Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) ADVOKASI TERHADAP PERMASALAHAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI DI LUAR NEGERI Oleh : Marhendra Handoko, S.H.I 1 ABSTRAKSI Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang seharusnya diberi perlindungan hukum oleh Negara dan dijamin keselamatannya dari berbagai tindak kejahatan yang mengancam keberlangsungan hidup dan nyawanya kerap kali hanya impian belaka, ibarat republik mimpi yang menjanjikan hal tersebut namun pada kenyataannya sebaliknya, bahkan yang didapat hanya kepahitan ditengah-tengah keuntungan belimpah atau devisa negara yang tinggi. Pemerintah dalam hal ini telah melupakan pesan-pesan fundamental yang telah dituangkan kedalam amanat konstitusi. Namun acapkali tidak mendapatkannya, bahkan semata hanya dijadikan sebagai komiditi perdagangan ekspor yang mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi Negara. Kelalaian Negara dalam memberikan perlindungan kepada TKI merupakan suatu kesalahan besar dan harus mendapatkan kritik tajam sehingga dengan begitu akan menciptakan perbaikan. Pendahuluan Urus Saja Uangnya… Urus Saja Keuntungannya… Peraturan yang Sehat yang Kami Mau. Sepenggal lirik lagu Iwan Fals 2 yang digubah oleh penulis, bermaksud sebagai gambaran begitulah yang dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia. Permasalahan-permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang telah masuk ke sendi-sendi kehidupan bangsa Negara Republik Indonesia tidak selalu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan bahkan belum ada perubahan signifikan yang dibuktikan pada langkah penyusunan kebijakan (policy) oleh pemerintah dari tahun ketahun. Kebijakan ini semisal mengenai permasalahan tumpang tindah wewenang antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Bagaimana mungkin 2 lembaga Negara yang memiliki wewenang yang sama dalam hal penempatan dan perlindungan TKI. Selain itu juga memang sudah terlihat dari setiap peraturan yang dikeluarkan belum berpihak pada TKI, bahkan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang merupakan aturan hukum yang satu-satunya mengatur secara khusus permasalahan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri belum mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan yang ada. Permasalahan-permasalahan yang kerap dialami oleh para TKI adalah permasalahan perekrutan (recruitment) TKI, proses penampungan para TKI sebelum diberangkatkan bahkan, yang paling sering terjadi adalah penipuan job order sehingga kerap kali TKI tidak bekerja sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan bahkan TKI harus menanggung uang cicilan dari uang keberangkatan yang cukup tinggi dimana hal tersebut berakibat jika telah berakhirnya masa kerja para TKI tidak memiliki ongkos untuk pulang ke Indonesia. 3 Permasalahan-permasalahan tersebut hanya sebagian kecil dari permasalahan yang dialami oleh TKI ketika mereka memperjuangkan hidupnya dinegeri orang lain. Akankah pemerintah akan tetap menutup mata akan permasalahan ini? Oleh sebab 1 Penulis adalah Kabid Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Kajian dan Pengembangan Otonomi Daerah (LemKaPODA) DIY dan Mahasiswa Magister Hukum UII Angkatan XXI. 2 Lirik aslinya : Urus Saja Moralmu…Urus Saja Akhlakmu…Peraturan yang Sehat yang Kami Mau… 3 Kasus : Priyanti TKI asal Kulon Progo, data diperoleh dari LBH Yogyakarta dan diolah oleh penulis. Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) itu berangkat dari permasalahan yang telah ada diharapkan pemerintah mampu memberikan solusi tepat guna mengatasi persoalan-persoalan TKI. Proses penempatan dan perlindungan TKI memang merupakan suatu rangkaian proses yang sistematis sehingga membutuhkan berbagai kordinasi dengan pihak-pihak yang terkait. Bahkan proses ini terbilang sungguh kompleks yang mana hal itu terlihat dari pengertiannya, sehingga proses advokasi terhadap para TKI yang terkena permasalahan seputar pelanggaran dari proses pemberangkatan yang dilakukan oleh Pengguna Jasa TKI (PJTKI) maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna atau majikan menjadikan tantangan tersendiri, namun hal tersebut terkadang menjadi sia-sia dan seakan tak ada artinya jika pemerintah belum mampu membuat aturan hukum yang berpihak pada TKI. Padahal jika diperhatikan perkembangan atau peningkatan angka minat para pekerja yang berkeinginan untuk menjadi TKI selaku meningkat. Memang persoalan atau isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kalah bergengsi dibandingkan dengan isu-isu politik dan korupsi, walaupun peminatnya tidak pernah menurun, namun isu ini merupakan donatur terbesar kedua setelah migas bagi pembangunan Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan devisa yang masuk dari sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 diperkirakan mencapai 3,4 miliar dollar AS atau setara Rp 30,6 triliun. Dan kemudian dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari 700.000 orang sekarang ini menjadi 1 juta orang per tahun hingga 2009. Demikian pula target negara tujuan bakal diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara. Adapun perolehan devisa ditargetkan meningkat dari sekitar Rp 35 triliun menjadi Rp 186 triliun tahun 2009. 4 Sehingga pada diri TKI melekat istilah “Pahlawan Devisa” yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pembangunan bangsa. Namun demikian, mereka (red. TKI) kerap tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang cukup. Apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja dan TKI selalu menjadi korban sedangkan pemerintah bergelimang devisa, sungguh ironi memang, namun itu fakta. Hal ini lah yang cukup menarik untuk dilakukan kajian secara mendalam, lewat tulisan ini penulis berupaya memberikan gambaran mengenai persoalan-persoalan terkait penempatan dan perlindungan TKI serta bagaimana proses advokasinya, namun dikarenakan persoalan ini cukup luas maka tulisan ini hanya difokuskan kepada persoalan-persoalan sekitar : permasalahan penempatan dan perlindungan TKI, bagaimana Advokasinya. A. PERMASALAHAN DI BIDANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. 5 sehingga hanya para warga Negara yang telah memenuhi persyaratan yang bisa bekerja ke luar negeri. Namun hal tersebut tidak menjadikan halangan ataupun hambatan bagi para pekerja yang berkeinginan untuk mengubah nasib keluarganya yakni bekerja secara illegal. Berangkat dari keyakinan penuh bahwasanya para TKI bisa mengubah nasib hidupnya di negeri seberang atau luar negeri, telah berdampak pada meningkatnya pemasukan bagi Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat digambarkan dengan kenaikan angka pengiriman uang remitansi. Remitansi adalah transfer uang dari pekerja di luar negeri ke daerah atau negara asal mereka. Seperti yang tergambar pada tabel remitansi dibawah ini ; Data yang tersedia di website Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan rata-rata remitansi TKI sekitar 100 Trilyun setiap tahunnya. Uang remitansi ini memiliki pengaruh bagi pendapatan Negara karena pengelolan uang yang masuk ke negara 4 http://subkhan.wordpress.com/2007/11/19/benang-kusut-persoalan-tki/ 5 Baca UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1). Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) lewat pajak penghasilan sehingga pajak yang masuk ke negara lewat uang remitansi juga ikut meningkat. Hal tersebut sesuai dengan kenaikan angka remitansi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jika melihat dari tabel di atas maka investasi pemerintah dibidang pengiriman TKI ke luar negeri memang suatu investasi yang menjanjikan bahkan dapat dikatakan investasi yang menguntungkan. Belum lagi jika dilihat dari pemasukan negara, di tahun 2008 TKI telah menyumbang devisa negara sebanyak 130 Triliun rupiah. Kemudian ditahun 2009, pemerintah lewat kebijakan negara dengan memobilisasi pengiriman TKI guna memenuhi target perolehan devisa Rp 169 trilyun. 6 Jumlah ini merupakan pemasukan devisa terbesar kedua setelah migas yang menyumbang sebanyak 180 Triliun. 7 TKI telah berjasa cukup besar bagi keberlangsungan kehidupan bernegara, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan regulasi yang melindungi TKI. Terkait persoalan-persoalan penempatan dan perlindungan TKI memang terus meningkat, dari tiap-tiap Negara tujuan TKI memiliki prosentase yang berbeda, seperti tabel dibawah ini; Negara Tujuan, Jumlah TKI, dan Prosentase Permasalahan Negara Tempat Bekerja Brunai Darussalaam Jumlah TKI Prosentase TKI Bermasalah 33.000 0.19 120.000 4.96 33.000 0.02 2.000.000 5.47 80.000 6.49 Taiwan 130.000 9.94 Bahrain 16.000 0.82 Kuwait 63.255 6.33 Oman 12.384 2.53 Qatar 25.463 3.35 960.000 48.70 Syiria 70.000 0.36 Uni Emirat Arab 75.000 8.54 438.434 2.30 4.056.536 100 Hongkong Korea Selatan Malaysia Singapura Saudi Arabia Lain - Lain Total 6 “Membangun Negeri dengan Keringat TKI,” Kedaulatan Rakyat, No. 319, Th. LXII, (Senin, 27 Agustus 2007), Komnas Perempuan dkk, Sia-sia Reformasi Dibelenggu Birokrasi. Catatan Hasil Pemantauan Awal Terhadap INPRES No. 6 Tahun 2006, http://www.solidaritas-perempuan.org/sp_ind/index.php ?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=40, akses 13 Desember 2007, hlm. 16. Lihat juga Marhendra Handoko, Skripsi dengan judul “Ketentuan Pidana di Dalam UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlidungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) Perspektif Hukum Islam”, (Fakultas Syari’ah : Jurusan Jinayah Siyasah: 2008), hal. 54. 7 Kompas-tv.com pada 15 Desember 2008. Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) Sumber: BNP2TKI. Mengetahui berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh TKI di bidang penempatan dan perlindungan TKI maka tidak pas jika makna dari kata penempatan dan perlindungan belum diketahui artinya, berikut ini akan dipaparkan pengertian penempatan dan perlindungan TKI. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, kemampuannya dengan pemberi kerja diluar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai Negara tujuan, dan pemulangan dari Negara tujuan. Sedangkan pengertian perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. 8 Persoalanpersolan TKI memang tidak pernah berhenti begitu saja, jika dilihat permasalahan tersebut dan melakukan kualifikasi maka akan tampak permasalahan-permasalahan TKI seperti tebel berikut ini; Permasalah yang paling banyak dihadapi TKI Permasalahan Jumlah Kasus PHK Sepihak 18.789 Sakit akibat kerja 8.742 Penganiayaan 3.470 Gaji tidak dibayar 3.797 Pelecehan seksual 1.889 Sumber: BNP2TKI Pada tabel di atas terlihat sangat jelas mengenai persoalan-persoalan yang kerap dialami oleh TKI, bahkan permasalahan tersebut masih terus berkembang, khususnya dibidang penempatan TKI diluar negeri. Sebagian besar masalah yang dihadapi oleh TKI bersumber pada proses atau tahap migrasi di dalam negeri Indonesia. Berikut ini adalah persoalan-persoalan lain yang kerap dialami oleh TKI, yakni ; Pertama, proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi. Kedua, kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi. Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka. Ketiga, persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum). Keempat, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dimana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri. B. PROSES ADVOKASINYA Berkenaan dengan berbagai persoalan TKI yang telah dijelaskan di atas, maka muncul keinginan-keinginan untuk melakukan proses pendampingan terhadap TKI yang bermasalah, baik 8 Baca UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (3) dan (4). Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) permasalahan yang bersumber dari diri TKI sendiri ataupun persoalan muncul berkenaan dengan sistemnya. Pemberian bantuan hukum atau advokasi bagi kalangan yang lemah atau kalangan miskin (red. TKI) telah bergulir cukup lama. Hal ini tampak pada kemunculan program bantuan hukum di Indonesia yg diawali dengan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970. 9 Setelah kemunculan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta semakin menambah maraknya program-program pendampingan bagi masyarakat. Senada dengan hal tersebut, maka program pendampingan bagi TKI memang harus tetap dilanjutkan mengingat permasalahannya adalah permasalahan kemaslahatan umum dan permasalahan penegakkan Hak Asasi Manusia. Namun penulis tidak ingin melakukan kajian dari sisi penegakkan HAM, penulis hanya berkutat pada permasalahan proses advokasi. Melihat pada permasalahan-permasalahan yang kerap dihadapi TKI maka sudah seyogyanya dilakukan langkah kongkrit dari pemerintah guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para TKI sehingga pemerintah mampu menjalankan pesan moral dari amanat konstitusi. Permasalahan-permasalahan di atas memang dimungkinkan untuk dilakukan proses pendampingannya, lewat langkah-langkah berikut ini. Pada point pertama di atas dijelaskan mengenai permasalahan proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi. Hal ini berkenaan dengan Informasi yang memadai untuk calon pekerja migran tidak tersedia dengan baik, antara lain mengenai biaya yang harus dikeluarkan, hukum dan kebijakan yang mengatur hubungan kerja di Indonesia serta hukum dan kebiasaan yang berlaku di negara-negara tujuan bekerja. Mengenai biaya, calon TKI seringkali mengalami penipuan oleh penyalur. Permasalahan ini merupakan masalah klasik namun sampai sekarang belum mampu diatasi dengan baik sehingga permasalahan ini akan terus berulang sampai adanya kebijakan yang mampu mengatasinya. Mengapa dikatakan demikian, sebab belum tersedia sumber daya manusia di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang terjun didesa-desa guna memberikan penyuluhan langsung terkait proses yang benar. Bahkan yang lebih ironis lagi adalah BP3TKI (Badan Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI) yang notabennya adalah perpanjangan tangan dari Depnakertrans di tingkatan daerah propinsi, kabupaten dan kota belum mampu melakukan upaya maksimal, badan tersebut hanya bergerak pada wilayah program-program pendataan dan administrasi saja sedangkan proses penyuluhan langsung kemasyarakat baru sebatas pada program kerja bersifat lembaga. Padahal jika melihat fungsi dari badan tersebut, secara moral liability memiliki tanggung jawab besar namun apa mau dikata jika keinginan tersebut terhambat pada program kerja yang terbatas. Bahkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) baru ada di Ibukota Negara sehingga badan tersebut belum memiliki jejaring atau jaringan didaerah-daerah. Maka dengan demikian, proses advokasi memang tetap harus dijalankan, baik melakukan proses pendampingan bagi TKI maupun proses monitoring bagi kerja-kerja lembaga-lembaga pemerintah. Sehingga harapan kemudian adalah para TKI yang buta informasi akan mendapatkan informasi yang sebaik-baiknya dan terhindar dari permasalahan-permasalahan dengan begitu TKI akan memperoleh kepastian prosedur dari penempatan kerja yang dilakukan oleh Pengguna Jasa TKI (PJTKI). Permasalahan pada point kedua, Kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi. Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka. Permasalahan ini terlihat pada aturan normatif (UU No. 39 Tahun 2004) yang belum secara baik memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi TKI. UU. No. 39 Tahun 2004 ini terlihat lebih melihat TKI sebagai komoditas ketimbang aspek kemanusiaan di mana 9 Adnan Buyung Nasution, “Bantuan Hukum di Indonesia”. Cet. Ke-III (Jakarta : LP3ES, 1988), hal. 2. Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) setiap orang memiliki hak asasi untuk berpindah tempat kerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penyerahan tanggung jawab lebih banyak kepada penyalur (PJTKI) adalah bentuk pelepasan tanggung jawab Negara terhadap warganya. Kebijakan lainnya, seperti nota kesekapatan (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang Rekruitmen dan Penempatan TKI memasukkan klausul bahwa pasport TKI dipegang oleh pengguna jasa atau majikannya. Hal ini menyebabkan TKI yang mengalami kasus kekerasan atau eksploitasi oleh majikan tidak memiliki keluluasan membebaskan diri karena dokumen penting identitas mereka berada di tangan majikan. Di Malaysia sendiri, TKI yang melarikan diri dan atau tidak memiliki indentitas resmi telah divonis sebagai pendatang haram dan kemudian diusir dari negeri itu. Oleh sebab itu sejak munculnya UU No. 39 Tahun 2004 telah mengalami berbagai pro dan kontra, yang mana hal tersebut dilatarbelakangi dengan permasalahan pemerintah belum mau mengamandemen isi dari UU No. 39 Tahun 2004 yang mengacu pada proses ratifikasi isi dari Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya padahal Pemerintah sudah menandatanganinya, namun tindakan melakukan ratifikasi yang mewajibkan pemerintah untuk membuat UU yang mengacu kepada isi konvensi sampai hari ini tidak dilakukan. Tanpa langkah ratifikasi konvensi PBB ini maka sudah barang tentu proses perlindungan yang memberikan perlindungan bagi para TKI yang menjadi korban kejahatan belum mampu teratasi dan kemudian langkah yang dapat diambil adalah melibatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendampingan bagi para TKI merupakan suatu hal yang wajib sehingga proses monitoring dapat terwujud. Ratifikasi konvensi inilah yang kiranya sedikit banyak dapat melindungi hak-hak demokratis dari buruh migran Indonesia dari keserakahan dan berbagai macam macam pelanggaran yang seringkali dilakukan oleh para majikan, PJTKI/Agen, dan pemerintah Indonesia. Akankah hal tersebut mampu dilaksanakan oleh pemerintah? Jika hal tersebut tidak mampu dijalankan maka sudah barang tentu proses advokasi akan terbentur pada aturan normatif. Permasalahan ketiga, persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan negara-negara lain. Lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum). Melihat permasalahan ini maka upaya advokasi yang dapat dijalankan adalah mensinergikan proses koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempertegas permasalahan pembagian wewenang antara satu instansi dan instansi lainnya untuk menyelesaikan akar masalah dan melindungi mereka yang menjadi korban menyebabkan TKI semakin membuat TKI jauh dari perlindungan yang dibutuhkan. Permasalahan ini merupakan permasalahan klasik dan kerap kali terjadi di Negara Republik Indonesia, semisal jika ada permasalahan hukum mengenai permasalahan penempatan TKI kerap kali dua lembaga pemerintah terlibat adu mulut mengenai siapa yang bertanggung jawab atau itu bukan wewengan kami. Sungguh ironi memang, namun hal ini memang benar-benar terjadi dan menimbulkan keresahan tersendiri bagi TKI. Permasalahan ketiga ini masih menjadi isu penting dan hangat pada akhir tahun 2009 ini, yakni dengan diterbitkannya empat peraturan menteri yang dikeluarkan Menakertrans. Permenakertrans itu adalah Permenakertrans Nomor 15/2009 tentang pencabutan Permenakertrans No 22/2008, Permenakertrans Nomor 16/2009 tentang Tatacara Penerbitan Surat Ijin Pengerahan (SIP) Calon Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri bagi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kemudian, Permenakertrans Nomor 17/2009 tentang Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) TKI ke Luar Neger dan Permenakertrans Nomor 18/2009 tentang Bentuk, Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Keluarnya empat peraturan menteri tersebut telah membonsai kewenangan dari BNP2TKI yang notabenenya adalah lembaga di bawah departemen yang dibentuk oleh presiden sesuai dengan amanat dari UU No. 39 Tahun 2004. Sehingga yang terjadi kemudian adalah perbenturan mengenai siapa yang lebih berwenang dalam melakukan proses penempatan TKI, padahal selama ini BNP2TKI telah melaksanakan fungsi tersebut dengan berdasarkan perjanjian atau MoU yang dilakukan oleh pemerintah Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) dengan pemerintah Negara lain atau Govourment to Govourment (G to G), sehingga tidak menyalahi aturan. Hal inilah yang menjadi polemik saat ini, diharapkan pemerintah mampu menyelesaikan secara cepat yang dengan begitu proses advokasi akan segera bisa dijalankan dalam hal proses meminta pertanggungjawaban kepada kedua lembaga tersebut jika terdapat permasalahan yang menimpa TKI. Masalah keempat, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dimana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri. Perempuan didorong untuk bekerja ke luar negeri karena akses pada peluang kerja terutama sektor domestik dengan menjadi PRT lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Di dalam negeri pemerintah tidak memiliki tanggung jawab yang cukup untuk menyediakan lapangan kerja dalam upaya mengurangi kemiskinan di negeri ini. Permasalahan keempat inilah yang merupakan permasalahan urgent dan kerap kali menjadikan para TKW korban dari sistem yang tidak manusiawi sehingga program advokasi sangat dirasakan perlu guna mengatasinya. Melihat sebagian besar permasalahan TKW berujung pada kematian atau TKW pulang tinggal nama memungkinkan peran dari para pemangku jabatan agar lebih memperhatikan permasalahan TKW, memang terkadang niat untuk meningkatkan taraf kehidupan keluarga menjadi faktor penentu bagi TKW untuk melakukan segala upaya agar kemudian mereka dapat bekerja di luar negeri, bahkan cara-cara illegal kerap kali tempuh. Penyuluhan-penyuluhan mengenai tata cara bekerja di luar negeri yang aman harus senantisa menjadi sasaran utama bagi para pemangku jabatan. Hal ini tidak harus terbatas pada program kerja dari Lembaga, akan tetapi harus dilihat dari sisi pengabdian dan tanggung jawab moral sehingga harapan kemudian adalah para TKW mengerti akan hak dan kewajibannya jika ingin bekerja di luar negeri. Proses peningkatkan kerja dari para pegawai di KBRI dalam melakukan monitoring terhadap TKW yang berkerja diluar negeri agar senantisa dimaksimalkan, jangan hanya melihat persoalan TKW tatkala persoalan tersebut menjadi permasalahan secara Internasional atau persoalan tersebut telah menjadi isu Internasional serta menjadi sorotan dari berbagai media, baik cetak maupun televisi. Hal ini lah yang sebenarnya harus dimaksimalkan, mengingat para pegawai konsulat adalah perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang ditugaskan guna melakukan monitoring terhadap para TKI/TKW yang bekerja diluar negeri, dan kemudian melakukan tindakan cepat dalam menangani berbagai laporan-laporan tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pengguna jasa (user) atau majikan diluar negeri terhadap para TKI/TKW. Jika hal tersebut mampu diciptakan maka sudah barang tentu cita-cita dari amanat konstitusi dalam dilaksanakan walaupun harus dilaksanakan di Negara lain. Semoga cita-cita tersebut dapat terwujud dan para TKI/TKW dapat bekerja dengan tenang….semoga!!! KESIMPULAN Berdasar pada permasalahan yang telah telah dijelaskan di atas serta setelah dilakukan pembahasan maka kemudian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI adalah permasalahan seputar : PHK sepihak; Sakit akibat kerja; Penganiayaan; Gaji tidak dibayar; Pelecehan seksual; proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi; kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi; Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka; persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan Negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum); nilai- Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129) 2. nilai yang berlaku di masyarakat dimana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri. Proses advokasi dapat dilakukan dengan mengupayakan berbagai hal berikut ini : Memberikan penyuluhan langsung terkait proses prosedur yang benar jika ingin bekerja atau menjadi TKI; Melakukan Amandemen UU No. 39 Tahun 2004 dengan mengacu pada isi dari Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya serta melibatkan syarikat buruh migrant Indonesia dalam proses amandemen tersebut yang kemudian tujuannya adalah agar proses advokasi tidak terbentur dengan aturan normatif; mensinergikan proses koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempertegas permasalahan pembagian wewenang antara satu instansi dan instansi lainnya (Depnakertrans dengan BNP2TKI); dan kemudian penyuluhan-penyuluhan mengenai tata cara bekerja di luar negeri yang aman serta proses peningkatkan kerja dari para pegawai di KBRI dalam melakukan monitoring terhadap TKW yang berkerja diluar negeri. Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Warta Hukum Edisi VII Januari – Februari 2010 Artikel