Untitled - Journal | Unair

advertisement
Table of Contents
No.
Title
Page
1
Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa
Timur
1 - 14
2
Pengaruh faktor keturunan terhadap proporsi tubuh anak
15 - 24
3
Pengembangan kerjasama antara daerah untuk pengelolaan potensi daerah
25 - 34
4
Mencegah pernikahan dini untuk membentuk generasi berkualitas
35 - 45
5
Pergeseran peran belian dalam pemeliharaan kesehatan perempuan Suku Sasak
di saat kehamilan
55 - 64
Vol. 26 - No. 1 / 2013-01
TOC : 1, and page : 1 - 14
Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur
The role of local wisdom for religions conflict resolution in East Java
Author :
M. G. Bagus Ani Putra | [email protected]
Fakultas Psikologi
Abstract
This research aimed to identify religions conflict and to find the resolutions based on localwisdom in East Java. This
research used qualitative approach to study multiple cases. Eightparticipants were chosen after a snow ball technique
sampling, utilizing indepth interviews,observation, and secondary data. The location was the “Mataraman”
and “Tapal Kuda”areas, in Tulungagung and Jember, based on the fact that previously there were
religionsconflict in those areas. The researcher chose open disfunctional physical conflicts based onreligions differences.
The data were analysed using thematic analysis so that enabled to findnew themes. The results showed that there were
similar roles in the local wisdom for conflictresolution in East Java. There were obedience to the leader of the society, the
involvement ofthe leader, and collectivism, as the basis of tolerance within the society.
Keyword : local, wisdom, conflict, resolution, religions, conflict, .,
Daftar Pustaka :
1. De Dreu CKW & Gelfand MJ, (2007). The Psychology of Conflict and Conflict Management in Organizations. New
York : Lawrence Erlbaum Associate
2. Kondalkar VG, (2007). Organizational Behavior. New Delhi : New Age International Limited Publisher
3. Poerwandari EK, (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia: Edisi Ketiga. Jakarta : LPSP3
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di
Jawa Timur
The role of local wisdom for religions conflict resolution in East Java
M. G. Bagus Ani Putra
Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga
Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60286, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Abstract
This research aimed to identify religions conflict and to find the resolutions based on local
wisdom in East Java. This research used qualitative approach to study multiple cases. Eight
participants were chosen after a snow ball technique sampling, utilizing indepth interviews,
observation, and secondary data. The location was the “Mataraman” and “Tapal Kuda”
areas, in Tulungagung and Jember, based on the fact that previously there were religions
conflict in those areas. The researcher chose open disfunctional physical conflicts based on
religions differences. The data were analysed using thematic analysis so that enabled to find
new themes. The results showed that there were similar roles in the local wisdom for conflict
resolution in East Java. There were obedience to the leader of the society, the involvement of
the leader, and collectivism, as the basis of tolerance within the society .
Keywords: local wisdom, conflict resolution, religions conflict
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik keyakinan dalam beragama dan
menemukan resolusinya berdasarkan kearifan lokal di Jawa Timur. Pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis studi kasus multikasus (multiplecase). Delapan partisipan dipilih dalam penelitian ini dengan menggunakan snow ball
technique sampling hingga menemukan titik jenuh dalam memperoleh informasinya. Lokasi
yang dipilih adalah perwakilan daerah Mataraman dan Tapal Kuda, yaitu Tulungagung
dengan konflik Ahmadiyah dan Jember dengan konflik Ponpes Terbuka Robbany. Konflik
yang dipilih adalah konflik fisik terbuka, disfungsional, dan bersumber dari keyakinan dalam
beragama. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan data sekunder
(data dokumentasi, data media, dan data pemerintah). Analisis yang digunakan adalah analisis
tematik sehingga memungkinkan mendapatkan atau memperoleh tema-tema baru yang dapat
memperhalus teori yang telah ada. Hasil penelitian ini terdapat kesamaan peran kearifan lokal
untuk resolusi konflik keyakinan dalam beragama di Jawa Timur, yaitu adanya peran serta
dari, dan kepatuhan masyarakat terhadap, tokoh masyarakat serta adanya gotong royong,
(kolektivisme) sebagai dasar toleransi dalam masyarakat .
Kata kunci: kearifan lokal, resolusi konflik, konflik keyakinan dalam beragama
Indonesia merupakan negara multikultural yang multietnik, multiras, dan multiagama.
Hubungan harmonis antar dan intern umat beragama menjadi hal yang sangat penting
dalam negara yang multiagama seperti halnya Indonesia ini. Dengan dasar nilai
Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya,
berarti bahwa Indonesia adalah negara yang memegang teguh nilai-nilai agama,
1
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
walaupun Indonesia bukanlah negara agama. Dasar agama diharapkan mampu menjadi
sumber moral yang dapat dijadikan pedoman bagi sikap dan perilaku warga.
Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa konflik bernuansa agama seri ng terjadi di
Indonesia. Dari tahun 1996 tercatat terjadi beberapa kali peristiwa konflik yang
bernuansa sosial maupun agama, seperti kerusuhan di Situbondo tanggal 10 Oktober
1996, di Tasikmalaya 26 Desember 1996, di Karawang tahun 1997 dan Tragedi Mei
pada tanggal 13, 15 Mei 1998, yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Palembang,
Medan, beserta peristiwa-peristiwa kerusuhan lainnya. Berikutnya, kasus pembakaran
gereja di Halmahera pada 14-15 Agustus 2002, konflik Poso pada Desember 2003,
penyerangan terhadap Huriah Kristen Batak Protestan (HKPB) dan penyerangan
terhadap rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok pada September 2002 adalah
bagian dari kasus-kasus konflik yang melibatkan unsur agama di dalamnya.
Berdasarkan laporan harian Kompas dan kantor b erita Antara, selama Januari 1990
hingga Agustus 2008, wilayah persebaran aksi damai terkait konflik keagamaan di
Indonesia lebih luas dibandingkan dengan aksi kekerasan lainnya. Sementara insiden
kekerasan terkait konflik keagamaan terjadi di 20 provinsi, insiden aksi damai terjadi di
28 dari total 33 provinsi di Indonesia. SETARA Institute juga mencatat sepanjang 2010
tak kurang terjadi 262 kasus pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan
berkedok agama. Sebelumnya, data yang dihimpun Moderat M uslim Society (MMS)
menyebutkan bahwa aksi kekerasan berkedok agama makin sering terjadi pasca “Orde
Baru” tumbang. Laporan MMS 2010 mencatat terjadi 81 kasus anarkistis berlabel
agama, angka ini meningkat 30 persen dari laporan 2009 yang mencatat 59 kasus .
Dalam kehidupan beragama berlaku asas pluralisme yang mengakui kebenaran eksklusif
masing-masing agama. Sementara itu warga negara memiliki kebebasan untuk
menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan masing -masing. Hal
tersebut seiring dengan perkembangan hak asasi manusia yang menjamin kebebasan
setiap orang untuk beragama. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama
diletakkan pada tingkat individu.
Dalam satu dasawarsa terakhir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan
sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan
peristiwa kerusuhan sosial (riots) muncul di berbagai daerah dengan kasus-kasus mulai
dari pemilikada, SARA, dan konflik sosial lain. Konflik sosial yang sejatinya
merupakan bagian dari dynamic chance dan karenanya bersifat positif telah berubah
menjadi amuk massa yang menakutkan dan menimbulkan kengerian. Tidak hanya
eskalasi konflik yang kian meningkat, sifat konflik pun berkembang tidak hanya secara
horizontal tetapi juga secara vertikal. Pemerintah memprediksi peristiwa kekerasan,
konflik komunal, hingga benturan horizontal masih akan marak terjadi pada tahun 2013
(Kompas 2013). Dengan pernyataan ini, diindikasikan bahwa konflik sosial akan
meningkat. Apabila konflik tersebut muncul dan konflik lebih bersifat disfungsional
maka kerugian dan penderitaan masyarakat akan semakin meningkat.
Jawa Timur yang memiliki penduduk sekitar 38 juta orang merupakan wilayah yang
sangat pluralistik. Pluralitasnya bisa disebabkan karena keragaman agama, suku,
budaya, dan juga adat-istiadat yang dimilikinya. Dengan berbagai keragaman ini,
tentunya dapat menjadi peluang dan potensi munculnya perbedaan yang dapat berakibat
pada munculnya konflik sosial. Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan teori
contrast effect dari Moskowitz (2005) yang menyatakan bahwa perbedaan persepsi dan
judgement akan semakin meningkat apabila individu/kelompok mendapatkan stimulus
yang berbeda.
2
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
Berdasarkan penyebabnya, konflik sosial di Jawa Timur memiliki banyak bentuk. Ada
konflik antar nelayan di Selat Madura, konflik Syiah -Sunni di Sampang dan Pasuruan,
konflik antaragama, konflik etnis (misal Sampang dengan Dayak). Salah satu konflik
yang akan diteliti adalah konflik keyakinan dalam beragama. Bentuk konflik ini
biasanya berakibat fatal karena pihak-pihak yang berkonflik menggunakan ideologi
agama dalam memaksakan kehendaknya. Kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan
konflik ini juga belum mampu menyelesaikan dengan baik. Oleh karena itu pemilihan
topik ini sangat penting untuk dikaji lebih lanjut.
Idealnya, isu-isu sosial dengan konflik keyakinan dalam beragama tidak boleh terjadi.
Karena secara makro akan menganggu stabilitas nasional dan pembangunan bahkan
secara mikro akan menimbulkan penderitaan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini perlu diidentifikasi konflik dan resolusinya dengan
mengedepankan unsur kearifan lokal yang dijadikan modal sosial. Kearifan lokal
menjadi penting dalam penelitian ini karena menurut Suryanto & Aniputra (2012)
bahwa modal sosial yang berasal dari kearifan lokal dapat digunakan guna meredam dan
mengantisipasi konflik sosial di Indonesia.
Berdasarkan pada permasalahan yang diangkat, maka permasalahan yang akan diteliti
adalah bagaimanakah peran kearifan lokal dapat digunakan untuk resolusi konflik
keyakinan dalam beragama?
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan dalam
situasi yang wajar atau dalam natural setting. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini ialah studi kasus. Tipe penelitian ini ialah studi kasus multiple case. Studi
kasus multiple case ialah kajian terhadap suatu kasus yang khusus dan dilakukan untuk
memahami isu dengan lebih baik. Tipe ini juga mengembangkan dan memperhalus teori
yang telah ada dengan membandingkan kasus/problem yang dikaji. Penelitian ini
menumpukan perhatian terhadap pendekatan kajian kasus eksplanatoris karena
berasaskan tipe pertanyaan penelitian, yaitu mengacu pada how (bagaimana).
Pada kajian ini metode pengumpulan data yang digunakan yaitu: 1) dokumentasi data,
penelitian ini menggunakan dokumentasi data mengenai konflik yang ada di media
massa dan laporan intelijen (Badan Kesatuan Bangsa, Polit ik dan Perlindungan
Masyarakat/Bakesbangpolinmas Kabupaten Jember dan Tulungagung), 2) wawancara
dengan teknik wawancara terbuka-terarah (open-ended interview) dengan pelaku
konflik dan birokrasi. Metode pengumpulan data ini digunakan untuk mengetahui
konflik yang terjadi, 3) observasi alami (natural observation) pada kehidupan
masyarakat untuk mengetahui sumber dan pola konflik yang terjadi.
Sementara itu, alat pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah panduan
wawancara dan observasi. Partisipan dalam penelitian ini tidak ditentukan di awal
langkah karena menggunakan snow ball technique sampling. Artinya, karakteristik
partisipan tidak ditentukan di awal penelitian dan mempe rhatikan keterwakilan
informasi yang ada. Data akan terus digali dari partisipan yang berbeda hingga
mendapatkan informasi yang jenuh. Oleh karena itu, peneliti akan memutuskan sendiri
titik jenuh informasi (saturation point). Namun demikian, setidaknya peneliti sudah
mempunyai gambaran partisipan yang akan diwawancarai di antaranya keterwakilan
dari pihak-pihak yang berkonflik dan aparat/birokrasi untuk mengetahui sumber data
primer dan dapat mencapai kredibilitas penelitian.
3
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
Semua sumber data pada penelitian ini, baik data dokumentasi, data observasi , maupun
data wawancara akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Analisis tematik
merupakan proses mengkodekan informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model
tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang berkaitan dengan tema itu, atau
perkara-perkara tunggal atau gabungan dari perkara yang telah disebutkan (Poerwandari
2007).
Pola atau tema tersebut nampak seolah secara acak dalam kumpulan informasi yang
telah ada. Selepas peneliti menemukan pola (seeing), peneliti akan mengklasifikasi atau
mengkodekan pola tersebut (seeing as) dengan memberi label, definisi, atau deskripsi
(Boyatzis 1998 dalam Poerwandari 2007). Dalam upaya menganalisis data, suatu tema
dapat diidentifikasi pada peringkat wujud (manifest level), yaitu secara eksplisit dapat
terlihat. Suatu tema juga dapat ditemukan pada peringkat terpendam ( latent level), yaitu
tidak secara eksplisit nampak tetapi membayangi atau memberikan dasar terhadap tema
tertentu. Tema-tema dapat diperoleh secara induktif dari data informasi atau dapat
diperoleh secara deduktif dari teori atau kajian lepas (Boyatzis 1998 dalam Poerwandari
2007).
Lokasi penelitian ini di wilayah Jawa Timur, terutama daerah tapal kuda dan
Mataraman. Untuk membedakan sumber dan pola konflik yang terjadi pada kedua jenis
daerah tersebut, daerah tapal kuda diwakili oleh Jember (konflik Robbany) dan
Mataraman diwakili oleh Tulungagung (konflik Ahmadiyah). Penelitian dilakukan pada
pertengahan awal hingga tengah tahun 2013.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
De Dreu dan Gelfand (2007) menyatakan bahwa “conflict as a process that begins when
an individual or group perceives differences and opposition between itself and another
individual or group about interests and resources, beli efs, values, or practices that
matter to.” Dari definisi tersebut tampak bahwa konflik merupakan proses yang mulai
ketika individu atau kelompok mempersepsi terjadinya perbedaan atau opisisi antara
dirinya dengan individu atau kelompok lain mengenai minat dan sumber daya,
keyakinan, nilai, atau praktik-praktik lainnya.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai “a process in which an effort is purposely
made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in
frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests ”. Dalam
definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi ketika usaha suatu kelompok dihambat
oleh kelompok lain sehingga kelompok ini mengalami frustrasi.
Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan bahwa konflik sebagai
“process that begins when one party perceives that another party has negatively
affected something that the first party cares about.” Proses konflik bermula ketika satu
pihak mempersepsi bahwa pihak lain memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement between two or
more individuals or groups, with each individual or group trying to gain acceptance of
its views or objective over others”. Dari pendapat ini Kondalkar melihat bahwa konflik
merupakan ketidaksetujuan (disagreement) antara dua atau lebih individu atau
kelompok yang mana masing-masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk
bisa diterima panangan atau tujuannya oleh individu atau kelompok lain.
Dilihat dari manifestasinya, Pondy (1969) menggambarkan adanya dua macam bentuk
konflik, yaitu konflik yang laten dan konflik yang manifest. Konflik laten meliputi
konflik yang dipersepsi dan dirasakan seseorang atau kelompok. Sebaliknya, konflik
4
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
manifest meliputi konflik yang membutuhkan negosiasi artinya dap at terjadi secara
dinamik antarindividu ataupun antarkelompok. Konflik ini sering memunculkan
terjadinya penyimpangan (violence).
Ditinjau dari tingkat analisisnya, maka konflik dapat diklasifikasi dalam beberapa
tingkatan, yaitu: tingkatan individual, tingkatan kelompok, tingkatan organisasi. Pada
tingkatan individual, konflik dapat terjadi karena predisposisi (seperti dogmatisme,
persetujuan, motif kekuasaan), atau karakteristik pekerjaan (seperti ambiguitas kerja,
anatomi pekerjaan), proses konfliknya meliputi konflik pada kondisi motivasi, kognisi,
afeksi, dan efeknya dapat terjadi pada kesejahteraan dan kesehatan, tingkat absensi , dan
pindah kerja (Kondalkar 2007).
Ditinjau dari fungsinya bagi individu ataupun organisasi, Kondalkar (2007) melihat
bahwa konflik itu dapat dibedakan dalam dua macam yaitu konflik fungsional dan
konflik disfungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila : 1) konflik dapat
meningkatkan kekompakan anggota dalam organisasi sehingga tu juan kelompok
menjadi prioritas, 2) konflik dapat mendorong munculnya inovasi dan kreativitas ketika
merasa adanya semangat berkompetisi di dalam kelompok, 3) konflik dapat
meningkatkan lingkungan kerja dan meningkatkan kesempatan untuk pengembangan
diri (self-development) suatu kelompok sehingga mendorong terbentuknya normas
kelompok, 4) meningkatkan budaya kerja yang mendukung peningkatan berbagai sistem
dalam organisasi dan akhirnya pertumbuhan dapat tercapai.
Konflik menjadi disfungsional ketika dalam konflik tersebut dapat diidentifikasi a danya
beberapa gejala berikut: 1) ketika konflik tidak mendorong adanya solusi, 2) ketika
tujuan dasar (basic goals) organisasi ditolak, 3) orang diperlakukan tidak b ertanggung
jawab, yang menyebabkan ketidakpercayaan dan berkembangnya antagoni sme dan
konflik, 4) konflik mendorong terjadinya peningkatan tingkat ketidakhadiran dan
keluarnya anggota kelompok, 5) munculnya gaya manajemen ganda yang menghasilkan
kebingungan dan konflik disfungsional, 6) terjadinya ketidaksetujuan dalam manajemen
yang berakibat pada disloyalitas dan hilangnya ketinginan anggota untuk menunjukkan
kreativitas kerja.
Pemahaman tentang tahapan konflik ini sangat penting untuk dipahami, karena dengan
pemahaman ini diharapkan konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Pada studi ini,
eskalasi konflik akan dicoba untuk dilihat, apakah prosesnya juga mengikuti pola
eskalasi yang tersebut. Apabila proses konflik seperti yang dikemukakan oleh Pondy
(1969) dan ahli lain seperti di atas, maka konflik keyakinan dalam beragama akan
mendukung pola yang ada, namun apabila tidak, maka variasi pola eskalasi konflik
yang ditemukan di lapangan akan menjadi teori baru yang dapat menambah khasanah
keilmuan psikologi, khususnya pola dan eskalasi konflik.
Resolusi konflik
Konflik, walaupun juga memiliki efek positif sebagaimana yang diterangkan di atas, namun
efek negatifnya harus dapat dihindarkan, terlebih jika konflik tersebut sudah dalam bentuk
kekerasan fisik yang dapat mengancam nyawa manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan resolusi
konflik atau manajemen konflik.
Conflict management atau manajemen konflik adalah upaya pencegahan konflik dari
kekerasan tanpa harus mencapai pemecahan masalah (Susan 2010). Menurut Hugh Miall,
manajemen konflik adalah seni intervensi yang tepat guna mencapai pembuatan politik yang
stabil (political settlement), terutama oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya
yang besar untuk menciptakan tekanan terhadap para pihak yang berkonflik agar tetap dalam
5
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
kondisi stabil (Susan 2010). Selain itu, terdapat democratic conflict governance yang dapat
dimengerti sebagai dinamisasi hubungan antara berbagai aktor dan lembaga dalam tata kelola
unsur-unsur konflik dalam suatu ruang politik inklusif (inklusive political area) yang ditandai
oleh aktivitas memersuasi, memusyawarahkan, dan mengimplementasikan kebijakan
perdamaian yang telah tercapai. Suatu kebijakan perdamaian adalah hasil dari musyawarah
pihak-pihak terlibat dalam konflik yang harus diimplementasikan oleh pihak terlibat (Susan
2010).
Sedangkan resolusi konflik sebagaimana diutarakan oleh Dharmawan (2006), pada
umumnya melalui dua pendekatan: pertama, resolusi konflik berbasis atau berorientasi
nilai-kultur. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan simbol -simbol dan
norma kultural sebagai pemersatu pihak yang berkonflik. Kedua , resolusi konflik
berbasis atau berorientasi pada pengembangan struktur atau kelembagaan. Hal itu dapat
berwujud, diadakannya forum komunikasi, memberdayakan ruang publik , serta
membangun kesepakatan bersama (Dharmawan 2006).
Efektivitas dari dua model pendekatan resolusi konflik di atas tentu harus melihat
konteks serta latar belakang terjadinya konflik. Konteks di sini dapat dipahami seperti,
di mana konflik terjadi, siapa yang terlibat konflik. Sedangkan latar b elakang dapat
diartikan sebagai asal-muasal atau penyebab terjadinya konflik tersebut. Sedangkan
menurut Sriyanto (2007), untuk menyelesaikan konflik dikenal dengan beberapa istilah
yakni 1) pencegahan konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah munculnya kekerasan
dalam konflik, 2) penyelesaian konflik; bertujuan mengakhiri kekerasan melalui
persetujuan perdamaian, 3) pengelolaan konflik; bertujuan untuk membatasi atau
menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan piak -pihak yang terlibat
agar berlaku positif, 4) resolusi konflik; bertujuan menangani sebab -sebab konflik dan
berusaha dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif bertahan lama di antara
kelompok-kelompok yang bermusuhan, 5) transformasi konflik; yakni mengatasi
sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan sumber
kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif (Sriyanto 2007).
Kearifan lokal
Menurut Sartini (2004), local wisdom berarti gagasan -gagasan setempat yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya.
Kearifan lokal atau tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan
lokal atau tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu
manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus
bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam (Stanis et
al. 2005 dalam Suryanto 2012). Sejalan dengan pemahaman tentang kearifan lokal di
atas, Kurniasari dan Reswati (2011) menuliskan bahwa kearifan lokal sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge)
atau kecerdasan setempat (local genius), merupakan pandangan hidup, ilmu
pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam memenuhi
kebutuhan mereka (Kurniasari & Reswati 2011).
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hi dup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi
dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan
yang sakral sampai profan (Sartini 2004).
6
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
Menurut Koentjoroningrat (1964), kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai
bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan dalam ranah kebudayaan,
sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religius, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
teknologi dan peralatan (Kurniasari & Reswati 2011).
Menurut I Ketut Gobyah seperti dikutip Sartini (2004) berpendapat bahwa kearifan
lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun
kondisi geografis dalam arti luas (Sartini 2004).
Bentuk kearifan lokal yang dimiliki suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya
sesuai dengan setting yang dihadapi. Setting lingkungan yang spesifik akan
menyebabkan perbedaan pengetahuan seseorang dalam memaknai pengaruh lingkungan
terhadap kehidupannya (Kurniasari & Reswati 2011).
Kearifan lokal merupakan produk masa lalu yang patut secara terus -menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang dikandung nya dianggap
universal (Sartini 2004).
Kearifan lokal sebagai strategi resolusi keyakinan dalam beragama
Kasus-kasus konflik sosial di Indonesia dapat ditengarai karena gagalnya masyarakat
Indonesia untuk membangun suatu interaksi sosial. Ketidakberhasilan dalam
mengembangkan interaksi sosial tersebut disadari bahwa bangsa Indonesia merupakan
suatu negara yang amat beragam seperti suku, agama, bahasa, dan budaya. Latar
belakang keragaman tersebut memang menciptkan potensi konflik yang bisa
mengakibatkan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal yang berupa modal sosial.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2002) mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi
kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita,
kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah,
semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari -hari. Kearifan
lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai -nilai
yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai -nilai itu menjadi pegangan
kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari -hari.
Melihat realitas itu maka mengembangkan kearifan lokal yang menjadi modal sosial
dapat dijadikan alternatif solusi untuk menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.
Mengapa modal sosial bisa menjadi solusi efektif untuk mengatasi dan mencegah
konflik sosial di Indonesia? Hermawanti dan Rinandari (2005) mengungkapkan bahwa
masyarakat Indonesia sebenarnya merupakan masyarakat komunal yang mempunyai
banyak nilai yang dapat menguatkan modal sosial. Modal sosial tersebut sebenarnya
merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan masyarakat. Modal sosial dapat
digunakan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat karena memberikan pencerahan
kebersamaan, toleransi, dan partisipasi.
Fukuyama (1995) menambahkan bahwa modal sosial adalah kapabilitas yang muncul
dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat yang diciptakan dan
ditransmisikan melalui mekanisme kultural seperti tradisi, agama, atau kebiasaan
sejarah. Kalau kearifan lokal menjadi modal sosial, maka proses tersebut dapat
menumbuhkan komunitas spontan yang bergantung pada kepercayaan. Kepercayaan
7
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
sendiri ditentukan secara kultural yang dapat menghidupkan pengharapan berperilaku
normal, jujur, dan kooperatif demi kepentingan bersama dalam suatu komunitas
masyarakat.
Berdasarkan pandangan itu menjadi pijakan untuk menjelaskan bahwa modal sosial
yang berasal dari kearifan lokal dapat digunakan guna meredam dan mengantisipasi
konflik sosial di Indonesia. Kearifan lokal akan menjadi modal sosial karena dengan
modal sosial yang berasal dari kebijaksanaan lokal dapat menjadi perekat sosial. Ketika
dalam suatu masyarakat telah tumbuh modal sosial yang baik, maka tidak akan terjadi
konflik sosial. Perbedaan-perbedaan kepentingan, masalah-masalah yang timbul karena
tujuan berbeda, atau perebutan akses sumber daya dapat diselesaikan dengan cara
bijaksana dan damai. Cara ini dapat ditempuh karena suatu masyarakat yang memiliki
modal sosial telah memiliki pencerahan kebersamaan, toleransi, dan partisipasi. Hal lain
yang dimiliki modal sosial dalam suatu masyarakat yaitu adanya kepercayaan yang
tumbuh pada komunitas yang diilandasi dengan kejujuran, kooperatif, dan tingkat
kesadaran demi kepentingan bersama.
Modal sosial dapat dijadikan peredam konflik karena perbedaan -perbedaan tujuan yang
mengemuka itu dapat diatasi dengan rasa kebersamaan, kepercayaan, kejujuran, dan
saling menghargai. Bermodalkan unsur-unsur ini yang merupakan variabel penentu bagi
terciptanya modal sosial,
maka selebar apapun jurang perbedaan akan dapat
diselesaikan dengan damai.
Modal sosial sebagai solusi untuk mencegah atau mengatasi konflik bisa berhasil
dengan baik apabila didukung faham multikulturalisme. Multikulturalisme memberikan
sumbangan penting guna mengembangkan modal sosial karena melihat realitas
keanekaragaman kultural di Indonesia. Modal sosial dapat dijalankan dengan tuntas
apabila tumbuh kesediaan untuk mengakui adanya keberagaman. Sebaliknya tidak ada
pengakuan terhadap keberagaman yang melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka modal sosial tidak dapat ditumbuhkan dengan semestinya.
Kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jember
Resolusi konflik keyakinan dalam beragama di Jember dapat mun cul karena beberapa
hal berikut: 1) Adanya kesepakatan untuk tidak melaksanakan kegiatan apapun bagi
kelompok Robbany serta masyarakat diminta untuk menahan diri dari segala aktivitas
yang mengarah kepada agresivitas. Dengan kata lain, masing -masing pihak sepakat
untuk melakukan status quo hingga kondisi keamanan dan ketertiban pulih kembali.
Kesepakatan ini telah dimediasi oleh Pemerintah Daerah setempat dan aparat keamanan.
Hingga laporan ini ditulis, kelompok Robbany sudah tidak melakukan aktivitas apapun.
Bahkan beberapa santri telah meninggalkan kompleks pondok pesantren terse but. 2)
Adanya peran serta tokoh masyarakat untuk melakukan mediasi bagi resolusi konflik
tersebut. Tokoh masyarakat tersebut antaranya dari tokoh Muhammadiyah dan NU
setempat yang dianggap oleh kedua belah pihak (warga dan kelompok Robbany)
sebagai tokoh yang netral. 3) Kesigapan Pemerintah Daerah dan aparat keamanan untuk
mencegah dan memediasi konflik yang terjadi diantara dua pihak tersebut. Hal tersebut
ditunjukkan dengan tiga kali pertemuan mediasi yang dilakukan Bakesbangpol dan
Linmas Kabupaten Jember serta Polres Jember dalam jangka waktu yang tidak lama
setelah ada laporan protes pertama dari warga. Bahkan aparat keamanan telah berupaya
mengamankan dan mencegah konflik pada hari yang diagendakan kerja bakti oleh pihak
Robbany sehingga aksi pemukulan terhadap seorang warga tidak meluas kepada konflik
fisik susulan.
8
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Jember termasuk kawasan tapal kuda di Jawa
Timur sebagai provinsi yang multi-kultural. Menurut Ayu Sutarto (2004), setidaknya
ada 10 wilayah kebudayaan (subculture) di Jawa Timur, ditambah dua budaya lain
(Cina dan Arab). Hal ini yang membedakan Jawa Timur dengan provinsi lain yang
mengapitnya, yaitu Jawa Tengah dan Bali yang termasuk mono -kultural.
Dengan kondisi yang multikultural ini, memungkinkan Jawa Timur, khususnya daerah
tapal kuda seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang , dan Probolinggo rawan
terhadap konflik. Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut
antara lain: 1) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember,
2) Aksi pembakaran gereja di Situbondo tahun 1995, 3) Kasus perebutan tanah antara
penduduk dan militer di Sukorejo Jember, 4) Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada
tahun 1998, 5) Aksi masyarakat ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan
tahun 2002, dan 6) Aksi bentrok massa antara Ponpes Darus Solihin Puger dengan
warga tanggal 11 September 2013. Peristiwa -peristiwa tersebut secara langsung
mencitrakan wilayah-wilayah tersebut beserta komunitas pendukungya sebagai tempat
bersemainya kekerasan karena latar belakang budaya Madura sebagai warga mayoritas.
Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa
kekerasan tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar
belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Padahal
dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo,
Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan
wilayah ini dinamakan Pendhalungan.
Pendhalungan dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum
banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang
bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis,
Pendhalungan memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan .’ Mengapa dikatakan
demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Pendhalungan hanya merupakan satu wilayah
kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputi Probolinggo,
Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusat informasi sehingga
menjadikannya sebagai `liyan' (the other) yang kurang diminati. Di samping itu,
masyarakat Pendhalungan dianggap kurang memiliki atraksi kultural yang bisa
dijadikan ikon seperti halnya wilayah kebudayaan lain di Jawa Timur (semisal Tengger,
Osing, Panaragan, Mataraman, Arek, Madura, ataupun Samin) sehingga kurang banyak
kajian yang mendalaminya.
Sampai saat ini, dikarenakan keterbatasan kajian dan referensi, pengertian tentang
Pendhalungan masih kabur. Tidak ada kejelasan mulai kapan sebenarnya istilah
`Pendhalungan' digunakan. Memang dalam praktiknya, masyarakat awam seringkali
mengatakan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura
maka lahirlah Pendhalungan. Beberapa pakar sepertinya banyak yang menggunakan
pemaknaan seperti itu. Raharjo (2006) memberikan definisi sederhana tentang
Pendhalungan sebagai sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura atau
masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi denga n budaya Jawa
sehingga memunculkan akulturasi budaya.
Memang ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah
perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu tidak
lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di wilayah ini.
Tesis tentang perpaduan dan adaptasi budaya memang terjadi meskipun lebih banyak
berlangsung di pusat dan pinggiran kota, meskipun pada akhirnya tetap berorientasi
pada budaya Jawa. Di Jember, misalnya, interaksi antara warga Madura dan Jawa
9
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
melahirkan sebuah bahasa Jawa dialek Jember yang mempunyai perbedaan dalam
struktur dengan bahasa Jawa pada umumnya.
Beberapa definisi dan contoh di atas sepintas memang sudah mewakili definisi
Pendhalungan dalam perspektif perpaduan budaya, namun citra yang dimunculkan dari
definisi semacam ini adalah adanya proses subordinasi terhadap budaya Madura oleh
budaya Jawa, meskipun kondisi tersebut tampak sebagai sebuah proses alamiah. Dengan
kata lain budaya Jawa berposisi sebagai ordinat, sedangkan etnis Madura sebagai
subordinat yang berusaha untuk beradaptasi dan kemudian `menjadi Jawa' secara
kultural.
Pengertian tersebut sejalan dengan makna kata `Pendhalungan' yang diberikan oleh
Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra Jawa -Indonesia II. Menurutnya, secara
etimologis Pendhalungan berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti "periuk
besar". Dalam konsep simbolik, `periuk besar' bisa didefinisikan sebagai tempat
bertemunya bermacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebuda yaan kemudian saling
berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang
disebut Pendhalungan.
Membicarakan Pendhalungan dalam konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa
melepaskan keberadaan etnis lain, selain Jawa dan Madura . Tionghoa, Arab, dan Osing,
meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut berpartisipasi dalam proses
sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu tidak berlangsung dalam waktu yang
singkat. Di Jember, misalnya, sejak migrasi era kolonial sebaga i bentuk mobilisasi
massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda) telah menghasilkan struktur
masyarakat multietnis yang mendominasi wilayah Jember.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat
secara kontinyu berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan
beradaptasi untuk saling melengkapi berdasarkan peran masing -masing. Etnis Tionghoa
dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan
sebagai pekerja kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan
pesantren sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran
sebagai petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran tersebut
sudah ada yang berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap berpola demikian.
Saat ini, dalam masyarakat Pendhalungan yang multietnik telah terjadi persilangan
peran sosial terutama dalam pilihan organisasi sebagai akibat dari saling
berinteraksinya budaya mereka. Saat ini, misalnya, sudah banyak warga etnik Madura
yang memilih untuk menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga
pekerjaan tersebut bukan lagi menjadi dominasi etnis Jawa.
Selain membicarakan Pendhalungan sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita juga
bisa membicarakan Pendhalungan dalam konteks masyarakat multikultural. Hal ini
disebabkan ditemukannya data tentang perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya
baru, di wilayah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya budaya masing -masing etnis
yang tetap dipertahankan dalam sebuah proses sosial yang menempati ruang dan waktu
yang sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka
tetap kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan identitas masing -masing
demi terjaganya jati diri dan, menurut istilah Barker (2004:209), absolutisme etnis. Hal
itu membuktikan tesis yang dilontarkan Pietersen bahwa meskipun terjadi proses
hibridasi ketika berada dalam ranah interaksi sosial, identitas etnis tidak terhapus begitu
saja dalam tataran kognitif.
10
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
Di Jember, misalnya, kondisi tersebut sangat tampak ketika kita melihat aktivitas
budaya di wilayah selatan dan utara. Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial,
masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah selatan Jember (seperti Ambulu,
Wuluhan, Balung, Puger, Gumukmas, Kencong, Jombang, Umbulsari, dan Semboro)
sampai saat ini masih mempraktikkan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa,
kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Ambulu dan Wuluhan,
misalnya, sampai saat ini masih melestarikan kesenian Reog yang berasal dari nenek
moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua masyarakat di selatan juga
menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari. Sedangkan untuk urusan
pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan formal, meskipun di sana juga
terdapat pondok pesantren yang menyebar hampir merata.
Di wilayah utara, masyarakat tetap bertahan pada orientasi budaya Madura. Bahasa
Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di Kecamatan Arjasa, Jelbug,
Sukowono, Kalisat, Sumberjambe, Ledokombo, Mayang, dan sebagian Pakusari. Di
samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar melihat pertunjukan Hadrah
sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi pendidikan etnis Madura. Pengajian
juga menjadi acara favorit karena di samping mendapatkan wejangan-wejangan tentang
Islam, mereka juga bisa bertemu dengan para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus
(anak kyai) yang dianggap bisa mendatangkan berkah dan keselamatan bagi kehidupan
warga.
Berdasarkan uraian karakteristik masyarakat Jember tersebut maka ada beberapa potensi
kearifan lokal yang bisa digunakan untuk menjadi bekal re solusi konflik di Jember,
yaitu: mempunyai keterbukaan terhadap informasi dan budaya dari luar , religius dan
sangat mematuhi pemimpin agama (spiritual leader), menyukai gotong royong dalam
menyelesaikan pekerjaan, dan rembug desa sebagai implementasi musyawarah dalam
kehidupan warga.
Pada kasus konflik keyakinan dalam beragama di Jember ini maka kearifan lokal yang
digunakan untuk bekal resolusi konflik adalah religius dan sangat mematuhi
pemimpin/tokoh agama. Hal ini ditunjukkan dengan peran atau keterlibatan aktif tokoh
agama, seperti Ustadz Mulyono dan Drs. Sunardi (tokoh masyarakat) dan Ustadz Heri
Yudi Siswono (tokoh Robbany). Dengan adanya keterlibatan aktif tokoh masyarakat
dan tokoh jamaah ini maka bentrokan atau konflik terbuka antara warga dengan
kelompok Robbany dapat dihindarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kondalkar
(2007) bahwa key person yang mempunyai keterlibatan aktif dapat mengurangi konflik
yang terjadi. Terlebih jika para anggota kelompok mempunyai loyalitas terhadap key
person tersebut.
Kearifan lokal dalam resolusi keyakinan beragama di Tulungagung
Resolusi konflik keyakinan dalam beragama di Tulungagung dapat mun cul karena
beberapa hal berikut: 1) Kemauan dari key person Ahmadiyah untuk menghentikan
kegiatan yang berkaitan dengan ajaran Ahmadiyah. Koordinator Ahmadiyah Gempolan
merasa sebagai kelompok minoritas memilih untuk mengalah dan tidak melawan ketika
diminta untuk menutup aktivitas di masjid Ahmadiyah. Bahkan meskipun ia terpaksa,
koordinator Ahmadiyah menuliskan pernyataan menutup masjid Ahmadiyah dan
menghentikan kegiatan Ahmadiyah di Gempolan untuk selamanya. Dengan kata lain,
pihak Ahmadiyah sepakat untuk melakukan status quo. 2) Adanya peran serta tokoh
masyarakat untuk melakukan mediasi bagi resolusi konflik tersebut. Tokoh masyarakat
tersebut antaranya dari tokoh Muhammadiyah dan NU setempat yang dianggap oleh
kedua belah pihak (warga dan kelompok Ahmadiyah) sebagai tokoh yang netral. 3)
11
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
Jumlah kelompok Ahmadiyah yang minoritas (tidak lebih dari 8 orang) dianggap oleh
masyarakat mempunyai aktivitas dan ajaran yang tidak menarik. Terlebih, aliran ini
bermukim dan beribadah secara eksklusif sehingga warga tidak tahu dan tidak tertarik
terhadap ajaran Ahmadiyah. Dengan kata lain, aktivitas aliran yang tidak menarik
menjadi salah satu resolusi konflik keyakinan dalam beragama. 4) Masyarakat yang
kontra terhadap kelompok Ahmadiyah merasa tidak mempunyai konfl ik personal
dengan koordinator Ahmadiyah karena yang bersangkutan dianggap berjasa menjadi
koordinator pembayaran tagihan listrik bagi warga lain. Akibatnya, konflik segera
mereda karena personal koordinator yang tetap mampu bersosialisasi. Meski setelah
kejadian konflik tersebut, yang bersangkutan agak menutup diri karena trauma. Menurut
koordinator Ahmadiyah, warga yang merusak masjid Ahmadiyah justru didominasi
warga luar Desa Gempolan.
Istilah Mataraman terkait dengan budaya Mataraman sebagai bagian sub -wilayah
sosiokultural di Jawa Timur. Lingkup subwilayah yang dimaksud merupakan eks
wilayah Karesidenan Madiun dan Kediri. Wilayah tersebut terbagi menjadi Mataraman
Kulon (Kabupaten Pacitan, Ngawi, Magetan, Ponorogo) dan Mataraman Wetan
(Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Blitar, Madiun). Pembagian dua wilayah
Mataraman berkaitan dengan erat dan longgarnya budaya Jawa di wilayah
bersangkutan. Kepekatan sosiokultural Mataram lebih dijumpai di Mataraman Kulon
ketimbang Mataraman Wetan. Mataraman Wetan menjadi kawasan yang lebih terbuka
untuk migran sehingga corak sosiokultural Jawa dan Islam di wilayah itu relatif
bersentuhan dengan sosiokultural lain. Sosiokultural Mataraman Wetan bersentuhan
corak budaya Hindu, Buddha, Kristen, dan kolonial.
Difusi budaya Mataram/Mataramisasi di Jawa Timur bahkan sudah dilakukan sejak era
Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro. Namun kemajuan zaman terkesan kian
meninggalkan salah satu cerita sejarah ini. Mataraman menjadi menarik pertama -tama
karena sejarah, nilai-nilai hidup yang dijalani beserta keseluruhan aspek
kebudayaannya, dan tentu saja keturunan Mataraman itu sendiri.
Salah satu tradisi dan nilai hidup Jawa-Mataraman menekankan pada praktik tirakat.
Tiga laku hidup khas Mataraman, yaitu, makan jika bena r-benar lapar, minum jika
benar-benar haus, dan tidur jika benar-benar mengantuk, menimbulkan kepemilikan
waskito, kemampuan mengetahui sesuatu sebelum segala sesuatunya terjadi. Melalui
ajaran-ajaran moral leluhur komunitas Mataraman, memegang teguh nilai -nilai
kebajikan hidup yang relevan hingga sekarang. Di antaranya, sangkan paraning dumadi
saka karsaning Gusti, teguh rahayu saka berkahi Gusti , ing sung suwun langgeng tan
ana sambikala dunyo lan akhirat. Maknanya, ke manapun kita pergi sudah ada yang
mengatur, yaitu Sang Pencipta, dan Tuhan memberkati setiap nafas kehidupan lahir dan
batin umat manusia sempurna.
Buah dari penerapan nilai kebajikan tersebut, yang secara intensif ditanamkan lewat
pendidikan keluarga generasi Mataraman terdahulu, kualitas h idup keturunan
Mataraman cenderung memiliki citra positif. Di ant aranya, tidak bercerai, jujur—di
beberapa organisasi, keturunan Mataraman dipercaya sebagai bendahara—tidak
berhutang, citra hidup guyub, unggah-ungguh yang kental dalam berelasi, hormat
kepada orang tua, dan pendidikan anak-anak Mataraman sebagian besar berhasil
(berpendidikan tinggi dan berprestasi secara akademik).
Budaya Mataraman yang ada di Tulungagung mempunyai sifat atau karakteristik yang
sabar, santun, paternalistik, gotong royong, dan aristokrat. Bahkan kolektivitas
masyarakat Tulungagung merupakan pencerminan dari penamaan daerah itu yang
12
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 1, tahun 2013, hal. 1-14
berarti pertolongan agung. Dengan demikian, masyarakat Tulungagung mempunyai
karakter yang mengandalkan gotong royong.
Berdasarkan uraian karakter masyarakat Tulungagung tersebut maka kearifan lokal
yang digunakan untuk resolusi konflik dalam kasus ini adalah: Keterlibatan tokoh
masyarakat untuk resolusi konflik dan adanya nilai gotong-royong di masyarakat
Tulungagung merupakan dasar untuk memuncul kan toleransi. Hal ini dibuktikan dengan
konflik sosial yang tidak melebar ke konflik personal terhadap koordinator Ahmadiyah.
Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur
Sedangkan fokus penelitian ini adalah untuk menganal isis peran kearifan lokal terhadap
resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur sebagai model penyelesaian
konflik.
Gambar 1.
Model resolusi konflik berbasis kearifan lokal
Konflik disfungsional fisik yang terjadi pada konflik keyakinan beragama dapat
diresolusi dengan kearifan lokal sebagaimana berikut: Keterlibatan dan kepatuhan
terhadap tokoh masyarakat sebagai key person dalam penyelesaian konflik. Dalam
kedua kasus di Jember dan Tulungagung nampak bahwa masyarakat masih mematuhi
tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang dianggap mempunyai netralitas dan
pengaruh yang besar terhadap penyelesaian konflik. Hal ini senada dengan pernyataan
Kondalkar (2007) bahwa key person dalam suatu kelompok masyarakat mempunyai
peranan yang signifikan untuk penyelesaian konflik. Dengan kata lain tokoh masyarakat
menjadi katalisator dalam resolusi konflik. Kedua daerah dalam kedua kasus tersebut
mempunyai kebudayaan Jawa yang masih kental. Sebagaimana kita ketahui bahwa
kebudayaan Jawa yang kental masih bercorak kepada feodalisme, yaitu public figure
sangat dihargai dan ditaati pendapatnya. Apalagi jika tokoh masyarakat ini berasal dari
tokoh agama yang netral maka sangat dihargai oleh masyarakat setempat karena
karakteristik masyarakat kedua daerah termasuk religius. Bahkan religiusitas dan
ketaatan terhadap tokoh agama ini diinternalisasi oleh masyarakat setempat dengan
13
Putra: “Peran kearifan lokal dalam resolusi konflik keyakinan beragama di Jawa Timur ”
budaya-budaya tertentu. Hal inilah yang disebut oleh Sartini (2004) sebagai kearifan
lokal (local wisdom) karena merupakan karakteristik yang khas dari kedua daerah
tersebut.
Gotong royong (kolektivitas) sebagai dasar toleransi dalam masyarakat. Dalam pepatah
Jawa Timur, “Siro yo ingsun, ingsun yo siro” (kamu adalah aku dan aku adalah kamu),
sebagai wujud empati sebagai dasar toleransi dalam masyar akat. Teezzi, Marchettini,
dan Rosini (2002) menyatakan bahwa pepatah yang diinternalisasi dalam kehidupan
sehari-hari bahkan menjadi budaya maka termasuk sebagai kearifan lokal ( local
wisdom).
Kedua potensi kearifan lokal ini dapat digunakan sebagai resol usi konflik untuk kasus
konflik keyakinan dalam beragama dengan karakteristik daerah yang relatif sama
dengan karakteristik masyarakat di Jember dan Tulungagung, diantaranya religius dan
mempunyai budaya gotong royong (kolektivisme).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka peran kearifan lokal yang digunakan untuk resolusi
keyakinan beragama di Jawa Timur adalah keterlibatan dari dan kepatuhan terhadap
tokoh masyarakat, serta gotong royong (kolektivitas) sebagai dasar toleransi dalam
masyarakat.
Daftar Pustaka
De Dreu CKW & Gelfand MJ (2007) The Psychology of Conflict and Conflict Management
in Organizations. New York: Lawrence Erlbaum Associate.
Dharmawan AH (2006) Konflik sosial dan resolusi konflik: analisis sosio-budaya (dengan
fokus Kalimantan Barat). Dalam: Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan
Perkebunan Wilayah Perbatasan Kalimantan, 10-11 Januari 2006, Pontianak.
Hermawanti M & Rinandari (2005) Pemberdayaan Masyarakat Adat, IRE.
Kondalkar VG (2007) Organizational Behavior. New Delhi: New Age International Limited
Publisher.
Konflik Sosial Masih Jadi Ancaman (2013) http://nasional.kompas.com/read /2013/01/07
/1524138/ Konflik.Sosial.Masih.Jadi.Ancaman.2013. Diakses 2 Desember 2012.
Kurniasari N & Reswati E (2011) Kearifan lokal masyarakat Lamalera: sebuah ekspresi
hubungan manusia dengan laut. Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan 6 (2): 1726.
Poerwandari EK (2007) Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia: Edisi
Ketiga. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pondy LR (1969) Organization conflict, concepts, and models. Administrative Science, pp
296-320.
Robbins SR (2001) Organizational Behaviour, Ninth Edition. New Delhi: Prentice Hall.
Sartini (2004) Menggali kearifan lokal nusantara: sebuah kajian filsafati. Jurnal Filsafat
Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada 37 (2):21-34.
Sriyanto A (2007) Penyelesaian konflik berbasis kebudayaan lokal. Jurnal Studi Islam dan
Budaya 5 (2):286-301.
Suryanto & Aniputra MGB (2012) Model penyelesaian konflik nelayan di Selat Madura
berasis pada kearifan lokal sebagai modal sosial. Laporan Penelitian, Surabaya: LPPM
Unair.
Susan, N (2010) Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
14
Download