47 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Modal Sosial Dalam Pengelolaan Dukuh Modal sosial dalam pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu modal sosial kognitif dan modal sosial struktural. Modal sosial kognitif yang dikaji meliputi kepercayaan (trust), kerjasama (cooperation), dan solidaritas (solidarity). Modal sosial struktural yang dikaji meliputi aturan (rules), peranan (roles), dan jejaring (networks). 5.1.1 Modal Sosial Kognitif Modal sosial kognitif warga dalam pengelolaan dukuh datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi warga komunitas dukuh. Kepercayaan (trust), kerjasama (cooperation), dan solidaritas (solidarity) warga komunitas dukuh didasari oleh norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang diorientasikan dalam bentuk tindakan (action) sehingga memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung tindakan kolektif yang saling menguntungkan dalam pengelolaan dukuh. 5.1.1.1 Kepercayaan (trust) Untuk mengetahui tingkat kepercayaan warga komunitas pengelola dukuh, ada tiga aspek yang ditinjau. Pertama, tingkat kepercayaan warga terhadap pengetahuan warga yang lain tentang adanya manfaat dukuh. Kedua, tingkat kepercayaan warga terhadap pengetahuan warga yang lain tentang fungsi aturanaturan yang ada dalam mendukung pengelolaan dukuh secara lestari. Ketiga, tingkat kepercayaan warga terhadap kemampuan kerjasama dan hubungan sosial seluruh warga untuk mengelola dan melestarikan dukuh. 48 Secara ringkas distribusi responden menurut tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan warga tentang manfaat dukuh, fungsi aturan, kepatuhan dan kemampuan orang lain, kemampuan kerjasama, fungsi hubungan sosial, serta kesediaan untuk menguatkan hubungan sosial disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Distribusi responden menurut tingkat kepercayaan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tingkat Kepercayaan Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Kepercayaan Mandiangin Barat Bi‟ih Responden Terhadap Tidak RaguTidak RaguPercaya Percaya Percaya Ragu Percaya Ragu (%) (%) (%) (%) (%) (%) Pengetahuan warga 0 0 100 0 0 100 akan manfaat dukuh Pengetahuan warga 6,7 73,3 20,0 3,3 70 26,7 akan fungsi aturan formal Pengetahuan warga 0 13,3 86,7 0 3,3 96,7 akan fungsi aturan adat Kemampuan warga 0 13,3 86,7 0 6,7 93,3 melestarikan dukuh Kemampuan 0 13,3 86,7 0 3,3 96,7 kerjasama warga Pengetahuan warga 0 0 100 0 0 100 akan fungsi hubungan sosial Kesediaan warga 0 13,3 86,7 0 3,3 96,7 untuk menguatkan hubungan sosial Warga komunitas dukuh, baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki pengetahuan tentang manfaat dukuh dan seluruh warga percaya bahwa warga yang lain juga mengetahui dukuh memberikan manfaat yang besar kepada warga masyarakat. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa seluruh warga percaya tentang pengetahuan warga yang lain akan manfaat dukuh bagi kehidupan mereka, apabila dukuh tidak ada maka keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan dan keyakinan tersebut didasarkan serta dikuatkan oleh pengalaman hidup mereka yang selama ini sudah merasakan manfaat dari keberadaan dukuh. Manfaat yang dirasakan oleh warga terhadap keberadaan dukuh tersebut mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Secara ekologi, keberadaan dukuh sangat berperan terhadap kelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan, seperti pencegahan banjir, erosi, longsor, 49 dan kekeringan, serta mencegah dari berbagai bencana alam lainnya. Secara ekonomi, masyarakat telah merasakan manfaat yang cukup besar dari hasil panen dukuh yang mampu memberikan kontribusi 20-30% terhadap pendapatan total rumah tangga mereka. Adapun secara sosial budaya, keberadaan dukuh dirasakan oleh masyarakat dapat mempererat kerjasama, solidaritas, kekeluargaan dan hubungan persaudaraan sesama komunitas dukuh maupun dengan warga masyarakat yang bukan komunitas dukuh. Warga juga percaya bahwa aturan-aturan yang ada, terutama yang tidak tertulis dapat berfungsi untuk menjaga kelestarian dukuh, namun tingkat kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis dan formal (peraturan perundang-undangan) baik UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Rakyat atau tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), maupun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Hutan Rakyat, hanya sebagian kecil warga yang percaya bahwa warga tahu dan memahami aturanaturan tertulis yang ada efektif dapat menjaga kelestarian dukuh, sebagian besar warga ragu-ragu. Sedangkan terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai yang tidak tertulis (norma-norma) sebagian besar warga pada kedua komunitas Dukuh percaya bahwa warga tahu dan memahami aturan tersebut dan dapat efektif berfungsi untuk mengelola dukuh secara lestari. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengetahuan warga tentang fungsi aturan tidak tertulis (norma-norma) untuk mengelola dukuh secara lestari lebih tinggi daripada kepercayaan terhadap pengetahuan warga tentang aturan tertulis dan formal (peraturan perundang-undangan). Hal ini karena aturan tidak tertulis sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat. Sedangkan aturan tertulis dan formal disusun oleh pemerintah dan belum terinternalisasi sebagai norma-norma yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya, bahkan belum terbukti dapat berfungsi untuk mengelola dan melestarikan dukuh dengan baik. Aturan tidak tertulis (normanorma) yang berlaku pada Komunitas Dukuh tersebut adalah berupa cara (usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) yang merupakan kearifan lokal yang sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat. 50 Norma-norma (norms) berupa aturan-aturan adat yang merupakan kearifan lokal dan berlaku dalam pengelolaan dukuh diantaranya adalah sebagai berikut: - Tanaman Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval) adalah tanda batas hak kepemilikan lahan (dukuh); - Pewarisan lahan (dukuh) dilakukan dengan cara islah atau faraid; - Tidak boleh menjual dukuh warisan; - Di dalam dukuh dibuat lampau (pondok kecil untuk tempat beristirahat saat pemeliharaan atau kegiatan pengawasan tanaman); - Tidak boleh menggunakan pupuk anorganik untuk pemeliharaan tanaman di dalam dukuh; - Membungkus buah cempedak yang masih muda dengan plastik; - Menabur garam di sekeliling pohon durian setelah musim panen selesai; - Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman (penyiangan, pendangiran & pemupukan); - Memetik buah langsat dengan galah (alat pemetik buah terbuat dari kayu/bambu); - Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai (tangga dari bambu); - Memanen buah durian tidak boleh memetiknya langsung dari pohon tetapi harus menunggu buahnya jatuh; - Pengangkutan buah dari dukuh ke rumah dengan menggunakan ladung; - Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan (pemetikan dan pengangkutan buah); - Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai pembeli perantara (tengkulak) dalam pemasaran hasil dukuh. Norma-norma (norms) yang berlaku tersebut merupakan aturan-aturan adat berupa cara (usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) dalam pengelolaan dukuh, sejak pengelolaan lahan, budidaya/pemeliharaan, pemanenan, hingga pemasaran hasil dukuh. Aturan-aturan adat (norma-norma) tersebut meskipun tidak tertulis tetapi telah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat sebagai norma-norma yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya hingga sekarang. 51 Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut, sehingga penting pula untuk meninjau tingkat kepercayaan warga terhadap kepatuhan warga lain dalam melaksanakan aturan. Pada warga komunitas dukuh, sebagian besar warga percaya bahwa anggota komunitas yang lain dapat mematuhi aturan dan mampu menjaga kelestarian dukuh dan hanya sebagian kecil yang ragu-ragu. Tingkat kepercayaan warga bahwa anggota komunitas yang lain dapat mematuhi aturan dan mampu menjaga kelestarian dukuh diperkuat oleh tingkat kepercayaannya bahwa warga komunitas dapat bekerjasama dalam menjaga kelestarian dukuh. Hampir seluruh warga pada komunitas dukuh percaya bahwa warga komunitas dapat bekerjasama dalam pengelolaan dukuh. Warga juga percaya bahwa hubungan sosial yang terjalin dapat memudahkan pekerjaan. Sebagian besar warga percaya bahwa warga komunitas bersedia untuk menguatkan hubungan sosial yang terbangun dalam komunitas, hanya sebagian kecil yang masih raguragu. Meskipun tingkat kepercayaan responden pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat bahwa anggota masyarakat yang lain dapat mematuhi aturan dan mampu menjaga kelestarian dukuh lebih rendah dari pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, tetapi pada kedua komunitas tersebut relatif sama dalam hal tingkat kepercayaan responden terhadap kerjasama, fungsi hubungan sosial, dan kesediaan menguatkan hubungan sosial. Adapun warga yang masih ragu-ragu terhadap kemauan dan kemampuan warga lain dalam menjaga kelestarian dukuh, adalah karena belum terlalu mengenal dengan baik pada warga lain tersebut. Tingkat kepercayaan (trust) antar sesama warga komunitas dukuh tergolong tinggi, hal ini karena dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang bersumber dari nilai-nilai ajaran islam yang mereka anut yang melekat kuat dan sudah berlaku secara turun temurun serta terinternalisasi dalam masyarakat sebagai norma-norma yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya. Selain itu, adanya hubungan famili berupa ikatan darah (seketurunan) pada sebagian besar warganya dan mereka saling mengenal serta berhubungan dengan baik satu sama lain, semakin memperkuat ikatan kekeluargaan di antara mereka sehingga menjadi faktor pendukung tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi di antara warga. 52 Nilai-nilai (values) yang melekat pada warga Komunitas Dukuh yang mendukung terciptanya tingkat kepercayaan yang tinggi antar sesama warga pada dasarnya bersumber dari ajaran islam yang dianut oleh para warganya. Nilai-nilai (values) yang melekat kuat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. a) Berprasangka baik dan tidak berprasangka buruk kepada orang lain; Nilai-nilai ajaran islam sebagai agama yang dianut oleh seluruh warga masyarakat sangat mempengaruhi seluruh sendi kehidupan warga masyarakat pada komunitas dukuh selama ini. Nilai-nilai luhur berupa prasangka baik terhadap orang lain telah menjiwai para warganya dan masih tertanam di dalam jiwa dan pikiran mereka hingga sekarang. Warga masyarakat memegang teguh sifat prasangka baik tersebut kepada warga masyarakat lainnya karena sesuai dengan perintah dalam ajaran agama islam yang mereka yakini bahwa berprasangka buruk terhadap orang lain adalah perbuatan yang tidak baik, membuat hati gelisah dan bahkan mendapat dosa. Dalam kegiatan pengelolaan dukuh selama ini warga saling berprasangka baik tanpa adanya prasangka buruk atau kekhawatiran terhadap adanya orang atau warga lain yang akan mencuri, merusak atau mengganggu dukuh hak miliknya. b) Berbuat jujur dan saling percaya kepada sesama manusia; Warga komunitas dukuh hingga sekarang masih memegang teguh nilainilai kejujuran dan saling percaya antar sesama warga. Nilai-nilai yang bersumber dari ajaran islam tersebut diajarkan oleh nenek moyang mereka hingga generasi yang paling muda sekarang. Setiap warga dalam berbicara, bersikap & bertindak dilandasi oleh sikap yang jujur karena mereka yakin berbohong adalah perbuatan dosa yang dilarang dalam agama. Setiap warga juga saling percaya atas apa yang disampaikan oleh warga yang lain, karena rasa curiga atau tidak percaya terhadap orang lain menurut warga merupakan perbuatan yang kurang baik yang juga dilarang dalam ajaran agama. Dalam kegiatan pengelolaan dukuh warga juga selalu mempraktikan nilai-nilai kejujuran dan saling percaya di antara sesama mereka, seperti saling mengamankan dan memberitahukan adanya buah durian warga lain yang jatuh ke lantai dukuh mereka, bahkan dengan rela dan senang hati menyerahkan buah tersebut kepada sang pemiliknya. 53 c) Saling menghormati, menghargai dan menyayangi antar sesama; Pada warga komunitas dukuh telah tertanam nilai-nilai kehidupan berupa saling menghormati antar sesama warga. Dalam kehidupan sehari-hari nampak terlihat setiap orang muda sangat menghormati orang yang lebih tua, yang tua menyayangi orang yang lebih muda, sedangkan yang sebaya saling menghargai di antara mereka. Nilai-nilai saling menghormati tersebut jika tidak dilaksanakan oleh warga maka akan mendapat cela, bahkan orang muda yang tidak menghormati orang yang lebih tua diyakini oleh warga akan mendapat kualat (kutukan) didalam hidupnya. Dalam pengelolaan dukuh nampak warga sangat memegang teguh nilai-nilai ini di antaranya terlihat keberadaan tetuha (tokoh adat) dan penghulu (tokoh agama) yang sangat dihormati dan disegani oleh warga dalam setiap sikap dan tindakannya. Apapun pendapat atau nasehat yang disampaikan oleh tetuha dan penghulu dalam setiap permasalahan pengelolaan dukuh maka warga komunitas sangat menghormatinya dan antar sesama warga juga saling menghargai dan menerimanya, seperti permasalahan tentang letak batas hak kepemilikan lahan (dukuh), permasalahan hak warisan, dan lain-lain. d) Menjaga hubungan baik & mempererat silaturrahmi antar warga; Nilai-nilai lain yang masih berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa kewajiban untuk menjaga hubungan baik dan mempererat tali silaturrahmi di antara mereka. Warga ditanamkan nilai-nilai untuk selalu berbuat baik diantara sesama agar hubungan kekeluargaan di antara mereka terjalin semakin kuat. Hubungan baik dan kekeluargaan yang terjalin erat diyakini oleh warga akan membawa keberkahan di dalam hidup mereka. Hingga sekarang warga komunitas dukuh selalu menjalin hubungan baik, saling silaturrahmi, saling membantu, tolong-menolong, bahkan saling mengunjungi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan pengelolaan dukuh, warga komunitas juga selalu menjaga hubungan baik seperti saling mendukung dalam kegiatan pemeliharaan dan pengamanan tanaman, pemanenan dan pengangkutan buah, bahkan saling koordinasi dalam pemasaran hasil buah kepada siapa dan berapa harganya. Semua itu mereka lakukan tidak terlepas dari i‟tikad dari warga komunitas untuk menjaga hubungan baik dan mempererat silaturrahmi di antara mereka. 54 e) Menjaga dan memelihara lingkungan beserta alam sekitarnya; Warga komunitas dukuh juga memiliki nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala yaitu bahwa memelihara lingkungan dan alam sekitarnya seperti hutan, dukuh, kebun, ladang, dan sawah merupakan pekerjaan mulia dan kewajiban seluruh warga. Warga percaya bahwa alam dan lingkungannya tersebut diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mereka jaga, pelihara, dan kelola dengan baik. Warga juga meyakini bahwa jika alam dan lingkungan mereka tersebut dikelola dengan baik maka mereka akan banyak mendapat rejeki dan hidup sejahtera, tetapi sebaliknya jika tidak dijaga dan dipelihara dengan baik maka akan menimbulkan bencana dan membawa sengsara bagi mereka. Nilai-nilai yang tertanam dan melekat kuat tersebut merupakan salah satu faktor pendorong sehingga warga komunitas dukuh tetap menjaga, memelihara, dan mengelola dengan baik keberadaan dukuh yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa agar tetap lestari dan tetap dapat dinikmati oleh anak cucu mereka kelak. Nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian warga komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan (beliefs) yang melekat pada warganya. Keyakinan (beliefs) yang juga bersumber dari ajaran agama islam telah mengakar kuat pada warga sehingga semakin mendukung dan memperkuat nilai-nilai yang melekat pada warga komunitas dukuh selama ini. Keyakinan (beliefs) yang telah mengakar kuat pada warga komunitas dukuh tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. a) Setiap perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; Bersumber dari ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh warga, mereka meyakini bahwa setiap perbuatan apapun yang mereka lakukan selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Masyarakat meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT adalah Maha Mengetahui dan Maha Melihat, di mana tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang tersembunyi atau tidak 55 diketahui olehNya. Atas dasar keyakinan tersebut warga komunitas dukuh tidak berani melakukan hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama, seperti mencuri, berbohong, dan perbuatan terlarang lainnya, baik dalam aktivitas kehidupan sehari-hari maupun khusus dalam kegiatan pengelolaan dukuh. b) Setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu pula sebaliknya; Warga komunitas dukuh juga meyakini bahwa setiap kebaikan yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas pasti akan mendatangkan kebaikan pula dan begitu pula sebaliknya setiap keburukan yang dilakukan akan mendatangkan keburukan pula bagi pelakunya pada masa yang akan datang. Resiprositas (pembalasan) kebaikan dan keburukan tersebut diyakini warga berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bisa melalui orang yang telah kita beri kebaikan/keburukan pada waktu yang lalu maupun melalui orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Dalam hal keberadaan dukuh, warga yakin jika mereka turut menjaga dan tidak merusak atau mengganggu dukuh milik orang lain, maka dukuh mereka juga tidak akan diganggu atau dirusak oleh orang lain. Atas dasar keyakinan tersebut warga berusaha untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari perbuatan buruk dalam kehidupan mereka sehari-hari dan dalam menjaga dukuh mereka tentunya. c) Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan diganjar pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; Keyakinan mendasar yang juga melekat kuat pada warga komunitas dukuh adalah bahwa setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan diganjar pahala dan setiap perbuatan buruk akan diganjar dosa oleh Allah SWT. Warga yakin bahwa pahala dan dosa akan ditimbang di akherat kelak, di mana yang lebih berat timbangan pahalanya akan masuk sorga, sedangkan yang lebih berat timbangan dosanya akan masuk neraka. Ajaran agama islam yang mereka yakini tersebut telah mereka pegang kuat sebagai pedoman hidup sejak dahulu hingga sekarang. Terkait dengan keberadaan dukuh orang lain maka warga yakin akan mendapat pahala jika tidak mengganggu dan merusaknya, serta turut menjaga dan mengamankannya. 56 d) Setiap kejadian adalah taqdir (ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa; Warga komunitas dukuh memegang teguh keyakinan bahwa setiap kejadian apapun merupakan taqdir (ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Warga meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa sehingga kehidupan di dunia ini hanya menjalani taqdirnya saja, meskipun demikian manusia tetap wajib menjalankan usaha dan ikhtiar sesuai dengan ajaran agama. Atas dasar keyakinan tersebut warga komunitas dukuh tidak terlalu berambisi dalam menjalani kehidupan di dunia ini, warga merasa cukup dengan apa yang ada dan sudah berbahagia dengan kehidupan yang sederhana. Nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada warga telah menumbuhkan sikap (attitudes) dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak pada warga komunitas dukuh selama ini diantaranya adalah adanya sikap saling percaya antar warga, hormatmenghormati, sikap kekeluargaan yang tinggi, perbuatan yang dilaksanakan dengan tulus, jujur, ikhlas, empati, suka menolong, gaya hidup sederhana, serta kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan alam sekitarnya. Kepercayaan (trust) pada warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih yang dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) telah membuat hubungan sosial dalam kegiatan pengelolaan dukuh semakin kuat, sehingga mendukung keberadaan dukuh yang akan terus terpelihara. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suharjito dan Saputro (2008) di Kampung Ciburial Desa Mekarsari dan Kampung Cibedug Desa Citorek Kabupaten Lebak Banten, yang menemukan bahwa tingkat kepercayaan (trust) warga masyarakat yang kuat di landasi oleh norma, nilai, sikap dan keyakinan yang membuat hubungan sosial dan kerjasama mereka efektif sehingga mampu mendukung terpeliharanya upaya-upaya untuk terus menjaga kelestarian hutan yang ada. 57 5.1.1.2 Kerjasama (cooperation) Ada dua tingkat kerjasama warga komunitas yang ditinjau. kerjasama dalam berbagai kegiatan lingkungan/kemasyarakatan, Pertama, seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll. Kedua, kerjasama dalam kegiatan pengelolaan dukuh, seperti pemeliharaan, pengawasan, serta pemanenan dan pemasaran hasil dukuh. Pada masyarakat warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan warga Komunitas Dukuh Bi‟ih tradisi kerjasama (gotong-royong/kerja bakti) di kedua komunitas masih terjalin sangat kuat, baik kerjasama dalam berbagai kegiatan lingkungan/kemasyarakatan, seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll, maupun kerjasama dalam kegiatan pengelolaan dukuh, seperti pemeliharaan, pengawasan, pemanenan dan pemasaran hasil dukuh. Adapun distribusi responden menurut tingkat kerjasama dalam kegiatan lingkungan dan pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Distribusi responden menurut tingkat kerjasama No. Jenis Kerjasama 1. 2. Kegiatan lingkungan Kegiatan pengelolaan dukuh Tingkat Kerjasama Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih Tidak Tidak Jarang Sering Jarang Sering pernah pernah (%) (%) (%) (%) (%) (%) 0 10 90 0 0 100 0 33,3 66,7 0 0 100 Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dalam kegiatan lingkungan/kemasyarakatan sebagaimana Tabel 17 termasuk kategori tinggi, di mana sebanyak 90% warga sering terlibat dan selalu aktif dalam berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll. Hanya sebagian kecil warga (10%) yang jarang aktif dalam berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti, itupun hanya dikarenakan keterbatasan kondisi mereka yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak memiliki suami (janda tua) serta tidak memiliki anggota keluarga yang bisa dilibatkan (mewakili) dalam kegiatan gotong royong dan kerja bakti 58 tersebut. Adapun tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Bi‟ih dalam kegiatan lingkungan/kemasyarakatan lebih tinggi dibanding Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, di mana seluruh warga Komunitas Dukuh Bi‟ih selalu terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan gotong-royong dan kerja bakti seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll. Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dalam kegiatan pengelolaan dukuh cukup tinggi, sebagian besar warga selalu melakukan kerjasama dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan pengelolaan dukuh. Sebagian kecil warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tergolong jarang melakukan kerjasama dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan pengelolaan dukuh, hal ini terjadi karena sebagian responden tersebut merasa mampu untuk melakukan kegiatan pengelolaan dukuh tersebut secara sendiri (sekeluarga saja) sehingga hanya kadang-kadang saja melakukan kerjasama dengan anggota komunitas yang lain (hanya kegiatan tertentu dan sewaktu-waktu saja). Tingkat kerjasama warga Komunitas Dukuh Bi‟ih dalam kegiatan pengelolaan dukuh lebih tinggi dibanding warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, dimana seluruh warga Komunitas Dukuh Bi‟ih selalu melakukan kerjasama dengan anggota komunitas yang lain dalam kegiatan pengelolaan dukuh. Bentuk kerjasama yang dilakukan warga komunitas dalam pengelolaan dukuh meliputi berbagai kegiatan mulai pengelolaan lahan, kegiatan budidaya, pemanenan hingga pemasaran hasil dukuh. Dalam pengelolaan lahan warga selalu melakukan koordinasi dan kerjasama dalam penetapan tata batas lahan yang ditandai dengan penanaman jenis Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval) pada masing-masing batas dukuh yang telah disepakati, begitu juga pada saat membuat lampau mereka selalu bekerjasama dan saling membantu. Adapun dalam kegiatan budidaya, warga selalu melakukan kerjasama dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sejak pemupukan, penyiangan dan pendangiran, hingga kegiatan pengawasan dan pengamanan dari gangguan binatang atau bahaya kebakaran. Begitu pula pada saat pemanenan buah, warga bekerjasama dan saling membantu dalam pemungutan buah durian yang jatuh, pemetikan buah langsat, hingga pengangkutan. Selanjutnya warga juga selalu bekerjasama dan 59 berkoordinasi dalam pemasaran terutama dalam menentukan harga jual buah kepada tengkulak. Tradisi kerjasama (cooperation) dan gotong-royong baik dalam kegiatan lingkungan/kemasyarakatan sehari-hari maupun dalam kegiatan pengelolaan dukuh pada warga Komunitas Dukuh dilandasi oleh nilai-nilai (values), sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang bersumber dari nilai-nilai ajaran islam yang mereka anut yang melekat kuat dan sudah berlaku secara turun temurun. Selain itu, adanya hubungan famili berupa ikatan darah (seketurunan) pada sebagian besar warganya dan mereka saling mengenal serta berhubungan dengan baik satu sama lain, semakin memperkuat ikatan kekeluargaan di antara mereka sehingga menjadi faktor pendukung tingkat kerjasama (cooperation) yang tinggi di antara warga. Nilai-nilai (values) yang melekat pada warga komunitas dukuh yang mendukung terciptanya tingkat kerjasama (cooperation) yang tinggi antar sesama warga pada dasarnya bersumber dari ajaran islam yang dianut oleh para warganya. Nilai-nilai (values) yang melekat kuat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. a) Saling kerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan; Nilai-nilai luhur berupa kerjasama, gotong royong dan tolong-menolong telah dimiliki warga komunitas dukuh dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman nenek moyang dahulu kala hingga sekarang. Warga masyarakat memegang teguh kebiasaan kerjasama, gotong royong dan tolong-menolong karena selalu dianjurkan oleh orang tua mereka dan sesuai dengan perintah dalam ajaran agama islam yang mereka yakini. Warga sadar bahwa dengan bekerjasama maka masingmasing akan mendapat kemudahan dalam menyelesaikan setiap kegiatan atau permasalahan dalam kehidupan sosial mereka, selain itu dengan kerjasama masyarakat juga tidak merasa hidup sendirian tetapi memiliki banyak teman yang dapat saling membantu. Nilai-nilai kerjasama, gotong royong dan tolong- menolong untuk kebaikan ini terus dipertahankan warga komunitas dukuh, baik dalam kehidupan sehari-hari seperti pembersihan lingkungan, pekuburan, mesjid, perbaikan jalan, jembatan, dll, maupun dalam kegiatan pengelolaan dukuh, seperti 60 pada saat pemeliharaan tanaman, pengawasan (menjaga dari kebakaran, gangguan binatang dan atau pencurian), pemanenan serta koordinasi pemasaran hasil dukuh. b) Mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarga; Nilai-nilai kehidupan yang juga masih berlaku hingga sekarang pada warga komunitas dukuh adalah berupa kewajiban untuk menjaga kepentingan umum (bersama) dan lebih mendahulukannya daripada kepentingan pribadi atau keluarga. Menjaga dan memelihara kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi atau keluarga karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan bersama. Fasilitas-fasilitas untuk kepentingan umum seperti mesjid, jembatan, jalan, pekuburan selalu dijaga dan dipelihara oleh setiap warga dan secara rutin dilakukan gotong royong untuk membersihkan dan atau memperbaikinya. c) Hormat dan taat terhadap perintah/nasihat tetuha (tokoh masyarakat); Warga komunitas dukuh juga memiliki nilai-nilai yang berlaku sejak dahulu yaitu berupa kewajiban warga untuk menghormati, patuh dan taat terhadap segala perintah/nasihat yang disampaikan oleh tetuha (tokoh masyarakat). Apapun yang disampaikan oleh tetuha tersebut selama tidak bertentangan dengan syariat islam maka wajib untuk diikuti dan dilaksanakan oleh semua warga. Kepatuhan warga terhadap perintah/nasihat tetuha ini semakin menguatkan hubungan sosial di antara sesama warga yang terjalin dengan baik. Nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian warga komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan (beliefs) yang melekat pada warganya, seperti adanya keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu pula sebaliknya; setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan 61 diganjar pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; Setiap kejadian adalah taqdir (ketentuan) dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan lain-lain. Nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada warga telah menumbuhkan sikap (attitudes) dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak pada warga komunitas dukuh selama ini diantaranya adalah adanya sikap kekeluargaan yang tinggi, tolongmenolong, gotong royong, kerjasama, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarga, menghormati dan patuh terhadap nasihat tetuha serta kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan alam sekitarnya. Kerjasama (cooperation) pada warga komunitas dukuh yang dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) membuat hubungan sosial di antara warga semakin baik dan efektif sehingga semakin mendukung upaya-upaya dalam rangka pengelolaan dukuh yang semakin baik dan lestari. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Uphoff (2000) yang melakukan studi kasus di Srilanka, yang menunjukkan bagaimana unsur modal sosial berupa kerjasama dapat menghasilkan keuntungan material secara substantif. Organisasi petani yang dibentuk dari proyek bantuan pada awal 1980an ternyata dapat menghasilkan panen padi diluar perkiraan pada saat terjadi kelangkaan air (1997) padahal insinyur dari pemerintah Srilanka telah menggambarkan bahwa tidak akan ada padi yang mungkin bisa tumbuh. Namun secara cepat dapat berubah menjadi sistem yang paling efisien dan dikelola dalam bentuk kerjasama, setelah didekati sengan suatu rencana yang efektif untuk melibatkan petani dalam manajemen sistem bersama. Efisiensi penggunaan air meningkat dua kali lipat dalam dua tahun, bahkan sebelum perbaikan fisik selesai. Dengan kerjasama yang efektif, khususnya dalam hal berbagi air yang langka itu, petani justru mendapatkan hasil yang lebih baik daripada panen normal/biasanya, yakni dengan jumlah senilai $ 20 juta. Setengah keberhasilannya adalah karena telah menghidupkan kerjasama dan hubungan sosial baru dengan mengaktifkan norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) tertentu sebagai bentuk modal sosial kognitif. 62 5.1.1.3 Solidaritas (solidarity) Ada tiga tingkat solidaritas warga komunitas dukuh yang ditinjau. Pertama, solidaritas berupa pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan, pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh). Kedua, solidaritas berupa membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh. membantu/menolong tetangga/warga yang Ketiga, solidaritas berupa sedang membangun rumah, melaksanakan hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran, dll), atau yang sedang terkena musibah. Adapun distribusi responden menurut tingkat solidaritas pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Bi‟ih disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi responden menurut tingkat solidaritas No. Bentuk Solidaritas 1. Pelibatan warga sebagai tenaga kerja/mitra Membagikan buah hasil panen kepada tetangga Membantu warga yang hajatan atau terkena musibah 2. 3. Tingkat Solidaritas Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih Tidak Tidak Jarang Sering Jarang Sering pernah pernah (%) (%) (%) (%) (%) (%) 6,7 20 73,3 0 0 100 0 6,7 93,3 0 0 100 0 6,7 93,3 0 0 100 Pada komunitas dukuh tingkat solidaritas anggota komunitasnya terhadap warga di luar komunitas maupun terhadap sesama anggota komunitasnya tergolong tinggi. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa tingkat solidaritas warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih terhadap warga di luar komunitasnya cukup tinggi dengan seringnya melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh. Warga yang selalu melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh beralasan bahwa mereka ingin membantu memberikan tambahan penghasilan serta mempererat hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan rasa kesetiakawanan, selain itu mereka yakin bahwa dengan membantu orang lain maka urusan hidup mereka juga akan 63 dibantu oleh Allah SWT. Adanya warga yang jarang atau tidak pernah melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh lebih dikarenakan untuk penghematan biaya produksi karena tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga mereka sendiri dirasa cukup untuk mengelola dukuh tersebut, dimana rata-rata mereka memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari tiga orang dengan rata-rata luas kepemilikan dukuh yang dikelola cukup kecil yaitu hanya 0,2 ha. Tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh umumnya dipekerjakan dalam kegiatan pemeliharaan dan pemanenan buah, bahkan jika warga yang tidak memiliki dukuh tersebut memiliki modal yang cukup maka mereka akan dijadikan mitra sebagai pedagang perantara (tengkulak), dan tentunya mereka akan memperoleh keuntungan yang cukup besar sampai 40% dari keuntungan pemilik dukuh. Pemilik dukuh sebenarnya dapat saja tidak menggunakan tenaga kerja tambahan dalam kegiatan pemeliharaan tanaman tetapi hal tersebut tetap dilakukan karena didorong oleh keinginan untuk berbagi rejeki serta mempererat hubungan kekeluargaan sebagai wujud solidaritas sebagai sesama warga. Selain pelibatan sebagai tenaga kerja/mitra, solidaritas warga komunitas pemilik dukuh kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh juga diwujudkan dalam bentuk membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, sebagian besar warga selalu melakukannya pada setiap kali panen, dan hanya sebagian kecil warga yang jarang/kadang-kadang saja melakukannya (hanya pada panen besar saja). Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh warga (100%) selalu membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh pada setiap kali panen. Alasan warga membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh pada setiap kali panen adalah karena adanya keyakinan pada diri mereka bahwa semakin sering berbagi dan memberi kepada sesama dengan ikhlas tanpa pamrih maka rejeki mereka juga akan semakin banyak dan mendapat berkah dari Allah SWT. Adapun warga yang jarang melakukan hal seperti tersebut di atas (berbagi hanya pada panen-panen tertentu saja) adalah karena luas dukuh mereka yang tidak terlalu besar dan 64 produktivitasnya juga tidak terlalu tinggi, sedangkan jumlah anggota keluarga dan kebutuhan hidup mereka cukup tinggi, sehingga tidak pada setiap kali musim panen mereka membagikannya secara cuma-cuma kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh tetapi hanya pada saat panen berlimpah saja. Solidaritas warga komunitas pemilik dukuh kepada warga masyarakat lainnya (baik sesama komunitas dukuh maupun bukan komunitas dukuh) dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari juga tinggi. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, sebagian besar warga selalu membantu tetangga yang sedang membangun rumah, melaksanakan hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran, dll), atau yang sedang terkena musibah, dan hanya sebagian kecil warga yang jarang/kadang-kadang saja melakukannya. Pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh warga selalu membantu tetangga yang sedang membangun rumah, melaksanakan hajatan (pesta perkawinan, sunatan, syukuran, dll), atau yang sedang terkena musibah. Alasan warga selalu membantu tetangga yang sedang melaksanakan hajatan atau yang sedang terkena musibah tersebut adalah karena didasari oleh rasa empati, belas kasihan, serta adanya keyakinan bahwa jika mereka berbuat baik atau menolong orang lain dengan penuh ketulusan maka suatu saat ketika mereka mengalami kesulitan maka mereka juga pasti akan mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa, baik melalui orang yang pernah mereka tolong tersebut maupun melalui orang lain. Adapun alasan warga yang jarang (kadang-kadang) saja dapat membantu tetangga yang sedang melaksanakan hajatan atau yang sedang terkena musibah tersebut adalah karena kendala kesibukan pekerjaan sebagai sopir yang lebih sering berada di luar desa, sehingga hanya pada acara atau hajatan tertentu saja yang bisa dia bantu. Tingkat solidaritas (solidarity) antar sesama warga komunitas dukuh tergolong tinggi, hal ini karena dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs) yang melekat kuat pada setiap individu warga pada kedua komunitas tersebut dan sudah berlaku secara turun temurun serta terinternalisasi dalam masyarakat. Nilai-nilai (values) yang melekat pada warga komunitas dukuh yang mendukung terciptanya tingkat solidaritas yang tinggi antar sesama warga tersebut pada dasarnya bersumber dari ajaran 65 islam yang dianut oleh para warganya. Nilai-nilai (values) yang melekat kuat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. a) Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah; Pada warga komunitas dukuh telah ditanamkan nilai-nilai kehidupan oleh para leluhurnya sejak dahulu bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta). Nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari ajaran agama islam tersebut melekat kuat pada warga komunitas dukuh sehingga pada setiap kali musim panen buah, warga yang memiliki dukuh selalu membagikan sebagian hasil panen buahnya kepada tetangga/warga lain yang tidak memiliki dukuh. Sejak dahulu hingga sekarang, nilai-nilai kebaikan tersebut masih hidup di tengah-tengah masyarakat warga komunitas dukuh. b) Memberi sesuatu kepada orang lain harus yang berkualitas baik dan ikhlas tanpa pamrih; Nilai-nilai (values) yang juga masih berlaku pada warga komunitas dukuh hingga sekarang adalah bahwa memberi sesuatu kepada orang lain haruslah berupa benda atau barang yang berkualitas baik atau paling tidak yang masih bisa dimanfaatkan, serta dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih sebagaimana yang dianjurkan di dalam ajaran agama. Warga tidak dibenarkan memberi sesuatu yang tidak baik kepada orang lain karena akan menurunkan harkat dan martabatnya, termasuk diantaranya memberi buah-buahan hasil dari dukuh haruslah buah yang baik. c) Membalas setiap kebaikan dari orang lain dengan kebaikan pula; Warga masyarakat di Kecamatan Karang Intan memegang teguh nilai-nilai (values) dalam kehidupan bahwa setiap kebaikan yang diterima dari orang lain harus dibalas dengan kebaikan pula. Nilai-nilai tersebut telah berlaku turuntemurun dan terinternalisasi dalam masyarakat. Setiap pemberian sesuatu benda/barang dari tetangga atau warga yang lainnya biasanya selalu dibalas dengan pemberian benda/barang lainnya pula kepada tetangga/warga lain tersebut. Jika tidak bisa dengan bentuk barang maka balasan kebaikan tersebut biasanya dalam bentuk tenaga, pertolongan atau bentuk perhatian lainnya. Demikian pula 66 halnya dengan pemberian buah-buahan hasil panen dukuh dari warga komunitas dukuh kepada warga di luar komunitas dukuh, maka warga di luar komunitas dukuh membalasnya dengan memberikan perhatian dan turut menjaga serta mendukung upaya-upaya pelestarian dukuh tersebut. Warga di luar komunitas dukuh turut merasa memiliki atas keberadaan dukuh tersebut, sehingga merasa ikut bertanggung jawab dalam menjaga dukuh tersebut dari kebakaran, pencurian, gangguan binatang, dan dari berbagai faktor perusak lainnya. Nilai-nilai solidaritas yang berlaku dalam praktik-praktik keseharian warga komunitas dukuh selama ini dan terus dipertahankan hingga sekarang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama islam yang dianut oleh seluruh warganya. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga sangat terkait dengan keyakinan (beliefs) yang melekat pada warganya, seperti adanya keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia selalu diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; semakin banyak memberi maka akan semakin banyak rejeki, setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula bagi pelakunya dan begitu pula sebaliknya; setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas akan diganjar pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; Orang yang selalu berbuat baik akan lebih berat timbangan pahalanya sehingga akan masuk surga, dan lain-lain. Solidaritas sebagai tujuan berhubungan dengan orang lain di luar komunitas dukuh tersebut merupakan norma yang membantu warga di luar komunitas dukuh untuk mendapatkan manfaat dari kelompok yang lebih besar (warga komunitas dukuh) dan merupakan kebajikan serta kesetiaan mereka kepada semua warga dalam masyarakat. Solidaritas menjadikan kerjasama dan kemurahan hati, menumbuhkan rasa saling menjaga dan memiliki sehingga keberadaan dukuh tetap terjaga dan lestari. Jika dikaitkan dengan teori Durkheim (1982) sebagaimana yang dijelaskan oleh Jones (2009), maka bentuk solidaritas yang terjadi pada komunitas dukuh adalah termasuk solidaritas mekanik. Dikategorikan solidaritas mekanik karena warga pada komunitas dukuh tersebut termasuk kelompok masyarakat tradisional (pra-modern), di mana mereka hidup dengan cara yang hampir sama antara yang satu dengan yang lain, solidaritas dicapai secara kurang lebih otomatis. Durkheim menjelaskan bahwa bentuk solidaritas mekanik ini adalah hasil dari pembagian 67 kerja warga masyarakat yang sederhana. Sangat sedikit peranan untuk dimainkan dan cara hidup mereka pun kurang bervariasi karena kebutuhan para warga masyarakat untuk memandang dunia juga kurang lebih sama. Mereka memiliki bersama aturan-aturan kolektif yang mengatur bagaimana berperilaku yang dipenuhi tanpa kesukaran yang berarti. Lebih lanjut Durkheim menjelaskan bahwa, berbeda dengan masyarakat tradisional pada masyarakat modern solidaritas yang terjadi adalah solidaritas organik. Suatu masyarakat modern memiliki pembagian kerja yang sangat kompleks dengan beragam peranan dan cara untuk hidup sehingga solidaritas sosial menjadi jauh lebih sukar dicapai. Solidaritas yang didasari oleh nilai-nilai dan keyakinan yang kuat yang telah melekat pada warga komunitas dukuh menumbuhkan sikap (attitudes) dalam kehidupan sehari-hari warga komunitas dukuh. Sikap (attitudes) yang nampak pada warga komunitas dukuh selama ini diantaranya adalah adanya sikap kekeluargaan yang tinggi, sikap empati, kedermawanan, tolong-menolong, gotong royong, kerjasama, saling membantu, rasa saling memiliki, tanggung jawab bersama, serta kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan alam sekitarnya. Sikap solidaritas warga komunitas dukuh telah mendorong tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab komunal antara pemilik dukuh dengan masyarakat yang tidak memiliki dukuh sehingga semakin menguatkan kerjasama mereka dalam menjaga dan memelihara dukuh untuk kepentingan bersama. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Uphoff (2000) yang menemukan bahwa solidaritas yang dibangun dengan membangkitkan kembali nilai-nilai keadilan dan altruisme yang ada dalam pikiran kognitif petani melalui sebuah tradisi yang bernama “Shramadana” dimana tradisi ini juga dapat ditemukan di Nepal, India dan negara-negara Asia Selatan lainnya terbukti mampu dan berhasil untuk merehabilitasi dan memelihara saluran irigasi yang ada. Kebiasaan ini mewajibkan masyarakat di Srilanka untuk berpartisipasi dalam kelompok kerja sukarela (kerja bhakti) untuk menghasilkan berbagai hal-hal yang baik bagi komunitas, seperti membersihkan jalan, membangun candi, dan mengecat atau membuat atap sekolah. Seseorang yang berpartisipasi dalam tradisi ini percaya bahwa mereka akan mendapatkan “merit” (pahala) yang akan menguntungkan mereka baik di masa sekarang maupun masa mendatang. 68 Secara ringkas ikhtisar sumber-sumber modal sosial kognitif pada komunitas dukuh dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Ikhtisar sumber-sumber modal sosial kognitif pada komunitas dukuh Faktor-faktor Dinamis Kepercayaan (trust) Nilai-nilai (values) - - - - Kerjasama (cooperation) - - - Solidaritas (solidarity) - - - Sumber-Sumber Kognitif Sikap (attitudes) Berprasangka baik dan tidak berprasangka buruk kepada orang lain; Berbuat jujur dan saling percaya kepada manusia; Saling menghormati, menghargai dan menyayangi antar sesama; Menjaga hubungan baik dan mempererat silaturrahmi antar warga; Menjaga dan memelihara lingkungan beserta alam sekitarnya. - Saling kerjasama dan tolong menolong dalam kebaikan; Mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi/keluarga; Hormat dan taat terhadap perintah dan nasihat tetuha (tokoh masyarakat). - Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah; Memberi sesuatu kepada orang lain harus yang berkualitas baik dan ikhlas tanpa pamrih; Membalas setiap kebaikan dari orang lain dengan kebaikan pula. - - - - Terbuka; Jujur; Lugu/Polos; Tulus Ikhlas; Saling percaya; Saling menghormati; Saling menghargai; Saling menyayangi; Kekeluargaan; Kesederhanaan; Tolong menolong; Gotong royong; Kerjasama; Empati; Murah hati/ Dermawan; Peduli terhadap sesama & alam sekitarnya; Hormat & taat kepada tetuha; Mengutamakan kepentingan umum; Tanggung jawab bersama; Keyakinan (beliefs) - Setiap perbuatan manusia diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; - Setiap perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan pula; - Setiap perbuatan buruk akan mendatangkan keburukan pula; - Setiap perbuatan baik akan mendapat pahala; - Setiap perbuatan buruk akan mendapat dosa; - Orang yang lebih banyak pahalanya akan masuk surga; - Orang yang lebih banyak dosanya akan masuk neraka; - Semakin banyak memberi semakin banyak rejeki; - Semakin banyak membantu orang lain maka urusan kita juga akan semakin dimudahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa; - Setiap kejadian adalah taqdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa. 69 5.1.2 Modal Sosial Struktural Modal sosial struktural dalam pengelolaan dukuh berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya aturan (rules), peranan (roles), serta jaringan (networks) yang mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Dalam pengelolaan dukuh, aturan (rules), peranan (roles), serta jaringan (networks) mampu memfasilitasi terciptanya tindakan kolektif yang saling menguntungkan khususnya dalam melahirkan pola-pola interaksi yang membuat hasil produktif, efisien, adil dan berkelanjutan. 5.1.2.1 Aturan (rules) Pada komunitas dukuh terdapat aturan berupa norma-norma yang menjadi pedoman bertindak para warganya. Norma-norma yang diuraikan di sini berupa aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat) tentang pengelolaan dukuh. Aturan tidak tertulis (aturan adat) yang berlaku pada komunitas dukuh adalah berupa cara (usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) yang merupakan kearifan lokal yang sudah berlaku secara turun temurun dan terinternalisasi dalam masyarakat yang mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh. Norma-norma (norms) berupa aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat) yang merupakan kearifan lokal dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut. a) Tanaman Linjuang sebagai tanda batas hak kepemilikan lahan/dukuh (tata kelakuan/mores); Warga komunitas dukuh sampai sekarang masih memegang teguh aturan yang disepakati bersama bahwa tanaman Linjuang (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval) yang ditanam merupakan tanda batas hak kepemilikan lahan (dukuh). Aturan tersebut mengakui keabsahan hak pengelolaan dan pemanfaatan dukuh 70 bagi pemiliknya berdasarkan tanda batas tanaman Linjuang, dan secara otomatis melarang bagi orang lain untuk mengelola atau memanfaatkan dukuh pada lahan yang bukan miliknya tersebut. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut dianggap bersalah dan tentunya akan mendapat hukuman dari masyarakat atau akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga norma ini termasuk pada tingkatan tata kelakuan (mores), bahkan tidak menutup kemungkinan norma ini bisa meningkat menjadi adat istiadat (customs) jika lama kelamaan semakin kuat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. b) Pewarisan dukuh dengan cara islah atau faraid (tata kelakuan/mores); Aturan yang berlaku dalam pewarisan dukuh ada dua yaitu sistem islah dan faraid. Sistem islah dibagi berdasarkan kesepakatan dan musyawarah tanpa membedakan antara hak laki-laki dan hak perempuan. Sistem hukum faraid atau hukum Islam dimana anak laki-laki memperoleh lebih banyak bagian dibanding anak perempuan. Hukum faraid lebih sering digunakan dalam pembagian warisan dukuh karena sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Dalam pembagian warisan dukuh biasanya seluruh keluarga yang akan membagi warisan dukuh dari orang tua mereka akan berkumpul untuk bermusyawarah dan berkonsultasi dengan Pembakal, Penghulu dan Tutuha masyarakat yang sekaligus berperan sebagai saksi dan mediator dalam keluarga apakah mereka akan menggunakan sistem islah atau faraid. Pelanggaran atas norma ini tidak pernah terjadi, dan seandainya ada yang melanggar maka akan mendapat hukuman, sehingga norma ini termasuk pada tingkatan tata kelakuan (mores). c) Tidak boleh menjual dukuh warisan (kebiasaan/folkways); Warga komunitas dukuh juga mempunyai aturan berupa larangan menjual dukuh yang berasal dari harta warisan. Dukuh yang berasal dari harta warisan wajib dipelihara dan dipertahankan karena merupakan peninggalan nenek moyang (leluhur) yang mengandung simbol kehormatan dan kebanggaan keluarga bagi yang memilikinya. Pelanggaran atas norma ini pernah terjadi meskipun dalam intensitas yang sangat kecil dan jarang sekali terjadi. Sanksi yang dirasakan oleh warga yang menjual dukuh warisan adalah merasa malu dan dicela oleh keluarga, 71 karena telah menghilangkan kebanggaan keluarga, sehingga norma ini termasuk tingkatan kebiasaan (folkways). d) Membuat lampau untuk tempat beristirahat di dalam dukuh (cara/usage); Warga komunitas dukuh masih mempertahankan cara untuk berjaga dan beristirahat di dalam dukuh yaitu dengan membuat lampau (pondok kecil). Lampau di dalam dukuh difungsikan masyarakat pada saat musim panen atau pada hari-hari biasa pada saat melaksanakan kegiatan pemeliharaan, pengamanan dan pengawasan tanaman di dalam dukuh. Pelanggaran atas aturan adat atau norma tersebut telah terjadi pada komunitas dukuh, karena tidak seluruh warga memiliki lampau di dalam dukuh mereka, terutama warga komunitas yang dukuhnya tidak terlalu luas (hanya ± 0,1 ha). Meskipun ada yang tidak membuat lampau, warga masyarakat yang lain tidak mencelanya tetapi hanya sekedar menganggapnya sebagai hal yang janggal saja, sehingga berdasarkan teori tingkatan norma menurut Gillin and Gillin (1954) didalam Soekanto (2009) maka norma ini hanya termasuk tingkatan cara (usage). e) Tidak boleh menggunakan pupuk anorganik (kebiasaan/folkways); Warga komunitas dukuh juga mempunyai aturan yang melarang warganya menggunakan pupuk anorganik dalam melakukan pemupukan tanaman di dalam dukuh. Warga tidak diperkenankan menggunakan pupuk anorganik tetapi cukup dengan pupuk organik berupa pupuk kandang dan kompos dari tanaman bawah saja. Alasan masyarakat tidak memperbolehkan penggunaan pupuk anorganik adalah karena dianggap dapat memberikan efek rapuh pada dahan dan cabang tanaman. Beberapa kasus pelanggaran atas norma ini pernah terjadi di mana ada warga komunitas yang mulai mencoba menggunakan pupuk organik, dan oleh warga komunitas lainnya dicela, sehingga norma ini termasuk kebiasaan (folkways). 72 f) Membungkus buah cempedak dengan plastik (kebiasaan/ folkways); Norma-norma lain yang berlaku dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman pada warga komunitas dukuh yaitu membungkus buah cempedak yang masih kecil dengan plastik. Buah cempedak yang dibungkus dengan plastik adalah buah cempedak yang baru berumur sekitar dua bulan agar buah tidak diserang lalat buah. Buah cempedak akan matang dan bisa dipetik setelah 3-6 bulan dihitung mulai awal pembungaan tergantung kepada genotype dan iklim. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways). g) Menabur garam di sekeliling pohon durian (kebiasaan/ folkways); Dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman di dalam dukuh juga berlaku norma yaitu menabur garam di sekeliling pohon durian. Kebiasaan menabur garam di sekeliling pohon durian tersebut dilakukan setelah musim panen selesai dengan maksud agar pohon durian cepat berproduksi kembali dan terbebas dari gangguan atau serangan hama dan penyakit tanaman. Pelanggaran atas norma ini juga jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini juga termasuk kebiasaan (folkways). h) Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya/pemeliharaan tanaman (kebiasaan/folkways); Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa kebiasaan (folkways) pada anggota komunitasnya yang selalu melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya dan pemeliharaan tanaman dukuh, seperti penyiangan, pendangiran, pemupukan, dan pengawasan tanaman. Kebiasaan melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh tersebut dilandasi oleh nilai-nilai (value) berupa kesetiakawanan, rasa empati, suka menolong, keinginan untuk berbagi rejeki serta upaya untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu 73 warga masyarakat juga memiliki keyakinan (belief) bahwa dengan berbuat baik membantu/menolong orang lain maka Tuhan juga akan membantu dan memudahkan mereka dalam berbagai urusan kehidupan lainnya, bahkan warga masyarakat juga yakin mereka akan mendapat balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran atas norma ini pernah terjadi meskipun cukup jarang, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways). i) Memetik buah langsat dengan galah (kebiasaan/folkways); Norma yang berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil pada warga komunitas dukuh diantaranya adalah memetik buah langsat dengan galah. Galah adalah alat pemetik buah yang dirancang secara tradisional yang terbuat dari bambu atau kayu. Dengan menggunakan galah maka buah langsat bisa dipetik dari tanah atau dengan cara memanjat sebagian pohon langsat. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways). j) Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai (kebiasaan/folkways); Norma lain yang juga berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil dukuh adalah memetik buah langsat dan cempedak dengan menggunakan sigai. Sigai adalah alat pemanjat pohon seperti tangga yang dirancang secara tradisional yang terbuat dari bambu dan diletakkan permanen di samping pohon langsat atau cempedak. Dengan menggunakan sigai maka buah langsat dan cempedak bisa dipetik dengan mudah tanpa merusak atau mengganggu buah lainnya. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways). 74 k) Tidak boleh memanen buah durian dengan memetik (kebiasaan/folkways); Warga komunitas dukuh mempunyai aturan yang berlaku hingga sekarang yaitu berupa larangan bagi warganya untuk memanen buah durian dengan memetik atau memanjat pohonnya. Pemanenan buah durian hanya boleh dilakukan dengan menunggu buah tersebut jatuh dari pohon dengan sendirinya secara alami. Pemanenan buah durian tidak boleh dengan memetik karena warga masyarakat memiliki keyakinan bahwa jika memanen buah durian dengan memetik maka akan menghasilkan kualitas buah yang kurang bagus pada musim buah berikutnya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut akan malu karena warga komunitas yang lain akan mencelanya, sehingga tingkatan norma ini juga termasuk kebiasaan (folkways), bahkan tidak menutup kemungkinan norma ini bisa meningkat menjadi tata kelakuan (mores) jika lama kelamaan semakin kuat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. l) Mengangkut buah dari dukuh menggunakan ladung (cara/usage); Mayoritas warga komunitas dukuh mempunyai cara untuk mengangkut buah hasil panen dari dukuh dengan menggunakan ladung, yaitu alat tradisional yang terbuat dari anyaman rotan yang digunakan dengan cara disandang di atas bahu seperti ransel. Dalam perkembangannya sekarang sebagian kecil warga sudah mulai beralih dengan menggunakan karung dan mengangkut buah tersebut dengan sepeda motor. Atas pelanggaran tersebut warga yang lain tidak mencelanya dan menganggapnya sebagai hal yang janggal saja, sehingga hanya termasuk tingkatan cara (usage). m) Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan buah (kebiasaan/folkways); Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan hasil dukuh, seperti pemetikan dan pengangkutan buah. Kebiasaan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai (value) untuk mempererat hubungan 75 kekeluargaan dan persaudaraan. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan (folkways). n) Membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh setiap kali musim panen (kebiasaan/folkways); Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah kebiasaan membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh setiap kali musim panen. Kebiasaan tersebut dilakukan karena dilandasi oleh nilai-nilai (value) untuk menjaga perasaan serta mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu warga komunitas juga memiliki keyakinan (belief) bahwa semakin sering berbagi dan memberi kepada sesama dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih maka rejeki mereka juga akan semakin banyak dan mendapat berkah serta balasan pahala dari Allah SWT. Meskipun jarang, tetapi pelanggaran atas norma ini pernah terjadi, dan warga yang melanggar tersebut merasa malu karena mendapat cela dari warga yang lain, sehingga norma ini termasuk pada tingkatan kebiasaan (folkways). o) Pemasaran hasil dukuh melalui perantara/tengkulak (kebiasaan/folkways); Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah menjual buah hasil panen dukuhnya melalui pedagang perantara yang langsung datang ke dukuh atau ke rumah pemilik dukuh. Proses pemasaran tersebut dimaksudkan agar pemilik dukuh tidak repot pergi menjual buahnya ke pasar, selain itu diharapkan terjadi pemerataan distribusi keuntungan hasil dukuh antara pemilik dukuh dengan masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Untuk menghindari terjadinya monopoli oleh pedagang perantara tertentu pemilik dukuh tidak pernah terikat dengan hanya satu orang pembeli melalui suatu perjanjian tapi setiap pedagang perantara bebas untuk membelinya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut akan merasa malu karena mendapat cela atau cemoohan dari warga masyarakat yang lain. 76 Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma (norms) yang berlaku pada warga komunitas dukuh tersebut meskipun secara struktur kelembagaan tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, dan terinternalisasikan secara terus-menerus sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk kelembagaan lokal. Kelembagaan lokal yang didalamnya sarat akan nilai dan kearifan lokal tersebut merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan warga komunitas dukuh yang bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Kelembagaan lokal tersebut terbentuk karena didorong oleh adanya fungsi yang menjadi kebutuhan bersama dari warga komunitas dukuh untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Uphoff (1986) yang mendefinisikan kelembagaan lokal sebagai suatu himpunan atau tatanan normanorma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Kelembagaan komunitas bisa muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan masyarakatnya. Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah disfunction. Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma yang berlaku pada komunitas dukuh tersebut memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatannya. Mengacu pada Soekanto (2009) maka norma-norma yang berlaku pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu pertama, cara (usage); di mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya hanya dianggap janggal, kedua, kebiasaan (folkways); di mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya adalah berupa celaan, dan ketiga, tata kelakuan (mores); yang mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya adalah dihukum. Adapun pengelompokan aturan-aturan adat berdasarkan tahapan dan tingkatan norma dapat dilihat dalam skema kelembagaan lokal pada Gambar 4. 77 KEGIATAN PENGELOLAAN DUKUH ATURAN ADAT YANG BERLAKU Tanaman Linjuang adalah tanda batas hak kepemilikan lahan (dukuh) KELEMBAGAAN LOKAL PENGELOLAAN DUKUH (Aturan-aturan adat, kesepakatan2 tidak tertulis berdasarkan pengetahuan & kearifan lokal yang berfungsi untuk mengatur tatanan hidup warga komunitas dukuh). Pengelolaan Lahan Pewarisan lahan (dukuh) dilakukan dengan cara islah atau faraid Tidak boleh menjual dukuh warisan Di dalam dukuh dibuat lampau (pondok kecil untuk tempat beristirahat saat pemeliharaan atau kegiatan pengawasan tanaman) TINGKATAN NORMA TATA KELAKUAN (Mores) KEBIASAAN (folkways) CARA (Usage) Tidak menggunakan pupuk anorganik Membungkus buah cempedak yang masih muda dengan plastik Budidaya/ Pemeliharaan Menabur garam di sekeling pohon durian setelah musim panen selesai Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya/ pemeliharaan tanaman (penyiangan, pendangiran dan pemupukan) Memetik buah langsat dengan galah (alat pemetikbuah terbuat dari bambu) KEBIASAAN (folkways) Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai (tangga dari bambu) Memanen buah durian tidak boleh dengan memetik (menunggu jatuh) Pengangkutan buah dari dukuh ke rumah dengan menggunakan ladung Pemanenan Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan (pemetikan dan pengangkutan buah) CARA (Usage) Melibatkan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai pembeli perantara (tengkulak) dalam pemasaran hasil dukuh. KEBIASAAN (folkways) Pemasaran Gambar 4 Skema kelembagaan lokal dalam pengelolaan dukuh. 78 Dalam pengukuran modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih ini ada dua tingkat aturan yang ditinjau. Pertama, tingkat pemahaman terhadap aturan baik aturan tertulis (aturan formal) maupun aturan tidak tertulis (aturan adat). Kedua, tingkat pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku tersebut. Distribusi responden menurut tingkat pemahaman dan pelanggaran aturan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 20 dan 21. Tabel 20 Distribusi responden menurut tingkat pemahaman terhadap aturan Tingkat Pemahaman No. 1. 2. Jenis Aturan Aturan formal Aturan adat Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Tidak Cukup Paham paham paham (%) (%) (%) 100 0 0 0 46,7 53,3 Komunitas Dukuh Bi‟ih Tidak Cukup Paham paham paham (%) (%) (%) 100 0 0 0 3,3 96,7 Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa seluruh warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, semuanya tidak paham terhadap aturan-aturan tertulis (aturan formal) yang mengatur individu atau masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan pengelolaan dukuh atau hutan rakyat. Terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat), sebagian besar warga memahami sepenuhnya akan aturan dalam pengelolaan dukuh dan hanya sebagian kecil warga yang kurang memahami sepenuhnya terhadap aturan adat dalam pengelolaan dukuh tersebut. Masyarakat sebagian besar tidak paham terhadap aturan formal yang dibuat oleh pemerintah baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan dukuh atau hutan rakyat, seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Tentang Hutan Rakyat, atau bahkan Peraturan Daerah (baik Provinsi maupun Kabupaten) tentang Hutan Rakyat, karena aturanaturan tersebut belum terinternalisasi sebagai nilai-nilai yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya, dan belum terbukti secara langsung dapat berfungsi dan bermanfaat untuk mengelola dan melestarikan dukuh dengan baik. Sebagaimana dijelaskan oleh Soekanto (2009) bahwa suatu norma tertentu 79 dikatakan telah melembaga (institutionalized), apabila norma tersebut diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan tertulis tersebut menunjukkan betapa kurangnya perhatian pemerintah berupa pembinaan maupun penyuluhan tentang kehutanan masyarakat selama ini. Padahal, sosialisasi, pembinaan, dan penyuluhan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah tersebut sangat penting dan sangat bermanfaat bagi mereka. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui bahwa sesungguhnya mereka sangat berharap akan adanya pembinaan dan penyuluhan tentang langkah-langkah atau tindakan untuk membasmi hama dan penyakit tanaman yang menyerang batang maupun buah pada dukuh mereka. Tabel 21 Distribusi responden menurut tingkat pelanggaran terhadap aturan Tingkat Pelanggaran No. Pelanggaran Aturan 1. 2. Oleh responden Oleh warga lain Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Tidak Sering Jarang Pernah (%) (%) (%) 0 20 80 3,3 56,7 40 Komunitas Dukuh Bi‟ih Tidak Sering Jarang Pernah (%) (%) (%) 0 3,3 96,7 0 40 60 Pada Tabel 21 diketahui bahwa terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan dukuh, sebagian besar warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat mengaku tidak pernah melanggarnya, dan sebagian kecil mengaku pernah melanggarnya. Sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih hampir seluruh warga mengaku tidak pernah melanggarnya. Sebanyak 40% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat menganggap bahwa anggota masyarakat yang lain masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah melakukan pelanggaran, 56,7% menganggap bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang, dan hanya sebagian kecil (3,3%) warga yang mengangap sering terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat lainnya. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar (60%) warga menganggap bahwa anggota masyarakat yang lain masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah melakukan pelanggaran, dan sisanya 40% warga menganggap bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang. 80 Dengan semakin baik tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas terhadap aturan dalam pengelolaan dukuh yang ada, berarti aturan tersebut telah berfungsi dalam pengambilan keputusan, mobilisasi sumber daya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh tersebut secara baik dan efektif, sehingga tindakan kolektif di antara warga komunitas menjadi cenderung mudah dilakukan dalam menjaga dan memelihara dukuh dengan baik. Pada dasarnya, aturan-aturan tidak tertulis (aturan adat/norma-norma) pada komunitas dukuh telah ada dan dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal yang meskipun tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan sehingga secara perlahan telah melembaga. Proses melembaganya aturan-aturan tersebut dapat bertahan jika dirasakan bermanfaat oleh para warga. Besarnya manfaat dari keberadaan aturan-norma yang ada akan berpotensi menciptakan suatu sistem nilai berupa tata perilaku (mores) bahkan memungkinkan untuk menjadi adat-istiadat (custom) jika terinternalisasikan secara terus-menerus. Tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas dukuh terhadap norma-norma (aturan adat) yang berlaku karena dilandasi oleh nilai-nilai (value) dan keyakinan (belief) yang melekat kuat seperti ketulusan, kejujuran, keikhlasan, rasa empati, suka menolong, kedermawanan, serta sikap kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan sesama. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suharjito dan Saputro (2008) di Kampung Ciburial Desa Mekarsari dan Kampung Cibedug Desa Citorek Kabupaten Lebak Banten. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pada masyarakat Kasepuhan di kedua kampung tersebut terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warganya dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Berbagai aturan yang ada dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan yang berlaku hingga sekarang, seperti larangan menggunduli hutan, larangan menggunakan kayu rasamala, larangan menjual hasil hutan, ronda gunung, larangan menjual tanah kepada pihak luar, larangan menggunakan pestisida, traktor dan obat-obatan tanaman, dan lain sebagainya telah berkontribusi nyata terhadap kepentingan sumberdaya hutan dan lahan pada kedua kampung tersebut. konservasi 81 5.1.2.2 Peranan (roles) Membangun modal sosial struktural di dalam sebuah komunitas selain membutuhkan aturan juga sangat membutuhkan peran-peran baik formal maupun informal. Peranan yang dibutuhkan adalah peranan yang memang benar-benar menjalankan fungsinya sehingga dapat diterima oleh para warganya, yaitu yang mampu mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik. Suatu peranan dapat eksis ketika ada harapan bersama tentang apa yang seharusnya dan akan dilakukan oleh warga dalam beragam kondisi yang akan dihadapi dalam melaksanakan suatu aturan. Keberadaan peranan yang mampu berjalan dengan baik dalam rangka penegakan aturan adalah sebuah keharusan untuk menciptakan kemapanan modal sosial struktural di dalam kehidupan komunitas yang ada. Ada dua tingkat peranan para tokoh masyarakat yang ditinjau dalam penegakan aturan pada kegiatan pengelolaan dukuh. Pertama, tingkat peranan tokoh informal yaitu tokoh agama dan tokoh adat (tutuha). Kedua, tingkat peranan tokoh formal, yaitu kepala desa (pembakal) dan camat. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, tingkat peranan para tokoh masyarakat baik formal maupun informal tersebut cukup bervariasi, ada yang rendah, sedang, dan ada pula yang memiliki tingkat peranan tinggi. Peranan para tokoh baik formal (kepala desa dan camat) maupun informal (tokoh agama dan tokoh adat) dalam mendukung kegiatan pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Secara rinci peranan para tokoh yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 22. 82 Tabel 22. Peranan para tokoh yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Bi‟ih. No. Tokoh Masyarakat Peranan para tokoh A. Tokoh Formal 1. Kepala Desa (Pembakal) - Saksi dalam pembagian warisan dukuh (pembuatan keputusan) - Saksi dalam pengaturan dan penetapan tata batas hak kepemilikan dukuh (komunikasi dan koordinasi) - Motivator dalam penerapan aturan adat (normanorma) dalam pengelolaan dukuh (komunikasi dan koordinasi) - Motivator dalam pengelolaan dukuh (mobilisasi pengelolaan sumberdaya) - Penerbit surat keterangan tanah berupa sporadik (pembuatan keputusan) - Mediator dalam berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh (resolusi konflik). 2. Camat - Penerbit surat keterangan tanah berupa segel (pembuatan keputusan). B. Tokoh Informal 1. Tokoh Agama - Penasehat dalam pembagian warisan dukuh (pembuatan keputusan) - Penasehat dalam pengelolaan hasil panen dukuh, seperti ketentuan zakat, infaq, sedekah dll (pembuatan keputusan) - Penasehat spritual (keagamaan) dalam pengelolaan dukuh dan kehidupan sehari-hari (komunikasi dan koordinasi) - Penasehat dalam berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh (resolusi konflik). 2. Tokoh Adat (Tutuha) - Saksi dalam pembagian warisan dukuh (pembuatan keputusan) - Penasehat dalam pengaturan dan penetapan tata batas hak kepemilikan dukuh (komunikasi dan koordinasi) - Penasehat dalam penerapan aturan adat (normanorma) dalam pengelolaan dukuh (komunikasi dan koordinasi) - Penasehat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh (resolusi konflik). 83 Adapun Tingkat peranan para tokoh baik formal (kepala desa dan camat) maupun informal (tokoh agama dan tokoh adat) yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 23. Tabel 23 Distribusi responden menurut tingkat peranan para tokoh No. Tokoh Masyarakat 1. Tokoh Agama 2. Tokoh Adat (Tutuha) 3. Kepala Desa (Pembakal) 4. Camat Tingkat Peranan Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi (%) (%) (%) (%) (%) (%) 0 86,7 13,3 0 100 0 100 0 0 0 0 100 0 100 0 0 23,3 76,7 100 0 0 100 0 0 Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa tingkat peranan tokoh agama pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat secara umum cukup tinggi sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih seluruh warga menganggap peranan tokoh agama tersebut sedang saja. Peranan tokoh agama pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat ini cukup tinggi karena di sana sudah tidak ada lagi orang yang dianggap sebagai tokoh adat (tutuha), sehingga peran-peran pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh seperti pembagian warisan, pelaksanaan jual beli, serta pengaturan tanda batas lahan, dll hanya diperankan oleh tokoh agama dan kepala desa (pembakal) saja. Hal tersebut berbeda dengan Komunitas Dukuh Bi‟ih yang masih memiliki tokoh adat (tutuha), dimana peran-peran tersebut lebih didominasi oleh tokoh adat (tutuha), peranan tokoh agama hanya nampak terasa pada saat pembagian warisan saja, sedangkan peran-peran lain seperti pengaturan tata batas lahan diperankan oleh tokoh adat (tutuha) tersebut. Tingkat peranan tokoh adat (tutuha) pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat kategori rendah, dimana seluruh warga telah menganggap tidak ada lagi peranan tokoh adat, hal ini demikian karena pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut sekarang ini memang sudah tidak ada lagi yang berperan sebagai tokoh adat (tutuha) karena tutuha yang pernah ada sudah lama tiada dan generasi 84 yang ada sekarang dengan usia, pengetahuan dan pengalaman tentang dukuh masih relatif sama, sehingga mereka lebih memerankan tokoh agama dan kepala desa (pembakal) dalam pembuatan keputusan. Sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih terjadi hal sebaliknya, seluruh warga menganggap peranan tokoh adat (tutuha) kategori tinggi, hal ini karena pada Komunitas Dukuh Bi‟ih masih terdapat beberapa orang tokoh adat (tutuha) dengan usia di atas 80 tahun yang memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang dukuh, sehingga peranperan dalam dalam pengelolaan dukuh masih sangat didominasi oleh tokoh adat (tutuha) tersebut, seperti pengaturan tata batas lahan, pengaturan pembagian dukuh warisan, pengaturan jual beli dukuh, dan lain-lain. Tingkat peranan kepala desa (pembakal) dalam pengelolaan dan pelestarian dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat menurut warga termasuk sedang. Hal ini karena keterlibatan kepala desa (pembakal) sebagai tokoh formal dirasakan oleh responden cukup berperan sebagai saksi dalam proses pembagian warisan dan pengaturan tata batas lahan, tetapi perannya kurang dirasakan dalam proses-proses yang lain seperti mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, baik berupa koordinasi, penyuluhan, maupun kegiatan-kegiatan pembinaan lainnya untuk mendukung pelestarian dukuh, sehingga seluruh warga menganggap tingkat peranan kepala desa (pembakal) tersebut hanya kategori sedang saja. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, sebagian besar warga menganggap peranan kepala desa (pembakal) ini kategori tinggi, karena sebagian besar warga merasakan peran yang sangat berarti dan signifikan yang dilakukan oleh kepala desa (pembakal) Bi‟ih selama ini, selain sebagai tokoh formal beliau juga termasuk tokoh adat (tutuha) pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut. Selain aktif berperan sebagai saksi dalam proses pembagian warisan dan pengaturan tata batas lahan, kepala desa (pembakal) Bi‟ih perannya juga dirasakan oleh warga dalam proses-proses yang lain seperti memberikan informasi dan himbauan untuk meningkatkan semangat dan motivasi kepada masyarakat mempertahankan dan mengelola dukuhnya dengan baik. agar tetap Dalam beberapa kesempatan baik saat pertemuan formal maupun informal, Pembakal Bi‟ih selalu menghimbau dan mengharapkan agar hasil panen buah dari Komunitas Dukuh Bi‟ih tetap dipertahankan memiliki kualitas yang terbaik terutama untuk buah 85 durian yang sudah sejak lama terkenal sebagai durian terbaik se-Kalimantan Selatan. Dengan peran-peran tersebut sebagian besar warga menganggap kepala desa (pembakal) Bi‟ih ini mempunyai peranan yang tinggi dalam mendukung pengelolaan dan pelestarian dukuh. Tingkat peranan camat dalam pengelolaan dan pelestarian dukuh menurut seluruh warga baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah rendah. Seluruh warga pada kedua komunitas tidak merasakan adanya peranan dari Camat dalam mendukung kegiatan pengelolaan dan pelestarian dukuh mereka. Ironis memang, masyarakat merasa tidak pernah mendapatkan perhatian dari camat baik berupa himbauan, penyuluhan, bantuan, maupun kegiatan pembinaan lainnya sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat, padahal hal tersebut sangat penting untuk dilakukan oleh seorang camat mengingat keberadaan dukuh tersebut merupakan bentuk kehutanan masyarakat yang menjadi ciri khas dan kebanggaan masyarakat di wilayah Kecamatan Karang Intan khususnya dan Kabupaten Banjar serta Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya. Satu-satunya peran camat terkait pengelolaan dukuh hanyalah dalam penerbitan Surat Keterangan Tanah (Segel) kepemilikian dukuh yang baru dimiliki oleh segelintir (sebagian kecil) warga komunitas dukuh. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui pula bahwa tingkat peranan para tokoh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat lebih rendah daripada peranan para tokoh pada komunitas dukuh Bi‟ih. Hal ini terjadi demikian karena pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut sekarang ini telah berkurang satu peranan tokoh yaitu sudah tidak ada lagi yang berperan sebagai tokoh adat (tutuha) karena tutuha yang pernah ada sudah lama tiada, selain itu peranan tokoh agama dan kepala desa (pembakal) yang ada juga tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, peran kedua tokoh tersebut hanya dirasakan pada saat pembagian warisan, pelaksanaan jual beli dan pengaturan tata batas lahan itupun tidak diperankan secara maksimal, selain itu peran mereka masih kurang dirasakan dalam proses-proses yang lain seperti mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, baik berupa koordinasi, penyuluhan, maupun kegiatan-kegiatan pembinaan lainnya untuk mendukung pelestarian dukuh. 86 Secara umum tingkat peranan para tokoh serta keterlibatan para pihak pada kedua komunitas tersebut masih cukup rendah. Dalam pengelolaan dukuh selama ini sama sekali tidak terlihat adanya peranan dari Badan Penyuluhan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta pihak-pihak penting lainnya baik pada tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan peranan dan keterlibatan para pihak tersebut (lembaga-lembaga formal) dalam pengelolaan dan pengembangan dukuh. Hal tersebut sangat penting karena peranan di dalam modal sosial struktural sebagian besar harus diciptakan, yaitu berbagai elemen organisasi sosial yang menentukan pola tindakan individu agar bersama-sama menciptakan manfaat bersama. Tanpa peranan dan aturan untuk pengambilan keputusan dan mobilisasi sumber daya, maka tindakan kolektif menjadi cenderung sulit untuk dilakukan. Peranan para tokoh formal maupun informal dalam pengelolaan dukuh sangat penting untuk memfasilitasi komunikasi antar individu dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan dukuh, termasuk juga menyelesaikan konflik yang mungkin timbul diantara anggota komunitas, bahkan sangat diperlukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kebersamaan antar individu guna mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh individu yang hanya mencari keuntungan/manfaat untuk kesejahteraan dirinya sendiri dan merugikan kepentingan komunitas dalam menjaga dan melestarikan dukuh. Sistem dukuh merupakan sistem pemanfaatan sumberdaya hutan yang sudah berjalan lama secara mandiri, produktif, komersial, lestari, berkeadilan dan efisiensi. maka peranan pemerintah (lembaga-lembaga formal) hendaknya berupa dukungan dan kebijakan yang berorientasi pada upaya untuk menggali keseluruhan sistem kehutanan masyarakat yang ada, memperkuat keberadaannya, dan mengurangi segala bentuk intervensi terutama dalam hal-hal teknis yang sebenarnya menjadi domain dari masyarakat itu sendiri. 87 5.1.2.3 Jaringan (networks) Ada tiga tingkat jaringan Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih yang ditinjau. Pertama, basis jaringan. Kedua, intensitas dan luas jaringan. Ketiga, pola jaringan. Adapun pengukuran dilakukan terhadap keterbentukan organisasi/kelembagaan formal, intensitas kunjungan/pertemuan dg keluarga, tetangga, anggota komunitas, dan dengan kelompok atau komunitas lain, serta kepadatan organisasi yg diikuti. Secara ringkas distribusi responden menurut tingkat jaringan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih disajikan sebagaimana Tabel 24. Tabel 24 Distribusi responden menurut tingkat jaringan No. Tingkat Jaringan Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Unsur Jaringan/Interaksi Sosial Mandiangin Barat Bi‟ih Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi (%) (%) (%) (%) (%) (%) 1. Pembentukan lembaga formal 100 0 0 100 0 0 2. Intensitas kunjungan kepada famili 10 6,7 83,3 20 6,7 73,3 3. Intensitas kunjungan kepada tetangga 10 16,7 73,3 20 6,7 73,3 4. Intensitas pertemuan dalam pengajian (keagamaan) 6,7 46,7 46,7 20 3,3 76,7 5. Interaksi dengan komunitas lain wilayah/desa 0 30 70 10 33,3 56,7 Komunikasi dan negosiasi dalam rangka pemasaran hasil dukuh 0 76,7 23,3 0 70 30 Kepadatan organisasi yang diikuti oleh anggota keluarga 16,7 60 23,3 70 20 10 6. 7. kelompok di luar Pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, seluruh warga mengakui bahwa hingga saat ini tidak ada organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh mereka, bahkan hingga saat ini juga tidak ada rencana atau keinginan mereka untuk membentuk 88 organisasi/lembaga formal tersebut. Anggota komunitas dukuh merasa belum perlu membentuk organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh, karena menurut mereka mengelola dukuh hanyalah pekerjaan sampingan yang tidak dikelola secara intensif setiap hari (sepanjang tahun) tetapi hanya dilakukan pada musim buah saja. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa sekalipun tanpa ada ikatan organisasi/lembaga formal, mereka tidak pernah merasakan ada kendala atau masalah berat dalam mengelola dukuh, karena mereka telah memiliki ikatan kekeluargaan yang tinggi dimana mereka selalu saling mendukung dan bekerjasama dengan baik dalam kegiatan pengelolaan dukuh selama ini sehingga tidak perlu lagi membentuk organisasi/lembaga formal dalam pengelolaan dukuh tersebut. Kenyataan di atas menunjukan bahwa sifat jaringan yang terbentuk adalah informal, sedangkan basis dari jaringan sosial yang terbangun antar individu pada kedua komunitas baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah kekeluargaan. Basis kekeluargaan ini terbangun karena sebagian besar warga yang ada dalam kedua komunitas dukuh tersebut saling memiliki hubungan keluarga. Ikatan antar keluarga diperkuat oleh ikatan ketetanggaan yang dimungkinkan oleh pola pemukiman warga yang berkelompok dengan jarak antar rumah sangat dekat dan tidak dibatasi oleh pagar pekarangan atau halaman rumah. Sebagian besar warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan bahwa setiap hari atau paling lama tiga hari sekali mereka melakukan kunjungan dan komunikasi kepada sanak famili yang masih ada ikatan kekeluargaan dalam satu desa. Sebagian besar warga pada kedua komunitas menyatakan pula bahwa setiap hari atau paling lama tiga hari sekali, mereka juga melakukan kunjungan dan komunikasi kepada tetangga atau warga sekitar mereka baik sesama komunitas maupun yang bukan komunitas dukuh. Hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa interaksi antar warga masyarakat baik sesama anggota komunitas maupun dengan warga bukan anggota komunitas dukuh yang masih dalam satu desa sangat tinggi. Hampir setiap hari warga saling bertemu dan mengunjungi baik kepada tetangga, kerabat ataupun keluarganya yang masih dalam satu desa, untuk sekedar berbincang hal-hal yang ringan, atau 89 untuk menengok dan mengetahui keadaan keluarganya, ataupun untuk keperluankeperluan lainnya. Selain itu anggota komunitas dukuh juga melakukan pertemuan rutin dengan sesama anggota komunitas yang lain, tokoh masyarakat serta warga yang bukan termasuk komunitas dukuh pada acara pengajian yasinan yang dilaksanakan sekali seminggu yaitu setiap Kamis malam (malam Jum‟at) yang tempatnya dilaksanakan secara bergiliran dari rumah ke rumah, sehingga dalam pertemuan tersebut meskipun tidak secara formal kadang dibicarakan dan didiskusikan tentang kegiatan pengelolaan dukuh terutama jika pada musim panen buah tiba. Seluruh warga pada masing-masing komunitas baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih saling mengenal dengan baik satu sama lain bahkan mengetahui kondisi dan aktivitas rumah tangga warga komunitasnya masing-masing. Ikatan kekerabatan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mendorong warganya menjalin hubungan sosial dengan warga masyarakat dari desa-desa lain di Kecamatan Karang Intan, seperti Desa Kiram, Desa Mandiangin Timur, Desa Karang Intan, Desa Sungai Besar, Desa Balau, dll. Sebanyak 70% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan 56,7% warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan bahwa mereka sering bahkan hampir setiap bulan melakukan interaksi, kerjasama dan bahkan saling mengunjungi dengan kelompok atau komunitas lain yang berada di luar wilayah/desa mereka. Namun demikian tidak semua warga sering melakukan interaksi, kerjasama, atau mengunjungi kelompok/komunitas lain yang berada di luar wilayah desa mereka tersebut. Sebanyak 30% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan 33,3% warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih menyatakan bahwa mereka jarang (tidak setiap bulan) melakukan kunjungan ke luar desa, hal ini disebabkan oleh kesibukan rutinitas mereka serta usia yang sudah lanjut. Warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih menjalin hubungan sosial secara erat dengan warga masyarakat di desa-desa sekitarnya baik anggota komunitas dukuh maupun bukan anggota komunitas dukuh pada desa-desa sekitarnya di Kecamatan Karang Intan tersebut. Mereka saling mengundang dan mengunjungi jika ada hajatan atau acara-acara adat 90 lainnya di daerah masing-masing. Hubungan sosial antara warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dengan warga masyarakat di desa-desa sekitarnya tersebut sudah berlangsung sangat lama. Warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih juga membangun hubungan sosial dengan orang dari luar Kecamatan Karang Intan, antara lain dengan orang dari Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar dan orang dari Kecamatan Banjarbaru Kota Banjarbaru bahkan hingga ke Kota Banjarmasin, antara lain untuk urusan jual beli hasil pertanian dan perkebunan. Tidak semua warga masyarakat menjalin hubungan sosial dengan orang-orang dari luar Kecamatan Karang Intan tersebut. Mereka yang membangun jaringan sosial dengan orang dari luar Kecamatan Karang Intan terutama adalah warga komunitas yang tergolong aktif dalam kelompok tani, pejabat pemerintahan desa, guru atau PNS yang sering berurusan ke ibu kota Kabupaten, dan warga komunitas yang menjadi pengumpul hasil pertanian/perkebunan seperti karet yang akan dijual ke Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih membangun pola jaringan sosial yang umum maupun spesifik, melibatkan material maupun non-material dengan sesama anggota komunitas maupun dengan orang dari luar komunitas atau dari desa lainnya bahkan dari luar Kecamatan Karang Intan. Saling mengunjungi antara sesama warga komunitas maupun dengan warga di luar komunitas merupakan wujud pertukaran (exchange) dan kerjasama (cooperation) yang dilakukan secara teratur yang melibatkan non material dengan pola jaringan yang umum. Sedangkan hubungan antara warga komunitas dengan pedagang atau tengkulak merupakan pola hubungan kerjasama yang spesifik yang melibatkan material yang mereka lakukan menurut kebutuhan (as needed basis). Jaringan sosial yang spesifik dalam rangka pemasaran hasil panen dari dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih masih sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan masa pemanenan hasil dukuh yang terjadi hanya pada musim buah saja (tidak sepanjang tahun) sehingga upayaupaya untuk melakukan komunikasi dan membangun jaringan pemasarannya juga hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Sebagian besar warga pada Komunitas 91 Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mengakui bahwa hanya pada musim panen buah saja mereka melakukan komunikasi/negosiasi dan membangun jaringan pemasaran dengan pihak-pihak lain, hal ini karena mereka merasa hanya pada musim panen buah saja mereka punya kepentingan untuk memasarkan hasil panen dukuh tersebut. Kepadatan organisasi berdasarkan jumlah organisasi yang diikuti anggota keluarga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih berkisar antara 0 – 7 buah organisasi dalam satu keluarga. Adapun jumlah organisasi/kelompok yang ada di Desa Mandiangin Barat sebanyak 9 organisasi yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kelompok Tani (KT), Kelompok Pengajian (Yasinan), Kelompok Pemuda (Karang Taruna), Kelompok Wanita (arisan), Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Kesehatan (Posyandu), Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Kelompok Pencinta Alam (KPA). Sedangkan jumlah organisasi/kelompok yang ada di Desa Bi‟ih sebanyak 8 organisasi yaitu sebagaimana yang terdapat di Desa Mandiangin Barat namun tanpa Kelompok Pencinta Alam (KPA). Di Desa Mandiangin Barat tersebut terdapat Kelompok Pencinta Alam (KPA) karena wilayahnya sangat berdekatan (berbatasan) dengan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam yang juga merupakan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Unlam. Tingkat kepadatan organisasi yang diikuti warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tergolong kategori sedang dan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tergolong kategori rendah. Sebagian besar warga beserta anggota keluarganya pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat mengikuti 4-6 kelompok/organisasi yang ada di desa mereka, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar warga beserta anggota keluarganya hanya mengikuti 1-3 kelompok/organisasi yang ada di desa mereka tersebut. Kelompok/organisasi yang paling banyak diikuti oleh warga adalah Kelompok Pengajian (Yasinan), Kelompok PKK, Kelompok Pemuda (Karang Taruna), dan Kelompok Arisan (Wanita). Kelompok Pengajian (Yasinan) merupakan asosiasi yang paling banyak diikuti oleh masyarakat baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih. Kondisi sosial budaya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dengan penerapan syariat islam, maka kebutuhan akan nilai-nilai 92 islam menjadi kewajiban setiap pemeluknya. Di samping pendidikan agama untuk memperdalam pengetahuan tentang agama islam kepada setiap pemeluknya, kegiatan pengajian juga memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjalin hubungan (interaction) dengan sesama warga. Nilai-nilai spritual yang didapat masyarakat telah menanamkan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang kuat sehingga menjadi motivasi bagi warga desa untuk berpikir, bersikap dan berperilaku baik dalam kehidupan. Agama juga memiliki kedudukan sentral dalam memperlemah atau memperkuat dimensi modal sosial (Hasbullah 2006). Agama juga mengajarkan masyarakat untuk menjunjung tinggi keadaban dan mengutamakan silaturrahmi (interaction) antar individu, kelompok dan lingkungannya, serta mengajarkan untuk selalu berbuat baik dan tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Dengan demikian jelas keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengajian akan memberikan dampak terhadap peningkatan modal sosial kognitif (kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas), serta modal sosial struktural berupa jaringan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Fadli (2007) yang menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam asosiasi keagamaan akan memberikan dampak terhadap peningkatan modal sosial melalui jaringan (network) dan kepercayaan (trust) sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat desa di Aceh untuk bangkit dan membenahi diri mereka untuk membangun kembali pasca bencana tsunami. Jaringan baik formal maupun informal sebagai pola pertukaran dan interaksi sosial yang terus berkembang merupakan perwujudan penting dari modal sosial. Uphoff (2000) menjelaskan bahwa, sebagai sebuah bentuk organisasi sosial, jaringan mewakili kategori modal sosial struktural. Jaringan ini dapat berkelanjutan lebih karena harapan akan timbal balik (resiprositas). Hal ini menunjukkan bahwa ada dominasi kognitif yang penting dalam jaringan yang didorong oleh proses mental dan bukan hanya dari apa yang dipertukarkan. Kelompok/organisasi sebagai lembaga formal dalam pengelolaan dukuh belum pernah dibentuk oleh warga baik pada pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, padahal tanpa adanya kelembagaan formal yang kuat dikhawatirkan sistem pengelolaan dukuh akan tereduksi oleh intervensi ekonomi dari luar. Pada saat sekarang ini keberadaan dukuh memang 93 masih survive karena masyarakat sangat menyadari arti penting dukuh sebagai investasi masa depan, tetapi ketika terjadi penambahan penduduk yang semakin besar dimasa-masa yang akan datang maka tidak ada jaminan bahwa keberadaan dukuh akan masih mampu bertahan seperti sekarang, tidak mustahil lambat laun akan terjadi konversi lahan untuk pemukiman atau peruntukan lainnya. Dengan adanya sebuah organisasi atau lembaga formal diharapkan akan mampu memproteksi ancaman alih fungsi dukuh tersebut. Adapun rekapitulasi hasil pengukuran tingkat modal sosial, baik modal sosial kognitif maupun modal sosial struktural pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 25. Tabel 25 No. Tingkatan modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih Unsur Modal Sosial 1. 2. 3. Modal Sosial Kognitif: Kepercayaan Kerjasama Solidaritas 4. 5. 6. Modal Sosial Struktural: Aturan Peranan Jaringan Modal Sosial Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Total Nilai Tingkat Komunitas Dukuh Bi‟ih Total Nilai Tingkat 588 167 256 1011 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 602 180 270 1052 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 261 184 473 918 Sedang Rendah Sedang Sedang 286 263 444 993 Tinggi Sedang Sedang Sedang 1929 Tinggi 2045 Tinggi Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa total nilai modal sosial kognitif (kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas) yang dimiliki oleh warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih seluruhnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan total nilai pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, namun demikian modal sosial kognitif keduanya termasuk kategori “Tinggi”. Modal sosial kognitif yang tinggi pada warga komunitas pengelola dukuh tersebut tentunya berasal dari proses mental yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, norma-norma (norms), nilainilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) di antara mereka seperti ketulusan, kejujuran, sikap empati, belas kasihan, kepedulian, tolong-menolong, 94 tanpa pamrih, kesetiakawanan, dan lain-lain sehingga semua itu mendukung tindakan bersama yang saling menguntungkan dalam pengelolaan dukuh. Berkurang modal sosial kognitif pada warga komunitas dukuh akan mengakibatkan kurang produktif pula pengelolaan dukuh karena kurang kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas yang ditunjukkan oleh anggota komunitas pengelola dukuh tersebut. Oleh karena itu bentuk-bentuk modal sosial kognitif itu perlu dipahami dan dipertahankan sebagai gagasan/pikiran yang mendorong dan mendukung anggota komunitas baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih untuk melakukan tindakan kolektif yang saling menguntungkan. Modal sosial kognitif (kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas) yang begitu kuat yang dimiliki oleh warga Komunitas Dukuh tersebut menambah keyakinan kita bahwa mereka akan mampu menjaga dan memelihara dukuh dengan baik. Berdasarkan Tabel 25, secara jelas dapat dilihat bahwa unsur-unsur modal sosial struktural pada kedua komunitas hampir semuanya menunjukkan nilai yang sedang saja, namun demikian secara agregat modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut sama-sama menunjukkan nilai yang tinggi. Hal tersebut memperkuat penjelasan Uphoff (2000) bahwa, kedua bentuk modal sosial (struktural dan kognitif) memiliki ketergantungan yang sangat tinggi, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain. Keduanya mempengaruhi perilaku hingga mekanisme terbentuknya harapan/ekspektasi namun pada akhirnya semuanya adalah kembali kepada persoalan mental, sehingga modal sosial kognitif lebih menentukan. Nilai-nilai bersama, normanorma, dan harapan adalah bagian dari pecahan parcel yang membentuk susunan dari struktur sosial. Aturan, peranan, dan jaringan yang ada barangkali bersifat objektif, namun aturan, peranan, dan jaringan itu pun keberhasilannya juga akan tergantung pada efektivitas proses kognitif mereka. Menyadari tingkat modal sosial struktural pada komunitas dukuh yang hanya pada tingkat kategori “sedang”, maka sangat penting kiranya dilakukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan modal sosial struktural dalam pengelolaan dukuh agar segala aturan, peranan, serta jaringan yang telah ada menjadi semakin solid, mapan dan berkembang untuk selanjutnya mampu berperan lebih besar lagi 95 dalam memfasilitasi terciptanya tindakan kolektif yang saling menguntungkan dengan jalan mengkoordinasikan berbagai usaha, menciptakan harapan, membuat kemungkinan berhasil lebih besar, dan menyediakan jaminan tentang bagaimana orang lain akan bertindak dan sebagainya dalam rangka pengelolaan dukuh yang lebih efektif, efisien dan berkelanjutan. Uphoff (2000) menjelaskan bahwa organisasi formal maupun informal dengan segala aturan, peranan, serta dengan interaksi jaringan formal dan informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam komunitas yang ada dapat memberikan energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Pada Tabel 25, dapat dilihat pula bahwa seluruh unsur modal sosial kognitif dan unsur modal sosial struktural pada Komunitas Dukuh Bi‟ih lebih tinggi dibandingkan dengan Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, kecuali untuk unsur “jaringan” pada modal sosial struktural. Terjadi hal demikian karena pada Komunitas Dukuh Bi‟ih nilai-nilai kearifan lokal lebih terjaga yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat homogenitas warga yang lebih tinggi, serta jauh dari pengaruh-pengaruh luar (eksternal) karena keberadaan wilayahnya yang jauh terpencil, sedangkan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat karakteristik warganya lebih beragam serta wilayahnya yang lebih terbuka sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh berbagai faktor luar, meskipun demikian secara keseluruhan tingkat modal sosial pada kedua komunitas tersebut sama-sama termasuk kategori “Tinggi”. 5.2 Performansi Dukuh Pengukuran performansi dukuh digunakan untuk menjelaskan implikasi tingkat modal sosial terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dukuh pada “Dukuh Mandiangin Barat” dan “Dukuh Biih”. Performansi dukuh dijelaskan berdasarkan nilai kerapatan tumbuhan, produktivitas, keberlanjutan (sustainabilitas), keadilan (ekuitabilitas), dan efisiensi dalam pengelolaan dukuh. 96 5.2.1 Kerapatan Tumbuhan Kerapatan Tumbuhan diperoleh dari total penjumlahan seluruh nilai kerapatan (individu/ha) yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Kerapatan suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis persatuan luas. Makin besar nilai kerapatan suatu jenis berarti makin banyak pula individu jenis tersebut persatuan luas. Hal tersebut penting diketahui untuk menduga kecukupan jumlah tumbuhan dalam menjaga heterogenitas dan adaptabilitas vegetasi terhadap gangguan, perubahan-perubahan ataupun penyakit, yakni berkisar 1.000 – 25.000 individu/ha dengan rata-rata kisaran 5.000 individu/ha yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon (Jacobs 1981). Pada kedua dukuh, diketahui bahwa masing-masing memiliki kerapatan tumbuhan yang baik, dimana pada dukuh Mandiangin Barat total kerapatan tumbuhan dari tingkat semai hingga pohon adalah 3.720 individu perhektar, yang terdiri dari tingkat semai 2.833 individu perhektar, tingkat pancang 613 individu perhektar, tingkat tiang 190 individu perhektar, dan tingkat pohon dengan kerapatan 84 individu perhektar. Sedangkan pada dukuh Bi‟ih total kerapatan tumbuhan dari tingkat semai hingga pohon adalah 4.849 individu perhektar, yang terdiri dari tingkat semai 3.750 individu perhektar, tingkat pancang 867 individu perhektar, tingkat tiang 177 individu perhektar, dan tingkat pohon dengan kerapatan 55 individu perhektar. Pada dukuh Mandiangin Barat kerapatan tertinggi untuk tingkat semai adalah Lada (Piper nigrum. L), untuk tingkat pancang adalah Cempedak (Artocarpus integer Miq), untuk tingkat tiang adalah Durian (Durio zibethinus Murr), sedangkan untuk tingkat pohon adalah Langsat (Lansium domesticum Coor). Adapun pada dukuh Bi‟ih kerapatan tertinggi untuk tingkat semai adalah Kopi gunung (Anacolosa Frutescens Blume), untuk tingkat pancang adalah Cempedak (Artocarpus integer Miq), untuk tingkat tiang adalah Langsat (Lansium domesticum Coor), sedangkan untuk tingkat pohon adalah Durian (Durio zibethinus Murr). Secara terperinci komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh Mandiangin Barat dan Dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27. 97 Tabel 26 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh Mandiangin Barat Jenis Tumbuhan Langsat Durian Cempedak Rambutan Ramania Kasturi Rambai Kelapa Pisang Sawo Lada Kerapatan tumbuhan (jumlah individu/hektar) Semai Pancang Tiang Pohon 341 277 304 271 84 59 172 228 315 288 494 81 88 94 57 29 41 44 59 54 66 0 613 Jumlah 2.833 Tingkat Kerapatan Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012 55 63 38 11 5 10 8 0 0 0 0 190 28 25 14 10 2 5 0 0 0 0 0 84 Jumlah 505 453 450 349 120 115 224 287 369 354 494 3.720 Baik Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa, pada Dukuh Mandiangin Barat terdapat 11 jenis tumbuhan yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Jenis langsat (Lansium domesticum Coor), durian (Durio zibethinus Murr), cempedak (Artocarpus integer Miq), rambutan (Nephellium lappaceum), ramania (Bouea macrophylla Griffith), dan kasturi (Mangifera delmiana) merupakan produk utama dukuh yang memiliki nilai kerapatan paling tinggi dibanding dengan jenis tumbuhan buah lainnya, di mana ke 6 jenis tumbuhan tersebut merupakan jenis yang paling banyak tumbuh dari tingkat pancang, tiang, hingga pohon, sedangkan pada tingkat semai, yang paling banyak tumbuh adalah lada (Piper nigrum L.). 98 Tabel 27 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Komposisi jenis dan kerapatan tumbuhan dari tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon yang terdapat pada Dukuh Bi‟ih Jenis Tumbuhan Kerapatan tumbuhan (jumlah individu/hektar) Semai Pancang Tiang Pohon 349 106 42 11 364 98 37 16 401 114 33 7 315 71 19 8 78 38 13 2 82 55 17 5 37 52 2 3 31 29 4 3 55 74 10 0 213 48 0 0 209 73 0 0 361 109 0 0 295 0 0 0 442 0 0 0 518 0 0 0 3.750 867 177 55 Langsat Durian Cempedak Rambutan Ramania Petai Kapul Sukun Kelapa Jambu biji Sawo Pisang Nenas Lada Kopi gunung Jumlah Tingkat Kerapatan Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012 Jumlah 508 515 555 413 131 159 94 67 139 261 282 470 295 442 518 4.849 Baik Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa, pada Dukuh Bi‟ih terdapat 15 jenis tumbuhan yang tersebar dari tingkat semai hingga pohon. Jenis langsat (Lansium domesticum Coor), durian (Durio zibethinus Murr), cempedak (Artocarpus integer Miq), rambutan (Nephellium lappaceum), ramania (Bouea macrophylla Griffith), petai (Parkia speciosa), kapul (Bacaorea sp), dan sukun (Artocarous oltilis Fosberg) merupakan produk utama dukuh yang memiliki nilai kerapatan paling tinggi dibanding dengan jenis tumbuhan buah lainnya, di mana ke 8 jenis tumbuhan tersebut merupakan jenis yang paling banyak tumbuh dari tingkat pancang, tiang, hingga pohon, sedangkan pada tingkat semai jenis yang paling banyak tumbuh adalah jenis kopi gunung (Anacolosa Frutescens Blume). 99 5.2.2 Produktivitas Produktivitas dukuh baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun Komunitas Dukuh Bi‟ih secara umum termasuk kategori yang tinggi dan menguntungkan. Produktivitas dukuh permusim pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat bervariasi dari yang paling rendah yaitu Rp.6.333.333,perhektar hingga yang paling tinggi Rp.29.000.000,- perhektar. Sebagian besar yaitu 90% warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tergolong tingkat produktivitas tinggi yaitu di atas Rp.10.000.000 perhektar, sebanyak 6,7% warga tergolong tingkat produktivitas sedang, yaitu antara Rp.7.000.000,- s/d Rp.10.000.000,- perhektar, dan produktivitas yang tergolong rendah hanya 3,3% warga karena berada di bawah Rp.7.000.000,- perhektar. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, produktivitas dukuh bervariasi dari yang paling rendah Rp.10.000.000,- hingga yang tertinggi Rp.21.000.000,-. Sebagian besar (93,3%) warga pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tergolong tingkat produktivitas tinggi yaitu di atas Rp.10.000.000 perhektar, sebanyak 6,7% warga tergolong tingkat produktivitas sedang, yaitu antara Rp.7.000.000,- s/d Rp.10.000.000,- perhektar, dan tidak ada satu wargapun yang tingkat produktivitas dukuhnya tergolong rendah. Secara rinci distribusi responden serta tingkat produktivitas dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 No. Distribusi responden menurut tingkat produktivitas dukuh Tingkat Produktivitas Dukuh Distribusi Responden Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih (%) (%) 1. Rendah (< Rp. 7 juta / ha) 3,3 0,0 2. Sedang (Rp. 7 – 10 juta / ha) 6,7 6,7 3. Tinggi (> Rp. 10 juta / ha) 90,0 93,3 100 Dari Tabel 28 dapat diketahui bahwa mayoritas produktivitas pada kedua dukuh adalah di atas Rp. 10 juta perhektar, dan berdasarkan penilaian total nilai maka diketahui produktivitas dukuh pada Dukuh Mandiangin Barat dan pada Dukuh Bi‟ih tersebut termasuk kategori “Tinggi”. Upaya peningkatan produktivitas dukuh dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan pada tanaman-tanaman yang mulai berbunga agar hasil buahnya dapat maksimal. Produktivitas dukuh juga diproteksi oleh masyarakat melalui cara pemanenan buah, khususnya durian dan cempedak. Cara panen dengan tidak memanjat ternyata mampu mempertahankan kualitas dan produktivitas pohonnya. 5.2.3 Keberlanjutan (Sustainabilitas) Keberadaan dukuh yang telah lama berfungsi dalam menopang kehidupan masyarakat yang mengelolanya baik secara sosial-ekonomi maupun secara ekologis perlu dipertahankan keberlanjutannya. Wujud dari keinginan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dukuh dapat terlihat dari penjelasan warga komunitas yang tidak akan menjual dukuhnya kepada orang di luar dari desanya jika pada suatu saat terpaksa harus menjual dukuhnya. Tapi rata-rata mereka mengatakan tidak akan menjual dukuhnya karena ada rasa kebanggaan tersendiri jika memiliki dukuh dan merasa ada yang kurang jika tidak memiliki dukuh. Sistem penjualan dukuh dalam lingkungan masyarakat desa akan dapat mencegah terjadinya alih fungsi lahan dukuh. Upaya yang dilakukan oleh warga komunitas dukuh untuk mempertahankan dan meningkatkan keberlanjutan dukuhnya adalah dengan cara melakukan upaya budi daya dukuh berupa kegiatan permudaan dan pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan dukuh dapat berlangsung pada dukuh tua dan dukuh muda yang baru dibuat. Pada dukuh tua intensitas pemeliharaan dukuh akan mulai dilakukan pada awal musim berbuah yaitu ketika tanaman buah mulai berbunga sampai kegiatan panen selesai. Kegiatan pemeliharaan berupa penyiangan tanaman bawah, pada pohon durian dilakukan sebelum kegiatan panen dengan tujuan untuk memudahkan pemungutan durian-durian yang jatuh, pada pohon cempedak dilakukan justru setelah panen selesai dimana sisa-sisa penyiangan tersebut dibiarkan membusuk di bawah tegakan cempedak, pada tanaman langsat 101 penyiangan tanaman bawah tidak terlalu perlu dilakukan dengan alasan untuk menjaga kelembaban tanah. Bentuk pemeliharaan yang lain berupa pemberian garam ke dalam parit di sekitar pohon durian setelah panen selesai dan pengamanan bunga dan buah tanaman dukuh dari serangan binatang pengganggu. Dalam satu tahun kegiatan pemeliharaan dukuh tua pada dukuh gunung berlangsung satu sampai dua kali tapi pada dukuh rumah sebagian masyarakat akan melakukan pemeliharaan rutin jika ada waktu senggang di luar pekerjaan pokok. Kegiatan permudaan berlangsung pada dukuh tua melalui proses seleksi anakan disertai dengan kegiatan pembuatan dukuh-dukuh baru di areal kebun karet non-produktif dan di areal-areal kosong dengan permudaan buatan dari jenis-jenis tanaman buah asli (indigenous). Pada pohon-pohon buah yang sudah tua sebagian besar dibiarkan mati secara alami dan jarang dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat. Kemudian setelah mengalami pelapukan yang cukup lama masyarakat akan melakukan pengayaan di tempat tersebut dan masyarakat yakin bahwa tanaman buah yang ditanam akan dapat tumbuh subur. Pemeliharaan pada dukuh muda yang baru dibuat dilakukan dengan cara penyiangan, pendangiran dan pemupukan seperlunya. Tujuan dari pendangiran dan penyiangan adalah untuk menggemburkan tanah, merangsang pertumbuhan tanaman dan memudahkan pemeliharaan. Sedangkan pemupukan bertujuan untuk memelihara kesuburan tanah dan memberikan unsur hara ke dalam tanah baik secara langsung ataupun tidak langsung. Masyarakat biasanya lebih senang menggunakan pupuk kandang atau kompos. Distribusi responden dalam upaya mempertahankan keberlanjutan dukuh dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Distribusi responden menurut tingkat keberlanjutan dukuh No. Tingkat Intensitas Pemeliharaan Dukuh 1. Rendah (Tidak pernah dilakukan) 2. 3. Distribusi Responden Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih (%) (%) 0,0 0,0 Sedang (Jarang dilakukan) 53,3 0,0 Tinggi (Sering dilakukan) 46,7 100,0 102 5.2.4 Keadilan (Ekuitabilitas) Dukuh yang terdapat di desa Mandiangin Barat dimiliki oleh ±75% masyarakatnya, sedangkan di desa Bi‟ih ±79% penduduknya merupakan komunitas pemilik dukuh. Warga masyarakat yang tidak memiliki dukuh jika musim buah tiba, juga akan turut menikmati manfaat dari keberadaan sumberdaya alam berupa dukuh tersebut. Warga masyarakat yang memiliki dukuh akan membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh mereka kepada tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai wujud solidaritas dan rasa kekeluargaan serta tanggung jawab moril yang tinggi dari komunitas pemilik dukuh tersebut, hal demikian rutin dilakukan pada setiap kali musim panen. Selain itu warga masyarakat yang tidak memiliki dukuh jika bersedia juga akan dilibatkan sebagai tenaga kerja, baik untuk kegiatan pemeliharaan (penyiangan, pendangiran, dan pemupukan), maupun dalam kegiatan pemanenan (memetik dan mengangkut buah), dan bahkan jika masyarakat yang tidak memiliki dukuh tersebut memiliki modal yang cukup maka mereka akan dijadikan mitra sebagai pedagang perantara (tengkulak), dan tentunya mereka akan memperoleh keuntungan yang cukup besar sampai 40% dari keuntungan pemilik dukuh. Sistem kelembagaan atau aturan main seperti ini sangat kondusif dimana masyarakat yang tidak memiliki dukuh masih mendapat manfaat yang proporsional dan berkeadilan. Jadi telah terjadi distribusi keuntungan dari 75% dan 79% pemilik dukuh terhadap 25% dan 21% masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Dengan tingginya perwujudan solidaritas dan rasa kekeluargaan serta tanggung jawab moril dari komunitas pemilik dukuh kepada warga yang tidak memiliki dukuh sebagaimana penjelasan di atas, paling tidak ada dua keuntungan yang akan berdampak positif dengan realita seperti itu. Pertama, telah terjadi pemerataan distribusi manfaat serta keuntungan profit hasil dukuh antara pemilik dukuh dengan masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Kedua, karena adanya distribusi manfaat serta keuntungan tersebut menyebabkan buah-buahan di dukuh jauh dari gangguan pencurian atau pengrusakan karena antara pemilik dukuh dan masyarakat yang tidak memiliki dukuh sama-sama merasa memiliki dukuh. 103 Distribusi responden dalam upaya mendistribusikan keadilan manfaat dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 No. Distribusi responden menurut tingkat keadilan dukuh Pihak-Pihak yang Merasakan Manfaat Dukuh Distribusi Responden Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih (%) (%) 1. Rendah (Hanya bermanfaat bagi pemilik dukuh) 0,0 0,0 2. Sedang (Hanya bermanfaat bagi pemilik dukuh dan pembeli buahnya) 10,0 0,0 3. Tinggi (Bermanfaat bagi pemilik dukuh, tenaga kerja, tengkulak, pedagang, dan pembeli buahnya) 90,0 100,0 5.2.5 Efisiensi Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemilik dukuh relatif sangat kecil, yakni kurang dari 10% dari nilai produksi, di mana rata-rata biaya produksi dukuh pada komunitas dukuh Mandiangin Barat hanya sebesar 7,60% yang berarti bahwa nilai pendapatan bersih dari dukuh mencapai 92,40%, sedangkan pada komunitas dukuh Bi‟ih biaya produksinya lebih kecil lagi yaitu hanya sebesar 7,04% atau dengan kata lain bahwa nilai pendapatan bersih dari dukuh mencapai 92,96%. Distribusi responden menurut tingkat efisiensi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 No. Distribusi responden menurut tingkat efisiensi dukuh Tingkat Efisiensi Dukuh Distribusi Responden Komunitas Dukuh Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Bi‟ih (%) (%) 1. Rendah (Biaya produksi > 40%) 0,0 0,0 2. Sedang (Biaya produksi 20-40%) 6,7 0,0 3. Tinggi (Biaya produksi < 20%) 93,3 100,0 104 Tingkat efisiensi yang tinggi dalam pengelolaan dukuh tersebut disebabkan oleh biaya in-put yang rendah dalam sistem pengelolaan produksi (waktu, modal, tenaga kerja, keamanan), dan adanya aturan main yang berjalan dengan baik, serta jelasnya komponen-komponen property right dalam pengelolaan dukuh (hak kepemilikan, penguasaan dan pengelolaannya). Faktorfaktor tersebut akan dapat menjelaskan perbandingan antara out-put dan in-put. Dari segi waktu, dapat dijelaskan bahwa dukuh yang terbentuk sekarang merupakan dukuh warisan yang sudah lama berproduksi setiap tahun. Karena dukuh merupakan areal produktif yang sudah terbentuk lama maka dukuh tidak membutuhkan banyak pemeliharaan, terutama setelah pohon-pohon buahnya tumbuh baik, sehingga biaya yang diperlukan juga sangat murah. Adapun dari segi modal (pupuk dan bibit), diketahui bahwa mereka tidak pernah melakukan kegiatan pemupukan dengan pupuk anorganik dengan alasan bahwa pupuk anorganik akan menyebabkan terjadinya efek rapuh dahan pada durian dan tanah tambah keras. Pendapat tersebut masih cukup relevan jika dikaitkan dengan pernyataan Verheij dan Coronel (1997) yang menyatakan bahwa kebanyakan petani buah di Indonesia dan di Malaysia memang tidak menggunakan pupuk di dalam melakukan pemeliharaan pohon buah-buahan yang mereka miliki karena penggunaan pupuk malah justru menghilangkan kesuburan selama tanaman terlalu lemah untuk mengurangi pertumbuhan secara nyata. Jadi input hara terhadap tanamannya berasal dari sisa penyiangan yang dibiarkan membusuk menjadi kompos atau berasal dari serasah baik daun, ranting, cabang dan kulit buah yang ada di lantai dukuh. Input modal dalam bentuk bibit hanya mengandalkan pada proses alami. Pada dukuh-dukuh tua regenerasi berlangsung secara alami dimana masyarakat akan melakukan seleksi terhadap keberadaan semai yang tumbuh di lantai dukuh. Jika tumbuhnya sesuai untuk bisa berkembang akan dipelihara tapi jika tidak sesuai akan dipindahkan ke polybag atau dibuang. Pada dukuh buatan bibit anakan berasal dari dukuh tua atau sengaja disemai dari biji /benih unggul. Dari segi tenaga kerja, pengelolaan dukuh juga memiliki tingkat efisiensi tinggi, karena sistem pengelolaan dukuh yang ada bersifat individual dimana tenaga kerja pengelola dukuh pada umumnya berasal dari anggota keluarga 105 sendiri. In-put produksi yang paling intensif digunakan adalah tenaga kerja untuk pemeliharaan dan pemanenan. In-put produksi yang lain berupa keamanan sangat tidak berpengaruh terhadap biaya produksi sehingga pengelolaan dukuh relatif sangat efisien. Efisiensi dukuh juga tergambar dari ada dan dihormatinya berbagai aturan main tentang interdependencies antara pihak terkait ataupun keterkaitan pihak-pihak tersebut dengan sumberdaya alam yang dikelolanya dengan batas-batas kewenangan (jurisdictional boundaries) yang jelas. Selain itu gambaran efisiensi pada dukuh dapat terlihat dari jelasnya hakhak kepemilikan, penguasaan, pengelolaan atau terdefinisinya dengan baik komponen-komponen property right. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Tietenberg (1992) dalam Suharjito et al. (2000) bahwa pengelolaan suatu sumberdaya berada pada tingkat yang paling efisien dan karenanya sustainable, apabila struktur property rightnya terdefinisi dengan baik. Adapun tingkat kategori performansi dukuh serta Perbandingan tingkat kategori modal sosial dengan performansi dukuh sebagaimana Tabel 32. Tabel 32 No. 1. 2. 3. 4. 5. Tingkatan kategori performansi dukuh dan modal sosial pada Dukuh Mandiangin Barat dan Dukuh Bi‟ih Unsur Performansi Dukuh Kerapatan Produktivitas Keberlanjutan Keadilan Efisiensi Tingkat Performansi Dukuh Tingkat Modal Sosial Dukuh Mandiangin Barat Nilai Kategori Baik Dukuh Bi‟ih Nilai Kategori 60 86 74 87 88 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 60 88 90 90 90 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Baik 395 1929 Baik Tinggi 418 2045 Baik Tinggi 5.3 Hubungan Modal Sosial dengan Performansi Dukuh Modal sosial yang tinggi pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih telah memfasilitasi terbentuknya performansi dukuh yang baik, dicirikan oleh tingkat kerapatan tumbuhan yang baik, nilai produktivitas yang tinggi, penggunaan sumberdaya yang efisien, pemanfaatan sumberdaya yang adil, serta berlangsungnya pengelolaan dukuh secara berkelanjutan. 106 5.3.1 Hubungan Modal Sosial Kognitif dengan Performansi Dukuh Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh modal sosial kognitif terhadap performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, digunakan uji korelasi peringkat spearman dengan hasil sebagaimana tabel 33 dan 34. Tabel 33 Hubungan antara modal sosial kognitif dengan performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Korelasi Performansi Dukuh MS Kognitif 0.748** Kepercayaan Kerjasama Solidaritas 0.537** 0.666** 0.784** Kerapatan Tumbuhan 0.533* 0.619* 0.520** 0.273 Produktivitas 0.682** 0.554** 0.618** 0.424 Keberlanjutan 0.770** 0.604** 0.688** 0.512** Keadilan 0.690** 0.715** 0.611** 0.799** Efisiensi 0.639** 0.612* 0.856** 0.382 Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05 ** korelasi nyata pada taraf 0,01. Pada Tabel 33 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dipengaruhi oleh modal sosial kognitif. Seluruh unsur modal sosial kognitif pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur-unsur modal sosial kognitif tersebut yaitu kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas semuanya berkorelasi positif terhadap performansi dukuh. Hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas pada warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maka semakin baik pula performansi dukuh yang ada pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut. Berdasarkan Tabel 33, dapat pula diketahui bahwa kerapatan tumbuhan, produktivitas, dan efisiensi pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan dan kerjasama, hal ini sebagaimana kita ketahui bahwa kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap manfaat dukuh tersebut sangat tinggi, begitu pula tingkat kerjasama warga komunitas cukup tinggi dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan, 107 pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh) sehingga kerapatan tumbuhan tetap terpelihara dengan baik dan menghasilkan nilai produktivitas yang tinggi dengan biaya-biaya produksi yang sangat kecil sebagai dampak dari kerjasama yang baik tersebut. Adapun keberlanjutan dan keadilan memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas, hal ini karena kepercayaan warga terhadap manfaat dukuh yang tinggi yang didukung oleh kerjasama yang baik serta solidaritas yang tinggi, sehingga upaya-upaya pemeliharaan yang dilakukan juga lebih baik, dan pendistribusian manfaat dukuh juga dapat dirasakan oleh lebih banyak pihak sebagai dampak dari solidaritas yang tinggi. Tabel 34 Hubungan antara modal sosial kognitif dengan performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih Performansi Dukuh MS Kognitif 0.752** Kerapatan Tumbuhan 0.602** 0.681** 0.633** 0.276 Produktivitas 0.558** 0.615* 0.684** 0.504** Keberlanjutan 0.714** 0.605** 0.737** 0.723** Keadilan 0.687** 0.588** 0.625** 0.744** Efisiensi 0.598** 0.672** 0.749** 0.287 Korelasi Kepercayaan Kerjasama Solidaritas 0.592** 0.721** 0.810** Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05 ** korelasi nyata pada taraf 0,01. Pada Tabel 34 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih dipengaruhi oleh modal sosial kognitif. Seluruh unsur modal sosial kognitif tersebut berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur-unsur modal sosial kognitif tersebut yaitu kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas semuanya berkorelasi positif terhadap performansi dukuh. Hal tersebut menunjukkan arti bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas pada Komunitas Dukuh Bi‟ih maka semakin baik pula performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut. Berdasarkan Tabel 34, diketahui pula bahwa kerapatan tumbuhan dan efisiensi pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan dan kerjasama, hal ini karena kepercayaan masyarakat 108 terhadap manfaat dukuh tersebut sangat tinggi, begitu pula tingkat kerjasama warga komunitas cukup tinggi dalam kegiatan pengelolaan dukuh (pemeliharaan, pengawasan, pemanenan, dan pemasaran hasil dukuh) sehingga biaya-biaya produksi yang dikeluarkan menjadi sangat kecil sebagai dampak dari kerjasama yang baik tersebut. Adapun produktivitas, keberlanjutan dan keadilan memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas, hal ini karena kepercayaan warga terhadap manfaat dukuh yang tinggi yang didukung oleh kerjasama yang baik serta solidaritas yang tinggi, sehingga nilai produksi yang dihasilkan menjadi tinggi karena dukuh yang terjaga dan aman dari segala gangguan binatang atau pencurian, selain itu upaya-upaya pemeliharaan yang dilakukan juga lebih baik, dan pendistribusian manfaat dukuh juga dapat dirasakan oleh banyak pihak sebagai dampak dari solidaritas yang tinggi tersebut. Tabel 33 dan 34 menunjukkan bahwa tingkat modal sosial kognitif berupa kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas yang dimiliki oleh warga baik pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maupun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih mampu mendukung terwujudnya performansi dukuh yang baik. Jika modal sosial kognitif tersebut berkurang tentu akan mengakibatkan kurang produktif pula pengelolaan dukuh, oleh karena itu bentuk-bentuk modal sosial kognitif ini perlu dipertahankan sebagai gagasan/pikiran yang mendorong dan mendukung anggota komunitas untuk melakukan tindakan kolektif yang saling menguntungkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa modal sosial kognitif pada komunitas dukuh tersebut bersumber dari norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang melekat pada warganya dan terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perlu upaya-upaya untuk mengantisipasi berbagai faktor yang dapat meluruhkannya, terus menggali keseluruhan sistem kehutanan masyarakat yang ada, menghindari segala bentuk intervensi dalam hal-hal teknis yang menjadi domain dari masyarakat itu sendiri, serta selalu berupaya melakukan penguatan terhadap norma-norma (norms), nilainilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang berlaku. 109 5.3.2 Hubungan Modal Sosial Struktural dengan Performansi Dukuh Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh modal sosial struktural terhadap performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, dapat dilihat pada tabel 35 dan 36. Tabel 35 Hubungan antara modal sosial struktural dengan performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Korelasi Performansi Dukuh Kerapatan Tumbuhan MS Struktural 0.501* 0.205 Aturan Peranan Jaringan 0.331 0.138 0.102 0.214 0.535* 0.151 Produktivitas 0.112 0.320 0.335 0.204 Keberlanjutan 0.693* 0.574* 0.423 0.589* Keadilan 0.525* 0.265 0.186 0.617** Efisiensi 0.533* 0.315 0.227 0.551* Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05 ** korelasi nyata pada taraf 0,01. Pada Tabel 35 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat juga dipengaruhi oleh modal sosial struktural. Unsur modal sosial struktural yang berpengaruh nyata tersebut adalah jaringan, sedangkan aturan dan peranan tidak berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur modal sosial struktural berupa jaringan tersebut berkorelasi positif terhadap performansi dukuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat modal sosial struktural berupa jaringan pada warga Komunitas Dukuh Mandiangin Barat maka semakin baik pula performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut. Berdasarkan Tabel 35, dapat diketahui pula bahwa keberlanjutan pada Dukuh Mandiangin Barat memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan aturan dan jaringan, hal ini karena norma-norma yang ada masih tetap dipertahankan oleh warga komunitas, selain itu hubungan-hubungan sosial yang terbangun dalam berbagai jaringan cukup mempengaruhi upaya-upaya pemeliharaan dalam rangka mempertahankan keberadaan dukuh tersebut. Sedangkan keadilan dan efisiensi memiliki hubungan yang signifikan dan positif 110 dengan jaringan, hal ini karena semakin luas hubungan-hubungan sosial yang terjalin akan sangat mempengaruhi penyebaran manfaat dari dukuh tersebut kepada berbagai pihak yang dapat merasakannya, selain itu dengan semakin baik hubungan sosial maka proses-proses produksi yang berlangsung akan semakin efektif dan efisien. Tabel 36 Hubungan antara modal sosial struktural dengan performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih MS Struktural 0.553** Aturan Peranan Jaringan 0.514** 0.593** 0.168 Kerapatan Tumbuhan 0.118 0.738* 0.354 0.227 Produktivitas 0.389 0.620** 0.277 0.193 Keberlanjutan 0.588** 0.674** 0.612** 0.114 Keadilan 0.662** 0.665** 0.520* 0.628* Efisiensi 0.557** 0.593** 0.323 0.273 Korelasi Performansi Dukuh Keterangan : * korelasi nyata pada taraf 0,05 ** korelasi nyata pada taraf 0,01. Pada Tabel 36 dapat dilihat bahwa performansi dukuh pada Komunitas Dukuh Bi‟ih juga dipengaruhi oleh modal sosial struktural. Unsur-unsur modal sosial struktural yang berpengaruh nyata tersebut yaitu aturan dan peranan, sedangkan jaringan tidak berpengaruh nyata terhadap performansi dukuh. Unsur modal sosial struktural berupa aturan dan peranan tersebut berkorelasi positif terhadap performansi dukuh Hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa semakin baik tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas terhadap aturan dalam pengelolaan dukuh yang ada, maka semakin mendukung mobilisasi dan resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh. Demikian pula halnya dengan peranan, dimana peranan para tokoh formal maupun informal dalam pengelolaan dukuh sangat penting untuk memfasilitasi komunikasi antar individu dalam kegiatankegiatan pengelolaan dukuh, termasuk juga menyelesaikan konflik yang mungkin timbul diantara anggota komunitas, bahkan sangat diperlukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kebersamaan antar individu guna mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh individu yang hanya mencari keuntungan/manfaat untuk kesejahteraan dirinya sendiri dan merugikan 111 kepentingan komunitas dalam menjaga dan melestarikan dukuh. Adapun jaringan tidak berpengaruh nyata karena hubungan sosial yang spesifik dalam pengelolaan dukuh yang mereka lakukan masih sangat terbatas dan lebih berbasis pada kekeluargaan. Berdasarkan Tabel 36, dapat pula diketahui bahwa kerapatan tumbuhan, produktivitas, dan efisiensi pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan aturan, hal ini karena pada warga Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut masih memegang teguh aturan berupa norma-norma yang ada seperti tidak merusak atau menjual dukuh, kemudian tidak memanen buah durian dengan memetiknya, dll sehingga keberadaan dukuh mereka tetap bertahan dan produktivitasnya juga tetap terjaga dengan baik, serta biaya produksi juga menjadi sangat kecil. Keberlanjutan memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan aturan dan peranan, karena sebagaimana dijelaskan di atas bahwa warga Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut masih memegang teguh aturan berupa norma-norma yang ada, selain itu peranan tokoh-tokoh seperti tokoh adat, tokoh agama, dan kepala desa (pembakal) yang cukup tinggi dalam mendukung pengelolaan dukuh sehingga sangat berpengaruh terhadap keberadaan dukuh tersebut. Adapun keadilan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan seluruh unsur modal sosial struktural yaitu aturan, peranan, dan jaringan, hal ini karena norma-norma berupa kearifan-kearifan lokal seperti pelibatan tetangga/warga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja/mitra dalam kegiatan pengelolaan dukuh dan kebiasaan membagikan secara cuma-cuma sebagian buah-buahan hasil panen dukuh kepada tetangga yang tidak memiliki dukuh, masih dipertahankan dan berjalan dengan baik, hal ini juga tidak terlepas dari peran berbagai tokoh dalam turut mendukung pengelolaan dukuh tersebut selain itu dengan adanya ikatan dan hubungan sosial yang terjalin dengan baik di antara sesama warga turut mendukung terjadinya distribusi manfaat dukuh kepada berbagai pihak yang ikut merasakannya.