BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak lepas dari nilai-nilai yang telah dibangun oleh masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada warga suatu masyarakat tersebut (Sujarwa, 1999). Kluckhohn mengatakan, bahwa sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan di dunia terkait dengan lima hal pokok dalam kehidupan manusia yaitu diantaranya : masalah hakekat dari hidup manusia (makna hidup), masalah hakekat dari karya manusia (makna dan fungsi kerja), masalah hakekat dan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (makna ruang dan waktu), dan masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar (makna alam) (Koentjoroningrat; Putri, 2009). Wilhelm Wundt, dikenal sebagai bapak psikologi modern yang mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig pada tahun 1879. Memperkenalkan dua tradisi dalam psikologi, yaitu Naturwissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan alami) dan Geisteswissenschaften (tradisi ilmu pengetahuan budaya), (Hoorn & Verhave; Kim & Berry, 1993). Wundt juga mempublikasikan Volkerpsychologie (Folk Psychology) yang terkait dengan penelitian tentang beragam tahapan perkembangan mental manusia yang dimanifestasikan ke dalam bahasa, seni, mitos, kebiasaan sosial, hukum, dan moral. Dua tradisi yang diperkenalkan oleh 1 Wundt implikasinya adalah adanya dua tradisi keilmuan dalam ilmu psikologi, yakni psikologi eksperimental dan psikologi sosial budaya (Schultz, Toulmin & Leary dalam Putri, 2009). Penemuan Wundt bahwa analisis perkembangan individu tidak dapat bergantung sepenuhnya pada psikogenesis, sebab seorang anak yang dilahirkan pada komunitas budaya yang sudah ada dan kemudian dibentuk oleh budaya itu sendiri. Hal yang di tegaskan oleh Wundt, pada komunitas budaya dan kelompok sosial (seperti keluarga, suku bangsa, dan komunitas sosial) anak dilahirkan harus dikaji secara historis, sebab sudah menjadi kesatuan yang tetap berlaku pada generasi-generasi selanjutnya. Namun, hal tersebut kini telah berevolusi mengikuti ruang dan waktu. Untuk itu, budaya perlu dipahami dari sudut pandangnya sendiri dan diketahui bahwa analisis evolusi sejarah dari budaya tertentu adalah fundamental untuk dapat memahami orang dari budaya tersebut (Danziger; Kim & Berry, 1993). Pola asuh, merupakan hal yang penting dalam mewujudkan kelangsungan dari keberadaan nilai-nilai budaya di masyarakat, terutama dalam hal peran orangtua sebagai lingkup terkecil dari masyarakat. Peran yang meliputi perilaku, tindakan, atau keikutsertaan dalam menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat di suatu daerah. Fenomena yang unik dan menarik pada budaya Bali Age (Bali Kuno/tua) di Desa Adat Tradisional Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, sebagai suatu bukti bahwa peran keluarga menjadi penting dalam kelangsungan tradisi leluhur yang dianut oleh masyarakatnya. 2 Milgram, mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rapuh yang terikat pada jaringan-jaringa sosial yang membatasi ruang gerak manusia itu sendiri. Milgram berpendapat, bahwa dalam berperilaku manusia didasari dengan adanya batasan yang mencakup norma, peran, dan budaya. Norma adalah kesepakatan mengenai kehidupan sehari-hari yang membuat interaksi individu dengan individu lain diduga dan teratur. Peran adalah kedudukan yang diatur oleh norma mengenai cara individu, dalam kedudukan atau posisi tertentu, menunjukkan perilaku yang pantas (Wade & Travis, 2007). Sedangkan budaya adalah sebagai program dan kumpulan aturan yang diterima bersama dan mengatur perilaku seseorang dalam masyarakat atau komunitas tertentu, serta seperangkat nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang diterima oleh sebagian anggota masyarakat. Nilai, kepercayaan, serta kebiasaan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Lonner, 1995). Masyarakat tradisional Bali pada umumnya, tradisi selalu dijalankan secara turun temurun. Meskipun berada dalam satu budaya dan satu pulau, namun tradisi masyarakat di pulau Bali memiliki keanekaragaman. Desa Adat Tradisional Tenganan Pegringsingan salah satunya, yakni suatu tempat yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sampai dengan saat ini masih menggunakan adat-istiadat Bali Age (Bali Kuno/Bali Tua). Budaya Bali Age pada masyarakat Tenganan Pegringsingan tentunya memiliki nilai-nilai tradisi yang sedikit berbeda dari tradisi budaya Bali pada umumnya. Penerapan pola asuh, hak waris, busana adat, perilaku sosial, prosesi ritual, serta cara pandang masyarakatnya terkait dengan perekonomian tentunya juga berbeda tradisi dengan orang Bali Age lainnya yang ada di pulau Bali. Kehidupan sehari-hari orang Bali Age (Tenganan Pegringsingan) dihabiskan dengan 3 menjalankan ritual dan disela-sela waktu yang ada digunakan untuk membuat kerajinan tangan sebagai penopang perekonomian. Orang Bali Age sangat taat pada aturan adat dan menjalankan tradisi leluhur dengan penuh kesadaran pada individunya. Kepercayaan dalam masyarakat Bali Age dibagi atas dua yaitu kepercayaan secara kultural, orang Bali Age di Tenganan Pegringsingan meyakini bahwa dengan menjalankan tradisi, maka kehidupan yang dijalani akan terhindar dari malapetaka dan memberika kemakmuran. Sedangkan kepercayaan secara spiritual, orang Bali Age pada dasarnya menganut kepercayaan kepada Dewa Indra (Dewa Peperangan) dan meyakini bahwa orang-orang asli yang berada di Tenganan Pegringsingan sebagai keturunan dari Raja Indra yang berasal dari Kerajaan Bedahulu, Gianyar, Bali, yang memiliki kepercayaan sama sebagai Sekte Indra. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terdahulu, masyarakat Bali Age pada mulanya hanya menganut sekte-sekte dalam ajaran agama Hindu Budha. Sehingga, secara tidak langsung menunjukkan beberapa kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Besarnya pengaruh peradaban dan kepercayaan yang sangat kental pada masyarakat Bali Age, dapat terlihat dari adanya beberapa ritual yang tidak biasanya dilakukan pada masyarakat Bali umumnya. Perang Pandan (Megeret Pandan), dan Usaba Sambah, merupakan dua contoh dari beberapa ritual dan tradisi besar yang di laksanakan setiap tahunnya oleh orang Tenganan Pegringsingan. Tradisi (Budaya) Age pada masyarakat Tenganan Pegringsingan memang terlihat sangat kental. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu ritual yang disebut dengan upacara atau ritual Metruna 4 Nyoman (Truna Nyoman). Uniknya, ritual Metruna Nyoman tersebut berlangsung pada periode waktu yang cukup lama, yaitu satu tahun. Ritual akan berjalan ketika anak sudah merasa siap atau mempersiapkan diri untuk mengemban tanggungjawab. Prosesnya berlangsung setidaknya 7-10 tahun sekali. Erikson mengutarakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahapan perkembangan. Manusia dalam perkembangannya dari tahap satu ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilannya dalam menempuh tahapan sebelumnya. Jika dilihat dari tahap perkembangan seperti yang diutarakan oleh Erikson, pada usia 7-12 tahun dikatakan sebagai usia sekolah. Pada masa ini ditandai adanya kecenderungan industry-inferority, yaitu adanya dorongan untuk mengetehui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar (Santrock, 2002). Maka dari itu, terlepas dari pengetahuan masyarakat Tenganan Pegringsingan mengenai tahap-tahap perkembangan dalam ilmu psikologi, menganggap bahwa pada usia-usia tersebut anak dianggap sudah cukup mengerti dan matang dalam menjalankan ritual Metruna Nyoman. Tradisi ritual Metruna Nyoman, merupakan tradisi sakral yang wajib diikuti oleh semua anggota masyarakat dengan usia yang ditentukan tersebut. Bagi kepercayaan masyarakat Tenganan Pegringsingan, ritual ini sebagai wujud dari sebuah proses kematangan dan kedewasaan pada seseorang yang menjalaninya, serta sebagai sebuah komitmen bagi para generasinya untuk memahami dan menjalankan tradisi turun-temurun dengan berbagai pengetahuan selama mengikuti prosesi ritual. Dalam pelaksanaan ritual ini, anakanak yang mengikutinya berada dalam asrama-asrama yang sesuai dengan 5 garis keturunan ayah bagi yang laki-laki atau garis keturunan ibu bagi yang perempuan (dalam arti lain menjalankan karantina tanpa diperbolehkan bertemu dengan siapapun, kecuali yang bersangkutan dengan ritual). Sesuai dengan tahap perkembangan yang diutarakan Erikson diatas, pada usia 7-12 tahun merupakan usia sekolah, dan dalam pelaksanaan ritual ini anak harus merelakan satu tahun masa sekolahnya demi menjalankan ritual Metruna Nyoman tersebut. Informasi dari Penglingsir (sesepuh) mengatakan bahwa ritual ini tidak berjalan setiap tahun, melainkan harus menunggu hingga beberapa tahun untuk dapat memastikan dan mengumpulkan minimal sepuluh orang anak yang akan menjalankan ritual ini. Untuk itu, tidak mudah bagi setiap orang dapat mengetahui kapan ritual ini berlangsung dan menjadi semakin sakral karena tidak diperbolehkan sembarang orang (orang asing/orang luar Tenganan Pegringsingan) untuk dapat menyaksikannya. Ritual dan tradisi tersebut ditujukan kepada leluhur dan sebagai wujud persembahan suci kepada Dewa Indra yang diikuti oleh seluruh masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan, mulai dari anak-anak hingga orang tua tanpa terkecuali. Selain ritual Metruna Nyoman, ada pula tradisi Megeret Pandan (Perang Pandan) dan Usaba Sambah. Perang Pandan sendiri merupakan suatu tarian yang menggunakan pandan berduri sebagai sarananya, yang pada pelaksanaannya menggosokkan pandan berduri pada punggung penari Perang Pandan lainnya, sehingga menimbulkan luka-luka. Jadi, tarian ini merupakan tarian perang yang khusus di tarikan atau dilaksanakan oleh kaum laki-laki yang sudah menjalankan Metruna Nyoman sebelumnya. 6 Orang Tenganan Pegringsingan percaya, bahwa darah yang mengalir dari tubuh penari Perang Pandan tersebut, merupakan simbol dari persembahan suci kehadapan Dewa Indra (Dewa Peperangan) sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Masyarakat awam tentunya melihat ritual ini sebagai suatu tradisi ekstrim yang berbeda dari tradisi masyarakat Bali lainnya. Namun, bukan berarti orang Tenganan Pegringsingan menganggap bahwa peperangan itu hal yang baik. Tarian ini hanya sebagai simbol jati diri orang Tenganan Pegringsingan yang tidak pernah melupakan tradisi leluhurnya yang lampau (sebagai kesatria perang). Para Daha (pemudi) akan menyaksikan jalannya tarian Perang Pandan yang dilakukan oleh kaum laki-laki di atas Bale Petemuan. Artinya, ketika ritual berlangsung, para gadis berkesempatan melihat kepiawaian dan keberanian para Truna (pemuda) dalam ritual Perang Pandan.. Namun seperti sekarang ini, pesatnya perkembangan jaman dan teknologi , membuat tradisi semakin sulit untuk dipertahankan sebagaimana makna ritual terdahulu. Banyaknya minat masyarakat awam untuk mengetahui ritual ini lebih dekat, seringkali melewati batas-batas kesakralan dari ritual ini. Sehingga, kesannya pelaku ritual adalah objek wisata (hiburan). Melalui upacara Perang Pandan ini, menjadikan generasi Tenganan Pegringsingan memiliki rasa kebanggaan tersendiri karena menjalankan ritual tersebut ditengah kemajuan modernisasi global dan diketahui oleh banyak kalangan sebagai suatu tradisi kuno yang masih bertahan. Serupa halnya dengan ritual Perang Pandan, upacara Usaba Sambah juga dijalankan setiap setahun sekali, sebagai pralambang memasuki tahun Saka Baru pada masyarakat Tenganan Pegringsingan. Upacara ini berlangsung 7 sebulan penuh sebelum berlangsungnya ritual Perang Pandan, atau saat memasuki awal tahun dalam kalender nasional. Tidak jauh berbeda dengan ritual lainnya, upacara ini juga melibatkan peran orangtua dan juga anak-anak. Selama berjalannya upacara Usaba Sambah, anak-anak, para Daha, dan juga Truna secara bergilir menari Rejang (tarian sakral dalam setiap upacara) sesuai dengan garis keturunan dari bapak, yaitu Temu Kaja, Temu Tengah, atau Temu Kelod. Pada upaca ini juga menggambarkan tentang pencarian jodoh setelah berharihari menjalankan upacara. Digambarkan bahwa Daha (gadis) yang menari dengan merentangkan tangannya secara bergantian guna memikat Truna agar mau menari bersamanya. Dahulunya, dalam tarian ini antara Daha dan Truna saat menari saling berbincang dan membuat kesepakatan “bak gayung bersambut”. Namun, dimasa sekarang sudah sedikit bergeser, tarian tersebut hanya sebagai simbol yang merekatkan relasi antar sesama pemuda agar berkesempata berpikir kembali jika kelak dalam mencari pasangan haruslah dari sesama orang Tenganan Pegringsinga. Melalui serangkaian gambaran ritual dan upacara tersebut, konsep identitas sendiri dapat dijelaskan sebagai tahapan perkembangan kepribadian yakni pengalaman akumulatif dari kemampuan ego untuk mengintegrasikan semua identifikasi dengan perubahan libido, dengan kemampuan berkembang, dan sebagian berperan secara sosial (Erikson, 1963). Individu dalam perkembangannya pasti mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya, begitu pula perkembangan yang dialami oleh orang Tenganan Pegringsingan. Selain dipengaruhi oleh perkembangan alamiah individu, pengaruh modernisasi juga 8 banyak memberikan dampak terhadap perkembangan seseorang terutama pada pemaknaan nila-nilai budaya. Pada setiap perkembangan individu berlangsung dalam suatu konteks latarbelakang kebudayaan. Konteks atau setting tersebut meliputi, rumah, sekolah, kelompok teman-teman sebaya, tempat ibadah, kota, lingkungan, dan komunitas. Ada tiga konteks sosiokultural yang diyakini oleh banyak ahli perkembangan sebagai suatu yang patut mendapatkan perhatian khusus,. Pertama kebudayaan (culture), yaitu menyangkut dengan pola-pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari sekelompok orang yang diteruskan dari generasi satu pada generasi selanjutnya. Produk-produk tersebut adalah hasil dari interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok manusia dan lingkungannya yang berlangsung selama bertahun-tahun. Kedua aspek studi lintas kebudayaan (cross-culture-studies), yaitu terkait dengan adanya pengetahuan tentang perbandingan suatu kebudayaan dengan satu atau lebih kebudayaan lain, dalam arti memberi informasi tentang sejauhmana perkembangan manusia secara universal, lintas kebudayaan, atau sejauhmana perkembangan khas kebudayaan tertentu. Etnisitas yang merupakan bagian dari perkembangan identitas etnis, yakni rasa keanggotaan yang didasarkan atas bahasa, agama, adat-istiadat, niali-nilai, sejarah, dan ras suatu kelompok etnis yang sama. Identitas etnik pada suatu kelompok mencerminkan suatu keputusan dari seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya terhadap leluhur atau kelompok leluhur. Ketiga gender, yaitu menyangkut dimensi sosiokultural sebagai perempuan atau laki-laki. Beberapa aspek perkembangan juga mengatakan bahwa identitas diri sebagai laki-laki atau 9 perempuan untuk dapat menjalin hubungan relasi, menentukan sikap-sikap, dan nilai-nilai pada kelompok atau lingkungannya (Santrock, 2002). Religiusitas pada suatu kelompok etnik merupakan faktor penting, yakni kepercayaan tentang eksistensial (iman). Kepercayaan eksistensial merupakan suatu hal yang universal yang dimiliki oleh manusia, merupakan suatu ciri dari seluruh hidup, tindakan dan pengertian diri yang mengandung pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya (Fowler, 1978; Fitria, 2000). Perkembangan eksistensial dalam perkembangan individu adalah ketika seseorang menyadari bahwa ego dapat mencapai mutualitas dalam suatu relasi yang ditandai oleh adanya kepercayaan kepada pemberi perhatian utama (ibu). Sifat dipercaya sebagai fundamental yang perlu ada dalam anak dan orang lain, sebab sifat merupakan tuntunan yang utama dalam perkembangan identitas diri (Erikson; Immink, dalam Fitria, 2000). Kesan modern terasa ketika masuknya beberapa barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor di lingkungan Tenganan Pegringsingan. Seperti halnya jaringan internet, televisi, komputer, dan rata-rata orang Tenganan Pegringsingan kini sudah memfasilitasi diri dengan telepon genggam. Ada beberapa hal terkait dengan kemajuan jaman dan teknologi yang dapat diterima oleh orang Bali Age ini, namun ada juga yang ditolak seperti halnya perbaikan jalan atau perubahan konsep pemukiman yang sudah memiliki aturan baku. Bagi orang Tenganan Pegringsingan awig-awing (aturan adat pada suatu banjar/daerah) hanya berlaku sebagai aturan atau hukum adat dalam masyarakat Bali secara umum, berbeda halnya dengan aturan tradisi dari leluhur yang ketat dan memiliki sanksi tegas. 10 Dari generasi ke generasi, aturan adat tradisi masyarakat Tenganan Pegringsingan baik yang tertulis maupun tidak, salah satunya tidak memperkenankan untuk menebang pepohonan secara liar atau tampa ijin dari pihak yang berwenang, sekalipun itu adalah milik pribadi. Sebab, lahan perkebunan, pemukiman, dan peliharaan sejatinya adalah milik desa adat. Oleh sebab itu, apabila pada musim buah-buahan ketika buah tersebut jatuh yang berada dikebun milik siapapun maka siapa saja bisa mengambilnya atau secara bergantian menjaga dan memelihara ternak-ternak yang diperuntukkan sebagai sarana ritual. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa meskipun perkembangan teknologi semakin berkembang pesat, namun orang Tenganan Pegringsingan masih tetap berupaya melestarikan tradisi yang dimilikinya dengan tetap melestarikan lingkungan disekitarnya. Padatnya serangkaian ritual dan upacara adat pada masyarakat Tenganan Pegringsingan, bukan berarti mereka tidak memiliki profesi lain diluar aktivitasnya menjadi orang Bali Age. Bagi anak-anak masih diperkenankan untuk menerima pendidikan formal dan menempuh pendidikan tinggi diluar lingkungan Tenganan Pegringsingan. Ada beberapa yang memiliki profesi sebagai PNS, seperti guru atau pegawai suatu lembaga Pemerintahan, ada pula yang menjalankan profesinya dengan berwirausaha. Keunikannya adalah tentang sikap yang ditunjukan oleh orang Tenganan Pegringsingan, yang harus mengadaptasikan dirinya pada situasi yang jauh berbeda dengan dirinya sebagai orang Bali Age. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seorang individu dapat menjadi anggota dua atau lebih kelompok yang berlainan, Individu juga dapat dikategorisasikan ke dalam beberapa segi yang dimungkinkan, misalnya pria atau wanita, hitam atau putih, muda atau tua, tergantung pada konteks sosial dan dimungkinkan bisa saja memiliki lebih dari hanya satu identitas kelompok yang menonjol pada suatu 11 waktu, kondisi demikian disebut persilangan kategori atau crossed categorization (Crips, Walsh, dan Hewstone, 2007). Identitas sosial yang peneliti maksudkan adalah identitas yang terbentuk dari adanya pengkategorisasian dalam kelompok, yang muncul akibat dari kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk membagi dua kategori yaitu in group dan out group. In group sebagai: „kita‟ dan out group sebagai: „mereka‟. In group merupakan kelompok sosial ketika seorang individu mempersepsikan dirinya sendiri sebagai „kita‟. Out group merupakan seluruh kelompok yang berada di luar kelompok individu yang mempersepsikan dirinya sebagai anggota kelompok tersebut. Untuk mengurangi prasangka dilakukan kategorisasi ulang, atau rekategorisasi. Rekategorisasi merupakan perubahan dalam batas antara individu in group „kita‟ dan beberapa out group, „mereka‟. Rekategorisasi menghasilkan pandangan yang berbeda, individu yang sebelumnya dipandang sebagai out group kini dipandang sebagai in group (Baron & Byrne, 2003). Oleh sebab itu, orang Tenganan Pegringsingan masih dapat menerima keberadaan orang asing (orang diluar lingkungan masyarakatnya) dalam kaitannya dengan interaksi sosial kehidupan sehari-hari. Proses pembentukan identitas individu tersebut sudah dimulai sejak kecil, yakni pada masa anak-anak dmulai dengan mengadakan identifikasi pada orangorang disekelilingnya, namun pembentukan identitas diri menjadi puncak dan tugas perkembangan yang harus diselesaikan di masa remaja. Untuk itu, proses pembentukan identitas diri ini terjadi melalui adanya krisis antara dua ekstrim, yakni positif dan negatif (Erikson, 1974). Keberadaan krisis tersebut mengharuskan individu untuk dapat memilih alternatif-alternatif dan membuat 12 suatu komitmen untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya (Larkin dalam Erikson, 1963). Logan berpendapat, bahwa individu tidak mencapai suatu komitmen untuk menyelesaikan konflik-konfliknya dalam proses pembentukan identitas diri. Namun akan menunjukan beberapa mekanisme pertahanan, salah satunya adalah membentuk identitas negatif yaitu mengambil nilai-nilai yang bertentangan dengan moral dan agama yang berkembang dalam masyarakat (Shelton dalam Baron & Byrne, 2003 ). Guna mengantisipasi munculnya identitas kearah negatif tersebut, maka perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai tradisi leluhur yang dijalankan oleh orang Tenganan Pegringsingan. Utamanya melalui lingkup keluarga yang menjadi dasar perkembangan anak. Melalui pembelajaran mendekatkan diri dan live in, adanya pergulatan fenomena dan tantangan kebudayaan diharapkan meningkatkan kinerja dan visioner kebudayaan dan laku-laku budaya melalui kantong-kantong pendidikan hingga proses saling menyediakan ruang bagi setiap generasi untuk dapat bersikap dan memiliki cara pandang bahwasannya perbedaan akan lebih memperkaya dari pada menghancurkan (Mudji, 2006). Soejono, mengatakan manusia tertua yang mendiami pulau Bali adalah manusia pendukung kapak genggam. Penemuan tersebut meyakini bahwa keberadaan manusia Bali tua dengan penemuan kapak genggam di lokasi penemuan salah satu pemukiman desa Bali Tua yakni di Desa Sambiran, Singaraja, Bali, dan di tepi sebelah Timur dan Tenggara Danau Batur, Kintamani, Bangli, Bali. Adanya penemuanpenemuan ini, lebih meyakini bahwa kehidupan manusia asli pulau Bali (masyarakat Bali Tua) memang benar adanya (Wikarman, 1998). 13 Sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali Age menggambarkan bahwa kemajuan zaman dan teknologi bukan menjadi alasan untuk mengubah atau menghilangkan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Adanya pantang bagi orang Bali Age (Tenganan Pegringsingan) untuk memutus matarantai berjalannya tradisi kuno yang diturunkan leluhur ini. Bahkan orang Bali Age (Tenganan Pegringsingan), justru penerapan tradisi itu penting di tanamkan sejak dini pada anak-anak generasi penerus Bali Age. Berdasarkan penuturan Pemuda dan Pemudi Bali Age di Tenganan Pegringsingan, bahwa sudah menjadi tanggungjawab bagi Pemuda dan Pemudi Desa Tenganan Pegringsingan sebagai generasi penerus tradisi ini untuk tetap menjaga dan melestarikan apa yang sudah diturunkan. Hal ini terkait dengan adanya kepercayaan yang kuat pada sanksi adat dan sanksi alam yang kemungkinan akan menghancurkan generasi dan membuat tradisi ini punah (Sudaryati, 2009). Sejarah kehidupan merupakan deskripsi yang menawarkan suatu pemahaman terhadap kebudayaan lain. Deskripsi yang mengungkapkan secara detil kehidupan-kehidupan seseorang dan dalam prose tersebut menuju bagianbagian penting pada kebudayaan itu sendiri (Sudaryati, 2009). Hal itu menegaskan bahwa budaya (adat-istiadat) Bali Age di Tenganan Pegringsingan dapat terus bertahan hingga saat ini, melalui penelitian dengan studi etnografi. Etnografi sendiri dapat menunjukkan berbagai perbedaan budaya dan bagaimana orang dengan perspektif berbeda dapat saling berinteraksi dalam lingkup masyarakat yang lebih luas (Spradley, 2006). Hubungan interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat memiliki ikatan budaya yang sangat kuat, bahkan disertai dengan komunikasi secara interpersonal (pribadi). Komunikasi interpersonal yang dimaksud adalah 14 komunikasi yang dilakukan secara personal dalam suatu keluarga yang merupakan bagian kecil dari kelompok masyarakat. Pada dasarnya keluarga merupakan lingkup kecil dari suatu kelompok masyarakat sebagai dasar anak dan anggota keluarga yang lainnya untuk dapat bersosialisasi lebih lanjut ke lingkungan yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Semua masyarakat yang pernah dikenal, hamper semua orang hidup terikat dengan jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut dengan peran (role relation), (William dalam sudaryati, 2009). Confusius berpendapat, bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap ada dalam masyarakat apabila setiap masyarakat bertindak dengan benar (yang dimaksudkan disini, berlaku sesuai dengan ketentuan yang ada) sebagai anggota keluarga dan akan menyadari bahwa orang harus mentaati kewajibannya sebagai bagian dari anggota masyarakat. William, pada saat sebuah lembaga mulai membentuk kepribadian seseorang dalam hal-hal penting, keluarga memiliki banyak peran dalam hal merubahnya, dengan cara mengajarkan bagaimana berbicara dan menjalankan fungsi sosial (William; Sudaryati, 2009). Peran keluarga terutama orangtua menjadi suatu pengaruh yang kuat ketika tradisi itu mulai dikenalkan pada anak-anak. Untuk itu, dalam budaya Bali Age di Tenganan Pegringsingan, sebagian besar penduduknya hanya melakukan aktifitasnya sehari-hari di rumah. Seperti mengerjakan kerajinan tangan (souvenir) terutama bagi kaum laki-laki, menenun bagi kaum perempuan. Perilaku sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan dapat sebagai prinsipprinsip yang mengajarkan tentang tradisi yang berjalan di Tenganan Pegringsingan, merupakan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang 15 dilakukan oleh masyarakatnya. Kebiasaan itu sendiri adalah perilaku yang khas sebagai suatu yang sudah biasa di lakukan sehingga menjadi kebiasaan (Harjana, 2003). Termasuk di dalamnya Agama atau Kepercayaan yang selalu ada dan dikaitkan dengan kebudayaan, yang secara formal merupakan konsep hubungan manusia dengan lingkungannya (Tarwotjo, 1994). Beranjak dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, maka diharapkan penelitian yang akan dilakukan berikutnya melalui pengamatan studi Etnografi akan lebih menggali fenomena psikologi dalam sebuah kelompok masyarakat Bali pedalaman yaitu masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan. Bukan perbedaan yang akan menjadikan perbandingannya, namun lebih pada identitas etnik dalam perilaku sosial masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan guna mewujudkan kelestarian budaya leluhurnya. Keanekaragaman tradisi yang ada di Bali diharapkan dapat memperkaya penelitian-penelitian fenomena budaya di Bali selanjutnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada fokus permasalahan yang telah diurakan diatas, maka permasalahan pokok yang ingin peneliti jawab adalah mengenai “Bagaimanakah pola pembentukan identitas etnik pada masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan” serta “Bagaimanakah pola pembentukan identitas etnik diwariskan kepada generasi muda di Tenganan Pegringsingan”. 16 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui secara langsung bagaimana Pola Identitas Etnik Individu Terbentuk Dalam Masyarakat Bali Age di Tenganan Pegringsingan 2. Untuk mengetahui secara langsung tentang Pola Pembentukan Identitas Etnik Tersebut Terbentuk dan di Wariskan Kepada Generasi Muda di Tenganan Pegringsingan D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini, ada dua manfaat yang dapat di kemukakan yakni manfaat akademik dan manfaat praktis. Diantara dua manfaat ini juga akan menjelaskan sejauh mana penelitian ini dapat bermanfaat dan layak sebagai sebuah penelitian Psikologi. i. Manfaat Akademik Secara garis besarnya, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Sekripsi yang sebelumnya sudah pernah dilakukan, maka dalam hal akademik dapat menyumbangkan suatu pengetahuan yang lebih mendalam lagi tentang Budaya Bali Age (Bali Kuno/Tua), yang realitanya masih sangat minim diketahui oleh masyarakat luas dan kalangan akademisi, disamping informasi yang tersedia sangat terbatas, sehingga kurangnya jangkauan sebagai sebuah kajian dalam studi mata kuliah, baik S1 maupun khususnya pada S2. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat menjadi sebuah langkah yang baik dalam pembelajaran ilmu Psikologi yang sarat akan nilai tradisi dan budaya sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang memiliki begitu 17 banyak keragaman dari adanya suku-suku bangsa. Utamanya, manfaat bagi pembelajaran Psikologi Sosial dapat menambah keragaman pengetahuan dan pandangan dalam mengamati setiap perilaku-perilaku sosial di masyarakat, terutama pada masyarakat-masyarakat pedalaman yang jauh dari kesan kehidupan modern. ii. Manfaat Praktis 1. Mengetahui secara langsung pola pembentukan identitas etnik pada masyarakat tradisional Bali terutama pola yang dibentuk sejak dini yang melibatkan langsung anak-anak, sebagai upaya menjaga tradisi Bali Age agar tetap dijaga dan dilestarikan turun temurun. 2. Memberikan informasi yang jelas mengenai peran dan interaksi secara personal dalam keluarga Bali Age di Tenganan Pegringsingan terkait dengan tradisi adat-istiadat kuno yang dijalankan oleh masyarakatnya. Melalui penelitian ini, tidak hanya dapat sebagai sebuah media yang hanya memberikan informasi bagi masyarakat umum, namun juga dapat sebagai wawasan bahwasannya budaya Bali Kuno tersebut hingga saat ini masih ada di Bali. E. Keaslian Penelitian Ada beberapa pustaka hasil penelitian baik yang pernah dilakukan di Tenganan Pegringsingan atau hasil-hasil penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini, yaitu penelitian “Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga Bali (Studi Etnometodelogi Peran Keluarga Inti Dalam Mengkomunikasikan Adatistiadat Bali Age di Tenganan Pegringsingan, Karangasem Bali)” yang ditulis oleh Ni Made Yeni Sudaryati pada 2009. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa 18 pada proses mengenal adat-istiadat dan tradisi leluhur masyarakat Tenganan Pegringsingan adalah melalui keluarga. Keluarga adalah tempat yang utama bagi anak-anak untuk mendapat pengetahuan tentang bagaimana menjalankan ritual dan tradisi adat dalam kehidupan masyarakat Tenganan Pegringsingan. Penelitian “Pola Asuh Antar Generasi Pada Masyarakat Bali Aga (Bali Asli) : Kajian Psikologi Indigenous Pada Masyarakat Desa Panglipuran, Bangli, Bali” yang ditulis oleh Dewi Arum Widhiyanti Putri pada 2009. Penelitian yang menggudakan background penelitian deskriptif kualitatif ini menyatakan, bahwa intinya peneliti ingin mendeskripsikan sikap suatu kebudayaan berdasarkan latar belakang psikologi dengan tujuan utamanya adalah untuk dapat memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli tentang bagaimana pola asuh antar generasi yang terbentuk dalam masyarakat desa Panglipuran yang meniliki latarbelakang budaya Bali Aga. Penelitian tentang, “Sebuah Deskripsi tentang Latarbelakang Sosial Budaya Bahasa Bali” yang ditulis oleh Jendra.dkk pada tahun 1975-1976, penelitian yang dikutip dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Kebudayaan dan Antropologi UNUD. Mengungkapkan bahwa salah satu temuan tentang variasi dialegtis bahasa Bali yang terdapat di pegunungan bagian timur Bali yakni di Tenganan Pegeringsingan sebagai sebuah dialeg Bali Age. Penelitian “Wacana Samodana Usaba Sambah pada Masyarakat Tenganan Pegeringsingan : Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan” yang ditulis oleh peneliti Kebudayaan dan Antropologi UNUD. Penelitian ini mengungkapkan mengenai masalah karakteristik, struktur, dan pelaksanaan Samodana dalam konteks Usaba Sambah. Hasil penelitiannya melalui beberapa pustaka sebagai kajian dalam bidang budaya dan bahasa masyarakat Tenganan Pegeringsingan. 19 Penelitian tentang “Cerita Rakyat dari Bali : Beberapa Kejanggalan Linguistik” yang ditulis oleh I Dewa Putu Wijana tahun 2004, hasil penelitiannya menyatakan bahwa cerita rakyat yang berasal dari berbagai etnik di Indonesia, merupakan salah satu usaha untuk memperkenalkan dan menjaga kelestarian nilai budaya. Seorang penulis cerita tidak hanya dituntut untuk mencari dan mengumpulkan sumber mana yang paling terpercaya, penulis juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang budaya dan tata cara masyarakat pemiliki cerita rakyat yang bersangkutan. Budaya dan tata cara yang dimaksud meliputi berbagai tingkah laku dan adat kebiasaan yang disepakati bersama oleh anggota-anggota masyarakat bersangkutan dakam upaya menjalin kerjasama antarsesamanya dan mempertahankan keberadaannya. Sama halnya dengan masyarakat Tenganan Pegringsingan yang menguatkan tradisi leluhur melalui cerita-cerita yang di turunkan secara turun temurun oleh para Penua-penua, tentunya cerita-cerita yang disampaikan masih pada ketentuan-ketentuan yang logis, sehingga masih dapat diterima oleh generasi-generasi selanjutnya. Kemudian penelitian Disertasi “Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali” oleh Ida Bagus Yudha Triguna pada 1997. Kaitannya dengan penelitian ini adalah tentang sejarah perkembangan kebudayaan pada masyarakat Bali, serta penafsiran tentang simbolisme Hindu pada masyarakat Bali pada umumnya dan oleh masyarakat Bali Mula (Bali Asli) yang terdahulu. Selanjutnya penelitian tentang “Pewarisan Budaya dan Kepribadian” yang ditulis oleh Kodiran pada tahun 2004. Pada penelitiannya mengatakan bahwa antara kebudayaan dan kepribadian memiliki hubungan yang 20 sangat erat. Relasi ditunjukkan dari studi-studi Antropologi dan Psikologi yang dilakukan melalui penelitian secara empiris dengan observasi, tes-tes proyeksi, dan life history dalam masyarakat dan kebudayaan tertentu. Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa konsep dan teori psikologi tentang masalah-masalah kepribadian tidak berlaku umum. Dalam penelitiannya Kodiran juga menyatakan bahwa terdapat aneka warna kepribadian dasar (base personality), serta watak umum suatu Negara (nasional character) yang ditumbuh kembangkan dari pola asuh anak (child rearing) dan pendidikan yang diteruskan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi Penelitian-penelitian serupa berikutnya, merupakan hasil penelitian yang terkait dengan pola asuh yaitu diantaranya : penelitian “Orientasi Masa Depan Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua” yang ditulis oleh Yeniar Indriana dan Siti Rahayu Haditono pada 1992. Melalui penelitian tersebut diketahui bahwa peran dan bantuan orangtua sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan seorang anak. Peran dan hubungan orangtua sering tercermin dalam cara orang tua mengasuh anak. Dijelaskan juga bahwa masa remaja adalah suatu periode yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Orientasi masa depan atau sering disebut dengan cita-cita, belum terbentuk jelas pada permulaan masa remaja. Tugas orangtua disini, memiliki peranan dalam mengarahkan cita-cita rema. Orangtua biasanya ikut menetapkan sasaran yang diharapkan untuk dicapai serta memberi petunjuk bagaimana mencapainya. Dalam penelitian inijuga menyertakan beberapa hasil penelitian luar yang berkenaan dengan orientasi masa depan remaja seperti diantaranya, Poole & Cooney menunjukkan bahwa orientasi masa depan remaja berisi pekerjaan, perkawinan dan pendidikan. Elder & McInnis (dalam Indriana & Haditono, 1992), mengidentifikasikan dua tujuan 21 masa depan remaja wanita yaitu berkeluarga dan berkarier. Perkawinan dan menjadi orangtua adalah tujuan utama, dan tujuan kedua adalah pendidikan dan pekerjaan. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Thornburg, menyatakan bahwa sebagian besar perjuangan remaja dalam mencapai identitasnya adalah memusatkan pikiran pada masalah-masalah pokok kehidupan misalnya tentang pendidikan, persaingan, pekerjaan, perkawinan, status ekonomi dan agama. Pada penelitian ini, penulisnya menggunakan model pola asuh Wels, yakni peneliti menghubungkan pola asuh orangtua dengan orientasi masa depan atau cita-cita remaja. Dari hipotesis penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara orientasi masa depan remaja dengan pola asuh orangtua yaitu : remaja dengan pola asuh tipe suportif dalam melihat masa depannya cenderung berorientasi pada pendidikan, dan rema dengan pola asuh tipe keras cenderung berorientasi pada perkawinan (Indriana & Haditono, 1992). Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Andayani dkk pada tahun 2002, mengenai “Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse) Ditinjau Dari Nilai Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua” menyatakan bahwa persoalan tersebut semata-mata hanya menjadi masalah intern keluarga. Moore (1985), mengatakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya perlakuan salah terhadap anak adalah terkait dengan faktor individu, baik dari sudut pandang anak maupun pelaku. Subjek penelitianya melibatkan 49 pasang orangtua pelaku perlakuan salah terhadap anak yang berdomisili di Nusukan, Banjarsari, Surakarta. 22 Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa ada hubungan yang signifikan anatara nilai anak dan tingkat pendidikan orangtua secara bersama-sama dengan perlakuan salah terhadap anak, baik pada kelompok bapak maupun ibu. Hasil analisis kuantitatifnya adalah pola asuh yang diterapkan cenderung otoriter, anak sering dipukul disaat berperilaku tidak seperti yang diharapkan. Bahkan kebiasaan tersebut sudah dibawa sejak dahulu yang diakibatkan oleh perlakuan yang sama terhadap pelaku ketika masih muda, dan kemudian kembali dilakukan pada keluarga atau anak-anak mereka. Penelitian tentang “Diri dan Pengelolaannya” yang ditulis oleh Bagus Takwin (2008) yang mengutarakan penelitiannya sebagai berikut, bahwa diri seseorang terbentuk dan berkembang dalam interaksinya dengan orang lain dalam kehidupan sosial. Takwin mengatakan pengelolaan diri selalu perlu pertimbangan, pemahaman tentang diri yang selalu berada dan berkembang dalam konteks sosial termasuk budaya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kesadaran dapat membantu individu untuk mempertemukan unsur-unsur yang bertentangan dan mencari cara untuk memperoleh keluasaan-keluasaan agar diri dapat berkembang sambil tetap menjaga kesatuannya. Hasil penelitian terkait berikutnya, Disertasi yang berjudul “Dinamika Psikologi Perilaku Terorisme : Identitas Pengambilan Ketutusan Jihad di Luar Wilayah Konflik pada Terpidana Kasus Bom Bali di Indonesia” oleh Mira Noor Milla pada 2009 yaitu terkait dengan karakteristik masyarakat dalam kehidupan masyarakat sosial dan interaksinya. Tesis yang ditulis oleh Fitria pada 2000 yang berjudul “ Hubungan Antara Identitas Diri dan Perkembangan Kepercayaan Eksistensial Dengan Tingkat Perkembangan Penalaran Moral Remaja di Kodya Padang” yaitu terkait dengan dasar keyakinan/religiusitas remaja berpengaruh 23 pada bentuk identitas diri pada remaja. Tesis yang ditulis oleh Muhammad Johan Nasrul Huda pada 2007 tentang “ Identitas Sosial Tyang Ho‟e Dalam Kelompok Reog Ponorogo” yaitu mengenai teori sosial dan dinamika soaial yang terjadi dalam suatu masyarakat budaya. Yuhendrik Nova dalam Tesisnya pada 2003 yang berjudul “ Hubungan Perilaku Coping dan Self-Esteem Dengan Tingkat Kecemasan Sosial Ibu Anak Autime di D.I. Yogyakarta” yaitu mengenai perilaku coping dan hubungan yang terbentuk antara ibu dan anak yang menyandang autis sebagai perbandingan dalam memahami karakteristik dan pola asuh. Pattinama .V, pada 2010 dengan Tesisnya yang berjudul “Peran Identitas Sosial dan Kontak Antara Kelompok Terhadap Pemaafan Antara Kelompok Pada Komunitas Korban Pasca Konflik Ambon” yaitu menitik beratkan pada teori psikologi sosial mengenai identitas pada kelompok masyarakat tertentu. Sekripsi yang ditulis oleh Margareta Sih Setija Utami pada 1999, dengan judul “Hubungan Antara Pola Asuhan Orangtua Dengan Status Identitas Diri Remaja” yaitu mengenai bentuk-bentuk pola asuh dan tahapan perkembangan yang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua sebagai salah satu pola yang membentuk identitas anak khususnya pada remaja. Selanjutnya, Tesis yang ditulis oleh Kristianto Batuadji pada 2009 yaitu “Moksartham Jagadhita : Studi Etnografis Tentang Well-Being Pada Warga Ashram Gandhi Etnis-Bali” yaitu mengenai karakteristik dan budaya masyarakat Bali sebagai perbandingan antara masyarakat etnik dan umum. Beberapa penelitian luar yang terkait dengan kajian etnografi, pengasuhan, teori identitas sosial, dan identitas etnik. Penelitian-penelitian ini merupakan hasil penelitian dari berbagai Negara, seperti penelitian tentang Bali, penelitian- penelitian Asia dan Eropa. Penelitian-penelitian ini peneliti gunakan sebagai 24 bahan kajian dari penelitian-penelitian serupa lainnya. Beberapa hasil penelitian serupa yang penah ada bukan berarti peneliti berniat untuk meniru atau menjiplak penelitian-penelitian tersebut. Sebab penelitian yang peneliti lakukan memunculkan fenomena yang berbeda dibanding penelitian serupa lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fu-Mei Chan & Tom Luster (2002) ini meneliti tentang “Factor Related to Parenting Practices in Taiwan”, dimana dalam penelitian tersebut diketahui bahwa ada tiga model ekologi yang pontensial sebagai prediktor terkait pengasuhan praktis di China, yaitu karakteristi ibu, karakteristik anak, dan faktor kontekstual. “Bazar, Big Kites and Other Boys’ things : Distinctions of Gender and Traditional in Baliness Youth Culture” yang diteliti oleh Laura Noszlopy (2005) yang intinya membahas tentang fenomena perkembangan budaya anak muda Bali yang memiliki keyakinan bahwa norma-norma adat dan ajeg sebagai batasan-batasan dari bagaimana cara mereka melakukan segala kegiatan untuk menghimpu dana dan membuat “ogoh-ogoh” dalam perayaan Nyepi serta membuat layang-layang yang berukuran besar sebagai simbol dari adanya kebersamaan dalam menjaga tradisi. Walau kadang kala dapat menimbulkan perkelahian dan tindakan agresif diantara anak-anak muda Bali. Penelitian selanjutnya, “Attitude Toward Traditional and Nontraditional Parent” yang ditulis oleh Victoria L. Brescoll & Eric Luis Uhlmann (2005) dalam penelitian ini pada studi pertama menggunakan metode penelitian betweensubject design dan studi kedua menggunakan within-subject design yang hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa perilaku orangtua yang menggunakan konsep tradisional (ibu berada di rumah dan bapak bekerja) dan orangtua yang menggunakan konsep nontradisional (bapak berada di rumah dan ibu bekerja). 25 Dalam penelitian ini terlihat bahwa orangtua yang menggunakan konsep nontradisional dilihat bahwa posisi bapak tidak memiliki nilai kehormatan yang tinggi dibandingkan dengan orangtua yang menggunakan konsep tradisional. Adanya laporan negatif terhadap ibu yang bekerja dan bapak berada di rumah sebab partisipan menganggap bahwa hal tersebut terkait dengan peran gender dan representasi steriotipe mengenai bahaimana peran antara laki-laki dan perempuan dapat berbagi dalam sebuah ideologi yang dibangun dalam kelurganya. “Disrupted Death Ceremonies : Popular Culture and The Etnography of Bali” yang ditulis oleh Carol Warren (1993) yang pada penelitiannya berfokus pada sebuah upacara yang popular pada tradisi Bali, dimana respon dominan berpusat pada tingkat hirarki dalam merepresentasikan budaya Bali. Melalui beberapa pustaka dari berbagai penelititian seperti beberapa hasil penelitian yang diteliti di Tenganan Pegringsingan, maupun penelitian-penelitian yang secara teori dan metodologi penelitiannya memiliki kemiripan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Diketahui bahwa sebagian besar dari hasil penelitian tidak terlepas dari aspek-aspek psikologis, baik dalam karakteristik budaya, masyarakat, dan struktur kemasyarakatan. Dalam ilmu psikologi, penelitian yang dilakukan di Tenganan Pegeringsingan memang bukan yang pertama kalinya, ada beberapa penelitian-penelitian psikologi yang lain selain penelitian yang peneliti lakukan. Hal yang membedakan penelitian yang peneliti lakukan adalah dari metode atau model penelitian yang berbeda dari kebanyakan metode atau model penelitian yang digunakan dalam penelitian psikologi. Peneliti pribadi berpendapat bahwa melalui pendekatan metode etnografi ini akan memberikan suatu keunikan tersendiri pada sebuah penelitian. Sebab, adanya penggabungan antara unsur psikologi, budaya, dan ilmu sosial menjadi 26 satu kesatuan yang akan memperkaya kajian ilmu terutama pada bidang ilmu psikologi. Kajian semacam ini, berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan masih belum ada. Untuk itu, peneli berharap penelitian ini dapat menjadi sebuah penelitian yang dapat mengembangkan dan menjadi acuan bagi penelitianpenelitian selanjutnya dalam ilmu psikologi. Sehingga, dari penelitian-penelitian yang ada dapat lebih berwarna dan memiliki keunikan yang dapat memperkaya kajian ilmu psikologi. 27