Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
SuplemenMineral, Mineral Organik dan Biomineral
SuplemenMineral
Suplemen mineral merupakan pakan pelengkap yang berfungsi melengkapi
atau mencukupi kebutuhan ternak akan mineral. Pada intinya suplemen mineral
diberikan apabila pakan yang diberikan ke ternak kandungan mineralnya tidak dapat
mencukupi kebutuhan ternak akan mineral. Mineral memegang peranan penting
dalam nutrisi. Presentase kadar mineral total dari makanan ruminansia hanya
sebagian kecil dari konsumsi bahan kering total (Adriani dan Mushawwir, 2009).
Solusi dari permasalahan tersebut adalah pemberian suplemen mineral yang dapat
memenuhi kebutuhan ternak. Suplemen diberikan agar ketersediaan mineral bagi
tubuh ternak dapat meningkat.
Suplemen mineral dianjurkan untuk memenuhi beberapa prinsip, antara lain
mengandung 6%-8% total P; rasio Ca:P sebesar 2:1; mensuplai 50% elemen mikro
Co, Cu, I, Mn, dan Zn; bentuk mineral yang digunakan adalah mudah digunakan dan
terhindar dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun (misalnya sumber P yang
terkontaminasi dengan F); suplemen tersebut hendaknya cukup palatable untuk
menjamin tingkat konsumsi yang baik; diperhatikan ketepatan menimbang,
pencampuran yang homogen; besar partikel yang memudahkan pencampuran
dilakukan secara homogen; kebutuhan cukup, dan daya guna setiap elemen yang
digunakan dan tingkat konsumsi hewan baik (Parakkasi, 1999).
Mineral Organik
Bioproses dalam rumen dan pasca rumen harus didukung oleh kecukupan
mineral makro dan mikro. Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam
rumen dan metabolisme zat–zat makanan. Pemberian mineral dalam bentuk organik
dapat meningkatkan ketersediaan mineral sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam
tubuh ternak (Muhtarudin, 2003; Muhtarudin et al., 2003). Mineral organik memiliki
keunggulan–keunggulan daripada mineral anorganik, antara lain lebih mudah larut
karena mengikuti kelarutan senyawa organik yang mengikatnya, lebih mudah diserap
3
dan mencegah antagonisme dengan mineral lainnya (McDowell, 1992). Mineral
organik yang telah ada dibuat dengan bantuan fungi atau dengan bantuan media
pengikatan seperti sumber protein.
Suplemen mineral organik ini misalnya berupa Zn proteinat dan Cu proteinat.
Prinsip pembuatan Zn proteinat dan Cu proteinat yang telah dilakukan oleh Silalahi
(2003) dan Setyoningsih (2003) adalah terinkorporasinya Zn dan Cu ke dalam fungi
Rhizopus sp, produk tersebut dilaporkan lebih tersedia bagi ruminansia dibandingkan
suplemen mineral anorganik. Anuraga (2003) juga menyatakan bahwa pemberian
ransum Cr organik dalam uji in vitro menunjukkan hasil kecernaan bahan organik
(KCBO) dan konsentrasi VFA total yang lebih stabil bila dibandingkan dengan Cr
anorganik. Menurut Toharmat (2010), mineral organik memiliki beberapa fungsi
seperti mengurangi antagonisme interferensi dan kompetisi antar mineral
meningkatkan bioavailability, mengurangi pengaruh negatif anti nutrisi dan
mengurangi pencemaran.
Suplementasi mineral Zn dan Cu organik dengan pengikatan ampas bir,
ampas kecap dan ampas tahu mampu secara nyata meningkatkan produksi susu sapi
perah (Bayu, 2004). Hasil penelitian Noviana (2004) juga menunjukkan bahwa
suplementasi Zn dan Cu organik mampu meningkatkan konsumsi bahan kering
ternak yang diberi perlakuan ransum suplemen baik dengan taraf pemberian 1;1,5
atau 2 kg (perlakuan B, C atau D) relatif lebih tinggi dibandingkan konsumsi sapi
yang tidak diberi ransum suplemen. Pemberian ransum suplemen yang mengandung
ikatan ampas tahu dengan seng dan tembaga mampu meningkatkan konsumsi BK,
PK dan energi (Chairani, 2004). Penelitian Arimbi (2004)memperlihatkan bahwa
pemberian ransum suplemen mineral organik mampu meningkatkan konsumsi
ransum, produksi susu, berat jenis susu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar
laktosa susu. Anam (2004) juga menyatakan bahwa pemberian ransum suplemen
mineral organik dapat meningkatkan konsumsi BK, PK, produksi susu, dan kualitas
susu.
Biomineral
Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen yang berbahan dasar
mikroba cairan rumen RPH dan mempunyai nilai biologis yang cukup baik bila
4
ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Istilah "biomineral" digunakan untuk
membedakan dengan suplemen mineral organik. Perbedaan yang mendasar antara
mineral organik dengan biomineral adalah produksi biomineral dari cairan rumen
limbah RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat
makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya, sedangkan mineral
organik yang diproduksi selama ini menggunakan sumber protein atau media
pengikat dan menggunakan bakteri untuk merngikat atau menginkoorporasi mineral.
(Tjakradidjaja et al., 2007)
Uji stabilitas biomineral dengan metode Tilley dan Terry (1963)
menunjukkan bahwa biomineral cukup fermentable dan degradable didalam rumen.
Tingkat degradasi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang cukup tinggi
menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ pasca rumen
(Tjakradidjaja et al., 2007). Biomineral memiliki kandungan nutrien yang tinggi
untuk menopang kebutuhan ternak terutama kandungan mineral mikro sehingga
penggunaan biomineral untuk suplementasi mineral sangat bermanfaat untuk
memenuhi kebutuhan mineral pada ternak. Biomineral juga merupakan solusi dalam
menangani pencemaran lingkungan akibat limbah yang dihasilkan dariRPH yang
selama ini hanya dimanfaatkan menjadi biogas. Nilai biologis biomineral yang cukup
baikdapat
dimanfaatkan
untuk
ternak
apabila
dibarengi
dengan
tingkat
bioavailabilitas dari biomineral dalam organ pasca rumen.
Tahapan–tahapan yang dilakukan untuk menghasilkan biomineral dari cairan
rumen RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat
makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya melalui penggunaan
pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan dibawah
sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007). Fungsi pengasaman dalam pembuatan
biomineral dijelaskan pada penelitian Permana (2010), bahwa tingkat pengasaman
pada level pH 5,5 dapat meningkatkan kadar BK endapan cairan rumen sebesar
4,38% dan dapat meningkatkan kadar abu pada endapan biomineral. Kadar BK dan
kadar abu endapan yang lebih tinggi pada pengasaman dengan pH 5,5 dibandingkan
pH 3,5 dan 4,5 menunjukkan bahwa pH pengasaman 5,5 merupakan pH yang paling
mendekati titik isoelektrik atau pH optimal dalam produksi biomineral cairan rumen.
Dengan demikian untuk memproduksi biomineral menggunakan pengasaman pada
5
level pH 5,5. Tahapan pengendapan dan penambahan bahan carrier berfungsi untuk
mempercepat proses penguapan pada cairan rumen dan memperbanyak volume
biomineral dan tahapan pengeringan biomineral dibawah sinar matahari yang
berfungsi untuk mengurangi kadar air (Tjakradidjaja et al., 2007). Biomineral dengan
penambahan bahan carier, tanpa penambahan bahan carier, dienkapsulasi dengan
menggunakan formaldehide, dan tanin daun jambu memperlihatkan perbedaan
kandungan nutrien dari setiap perlakuan terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Biomineral
Biomineral
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
100%BK
Original*
90,13
38,85 23,84
12,26
4,59
20,46
Kontrol**
96,04
4,18
14,11
1,09
1,48
79,14
Formaldehide
97,83
2,89
14,22
1,44
1,31
80,14
Tanin daun
93,77
3,19
13,02
2,39
0,89
80,15
jambu
Sumber : Tjakradidjaja et al., (2009)
*Original: biomineral tanpa penambahan bahan carier
**Kontrol: biomineral dengan penambahan bahan carier
Pemberian biomineral 1% dalam ransum pada sapi perah dapat meningkatkan
performans ternak dan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih baik.Pengaruhnya
terjadi melalui peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien. Namun penggunaan
biomineral tersebut belum mampu meningkatkan produksi susu (Suryahadi dan
Tjakradidjaja, 2009). Suganda (2009) menyatakan bahwa pemberian biomineral yang
telah diperbaiki kadar Ca-nya (sesuai kebutuhan anak sapi) pada taraf 0,05
kg/ekor/hari (atau sekitar 1% dari konsentrat) pada sapi jantan Friesian-Holstein
lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum,BK, PK, SK dan TDN. Sebagai
efek dari perlakuan ini adalah meningkatnya daya produksi ternak dengan
menghasilkan PBB yang cukup tinggi. Rakhmanto (2009) menambahkan bahwa
pemberian biomineral mempengaruhi konsumsi mineral Ca, K, Mg dan S. Hasil
tersebut tidak berbeda dengan pemberian suplemen mineral mix; oleh karena itu,
biomineral cairan rumen dapat digunakan sebagai suplemen pakan ternak pengganti
suplemen mineral komersial. Penelitian Mulyawati (2009) yang mengenkapsulasi
6
biomineral dengan serbuk gergaji hidrolisis dan limbah kertas menyebabkan
terjadinya kenaikan kadar abu dan kandungan serat kasar .
Mineral (Ca, P, Mg, dan S), Kebutuhan dan Defisiensi Mineral
Mineral
Mineral merupakan zat makanan yang berperan dalam metabolisme tubuh
terutama pada ternak dan keberadaannya dalam tubuh ternak sekitar 5 % dari bobot
tubuh ternak. Mineral secara umum diklasifikasikan menjadi dua golongan
berdasarkan jumlah yang dibutuhkan dalam pakan yaitu mineral makro dan mikro
(McDowell, 1992). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa mineral esensial
diklasifikasikan kedalam mineral makro dan mineral mikro tergantung kepada
konsentrasi mineral tersebut dalam tubuh hewan atau jumlah yang dibutuhkan dalam
makanan. Mineral bagi ternak ruminansia, selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri, juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan
mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas
fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada
menurunnya produktivitas ternak (McDowell,1992).
Mineral secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan berdasarkan
jumlah yang dibutuhkan dalam pakan (McDowell, 1992; Underwood, 1981) yaitu
mineral makro yaug dibutuhkan dalam jumlah lebih besar dan berada dalam tubuh
ternak pada level yang lebih tinggi yaitu lebih besar dari 100 ppm yang dinyatakan
dalam persen (%) (McDowell, 1992; NRC, 1988) dan mineral mikro yang
dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit (McDowell, 1992;NRC, 1988) yaitu lebih
kecil dari 100 ppm yang dinyatakan dalam ppm atau ppb (McDowell, 1992).
Mineral makro meliputi Ca, P, Mg, Na, K, S dan Cl. Mineral mempunyai
peranan antara lain sebagai komponen struktural organ tubuh dan jaringan, sebagai
katalis dalam sistem enzim dan hormon, berperan dalarn konstituen cairan tubuh dan
jaringan (McDowell, 1992; McDonald, 1988) atau sebagai larutan garam dalam
darah dan cairan tubuh lainnya yang berhubungan dengan tekanan osmotik dan
keseimbangan asam-basa.Winarno (1992) menyatakan bahwa mineral makro
berfungsi dalam pembentukan struktur sel dan jaringan, keseimbangan cairan dan
7
elektrolit dan berfungsi dalam cairan tubuh baik intraseluler dan ekstraseluler.
Tanuwiria et al. (2005) mengemukakan bahwa kekurangan mineral makro dapat
menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan.
Pemberian mineral makro yang cukup dalam ransum sapi juga dapat meningkatkan
aktivitas mikroba rumen yang pada akhirnya akan meningkatkan metabolisme dari
sapi itu sendiri sehingga akan dihasilkan produksi yang meningkat.
Mineral mikro meliputi Fe, I, Cu, Co, Mn, Zn, Mo, Cr, F, Si, Ni, Al, Pb, Ru
dan Se (NRC, 1988). Mineral mikro berfungsi sebagai bagian dari struktur suatu
hormon yang mengatur aktivitas enzim agar dapat berfungsi secara maksimal atau
sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Keuntungan suplementasi mineral
mikro adalah 1. Meningkatkan pencernaan BK, 2. Meningkatkan produksi susu, 3.
Meningkatkan Fermentasi rumen dan 4.Meningkatkan pengeluaran kotoran
(Underwood dan Suttle, 2001).
Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan mineral paling banyak berada dalam tubuh yaitu lebih
dari 98% Ca berada dalam tulang dan gigi (McDowell, 1992). Ca untuk ternak
berfungsi sebagai pembentuk tulang dan gigi, transmisi saraf, pengaturan jantung,
pembekuan darah, aktivitas dan stabilisasi enzim dan sebagai komponen mineral
dalam susu pada sapi laktasi (NRC, 2002; Horst et al., 1994). Fungsi Ca yang tidak
kalah penting adalah sebagai penyalur rangsangan–rangsangan syaraf dari satu sel ke
sel lain.
Fosfor (P)
Fosfor (P) adalah mineral yang jumlahnya terbesar kedua setelah Ca
yaitu29% dari total mineral tubuh (McDowell, 1992), atau sekitar 80%-85% total P
tubuh; P seperti juga Ca berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, dan berperan
dalam fosforilasi dan oksidasi beberapa enzim penting. Fosfor juga merupakan
pembentuk protein fosfor, asam nukleat dan lipida-lipida fosfor, dan mempunyai
peranan dalam metabolisme Ca(Williamson dan Payne, 1993). Pada ruminansia P
dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen (Vrzgula, 1990). P pada ruminansia
juga sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat
8
maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA (Chruch 1988;
Rukebusch dan Stivend, 1980). Fosfor dibutuhkan oleh semua sel mikroba terutama
untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam
nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi seperti ATP dan ADP (Bravo et al.,
2003; Rodehutscord et al., 2000).
Magnesium (Mg)
Magnesium merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ternak yang
berfungsi dalam perkembangan tulang dan aktivitas sistem enzim (McDonald, 1988),
kadarnya dalam tulang sekitar 62% dan 1% dalam sel. Kadar Mg plasma dalam
keadaan normal adalah 1,70-2,50 mg/dl (Georgievskii, 1982) atau 2-4 mg/dl
(McDowell, 1992). Magnesium dalam plasma sebagian terikat dalam protein yang
tidak terdifusi, sebagian dalam bentuk molekul dan bentuk bebas (Vrzgula, 1990).
Sulfur (S)
Sulfur atau belerang adalah salah satu unsur penting yang mempengaruhi
proses fermentasi dalam rumen. Sulfur berperan dalam pembentukan protein
mikroba. Rasio N : S dalam protein mikroba berkisar antara (11:1) sampai (22:1),
dengan perbandingan rata 14:1. Sulfur diabsorpsi di dalam rumen dalam bentuk
sulfida (Arora,1989). Belerang berada dalam bentuk sulfat yang terdapat pada tulang
rawan dan terikat dalam ikatan ester ke asam amino serin dalam hormon peptide
kolesistokinin. Peran S sangat penting dalam tubuh yaitu untuk pembentukan protein
mikroba dan defisien S mengindikasikan defisien protein mikroba dalam tubuh
(McDonald, 2002). Selain berperan dalam pembentukan protein mikroba, S juga
berperan dalam menstimulir produksi VFA (Ruckebusch dan Stivend,1980).
Sebagian besar senyawa sulfur dapat disintesis secara in vivo dari asam amino
esensial.
Kebutuhan Mineral Bagi Mikroba Rumen dan Ternak Ruminansia
Ternak ruminansia sebagaimana ternak lainnya memerlukan nutrisi sesuai
dengan status fisiologisnya. Pertumbuhan mikroba yang optimalmembutuhkan
nutrien yang cukup dalam rumen seperti energi, protein, asam–asam amino, mineral
dan vitamin. Suplementasi suatu nutrien harus disesuaikan dengan ketersediaan
9
nutrien lainnya. Salah satu nutrisi yang dibutuhkan ternak untuk menunjang
kelangsungan hidup yaitu mineral. Mineral merupakan salah satu zat makanan yang
keberadaanya dalam pakan ternak relatif kecil (Church, 1991), tetapi kebutuhannya
sangat penting dalam proses metabolisme.
Beberapa mineral berperan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba
rumen. Sulfur adalah salah satu unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi
dalam rumen selain S, Zn juga dibutuhkan untuk mempercepat sintesa protein oleh
mikroba melalui pengaktifan enzim–enzim mikroba. Selain itu ruminansia juga
mensintesa vitamin B12 dari kobalt (Co) melalui mikroorganisme. Mineral natrium
(Na) juga dibutuhkan dalam membantu proses pencernaan rumen dengan cara
meningkatkan aktivitas mikroba. Mineral juga berperan penting untuk pertumbuhan
mikroba seperti P dan S (Preston dan Leng, 1987 ; Komisarczuk dan Durand,
1991), kebutuhan mikroba akan mineral P dan S berturut–turut 2,8–4,3 dan 2,5–3,2
g/kg BK. Pedoman kebutuhan mineral untuk pertumbuhan mikroba rumen masih
mengacu pada data NRC dan data hasil penelitian lain yang berasal dari daerah
temperate atau sub tropis (Zainet al., 2001). Fosfor adalah mineral yang penting
untuk metabolisme. Mineral P sering defisien dalam ransum ternak ruminansia. Hal
ini disebabkan kandungan P hijauan di Indonesia umumnya rendah (Little, 1986).
Kandungan P pada rumput berkisar antar 1–2,2g/kg BK, sedangkan limbah pertanian
kandungan P-nya 1–2 g/kg BK. Fosfor dibutuhkan oleh semua sel mikroba terutama
untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam
nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi (ATP, ADP dan AMP) (Bravo et
al., 2003: Rodehutscord et al., 2000). Kebutuhan mineral P tercukupi, maka populasi
bakteri rumen akan meningkat karena P dibutuhkan untuk sintesis ATP dan protein
mikroba. Kepentingan lain dari P adalah sebagai aktivator enzim dan reaksi yang
berhubungan dengan pembebasan energi untuk membentuk ATP. Suplementasi
mineral P pada jerami padi amoniasi mampu meningkatkan kecernaan BK dari
43,24% sampai dengan 48,46%.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan mineral pada ternak adalah
tingkat produksi, umur, konsumsi dan ketersediaan mineral tersebut. Kebutuhan
mineral untuk sapi didaerah tropis 50% lebih tinggi daripada yang direkomendasikan
oleh NRC (Pilliang dan Suryahadi, 1996). Suharno (1990) menyatakan suplementasi
10
mineral sebanyak 200% dari yang direkomendasikan NRC mampu meningkatkan
kadar Ca dan P tanpa menimbulkan toksik .
Kebutuhan mineral makro dan mineral mikro berdasarkan bobot badan (BB)
setiap individu ternak disajikan Tabel 2. dan kebutuhan mineral makro dan mikro
pada sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3. serta kebutuhan mineral pada sapi
pedaging ditunjukkan pada Tabel 4. Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan mineral makro lebih tinggi daripada mineral mikro
dan semakin tinggi produksi ternak semakin tinggi pula kebutuhan akan mineral
yang harus dipenuhi. Kebutuhan mineral antara sapi perah dan sapi pedaging juga
menunjukkan adanya perbedaan. Kebutuhan mineral untuk sapi perah lebih tinggi
daripada sapi pedaging karena sapi perah membutuhkan mineral yang tinggi untuk
produksi susu selain memenuhi kebutuhan hidup pokok.
Tabel 2. Kebutuhan Mineral pada Ternak
Mineral Makro
g/kg Bobot tubuh
Mineral mikro
mg/kg Bobot tubuh
Kalsium (Ca)
15
Besi (Fe)
20-80
Fosfor (P)
10
Seng (Zn)
10-50
Magnesium (Mg)
0,4
Tembaga (Cu)
1-5
Sulfur (S)
1,5
Molibdenum (Mo)
1-4
Natrium (Na)
1,6
Selenium (Se)
1-2
Kalium (K)
2
Iodin (I)
0,3-0,6
Klor (Cl)
1,1
Mangan (Mn)
0,2-0,5
Kobalt (Co)
0,02-0,01
Sumber: McDonald et al. (2002)
Tabel 3. Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah
Mineral
Jantan
Dara
Ca (%)
0,30
0,41
0,77
0,39
Laktasi
Produksi
7-13 liter
0,43
P (%)
0,19
0,30
0,48
0,24
0,28
0,33
Mg(%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
S (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
Awal laktasi
Kering
Produksi
13-20 liter
0,51
11
Na (%)
0,65
0,65
1
0,65
0,90
0,90
Fe (ppm)
50
50
50
50
50
50
Mn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Zn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Sumber: NRC (2002)
Tabel 4. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging
Mineral
GrowingFini
Dara
Awal laktasi
shing
Ca(%)
0,13
0,27
0,16
P(%)
0,05
0,19
0,09
0,12
0,20
Mg (%)
0,10
S(%)
0,15
0,15
0,15
Na (%)
0,06 -0,08
0,06-0,08
0,10
Fe (mg/kg)
50
50
50
Mn (mg/kg)
20
40
40
Zn (mg/kg)
30
30
30
Sumber : NRC (2002)
Defisiensi mineral
Defisiensi mineral sering sekali dialami oleh ternak ruminansia. Hal ini dapat
terjadi karena perbedaan penyerapan yang besar diantara mineral. Contoh
permasalahan yang sering terjadi yaitu penyerapan Zn relatif sedikit yaitu 10%-40%
dari konsumsi Zn, demikian pula dengan Cu yang memiliki efisiensi penyerapan
yang rendah dengan rataan 12%. Jumlah Zn dan Cu yang diserap tergantung pada
makanan yang dikonsumsi dan kehadiran mineral divalen lainnya yang dapat
berkompetisi dalam penyerapannya.
Penyakit defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan
mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi tidak menutup kemungkinan akibat
terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit
juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan
rendah (Darmono,2007).
Gartenberg et al. (1990) menyatakan bahwa tanah tempat hijauan tumbuh
miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan
12
menunjukkan gejala penyakit defisiensi mineral. Gejala awal berupa penurunan
reproduksi sekitar 20%-75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah dan
angka kematian anak yang tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia,
diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu sapi perah. Gejala lain
yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta kekurusan yang
hebat. Pemberian mineral tambahan pada ternak ruminansia yang hidup di daerah
yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan.
Hasil pengamatan Suryahadi (1990) di berbagai daerah yang meliputi dataran
tinggi (Garut, Lembang, Boyolali, dan Malang) dan dataran rendah (Bogor, Klaten,
dan Pasuruan) juga menunjukkan kadar mineral Ca, Na, Zn, P, dan Mg yang rendah
di sebagian besar wilayah, sedangkan mineral K, Fe, Mn, dan Cu dalam kisaran yang
cukup. Defisiensi mineral pada ternak ini juga diperparah dengan kandungan mineral
yang terdapat didalam konsentrat, yang umumnya sangat beragam dan kurang
memadai. Selain itu, ketersediaan mineral yang berasal dari pakan di dalam tubuh
ternak juga terbatas. Hasil penelitian Tasse (1999) menunjukkan bahwa ketersediaan
biologis Ca lebih rendah dari kebutuhan Ca sapi laktasi untuk produksi sekitar 8,64
kg susu/hari bila dibandingkan dengan standar NRC (1988). Tasse (1999) juga
menyatakan bahwa ketersediaan biologis fosfor lebih tinggi dari kebutuhan fosfor
sapi laktasi produksi 8,64 kg susu/hari. Masalah tersebut dapat diatasi dengan
pemberian mineral dalam bentuk mudah tersedia dan mempunyai hubungan
antagonis rendah, yaitu dengan cara pemberian mineral organik (Kardaya et al.,
2001).
Cairan Rumen dan Proses Fermentasi Zat Makanan
Cairan Rumen
Cairan rumen merupakan sumber inokula yang dapat dengan cepat
menghancurkan struktur sitoplasma dari sel tanaman. Penghuni terbesar dalam cairan
rumen adalah bakteri yaitu 1010-1012 sel/ml. Cairan rumen dan populasi terbesar
kedua diduduki oleh protozoa yang mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen, namun
karena ukuran tubuhnya lebih besar daripada bakteri maka biomassanya ternyata
cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen (N) mikroba rumen
(Hungate, 1966).
13
Proses Fermentasi Sumber Energi dan Produksi Voltile Fatty Acid (VFA)
Karbohidrat merupakan komponen yang mendominasi suatu bahan pakan dan
umumnya berupa selulosa, hemiselulosa, pati, dan pektin. Hasil pencernaan
karbohidrat dalam rumen terutama berupa asam lemak mudah terbang (volatile fatty
acid = VFA) (Puastuti, 2005). VFA umumnya terdiri dari asetat, propionat, dan
butirat serta beberapa jenis asam lainnya yang diproduksi dalam rumen sebagai hasil
akhir dari fermentasi mikroba. VFA yang sebagian besar diproduksi rumen hilang
melalui penyerapan dinding rumen, walaupun suatu proporsi (10%-20% pada domba
dan mencapai 35% pada sapi perah) lolos ke abomasum dan selanjutnya diserap
(France dan Dijkstra, 2005). Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar
VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa
propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. VFA
yang terbentuk merupakan sumber energi utama dan salah satu ciri khas dari
ruminansia.
Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA umumnya berkisar antara
70-150 mM. Konsentrasi VFA setiap individu ternak biasanya berkaitan dengan pola
fermentasi dalam rumen. Faktor–faktor yang mempengaruhi pola fermentasi yaitu
pakan basal, tipe karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi
makan dan penggunaan aditif kimia (France dan Dijkstra, 2005).
Proses Fermentasi atau Degradasi Sumber Protein dan Produksi Amonia
Ruminansia mensintesa asam amino dari zat–zat yang mengandung N yang
lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme dalam rumen (Anggorodi, 1994).
Protein yang berasal dari ransum masuk kedalam rumen akan mengalami proses
hidrolisa oleh mikroba rumen. Hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh
proses deaminasi untuk membebaskan amonia (NH3). Amonia merupakan sumber N
utama dan penting untuk sistem protein mikroba (Sakina, 2005). Sebanyak 82%
spesies mikroba rumen mampu menggunakan amonia sebagai sumber N untuk
sintesis protein (Sutardi, 1979).
Amonia merupakan indikasi yang menunjukkan degradasi dan sintesis
mikrobial. Pemberian pakan defisiensi protein atau protein tahan terhadap degradasi
oleh mikroba rumen, konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan pertumbuhan
14
mikroba menjadi lambat. Namun apabila proses degradasi protein berjalan sangat
cepat dibandingkan sintesis protein, amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen
sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi, amonia akan diserap
kedalam darah, dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagian urea masuk
kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen, tetapi
sebagian besar dieksresikan melalui urin. (McDonald et al., 2002).
Konsentrasi optimum amonia dalam cairan rumen berkisar antara6-21 mM
(McDonald et al., 2002). Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian besar
dimanfaatkan oleh mikroba untuk mensintesis protein mikroba. Bahkan amonia yang
dibebaskan dari urea atau garam–garam amonium lain dapat dipergunakan untuk
sintesis protein mikroba. Puastuti (2005) menyatakan bahwa proses proteolitik dan
deaminasi asam amino menjadi amonia diduga tidak memiliki kontrol metabolik. Hal
ini berarti degradasi dan deaminasi asam amino terus berlangsung meskipun telah
terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi.
Protein mikroba merupakan sumber pasokan asam amino bagi induk semang.
Sintesis protein mikroba tergantung kepada kecepatan pemecahan nitrogen makanan,
kecepatan absorpsi amonia dan asam–asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari
rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan
jenis makanan (Arora, 1989). Selain protein mikroba, sumber pasokan asam amino
bagi induk semangjuga berasal dari protein pakan yang tidak terdegradasi dalam
rumen, melalui cara tersebut diharapkan pasokan asam amino untuk diserap oleh
usus halus menjadi lebih banyak (Puastuti,2005).
Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik
Degradabilitas menunjukkan tingkat degradasi oleh mikroba didalam rumen.
Degradasi adalah jumlah bagian bahan pakan yang larut dan benar-benar dipecah
oleh mikroba rumen. Pengukuran degradasi dalam rumen sangat ditentukan oleh
faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi yang selanjutnya mempengaruhi
laju degradasi di dalam rumen (Lubis, 1992).Degradabilitas ransum berkaitan dengan
komposisi nutrisi dari ransum,terutama kandungan SK (Rahmawati, 2001).
Degradabilitas dapat dijadikan salah satu indikator dalam menentukan kualitas
ransum.Persentase degradabilitasbaik BK maupun bahan organik (BO) yang
15
dihasilkan menunjukkan jumlahnutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh
mikroba dalam rumen (Sutardi,1977). Suryahadi dan Tjakradidjaja (2009)
menambahkan bahwa kualitas nutrien dapat dievaluasi berdasarkan degradabilitas
dan kecernaannya. Hal ini penting untukmenentukan ketersediaan nutrien guna
memenuhi kebutuhan mikroba rumen dalamsintesis protein.
Laju degradasi protein dan BO konsentrat serta leguminosa lebih
tinggidaripada rumput. Laju degradasi protein dan BO yang bervariasi dipengaruhi
oleh perbedaan kandungan nutrien (protein atau bahan organik), tipe protein (struktur
dan kelarutan protein), interaksi nutrien khususnya karbohidrat dalam beberapa
pakan atau dalam rumen dan kandungan SK (Hermon, 2009). Besarnya pemanfaatan
bahan pakan serat oleh mikroba rumen salah satunya ditentukan oleh degradabilitas
BK dan BO. Kandungan SK yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di
dalam alat pencernaan dan menyebabkan penurunan degradasi karbohidrat maupun
zat–zat lainnya. Bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) yang terdegradasi
semakin tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi, jika fermentasi terjadi
lebih lama maka aktivitas mikroba rumen dalam mendegaradasi pakan semakin
meningkat. Penggunaan suplemen agen defaunasi dapat meningkatkan degradabilitas
BK dan BO. Agen defaunasi dapat menurunkan populasi protozoa dalam rumen
sehingga populasi bakteri meningkat dan lebih efektif mendegradasi pakan (Putra,
2006).
Proses Kecernaan Zat Makanan
Proses Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan pakan dapat didefinisikan dengan cara menghitung bagian zat
makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut
telah diserap oleh ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan, yaitu
komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan
bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan
taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Sutardi (1979) menyatakan bahwa
kecernaan BK dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber
protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda.
16
Kecernaan BO merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai
pakan.Setiap jenis ternak ruminansia memilikimikroba rumen dengan kemampuan
yang berbeda–beda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan
kecernaan. Kecernaan in vitro dipengaruhi beberapa hal yaitu pencampuran
pakan,cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu
fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994).
Menurut Anggorodi (1994), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan
yaitu pakan (perlakuan terhadap pakan, jenis, jumlah dan komposisi pakan), ternak
(umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencema pakan, dan jenis hewan) dan
lingkungan
(pH,
suhu
dan
udara
baik
secara
aerob
maupun
anaerob)
Teknik Pengukuran Degradabilitas dan Kecernaan Zat Makanan
Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan di luar tubuh ternak atau di
laboratorium (in sacco dan in vitro) maupun menggunakan hewan percobaan (in
vivo). Metode in vitro menggambarkan model biologis yang menirukan proses
pencernaan in vivo dengan tingkat kompleksitas yang berbeda. Metode ini
mempelajari respon ternak ketika satu faktor bervariasi dan dikontrol tanpa interaksi
dengan faktor lain yang berhubungan, yang mungkin dapat menyembunyikan efek
utama ( Tilley dan Terry, 1963).
Metode in vitro digunakan untuk mempelajari proses individu dan kepekaan
individu tersebut terhadap variasi faktor. Metode in vitro dikembangkan untuk
memperkirakan kecernaandan tingkatdegradasi rumen terhadap pakan, dan
mempelajari berbagai respon perubahan kondisi rumen. Metode ini biasa digunakan
untuk mengevaluasi pakan, meneliti mekanisme fermentasi mikroba dan untuk
mempelajari aksi terhadap faktor antinurisi, aditif dan suplemen pakan (Lopez,
2005).
Awalnya banyak sistem in vitro yang terdiri dari pencernaan one stage dalam
cairan rumen untuk mengukur kecernaan in vitro. Tilley dan Terry (1963)
memperkenalkan metode two stage, metode ini paling banyak digunakan untuk
mengukur kecernaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam buffer cairan
rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua
yaitu pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry.,1963;
17
McDonald et al., 2002). Residu yang dicerna dalam asam pepsin menggambarkan
pencernaan dalam abomasum (Lopez, 2005).Tilley dan Terry (1963) menyatakan
bahwa korelasi antara kecernaan in vitro dan in vivo cukup tinggi. Metode untuk
mengukur tingkat degradasi pakan dalam rumen (degradabilitas) adalah dengan cara
mengukur fermentasi bahan organik (melihat kinetika hilangnya substrat setelah
inkubasi dalam cairan rumen), dan degradasi protein (melihat kinetika produksi
amonia setelah inkubasi dalam cairan rumen) (Lopez, 2005).
18
Download