1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak lepas dari
nilai-nilai yang telah dibangun oleh masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai
budaya merupakan konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar
warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan
penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi kepada warga suatu masyarakat tersebut (Sujarwa,
1999). Kluckhohn mengatakan, bahwa sistem nilai budaya dalam suatu
kebudayaan di dunia terkait dengan lima hal pokok dalam kehidupan manusia
yaitu diantaranya : masalah hakekat dari hidup manusia (makna hidup), masalah
hakekat dari karya manusia (makna dan fungsi kerja), masalah hakekat dan
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (makna ruang dan waktu), dan
masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (makna alam)
(Koentjoroningrat; Putri, 2009).
Wilhelm Wundt, dikenal sebagai bapak psikologi modern yang mendirikan
laboratorium psikologi di Leipzig pada tahun 1879. Memperkenalkan dua tradisi
dalam psikologi, yaitu Naturwissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan alami) dan
Geisteswissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan budaya), (Hoorn & Verhave;
Kim & Berry, 1993). Wundt juga mempublikasikan Volkerpsychologie (Folk
Psychology)
yang
terkait
dengan
penelitian
tentang
beragam
tahapan
perkembangan mental manusia yang dimanifestasikan ke dalam bahasa, seni,
mitos, kebiasaan sosial, hukum, dan moral. Dua tradisi yang diperkenalkan oleh
1
Wundt implikasinya adalah adanya dua tradisi keilmuan dalam ilmu psikologi,
yakni psikologi eksperimental dan psikologi sosial budaya (Schultz, Toulmin &
Leary dalam Putri, 2009).
Penemuan Wundt bahwa analisis perkembangan individu tidak dapat
bergantung sepenuhnya pada psikogenesis, sebab seorang anak yang dilahirkan
pada komunitas budaya yang sudah ada dan kemudian dibentuk oleh budaya itu
sendiri. Hal yang di tegaskan oleh Wundt, pada komunitas budaya dan kelompok
sosial (seperti keluarga, suku bangsa, dan komunitas sosial) anak dilahirkan
harus dikaji secara historis, sebab sudah menjadi kesatuan yang tetap berlaku
pada generasi-generasi selanjutnya. Namun, hal tersebut kini telah berevolusi
mengikuti ruang dan waktu. Untuk itu, budaya perlu dipahami dari sudut
pandangnya sendiri dan diketahui bahwa analisis evolusi sejarah dari budaya
tertentu adalah fundamental untuk dapat memahami orang dari budaya tersebut
(Danziger; Kim & Berry, 1993).
Pola asuh, merupakan hal yang penting dalam mewujudkan kelangsungan
dari keberadaan nilai-nilai budaya di masyarakat, terutama dalam hal peran
orangtua sebagai lingkup terkecil dari masyarakat. Peran yang meliputi perilaku,
tindakan, atau keikutsertaan dalam menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai
budaya yang dianut suatu masyarakat di suatu daerah. Fenomena yang unik dan
menarik pada budaya Bali Age (Bali Kuno/tua) di Desa Adat Tradisional
Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, sebagai suatu bukti bahwa peran
keluarga menjadi penting dalam kelangsungan tradisi leluhur yang dianut oleh
masyarakatnya.
2
Milgram, mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rapuh yang terikat
pada jaringan-jaringa sosial yang membatasi ruang gerak manusia itu sendiri.
Milgram berpendapat, bahwa dalam berperilaku manusia didasari dengan
adanya batasan yang mencakup norma, peran, dan budaya. Norma adalah
kesepakatan mengenai kehidupan sehari-hari yang membuat interaksi individu
dengan individu lain diduga dan teratur. Peran adalah kedudukan yang diatur
oleh norma mengenai cara individu, dalam kedudukan atau posisi tertentu,
menunjukkan perilaku yang pantas (Wade & Travis, 2007). Sedangkan budaya
adalah sebagai program dan kumpulan aturan yang diterima bersama dan
mengatur perilaku seseorang dalam masyarakat atau komunitas tertentu, serta
seperangkat nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang diterima oleh sebagian
anggota masyarakat. Nilai, kepercayaan, serta kebiasaan diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Lonner, 1995).
Masyarakat tradisional Bali pada umumnya, tradisi selalu dijalankan secara
turun temurun. Meskipun berada dalam satu budaya dan satu pulau, namun
tradisi masyarakat di pulau Bali memiliki keanekaragaman. Desa Adat
Tradisional Tenganan Pegringsingan salah satunya, yakni suatu tempat yang
dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sampai dengan saat ini masih
menggunakan adat-istiadat Bali Age (Bali Kuno/Bali Tua). Budaya Bali Age pada
masyarakat Tenganan Pegringsingan tentunya memiliki nilai-nilai tradisi yang
sedikit berbeda dari tradisi budaya Bali pada umumnya.
Penerapan pola asuh, hak waris, busana adat, perilaku sosial, prosesi ritual,
serta cara pandang masyarakatnya terkait dengan perekonomian tentunya juga
berbeda tradisi dengan orang Bali Age lainnya yang ada di pulau Bali. Kehidupan
sehari-hari orang Bali Age (Tenganan Pegringsingan) dihabiskan dengan
3
menjalankan ritual dan disela-sela waktu yang ada digunakan untuk membuat
kerajinan tangan sebagai penopang perekonomian. Orang Bali Age sangat taat
pada aturan adat dan menjalankan tradisi leluhur dengan penuh kesadaran pada
individunya.
Kepercayaan dalam masyarakat Bali Age dibagi atas dua yaitu kepercayaan
secara kultural, orang Bali Age di Tenganan Pegringsingan meyakini bahwa
dengan menjalankan tradisi, maka kehidupan yang dijalani akan terhindar dari
malapetaka dan memberika kemakmuran. Sedangkan kepercayaan secara
spiritual, orang Bali Age pada dasarnya menganut kepercayaan kepada Dewa
Indra (Dewa Peperangan) dan meyakini bahwa orang-orang asli yang berada di
Tenganan Pegringsingan sebagai keturunan dari Raja Indra yang berasal dari
Kerajaan Bedahulu, Gianyar, Bali, yang memiliki kepercayaan sama sebagai
Sekte Indra.
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terdahulu, masyarakat Bali Age pada
mulanya hanya menganut sekte-sekte dalam ajaran agama Hindu Budha.
Sehingga, secara tidak langsung menunjukkan beberapa kebiasaan-kebiasaan
yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Besarnya pengaruh
peradaban dan kepercayaan yang sangat kental pada masyarakat Bali Age,
dapat terlihat dari adanya beberapa ritual yang tidak biasanya dilakukan pada
masyarakat Bali umumnya.
Perang Pandan (Megeret Pandan), dan Usaba Sambah, merupakan dua
contoh dari beberapa ritual dan tradisi besar yang di laksanakan setiap tahunnya
oleh orang Tenganan Pegringsingan. Tradisi (Budaya) Age pada masyarakat
Tenganan Pegringsingan memang terlihat sangat kental. Hal tersebut dapat
dilihat dari salah satu ritual yang disebut dengan upacara atau ritual Metruna
4
Nyoman (Truna Nyoman). Uniknya, ritual Metruna Nyoman tersebut berlangsung
pada periode waktu yang cukup lama, yaitu satu tahun. Ritual akan berjalan
ketika anak sudah merasa siap atau mempersiapkan diri untuk mengemban
tanggungjawab. Prosesnya berlangsung setidaknya 7-10 tahun sekali.
Erikson mengutarakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip
epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut
delapan tahapan perkembangan. Manusia dalam perkembangannya dari tahap
satu ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilannya
dalam menempuh tahapan sebelumnya. Jika dilihat dari tahap perkembangan
seperti yang diutarakan oleh Erikson, pada usia 7-12 tahun dikatakan sebagai
usia sekolah. Pada masa ini ditandai adanya kecenderungan industry-inferority,
yaitu adanya dorongan untuk mengetehui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar (Santrock, 2002). Maka dari itu, terlepas dari pengetahuan
masyarakat Tenganan Pegringsingan mengenai tahap-tahap perkembangan
dalam ilmu psikologi, menganggap bahwa pada usia-usia tersebut anak
dianggap sudah cukup mengerti dan matang dalam menjalankan ritual Metruna
Nyoman.
Tradisi ritual Metruna Nyoman, merupakan tradisi sakral yang wajib diikuti
oleh semua anggota masyarakat dengan usia yang ditentukan tersebut. Bagi
kepercayaan masyarakat Tenganan Pegringsingan, ritual ini sebagai wujud dari
sebuah
proses
kematangan
dan
kedewasaan
pada
seseorang
yang
menjalaninya, serta sebagai sebuah komitmen bagi para generasinya untuk
memahami
dan
menjalankan
tradisi
turun-temurun
dengan
berbagai
pengetahuan selama mengikuti prosesi ritual. Dalam pelaksanaan ritual ini, anakanak yang mengikutinya berada dalam asrama-asrama yang sesuai dengan
5
garis keturunan ayah bagi yang laki-laki atau garis keturunan ibu bagi yang
perempuan (dalam arti lain menjalankan karantina tanpa diperbolehkan bertemu
dengan siapapun, kecuali yang bersangkutan dengan ritual).
Sesuai dengan tahap perkembangan yang diutarakan Erikson diatas, pada
usia 7-12 tahun merupakan usia sekolah, dan dalam pelaksanaan ritual ini anak
harus merelakan satu tahun masa sekolahnya demi menjalankan ritual Metruna
Nyoman tersebut. Informasi dari Penglingsir (sesepuh) mengatakan bahwa ritual
ini tidak berjalan setiap tahun, melainkan harus menunggu hingga beberapa
tahun untuk dapat memastikan dan mengumpulkan minimal sepuluh orang anak
yang akan menjalankan ritual ini. Untuk itu, tidak mudah bagi setiap orang dapat
mengetahui kapan ritual ini berlangsung dan menjadi semakin sakral karena
tidak diperbolehkan sembarang orang (orang asing/orang luar Tenganan
Pegringsingan) untuk dapat menyaksikannya.
Ritual dan tradisi tersebut ditujukan kepada leluhur dan sebagai wujud
persembahan suci kepada Dewa Indra yang diikuti oleh seluruh masyarakat Bali
Age di Tenganan Pegringsingan, mulai dari anak-anak hingga orang tua tanpa
terkecuali. Selain ritual Metruna Nyoman, ada pula tradisi Megeret Pandan
(Perang Pandan) dan Usaba Sambah. Perang Pandan sendiri merupakan suatu
tarian yang menggunakan pandan berduri sebagai sarananya, yang pada
pelaksanaannya menggosokkan pandan berduri pada punggung penari Perang
Pandan lainnya, sehingga menimbulkan luka-luka. Jadi, tarian ini merupakan
tarian perang yang khusus di tarikan atau dilaksanakan oleh kaum laki-laki yang
sudah menjalankan Metruna Nyoman sebelumnya.
6
Orang Tenganan Pegringsingan percaya, bahwa darah yang mengalir dari
tubuh penari Perang Pandan tersebut, merupakan simbol dari persembahan suci
kehadapan Dewa Indra (Dewa Peperangan) sebagai manifestasi dari Ida Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Masyarakat awam tentunya melihat
ritual ini sebagai suatu tradisi ekstrim yang berbeda dari tradisi masyarakat Bali
lainnya. Namun, bukan berarti orang Tenganan Pegringsingan menganggap
bahwa peperangan itu hal yang baik. Tarian ini hanya sebagai simbol jati diri
orang Tenganan Pegringsingan yang tidak pernah melupakan tradisi leluhurnya
yang lampau (sebagai kesatria perang). Para Daha (pemudi) akan menyaksikan
jalannya tarian Perang Pandan yang dilakukan oleh kaum laki-laki di atas Bale
Petemuan. Artinya, ketika ritual berlangsung, para gadis berkesempatan melihat
kepiawaian dan keberanian para Truna (pemuda) dalam ritual Perang Pandan..
Namun seperti sekarang ini, pesatnya perkembangan jaman dan teknologi ,
membuat tradisi semakin sulit untuk dipertahankan sebagaimana makna ritual
terdahulu.
Banyaknya minat masyarakat awam untuk mengetahui ritual ini lebih dekat,
seringkali melewati batas-batas kesakralan dari ritual ini. Sehingga, kesannya
pelaku ritual adalah objek wisata (hiburan). Melalui upacara Perang Pandan ini,
menjadikan generasi Tenganan Pegringsingan memiliki rasa kebanggaan
tersendiri karena menjalankan ritual tersebut ditengah kemajuan modernisasi
global dan diketahui oleh banyak kalangan sebagai suatu tradisi kuno yang
masih bertahan.
Serupa halnya dengan ritual Perang Pandan, upacara Usaba Sambah juga
dijalankan setiap setahun sekali, sebagai pralambang memasuki tahun Saka
Baru pada masyarakat Tenganan Pegringsingan. Upacara ini berlangsung
7
sebulan penuh sebelum berlangsungnya ritual Perang Pandan, atau saat
memasuki awal tahun dalam kalender nasional. Tidak jauh berbeda dengan ritual
lainnya, upacara ini juga melibatkan peran orangtua dan juga anak-anak. Selama
berjalannya upacara Usaba Sambah, anak-anak, para Daha, dan juga Truna
secara bergilir menari Rejang (tarian sakral dalam setiap upacara) sesuai dengan
garis keturunan dari bapak, yaitu Temu Kaja, Temu Tengah, atau Temu Kelod.
Pada upaca ini juga menggambarkan tentang pencarian jodoh setelah berharihari menjalankan upacara.
Digambarkan bahwa Daha (gadis) yang menari dengan merentangkan
tangannya secara bergantian guna memikat
Truna agar
mau menari
bersamanya. Dahulunya, dalam tarian ini antara Daha dan Truna saat menari
saling berbincang dan membuat kesepakatan “bak gayung bersambut”. Namun,
dimasa sekarang sudah sedikit bergeser, tarian tersebut hanya sebagai simbol
yang merekatkan relasi antar sesama pemuda agar berkesempata berpikir
kembali jika kelak dalam mencari pasangan haruslah dari sesama orang
Tenganan Pegringsinga.
Melalui serangkaian gambaran ritual dan upacara tersebut, konsep identitas
sendiri dapat dijelaskan sebagai tahapan perkembangan kepribadian yakni
pengalaman akumulatif dari kemampuan ego untuk mengintegrasikan semua
identifikasi dengan perubahan libido, dengan kemampuan berkembang, dan
sebagian
berperan
secara
sosial
(Erikson,
1963).
Individu
dalam
perkembangannya pasti mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya, begitu
pula perkembangan yang dialami oleh orang Tenganan Pegringsingan. Selain
dipengaruhi oleh perkembangan alamiah individu, pengaruh modernisasi juga
8
banyak memberikan dampak terhadap perkembangan seseorang terutama pada
pemaknaan nila-nilai budaya.
Pada setiap perkembangan individu berlangsung dalam suatu konteks
latarbelakang kebudayaan. Konteks atau setting tersebut meliputi, rumah,
sekolah, kelompok teman-teman sebaya, tempat ibadah, kota, lingkungan, dan
komunitas. Ada tiga konteks sosiokultural yang diyakini oleh banyak ahli
perkembangan sebagai suatu yang patut mendapatkan perhatian khusus,.
Pertama kebudayaan (culture), yaitu menyangkut dengan pola-pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari sekelompok orang yang diteruskan dari
generasi satu pada generasi selanjutnya. Produk-produk tersebut adalah hasil
dari
interaksi
yang
terjadi
antara
kelompok-kelompok
manusia
dan
lingkungannya yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Kedua aspek studi lintas kebudayaan (cross-culture-studies), yaitu terkait
dengan adanya pengetahuan tentang perbandingan suatu kebudayaan dengan
satu atau lebih kebudayaan lain, dalam arti memberi informasi tentang
sejauhmana perkembangan manusia secara universal, lintas kebudayaan, atau
sejauhmana
perkembangan
khas
kebudayaan
tertentu.
Etnisitas
yang
merupakan bagian dari perkembangan identitas etnis, yakni rasa keanggotaan
yang didasarkan atas bahasa, agama, adat-istiadat, niali-nilai, sejarah, dan ras
suatu kelompok etnis yang sama. Identitas etnik pada suatu kelompok
mencerminkan suatu keputusan dari seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya
terhadap leluhur atau kelompok leluhur. Ketiga gender, yaitu menyangkut
dimensi sosiokultural sebagai perempuan atau laki-laki. Beberapa aspek
perkembangan juga mengatakan bahwa identitas diri sebagai laki-laki atau
9
perempuan untuk dapat menjalin hubungan relasi, menentukan sikap-sikap, dan
nilai-nilai pada kelompok atau lingkungannya (Santrock, 2002).
Religiusitas pada suatu kelompok etnik merupakan faktor penting, yakni
kepercayaan tentang eksistensial (iman). Kepercayaan eksistensial merupakan
suatu hal yang universal yang dimiliki oleh manusia, merupakan suatu ciri dari
seluruh hidup, tindakan dan pengertian diri yang mengandung pengakuan
terhadap eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya (Fowler, 1978; Fitria,
2000). Perkembangan eksistensial dalam perkembangan individu adalah ketika
seseorang menyadari bahwa ego dapat mencapai mutualitas dalam suatu relasi
yang ditandai oleh adanya kepercayaan kepada pemberi perhatian utama (ibu).
Sifat dipercaya sebagai fundamental yang perlu ada dalam anak dan orang lain,
sebab sifat merupakan tuntunan yang utama dalam perkembangan identitas diri
(Erikson; Immink, dalam Fitria, 2000).
Kesan modern terasa ketika masuknya beberapa barang-barang elektronik
dan kendaraan bermotor di lingkungan Tenganan Pegringsingan. Seperti halnya
jaringan internet, televisi, komputer, dan rata-rata orang Tenganan Pegringsingan
kini sudah memfasilitasi diri dengan telepon genggam. Ada beberapa hal terkait
dengan kemajuan jaman dan teknologi yang dapat diterima oleh orang Bali Age
ini, namun ada juga yang ditolak seperti halnya perbaikan jalan atau perubahan
konsep pemukiman yang sudah memiliki aturan baku. Bagi orang Tenganan
Pegringsingan awig-awing (aturan adat pada suatu banjar/daerah) hanya berlaku
sebagai aturan atau hukum adat dalam masyarakat Bali secara umum, berbeda
halnya dengan aturan tradisi dari leluhur yang ketat dan memiliki sanksi tegas.
10
Dari generasi ke generasi, aturan adat tradisi masyarakat Tenganan
Pegringsingan
baik
yang
tertulis
maupun
tidak,
salah
satunya
tidak
memperkenankan untuk menebang pepohonan secara liar atau tampa ijin dari
pihak yang berwenang, sekalipun itu adalah milik pribadi. Sebab, lahan
perkebunan, pemukiman, dan peliharaan sejatinya adalah milik desa adat. Oleh
sebab itu, apabila pada musim buah-buahan ketika buah tersebut jatuh yang
berada dikebun milik siapapun maka siapa saja bisa mengambilnya atau secara
bergantian menjaga dan memelihara ternak-ternak yang diperuntukkan sebagai
sarana
ritual.
Fenomena
tersebut
menggambarkan
bahwa
meskipun
perkembangan teknologi semakin berkembang pesat, namun orang Tenganan
Pegringsingan masih tetap berupaya melestarikan tradisi yang dimilikinya
dengan tetap melestarikan lingkungan disekitarnya.
Padatnya serangkaian ritual dan upacara adat pada masyarakat Tenganan
Pegringsingan, bukan berarti mereka tidak memiliki profesi lain diluar aktivitasnya
menjadi orang Bali Age. Bagi anak-anak masih diperkenankan untuk menerima
pendidikan formal dan menempuh pendidikan tinggi diluar lingkungan Tenganan
Pegringsingan. Ada beberapa yang memiliki profesi sebagai PNS, seperti guru
atau pegawai suatu lembaga Pemerintahan, ada pula yang menjalankan
profesinya dengan berwirausaha. Keunikannya adalah tentang sikap yang
ditunjukan oleh orang Tenganan Pegringsingan, yang harus mengadaptasikan
dirinya pada situasi yang jauh berbeda dengan dirinya sebagai orang Bali Age.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seorang individu dapat menjadi anggota dua
atau lebih kelompok yang berlainan, Individu juga dapat dikategorisasikan ke
dalam beberapa segi yang dimungkinkan, misalnya pria atau wanita, hitam atau
putih, muda atau tua, tergantung pada konteks sosial dan dimungkinkan bisa
saja memiliki lebih dari hanya satu identitas kelompok yang menonjol pada suatu
11
waktu, kondisi demikian disebut persilangan kategori atau crossed categorization
(Crips, Walsh, dan Hewstone, 2007).
Identitas sosial yang peneliti maksudkan adalah identitas yang terbentuk dari
adanya
pengkategorisasian
dalam
kelompok,
yang
muncul
akibat
dari
kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk
membagi dua kategori yaitu in group dan out group. In group sebagai: „kita‟ dan
out group sebagai: „mereka‟. In group merupakan kelompok sosial ketika seorang
individu mempersepsikan dirinya sendiri sebagai „kita‟. Out group merupakan
seluruh kelompok yang berada di luar kelompok individu yang mempersepsikan
dirinya sebagai anggota kelompok tersebut. Untuk mengurangi prasangka
dilakukan kategorisasi ulang, atau rekategorisasi.
Rekategorisasi merupakan perubahan dalam batas antara individu in group
„kita‟
dan
beberapa
out
group,
„mereka‟.
Rekategorisasi
menghasilkan
pandangan yang berbeda, individu yang sebelumnya dipandang sebagai out
group kini dipandang sebagai in group (Baron & Byrne, 2003). Oleh sebab itu,
orang Tenganan Pegringsingan masih dapat menerima keberadaan orang asing
(orang diluar lingkungan masyarakatnya) dalam kaitannya dengan interaksi
sosial kehidupan sehari-hari.
Proses pembentukan identitas individu tersebut sudah dimulai sejak kecil,
yakni pada masa anak-anak dmulai dengan mengadakan identifikasi pada orangorang disekelilingnya, namun pembentukan identitas diri menjadi puncak dan
tugas perkembangan yang harus diselesaikan di masa remaja. Untuk itu, proses
pembentukan identitas diri ini terjadi melalui adanya krisis antara dua ekstrim,
yakni
positif
dan
negatif
(Erikson,
1974).
Keberadaan
krisis
tersebut
mengharuskan individu untuk dapat memilih alternatif-alternatif dan membuat
12
suatu komitmen untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya
(Larkin dalam Erikson, 1963).
Logan berpendapat, bahwa individu tidak mencapai suatu komitmen untuk
menyelesaikan konflik-konfliknya dalam proses pembentukan identitas diri.
Namun akan menunjukan beberapa mekanisme pertahanan, salah satunya
adalah
membentuk
identitas
negatif
yaitu
mengambil
nilai-nilai
yang
bertentangan dengan moral dan agama yang berkembang dalam masyarakat
(Shelton dalam Baron & Byrne, 2003 ). Guna mengantisipasi munculnya identitas
kearah negatif tersebut, maka perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam
mengenai tradisi leluhur yang dijalankan oleh orang Tenganan Pegringsingan.
Utamanya melalui lingkup keluarga yang menjadi dasar perkembangan anak.
Melalui pembelajaran mendekatkan diri dan live in, adanya pergulatan
fenomena dan tantangan kebudayaan diharapkan meningkatkan kinerja dan
visioner kebudayaan dan laku-laku budaya melalui kantong-kantong pendidikan
hingga proses saling menyediakan ruang bagi setiap generasi untuk dapat
bersikap dan memiliki cara pandang bahwasannya perbedaan akan lebih
memperkaya dari pada menghancurkan (Mudji, 2006). Soejono, mengatakan
manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak
genggam. Penemuan tersebut meyakini bahwa keberadaan manusia Bali tua
dengan penemuan kapak genggam di lokasi penemuan salah satu pemukiman
desa Bali Tua yakni di Desa Sambiran, Singaraja, Bali, dan di tepi sebelah Timur
dan Tenggara Danau Batur, Kintamani, Bangli, Bali. Adanya penemuanpenemuan ini, lebih meyakini bahwa kehidupan manusia asli pulau Bali
(masyarakat Bali Tua) memang benar adanya (Wikarman, 1998).
13
Sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali Age menggambarkan bahwa
kemajuan zaman dan teknologi bukan menjadi alasan untuk mengubah atau
menghilangkan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Adanya pantang bagi orang
Bali Age (Tenganan Pegringsingan) untuk memutus matarantai berjalannya
tradisi kuno yang diturunkan leluhur ini. Bahkan orang Bali Age (Tenganan
Pegringsingan), justru penerapan tradisi itu penting di tanamkan sejak dini pada
anak-anak generasi penerus Bali Age. Berdasarkan penuturan Pemuda dan
Pemudi
Bali
Age
di
Tenganan
Pegringsingan,
bahwa
sudah
menjadi
tanggungjawab bagi Pemuda dan Pemudi Desa Tenganan Pegringsingan
sebagai generasi penerus tradisi ini untuk tetap menjaga dan melestarikan apa
yang sudah diturunkan. Hal ini terkait dengan adanya kepercayaan yang kuat
pada sanksi adat dan sanksi alam yang kemungkinan akan menghancurkan
generasi dan membuat tradisi ini punah (Sudaryati, 2009).
Sejarah
kehidupan
merupakan
deskripsi
yang
menawarkan
suatu
pemahaman terhadap kebudayaan lain. Deskripsi yang mengungkapkan secara
detil kehidupan-kehidupan seseorang dan dalam prose tersebut menuju bagianbagian penting pada kebudayaan itu sendiri (Sudaryati, 2009). Hal itu
menegaskan bahwa budaya (adat-istiadat) Bali Age di Tenganan Pegringsingan
dapat terus bertahan hingga saat ini, melalui penelitian dengan studi etnografi.
Etnografi sendiri dapat
menunjukkan berbagai perbedaan budaya dan
bagaimana orang dengan perspektif berbeda dapat saling berinteraksi dalam
lingkup masyarakat yang lebih luas (Spradley, 2006).
Hubungan interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat memiliki
ikatan budaya yang sangat kuat, bahkan disertai dengan komunikasi secara
interpersonal (pribadi). Komunikasi interpersonal yang dimaksud adalah
14
komunikasi yang dilakukan secara personal dalam suatu keluarga yang
merupakan bagian kecil dari kelompok masyarakat. Pada dasarnya keluarga
merupakan lingkup kecil dari suatu kelompok masyarakat sebagai dasar anak
dan anggota keluarga yang lainnya untuk dapat bersosialisasi lebih lanjut ke
lingkungan yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Semua masyarakat yang
pernah dikenal, hamper semua orang hidup terikat dengan jaringan kewajiban
dan hak keluarga yang disebut dengan peran (role relation), (William dalam
sudaryati, 2009).
Confusius berpendapat, bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap
ada dalam masyarakat apabila setiap masyarakat bertindak dengan benar (yang
dimaksudkan disini, berlaku sesuai dengan ketentuan yang ada) sebagai
anggota
keluarga
dan
akan
menyadari
bahwa
orang
harus
mentaati
kewajibannya sebagai bagian dari anggota masyarakat. William, pada saat
sebuah lembaga mulai membentuk kepribadian seseorang dalam hal-hal penting,
keluarga memiliki banyak peran dalam hal merubahnya, dengan cara
mengajarkan bagaimana berbicara dan menjalankan fungsi sosial (William;
Sudaryati, 2009). Peran keluarga terutama orangtua menjadi suatu pengaruh
yang kuat ketika tradisi itu mulai dikenalkan pada anak-anak. Untuk itu, dalam
budaya Bali Age di Tenganan Pegringsingan, sebagian besar penduduknya
hanya melakukan aktifitasnya sehari-hari di rumah. Seperti mengerjakan
kerajinan tangan (souvenir) terutama bagi kaum laki-laki, menenun bagi kaum
perempuan.
Perilaku sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan dapat sebagai prinsipprinsip
yang
mengajarkan
tentang
tradisi
yang
berjalan
di
Tenganan
Pegringsingan, merupakan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang
15
dilakukan oleh masyarakatnya. Kebiasaan itu sendiri adalah perilaku yang khas
sebagai suatu yang sudah biasa di lakukan sehingga menjadi kebiasaan
(Harjana, 2003). Termasuk di dalamnya Agama atau Kepercayaan yang selalu
ada dan dikaitkan dengan kebudayaan, yang secara formal merupakan konsep
hubungan manusia dengan lingkungannya (Tarwotjo, 1994).
Beranjak dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, maka diharapkan
penelitian yang akan dilakukan berikutnya melalui pengamatan studi Etnografi
akan lebih menggali fenomena psikologi dalam sebuah kelompok masyarakat
Bali pedalaman yaitu masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan. Bukan
perbedaan yang akan menjadikan perbandingannya, namun lebih pada identitas
etnik dalam perilaku sosial masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan
guna mewujudkan kelestarian budaya leluhurnya. Keanekaragaman tradisi yang
ada di Bali diharapkan dapat memperkaya penelitian-penelitian fenomena
budaya di Bali selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada fokus permasalahan yang telah diurakan diatas, maka
permasalahan pokok yang ingin peneliti jawab adalah mengenai “Bagaimanakah
pola pembentukan identitas etnik pada masyarakat Bali Age di Tenganan
Pegringsingan”
serta
“Bagaimanakah
pola
pembentukan
identitas
etnik
diwariskan kepada generasi muda di Tenganan Pegringsingan”.
16
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui secara langsung bagaimana Pola Identitas Etnik
Individu
Terbentuk
Dalam
Masyarakat
Bali
Age
di
Tenganan
Pegringsingan
2. Untuk mengetahui secara langsung tentang Pola Pembentukan Identitas
Etnik Tersebut Terbentuk dan di Wariskan Kepada Generasi Muda di
Tenganan Pegringsingan
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, ada dua manfaat yang dapat di kemukakan yakni
manfaat akademik dan manfaat praktis. Diantara dua manfaat ini juga akan
menjelaskan sejauh mana penelitian ini dapat bermanfaat dan layak sebagai
sebuah penelitian Psikologi.
i. Manfaat Akademik
Secara garis besarnya, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan
dari penelitian Sekripsi yang sebelumnya sudah pernah dilakukan, maka
dalam hal akademik dapat menyumbangkan suatu pengetahuan yang
lebih mendalam lagi tentang Budaya Bali Age (Bali Kuno/Tua), yang
realitanya masih sangat minim diketahui oleh masyarakat luas dan
kalangan akademisi, disamping informasi yang tersedia sangat terbatas,
sehingga kurangnya jangkauan sebagai sebuah kajian dalam studi mata
kuliah, baik S1 maupun khususnya pada S2.
Oleh sebab itu, penelitian ini dapat menjadi sebuah langkah yang
baik dalam pembelajaran ilmu Psikologi yang sarat akan nilai tradisi dan
budaya sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang memiliki begitu
17
banyak keragaman dari adanya suku-suku bangsa. Utamanya, manfaat
bagi pembelajaran Psikologi Sosial dapat menambah keragaman
pengetahuan dan pandangan dalam mengamati setiap perilaku-perilaku
sosial di masyarakat, terutama pada masyarakat-masyarakat pedalaman
yang jauh dari kesan kehidupan modern.
ii. Manfaat Praktis
1. Mengetahui secara langsung pola pembentukan identitas etnik pada
masyarakat tradisional Bali terutama pola yang dibentuk sejak dini
yang melibatkan langsung anak-anak, sebagai upaya menjaga tradisi
Bali Age agar tetap dijaga dan dilestarikan turun temurun.
2. Memberikan informasi yang jelas mengenai peran dan interaksi
secara personal dalam keluarga Bali Age di Tenganan Pegringsingan
terkait dengan tradisi adat-istiadat kuno yang dijalankan oleh
masyarakatnya. Melalui penelitian ini, tidak hanya dapat sebagai
sebuah media yang hanya memberikan informasi bagi masyarakat
umum, namun juga dapat sebagai wawasan bahwasannya budaya
Bali Kuno tersebut hingga saat ini masih ada di Bali.
E. Keaslian Penelitian
Ada beberapa pustaka hasil penelitian baik yang pernah dilakukan di
Tenganan Pegringsingan atau hasil-hasil penelitian lain yang terkait dengan
penelitian ini, yaitu penelitian “Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga Bali
(Studi Etnometodelogi Peran Keluarga Inti Dalam Mengkomunikasikan Adatistiadat Bali Age di Tenganan Pegringsingan, Karangasem Bali)” yang ditulis oleh
Ni Made Yeni Sudaryati pada 2009. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa
18
pada proses mengenal adat-istiadat dan tradisi leluhur masyarakat Tenganan
Pegringsingan adalah melalui keluarga. Keluarga adalah tempat yang utama bagi
anak-anak untuk mendapat pengetahuan tentang bagaimana menjalankan ritual
dan tradisi adat dalam kehidupan masyarakat Tenganan Pegringsingan.
Penelitian “Pola Asuh Antar Generasi Pada Masyarakat Bali Aga (Bali Asli) :
Kajian Psikologi Indigenous Pada Masyarakat Desa Panglipuran, Bangli, Bali”
yang ditulis oleh Dewi Arum Widhiyanti Putri pada 2009. Penelitian yang
menggudakan background penelitian deskriptif kualitatif ini menyatakan, bahwa
intinya peneliti ingin mendeskripsikan sikap suatu kebudayaan berdasarkan latar
belakang psikologi dengan tujuan utamanya adalah untuk dapat memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli tentang bagaimana
pola asuh antar generasi yang terbentuk dalam masyarakat desa Panglipuran
yang meniliki latarbelakang budaya Bali Aga.
Penelitian tentang, “Sebuah Deskripsi tentang Latarbelakang Sosial Budaya
Bahasa Bali” yang ditulis oleh Jendra.dkk pada tahun 1975-1976, penelitian yang
dikutip dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Kebudayaan dan
Antropologi UNUD. Mengungkapkan bahwa salah satu temuan tentang variasi
dialegtis bahasa Bali yang terdapat di pegunungan bagian timur Bali yakni di
Tenganan Pegeringsingan sebagai sebuah dialeg Bali Age. Penelitian “Wacana
Samodana Usaba Sambah pada Masyarakat Tenganan Pegeringsingan :
Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan” yang ditulis oleh peneliti Kebudayaan dan
Antropologi
UNUD.
Penelitian
ini
mengungkapkan
mengenai
masalah
karakteristik, struktur, dan pelaksanaan Samodana dalam konteks Usaba
Sambah. Hasil penelitiannya melalui beberapa pustaka sebagai kajian dalam
bidang budaya dan bahasa masyarakat Tenganan Pegeringsingan.
19
Penelitian tentang “Cerita Rakyat dari Bali : Beberapa Kejanggalan
Linguistik” yang ditulis oleh I Dewa Putu Wijana tahun 2004, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa cerita rakyat yang berasal dari berbagai etnik di Indonesia,
merupakan salah satu usaha untuk memperkenalkan dan menjaga kelestarian
nilai budaya. Seorang penulis cerita tidak hanya dituntut untuk mencari dan
mengumpulkan sumber mana yang paling terpercaya, penulis juga harus
memiliki pengetahuan yang luas tentang budaya dan tata cara masyarakat
pemiliki cerita rakyat yang bersangkutan.
Budaya dan tata cara yang dimaksud meliputi berbagai tingkah laku dan
adat kebiasaan yang disepakati bersama oleh anggota-anggota masyarakat
bersangkutan
dakam
upaya
menjalin
kerjasama
antarsesamanya
dan
mempertahankan keberadaannya. Sama halnya dengan masyarakat Tenganan
Pegringsingan yang menguatkan tradisi leluhur melalui cerita-cerita yang di
turunkan secara turun temurun oleh para Penua-penua, tentunya cerita-cerita
yang disampaikan masih pada ketentuan-ketentuan yang logis, sehingga masih
dapat diterima oleh generasi-generasi selanjutnya. Kemudian penelitian Disertasi
“Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu
di Bali” oleh Ida Bagus Yudha Triguna pada 1997.
Kaitannya dengan penelitian ini adalah tentang sejarah perkembangan
kebudayaan pada masyarakat Bali, serta penafsiran tentang simbolisme Hindu
pada masyarakat Bali pada umumnya dan oleh masyarakat Bali Mula (Bali Asli)
yang terdahulu. Selanjutnya penelitian tentang “Pewarisan Budaya dan
Kepribadian” yang ditulis oleh Kodiran pada tahun 2004. Pada penelitiannya
mengatakan bahwa antara kebudayaan dan kepribadian memiliki hubungan yang
20
sangat erat. Relasi ditunjukkan dari studi-studi Antropologi dan Psikologi yang
dilakukan melalui penelitian secara empiris dengan observasi, tes-tes proyeksi,
dan life history dalam masyarakat dan kebudayaan tertentu. Hasil dari penelitian
menyimpulkan bahwa konsep dan teori psikologi tentang masalah-masalah
kepribadian tidak berlaku umum. Dalam penelitiannya Kodiran juga menyatakan
bahwa terdapat aneka warna kepribadian dasar (base personality), serta watak
umum suatu Negara (nasional character) yang ditumbuh kembangkan dari pola
asuh anak (child rearing) dan pendidikan yang diteruskan melalui proses
enkulturasi dan sosialisasi
Penelitian-penelitian serupa berikutnya, merupakan hasil penelitian yang
terkait dengan pola asuh yaitu diantaranya : penelitian “Orientasi Masa Depan
Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua” yang ditulis oleh Yeniar Indriana dan
Siti Rahayu Haditono pada 1992. Melalui penelitian tersebut diketahui bahwa
peran dan bantuan orangtua sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan seorang anak.
Peran dan hubungan orangtua sering tercermin dalam cara orang tua mengasuh
anak. Dijelaskan juga bahwa masa remaja adalah suatu periode yang terjadi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Orientasi masa depan atau sering
disebut dengan cita-cita, belum terbentuk jelas pada permulaan masa remaja.
Tugas orangtua disini, memiliki peranan dalam mengarahkan cita-cita rema.
Orangtua biasanya ikut menetapkan sasaran yang diharapkan untuk dicapai
serta memberi petunjuk bagaimana mencapainya. Dalam penelitian inijuga
menyertakan beberapa hasil penelitian luar yang berkenaan dengan orientasi
masa depan remaja seperti diantaranya, Poole & Cooney menunjukkan bahwa
orientasi masa depan remaja berisi pekerjaan, perkawinan dan pendidikan. Elder
& McInnis (dalam Indriana & Haditono, 1992), mengidentifikasikan dua tujuan
21
masa depan remaja wanita yaitu berkeluarga dan berkarier. Perkawinan dan
menjadi orangtua adalah tujuan utama, dan tujuan kedua adalah pendidikan dan
pekerjaan.
Demikian
pula
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Thornburg,
menyatakan bahwa sebagian besar perjuangan remaja dalam mencapai
identitasnya
adalah
memusatkan
pikiran
pada
masalah-masalah
pokok
kehidupan misalnya tentang pendidikan, persaingan, pekerjaan, perkawinan,
status ekonomi dan agama. Pada penelitian ini, penulisnya menggunakan model
pola asuh Wels, yakni peneliti menghubungkan pola asuh orangtua dengan
orientasi masa depan atau cita-cita remaja. Dari hipotesis penelitian diketahui
bahwa ada hubungan antara orientasi masa depan remaja dengan pola asuh
orangtua yaitu : remaja dengan pola asuh tipe suportif dalam melihat masa
depannya cenderung berorientasi pada pendidikan, dan rema dengan pola asuh
tipe keras cenderung berorientasi pada perkawinan (Indriana & Haditono, 1992).
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Andayani dkk pada tahun 2002,
mengenai “Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse) Ditinjau Dari Nilai
Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua” menyatakan bahwa persoalan tersebut
semata-mata
hanya
menjadi
masalah
intern
keluarga.
Moore
(1985),
mengatakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya perlakuan salah
terhadap anak adalah terkait dengan faktor individu, baik dari sudut pandang
anak maupun pelaku. Subjek penelitianya melibatkan 49 pasang orangtua pelaku
perlakuan salah terhadap anak yang berdomisili di Nusukan, Banjarsari,
Surakarta.
22
Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa ada hubungan yang signifikan
anatara nilai anak dan tingkat pendidikan orangtua secara bersama-sama
dengan perlakuan salah terhadap anak, baik pada kelompok bapak maupun ibu.
Hasil analisis kuantitatifnya adalah pola asuh yang diterapkan cenderung otoriter,
anak sering dipukul disaat berperilaku tidak seperti yang diharapkan. Bahkan
kebiasaan tersebut sudah dibawa sejak dahulu yang diakibatkan oleh perlakuan
yang sama terhadap pelaku ketika masih muda, dan kemudian kembali dilakukan
pada keluarga atau anak-anak mereka.
Penelitian tentang “Diri dan Pengelolaannya” yang ditulis oleh Bagus Takwin
(2008) yang mengutarakan penelitiannya sebagai berikut, bahwa diri seseorang
terbentuk dan berkembang dalam interaksinya dengan orang lain dalam
kehidupan
sosial.
Takwin
mengatakan
pengelolaan
diri
selalu
perlu
pertimbangan, pemahaman tentang diri yang selalu berada dan berkembang
dalam konteks sosial termasuk budaya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
kesadaran dapat membantu individu untuk mempertemukan unsur-unsur yang
bertentangan dan mencari cara untuk memperoleh keluasaan-keluasaan agar diri
dapat berkembang sambil tetap menjaga kesatuannya.
Hasil penelitian terkait berikutnya, Disertasi yang berjudul “Dinamika
Psikologi Perilaku Terorisme : Identitas Pengambilan Ketutusan Jihad di Luar
Wilayah Konflik pada Terpidana Kasus Bom Bali di Indonesia” oleh Mira Noor
Milla pada 2009 yaitu terkait dengan karakteristik masyarakat dalam kehidupan
masyarakat sosial dan interaksinya. Tesis yang ditulis oleh Fitria pada 2000 yang
berjudul “ Hubungan Antara Identitas Diri dan Perkembangan Kepercayaan
Eksistensial Dengan Tingkat Perkembangan Penalaran Moral Remaja di Kodya
Padang” yaitu terkait dengan dasar keyakinan/religiusitas remaja berpengaruh
23
pada bentuk identitas diri pada remaja. Tesis yang ditulis oleh Muhammad Johan
Nasrul Huda pada 2007 tentang “ Identitas Sosial Tyang Ho‟e Dalam Kelompok
Reog Ponorogo” yaitu mengenai teori sosial dan dinamika soaial yang terjadi
dalam suatu masyarakat budaya. Yuhendrik Nova dalam Tesisnya pada 2003
yang berjudul “ Hubungan Perilaku Coping dan Self-Esteem Dengan Tingkat
Kecemasan Sosial Ibu Anak Autime di D.I. Yogyakarta” yaitu mengenai perilaku
coping dan hubungan yang terbentuk antara ibu dan anak yang menyandang
autis sebagai perbandingan dalam memahami karakteristik dan pola asuh.
Pattinama .V, pada 2010 dengan Tesisnya yang berjudul “Peran Identitas Sosial
dan Kontak Antara Kelompok Terhadap Pemaafan Antara Kelompok Pada
Komunitas Korban Pasca Konflik Ambon” yaitu menitik beratkan pada teori
psikologi sosial mengenai identitas pada kelompok masyarakat tertentu. Sekripsi
yang ditulis oleh Margareta Sih Setija Utami pada 1999, dengan judul “Hubungan
Antara Pola Asuhan Orangtua Dengan Status Identitas Diri Remaja” yaitu
mengenai
bentuk-bentuk
pola
asuh
dan
tahapan
perkembangan
yang
dipengaruhi oleh pola asuh orang tua sebagai salah satu pola yang membentuk
identitas anak khususnya pada remaja. Selanjutnya, Tesis yang ditulis oleh
Kristianto Batuadji pada 2009 yaitu “Moksartham Jagadhita : Studi Etnografis
Tentang Well-Being Pada Warga Ashram Gandhi Etnis-Bali” yaitu mengenai
karakteristik dan budaya masyarakat Bali sebagai perbandingan antara
masyarakat etnik dan umum.
Beberapa penelitian luar yang terkait dengan kajian etnografi, pengasuhan,
teori identitas sosial, dan identitas etnik. Penelitian-penelitian ini merupakan hasil
penelitian dari berbagai Negara, seperti penelitian tentang Bali,
penelitian-
penelitian Asia dan Eropa. Penelitian-penelitian ini peneliti gunakan sebagai
24
bahan kajian dari penelitian-penelitian serupa lainnya. Beberapa hasil penelitian
serupa yang penah ada bukan berarti peneliti berniat untuk meniru atau
menjiplak penelitian-penelitian tersebut. Sebab penelitian yang peneliti lakukan
memunculkan fenomena yang berbeda dibanding penelitian serupa lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Fu-Mei Chan & Tom Luster (2002) ini meneliti
tentang “Factor Related to Parenting Practices in Taiwan”, dimana dalam
penelitian tersebut diketahui bahwa ada tiga model ekologi yang pontensial
sebagai prediktor terkait pengasuhan praktis di China, yaitu karakteristi ibu,
karakteristik anak, dan faktor kontekstual.
“Bazar, Big Kites and Other Boys’ things : Distinctions of Gender and
Traditional in Baliness Youth Culture” yang diteliti oleh Laura Noszlopy (2005)
yang intinya membahas tentang fenomena perkembangan budaya anak muda
Bali yang memiliki keyakinan bahwa norma-norma adat dan ajeg sebagai
batasan-batasan dari bagaimana cara mereka melakukan segala kegiatan untuk
menghimpu dana dan membuat “ogoh-ogoh” dalam perayaan Nyepi serta
membuat layang-layang yang berukuran besar sebagai simbol dari adanya
kebersamaan dalam menjaga tradisi. Walau kadang kala dapat menimbulkan
perkelahian dan tindakan agresif diantara anak-anak muda Bali.
Penelitian selanjutnya, “Attitude Toward Traditional and Nontraditional
Parent” yang ditulis oleh Victoria L. Brescoll & Eric Luis Uhlmann (2005) dalam
penelitian ini pada studi pertama menggunakan metode penelitian betweensubject design dan studi kedua menggunakan within-subject design yang hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa perilaku orangtua yang menggunakan
konsep tradisional (ibu berada di rumah dan bapak bekerja) dan orangtua yang
menggunakan konsep nontradisional (bapak berada di rumah dan ibu bekerja).
25
Dalam penelitian ini terlihat bahwa orangtua yang menggunakan konsep
nontradisional dilihat bahwa posisi bapak tidak memiliki nilai kehormatan yang
tinggi dibandingkan dengan orangtua yang menggunakan konsep tradisional.
Adanya laporan negatif terhadap ibu yang bekerja dan bapak berada di rumah
sebab partisipan menganggap bahwa hal tersebut terkait dengan peran gender
dan representasi steriotipe mengenai bahaimana peran antara laki-laki dan
perempuan dapat berbagi dalam sebuah ideologi yang dibangun dalam
kelurganya. “Disrupted Death Ceremonies : Popular Culture and The Etnography
of Bali” yang ditulis oleh Carol Warren (1993) yang pada penelitiannya berfokus
pada sebuah upacara yang popular pada tradisi Bali, dimana respon dominan
berpusat pada tingkat hirarki dalam merepresentasikan budaya Bali.
Melalui beberapa pustaka dari berbagai penelititian seperti beberapa hasil
penelitian yang diteliti di Tenganan Pegringsingan, maupun penelitian-penelitian
yang secara teori dan metodologi penelitiannya memiliki kemiripan dengan
penelitian yang peneliti lakukan. Diketahui bahwa sebagian besar dari hasil
penelitian tidak terlepas dari aspek-aspek psikologis, baik dalam karakteristik
budaya, masyarakat, dan struktur kemasyarakatan. Dalam ilmu psikologi,
penelitian yang dilakukan di Tenganan Pegeringsingan memang bukan yang
pertama kalinya, ada beberapa penelitian-penelitian psikologi yang lain selain
penelitian yang peneliti lakukan. Hal yang membedakan penelitian yang peneliti
lakukan adalah dari metode atau model penelitian yang berbeda dari kebanyakan
metode atau model penelitian yang digunakan dalam penelitian psikologi.
Peneliti pribadi berpendapat bahwa melalui pendekatan metode etnografi ini
akan memberikan suatu keunikan tersendiri pada sebuah penelitian. Sebab,
adanya penggabungan antara unsur psikologi, budaya, dan ilmu sosial menjadi
26
satu kesatuan yang akan memperkaya kajian ilmu terutama pada bidang ilmu
psikologi. Kajian semacam ini, berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan
masih belum ada. Untuk itu, peneli berharap penelitian ini dapat menjadi sebuah
penelitian yang dapat mengembangkan dan menjadi acuan bagi penelitianpenelitian selanjutnya dalam ilmu psikologi. Sehingga, dari penelitian-penelitian
yang ada dapat lebih berwarna dan memiliki keunikan yang dapat memperkaya
kajian ilmu psikologi.
27
Download