TINJAUAN PUSTAKA SuplemenMineral, Mineral Organik dan Biomineral SuplemenMineral Suplemen mineral merupakan pakan pelengkap yang berfungsi melengkapi atau mencukupi kebutuhan ternak akan mineral. Pada intinya suplemen mineral diberikan apabila pakan yang diberikan ke ternak kandungan mineralnya tidak dapat mencukupi kebutuhan ternak akan mineral. Mineral memegang peranan penting dalam nutrisi. Presentase kadar mineral total dari makanan ruminansia hanya sebagian kecil dari konsumsi bahan kering total (Adriani dan Mushawwir, 2009). Solusi dari permasalahan tersebut adalah pemberian suplemen mineral yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. Suplemen diberikan agar ketersediaan mineral bagi tubuh ternak dapat meningkat. Suplemen mineral dianjurkan untuk memenuhi beberapa prinsip, antara lain mengandung 6%-8% total P; rasio Ca:P sebesar 2:1; mensuplai 50% elemen mikro Co, Cu, I, Mn, dan Zn; bentuk mineral yang digunakan adalah mudah digunakan dan terhindar dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun (misalnya sumber P yang terkontaminasi dengan F); suplemen tersebut hendaknya cukup palatable untuk menjamin tingkat konsumsi yang baik; diperhatikan ketepatan menimbang, pencampuran yang homogen; besar partikel yang memudahkan pencampuran dilakukan secara homogen; kebutuhan cukup, dan daya guna setiap elemen yang digunakan dan tingkat konsumsi hewan baik (Parakkasi, 1999). Mineral Organik Bioproses dalam rumen dan pasca rumen harus didukung oleh kecukupan mineral makro dan mikro. Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat–zat makanan. Pemberian mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2003; Muhtarudin et al., 2003). Mineral organik memiliki keunggulan–keunggulan daripada mineral anorganik, antara lain lebih mudah larut karena mengikuti kelarutan senyawa organik yang mengikatnya, lebih mudah diserap 3 dan mencegah antagonisme dengan mineral lainnya (McDowell, 1992). Mineral organik yang telah ada dibuat dengan bantuan fungi atau dengan bantuan media pengikatan seperti sumber protein. Suplemen mineral organik ini misalnya berupa Zn proteinat dan Cu proteinat. Prinsip pembuatan Zn proteinat dan Cu proteinat yang telah dilakukan oleh Silalahi (2003) dan Setyoningsih (2003) adalah terinkorporasinya Zn dan Cu ke dalam fungi Rhizopus sp, produk tersebut dilaporkan lebih tersedia bagi ruminansia dibandingkan suplemen mineral anorganik. Anuraga (2003) juga menyatakan bahwa pemberian ransum Cr organik dalam uji in vitro menunjukkan hasil kecernaan bahan organik (KCBO) dan konsentrasi VFA total yang lebih stabil bila dibandingkan dengan Cr anorganik. Menurut Toharmat (2010), mineral organik memiliki beberapa fungsi seperti mengurangi antagonisme interferensi dan kompetisi antar mineral meningkatkan bioavailability, mengurangi pengaruh negatif anti nutrisi dan mengurangi pencemaran. Suplementasi mineral Zn dan Cu organik dengan pengikatan ampas bir, ampas kecap dan ampas tahu mampu secara nyata meningkatkan produksi susu sapi perah (Bayu, 2004). Hasil penelitian Noviana (2004) juga menunjukkan bahwa suplementasi Zn dan Cu organik mampu meningkatkan konsumsi bahan kering ternak yang diberi perlakuan ransum suplemen baik dengan taraf pemberian 1;1,5 atau 2 kg (perlakuan B, C atau D) relatif lebih tinggi dibandingkan konsumsi sapi yang tidak diberi ransum suplemen. Pemberian ransum suplemen yang mengandung ikatan ampas tahu dengan seng dan tembaga mampu meningkatkan konsumsi BK, PK dan energi (Chairani, 2004). Penelitian Arimbi (2004)memperlihatkan bahwa pemberian ransum suplemen mineral organik mampu meningkatkan konsumsi ransum, produksi susu, berat jenis susu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar laktosa susu. Anam (2004) juga menyatakan bahwa pemberian ransum suplemen mineral organik dapat meningkatkan konsumsi BK, PK, produksi susu, dan kualitas susu. Biomineral Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen yang berbahan dasar mikroba cairan rumen RPH dan mempunyai nilai biologis yang cukup baik bila 4 ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Istilah "biomineral" digunakan untuk membedakan dengan suplemen mineral organik. Perbedaan yang mendasar antara mineral organik dengan biomineral adalah produksi biomineral dari cairan rumen limbah RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya, sedangkan mineral organik yang diproduksi selama ini menggunakan sumber protein atau media pengikat dan menggunakan bakteri untuk merngikat atau menginkoorporasi mineral. (Tjakradidjaja et al., 2007) Uji stabilitas biomineral dengan metode Tilley dan Terry (1963) menunjukkan bahwa biomineral cukup fermentable dan degradable didalam rumen. Tingkat degradasi dan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ pasca rumen (Tjakradidjaja et al., 2007). Biomineral memiliki kandungan nutrien yang tinggi untuk menopang kebutuhan ternak terutama kandungan mineral mikro sehingga penggunaan biomineral untuk suplementasi mineral sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan mineral pada ternak. Biomineral juga merupakan solusi dalam menangani pencemaran lingkungan akibat limbah yang dihasilkan dariRPH yang selama ini hanya dimanfaatkan menjadi biogas. Nilai biologis biomineral yang cukup baikdapat dimanfaatkan untuk ternak apabila dibarengi dengan tingkat bioavailabilitas dari biomineral dalam organ pasca rumen. Tahapan–tahapan yang dilakukan untuk menghasilkan biomineral dari cairan rumen RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan dibawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007). Fungsi pengasaman dalam pembuatan biomineral dijelaskan pada penelitian Permana (2010), bahwa tingkat pengasaman pada level pH 5,5 dapat meningkatkan kadar BK endapan cairan rumen sebesar 4,38% dan dapat meningkatkan kadar abu pada endapan biomineral. Kadar BK dan kadar abu endapan yang lebih tinggi pada pengasaman dengan pH 5,5 dibandingkan pH 3,5 dan 4,5 menunjukkan bahwa pH pengasaman 5,5 merupakan pH yang paling mendekati titik isoelektrik atau pH optimal dalam produksi biomineral cairan rumen. Dengan demikian untuk memproduksi biomineral menggunakan pengasaman pada 5 level pH 5,5. Tahapan pengendapan dan penambahan bahan carrier berfungsi untuk mempercepat proses penguapan pada cairan rumen dan memperbanyak volume biomineral dan tahapan pengeringan biomineral dibawah sinar matahari yang berfungsi untuk mengurangi kadar air (Tjakradidjaja et al., 2007). Biomineral dengan penambahan bahan carier, tanpa penambahan bahan carier, dienkapsulasi dengan menggunakan formaldehide, dan tanin daun jambu memperlihatkan perbedaan kandungan nutrien dari setiap perlakuan terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Biomineral Biomineral BK Abu PK LK SK BETN 100%BK Original* 90,13 38,85 23,84 12,26 4,59 20,46 Kontrol** 96,04 4,18 14,11 1,09 1,48 79,14 Formaldehide 97,83 2,89 14,22 1,44 1,31 80,14 Tanin daun 93,77 3,19 13,02 2,39 0,89 80,15 jambu Sumber : Tjakradidjaja et al., (2009) *Original: biomineral tanpa penambahan bahan carier **Kontrol: biomineral dengan penambahan bahan carier Pemberian biomineral 1% dalam ransum pada sapi perah dapat meningkatkan performans ternak dan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih baik.Pengaruhnya terjadi melalui peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien. Namun penggunaan biomineral tersebut belum mampu meningkatkan produksi susu (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Suganda (2009) menyatakan bahwa pemberian biomineral yang telah diperbaiki kadar Ca-nya (sesuai kebutuhan anak sapi) pada taraf 0,05 kg/ekor/hari (atau sekitar 1% dari konsentrat) pada sapi jantan Friesian-Holstein lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum,BK, PK, SK dan TDN. Sebagai efek dari perlakuan ini adalah meningkatnya daya produksi ternak dengan menghasilkan PBB yang cukup tinggi. Rakhmanto (2009) menambahkan bahwa pemberian biomineral mempengaruhi konsumsi mineral Ca, K, Mg dan S. Hasil tersebut tidak berbeda dengan pemberian suplemen mineral mix; oleh karena itu, biomineral cairan rumen dapat digunakan sebagai suplemen pakan ternak pengganti suplemen mineral komersial. Penelitian Mulyawati (2009) yang mengenkapsulasi 6 biomineral dengan serbuk gergaji hidrolisis dan limbah kertas menyebabkan terjadinya kenaikan kadar abu dan kandungan serat kasar . Mineral (Ca, P, Mg, dan S), Kebutuhan dan Defisiensi Mineral Mineral Mineral merupakan zat makanan yang berperan dalam metabolisme tubuh terutama pada ternak dan keberadaannya dalam tubuh ternak sekitar 5 % dari bobot tubuh ternak. Mineral secara umum diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan dalam pakan yaitu mineral makro dan mikro (McDowell, 1992). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa mineral esensial diklasifikasikan kedalam mineral makro dan mineral mikro tergantung kepada konsentrasi mineral tersebut dalam tubuh hewan atau jumlah yang dibutuhkan dalam makanan. Mineral bagi ternak ruminansia, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak (McDowell,1992). Mineral secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan dalam pakan (McDowell, 1992; Underwood, 1981) yaitu mineral makro yaug dibutuhkan dalam jumlah lebih besar dan berada dalam tubuh ternak pada level yang lebih tinggi yaitu lebih besar dari 100 ppm yang dinyatakan dalam persen (%) (McDowell, 1992; NRC, 1988) dan mineral mikro yang dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit (McDowell, 1992;NRC, 1988) yaitu lebih kecil dari 100 ppm yang dinyatakan dalam ppm atau ppb (McDowell, 1992). Mineral makro meliputi Ca, P, Mg, Na, K, S dan Cl. Mineral mempunyai peranan antara lain sebagai komponen struktural organ tubuh dan jaringan, sebagai katalis dalam sistem enzim dan hormon, berperan dalarn konstituen cairan tubuh dan jaringan (McDowell, 1992; McDonald, 1988) atau sebagai larutan garam dalam darah dan cairan tubuh lainnya yang berhubungan dengan tekanan osmotik dan keseimbangan asam-basa.Winarno (1992) menyatakan bahwa mineral makro berfungsi dalam pembentukan struktur sel dan jaringan, keseimbangan cairan dan 7 elektrolit dan berfungsi dalam cairan tubuh baik intraseluler dan ekstraseluler. Tanuwiria et al. (2005) mengemukakan bahwa kekurangan mineral makro dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Pemberian mineral makro yang cukup dalam ransum sapi juga dapat meningkatkan aktivitas mikroba rumen yang pada akhirnya akan meningkatkan metabolisme dari sapi itu sendiri sehingga akan dihasilkan produksi yang meningkat. Mineral mikro meliputi Fe, I, Cu, Co, Mn, Zn, Mo, Cr, F, Si, Ni, Al, Pb, Ru dan Se (NRC, 1988). Mineral mikro berfungsi sebagai bagian dari struktur suatu hormon yang mengatur aktivitas enzim agar dapat berfungsi secara maksimal atau sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Keuntungan suplementasi mineral mikro adalah 1. Meningkatkan pencernaan BK, 2. Meningkatkan produksi susu, 3. Meningkatkan Fermentasi rumen dan 4.Meningkatkan pengeluaran kotoran (Underwood dan Suttle, 2001). Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral paling banyak berada dalam tubuh yaitu lebih dari 98% Ca berada dalam tulang dan gigi (McDowell, 1992). Ca untuk ternak berfungsi sebagai pembentuk tulang dan gigi, transmisi saraf, pengaturan jantung, pembekuan darah, aktivitas dan stabilisasi enzim dan sebagai komponen mineral dalam susu pada sapi laktasi (NRC, 2002; Horst et al., 1994). Fungsi Ca yang tidak kalah penting adalah sebagai penyalur rangsangan–rangsangan syaraf dari satu sel ke sel lain. Fosfor (P) Fosfor (P) adalah mineral yang jumlahnya terbesar kedua setelah Ca yaitu29% dari total mineral tubuh (McDowell, 1992), atau sekitar 80%-85% total P tubuh; P seperti juga Ca berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, dan berperan dalam fosforilasi dan oksidasi beberapa enzim penting. Fosfor juga merupakan pembentuk protein fosfor, asam nukleat dan lipida-lipida fosfor, dan mempunyai peranan dalam metabolisme Ca(Williamson dan Payne, 1993). Pada ruminansia P dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen (Vrzgula, 1990). P pada ruminansia juga sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat 8 maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA (Chruch 1988; Rukebusch dan Stivend, 1980). Fosfor dibutuhkan oleh semua sel mikroba terutama untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi seperti ATP dan ADP (Bravo et al., 2003; Rodehutscord et al., 2000). Magnesium (Mg) Magnesium merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ternak yang berfungsi dalam perkembangan tulang dan aktivitas sistem enzim (McDonald, 1988), kadarnya dalam tulang sekitar 62% dan 1% dalam sel. Kadar Mg plasma dalam keadaan normal adalah 1,70-2,50 mg/dl (Georgievskii, 1982) atau 2-4 mg/dl (McDowell, 1992). Magnesium dalam plasma sebagian terikat dalam protein yang tidak terdifusi, sebagian dalam bentuk molekul dan bentuk bebas (Vrzgula, 1990). Sulfur (S) Sulfur atau belerang adalah salah satu unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Sulfur berperan dalam pembentukan protein mikroba. Rasio N : S dalam protein mikroba berkisar antara (11:1) sampai (22:1), dengan perbandingan rata 14:1. Sulfur diabsorpsi di dalam rumen dalam bentuk sulfida (Arora,1989). Belerang berada dalam bentuk sulfat yang terdapat pada tulang rawan dan terikat dalam ikatan ester ke asam amino serin dalam hormon peptide kolesistokinin. Peran S sangat penting dalam tubuh yaitu untuk pembentukan protein mikroba dan defisien S mengindikasikan defisien protein mikroba dalam tubuh (McDonald, 2002). Selain berperan dalam pembentukan protein mikroba, S juga berperan dalam menstimulir produksi VFA (Ruckebusch dan Stivend,1980). Sebagian besar senyawa sulfur dapat disintesis secara in vivo dari asam amino esensial. Kebutuhan Mineral Bagi Mikroba Rumen dan Ternak Ruminansia Ternak ruminansia sebagaimana ternak lainnya memerlukan nutrisi sesuai dengan status fisiologisnya. Pertumbuhan mikroba yang optimalmembutuhkan nutrien yang cukup dalam rumen seperti energi, protein, asam–asam amino, mineral dan vitamin. Suplementasi suatu nutrien harus disesuaikan dengan ketersediaan 9 nutrien lainnya. Salah satu nutrisi yang dibutuhkan ternak untuk menunjang kelangsungan hidup yaitu mineral. Mineral merupakan salah satu zat makanan yang keberadaanya dalam pakan ternak relatif kecil (Church, 1991), tetapi kebutuhannya sangat penting dalam proses metabolisme. Beberapa mineral berperan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba rumen. Sulfur adalah salah satu unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen selain S, Zn juga dibutuhkan untuk mempercepat sintesa protein oleh mikroba melalui pengaktifan enzim–enzim mikroba. Selain itu ruminansia juga mensintesa vitamin B12 dari kobalt (Co) melalui mikroorganisme. Mineral natrium (Na) juga dibutuhkan dalam membantu proses pencernaan rumen dengan cara meningkatkan aktivitas mikroba. Mineral juga berperan penting untuk pertumbuhan mikroba seperti P dan S (Preston dan Leng, 1987 ; Komisarczuk dan Durand, 1991), kebutuhan mikroba akan mineral P dan S berturut–turut 2,8–4,3 dan 2,5–3,2 g/kg BK. Pedoman kebutuhan mineral untuk pertumbuhan mikroba rumen masih mengacu pada data NRC dan data hasil penelitian lain yang berasal dari daerah temperate atau sub tropis (Zainet al., 2001). Fosfor adalah mineral yang penting untuk metabolisme. Mineral P sering defisien dalam ransum ternak ruminansia. Hal ini disebabkan kandungan P hijauan di Indonesia umumnya rendah (Little, 1986). Kandungan P pada rumput berkisar antar 1–2,2g/kg BK, sedangkan limbah pertanian kandungan P-nya 1–2 g/kg BK. Fosfor dibutuhkan oleh semua sel mikroba terutama untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi (ATP, ADP dan AMP) (Bravo et al., 2003: Rodehutscord et al., 2000). Kebutuhan mineral P tercukupi, maka populasi bakteri rumen akan meningkat karena P dibutuhkan untuk sintesis ATP dan protein mikroba. Kepentingan lain dari P adalah sebagai aktivator enzim dan reaksi yang berhubungan dengan pembebasan energi untuk membentuk ATP. Suplementasi mineral P pada jerami padi amoniasi mampu meningkatkan kecernaan BK dari 43,24% sampai dengan 48,46%. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan mineral pada ternak adalah tingkat produksi, umur, konsumsi dan ketersediaan mineral tersebut. Kebutuhan mineral untuk sapi didaerah tropis 50% lebih tinggi daripada yang direkomendasikan oleh NRC (Pilliang dan Suryahadi, 1996). Suharno (1990) menyatakan suplementasi 10 mineral sebanyak 200% dari yang direkomendasikan NRC mampu meningkatkan kadar Ca dan P tanpa menimbulkan toksik . Kebutuhan mineral makro dan mineral mikro berdasarkan bobot badan (BB) setiap individu ternak disajikan Tabel 2. dan kebutuhan mineral makro dan mikro pada sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3. serta kebutuhan mineral pada sapi pedaging ditunjukkan pada Tabel 4. Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan mineral makro lebih tinggi daripada mineral mikro dan semakin tinggi produksi ternak semakin tinggi pula kebutuhan akan mineral yang harus dipenuhi. Kebutuhan mineral antara sapi perah dan sapi pedaging juga menunjukkan adanya perbedaan. Kebutuhan mineral untuk sapi perah lebih tinggi daripada sapi pedaging karena sapi perah membutuhkan mineral yang tinggi untuk produksi susu selain memenuhi kebutuhan hidup pokok. Tabel 2. Kebutuhan Mineral pada Ternak Mineral Makro g/kg Bobot tubuh Mineral mikro mg/kg Bobot tubuh Kalsium (Ca) 15 Besi (Fe) 20-80 Fosfor (P) 10 Seng (Zn) 10-50 Magnesium (Mg) 0,4 Tembaga (Cu) 1-5 Sulfur (S) 1,5 Molibdenum (Mo) 1-4 Natrium (Na) 1,6 Selenium (Se) 1-2 Kalium (K) 2 Iodin (I) 0,3-0,6 Klor (Cl) 1,1 Mangan (Mn) 0,2-0,5 Kobalt (Co) 0,02-0,01 Sumber: McDonald et al. (2002) Tabel 3. Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah Mineral Jantan Dara Ca (%) 0,30 0,41 0,77 0,39 Laktasi Produksi 7-13 liter 0,43 P (%) 0,19 0,30 0,48 0,24 0,28 0,33 Mg(%) 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20 S (%) 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20 Awal laktasi Kering Produksi 13-20 liter 0,51 11 Na (%) 0,65 0,65 1 0,65 0,90 0,90 Fe (ppm) 50 50 50 50 50 50 Mn (ppm) 40 40 40 40 40 40 Zn (ppm) 40 40 40 40 40 40 Sumber: NRC (2002) Tabel 4. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging Mineral GrowingFini Dara Awal laktasi shing Ca(%) 0,13 0,27 0,16 P(%) 0,05 0,19 0,09 0,12 0,20 Mg (%) 0,10 S(%) 0,15 0,15 0,15 Na (%) 0,06 -0,08 0,06-0,08 0,10 Fe (mg/kg) 50 50 50 Mn (mg/kg) 20 40 40 Zn (mg/kg) 30 30 30 Sumber : NRC (2002) Defisiensi mineral Defisiensi mineral sering sekali dialami oleh ternak ruminansia. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan penyerapan yang besar diantara mineral. Contoh permasalahan yang sering terjadi yaitu penyerapan Zn relatif sedikit yaitu 10%-40% dari konsumsi Zn, demikian pula dengan Cu yang memiliki efisiensi penyerapan yang rendah dengan rataan 12%. Jumlah Zn dan Cu yang diserap tergantung pada makanan yang dikonsumsi dan kehadiran mineral divalen lainnya yang dapat berkompetisi dalam penyerapannya. Penyakit defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi tidak menutup kemungkinan akibat terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan rendah (Darmono,2007). Gartenberg et al. (1990) menyatakan bahwa tanah tempat hijauan tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan 12 menunjukkan gejala penyakit defisiensi mineral. Gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 20%-75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah dan angka kematian anak yang tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu sapi perah. Gejala lain yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta kekurusan yang hebat. Pemberian mineral tambahan pada ternak ruminansia yang hidup di daerah yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan. Hasil pengamatan Suryahadi (1990) di berbagai daerah yang meliputi dataran tinggi (Garut, Lembang, Boyolali, dan Malang) dan dataran rendah (Bogor, Klaten, dan Pasuruan) juga menunjukkan kadar mineral Ca, Na, Zn, P, dan Mg yang rendah di sebagian besar wilayah, sedangkan mineral K, Fe, Mn, dan Cu dalam kisaran yang cukup. Defisiensi mineral pada ternak ini juga diperparah dengan kandungan mineral yang terdapat didalam konsentrat, yang umumnya sangat beragam dan kurang memadai. Selain itu, ketersediaan mineral yang berasal dari pakan di dalam tubuh ternak juga terbatas. Hasil penelitian Tasse (1999) menunjukkan bahwa ketersediaan biologis Ca lebih rendah dari kebutuhan Ca sapi laktasi untuk produksi sekitar 8,64 kg susu/hari bila dibandingkan dengan standar NRC (1988). Tasse (1999) juga menyatakan bahwa ketersediaan biologis fosfor lebih tinggi dari kebutuhan fosfor sapi laktasi produksi 8,64 kg susu/hari. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pemberian mineral dalam bentuk mudah tersedia dan mempunyai hubungan antagonis rendah, yaitu dengan cara pemberian mineral organik (Kardaya et al., 2001). Cairan Rumen dan Proses Fermentasi Zat Makanan Cairan Rumen Cairan rumen merupakan sumber inokula yang dapat dengan cepat menghancurkan struktur sitoplasma dari sel tanaman. Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010-1012 sel/ml. Cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen, namun karena ukuran tubuhnya lebih besar daripada bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen (N) mikroba rumen (Hungate, 1966). 13 Proses Fermentasi Sumber Energi dan Produksi Voltile Fatty Acid (VFA) Karbohidrat merupakan komponen yang mendominasi suatu bahan pakan dan umumnya berupa selulosa, hemiselulosa, pati, dan pektin. Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen terutama berupa asam lemak mudah terbang (volatile fatty acid = VFA) (Puastuti, 2005). VFA umumnya terdiri dari asetat, propionat, dan butirat serta beberapa jenis asam lainnya yang diproduksi dalam rumen sebagai hasil akhir dari fermentasi mikroba. VFA yang sebagian besar diproduksi rumen hilang melalui penyerapan dinding rumen, walaupun suatu proporsi (10%-20% pada domba dan mencapai 35% pada sapi perah) lolos ke abomasum dan selanjutnya diserap (France dan Dijkstra, 2005). Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi utama dan salah satu ciri khas dari ruminansia. Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA umumnya berkisar antara 70-150 mM. Konsentrasi VFA setiap individu ternak biasanya berkaitan dengan pola fermentasi dalam rumen. Faktor–faktor yang mempengaruhi pola fermentasi yaitu pakan basal, tipe karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi makan dan penggunaan aditif kimia (France dan Dijkstra, 2005). Proses Fermentasi atau Degradasi Sumber Protein dan Produksi Amonia Ruminansia mensintesa asam amino dari zat–zat yang mengandung N yang lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme dalam rumen (Anggorodi, 1994). Protein yang berasal dari ransum masuk kedalam rumen akan mengalami proses hidrolisa oleh mikroba rumen. Hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (NH3). Amonia merupakan sumber N utama dan penting untuk sistem protein mikroba (Sakina, 2005). Sebanyak 82% spesies mikroba rumen mampu menggunakan amonia sebagai sumber N untuk sintesis protein (Sutardi, 1979). Amonia merupakan indikasi yang menunjukkan degradasi dan sintesis mikrobial. Pemberian pakan defisiensi protein atau protein tahan terhadap degradasi oleh mikroba rumen, konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan pertumbuhan 14 mikroba menjadi lambat. Namun apabila proses degradasi protein berjalan sangat cepat dibandingkan sintesis protein, amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi, amonia akan diserap kedalam darah, dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagian urea masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen, tetapi sebagian besar dieksresikan melalui urin. (McDonald et al., 2002). Konsentrasi optimum amonia dalam cairan rumen berkisar antara6-21 mM (McDonald et al., 2002). Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian besar dimanfaatkan oleh mikroba untuk mensintesis protein mikroba. Bahkan amonia yang dibebaskan dari urea atau garam–garam amonium lain dapat dipergunakan untuk sintesis protein mikroba. Puastuti (2005) menyatakan bahwa proses proteolitik dan deaminasi asam amino menjadi amonia diduga tidak memiliki kontrol metabolik. Hal ini berarti degradasi dan deaminasi asam amino terus berlangsung meskipun telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi. Protein mikroba merupakan sumber pasokan asam amino bagi induk semang. Sintesis protein mikroba tergantung kepada kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorpsi amonia dan asam–asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan (Arora, 1989). Selain protein mikroba, sumber pasokan asam amino bagi induk semangjuga berasal dari protein pakan yang tidak terdegradasi dalam rumen, melalui cara tersebut diharapkan pasokan asam amino untuk diserap oleh usus halus menjadi lebih banyak (Puastuti,2005). Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik Degradabilitas menunjukkan tingkat degradasi oleh mikroba didalam rumen. Degradasi adalah jumlah bagian bahan pakan yang larut dan benar-benar dipecah oleh mikroba rumen. Pengukuran degradasi dalam rumen sangat ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi yang selanjutnya mempengaruhi laju degradasi di dalam rumen (Lubis, 1992).Degradabilitas ransum berkaitan dengan komposisi nutrisi dari ransum,terutama kandungan SK (Rahmawati, 2001). Degradabilitas dapat dijadikan salah satu indikator dalam menentukan kualitas ransum.Persentase degradabilitasbaik BK maupun bahan organik (BO) yang 15 dihasilkan menunjukkan jumlahnutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba dalam rumen (Sutardi,1977). Suryahadi dan Tjakradidjaja (2009) menambahkan bahwa kualitas nutrien dapat dievaluasi berdasarkan degradabilitas dan kecernaannya. Hal ini penting untukmenentukan ketersediaan nutrien guna memenuhi kebutuhan mikroba rumen dalamsintesis protein. Laju degradasi protein dan BO konsentrat serta leguminosa lebih tinggidaripada rumput. Laju degradasi protein dan BO yang bervariasi dipengaruhi oleh perbedaan kandungan nutrien (protein atau bahan organik), tipe protein (struktur dan kelarutan protein), interaksi nutrien khususnya karbohidrat dalam beberapa pakan atau dalam rumen dan kandungan SK (Hermon, 2009). Besarnya pemanfaatan bahan pakan serat oleh mikroba rumen salah satunya ditentukan oleh degradabilitas BK dan BO. Kandungan SK yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan dan menyebabkan penurunan degradasi karbohidrat maupun zat–zat lainnya. Bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) yang terdegradasi semakin tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi, jika fermentasi terjadi lebih lama maka aktivitas mikroba rumen dalam mendegaradasi pakan semakin meningkat. Penggunaan suplemen agen defaunasi dapat meningkatkan degradabilitas BK dan BO. Agen defaunasi dapat menurunkan populasi protozoa dalam rumen sehingga populasi bakteri meningkat dan lebih efektif mendegradasi pakan (Putra, 2006). Proses Kecernaan Zat Makanan Proses Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan pakan dapat didefinisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan, yaitu komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Sutardi (1979) menyatakan bahwa kecernaan BK dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. 16 Kecernaan BO merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan.Setiap jenis ternak ruminansia memilikimikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda–beda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan. Kecernaan in vitro dipengaruhi beberapa hal yaitu pencampuran pakan,cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994). Menurut Anggorodi (1994), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan yaitu pakan (perlakuan terhadap pakan, jenis, jumlah dan komposisi pakan), ternak (umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencema pakan, dan jenis hewan) dan lingkungan (pH, suhu dan udara baik secara aerob maupun anaerob) Teknik Pengukuran Degradabilitas dan Kecernaan Zat Makanan Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan di luar tubuh ternak atau di laboratorium (in sacco dan in vitro) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Metode in vitro menggambarkan model biologis yang menirukan proses pencernaan in vivo dengan tingkat kompleksitas yang berbeda. Metode ini mempelajari respon ternak ketika satu faktor bervariasi dan dikontrol tanpa interaksi dengan faktor lain yang berhubungan, yang mungkin dapat menyembunyikan efek utama ( Tilley dan Terry, 1963). Metode in vitro digunakan untuk mempelajari proses individu dan kepekaan individu tersebut terhadap variasi faktor. Metode in vitro dikembangkan untuk memperkirakan kecernaandan tingkatdegradasi rumen terhadap pakan, dan mempelajari berbagai respon perubahan kondisi rumen. Metode ini biasa digunakan untuk mengevaluasi pakan, meneliti mekanisme fermentasi mikroba dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor antinurisi, aditif dan suplemen pakan (Lopez, 2005). Awalnya banyak sistem in vitro yang terdiri dari pencernaan one stage dalam cairan rumen untuk mengukur kecernaan in vitro. Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage, metode ini paling banyak digunakan untuk mengukur kecernaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry.,1963; 17 McDonald et al., 2002). Residu yang dicerna dalam asam pepsin menggambarkan pencernaan dalam abomasum (Lopez, 2005).Tilley dan Terry (1963) menyatakan bahwa korelasi antara kecernaan in vitro dan in vivo cukup tinggi. Metode untuk mengukur tingkat degradasi pakan dalam rumen (degradabilitas) adalah dengan cara mengukur fermentasi bahan organik (melihat kinetika hilangnya substrat setelah inkubasi dalam cairan rumen), dan degradasi protein (melihat kinetika produksi amonia setelah inkubasi dalam cairan rumen) (Lopez, 2005). 18