BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Brand Minded 1. Pengertian Gaya Hidup Brand Minded Menurut Moven dan Minor (2001) gaya hidup didefinisikan secara sederhana bagaimana seseorang hidup. Gaya hidup (life style) menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana mereka membelanjakan uangnya, dan bagaimana mereka mengalokasikan waktu mereka. Kotler (2008) mendefinisikan gaya hidup sebagai pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opini. Pengertian ini sejalan dengan Sumarwan (2003), yang mengungkapkan bahwa gaya hidup sering digambarkan dengan kegiatan, minat, dan opini dari seseorang (activities, interests, and opinions). Setiadi (dalam Hariyono, 2015) menyatakan bahwa, gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka, apa yang mereka anggap penting dalam lingkungan, dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya. Selanjutnya Nas dan Sande (dalam Sobur, 2006) mendefinisikan gaya hidup sebagai sebuah konstruk kesadaran dari frame of reference yang diciptakan relatif bebas oleh individu untuk menguatkan identitasnya dalam pergaulan dan membantunya dalam berkomunikasi. Dalam pengertian lain, gaya hidup 15 16 menunjuk pada frame of reference (kerangka acuan) yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku. Adapun menurut Sobur (2006), gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian, dan gaya hidup digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian. Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa gaya hidup mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya, dan apa yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian menurut McNeal (2007) menjelaskan bahwa pengertian dari brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor. Menurut Sobur (2006) gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan menunjukkan citra seseorang. Gaya hidup orang ditunjukkan dalam variasi keputusan cita rasa diantaranya kendaraan yang dikendarainya, tempat yang sering dikunjunggi, merek-merek pakaian, sepatu, tas, jam tangan yang sering dipilihnya yang biasanya merek yang menglobal atau produk impor. Sobur (2006) mengungkapkan bahwa, dalam hal merek, merek bukanlah sekedar nama. Di dalamnya terkandung sifat, makna, arti, dan isi dari produk yang bersangkutan, orang membedakan mutu produk berdasarkan merek. Perkembangan lebih lanjut, merek akan menandai 17 simbol dan status dari produk tersebut. Katakana sekarang produk impor atau merek-merek global macam Gianni Versace, Nike, Hermes, Kenzo, Kickers, Gucci, Elisabeth Ardan, Adidas, Michael Kors, Tom Taylor, Esprith, dan Charles & Keith. Ketika seseorang megingat merek-merek tersebut, asosiasi orang langsung tertuju pada symbol kencantikan dan kemewahan Sobur (2006). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya hidup brand minded lebih menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana ia hidup, menggunakan uangnya, dan memanfaatkan waktu yang berorientasi pada penggunaan produk merek eksklusif atau produk impor. 2. Dimensi Gaya Hidup Nas dan Sande (dalam Sobur, 2006) mengungkapkan bahwa, konsep gaya hidup dirinci kedalam lima dimensi, yaitu: a. Mofologi Sebagai aspek lingkungan dan geografi dari gaya hidup, dimensi ini melihat sejauh mana individu menggunakan kota dan fasilitasnya. Dari dimensi ini dapat dilihat, misalnya, apakah aktivitas individu terbatas pada suatu bagian kota tertentu saja, misalnya selalu belanja ditempat yang sama dalam memenuhi semua kebutuhannya, atau aktivitasnya melibatkan segala fasilitas perkotaan yang ada, misalnya berbelanja keberbagai pusat perbelanjaan, atau bahkan ke luar kota, sesuai jenis barang yang dicari. 18 b. Hubungan sosial Dimensi ini menggali pola hubungan sosial individu. Seperti diketahui, setiap orang memiliki beberapa lingkaran pergaulan. c. Domain Melalui dimensi ini diperoleh informasi mengenai aktivitas yang ditekankan didalam jaringan sosial, serta peran apa yang dinilai berharga oleh individu. d. Makna Dimensi ini menggali bagaimana individu memberi makna pada kegiatankegiatannya. Seperti diketahui, individu dapat memiliki tingkah laku yang sama walaupun worldview yang mendasari tingkah laku tersebut berbeda. e. Style Dimensi yang menampilkan aspek lahiriah dari gaya hidup ini menggunakan simbol-simbol dan memberikan nilai simbolik pada objekobjek disekitarnya. Hawkins dan Mothersbaugh (2007) mengungkapkan bahwa, gaya hidup brand minded memiliki beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur gaya hidup konsumen atau disebut psikografik, yaitu: a. Aktivitas Dimensi aktivitas ini meliputi apa yang dilakukan oleh individu atau konsumen, apa yang dibeli, dan bagaimana mereka menghabiskan waktunya. Individu yang bergaya hidup brand minded cenderung menghabiskan waktu dan uangnya untuk belanja di pusat perbelanjaan 19 atau butik-butik tertentu yang menjual barang-barang yang memiliki merek eksklusif atau terkenal. b. Minat Dimensi ini mencakup preferensi dan prioritas individu atau konsumen dalam memilih produk yang akan digunakannya. Individu dengan gayabrand minded memiliki minat yang tinggi terhadap penampilannya, sehingga individu tersebut cenderung menggunakan produk-produk dengan merek yang eksklusif atau terkenal agar dapat menunjang penampilan di dalam lingkungan sosial. c. Opini Dimensi opini ini terdiri dari pandangan dan perasaan individu atau konsumen terhadap produk-produk yang ada di kehidupannya, baik yang lokal ataupun internasional. Individu dengan gaya hidup brand minded cenderung memiliki pandangan dan perasaan positif terhadap produkproduk dengan merek eksklusif atau terkenal yang merupakan produk internasional. d. Nilai Nilai secara luas mencakup keyakinan mengenai apa yang diterima atau diinginkan. Individu dengan gaya hidup brand minded memiliki keyakinan bahwa produk-produk ekslusif atau terkenal dapat meningkatkan gengsi dan harga dirinya. Mereka beranggapan dengan memakai produk-produk tersebut akan mencerminkan siapa diri mereka. 20 e. Demografi Dimensi demografi ini mencakup usia, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, stuktur keluarga, latar belakang budaya, gender, dan lokasi geografis dari individu atau konsumen. Hawkins dan Mothersbaugh (2007) mengungkapkan bahwa, penelitian dapat menggunakan dua atau tiga dimensi pertama psikografik tersebut untuk suatu kelompok individu. Pengukuran psikografik dapat dilakukan secara makro dan merefleksikan bagaimana individu hidup secara umum, atau bisa secara mikro menjelaskan sikap dan perilaku mereka terhadap suatu produk atau aktivitas tertentu. Sejalan dengan Sumarwan (2003), psikografik adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif dan bisa menganalisis data yang besar. Analisis psikografik sering diartikan sebagai suatu riset konsumen yang menggambarkan segmen konsumen dalam hal kehidupan mereka, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Sumarwan (2003) mengungkapkan bahwa psikografik merupakan pengukuran kuantitatif gaya hidup, kepribadian, demografik konsumen. Psikografik sering diartikan sebagai pengukuran AIO (activitiy, interst, opinion), yaitu pengukuran kegiatan, minat, pendapat konsumen. Studi psikografik bisa dalam beberapa bentuk Solomon (dalam Sumarwan, 2003) seperti diuraikan berikut: a. Profil gaya hidup (a lifestyle profile), yang menganalisis beberapa karakteristik yang membedakan antara pemakai dan bukan pemakai produk. 21 b. Profil produk spesifik ( a produk specific profile) yang mengidentifikasi kelompok sasaran kemudian membuat profil konsumen tersebut berdasarkan dimensi produk yang relevan. c. Studi yang menggunakan kepribadian ciri sebagai faktor yang menjelaskan, menganalisis kaitan beberapa variable dengan kepribadian ciri, misalnya kepribadian ciri yang sangat terkait dengan konsumen yang sangat memperhatikan lingkungan. d. Segmentasi gaya hidup (a general lifestyle segmentation), membuat pengelompokkan responden berdasarkan persamaan preferensinya. e. Segmentasi produk spesifik merupakan studi yang mengelompokkan konsumen berdasarkan kesamaan produk yang dikonsumsinya. Berdasarkan uraian di atas, dimensi yang dikemukakan oleh Hawkins dan Mothersbaugh (2007) dapat mempresentasikan definisi gaya hidup secara lengkapdan merefleksikan bagaimana individu hidup secara umum, serta dapat menjelaskan sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu produk atau aktivitas tertentu. Oleh karena itu, dimensi dari Hawkins digunakan sebagai dasar penyusunan skala gaya hidup brand mindeddalam penelitian ini. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup Brand Minded Wijokongko (1995) menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi gaya hidup dapat dikelompokkan menjadi faktor eksternal dan faktor internal, yaitu : 22 a. Faktor Eksternal : 1) Kebudayaan Individu sebagai anggota dari masyarakat dipengaruhi oleh nilai budaya yang ada dalam lingkungan masyarakatnya dalam wujud pengetahuannya tentang apa yang biasa dilakukan, keyakinan yang dianut, konsep moral tentang baik buruk. 2) Nilai sosial Masuknya budaya dari luar lingkungan seringkali mengakibatkan adanya konflik-konflik nilai yang dianut. Penggeseran nilai akibat masuknya budaya dari luarakan mengakibatkan berubahnya gaya hidup. 3) Demografis Adanya kelompok usia tertentu yang melahirkan perbedaan gaya hidup, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan juga memperlihatkan perbedaan gaya hidup. Perbedaan gaya hidup ini juga tampak pada latar belakang etnis tertentu. 4) Status sosial Adanya pembagian secara tidak langsung status sosial dalam masyarakat juga mempengaruhi gaya hidup dari tiap-tiap strata yang ada. 5) Kelompok referensi Berbagai norma dalam kelompok opini dari pemimpin kelompok, konformitas kelompok sangat berpengaruh terhadap gaya hidup individu anggota kelompok. 23 6) Rumah tangga Setiap keluarga memiliki gaya hidup tersendiri yang dipengaruhi oleh komposisi anggota keluarga, siapa yang mengambil keputusan dalam keluarga dan dinamika interaksi dalam keluarga. b. Faktor Internal : 1) Persepsi Informasi dari faktor eksternal yang diperoleh melalui pengindraan dalam proses pengolahannya sangat tergantung pada minat dan kebutuhan, kelompok referensi, situasi saat menerima informasi, juga hal-hal yang dianut oleh individu tersebut. 2) Memori (proses belajar dan ingatan) Semakin banyak pengalaman yang dimiliki berarti orang tersebut mempelajari berbagai hal. Orang yang memiliki banyak pengalaman akan lebih efektif dalam mencari sumber informasi yang dibutuhkan karena adanya proses belajar dan ingatan tentang hal-hal yang pernah dialami. 3) Motif dan kepribadian Motif adalah pendorong dan pengaruh perilaku seseorang. Gaya hidup seseorang jelas dipengaruhi oleh bagaimana ia memenuhi kebutuhan terutama yang berpengaruh pada gaya hidup adalah kebutuhan psikologis dengan pola konsisten. 4) Konsep diri Pada hakikatnya konsep diri adalah sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan gaya hidup dianggap sebagai manifestasi yang tampak dari 24 konsep diri seseorang. Oleh karena itu tampak bahwa orang tidak pernah merasa puas terhadap dirinya dan selalu menginginkan adanya perubahan kearah yang lebih. B. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Sarwono (2009) mengungkapkan bahwa, konsep diri (self-concept) merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa dirinya. Menurut Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan lain sebagainya. Konsep diri bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul, pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial. Menurut Cooley (dalam Sarwono 2009), lewat analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya. Apa yang dipikirkan orang lain tentang kita menjadi sumber informasi tentang siapa diri kita. Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang terorganisir mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk menginterpretasikan pengalaman. Menurut Lindgren (dalam Pudjijogyanti, 1995), konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang di sekitarnya. Apa yang dipersepsikan individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari 25 struktur, peran, dan status sosial yang disandang individu. Struktur, peran, dan status sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Adanya struktur, peran dan status sosial yang menyertai persepsi individu lain terhadap individu merupakan petunjuk bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh faktor sosial. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Kurt Lewin (dalam Pudjijogyanti, 1995), yaitu perilaku individu merupakan fungsi dari karakteristik individu dan karakteristik lingkungan. Menurut Chaplin (2011), konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Sobur (2006) konsep diri adalah semua persepsi terhadap aspek diri meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pengertian ini sejalan dengan Brooks (dalam Rakhmat, 2001) yang menggungkapkan bahwa konsep diri adalah persepsi terhadap diri individu, baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi individu dengan orang lain. Selanjutnya Fitts (1996) mengatakan bahwa apabila individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, maka hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana yang dilakukan terhadap objek-objek lain yang ada di kehidupannya. 26 Pendapat lain mengenai konsep diri dikemukakan oleh Yusuf dan Nurihsan (2007), yaitu a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang terhadap dirinya, b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya, dan c) suatu sitem pemaknaan individu dan pandangan orang lain tentang dirinya. Sedangkan menurut Agustiani (2009) menerangkan konsep diri sebagai gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri dibentuk melalui pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan tetapi berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensial. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari. Adapun konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995) adalah gambaran tentang diri individu yang terdiri dari pengetahuan tentang dirinya, pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Pengetahuan diri setiap individu merupakan informasi yang dimiliki individu tersebut mengenai dirinya, misalnya jenis kelamin, usia, penampilan, dan sebagainya. Pengharapan bagi individu merupakan gagasan individu tentang kemungkinan menjadi apa kelak. Penilaian individu tentang dirinya sendiri merupakan pengukuran yang dilakukan individu sendiri tentang keadaan dirinya yang dibandingkannya dengan apa yang menurut individu itu dapat dan seharusnya terjadi pada dirinya. Penilaian diri menentukan tingkat harga diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki. Semakin 27 tidak baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula konsep diri yang dimiliki. Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa konsep diri yang positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk perilaku positif dan perilaku negatif. Konsep diri merupakan suatu asumsi atau skema diri mengenai kualitas personal yang meliputi penampilan fisik (tinggi, pendek, berat, ringan,dsb), kondisi psikis (pemalu, kalm, pencemas, dsb), dan kadangkadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama (Helmi, 1999). Konsep diri dapat dikatakan merupakan sekumpulan informasi kompleks yang berbeda yang dipegang oleh seseorang tentang dirinya (Baron dan Byrne, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, konsep diri adalah gambaran individu yang berupa asumsi, persepsi, konsepsi, serta evaluasi tentang diri individu yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain. 2. Ciri-ciri Konsep Diri Individu Berdasarkan pendapat Calhoun dan Acocella (1995), dalam perkembangannya konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 28 a. Konsep diri positif Menurut Calhoun dan Acocella (1995), konsep diri positif bukan didasarkan atas kebanggaan yang besar tentang dirinya, namun lebih berupa penerimaan diri. Wiclund dan Frey (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menggungkapkan bahwa yang menjadikan penerimaan diri kepada bentuk konsep diri positif adalah dikarenakan seseorang individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang positif lebih bersifat stabil dan bervariasi. Selanjutnya, Chodorkoff (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menyatakan, bahwa konsep diri positif ini berisi berbagai kotak kepribadian, sehingga individu dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik itu informasi yang negaif ataupun positif. Jadi, individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Dengan mampu menyerap semua informasi, maka individu dengan konsep diri positif tidak akan merasa terancam dengan informasi-informasi negatif. Konsep diri positif yang dimiliki individu adalah adanya kemampuan yang luas dari dalam dirinya yang dapat menampung seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi positif. Individu dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa individu yang memiliki konsep diri yang positif tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau bahkan dia gagal mengenali kesalahan. Namun, individu tersebut merasa tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah untuk eksistensinya. 29 Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang tujuantujuan yang sesuai dengan realistis, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan (Calhoun dan Acocella, 1995). Menurut Brooks dan Emmet (dalam Rakhmat, 2001), orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu: 1) Yakin akan kemampuan mengatasi masalah, 2) Merasa setara dengan orang lain, 3) Menerima pujian tanpa rasa malu, 4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak semuanya disetujui masyarakat, 5) Mampu memperbaiki dirinya karenamampu mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. Adapun Hamchek (dalam Rakhmat, 2001) mengungkapkan sebelas karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif, yaitu: 1) Meyakini nilai dan prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, meskipun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi individu tersebut juga merasa cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu apabila bukti baru menunjukkan bahwa dirinya bersalah. 2) Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. 30 3) Tidak menghabiskan waktu yang perlu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, apa yang telah terjadi dimasa lalu, dan apa yang terjadi waktu sekarang. 4) Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika dirinya menghadapi kegagalan atau kemunduran. 5) Merasa sama dengan orang lain sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. 6) Sanggup menerima dirinya sebagai orang penting dan bernilai bagi orang lain. 7) Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. 8) Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. 9) Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa dirinya mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan dari perasaan marah sampai cinta, sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. 10) Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu. 11) Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa dirinya tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. 31 b. Konsep diri negatif Menurut Calhoun dan Acocella (1995), konsep diri negatif dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri yang benar-benar tidak teratur individu tersebut tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dalam artian individu dengan konsep diri negatif benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahan, atau apa yang dihargai dalam hidupnya. 2) Pada jenis kedua, konsep diri itu terlalu stabil dan teratur. Dengann kata lain, konsep diri negatif yang kedua bersifat kaku. Pada kedua konsep diri negatif, informasi baru tentang diri yang dialami seorang individu hampir pasti menjadi penyebab kecemasan dan rasa ancaman terhadap dirinya. Individu dengan konsep diri negatif selalu mengubah konsep dirinya atau individu tersebut melindungi konsep dirinya yang kaku. Dengan cara mengubah atau menolak semua informasi baru yang bertentangan dengan konsep diri yang telah ditetapkannya. Berkaitan dengan dimensi evaluasi diri, individu dengan konsep diri negatif menurut dimensinya meliputi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri. Individu dengan konsep diri negatif ini tidak pernah cukup baik, apapun yang diperolehnya tampaknya tidak berharga bila dibandingkan dengan orang lain. Terdapat lima tanda individu yang memiliki konsep diri negatif Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2001) yaitu: 32 1) Peka kritik Individu dengan konsep diri negatif sangat tidak tahan terhadap kritik yang diterima dan mudah marah. Bagi individu koreksi sering dipersepsikan sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. 2) Responsif terhadap pujian Walaupun individu mungkin berpura-pura menghindari pujian, namun dirinya tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Individu dengan konsep diri negatif, segala macam atribut yang mendukung harga dirinya akan menjadi pusat perhatiannya. 3) Hiperkritis terhadap orang lain Bersamaan dengan kesenangannya akan pujian, individu akan hiperkritis terhadap orang lain, mengeluh, mencela atau meremehkan apa pun dan siapa pun. 4) Merasa tidak disenangi orang lain Individu dengan konsep diri negatif merasa bahwa dirinya tidak disenangi oleh orang lain. Merasa tidak diperhatikan dan bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban. Individu ini tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak benar. 5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi Individu dengan konsep diri negatif akan bersikap pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam ketidakmauan untuk bersaing dengan 33 orang lain dalam membuat prestasi. Individu ini akan menganggap dirinya tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. 3. Aspek-aspek Konsep Diri Aspek dari konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995), adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan Pengetahuan yang dimaksud adalah apa yang diketahui oleh individu mengenai dirinya. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain, dan sesuatu yang merujuk pada istilah-istilah kualitas seperti individu yang egois, baik hati, tenang, bertemperamen membandingkan diri tinggi. individu Pengetahuan dengan bisa kelompok diperoleh dengan pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berupa dengan cara mengubah kelompok pembanding. b. Harapan Selain individu memiliki pandangan satu set tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu kemungkinan menjadi apa masa depan yang akan datang. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya, dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu. c. Penilaian Individu berkedudukan sebagai penilai bagi dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap dirinya sendiri merupakan pengukuran individu tentang 34 keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya. Menurut Yusuf dan Nurihsan (2007) konsep diri memiliki tiga komponen, yaitu: a. Perceptual atau physical self concept Citra seseorang mengenai penampilan dirinya, seperti: kecantikan, keindahan, atau kemolekan tubuhnya. b. Conceptual atau psychological self concept Merupakan konsep seseorang tentang kemampuan atau keunggulanya dan ketidakmampuan atau kelemahan yang ada pada dirinya, masa depan, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya. c. Attitudinal Menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap penghargaan, kebanggaan, dan keterhinaanya. Selanjutnya menurut Berzonsky (1981), aspek konsep diri antara lain : a. Diri fisik (Physical self) Diri fisik mencakup semua hal nyata yang dimiliki seseorang meliputi: tubuh, pakaian, mobil, benda-benda miliknya, dan tempat peristirahatan. Aspek utamanya adalah tubuh, dan citra tubuh seseorang tampaknya menjadi dasar mengkonsepkan dirinya sendiri b. Diri sosial (Social self) 35 Diri sosial terdiri dari peranan-peranan sosial yang dimainkan individu serta tentang penilaian individu terhadap kinerja peran tersebut.Masing-masing peran melibatkan harapan-harapan sosial tentang bagaimana mereka diharapkan berperilaku.Diri sosial melibatkan pernyataan tentang efektivitas individu dalam memenuhi harapan tersebut. c. Diri moral (Moral self) Diri moral termasuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberikan arti dan arahan bagi kehidupan individu. Pada masa remaja beberapa mulai mengajukan pertanyaan seperti :“ Apa yang harus saya percaya?”, “Apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya?”.Pertanyaan ini seperti menyiratkan perhatian dengan melampaui penerimaan sosial dianggap (konvensional) peran, tujuan, dan norma-norma dan setidaknya mempertimbangkan nilainilai dan prinsip-prinsip sendiri yang dapat dibenarkan secara pribadi (yaitu bukan hanya apa yang seharusnya saya percaya dan berusaha, tetapi apa yang berarti bagi saya pribadi). d. Diri psikologis (Psychological self) Diri psikologi meliputi segala pikiran, perasaan, dan sikap individu tentang dirinya yang terkonseptualisasikan.Perubahan psikologis dapat terjadi pada masa remaja sebagai akibat dari perkembangan kognitif.Prosese pembentukan identitas diri selama masa remaja dianggap oleh Erikson muncul untuk melibatkan semacam pemeriksaan diri. Sementara hamper semua individu memiliki pengetahuan tentang batinnya, tetapi tidak semua orang mengetahui 36 tentang hal itu, krisis identitas muncul untuk melibatkan tingkat yang lebih tinggi dari kesadaran diri Hurlock (2006) mengatakan bahwa, setiap macam konsep diri mempunyai aspek fisik dan aspek psikologis. Kedua aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Aspek fisik Aspek fisik terdiri dari konsep yang dimiliki individu mengenai penampilan, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilaku, dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain. b. Aspek psikologis Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuan, harga diri, dan hubungan dengan orang lain. Uraian di atas menunjukkan bahwa, aspek-aspek konsep diri terdiri dari aspek fisik, aspek sosial, aspek moral, dan aspek psikologis.Masing-masing aspek berisi pengetahuan, harapan, dan penilaian individu pada dirinya sendiri.Penelitian ini menggunakan aspek-aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Benzonsky (1981) dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut dirasa lebih luas dalam mengungkap konsep diri dan dapat menjelaskan konsep diri secara komprehensif. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menjelaskan bahwa, dalam perkembangan konsep diri individu, sumber informasi yang digunakan adalah interaksi individu dengan orang lain di sekitarnya. Konsep diri tidak terbentuk 37 secara spontan sewaktu individu lahir, akan tetapi konsep diri terbentuk seiring dengan perkembangan dan proses belajar sepanjang kehidupan individu. Seperti yang diungkapkan oleh Rakhmat (2001) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu: a. Orang lain Tidak semua orang mempunyai pengaruh yang sama terhadap seseorang. Ada yang paling berpengaruh yaitu orang paling dekat. Ketika masih kecil orang yang paling dekat adalah orang tua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal satu rumah. Selain itu orang-orang yang mempunyai ikatan emosional, secara perlahan-lahan dapat membentuk konsep diri. Senyuman, pujian, penghargaan, dan pelukan dapat menyebabkan penilaian secara positif terhadap diri sendiri, sedangkan ejekan, cemoohan, dan hardikan dapat membuat pandangan yang negatif terhadap diri sendiri. b. Kelompok rujukan Kelompok rujukan merupakan kelompok yang secara emosional mengikat seseorang dan mempunyai norma-norma tertentu sehingga dengan melihat kelompok tersebut seseorang akan mengarahkan perilaku dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Menurut Brooks (dalam Sobur, 2006) menjelaskan bahwa, terdapat empat faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang, yaitu: a. Self appraisal-viewing self an object Istilah ini menunjukkan suatu pandangan yang menjadikan diri sendiri sebagai objek dalam komunikasi atau dengan kata lain adalah kesan individu 38 terhadap diri sendiri. Jadi individu membentuk kesan-kesannya tentang dirinya sendiri. b. Reaction and response of others Konsep diri tidak hanya berkembang melalui pandangan individu terhadap diri sendiri, namun juga berkembang dalam rangka interaksi individu dengan masyarakat. Oleh sebab itu, konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri individu. c. Role you play-role taking Peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Hubungan peran terhadap konsep diri adalah adanya aspek peran yang individu mainkan sedikit banyak akan mempengaruhi konsep diri sendiri. Misalnya, ketika seseorang masih kecil, ia sering bermain peran dan meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Meniru ekspresi orang lain, misalnya cara tersenyum, cara marah orang yang kerap ia lihat. Permainan peran ini yang merupakan awal dari pengembangan konsep diri. Melalui permainan peran ini individu mulai memahami cara orang lain memandang dirinya. d. Reference group Reference group atau kelompok rujukan merupakan kelompok individu menjadi anggota di dalamnya. Apabila kelompok ini dianggap penting, dalam artian kelompok ini dapat menilai dan bereaksi pada individu, hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri individu. Menurut penelitian yang dilakukan Brooks (dalam Sobur, 2006) menunjukkan bahwa cara 39 individu menilai diri sendiri merupakan bagian dari fungsi individu dievaluasi oleh kelompok rujukan. Sikap yang menujukkan rasa tidak senang atau tidak setuju terhadap kehadiran seseorang,biasanya dipergunakan sebagai bahan komunikasi dalam penilaian kelompok terhadap perilaku seseorang. Komunikasi tersebut dapat mengembangkan konsep diri seseorang sebagai akibat dari terdapatnya pengaruh kelompok rujukan. Semakin banyak kelompok rujukan yang menganggap individu positif , semakin positif pula konsep diri individu. C. Konformitas 1. Pengertian Konformitas Chaplin (2011) mengartikan konformitas menjadi dua pengertian yaitu kecenderungan untuk memperbolehkan suatu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku. Pengertian yang lain yaitu ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Menurut Cialdini dan Goldstein ( dalam Taylor, dkk. 2009), konformitas merupakan tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku orang lain. Kebanyakan individu dianggap bebas memilih pakaian yang dikenakannya sendiri. Akan tetapi, individu sering lebih suka mengenakan pakaian seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka dan karenanya mengikuti tren terbaru. Adapun Menurut Sears, dkk. (2006), konformitas merupakan istilah untuk menggambarkan keadaan dimana individu 40 menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya. Konformitas bersifat adaptifkarena individu perlu menyesuaikan diri dengan orang lain dan tindakan orang lain bisa memberikan informasi mengenai cara yang paling baik untuk bertindak dalam keadaan tertentu. Menurut Baron dkk. (dalam Sarwono 2009), konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Norma sosial, dapat berupa Injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan atau descriptive norms, yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Selanjutnya Sarwono dan Meinarno (2009) mengemukakan, bahwa melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dapat disebut dengan konformitas. Norma sosial dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Dengan mengikuti norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, individu dapat mengkomunikasikan perasaan dengan jelas dan menghindari kesalahpahaman yang tidak menyenangkan atau memalukan. Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2001) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat, 41 sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal individu. Selanjutnya Myers (2012) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau keyakinan individu karena tekanan kelompok baik yang nyata ataupun yang dibayangkan individu. Taylor, dkk. (2009) mengatakan bahwa konformitas adalah secara sukarela melakukan tindakan karena orang lain juga melakukannya. Berdasarkan pengertian yang dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, konformitas merupakan perubahan sikap dan perilaku individu sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma atau harapan yang dibentuk kelompok baik nyata ataupun hanya dibayangkan oleh individu sendiri, agar dapat diterima dalam kelompok dan sebagai bentuk interaksi di dalam kelompok. 2. Aspek-aspek Konformitas Sears, dkk. (2006) mengemukakan bahwa, terdapat dua aspek pembentuk konformitas, yaitu: a. Pengaruh informasi Orang lain atau kelompok dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi individu. Oleh karena itu, informasi yang dimiliki individu dapat mempengaruhi konformitas. Menurut Sears, dkk. (2006), tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh dua aspek, yaitu: 42 1. Kepercayaan terhadap kelompok Sears, dkk. (2006) mengemukakan, bahwa semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, maka akan semakin besar konformitas individu terhadap kelompok. Demikian pula, bila kelompok memiliki informasi yang tidak diketahui individu, konformitas akan meningkat. 2. Kepercayaan terhadap penilaian sendiri Sears, dkk. (2006) mengemukakan, bahwa tingkat keyakinan individu terhadap kemampuan sendiri dapat mempengaruhi tingkat konformitas. Semakin individu percaya terhadap keyakinannya, maka tingkat konformitasnya akan menurun. Sebaliknya bila individu tidak yakin terhadap kemampuannya, maka kecenderungan untuk mengikuti penilaiaan kelompok akan semakin tinggi. b. Rasa takut terhadap celaan sosial Menurut Sears, dkk. (2006), bahwa individu merasa takut terhadap penyimpangan karena takut akan sanksi celaan sosial dari kelompok. Rasa takut akan dianggap berbeda dalam situasi sosial, membuat individu menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Individu menginginkan agar kelompok menyukainya, diperlakukan dengan baik, dan diterima. Individu menyesuaikan diri untuk menghindari selisih paham dan tidak disukai oleh kelompoknya. 43 Selanjutnya menurut Myers (2012), terdapat dua aspek konformitas, yaitu: a. Pengaruh normatif Pengaruh normatif merupakan penyesuaian diri individu berdasarkan harapan dan keinginan orang lain untuk mendapatkan penerimaan (Myers, 2012). Individu berusaha untuk mengikuti standar norma yang berlaku untuk memenuhi harapan orang lain. Apabila norma itu dilanggar maka individu akan mengalami penolakan atau pengucilan oleh kelompok. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne (2005) yaitu individu melakukan konformitas agar disukai oleh kelompok atau paling tidak untuk menghindari penolakan dari kelompok. b. Pengaruh informasional Pengaruh informasional merupakan penyesuaian diri individu dengan menerima petunjuk, opini, atau informasi kelompok sebagai pedoman bagi perilaku atau pendapat sendiri (Myers, 2012). Individu menerima asumsi kelompok karena beranggapan bahwa kelompok lebih kaya informasi dibandingkan dengan dirinya sendiri. Individu ingin merasa benar dan memiliki persepsi yang tepat mengenai norma sosial. Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek konformitas yang dikemukakan oleh Myers (2012) dapat mempresentasikan definisi konformitas secara lengkap. Oleh karena itu, aspek-aspek dari Myers yaitu pengaruh normatif dan pengaruh informasional digunakan sebagai dasar penyusunan skala konformitas dalam penelitian ini. 44 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas Menurut Rakhmat (2001), konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas tersebut, yaitu: a. Faktor-faktor situasional Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok. 1) Kejelasan situasional Penelitian Sheriff (dalam Rakhmat, 2001) menyimpulkan bahwa semakin tidak jelas dan makin tidak berstruktur situasi yang dihadapi, maka semakin besar kecenderungan individu untuk mengikuti kelompok. 2) Konteks situasi Individu akan melakukan konformitas pada kelompok, bila individu menyadari bahwa kelompok akan semakin menyukainya jika individu sepakat dengan pendapat dan keyakinan kelompok. 3) Cara menyampaikan penilaian Cara individu menyatakan penilaian dan perilaku juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, individu akan melakukan konformitas bila mereka harus menyatakan responsnya dibandingkan mengungkapkan secara rahasia. secara terbuka 45 4) Karakteristik sumber pengaruh Individu yang menyatakan pendapat atau keyakinan berpengaruh pula pada konformitas. Bila yang menyatakan pendapat adalah orang yang dihormati dalam kelompok, maka kecenderungan konformitas akan semakin tinggi. 5) Ukuran kelompok Sarwono dan Meinarno (2009) mengemukakan bahwa semakin besar ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak orang yang mengikutinya. 6) Tingkat kesepakatan kelompok Pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya tergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Semakin besar anggota kelompok yang setuju, maka semakin tinggi tingkat konformitas. b. Faktor-faktor personal Faktor-faktor personal yang erat kaitanya dengan konformitas antara lain usia, jenis kelamin, stabilitas emosiaonal, kecerdasan, motivasi, dan harga diri. 1) Usia Pada umumnya, semakin tinggi usia individu, maka ia akan semakin mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan semakin mengurangi kecenderungan konformitas. 46 2) Jenis kelamin Wanita biasanya lebih cenderung melakukan konformitas dibandingkan dengan pria. 3) Stabilitas emosional Individu yang emosinya kurang stabil, lebih mudah mengikuti kelompok daripada individu yang emosinya stabil. 4) Kecerdasan Menurut Rakhmat (2001) semakin tinggi kecerdasan individu, maka kecenderungan melakukan konformitas akan semakin rendah. 5) Motivasi Menurut Rakhmat (2001) motivasi berprestasi, motivasi aktualisasi diri, dan konsep diri yang positif dapat menghambat konformitas. Makin tinggi hasrat berprestasi individu, akan diikuti dengan meningkatnya kepercayaan diri, dan makin sulit untuk dipengaruhi tekanan kelompok. 6) Harga diri Individu dengan harga diri yang tinggi, umumnya memiliki tingkat konformitas yang rendah. Sears, dkk. (2006) mengemukakan bahwa, konformitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Kekompakan kelompok Semakin besar rasa suka anggota yang satu dengan anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan 47 kelompok, serta meningkatkan semakin kekompakan besar kesetiaan kelompok. mereka, Kekompakan akan yang semakin tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasannya karena bila individu merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi kelompok untuk mengakui individu, dan semakin menyakitkan bila anggota lain mencela karena individu tersebut tidak mengikuti norma kelompok. b. Kesepakatan kelompok Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu, akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. c. Ukuran kelompok Sears, dkk. (2006) mengungkapkan, bahwa ukuran besar kelompok dapat mempengaruhi konformitas. Semakin besar kelompok, maka akan semakin meningkatkan konformitas pada individu. Baron dan Byrne (2005) menjelakan tiga faktor yang mempengaruhi konformitas sebagai berikut: a. Kohesivitas kelompok Kohesivitas didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian darinya. Semakin menarik suatu kelompok bagi individu, maka akan semakin besar kemungkinan individu untuk melakukan konformitas terhadap norma dan keyakinan kelompok tersebut. 48 b. Ukuran kelompok Besar ukuran kelompok dapat mempengaruhi konformitas individu. Semakin besar ukuran suatu kelompok, maka semakin besar pula kecenderungan individu untuk mengikuti norma kelompok, meskipun norma tersebut tidak sesuai dengan keyakinan individu. c. Tipe norma sosial Terdapat dua norma sosial yaitu norma deskrptif atau himbauan (descriptive norms) dan norma injunctive atau perintah (injunctive norms). Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injunctive adalah norma yang menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima dalam situasi tertentu. Individu akan lebih patuh apabila suatu norma relevan dan signifikan untuk individu tersebut. D. Hubungan antara Konsep Diri dan Konformitas dengan Gaya Hidup Brand Minded pada Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 1. Hubungan antara Konsep Diri dengan Gaya HidupBrand Minded Mahasiswi dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada pada rentang usia 18 sampai21 tahun. Sifat mahasiswi yang suka memakai pakaian yang bagus, tas bermerek, sepatu bermerek dan perlengkapan lainnya menyebabkan mereka berupaya untuk menggunakan barang bermerek tersebut. 49 Kebanyakan wanita membeli merek produk fashion mewah karena wanita lebih dalam untuk menunjukkan diri mereka di depan semua orang, mereka ingin terlihat berbeda, dan mereka ingin mendapat pengakuan dari orang lain (Nas and Lahdi, 2015). Hal ini mempengaruhi pembentukan image individu atau bagaimana seseorang dipersepsikan oleh orang lain melalui simbol status yang dimiliki. Mahasiswi yang merasa kurang puas dengan dirinya dan ingin tampil menarik serta diterima dilingkungannya terkadang melakukan hal yang kurang tepat. Mereka seringkali mengikutigaya penampilan artis atau idola yang menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat tampil sempurna. Banyaknya perubahan dalam kehidupan mahasiswi secara tidak langsung memberikan gambaran yang menampilkan gaya hidup, yaitu diantaranya gaya hidup brand minded. Gaya hidup yang mengutamakan merek atau penggunaan produk impor disebut gaya hidup brand minded. Sumarwan (2003) mengungkapkan bahwa, gaya hidup sering digambarkan dengan kegiatan, minat, dan opini dari seseorang (activities, interests, and opinions). Sedangkan menurut Sobur (2006) gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian, dan gaya hidup digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian. Dalam hal ini adalah gaya hidup brand minded dikalangan mahasiswi yang menggunakan produk fashion merek eksklusi atau produk impor. Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa, gaya hidup mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya, dan apa 50 yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian menurut McNeal (2007) bahwa, pengertian dari brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objekobjek komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal. Bahwa gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor. Faktor kepribadian merupakan faktor internal yang memainkan peranan penting dalam menentukan perilaku seseorang (Pujijogyanti, 1995). Menurut Hurlock (2006), konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian seseorang. Faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi gaya hidup brand minded adalah konsep diri. Menurut Deaux, dkk. (dalam Sarwono 2009) konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan lain sebagainya. Chaplin (2011), menjelaskan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Penilaian diri menentukan tingkat harga diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki. Semakin tidak baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula konsep diri yang dimiliki. Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa konsep diri yang positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk perilaku positif dan perilaku negatif. Dalam hal ini, bagaimana individu berpikir dan berperilaku tentang gaya hidupnya dapat dipengaruhi oleh konsep diri yang dimilikinya. Dari uraian di atas 51 dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga terdapat hubungan antara konsep diri dengan gaya hidup brand minded. Diduga semakin tinggi konsep diri yang dimiliki oleh individu, akan semakin rendah tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konsep diriyang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi pula tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. 2. Hubungan antara Konformitas dengan Gaya Hidup Brand Minded Kemajuan dunia fashion seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju secara tidak langsung menpengaruhi gaya hidup individu. Menurut Moven dan Minor (2001) gaya hidup didefinisikan secara sederhana bagaimana seseorang hidup. Gaya hidup (life style) menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana mereka membelanjakan uangnya, dan bagaimana mereka mengalokasikan waktu mereka. Dalam hal ini wanita khususnya mahasiswi yang menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat sesuai dengan teman sebayanya. Bagi sebagian mahasiswi merek dapat memberikan kepuasaan pada dirinya serta mereka beranggapan bahwa produk impor memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan produk lainnya. Mahasiswi pada umumnya berusia di atas tujuh belas tahun, namun tidak semua dari mereka dapat memilih lingkungannya. Sesuai dengan tahapan perkembangan yang mereka miliki, lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan perilakunya. Perkembangan mode dan tren yang diikuti teman sebaya atau lingkungannya akan cenderung diikuti. 52 Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan, bahwa gaya hidup mencakup produk apa yang beli, bagaimana menggunakannya, dan apa yang pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian McNeal (2007) menjelaskan bahwa, pengertian brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor. Adanya kebutuhan yang tinggi dalam berteman menggambarkan kecenderungan gaya hidup pada mahasiswi untuk selalu mengerjakan aktivitas secara bersama-sama dengan teman-temannya. Hal ini menjadikan mahasiswi akan menyesuaikan diri dengan kelompoknya, yaitu salah satunya dengan menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor yang sama dengan teman-temannya. Perilaku ini dilakukan karena individu tersebut ingin diterima dalam kelompoknya, hal ini sering disebut dengan konformitas. Menurut Sears, dkk. (2006), konformitas merupakan istilah untuk menggambarkan keadaan dimana individu menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya. Kebanyakan individu dianggap bebas memilih pakaian yang dikenakannya sendiri. Akan tetapi, individu sering lebih suka mengenakan pakaian seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka dan karenanya mengikuti tren terbaru. Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2001) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Besarnya pengaruh 53 kelompok dikarenakan mahasiswi lebih banyak berada diluar rumah bersama teman-temannya atau kelompoknya daripada bersama keluarganya. Adanya dorongan mengadakan hubungan dengan orang lain menjadikan mahasiswi sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan kelompoknya, salah satunya dengan menggunakan produk bermerek eksklusif atau produk impor yang sama dengan teman-temannya. Konformitas yang dilakukan mahasiswi dengan menggunakan produk merek internasional menyebabkan mereka cenderung boros dan menghabiskan uangnya untuk menunjang penampilannya. Hal ini dilakukan karena mereka merasa lebih percaya diri serta mendapat pegakuan dari temantemannya. Dari uraian di atas dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga terdapat hubungan antara konformitas dengan gaya hidup brand minded. Semakin tinggi konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin rendah pula tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. 3. Hubungan antara Konsep Diri dan Konformitas dengan Gaya Hidup Brand Minded Kemajuan dunia fashion yang semakin pesat dan beragam menjadikan para konsumen menginginkan berbagai produk fashion terbaru. Berbagai produk fashion seperti pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris menjadi kebutuhan yang selalu ingin terpenuhi oleh wanita. Perkembangan tersebut membuat individu 54 mengalami perubahan dalam hidupnya. Baik itu perubahan yang terjadi dalam dirinya ataupun perubahan yang terjadi di lingkungan, sehingga secara tidak langsung membuat individu mengalami perubahan dalam gaya hidup. Kotler (2008) mendefinisikan gaya hidup sebagai pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opini. Individu mengekspresikan dirinya dapat melalui berbagai hal diantaranya dengan menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor. Wanita memiliki kebutuhan terhadap produk fashion yang digunakan sebagai pelengkap penampilan yang sesuai dengan dirinya dan mempermudah dirinya untuk diterima di lingkungan sosialnya, karena penampilan sangat membantu dalam hubungan dengan lingkungan serta dengan menggunakan produk bermerek mereka merasa lebih percaya diri. Penampilan yang dimiliki antara individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda baik itu pakaian yang digunakan ataupun aksesorisnya. Mahasiswi dengan segala kemampuannya dapat dengan mudah bergaul dengan siapa saja dan mendapatkan informasi dari berbagai sumber, sehingga secara tidak langsung memberikan banyak gambaran mengenai gaya hidup. Gambaran tersebut di antaranya adalah mengenai gaya hidup brand minded yaitu gaya hidup yang mengutamakan merek atau penggunaan produk bermerek eksklusif atau produk impor. Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa, gaya hidup mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya, dan apa yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Menurut Hung (dalam Lin and Shih, 2012) bahwa, gaya hidup biasanya mencerminkan sikap seseorang, nilai-nilai atau 55 pandangan dunia, dan mencerminkan selera pribadi mereka. Kemudian McNeal (2007) menjelaskan bahwa, pengertian dari brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal. Dapat disimpulkan bahwa, gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor. Bagi mahasiswi, perilaku dengan menggunakan barang bermerek atau produk impor selain untuk mengikuti mode dan tren juga merupakan cara yang dianggap sesuai untuk dapat ikut dalam kehidupan kelompok sosial yang diidamkan. Hal ini karena mereka memiliki kecenderungan ingin diterima oleh kelompoknya. Surya (1999) mengungkapkan bahwa, keinginan individu untuk selalu berada dan diterima dalam kelompok tersebut akan mengakibatkan individu bersikap konformis terhadap kelompok, termasuk dalam hal yang mencakup aturan, norma, kebiasaan, minat, dan budaya teman kelompok. Myers (2012) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau keyakinan individu karena tekanan kelompok baik yang nyata ataupun yang dibayangkan individu. Taylor, dkk. (2009) mengatakan bahwa, konformitas adalah kesukarelaan individu untuk melakukan tindakan karena orang lain juga melakukannya. Konformitas yang dilakukan mahasiswi dengan menggunakan produk fashion merek eksklusif atau produk impor menyebabkan mereka cenderung boros dan menghabiskan uangnya untuk menunjang penampilan. Hal ini dilakukan karena mereka ingin diterima di lingkunganya dan agar sama dengan teman-temannya. Tekanan kelompok yang besar sangat berpengaruh 56 karena mereka lebih sering berada di luar rumah bersama teman-temannya daripada bersama dengan keluarganya. Seseorang yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak mengikuti dan memiliki ketergantungan dengan teman-temannya atau kelompoknya. Sesuai dengan yang dikemukakan Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) bahwa, tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal individu. Selain konformitas, gaya hidup brand minded juga dipengaruhi oleh konsep diri individu. Konsep diri merupakan aspek yang penting dan sangat mempengaruhi individu khususnya mahasiswi dalam menentukan sikap dan perilakunya. Sobur (2006) menggungkapkan bahwa, konsep diri adalah semua persepsi terhadap aspek diri meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Adapun konsep diri menurut Colhoum dan Acocella (1995) adalah gambaran tentang diri individu yang terdiri dari pengetahuan tentang dirinya, pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Semuanya itu menentukan tingkat harga diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki. Semakin tidak baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula konsep diri yang dimiliki. Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa, konsep diri yang positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk perilaku positif dan perilaku negatif. Termasuk persoalan gaya hidup brand minded, dapat dikatakan 57 bahwa penerimaan dan penolakan terhadap penggunaan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor tergantung dari konsep diri individu. Individu khususnya mahasiswi yang merasa kurang puas dengan dirinya dan memiliki keinginan untuk tampil menarik, serta dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya seringkali mengikuti artis atau orang yang diidolakannya dengan menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat tampil sempurna. Konsep diri sebagai faktor personal dapat mempengaruhi berbagai kehidupan individu. Pembentukan konsep diri juga akan dipengaruhi bagaimana individu menerima dan menyadari segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Jika seseorang mampu menerima segala kekurangannya akan mempunyai konsep diri yang positif dan sebaliknya, sehingga dalam kehidupannya individu menggunakan sesuatu itu karena kebutuhan bukan karena hanya mengejar kesenangan semata dalam hal ini kecenderungan penggunaan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor. Dalam upaya tersebut, individu berusaha membentuk image tentang dirinya. Upaya ini terakumulasi dengan suatu konsep yang berisikan gambaran tentang bagaimana setiap individu mempersepsikan dirinya. Pudjijogyanti (1995), mengungkapkan bahwa, konsep diri mempunyai peran penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari keseluruhan perilaku. Dengan kata lain, perilaku individu akan sesuai dengan cara individu memandangnya. Hurlock (2006), menambahkan jika kesempatan mengembangkan diri dan menyesuaikan diri dengan tugas-tugas perkembangan diri tersebut kurang, maka mengakibatkanindividu merasa ditolak lingkungan. 58 Oleh sebab itu, individu akan mempertahankan diri dengan cara mempertahankan gambaran diri yang palsu dan mengakibatkan individu mengembangkan konsep diri negatif. Apabila individu memiliki konsep diri yang positif, maka individu tersebut akan menghasilkan perilaku yang positif yang cenderung memiliki sikap dan keyakinan akan dirinya. Selain itu, individu juga akan mudah melakukan kontrol terhadap perilakunya sendiri dalam pergaulan, sehingga tidak mudah terpengaruh dalam perilaku penggunaan fashion bermerek atau produk impor secara berlebih yang saat ini di gemari di kalangan mahasiswi. Dari uraian di atas dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga terdapat hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup brand minded. Semakin tinggi konsep diri dan semakin rendah konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin rendah pula tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konsep diri dan semakin tinggi konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi pula tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya. E. Kerangka Pemikiran Hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup brand minded dalam penelitian ini dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut: 59 Bagan 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Konsep Diri Gaya Hidup Brand Minded Konformitas F. Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup brand minded pada mahasiswi FakultasHukum UNS. 2. Terdapat hubungan antara konsep diri dengan gaya hidup brand minded pada mahasiswi FakultasHukum UNS. 3. Terdapat hubungan antara konformitas dengan gaya hidup brand minded pada mahasiswi Fakultas Hukum UNS.