Resume Ruang Gerak Manajemen Hutan

advertisement
5
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Modal Sosial
Secara umum, konsep modal sosial dikembangkan oleh dua aliran utama,
yaitu kelompok ahli sosiologi-antropologi serta kelompok ahli politik dan
ekonomi kelembagaan. Para ahli tersebut memiliki beragam definisi tentang apa
yang mereka maksudkan dengan modal sosial, walaupun secara hakikat tidak
terdapat perbedaan yang mendasar. Pandangan sosiologis melihat aktor dan
tindakan sosial dikendalikan oleh norma sosial, aturan, dan jaminan. Modal sosial
menjelaskan tindakan di dalam konteks sosial dan menjelaskan cara tindakan
dibentuk, dihambat, dan dialihkan oleh konteks sosial itu. Pandangan ekonomis
melihat aktor sebagai pemilik tujuan yang dapat mencapai tujuannya secara bebas,
keseluruhan
yang
mendahulukan
kepentingan
sendiri
dalam
prinsip
memaksimalkan keuntungan (Siregar 2004).
Bourdieu (1970), mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya aktual
dan potensial yang dimiliki oleh seseorang yang berasal dari jaringan sosial yang
terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan
perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok
sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif.
Dalam pengertian ini modal sosial menekankan pentingnya transformasi dari
hubungan sosial yang sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau
kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh
perasaan kewajiban terhadap orang lain. Bourdieu (1970) juga menegaskan
tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain,
baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial)
berupa institusi lokal maupun kekayaan sumberdaya alam lainnya. Pendapatnya
menegaskan tentang modal sosial yang mengacu pada keuntungan dan
kesempatan
yang
didapatkan
seseorang
di
dalam
masyarakat
melalui
keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu seperti paguyuban, kelompok arisan,
atau asosiasi tertentu (Damsar 2009).
Adapun James Coleman (1988), mendefinisikan modal sosial berdasarkan
fungsinya, yaitu bahwa modal sosial sebagai varian entitas yang terdiri dari
6
beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah
dalam bentuk individu atau kelompok/organisasi dalam suatu struktur sosial. Ia
juga menjelaskan bahwa modal sosial adalah aspek-aspek dari struktur hubungan
antara individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai
baru. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa modal sosial sebagai sesuatu yang
memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi
tindakan individu dalam struktur sosial tersebut. Dalam pengertian ini, bentukbentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan
sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan
secara tepat dan melahirkan kontrak sosial. Beberapa tambahan pengertian
misalnya bersumber dari hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State
University, Amerika Serikat, tentang modal sosial dapat didefinisikan pengertian
modal sosial sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau
kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa
menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan
preferensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”.
Berbeda dengan Bourdieu (1970) dan James Coleman (1988) di atas,
menurut Ostrom (1992), modal sosial adalah kemampuan suatu komunitas
merajut institusi atau pranata. Lebih lanjut Ostrom menjelaskan bahwa melalui
serangkaian pengalamannya yang cukup luas dalam mengkaji proyek-proyek
pembangunan di negara-negara berkembang menyatakan bahwa modal sosial
merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu proyek pembangunan. Ostrom
menitikberatkan pada rajutan institusi atau pranata. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan institusi atau pranata adalah seperangkat aturan yang digunakan secara
aktual oleh sekelompok individu atau komunitas untuk mengorganisasikan
tindakan
yang
berulang-ulang
yang
menghasilkan
suatu
luaran
yang
mempengaruhi kelompok individu tersebut dan juga sangat potensial untuk
mempengaruhi orang lain. Kesimpulannya, institusi adalah seperangkat aturan
yang berlaku atau digunakan dan dijadikan sebagai acuan berperilaku.
Berbeda dengan Ostrom (1992), rumusan konsep modal sosial menurut
Putnam, Leonardi dan Nonetti (1993), adalah bahwa modal sosial mengacu pada
aspek-aspek utama dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma-norma, dan
7
jaringan-jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat
melalui fasilitasi bagi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lebih lanjut Putnam
menjelaskan bahwa modal sosial senantiasa berada pada posisi utama dalam
membangun dan terciptanya masyarakat sipil. Sebagai elemen penting yang
terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma
yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam
kehidupan
sehari-hari,
yang
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas
masyarakat. Bahkan, berdasarkan banyak pengalaman dalam kerja sosial,
menurut Putnam bahwa apa yang dinamakan kerjasama sukarela (kerja bakti,
gotong-royong) lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah
mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-aturan,
pertukaran timbal balik, dan jaringan-jaringan kesepakatan warga.
Menurut Uphoff (2000) serta Serageldin dan Grootaert (2000), rumusan
konsep modal sosial oleh Putnam tersebut kurang operasional. Uphoff (2000)
menyatakan banyak definisi yang diberikan oleh para ahli masih membutuhkan
validasi, sehingga perlu lebih fokus pada komponen-komponen, hubunganhubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek pembangunan
secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal seperti apa
unsur-unsur yang menyusunnya, apa yang menghubungkan mereka, serta
konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan interaksi tersebut.
Uphoff (2000) juga menjelaskan bahwa, meskipun konsep modal sosial
telah sedemikian luas diterima di kalangan komunitas professional pembangunan,
akan
tetapi,
ia
masih
saja
menjadi
konsep
yang
sulit
dipahami.
Perhatian/keprihatinan terhadap konsep ini didorong oleh hal/masalah yang sama,
sebab banyak pengalaman di dunia nyata yang menunjukkan bahwa inisiatif
pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia – termasuk faktorfaktor seperti nilai-nilai, norma-norma, budaya, motivasi, solidaritas – akan
cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi
manusia. Bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan
semua itu akan berujung pada kegagalan. Agen-agen pembangunan dan ilmuwan
mencoba untuk memahami apa itu modal sosial dan bagaimana ia dapat
8
diandalkan demi pembangunan sosial ekonomi dengan biaya yang efektif? Saat
ini, konsep modal sosial bentuknya memang tidak lebih jelas daripada partisipasi,
namun ia justru lebih menarik, karena jika kita berhasil memahaminya, maka kita
dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih
besar.
Uphoff (2000) menyatakan bahwa “Social capital is an accumulation of
various types of social, psychological, cultural, cognitive, institutional, and
related assets that increase the amount (or probability) of mutually beneficial
cooperative behavior” (modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial,
psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat
meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama). Aset
disini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk
membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan
dapat diperluas atau disebarkan dengan mudah. Sedangkan perilaku bermakna
sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk
diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain dan tidak
hanya diri sendiri. Dalam hal ini, Uphoff (2000) menghubungkan konsep modal
sosial dengan proposisi bahwa hasil dari interaksi sosial haruslah dapat
mendorong lahirnya “manfaat bersama” (Mutually Beneficial Collective
Action/MBCA).
Lebih lanjut Uphoff (2000) menegaskan bahwa, berbagai pembahasan
pada literatur tentang modal sosial selama ini belum sampai pada kesimpulan
yang benar-benar terang/jelas, sebab mereka lebih banyak hanya mencontohkan
apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan secara spesifik apa saja yang
dapat menumbuhkannya? Dibutuhkan analisis yang lebih mendalam - tidak hanya
yang bersifat deskriptif – agar kita memperoleh kemajuan baik secara teoritis
maupun praktis. Apa saja yang membentuk modal sosial tidaklah dapat
disimpulkan hanya dengan membuat definisi, meskipun definisi itu juga kita
perlukan. Beragam studi-studi empiris dengan dipandu oleh konsep-konsep
analitis yang koheren akan sangat dibutuhkan untuk memahami kompleksitas
modal sosial. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli, akan tetapi
definisi-definisi itu masih membutuhkan validasi. Kita perlu lebih fokus pada
9
komponen-komponen, hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi
dalam praktek pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan
pada hal-hal seperti apa unsur-unsur yang menyusunnya, apa koneksi/yang
menghubungkan mereka, serta konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan
unsur-unsur dan interaksi tersebut (Uphoff 2000).
2.2
Kategori Modal Sosial
Woolcock (1998) membedakan modal sosial menjadi tiga tipe yaitu
bounding, bridging dan linking. Tipe ‘bounding’ dicirikan dengan ikatan yang
kuat (atau „social glue‟), seperti antar anggota atau anggota keluarga dalam grup
etnik yang sama. Tipe ‘Bridging’ dicirikan dengan ikatan yang lemah (social oil),
seperti asosiasi lokal, hubungan teman dari grup etnik berbeda. Tipe ‘linking’
dicirikan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda level kekuasaanya atau
status sosialnya, seperti hubungan antara elit politik dengan masyarakat umum,
atau antara individu-individu dari klas sosial yang berbeda.
Social bounding (perekat sosial), merupakan modal sosial yang lebih
banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya
menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu
hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif (nilai, kultur, persepsi,
tradisi dan adat istiadat). Sedangkan social bridging (jembatan sosial) timbul
sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya dan lebih banyak
menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat.
Social linking
merupakan hubungan sosial di antara beberapa level dari kekuatan sosial atau
status sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut
(Ramli 2007; LP UNPAD 2008).
Berbeda dengan Woolcock (1998), Uphoff (2000) membagi unsur-unsur
modal sosial menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan
kognitif. Secara abstrak/teoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir sendirisendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk
tanpa kehadiran kedua-duanya, karena secara intrinsik saling terkait. Aset modal
sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif
10
tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik, aset
struktural datang dari hasil proses kognitif.
Lebih lanjut Uphoff (2000) menjelaskan bahwa kategori struktural
berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial. Peranan (roles) adalah perihal
atau tindakan spesifik baik formal maupun informal dalam struktur sosial. Aturan
(rules) adalah segala ketentuan yang berlaku baik yang tersirat maupun yang
tersurat. Peranan (roles) dan aturan (rules) mendukung empat fungsi dasar dan
kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan,
mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi
konflik. Hubungan-hubungan sosial membangun pertukaran (exchange) dan
kerjasama (cooperation) yang melibatkan barang material maupun non material.
Jejaring (networks) adalah pola pertukaran
dan interaksi sosial
yang
menggambarkan hubungan antar masyarakat. Peranan, aturan, dan jejaring
memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial
collective action/MBCA) Bentuk struktural dari modal sosial (peranan, aturan,
prosedur, preseden dan jaringan) yang memfasilitasi terciptanya manfaat bersama
dari tindakan kolektif (MBCA) dengan jalan menurunkan biaya transaksi,
mengkoordinasikan berbagai usaha, menciptakan harapan, membuat kemungkinan
berhasil lebih besar, dan menyediakan jaminan tentang bagaimana orang lain akan
bertindak dan sebagainya.
Selanjutnya Uphoff (2000) menjelaskan bahwa kategori kognitif datang
dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh
budaya dan ideologi. Norma, nilai, sikap, dan keyakinan memunculkan dan
menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung
MBCA. Terdapat dua orientasi, yaitu orientasi ke arah pihak/orang lain dan
orientasi mewujudkan tindakan.
Orientasi pertama pada kategori kognitif adalah, norma, nilai, sikap, dan
keyakinan yang diorientasikan kepada pihak lain, bagaimana seseorang harus
berfikir dan bertindak ke arah orang lain. Kepercayaan (trust) adalah rasa percaya
dalam berhubungan dengan orang lain. Kepercayaan (trust) dan pembalasan
(reciprocation) merupakan cara membangun hubungan dengan orang lain.
Sedangkan tujuan membangun hubungan sosial adalah solidaritas. Solidaritas
11
(solidarity) adalah upaya membantu orang lain untuk berdiri bersama-sama agar
mendapatkan manfaat dari kelompok yang lebih besar di luar keluarga dan
kerabat. Kepercayaan (trust) dilandasi oleh norma-norma (norms), nilai-nilai
(values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) untuk membuat kerjasama dan
kedermawanan efektif. Solidaritas juga dibangun berdasarkan norma, nilai, sikap,
dan keyakinan untuk membuat kerjasama dan kedermawanan bergairah (Uphoff
2000).
Orientasi kedua pada kategori kognitif adalah, norma-norma (norms),
nilai-nilai (values), sikap (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang diorientasikan
untuk mewujudkan tindakan (action), bagaimana seseorang harus berkemauan
untuk bertindak. Kerjasama (cooperation) adalah cara tindakan bersama dengan
orang lain untuk kebaikan bersama. Sedangkan tujuan dari tindakan adalah
kedermawanan (generosity). Kerjasama dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan
keyakinan untuk memunculkan harapan bahwa pihak/orang lain akan bersedia
kerjasama dan membuat tindakannya efektif. Kedermawanan juga dilandasi oleh
norma, nilai, sikap, dan keyakinan untuk memunculkan harapan bahwa “moralitas
yang tinggi akan mendapat pahala/virtue will be rewarded” (Uphoff 2000).
Rincian unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan
kognitif menurut Uphoff (2000) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori modal sosial
Sumber dan
perwujudannya/manifestasi
Domain/ranah
Faktor-faktor dinamis
Elemen umum
Sumber: Uphoff (2000)
Struktural
Peran dan aturan
Jaringan dan hubungan antar
pribadi lainnya
Prosedur-prosedur dan
preseden-preseden
Organisasi sosial
Hubungan horisontal
Hubungan vertikal
Kognitif
Norma-norma
Nilai-nilai
Sikap
Keyakinan
Budaya sipil/kewargaan
Kepercayaan, solidaritas,
kerjasama, kemurahan
hati/kedermawanan
Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan
menghasilkan manfaat bersama
12
2.3 Pengukuran Modal Sosial
Metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi
lokal cukup beragam. Model-model tersebut antara lain adalah:
1. Index of National Civic Health
Indeks ini dikembangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk
merespon penurunan partisipasi masyarakat. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan 5 (lima) indikator, yakni: (a) keterlibatan politik; (b) kepercayaan;
(c) keanggotaan dalam asosiasi; (d) keamanan dan kejahatan; serta (e) integritas
dan stabilitas keluarga. Keterlibatan politik mencakup pemberian suara dalam
pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya, seperti petisi dan menulis surat
kepada koran. Kepercayaan diukur melalui tingkat kepercayaan pada orang lain
dan kepada institusi pemerintah. Keanggotaan dalam asosiasi diukur melalui
keanggotaan dalam suatu kelompok, kehadiran di gereja/tempat ibadah, kontribusi
derma, partisipasi di tingkat komunitas, dan menjadi pengurus di organisasi lokal.
(Narayan dan Cassidy 2001).
2. Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ)
Model ini dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan
fokus pada negara-negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data
kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat
rumah tangga. Pada model ini, digunakan 6 (enam) indikator, yakni: (a) kelompok
dan jejaring kerja; (b) kepercayaan dan solidaritas; (c) aksi kolektif dan kerjasama
(cooperation); (d) informasi dan komunikasi; (e) kohesi dan inklusivitas sosial;
serta (f) pemberdayaan dan tindakan politik.
3. Social Capital Assesment Tool
Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba
menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran
komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah pada
rumah tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal
sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan
13
institusi lokal.
SCAT mengukur modal sosial pada tiga level yaitu profil
komunitas, profil rumah tangga dan profil organisasi.
SCAT walaupun
mengangkat kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro dapat
dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait. Pada
SCAT diperolah gambaran profil masyarakat melalui serangkaian wawancara.
Beberapa
metode
partisipatif
digunakan
untuk
mengembangkan
profil
masyarakat. Selain format kelompok fokus, pengumpulan data mencakup
pemetaan masyarakat diikuti diagram kelembagaan.
4. Mapping and Measuring Social Capital
Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Uphoff (1999) yang mencoba
menggunakan metode kuantitatif untuk pemetaan dan mengukur modal sosial
pada sebuah studi konseptual dan empiris pada tindakan bersama (collective
action) dalam konservasi dan pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) di
Rajasthan India. Model ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara modal
sosial dengan kinerja pembangunan DAS di 64 desa di Rajasthan, India. Model ini
dilakukan dengan memperoleh data kuantitatif pada unsur modal sosial dengan
unit analisis pada tingkat individu rumah tangga dipilih secara acak di setiap desa.
Selain wawancara pada individu rumah tangga, juga dilakukan wawancara
kelompok fokus dengan para pemimpin desa. Pada model ini digunakan 6 (enam)
unsur modal sosial dari kategori struktural dan kognitif. Unsur modal sosial
kategori struktural berhubungan dengan hubungan sosial yakni: (a) peranan; (b)
jaringan; dan (c) aturan. Unsur modal sosial kategori kognitif
berhubungan
dengan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak
lain, yakni: (a) kepercayaan; (b) kerjasama; dan (c) solidaritas.
2.4 Konsep Kehutanan Masyarakat
Menurut Suharjito et al. (2000), kehutanan masyarakat adalah sistem
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas, atau kelompok, pada
lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik untuk memenuhi
kebutuhan individu/rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara
komersial ataupun sekedar untuk subsistensi. Definisi ini dapat dipandang lebih
dinamis sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Pola pengembangan
14
teknologi dan organisasi sosial praktek kehutanan masyarakat yang bertujuan
untuk subsisten akan berbeda dengan tujuan komersial.
Sehubungan dengan status peguasaan hutan (lahan dan yang tumbuh di
atasnya) dan tanggung jawab pelaksanaan akan terdapat variasi hak akses dan
kewajiban masyarakat terhadap sumber daya hutan dalam praktek kehutanan
masyarakat. Variasi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu kontinum sistem
pengelolaan sumberdaya hutan yang di dalamnya masyarakat berperan.
Kehutanan masyarakat yang dikelola oleh individu pada lahan miliknya akan
menempatkan individu sebagai pemegang tanggung jawab dan akses sepenuhnya.
Tanggung jawab dan akses individu akan semakin berkurang pada sistem
kehutanan masyarakat yang dikelola oleh komunitas sebagai kolektif atau
kelompok, dan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat (Suharjito et al.
2000).
Salafsky (1994) menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan secara tradisional
yang berbasiskan pada masyarakat ada beberapa macam, yaitu : farm untuk lahan
pertanian, home gardens untuk kebun pekarangan, forest gardens untuk kebun
hutan. Kemudian yang dibiarkan berhutan berupa secondary forest and/or
extraktive area (hutan sekunder atau areal hutan campuran) dan natural forest
(hutan alam), sebagaimana terlihat pada gambar 1.
Gambar 1
Bias pemanfaatan lahan (the land use spectrum) berdasarkan zona
ketinggian tempat menurut Salafsky (1994).
15
Di Indonesia berbagai jenis sistem pengelolaan sumber daya hutan dan
lahan yang berbasiskan pada masyarakat (tradisional) masih banyak ditemukan.
Kartasubrata (1991) dan Suharjito et al. (2000) menyebut sistem pengelolaan dan
pemanfaatan hutan dan lahan yang berbasiskan masyarakat tersebut dengan istilah
“Kehutanan Masyarakat”, Foresta (2000) menyebutnya “Agroforestri”, Roslinda
(2008) menyebutnya “Hutan Kemasyarakatan”, Fauzi (2010) menyebutnya
“Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)”. Fauzi (2010) menjelaskan bahwa SHK
mempunyai sifat yang unik dan khas serta berbeda antara satu wilayah dengan
wilayah lain dan masing-masing memiliki nama lokal tersendiri, Talun (Jawa
Barat), Tembawang (Kalimantan Barat), Repong (Lampung), Lembo dan Simpung
(Kalimantan Timur), Dukuh (Kalimantan Selatan).
Sejalan dengan konsep di atas, hasil kajian Suharjito (2002) tentang kebun
Talun di Desa Buniwangi Jawa Barat, menjelaskan secara rinci bahwa,
keberadaan kebun talun bukan hanya mempunyai fungsi ekonomi dan ekologis
melainkan juga fungsi sosial. Pada satu sisi kebun talun menjadi media bagi
penguatan solidaritas sosial, pada sisi yang lain hubungan-hubungan sosial dan
pranata sosial pengelolaan kebun talun menguatkan keberadaan kebun talun
sebagai sumber ekonomi keluarga/rumah tangga, yang dari kedua sisi tersebut
kemudian berimplikasi pada sisi ketiga, yakni keberlanjutan kebun talun yang
mempunyai fungsi ekologis (Suharjito 2002).
Selain kebun talun di atas, salah satu bentuk kehutanan masyarakat yang
mampu eksis dan bertahan hingga sekarang adalah kebun buah di Kecamatan
Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan yang dalam bahasa
lokal dikenal dengan istilah “dukuh”. Dukuh (kebun hutan/kebun buah/pulau
buah) adalah suatu areal yang ditumbuhi oleh kelompok pohon yang didominasi
jenis pohon buah-buahan dengan pola tanam tidak teratur, strata yang tidak
seragam serta tegakan tidak seumur, menyerupai hutan alam (Fauzi 2010).
Dukuh di Provinsi Kalimantan Selatan hampir ditemukan di seluruh desa di
Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, dengan luas kepemilikan setiap
kepala keluarga bervariasi antara 0,1 – 3 ha (rata-rata 0,73 ha). Berdasarkan
penyebaran letaknya, dukuh dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, dukuh
rumah (kebun pekarangan atau home gardens) dan dukuh gunung (kebun hutan
16
atau forest gardens). Dukuh rumah keberadaannya menyatu dengan pemukiman
dan dapat dicapai dalam waktu beberapa menit sedangkan dukuh gunung baru
dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sekitar setengah sampai tiga jam
dengan cara berjalan kaki melalui jalan setapak yang berbukit-bukit. Diperkirakan
bahwa dukuh mulai terbentuk seiring terjadinya perubahan pola bercocok tanam
dari pola perladangan berpindah/bergilir ke pola perladangan menetap,
diperkirakan terbentuk sejak 180 tahun yang lalu (± tahun 1830). Dukuh yang
merupakan peninggalan dari kakek–nenek mereka tersebut sampai sekarang masih
terpelihara keberadaannya (Hafizianor 2002).
Terkait dengan kehutanan masyarakat, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam baik berupa hutan maupun lahan yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut tentunya memiliki performansi atau kinerja. Performansi
yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efisiensi
(Suharjito et al. 2000). Mengacu pada Conway (1987) dalam Suharjito et al.
(2000) produktivitas didefinisikan sebagai out-put produk bernilai per-unit sumber
daya. Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk
menjaga produktivitas dari waktu ke waktu. Keadilan didefinisikan sebagai
pemerataan distribusi produk dari agroekosistem diantara yang berhak menerima
manfaat dan dengan terdefinisinya property rights dengan baik maka akan
tercapai efisiensi.
Performansi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam baik
berupa hutan maupun lahan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut antara lain
dipengaruhi oleh :
1. Sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan
apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan
keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar
dan model ekonomi sosialnya.
2. Orientasi usaha, apakah subsisten atau komersial. Tingkat subsisten dan
komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar.
3. Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan
respon terhadap kebutuhan pasar yang sekaligus mempengaruhi performansi
pengelolaannya (Suharjito et al. 2000).
Download