15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Brand Minded

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gaya Hidup Brand Minded
1. Pengertian Gaya Hidup Brand Minded
Menurut Moven dan Minor (2001) gaya hidup didefinisikan secara
sederhana bagaimana seseorang hidup. Gaya hidup (life style) menunjukkan
bagaimana orang hidup, bagaimana mereka membelanjakan uangnya, dan
bagaimana
mereka
mengalokasikan
waktu
mereka.
Kotler
(2008)
mendefinisikan gaya hidup sebagai pola hidup seseorang di dunia yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opini. Pengertian ini sejalan dengan
Sumarwan (2003), yang mengungkapkan bahwa gaya hidup sering
digambarkan dengan kegiatan, minat, dan opini dari seseorang (activities,
interests, and opinions).
Setiadi (dalam Hariyono, 2015) menyatakan bahwa, gaya hidup secara
luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka,
apa yang mereka anggap penting dalam lingkungan, dan apa yang mereka
pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya. Selanjutnya
Nas dan Sande (dalam Sobur, 2006) mendefinisikan gaya hidup sebagai
sebuah konstruk kesadaran dari frame of reference yang diciptakan relatif
bebas oleh individu untuk menguatkan identitasnya dalam pergaulan dan
membantunya dalam berkomunikasi. Dalam pengertian lain, gaya hidup
15
16
menunjuk pada frame of reference (kerangka acuan) yang dipakai seseorang
dalam bertingkah laku. Adapun menurut Sobur (2006), gaya hidup adalah
istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang di dalam fashion,
mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan hal-hal yang lain. Gaya
menunjukkan pakaian, dan gaya hidup digunakan untuk menggambarkan
bagaimana seseorang berpakaian.
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa gaya
hidup mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya,
dan apa yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian menurut
McNeal (2007) menjelaskan bahwa pengertian dari brand minded adalah pola
pikir seseorang terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi
pada merek eksklusif atau terkenal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya
hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada
penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor.
Menurut Sobur (2006) gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas
sosial ekonomi dan menunjukkan citra seseorang. Gaya hidup orang
ditunjukkan dalam variasi keputusan cita rasa diantaranya kendaraan yang
dikendarainya, tempat yang sering dikunjunggi, merek-merek pakaian,
sepatu, tas, jam tangan yang sering dipilihnya yang biasanya merek yang
menglobal atau produk impor. Sobur (2006) mengungkapkan bahwa, dalam
hal merek, merek bukanlah sekedar nama. Di dalamnya terkandung sifat,
makna, arti, dan isi dari produk yang bersangkutan, orang membedakan mutu
produk berdasarkan merek. Perkembangan lebih lanjut, merek akan menandai
17
simbol dan status dari produk tersebut. Katakana sekarang produk impor atau
merek-merek global macam Gianni Versace, Nike, Hermes, Kenzo, Kickers,
Gucci, Elisabeth Ardan, Adidas, Michael Kors, Tom Taylor, Esprith, dan
Charles & Keith. Ketika seseorang megingat merek-merek tersebut, asosiasi
orang langsung tertuju pada symbol kencantikan dan kemewahan Sobur
(2006).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya hidup brand
minded lebih menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana ia hidup,
menggunakan uangnya, dan memanfaatkan waktu yang berorientasi pada
penggunaan produk merek eksklusif atau produk impor.
2. Dimensi Gaya Hidup
Nas dan Sande (dalam Sobur, 2006) mengungkapkan bahwa, konsep gaya
hidup dirinci kedalam lima dimensi, yaitu:
a. Mofologi
Sebagai aspek lingkungan dan geografi dari gaya hidup, dimensi ini
melihat sejauh mana individu menggunakan kota dan fasilitasnya. Dari
dimensi ini dapat dilihat, misalnya, apakah aktivitas individu terbatas
pada suatu bagian kota tertentu saja, misalnya selalu belanja ditempat
yang sama dalam memenuhi semua kebutuhannya, atau aktivitasnya
melibatkan segala fasilitas perkotaan yang ada, misalnya berbelanja
keberbagai pusat perbelanjaan, atau bahkan ke luar kota, sesuai jenis
barang yang dicari.
18
b. Hubungan sosial
Dimensi ini menggali pola hubungan sosial individu. Seperti diketahui,
setiap orang memiliki beberapa lingkaran pergaulan.
c. Domain
Melalui dimensi ini diperoleh informasi mengenai aktivitas yang
ditekankan didalam jaringan sosial, serta peran apa yang dinilai berharga
oleh individu.
d. Makna
Dimensi ini menggali bagaimana individu memberi makna pada kegiatankegiatannya. Seperti diketahui, individu dapat memiliki tingkah laku yang
sama walaupun worldview yang mendasari tingkah laku tersebut berbeda.
e. Style
Dimensi yang menampilkan aspek lahiriah dari gaya hidup ini
menggunakan simbol-simbol dan memberikan nilai simbolik pada objekobjek disekitarnya.
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) mengungkapkan bahwa, gaya hidup
brand minded memiliki beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk
mengukur gaya hidup konsumen atau disebut psikografik, yaitu:
a. Aktivitas
Dimensi aktivitas ini meliputi apa yang dilakukan oleh individu atau
konsumen, apa yang dibeli, dan bagaimana mereka menghabiskan
waktunya. Individu yang bergaya hidup brand minded cenderung
menghabiskan waktu dan uangnya untuk belanja di pusat perbelanjaan
19
atau butik-butik tertentu yang menjual barang-barang yang memiliki
merek eksklusif atau terkenal.
b. Minat
Dimensi ini mencakup preferensi dan prioritas individu atau konsumen
dalam memilih produk yang akan digunakannya. Individu dengan
gayabrand minded memiliki minat yang tinggi terhadap penampilannya,
sehingga individu tersebut cenderung menggunakan produk-produk
dengan merek yang eksklusif atau terkenal agar dapat menunjang
penampilan di dalam lingkungan sosial.
c. Opini
Dimensi opini ini terdiri dari pandangan dan perasaan individu atau
konsumen terhadap produk-produk yang ada di kehidupannya, baik yang
lokal ataupun internasional. Individu dengan gaya hidup brand minded
cenderung memiliki pandangan dan perasaan positif terhadap produkproduk dengan merek eksklusif atau terkenal yang merupakan produk
internasional.
d. Nilai
Nilai secara luas mencakup keyakinan mengenai apa yang diterima atau
diinginkan. Individu dengan gaya hidup brand minded memiliki
keyakinan
bahwa
produk-produk
ekslusif
atau
terkenal
dapat
meningkatkan gengsi dan harga dirinya. Mereka beranggapan dengan
memakai produk-produk tersebut akan mencerminkan siapa diri mereka.
20
e. Demografi
Dimensi demografi ini mencakup usia, pendidikan, pendapatan,
pekerjaan, stuktur keluarga, latar belakang budaya, gender, dan lokasi
geografis dari individu atau konsumen.
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) mengungkapkan bahwa, penelitian
dapat menggunakan dua atau tiga dimensi pertama psikografik tersebut untuk
suatu kelompok individu. Pengukuran psikografik dapat dilakukan secara makro
dan merefleksikan bagaimana individu hidup secara umum, atau bisa secara mikro
menjelaskan sikap dan perilaku mereka terhadap suatu produk atau aktivitas
tertentu. Sejalan dengan Sumarwan (2003), psikografik adalah instrumen yang
digunakan untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif
dan bisa menganalisis data yang besar. Analisis psikografik sering diartikan
sebagai suatu riset konsumen yang menggambarkan segmen konsumen dalam hal
kehidupan mereka, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Sumarwan (2003)
mengungkapkan bahwa psikografik merupakan pengukuran kuantitatif gaya
hidup, kepribadian, demografik konsumen. Psikografik sering diartikan sebagai
pengukuran AIO (activitiy, interst, opinion), yaitu pengukuran kegiatan, minat,
pendapat konsumen.
Studi psikografik bisa dalam beberapa bentuk Solomon (dalam Sumarwan,
2003) seperti diuraikan berikut:
a. Profil gaya hidup (a lifestyle profile), yang menganalisis beberapa
karakteristik yang membedakan antara pemakai dan bukan pemakai
produk.
21
b. Profil produk spesifik ( a produk specific profile) yang mengidentifikasi
kelompok sasaran kemudian membuat profil konsumen tersebut
berdasarkan dimensi produk yang relevan.
c. Studi
yang menggunakan kepribadian
ciri
sebagai
faktor
yang
menjelaskan, menganalisis kaitan beberapa variable dengan kepribadian
ciri, misalnya kepribadian ciri yang sangat terkait dengan konsumen yang
sangat memperhatikan lingkungan.
d. Segmentasi gaya hidup (a general lifestyle segmentation), membuat
pengelompokkan responden berdasarkan persamaan preferensinya.
e. Segmentasi produk spesifik merupakan studi yang mengelompokkan
konsumen berdasarkan kesamaan produk yang dikonsumsinya.
Berdasarkan uraian di atas, dimensi yang dikemukakan oleh Hawkins dan
Mothersbaugh (2007) dapat mempresentasikan definisi gaya hidup secara
lengkapdan merefleksikan bagaimana individu hidup secara umum, serta dapat
menjelaskan sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu produk atau aktivitas
tertentu. Oleh karena itu, dimensi dari Hawkins digunakan sebagai dasar
penyusunan skala gaya hidup brand mindeddalam penelitian ini.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup Brand Minded
Wijokongko (1995) menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi gaya
hidup dapat dikelompokkan menjadi faktor eksternal dan faktor internal, yaitu :
22
a. Faktor Eksternal :
1) Kebudayaan
Individu sebagai anggota dari masyarakat dipengaruhi oleh nilai budaya
yang ada dalam lingkungan masyarakatnya dalam wujud pengetahuannya
tentang apa yang biasa dilakukan, keyakinan yang dianut, konsep moral
tentang baik buruk.
2) Nilai sosial
Masuknya budaya dari luar lingkungan seringkali mengakibatkan adanya
konflik-konflik nilai yang dianut. Penggeseran nilai akibat masuknya
budaya dari luarakan mengakibatkan berubahnya gaya hidup.
3) Demografis
Adanya kelompok usia tertentu yang melahirkan perbedaan gaya hidup,
tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan juga memperlihatkan
perbedaan gaya hidup. Perbedaan gaya hidup ini juga tampak pada latar
belakang etnis tertentu.
4) Status sosial
Adanya pembagian secara tidak langsung status sosial dalam masyarakat
juga mempengaruhi gaya hidup dari tiap-tiap strata yang ada.
5) Kelompok referensi
Berbagai norma dalam kelompok opini dari pemimpin kelompok,
konformitas kelompok sangat berpengaruh terhadap gaya hidup individu
anggota kelompok.
23
6) Rumah tangga
Setiap keluarga memiliki gaya hidup tersendiri yang dipengaruhi oleh
komposisi anggota keluarga, siapa yang mengambil keputusan dalam
keluarga dan dinamika interaksi dalam keluarga.
b. Faktor Internal :
1) Persepsi
Informasi dari faktor eksternal yang diperoleh melalui pengindraan dalam
proses pengolahannya sangat tergantung pada minat dan kebutuhan,
kelompok referensi, situasi saat menerima informasi, juga hal-hal yang
dianut oleh individu tersebut.
2) Memori (proses belajar dan ingatan)
Semakin banyak pengalaman yang dimiliki berarti orang tersebut
mempelajari berbagai hal. Orang yang memiliki banyak pengalaman akan
lebih efektif dalam mencari sumber informasi yang dibutuhkan karena
adanya proses belajar dan ingatan tentang hal-hal yang pernah dialami.
3) Motif dan kepribadian
Motif adalah pendorong dan pengaruh perilaku seseorang. Gaya hidup
seseorang jelas dipengaruhi oleh bagaimana ia memenuhi kebutuhan
terutama yang berpengaruh pada gaya hidup adalah kebutuhan psikologis
dengan pola konsisten.
4) Konsep diri
Pada hakikatnya konsep diri adalah sikap seseorang terhadap dirinya
sendiri dan gaya hidup dianggap sebagai manifestasi yang tampak dari
24
konsep diri seseorang. Oleh karena itu tampak bahwa orang tidak pernah
merasa puas terhadap dirinya dan selalu menginginkan adanya perubahan
kearah yang lebih.
B. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Sarwono (2009) mengungkapkan bahwa, konsep diri (self-concept)
merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa dirinya. Menurut Deaux,
Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) konsep diri adalah
sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan
seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan,
penampilan fisik dan lain sebagainya. Konsep diri bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba ada atau muncul, pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang
lain dalam proses interaksi sosial. Menurut Cooley (dalam Sarwono 2009),
lewat analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep
diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap
dirinya. Apa yang dipikirkan orang lain tentang kita menjadi sumber
informasi tentang siapa diri kita. Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu
skema, yaitu pengetahuan yang terorganisir mengenai sesuatu yang kita
gunakan untuk menginterpretasikan pengalaman.
Menurut Lindgren (dalam Pudjijogyanti, 1995), konsep diri terbentuk
karena adanya interaksi individu dengan orang-orang di sekitarnya. Apa yang
dipersepsikan individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari
25
struktur, peran, dan status sosial yang disandang individu. Struktur, peran,
dan status sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi
antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan
kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Adanya struktur, peran
dan status sosial yang menyertai persepsi individu lain terhadap individu
merupakan petunjuk bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh faktor sosial.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Kurt Lewin (dalam
Pudjijogyanti, 1995), yaitu perilaku individu merupakan fungsi dari
karakteristik individu dan karakteristik lingkungan.
Menurut Chaplin (2011), konsep diri merupakan evaluasi individu
mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang
bersangkutan. Sedangkan menurut Sobur (2006) konsep diri adalah semua
persepsi terhadap aspek diri meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek
psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang
lain. Pengertian ini sejalan dengan Brooks (dalam Rakhmat, 2001) yang
menggungkapkan bahwa konsep diri adalah persepsi terhadap diri individu,
baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui
pengalaman dari interaksi individu dengan orang lain. Selanjutnya Fitts
(1996) mengatakan bahwa apabila individu mempersepsikan dirinya, bereaksi
terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi
pada dirinya, maka hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan
keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana yang dilakukan
terhadap objek-objek lain yang ada di kehidupannya.
26
Pendapat lain mengenai konsep diri dikemukakan oleh Yusuf dan
Nurihsan (2007), yaitu a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang
terhadap dirinya, b) kualitas pensifatan individu tentang dirinya, dan c) suatu
sitem pemaknaan individu dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Sedangkan menurut Agustiani (2009) menerangkan konsep diri sebagai
gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri dibentuk
melalui pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan.
Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan tetapi berkembang dari
pengalaman yang terus menerus dan terdiferensial. Dasar dari konsep diri
individu ditanamkan pada saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.
Adapun konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995) adalah
gambaran tentang diri individu yang terdiri dari pengetahuan tentang dirinya,
pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Pengetahuan diri setiap
individu merupakan informasi yang dimiliki individu tersebut mengenai
dirinya, misalnya jenis kelamin, usia, penampilan, dan sebagainya.
Pengharapan
bagi
individu
merupakan
gagasan
individu
tentang
kemungkinan menjadi apa kelak. Penilaian individu tentang dirinya sendiri
merupakan pengukuran yang dilakukan individu sendiri tentang keadaan
dirinya yang dibandingkannya dengan apa yang menurut individu itu dapat
dan seharusnya terjadi pada dirinya. Penilaian diri menentukan tingkat harga
diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik individu
menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki. Semakin
27
tidak baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula konsep
diri yang dimiliki. Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa
konsep diri yang positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk
perilaku positif dan perilaku negatif.
Konsep diri merupakan suatu asumsi atau skema diri mengenai
kualitas personal yang meliputi penampilan fisik (tinggi, pendek, berat,
ringan,dsb), kondisi psikis (pemalu, kalm, pencemas, dsb), dan kadangkadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama (Helmi, 1999). Konsep
diri dapat dikatakan merupakan sekumpulan informasi kompleks yang
berbeda yang dipegang oleh seseorang tentang dirinya (Baron dan Byrne,
2005).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, konsep diri
adalah gambaran individu yang berupa asumsi, persepsi, konsepsi, serta
evaluasi tentang diri individu yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan
aspek psikologis yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan
orang lain.
2. Ciri-ciri Konsep Diri Individu
Berdasarkan
pendapat
Calhoun
dan
Acocella
(1995),
dalam
perkembangannya konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan
konsep diri negatif.
28
a. Konsep diri positif
Menurut Calhoun dan Acocella (1995), konsep diri positif bukan didasarkan
atas kebanggaan yang besar tentang dirinya, namun lebih berupa penerimaan
diri.
Wiclund
dan
Frey
(dalam
Calhoun
dan
Acocella,
1995)
menggungkapkan bahwa yang menjadikan penerimaan diri kepada bentuk
konsep diri positif adalah dikarenakan seseorang individu dengan konsep diri
positif mengenal dirinya baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu
kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang positif lebih bersifat stabil dan
bervariasi. Selanjutnya, Chodorkoff (dalam Calhoun dan Acocella, 1995)
menyatakan, bahwa konsep diri positif ini berisi berbagai kotak kepribadian,
sehingga individu dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik
itu informasi yang negaif ataupun positif. Jadi, individu dengan konsep diri
positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Dengan mampu menyerap semua
informasi, maka individu dengan konsep diri positif tidak akan merasa
terancam dengan informasi-informasi negatif. Konsep diri positif yang
dimiliki individu adalah adanya kemampuan yang luas dari dalam dirinya
yang dapat menampung seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi
tentang dirinya sendiri menjadi positif. Individu dapat menerima dirinya
sendiri secara apa adanya. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa individu yang
memiliki konsep diri yang positif tidak pernah kecewa terhadap dirinya
sendiri atau bahkan dia gagal mengenali kesalahan. Namun, individu tersebut
merasa tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah untuk eksistensinya.
29
Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang tujuantujuan yang sesuai dengan realistis, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan
besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta
menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan (Calhoun dan
Acocella, 1995).
Menurut Brooks dan Emmet (dalam Rakhmat, 2001), orang yang memiliki
konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu:
1) Yakin akan kemampuan mengatasi masalah,
2) Merasa setara dengan orang lain,
3) Menerima pujian tanpa rasa malu,
4) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan,
dan perilaku yang tidak semuanya disetujui masyarakat,
5) Mampu memperbaiki dirinya karenamampu mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.
Adapun Hamchek (dalam Rakhmat, 2001) mengungkapkan sebelas
karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif, yaitu:
1) Meyakini nilai dan prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya,
meskipun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi individu
tersebut juga merasa cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu
apabila bukti baru menunjukkan bahwa dirinya bersalah.
2) Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah
yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak
menyetujui tindakannya.
30
3) Tidak menghabiskan waktu yang perlu untuk mencemaskan apa yang
terjadi besok, apa yang telah terjadi dimasa lalu, dan apa yang terjadi
waktu sekarang.
4) Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,
bahkan ketika dirinya menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5) Merasa sama dengan orang lain sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,
walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang
keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
6) Sanggup menerima dirinya sebagai orang penting dan bernilai bagi orang
lain.
7) Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
8) Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9) Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa dirinya mampu merasakan
berbagai dorongan dan keinginan dari perasaan marah sampai cinta, sedih
sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang
mendalam pula.
10) Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan,
atau sekedar mengisi waktu.
11) Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa dirinya tidak bisa
bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
31
b. Konsep diri negatif
Menurut Calhoun dan Acocella (1995), konsep diri negatif dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri yang benar-benar tidak teratur
individu tersebut tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri.
Dalam artian individu dengan konsep diri negatif benar-benar tidak tahu
siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahan, atau apa yang dihargai dalam
hidupnya.
2) Pada jenis kedua, konsep diri itu terlalu stabil dan teratur. Dengann kata
lain, konsep diri negatif yang kedua bersifat kaku.
Pada kedua konsep diri negatif, informasi baru tentang diri yang
dialami seorang individu hampir pasti menjadi penyebab kecemasan dan
rasa ancaman terhadap dirinya. Individu dengan konsep diri negatif selalu
mengubah konsep dirinya atau individu tersebut melindungi konsep
dirinya yang kaku. Dengan cara mengubah atau menolak semua informasi
baru yang bertentangan dengan konsep diri yang telah ditetapkannya.
Berkaitan dengan dimensi evaluasi diri, individu dengan konsep diri
negatif menurut dimensinya meliputi penilaian negatif terhadap dirinya
sendiri. Individu dengan konsep diri negatif ini tidak pernah cukup baik,
apapun yang diperolehnya tampaknya tidak berharga bila dibandingkan
dengan orang lain.
Terdapat lima tanda individu yang memiliki konsep diri negatif
Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2001) yaitu:
32
1) Peka kritik
Individu dengan konsep diri negatif sangat tidak tahan terhadap kritik yang
diterima dan mudah marah. Bagi individu koreksi sering dipersepsikan
sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.
2) Responsif terhadap pujian
Walaupun individu mungkin berpura-pura menghindari pujian, namun
dirinya tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu
menerima pujian. Individu dengan konsep diri negatif, segala macam
atribut yang mendukung harga dirinya akan menjadi pusat perhatiannya.
3) Hiperkritis terhadap orang lain
Bersamaan dengan kesenangannya akan pujian, individu akan hiperkritis
terhadap orang lain, mengeluh, mencela atau meremehkan apa pun dan
siapa pun.
4) Merasa tidak disenangi orang lain
Individu dengan konsep diri negatif merasa bahwa dirinya tidak disenangi
oleh orang lain. Merasa tidak diperhatikan dan bereaksi pada orang lain
sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan
keakraban. Individu ini tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan
menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak benar.
5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi
Individu dengan konsep diri negatif akan bersikap pesimis terhadap
kompetisi, seperti terungkap dalam ketidakmauan untuk bersaing dengan
33
orang lain dalam membuat prestasi. Individu ini akan menganggap dirinya
tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
3. Aspek-aspek Konsep Diri
Aspek dari konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995), adalah sebagai
berikut :
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud adalah apa yang diketahui oleh individu
mengenai dirinya. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti usia,
jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lain-lain, dan sesuatu yang
merujuk pada istilah-istilah kualitas seperti individu yang egois, baik hati,
tenang,
bertemperamen
membandingkan
diri
tinggi.
individu
Pengetahuan
dengan
bisa
kelompok
diperoleh
dengan
pembandingnya.
Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya,
pengetahuan bisa berupa dengan cara mengubah kelompok pembanding.
b. Harapan
Selain individu memiliki pandangan satu set tentang siapa dirinya, individu
juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu kemungkinan menjadi apa masa
depan yang akan datang. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi
dirinya, dan pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu.
c. Penilaian
Individu berkedudukan sebagai penilai bagi dirinya sendiri setiap hari.
Penilaian terhadap dirinya sendiri merupakan pengukuran individu tentang
34
keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada
dirinya.
Menurut Yusuf dan Nurihsan (2007) konsep diri memiliki tiga komponen,
yaitu:
a. Perceptual atau physical self concept
Citra seseorang mengenai penampilan dirinya, seperti: kecantikan, keindahan,
atau kemolekan tubuhnya.
b. Conceptual atau psychological self concept
Merupakan konsep seseorang tentang kemampuan atau keunggulanya dan
ketidakmampuan atau kelemahan yang ada pada dirinya, masa depan, serta
meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya.
c. Attitudinal
Menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap
keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap
penghargaan, kebanggaan, dan keterhinaanya.
Selanjutnya menurut Berzonsky (1981), aspek konsep diri antara lain :
a. Diri fisik (Physical self)
Diri fisik mencakup semua hal nyata yang dimiliki seseorang meliputi: tubuh,
pakaian, mobil, benda-benda miliknya, dan tempat peristirahatan. Aspek
utamanya adalah tubuh, dan citra tubuh seseorang tampaknya menjadi dasar
mengkonsepkan dirinya sendiri
b. Diri sosial (Social self)
35
Diri sosial terdiri dari peranan-peranan sosial yang dimainkan individu serta
tentang penilaian individu terhadap kinerja peran tersebut.Masing-masing
peran melibatkan harapan-harapan sosial tentang bagaimana mereka
diharapkan berperilaku.Diri sosial melibatkan pernyataan tentang efektivitas
individu dalam memenuhi harapan tersebut.
c. Diri moral (Moral self)
Diri moral termasuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberikan arti dan
arahan bagi kehidupan individu. Pada masa remaja beberapa mulai
mengajukan pertanyaan seperti :“ Apa yang harus saya percaya?”, “Apa yang
ingin saya lakukan dengan hidup saya?”.Pertanyaan ini seperti menyiratkan
perhatian dengan melampaui penerimaan sosial dianggap (konvensional)
peran, tujuan, dan norma-norma dan setidaknya mempertimbangkan nilainilai dan prinsip-prinsip sendiri yang dapat dibenarkan secara pribadi (yaitu
bukan hanya apa yang seharusnya saya percaya dan berusaha, tetapi apa yang
berarti bagi saya pribadi).
d. Diri psikologis (Psychological self)
Diri psikologi meliputi segala pikiran, perasaan, dan sikap individu tentang
dirinya yang terkonseptualisasikan.Perubahan psikologis dapat terjadi pada
masa remaja sebagai akibat dari perkembangan kognitif.Prosese pembentukan
identitas diri selama masa remaja dianggap oleh Erikson muncul untuk
melibatkan semacam pemeriksaan diri. Sementara hamper semua individu
memiliki pengetahuan tentang batinnya, tetapi tidak semua orang mengetahui
36
tentang hal itu, krisis identitas muncul untuk melibatkan tingkat yang lebih
tinggi dari kesadaran diri
Hurlock (2006) mengatakan bahwa, setiap macam konsep diri mempunyai
aspek fisik dan aspek psikologis. Kedua aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari konsep yang dimiliki individu mengenai
penampilan, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam
hubungan dengan perilaku, dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata
orang lain.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan
ketidakmampuan, harga diri, dan hubungan dengan orang lain.
Uraian di atas menunjukkan bahwa, aspek-aspek konsep diri terdiri dari aspek
fisik, aspek sosial, aspek moral, dan aspek psikologis.Masing-masing aspek berisi
pengetahuan, harapan, dan penilaian individu pada dirinya sendiri.Penelitian ini
menggunakan aspek-aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Benzonsky (1981)
dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut dirasa lebih luas dalam
mengungkap konsep diri dan dapat menjelaskan konsep diri secara komprehensif.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Willey (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menjelaskan bahwa, dalam
perkembangan konsep diri individu, sumber informasi yang digunakan adalah
interaksi individu dengan orang lain di sekitarnya. Konsep diri tidak terbentuk
37
secara spontan sewaktu individu lahir, akan tetapi konsep diri terbentuk seiring
dengan perkembangan dan proses belajar sepanjang kehidupan individu. Seperti
yang diungkapkan oleh Rakhmat (2001) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri yaitu:
a. Orang lain
Tidak semua orang mempunyai pengaruh yang sama terhadap seseorang. Ada
yang paling berpengaruh yaitu orang paling dekat. Ketika masih kecil orang
yang paling dekat adalah orang tua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal
satu rumah. Selain itu orang-orang yang mempunyai ikatan emosional, secara
perlahan-lahan
dapat
membentuk
konsep
diri.
Senyuman,
pujian,
penghargaan, dan pelukan dapat menyebabkan penilaian secara positif
terhadap diri sendiri, sedangkan ejekan, cemoohan, dan hardikan dapat
membuat pandangan yang negatif terhadap diri sendiri.
b. Kelompok rujukan
Kelompok rujukan merupakan kelompok yang secara emosional mengikat
seseorang dan mempunyai norma-norma tertentu sehingga dengan melihat
kelompok tersebut seseorang akan mengarahkan perilaku dan menyesuaikan
dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.
Menurut Brooks (dalam Sobur, 2006) menjelaskan bahwa, terdapat empat
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang, yaitu:
a. Self appraisal-viewing self an object
Istilah ini menunjukkan suatu pandangan yang menjadikan diri sendiri
sebagai objek dalam komunikasi atau dengan kata lain adalah kesan individu
38
terhadap diri sendiri. Jadi individu membentuk kesan-kesannya tentang
dirinya sendiri.
b. Reaction and response of others
Konsep diri tidak hanya berkembang melalui pandangan individu terhadap
diri sendiri, namun juga berkembang dalam rangka interaksi individu dengan
masyarakat. Oleh sebab itu, konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon
orang lain terhadap diri individu.
c. Role you play-role taking
Peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi perilaku yang mesti
dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Hubungan peran
terhadap konsep diri adalah adanya aspek peran yang individu mainkan
sedikit banyak akan mempengaruhi konsep diri sendiri. Misalnya, ketika
seseorang masih kecil, ia sering bermain peran dan meniru perilaku orang lain
yang dilihatnya. Meniru ekspresi orang lain, misalnya cara tersenyum, cara
marah orang yang kerap ia lihat. Permainan peran ini yang merupakan awal
dari pengembangan konsep diri. Melalui permainan peran ini individu mulai
memahami cara orang lain memandang dirinya.
d. Reference group
Reference group atau kelompok rujukan merupakan kelompok individu
menjadi anggota di dalamnya. Apabila kelompok ini dianggap penting, dalam
artian kelompok ini dapat menilai dan bereaksi pada individu, hal ini akan
menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri individu. Menurut penelitian
yang dilakukan Brooks (dalam Sobur, 2006) menunjukkan bahwa cara
39
individu menilai diri sendiri merupakan bagian dari fungsi individu dievaluasi
oleh kelompok rujukan. Sikap yang menujukkan rasa tidak senang atau tidak
setuju terhadap kehadiran seseorang,biasanya dipergunakan sebagai bahan
komunikasi dalam penilaian kelompok terhadap perilaku seseorang.
Komunikasi tersebut dapat mengembangkan konsep diri seseorang sebagai
akibat dari terdapatnya pengaruh kelompok rujukan. Semakin banyak
kelompok rujukan yang menganggap individu positif , semakin positif pula
konsep diri individu.
C. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
Chaplin (2011) mengartikan konformitas menjadi dua pengertian yaitu
kecenderungan untuk memperbolehkan suatu tingkah laku seseorang dikuasai
oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku. Pengertian yang lain yaitu ciri
pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat
orang lain untuk menguasai dirinya.
Menurut Cialdini dan Goldstein ( dalam Taylor, dkk. 2009),
konformitas merupakan tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku
orang lain. Kebanyakan individu dianggap bebas memilih pakaian yang
dikenakannya sendiri. Akan tetapi, individu sering lebih suka mengenakan
pakaian seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka dan karenanya
mengikuti tren terbaru. Adapun Menurut Sears, dkk. (2006), konformitas
merupakan istilah untuk menggambarkan keadaan dimana individu
40
menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya.
Konformitas bersifat adaptifkarena individu perlu menyesuaikan diri dengan
orang lain dan tindakan orang lain bisa memberikan informasi mengenai cara
yang paling baik untuk bertindak dalam keadaan tertentu.
Menurut Baron dkk. (dalam Sarwono 2009), konformitas adalah suatu
bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah
lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Norma sosial, dapat berupa
Injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan atau descriptive
norms, yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Selanjutnya Sarwono dan
Meinarno (2009) mengemukakan, bahwa melakukan tindakan yang sesuai
dengan norma sosial dapat disebut dengan konformitas. Norma sosial dapat
berupa injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan dan
descriptive norms, yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Dengan
mengikuti norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, individu dapat
mengkomunikasikan perasaan dengan jelas dan menghindari kesalahpahaman
yang tidak menyenangkan atau memalukan.
Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2001) mendefinisikan
konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma
kelompok sebagai akibat tekanan kelompok. Tekanan yang ada dalam norma
sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Hal tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan
Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno,
2009) bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat,
41
sehingga
usaha
untuk
menghindari
situasi
yang
menekan
dapat
menenggelamkan nilai-nilai personal individu.
Selanjutnya Myers (2012) mendefinisikan konformitas
sebagai
perubahan perilaku atau keyakinan individu karena tekanan kelompok baik
yang nyata ataupun yang dibayangkan individu.
Taylor, dkk. (2009)
mengatakan bahwa konformitas adalah secara sukarela melakukan tindakan
karena orang lain juga melakukannya.
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa, konformitas merupakan perubahan sikap dan perilaku
individu sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma atau harapan
yang dibentuk kelompok baik nyata ataupun hanya dibayangkan oleh
individu sendiri, agar dapat diterima dalam kelompok dan sebagai bentuk
interaksi di dalam kelompok.
2. Aspek-aspek Konformitas
Sears, dkk. (2006) mengemukakan
bahwa, terdapat dua aspek
pembentuk konformitas, yaitu:
a. Pengaruh informasi
Orang lain atau kelompok dapat menjadi sumber informasi yang
bermanfaat bagi individu. Oleh karena itu, informasi yang dimiliki
individu dapat mempengaruhi konformitas. Menurut Sears, dkk. (2006),
tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh dua
aspek, yaitu:
42
1. Kepercayaan terhadap kelompok
Sears, dkk. (2006) mengemukakan, bahwa semakin besar kepercayaan
individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar,
maka akan semakin besar konformitas individu terhadap kelompok.
Demikian pula, bila kelompok memiliki informasi yang tidak
diketahui individu, konformitas akan meningkat.
2. Kepercayaan terhadap penilaian sendiri
Sears, dkk. (2006) mengemukakan, bahwa tingkat keyakinan individu
terhadap
kemampuan
sendiri
dapat
mempengaruhi
tingkat
konformitas. Semakin individu percaya terhadap keyakinannya, maka
tingkat konformitasnya akan menurun. Sebaliknya bila individu tidak
yakin
terhadap
kemampuannya,
maka
kecenderungan
untuk
mengikuti penilaiaan kelompok akan semakin tinggi.
b. Rasa takut terhadap celaan sosial
Menurut Sears, dkk. (2006), bahwa individu merasa takut terhadap
penyimpangan karena takut akan sanksi celaan sosial dari kelompok. Rasa
takut akan dianggap berbeda dalam situasi sosial, membuat individu
menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Individu menginginkan agar
kelompok menyukainya, diperlakukan dengan baik, dan diterima. Individu
menyesuaikan diri untuk menghindari selisih paham dan tidak disukai oleh
kelompoknya.
43
Selanjutnya menurut Myers (2012), terdapat dua aspek konformitas,
yaitu:
a. Pengaruh normatif
Pengaruh normatif merupakan penyesuaian diri individu berdasarkan
harapan dan keinginan orang lain untuk mendapatkan penerimaan
(Myers, 2012). Individu berusaha untuk mengikuti standar norma yang
berlaku untuk memenuhi harapan orang lain. Apabila norma itu
dilanggar maka individu akan mengalami penolakan atau pengucilan
oleh kelompok. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne
(2005) yaitu individu melakukan konformitas agar disukai oleh
kelompok atau paling tidak untuk menghindari penolakan dari kelompok.
b. Pengaruh informasional
Pengaruh informasional merupakan penyesuaian diri individu dengan
menerima petunjuk, opini, atau informasi kelompok sebagai pedoman
bagi perilaku atau pendapat sendiri (Myers, 2012). Individu menerima
asumsi kelompok karena beranggapan bahwa kelompok lebih kaya
informasi dibandingkan dengan dirinya sendiri. Individu ingin merasa
benar dan memiliki persepsi yang tepat mengenai norma sosial.
Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek konformitas yang dikemukakan
oleh Myers (2012) dapat mempresentasikan definisi konformitas secara
lengkap. Oleh karena itu, aspek-aspek dari Myers yaitu pengaruh normatif
dan pengaruh informasional digunakan sebagai dasar penyusunan skala
konformitas dalam penelitian ini.
44
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Menurut Rakhmat (2001), konformitas adalah produk interaksi antara
faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi konformitas tersebut, yaitu:
a. Faktor-faktor situasional
Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan
situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik
sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok.
1) Kejelasan situasional
Penelitian Sheriff (dalam Rakhmat, 2001) menyimpulkan bahwa
semakin tidak jelas dan makin tidak berstruktur situasi yang dihadapi,
maka semakin besar kecenderungan individu untuk mengikuti
kelompok.
2) Konteks situasi
Individu akan melakukan konformitas pada kelompok, bila individu
menyadari bahwa kelompok akan semakin menyukainya jika individu
sepakat dengan pendapat dan keyakinan kelompok.
3) Cara menyampaikan penilaian
Cara individu menyatakan penilaian dan perilaku juga berkaitan
dengan konformitas. Umumnya, individu akan melakukan konformitas
bila
mereka
harus
menyatakan
responsnya
dibandingkan mengungkapkan secara rahasia.
secara
terbuka
45
4) Karakteristik sumber pengaruh
Individu yang menyatakan pendapat atau keyakinan berpengaruh pula
pada konformitas. Bila yang menyatakan pendapat adalah orang yang
dihormati dalam kelompok, maka kecenderungan konformitas akan
semakin tinggi.
5) Ukuran kelompok
Sarwono dan Meinarno (2009) mengemukakan bahwa semakin besar
ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang berperilaku
dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak orang yang
mengikutinya.
6) Tingkat kesepakatan kelompok
Pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya
tergantung
pada
ukuran
mayoritas
anggota
kelompok
yang
menyatakan penilaian. Semakin besar anggota kelompok yang setuju,
maka semakin tinggi tingkat konformitas.
b. Faktor-faktor personal
Faktor-faktor personal yang erat kaitanya dengan konformitas antara lain
usia, jenis kelamin, stabilitas emosiaonal, kecerdasan, motivasi, dan harga
diri.
1) Usia
Pada umumnya, semakin tinggi usia individu, maka ia akan semakin
mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan semakin mengurangi
kecenderungan konformitas.
46
2) Jenis kelamin
Wanita
biasanya
lebih
cenderung
melakukan
konformitas
dibandingkan dengan pria.
3) Stabilitas emosional
Individu yang emosinya kurang stabil, lebih mudah mengikuti
kelompok daripada individu yang emosinya stabil.
4) Kecerdasan
Menurut Rakhmat (2001) semakin tinggi kecerdasan individu, maka
kecenderungan melakukan konformitas akan semakin rendah.
5) Motivasi
Menurut Rakhmat (2001) motivasi berprestasi, motivasi aktualisasi
diri, dan konsep diri yang positif dapat menghambat konformitas.
Makin tinggi hasrat berprestasi individu, akan diikuti dengan
meningkatnya kepercayaan diri, dan makin sulit untuk dipengaruhi
tekanan kelompok.
6) Harga diri
Individu dengan harga diri yang tinggi, umumnya memiliki tingkat
konformitas yang rendah.
Sears, dkk. (2006) mengemukakan bahwa, konformitas dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Kekompakan kelompok
Semakin besar rasa suka anggota yang satu dengan anggota yang lain, dan
semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan
47
kelompok,
serta
meningkatkan
semakin
kekompakan
besar
kesetiaan
kelompok.
mereka,
Kekompakan
akan
yang
semakin
tinggi
menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasannya karena bila
individu
merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin
menyenangkan bagi kelompok untuk mengakui individu, dan semakin
menyakitkan bila anggota lain mencela karena individu tersebut tidak
mengikuti norma kelompok.
b. Kesepakatan kelompok
Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan
mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila
kelompok tidak bersatu, akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas.
c. Ukuran kelompok
Sears, dkk. (2006) mengungkapkan, bahwa ukuran besar kelompok dapat
mempengaruhi konformitas. Semakin besar kelompok, maka akan semakin
meningkatkan konformitas pada individu.
Baron dan Byrne (2005) menjelakan tiga faktor yang mempengaruhi
konformitas sebagai berikut:
a. Kohesivitas kelompok
Kohesivitas didefinisikan sebagai derajat ketertarikan yang dirasakan oleh
individu terhadap suatu kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian
darinya. Semakin menarik suatu kelompok bagi individu, maka akan semakin
besar kemungkinan individu untuk melakukan konformitas terhadap norma
dan keyakinan kelompok tersebut.
48
b. Ukuran kelompok
Besar ukuran kelompok dapat mempengaruhi konformitas individu. Semakin
besar ukuran suatu kelompok, maka semakin besar pula kecenderungan
individu untuk mengikuti norma kelompok, meskipun norma tersebut tidak
sesuai dengan keyakinan individu.
c. Tipe norma sosial
Terdapat dua norma sosial yaitu norma deskrptif atau himbauan (descriptive
norms) dan norma injunctive atau perintah (injunctive norms). Norma
deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian
besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injunctive adalah norma
yang menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima
dan tidak diterima dalam situasi tertentu. Individu akan lebih patuh apabila
suatu norma relevan dan signifikan untuk individu tersebut.
D. Hubungan antara Konsep Diri dan Konformitas dengan Gaya Hidup
Brand Minded pada Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
1. Hubungan antara Konsep Diri dengan Gaya HidupBrand Minded
Mahasiswi dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang
berada pada rentang usia 18 sampai21 tahun. Sifat mahasiswi yang suka memakai
pakaian yang bagus, tas bermerek, sepatu bermerek dan perlengkapan lainnya
menyebabkan mereka berupaya untuk menggunakan barang bermerek tersebut.
49
Kebanyakan wanita membeli merek produk fashion mewah karena wanita
lebih dalam untuk menunjukkan diri mereka di depan semua orang, mereka ingin
terlihat berbeda, dan mereka ingin mendapat pengakuan dari orang lain (Nas and
Lahdi, 2015). Hal ini mempengaruhi pembentukan image individu atau
bagaimana seseorang dipersepsikan oleh orang lain melalui simbol status yang
dimiliki. Mahasiswi yang merasa kurang puas dengan dirinya dan ingin tampil
menarik serta diterima dilingkungannya terkadang melakukan hal yang kurang
tepat. Mereka seringkali mengikutigaya penampilan artis atau idola yang
menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat
tampil sempurna. Banyaknya perubahan dalam kehidupan mahasiswi secara tidak
langsung memberikan gambaran yang menampilkan gaya hidup, yaitu diantaranya
gaya hidup brand minded. Gaya hidup yang mengutamakan merek atau
penggunaan produk impor disebut gaya hidup brand minded.
Sumarwan (2003) mengungkapkan bahwa, gaya hidup sering digambarkan
dengan kegiatan, minat, dan opini dari seseorang (activities, interests, and
opinions). Sedangkan menurut Sobur (2006) gaya hidup adalah istilah menyeluruh
yang meliputi citra rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi,
bacaan, dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian, dan gaya hidup
digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian. Dalam hal ini
adalah gaya hidup brand minded dikalangan mahasiswi yang menggunakan
produk fashion merek eksklusi atau produk impor.
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa, gaya hidup
mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya, dan apa
50
yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian menurut McNeal (2007)
bahwa, pengertian dari brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objekobjek komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal.
Bahwa gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada
penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk impor. Faktor
kepribadian merupakan faktor internal yang memainkan peranan penting dalam
menentukan perilaku seseorang (Pujijogyanti, 1995). Menurut Hurlock (2006),
konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian seseorang. Faktor yang
kemungkinan dapat mempengaruhi gaya hidup brand minded adalah konsep diri.
Menurut Deaux, dkk. (dalam Sarwono 2009) konsep diri adalah sekumpulan
keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang
mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan
fisik dan lain sebagainya. Chaplin (2011), menjelaskan bahwa konsep diri
merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri
sendiri oleh individu yang bersangkutan. Penilaian diri menentukan tingkat harga
diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik individu
menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki. Semakin tidak
baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula konsep diri yang
dimiliki. Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa konsep diri yang
positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk perilaku positif dan
perilaku negatif.
Dalam hal ini, bagaimana individu berpikir dan berperilaku tentang gaya
hidupnya dapat dipengaruhi oleh konsep diri yang dimilikinya. Dari uraian di atas
51
dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga terdapat hubungan antara
konsep diri dengan gaya hidup brand minded. Diduga semakin tinggi konsep diri
yang dimiliki oleh individu, akan semakin rendah tingkat gaya hidup brand
minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konsep
diriyang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi pula tingkat gaya hidup
brand minded yang dimilikinya.
2. Hubungan antara Konformitas dengan Gaya Hidup Brand Minded
Kemajuan dunia fashion seiring dengan perkembangan teknologi yang
semakin maju secara tidak langsung menpengaruhi gaya hidup individu. Menurut
Moven dan Minor (2001) gaya hidup didefinisikan secara sederhana bagaimana
seseorang hidup. Gaya hidup (life style) menunjukkan bagaimana orang hidup,
bagaimana
mereka
membelanjakan
uangnya,
dan
bagaimana
mereka
mengalokasikan waktu mereka. Dalam hal ini wanita khususnya mahasiswi yang
menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat
sesuai dengan teman sebayanya. Bagi sebagian mahasiswi merek dapat
memberikan kepuasaan pada dirinya serta mereka beranggapan bahwa produk
impor memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan produk lainnya.
Mahasiswi pada umumnya berusia di atas tujuh belas tahun, namun tidak semua
dari mereka dapat memilih lingkungannya. Sesuai dengan tahapan perkembangan
yang mereka miliki, lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan
perilakunya. Perkembangan mode dan tren yang diikuti teman sebaya atau
lingkungannya akan cenderung diikuti.
52
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan, bahwa gaya hidup
mencakup produk apa yang beli, bagaimana menggunakannya, dan apa yang
pikirkan tentang produk tersebut. Kemudian McNeal (2007) menjelaskan bahwa,
pengertian brand minded adalah pola pikir seseorang terhadap objek-objek
komersil yang cenderung berorientasi pada merek eksklusif atau terkenal. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa gaya hidup brand minded merupakan gaya hidup yang
berorientasi pada penggunaan produk-produk bermerek eksklusif atau produk
impor. Adanya kebutuhan yang tinggi dalam berteman menggambarkan
kecenderungan gaya hidup pada mahasiswi untuk selalu mengerjakan aktivitas
secara bersama-sama dengan teman-temannya. Hal ini menjadikan mahasiswi
akan menyesuaikan diri dengan kelompoknya, yaitu salah satunya dengan
menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor yang sama
dengan teman-temannya. Perilaku ini dilakukan karena individu tersebut ingin
diterima dalam kelompoknya, hal ini sering disebut dengan konformitas.
Menurut
Sears,
dkk.
(2006),
konformitas
merupakan
istilah
untuk
menggambarkan keadaan dimana individu menampilkan suatu tindakan karena
orang lain juga melakukannya. Kebanyakan individu dianggap bebas memilih
pakaian yang dikenakannya sendiri. Akan tetapi, individu sering lebih suka
mengenakan pakaian seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka dan
karenanya mengikuti tren terbaru. Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2001)
mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan menuju
norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok. Tekanan yang ada dalam
norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Besarnya pengaruh
53
kelompok dikarenakan mahasiswi lebih banyak berada diluar rumah bersama
teman-temannya atau kelompoknya daripada bersama keluarganya. Adanya
dorongan mengadakan hubungan dengan orang lain menjadikan mahasiswi
sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan kelompoknya, salah satunya dengan
menggunakan produk bermerek eksklusif atau produk impor yang sama dengan
teman-temannya. Konformitas yang dilakukan mahasiswi dengan menggunakan
produk merek internasional menyebabkan mereka cenderung boros dan
menghabiskan uangnya untuk menunjang penampilannya. Hal ini dilakukan
karena mereka merasa lebih percaya diri serta mendapat pegakuan dari temantemannya.
Dari uraian di atas dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga terdapat
hubungan antara konformitas dengan gaya hidup brand minded. Semakin tinggi
konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi tingkat gaya hidup
brand minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah
konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin rendah pula tingkat gaya
hidup brand minded yang dimilikinya.
3. Hubungan antara Konsep Diri dan Konformitas dengan Gaya
Hidup Brand Minded
Kemajuan dunia fashion yang semakin pesat dan beragam menjadikan
para konsumen menginginkan berbagai produk fashion terbaru. Berbagai produk
fashion seperti pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris menjadi kebutuhan yang selalu
ingin terpenuhi oleh wanita. Perkembangan tersebut membuat individu
54
mengalami perubahan dalam hidupnya. Baik itu perubahan yang terjadi dalam
dirinya ataupun perubahan yang terjadi di lingkungan, sehingga secara tidak
langsung membuat individu mengalami perubahan dalam gaya hidup. Kotler
(2008) mendefinisikan gaya hidup sebagai pola hidup seseorang di dunia yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opini. Individu mengekspresikan dirinya
dapat melalui berbagai hal diantaranya dengan menggunakan produk fashion
bermerek eksklusif atau produk impor.
Wanita memiliki kebutuhan terhadap produk fashion yang digunakan
sebagai pelengkap penampilan yang sesuai dengan dirinya dan mempermudah
dirinya untuk diterima di lingkungan sosialnya, karena penampilan sangat
membantu dalam hubungan dengan lingkungan serta dengan menggunakan
produk bermerek mereka merasa lebih percaya diri. Penampilan yang dimiliki
antara individu satu dengan individu yang lain berbeda-beda baik itu pakaian yang
digunakan ataupun aksesorisnya. Mahasiswi dengan segala kemampuannya dapat
dengan mudah bergaul dengan siapa saja dan mendapatkan informasi dari
berbagai sumber, sehingga secara tidak langsung memberikan banyak gambaran
mengenai gaya hidup. Gambaran tersebut di antaranya adalah mengenai gaya
hidup brand minded yaitu gaya hidup yang mengutamakan merek atau
penggunaan produk bermerek eksklusif atau produk impor.
Hawkins dan Mothersbaugh (2007) juga menambahkan bahwa, gaya hidup
mencakup produk apa yang kita beli, bagaimana kita menggunakannya, dan apa
yang kita pikirkan tentang produk tersebut. Menurut Hung (dalam Lin and Shih,
2012) bahwa, gaya hidup biasanya mencerminkan sikap seseorang, nilai-nilai atau
55
pandangan dunia, dan mencerminkan selera pribadi mereka. Kemudian McNeal
(2007) menjelaskan bahwa, pengertian dari brand minded adalah pola pikir
seseorang terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi pada merek
eksklusif atau terkenal. Dapat disimpulkan bahwa, gaya hidup brand minded
merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan produk-produk
bermerek eksklusif atau produk impor. Bagi mahasiswi, perilaku dengan
menggunakan barang bermerek atau produk impor selain untuk mengikuti mode
dan tren juga merupakan cara yang dianggap sesuai untuk dapat ikut dalam
kehidupan kelompok sosial yang diidamkan. Hal ini karena mereka memiliki
kecenderungan ingin diterima oleh kelompoknya. Surya (1999) mengungkapkan
bahwa, keinginan individu untuk selalu berada dan diterima dalam kelompok
tersebut akan mengakibatkan individu bersikap konformis terhadap kelompok,
termasuk dalam hal yang mencakup aturan, norma, kebiasaan, minat, dan budaya
teman kelompok.
Myers (2012) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku
atau keyakinan individu karena tekanan kelompok baik yang nyata ataupun yang
dibayangkan individu.
Taylor, dkk. (2009) mengatakan bahwa, konformitas
adalah kesukarelaan individu untuk melakukan tindakan karena orang lain juga
melakukannya. Konformitas yang dilakukan mahasiswi dengan menggunakan
produk fashion merek eksklusif atau produk impor menyebabkan mereka
cenderung boros dan menghabiskan uangnya untuk menunjang penampilan. Hal
ini dilakukan karena mereka ingin diterima di lingkunganya dan agar sama
dengan teman-temannya. Tekanan kelompok yang besar sangat berpengaruh
56
karena mereka lebih sering berada di luar rumah bersama teman-temannya
daripada bersama dengan keluarganya. Seseorang yang mempunyai tingkat
konformitas tinggi akan lebih banyak mengikuti dan memiliki ketergantungan
dengan teman-temannya atau kelompoknya. Sesuai dengan yang dikemukakan
Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) bahwa, tekanan-tekanan untuk
melakukan konformitas sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi
yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal individu.
Selain konformitas, gaya hidup brand minded juga dipengaruhi oleh
konsep diri individu. Konsep diri merupakan aspek yang penting dan sangat
mempengaruhi individu khususnya mahasiswi dalam menentukan sikap dan
perilakunya. Sobur (2006) menggungkapkan bahwa, konsep diri adalah semua
persepsi terhadap aspek diri meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek
psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain.
Adapun konsep diri menurut Colhoum dan Acocella (1995) adalah gambaran
tentang
diri
individu
yang
terdiri
dari
pengetahuan
tentang
dirinya,
pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Semuanya itu menentukan
tingkat harga diri yang pada akhirnya akan menentukan perilaku. Semakin baik
individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki.
Semakin tidak baik individu menghargai dirinya, maka semakin negatif pula
konsep diri yang dimiliki.
Calhoun dan Acocella (1995) juga menjelaskan bahwa, konsep diri yang
positif maupun yang negatif akan menentukan pada bentuk perilaku positif dan
perilaku negatif. Termasuk persoalan gaya hidup brand minded, dapat dikatakan
57
bahwa penerimaan dan penolakan terhadap penggunaan produk fashion bermerek
eksklusif atau produk impor tergantung dari konsep diri individu. Individu
khususnya mahasiswi yang merasa kurang puas dengan dirinya dan memiliki
keinginan untuk tampil menarik, serta dapat diterima dengan baik oleh
lingkungannya seringkali mengikuti artis atau orang yang diidolakannya dengan
menggunakan produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor agar dapat
tampil sempurna. Konsep diri sebagai faktor personal dapat mempengaruhi
berbagai kehidupan individu. Pembentukan konsep diri juga akan dipengaruhi
bagaimana individu menerima dan menyadari segala kekurangan dan kelebihan
yang dimilikinya. Jika seseorang mampu menerima segala kekurangannya akan
mempunyai konsep diri yang positif dan sebaliknya, sehingga dalam
kehidupannya individu menggunakan sesuatu itu karena kebutuhan bukan karena
hanya mengejar kesenangan semata dalam hal ini kecenderungan penggunaan
produk fashion bermerek eksklusif atau produk impor.
Dalam upaya tersebut, individu berusaha membentuk image tentang
dirinya. Upaya ini terakumulasi dengan suatu konsep yang berisikan gambaran
tentang bagaimana setiap individu mempersepsikan dirinya. Pudjijogyanti (1995),
mengungkapkan bahwa, konsep diri mempunyai peran penting dalam menentukan
perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari
keseluruhan perilaku. Dengan kata lain, perilaku individu akan sesuai dengan cara
individu memandangnya. Hurlock (2006), menambahkan jika kesempatan
mengembangkan diri dan menyesuaikan diri dengan tugas-tugas perkembangan
diri tersebut kurang, maka mengakibatkanindividu merasa ditolak lingkungan.
58
Oleh sebab itu, individu akan mempertahankan diri dengan cara mempertahankan
gambaran diri yang palsu dan mengakibatkan individu mengembangkan konsep
diri negatif. Apabila individu memiliki konsep diri yang positif, maka individu
tersebut akan menghasilkan perilaku yang positif yang cenderung memiliki sikap
dan keyakinan akan dirinya. Selain itu, individu juga akan mudah melakukan
kontrol terhadap perilakunya sendiri dalam pergaulan, sehingga tidak mudah
terpengaruh dalam perilaku penggunaan fashion bermerek atau produk impor
secara berlebih yang saat ini di gemari di kalangan mahasiswi.
Dari uraian di atas dan dari paparan teori yang telah diuraikan, diduga
terdapat hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup brand
minded. Semakin tinggi konsep diri dan semakin rendah konformitas yang
dimiliki oleh individu, akan semakin rendah pula tingkat gaya hidup brand
minded yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konsep diri
dan semakin tinggi konformitas yang dimiliki oleh individu, akan semakin tinggi
pula tingkat gaya hidup brand minded yang dimilikinya.
E. Kerangka Pemikiran
Hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup brand
minded dalam penelitian ini dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran
sebagai berikut:
59
Bagan 1
Kerangka Pemikiran Penelitian
Konsep Diri
Gaya Hidup Brand
Minded
Konformitas
F. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara konsep diri dan konformitas dengan gaya hidup
brand minded pada mahasiswi FakultasHukum UNS.
2. Terdapat hubungan antara konsep diri dengan gaya hidup brand minded pada
mahasiswi FakultasHukum UNS.
3. Terdapat hubungan antara konformitas dengan gaya hidup brand minded
pada mahasiswi Fakultas Hukum UNS.
Download