jaringan (networks) yang mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang
diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dalam
pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Dalam
pengelolaan dukuh, aturan (rules), peranan (roles), serta jaringan (networks)
mampu memfasilitasi terciptanya tindakan kolektif yang saling menguntungkan
khususnya dalam melahirkan pola-pola interaksi yang membuat hasil produktif,
efisien, adil dan berkelanjutan.
5.1.2.1 Aturan (rules)
Pada komunitas dukuh terdapat aturan berupa norma-norma yang menjadi
pedoman bertindak para warganya. Norma-norma yang diuraikan di sini berupa
aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat) tentang pengelolaan dukuh. Aturan tidak
tertulis (aturan adat) yang berlaku pada komunitas dukuh adalah berupa cara
(usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) yang merupakan
kearifan lokal yang sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam
masyarakat yang mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan
untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan
sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan
dukuh. Norma-norma (norms) berupa aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat)
yang merupakan kearifan lokal dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Tanaman Linjuang sebagai tanda batas hak kepemilikan lahan/dukuh
(tata kelakuan/mores);
Warga komunitas dukuh sampai sekarang masih memegang teguh aturan
yang disepakati bersama bahwa tanaman Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A.
Cheval) yang ditanam merupakan tanda batas hak kepemilikan lahan (dukuh).
Aturan tersebut mengakui keabsahan hak pengelolaan dan pemanfaatan dukuh
70
bagi pemiliknya berdasarkan tanda batas tanaman Linjuang, dan secara otomatis
melarang bagi orang lain untuk mengelola atau memanfaatkan dukuh pada lahan
yang bukan miliknya tersebut. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi
pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga
tersebut dianggap bersalah dan tentunya akan mendapat hukuman dari masyarakat
atau akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga norma ini
termasuk pada tingkatan tata kelakuan (mores), bahkan tidak menutup
kemungkinan norma ini bisa meningkat menjadi adat istiadat (customs) jika lama
kelamaan semakin kuat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat.
b) Pewarisan dukuh dengan cara islah atau faraid (tata kelakuan/mores);
Aturan yang berlaku dalam pewarisan dukuh ada dua yaitu sistem islah
dan faraid. Sistem islah dibagi berdasarkan kesepakatan dan musyawarah tanpa
membedakan antara hak laki-laki dan hak perempuan. Sistem hukum faraid atau
hukum Islam dimana anak laki-laki memperoleh lebih banyak bagian dibanding
anak perempuan. Hukum faraid lebih sering digunakan dalam pembagian warisan
dukuh karena sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Dalam pembagian
warisan dukuh biasanya seluruh keluarga yang akan membagi warisan dukuh dari
orang tua mereka akan berkumpul untuk bermusyawarah dan berkonsultasi
dengan Pembakal, Penghulu dan Tutuha masyarakat yang sekaligus berperan
sebagai saksi dan mediator dalam keluarga apakah mereka akan menggunakan
sistem islah atau faraid. Pelanggaran atas norma ini tidak pernah terjadi, dan
seandainya ada yang melanggar maka akan mendapat hukuman, sehingga norma
ini termasuk pada tingkatan tata kelakuan (mores).
c) Tidak boleh menjual dukuh warisan (kebiasaan/folkways);
Warga komunitas dukuh juga mempunyai aturan berupa larangan menjual
dukuh yang berasal dari harta warisan. Dukuh yang berasal dari harta warisan
wajib dipelihara dan dipertahankan karena merupakan peninggalan nenek moyang
(leluhur) yang mengandung simbol kehormatan dan kebanggaan keluarga bagi
yang memilikinya. Pelanggaran atas norma ini pernah terjadi meskipun dalam
intensitas yang sangat kecil dan jarang sekali terjadi. Sanksi yang dirasakan oleh
warga yang menjual dukuh warisan adalah merasa malu dan dicela oleh keluarga,
71
karena telah menghilangkan kebanggaan keluarga, sehingga norma ini termasuk
tingkatan kebiasaan (folkways).
d) Membuat lampau untuk tempat beristirahat di dalam dukuh (cara/usage);
Warga komunitas dukuh masih mempertahankan cara untuk berjaga dan
beristirahat di dalam dukuh yaitu dengan membuat lampau (pondok kecil).
Lampau di dalam dukuh difungsikan masyarakat pada saat musim panen atau
pada hari-hari biasa pada saat melaksanakan kegiatan pemeliharaan, pengamanan
dan pengawasan tanaman di dalam dukuh. Pelanggaran atas aturan adat atau
norma tersebut telah terjadi pada komunitas dukuh, karena tidak seluruh warga
memiliki lampau di dalam dukuh mereka, terutama warga komunitas yang
dukuhnya tidak terlalu luas (hanya ± 0,1 ha). Meskipun ada yang tidak membuat
lampau, warga masyarakat yang lain tidak mencelanya tetapi hanya sekedar
menganggapnya sebagai hal yang janggal saja, sehingga berdasarkan teori
tingkatan norma menurut Gillin and Gillin (1954) didalam Soekanto (2009) maka
norma ini hanya termasuk tingkatan cara (usage).
e) Tidak boleh menggunakan pupuk anorganik (kebiasaan/folkways);
Warga komunitas dukuh juga mempunyai aturan yang melarang warganya
menggunakan pupuk anorganik dalam melakukan pemupukan tanaman di dalam
dukuh. Warga tidak diperkenankan menggunakan pupuk anorganik tetapi cukup
dengan pupuk organik berupa pupuk kandang dan kompos dari tanaman bawah
saja. Alasan masyarakat tidak memperbolehkan penggunaan pupuk anorganik
adalah karena dianggap dapat memberikan efek rapuh pada dahan dan cabang
tanaman. Beberapa kasus pelanggaran atas norma ini pernah terjadi di mana ada
warga komunitas yang mulai mencoba menggunakan pupuk organik, dan oleh
warga komunitas lainnya dicela, sehingga norma ini termasuk kebiasaan
(folkways).
72
f) Membungkus buah cempedak dengan plastik (kebiasaan/ folkways);
Norma-norma lain yang berlaku dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan
tanaman pada warga komunitas dukuh yaitu membungkus buah cempedak yang
masih kecil dengan plastik. Buah cempedak yang dibungkus dengan plastik
adalah buah cempedak yang baru berumur sekitar dua bulan agar buah tidak
diserang lalat buah. Buah cempedak akan matang dan bisa dipetik setelah 3-6
bulan dihitung mulai awal pembungaan tergantung kepada genotype dan iklim.
Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya
merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya,
sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways).
g) Menabur garam di sekeliling pohon durian (kebiasaan/ folkways);
Dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman di dalam dukuh juga
berlaku norma yaitu menabur garam di sekeliling pohon durian. Kebiasaan
menabur garam di sekeliling pohon durian tersebut dilakukan setelah musim
panen selesai dengan maksud agar pohon durian cepat berproduksi kembali dan
terbebas dari gangguan atau serangan hama dan penyakit tanaman. Pelanggaran
atas norma ini juga jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa
malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga
tingkatan norma ini juga termasuk kebiasaan (folkways).
h) Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja
dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman (kebiasaan/folkways);
Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa
kebiasaan (folkways) pada anggota komunitasnya yang selalu melibatkan
tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan
budidaya dan pemeliharaan tanaman dukuh, seperti penyiangan, pendangiran,
pemupukan, dan pengawasan tanaman. Kebiasaan melibatkan tetangga/warga
yang tidak memiliki dukuh tersebut dilandasi oleh nilai-nilai (value) berupa
kesetiakawanan, rasa empati, suka menolong, keinginan untuk berbagi rejeki serta
upaya untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu
73
warga masyarakat juga memiliki keyakinan (belief) bahwa dengan berbuat baik
membantu/menolong orang lain maka Tuhan juga akan membantu dan
memudahkan mereka dalam berbagai urusan kehidupan lainnya, bahkan warga
masyarakat juga yakin mereka akan mendapat balasan pahala dari Tuhan Yang
Maha Esa. Pelanggaran atas norma ini pernah terjadi meskipun cukup jarang, dan
bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh
dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan
(folkways).
i) Memetik buah langsat dengan galah (kebiasaan/folkways);
Norma yang berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil pada warga
komunitas dukuh diantaranya adalah memetik buah langsat dengan galah. Galah
adalah alat pemetik buah yang dirancang secara tradisional yang terbuat dari
bambu atau kayu. Dengan menggunakan galah maka buah langsat bisa dipetik
dari tanah atau dengan cara memanjat sebagian pohon langsat. Pelanggaran atas
norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena
mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan
norma ini termasuk kebiasaan (folkways).
j) Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai (kebiasaan/folkways);
Norma lain yang juga berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil dukuh
adalah memetik buah langsat dan cempedak dengan menggunakan sigai. Sigai
adalah alat pemanjat pohon seperti tangga yang dirancang secara tradisional yang
terbuat dari bambu dan diletakkan permanen di samping pohon langsat atau
cempedak. Dengan menggunakan sigai maka buah langsat dan cempedak bisa
dipetik dengan mudah tanpa merusak atau mengganggu buah lainnya.
Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya
merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya,
sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways).
74
k) Tidak boleh memanen buah durian dengan memetik (kebiasaan/folkways);
Warga komunitas dukuh mempunyai aturan yang berlaku hingga sekarang
yaitu berupa larangan bagi warganya untuk memanen buah durian dengan
memetik atau memanjat pohonnya. Pemanenan buah durian hanya boleh
dilakukan dengan menunggu buah tersebut jatuh dari pohon dengan sendirinya
secara alami. Pemanenan buah durian tidak boleh dengan memetik karena warga
masyarakat memiliki keyakinan bahwa jika memanen buah durian dengan
memetik maka akan menghasilkan kualitas buah yang kurang bagus pada musim
buah berikutnya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran
atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut akan
malu karena warga komunitas yang lain akan mencelanya, sehingga tingkatan
norma ini juga termasuk kebiasaan (folkways), bahkan tidak menutup
kemungkinan norma ini bisa meningkat menjadi tata kelakuan (mores) jika lama
kelamaan semakin kuat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat.
l) Mengangkut buah dari dukuh menggunakan ladung (cara/usage);
Mayoritas warga komunitas dukuh mempunyai cara untuk mengangkut
buah hasil panen dari dukuh dengan menggunakan ladung, yaitu alat tradisional
yang terbuat dari anyaman rotan yang digunakan dengan cara disandang di atas
bahu seperti ransel. Dalam perkembangannya sekarang sebagian kecil warga
sudah mulai beralih dengan menggunakan karung dan mengangkut buah tersebut
dengan sepeda motor. Atas pelanggaran tersebut warga yang lain tidak
mencelanya dan menganggapnya sebagai hal yang janggal saja, sehingga hanya
termasuk tingkatan cara (usage).
m) Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja
dalam kegiatan pemanenan buah (kebiasaan/folkways);
Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa
pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam
kegiatan pemanenan hasil dukuh, seperti pemetikan dan pengangkutan buah.
Kebiasaan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai (value) untuk mempererat hubungan
75
kekeluargaan dan persaudaraan. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan
bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela dari warga
komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways).
n) Membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetangga/warga yang tidak
memiliki dukuh setiap kali musim panen (kebiasaan/folkways);
Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah kebiasaan
membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetangga/warga yang tidak
memiliki dukuh setiap kali musim panen. Kebiasaan tersebut dilakukan karena
dilandasi oleh nilai-nilai (value) untuk menjaga perasaan serta mempererat
hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu warga komunitas juga
memiliki keyakinan (belief) bahwa semakin sering berbagi dan memberi kepada
sesama dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih maka rejeki mereka juga akan
semakin banyak dan mendapat berkah serta balasan pahala dari Allah SWT.
Meskipun jarang, tetapi pelanggaran atas norma ini pernah terjadi, dan warga
yang melanggar tersebut merasa malu karena mendapat cela dari warga yang lain,
sehingga norma ini termasuk pada tingkatan kebiasaan (folkways).
o) Pemasaran hasil dukuh melalui perantara/tengkulak (kebiasaan/folkways);
Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah menjual buah hasil
panen dukuhnya melalui pedagang perantara yang langsung datang ke dukuh atau
ke rumah pemilik dukuh. Proses pemasaran tersebut dimaksudkan agar pemilik
dukuh tidak repot pergi menjual buahnya ke pasar, selain itu diharapkan terjadi
pemerataan distribusi keuntungan hasil dukuh antara pemilik dukuh dengan
masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Untuk menghindari terjadinya monopoli
oleh pedagang perantara tertentu pemilik dukuh tidak pernah terikat dengan hanya
satu orang pembeli melalui suatu perjanjian tapi setiap pedagang perantara bebas
untuk membelinya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi
pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga
tersebut akan merasa malu karena mendapat cela atau cemoohan dari warga
masyarakat yang lain.
76
Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma (norms) yang berlaku pada
warga komunitas dukuh tersebut meskipun secara struktur kelembagaan tidak
formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, dan
terinternalisasikan secara terus-menerus sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk
kelembagaan lokal. Kelembagaan lokal yang didalamnya sarat akan nilai dan
kearifan lokal tersebut merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan warga
komunitas dukuh yang bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal
dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang
senantiasa berubah. Kelembagaan lokal tersebut terbentuk karena didorong oleh
adanya fungsi yang menjadi kebutuhan bersama dari warga komunitas dukuh
untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Uphoff (1986) yang
mendefinisikan kelembagaan lokal sebagai suatu himpunan atau tatanan normanorma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk
melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Dalam hal ini
kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang
dilembagakan.
Kelembagaan komunitas bisa muncul dan tenggelam seiring
dengan kebutuhan masyarakatnya. Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika
dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan
sudah disfunction.
Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma yang berlaku pada
komunitas dukuh tersebut memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda sesuai
dengan tingkatannya. Mengacu pada Soekanto (2009) maka norma-norma yang
berlaku pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu pertama, cara (usage); di mana sanksi dari
masyarakat atas pelanggarannya hanya dianggap janggal, kedua, kebiasaan
(folkways); di mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya adalah berupa
celaan, dan ketiga, tata kelakuan (mores); yang mana sanksi dari masyarakat atas
pelanggarannya adalah dihukum.
Adapun pengelompokan aturan-aturan adat berdasarkan tahapan dan
tingkatan norma dapat dilihat dalam skema kelembagaan lokal pada Gambar 4.
77
KEGIATAN
PENGELOLAAN
DUKUH
ATURAN ADAT YANG BERLAKU
Tanaman Linjuang adalah tanda
batas hak kepemilikan lahan (dukuh)
KELEMBAGAAN
LOKAL
PENGELOLAAN
DUKUH
(Aturan-aturan adat,
kesepakatan2 tidak
tertulis berdasarkan
pengetahuan &
kearifan lokal yang
berfungsi untuk
mengatur tatanan
hidup warga
komunitas dukuh).
Pengelolaan
Lahan
Pewarisan lahan (dukuh) dilakukan
dengan cara islah atau faraid
Tidak boleh menjual dukuh warisan
Di dalam dukuh dibuat lampau
(pondok
kecil
untuk
tempat
beristirahat saat pemeliharaan atau
kegiatan pengawasan tanaman)
TINGKATAN
NORMA
TATA
KELAKUAN
(Mores)
KEBIASAAN
(folkways)
CARA
(Usage)
Tidak menggunakan pupuk anorganik
Membungkus buah cempedak yang
masih muda dengan plastik
Budidaya/
Pemeliharaan
Menabur garam di sekeling pohon
durian setelah musim panen selesai
Melibatkan tetangga/warga yang
tidak memiliki dukuh sebagai tenaga
kerja dalam kegiatan budidaya/
pemeliharaan tanaman (penyiangan,
pendangiran dan pemupukan)
Memetik buah langsat dengan galah
(alat pemetikbuah terbuat dari bambu)
KEBIASAAN
(folkways)
Memetik buah langsat dan cempedak
dengan sigai (tangga dari bambu)
Memanen buah durian tidak boleh
dengan memetik (menunggu jatuh)
Pengangkutan buah dari dukuh ke
rumah dengan menggunakan ladung
Pemanenan
Melibatkan tetangga/warga yang
tidak memiliki dukuh sebagai tenaga
kerja dalam kegiatan pemanenan
(pemetikan dan pengangkutan buah)
CARA
(Usage)
Melibatkan tetangga/warga yang
tidak memiliki dukuh sebagai pembeli
perantara
(tengkulak)
dalam
pemasaran hasil dukuh.
KEBIASAAN
(folkways)
Pemasaran
Gambar 4
Skema kelembagaan lokal dalam pengelolaan dukuh.
78
Dalam pengukuran modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih ini ada dua tingkat aturan yang ditinjau.
Pertama, tingkat pemahaman terhadap aturan baik aturan tertulis (aturan formal)
maupun aturan tidak tertulis (aturan adat). Kedua, tingkat pelanggaran terhadap
aturan-aturan yang berlaku tersebut. Distribusi responden menurut tingkat
pemahaman dan pelanggaran aturan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 20 dan 21.
Tabel 20
Distribusi responden menurut tingkat pemahaman terhadap aturan
Tingkat Pemahaman
No.
1.
2.
Jenis Aturan
Aturan formal
Aturan adat
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Tidak
Cukup
Paham
paham
paham
(%)
(%)
(%)
100
0
0
0
46,7
53,3
Komunitas Dukuh
Bi‟ih
Tidak
Cukup
Paham
paham paham
(%)
(%)
(%)
100
0
0
0
3,3
96,7
Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa seluruh warga pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, semuanya tidak paham
terhadap aturan-aturan tertulis (aturan formal) yang mengatur individu atau
masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan
pengelolaan dukuh atau hutan rakyat. Terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat),
sebagian besar warga memahami sepenuhnya akan aturan dalam pengelolaan
dukuh dan hanya sebagian kecil warga yang kurang memahami sepenuhnya
terhadap aturan adat dalam pengelolaan dukuh tersebut.
Masyarakat sebagian besar tidak paham terhadap aturan formal yang
dibuat oleh pemerintah baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan
pengelolaan dukuh atau hutan rakyat, seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, Peraturan Menteri Tentang Hutan Rakyat, atau bahkan Peraturan
Daerah (baik Provinsi maupun Kabupaten) tentang Hutan Rakyat, karena aturanaturan tersebut belum terinternalisasi sebagai nilai-nilai yang diakui, dipatuhi, dan
dijadikan pedoman bertindak warganya, dan belum terbukti secara langsung dapat
berfungsi dan bermanfaat untuk mengelola dan melestarikan dukuh dengan baik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Soekanto (2009) bahwa suatu norma tertentu
79
dikatakan telah melembaga (institutionalized), apabila norma tersebut diketahui,
dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai.
Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan tertulis
tersebut menunjukkan betapa kurangnya perhatian pemerintah berupa pembinaan
maupun penyuluhan tentang kehutanan masyarakat selama ini. Padahal,
sosialisasi, pembinaan, dan penyuluhan yang semestinya dilakukan oleh
pemerintah tersebut sangat penting dan sangat bermanfaat bagi mereka.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui bahwa
sesungguhnya mereka sangat berharap akan adanya pembinaan dan penyuluhan
tentang langkah-langkah atau tindakan untuk membasmi hama dan penyakit
tanaman yang menyerang batang maupun buah pada dukuh mereka.
Tabel 21
Distribusi responden menurut tingkat pelanggaran terhadap aturan
Tingkat Pelanggaran
No.
Pelanggaran
Aturan
1.
2.
Oleh responden
Oleh warga lain
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Tidak
Sering
Jarang
Pernah
(%)
(%)
(%)
0
20
80
3,3
56,7
40
Komunitas Dukuh
Bi‟ih
Tidak
Sering
Jarang
Pernah
(%)
(%)
(%)
0
3,3
96,7
0
40
60
Pada Tabel 21 diketahui bahwa terhadap aturan yang berlaku dalam
pengelolaan dukuh, sebagian besar warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat mengaku tidak pernah melanggarnya, dan sebagian kecil mengaku pernah
melanggarnya. Sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih hampir seluruh warga
mengaku tidak pernah melanggarnya. Sebanyak 40% warga pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat menganggap bahwa anggota masyarakat yang lain
masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah melakukan pelanggaran,
56,7% menganggap bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota
masyarakat tetapi jarang, dan hanya sebagian kecil (3,3%) warga yang mengangap
sering terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat lainnya. Adapun pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar (60%) warga menganggap bahwa anggota
masyarakat yang lain masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah
melakukan pelanggaran, dan sisanya 40% warga menganggap bahwa pernah
terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang.
80
Dengan semakin baik tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas
terhadap aturan dalam pengelolaan dukuh yang ada, berarti aturan tersebut telah
berfungsi dalam pengambilan keputusan, mobilisasi sumber daya, komunikasi dan
koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh tersebut secara baik
dan efektif, sehingga tindakan kolektif di antara warga komunitas menjadi
cenderung mudah dilakukan dalam menjaga dan memelihara dukuh dengan baik.
Pada dasarnya, aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat/norma-norma) pada
komunitas dukuh telah ada dan dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal
yang meskipun tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan
sehingga secara perlahan telah melembaga. Proses melembaganya aturan-aturan
tersebut dapat bertahan jika dirasakan bermanfaat oleh para warga. Besarnya
manfaat dari keberadaan aturan-norma yang ada akan berpotensi menciptakan
suatu sistem nilai berupa tata perilaku (mores) bahkan memungkinkan untuk
menjadi adat-istiadat (custom) jika terinternalisasikan secara terus-menerus.
Tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas dukuh terhadap norma-norma
(aturan adat) yang berlaku karena dilandasi oleh nilai-nilai (value) dan keyakinan
(belief) yang melekat kuat seperti ketulusan, kejujuran, keikhlasan, rasa empati,
suka menolong, kedermawanan, serta sikap kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan dan sesama.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Suharjito dan Saputro (2008) di Kampung Ciburial Desa Mekarsari dan
Kampung Cibedug Desa Citorek Kabupaten Lebak Banten. Hasil penelitian
tersebut menjelaskan bahwa pada masyarakat Kasepuhan di kedua kampung
tersebut terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang
menjadi pedoman bertindak warganya dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya
hutan dan lahan. Berbagai aturan yang ada dalam praktek-praktek pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan yang berlaku hingga sekarang,
seperti larangan menggunduli hutan, larangan menggunakan kayu rasamala,
larangan menjual hasil hutan, ronda gunung, larangan menjual tanah kepada pihak
luar, larangan menggunakan pestisida, traktor dan obat-obatan tanaman, dan lain
sebagainya
telah
berkontribusi
nyata
terhadap
kepentingan
sumberdaya hutan dan lahan pada kedua kampung tersebut.
konservasi
81
5.1.2.2 Peranan (roles)
Membangun modal sosial struktural di dalam sebuah komunitas selain
membutuhkan aturan juga sangat membutuhkan peran-peran baik formal maupun
informal. Peranan yang dibutuhkan adalah peranan yang memang benar-benar
menjalankan fungsinya sehingga dapat diterima oleh para warganya, yaitu yang
mampu mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk
tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan
sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik. Suatu peranan
dapat eksis ketika ada harapan bersama tentang apa yang seharusnya dan akan
dilakukan oleh warga dalam beragam kondisi yang akan dihadapi dalam
melaksanakan suatu aturan. Keberadaan peranan yang mampu berjalan dengan
baik dalam rangka penegakan aturan adalah sebuah keharusan untuk menciptakan
kemapanan modal sosial struktural di dalam kehidupan komunitas yang ada.
Ada dua tingkat peranan para tokoh masyarakat yang ditinjau dalam
penegakan aturan pada kegiatan pengelolaan dukuh. Pertama, tingkat peranan
tokoh
informal yaitu tokoh agama dan tokoh adat (tutuha). Kedua, tingkat
peranan tokoh formal, yaitu kepala desa (pembakal) dan camat. Pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, tingkat peranan para
tokoh masyarakat baik formal maupun informal tersebut cukup bervariasi, ada
yang rendah, sedang, dan ada pula yang memiliki tingkat peranan tinggi.
Peranan para tokoh baik formal (kepala desa dan camat) maupun informal
(tokoh agama dan tokoh adat) dalam mendukung kegiatan pengelolaan dukuh
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan
kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya,
komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Secara rinci peranan para tokoh
yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 22.
82
Tabel 22. Peranan para tokoh yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Bi‟ih.
No.
Tokoh Masyarakat
Peranan para tokoh
A. Tokoh Formal
1. Kepala Desa (Pembakal)
- Saksi dalam pembagian warisan dukuh
(pembuatan keputusan)
- Saksi dalam pengaturan dan penetapan tata batas
hak kepemilikan dukuh (komunikasi dan
koordinasi)
- Motivator dalam penerapan aturan adat (normanorma) dalam pengelolaan dukuh (komunikasi
dan koordinasi)
- Motivator dalam pengelolaan dukuh (mobilisasi
pengelolaan sumberdaya)
- Penerbit surat keterangan tanah berupa sporadik
(pembuatan keputusan)
- Mediator dalam berbagai permasalahan yang
muncul dalam pengelolaan dukuh (resolusi
konflik).
2. Camat
- Penerbit surat keterangan tanah berupa segel
(pembuatan keputusan).
B. Tokoh Informal
1. Tokoh Agama
- Penasehat dalam pembagian warisan dukuh
(pembuatan keputusan)
- Penasehat dalam pengelolaan hasil panen dukuh,
seperti ketentuan zakat, infaq, sedekah dll
(pembuatan keputusan)
- Penasehat
spritual
(keagamaan)
dalam
pengelolaan dukuh dan kehidupan sehari-hari
(komunikasi dan koordinasi)
- Penasehat dalam berbagai permasalahan yang
muncul dalam pengelolaan dukuh (resolusi
konflik).
2. Tokoh Adat (Tutuha)
- Saksi dalam pembagian warisan dukuh
(pembuatan keputusan)
- Penasehat dalam pengaturan dan penetapan tata
batas hak kepemilikan dukuh (komunikasi dan
koordinasi)
- Penasehat dalam penerapan aturan adat (normanorma) dalam pengelolaan dukuh (komunikasi
dan koordinasi)
- Penasehat
dalam
memecahkan
berbagai
permasalahan yang muncul dalam pengelolaan
dukuh (resolusi konflik).
83
Adapun Tingkat peranan para tokoh baik formal (kepala desa dan camat)
maupun informal (tokoh agama dan tokoh adat) yang terlibat dalam mendukung
pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas
Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 23.
Tabel 23 Distribusi responden menurut tingkat peranan para tokoh
No.
Tokoh Masyarakat
1.
Tokoh Agama
2.
Tokoh Adat (Tutuha)
3.
Kepala Desa (Pembakal)
4.
Camat
Tingkat Peranan
Komunitas Dukuh
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
0
86,7
13,3
0
100
0
100
0
0
0
0
100
0
100
0
0
23,3
76,7
100
0
0
100
0
0
Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa tingkat peranan tokoh agama pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat secara umum cukup tinggi sedangkan pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih seluruh warga menganggap peranan tokoh agama
tersebut sedang saja. Peranan tokoh agama pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat ini cukup tinggi karena di sana sudah tidak ada lagi orang yang dianggap
sebagai tokoh adat (tutuha), sehingga peran-peran pembuatan keputusan,
mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta
resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh seperti pembagian warisan, pelaksanaan
jual beli, serta pengaturan tanda batas lahan, dll hanya diperankan oleh tokoh
agama dan kepala desa (pembakal) saja. Hal tersebut berbeda dengan Komunitas
Dukuh Bi‟ih yang masih memiliki tokoh adat (tutuha), dimana peran-peran
tersebut lebih didominasi oleh tokoh adat (tutuha), peranan tokoh agama hanya
nampak terasa pada saat pembagian warisan saja, sedangkan peran-peran lain
seperti pengaturan tata batas lahan diperankan oleh tokoh adat (tutuha) tersebut.
Tingkat peranan tokoh adat (tutuha) pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat kategori rendah, dimana seluruh warga telah menganggap tidak ada lagi
peranan tokoh adat, hal ini demikian karena pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat tersebut sekarang ini memang sudah tidak ada lagi yang berperan sebagai
tokoh adat (tutuha) karena tutuha yang pernah ada sudah lama tiada dan generasi
84
yang ada sekarang dengan usia, pengetahuan dan pengalaman tentang dukuh
masih relatif sama, sehingga mereka lebih memerankan tokoh agama dan kepala
desa (pembakal) dalam pembuatan keputusan. Sedangkan pada Komunitas Dukuh
Bi‟ih terjadi hal sebaliknya, seluruh warga menganggap peranan tokoh adat
(tutuha) kategori tinggi, hal ini karena pada Komunitas Dukuh Bi‟ih masih
terdapat beberapa orang tokoh adat (tutuha) dengan usia di atas 80 tahun yang
memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang dukuh, sehingga peranperan dalam dalam pengelolaan dukuh masih sangat didominasi oleh tokoh adat
(tutuha) tersebut, seperti pengaturan tata batas lahan, pengaturan pembagian
dukuh warisan, pengaturan jual beli dukuh, dan lain-lain.
Tingkat peranan kepala desa (pembakal) dalam pengelolaan dan
pelestarian dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat menurut warga
termasuk sedang. Hal ini karena keterlibatan kepala desa (pembakal) sebagai
tokoh formal dirasakan oleh responden cukup berperan sebagai saksi dalam proses
pembagian warisan dan pengaturan tata batas lahan, tetapi perannya kurang
dirasakan dalam proses-proses yang lain seperti mobilisasi dalam pengelolaan
sumberdaya, baik berupa koordinasi, penyuluhan, maupun kegiatan-kegiatan
pembinaan lainnya untuk mendukung pelestarian dukuh, sehingga seluruh warga
menganggap tingkat peranan kepala desa (pembakal) tersebut hanya kategori
sedang saja. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, sebagian besar warga
menganggap peranan kepala desa (pembakal) ini kategori tinggi, karena sebagian
besar warga merasakan peran yang sangat berarti dan signifikan yang dilakukan
oleh kepala desa (pembakal) Bi‟ih selama ini, selain sebagai tokoh formal beliau
juga termasuk tokoh adat (tutuha) pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut. Selain
aktif berperan sebagai saksi dalam proses pembagian warisan dan pengaturan tata
batas lahan, kepala desa (pembakal) Bi‟ih perannya juga dirasakan oleh warga
dalam proses-proses yang lain seperti memberikan informasi dan himbauan untuk
meningkatkan
semangat
dan
motivasi
kepada
masyarakat
mempertahankan dan mengelola dukuhnya dengan baik.
agar
tetap
Dalam beberapa
kesempatan baik saat pertemuan formal maupun informal, Pembakal Bi‟ih selalu
menghimbau dan mengharapkan agar hasil panen buah dari Komunitas Dukuh
Bi‟ih tetap dipertahankan memiliki kualitas yang terbaik terutama untuk buah
85
durian yang sudah sejak lama terkenal sebagai durian terbaik se-Kalimantan
Selatan. Dengan peran-peran tersebut sebagian besar warga menganggap kepala
desa (pembakal) Bi‟ih ini mempunyai peranan yang tinggi dalam mendukung
pengelolaan dan pelestarian dukuh.
Tingkat peranan camat dalam pengelolaan dan pelestarian dukuh menurut
seluruh warga baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah rendah. Seluruh warga pada kedua komunitas
tidak merasakan adanya peranan dari Camat dalam mendukung kegiatan
pengelolaan dan pelestarian dukuh mereka. Ironis memang, masyarakat merasa
tidak pernah mendapatkan perhatian dari camat baik berupa himbauan,
penyuluhan, bantuan, maupun kegiatan pembinaan lainnya sebagai bentuk
dukungan kepada masyarakat, padahal hal tersebut sangat penting untuk
dilakukan oleh seorang camat mengingat keberadaan dukuh tersebut merupakan
bentuk kehutanan masyarakat yang menjadi ciri khas dan kebanggaan masyarakat
di wilayah Kecamatan Karang Intan khususnya dan Kabupaten Banjar serta
Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya. Satu-satunya peran camat terkait
pengelolaan dukuh hanyalah dalam penerbitan Surat Keterangan Tanah (Segel)
kepemilikian dukuh yang baru dimiliki oleh segelintir (sebagian kecil) warga
komunitas dukuh.
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui pula bahwa tingkat peranan para
tokoh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat lebih rendah daripada peranan
para tokoh pada komunitas dukuh Bi‟ih. Hal ini terjadi demikian karena pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut sekarang ini telah berkurang satu
peranan tokoh yaitu sudah tidak ada lagi yang berperan sebagai tokoh adat
(tutuha) karena tutuha yang pernah ada sudah lama tiada, selain itu peranan tokoh
agama dan kepala desa (pembakal) yang ada juga tidak sepenuhnya dirasakan
oleh masyarakat, peran kedua tokoh tersebut hanya dirasakan pada saat
pembagian warisan, pelaksanaan jual beli dan pengaturan tata batas lahan itupun
tidak diperankan secara maksimal, selain itu peran mereka masih kurang
dirasakan dalam proses-proses yang lain seperti mobilisasi dalam pengelolaan
sumberdaya, baik berupa koordinasi, penyuluhan, maupun kegiatan-kegiatan
pembinaan lainnya untuk mendukung pelestarian dukuh.
86
Secara umum tingkat peranan para tokoh serta keterlibatan para pihak pada
kedua komunitas tersebut masih cukup rendah. Dalam pengelolaan dukuh selama
ini sama sekali tidak terlihat adanya peranan dari Badan Penyuluhan, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Lembaga Swadaya
Masyarakat, serta pihak-pihak penting lainnya baik pada tingkat kabupaten,
provinsi maupun pusat, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan peranan
dan keterlibatan para pihak tersebut (lembaga-lembaga formal) dalam pengelolaan
dan pengembangan dukuh. Hal tersebut sangat penting karena peranan di dalam
modal sosial struktural sebagian besar harus diciptakan, yaitu berbagai elemen
organisasi sosial yang menentukan pola tindakan individu agar bersama-sama
menciptakan manfaat bersama. Tanpa peranan dan aturan untuk pengambilan
keputusan dan mobilisasi sumber daya, maka tindakan kolektif menjadi cenderung
sulit untuk dilakukan. Peranan para tokoh formal maupun informal dalam
pengelolaan dukuh sangat penting untuk memfasilitasi komunikasi antar individu
dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan dukuh, termasuk juga menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul diantara anggota komunitas, bahkan sangat diperlukan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kebersamaan antar individu guna
mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh individu yang
hanya mencari keuntungan/manfaat untuk kesejahteraan dirinya sendiri dan
merugikan kepentingan komunitas dalam menjaga dan melestarikan dukuh.
Sistem dukuh merupakan sistem pemanfaatan sumberdaya hutan yang sudah
berjalan lama secara mandiri, produktif, komersial, lestari, berkeadilan dan
efisiensi. maka peranan pemerintah (lembaga-lembaga formal) hendaknya berupa
dukungan dan kebijakan yang berorientasi pada upaya untuk menggali
keseluruhan sistem kehutanan masyarakat yang ada, memperkuat keberadaannya,
dan mengurangi segala bentuk intervensi terutama dalam hal-hal teknis yang
sebenarnya menjadi domain dari masyarakat itu sendiri.
87
5.1.2.3 Jaringan (networks)
Ada tiga tingkat jaringan Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih yang ditinjau. Pertama, basis jaringan. Kedua, intensitas
dan luas jaringan. Ketiga, pola jaringan. Adapun pengukuran dilakukan terhadap
keterbentukan organisasi/kelembagaan formal, intensitas kunjungan/pertemuan dg
keluarga, tetangga, anggota komunitas, dan dengan kelompok atau komunitas
lain, serta kepadatan organisasi yg diikuti.
Secara ringkas distribusi responden menurut tingkat jaringan pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih disajikan
sebagaimana Tabel 24.
Tabel 24 Distribusi responden menurut tingkat jaringan
No.
Tingkat Jaringan
Komunitas Dukuh
Komunitas Dukuh
Unsur Jaringan/Interaksi Sosial
Mandiangin Barat
Bi‟ih
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1.
Pembentukan lembaga formal
100
0
0
100
0
0
2.
Intensitas kunjungan kepada
famili
10
6,7
83,3
20
6,7
73,3
3.
Intensitas kunjungan kepada
tetangga
10
16,7
73,3
20
6,7
73,3
4.
Intensitas pertemuan dalam
pengajian (keagamaan)
6,7
46,7
46,7
20
3,3
76,7
5.
Interaksi dengan
komunitas
lain
wilayah/desa
0
30
70
10
33,3
56,7
Komunikasi dan negosiasi
dalam rangka pemasaran hasil
dukuh
0
76,7
23,3
0
70
30
Kepadatan organisasi yang
diikuti oleh anggota keluarga
16,7
60
23,3
70
20
10
6.
7.
kelompok
di
luar
Pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh warga mengakui bahwa hingga saat ini
tidak ada organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh mereka, bahkan
hingga saat ini juga tidak ada rencana atau keinginan mereka untuk membentuk
88
organisasi/lembaga formal tersebut. Anggota komunitas dukuh merasa belum
perlu membentuk organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh, karena
menurut mereka mengelola dukuh hanyalah pekerjaan sampingan yang tidak
dikelola secara intensif setiap hari (sepanjang tahun) tetapi hanya dilakukan pada
musim buah saja. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa sekalipun tanpa ada
ikatan organisasi/lembaga formal, mereka tidak pernah merasakan ada kendala
atau masalah berat dalam mengelola dukuh, karena mereka telah memiliki ikatan
kekeluargaan yang tinggi dimana mereka selalu saling mendukung dan
bekerjasama dengan baik dalam kegiatan pengelolaan dukuh selama ini sehingga
tidak perlu lagi membentuk organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh
tersebut.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa sifat jaringan yang terbentuk adalah
informal, sedangkan basis dari jaringan sosial yang terbangun antar individu pada
kedua komunitas baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah kekeluargaan. Basis kekeluargaan ini terbangun
karena sebagian besar warga yang ada dalam kedua komunitas dukuh tersebut
saling memiliki hubungan keluarga. Ikatan antar keluarga diperkuat oleh ikatan
ketetanggaan yang dimungkinkan oleh pola pemukiman warga yang berkelompok
dengan jarak antar rumah sangat dekat dan tidak dibatasi oleh pagar pekarangan
atau halaman rumah.
Sebagian besar warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan bahwa setiap hari atau paling lama tiga hari
sekali mereka melakukan kunjungan dan komunikasi kepada sanak famili yang
masih ada ikatan kekeluargaan dalam satu desa. Sebagian besar warga pada kedua
komunitas menyatakan pula bahwa setiap hari atau paling lama tiga hari sekali,
mereka juga melakukan kunjungan dan komunikasi kepada tetangga atau warga
sekitar mereka baik sesama komunitas maupun yang bukan komunitas dukuh. Hal
di atas menunjukkan kepada kita bahwa interaksi antar warga masyarakat baik
sesama anggota komunitas maupun dengan warga bukan anggota komunitas
dukuh yang masih dalam satu desa sangat tinggi. Hampir setiap hari warga saling
bertemu dan mengunjungi baik kepada tetangga, kerabat ataupun keluarganya
yang masih dalam satu desa, untuk sekedar berbincang hal-hal yang ringan, atau
89
untuk menengok dan mengetahui keadaan keluarganya, ataupun untuk keperluankeperluan lainnya. Selain itu anggota komunitas dukuh juga melakukan pertemuan
rutin dengan sesama anggota komunitas yang lain, tokoh masyarakat serta warga
yang bukan termasuk komunitas dukuh pada acara pengajian yasinan yang
dilaksanakan sekali seminggu yaitu setiap Kamis malam (malam Jum‟at) yang
tempatnya dilaksanakan secara bergiliran dari rumah ke rumah, sehingga dalam
pertemuan tersebut meskipun tidak secara formal kadang dibicarakan dan
didiskusikan tentang kegiatan pengelolaan dukuh terutama jika pada musim panen
buah tiba.
Seluruh warga pada masing-masing komunitas baik pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih saling mengenal
dengan baik satu sama lain bahkan mengetahui kondisi dan aktivitas rumah
tangga warga komunitasnya masing-masing. Ikatan kekerabatan pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mendorong warganya
menjalin hubungan sosial dengan warga masyarakat dari desa-desa lain di
Kecamatan Karang Intan, seperti Desa Kiram, Desa Mandiangin Timur, Desa
Karang Intan, Desa Sungai Besar, Desa Balau, dll.
Sebanyak 70% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
56,7% warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan bahwa mereka sering
bahkan hampir setiap bulan melakukan interaksi, kerjasama dan bahkan saling
mengunjungi dengan kelompok atau komunitas lain yang berada di luar
wilayah/desa mereka. Namun demikian tidak semua warga sering melakukan
interaksi, kerjasama, atau mengunjungi kelompok/komunitas lain yang berada di
luar wilayah desa mereka tersebut. Sebanyak 30% warga pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat dan 33,3% warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan
bahwa mereka jarang (tidak setiap bulan) melakukan kunjungan ke luar desa, hal
ini disebabkan oleh kesibukan rutinitas mereka serta usia yang sudah lanjut.
Warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
menjalin hubungan sosial secara erat dengan warga masyarakat di desa-desa
sekitarnya baik anggota komunitas dukuh maupun bukan anggota komunitas
dukuh pada desa-desa sekitarnya di Kecamatan Karang Intan tersebut. Mereka
saling mengundang dan mengunjungi jika ada hajatan atau acara-acara adat
90
lainnya di daerah masing-masing. Hubungan sosial antara warga Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dengan warga masyarakat
di desa-desa sekitarnya tersebut sudah berlangsung sangat lama. Warga
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih juga
membangun hubungan sosial dengan orang dari luar Kecamatan Karang Intan,
antara lain dengan orang dari Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar dan orang
dari Kecamatan Banjarbaru Kota Banjarbaru bahkan hingga ke Kota Banjarmasin,
antara lain untuk urusan jual beli hasil pertanian dan perkebunan. Tidak semua
warga masyarakat menjalin hubungan sosial dengan orang-orang dari luar
Kecamatan Karang Intan tersebut. Mereka yang membangun jaringan sosial
dengan orang dari luar Kecamatan Karang Intan terutama adalah warga komunitas
yang tergolong aktif dalam kelompok tani, pejabat pemerintahan desa, guru atau
PNS yang sering berurusan ke ibu kota Kabupaten, dan warga komunitas yang
menjadi pengumpul hasil pertanian/perkebunan seperti karet yang akan dijual ke
Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.
Warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
membangun pola jaringan sosial yang umum maupun spesifik, melibatkan
material maupun non-material dengan sesama anggota komunitas maupun dengan
orang dari luar komunitas atau dari desa lainnya bahkan dari luar Kecamatan
Karang Intan. Saling mengunjungi antara sesama warga komunitas maupun
dengan warga di luar komunitas merupakan wujud pertukaran (exchange) dan
kerjasama (cooperation) yang dilakukan secara teratur yang melibatkan non
material dengan pola jaringan yang umum. Sedangkan hubungan antara warga
komunitas dengan pedagang atau tengkulak merupakan pola hubungan kerjasama
yang spesifik yang melibatkan material yang mereka lakukan menurut kebutuhan
(as needed basis).
Jaringan sosial yang spesifik dalam rangka pemasaran hasil panen dari
dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
masih sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan masa pemanenan hasil dukuh yang
terjadi hanya pada musim buah saja (tidak sepanjang tahun) sehingga upayaupaya untuk melakukan komunikasi dan membangun jaringan pemasarannya juga
hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Sebagian besar warga pada Komunitas
91
Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mengakui bahwa hanya
pada musim panen buah saja mereka melakukan komunikasi/negosiasi dan
membangun jaringan pemasaran dengan pihak-pihak lain, hal ini karena mereka
merasa hanya pada musim panen buah saja mereka punya kepentingan untuk
memasarkan hasil panen dukuh tersebut.
Kepadatan organisasi berdasarkan jumlah organisasi yang diikuti anggota
keluarga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih
berkisar antara 0 – 7 buah organisasi dalam satu keluarga. Adapun jumlah
organisasi/kelompok yang ada di Desa Mandiangin Barat sebanyak 9 organisasi
yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kelompok Tani (KT), Kelompok
Pengajian (Yasinan), Kelompok Pemuda (Karang Taruna), Kelompok Wanita
(arisan), Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Kesehatan (Posyandu), Kelompok
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Kelompok Pencinta Alam
(KPA). Sedangkan jumlah organisasi/kelompok yang ada di Desa Bi‟ih sebanyak
8 organisasi yaitu sebagaimana yang terdapat di Desa Mandiangin Barat namun
tanpa Kelompok Pencinta Alam (KPA). Di Desa Mandiangin Barat tersebut
terdapat Kelompok Pencinta Alam (KPA) karena wilayahnya sangat berdekatan
(berbatasan) dengan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam yang
juga merupakan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Unlam.
Tingkat kepadatan organisasi yang diikuti warga pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat tergolong kategori sedang dan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih
tergolong kategori rendah. Sebagian besar warga beserta anggota keluarganya
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat mengikuti 4-6 kelompok/organisasi
yang ada di desa mereka, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar
warga beserta anggota keluarganya hanya mengikuti 1-3 kelompok/organisasi
yang ada di desa mereka tersebut. Kelompok/organisasi yang paling banyak
diikuti oleh warga adalah Kelompok Pengajian (Yasinan), Kelompok PKK,
Kelompok Pemuda (Karang Taruna), dan Kelompok Arisan (Wanita).
Kelompok Pengajian (Yasinan) merupakan asosiasi yang paling banyak
diikuti oleh masyarakat baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun
pada Komunitas Dukuh Bi‟ih. Kondisi sosial budaya masyarakat yang tinggal di
daerah pedesaan dengan penerapan syariat islam, maka kebutuhan akan nilai-nilai
92
islam menjadi kewajiban setiap pemeluknya. Di samping pendidikan agama untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama islam kepada setiap pemeluknya,
kegiatan pengajian juga memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
pentingnya menjalin hubungan (interaction) dengan sesama warga. Nilai-nilai
spritual yang didapat masyarakat telah menanamkan nilai-nilai, sikap dan
keyakinan yang kuat sehingga menjadi motivasi bagi warga desa untuk berpikir,
bersikap dan berperilaku baik dalam kehidupan.
Agama juga memiliki kedudukan sentral dalam memperlemah atau
memperkuat dimensi modal sosial (Hasbullah 2006). Agama juga mengajarkan
masyarakat untuk menjunjung tinggi keadaban dan mengutamakan silaturrahmi
(interaction) antar individu, kelompok dan lingkungannya, serta mengajarkan
untuk selalu berbuat baik dan tidak berprasangka buruk kepada orang lain.
Dengan demikian jelas keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengajian akan
memberikan dampak terhadap peningkatan modal sosial kognitif (kepercayaan,
kerjasama, dan solidaritas), serta modal sosial struktural berupa jaringan. Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Fadli (2007) yang menyatakan bahwa
keterlibatan masyarakat dalam asosiasi keagamaan akan memberikan dampak
terhadap peningkatan modal sosial melalui jaringan (network) dan kepercayaan
(trust) sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat desa di Aceh untuk bangkit
dan membenahi diri mereka untuk membangun kembali pasca bencana tsunami.
Jaringan baik formal maupun informal sebagai pola pertukaran dan
interaksi sosial yang terus berkembang merupakan perwujudan penting dari modal
sosial. Uphoff (2000) menjelaskan bahwa, sebagai sebuah bentuk organisasi
sosial, jaringan mewakili kategori modal sosial struktural. Jaringan ini dapat
berkelanjutan lebih karena harapan akan timbal balik (resiprositas). Hal ini
menunjukkan bahwa ada dominasi kognitif yang penting dalam jaringan yang
didorong oleh proses mental dan bukan hanya dari apa yang dipertukarkan.
Kelompok/organisasi sebagai lembaga formal dalam pengelolaan dukuh
belum pernah dibentuk oleh warga baik pada pada Komunitas Dukuh Mandiangin
Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, padahal tanpa adanya kelembagaan
formal yang kuat dikhawatirkan sistem pengelolaan dukuh akan tereduksi oleh
intervensi ekonomi dari luar. Pada saat sekarang ini keberadaan dukuh memang
93
masih survive karena masyarakat sangat menyadari arti penting dukuh sebagai
investasi masa depan, tetapi ketika terjadi penambahan penduduk yang semakin
besar dimasa-masa yang akan datang maka tidak ada jaminan bahwa keberadaan
dukuh akan masih mampu bertahan seperti sekarang, tidak mustahil lambat laun
akan terjadi konversi lahan untuk pemukiman atau peruntukan lainnya. Dengan
adanya sebuah organisasi atau lembaga formal diharapkan akan mampu
memproteksi ancaman alih fungsi dukuh tersebut.
Adapun rekapitulasi hasil pengukuran tingkat modal sosial, baik modal
sosial kognitif maupun modal sosial struktural pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 25.
Tabel 25
No.
Tingkatan modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih
Unsur
Modal Sosial
1.
2.
3.
Modal Sosial Kognitif:
Kepercayaan
Kerjasama
Solidaritas
4.
5.
6.
Modal Sosial Struktural:
Aturan
Peranan
Jaringan
Modal Sosial
Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Total Nilai
Tingkat
Komunitas Dukuh
Bi‟ih
Total Nilai
Tingkat
588
167
256
1011
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
602
180
270
1052
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
261
184
473
918
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
286
263
444
993
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
1929
Tinggi
2045
Tinggi
Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa total nilai modal sosial kognitif
(kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas) yang dimiliki oleh warga pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih seluruhnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan total
nilai pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, namun demikian modal sosial
kognitif keduanya termasuk kategori “Tinggi”. Modal sosial kognitif yang tinggi
pada warga komunitas pengelola dukuh tersebut tentunya berasal dari proses
mental yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, norma-norma (norms), nilainilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) di antara mereka seperti
ketulusan, kejujuran, sikap empati, belas kasihan, kepedulian, tolong-menolong,
94
tanpa pamrih, kesetiakawanan, dan lain-lain sehingga semua itu mendukung
tindakan bersama yang saling menguntungkan dalam pengelolaan dukuh.
Berkurang modal sosial kognitif pada warga komunitas dukuh akan
mengakibatkan kurang produktif pula pengelolaan dukuh karena kurang
kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas yang ditunjukkan oleh anggota komunitas
pengelola dukuh tersebut. Oleh karena itu bentuk-bentuk modal sosial kognitif itu
perlu dipahami dan dipertahankan sebagai gagasan/pikiran yang mendorong dan
mendukung anggota komunitas baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih untuk melakukan tindakan kolektif yang
saling menguntungkan. Modal sosial kognitif (kepercayaan, kerjasama, dan
solidaritas) yang begitu kuat yang dimiliki oleh warga Komunitas Dukuh tersebut
menambah keyakinan kita bahwa mereka akan mampu menjaga dan memelihara
dukuh dengan baik.
Berdasarkan Tabel 25, secara jelas dapat dilihat bahwa unsur-unsur modal
sosial struktural pada kedua komunitas hampir semuanya menunjukkan nilai yang
sedang saja, namun demikian secara agregat modal sosial pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut sama-sama menunjukkan
nilai yang tinggi. Hal tersebut memperkuat penjelasan Uphoff (2000) bahwa,
kedua bentuk modal sosial (struktural dan kognitif) memiliki ketergantungan yang
sangat tinggi, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain. Keduanya
mempengaruhi perilaku hingga mekanisme terbentuknya harapan/ekspektasi
namun pada akhirnya semuanya adalah kembali kepada persoalan mental,
sehingga modal sosial kognitif lebih menentukan. Nilai-nilai bersama, normanorma, dan harapan adalah bagian dari pecahan parcel yang membentuk susunan
dari struktur sosial. Aturan, peranan, dan jaringan yang ada barangkali bersifat
objektif, namun aturan, peranan, dan jaringan itu pun keberhasilannya juga akan
tergantung pada efektivitas proses kognitif mereka.
Menyadari tingkat modal sosial struktural pada komunitas dukuh yang
hanya pada tingkat kategori “sedang”, maka sangat penting kiranya dilakukan
upaya-upaya untuk terus meningkatkan modal sosial struktural dalam pengelolaan
dukuh agar segala aturan, peranan, serta jaringan yang telah ada menjadi semakin
solid, mapan dan berkembang untuk selanjutnya mampu berperan lebih besar lagi
95
dalam memfasilitasi terciptanya tindakan kolektif yang saling menguntungkan
dengan jalan mengkoordinasikan berbagai usaha, menciptakan harapan, membuat
kemungkinan berhasil lebih besar, dan menyediakan jaminan tentang bagaimana
orang lain akan bertindak dan sebagainya dalam rangka pengelolaan dukuh yang
lebih efektif, efisien dan berkelanjutan. Uphoff (2000) menjelaskan bahwa
organisasi formal maupun informal dengan segala aturan, peranan, serta dengan
interaksi jaringan formal dan informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang
tersebar di dalam komunitas yang ada dapat memberikan energi dan memperkuat
modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat
memperoleh hasil dan manfaat darinya.
Pada Tabel 25, dapat dilihat pula bahwa seluruh unsur modal sosial
kognitif dan unsur modal sosial struktural pada Komunitas Dukuh Bi‟ih lebih
tinggi dibandingkan dengan Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, kecuali untuk
unsur “jaringan” pada modal sosial struktural. Terjadi hal demikian karena pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih nilai-nilai kearifan lokal lebih terjaga yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti tingkat homogenitas warga yang lebih tinggi, serta
jauh dari pengaruh-pengaruh luar (eksternal) karena keberadaan wilayahnya yang
jauh terpencil, sedangkan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat karakteristik
warganya lebih beragam serta wilayahnya yang lebih terbuka sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh berbagai faktor luar, meskipun demikian secara
keseluruhan tingkat modal sosial pada kedua komunitas tersebut sama-sama
termasuk kategori “Tinggi”.
5.2 Performansi Dukuh
Pengukuran performansi dukuh digunakan untuk menjelaskan implikasi
tingkat modal sosial terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dukuh pada “Dukuh
Mandiangin Barat” dan “Dukuh Biih”. Performansi dukuh dijelaskan berdasarkan
nilai kerapatan tumbuhan, produktivitas, keberlanjutan (sustainabilitas), keadilan
(ekuitabilitas), dan efisiensi dalam pengelolaan dukuh.
96
5.2.1 Kerapatan Tumbuhan
Kerapatan Tumbuhan diperoleh dari total penjumlahan seluruh nilai
kerapatan (individu/ha) yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Kerapatan
suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis
persatuan luas. Makin besar nilai kerapatan suatu jenis berarti makin banyak pula
individu jenis tersebut persatuan luas. Hal tersebut penting diketahui untuk
menduga kecukupan jumlah tumbuhan dalam menjaga heterogenitas dan
adaptabilitas vegetasi terhadap gangguan, perubahan-perubahan ataupun penyakit,
yakni berkisar 1.000 – 25.000 individu/ha dengan rata-rata kisaran 5.000
individu/ha yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon (Jacobs 1981).
Pada kedua dukuh, diketahui bahwa masing-masing memiliki kerapatan
tumbuhan yang baik, dimana pada dukuh Mandiangin Barat total kerapatan
tumbuhan dari tingkat semai hingga pohon adalah 3.720 individu perhektar, yang
terdiri dari tingkat semai 2.833 individu perhektar, tingkat pancang 613 individu
perhektar, tingkat tiang 190 individu perhektar, dan tingkat pohon dengan
kerapatan 84 individu perhektar. Sedangkan pada dukuh Bi‟ih total kerapatan
tumbuhan dari tingkat semai hingga pohon adalah 4.849 individu perhektar, yang
terdiri dari tingkat semai 3.750 individu perhektar, tingkat pancang 867 individu
perhektar, tingkat tiang 177 individu perhektar, dan tingkat pohon dengan
kerapatan 55 individu perhektar.
Pada dukuh Mandiangin Barat kerapatan tertinggi untuk tingkat semai
adalah Lada (Piper nigrum. L), untuk tingkat pancang adalah Cempedak
(Artocarpus integer Miq), untuk tingkat tiang adalah Durian (Durio zibethinus
Murr), sedangkan untuk tingkat pohon adalah Langsat (Lansium domesticum
Coor). Adapun pada dukuh Bi‟ih kerapatan tertinggi untuk tingkat semai adalah
Kopi gunung (Anacolosa Frutescens Blume), untuk tingkat pancang adalah
Cempedak (Artocarpus integer Miq), untuk tingkat tiang adalah Langsat (Lansium
domesticum Coor), sedangkan untuk tingkat pohon adalah Durian (Durio
zibethinus Murr). Secara terperinci komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari
tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh
Mandiangin Barat dan Dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27.
97
Tabel 26
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari tingkat semai, pancang,
tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh Mandiangin Barat
Jenis Tumbuhan
Langsat
Durian
Cempedak
Rambutan
Ramania
Kasturi
Rambai
Kelapa
Pisang
Sawo
Lada
Kerapatan tumbuhan
(jumlah individu/hektar)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
341
277
304
271
84
59
172
228
315
288
494
81
88
94
57
29
41
44
59
54
66
0
613
Jumlah
2.833
Tingkat Kerapatan
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012
55
63
38
11
5
10
8
0
0
0
0
190
28
25
14
10
2
5
0
0
0
0
0
84
Jumlah
505
453
450
349
120
115
224
287
369
354
494
3.720
Baik
Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa, pada Dukuh Mandiangin Barat
terdapat 11 jenis tumbuhan yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Jenis
langsat (Lansium domesticum Coor), durian (Durio zibethinus Murr), cempedak
(Artocarpus integer Miq), rambutan (Nephellium lappaceum), ramania (Bouea
macrophylla Griffith), dan kasturi (Mangifera delmiana) merupakan produk
utama dukuh yang memiliki nilai kerapatan paling tinggi dibanding dengan jenis
tumbuhan buah lainnya, di mana ke 6 jenis tumbuhan tersebut merupakan jenis
yang paling banyak tumbuh dari tingkat pancang, tiang, hingga pohon, sedangkan
pada tingkat semai, yang paling banyak tumbuh adalah lada (Piper nigrum L.).
98
Tabel 27
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari tingkat semai, pancang,
tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh Bi‟ih
Jenis Tumbuhan
Kerapatan tumbuhan
(jumlah individu/hektar)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
349
106
42
11
364
98
37
16
401
114
33
7
315
71
19
8
78
38
13
2
82
55
17
5
37
52
2
3
31
29
4
3
55
74
10
0
213
48
0
0
209
73
0
0
361
109
0
0
295
0
0
0
442
0
0
0
518
0
0
0
3.750
867
177
55
Langsat
Durian
Cempedak
Rambutan
Ramania
Petai
Kapul
Sukun
Kelapa
Jambu biji
Sawo
Pisang
Nenas
Lada
Kopi gunung
Jumlah
Tingkat Kerapatan
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012
Jumlah
508
515
555
413
131
159
94
67
139
261
282
470
295
442
518
4.849
Baik
Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa, pada Dukuh Bi‟ih terdapat 15 jenis
tumbuhan yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Jenis langsat (Lansium
domesticum Coor), durian (Durio zibethinus Murr), cempedak (Artocarpus integer
Miq), rambutan (Nephellium lappaceum), ramania (Bouea macrophylla Griffith),
petai (Parkia speciosa), kapul (Bacaorea sp), dan sukun (Artocarous oltilis
Fosberg) merupakan produk utama dukuh yang memiliki nilai kerapatan paling
tinggi dibanding dengan jenis tumbuhan buah lainnya, di mana ke 8 jenis
tumbuhan tersebut merupakan jenis yang paling banyak tumbuh dari tingkat
pancang, tiang, hingga pohon, sedangkan pada tingkat semai jenis yang paling
banyak tumbuh adalah jenis kopi gunung (Anacolosa Frutescens Blume).
99
5.2.2 Produktivitas
Produktivitas dukuh baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
maupun Komunitas Dukuh Bi‟ih secara umum termasuk kategori yang tinggi dan
menguntungkan.
Produktivitas dukuh permusim pada Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat bervariasi dari yang paling rendah yaitu Rp.6.333.333,perhektar hingga yang paling tinggi Rp.29.000.000,- perhektar. Sebagian besar
yaitu 90% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tergolong tingkat
produktivitas tinggi yaitu di atas Rp.10.000.000 perhektar, sebanyak 6,7% warga
tergolong tingkat produktivitas sedang, yaitu antara Rp.7.000.000,- s/d
Rp.10.000.000,- perhektar, dan produktivitas yang tergolong rendah hanya 3,3%
warga karena berada di bawah Rp.7.000.000,- perhektar.
Adapun pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih, produktivitas dukuh bervariasi dari yang paling rendah
Rp.10.000.000,- hingga yang tertinggi Rp.21.000.000,-. Sebagian besar (93,3%)
warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tergolong tingkat produktivitas tinggi yaitu di
atas Rp.10.000.000 perhektar, sebanyak 6,7% warga tergolong tingkat
produktivitas sedang, yaitu antara Rp.7.000.000,- s/d Rp.10.000.000,- perhektar,
dan tidak ada satu wargapun yang tingkat produktivitas dukuhnya tergolong
rendah. Secara rinci distribusi responden serta tingkat produktivitas dukuh pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28
No.
Distribusi responden menurut tingkat produktivitas dukuh
Tingkat Produktivitas Dukuh
Distribusi Responden
Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
(%)
(%)
1.
Rendah (< Rp. 7 juta / ha)
3,3
0,0
2.
Sedang (Rp. 7 – 10 juta / ha)
6,7
6,7
3.
Tinggi (> Rp. 10 juta / ha)
90,0
93,3
100
Dari Tabel 28 dapat diketahui bahwa mayoritas produktivitas pada kedua
dukuh adalah di atas Rp. 10 juta perhektar, dan berdasarkan penilaian total nilai
maka diketahui produktivitas dukuh pada Dukuh Mandiangin Barat dan pada
Dukuh Bi‟ih tersebut termasuk kategori “Tinggi”.
Upaya peningkatan produktivitas dukuh dilakukan melalui kegiatan
pemeliharaan pada tanaman-tanaman yang mulai berbunga agar hasil buahnya
dapat maksimal. Produktivitas dukuh juga diproteksi oleh masyarakat melalui
cara pemanenan buah, khususnya durian dan cempedak. Cara panen dengan tidak
memanjat ternyata mampu mempertahankan kualitas dan produktivitas pohonnya.
5.2.3 Keberlanjutan (Sustainabilitas)
Keberadaan dukuh yang telah lama berfungsi dalam menopang kehidupan
masyarakat yang mengelolanya baik secara sosial-ekonomi maupun secara
ekologis perlu dipertahankan keberlanjutannya. Wujud dari keinginan masyarakat
untuk menjaga keberlanjutan dukuh dapat terlihat dari penjelasan warga
komunitas yang tidak akan menjual dukuhnya kepada orang di luar dari desanya
jika pada suatu saat terpaksa harus menjual dukuhnya. Tapi rata-rata mereka
mengatakan tidak akan menjual dukuhnya karena ada rasa kebanggaan tersendiri
jika memiliki dukuh dan merasa ada yang kurang jika tidak memiliki dukuh.
Sistem penjualan dukuh dalam lingkungan masyarakat desa akan dapat mencegah
terjadinya alih fungsi lahan dukuh.
Upaya
yang
dilakukan
oleh
warga
komunitas
dukuh
untuk
mempertahankan dan meningkatkan keberlanjutan dukuhnya adalah dengan cara
melakukan upaya budi daya dukuh berupa kegiatan permudaan dan pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan dukuh dapat berlangsung pada dukuh tua dan dukuh muda
yang baru dibuat. Pada dukuh tua intensitas pemeliharaan dukuh akan mulai
dilakukan pada awal musim berbuah yaitu ketika tanaman buah mulai berbunga
sampai kegiatan panen selesai.
Kegiatan pemeliharaan berupa penyiangan
tanaman bawah, pada pohon durian dilakukan sebelum kegiatan panen dengan
tujuan untuk memudahkan pemungutan durian-durian yang jatuh, pada pohon
cempedak dilakukan justru setelah panen selesai dimana sisa-sisa penyiangan
tersebut dibiarkan membusuk di bawah tegakan cempedak, pada tanaman langsat
101
penyiangan tanaman bawah tidak terlalu perlu dilakukan dengan alasan untuk
menjaga kelembaban tanah. Bentuk pemeliharaan yang lain berupa pemberian
garam ke dalam parit di sekitar pohon durian setelah panen selesai dan
pengamanan bunga dan buah tanaman dukuh dari serangan binatang pengganggu.
Dalam satu tahun kegiatan pemeliharaan dukuh tua pada dukuh gunung
berlangsung satu sampai dua kali tapi pada dukuh rumah sebagian masyarakat
akan melakukan pemeliharaan rutin jika ada waktu senggang di luar pekerjaan
pokok. Kegiatan permudaan berlangsung pada dukuh tua melalui proses seleksi
anakan disertai dengan kegiatan pembuatan dukuh-dukuh baru di areal kebun
karet non-produktif dan di areal-areal kosong dengan permudaan buatan dari
jenis-jenis tanaman buah asli (indigenous). Pada pohon-pohon buah yang sudah
tua sebagian besar dibiarkan mati secara alami dan jarang dimanfaatkan kayunya
oleh masyarakat.
Kemudian setelah mengalami pelapukan yang cukup lama
masyarakat akan melakukan pengayaan di tempat tersebut dan masyarakat yakin
bahwa tanaman buah yang ditanam akan dapat tumbuh subur.
Pemeliharaan pada dukuh muda yang baru dibuat dilakukan dengan cara
penyiangan, pendangiran dan pemupukan seperlunya. Tujuan dari pendangiran
dan penyiangan adalah untuk menggemburkan tanah, merangsang pertumbuhan
tanaman dan memudahkan pemeliharaan. Sedangkan pemupukan bertujuan untuk
memelihara kesuburan tanah dan memberikan unsur hara ke dalam tanah baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Masyarakat biasanya lebih senang
menggunakan pupuk kandang atau kompos. Distribusi responden dalam upaya
mempertahankan keberlanjutan dukuh dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29
Distribusi responden menurut tingkat keberlanjutan dukuh
No.
Tingkat Intensitas
Pemeliharaan Dukuh
1.
Rendah (Tidak pernah dilakukan)
2.
3.
Distribusi Responden
Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
(%)
(%)
0,0
0,0
Sedang (Jarang dilakukan)
53,3
0,0
Tinggi (Sering dilakukan)
46,7
100,0
102
5.2.4 Keadilan (Ekuitabilitas)
Dukuh yang terdapat di desa Mandiangin Barat dimiliki oleh ±75%
masyarakatnya, sedangkan di desa Bi‟ih ±79% penduduknya merupakan
komunitas pemilik dukuh. Warga masyarakat yang tidak memiliki dukuh jika
musim buah tiba, juga akan turut menikmati manfaat dari keberadaan sumberdaya
alam berupa dukuh tersebut. Warga masyarakat yang memiliki dukuh akan
membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh mereka
kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai wujud solidaritas dan
rasa kekeluargaan serta tanggung jawab moril yang tinggi dari komunitas pemilik
dukuh tersebut, hal demikian rutin dilakukan pada setiap kali musim panen. Selain
itu warga masyarakat yang tidak memiliki dukuh jika bersedia juga akan
dilibatkan sebagai tenaga kerja, baik untuk kegiatan pemeliharaan (penyiangan,
pendangiran, dan pemupukan), maupun dalam kegiatan pemanenan (memetik dan
mengangkut buah), dan bahkan jika masyarakat yang tidak memiliki dukuh
tersebut memiliki modal yang cukup maka mereka akan dijadikan mitra sebagai
pedagang perantara (tengkulak), dan tentunya mereka akan memperoleh
keuntungan yang cukup besar sampai 40% dari keuntungan pemilik dukuh.
Sistem kelembagaan atau aturan main seperti ini sangat kondusif dimana
masyarakat yang tidak memiliki dukuh masih mendapat manfaat yang
proporsional dan berkeadilan. Jadi telah terjadi distribusi keuntungan dari 75%
dan 79% pemilik dukuh terhadap 25% dan 21% masyarakat yang tidak memiliki
dukuh.
Dengan tingginya perwujudan solidaritas dan rasa kekeluargaan serta
tanggung jawab moril dari komunitas pemilik dukuh kepada warga yang tidak
memiliki dukuh sebagaimana penjelasan di atas, paling tidak ada dua keuntungan
yang akan berdampak positif dengan realita seperti itu. Pertama, telah terjadi
pemerataan distribusi manfaat serta keuntungan profit hasil dukuh antara pemilik
dukuh dengan masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Kedua, karena adanya
distribusi manfaat serta keuntungan tersebut menyebabkan buah-buahan di dukuh
jauh dari gangguan pencurian atau pengrusakan karena antara pemilik dukuh dan
masyarakat yang tidak memiliki dukuh sama-sama merasa memiliki dukuh.
103
Distribusi responden dalam upaya mendistribusikan keadilan manfaat dukuh pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30
No.
Distribusi responden menurut tingkat keadilan dukuh
Pihak-Pihak yang Merasakan
Manfaat Dukuh
Distribusi Responden
Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
(%)
(%)
1.
Rendah (Hanya bermanfaat bagi
pemilik dukuh)
0,0
0,0
2.
Sedang (Hanya bermanfaat bagi
pemilik dukuh dan pembeli
buahnya)
10,0
0,0
3.
Tinggi (Bermanfaat bagi pemilik
dukuh, tenaga kerja, tengkulak,
pedagang, dan pembeli buahnya)
90,0
100,0
5.2.5 Efisiensi
Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemilik dukuh relatif sangat kecil,
yakni kurang dari 10% dari nilai produksi, di mana rata-rata biaya produksi dukuh
pada komunitas dukuh Mandiangin Barat hanya sebesar 7,60% yang berarti
bahwa nilai pendapatan bersih dari dukuh mencapai 92,40%, sedangkan pada
komunitas dukuh Bi‟ih biaya produksinya lebih kecil lagi yaitu hanya sebesar
7,04% atau dengan kata lain bahwa nilai pendapatan bersih dari dukuh mencapai
92,96%. Distribusi responden menurut tingkat efisiensi dukuh pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31
No.
Distribusi responden menurut tingkat efisiensi dukuh
Tingkat Efisiensi Dukuh
Distribusi Responden
Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat
Bi‟ih
(%)
(%)
1.
Rendah (Biaya produksi > 40%)
0,0
0,0
2.
Sedang (Biaya produksi 20-40%)
6,7
0,0
3.
Tinggi (Biaya produksi < 20%)
93,3
100,0
104
Tingkat efisiensi yang tinggi dalam pengelolaan dukuh tersebut
disebabkan oleh biaya in-put yang rendah dalam sistem pengelolaan produksi
(waktu, modal, tenaga kerja, keamanan), dan adanya aturan main yang berjalan
dengan baik, serta jelasnya komponen-komponen property right dalam
pengelolaan dukuh (hak kepemilikan, penguasaan dan pengelolaannya). Faktorfaktor tersebut akan dapat menjelaskan perbandingan antara out-put dan in-put.
Dari segi waktu, dapat dijelaskan bahwa dukuh yang terbentuk sekarang
merupakan dukuh warisan yang sudah lama berproduksi setiap tahun. Karena
dukuh merupakan areal produktif yang sudah terbentuk lama maka dukuh tidak
membutuhkan banyak pemeliharaan, terutama setelah pohon-pohon buahnya
tumbuh baik, sehingga biaya yang diperlukan juga sangat murah.
Adapun dari segi modal (pupuk dan bibit), diketahui bahwa mereka tidak
pernah melakukan kegiatan pemupukan dengan pupuk anorganik dengan alasan
bahwa pupuk anorganik akan menyebabkan terjadinya efek rapuh dahan pada
durian dan tanah tambah keras. Pendapat tersebut masih cukup relevan jika
dikaitkan dengan pernyataan Verheij dan Coronel (1997) yang menyatakan bahwa
kebanyakan petani buah di Indonesia dan di Malaysia memang tidak
menggunakan pupuk di dalam melakukan pemeliharaan pohon buah-buahan yang
mereka miliki karena penggunaan pupuk malah justru menghilangkan kesuburan
selama tanaman terlalu lemah untuk mengurangi pertumbuhan secara nyata. Jadi
input hara terhadap tanamannya berasal dari sisa penyiangan yang dibiarkan
membusuk menjadi kompos atau berasal dari serasah baik daun, ranting, cabang
dan kulit buah yang ada di lantai dukuh.
Input modal dalam bentuk bibit hanya mengandalkan pada proses alami.
Pada dukuh-dukuh tua regenerasi berlangsung secara alami dimana masyarakat
akan melakukan seleksi terhadap keberadaan semai yang tumbuh di lantai dukuh.
Jika tumbuhnya sesuai untuk bisa berkembang akan dipelihara tapi jika tidak
sesuai akan dipindahkan ke polybag atau dibuang. Pada dukuh buatan bibit anakan
berasal dari dukuh tua atau sengaja disemai dari biji /benih unggul.
Dari segi tenaga kerja, pengelolaan dukuh juga memiliki tingkat efisiensi
tinggi, karena sistem pengelolaan dukuh yang ada bersifat individual dimana
tenaga kerja pengelola dukuh pada umumnya berasal dari anggota keluarga
105
sendiri. In-put produksi yang paling intensif digunakan adalah tenaga kerja untuk
pemeliharaan dan pemanenan.
In-put produksi yang lain berupa keamanan sangat tidak berpengaruh
terhadap biaya produksi sehingga pengelolaan dukuh relatif sangat efisien.
Efisiensi dukuh juga tergambar dari ada dan dihormatinya berbagai aturan main
tentang interdependencies antara pihak terkait ataupun keterkaitan pihak-pihak
tersebut dengan sumberdaya alam yang dikelolanya dengan batas-batas
kewenangan (jurisdictional boundaries) yang jelas.
Selain itu gambaran efisiensi pada dukuh dapat terlihat dari jelasnya hakhak kepemilikan, penguasaan, pengelolaan atau terdefinisinya dengan baik
komponen-komponen property right.
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan
Tietenberg (1992) dalam Suharjito et al. (2000) bahwa pengelolaan suatu
sumberdaya berada pada tingkat yang paling efisien dan karenanya sustainable,
apabila struktur property rightnya terdefinisi dengan baik. Adapun tingkat
kategori performansi dukuh serta Perbandingan tingkat kategori modal sosial
dengan performansi dukuh sebagaimana Tabel 32.
Tabel 32
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Tingkatan kategori performansi dukuh dan modal sosial pada Dukuh
Mandiangin Barat dan Dukuh Bi‟ih
Unsur
Performansi Dukuh
Kerapatan
Produktivitas
Keberlanjutan
Keadilan
Efisiensi
Tingkat Performansi Dukuh
Tingkat Modal Sosial
Dukuh
Mandiangin Barat
Nilai
Kategori
Baik
Dukuh
Bi‟ih
Nilai
Kategori
60
86
74
87
88
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
60
88
90
90
90
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Baik
395
1929
Baik
Tinggi
418
2045
Baik
Tinggi
5.3 Hubungan Modal Sosial dengan Performansi Dukuh
Modal sosial yang tinggi pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih telah memfasilitasi terbentuknya performansi dukuh yang
baik, dicirikan oleh tingkat kerapatan tumbuhan yang baik, nilai produktivitas
yang tinggi, penggunaan sumberdaya yang efisien, pemanfaatan sumberdaya yang
adil, serta berlangsungnya pengelolaan dukuh secara berkelanjutan.
106
5.3.1 Hubungan Modal Sosial Kognitif dengan Performansi Dukuh
Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh modal sosial kognitif terhadap
performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas
Dukuh Bi‟ih, digunakan uji korelasi peringkat spearman dengan hasil
sebagaimana tabel 33 dan 34.
Tabel 33
Hubungan antara modal sosial kognitif dengan performansi dukuh
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
Korelasi
Performansi Dukuh
MS
Kognitif
0.748**
Kepercayaan
Kerjasama
Solidaritas
0.537**
0.666**
0.784**
Kerapatan Tumbuhan
0.533*
0.619*
0.520**
0.273
Produktivitas
0.682**
0.554**
0.618**
0.424
Keberlanjutan
0.770**
0.604**
0.688**
0.512**
Keadilan
0.690**
0.715**
0.611**
0.799**
Efisiensi
0.639**
0.612*
0.856**
0.382
Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05
** korelasi nyata pada taraf 0,01.
Pada Tabel 33 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat dipengaruhi oleh modal sosial kognitif. Seluruh unsur
modal sosial kognitif pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut
berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur-unsur modal sosial
kognitif tersebut yaitu kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas semuanya
berkorelasi positif terhadap performansi dukuh. Hal tersebut menunjukkan kepada
kita bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas pada
warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maka semakin baik pula performansi
dukuh yang ada pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut.
Berdasarkan Tabel 33, dapat pula diketahui bahwa kerapatan tumbuhan,
produktivitas, dan efisiensi pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat memiliki
hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan dan kerjasama, hal ini
sebagaimana kita ketahui bahwa kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap
manfaat dukuh tersebut sangat tinggi, begitu pula tingkat kerjasama warga
komunitas cukup tinggi dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan,
107
pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh) sehingga kerapatan
tumbuhan tetap terpelihara dengan baik dan menghasilkan nilai produktivitas
yang tinggi dengan biaya-biaya produksi yang sangat kecil sebagai dampak dari
kerjasama yang baik tersebut. Adapun keberlanjutan dan keadilan memiliki
hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan, kerjasama, dan
solidaritas, hal ini karena kepercayaan warga terhadap manfaat dukuh yang tinggi
yang didukung oleh kerjasama yang baik serta solidaritas yang tinggi, sehingga
upaya-upaya pemeliharaan yang dilakukan juga lebih baik, dan pendistribusian
manfaat dukuh juga dapat dirasakan oleh lebih banyak pihak sebagai dampak dari
solidaritas yang tinggi.
Tabel 34
Hubungan antara modal sosial kognitif dengan performansi dukuh
pada Komunitas Dukuh Bi‟ih
Performansi Dukuh
MS
Kognitif
0.752**
Kerapatan Tumbuhan
0.602**
0.681**
0.633**
0.276
Produktivitas
0.558**
0.615*
0.684**
0.504**
Keberlanjutan
0.714**
0.605**
0.737**
0.723**
Keadilan
0.687**
0.588**
0.625**
0.744**
Efisiensi
0.598**
0.672**
0.749**
0.287
Korelasi
Kepercayaan
Kerjasama
Solidaritas
0.592**
0.721**
0.810**
Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05
** korelasi nyata pada taraf 0,01.
Pada Tabel 34 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas
Dukuh Bi‟ih dipengaruhi oleh modal sosial kognitif. Seluruh unsur modal sosial
kognitif tersebut berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur-unsur
modal sosial kognitif tersebut yaitu kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas
semuanya berkorelasi positif terhadap performansi dukuh. Hal tersebut
menunjukkan arti bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan, kerjasama, dan
solidaritas pada Komunitas Dukuh Bi‟ih maka semakin baik pula performansi
dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut.
Berdasarkan Tabel 34, diketahui pula bahwa kerapatan tumbuhan dan
efisiensi pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang signifikan dan
positif dengan kepercayaan dan kerjasama, hal ini karena kepercayaan masyarakat
108
terhadap manfaat dukuh tersebut sangat tinggi, begitu pula tingkat kerjasama
warga komunitas cukup tinggi dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan,
pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh) sehingga biaya-biaya
produksi yang dikeluarkan menjadi sangat kecil sebagai dampak dari kerjasama
yang baik tersebut. Adapun produktivitas, keberlanjutan dan keadilan memiliki
hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan, kerjasama, dan
solidaritas, hal ini karena kepercayaan warga terhadap manfaat dukuh yang tinggi
yang didukung oleh kerjasama yang baik serta solidaritas yang tinggi, sehingga
nilai produksi yang dihasilkan menjadi tinggi karena dukuh yang terjaga dan aman
dari segala gangguan binatang atau pencurian, selain itu upaya-upaya
pemeliharaan yang dilakukan juga lebih baik, dan pendistribusian manfaat dukuh
juga dapat dirasakan oleh banyak pihak sebagai dampak dari solidaritas yang
tinggi tersebut.
Tabel 33 dan 34 menunjukkan bahwa tingkat modal sosial kognitif berupa
kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas yang dimiliki oleh warga baik pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih
mampu mendukung terwujudnya performansi dukuh yang baik. Jika modal sosial
kognitif tersebut berkurang tentu akan mengakibatkan kurang produktif pula
pengelolaan dukuh, oleh karena itu bentuk-bentuk modal sosial kognitif ini perlu
dipertahankan sebagai gagasan/pikiran yang mendorong dan mendukung anggota
komunitas untuk melakukan tindakan kolektif yang saling menguntungkan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa modal sosial kognitif pada komunitas dukuh
tersebut bersumber dari norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap
(attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang melekat pada warganya dan
terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perlu upaya-upaya untuk
mengantisipasi berbagai faktor yang dapat meluruhkannya, terus menggali
keseluruhan sistem kehutanan masyarakat yang ada, menghindari segala bentuk
intervensi dalam hal-hal teknis yang menjadi domain dari masyarakat itu sendiri,
serta selalu berupaya melakukan penguatan terhadap norma-norma (norms), nilainilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang berlaku.
109
5.3.2 Hubungan Modal Sosial Struktural dengan Performansi Dukuh
Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh modal sosial struktural
terhadap performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan
Komunitas Dukuh Bi‟ih, dapat dilihat pada tabel 35 dan 36.
Tabel 35 Hubungan antara modal sosial struktural dengan performansi dukuh
pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
Korelasi
Performansi Dukuh
Kerapatan Tumbuhan
MS
Struktural
0.501*
0.205
Aturan
Peranan
Jaringan
0.331
0.138
0.102
0.214
0.535*
0.151
Produktivitas
0.112
0.320
0.335
0.204
Keberlanjutan
0.693*
0.574*
0.423
0.589*
Keadilan
0.525*
0.265
0.186
0.617**
Efisiensi
0.533*
0.315
0.227
0.551*
Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05
** korelasi nyata pada taraf 0,01.
Pada Tabel 35 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat juga dipengaruhi oleh modal sosial struktural. Unsur
modal sosial struktural yang berpengaruh nyata tersebut adalah jaringan,
sedangkan aturan dan peranan tidak berpengaruh nyata terhadap performansi
dukuh. Unsur modal sosial struktural berupa jaringan tersebut berkorelasi positif
terhadap performansi dukuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat modal sosial struktural berupa jaringan pada warga Komunitas Dukuh
Mandiangin Barat maka semakin baik pula performansi dukuh pada Komunitas
Dukuh Mandiangin Barat tersebut.
Berdasarkan Tabel 35, dapat diketahui pula bahwa keberlanjutan pada
Dukuh Mandiangin Barat memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan
aturan dan jaringan, hal ini karena norma-norma yang ada masih tetap
dipertahankan oleh warga komunitas, selain itu hubungan-hubungan sosial yang
terbangun
dalam
berbagai
jaringan
cukup
mempengaruhi
upaya-upaya
pemeliharaan dalam rangka mempertahankan keberadaan dukuh tersebut.
Sedangkan keadilan dan efisiensi memiliki hubungan yang signifikan dan positif
110
dengan jaringan, hal ini karena semakin luas hubungan-hubungan sosial yang
terjalin akan sangat mempengaruhi penyebaran manfaat dari dukuh tersebut
kepada berbagai pihak yang dapat merasakannya, selain itu dengan semakin baik
hubungan sosial maka proses-proses produksi yang berlangsung akan semakin
efektif dan efisien.
Tabel 36
Hubungan antara modal sosial struktural dengan performansi dukuh
pada Komunitas Dukuh Bi‟ih
MS
Struktural
0.553**
Aturan
Peranan
Jaringan
0.514**
0.593**
0.168
Kerapatan Tumbuhan
0.118
0.738*
0.354
0.227
Produktivitas
0.389
0.620**
0.277
0.193
Keberlanjutan
0.588**
0.674**
0.612**
0.114
Keadilan
0.662**
0.665**
0.520*
0.628*
Efisiensi
0.557**
0.593**
0.323
0.273
Korelasi
Performansi Dukuh
Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05
** korelasi nyata pada taraf 0,01.
Pada Tabel 36 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas
Dukuh Bi‟ih juga dipengaruhi oleh modal sosial struktural. Unsur-unsur modal
sosial struktural yang berpengaruh nyata tersebut yaitu aturan dan peranan,
sedangkan jaringan tidak berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur
modal sosial struktural berupa aturan dan peranan tersebut berkorelasi positif
terhadap performansi dukuh Hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa
semakin baik tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas terhadap aturan
dalam pengelolaan dukuh yang ada, maka semakin mendukung mobilisasi dan
resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh. Demikian pula halnya dengan peranan,
dimana peranan para tokoh formal maupun informal dalam pengelolaan dukuh
sangat penting untuk memfasilitasi komunikasi antar individu dalam kegiatankegiatan pengelolaan dukuh, termasuk juga menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul diantara anggota komunitas, bahkan sangat diperlukan untuk mendapatkan
dan mempertahankan kebersamaan antar individu guna mengantisipasi hal-hal
yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh individu yang hanya mencari
keuntungan/manfaat untuk kesejahteraan dirinya sendiri dan merugikan
111
kepentingan komunitas dalam menjaga dan melestarikan dukuh. Adapun jaringan
tidak berpengaruh nyata karena hubungan sosial yang spesifik dalam pengelolaan
dukuh yang mereka lakukan masih sangat terbatas dan lebih berbasis pada
kekeluargaan.
Berdasarkan Tabel 36, dapat pula diketahui bahwa kerapatan tumbuhan,
produktivitas, dan efisiensi pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang
signifikan dan positif dengan aturan, hal ini karena pada warga Komunitas Dukuh
Bi‟ih tersebut masih memegang teguh aturan berupa norma-norma yang ada
seperti tidak merusak atau menjual dukuh, kemudian tidak memanen buah durian
dengan memetiknya, dll sehingga keberadaan dukuh mereka tetap bertahan dan
produktivitasnya
juga tetap terjaga dengan baik, serta biaya produksi juga
menjadi sangat kecil. Keberlanjutan memiliki hubungan yang signifikan dan
positif dengan aturan dan peranan, karena sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
warga Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut masih memegang teguh aturan berupa
norma-norma yang ada, selain itu peranan tokoh-tokoh seperti tokoh adat, tokoh
agama, dan kepala desa (pembakal) yang cukup tinggi dalam mendukung
pengelolaan dukuh sehingga sangat berpengaruh terhadap keberadaan dukuh
tersebut. Adapun keadilan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang
signifikan dan positif dengan seluruh unsur modal sosial struktural yaitu aturan,
peranan, dan jaringan, hal ini karena norma-norma berupa kearifan-kearifan lokal
seperti pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga
kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh dan kebiasaan membagikan secara
cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada tetangga yang tidak
memiliki dukuh, masih dipertahankan dan berjalan dengan baik, hal ini juga tidak
terlepas dari peran berbagai tokoh dalam turut mendukung pengelolaan dukuh
tersebut selain itu dengan adanya ikatan dan hubungan sosial yang terjalin dengan
baik di antara sesama warga turut mendukung terjadinya distribusi manfaat dukuh
kepada berbagai pihak yang ikut merasakannya.
Download