T1_312009023_BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kewenangan Pengadilan Agama
Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan
khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2,
Pasal 49 ayat (1), dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU No 7 Tahun
1989. Lebih jelasnya dapat dilihat :
1. Pasal 2 berbunyi:
“Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undangundang ini.”
2. Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
”Pengadilan
Agama
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam.”
3. Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga berbunyi:
“Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang
yang
beragama
Islam
dibidang
perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah berdasar hukum
Islam.”
Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengadilan Agama
mempunyai kewenangan untuk memeriksa, memutus menyelesaikan perkara
perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah yang
diperuntukan bagi orang-orang beragama Islam.
B. Pewarisan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Pewarisan Dalam Hukum Islam
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada Pasal 171 ayat (a)
yang berbunyi: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing."
Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan
dari pewaris kepada ahli waris
e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang
dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu :
a.
Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan
dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak mendapatkan
harta warisan1.
b.
Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur
tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada
orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar
bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya
sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli2.
Dari pengertian diatas dapat dirumuskan pengertian hukum waris Islam
menurut penulis adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan
seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Sedangkan pengertian
pewarisan menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan
adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang
masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.3
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses peralihan hak-hak
pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara
yang telah ditetapkan oleh nash. Dan pewarisan muncul ketika seseorang
1
Pasnelyza Korani, Tinjauan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum
Kewarisan Perdata, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 22 Maret 2010, h. 42.
2
http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-Islam-waris-Islam.html?m=1 dikunjungi pada tanggal
24 Mei 2013 pukul 13:24.
3
Mushlihin
Al-Hafizh,
Pengertian
Waris
Menurut
al-Qur’an,
http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html, dikunjungi pada tanggal
14 Oktober 2013 pukul 08:40.
meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan atau harta warisan serta
ahli waris.
2. Asas Pewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum Islam merupakan aturan yang digunakan dalam penyelesaian
sengketa didalam Peradilan Agama salah satu sengketa yang diterima oleh
Peradilan Agama adalah sengketa tentang waris, sebelum mempelajari secara rinci
asas hukum waris Islam perlu sedikit pemahaman tentang asas yang terdapat
didalam Peradilan Agama.
Asas hukum dalam Peradilan Agama terdiri dari 7 asas, akan tetapi dalam
penulisan ini hanya di informasikan asas yang berkaitan, antara lain4:
a.
Asas Personalitas ke-Islaman5
Peradilan
Agama
merupakan
badan
peradilan
yang
menyelesaikan sengketa-sengketa dari pihak yang beragama Islam
sehingga terdapat asas yang melandasi yaitu asas personalitas keIslaman.
Asas ini menerangkan banhwa yang tunduk dan yang dapat
ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka
yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat
ke-Islaman seseorang hanya dengan menunjukan Kartu Tanda
Penduduk, SIM, atau tanda bukti yang lainnya. Asas personalitas keIslaman diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alenia
ketiga dan Pasal 49 ayat (1) terbatas pada perkara-perkara yang
4
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun
1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 56.
5
Ibid..
menjadi kewenangan Peradilan Agama. Jika Pasal diatas diuraikan
didapat kesimpulan, sebagai berikut :
1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama
Islam.
2) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan
ekonomi syari’ah.
3) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum
Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
b.
Asas Kebebasan6
Asas kebebasan dimiliki semua badan peradilan tak terkecuali
badan Peradilan Agama. Maksud dari asas kebebasan disini tidaklah
bebas yang sebebas-bebasnya, bebas disini dengan acuan tidak ada
campur tangan dari pihak-pihak kekuasaan negara lainnya, bebas
dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak
extra judicial, dan kebebasan melaksanakan wewenang judicial
(peradilan). Asas ini tidak secara eksplisit diatur hanya dikaitkan
dengan fungsi “pengawasan” dan “pembinaan” yang tertuang
didalam Pasal 5, 12, dan Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989.
6
Ibid., h. 58.
Dari pengertian kebebasan diatas dapat dimengerti bahwa hakim
di Pengadilan Agama juga menganut asas ini. Hakim dapat secara
bebas memberikan sebuah putusan maupun penetapan yang adil
tanpa ada campur tangan dari pihak lain dan paksaan dari pihakpihak lain.
c.
Asas Wajib Mendamaikan (Asas Ishlah)7
Secara umum dasar hukum dari perdamaian dalam hukum Islam
adalah al-Quran surat an-Nissa ayat 35 juga diatur dalam Pasal 65
dan Pasal 82 Undang-undang No 7 Tahun 1989 serta Pasal 115 KHI.
Asas wajib mendamaikan merupakan asas yang wajib bagi hakim
Pengadilan Agama karena Islam menyuruh untuk menyelesaikan
setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena
itu, tepat bagi para hakim Pengadilan Agama untuk menjalankan
fungsi
“mendamaikan”,
sebab
bagaimanapun
adilnya suatu
putusan, pasti lebih bijak dan lebih adil hasil putusan itu berupa
perdamaian.
Hukum waris Islam mengandung berbagai asas yang menunjukkan bentuk
karakteristik dari hukum waris Islam. Asas-asas hukum waris Islam antara lain:
a. Asas Ijbari
Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak
7
Ibid., h. 65.
pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam
tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris8. Maksud dari kata
tidak memberatkan ahli waris adalah seandainya pewaris mempunyai
hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris
tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar
hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Kaidah hukum untuk asas ini lebih ditemukan dalam al-Quran
terutama dipahami dalam surah an-Nisaa ayat 11, 12, dan 1769. Dari
ayat tersebut memang tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi
dijelaskan bahwa peralihan harta warisan disyariatkan oleh Allah
sehingga dapat dipahami bahwa peralihan harta warisan berlaku
dengan sendirinya. Kaidah hukum asas ini juga diatur didalam Pasal
175 ayat (2) KHI, yang menyatakan bahwa: “tanggung jawab ahli
waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada
jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Dari bunyi Pasal tersebut
dapat diketahui bahwa dalam KHI juga mengenal adanya asas ijbari.
b. Asas bilateral10
Asas bilateral dalam hukum waris Islam berarti seseorang
menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan.
Asas bilateral memiliki 2 dimensi; 1. Dimensi saling mewaris
antara anak dengan orang tuanya. 2. Dimensi saling mewaris antara
8
H Moh Muhibbin dan H Abdul Wahid, op.it., h, 23.
Ibid..
10
Ibid., h. 24.
9
orang yang bersaudara terjadi jika pewaris tidak mempunyai
keturunan atau orang tua11.
Kaidah hukum untuk asas bilateral ini secara nyata dapat dilihat
dalam surah an-Nisaa ayat 7, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya maupun dari
ibunya begitu pula bagi seorang perempuan juga berhak mendapat
warisan dari ayahnya maupun dari ibunya. Kaidah hukum untuk asas
bilateral juga diatur dalam Pasal 174 KHI, dalam Pasal ini
menerangkan bahwa golongan ahli waris terdiri dari laki-laki dan
perempuan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 2 garis
yang dapat mewarisi. Dalam Pasal 177 dan Pasal 178 KHI juga dapat
dilihat bahwa ayah dan ibu juga mewaris jadi dapat disimpulkan
bahwa KHI juga mengatur asas bilateral.
c. Asas Individual
Arti kata individual dalam asas waris Islam adalah bahwa harta
warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini
berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi,
kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang
berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak
dibagi-bagikan
11
Ibid., h. 27.
asal
ini
dikehendaki
oleh
ahli
waris
yang
bersangkutan,
tidak
dibagi-baginya
harta
warisan
itu
tidak
menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan12.
Kaidah hukum untuk asas individual ini dapat dilihat dalam
pengaturan tentang besar bagian di dalam Pasal 176 sampai Pasal 182
KHI, didalam Pasal tersebut tertera kata “seorang” sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa harta warisan bisa dimiliki secara
individual.
d. Asas keadilan berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan13.
Secara dasar dapat dikatakan bahwa pembagian waris berimbang
sesuai dengan hak dan kewajibannya, bagian laki-laki sama dengan 2
bagian perempuan ini karena kewajiban laki-laki lebih berat dari pada
perempuan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah hukum dalam surah
an-Nisaa ayat 1114. Kaidah hukum lain yang mendasari asas ini
tertuang didalam Pasal 176 KHI yang menerangkan bahwa anak
perempuan jika bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian
anak laki-laki 2 berbanding 1 dengan anak perempuan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa bagian yang diperoleh berdasar
asas keadilan berimbang dapat disesuaikan dengan hak dan
kewajibannya. Sehingga bagian yang tepat untuk laki-laki bersama
perempuan adalah 2 : 1.
e. Asas semata akibat kematian
12
Ibid., h. 28.
Ibid., h. 29.
14
Ibid., h. 25.
13
Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada
orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal
dunia15 dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara
kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.
Kaidah hukum untuk asas ini disebutkan di dalam Pasal 171
huruf b KHI tentang pengertian pewaris, dalam Pasal tersebut
disebutkan bahwa pewaris disyaratkan meninggal dunia baru bisa
diadakan proses pewarisan.
f. Asas Musyawarah
Asas lain yang berkaitan dengan penulisan ini adalah asas
musyawarah. Musyawarah adalah cara yang sering ditempuh oleh
pihak-pihak yang bersengketa, karena musyawarah memiliki tujuan
yang baik. Kaidah dari asas musyawarah ini adalah Q.S. Ali
Imron/3:159
surah
ini
berkenaan
dengan
perintah
untuk
bermusyawarah dalam segala urusan, Q.S. Asy. Syura/42:38 untuk
surah ini berkenaan dengan salah satu karakteristik orang beriman
adalah melakukan musyawarah diantara mereka dalam berbagai
urusan16.
Musyawarah harus bersifat dialogis yaitu bersifat terbuka dan
komunikatif, semua anggota musyawarah bebas mengemukakan
pendapatnya. Dalam musyawarah perselisihan dan pertikaian sering
timbul, dikarenakan masing-masing pihak tidak menjadikan asas
15
Ibid..
Muhammad
Natsir,
Asas
Musyawarah
Dalam
Islam,
27
April
2009,
www.dewandakwah.com/content/view/216/31/, dikunjungi pada tanggal 7 Desember 2013 pukul
19.42.
16
kekeluargaan sebagai dasar berpikir ketika bertindak dalam
musyawarah. Keputusan harus dilaksanakan dengan memperhatikan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sikap yang harus dimiliki orang-orang sebelum bermusyawarah,
yaitu17 :
a. Bersikap lemah lembut, menghindari tutur kata yang kasar
serta sikap keras kepala
b. Memberi maaf kepada orang lain yang pernah bersalah maupun
berbuat salah dalam musyawarah
c. Mengharap maghfirah18 dan dekat kepada Allah SWT yang
akan menunjukkan berbagai hidayah dan ide-ide cemerlang
d. Bertawakal kepada Allah SWT atas hasil usaha yang telah
dilakukan.
3. Unsur Dalam Hukum Waris Islam
Dari definisi hukum kewarisan di dalam KHI tampak unsur-unsur
tentang pewarisan, terdapat 3 unsur yaitu; pewaris, ahli waris dan harta
warisan atau tirkah.
a. Pewaris
Pengaturan tentang pewaris diatur didalam Pasal 171 huruf b KHI :
"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan". Dari pengertian di atas
17
18
Ibid..
Maghfirah adalah pengampunan dalam surah Al-Imron ayat 133.
dapat dimengerti untuk terjadi pewarisan syarat untuk pewaris adalah
telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama
tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya
pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir19.
Syarat lain untuk menjadi pewaris dalam KHI yang tertuang dalam
Pasal diatas selain telah meninggal dunia, pewaris harus beragama Islam
dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c KHI yaitu: "Ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Dari
Pasal 171 huruf c KHI tentang pengertian ahli waris, jika diperhatikan
lebih
dalam
terdapat
kejanggalan
kalimat,
pengertian
diatas
menimbulkan pengertian seolah-olah yang meninggal dunia adalah ahli
waris, seharusnya tidak demikian.
Hal seperti diatas telah diutarakan lebih jelas oleh M. Ali Ash
Shabuni seorang ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya
pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara
hakiki maupun hukum20.
Menurut penulis untuk penyempurnaan pengertian ahli waris diatas
perlu ada penekanan bahwa syarat menjadi ahli waris harus masih hidup
19
Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah,Juz III, Semarang,Toha Putra, 1980, h. 426.
M. Ali Ash Shabuni, Al Mawarits Fi Syariat alIslamiyyah 'ala Dhau'i Kitabi Wa as Sunnah,
Arab Saudi, Dar al Qalam, 1979, h.34, dikutip dari Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam
20
Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No. 2, Vol IV, Desember 2007,
h. 148.
sehingga pengertian yang tepat adalah: "Ahli waris adalah orang yang
masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia, mempunyai hubungan
darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak
terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris”. Dari penjelasan tentang
ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat
sebagai ahli waris adalah:
1) Hidup
2) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
3) Beragama Islam
Tentang syarat beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut
diatur dalam Pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan
atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
4) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Ketentuan yang menerangkan seseorang terhalang untuk menjadi
ahli waris diatur di dalam Pasal 173 KHI, yaitu:
"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap,
dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".
Ketentuan
terhalangnya
seorang
ahli
waris
sebagaimana
disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al
irs (penghalang mewarisi) menurut para ulama dalam fiqh mawaris.
Jika dalam fiqh mawaris yang menjadi ketentuan mawani' al irs
adalah perbudakan, pembunuhan, dan berlainan agama21. Ketentuan
di atas tampaknya diadopsi dari Pasal 838 BW tentang ketentuan
orang-orang yang tidak pantas untuk menerima warisan bagi
kelompok ahli waris karena kematian22.
Jika dilihat lebih dalam kandungan tentang terhalangnya
seseorang menjadi ahli waris yang terdapat di KHI dengan mawani'
al irs dalam fiqh mawaris berbeda, terlihat bahwa kandungan dalam
Pasal 173 KHI ini hanya berisi tentang pembunuhan sedangkan
untuk perbedaan agama dan perbudakan tidak ada. Akan tetapi untuk
perbedaan agama tidak perlu dimasalahkan karena di Pasal 171 huruf
b dan huruf c KHI yang mengatur tentang pewaris dan ahli waris,
sudah jelas disyaratkan bagi pewaris dan ahli waris untuk beragama
Islam. Hal ini cukup dimengerti jika salah satu syarat pewarisan
adalah beragama Islam, maka perbedaan agama menjadi salah satu
penghalang pewarisan.
c. Adanya Harta Peninggalan (Tirkah)
Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak
akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ahli
ada beberapa pendapat, yaitu, :
21
Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib,
No. 2, Vol IV, Desember 2007, h. 151.
22
R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradaya
Paramitha, 1982, h. 209.
1) Ahli fiqh bermadzhab Hanafi menerangkan tirkah adalah harta
benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak
mempunyai hubungan hak dengan orang lain23.
2) Muhamad Ali As berpendapat : “tirkah atau tarikah yaitu sesuatu
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik
yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak
yang bukan hak kebendaan”24.
Dilihat dari berbagai pendapat diatas dapat dimengerti bahwa
tirkah dan maurus dipisahkan, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang
lebih luas dari maurus25. Hal ini juga ditegaskan oleh pendapat Emariani
yaitu sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih
dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan si pewaris barulah harta tersebut berbentuk harta warisan26.
Dari pendapat diatas terdapat kejanggalan dari kata hak-hak yang harus
dikeluarkan terlebih dahulu, dalam hal ini analisis yang didapatkan
Witanto adalah kata hak disini bukanlah hak yang dimiliki oleh pewaris
tapi hak yang dimiliki oleh orang lain, misal pewaris mempunyai hutang
ke A, disini maksud dari hak-hak (hak A) yang harus dikeluarkan terlebih
23
Achmad Yani, Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?, 28 Maret 2009,
http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/03/tirkah-ada-apa-dengan-harta-peninggalan.html,
dikunjungi pada tanggal 9 Desember 2013 pukul 06.31.
24
Mustofa Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 274.
25
M. Abu Zahrah, Ahkam At Tirkah wa alMirats, Kairo: Dar al Fikr,1975, h.150, dikutip dari Hj
Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No.
2, Vol IV, Desember 2007, h. 150.
26
Emariani, Kedudukan Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Dalam Hukum Kewarisan Islam
(Studi Pengadilan Agama Semarang), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Desember
2008, h. 20.
dahulu dengan kata lain harus dilunasi hutangnya terlebih dahulu baru
dibagi kepada ahli waris27.
KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ahli,
memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah atau harta peninggalan yang
dituangkan ke dalam Pasal 171 huruf d KHI: "Harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."
Dari definisi diatas dapat dilihat yang menjadi harta peninggalan
adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang sudah
menjadi hak milik maupun harta dalam bentuk hutang maupun piutang.
Sedangkan tentang harta warisan dijelaskan pada Pasal 171 huruf e
KHI: "Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat."
Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa poin yang perlu
dijelaskan, dilihat dari pola bahasa penulisannya pengertian harta waris
dalam KHI diperuntukan bagi pewaris yang dalam status kawin. Hal ini
dapat dilihat dari poin “bagian dari harta bersama”, harta bersama ada
ketika terjadi perkawinan atau pernikahan. Akan tetapi, jika poin diatas
digunakan sebagai landasan untuk pewaris yang belum kawin atau
menikah poin harta bersama bisa diabaikan karena poin tersebut memang
belum ada, sehingga hanya harta bawaan saja yang digunakan. Poin
27
Witanto, Pengantar Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Publisher, 2012, h. 258.
selanjutnya dalam penulisan diatas adalah poin ”setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat"
dalam poin tersebut terdapat kejanggalan dipoin pemberian untuk kerabat
karena terdapat maksud yang kurang jelas. Pemberian untuk kerabat
sama dengan wasiat. Pengertian wasiat adalah penghibahan harta dari
seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah
meninggalnya orang tersebut28. Hal tersebut bisa dikatakan sama karena
melihat bahwa penghibahan sama artinya dengan pemberian secara
ikhlas, kepada orang lain atau beberapa orang
juga termasuk para
kerabat, dan pemberiannya dilakukan setelah orang tersebut meninggal
dalam hal ini berarti orang tersebut adalah pewaris.
Dalam hal ini yang menjadi harta warisan ialah harta yang
merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual
kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi
dengan harta bawaan suami atau istri, dikurangi lagi dengan biaya untuk
keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang pewaris dan wasiat.
Berdasar pengertian diatas tampaknya KHI membedakan antara
pengertian tirkah atau harta peninggalan dan maurus atau harta waris.
Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa wasiat diberikan terlebih dahulu
sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.
4.
28
Golongan ahli waris dan bagiannya
H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 145.
Dalam fiqh mawaris jenis ahli waris itu terbagi atas tiga jenis,
yakni (1) Ashabul Furudh atau Dzawil furudh, (2) Ashabah, dan (3)
Dzawil arham29.
1) Ashabul Furuhd atau Dzawil furudh
Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta
peninggalan yang sudah ditentukan oleh Alquran, As-Sunnah dan
Ijmak.
Termasuk golongan ashabul furuhd atau dzawil furudh adalah
ayah; ibu; anak laki-laki; anak perempuan; suami atau istri30.
2) Ashabah
Kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela,
penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut
istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya
tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya
atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali, hal ini bisa
terjadi karena ashabah dipengaruhi berbagai pengaruh dan
situasi. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris
yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua
harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris.
Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashabah adalah setiap orang
yang mendapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat
dan orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan
29
30
Ibid., h. 67.
Ibid., h. 64.
sisa setelah pembagian bagian tetap31. Jadi ashabah adalah ahli
waris yang bagiannya tidak tentu.
3) Dzawil arham
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil
furuhd dan pula ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yang
tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka
dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya.
Didalam KHI juga diatur mengenai kelompok dan golongan ahli
waris, hal ini diatur pada Pasal 174 KHI, yang berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari :
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Jika dilihat dari perumusan kelompok ahli waris dalam Pasal 174
KHI diatas, dapat diketahui terjadinya pewarisan berdasarkan hubungan
darah (nasabiyah) dan berdasarkan hubungan perkawinan (sababiyah).
Dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris,
dalam KHI tidak terdapat ahli waris karena hubungan perbudakan atau
wala, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan.
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
1) Menurut hubungan darah
a)
31
Golongan laki-laki
Abubakar Al-Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin
dan Penalaran Fiqh Mazhab, Jakarta, INIS,1998, h. 252.
b)
Golongan perempuan,
Dua golongan diatas terdiri dari :
(1)
anak laki-laki dan anak perempuan32
Kedudukan anak sebagai
ahli
waris adalah sama.
Bagiannya menganut asas keseimbangan atau asas keadilan
berimbang.
Asas
keseimbangan
disini
bermaksud
menjelaskan bahwa hak warisan yang diterima oleh ahli
waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan pelanjutan
tanggung jawab pewaris terhadap ahli waris33 sehingga
kadar bagiannya berimbang dengan perbedaan-perbedaan
tanggung jawabnya.
Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap anak dan
istrinya sehingga mendapatkan 2 bagian.
Sedangkan bagian yang didapat anak perempuan adalah 1
bagian. Karena seorang perempuan tanggung jawabnya ikut
dengan laki-laki.
Sehingga perbandingan bagian yang didapat anak laki-laki
dan anak perempuan adalah 2:1.
(2)
saudara laki-laki dan saudara perempuan34
(a) Bagian seorang saudara perempuan, yang masingmasing memperoleh 1/6 harta warisan.
32
H Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 47.
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2000, h.118.
34
H Zainuddin Ali, Op.Cit., h. 49.
33
(b) Bagian yang diperolehan dua orang saudara atau lebih
dengan tiga kemungkinan:
(1) semuanya laki-laki
(2) semuanya perempuan
(3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara
perempuan
semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta
warisan.
(3) ayah dan ibu35
(a) Ayah dan ibu masing-masing memperoleh 1/6 harta
warisan bila pewaris mempunyai anak.
(b) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari harta warisan sedangkan
ayah memperoleh bagian terbuka bila pewaris tidak
mempunyai anak atau saudara-saudara.
(c) Ibu memperoleh 1/6 bagian dari harta warisan bila yang
meninggal tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai
saudara, baik saudara seayah, seibu, maupun saudara
sekandung.
(d) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil
janda atau duda bila bersama-sama ayah.
2) Menurut hubungan perkawinan36
a) Duda (suami yang istrinya meninggal)
35
36
Ibid., h. 48.
H Zainuddin Ali, Loc.Cit.,
Bagian yang didapatkan duda sebesar ½ harta warisan
istrinya bila istri tidak mempunyai anak. Tetapi bila si istri
mempunyai anak, perolehannya ¼ harta peninggalan istrinya.
b) Janda (istri yang suaminya meninggal)
Janda memperoleh sebesar ¼ harta peninggalan suaminya
bila suami tidak meninggalkan anak.
Bila suami meninggalkan anak maka janda memperoleh 1/8
harta peninggalan suaminya.
Di KHI terdapat satu golongan ahli waris lagi selain 4 golongan diatas,
yaitu ahli waris pengganti. Karena dalam penulisan ini penulis fokus dalam
ahli waris pengganti maka tentang ahli waris pengganti akan dibahas dalam
sub bab sendiri.
B. Ahli Waris Pengganti
1.
Pengertian Ahli Waris Pengganti
Penggantian tempat dalam kewarisan Islam sebelum adanya KHI
sebenarnya tidak pernah dikenal, akan tetapi karena perkembangan zaman
penggantian tempat mulai dikenalkan di hukum kewarisan Islam, sesuai dengan
pendapat Profesor Hazairin bahwa penggantian tempat dikenal dalam hukum
kewarisan Islam, beliau memaparkan bahwa sistem penggantian tempat lebih
logis37.
37
H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 155.
Menurut Raihan A. Rasyid38 istilah ahli waris pengganti adalah orang yang
sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris
dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak
meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.
Konsep ahli waris pengganti dalam KHI tidak bisa dijauhkan dari pendapat
Hazairin, jadi apa yang menjadi konsep Hazairin sangatlah mempengaruhi dalam
KHI. Hazairin merumuskan konsep ahli waris pengganti berdasarkan ijtihad39
Surah An Nissa ayat 33.
Dalam surah tersebut Hazairin menafsirkan40 :“Dan untuk setiap orang, aku
(Allah) telah mengadakan mawali bagi harta peninggalan ayah atau ibu dan
harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan dalam
seperjanjianmu karena itu berikanlah bagian-bagian warisannya”.
Kata mawali bagi Hazairin disebut dengan ahli waris pengganti, mawali
sendiri memiliki pengertian orang-orang yang yang menjadi ahli waris karena
tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, disebabkan karena
orang yang menjadi penghubung tersebut telah mati lebih dahulu dari pewaris,
yang mana ia seharusnya menerima warisan kalau ia masih hidup41.
Dalam Hukum Waris Islam ahli waris pengganti diatur dalam Pasal 185
KHI. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
38
Mimbar Hukum No.23, Tahun VI, 1995, h.54.
Ijtihad dalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu
perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang
39
40
41
Abdul Ghoni Hamid, Kewarisan Dalam Perspektif Hazairin, 2007, h. 18.
Shobirin, Ahli Waris Pengganti Dalam Kewarisan Islam Perspektif Madzhab Nasional, h. 4,
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Ahli%20Waris%20Pengganti%20Perspektif%20Madzhab%20Nasion
al.pdf didownload tanggal 17 Juni 2013 jam 14:57.
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 KHI.
2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Jadi, konsep ahli waris pengganti di dalam KHI dapat di rumuskan sebagai
berikut:
a. Menurut KHI, yang termasuk ahli waris pengganti adalah semua
keturunan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris.
Maksudnya; ahli waris pengganti berlaku tidak hanya untuk
keturunan ke bawah saja, akan tetapi ahli waris keturunan ke
samping (saudara) dan dengan syarat bukan yang tersebut dalam
Pasal 173 KHI.
b. Menurut KHI jumlah bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi (maksimal sama) dari bagian yang seharusnya
diterima orang yang diganti.
c. Menurut KHI kedudukan cucu baik keturunan laki-laki maupun
keturunan perempuan sama-sama berhak menggantikan kedudukan
ayahnya.
Dari konsep Pasal 185 KHI diatas yang perlu diperhatikan adalah bahwa isi
Pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya42. Tetapi
Pasal ini bersifat tentatif atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada
pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa
dilihat dari kata dapat dalam Pasal tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif
42
Raihan A. Rasyid, Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah, dalam Mimbar Hukum, No. 23,
Jakarta, al Hikmah dan Depag RI, 1995, h. 58.
dalam Pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti
dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus43.
Apabila ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan diperhatikan maka
akan kelihatan bahwa kedudukan cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris
yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagian-bagiannya atas warisan.
Kelompok ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang sudah
dirinci dalam Al-Qur’an disebut ahli waris langsung, yang terdiri dari anak,
ayah, ibu, saudara merupakan ahli waris karena hubungan darah, dan suami,
istri adalah ahli waris karena hubungan perkawinan. Selain ini terdapat pula
ahli waris yang mendapat bagian warisan disebabkan oleh karena tidak adanya
ahli waris lain yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menjadi ahli
waris dan menempati penghubung yang sudah tidak ada, mereka ini disebut
dengan ahli waris pengganti karena mereka menggantikan kedudukan ahli waris
yang lebih dahulu meninggal dari pewaris44.
Sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, as-sunnah merupakan petunjuk
apabila suatu persoalan tidak diatur atau hanya secara garis besarnya saja yang
diatur oleh Al-Qur’an, as-sunnah dalam hal cucu, kemenakan dan kakek serta
ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi juga tidak ada mengatur tentang
bagian yang mereka peroleh atas warisan. Karena Al-Qur’an maupun assunnah tidak menegaskan bagian yang diterima cucu, kemenakan dan kakek
serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka dicarilah jalan keluarnya
melalui ijtihad45.
43
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Predana Media, 2005, h. 207.
D.Y Witanto, Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Pustaka, 2012, h. 119.
45
J. Satrio, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 2002, h. 247.
44
Para ulama fiqih mengemukakan pendapatnya bahwa yang disebut dengan
ahli waris pengganti bagi mereka adalah para ahli waris yang menerima
bagiannya bukanlah bagian ahli waris
yang mereka gantikan, yang artinya
bahwa mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang
menghubungkan mereka kepada pewaris. Mereka menerima hak waris karena
kedudukannya sendiri sebagai ahli waris46.
Khusus untuk masalah cucu, ijtihad yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit
dalam menentukan bagian cucu dengan pendapatnya bahwa dalam keadaan
apapun cucu yang berhak memperoleh harta kakeknya haruslah cucu melalui
garis keturunan laki-laki, sepanjang tidak ada saudara laki-laki dari ayahnya
yang masih hidup. Penonjolan kedudukan laki-laki atau melalui garis keturunan
laki-laki dipengaruhi
oleh alam pemikiran patrilianial yang dianut oleh
masyarakat Arab, seumpama dapat dilihat dalam47:
Gambar 2:
P
A
Ca
B
Cb
Seorang kakek (P) mempunyai dua orang cucu laki-laki (Ca dan Cb)
satu orang anak dari anak laki-laki (A) dan satu orang dari anak perempuan(B),
46
47
Ibid., h. 247.
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 187.
kedua anak kakek A dan B meninggal lebih dahulu dari kakek, pada waktu
kakek meninggal dunia, maka cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca)
berkedudukan sebagai asabah bin nafsih dan
cucu laki-laki dari anak
perempuan (Cb) berkedudukan sebagai dzawil arham. Dalam hal ini seluruh
harta warisan kakek akan diwarisi oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca),
sedangkan cucu laki-laki dari anak perempuan (Cb) tidak mendapat warisan48.
Gambar 3:
P
A
B
Ca
Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan
satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu
dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B)
akan menghijab cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca) sehingga tidak
menerima harta warisan kakeknya. Dapatlah disimpulkan dari uraian diatas
bahwa cucu dari anak laki-laki tidak berhak mewaris apabila ada anak lakilaki pewaris yang hidup dan cucu dari anak perempuan tidak berhak mewaris.
Hal yang demikian sangatlah dirasa tidak adil,
sehingga
untuk mengatasi
masalah tersebut maka diperkenalkan lembaga Wasiat Wajibah sebagai jalan
keluar terhadap masalah cucu yang tidak mewaris.
Para ulama berpendapat bahwa untuk keluarga dekat yang tidak mendapat
warisan, seseorang wajib membuat wasiat, hal ini didasarka pada surat Al48
Ibid., h. 190.
Baqarah ayat 180. Berdasarkan pada ayat tersebut dan pendapat para ulama
maka untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ahli waris dari
kerabat dekat yang tidak mendapatkan bagian warisan, khusus dalam hal cucu
yang tidak mendapatkan warisan karena terhijab oleh anak laki-laki, maka
diberikanlah wasiat kepada cucu tersebut yang disebut dengan
wajibah
dengan
ketentuan
bahwa
besar
wasiat
bagian maksimal yang diterima
oleh cucu hanya sepertiga dari warisan, yang berarti bahwa bagian yang
diterima cucu tidak sebesar bagian yang diterima
oleh
orang
tuanya
seandainya masih hidup49. Contoh diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah
ini:
Gambar 4:
P
A
B
Ca
Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan
satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu
dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B)
menerima bagian warisan sedangkan cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca)
dengan wasiat wajibah menerima bagian harta warisan kakeknya.
Pelaksanaan wasiat wajibah dalam sistem kewarisan patrilineal ini
49
Ibid., h. 140.
ditegaskan dengan dikeluarkannya Undang-undang Wasiat Mesir nomor 71
tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat
wajibah adalah sebesar seharusnya diterima oleh orang tua penerima wasiat
seandainya ia masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga
warisan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk wasiat wajibah adalah50 :
a) Cucu itu bukan orang yang menerima warisan
b) Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar
yang telah ditentukan padanya
Undang-undang tersebut hanya mengatasi masalah cucu yang orang
tuanya telah meninggal lebih dahulu, Pasal 76 Undang-undang Wasiat Mesir
No.71 Tahun 1946 menetapkan bahwa apabila pewaris tidak mewasiatkan
kepada keturunan dari anaknya yang sudah meninggal lebih dahulu atau
bersama-sama dengan pewaris, maka berdasarkan wasiat wajibah, keturunan
tersebut berhak menerima bagian sejumlah bagian orang tuanya andaikata
orang tua itu masih hidup, dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga
dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan itu tidak menjadi ahli
waris dan belum pernah diberikan sejumlah itu pada masa hayat pewaris. Kalau
sudah diberikan tetapi kurang dari jumlah itu, maka disempurnakan jumlah
tersebut sampai sepertiga51.
Jadi, wasiat wajibah hanya dapat memberikan jalan keluar terhadap
cucu dari anak laki-laki yang tidak mewaris karena terhijab oleh anak laki-laki
pewaris yang masih hidup itupun contoh kasus di masyarakat Arab yang
50
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, h.
98.
51
Ibid., h. 101.
merupakan Negara Islam .
Sementara itu di Indonesia masalah kewarisan yang termasuk dalam
kerabat dekat tidak hanya cucu, hal inilah yang membuat fuqaha memperluas
analisisnya yaitu dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenal penggantian ahli waris sebagaimana yang dikemukakan oleh Hazairin.
Konsep ahli waris pengganti muncul selain dari perkembangan Islam tetapi
juga dipengaruhi atau bisa dikatakan diadopsi dari KUH Perdata atau untuk
selanjutnya disebut dengan BW. Dalam penulisan ini sedikit dipaparkan tentang
ahli waris pengganti berdasar hukum waris BW. Ahli waris pengganti dalam
hukum waris BW dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam
bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 sampai
dengan Pasal 857 BW dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866 BW.
Adanya Pasal tersebut menunjukkan bahwa BW mengenal dan mengakui
adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk
bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang
digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 BW, seumpama: seorang
cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu
selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Dalam Pasal 842 BW
menjelaskan penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung
terus tanpa batas. Dalam segala hal, penggantian seperti di atas selamanya
diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersamasama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan
anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal
lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi
mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun
mereka dalam derajat yang tidak sama hal tersebut diatur di dalam Pasal 844
BW.
Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari
seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang
digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang
mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak
(dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak
meninggal sebelum pewaris meninggal dunia.
Menurut BW yang beralih kepada ahli waris dari seseorang yang mati
meliputi seluruh hak dan kewajiban si yang mati. Dengan demikian wajar jika
BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan. Ahli
waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga tersebut yaitu 52:
1) Dapat menerima harta warisan seluruhnya
2) Menerima dengan syarat
3) Menolak.
Sebelum menentukan sikap
kepada ahli waris tersebut diberikan
kesempatan dan waktu untuk berfikir selama tenggang waktu empat bulan,
kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri sebagai diatur dalam
Pasal 1023 sampai dengan Pasal 1029 BW.
52
Amir Syarifudin, op.it., h. 74.
Dari konsep diatas dapat diketahui bahwa ahli waris pengganti ada ketika
seorang ahli waris meninggal lebih dulu dari pewaris dan kedudukannya
digantikan oleh anak ahli waris tersebut. Yang bisa menjadi ahli waris pengganti
adalah keturunan ahli waris ke bawah dan ahli waris keturunan ke samping
(saudara). Jadi cucu dan kemenakan bisa menjadi ahli waris pengganti.
2. Besar Bagian Ahli Waris Pengganti
Dilihat cara pembagiannya al-Qur’an merumuskan pokok keutamaan
sebagai berikut53:
a. Bahwa al-Qur’an mengutamakan harta peninggalan seorang yang
mati meninggalkan keturunan sebagai ahli warisnya.
b. Selanjutnya al-Qur’an mengurus harta peninggalan seorang yang
mati tidak meninggalkan anak keturunan tetapi ada meninggalkan
ayah sebagai ahli warisnya.
c. Setelah itu baru al-Qur’an mengurus harta peninggalan saudara
(berarti yang mati tidak beranak keturunan dan tidak punya ayah).
Jadi bisa dipahami bahwa ayah dan anak saling mewarisi, demikian juga
saudara-saudara saling mewarisi. Selanjutnya bahwa ayah dapat mewarisi dari
anaknya jika anaknya itu tidak berketurunan, sehingga terselip prinsip bahwa anak
(keturunan) sebagai ahli waris mempunyai keutamaan lebih tinggi dari pada ayah
sebagai ahli waris, selanjutnya bahwa saudara sebagai ahli waris mempunyai
keutamaan yang lebih rendah sesudah ayah, yaitu manakala ayah tidak ada
53
Ibid. h. 86.
barulah saudara mendapat giliran sebagimana keterangan dalam surah an-Nisâ’
ayat 17654.
Jadi yang bisa menjadi ahli waris pengganti adalah cucu baik dari anak lakilaki maupun anak perempuan yang menggantikan kedudukan ayah atau ibunya
sebagai ahli waris dari kakeknya dan kemenakan dari saudara laki-laki atau
kemenakan dari saudara perempuan baik saudara seibu atau seayah atau kandung
bisa menggantikan kedudukan ayah atau ibunya sebagai ahli waris dari saudara
yang meninggal. Ada beberapa poin untuk melihat besar bagian ahli waris
pengganti, yaitu 55:
a. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat
tidak boleh melebihi 2 bagian. Karena bagian anak laki-laki adalah 2
bagian.
b. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan
ibunya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat
tidak boleh melebihi 1 bagian. Karena bagian anak perempuan adalah
1 bagian.
c. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan
kedudukan ibunya sebagai ahli waris seorang saudara perempuan,
masing-masing memperoleh 1/6 harta warisan.
d. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan
kedudukan ibunya maupun ayahnya sebagai ahli waris dua orang
saudara atau lebih, tiga kemungkinan:
54
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, Al-Ma’arif, 2001, h. 74.
55
Ibid., h. 78.
1) semuanya laki-laki
2) semuanya perempuan
3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan
semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta warisan jadi
besar yang didapat kemenakan laki-laki maupun kemenakan
perempuan tidak boleh melebihi atau berbagi rata 1/3 bagian.
Hazairin memberikan contoh sederhana56 untuk menerapkan Surah An-Nisa
ayat 12 dan ayat 176, contoh ini dirasa tepat untuk menjadi landasan dalam
pembahasan kasus posisi didalam penulisan ini. Contoh sederhana, seorang
meninggal dunia dengan meninggalkan dua kemenakan laki-laki, yang seorang
berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara
perempuan. Dalam contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih
dulu daripada pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian
tersebut, kedua kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari saudara
perempuan memperoleh sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari
saudara laki-laki memperoleh dua pertiga bagian.
Contoh lain juga dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo yang dituangkan
kedalam bagan57, didalam bagannya M. Idris Ramulyo juga menerangkan ahli
waris pengganti dalam jalur kesamping yaitu saudara.
56
H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 159.
57
M. Idris Ramulyo, op.it., h.128.
Gambar 5 :
A
B
C
D
Keterangan :
A = pewaris yang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris
saudara laki-laki C dan saudara perempuan B
B = saudara perempuan pewaris yang telah meninggal dunia lebih dulu
dari pewaris meninggalkan anak atau keponakan dari pewaris, yaitu :
D.
Pembagian diatas berdasarkan asas bilateral yang dianut didalam hukum
waris Islam adalah C : B = ( 2 : 1 ) jadi bagian C menjadi 2/3 sedangkan B yang
kedudukannya digantikan oleh D mendapat 1/3.
Dilihat dari contoh yang diberikan Hazairin dan M. Idris Ramulyo diatas
dapat ditarik kesimpulan bagian dari saudara laki-laki dibanding saudara
perempuan adalah 2:1.
Download