BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kewenangan Pengadilan Agama Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2, Pasal 49 ayat (1), dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU No 7 Tahun 1989. Lebih jelasnya dapat dilihat : 1. Pasal 2 berbunyi: “Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undangundang ini.” 2. Pasal 49 ayat (1) berbunyi: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.” 3. Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga berbunyi: “Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah berdasar hukum Islam.” Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa, memutus menyelesaikan perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah yang diperuntukan bagi orang-orang beragama Islam. B. Pewarisan Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Pewarisan Dalam Hukum Islam Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada Pasal 171 ayat (a) yang berbunyi: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing." Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing. Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu : a. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan1. b. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli2. Dari pengertian diatas dapat dirumuskan pengertian hukum waris Islam menurut penulis adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Sedangkan pengertian pewarisan menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.3 Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses peralihan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh nash. Dan pewarisan muncul ketika seseorang 1 Pasnelyza Korani, Tinjauan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum Kewarisan Perdata, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 22 Maret 2010, h. 42. 2 http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-Islam-waris-Islam.html?m=1 dikunjungi pada tanggal 24 Mei 2013 pukul 13:24. 3 Mushlihin Al-Hafizh, Pengertian Waris Menurut al-Qur’an, http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html, dikunjungi pada tanggal 14 Oktober 2013 pukul 08:40. meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan atau harta warisan serta ahli waris. 2. Asas Pewarisan Menurut Hukum Islam Hukum Islam merupakan aturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa didalam Peradilan Agama salah satu sengketa yang diterima oleh Peradilan Agama adalah sengketa tentang waris, sebelum mempelajari secara rinci asas hukum waris Islam perlu sedikit pemahaman tentang asas yang terdapat didalam Peradilan Agama. Asas hukum dalam Peradilan Agama terdiri dari 7 asas, akan tetapi dalam penulisan ini hanya di informasikan asas yang berkaitan, antara lain4: a. Asas Personalitas ke-Islaman5 Peradilan Agama merupakan badan peradilan yang menyelesaikan sengketa-sengketa dari pihak yang beragama Islam sehingga terdapat asas yang melandasi yaitu asas personalitas keIslaman. Asas ini menerangkan banhwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat ke-Islaman seseorang hanya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk, SIM, atau tanda bukti yang lainnya. Asas personalitas keIslaman diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alenia ketiga dan Pasal 49 ayat (1) terbatas pada perkara-perkara yang 4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 56. 5 Ibid.. menjadi kewenangan Peradilan Agama. Jika Pasal diatas diuraikan didapat kesimpulan, sebagai berikut : 1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. 2) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. 3) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. b. Asas Kebebasan6 Asas kebebasan dimiliki semua badan peradilan tak terkecuali badan Peradilan Agama. Maksud dari asas kebebasan disini tidaklah bebas yang sebebas-bebasnya, bebas disini dengan acuan tidak ada campur tangan dari pihak-pihak kekuasaan negara lainnya, bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial, dan kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan). Asas ini tidak secara eksplisit diatur hanya dikaitkan dengan fungsi “pengawasan” dan “pembinaan” yang tertuang didalam Pasal 5, 12, dan Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. 6 Ibid., h. 58. Dari pengertian kebebasan diatas dapat dimengerti bahwa hakim di Pengadilan Agama juga menganut asas ini. Hakim dapat secara bebas memberikan sebuah putusan maupun penetapan yang adil tanpa ada campur tangan dari pihak lain dan paksaan dari pihakpihak lain. c. Asas Wajib Mendamaikan (Asas Ishlah)7 Secara umum dasar hukum dari perdamaian dalam hukum Islam adalah al-Quran surat an-Nissa ayat 35 juga diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-undang No 7 Tahun 1989 serta Pasal 115 KHI. Asas wajib mendamaikan merupakan asas yang wajib bagi hakim Pengadilan Agama karena Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim Pengadilan Agama untuk menjalankan fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih bijak dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. Hukum waris Islam mengandung berbagai asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari hukum waris Islam. Asas-asas hukum waris Islam antara lain: a. Asas Ijbari Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak 7 Ibid., h. 65. pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris8. Maksud dari kata tidak memberatkan ahli waris adalah seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Kaidah hukum untuk asas ini lebih ditemukan dalam al-Quran terutama dipahami dalam surah an-Nisaa ayat 11, 12, dan 1769. Dari ayat tersebut memang tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi dijelaskan bahwa peralihan harta warisan disyariatkan oleh Allah sehingga dapat dipahami bahwa peralihan harta warisan berlaku dengan sendirinya. Kaidah hukum asas ini juga diatur didalam Pasal 175 ayat (2) KHI, yang menyatakan bahwa: “tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam KHI juga mengenal adanya asas ijbari. b. Asas bilateral10 Asas bilateral dalam hukum waris Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral memiliki 2 dimensi; 1. Dimensi saling mewaris antara anak dengan orang tuanya. 2. Dimensi saling mewaris antara 8 H Moh Muhibbin dan H Abdul Wahid, op.it., h, 23. Ibid.. 10 Ibid., h. 24. 9 orang yang bersaudara terjadi jika pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua11. Kaidah hukum untuk asas bilateral ini secara nyata dapat dilihat dalam surah an-Nisaa ayat 7, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya maupun dari ibunya begitu pula bagi seorang perempuan juga berhak mendapat warisan dari ayahnya maupun dari ibunya. Kaidah hukum untuk asas bilateral juga diatur dalam Pasal 174 KHI, dalam Pasal ini menerangkan bahwa golongan ahli waris terdiri dari laki-laki dan perempuan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 2 garis yang dapat mewarisi. Dalam Pasal 177 dan Pasal 178 KHI juga dapat dilihat bahwa ayah dan ibu juga mewaris jadi dapat disimpulkan bahwa KHI juga mengatur asas bilateral. c. Asas Individual Arti kata individual dalam asas waris Islam adalah bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan 11 Ibid., h. 27. asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan12. Kaidah hukum untuk asas individual ini dapat dilihat dalam pengaturan tentang besar bagian di dalam Pasal 176 sampai Pasal 182 KHI, didalam Pasal tersebut tertera kata “seorang” sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa harta warisan bisa dimiliki secara individual. d. Asas keadilan berimbang Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan13. Secara dasar dapat dikatakan bahwa pembagian waris berimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya, bagian laki-laki sama dengan 2 bagian perempuan ini karena kewajiban laki-laki lebih berat dari pada perempuan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah hukum dalam surah an-Nisaa ayat 1114. Kaidah hukum lain yang mendasari asas ini tertuang didalam Pasal 176 KHI yang menerangkan bahwa anak perempuan jika bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki 2 berbanding 1 dengan anak perempuan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bagian yang diperoleh berdasar asas keadilan berimbang dapat disesuaikan dengan hak dan kewajibannya. Sehingga bagian yang tepat untuk laki-laki bersama perempuan adalah 2 : 1. e. Asas semata akibat kematian 12 Ibid., h. 28. Ibid., h. 29. 14 Ibid., h. 25. 13 Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia15 dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain. Kaidah hukum untuk asas ini disebutkan di dalam Pasal 171 huruf b KHI tentang pengertian pewaris, dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa pewaris disyaratkan meninggal dunia baru bisa diadakan proses pewarisan. f. Asas Musyawarah Asas lain yang berkaitan dengan penulisan ini adalah asas musyawarah. Musyawarah adalah cara yang sering ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, karena musyawarah memiliki tujuan yang baik. Kaidah dari asas musyawarah ini adalah Q.S. Ali Imron/3:159 surah ini berkenaan dengan perintah untuk bermusyawarah dalam segala urusan, Q.S. Asy. Syura/42:38 untuk surah ini berkenaan dengan salah satu karakteristik orang beriman adalah melakukan musyawarah diantara mereka dalam berbagai urusan16. Musyawarah harus bersifat dialogis yaitu bersifat terbuka dan komunikatif, semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dalam musyawarah perselisihan dan pertikaian sering timbul, dikarenakan masing-masing pihak tidak menjadikan asas 15 Ibid.. Muhammad Natsir, Asas Musyawarah Dalam Islam, 27 April 2009, www.dewandakwah.com/content/view/216/31/, dikunjungi pada tanggal 7 Desember 2013 pukul 19.42. 16 kekeluargaan sebagai dasar berpikir ketika bertindak dalam musyawarah. Keputusan harus dilaksanakan dengan memperhatikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sikap yang harus dimiliki orang-orang sebelum bermusyawarah, yaitu17 : a. Bersikap lemah lembut, menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala b. Memberi maaf kepada orang lain yang pernah bersalah maupun berbuat salah dalam musyawarah c. Mengharap maghfirah18 dan dekat kepada Allah SWT yang akan menunjukkan berbagai hidayah dan ide-ide cemerlang d. Bertawakal kepada Allah SWT atas hasil usaha yang telah dilakukan. 3. Unsur Dalam Hukum Waris Islam Dari definisi hukum kewarisan di dalam KHI tampak unsur-unsur tentang pewarisan, terdapat 3 unsur yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah. a. Pewaris Pengaturan tentang pewaris diatur didalam Pasal 171 huruf b KHI : "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan". Dari pengertian di atas 17 18 Ibid.. Maghfirah adalah pengampunan dalam surah Al-Imron ayat 133. dapat dimengerti untuk terjadi pewarisan syarat untuk pewaris adalah telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir19. Syarat lain untuk menjadi pewaris dalam KHI yang tertuang dalam Pasal diatas selain telah meninggal dunia, pewaris harus beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. b. Ahli Waris Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c KHI yaitu: "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Dari Pasal 171 huruf c KHI tentang pengertian ahli waris, jika diperhatikan lebih dalam terdapat kejanggalan kalimat, pengertian diatas menimbulkan pengertian seolah-olah yang meninggal dunia adalah ahli waris, seharusnya tidak demikian. Hal seperti diatas telah diutarakan lebih jelas oleh M. Ali Ash Shabuni seorang ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hukum20. Menurut penulis untuk penyempurnaan pengertian ahli waris diatas perlu ada penekanan bahwa syarat menjadi ahli waris harus masih hidup 19 Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah,Juz III, Semarang,Toha Putra, 1980, h. 426. M. Ali Ash Shabuni, Al Mawarits Fi Syariat alIslamiyyah 'ala Dhau'i Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi, Dar al Qalam, 1979, h.34, dikutip dari Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam 20 Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No. 2, Vol IV, Desember 2007, h. 148. sehingga pengertian yang tepat adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia, mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris”. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah: 1) Hidup 2) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan 3) Beragama Islam Tentang syarat beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya." 4) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketentuan yang menerangkan seseorang terhalang untuk menjadi ahli waris diatur di dalam Pasal 173 KHI, yaitu: "Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat". Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs (penghalang mewarisi) menurut para ulama dalam fiqh mawaris. Jika dalam fiqh mawaris yang menjadi ketentuan mawani' al irs adalah perbudakan, pembunuhan, dan berlainan agama21. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari Pasal 838 BW tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas untuk menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian22. Jika dilihat lebih dalam kandungan tentang terhalangnya seseorang menjadi ahli waris yang terdapat di KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris berbeda, terlihat bahwa kandungan dalam Pasal 173 KHI ini hanya berisi tentang pembunuhan sedangkan untuk perbedaan agama dan perbudakan tidak ada. Akan tetapi untuk perbedaan agama tidak perlu dimasalahkan karena di Pasal 171 huruf b dan huruf c KHI yang mengatur tentang pewaris dan ahli waris, sudah jelas disyaratkan bagi pewaris dan ahli waris untuk beragama Islam. Hal ini cukup dimengerti jika salah satu syarat pewarisan adalah beragama Islam, maka perbedaan agama menjadi salah satu penghalang pewarisan. c. Adanya Harta Peninggalan (Tirkah) Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ahli ada beberapa pendapat, yaitu, : 21 Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No. 2, Vol IV, Desember 2007, h. 151. 22 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradaya Paramitha, 1982, h. 209. 1) Ahli fiqh bermadzhab Hanafi menerangkan tirkah adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain23. 2) Muhamad Ali As berpendapat : “tirkah atau tarikah yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak yang bukan hak kebendaan”24. Dilihat dari berbagai pendapat diatas dapat dimengerti bahwa tirkah dan maurus dipisahkan, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari maurus25. Hal ini juga ditegaskan oleh pendapat Emariani yaitu sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si pewaris barulah harta tersebut berbentuk harta warisan26. Dari pendapat diatas terdapat kejanggalan dari kata hak-hak yang harus dikeluarkan terlebih dahulu, dalam hal ini analisis yang didapatkan Witanto adalah kata hak disini bukanlah hak yang dimiliki oleh pewaris tapi hak yang dimiliki oleh orang lain, misal pewaris mempunyai hutang ke A, disini maksud dari hak-hak (hak A) yang harus dikeluarkan terlebih 23 Achmad Yani, Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?, 28 Maret 2009, http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/03/tirkah-ada-apa-dengan-harta-peninggalan.html, dikunjungi pada tanggal 9 Desember 2013 pukul 06.31. 24 Mustofa Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 274. 25 M. Abu Zahrah, Ahkam At Tirkah wa alMirats, Kairo: Dar al Fikr,1975, h.150, dikutip dari Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No. 2, Vol IV, Desember 2007, h. 150. 26 Emariani, Kedudukan Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi Pengadilan Agama Semarang), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Desember 2008, h. 20. dahulu dengan kata lain harus dilunasi hutangnya terlebih dahulu baru dibagi kepada ahli waris27. KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ahli, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah atau harta peninggalan yang dituangkan ke dalam Pasal 171 huruf d KHI: "Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya." Dari definisi diatas dapat dilihat yang menjadi harta peninggalan adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang sudah menjadi hak milik maupun harta dalam bentuk hutang maupun piutang. Sedangkan tentang harta warisan dijelaskan pada Pasal 171 huruf e KHI: "Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat." Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa poin yang perlu dijelaskan, dilihat dari pola bahasa penulisannya pengertian harta waris dalam KHI diperuntukan bagi pewaris yang dalam status kawin. Hal ini dapat dilihat dari poin “bagian dari harta bersama”, harta bersama ada ketika terjadi perkawinan atau pernikahan. Akan tetapi, jika poin diatas digunakan sebagai landasan untuk pewaris yang belum kawin atau menikah poin harta bersama bisa diabaikan karena poin tersebut memang belum ada, sehingga hanya harta bawaan saja yang digunakan. Poin 27 Witanto, Pengantar Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Publisher, 2012, h. 258. selanjutnya dalam penulisan diatas adalah poin ”setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat" dalam poin tersebut terdapat kejanggalan dipoin pemberian untuk kerabat karena terdapat maksud yang kurang jelas. Pemberian untuk kerabat sama dengan wasiat. Pengertian wasiat adalah penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut28. Hal tersebut bisa dikatakan sama karena melihat bahwa penghibahan sama artinya dengan pemberian secara ikhlas, kepada orang lain atau beberapa orang juga termasuk para kerabat, dan pemberiannya dilakukan setelah orang tersebut meninggal dalam hal ini berarti orang tersebut adalah pewaris. Dalam hal ini yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau istri, dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang pewaris dan wasiat. Berdasar pengertian diatas tampaknya KHI membedakan antara pengertian tirkah atau harta peninggalan dan maurus atau harta waris. Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa wasiat diberikan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris. 4. 28 Golongan ahli waris dan bagiannya H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 145. Dalam fiqh mawaris jenis ahli waris itu terbagi atas tiga jenis, yakni (1) Ashabul Furudh atau Dzawil furudh, (2) Ashabah, dan (3) Dzawil arham29. 1) Ashabul Furuhd atau Dzawil furudh Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh Alquran, As-Sunnah dan Ijmak. Termasuk golongan ashabul furuhd atau dzawil furudh adalah ayah; ibu; anak laki-laki; anak perempuan; suami atau istri30. 2) Ashabah Kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela, penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali, hal ini bisa terjadi karena ashabah dipengaruhi berbagai pengaruh dan situasi. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris. Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashabah adalah setiap orang yang mendapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat dan orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan 29 30 Ibid., h. 67. Ibid., h. 64. sisa setelah pembagian bagian tetap31. Jadi ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak tentu. 3) Dzawil arham Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furuhd dan pula ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yang tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya. Didalam KHI juga diatur mengenai kelompok dan golongan ahli waris, hal ini diatur pada Pasal 174 KHI, yang berbunyi: 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda 2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Jika dilihat dari perumusan kelompok ahli waris dalam Pasal 174 KHI diatas, dapat diketahui terjadinya pewarisan berdasarkan hubungan darah (nasabiyah) dan berdasarkan hubungan perkawinan (sababiyah). Dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, dalam KHI tidak terdapat ahli waris karena hubungan perbudakan atau wala, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : 1) Menurut hubungan darah a) 31 Golongan laki-laki Abubakar Al-Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, Jakarta, INIS,1998, h. 252. b) Golongan perempuan, Dua golongan diatas terdiri dari : (1) anak laki-laki dan anak perempuan32 Kedudukan anak sebagai ahli waris adalah sama. Bagiannya menganut asas keseimbangan atau asas keadilan berimbang. Asas keseimbangan disini bermaksud menjelaskan bahwa hak warisan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap ahli waris33 sehingga kadar bagiannya berimbang dengan perbedaan-perbedaan tanggung jawabnya. Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya sehingga mendapatkan 2 bagian. Sedangkan bagian yang didapat anak perempuan adalah 1 bagian. Karena seorang perempuan tanggung jawabnya ikut dengan laki-laki. Sehingga perbandingan bagian yang didapat anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2:1. (2) saudara laki-laki dan saudara perempuan34 (a) Bagian seorang saudara perempuan, yang masingmasing memperoleh 1/6 harta warisan. 32 H Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 47. M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2000, h.118. 34 H Zainuddin Ali, Op.Cit., h. 49. 33 (b) Bagian yang diperolehan dua orang saudara atau lebih dengan tiga kemungkinan: (1) semuanya laki-laki (2) semuanya perempuan (3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta warisan. (3) ayah dan ibu35 (a) Ayah dan ibu masing-masing memperoleh 1/6 harta warisan bila pewaris mempunyai anak. (b) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari harta warisan sedangkan ayah memperoleh bagian terbuka bila pewaris tidak mempunyai anak atau saudara-saudara. (c) Ibu memperoleh 1/6 bagian dari harta warisan bila yang meninggal tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai saudara, baik saudara seayah, seibu, maupun saudara sekandung. (d) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda bila bersama-sama ayah. 2) Menurut hubungan perkawinan36 a) Duda (suami yang istrinya meninggal) 35 36 Ibid., h. 48. H Zainuddin Ali, Loc.Cit., Bagian yang didapatkan duda sebesar ½ harta warisan istrinya bila istri tidak mempunyai anak. Tetapi bila si istri mempunyai anak, perolehannya ¼ harta peninggalan istrinya. b) Janda (istri yang suaminya meninggal) Janda memperoleh sebesar ¼ harta peninggalan suaminya bila suami tidak meninggalkan anak. Bila suami meninggalkan anak maka janda memperoleh 1/8 harta peninggalan suaminya. Di KHI terdapat satu golongan ahli waris lagi selain 4 golongan diatas, yaitu ahli waris pengganti. Karena dalam penulisan ini penulis fokus dalam ahli waris pengganti maka tentang ahli waris pengganti akan dibahas dalam sub bab sendiri. B. Ahli Waris Pengganti 1. Pengertian Ahli Waris Pengganti Penggantian tempat dalam kewarisan Islam sebelum adanya KHI sebenarnya tidak pernah dikenal, akan tetapi karena perkembangan zaman penggantian tempat mulai dikenalkan di hukum kewarisan Islam, sesuai dengan pendapat Profesor Hazairin bahwa penggantian tempat dikenal dalam hukum kewarisan Islam, beliau memaparkan bahwa sistem penggantian tempat lebih logis37. 37 H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 155. Menurut Raihan A. Rasyid38 istilah ahli waris pengganti adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Konsep ahli waris pengganti dalam KHI tidak bisa dijauhkan dari pendapat Hazairin, jadi apa yang menjadi konsep Hazairin sangatlah mempengaruhi dalam KHI. Hazairin merumuskan konsep ahli waris pengganti berdasarkan ijtihad39 Surah An Nissa ayat 33. Dalam surah tersebut Hazairin menafsirkan40 :“Dan untuk setiap orang, aku (Allah) telah mengadakan mawali bagi harta peninggalan ayah atau ibu dan harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan dalam seperjanjianmu karena itu berikanlah bagian-bagian warisannya”. Kata mawali bagi Hazairin disebut dengan ahli waris pengganti, mawali sendiri memiliki pengertian orang-orang yang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, disebabkan karena orang yang menjadi penghubung tersebut telah mati lebih dahulu dari pewaris, yang mana ia seharusnya menerima warisan kalau ia masih hidup41. Dalam Hukum Waris Islam ahli waris pengganti diatur dalam Pasal 185 KHI. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: 38 Mimbar Hukum No.23, Tahun VI, 1995, h.54. Ijtihad dalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang 39 40 41 Abdul Ghoni Hamid, Kewarisan Dalam Perspektif Hazairin, 2007, h. 18. Shobirin, Ahli Waris Pengganti Dalam Kewarisan Islam Perspektif Madzhab Nasional, h. 4, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Ahli%20Waris%20Pengganti%20Perspektif%20Madzhab%20Nasion al.pdf didownload tanggal 17 Juni 2013 jam 14:57. 1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 KHI. 2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Jadi, konsep ahli waris pengganti di dalam KHI dapat di rumuskan sebagai berikut: a. Menurut KHI, yang termasuk ahli waris pengganti adalah semua keturunan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Maksudnya; ahli waris pengganti berlaku tidak hanya untuk keturunan ke bawah saja, akan tetapi ahli waris keturunan ke samping (saudara) dan dengan syarat bukan yang tersebut dalam Pasal 173 KHI. b. Menurut KHI jumlah bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak boleh melebihi (maksimal sama) dari bagian yang seharusnya diterima orang yang diganti. c. Menurut KHI kedudukan cucu baik keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan sama-sama berhak menggantikan kedudukan ayahnya. Dari konsep Pasal 185 KHI diatas yang perlu diperhatikan adalah bahwa isi Pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya42. Tetapi Pasal ini bersifat tentatif atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa dilihat dari kata dapat dalam Pasal tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif 42 Raihan A. Rasyid, Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah, dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta, al Hikmah dan Depag RI, 1995, h. 58. dalam Pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus43. Apabila ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan diperhatikan maka akan kelihatan bahwa kedudukan cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagian-bagiannya atas warisan. Kelompok ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang sudah dirinci dalam Al-Qur’an disebut ahli waris langsung, yang terdiri dari anak, ayah, ibu, saudara merupakan ahli waris karena hubungan darah, dan suami, istri adalah ahli waris karena hubungan perkawinan. Selain ini terdapat pula ahli waris yang mendapat bagian warisan disebabkan oleh karena tidak adanya ahli waris lain yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menjadi ahli waris dan menempati penghubung yang sudah tidak ada, mereka ini disebut dengan ahli waris pengganti karena mereka menggantikan kedudukan ahli waris yang lebih dahulu meninggal dari pewaris44. Sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, as-sunnah merupakan petunjuk apabila suatu persoalan tidak diatur atau hanya secara garis besarnya saja yang diatur oleh Al-Qur’an, as-sunnah dalam hal cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi juga tidak ada mengatur tentang bagian yang mereka peroleh atas warisan. Karena Al-Qur’an maupun assunnah tidak menegaskan bagian yang diterima cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka dicarilah jalan keluarnya melalui ijtihad45. 43 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Predana Media, 2005, h. 207. D.Y Witanto, Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Pustaka, 2012, h. 119. 45 J. Satrio, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 2002, h. 247. 44 Para ulama fiqih mengemukakan pendapatnya bahwa yang disebut dengan ahli waris pengganti bagi mereka adalah para ahli waris yang menerima bagiannya bukanlah bagian ahli waris yang mereka gantikan, yang artinya bahwa mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada pewaris. Mereka menerima hak waris karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris46. Khusus untuk masalah cucu, ijtihad yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dalam menentukan bagian cucu dengan pendapatnya bahwa dalam keadaan apapun cucu yang berhak memperoleh harta kakeknya haruslah cucu melalui garis keturunan laki-laki, sepanjang tidak ada saudara laki-laki dari ayahnya yang masih hidup. Penonjolan kedudukan laki-laki atau melalui garis keturunan laki-laki dipengaruhi oleh alam pemikiran patrilianial yang dianut oleh masyarakat Arab, seumpama dapat dilihat dalam47: Gambar 2: P A Ca B Cb Seorang kakek (P) mempunyai dua orang cucu laki-laki (Ca dan Cb) satu orang anak dari anak laki-laki (A) dan satu orang dari anak perempuan(B), 46 47 Ibid., h. 247. Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 187. kedua anak kakek A dan B meninggal lebih dahulu dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca) berkedudukan sebagai asabah bin nafsih dan cucu laki-laki dari anak perempuan (Cb) berkedudukan sebagai dzawil arham. Dalam hal ini seluruh harta warisan kakek akan diwarisi oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca), sedangkan cucu laki-laki dari anak perempuan (Cb) tidak mendapat warisan48. Gambar 3: P A B Ca Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B) akan menghijab cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca) sehingga tidak menerima harta warisan kakeknya. Dapatlah disimpulkan dari uraian diatas bahwa cucu dari anak laki-laki tidak berhak mewaris apabila ada anak lakilaki pewaris yang hidup dan cucu dari anak perempuan tidak berhak mewaris. Hal yang demikian sangatlah dirasa tidak adil, sehingga untuk mengatasi masalah tersebut maka diperkenalkan lembaga Wasiat Wajibah sebagai jalan keluar terhadap masalah cucu yang tidak mewaris. Para ulama berpendapat bahwa untuk keluarga dekat yang tidak mendapat warisan, seseorang wajib membuat wasiat, hal ini didasarka pada surat Al48 Ibid., h. 190. Baqarah ayat 180. Berdasarkan pada ayat tersebut dan pendapat para ulama maka untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ahli waris dari kerabat dekat yang tidak mendapatkan bagian warisan, khusus dalam hal cucu yang tidak mendapatkan warisan karena terhijab oleh anak laki-laki, maka diberikanlah wasiat kepada cucu tersebut yang disebut dengan wajibah dengan ketentuan bahwa besar wasiat bagian maksimal yang diterima oleh cucu hanya sepertiga dari warisan, yang berarti bahwa bagian yang diterima cucu tidak sebesar bagian yang diterima oleh orang tuanya seandainya masih hidup49. Contoh diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini: Gambar 4: P A B Ca Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B) menerima bagian warisan sedangkan cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca) dengan wasiat wajibah menerima bagian harta warisan kakeknya. Pelaksanaan wasiat wajibah dalam sistem kewarisan patrilineal ini 49 Ibid., h. 140. ditegaskan dengan dikeluarkannya Undang-undang Wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah sebesar seharusnya diterima oleh orang tua penerima wasiat seandainya ia masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga warisan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk wasiat wajibah adalah50 : a) Cucu itu bukan orang yang menerima warisan b) Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan padanya Undang-undang tersebut hanya mengatasi masalah cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu, Pasal 76 Undang-undang Wasiat Mesir No.71 Tahun 1946 menetapkan bahwa apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anaknya yang sudah meninggal lebih dahulu atau bersama-sama dengan pewaris, maka berdasarkan wasiat wajibah, keturunan tersebut berhak menerima bagian sejumlah bagian orang tuanya andaikata orang tua itu masih hidup, dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan itu tidak menjadi ahli waris dan belum pernah diberikan sejumlah itu pada masa hayat pewaris. Kalau sudah diberikan tetapi kurang dari jumlah itu, maka disempurnakan jumlah tersebut sampai sepertiga51. Jadi, wasiat wajibah hanya dapat memberikan jalan keluar terhadap cucu dari anak laki-laki yang tidak mewaris karena terhijab oleh anak laki-laki pewaris yang masih hidup itupun contoh kasus di masyarakat Arab yang 50 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, h. 98. 51 Ibid., h. 101. merupakan Negara Islam . Sementara itu di Indonesia masalah kewarisan yang termasuk dalam kerabat dekat tidak hanya cucu, hal inilah yang membuat fuqaha memperluas analisisnya yaitu dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal penggantian ahli waris sebagaimana yang dikemukakan oleh Hazairin. Konsep ahli waris pengganti muncul selain dari perkembangan Islam tetapi juga dipengaruhi atau bisa dikatakan diadopsi dari KUH Perdata atau untuk selanjutnya disebut dengan BW. Dalam penulisan ini sedikit dipaparkan tentang ahli waris pengganti berdasar hukum waris BW. Ahli waris pengganti dalam hukum waris BW dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 sampai dengan Pasal 857 BW dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866 BW. Adanya Pasal tersebut menunjukkan bahwa BW mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris. Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 BW, seumpama: seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Dalam Pasal 842 BW menjelaskan penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa batas. Dalam segala hal, penggantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersamasama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama hal tersebut diatur di dalam Pasal 844 BW. Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak (dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak meninggal sebelum pewaris meninggal dunia. Menurut BW yang beralih kepada ahli waris dari seseorang yang mati meliputi seluruh hak dan kewajiban si yang mati. Dengan demikian wajar jika BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan. Ahli waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga tersebut yaitu 52: 1) Dapat menerima harta warisan seluruhnya 2) Menerima dengan syarat 3) Menolak. Sebelum menentukan sikap kepada ahli waris tersebut diberikan kesempatan dan waktu untuk berfikir selama tenggang waktu empat bulan, kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri sebagai diatur dalam Pasal 1023 sampai dengan Pasal 1029 BW. 52 Amir Syarifudin, op.it., h. 74. Dari konsep diatas dapat diketahui bahwa ahli waris pengganti ada ketika seorang ahli waris meninggal lebih dulu dari pewaris dan kedudukannya digantikan oleh anak ahli waris tersebut. Yang bisa menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan ahli waris ke bawah dan ahli waris keturunan ke samping (saudara). Jadi cucu dan kemenakan bisa menjadi ahli waris pengganti. 2. Besar Bagian Ahli Waris Pengganti Dilihat cara pembagiannya al-Qur’an merumuskan pokok keutamaan sebagai berikut53: a. Bahwa al-Qur’an mengutamakan harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan keturunan sebagai ahli warisnya. b. Selanjutnya al-Qur’an mengurus harta peninggalan seorang yang mati tidak meninggalkan anak keturunan tetapi ada meninggalkan ayah sebagai ahli warisnya. c. Setelah itu baru al-Qur’an mengurus harta peninggalan saudara (berarti yang mati tidak beranak keturunan dan tidak punya ayah). Jadi bisa dipahami bahwa ayah dan anak saling mewarisi, demikian juga saudara-saudara saling mewarisi. Selanjutnya bahwa ayah dapat mewarisi dari anaknya jika anaknya itu tidak berketurunan, sehingga terselip prinsip bahwa anak (keturunan) sebagai ahli waris mempunyai keutamaan lebih tinggi dari pada ayah sebagai ahli waris, selanjutnya bahwa saudara sebagai ahli waris mempunyai keutamaan yang lebih rendah sesudah ayah, yaitu manakala ayah tidak ada 53 Ibid. h. 86. barulah saudara mendapat giliran sebagimana keterangan dalam surah an-Nisâ’ ayat 17654. Jadi yang bisa menjadi ahli waris pengganti adalah cucu baik dari anak lakilaki maupun anak perempuan yang menggantikan kedudukan ayah atau ibunya sebagai ahli waris dari kakeknya dan kemenakan dari saudara laki-laki atau kemenakan dari saudara perempuan baik saudara seibu atau seayah atau kandung bisa menggantikan kedudukan ayah atau ibunya sebagai ahli waris dari saudara yang meninggal. Ada beberapa poin untuk melihat besar bagian ahli waris pengganti, yaitu 55: a. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat tidak boleh melebihi 2 bagian. Karena bagian anak laki-laki adalah 2 bagian. b. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan ibunya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat tidak boleh melebihi 1 bagian. Karena bagian anak perempuan adalah 1 bagian. c. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan kedudukan ibunya sebagai ahli waris seorang saudara perempuan, masing-masing memperoleh 1/6 harta warisan. d. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan kedudukan ibunya maupun ayahnya sebagai ahli waris dua orang saudara atau lebih, tiga kemungkinan: 54 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, Al-Ma’arif, 2001, h. 74. 55 Ibid., h. 78. 1) semuanya laki-laki 2) semuanya perempuan 3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta warisan jadi besar yang didapat kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan tidak boleh melebihi atau berbagi rata 1/3 bagian. Hazairin memberikan contoh sederhana56 untuk menerapkan Surah An-Nisa ayat 12 dan ayat 176, contoh ini dirasa tepat untuk menjadi landasan dalam pembahasan kasus posisi didalam penulisan ini. Contoh sederhana, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan dua kemenakan laki-laki, yang seorang berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara perempuan. Dalam contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih dulu daripada pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian tersebut, kedua kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari saudara perempuan memperoleh sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari saudara laki-laki memperoleh dua pertiga bagian. Contoh lain juga dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo yang dituangkan kedalam bagan57, didalam bagannya M. Idris Ramulyo juga menerangkan ahli waris pengganti dalam jalur kesamping yaitu saudara. 56 H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 159. 57 M. Idris Ramulyo, op.it., h.128. Gambar 5 : A B C D Keterangan : A = pewaris yang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris saudara laki-laki C dan saudara perempuan B B = saudara perempuan pewaris yang telah meninggal dunia lebih dulu dari pewaris meninggalkan anak atau keponakan dari pewaris, yaitu : D. Pembagian diatas berdasarkan asas bilateral yang dianut didalam hukum waris Islam adalah C : B = ( 2 : 1 ) jadi bagian C menjadi 2/3 sedangkan B yang kedudukannya digantikan oleh D mendapat 1/3. Dilihat dari contoh yang diberikan Hazairin dan M. Idris Ramulyo diatas dapat ditarik kesimpulan bagian dari saudara laki-laki dibanding saudara perempuan adalah 2:1.