KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS

advertisement
KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS
Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis
VICKY RIZKY A. KATILI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS Skeletonema
costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir Skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
VICKY RIZKY A. KATILI
C54063241
RINGKASAN
VICKY RIZKY AFFANDI KATILI. Komposisi Asam Lemak Mikroalga Jenis
Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis. Dibimbing
oleh MUJIZAT KAWAROE dan TRI PRARTONO.
Penelitian dilakukan berdasarkan pada perkembangan bioteknologi mikroalga
dewasa ini yang memanfaatkan mikroalga tidak hanya untuk pakan alami, sumber
pigmen alami, sel protein tunggal, bidang farmasi dan kesehatan, tetapi juga
digunakan sebagai sumber energi alternatif seperti penghasil biofuel. Tujuan dari
penelitian ini adalah membandingkan kandungan lipid tiga spesies diatom
(Chaetoceros gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp.) dan
mengidentifikasi kandungan fatty acids tiga spesies diatom.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011 di
Laboratorium Mikroalga di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC)
Baranangsiang, Bogor. Analisis sampel dilanjutkan pada bulan Oktober sampai
dengan November di Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ekstraksi lipid mikroalga dilakukan dengan
menggunakan pelarut klorofom dan heksan. Lipid yang diperoleh diesterifikasi
menggunakan BF3-metanol 14% dan selanjutnya dianalisis dengan Kromatografi Gas
– Spektrometri Massa (GC-MS), untuk penentuan asam lemak. Identifikasi metil
esters asam lemak dilakukan dengan membandingkan mass spectra dengan data
literatur. Penentuan nomor karbon pada senyawa metil esters asam lemak adalah
dengan menghitung bobot molekul yang muncul pada spectra massa.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kandungan lipid tertinggi
terdapat pada spesies Chaetoceros gracilis sedangkan kandungan lipid terendah
terdapat pada spesies Skeletonema costatum. Perbedaan pelarut juga memberikan
perbedaan kandungan lipid yang diperoleh dimana pelarut klorofom memberikan
kandungan lipid yang lebih besar dibandingkan pelarut heksan.
Kandungan Fatty Acids Methyl Esters (FAME) tertinggi pada spesies
Chaetoceros gracilis adalah metil palmitic (C16:0 ) 33.29 % ekstraksi dengan pelarut
klorofom dan metil palmitoleic (C16:1) 49.42 % ekstraksi dengan pelarut heksan.
FAME tertinggi pada spesies Skeletonema costatum adalah metil palmitoleic (C16:1)
31.15 % ekstraksi dengan pelarut heksan dan metil myristic (C14:0) 41.46 % ekstraksi
dengan pelarut klorofom. FAME tertinggi pada spesies Thalassiosira sp. adalah
metil palmitic (C16:0) 34.17 % ekstraksi dengan pelarut klorofom dan metil
palmitoleic (C16:1) 44.72 % ekstraksi dengan pelarut Heksan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS
Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis
VICKY RIZKY A. KATILI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
SKRIPSI
Judul Skripsi:
KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS
Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN
Chaetoceros gracilis
Nama Mahasiswa:
Vicky Rizky A. Katili
Nomor Pokok:
C54063241
Departemen:
Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si
NIP. 19651213 199403 2 002
Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc
NIP. 19600727 198601 1 006
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Sidang : 22 Juni 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang
berjudul ”KOMPOSISI ASAM LEMAK MIKROALGA JENIS Skeletonema
costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis” diajukan sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si dan Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc selaku
komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik
kepada penulis.
2. Dr. Ir. Etty Riani H., MS selaku dosen penguji tamu pada sidang ujian
akhir.
3. Keluarga tercinta, Ayah, Ibu, Vebriyanto, Ayini Wahidji yang selalu
memberikan dukungan dan kasih sayangnya.
4. Nur Endah Fitrianto, S.Pi, Dina Agustina, S.Pi, dan Dahlia Wulansari, S.Pi
atas waktu dan tenaga serta dampingannya selama penulis melakukan
penelitian.
5. Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah khususnya Mbak pipit atas bantuannya selama penulis
melakukan penelitian.
6. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB khususnya mas
Saeful atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
7. Teman-teman Pondok Wina atas dukungan untuk menyelesaikan skripsi
ini.
8. Teman-teman ITK 43 atas dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2012
Vicky Rizky A. Katili
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
..............................................................................
ix
..........................................................................
x
.....................................................................
xi
1. PENDAHULUAN ........................................................................
1.1 Latar belakang ........................................................................
1.2 Tujuan ....................................................................................
1
1
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
2.1 Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom .................................
2.1.1 Skeletonema costatum
..................................................
2.1.2 Thalassiosira sp.
.........................................................
2.1.3 Chaetoceros gracilis
....................................................
2.2 Lipid dan Fatty Acids pada Mikroalga .....................................
2.3 Mikroalga untuk Produksi Biodiesel .......................................
2.4 Kromatografi Gas-Mass Spektrometri (GC-MS) .....................
4
4
5
6
7
9
13
15
3. METODOLOGI PENELITIAN .................................................
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................
3.2 Alat dan Bahan .......................................................................
3.3 Pengambilan Contoh Mikroalga ..............................................
3.4 Analisis Fatty Acids ................................................................
3.4.1 Ekstraksi Soxhlet ..........................................................
3.4.2 Esterifikasi
..................................................................
3.4.3 Analisis Kromatografi Gas-Spektrometri massa ............
3.4.4 Identifikasi Asam Lemak Diatom ..................................
3.5 Analisis Data ..........................................................................
16
16
16
17
18
18
18
18
19
20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
4.1 Ekstraksi Mikroalga ....................................................................
4.2 Persentase Kadar Lemak Diatom .................................................
4.3 Esterifikasi ..................................................................................
4.4 Identifikasi Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga
....
4.4.1 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Chaetoceros
gracilis ...........................................................................
4.4.2 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Skeletonema
costatum ..........................................................................
4.4.3 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga
Thalassiosira sp. ...............................................................
4.5 Kandungan SAFA, MUFA, dan PUFA pada Ketiga Spesies
Diatom
.............................................................................
4.6 Perbandingan Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Ketiga
Spesies Diatom
....................................................................
4.7 Pengaruh Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Biodiesel.......
21
21
22
24
25
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vii
26
28
32
38
39
42
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................
5.2 Saran ......................................................................................
45
45
45
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................
46
......................................................................................
49
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Struktul molekul komponen-komponen lipid
................................
12
2. Jenis asam lemak pada beberapa mikroalga
..................................
13
3. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
............................
16
4. Persentase kadar lemak ketiga spesies diatom dengan beda pelarut
23
5. Komposisi fatty acids methyl esters (FAME) dari diatom
41
ix
.............
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk sel Skeletonema costatum
..................................................
6
2. Bentuk sel Thalassiosira sp. ............................................................
7
3. Bentuk sel Chaetoceros gracilis
9
4. Diagram proses sintesa lipid
....................................................
..........................................................
5. Reaksi esterifikasi trigliserida dengan BF3 metanol
.......................
6. Spektra massa senyawa metil palmitic (C16:0 ) pada diatom
10
24
............
26
.......
26
8. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros
gracilis dengan pelarut klorofom .......................................................
29
9. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros
gracilis dengan pelarut heksan ..........................................................
30
10. Total ionic current metil esters asam lemak diatom dengan pelarut
Skeletonema costatum klorofom ........................................................
33
11. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Skeletonema
costatum dengan pelarut heksan ........................................................
34
12. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Thalassiosira sp.
dengan pelarut klorofom ...................................................................
36
13. Total ionic current metil esters asam lemak diatom
Thalassiosira sp. dengan pelarut heksan ............................................
37
7. Spektra massa senyawa metil palmitoleic (C16:1 ) pada diatom
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Karakteristik fatty acids methyl esters (FAME) Chaetoceros gracilis .
50
2. Karakteristik fatty acids methyl esters (FAME) Skeletonema costatum
50
3. Karakteristik fatty acids methyl esters (FAME) Thalassiosira sp. .......
51
4. Beberapa spektra massa (m/z) dominan pada diatom ..........................
51
5. Dokumentasi foto alat dan bahan penelitian........................................
53
6. Proses esterifikasi...............................................................................
58
xi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan minyak bumi Indonesia terus mengalami peningkatan seiring
dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional. Pada tahun 2011,
kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia mencapai 56 juta kiloliter per
tahun dan terus meningkat dengan laju konsumsi rata-rata 4 persen per tahun.
Sebaliknya, produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mampu diproduksi
adalah 41 juta kiloliter per tahun yang terdiri atas premium 12 juta kiloliter, solar
18.3 juta kiloliter, kerosene 7 juta kiloliter, dan avtur sejumlah 3.3 juta kiloliter
(Karyuliarto, 2011). Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan produksi ini
diperkirakan dapat menimbulkan krisis energi (BBM), sehingga upaya penyediaan
bahan bakar alternatif menjadi sangat penting diantaranya, melalui bahan bakar
nabati.
Saat ini upaya pengembangan bahan baku telah dilakukan seperti crude
palm oil (CPO) dari kelapa sawit, corn, soybean, canola, jatropha, coconut, dan
mikroalga dengan kapasitas produksi tanaman adalah jagung 172 liter per hektar,
kedelai 446 liter per hektar, minyak zaitun 1190 liter per hektar, jarak 1892 liter
per hektar, kacang-kacangan 2689 liter per hektar, kelapa sawit 5950 liter per
hektar, dan mikroalga 58700 liter per hektar (Chisti, 2007).
Pengembangan biodiesel dapat memberikan dampak terhadap lingkungan,
terutama akibat dari konversi lahan dari hutan menjadi pengembangan lahan
perkebunan. Dampak yang dihasilkan adalah penurunan fungsi hutan dalam
mengurangi emisi CO2 di udara, sehingga terjadi peningkatan CO2. Sebagai
1
2
contoh, setiap 1 ton minyak kelapa sawit yang diproduksi diperkirakan akan
dihasilkan 33 ton CO2 akibat konversi hutan (Kardono, 2008). Oleh karena itu,
pemakaian suatu bahan bakar terbarukan yang lebih aman bagi lingkungan perlu
dilakukan.
Salah satu bahan baku yang memiliki potensi dan aman bagi lingkungan
adalah mikroalga. Mikroalga dapat diekstraksi secara besar-besaran dalam
menghasilkan biofuel. Penghasil bahan bakar nabati ini dapat diproduksi dalam
waktu yang sangat singkat serta proses produksinya dapat dikatakan ramah
lingkungan. Selain itu mikroalga juga berpotensi untuk menyerap gas buang CO2
yang dihasilkan oleh proses pembakaran baik kendaraan, industri, respirasi, dan
dekomposisi (Wiyarno, 2009). Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat
luas yang berpotensi untuk kultur mikroalga, Sehingga budidaya mikroalga untuk
ekstraksi biofuel sesuai untuk dilakukan di Indonesia.
Penelitian pemanfaatan mikroalga untuk biodiesel telah dilakukan, baik
analisis produksinya maupun analisis fatty acid. Hal ini mencakup peningkatan
produksi biodiesel baik pada proses pertumbuhan mikroalga maupun pada proses
ekstraksi lipidnya (Chisti, 2007; Benemann , 2008; Hu et al., 2008), Analisis
fatty acid dari beberapa spesies mikroalga (Pratoomyot et al., 2005). Biodiesel
adalah senyawa alkil ester yang diproduksi melalui proses transesterifikasi antara
trigliserida dengan methanol, atau esterifikasi asam-asam lemak bebas (FFA)
dengan methanol menjadi senyawa metil ester dan air. Oleh karena itu, untuk
mengetahui perbandingan kandungan biodiesel maka identifikasi asam lemak
perlu dilakukan.
3
1.2. Tujuan
Tujuan dari Penelitian ini untuk :
-
Membandingkan kandungan lipid tiga spesies diatom (Chaetoceros gracilis,
Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp.).
-
Mengidentifikasi kandungan fatty acids tiga spesies diatom (Chaetoceros
gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp.).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom
Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat
universal di semua tipe perairan. Disebut diatom karena selnya terdiri dari 2
bagian (2 atom), dimana yang satu menutupi yang lain seperti layaknya kaleng
pastiles (Basmi, 1999). Diatom diklasifikasikan kedalam dua order berdasarkan
bentuk selnya yaitu diatom pennate (Pennales) dengan bentuk bilateral simetris
dan diatom centris (Centrales) dengan bentuk radial simetris (lingkaran) apabila
dilihat dari atas (Pandey dan Trivedi, 2005; Basmi, 1999). Pada Centrales hiasan
valvanya berbentuk jari-jari lingkaran, sedangkan pada Pennales secara bilateral.
Pergerakan tidak pernah dijumpai pada jenis-jenis anggota Centrales, namun
hanya pada pennales yang valvanya berbentuk memanjang (Basmi, 1999). Diatom
mempunyai keunikan yang sangat spesifik, karena arsitektur dan anatomi dinding
selnya tersusun dari silika, sehingga dapat tersimpan dalam kurun waktu yang
sangat lama di dalam sedimen (Soeprobowati dan Suwarno, 2009). Diatom
Centrales akan lebih sering kita temui pada air laut dan payau dibandingkan air
tawar (Darley, 1982), sedangkan diatom pennate menempel pada tanaman,
hewan, batuan atau butir pasir dengan sebuah lapisan getah atau tangkai (Darley,
1982).
Contoh dari spesies kelompok diatom diantarannya adalah Chaetoceros
gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp. (Edhy et al., 2003). Ketiga
spesies ini merupakan kelompok diatom yang memiliki pola bentuk sentris
(Centrales ) (Panggabean dan Sutomo, 2000).
4
5
2.1.1. Skeletonema costatum
Klasifikasi Skeletonema costatum menurut Bougis (1979) in Tjahjo et al.
(2002) dan Edhy et al. (2003) adalah sebagai berikut :
Divisi
: Chrysophyta
Clasis
: Bacillariophyceae
Ordo
: Centrales
Family
: Skeletonemoidae
Genus
: Skeletonema
Spesies
: Skeletonema costatum
Skeletonema costatum memiliki sel yang dipenuhi oleh sitoplasma,
membentuk untaian rantai yang terdiri dari epiteka pada bagian atas dan hipoteka
pada bagian bawah (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Dinding sel Skeletonema
costatum mempunyai frustula yang menghasilkan skeletal external berbentuk
silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai penghubung
antar frustula sehingga membentuk filamen (Kamat 1976 in Tjahjo et al., 2002).
Bentuk sel Skeletonema costatum dapat dilihat pada Gambar 1.
Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat eurytermal yaitu
mampu tumbuh pada kisaran suhu 3–30 oC dan temperatur optimal adalah 25-27
o
C (Susetyowati, 1994 in Tjahjo et al., 2002). Daerah penyebarannya meliputi
daerah tropis dan subtropis mulai dari pantai sampai lautan, sebagai meroplankton
dan benthos. Diatom laut, Skeletonema costatum memiliki kandungan
karbohidrat sebesar 4,6%, kandungan protein sebesar 25% dan kandungan lemak
sebesar 10% (Brown, 1997).
6
.
Sumber : planktonnet.awi.de (2010)
Gambar 1. Bentuk sel Skeletonema costatum
2.1.2. Thalassiosira sp.
Klasifikasi Thallassiosira sp. menurut (Edhy et al., 2003) adalah sebagai
berikut :
Divisi : Chrysophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Centrales
Famili : Coscinodiscineae
Genus : Thalassiosira
Spesies : Thallassiosira sp.
Sel Thalassiosira sp. menempel dalam sebuah massa mukus. Pori-pori
sentral mukus ini disebut dengan single apikulus, benang mukus ini
menghubungkan sel dalam rantai yang longgar (Hendley, 1959 dan Hasle, 1968 in
Somers, 1972). Bentuk sel terlihat mengelilingi persegi dengan sebuah cekungan
dalam pusat valve, sebuah rimoportula besar diantara muka valve dan mantel,
sebuah lingkaran kecil yang diam, dua atau tiga lingkaran kecil fultoportulae dan
susunan areola (Gambar 2) (Becerril et al., 2009).
7
Thalassiosira sp. merupakan diatom yang bersifat eurytermal yaitu mampu
tumbuh pada kisaran suhu 10–30 oC dan temperatur optimal sekitar 21 oC.
Daerah penyebarannya meliputi perairan tawar dan payau habitat pesisir (Kipp,
2007). Diatom laut, Thalasiossira sp. pada kondisi medium N:P:Si= 11:1:6
memberikan biomassa sebesar 0.067 g/mL, dengan kandungan karbohidrat
sebesar 7.7%, kandungan protein sebesar 0.93% dan kandungan lemak sebesar
9.69% (Purba, 2008).
Sumber : Becerril et al. (2009)
Gambar 2. Bentuk sel Thalassiosira delicatula
2.1.3. Chaetoceros gracilis
Klasifikasi Chaetoceros gracilis menurut (Zipcodezoo, 2009 dan Edhy et
al., 2003) adalah sebagai berikut :
Divisi
: Chrysophyta
Classis
: Bacillariophyceae
Ordo
: Centrales
Family
: Chaetocerotaceae
8
Genus
: Chaetoceros
Spesies
: Chaetoceros gracilis
Chaetoceros gracilis memiliki sel yang tidak berantai, dan bercangkang
cembung. Setai muncul pada sudut-sudutnya, membentuk kurva dan kemudian
menjadi parallel bentuknya, spora terdapat di tengah-tengah sel induk dan
bercangkang kasar, panjang apikal axisnya 6-10 µm (Suantika et al., 2009).
Chaetoceros gracilis adalah spesies yang non motil, bercangkang simetris,
sitoplasmanya memiliki sejumlah kecil kromatofora, dan akan berwarna kuning
keemasan hingga coklat pada kultur buatan (Gambar 3) (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).
Chaetoceros gracilis dapat hidup pada temperatur 25-30 oC, pada suhu
40oC masih dapat bertahan hidup namun tidak berkembang, sehingga Chaetoceros
gracilis merupakan diatom yang bersifat eurytermal. Daerah penyebarannya
meliputi muara sungai, pantai, dan laut pada daerah tropis dan subtropis
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Bentuk sel Chaetoceros gracilis dapat dilihat
pada Gambar 3. Diatom laut, Chaetoceros gracilis memiliki kandungan
karbohidrat sebesar 4.7%, kandungan protein sebesar 12% dan kandungan lemak
sebesar 7.2% (Lavens dan Sorgeloos, 1996 in Suantika et al., 2009).
9
Sumber : iats.csic.es (2009)
Gambar 3. Bentuk sel Chaetoceros gracilis
2.2. Lipid dan Fatty Acids pada Mikroalga
Lipid adalah senyawa yang tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut
organik seperti kloroform, heksan, toulen, dan aseton. Lipid bisa membentuk
kombinasi dengan senyawa sederhana lainnya, seperti ester lilin, trigliserida, dan
fosfolipid (McSween et al., 2003). Lipid disintesis dari karbohidrat dan protein,
karena dalam metabolisme ketiga zat tersebut bertemu di dalam daur Krebs.
Pertemuan di dalam daur krebs berlangsung melalui pintu gerbang utama siklus
(daur) Krebs, yaitu Asetil Ko-enzim A, akibatnya senyawa lipid, karbihidrat, dan
protein dapat saling mengisi sebagai bahan pembentuk semua zat tersebut. Lipid
dapat dibentuk dari protein dan karbohidrat, karbohidrat dapat dibentuk dari
lemak dan protein dan seterusnya.
Sintesis lipid dari karbohidrat dimulai dari penguraian glukosa menjadi
piruvat sehingga menghasilkan gliserol. Tahap kedua glukosa diubah menjadi
10
gula fosfat kemudian menjadi asetil ko-A sehingga menghasilkan asam lemak.
Gliserol dan asam lemak jika digabungkan akan menghasilkan lipid (Campbell et
al., 2002). Sintesis lipid dari protein diawali dengan perubahan protein menjadi
asam amino dengan bantuan enzim protease, sebelum terbentuk lemak asam
amino mengalami deaminasi terlebih dahulu, setelah itu memasuki daur Krebs.
Banyak jenis asam amino yang langsung ke asam piruvat sehingga menghasilkan
asetil ko-A. Asam amino serin, alanin, valin, leusin, isoleusin dapat terurai
menjadi asam piruvat, selanjutnya asam piruvat menjadi gliserol sehingga
menghasilkan fosfogliseroldehid. Fosfogliseroldehid dengan asam lemak akan
mengalami esterifikasi membentuk lipid (Campbell et al., 2002). Gambar 4
menunjukan proses sintesa lipid dari glukosa dan asam piruvat.
Sumber : pancreaticdiseasecenter.org (2010)
Gambar 4. Diagram proses sintesa lipid
Mikroalga memiliki jumlah minyak dan lemak (lipids) dengan komposisi
yang sama dengan minyak tumbuhan. Kandungan minyak dan lemak pada
mikroalga cenderung memiliki proporsi yang berbanding terbalik pada laju
11
pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang bervariasi, sehingga mempengaruhi
proporsi kedua komponen tersebut secara relatif (Borowitzka, 1988). Jumlah
kandungan lipid pada mikroalga berkisar kira-kira 1-70 % dari berat kering
(Borowitzka, 1988).
Lipid dalam mikroalga merupakan komponen yang tersusun dari neutral
lipid dan polar lipid. Neutral lipid terdiri dari trigliserida, waxe ester,
hidrokarbon, free fatty acids, dan sterol, sedangkan polar lipid tersusun atas
komponen seperti phospholipids, glikolipid, dan karotenoids (Wiyarno, 2009).
Gambar struktur molekul dari komponen-komponen lipid dapat dilihat pada Tabel
1.
Bentuk lemak terbesar yang terkandung dalam sel mikroalga adalah
triglycerides (TAGs) yang dapat mencapai 80% dari total keseluruhan lemak.
Lemak ini merupakan yang terpenting dari mikroalga karena merupakan jenis
minyak yang baik untuk memproduksi biodiesel. Lemak mikroalga biasanya
merupakan ester yang terdiri dari gliserol dan asam lemak dengan panjang rantai
C14 sampai C22. Komposisi asam lemak pada mikroalga yaitu berupa
monounsaturated fatty acids (MUFAs) dan polyunsaturated fatty acids (PUFAs),
antara lain asam palmitat (C16:0), asam palmitoelate (C16:1), asam stearat
(C18:0), asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), serta beberapa jenis asam
yang lain (Tabel 2) ( Borowitzka, 1988).
12
Tabel 1. Struktul molekul komponen-komponen lipid
Kategori
Struktur Molekul
Trigliserida
Fatty Acids
Sterol
Gliserolphospolipid
Karotenoids
Sumber : (Jakubowski, 2012)
Asam lemak yang terdapat pada triacylglycerides dalam sel mikroalga
dapat berbentuk rantai hidrokarbon yang pendek dan panjang. Rantai asam lemak
yang berukuran lebih pendek cocok untuk memproduksi biodiesel dan yang lebih
panjang dapat digunakan untuk menghasilkan produksi asam lemak lainnya yang
13
bernilai seperti asam lemak omega 3 yaitu asam docosahexanoic (DHA)
(Borowitzka, 1988).
Tabel 2. Jenis asam lemak pada beberapa mikroalga
Asam
Lemak
C.Calcitrans S.Costatum
Nannochloropsis sp. I Galbana
12:0
-
-
14:0
13.0
16.5
6.9
16.8
6.3
5.3
16:0
18.0
16.5
30.9
11.1
22.8
38.7
16:1n7
28.8
11.1
19.6
5.1
10.2
-
-
-
-
-
-
-
18:1n9
0.3
2.2
4.4
9.7
6.9
5.8
18:2n6
0.7
1.1
3.5
7.8
6.9
3.5
18:3n3
0.8
-
0
16.3
14.9
-
18:3n6
0.3
0
0
-
1.6
-
18:4n6
0.2
5.5
0
19.8
21.6
-
20:4n6
2.3
0
4.6
0.6
2.0
16.0
20:5n3
22:6n3
34.0
1.2
40.7
6.6
30.1
-
0.9
12.0
6.2
-
30.7
-
18:0
-
-
T Suecicca P Cruentum
0.7
-
Sumber : (Servel et al. 1993 in Winaryo 2009)
2.3. Mikroalga Untuk Produksi Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar yang tersusun dari monoalkil ester rantai
panjang fatty acids yang merupakan turunan dari minyak tumbuhan dan lemak
hewani. Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterifikasi trigliserida atau
reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati yang
digunakan sebagai bahan baku. Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan
trigliserida dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek
seperti methanol menghasilkan metil ester asam lemak (Fatty Acids Methyl
Esters/ FAME) atau biodiesel dan gliserol (Ma et al., 1999).
Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses pembuatan
biodiesel dibedakan menjadi 2 yaitu, transesterifikasi dengan katalis basa
(sebagian besar menggunakan kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil
14
atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah (<5%) dan esterifikasi dengan
katalis asam (umumnya menggunakan asam sulfat) untuk minyak nabati dengan
kandungan FFA tinggi (>5%) (Ma et al., 1999).
Biodiesel dan bioetanol diproduksi dari tanaman pertanian misalnya kelapa
sawit, jarak, kelapa, jagung, ubi kayu, dan tanaman yang menghasilkan minyak
nabati yang tinggi. Akan tetapi tanaman - tanaman tersebut jika diolah menjadi
biodiesel akan berbenturan dengan kebutuhan pangan dan lahan. Oleh karena itu
dibutuhkan penemuan baru bahan baku yang cocok untuk produksi bahan bakar
yang tidak mengurangi ketersediaan minyak nabati.
Mikroalga lebih memiliki potensi untuk dijadikan biodiesel dibandingkan
biofuel (Chisti, 2008). Minyak dari mikroalga mengandung lipid yang cocok
untuk esterifikasi atau transesterifikasi (Umdu et al., 2008). Diantara berbagai
jenis alga, mikroalga tampak menjanjikan sebab :
1. Memiliki laju pertumbuhan yang tinggi
2. Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah komposisi media
untuk tumbuh (Kawaroe et al., 2010)
3. Dapat dipanen lebih dari sekali dalam satu tahun (Kawaroe et al., 2010)
4. Dapat menggunakan air laut atau air limbah (Kawaroe et al., 2010)
5. Karbon dioksida di atmosfer ,merupakan sumber untuk pertumbuhan
mikroalga (Kawaroe et al., 2010)
6. Biodiesel dari lemak alga merupakan non toksik dan bersifat
biodegradable secara cepat
7. Mikroalga yang digunakan untuk biodiesel mampu berproduksi 15-300
kali lebih cepat dibandingkan tanaman daratan (Chisti, 2007).
15
2.4. Kromatografi Gas-Mass Spektrometri (GC-MS)
Kromatografi merupakan suatu istilah yang menggambarkan teknik
pemisahan komponen – komponen dari suatu campuran / sampel berdasarkan
perbedaan kecepatan migrasi komponen – komponen penyusunnya (Mahan et al.,
2008).
Dalam kromatografi, gas (yang biasa disebut carrier gas) digunakan untuk
membawa sampel melewati lapisan (bed) material. Karena gas yang bergerak,
maka disebut mobile phase (fasa bergerak), sebaliknya lapisan material yang diam
disebut stationary phase (fasa diam). Ketika mobile phase membawa sampel
melewati stationary phase, sebagian komponen sampel akan lebih cenderung
menempel pada stationary phase dan bergerak lebih lama dari komponen lainnya,
sehingga masing – masing komponen akan keluar dari stationary phase pada saat
yang berbeda. Dengan cara ini komponen – komponen sampel dipisahkan
(Mahan et al., 2008)
Data yang dihasilkan oleh GC – MS akan ditampilkan dengan
kromatogram (GC) dan spektrum massa (MS) dimana sumbu x menunjukkan
waktu penyimpanan (retention time) dan sumbu y menunjukkan intensitas.
Masing-masing puncak (peak) pada kromatogram menunjukkan satu senyawa.
Spektrum massa memiliki base peak (m/z) dan dapat memberikan informasi
tentang berat molekul dan struktur kimia (Shimadzu, 2002).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2011 di Laboratorium
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM), IPB. Analisis sampel dilanjutkan pada bulan
Oktober-November di Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Alat
Bahan
Nama
Spesifikasi
Nama
Spesifikasi
Blender Miyako
BL 151 GF
Kapas Bebas Lemak
Cotton Walls Balls
Labu Didih
Pyrex 300 ml
NaOH
PA
Labu Didih
Pyrex 500 ml
Tawas (NaOH)
Teknis
Labu Didih
Ekstraktor
Soxhlet
Pyrex 250 ml
Kain Saten
40×40 cm
-
Kertas saring
Whatman 44
Botol Gelas
BF3
Schuchardt OHG
Boks Stirofom
1l
Garuda Approved 73 x
42 x28.5
Alkohol 100%
1l
Erlenmeyer
Schott Duran 250 ml
Methanol
Brataco PA
Erlenmeyer
Schott Duran 500 ml
Toples
Plastik 5 l
Gelas Beker
Schott Duran 150 ml
Wadah Alumunium
75 ml
Gelas Ukur
Pyrex 50 ml
Batu Es
-
Gelas Ukur
Pyrex 100 ml
N-hexane
KGaA PA
Gelas Ukur
Pyrex 1 l
Chloroform
KGaA PA
Hotplate
Labinco L-32
Akuades
10 l
Botol Gelas
140 ml
Pipet mohr
Pyrex 1 ml
Pipet mohr
Pyrex 5 ml
Alumunium foil
Bubuk Chaetoceros
gracilis
Bubuk Skeletonema
costatum
Pipet tetes
-
Bubuk Thalasiossira sp.
GC-MS
16
17
Tabel 3. (lanjutan)
Alat
Nama
Pipet
Volumetrik
Spesifikasi
Pipet Mikro
Gilson
Spatula
Vortek
Thermolyne MAXI
MIX
Tabung reaksi
Pyrex 16 x 150 ml
Oven
Timbangan
analitik
Memmert
Bahan
Nama
Spesifikasi
Pyrex 3 ml
Precisa XT 220A
3.3 Pengambilan Contoh Mikroalga
Contoh mikroalga pada fase pertumbuhan diambil dari kolam budidaya
perusahaan pembenihan PT Suritani Pemuka di Gerogak, Bali Barat. Pemanenan
dilakukan dengan penambahan tawas (NaOH) dengan konsentrasi 150 ppm untuk
mengendapkan atau mengumpulkan mikroalga dari media cairnya di dasar kolom.
Selanjutnya media ditambahkan air tawar dengan perbandingan 3:1 (tawar :
biomasa mikroalga) untuk menurunkan kadar garam agar memudahkan dalam
penyaringan mikroalga. Penyaringan menggunakan kain saten 3 µm (lebih kecil
dari ukuran mikroalga).
Mikroalga selanjutnya dikeringkan dengan dipaparkan pada sinar matahari
selama kurang lebih 6 jam, kemudian tahap kedua dimasukan ke dalam oven
dengan suhu 400 C kurang lebih 3 jam sampai kondisi stabil. Mikroalga yang
telah dikeringkan dihaluskan dengan cara ditumbuk dan diblender sampai benarbenar berbentuk powder.
18
3.4 Analisis Fatty Acids
3.4.1 Ekstraksi Soxhlet
Sampel mikroalga sebanyak 15 gram ditimbang dan dibungkus dengan
kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak. Sample diextraksi dengan
200 ml n-hexana selama 6-7 jam dalam tabung soxhlet. Extrak lemak diuapkan
dengan rotoevaporator dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50-60 0C selama
kurang lebih 1 jam dan selanjutnya ditimbang untuk mendapatkan kadar lipid.
3.4.2 Esterifikasi
Esterifikasi bertujuan menurunkan titik uap asam lemak dengan cara
merubah gugus fungsional lemak menjadi ester yang relatif mudah dalam analisis
GC-MS. 0.5 – 1 gram sampel lemak yang telah diekstrak disaponifikasi dengan
4.5 ml NaOH 0.5 N, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
direaksikan dengan BF3 dalam metanol. Dikocok dan dipanaskan selama 15
menit. Didiamkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas dipisahkan dengan
sentrifugasi dan dipurifikasi lebih lanjut dengan menambahkan Na2SO4 untuk
menghilangkan kadar airnya. Hasil esterifikasi selanjutnya dimasukkan ke dalam
vial untuk dianalisa dengan alat GC-MS (Hermanto et al. 2008).
3.4.3 Analisis Kromatografi gas – Spektrometri Massa (GC-MS)
Analisis kromatografi gas – spektrometri massa (Gas ChromatographyMass Spectrometry/ GC-MS) menggunakan kromatografi gas Shimadzu QP2010
yang dilengkapi dengan kolom silika DB-5 ms (panjang 30 m; 0.25 mm diameter
dalam; dan 0.25 µm ketebalan lapis film) serta helium sebagai gas pendorong.
Kromatografi gas memiliki batas deteksi 0.001 ppb. Kromatografi gas
19
menggunakan mode injeksi split dengan rasio 1 : 200. Suhu oven kromatografi
gas di program dari 800C dibiarkan konstan selama 2 menit, kemudian dinaikkan
2100C dengan kecepatan 100/menit dibiarkan konstan selama 1 menit, kemudian
dinaikkan lagi 2800C dengan kecepatan 60/menit dibiarkan konstan selama 5
menit. Kondisi GC-MS adalah ionisasi potensial/ electron energy 70eV, ion
source temperature 2500C dan interface temperature 2800C. Full mass data
dicatat antara 50-400 Dalton setiap detik. Waktu retensi dari 0-32.67 menit. Data
dicatat dan dianalisis dengan perangkat lunak GC-MS Real Time Analysis dan
GCMS Postrun Analysis.
3.4.4 Identifikasi Asam Lemak Diatom
Identifikasi asam lemak diatom menggunakan kromatografi gas dan
kromatografi gas-spektrometri massa. Identifikasi metil esters asam lemak
dilakukan dengan membandingkan mass spectra dengan data literatur. Penentuan
nomor karbon pada senyawa metil esters asam lemak adalah dengan menghitung
bobot molekul yang muncul pada spectra massa (lampiran ). Karakteristik metil
ester asam lemak memberikan puncak yang kuat pada m/z = 74 yang merupakan
puncak dasar rantai lurus metil ester. Peak terluas pada tiap kelompok
merepresentasikan fragmen CnH2n-1O2 dan m/z = 14 (n -2) + 74. Secara sederhana
dituliskan dengan persamaan:
Cx =
…………………………(1)
20
dimana:
x
= nomor karbon (FAME)
m
= bobot molekul yang muncul pada peak spektra massa
14 = berat molekul CH2
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan kandungan lemak
dan komponen-komponen fatty acids pada ketiga spesies diatom (Chaetoceros
gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp.). Perbandingan tersebut
digambarkan dengan menggunakan tabel dan grafik. Selanjutnya dilakukan
penarikan kesimpulan dari perbandingan data dengan melakukan studi literatur.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi Mikroalga
Mikroalga diekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Prinsip
soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru sehingga terjadi
ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut konstan dan pendingin balik. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut yang memiliki titik didih yang rendah agar cepat menguap
sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada alat dan bahan dan juga tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan satu sirkulasi ekstraksi (Ketaren,
1986).
Faktor – faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah luas permukaan
singgung zat pelarut dengan bahan yang akan diekstrak, lama proses ekstraksi,
jumlah bahan yang akan diekstrak, dan sifat zat pelarut maupun bahan (Maryanto,
1997). Pada penelitian ini bahan yang diekstrak dihaluskan untuk memperluas
permukaan singgung antara pelarut dengan bahan yang diekstrak. Berkaitan dengan
lama proses ekstraksi, maka proses ekstraksi dihentikan pada saat pelarut dalam
thimble berwarna bening dimana ini sebagai tanda lemak yang terdapat pada
mikroalga tersebut telah terekstrak seluruhnya. Karena lemak yang akan diekstrak
bersifat non polar maka pelarut yang digunakan harus memiliki polaritas yang sama
dengan lemak dan minyak tersebut sehingga lemak tersebut dapat larut. Lemak yang
dihasilkan adalah lemak kotor yaitu lemak yang terdiri dari natural lipid dan polar
lipid. Natural lipid terdiri dari trigliserida, waxe ester, hidrokarbon, free fatty acids
21
22
dan sterol. Sedangkan polar lipid terdiri dari komponen seperti phospholipids,
glicolipid, chlorophyll, dan carotenoids (Winaryo, 2009).
4.2 Persentase Kadar Lemak Diatom
Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga spesies diatom yang diekstrak
lemaknya memiliki kadar lemak yang berbeda. Perbedaan jenis pelarut juga
memberikan perbedaan kadar lemak pada ketiga spesies diatom. Data kadar lemak
dari ketiga spesies diatom menunjukan bahwa spesies Chaetoceros gracilis memiliki
kadar lemak tertinggi yaitu 10.17 % diekstrak dengan menggunakan pelarut nHeksan dan 12.36 % diekstrak dengan menggunakan pelarut kloroform. Spesies
Skeletonema costatum memiliki kadar lemak paling rendah yaitu 6.45 % diekstrak
dengan menggunakan pelarut n-Heksan dan 9.25 % menggunakan pelarut kloroform.
Kadar lemak dari spesies Thalassiosira sp. adalah 7.80 % menggunakan pelarut nHeksan dan 10.43 % menggunakan pelarut kloroform.
Skeletonema costatum memiliki laju pertumbuhan spesifik yang lebih tinggi
dibandingkan dua spesies lainnya yaitu 0.51 sedangkan Chaetoceros gracilis
memiliki laju pertumbuhan spesifik 0.27 (Triswanto, 2010). Lemak dari mikroalga
cenderung berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan, dan berbagai faktor
lingkungan juga dapat mempengaruhi proporsi relatif asam lemak dan total
kandungan lipid (Borowitzka, 1987). Jadi semakin tinggi laju pertumbuhan maka
semakin rendah kadar lemak dari mikroalga tersebut. Hal ini diduga pada saat laju
pertumbuhan kecil maka energi yang digunakan untuk tumbuh dikonversi untuk
produksi lemak sebagai cadangan makanan.
23
Berdasarkan hasil persentase kadar lemak dari pelarut n-Heksan dan
kloroform menujukan hasil yang berbeda, dimana pelarut kloroform lebih banyak
melarutkan lemak mikroalga. Ketika mikroalga diekstrak, maka semua lipid pada
mikroalga akan terikut sehingga beberapa jenis alga akan memperlihatkan ekstraksi
yang berwarna kehijauan pekat (Winaryo, 2009). Hasil ekstraksi pada penelitian ini
menunjukan alga yang diekstrak dengan menggunakan klorofom memperlihatkan
hasil ekstraksi yang berwarna hijau pekat. Hal ini disebabkan sifat kloroform yang
lebih polar dari n-Heksan sehingga komponen polar lipid seperti chlorophyll dan
phospolipid ikut terekstrak (Winaryo, 2009). Hasil dari persentase kadar lemak
ketiga spesies diatom dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase kadar lemak (%) ketiga spesies diatom dengan pelarut n-Heksan
dan klorofom
Pelarut
Skeletonema
Thalassiosira Chaetoceros
Ulangan
costatum
sp.
gracilis
5.99
7.34
10.39
1
n-Heksan
Kloroform
6.61
7.92
10.11
2
6.75
8.14
9.99
3
6.45
7.80
10.17
Rata-rata
0.33
0.34
0.16
St. Dev
9.22
10.58
12.20
1
9.19
10.02
12.34
2
9.34
10.68
12.53
3
9.25
10.43
12.36
Rata-rata
0.07
0.29
0.14
St. Dev
24
4.3 Esterifikasi
Sebelum esterifikasi, dilakukan saponifikasi dengan alkali NaOH untuk
membentuk free fatty acids. Setelah itu esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan
trigliserida dengan BF3 methanol menghasilkan fatty acids methyl esters (biodiesel)
dengan BF3 sebagai katalis. Katalis digunakan untuk meningkatkan laju reaksi dan
rendemen. Proses ini berlangsung pada suhu 60 0C dengan pengadukan
menggunakan vortek, untuk meningkatkan frekuensi tumbukan reaktan (Christie,
1993). Proses ini merupakan reaksi dua arah, dimana trigliserida secara bertahap
diubah menjadi digliserida, dan kemudian metil esters (Gambar 5).
Sumber : (Christie, 1993)
Gambar 5. Reaksi esterifikasi trigliserida dengan BF3 metanol
25
4.4 Identifikasi Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga
Identifikasi fatty acids methyl esters mikroalga dilakukan dengan melihat
kromatogram senyawa metil ester asam lemak yang telah direkam selama 30 menit.
Karakteristik metil esters asam lemak yang muncul pada spectra massa dicirikan
dengan mass to charge ratio (m/z) 74. Selain itu juga dilihat berdasarkan molecular
peak yang menunjukan nilai bobot molekul senyawa metil esters asam lemak untuk
menentukan nomor karbon pada senyawa metil esters asam lemak.
Beberapa metil esters asam lemak yang paling dominan terdeteksi pada
diatom adalah metil palmitic (C16:0 ), metil myristic (C14:0 ), dan metil palmitoleic
(C16:1 ). Karakteristik metil palmitic (C16:0 ) pada diatom dideteksi berdasarkan base
peak (m/z) 270 (Gambar 6), selanjutnya diidentifikasi spectra massanya. Berbeda
dengan spectrum metil esters asam lemak jenuh, pada metil palmitoleic (C16:1 )
dideteksi berdasarkan base peak (m/z) 268 (Gambar 7). Terjadi pengurangan bobot
molekul dari 270 pada metil palmitic (C16:0 ) menjadi 268 pada metil palmitoleic
(C16:1 ). Hal ini menandakan adanya penambahan 1 ikatan rangkap, setiap
penambahan 1 ikatan rangkap terjadi pengurangan bobot molekul sebanyak 2 atom
dari bobot ikatan asam lemak jenuh sebelumnya (Christie, 2012). Perbedaan juga
terjadi pada ion molekul yang mendominasi pada spektra massa, pada asam lemak
jenuh puncak dasar dicirikan dengan mass to charge ratio (m/z) 74 sedangkan asam
lemak tak jenuh dengan satu ikatan rangkap memiliki puncak dasar dengan mass to
charge ratio (m/z) 55 (Christie, 2012).
26
%
74
100.0
74
87
75.0
50.0
55
[M]+
25.0
75
53 83
97
0.0
143
227
171
100
270
200
300
400
500
600
m/z
Gambar 6. Spektra massa senyawa metil palmitic (C16:0 ) pada diatom.
%
100.0
55
55
75.0
50.0
25.0
0.0
69
5474
81
75
110
100
[M]+
152
194
200
236 268
300
400
500
600
m/z
Gambar 7. Spektra massa senyawa metil palmitoleic (C16:1 ) pada diatom.
4.4.1 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Chaetoceros gracilis
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Chaetoceros gracilis
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C14
sampai C24 (Gambar 8). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu
SAFA (Saturated fatty acids) 63.05 %, MUFA (Monounsaturated fatty acids) 34.01
%, dan PUFA (Polyunsaturated fatty acids) 2.94%. Kandungan metil esters asam
lemak SAFA terdiri atas metil myristic (C14) 20.66 %, metil pentadecanoic (C15 )
1.61 %, metil palmitic (C16 ) 33.29 %, metil stearic (C18 ) 4.64 %, metil arachidic
(C20 ) 0.30 %, metil behenic (C22 ) 0.43 %, dan metil lignoceric (C24 ) 0.69 %,
27
dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C16 dan C14. Kandungan metil
ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 31.00 %, dan metil
oleic (C18:1) 2.63 %.
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Chaetoceros gracilis
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C13
sampai C24 (Gambar 9). Metil esters ini terdiri atas 2 golongan asam lemak, yaitu
SAFA 44.44 %, dan MUFA 56.42 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA
terdiri atas metil tridecylic (C13) 0.32 %, metil myristic (C14) 10.39 %, metil
pentadecylic (C15 ) 3.57 %, metil palmitic (C16 ) 15.44 %, metil margaric (C17 ) 0.71
%, metil stearic (C18 ) 9.09 %, metil arachidic (C20 ) 0.69 %, metil behenic (C22 )
1.83 %, dan metil lignoceric (C24 ) 1.52 %, dengan demikian kandungan SAFA
terbesar adalah C16 dan C14. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas
metil palmitoleic (C16:1) 49.42 %, dan metil oleic (C18:1) 6.14 %.
Berdasarkan penelitian Renaud et al. (2002) in Hu et al. (2008) kandungan
asam lemak Chaetoceros sp. terdiri atas asam myristic (C14) 23.60 %, asam palmitic
(C16 ) 9.20 %, asam palmitoleic (C16:1) 36.50 %, asam hexadecadienoic (C16:2) 6.9 %,
asam hexadecatrienoic (C16:3) 2.60 %, asam margaric (C17 ) 2 %, dan asam oleic
(C18:1) 3 %. Kandungan asam lemak paling dominan pada Chaetoceros gracilis yang
dipanen pada fase stasioner adalah asam palmitic (C16 ) 32.83 %, asam myristic (C14)
20.32 %, dan asam oleic (C18:1) 31.05 % (Pratiwi et al., 2009).
Mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan perbedaan
dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom, dimana
28
pada pelarut heksan terdeteksi metil tridecyclic dan metil margaric sedangkan pada
pelarut klorofom tidak terdeteksi kedua metil asam lemak tersebut. Perbedaan juga
terjadi pada kadar SAFA dan MUFA mikroalga Chaetoceros gracilis, pada pelarut
klorofom kadar SAFA dan MUFA berturut-turut 63.05 % dan 34.01 %, sedangkan
pada pelarut heksan kadar SAFA dan MUFA adalah sebesar 44.44 % dan 56.42 %.
4.4.2 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Skeletonema costatum
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Skeletonema costatum
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C13
sampai C24 (Gambar 10). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu
SAFA 68.31 %, MUFA 29.59 %, dan PUFA 2.10 %. Kandungan metil esters asam
lemak SAFA terdiri atas metil tridecylic (C13) 0.52 %, metil myristic (C14) 41.46 %,
metil pentadecylic (C15 ) 2.27 %, metil palmitic (C16 ) 22.36 %, metil margaric (C17 )
0.28 %, metil stearic (C18 ) 0.88 %, metil behenic (C22 ) 0.16 %, dan metil lignoceric
(C24 ) 0.38 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16.
Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 26.68
%, dan metil oleic (C18:1) 2.91 %. Kandungan metil ester asam lemak PUFA terdiri
atas metil hexadecadienoic (C16:2) 2.10 %.
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Skeletonema costatum
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C10
sampai C25 (Gambar 11). Metil esters ini terdiri atas 2 golongan asam lemak, yaitu
3.5
(x10,000,000)
TIC
C16
3.0
C16:1
2.5
C14
2.0
1.5
1.0
0.5
C18
C18:1
C15
C24
C22
0.0
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 8. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros gracilis dengan pelarut klorofom
29
7.0
(x10,000,000)
TIC
C16:1
6.0
5.0
C16
4.0
C14
3.0
2.0
C18
C15
1.0
C24
C22
C20
C13
0.0
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 9. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Chaetoceros gracilis dengan pelarut heksan
30
31
SAFA 63.40 %, dan MUFA 36.60 %. Kandungan metil esters asam lemak SAFA
terdiri atas metil capric (C10) 0.40 %, metil lauric (C12) 1.97 %, metil tridecylic (C13)
4.20 %, metil myristic (C14) 14.37 %, metil pentadecylic (C15 ) 11.38 %, metil
palmitic (C16 ) 12.83 %, metil margaric (C17 ) 1.65 %, metil stearic (C18 ) 6.63 %,
metil arachidic (C20 ) 0.92 %, metil behenic (C22 ) 2.17 %, metil tricocylic (C23 )
0.38 %, metil lignoceric (C24 ) 6.01 %, dan metil pentacocylic (C25 ) 0.49 %, dengan
demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16. Kandungan metil ester
asam lemak MUFA terdiri atas metil palmitoleic (C16:1) 31.15 %, metil oleic (C18:1)
4.73 %, dan metil nervonic (C24:1) 0.72 %,
Servel et al. (1993) dalam Winaryo (2009) menyatakan bahwa kandungan
asam lemak paling dominan dari spesies Skeletonema costatum terdiri atas asam
palmitic (C16 ) 16.50 %, asam myristic (C14) 16.50 %, dan asam arachidic (C20:5 )
40.70 %. Selain itu juga berdasarkan penelitian Berge (1995) kandungan utama
(PUFA) diatom Skeletonema costatum terdiri atas C16:1, C16:2, C16:3, dan C20:5.
Mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan perbedaan
dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom, dimana
pada pelarut heksan terdeteksi metil capric, lauric, arachidic, tricocylic, dan
pentacocylic, sedangkan pada pelarut klorofom tidak terdeteksi metil asam lemak
tersebut. Perbedaan juga terjadi pada kadar SAFA, MUFA, dan PUFA mikroalga
Skeletonema costatum, pada pelarut klorofom kadar SAFA, MUFA, dan PUFA
berturut-turut 68.31 %, 29.59 %, dan 2.10 %, sedangkan pada pelarut heksan kadar
32
SAFA dan MUFA adalah sebesar 63.40 % dan 36.60 %, dan untuk kadar PUFA
tidak terdeteksi.
4.4.3 Fatty Acids Methyl Esters (FAME) Mikroalga Thalassiosira sp.
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Thalassiosira sp. yang
diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom terdeteksi berkisar antara C14
sampai C24 (Gambar 12). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu
SAFA (Saturated fatty acids) 67.22 %, MUFA 31.89 %, dan PUFA 0.89 %.
Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil myristic (C14) 20.93 %,
metil pentadecylic (C15 ) 9.13 %, metil palmitic (C16 ) 34.17 %, metil margaric (C17 )
0.96 %, metil stearic (C18 ) 0.80 %, dan metil lignoceric (C24 ) 1.23 %, dengan
demikian kandungan SAFA terbesar adalah C14 dan C16. Kandungan metil ester
asam lemak MUFA adalah metil palmitoleic (C16:1) 31.89 %. Kandungan metil ester
asam lemak PUFA terdiri atas metil hexadecadienoic (C18:2) 0.89 %.
Karakteristik metil esters asam lemak dari mikroalga Thalassiosira sp. yang
diekstrak dengan menggunakan pelarut heksan terdeteksi berkisar antara C12 sampai
C25 (Gambar 13). Metil esters ini terdiri atas 3 golongan asam lemak, yaitu SAFA
50.43 %, MUFA 48.38 %, dan PUFA 1.19 %.
(x10,000,000)
TIC
C14
2.0
1.5
C16:1
C16
1.0
0.5
C15
C13
C17
C18:1
C18
C24
C22
0.0
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 10. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Skeletonema costatum dengan pelarut klorofom
33
(x10,000,000)
TIC
C16:1
C14
4.0
C16
3.0
C15
2.0
1.0
C13
C24
C18:1C18
C12
C17
C10
C20
C22
C23
C21
C25
0.0
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 11. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Skeletonema costatum dengan pelarut heksan
34
35
Kandungan metil esters asam lemak SAFA terdiri atas metil lauric (C12) 0.36 %,
metil tridecylic (C13) 0.52 %, metil myristic (C14) 11.15 %, metil pentadecylic (C15 )
13.96 %, metil palmitic (C16 ) 16.64 %, metil margaric (C17) 2.00 %, metil stearic
(C18 ) 1.88 %, metil behenic (C22 ) 0.49 %, metil lignoceric (C24 ) 3.26 %, dan metil
pentacocylic (C25 ) 0.17 %, dengan demikian kandungan SAFA terbesar adalah C15
dan C16. Kandungan metil ester asam lemak MUFA terdiri atas metil myristoleic
(C14:1) 0.38 %, metil pentadecenoic (C15:1) 0.62 %, metil palmitoleic (C16:1) 44.72 %,
dan metil oleic (C18:1) 2.66 %. Berdasarkan penelitian Pratoomyot et al. (2005)
kandungan asam lemak paling dominan pada Thalassiosira sp. yang dipanen pada
fase stasioner adalah asam palmitic (C16 ) 20.67 %, asam myristic (C14) 6.37 %, dan
asam palmitoleic (C16:1) 42.02 %.
Thalassiosira sp. yang diekstrak dengan pelarut heksan menunjukan
perbedaan dengan mikroalga yang diekstrak dengan menggunakan pelarut klorofom,
dimana pada pelarut heksan terdeteksi metil lauric, tridecylic, behenic, dan
pentacocylic, sedangkan pada pelarut klorofom tidak terdeteksi metil asam lemak
tersebut. Perbedaan juga terjadi pada kadar SAFA (Saturated fatty acids), MUFA
(Monounsaturated fatty acids), dan PUFA (Polyunsaturated fatty acids) mikroalga
Thalassiosira sp., pada pelarut klorofom kadar SAFA, MUFA, dan PUFA berturutturut 67.22 %, 31.89 %, dan 0.89 %, sedangkan pada pelarut heksan kadar SAFA,
MUFA dan PUFA berturut-turut sebesar 50.43 %, 48.38 %, dan 1.19 %.
(x10,000,000)
TIC
C16
C16:1
1.00
0.75
C14
0.50
C15
0.25
C17
C24
C18
0.00
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 12. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Thalassiosira sp. dengan pelarut klorofom
36
(x10,000,000)
6.0 TIC
C16:1
5.0
C16
4.0
C14
3.0
C15
2.0
1.0
C12
C13 C14:1
C17
C18:1
C18:2 C18
C24
C22
C25
0.0
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
Gambar 13. Total ionic current metil esters asam lemak diatom Thalassiosira sp. dengan pelarut heksan
37
38
4.5 Kandungan SAFA, MUFA, dan PUFA pada Ketiga Spesies Diatom
Kandungan SAFA pada spesies Skeletonema costatum berkisar antara 63.40
% sampai 68.31 %, kandungan MUFA berkisar antara 29.59 % sampai 36.60 %, dan
kandungan PUFA berkisar antara 0 % sampai 2.1 %. Kandungan SAFA pada
spesies Chaetoceros gracilis berkisar antara 44.44 % sampai 63.05 %, kandungan
MUFA berkisar antara 34.01 % sampai 52.92 %, dan kandungan PUFA berkisar
antara 2.64 % sampai 2.94 %. Kandungan SAFA pada spesies Thalassiosira sp.
berkisar antara 50.43 % sampai 67.22 %, kandungan MUFA berkisar antara 31.89 %
sampai 48.38 %, dan kandungan PUFA berkisar antara 0.89 % sampai 1.19 %.
Secara umum SAFA adalah kandungan paling dominan pada ketiga jenis
diatom, hal ini serupa dengan penelitian Tonon et al. (2002) dalam Pratiwi et al.
(2009) dimana SAFA adalah asam lemak paling dominan dibandingkan MUFA dan
PUFA. Kandungan total SAFA, MUFA, dan PUFA dalam mikroalga dapat diubah
dengan mengubah kondisi lingkungan dan media kultur (Mansour et al., 2003;
Rousch et al., 2003). Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan sintesis
asam lemak tak jenuh, karena pada suhu rendah ketersediaan oksigen di dalam sel
meningkat, dengan meningkatnya ketersediaan oksigen dapat membantu
mempercepat proses enzim pada reaksi desaturasi (Chen dan Jiang, 2000).
39
4.6 Perbandingan Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Ketiga Spesies
Fatty Acids Methyl Esters (FAME) yang terdeteksi dari ketiga spesies diatom
berkisar antara C10 sampai C25 (Tabel 5). Kandungan yang paling dominan terdeteksi
adalah metil myristic (C14:0), metil palmitic (C16:0 ), dan metil palmitoleic (C16:1),
sedangkan kandungan terkecil yang terdeteksi adalah metil undecyclic (C11 ).
Kandungan FAME paling dominan yang diekstrak dengan menggunakan klorofom
pada ketiga spesies yaitu ; metil ester palmitic (C16 ) pada spesies Chaetoceros
gracilis dan Thalassiosira sp.,dan metil ester myristic (C14) pada spesies
Skeletonema costatum. Sedangkan FAME paling dominan yang diekstrak dengan
menggunakan heksan yaitu metil ester palmitoleic (C16:1 ) pada ketiga spesies.
Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988) kandungan mayor dari asam
lemak Bacillariophyceae (diatom) terdiri atas asam palmitic (C16:0 ), hexadecenoic
(C16:1) dan polynoic (C20), sedangkan kandungan minor adalah asam linoleic (C20).
Penelitian Pratoomyot (2005) juga menyatakan bahwa kandungan utama asam lemak
pada Bacillariophyceae (diatom) adalah C16:1, C16:0, dan C20:5. Hal ini sesuai
dengan data FAME diatas yang menyatakan bahwa kandungan asam palmitic (C16:0 )
dan palmitoleic (C16:1) merupakan kandungan utama asam lemak pada
Bacillariophyceae (diatom).
Trigliserida diproduksi oleh spesies/strain spesifik yang pada akhirnya
dikendalikan oleh susunan genetik dari individu organisme, Mikroalga
memproduksi trigliserida dalam jumlah yang kecil dibawah pertumbuhan optimal
atau pada kondisi lingkungan yang menguntungkan (Hu et al., 2008). Sintesis dan
40
tingginya akumulasi trigliserida yang disertai dengan perubahan yang cukup besar
pada komposisi asam lemak, terjadi pada saat mikroalga mengalami kondisi stress
baik secara rangsangan kimia dan fisik. Rangsangan kimia yang utama adalah
pemiskinan nutrient sedangkan rangsangan fisik utama adalah temperatur dan
intensitas cahaya. Selain itu fase pertumbuhan mikroalga juga mempengaruhi
trigliserida dan komposisi asam lemak mikroalga.
Nutrient yang paling mempengaruhi metabolisme lipid dalam mikroalga
adalah nitrogen, dengan pembatasan nitrogen terjadi akumulasi kandungan
trigliserida (Hu et al., 2008). Pada diatom silikon merupakan nutrisi yang sama
pentingnya dengan nitrogen dalam mempengaruhi metabolisme lipid, Ketika
kekurangan silikon proporsi Saturated Fatty Acids (SAFA) dan Monounsaturated
Fatty Acids (MUFA) meningkat (Hu et al., 2008). Pembatasan fosfor juga dapat
meningkatkan kandungan trigliserida pada spesies Chaetoceros Sp.
(Bacillariophyceae), I. Galbana (Prymnesiophyceae), tetapi terjadi penurunan
kandungan pada Nannochlorosis atomus (Chlorophyta) dan Tetraselmis sp.
(Prasinophyceae) (Hu et al., 2008).
Suhu dan intensitas cahaya juga mempengaruhi komposisi asam lemak dari
mikroalga. Menurunnya suhu akan meningkatkan asam lemak tidak jenuh
sedangkan apabila suhu ditingkatkan akan meningkatkan asam lemak jenuh pada
mikroalga. Intensitas cahaya rendah akan menginduksi pembentukan polar lipid
terutama yang berkaitan dengan kloroplas sedangkan apabila intensitas cahaya tinggi
akan meningkatkan kandungan neutral lipid terutama trigliserida (Hu et al., 2008).
41
Tabel 5. Komposisi fatty acid methyl esters (FAME) dari diatom (persentase dari
total fatty acids)
FAME
C10:0
C11:0
C12:0
C13:0
C14:0
C14:1
C14:2
C15:0
C16:0
C16:1
C16:2
C16:3
C17:0
C18:0
C18:1
C18:2
C18:3
C19:0
C20:0
C20:1
C20:2
C21:0
C22:0
C22:1
C22:2
C23:0
C24:0
C24:1
C25:0
Chaetoceros gracilis
Klorofom
Heksan
0.11
0.07
Skeletonema costatum
Klorofom
Heksan
0.52
0.4
Thalassiosira sp.
Klorofom Heksan
1.97
4.2
14.37
20.93
0.36
0.52
11.15
0.38
20.72
0.34
10.39
41.46
1.62
33.41
32.61
2.76
3.57
15.44
49.42
2.56
2.27
22.36
26.68
2.1
11.38
12.83
31.15
9.13
34.17
31.89
13.96
16.64
44.72
4.65
2.63
0.71
9.09
6.14
0.28
0.88
2.91
1.65
6.63
4.73
0.96
0.8
0.89
2
1.88
2.66
1.19
0.3
0.86
0.43
1.83
0.69
1.52
0.92
0.16
0.38
2.17
0.38
6.01
0.72
0.49
0.49
1.23
3.26
0.17
42
4.7 Pengaruh Fatty Acids Methyl Esters (FAME) pada Biodiesel
Komposisi kimia biodiesel dan fosil diesel sangat jauh berbeda. Fosil diesel
biasanya terdiri dari hidrokarbon aromatik 30-35%, parafin 65-70%, dan trace
olefins yang sebagian besar berada pada kisaran C10dan C16. Sedangkan biodiesel
mengandung C16 dan C18 metil ester asam lemak dengan satu sampai tiga ikatan
rangkap per molekul (Mittelbach dan Remschmidt, 2006).
Beberapa parameter biodiesel seperti densitas, bilangan setana, dan
kandungan sulfur dipengaruhi oleh jenis minyak yang digunakan. Perbedaan
densitas dipengaruhi oleh komposisi asam lemak dan kemurnian bahan baku.
Densitas akan meningkat seiring dengan penurunan panjang rantai karbon dan
peningkatan jumlah ikatan rangkap pada asam lemak, jadi semakin tidak jenuh
minyak yang digunakan maka densitas akan semakin tinggi (Mittelbach dan
Remschmidt, 2006). Sama halnya dengan densitas, bilangan setana biodiesel
dipengaruhi oleh komposisi metil ester asam lemak penyusun biodiesel. Semakin
tidak jenuh asam lemak metil ester yang terkandung dalam minyak maka semakin
rendah bilangan setana. Semakin rendah bilangan setana semakin rendah pula
kualitas penyalannya. Selain asam lemak tak jenuh, panjang rantai karbon yang
menyusun asam-asam lemak juga mempengaruhi bilangan setana (Mittelbach dan
Remschmidt, 2006). Hasil penelitian Gorpinath et al. (2009) in Tazora (2011)
menyatakan bahwa asam stearat (C18:0) memiliki bilangan setana 85.9, asam palmitat
(C18:0) 76.6, asam miristat (C14:0) 66.9, asam laurat (C12:0) 61.1, asam oleat (C18:0)
56.9, asam linoleat (C18:2) 39.2, dan asam linolenat (C18:3) 28.
43
Berdasarkan hasil penelitian, kandungan fatty acids methyl esters pada ketiga
spesies dapat mempengaruhi densitas dan bilangan setana biodiesel yang dihasilkan.
Kandungan SAFA tertinggi terdapat pada spesies Skeletonema costatum, sehingga
dapat disimpulkan Skeletonema costatum memiliki densitas biodiesel yang lebih
rendah, sedangkan spesies Chaetoceros gracilis memiliki kandungan MUFA dan
PUFA yang lebih besar sehingga memiliki densitas biodiesel yang lebih tinggi.
Berbeda dengan densitas, bilangan setana berkaitan dengan kandungan SAFA,
semakin tinggi kandungan SAFA semakin tinggi bilangan setana. Dapat
disimpulkan spesies Skeletonema costatum memiliki bilangan setana yang lebih
tinggi dari ketiga spesies, sedangkan Chaetoceros gracilis memiliki bilangan setana
yang lebih rendah dari ketiga spesies.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kandungan lipid tertinggi baik menggunakan klorofom maupun heksan
terdapat pada spesies Chaetoceros gracilis sedangkan kandungan lipid terendah
terdapat pada spesies Skeletonema costatum. Perbedaan pelarut juga memberikan
perbedaan kandungan lipid yang diperoleh dimana pelarut klorofom memberikan
kandungan lipid yang lebih besar dibandingkan pelarut heksan.
Kandungan Fatty Acids Methyl Esters (FAME) tertinggi pada spesies
Chaetoceros gracilis adalah metil palmitic (C16:0 ) ekstraksi dengan pelarut
klorofom dan metil palmitoleic (C16:1) ekstraksi dengan pelarut heksan. FAME
tertinggi pada spesies Skeletonema costatum adalah metil palmitoleic (C16:1)
ekstraksi dengan pelarut heksan dan metil myristic (C14:0) ekstraksi dengan
pelarut klorofom. FAME tertinggi pada spesies Thalassiosira sp. adalah metil
palmitic (C16:0) ekstraksi dengan pelarut klorofom dan metil palmitoleic (C16:1)
ekstraksi dengan pelarut Heksan.
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
sebaiknya non polar sehingga neutral lipid diekstrak dengan baik, penelitian
selanjutnya perlu dilakukan pencampuran pelarut antara heksan dan klorofom
untuk mendapatkan kandungan lipid optimum.
44
DAFTAR PUSTAKA
Basmi J. 1999. Planktonologi: Chrysophyta-Diatom: Penuntun Identifikasi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Becerril DUH, Sara PMG, Sofia ABC. 2009. Morphological variability of the
planktonic diatom Thalassiosira delicatula Ostenfeld emend. Hasle from
the Mexican Pacific, in culture conditions. Acta Bot. Croat. 68 (2): 313–
323.
Benemann JR. 2008. Alga Biofuels : a Brief Introduction. Biodiesel. 22: 289 326.
Borowitzka MA, 1988. Micro-Algal Biotechnology. Cambridge University Press.
New York.
Brown MR, Jeffrey SW, Volkman JK , Dunstan GA . 1997. Nutritional
Properties of Microalgae for Marineculture. Aquaculture , 151: 115-112.
Campbell NA, Reece J B, Mitchell LG. 2002. Biologi (edisi ke- 5 jilid 1,
diterjemahkan oleh R. Lestari dkk.). Erlangga. Jakarta.
Customer Support Center Shimadzu (Asia Pacific) Pte. Ltd. 2002. Fundamentals
of Gas Chromatography – Mass Spectrometry & GCMS-QP2010 Series.
Singapore.
Chen F, Jiang Y. 2000. Algae and Their Biotechnological Potensial. Kluwer
Academic Publisher. London.
Chisti Y. 2007. Biodiesel from Microalgae. Biotechnology Advances. 25: 294306.
Chisti Y. 2008. Biodiesel from Microalgae Beats Bioethanol. Cell Press. 26: 126131.
Christie WW. 2012. Mass Spectra of Methyl Esters of Fatty Acids : Part 1
Normal Saturated Fatty Acids. Diunduh dari
http://lipidlibrary.aocs.org/ms/ms03/index.htm [15 Mei 2012]
Darley WM. 1982. Algal Biology: a physiological approach. Blackwell Scientific
Publication. Edinburg.
Edhy WA, Januar P, Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central
Pertiwi Bahari. Laboratorium Central Department, Aquaculture Division
PT. Central Pertiwi Bahari. Tulang Bawang.
45
46
Gorpinath A, Puhan S, Nagarajan G. 2009. Relating The Cetane Number of
Biodiesel Fuels to Their Fatty Acid Composition : A Critical Study. J.
Automob Engginer. 44: 223-265.
Hermanto S, Muawanah A. 2008. Profil dan Karakteristik Lemak Hewani : Ayam,
Sapi, dan Babi. Program Studi Kimia. UIN Syarif Hidayatullah.
Hu Q, Sommerfeld M, Jarvis E, Ghirardi M, Posewitz M, Seibert M, dan Darzins
A. 2008. Microalgal Triacylglycerols as Feedstocks for Biofuel
Productions: Perspectives and Advances. Blackwell Publishing Ltd,
National Renewable Energy Laboratory. Plant. 5(4): 621-639.
IATS. 2009. Instant Algae. Diunduh dari
http://iats161.iats.csic.es/datos/ficheros/grupo11/private/.htm. [20 Januari
2012]
Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton.
Kanisius. Yogyakarta.
Jakubowski. 2012. Lipid Structure. Diunduh dari
http://employees.csbsju.edu/hjakubowski/classes/ch331/lipidstruct/ollipidi
ntro1.html. [17 Maret 2012]
Kardono. 2008. Potensi Pengembangan Biofuel Sebagai Bahan Bakar Alternatif.
Seminar Nasional Teknik Pertanian, 18-19 November 2008, Yogyakarta.
Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.
Karyuliarto H. 2011 Mart 14. Konsumsi BBM secara Bijak. Media Pertamina.
Kolom 1.
Kawaroe M, Prartono T, Sunuddin A, Sari DW, Augustine D. 2010. Mikroalga :
Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. IPB Press.
Bogor.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.
Jakarta.
Kipp RM. 2007. Thalassiosira pseudonana. USGS Nonindigenous Aquatic
Species Database, Gainesville, FL.
Lee WP, Faull K. 2010. Metabolomics Core. Diunduh dari
http://www.pancreaticdiseasecenter.org/cores/metabolomics-core/.htm. [20
Januari 2012]
Ma F, Hanna MA. 1999. Biodiesel Production : a review. J Biores Techno. 70 : 115.
47
Mahan LK, Escoot S. 2008. Krause’s Food and Nutrition Theraphy 12 th Ed.
Saunders, Elsevier. Philadelphia.
Mansour MP, Volkman JK, Blackburn SI. 2003. The Effect of Growth Phase on
The Lipid Class, Fatty Acids and Sterols Composition in The Marine
Dinoflagellata, Gymnodinium sp. In Batch Culture. Phytochemistry. 63(1):
145-153.
Maryanto. 1997. Diklat Satuan Operasi. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri
Jember . Jember.
Mc Sween, Harry Y, Richardson JR. SM, Uhle ME. 2003. Geochemistry :
Pathways and Processes, 2nd ed. Colombia University Press. New York.
Mittelbach M, Remschmidt C. 2006. Biodiesel : The Comprehensive Handbook.
Ed ke-3. Boersedruck Ges. Grez.
Pandey SN, Trivedi PS. 2005. A textbook of algae.Vikas Publishing House PVT
LTD. New Delhi.
Panggabean LMG, Sutomo. 2000. Karakteristik Pertumbuhan Beberapa Jenis
Diatomae dalam Kultur Laboratoris. Seminar Lustrum IX Fakultas
Biologi dan Kongres I Kabiogama, 22-24 September 2000, Yogyakarta.
Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Pratiwi AR, Syah B, Hardjito L, Panggabean LMG, Suhartono MT. 2009. Fatty
Acids Synthesis by Indonesian Marine Diatom, Chaetoceros gracilis.
Hayati J. Biosci. 16(4): 151-156.
Pratoomyot J, Srivilas P, Noiraksar T. 2005. Fatty Acids Composition of 10
Microalgal Species. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27 (6): 1179-1187.
Purba OS. 2008. Pengembangan Medium Untuk Peningkatan Produktivitas Kultur
Batch Diatom Laut Thalassiosira sp. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Rousch JM, Scott SE, Sommerfeld MR. 2003. Change in Fatty Acid Profiles of
Thermointolerant and Thermotolerant Marine Diatoms During
Temperature Strees. J Exp Mar Biol Ecol. 295(1) : 145-156.
Somers D. 1972. Scanning Elektron Microscope Studies On Some Species Of The
Centric Diatom Genera Thalassiosira and Coscinodiscus. Biol Jb.
Dodonaea. 40: 304-315.
Suantika G, Pingkan A, Yusuf G. 2009. Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum
terhadap Kualitas Kultur Chaetoceros gracilis (Schuut) pada Sistem
Batch. Tesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
48
Suprobowati TR, Suwarno H. 2009. Diatom dan Paleolimnologi: Studi Komparasi
Perjalanan Sejarah Danau Lac Saint-Augustine Quebeq-City, Canada dan
Danau Rawa Pening Indonesia. Biota. 14 (1): 60-68.
Tazora Z. 2011. Peningkatan Mutu Biodiesel dari Minyak Biji Karet Melalui
Pencampuran dengan Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tjahjo W, Erawati L, Hanung S. 2002. Biologi Fitoplankton. Budidaya
Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan
Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun 2002.10
(1): 3-23.
Tonon TD, Harvey, Larson TR, Graham 1A. 2002. Long Chains Polyunsaturated
Fatty Acid Production to Triacyliglycerols in Four Microalga.
Phytochemistry. 61(1): 5-24.
Triswanto Y. 2010. Kultivasi Diatom Penghasil Biofuel Jenis Skeletonema
costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis pada Sistem
Indoor dan Outdoor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Umdu ES, Mert T, Erol S. 2009. Transesteriļ¬cation of Nannochloropsis oculata
microalga’s lipid to biodiesel on Al2O3 supported CaO and MgO catalysts.
Bioresource Technology. 100: 2828–2831.
Wiyarno B. 2009. Biodiesel Microalgae. Islamic International University
Malaysia. Pahang.
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Karasteristik Fatty Acid Methyl Esters (FAME) Chaetoceros
gracilis
Ion Target (m/z) Klorofom*
No Senyawa
1
metil tridecylic (C13)
74
td
2
metil myristic (C14)
74
36426018
3
metil pentadecanoic (C15 )
74
2842064
4
metil palmitic (C16 )
74
58715579
5
metil palmitoleic (C16:1)
55
50563882
6
metil margaric (C17 )
74
td
7
metil stearic (C18 )
74
8178546
8
metil oleic (C18:1)
55
4628492
9
metil arachidic (C20 )
74
522859
10 metil behenic (C22 )
74
756633
11 lignoceric (C24 )
74
1216707
*
= luas area di bawah peak kromatogram; td = tidak terdeteksi
Heksan*
1112761
33873568
11624537
50335717
161091940
2303412
29630616
20014395
2259763
5979436
4968468
Lampiran 2. Karasteristik Fatty Acid Methyl Esters (FAME) Skeletonema
costatum
Ion Target
No Senyawa
(M/Z)
Klorofom*
1
metil capric (C10)
74
td
2
metil lauric (C12)
74
td
3
metil tridecylic (C13)
74
459980
4
metil myristic (C14)
74
36383179
5
metil pentadecanoic (C15 )
74
1993499
6
metil palmitic (C16 )
74
19620745
7
metil palmitoleic (C16:1)
55
20417875
8
metil hexadecadienoic (C16:2)
67
1843901
9
metil margaric (C17 )
74
246131
10 metil stearic (C18 )
74
772621
11 metil oleic (C18:1)
55
2549553
12 metil arachidic (C20 )
74
td
13 metil behenic (C22 )
74
136870
14 lignoceric (C24 )
74
332480
15 metil nervonic (C24:1)
55
td
16 metil pentacocylic (C25 )
74
td
*
= luas area di bawah peak kromatogram; td = tidak terdeteksi
50
Heksan*
1099694
5427653
11554826
39518404
31283698
35263668
77902479
td
4523152
18226409
12992935
2520354
5966726
16511425
1990049
1356663
51
Lampiran 3. Karasteristik Fatty Acid Methyl Esters (FAME) Thalassiosira sp
Ion Target
No Senyawa
(M/Z)
Klorofom*
1
metil lauric (C12)
74
td
2
metil tridecylic (C13)
74
td
3
metil myristic (C14)
74
11525466
4
metil pentadecanoic (C15 )
74
4988196
5
metil palmitic (C16 )
74
18809667
6
metil palmitoleic (C16:1)
55
17558105
7
metil hexadecadienoic (C16:2)
67
td
8
metil margaric (C17 )
74
526993
9
metil stearic (C18 )
74
439102
10 metil oleic (C18:1)
55
td
11 metil arachidic (C20 )
74
td
12 metil behenic (C22 )
74
td
12 lignoceric (C24 )
74
679840
12 metil pentacocylic (C25 )
74
td
*
= luas area di bawah peak kromatogram; td = tidak terdeteksi
Heksan*
1051360
1526764
32830321
41082917
48984555
119778710
td
5902230
5521605
7828406
td
1441448
9598882
509744
Lampiran 4. Beberapa Spektra Massa (m/z) Dominan Pada Diatom
%
100.0
74
87
75.0
50.0
74
55
[M]+
25.0
75
53 83
97
0.0
100
143
227
171
200
270
300
400
500
600
m/z
metil palmitic (C16:0 ) (ion target = 74; Berat molekul = 270)
52
%
55
100.0
55
75.0
50.0
69
5474
81
25.0
[M]+
110
75
0.0
152
100
194
236 268
200
300
400
500
600
m/z
metil palmitoleic (C16:1 ) (ion target = 55; Berat molekul = 268)
%
100.0
74
75.0
50.0
25.0
0.0
74
87
55
[M]+
59
5375
83 101 129143157
100
199
200
242
300
400
500
600
m/z
metil myristic (C14:0 ) (ion target = 74; Berat molekul = 242)
53
Lampiran 5. Dokumentasi foto alat dan bahan penelitian
1. Ekstraktor Soxhlet
2. Pengerus Mikroalga
3. Diatom Kering
4. Blender
5. Gelas Ukur
6. Timbangan Digital
54
Lampiran 5. (lanjutan)
7. Boks Sterofom
8. Rak dan test tube
9. Hotplate
10. Pipet volumetrik
11. Pipet mohr
12. Pipet Mikro
55
Lampiran 5. (lanjutan)
13. Tawas
14. Erlenmeyer
15. Hasil Ekstraksi
16. Vortek
17. Vial
18. Bulb
56
Lampiran 5. (lanjutan)
19. Oven
20. BF3 dalam Metanol
21. Heksan
22. Klorofom
23. GC-MS
57
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
1.
Proses Ekstraksi
2. Proses Flokulasi
3. Vortex
4. Penyaringan Mikroalga
5. Hasil Panen
6. Hasil Ekstraksi
58
Lampiran 7. Proses Esterifikasi
No Gambar
Keterangan
1.
0.5 g – 1 g sampel hasil soxhlet
2.
Penambahan 4.5 ml NaOH 0.5 N
3.
Divortek (setelah ditambahkan
dengan 4.5 ml NaOH ; juga pada
tahap kedua divortek setelah
ditambahkan 3 ml BF3 dalam
metanol.
4.
Divortek setelah ditambahkan 2 ml
n-heksane.
59
5.
Dipanaskan dalam penangas
dengan suhu kurang lebih 60 0C
selama 5 menit setelah dilakukan
vortek.
6.
Diambil lapisan atas kemudian
dimasukkan kedalam vial.
Diuji dengan GC-MS
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo, 5 Maret 1988 dari Ayah
Darwin Katili dan Ibu Oca Polontalo. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2003 – 2006 Penulis menyelesaikan pendidikan di
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Gorontalo,
Gorontalo. Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB).
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, Penulis menjadi Asisten mata
kuliah Ekologi Perairan tahun 2008-2009 , Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia
tahun 2009 – 2010, dan Asisten Luar Biasa Biologi Tumbuhan Laut tahun 2011.
Selain itu penulis juga pernah menjadi anggota beberapa organisasi internal dan
eksternal kampus seperti, Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB tahun 2008 – 2009, dan Himpunan
Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG) Cabang Bogor sebagai Ketua
Umum Pertama pada tahun 2011 – 2012.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis
melaksanakan penelitian dengan judul “Komposisi Asam Lemak Mikroalga Jenis
Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis”
Download